Pencarian

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 10

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 10


Hoa Hek-kin dan Thian-sik juga kawan karib Tjiok-djing-cu, dengan terbahak-bahak tjepat mereka melompat ke ambang pintu untuk merintangi.
"Hahaha, Tjiok-lauto, kau datang ke Tayli sini tanpa membawa pedang, itu tandanja engkau bermaksud baik serta mengindahkan Hongya kami. Tapi tanpa pedang engkau hendak menerobos keluar rintangan kami, hal ini rasanja tidaklah mudah!"
Melihat sikap semua orang tiada tanda bermusuhan padanja, pikiran Tjiok-djing-tju tergerak pula, "Rasanja keluarga Toan tidak mungkin mengidjinkan anak-tjutjunja beladjar ilmu siluman dari Sing-siok-hay jang kotor itu. Apa barangkali diam-diam Toan Ki ini mempelajarinja, di luar tahu ajah dan pamannja" Kalau kubongkar rahasianja itu berarti aku akan mengikat permusuhan dengan pemuda ini. Tetapi hubunganku dengan ajah dan pamannja adalah lain daripada jang lain, kalau tahu sesuatu tak boleh kutinggal diam."
Karena itu, segera ia putar balik dan berkata pula kepada Toan Ki dengan sungguh-sungguh, "Toan-kongtju, djelek-djelek Tjiok-djing-tju adalah angkatan lebih tua daripadamu. Sekarang aku mempunjai suatu pertanjaan, mengingat hubunganku dengan ajah dan pamanmu, maka ingin kukatakan terus terang, harap engkau djangan marah."
"Tjiok-totiang mempunjai petundjuk apa, silakan bitjara, aku akan terima dengan hormat," sahut Toan Ki.
Diam-diam Tjiok-djing-tju membatin botjah ini masih tetap berlagak pilon. Segera katanja, "Sudah berapa lama Toan-kongtju berhasil mempeladjari "Hua-kang-tay-hoat?" Gurumu adalah Tjindjin jang mana dari anak murid iblis tua di Sing-siok-hay itu?"
Toan Ki mendjadi bingung, ia garuk-garuk kepala, sahutnja: "Hua-kang-tay-hoat dan iblis tua dari Sing-siok-hay apa" Wanpwe baru sekarang mendengar nama2 itu."
Pikir Tjiok-djing-tju mungkin orang jang mengadjar Toan Ki itu sengadja tidak mengatakan asal-usul dan nama perguruannja itu. Maka tanjanja pula:
"Habis, darimana engkau beladjar ilmu itu, bagaimana wadjah orang itu?"
"Wanpwe tidak pernah beladjar silat apa2," sahut Toan Ki.
Dan pada saat itu djuga, se-konjong2 dari ruangan belakang berlari keluar seorang dan tangan Toan Ki terus ditjengkeramnja. Kiranja orang itu adalah Ui-bi-tjeng.
Tapi begitu kedua tangan bersentuhan, seketika badan paderi itu tergetar, tenaga dalam tubuh se-akan2 membandjir keluar tak terhentikan.
Tanpa pikir lagi Ui-bi-tjeng ajun kakinja hingga Toan Ki didepak terdjungkal.
Tentu sadja semua orang kaget, be-ramai2 mereka berbangkit dan menanjakan ada apa"
"Kedua Toan-heng, botjah ini akan kalian binasakan sendiri atau biar Lotjeng jang membereskannja?" tanja Ui-bi-tjeng tiba2 dengan suara gemetar dan ber-kerut2 mukanja.
Kiranja ber-turut2 Boh-tam berenam telah sadar kembali dan telah mentjeritakan kedjadian tenaga dalam mereka disedot habis2 an oleh Toan Ki. Karena itu timbul pendapat Ui-bi-tjeng jang berlainan daripada Tjiok-djing-tju. Paderi itu menjangka Toan Ki telah membalas susu dengan air tuba, ditolong malah mentung dan merusak Lwekang keenam muridnja itu.
Apalagi waktu tangannja memegang tangan pemuda itu, seketika tenaga dalam sendiri djuga akan diisap, maka ia mendjadi lebih jakin lagi akan tjerita murid2-nja itu.
Mula2 Po-ting-te dan lain2 merasa heran ketika mendengar utjapan Tjiok-djing-tju tadi, mereka mengira imam jang biasanja djenaka itu sedang membadut. Tapi kini demi nampak sikap Ui-bi-tjeng jang sungguh2 itu, barulah mereka insaf urusan benar2 sangat gawat.
Segera Po-ting-te pegang djuga tangan Toan Ki hendak menjeretnja bangun. Ketika tangan menempel tangan, tiba2 hatinja tergetar djuga, tenaga dalamnja terus merembes keluar. Tjepat ia tahan sekuatnja, berbareng lengan djubahnja mengebas hingga Toan Ki digentak kesamping beberapa tindak. Lalu bentaknja dengan suara bengis: "Sedjak kapan kau dapat beladjar sesat begini."
Sedjak ketjil sampai dewasa, djarang sekali Toan Ki melihat pamannja itu bitjara dengan suara bengis padanja. "Saking gugupnja terus sadja ia berlutut dan mendjawab: "Ketjuali 'Leng-po-wi-poh' itu, selamanja anak tidak pernah beladjar ilmu apa-apa lagi. Apa barangkali ilmu gerak langkah itu ternjata sedjahat ini. Djika............ djika demikian biarlah anak takkan menggunakannja lagi mulai sekarang, bahkan akan kulupakan sadja seluruhnja."
Po-ting-te tjukup kenal watak keponakannja itu jang teguh, selamanja tidak pernah berdusta, terhadap orang tua djuga sangat menghormat, maka apa jang dikatakan pasti tidak salah. Tentu didalamnja ada sesuatu jang gandjil, maka katanja pula: "Kau menggunakan ilmu untuk melenjapkan tenagaku, hal ini sengadja engkau lakukan atau karena terpaksa sebab mendapat tekanan dari orang lain?"
Toan Ki bertambah heran dan bingung: "Titdji ben............... benar2
tidak tahu sama sekali, darimana Titdji berani melenjapkan tenaga paman"
Hakikatnja Titdji tidak bisa sesuatu ilmu apa2!"
Tadi waktu Hui-tjin dan Hui-sian menemui Po-ting-te, sebagai Onghui jang diagungkan, Si Pek-hong tidak bebas bertemu dengan orang luar, maka dia menjingkir kedalam. Kemudian waktu mendapat laporan bahwa putera kesajangannja itu didepak terdjungkal oleh Ui-bi-tjeng, pula sedang ditegur oleh Po-ting-te, saking gugupnja terus sadja ia keluar kembali.
Dan ketika melihat Toan Ki lagi berlutut dilantai dihadapan sang paman dengan sikap bingung dan takut, sebagai ibu jang maha kasih, segera ia mendekati untuk menarik bangun sang putera sambil berkata: "Ki-dji, djangan kuatir, segala urusan boleh katakan terus terang pada Pekhu dan aduuuuh.................." " se-konjong2 ia merasa tangannja jang memegangi tangan sang putera itu se-akan2 tersedot dan tenaga dalamnja terus merembes keluar tak terhentikan.
Untunglah sebelum itu Po-ting-te sudah ber-siap2, tjuma diantara ipar tiada boleh bersentuhan badan, maka tidak enak untuk menarik tangan Si Pek-hong, tapi tjepat ia kebas lengan djubahnja hingga berdjangkit serangkum angin keras ke-tengah2 kedua orang itu, dengan paksa ia pisahkan daja lengket daripada tangan ibu dan anak itu.
"Kenapa kau............ kau............" seru Si Pek-hong kaget setelah dapat menarik kembali tangannja. "Melihat kelakuan sang ibu jang kaget dan gugup itu, Toan Ki masih belum sadar kalau dirinja jang mendjadi gara2, tapi tjepat ia berbangkit hendak memajang sang ibu.
"Djangan Ki-dji!" lekas2 Tjing-sun mentjegahnja sambil mengadang diantara isteri dan anaknja itu.
Maka sekarang tahulah semua orang kalau pada badan Toan Ki itu ada sesuatu jang tidak beres, tapi merekapun tidak tjuriga lagi bahwa pemuda itu mahir "Hua-kang-tay-hoat" dan sengadja hendak mentjelakai orang. Hal ini dapat mereka ketahui dari sikap Toan Ki jang polos dan lugu itu, sedikitpun tidak ber-pura2 atau palsu. Pula, seumpama pemuda itu benar2
djahat dan kedji, rasanja djuga tidak mungkin Untuk membunuh ibu kandung sendiri.
"Ui-bi Taysu, Tjiok-totiang," tiba2 Sing-thay berkata, "apakah sebabnja Toan-kongtju bisa begitu" Hajolah, tjoba siapa jang lebih dulu dapat menerangkan!"
Mendengar itu, Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju saling melotot sekali, lalu sama2 memeras otak untuk menemukan djawaban dari persoalan itu.
