Pencarian

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 1

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 1


PENDEKAR 2 NEGERI TAYLI
Sinar hidjau berkelebat, sebatang pedang Djing-kong-kiam ditusukan tjepat kepundak kiri seorang laki2 setengah umur. Belum lagi serangan itu mengenai sasaran, penjerang itu sudah menggeser kesamping dan menjerang pula keleher kanan laki2 itu. Waktu laki2 setengah umur itu tegakan pedangnja, trang terbenturlah kedua pedang dengan suaranja jang njaring, menjusul mana sinar pedang gemerlapan pula, dalam sekedjap kedua orang itu sudah saling gebrak beberapa djurus lagi. Mendadak pedang laki2
setengah umur tadi menabas sekuatnja keatas kepala pemuda jang memakai pedang Djing-kong-kiam, namun sedikit mengegos kesamping, pemuda itu balas menusuk paha lawan.
Serang-menjerang kedua orang itu tjepat lawan tjepat, setiap djurus seakan2 mengadu djiwa.
Disudut Lian-bu-thia atau ruang melatih silat itu berduduk seorang tua berumur setengah abad lebih, sambil meng-elus2 djenggotnja jang pandjang, sikapnja tampak sangat senang. Dikedua sampingnja berdiri lebih 20 orang anak muridnja laki2-perempuan, semuanja lagi mengikuti pertarungan sengit kedua orang tadi dengan penuh perhatian.
Disampingsanaberduduk belasan tamu undangan, merekapun tjurahkan perhatian mengikuti pertandingan ditengah kalangan itu dengan mata tak berkesip.
Sementara itu sudah lebih 70 djurus pertandingan laki2 setengah umur melawan sipemuda tadi. Serang-menjerang makin lama makin sengit dan berbahaja, tapi tetap belum tampak siapa akan menang atau kalah.
Se-konjong2 pedang laki2 setengah umur itu menabas sekuatnja, agaknja terlalu keras menggunakan tenaga hingga tubuhnja kehilangan imbangan dan sedikit terhujung.
Nampak itu, tiba2 seorang pemuda berbadju putih diantara tetamu tadi mengikik tawa geli, tapi pemuda itu segera insaf kelakuannja jang tak pada tempatnja itu, tjepat ia tekap mulutnja sendiri.
Dan pada saat itulah, mendadak sipemuda jang menggunakan Djing-kong-kiam memukul dengan telapak tangan kiri kepunggung laki2 setengah umur.
Karena lelaki itu lagi sempojongan, ia sekalian bungkukan tubuh kedepan, berbareng pedangnja memutar dengan tjepat sambil membentak: Kena! ~ Kontan kaki kiri lawan kena ditusuknja.
Pemuda itu sempojongan, untung pedangnya sempat dipakai menahan; ia tegakan tubuh dan bermaksud menempur lagi. Namun laki2 setengah umur itu sudah kembalikan pedang kesarungnja, katanja dengan tertawa: Maaf, Tu-sute, lukamu tidak berat, bukan"
Dengan muka putjat pemuda she Tu itu mendjawab sambil menggigit bibir: Terima kasih atas kemurahan hati Kiong-suheng!
Kesudahan pertandingan itu rupanja membuat si kakek berdjenggot tadi bertambah girang, dengan tersenjum ia berkata: Sampai babak ini, Tang-tjong kami sudah menang tiga kali, tampaknja Kiam-oh-kiong ini masih ingin dihunilimatahun lagi oleh Tang-tjong. Sin-sumoay, apakah kita perlu bertanding lagi"
Maka djawablah seorang To-koh atau imam perempuan, jang berduduk dipojok baratsanadengan rasa penasaran: Ja, Tjo-suheng ternjata pintar mendidik murid. Tapi selamalimatahun ini entah sampai dimana pejakinan Tjo-suheng terhadap Bu-liang-giok-hik.
Tiba2 kakek berdjenggot itu melotot, sahutnja: Apakah Sumoay sudah lupa pada peraturan golongan kita"
Teguran itu membuat To-koh tadi mendjadi bungkam, ia mendengus sekali dan tidak bitjara lagi.
Kiranja kakek berdjenggot itu bernama Tjo Tju-bok, dalam Kan-gouw terkenal dengan djulukan It-kiam-tin-thian-lam atau sebatang pedang mendjagoi kolong langit Selatan. Ia adalah Tjiangbundjin atau ketua Bu-liang-kiam sekte Timur. Sedang imam perempuan tadi bergelar Siang-djing dengan djulukan Hun-kong-tjiok-eng atau menembus sinar menangkap bajangan, ia adalah ketua Bu-liang-kiam sekte Barat.
Bu-liang-kiam sebenarnya terbagi dalam Tang-tjong, Lam-tjong dan Se-tjong, atau sekte2 Timur, Selatan dan Barat. Tapi sudah lama sekte Selatan terpentjil lemah, sebaliknya sekte2 Timur dan Barat banjak timbul tunas2 baru. Sedjak Bu-liang-kiam berdiri pada achir dinasti Tong, lalu terbagi mendjadi tiga sekte pada permulaan dinasti Song, seterusnya tiap2
lima tahun sekali anak murid dari ketiga sekte itu tentu berkumpul di Kiam-oh-kiong atau istana danau pedang untuk mengukur kekuatan, sekte mana jang menang, berhak untuk mendiami istana itu selama lima tahun, lalu bertanding lagi pada tahun keenam jang akan datang. Sekte mana jang menangkan tiga babak dalam pertandinganlimababak, dianggap menang. Maka selamalimatahun mengaso itu, jang kalah semakin giat melatih diri agar bisa merebut kemenangan dalam pertandingan jang akan datang, sebaliknja jang menang djuga tidak berani lengah. Tapi selama berpuluh tahun, selamanja sekte Selatan tidak pernah menang, sedang sekte Timur dan Barat masing2 saling bergantian mendjadi djuara.
Sampai pada tangannja Tjo Tju-bok dan Sin Siang-djin, Tang-tjong sudah menang dua kali dalam pertandingan2limatahunan itu, sebaliknya Sekte Barat baru sekali menang. Pertandingan laki-laki setengah umur she Kiong melawan pemuda she Tu tadi adalah babak keempat dalam pertandingan kali ini. Dengan kemenangan laki2 she Kiong itu, sekte Timur sudah menang tiga babak dari empat babak, maka babak kelima tidak perlu dilandjutkan.
Nama Bu-liang-kiam sudah lama tersohor dikangouw, ditambah lagi patuh pada peraturan pertandinganlimatahunan diantara golongan sendiri itu, maka ilmu pedang mereka makin lama semakin bagus. Karena sibuk memikirkan perang saudara itulah maka djarang mereka bertengkar dengan orang luar, tokoh2 mereka kebanjakan hidup aman tenteram sampai hari tua, djarang terbinasa karena bunuh membunuh dalam permusuhan dengan orang Kangouw luar.Pulasekte2 Timur dan Barat itu memandang pertandinganlimatahunan itu besar sangkut-paut dengan kehormatan sekte masing2, maka diwaktu mengadjar murid, sang guru mentjurahkan sepenuh hati tenaga, sebaliknja sang murid giat melatih siang-malam tidak kenal lelah, sehingga banjak djurus2 ilmu pedang baru jang ditjiptakan oleh setiap angkatan.
Diantara orang-orang jang duduk dipodjok barat itu, ketjuali Siang-djing, masih banjak pula tamu2 tokoh Bu-lim terkemuka jang diundang oleh kedua sekte itu untuk hadir sebagai saksi dan djuri. Diantara kedelapan orang saksi jang hadir itu, semuanja adalah djago2 persilatan terkemuka didaerah Hunlam. Hanja sipemuda badju putih tadi jang sama sekali tidak terkenal dan dikenal, tapi djusteru ia telah tertawa geli ketika melihat laki2 she Kiong itu rada sempojongan.
Pemuda badju putih itu ikut hadir bersama djago silat tua dari Hunlam selatan, Be Ngo-tek. Sebagai saudagar teh jang kaja-raja, Be Ngo-tek terkenal sangat terbuka, setiap orang persilatan jang sedang dirundung nasibmalangdan datang minta bantuannja, pasti dia melajani dengan segala senang hati. Sebab itulah pergaulannja dengan orang Bu-lim sangat luas, sebaliknya tentang ilmu silatnja tiada jang luar biasa.
Ketika hadir dan mendengar Be Ngo-tek memperkenalkan pemuda badju putih itu she Toan, Tjo Tju-bok tidak menaruh perhatian apa2, sebab Toan atau nama keluarga keradjaan Tay-li didaerah Hunlam jang sangat umum, ia menduga pemuda she Toan itu tentu adalah murid Be Ngo Tek, padahal ilmu silat kakek she Be itu biasa sadja muridnja tentu djuga tidak susah untuk diukur. Maka ia hanja menjambut mereka ketempat duduk jang sudah disediakan. Siapa duga pemuda itu telah mentertawai anak murid Tjo Tju-bok ketika pura2 menggunakan tipu pantjingan tadi.
Dalam pada itu karena sudah menang tiga kali diantara empat babak pertandingan, kemenangan sekte Timur sudah pasti, maka beberapa2 tokoh jang mendjadi djuri, seperti murid tertua dari Tiam-djong-pay, Liu Tji-hi; Leng-siau-tju, imam dari kuil Giok-tjin-koan di Ay-lo-san; Kah-yap Siansu dari Tay-kak-si dan Be Ngo-tek, be-ramai2 sama mengutjapkan selamat pada Tjo Tju-bok.
Dengan tertawa senang Tjo Tju-bok berkata: Empat murid jg diadjukan Sin-sumoay tahun ini, ilmu pedangnja ternjata boleh djuga, lebih2 babak ke-empat ini, kemenangan kami boleh dikata sangat kebetulan. Sungguh Tu-sutit jang masih muda ini tidaklah terbatas hari depannja, bukan mustahillimatahun berikutnja sekte2 Timur dan Barat kita akan bertukar tempat, Hahaha! ~ Begitulah habis ter-bahak2, mendadak lirikan matanja mengarah pada pemuda she Toan, lalu berkata pula: Tadi muridku jang tak betjus itu menggunakan tipu pantjingan untuk menangkan lawan, tapi saudara ini tampaknja merasa tidak tepat. Kita adalah orang sendiri, djika Toan-heng ada minat, marilah silahkan turun kalangan memberi petunjuk sedjurus-dua" Be-goko namanja menggontjangkan Tinlam (Hunlam selatan), dibawah panglima pandai tiada peradjurit lemah, tentu sadja anak muridnja tidak boleh dipandang enteng.
Muka Be Ngo-tek mendjadi merah, tjepat sahutnja: Harap Tjo-hiante djangan salah mengerti. Toan-heng ini bukanlah muridku. Apalagi dengan sedikit kepandaian tjakar-kutjing jang kumiliki ini mana ada harganja mendjadi guru orang, harap Tjo-hiante djangan bergurau. Kedatangan Toan-heng ini kesini hanja setjara kebetulan sadja ingin ikut menjaksikan keramaian, karena mendengar akan diadakan pertandingan diantara kedua sekte golonganmu, maka tanpa pikir aku telah mengajaknja kemari.
Mendengar peuda she Toan itu tiada hubungan apa2 dengan Be Ngo-tek, Tjo Tju-bok pikir kebetulan malah. Kalau dia adalah muridmu, betapapun aku masih merasa segan. Emangnja orang matjam apa aku Tjo Tju-bok ini hingga ada orang berani terang2an mentertawai Bu-liang-kiam didalam Kiam-oh-kiong sini" Maka dengan tertawa dingin Tjo Tju-bok berkata pula: O, kiranja demikian. Mohon tanja siapakah nama Toan-heng jang terhormat, entah murid orang kosen dari manakah"
Tjayhe bernama Ki, satu huruf melulu, tidak pernah angkat guru djuga tidak pernah belajar silat, sahut pemuda she Toan itu. Karena geli melihat orang sempojongan akan djatuh, entah dia pura2 atau sungguhan, aku djadi tertawa.
Mendengar djawaban jang kurang sopan itu, sedikitpun tiada rasa menghormat, Tjo Tju-bok bertambah mendongkol, katanja: Apakah jang menggelikan"
Kalau seorang berdiri baik2, tentunja tidak lutju, tidak perlu geli, orang merebah dirandjang, djuga tidak lutju, tapi kalau seorang akan djatuh, rasanja mendjadi lutju dan menggelikan, sahut Toan Ki dengan atjuh-tak-atjuh sambil kebas2 kipas lempitnja.
Dengan kedudukan Tjo Tju-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, tentu sadja hati merasa panas oleh tjara bitjara sipemuda jang semakin kurangadjar itu. Tapi biarpun Tjo Tju-bok wataknja angkuh, namun orangnja sangat hati2, tidak gegabah bertindak, maka iapun tidak lantas marah2, katanja pada Be Ngo-tek: Be-goko, apakah Toan-heng ini adalah sahabat-baikmu"
Be Ngo-tek adalah sorang kawakan Kangouw, sudah tentu ia paham apa maksud pertanjaan itu, terang djago Bu-liang-kiam itu sudah ambil putusan akan memberi hadjaran pada Toan Ki. Padahal dia sendiri djuga baru kenal pemuda itu. Sebagai seorang jang bertangan terbuka, ketika Toan Ki mohon ikut serta, tanpa pikir ia membawanja. Kini melihat gelagatnja, sekali turun tangan, Tjo Tju-bok pasti tidak sungkan2 lagi. Seorang pemuda baik2, sajang kalau mesti mengalami bahaja demikian itu. Maka tjepat katanja: Aku dan Toan-heng meski bukan sobat kental, tapi kami datang bersama, tampaknya tertawa Toan-heng tadipun bukannja disengaja. Baiknja beginilah, memangnja perutku djuga sudah kerontjongan, harap Tjo-hiante lekasan keluarkan daharan, biar kami menjuguhkan padamu tiga tjawan. Hari baik jang harus dibuat gembira ini, untuk apa Tjo-hiante mesti urusi seorang angkatan muda"
Djika Toan-heng bukan sobat baik Be-goko, itulah lebih baik, udjar Tjo Tju-bok, betapapun aku perlakukan padanja, takbisa dikatakan aku bikin malu pada Be-goko. Djin-kiat, tadi kau ditertawai orang, madjulah kau minta peladjaran padanja!
Memangnja laki2 setengah umur jang bernama Kiong Djin-kiat itu sangat mengharapkan perintah sang guru itu, segera sadja ia lolos pedang dan madju ketengah, ia Kiongtjhiu pada Toan Ki sambil berkata: Marilah, sobat Toan, silahkan!
Hm, bagus! Bolehlah kau mulai, kau melatih, aku melihat! kata Toan Ki.
Ha, apa...... apa katamu" teriak Kiong Djin-kiat dengan gusar hingga wadjahnja merah padam.
Kau membawa pedang, tentunja akan main pedang, bukan" sahut Toan Ki, maka bolehlah kau mulai, biar kami menonton.
Tapi guruku suruh kau djuga madju kesini, mari kita tjoba2 bertanding, bentak Djin-kiat.
Toan Ki gojang2 kepala sambil tiada berhenti mengebas kipasnja, sahutnja: Gurumu adalah gurumu, gurumu toh bukan guruku. Gurumu boleh menyuruh kau, gurumu takbisa suruh aku. Gurumu suruh kau bertanding pedang dengan orang dan kau sudah lakukan tadi. Gurumu suruh aku tjoba2
bertanding dengan kau, pertama aku tidak bisa, kedua aku takut kalah, ketiga takut sakit, keempat takut mati, maka aku tidak mau bertanding, sekali aku bilang tidak, tetap tidak.
Mendengar jawaban jang serba gurumu jang membingungkan itu, banjak diantara hadirin menjadi tertawa geli, termasuk pula beberapa murid perempuan Sin Siang-djing, maka suasana jang tadinja angker tegang seketika bujar sirna.
