Pencarian

Pendekar Lembah Naga 19

Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 19


Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya. "Engkau hebat! Nah, kita berpisah di sini dan membagi tugas masing-masing."
"Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci," kata Lin Lin. Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lalu meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat akan tetapi Lin Lin membalap.
Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biarpun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, namun perbuatan itu kejam dan jahat. Betapapun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah. Mengapa ayahnya begitu tega dan kejam untuk melakukan siasat penangkapan terhadap Sin Liong itu" Pula, siapa mau percaya bahwa Sin Liong adalah seorang pemberontak" Itu hanya tuduhan keji, fitnah keji. Tak terasa lagi kedua mata Lan Lan menjadi basah karena hatinya amat sedih melihat kenyataan betapa ayahnya adalah seorang yang kejam dan jahat. Kenyataan ini membuat dia makin rindu kepada ibu kandungnya, dan teringat olehnya betapa ibu kandungnya adalah seorang yang gagah perkasa. Dan hal ini membuat dia teringat pula akan kematian ibunya itu, dan membuat hatinya makin sakit dan mendendam kepada wanita iblis yang telah membunuh ibunya.
"Kim Hong Liu-nio iblis betina! Sekali waktu aku akan memenggal batang lehermu!" teriaknya dan dia mencabut pedangnya, diputar-putar di atas kepalanya sehingga kudanya menjadi terkejut dan berlari kencang. Peluapan rasa marah dan dendam di hati Lan Lan ini sedikit banyak menghapus kedukaan dan kekecewaan hatinya melihat sikap ayahnya yang kejam terhadap Sin Liong. Malam itu Lan Lan menginap dalam kamar sebuah hotel di kota raja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, barulah dia mengunjungi rumah komandan Kwan yang telah dikenalnya karena komandan itu merupakan sahabat ayahnya. Sudah beberapa kali dia mengunjungi rumah keluarga komandan Kwan itu, dan sering pula komandan Kwan datang berkunjung ke rumah mereka.
Kwan-ciangkun sendiri yang menyambut kedatangannya dan kebetulan Kwan-ciangkun bertemu dengan dara ini di depan rumah karena komandan itu hendak pergi ke tempat kerjanya.
"Eh, nona Kui Lin..."
"Aku Kui Lan, ciangkun."
"Ah, ha-ha-ha, maaf, sudah beberapa tahun berkenalan, tetap saja aku masih belum mampu membedakan antara kalian berdua." Komandan yang bertubuh tinggi besar itu tertawa. "Dengan siapa nona datang" Dan bagaimana kabar ayahmu"
"Aku datang sendirian saja, ciangkun. Dan aku disuruh oleh ayah untuk mengantarkan sebuah surat untuk Kwan-ciangkun."
"Ah, agaknya penting. Untung aku belum pergi, mari silakan duduk di dalam nona."
"Terima kasih, ciangkun. Aku hanya mengantar surat saja dan akan terus kembali, karena banyak pekerjaan menanti di rumah."
"Kalau begitu, biar kubaca dulu surat ayahmu, barangkali membutuhkan balasan."
Komandan itu lalu merobek sampul dan mengeluarkan isinya, membaca surat itu. Wajahnya berubah, matanya terbelalak dan dia memandang kepada Kui Lan dengan mata bersinar-sinar. "Ah, kiranya urusan yang amat penting sekali! Aku harus segera melaporkan ke atasan dan mengumpulkan pasukan! Dan kebetulan sekali dia berada di kota raja..."
"Kwan-ciangkun, kalau tidak ada balasannya, aku minta pamit sekarang saja."
"Baik, baik... tidak perlu balasan, hanya katakan kepada ayahmu bahwa aku telah menerima suratnya dan semua akan beres! Begitu saja...!" Perwira itu kelihatan gugup dan tergesa-gesa. Lan Lan juga tidak mau ambil pusing lagi siapa yang dimaksudkan "dia" oleh perwira itu, dia memberi hormat lalu keluar dari pekarangan rumah itu, kembali ke hotelnya dan tak lama kemudian dia sudah membedal kudanya keluar kota raja, kembali menuju ke dusun tempat tinggalnya.
Kwan-ciangkun itu adalah seorang kepala atau komandan dari pasukan pengawal istana. Dia bersahabat dengan she Kui ini adalah orang yang terkaya di dusunnya, dan selain itu, juga komandan ini tahu bahwa Kui Hok Boan adalah seorang hartawan yang memiliki ilmu silat tinggi. Persahabatan antara mereka itu mendatangkan keuntungan timbal balik. Bagi Kwan-ciangkun tentu saja dia mendapat untung berupa pemberian hadiah-hadiah di samping dia mendapatkan seorang kawan yang pandai dalam ilmu silat maupun ilmu surat, sehingga enak untuk diajak berbincang-bincang, bahkan dalam ilmu silat, dia banyak memperoleh petunjuk dari hartawan she Kui itu. Di fihak Kui Hok Boan, tentu saja dia merasa bangga mempunyai seorang sahabat yang menjadi komandan pasukan pengawal istana karena selain hal ini mendatangkan kehormatan baginya, juga dia akan mudah memperoleh bantuan seorang "dalam" apabila terjadi sesuatu atau apabila dia membutuhkan sesuatu dari fihak yang berkuasa.
Maka, begitu menerima surat dari sahabatnya itu, Kwan-ciangkun mempercaya sepenuhnya dan dia merasa girang sekali karena menangkap pemberontak buronan itu, atau lebih tepat lagi, putera dari pemberontak terkenal Cia Bun How, berarti dia akan membuat jasa yang besar. Cepat dia berlari-lari melapor ke atasannya, yaitu panglima pasukan keamanan di kota raja dan gegerlah keadaan di dalam benteng itu. Panglima itu segera menghubungi Kim Hong Liu-nio karena wanita ini yang pertama kali menyiarkan bahwa bocah yang tadinya bekerja sebagai pelayan di rumah makan itu adalah putera pendekar sakti Cia Bun Houw yang menjadi buronan dan bocah itu bernama Cia Sin Liong. Pemilik rumah makan telah ditangkap, disiksa untuk mengaku dan menceritakan keadaan Sin Liong, akan tetapi majikan rumah makan yang sial itu dalam keadaan setengah mati tetap mengatakan bahwa dia mengenal pemuda itu sebagai A-sin.
Pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Kwan Heng Lai atau Kwan-ciangkun, ditemani pula oleh Kim Hong Liu-nio, segera berangkat melakukan pengejaran ke dusun kecil itu, dengan menunggang kuda. Orang-orang di sepanjang perjalanan memandang dengan takut-takut dan heran melihat pasukan yang bersenjata lengkap, berwajah serius dan melakukan perjalanan tergesa-gesa ini. Tentu ada sesuatu yang tidak beres, pikir mereka dan mereka merasa ngeri membayangkan dusun yang dijadikan sasaran oleh pasukan itu. Biasanya, setiap kali ada pasukan melakukan pembersihan di suatu dusun, akan terjadi hal-hal yang mengerikan.
*** Apakah yang terjadi dengan Sin Liong dan Bi Cu di rumah keluarga Kui" Seperti kita ketahui, setelah Lan Lan dan Lin Lin pergi memenuhi perintah ayah mereka untuk menyerahkan surat malam itu juga kepada komandan Kwan di kota raja, Sin Liong dan Bi Cu dilayani oleh Kui Hok Boan sendiri yang memperlihatkan pedang buatan mendiang Bhe Coan kepada Bi Cu.
Selagi mereka bercakap-cakap, muncullah pelayan wanita yang membawa hidangan. Melihat ini, Sin Liong dan Bi Cu menjadi sungkan dan kikuk. "Ah, harap paman tidak usah repot-repot," kata Sin Liong melihat betapa Kui Hok Boan sendiri yang menemani mereka untuk makan minum.
"Sama sekali tidak. Hari sudah malam, sudah tiba waktunya makan malam. Mari silakan, aku sendiri sudah makan tadi. Mari silakan, nona Bhe."
Melihat dua orang muda itu kelihatan sungkan-sungkan dan kikuk, Kui Hok Boan lalu bangkit berdiri dan berkata, "Harap kalian berdua makan yang enak, aku akan pergi dulu melakukan sesuatu di dalam. Silakan dan harap makan secukupnya, yang kenyang dan jangan malu-malu. Itu araknya harap diminum, arak wangi yang tidak keras." Dengan ramah Kui Hok Boan mempersilakan dua orang tamunya, kemudian dia mengangguk dan meninggalkan dua orang muda remaja itu.
Setelah Kui Hok Boan pergi, barulah Sin Liong dan Bi Cu tidak merasa kikuk lagi dan karena perut mereka memang sudah lapar, mereka berdua lalu mulai makan.
"Kau suka minum arak" tanya Sin Liong sambil mengangkat guci untuk dituangkan ke dalam cawan yang tersedia. Bi Cu menggeleng kepalanya.
"Kami kaum pengemis, mana biasa minum arak" kata Bi Cu tersenyum. "Pula, mendiang suhu mengatakan bahwa arak berhawa panas, hanya tepat untuk orang-orang tua yang memerlukan bantuan hawa panas memperlancar jalan darah mereka. Tidak, aku tidak biasa minum."
Sin Liong meletakkan kembali guci arak itu di atas meja. "Aku sendiripun tidak begitu suka minuman arak. Terlalu banyak arak bisa memabukkan, dan saat-saat seperti ini kita berdua perlu selalu waspada dan sadar."
Mereka makan secukupnya dan minum air teh, sama sekali tidak menyentuh arak di dalam guci. Selagi makan minum, diam-diam Sin Liong memperhatikan ke arah pintu yang menembus ke dalam. Biarpun matanya tidak dapat menembus daun pintu, namun pendengarannya yang amat tajam berkat kepandaiannya yang tinggi dan sin-kangnya yang kuat, dapat menangkap suara orang di balik daun pintu. Mula-mula dia mengira bahwa tentu orang itu adalah pelayan yang siap untuk melayani mereka, akan tetapi makin lama dia makin merasa curiga. Kalau pelayan, mengapa bersembunyi di balik pintu" Dan orang itu memiliki kepandaian tinggi, ketika mendekati pintu, langkah kakinya demikian ringan dan ketika kini bersembunyi di balik pintu, tidak mengeluarkan suara apa-apa kecuali pernapasannya. Dan pernapasan ini cukup bagi pendengaran Sin Liong untuk mengetahui bahwa di balik pintu itu ada orang bersembunyi, agaknya mengintai dan mendengarkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya dan melanjutkan makan minum dengan tenang.
Bi Cu yang tidak begitu banyak makannya telah meletakkan mangkok dan sumpit di atas meja ketika Sin Liong masih melanjutkan makan. Pada saat itu, pintu terbuka dan sambil makan bakso dari mangkoknya Sin Liong melirik. Kiranya orang yang bersembunyi di balik daun pintu tadi adalah Kui Hok Boan sendiri! Orang ini masuk sambil mencoba tersenyum, akan tetapi pandang matanya nampak kecewa. "Silakan makan sekenyangnya, nona. Mengapa nona tidak makan" Dia berkata mempersilakan sambil menghampiri meja.
"Terima kasih, aku sudah makan cukup," kata Bi Cu sedangkan Sin Liong masih melanjutkan makannya.
