Pencarian

Pendekar Pemabuk 9

Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 9


Bab 28 ..... KETIKA matahari mulai menyinarkan cahayanya, nelayan tua itu terjaga dari tidurnya.
Melihat betapa Cui Giok masih duduk di dalam perahu sambil memangku kepala Gwat Kong, ia menggeleng-geleng kepala dan merasa amat terharu, teringat akan anak perempuannya yang telah mati.
"Siocia, tidurkan kongcu di atas tumpukan pakaian dan kau perlu beristirahat."
Akan tetapi Cui Giok menggelengkan kepala dan berbisik,
"Tubuhnya panas sekali, lopek. Agaknya ia terkena demam."
Nelayan itu meraba jidat Gwat Kong dan keningnya berkerut ketika merasa betapa panasnya jidat pemuda itu.
"Hmmm, benar-benar ia terkena demam," katanya.
Pada saat itu, Gwat Kong sadar kembali dan menggeliat-geliat karena napasnya. Cui Giok menaruh kepala pemuda itu di atas bantal pakaian dan memberinya minum lagi."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
255 "Kita berhenti dulu di sini, lopek. Tak perlu melanjutkan pelayaran," katanya.
Demikianlah dengan penuh perhatian dan amat telaten dan sabar, Cui Giok dan nelayan tua itu merawat Gwat Kong. Ternyata bahwa luka di bagian punggung yang terkena anak panah itu membengkak dan berwarna merah sekali. Luka di pundak sudah mulai mengering.
Agaknya anak panah itu telah berkarat sehingga mendatangkan racun dan membuat luka itu bengkak dan panas.
Sampai tiga hari Gwat Kong terserang demam dan tidak ingat akan keadaan sekelilingnya.
Akan tetapi pemuda itu bertubuh kuat dan darahnya yang sehat ternyata mempunyai daya tahan yang luar biasa sehingga biarpun luka itu tidak diobati akan tetapi tiga hari kemudian bengkaknya mengempis dan panasnya turun.
Ia mulai sadar dan teringat akan semua kejadian. Ketika ia membuka mata, sadar dari tidurnya yang sudah mulai tenang, ia mendapatkan Cui Giok duduk di dekatnya dan kagetlah ia ketika melihat betapa gadis itu nampak pucat dan kurus, sepasang matanya agak cekung. Ia tidak tahu bahwa selama tiga hari itu Cui Giok hampir tidak makan sama sekali, hanya makan sedikit kalau sudah dipaksa-paksa dan diberi nasehat oleh nelayan tua itu.
"Siocia," nelayan itu memberi nasehat dengan terharu. "Kau benar-benar seorang gadis berhati mulia dan amat setia kepada kawanmu. Akan tetapi, kongcu telah menderita sakit dan betapapun juga, kita harus bersabar. Kalau kau menyiksa dirimu sendiri, tidak tidur dan tidak makan, bagaimana kalau kau sampai menderita sakit pula" Bukankah hal itu membuat keadaan menjadi makin buruk" Kalau kau jatuh sakit pula, siapa yang akan merawat kongcu"
Aku sudah tua dan bodoh. Bagaimana aku dapat mengurus kalian berdua kalau keduanya jatuh sakit" Maka dari itu, makanlah siocia, biarpun hanya sedikit!"
Setelah diberi nasehat dan dibujuk-bujuk, barulah Cui Giok mau makan sedikit bubur, akan tetapi apabila ia memandang ke arah Gwat Kong, ia melepaskan mangkuk buburnya lagi.
Dengan telaten ia menyuapkan bubur ke mulut Gwat Kong dan selama tiga hari itu biarpun ia makan sedikit bubur, namun ia sama sekali tak pernah tidur.
Ketika Gwat Kong sadar dan melihat keadaan Cui Giok, ia bangun dan dibantu oleh Cui Giok, ia duduk. Tubuhnya masih lemah, akan tetapi tidak panas lagi dan kepalanya tidak pusing.
"Bagaimana, Gwat Kong" Apakah masih merasa sakit dan pusing?" tanya Cui Giok penuh perhatian.
Gwat Kong menggeleng kepalanya. "Aaah, apakah selama ini aku tidur saja" Alangkah malasnya. Sudah berapa lamakah aku tertidur" Kita telah sampai di mana?" Ia memandang ke darat di mana nelayan tua itu sedang memanggang ikan.
"Kau menderita demam," kata Cui Giok dan wajahnya berseri girang karena ternyata bahwa pemuda itu telah sembuh betul.
"Tubuhmu panas sekali, membikin aku dan lopek merasa gelisah dan bingung."
"Akan tetapi, kau ... kenapa kau kurus sekali...?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
256 Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang kepada Cui Giok yang segera menundukkan mukanya. Setelah hatinya menjadi lapang melihat Gwat Kong sembuh, ia merasa lelah dan mengantuk sekali.
"Aku mengantuk ..... aku mau tidur Gwat Kong.....," katanya sambil merebahkan diri dalam perahu itu, berbatalkan lengan. Ia meramkan mata dan .... sebentar saja ia tidur nyenyak sekali.
Gwat Kong termenung. Ia tidak tahu berapa lama ia telah jatuh sakit. Ia memandang kepada wajah Cui Giok yang tidur nyenyak. Gadis itu rebah dengan tubuh miring, menghadap kepadanya. Ia mengamati wajah yang agak pucat dan kurus itu, dan iapun merasa heran.
Mengapa Cui Giok nampak seperti orang sakit" Dan mengapa pula pada pagi hari gadis itu demikian mengantuk sehingga jatuh pulas begitu tubuhnya dibaringkan"
Perahu bergoyang sedikit ketika nelayan masuk ke dalam perahu membawa poci teh dan mangkok bubur.
"Makanlah bubur ini, kongcu. Aku girang sekali kau dapat bangun pagi ini."
Gwat Kong menjadi amat terharu. "Berapa lama aku menderita sakit dan tidur saja, lopek?"
Kakek itu memandangnya dan mulutnya tersenyum. "Berapa lama" Tak kurang dari tiga malam, kongcu! Kau selama itu tidak ingat menderita demam panas, membuat kami merasa khawatir sekali."
Gwat Kong tercengang dan makin terharu, "Aaah .... dan selama itu kau merawatku, lopek"
Alangkah berbudi hatimu. Aku harus menyatakan terima kasihku kepadamu."
"Berbudi" Terima kasih kepadaku" Kongcu, kalau mau bicara tentang budi dan terima kasih, jangan tujukan itu kepadaku, akan tetapi kepada siocia ini. Dialah yang merawatmu selama itu!"
Gwat Kong memandang ke arah Cui Giok yang masih tidur nyenyak.
"Dia ...?" tanyanya terharu.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Belum pernah aku melihat seorang gadis sedemikian setia dan mulia. Ia pasti menyintaimu dengan sepenuh hati dan jiwanya. Tahukah kau, kongcu bahwa dia selama tiga malam ini sedikitpun tidak pernah tidur" Bahkan dia hampir tidak makan sama sekali. Dan tak pernah pergi dari sisimu, menjagamu, merawatmu, menyuapkan bubur kepadamu. Bahkan ..... tidak jarang ia menangisimu."
Gwat Kong merasa betapa lehernya seakan-akan tercekik ketika sedu-sedan keharuan naik dari dalam dadanya.
"Be .... benarkah, lopek?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
257 "Mengapa tidak benar?" Kakek itu mengangguk-angguk lagi. "Dia menjaga dan merawatmu bagaikan seorang ibu merawat anaknya, penuh kasih sayang dan kalau tidak ada dia, entah akan bagaimana jadinya dengan kau, kongcu. Kau benar-benar bahagia mendapat cinta kasih seorang gadis semulia dia ini ..." Kakek itu mengangguk-angguk lagi, dan keluar dari perahu itu.
Bukan main terharunya hati Gwat Kong. Ia menatap wajah Cui Giok yang kurus dan pucat.
Tak terasa lagi dua titik air mata turun dan mengalir di pipinya. Alangkah mulia hati gadis ini, pikirnya. Gadis yang cantik dan luar biasa gagahnya ini, yang berkepandaian tinggi, telah merawatnya, menjaganya sampai tiga malam tanpa tidur sehingga muka menjadi pucat dan kurus.
Ah, bukan main. Hampir tak dapat dipercaya. Dengan perlahan Gwat Kong lalu
menanggalkan mantel yang tadinya diselimutkan kepada tubuhnya itu, mantel merah kepunyaan Cui Giok. Ia lalu menghampiri gadis itu dan dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh gadis itu.
Kemudian ia duduk termenung lagi. Pikirannya bingung. Teringat ia kepada Tin Eng gadis yang dicintainya itu. Kemudian ia teringat akan penuturan nelayan tadi, tentang kecintaan dan kesetiaan Cui Giok. Ia menjadi bingung sekali memikirkan ini semua.
Setelah matahari naik tinggi, Cui Giok membuka matanya melihat Gwat Kong duduk di dekatnya. Ia segera berbangkit dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya, ialah,
"Gwat Kong, apakah kau sudah sembuh betul" Tidak merasa sakit lagi?"
Ucapan ini mengharukan hati Gwat Kong benar. Dari ucapan yang sederhana ini terjamin cinta kasih gadis itu yang amat besar. Begitu bangun dari tidur, yang menjadi perhatian pertama adalah keadaannya. Gwat Kong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memegang kedua tangan gadis itu dan sambil memandangnya tajam ia berkata dengan suara gemetar penuh perasaan,
"Cui Giok, alangkah mulia hatimu. Aku berterima kasih kepadamu, dan aku ... aku berhutang budi kepadamu. Percayalah bahwa selama aku hidup, aku takkan melupakan kamu dan hatimu ini ..."
Merahlah wajah Cui Giok. Untuk beberapa lama ia menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata yang mesra sekali, karena seluruh perasaan hatinya terpancar keluar dari pandang mata ini. Akan tetapi ia segera menundukkan muka dan menarik kedua tangannya.
"Aaah, baru saja sembuh kau sudah berlaku aneh, Gwat Kong. Di antara kita untuk apa berhutang budi. Gwat Kong mengapa kau sampai terluka" Ceritakanlah pengalamanmu di Kiang-sui. Aku sudah tak sabar lagi untuk mendengar ceritamu itu."
Maka berceritalah Gwat Kong tentang pengalamannya di Kiang-sui. Betapa Tin Eng ditawan, dipaksa pulang oleh Ang Sun Tek. Beberapa lama kemudian Tin Eng minta pertolongannya untuk membantu anak murid Hoa-san-pai mencari harta pusaka yang juga dicari oleh Ang Sun Tek bersama kawan-kawannya. Juga ia menceritakan tentang pertempurannya melawan Liok-te Pat-mo dan perwira-perwira lain.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
258 "Ah, kalau saja aku tahu bahwa Liok-te Pat-mo berada di Kiang-sui, tentu aku akan pergi mencari mereka di sana," kata Cui Giok setelah mendengar penuturan ini. "Gwat Kong, biarlah sekarang aku pergi ke Kiang-sui untuk menantang mereka."
"Jangan, Cui Giok. Aku telah mengajukan tantangan kepada mereka dan juga sudah menyebutkan namamu. Agaknya Ang Sun Tek bersedia menghadapi kita di Sian-nang dan diam-diam aku telah mengadakan perjanjian ini dengan dia. Bahkan ketika aku terdesak, ia sengaja tidak mau membunuhku, hanya melukai pundakku, agaknya untuk memberi
kesempatan agar aku dan kau kelak dapat bertempur dengan Pat-kwa-tin di Sian-nang. Lagi pula, sekarang mereka tidak berada di Kiang-sui lagi, karena mereka bertugas pula mencari harta pusaka itu di Hong-san. Maka dari itu, kalau kau tidak berkeberatan, Cui Giok, marilah kita pergi ke Hong-san lebih dahulu."
"Hmm kau hendak mencarikan harta pusaka itu untuk Tin Eng?" Aneh, tiap kali menyebut nama Tin Eng, suara gadis ini gemetar, dan sinar matanya memancarkan cahaya ganjil.
"Itu hanya soal kedua, Cui Giok. Harta pusaka itu adalah hak milik kedua saudara Phang yang masih muda, keturunan dari Pangeran Phang Thian Ong. Yang terpenting bagiku adalah membantu murid-murid Hoa-san-pai, karena apabila mereka bertiga itu, yakni yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok, sampai bersua dengan rombongan perwira kerajaan, mereka tentu akan mendapat bencana besar. Pula, selain maksud tersebut, kitapun akan dapat bertemu dengan Liok-te Pat-mo di tempat itu sehingga kita sekalian dapat menghadapi mereka dalam pibu. Bukankah ini berarti sekali bekerja banyak hasilnya?"
Cui Giok terpaksa harus menyatakan setujunya, oleh karena memang alasan pemuda itu kuat sekali. Liok-te Pat-mo sedang pergi ke Hong-san, maka untuk apa mencari mereka ke kota raja?"
"Baiklah, Gwat Kong. Akan tetapi, apakah kau sudah kuat betul untuk melakukan perjalanan ke sana?"
Gwat Kong tersenyum. "Tidak percuma kau merawatku selama tiga malam ini, Cui Giok.
Aku sudah sembuh betul dan kalau digunakan untuk melakukan perjalanan darat, tentu kekuatanku akan timbul kembali."
Mereka lalu berkemas dan menyatakan keinginan mereka kepada nelayan tua itu.
"Lopek," kata Gwat Kong. "Kami terpaksa meninggalkan perahumu untuk melanjutkan perjalanan melalui darat. Besar jasamu untuk kami, lopek dan tak lupa kami menyatakan terima kasih kami. Terimalah sedikit uang ini sekedar pembalas jasamu." Gwat Kong menyerahkan uang sepuluh tail kepada kakek itu.
Nelayan itu menghela napas. "Kongcu, selama aku menjadi nelayan, baru kali ini aku merasa beruntung mempunyai penumpang-penumpang seperti kongcu dan siocia. Aku merasa
seakan-akan melakukan pelayaran dengan keluarga sendiri. Mudah-mudahan kalian berdua selamat dan bahagia, kongcu dan besar harapanku kelak kita akan dapat bertemu pula."
