Pencarian

Pendekar Pemabuk 10

Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 10


Badasingh memekik keras dan mengeluarkan suara aneh, agaknya ia memaki-maki dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Cui Giok dan kawan-kawannya dan melihat darah mengalir membasahi baju di bagian pundaknya. Badasingh menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan-seruan keras, ia memutar-mutar rantai bajanya dan menyerang Cui Giok dengan hebatnya bagaikan serangan air hujan dari atas.
Kalau Badasingh mengira akan dapat mengalahkan gadis yang baru datang ini dengan serangan-serangannya yang mengandalkan tenaga besar dan kecepatan, ia kecele. Dara perkasa ini kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada keempat orang muda tadi dan gerakan sepasang pedangnya masih melebihi kecepatan rantai bajanya.
Cui Giok yang memiliki ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan berotak cerdik itu maklum bahwa kalau ia merasa gentar dan bertempur sambil menjauhkan diri maka tak mungkin akan dapat menang. Karena senjata lawannya yang panjang dan berat itu lebih menguntungkan pihak lawan. Oleh karena itu, ia mengandalkan ginkangnya dan sikap kedua pedangnya yang berdasarkan Im dan Yang yakni tenaga lemas dan kasar. Ia mendesak maju dan mengajak bertempur dari jarak dekat.
Tentu saja cara bertempur menghadapi seorang raksasa mengerikan seperti Badasingh dari jarak dekat membutuhkan ketabahan besar. Karena demikian berat dan cepatnya gerakan rantai itu sehingga angin pukulannya terdengar bersiutan memenuhi telinga dan angin itu membuat pakaian Cui Giok berkibar-kibar bagaikan tertiup angin badai.
Namun Cui Giok berlaku tabah dan ketika kedua pedangnya digerakkan dengan cepat dan sinar pedangnya bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai sehingga tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus oleh gulungan sinar itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
290 Kalau Badasingh menjadi terkejut setengah mati melihat cara bertempur gadis yang lihai ini, adalah Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok berdiri dengan bengong dan penuh kekaguman. Bagi Tin Eng dan dan kedua saudara Pui, mereka sudah menyaksikan kelihaian Kang-lam Ciu-hiap Gwat Kong dan merasa amat kagum. Akan tetapi agaknya gadis yang baru datang yang mengaku mewakili Gwat Kong ini, agaknya tidak kalah lihainya daripada Gwat Kong sendiri. Adapun Kui Hwa juga merasa kagum karena selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan permainan pedang sehebat itu.
Tadinya keempat orang muda ini hendak membantu bahkan Kui Hwa dan Tin Eng sudah mengambil pedang mereka yang tadi terpental dan terlepas dari tangan. Akan tetapi mereka masih ragu-ragu karena larangan Cui Giok. Kini mereka tidak merasa ragu-ragu lagi akan kelihaian nona penolong itu dan mereka menonton dengan penuh harapan dan kekaguman.
Lambat akan tetapi pasti, Cui Giok mendesak lawannya dan kini seruan-seruan yang keluar dari mulut Badasingh adalah seruan-seruan kaget bercampur marah. Ia hanya dapat memutar rantai melindungi dirinya sambil mundur, akan tetapi masih saja ujung pedang Cui Giok berhasil melukai lengan kiri dan kulit lehernya.
Cui Giok makin bersemangat. Ia benci kepada raksasa hitam ini karena tadi melihat dengan jelas betapa raksasa hitam ini bermaksud keji terhadap dua orang gadis itu, dan hal ini memang amat dibenci oleh Cui Giok. Dengan dada penuh nafsu membunuh, ia terus
mendesak dan menindih senjata lawan tanpa memberi kesempatan sama sekali kepada raksasa itu untuk balas menyerang atau melarikan diri.
Badasingh bingung sekali. Ia mundur terus dan kini ia telah mendekati guha Kilin di dalam mana terdapat jurang yang mengerikan dan gelap itu. Tiba-tiba Badasingh yang sudah tak tahan lagi menghadapi desakan sepasang pedang di tangan Cui Giok, melompat mundur ke dalam guha. Cui Giok masih sempat mengirim tusukan yang mengenai pahanya sehingga Badasingh menjerit kesakitan lalu melompat ke dalam mulut guha Kilin.
Cui Giok masih merasa penasaran dan cepat melompat pula ke dalam guha yang gelap.
"Awas, jangan masuk ........!!!" Kui Hwa dan Tin Eng menjerit hampir berbareng. Akan tetapi Cui Giok yang tidak tahu akan adanya bahaya di dalam guha, sudah melompat ke dalam dan terdengarlah jerit gadis itu mengerikan sekali ketika tubuhnya melayang ke bawah jurang yang amat gelap.
Ternyata bahwa Badasingh telah menggunakan akal memancing lawannya. Ia tahu bahwa di dalam guha itu hanya terdapat sebuah tempat di sebelah kanan, maka ketika ia melompat ke dalam guha yang gelap, ia melompat ke sebelah kanan, di atas batu karang yang lebarnya hanya satu kaki itu. Akan tetapi Cui Giok yang tidak tahu akan hal ini, langsung melompat dan ..... terjerumus ke dalam sumur atau jurang itu.
Setelah gema jeritan Cui Giok itu lenyap, terdengar gema suara ketawa Badasingh yang bergelak-gelak dari dalam guha. Kui Hwa dan Tin Eng tadinya menutupi kedua matanya dengan tangan karena merasa ngeri, kini mereka menjadi marah sekali. Tin Eng dengan pedang ditangan melangkah maju dan memaki,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
291 "Siluman jahanam! Aku harus mengadu nyawa denganmu!" Ia hendak nekad dan menyerang raksasa itu, akan tetapi Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok memegang tangannya dan menariknya pergi dari situ.
"Adik Tin Eng, tak perlu membuang nyawa dengan sia-sia. Kita berempat bukanlah lawan siluman itu."
"Tidak, tidak! Aku harus membalas kematian penolong kita itu!" kata Tin Eng sambil menangis. Akan tetapi Kui Hwa yang juga mengucurkan airmata itu memeluk dan
menariknya dengan paksa.
Demikianlah keempat orang itu dengan hati sedih sekali turun dari gunung. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya Badasingh telah terluka berat juga di pahanya sehingga kalau mereka nekad menyerbu, belum tentu raksasa itu akan dapat mempertahankan dirinya.
Sampai merah kedua mata Tin Eng dan Kui Hwa menangisi nasib Cui Giok, gadis penolong yang belum mereka ketahui siapa namanya itu. Mereka tidak berdaya dan tak dapat berbuat lain kecuali menanti datangnya Gwat Kong. Mereka tidak tahu dimana adanya Gwat Kong, karena nona yang katanya mewakili Gwat Kong itu tak sempat memberi penjelasan sesuatu kepada mereka.
"Lebih baik kita menanti saja di sini sampai datangnya Kang-lam Ciu-hiap," kata Pui Kiat.
"Ku rasa betapapun juga dia tentu akan datang di sini!"
Karena tidak mendapat jalan lain, kawan-kawannya menyatakan setuju dan untuk menghibur hati mereka yang ruwet, mereka menuju ke kota Thay-liok-kwan tak jauh dari situ. Kota ini letaknya di tepi pantai sungai dan menjadi pusat keramaian yang cukup menarik. Di tepi-tepi sungai terdapat perahu-perahu besar yang dipergunakan untuk orang berpelesir di sepanjang tepi sungai, bahkan ada beberapa perahu besar yang dipergunakan sebagai restoran dimana orang dapat naik perahu sambil memesan makanan.
Ketika empat orang muda itu sedang berjalan-jalan di dekat sungai sambil melihat-lihat perahu yang dicat indah, tiba-tiba terdengar seruan orang,
"Omitohud, alangkah cantik-cantiknya!"
Mereka segera menengok ke belakang dan melihat seorang hwesio muda yang kepalanya gundul sedang memandang kepada Tin Eng dan Kui Hwa dengan mata yang kurang ajar dan mulut menyeringai. Tin Eng dan Kui Hwa hendak marah, akan tetapi Pui Kiat mengedipkan mata mencegah mereka mencari keributan di tempat itu. Dengan hati sebal mereka lalu naik ke perahu restoran mengambil tempat duduk dan memesan makanan.
Akan tetapi, baru saja makanan yang mereka pesan itu dikeluarkan, tiba-tiba perahu itu menjadi miring dan para pelayan berteriak-teriak bingung. Ketika keempat orang muda itu memandang keluar, ternyata hwesio kurang ajar itu dan sungguh mengherankan karena biarpun tubuhnya tidak berapa besar dan ia berjalan dengan perlahan namun perahu itu miring dan bergoyang-goyang seakan-akan ada seekor gajah yang berjalan di situ.
Diam-diam keempat orang muda itu terkejut sekali. Terang sekali bahwa hwesio itu mendemonstrasikan ilmu Jian-kin-cui (tenaga seribu kati) untuk membuat tubuhnya menjadi Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
292 berat. Akan tetapi, empat orang muda itu maklum bahwa kalau tidak mempunyai ilmu tinggi, tak mungkin dapat membuat perahu besar menjadi miring dan bergoyang-goyang.
Sambil tertawa-tawa hwesio itu sengaja memilih meja di dekat empat orang muda itu dan duduk dengan mulut menyeringai dan lagak sombong lalu pesan makanan dan arak kepada pelayan. Tentu saja keempat orang muda itu merasa sebal dan mendongkol sekali.
Akan tetapi oleh karena hwesio itu tidak melakukan sesuatu, mereka tidak mempunyai alasan untuk menyatakan kedongkolan hati. Apalagi mereka maklum bahwa hwesio itu
berkepandaian tinggi, maka lebih baik tidak mencari permusuhan dengan hwesio yang aneh ini.
Hwesio ini bukan lain ialah Tong Kak Hwesio, murid dari Lo Han Cinjin tokoh Kun-lun-pai itu, dan hwesio inilah yang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Cui Giok. Ia pernah menjadi murid tersayang dari Lo Han Cinjin dan mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai yang tinggi. Akan tetapi karena pada suatu hari ia mengganggu gadis kampung, ia mendapat marah besar dari suhunya dan kemudian diusir dan tidak diakui lagi menjadi murid kakek sakti itu.
Di dalam perantauannya, Tong Kak Hwesio bertemu dengan Liok-taijinpm dan menjadi sahabat baik dari Ang-sun-tek. Karena tahu bahwa hwesio ini selain mata keranjang juga mata duitan serta memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Ang-sun-tek lalu mempergunakan tenaganya dan ketika ia sedang berusaha mencari tahu tentang rahasia peta harta terpendam di Hong-san itu, dari Tin Eng dengan perantara Liok-taijin.
Ia lalu minta pertolongan Tong Kak Hwesio untuk berangkat terlebih dahulu ke Hong-san dan menyelidiki keadaan murid-murid Hoa-san-paiyang telah berangkat ke tempat itu. Ang-sun-tek khawatir kalau-kalau murid-murid Hoasan itu mendahului mendapatkan harta itu.
Demikianlah, pada hari itu Tong Kak Hwesio bertemu dengan bekas suhunya bersama murid kecil suhunya itu yang hendak diganggunya sehingga ia bertempur dengan Cui Giok. Setelah ia dikalahkan, ia berlari cepat menuju ke Hong-san. Ia mencari-cari di sekeliling tempat itu.
Akan tetapi ia tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, oleh karena pada waktu itu, Kui Hwa dan kawan-kawannya sedang bertempur melawan Badasingh di puncak Hong-san. Setelah Cui Giok terjerumus ke dalam jurang dan keempat orang muda itu turun gunung, barulah Tong Kak Hwesio melihat mereka sehingga ia menjadi girang sekali.
Tong Kak Hwesio memang mata keranjang dan mempunyai watak yang amat sombong dan mengagulkan kepandaiannya sendiri. Maka begitu melihat empat orang muda itu ia lalu mendekati mereka dengan terang-terangan. Kui Hwa dan kawan-kawannya tidak mau
meladeninya, hanya makan dengan diam-diam saja dan cepat-cepat.
Setelah selesai mereka tanpa banyak cakap lalu meninggalkan perahu itu dan turun ke darat.
Agaknya Tong Kak Hwesio maklum bahwa mereka merasa mendongkol kepadanya maka ia hanya makan minum sambil tertawa-tawa. Ia tidak mau turun tangan, oleh karena Ang-sun-tek hanya pesan agar supaya mengikuti dan menyelidiki keadaan mereka dan jangan mengganggu mereka sebelum melihat bahwa mereka telah mendapatkan harta pusaka itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
293 Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui itu berjalan-jalan dengan hati rusuh dan bingung.
Gwat Kong yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Dalam kesempatan ini, Kui Hwa bertanya tentang Gwat Kong kepada Tin Eng yang segera menceritakan riwayat Gwat Kong.
"Enci Kui Hwa, harap kau jangan kaget mendengar siapa adanya Gwat Kong itu. Karena ia telah bercakap-cakap dengan aku tentang dirimu dan berbeda dengan kebiasaan umum, pemuda itu sama sekali tidak mengandung hati dendam kepadamu."
Kui Hwa terkejut sekali dan memandang kepada kawannya dengan alis berkerut.
"Apa maksudmu, adik Tin Eng?"
"Enci Hwa, bukankah kau puteri tunggal dari mendiang Tan-wangwe yang tinggal di Lam-hwat?"
Kui Hwa mengangguk dengan heran. "Bagaimana kau bisa tahu tentang mendiang ayahku?"
"Gwat Kong yang menceritakannya kepadaku. Kau kenal atau pernah mendengar pembesar di Lam-hwat itu yang bernama Bun-tihu" Tentu kau tahu pula akan permusuhan yang terjadi antara ayahmu dengan Bun-tihu?"
Kui Hwa menghela napas panjang. "Aku tidak tahu jelas. Memang aku tahu bahwa mendiang ayahku pernah melakukan sesuatu dosa terhadap Bun-tihu, karena sebelum meninggal dunia, ayah seringkali menyebut-nyebut nama Bun-tihu. Akan tetapi entah dosa apa yang diperbuatnya. Hanya setelah ayah menutup mata, beberapa kali ada orang datang menyerang rumah ayah dan mereka itu semua terpaksa ku lawan dan aku usir. Memang aku selalu masih memikirkan mengapa ayah dimusuhi orang-orang kang-ouw, sedangkan ibu juga tidak memberi keterangan sesuatu. Ada hubungan apakah hal ini dengan diri Gwat Kong?"