Kui Hok Boan duduk. "Ah, nona Bhe, kenapa makan hanya sedikit" Dan ini... ah, kenapa arak dalam guci masih penuh" Apakah kalian tidak mau minum arak yang kusuguhkan"
"Terima kash paman, kami berdua tidak biasa minum arak," jawab Sin Liong sambil meletakkan sumpit dan mangkoknya yang kini telah kosong.
"Aahh, kalau terlalu banyak minum arak memang bisa mabuk dan tidak baik untuk kesehatan. Akan tetapi kalau hanya dua tiga cawan saja, bahkan amat baik bagi kesehatan. Orang bijaksana selalu berkata bahwa sedikit arak menjadi obat, terlampau banyak arak menjadi racun. Nah, sekarang, mengingat akan kegembiraan pertemuan antara kita, apa salahnya kalian minum barang dua tiga cawan" Nona, engkau adalah seorang murid dari mendiang Hwa-i Sin-kai yang sejak dahulu kukagumi. Kini, bertemu dengan muridnya, perkenankan aku mengucapkan selamat datang dan hormatku kepada mendiang gurumu dan engkau sebagai wakil beliau!" Kui Hok Boan menuangkan secawan arak di dalam cawan depan dara remaja itu. Bi Cu merasa bingung, akan tetapi tentu saja sukar baginya untuk menolak. Menolak berarti tidak menghormati tuan rumah yang sudah begitu baik hati.
"Aku tidak biasa minum arak, paman, kalau hanya secawan saja bolehlah," jawabnya dan dia lalu mengangkat cawan itu dan meneguk arak dalam cawan sedikit demi sedikit, khawatir tersedak. Akhirnya arak itupun habis dan Kui Hok Boan tertawa gembira.
"Secawan tadi adalah selamat datang, kini secawan arak penghormatanku kepada mendiang suhumu belum kauminum." Dia menuangkan lagi secawan.
Bi Cu tersenyum. "Ah, paman terlalu mendesak. Akan tetapi aku hanya mau minum secawan lagi kalau paman berjanji tidak akan menambahkan lagi. Yang secawan ini tadi saja sudah membuat perut terasa panas."
"Baik, cukup secawan lagi, minumlah, nona Bhe."
Bi Cu menerima secawan arak itu dan minum lagi. Sin Liong memandang penuh perhatian ketika Bi Cu minum arak itu dan hatinya merasa lega ketika dara remaja itu menghabiskan dua cawan tanpa ada terjadi sesuatu yang mencurigakan. Wajah yang manis dan berkulit halus putih itu kini mulai menjadi kemerahan, menambah cantiknya Bi Cu.
"Dan untuk kembalimu kepada keluarga kita, Liong-ji, untuk pertemuan yang amat menggembirakan ini, aku ingin menyampaikan selamat kepadamu dengan tiga cawan arak, harap kau suka menerimanya!" Kui Hok Boan lalu menuangkan arak ke dalam cawan Sin Liong sampai tiga kali, dan tanpa ragu-ragu Sin Liong meneguk tiga cawan arak itu ke dalam kerongkongannya. Dia merasa ada hawa aneh bersama arak itu, dan cepat dia lalu mengerahkan sin-kang Thi-khi-i-beng, dengan hawa yang amat kuat dari Thi-khi-i-beng dia dapat menekan dan menguasai hawa asing itu di dalam perutnya sehingga hawa itu tidak menjalar ke mana-mana! Penggunaan ilmu yang luar biasa ini tentu saja tidak diketahui oleh Bi Cu atau Kui Hok Boan sendiri.
Tak lama kemudian Bi Cu kelihatan mengantuk sekali, beberapa kali dia menutupi mulut dengan punggung tangan ketika dia menahan kuapnya.
"Ah, nona Bhe kelihatan sudah lelah. Kalau mau tidur, silakan, nona, telah diperslapkan dua buah kamar untuk kalian. Mari ikut bersamaku, mari Sin Liong, engkaupun agaknya perlu mengaso."
Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu diapun pura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu. Sungguh tidak wajar kalau Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Kini dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.
Begitu tiba di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu terus lari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa. "Ah, kasihan, dia sudah amat lelah," katanya sambil menutupkan daun pintunya. "Kaupun tentu amat lelah, Sin Liong."
Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu. "Aku mengaso juga, paman," katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu. Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya. Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh. Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi" Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentu demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi-i-beng. Dia lalu menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu dan tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan diapun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.
Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak dapat menangkap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang bicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya. Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda. Akan tetapi, sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang diantara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia makin bercuriga. Apakah artinya semua ini"
Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Ada suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar! Sin Liong tetap diam saja, menanti sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, diapun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!
"Siapa kau..."
"Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!" bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.
"Eh, adik Lin..." Mengapa kau..."
"Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!" suara itu terisak dan ditahannya.
"Hemm, dari mana kau tahu" Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini" Sin Liong berbisik masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.
"...ayah..."
Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya di dalam gelap remang-remang itu. "Dan kalian disuruh ke kota raja melaporkan kehadiran kami..." Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. "Kenapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku..."
Lin Lin menjadi tidak sabar atas sikap Sin Liong yang tidak cepat-cepat pergi melarikan diri itu. "Dengar, Liong-ko," bisiknya sambil mendekat. "Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlambat!"
"Bi Cu... ah, kamipun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius..."
"Ahhh... aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku..." Lin Lin tidak melanjutkan kata-katanya.
Sin Liong merangkulnya dan mencium pipinya. "Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi..." Dia melepaskan rangkulannya. "Aku akan pergi sekarang juga, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya." Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.
"Liong-ko...!" Lin Lin berbisik.
Sin Liong menoleh.
"Kau... harap kaumaafkan ayahku...!"
"Hemmm...!" Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.
"Demi aku, demi enci Lan...!"
Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang. "Baiklah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini."
"Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biar kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang."
"Baik, Lin-moi, dan terima kasih."
"Tapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu" Bagaimana kalau engkau dikejar-kejar dan tertawan" Suara Lin Lin terdengar penuh kegelisahan.
"Serahkan saja kepadaku...!" Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin. Dara itu lalu menyelinap melalui jalan memutar sedangkan Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan. Tak lama kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.
"Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang" Mana Lan-moi"
"Aku... aku pulang lebih dulu, perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri..." terdengar suara Lin Lin menjawab. "Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko" Mana ayah"
"Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga..."
"Lin-moi, kenapa engkau pulang malam-malam" Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja" terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin. Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan dirinya yang terancam, apalagi Bi Cu yang mungkin masih tidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jendela kamar Bi Cu. Mudah saja baginya membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti kamarnya tadi, namun matanya yang tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan minum tadi. Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak. Dia mengguncangnya beberapa kali, namun Bi Cu seperti dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu memanggul tubuh Bi Cu di pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela!
Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda dan para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikitpun suara, dan berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu. Karena dia tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat di mana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melalui kota raja, maka dia mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja di mana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.
Biarpun Sin Liong telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia dapat mempergunakan gin-kangnya untuk berlari cepat sekali, namun malam itu gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apalagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat. Betapapun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorangpun dalam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya!
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang "tamu" itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!
"Eh, engkau sudah pulang" Mana Lan Lan"
"Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu" tanya ayah ini sambil memandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. "Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit"
"Sekarang sudah sembuh, ayah dan aku memang ikut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko."
Ayah itu termenung dan mengerutkan alisnya. "Kenapa Lan Lan belum juga pulang" Kalau dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan..."
"Mungkin enci Lan lelah dan bermalam di kota raja, ayah," kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk. Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega. Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia. Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapapun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka makin cepat perkara ini selesai, makin baiklah.
Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu mengetuk daun pintu kamar itu. "Liong-ji...! Sin Liong...! Tuk-tuk-tukk! Sin Liong...!"
Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai, lalu berkata kepada para penjaga itu, "Dia masih tidur nyenyak!"
Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik kamar yang tertutup pintunya itu.
"Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini jangan lengah sampai pasukan datang," kata Kui Hok Boan dengan hati lega. "Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu, baru mengaso."
"Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti kalau sudah lelah, aku akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan."
Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapapun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu akan melarikan diri, dia dapat menggunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka. Sungguhpun kalau dapat, jangan dia yang melakukan penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlalu kentara dia memusuhi mereka itu.
Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya, "Bagaimana"
Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.
"Ayah sungguh keterlaluan!" tiba-tiba Lan Lan berkata.
"Bagaimana ayah sampai dapat bertindak sekejam itu" kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.
"Eh, eh, mengapa kalian ini" Apa maksud kalian" Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.
"Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah" kata Lin Lin.
"Ahh... bukankah kalian sudah kuberi tahu" Agar Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan..."
"Ayah tidak perlu membohongi kami!" teriak Lan Lan marah. "Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko dan menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!"
Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk. "Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan" Itu lebih baik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang amat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dan Bi Cu adalah keturunan dan murid pemberontak dan menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap."
"Ayah sungguh kejam! Betapapun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!" Lan Lan berseru.
"Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!" Lin Lin menyambung.
"Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, dan engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini..."
"Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!" potong Lan Lan dengan berani.
"Dan aku telah membebaskan Liong-ko!" sambung Lin Lin.
Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat kedua orang tamu itu tidur. Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, lebih terkejut lagi melihat Hok Bean mendobrak pintu kamar Sin Liong.
"Krakkkk!" Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itupun telah kosong.
"Keparat...!" Kui Hok Bean menyumpah-nyumpah, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya.
"Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!" bentaknya marah.
Akan tetapi dua orang dara itu menentang pandang, mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang, "Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat ke Kwan-ciangun..."
"Dan aku kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!" sambung Lin Lin.
Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu. "Keparat! Kalian anak-anak durhaka!" bentaknya dan tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.
"Plak! Plak!"
Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.
"Ayah boleh membunuh kami!" teriak Lan Lan sambil bangun kembali.
"Lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat kejam!" teriak Pula Lin Lin.
"Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri" Kalian sudah bosan hidup" Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap. Dia sudah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar.
Akan tetapi pada saat itu, dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.
"Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka..." kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguhpun dia tidak bermaksud untuk melucu.
"Saya mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!" Kwan Siong Bu penuh semangat.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan disusul kata-kata nyaring, "Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!"
Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apapun. Dari mana datangnya dua orang ini, dan bagaimana mereka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang seorang adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan angkuh. Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita, pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.
Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, sedangkan pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu" Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap, dua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan nyaring dan seperti menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah melencat ke depan sambil mencabut pedang mereka dan serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.
"Lan dan Lin, jangan...!" Kui Hok Boan berseru kaget, akan tetapi dua orang anak perempuan itu tidak memperdulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulupun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalas kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biarpun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.
"Iblis betina keji!" bentak Lan Lan.
"Kau harus menebus kematian ibu!" bentak Lin Lin.
"Ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!" Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang sucinya.
"Hemm, pergilah kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio, kedua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang dan dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya dan terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!
"Berani kau merobohkan mereka!" bentak Kwan Siong Bu marah.
"Engkau wanita kejam!" bentak pula Tee Beng Sin.
Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya. "Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan dan dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka.
Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit lagi dan biarpun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.
"Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!" kembali Kui Hok Boan membentak, akan tetapi dua orang dara itu sama sekali tidak memperdulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.
"Heiiitttt!!" Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.
"Hiaaaaattt!" Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.
"Hemm, menjemukan kalian!" bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.
"Plak! Plak!" Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.
"Kalian ini bocah-bocah lancang berani menyerangku" Nah, bersiaplah untuk mati!"
