Pencarian

Pendekar Pemabuk 8

Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Siapa dia" Siapa namanya?"
Gwat Kong berwatak jujur dan sukar sekali baginya untuk membohong atau
menyembunyikan sesuatu, maka ia menjawab perlahan, "Namanya Tin Eng, ia she Liok."
"Liok Tin Eng" Hm, indah sekali nama ini untuk seorang wanita!"
Muka Gwat Kong menjadi merah, "Memang dia seorang wanita."
"Hmm, namanya sudah indah, tentu orangnya muda lagi cantik."
"Eh, Cui Giok. Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?"
"Apakah kau menganggap aku sebodohnya orang" Kau katakan bahwa dia adalah kawan baikmu. Kalau dia bukan seorang dara jelita, habis apakah kau berkawan baik dengan seorang nenek-nenek tua yang ompong?"
Mau tak mau Bun Gwat Kong tertawa juga mendengar ucapan jenaka ini. Akan tetapi aneh sekali, ketika ia memandang muka gadis itu, Cui Giok tidak tertawa geli sebagaimana dugaannya, bahkan gadis itu nampak tak senang dan cemberut.
"Gwat Kong, apakah aku ..... harus ikut pula mengunjunginya?"
"Tentu saja!" jawab Gwat Kong sambil memandang heran. "Mengapa tidak ikut?"
Cui Giok menundukkan mukanya. "Ah, .... aku khawatir kalau-kalau ..... hanya akan mengganggunya."
"Kau benar-benar aneh. Bagaimana seorang sahabat dapat mengganggu pertemuan antara kedua orang kawan?"
"Jadi kau anggap aku seorang sahabatmu?"
"Tentu saja, habis, bukankah kita memang sahabat karib?"
Diam sejenak. "Gwat Kong, apakah dia akan suka melihat dan menerima aku kalau aku ikut ke sana?"
"Siapakah yang kau maksudkan" Tin Eng" Tentu saja! Tin Eng adalah seorang gadis pendekar yang berkepandaian tinggi dan berhati gagah. Dia mempunyai ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
221 Mendengar ini, Cui Giok memandang cepat. "Oh, jadi dia masih sumoimu sendiri?"
Memang pertanyaan Cui Giok ini sudah sewajarnya oleh karena ia tahu bahwa Gwat Kong adalah ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, maka kalau gadis yang bernama Tin Eng itu pandai ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat pula, siapa lagi kalau bukan sumoi (adik perempuan seperguruan) dari Gwat Kong"
"Bukan, bukan sumoiku. Dia itu adalah anak dari bekas majikanku. Tentang kepandaiannya dalam ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat itu sesungguhnya ada perbedaannya dengan
kepandaianku."
Gwat Kong lalu menuturkan tentang kitab pelajaran ilmu pedang yang diketemukannya ketika ia menggali kebun di belakang rumah gedung Liok-taijin dan bahwa Tin Eng hanya mempelajari ilmu pedang itu dari kitab salinannya yang disalin secara buruk sekali oleh Bu-eng-sian Leng Po In.
Sambil bercakap-cakap mereka memasuki kota Hun-lam dan tak terasa pula tahu-tahu mereka telah berada di depan gedung Lie-wangwe. Hati Gwat Kong berdebar ketika ia melihat gedung itu. Kegembiraan memenuhi hatinya kalau ia ingat bahwa sebentar lagi akan bertemu dan berhadapan muka dengan Tin Eng.
Akan tetapi gedung itu nampaknya sunyi saja dan ketika Gwat Kong yang diikuti oleh Cui Giok telah masuk di ruang depan, seorang pelayan menyambutnya. Pelayan itu masih mengenali Gwat Kong maka dengan muka girang ia lalu mempersilahkan pemuda itu duduk untuk menunggu sedangkan ia lalu melaporkan kedatangan tamu ini kepada Lie-wangwe.
Tak lama kemudian pelayan itu keluar lagi dan mempersilahkan kedua orang tamunya masuk ke ruang tamu di mana Lie-wangwe sendiri menyambut mereka. Gwat Kong terkejut melihat orang tua itu nampak pucat dan seperti keadaan sakit. Ia buru-buru memberi hormat yang diturut pula oleh Cui Giok.
"Bun-hiante, kau baru datang?" tanya hartawan itu dengan suara lemah.
"Lie-siokhu, apakah kau selama ini sehat-sehat saja?"
Hartawan itu menghela napas dan memberi isyarat dengan tangannya untuk mempersilahkan kedua orang tamunya mengambil tempat duduk.
"Semenjak Tin Eng pergi, kesehatanku selalu terganggu. Aku merasa sunyi dan tak ada kegembiraan sama sekali."
"Tin Eng pergi" Kemanakah dia siokhu" Apakah dia pulang ke Kiang-sui?" tanya Gwat Kong dengan hati kecewa.
"Tidak, mana dia mau pulang ke Kiang-sui" Dia pergi bersama seorang sahabatnya, seorang nona gagah perkasa yang bernama Tan Kui Hwa yang berjuluk Dewi Tangan Maut."
"Ah, dia?"" kata Gwat Kong, teringat bahwa Dewi Tangan Maut adalah anak musuh besar ayahnya. "Kemanakah mereka pergi, susiokhu?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
222 "Siapa tahu ke mana anak-anak muda pergi. Mereka hanya menyatakan hendak merantau. Ah
... memang aneh sekali anak-anak muda sekarang. Lebih suka merantau bersusah payah dan mencari lelah, padahal di rumah lebih senang dan segala apa tersedia."
Gwat Kong tidak lama berada di situ, karena ia maklum bahwa orang tua yang sedang tidak sehat itu tidak boleh diganggu terlalu lama. Ketika ia berpamit, Lie-wangwe hanya memesan bahwa apabila pemuda itu bertemu dengan Tin Eng, minta supaya gadis itu kembali ke Hun-lam.
Cui Giok dapat melihat kekecewaan yang membayang keluar dari pandang mata Gwat Kong, maka ia tidak mau mengganggunya. Hanya berkata sambil berjalan di sebelah pemuda yang menjadi pendiam itu,
"Aku pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut yang terkenal. Bukankah dia itu anak murid Hoa-san-pai?"
Gwat Kong hanya mengangguk. Kekecewaan membuat ia malas bicara. Cui Giok dapat merasakan pula sikap Gwat Kong ini. Maka gadis yang berhati polos ini bertanya,
"Gwat Kong, agaknya kau dan Tin Eng saling menyintai."
Gwat Kong terkejut mendengar ini dan mukanya menjadi merah sekali.
"Cui Giok, bagaimana kau bisa berkata demikian" Tin Eng adalah anak tunggal dari Kepala daerah di Kiang-sui, seorang bangsawan tinggi yang berpengaruh dan kaya raya. Sedangkan aku ini orang macam apakah" Aku dahulu hanyalah menjadi seorang pelayan tukang kebon dari keluarga Liok. Mana ada aturan seperti yang kau duga itu?"
"Jadi kalau begitu, kau dan Tin Eng hanyalah sahabat belaka?"
"Disebut sahabat pun sudah janggal terdengarnya. Aku pernah menjadi pelayannya. Mana ada pelayan menjadi sahabat puteri majikannya?"
Kini Cui Giok memandang dengan mata berseri.
"Gwat Kong ......" katanya akan tetapi kata-katanya terhenti.
"Kau hendak bilang apakah, Cui Giok?" Gwat Kong bertanya sambil memandang.
"Ada orang yang semenjak bertemu dengan kau ...." ia berhenti lagi.
"Ya ....?" Gwat Kong mendesak.
"Yang tidak memandang rendah kepadamu bahkan yang menganggap kau cukup berharga untuk menjadi sahabat seorang puteri kaisar sekalipun!"
"Ah, orang itu tentu terdorong hatinya oleh rasa kasihan terhadap anak yatim piatu sebatang kara yang miskin ini," cela Gwat Kong.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
223 "Tidak! Orang itu menyatakan dengan sejujur hatinya bahwa kau adalah orang yang jujur dan mulia. Sifat kebajikan ini tak dapat diukur dengan hanya melihat keadaan lahirnya. Sejarah menyatakan bahwa tak sedikit jumlahnya orang-orang yatim piatu yang paling miskin memiliki jiwa kesatria dan hati mulia yang jauh lebih berharga dari pada segala pangkat dan harta benda orang-orang berhati rendah!"
Maka merahlah muka Gwat Kong. "Aaah, orang itu terlalu melebih-lebihkan!" Diam-diam ia menjadi bingung dan dadanya berdebar, karena ia maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Cui Giok "orang" itu adalah Cui Giok sendiri.
Nona itu tertawa dan memandang kepada Gwat Kong dengan mata berseri dan gembira.
"Sayangnya kau pemalu dan berpura-pura ....... alim!"
"Haaa .....?" Gwat Kong memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cui Giok hanya tertawa geli lalu berlari cepat sehingga Gwat Kong harus mengerahkan tenaga untuk menyusulnya.
Beberapa hari kemudian mereka tiba di pinggiran sungai Yung-ting di propinsi Hope.
"Gwat Kong, aku sudah bosan melakukan perjalanan melalui darat. Marilah kita melanjutkan melalui sungai Yung-ting ini. Aku mendengar kabar bahwa pemandangan di kanan kiri sungai ini amat indahnya, pula dengan membonceng kepada aliran air, kita menghemat tenaga kaki."
"Kau pemalas!" Gwat Kong menggoda.
Akan tetapi ia tidak membantah dan keduanya lalu menyewa sebuah perahu kepunyaan seorang nelayan tua yang berjenggot panjang. Perahu itu kecil saja akan tetapi masih baik dan kuat. Di sini terdapat sebuah payon dari bilik yang kecil akan tetapi cukup untuk digunakan sebagai pelindung serangan hujan atau angin. Tiang layarnya dari kayu kasar dan kuat, dipasang di tengah-tengah perahu.
"Ji-wi jangan kuatir, perahuku ini cukup dan baik, tidak bocor sedikitpun juga seperti mulut seorang budiman."
Gwat Kong tersenyum dan sambil memandang air sungai Yung-ting yang sedang pasang, ia bertanya,
"Apakah tidak berbahaya, lopek" Aku harus akui bahwa aku tak pandai berenang,
sungguhpun kawanku ini seorang ahli berenang yang pandai." Sambil berkata demikian, ia mengerling kepada Cui Giok yang tertawa geli karena kata-kata ini mengingatkan ia akan peristiwa ketika ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan Gwat Kong.
"Sama sekali tidak berbahaya. Bahkan kalau air sedang pasang seperti ini, lebih mudah untuk berlayar. Tidak takut akan bahayanya batu karang yang menghalang di bawah permukaan air."
"Apakah tidak ada bajak sungai?" tanya Cui Giok.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
224 Kakek nelayan itu mengerutkan alisnya. "Tak berani aku mengatakan tidak ada. Biasanya sih aman saja. Hanya kadang-kadang di dekat Kiang-sui suka timbul gangguan bajak sungai.
Akan tetapi setelah Kepala daerah Kiang-sui mengadakan pembersihan, kabarnya banyak bajak sungai tak berani mengganggu lagi."
Gwat Kong melompat ke atas ketika mendengar ini. "Apa sungai ini mengalir sampai ke Kiang-sui?"
"Tidak memasuki kotanya, kongcu. Hanya mengalir di sebelah selatan kota itu. Kira-kira lima li jauhnya dari batas kota."
"Bagus!" kata Gwat Kong dengan girang. "Kalau begitu kita dapat berhenti sebentar karena aku akan mengunjungi Kiang-sui."
Cui Giok cemberut. "Hmm, kau tentu mencari Tin Eng di rumah ayahnya."
Gwat Kong tersenyum. "Tidak, Cui Giok, Tin Eng tidak akan ada di rumahnya, karena aku tahu betul gadis itu takkan mau pulang ke rumah orang tuanya. Aku hanya ingin melihat kota di mana aku telah tinggal bertahun-tahun di situ, karena bukankah kita kebetulan melalui kota itu?"
Pada saat kedua orang muda itu hendak naik ke dalam perahu itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah lima orang penunggang kuda. Dua di antara mereka adalah Lui Siok si Ular Belang dan Song Bu Cu, dua orang pemimpin perkumpulan Hek-i-pang. Tiga yang lain adalah tiga orang anak buah mereka di kota Tong-kwan, pusat perkumpulan itu.
Song Bu Cu dan Lui Siok belum pernah bertemu Gwat Kong, maka mereka hanya melirik saja dan hendak melarikan kuda mereka melewati tempat itu. Akan tetapi seorang di antara anak buah mereka pernah melihat Gwat Kong ketika pemuda ini menangkap Touw Cit dan Touw Tek, pemeras kota Hun-lam dan anak buah Hek-i-pang, maka ia menahan kendali kudanya dan berseru,
"Kang-lam Ciu-hiap!"
Mendengar disebutnya nama ini, Song Bu Cu dan Lui Siok terkejut dan segera menahan kuda mereka.
"Mana jahanam itu?" tanya Lui Siok kepada anak buahnya yang berseru tadi. Orang itu lalu menudingkan jarinya ke arah Gwat Kong dan berkata,
"Itulah dia orangnya, Kang-lam Ciu-hiap yang telah mengacau di Hun-lam!"
Song Bu Cu dan Lui Siok memandang dan ketika melihat bahwa yang bernama Kang-lam Ciu-hiap seorang pemuda yang nampaknya lemah dan kawan pemuda itupun hanya seorang dara muda yang cantik. Maka mereka lalu melompat turun dari kuda dan menghampiri perahu itu dengan lagak sombong.
"Cui Giok," kata Gwat Kong melihat sikap kedua orang itu. "Kita bertemu dengan orang-orang jahat. Mereka tentu akan mencari perkara."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
225 "Bagus!" kata Cui Giok tersenyum girang. "Mereka akan menyesal hari ini selama hidupnya."
Bab 25 ... SEMENTARA itu, nelayan tua ketika mendengar ucapan-ucapan ini dan melihat sikap Song Bu Cu dan Lui Siok yang galak mengancam menjadi ketakutan. Ia berjongkok di dalam perahunya dengan tubuh menggigil dan mulutnya tiada hentinya menyebut nama Budha sambil memohon,
"Omi-tohud! Lindungilah hamba ........"