Kiranja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju sebenarnja adalah dua kawan karib dimasa dulu. Suatu kali, karena berdebat tentang agama jang dianut masing2 itu, keduanja sama2 tidak mau mengalah hingga achirnja saling gebrak dengan ilmu silat. Tapi karena kepandaian masing2 mempunjai keunggulannja sendiri2, maka kekuatan kedua pihak boleh dikata setali-tiga-wang alias sama kuat. Beberapa kali mereka pernah bergebrak bertanding, pada pengabisan kalinja, hampir-hampir keduanja menggeletak dan gugur bersama. Untunglah datang Po-ting-te jang telah memisahkan mereka dengan Lwekangnja jang tinggi, tapi ketiga orang telah menderita kerugian tenaga dalam jang besar hingga perlu merawat diri untuk waktu tjukup lama. Sedjak itu satu Hwesio dan satu Tosu itu bersumpah tidak sudi bertemu muka lagi. Siapa duga harini djusteru saling berdjumpa pula didalam istana pengeran Tin-lam-ong ini.
Ko Sing-thay bermaksud melenjapkan persengketaan diantara kedua tokoh itu, maka sengadja ia kemukakan persoalan tadi dengan maksud agar kedua orang itu bertanding ketjerdasan otak, tapi tidak bertanding dengan ilmu silat, dan djika pertanjaannja tadi dapat dimenangkan oleh salah satu pihak, ia harap dapatlah mengachir pertjetjokan diantara kedua orang itu.
Pertanjaan Ko Sing-thay itu sebenarnja lebih menguntungkan Tjiok-djing-tju, sebab djedjak imam itu telah mendjeladjah kemana sadja, dengan pengalamannja jang luas itu terang lebih menguntungkan daripada Ui-bi-tjeng jang sudah sekian lamanja terasing dipegunungan sunji.
Namun biarpun Ui-bi-tjeng tidak tahu apa sebabnja Toan Ki mendjadi begitu, bagi Tjiok-djing-tju, ketjuali menduga kepandaian pemuda itu adalah Hua-kang-tay-hoat adjaran iblis tua dari Sing-siok-hay, lebih dari itu iapun tidak bisa mengemukakan sesuatu logika Iain.
Maka dengan gusar Tjing-sun kemudian berkata: "Ketika Ki-dji dikeram didalam rumah batu itu, tentu dia telah ditjekoki sesuatu obat ratjun apa2 oleh Djing-bau-khek itu hingga ada ilmu sihir menggemblek dalam tubuhnja tanja disadarinja."
"Ja, masuk diakal djuga pendapatmu ini," udjar Po-ting-te mengangguk.
"Tentu Ki-dji telah terkena apa2nja, makanja bisa begini. Ki-dji, tjoba katakan, waktu dikurung didalam rumah batu itu, apakah kau pernah pingsan?"
"Pernah," sahut Toan Ki. "bahkan beberapa kali Titdji tak sadarkan diri."
"Itulah dia!" seru Tjing-sun. "Pasti kesempatan diwaktu Ki-dji tak sadar itu telah digunakan oleh Djing-bau-khek untuk memasukan ilmu sihir jang bisa menghapuskan kepandaian orang kedalam badannja. Maksud tudjuannja tentu setjara tak langsung Ki-dji hendak dipakai untuk mentjelakai sanak pamilinja, jaitu supaja ilmu kepandaian kita akan lenjap semua ditangannja Ki-dji. Sungguh tipu muslihat jang kedji ini harus dikutuk. Toako, urusan tidak boleh terlambat, marilah kita harus segera mentjari akal untuk melenjapkan ilmu sihir didalam tubuh Ki-dji itu."
Dan diantara semua orang itu, dengan sendirinja Si Pek-hong jang paling kuatir, tanjanja tjepat: "Ki-dji, apakah kau merasa badanmu ada menderita sesuatu?"
Toan Ki mengkerut kening, sahutnja: "Antero tubuhku terasa penuh terisi hawa belaka, di-mana2 se-akan2 melembung dengan hebat, tapi djusteru susah untuk dimuntahkan keluar. Hawa itu terasa meresap kesana-kesini didalam badan, mungkin seluruh isi perutku telah katjau-balau diterdjang olehnja."
"O, kasihan!" seru Si Pek-hong terus hendak merangkul sang putera.
Sjukur Tjing-sun keburu mentjegahnja dari samping sambil berkata:
"Djangan menjentuh Ki-dji! Badannja keratjunan."
"Badan keratjunan", memang demikianlah pendapat semua orang jang hadir disitu. Mereka mendjadi kasihan dan gegetun pemuda jang tampan itu mesti menderita penjakit jang aneh itu.
"Toapek, kita harus lekas berdaja untuk menjembuhkan Ki-dji," pinta Si Pek-hong kepada Po-ting-te.
"Harap Tehu (adik ipar) djangan kuatir," sahut Po-ting-te. "Didepan kita sudah siap satu Hwesio dan satu Tosu, keduanja adalah tokoh nomor wahid dalam Bu-lim, jang satu tadi telah maki Ki-dji habis2an, jang lain bahkan telah menendangnja hingga terdjungkal, dengan sendirinja penjakit Ki-dji ini wadjib mereka sembuhkan."
Saat itu Ui-bi-tjeng dari Tjiok-djing-tju djusteru sedang peras otak memikirkan penjakit apa jang diderita Toan Ki itu. Maka apa jang dikatakan Po-ting-te itu sama sekali tak masuk dalam telinga mereka.
Se-konjong2 Ui-bi-tjeng berteriak: "He, ja!"
Semua orang ikut girang dan mengarahkan pandangan kepadanja. Siapa duga paderi itu lantas gojang2 tangannja dan menjatakan dengan menjesal: "Ah, salah, salah! Obat ratjun itu melulu dapat merusak kepandaian sendiri, tapi takbisa melenjapkan kepandaian pihak lain."
Pendjelasan itu membikin semua orang merasa ketjewa, kembali mereka muram.
Tiba2 Tjiok-djing-tju djuga berseru: "Ja, tentulah begitu!"
"Bagus!" teriak Sing-thay ikut bergirang. "Nah, apa sebabnja, lekas katakan?"
Dengan ber-seri2 segera Tjiok-djing-tju bertjerita: "Diluar lautan dipantai Liautang terdapat sebuah pulau ular................... pulau ular............" tiba2 wadjahnja jang berseri tadi semakin membujar hingga achirnja berubah mendjadi lesu, ia geleng2 kepala dan menjambung:
"Wah, salah rekaanku, tak mungkin terdjadi begini."
Begitulah, suasana didalam ruangan itu mendjadi sunji senjap, tiada seorang pun jang membuka suara lagi.
Dalam keadaan hening itulah, terdengar diluar ada tindakan orang mendatang dan segera ada suara seorang berseru: "Lapor Sri Baginda, ada dua orang mata2 musuh jang pura2 tuli dan bisu telah tertawan diluar, pada mereka terdapat tulisan2 jang takbisa diampuni." " Kiranja jang lapor itu adalah Thaykam pelapor.
Mendengar kata2 "tuli dan bisu", pikiran Po-ting-te tergerak, tjepat tanjanja: "Apakah benar2 orang bisu atau disebabkan lidah mereka telah terpotong?"
"Baginda memang maha sakti, lidah kedua mata2 itu memang bekas terpotong," sahut Thaykam itu diluar.
Po-ting-te memandang sekedjap kepada Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju dan Toan Tjing-sun, diam2 ia membatin: "Njata Liong-ah Lodjin djuga sudah muntjul, kesulitan2 selandjutnja tentu djuga semakin banjak lagi." "
Segera iapun berkata: "Thian-sik, tjoba kau keluar membawa masuk kedua tamu itu!"
Thian-sik memberi hormat sambil mengia, lalu bertindak keluar.
Tidak lama, masuklah Thian-sik dengan membawa dua pemuda jang berusia antara 18 atau 19 tahun dan memberi lapor: "Tjong-pian Siansing mengirim utusan untuk menghadap Sri Baginda."
Kiranja apa jang disebut Liong-ah Lodjin atau sikakek tuli-bisu itu djusteru sengadja memakai gelaran "Tjong-pian Siansing" atau sitadjam telinga dan tangkas mulut. Maksudnja mengadakan meski kupingnja budek, tapi dapat mendengar lebih djelas dari orang lain; meski bisu, namun kalau bitjara sebenarnja djauh lebih tangkas daripada perdebatan siapapun.
Nama tokoh tuli-bisu itu sangat tenar didunia persilatan, tindak-tanduknja agak aneh, tidak sutji djuga tidak djahat. Kalau ada orang jang bermusuhan dengan dia, maka tjelakalah orang itu, selama hidupnja pasti akan selalu terlibat dalam pertempuran dengan kakek tuli-bisu itu, kalau sakit hatinja belum terbalas, tentu belum Selesai urusannja. Sebab itulah, siapapun djuga, baik ilmu silatnja sama kuat atau lebih tinggi daripada kakek itu, tentu mengindahi dan menghormatinja untuk menghindari kesukaran2 jang mungkin terdjadi.