"Kouwnio... harap ampunkan mereka...!" Kui Hok Boan meratap! Laki-laki ini memang mempunyai watak pengecut. Karena tahu bahwa wanita itu lihai sekali dan dia tidak akan mampu menandinginya, maka dia tidak berani berkutik dan hanya meratap minta ampun melihat nyawa dua orang puterinya terancam bahaya.
Kim Hong Liu-nio menoleh dan tersenyum mengejek, "Orang she Kui, engkau hendak membela mereka" Majulah!"
"Tidak... tidak... harap kouwnio ampunkan kami..."
Akan tetapi Kim Hong Liu-nio yang merasa dihina oleh dua orang dara kembar itu tidak memperdulikan ratapan ini, dia melangkah maju mengangkat tangan kirinya ke atas dan menampar ke arah kepala Lan Lan dan Lin Lin.
"Plakk!" Sebuah tangan menangkis tamparannya. "Aih, suci, jangan bunuh mereka! Mereka ini menarik sekali, sayang kalau dibunuh. Wah, sungguh manis dan serupa benar. Amat menarik! Sukar mengenal mana enci mana adik, dan andaikata diberitahupun aku akan lupa lagi, ha-ha-ha! Kelak aku akan minta kepada Sin Liong agar kedua adiknya ini diserahkan kepadaku."
Aneh sekali, Kim Hong Liu-nio tidak jadi melanjutkan niatnya membunuh kedua orang dara kembar itu setelah dicegah oleh sutenya. Dan pada saat itu terdengar derap kaki banyak kuda, dan muncullah Kwan-ciangkun memasuki ruangan itu.
"Hee, Kui-sicu, mana buronan-buronan itu" begitu memasuki ruangan, Kwan-ciangkun berseru kepada Kui Hok Boan. "Ah, kiranya paduka sudah mendahului ke sini, pangeran" Dia memberi hormat kepada Ceng Han Houw, kemudian memberi hormat pula kepada Kim Hong Liu-nio sambil berkata, "Dengan adanya lihiap dan pangeran di sini sebetulnya tidak perlu mengerahkan pasukan menangkap dua orang buronan pemberontak kecil, ha-ha-ha!"
Melihat munculnya sahabatnya ini, legalah hati Kui Hok Boan. "Wah, celaka, Kwan-ciangkun, kedua orang itu telah berhasil meloloskan diri dan melarikan diri semalam!"
"Ahhh..." Kwan-ciangkun berseru kaget.
"Ha-ha, berkat ketangkasan dua orang dara kembar yang cantik dan gagah ini!" kata Han Houw.
"ORANG SHE KUI, ke mana larinya mereka"
Pertanyaan yang diajukan oleh Kim Hong Liu-nio dengan suara dingin ini membuat Kui Hok Boan gelagapan.
"Mereka... saya kernarin bicara tentang Lembah Naga, sudah pasti mereka itu menuju ke utara. Saya... saya berani bertaruh nyawa mereka pasti melarikan diri ke utara."
"Kalau lari ke utara, tentu bertemu dengan pasukan kami di jalan!" bantah Kwan-ciangkun.
"Hemm, mereka itu tentu tidak berani melalui kota raja! Kenapa engkau begitu bodoh" Hayo, coba engkau pergunakan pikiranmu, ke mana kiranya dua orang buronan itu lari, Kwan-ciangkun" Han Houw bertanya sambil mentertawakan perwira itu.
Perwira she Kwan itu kelihatan bingung, mukanya berubah merah dan sikapnya gugup. "Menurut penuturan Kui-sicu, agaknya mereka melarikan diri ke utara, akan tetapi kalau ke utara tentu bertemu dengan pasukan kita... maka agaknya... eh, mereka itu tidak lari ke utara, pangeran."
"Ha-ha-ha, jawabanmu itu bodoh sekali, Kwan-ciangkun. Dan aku tahu bahwa Sin Liong amat cerdik. Coba bayangkan seandainya engkau menjadi dia. Engkau tahu bahwa dari utara datang serombongan pasukan seperti diceritakan oleh adik tiri yang manis itu, padahal engkau hendak melarikan diri ke utara, maka jalan mana yang akan kauambil" Melarikan diri ke utara sudah pasti tidak mungkin melalui selatan, hanya bisa melalui barat atau timur. Dan karena engkau tahu bahwa pasukan tentu akan melakukan pengejaran, maka jurusan mana yang akan kauambil" Melalui timur berarti melalui dusun-dusun dan kota-kota terbuka, sedangkan melalui barat berarti melalui daerah pegupungan dan hutan-hutan."
Wajah Kwan-ciangkun berseri. "Ah, kalau begitu mereka tentu lari menuju ke barat!"
Pangeran Ceng Han Houw juga tertawa mengejek. "Kalau begitu, mengapa engkau tidak lekas mengejarnya"
Perwira itu memberi hormat. "Terima kasih, pangeran!" lalu dia mengeluarkan aba-aba dan tak lama kemudian terdengar derap kaki kuda pasukan itu membalap ke arah barat.
Kim Hong Liu-nio menghampiri Kui Hok Boan, memandang sejenak lalu berkata dengan suara dingin, "Hemm, orang she Kui, kembali engkau melibatkan dirimu, dulu dengan isteri orang she Cia dan kini malah dengan puteranya."
"Akan tetapi, kouwnio, saya telah berusaha menghubungi Kwan-ciangkun untuk menangkap mereka..." Kui Hok Boan membantah dengan wajah pucat.
"Dan siapa yang memberi tahu mereka sehingga lolos" Dua orang puterimu, bukan" Seharusnya kubunuh mereka, akan tetapi karena pangeran sayang kepada mereka, maka engkau ayahnya yang sepatutnya menjadi gantinya!"
Wajah Kui Hok Boan makin pucat, dan terdengar Ceng Han Houw tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, suci, hayo potong saja hidungnya atau sepasang telinganya!"
Orang she Kui itu makin ketakutan. Dia tahu bahwa melawan wanita itu akan sia-sia belaka, kepandaiannya masih terlalu jauh untuk dapat menandinginya, dan dia tidak melihat jalan lain untuk menyelamatkan dirinya, apalagi setelah melihat betapa Kwan-ciangkun tadi amat takut kepada pemuda tampan yang disebut pangeran ini. Kedua kakinya menjadi lemas dan dia menjatuhkan dirinya, berlutut di depan dua orang itu!
"Ampunkan hamba... ampunkan hamba..." ratapnya.
Tiba-tiba Lan Lan dan Lin Lin yang sudah mengambil kembali pedang mereka yang tadi terlempar, melompat ke depan ayah mereka dengan pedang di tangan. "Jangan membunuh ayah kami!" bentak Lan Lan.
"Kalau kami yang bersalah, hukumlah kami, ayah kami tidak bersalah!" bentak Lin Lin. Dua orang dara kembar itu berdiri berdampingan dengan pedang di tangan, wajah mereka yang cantik itu memerah dan mereka siap bertanding mati-matian untuk melindungi ayah mereka.
Melihat betapa sang ayah berlutut minta ampun dengan wajah pucat sebaliknya dua orang anak kembar itu berdiri menentang dan melindungi ayah mereka dengan wajah merah. Ceng Han Houw bertepuk tangan memuji. "Ha-ha, sungguh mengherankan sekali seekor ular tanah yang merayap dapat mempunyai dua orang anak seperti sepasang naga terbang di angkasa! Betapa gagahnya, betapa cantiknya. Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"
Sambil tersenyum manis pangeran itu melangkah maju mendekati sepasang dara kembar itu, memandang mereka penuh kagum. "Nona berdua sungguh manis dan gagah sekali, benarkah kalian hendak melindungi ayah kalian"
"Akan kami bela sampai mati!" jawab Lan Lan tegas sambil meniandang pangeran itu dengan mata bersinar penuh ketekadan.
"Hemm, kalian hebat! Daripada menggunakan kekerasan, bukankah lebih baik kalian ikut bersamaku menjadi kekasihku dan kami akan mengampuni ayah kalian"
"Tidak sudi!" bentak Lin Lin marah.
"Lebih baik kami mati!" teriak pula Lan Lan.
Han Houw menoleh kepada sucinya yang memandang dengan wajah dingin saja. "Lihat, suci, betapa gagahnya mereka ini! Sayang masih terlampau muda, bagaikan bunga belum mekar benar. Beri waktu satu dua tahun lagi dan mereka akan menjadi sepasang bunga yang semerbak harum dan hebat!" Kemudian pangeran ini kembali menghadapi Lan Lan dan Lin Lin. "Engkau belum tahu aku siapa dan biarlah kita saling berkenalan melalui pertandingan. Nah, aku akan membunuh ayah kalian, kalian boleh membelanya!" Dengan tertawanya yang memikat Han Houw lalu menggertak hendak memuKui Kui Hok Boan.
Melihat ini Lan Lan dan Lin Lin cepat menerjangnya dan menyerang dengan pedang mereka, bukan hanya untuk mencegah pangeran itu mengganggu ayah mereka melainkan juga untuk merobohkan pangeran yang ceriwis itu.
Akan tetapi, dengan amat mudahnya Han Houw menghindarkan sambaran dua batang pedang itu sambil tertawa-tawa menggoda. Lan Lan dan Lin Lin menjadi makin marah dan mereka sudah nekat untuk mengadu nyawa. Hati kedua orang dara kembar ini sudah merasa sakit bukan main, bukan hanya sakit karena melihat penghinaan-penghinaan dua orang ini, terutama sekali sakit melihat sikap ayah mereka yang mereka anggap amat pengecut dan memalukan itu. Melihat ayahnya berlutut dan meratap-ratap minta ampun, mereka tak dapat menahan rasa jijik dan malu, maka mereka nekat maju menentang dua orang itu biarpun mereka cukup maklum bahwa mereka, terutama wanita iblis musuh besar mereka itu, memiliki kepandaian yang amat lihai. Kini, melihat pangeran itu bermaksud kurang ajar terhadap mereka, Lan Lan dan Lin Lin sudah menyerangnya dengan nekat dan mati-matian, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka.
Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa pangeran ini memiliki kepandaian yang amat hebat pula! Betapapun mereka menyerang dengan ganasnya, tidak pernah ujung pedang mereka dapat menyentuh tubuh pengeran itu yang hanya berloncatan ke sana-sini sambil tersenyum girang seperti seekor harimau mempermainkan dua ekor kelinci sebelum diterkamnya!
"Ha-ha-ha, cukuplah, kalian benar-benar mempunyai semangat berkobar-kobar, kelak akan menjadi kekasih yang menyenangkan sekali!" kata pangeran itu. Akan tetapi ucapan ini bahkan makin mengobarkan api kemarahan di hati sepasang dara kembar itu, dan sambil berseru nyaring mereka menusukkan pedang mereka ke arah dada pangeran itu dengan kekuatan sepenuhnya. Tiba-tiba dua tangan pangeran itu bergerak mendahului.
"Tuk! Tukk!" Jari tangan kanan kiri telah berhasil menotok pundak kiri dua orang dara itu dan di lain saat dia sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga Lan Lan dan Lin Lin tidak mampu berkutik lagi. Ketika mereka hendak menggerakkan tangan kiri, ternyata lengan kiri mereka sudah lumpuh tertotok, dan pada saat itu, sambil tersenyum Han Houw lalu melangkah maju dan mencium pipi dua orang dara kembar itu bergantian. Lan Lan dan Lin Lin hanya mampu menarik muka mereka untuk mengelak, akan tetapi tetap saja pipi mereka kena dicium!