Dengan sikap tenang sekali Gwat Kong dan Cui Giok lalu keluar dari perahu dan berjalan maju menyambut kedatangan kedua orang itu. Setelah mereka berhadapan, Lui Siok menudingkan telunjuknya ke arah muka Gwat Kong dan membentak,
"Bangsat kecil, apakah kau yang bernama Gwat Kong dan yang menyombongkan diri sebagai Kang-lam Ciu-hiap?"
"Bangsat besar!" Gwat Kong balas memaki. "Memang cocok sekali watakmu sebagai bangsat besar, datang-datang memaki orang, seperti orang yang miring otaknya."
"Kang-lam Ciu-hiap! Dengarlah baik-baik. Aku adalah Lui Siok, wakil ketua dari Hek-i-pang di Tong-kwan, sedangkan twako ini adalah Song Bu Cu, ketua dari Hek-i-pang. Kau telah berlaku kurang ajar dan telah menghina Touw Cit dan Touw Tek di Hun-lam. Mereka itu adalah anggauta-anggauta perkumpulan kami."
"Pantas, pantas!" Gwat Kong mengangguk-anggukkan kepalanya. "Pantas saja nama Hek-ipang dibenci semua orang. Tidak tahunya yang menjadi ketua dan wakil ketuanya orang-orang macam ini."
"Akupun pernah mendengar tentang kebusukan nama Hek-i-pang," tiba-tiba Cui Giok ikut bicara. "Karenanya sudah lama aku ingin menegurnya. Sekarang pemimpin-pemimpinnya datang menyerahkan diri. Sungguh bagus, tidak usah aku mencapekkan diri mencari."
Bukan main marahnya Song Bu Cu dan Lui Siok mendengar ucapan kedua orang muda ini.
"Perempuan busuk!" Song Bu Cu membentak. "Siapakah kau yang lancang mulut ini?"
Cui Giok tertawa. "Mau tahu aku siapa" Aku adalah malaikat penjaga sungai Yung-ting ini dan aku telah mendapat pesan dari Hay-liong-ong (Raja naga laut yang menguasai air) agar supaya aku menangkapmu dan melemparkan kau ke air agar dosa-dosamu dicuci bersih dengan air sungai ini."
"Anjing betina!" Song Bu Cu memaki dengan marah yang meluap-luap. Belum pernah ada orang yang berani menghina sedemikian rupa. Apalagi seorang dara muda seperti Cui Giok.
Maka ia lalu bergerak maju hendak menyerang, akan tetapi ia didahului oleh Lui Siok yang berkata,
"Twako, biarlah aku yang menangkap domba betina yang pandai berlagak ini. Harap twako membereskan saja Kang-lam Ciu-hiap!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
226 Memang Lui Siok berwatak licik. Ia telah mendengar dari Gan Bu Gi tentang kelihaian Kang-lam Ciu-hiap, maka biarpun dulu di depan Gan Bu Gi ia bicara sombong, akan tetapi karena kini Gwat Kong berkawan seorang gadis muda, ia hendak mengambil rsiko sekecil-kecilnya dengan melawan gadis itu. Melawan Kang-lam Ciu-hiap ada bahayanya menderita kalah.
Akan tetapi menghadapi gadis muda ini tak mungkin akan kalah, demikian pikirnya.
Ia bermaksud membikin malu dara muda yang cantik itu, maka begitu ia menubruk maju, ia mengeluarkan ilmu silatnya yang lihai, yakni ilmu tangkap yang disebut Siauw-kin-na-jiu-hoat, sebagaimana pernah ia pergunakan ketika ia melawan Tin Eng. Siauw-kin-na-jiu-hoat ini dilakukan mengandalkan kekuatan jari tangan dan kecepatan gerakan. Setiap tangkapan atau cengkeraman ditujukan kepada jalan darah sehingga sekali saja tangan atau bagian tubuh lain dari lawan kena tertangkap, maka amat sukarlah bagi lawan itu untuk dapat melepaskan diri.
Sambil berseru keras, Lui Siok menyerang ke arah kedua pundak Cui Giok dan ia merasa bahwa serbuannya ini pasti akan berhasil karena selain ia lakukan dengan amat cepatnya, juga ia melihat betapa gadis itu masih berdiri dengan bertolak pinggang, sama sekali tidak memasang kuda-kuda.
Sementara itu, Song Bu Cu juga maju menyerbu Gwat Kong. Ketua dari Hek-i-pang terlalu percaya kepada kepandaian sendiri dan ia memandang rendah kepada Gwat Kong yang masih amat muda, maka ia menyerang menggunakan kedua tangannya saja. Melihat betapa pemuda itu dengan sikap sembarangan berdiri dengan kaki kiri di depan dan dua tangan disilangkan di dada, ia lalu memajukan kaki kanan dan memukul dengan gerak tipu Pek-wan-hian-tho (Kerah putih persembahkan buah Tho) dengan maksud untuk menipu. Dan apabila lawannya mengelak sambil mengundurkan kaki kiri, ia akan menyusul dengan kaki kirinya mengirim tendangan dibarengi dengan pukulan tangan kanan.
Serangan yang dilakukan oleh Lui Siok dan Song Bu Cu datangnya pada saat yang sama, dan keduanya telah merasa yakin bahwa serangan pertama itu tentu akan merobohkan lawan.
Akan tetapi, tiga orang anak buah Hek-i-pang dan nelayan tua yang menonton pertempuran itu, tiba-tiba membelalakkan mata dan memandang dengan penuh keheranan ketika serangan itu bukan mengakibatkan robohnya Gwat Kong dan Cui Giok, bahkan tiba-tiba terdengar suara kaget disusul oleh melayangnya tubuh Song Bu Cu dan Lui Siok ke sungai.
"Byur........ byur .......!!" air memercik ke atas ketika dua tubuh ketua Hek-i-pang itu menimpa air. Song Bu Cu masih untung oleh karena ia terjatuh di air dengan kepala lebih dahulu sehingga ia dapat meluruskan tubuhnya dan kedua tangannya dipergunakan untuk memasuki air dengan baik. Akan tetapi Lui Siok terjatuh dengan pantat lebih dulu sehingga ia merasa pantatnya panas dan pedas.
Gwat Kong dan Cui Giok saling pandang dengan alis terangkat dan ulut tersenyum geli.
Sungguh tak pernah mereka duga bahwa mereka mempunyai maksud dan gerakan yang sama yakni melemparkan kedua lawan itu ke dalam air. Maka tak tertahan pula keduanya tertawa bergelak sambil memandang ke arah dua orang lawannya yang sedang berenang ke pinggir.
Song Bu Cu dan Lui Siok menjadi marah sekali. Memang tadi mereka telah sangka dan terlalu memandang rendah kepada lawan yang muda-muda ini. Ketika tadi Lui Siok mencengkeram ke arah pundak Cui Giok, gadis itu sama sekali tidak mengelak atau Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
227 menangkis, akan tetapi mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya ke arah pundak dan mengeluarkan ilmu sia-kut-hoat (melepas tulang melemaskan tubuh). Sehingga ketika kedua tangan Lui Siok mencengkeram pundak gadis itu, si Ular Belang terkejut karena kulit pundak gadis itu terasa amat licin dan tak dapat ditangkap. Sebelum ia menginsyafi bahwa ia telah melakukan serangan yang amat berbahaya bagi kedudukannya sendiri, tiba-tiba kedua tangan Cui Giok telah menangkap leher dan bajunya, lalu melontarkan dengan tenaga lweekang hebat ke sungai.
Adapun Song Bu Cu ketika menyerang Gwat Kong dengan pukulan Pek-wan-hian-tho sama sekali tidak mengira bahwa Gwat Kong sudah dapat menduga maksudnya, maka dengan sengaja pemuda itu melangkahkan kaki kiri ke belakang. Song Bu Cu menjadi girang dan cepat menyusul dengan tendangan kaki kirinya dan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tiba-tiba Gwat Kong berjongkok meluputkan diri dari pukulan lawan. Adapun kaki kiri Song Bu Cu menyambar kearahnya. Ia menyambut kaki kiri itu dengan tangkapan tangan kanan dan sambil "meminjam" tenaga tendangan lawan, ia membetot dan melontarkan tubuh Song Bu Cu ke dalam air.
Demikianlah, maka dengan amarah yang menyesakkan pernapasan dan dengan pakaian basah kuyup, Song Bu Cu dan Lui Siok berenang ke pinggir dan melompat ke darat.
Cui Giok menyambut Lui Siok dengan tertawa mengejek, "Nah, baru sekali kau mencuci dosa, masih belum bersih. Masih kurang lama kau mencuci dosamu."
Gwat Kong menjadi gembira juga mendengar kejenakaan Cui Giok, maka sambil tersenyum-senyum yang memanaskan hati, ia berkata kepada Song Bu Cu,
"Pangcu (ketua), orang bilang bahwa air sungai Yung-ting ini rasanya asin seperti air laut, betulkah itu?"
Song Bu Cu dan Lui Siok menjawab ejekan ini dengan mencabut senjata masing-masing.
Song Bu Cu mengeluarkan sepasang pedangnya, sedangkan Lui Siok melepaskan sabuk ular belang yang tadi melibat di pinggangnya,
Gwat Kong dan Cui Giok maklum bahwa kedua orang lawan ini betapapun juga tak boleh di pandang ringan dengan senjata-senjata mereka, maka kedua orang muda itupun lalu mencabut pedang masing-masing. Gwat Kong mengeluarkan Sin-eng-kiam yang bercahaya gemilang sedangkan Cui Giok juga mengeluarkan sepasang pedangnya yakni Im-yang Siang-kiam.
Berbareng dengan bentakan-bentakan mereka, Song Bu Cu menyerang Gwat Kong sedangkan Lui Siok menyerang Cui Giok. Pertempuran yang amat seru terjadi di pinggir sungai itu.
Benar-benar hebat dan menarik, karena Gwat Kong yang berpedang tunggal menghadapi sepasang pedang Song Bu Cu. Sedangkan sabuk ular belang di tangan Lui Siok yang lihai bertemu dengan sepasang pedang pula di tangan Cui Giok.
Lui Siok adalah seorang murid tertua Kim-san-pai. Maka ilmu silatnya sudah cukup tinggi.
Dibandingkan dengan sutenya, yakni Gan Bu Gi, kepandaiannya masih lebih tinggi dan ditambah pula dengan pengalaman bertempur berpuluh tahun, maka ia benar-benar tangguh dan merupakan lawan berat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
228 Juga Song Bu Cu lebih lihai lagi. Sepasang pedangnya berputar-putar cepat bagaikan sepasang naga berebut mustika dan sebagai seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang amat tinggi, maka gerakan sepasang pedangnya itu mengeluarkan angin dingin yang mengerikan.
Akan tetapi kini kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu benar-benar menjumpai batu karang.
Betapapun lihainya Song Bu Cu, kini menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Gwat Kong, ia seakan-akan bertemu dengan gurunya. Pedang tunggal Gwat Kong bergerak lebih cepat dan tiap gerakannya merupakan tangkisan dan serangan balasan yang berbahaya sekali sehingga dalam beberapa belas jurus Song Bu Cu telah terdesak mundur dan sepasang pedangnya tertindih, membuat ia sukar sekali mengirim serangan balasan.
Apalagi Lui Siok. Orang ini setelah bertempur belasan jurus, diam-diam mengeluh dan memaki kepada dirinya sendiri yang dianggapnya goblok dan buta sehingga tadi memilih gadis ini untuk menjadi lawannya. Biarpun ia belum pernah bertempur melawan Gwat Kong, akan tetapi menghadapi kelihaian gadis ini, ia berani bersumpah untuk menyatakan bahwa kepandaian Gwat Kong tak mungkin dapat setinggi gadis ini.
Sebentar saja gerakan sabuknya menjadi kalut sekali. Sepasang pedang dari Cui Giok yang bergerak dengan tenaga lemas dan keras berganti-ganti membuat Lui Siok menjadi pening kepala dan pandangan matanya menjadi kabur berkunang.
Cui Giok memang seorang dara yang jenaka sekali dan ia paling suka mempermainkan orang.
Apalagi kalau orang itu seorang penjahat yang dibencinya. Bagaikan seekor kucing betina menangkap tikus, ia tidak mau menamatkan riwayat tikus itu demikian saja tanpa dipermainkan terlebih dahulu.
Kalau ia mau, sudah semenjak gebrakan pertama ia dapat membabat putus sabuk lawannya, atau bahkan melukai tubuh Lui Siok. Akan tetapi ia tidak melakukan hal ini dan sengaja menanti sampai Gwat Kong mengalahkan lawannya lebih dulu. Maka ujung pedangnya hanya
"mampir" saja dipakaian lawannya sehingga baju Lui Siok sudah bolong-bolong dimakan ujung pedang. Bahkan kulit tubuhnya di beberapa bagian juga terbawa hingga mengeluarkan darah dan terasa perih sekali.
Di lain pihak, Gwat Kong tidak mau mempermainkan Song Bu Cu sebagaimana yang
dilakukan oleh Cui Giok. Pemuda ini mainkan pedangnya dengan hebat dan mendesak terus sambil mengirim serangan-serangan yang berbahaya. Sungguhpun ia tidak mau melakukan serangan yang mematikan atau membahayakan keselamatan lawannya.
Ia hanya ingin merobohkan lawannya dengan luka seringan mungkin. Beberapa kali ia berusaha membuat kedua pedang lawan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa usaha ini amatlah sukar. Oleh karena itu Gwat Kong menjadi penasaran sekali. Ia maklum bahwa berkat keuletan lawannya, maka amat sukarlah baginya untuk dapat merobohkan lawan ini tanpa mengirim serangan hebat yang dapat mengakibatkan luka berat atau kebinasaan. Maka setelah berpikir agak lama, Gwat Kong lalu mencabut sulingnya yang disimpan pada buntalan pakaian yang diikat di punggungnya. Kemudian dengan suling di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, ia mendesak lagi.
Bukan main terkejutnya hati Song Bu Cu melihat gerakan suling ini, karena tidak saja hebat dan lihai, bahkan lebih berbahaya agaknya dari pada pedang pemuda itu. Ia tidak tahu bahwa Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
229 Gwat Kong mainkan sulingnya dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat, ilmu silat tingkat tinggi yang dipelajari dari Bok Kwi Sianjin. Dengan suling dan pedang ditangannya, maka sekali gus pemuda itu telah mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat.