Sikap kedua pemuda tadi ternjata tjukup gagah, wadjah putih bagus, semuanja memakai badju putih, tapi dibagian dada tertulis dua baris huruf: "Utusan Tjong-pian Siansing ada sesuatu urusan hendak menjampaikan kepada Toan Tjing-beng Siansing dari Tayli".
Sebagai radja, nama "Tjing-beng" dinegeri Tayli tidak boleh sembarangan disebut oleh siapapun. Tapi tulisan didada badju pemuda itu terang2an menjebut "Tjing-beng Siansing" tanpa sesuatu sebutan kebesaran lain, dengan sendirinja oleh Thaykam tadi dianggap suatu perbuatan jang berdosa.
Namun Po-ting-te hanja tersenjum sadja, katanja: "Tjong-pian Siansing ternjata sudi menjebut Siansing padaku, halmana sudah boleh dikatakan mengindahkan diriku."
Kemudian kedua pemuda tadi mendekati Po-ting-te, mereka hanja menghormat dengan membungkukan badan, tapi tidak berlutut dan mendjura.
Segera Thian-sik mengambil pensil dan menulis diatas setjarik kertas:
"Tjong-pian Siansing mempunjai, urusan apa, boleh segera lapor kepada Hongsiang."
Hendaklah diketahui bahwa watak Liong-ah Lodjin itu luar biasa anehnja.
Setiap anak murid atau pengikutnja, semuanja dipotong lidah dan dirusak anak telinganja hingga berwudjud orang tuli-bisu seperti dia sendiri, supaja tidak bisa mendengar pembitjaraan orang, tapi diri sendiri djuga tidakbisa bitjara. Peraturannja jang aneh dan istimewa itu sudah diketahui oleh orang Kangouw umumnja.
Maka untuk mendjawab pertanjaan Thian-sik itu, dengan sendirinja kedua pemuda itu takbisa bitjara, tapi pemuda sebelah kiri lantas menanggalkan buntalan jang dibawanja, ia mengeluarkan sepotong badju wanita warna djambon dan dikenakan dibadan sendiri, lalu mengeluarkan bedak dan gintju untuk bersolek sekedarnja dimuka sendiri. Pemuda jang lain lantas membantu kawannia itu melepaskan rambutnja untuk dikepang mendjadi dua kutjir serta diberi berpita merah pula hingga merupai dandanan gadis remadja.
Melihat kelakuan mereka, semua orang mendjadi heran dan geli pula. Tapi tiada seorangpun jang dapat membade apakah maksud tudjuan Liong-ah Lodjin dengan mengirimkan dua utusannja ini.
Selesai pemuda itu berdandan sebagai seorang gadis, lalu ia berdjalan beberapa tindak dengan berlenggak-lenggok, kemudian ber-lompat2 dan ber-djingkrak2 sebagaimana lazimnja gadis remadja jang lintjah dan riang.
Meski, geli melihat kelakuan pemuda jang menjamar sebagai gadis itu, namun semua orang menduga tindakan Liong-ah Lodjin ini tentu mempunjai maksud jang dalam, maka tiada seorang pun jang berani tertawa. Hanja Toan Ki sadja jang tidak kenal siapakah gerangan Liong-ah Lodjin itu, dengan bertepuk tangan ia lantas menanja dengan tertawa: "Haha, kau berperan sebagai nona tjilik, dan dia mendjadi siapa lagi?"
Pemuda jang lain ternjata tidak menjamar apa2, tapi ia sengadja mendongak dan berdjalan dengan membusung dada se-akan2 dunia ini aku punja. Dengan lagak tuan besar ia berdjalan satu putaran diruangan itu.
Ketika sampai didepan "gadis remadja" tadi, tiba2 ia mengamat-amatinja dengan ter-senjum2, bahkan terus mentjubit pelahan sekali dipipi gadis palsu itu.
Gadis palsu itu tampak tersenjum dan bibirnja ber-gerak2 menandakan telah berbitjara apa2. Mendadak pemuda itu tempelkan mukanja dan mentjium sekali pipi sigadis palsu. "Plak", tiba-tiba Sigadis palsu memberi persen sekali tamparan kepada pemuda bangor itu. Namun dengan tjepat pemuda itu lantas djulurkan djari telundjuknja menutuk keiga sigadis palsu.
Melihat gerakan tutukan djari itu, seketika Po-ting-te, Toan Tjing-sun, Ko-Sing-thay, Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju, Hoa Hek-kin dan kawan2nja sama terkedjut semua hingga bersuara heran. Bahkan saking heran Tjing-sun dan Tjiok-djing-tju berbangkit dari tempat duduknja.
Kiranja tutukan djari jang digunakan pemuda itu, baik gajanja, maupun tempat jang diarah, persis adalah kepandaian tunggal keluarga Toan, jaitu
"It-yang-tji" jang hebat itu.
Gerak tutukan "It-yang-tji" itu tampaknja tidak sulit, tapi sebenarnja membawa perubahan jang tak terkatakan hebatnja, sekali tutuk, baik tempat jang diarah atau djaraknja, sedikitpun tidak boleh salah, kalau tidak, daja tekanannja lantas takbisa dilontarkan seluruhnja.
Meski Ui-bi-tjeng, Tjiok-djing-tju, Ko Sing-thay dan Iain-lain tidak pernah beladjar ilmu itu, tapi hubungan mereka dengan keluarga Toan sangat rapat, maka benar atau salah It-yang-tji jang digunakan itu tjukup diketahui mereka.
Merekapun tahu ilmu silat Liong-ah Lodjin itu adalah suatu aliran tersendiri dan tergolong lunak, sama sekali berbeda seperti It-yang-tji jang mengutamakan kekerasan. Tapi mengapa anak muridnja ini djuga dapat mempeladjari ilmu tutukan djari itu"
Hanja sekedjapan itu sadja rasa heran semua orang, sebab ditengah kalangan itu keadaan telah berubah lagi. Ketika melihat lawan menutuk iganja, tiba2 sigadis palsu tadi mengulur tangannja an dengan tjepat dapat menangkap djari lawan. "Krek", tahu2 Jang djari sipemuda dipatahkannja.
Serangan balasan sigadis palsu ini mesti dilakukan dengan sangat aneh dan tjepat, namun dapat diikuti semua orang dengan djelas Tapi tiada seorangpun menduga sebelumnja bahwa gadis palsu itu bisa melontarkan tipu serangan itu.
Maka menjusul pemuda tadi telah melangkah madju, kembali djari tangan kiri menutuk pula kedada sigadis palsu, tipu serangan jang dipakai tetap bergaja It-yang-tji. Tapi ketika kedua tangan sigadis palsu menjamber,
"krek", lagi2 djari pemuda itu dipatahkan.
Meski dua djarinja sudah patah, namun pemuda itu seperti tidak kenal apa artinja sakit, ia masih tetap menjerang terus, hanja sekedjap sadja kembali ia keluarga enam gerakan tipu It-yang-tji. Tapi gadis palsu itupun dapat menangkis dengan tepat dan menggunakan enam gerakan jang ber-beda2 untuk mematahkan enam djari sipemuda.
Karena delapan djarinja telah dipatahkan dan tinggal dua buah djari djempol sadja, pemuda itu tidak berani menjerang pula, ia putar tubuh terus melarikan diri kesamping. Sigadis palsu ber-tepuk tangan dengan tertawa sebagai tanda sangat senang. Menjusul ia lantas ambil pensil dan menulis diatas kertas: "Keluarga Toan dari Tayli, takbisa menangkan Bujung di Koh-soh" " Habis tulis, segera sipemuda jang patah djarinja itu digandengnja pergi.
"Nanti dulu!" segera Thian-sik bermaksud mentjegat.
Namun Po-ting-te telah gojang2 kepala dan berkata: "Biarkan mereka pergi!"
Sesudah kedua pemuda itu pergi, pikiran semua orang mendjadi tertekan, mereka paham bahwa maksud Liong-ah Lodjin mengirim kedua utusannja itu adalah untuk menundjukkan kepada Po-ting-te dan Toan Tjing-sun bahwa orang she Bujung di Koh-soh itu sudah mempunjai ilmu jang chusus untuk mematahkan It-yang-tji. Walaupun lt-yang-tji itu kalau dimainkan oleh Poting-te atau Toan Tjing-sun daja tekanannja tentu djauh lebih lihay daripada permainan pemuda tadi. Akan tetapi sama halnja pihak lawan tadi djuga tjuma seorang gadis remadja sadja, kalau orang dewasa jang memainkan, dengan sendirinja kekuatannja djuga djauh lebih hebat.
Jang harus dipudji adalah sipemuda bisu-tuli tadi ternjata bisa menirukan gerakan kedelapan djurus It-yang-tji dengan sangat tepat, meski tjara mengerahkan tenaganja masih banjak kesalahannja tapi gajanja jang indah itu sedikitpun tidak keliru. Sebaliknja tjara sigadis palsu itu mematahkan djarinja itu ter-lebih2 hebat dan aneh pula, perubahan2nja ternjata susah diduga.