Tin Eng mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kau sama sekali belum tahu tentang peristiwa itu, cici. Karena kita sudah menjadi kawan baik, maka tiada salahnya kalau aku menuturkannya kepadamu. Akan tetapi harap kau jangan salah duga, karena aku sependapat dengan Gwat Kong, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan orang tua tiada sangkut pautnya dengan keturunannya."
Kui Hwa mendengarkan dengan wajah berubah agak pucat. "Ceritakanlah, adikku."
"Menurut penuturan yang kudengar, ayahmu dahulu adalah seorang hartawan besar dan pada suatu hari, ayahmu berurusan dengan para petani karena berebut tanah. Yang menjadi tihu ketika itu adalah Bun-tihu dan di dalam pemeriksaan pengadilan akhirnya Bun-tihu menangkan para petani itu. Ayahmu di denda dan tanah yang diperebutkan itu harus diberikan kepada para petani.
Hal ini agaknya membuat ayahmu marah sekali. Tak lama kemudian serombongan pencuri mengganggu Lam-hwat dan mereka ini bahkan berani mencuri cap kebesaran dari pembesar tinggi. Seorang di antaranya tertangkap. Dalam pengakuannya ia menyatakan bahwa pemimpin rombongan pencuri itu adalah .... Bun-tihu itulah. Sebagai buktinya, di dalam kamar Bun-tihu itu, ketika dilakukan penggeledahan, ditemukan cap kebesaran yang tercuri itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
294 Kui Hwa mendengarkan dengan mata terbelalak.
"Dan kau bilang bahwa semua itu adalah tipu muslihat mendiang ayahku?" tanyanya dengan bibir gemetar.
"Sabar, cici! Aku sih tidak bisa berkata apa-apa, karena ketika hal itu terjadi, aku mungkin masih orok dan berada di pangkuan ibuku. Sekarang baik kulanjutkan cerita ini. Bun-tihu ditangkap dan harta bendanya dirampas. Karena merasa malu atas peristiwa ini, Bun-tihu lalu membunuh diri dalam tahanan!"
"Kasihan!" kata Kui Hwa. "Ia mati dalam penasaran kalau memang betul ia tidak melakukan kejahatan itu."
"Semua penduduk Lam-hwat menyintai Bun-tihu dan tahu bahwa selama menjadi pembesar, Bun-tihu terkenal adil. Maka biarpun ada pengakuan maling itu, hampir semua orang tidak dapat percaya akan hal itu," kata Tin Eng.
"Setelah Bun-tihu membunuh diri, maka isterinya yang sudah jatuh miskin, lalu pergi bersama seorang puteranya, mengembara dan hidup sengsara sampai tiba masanya ia meninggalkan dalam keadaan amat menderita."
"Aduh, benar-benar kasihan nasibnya. Kalau memang ayah yang melakukan fitnah, amat besar dosa yang diperbuat oleh mendiang ayah!" kata Kui Hwa dengan terharu.
"Nah, demikianlah ceritanya. Dan tentu kau dapat menduga, bahwa putera Bun-tihu itu bukan lain ialah Bun Gwat Kong sendiri yang semenjak kecil hidup terlunta-lunta sebagai anak yatim piatu. Kemudian ia menjadi pelayan dari ayah. Kami menganggap ia seorang pelayan biasa dan aku ... aku bahkan memperlakukan secara sewenang-wenang. Siapa tahu bahwa dia adalah pendekar perkasa yang berilmu tinggi!"
Menutur sampai di sini, tiba-tiba Tin Eng menjadi terharu karena teringat akan kasih sayang pelayan itu kepadanya. Ia menggunakan sapu tangannya untuk mencegah runtuhnya dua butir air mata.
Kui Hwa menarik napas panjang berulang-ulang.
"Dan dia tidak menaruh hati dendam kepadaku?" tanyanya. Guha
Bab 32 ... TIN Eng menggelengkan kepala. "Dia sudah bicara dengan aku tentang hal ini. Memang tadinya mendendam kepada ayahmu, bahkan sudah mencari ke Lam-hwat untuk membalas dendam. Akan tetapi ia mendengar bahwa ayahmu telah meninggal dunia maka ia
menghabiskan urusan itu sampai di situ saja dan biarpun ia ingin bertemu dengan kau untuk menguji kepandaian, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa sakit hati kepadamu."
"Biarlah, biar dia mendendam kepadaku. Biar kalau dia datang nanti, kami bertempur untuk menentukan kemenangan. Aku tidak menyesal mati di ujung pedangnya kalau memang ayah bersalah!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
295 Tin Eng memegang tangan Kui Hwa. "Cici, jangan kau berkata demikian. Apakah kau hendak memperbesar dosa yang telah dilakukan oleh mendiang ayahmu" Gwat Kong tidak
mendendam kepadamu. Apakah kau bahkan hendak memusuhinya, setelah ayahmu
mencelakakan ayahnya?"
Kui Hwa berdiri dengan muka pucat. "Tin Eng ...!! Benar-benarkah ayah melakukan fitnahan keji itu?"
Tin Eng menghela napas. "Apa yang harus kukatakan" Itu memang kenyataan, cici Hwa.
Hampir semua penduduk Lam-hwat mengetahui hal itu. Ayahmu telah menyewa penjahat-penjahat untuk memfitnah Bun-tihu. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik membicarakan kesalahan orang yang telah meninggal. Apalagi kalau orang itu, ayahmu sendiri."
Kui Hwa berdiri bagaikan patung, dadanya turun naik dan kedua matanya basah,
"Ayah ..... kau yang berdosa .... aku, anakmu yang terhukum ...," bisiknya perlahan.
Tin Eng memeluknya dan kedua orang gadis itu sama-sama mengeluarkan air mata. Tin Eng maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Kui Hwa adalah peristiwa yang menimpa dirinya karena perbuatan Gan Bu Gi. Sungguhpun ia belum tahu dengan jelas apakah yang terjadi antara kedua orang itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan orang dan keadaan menjadi amat ribut.
"Penculik .....!!! Tangkap ... tangkap ..!!"
Orang-orang berlari-lari membawa senjata dan ketika Kui Hwa dan Tin Eng menengok dan berlari ke tempat itu, diikuti oleh Pui Kiat dan Pui Hok yang juga telah mendengar suara ribut-ribut itu. Mereka berempat melihat bayangan hitam yang amat tinggi besar berlari memanggul seorang wanita muda yang menjerit-jerit
"Badasingh ...!!" seru Kui Hwa dan kawan-kawannya.
Ternyata bahwa yang menculik wanita muda itu benar-benar adalah raksasa hitam di puncak Hong-san itu. Sedangkan keempat pendekar muda itu sendiri tak berdaya menghadapi Badasingh, apalagi penduduk kota itu. Mereka hanya dapat berteriak-teriak, akan tetapi gerakan Badasingh yang amat cepat itu hampir tak terlihat oleh mata mereka. Mereka hanya melihat bayangan hitam berkelebat cepat dan mendengar jerit tangis wanita yang terculik itu.
"Celaka! Si bedebah itu telah berani turun gunung untuk menculik wanita!" kata Pui Kiat.
"Apa yang kita harus lakukan?" tanya Pui Hok dengan muka pucat.
"Kejar dia dan tolong wanita itu!" Tin Eng dan Kui Hwa berkata berbareng sambil mencabut senjata masing-masing.
Akan tetapi, Pui Kiat menggelengkan kepala. "Dia bukan lawan kita, akan sia-sia saja. Wanita itu tidak akan tertolong, bahkan kita sama dengan mengantar nyawa!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
296 "Habis apakah kita harus diam berpeluk tangan saja melihat kejahatan ini?" kata Tin Eng dengan penasaran.
Tiba-tiba Kui Hwa teringat akan sesuatu dan berkata, "Ah, mengapa aku begitu bodoh"
Menanti kedatangan Kang-lam Ciu-hiap belum tentu kapan" Dan kalau didiamkan saja, kasihan nasib wanita itu. Mengapa kita tidak minta pertolongan Huang-ho Sam-kui" Mereka cukup gagah dan dengan tenaga kita ditambah lagi dengan mereka bertiga, mustahil kita takkan dapat binasakan siluman itu, menolong wanita tadi!"
Kawan-kawannya teringat pula akan hal ini. Mengapa tidak Huang-ho Sam-kui" Sungguhpun kepala-kepala bajak, akan tetapi telah mereka kenal baik setelah mereka bertempur. Dan agaknya kalau mereka datang minta pertolongan mereka takkan menolak.
Diam-diam dengan cepat mereka berempat lalu berlari menuju ke hutan yang dijadikan sarang para bajak itu.
Kedatangan mereka disambut oleh para bajak dengan penuh kecurigaan. Mereka itu masih teringat kepada empat orang muda yang dahulu pernah mengamuk. Akan tetapi dengan cepat Kui Hwa berkata,
"Kami ingin bertemu dengan pemimpin-pemimpinmu. Di manakah adanya Huang-ho Sam-kui" Beritahukan bahwa kami datang untuk sesuatu yang amat penting.
Para bajak itu memberi laporan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang kepala bajak itu.
Huang-ho Sam-kui yang gagah, dan tidak ketinggalan mereka membawa senjata dayung mereka yang lihai.
Melihat kedatangan empat orang muda ini, mereka bertiga menjura dan Louw Tek yang tertua berkata,
"Saudara-saudara yang gagah mengunjungi tempat kami, ada maksud apakah?"
"Sam-wi Tay-ong," kata Kui Hwa dengan cepat. "Kami datang untuk minta pertolongan dari sam-wi yang gagah perkasa. Baru saja terjadi hal yang membutuhkan pertolongan kita, dan karena kami berempat merasa tidak kuat menghadapi lawan yang amat tangguh, maka sengaja datang mohon bantuan."
Dengan singkat ia lalu menceritakan tentang penculikan wanita yang dilakukan oleh Badasingh itu. Mendengar ini, ketiga bajak sungai itu saling pandang dengan muka berobah.
"Jadi siluman barat itu kini berada di puncak Hong-san?"
"Sam-wi sudah mengenal siluman itu?"
"Siapa yang tidak mengenal Badasingh, siluman hitam dari barat yang amat jahat dan lihai itu" Beberapa tahun yang lalu, pernah ia membuat geger di daerah ini dan tak seorangpun dapat melawannya karena ia memang amat lihai.
"Kalau begitu tentu Sam-wi suka membantu kami untuk menggempur dan
membinasakannya," kata Kui Hwa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
297 Louw Tek mengangguk-angguk. "Memang semenjak mendengar namanya, kami bertiga ingin sekali bertemu dengan siluman itu dan membunuhnya. Akan tetapi telah bertahun-tahun ia tidak muncul, agaknya kembali ke barat. Sekarang setelah ia muncul kembali, sudah tentu kami akan berusaha membunuh atau mengusirnya. Apalagi mendapat bantuan saudara-saudara berempat yang gagah."
"Kalau begitu mari kita berangkat!" seru Tin Eng. "Kasihan wanita itu!"
Untuk mempercepat perjalanan, Huang-ho Sam-kui mengajak empat orang muda itu untuk menggunakan sebuah perahu besar. Dengan lajunya perahu itu meluncur menuju ke Hong-san. Setelah tiba di kaki bukit itu, mereka mendarat dan segera berlari-lari ke atas bukit.
Mereka tidak melihat raksasa hitam itu di depan guha Kilin dan selagi mereka menduga-duga, tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari sebuah guha di dekat guha Kilin. Cepat-cepat mereka lalu berlari memburu ke tempat itu.
Dengan penerangan cahaya matahari yang menyinari guha itu, mereka dapat melihat betapa wanita yang terculik tadi meringkuk di sudut guha dalam keadaan ketakutan bagaikan seekor kelinci yang tersasar memasuki lobang harimau. Sedangkan si raksasa hitam sambil tertawa-tawa girang duduk memandang wanita itu dan tangan kanannya memegang seguci arak yang tadi dirampoknya dari kota bersama dengan wanita muda itu.
"Badasingh, siluman jahat! Keluarlah untuk menerima binasa!" Kui Hwa berseru keras sambil mengacung-ngacungkan pedangnya.
Melihat kedatangan orang-orang yang mengganggu kesenangannya itu, Badasingh
mengeluarkan gerengan marah dan keluarlah ia sambil menyeret rantai bajanya.
"Tin Eng, kaulah yang bertugas menolong wanita itu apabila siluman itu telah bertempur dengan kami dan bawa wanita itu keluar guha dan suruh dia turun gunung lebih dulu," Kui Hwa berbisik.
Badasingh benar-benar marah ketika melihat bahwa di antara tujuh orang yang datang itu, yang empat adalah orang-orang yang dulu pernah dikalahkannya. Ia tertawa bergelak dan berkata kepada Kui Hwa,
"Apakah kau datang hendak menemani aku" Bagus, bagus!"
"Bangsat rendah!" Kui Hwa memaki marah dan segera memberi tanda kepada kawannya yang menyerang maju berbareng.
"Kalian mencari mampus!" Badasingh membentak keras dan menggerakkan rantai bajanya bagaikan kitiran.
Kui Hwa, Pui Kiat, Pui Hok dan ketiga Huang-ho Sam-kui lalu menyambutnya, sedangkan Tin Eng segera melompat masuk ke dalam guha untuk menolong wanita itu. Melihat hal ini, Badasingh berseru keras dan hendak mengejar. Akan tetapi keenam orang lawannya menggerakkan senjata dan menghalanginya mengejar Tin Eng.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
298 Bukan main marahnya Badasingh dan segera mainkan rantainya makin cepat dan keras pula sehingga enam orang pengeroyoknya terpaksa berlaku amat hati-hati. Huang-ho Sam-kui dengan berbareng memukulkan dayungnya yang besar. Akan tetapi dengan mudah saja tiga dayung itu ditangkis oleh rantai baja sehingga terdengar suara keras dan bunga-bunga api beterbangan ke atas.