"Lepaskan mereka!" Siong Bu meloncat ke depan diikuti oleh Beng Sin.
"Siong Bu! Beng Sin, jangan lancang. Mundur kalian!" bentak Kui Hok Boan yang masih berlutut dan dua orang muda itu kembali menahan kemarahan mereka dan tidak jadi bergerak, mundur kembali. Sementara itu, Han Houw sudah menepuk pundak kanan Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang dara itu mengeluh lirih dan roboh dengan tubuh lemas!
"Ha-ha-ha, menyenangkan sekali! Eh, orang she Kui, aku mengampunkan engkau, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa setahun lagi engkau akan menyerahkan dua orang puterimu ini kepadaku. Antarkan saja ke istana, cari aku, Pangeran Ceng Han Houw. Mengertikah engkau"
Kui Hok Boan yang masih berlutut itu mengangguk-angguk. "Hamba mengerti dan hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah ini, pangeran!" Dan memang orang she Kui itu girang bukan main. Kalau dua orang puterinya menjadi isteri pangeran, tentu saja derajatnya akan naik tinggi sekali!
"Suci, hayo kita cepat mengejar Sin Liong!" Han Houw berkata dan sekali berkelebat, dia lenyap dari situ. Kim Hong Liu-nio mendengus ke arah Kui Hok Boan, lalu berkelebat pula dan lenyap! Kui Hok Boan, Siong Bu dan Beng Sin melongo keheranan dan bergidik melihat kelihaian dua orang yang seperti iblis itu.
Kui Hok Boan lalu menghampiri dua orang puterinya dan membebaskan totokan atas diri mereka. Setelah dua orang puterinya itu bangkit berdiri, Kui Hok Boan mengelus jenggotnya memandang kepada mereka. "Baik sekali nasib kita, terutama sekali nasibmu, Lan dan Lin, kalian menjadi tunangan seorang pangeran"
Lan Lan dan Lin Lin memandang kepada ayah mereka dengan mata terbelalak, seolah-olah ditampar karena mereka sungguh tidak mengerti mengapa ayahnya bersikap serendah itu. Mereka mengeluh dan berlari memasuki rumah sambil menangis! Kui Hok Boan mengira bahwa mereka itu seperti biasanya anak-anak perawan kalau mendengar tentang perjodohan mereka, merasa malu dan menangis, maka dia mengikuti mereka dengan suara ketawa puas.
"Paman, sebaiknya paman membawa Lan-moi dan Lin-moi dan cepat pergi dari sini!" tiba-tiba Kwan Siong Bu berkata.
Kui Hok Boan menghentikan tawanya dan memandang heran. "Eh, kenapa"
"Bu-ko benar, paman. Sebelum mereka itu datang lagi, sebaiknya paman dan kedua adik sudah pergi dari sini dan Lan-moi berdua Lin-moi tidak akan menjadi korban!"
"Eh, eh, apakah kalian sudah menjadi gila" Lan Lan dan Lin Lin akan menjadi isteri atau setidaknya selir-selir pangeran! Itu merupakan suatu kehormatan besar! Mereka akan hidup mulia dan mewah di dalam istana, dan aku... aku akan disebut mertua pangeran. Ha-ha-ha, siapa kira kemuliaan akan kudapatkan melalui kedua anak kembarku itu!"
Siong Bu dan Beng Sin saling pandang dan muka mereka menjadi pucat. "Akan tetapi, paman! Lan-moi dan Lin-moi akan menjadi permainan pangeran keparat itu!" Siong Bu berseru.
"Dan mereka berdua tidak sudi menjadi permainan pangeran itu!" sambung Beng Sin.
Kui Hok Boan memandang kepada mereka berdua dengan alis berkerut. "Hal ini bukan urusan kalian dan kalian tidak usah mencampuri! Dan lain kali, tanpa perintahku, kalian tidak boleh lancang hendak turun tangan. Apa kalian kira kalian akan dapat menang melawan pangeran dan sucinya itu" Mereka adalah orang-orang sakti, selain sakti juga berkedudukan tinggi di istana! Menjadi musuh pangeran jelas celaka, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi menjadi mertuanya, hemmm, bahkan kalian sendiri akan ikut terangkat derajat kalian! Pergilah!"
Dua orang pemuda itu dengan wajah pucat lalu pergi meninggalkan Kui Hok Boan yang masih berseri-seri membayangkan betapa bahaya maut yang baru saja mengancam dia sekeluarga berubah menjadi berkah yang sama sekali tak pernah dimimpikannya! Menjadi mertua pangeran! Bayangkan saja!
Akan tetapi, bayangan-bayangan muluk dari Kui Hok Boan ini pada keesokan harinya berubah menjadi kebingungan dan kemarahan ketika melihat dua orang puterinya tidak berada di dalam kamar mereka. Kamar itu telah kosong dan dua orang puterinya telah lolos dan pergi meninggalkan rumah sambil membawa beberapa potong pakaian dan uang bekal, tanpa meninggalkan surat atau jejak. Lan Lan dan Lin Lin telah lolos dan pergi dari rumah itu karena mereka merasa muak dengan sikap ayah mereka, dan terutama sekali karena mereka tidak sudi diserahkan oleh ayahnya kepada pangeran itu! Mereka berdua mengambil keputusan untuk minggat dan mencari Sin Liong karena daripada ikut ayah mereka yang berwatak pengecut, pengkhianat dan penjilat itu, mereka lebih suka ikut merantau bersama kakak tiri mereka!
Tentu saja Kui Hok Boan menjadi bingung dan panik seperti kebakaran jenggot! Bukan saja dia kehilangan dua orang puteri yang dicintanya, akan tetapi juga kehilangan bayangan muluk itu, dan terutama sekali dia akan terancam bahaya dari pihak pangeran itu dan sucinya kalau sampai dia tidak dapat menemukan kembali dua orang puteri mereka.
"Siong Bu! Beng Sin! Apa kerja kalian ini sampai tidak tahu mereka itu melarikan diri" Hayo kalian pergi cari mereka sampai dapat! Dan jangan pulang kalau belum berhasil menemukan mereka!" bentaknya dengan marah kepada dua orang pemuda itu.
Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin lalu membawa senjata dan pakaian, berangkat mencari dua dara kembar itu dan agar lebih cepat bisa berhasil, mereka berpencar, Siong Bu mengejar ke barat dan Beng Sin mengejar ke timur. Tinggal Kui Hok Boan seorang diri dan dia duduk termenung di depan rumah, wajahnya muram membayangkan kedukaan, kekecewaan dan kekhawatiran.
Setiap keinginan untuk menyenangkan diri sendiri SELALU mendatangkan pertentangan, kebencian dan kesengsaraan! Keinginan untuk menyenangkan diri sendiri ini dapat saja berselubung dengan pakaian atau istilah yang lebih tinggi, lebih halus atau lebih mulia, seperti "demi kebahagiaan anak", demi kemajuan golongan, demi partai, demi agama, atau demi bangsa. Padahal, semua itu hanya berintikan "demi aku" yang berarti pengejaran keinginan untuk senang pribadi itulah!
Di mana terdapat pamrih menyenangkan diri sendiri, di situ sudah pasti TIDAK ADA cinta kasih! Pamrih menyenangkan diri pribadi meniadakan cinta kasih, karena demi untuk mencapai kesenangan itu segala sesuatu adalah benar atau salah disesuaikan dengan tujuan mencapai kesenangan itu. Dan siapapun juga orangnya, yang menjadi perintang untuk mencapai kesenangan bagi diri sendiri, sudah pasti akan ditentang, dibenci dan dimusuhi. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan, kebencian, yang semua itu merupakan pintu-pintu yang lebar menuju jurang kesengsaraan.
Seperti juga Kui Hok Boan dalam menghadapi perkara itu. Bisa saja dia mengemukakan alasan bahwa kalau sampai kedua orang puterinya menjadi isteri atau selir pangeran, tentu dua orang puterinya itu akan berbahagia hidupnya. Seolah-olah kebahagiaan kedua orang puterinya itu dialah yang menentukan! Dan kalau dua orang puterinya itu menentang, dia lalu menjadi marah, benci, duka, kecewa! Inikah yang dinamakan cinta kasih orang tua terhadap anaknya"
Betapa banyaknya orang tua yang baik disadarinya maupun tidak, bertindak seperti Kui Hok Boan ini, dan toh masih merasa benar selalu. Benarnya sendiri! Orang tua seperti ini selalu menganggap bahwa dia LEBIH MENGERTI, lebih berpengalaman, lebih ini dan itu sehingga dia berhak menentukan jalan hidup anaknya menurut dia, tentu akan berbahagia! Semua diaturnya, dengan alasan demi anaknya demi kebahagiaan anaknya, akan tetapi kalau si anak menolak dia menjadi marah dan membenci anaknya! Inikah cinta kasih" Yang setiap saat berubah menjadi benci kalau keinginannya dibantah" Betapa bodohnya, betapa butanya! Bukankah orang yang mencinta akan merasa ikut bahagia kalau melihat orang yang dicintanya itu berbahagia dan ikut berduka kalau melihat orang yang dicintanya itu sengsara" Cinta yang menuntut kesenangan untuk diri pribadi sama sekali bukan cinta, melainkan nafsu memuaskan diri sendiri belaka.
Orang bisa saja, dan semua ini adalah lihainya sang pikiran, lihainya si aku, menyelubungi pula si aku yang ingin senang sendiri itu dengan istilah yang muluk-muluk, seperti pengorbanan. Cinta adalah pengorbanan, katanya. Padahal, orang yang merasa bahwa dia telah berkorban diri demi cinta juga menginginkan kesenangan melalui pengorbanan itulah, yang menimbulkan bangga diri merasa suci, dan sebagainya lagi yang tak lain tak bukan juga merupakan kesenangan, yang dikejar. Dan semua bentuk kesenangan, yang kasar, yang halus, yang rendah, yang tinggi, selalu pasti dibayangi oleh kekecewaan, kebosanan dan kedukaan. Orang tua yang bijaksana tidak akan mengekang anaknya, tidak akan menekan anaknya, tidak akan mempergunakan anaknya untuk menyenangkan diri sendiri, membanggakan diri sendiri, tidak akan memperalat si anak untuk mendatangkan kepuasan, kebanggaan, atau kesenangan bagi diri sendiri. Tidak mengekang, bukanlah berarti acuh tak acuh, bukan berarti tidak perduli kepada si anak. Sebaliknya malah. Cinta kasih selalu diikuti perhatian yang menyeluruh! Perhatian terhadap si anak, bukan terhadap keinginan diri sendiri! Kalau ada keinginan di sini, satu-satunya keinginan hanyalah melihat anaknya menjadi seorang manusia yang bahagia, benar dan bajik, di samping pelajaran-pelajaran yang menjadi syarat dalam kehidupan di dunia ramai. Sungguh patut disayangkan betapa hampir saja sebagian orang tua hanya ingin melihat anaknya menjadi orang yang berhasil, dalam arti kata menjadi kaya raya, berkedudukan tinggi, dihormati, tidak kalah oleh orang-orang lain, dan sebagainya lagi. Padahal, jelas nampak bahwa kebahagiaan bukan terletak dalam kesemuanya itu.