Namun Po-ting-te ternjata tidak mau mempersoalkan hal itu dengan tersenjum ia tanja Tjiok-djing-tju: "Tjiok-toheng, djauh2 kau datang kemari, apakah ada djuga hubungannja dengan persoalan orang Bujung di Koh-soh itu?"
"Tidak, tiada sangkut-pautnja dengan orang Bujung di Koh-soh itu,"
sahut Tjiok-djing-tju menggeleng kepala. "Tapi sebaliknja besar sangkutpautnja dengan keluarga Toan kalian. Anak murid Toan-keh kalian telah keterlaluan menggemparkan kota Yangtjiu. Kaisar keradjaan Song mungkin tidak enak mengusut perkara itu mengingat nama baikmu, tapi orang2 Bu-lim dari Tionggoan jang telah merasa penasaran padamu."
Karuan, Po-ting-te terkedjut, tjepat tanjanja: "Manabisa djadi begitu"
Keturunan keluarga Toan kami melulu Ki-dji seorang, tapi selamanja ia tidak pernah meninggalkan wilajah Tayli, darimana bisa mengatjau kekota Yangtjiu?"
"Yang-tjiu-sam-hiong, jaitu He Hou-siu, Kim Tiong dan Ong Siok-kian, anggota keluarga laki2 mereka jang berdjumlah 28 djiwa dalam semalam sadja telah tewas semua dibawah tutukan It-yang-tji", demikian tutur Tjiok-djing-tju. "Toan-hongya, katakanlah, dosa apakah Yang-tjiu-samhiong itu terhadap Toan-keh kalian?"
"28 djiwa mati semua dibawah tutukan It-yang-tji, apa betul2 dan tidak salah lihat, Tjiok-toheng?" sahut Po-ting-te.
"Tjara It-yang-tji membunuh orang sangat halus, pihak jang terkena, seluruh badannja terasa nikmat, anggota badannja djuga hangat2 tanpa derita sedikitpun, makanja sang korban tetap bersenjum tanpa sesuatu luka, betul tidak begitu tanda terkena It-yang-tji?" tanja Tjiok-djing-tju.
"Sedikitpun tidak salah tjara Hidung-kerbau melukiskan itu, se-akan2
dia sendiri pernah mengitjipi rasanja It-yang-tji", udjar Tjing-sun dengan tertawa.
Namun Tjiok-djing-tju tidak bisa tertawa lagi, katanja dengan sungguh2:
"Anggota keluarga Yang-tjiu-sam-hiong jang terbunuh itu itu semuanja mati dengan wadjah tersenjum, diatas badan merekapun tiada sesuatu tanda luka apa2."
"Tapi majat mereka lemas seperti orang hidup, sedikitpun tidak kaku, bukan?" sela Tjing-sun.
"Ja," sahut Tjiok-djing-tju. "Kita tahu ada beberapa matjam ratjun bila sudah membinasakan orang, wadjah sang korban djuga tampak ter-senjum2, namun tiada sesuatu ilmu lain lagi di dunia ini jang bisa mendjadikan majat sang korban tetap lemas tanpa kaku sedikitpun seperti halnja korban jang terkena It-yang-tji."
"Tapi diantara anak murid dan keturunan keluarga Toan kami, sampai kini melulu Ki-dji seorang sadja, sedangkan dia sampai sekarang masih belum pernah beladjar It-yang-tji," udjar Tjing-sun.
"Tjiok-toheng," kata Po-ting-te. "Kau bilang anggota keluarga Yangtjiu-sam-hiong jang terbunuh itu adalah kaum laki2 semua, djika begitu, kaum wanitanja tentunja masih hidup dan telah melihat wadjah sipembunuh itu?"
"Menurut tjerita He-hudjin dan Ong-hudjin, katanja pembunuh itu memakai kedok kain hidjau, maka mukanja tidak djelas kelihatan, tjuma menurut taksiran terang usianja masih muda," sahut Tjiok-djing-tju.
Po-ting-te menghela napas dan memandang sekedjap kepada Toan Tjing-sun.
Maka berkatalah Tjing-sun: "Tjiok-toheng, puteraku ini bisanja kemasukan ilmu sihir dalam badannja, orang jang mentjeiakainja itu djusteru adalah anggota keluarga Toan kami sendiri, orang itu terkenal sebagai 'Thian-he-te-it-ok-djin' (orang djahat nomor satu didjagat ini)."
" Lalu iapun mentjeritakan tjara bagaimana Toan Ki telah ditjulik dan dikurung oleh Yan-king Thaytju didalam rumah batu itu. kemudian Ui-bi-tjeng telah berusaha menolongnja.
Pertandingan antara Yan-king Thaytju dan Ui-bi-tjeng sebenarnja jang tersebut belakangan itu telah kalah, tapi Tjing-sun sengadja bilang Yan-king Thaytju jang telah salah djalankan tjaturnja hingga mengaku kalah.
Karena itu Ui-bi-tjeng lantas berkata: "Toan-ongya tidak perlu menutupi maluku, pertandingan itu terang2an aku jang kalah. Toh seumpama Gu-pit-tju jang harus melawan Yan-king Thaytju, dia djuga pasti akan kalah."
"Ah, belum tentu," sahut Tjiok-djing-tju.
"Djika begitu, marilah kita boleh tjoba2 satu babak," kata Ui-bi-tjeng.
"Bagus, aku djusteru ingin minta petundjuk padamu," kontan Tjiok-djing-tju terima tantangan itu.
"Hahaha, sungguh mentertawakan orang, haha!" tiba2 Ui-bi-tjeng terbahak2.
"Apakah jang menggelikan kau?" tanja Tjiok-djing-tju mendongkol.
"Aku tertawa karena ada orang jang begitu geblek," sahut Ui-bi-tjeng.
"Sudah terang kedjahatan itu dilakukan anak muridnja Toan Yan-king, tapi Toan-hongya jang dimintai tanggung djawabnja."
Muka Tjiok-djing-tju mendjadi merah, sahutnja: "Emangnja kalau anak muridnja Toan Yan-king itu bukan anak murid da keluarga Toan" Toan Yan-king itu she Toan atau bukan?"
"Ah, pokrol bambu!" sahut Ui-bi-tjeng.
"Ah, ngatjo-belo!" djengek Tjiok-djing-tju tak mau kalah.
Po-ting-te sudah biasa menjaksikan pertengkaran kedua tokoh itu, maka ia hanja tersenjum sadja, katanja kemudian: "Tjong-pian Siansing telah menjaksikan gadis keluarga Bujung mematahkan ilmu It-yang-tji, boleh djadi sipemuda jang tjoba menggoda sigadis jang dimaksudkan itulah sipembunuhnja Yang-tjiu-sam-hiong itu." " Bitjara sampai disini, tiba2
sikapnja berubah kereng, katanja pula: "Sun-te, menurut pesan leluhur, soal permusuhan dan bunuh-membunuh dalam Bu-lim, sudah tentu kita tak boleh ikut tjampur. Tapi sekarang ternjata ada orang telah menggunakan It-yang-tji untuk melakukan kedjahatan diluaran, hal mana rasanja keluarga Toan kita tidak boleh tinggal diam lagi."
"Benar," sahut Tjing-sun.
Dalam hati kedua saudara itu sebenarnja mempunjai sesuatu pikiran jang sama, tjuma tidak mereka katakan. Kalau ternjata orang she Bujung di Kohsoh itu mampu menggunakan ilmu jang sangat lihay untuk mematahkan djari anak murid keluarga Toan dan hal itu didiamkan sadja, tentu nama baik keluarga Toan di Tayli akan sangat dirugikan.
Maka Po-ting-te lantas berkata: "Sun-te segera membawa serta Sam-kong Su-un (tiga tokoh dan empat djago, maksudnja Pah Thian-sik bertiga dan Leng Djian-li berempat) berangkat ke Siau-lim-si untuk menemui Hian-tju Taysu, sekalian boleh djuga beladjar kenal dengan ilmu silat keluarga Bujung di Koh-soh jang lihay itu. Yan-king Thaytju adalah keturunan lurus dari mendiang radja jang dulu, kalau ketemu dia, hendaklah berlaku sopan dan menghormatinja. Kalau anak muridnja ada berbuat sesuatu jang tidak senonoh, paling baik selidiki dulu hingga terang, lalu menangkapnja dan serahkan pada Yan-king Thaytju untuk dihadjar sendiri, kita djangan sembarangan mentjelakai mereka."
Tjing-sun dan tiga tokoh serta empat djago sama mengia menerima titah baginda itu.
Melihat Ko Sing-thay ada maksud ingin ikut serta, dengan tersenjum Poting-te berkata: "Diago2 kita se-akan2 dikerahkan semua, maka biarlah Sian-tan-hou tinggal dirumah untuk membantu aku sadja."
Ko Sing-thay mengiakan titah baginda itu.
"Pekhu," tiba2 Toan Ki berkata, "bolehkah Titdji ikut pergi bersama ajah untuk menambah pengalaman?"