Sudah tentu Song Bu Cu tidak kuat menghadapi dua ilmu silat yang telah menggemparkan daerah barat dan timur ini. Maka mukanya menjadi pucat dan sepasang pedangnya tak berdaya sama sekali. Pada saat yang tepat, suling di tangan kiri Gwat Kong bergerak menyerang dengan totokan jalan darah di bagian pundak dan pedangnya berkelebat mengancam pergelangan tangan lawan.
Song Bu Cu menjadi bingung oleh karena gerakan kedua senjata lawannya itu benar-benar tak dapat diduga semula, maka ia terpaksa harus miringkan tubuh ke kiri untuk menghindarkan totokan suling dan menggerakkan siang-kiamnya untuk menangkis sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu ketika kedudukan tubuhnya masih buruk dan lemah, tiba-tiba kaki kanan Gwat Kong menyambar dibarengi dengan ketokan sulingnya pada pergelangan tangan kanan lawannya.
Song Bu Cu memekik nyaring dan untuk kedua kalinya, tubuhnya yang tinggi itu terlempar ke tengah sungai.
Cui Giok gelak terbahak melihat hal ini, maka sambil tertawa-tawa ia lalu mempercepat gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dan mengancam ulu hati dan leher lawan bertubi-tubi. Lui Siok merasa bingung dan gelisah sekali, terutama karena ia melihat Song Bu Cu telah dikalahkan, maka sambil menangkis ia main mundur saja tanpa dapat membalas serangan Cui Giok.
"Hayo mundur! Terus sampai ke sungai. Kau harus mandi sekali lagi!" Sambil berkata demikian, pedangnya berkelebat menghadang jalan keluar bagi Lui Siok, sehingga si Ular Belang ini hanya mempunyai sejurus jalan, yakni di belakangnya di mana membentang sungai Yung-ting. Makin cepat Cui Giok berjalan dan mendesak, makin cepat pula ia mundur sehingga akhirnya ia sampai di pinggir sungai itu.
"Hayo, lekas lompat ke air! Kau harus mandi lagi seperti kawanmu!"
Karena pedang Cui Giok menyambar-nyambar dengan hebatnya, terpaksa Lui Siok melompat ke belakang dan "byuuur..!" untuk kedua kalinya iapun dipaksa minum air sungai.
Bukan main hebatnya hinaan yang diderita oleh kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu.
Mereka adalah jago-jago silat yang terkenal dan ditakuti, dan banyak orang kang-ouw menganggap mereka sebagai ahli-ahli silat berkepandaian tinggi. Siapa nyana bahwa pada hari ini mereka bertemu dengan dua orang muda yang mempermainkan mereka semaunya, seakan-akan mereka adalah dua ekor tikus kecil berhadapan dengan dua kucing besar.
Lebih-lebih Song Bu Cu. Pangcu ini telah membuat nama besar dan belum pernah ia dikalahkan orang dengan mudah. Kini setelah dipaksa untuk berenang melawan air sungai oleh seorang pemuda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw, ia merasa gemas dan marah, sedih, malu dan penasaran sehingga ketika tubuhnya telah timbul dipermukaan air lagi, ia memekik keras dan pingsan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
230 Tubuhnya hanyut dibawa air dan baiknya pada saat itu tubuh Lui Siok yang melompat ke air jatuh menimpa badannya yang mulai hanyut. Lui Siok tadinya merasa terkejut sekali dan mengira bahwa yang ditimpa oleh tubuhnya adalah seekor buaya atau ikan besar. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang disangka ikan itu bukan lain adalah Song Bu Cu, ia segera menolongnya dan membawanya ke pinggir.
Ia dan Song Bu Cu lalu ditolong oleh tiga orang anak buahnya dan ketika Lui Siok memandang ke arah kedua orang muda lawannya, ternyata Cui Giok dan Gwat Kong telah naik ke atas perahu dan menyuruh nelayan tua itu mendayung perahu ke tengah. Sepasang anak muda itu berdiri di kepala perahu sambil tersenyum memandangnya. Lui Siok tak dapat berkata sesuatu hanya mendelikkan mata memandang penuh kebencian dan sakit hati.
Pengalaman dan pertempuran melawan dua orang pemimpin Hek-i-pang itu membuat
pergaulan antara Gwat Kong dan Cui Giok makin erat. Sambil menikmati pemandangan yang sungguh indah di sepanjang sungai tiada hentinya mereka membicarakan kedua orang itu sambil tertawa-tawa gembira. Yang lebih gembira lagi adalah tukang perahu yang tua itu.
Tiada habisnya ia memuji dan matanya yang sudah tua itu berseri-seri.
"Seumur hidupku belum pernah aku menyaksikan dua orang muda yang sehebat dan segagah kalian!" katanya sambil mendayung. "Kalian merupakan pasangan yang paling cocok dan hebat yang pernah kujumpai, sama gagah, sama elok, pendeknya .... hebat! Anak kalian kelak tentu seorang yang luar biasa dan ...."
"Hush ...." Lopek jangan bicara sembarangan! Kami bukan suami isteri, juga bukan tunangan!"
Nelayan itu melongo dan memandang dengan heran. Jelas bahwa ia merasa amat kecewa.
Adapun Cui Giok ketika mendengar ucapan kakek nelayan itu, merahlah wajahnya sampai ke telinganya. Semenjak saat itu, apabila mata mereka bertemu, Gwat Kong melihat cahaya gemilang yang aneh di dalam manik mata gadis itu, sinar yang sebelumnya tak terlihat olehnya.
Dan kalau dulu Cui Giok memandangnya dengan berani dan terbuka, kini gadis itu tidak berani menentang pandang matanya terlalu lama. Aneh, pikirnya. Akan tetapi sama sekali ia tidak dapat menduga apakah sebenarnya yang terdapat dibalik sinar mata itu.
Benar sebagaimana keterangan nelayan tua itu, perjalanan melalui air sungai Yung-ting itu aman dan mnyenangkan. Tidak terdapat gangguan bajak sungai dan mereka kadang-kadang hanya bertemu dengan perahu-perahu nelayan yang menjala ikan. Akan tetapi ketika telah memasuki daerah Kiang-sui yang banyak terdapat hutan-hutan lebat, muncullah bajak sungai yang pernah dituturkan oleh nelayan tua itu kepada mereka.
Perahu mereka sedang berlayar dengan tenang melalui sebuah hutan dan pada sebuah tikungan yang tajam, ketika perahu mereka baru saja membelok, tiba-tiba mereka berhadapan dengan lima buah perahu besar penuh dengan bajak-bajak sungai.
"Celaka!" nelayan tua yang mengemudikan perahu kecil itu berseru dengan wajah pucat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
231 "Minggirkan perahu ke darat!" kata Gwat Kong yang duduk bersama Cui Giok. Kedua anak muda ini masih tenang saja, bahkan ketika saling pandang, senyum gembira membayang di bibir mereka.
Perahu-perahu bajak itu ketika melihat calon korbannya mendayung perahu ke pinggir, segera meminggirkan perahu pula dan terdengar seruan-seruan mereka diselingi suara ketawa.
Mereka merasa gembira melihat betapa korban-korban mereka itu seperti hendak melarikan diri ke darat. Akan tetapi, alangkah heran mereka ketika melihat sepasang orang muda yang berada di perahu kecil itu setelah melompat ke darat. Bukannya mereka melarikan diri sebagaimana mereka sangka, akan tetapi bahkan berdiri di pantai menanti mereka dengan sikap menantang.
Kepala bajak ini adalah seorang bermuka hitam bertubuh kurus tinggi. Ia bernama Oey Bong dan telah bertahun-tahun ia hidup sebagai kepala bajak yang ditakuti orang. Tadinya ia bersama anak buahnya berpangkal di sungai Yung-ting dekat kota Kiang-sui. Akan tetapi belakangan ini setelah Kepala daerah Kiang-sui, yakni Liok-taijin, mengerahkan tentara di bawah pimpinan Gan Bu Gi yang pandai untuk menggempurnya, sehingga pasukan bajak itu menjadi kocar-kacir. Terpaksa ia melarikan diri dan kini melakukan pencegatan dan pembajakan di dalam hutan itu.
Melihat betapa sepasang muda-mudi yang hendak dirampok itu mendarat, Oey Bong lalu mengerahkan anak buahnya untuk mengejar dan iapun terheran-heran ketika melihat sepasang orang muda itu tidak melarikan diri. Maka ia menduga bahwa kedua orang muda itu tentulah memiliki kepandaian.
Setelah perahunya berada dekat dengan daratan, ia lalu berseru keras dan tubuhnya melompat ke darat dengan gesit. Beberapa orang pembantunya yang juga pandai ilmu silat, lalu melompat pula ke darat dan sebentar saja Gwat Kong dan Cui Giok yang masih tersenyum-senyum itu telah dikurung oleh belasan orang yang dipimpin oleh pemimpin bajak. Para anggauta bajak hanya berdiri mengurung agak jauh sambil bersorak-sorak. Sementara itu, kakek nelayan yang mengantar Gwat Kong, duduk mendekam di dalam perahunya dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Kalian ini orang-orang kasar menghadang perahu kami, mempunyai maksud apa?" tanya Gwat Kong kepada si muka hitam Oey Bong.
Oey Bong tertawa geli dan kawannyapun tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.
"Orang muda," kata Oey Bong. "Kami adalah orang baik-baik dan kami takkan
mengganggumu, asal saja kautinggalkan semua barang-barangmu, berikut isterimu yang cantik jelita ini!" Dengan jari telunjuknya yang panjang, kepala bajak ini menunjuk ke arah Cui Giok.
Merahlah wajah Cui Giok mendengar ini. Telah dua kali orang menyangka ia dan Gwat Kong sebagai suami isteri. Akan tetapi, kalau persangkaan nelayan tua membuat ia malu dan hanya diam-diam berdebar girang, adalah sangkaan kepala bajak yang amat kasar dan menghina ini membuat ia jadi marah sekali.
"Anjing bermuka hitam!" ia memaki sambil menuding ke arah muka Oey Bong. "Apa sih yang kau andalkan maka anjing buduk macam kau ini berani menjadi kepala bajak sungai?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
232 "Ha ha ha!" Oey Bong yang dimaki itu tertawa bergelak. "Sungguh galak, makin galak makin manis! Kau cocok sekali untuk menjadi permaisuriku. Ha ha!
"Kurang ajar!" seru Gwat Kong sambil mencabut pedangnya. Hatinya panas dan marah sekali melihat kekurang ajaran bajak itu. Akan tetapi Cui Giok berseru menahannya,
"Jangan Gwat Kong! Biar aku yang memberi hajaran kepada anjing buduk ini. Kalau dia belum melepaskan dua buah telinganya, aku tak mau ampunkan dia!" Cui Giok mencabut sepasang pedangnya.
Gwat Kong tersenyum. "Ah, dasar kau yang sudah bernasib harus kehilangan telinga! Jagalah baik-baik daun telingamu, muka hitam!" Sambil berkata demikian, Gwat Kong
menggenjotkan kedua kakinya dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan ketika para penjahat dengan terkejut memandang ke atas, ternyata pemuda itu telah duduk di atas sebuah cabang pohon yang tinggi.
Mereka merasa kaget sekali karena gerakan itu saja sudah cukup membuka mata mereka bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka. Akan tetapi telah terlanjur dan karena pemuda yang lihai itu tidak ikut menghadapi mereka, maka Oey Bong lalu mencabut goloknya dan mendahului menyerang Cui Giok.
Ia maklum bahwa pemuda itu amat lihai, maka lenyaplah keinginannya mengganggu Cui Giok. Ia hendak merobohkan gadis itu terlebih dahulu sebelum pemuda itu turun tangan.
Kemudian kalau pemuda itu terlalu lihai baginya, ia akan mengeroyok dengan semua anak buahnya. Cepat sekali ia mencabut golok dan menyerang Cui Giok dengan sebuah sabetan ke arah pinggang. Inilah tipu gerakan Hon-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun Tua) yang dilakukan cukup gesit dan kuat.
Akan tetapi dengan tertawa mengejek, pedang di tangan Cui Giok melakukan gerakan berbareng. Pedang kiri menangkis sambaran golok sedangkan pedang di tangan kanan menghantam ke arah pergelangan tangan lawan. Oey Bong terkejut bukan main dan cepat menarik kembali goloknya untuk menghindarkan tangannya terbabat putus. Akan tetapi percuma saja ia mencoba menghindarkan diri. Oleh karena ujung pedang Cui Giok bagaikan hidup dan bermata. terus mengikuti pergelangan tangannya dengan kecepatan yang menyilaukan mata, maka Oey Bong menjadi makin gelisah.
"Lepaskan golok!" Cui Giok membentak dan Oey Bong merasa betapa pergelangan
tangannya menjadi perih sekali karena telah tertempel oleh mata pedang yang tajam. Ia tak dapat berbuat lain dan terpaksa melepaskan goloknya. Dalam kegugupannya, ia berteriak memberi komando kepada kawan-kawannya.
"Serbu!"
Setelah berteriak, kepala bajak yang licik ini lalu melompat mundur hendak lari.
Kawan-kawannya yang semenjak tadi telah berdiri dengan senjata di tangan, segera maju menyerbu, mengeroyok Cui Giok. Akan tetapi gadis itu berseru keras dan begitu tubuhnya berkelebat, maka terdengarlah seruan kaget dan pedang atau golok di tangan para bajak itu beterbangan ke atas, ada yang patah, ada yang mencelat berikut jari-jari tangan yang terbabat Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
233 putus. Jerit dan pekik terdengar dan keadaan menjadi amat gaduh. Oey Bong masih mencoba untuk melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya,
"Anjing muka hitam! Tinggalkan dulu dua telingamu!" Sebelum ia dapat mengelak, tiba-tiba kedua telinganya mendengar sambaran angin yang luar biasa dan tiba-tiba ia merasa kepalanya menjadi sakit dan perih di kanan kiri. Ketika ia menggunakan kedua tangan untuk meraba ia menjerit keras karena daun telinga di kanan kiri kepalanya benar-benar telah lenyap. Oey Bong berhenti berlari dan membalikkan tubuh. Ia melihat gadis yang luar biasa itu telah berdiri dengan tertawa bergelak sedangkan daun telinganya telah putus dan kini berada di depan kakinya.