*** "Eh, di manakah aku..." Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta. Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam telah berganti pagi biarpun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.
"Di mana kita..." Dan kenapa kau memondongku ke tempat ini, Sin Liong"
Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.
"Ah, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai ke sini, dikejar-kejar orang!" Sin Liong pura-pura mengomel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.
"Semalam suntuk dikejar-kejar orang" Dan aku terus kaupondong" Aih, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun" Padahal, biasanya biarpun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja cukup membangunkan aku, apalagi sampai dipondong dan dibawa lari semalam suntuk! Aneh sekali!" Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. "Dan aku masih merasa pening..."
"Tidak aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat bius."
"Aku" Dibius" Ah, Sin Liong, apakah yang telah terjadi" Bukankah kita tadinya menjadi tamu dari ayah tirimu... ah, kini ingat aku! Apakah kaumaksudkan arak itu mengandung obat bius" Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajamnya seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong.
Sin Liong menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan diri, dua hal ini selalu terbayang dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya, akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!
"Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, maka setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk sehingga engkau bahkan tidak merasa bahwa engkau kubawa lari sepanjang malam."
"Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius"
Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat menyembunyikan kepandaiannya" Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam! "Ah, akupun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka, aku cepat menelan pel penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama itu kusimpan dalam saku baju. Pel itu menawar racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu."
"Ah, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu, engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang terbius, melainkan engkau."
"Eh" Kenapa begitu"
"Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu kalau ada bahaya mengancam" Dalam keadaan seperti itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam."
Sin Liong tersenyum. "Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu."
"Sudahlah, buktinya engkau juga dapat menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu."
Sin Liong memijit-mijit lengannya. "Seperti hampir patah rasanya!" Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya semalam itu, biarpun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.
"Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong" Padahal dia begitu baik dan ramah..." Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!
Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sulit dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong. "Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberitahukan tentang adanya kita di rumahnya."
"Ah, sungguh jahat!" teriak Bi Cu. "Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau bisa tahu akan pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak" Gadis itu memandang penuh perhatian kepada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.
"Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan pasukan kerajaan, Bi Cu. Semalam, tanpa diketahui orang, Lin-moi memasuki kamarku lewat jendela dan dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka kepada seorang perwira di kota raja. Karena curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan dan tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberitahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu pagi hari ini baru akan diserahkan, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, mendengar penuturan Lin-moi, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang memancing perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar."
"Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu benar manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini"
Sin Liong menggeleng kepala. "Aku sendiripun tidak mengerti, semalam suntuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku."
"Aihh, aku tahu! Tentu saja begitu..." Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.
"Apa yang kau tahu" Bagaimana"
"Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, melainkan mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik."
Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang karena ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.
"Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!" tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.
Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandalan Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.
"Mana mungkin itu, Bi Cu" Sekarangpun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini."
"Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya" Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana"
"Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku lari menuju ke barat dan setelah tiba di sini, kita menyusuri pegunungan ini membelok ke utara. Kita pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja."
"Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong," Bi Cu memegang lengan pemuda itu. "Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!"
"Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Aku tentu akan ditertawakan orang, sebagai seorang laki-laki digendong seorang wanita." Sin Liong menjawab. "Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan."
Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka. Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh perikemanusiaan itu. Akan tetapi, Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justeru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang jelas sekali! Para pemburu mereka tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapapun juga tentang mereka berdua!
Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, mereka telah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena, pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak sebuahpun perahu di sekitar tempat itu dan dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.
"Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita" Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.
"Aih, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil kalau menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah ada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang, muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa" Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil jalan sampai di sini."
Bi Cu makin cemberut. "Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiripun apa gunanya" Sekarang ini bagaimana" Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!"
"Heran mengapa ada perahu di sini" Sin Liong menoleh ke kanan kiri.
"Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini" Ikan"ikanpun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu telah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air bah."
"Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan."
"Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan."
"Kalau begitu engkau tentu pandai berenang"
"Tentu saja!"
"Wah, engkau ini gadis si segala bisa!"
"Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong"
Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutanpun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggeleng kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.
"Bi Cu, apakah engkau dapat berenang menyeberangi sungai ini"
"Hanya orang gila yang akan berenang menyeberangi sungai banjir seperti ini! Dia tentu akan hanyut dan tewas. Tidak, kurasa aku tidak akan mampu menyeberanginya, Sin Liong. Lebih baik kita mencari perahu. Kalau kita menyusuri tepi sungai, tentu akhirnya kita akan bertemu orang yang mempunyai perahu."


Pendekar Lembah Naga Serial Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin Liong setuju dan mereka berdua lalu berjalan mengikuti aliran sungai yang menuju ke timur itu. Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah perkampungan nelayan dan benar seperti diduga oleh Bi Cu tadi, perahu-perahu nelayan itu mereka ungsikan sampai jauh ke daratan agar jangan terseret oleh banjir, dan setiap perahu dicancang pada sebatang pohon. Giranglah hati mereka berdua melihat ini dan dengan wajah berseri mereka berlari-lari menghampiri sebuah rumah yang berada di barisan pertama. Sin Liong menghampiri daun rumah dan mengetuknya. Ketukan itu seperti aba-aba saja karena serentak muncullah banyak orang dengan pakaian seragam. Pasukan tentara kerajaan! Melihat ini, Bi Cu mengeluarkan jerit tertahan.
"Ha, inilah mereka, buronan-buronan itu!" teriak seorang anggauta pasukan.
"Tangkap mereka!" bentak seorang perwira.
"Bi Cu, lari...!" Sin Liong berseru, menggandeng tangan gadis itu dan melarikan diri menjauhi dusun.
Hanya sebentar saja Bi Cu menjadi gugup. Dia lalu teringat bahwa dialah yang lebih kuat daripada Sin Liong, maka dialah yang sepatutnya memimpin untuk menyelamatkan diri mereka berdua.
"Lekas... ke sungai...! Tak mungkin lari...!" katanya dan memang kini terdengar derap kaki kuda yang ditunggangi para anggauta pasukan itu. Kini Bi Cu yang berbalik menarik tangan Sin Liong diajak lari menuju ke sungai.
Setelah tiba di tepi sungai Sin Liong berkata, "Tapi... tapi... mana mungkin kita berenang di air yang deras itu..."
"Kita terpaksa, hanya jalan satu-satunya. Lihat, mereka sudah dekat! Hayo cepat!" Bi Cu menarik tangan Sin Liong dan keduanya terjun ke dalam air sungai! Gelagapan juga Sin Liong ketika terseret arus air yang amat kuat. Bi Cu menggerakkan kaki tangan melawan arus dan berusaha menarik pundak baju Sin Liong. Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang tentara telah meloncat turun dari atas punggung kuda mereka, memegang busur dan anak panah, lalu mereka menyerang dua orang yang melarikan diri itu dengan anak panah.
Melihat ini, Sin Liong cepat menggerakkan tangan dan kaki untuk menangkis dan setiap anak panah yang menyambar tepat ke arah mereka, dapat diruntuhkannya dengan gerakan ini. Akan tetapi, gerakannya itu membuat Bi Cu menjadi sibuk. Dara ini tidak melihat adanya serangan itu karena dia sibuk melawan arus.
"Ah... eh... jangan meronta-ronta... kau menurut sajalah kutarik... aku akan menyelamatkanmu, Sin Liong...!" kata Bi Cu sambil terengah-engah dan menarik Sin Liong makin ke tengah.
Arus air sungai itu makin deras dan kuat bukan main. Sh, Liong merasakan hal ini dan dia terkejut bukan main. Bahaya di air ini ternyata lebih besar daripada bahaya yang menanti di darat. Kenapa dia tadi menurut saja ketika ditarik oleh Bi Cu" Kenapa dia masih bersikeras untuk menyembunyikan kepandaiannya" Kalau dia tadi berada di darat, dia masih mampu memanggul Bi Cu melarikan diri dan serangan-serangan anak panah itu tidak ada artinya baginya.
Namun, kini telah terlanjur dan dia harus melawan arus air yang amat kuat itu.
"Menyelamlah... kita menyelam... itu mereka membawa anak panah...!" baru sekarang Bi Cu melihat pasukan anak panah itu berjajar di tepi sungai.
Bi Cu berusaha untuk menarik Sin Liong menyelam, dan Sin Liong tetap meronta untuk menangkisi anak panah yang menyambar-nyambar. Rontaannya ini membuat Bi Cu kewalahan dan akhirnya mereka terseret oleh arus air yang kuat, bergulingan dan gelagapan!
Sin Liong timbul kembali dan melihat seorang pemuda berpakaian mewah di pantai. Agaknya pemuda itu mencegah pasukan anak panah melakukan serangan, karena pemuda itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan tak jauh dari pemuda itu berdiri Kim Hong Liu-nio!
"Sin Liong... ah... hauppp...!" Bi Cu meraih-raih dan akhirnya mereka dapat saling berpegangan.
"Jangan pergunakan anak panah! Tangkap mereka hidup-hidup!" terdengar Han Houw berseru. Kemudian dia berteriak pula, "Liong-te, mengapa membunuh diri" Aku akan menolongmu, jangan khawatir, tidak akan ada yang mengganggumu. Kautangkaplah tali ini!"
Han Houw melontarkan sehelai tali panjang dan tali itu meluncur cepat sekali, ujungnya terjatuh di dekat Sin Liong. "Tidak... jangan pegang... mereka akan membunmu...!" Bi Cu membantah dan merangkul Sin Liong, mencegah pemuda itu memegang ujung tali. Karena ini, ujung tali itu terbawa hanyut oleh air sehingga terpaksa Han Houw menariknya kembali, menggulungnya dan kembali dia memutar-mutar tali di atas kepalanya "Liong-te, kautangkap ujung tali, jangan khawatir, aku akan melindungimu!"
Tali itu dilemparkan dengan amat kuatnya dan kini tepat mengenai tubuh Sin Liong yang cepat menangkapnya.
"Jangan, Sin Liong...!"
"Tidak apa-apa, Bi Cu. Dia itu kakak angkatku, lebih baik kita di darat daripada mati konyol di air. Di darat, setidaknya kita dapat membela diri." Lalu ditambahnya sambil tersenyum, sengaja memanaskan hati gadis yang wataknya keras ini, "Apakah engkau takut menghadapi mereka di darat"
"Aku" Takut" Bi Cu membentak. "Hayo kita mendarat!"
Sin Liong saling berpegang tangan dengan Bi Cu, dan tangannya yang sebelah lagi memegangi ujung tali yang dia libatkan pada lengannya. Tali itu kini ditarik oleh Han Houw ke pinggir. Akan tetapi saking derasnya air, dua orang muda itu masih terbanting-banting dan terguling-guling. Setelah mereka tiba dalam jarak tiga meter dari tepi sungai, tiba-tiba Han Houw mengeluarkan seruan keras dan membetot tali itu sekuat tenaga. Karena tali itu melibat lengan Sin Liong, maka pemuda ini tertarik dan melayang ke atas bersama Bi Cu yang saling berpegang tangan dengan dia!
Sin Liong berjungkir balik ketika turun ke atas tanah, akan tetapi dia melihat betapa Bi Cu sudah ditolong oleh Han Houw yang dengan cekatan tadi telah menyambut tubuh dara itu dengan tangkas. Sin Liong merasa bersyukur, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia melihat Han Houw menangkap kedua lengan dara itu dan ditelikungnya ke belakang.
