Pencarian

Pendekar Pemabuk 7

Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Kalau tusukan itu mengenai sasaran, tentu Si Ban akan roboh berlutut di depannya.
Akan tetapi Si Ban tentu saja tidak mau membiarkan lututnya dihajar, maka ia lalu berseru keras dan melompat ke atas menarik kedua kakinya ke dekat tubuh belakang. Pada saat itu, tak pernah disangkanya, ranting di tangan Gwat Kong kembali menyambar dan kini hendak memukul kepalanya!
Si Ban benar-benar lihai karena dalam keadaan meloncat itu, masih sempat buang tubuh atas ke depan sehingga kepalanya ditundukkan ke bawah mengelak serangan ranting itu. Akan tetapi kini tubuhnya menjadi telungkup dengan kepala dan kaki ditarik bagaikan seekor anjing sedang merangkak.
Gwat Kong masih tidak melepaskan korbannya dan secepat kilat ujung rantingnya menotok jalan darah di iga lawan itu sehingga tubuh Si Ban menjadi kaku. Dan berbareng dengan serangan itu Gwat Kong mengangkat sebelah kakinya menendang pantat lawannya sehingga Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
187 tubuh Si Ban tanpa dapat dicegah lagi melayang ke depan bagaikan sebutir pelor dan jatuh di tengah-tengah gelanggang pertempuran Sin Seng Cu dan Cui Giok!
Setelah melakukan perbuatan yang nakal itu, Gwat Kong berdiri bertolak pinggang dan memandang dengan senyum. Ketika ia melihat betapa Sin Seng Cu memandangnya, ia segera menjura dan bertanya, "Sin Seng Cu totiang, apakah selama ini totiang baik-baik saja?"
Sin Seng Cu memandang tajam, kemudian ia teringat dan bertanya, "Bukankah kau pemuda yang mahir ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan kemudian diambil murid oleh Bok Kwi Sianjin?"
Gwat Kong tersenyum, "Totiang memang memiliki pandangan mata yang tajam."
Sementara itu ketika mendengar bahwa pemuda yang baru datang ini adalah seorang ahli ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan bahkan menjadi murid Bok Kwi Sianjin. Nona baju kuning itu nampak terkejut sekali dan kini ia memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.
Melihat hubungan pemuda ini yang agaknya telah kenal baik kepada Sin Seng Cu, diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan berpihak kepada tosu itu. Baru menghadapi tosu itu saja ia tadi telah merasa sukar untuk mengalahkannya, apalagi kalau mendapat bantuan pemuda yang memiliki ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat!
"Maafkan, aku tak dapat mengganggu lebih lama lagi!" kata Sie Cui Giok, nona baju kuning itu dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah berlari cepat keluar dari pekarangan itu dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.
"Hmm, seorang gadis muda yang memiliki kepandaian mengagumkan," kata Sin Seng Cu perlahan setelah bayangan gadis itu lenyap. Kemudian ia teringat kepada Gwat Kong dan sambil memandang tajam ia berkata,
"Kau agaknya juga hendak memperlihatkan kepandaian, maka datang-datang kau telah menghina Cong Si Ban!"
Akan tetapi, Gwat Kong hanya mendengar setengah-setengah saja. Oleh karena pikirannya ikut terbang menyusul nona baju kuning yang menarik hati dan yang menimbulkan
kekagumannya itu.
"Ah, akupun harus pergi!" katanya perlahan dan membalikkan tubuh hendak pergi.
"Anak muda, jangan harap bisa pergi sebelum aku mencoba kepandaianmu dan menebus kekasaranmu terhadap tuan rumah," seru Sin Seng Cu yang mengulur tangannya hendak menangkap pundak pemuda itu untuk mencegahnya pergi.
Akan tetapi, tanpa menoleh, Gwat Kong menggerakkan tangannya ke belakang dan jari tangannya dengan cepat sekali mengirim totokan ke arah pergelangan tangan Sin Seng Cu yang hendak mencengkeram pundaknya, maka terpaksa tosu itu menarik kembali tangannya dengan hati terkejut dan kagum.
Tanpa menengok dapat melihat datangnya serangan bahkan dapat mengirim totokan yang tepat ke arah pergelangan tangannya hanya dapat dilakukan oleh seorang yang ilmu Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
188 kepandaiannya sudah tinggi. Maka tosu ini menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan niatnya menguji kepandaian lawan ini.
Tadi, menghadapi seorang gadis muda saja tak dapat mengalahkannya dan baiknya
pertempuran tadi tidak berakhir kekalahan baginya dan keburu terhenti karena Si Ban terlempar. Maka kalau kini ia berkeras menghadapi Gwat Kong untuk kemudian ia kalah dalam tangan pemuda ini, biarpun yang menyaksikannya hanya kedua saudara Cong. Akan tetapi namanya akan terbanting turun dengan hebat!
Maka ia diamkan saja Gwat Kong berlari keluar mengejar Cui Giok. Dan setelah pemuda itu lenyap dari pandangan mata, ia bahkan lalu menegur kedua saudara Cong itu yang dikenalnya baik. Ia memberi nasehat agar kedua saudara itu suka merobah pikirannya dan jangan berlaku sewenang-wenang kepada kaum tani yang miskin. Karena hal itu tentu akan menimbulkan hal-hal yang tidak enak seperti yang telah terjadi sekarang ini.
"Sebagai orang gagah kalian harus berwatak terlepas dan berlaku baik terhadap orang yang patut ditolong. Karena kalau tidak demikian, tentu kalian akan dimusuhi oleh banyak orang kang-ouw.
Kedua saudara Cong itu tak berani membantah dan hanya menyatakan kesanggupannya untuk menurut nasehat tosu ini. Keduanya benar-benar telah merasa betapa hari ini mereka telah mendapat hajaran keras dari dua orang muda yang kelihatannya masih hijau. Mereka baru insyaf bahwa ilmu kepandaian mereka sesungguhnya masih rendah dan dangkal.
Maka mereka lalu mengajukan permohonan kepada Sin Seng Cu untuk melatih dan memberi pelajaran silat kepada mereka. Tosu ini tidak keberatan dan untuk beberapa hari lamanya ia memberi petunjuk-petunjuk kepada kedua saudara Cong itu dan banyak memberi nasehat kepada mereka sehingga keduanya sedikitnya terbuka mata mereka dan diharapkan takkan berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap kaum petani selanjutnya.
**** Gwat Kong percepat larinya untuk menyusul nona baju kuning yang amat dikaguminya itu. Ia bukan kagum karena kecantikan gadis itu, akan tetapi kagum karena menyaksikan ilmu pedangnya. Semenjak gurunya, yakni Bok Kwi Sianjin menceritakan kepadanya bahwa selain Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat masih ada lagi Pat-kwa To-hoat dari utara dan Im-yang Siang-kiam-hoat dari selatan. Ia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian itu.
Kini tak disangka-sangkanya, ia bertemu dengan seorang ahli waris Im-yang Siang-kiam dan ternyata ahli waris itu adalah seorang gadis muda yang cantik dan gagah dan berpribudi tinggi. Oleh karena inilah maka Gwat Kong ingin sekali berkenalan dan kalau mungkin mencoba ilmu pedang Im-yang Siang-kiam itu dalam sebuah pertandingan persahabatan.
Ia tadi melihat betapa gadis baju kuning itu berlari keluar dari dusun itu menuju ke barat, maka kini ia berlari cepat mengejar. Ia telah berlari cepat sekali dan cukup lama, akan tetapi belum juga ia dapat menyusul gadis itu. Ia menjadi penasaran dan mempercepat larinya hingga ia tiba di sebuah hutan yang penuh dengan pohon liu (semacam pohon cemara).
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
189 Hutan itu indah sekali dan dari dari jauh ia mendengar suara air sungai mengalir. Akan tetapi ia merasa heran sekali karena tidak melihat bayangan orang yang dikejarnya. Kemanakah perginya gadis baju kuning itu" Apakah benar-benar ia memiliki ilmu lari cepat yang demikian luar biasa sehingga ia tidak mampu mengejarnya"
Gwat Kong masih merasa penasaran, maka ia lalu mendapat akal. Ia melompat ke atas cabang pohon liu dan terus memanjat ke atas bagaikan seekor kera. Setelah tiba di puncak pohon, ia berdiri dan memandang sekelilingnya. Akhirnya ia mengeluarkan seruan girang ketika melihat bayangan kuning berlari-lari di sebelah kiri hutan itu. Ia cepat melompat turun dan melakukan pengejaran ke arah kiri.
Tak lama kemudian, benar saja ia melihat gadis baju kuning itu berlari-lari di dalam hutan itu dengan gerakan yang gesit dan tubuh yang ringan. Gwat Kong lalu mempercepat larinya dan berseru,
"Lihiap (nona yang gagah)! Tunggulah sebentar!"
Akan tetapi ia kecele kalau menyangka bahwa nona itu akan memperhatikan seruannya, karena mendengar teriakannya ini, tanpa menoleh lagi dara baju kuning itu bahkan lalu mempercepat larinya dan menggunakan ilmu lari cepat Jouw-sang-hwe (Terbang di atas rumput). Gwat Kong menggigit bibirnya saking gemas. Jangan kau kira aku akan kalah dalam hal ilmu lari cepat darimu, demikian pikirnya dengan hati panas.
Ia tidak mau teriak-teriak lagi dan hanya mempercepat larinya dan menggunakan ilmu lari cepat yang belum lama ini disempurnakan atas petunjuk suhunya, yakni ilmu lari Teng-peng-touw-sui (Injak rumput seberangi sungai). Demikianlah, pada senja hari yang cerah itu, di dalam hutan pohon liu yang indah dua orang muda yang lihai sedang berlari cepat seakan-akan berlomba atau berkejar-kejaran!
Dengan mendongkol Gwat Kong mendapat kenyataan bahwa gadis itu ternyata memang sengaja hendak mempermainkannya, karena gadis itu bukan terus berlari ke depan. Akan tetapi membuat putaran dan seakan-akan sengaja main kejar-kejaran mengelilingi hutan. Ia tidak mau kalah dan terus mengejar dengan cepat.
Akhirnya dara baju kuning itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu lari cepat Gwat Kong karena jarak di antara mereka makin lama makin dekat. Tiba-tiba ketika ia sampai di tempat terbuka, yakni sebuah lapangan rumput yang hijau dan segar, ia menunda larinya dan membalikkan tubuh dengan sepasang pedangnya di kedua tangan!
Gwat Kong segera mengangkat kedua tangan memberi hormat setelah berhadapan dengan nona baju kuning itu. Akan tetapi penghormatannya dibalas dengan sebuah tusukan kilat yang dilakukan oleh pedang di tangan kanan Sie Cui Giok. Gwat Kong segera mengelak dan berkata,
"Maaf, lihiap! Jangan marah dulu. Aku ......."
"Kau adalah seorang laki-laki ceriwis! Tukang mengejar wanita!" Kata-kata ini disusul dengan sebuah serangan pula. Kini pedang di tangan kanan membabat leher dan pedang di tangan kiri menyerampang kaki. Menghadapi serangan luar biasa lihainya ini Gwat Kong tak Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
190 dapat membuka mulut karena ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengelak lagi dengan lompatan jauh ke belakang.
"Tidak nona. Aku tidak ceriwis! Aku hanya ingin kenal ...... aku ..... tertarik dan kagum sekali padamu ...."
"Cih, tak tahu malu! Ucapanmu ini membuktikan bahwa kau adalah seorang laki-laki ceriwis, seorang pemuda hidung belang!" Kembali Cui Giok maju menyerang dengan hebat. Kini pedang di tangan kanan menusuk hulu hati dan pedang di tangan kiri membelek perut!
Serangan-serangan ini biarpun amat berbahaya dan lihai mendatangkan rasa girang dan gembira di hati Gwat Kong. Oleh karena ia benar-benar mengagumi gerakan-gerakan dua pedang yang mempunyai gaya dan kelihaian tersendiri itu.
Ia maklum akan bahayanya dua serangan itu, maka ia melempar tubuh ke belakang lagi, sambil berjungkir balik membuat salto ke belakang sampai dua kali. Ia melompat agak tinggi, sehingga dapat mencapai cabang pohon yang paling rendah dan ketika tubuhnya kembali menginjak tanah, di tangannya telah terdapat sepotong kayu yang dipatahkannya dari cabang tadi. Kini Gwat Kong mencabut-cabut daun dari ranting kayu itu dan berkata,
"Nona, kau salah sangka! Yang mengagumkan dan menarik hatiku adalah ilmu pedangmu yang luar biasa itu! Telah lama aku mendengar ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat, maka kini aku merasa kagum dan tertarik sekali menyaksikan bahwa ilmu pedang itu benar-benar indah dan luar biasa!"
Aneh sekali, mendengar ucapan ini, nona itu wajahnya menjadi merah dan agaknya ia marah sekali.
"Kau hanya mengagumi keindahan ilmu pedangku" Nah, rasakanlah siang-kiamku!" Tanpa banyak cakap lagi Cui Giok lalu menyerang dengan sepasang pedangnya dengan gerakan yang amat aneh dan cepat.
Gwat Kong menggerakkan kayu di tangannya itu dengan hati gembira. Tercapailah
maksudnya untuk menguji ilmu pedang Im-yang Siang-kiam yang dipuji-puji oleh gurunya.
Sungguhpun ia agak kecewa karena nampaknya ia telah mendatangkan kesan buruk di dalam hati gadis itu, yang seakan-akan marah dan membencinya. Apa boleh buat, pikirnya. Akupun hanya ingin mencoba kepandaiannya belaka.
Ia lalu kerahkan seluruh kepandaiannya dan mainkan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat yang ia pelajari dari Bok Kwi Sianjin. Biarpun yang dipegangnya hanya sebatang kayu ranting biasa, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan mainkan ilmu silat yang luar biasa sekali, maka ranting di tangannya itu bergerak-gerak dan menyambar-nyambar dengan amat ganas dan lincahnya sehingga ia dapat mengimbangi permainan siang-kiam dari Cui Giok yang benar-benar hebat itu.
Gwat Kong dengan teliti sekali memperhatikan gerakan kedua pedang di tangan nona itu, dan beberapa kali ia sengaja mengadu tenaga dengan pedang di tangan kanan maupun yang di kiri.