Karuan Kiong Djin-kiat semakin murka, dengan langkah lebar ia mendekatiToan Ki,iatuding dada pemuda itu dengan udjung pedangnja dan membentak pula: Apa kau benar2 tidak bisa, atau hanja pura2 tolol dan berlagak pilon"
Walaupun menghadapi antjaman pedang jang sedikit disorong kedepan, pasti dadanja akan tembus, namun sedikitpun Toan Ki tidak gentar, sahutnja: Aku pura2, tapi memang djuga benar2 tidak bisa.
Kau berani main gila ke Kiam-oh-kiong sini, apa barangkali kau sudah bosan hidup" semprot Kiong Djin-kiat. Kau sebenarnja anak murid siapa"
Siapa jang suruh kau mengatjau kesini" Kalau tidak mengaku terus terang, djangan salahkan pedang tuanmu ini tidak kenal ampun.
Toan Ki tetap atjuh-tak-atjuh, ia menguap sambil mengulet, lalu sahutnja: Bu-liang-kiam sangat terkenal dikangouw, asal aku tetap tidak bergerak, rasanja tidak nanti kau membunuh aku didepan para Lootjianpwe sekian banjaknja ini.
Mendadak Kiong Djin-kiat simpan pedangnja, tapi tangan lain tiba2
menempiling, plok, dengan tepat pipi Toan Ki kena digampar sekali. Toan Ki sedikit miringkan kepalanja, namun takbisa menghindarkan diri.
Seketika mukanja jang putih bersih itu merah bengap kena ditjaplimadjari tangan.
Kedjadian ini membikin para hadirin sangat terkedjut. Semula mereka melihat sikap Toan Ki jang atjuh-tak-atjuh tanpa gentar itu, mereka menjangka pemuda itu pasti memiliki ilmu silat maha tinggi, maka berani memandang enteng lawan. Siapa duga tempilingan Kiong Djin-kiat jang sepele itu takbisa dihindarnja, tampaknja pemuda itu memang sedikitpun takbisa ilmu silat.
Inilah luar biasa! Umumnja orang mendengar tjerita tentang djago silat jang kosen sengadja pura2 bodoh untuk menggoda lawan, tapi tiada mungkin seorang jang tidak mahir silat bernjali sebesar ini dan berani main gila.
Bagi Kiong Djin-kiat sendiri jang setjara mudah berhasil menempiling orang, iapun rada kesima djuga. Segera ia djamberet dada Toan Ki serta diangkat keatas dan membentak pula: Tadinja kukira seorang tokoh jang tak dikenal, siapa tahu begini tak betjus! ~ Terus sadja ia banting tubuh orang ketanah.
Bluk, Toan Ki terbanting antap kelantai, kepalanya membentur kaki medja hingga bendjut dan babak-belur.
Be Ngo-tek merasa tidak tega, tjepat ia membangunkan pemuda itu dan berkata: Kiranja Laute memang takbisa ilmu silat, lalu untuk apa ikut terobosan kesini"
Toan Ki me-raba2 batok kepalanya jang bendjut itu, sahutnja dengan tertawa: Memangnja aku melulu datang untuk melihat keramaian. Kulihat ilmu pedang Bu-liang-kiam paling2 djuga tjuma begini sadja, sang guru dan simurid berdjiwa ketjil pula, tampaknja djuga takkan mampu lebih madju lagi daripada ini. Biarlah aku pergi sadja.
Tiba2 seorang murid Tjo Tju Bok jang lain melompat madju menghadang didepan Toan Ki, katanja: Kalau kau tidak bisa ilmu silat, lantas pergi mengempit ekor begini, itulah sudah. Tapi kenapa kau meng-olok2 bahwa ilmu pedang kami biasa sadja dan paling2 hanja sekian" Sekarang aku memberi dua djalan padamu, boleh kau pilih. Kau boleh tjoba2 ilmu pedang kami jang hanja begini2 ini, atau kau mendjura delapan kali kepada guruku dan omong sendiri kentut tiga kali!
O, kau kentut" Tapi kenapa tidak bau" sahut Toan Ki dengan tertawa.
Murid muda itu mendjadi gusar, segera bogem mentahnja mendjotos kehidung Toan Ki. Pukulan ini sangat keras, tampaknja hidung Toan Ki pasti akan keluar ketjapnja. Tak terduga baru kepalan sampai ditengah djalan, tiba2 dari atas udara menjamber tiba sesuatu benda terus melilit dipergelangan tangan murid muda itu. Benda itu lemas2 dingin dan litjin, begitu melilit, terus bisa bergerak menggeremet. Karuan pemuda itu terkedjut dan tjepat tarik tangan, waktu diperhatikan, ternjata jang melilit ditangannja itu adalah seekor Djiak-lian-tjoa atau ular rantai jang berwarna belang-bonteng menjeramkan, panjangnja kira2 30 senti.
Dalam kagetnja, pemuda itu mendjerit sambil kipat2kan tangannja bermaksud melepaskan lilitan ular ketjil itu, tapi binatang itu semakin kentjang melilit ditangannja takmau lepas. Mendadak Kiong Djin-kiat djuga berteriak Ular, ular! ~ wadjahnja tampak berubah hebat sambil tangannja meng-gagap2 kedalam badju sendiri, dileher, dipunggung, diketiak, tapi tiada sesuatu jang kena dipegangnja, saking gugupnja sampai kedua kaki Djin-kiat ber-djingkrak2, buru2 ia lepaskan badju sendiri.
Datangnja perubahan2 itu sungguh sangat mendadak, selagi semua orang terkesiap dan heran, tiba2 terdengar diatas kepala mereka ada suara orang mengikik-tawa sekali.
Waktu semua orang mendongak, eh, ternjata diatas belandar rumah situ berduduk seorang dara djelita, kedua tangannja penuh memegang matjam-matjam ular.
Dara djelita itu berusia 16-17 tahun, berbadju hidjau wadjah tjantik, tersenjum menggiurkan. Pada tangannja sedikitnja memegangi belasan ekor ular jang ketjil2 dan matjam2 warnanja, hidjau, belang dan warna lain, semuanja djelas adalah ular berbisa djahat. Tapi dara tjilik itu memegangi ular2 berbisa itu bagai barang mainan belaka, sedikitpun tidak djeri. Bahkan beberapa ular diantaranja men-djalar2 kemuka dan pipinja bagai seorang anak lagi menjanak2 sang ibu jang penuh kasih.
Semua orang hanja sekilas mendongak sadja, segera mereka mendengar Kiong Djin-kiat dan Sutenja tadi lagi men-djerit2 dan berteriak, maka tjepat mereka berpaling memandang kedua orang itu pula. Sebaliknja Toan Ki lantas mendongak dan memandang sidara tjilik itu dengan terkesima.
Gadis itu duduk diatas belandar sambil kedua kakinja di-ajun2kan bagai anak ketjil jang lintjah. Melihat dia, entah darimana lantas timbul sematjam rasa suka padanja dalam hati Toan Ki. Maka katanja segera: Nona, apakah kau jang telah menolong aku"
Ja, sahut dara tjilik itu. Orang djahat itu memukul kau, kenapa kau tidak balas gendjot dia"
Aku tidak membalas.... baru sekian Toan Ki mendjawab, mendadak terdengar teriakan tertahan orang banjak. Waktu Toan Ki berpaling, ia lihat Tjo Tju-bok menghunus pedang, diatas mata pedang tampak ada noda darah, sedang ular Djik-lian-tjoa tadi sudah terkutung mendjadi dua dilantai, terang kena ditabas mati oleh pedang Tjo Tju-bok itu.
Sementara itu badju atas Kiong Djin-kiat sudah terlepas semua, dengan setengah telandjang ia masih ber-djingkrak2 kelabakan, seekor ular hidjau ketjil tampak merajap kian kemari dipunggungnja, ia ulur tangan kebelakang hendak menangkap, tapi beberapa kali dilakukan tetap tak berhasil.
Djangan bergerak, Djin-kiat! bentak Tjo Tju-bok.
Selagi Djin-kiat merandek, tiba2 sinar putih bereklebat, ular hidjau itu sudah tertabas mendjadi dua potong. Gerakan Tjo Tju-bok itu setjepat kilat hingga semua orang tidak djelas tjara bagaimana ia turun tangan, jang terang, ular hidjau itu terkutung djatuh kelantai, sebaliknja punggung Kiong Djin Kiat sedikitpun tidak apa2. Betapa djitu dan tepat permainan pedang Tjo Tju-bok itu, seketika bersoraklah semua orang memudji.
Hm, hanja membunuh seekor ular ketjil, kenapa mesti dibuat heran"
djengek Toan Ki.
Sedang sidara tjilik diatas belandar itu lantas ber-teriak2: Hai, sikakek djenggot, kenapa kau mematikan dua ekor ularku" Aku tidak mau sungkan2 lagi padamu sekarang!
Kau anak perempuan siapa, untuk apa datang kesini" tegur Tjo Tju-bok dengan gusar. Sedang dalam hati diam2 ia sangat heran bilakah gadis ketjil ini berada diatas belandar" Padahal di tengah ruangan besar ini terdapat sekian banjak tokoh2 terkemuka, masakan tiada seorangpun jang tahu, sekalipun semua orang tadi lagi asjik mengikuti pertandingan Tang-tjong dan Se-tjong, tapi mustahil tidak mengetahui kalau diatas kepala mereka lagi mengintip seseorang. Kalau kedjadian ini tersiar dikangouw, muka Bu-liang-kiam entah kemana harus ditaruh"
Gadis tjilik itu tidak mendjawab pertanjaan Tjo Tju-bok, kedua kakinja masih ber-gerak2 kedepan dan kebelakang, tampak sepasang sepatunja tersulam bunga kuning ketjil2, udjung sepatu dihias sebuah bola merah terbuat dari benang wool, itulah dandanan anak perempuan ketjil jang lazim.
Maka kembali Tjo Tju-bok berkata: Lekas melompat turun!
Djangan dulu! tiba2 Toan Ki berseru. Begitu tinggi, kalau melompat turun, apa tidak terbanting remuk" Lekas ambilkan tangga!
Mendengar itu, banjak orang tertawa geli lagi. Beberapa murid wanita dari Se-tjong sama berpikir: Orang ini tampak tjakap dan ganteng, tapi ternjata seorang tolol. Kalau gadis tjilik itu mampu naik keatas belandar tanpa diketahui djago2 silat sebanjak ini, dengan sendirinja ilmu silatnja pasti sangat tinggi, masakan untuk turun diperlukan tangga lagi, apa tidak ditertawai orang hingga tjopot giginja"
Sementara itu terdengar sigadis ketjil sedang mendjawab: Kau mengganti dulu kedua ularku, baru aku mau turun bitjara padamu.
Hanja dua ular sadja, kenapa dibuat pikiran, di-mana2 dapat menangkap dua ular seperti ini, udjar Tjo Tju-bok. Njata diam2 ia sudah djeri terhadap gadis tjilik itu. Gadis semuda itu telah berani memain dengan ular berbisa, tak disangsikan lagi dibelakang sigadis tentu masih punja guru atau orang tua jang sangat lihay, maka nada bitjaranja sedapat mungkin mengalah pada sigadis.
Dengan tertawa gadis itu mendebat: Omong sih gampang, tjobalah kau menangkap dulu ular seperti itu.
Lekas melompat turun! kembali Tjo Tju-bok mendesak.
Tidak mau! sahut sigadis.
Djika masih bandel, segera aku menarik kau turun, udjar Tjo Tju-bok.
Gadis itu ter-kikik2, djawabnja: Boleh kau tjoba menarik, kalau kena, anggap kau memang pintar!
Sungguh serba berabe Tjo Tju-bok menghadapi seorang gadis tjilik nakal seperti itu. Segera katanja pada Siang-djing: Sumoay, harap kau suruh seorang murid perempuanmu naik keatas untuk menjeretnja turun.
Anak murid Se-tjong tiada jang memiliki Ginkang setinggi itu. sahut Siang-djing.
Tjo Tju-bok mendjadi kurang senang, selagi hendak buka suara pula, tiba2 terdengar sidara tjilik berseru: He, kau tidak mau ganti ularku, ja" Ni, kuperlihatkan sesuatu jang lihay, biar kalian tahu rasa! ~ Terus sadja ia merogoh keluar dari badjunja sesuatu benda jang mirip seutas rantai emas dan disambitkan kearah Kiong Djin-kiat.
Djin Kiat menjangka tentunja sematjam Am-gi atau sendjata resia jang aneh, maka tidak berani menangkapnja dengan tangan, melainkan melompat hendak menghindar. Tak terduga rantai emas itu ternjata hidup, tiba2
membiluk diatas udara terus menghinggap diatas punggung Kiong Djin-kiat.
Kiranja rantai emas itu adalah seekor ular emas jang ketjil.
Ular ketjil itu sangat gesit gerak-geriknja, sekali menghinggap dipunggung Kiong Djin-kiat, terus sadja merajap kedada, kemuka, keleher dan keperut dengan tjepat luar biasa.
Bagus, bagus! Ular emas ini sungguh sangat menarik! seru Toan Ki sambil tertawa senang.
Merajap ular emas ketjil itu makin lama makin tjepat, hingga antero badan Kiong Djin-kiat seakan2 kemilauan oleh sinar emas dan membikin pandangan semua orang mendjadi silau.
Mendadak Leng-siau-tju, itu imam dari Giok-tjin-koan di Ay-lo-san, teringat sesuatu, dalam kedjutnja ia ketelandjur berseru: He, apa.....
apakah ini bukan Kim-leng-tju dari Uh-hiat-su-leng"
Numpang tanja, To-heng, permainan apakah Uh-hian-su-leng itu" tanja Be Ngo-tek.
Wadjah Leng-siau-tju berubah, sahutnja: Disini bukan tempatnja bitjara, kelak sadjalah kita omong2 lagi. ~ Lalu ia mendongak dan berkata pada gadis tjilik diatas belandar itu sembari memberi hormat: Terimalah hormat Leng-siau-tju, nona!
Meski tangannja penuh memegang matjam2 ular, namun dara tjilik itu masih sempat merogoh saku dan mengambil sebidji Kwatji terus dimasukkan kemulut, ia hanja tersenjum kepada Leng-siau-tju tanpa mendjawab.
Segera Leng-siau-tju berpaling kepada Tjo Tju-bok, katanja: Kionghi atas kemenangan jang ditjapai pihak Tjo-heng dalam pertandingan tadi, karena masih ada sesuatu urusan, maafkan Phinto mohon diri dulu! ~ Dan tanpa menunggu djawaban Tjo Tju-bok, buru2 ia bertindak keluar, ketika lewat disampingKiong Djin-kiat,iamenjingkir djauh2 dengan rasa ketakutan.
Tjo Tju-bok tidak urus sikap tetamu itu karena itu karena lagi tjurahkan perhatian pada ular emas tadi, sebaliknja Be Ngo-tek merasa sangat heran, pikirnja: Ilmu golok dari Giok-tjin-koan terhitung salah satu kepandaian tunggal dalam dunia persilatan di Hunlam, biasanja Leng-siau-tju inipun sangat sangat angkuh terhadap orang, kenapa terhadap ular emas ini ia mendjadi begini ketakutan" Terhadap nona tjilik itupun ia sangat menghormat, entah apa sebabnja"
Tiba2 terdengar sigadis tjilik bersuit beberapa kali, mendadak ular emas merajap kemuka Kiong Djin-kiat, tjepat Djin-kiat menangkap dengan kedua tangannja, tapi ular emas itu teramat tjepat, biarpun badan ular tak bisa disentuh tangan Kiong Djin-kiat. Karuan ia makin kelabakan dan menangkap serabutan, namun tetap menangkap angin.
Segera Tjo Tju-bok melangkah madju, pedangnja menusuk tjepat, tatkala itu siular emas lagi merajap keatas mata kiri Kiong Djin-kiat, karena diserang, sekali badan ular berkeloget, dapatlah menghindar. Sebaliknja udjung pedang Tjo Tju-bok segerapun berhenti dimuka kelopak mata sang murid.
Walaupun serangan itu tidak mengenai sasaran, tapi para penonton merasa kagum semua. Bajangkan sadja, asal udjung pedang setengah senti lebih madju, pasti bidji mata Kiong Djin-kiat sudah dibutakan. Diam2 Sin Siang-djing membatin: Ilmu pedang Tjo-suheng ternjata sudah sedemikian saktinja, aku harus mengaku bukan tandingannja, terutama djurus Kim-tjiam-toh-kiap (djarum emas penolong bahaja) barusan, terang aku tak bisa mengungkuli dia.