"Houw-ko... apa yang kaulakukan itu..." bentaknya. Para anggauta pasukan segera mengurungnya dengan senjata ditodongkan, akan tetapi Han Houw membentak mereka, menyuruh mereka itu mundur. Kim Hong Liu-nio hanya memandang dengan senyum dingin, agaknya wanita ini membiarkan saja segala yang dilakukan oleh sutenya yang juga merupakan junjungannya.
"Pangeran, sebaiknya kita bunuh saja bocah keparat ini!" katanya perlahan sambil memandang kepada Sin Liong. Semenjak Han Houw menjadi pangeran dalam istana Kerajaan Beng, suci ini menyebut pangeran terutama sekali di tempat umum.
Sambil tersenyum Han Houw menoleh kepada perempuan cantik itu. "Eh, suci, apa kau lupa bahwa dia itu adik angkatku yang tercinta" Siapa yang berani membunuhnya akan berhadapan dengan aku sendiri! Bukankah begitu, Liong-te" Bukankah kita telah bersumpah sebagai kakak beradik"
"Memang benar, Houw-ko, akan tetapi sikapmu ini sungguh tidak dapat dinamakan sikap seorang kakak angkat yang baik. Hayo kaulepaskan Bi Cu."
"Nona ini" Ha-ha, dia ini cantik dan gagah pula, pantas kalau engkau jatuh cinta padanya, Liong-te..."
"Jangan bicara yang tidak-tidak!" Sin Liong cepat memotong dan wajahnya berubah merah sekali, sedangkan Bi Cu meronta-ronta hendak melepaskan kedua tangannya, akan tetapi tangan yang memegang kedua pergelangan tangannya itu terlalu kuat baginya.
"Ha-ha, engkau masih seperti dulu, Liong-te, kokoh kuat seperti batu karang, dingin beku seperti es di musim salju. Akan tetapi sekali api cinta membakar hatimu, engkau akan berkobar seperti lautan api. Ha-ha-ha! Liong-te, aku terpaksa menawan dia ini agar engkau tidak melakukan kenekatan yang bukan-bukan. Kalau engkau menyerah baik-baik, aku tidak akan mengganggu dia ini."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia memang suka kepada Han Houw dan dia percaya kepada pangeran ini, akan tetapi dia juga tahu bahwa pangeran ini mempunyai watak aneh luar biasa dan kalau sudah hendak membunuh orang, agaknya sama seperti kalau membunuh ayam saja.
"Kau berjanji akan membebaskan dia"
"Aku berjanji, asal engkau menyerah dan engkau penuhi pula permintaanku yang patut."
"Permintaanmu yang patut" Sin Liong tersenyum mengejek.
"Benar-benar patut dan sudah semestinya. Akan kukatakan kepadamu nanti, akan tetapi agar tetap aman, engkau menyerah. Suci, totok dia dan Sin Liong, kalau engkau melawan, nona ini akan kubunuh lebih dulu!"
Kim Hong Liu-nio tersenyum mengejek. "Merobohkan setan cilik ini apa sukarnya, pangeran" Setelah berkata demikian, wanita itu menghampiri Sin Liong dan tangan kirinya bergerak cepat sekali. Kalau Sin Liong mau, tentu saja dia akan dapat mengelak atau menangkis, akan tetapi dia melihat sinar mata dari Han Houw dan dia tidak berani berkutik. Dia tahu betul bahwa sekali dia melawan, sekali pukul saja Han Houw akan mampu membunuh Bi Cu! Maka dia menyimpan tenaganya dan membiarkan dirinya ditotok. Begitu jari tangan Kim Hong Liu-nio mengenai tubuhnya, robohlah Sin Liong dalam keadaan lumpuh, tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.
"Ha-ha-ha, mari kita bicara baik-baik dalam rumah, Liong-te. Ringkus dia dan belenggu baik-baik, juga nona ini!" Tiba-tiba Bi Cu merasa pundaknya ditekan dan diapun mengeluh lirih, lalu terguling dan lumpuh karena dia telah ditotok pula oleh Han Houw. Para perajurit cepat mengikat kedua kaki tangan Sin Liong dan Bi Cu, mengikat kedua tangan ke belakang tubuh, kemudian beramai-ramai mereka menggotong dua orang tawanan itu memasuki sebuah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah nelayan itu, karena ini adalah rumah kepala dusun itu.
Atas perintah Han Houw, Bi Cu yang dibelenggu kaki tangannya itu dibawa ke dalam sebuah kamar dan direbahkan ke atas pembaringan, sedangkan Sin Liong didudukkan di atas sebuah bangku ruangan luar, di mana terdapat sebuah meja dan Han Houw duduk di atas kursi di belakang meja itu dengan lagak seorang hakim yang hendak mengadili seorang pesakitan. Pangeran ini lalu melepaskan topinya karena hawa dalam rumah itu agak panas, bahkan melepaskan baju bulunya dan memakai pakaiah biasa dari sutera tipis sehingga dia nampak lebih tampan. Sambil tersenyum dia lalu memandang kepada Sin Liong dan memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal yang menjaga di ruangan itu pergi semua. Tanpa diminta, Kim Hong Liu-nio yang tadinya duduk pula di sudut, mengangkat pundak dan pergi meninggalkan ruangan itu. Wanita ini maklum pula bahwa sang sute yang menjadi junjungannya itu ingin bicara berdua saja dengan tawanannya, maka sebelum sute itu minta dia pergi, dia telah mendahuluinya meninggalkan ruangan. Biarpun Ceng Han Houw seorang pangeran yang sudah sepantasnya memerintah dia, namun dia selalu merasa tidak enak kalau diperintah pangeran yang menjadi sutenya ini, apalagi di depan para perajurit atau orang-orang lain.
Sin Liong masih dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Kalau dia menghendaki, agaknya dia akan mampu membebaskan diri dari totokan itu, apalagi dari belenggu yang baginya tidak banyak berarti itu. Akan tetapi Sin Liong bukanlah orang bodoh untuk bertindak ceroboh. Dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu terancam bahaya, maka dia berpura-pura tidak berdaya sambil memikirkan bagaimana cara sebaiknya untuk menolong Bi Cu dan pergi membebaskan diri dari Han Houw dan pasukannya. Untuk melawan dengan kekerasan, amat berbahaya bagi keselamatan Bi Cu. Dia sendiri tidak takut menghadapi Han Houw, Kim Hong Liu-nio dan pasukannya, akan tetapi bagaimana dengan Bi Cu" Apa artinya dia dapat lolos kalau dara itu tertawan!
Han Houw kini tertawa dengan sikapnya yang khas, tertawa dan tersenyum lepas sehingga wajahnya makin menarik dan tampan. Sepasang matanya yang tajam itu memandang wajah Sin Liong ketika dia tertawa. "Ha-ha, sungguh tak kusangka kita akan saling berhadapan seperti ini, engkau terbelenggu seperti seorang musuh! Rasanya seperti mimpi saja, atau seperti main sandiwara!" Kembali pangeran itu tertawa seperti orang yang merasa amat geli melihat peristiwa yang lucu.
"Hemm, aku sendiri juga merasa heran, Houw-ko, mengapa engkau melakukan hal seperti ini kepadaku setelah dahulu engkau mengajakku untuk bersembahyang dan bersumpah menjadi kakak dan adik angkat," kata Sin Liong dengan suara dan sikap dingin.
Han Houw mengangkat alis, membelalakkan mata dan mengembangkan kedua lengannya. "Aih, kenapa engkau malah menyalahkan aku, Liong-te" Aku selalu baik kepadamu, akan tetapi pada suatu waktu yang lalu engkau malah pergi moninggalkan aku tanpa pamit! Kemudian engkau merendahkan namaku dengan menjadi seorang pelayan restoran di kota raja. Adik angkatku menjadi pelayan restoran, bukankah itu berarti engkau hendak menyeret namaku ke dalam lumpur" Bukan itu saja, malah keluarga Cia, termasuk ayah kandungmu, Cia Bun Houw itu, semua menjadi pemberontak, melawan pemerintah dan membunuh banyak orangnya pemerintah sehingga tentu saja engkau sebagai keluarga dari Cia Bun Houw itu ikut terseret! Dan setelah engkau dikepung dan nyaris tenggelam akulah yang menolongmu! Nah, katakan salah siapa semua ini"
Sin Liong tahu akan kelihaian kakak angkatnya ini memutar lidah, maka dia merasa tidak perlu untuk menanggapi. "Sudahlah, Houw-ko, sekarang katakan apa kehendakmu setelah engkau menawan kami berdua" Dia tahu bahwa tentu Han Houw ingin minta dia melakukan sesuatu yang amat penting bagi pangeran itu, dan sebagai sandera atau cara untuk memaksanya maka Bi Cu ditawan.
"Hemm, agaknya engkau tergesa-gesa ingin melihat dara itu bebas, Liong-te! Ah, sebagai kakak angkatmu, aku berhak mengetahui apakah dia itu pantas menjadi calon iparku" Memang dia cantik manis, akan tetapi aku mendengar bahwa dia itu berjuluk Kim-gan Yan-cu dan menjadi pemimpin para pengemis! Engkau memilih seorang wanita pengemis untuk menjadi jodohmu" Ah, apakah tidak ada wanita lain di dunia ini, Liong-te" Biarpun dia cantik manis, akan tetapi..."
"Sudahlah, Houw-ko, aku tidak mau berbantahan lagi. Dia bukan apa-apaku, dan karena bukan apa-apa itulah maka aku tidak ingin dia celaka karena aku. Kaubebaskan dia dan mari kita bicara baik-baik."
"Ha-ha-ha, engkau cinta kepadanya! Benar, aku dapat melihat ini! Sungguh heran, padahal kalau engkau menginginkan seorang isteri, aku dapat memilihkan seorang di antara puteri-puteri istana yang cantik-cantik. Akan tetapi kata orang, cinta memang buta! Dan karena engkau mencinta gadis itulah maka dia kutawan, karena hendak kutukar dengan sesuatu darimu."
"Lekas kaukatakan, apa kehendakmu, Pangeran Ceng Han Houw" Sin Liong membentak marah.
Pangeran itu mengerutkan alisnya mendengar sebutan itu. "Liong-te, apakah engkau telah melupakan dan hendak melanggar sumpah kita bahwa kita telah mengangkat saudara" Seorang gagah tidak akan melanggar janji dan sumpahnya sendiri!"
"Baikiah, Houw-ko, nah, lekas katakan, apakah kehendakmu sebenarnya"
"Liong-te, kita adalah kakak dan adik angkat, maka sepatutnya harus suka sama dinikmati, dan duka sama dipikul. Bukankah begitu" Nah, aku amat tertarik akan kepandaianmu yang amat hebat itu, Liong-te. Maka, aku minta agar engkau suka menceritakan semua rahasia kepandaianmu itu, karena menurut pengakuanmu, engkau adalah murid Ouwyang Bu Sek, akan tetapi kepandaianmu malah melebihi tingkat kepandaian Ouwyang Bu Sek, ini menurut penuturan Lam-hai Sam-lo. Nah, sekarang ceritakan terus terang kepadaku, dari mana engkau memperoleh kepandaian hebat itu" Kuharap engkau bersikap jujur!"