Setelah beberapa kali mengadu tenaga, tahulah ia bahwa tangan kanan gadis itu
mempergunakan tenaga yang-kang (tenaga kasar/besar), sedangkan di tangan kiri
menggunakan tenaga Im-jin (halus/mulus), maka kedua pedang itu dapat digerakkan dengan berlainan sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
191 Kalau pedang di tangan kanan menyambar-nyambar dengan ganas luar biasa dengan
kecepatan yang menyilaukan mata, adalah pedang di tangan kiri digerakkan dengan lambat.
Akan tetapi, biarpun kelihatannya lambat, Gwat Kong maklum bahwa pedang di tangan kiri inilah yang paling berbahaya di antara kedua pedang itu, karena kelambatan dan kelemasan itu sebetulnya hanya nampaknya saja. Sebetulnya di dalam kelambatan itu mengandung kecepatan yang lebih hebat dari pada pedang di tangan kanan.
Memang agaknya tak masuk diakal dan aneh, akan tetapi hal ini memang sebetulnya.
Kecepatan di tangan kanan adalah kecepatan tenaga gadis itu sendiri yang dikerahkan dengan maksud menyerang dan membacok lawan dan pengerahan tenaga tangan untuk menggerakkan pedang inilah maka disebut bahwa tenaga tangan kanan itu adalah kasar/keras. Kecepatan hanya terletak pada sambaran senjata dan tergantung sepenuhnya dari besarnya dorongan tenaga nona itu.
Akan tetapi, pedang di tangan kiri itu tidak mengandalkan tenaga sendiri, akan tetapi mengandalkan tenaga lawan. Pedang yang nampaknya lambat apabila menyerang itu jangan sekali-kali dipandang rendah karena kalau ditangkis oleh senjata lawan, pedang ini mengambil atau mencuri tenaga lawan yang menangkis itu dan dengan dorongan tenaga yang dipinjam itu ia melakukan serangan lanjutan yang luar biasa cepatnya dan tidak diduga sama sekali oleh lawan.
Juga, setiap kali pedang di tangan kiri ini digunakan untuk menangkis serangan lawan, pedang ini tidak menggunakan tenaga kekerasan, akan tetapi menguasai atau menangkap tenaga lawan sedemikian rupa sehingga tenaga lawan yang besar itu akan lenyap sendiri. Bahkan dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melakukan serangan balasan pada saat menangkis itu juga.
Memang agak sukar untuk mengerti bagi mereka yang tidak tahu akan ilmu silat tinggi. Akan tetapi memang tenaga "im" atau tenaga dalam yang lemas ini benar-benar luar biasa. Sebagai contoh untuk memudahkan penjelasan tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga lemas adalah seperti berikut.
Kalau kita melemparkan sebuah benda yang berat ke atas udara dan kemudian benda itu kembali menimpa ke arah tangan kita, maka ada dua jalan bagi kita untuk menerima kembali jatuhnya benda itu dengan tenaga kasar dan tenaga lemas. Dengan tenaga kasar, yakni berarti bahwa kita menggunakan kekuatan kita untuk menerima benda itu begitu saja dengan mengandalkan kekuatan urat-urat di lengan kita sehingga akibatnya kalau tenaga kita lebih besar dari pada luncuran benda yang jatuh itu, maka benda tersebut akan dapat kita terima dengan mudah dan enak. Akan tetapi sebaliknya apabila tenaga luncuran benda yang jatuh itu lebih besar dari pada tenaga tangan kita banyak bahayanya tangan kita akan tertimpa sampai patah tulangnya atau keseleo dan benda itu akan terlepas dari tangan kita.
Adapun penggunaan tenaga lemas ialah apabila kita menerima benda yang meluncur dari atas itu dengan ringan tanpa menggunakan tenaga besar atau kasar. Akan tetapi dengan tenaga lemas dan lemah kita menyambutnya dan menuruti luncurannya dari atas itu ke bawah kemudian dengan hanya sedikit tenaga saja kita mendorong benda itu ke samping untuk mematahkan tenaga luncurannya yang menimpa itu kemudian dengan gaya yang baik, yakni seakan-akan merupakan kemudi bagi tenaga luncur yang seperti raksasa itu. Kita bisa Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
192 mendorong benda itu ke samping terus kembali ke atas, seakan-akan benda itu jatuh melalui sebuah pipa yang di bagian bawah dibengkokkan dan membelok ke atas lagi.
Nah, demikianlah sekedar penjelasan singkat tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga lemas. Permainan pedang di kedua tangan Sie Cui Giok adalah berdasarkan tenaga kasar dan lemas maka ilmu pedang ini disebut Im-yang Siang-kiam-hoat atau ilmu pedang pasangan Im dan Yang. Gwat Kong benar-benar merasa kagum karena setelah ia mengerahkan seluruh kepandaiannya berdasarkan permainan tongkat Sin-hong Tung-hoat yang baru-baru ini dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, ia tetap saja terdesak oleh sepasang pedang itu sehingga ia harus menambah ekstra kegesitan tubuhnya agar jangan sampai terbabat atau tertusuk pedang nona itu.
"Ha ha! Tak tahunya Sin-hong Tung-hoat yang ternama itu hanya begini saja!" tiba-tiba nona itu menyindir dan memutar kedua pedangnya lebih hebat dan lebih cepat lagi mendesak Gwat Kong dengan serangan-serangan berbahaya dan yang paling lihai dari ilmu pedangnya.
Selain sibuk menghadapi desakan serangan ini, juga hati Gwat Kong merasa amat
mendongkol mendengar sindiran yang memandang rendah ilmu tongkatnya ini. Kalau saja ia sudah melatih cukup masak, belum tentu ia akan kalah, pikirnya dengan mendongkol. Ia tahu bahwa kekalahannya yang membuat ia amat terdesak ini tak lain hanya karena kalah latihan.
Ia dapat menduga bahwa melihat kemahiran nona ini mainkan ilmu pedangnya, tentu ia telah melatih ilmu pedang ini bertahun-tahun lamanya. Maka ia segera berseru marah dan tiba-tiba ia melempar rantingnya ke atas tanah dan tahu-tahu pedang Sin-eng-kiam pemberian Bu-engsian Leng Po In dulu telah berada di tangannya, berkilau-kilau mendatangkan sinar putih yang panjang.
"Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Sin-eng Kiam-hoat!" seru nona baju kuning itu. "Benar-benar hebat ataukah hanya namanya saja yang hebat seperti Sin-hong Tung-hoat yang kau mainkan tadi!"
Saking mendongkolnya, Gwat Kong tak dapat menjawab sindiran ini dan segera menyerang dengan pedangnya sambil membentak, "Awas pedang!"
Kini pertempuran menjadi lebih hebat lagi, karena sungguhpun Sin-hong Tung-hoat yang baru tadi dimainkan oleh Gwat Kong tak kalah hebatnya, akan tetapi ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat telah dilatihnya lama juga dan ia lebih biasa menggerakkan pedang dari pada menggerakkan ranting tadi. Ketika memutar pedang tunggalnya, maka lenyaplah tubuhnya tertutup oleh sinar pedangnya itu karena Cui Giok juga tidak mau kalah dan mainkan sepasang pedangnya dengan cepat, maka yang nampak sekarang adalah tiga sinar pedang yang saling menggulung, seakan-akan seekor naga jantan yang gagah perkasa dikeroyok oleh sepasang naga betina yang memiliki gerakan indah.
Pertempuran ini benar-benar ramai dan hebat, jauh lebih ramai dari pada pertempuran yang pernah dihadapi oleh Cui Giok maupun Gwat Kong. Keadaan mereka benar-benar berimbang.
Dalam hal gerakan ilmu pedang, Gwat Kong masih kalah mahir, dan hal ini adalah karena ia memang kalah latihan. Cui Giok semenjak kecil digembleng oleh engkongnya (kakeknya) dan telah belasan tahun ia mempelajari ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat ini, maka setiap gerakannya amat sempurna.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
193 Akan tetapi sebaliknya, gadis ini masih kalah dalam hal lweekang karena Gwat Kong telah mendapat latihan dari dua macam ilmu silat tinggi. Ginkang mereka setingkat, mereka sama-sama maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, yang lebih dulu kehabisan napas dan tenaga, dialah yang akan kalah. Dan sebelum mereka kehabisan tenaga dan napas, entah beberapa ratus jurus mereka sanggup bertahan. Sementara itu, keadaan telah mulai menjadi remang-remang, tanda bahwa senjakala telah hampir terganti malam.
Gwat Kong merasa sudah cukup menguji ilmu kepandaian gadis itu, maka tiba-tiba ia berseru keras dan gerakan pedangnya berubah hebat. Cui Giok terkejut sekali dan hampir saja pundaknya terkena sambaran ujung pedang pemuda itu. Gwat Kong makin gembira melihat hasil perubahan ini dan menyerang makin hebat. Benar saja, Cui Giok menjadi terdesak dan gadis ini nampak sibuk sekali.
Ternyata bahwa Gwat Kong telah mencampur adukkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat. Ilmu pedang dan ilmu tongkat memang berbeda, akan tetapi banyak pula persamaannya, yakni dalam hal serangan menusuk dan membacok.
Hanya berbeda, pedang menusuk untuk menembus kulit daging lawan sedangkan tongkat menusuk ke arah jalan darah lawan. Diserang dengan ilmu silat campuran yang memang luar biasa ini, Cui Giok benar-benar merasa bingung dan akhirnya ia merasa bahwa ia takkan kuat menghadapi pemuda yang luar biasa ini, Maka ia lalu melompat ke belakang dan melarikan diri.
Gwat Kong merasa tidak puas. Setelah bertempur sekian lamanya, ia harus dapat
mengalahkan gadis itu, atau setidaknya nona itu harus mengakui bahwa Im-yang Kiam-hoat masih kalah oleh ilmu silatnya yang campuran ini. Maka melihat nona itu melarikan diri, ia juga berlari cepat mengejar.
Sie Cui Giok berlari menuju ke utara dan tiba-tiba di depannya terdapat sebatang anak sungai yang cukup lebar dan airnya jernih itu nampak kehijauan, tanda bahwa sungai itu cukup dalam. Pemandangan di situ amat indahnya karena pohon-pohon dan bunga tumbuh di kedua tepi sungai, dan di situ terdapat pula sebuah jembatan terbuat dari pada tiga batang bambu yang disambung-sambung.
Rupa-rupanya para pemburu binatang yang membuat jembatan darurat ini.
Tanpa pikir panjang lagi Cui Giok lalu melompat dan berlari melalui bambu itu. Bambu itu ketika diinjak dengan keras lalu bergerak-gerak dan bukan main sukarnya melintasi bambu-bambu yang kecil, licin dan bergerak-gerak ini. Akan tetapi gadis itu sudah tak dapat kembali lagi, karena ia melihat Gwat Kong sudah tiba di pinggir sungai pula dan agaknya hendak melintasi jembatan itu pula.
"Awas nona, kau nanti jatuh!" Gwat Kong berseru kaget melihat betapa tubuh nona itu bergerak-gerak di atas bambu yang bergoyang-goyang. Ia sendiri tidak berani melompat ke atas jembatan karena maklum bahwa kalau ia ikut melompat, bambu-bambu itu belum tentu kuat menahan beratnya dua tubuh orang.
Cui Giok agaknya akan dapat menyeberang dengan selamat, akan tetapi tiba-tiba gadis itu berteriak ketakutan. Di tengah-tengah jembatan itu terdapat seekor tikus hutan yang besar dan yang sedang menyeberangi jembatan itu pula. Dan Cui Giok termasuk seorang di antara para gadis yang jijik dan takut serta geli melihat tikus. Wajahnya pucat, dan ia menjadi begitu takut Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
194 dan kaget sehingga ia tidak dapat mengatur imbangan tubuhnya lagi. Dengan teriakan ngeri, gadis itu terpeleset dari jembatan bambu dan tubuhnya melayang ke bawah.
"Jebur!!" Air memercik tinggi dan Gwat Kong menahan napas ketika melihat betapa tubuh gadis itu timbul dipermukaan air dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi, tanda seorang yang tak dapat berenang. Gadis itu memandangnya seketika, kemudian tenggelam timbul dengan tangan terangkat. Keadaannya sungguh menyedihkan sekali.
Bab 22 " SUNGGUHPUN ia sendiri tak amat pandai berenang, akan tetapi kalau hanya berenang dan menolong orang tenggelam saja Gwat Kong masih sanggup, maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu melompat dan terjun ke bawah.
"Jebur!!" Air memercik lagi tinggi-tinggi dan Gwat Kong menggunakan kakinya untuk mengangkat tubuh ke permukaan air. Kepalanya telah tersembul ke atas. Ia memandang ke kanan kiri. Akan tetapi ia tidak melihat tubuh gadis yang sedang hanyut tadi!
"Nona ..... nona ....!" Ia berteriak-teriak dengan panik menyangka bahwa nona itu tentu tenggelam. Ia berenang ke sana ke mari sampai kaki dan tangannya terasa lemas karena selain ia tidak biasa berenang, juga rasa lelah cepat membuatnya lemas.
Tiba-tiba Gwat Kong melihat ke pinggir sungai dan nampak nona baju kuning itu sedang duduk dalam keadaan basah kuyup, dan sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.
Gwat Kong merasa seakan-akan hidungnya dipukul dari depan. Dengan gemas ia dapat menduga bahwa tadi gadis ini hanya berpura-pura belaka. Dengan susah payah, Gwat Kong lalu berenang ke pinggir sambil diam-diam menyumpahi ketololannya sendiri.
Ia merayap ke atas melalui tanah lumpur sehingga ketika ia telah berhasil duduk di dekat nona itu dengan napas terengah-engah, seluruh pakaiannya kotor terkena lumpur dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Dalam keadaan basah dan hawa senja amat dinginnya itu, Gwat Kong merasa amat tidak enak. Akan tetapi, tidak hanya tubuhnya terasa tidak enak, malah hatinya terasa lebih-lebih tak enak lagi. Ia merasa mendongkol sekali, apalagi ketika melihat betapa gadis itu memandangnya seperti seorang kakak memandang adiknya yang tolol.