Melihat ini, makin sakitlah rasanya kepala yang luka itu. Maka tanpa dapat dicegah lagi, ia lalu menjatuhkan diri berjongkok dan mengaduh-aduh seperti seekor anjing kena gebuk.
"Nah, siapa lagi yang sudah bosan mempunyai daun telinga?" seru Cui Giok sambil memalangkan pedangnya di depan dada.
Para pemimpin bajak telah merasai kelihaian nona itu karena tadi ketika mereka menyerbu, dalam segebrakan saja gadis itu telah berhasil merampas senjata dan melukai beberapa orang, maka kini tak seorang pun berani bergerak. Juga anak buah bajak yang tadinya bersorak-sorak, kini berdiri bagaikan patung, sama sekali tak berani bersuara maupun bergerak.
Nelayan tua yang tadinya ketakutan, dengan memberanikan hati ia merangkak ke pinggir dan menyaksikan pertempuran itu. Kini ia menjadi lega dan girang bukan kepalang, maka ia lalu bangun berdiri dan dengan dada terangkat tinggi-tinggi dan kaki melangkah tetap, ia menghampiri kepala bajak dan kawan-kawannya. Sambil bertolak pinggang ia lalu berkata dengan suara keras,
"Nah, biarlah kali ini kalian mendapat pelajaran dan kapok. Kalian telah banyak mengganggu orang, banyak membunuh nyawa orang-orang tak berdosa. Kalau sekarang mendapat
hukuman sebesar ini boleh dikatakan masih ringan dan terlalu murah. Jangan anggap bahwa di kolong langit ini tidak ada orang yang gagah seperti siocia dan kongcu ini. Tadi baru siocia sendiri yang turun tangan, kalau kongcu ikut marah, mungkin kepala kalian ini semua telah putus. Tidak berlutut minta ampun sekarang, mau tunggu kapan lagi?"
Bentakannya terakhir ini amat berpengaruh karena tiba-tiba semua anggauta bajak itu lalu menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun. Bukan main senangnya hati kakek itu. Belum pernah ia mengalami hal seperti itu dan karena para bajak itu berlutut di depannya, maka ia merasa seakan-akan menjadi seorang raja. Ia lalu berkata lagi dengan suara gagah,
"Mulai sekarang jangan kalian berani sekali lagi mengganggu lalu lintas di sungai Yung-ting ini. Ketahuilah aku adalah kawan baik sepasang pendekar ini. Aku tukang perahunya dan kalau kalian mengganggu perahuku dan perahu kawan-kawanku. Tentu kedua pendekar gagah ini akan datang untuk menghukum kalian.
Kemudian ia berkata kepada Cui Giok dan Gwat Kong,
"Jiwi yang mulia, marilah kita melanjutkan perjalanan kita!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
234 Melihat sikap nelayan tua ini, Cui Giok dan Gwat Kong tertawa geli dan merasa lucu sekali.
Akan tetapi mereka menganggap bahwa sikap nelayan tua itu bukan tak ada artinya bagi keselamatan para nelayan. Maka Gwat Kong hendak memperkuat ucapan nelayan tadi. Ia melompat turun bagaikan seekor burung garuda, kemudian menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan lengan.
"Ucapan lopek ini harus kalian perhatikan dan taati, karena kami tidak mengancam kosong belaka. Kalau kalian melanggar, inilah contohnya!" Dengan tangan kanannya, Gwat Kong lalu memukul batang pohon itu dengan tangan dimiringkan sambil mengerahkan ilmu keraskan tangan Cin-kong Pek-ko-jiu.
"Kraaak!" batang pohon itu terpukul patah dan dengan mengeluarkan suara keras pohon itu tumbang.
Para bajak melihat ini dengan muka pucat dan mata terbelalak. Batang pohon yang besar dan kuat itu sekali pukul saja patah, apalagi tubuh atau leher mereka. Maka mereka kembali mengangguk-anggukan kepala bagaikan ayam mematuk beras dan mulut mereka tiada
hentinya minta ampun sambil berjanji akan mentaati larangan mengganggu sungai Yung-ting.
Gwat Kong, Cui Giok dan nelayan tua itu lalu berjalan kembali ke perahu mereka. Nelayan tua itu berjalan dengan lenggang dibuat-buat, kepala dikedikkan dan dadanya yang kurus ditonjolkan dengan perasaan seakan-akan dialah yang menjadi pendekar gagah dan mengalahkan semua bajak kejam itu.
Pelayaran itu dilanjutkan dengan penuh kegembiraan. Makin lama, hubungan antara kedua orang muda itu makin erat dan ternyata mereka saling cocok. Terutama sekali Cui Giok. Nona ini tidak saja merasa kagum melihat Gwat Kong akan tetapi juga api asmara telah membakar dan berkobar-kobar di dalam dadanya. Kalau dahulu dengan pedang ia sukar dirobohkan oleh Gwat Kong, sekarang ia roboh betul-betul dan merasa bahwa tanpa Gwat Kong di dekatnya, hidup akan sunyi tak berarti baginya.
Oleh karena itu semenjak gangguan bajak-bajak sungai, mereka tidak mendapat gangguan lain, maka pelayaran berjalan lancar dan cepat. Apabila malam tiba, mereka berhenti di pinggir sungai, membuat api unggun dan tidur di bawah pohon. Kadang-kadang Cui Giok tidur di dalam perahu.
Bab 26 ..... NELAYAN tua itu membawa bekal beras dan dialah yang masak nasi dan memanggang ikan yang mereka dapat memancing di sungai. Kadang-kadang Gwat Kong atau Cui Giok pergi ke hutan dekat sungai untuk mencari binatang hutan seperti kijang, kelinci, ayam hutan dan lain-lain untuk dimakan dagingnya bersama nasi. Memang enak sekali makan di tempat-tempat terbuka, dekat api unggun itu!"
"Nah, untuk mencari kota Kiang-sui, dari sinilah yang paling dekat." Ia menunjuk ke arah bukit di dekat pantai. "Dengan mengambil jalan mengitari bukit di depan itu, lalu membelok ke kanan, maka paling jauh enam atau tujuh li, kongcu akan tiba di Kiang-sui."
Gwat Kong memandang kepada Cui Giok dan aneh sekali, kembali gadis itu nampak muram dan cemberut.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
235 "Cui Giok, apakah kau mau ikut ke Kiang-sui?" tanyanya manis.
Dara itu menggelengkan kepala. "Pergilah, biar aku menanti di sini saja!"
"Apakah kau tidak merasa kesal menanti seorang diri di sini" Tempat begini sunyi, jauh dari perkampungan," kata Gwat Kong sambil memandang ke sekeliling. Memang di situ sunyi, yang nampak hanyalah pohon dan bukit-bukit.
Di dalam hatinya Cui Giok maklum bahwa ia tentu saja akan merasa kesal, akan tetapi mulutnya berkata, "Mengapa kesal" Di sini ada lopek dan aku bisa memancing ikan!"
Tetap saja Gwat Kong merasa tidak puas dan tidak enak hati untuk meninggalkan Cui Giok, maka ia membujuk lagi,
"Apakah tidak lebih baik kau ikut saja, Cui Giok" Kau bisa melihat-lihat keindahan kota, mungkin ada barang-barang yang kau sukai, kau dapat berbelanja dan ....."
"Sudahlah," Cui Giok memotong. "Kau pergilah sendiri karena kau mempunyai kepentingan di sana.
"Kau mempunyai sahabat-sahabat baik di sana. Aku tidak mempunyai kenalan, untuk apa aku harus pergi ke sana pula" Aku akan menunggu di sini saja!"
"Siocia berkata benar," tiba-tiba nelayan tua itu ikut bicara. "Memang sudah menjadi kelaziman bahwa wanitalah yang selalu harus menanti dengan sabar."
Gwat Kong dan Cui Giok memandang kepada kakek nelayan itu.
"Eh, lopek apa maksudmu?" tanya Gwat Kong.
Karena sepasang anak muda itu memandangnya dengan mata tajam penuh pertanyaan, kakek ini menjadi gugup.
"Aku ..... aku teringat akan permainan anak wayang yang kutonton belum lama ini .... kata-kata siocia yang hendak menunggu tadi mengingatkan aku akan nyanyian yang diucapkan oleh pelaku cerita sandiwara itu." Kakek itu berhenti dan tertegun karena ia telah mengeluarkan kata-kata yang makin mempersulit kedudukannya.


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagaimana nyanyiannya" Coba kau jelaskan lopek," Cui Giok juga mendesak.
"Ah .... eh ..." Ia ragu-ragu, akan tetapi kemudian berdehem untuk menetapkan hatinya, lalu berkata, "Cerita itu adalah cerita tentang dua orang sahabat baik seperti kongcu dan siocia ini.
Si teruna hendak pergi meninggalkan si dara dan nyanyian dara itu begini,
"Pergilah kanda, pergilah ke kota raja,
Dinda akan menanti dengan setia,
Pergilah dengan hati ringan, kanda!
Seribu tahun dinda akan menanti juga!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
236 "Ah, lopek! Gwat Kong mencela. "Aku tidak pergi ke kota raja, juga tidak pergi lama.
Bagaimana kau bisa membandingkan kami dengan mereka?"
"Akupun takkan menanti sampai seribu tahun!" Cui Giok mencela.
Kakek itu hanya tertawa dan karena kata-kata nelayan itu membuat menjadi merah muka, maka Gwat Kong segera melompat ke darat dan setelah berkata, "Aku pergi takkan lama!" Ia lalu pergi dengan berlari menuju ke bukit itu.
Nelayan tua itu dan Cui Giok memandang sampai bayangan Gwat Kong lenyap di balik bukit.
Nona itu masih berdiri termenung sehingga ia terkejut ketika nelayan itu berkata,
"Dia seorang pemuda yang baik, seorang calon suami yang sukar dicari bandingannya!"
Cui Giok memandang nelayan itu dengan mata tajam. "Lopek, jangan kau bicara sembrono.
Gwat Kong hanya sahabatku belaka. Sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan yang sama."
Nelayan tua itu menarik napas panjang. "Aku sudah tua siocia. Mataku menjadi tajam karena pengalaman. Aku berani menyatakan bahwa siocia tertarik kepada pemuda itu. Tak usah membantah siocia. Aku pernah mempunyai anak perempuan yang juga jatuh hati kepada seorang pemuda. Akan tetapi oleh karena aku yang bodoh menghalanginya. Akhirnya ia jatuh sakit dan ... meninggal dunia ...." Kakek itu menjadi berduka dan wajahnya muram.
Tadinya Cui Giok hendak marah, akan tetapi ketika kakek itu berkata tentang anaknya, gadis ini menjadi tak tega hati.
"Aku tidak begitu bodoh untuk menyinta seorang pemuda yang sudah mempunyai kekasih, lopek."
Mendengar ini, kakek itu memandang dengan sinar mata yang demikian lembut dan penuh iba, sehingga tanpa disadarinya dua butir air mata menitik turun dari mata Cui Giok. Gadis ini buru-buru membalikkan tubuh, duduk di tepi perahu dan menatap air sungai dengan pikiran melayang jauh.
**** Gwat Kong berlari cepat mengitari bukit itu dan benar saja, tak lama kemudian nampaklah tembok kota Kiang-sui di depan matanya. Hatinya berdebar ketika ia melihat kota yang pernah ditinggalinya sampai beberapa tahun itu dan teringatlah ia kepada Tin Eng. Bagaimana kalau ia mengunjungi gedung Liok-taijin" Apakah pembesar itu masih marah kepadanya" Ia teringat pula kepada Gan Bu Gi yang pernah menyerang dan hendak menangkapnya. Ia lalu turunkan pedang dan menggantungkan sarung pedang Sin-eng-kiam di pinggangnya. Tadi ia sengaja membawa pedang yang biasanya disimpan dalam bungkusan pakaian ini, untuk menjaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ia tak perlu menyembunyikan kepandaiannya lagi, bahkan kalau perlu ia hendak memperlihatkan kepada Liok-taijin bahwa dia bukanlah Gwat Kong si pelayan yang bodoh dan lemah.
Kota Kiang-sui tidak banyak berubah semenjak ditinggalkan. Keadaannya masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran besar makin banyak dikunjungi orang. Gwat Kong berjalan-jalan Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
237 melihat-lihat kota, bahkan ia berjalan di jalan raya depan gedung Liok-taijin. Akan tetapi pada saat ia berjalan lewat di depan gedung itu, ia tidak melihat seorangpun di depan gedung. Ia tidak berani masuk karena apakah yang akan dijadikan alasan untuk memasuki rumah itu"
Bagaimana kalau ia diusir seperti pengemis"
Gwat Kong lalu menuju ke sebuah restoran besar yang dulu hanya dilihat dari luar saja. Ia maklum bahwa masakan restoran ini amat lezat dan mahal. Ia dahulu hanya dapat merasai masakan restoran ini apabila Liok-taijin membeli masakan dari situ dan ia mendapatkan sisanya. Kini ia ingin masuk dan membeli masakan sendiri, ingin duduk di bangku menghadapi meja di restoran yang besar dan mewah itu.
Restoran besar itu mempunyai tiga ruang dan karena ruang di sebelah kanan dan tengah sudah padat dengan tamu-tamu, Gwat Kong lalu melangkah memasuki ruangan sebelah kiri. Baru saja kakinya melangkah ke ambang pintu, ia mendengar ribut-ribut di ruang itu dan ketika ia memandangnya, alangkah terkejutnya melihat dua orang pemuda yang masih dikenalnya, yakni Pui Kiat dan Pui Hok kedua orang murid Hoa-san-pai yang pernah bertemu dengannya dahulu itu duduk menghadapi meja dan sedang dibentak-bentak oleh seorang setengah tua yang berjenggot runcing.