Juga Cui Giok menyatakan terima kasihnya dan sebagai tanda jasa, ia memberi sebuah hiasan rambut dari pada emas. Kakek itu menerimanya dengan penuh kegirangan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
259 Maka berangkatlah Cui Giok dan Gwat Kong meninggalkan perahu itu, langsung menuju ke selatan untuk pergi ke Hong-san. Pada hari-hari pertama mereka melakukan perjalanan seenaknya dan lambat karena kesehatan Gwat Kong baru saja sembuh. Akan tetapi, tiga hari kemudian, Gwat Kong sudah sembuh sama sekali dan mereka dapat melakukan perjalanan dengan cepat mempergunakan ilmu lari cepat. Setelah mereka tiba di pantai sungai Huang-ho mereka lalu membelok ke kiri, menuju ke timur karena bukit Hong-san terletak di lembah sungai Huang-ho sebelah timur.
Pada suatu hari, ketika mereka sedang berlari cepat melalui sebuah hutan, tiba-tiba dari depan mereka melihat seorang kakek tua yang rambutnya putih, pakaiannya putih bersih penuh tambalan. Biarpun kakek itu berjalan dibantu oleh tongkatnya, akan tetapi kedua kakinya seakan-akan tidak mengambah bumi.
Cui Giok mengeluarkan seruan heran dan terkejut menyaksikan ilmu ginkang yang
sedemikian hebatnya, akan tetapi Gwat Kong berseru dengan girang,
"Suhu ........!"
Memang kakek itu bukan lain adalah Bok Kwi Sianjin, pencipta ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat, yang pernah melatih ilmu silat itu kepada Gwat Kong. Sebagaimana diketahui, tempat pertapaan kakek sakti ini memang dekat sungai Huang-ho.
Melihat Gwat Kong yang berlutut di depannya, dan juga seorang nona cantik jelita yang gagah berlutut pula di depannya di sebelah Gwat Kong, kakek itu nampak girang sekali.
"Bagus! Memang agaknya Thian menaruh kasihan kepada sepasang kakiku yang tua sehingga kita dapat bertemu di sini. Gwat Kong, siapakah kawanmu yang manis dan gagah ini?"
"Suhu, dia ini Sie Cui Giok, cucu dari Sie Cui Lui locianpwe. Dialah yang menjadi ahli waris Im-yang Siang-kiam-hoat!"
Tercenganglah kakek itu mendengar keterangan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa Im-yang Siang-kiam-hoat terjatuh ke dalam tangan seorang gadis muda secantik ini.
"Ah, bagus, bagus! Nona, aku kenal baik kepada kakekmu Sie Cui Lui itu!"
Dengan amat hormatnya, Cui Giok berkata,
"Locianpwe, harap sudi menerima hormat dari aku yang muda dan bodoh."
Kakek itu tertawa bergelak. "Gwat Kong, apakah kau sudah mencoba Im-yang Siang-kiam dengan tongkatmu?"
"Sudah suhu. Pada pertemuan teecu dengan nona ini, kami telah bertempur."
"Bagaimana keadaannya" Kau kalah?"
Gwat Kong hanya tersenyum sambil melirik ke arah Cui Giok. Gadis itulah yang menjawab sambil tersenyum pula,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
260 "Teeculah yang kalah, Sin-hong Tung-hoat benar-benar lihai!"
"Jangan percaya kepadanya, suhu," Gwat Kong membantah. Kalau teecu tidak menggunakan Sin-hong Tung-hoat digabung Sin-eng Kiam-hoat tentu teecu yang kalah."
Kembali kakek itu tertawa. Ia nampak senang sekali. "Dan apakah kalian pernah bertemu dengan ahli waris Pat-kwa-tin dan mencoba kelihaiannya?"
Dengan singkat Gwat Kong lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Ang Sun Tek, bahkan ia menuturkan tentang riwayat jahat dari Ang Sun Tek. Kemudian ia menuturkan pula tentang perjalanannya menuju Hong-san.
Setelah mendengar semua penuturan itu dengan sabar, kakek itu berkata, "Kalau kalian berdua yang maju menghadapi Liok-te Pat-mo, kalian takkan kalah. Gwat Kong, kalau bisa perjalanan ke Hong-san itu baik kau tunda dulu karena ada hal yang lebih penting dari pada itu. Ketahuilah bahwa murid-murid Go-bi-pai yang dikepalai oleh Seng Le Hosiang telah mengadakan tantangan untuk bertempur mati-matian dengan anak murid Hoa-san-pai yang dikepalai oleh Sin Seng Cu dan Thian Seng Cu. Mereka itu hendak mengadakan pertempuran di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun. Hal ini berbahaya sekali dan sudah menjadi kewajiban kita untuk berusaha mencegahnya. Aku mendapat tahu bahwa tantangan bertempur mengadu jiwa itu bukanlah kehendak ketua Go-bi-pai atau tokoh besar Hoa-san-pai. Oleh karena itu, hal ini harus diberitahukan kepada Thay Yang Losu, ketua Go-bi-pai dan kepada Pek Tho Sianjin ketua Hoa-san-pai. Dengan adanya campur tangan kedua orang tua itu, tentu pertempuran dapat dicegah dan permusuhan yang bodoh itu akan dilenyapkan. Tadinya aku sendiri hendak pergi ke Gobi dan Hoasan. Akan tetapi karena ada kau di sini, kau harus membantuku dan mewakili aku pergi ke Gobi dan Hoasan."
"Akan tetapi, suhu. Bagaimana dengan anak murid Hoa-san-pai di Hong-san nanti" Mereka terancam oleh Liok-te Pat-mo dan para perwira kerajaan," kata Gwat Kong ragu-ragu.
Bok Kwi Sianjin merasa ragu-ragu juga. "Ah, benar sulit."
"Locianpwe," tiba-tiba Cui Giok berkata. Karena kita bertiga dan hal yang perlu dilakukan juga tiga macam, mengapa sulit?" Kemudian ia memandang kepada Gwat Kong dan berkata,
"Urusan di Hong-san itu serahkan saja kepadaku, pasti beres. Kalau kau mewakili locianpwe ke Hoasan, yang tak berapa jauh dari sini, kemudian kau menyusul ke Hong-san. Bukankah hal itu akan beres mudah saja?"
Bok Kwi Sianjin tertawa tenang. "Nona Sie, kau benar-benar cerdik seperti kakekmu. Ha ha ha! Baik, demikianlah harus diatur, Gwat Kong. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Thay Yang Losu di Gobi, maka biarlah aku pergi ke Gobisan, sedangkan kau pergilah ke Hoasan membawa surat dariku untuk Pek Tho Sianjin. Nona ini bisa mewakili kau pergi ke Hong-san untuk membantu anak-anak murid Hoa-san-pai apabila mereka terancam bahaya."
Terpaksa Gwat Kong menerima perintah ini. Kakek sakti itu lalu membuat sepucuk surat untuk ketua Hoa-san-pai kemudian ia tinggalkan kedua orang muda itu.
Cui Giok, kau berhati-hatilah. Kalau bertemu dengan Liok-te Pat-mo, harap kau berlaku hati-hati sekali, karena mereka itu benar-benar lihai."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
261 Gadis itu tersenyum. "Jangan khawatir, Gwat Kong. Kuharap saja kau tidak terlalu lama di Hoasan dan segera menyusul ke Hong-san. Oh, ya, siapa namanya ketiga anak murid Hoasan-pai itu" Aku lupa lagi."
"Seorang gadis bernama Tan Kui Hwa dan dua orang pemuda kakak beradik bernama Pui Kiat dan Pui Hok."
"Nah, selamat berpisah, Gwat Kong." Gadis itu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanan ke Hong-san. Gwat Kong berdiri memandang sampai bayangan Cui Giok lenyap di balik pohon. Kemudian iapun lalu lari cepat menuju ke Hoasan.
Karena ia amat tergesa-gesa hendak segera sampai di Hoasan dan segera kembali lagi ke Hong-san, maka biarpun perjalanannya ini melalui Kiang-sui, Gwat Kong tidak berhenti.
Bahkan tidak mau masuk ke kota itu untuk menghindarkan rintangan perjalanannya.
Ketika ia tiba di Hoasan dan mendaki bukit itu, orang pertama yang menyambutnya adalah ....
Sin Seng Cu, tosu yang berangasan dan berwatak keras itu.
"Kau ....?" Tosu itu membentak marah. "Apa kehendakmu naik ke Hoasan?"
Gwat Kong menjura dan memberi penghormatan sepantasnya.
"Totiang, perkenankanlah aku menghadap kepada Pek Tho Sianjin."
Pek Tho Sianjin adalah susiok (paman guru) dari Sin Seng Cu dan kakek itu pada waktu itu menjadi orang tertua dan tokoh tertinggi di Hoasan. Heran dan curigalah hati Sin Seng Cu mendengar bahwa pemuda ini hendak menghadap susioknya.
"Apa kehendakmu minta menghadap kepada susiok?"
"Totiang, maksud kedatanganku ini hanya dapat kuberitahukan kepada Pek Tho Sianjin sendiri, dan aku datang atas perintah suhuku yakni Bok Kwi Sianjin membawa surat suhu untuk diberikan kepada Pek Tho Sianjin."
"Hmm, orang tua itu mau apakah berurusan dengan kami orang-orang Hoa-san-pai?" Akan tetapi biarpun ia berkata demikian, namun ia tidak berani menghalangi kehendak pemuda itu.
Sebagai tuan rumah, ia masih mempunyai kesabaran dan tahu aturan.
"Ikutlah padaku!" katanya tanpa banyak cakap lagi. Gwat Kong mengikutinya naik ke puncak dan masuk ke dalam sebuah kuil di puncak.
Mereka masuk ke dalam ruang dalam di mana Pek Tho Sianjin sedang duduk bersila di atas bangku dan beberapa orang tosu sedang duduk dihadapannya. Agaknya kakek itu sedang memberi wejangan dan pelajaran ilmu batin tentang agama To kepada murid-muridnya.
"Maaf susiok, teecu berani mengganggu. Ada seorang murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap membawa surat dari orang tua itu," kata Sin Seng Cu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
262 Pek Tho Sianjin memandang kepada Gwat Kong dan pemuda itu tercengang melihat betapa kakek yang sudah amat tua itu memiliki sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam berpengaruh. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut hormat di depan kakek itu.
"Locianpwe, teecu Bun Gwat Kong murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap."
"Ah, sudah belasan tahun pinto (aku) tidak bertemu dengan Bok Kwi Sianjin. Tidak tahunya ia telah mempunyai seorang murid yang gagah." Kakek itu menarik napas panjang. Kemudian ia berkata kepada murid-muridnya,
"Keluarlah kalian dan pikirkan baik-baik semua pelajaran tadi."
Semua tosu yang tadi duduk di depannya, meninggalkan tempat itu akan tetapi Sin Seng Cu tetap duduk di tempatnya.
"Sin Seng Cu, kau juga keluarlah dan biarkan pinto bicara sendiri dengan anak muda ini."
Biarpun hatinya merasa tidak puas sekali, akan tetapi Sin Seng Cu tak berani membantah dan ia meninggalkan tempat itu dengan penasaran.
"Anak muda, ada keperluan apakah maka suhumu sampai menyuruhmu datang di tempat ini?"
"Teecu membawa sepucuk surat dari suhu untuk menyampaikan kepada locianpwe," kata Gwat Kong yang lalu mengeluarkan surat itu dari saku bajunya dan menyerahkan surat itu dengan hormat kepada Pek Tho Sianjin.
Kakek itu menerima dan membaca surat itu. Berkali-kali terdengar ia menghela napas.
Kemudian terdengar ia berkata,
"Memang Bok Kwi Sianjin lebih benar, tidak mau mengikatkan diri dengan perguruan-perguruan dan tidak mau mempunyai banyak murid. Eh, Gwat Kong, menurut surat gurumu, kau dapat menceritakan tentang pertikaian yang timbul di antara golongan Go-bi-pai dan golongan kami. Sebetulnya, bagaimanakah soalnya?"
Bingunglah Gwat Kong mendapat pertanyaan ini. Sebenarnya ia adalah seorang luar yang tidak mengetahui sejelas-jelasnya tentang pertikaian itu, yang ia ketahui hanya dari pengalaman-pengalamannya dan dari penuturan kedua saudara Pui. Maka ia menjawab dengan hati-hati,
"Locianpwe, semua permusuhan tentu ada sebabnya dan dalam permusuhan Go-bi-pai dan Hoa-san-pai ini, menurut pendapat teecu yang muda dan bodoh, disebabkan oleh sifat tidak mau mengalah. Menurut pendengaran teecu, pertama-tama disebabkan oleh pibu yang dilakukan oleh Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan Sin Seng Cu dari Hoa-san-pai. Kekalahan Seng Le Hosiang membuat murid-murid Go-bi-pai merasa penasaran dan menaruh dendam.
Oleh karena sudah ada bahan ini, apabila murid Hoa-san-pai bertemu dengan murid Go-bi-pai, keduanya tidak mau mengalah. Murid Gobi merasa penasaran dan hendak membalas kekalahan sedangkan murid Hoasan merasa lebih tinggi karena kemenangannya, maka pertempuran-pertempuran tak dapat dicegah lagi. Sekarang menurut penuturan suhu, kedua Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
263 pihak hendak mengadakan pertempuran besar, maka kalau locianpwe tidak turun tangan mendamaikan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak."
Pek Tho Sianjin mengangguk-angguk. "Aah, anak-anak itu membikin repot orang tua saja.
Sin Seng Cu beradat keras dan ia perlu ditegur."
Kakek itu lalu memanggil, "Sin Seng Cu .....!" Terkejutlah Gwat Kong mendengar suara panggilan ini, karena bukan main nyaringnya sehingga ia merasa selaput telinganya menggetar dan sakit.
Sin Seng Cu datang menghadap dan berlutut di depan susioknya.
"Sin Seng Cu, perbuatan apalagi kau lakukan untuk mengacau dunia yang sudah kacau ini"
Benarkah kau hendak mengadakan pertempuran besar-besaran dengan pihak Go-bi-pai di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun?"