Sementara itu Tjo Tju-bok telah menjerang pula empat kali beruntun, tapi ular emas itu seperti tumbuh mata dipunggungnja, setiap kali dapat menjelamatkan diri.
Hai, kakek djenggot, ilmu pedangmu bagus djuga! seru sidara tjilik.
Tiba2 ia bersuit lagi, tjepat ular emas itu merajap kebawah terus menghilang.
Selagi Tjo Tju-bok tertegun kehilangan sasaran, tahu2 tampak Kiong Djin-kiat sibuk meng-garuk2 paha sendiri sambil ber-djingkrak2. Ternjata ular emas telah menerobos kedalam tjelananja.
Hahahaha! Toan Ki tertawa geli. Tontonan hari ini benar2 bikin puas hatiku, hahaha!
Dalam pada itu Kiong Djin-kiat telah lepaskan tjelananja hingga tertampak kedua pahanja jang penuh berbulu lebat. Namun dara tjilik itu benar2 masih ke-kanak2an, sama sekali ia tidak kenal urusan laki2 dan perempuan, bahkan ia terus berseru: Kau terlalu djahat, suka menganiaja orang, biar kau telandjang bulat, lihatlah apa kau malu atau tidak! ~
Habis berkata, ia bersuit lagi.
Ular emas itu benar2 sangat penurut, sekali mengesot, ia menjusup pula, kali ini lebih tjialat lagi, tjelana dalam Kiong Djin-kiat jang diterobos. Karuan Kiong Djin-kiat semakin kerupukan, sudah tentu, bagaimanapun ia tak bisa lepas tjelana dalamnja dihadapan orang banjak.
Ia mendjerit sekali terus berlari keluar.
Tapi tjelaka 13, baru berlari sampai diambang pintu, mendadak dari luar djuga menjerobot masuk seseorang, karena tak sempat mengerem bluk, kedua orang itu saling tumbuk dengan keras. Tabrakan ini benar2 sangat keras, tapi Kiong Djin-kiat hanja terpental mundur beberapa tindak, sebaliknja orang dari luar itu terus terdjengkang terbanting kelantai.
He, Yong-sute! seru Tjo Tju-bok kaget.
Melihat siapa jang telah ditabrak olehnja, tjepat Kiong Djin-kiat madju membangunkannja, rupanja ia lupa bahwa siular emas masih mengeram didalam tjelananja. Maka baru orang itu dipajangnja bangun, begitu merasa siular mengesot didalam tjelana, kembali ia mendjerit sambil ulur tangan hendak menangkap binatang nakal itu, dan karena tangannja terlepas, orang jang sudah dibangunkan itu terbanting roboh pula.
Tentu sadja kedjadian lutju itu sangat menggelikan sidara tjilik diatas belandar, setelah puas mengikik-tawa, achirnja ia berkata: Rasanja sudahlah tjukup kau dihadjar! ~
Segera ia bersuit lagi sekali, ular emas ketjil itu lantas merajap keluar dari tjelana dalam Kiong Djin-kiat terus mendjalar keatas dinding tembok dengan ketjepatan luar biasa, lalu kembali kepangkuan sigadis.
Untuk kedua kalinja dapatlah Kiong Djin-kiat membangunkan orang tadi sambil berseru kaget: Yong-susiok, ken........ kenapakah kau"
Waktu Tjo Tju-bok memburu madju, ia lihat kedua mata orang itu mendelik beringas, wadjahnja penuh rasa gusar dan dendam, tapi napasnja sudah putus. Kedjut Tjo Tju-bok tak terkatakan, lekas2 ia berusaha menolong, namun sudah tak berdaja lagi.
Kiranja orang itu bernama Yong Goan-kui, Sute atau adik-guru dari Tjo Tju-bok. Meski ilmu silatnja lebih rendah daripada sang Suheng, namun masih djauh diatasnja Kiong Djin-kiat. Maka aneh benar bahwa tabrakan tadi takbisa dihindarkannja, bahkan sekali tabrak terus roboh terbinasa.
Tjo Tju-bok mengerti pada sebelum tabrakan tentu sang Sute sudah terluka parah, maka tjepat ia membuka badju djenazah Yong Goan-kui untuk diperiksa. Begitu badju terbuka, segera tertampak didada Yong Goan-kui djelas tertulis sebaris huruf: Tengah malam ini Sin-long-pang akan membasmi Bu-liang-kiam!
Huruf2 hitam jang dekat melengkat didaging itu bukan ditulis dengan tinta djuga bukan ukiran benda tadjam. Setelah ditegasi, Tjo Tju-bok mendjadi gusar, ia gerakan pedangnja hingga berbunji mendenging, teriaknja dengan murka: Hm, lihatlah apakah Sin-long-pang jang membasmi Bu-liang-kiam atau Bu-liang-kiam jang akan musnakan Sin-long-pang" Sakit hati ini tidak kubalas, kusumpah takmau hidup!
Kiranja huruf2 jang terdapat didada Yong Goan-kui itu ditulis dengan sematjam obat ratjun, daging jang terkena ratjun lantas membusuk dan dekuk kedalam badan. Waktu Tjo Tju-bok periksa tubuh Yong Goan-kui pula, tapi tiada tanda luka lain. Segera ia membentak: Djin-ho, Djin-kiat, keluarsanamelihat!
Karena kedjadian itu, seketika suasana ruangan besar itu mendjadi katjau, semua orang tidak urus lagi pada Toan Ki dan dara tjilik diatas belandar itu, tapi be-ramai2 merubung djenazahnja Yong Goan-kui serta mempertjakapkan peristiwa itu.
Makin lama perbuatan Sin-long-pang makin tidak pantas, kata Be Ngo-tek setelah memikir sedjenak. Tjo-hiantee, entah sebab apa mereka telah bermusuhan dengan golonganmu"
Karena berduka atas matinja sang Sute, Tjo Tju-bok mendjawab dengan terguguk2: Itu...... itu disebabkan urusan mentjari obat. Musim rontok tahun jang lalu, empat Hiangtju (hulubalang) dari Sin-long-pang datang ke Kiam-oh-kiong sini dan permisi akan mentjari sematjam obat dibelakang gunung kami ini. Soal memetik obat sebenarnja urusan ketjil, memangnja Sin-long-pang hidup daripada memetik obat dan mendjual djamu. Biasanja tiada banjak berhubungan dengan golongan kami, tapi djuga tiada permusuhan apa2. Namun Be-goko tentunja tahu, belakang gunung ini tidak sembarangan boleh didatangi orang luar, djangankan Sin-long-pang sekalipun para sobat-andai kental djuga dilarang pesiar kesana, ini adalah peraturan turun-temurun dari leluhur kami, dengan sendirinja kami tidak berani melanggarnja. Padahal urusan inipun tidak djadi soal......
Sampai disini, tiba2 dari luar melangakah masuk seorang dengan tindakan pelahan dan lesu. Aneh, Leng-siau-tju dari Giok-tjin-koan jang buru2
pergi karena takut pada ular emas tadi, kini telah kembali. Imam itu tertampak tundukan kepala dan lesu, mukanja terdapat sedjalur luka, kopiah diatas kepalanja djuga sudah lenjap, rambutnja terurai kusut, terang barusan dia telah kena dihadjar orang.
Leng-siau Toheng, ken...... kenapa kau" tanja Tjo Tju-bok kaget.
Dengan gemas Leng-siau-tju mendjawab: Sungguh belum pernah kulihat manusia se-wenang2 seperti ini, katanja tidak boleh pergi dari sini dan..... dan aku seorang diri tak... tak mampu melawan mereka jang banjak, maka......
Apakah kau sudah bergebrak dengan Sin-long-pang" tanja Tjo Tju-bok.
Ja siapa lagi kalau bukan mereka" sahut Leng-siau-tju penasaran. Mereka telah menduduki djalan2 penting disekitar gunung, katanja sebelum esok pagi, siapapun dilarang turun gunung.
Dalam pada itu sidara tjilik diatas belandar tadi masih asjik menjisil kwatji sambil memainkan kedua kakinja kedepan dan ke belakang. Tiba2 ia sambitkan sebidji kulit kwatji kebatok kepala Toan Ki dan berkata dengan tertawa: He, kau pingin makan kwatji tidak" Marilah naik kesini!
Tidak ada tangga, aku tak bisa naik, sahut Toan Ki.
Itulah gampang, udjar sigadis. Terus sadja ia lepaskan seutas tali pandjang warna hidjau pupus dari pinggangnja, katanja pula: Kau pegang erat tali ini, biar kukerek kau keatas.
Badanku berat, mana kau kuat" udjar Toan Ki.
Boleh tjoba, paling2 kau akan mati terbanting, sahut sigadis dengan tertawa.
Melihat tali itu bergantung didepan hidungnja, tanpa pikir Toan Ki terus memegangnja. Diluar dugaan, apa jang terpegang itu terasa basah2
dingin, bahkan kelogat-keloget bisa bergerak. Waktu ditegasi, astagafirullah!
Benda jang tadinja disangka tali pinggang itu ternjata adalah seutas ular hidup, tjuma badan ular itu sangat pandjang dan ketjil, atas dan bawah sama besarnja, sepintas pandang orang pasti tak menjangka kalau itu adalah ular hidup. Karuan Toan Ki kaget dan tjepat lepas tangan.
Dara tjilik itu mengikik geli, katanja: Ini adalah Djing-leng-tju lebih lihay daripada Thi-soa-tjoa (ular kawat besi), biarpun kau menabasnja dengan pedang djuga takkan putus. Hajo, lekas memegang jang erat!
Toan Ki besarkan njali dan kerahkan seluruh keberaniannja buat pegang badan ular tadi, ia merasa badan ular itu rada-kasap dan tidak litjin.
Pegang jang kentjang! seru sigadis sambil mengangkat keatas dengan perlahan hingga tubuh Toan Ki terapung diatas tanah. Hanja beberapa kali tarikan sadja, gadis itu sudah menarik Toan Ki keatas belandar.
Toan Ki mendjadi kagum dan takut2 pula melihat gadis tjilik itu mengikat Djing-leng-tju kepinggang hingga mirip benar seutas tali pinggang, tanjanja: Apakah ular2mu ini tidak menggigit orang"
Kalau kusuruh dia menggigit, tentu dia menggigit, kalau tak kusuruh, dia takkan menggigit, djangan kau takut, sahut gadis itu.
Apakah kau jang piara ular2 ini, sudah djinak ja" tanja Toan Ki lagi.
Ja, tjoba kau memegangnja, kata sigadis sambil mengangsurkan seekor ular ketjil padanja.
Tentu sadja Toan Ki kelabakan, serunja gugup: Djangan, djangan! Aku tidak mau ~ Ia meng-gojang2 kedua tangannja sembari mengkeret tubuh kebelakang, dan karena duduknja kurang tepat, hampir2 ia terdjungkal dari atas belandar.
Untung sigadis keburu mendjamberet tengkuknja dan menariknja kesampingnja lagi, katanja dengan tertawa: Apakah kau benar2 tidak bisa ilmu silat" Inilah aneh!
Kenapa aneh" tanja Toan Ki.
Kau takbisa ilmu silat, tapi berani datang kesini seorang diri, tentu sadja kau akan dianiaja oleh mereka jang djahat itu, udjar sigadis.
Sebenarnja untuk apa kau datang kesini"
Melihat sikap peramah sigadis, meski baru kenal, tapi anggap seperti sobat lama, maka selagi Toan Ki hendak mentjeritakan maksud tudjuan kedatangannja, tiba2 terdengar suara tindakan orang, dari luar berlari masuk dua orang. Kiranja adalah Kam Djin-ho dan Kiong Djin-kiat berdua.
Waktu itu Kiong Djin-kiat sudah mengenakan kembali tjelananja, hanja badan bagian atas masih telandjang. Sikap kedua murid Bu-liang-kiam itu tampak rada takut, mereka mendekati Tjo Tju-bok dan melapor: Suhu, orang Sin-long-pang telah berkumpul diatas puntjak gunung depan, djalan2
penting telah didjaga, kita dilarang turun gunung.
Karena djumlah musuh lebih banjak, sebelum mendapat perintah Suhu, kami tidak berani sembarangan turun tangan.
Ehm, ada berapa banjak mereka" tanja Tju-bok.
Kira2 70 sampai 80 orang, sahut Djin-ho.
Hm, hanja sedjumlah itu lantas ingin membasmi Bu-liang-kiam" Rasanja takkan semudah itu! djengek Tjo Tju-bok.
Dan baru selesai utjapannja, tiba2 terdengar suara mendengung diudara, dari luar terbidik masuk satu panah bersuara. Tanpa pikir Kiong Djin-kiat terus samber tangkai panah itu sebelum djatuh ketanah, ternjata diatasnja terikat seputjuksurat. Djelas kelihatan diatas sampulsuratitu tertulis: Ditujukan untuk Tjo Tju-bok.
Waktu Djin-kiat tundjukansuratitu pada sang guru, Tju-bok mendjadi gusar membatja tulisan sampul jang kurang hormat itu, katanja: Tjoba kau membukanja!
Djin-kiat mengia terus merobek sampulsuratitu.
Saat itu, sidara tjilik membisiki Toan Ki: Orang djahat jang mendjotos kau itu, segera akan mampus!
Sebab apa" tanja Toan Ki ter-heran2.
Diatas panah dansuratitu beratjun semua, sahut sigadis.
Masakah begitu lihay" udjar Toan Ki.
Sementara itu terdengar Djin-kiat membatja isisuratjang telah dibukanja itu: Sin-long-pang memberitahukan pada Tjo.... Ia merandek karena tidak berani menjebut nama sang guru, lalu melandjutkan: ...... kalian diberi tempo dalam satu djam, seluruhnja harus keluar dari Kiam-oh-kiong, masing2 menguntungi tangan kanan sendiri. Kalau tidak, sebentar antero isi istanamu, tua-muda, besar-ketjil, ajam dan andjingpun tak terketjuali dari kematian.
Hm, Sin-long-pang itu matjam apa, begitu besar mulutnja! djengek Liu Tju-hi, itu djago dari Tiam-djong-pay.
Se-konjong2 terdengar suara gedebrukan, tahu2 Kiong Djin-kiat roboh terdjungkal.
Saat itu Kam Djin-ho masih berdiri disamping sang Sute, ia berteriak kaget: Sute! ~ terus bermaksud membangunkan adik-guru itu.
Namun Tjo Tju-bok keburu menjela madju, ia dorong Djin-ho kesamping sambil membentak: Djangan sentuh tubuhnja! Mungkin ada ratjun.
Benar djuga, muka Kiong Din-kiat tampak ber-kerut2 kedjang, tangan berubah hitam hangus. Sekali kedua kakinja menggendjot, putuslah napasnja.
Tiada satu djam lamanja, ber-runtun2 Bu-liang-kiam sekte Timur sudah kematian dua djago pilihannja. Karuan para gembong silat jang hadir itu sama terkesiap.
Adakah kaupun orang Sin-long-pang" tiba2 Toan Ki menanja sidara tjilik dengan perlahan.
Hus, djangan kau sembarangan omong! semprot sigadis.
Djika begitu, darimana kau tahu diatas panah dansuratitu ada ratjunnja"
tanja Toan Ki. Gadis itu tertawa, sahutnja: Tjara memberi ratjun itu terlalu kasar, lapat2 diatas panah dansuratitu masih kelihatan ada selapis sinar pospor.
Tjaranja ini hanja bisa mentjelakai orang2 jang goblok sadja.
Utjapan terachir sigadis itu sengadja dibikin keras hingga dapat didengar oleh semua orang didalam ruangan situ. Segera Tjo Tju-bok memeriksa panah dansurattadi, tapi tak nampak apa2. Waktu diintjar dari samping, benar djuga lapat2 kelihatan gemerdepnja sinar pospor.
Siapakah she dan nama nona jang mulia" segera Tju-bok tanja sigadis.