"Kalian ini bajingan-bajingan kecil sungguh menjemukan sekali!" si jenggot runcing itu membentak-bentak. "Tidak tahukah kau siapa aku" Apakah kalian mencari mampus" Aku tahu bahwa kalian selalu mengikuti rombonganku semenjak dari Keng-hoa-bun sampai ke Kiang-sui. Aku sengaja mendiamkan saja karena menyangka bahwa kalian hanya dua orang penjahat tangan panjang. Akan tetapi sampai sekarang kalian tidak bergerak, bahkan masih terus mengintaiku. Sekarang, katakanlah terus terang apakah kehendakmu" Awas, kalau tidak berkata terus terang, kepalanku akan meremukkan kepalamu berdua seperti ini!" Sambil berkata demikian, si jenggot runcing itu menggunakan kepalan tangannya ditekukkan dengan perlahan pada ujung meja di mana kedua saudara Pui itu duduk dan .... hancurlah kayu tebal itu bagaikan terpukul dengan penggada baja.
Gwat Kong merasa amat terkejut melihat kehebatan tenaga orang itu dan melihat demonstrasi ini saja ia maklum bahwa kedua murid Hoa-san-pai itu bukanlah lawan orang yang kosen ini.
Maka ia lalu melangkah maju dan pada saat itu melihat seorang lain duduk menghadapi meja di belakang si jenggot runcing yang sedang marah itu. Orang ini bukan lain adalah Gan Bu Gi yang berpakaian sebagai panglima besar yang indah dan mentereng. Akan tetapi Gwat Kong tidak memperdulikan. Gan Bu Gi hanya langsung menghampiri meja. Pui Kiat dan Pui Hok, sengaja menuju ke depan si jenggot runcing itu dan berdiri membelakanginya.
"He, saudara2 Pui!" tegurnya keras.
Pui Kiat dan Pui Hok masih duduk dengan muka pucat. Mereka tidak mengira sama sekali bahwa diam-diam Ang Sun Tek yang memimpin pasukan dan menawan Tin Eng itu mengenal mereka dan tahu bahwa mereka mengikutinya sampai ke Kiang-sui. Karena terkejut, heran dan gelisah, mereka tadi duduk diam saja bagaikan patung tak tahu harus berbuat apa.
Melihat pukulan Ang Sun Tek pada meja, mereka terkejut dan percaya kepada penuturan Kui Hwa bahwa Ang Sun Tek memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka. Maka mereka berdua menjadi gentar juga. Selagi Pui Kiat dan Pui Hok tercengang dan mencari-cari alasan untuk menjawab, tiba-tiba muncul Gwat Kong di depan mereka.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
238 Untuk beberapa lama mereka tidak mengenal Gwat Kong, akan tetapi Pui Kiat lalu teringat akan pemuda aneh dan lihai yang pernah menolong mereka ketika mereka terdesak oleh Bong Bi Sianjin.
"Ah, Bun-taihiap!" katanya girang sekali. Bagaimana pemuda ini selalu muncul pada waktu mereka terancam bahaya" "Kau dari mana" Silahkan duduk!"
Sementara itu, Ang Sun Tek menjadi marah sekali melihat pemuda yang tidak
memperdulikannya dan bahkan secara sengaja berdiri menghalanginya dan
membelakanginya.
"Minggir kau, bedebah!" katanya sambil menggunakan tangan kanan memegang siku lengan kiri Gwat Kong.
Angin gerakan Ang Sun Tek ini membuat Gwat Kong maklum bahwa apabila sambungan sikunya terpegang, ada bahaya sambungan sikunya akan terluka atau terlepas maka dengan cepat sekali sehingga tidak terlihat oleh kedua saudara Pui yang memandang cemas, ia menggerakkan sikunya ke atas mengelak pegangan itu sehingga tangan Ang Sun Tek yang mencengkeram itu tidak mengenai siku akan tetapi mengenai lengan.
Gwat Kong menggeser kakinya dan membalikkan tubuh sambil mengerahkan tenaga dalam dengan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup hawa melindungi jalan darah), sehingga lengan yang dicengkeram itu tidak terluka bagian dalamnya. Kemudian ia melangkah ke belakang dengan cepat sambil membetot lengannya itu terlepas dari pegangan Ang Sun Tek.
Ang Sun Tek terkejut bukan main ketika tangannya yang mencengkeram itu merasa betapa lengan tangan pemuda itu keras dan licin seperti besi, sehingga tenaga cengkeramannya dapat terpental kembali. Dan tiba-tiba ia merasa betapa lengan tangan itu licin dan lemas bagaikan belut sehingga dapat terlepas dari cengkeramannya ketika ditarik kembali oleh pemuda itu.
Inilah ilmu Jui-kut-kang atau ilmu melemaskan tulang yang hebat.
"Bagus!" teriaknya marah sekali. "Tidak tahunya kau memiliki sedikit ilmu kepandaian!" Ia tahu bahwa pemuda ini lihai dan tindakannya tadi sengaja hendak mencari permusuhan untuk melindungi kedua pemuda yang mengikutinya. Maka ia lalu menggerakkan tangan memegang goloknya yang selalu tergantung di pinggang sambil membentak, "Barangkali kau sudah bosan hidup!"
Dari pegangan pada lengannya tadi Gwat Kong dapat menduga bahwa orang berjenggot runcing ini seorang ahli ilmu silat yang pandai karena biarpun ia berhasil melepaskan tangannya, akan tetapi ketika ia membetot lengannya tadi, merasa betapa lengannya panas tanda bahwa ilmu dan tenaga dalam orang ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. Maka iapun meraba gagang pedang Sin-eng-kiam dan berkata,
"Manusia sombong, apa kau kira, kau seorang saja yang mempunyai senjata tajam" Cabutlah golokmu dan jangan kira bahwa aku takut kepadamu!"
Dua orang jago silat itu berdiri berhadapan dengan tangan memegang gagang senjata masing-masing, siap untuk mencabutnya dan mata mereka saling pandang dengan tajam, seakan-akan dua ekor ayam jago berlaga dan hendak bertempur mati-matian.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
239 Pui Kiat dan Pui Hok memandang dengan penuh kekhawatiran. Dua orang murid Hoa-san-pai ini yang maklum akan kelihaian Ang Sun Tek, merasa gelisah dan takut kalau-kalau Gwat Kong takkan dapat melawan ketua Liok-te Pat-mo itu maka Pui Kiat lalu bangun berdiri dan menghampiri Gwat Kong sambil membujuk.
"Bun-taihiap, sudahlah, jangan kau berkelahi karena urusan kami. Mari kita pergi dari sini.
Ada urusan amat penting yang perlu kami sampaikan kepadamu."
Sementara itu, Gan Bu Gi juga merasa cemas. Ia maklum pula akan kelihaian Gwat Kong dan kalau sampai Ang Sun Tek kalah, tentu ia akan berada dalam bahaya menghadapi Gwat Kong yang membencinya, maka ia membujuk Ang Sun Tek,
"Ang-ciangkun, jangan kau meladeni bocah ini!"
Memang Ang Sun Tek masih ragu-ragu untuk mencabut goloknya. Ia adalah seorang ternama dan sedang menjalankan tugas sebagai seorang perwira kerajaan, maka di tempat umum ini kalau sampai ia kalah oleh pemuda ini, tidak saja namanya akan jatuh, akan tetapi biar ia menang sekalipun, namanya takkan menjadi harum karenanya. Melihat kepandaian pemuda itu ketika melepaskan tangannya dari pegangannya, maka resikonya terlalu besar untuk melawan pemuda ini yang sama sekali tidak berdasarkan permusuhan sesuatu. Maka iapun hanya berdiri saja tak mau mencabut goloknya lebih dahulu.
Sementara itu, Gwat Kong ketika mendengar bujukan Pui Kiat, menjadi tertarik hatinya. Ia tahu bahwa kedua orang ini bukan tanpa sebab berada di Kiang-sui dan tuduhan orang berjenggot tadi terhadap kedua saudara Pui membuat ia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat. Apalagi ia melihat bahwa orang berjenggot itu bersama Gan Bu Gi, maka ia lalu melepaskan gagang pedangnya dan berpaling kepada Pui Kiat,
"Akupun tidak hendak mencari permusuhan dan perkelahian, asal saja orang tidak mendahului dan menyerangku."
Tanpa banyak cakap lagi, Pui Kiat lalu menggandeng tangan Gwat Kong dibawa keluar dari restoran. Sedangkan Pui Hok lalu membayar harga makanan kepada seorang pelayan yang semenjak tadi berdiri di sudut dengan muka pucat melihat pertempuran yang hampir saja terjadi itu.
Setibanya di luar restoran, Pui Kiat dan Pui Hok membawa Gwat Kong ke tempat yang sunyi.
Mereka sudah mendapat tahu tentang keadaan Tin Eng.
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, kedua saudara Pui ini mendapat tugas dari Kui Hwa untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng. Mereka merasa lega ketika melihat bahwa Tin Eng benar-benar dikembalikan ke rumah orang tuanya dan tidak mendapat gangguan di jalan.
Akan tetapi mereka masih tidak mengerti apakah sebenarnya kehendak Ang Sun Tek dengan penangkapan atas diri Tin Eng itu dan mengapa pula Ang Sun Tek yang tadinya hendak pergi ke Hong-san sampai menunda perjalanannya di Kiang-sui. Kemudian mereka melihat betapa Ang Sun Tek mengadakan pertemuan dengan Gan Bu Gi dan masuk ke dalam restoran untuk mencuri dengar pembicaraan mereka.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
240 "Saudara Pui, sebenarnya mengapakah kalian berada di kota ini dan mengapa pula orang itu hendak menyerangmu" Siapakah dia yang kepandaiannya tinggi itu?"
Pui Kiat lalu menuturkan pengalamannya dengan singkat dan menutup penuturannya dengan menghela napas,
"Bun-taihiap, memang dia bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang yang kini menjadi pembantu istimewa pada perwira-perwira kerajaan. Namanya Ang Sun Tek. Dialah ketua dari Liok-te Pat-mo, delapan iblis bumi yang amat terkenal itu!"
Terkejutlah Gwat Kong mendengar penuturan Pui Kiat. Sungguhpun nama Ang Sun Tek ini membuatnya menjadi tercengang. Karena ini tidak disangkanya sama sekali bahwa ia akan bertemu dengan orang yang sedang dicari-cari oleh Cui Giok. Namun ia lebih terkejut lagi mendengar bahwa Tin Eng telah ditawan oleh Ang Sun Tek itu dan dengan paksa
dikembalikan ke rumah orang tuanya.
"Saudara Pui berdua, kalau begitu, serahkanlah urusan ini kepadaku. Kalian telah diketahui bahwa kalian mengikuti rombongan mereka, dan hal ini berbahaya sekali. Aku kenal baik dengan nona Liok Tin Eng, bahkan sekarang juga aku akan menengoknya. Tentang Ang Sun Tek itu, memang sudah lama aku hendak mencoba kepandaiannya, bahkan terus terang saja, aku ingin menghadapi delapan iblis itu sekali gus. Lebih baik sekarang kalian berdua cepat pergi dari kota ini, menyusul dan membantu sumoimu itu."
Pui Kiat dan Pui Hok tercengang mendengar ucapan ini, akan tetapi karena merekapun maklum bahwa keadaan mereka di kota Kiang-sui akan membahayakan keselamatan mereka, maka mereka menyatakan setuju dan segera meninggalkan Gwat Kong untuk keluar kota dan pergi menyusul Kui Hwa ke Hong-san.
Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia maklum akan kesedihan hati Tin Eng dan ia merasa gemas kepada Ang Sun Tek yang telah menawan dan memaksa Tin Eng
pulang. Kalau saja ia tidak sedang merasa cemas memikirkan keadaan Tin Eng, tentu ia akan kembali ke restoran itu menemui Ang Sun Tek dan mengajaknya berkelahi! Akan tetapi, ia perlu sekali mendapatkan Tin Eng dan menengok keadaan gadis pujaan hatinya itu. Kalau perlu menolongnya keluar dari gedung Liok-taijin.
Mudah saja bagi Gwat Kong untuk memasuki pekarangan belakang dari gedung keluarga Liok, oleh karena ia memang hafal akan keadaan dan jalan di situ. Ia maklum bahwa kalau ia mengambil jalan dari pintu depan dan masuk secara berterang, tak mungkin Liok-taijin akan suka menerimanya. Atau andaikata pembesar itu suka menerimanya juga, sungguh amat tak mungkin kalau ia diperkenankan bertemu dengan Tin Eng. Oleh karena itu, Gwat Kong sengaja mengambil jalan belakang dan masuk ke dalam kebun bunga secara sembunyi-sembunyi bagaikan maling.
Ia tidak berani mengambil jalan dari atas genteng, oleh karena maklum bahwa di dalam gedung itu terdapat orang-orang pandai dan juga Liok-taijin sendiri memiliki ketajaman telinga yang cukup sehingga hal itu akan membuat ia ketahuan orang sebelum dapat bertemu dengan Tin Eng. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai menanti saat yang baik.
Kebetulan sekali seorang pelayan yang dikenalnya baik, keluar dari pintu belakang. Pelayan ini adalah seorang wanita tua yang telah ikut keluarga itu semenjak Tin Eng masih kecil, bahkan ia menjadi bujang pengasuh dari gadis itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
241 "Bibi Song ......!" Gwat Kong memanggil perlahan sambil keluar dari tempat sembunyinya.
Nenek pelayan itu terkejut memandang. Eh, kau itu, Gwat Kong" Aduh, sampai kaget setengah mati aku! Seperti setan saja kau muncul tiba-tiba."
"Ssst ....... jangan keras-keras, bibi Song! Kehadiranku di sini tidak dikehendaki orang!"
Nenek itu mengangguk-angguk. "Aku tahu, aku tahu! Kalau kau terlihat oleh taijin, kepalamu akan digebuk!"
"Bibi yang baik, tolonglah aku. Aku ..... aku ingin bertemu dengan siocia, di manakah dia?"
Nenek itu mainkan matanya. "Hm, ..... kau main api!"
"Bibi tolonglah! Bukankah siocia sedang berduka" Tolonglah beritahu bahwa aku berada di sini dan ingin berjumpa dengan dia!"
"Bagaimana kau bisa tahu dia berduka?" nenek itu bertanya heran.
"Bibi lekaslah kau beritahukan padanya. Apakah kau ingin ada orang melihat kita bicara di sini" Kaupun akan mendapat gebukan kalau taijin melihatnya!"
Terkejut dan takutlah bibi Song mendengar hal ini. "Akan tetapi, tak mungkin siocia dapat keluar. Ia dilarang keras untuk meninggalkan kamarnya!"