Sin Seng Cu menundukkan kepalanya akan tetapi matanya mengerling ke arah Gwat Kong,
"Maaf, susiok. Bukan pihak kami yang mulai lebih dahulu. Pihak merekalah yang mencari permusuhan."
"Bodoh!" Pek Tho Sianjin membentak. "Lupakah kau bahwa api takkan bernyala kalau tidak bertemu dengan bahan kering" Lupakah kau telapak tangan kiri takkan mengeluarkan bunyi keras apabila tidak bertumbuk kepada telapak tangan kanan" Tak mungkin akan ada permusuhan dan pertempuran apabila pihak yang lain tidak melayani aksi pihak pertama."
"Ampun, susiok ....," Sin Seng Cu hanya dapat berkata demikian.
"Awas, jangan kau membawa murid-murid lain untuk permusuhan dengan golongan lain.
Pada permulaan musim Chun, kau dan pinto sendiri yang akan naik ke Thaysan untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Gobi dan di sana kami harus minta maaf kepada mereka.
Mengerti?"
"Baik, susiok." Sungguh menggelikan dan lucu bagi Gwat Kong ketika melihat seorang tua seperti Sin Seng Cu itu mendapat marah dan kini menundukkan kepala minta maaf seperti anak kecil.
"Nah, keluarlah!"
Sin Seng Cu meninggalkan ruang itu dengan kepala tertunduk.
Pek Tho Sianjin berkata kepada Gwat Kong, "Orang yang mempunyai watak keras seperti Sin Seng Cu itu, hanya mulutnya saja berkata baik, akan tetapi hatinya panas terbakar. Betapapun juga, ia jujur dan baik. Kau pulanglah, Gwat Kong dan sampaikan kepada suhumu bahwa pinto berterima kasih atas jasa-jasa baiknya mendamaikan urusan ini."
Gwat Kong memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus turun gunung. Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng gunung Hoasan, Sin Seng Cu telah berdiri menghadang di jalan. Muka tosu ini kemerah-merahan, tanda bahwa ia marah sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
264 "Tak kusangka sama sekali bahwa Kang-lam Ciu-hiap tak lain hanya seorang pemuda dengan mulut tajam bagaikan ular yang hanya pandai mengadukan orang lain. Sebetulnya, kau perduli apakah dengan urusan kami orang Hoa-san-pai, maka berani lancang mengadukan urusan kami kepada susiok?"
Gwat Kong maklum bahwa ia menghadapi seorang berwatak keras dan sukar diajak
berunding, maka jawabnya sabar,
"Totiang, harap kau suka berlaku tenang dan sabar. Aku datang bukan untuk mengadu sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku membawa surat suhu kepada susiokmu. Suhu melihat bahwa apabila pertempuran yang hendak kau adakan di puncak Thaysan melawan orang-orang Go-bi-pai itu dilanjutkan, maka akan jatuh banyak korban dan hal ini tentu saja tidak baik bagi orang-orang dunia persilatan seperti kita.
SEBAB-sebabnya terlampau kecil untuk direntang panjang dan untuk dijadikan alasan pertempuran mengadu jiwa. Seharusnya kau berterima kasih kepada usaha suhu yang baik ini.
Mengapa kau bahkan marah-marah?"
"Aku tak butuh pendamai seperti suhumu atau kau! Kau mengandalkan apakah maka berani berlancang mulut" Apakah kepandaianmu sudah cukup tinggi maka kau berani sesombong ini" Coba kau hadapi tongkatku kalau kau memang gagah! Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu mengeluarkan senjatanya Liong-thow-koay-tung, yakni tongkat kepala naga yang hebat itu.
"Sabar, totiang. Janganlah menambah kesalahan dengan kekeliruan yang lain lagi!" Gwat Kong mencoba menyabarkan, akan tetapi ucapan ini bukan menambah kemarahan Sin Seng Cu reda.
"Anak sombong! Kau mencoba untuk memberi wejangan kepadaku?" Sambil berkata
demikian, tongkatnya menyambar dan memukul ke arah kepala Gwat Kong yang segera mengelak dan mencabut pedang dan sulingnya sambil berkata,
"Totiang, menyesal sekali aku harus mengadakan perlawanan untuk membela diri!"
"Jangan banyak cakap!" teriak Sin Seng Cu dan menyerang lagi dengan lebih ganas.
Gwat Kong menangkis dan melawan sambil mengeluarkan dua macam ilmu silatnya yang lihai, yakni tangan kanan memegang pedang mainkan Sin-eng Kiam-hoat, sedangkan suling di tangan kiri digerakkan menurut ilmu silat Sin-hong Tung-hoat.
Sin Seng Cu dalam kemarahannya merasa terkejut sekali melihat hebatnya suling dan pedang itu yang menyambar-nyambar bagaikan seekor garuda dan seekor burung Hong,
mendatangkan angin dingin dan sinarnya menyilaukan mata. Karena gerakan suling dan pedang itu amat berlainan, maka sungguh sukarlah menjaga serangan kedua senjata itu.
Terpaksa ia memutar tongkatnya sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya dan membalas dengan serangan dahsyat. Namun tetap saja ia terdesak hebat. Dari jurus pertama ia sudah tertindih dan terdesak oleh gerakan pedang dan suling itu sehingga diam-diam ia merasa kagum sekali. Tak disangkanya bahwa setelah mendapat latihan dari Bok Kwi Sianjin, pemuda ini menjadi demikian lihai.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
265 Bab 29 ... BARU saja bertempur tiga puluh jurus lebih, Sin Seng Cu sudah tak dapat bertahan dan bersilat sambil mundur. Ketika suling Gwat Kong menusuk ke arah leher, ia menangkis dengan gagang tongkat yang berbentuk kepala naga, akan tetapi pedang Gwat Kong menyambar ke arah pinggang. Terpaksa ia membalikkan tongkatnya menangkis dan terdengar suara keras "Trang!" sehingga bunga api memancar keluar. Alangkah kagetnya Sin Seng Cu ketika melihat betapa ujung tongkatnya telah putus.
Namun tosu yang keras hati ini belum mau mengaku kalah dan hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Sin Seng Cu, mundur kau!"
Sin Seng Cu terkejut karena bentakan ini adalah suara susioknya. Gwat Kong cepat menyimpan suling dan pedangnya, lalu menjura kepada Pek Tho Sianjin yang tahu-tahu telah berdiri di situ.
"Mohon maaf sebanyak-banyaknya, locianpwe. Teecu terpaksa berani bertempur dengan Sin Seng Cu totiang."
Akan tetapi Pek Tho Sianjin berpaling kepada Sin Seng Cu dengan marah. "Tak malukah kau" Kau menyerang seorang muda dan akhirnya kau kalah. Orang seperti kau ini benar-benar membikin malu nama Hoa-san-pai. Hayo naik ke atas dan tutup dirimu di dalam kamar dan jangan keluar sebelum pinto datang!"
Bagaikan seekor anjing kena pukulan, Sin Seng Cu berlutut di depan susioknya dan berkata,
"Teecu bersedia dihukum, susiok. Akan tetapi, Gwat Kong ini terlalu berat sebelah. Dia hanya menegur dan memperingatkan teecu sedangkan terhadap Gobi dia menutup mulut."
"Suhu pergi ke Gobisan untuk mendamaikan hal ini dengan Thay Yang Losu," kata Gwat Kong.
"Hm, kau mau berkata apa lagi?" Pek Tho Sianjin menegur Sin Seng Cu.
"Ampun, susiok hendaknya diketahui bahwa penggerak Seng Le Hosiang untuk memusuhi teecu adalah seorang pembesar di Kiang-sui bernama Liok Ong Gun. Seng Le Hosiang bersekutu dengan Bong Bi Sianjin dari Kim-san-pai dan mendekati orang-orang besar di kerajaan untuk memusuhi Hoa-san-pai. Gwat Kong ini dahulunya adalah pelayan dari Liok Ong Gun dan ia tidak pernah menegur pembesar itu. Bahkan teecu meragukan apakah dia tidak membantu pembesar itu dengan diam-diam?"
Hal ini benar-benar tak diduga oleh Pek Tho Sianjin, maka ia lalu memandang kepada Gwat Kong dan bertanya,
"Benarkah ini?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
266 "Locianpwe, tidak teecu sangkal bahwa dahulu teecu memang menjadi pelayan di gedung Liok-taijin. Akan tetapi bohonglah kalau dikatakan bahwa teecu membantu usaha Liok-taijin untuk mengadakan permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai."
"Susiok, Liok-taijin atau Liok Ong Gun itu adalah anak murid Go-bi-pai!" kembali Sin Seng Cu berkata untuk memanaskan hati susioknya.
"Hm, kalau benar demikian, keadaanmu sulit sekali, Gwat Kong," kata tokoh besar Hoa-san-pai itu. "Anak muda, untuk menghilangkan tuduhan Sin Seng Cu sudah sepatutnya kalau kau menemui Liok Ong Gun itu untuk memberi peringatan dan nasehat agar ia jangan
melanjutkan usahanya yang buruk itu. Beranikah kau?"
Kalau saja Pek Tho Sianjin bertanya, "Maukah kau?" Mungkin Gwat Kong akan menyatakan keberatannya. Akan tetapi karena tokoh besar Hoasan itu bertanya, "Beranikah kau?" terpaksa ia menjawab,
"Tentu saja teecu berani, locianpwe."
"Nah, Sin Seng Cu, kembali kau terpukul kalah. Dengarlah bahwa anak muda itu akan pergi menemui Liok Ong Gun dan memberi peringatan kepadanya. Maka jangan kau banyak rewel lagi. Hayo, lekas naik ke atas dan lakukan perintahku tadi!"
Maka pergilah Sin Seng Cu sambil berlari cepat ke atas puncak.
"Gwat Kong, Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat yang kau perlihatkan tadi benar-benar indah dan hebat. Kau benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid Bok Kwi Sianjin dan kau patut pula menjadi pendamai pertikaian antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai. Selamat jalan, anak yang baik!"
Gwat Kong memberi hormat lalu berlari, turun gunung. Hatinya rusuh dan gelisah. Ia telah berjanji akan mengunjungi Liok Ong Gun untuk memberi nasehat dan peringatan! Ah, bagaimana ia dapat melakukan hal itu" Apakah akan kata Tin Eng apabila ia melihat ayahnya dinasehati dan diperingatkan, yang merupakan hinaan bagi seorang pembesar tinggi seperti Liok-taijin" Akan tetapi, ia telah berjanji dan sebagai seorang gagah, ia harus memegang teguh janjinya itu dan menemuinya, apapun yang akan menjadi halangannya.
Perjalanan ke Hong-san melalui Kiang-sui, maka ia hendak mampir di kota itu sebentar, menemui Liok Ong Gun dan menyampaikan nasehat dan peringatannya. Mudah-mudahan saja Tin Eng takkan melihatnya. Setelah menyampaikan nasehat itu, tidak perduli diturut atau tidak, ia akan cepat meninggalkan kota itu menyusul Cui Giok di Hong-san. Ia tidak takut menghadapi siapapun juga. Yang menggelisahkan hatinya hanya Tin Eng seorang.
Makin dekat dengan Kiang-sui, makin gelisahlah hatinya. Karena ia tiba di kota itu sudah malam, ia merasa ragu-ragu untuk mendatangi gedung Liok-taijin dan semalam suntuk Gwat Kong berada di sekeliling gedung itu, tak berani melakukan niatnya, takut kalau-kalau hal ini akan menyakiti hati Tin Eng, gadis yang dicintainya.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, karena ia melihat di gedung itu sunyi saja dari luar, ia membesarkan hatinya dan dengan gagah ia memasuki pekarangan depan gedung itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
267 Seorang pelayan yang kebetulan membersihkan meja kursi di ruangan depan, ketika melihat pemuda itu memasuki pekarangan, memandang dengan mata terbelalak. Nama Gwat Kong menggemparkan seluruh penduduk Kiang-sui, semenjak pemuda itu bertempur dan dikeroyok pada waktu pemuda itu mengunjungi Tin Eng. Terutama sekali para pelayan di gedung keluarga Liok.
Mereka terheran-heran karena bagaimana pelayan muda itu kini telah menjadi seorang yang berkepandaian demikian tinggi" Pelayan yang sedang bekerja itu, ketika Gwat Kong melangkah masuk dengan gagahnya, menjadi terkejut dan takut. Tak terasa lagi ia bangkit berdiri dan berlari masuk bagaikan dikejar setan. Ia segera memberi laporan kepada Liok-taijin yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Seng Le Hosiang, Gan Bu Gi, dan seorang muda murid Kim-san-pai, yakni sute dari Gan Bu Gi.
Mereka sedang membicarakan tentang maksud mengadakan pertempuran melawan orang-orang Hoa-san-pai.
Alangkah marah dan herannya Liok-taijin ketika mendengar laporan pelayannya bahwa Bun Gwat Kong mendatangi dari luar. Ia hendak keluar, akan tetapi dicegah oleh Seng Le Hosiang yang berkata,
"Biarlah aku menemui anak muda yang lancang itu!"
Dengan tindakan lebar, Seng Le Hosiang keluar dari ruang dalam dan benar saja, ketika ia tiba di ruangan depan, ia melihat Gwat Kong masuk dengan tenang dan gagah. Biarpun hatinya tercengang melihat Seng Le Hosiang berada di tempat itu, namun ia dapat menenangkan hatinya dan berkata sambil menjura dan tersenyum,
"Ah, tidak tahunya Losuhu juga berada di sini. Apakah selama ini losuhu baik-baik saja?"
Seng Le Hosiang telah mendengar tentang keadaan Gwat Kong, maka kini melihat munculnya pemuda ini, diam-diam ia memuji keberanian anak muda ini.
"Kau ... pelayan muda dahulu itu" Apakah perlumu datang ke sini setelah dahulu membikin kacau" Apakah kau hendak membuat pengakuan bahwa kau telah membawa lari siocia?"
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini.
"Apa katamu, losuhu" Siapa membawa lari Liok-siocia?"
Pada saat itu, Liok Ong Gun, Gan Bu Gi, dan pemuda sute Gan Bu Gi yang bernama Lui Kun itu muncul dari pintu.