Dayung dari Huang-ho Sam-kui itu bukanlah dayung biasa terbuat daripada kayu, akan tetapi adalah dayung istimewa yang terbuat dari baja tulen. Karena memang bukan dayung yang dibuat untuk keperluan mendayung perahu, akan tetapi khusus untuk senjata mereka.
Pertempuran berjalan amat serunya dan biarpun dikeroyok enam orang yang kepandaiannya tidak rendah, namun Badasingh dapat mempertahankan diri dengan baik. Bahkan ia dapat membalas dengan serangan-serangan yang sekali saja mengenai tubuh lawan tentu akan mendatangkan bahaya maut.
Sementara itu, Tin Eng sudah berhasil menolong wanita itu keluar guha. Akan tetapi oleh karena ia amat lemah sehingga tidak dapat turun gunung seorang diri, pula amat ketakutan setelah mengalami peristiwa hebat yang menimpa dirinya, terpaksalah Tin Eng mengantarnya turun dari puncak dan melepaskan di lereng, menyuruh perempuan itu pulang seorang diri.
Kemudian Tin Eng berlari naik lagi ke puncak untuk membantu kawan-kawannya.
Dengan datangnya Tin Eng maka kini Badasingh dikeroyok tujuh. Akan tetapi raksasa hitam ini makin marah melihat betapa korbannya ditolong Tin Eng. Maka sambil putar-putarkan rantai bajanya, ia berseru kepada Tin Eng,
"Kau melepaskannya" Baik, sekarang kaulah penggantinya!"
Setelah berkata demikian, dengan amat cepat dan nekad ia menyerbu ke depan tiba-tiba menyambar ke bawah dan tangan kirinya telah mencengkram beberapa potong batu karang campur debu yang segera dilontarkan ke arah pengeroyoknya. Kui Hwa dan kawan-kawannya terkejut sekali dan cepat mengelak sambil memutar senjata untuk menangkis sambitan itu.
Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya dan tidak tersangka-sangka, Badasingh menggulingkan dirinya di atas tanah ke arah Tin Eng dan sebelum gadis itu dapat mengelak, ia telah dapat memegang kaki kiri Tin Eng dan menariknya ke bawah sehingga gadis itu terguling di atas tanah.
"Ha ha ha! Kau menjadi penggantinya!" seru Badasingh dengan liar sambil mengulurkan tangan hendak memeluk tubuh dara itu.
Bukan main terkejutnya Tin Eng mengalami bahaya ini dan Louw Tek yang berdiri terdekat dengan raksasa itu lalu mengayunkan dayungnya menghantam punggung Badasingh.
"Bukkk!!"
Alangkah terkejutnya hati Louw Tek ketika pukulannya itu seakan-akan mengenai karet saja dan dayungnya terpental kembali. Ternyata raksasa hitam itu amat lihai dan dapat mengerahkan tenaga dalam untuk menerima pukulan ini.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
299 Sungguhpun pukulan itu tidak mencelakakannya, akan tetapi tenaga Louw Tek cukup keras untuk membikin punggungnya terasa sakit, maka pegangannya pada kaki Tin Eng mengendur dan ia menggereng marah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tin Eng untuk membetot kakinya sehingga terlepas dan ia lalu melompat cepat ke belakang. Keringat dingin menitik turun dari jidat Tin Eng karena ia merasa terkejut, takut dan ngeri menghadapi lawan yang luar biasa tangguh dan kejamnya ini.
Kembali tujuh orang itu mengepung Badasingh. Raksasa hitam ini merasa kewalahan juga menghadapi tujuh orang pengeroyoknya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, maka ia lalu melompat ke belakang dan berlari. Pengeroyoknya mengejar dengan marah, akan tetapi raksasa itu lalu melompat masuk ke dalam guha Kilin yang gelap.
"Sam-wi Tay-ong, jangan memasuki guha itu!" Kui Hwa memperingatkan Huang-ho Sam-kui, karena ia takut kalau-kalau ketiga orang ini akan mengalami nasib seperti Cui Giok.
Tin Eng yang masih merasa gemas dan marah karena tadi hampir saja menderita malu dan celaka, segera mengeluarkan piauwnya dan ketika tangannya bergerak tiga batang piauw menyambar ke dalam guha yang gelap. Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa mengejek dari dalam guha dan tiba-tiba dari dalam guha itu melayang keluar batu-batu karang kecil, yang disambitkan dengan menggunakan tenaga luar biasa besarnya. Batu-batu itu menyambar ketujuh orang itu dengan kecepatan luar biasa sehingga mereka menjadi terkejut dan buru-buru melompat jauh.
"Tidak ada gunanya!" kata Kui Hwa. "Kedudukannya di dalam guha yang gelap itu amat menguntungkannya. Kita hanya dapat menyerang dengan ngawur karena tidak melihat di mana ia berada. Akan tetapi ia dapat melihat kita dengan mudah dan dapat menyerang lebih baik!"
Baru saja ia habis bicara, kembali melayang keluar banyak batu-batu karang bagaikan hujan lebat sehingga terpaksa ketujuh orang itu melarikan diri dari situ dan bersembunyi di balik batu-batu karang yang besar dan banyak terdapat di tempat itu.
"Bagaimana sekarang?" tanya Tin Eng dengan hati bingung dan cemas. Ia teringat akan nasib dara pendekar yang kini terjerumus ke dalam jurang. Bagaimanakah nasib pendekar wanita yang dulu menolong mereka itu" Sudah empat hari gadis itu terjerumus ke dalam jurang dan tidak diketahui bagaimana nasibnya, entah hidup entah mati. Tak terasa pula kembali airmata Tin Eng keluar ketika ia teringat akan nasib gadis yang menolongnya itu.
"Perempuan yang terculik sudah tertolong," kata Louw Tek. "Untuk apa lagi kita berada lebih lama di tempat berbahaya ini" Badasingh benar-benar tangguh dan setelah kini ia bersembunyi di dalam guha, lebih baik kita pulang saja. Tanpa ada sebab yang penting kurasa tiada gunanya kita bermusuhan dengan seorang liar dan lihai seperti dia!"
Setelah berkata demikian, Louw Tek mengajak kedua adiknya pergi dari tempat itu. Kui Hwa dan kawan-kawannya hanya dapat menghaturkan terima kasih atas bantuan mereka. Tentu saja Kui Hwa tak dapat menceritakan tentang alasan mereka memusuhi Badasingh, karena dengan demikian berarti bahwa ia harus membuka rahasia tentang harta pusaka itu.
Berbahayalah menceritakan berita tentang adanya harta pusaka kepada orang-orang seperti Huang-ho Sam-kui yang menjadi kepala bajak dan hal ini hanya akan menambah jumlahnya musuh atau saingan saja.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
300 Dengan hati amat berat, keempat orang muda itupun turun dari Hong-san. Harapan mereka satu-satunya tinggal Gwat Kong dan mereka hanya bisa menanti kedatangan pendekar muda itu.
Ketika mereka turun dari Hong-san, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat, dan bukan main cemas hati mereka melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah hwesio muda yang selalu mengikuti mereka.
"Benar-benar bangsat gundul tak tahu malu!" Tin Eng memaki gemas.
"Tentu semenjak tadi dia mengintai kita," kata Kui Hwa.
"Melihat kita mengeroyok Badasingh tanpa keluar membantu, Hmmm, benar-benar hwesio itu bukan seorang baik-baik dan kita harus berhati-hati menghadapi dia. Siapa tahu dia mempunyai maksud buruk terhadap kita," kata Pui Kiat.
"Akan tetapi, tanpa sebab tak perlu kita bentrok dengan dia. Kepandaiannya tinggi. Di perahu dulu, ia telah mendemonstrasikan ilmunya Jeng-kin-cui, sekarang ia mendemonstrasikan ginkangnya," kata Pui Hok.
Memang hebat benar ilmu lari cepat hwesio itu. Empat orang muda itu hanya melihat bayangannya berkelebat dan sebentar saja lenyaplah hwesio itu. Kalau bukan empat orang itu yang melihatnya, orang lain bahkan takkan tahu siap adanya bayangan yang berkelebat bagaikan setan itu.
Terpaksa keempat orang muda itu menanti lagi, menanti datangnya Gwat Kong karena mereka tidak berdaya dan tidak tahu harus berbuat apa. Hwesio itu kadang-kadang kelihatan mendekati mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya memandang ke arah Kui Hwa dan Tin Eng dengan pandang kurang ajar dan mulut menyeringai. Akan tetapi oleh karena dia tidak melakukan atau mengucapkan sesuatu, kedua orang dara itu pura-pura tidak melihatnya dan tidak mau meladeninya.
Diam-diam Tin Eng merasa heran, mengapa rombongan perwira kerajaan yang hendak mencari harta pusaka itupun belum nampak muncul di tempat itu. Hatinya makin gelisah.
Mengapa Gwat Kong belum juga datang" Ia tidak tahu bahwa Gwat Kong harus pergi dahulu ke Hoasan dan kemudian sebagaimana dituturkan di bagian depan pemuda itu pulangnya mampir lagi ke Kiang-sui sehingga ia bertempur dengan Seng Le Hosiang.
**** Marilah kita menengok dulu keadaan Cui Giok, gadis yang malang itu. Apakah dia telah mati" Apakah ia tewas karena terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam dan tidak kelihatan dasarnya itu"
Syukur sekali tidak demikian. Ketika dara perkasa itu melompat ke dalam guha Kilin untuk mengejar Badasingh, ia merasa kedua kakinya menginjak tempat kosong dan tak dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya melayang turun ke tempat kosong yang amat gelap. Cui Giok mengerahkan ginkangnya dan juga segera menggunakan ilmu Pik-hu-hiat, menutup hawa dan Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
301 melindungi jalan darahnya serta mengerahkan lweekangnya agar tubuhnya tidak terluka kalau tertumbuk batu karang.
Akan tetapi aneh sekali, ketika tubuhnya terbentur pada dinding sumur itu, ia merasa betapa dinding itu lembek dan empuk lagi basah, sedangkan tubuhnya terus melayang turun lama sekali. Makin lama makin cepat dan beberapa kali tubuhnya terbentur dinding, melayang-layang ke kanan kiri di tempat kosong. Kepalanya menjadi pening, pengerahan tenaganya makin mengurang dan akhirnya lenyap ketika tak dapat ditahannya lagi. Ia menjadi pingsan di waktu tubuhnya masih melayang-layang turun ke bawah. Kedua pedangnya juga terlepas dari genggaman dan melayang turun pula di tempat yang gelap itu.
Kalau ada orang yang melihat tubuh Cui Giok melayang jatuh sampai sekian lamanya di tempat yang demikian dalamnya, tentu ia takkan ragu-ragu lagi menyatakan bahwa gadis itu pasti akan tewas. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, karena ketika tubuh Cui Giok dengan kerasnya terbanting ke dasar jurang atau sumur itu, tubuhnya tidak remuk dan gepeng, melainkan melesak ke bawah karena tanah di mana ia jatuh itu merupakan tanah lembek berlumpur.
Hanya sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa Tuhan belum menghendaki tewasnya gadis itu, yakni bahwa kebetulan sekali jatuhnya dalam keadaan setengah berdiri sehingga yang masuk ke bawah lumpur hanya kaki dan tubuh bagian bawah. Kalau kepalanya yang masuk lebih dulu ke dalam lumpur, biarpun bantingan itu tidak menewaskannya, tentu gadis itu akan mati juga karena tak dapat bernapas.
Ada setengah hari gadis itu diam tak bergerak, tak sadarkan diri bagaikan sudah mati. Akan tetapi ia membuka matanya. Ia melihat bahwa ruang itu cukup terang, sungguhpun hanya suram-suram saja. Ia melihat bahwa dirinya terbenam separuh di dalam lumpur, maka dengan susah payah karena seluruh tubuhnya terasa sakit, ia merangkak keluar dari lumpur itu.
Ternyata bahwa ruang itu amat luas dan di kanan kiri terdapat tanah keras yang berdinding batu karang yang mengeluarkan cahaya terang.
Cui Giok merangkak dan duduk di atas tanah keras. Tubuhnya yang terasa sakit-sakit itu menandakan bahwa ia mendapat luka-luka di dalam tubuh karena bantingan dari tempat tinggi itu. Maka dengan tangan gemetar, ia lalu mencari bungkusan dan sepasang pedangnya di tempat tak jauh dari situ, untungnya tidak jatuh di dalam lumpur pula.
Jari-jari tangannya menggigil ketika ia membuka bungkusan pakaiannya. Ia teringat akan obat-obat yang diberikan kepadanya oleh Lo Han Cinjin. Tangkai daun merah itu masih ada, bahkan tidak layu, satu hal yang benar-benar luar biasa. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memetik sehelai daun dan makan daun itu yang rasanya asam sekali.
Benar-benar manjur daun itu, karena tak lama kemudian ia merasa tubunya segar dan rasa sakit-sakit itu lenyap. Mulailah Cui Giok memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ia memandang ke atas, ia melihat betapa sinar terang masuk bagaikan benang-benang emas, akan tetapi sinar itu tertutup oleh awan putih yang bergerak-gerak. Itulah embun atau halimun yang memenuhi sumur itu.
Anehnya dari atas mengalir masuk angin sejuk yang membuat dasar sumur itu mempunyai hawa udara yang bersih dan segar. Dasar itu merupakan guha yang amat luas, semacam bilik terkurung batu-batu karang yang bersinar-sinar.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
302 Cui Giok mulai memeriksa ke sekeliling ruangan itu dan mencari jalan keluar. Akan tetapi hatinya bagaikan disayat pisau ketika ia mendapat kenyataan betapa tempat ini merupakan kurungan baginya untuk selama hidupnya. Tidak ada terowongan atau jalan keluar sama sekali dan memanjat ke atas merupakan sebuah ketidak mungkinan yang tak dapat dibantah lagi. Batu-batu karang itu selain tajam, juga amat licin, maka tak dapat dipanjat. Sedangkan dinding pada tempat ia jatuh, terdiri dari tanah lembek yang lebih sukar lagi untuk digunakan sebagai jalan keluar.