Po-ting-te menggeleng kepala, sahutnja: "Badanmu masih keselurupan, aku masih harus menjembuhkan kau, apalagi kau takbisa ilmu silat, kalau ikut pergi, mungkin malah bikin malu keluarga Toan kita sadja."
Wadjah Toan Ki mendjadi merah, dan baru sekarang ia menjesal mengapa dahulu tidak beladjar silat hingga kini takboleh ikut pesiar ke Tionggoan jang indah permai itu.
Dalam pada itu perdjamuan untuk menjambut kedatangan Tjiok-djing-tju lantas dilangsungkan dengan meriah. Toan Ki duduk menjendiri orang lain tiada jang berani mendekatinja, sebab kuatir kalau tersentuh ratjun djahat ditubuh pemuda itu. Sudah tentu jang merasa paling kesal adalah Toan Ki karena se-akan2 terasing dari pergaulan, sedangkan hawa murni didalam badannja masih terus bergolak karena takbisa dipusatkan.
Semakin lama duduk disitu, semakin tak tahan Toan Ki, hanja minum dua tjawan arak ia lantas mohon diri untuk kembali kamarnja. Teringat olehnja pengalamannja jang aneh selama beberapa hari ini, ia terkenang pula pada Bok Wan-djing dan Tjiong Ling, kedua nona djelita jang baru dikenalnja itu entah kemana perginja sekarang. Terpikir djuga olehnja puterinja Ko Sing-thay ~ Ko Bi ~ jang telah dilamarkan oleh kedua orang tuanja itu, nona itu selamanja tak pernah dilihatnja, entah bagaimana perangainja dan tjotjok tidak dengan dirinja, pula entah tjantik atau djelek mukanja.
Begitulah Toan Ki merebah dirandjangnja dengan matjam2 pikiran jang berketjamuk dalam benaknja, sedangkan hawa murni dalam badannja masih terus bergolak tak karuan rasanja, walaupun deritanja tidak sehebat seperti berkobarnja napsu waktu minum Im-yang-ho-hap-san, tapi rasanja djuga susah ditahan. Sjukurlah achirnja ia dapat pulas.
Sampai tengah malam, mendadak ia terdjaga dari tidurnja ketika merasa kedua tangannja digenggam kentjang oleh orang, dan baru sadja mulutnja terpentang hendak mendjerit, tahu2 sepotong kain sudah didjedjalkan kedalam mulutnja.
Waktu ia berpaling sedikit, dibawah sinar pelita lilin jang remang2, ia lihat sebuah wadjah jang putih tjakap sedang tersenjum padanja. Itulah Tjiok-djing-tju adanja. Tjepat ia berpaling pula kesisi lain, jang per-tama2 tertampak olehnja adalah dua djalur alis kuning jang pandjang melambai, itulah dia Ui-bi-tjeng. Muka paderi, jang kurus itupun mengundjuk senjum jang penuh welas-asih dan sedang angguk2 pelahan sebagai tanda agar pemuda itu tak perlu kuatir. Menjusul ia lantas keluarkan kain penjumbat mulut Toan Ki tadi.
Toan Ki mendjadi lega melihat kedua tokoh itu, segera ia merangkak bangun untuk memberi hormat. Namun Tjiok-djing-tju sudah lantas berkata padanja: "Hiantit tidak perlu banjak adat, hendaklah kau merebah sadja dengan tenang, biar kami berdua menjembuhkan ratjun djahat dalam tubuhmu."
"Sungguh Wanpwe merasa terima kasih tak terhingga mesti bikin susah kedua Tjianpwe," kata Toan Ki.
"Kami berdua adalah kawan karib pamanmu, hanja sedikit urusan ini, kenapa mesti dipikirkan?" sahut Ui-bi-tjeng.
"Sedikit urusan" Huh, djangan membual dahulu, Hwesio", djengek Tjiok-djing-tju tiba2. "Dapat tidak kita menjembuhkan dia, masih harus melihat hasilnja dulu".
Selagi Toan Ki hendak berkata pula, se-konjong2 terasa kedua telapak tangannja tergetar, dua arus hawa sekaligus telah merembes masuk berbareng dari kanan-kiri, badan Toan Ki terguntjang sedikit, mukanja mendjadi merah membara se-akan2 orang mabuk arak.
Kedua arus hawa murni itu mula2 berkeliaran kian kemari diantara urat2
nadinja, tapi kemudian semakin lemah dan semakin lambat, achirnja lantas lenjap. Menjusul mana dari telapak tangan jang dipegang Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu terasa merembes masuk lagi hawa murni jang lain.
Begitulah kira2 setanakan nasi lamanja. Toan Ki merasa separoh tubuh bagian kanan makin lama semakin panas, sebaliknja separoh tubuh sisa kiri makin lama makin dingin, jang kanan seperti dibakar, jang kiri seperti direndam es. Tapi aneh bin adjaib, biarpun panas-dingin rasanja, namun nikmatnja tak terkatakan. Ia tahu kedua tokoh terkemuka itu sedang menggunakan Lwekang mereka jang tinggi untuk mengusir ratjun dalam tubuhnja. Sudah tentu apa jang diduga Toan Ki itu tidak benar seluruhnja.
Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu entah sudah berapa puluh kali bertanding, baik mengadu ketjerdasan maupun mengadu ketangkasan, dari pertandingan kasar sampai perlombaan setjara halus, namun selalu sama kuatnja hingga susah ditentukan siapa lebih unggul.
Ketika mereka bertengkar dan saling sindir pula dalam perdjamuan siang tadi, keduanja sama2 masih mendongkol. Sampai tengah malam, diam2 kedua orang itu mengelojor keluar ketaman berunding tjara bagaimana harus bertanding lagi. Achirnja atjara pokok djatuh pada diri Toan Ki, mereka bersepakat untuk menjembuhkan pemuda itu sebagai batu udjian mereka.
Dahulu sudah dua kali mereka bertanding Lwekang, saking banjak membuang tenaga untung ditolong oleh Po-ting-te hingga djiwa mereka dapat diselamatkan. Karena itu, sekarang mereka agin memberi djasa2 baik bagi Po-ting-te untuk mengusir ratjun dalam tubuh Toan Ki. Sebab, kalau bitjara tentang menjembuhkan penjakit dengan Lwekang didunia ini rasanja tiada jang lebih kuat da It-yang-tji, tjuma tenaga dalam jang harus dikorbankan sipemakai It-yang-tji itu terlalu besar.
Dari itu Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju telah bersepakat untuk menjembuhkan Toan Ki masing2 separoh badan, kanan dan kiri, siapa jang lebih dulu berhasil, dia jang menang.
Hwesio dan Tosu itu sudah pernah merasakan kelihayan ratjun dalam tubuh Toan Ki itu. Mereka tahu begitu menjenggol badan pemuda itu, tenaga dalam mereka segera akan bujar. Sebab itulah, begitu mulai, terus sadja mereka mengerahkan sepenuh tenaga, sedikit pun tidak berani ajal, pikir mereka dengan tenaga kedua djago pilihan seperti mereka, paling2 tjuma ratjunnja tidak bersih dilenjapkan, tapi pasti tiada halangan bagi kesehatan Toan Ki.
Tak mereka duga bahwa apa jang mengeram didalam tubuh Toan Ki itu hakikatnja bukan ratjun apa segala, tapi adalah sematjam ilmu sakti jang bisa menjedot hawa murni orang jaitu tenaga sakti jang berasal dari sepasang katak Bong-koh-tju-hap jang merupakan machluk mestika dialam ini. Karena katak2 itu telah dimakan oleh Toan Ki, maka kasiat jang berada pada katak2 itu sudah terlebur didalam tubuh pemuda itu hingga tiada mungkin dilenjapkan lagi. Apalagi daja isap tenaga Tju-hap itu memang sangat kuat, ditambah lagi hawa2 murni dari Lwekang jang dilatih Boh-tam berenam, maka tenaga dalam jang dimiliki Toan Ki tatkala itu sesungguhnja sudah tidak dibawahnja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju.
Tjuma sadja Toan Ki takbisa mendjalankan dan menggunakan tenaganja itu.
Namun begitu, setiap kali Hwesio dan Tosu itu mengerahkan tenaga mereka, karuan seperti air mengalir kelaut sadja, seketika kena disedot oleh Tju-hap-sin-kang dalam tubuhnja Toan Ki.
Sebenarnja urusan memang djuga sangat kcbetulan, rupanja sudah takdir ilahi dalam hidup Toan Ki harus mengalami kedjadian itu. Tjoba kalau bukan Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju dengan sukarela mau menjalurkan tenaga murni mereka kedalam tubuh Toan Ki, betapapun kuat daja isap Tju-hap-sin-kangnja Toan Ki djuga susah untuk menjedot Lwekang kedua tokoh kelas wahid itu, paling tidak mereka pasti mampu melepaskan diri dari daja isap itu.
Dan sebabnja badan Toan Ki bisa terasa panas-dingin pada kedua sisi tubuhnja itu adalah karena apa jang dijakinkan Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju itu memang ber-beda2 sihwesio mejakinkan ilmu jang keras dari unsur Yang, sebaliknja si Tosu mejakinkan ilmu bersumber pada unsur Im jang lemas. Dasar agama mereka pun berbeda, ilmu jang dijakinkanpun berlainan, maka kedua arus tenaga mereka tidak mungkin dipersatukan.