"Bangsat, kurang ajar!" Liok Ong Gun berseru keras. "Di mana kau sembunyikan Tin Eng"
Kau sungguh seorang yang tak kenal budi. Sudah bertahun-tahun kami memberi tempat tinggal, makan dan pakaian padamu. Kau diperlakukan dengan baik, akan tetapi apa balasanmu" Kau menghina kami, mengacau dan menodai nama kami! Bahkan sekarang kau berani melarikan Tin Eng! Kau benar-benar manusia bo-ceng-bo-gi (tidak punya aturan dan pribudi), manusia rendah dan jahat."
Gwat Kong mengangkat muka memandang kepada pembesar itu dengan mata sedih. Ia
kasihan melihat Liok Ong Gun yang nampak sedih, dan menyesal. Pembesar ini memakai Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
268 pakaian biasa saja, berbeda dengan Gan Bu Gi yang berpakaian mentereng dengan tanda pangkatnya, yang membuat ia nampak tampan seperti seorang pangeran dari istana kaisar.
"Taijin, sebelum hamba mohon maaf sebanyaknya apabila taijin menganggap hamba
mendatangkan bencana kepada keluarga taijin yang benar-benar telah melimpahkan budi, kepada hamba."
Gwat Kong bicara dengan suara terharu oleh karena ia memang tidak melupakan budi pembesar itu dan dengan merendah ia masih menyebut diri sendiri "hamba" oleh karena selain bekas majikan, Liok-taijin adalah ayah Tin Eng yang harus dihormati.
"Akan tetapi, seorang rendah dan bodoh seperti hamba ini, dapat membalas jasa apakah"
Hamba hanya mohon kepada Thian semoga taijin akan hidup bahagia dan berusia panjang.
Sesungguhnya taijin tidak sekali-kali hamba berani membujuk atau mengajak lari Liok-siocia dan sungguh-sungguh hamba tidak tahu kemana perginya siocia. Baru sekarang hamba ketahui bahwa siocia tidak berada di rumah."
"Dia bohong!" tiba-tiba Gan Bu Gi membentak marah.
"Taijin," Gwat Kong melanjutkan kata-katanya tanpa memperdulikan Gan Bu Gi. "Terserah kepada taijin untuk mempercayai kata-kata hamba atau mempercayai ucapan Gan-ciangkun yang palsu itu. Ketahuilah terus terang saja hamba baru datang dari Hoasan dan menemui Pek Tho Sianjin, juga suhu hamba, yakni Bok Kwi Sianjin, sedang pergi ke Gobisan untuk menemui Thay Yang Losu, perlu untuk membujuk agar supaya pertempuran antara murid-murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai dapat dicegah. Hamba datang ini sengaja dengan maksud membujuk kepada taijin agar jangan menuruti maksud jahat dari Seng Le Hosiang untuk mengadakan pertempuran itu. Ini hamba maksudkan sebagai sekedar pembalasan budi, karena hamba akan ikut bersedih mendengar taijin terbawa-bawa dalam pertikaian yang tidak sehat itu. Taijin waspadalah terhadap orang-orang seperti Gan Bu Gi, terutama terhadap orang-orang yang memancing permusuhan dengan segolongan orang gagah. Karena hal ini akan mendatangkan malapetaka dan pertumpahan darah. Adapun tentang nona Tin Eng, kalau saja benar dia melarikan diri dari rumah, hamba akan mencoba untuk mencarinya dan
membujuknya pulang."
Seng Le Hosiang marah sekali mendengar ucapan ini.
"Bangsat kecil kau lancang sekali." Sambil berkata demikian hwesio itu lalu melompat dan menerjang Gwat Kong dengan serangan maut, yakni dengan menggunakan pukulan Lui-kong-toat-beng (Dewa geledek mencabut nyawa). Akan tetapi Gwat Kong mengelak dengan mudah dan berkata kepada Liok-taijin,
"Maaf, taijin. Lihatlah betapa hwesio ini berdarah panas dan selalu menyerang orang mengandalkan kepandaiannya!"
Gan Bu Gi dan Lui Kun bergerak hendak membantu Seng Le Hosiang, akan tetapi hwesio itu membentak,
"Jangan ikut campur! Biar aku hancurkan kepala anak sombong ini!"


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
269 Gan Bu Gi dan sutenya tidak berani melanjutkan niatnya dan hanya berdiri di belakang hwesio itu, sedangkan Liok Ong Gun masih berdiri di depan melihat betapa bekas pelayan muda itu berani menghadapi susiok-couwnya yang lihai.
"Seng Le Hosiang, kalau Thay Yang Losu melihat kelakuanmu ini, tentu kau akan mendapat jiwiran pada telingamu!"
"Bangsat rendah, mampuslah kau!" bentak Seng Le Hosiang yang sudah marah sekali dan ia lalu menyerang lagi dengan hebat. Tangan kirinya dipentangkan hendak mencengkeram ke arah leher Gwat Kong, sedangkan kaki kirinya berbareng mengirim tendangan kilat. Inilah gerak tipu Pek-ho-liang-ci (Bangau putih pentang sayap) yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya.
Cengkeraman itu kalau mengenai leher, tentu akan hancur daging dan kulit dan remuk tulang leher sedangkan tendangan yang diarahkan kepada kaki Gwat Kong itu cukup hebat untuk membuat tulang kaki Gwat Kong patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong telah memiliki kepandaian tinggi dan melihat betapa hwesio itu menyerangnya dengan tenaga keras, iapun hendak melawan dengan kekerasan pula.
Untuk menghindari tendangan lawan, ia melompat ke atas dengan gerak kaki Lo-wan-teng-ki (Monyet tua loncati cabang). Kemudian tangan kanannya menyambar dengan jari terbuka, memukul tangan kiri lawan itu sambil mengerahkan tenaga Pek-lek-jiu (si tangan kilat). Dua tangan itu bertumbuk dan dua tenaga raksasa beradu.
Tubuh Gwat Kong yang sedang melompat itu terpental hampir setombak ke belakang.
Sedangkan Seng Le Hosiang juga terhuyung mundur sampai tiga tindak. Dan karena ia tadi berdiri dekat meja, maka ketika ia terhuyung mundur, tubuhnya menubruk meja. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tangan kanannya memukul ke belakang dan "brak!!" sebagian meja kayu yang tebal dan besar itu hancur berkeping-keping.
Akan tetapi, biarpun dalam adu tenaga itu ternyata Gwat Kong masih kalah kuat, namun pemuda itu tidak terluka, bahkan memandang dengan senyum menghias mulut.
"Masih belum cukupkah kau melampiaskan kemurkaanmu, losuhu?" tanyanya.
Dengan muka merah bagaikan kepiting direbus, Seng Le Hosiang membentak,
"Bangsat kurang ajar! Hari ini kau harus mampus dalam tanganku!" sambil berkata demikian, Seng Le Hosiang lalu mencabut pedangnya dari punggung.
Ketika masuk ke halaman rumah Liok-taijin tadi, Gwat Kong sengaja menyembunyikan pedangnya di bawah baju. Karena ia merasa tidak pantas untuk mengunjungi bekas majikannya dengan pedang tergantung di pinggang. Gwat Kong melihat betapa Seng Le Hosiang mencabut pedang, ia tidak berani berlaku sembrono. Ia cukup maklum bahwa hwesio ini amat lihai dan ilmu pedang Go-bi-pai sudah cukup terkenal kehebatannya. Maka iapun mencabut Sin-eng-kiam dan sekalian ia mengeluarkan suling bambunya yang dipegang di tangan kiri.
"Bangsat, lihat pedang!" Seng Le Hosiang berseru sambil menyerang dengan pedangnya.
Gwat Kong menangkis dan cepat mengirim serangan balasan. Sebentar saja lenyaplah tubuh Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
270 mereka terbungkus oleh sinar pedang yang bergulung-gulung bagaikan awan putih menutupi matahari.
Bukan main kagum dan herannya hati Liok Ong Gun melihat ini. Dahulu ketika Gwat Kong dikeroyok oleh perwira-perwira dan dapat melepaskan diri, ia telah merasa heran sekali. Akan tetapi pada waktu itu ia tidak dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu secara jelas. Akan tetapi sekarang, ia melihat betapa pemuda itu menghadapi susiok-couwnya dengan demikian hebatnya, maka diam-diam ia menghela napas. Ia melihat bahwa ada persamaan antara ilmu pedang Tin Eng dengan ilmu pedang pemuda ini hanya permainan pemuda ini lebih hebat dan cepat.
Seng Le Hosiang juga terkejut sekali karena benar-benar ilmu pedang pemuda ini tidak kalah tingginya dari ilmu pedangnya sendiri. Bahkan ilmu pedang Gwat Kong ini mempunyai gerakan-gerakan yang amat aneh dan tidak terduga. Apalagi ditambah dengan gerakan suling yang demikian cepatnya, yang setiap kali bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah dengan jitu dan berbahaya sekali, membuat ia harus mengerahkan seluruh perhatiannya.
Namun segera ternyata bahwa ilmu pedang Gwat Kong masih lebih tinggi karena setelah bertempur puluhan jurus, Seng Le Hosiang mulai merasa pening sekali. Pedang dan suling itu merupakan senjata yang berlainan sifat menyerangnya dan berbeda pula gerakannya, maka amat sukarlah baginya untuk memecahkan perhatiannya kepada dua senjata itu. Ia merasa seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang luar biasa lihainya dan yang memiliki kelihaian sendiri. Ia mulai berkelahi dengan hati-hati dan mundur, dan mengerahkan kepandaian dan tenaga untuk mempertahankan diri saja.
Gwat Kong pun hanya bermaksud untuk memperlihatkan bahwa ia tidak takut menghadapi pendeta gundul itu dan sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kemenangan. Setelah dapat mendesak, ia mulai berusaha untuk mengakhiri perkelahian ini.
"Losuhu, awas!" teriaknya dan tiba-tiba ia merobah gerakan pedang dan sulingnya. Kini sulingnya berkelebat bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke depan mata lawan seakan-akan hendak menyerang mata. Tentu saja Seng Le Hosiang berlaku hati-hati dan cepat menggunakan pedangnya untuk melindungi matanya. Akan tetapi ini hanya merupakan tipu dan pancingan belaka dari Gwat Kong karena setelah ia berhasil memancing lawan sehingga hwesio itu mengerahkan pedangnya di bagian atas, tiba-tiba pedangnya menyambar ke bawah dan "bret!" putuslah ujung jubah pendeta itu.
"Maaf, aku tak dapat melayani terlebih jauh!" kata Gwat Kong dan sekali ia berkelebat keluar, tubuhnya bagaikan seekor burung walet terbang menembus pintu depan dan lenyap.
Seng Le Hosiang berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
"Hebat, hebat!!" ia menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang ke arah potongan ujung jubahnya di atas lantai. "Setan itu telah mewarisi dua ilmu silat yang tinggi, yang dapat dimainkan berbareng."
Juga Liok Ong Gun terpesona oleh kelihaian Gwat Kong ini, maka diam-diam iapun merasa ragu-ragu. Apakah usaha susiok-couwnya untuk mengadakan pertempuran di Thaysan itu akan berhasil baik.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
271 Sementara itu, Gwat Kong pergi dari tempat itu dengan hati gelisah. Ia memikirkan Tin Eng.
Kemanakah perginya gadis itu" Mudah-mudahan ia pergi menyusulku ke Hong-san, pikirnya.
Dengan harapan ini di dalam dada, Gwat Kong mempercepat larinya menuju ke Hong-san menyusul Cui Giok dan kalau benar dugaannya, mencari Tin Eng pula.
**** Marilah kita mengikuti pengalaman Tin Eng. Sebenarnya bagaimanakah gadis itu bisa pergi dari rumahnya dan kemana ia pergi"
Semenjak menolong Gwat Kong melarikan diri dan memberi seekor kuda kepada pemuda itu, Tin Eng selalu termenung memikirkan nasib pemuda itu. Kini ia tidak ragu-ragu lagi, bahwa ia sebenarnya menyinta pemuda itu. Ia merasa bangga sekali melihat kelihaian Gwat Kong dan merasa bahagia mendapat kenyataan betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya.
Akan tetapi, ayahnya makin marah kepadanya dan telah memakinya dengan hebat ketika mendengar bahwa Tin Eng lah yang menolong Gwat Kong sehingga bisa melarikan diri dari kepungan.
"Kau benar-benar menodai nama keluarga orang tuamu. Kau telah merendahkan diri dan menolong seorang bangsat rendah semacam Gwat Kong!" kata ayahnya.
"Ayah!" Tin Eng membantah dengan berani. "Apakah kesalahan Gwat Kong maka ayah menamainya bangsat rendah dan hendak menangkapnya" Ketika aku lari dulu, bukan kesalahan Gwat Kong dan ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pergiku dari rumah.
Kedatangannya kali ini pun tidak bermaksud buruk, dan hanya hendak menolongku karena ia mendengar bahwa aku ditawan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Dosa apakah yang ia lakukan maka ayah membencinya?"
Liok Ong Gun tak dapat menjawab, karena memang sesungguhnya pemuda itu tidak
mempunyai kesalahan sesuatu, kecuali bahwa pemuda itu telah mendatangkan kekacauan dan terlalu berani.
"Kau memang anak liar. Orang tua mengatur perjodohan baik-baik, kau tidak mau, membantah, bahkan melarikan diri. Hmm, dosa apakah yang aku dan ibumu lakukan sehingga mempunyai anak tunggal macam kau!"
"Ayah, kalau memang ayah dan ibu menghendaki aku hidup beruntung, mengapa memaksaku kawin dengan Gan-ciangkun" Aku tidak suka kepadanya, aku .... aku benci kepadanya. Kalau ayah memaksa aku kawin dengan dia, berarti bahwa ayah memaksa aku memasuki jurang kesengsaraan!"
"Bodoh! Dasar anak puthauw!" Sambil membanting daun pintu keras-keras, pembesar itu keluar dari kamarnya.
Semenjak itu, telah beberapa hari lamanya sikap pembesar itu berubah terhadap Tin Eng, sehingga gadis ini merasa heran. Ayah tidak lagi membujuk-bujuk atau memarahinya, tidak lagi memaksanya kawin dengan Gan-ciangkun, bahkan tidak lagi membicarakan urusan kawin. Akan tetapi, kini ayahnya minta penjelasan tentang pertemuannya dengan kedua Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
272 saudara she Pang, bahkan akhirnya minta jawaban tentang letak tempat rahasia penyimpanan harta pusaka itu.