Sin Liong mengerutkan alisnya. Tentu saja dalam keadaan biasa dia tidak akan mau membuka rahasia ini. Akan tetapi dia tahu bahwa keselamatan Bi Cu tergantung dari pertanyaan ini agaknya, maka dia menjadi bimbang.
"Dan engkau akan membebaskan gadis itu kalau aku menceritakannya kepadamu"
"Tergantung dari sikapmu, Liong-te. Kalau engkau jujur, tentu saja akan kubebaskan dia. Aku tidak begitu gila untuk mengganggu gadis yang kaucinta."
Sin Liong marah mendengar ini, akan tetapi dia merasa tidak perlu untuk berbantah tentang hal itu. "Baiklah, aku percaya bahwa engkau masih memiliki kegagahan untuk memegang janjimu." Ketika dulu melakukan perjalanan bersama pangeran itu, Sin Liong pernah bercerita bahwa dia dibimbing ilmu silat oleh Ouwyang Bu Sek, suhengnya itu, dan bahwa dia tidak pernah bertemu dengan gurunya yang disebut Bu Beng Hud-couw itu, akan tetapi dia tidak memberi penjelasan selanjutnya tentang cara dia mempelajari ilmu-ilmu yang aneh itu. Dia tahu bahwa pangeran itu amat tertarik, dan sudah menyatakan ingin berguru kepada manusia dewa yang disebut Bu Beng Hud-couw yang belum pernah dilihatnya sendiri itu, dan kini pangeran itu minta penjelasan.
"Seperti sudah kuceritakan kepadamu dahulu, Houw-ko, aku mempelajari ilmu silat di bawah bimbingan dan petunjuk suheng Ouwyang Bu Sek. Sebetulnya dialah guruku, akan tetapi dia tidak mau disebut guru, minta disebut suheng karena katanya aku sebetulnya juga murid Bu Beng Hud-couw seperti dia! Akan tetapi, seperti telah kuceritakan kepadamu, aku sendiri selama hidupku belum pernah bertemu atau melihat suhu Bu Beng Hud-couw itu."
"Hemm...!" Han Houw mengerutkan alisnya karena merasa tidak puas dengan keterangan yang memang pernah didengarnya ini. "Tentu ada sesuatu yang menyebabkan Ouwyang Bu Sek tidak mau disebut guru, dan kenyataannya, kepandaianmu lebih tinggi daripada dia. Sebagai sutenya, apalagi muridnya, tidak mungkin kepandaianmu dapat melampaui dia. Ceritakan terus terang, Liong-te."
Sin Liong menarik napas panjang. Tak mungkin dia menyembunyikan lagi. Pangeran ini terlampau cerdik, dan Bi Cu berada di tangannya. "Baiklah, Houw-ko. Sesungguhnya hal ini merupakan rahasia, akan tetapi apa boleh buat, kepadamu akan kuceritakan terus terang. Suheng Ouwyang Bu Sek mempunyai simpanan kitab-kitab dari suhu Bu Beng Hud-couw dan aku telah mempelajari kitab-kitab itu, sedangkan suheng yang sudah tua tidak mempelajarinya, akan tetapi tentu saja aku mempelajarinya atas petunjuk dan bimbingannya."
"Ahhh...! Begitukah" teriak Han Houw dengan girang. "Di mana adanya kitab-kitab itu"
"Kitab-kitab itu telah dibakar oleh suheng."
"Ahhh...! Akan tetapi Ouwyang Bu Sek tentu masih menyimpan kitab-kitab lain atau minta kitab-kitab lain dari suhunya yang luar biasa itu! Liong-te, sekarang engkau harus membawaku kepada Ouwyang Bu Sek dan membujuknya agar dia suka menerimaku sebagai muridnya atau sutenya, mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!"
Sin Liong terkejut bukan main dan menggeleng kepalanya. "Hal itu tidak mungkin, Houw-ko!"
Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Liong-te, engkau lupa bahwa aku adalah kakak angkatmu sendiri" Engkau tidak ingin membantuku untuk memenuhi cita-citaku, yaitu menjadi jagoan nomor satu di dunia ini"
"Bukan begitu, Houw-ko. Akan tetapi aku tidak berani, karena suheng sudah memesan agar jangan bicara dengan orang lain tentang suhu dan kitab-kitab itu."
"Akan tetapi aku bukan orang lain! Aku adalah kakak angkatmu!"
"Houw-ko, mintalah yang lain akan tetapi jangan itu. Bagaimana kalau sampai suheng marah kepadaku"
"Aku hanya ingin mewarisi ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, mengapa dia akan marah" Dan engkau akan membantuku sampai berhasil, sampai mau menerimaku dan memintakan limu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, engkau harus membantuku!"
"Eh, maksudmu" Sin Liong memandang tajam melihat sikap keras dan suara penuh ancaman itu.
"Mari kaulihat sendiri!" Han Houw lalu mengangkat tubuh Sin Liong, dibawanya masuk ke dalam kamar di mana terdapat Bi Cu yang masih terlentang dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Dara itu memandang dengan mata terbelalak ketika melihat Han Houw membawa Sin Liong masuk kemudian membelenggu kedua tangan Sin Liong pada tiang yang berada di dalam kamar itu. Gadis itu masih dalam keadaan setengah lumpuh karena tertotok dan hanya dapat menggerakkan tubuhnya sedikit saja, sedangkan kedua pergelangan tangannya masih dibelenggu ke belakang punggungnya, demikian pula kedua pergelangan kakinya telah dibelenggu, sedangkan sepatunya telah dicopot dari kedua kakinya.
"Houw-ko, apa yang hendak kaulakukan ini" Sin Liong bertanya dengan wajah mengandung kekhawatiran.
Han Houw tersenyum dan menengok ke arah pembaringan di mana tubuh Bi Cu rebah terlentang. "Kau tentu tidak ingin melihat dia terganggu, bukan"
"Maksudmu" Sin Liong membentak.
"Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku sampai aku diterima oleh Ouwyang Bu Sek!"
"Sudah kukatakan bahwa hal itu tidak mungkin dapat kulakukan!" kata Sin Liong memancing, untuk melihat apa yang akan dilakukan pangeran itu kalau dia menolak.
"Kalau engkau menolak, terpaksa engkau akan melihat dia ini kuperkosa di depan matamu!"
Sin Liong terbelalak. "Tidak, tidak mungkin engkau mau melakukan itu! Aku tidak percaya, hanya gertak kosong belaka!"
"Gertak kosong, ya" Nah, kau boleh lihat!" Pangeran itu dengan senyum lalu melangkah menghampiri pembaringan di mana Bi Cu rebah terlentang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Kemudian setelah dekat, dengan cepat tangannya meraih ke arah dada Bi Cu. Dara ini menjerit dan menggulingkan tubuhnya. Biarpun tubuhnya masih setengah lumpuh, namun rasa takut mendatangkan tenaga tambahan dan tubuhnya dapat bergulingan menelungkup sehingga cengkeraman Han Houw kini mengenai leher bajunya.
"Breeetttt...!" Sekali renggut saja baju Bi Cu terobek berikut pakaian dalamnya sehingga nampak punggungnya yang telanjang, putih mulus.
"Jangan...! Houw-ko, jangan...! Aku menerima permintaanmu!" Sin Liong berseru dan sekali renggut, kedua tangannya telah terlepas dari belenggu, demikian pula kedua kakinya.
Akan tetapi, Han Houw sudah menubruk Bi Cu dan menaruh cengkeraman tangannya ke arah ubun-ubun kepala dara itu. "Kau maju, dia mati!" katanya tenang. Diam-diam pangeran ini terkejut dan kagum sekali melihat betapa pemuda itu sekaligus dapat membebaskan totokan dan juga dapat mematahkan belenggu kaki tangannya.
Sin Liong tersentak kaget dan berdiri tak bergerak. "Aku sudah berjanji kepadamu maka kaulepaskan gadis itu, Houw-ko!"
"Tidak, kau harus bersumpah dulu bahwa engkau akan berusaha sampai aku berhasil diterima oleh Ouwyang Bu Sek menjadi muridnya."
"Baiklah, aku bersumpah untuk berusaha sampai engkau diterima menjadi muridnya dan sekarang kaulepaskan dia."
"Demi nama baik ayah dan ibu kandungmu!" Pangeran itu menyambung.
Sin Liong merasa penasaran sekali. Pangeran itu tidak percaya kepadanya! "Baik, demi nama baik ayah dan ibu kandungku!"
Han Houw tertawa girang dan turun dari atas pembaringan. "Terima kasih, Liong-te. Aku memang sudah yakin engkau akan memenuhi permintaanku!"
"Dan sekarang, kaubebaskan dia!"
Han Houw bertepuk tangan dan muncullah lima orang pengawal. "Carikan pakaian untuk nona ini. Cepat!"
Lima orang pengawal itu memberi hormat dan cepat keluar. Tak lama kemudian mereka telah datang kembali membawa pakaian yang diminta itu, kemudian mereka keluar lagi.
"Nah, kau boleh bebaskan dia dan memberi pakaian ini untuk kekasihmu itu, Liong-te. Aku menanti di luar."
Setelah berkata demikian. Han Houw tersenyum dan melangkah keluar dari dalam kamar, sengaja menutupkan daun pintu, membiarkan Sin Liong berdua saja dengan Bi Cu di dalam kamar itu.
Bi Cu tadi mendengarkan semua percakapan itu akan tetapi dia tidak tahu betapa Sin Liong telah membikin putus semua belenggu kaki tangannya. Kini, dia merasa betapa Sin Liong melepaskan ikatan kedua tangan dan kakinya dan tiba-tiba dia merasa jalan betapa jalan darahnya mengalir kembali dengan normal dan dia dapat menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu bahwa ketika melepaskan ikatan kedua pergelangan tangan tadi, seperti tidak sengaja jari tangan Sin Liong menekan punggung dan membebaskan totokan yang membuat Bi Cu lumpuh.
"Apa yang kaujanjikan tadi, Sin Liong" Bi Cu berbisik ketika dia sudah terlepas dari ikatan dan kini memakai baju yang diberikan oleh Han Houw tadi. Hanya bajunya saja yang dipakainya, karena celananya sendiri tidak terobek. Dia tidak perduli betapa pakaian dalamnya juga ikut robek, dan dia hanya menutupi tubuhnya dengan baju itu yang cukup tebal, baju seorang wanita petani yang kuat.
"Tidak apa-apa, Bi Cu. Engkau sudah bebas maka cepatlah engkau pergi jauh-jauh dari tempat ini."
"Dan kau"
"Aku tidak dapat ikut pergi."
"Kalau begitu aku tidak mau! Kita berdua mengalami malapetaka, kita senasib, mana mungkin sekarang aku harus menyelamatkan diri sendiri dan meninggalkan engkau di tangan mereka yang jahat" Tidak, kita harus lari berdua, atau mati berdua. Mari kau ikut lari bersamaku!" Bi Cu menengok ke arah jendela dan memegang tangan Sin Liong hendak ditariknya untuk diajak lari.
"Engkau tidak mungkin bisa melarikan diri seperti itu, Bi Cu. Tempat ini terkurung oleh pasukan. Engkau harus ambil jalan dari pintu, dan pergi biasa. Mereka tidak akan mengganggumu karena sudah berjanji kepadaku."
"Tapi..." Bi Cu membantah dan dia meloncat ke tepi jendela, membuka daun jendela dan memandang keluar. Benar saja, di sana berdiri pasukan yang berbaris rapi dan ketat, dengan senjata di tangan.