She dan namaku jang mulia takbisa kukatakan padamu, itu namanja rahasia tak boleh dibongkar, sahut sigadis.
Dalam keadaan tertimpa sial, mendengar pula utjapan sigadis jang menggoda itu, sedapat mungkin Tjo Tju-bok menahan perasaannja dan tjoba menanja pula: Djika begitu, siapakah ajahmu dan siapa gurumu" Dapatkah memberitahu.
Haha, djangan kira aku bisa kau tipu, sahut sigadis tertawa. Kalau kukatakan siapa ajahku, tentu kau akan tahu aku she apa dan mudahlah menjelidiki namaku jang mulia. Tentang guruku ialah ibuku, nama ibuku lebih2 tak boleh kuberitahukan pada orang.
Diam2 Tjo Tju-bok meng-ingat2 siapakah gerangan tokoh persilatan di Hunlam jang suka piara ular. Tapi seketika iapun tak bisa ingat, sebab daerah Hunlam jang terkenal banjak pegunungan dan hutan belukar, di-mana2
banjak terdapat ular, begitu pula orang jang piara ular.
Segera Be Ngo-tek menanja Leng-siau-tju: Leng-toheng, tadi kau mengatakan Uh-hiat-su-leng segala, apakah itu sebenarnja"
Apa" Ah, kapan aku berkata demikian" Entahlah aku tidak tahu, sahut Leng-siau-tju.
Sebagai seorang kawakan Kangouw, maka tahulah Be Ngo-tek pasti Leng-siau-tju sangat djeri terhadap Uh-hiat-su-leng jang dipungkiri itu, sudah terang tadi tertjetus dari mulutnja istilah itu, tapi kini tidak mengaku, tentu ada udang dibalik batunja. Maka iapun tidak menanja lebih djauh.
Dalam pada itu Tjo Tju-bok berkata pula terhadap sigadis: Djika nona tidak sudi memberitahu, biarlah sudah. Silahkan turun sadja untuk berunding, Sin-long-pang melarang semua orang turun gunung, tentu kaupun akan dibunuh olehnja.
Ha tidak nanti mereka berani membunuh aku, sahut sigadis tertawa, mereka hanja membunuh orang Bu-liang-kiam. Ketika mendengar berita itu ditengah djalan, sengadja aku datang kemari untuk menonton pembunuhan.
Hai, kakek djenggot, ilmu pedang kalian lumajan djuga, tapi tidak bisa menggunakan ratjun, pasti bukan tandingan Sin-long-pang!
Apa jang dikatakan sigadis itu tepat mengenai kelemahan golongan Bu-liang-kiam. Kalau saling gebrak dengan kepandaian sedjati, dengan ilmu pedang Tang-tjong dan Se-tjong dari Bu-liang-kiam, serta delapan djago terkemuka jang diundang datang sebagai djuri itu, betapapun takkan gentar pada Sin-long-pang, tapi kalau bitjara tentang menggunakan ratjun dan memunahkannja, semuanja memang tiada jang betjus.
Diam2 Tjo Tju-bok mendongkol mendengar utjapan sigadis bahwa kedatangannja itu jalah ingin menonton orang dibunuh, se-akan2 makin banjak orang Bu-liang-kiam jang mati terbunuh, hatinja semakin senang, maka ia mendjengek sekali, lalu bertanja pula: Berita apakah jang didengar nona ditengah djalan" ~ Sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan terkemuka, nada suaranja sudah biasa memerintah, maka utjapannja itu se-akan2 mengharuskan sigadis lekas mendjawabnja.
Tak terduga, tiba2 dara tjilik itu berkata: Eh, kau suka makan kwatji tidak"
Karuan Tjo Tju-bok semakin panas hatinja, tjoba kalau tidak lagi menghadapi musuh besar diluarsana, tentu sedjak tadi dia memberi hadjaran, namun sedapat mungkin ia menahan gusar, sahutnja: Tidak suka!
Kwatji apakah itu" mendadak Toan Ki menimbrung. Apakah digoreng dengan bawang-berambang Atau gorengan Ngo-hiang" Atau bumbu panili" Tampaknja enak djuga.
Aneh, begitu banjak djuga tjara menggoreng kwatji, ha" sahut sigadis.
Aku tidak tahu kwatji ini gorengan bumbu apa. Jang terang, ibuku menggoreng kwatji ini dengan empedu ular. Kalau sering makan membikin mata terang dan otak tadjam. Kau mau mengitjipi" ~ Habis berkata, terus saja ia meraup segenggam dan ditaruh tangannja Toan Ki.
Mendengar kwatji gorengan empedu ular, rasa hati Toan Ki mendjadi muak.
Kalau tidak biasa, memang rasanja sedikit pahit, kata sigadis lagi.
Padahal enak dan gurih sekali.
Merasa tidak enak kalau menolak maksud sigadis. Toan Ki tjoba2 masukan sebidji kwatji itu kemulut, begitu menempel bibir, rasanja memang sedikit pahit, tapi sesudah disisil dan dikunjah, eh, rasanja gurih dan lezat, berbau harum pula. Terus sadja ia menjisil kwatji itu tanpa berhenti.
Kulit kwatji satu persatu ia taruh diatas belandar, sebaliknja dara tjilik itu pantang sirik, ia semburkan kulit kwatji sekenanja, karuan kulit kwatji itu beterbangan diatas kepala para djago silat itu hingga mereka sibuk menghindar dengan mengkerut kening.
Maka Tjo Tju-bok bertanja lagi: Berita apakah jang didengar nona ditengah djalan" Djika sudi memberitahu, Tjayhe pasti merasa terima kasih tak terhingga.
Kudengar orang Sin-long-pang membitjarakan tentang Bu-liang-giok-bik segala. Permainan apakah itu" sahut sigadis.
Tjo Tju-bok terkesiap oleh istilah itu, tapi segera ia mendjawab: Bu-liang-giok-bik" Apakah dimaksudkan ada sesuatu Giok-bik (batu jade mestika) di Bu-liang-san sini" Itulah tidak pernah kudengar. Apakah kau pernah mendengar, Siang-djing Sumoay"
Belum lagi Siang-djing mendjawab, tjepat sigadis sudah memotong: Sudah tentu iapun tidak pernah mendengar! Hm, tak perlu kalian main sandiwara.
Kalau tidak mau katakan, terus terang sadja bilang tidak. Hm, siapa jang pingin tahu"
Tjo Tju-bok mendjadi serba runjam, diam2 ia mengakui kelihayan dara tjilik itu. Segera ia berkata pula: Ah, ingatlah aku sekarang! Apa jang dimaksudkan Sin-long-pang itu mungkin adalah Keng-bin-tjiok (batu bermuka tjermin) jang terdapat dipuntjak tertinggi dari Bu-liang-san ini. Batu itu halus litjin bagai katja, maka orang mengatakannja sebagai batu mestika. Padahal, hanja sepotong batu biasa jang putih dan litjin sadja.
Djika begitu, kenapa tadi tak kau katakan terus terang" udjar sigadis.
Lalu tjara bagaimana kalian ikat permusuhan dengan Sin-long-pang" Sebab apa mereka hendak membasmi Bu-liang-kiam kalian hingga ajam dan andjingpun tak terketjuali"
Sungguh sial, pikir Tjo Tju-bok. Sebagai tuan rumah, masakan sekarang ditanjai seorang gadis tjilik bagai terdakwa dipengadilan sadja. Tapi karena ingin tahu berita apa jang didengar orang ditengah djalan, mau-tak-mau dirinja harus mendjawab lebih dulu. Maka katanja: Harap nona turun dahulu, nanti Tjayhe menerangkan setjara djelas.
Menerangkan dengan djelas, itulah tidak perlu, sahut sigadis sambil kedua kakinja mem-buai2 kedepan dan kebelakang, toh apa jang kau katakan ada jang benar, tapi lebih banjak dusta, paling2 aku hanja pertjaja tiga bagian sadja. Maka bolehlah kau katakan sesukamu.
Begini, tutur Tjo Tju-bok kewalahan, tahun jang lalu, Sin-long-pang kutolak mentjari bahan obat dibelakang gunung kami ini, tapi diam2 mereka telah datang mentjuri dan dipergoki oleh Suteku Yong Goan-kui bersama beberapa orang anak muridku. Ketika ditegur, mereka mendjawab: Disini toh bukan istana radja atau taman kaisar, kenapa orang luar dilarang kemari"
Emangnja apakah Bu-liang-san sudah dikontrak oleh Bu-liang-kiam kalian" ~
Karena pertjetjokan mulut itu, ahirnja saling gebrak, tanpa ampun Yong-sute telah membunuh dua orang mereka. Waktu itu tiada seorangpun jang tahu bahwa satu diantara dua korban itu adalah putera tunggal Sikong-pangtju dari Sin-long-pang. Maka permusuhan itu takbisa dihindarkan lagi.
Belakangan pernah saling tempur pula ditepi sungai Landjong dan kedua pihak djatuh korban beberapa djiwa pula.
O, kiranja begitu, udjar sigadis. Obat apakah jang hendak mereka petik"
Itulah kurang terang, sahut Tju-bok.
Hm, apa benar2 kau kurang terang" djengek sigadis. Bukankah bahan obat jang hendak mereka petik itu adalah rumput Tulah. Maka mereka berkata akan membabat habis semua rumput Tulah di Bu-liang-sang ini sampai akar2nja, sebatangpun takkan ditinggalkan.
Kiranja nona lebih djelas daripada aku, kata Tju-bok.
Tiba2 gadis itu memegang lengan kanan Toan Ki sambil berkata: Marilah kita turun! ~ Terus sadja ia melompat kebawah.
Karuan Toan Ki mendjerit kaget, namun tubuhnja sudah terapung diudara.
Sjukurlah gadis itu dapat membawanja ketanah dengan enteng tak kurang apa2 sembari tetap memegangi lengan kanannja. Kata gadis itu pula: Marilah kita keluarsana, tjoba lihat berapa banjak orang Sin-long-pang jang telah datang.
Nanti dulu, tjepat Tjo Tju-bok melangkah madju, apa jang Tjayhe tanja tadi, bukankah nona belum mendjawab"
Buat apa kuberitahukan padamu"Pulaaku toh tidak berdjandji akan mendjelaskan" sahut sigadis.
Tju-bok pikir, memang benar orang tidak berdjandji akan mendjawab pertanjaannja tadi. Tapi mana boleh membiarkan orang keluar-masuk dirumahnja ini" Walaupun saat itu
Bu-liang-kiam sedang menghadapi musuh didepan rumah, namun dengan watak Tjo Tju-bok jang tinggi hati itu, tidak rela rasanja kena dipermainkan seorang nona tjilik tanpa bisa berbuat apa2. Maka begitu menghadang didepan sigadis dan Toan Ki, katanja pula: Nona, kaum djahanam Sin-long-pang berada diluar, djika nona keluar begini sadja, kalau terdjadi apa2, Bu-liang-kiam kami tentu merasa tidak enak.
Kenapa kau kuatir" sahut sigadis tersenjum. Aku toh bukan tamu undanganmu, pula kaupun tidak kenal she dan namaku jang mulia. Djikalau aku terbunuh oleh orang Sin-long-pang, ajah-bundaku djuga takkan menjalahkan kalian. ~ Habis berkata, ia tarik Toan Ki terus melangkah keluar.
Berhenti dulu, nona! tjepat Tju-bok merintangi dan tahu2 tangannja sudah menghunus pedang.
Eh, apa kau adjak berkelahi" tanja sigadis.
Tjayhe ingin berkenalan dengan matjam ilmu silat nona, agar kelak bisa dipertanggung-djawabkan kalau berdjumpa dengan ajah-ibumu, kata Tju-bok sambil lintangkan pedang.
Wah, kakek djenggot ini akan membunuh aku, bagaimana baiknja menurut kau" kata sigadis pada Toan Ki.
Terserah padamu, sahut Toan Ki sembari kipas2.
Pabila aku terbunuh, lantas bagaimana baiknja"
Adaredjeki kita rasakan bersama, adamalangkita tanggung berbareng.
Kwatji kita makan bersama, pedang kita terima serentak!
Bagus, utjapanmu ini sangat tegas, udjar sigadis. Kau sangat baik, tidak pertjumalah perkenalan kita ini. Marilah pergi! ~ Segera ia tarik Toan Ki keluar, terhadap sendjata Tjo Tju-bok jang kemilauan itu se-akan2
tak dihiraukannja.
Tanpa bitjara lagi Tju-bok gerakan pedang terus menusuk bahu kiri sigadis. Ia tiada maksud melukai orang, tjuma untuk merintangi perginja kedua muda-mudi itu.
Mendadak tangan sigadis menarik pinggang, tahu2 seutas tali hidjau menjamber kepergelangan tangan Tjo-tju-bok. Dalam kagetnja tjepat Tju-bok menarik tangannja, tak terduga tali hidjau itu adalah benda hidup, datangnja djuga tjepat luar biasa, tangan Tju-bok sudah terasa sakit kena digigit sekali oleh Djing-leng-tju. Trang, pedangnja djatuh kelantai.
Habis menggigit musuh, tjepat Djing-leng-tju merajap ketanah, beberapa kali mengesot, pedang jang djatuh itu telah dililitnja, maka terdengarlah suara keletak beberapa kali, pedang pandjang itu telah patah mendjadi beberapa bagian.
Ternjata Djing-leng-tju itu adalah sematjam ular aneh jang sangat lihay, kulitnja keras melebihi badja, ditambah lagi dalam asuhan ajah-bunda sigadis dalam waktu pandjang, maka berubahlah sematjam sendjata hidup jang sangat hidup.
Kalau bitjara tentang ilmu silat sedjati, terang sigadis jang berusia kira2 16-17 tahun itu bukan tandingan Tjo Tju-bok. Tapi sendjata hidup sigadis itu terlalu aneh dan gesit, Tjo Tju-bok kena diserang dalam keadaan tidak ber-djaga2 hingga pedangnja djatuh dan dililit patah.
Biasanja Bu-liang-kiam memandang pedang mereka sebagai djiwa sendiri, kalau sendjata itu kena dipatahkan atau direbut musuh, itu berarti ludaslah seluruh modal mereka. Meski gebrakan tadi sangat diluar dugaan, takbisa dianggap kalah bertanding, tapi dengan kedudukan Tjo Tju-bok sebagai seorang ketua suatu aliran persilatan, ia tidak bisa main belit merintangi orang lagi. Ia memegang pergelangan tangan sendiri dengan kentjang, kuatir kalau ratjun ular mendjalar kedalam tubuh.
Kalau ingin djiwa selamat, lekas kau menggodok tiga mangkok besar air rumput Tulah dan diminum sekaligus, dalam waktu dua djam, harus merebah dirandjang, sedikitpun tidak boleh bergerak, demikian kata sigadis. Dan sesudah keluar, dengan tertawa ia berkata pada Toan Ki dengan pelahan: Djing-leng-tju ini sebenarnja tak berbisa, tapi kakek djenggot itu pasti sudah ketakutan setengah mati. Ilmu silat situa itu sangat tinggi, kalau dia mengedjar, aku tak mampu melawannja.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh kagum sekali Toan Ki, katanja: Aku tidak bisa ilmu silat, makanja dianiaja orang! ~ Sembari berkata, ia raba2 pipi sendiri jang masih sakit pedas. Lalu menjambung pula: Pabila aku pun mempunjai Djing-leng-tju seperti ini, tentu aku tidak takut lagi pada segala manusia djahat. Nona baik, bilakah kau dapat menangkapkan seekor djuga untukku"
Hendak menangkap seekor lagi, itulah sulit, sahut sigadis. Sajang ular ini bukan milikku, kalau punjaku, tentu akan kuhadiahkan padamu. Ini adalah milik Entjekku (paman), kumembawanja buat main2, setelah pulang nanti, harus kukembalikan padanja.
Eh, she dan namamu jang mulia takbisa dikatakan pada sikakek djenggot, tentunja tidak keberatan diperkenalkan padaku buka" tanja Toan Ki.