"Ayah, memang betul bahwa kedua orang she Pang dari kota raja itu menaruh kepercayaan kepadaku tentang hal itu. Akan tetapi aku sudah bersumpah takkan membuka rahasia ini kepada lain orang. Bagaimana aku dapat menceritakannya kepadamu?"
"Tin Eng, dengarlah baik-baik, nak. Harta pusaka itu sebetulnya menjadi hak milik Pangeran Ong Kiat Bo. Dan rombongan perwira yang dipimpin oleh Ang Sun Tek juga atas perintah Pangeran Ong untuk mencari tempat harta pusaka itu. Petanya telah tercuri oleh kedua saudara Pang yang menjadi anak kemenakan Pangeran Ong dan yang akhirnya dipercayakan kepadamu. Pangeran Ong telah tahu akan hal ini, tahu bahwa kaulah yang menyimpan rahasia itu dan tahu pulah bahwa kau adalah anakku. Coba saja kau pikir. Kalau kau berkeras tidak mau memberi tahukan rahasia itu, tentu orang tuamu yang mendapat marah dari Pangeran Ong dan hal ini bukan urusan kecil. Kau bisa menyebabkan ayahmu dipecat atau dihukum.
Sebaliknya, kalau kau mengaku, tentu Pangeran Ong akan berterima kasih dan soal kenaikan pangkat bagi ayahmu menjadi soal mudah. Apakah kau tidak mau menolong ayahmu dan bahkan akan mencelakakan kita sekeluarga hanya karena memegang teguh rahasia terhadap dua orang maling kecil itu?"
"Kedua saudara Pang bukan maling, ayah!"
"Hmm, kau memang bodoh. Sudah berapa lama kau mengenal mereka" Mereka adalah
kemenakan Pangeran Ong dan mereka telah mencuri peta itu dari tangan pamannya."
Tin Eng minta waktu sehari untuk memikirkan hal ini. Ia menjadi serba salah. Membuka rahasia salah, berkeras juga tidak baik. Ia pikir bahwa Kui Hwa dan Gwat Kong telah mengetahui rahasia tempat itu, bahkan sekarang mungkin telah mendapatkan harta terpendam itu. Apa salahnya memberitahukan begitu saja tanpa syarat. Ia merasa ragu.
"Ayah," katanya pada keesokan harinya, ketika ayahnya datang menagih janji. "Aku mau membuka rahasia tempat penyimpanan harta pusaka di Hong-san itu, akan tetapi dengan syarat bahwa ayah harus berjanji tidak akan menjodohkan aku dengan Gan-ciangkun!"
Tentu saja ayahnya tertegun mendengar hal ini.
"Tin Eng, mengapa kau begitu benci kepada Gan-ciangkun?"
Tin Eng tidak dapat menceritakan bahwa kebenciannya terhadap Gan Bu Gi memuncak oleh karena orang she Gan itu telah melakukan sesuatu yang amat keji terhadap Kui Hwa. Ia tahu bahwa Kui Hwa adalah anak murid Hoa-san-pai dan kalau ia beritahukan hal ini, ayahnya yang membenci anak murid Hoasan tentu akan menjadi makin marah. Bahkan takkan
mempercayainya. Maka ia berkata,
"Aku tidak tahu mengapa, ayah. Akan tetapi menurut pendapatku, dia bukanlah seorang pemuda yang baik!"
"Syaratmu itu aneh," kata ayahnya. "Aku sudah menerima pinangan Bong Bi Sianjin dengan perantaraan susiok-couw."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
273 "Ayah dapat membatalkan itu!"
Ayahnya menghela napas dan menggelengkan kepala. Baiklah aku akan merundingkan hal perjodohan itu dengan susiok-couw. Sekarang katakanlah kepadaku di mana sebetulnya peta itu."
"Peta itu telah kubakar, ayah," kata Tin Eng sejujurnya. "Akan tetapi, aku masih ingat di luar kepala.
Demikianlah, Tin Eng lalu menggambarkan sebuah peta di atas kertas yang segera diberikan kepada ayahnya.
Pada malam harinya, tanpa disengaja Tin Eng mendengarkan percakapan antara ayahnya dengan Seng Le Hosiang yang datang di gedung itu dan apa yang ia dengar membuat ia merasa kaget sekali, karena hwesio itu berkata cukup keras sehingga ia dapat mendengar dari balik pintu,
"Jangan kau khawatir, memang demikianlah adat seorang gadis muda yang sedang jatuh cinta. Menurut dugaanku, anakmu itu tergila-gila kepada Gwat Kong. Kalau kita binasakan pemuda itu dan berhasil mendapatkan harta pusaka, soal perjodohan anakmu dengan Gan Bu Gi mudah saja. Tanpa adanya Gwat Kong, tentu hati anakmu akan berubah."
Lebih kaget lagi ketika ia mendengar ayahnya berkata, "Memang anak itu keras kepala, susiok-couw. Teecu sudah mers cocok untuk menjodohkannya dengan Gan-ciangkun karena pemuda itu menurut pandangan teecu cukup baik dan besar pengharapannya di kemudian hari."
Ucapan-ucapan kedua orang ini cukup membuat Tin Eng berlaku nekad dan malam hari itu juga, ia melarikan diri dari rumahnya. Ia pergi menunggang seekor kuda terbaik dan karena usahanya ini mendapat bantuan dari seorang pelayannya, maka dengan mudah saja ia dapat melarikan diri dari rumah tanpa diketahui oleh ayahnya. Baru pada keesokan harinya gedung Liok-taijin geger ketika mereka mendapatkan kamar gadis itu kosong.
Tin Eng membalapkan kuda dan tujuannya hanya satu, yakni menyusul Gwat Kong ke Hong-san. Ketika tiba di sungai Huang-ho, ia lalu menyewa sebuah perahu dan berlayar ke timur, menuju Hong-san.
Ketika perahunya tiba di sebuah hutan tak jauh dari bukit Hong-san, tiba-tiba ia mendengar sorakan ramai di pantai sebelah kiri. Ia melihat pertempuran hebat sedang berlangsung di tempat itu. Anak perahu ketakutan melihat ini dan hendak melanjutkan pelayaran. Akan tetapi, Tin Eng membentaknya dan menyuruh ia mendayung perahu ke pinggir. Sebagai seorang ahli silat, ia tertarik melihat sesuatu pertempuran.
Ketika perahu itu sudah tiba di pinggir pantai, alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa yang bertempur itu adalah Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok yang lihai itupun sampai terdesak hebat.
Tanpa membuang waktu lagi, Tin Eng melemparkan beberapa tail perak kepada anak perahu dan berkata, "Pergilah kau dengan perahumu dari sini!" Sedangkan ia sendiri lalu mencabut pedangnya dan melompat ke darat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
274 Dengan keras Tin Eng berseru, "Enci Kui Hwa jangan khawatir. Aku datang membantu!"
Beberapa orang anggauta bajak sungai yang melihat kedatangan Tin Eng, segera menyerbu akan tetapi dengan beberapa kali putaran pedangnya saja. Tin Eng telah merobohkan tiga orang pengeroyok sehingga yang lain segera mundur ketakutan. Tin Eng lalu menyerbu dan membantu Kui Hwa dan kedua suhengnya. Pertempuran makin ramai dan hebat setelah pihak murid-murid Hoa-san-pai mendapat bantuan Tin Eng.
**** Sebelum kita melanjutkan melihat pertempuran yang amat seru ini, baik kita mundur dahulu dan mencari tahu bagaimana Kui Hwa dan kedua orang suhengnya she Pui itu dapat berada di tempat itu dan dikeroyok oleh sekawanan bajak sungai yang dipimpin tiga orang lihai itu.
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, setelah menyuruh kedua suhengnya untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng, Kui Hwa lalu melanjutkan perjalanannya ke Hong-san untuk mewakili Tin Eng mencari tempat harta pusaka itu tersimpan. Ia dapat sampai di bukit Hong-san tanpa banyak rintangan di jalan. Pemandangan alam di sekitar Hong-san memang indah. Dari lereng bukit itu nampak lembah Huang-ho yang kehijau-hijauan. Kemudian sungai itu sendiri nampak bagaikan seekor naga besar sedang minum di laut.
Ketika ia tiba di puncak bukit, ia segera mencari gua Kilin di antara batu-batuan karang.
Banyak gua terdapat di situ. Akan tetapi menurut peta petunjuk tempat harta pusaka itu tersimpan adalah sebuah gua yang bentuknya persegi empat seperti muka kilin.
Akhirnya ia dapat juga menemukan gua itu. Akan tetapi Kui Hwa adalah seorang gadis yang hati-hati dan cermat. Ia tidak segera masuk ke dalam gua, bahkan bersembunyi di balik gerombolan pohon dan mengintai.
Bab 30 ... USAHANYA ini ternyata berguna sekali, oleh karena tiba-tiba ia melihat bayangan tinggi besar keluar dari gua itu. Ketika bayangan itu berhenti di depan gua, Kui Hwa terkejut sekali karena bayangan itu adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti seorang raksasa dalam dongeng. Tidak saja tubuhnya yang besar, akan tetapi pakaiannya juga aneh sekali. Berbeda dengan pakaian orang Han. Kulit mukanya kehitam-hitaman. Celananya panjang hitam dan bajunya hijau dengan leher baju hitam pula.
Ia memakai kain kepala yang aneh bentuknya dan biarpun di bawah hidungnya tidak ada kumis, akan tetapi dari bawah kedua telinga ke bawah penuh dengan jenggot hitam yang lebat. Orang itu memakai ikat pinggang yang luar biasa, yakni rantai baja yang besar dan berat dilibatkan ke pinggangnya dan ujungnya tergantung ke bawah.
Pada saat itu, orang berkulit hitam ini sedang memanggul sebuah paha kijang yang telah dipanggang. Dan setelah ia ia tiba di depan gua, ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia duduk di atas batu dan menggerogoti paha kijang itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
275 Kui Hwa berlaku hati-hati sekali, tidak bergerak dari tempat sembunyinya dan hanya memandang penuh keheranan, juga ia merasa khawatir. Apakah harta pusaka itu telah ditemukan dan diambil oleh raksasa ini, pikirnya. Ia tidak takut kepada raksasa yang tingginya hampir dua kali tubuhnya sendiri itu. Akan tetapi lebih baik jangan mencari perkara dan perkelahian dalam tempat yang aneh ini.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara memanggil dan tak lama kemudian muncullah seorang gundul kate yang segalanya merupakan kebalikan dari raksasa itu. Kalau raksasa itu kulitnya hitam, orang ini kulitnya keputih-putihan dan matanya biru. Kepalanya gundul sama sekali dan tubuhnya pendek kecil. Akan tetapi larinya cepat sehingga Kui Hwa menjadi kaget karena maklum bahwa ginkang dari orang kate ini masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
"Badasingh!" si kate itu berkata kepada raksasa yang masih enak-enak makan paha kijang sambil duduk di atas batu. "Kita sudah terlalu lama di sini. Mengapa kita tidak berusaha mengambil peti-peti itu?"
"Koay lojin," kata orang aneh yang bernama Badasingh itu dengan bahasa Han yang kaku.
"Tak mungkin diambil sekarang. Tempatnya terlalu dalam dan jauh. Kita harus menanti sampai ada orang lain yang mengambilnya untuk kita, kemudian kita merampasnya dari mereka. Bukankah itu lebih mudah lagi" Ha ha ha!"
"Siapa yang mengetahui tempat ini selain kita?"
"Bodoh! Banyak yang tahu, bahkan aku mendengar bahwa dari kota raja akan datang serombongan orang untuk mengambil harta itu. Kita sendiri takkan mungkin mengambilnya.
Jalan turun tidak ada."
Si kate itu memandang dengan mata marah dan agaknya tidak percaya kepada si raksasa itu.
"Badasingh! Jangan kau mencoba menipuku! Ini usaha kita berdua maka kau tidak boleh membohong kepadaku!"
Tiba-tiba Badasingh mengeram bagaikan suara seekor gajah, dan dengan marah sekali ia membanting paha itu ke atas batu yang di dudukinya sehingga paha itu berikut tulang-tulangnya hancur lebur.
"Koay lojin! Tidak ada manusia yang bisa hidup setelah memaki aku sebagai pembohong!" Ia bangun berdiri dan menyerang si kate itu dengan hebat! Si kate ternyata juga lihai sekali karena sekali lompat ke samping ia dapat menghindarkan diri dari serangan itu.
"Badasingh! Aku tidak mau berkelahi dengan kau tanpa alasan. Pendeknya, kalau kita bisa mengambilnya, kita ambil sekarang. Kalau tidak bisa, mari kita pergi dari sini. Aku sudah bosan tinggal di tempat asing ini."
"Kau mau pergi" Pergilah! Siapa melarangmu?" kata si raksasa.
Koay lojin (kakek aneh) itu tertawa bergelak dan dengan jari telunjuknya yang pendek ia menuding kepada Badasingh,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
276 "Ha ha ha! Jangan coba berlaku licik. Badasingh! Kalau kau tidak mau pergi, itu berarti kau hendak mengambil sendiri harta itu! Kau benar-benar curang."
"Sudah kukatakan bahwa aku menanti orang yang dapat mengambilnya. Kemudian aku akan merampasnya. Kau boleh pergi kalau kau kehendaki. Akan tetapi aku akan menanti di sini!"
"Kau bohong!" Koay lojin dalam marah lupa akan pantangan ini.
Bagaikan harimau terluka Badasingh melompat dan menerkam Koay lojin.
"Kalau aku bohong kau harus mampus!" teriaknya marah.
Kini keduanya tidak main-main lagi, mereka bertempur hebat. Tenaga Badasingh benar-benar hebat dan batu karang yang terkena sambaran tangannya diwaktu ia menyerang, menjadi hancur berkeping-keping. Akan tetapi, si kate itu benar-benar lincah dan gesit sekali sehingga pertempuran itu benar-benar hebat.