Ia memandang lagi ke atas ke arah sinar-sinar itu lalu berteriak memanggil sambil mengerahkan seluruh khikangnya. Akan tetapi, ketika suaranya kembali lagi ke bawah meninggalkan gema suara yang amat menyeramkan dan aneh.
Cui Giok menjadi putus asa dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri di atas tanah yang berpasir lalu menangis.
"Ibu ..... ibu, bagaimana jadinya dengan anakmu ini ....?" ia menangis sambil menjambak-jambak rambutnya. "Apakah aku harus tinggal di tempat ini sampai mati?"
Sampai lama Cui Giok menangis sambil berlutut di atas tanah. Akan tetapi siapakah yang akan dapat mendengar semua ratapannya" Sampai kering air matanya ditumpahkan. Sampai parau suaranya karena banyak meratap tangis. Akhirnya timbullah semangat kegagahannya.
Ia duduk dan menetapkan hatinya. Sudah jelas bahwa ia harus mati di tempat ini, karena siapakah yang dapat menolongnya" Pada saat bahaya maut berada di depan mata terbayanglah semua peristiwa yang pernah dialami selama hidupnya.
Ia teringat betapa ayahnya meninggal dunia sewaktu ia masih kecil dan kemudian bersama ibunya ia tinggal di kota Cang-bun di propinsi Ciang-si, tinggal bersama kakeknya, Sie Cui Lui. Teringat pula ia betapa semenjak kecilnya ia dilatih ilmu silat oleh kakeknya sehingga ia dapat mewarisi ilmu silat Im-yang-kiam-hoat.
Pada saat itu Cui Giok membayangkan semua ini, terbayanglah wajah ibunya yang amat buruk nasibnya. Ayahnya meninggal dunia ketika ibunya masih amat muda dan selanjutnya ibunya hidup dalam kesunyian. Terbayanglah wajah ibunya yang cantik dan halus, dan aneh sekali, bayangan wajah ibunya itu terdesak oleh bayangan wajah lain, yakni bayangan ....
Gwat Kong. Makin sedihlah hati Cui Giok teringat kepada Gwat Kong, maka kembali ia menangis tersedu-sedu.
"Gwat Kong ... aku cinta padamu .... aku cinta padamu ...., aku takkan dapat bertemu lagi dengan kau, Gwat Kong .....!!"
Hebat sekali penderitaan batin Cui Giok di dalam dasar sumur itu. Namun imannya masih cukup kuat sehingga ia tidak membunuh diri dengan pedangnya. Memang ada keinginan ini memasuki otaknya. Daripada menderita dan bersedih terlebih lama lagi di tempat ini, lebih baik sekarang juga mati agar terbebas dari penderitaan, demikianlah bisikan di dalam otaknya.
Akan tetapi Cui Giok dapat menekan perasaannya, dan sebagai seorang gadis yang telah digembleng kegagahan semenjak kecil oleh kakeknya yang sakti, ia mempunyai keteguhan iman dan tidak mudah menyerah kalah terhadap kesengsaraan yang bagaimanapun juga Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
303 hebatnya. Ia lalu melepaskan pakaiannya yang penuh lumpur, lalu mengganti pakaian dengan pakaian bersih yang diambil dari buntalan pakaiannya.
Sementara itu, di dunia luar matahari mulai condong ke barat dan senja hari tiba. Di dalam sumur itu cahaya yang sedikit menerangi tempat itu mulai menyuram dan kemudian hilang sama sekali sehingga tempat itu menjadi gelap segelap-gelapnya.
Belum pernah selama hidupnya Cui Giok berada di dalam tempat yang segelap itu. Kegelapan ini membuat membuat ia bingung dan kepalanya menjadi pening sekali. Akhirnya ia tidak kuat menahan lagi dan dengan sepasang pedang di tangan ia lalu bersilat di dalam gelap.
Bagaikan orang gila Cui Giok mainkan ilmu pedang Im-yang-kiam-hoat, membacok,
menusuk, dan memutar kedua pedangnya sehingga angin gerakan pedangnya menimbulkan bunyi yang aneh.
Tiba-tiba tanpa disengaja ujung pedangnya membacok dinding batu karang yang siang tadi mengeluarkan cahaya. "Prak!" dan silaulah mata Cui Giok ketika tiba-tiba pertemuan antara ujung pedang dan batu karang itu menimbulkan cahaya api yang besar seakan-akan bintang dari langit, tiba-tiba jatuh masuk ke dalam sumur itu.
Cui Giok terkejut dan menghentikan permainannya. Akan tetapi ia menjadi girang karena ternyata bahwa batu karang itu adalah semacam batu api yang mudah mengeluarkan api apabila terpukul oleh logam keras. Ia dapat membuat api. Api amat perlu baginya, terutama untuk penerangan di tempat yang amat gelap itu.
Sambil meraba-raba, Cui Giok membuka buntalannya dan mengeluarkan sebuah bajunya yang terbuat daripada bulu. Baju itu amat disayanginya, karena selain mahal, baju ini adalah pemberian ibunya dan hanya satu-satunya, dipakai kalau sedang hawa amat dingin.
Akan tetapi pada saat dan keadaan seperti itu, Cui Giok tidak kenal lagi akan sayang kepada pakaiannya. Ketika ia menggerakkan kedua tangannya, maka "bret!" dirobeklah pinggir baju itu yang berbulu. Lalu ia memukulkan ujung pedangnya pada dinding batu karang lagi dengan keras sambil mendekatkan robekan baju bulu.
Sampai dua kali api memancar, akan tetapi belum cukup besar untuk membakar robekan baju.
Pada pukulan yang ketiga kalinya dan yang dilakukan dengan tenaga besar, maka baju bulu itu terbakarlah. Cui Giok menjadi girang sekali melihat betapa keadaan di situ menjadi amat terang.
Ia menengok ke kanan kiri dan melihat betapa dinding batu karang itu bersinar-sinar terkena cahaya api yang membakar robekan baju. Dengan terkejut dan amat tertarik ia melihat sinar yang paling terang di ujung kanan, sinar yang beraneka warna dan amat indahnya.
Akan tetapi sebentar saja robekan baju itu terbakar habis dan jari tangannya terasa panas.
Maka ia cepat membuang robekan baju yang tinggal sedikit itu dan sebentar saja padamlah api tadi dan keadaan menjadi gelap lagi, bahkan lebih gelap daripada tadi sebelum ada api menyala. Lenyaplah segala sinar berikut sinar yang indah di ujung kanan itu.
Cui Giok hendak menggunakan seluruh bajunya untuk membuat penerangan, akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa apabila bajunya itu habis terbakar, ia takkan dapat membuat api lagi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
304 Baju-baju yang lain hanya terbuat daripada kain biasa dan akan sukarlah terbakar oleh percikan api dari batu karang itu.
Ia berpikir sebentar, kemudian merobek lagi bajunya di bagian kiri, agak panjang. Sebelum membuat api lagi, ia menggunakan tenaganya untuk memilin robekan itu menjadi semacam sumbu panjang. Dengan cara demikian, maka robekan baju itu akan lebih awet dan tahan lama menyala.
Kemudian ia membuat api lagi dan benar saja, kini robekan baju yang berupa sumbu itu terbakar dengan baik dan lebih tahan lama, sungguhpun nyalanya tidak begitu besar. Dengan cerdiknya, Cui Giok lalu membasahi sumbu bagian bawah dengan tanah yang basah agar api tidak menyala cepat.
Bab 33 ... SUMBU ini menyala agak lama dan selama itu Cui Giok masih terheran-heran melihat sinar indah di ujung kanan itu. Ia mendekati dan mencongkel tanah dengan pedangnya. Makin indahlah sinarnya dan tiba-tiba ujung pedangnya menyentuh benda keras yang ternyata adalah batu-batu sebesar telur ayam yang mengeluarkan cahaya luar biasa. Ia tertegun dan maklum bahwa inilah yang dimaksudkan Gwat Kong dahulu itu. Inilah harta pusaka yang tak ternilai harganya.
Batu-batu permata yang masih aseli dan besar-besar. Banyak sekali jumlahnya. Untuk sesaat Cui Giok merasa girang sekali, akan tetapi perasaan itu segera terganti dengan kepahitan ketika ia teringat bahwa ia tak mungkin dapat keluar dari situ.
Setelah api dari sumbunya padam, Cui Giok tidak membuat api lagi dan menanti datangnya siang sambil merebahkan tubuhnya di atas pasir dekat pendaman harta itu. Karena ia merasa amat lelah, maka tak lama kemudian ia tertidur.
Pada keesokan harinya ketika sinar-sinar matahari telah memasuki sumur dan mendatangkan cahaya suram, ia lalu mengeduk batu-batu permata itu. Dengan girang dan heran ia melihat bahwa tempat terpendamnya batu permata itu terdiri dari tanah pasir yang mudah digali dan merupakan terowongan.
Setelah batu-batu itu digali habis dan merupakan tumpukan batu-batu permata yang banyak sekali, ia menggali terus. Terowongan itu menembus tempat kosong. Dengan hati berdebar ia lalu merangkak memasuki terowongan itu dan alangkah herannya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat terbuka yang terang.
Ia keluar dari terowongan itu dan ketika ia memandang ke depan dan ke bawah, ia merasa pening dan ngeri. Ternyata bahwa tembusan ini membawanya ke lereng gunung yang curam sehingga tanah di bagian bawah merupakan pemandangan yang luar biasa.
Pohon di bagian bawah itu kelihatan seperti rumput saja. Untuk turun dari lereng ini tidak mungkin sama sekali, karena lereng itu dari batu-batu karang yang licin dan tajam, juga terjal sekali. Akan tetapi hatinya agak terhibur karena di dekat lereng itu terdapat banyak tumbuhan, di antaranya bahkan ada pohon-pohon yang berbuah. Hatinya agak terhibur dan penemuan ini merupakan penyambungan umurnya, karena ia tidak akan kelaparan lagi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
305 Memikirkan tentang kelaparan, ia tiba-tiba teringat akan pel pemberian Lo Han Cinjin dan ia lalu masuk kembali ke dalam guha itu untuk makan sebuah pel. Benar saja, rasa laparnya lenyap dan perutnya terasa hangat dan enak.
Kini Cui Giok tidak begitu sedih lagi. Ia mulai bekerja, yakni memperlebar lubang yang menembus ke lereng bukit itu. Cahaya penerangan masuk dari lubang itu membuat dasar sumur itu makin terang dan hawa masuk makin banyak. Tentang penerangan di waktu siang dan hawa udara, ia tidak usah khawatir lagi. Juga tentang makanan, ia tak perlu takut kekurangan. Hanya kegelapan malam masih membuat ia bingung.
Akan tetapi ia mendapat akal juga. Ia melihat burung-burung beterbangan di lereng itu, bahkan ada yang hinggap di pohon-pohon sekitar lereng itu. Dengan mudah ia dapat menangkap burung itu mempergunakan kepandaiannya menyambit dengan batu. Gajih
burung itu dapat dipergunakan sebagai bahan bakar yang akan mengawetkan sumbuh buatannya, sehingga ia bisa membuat penerangan di waktu malam.
Demikianlah, dengan ketabahan yang luar biasa sekali, Cui Giok hidup di tempat yang aneh itu sampai berhari-hari, tiada hentinya berusaha mendapatkan jalan keluar, akan tetapi selalu tak berhasil.
**** Kita tinggalkan dulu dara perkasa yang harus dikasihani ini dan marilah kita melihat keadaan Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok. Empat orang muda yang kegelisahaannya mungkin tak kalah besar dari pada kegelisahan yang diterima Cui Giok.
Mereka ini menanti kedatangan Gwat Kong dengan hati tidak keruan. Apalagi kalau teringat akan nasib nona pendekar yang telah menolong mereka.
Akan tetapi, dua hari kemudian, kegelisahaan mereka itu lenyap ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul di situ. Pada waktu itu, mereka sedang berjalan di pinggir sungai. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dengan suara girang,
"Tin Eng ........!"
Gadis itu menengok dan ....... alangkah girangnya melihat bahwa yang memanggil itu bukan lain ialah Gwat Kong.
"Gwat Kong ...." serunya dan kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa dan kedua orang suhengnya, tentu ia telah berlari menghampiri pemuda itu.
"Bun-taihiap!" Kui Hwa juga berseru dengan bibir terkatup erat dan mata memandang tidak enak, karena bukankah pemuda ini adalah putera dari Bun-tihu yang difitnah oleh ayahnya"
Gwat Kong datang berlari-lari dan karena Tin Eng bukan berada seorang diri, maka pemuda ini lalu menjura kepada mereka yang dibalas sebagai mestinya.
"Mengapa kalian masih berkumpul di sini" Bagaimana tentang ......tempat itu?" Ia menengok ke arah puncak Hong-san yang nampak dari situ.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

306 "Sssttt ......" kata Tin Eng. Tidak leluasa bicara di sini. Mari kita pergi ke perahu itu!" Ia menunjuk ke sebuah perahu restoran yang besar dan kebetulan kosong.
Mereka berlima lalu berjalan menuju ke perahu itu. Wajah Tin Eng kemerah-merahan dan matanya berseri-seri tanda bahwa pertemuan ini benar-benar amat menggembirakan hatinya.
Kui Hwa ketahui hal ini dan diam-diam ia membenarkan pilihan hati Tin Eng yang amat tampan dan gagah itu. Akan tetapi, Dewi Tangan Maut ini masih saja merasa tidak enak hati.
Perahu besar itu kosong dan Tin Eng lalu memesan kepada pelayan untuk menyediakan makanan dan minuman. Mereka duduk mengelilingi dua meja yang dijejerkan. Tin Eng duduk di sebelah kanan Gwat Kong, sedangkan Kui Hwa mengambil tempat duduk di depan pemuda yang baru datang itu.
"Bagaimana keadaan di sini?" tanya Gwat Kong begitu mereka duduk. "Mengapa kalian masih berada di sini?"