Dalam pada itu mereka sudah merasakan setiap tenaga mereka jang dikerahkan kebadan Toan Ki selalu lenjap seperti air mengalir kelaut, sedikitpun takbisa ditarik kembali lagi. Halmana selamanja tidak pernah mereka alami. Semakin kuat mereka kerahkan tenaga murni, semakin tjepat pula lenjapnja Lwekang mereka. Semula mereka terus bertahan oleh karena rasa ingin menang masing2, tapi setelah setengah djam kemudian, djantung Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju mulai ber-debar2 dan tenaga mereka mulai matjet.
Ui-bi-tjeng insaf ketidakberesan hal itu, kalau diteruskan, pasti antero Lwekangnja akan ludas sama sekali. Segera ia berkata: "Tjiok-toheng. urusan ini agak gandjil, marilah kita berhenti sementara untuk mempeladjari apakah sebab-musababnja?"
Sebenarnja Tjiok-djing-tju djuga mempunjai maksud begitu, tapi karena rasa ingin menangnja, ia pikir orang jang telah lebih dulu minta padanja, maka sengadja djawabnja: "Djika tenaga Taysu kurang tjukup, silahkan mundur dulu, tidak mungkin Pinto memaksa orang jang sudah tidak kuat."
Ui-bi-tjeng mendjadi gusar: "Hidung kerbau. betapa tinggi kepandaiannja emangnja aku tidak tahu" Hm, kau berlagak gagah apa?"
Tjiok-djing-tju djuga tahu bahwa tenaga mereka sebenarnja setali-tiga-wang alias sama kuatnja. Tapi tempo hari sihwesio sudah menempur Yan-king Thaytju Lwekang jang dikorbankan tentu sangat besar, inilah kesempatan jang susah ditjari, dirinja pasti akan dapat menangkan dia, bila kesempatan bagus ini lewatkan, mungkin sampai mati kelak kedua orang djuga susah menentukan kalah dan menang. Sebab pikiran itulah, maka Tjiok-djing-tju tetap bertahan sekuatnja dengan harapan lawannja itu terpaksa akan undurkan diri lebih dulu.
Tak terduga Ui-bi-tjeng djuga mempunjai wataknja sendiri. Dalam segala hal ia bisa berlaku tenang dan sabar, suka mengalah. Tapi terhadap Tjiok-djing-tju sungguh aneh sifatnja, asal ketemu, tentu marah, betapapun tidak mau mengalah.
Setelah bertahan lagi sebentar, tenaga murni dalam tubuh Toan Ki semakin penuh, daja sedotnja semakin kuat. Kedua orang itu merasa sisa tenaga mereka masih terus merembes keluar, segera mereka hendak menarik kembali, akan tetapi sudah tidak dapat lagi, dalam gugup mereka, terpaksa soal pertandingan mereka itu harus dikesampingkan dan berbareng melepaskan tangan hendak meninggalkan badan Toan Ki. Namun sudah telat, daja sedot Toan Ki teramat kuat, tenaga mereka bertambah lemah, tenaga murni mereka jang dilatih selama puluhan tahun itu sebagian besar Sudah mengalir kedalam badan Toan Ki, sisa dalam badan mereka sendiri tinggal sedikit sadja, dengan sendirinja tangan mereka mendjadi seperti lengket dibadan pemuda itu dan takbisa ditarik kembali djadi mirip seperti Boh-tam berenam tempo hari.
Ui-bi-tjeng saling pandang sekedjap dengan Tjiok-djing-tju, pikir mereka: "Sebabnja terdjadi begini, semuanja gara2 karena rasa ingin menang. Pabila sedjak tadi lantas lepas tangan ketika mengetahui gelagat djelek, tentu tidak sampai demikian djadinja."
Dan tidak lama pula, Hwesio dan Tosu itu sudah mulai lesu dan lemas, napas mereka sudah kempas-kempis. Tjelakanja dalam peristiwa ini Toan Ki sama sekali tidak tahu apa jang sudah terdjadi, kalau tahu bakal begitu, sedjak mula tentu dia tidak sudi terima hawa murni dari kedua tokoh itu, perbuatan jang menguntungkan diri sendiri tapi merugikan orang lain, betapapun tidak mungkin dilakukannja. Tapi ia djusteru mengira kedua Lotjianpwe itu sedang mengusir ratjun guna menjembuhkan dirinja, hawa murni dalam tubuhnja terasa bergolak bagai air bah membandjir, makin lama makin keras, sampai achirnja saking panasnja ia mendjadi mabuk dan seperti orang tertidur pulas, maka terhadap bahaja jang sedang mengantjam Ui-bi-tjeng berdua itu sama sekali tak disadarinja.
Dalam keadaan begitu, asal lewat setengah djam lagi. Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju berdua pasti akan mendjadi tjatjat selama hidupnja Untunglah dalam detik berbahaja itu, tiba2 pintu kamar didobrak orang dan masuklah seorang jang bukan lain adalah Po-ting-te.
"Tjelaka!" serunja kaget ketika melihat keadaan ketiga orang itu.
Tjepat ia tarik lengan badju Ui-bi-tjeng dan dibetot hingga terlepas dari lengketan Toan Ki. Menjusul iapun menarik pergi Tjiok-djing-tju dan berkata: "Kalian berdua asal ketemu, tentu terdjadi gara2, aku sudah mentjari kalian, siapa tahu kalian djusteru bersembunji dan sedang main gila disini." " Dan ketika melihat keadaan kedua tokoh itu sudah sangat pajah, dengan gegetun katanja pula: "Ai, usia kalian sudah sekian tua, urusan apa lagi jang mesti kalian ributkan terus" Dengan pertarungan harini, tidak sedikit pula tenaga jang telah kalian korbankan."
Ia tjoba memegang nadi Ui-bi-tjeng dan terasa denjutnja sangat lemah.
waktu memeriksa Tjiok-djing-tju keadaannja serupa. Ber-ulang2 Po-ting-te menggeleng kepala, disangkanja kedua orang itu mengulangi lagi apa jang terdjadi dahulu, jaitu keduanja sama2 mengalami tjedera. Sudah tentu tak terduga olehnja bahwa tenaga murni kedua orang itu djusteru kena disedot oleh sang keponakan.
Dan ketika melihat Toan Ki tak sadarkan diri, ia malah menjangka keponakan itu telah mendjadi korban dalam pertandingan kedua tokoh itu.
Tjepat iapun periksa nadinja, namun djalannja baik2 sadja, bahkan terasa ada suatu tenaga sedotan jang sangat kuat hendak mengisap tenaga dalam sendiri.
Karuan Po-ting-te terkedjut dan ragu2, sebab kalau melihat gelagat begitu, agaknja tenaga dalam kedua tokoh Hwesio dan Tosu itu jang telah masuk kedalam tubuh sang keponakan malah.
Ia memikir sedjenak, lalu memanggil dajang istana pengeran agar membawa Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju kekamar jang terpisah untuk istirahat.
Besok paginja, Toan Tjing-sun beserta Sam-kong Su-un memohon diri kepada kaka baginda dan sang isteri untuk berangkat ke Siau-lim-si bersama Hui-tjin dan Hui-sian. Meski hatinja masih kuatir karena keadaan sang putera jang keratjunan itu, tapi mengingat kaka bagindanja sudah mulai turun tangan sendiri, tentu takkan terdjadi apa2. Sebelum berangkat, ia tjoba djenguk Toan Ki, ia mendjadi lega ketika melihat pemuda itu masih tidur njenjak dengan wadjah merah bertjahaja.
Setelah menghantarkan keberangkatan adik pengeran dan para kesatria, Po-ting-te lantas pergi memeriksa keadaannja Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju. Ia lihat kedua tokoh itu sedang bersemadi dikamarnja sendiri2.
Wadjah Ui-bi-tjeng tampak putjat, badan gemetar. Sebaliknja muka Tjiok-djing-tju merah membara bagai terbakar, terang kedua orang itu sama2
terluka parah, tenaga murni mereka banjak terbuang. Segera Po-ting-te menutuk sekali dengan It-yang-tji ditempat Hiat-to masing2 jang penting kemudian baru pergi mendjenguk keadaan Toan Ki.
Tapi baru sadja sampai diluar kamar pemuda itu, segera terdengar suara gedubrakan dan gemerantang jang keras. Dajang jang mendjaga diluar kamar itu tampak sangat kuatir, mereka berlutut menjambut kedatangan radja dan melapor: "Sitju (putera pengeran) telah keselurupan dan sedang............ sedang angot, kedua Thayih (tabib keraton) sedang mengobatinja didalam."
Po-ting-te mengangguk dan segera masuk kedalam kamar. Ia lihat Toan Ki sedang ber-djingkrak2 didalam kamar sambil mengobrak-abrik isi kamar seperti medja-kursi, mangkok-piring dan lain2. Kedua Thayih tampak bersembunji kian kemari untuk menghindari "piring terbang" jang mungkin mengantjam kepala mereka.