Kui Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia merasa kagum sekali menyaksikan kelihaian dua orang aneh ini dan ia mengaku bahwa dia sendiri takkan dapat menang melawan seorang di antara mereka. Tiba-tiba si kate mengeluarkan senjata, yakni sebatang cambuk lemas yang berduri. Cambuk itu tadinya digulung dan disimpan di dalam saku bajunya. Akan tetapi setelah dilepaskan, cambuknya yang berduri itu panjangnya lebih dari empat kaki.
"Bagus, kau memang betul-betul ingin mampus!" seru Badasingh yang segera membuka ikat pinggangnya, yang terbuat dari pada rantai baja yang besar itu. Rantai ini lebih panjang lagi, kira-kira ada tujuh kaki panjangnya. Pertempuran hebat dimulai dan Kui Hwa makin bengong dan kagum melihatnya. Kalau cambuk berduri itu bergerak-gerak dengan gesit dan lihai seakan-akan ular hidup, adalah rantai baja itu luar biasa dahsyatnya. Angin sambarannya saja membuat daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin dan tanah di sekitar tempat pertempuran itu mengebulkan debu ke atas.
Ternyata bahwa si kate itu kalah tenaga dan kalah hebat senjatanya, tubuhnya bergulingan.
Badasingh memburuh dengan cepat dan sekali kakinya menendang terdengar jerit ngeri dan tubuh Koay-lojin terlempar jauh dan .... masuk ke dalam jurang yang tak terlihat dari atas dasarnya, saking dalam dan gelapnya.
Kui Hwa bergidik dan merasa bulu tengkuknya berdiri. Dengan adanya raksasa hebat ini menjaga Gua Kilin, tak mungkin baginya untuk mencari harta pusaka itu. Untuk maju menyerang, sama dengan bunuh diri, oleh karena maklum bahwa ia takkan dapat menangkan raksasa hitam ini. Oleh karena itu, Kui Hwa lalu turun lagi dengan diam-diam dari bukit Hong-san.
Ia hendak menanti sampai datangnya kawan-kawannya, terutama sekali datangnya kedua suhengnya, Pui Kiat dan Pui Hok. Sungguhpun raksasa itu merupakan lawan yang amat tangguh, namun bertiga dengan suheng-suhengnya, ia tidak merasa takut.
Oleh karena itu, Kui Hwa lalu tinggal di dusun kecil di lembah sungai Huang-ho yang berada di kaki bukit Hong-san untuk menanti datangnya kedua suhengnya. Ia menanti beberapa hari lamanya, akan tetapi kedua suhengnya belum juga datang. Sehingga saking kesalnya ia Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
277 menghibur diri, menyewa perahu kecil, dan mendayung di sungai Huang-ho sambil menonton para nelayan mencari ikan.
Ketika ia sedang duduk termenung di dalam perahunya, tiba-tiba ia melihat seorang nelayan tua yang menyebar jala ikan sambil mencucurkan air mata. Berkali-kali nelayan itu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut air matanya yang turun mengalir di sepanjang kedua pipinya, bahkan kadang-kadang kalau jalanya tidak menghsilkan ikan, ia menjatuhkan diri di dalam perahu dan menangis tersedu-sedu.
Melihat hal ini tergeraklah hati Kui Hwa. Ia mendayung perahunya mendekat. Setelah perahunya menempel perahu nelayan itu, ia bertanya,
"Lopek, kau kenapakah" Apakah yang membuatmu demikian berduka sehingga kau bekerja sambil menangis?"
Nelayan itu menengok dan ketika melihat Kui Hwa yang gagah dan cantik, ia menangis makin sedih.
Kui Hwa mengikatkan tali perahunya pada ujung perahu nelayan itu, lalu berpindah perahu.
"Lopek, kesukaran apakah yang kau derita" Ceritakan kepadaku, barangkali aku dapat menolongmu. Aku tidak kaya akan tetapi percayalah, pedangku ini sudah banyak menolong orang yang tertindas!"
Mendengar ucapan ini, kakek itu lalu mengeringkan air matanya dan berkata dengan suara ragu-ragu, "Siocia, benar-benarkah kau pandai bertempur menggunakan pedang?"
Kui Hwa tersenyum. "Pandai sih tidak. Akan tetapi sudah banyak penjahat mengakui kelihaianku sehingga mereka memberi julukan Dewi Tangan Maut kepadaku!"
Mendengar ini, kakek itu segera memberi hormat dan berkata dengan girang, "Ah, tidak tahunya nona adalah seorang pendekar pedang. Agaknya Thian yang menurunkan lihiap ke sini untuk menolongku!"
"Sudahlah, lopek, jangan banyak sungkan. Ceritakanlah semua penderitaanmu kepadaku!"
Kakek itu menghela napas berkali-kali, kemudian ia menuturkan keadaannya. "Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sudah remaja puteri, dan sungguhpun aku sendiri yang menyatakan, akan tetapi anakku itu termasuk golongan gadis cantik. Di dalam hutan Ban-siong-lim terdapat serombongan bajak laut yang kejam. Sungguh pun mereka itu jarang sekali mau mengganggu kampung kami yang miskin. Akan tetapi, pada suatu hari kepala bajak laut yakni kepalanya yang termuda karena mereka itu mempunyai tiga orang pemimpin, mengadakan perjalanan untuk melihat-lihat di kampung kami. Sungguh tak beruntung sekali, anak perempuanku berada di luar rumah dan terlihat olehnya. Kepala bajak itu merasa suka dan tanpa banyak cakap lagi ia membawa pergi anakku!"
"Bangsat kurang ajar!" Kui Hwa memaki gemas.
"Ibu anak itu telah lama meninggal dunia dan aku hanya hidup berdua dengan anakku itu, maka dapat lihiap bayangkan betapa hancurnya hatiku. Dengan melupakan bahaya, aku lalu Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
278 mengejar sampai ke hutan Ban-siong-lim itu untuk minta kembali anak perempuanku. Akan tetapi, kepala bajak itu minta uang tebusan sebanyak tiga ratus tail. Darimana aku dapat mengumpulkan uang sebanyak itu" Maka, aku berusaha untuk menjala terus menerus siang malam untuk menebus anakku. Akan tetapi agaknya Thian sedang memberi hukuman
kepadaku, lihiap. Buktinya, jalaku jarang sekali menghasilkan sesuatu!" Kakek itu lalu menangis lagi.
"Lopek!" kata Kui Hwa sambil memegang pundak nelayan itu. "Sudahlah, jangan kau menangis. Antarkan aku ke tempat bajak sungai itu dan akulah yang akan mengambil kembali anak perempuanmu!"
Kakek itu memandang dan nampaknya terkejut dan cemas. "Akan tetapi .... mereka itu lihai sekali, lihiap."
"Apakah kau tidak percaya kepadaku?"
Kakek itu tidak berkata sesuatu, lalu mendayung perahunya ke pinggir. "Mari kita berangkat sekarang juga, lihiap," katanya.
Demikianlah Kui Hwa bersama nelayan tua itu pergi ke hutan Ban-siong-lim yang berada di tepi sungai. Kedatangan mereka disambut oleh tiga orang kepala bajak yang bertubuh tegap-tegap. Tentu saja tiga orang bajak itu memandang kepada Kui Hwa dengan mata terbelalak saking kagum. Belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik itu.
Sebelum tiba di tempat itu, Kui Hwa telah bertanya kepada nelayan itu tentang keadaan ketiga orang kepala bajak ini. Ketiganya adalah bajak-bajak sungai Huang-ho yang amat terkenal dan disebut Huang-ho Sam-kui (Tiga setan dari Huang-ho). Yang tertua bertubuh pendek tegap berkepala botak bernama Louw Tek, yang kedua Louw Siang dan yang ketiga masih muda dan tampan juga bernama Louw Liu. Ketiga orang bajak sungai itu bukanlah bajak-bajak biasa, karena mereka benar-benar memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu adalah murid-murid Butongsan yang menyeleweng.
Ketika berhadapan dengan tiga orang kepala bajak itu, tanpa memperdulikan anggauta-anggauta bajak yang jumlahnya belasan itu dan yang mengurung tempat itu sambil tertawa-tawa, Kui Hwa bertanya,
"Kalian bertigakah yang disebut Huang-ho Sam-kui?"
Louw Tek melangkah maju dan berkata, "Benar nona manis. Apakah kehendakmu mencari kami bertiga?"
"Tak lain aku datang untuk mengambil kembali anak perempuan dari nelayan tua ini. Sambil berkata demikian, Kui Hwa mencabut pedangnya. "Tinggal kalian pilih saja. Kembalikan anak perempuan itu atau kalian akan berkenalan dengan Dewi tangan maut!"
Huang-ho Sam-kui itu saling pandang, kemudian meledaklah suara ketawa mereka, diikuti oleh suara ketawa dari sekalian anak buahnya. Untuk daerah ini, nama Dewi Tangan Maut memang tidak dikenal.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
279 "Sungguh lucu kakek nelayan ini. Agaknya ia merasa kasihan kepada kita, sehingga mengantarkan seorang anak perempuan yang lebih cantik lagi. Lui-te (adik Lui), jangan kau iri hati. Kau sudah mendapat bunga harum dari dusun itu dan yang kini adalah bagianku,"
kata Louw Tek kepada adiknya yang hanya tersenyum-senyum memandang kepada Kui Hwa dengan amat kurang ajar.
Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ucapan yang amat menghinanya itu.
"Kalian memang sudah bosan hidup!" serunya dan ia menerjang dengan pedangnya. Pada saat itu ketiga kepala bajak itu melompat ke belakang dan melihat lompatan mereka itu bukan main terkejut hati Kui Hwa. Dari cara mereka melompat ke belakang amat cepat dan lincahnya itu, tahulah Kui Hwa bahwa ketiga orang lawannya ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sungguh mengherankan, di daerah ini benar-benar banyak terdapat orang pandai. Baru saja ia bertemu dengan raksasa hitam dan si kate yang berilmu tinggi dan sekarang ia menghadapi tiga orang kepala bajak yang berkepandaian tinggi pula.
Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang dengan pedangnya. Melihat gerakan pedang gadis itu lihai dan cepat, kepala bajak yang tertua, yakni Louw Tek, segera mengangkat dayungnya menangkis sambil berkata kepada kedua adiknya.
"Jangan kalian membantu, biar aku sendiri mencoba kepandaian calon nyonyaku!"
Maka bertempurlah Kui Hwa melawan Louw Tek yang benar-benar tangguh. Sebetulnya dalam hal kepandaian silat, Kui Hwa tak usah kalah oleh Louw Tek, hanya saja dalam hal tenaga ia masih kalah. Apalagi orang she Louw itu mempunyai senjata istimewa, yakni sebatang dayung yang panjang dan berat sehingga ia merupakan lawan yang benar-benar berbahaya.
Pada saat pertempuran berjalan seru, dari tengah sungai tampak sebuah perahu di dayung ke pinggir dan dua orang pemuda melompat ke darat sambil mencabut pedangnya.
"Sumoi, jangan takut, kami datang membantumu!" Orang-orang ini bukan lain adalah Pui Kiat dan Pui Hok. Besarlah hati Kui Hwa melihat kedatangan kedua suhengnya ini dan pertempuran makin hebat, karena kini Louw Siang dan Louw Lui maju menyambut kedua saudara Pui itu dan pertempuran terjadilah dengan sengitnya. Para anggauta bajak sungai melihat ketangguhan ketiga orang murid Hoa-san-pai itu, menjadi tidak sabar dan mereka mulai maju mengeroyok.
Kepandaian Kui Hwa dan kedua suhengnya sesungguhnya berimbang dengan kepandaian Huang-ho Sam-kui, maka setelah anak buah bajak sungai yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan itu maju membantu, tentu saja ketiga murid Hoasan itu mulai terdesak hebat dan terkurung rapat. Namun mereka melakukan perlawanan sengit dan mati-matian sehingga pertempuran berjalan lama dan di antara anggauta-anggauta bajak ada beberapa orang yang sudah menjadi korban pedang Kui Hwa dan kedua suhengnya.
Betapapun juga, para bajak itu masih mengurung terus, sehingga keadaan tiga orang muda itu makin berbahaya. Sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri, karena selain kurungan amat rapat, juga ketiga Huang-ho Sam-kui itu mainkan dayung mereka dengan amat cepatnya sehingga Kui Hwa dan kedua saudara Pui harus menggerakkan seluruh kepandaian dan perhatian.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
280 Pada saat yang amat genting itulah muncul Tin Eng. Dengan amat ganas Tin Eng menyerbu dari luar kepungan dan dengan ilmu pedangnya Sin-eng Kiam-hoat yang lihai. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah berhasil merobohkan beberapa orang bajak. Hal ini menimbulkan panik dan kekacauan pada pihak pengeroyok dan memperbesar semangat perlawanan Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Dibantu oleh Tin Eng, mereka lalu menerjang ketiga orang Huang-ho Sam-kui sehingga mereka ini terpaksa mundur.
Kui Hwa maklum bahwa biarpun Tin Eng datang membantu, namun apabila pertempuran dilanjutkan, pihaknya tentu akan kehabisan tenaga, maka ia lalu mendekati Tin Eng dan berbisik,
"Kita tangkap kepala bajak termuda."
Tin Eng tidak mengerti apakah kehendak kawannya itu dengan usul ini. Akan tetapi oleh karena ia tidak tahu asal usulnya pertempuran, ia hanya menganggukkan kepala dan menurut.
Demikianlah selagi Pui Kiat dan adiknya menghadapi Louw Tek dan Louw Siang, Kui Hwa berdua Tin Eng mendesak Louw Lui dengan hebat sekali. Sepasang pedang dari kedua orang dara itu membabat dan mengurungnya dengan gerakan luar biasa sehingga betapapun kosennya Louw Lui, ia menjadi bingung dan pening juga melihat sinar kedua pedang itu berkelebatan bagaikan dua ekor naga sakti mengurung tubuhnya.
Sebelum ia sempat minta bantuan pada kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pedang Tin Eng telah melukai lengannya sehingga terpaksa ia melepaskan dayungnya dan Kui Hwa mengirim totokan ke arah lambungnya dan robohlah Louw Lui sambil mengaduh-aduh. Kui Hwa memburu dan menambah dengan totokan pada jalan darah thia-hu-hiat sehingga tubuh Louw Lui menjadi lemas tak berdaya sama sekali.