She dan nama jang mulia apa segala" sahut sigadis dengan tertawa. Aku she Tjiong, ajah-ibuku memanggil aku Ling-dji (anak Ling). Marilah kita ber-duduk2 kelereng bukit situ, katakanlah, untuk apa kau datang ke Bu-liang-san sini"
Kedua muda-mudi itu lalu menudju ke lereng bukit disebelah barat-lautsana, sembari berdjalan Toan Ki sambil berkata: Aku mengelojor sendiri dari rumah dan terluntang-lantung di-mana2. Ketika tiba dikota Bohni, aku kehabisan sangu, aku lantas datang kerumah orang jang bernama Be Ngo Tek itu untuk makan gratis. Belakangan kudengar dia hendak datang ke Bu-liang-san sini, karena terlalu iseng, aku lantas minta ikut kemari.
Tjiong Ling manggut2, tanjanja pula: Lalu, sebab apa kau melarikan diri dari rumah"
Ajah-ibu ingin aku beladjar silat, aku tidak mau. Mereka mendesak terus, aku lantas minggat.
Dengan mata terbelalak heran, Tjiong Ling meng-amat2i Toan Ki, katanja kemudian: Sebab apa kau tidak mau beladjar silat" Takut menderita"
Mana bisa aku takut menderita" sahut Toan Ki. Aku telah pikir pergi datang dan tetap tidak paham. Kemudian bertengkar pula dengan Empekku.
Aku dipersalahkan oleh ajah dan disuruh minta maaf pada Empek, tapi aku enggan karena merasa tidak salah, karena itu, ibu bertengkar djuga dengan ajah........
Ibumu tentu simpatik dipihakmu, bukan" tanja Tjiong Ling.
Ja, sahut Toan Ki.
Tjiong Ling menghela napas, katanja: Ibuku djuga begitu terhadapku. Ia termenung sedjenak memandang kearah barat, lalu menanja lagi: Soal apa jang kau pikirkan dan tetap tidak paham"
Sedjak ketjil aku sudah ditahbiskan kedalam agama Budha, tutur Toan Ki.
Ajah telah mengundang seorang guru memberi adjaran membatja Su-si-ngo-keng (empat buku danlimakitab) serta menggubah sjair padaku. Mengundang pula seorang paderi saleh mengadjar agama Budha padaku. Selama belasan tahun jang kupeladjari melulu hal larangan membunuh, pantang gusar, harus welas-asih dan matjam2 segala. Ketika tiba2 ajah suruh aku beladjar silat, beladjar tjara memukul dan membunuh orang, tentu sadja aku merasa enggan. Ajah menuduh aku membangkang orang tua, Empek berdebat sehari-semalam dengan aku, dan aku tetap tidak tunduk.
Lantas Empekmu marah2 dan tinggal pergi, bukan"
Empekku tidak marah2 dan tinggal pergi, tapi ia ulur djari menutuk dua kali dibadanku, seketika badanku terasa se-akan2 digigit beratus ribu semut serta ber-ribu2 linta lagi menghisap darahku. Kata Empek: Enak tidak rasa begini" Aku adalah pamanmu, sebentar tentu akan lepaskan Hiat-to jang tertutuk, tapi kalau musuh jang kau ketemukan, tentu kau akan dibikin mati tidak hidup tidak. Dan kau boleh tjoba2 untuk bunuh diri.
Sudah tentu aku tak bisa bunuh diri, sebab aku tertutuk, sebuah djari sadja tak sanggup bergerak. Sudah pasti pula aku takkan bunuh diri, enak2
hidup, buat apa bunuh diri"
Semula Tjiong Ling ter-mangu2 mendengarkan, tiba2 ia berseru keras: Empekmu bisa ilmu Tiam-hiat" Bukankah dia menggunakan sebuah djari dan menutul sesuatu tempat dibadanmu, kau lantas takbisa berkutik"
Benar, kenapa dibuat heran" udjar Toan Ki.
Kedjut dan heran meliputi perasaan Tjiong Ling, sahutnja: Kau bilang kepandaian itu tidak mengherankan" Padahal setiap orang Bu-lim, asal bisa mendapat sedikit ilmu Tiam-hiat, biar kau suruh dia mendjura seribu kali djuga dia rela. Tapi kau sendiri djusteru tidak mau beladjar, inilah benar2 aneh luar biasa.
Kulihat ilmu Tiam-hiat itupun tiada sesuatu jang hebat, sahut Toan Ki.
Tjiong Ling menghela napas, katanja: Kata2mu ini djangan lagi kau utjapkan, lebih2 djangan sampai diketahui oleh orang lain.
Sebab apa" tanja Toan Ki ter-heran2.
Kalau kau tidak bisa ilmu silat, tentu banjak urusan Kangouw jang belum kau ketahui, sahut sigadis. Ilmu Tiam-hiat dari keluarga Toan kalian tiada bandingannja diseluruh djagat, jaitu disebut It-yang-tji. Setiap orang persilatan pasti mengiler bila mendengar nama ilmu itu, mungkin takbisa tidur sebulan-dua bulan mengaguminja. Pabila ada jang tahu ajah dan pamanmu mahir ilmu itu, boleh djadi ada orang djahat akan mentjulik kau dan minta ajahmu atau pamanmu menukar dirimu dengan kitab peladjaran It-yang-tji itu. Djika terdjadi demikian, bagaimana"
Djika benar terdjadi, menurut watak pamanku jang keras itu, pasti dia akan labrak sipentjulik itu.
Makanja, kata Tjiong Ling, berkelahi tanpa tudjuan dengan keluarga kalian tentu orang tidak berani. Tetapi kalau untuk kitab peladjaran It-yang-tji, segala apa mugkin terdjadi.Apalagi kalau kau djatuh ditangan orang, urusan tentu akan sulit diselesaikan. Maka beginilah baiknja, selandjutnja kau djangan mengaku she Toan.
Aku tidak she Toan, lalu she apa" udjar Toan Ki. Padahal orang she Toan beratus ribu banjaknja di daerah Hunlam ini, belum tentu setiap orangnja mahir ilmu Tiam-hiat.
Sementara ini bolehlah kau sama she dengan aku, udjar si gadis.
Baik djuga, sahut Toan Ki tertawa. Dan kau harus panggil aku Toako.
Berapa umurmu"
Enambelas, sahut Tjiong Ling. Dan kau"
Aku lebih tua tiga tahun dari kau, sahut Toan Ki.
Tjiong Ling mendjemput sehelai daun kering, sambil me-robek2 daun itu sedikit2, tiba2 ia gojang2 kepala.
Apa jang sedang kau pikirkan" tanya sipemuda.
Aku tetap tak bisa pertjaja bahwa kau ternjata tidak mau beladjar It-yang-tji, sahut Tjiong Ling. Kau sengadja dustai aku, bukan"
Toan Ki tertawa, katanja: Kau pandang It-yang-tji sedemikian hebatnja, memangnja bisa bikin perut mendjadi kenjang" Aku djusteru anggap Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju jang kau miliki ini djauh berguna.
Kuharap mudah2an aku bisa menukar beberapa ular ini dengan ilmu kepandaian keluargamu itu. udjar sigadis. Tjuma sajang, kau takbisa It-yang-tji, sebaliknja ular2 inipun bukan punjaku.
Gadis seketjil kau ini, kenapa jang dipikir melulu urusan berkelahi dan membunuh orang sadja"
Kau benar2 tidak tahu atau sengadja pura2 dungu"
Apa maksudmu" tanja Toan Ki bingung.
Lihatlah itu! kata sigadis sambil menundjuk kearah timur.
Menurut arah jang ditundjuk, Toan Ki melihat dipinggang gunung arah timur itu mengepul belasan gerombol awan asap hidjau, ia tidak paham apa maksud sigadis.
Nah, meski kau tidak ingin memukul atau membunuh orang, tapi orang lain djusteru akan menghadjar dan membunuh kau, kata Tjiong Ling pula, lalu apa kau akan mandah terima dibinasakan orang" Asap hidjau itu adalah Sin-long-pang jang lagi menggodok ratjun untuk melajani Bu-liang-kiam nanti.
Jang kuharap semoga kita bisa diam2 mengelojor pergi dari sini, agar tidak ikut tersangkut.
Toan Ki kebas2 kipasnja dan merasa kurang tepat utjapan sigadis, katanja: Tjara perkelahian dikalangan Kangouw seperti ini makin lama makin tidak pantas. Orang Bu-liang-kiam telah membunuh putera Sikong-pangtju dari Sin-long-pang, tapi kini itu Yong Goan-kui djuga sudah dibinasakan mereka. Bahkan ditambah dengan Kiong Djin-kiat jang menempiling aku itu. Balas membalas, seharusnja sudah kelop. Seumpama masih ada sesuatu jang tidak adil, seharusnja melapor pada pembesar negeri agar diberi keputusan setjara bidjaksana, mana boleh bertindak dan mendjadi hakim sendiri sesukanja" Djika begitu, negeri Tayli kita ini apa dianggap sudah tidak punja undang2 hukum lagi"
Tjk, tjk, tjk! Tjiong Ling ber-ketjek2 mulutnja, mendengar nadamu ini, se-akan2 kau ini tuan besar atau bangsawan jang berkuasa. Bagi rakjat djelata kita djusteru tidak urus segala tetek bengek itu. ~ Ia menengadah kelangit, lalu tuding kearah barat-daja dan berkata pula: Sebentar kalau hari sudah gelap diam2 kita mengelojor pergi dari situ, tentu orang Sin-long-pang takkan pergoki kita.
Tidak! seru Toan Ki mendadak. Aku harus menemui Pangtju mereka untuk memberi petua dan tjeramah padanja, tidak boleh mereka sembarangan membunuh orang.
Tjiong Ling merasa kasihan pada pemuda jang polos ke-tolol2an itu, katanja: Toan-heng kau ini benar2 tidak kenal tebalnja bumi dan tingginja langit. Pangtju dari Sin-long-pang itu, Sikong Hian, orangnja kedjam dan ganas, suka main ratjun, berbeda daripada orang Bu-liang-kiam. Maka lebih baik kita djangan tjari perkara, lekas pergi dari sini sadja.
Tidak, urusan ini aku harus ikut tjampur, djika kau takut, bolehlah kau tunggu aku disini, sembari berkata, terus sadja Toan Ki melangkah kearah timur.
Tjiong Ling memandangi kepergian pemuda itu, setelah beberapa tombak djauhnja, mendadak ia melesat madju mengedjar, tangan kanan mengulur, ia djamberet pundak Toan Ki, menjusul kaki mendjegal, pemuda itu disengkelit kedepan.
Waktu tiba2 mendengar suara tindakan orang dari belakang, selagi Toan Ki hendak menoleh, tahu2 pundak ditjengkeram orang, bahkan kaki keserimpet dan tubuhnja terus terdjerungup kebanting kedepan. Karuan hidungnja mentjium tanah dan botjor, keluar ketjapnja.
Dengan meringis2 Toan Ki merangkak bangun, dan demi mengetahui orang jang menghadjarnja itu adalah Tjiong Ling, ia mendjadi gusar, katanja: Kenapa kau begini nakal, apa tidak sakit orang dibanting"
Aku hanja ingin mentjoba lagi apakah kau hanja pura2 atau sungguh2 tak bisa ilmu silat, sahut Tjiong Ling. Maksudku adalah untuk kebaikanmu.
Ketika Toan Ki mengusap hidungnja, tangannja lantas penuh berlepotan darah, bahkan darah terus me-netes2 hingga dadanja merah kujup.
Sebenarnja lukanja sangat enteng, tapi melihat sekian banjak darah mengalir, terus sadja ia ber-kaok2: Aduh, aduuuh! Tjiong Ling mendjadi rada kuatir, tjepat ia keluarkan saputangan hendak mengelap darah orang.
Tapi Toan Ki sudah kadung mendongkol, tanpa pikir ia mendorong dan berkata: Tidak perlu kau ambil hatiku, aku tak gubris padamu lagi.
Karena tak bisa ilmu silat, maka tjara mendorong Toan Ki hanja sekenanja sadja, siapa tahu djusteru kena didada sigadis. Karuan Tjiong Ling kaget, tanpa pikir dan dengan sendirinja ia pegang tangan sipemuda, sekali ditarik terus disengkelit dengan gaja judo, kembali Toan Ki kena dibanting pula, batok kepala belakang terbentur batu, seketika djatuh semaput.
Melihat pemuda itu menggeletak tak berkutik, Tjiong Ling membentaknja: Lekas bangun, aku ingin bitjara padamu!
Tapi ia lantas gugup ketika melihat Toan Ki tetap tak bergerak, ia berdjongkok dan memeriksa, ia lihat kedua mata pemuda itu mendelik, napasnja lemah, orangnja sudah kelengar. Lekas2 ia memidjat Djin-tiong-hiat serta urut2 dada sipemuda.
Selang agak lama, pelahan2 barulah Toan Ki siuman. Ia merasa dirinja bersandar ditempat jang empuk, hidungnja mengendus bau wangi pula.
Pelahan2 ia membuka mata dan melihat sepasang mata-bola Tjiong Ling jang djeli bening itu lagi memandangnja dengan rasa kuatir.
Melihat Toan Ki sudah siuman, Tjiong Ling menghela napas lega: Ah, sjukurlah kau tidak mati.
Melihat dirinja bersandar dipangkuan sigadis, tanpa merasa hati Toan Ki terguntjang, tapi segera terasa batok kepala belakang masih kesakitan, kembali ia ber-kaok2 sakit.
Tjiong Ling terkedjut oleh kelakuan Toan Ki itu, Kenapa kau" tanjanja.
Aku... aku kesakitan! sahut Toan Ki.
Hanja sakit, toh belum mati, kenapa ber-kaok2"
Djika sudah mati, masakan masih bisa ber-kaok2"
Tjiong Ling mengikik-tawa, ia merasa salah tanja. Ia tjoba angkat kepala Toan Ki, ternjata dibagian belakang bendjol sebesar telur ajam, tjuma tidak mengeluarkan darah, namun sakitnja tentu tidak kepalang. Maka katanja setengah mengomel: Habis, siapa suruh kau berlaku rendah. Pabila orang lain, mungkin kontan sudah kubunuh, tapi kau hanja terbanting sadja, masih murah bagimu.
Toan Ki bangun berduduk, tanjanja dengan heran: Aku berbuat ren...
rendah bagaimana" Kapan terdjadi" Inilah pitenahan belaka!
Dasar perasaan gadis remadja seperti Tjiong Ling jang baru mulai bersemi, terhadap urusan laki2-perempuan baru tarap paham tak-paham, ia mendjadi djengah oleh sangkalan Toan Ki itu, katanja dengan wadjah merah: Tak bisa kukatakan, pendek kata kau jang salah, siapa suruh kau mendorong... mendorong sini.
Baru sekarang Toan Ki paham duduknja perkara, ia meras kikuk, ingin dia djelaskan, tapi seperti susah mengutjapkan.
Maka Tjiong Ling berkata lagi: Sjukur achirnja kau telah siuman, bikin aku kuatir sadja.
Tadi di Kiam-oh-kiong, kalau kau tidak menolong aku, pasti aku akan dipersen dua kali tempilingan lebih banjak. Kini kau membanting dua kali diriku, biarlah kuanggap kelop, siapapun tidak utang. Agaknja memang sudah suratan nasibku, tak bisa terhindar dari malapetaka ini.
Demikianlah utjapanmu, djadi kau gusar padaku" tanja sigadis.
Emangnja orang sudah dipukul harus memudji dan berterima kasih pula padamu" sahut Toan Ki.
Ja, sudahlah, selandjutnja aku takkan pukul kau lagi, kata Tjiong Ling dengan menjesal sambil memegang tangan sipemuda. Sekarang kau tidak marah, bukan"
Tidak, ketjuali kalau akupun membalas pukul dua kali, udjar Toan Ki.
Tjiong Ling tidak lantas mendjawab, ia merasa enggan dipukul orang.
Tapi demi nampak pemuda itu hendak tinggal pergi lagi dengan marah2, tjepat ia tegakan leher dan berkata: Baiklah, kau boleh pukul aku dua kali. Tapi... tapi djangan keras2, ja!
Tidak bisa, kata Toan Ki. Kalau tidak keras, mana bisa dianggap membalas dendam. Maka pukulanku sudah pasti sangat keras. Djika kau tidak tahan, lebih baik djangan.