"Kalau begitu, beritahulah saja. Aku menanti di sini untuk mendengar jawabannya."
Nenek itu lalu masuk ke dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah putih rambutnya itu.
Memang semenjak Tin Eng ditawan oleh Ang Sun Tek, gadis ini sama sekali tidak berdaya dan terpaksa menurut saja dibawa pulang ke rumah orang tuanya dengan paksa. Ketika tiba di rumah, ia disambut dengan wajah muram dan marah oleh ayahnya. Akan tetapi ibunya segera menubruk dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Tin Eng terkejut melihat betapa ibunya menjadi kurus sekali dan pucat seperti orang yang bersedih. Ia dibawa masuk ke dalam kamar oleh ibunya di mana ibunya itu sambil menangis berkata,
"Tin Eng ..... apakah kau tidak kasihan kepada ibumu. Anakku, janganlah kau pergi lagi meninggalkan ibumu!"
Tin Eng menjadi terharu dan memeluk ibunya sambil menangis pula.
Ayahnya menyusul ke dalam kamar dan pembesar ini marah sekali.
"Tin Eng, bagus sekali perbuatanmu, ya" Kau sebagai puteri tunggal seorang pembesar telah menodai nama baik orang tuamu! Kau telah membikin malu ayah ibumu dan membikin kami merasa susah sekali. Apakah benar-benar kau tidak mempunyai rasa sayang kepada orang tua dan akan menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti)?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
242 Tin Eng melihat betapa di dalam kemarahannya, ayahnya itu nampak amat berduka sehingga muka ayahnya itu kelihatan makin tua. Ia menjadi kasihan juga dan dengan tangis sedih ia menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya. Hati seorang ayah betapa bengispun akan menjadi lunak apabila melihat anak tunggalnya berlutut dan menangis di depan kakinya, maka pembesar ini lalu mengelus-elus kepala puterinya.
"Tin Eng, jadilah seorang anak yang baik dan jangan kau menyusahkan hati ayah ibumu."
"Ayah, anak berjanji takkan pergi lagi, asal saja jangan memaksa anak harus kawin dengan orang she Gan itu! Kalau ayah memaksa, biarlah anak membunuh diri saja!"
Ibunya menjerit dan memeluknya, sedangkan Liok-taijin menjadi pucat wajahnya. Kemudian ia hanya menghela napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala.
"Kau memang keras kepala ..... terlalu dimanja tadinya ...." kemudian ia bicara keras-keras,
"Hal ini kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, mulai sekg kau jangan keluar dari kamarmu.
Berlakulah sebagai seorang gadis bangsawan yang terhormat. Jangan kau berkeliaran di luar seperti seorang gadis kang-ouw yang liar dan tidak tahu kesopanan!" Ayah ini lalu meninggalkan anaknya yang masih bertangisan dengan ibunya.
Demikianlah, semenjak saat itu Tin Eng tidak pernah keluar dari dalam rumah. Ia bermaksud untuk mentaati ayah ibunya, asal jangan dikawinkan dengan Gan Bu Gi.
Pada waktu Gwat Kong datang, Tin Eng sedang berada di dalam kamarnya bersama ibunya.
Gadis ini sedang membaca sebuah kitab kuno untuk menghibur hatinya waktu senggang.
Ibunya menyulam dan duduk di dekatnya. Tiba-tiba pintu diketuk dan bibi Song masuk dengan membungkuk-bungkuk.
Nyonya Liok mengangkat muka memandang pelayan itu. "Ada keperluan apakah?" tanyanya.
Bukan main bingungnya hati nenek itu. Ia memandang ke arah Tin Eng yang sudah
mengangkat muka memandang nenek itu. "Hamba ........ hamba ....... ada pesanan untuk siocia
......" Tin Eng lalu berdiri dan menghampiri nenek itu. "Ada apakah bibi Song" Pesanan apa dan dari siapa?"
Nenek itu ragu-ragu dan memandang kepada nyonya Liok dengan takut-takut. Bagaimana ia harus menyampaikan pesanan Gwat Kong di depan nyonya majikannya itu"
"Jangan takut, katakanlah bibi Song!" Tin Eng mendesak.
"Gwat Kong ....."
Mendengar nama ini, Tin Eng memegang pundak pelayan itu. "Apa ....." Dia di mana .....?"
Juga nyonya Liok bangun berdiri dari kursinya. "Kau bilang Gwat Kong berada di sini"
Berani betul anak itu! Tin Eng, ada perlu apakah kau dengan bekas pelayan itu?"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
243 "Ibu, Gwat Kong bukan pelayan kita lagi! Dia ..... dia adalah .... guruku yang mengajar ilmu pedang. Biarkan aku betemu dengan dia!"
Pandangan mata gadis itu kepada ibunya membuat nyonya Liok tertegun dan terkejut sekali.
Sepasang mata gadis itu bersinar dan wajahnya berseri-seri.
"Bagaimana mungkin" Kau tidak boleh keluar dari sini. Kalau ayahmu melihatnya, ia tentu akan marah sekali. Apa lagi kalau dilihatnya kau bertemu dengan Gwat Kong!"
"Kalau begitu, biar dia masuk ke kamar ini!" Tin Eng mendesak.
"Gila!" Ibunya berseru kaget. "Kau lupa daratan, Tin Eng. Bagaimana seorang laki-laki muda boleh memasuki kamar kita" Tidak, hal itu tidak boleh jadi!"
Tin Eng membanting-banting kakinya dengan manja. "Akan tetapi, aku harus bertemu dan bicara dengan dia, ibu!"
Nyonya Liok menarik napas panjang dan ia bingung sekali. Kemudian ia menengok ke arah jendela kamar yang beruji besi dan berkata,
"Begini saja, suruh dia masuk dan bicara kepadamu dari balik jendela itu!"
Tin Eng memberi isyarat kepada nenek pelayan tadi untuk melakukan usul ibunya ini. Bibi Song segera keluar lagi menemui Gwat Kong yang masih menanti di belakang rumah.
"Bagaimana, bibi yang baik?" tanya pemuda itu dengan penuh gairah.
"Sssst, jangan banyak ribut. Kau pergilah ke kamar siocia melalui ruang pelayan dan kau boleh bicara dengan siocia dari balik jendela!"
Gwat Kong sudah hafal keadaan rumah itu. Maka setelah mendengar kata-kata ini, ia lalu masuk ke dalam rumah itu melalui ruang pelayan dan langsung menuju ke ruang dalam, terus menghampiri jendela kamar Tin Eng yang menembus di ruang dalam itu. Ia melihat Tin Eng sudah berdiri di dekat jendela dan memandang keluar.
"Tin Eng ......" bisik Gwat Kong sambil menghampiri dengan cepat.
"Gwat Kong ........" Tin Eng memanggil dengan girang.
Panggilan yang disertai pandangan mata mesra ini sudah cukup bagi keduanya untuk menyatakan perasaan hati mereka yang girang dan gembira sekali. Wajah Tin Eng menjadi merah padam, akan tetapi Gwat Kong menjadi pucat ketika melihat bahwa di belakang Tin Eng itu nampak nyonya Liok duduk sambil menyulam. Nyonya itu mengerling ke arahnya dan Gwat Kong buru-buru menjurah memberi hormat. Akan tetapi nyonya Liok segera membuang muka pura-pura tidak melihatnya.
"Tin Eng .... kau .... baik-baik saja?"
Tin Eng mengangguk singkat lalu berkata, "Gwat Kong aku dikalahkan Ang Sun Tek ...."
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
244 "Aku sudah tahu akan hal itu. Aku sudah bertemu dengan kedua saudara Pui!"
"Bagus kalau begitu. Kau harus balaskan penasaranku kepada bangsat she Ang itu!"
"Jangan khawatir, memang aku hendak mencari dan mencoba kepandaiannya."
"Dan ....... Gwat Kong, karena aku tak mungkin melanjutkan tugasku yang sudah kujanjikan kepada dua orang sdr Pang, kau harus mewakili aku dan meneruskan usahaku. Aku tak dapat bercerita panjang lebar. Gwat Kong, kau pergi dan carilah sahabatku Kui Hwa, si Dewi Tangan Maut!"
"Hm, dia .... ?"
"Ya, dia musuh besarmu itu! Akan tetapi, kau tak boleh memusuhinya, biarpun ia anak Tan-wangwe yang menjadi musuh besarmu. Ia seorang baik dan gagah, bantulah dia, Gwat Kong.
Tanpa bantuanmu, tak mungkin ia akan dapat menemukan harta itu."
"Mengapa?" tanya Gwat Kong yang hanya mengetahui sedikit saja dari kedua saudara Pui tentang harta terpendam itu.
"Karena dahulu aku belum memberitahukan dengan jelas tempat harta itu tersembunyi.
Majulah dan perhatikan ini!"
Gwat Kong mendekat dan Tin Eng lalu mengeluarkan sehelai saputangan sutera hijau dari kantong bajunya bagian dalam. Ia memang telah menyediakan sebuah peta yang digambarnya di atas saputangan itu karena takut kalau-kalau ia akan lupa lagi. Ia membuka sapu tangan yang berbau harum itu dengan telunjuknya yang kecil runcing. Ia menunjuk sebuah titik pada saputangan yang bergambar peta itu.
"Tempatnya memang di sini, akan tetapi enci Kui Hwa belum tahu bahwa jalan masuknya bukan dari kanan atau kiri, melainkan dari atas! Orang harus naik ke atas dan di bawah sebuah batu besar terdapat jalan masuk itu. Simpanlah saputangan ini, Gwat Kong!"
Bab 27 ..... GWAT KONG menerima saputangan itu yang cepat dimasukkan ke dalam saku bajunya.
Kemudian ia memandang gadis itu dengan sayu.
"Tin Eng .....kau tidak .......... tidak dengan Gan Bu Gi?" Sukar baginya untuk mengucapkan kata-kata "kawin" yang menikam hatinya.
Makin merahlah wajah Tin Eng mendengar ini dan berbareng dengan perasaan malu yang menyerangnya, ia merasa amat girang. Teranglah sudah bahwa pemuda yang gagah perkasa ini masih mencintainya dan kalau saja keadaan tidak seperti itu, ingin sekali ia menggoda pemuda ini.
"Tidak, Gwat Kong! Apapun yang akan terjadi, aku takkan sudi! Aku lebih suka mati!" Gwat Kong bernapas lega mendengar ini dan sebelum ia dapat berkata lagi, tiba-tiba nyonya Liok berkata perlahan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
245 "Pergilah, Liok-taijin datang ........!"
Gwat Kong mengulur tangan dan memegang tangan Tin Eng yang keluar dari jendela.
"Tin Eng ..... aku pergi .........!"
"Pergilah, Gwat Kong, aku ...... menantimu!"
Gwat Kong menyelinap dari jendela itu dengan hati berdebar. Teringatlah ia kepada Cui Giok dan nelayan tua itu. Juga Cui Giok berkata seperti yang baru saja diucapkan oleh Tin Eng itu.
Mereka akan menanti! Ia bingung, akan tetapi telinganya masih dapat menangkap suara Liok Ong Gun berkata,
"Apakah kalian tidak melihat sesuatu" Menurut laporan penjaga, bangsat kecil Gwat Kong itu tadi kelihatan berada di dekat rumah kita!"
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menuju ke belakang rumah untuk pergi dari tempat berbahaya itu. Dengan cepat ia dapat keluar dari pintu belakang memasuki taman bunga, akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka di tengah taman di mana dahulu dilakukan ujian terhadap Gan Bu Gi, tiba-tiba saja dari belakang pohon dan gerombolan kembang
berlompatan keluar beberapa orang perwira.
"Ha ha ha! Gwat Kong penjahat rendah!" teriak Gan Bu Gi. "Kau benar-benar berani mati, masuk ke dalam tempat orang seperti maling!"
Gwat Kong cepat memandang dan ternyata ia telah dikurung oleh sepuluh orang, diantaranya Ang Sun Tek yang sudah memegang goloknya yang bersinar mengkilap. Tujuh orang lain juga memegang golok yang sama bentuknya, bahkan pakaian mereka juga sama dengan pakaian Ang Sun Tek sehingga hati Gwat Kong tergerak karena ia menduga bahwa ketujuh orang ini tentulah kawan-kawan Ang Sun Tek sehingga mereka ini delapan orang merupakan Liok-te Pat-mo Delapan iblis bumi yang memiliki ilmu silat Pat-kwa To-hoat dan merupakan barisan Pat-kwa-tin yang terkenal! Selain Liok-te Pat-mo dan Gan Bu Gi, terdapat pula seorang perwira yang brewok dan bertubuh tinggi besar, memegang sebatang tombak panjang. Perwira ini bernama Lim Pok Ki, seorang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi dan tingkatnya menduduki tempat kedua di kotaraja.
Melihat sikap sepuluh orang ini, Gwat Kong maklum bahwa ia takkan dapat keluar dari tempat itu tanpa pertempuran mati-matian. Maka ia lalu mencabut pedang Sin-eng-kiam, memasang kuda-kuda dan berkata dengan senyum sindir,
"Gan Bu Gi! Kau pengecut besar. Apakah kau hendak mengandalkan keroyokan untuk melawanku?"
"Maling busuk!" Gan Bu Gi memaki. "Kau takut menghadapi kami?"
Gwat Kong tersenyum, sikapnya masih tenang. "Orang she Gan! Biarpun belum tentu aku akan dapat menang menghadapi keroyokan kau dan kawan-kawanmu, akan tetapi jangan harap akan membikin aku takut. Biar kau tambah dengan sepuluh orang lagi, aku takkan takut menghadapinya!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
246 "Bangsat sombong!" teriak Ang Sun Tek yang melompat maju dengan goloknya yang lihai.
Gwat Kong menangkis dan segera ia dikeroyok oleh sepuluh orang kosen itu!
Melihat gerakan senjata mereka, Gwat Kong kaget juga, karena kesemuanya memiliki gerakan yang amat cepat dan lihai sekali sehingga ia segera berseru keras dan memutar Sin-eng-kiam sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sin-eng Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang menduduki tempat tinggi di kalangan persilatan. Sedangkan Gwat Kong telah mempelajarinya dengan sempurna, maka pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat dan tubuhnya terbungkus oleh sinar pedang.