"Nona, kau benar-benar keterlaluan!" katanya.
Cui Giok bangun berdiri, mencari-cari, lalu membungkuk dan mengumpulkan daun-daun dan ranting kering. "Sebelum mengobrol, lebih baik membuat api unggun untuk mengusir dingin dan mengeringkan pakaian," katanya.
Gwat Kong menyetujui usul ini dan juga berdiri lalu membantu pengumpulan kayu-kayu kering yang ditumpuk di dekat sungai itu. Lalu mereka membuat api dan tak lama kemudian mereka duduk di dekat api unggun yang bernyala besar dan hangat.
"Kau benar-benar keterlaluan!" kata Gwat Kong sambil membuka jubah luarnya dan memanggangnya di dekat api setelah diperasnya tadi.
"Mengapa keterlaluan?" Nona itu balas memandang sambil melonjorkan kakinya ke dekat api karena sepatu dengan kaos kaki yang masih basah itu terasa tidak enak sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
195 "Kukira tadi kau betul-betul akan tenggelam sehingga aku melompat ke air. Kalau aku tahu kau pandai berenang, untuk apa aku bersusah payah sampai basah semua macam ini?"
Nona itu tertawa dan bukan main manisnya kalau ia tertawa. Dekik-dekik manis sekali menghias kanan kiri mulutnya. "Hmm, memang kau seorang muda yang usilan dan selalu mencampuri urusan orang lain. Siapakah yang minta kau menolongku" Apakah kau
mendengar aku menjerit minta tolong?"
Terpaksa Gwat Kong harus mengakui bahwa gadis itu tadi memang tidak minta tolong. Akan tetapi mengapa kedua tangan gadis itu bergerak seakan-akan tak pandai berenang dan akan tenggelam" Diam-diam Gwat Kong dapat menduga bahwa gadis ini selain cerdik sekali, juga mempunyai kejenakaan. Sifatnya ini membuatnya teringat akan Tin Eng dan diam-diam ia memandang dengan penuh perhatian.
Biarpun tubuhnya telah mulai hangat karena terpanggang api dari luar, namun ia masih merasa dingin perutnya. Maka Gwat Kong lalu mengeluarkan guci araknya dan membuka tutupnya. Ia mengulurkan tangan menawarkan minuman itu kepada Cui Giok.
"Minumlah supaya perut menjadi hangat!"
Cui Giok menerimanya dan memandang guci perak itu dengan kagum dan tanyanya,
"Mana cawannya?"
Gwat Kong menggeleng kepala. "Aku tidak pernah membawa cawan."
"Habis bagaimana minumnya?"
"Teguk saja dari mulut guci!"
"Kau kira aku setan arak?" kata Cui Giok. Akan tetapi karena iapun merasa betapa perut dan dadanya dingin, ia lalu membawa mulut guci itu ke bibirnya dan menuangkan sedikit isinya ke dalam mulut. Ia merasai minuman yang manis dan wangi, sama sekali berbeda dengan arak biasa, akan tetapi juga mempunyai sifat panas seperti arak. Ia menunda minumnya, dan memandang kepada pemuda itu dengan heran dan mata mengandung pertanyaan.
"Itu sari buah, bukan arak biasa. Disebut arak obat oleh suhu, baik untuk peredaran darah."
Cui Giok tersenyum lalu minum lagi beberapa teguk. Benar saja, tubuhnya terasa hangat dan enak setelah arak obat itu mengalir masuk ke dalam perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Gwat Kong yang menerimanya dan terus meneguknya dengan gaya seorang ahli minum benar-benar.
Melihat betapa pemuda itu tidak membersihkan atau menghapus dulu mulut guci yang tadi menempel di bibirnya dan terus meneguknya, tak terasa lagi muka gadis itu menjadi merah karena jengah. Akan tetapi melihat cara pemuda itu minum arak ia teringat akan sesuatu dan setelah Gwat Kong menurunkan guci dan menutupnya kembali, Cui Giok berkata,
"Kau, tentulah Kang-lam Ciu-hiap yang disohorkan orang!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
196 Gwat Kong tercengang, akan tetapi ia memandang kepada guci araknya dan tersenyum. "Kau pandai sekali menghubungkan sesuatu. Tentu guci arakku ini yang telah membuka rahasia.
Nona bicaramu seperti orang selatan. Apakah benar-benar kau ahli waris Im-yang Siang-kiam-hoat sebagaimana yang aku dengar tadi" Telah lama sekali aku mendengar dari suhu tentang kelihaian Im-yang Siang-kiam dan hari ini benar-benar aku membuktikan kebenaran ucapan suhu itu. Ilmu pedangmu benar-benar hebat!"
Merahlah wajah gadis itu. "Kalau kau tidak mengeluarkan ilmu silat cap-jai itu, ilmu pedangku takkan kalah oleh Sin-eng Kiam-hoat atau Sin-hong Tung-hoat!"
Gwat Kong tersenyum mendengar betapa ilmu silat campuran yang ia mainkan tadi untuk mengalahkan gadis ini disebut ilmu silat cap-jai.
"Memang Im-yang Siang-kiam hebat sekali," ia memuji. "Nona sebetulnya siapakah kau dan hendak pergi ke mana?"
Nona itu memandang dengan mata yang tajam, lalu menjawab,
"Kau yang mengejarku dan karena gara-gara kau aku menjadi basah semua, maka sudah sepatutnya kalau kau yang menceritakan lebih dulu siapa kau ini dan apa maksudmu mengejarku tadi!"
Kembali Gwat Kong tertegun karena banyak sekali persamaan watak gadis ini dengan Tin Eng akan tetapi ia mengalah dan mulai menuturkan keadaan dirinya.
"Aku bernama Gwat Kong, she Bun seorang ..... biasa saja, tidak ada apa-apa yang aneh padaku dan .... eh, apalagi yang harus kuceritakan padamu?"
Ia memandang dengan bingung sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Ketika ia melihat betapa mata gadis itu memandang dengan lucu seakan-akan mentertawakannya, ia buru-buru melanjutkan penuturannya.
"Aku Bun Gwat Kong ... eh, sudah kukatakan tadi .... hmmm ........ kau juga sudah tahu bahwa aku disebut Kang-lam Ciu-hiap. Aku yatim piatu, sebatang kara tak berhandai taulan, tiada kawan kenalan, dan aku ..... tadi tanpa kusengaja aku melihat sepak terjangmu dan mendengar bahwa kau adalah ahli waris Ilmu pedang Im-yang Siang-kiam. Oleh karena itu, aku sengaja hendak berkenalan dengan ilmu pedangmu."
Gwat Kong menarik napas lega karena dapat bicara lancar dan dapat menyelesaikan penuturan itu, karena sesungguhnya belum pernah ia menuturkan riwayatnya sendiri di depan orang lain, terutama kalau orang lain itu seorang gadis muda yang memandangnya dengan sepasang mata yang bersinar demikian tajam dibarengi bibir menahan senyum geli seakan-akan mentertawakan.
"Jadi, kau murid Bok Kwi Sianjin?"
"Benar"
"Kalau begitu, untung aku bertemu dan bertempur dengan kau!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
197 Gwat Kong memandang heran. "Mengapa bertempur dengan aku, kau anggap untung?"
"Kalau tidak bertemu dan bertempur dengan kau, tentu aku akan bertemu dengan Bok Kwi Sianjin!"
"Nona, apa maksudmu?"
Sie Cui Giok menarik napas panjang dan berkata sambil mulai menguncir kembali rambutnya yang telah mulai kering. Tadi ia melepaskan kuncirnya sehingga rambut terurai di atas pundaknya.
"Untuk menjelaskan maksud kata-kataku tadi, terpaksa aku harus menceritakan riwayatku."
"Ceritakanlah!" kata Gwat Kong dengan gembira dan penuh perhatian.
"Namaku Cui Giok, she Sie. Keluargaku tinggal di daerah selatan, di propinsi Ciang-si. Aku memang keturunan langsung dari pencipta Im-yang Kiam-hoat, yakni Sie Cui Lui, kakekku.
Ayah telah meninggal dunia semenjak aku masih kecil. Ibu tinggal bersama kakek dan nenek.
Jadi nasibku tak banyak bedanya dengan kau.
"Tapi kau masih punya ibu!" Gwat Kong mencela.
"Ya, akan tetapi ada ibu tidak ada ayah, apa artinya?"
"Tapi kau masih punya kakek, punya nenek!" Gwat Kong mengejar dan mendesak lagi.
Cui Giok memandangnya dan tersenyum, "Sudahlah, biar kau menang! Memang nasibmu lebih buruk. Semenjak kecil aku mendapat latihan Im-yang Kun-hoat dan kiam-hoat dari kakekku."
"Kemudian aku mulai melakukan perjalanan perantauan, yakni kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Aku mendapat dua macam pesanan dari kakek yang merupakan tugas bagiku dan belum terlaksana. Pertama-tama kalau aku kebetulan lewat di daerah di mana tinggal Bok Kwi Sianjin, aku harus menemuinya dan mengajak pibu sebagai wakil dari kakekku yang menjadi kawan baik Bok Kwi Sianjin! Karena kakek berpesan bahwa pibu ini harus dilakukan secara persahabatan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Maka setelah kini bertemu dengan kau yang menjadi murid Bok Kwi Sianjin, bahkan kita sudah bertempur pula, kurasa tugas pertama ini sudah kupenuhi!"
Gwat Kong mengangguk-angguk. "Kurasa memang benar begitu!" Ia sengaja membenarkan pandangan nona ini agar nona yang karena hari ini tidak mencari suhunya untuk mengajak pibu.
"Karena inilah maka tadi kukatakan untung telah bertempur dengan kau!" kata pula nona itu dan karena melihat betapa api unggun itu mengecil karena kayu bakarnya telah hampir habis, ia berkata,
"Apa ini perlu ditambah bahan bakar lagi?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
198 Gwat Kong tersenyum, karena ia maklum bahwa secara tidak langsung, gadis ini minta ia mencari tambahan kayu kering. Tak terasa lagi, ketika ia mencari kayu kering di bawah-bawah pohon, ia mendapat kenyataan bahwa pada saat itu senja telah terganti malam. Ia cepat mengumpulkan kayu kering dan menambahkannya pada api unggun itu yang segera
membesar lagi nyalanya.
"Dan apakah adanya pesan kedua dari kakekmu?" tanya Gwat Kong setelah menambah kayu pada api itu dan duduk di atas rumput lagi.
Untuk beberapa lama gadis itu tidak menjawab, kemudian tiba-tiba ia berkata, "Kau putarlah tubuhmu dan harap duduk membelakangiku, jangan sekali-kali melihat aku!"
Tentu saja Gwat Kong menjadi bengong dan memandang dengan terheran-heran lalu
bertanya, "Bagaimanakah ini" Jawabanmu sama sekali tidak sejalan dengan pertanyaanku.
Dan mengapa aku harus duduk membelakangimu" Apakah mukaku begitu mengerikan dan menjijikan sehingga kau tidak kuat memandang lebih lama lagi" Kalau kau tidak tahan duduk lebih lama di dekatku, katakanlah saja, aku bersedia untuk pergi!"
"Bodoh!" gadis itu menjawab dengan muka merah. "Pakaianku telah kering, akan tetapi sepatu dan kaos kaki ini sukar sekali keringnya. Kalau dibiarkan basah amat tidak enak maka aku hendak membuka dan memanggangnya dekat api. Karena itu kau harus memutar
tubuhmu!" Merahlah muka Gwat Kong mendengar ini dan cepat-cepat ia memutar tubuhnya
membelakangi gadis itu. Ia mendengar suara sepatu dan kaos kaki dilepas dan diam-diam ia tersenyum geli. Gadis ini berani, tabah dan lucu.
"Bagaimana kau begitu percaya kepadaku" Mengapa kau begitu yakin bahwa aku bukan seorang laki-laki kurang ajar yang akan menengok dan melihatmu pada saat ini?" tanya Gwat Kong tanpa menggerakkan kepalanya.
"Tak mungkin! Laki-laki seperti kau takkan berani berbuat sekurang ajar itu!"
Gwat Kong menggigit bibirnya. Benar-benar berani sekali gadis itu, lebih berani dari Tin Eng.
Ia merasa heran mengapa malam ini ia bisa duduk-duduk di dekat api unggun bersama seorang gadis yang tadinya sama sekali tak pernah dikenalnya, bercakap-cakap bagaikan dua sahabat baik. Baru saja bertemu dan berkenalan belum beberapa lama, ia telah merasa dekat sekali dengan nona ini, sama sekali tidak merasa asing, seakan-akan gadis ini adalah adik perempuan sendiri.
Ia terkenang kepada Tin Eng, gadis yang telah merebut hatinya itu. Alangkah senangnya kalau saja ia bisa melakukan perjalanan bersama Tin Eng, duduk di pinggir sungai di dekat api unggun seperti sekarang ini.
"Gwat Kong, mengapa kau diam saja?"
Gwat Kong terkejut. Gadis ini tanpa banyak peraturan lagi telah memanggilnya berani.
Hampir saja ia lupa menengok. Untung ia masih teringat dan menjawab,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
199 "Aku sedang memikirkan tentang tugasmu yang kedua yang dipesankan oleh kakekmu. Kau belum menceritakannya itu kepadaku."
Terdengar gadis itu tertawa perlahan. "Kau benar-benar seorang pemuda yang ingin mengetahui segalanya seperti watak seorang perempuan saja. Baiklah, dari pada kita diam saja akan kuceritakan kepadamu. Pesan kakekku yang kedua ialah bahwa aku harus mencari Liok-te Pat-mo (Delapan Iblis Bumi) dan membalaskan sakit hati kakekku kepada mereka.
Karena mencari mereka itulah maka aku sampai di tempat ini."
"Siapakah delapan iblis bumi itu" Namanya amat mengerikan!"
"Ilmu kepandaian mereka lebih mengerikan lagi," kata gadis itu. "Mereka adalah ahli-ahli ilmu golok Pat-kwa To-hoat."