"Gwat Kong," kata Tin Eng yang tak dapat merobah sebutannya terhadap pemuda itu, biarpun di sini ada orang lain, "Sebelum kami menuturkan lebih jauh, lebih dulu perkenalkanlah dengan kawanku ini!" Ia menunjuk kepada Kui Hwa, "Dia ini adalah enci Tan Kui Hwa Dewi Tangan Maut!"
Berobahlah wajah Gwat Kong mendengar nama orang yang sudah lama diharapkannya untuk bertemu ini. Ia segera bangkit berdiri mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada Kui Hwa.
"Ah, sudah lama aku mendengar nama lihiap yang menggemparkan dunia kang-ouw.
Sungguh kebetulan bahwa saat ini aku dapat bertemu muka."
Kui Hwa juga sudah berdiri dan dengan senyum dingin ia berkata,
"Tentu saja taihiap mengharapkan pertemuan untuk dapat melampiaskan dendam dan sakit hati taihiap, bukan?"
"Enci Kui Hwa! Jangan berkata begitu!" kata Tin Eng yang bangkit berdiri.
Gwat Kong tersenyum lalu duduk kembali.
"Tan-lihiap, kalau urusan lama di bongkar dan permusuhan lama dibangkit-bangkit, maka kiranya dari pihakmulah datangnya, bukan dari pihakku. Aku sudah menganggap habis persoalan lama itu dan sudah kupendam."
Kui Hwa memandang kepada wajah yang tampan itu dengan sinar mata kurang percaya dan terharu, lalu menjadi kagum dan bertitiklah dua butir air mata dari kedua matanya. Ia menundukkan matanya dan berkata perlahan,
"Bun-taihiap, ternyata kau bijaksana sekali, seperti mendiang ayahmu, tidak seperti aku yang jahat seperti mendiang ayahku. Aku hanya bisa mohon ampun atas dosa-dosa ayahku terhadap ayahmu ...."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
307 "Ah, Tan-lihiap, mengapa berkata begitu" Urusan orang tua kita bukanlah urusan kita. Kalau ayahmu masih hidup, itu lain lagi barangkali. Akan tetapi antara kau dan aku tidak ada sesuatu, bahkan ada pertalian persahabatan seperti buktinya sekarang kita bertemu di antara kawan-kawan di tempat ini. Duduklah dan jangan sungkan-sungkan, kita di antara kawan sendiri."
"Sumoi, kata-kata Bun-taihiap benar. Alangkah baiknya kalau permusuhan lama dirobah menjadi persahabatan!"
Kui Hwa duduk kembali, menyusut air matanya lalu tersenyum dan berkata, "Maaf, aku telah berlaku seperti anak kecil."
Pada saat itu, kembali perahu itu miring dan bergoyang dan masuklah Tong Kak Hwesio sambil tersenyum-senyum. Ia mengerling ke arah lima orang muda yang duduk bercakap-cakap. Kemudian tanpa banyak cakap, ia lalu mengambil tempat duduk di meja dekat mereka, di sebelah belakang kursi yang diduduki oleh Gwat Kong. Di situ ia duduk memesan makanan lalu bersedakap sambil tersenyum menyeringai dan kedua matanya memandang kepada Kui Hwa dan Tin Eng berganti-ganti, seakan-akan anak kecil memandang dua barang permainan yang indah menarik.
Gwat Kong mengerutkan alis matanya dan memandang kawan-kawannya. Akan tetapi kawan-kawannya tidak memberikan reaksi apa-apa atas kehadiran hwesio itu. Maka Gwat Kong lalu menggunakan ibu jari tangannya digerakkan ke arah di mana hwesio itu duduk sambil bertanya kepada kawan-kawannya,
"Apakah kalian kenal dia?"
Kui Hwa yang duduk di depannya menjawab,
"Tidak, dan sudah lama dia selalu mendekati kami. Akan tetapi karena dia tidak berkata atau melakukan sesuatu, maka kami mendiamkannya saja."
"Kalau begitu, biarlah jangan perhatikan dia dan anggap saja dia seperti patung penjaga keselamatan kita!" kata Gwat Kong dengan suara mengejek.
Hwesio itu masih duduk diam, akan tetapi tidak menyeringai lagi dan mukanya menjadi merah, sedangkan matanya memancarkan cahaya merah. Tiba-tiba Gwat Kong merasa betapa tempat duduknya terdorong dari belakang. Ia tahu bahwa ini adalah perbuatan hwesio itu.
Tempat duduknya menempel pada kaki meja yang berada di depan hwesio itu. Dan agaknya hwesio itu menggunakan kekuatan lweekangnya yang disalurkan pada kaki untuk mendorong meja di depannya sehingga kaki meja itu mendorong bangku yang diduduki Gwat Kong.
Tenaga dorongan itu besar sekali dan kalau didiamkan saja tentu Gwat Kong akan terdorong ke depan dan meja di depannya akan terguling menimpa kawan-kawannya. Akan tetapi dengan tenang dan masih tersenyum, Gwat Kong mengerahkan lweekangnya sehingga
bangku yang didudukinya itu sampai berbunyi bagaikan ditindih oleh benda yang amat berat.
Tong Kak Hwesio terkejut sekali ketika tiba-tiba meja yang didorong dengan kakinya itu berhenti bergerak, bahkan tenaganya mental kembali. Ia merasa penasaran dan memperkuat Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
308 tenaganya. Akan tetapi makin keras ia mendorong, makin besar pula tenaganya mental kembali. Dan tiba-tiba "krek!" meja di depannya patah membuat meja itu terdorong hendak menimpanya.
"Meja bobrok!" katanya sambil menekan meja itu sehingga pecah. Kemudian tanpa berkata sesuatu, ia meninggalkan ruangan itu.
Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui menjadi heran sekali melihat kejadian ini, akan tetapi Gwat Kong hanya tersenyum saja.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu!" kata Gwat Kong kepada Tin Eng. Ia merasa heran dan khawatir ketika tiba-tiba melihat wajah Tin Eng menjadi muram.
"Telah terjadi malapetaka hebat sekali," kata gadis itu. "Gwat Kong, benarkah kau menyuruh seorang gadis cantik untuk mewakilimu datang membantu kami?"
"Benar!" kata Gwat Kong tanpa ragu-ragu lagi. "Dia adalah nona Sie Cui Giok ahli pedang Im-yang Siang-kiam-hoat. Di mana dia sekarang?"
"Dia ... dia ..." dan tiba-tiba Tin Eng menangis.
Bukan main kagetnya hati Gwat Kong melihat hal ini.
"Tin Eng! Apa yang telah terjadi dengan Cui Giok?"
Kalau Tin Eng tidak sedang terharu memikirkan nasib Cui Giok, tentu ia akan cemburu juga mendengar betapa pemuda itu menyebut nama Cui Giok begitu saja dan melihat betapa pemuda itu menjadi pucat karena mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Akan tetapi ia sendiri sedang amat terharu dan dengan suara terputus, kadang-kadang dibantu oleh Kui Hwa, Tin Eng lalu menceritakan semua pengalamannya.
Mendengar betapa Cui Giok terjerumus ke dalam jurang pada seminggu yang lalu oleh seorang raksasa liar bernama Badasingh, Gwat Kong menjadi terkejut sekali.
"Celaka!" serunya dengan pucat. "Dia datang ke sini karena aku minta padanya. Kalau ia tewas, berarti aku yang mendatangkan kematiannya. Tin Eng, aku harus pergi ke sana sekarang juga untuk mencekik leher siluman raksasa itu."
Sambil berkata demikian, Gwat Kong bangkit berdiri dari bangkunya, akan tetapi Pui Kiat dan Pui Hok lalu menyambarnya.
"Tenang dulu, Bun-taihiap. Memang kita harus berusaha membunuh raksasa jahat itu. Tidak saja untuk membalaskan dendam Sie-lihiap, akan tetapi juga untuk menghindarkan rakyat dari bencana. Badasingh ini benar-benar jahat."
Kemudian mereka menceritakan betapa raksasa hitam itu telah menculik wanita dan kalau saja tidak datang mereka dan Huang-ho Sam-kui, entah bagaimana jadinya dengan nasib wanita itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
309 "Bahkan sumoi dan Liok-lihiap inipun hampir saja celaka ditangannya, kalau saja tidak datang Sie-lihiap yang bernasib malang itu." Maka kembali mereka menceritakan pengalaman mereka ketika Cui Giok datang membantu.
"Guha Kilin adalah guha yang amat berbahaya, Bun-taihiap. Di dalamnya terdapat sumur yang tak terukur dalamnya. Dan di situlah Sie-lihiap terjerumus karena tertipu oleh Badasingh. Kalau tidak bisa memancing keluar raksasa itu, sukar untuk mengalahkannya.
Apabila ia telah berada di dalam guha Kilin, tak mungkin menyerangnya."
Mereka lalu menceritakan betapa sia-sia mereka yang dibantu oleh Huang-ho Sam-kui mengeroyok setelah raksasa itu bersembunyi di guha Kilin.
Sementara itu, makanan yang dipesan dihidangkan oleh pelayan, akan tetapi sukar sekali bagi Gwat Kong untuk menelan nasi melalui kerongkongannya. Hatinya penuh kesedihan karena mengingat akan nasib Cui Giok. Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih bersama-sama dengan gadis pendekar itu.
Teringatlah ia akan kata-kata nelayan tua yang menceritakan betapa Cui Giok merawat dan menjaganya sampai tiga malam tidak tidur dan hampir tidak makan ketika ia jatuh sakit.
Teringat akan hal ini semua, sambil menghela napas Gwat Kong menunda sumpitnya dan duduk termenung dengan wajah muram.
"Aku harus bunuh jahanam Badasingh itu. Aku harus membunuhnya sekarang juga!" Sambil berkata demikian, Gwat Kong lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya dan melompat ke darat.
"Gwat Kong ....!" Tin Eng berseru memanggil dengan isak tertahan.
Mendengar suara ini, Gwat Kong menahan kakinya, berpaling dan berkata,
"Tin Eng, marilah kau ikut ke puncak Hong-san. Kita bersama membalas sakit hati yang hebat ini!"
Keduanya lalu berlari cepat dan tiga orang anak murid Hoa-san-pai itu setelah membayar makanan juga lalu berlari menyusul.
Lima orang muda itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mereka telah didahului oleh Tong Kak Hwesio yang berlari-lari seorang diri naik ke puncak Hong-san, kemudian oleh tiga Huang-ho Sam-kui yang juga berlari naik ke puncak sambil membawa senjata dayung mereka.
Mengapa Tong Kak Hwesio berlari-lari cepat menuju ke puncak Hong-san" Dan mengapa pula Huang-ho Sam-kui berlari-lari naik ke Hong-san sambil membawa dayung mereka dan dengan muka kelihatan marah"
Sebetulnya ketika Gwat Kong bercakap-cakap dengan kawan-kawannya di perahu tadi, Tong Kak Hwesio tidak pergi jauh dan masih memasang telinga mendengarkan di luar pintu. Ia mendengar tentang harta pusaka dan tentang Badasingh yang menjaga guha itu, maka timbullah hati ingin mencari sendiri harta pusaka itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
310 Di dalam kesombongannya ia tidak memandang sebelah mata kepada Badasingh yang
dianggapnya seorang kasar yang liar dan bertenaga besarnya. Maka ia ingin mendahului rombongan Gwat Kong itu, mendahului naik ke Hong-san dan kalau mungkin mendapatkan harta pusaka.
Sementara itu, Huang-ho Sam-kui, tiga kepala bajak dari sungai Huang-ho itu, juga mempunyai alasan yang kuat untuk naik ke Hong-san dengan marah-marah karena malam tadi Badasingh yang merasa sakit hati kepada mereka atas penyerangan mereka bersama Kui Hwa dan kawan-kawannya, diam-diam mendatangi sarang mereka dan berhasil menculik isteri Louw Lui dan di bawa lari ke puncak Hong-san.
Tong Kak Hwesio, bekas murid Kun-lun-pai itu, ketika tiba di depan guha Kilin, segera berteriak dengan sombongnya,
"Badasingh, siluman keparat! Keluarlah kau untuk berlutut di depan tokoh Kun-lun-pai, baru pinceng mau memberi ampun!"
Badasingh sedang berada di guha sebelah guha Kilin. Ketika mendengar suara tantangan ini segera keluar menyeret rantai bajanya. Melihat seorang hwesio muda berdiri dengan hanya bersenjata sehelai sabuk sutera, ia menjadi marah sekali.
"Bangsat gundul, kuremukan kepalamu yang licin!" serunya dan ia segera menyerbu.
Sementara itu, ketika menyaksikan kehebatan raksasa itu, diam-diam Tong Kak Hwesio menjadi terkejut sekali dan lenyaplah sebagian besar kesombongannya. Akan tetapi, ia terpaksa menyambut serangan raksasa itu dengan sabuknya. Biarpun senjatanya hanya sabuk lemas, akan tetapi berkat lweekangnya yang tinggi, sabuk itu bisa digerakkan menjadi sebatang senjata yang kaku. Juga ia tidak takut untuk menangkis senjata lawannya yang berat karena sabuk sutera itu takkan rusak terkena rantai.
Akan tetapi, ia segera merasa terkejut sekali karena serangan lawannya benar-benar hebat sekali. Ternyata raksasa ini bukanlah sebagaimana yang ia sangka, bukan hanya seorang yang mengandalkan tenaga besar akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi yang aneh gerakannya. Oleh karena itu, ia mengeluh di dalam hati dan terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya dan mainkan ilmu silat Kun-lun-pai yang hebat. Namun, betapapun juga ia masih terdesak hebat sebelum melakukan perlawanan dua puluh jurus, bahkan terpaksa ia main mundur.
Akan tetapi Badasingh agaknya tidak mau memberi ampun kepadanya dan mengurungnya dengan rantai baja itu sehingga Tong Kak Hwesio menjadi kewalahan sekali. Ketika rantai baja itu bergerak bagaikan seekor naga menyambar ke arah lehernya, Tong Kak Hwesio mengebutkan sabuknya menangkis dan ketika kedua senjata bertemu, hwesio itu lalu melepaskan sabuknya yang segera melibat rantai itu.