"Ki-dji, kenapakah engkau?" tanja Po-ting-te segera.
Meski tangannja mengamuk, tapi pikiran Toan Ki masih djernih sekali, hanja hawa murni dalam tubuhnja itu terlalu penuh hingga rasanja se-akan2
meletuskan kulit badannja, saking tak tahan, maka ia menggerakan anggota badannja sekenanja hingga perabot didalam kamar telah dirusaknja, tapi aneh, asal kaki-tangannja bergerak, rasa hawa dalam badan itu mendjadi longgar.
Ketika melihat pamannja masuk, segera Toan Ki berseru: "Pekhu, wah, tjelakalah aku!" ~ berbareng kedua tangannja masih terus bergerak serabutan sekenanja.
"Bagaimanakah rasanja?" tanja Po-ting-te.
"Seluruh badanku rasanja seperti melembung semua," sahut Toan Ki.
"Pekhu, harap engkau buangkan sedikit darahku".
Po-ting-te pikir mungkin ada paedahnja djuga tjara itu, segera katanja kepada salah seorang Thayih itu: "Tjoba kau ambil sedikit darahnja."
Tabib itu mengia dan segera membuka peti obatnja. Ia mengeluarkan sebuah kotak porselen dan mengambil seekor lintah jang besar dan gemuk, ia taruh lintah itu diurat darah lengan Toan Ki agar darahnja diisap lintah itu.
Oleh karena tabib itu tidak bisa ilmu silat, dalam badannja tidak terdapat hawa murni dari latihan Lwekang, maka ia tidak terpengaruh oleh daja sedot dalam tubuh Toan Ki jang lihay itu. Akan tetapi begitu lintah itu menempel lengan Toan Ki, terus sadja binatang itu berkelogetan tidak berani menggigit lengan jang disediakan itu.
Tentu sadja tabib itu heran, sekuatnja ia tekan lintah itu diatas lengan Toan Ki agar darahnja terisap, tapi hanja sebentar sadja, bukannja mengisap darah, sebaliknja lintah itu tahu2 sudah mati.
Karena kepandaiannja tak berhasil dihadapan radja, tabib itu mendjadi gugup hingga mandi keringat, tjepat ia keluarkan lagi lintah kedua. Tapi serupa jang tadi, hanja sebentar binatang itu djuga mati kaku diatas lengan Toan Ki.
Melihat itu, sitabib mendjadi putus asa, tjepat ia berkata: "Lapor Hongsiang, badan Sitju keratjunan jang maha djahat, sampai lintah djuga mati keratjunan." " Ia tidak tahu bahwa Tju-hap-sin-kang jang terdapat dibadan Toan Ki itu djangankan tjuma lintah, sekalipun ular jang paling berbisa pabila mentjium baunja djuga akan menjingkir djauh2 dengan takut.
Po-ting-te mendjadi kuatir djuga, tjepat tanjanja: "Keratjunan apakah sebenarnja, kenapa begitu lihay?"
"Menurut pendapat hamba." demikian kata tabib jang lain, "denjut nadinja sangat keras dan panas, tentu terkena sematjam ratjun panas jang djarang terdapat, adapun namanja............"
"Bukan," tiba2 tabib satunja menjela, "denjut nadi lemah dan dingin, ratjunnja tentu tergolong dingin, harus disembuhkan dengan obat jang bersifat panas."
Kiranja dalam tubuh Toan Ki sudah terdapat tenaga murni Ui-bi-tjeng dari unsur Yang jang panas, dan terdapat pula tenaga murni Tjiok-djing-tju dari unsur Im jang maha dingin, makanja kedua tabib itu mempunjai pendapatnja sendiri2.
Melihat kedua tabib itu tiada persesuaian paham, padahal kedua orang itu adalah tabib keraton jang terpandai, tapi tak berdaja terhadap penjakitnja Toan Ki, maka dapat dibajangkan ratjun dalam tubuh pemuda itu sesungguhnja terlalu aneh.
Dalam pada itu Toan Ki masih ber-djingkrak2 sambil menarik dan menjobek badjunja sendiri hingga tak karuan matjamnja, Po-ting-te mendjadi tak tega, pikirnja: "Rasanja soal ini harus dimintakan pemetjahannja ke Thian-liong-si"
Maka katanja segera: "Ki-dji, biarlah aku membawa kau pergi menemui beberapa orang tua, kukira mereka tentu dapat menjembuhkan kau."
Toan Ki mengiakan. Karena rasanja semakin menderita, jang dia harap asal bisa lekas sembuh, maka tjepat ia tukar pakaian dan mengikut sang paman keluar istana, masing2 menunggang seekor kuda terus dilarikan kearah barat-laut, Thian-liong-si jang dikatakan itu terletak dipuntjak Thian-liong diarah barat-laut kota Tayli. Puntjak itu merupakan puntjak utama dari pegunungan Thian-liong jang lerengnja memandjang dari barat-laut dan berachir di Tayli. Leluhur keluarga Toan jang wafat semuanja dikubur dipegunungan itu.
Pegunungan Thian-liong jang pandjang itu mirip seekor naga raksasa, maka puntjak utama itu mendjadi seperti kepala naga dan disitulah leluhur keluarga Toan dikubur. Dan oleh karena leluhur Keluarga Toan jang mendjadi radja achirnja tentu tjukur rambut mendjadi Hwesio, maka semuanja lantas tinggal dikuil Thian-liong-si itu. Sebab itulah Thian-liong-si merupakan kuil keradjaan jang terpudja. Dari itu djuga maka kuil itu sangat megah bangunnja dan terawat baik, biarpun kuil2 ternama didaerah Tionggoan seperti Ngo-tay, Boh-to, Kiu-hoa, Go-bi dan lain2 jang merupakan pegunungan terkenal dengan geredja2nja jang indah, kalau dibandingkan Thian-liong-si mungkin djuga kalah. Tjuma letak Thian-liong-si itu terpentjil didaerah perbatasan, maka namanja tidak terkenal.
Setelah ikut sang paman sampai digeredja itu, Toan Ki melihat kemegahan Thian-liong-si boleh dikata tidak kalah daripada keraton di Tayli.
Thian-liong-si itu adalah tempat jang sering didatangi Po-ting-te.
Meski dia diagungkan sebagai radja, tapi Hwesio2 dalam kuil itu banjak jang terhitung angkatan lebih tua, makanja ketika Ti-khek-tjeng atau Hwesio penjambut tamu dengan menghormat menjambut kcdatangannja, namun djuga tidak terlalu gugup seperti umumnja orang biasa bila mendadak ketemu seorang radja.
Po-ting-te dan Toan Ki lebih dulu menemui ketua Thian-liong-si, Thian-in Taysu.
Menurut urut2an bila Thian-in Taysu itu tidak djadi Hwesio,beliau masih terhitung pamannja Po-ting-te. Sebagai alim-ulama,
paderi itupun tidak kukuh lagi pada urutan umur serta perbedaan pangkat, kedua orang saling menghormat dengan deradjat sama. Lalu setjara ringkas Po-ting-te mentjeritakan kedjadian Toan Ki keselurupan ratjun djahat itu.
Setelah memikir sedjenak, kemudian Thian-in berkata: "Marilah ikut aku ke Bo-ni-tong untuk menemui ketiga Suheng dan Sute disana."
"Terpaksa mesti mengganggu ketenteraman para Taysu, sungguh dosa Tjing-beng tidak ketjil," udjar Po-ting-te.
"Tin-lam-sitju adalah tjalon mahkota keradjaan kita, urusan keselamatannja besar sangkut-pautnja dengan kesedjahteraan negara.
Padahal kepandaianmu terang lebih diatasku, namun sudi datang bertanja padaku, maka dapatlah dipastikan soal ini pasti tidak sederhana,"
demikian kata Thian-in.
Begitulah setelah menjusuri serambi samping dan belasan ruangan lain, achirnja Thian-in membawa Po-ting-te dan Toan Ki sampai didepan beberapa buah rumah. Rumah2 itu dibangun dengan kaju Siong semua, dindingnja djuga dari papan kaju jang tak dikupas kulitnja, berbeda sekali dengan rumah2
lain jang dibangun setjara megah itu. Malahan diantara dinding2 dan pilar kajunja sudah banjak jang sudah lapuk hingga lebih mirip perumahan kaum pemburu dipegunungan sadja.
Dengan wadjah sungguh2 Thian-in merangkap tangannja dan berkata kedalam rumah itu: "Omitohud, Thian-in mempunjai sesuatu kesulitan. terpaksa mesti mengganggu ketenteraman ketiga Suheng dan Sute".
"Hongtiang silahkan masuk!" demikian sahut seorang dari dalam.
Pelahan2 Thian-in mendorong pintu kaju dan melangkah masuk diikuti Poting-te dan Toan Ki. Pintu itu mengeluarkan suara berkeriutan ketika didorong, suatu tanda djarang sekali digunakan orang untuk masuk-keluar.