Gwat Kong terkejut sehingga ia menengok. Akan tetapi untung bahwa ia hanya memandang muka gadis itu dan segera membalikkan kepala kembali sebelum melihat kaki gadis itu yang telanjang. (Pada masa itu, kaki seorang wanita dianggap sebagai bagian tubuh yang tak boleh diperlihatkan kepada sembarangan orang, terutama kepada laki-laki, seperti halnya anggauta tubuh lain yang dirahasiakan dan ditutup).
"Aku pernah mendengar dari suhu bahwa Pat-kwa To-hoat adalah ilmu golok yang menjagoi di daerah utara, yang kedudukannya sama tingginya dengan Im-yang Siang-kiam-hoat!"
"Memang suhumu berkata benar," jawab Cui Giok perlahan. "Di empat penjuru, Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Im-yang Siang-kiam-hoat dari selatan dan Pat-kwa To-hoat dari utara telah amat terkenal. Kurasa Pat-kwa To-hoat tidak kalah hebatnya dari ilmu pedangmu Sin-eng Kiam-hoat atau ilmu tongkatmu Sin-hong Tung-hoat."
"Akan tetapi, mengapa pula kakekmu bermusuhan dengan mereka?"
Untuk beberapa lama Cui Giok tidak menjawab dan Gwat Kong mendengar betapa gadis itu mengenakan kembali kaos kaki dan sepatunya pada kakinya.
"Sekarang kau boleh memutar tubuhmu."
Gwat Kong memutar duduknya dan menghadapi gadis itu yang menarik napas panjang dan kelihatan senang dan puas.
"Aaah ..... katanya senang. "Sekarang enaklah rasanya kedua kakiku. Hangat sekali!"
Gwat Kong merasa betapa sepatunya yang basah memang mendatangkan rasa dingin pada telapak kakinya yang menjalar naik ke perut dan dada, maka iapun lalu melepaskan kedua sepatunya dan mendekatkannya pada api.
"Kau pandai memancing cerita orang," kata Cui Giok. "Karena untuk menjawab
pertanyaanmu terpaksa aku harus menuturkan pula riwayat Liok-te Pat-mo itu dan mengapa mereka sampai dibenci oleh kakekku."
Gwat Kong merasa betapa ia memang keterlaluan semenjak tadi hanya menjadi pendengar saja dan ia belum menuturkan riwayatnya sendiri.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
200 "Biarlah kau menuturkan ceritamu dulu, Cui Giok, nanti baru tiba giliranku untuk bercerita.
Aku berjanji akan menceritakan keadaanku seluruhnya. Tentang riwayatku mempelajari ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan lain-lain!"
"Nah, itu baru adil namanya!" Cui Giok berseru girang. Nah, sekarang dengarlah. Ilmu golok Pat-kwa To-hoat diciptakan oleh mendiang Lok Kong Hosiang yang tinggal di propinsi Ce-kiang. Sebagaimana sering kali terjadi pada ahli-ahli silat yang pandai, Lok Kong Hosiang ternyata telah salah menerima murid. Murid tunggalnya ini bernama Ang Sun Tek, seorang yang amat pandai membawa diri sehingga setiap orang akan menganggapnya sebagai seorang pemuda yang amat berbudi. Oleh karena inilah maka Lok Kong Hosiang sampai tertipu olehnya dan telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada pemuda she Ang itu. Ang Sun Tek mempelajari Pat-kwa To-hoat sampai sempurna betul dan tidak ada satupun gerakan yang belum ia pelajari dari Lok Kong Hosiang. Kemudian, suhunya anggap ia telah tamat belajar dan menyuruhnya mencari pengalaman di dunia kang-ouw. Akan tetapi, begitu ia turun gunung, ia membuka kedoknya dan nampaklah wajah serigala kejam di balik kedok domba itu. Ang Sun Tek berubah menjadi seorang penjahat yang kejam, yang melakukan segala macam perbuatan hina. Merampok, membunuh, mengganggu anak bini orang, ah ....
pendeknya segala macam perbuatan jahat tidak ada yang tak dilakukan oleh penjahat itu!"
"Benar-benar manusia rendah budi dan bejat akhlak!" seru Gwat Kong.
"Bukan itu saja," Cui Giok melanjutkan penuturannya. "Bahkan ia lalu mengumpulkan kawan-kawan lamanya yang terdiri dari orang-orang jahat. Kemudian memilih empat pasang saudara yang berbakat, yakni dia dan adiknya sendiri yang bernama Ang Sun Gi dan tiga pasang saudara lain she Liem, Thio dan Tan. Empat pasang saudara ini merupakan delapan orang muda yang berbakat baik. Kemudian Ang Sun Tek melatih tujuh orang kawannya ini dengan ilmu Pat-kwa To-hoat itu. Memang ia memiliki kecerdikan yang luar biasa, sehingga ia dapat menciptakan Pat-kwa-tin (Barisan Pat-kwa atau segi delapan), dan pat-kwa-tin inilah yang hebat luar biasa. Entah berapa banyak orang gagah tewas dalam menghadapi Pat-kwa-tin ini. Karena setelah membentuk delapan sekawan ini, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya makin mengganas dan berlaku sewenang-wenang, maka mereka diberi julukan Liok-te Pat-mo atau Delapan Iblis Bumi dan banyak orang gagah datang untuk menumpasnya. Akan tetapi mereka semua dipukul hancur, ada yang terluka, ada pula yang tewas. Bahkan, ketika Lok Kong Hosiang mendengar hal ini dan datang pula untuk menghukum muridnya, ia disambut dengan keroyokan delapan orang itu. Ang Sun Tek telah menyerang dan
mengeroyok gurunya sendiri mempergunakan Pat-kwa-tin!"
"Benar-benar manusia bong-im-pwe-gi (tak mengenal budi)!" seru Gwat Kong gemas.
Sebagai pencipta dari Pat-kwa To-hoat, tentu saja Lok Kong Hosiang dapat menghadapi dengan baik Pat-kwa-tin itu, yang diciptakan oleh muridnya berdasarkan Pat-kwa To-hoat pula. Akan tetapi, hwesio itu telah amat tua ketika meghadapi keroyokan mereka dan pula, ia tidak tega untuk membunuh delapan orang-orang muda itu, sehingga akhirnya dia sendirilah yang menderita luka-luka parah dan terpaksa melarikan diri."
"Terkutuklah si jahanam Ang Sun Tek!" Gwat Kong memaki marah.
"Lok Kong Hosiang adalah sahabat baik dari kakekku dan ketika kakekku mendengar akan hal itu, ia segera mencari Lok Kong Hosiang di propinsi Ce-kiang. Akan tetapi, kakek Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
201 terlambat karena ketika ia tiba di kelenteng tempat tinggal Lok Kong Hosiang, hwesio itu telah menghembuskan napas terakhir."
"Hmmm, muridnya sendiri yang membunuhnya! Benar-benar manusia she Ang itu harus dibinasakan!" kata Gwat Kong sambil mengepal tinjunya.
"Kakek juga berpikir begitu, maka kakekku lalu pergi mencari mereka ke kota Sianuang di propinsi Ce-kiang."
"Bagus!" kata Gwat Kong memuji.
"Sama sekali tidak bagus!" Cui Giok mencela. "Ternyata bahwa kakekku sendiri masih tak cukup kuat menghadapi Pat-kwa-tin mereka sehingga hampir saja kakek mendapat celaka.
Untung kakek masih dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, kakek merasa amat terhina dan malu karena dikalahkan oleh mereka!"
"Sungguh lihai!" Gwat Kong memuji.
"Memang mereka lihai sekali. Akan tetapi aku tidak takut kepada mereka. Kakek telah menggemblengku dan menurut pendapat kakek, kepandaianku telah lebih kuat dari pada keadaan kakekku ketika menyerbu Pat-kwa-tin itu. Aku telah menyusul ke Ce-kiang. Akan tetapi ternyata bahwa sekarang Liok-te Pat-mo telah pindah dan mereka itu telah diangkat menjadi busu (perwira istana kaisar). Bahkan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya merupakan pasukan perwira istana yang istimewa dan mereka tinggal di kota raja."
"Jadi sekarang kau hendak menyusul ke kota raja?"
"Tentu saja! Jangankan ke kota raja, biarpun mereka itu pindah ke pulau api, aku tentu akan mengejar mereka!" kata Cui Giok dengan suara gagah.
"Akupun akan ke sana dan membantumu!"
Cui Giok memandangnya dan merengut.
"Apa kau kira aku takut kepada mereka dan memerlukan bantuanmu?"
"Bukan begitu. Akupun ingin sekali mencoba kepandaian mereka yang sombong dan jahat hati itu. Suhu pernah bercerita tentang adanya Pat-kwa To-hoat. Agaknya suhu belum tahu tentang kejahatan anak murid Pat-kwa To-hoat ini. Kalau suhu tahu tentu aku diperintahkan pula untuk menghancurkan mereka!"
Tiba-tiba Cui Giok tersenyum lebar. "Bagus kalau begitu, empat besar akan bertemu di kota raja. Dengan adanya kau, aku merasa lebih yakin bahwa mereka tentu akan mengalami kehancuran. Aku tidak malu datang bersama kau mencari mereka, karena merekapun delapan orang!"
"Terima kasih Cui Giok. Kau baik sekali dan aku girang kau percaya kepadaku."
"Sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu semenjak kau terlahir sampai sekarang!" kata Cui Giok yang mengumpulkan daun kering ditumpuk lalu ia membaringkan tubuhnya berbantal daun kering setumpuk itu, di dekat api.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
202 Gwat Kong tersenyum geli mendengar ucapan itu, maka dengan singkat ia lalu bercerita tentang riwayatnya, tentang ayahnya yang difitnah oleh hartwan Tan, tentang ibunya yang hidup sengsara dan menderita. Kemudian ia menceritakan pula betapa ia bekerja sebagai pelayan di rumah pembesar she Liok dan bagaimana ia menemukan kitab ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat secara kebetulan.
Pendeknya ia menceritakan seluruh riwayatnya, kecuali tentu tentang Tin Eng ia tidak menceritakan sama sekali. Lama juga ia bercerita sambil memandang ke arah api dengan pikiran melayang ke masa lampau. Setelah ia berhenti bercerita dan memandang kepada Cui Giok karena gadis itu semenjak tadi diam saja tidak bersuara sedikitpun, ia melengak. Karena ternyata bahwa nona baju kuning itu telah tidur pulas!
Gwat Kong merasa mendongkol sekali karena agaknya sudah sejak tadi gadis itu tertidur sehingga tadi ia bercerita kepada .... api unggun! Akan tetapi ia merasa geli juga dan memandang kepada gadis itu dengan hati girang karena ia merasa suka melihat sikap gadis itu yang begitu terbuka. Ia percaya bahwa Cui Giok bukan tertidur karena kesal mendengar ceritanya. Akan tetapi karena memang benar-benar ia lelah sekali sehingga tertidur tanpa terasa lagi.
Gwat Kong mencari ranting-ranting kering untuk menambah bahan bakar, kemudian iapun duduk melenggut bersandarkan pohon dan tak lama kemudian iapun tertidur.
Pada keesokan harinya, pundaknya digoyang-goyang orang dan ketika ia terbangun ia mendengar suara Cui Giok. "Bangun! Bangunlah, pemalas benar."
Gwat Kong membuka matanya dan melihat bahwa malam telah berganti pagi dan api unggun di depannya telah padam. Cui Giok nampak segar. Agaknya gadis ini pagi-pagi telah mandi di sungai itu. Melihat pakaiannya sendiri yang masih kotor berlumpur, Gwat Kong lalu membuka buntalan pakaiannya karena pakaian ini telah kering dan bersih. Kemudian ia berlari menuju ke sungai untuk mandi dan bertukar pakaian. Ketika ia kembali ke tempat itu, ternyata Cui Giok memanggang dua potong daging kelinci di atas api unggun. Bau daging panggang yang sedap itu membuat perut Gwat Kong berbunyi keras dan panjang.
"Aduh sedapnya!" ia berkata sambil menelan ludah.
Cui Giok mengerling dan berkata, "Akan kuberikan sepotong kepadamu asal kau duduk dengan baik dan menceritakan riwayatmu kepadaku. Kau belum menceritakannya sedangkan aku telah menuturkan semua riwayatku."


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa bilang belum kuceritakan" Semalam telah kuceritakan semua dari awal sampai akhir.
Akan tetapi kau telah tertidur dan tidak mendengarkannya sama sekali!"
"Benarkah .....?"" Suara ini terdengar demikian kecewa dan wajah yang manis itu nampak demikian menyesal sehingga Gwat Kong segera berkata, "Ah, tidak, aku membohong. Kau memang tertidur dan akupun menghentikan ceritaku. Nah, kau makanlah daging itu, aku akan menuturkan riwayatku dengan singkat!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
203 Demikianlah, Gwat Kong untuk kedua kalinya menuturkan riwayatnya dan beberapa kali ia memandang tajam, takut kalau-kalau ia dipermainkan lagi. Akan tetapi melihat perhatian yang dicurahkan oleh Cui Giok, ia maklum bahwa gadis itu tidak mempermainkannya.
Setelah daging itu matang, mereka makan dengan lezat dan enaknya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja untuk mencari Liok-te Pat-mo si delapan iblis bumi.
Di sepanjang jalan mereka merasa gembira dan cocok sekali, bagaikan dua orang sahabat yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat.
**** Setelah merobohkan Lui Siok si Ular Belang yang menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang dan menjadi suheng (kakak seperguruan) Gan Bu Gi, kemudian melukai kuda yang ditunggangi oleh Song Bu Cu ketua Hek-i-pang sehingga ketua itu bersama Gan Bu Gi tak berdaya dan tak dapat mengejar. Tin Eng dan Kui Hwa melarikan kuda mereka dengan senang dan di sepanjang jalan kedua orang nona pendekar ini tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya.
"Aah, cici Hwa, benar-benar puas hatiku dapat mempermainkan mereka! Ha ha ha !! Kedua ketua dari Hek-i-pang bersama si keparat Gan Bu Gi itu telah mendapat hinaan dari kita berdua. Aah, sungguh senang melakukan perjalanan dengan kawan segagah engkau, enciku yang baik."
Sebaliknya Kui Hwa menarik napas panjang. "Akan tetapi aku merasa kecewa, adik Eng.