Mereka saling betot, tidak ada yang mau mengalah dan dalam keadaan yang amat berbahaya itu Tong Kak Hwesio mengirim pukulan dengan tangan kiri sambil melangkahkan kakinya maju. Tangan kirinya dengan gerak tipu Pai-in-chut-sui (Dorong awan keluar puncak) menghantam sekerasnya ke arah dada lawannya. Akan tetapi, Badasingh sama sekali tidak mau berkelit, bahkan lalu memukul pula dengan tangan kirinya dari atas ke arah kepala Tong Kak Hwesio.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
311 "Blukkk! ..... "Krakk!" Dua suara terdengar dan tanpa dapat menjerit lagi, Tong Kak Hwesio yang kepalanya pecah terpukul oleh Badasingh itu roboh tak bernyawa lagi. Adapun pukulannya yang mengenai dada Badasingh hanya membuat raksasa itu meringis kesakitan saja, akan tetapi tidak terluka. Ternyata raksasa ini memiliki kekebalan yang luar biasa sekali.
Badasingh tertawa bergelak-gelak dan bagaikan orang gila ia lalu mengangkat rantai bajanya dan berkali-kali memukul tubuh hwesio ini sehingga remuk semua tulangnya. Kemudian sambil tertawa-tawa ia menendang tubuh itu sehingga melayang dan masuk ke dalam jurang di dekat guha.
Pada saat itu, datanglah Huang-ho Sam-kui di tempat itu. Mereka tidak melihat lagi apa yang menyebabkan iblis itu tertawa-tawa, hanya melihat Badasingh berdiri bertolak pinggang sambil tertawa bergelak-gelak.
"Badasingh, manusia iblis. Kembalikan isteriku!" teriak Louw Lui dengan marah.
Badasingh menundukkan kepala dan memandang kepada tiga kepala bajak itu. Kemudian ia tertawa dan berkata keras,
"Eh, eh, ..... datang lagi tiga orang yang sudah bosan hidup" Ha ha ha! Hari ini aku benar-benar berpesta pora! Anjing-anjing serigala dibawah jurang yang akan kenyang makan bangkai manusia." Setelah berkata demikian, ia lalu mengayun rantai bajanya dan menyerang dengan hebatnya.
Huang-ho Sam-kui lalu menggerakkan senjata mereka dan sebentar saja Badasingh dikeroyok tiga oleh Huang-ho Sam-kui yang marah dan menyerang dengan nafsu membunuh itu.
Biarpun dahulu Huang-ho Sam-kui mengeroyok Badasingh bukan hanya mengandalkan
tenaga sendiri, akan tetapi dalam keroyokan campuran itu mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa. Kini karena hanya bertiga, mereka dapat menjalankan pengepungan lebih rapi lagi, disesuaikan dengan kepandaian mereka. Mereka mengambil kedudukan segi tiga berdasarkan ilmu silat Sha-kak-kun-hoat (ilmu silat segi tiga) dan menyerang dengan teratur sekali. Tiap kali Badasingh mendesak seorang pengeroyok, dua orang lain lalu menyerbu dari kanan kiri. Dengan demikian perhatian raksasa itu terpecah menjadi tiga bagian.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat sekali. Badasingh mengamuk bagaikan harimau terluka. Rantai bajanya berputar-putar merupakan pencabut nyawa yang mengerikan. Tiap kali ujung rantainya menyambar lawan yang dapat mengelak, maka ujung rantai itu menyambar batu karang yang pecah berantakan atau kalau mengenai tanah, maka
mengebullah debu tebal ke atas.
Ketiga Huang-ho Sam-kui itu jarang berani mengadu senjata. Karena biarpun dayung mereka cukup kuat, akan tetapi tiap kali terbentur oleh rantai baja, selalu telapak tangan mereka tergetar dan panas sehingga banyak bahayanya senjata mereka itu akan terlepas dari pegangan.
Pada saat mereka bertempur dengan seru mati-matian, Gwat Kong dan rombongannya tiba di tempat itu. Mereka berhenti dan menonton pertempuran itu dan Gwat Kong berkata perlahan,
"Hmm, tiga orang itu takkan dapat menang!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
312 "Mereka adalah Huang-ho Sam-kui yang pernah kuceritakan padamu," kata Tin Eng.
Sedangkan kawan-kawan yang lain masih berlari-lari di belakang karena mereka kalah cepat larinya sedangkan Tin Eng karena digandeng tangannya oleh Gwat Kong ketika lari tadi, dapat lari lebih cepat dari biasanya.
"Gwat Kong, lihatlah, guha yang di kiri itu adalah guha Kilin. Di situlah Cui Giok terjerumus.
Maka hati-hatilah kau. Jangan sampai Badasingh bersembunyi ke dalam guha itu, karena kalau ia sudah masuk ke situ, sukarlah untuk menyerangnya."
Gwat Kong mengangguk. "Kau tunggulah saja di sini bersama kawan-kawan lain dan jangan membantuku. Juga Huang-ho Sam-kui itu lebih baik kau panggil saja apabila aku sudah berhadapan dengan raksasa itu."
Setelah berkata demikian, Gwat Kong mencabut pedang dan sulingnya. Tiba-tiba Tin Eng memegang tangannya dan ketika ia menengok, gadis itu sambil memandang mesra berkata,
"Gwat Kong, hati-hatilah kau!"
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, kemudian sekali ia berkelebat, tubuhnya telah melompat dan berdiri di depan guha Kilin.
"Badasingh, akulah lawanmu dan aku pulalah yang akan menamatkan riwayatmu yang penuh dosa!" katanya nyaring.
Sementara itu, Tin Eng berseru kepada tiga orang pengeroyok itu,
"Sam-wi Tay-ong! Tinggalkanlah siluman itu, biar dihadapi sendiri oleh Kang-lam Ciu-hiap!"
Karena mereka memang sudah merasa kewalahan dan payah menghadapi Badasingh yang benar-benar kosen, ketiga kepala bajak itu lalu melompat mundur dan berdiri di pinggiran menonton. Hendak mereka lihat siapa orangnya yang akan berani menghadapi Badasingh seorang diri saja.
Sementara itu, ketika melihat seorang pemuda dengan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri berdiri di depan guha Kilin, Badasingh menjadi marah sekali.
"Bangsat kecil! Kau akan kubunuh lebih dahulu!" Sambil berkata demikian ia menggerakkan rantai bajanya untuk menghantam kepala Gwat Kong dengan maksud mendesak pemuda itu mundur ke dalam guha agar terjeblos pula ke bawah jurang. Akan tetapi, seperti taktik Cui Giok dulu, pemuda ini tidak mengundurkan diri, bahkan mengelak ke kiri sambil menggeser kaki ke depan lalu menyerang dengan pedangnya.
Badasingh terkejut sekali karena tahu-tahu pedang itu telah menyambar di depan dadanya, maka ia lalu melompat ke samping dan memutar rantainya sehingga senjata yang bergerak bagaikan ular itu menyambar tubuh Gwat Kong dari belakang. Namun kini Badasingh benar-benar menghadapi seorang lawan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya. Disambar oleh rantai dari belakang arah kakinya itu, Gwat Kong tidak menjadi gugup. Dengan ringan sekali, ia melompat ke atas dan terus menyerang lagi. Kini menggunakan sulingnya menotok pundak kiri lawannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
313 Badasingh melihat datangnya totokan itu hanya dilakukan dengan sebatang suling bambu yang bolong dan tipis. Di dalam hati mentertawakan lawannya dan sambil mengerahkan tenaga dalamnya ke arah pundak, ia hendak menyambut suling itu dengan kekebalannya agar supaya suling itu menjadi patah atau pecah. Akan tetapi ia kecele kalau memandang rendah suling itu.
Ketika ujung suling itu menotok pundaknya, Badasingh mengeluarkan seruan kaget, karena ia merasa betapa suling itu mendatangkan rasa sakit pada pundaknya sehingga menembus ke hulu hatinya. Ia cepat melangkah mundur dan tangan yang memegang rantai baja itu meraba pundaknya yang sakit sekali.
Sebaliknya, Gwat Kong juga terkejut dan diam-diam memuji karena biarpun sulingnya telah menotok jalan darah dengan jitu akan tetapi hanya dapat mendatangkan rasa sakit saja dan tidak mempengaruhi tubuh tinggi besar itu.
Namun Badasingh telah mendapat pelajaran keras dan ia tidak berani memandang rendah lagi.
Ilmu silat pemuda ini benar-benar lihai sekali, bahkan lebih lihai dari pada ilmu pedang gadis cantik yang telah terjerumus ke dalam jurang. Maka ia berseru keras sambil putar rantai bajanya untuk mengurung dan membikin jerih lawannya.
Badasingh mendesak Gwat Kong sedemikian rupa dengan maksud agar supaya pemuda itu merobah kedudukannya sehingga ia dapat berputar dan melompat ke dalam guha. Oleh karena kalau ia sudah bisa masuk ke dalam guha Kilin, ia dapat memancing pemuda itu
mengikutinya dan menjebaknya ke dalam sumur atau jurang yang dalam itu. Atau setidaknya, kalau usahanya menjebak tidak berhasil, ia dapat bersembunyi di situ tanpa dapat diganggu atau diserang oleh lawannya yang amat lihai ini.
Akan tetapi Gwat Kong telah dapat maklum akan maksud ini karena ia telah diberi tahu tentang rahasia guha itu oleh Tin Eng. Maka sambil mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat di kedua tangannya, ia memutar pedang dan sulingnya sedemikian rupa sehingga Badasingh tak berdaya sama sekali. Tubuh pemuda ini bagaikan segulung asap bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai bajanya, mengirim serangan-serangan maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya.
Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus dan Badasingh yang luar biasa kuatnya itu biarpun sejak tadi didesak hebat, namun masih belum menyerah dan melakukan perlawanan mati-matian. Sudah beberapa kali suling Gwat Kong menotok jalan darahnya dan ujung pedang Sin-eng-kiam melukainya, akan tetapi tubuhnya benar-benar kebal dan kuat sekali sehingga luka-lukanya itu merupakan luka di luar saja yang tidak berbahaya. Pakaiannya telah penuh dengan darahnya sendiri dan kini ia bertempur sambil menggereng-gereng bagaikan seekor binatang buas.
Setelah kehabisan daya dan maklum bahwa kalau dilanjutkan ia akan kalah. Badasingh lalu mengambil keputusan nekad untuk mengajak pemuda ini mati bersama. Ia menyerang dengan sambaran rantainya sedemikian rupa dan ketika Gwat Kong mengelak, ia lalu menubruk sambil pentangkan kedua tangannya.
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menjatuhkan diri ke kiri sambil menggunakan pedangnya masuk ke dalam lambung lawannya. Akan tetapi Badasingh masih dapat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
314 miringkan tubuh dan dengan nekad tangannya mencengkeram. Pundak kanan Gwat Kong kena dicengkeram oleh jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan raksasa yang telah mendapatkan luka parah itu hendak menyeretnya untuk bersama-sama masuk ke dalam sumur. Gwat Kong berlaku tenang dan cepat mengirim tusukan dengan sulingnya ke arah sambungan tulang pundak lawan.
"Pletak!" remuklah tulang itu dan cengkeraman tangan Badasingh terlepas. Tubuh raksasa itu terhuyung-huyung ke kiri dan roboh di atas tanah tanpa dapat berkutik pula.
Huang-ho Sam-kui dan lain-lain orang menonton pertempuran dahsyat itu sambil menahan napas. Louw Lui telah mencari isterinya dan mendapatkan isterinya yang malang itu rebah pingsan di dalam guha, maka Louw Lui lalu memondongnya dan turun gunung terlebih dulu.
Kini Louw Tek dan Louw Siang serta Tin Eng dan kawan-kawannya berlari menghampiri Gwat Kong. Ternyata Badasingh telah tewas tak bernyawa pula.
Bab 34 ... TANPA sungkan-sungkan lagi, Tin Eng memegang tangan Gwat Kong.
"Gwat Kong, kau terluka?" tanyanya sambil memeriksa pundak pemuda itu. Baju Gwat Kong di bagian pundak itu robek dan kulit pundaknya matang biru akan tetapi tidak terluka parah.
"Jahanam ini benar-benar kuat," kata Gwat Kong menghela napas. "Akan tetapi aku puas, sakit hati Cui Giok telah terbalas!"
Louw Tek dan Louw Siang menyatakan kekagumannya terhadap Gwat Kong yang dipuji-pujinya. Kemudian untuk menyatakan kegemasan mereka terhadap Badasingh, dengan dayung mereka sehingga hancur dan mayatnya mereka lemparkan ke dalam jurang di dekat guha, di mana tadi Badasingh melemparkan tubuh Tong Kak Hwesio. Setelah itu, kedua kepala bajak itu lalu pamitan dan meninggalkan tempat itu untuk menyusul adik mereka.
"Kita harus bekerja cepat," kata Gwat Kong kepada Tin Eng. "Rombongan perwira dari kerajaan tentu akan menyusul kemari dan kalau sampai mereka melihat kita, tentu kita akan menghadapi pertempuran lagi. Pihak mereka itu bukan lawan ringan, karena di antara mereka terdapat Liok-te Pat-mo yang lihai."
Sambil berkata demikian, Gwat Kong terkenang kepada Cui Giok karena tadinya gadis itu bermaksud mencari Liok-te Pat-mo untuk mengadu kepandaian. Kini gadis itu takkan tercapai pengharapannya, pikirnya sambil menghela napas sedih.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan Tin Eng yang hafal akan isi peta yang dibakarnya, lalu memberi keterangan.
"Menurut peta itu," katanya sambil membuat coretan-coretan di atas tanah. "Memang ditunjukkan bahwa harta terletak di dalam guha Kilin. Akan tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa jalan masuk untuk mengambil harta itu adalah dari atas, melalui batu karang kembar di sebelah kanan guha Kilin. Melihat keadaan guha ini yang isinya hanya sumur amat dalam, maka tentu jalannya bukan dari situ. Sekarang kita harus mencari batu karang kembar itu."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
315 Ketika mereka mengambil jalan memutar ke sebelah kanan guha itu, benar saja di situ terdapat sepasang batu karang yang sama bentuk dan ukurannya, maka mereka lalu memanjat batu karang itu terus ke atas. Gwat Kong dan Tin Eng berjalan di depan, yang lain di belakang.