Tjiong Ling menghela napas, ia pedjamkan mata dan berkata lirih: Baiklah! Tapi sesudah pukul, kau djangan marah lagi!
Namun sesudah ditunggu dan tunggu lagi, tangan Toan Ki masih belum terasa memukul. Waktu membuka mata, ia lihat pemuda itu lagi memandang kesima padanja dengan wadjah ketawa-bukan-ketawa padanja. Ia menjadi heran, tanjanja: He, kenapa kau tidak memukul" Tiba2 Toan Ki mendjentik pelahan dua kali dipipi Tjiong Ling, katanja: Hanja dua kali susah dilukiskan, serunja tertawa: Memang aku sudah tahu kau adalah orang baik Untuk sekian lamanja Toan Ki kesemsem menghadapi gadis djelita jang hanja belasan senti didepannja itu, makin dipandang makin tjantik, bau harum gadis sajup2 menjusup hidungnja, berat nian untuk meninggalkannja pergi. Achirnja ia berkata: Sudahlah sekarang, sakit hatiku sudah terbalas, kini aku hendak pergi mentjari Sikong Hian dari Sin-long-pang itu.
Djangan tolol! tjepat Tjiong Ling mentjegah. Urusan orang Kangouw sedikitpun kau tidak paham, kalau sampai bikin sirik orang, aku takkan mampu menolong kau.
Djangan kuatir bagiku sahut Toan Ki. Kau tunggu disini sadja, sebentar aku akan kembali. Habis berkata, dengan langkah lebar ia terus bertindak kearah asap tebal sana. Tjiong Ling ber-teriak2 mentjegahnja lagi, dan Toan Ki tetap tidak menurut. Setelah tertegun sedjenak, mendadak gadis itu berseru: Baiklah, memangnja kau pernah menjatakan kwatji kita makan bersama, pedang kita terima serentak, biar kuikut bersama kau!. Segera ia berlari menjusul Toan Ki dan berdjalan sedjadjar dengan dia.
Tiada lama, dari depan mereka tampak memapak dua orang laki2 berbadju kuning. Seorang diantaranja jang lebih tua lantas membentak: Siapa kalian" Ada apa datang kesini"
Toan Ki melihat kedua orang itu sama2 menggendong sebuah kantong obat, tangan membawa sebilah golok lebar-pendek. Segera sahutnja: Tjayhe bernama Toan Ki, ada urusan penting mohon bertemu dengan Sikong-pangtju kalian.
Urusan apa" tanja lelaki tua tadi.
Setelah bertemu dengan Pangtju kalian, dengan sendirinja akan kututurkan, kata Toan Ki.
Saudara tergolong aliran mana, siapa gerangan gurumu" tanja pula lelaki tua itu.
Aku tidak termasuk sesuatu golongan dan aliran. Sahut Toan Ki. Guruku bernama Bing Sut-seng, beliau chusus mejakinkan Koh-bun-siang-si, dalam hal peladjaran Kong-yang, dia djuga tjukup mahir.
Kiranja guru jang dia maksudkan itu adalah guru jang mengadjarkan dia membatja dan menulis. Tapi bagi pendengaran lelaki tua itu, istilah Koh-bun-siang-si (sastra kuno dan kitab baru) dan peladjaran Kong Yang (tjerita tentang kambing djantan) disangkanja dua matjam ilmu silat jang sakti. Apalagi melihat Toan Ki meng-kipas2 dengan sikap dingin, se-akan2
seorang jang memiliki ilmu kosen. Maka ia tidak berani sembrono lagi, walaupun tidak pernah mendengar ada seorang djago silat bernama Bing Sut-seng, tapi orang telah menegaskan mahir dalam matjam2 ilmu, tentunja bukan membual belaka. Tjepat sadja ia lantas berkata: Djika demikian, harap Toan-siauhiap tunggu sebentar, biar kulaporkan Pangtju. Habis itu, buru2 ia tinggal pergi kebalik lereng gunung sana. Kau menipu dia tentang Kong-yang dan Bo-yang (kambing djantan dan kambing betina) segala, ilmu matjam apakah itu" tanja Tjiong Ling. Sebentar djika Sikong Hian mengudji kau, mungkin susah kau mendjawabnja.
Seluruh isi Kong-yang-thoan (kitab tjerita tentang kambing djantan) sudah kubatja hingga apal, kalau Sikong Hian hendak mengudji, tidak nanti aku kewalahan, sahut Toan Ki.
Tjiong Ling terbelalak bingung oleh djawaban jang tak keruan djuntrungannja. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Kong-yang-thoan itu adalah nama kitab sastra karja Kong-yang Ko didjaman Tjhun-tjhiu.
Sementara itu tampak lelaki tua tadi telah kembali dengan muka geram, katanja pada Toan Ki: Tadi kau sembarangan mengotjeh apa, sekarang Pangtju panggil kau. Melihat gelagatnja, agaknja dia telah didamprat oleh sang Pang-tju Sikong Hian.
Toan Ki mengangguk dan ikut dibelakang orang.
Mari kutundjukan djalan, kata lelaki tua itu sembari tarik tangannja Toan Ki. Setelah berdjalan beberapa tindak, pelahan2 ia kerahkan tenaga ditangan.
Akan tetapi genggaman lelaki tua itu semakin kentjang hingga mirip tanggam kuatnja. Saking tak tahan, achirnja Toan Ki men-djerit2 sakit.
Kiranja ketika lelaki itu menjampaikan tentang Koh-bun-siang-si dan Kong-yang-tji-hak jang dikatakan Toan Ki tadi, ia telah didamperat oleh sang Pangtju. Dalam mendongkolnja, ia sengadja hendak mengukur ilmu silat Toan Ki. Diluar dugaan, barusedikit meremas, pemuda itu sudah gembar-gembor kesakitan. Segera ia bermaksud meremas patah beberapa tulang djari orang, tapi mendadak pergelangan tangan sendiri terasa njes dingin seperti dibelit oleh sesuatu. Krak, tahu2 tulang pergelangan tangannja telah patah.
Saking sakitnja, lelaki tua itu tjepat memeriksa tangan sendiri, tapi tidak nampak suatu benda apa2. Sudah tentu ia tidak tahu bahwa diam2
Tjiong Ling jang telah membantu Toan Ki dengan melepaskan Djin-leng-tju untuk mematahkan tulang tangannja, sebaliknja ia menjangka dari tangan Toan Ki jang telah timbul sematjam tenaga getaran lihay.
Dalam dongkolnja, timbul djuga rasa djerinja, ia pikir Lweekang orang ini sedemikian hebatnja, kalau dirinja tidak kenal gelagat, boleh djadi akan lebih tjelaka lagi nanti.
Meski menanggung rasa sakit luar biasa hingga keringat dingin me-netes2
dari djidatnja sebesar kedele, namun lelaki itu masih berlagak kuat, sedikitpun tidak merintih sakit, tetap bertindak dengan langkah lebar seakan2 tidak terdjadi sesuatu.
Kau ini benar2 seorang kasar, masih Toan Ki mengomel, orang berdjabatan tangan dengan kau djuga tidak perlu gunakan tenaga sebesar itu. Kulihat pasti kau tidak mengandung maksud baik.
Lelaki itu tidak menggubrisnja, ia percepat langkahnja dan membiluk kebalik lereng sana.
Waktu Tjiong Ling memandang, ia lihat ditengah gundukan batu padas sana berduduk lebih 20 orang. Ia insaf telah masuk kesarang harimau, maka iapun tjepat menjusul rapat dibelakang Toan Ki.
Setelah dekat, Toan Ki melihat di-tengah2 gerombolan orang itu berduduk seorang kakek kurus ketjil diatas sebuah batu padas jang paling tinggi, piara djenggot matjam kambing, sikapnja sangat angkuh. Pantas lelaki tua tadi didamperat ketika melaporkan utjapan Toan Ki tentang tjerita sikambing djantan segala, sebab ternjata kakek kurus ketjil itu memiara djenggot kambing.
Toan Ki tahu pasti kakek itulah Pangtju dari Sin-long-pang, Sikong Hian. Segera ia memberi Kiongtjhiu dan berkata: Sikong-pangtju, terimalah hormat Tjayhe, Toan Ki.
Sikong Hian hanja sedikit bungkukkan tubuh, tapi tidak berbangkit.
Tanjanja: Ada urusan apa kedatangan saudara kesini"
Kabarnja kalian ada permusuhan dengan Bu-liang-kiam, tutur Toan Ki.
Tjayhe sendiri hari ini telah menjaksikan kematian dua orang Bu-liang-kiam setjara mengenaskan, karena tidak tega, maka sengadja datang kemari untuk memberi djasa baik2. Hendaklah diketahui bahwa permusuhan lebih baik dilenjapkan daripada ditanam. Apalagi bunuh-membunuh dan berkelahi djuga melanggar undang2 negara, kalau diketahui pembesar setempat, pasti sama2 tidak enaknja. Maka sudilah Sikong-pangtju membatalkan maksud kurang baik ini sebelum terlambat dan lekas2 pergi dari sini, djangan mentjari perkara lagi pada Bu-liang-kiam.
Dengan sikap dingin tak atjuh Sikong Hian mendengarkan tjerita Toan Ki itu, setelah selesai, tetap ia bungkam, hanja matanja melirik.
Maka Toan Ki berkata lagi: Apa jang Tjayhe katakan ini timbul dari maksud baik, harap Pangtju suka pikirkan baik2
Masih dengan sikap aneh Sikong Hian memandangi pemuda itu, kemudian mendadak ter-bahak2, katanja: Siapakah botjah ini berani bergurau dengan tuanmu disini" Siapa jang suruh kau kemari"
Siapa jang suruh aku kesini" sahut Toan Ki mengulangi. Sudah tentu aku sendiri!
Hm, djengek Sikong Hian mendongkol, selama berpuluh tahun aku berkelana dikangouw, belum pernah kulihat seorang botjah bernjali sebesar seperti kau ini hingga berani main gila dengan aku. A Toh, tangkap kedua anak ini.
Segera seorang laki2 tegap mengia terus melompat madju hendak mentjengkeram lengan Toan Ki.
Eh, eh, djangan! seru Tjiong Ling tjepat. Sikong-pangtju. Toan-siangkong ini menasihati engkau dengan maksud baik, kau tidak mau turut masa-bodoh, kenapa main kekerasan" ~ lalu ia berpaling pada Toan Ki dan berkata: Toan-heng, djika Si-long-pang tidak sudi mendengar adpismu, kita djuga tidak perlu ikut tjampur urusan orang lain. Marilah pergi!
Akan tetapi lelaki tegap tadi sudah dapat memegang kedua tangan Toan Ki terus ditelikung kebelakang sambil menunggu perintah sang Pangtju lebih djauh. Karuan Toan Ki meringis kesakitan.
Maka Sikong Hian berkata pula dengan dingin: Hm, Sin-long-pang djusteru paling tidak suka orang lain ikut tjampur urusannja. Emangnja kedua botjah ini anak siapa, pergi-datang boleh sesukamu, ha" Pasti dibelakang lajar ada sesuatu jang mentjurigakan. A Hong, tawan sekalian anak perempuan itu!
Kembali seorang laki2 kekar lain mengia terus hendak menangkap Tjiong Ling.
Namun sedikit mengegos mundur, Tjiong Ling berkata pula: Sikong-pangtju, djangan kira aku takut padamu. Soalnja ajahku melarang aku bikin onar diluaran, maka aku tidak suka tjari perkara. Lekas kau suruh orangmu melepaskan Toan-heng itu, djangan kau mendesak aku hingga terpaksa turun tangan, akibatnja pasti tidak enak.
Hahaha, anak perempuan omong besar, Sikong Hian ter-bahak2. A Hong, lekas kerdjakan!
Kembali lelaki bernama A Hong mengia terus mengtjengkeram lengan Tjiong Ling.
Diluar dugaan, se-konjong2 telapak tangan kiri sigadis memotong ketengkuk A Hong. Tjepat A Hong menunduk menghindar, namun tjelakalah dia, tahu2 bogem Tjiong Ling jang kanan sejepat kilat menggendjot dari bawah keatas, plak, djanggutnja tepat kena ditojor, tanpa ampun lagi tubuh A Hong segede kerbau itu mentjelat hingga djatuh terdjengkang dan takbisa berkutik, knock-out!
Ehm, tampaknja anak perempuan ini masih boleh djuga, udjar Sikong Hian tawar, tapi kalau hendak main gila dengan Sin-long-pang, rasanja belum tjukup, ~ Segera ia mengerdipi seorang tua kurus tinggi disampingnja.
Orang tua itu tinggi lentjir mirip gala bambu, tanpa suara tahu2 ia sudah melesat kedepan Tjiong Ling.
Lutju djuga tampaknja kedua sateru itu, satu keliwat tingi, jang lain pendek, selisih kedua orang hampir setengah badan. Dari atas kebawah, segera kakek itu ulur sepuluh djarinja jang mirip tjakar burung terus mentjengkeram kepundak Tjiong Ling.
Melihat serangan lawan tjukup lihay, tjepat Tjiong Ling berkelit kesamping, djari kakek itu menjamber lewat disamping pipinja hingga terasa angin serangan itu sangat keras, diam2 gadis itu sangat terperandjat, serunja tjepat: Sikong-pangtju, lekas kau perintahkan orangmu berhenti. Bila tidak, djangan salahkan aku turun tangan kedji, kelak kalau aku diomeli ajah-ibu, kau djua tidak terlepas dari tanggungdjawab.
Sedang Tjiong Ling berkata, sementara itu sikakek djangkung beruntun sudah menjerang tiga kali lagi, tapi setiap kali selalu dihindarkan sigadis pada saat2 paling berbahaja.
Tangkap dia! bentak Sikong Hian tanpa peduli teriakan Tjiong Ling tadi.
Segera sikakek djangkung menjerang pula, tangan kanan pura2 menghantam, tahu2 tangan kiri mentjengkeram lengan Tjiong Ling. Gadis itu mendjerit kaget, saking kesakitan hingga wadjahnja putjat. Namun mendadak sigadis ajun tangan kiri kedepan, tiba-tiba selarik sinar emas menjamber, kakek djangkung itu hanja mendengus tertahan sekali terus melepaskan lengan Tjiong Ling dan djatuh terduduk ditanah. Kiranja Kim-leng-tju setjepat kilat telah gigit sekali dipungggung lawan, lalu melompat kembali ketangan Tjiong Ling lagi.
Lekas2 seorang laki2 setengah umur berdjubah pandjang disamping Sikong Hian membangunkan sikakek djangkung, ia merasa antero badan sang kawan itu menggigil hebat, mulai dari punggung tangan tampak bersemu hitam dan mendjalar kebagian tubuh jang lain.
Kembali Tjiong Ling bersuit, Kim-leng-tju meledjit kemuka lelaki jang menawan Toan Ki. Tjepat2 laki2 itu hendak menangkis dengan tangan, tapi kebetulan bagi Kim-leng-tju, terus sadja ia gigit tangan itu.
Ilmu silat lelaki itu djauh dibawah sikakek djangkung, karuan ia lebih2
tak tahan, seketika ia meringkuk dilantai bagai tjatjing sambil merintih2.
Segera Tjiong Ling menarik Toan Ki diadjak pergi, bisiknja: Kita sudah bikin onar, lekas lari!
Orang2 jang berada disekitar Sikong Hian itu adalah gembong2 Sin-long-pay semua, selama hidup mereka berusaha mentjari obat dan mendjual djamu, maka segala matjam ular atau lebah berbisa pernah dilihatnja, tapi Kim-leng-tju jang bisa melajang pergi-datang setjepat kilat dan berbisa djahat itu, tiada seorangpun diantara mereka jang kenal djenis ular apakah itu.
Dalam kagetnja, tanpa merasa Sikong Hian berseru: He, apakah Uh-hiat-su-leng" Lekas tangkap botjah perempuan itu, djangan sampai lolos!