Bukan main kagumnya Ang Sun Tek melihat kehebatan ilmu pedang lawannya ini. Sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda yang pernah ia jumpai di restoran dan yang telah ia coba pula tenaga dan kelihaiannya, memiliki ilmu pedang yang belum pernah ia lihat selama hidupnya. Ia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng. Akan tetapi dibandingkan dengan Tin Eng, kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi dan lebih hebat.
Biarpun delapan buah golok, sebuah pedang dan sebatang tombak menyerang bagaikan hujan lebat. Namun pedang ditangan Gwat Kong dapat melayani dan menangkis semua itu dengan amat baik dan cepatnya!
Akan tetapi, diam-diam Gwat Kong mengeluh di dalam hatinya. Untuk menghadapi Liok-te Pat-mo delapan orang itu saja, belum tentu ia akan dapat memperoleh kemenangan, oleh karena mereka ini benar-benar hebat sekali permainan goloknya. Apalagi di tambah dengan Gan Bu Gi yang juga lihai ilmu pedang Kim-san-painya, sedangkan perwira tinggi besar itupun hebat sekali permainan tombaknya. Baiknya bahwa dengan ikut sertanya Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki perwira brewok tinggi besar itu, maka Liok-te Pat-mo tidak sempat untuk mengatur barisan Pat-kwa-tin mereka dan di dalam keroyokan yang tak teratur ini, kelihaian mereka banyak berkurang.
Gwat Kong merasa menyesal mengapa ia tidak membawa sulingnya, karena kalau ia
membawa benda itu, ia akan dapat melakukan perlawanan lebih baik lagi dan dapat mainkan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat dengan sulingnya. Tentu saja ketika berangkat ke Kiangsui, ia tidak pernah menyangka akan bertemu dan menghadapi sekian banyaknya lawan-lawan yang tangguh dan berat.
"Tahan!" tiba-tiba Ang Sun Tek berseru keras. Semua orang menahan senjata masing-masing.
"Apakah kau yang disebut Kang-lam Ciu-hiap?" Ang Sun Tek menegaskan.
"Benar," jawab Gwat Kong.
"Apakah kau ahli waris dari Sin-eng Kiam-hoat?"
Gwat Kong tersenyum. "Hmm, masih bagus matamu tidak tertutup oleh kesombonganmu, Ang Sun Tek. Memang aku ahliwaris Sin-eng Kiam-hoat dan tentu kau akan dapat melihat pedang Sin-eng-kiam ini kalau matamu tidak buta."
"Bagus!" teriak Ang Sun Tek dengan girang. Aku bersama tujuh orang saudaraku telah mengalahkan Im-yang Siang-kiam dari selatan, hanya tinggal Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat yang belum dicoba!"
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
247 "Ketahuilah, Ang Sun Tek! Kalau kau hendak mencoba Sin-hong Tung-hoat, kaupun harus berhadapan dengan aku sendiri."
"Apa" Kau anak murid Bok Kwi Sianjin pula ......?"
"Benar! Sayang tidak ada senjata tongkat untuk membuktikannya kepadamu!"
"Bagus, bagus! Kalau begitu, cobalah kau hadapi Pat-kwa-tin kami!" seru Ang Sun Tek dengan gembira.
"Ang Sun Tek, telah lama aku mendengar bahwa Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo berbahaya dan hebat sekali, dan semua golok dimainkan berdasarkan Pat-kwa-tin, ilmu golok yang menggetarkan daerah utara. Akan tetapi kau dan kawan-kawanmu berjumlah delapan orang sedangkan aku hanya seorang diri. Kalau kau memang gagah dan hendak mempertahankan nama barisanmu, beranikah kau menghadapi aku dan seorang kawanku?"
"Ha ha ha! Tentu saja berani. Siapakah kawanmu itu dan di manakah dia?"
Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki merasa kurang puas melihat betapa Ang Sun Tek kini bercakap-cakap dengan Gwat Kong sebagai ahli silat menghadapi ahli silat, bukan sebagai perwira yang hendak menangkap seorang pelanggar hukum, maka Gan Bu Gi berseru,
"Hayo, tangkap maling ini!"
"Gan-ciangkun, jangan bergerak!" seru Ang Sun Tek marah. "Atau barangkali kau mau menghadapi Kang-lam Ciu-hiap sendiri saja?"
Ditegur secara demikian, Gan Bu Gi tertegun. Tentu saja ia tidak berani menghadapi Gwat Kong seorang diri saja.
"Ha ha ha, ternyata Ang Sun Tek masih memiliki kegagahan tidak seperti tikus kecil she Gan yang bersifat pengecut ini," kata Gwat Kong. "Ang Sun Tek, tadi kau bertanya tentang kawanku itu. Masih ingatkah kau kepada jago tua Sie Cui Lui di Ciang-si?"
"Pencipta Im-yang Siang-kiam-hoat" Tentu saja, dia pernah menjadi pecundang menghadapi barisan kami!"
Gwat Kong mengangguk. "Benar, dan karena itulah maka kawanku itu memang sengaja mencari-carimu di Sian-nang, akan tetapi ternyata kalian telah pergi ke ibukota. Dia adalah cucu dari Sie Cui Lui Locianpwe, dan sengaja hendak membalas dan menebus kekalahan Sie locianpwe!"
"Bagus, suruh dia datang ke sini. Biar kau dan dia maju berbareng!" tantang Ang Sun Tek.
Pada saat itu, terdengar ribut-ribut dan dari pintu depan muncullah Liok Ong Gun bersama perwira dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih.
"Tangkap penjahat ini!" teriak Liok-taijin dan menyerbulah semua perwira itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
248 Ang Sun Tek sendiri bersama tujuh orang kawannya ketika melihat munculnya Liok-taijin, merasa tidak enak hati kalau tinggal diam saja, maka Ang Sun Tek berkata, "Mungkin kau tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menguji barisan kami, Kang-lam Ciu-hiap!" Dan iapun menggerakkan goloknya maju menerjang, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain!"
Kini keadaan Gwat Kong benar-benar berbahaya sekali. Ia telah diserang lagi oleh Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Sedangkan Liok-taijin bersama pengikutnya telah mengurung dan siap sedia menyerbu pula.
Akan tetapi, Gwat Kong merasa aneh sekali mendapat kenyataan bahwa gerakan golok Ang Sun Tek amat berlainan dengan tadi. Kini gerakan golok mereka lemah dan biarpun gerakan itu masih amat cepat akan tetapi mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Tentu saja Gwat Kong menjadi girang sekali dan diam-diam ia tahu akan maksud Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Liok-te Pat-mo ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dan mereka amat bangga dengan Pat-kwa-tin mereka sehingga ketika mendengar bahwa Gwat Kong bersama seorang keturunan Sie Cui Lui hendak mencoba kekuatan barisan mereka, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya telah menjadi gembira. Oleh karena itu, mereka ini sengaja tidak menyerang sungguh-sungguh dan hendak memberi kesempatan kepada Gwat Kong untuk melarikan diri agar kelak mereka dapat berhadapan di depan pibu (adu kepandaian).
Akan tetapi agaknya Ang Sun Tek hendak memperlihatkan kepada Gwat Kong akan kelihaian ilmu goloknya, karena tiba-tiba ia berseru keras,
"Kang-lam Ciu-hiap, aku takkan puas membiarkan kau pergi begitu saja!" Ia memberi isyarat dengan kata-kata rahasia kepada kawan-kawannya dan dengan amat cepatnya mereka itu lalu menyerbu, merupakan serangan yang bersegi delapan. Inilah gerakan dari Pat-kwa-tin yang sengaja didemonstrasikan oleh Ang Sun Tek dan kehebatannya memang luar biasa sekali.
Delapan buah golok yang menyerang Gwat Kong itu tidak dilakukan dalam saat yang sama, akan tetapi sambung menyambung dan selalu mengarah bagian yang lemah menurut gerakan Gwat Kong ketika mengelakkan diri dari golok yang menyerangnya. Pemuda ini dengan kecepatannya masih dapat menghindarkan tujuh batang golok yang menyerang berturut-turut.
Akan tetapi golok Ang Sun Tek yang menyerang terakhir masih dapat menyerempet
pundaknya sehingga bajunya di bagian pundak kiri robek dan kulitnya terbabat berikut sedikit daging. Darah keluar membasahi bajunya itu.
Terdengar Ang Sun Tek tertawa bergelak, akan tetapi mereka kini menyerang kembali dengan mengendurkan dan tidak sungguh-sungguh. Gwat Kong terkejut sekali, akan tetapi ia juga bersyukur oleh karena Ang Sun Tek ternyata tidak hendak mencelakainya, hanya terdorong oleh karena kesombongannya hendak memberi peringatan bahwa Pat-kwa-tinh tidak boleh dibuat main-main.
Karena merasa bahwa percuma saja baginya untuk melanjutkan perlawanan lebih lanjut, Gwat Kong lalu menyerbu keluar hendak melarikan diri. Ia berhasil membabat putus tombak Lim Pok Ki yang menghadang di jalan. Kemudian ia menyerbu keluar dari bagian yang terjaga oleh Lim-ciangkun itu. Para penjaga di belakang yang dipimpin oleh Liok Ong Gun segera menghadang di jalan dengan senjata diputar dan kembali Gwat Kong terkurung.
Akan tetapi kini Liok-te Pat-mo tidak ikut mengurung karena ketika Gwat Kong lari, mereka sengaja tidak mau mengejar. Biarpun kini dikurung lagi, namun oleh karena para Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
249 pengeroyoknya hanya terdiri dari penjaga-penjaga yang berkepandaian biasa, mudah bagi Gwat Kong untuk merobohkan beberapa orang dan membikin terpental banyak senjata lawan.
Kemudian ia melompat lagi keluar dari kepungan. Para pengeroyoknya mengejar sambil berteriak-teriak.
Cepat bagaikan seekor burung walet, Gwat Kong melompat ke atas pagar tembok yang mengurungi taman bunga itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tembok, dari luar tembok menyambar anak panah dan piauw bagaikan hujan ke arah tubuhnya. Untung baginya, ia telah berlaku waspada dan tenang sehingga dengan cepat ia lalu memutar pedangnya dengan gerakan Sin-eng Po-in (Garuda sakti menyapu awan) sehingga seluruh tubuhnya bagian depan terlindung oleh sinar pedang dan semua anak panah dan senjata rahasia lain tertangkis runtuh ke bawah tembok.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar suara sambaran angin senjata rahasia dari belakang. Ternyata bahwa para pengejar di sebelah dalam taman itupun telah menyerangnya dengan senjata-senjata rahasia pula.
"Pengecut!" Gwat Kong berseru dan menggunakan kedua kakinya menggenjot tubuh dan melompat ke bagian lain di atas pagar tembok itu. Akan tetapi, oleh karena ia tidak dapat menggunakan pedangnya untuk menangkis ke belakang pada saat pedangnya digunakan untuk menangkis senjata rahasia dari depan, maka biarpun lompatannya cepat sekali, namun masih ada sebatang anak panah yang menancap pada punggungnya.
Baiknya pemuda ini telah siap sedia dan mengerahkan tenaga khikang di bagian tubuh belakang. Biarpun anak panah itu menancap pada punggungnya, akan tetapi tidak dalam betul, hanya kepalanya saja yang menancap. Betapapun juga, ia merasa sakit sekali, terutama karena luka di pundak kirinya dan keroyokan-keroyokan itu membuat ia merasa lelah dan darah yang keluar dari luka-lukanya membuat ia merasa pening kepala.
Dengan cepat Gwat Kong lalu menyambar turun sambil memutar pedangnya. Ketika para tentara penjaga di luar tembok itu menyerbu, ia berlaku ganas, dan roboh mandi darah.
Namun, para penjaga masih saja mendesak maju. Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Barisan penjaga, mundur!"
Para penjaga mengenal suara ini dan menjadi ragu-ragu. Ketika Gwat Kong menengok, alangkah kaget dan girangnya karena yang membentak itu adalah Tin Eng yang datang menuntun seekor kuda putih.
"Gwat Kong, lekas kau lari!" kata gadis itu sambil menyerahkan kendali kuda. Para penjaga tidak berani menyerang oleh karena gadis majikannya itu berada bersama Gwat Kong.
"Tin Eng," bisik Gwat Kong. "Jaga dirimu baik-baik. Aku akan kembali kelak ....."
"Gwat Kong, kau terluka ...?"
"Tidak mengapa, hanya luka sedikit!" kata Gwat Kong yang segera melompat ke atas kuda dan segera membalapkan kuda putih itu dengan cepat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
250 "Aku menunggu ....." masih terdengar suara Tin Eng dan gadis itu segera melompat kembali ke dalam pintu depan untuk kembali ke kamarnya, sebelum ayahnya yang masih berada di dalam taman bunga itu melihatnya. Gadis ini tadi mendengar teriakan-teriakan di luar gedung, dan karena ia maklum bahwa Gwat Kong sedang dikeroyok, maka dengan nekad gadis ini lalu berlari keluar, tidak memperdulikan teriakan dan larangan ibunya. Ia melihat betapa Gwat Kong dikeroyok dan sedang bertempur mati-matian. Maka ia lalu cepat mengambil seekor kuda yang terbaik dari kandang kudanya kemudian menuntun kuda itu keluar dan menolong Gwat Kong melarikan diri.
Ketika Liok-taijin berlari keluar, ia masih melihat bayangan Gwat Kong di atas kuda yang melarikan diri dengan amat cepatnya.
"Keluarkan kuda!" teriaknya. "Kejar bangsat itu sampai dapat!"
Sepasukan berkuda lalu melakukan pengejaran, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri.
Gwat Kong membandel kudanya dan ketika ia menengok, ia melihat sepasukan berkuda yang terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri melakukan pengejaran. Karena ia tidak melihat Liok-te Pat-mo di antara para pengejar itu, kalau ia mau, ia akan dapat menghadapi mereka. Akan tetapi ia telah merasa jemu dan pening. Apalagi karena ia tidak mau melawan Liok-taijin bekas majikannya sendiri itu.


Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baiknya Tin Eng memberikan kuda putih yang paling baik di antara semua kuda di dalam kandang Liok-taijin. Bahkan kuda putih ini adalah kesayangannya ketika ia masih menjadi pelayan di gedung itu. Maka ia dapat melarikan kuda itu dengan amat cepatnya sehingga para pengejarnya tertinggal di belakang.
Anak panah yang mengenai punggungnya masih menancap di punggung. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir karena luka itu hanyalah luka di luar saja yang cukup mendatangkan rasa panas dan sakit.
Ia hanya mengharapkan untuk cepat sampai di sungai, di mana perahu telah menunggu, di mana Cui Giok dan nelayan tua telah menunggunya. Mudah-mudahan Cui Giok dan nelayan itu ada di sana, pikirnya. Bagaimana kalau Cui Giok tidak berada di dalam perahu"
Bagaimana kalau nona itu sedang pergi meninggalkan perahu untuk menghibur diri ke darat"
Ia telah terlalu lama meninggalkan Cui Giok. Ketika ia berangkat tadi, matahari baru saja muncul. Sekarang matahari telah jauh berada di barat. Hampir sehari penuh ia meninggalkan perahu. Ah, Cui Giok tentu merasa amat kesepian. Mengingat akan hal ini, Gwat Kong makin mempercepat larinya kuda yang ditendang-tendangnya sehingga kuda itu membalap bagaikan terbang cepatnya.
Ketika ia lewat di bukit dekat sungai itu, dan membelok ke kiri, hatinya merasa girang sekali.
Hampir saja ia berseru karena girangnya ketika melihat bahwa Cui Giok sedang berdiri di kepala perahu. Gadis itu berdiri lurus dan jelas terlihat dari jauh bahwa gadis itu sedang menungguinya. Angin yang bertiup perlahan membuat ikat pinggang gadis itu melambai-lambai seakan-akan menyuruh ia datang lebih cepat.
Gwat Kong telah merasa pusing sekali, akan tetapi ia tersenyum girang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
251 "Cui Giok," bisiknya di dalam hati. "Kau benar-benar menungguku .....," ia memandang kepada gadis yang berdiri dengan gagah dan cantik menarik itu.
Sementara itu, Cui Giok berdiri dengan mulut merengut. Ia marah sekali setelah melihat munculnya orang yang ditunggu-tunggu semenjak tadi. Semenjak Gwat Kong pergi, ia duduk termenung saja, dan setelah hari menjadi siang, ia mulai gelisah karena belum juga melihat Gwat Kong kembali.
Ketika nelayan tua itu telah memasak nasi dan menyuruh ia makan, gadis itu menolaknya, menyatakan bahwa ia belum lapar. Nelayan itu menggeleng-gelengkan kepala dan maklum bahwa gadis ini tak merasa senang karena Gwat Kong tidak berada di situ.
"Kongcu tentu akan kembali, siocia. Makanlah dulu dan jangan khawatirkan dia."
"Siapa memikirkan dia?" kata Cui Giok marah. "Biar dia tidak kembali sekalipun, aku tidak perduli." Akan tetapi ia tahu bahwa ucapannya ini bohong belaka.
Setelah hari menjadi makin gelap, kegelisahannya memuncak. Semenjak tadi ia berdiri di kepala perahu memandang ke arah jalan tikungan di balik bukit itu dengan wajah sayu dan muram. Ingin sekali ia menyusul ke Kiang-sui. Akan tetapi ia merasa malu kepada Gwat Kong dan malu kepada diri sendiri. Ia teringat akan dongengan nelayan tadi, dan diam-diam di dalam hatinya terdengar nyanyian,
"Seribu tahun dinda akan menanti juga!"
Ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul dari balik bukit sambil menunggang seekor kuda putih, dadanya berdebar dan mukanya terasa panas. Sepasang matanya terasa pedas karena air mata hampir menitik turun. Sedangkan mulutnya menjadi cemberut. Ia gemas dan marah.
Lenyaplah semua kegelisahannya berganti oleh rasa marah mengapa pemuda itu demikian lama meninggalkannya.
Akan tetapi, ketika melihat pasukan berkuda yang mengejar dari belakang, kemarahannya lenyap tersapu angin dan pada wajahnya yang manis itu terbayang kegelisahan hebat. Apalagi setelah Gwat Kong tiba di depannya dan pemuda itu melompat turun terhuyung-huyung dengan tubuh lemas. Ia menjadi kaget sekali. Dengan lompatan kilat ia mendarat dan memegang tangan pemuda itu,
"Gwat Kong, apa yang terjadi ....?" suaranya gemetar ketika ia melihat pundak pemuda itu yang penuh darah dan terbelalak matanya ketika melihat anak panah di punggung pemuda itu.
"Cui Giok! Syukurlah kau berada di perahu. Lekas kita pergi dari sini. Lopek, lekas lepaskan tambang perahu dan jalankan perahu."
Cui Giok menggandeng tangan Gwat Kong masuk ke dalam perahu. Ia penasaran sekali.
"Gwat Kong, kau beristirahatlah dan biar aku menghajar sampai mampus semua pengejarmu itu." Sambil berkata demikian, Cui Giok lalu mencabut sepasang pedangnya yang disimpan di buntalan pakaiannya.
Akan tetapi Gwat Kong memegang tangannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
252 "Jangan, Cui Giok. Jangan lawan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Liok-taijin dan aku tak dapat melawan dia. Lopek, hayo cepat jalankan perahu!"
Nelayan itu tak perlu diperintahkan lagi, karena dengan ketakutan ia telah melepaskan tambang yang mengikat perahu dan cepat mendayung perahu itu ke tengah sungai, yang menghanyutkan perahu itu dengan cepat, dibantu oleh tenaga dayung nelayan itu.
Cui Giok merasa dadanya panas. "Hmm, kau tidak mau melawan orang she Liok itu, karena dia ayah .... Tin Eng ...?"" Nada suaranya penuh perasaan cemburu.
Gwat Kong menjatuhkan diri di bangku perahu. "Tidak ..., aku, aku .... ah, pening sekali kepalaku ...."
Lenyap pula kemarahan Cui Giok. Ia berlutut dan menahan tubuh Gwat Kong yang lemah.
Sementara itu para pengejar tiba di pantai sungai dan terdengar mereka memaki-maki marah, karena mereka tidak berdaya mengejar perahu yang telah jauh itu. Tak lama kemudian mereka lalu melarikan kuda kembali sambil membawa kuda yang tadi ditunggangi oleh Gwat Kong.
"Gwat Kong, kau terluka ......?" Cui Giok berbisik penuh perhatian. Mendengar pertanyaan ini, Gwat Kong teringat akan ucapan Tin Eng yang sama pula. Tin Eng juga mengeluarkan bisikan seperti itu ketika menyerahkan kuda tadi. Gelap kedua mata Gwat Kong dan tak dapat ditahannya lagi. Ia lalu roboh tak sadarkan diri.
"Gwat Kong ...!"
Cui Giok menjerit perlahan dan ia lalu mencabut anak panah yang masih menancap di punggung pemuda itu. Ia merasa ngeri melihat dara mengalir keluar dari punggung itu. Tanpa ragu-ragu lagi ia merobek baju Gwat Kong dan sambil melepaskan kepala pemuda itu di atas pangkuannya, ia lalu membalut luka pemuda itu dengan ujung ikat pinggangnya yang diputuskannya. Nelayan tua itupun membantunya dan melihat betapa gadis itu hendak membalut pundak dan punggung yang luka, ia berkata dengan tenang,
"Tenanglah, siocia. Luka ini tidak besar dan berbahaya. Sebelum dibalut, lebih baik dicuci lebih dahulu."
Nelayan itu lalu membuat api di atas perahu dan memasak air sungai, karena menurut pengalamannya, untuk mencuci luka, lebih baik menggunakan air yang telah matang.
Sementara itu, Cui Giok menutup luka dipunggung dan pundak Gwat Kong dengan sapu tangannya yang telah basah oleh darah.
Melihat muka Gwat Kong yang pucat dan tak bergerak bagaikan mayat itu, hatinya terasa gelisah dan terharu. Pikirannya bingung tidak keruan sehingga tanpa disadarinya pula beberapa titik air matanya menetes turun dan mengenai muka Gwat Kong. Karena sapu tangannya telah penuh dengan darah, Cui Giok lalu menggunakan ujung bajunya untuk menghapus air mata yang membasahi hidung dan pipi pemuda itu.
Malam tiba dengan lambat, sama lambatnya dengan perahu kecil yang hanyut oleh aliran air sungai Yung-ting. Untuk menjaga serangan angin malam, Cui Giok telah memindahkan Gwat Kong ke dalam perahu, menyelimuti tubuh pemuda itu dengan selimut mantelnya dan Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
253 menggunakan setumpuk pakaian sebagai bantal. Ketika perahu itu tiba di sebuah tempat yang banyak pohonnya, Cui Giok minta nelayan minggirkan perahu dan nelayan tua itu lalu mengikat perahu pada akar pohon.
Angkasa penuh bintang gemerlapan membuat langit nampak bagaikan beludru hitam terhias ratna mutu manikam yang serba indah. Nelayan itu membuat api unggun di tepi sungai dan karena ia merasa amat lelah, ia tertidur di bawah pohon, dekat api unggun.
Akan tetapi Cui Giok tak dapat tidur. Ia semenjak tadi duduk menjaga di dekat Gwat Kong setelah mencuci luka-luka di tubuh pemuda itu dan membalutnya dengan hati-hati. Gwat Kong masih tetap tak sadar, tak bergerak dengan wajah pucat. Akan tetapi pernapasannya normal dan Cui Giok menjaga dengan hati gelisah. Gadis ini hanya memperhatikan jalan pernapasan Gwat Kong, seakan-akan khawatir kalau-kalau jalan pernapasan itu tiba-tiba berhenti.
Beberapa kali ia meraba-raba jidat pemuda itu dan mencoba untuk memanggil-manggilnya.
Akan tetapi Gwat Kong tetap tak sadar, bagaikan seorang yang tidur nyenyak.
Bukan main gelisahnya hati dara itu. Ia tidak mempunyai pengalaman merawat orang sakit, dan tidak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang ia mencucurkan air mata kalau
kegelisahannya memuncak, takut kalau-kalau Gwat Kong akan mati karena luka-lukanya ini.
Setelah dapat menahan air matanya, ia memandang dengan mata sayu dan menghela napas panjang berulang-ulang. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut pemuda itu dan tangannya bergerak-gerak.
"Gwat Kong ...." Cui Giok memanggil dengan mesra dan memegang tangan pemuda itu. Ia merasa betapa Gwat Kong menekan jari-jari tangannya dan memegang tangannya itu erat-erat.
"Gwat Kong ...." kembali Cui Giok memanggil perlahan dengan suara gemetar penuh perasaan. Ia merasa girang karena pemuda itu telah siuman kembali.
Gwat Kong membuka matanya, akan tetapi ia tidak mengenal Cui Giok terbukti dari pandang matanya yang liar. Penerangan api lilin di dalam perahu itu hanya suram-suram. Akan tetapi Cui Giok dapat melihat betapa pipi Gwat Kong merah sekali. Ia mengulur tangan menyentuh jidat pemuda itu. Alangkah kagetnya, ketika merasa betapa jidat itu panas membara. Gwat Kong telah terserang demam yang timbul karena luka-lukanya. Luka itu memerlukan perawatan dan pengobatan, akan tetapi Cui Giok dan nelayan itu tidak mempunyai obat dan tidak tahu pula harus memberi obat apa, maka hanya dicuci dan dibalut. Inilah yang membuat luka itu membengkak dan menimbulkan panas demam.
"Panas ..... panas ......" Gwat Kong berkata gelisah sambil menggoyang kepala ke kanan kiri.
Cui Giok makin bingung. "Bagaimana Gwat Kong ..." Sakitkah ....?"
"Panas .... minum ...." Gwat Kong berkata setengah sadar.
Cui Giok cepat berbangkit dan mengambil minum yang tersedia di cawan. Ia mengangkat kepala pemuda itu dan memberi minum yang diminum oleh Gwat Kong dengan lahapnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
254 Kemudian ia meletakkan kepala pemuda itu di atas tumpukan pakaian lagi. Akan tetapi Gwat Kong tetap gelisah. Kepalanya berdenyut-denyut, tubuhnya terasa amat panasnya. Bagaikan seorang gila ia merenggut pakaiannya dan "bret .... bret ..." bajunya terobek dan terbuka sehingga tubuhnya bagian atas terbuka dan telanjang sama sekali.
"Eh, jangan begitu, Gwat Kong! Kau nanti terkena angin!" kata Cui Giok yang segera menarik mantelnya untuk diselimutkan kepada tubuh Gwat Kong.
"Panas ......," Gwat Kong makin gelisah dan kepalanya miring ke kanan kiri sehingga akhirnya terjatuh dari tumpukan pakaian itu.
"Diamlah, Gwat Kong. Tenanglah!" Cui Giok hampir menangis saking gelisahnya dan bingungnya. Ia memegang kepala Gwat Kong, mengangkatnya dan meletakkan kepala itu di atas pangkuannya sambil memeluk kepala itu erat-erat agar jangan tergoyang ke kanan kiri. Ia menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu untuk memijit-mijit kepala Gwat Kong dengan mesra. Agaknya Gwat Kong merasa nyaman dipijit-pijit dan dipeluk kepalanya itu.
Karena ia menjadi tenang lagi dan sambil meramkan mata ia tertidur pula di atas pangkuan Cui Giok.
Gadis itu merasa lega dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir kalau-kalau ia mengagetkan Gwat Kong. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap rambut kepala pemuda itu bagaikan seorang ibu mengelus-elus kepala anaknya. Kasih sayangnya terhadap pemuda ini meluap-luap dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.
Semalam suntuk Cui Giok memangku kepala Gwat Kong dengan hati-hati dan tidak berani bergerak sedikitpun sehingga kedua kakinya terasa lumpuh dan kaku kesemutan karena darahnya tidak dapat berjalan dengan baik. Namun ia dapat mempertahankan diri dengan setia. Tubuh Gwat Kong masih panas sekali sehingga rasa panas yang hebat menembus pakaian dan membuat kedua paha Cui Giok terasa panas bagaikan dekat api.
Alap Alap Laut Kidul 13 Kisah Dewi Kwan Im Karya Siao Shen Sien Pedang Tanpa Perasaan 14
^