Kalau saja aku dapat bertemu berdua saja dengan Gan Bu Gi, tanpa adanya bantuan dari Lui Siok dan Song Bu Cu yang tangguh tentu pedangku akan menamatkan riwayat pemuda jahanam itu!"
"Enci Hwa, mengapakah sebetulnya maka kau amat membenci Gan Bu Gi" Dahulu kau
mengatakan bahwa orang she Gan itu pernah menyakitkan hatimu. Penghinaan apakah yang telah ia perbuat?"
Tiba-tiba Kui Hwa menghentikan kudanya bahkan lalu turun dan pergi duduk di tepi jalan di bawah sebatang pohon. Tin Eng juga melompat turun dan melihat betapa kedua mata Kui Hwa tiba-tiba menjadi merah dan beberapa titik air mata turun membasahi pipinya. Tin Eng merasa terkejut sekali. Ia memegang tangan kawannya itu dan bertanya, "Ah, maafkan aku telah menyinggung perasaan hatimu, enci Hwa."
Alangkah herannya ketika ia melihat Kui Hwa tiba-tiba menangis sedih, menutupi mukanya dan dengan ujung lengan baju dan tak dapat menjawab, hanya terisak-isak.
"Enci Kui Hwa, agaknya orang she Gan itu telah memberikan sesuatu yang hebat kepadamu.
Ketahuilah bahwa aku juga menderita oleh karena dia."
Kui Hwa mengangkat mukanya yang merah dan memandang kepada Tin Eng. Ucapan Tin Eng ini benar-benar menarik perhatiannya. Tin Eng maklum bahwa kawannya itu ingin mengertahui riwayatnya dan karena menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa, maka ia lalu menuturkan riwayatnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
204 "Enci Kui Hwa, entah apa yang ia lakukan terhadapmu sehingga kau merasa amat berduka.
Akan tetapi, Gan Bu Gi yang menjadi biang keladi sehingga aku terpaksa meninggalkan rumah orang tuaku dan merantau seperti seorang yang tak berkeluarga."
Diceritakannya betapa Gan Bu Gi itu diantar oleh gurunya, yakni Bong Bi Sianjin tokoh Kim-san-pai juga oleh Seng Le Hosiang tokoh Go-bi-pai mengunjungi ayahnya sehingga kemudian Gan Bu Gi diberi kedudukan sebagai komandan pasukan pengawal. Betapa kemudian
ayahnya bahkan hendak memaksanya untuk menjadi isteri perwira she Gan itu.
"Demikianlah enci Kui Hwa, maka aku lalu melarikan diri dari rumah karena ayah memaksaku. Aku tidak sudi menjadi isterinya, aku .... aku benci kepadanya. Akhir-akhir ini aku mendapat perasaan bahwa orang she Gan itu bukanlah seorang manusia baik."
"Kau benar, adikku dan dalam hal ini kau lebih cerdik dan awas dari padaku," akhirnya Kui Hwa berkata setelah berkali-kali menghela napas. "Gan Bu Gi memang hanya di luarnya saja kelihatan tampan dan gagah serta halus, sopan sikapnya. Akan tetapi ia memiliki watak yang tidak baik dan palsu."
"Kalau kau percaya kepadaku, enci Kui Hwa, ceritakanlah pengalamanmu ini sehingga aku dapat mendengar sampai di mana kejahatan Gan Bu Gi."
Tadinya Kui Hwa masih merasa ragu-ragu untuk menuturkan riwayatnya. Akan tetapi melihat pandang mata Tin Eng yang jujur dan karena ia memang merasa suka kepada dara ini dan mempunyai perasaan seolah-olah Tin Eng menjadi adiknya sendiri, ia lalu menuturkan riwayatnya secara singkat.
Bab 23 " TAN KUI HWA adalah puteri seorang hartawan yang bernama Tan Kia Swi, yakni Tan-wangwe yang dahulu telah mencelakai orang tua dan keluarga Bun Gwat Kong! Semenjak kecilnya, Tan Kui Hwa memang nakal sekali dan ia memiliki watak seperti seorang anak laki-laki saja. Bahkan ia suka bermain-main dengan anak lelaki yang menjadi anak tetangga ayahnya. Orang tuanya mendiamkannya, sebagai anak orang hartawan yang amat dimanja, diturut belaka oleh ayah bundanya.
Ketika ia berusia sepuluh tahun, ia masih suka bermain-main di luar rumah tangga. Kawan-kawannya yang sebagian besar terdiri anak-anak lelaki, bermain gundu, berkejar-kejaran, bahkan ikut pula memanjat pohon-pohon tinggi mencari sarang-sarang burung atau ikut pula berkelahi.
Pada suatau hari ia pergi bermain dengan beberapa orang kawan agak jauh dari rumahnya.
Ketika mereka tiba di kampung lain, mereka bertemu dengan anak-anak kampung itu dan sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak suka mengganggu anak-anak lain yang datang dari kampung lain. Tadinya anak-anak kampung itu hanya mengeluarkan ucapan-ucapan
mengolok-olok saja, yang dibalas oleh olok-olok lain. Akan tetapi seorang di antara mereka yang melihat Kui Hwa lalu berkata, "Eh anak perempuan mengapa bermain-main dengan anak-anak lelaki. Sungguh tak tahu malu!"
"Barangkali dia bukan perempuan. Ia tentu seorang anak banci!" kata anak lain.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
205 "Mari kita lihat!" seru yang lain.
"Ya, ya ... mari kita buktikan!" kata lain anak lagi dan mereka lalu hendak menangkap Kui Hwa.
Semenjak kecilnya, Kui Hwa memang tukang berkelahi. Adatnya keras dan hatinya tabah luar biasa. Mendengar betapa ia dihina, ia lalu memaki-maki dan cepat menyerang anak yang menyebutnya banci tadi. Bukan main kagetnya anak itu oleh karena tak disangkanya sama sekali bahwa anak perempuan itu berani menyerangnya dan ternyata pukulannya keras dan kuat sehingga begitu kena dipukul ia jatuh terguling dengan pipi biru. Maka terjadilah perkelahian keroyokan yang ramai sekali di jalan itu. Tan Kui Hwa biarpun seorang anak perempuan, akan tetapi oleh karena ia memiliki keberanian luar biasa dan kenekatan berkelahi, maka sepak terjangnya mengecilkan hati anak-anak itu. Kui Hwa memukul, menendang, mencakar, dan menggigit. Tidak ada anak yang berani mendekatinya.
Pada saat ramai-ramainya anak-anak itu berkelahi, tiba-tiba datang tosu (pendeta agama To) yang segera menghampiri mereka dengan langkah lebar. Maka tosu memandang kepada Kui Hwa dengan kagum sekali. Belum pernah ia melihat seorang anak perempuan yang demikian tabah dan ganas dalam berkelahi. Memang amat ganjil kalau dilihat betapa seorang anak perempuan kuat dalam perkelahian keroyokan antara anak-anak lelaki.
"Hai, jangan berkelahi!" seru tosu itu dan semua anak-anak cepat menoleh memandang ke arah orang yang mencegah mereka. Bukan main terkejut hati mereka ketika melihat seorang tosu yang bermuka aneh sekali. Kedua mata tosu itu yang nampak hanya putihnya saja, karena manik matanya yang hitam hanya kecil sekali, bergerak-gerak liar ke kanan kiri menimbulkan pemandangan yang menakutkan. Hidungnya mendongak ke atas, mulutnya lebar sehingga hampir sampai ke telinga dengan dua buah gigi menonjol keluar seperti caling.
Tanpa diberi komando lagi, anak-anak itu melarikan diri dengan ketakutan. Semua anak melarikan diri, kecuali Kui Hwa sendiri yang memandang dengan heran dan juga takut-takut.
Ia teringat akan dongeng-dongeng tentang setan dan iblis. Akan tetapi hatinya yang tabah membantah, karena ia mendengar di dalam dongeng-dongeng bahwa setan dan iblis hanya keluar di waktu malam hari. Saat itu mata hari telah naik tinggi, tak mungkin ada iblis berani keluar.
"Anak yang gagah, kau siapakah dan di mana rumahmu?"
"Namaku Kui Hwa dan rumahku di sana!" Anak itu menunjuk ke arah tempat tinggal orang tuanya.
"Mari kau kuantar pulang." Kata tosu itu yang lalu memegang tangan Kui Hwa untuk menguji ketabahan anak ini. Akan tetapi Kui Hwa sama sekali tidak merasa takut, bahkan ia tersenyum-senyum bangga. Alangkah akan herannya kawan-kawannya. Ia akan
memperlihatkan bahwa ia lebih berani dan tabah dari pada mereka semua. Maka ia lalu berjalan bersama tosu itu menuju ke rumahnya dengan dada terangkat tinggi-tinggi. Dan benar saja, anak-anak yang melihat ia berjalan bersama tosu itu diam-diam mengintai dengan hati berdebar dan mengulurkan lidah dan di dalam hati mereka amat mengagumi keberanian Kui Hwa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
206 Tosu ini adalah Thian Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang berilmu tinggi, yang kebetulan turun gunung untuk melakukan perjalanan merantau. Ia adalah suheng dari Sin Seng Cu tosu Hoasan-pai yang telah berhasil mengalahkan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai sehingga kejadian itu menimbulkan permusuhan antara Hoa-san-pai dan Go-bi-pai.
Thian Seng Cu lalu menemui Tan-wangwe dan menyatakan hasrat hatinya melatih silat kepada Kui Hwa. Tadinya orang tua Kui Hwa tidak setuju, akan tetapi Kui Hwa berkeras mengangkat guru kepada tosu itu dengan rengek dan tangis sehingga kedua orang tuanya terpaksa menyetujuinya dengan syarat bahwa latihan ilmu silat itu harus dilakukan di rumah mereka.
Selama tiga tahun Thian Seng Cu melatih kepada Kui Hwa di rumah Tan-wangwe. Akan tetapi setelah anak itu berusia tiga belas tahun, pada suatu hari ia pergi meninggalkan rumah bersama gurunya tanpa memberitahukan kepada ayah bundanya. Hanya meninggalkan
sepucuk surat yang menyatakan bahwa untuk memperdalam ilmu silat, Kui Hwa ikut gurunya naik ke gunung Hoasan. Ia sengaja pergi dengan diam-diam oleh karena maklum bahwa apabila ia minta ijin dari kedua orang tuanya tentu tak akan mungkin dapat.
Demikianlah, selama enam tahun mempelajari ilmu silat di puncak Hoasan, bersama dengan kedua orang suhengnya yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok dibawah asuhan Thian Seng Cu, Sin Seng Cu dan lain tokoh Hoa-san-pai. Setelah tamat belajar silat, Kui Hwa kembali ke rumah orang tuanya dan disambut dengan kegirangan besar.
Dasar watak yang telah menjadi kebiasaan di waktu masih kanak-kanak, ternyata masih belum meninggalkan tabiat Kui Hwa. Kini setelah menjadi dewasa, menjadi seorang dara yang cantik dan gagah perkasa, kesukaannya untuk berkelahi masih saja ada. Tiap kali ia mendengar ada seorang "jago silat" yang berpengaruh, tidak perduli tempat jauh, tentu ia akan pergi mengunjunginya untuk ditantang pibu (mengadu kepandaian silat). Karena ilmu silatnya memang lihai maka entah sudah berapa banyaknya jago-jago silat dan guru-guru silat yang roboh di dalam tangannya.
Selain ini, juga Kui Hwa amat benci kepada orang-orang jahat, terutama para perampok dan bangsat-bangsat pemetik bunga. Ia tidak mengenal ampun terhadap mereka ini dan di mana saja ia bertemu dengan orang jahat, ia tak akan merasa puas sebelum membasminya, membunuh atau sedikitnya melukainya. Oleh karena ini, ia diberi julukan Dewi tangan maut.
Pada suatu hari, ia mendengar bahwa di kota Lok-se terdapat seorang penjahat yang melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang. Kui Hwa paling benci kepada bangsat Jay-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), maka tanpa banyak menunda lagi, ia lalu menuju ke kota Lok-se dan melakukan pengintaian di waktu malam. Ia mengenakan pakaian hitam dan mendekam di atas genteng untuk menanti munculnya penjahat itu.
Baru setelah fajar hampir menyingsing, ia melihat berkelebatnya bayangan orang di atas sebuah bangunan besar. Ia cepat mengejar dan mengintai. Alangkah marahnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah Jay-hwa-cat yang dicari-carinya, karena orang itu dengan gerakan yang amat cepat melompat ke dalam rumah dan memasuki kamar seorang gadis muda, puteri tuan rumah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
207 Dengan amarah meluap-luap, Kui Hwa lalu membentak keras sehingga penjahat itu menjadi terkejut dan keluar dari jendela kamar itu. Kui Hwa telah menanti di atas genteng dan mereka bertempurlah dengan amat sengit dan mati-matian.
Penjahat itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak buruk, ilmu pedangnya cukup cepat sehingga ia dapat bertahan sampai beberapa lama terhadap serangan-serangan pedang Kui Hwa. Gadis ini setelah mengenali ilmu pedang penjahat itu sebagai ilmu pedang dari cabang Go-bi-pai, membentak makin marah,
"Hmmm, dasar anak-anak murid Gobi amat rendah budi dan jahat. Kau membikin malu saja kepada tokoh Go-bi-pai."
"Ha ha, perempuan sombong. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau adalah orang Hoasan"
Jangan banyak mulut, kau sudah berani berlancang tangan mencampuri urusanku.
Keluarkanlah kepandaianmu!"
Kui Hwa menyerang dengan ganasnya dan memang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada penjahat itu, sehingga dengan mengeluarkan suara keras, pedang di tangan penjahat itu terpental dan terlepas dari pegangan. Penjahat itu berseru kaget, memutar tubuh dan melarikan diri.Akan tetapi, mana Kui Hwa mau melepaskannya. Ia amat membenci Jay-hwa-cat dan sebelum ia dapat membunuh atau melukainya, ia tidak akan melepaskannya begitu saja.
"Bangsat cabul, jangan harap akan dapat lari dari aku!" Bentaknya sambil mengejar cepat.