Segera empat lelaki disampingnja melompat madju dan mengepung dari beberapa pendjuru. Namun sekali bersuit, Tjiong Ling sudah lolos Djing-leng-tju jang melilit dipinggangnja itu, sekali sabet, ia tahan dua musuh jang menubruk madju. Berbareng Kim-leng-tju telah dilepaskan hingga berturut2 keempat lelaki itu kena digigitnja.
Tjukup sekali gigit sadja, setiap orang itu lantas menggelosor, ada jang berkeledjatan, ada pula jang meringkuk bagai tjatjing.
Melihat ular ketjil itu terlalu lihay, namun djago2 Sin-long-pang itu tiada jang berani mundur dihadapan sang Pangtju, kembali 7-8 orang memburu madju pula sambil mem-bentak2.
Djika ingin selamat, hendaklah djangan madju, seru Tjiong Ling.
Siapapun jang kena tergigit Kim-leng-tju ini, tiada obat penolongnja.
Djago2 Sin-long-pang itu bersendjata semua, ada jang membawa golok, ada pula memakai patjul pendek dan lain2, mereka mengharap dengan sendjata2
itu dapat menahan serangan ular emas lawan. Namun ular ketjil itu teramat gesit, lebih tjepat daripada segala matjam sendjata resia, setiap kali asal sendjata lawan menjerang, tjukup sekali tutul ekornja diatas sendjata lawan, tahu2 ia sudah meledjit kedepan dan dapat menggigit musuh. Maka dalam sekedjap sadja, lagi2 beberapa orang itu roboh terdjungkal.
Sikong Hian takbisa tinggal diam lagi, ia gulung lengan badjunja dan tjepat mengeluarkan sebotol obat air, ia tuang obat itu dan gosok2
telapak tangan dan lengannja, lalu melompat kehadapan Tjiong Ling dan Toan Ki sambil membentak: Berhenti!
Se-konjong2 Kim-leng-tju meledjit lagi dari tangan Tjiong Ling hendak menggigit batang hidung Sikong Hian. Tjepat Pangtju Sin-long-pang itu angkat tangannja keatas sembari mengkirik sendiri, sebab ia tidak tahu apakah obat ular tjiptaannja itu mandjur tidak untuk menghadapi ular emas jang gesit dan lihay luar biasa itu, djika tidak mandjur, bukan sadja nama baiknja selama ini akan hanjut kelaut, bahkan Sin-long-pang sedjak itupun akan ludas.
Untung baginja, baru sadja Kim-leng-tju pentang mulut hendak menggigit tangannja, mendadak binatang itu menikung diatas udara ekornja menutul diatas telapak Sikong Hian, terus melompat ketangan Tjiong Ling.
Girang Sikong Hian tak terkira, terus sadja tangan kirinja memukul, saking hebat angin pukulannja itu, pula tak sempat berkelit, Tjiong Ling tergetar sempojongan, hampir2 sadja terdjungkal. Bahkan angin pukulan itu masih terus menjamber kebelakang, hingga Toan Ki jang tidak ngah itu kena tersampuk, kontan ia roboh terdjengkang.
Tjiong Ling terkedjut, ber-ulang2 ia bersuit mendesak Kim-leng-tju menjerang musuh. Kembali ular emas itu melesat kedepan, namun obat jang terpoles ditangan Sikong Hian itu djusteru adalah obat djitu anti Kim-leng-tju, bintang itu tidak berani sembarangan menggigit lagi, hendak menggigit muka atau bagian bawah badan, namun Sikong Hian telah mainkan kedua telapak tangannja sedemikian tjepatnja hingga airpun takbisa tembus.
Segera Tjiong Ling putar Djing-leng-tju mengerojok dari samping. Karena tidak tahu kalau Djin-leng-tju tak berbisa, Sikong Hian semakin was2, ia mendjaga diri semakin rapat sambil mem-bentak2 memberi perintah pada begundalnja.
Maka tertampaklah berpuluh orang anggota Sin-long-pang merubung madju, setiap orang membawa segebung rumput obat jang dinjalakan, asap rumput itu teruar tebal sekali.
Baru sadja Toan Ki merangkak bangun dari djatuhnja tadi, begitu mentjium bau asap rumput itu, seketika ia pingsan dan roboh pula. Lapat2
ia lihat Tjiong Ling djuga mulai sempojongan menjusul gadis itupun terdjungkal.
Segera dua anggota Sin-long-pang menubruk madju hendak meringkus Tjiong Ling tapi Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju teramat setia membela madjikan, segera mereka menggigit pula kedua orang itu. Kontan jang satu meringkuk keratjunan bagai ebi dan jang lain tulang kaki patah kena dibelit oleh Djing-leng-tju jang keras bagai kawat badja itu.
Seketika itu djago2 Sin-long-pang mendjadi djeri, be-ramai2 mereka merubung kedua muda-mudi jang menggeletak ditanah itu dan tidak berani sembarangan turun tangan.
Tjepat Sikong Hian berseru: Bakar kunir disebelah timur, disebelah selatan dibakar Sia-hio (sematjam bibit wangi dari binatang), semua orang menjingkir dari barat-laut!
Segera anak buahnja mengikuti perintah itu, dasar segala matjam bekal obat2an selalu tersedia dalam Sin-long-pang, pula obat2 bakar itu baunja sangat keras, begitu dibakar, seketika menjiarkan asap tebal jang berbau menusuk hidung dan tertiup kearah Tjiong Ling.
Tak terduga, Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju meski dibawah embusan asap jang merupakan obat anti mereka, namun kedua binatang itu masih tetap lintjah dan gesit, dalam sekedjap sadja lagi2 beberapa orang Sin-long-pang digigit roboh.Sikong Hian mengkerut kening, tjepat ia mendapat akal lagi, serunja: Lekas gali tanah dan uruk anak perempuan ini hidup2
bersama ular2nja.
Memangnja gegaman sebangsa patjul dan sebagainja selalu tersedia ditangan anak buah Sin-long-pang, tjepat sadja mereka lantas menggali tanah dan diuruk keatas tubuh Tjiong Ling.
Waktu itu pikiran sehat Toan Ki masih belum lenjap sama sekali, ia pikir sebab musabab dari segala peristiwa itu berpangkal atas dirinja, kalau Tjiong Ling mengalami nasib mati dikubur hidup2, rasanja dirinja djuga takbisa hidup sendiri. Maka sekuatnja ia melompat keatas tubuh sigadis dan merangkulnja sambil berseru: Bagaimanapun biarlah gugur bersama! ~ Menjusul ia merasa batu pasir bertebaran mendjatuhi badannja.
Mendengar kata2 Bagaimanapun biarlah gugur bersama itu, hati Sikong Hian ikut tergerak, ia lihat disekitarnja menggeletak lebih 20 anak buahnja, beberapa diantaranja bahkan adalah tokoh penting dalam golongannja, termasuk pula dua orang Sutenja, djikalau anak perempuan itu dibunuh untuk melampiaskan rasa gusar sendiri, namun ratjun ular emas itu terlalu aneh, tanpa obat pemunah tjiptaan tunggal sigadis, rasanja susah menolong djiwa orang2nja itu. Maka tjepat katanja: Biarkan djiwa kedua botjah itu hidup, djangan uruk bagian kepala mereka!
Tjiong Ling sendiri lemas tak bertenaga, ia merasa badannja tertindih Toan Ki dan makin lama makin berat, keduanja sama2 takbisa berkutik. Maka dalam sekedjap sadja, badan kedua muda-mudi itu bersama Kim-leng-tju dan Djin-leng-tju sudah terpendam dibawah tanah, hanja kepala mereka jang menongol diluar.
Anak perempuan, nah, katakanlah kau ingin mati atau hidup" tanja Sikong Hian dengan nada dingin.
Sudah tentu aku ingin hidup, sahut Tjiong Ling. Djika aku dan Toan-heng tewas, kalian rasanja djuga takkan bisa hidup.
Baik, udjar Sikong Hian. Lekas kau serahkan obat pemunah ratjun ular, lantas kuampuni djiwamu.
Tidak, hanja djiwaku sadja tidak tjukup, harus djiwa kami berdua, kata Tjiong Ling.
Baiklah boleh kuampuni djiwa kalian berdua, sahut Sikong Hian. Nah, mana obat pemunahnja"
Aku tidak membawa obat pemunah, kata sigadis. Ratjun djahat Kim-lengtju ini hanja ajahku sadja jang bisa mengobati. Bukankah sudah kukatakan padamu, djangan kau paksa aku turun tangan, sebab ajah pasti akan marah padaku, dan bagimu djuga tiada gunanja.
Botjah tjilik, dalam keadaan begini masih berani membual!, sahut Sikong Hian bengis, kalau kakekmu nanti kadung murka, biar kutinggalkan kau disini agar mati kelaparan.
Eh, apa jang kukatakan adalah sesungguhnja, kenapa kau masih tidak pertjaja, kata Tjiong Ling. Ai, pendek kata, urusan sudah kadung runjam, mungkin ajah takbisa dibohongi, lantas bagaimana baiknja"
Siapa nama ajahmu" tanja Sikong Hian.
Usiamu toh sudah tua, kenapa kau begini tidak kenal aturan" sahut sigadis. Nama ajahku, mana boleh sembarangan kukatakan padamu"
Sungguh kewalahan Sikong Hian, meski berpuluh tahun dia malang-melintang dikalangan Kangouw, tapi menghadapi dua botjah seperti Tjiong Ling dan Toan Ki, ia benar2 tak berdaja. Dengan gemas segera ia berkata pula: Ambilkan api, biar kubakar dulu rambut anak perempuan ini, tjoba lihat dia mau mengaku atau tidak.
Segera seorang anak buahnja mengangsurkan sebuah obor, Sikong Hian terus mendekati Tjiong Ling dengan memegang obor itu. Karuan gadis itu ketakutan melihat wadjah orang jang bengis itu, ia ber-teriak2: He, he, djangan! Emangnja tidak sakit membakar rambut orang" Kenapa kau tidak tjoba membakar djenggotmu sendiri sadja"
Sudah tentu aku tahu sangat sakit, buat apa kutjoba membakar djenggot sendiri" sahut Sikong Hian dengan tertawa edjek. Terus sadja ia angkat obor dan di-abit2kan didepan hidung Tjiong Ling, karuan gadis itu mendjerit takut.
Tjepat Toan Ki memeluk tubuh sigadis lebih kentjang sambil berseru: He, djenggot kambing, urusan ini berpangkal kesalahanku, biar rambutku sadja boleh kau bakar!
Djangan, kaupun akan merasa sakit! udjar Tjiong Ling.
Djika kau takut sakit, lekas kau keluarkan obat pemunahnja untuk menolong saudara2 kami itu, desak Sikong Hian.
Kau ini sudah tua, tapi bodoh melebihi kerbau, sahut Tjiong Ling.
Sedjak tadi sudah kukatakan bahwa hanja ajahku jang bisa menjembuhkan keratjunan Kim-leng-tju, bahkan ibukupun tidak bisa. Emangnja kau sangka mudah mengobati"
Mendengar sekitarnja berisik dengan suara mengerikan rintih-keluh orang2nja jang digigit Kim-leng-tju tadi, Sikong Hian menduga pasti ratjun ular ini sangat menjakitkan, bila tidak, anak-buahnja jang tergolong laki2 gagah itu, biasanja biarpun sebelah kaki atau tangannja dikutung orang djuga tidak sudi merengek sedikitpun. Tapi kini meski sudah minum obat pemunah ratjun ular buatan sendiri, namun toh masih merintih2 tidak tahan, terang obat ular jang biasanja sangat mudjarab itupun tidak berguna, dalam putus-asanja, Sikong Hian terus mendelik melototi Tjiong Ling sambil membentak: Siapa bapakmu, lekas kau beritahu namanja!
Apa benar2 kau ingin tahu, kau tidak takut mendengarnja" tanja sigadis.
Mendadak hati Sikong Hian tergerak, ia djadjarkan istilah Uh-hiat-su-leng dengan nama seseorang, pikirnja: Apa mungkin Uh-hiat-su-leng ini adalah piaraan orang ini"
Djika orang ini ternjata belum mati, dan selama ini dia...... dia hanja mengasingkan diri, hanja pura2 mati, lalu aku mengorek namanja di-sebut2, kelak dia pasti akan bikin repot padaku.
Sekilas Tjiong Ling dapat melihat wadjah Sikong Hian menampilkan rasa djeri, ia sangat senang, segera katanja pula: Makanja lekasan kau lepaskan kami, supaja ajahku tidak bikin susah padamu.
Setjepat kilat benak Sikong Hian berganti keberapa pikiran: Pabila kulepaskan dia, dan ajahnja benar adalah orang jang kuduga, setelah ditanja, pasti dia akan tahu aku telah membade rahasianja. Dan mana bisa djiwaku dibiarkan hidup oleh orang itu" Tentu dia akan membunuh diriku untuk menutup rahasianja. Tapi kalau kini kubunuh anak perempuan ini, para saudara jang menderita inipun susah dipertahankan djiwanja. Hm, sekali sudah berbuat, biarlah kuteruskan sampai titik terachir! ~ Begitu ambil keputusan, diam2 tangan kirinja terus mengerahkan tenaga dan menggablok keatas kepala Tjiong Ling.
Melihat sikap orang mendadak berubah, segera Tjiong Ling tahu gelagat djelek, ketika melihat pula tangan orang mulai memukul, tjepat ia berteriak: Hai, tahan, djangan pukul dulu!
Namun Sikong Hian tidak ambil peduli lagi, pukulannja tetap diteruskan, tapi baru sadja hampir menjentuh kepala sigadis, sekonjong2 bagian tengkuk terasa sakit kena digigit sesuatu, karena itu, walaupun pukulannja itu tetap mengenai kepala Tjiong Ling, namun tenaganja sudah lenjap ditengah djalan hingga mirip mengusap rumbut sigadis sadja.
Kedjut Sikong Hian tak terkira, tjepat ia sedot napas pandjang untuk melindungi djantungnja, tangan lain melepaskan obor terus membalik kebelakang leher untuk menangkap tapi tjelaka, lagi2 punggung tangan terasa digigit sekali pula.
Kiranja sesudah Kim-leng-tju terpendam ditanah, diam2 ia telah menjusup keluar, dan pada saat Sikong Hian tidak men-duga2 mendadak binatang itu menjerang. Karuan Sikong Hian sungat tjemas dan kuatir, tjepat ia duduk bersila ditanah, mengerahkan tenaga dalamnja untuk mengusir ratjun.
Segera anak buahnja menjekop tanah dan menguruk lagi keatas Kim-lengtju, namun binatang itu sempat meledjit dan menggigit roboh seorang lagi, dalam kegelapan tampak sinar emas gemerlap beberapa kali, tahu2 dia sudah lari ketengah semak2 rumput.
Lekas2 anak buah Sikong Hian mengambilkan obat ular untuk sang Pangtju, setelah luar-dalam memakai obat, mulut sang Pangtju didjedjal pula sebatang Djin-som untuk memperkuat tenaganja. Berbareng Sikong Hian pun kerahkan Lwekang untuk melawan ratjun ular, tapi tiada seberapa lama, ia sudah lemas tak tahan, terpaksa ia ambil keputusan kilat, ia lolos sebatang golok pendek terus menabas lengan kanan sendiri hingga kutung.
Namun tengkuk jang djuga digigit ular itu, rasanja tidak mungkin buah kepalanja ikut dipenggal.
Melihat keadaan sang Pangtju jang hebat itu, anak buah Sin-long-pang sama ngeri, lekas mereka membubuhi lengan Sikong Hian dengan obat luka, namun darah menguntjur bagai sumber air, begitu obat dibubuhkan, segera diterdiang bujar oleh air darah. Tjepat seorang anak buah sobek lengan badju sendiri untuk membalut lengan kutung sang Pangtju, dengan demikian lambat laun darah dapat dihentikan.
Melihat itu, muka Tjiong Ling pun putjat ngeri, ia tidak berani bersuara lagi.
Apakah ular emas tadi adalah Kim-leng-tju dari Uh-hiat-su-leng" tiba2
Sikong Hian menanja dengan suara geram.
Ja, sahut Tjiong Ling.
Kalau kena digigit, setelah linu pegal tudjuh hari baru bisa mati, betul tidak" tanja Sikong Hian pula.