Louw Tek dan Louw Siang marah sekali dan sambil memutar dayungnya, kedua kepala bajak ini menyerbu Kui Hwa dan Tin Eng. Akan tetapi, sambil tekankan ujung pedang pada dada Louw Lui, Kui Hwa membentak,
"Mundur kalian dan tahan pertempuran ini. Kalau tidak pedangku akan menembus dadanya."
Louw Tek dan Louw Siang terkejut dan melangkah mundur, lalu memberi perintah kepada anak buahnya untuk berhenti menyerang.
"Huang-ho Sam-kui!" kata Kui Hwa dengan gagah. "Kami sebetulnya tidak hendak mencari permusuhan dengan kalian. Kalau kau memang sayang kepada nyawa saudaramu ini, lekas keluarkan anak perempuan nelayan tua itu untuk ditukar dengan saudaramu ini!"
Karena maklum bahwa nyawa Louw Lui berada di ujung pedang Kui Hwa, terpaksa Louw Tek dan Louw Siang memberi tanda kepada anggauta-anggautanya untuk mundur. Kemudian Louw Tek menjura kepada Kui Hwa dan berkata,
"Lihiap, maafkanlah kami yang tadi tidak melihat orang-orang gagah. Kehidupan di tempat asing ini membuat kami berwatak kasar. Tentang anak perempuan nelayan itu, sesungguhnya ia menjadi isteri tercinta dari adik kami Louw Lui dan menurut pendapat kami yang bodoh, agaknya tidak kecewa ia menjadi isteri adik kami. Iapun mencintai suaminya ini."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
281 "Bohong!" tiba-tiba nelayan tua itu berteriak dengan marah. "Anakku dibawa dengan paksa, siapa bilang tentang cinta" Hayo kembalikan anakku!"
Louw Tek terenyum dan memberi tanda kepada seorang anggauta bajak untuk menjemput
"nyonya muda."
Tak lama kemudian datanglah seorang wanita muda yang cukup manis diiringkan oleh bajak tadi.
"Bwee Kim ...!" Nelayan tua itu memanggil dan wanita muda itu cepat berpaling dan berseru,
"Ayah ....!" Ia berlari menghampiri ayahnya dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi ketika ia lewat di dekat Kui Hwa dan melihat Louw Lui ditodong dadanya dengan pedang dan lengan Louw Lui terluka mengeluarkan darah, tiba-tiba ia berhenti dan menubruk Louw Lui sambil menangis.
Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh nelayan tua itu, bahkan Kui Hwa sendiri menjadi pucat karena terkejut. Sementara itu, Louw Tek dan Louw Siang tersenyum saja melihat adiknya memeluk isterinya.
"Ah, kalau begitu, aku telah salah duga!" kata Kui Hwa yang lalu menyimpan kembali pedangnya dan menghampiri kakek nelayan itu.
"Lopek, biarpun mantumu seorang kepala bajak, akan tetapi anakmu telah menjadi isterinya dan kau lihat sendiri anakmu tidak menyesal menjadi isterinya. Oleh karena itu, kau tak perlu lagi ribut-ribut!"
Kakek nelayan itu berdiri sambil menundukkan mukanya yang pucat, matanya sayu dan nampak sedih sekali.
"Aku ditinggal seorang diri .... aku sudah tua ..... siapa yang akan merawatku kalau aku sakit
...?" Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis.
Kui Hwa berpaling memandang Louw Tek. "Orang dahulu berkata bahwa mau kepada anak perempuannya harus mau menerima orang tuanya pula. Oleh karena itu, kuharap sam-wi tay-ong suka pula menerima kakek ini agar supaya dia selalu dekat dengan anak perempuannya.
Ketiga kepala bajak menerima baik usul ini dan demikianlah, pertempuran yang hebat itu berakhir dengan perdamaian yang menyenangkan kedua pihak.
Kui Hwa lalu mengajak kedua suhengnya dan Tin Eng pergi dari situ dan menuju ke bukit Hong-san. Di tengah jalan mereka saling menuturkan pengalamannya masing-masing.
Setelah menuturkan pengalamannya, Tin Eng bertanya kepada Kui Hwa,
Apakah kau tidak bertemu dengan Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong?"
Kui Hwa menggelengkan kepala, akan tetapi kedua saudara Pui segera menuturkan pertemuan mereka dengan pemuda itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
282 "Dia tentu sudah berada di tempat ini!" kata Tin Eng penuh harapan, akan tetapi sungguh heran mengapa ia tidak bertemu dengan kalian?"
Ketika Kui Hwa menceritakan tentang raksasa hitam itu, semua kawannya mendengarkan dengan terheran-heran.
"Orang itu benar-benar hebat dan mengerikan. Aku sendiri tidak berani untuk mendekati gua itu karena kepandaiannya amat tinggi dan aku takkan dapat menang. Maka aku sengaja menanti di sini dan kebetulan sekali ini hari tidak saja ji-wi suheng yang datang, akan tetapi juga adik Tin Eng. Dengan tenaga kita berempat ku rasa kita tak perlu takut menghadapi raksasa yang menjaga gua itu!"
Oleh karena pertempuran tadi amat melelahkan Kui Hwa, juga kedua saudara Pui dan Tin Eng yang baru datang masih merasa lelah, maka mereka mengambil keputusan untuk menyerbu ke atas puncak Hong-san pada keesokan harinya.
**** Semenjak berpisah dengan Gwat Kong, Cui Giok melakukan perjalanan seorang diri untuk memenuhi permintaan Gwat Kong yakni menuju ke Hong-san menyusul murid-murid Hoasan-pai yang sedang mencari gua Kilin tempat penyimpanan harta pusaka. Ia tidak mengambil jalan air seperti yang lain. Akan tetapi ia melakukan perjalanan darat melalui sepanjang pantai sungai Huang-ho sebelah kiri.
Pada suatau hari, ketika ia sedang berlari cepat di sepanjang lembah sungai Huang-ho, melalui bukit-bukit kecil yang ditutup oleh rumput hijau yang indah, tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki tanggung berusia kurang lebih sebelas tahun sedang bersilat seorang diri di dekat pantai. Cui Giok amat tertarik melihat gerakan kaki tangan anak itu amat lincah dan tangkasnya. Sedangkan wajah anak kecil itu amat tampan dan sepasang matanya bersinar.
Sebelum Cui Giok menghampiri, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang hwesio berkelebat keluar dari belakang pohon. Hwesio ini masih mudah dan wajahnya menyeramkan sekali, sepasang matanya mengandung nafsu jahat.
"Ha ha ha! Bagus!" kata hwesio itu sambil melompat ke depan anak itu. "Kau tentulah murid si tua bangka dari Kunlun. Anak baik, bukankah kau murid Kun-lun-pai" Gerakanmu jelas menyatakan bahwa kau anak murid Kun-lun-pai."
Anak itu berhenti berlatih silat dan memandang dengan matanya yang tajam.
"Losuhu, siapakah" Teecu memang benar anak murid Kun-lun-pai. Nama teecu Kwie Cu Ek dan suhu adalah Lo Han Cinjin dari Kun-lun-pai.
Hwesio itu tertawa bergelak dan memandang ke kanan kiri.
"Dimana adanya Lo Han Cinjin?" Dari suaranya ternyata bahwa ia merasa takut.
"Suhu sedang memetik daun obat di bukit itu dan teecu diharuskan menanti di sini berlatih silat."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
283 "Bagus! Kalau begitu, kau harus ikut padaku!"
"Tidak bisa losuhu. Tanpa perintah suhu, teecu tidak berani meninggalkan tempat ini," jawab anak yang bernama Kwi Cu Ek itu dengan tegas.
"Apa" Kau berani membantah kehendakku" Hayo ikut!" Sambil berkata demikian si gundul itu mengulurkan tangannya hendak menangkap pundak anak itu. Akan tetapi dengan gesit anak itu mengelak dan melompat ke belakang. Cui Giok diam-diam merasa kagum dan senang melihat anak yang lincah itu. Akan tetapi hwesio tadi menjadi marah dan terus menyerang untuk menangkap anak itu.
Tiba-tiba anak itu berseru keras dan tahu-tahu sebatang pedang kecil telah ia cabut dari punggungnya dan dengan pedang di tangan, ia menghadapi hwesio itu. Sepasang matanya menyinarkan keberanian luar biasa sehingga hwesio itu menjadi tercengang juga.
"Eh, eh tua bangka itu sudah melatih pedang padamu?" kata hwesio itu yang terus menubruk.
Anak itu menggerakkan pedangnya dan terkejutlah hwesio tadi ketika melihat betapa gerakan pedang anak itu tak boleh dipandang ringan."
"Kau sudah dapat mainkan Sin-tiauw-kiam-sut" Hebat!" katanya dan ia lalu meloloskan sabuknya yang terbuat dari pada sutera hijau. Sekali ia menggerakkan tangannya, sabuk itu meluncur ke arah leher anak itu, yang segera menangkisnya dengan pedang. Akan tetapi ujung sabuk melibat pedangnya dan sekali betot terlepaslah pedang itu dari pegangan.
Anak itu terkejut dan hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan saja, hwesio itu telah mengejarnya dan dapat memegang pundaknya dengan cengkeraman tangan erat sehingga anak itu meringis kesakitan.
Pada saat itu Cui Giok muncul dan membentak,
"Bangsat gundul, sungguh tak tahu malu!"
Hwesio itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya. Ketika melihat seorang gadis cantik jelita berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan dan kiri, ia terkejut sekali.
"Ha ha ha!" katanya sambil memandang kagum. "Kalau anak setan itu tidak mau ikut, lebih baik kau saja ikut kepadaku!"
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan sabuknya yang lihai itu untuk merampas kedua pedang di tangan Cui Giok. Dara perkasa ini sengaja tidak mengelak sehingga ujung sabuk itu membelit pedang di tangan kirinya. Tiba-tiba Cui Giok membetot pedangnya untuk membikin putus sabuk itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa sabuk itu amat kuat dan tenaga pemegangnya juga luar biasa besarnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa hwesio itu demikian lihai dan besar tenaga lweekangnya. Maka dengan cepat ia lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk membabat putus sabuk yang melibat pedang kirinya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
284 Hwesio itu ternyata lihai dan cepat gerakannya karena sebelum pedang Cui Giok membabat sabuknya ia telah melepaskan kembali libatan sabuk dan kini sabuknya bergerak-gerak bagaikan ular menyerang ke arah jalan darah Cui Giok, merupakan totokan-totokan yang berbahaya.
Akan tetapi ia mengeluh di dalam hati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan merupakan lawan yang empuk baginya. Sepasang pedang ditangan nona itu, yang memainkan ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar luar biasa sekali sehingga beberapa kali hwesio itu harus melompat jauh dengan kaget karena hampir saja ia menjadi korban ujung pedang.
Juga Cui Giok merasa amat penasaran. Hwesio itu hanya memegang sehelai senjata sabuk, akan tetapi amat sukar baginya untuk mengalahkannya. Maka ia makin marah dan
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak sehingga hwesio itu terpaksa harus mengakui keunggulan Cui Giok. Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk melompat ke kanan kiri menghindarkan diri dari bahaya maut yang tersebar dari sepasang pedang di tangan nona itu.
Setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, hwesio itu tak tahan lagi. Tiba-tiba terdengar suara halus memuji,
"Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar hebat!"
Mendengar suara ini, hwesio tadi menjadi pucat dan ketika pedang Cui Giok agaknya tertahan karena gadis ini pun mendengar seruan itu. Hwesio itu lalu melompat jauh dengan gerakan Naga hitam menembus langit. Ia berlompatan beberapa kali dan tubuhnya lenyap di balik pohon-pohon yang banyak tumbuh di atas bukit.
Cui Giok berpaling dan memandang kepada orang yang berseru memuji tadi. Ia melihat seorang kakek berjenggot panjang keputih-putihan yang membawa sebuah keranjang obat dan guci arak tergantung di pinggangnya. Melihat sikap kakek ini, ia dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, maka ia cepat menyimpan pedangnya dan menjura dengan penuh hormat. Sementara itu, anak kecil tadi menghampiri kakek itu dan berkata, Bab 31 ...
"SUHU, ilmu pedang cici ini benar-benar hebat sekali!"
"Nona," terdengar kakek tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan sabar. "Apakah kau anak murid dari Sie Cui Lui?"
"Sie Cui Lui adalah kakekku, locianpwe. Teecu bernama Sie Cui Giok. Tidak tahu, siapakah locianpwe yang terhormat dan siapa pula adanya hwesio jahat tadi" Mengapa ia hendak menangkap adik kecil ini?"
Kakek ini menghela napas. "Biarpun amat memalukan untuk mengaku. Akan tetapi terus terang saja, hwesio itu adalah muridku sendiri. Lima tahun yang lalu, ia masih menjadi muridku yang baik, akan tetapi ia menyeleweng dan melakukan perbuatan zinah yang jahat, sehingga aku terpaksa mengusirnya dan tidak mengakui sebagai murid. Semenjak itu, ia merasa sakit hati dan karena tidak berani membalas dendam kepadaku, agaknya ia hendak Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
285 menyakiti hatiku dengan menculik muridku yang kecil ini. Nona, ketahuilah aku adalah Lo Han Cinjin dari Kun-lun-san. Kakekmu Sie Cui Lui itu telah dikenal baik padaku." Kemudian ia berpaling kepada muridnya dan berkata,
"Cu Ek, hayo kau menghaturkan terima kasih kepada nona ini yang telah membantu dan menolongmu."
Kui Cu Ek lalu menghampiri Cui Giok dan menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi Cui Giok segera mengangkatnya bangun dan berkata sambil tertawa,
"Adik yang baik, ilmu pedangmu benar-benar mengagumkan sekali!"
"Belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian cici yang gagah," kata anak kecil itu dengan suaranya yang nyaring.
Lo Han Cinjin berkata lagi, "Dengan sepasang pedang dapat mendesak dan mengalahkan muridku yang tersesat tadi telah menunjukkan bahwa kepandaianmu sudah cukup tinggi.