Oleh karena petunjuk peta itu menyatakan bahwa tempat harta terletak tepat di guha Kilin, maka dari atas itu mereka lalu merayap naik ke atas guha Kilin. Aneh sekali, tepat di atas guha itu terdapat alang-alang yang hijau dan tinggi, seakan-akan merupakan jambul atau rambut Kilin dan guha itu merupakan mulutnya. Gwat Kong menyingkap rumput alang itu dan di situlah terdapat sebuah batu licin yang bentuknya bulat.
Ia mencoba mengangkat batu itu, akan tetapi amat beratnya sehingga setelah kawan-kawannya membantu, barulah batu itu dapat digeser. Dan ternyata bahwa di bawah batu terdapat sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua kaki persegi. Karena lubang itu tidak seberapa dalam, Gwat Kong lalu turun ke bawah dan kakinya menginjak batu karang pula sedangkan dalamnya lubang itu sampai sebatas lehernya. Ia memandang ke bawah dan disekelilingnya. Akan tetapi di situ hanya batu karang semua dan tidak terlihat tanda-tanda lain yang menarik perhatian.
"Tidak ada apa-apa di sini!" kata Gwat Kong.
"Kalau begitu, mari kita pergi saja dari sini," kata Tin Eng.
"Hatiku tidak enak sekali untuk berada di tempat aneh ini lebih lama lagi. Tempat ini seakan-akan terkutuk dan sudah banyak orang tewas di sini. Apalagi kalau rombongan perwira kerajaan datang, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan."
"Jangan khawatir, Tin Eng!" kata Gwat Kong tersenyum menghibur. "Kita sudah sampai di sini, masa harus pulang dengan tangan kosong" Bagaimana nanti kau akan menjawab kepada kedua saudara Phang yang menyerahkan kepercayaan kepadamu" Soal para perwira, jangan takut, ada aku di sini dan saudara-saudara yang gagah inipun tentu akan membantu."
Gwat Kong merasa penasaran lalu menggenjot-genjot tubuhnya dan ia berseru heran, "Ah, lantai yang kuinjak ini dapat bergoyang!" Ia meraba-raba ke kanan kiri. "Tentu ada rahasianya di sini!"
Pemuda itu menggunakan jari-jari tangannya meraba-raba di sekitar dinding batu karang, sedangkan kawan-kawannya yang di atas yang tak dapat melihat apa-apa kecuali kepalanya, memandang sambil menahan napas.
Tiba-tiba jari tangan Gwat Kong meraba sesuatu yang keras dan ternyata benda itu adalah sebuah gelang besi yang dipasang di dinding itu.
"Ada gelang besi di sini!" katanya gembira. Karena gelang besi itu letaknya agak di bawah lutut, terpaksa ia merendahkan tubuh dan menekuk lututnya agar tangannya dapat mencapai gelang itu. Ia memegang erat-erat dan menarik keras. Benda itu tidak bergerak. Ia mengumpulkan tenaga dan menarik lagi dan .... benda itu dapat bergerak sedikit.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
316 "Aku hampir dapat membuka gelang ini!" katanya dari bawah sambil menahan napas lalu menarik lagi sekuat tenaga.
Terdengar suara keras dan tiba-tiba batu karang yang diinjaknya itu nyeplos ke kanan sehingga tubuhnya yang kini tidak menginjak sesuatu lagi, lalu nyeplos ke bawah. Gelang besar itu terlepas dan Gwat Kong melayang ke bawah. Ia melihat bahwa tubuhnya melayang terus melalui mulut guha Kilin dan dalam kengeriannya ia berteriak,
"Tin Eng .....!" Akan tetapi tubuhnya terus melayang turun dengan kecepatan hebat yang tak dapat ditahannya lagi.
"Gwat Kong ....! Gwat Kong .....!" Tin Eng berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu bagaikan seorang gila dan dengan nekad ia lalu melompat ke dalam lubang itu.
Akan tetapi tiba-tiba sepasang tangan menangkapnya dan ia meronta-ronta dalam pelukan Kui Hwa.
"Biarkan aku menyusulnya. Lepaskan aku, .... lepaskan!" Ia meronta-ronta bahkan memukul Kui Hwa, akan tetapi kedua saudara Pui membantu Kui Hwa dan memegang kedua tangan Tin Eng yang menjadi kalap bagaikan orang gila itu.
"Gwat Kong ...! Gwat Kong .... kau dimana?"" Suara Tin Eng makin lemah, tangisnya tersedu-sedu menyayat hati Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Kemudian Tin Eng roboh pingsan tak sadarkan diri lagi.
"Celaka ......!" kata Pui Kiat yang menjenguk ke dalam lubang. Lubang itu sekarang tak berdasar lagi dan ternyata menembus ke dalam sumur di guha Kilin itu.
Kui Hwa hanya menangis tersedu-sedu sambil memeluki tubuh Tin Eng. Juga Pui Hok tak dapat menahan air matanya lagi yang mengalir turun. Mereka lalu mengangkat tubuh Tin Eng, dibawa turun ke depan mulut guha Kilin yang kini merupakan mulut iblis maut yang haus akan nyawa manusia.
Pada saat itu, serombongan orang berlari naik ke tempat itu. Ketika Kui Hwa dan kedua suhengnya menengok, ternyata bahwa mereka itu adalah rombongan perwira yang dikepalai oleh Liok-taijin sendiri. Selain Liok Ong Gun, nampak juga Gan Bu Gi, Liok-te Pat-mo, Seng Le Hosiang, Bong Bi Sianjin dan perwira-perwira lain yang jumlahnya semua dua puluh orang.
Mereka memburu ke arah guha itu dan ketika melihat Tin Eng rebah dipangkuan seorang gadis dalam keadaan tak bergerak seperti mayat. Liok Ong Gun cepat memburu sambil bertanya gugup,
"Dia kenapakah ......" Anakku Tin Eng ..... kenapakah dia .....?"
Juga lain orang datang mengepung dan memandang dengan heran. Gan Bu Gi dan Bong Bi Sianjin yang mengenal kepada murid-murid Hoa-san-pai itu, memandang dengan amat terheran-heran.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
317 "Taijin, jangan khawatir. Anakmu hanya pingsan saja," kata Kui Hwa dengan tenang sambil mengerling ke arah Gan Bu Gi dengan pandang mata yang membuat pemuda itu cepat membuang muka dengan wajah tiba-tiba menjadi merah.
"Nona siapa dan mengapa anakku berada di sini dalam keadaan pingsan?"
"Dia mencari tempat harta pusaka. Kami membantunya juga Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong."
"Bangsat itu berada di sini" Mana dia?" tanya Liok Ong Gun.
"Orang yang taijin maki sebagai bangsat itu kini telah tewas dalam membela anakmu. Baru saja Bun-taihiap memasuki lubang di atas itu, dan ia menyeplos ke bawah, di dalam sumur maut itu. Tidak ada harta pusaka di sini, yang ada iblis maut telah makan banyak nyawa."
Setelah berkata demikian, dengan singkat Kui Hwa menuturkan tentang tewasnya Cui Giok, juga diceritakannya serba singkat tentang Badasingh. Semua orang mendengarkan dengan penuh keheranan dan kengerian.
"Inilah anakmu, kami tidak ada keperluan lagi di sini!" kata Kui Hwa yang lalu berdiri dan memberi isyarat kepada kedua suhengnya untuk meninggalkan tempat itu.
"Taijin, mereka ini adalah murid-murid Hoa-san-pai. Kita Harus bunuh mereka!" kata Gan Bu Gi tiba-tiba ketika melihat tiga orang itu hendak pergi.
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Kui Hwa berhenti dan memutar tubuh, memandang kepada pemuda itu dengan mata tajam,
"Orang she Gan, manusia berhati binatang. Kalau kau menghendaki kematianku, cabutlah pedangmu. Mari kita sama lihat, siapa yang akan mampus di ujung pedang!"
Akan tetapi Liok Ong Gun melangkah ditengah-tengah dan berkata kepada Gan Bu Gi. "Gan-ciangkun, betapapun juga, kalau tidak ada nona ini, entah bagaimana nasib anakku."
Ia menoleh kepada Kui Hwa dan berkata dengan muka menunjukkan betapa kesal dan rusuh hati serta betapa bosannya menghadapi permusuhan antara kedua cabang persilatan itu.
"Nona, harap kau suka pergi bersama kedua kawanmu. Hatiku sudah cukup menderita."
Kui Hwa dan kedua suhengnya lalu pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba Seng Le Hosiang berkata kepada mereka,
"Hei, anak-anak murid Hoasan. Beritahukan kepada guru-gurumu terutama si sombong Sin Seng Cu agar mereka jangan lupa untuk pergi ke puncak Thaysan pada permulaan musim Chun!"
Kui Hwa dan kedua suhengnya belum sempat mendengar cerita Gwat Kong bahwa pemuda itu telah menemui Pek Tho Sianjin di Hoasan, maka Kui Hwa lalu menjawab,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
318 "Baik, jangan khawatir! Akan kami sampaikan pesan itu!" Mereka bertiga lalu turun gunung dengan hati mendongkol.
Setelah Tin Eng siuman dari pingsannya dan melihat ayahnya dan para perwira, ia menangis terisak-isak dengan amat sedihnya.
"Sudahlah, Tin Eng. Jangan menangis. Katakan saja di mana Gwat Kong terjerumus karena mungkin di situlah tempat harta itu," kata ayahnya.
Mendengar betapa ayahnya hanya meributkan soal harta terpendam saja dan sama sekali tidak memperdulikan nasib Gwat Kong, makin hebatlah tangis Tin Eng.
Seng Le Hosiang dapat mengerti perasaan gadis ini, maka ia lalu berkata, "Tidak saja harta itu, akan tetapi mungkin kita dapat menolong atau setidaknya menemukan jenazahnya."
Mendengar ucapan ini, terbangunlah semangat Tin Eng. Ia lalu mendekati guha Kilin dan menuding ke arah sumur, "Disitulah ..... disitulah Cui Giok dan Gwat Kong terjerumus!" Jari tangannya menggigil dan suaranya gemetar.
"Biar aku memeriksa ke bawah!" kata Ang Sun Tek. Mereka segera mengeluarkan tambang yang kuat dan amat panjang. Memang rombongan ini sudah mempersiapkan segalanya.
Tambang itu lalu dilepas ke bawah dan diganduli batu. Panjangnya tambang itu tidak kurang dari seratus kaki. Akan tetapi setelah habis diulur ke bawah, ternyata batu yang mengandulinya masih dapat digerakkan ke kanan kiri yang berarti bahwa tambang itu masih belum mencapai dasar sumur.
"Bukan main dalamnya!" kata Ang Sun Tek membelalakkan matanya dengan penuh
kengerian. Sedangkan Tin Eng mendekap mukanya sambil menangis lagi. Tak dapat
diragukan lagi nasib Gwat Kong. Orang yang terjatuh ke dalam tempat sedemikian dalamnya tentu akan putus nyawanya.
Dibantu oleh kawan-kawannya yang memegang tambang itu di luar sumur, Ang Sun Tek lalu turun ke bawah melalui tambang. Bagi seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, pekerjaan ini amat berbahaya karena tambang itu panjang sekali dan sekali saja pegangan tangan terlepas sudah jelaslah nasibnya.
Akan tetapi, Ang Sun Tek adalah seorang yang memiliki tenaga daam yang cukup besar.
Maka dengan cepat bagaikan seekor kera, ia meluncur melalui tambang itu ke bawah. Ketika ia memandang ke bawah, yang nampak hanyalah halimun gelap keputih-putihan dan makin dalam hawa udara makin dingin sehingga Ang Sun Tek menggigil kedinginan. Akhirnya ia tiba di ujung tambang karena kakinya menginjak batu kekar pada akhir tambang itu. Benar saja, batu itu masih tergantung di udara.
Karena keadaan gelap sama sekali dan bukan main dinginnya, Ang Sun Tek tidak mau berdiam lebih lama lagi di tempat itu, lalu memanjat kembali ke atas dengan cepat. Ia merasa tak enak dan ngeri sekali. Ketika tiba di atas dan dihujani pertanyaan oleh kawan-kawannya, ia menarik napas panjang,
"Bukan main dalamnya, dalam, dingin, gelap. Tambang ini masih kurang panjang, kukira belum setengahnya. Tak mungkin di tempat seperti itu terdapat harta pusaka. Siapa orangnya Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
319 yang menyimpan harta di tempat itu" Seperti lubang neraka. Aku merasa pasti bahwa di dasarnya tentu air karena halimun bergulung dari bawah dan hawanya amat dingin."
Tin Eng menahan isaknya dan ia masih saja menangis ketika rombongan ayahnya itu kembali turun dari gunung. Ia naik kuda dengan lemah tak bergaya sama sekali, lemas lahir batin dan merasa seakan-akan semangatnya tertinggal bersama Gwat Kong di dalam sumur itu.
**** Pada saat Gwat Kong dan kawan-kawan berada di atas guha Kilin, juga pada saat mereka masih bercakap-cakap di depan guha, maka suara mereka itu terbawa oleh angin yang memasuki sumur dan dapat terdengar oleh Cui Giok yang berada di dalam jurang. Memang sungguh aneh suara dari luar dapat terbawa masuk dan dapat terdengar sampai ke dasar sumur itu, sungguhpun tidak sangat jelas, bagaikan suara orang dari jauh saja. Sebaliknya suara dari dalam, sama sekali tak dapat keluar, terbawa kembali oleh angin yang masuk dari atas.
Ketika Gwat Kong berseru di atas guha karena mendapatkan lubang dan gelang besi yang ditariknya, maka Cui Giok yang mendengar di bawah, di dekat tanah berlumpur di mana ia terjatuh dahulu, dapat mengenal suaranya. Suara lain orang tak dapat dikenalnya, akan tetapi suara Gwat Kong biarpun hanya terdengar sayup sampai saja, dapat dia kenal baik.