Penjahat itu, biarpun kepandaian ilmu pedangnya kalah oleh Kui Hwa, namun memiliki ilmu lari cepat yang lumayan juga. Agaknya ia telah melatih ilmu berlari cepat ini yang memang amat perlu dan penting bagi pekerjaannya. Namun Kui Hwa tidak mau mengalah dan mengejar terus.
Penjahat itu berlari keluar dari kota, terus dikejar oleh Kui Hwa sampai pagi. Ketika mereka tiba di sebuah kaki bukit, tiba-tiba muncul dua orang yang menghadang di jalan. Penjahat itu tadinya terkejut melihat dua orang itu berjalan dengan ilmu lari cepat yang tinggi, akan tetapi ketika ia mengenal mereka, ia menjadi girang dan berkata,
"Locianpwe ...... tolonglah teecu .....!"
Kedua orang itu ternyata adalah seorang tosu tua dan seorang pemuda yang tampan dan mereka lalu mempercepat langkah menghampiri penjahat itu yang segera bersembunyi di belakang mereka. Tosu itu tak lain adalah Bong Bi Sianjin dan pemuda itu adalah muridnya yaitu Gan Bu Gi. Memang tokoh-tokoh Kim-san-pai ini telah mengadakan hubungan dengan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan telah berjanji untuk membantu dalam permusuhan Go-bi-pai melawan Hoa-san-pai. Oleh karena itu, sebagian besar anak murid Go-bi-pai telah kenal dengan Bong Bi Sianjin dan muridnya Gan Bu Gi. Juga anak murid Go-bi-pai yang tersesat dan menjadi penjahat itupun kenal pula kepada mereka.
Melihat munculnya seorang tosu dan seorang pemuda tampan yang agaknya hendak
membantu penjahat itu, Kui Hwa melintangkan pedangnya di dadanya dan memandang kepada mereka dengan tajam.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
208 "Sicu (tuan yang gagah)," kata tosu itu kepada si penjahat. "Mengapa kau dikejar-kejar oleh nona ini?"
"Tolonglah, locianpwe. Dia adalah anak murid Hoa-san-pai! Kami telah bertempur, akan tetapi teecu kehilangan pedang dan ....dan terpaksa melarikan diri!"
"Hmm, orang-orang Hoa-san-pai memang selalu mengandalkan kepandaiannya sendiri. Nona, biarpun pinto (aku) telah berjanji untuk menghadapi orang-orang Hoa-san-pai dengan pedang ditangan, akan tetapi melihat bahwa kau adalah seorang nona muda, biarlah pinto memberi ampun dan kau boleh pergi dengan aman!"
Ucapan ini benar-benar sombong dan memandang rendah, maka Kui Hwa yang beradat tinggi tentu saja merasa amat tersinggung.
"Totiang, kau seorang pertapa janganlah mencampuri urusan ini. Ketahuilah bahwa anak murid Gobi ini adalah seorang bangsat besar, seorang jay-hwa-cat yang kejam!"
"Perempuan Hoasan tutup mulutmu yang kotor! Tidak malukah kau seorang perempuan mengeluarkan kata-kata kotor itu" Memang tadi aku kurang hati-hati sehingga pedangku terlepas. Sekarang menghadapi jago dari Kim-san-pai kau merasa takut dan hendak mempergunakan ketajaman mulutmu. Cih, tak tahu malu!"
"Bangsat rendah!" Kui Hwa memaki dan menyerbu ke depan, hendak menyerang penjahat itu. Akan tetapi Gan Bu Gi yang telah mencabut pedangnya lalu menangkis serangan itu.
"Kau hendak melindungi penjahat ini?" teriak Kui Hwa sambil memandang tajam.
"Suhu, biar teecu yang menangkap gadis liar ini," Gan Bu Gi berkata seperti minta izin kepada gurunya yang hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Bagus, kalau begitu kaupun harus mampus di tanganku," Kui Hwa berteriak garang dan menyerang Gan Bu Gi. Pertempuran terjadi dengan amat serunya. Pemuda itu benar-benar tangguh dan ilmu pedangnya hebat sekali, jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Jay-hwa-cat itu. Akan tetapi Kui Hwa tidak takut dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Setelah bertempur sampai seratus jurus lebih dengan amat seru dan saling serang tanpa ada tanda-tanda siapa yang akan menang. Semalaman suntuk ia tidak tidur menjaga di atas genteng yang dingin dan berangin, lalu ia harus bertempur melawan penjahat itu dan mengejarnya sampai jauh sehingga tubuhnya telah merasa lelah dan lemas.
Kini menghadapi Gan Bu Gi yang benar-benar kosen, membuat ia lelah sekali dan permainan pedangnya mulai kacau dan lemah. Akan tetapi sungguh aneh, ternyata pemuda yang tampan itu tidak bermaksud mencelakainya. Buktinya, tiap kali pedangnya hampir mengenai tubuhnya Kui Hwa, selalu ditariknya dan diserongkan sehingga tidak melukai Kui Hwa.
"Ha ha ha, muridku. Kau agaknya jatuh hati kepada lawanmu!" terdengar tosu itu tertawa bergelak. Kui Hwa melihat betapa muka pemuda itu menjadi kemerahan dan ia sedikit pun merasa jengah dan malu. Akhirnya dengan sabetan yang keras, pedang gadis itu terlepas dari tangan dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Gan Bu Gi berhasil menotok jalan darahnya sehingga ia menjadi lemas dan lumpuh tak berdaya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
209 "Bunuh saja anjing betina Hoa-san-pai ini!" Jay-hwa-cat tadi berseru keras. Akan tetapi Gan Bu Gi segera menjawab,
"Jangan!" Kau pergilah dari sini! Musuhmu ini aku yang menjatuhkannya, maka aku dan suhu yang berhak memutuskannya. Pula kau telah melakukan pekerjaan buruk dan kalau saja tidak mengingat bahwa kau adalah anak murid Gobi, tentu kami tak sudi membantumu."
Penjahat itu pergi bagaikan anjing kena pukul, tidak berani menengok lagi, bahkan mengucapkan terima kasih pun tidak.
"Suhu, teecu harap suhu tidak berkeberatan untuk mengampuni nona ini."
Bong Bi Sianjin gelak terbahak mendengar ucapan muridnya ini.
"Kau yang menangkapnya, maka terserah kepadamu. Kau tahu kemana harus menyusul, kalau sudah selesai urusanmu dengan nona ini!" Kembali tosu itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, meninggalkan Gan Bu Gi dan nona tawanan di tempat itu.
Tin Eng mendengar penuturan Kui Hwa dengan penuh perhatian. Ia melihat betapa kawannya itu memandang jauh dengan mata penuh lamunan, seakan-akan membayangkan segala
peristiwa yang dahulu telah terjadi dan menimpa kepada dirinya.
"Demikianlah, adik Tin Eng. Tosu tua yang batinnya tidak bersih itu meninggalkan muridnya seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada muridnya untuk melakukan sesuatu yang tidak baik," kata Kui Hwa melanjutkan ceritanya. "Dan semenjak saat itu, aku telah bersumpah di dalam hatiku bahwa pada suatu hari aku pasti akan membunuh bangsat Gan Bu Gi dan tosu keparat itu!" Gadis itu kini menjadi merah mukanya dan matanya mengeluarkan cahaya berapi.
"Akan tetapi enci Hwa, apakah yang telah dilakukan oleh Gan Bu Gi kepadamu?" tanya Tin Eng sambil memandang penuh perhatian.
"Apa yang dilakukan" Jahanam itu .... anjing rendah itu .... ia ....ah, tak dapat kuceritakan apa yang telah ia perbuat terhadap diriku!" Dan tiba-tiba Kui Hwa mengucurkan air mata, lalu bangkit berdiri dan melompat ke atas kudanya serta melarikan kuda itu secepatnya.
Tin Eng melengak, terpaksa iapun melompat ke atas kudanya dan menyusul kawannya.
Biarpun Kui Hwa tidak memberi penjelasan, akan tetapi ia dapat menduga apakah yang telah diperbuat oleh Gan Bu Gi terhadap gadis itu. Dan kebenciannya terhadap Gan Bu Gi meluap-luap, Bangsat rendah, pikirnya, orang macam itu harus dibinasakan. Dan ayahnya bahkan memaksanya untuk menjadi isteri dari pemuda macam itu.
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke Hong-san dengan cepat. Karena Tin Eng tidak mendesaknya dan tidak minta penjelasan, maka Kui Hwa tidak banyak bicara lagi dan soal yang lalu itu tidak pernah disinggung-singgung oleh kedua pihak. Berkat kejenakaan dan kegembiraan Tin Eng, awan gelap yang selalu menyelimuti wajah Kui Hwa semenjak ia menuturkan pengalamannya, mulai pudar dan ia menjadi gembira lagi seperti biasa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
210 Pada suatu hari, mereka tiba di kota Keng-hoa-bun yang berada di tepi sungai Siong-kiang.
Baru saja mereka memasuki pintu gerbang kota dan kuda-kuda mereka dilarikan congklang, tiba-tiba terdengar suara laki-laki memanggil Kui Hwa. "Tan-sumoi!"
Kui Hwa menengok dan ketika melihat dua orang pemuda berdiri di pinggir jalan, ia menahan kudanya dan menjawab, "Hai ....! Jiwi suheng! Kalian juga berada di sini?"
Tin Eng menengok dan memandang kepada dua orang pemuda yang ditegur oleh Kui Hwa.
Mereka ini adalah dua orang laki-laki muda yang tegap dan gagah, yang seorang berpakaian baju biru dan yang kedua baju putih. Dari sebutan yang dikeluarkan oleh Kui Hwa tadi ia maklum bahwa kedua orang pemuda itu adalah suheng (kakak seperguruan) dari kawannya, jago-jago muda dari Hoa-san-pai, maka ia memandang dengan penuh perhatian.
Kui Hwa melompat turun dari kudanya, dituruti oleh Tin Eng, sedangkan kedua orang pemuda itupun berlari menghampiri mereka.
"Sumoi, kau hendak pergi kemanakah?"
Kui Hwa tersenyum dan berkata sambil menunjuk ke arah Tin Eng,
"Panjang untuk dibicarakan, kita harus mencari tempat yang cocok untuk memutuskan hal ini.
Sekarang perkenalkan dulu, ini sahabat baikku yang bernama Liok Tin Eng yang berjuluk Sian-kiam Lihiap. Adikku, ini adalah kedua suhengku yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok!"
Kedua saudara Pui itu menjura kepada Tin Eng yang membalasnya pula sebagaimana lazimnya.
"Sumoi berkata benar!" kata Pui Hok yang berbaju putih. "Mari kita pergi ke rumah makan untuk bercakap-cakap."
Tin Eng dan Kui Hwa lalu menuntun kuda mereka dan berempat pergi ke sebuah rumah makan yang terdekat. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera menyuruh seorang kawannya menerima dua ekor kuda itu untuk dicancang di pinggir rumah makan. Kemudian ia mengantar keempat orang tamunya ke ruangan tamu yang kosong.
Pui Kiat, Pui Hok, Tin Eng dan Kui Hwa lalu duduk mengelilingi sebuah meja. Rumah makan itu amat sederhana, bahkan buruk sekali. Temboknya sudah banyak yang rusak kelihatan batanya, karena keadaan di situ tidak amat bersih, mereka memilih tempat duduk dekat jendela yang kereinya tergulung agar mendapat hawa segar. Pelayan itu lalu mendekati mereka sambil membungkuk-bungkuk. Sikapnya menghormat sekali dan pelayan ini memang lucu wajahnya. Mukanya bundar, seperti juga tubuhnya yang gemuk pendek, senyumnya lebar dan pakaiannya sudah tambal-tambalan.
"Tuan-tuan dan nona-nona tentu haus dan hendak minum arak, bukan" Arak kami sudah tersohor enak dan wangi dan saya berani bertanggung jawab bahwa setetes pun air tidak dicampurkan seperti arak yang dijual di lain rumah makan!" kata pelayan itu sambil mengacungkan ibu jari kedua tangannya.
Pui Kiat berwatak polos dan kasar dan pada waktu itu ia telah merasa lapar sekali, maka berkata keras,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
211 "Sediakan nasi yang banyak dan arak baik!"
Pelayan itu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri untuk menyediakan pesanan Pui Kiat. Kemudian Pui Kiat memandang kepada sumoinya dan berkata dengan muka girang,
"Sumoi, telah lama kita tidak bertemu. Kau harus menuturkan semua pengalamanmu. Kau hendak pergi kemanakah dan setelah kita bertemu di sini, lebih baik kita mengadakan perjalanan bersama."
Kui Hwa tersenyum dan Tin Eng yang melihat pandangan mata Pui Kiat kepada sumoinya diam-diam tersenyum juga karena pandang mata pemuda itu dengan jelas menyatakan bahwa Pui Kiat menaruh hati sayang kepada sumoinya.
"Twa-suheng, aku dan adik Tin Eng ini hendak pergi ke Hong-san!" jawab Kui Hwa.
Pui Kiat yang duduk di sebelah kanannya memandang kepada Pui Hok dan kedua orang itu menyatakan keheranan mereka.
"Mengapa semua orang hendak pergi ke Hong-san?" kata Pui Hok. "Pasukan berkuda itupun hendak pergi ke Hong-san! Ada apakah di Hong-san, sumoi?"
Kui Hwa bertukar pandang dengan Tin Eng dan Dewi tangan maut itu mengerti bahwa Tin Eng tidak setuju apabila ia menceritakan tentang harta terpendam itu kepada kedua suhengnya, maka lalu ia menjawab,
"Ah, itu hanya kebetulan saja barangkali jiwi-suheng. Kami berdua hanya ingin meluaskan pemandangan. Karena kami mendengar bahwa pemandangan di Hong-san amat indah, maka kami hendak pesiar di sana."
Sementara itu, semenjak tadi Pui Hok mengerling ke arah Tin Eng dengan pandang mata kagum dan hormat,
"Bolehkah siauwte mengetahui, Liok lihiap ini anak murid dari mana?" ia bertanya kepada Tin Eng. Dara ini merasa ragu-ragu untuk menjawab oleh karena maklum bahwa kedua saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai yang bermusuhan dengan Go-bi-pai, cabang persilatan dari ayahnya, maka ia menjadi serba salah dan memandang kepada Kui Hwa. Dewi tangan maut itu tertawa dan berkata kepada kedua suhengnya,
"Harap jiwi suheng jangan heran dan kaget. Nona ini adalah seorang anak murid yang tidak langsung dari Go-bi-pai."