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebenarnya kau hendak kemanakah?"
Dengan singkat Cui Giok menuturkan bahwa ia sedang menuju Hong-san untuk mencari guha Kilin di mana tersimpan harta pusaka itu.
Kakek itu menarik napas panjang.
"Sayang .... sayang .... agaknya manusia takkan terlepas dari pengaruh harta ..." Ia lalu merogoh keranjang obatnya dan mengeluarkan sebatang ranting yang penuh daun berwarna merah.
"Nona, kau telah bertemu dengan aku. Itu berarti ada jodoh. Aku tadi secara kebetulan sekali mendapatkan daun Ang-giok (daun bermata merah) ini. Karena tidak perlu bagiku, terimalah daun ini. Jangan kau anggap remeh daun ini karena segala luka di dalam tubuh dapat sembuh dengan mudah apabila orang yang terluka itu makan sehelai daun ini. Dan karena kau melakukan perantauan, terimalah lima butir pel ini. Kalau kau berada jauh dari rumah orang dan kehabisan ransum, sebutir pel ini kalau kau telan akan melindungi pencernaanmu dan kau dapat bertahan tidak makan sampai sepekan lamanya tanpa merasa lapar."
Dengan girang Cui Giok menerima obat mujijat itu yang disimpannya di dalam buntalan pakaian yang diikatkan pada punggungnya, lalu menghaturkan terima kasih. Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu lagi kakek yang aneh lalu menggandeng tangan muridnya dan pergi dari situ.
Di kemudian hari, anak kecil yang bernama Kui Cu Ek itu, akan menjadi seorang pendekar gagah perkasa yang menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu pedang Sin-tiauw-kiamsut.
Dia inilah yang akan mengharumkan nama Kun-lun-pai di kemudian hari.
Sementara itu, Cui Giok melanjutkan perjalanannya menuju ke Hong-san. Setelah dekat bukit itu, ia menyelidiki dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak bertemu dengan orang-orang yang dicarinya, yakni anak murid Hoa-san-pai yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok itu. Maka, ia langsung mendaki bukit Hong-san untuk mencari di puncak bukit itu. Sama sekali ia tidak tahu bahwa pada hari itu juga, pagi tadi, tiga orang murid Hoa-san-pai yang Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
286 dicarinya itu telah naik pula ke Hong-san. Bahkan tidak disangkanya sama sekali bahwa di tempat itu ia akan bertemu dengan Tin Eng, gadis puteri Liok-taijin yang telah seribu kali membuat ia cemburu itu, karena agaknya Gwat Kong amat memperhatikan gadis itu.
**** Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng, Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok naik ke Hong-san pada pagi hari itu dengan maksud mencari harta pusaka dan kalau perlu membinasakan penjaga guha Kilin, yakni raksasa hitam yang menurut Kui Hwa bernama Badasingh.
Benar saja sebagaimana telah dituturkan oleh Kui Hwa, ketika mereka tiba di puncak itu, di depan guha Kilin, kelihatan Badasingh, orang tinggi besar yang seperti raksasa itu duduk di atas batu sambil memukul-mukulkan rantai bajanya ke atas batu karang, menerbitkan suara keras dan batu karang itu pecah berkeping-keping bagaikan batu merah dipukul oleh besi.
Wajah raksasa hitam itu nampak muram.
"Mari kita hampiri dia!" ajak Kui Hwa dan dengan hati berdebar keempat orang muda itu berjalan menghampiri raksasa yang mengerikan ini.
Badasingh menengok cepat dan ketika melihat dua orang gadis cantik dan dua orang pemuda mendatangi, ia segera bangun berdiri. Bukan main tingginya orang ini. Kalau berdiri di dekat Pui Kiat dan Pui Hok yang sudah cukup tinggi itu barangkali hanya akan setinggi pundaknya.
"Kalian siapakah" Dan mau apa datang ke tempat ini?"
Badasingh bertanya dengan suaranya yang besar dan kaku, sedangkan sepasang matanya yang hitam bersinar tajam itu ditujukan kepada Kui Hwa dan Tin Eng. Kedua orang gadis ini merasa bulu tengkuk mereka meremang karena pandang mata itu sungguh-sungguh kurang ajar, bagaikan pandang mata seorang rakus memandang semangkok masakan yang enak dan masih mengebul hangat.
"Kami datang hendak menyelidiki guha ini dan mencari tempat penyimpanan harta
terpendam," kata Kui Hwa terus terang karena tahu bahwa raksasa ini telah mengetahui tentang harta itu. Ia hendak melihat bagaimana sikap raksasa itu setelah mendengar bahwa mereka datang untuk keperluan yang sama.
Untuk sesaat, wajahnya yang hitam itu bergerak-gerak marah mendengar ucapan ini. Akan tetapi kemudian ia tertawa bergelak-gelak sehingga suara ketawanya menggema di empat penjuru.
"Kalian, orang-orang kecil lemah ini" Ha ha ha! Kalian mau melihat guha Kilin" Boleh, boleh! Nah, mari lihatlah, kuantarkan!"
Pui Kiat dan Pui Hok melangkah maju ke arah guha diikuti oleh Kui Hwa dan Tin Eng.
Ketika mereka masuk ke dalam guha itu, mereka berseru penuh kengerian karena di dalam guha itu ternyata merupakan sebuah sumur besar atau jurang yang tak berdasar saking dalamnya. Yang nampak hanya kehitaman di bawah jurang itu tak dapat diukur berapa dalamnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
287 Melihat adanya beberapa kelelawar beterbangan di permukaan jurang, keluar masuk ke dalam sumur itu, maka dapat diduga bahwa tempat itu tentu amat dalam. Untuk menuruni jurang itu amat sukar, karena pinggirnya terdiri dari batu cadas yang amat licin dan tajam. Jalan masuk ke dalam guha itu semuanya penuh oleh jurang itu, hanya sebagian kecil saja di sebelah kanan terdapat batu karang yang dapat dijadikan tempat untuk berdiri atau duduk. Akan tetapi lebarnya hanya kira-kira satu kaki saja. Oleh karena itu, memasuki guha Kilin ini pada waktu gelap sungguh merupakan jalan maut yang mengerikan karena begitu masuk, orang akan terguling ke dalam jurang.
"Ha ha ha! Kalian mau masuk ke dalam" Masuklah!" Sambil berkata demikian, membuat gerakan tangan dan menyerang ke arah Pui Kiat dan Pui Hok.
Bukan main kagetnya Tin Eng dan Kui Hwa melihat ini dan untung sekali kedua gadis itu berdiri di belakang si raksasa sehingga mereka dapat bergerak cepat. Bagaikan sudah diatur lebih dahulu, Tin Eng menggerakkan tangan memukul ke lambung raksasa itu, sedangkan Kui Hwa menangkap kedua tangan kedua suhengnya dan menariknya ke belakang.
Raksasa itu dengan amat mudahnya dapat mengelak dari pukulan Tin Eng dan ketika keempat orang muda itu melompat ke belakang dengan muka pucat dan marah, ia tertawa bergelak dan melangkah maju mengejar mereka dengan sikap mengancam dan menakutkan.
"Ha ha ha! Kalian orang-orang lemah ini tak mungkin dapat mengambil harta itu untukku.
Karena itu, kalian hrs mati di sini akan tetapi hanya kamu berdua yang harus mati!" Ia menunjuk kepada Pui Kiat dan Pui Hok.
"Dua orang bidadari manis ini harus mengawani aku di sini. Aku kesepian sekali dan amat haus. Kalian berdua, gadis-gadis manis, kalian akan dapat menghibur hatiku. Kalian menjadi pengganti anggur yang segar! Ha ha ha!"
"Siluman jahanam!" bentak Tin Eng dengan marah sekali. Hampir berbareng keempat orang muda itu mencabut pedang masing-masing dan menyerang dengan berbareng.
Akan tetapi keempatnya terpaksa harus meloncat mundur lagi karena sambil berseru keras, Badasingh memutar rantainya yang berat dan panjang itu sehingga merupakan segulungan sinar hitam menyambar di sekeliling tubuhnya. Empat orang muda itu tidak berani beradu senjata karena takut kalau pedang mereka akan rusak, maka mereka ini hanya mengandalkan kelincahan mereka untuk memasuki lowongan antara sambaran rantai baja. Namun
kepandaian Badasingh benar-benar luar biasa, terutama sekali tenaganya yang hebat.
Ia melayani empat orang lawannya sambil mengeluarkan seruan-seruan liar bagaikan suara seekor beruang mengamuk. Kedua matanya terbelalak lebar, mulutnya menyeringai dan tangan kirinya yang tidak memegang senjata itu tidak tinggal diam, akan tetapi melakukan serangan-serangan mencengkeram dengan jari-jari tangannya yang panjang berbulu dan kukunya yang panjang dan tebal.
Badasingh benar-benar hebat. Biarpun yang mengeroyoknya adalah empat orang muda yang kepandaiannya telah cukup tinggi, namun ia tidak menjadi sibuk bahkan dapat mendesak dengan senjata rantai bajanya. Berkali-kali empat orang muda itu terpaksa harus melompat tinggi dan menjauhkan diri dari sambaran rantai yang besar dan berat itu, dan sukarlah bagi mereka untuk mendekati atau menyerang si raksasa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
288 Sebaliknya, Badasingh juga merasa penasaran. Jarang ada orang yang kuat menghadapinya sampai puluhan jurus, maka tiba-tiba ia berseru keras dan dengan langkah lebar ia mendesak terus kepada Kui Hwa dan Tin Eng sehingga kedua nona itu menangkis pedang mereka terpental dan terlepas dari pegangan.
Sebelum hilang rasa kaget mereka, lengan kiri Badasingh telah terulur maju dan Kui Hwa kena ditangkap pundaknya. Saking kaget dan takutnya, Kui Hwa sampai menjadi lemas dan dengan gerakan luar biasa sekali, jari tangan Badasingh menotok dan menekan jalan darah gadis itu pada pundaknya sehingga tubuh Kui Hwa seakan-akan menjadi lumpuh.
Badasingh melepaskan Kui Hwa dan kini ia mengulurkan tangan hendak menangkap Tin Eng.
Gadis ini tak mau menyerah begitu saja dan mengirim pukulan ke arah lengan yang terulur hendak menangkapnya. Akan tetapi jari tangan Badasingh yang panjang-panjang itu bergerak ke bawah dan tertangkaplah lengan Tin Eng.
"Ha ha ha! Kalian berdua nona manis harus menjadi penghiburku dan mengawani aku di tempat ini. Ha ha ha!" Juga Tin Eng dibikin tak berdaya oleh totokannya yang lihai.
Pui Kiat dan Pui Hok terkejut sekali dan mereka berlaku nekad. Dengan marah mereka maju menyerang lagi, akan tetapi agaknya mereka itu hanya hendak mencari kematiannya sendiri karena sebentar saja rantai baja yang hebat itu telah bergerak-gerak mengancam mereka.
Pada saat terjadinya pertempuran dan tertangkapnya Tin Eng dan Kui Hwa, datanglah Cui Giok. Dara perkasa ini dari jauh sudah mendengar gerakan-gerakan aneh dari mulut Badasingh dan mendengar pula suara senjata beradu, maka ia mempercepat larinya bagaikan terbang menuju ke arah suara itu.
Ketika ia tiba di situ, ia terkejut sekali melihat betapa dua nona muda telah tertangkap dan kini duduk di atas tanah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya sama sekali. Sedangkan dua orang pemuda sedang mengeroyok seorang raksasa hitam yang dahsyat dan mengerikan.
Sekali pandang saja, tahulah Cui Giok bahwa dua orang itu tentulah Pui Kiat dan Pui Hok.
Akan tetapi ia merasa heran juga melihat adanya dua orang gadis di situ. Yang manakah gerangan yang bernama Kui Hwa" Akan tetapi ia tidak mau pusingkan semua itu karena ia melihat betapa kedua orang muda itu telah terdesak hebat dan keselamatan mereka terancam bahaya maut. Ia segera mencabut sepasang pedangnya dan melompat dengan gerakan Walet Hitam Keluar Dari Sarangnya, dan membentak,
"Siluman hitam, lihat pedang!"
Begitu tubuhnya tiba di depan Badasingh, ia lalu menyerang dengan kedua pedangnya ke arah kedua pundak raksasa itu. Badasingh melihat dua sinar cemerlang menyambar ke arah pundaknya menjadi terkejut sekali dan cepat berjumpalitan ke belakang sambil memandang.
Alangkah girangnya melihat seorang gadis yang cantik jelita berdiri di depannya.
"Ha ha ha! Datang seorang lagi! Ha ha ha, bagus! Yang ini lebih hebat lagi, ha ha! Sekarang ada tiga! Cukuplah untukku!"
Sementara itu, Cui Giok bertanya kepada Pui Kiat dan Pui Hok,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
289 "Apakah jiwi yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok?"
"Benar, nona," jawab Pui Kiat sambil memandang heran. "Nona siapakah?"
"Aku datang mewakili Gwat Kong!" kata Cui Giok dan tubuhnya melayang ke arah Kui Hwa dan Tin Eng. Dua kali tepukan saja ia sudah membikin dua orang gadis itu pulih kembali jalan darahnya. Kui Hwa memandang kagum sedangkan Tin Eng memandang dengan heran.
Siapakah gadis ini yang menyebut nama Gwat Kong begitu saja"
Akan tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk banyak bicara. Karena pada saat itu, Badasingh yang merasa marah melihat Cui Giok membebaskan dua orang korbannya, telah datang untuk menangkap Cui Giok.
"Kalian berempat minggirlah, biarlah aku menghadapi siluman ini!"
Sambil berkata demikian, Cui Giok menyambut kedatangan Badasingh dengan sepasang pedangnya digerakan membuat penyerangan yang hebat dan berbahaya. Badasingh hanya menyeret rantainya karena tadinya ia hendak menawan hidup-hidup gadis cantik jelita ini.
Akan tetapi ketika sepasang pedang itu menyerang dengan gerakan berlawanan yang aneh sekali, ia mengelak dan tetap saja ujung pedang di tangan Cui Giok berhasil menyerempet pundaknya.
Bara Naga 9 Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pedang Tiga Ruyung 6
^