"Ihhh...!" Dia menjerit lirih dan menutupkan kembali daun jendela. "Kau benar, banyak pasukan menjaga di sana."
"Sudahlah, Bi Cu, kau pergilah, mari kuantar keluar. Kita harus berpisah di sini sekarang, berpisah sementara. Aku harus ikut dengan mereka."
"Tapi..." Bi Cu kini memegang kedua tangan Sin Liong dan memandang wajah pemuda itu. "Kapan kita dapat saling jumpa kembali..."
Sin Liong tersenyum. "Kita pasti berjumpa kembali kelak. Nah, kau pergilah dan hati-hatilah, Bi Cu, jangan bertualang dengan para pengemis itu, jangan mencari permusuhan karena di dunia ini banyak orang jahat yang lihai sekali. Mari kuantar kau keluar."
Mereka lalu melangkah keluar, dan ternyata Han Houw telah menanti di luar. Melihat pangeran ini, sepasang mata Bi Cu bersinar penuh kemarahan dan kedua pipinya menjadi merah. Han Houw tersenyum, lalu menjura dengan lembut. "Nona, harap kaumaafkan segala yang telah terjadi tadi, percayalah aku tetap menghormatmu sebagai kekasih adik angkatku..."
"HOUW-KO! Hentikan ucapan seperti itu!" Sin Liong berseru marah. Pangeran itu hanya tersenyum dan mengantar mereka keluar sampai di depan rumah, baru Bi Cu melihat bahwa di situ banyak sekali perajurit yang telah mengepung rumah sehingga kalau menggunakan kekerasan untuk melarikan diri jelas amat sukar. "Nah, pergilah engkau, Bi Cu dan selamat jalan," kata Sin Liong sambil melirik ke arah Kim Hong Liu-nio yang berdiri di samping.
"Tapi... tapi engkau..." Bi Cu berkata lirih.
"Jangan hiraukan aku, kita kelak akan saling jumpa kembali. Selamat jalan."
"Ha-ha-ha, perpisahan antara dua orang yang diam-diam sudah saling mencinta, betapa mengharukan!" kata Han Houw.
Hampir saja Sin Liong lupa diri dan kedua tangannya sudah terkepal. Dia mendengar gerakan di sebelah kiri dan tahulah dia bahwa Kim Hong Liu-nio sudah siap untuk menerjang apabila dia menyerang sang pangeran.
"Houw-ko, engkau harus berjanji dulu bahwa engkau dan anak buahmu tidak akan mengganggu Bi Cu, kalau engkau tidak mau berjanji, sampai bagaimanapun aku tidak akan membawamu kepada Ouwyang Bu Sek!"
Melihat sikap pemuda ini dan mendengar suaranya yang keras dan mengandung ancaman, Han Houw lalu tersenyum dan berkata, mengangkat tangan kanannya dengan penuh lagak, "Baik, aku berjanji bahwa aku dan anak buahku tidak akan mengganggu nona ini." Suaranya lantang sehingga terdengar oleh semua perajurit. Barulah lega hati Sin Liong mendengar ini.
"Nah, pergilah, Bi Cu."
Nona itu nampak ragu-ragu, memandang kepada Sin Liong dengan khawatir, kemudian dia mengangguk dan berlari dari situ melalui jalan di mana berbaris pasukan di kanan kirinya. Setelah jauh, sebelum membelok, dia berhenti dan menengok, melihat Sin Liong masih berdiri mengikutinya dengan pandang matanya, dan di sebelah Sin Liong berdiri pangeran itu dan wanita cantik yang lihai itu. Kemudian dia melanjutkan larinya dan membelok di tikungan jalan, lenyap dari pandang mata Sin Liong yang menarik napas panjang karena hatinya merasa lega. Yang penting adalah keselamatan Bi Cu dan setelah dara itu bebas, barulah hatinya lega.
"Nah, kapan kita berangkat ke selatan" tanyanya kepada Han Houw.
"Besok pagi-pagi, aku harus membereskan urusan di kota raja dulu dan berunding dengan suci."
Sin Liong tidak perduli lagi dan memasuki kamar untuk beristirahat dan mencari jalan bagaimana sebaiknya menghadapi Ouwyang Bu Sek, karena dia telah berjanji dan dia harus berhasil membuat Han Houw diterima sebagai murid suhengnya itu.
*** Setelah Kaisar Ceng Hwa naik tahta, keadaan di Kerajaan Beng-tiauw kelihatan tenang dan tenteram, atau setidaknya demikianlah laporan-laporan yang diterima oleh Kaisar Ceng Hwa dari para bawahannya. Kaisar Ceng Hwa masih terlalu muda ketika naik tahta, masih hijau dan kurang pengalaman sungguhpun dia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi kaisar yang baik. Memang, semenjak para thaikam tidak lagi berkuasa di kota raja dan terutama di istana, yaitu semenjak Kaisar Ceng Tung kembali menduduki tahta kerajaan, keadaan di istana tidaklah seburuk ketika para thaikam masih merajalela. Namun, setelah Kaisar Ceng Hwa menduduki tahta kerajaan, para thaikam kecil yang tadinya hanya bertugas sebagai pelayan-pelayan dalam istana, terutama di dalam bagian-bagian di mana hidup para puteri, mulai beraksi mendekati raja muda itu. Kaisar Ceng Hwa memang masih hijau dan mudah tergelincir oleh sikap dan kata-kata yang manis menjilat-jilat.
Kim Hong Liu-nio yang dianggap sebagai seorang wanita yang berjasa besar di istana, telah menyelamatkan Kaisar Ceng Hwa ketika masih menjadi pangeran, kini merupakan seorang tokoh yang amat disegani dan juga dihormati di istana. Bahkan wanita ini, seperti juga Pangeran Ceng Han Houw, memperoleh kekuasaan istimewa untuk memasuki istana setiap waktu, bahkan diperbolehkan pula untuk menghadap kaisar tanpa dipanggil!
Kesempatan ini sekarang dipergunakan sebaiknya oleh Kim Hong Liu-nio. Seperti telah diketahui, wanita yang usianya sudah tiga puluh lima tahun itu akhirnya jatuh cinta kepada seorang pria yang tadinya selalu dipandang rendah. Dia jatuh cinta kepada Panglima Lee Siang, bahkan dengan suka rela telah menyerahkan diri, menyerahkan kehormatannya kepada pria yang dicinta itu. Namun, seperti yang telah diceritakan di bagian depan, kekasihnya itu, Panglima Lee Siang, tidak dapat lama menjadi pria pertama yang berada dalam pelukannya. Lee Siang tewas di tangan Lie Seng!
Semenjak saat itulah, bukan saja Kim Hong Liu-nio mendendam sakit hati yang amat besar terhadap keluarga Cin-ling-pai, yang tadinya hanya ditentangnya karena dia diperintah oleh gurunya. Kini dia sendiri mempunyai dendam pribadi atas kematian kekasihnya. Di samping dendam ini, juga ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatinya. Kalau dahulu bersikap dingin dan benci pria, semenjak dia menyerahkan dirinya kepada Lee Siang, semenjak dia menikmati belaian dan pencurahan kasih sayang seorang pria, sesudah dia merasakan permainan cinta antara dia dengan Lee Siang, wataknya ternyata telah berubah sama sekali. Sikap dan pandang matanya terhadap kaum pria telah mengalami perubahan besar, terutama terhadap pria-pria muda dan tampan, dan di dalam sinar mata itu terkandung gairah nafsu yang amat besar! Wanita ini merasa amat tersiksa oleh gairah yang mendesak-desak ini, membuatnya selalu kehausan, haus akan belaian dan kasih sayang seorang pria! Padahal, melihat kenyataan betapa kalau tadinya wanita ini hanya merupakan seorang dayang di kerajaan kecil pimpinan Raja Sabutai, kini telah menjadi seorang wanita terhormat di istana Kerajaan Beng yang amat besar, hidup terhormat dan mulia, segala kehendaknya tentu terlaksana, tentu orang condong mengatakan bahwa dia telah mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hidup! Namun nyatanya tidaklah demikian keadaannya! Memang merupakan kenyataan seperti terbukti dari catatan sejarah jaman dahulu sampai keadaan hidup di dalam masyarakat modern sekarang ini, manusia selalu menilai kebahagiaan hidup manusia dengan ukuran harta benda, kedudukang nama besar, dan lain-lain nilai yang dianggap menyenangkan jasmani dan perasaan belaka. Sudah menjadi pendapat umum yang telah diterima bahwa orang yang berhasil mengumpulkan harta benda disebut "maju", "mulia", senang, bahagia dan sebagainya. Kalau seorang mengatakan bahwa si Polan kini sudah maju, sudah mulia hidupnya, sudah senang, dan sebagainya, tidak salah lagi bahwa yang dimaksudkannya itu adalah bahwa si Polan telah berhasil mengumpulkan harta benda, telah menjadi kaya, atau disebut pula telah makmur hidupnya! Bahkan perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan sosial, budaya, politik, agama sekalipun, disebut "maju" kalau gedungnya bertambah gagah. Pendeknya, semua penilaian diukur dari dasar harta benda!
Akan tetapi benarkah kenyataannya demikian, yaitu bahwa manusia akan hidup bahagia kalau sudah berhasil mengumpulkan banyak harta benda" Berbahagiakah manusia kalau sudah memiliki kedudukan tinggi" Berbahagiakah manusia kalau sudah memperoleh kekuasaan besar atas manusia-manusia lain, kalau sudah tenar namanya, dan sebagainya lagi itu" Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataannya dan tidak membuta mengikuti dan menerima saja anggapan dan pendapat umum yang sudah lapuk dan berkarat itu, kita akan melihat keadaan yang sama sekali tidak demikian! Memang harus diakui bahwa semua kemuliaan duniawi itu, harta benda, nama besar, kedudukan, kekuasaan, dapat mendatangkan kesenangan, namun, setiap kesenangan itu selalu tak terpisahkan dari kesusahan. Demikian pula, semua itu kalau dianggap sebagai sumber kesenangan, maka kenyataannya menjadi pula sumber kesusahan! Ada yang mengatakan tidak mungkin! Marilah kita melihat kenyataannya! Harta benda, kedudukan, nama tenar, dan sebagainya itu hanya menyenangkan nampaknya saja bagi yang belum memilikinya. Namun bagi yang memilikinya, kesenangannya sudah hambar dan tidak terasa lagi. Kalau yang belum memilikinya hanya membayangkan segi senangnya saja, maka yang memilikinya yang telah bosan dengan segi senangnya, merasakan pula secara langsung segi kebalikannya, yaitu segi susahnya. Misalnya yang mempunyai harta bisa saja sewaktu-waktu kehilangan hartanya itu, yang berkedudukan kehilangan kedudukannya, yang namanya tenar kehilangan ketenarannya, dan membayangkan semua kehilangan ini saja sudah merupakan siksaan batin terhadap si pemilik. Hal ini tentu saja tidak dapat dirasakan oleh mereka yang belum memilikinya, akan tetapi akan terasa kebenarannya oleh mereka yang telah memilikinya. Memiliki sesuatu itu, yang nampaknya menyenangkan, merupakan ikatan, dan yang memiliki selalu akan menjaga miliknya itu, karena hanya yang memilikinya sajalah yang akan dapat kehilangan!
Kisah Si Rase Terbang 8 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Penakluk Iblis 18
^