Kedua saudara Pui ini tercengang, bahkan air muka mereka berubah ketika mendengar ini, akan tetapi Kui Hwa cepat-cepat melanjutkan keterangannya.
"Suheng berdua jangan salah sangka. Biarpun adik Tin Eng anak murid Gobi, akan tetapi sikap dan pendiriannya berbeda dengan anak murid Go-bi-pai yang lain. Ia tidak bermusuhan dengan cabang kita, buktinya ia menjadi sahabat karibku. Adik Tin Eng samasekali tidak memperdulikan permusuhan-permusuhan itu, dan menurut pertimbangannya, tidak perduli dari cabang manapun yang jahat adalah musuhnya dan yang baik menjadi sahabatnya."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
212 Kedua saudara Pui itu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum dan girang.
"Pertimbangan yang amat bijaksana!" Pui Hok memuji.
"Bagus!" Pui Kiat menyatakan kegirangan. "Kalau semua anak murid Go-bi-pai seperti Liok lihiap ini, alangkah akan senangnya hatiku."
"Akan tetapi sesungguhnya adik Tin Eng bukanlah mengandalkan kepandaiannya dari ilmu silat cabang Gobi. Ia mendapat sebutan Sian-kiam lihiap, bukan karena ilmu pedang cabang Go-bi-pai, akan tetapi karena ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat!"
Makin tercengang kedua orang pemuda itu mendengar keterangan ini.
"Ah ...! Tidak tahunya kita berhadapan dengan seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-hoat yang terkenal itu!" kata Pui Kiat sambil berdiri dan menjura kepada Tin Eng, diturut pula oleh Pui Hok. "Maaf, lihiap. Kami berlaku kurang hormat!"
Tin Eng cepat berdiri dan membalas penghormatan ini, lalu berkata cemberut sambil mengerling kepada Kui Hwa yang duduk di sebelah kanannya,
"Dasar enci Kui Hwa yang bisa saja memuji orang. Ilmu pedangku yang masih dangkal apa harganya untuk diperkenalkan" Harap jiwi enghiong tidak berlaku sungkan dan banyak menjalankan peradatan!"
Pada saat itu, pelayan yang gemuk pendek itu muncul membawa guci arak, cawan-cawan arak dan empat mangkok nasi putih yang bersih. Dengan cekatan dan tersenyum-senyum ia mengatur cawan-cawan arak dan mangkok nasi itu dihadapan keempat orang tamunya.
"Silahkan, tuan-tuan dan nona-nona. Selamat makan dan minum!"
Pui Kiat sudah lapar semenjak tadi. Melihat nasi putih yang masih mengebul hangat itu, cepat ia menyambarnya dan menggunakan sumpit untuk makan nasi itu. Akan tetapi Kui Hwa memandang kepada pelayan tadi dan berkata,
"Apakah kau sudah mabok" Mana masakan sayurannya" Apakah kami harus makan nasi saja?"
Pui Hok juga merasa tidak senang dan sambil memandang kepada pelayan itu dengan mata mendelik ia berkata,
"Bagaimana sih kau melayani tamu" Apakah restoran ini hanya menjual nasi saja" Hayo, cepat sediakan masakan-masakannya yang paling istimewa. Cepat, kami sudah lapar!"
Akan tetapi, pelayan itu tidak cepat-cepat melakukan perintah ini, bahkan berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka dengan muka yang bodoh.
"Mengapa kau masih berdiri saja?" Pui Kiat yang masih makan nasinya itu membentak pula.
Pelayan gemuk pendek itu mengangkat pundak dan mengembangkan kedua tangannya seperti orang yang merasa susah dan putus harapan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
213 "Harap jangan marah, tuan-tuan dan nona-nona. Selain nasi, tidak ada masakan apapun juga di sini. Kalau tuan-tuan dan nona-nona suka akan kecap saja ...."
"Kau suruh kami makan nasi dengan kecap" Gila! Kenapa tidak ada masakan" Apakah restoranmu ini sudah mau gulung tikar?" kata Pui Kiat yang menunda makannya. Nasi semangkok itu tinggal sedikit saja karena perutnya yang lapar membuat nasi tanpa sayur itu terasa cukup nikmat.
"Pagi tadi sih lengkap," pelayan itu menjawab. "Akan tetapi semua masakan kami diborong oleh pasukan berkuda dari kota raja itu dan harus diantarkan semua ke tempat pemberhentian mereka. Bukan dari restoran kami saja, bahkan dari restoran lain pun demikian."
Pui Kiat menggebrak meja. "Apakah hanya mereka saja yang mampu membayar" Kami juga akan membayar sepenuhnya!"
Pelayan itu makin gelisah dan mukanya menjadi pucat melihat dandanan pakaian empat orang tamu ini. Ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat yang tak boleh dibuat gegabah. Maka dengan amat hati-hati dan membungkuk-bungkuk ia berkata,
"Maaf siauw-ya (tuan muda). Siapa berani membantah kehendak perwira dari kota raja"
Kalau kami memberi masakan kepada cuwi, kemudian terlihat kepada mereka, bukankah itu berarti bahwa kami mencari bencana sendiri?"
"Jangan takut, kami yang akan tanggung!" kata pula Pui Kiat yang berangasan. Keluarkan sayur dan daging untuk kami, akan kami bayar sepenuhnya. Lagi pula, kami hanya berempat dan kami bukanlah orang-orang yang gembul, tentu takkan habis persediaan masakanmu oleh kami berempat."
Pelayan itu tidak menjawab hanya kini ia mewek seperti mau menangis, matanya memandang bingung dan kadang-kadang melirik ke arah mangkok nasi Pui Kiat yang hampir habis nasinya itu. Agaknya meragukan ucapan Pui Kiat yang menyatakan bahwa empat orang ini bukan orang-orang gembul. Kalau bukan gembul, masa semangkok nasi tanpa sayur dapat dilalap habis dalam waktu sebentar saja"
Pui Kiat tidak sabar lagi, lalu bangkit berdiri menghampiri pelayan itu, memegang tangannya dan menariknya menuju ke dapur di restoran itu. Merasakan betapa pegangan tangan Pui Kiat bagaikan jepitan besi pada pergelangan tangannya, pelayan itu tidak berani berlambat-lambat lagi dan segera mengerjakan semua pesanan Pui Kiat. Juga para tukang masak melihat hal ini menjadi bingung karena mereka benar-benar merasa takut kalau-kalau mendapat marah dari perwira pemesan masakan itu.
Atas desakan dan ancaman Pui Kiat, karena bahan-bahan berupa sayur dan daging memang sudah tersedia, sebentar saja beberapa mangkok masakan yang mengepul dan mengeluarkan kesedapan yang menimbulkan selera dihidangkan oleh pelayan gemuk pendek ke meja empat orang muda itu. Pui Kiat dan tiga orang kawannya lalu makan minum dengan gembira.
"Anak-anak murid Hoasan bermakan minum dengan seorang murid Gobi!" kata Pui Hok sambil mengerling ke arah Tin Eng yang duduk di sebelah kanannya. "Aduh, sungguh hal Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
214 yang belum pernah terjadi selama bertahun-tahun ini. Sungguh hal yang mengagumkan dan menyenangkan sekali!"
"Jiwi suheng (kakak seperguruan berdua) sebetulnya hendak ke manakah" Tanya Kui Hwa yang telah menghabiskan nasinya.
"Kami hendak pergi ke Swi-siang mengunjungi seorang paman dan karena kita satu jurusan, maka biarlah kita melakukan perjalanan bersama," kata Pui Kiat. "Bukankah perjalanan ke Hong-san melalui kota itu?"
"Bagiku sih tidak ada halangannya, bahkan makin banyak kawan seperjalanan makin gembira. Akan tetapi harus ditanyakan dahulu kepada adik Tin Eng."
"Liok"lihiap tentu tidak keberatan untuk melakukan perjalanan bersama kami berdua, bukan?" Pui Hok bertanya sambil memandang pada gadis itu.
Bab 24 " MENGHADAPI dua orang bersaudara yang amat peramah itu, tentu saja tak mungkin bagi Tin Eng untuk menyatakan keberatannya. Sungguhpun ia akan lebih senang apabila dapat melakukan perjalanan berdua saja dengan Kui Hwa. Demi kesopanan dan persahabatan, ia tersenyum sambil menjawab,
"Mengapa aku harus keberatan" Jiwi enghiong adalah kakak seperguruan enci Kui Hwa dan karena enci Kui Hwa adalah sahabat baikku, maka jiwi berarti juga sahabat-sahabatku pula."
Bukan main girangnya Pui Kiat dan Pui Hok mendengar ini. Lagi-lagi mereka memuji gadis ini dan menyatakan bahwa apabila semua anak murid Go-bi-san seperti Tin Eng, tentu keadaan dunia akan menjadi aman.
"Akan tetapi kalian berdua menunggang kuda," kata Pui Kiat. "Maka lebih baik aku dan adikku ini mencari dua ekor kuda pula. Sumoi dan Liok-lihiap harap tunggu sebentar di sini, karena aku dan adikku akan membeli dua ekor kuda dulu."
Kui Hwa dan Tin Eng menyatakan baik dan kedua orang saudara Pui itu meninggalkan rumah makan untuk pergi membeli kuda tunggangan. Kedua orang gadis yang ditinggal berdua saja itu bercakap dengan gembira.
"Kedua suhengku itu biarpun agak kasar, akan tetapi mereka mempunyai hati yang baik dan jujur," kata Kui Hwa.
"Enci Hwa, melihat suhengmu Pui Kiat itu amat menaruh perhatian padamu. Apakah kau tidak merasakan hal itu?"
Merahlah muka Kui Hwa. Ia mengangguk dan menjawab, "Dugaanmu memang benar, Tin Eng. Semenjak dahulu dia memang ..... ada hati terhadapku."
Setelah berkata demikian, Dewi tangan maut ini menundukkan kepalanya dan mukanya membayangkan kedukaan besar. Tin Eng yang cerdik dapat menduga bahwa kawannya ini Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
215 tentu teringat lagi akan malapetaka yang menimpa dirinya berhubungan dengan pertemuannya dengan Gan Bu Gi.
Pada saat itu terdengar suara orang di depan restoran dan mereka mengenal suara pelayan pendek gemuk yang bicara dengan suara gemetar ketakutan.
"Ampun, tai-ciangkun. Bukan sekali-kali maksud hamba membangkang terhadap perintah akan tetapi kami tidak berdaya. Empat orang tamu telah memaksa kepada hamba melayani mereka dan menghidangkan masakan yang telah dipesan oleh Tai-ciangkun, maka terserahlah kepada kebijaksanaan tai-ciangkun!"
"Kurang ajar!" terdengar suara orang memaki. Suara ini tinggi dan kecil hingga amat ganjil bagi suara seorang laki-laki.
Kemudian terdengar tindakan kaki banyak orang memasuki restoran itu.
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang dan bersiap sedia karena mereka maklum bahwa yang datang ini tentulah perwira kerajaan yang menurut kata pelayan tadi, itulah pemborong semua masakan restoran itu. Mereka melihat munculnya lima orang.
Yang terdepan adalah seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun yang berpakaian seperti guru silat dengan sarung golok tergantung pada pinggang kirinya. Tubuh orang ini tegap dan jenggotnya hanya sedikit, meruncing ke bawah bagaikan jenggot kambing bandot.
Di belakangnya nampak empat orang berpakaian seragam dan melihat hiasan bulu di atas topi mereka, tahulah kedua orang gadis itu bahwa mereka adalah perwira-perwira kerajaan. Ketika melihat seorang yang masuk paling belakang, Tin Eng terkejut sekali karena mengenal orang itu sebagai Thio Sin, kepala pengawal atau perwira yang bekerja pada ayahnya. Thio Sin membisikkan sesuatu kepada laki-laki setengah tua yang memimpin tadi. Laki-laki itu berubah mukanya dan kalau tadi ia nampak marah sekali, kini ia berubah menjadi girang, bahkan lalu tertawa bergelak.
"Ah, ini namanya jodoh! Dicari dengan sengaja ke mana juga tidak bertemu. Tidak tahunya tanpa disengaja berjumpa di sini. Ha ha!"
Tin Eng berdiri dengan hati tidak enak. Ia tidak tahu siapakah orang ini. Akan tetapi dengan hadirnya Thio Sin di situ, ia merasa bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan.
"Liok-siocia," kata Thio Sin. "Ketahuilah bahwa orang gagah ini adalah Ang Sun Tek, pembantu istimewa dari kerajaan. Biarpun ia tidak mengenakan pakaian seragam, namun Ang-ciangkun menduduki pangkat amat tinggi di kalangan perwira kerajaan."
"Aku tidak perduli dan tidak ingin mengetahui hal itu!" jawab Tin Eng dengan kasar.
Orang yang bernama Ang Sun Tek itu tertawa bergelak. Dia inilah ketua dari Liok-te-Pat-mo (Delapan Iblis Bumi) yang kini menjadi pembantu-pembantu istimewa dari pasukan pengawal kerajaan. Ang Sun Tek inilah murid Lok Kong Hosiang yang telah mewarisi ilmu silat Pat-kwa To-hoat, ahli golok yang amat lihai dan yang menjagoi di seluruh daerah utara. Dialah yang kini sedang dicari-cari oleh Gwat Kong dan Cui Giok.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
216 "Nona Liok, sudah lama mendengar namamu yang hebat. Bukankah kau yang dijuluki Sian-kiam Lihiap dan yang menerima tugas dari kedua anak Pangeran Pang Thian Ong untuk mencari harta terpendam" Ha ha! Kebetulan sekali, kami serombongan ini sengaja keluar dari kota raja untuk mencari permata yang telah terjatuh ke dalam tangan kedua putera she Pang itu. Selain itu, akupun mendapat pesan dari ayahmu untuk mencarimu dan membawamu kembali ke Kiang-sui!"
"Aku tidak kenal kepadamu dan tidak perduli apa yang sedang kau lakukan, tidak perduli tentang segala urusanmu dengan ayahku!"