"Gwat Kong .....!" teriaknya keras ke atas dengan girang sekali.
"Gwat Kong .....!" suaranya kembali merupakan gema yang besar dan menyeramkan.
Percuma saja Cui Giok memekik-mekik dan memanggil-manggil nama Gwat Kong berkali-kali, karena suaranya tak dapat menembus halimun itu bahkan terbawa kembali oleh angin yang meniup ke bawah.
Ia masih mendengar suara-suara di atas, kemudian terdengar suara keras dan ia mendengar pula teriakan wanita yang menjerit-jerit memanggil nama Gwat Kong. Ia makin girang karena tak salah lagi bahwa Gwat Kong telah tiba dan berada di atas. Suara wanita yang memanggil-manggil Gwat Kong itu adalah Tin Eng yang menjerit-jerit melihat pemuda itu jatuh ke dalam lubang.
Karena jurang itu benar-benar amat dalam, maka tubuh yang terjerumus ke dalam
membutuhkan waktu lama sebelum mencapai dasarnya.
Seperti juga dulu ketika Cui Giok terjerumus ke bawah, Gwat Kong juga mengerahkan ginkang dan tenaga dalam untuk melindungi dari benturan hebat pada dinding sumur atau bantingan pada dasar sumur itu. Akan tetapi, lehernya bagaikan tercekik oleh hawa dingin dan kelajuan tubuhnya yang meluncur ke bawah membuat ia tak dapat bernapas, maka ia tak sadarkan diri lagi sebelum tubuhnya mencapai dasar jurang.
Karena suara-suara di atas kini telah lenyap, dan keadaan menjadi sunyi lagi, maka Cui Giok duduk termenung dan hati yang lebih sunyi. Akan tetapi tiba-tiba ia melompat bangun dengan mata terbelalak memandang ke atas. Ia melihat sebuah benda panjang turun dari tengah-tengah halimun yang menyusap pandang dari bawah itu. Benda itu terus jatuh ke bawah dan tepat sekali menimpa tanah berlumpur seperti dulu ketika ia jatuh.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
320 Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa benda itu adalah tubuh seorang manusia. Ia memburu ke depan dan memandang wajah orang yang penuh dengan lumpur karena jatuhnya dalam kedudukan miring itu.
"Gwat Kong ......!" Untuk beberapa lama Cui Giok berdiri bagaikan patung. Ia takut kalau-kalau ini hanya sebuah mimpi dan mimpi ini akan lenyap kalau ia menggerakkan tubuhnya.
"Gwat Kong .....!" ia berbisik dan tak terasa lagi air mata menitik turun berbaris sepanjang pipinya. "Be..... benarkah .....?"?"
Karena air matanya keluar, maka matanya terasa perih sehingga terpaksa ia berkedip.
Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa ini bukan mimpi. Tubuh pemuda itu masih berada di situ, sungguhpun telah berkali-kali ia berkejap mata. Ia gosok-gosok kedua matanya dan ketika dibukanya kembali tubuh itu masih berada di tempat itu.
"Gwat Kong .......!" jeritnya penuh perasaan girang, terharu, sedih, lega, campur aduk menjadi satu. Ia menubruk ke tempat berlumpur itu, mengangkat tubuh Gwat Kong, dibawa keluar dari lumpur, lalu diletakkan di atas pasir dekat alat penerangan yang dibuatnya secara sederhana sekali, yakni sumbu terbuat dari robekan pakaian dengan minyak dari lemak burung dan tempat minyaknya dari batu karang yang dilubangi merupakan mangkok yang kasar.
"Gwat Kong ....... kau datang ...... menyusulku!" Ia membersihkan muka pemuda itu, memeluknya, mendekap kepala itu pada dadanya, mencium pipinya dan semua ini dilakukan sambil menangis, tertawa, menangis lagi.
"Gwat Kong ..... Ya Tuhan, terima kasih ..... Gwat Kong, kekasihku .....!" Tiada hentinya bibir dara itu berbisik-bisik.
Dapat dibayangkan betapa perasaan gadis itu ketika tiba-tiba melihat pemuda yang dicintainya berada di situ seakan-akan dilemparkan ke bawah oleh tangan ajaib. Sengaja dilempar ke bawah agar pemuda itu dapat menemaninya. Tadinya ia merasa bahwa untuk selama hidupnya ia takkan dapat bertemu dengan manusia lagi, apalagi dengan Gwat Kong.
Oleh karena itu, melihat Gwat Kong, ia merasa seakan-akan seorang yang telah mati dan jiwanya merana dan terasing di neraka, tiba-tiba bertemu dengan seorang yang selalu dijadikan kenangan.
Seperti Cui Giok dahulu, pemuda itupun pingsan sampai berapa lama. Cui Giok telah memetik setangkai daun merah dan karena Gwat Kong masih pingsan, maka ia menjadi amat bingung dan gelisah. Ia takut kalau-kalau pemuda itu menderita luka berat di bagian dalam tubuhnya dan lebih-lebih lagi takutnya kalau pemuda itu akan mati.
Pikiran ini membuat ia bergidik. Bagaimana ia harus masukkan daun obat ini kedalam perut Gwat Kong" Untuk mencampuri dengan air, sukar sekali karena tahu bahwa daun ini kalau diperas seperti berminyak dan tak dapat campur air.
Dalam kekhawatirannya, Cui Giok mendapat akal. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak perlu merasa malu-malu atau sungkan lagi. Apalagi pemuda itu adalah Gwat Kong, pemuda yang telah dikasihinya, yang telah menawan hati dan jiwanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
321 Cui Giok berlutut lagi dan mengangkat kepala Gwat Kong yang lalu dipangkunya. Ia masukkan daun merah itu ke dalam mulutnya sendiri dan lalu mengunyah daun itu sampai hancur dan lembut. Kemudian ia merangkul leher Gwat Kong dengan lengan kirinya, diangkatnya seperti seorang ibu menggendong anaknya. Sedangkan jari-jari tangan kanannya membuka mulut Gwat Kong lalu ......... ia menundukkan mukanya dan masukkan kunyahan daun merah itu dari mulutnya ke mulut Gwat Kong.
Ia melakukan hal ini dengan hati tulus dan bersih, tanpa dipengaruhi nafsu birahi sedikitpun, bagaikan seorang ibu menyusui anaknya, bagaikan seekor burung betina meloloh anaknya, dengan hanya satu tujuan di dalam pikirannya dan satu kehendak di dalam hati yakni ingin melihat Gwat Kong terhindar dari pada bahaya maut, maka berhasillah ia memasukkan daun obat itu ke dalam tubuh Gwat Kong.
Sampai lama Gwat Kong tak sadarkan diri dan selama itu Cui Giok tak pernah
meninggalkannya. Bahkan kepala pemuda itu tak pernah dilepaskan dari pelukannya.
"Gwat Kong ........!" bisiknya berkali-kali memanggil-manggil nama pemuda itu perlahan-lahan di dekat telinganya. Lenyaplah segala keputus harapan, segala kedukaan. Kehadiran pemuda itu didekatnya membuat tempat yang tadinya seperti neraka berobah menjadi sorga.
Kini ketabahannya timbul kembali. Kegembiraannya hidup lagi. Ia tidak takut mati di situ.
Rela diasingkan selama hidupnya, asal berdua dengan Gwat Kong, pemuda yang dicintainya.
Dengan Gwat Kong disampingnya, jangankan baru penderitaan seperti ini, biarpun harus memasuki api neraka yang berkobar-kobar mengerikan, ia takkan ragu-ragu, mundur.
"Gwat Kong .......!" kembali ia memanggil mesra sambil mengusap rambut dan jidat pemuda itu penuh kasih sayang.
Akhirnya Gwat Kong siuman kembali. Ia bergerak dalam pelukan Cui Giok dan hal ini membuat dara itu tiba-tiba merasa malu. Dengan perlahan dan hati-hati menurunkan kepala pemuda itu, diletakkan di atas pasir dengan amat perlahan, seakan-akan takut kalau-kalau gerakannya ini akan menyakitkan Gwat Kong.
Gwat Kong membuka matanya perlahan-lahan. Untuk sesaat lamanya tidak bergerak. Ia masih bingung dan tidak tahu di mana ia berada. Tubuhnya terasa sakit, akan tetapi sebagai seorang ahli silat, otomatis ia menahan napas dan mengalirkan jalan darahnya untuk merasakan apakah ia menderita luka dalam, dan menjadi lega bahwa ia tidak terluka.
Kemudian, dengan mata masih setengah tertutup, ia memusatkan pikirannya dan mengingat.
Tiba-tiba teringatlah ia akan kecelakaan yang telah terjadi itu, dan teringat bahwa ia telah jatuh ke dalam sumur. Hal ini amat mengejutkan hatinya, dan ketika ia membuka matanya, cepat ia melompat berdiri. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis bangun berdiri pula di depannya. Karena matanya masih belum biasa dengan penerangan yang hanya suram-suram itu, ia tidak melihat wajah gadis itu dengan jelas. Akan tetapi, setelah mengenal gadis itu, ia menjadi makin terheran-heran.
"Cui Giok .......! Kaukah ini ........?"?" Ia maju selangkah dan memegang lengan gadis itu.
"Bukankah kau sudah ... sudah mati ....?"" Tiba-tiba ia teringat pula akan sesuatu dan wajahnya berobah menjadi pucat. "Ah, Cui Giok .....aku tahu ....... akupun sudah mati ......!


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
322 Apakah ini yang disebut neraka .......?" Ia memandang ke sekelilingnya dengan mata mengandung kengerian.
Cui Giok merapatkan tubuhnya dan memeluk pundak pemuda itu. "Benar, Gwat Kong!
Dalam pandangan manusia-manusia di luar tempat ini, kau dan aku memang sudah mati!"
"Akan tetapi kita masih hidup. Sungguh aneh ... kita masih hidup!" Gwat Kong berseru gembira dan seperti orang yang masih belum mau percaya, ia meraba-raba kepala dan lengan Cui Giok. "Benar. Kau masih hidup dan aku juga."
Ia memandang ke sekelilingnya lagi, lalu memandang ke atas, dari mana ia terjatuh. "Benar-benar menakjubkan. Kita berdua jatuh dari tempat yang tak terukur tingginya. Akan tetapi kita masih hidup. Bahkan aku tidak mendapat luka."
"Kita terjatuh ditempat itu, Gwat Kong. Tempat itu lunak dan berlumpur. Karena itulah kita tidak terbanting hancur." Cui Giok menunjuk ke arah tempat berlumpur di bawah lubang sumur itu. Gwat Kong lalu mendekat dan memeriksa tempat itu dengan penuh keheranan.
Kemudian ia teringat bahwa Cui Giok sudah seminggu berada di tempat ini, maka dengan muka berubah pucat, ia menengok dan memandang ke arah gadis itu.
"Cui Giok ... alangkah anehnya! Mengapa kau berada di tempat ini sampai begitu lama!
Bagaimana kau bisa hidup" Dan mengapa pula kau tidak berusaha untuk keluar dari sini?"
"Aku sudah berusaha, akan tetapi sia-sia Gwat Kong. Tidak ada jalan keluar dari tempat ini.
Kita telah terkubur hidup-hidup. Kita telah terasing dari dunia ramai untuk selama-lamanya!"
Wajah Gwat Kong makin memucat. "Tak mungkin!" serunya. "Pasti ada jalan keluar! Harus ada jalan keluar!"
Bagaikan orang gila, ia lalu berlari-lari mengitari tempat itu, memeriksa batu dinding, bahkan lalu keluar dari lubang yang digali oleh Cui Giok. Sambil menghela napas, Cui Giok tidak berkata sesuatu, hanya mengikuti di belakang pemuda itu sambil membawa penerangan.
"Kita harus keluar dari sini! Harus, kataku!" Gwat Kong membentak-bentak sambil memeriksa seluruh tempat itu.
"Carilah, Gwat Kong. Dan periksalah! Agar kau merasa puas. Akan tetapi sesungguhnya aku sendiri telah mencari jalan keluar tiada hentinya, tanpa hasil sedikitpun."
Gwat Kong masih penasaran. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memeriksa dinding batu, mencoba untuk menggunakan kepandaiannya memanjat ke atas, mengetuk-ngetuk batu mencari terowongan. Sampai sehari penuh ia berusaha dan juga pada keesokan harinya berusaha lagi sampai lupa makan lupa tidur, akan tetapi hasilnya nihil.
Cui Giok selalu menghiburnya. "Mengasolah, Gwat Kong. Kau terlampau lelah. Aku tahu, tubuhmu masih sakit-sakit karena jatuh itu. Pikiranmu tidak tenang. Kau tidurlah dan makanlah daging burung ini. Di sini hanya ada daging burung dan buah di luar lereng itu.
Akan tetapi cukup baik untuk mengenyangkan perut.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
323 "Aku, tidak! Aku tidak mau tidur, tidak mau mengaso, tidak ingin makan! Aku harus mencari jalan keluar. Kau dan aku harus keluar dari neraka ini!" Gwat Kong membandel dan terus mencari-cari kemungkinan keluar dari tempat itu.
"Kalau begitu, kau telanlah pel ini. Kau dapat bertahan sampai sepekan, kalau kau menelan pel ini!" Ia memberi sebutir pel pemberian dari Lo Han Sianjin dulu itu. Gwat Kong menerimanya dan menelannya. Kemudian tanpa mengaso sedikitpun ia mencari lagi. Kini menggunakan pedangnya untuk berusaha membuat tangga pada batu karang yang tegak lurus ke atas itu. Batu karang itu amat keras, akan tetapi pedang Sin-eng-kiam memang tajam sekali.
"Lihat, Cui Giok! Bantulah aku! Dengan pedang, kita dapat membuat lobang pada batu karang ini sehingga kita dapat membuat tangga ke atas. Asalkan ada tempat untuk berpegang dan menaruhkan kaki, mengapa kita tidak dapat mendaki ke atas?"
Pedang Berkarat Pena Beraksara 14 Hancurnya Sian Thian San Seri Pengelana Tangan Sakti Seri Ke Iv Karya Lovelydear Pedang Pusaka Buntung 4
^