Kembali sigadis mengia.
Seret keluar anak muda itu, perintah Sikong Hian pada anak buahnja.
Be-ramai2 anggota Sin-long-pang mengia terus menjeret Toan Ki dari bawah gundukan pasir batu.
He, he, urusan ini tiada sangkut-pautnja dengan dia, djangan bikin susah padanja! tjepat Tjiong Ling berteriak sambil me-ronta2 hendak melompat bangun.
Namun anak buah Sin-long-pang itu tjepat menguruk pasir batu pula ketempat luang bekas Toan Ki tadi hingga Tjiong Ling takbisa berkutik.
Saking kuatir mengira Toan Ki akan dibunuh, gadis itu lantas meng-gerung2
menangis. Sebenarnja Toan Ki pun ketakutan, tapi sedapat mungkin ia tenangkan diri, katanja dengan tersenjum: Nona Tjiong, seorang laki2 sedjati pandang kematian bagai pulang kerumah, kita tidak boleh pengetjut dihadapan kawanan orang djahat ini.
Aku bukan djantan sedjati, maka aku tidak mau pandang mati seperti pulang rumah, sahut sigadis.
Mendadak Sikong Hian memberi perintah: Beri minum botjah ini dengan Toan-djiong-san, pakai takeran untuk tudjuh hari lamanja.
Segera anak buahnja mengeluarkan sebotol obot bubuk merah dan mentjekoki Toan Ki dengan paksa.
Karuan Tjiong Ling kuatir setengah mati, ia ber-teriak2: He, he, itulah ratjun, djangan mau minum!
Ketika mendengar nama Toan-djiong-san atau obat bubuk pengrusak utjus, segera Toan Ki tahu ratjun itu tentu sangat lihay, tapi dirinja sudah djatuh dibawah tjengkeraman orang, tidak minum terang tidak mungkin, maka dengan iklas terus sadja ia telan obat bubuk itu, malahan mulutnja sengadja ber-ketjek2, lalu katanja dengan tertawa: Ehm, manis djuga rasanja. Eh, Sikong-pangtju, apakah kaupun akan minum barang setengah botol"
Sikong Hian mendjengek gusar sekali tanpa mendjawab, sebaliknja Tjiong Ling jang sedang menangis itu mendadak tertawa geli, tapi lantas menangis lagi.
Toan-djiong-san ini baru akan bekerdja sesudah tudjuh hari nanti hingga utjus dan perutnja akan hantjur, kata Sikong Hian kemudian. Maka selama tudjuh hari ini hendaklah lekas kau pergi mengambilkan obat pemunah ratjun ular itu, bila tugas ini kau lakukan dengan baik, nanti akupun berikan obat pemunah ratjun padamu.
Sulit, sahut Tjiong Ling. Ratiun Kim-leng-tju itu hanja bisa dipunahkan dengan Lwekang tunggal ajahku sendiri, selamanja tidak ada obat pemunahnja.
Djika begitu, suruh ajahmu kesini untuk menolong kau, kata Sikong Hian.
Omong sadja gampang, sahut sigadis, tak mungkin ajahku sembarangan keluar rumah" Sudah pasti dia takkan keluar selangkahpun dari lembah gunung kami.
Sikong Hian dapat mempertjajai apa jang dikatakan Tjiong Ling itu, seketika ia mendjadi ragu2.
Paling baik begini sadja, tiba2 Toan Ki mengusul, kita be-ramai2 pergi kerumah nona Tjiong dan mohon orang tuanja menjembuhkan ratjun ular, tjara demikian bukankah lebih tjepat dan tepat.
Tidak, tidak boleh djadi! kata Tjiong Ling. Ajahku pernah menjatakan, tak peduli siapapun djuga, asal mengindjak setindak kedalam lembah kami, orang itu harus dibinasakan.
Sementara itu luka gigitan ular dibelakang leher Sikong Hian terasa makin pegal dan gatal, dengan gusar ia berteriak: Aku tak peduli segala tetek-bengek itu, kalau kau tidak mau mengundang ajahmu kemari, biarlah kita gugur bersama.
Tjiong Ling memikir sedjenak, lalu katanja: Kau lepaskan aku dulu, biar kutulis seputjuk surat kepada ajah untuk memohon kedatangannja. Tapi kau harus suruh seorang jang tidak takut mati untuk menjampaikan pada beliau.
Bukankah botjah she Toan ini bisa kusuruh kesana, buat apa suruh orang lain" seru Sikong Hian gemas.
Kau ini benar2 pelupa. udjar sigadis. Bukankah sudah kukatakan, barang siapa berani mengindjak selangkah kelembah kami, pasti dia akan binasa.
Dan aku tidak ingin Toan-heng mati, kau tahu tidak"
Djika dia takut mati, apa anak buahku tidak takut mati" sahut Sikong Hian. Sudah, sudah, tak perlu pergi, biarlah kita lihat aku mati kemudian atau dia mampus duluan.
Kembali Tjiong Ling menangis ter-gerung2 lagi, serunja: Kau kakek djenggot kambing ini benar2 tidak tahu malu, hanja pintar menghina seorang nona tjilik! Perbuatanmu ini apakah terhitung seorang kesatria sedjati kalau diketahui orang Kangouw"
Namun Sikong Hian tidak menggubrisnja, ia mendjalankan Lwekang sendiri untuk melawan bisa ular.
Biarlah aku berangkat sadja, kata Toan Ki tiba2, Nona Tjiong, djika ajahmu tahu kedatanganku kesana adalah untuk memohon dia datang kesini menolong kau, rasanja beliau takkan mengapa2kan diriku.
Tiba2 Tjiong Ling mengundjuk girang. katanja: Ah, aku mendapat suatu akal. Begini, djangan kau katakan pada ajahku dimana aku berada. Tapi begitu kau membawanja kesini, segera kau harus melarikan diri, kalau tidak, tentu tjelaka!
Ehm, bagus djuga akalmu ini, sabut Toan Ki memanggut.
Lalu Tjiong Ling berkata pula pada Sikong Hian: He, djenggot kambing, begitu kembali nanti Toan-heng harus segera melarikan diri, lalu tjara bagaimana kau akan memberi obat pemunah ratiun padanja"
Sikong Hian menundjuk sebuah batu besar djauh dibarat-laut sana dan berkata: Aku akan suruh orang menunggu disana dengan obat pemunah, begitu tuan Toan berlari sampai disana, lantas mendapatkan obatnja. ~ Ia berharap Toan Ki berhasil mengundang ajah Tjiong Ling untuk menolong djiwanja, maka panggilannja kepada Toan Ki sekarang berubah mendjadi terhormat.
Segera Sikong Hian memberi perintah agar anak buahnja menggali keluar Tjiong Ling, tapi sebagai gantinja kedua tangan sigadis dibelenggu. Dalam pada itu tampak Djing-leng-tju masih keluget2 didalam tanah, sedang ular2
ketjil lainnja sudah mati terpendam.
Kau belenggu kedua tanganku, bagaimana aku bisa menulis surat" kata Tjiong Ling kemudian.
Kau dara tjilik ini terlalu litjin, kau bilang hendak menulis surat, djangan2 main gila lagi. udjar Sikong Hian. Tak usah pakai surat segala, berikan sepotong barang milikmu kepada tuan Toan sebagai tanda pengenal untuk ajahmu.
Kebetulan, sahut Tjiong Ling tertawa. Emangnja aku tidak suka tulis menulis. Lalu benda apakah jang berada padaku" Ah, biarlah Djing-leng-tju sadja kau bawa kepada ajahku, Toan-heng.
He, djang.... djangan. seru Toan Ki tjepat. Dia takkan turut perintahku, kalau ditengah djalan aku digigitnja, kan tjelaka!
Djangan kuatir. udjar Tjiong Ling tersenjum. Dalam saku badjuku ada sebuah kotak kemala ketjil, harap kau mengeluarkannja.
Segera Toan Ki ulur tangan kesaku sigadis, tapi baru tangan menjentuh badju, tjepat Toan Ki tarik kembali tangannja. Ia merasa perbuatan kurang-adjar kalau tangan seorang pemuda gerajangan didalam badju seorang gadis.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun Tjiong Ling tidak memikir sampai disitu, desaknja malah: Hajo, kenapa tidak lekas mengambil" Disaku sebelah kiri!
Toan Ki pikir urusan sudah terlandjur runjam, keadaan sangat kepepet, nona tjilik itupun masih ke-kanak2an; sedikitpun tiada rasa pantang perbedaan laki2-perempuan, maka akupun tidak perlu pikir jang tidak2.
Segera ia merogoh saku sigadis dan mengeluarkan sepotong benda bundar jang keras dan hangat2.
Didalam kotak kemala itu terdapat benda anti Kim-leng-tiu dan Djing-leng-tju, kata Tjiong Ling. Djika Djing-leng-tju tidak menurut perintah, boleh kau ajun2 kotak kemala itu diatas kepalanja, dengan sendirinja dia tak berani main gila lagi.
Toan Ki menurut, ia angkat kotak kemala itu didepan kepala Djing-lengtju, maka terdengarlah suara men-tjit2 aneh beberapa kali didalam kotak itu, seketika Djing-leng-tju sangat ketakutan hingga mengkeret badannja.
Senang sekali Toan Ki melihat itu: Benda apakah didalam kotak ini" Biar kumelihatnja! ~ Segera ia hendak membuka tutup kotak itu.
Namun Tjiong Ling keburu mentjegah: He, djangan! Tutup kotak sekali2
takboleh dibuka!
Sebab apa" tanja Toan Ki tak paham.
Tjiong Ling melirik sekedjap kearah Sikong Hian, lalu berkata: Ini adalah rahasia, tidak boleh didengar orang luar. Nanti kalau kau sudah kembali, biar kuberitahukan padamu berduaan.
Baiklah, kata Toan Ki, sebelah tangannja memegang kotak kemala, lain tangan terus melepaskan Djing-leng-tju dari pinggang Tjiong Ling dan diikat dipinggang sendiri.
Ternjata Djing-leng-tju membiarkan dirinja diperbuat sesukanja oleh Toan Ki, sedikitpun tidak berani membangkang. Karuan pemuda itu sangat senang, katanja: Ha, ular ini menarik djuga!
Pabila dia lapar, dia akan mentjari makan sendiri, tak perlu kau kuatir baginja, kata Tjiong Ling pula. dan bila kau bersuit begini, dia lantas menggigit orang, kalau kau men-desis2 begini, dia lantas kembali ketanganmu. ~ Sembari berkata, ia terus bersuit memberi tjontoh.
Dengan rasa tertarik, Toan Ki menirukan adjaran sigadis. Sebaliknja Sikong Hian merasa kerupukan karena tidak sabar, ia pikir anak2 muda ini benar2 kurangadjar, sudah dekat adjal, masih memain ular segala. Segera ia membentak: Lekas pergi dan tjepat kembali! Djiwa semuanja tinggal beberapa hari sadja, djika ada halangan ditengah djalan, tentu djiwa masing2 akan melajang. Nona Tjiong, dari sini ketempat tinggalmu harus memakan waktu berapa lama"
Kalau tjepat, dua hari bisa sampai, pergi-pulang empat hari pun sudah tjukup, sahut Tjiong Ling.
Sikong Hian rada lega oleh djawaban itu, ia mendesak pula: Baiklah, lekas berangkat, lekas!
Tapi aku belum beritahu djalannja kesana kepada Toan-heng, harap kalian menjingkir djauh2 dari sini, siapapun dilarang mendengarkan, kata sigadis.
Segera Sikong Hian memberi tanda hingga anak buahnja menjingkir pergi.
Kaupun menjingkir, kata Tjiong Ling pada Sikong Hian.
Karuan diam2 Sikong Hian geregatan, katanja dalam hati: Kurangadjar!
Biarlah kelak kalau lukaku sudah sembuh, kalau aku tidak balas permainkan kau djuga, pertjumalah aku mendjadi manusia. ~ Segera ia berbangkit dan menjingkir pergi djuga.
Toan-heng, kata Tjiong Ling kemudian sambil menghela napas lega, baru sadja kita berkenalan, kini sudah harus berpisah.
Tidak apa, paling lama pergi-pulang tjuma empat hari, sahut Toan Ki tertawa.
Sepasang mata bola Tjiong Ling termangu memandangi sipemuda, kemudian katanja: Setiba disana, harap kau menemui ibuku lebih dulu untuk mentjeritakan duduk perkaranja dan biar ibuku jang menjampaikan kepada ajahku. Dengan demikian urusan akan lebih mudah diselesaikan. ~ Segera ia gunakan udjung kakinja meng-gores2 tanah untuk mendjelaskan djalan kerumah tinggalnja itu.
Kiranja tempat tinggal Tjiong Ling itu terletak di sebuah lembah ditepi barat sungai Landjong. Meski djaraknja tidak djauh, tapi tempatnja tersembunji dan susah ditempuh, kalau tidak diberi petundjuk, orang luar sekali2 tak nanti menemukannja.
Namun daja ingatan Toan Ki sangat baik, apa jang ditundjukkan Tjiong Ling, biarpun menikung kesana dan membiluk kesini membingungkan, tapi sekali dengar ia lantas ingat. Setelah Tjiong Ling selesai menguraikan, segera katanja: Baiklah, sekarang aku akan berangkat! ~ Terus sadja ia putar bertindak pergi.
Tapi baru pemuda itu berdjalan belasan tindak, tiba2 Tjiong Ling teringat sesuatu, tjepat serunja: He, kembali kau!
Ada apa" tanja Toan Ki sambil memutar balik.
Paling baik kau djangan mengaku she Toan, lebih2 djangan bilang ajahmu mahir menggunakan It-yang-tji, pesan sigadis. Sebab...... sebab mungkin sekali akan menimbulkan prasangka ajahku.
Baiklah, sahut Toan Ki tertawa. Ia pikir nona ini meski masih sangat muda, tapi pikirannja ternjata teliti amat. Segera ia bertindak pergi sembari ber-njanji2 ketjil.
Tatkala itu hari sudah malam, sang dewi malam sudah menongol di tengah tjakrawala, dibawah tjahaja bulan, Toan Ki terus menudju kebarat. Meski dia takbisa ilmu silat, tapi usianja muda, tenaganja kuat, djalannja tjukup tjepat.
Setelah belasan li djauhnja, ia sudah melintas sampai dibelakang gunung Bu-liang-san. Ia dengar suara gemertjiknja air, didepan ada sebuah sungai ketjil, karena merasa haus, Toan Ki menudju ketepi sungai itu, ia lihat air sungai sangat bening, segera ia ulur tangan untuk meraup air. Tapi belum lagi mulutnja mengetjup air, tiba2 mendengar suara orang tertawa dingin dibelakang. Dalam kedjutnja tjepat Toan Ki berpaling, maka tertampaklah gemerdepnja sendjata logam, sebatang pedang sudah mengantjam didadanja. Waktu mendongak, ia lihat seorang bersenjum edjek, kiranja adalah Kam Djin-ho dari Bu-liang-kiam.
Eh, kiranja kau, bikin kaget aku sadja, kata Toan Ki berlagak ketawa.
sudah malam begini, ada apa Kam-heng berada disini"
Atas perintah guruku, aku djusteru lagi menunggu kau disini, sahut Kam Djin-ho. Maka silahkan Toan-heng ikut ke Kiam-oh-kiong untuk bitjara sebentar.
Urusan apakah" Harap tunda sampai lain hari sadja, udjar Toan Ki.
Harini aku ada urusan penting dan perlu lekas2 berangkat.
Tidak, betapapun djuga Toan-heng harus ikut kesana, kata Djin-ho. Bila tidak, aku pasti akan didamperat oleh guruku.
Melihat wadjah orang mengundjuk kurang beres, hati Toan Ki tergerak, lapat2 ia dapat menebak apa maksud orang, pikirnja: Tjelaka, mungkin dia sengadja hendak menahan aku, agar penolong jang diundang tidak bisa datang, dengan demikian orang2 Sin-long-pang akan terbinasa dan Bu-liang-kiam mereka tidak kuatir lagi, terhadap musuh utama itu.
Pendekar Kidal 21 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Kisah Pedang Bersatu Padu 17
^