"Ha ha ha! Ganas, ganas! Aku hanya menerima pesan ayahmu dan mau atau tidak, kau harus ikut kami pergi ke Kiang-sui untuk menghadap ayahmu!"
Tin Eng menjadi marah dan mencabut pedangnya. "Mau memaksa! Boleh, majulah
berkenalan dengan pedangku!"
"Ha ha ha! Sian-kiam Lihiap, si pedang dewa telah mencabut pedangnya Sungguh lihai!"
Sambil berkata demikian, Ang Sun Tek menggerakkan kaki tangannya ke kanan kiri dan hebat sekali. Meja kursi yang berada di kanan kirinya, sungguhpun tidak tersentuh oleh kaki tangannya, akan tetapi terdorong jatuh bagaikan disapu angin besar.
Tin Eng terkejut melihat kehebatan tenaga lweekang ini dan Kui Hwa yang melihat ini pun kaget sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Tin Eng takkan dapat menandingi laki-laki ini, maka iapun segera mencabut pedangnya dan melompat di dekat Tin Eng.
"Eh, ada pendekar pedang wanita yang lain lagi. Siapakah kau, nona?" Ang Sun Tek tertawa mengejek.
"Tak perlu aku memperkenalkan namaku kepada segala orang macam kau. Cukup kalau kau kenal namaku sebagai Dewi Tangan Maut!"
Mendengar nama ini, kembali Ang Sun Tek tertawa menghina. "Ah, tidak tahunya ada anak murid Hoa-san-pai di sini. Kau agaknya lebih bijaksana dari pada Sin Seng Cu. Buktinya kau mau menjadi sahabat nona Liok yang menjadi anak murid Go-bi-pai."
"Kau adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa kepandaianmu itu hanya kau gunakan untuk menghina wanita. Adik Tin Eng tidak mau pulang, mengapa kau hendak memaksanya?"
"Ha ha! Dewi Tangan Maut. Apa kaukira bahwa dengan adanya kau di sini, aku takkan dapat membawa nona Liok pulang ke Kiang-sui.
"Manusia sombong, pergilah!" Tin Eng yang tak dapat menahan sabar lagi melompat maju dan mengirim serangan kilat dengan pedangnya.
Ang Sun Tek tertawa-tawa dan menggunakan kakinya menendang meja kursi melayang ke arah Tin Eng sehingga gadis itu terpaksa menangkis dengan pedangnya. Sekali bacok kursi itu terbelah dua dan jatuh di atas lantai. Dengan perbuatannya itu, Ang Sun Tek membuat ruangan itu menjadi lega.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
217 "Nah, majulah dan coba perlihatkan ilmu pedangmu!" ia menantang Tin Eng yang segera mau menyerbu. Tadinya Ang Sun Tek mengira bahwa ilmu pedang Tin Eng tentulah ilmu pedang cabang Go-bi-pai. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat pedang itu berkelebat cepat laksana halilintar menyambar-nyambar.
Terpaksa ia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari sambil mempergunakan kedua tangannya mainkan ilmu silat semacam eng-jiauw-kang untuk
merampas pedang di tangan Tin Eng. Kalau saja Tin Eng mempergunakan ilmu pedang Go-bi-pai, dalam beberapa jurus saja pedangnya tentu telah kena dirampas oleh Ang Sun Tek.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng adalah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang luar biasa lihainya, maka jangankan untuk dapat merampas, bahkan kalau dilanjutkan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, belum tentu Ang Sun Tek akan dapat mengalahkannya.
Barulah Ang Sun Tek merasa terkejut dan tidak berani memandang rendah. Ia berseru keras dan mencabut keluar goloknya dan ketika goloknya itu digerakkan, maka menyambarlah angin dingin yang membuat Tin Eng tercengang. Bukan main hebatnya ilmu golok ini dan luar biasa pula tenaga sambarannya. Ia tidak tahu bahwa ilmu golok ini adalah Pat-kwa To-hoat yang merupakan ilmu silat yang paling tinggi untuk daerah utara.
Melihat betapa dalam segebrakan saja golok Ang Sun Tek telah menindih dan mendesak pedang Tin Eng, Kui Hwa lalu melompat maju dan membantu Tin Eng. Sementara itu, empat orang perwira kerajaan yang mengikuti Ang Sun Tek hanya berdiri di pinggir menjadi penonton saja oleh karena mereka tidak berani membantu tanpa diperintah dari Ang Sun Tek.
Biarpun dikeroyok oleh dua orang gadis pendekar itu, namun ilmu golok Ang Sun Tek benar lihai sekali. Tiap kali goloknya membentur pedang lawan, Tin Eng atau Kui Hwa merasa tangan mereka tergetar dan pedang mereka hampir terlepas dari genggaman. Hoa-san Kiam-hoat yang dimainkan oleh Kui Hwa adalah ilmu pedang yang lihai, sedangkan Sin-eng Kiam-hoat lebih luar biasa lagi. Akan tetapi kalau kedua ilmu pedang itu digunakan berbareng oleh dua orang untuk mengeroyok, kedua ilmu pedang ini tidak mendatangkan kehebatan yang berganda. Biarpun keduanya merupakan ilmu pedang yang lihai, akan tetapi memiliki keistimewaan masing-masing dan gerakannya yang berbeda.
Hal ini menguntungkan Ang Sun Tek karena kalau saja yang mengeroyoknya itu keduanya memiliki ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat tentu akan lebih berat baginya. Atau kalau saja yang mengeroyoknya adalah dua orang Tin Eng, agaknya akan sukar baginya untuk
menjatuhkan lawan-lawannya.
Dengan gerakan-gerakan ilmu golok Pat-kwa To-hoat, yang mempunyai dasar delapan segi itu, maka ia dapat menghadapi dua orang lawannya dengan baik, bahkan ia selalu berada di pihak yang mendesak. Baik Tin Eng maupun Kui Hwa telah mulai lambat dan kacau gerakan pedang mereka, oleh karena mereka telah dibikin bingung oleh perobahan-perobahan sinar golok yang menyilaukan mata. Ketika Ang Sun Tek sambil tertawa-tawa memperhebat gerakannya, maka sibuklah mereka menangkis dan mengelak.
"Lepas senjata!" Ang Sun Tek berseru keras dan terdengar bunyi "trang!!" keras sekali. Tahu-tahu pedang di tangan Kui Hwa telah terlempar dan mencelat ke atas sampai menancap pada langit-langit rumah makan itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
218 "Ha ha ha! Dewi Tangan Maut, aku merasa malu untuk melukai seorang yang tak pantas menjadi lawanku. Kalau kau masih penasaran, suruhlah Sin Seng Cu atau yang lain mencariku di kota raja!" kata Ang Sun Tek sambil mengelak dari sambaran pedang Tin Eng.
Kemudian secepat kilat tangan kirinya menotok Tin Eng. Gadis itu menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya menjadi lemas tidak berdaya lagi.
"Thio-ciangkun, rawatlah baik-baik nona majikanmu itu!" kata Ang Sun Tek kepada Thio Sin yang segera maju dan menolong Tin Eng yang sudah tak berdaya itu. Sementara itu dengan hati gemas, marah, sedih dan malu, Kui Hwa melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Tak jauh dari situ, ia melihat Pui Kiat dan Pui Hok datang menunggang kuda. Kui Hwa lalu memberi tanda-tanda kepada mereka sehingga kedua orang muda itu memutar kembali kuda mereka dan mengikuti sumoi mereka itu keluar dari kota. Melihat wajah Kui Hwa yang nampak pucat dan bersungguh-sungguh dan tidak bersama dengan Tin Eng, mereka merasa gelisah.
"Sumoi, apakah yang telah terjadi?" tanya Pui Kiat setelah mereka tiba di luar kota.
"Dan dimanakah nona Liok?" tanya Pui Hok. "Mengapa ia tidak bersamamu?"
Dengan singkat Kui Hwa lalu menuturkan tentang pengalamannya bertemu dengan Ang Sun Tek yang kosen dan yang telah berhasil menawan Tin Eng untuk dipulangkan ke Kiang-sui.
"Celaka!" kata Pui Kiat. "Dia adalah kepala dari Liok-te Pat-mo yang amat terkenal Pat-kwa-tin mereka. Dia telah memandang rendah Hoa-san-pai kita. Benar-benar kurang ajar!"
"Mari kita tolong nona Liok!" kata Pui Hok.
"Tidak ada gunanya," kata Kui Hwa. "Orang she Ang itu terlalu tangguh bagi kita. Aku sendiri bersama Tin Eng sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Ilmu goloknya amat luar biasa. Selain itu, ia masih mempunyai kawan yang berkepandaian tinggi, semua perwira dari kerajaaan yang tak boleh dipandang ringan. Kalau kita bertiga pergi menolong, kita sendiri yang akan mendapat bencana."
"Aku tidak takut!" seru Pui Hok bersemangat. "Apakah kita harus membiarkan saja nona Liok tertawan?"
"Bukan begitu, ji-suheng," kata Kui Hwa. "Aku sendiri tentu akan membela mati-matian apabila mengetahui bahwa Tin Eng berada dalam bahaya. Akan tetapi ia tertawan oleh kawan-kawan ayahnya sendiri dan maksud mereka hanya akan membawa Tin Eng secara paksa kembali ke rumah orang tuanya. Memang Tin Eng pergi dari rumah orang tuanya tanpa izin ayahnya."
Kemudian karena terpaksa, secara singkat Kui Hwa menuturkan riwayat Tin Eng yang dipaksa kawin sehingga lari dari rumahnya dan betapa mereka berdua bertemu dengan Phang Gun dan Phang Si Lan yang mempercayakan pengambilan harta terpendam kepada Tin Eng dan dia sendiri.


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
219 "Oleh karena itu, keselamatan Tin Eng kurasa takkan terganggu. Mereka takkan berani mengganggu puteri dari Kepala daerah Liok di Kiang-sui. Yang kukhawatirkan hanya kalau-kalau mereka akan dapat memaksa Tin Eng membongkar rahasia peta tempat harta pusaka itu tersimpan. Dan terutama sekali, tantangan Ang Sun Tek amat menggemaskan hati, maka sekarang baiknya diatur begini saja. Ang Sun Tek dan para kawannya belum kenal kepada suheng berdua, maka suheng berdua baiknya mengikuti perjalanan mereka, sambil menjaga kalau-kalau Tin Eng mengalami bencana. Pendeknya, suheng berdua mengawal Tin Eng secara sembunyi. Aku sendiri hendak melaporkan hal ini kepada suhu dan susiok agar supaya penghinaan Ang Sun Tek terhadap Hoa-san-pai dapat terbalas. Kemudian aku akan mewakili Tin Eng mengambil harta pusaka itu sebelum didahului oleh Ang Sun Tek atau pesuruh dari Pangeran Ong Kiat Bo yang lain."
Pui Kiat dan Pui Hok menyatakan persetujuan dan kesanggupan mereka, terutama sekali Pui Hok yang tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan perasaan tertarik dan sukanya kepada Tin Eng dan pemuda ini amat mengkhawatirkan keadaan nona cantik itu. Dengan diam-diam mereka mengikuti rombongan yang dipimpin oleh Ang Sun Tek itu, yang tidak melanjutkan perjalanan mereka ke Hong-san, akan tetapi kembali ke utara dan kini menuju Kiang-sui.
Sebetulnya, ketika mereka memasuki kota itu dan bertemu dengan pasukan berkuda di bawah pimpinan Ang Sun Tek, secara iseng Pui Kiat dan Pui Hok mencari keterangan tentang hal mereka dan mendapat penuturan pengurus hotel bahwa rombongan berkuda itu adalah perwira-perwira kerajaan yang akan pergi ke Hong-san. Tadinya mereka tidak mengambil perhatian dan mereka tertarik ketika mereka bertemu dengan Kui Hwa dan mendapat keterangan bahwa Kui Hwa dan Tin Eng juga sedang menuju ke Hong-san. Kini setelah mendengar penuturan Kui Hwa, barulah kedua saudara Pui ini mengerti apakah maksud semua orang pegi ke Hong-san, yakni mencari harta pusaka yang tersembunyi di daerah pegunungan itu.
Sebagaimana yang telah diduga oleh Kui Hwa, Tin Eng tidak mendapat gangguan di tengah perjalanan, sungguhpun ia tidak berdaya sama sekali, naik kuda di tengah-tengah rombongan, Ang Sun Tek yang kosen itu senantiasa mendampinginya untuk menjaga kalau-kalau nona pendekar itu melarikan diri.
**** Kita tinggalkan dulu pasukan berkuda yang membawa Tin Eng menuju Kiang-sui dan yang selalu diikuti jejaknya oleh Pui Kiat dan Pui Hok itu dan marilah kita menengok keadaan Bun Gwat Kong dan Sie Cui Giok yang melakukan perjalanan bersama.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan bahwa nona Sie Cui Giok yang gagah perkasa itu sedang melakukan perjalanan untuk mencari Liok-te Pat-mo dan membalas dendam kakeknya yang pernah dikalahkan oleh delapan iblis bumi yang lihai itu dan Bun Gwat Kong yang merasa tertarik mendengar hal ini lalu ikut pergi bersama Cui Giok untuk bersama-sama mencoba kelihaian Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo itu.
Karena perjalanan mereka ke kota raja itu, melalui Hun-lam, maka setelah lewat di kota itu, Gwat Kong menyatakan kepada kawan seperjalanannya untuk mampir sebentar.
"Apakah kau ada keperluan di kota ini?" tanya Cui Giok yang ingin buru-buru sampai di kota raja.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
220 Gwat Kong belum pernah menceritakan kepada nona ini perihal Tin Eng dan ia mengira bahwa Tin Eng masih tinggal di rumah Lie-wangwe, yakni paman dari Tin Eng yang tinggal di kota Hun-lam. Mendengar pertanyaan Cui Giok ini ia menjadi bingung karena sukar untuk menyebut nama Tin Eng tanpa menceritakan semua riwayatnya dengan gadis itu. Akan tetapi akhirnya ia menjawab juga, "Aku mempunyai seorang kawan baik di kota ini."
Keris Pusaka Nogopasung 1 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Legenda Kematian 2
^