Toan Ki mendjadi heran ketiga melihat didalam ruangan rumah itu terdapat empat Hwesio jang berduduk terpisah diempat bangku batu, padahal tadi ia dengar Thian-in mengatakan tiga Suheng dan Sute.
Ketiga Hwesio jang berduduk menghadap keluar itu, dua diantaranja mukanja kurus kering, sebaliknja jang seorang lagi sehat kuat, Hwesio keempat jang duduknja dipodjok timur sana, muka nja menghadap dinding dan tidak bergerak sedikitpun, sedjak mula djuga sama sekali tidak berpaling.
Po-ting-te kenal kedua paderi jang kurus itu masing2 bergelar Thian-koan dan Thian-siang, adalah Suheng2nja Thian-in. Sedang paderi jang kekar itu bernama Thian-som adalah Sutenja Thian-in. Po-ting-te tjuma tahu bahwa Bo-ni-tong itu ada tiga paderi saleh, tapi tidak tahu kalau masih ada lagi seorang Hwesio jang lain, jaitu Hwesio keempat jang menghadap dinding itu.
Dengan membungkuk tubuh Po-ting-te memberi hormat. Thian-koan bertiga membalas hormat dengan tersenjum. Sedang paderi jang menghadap dinding itu entah sedang semadi atau latihannja sedang mentjapai titik paling genting, maka sedikitpun tidak boleh terganggu, dari itu tetap tidak peduli kedatangan Po-ting-te.
Po-ting-te tjukup paham adjaran Budha, ia tahu arti "Bo-ni" jalah tenang, sunji. Karena ruangan itu bernama Bo-ni-tong, lebih sedikit bitjara lebih baik. Maka setjara ringkas ia lantas menguraikan pula bagaimana Toan Ki telah keratjunan dan keselurupan itu. Katanja paling achir: "Mohon dengan sangat sudilah keempat Taysu suka memberi petundjuk djalan jang sempurna."
Thian-koan merenung sedjenak, lalu mengamat-amati pula keadaan Toan Ki, kemudian berkata: "Bagaimana pendapat kedua Suheng?"
"Ja, walaupun mesti membuang sedikit tenaga dalam, rasanja djuga belum tentu kita takkan berhasil mejakinkan 'Lak-meh-sin-kiam'," sahut Thian-som.
Mendengar "Lak-meh-sin-kiam" itu, hati Po-ting-te terguntjang hebat, pikirnja: "Waktu ketjil aku pernah mendengar tjerita ajah bahwa leluhur keluarga Toan ada mewariskan sematjam ilmu jang sangat lihay dengan nama
'Lak-meh-sin-kiam'. Namun ajah mengatakan iapun tjuma mendengar namanja sadja, tapi selamanja tidak pernah mengetahui siapakah gerangan tokoh keluarga Toan jang mahir ilmu itu, maka sampai betapa hebat sebenarnja ilmu itu tiada seorangpun jang tahu. Kini Thian-som Taysu ini mengatakan sedang mejakinkan ilmu itu, djadi memang benar2 ada ilmu jang aneh dan lihay itu."
Kemudian ia pikir pula: "Tampaknja ketiga Taysu ini hendak menggunakan Lwekang mereka untuk menjembuhkan Ki-dji, djika demikian, tentu akan mengakibatkan latihan ilmu 'Lak-meh-sin-kiam' mereka terganggu. Tapi melihat betapa hebatnja penjakit Ki-dji, sampai Ui-bi-tjeng dan Tjiok-djing-tju djuga tak mampu menolongnja, kalau tidak memakai tenaga gabungan kami berlima orang, mana dapat menjembuhkan Ki-dji?" " Begitulah meski dia merasa menjesal mesti mengganggu kemadjuan latihan ketiga Taysu itu, namun demi keselamatan Toan Ki jang dianggapnja seperti putera kandungnja sendiri, terpaksa iapun tidak menolak.
Begitulah, tanpa bitjara lagi Thian-siang Hwesio lantas berbangkit, dengan kepala menunduk ia ber-siap2 berdiri disudut timur-laut sana.
Segera Thian-koan dan Thian-som djuga berdiri dikedua sudut jang lain.
"Siantjay! Siantjay!" demikian Thian-ih mengutjapkan sabda Budha, lalu djuga ambil tempat diarah barat-daja.
"Ki-dji," kata Po-ting-te kemudian, "keempat kakek Tianglo dengan tidak sajang membuang tenaga dalam sendiri hendak menjembuhkan kau, lekas kau menghaturkan terima kasih!"
Melihat sikap dan kelakuan keempat paderi itu sangat kereng, Toan Ki tahu apa jang bakal dilakukan mereka sungguh bukan urusan ketjil, maka tjepat ia mendjura dan menghaturkan terima kasih kepada tiap2 paderi itu.
"Ki-dji, kau duduk bersila ditengah situ, longgarkan badanmu, sedikitpun djangan bertenaga, kalau terasa sakit atau gatal, djangan kau kaget dan kuatir," pesan Po-ting-te kemudian.
Toan Ki mengia dan menurutkan perintah sang paman itu.
Segera Thian-koan Hwesio angkat djari djempolnja, setelah menghimpun tenaga dalamnja, djempolnja lantas menekan di Hong-hu-hiat ditengkuknja Toan Ki, satu arus hawa hangat dari It-yang-tji terus merembes masuk.
Hong-bu-hiat itu kira2 tiga senti dibawah rambut dibagian tengkuk, termasuk urat nadi "Tok-meh". Menjusul Thian-siang Hwesio djuga rnenutuk Tji-kiong-hiat dan Thian-som menutuk Tay-hing-hiat Thian-in ikut menutuk djuga kedua nadi jang lain dan Po-ting-te menutuk Djing-bing-hiat.
Begitulah tudjuan mereka berlima itu jalah hendak menggunakan tenaga It-yang-tji jang berunsurkan hawa Yang jang keras itu untuk mengusir ratjun dari tubuh Toan Ki.
It-yang-tji dari kelima tokoh keluarga Toan ini boleh dikata sama hebatnja, maka terdengarlah suara men-desis2 pelahan, lima arus hawa panas berbareng menjusup kedalam badan Toan Ki. Seketika pemuda itu terguntjang tubuhnja dan merasa seperti mendjemur badan dibawah sang surya dimusim dingin, njaman dan segar sekali rasanja.
Ber-ulang2 djari kelima tokoh itu bekerdia, maka semakin bertambah djuga tenaga dalam jang masuk dibadan Toan Ki. Po-ting-te, Thian-in dan paderi2 lainnja sama merasakan tenaga mereka jang masuk dibadan Toan Ki itu pelahan2 lantas bujar dan tak bisa ditarik kembali lagi, bahkan terasa daja sedot dibadan pemuda itu kuatnja luar biasa. Karuan mereka terkedjut dan ter-heran2 dengan saling pandang.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah, tiba2 terdengar suara gerungan "Huuuh........." jang sangat keras hingga memekakan telinga, Po-ting-te tahu itu adalah sematjam ilmu Lwekang jang maha tinggi dalam ilmu Budha, namanja "Say-tju-ho" atau auman singa.
Menjusul mana, terdengarlah paderi jang duduk menghadap dinding tadi sedang berkata: "Musuh tangguh dalam waktu singkat segera datang, nama kebesaran Thian-liong-si selama ratusan tahun ini sedang terguntjang, apakah botjah ingusan ini keratjunan atau keselurupan segala, kenapa mesti banjak membuang tenaga pertjuma baginja?"
Kata2 itu diutjapkan dengan penuh wibawa hingga susah untuk dibantah orang, maka Thian-in lantas menjahut: "Ja, adjaran Susiok memang tepat!"
" Terus sadja ia memberi tanda dan kelima orang lantas melangkah mundur.
Meski daja sedot Tju-hap-sin-kang dalam badan Toan Ki itu sangat hebat, tapi kalau hendak menghisap kelima tokoh itu berbareng, ternjata tidak kuat djuga.
Mendengar Thian-in membahasakan Hwesio itu dengan panggilan "Susiok", tjepat Po-ting-te lantas memberi hormat djuga dan berkata: "Kiranja Koh-eng Tianglo jang berada disini, maafkan dosa Wanpwe jang tidak memberi hormat sebelumnja."
Kiranja Koh-eng Tianglo itu paling tinggi tingkatannja didalam Thian-liong-si, para paderi didalam geredja itu tiada satupun jang pernah melihat wadjah aslinja. Po-ting-te djuga tjuma mendengar namanja dan selamanja tidak pernah bertemu. Ia dengar paderi tua itu selamanja bersemadi diruang Siang-su-ih dan djarang orang membitjarakannja, maka disangkanja paderi tua itu tentu sudah lama Wafat. Siapa tahu sekarang djusteru didjumpainja disini.
"Urusan harus dibedakan mana jang penting dan mana jang tidak,"
demikian kata Koh-eng Tianglo pula. "Perdjandjian dengan Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san sekedjaplagi sudah akan tiba. Tjing-beng, ada baiknja djuga kalau kaupun ikut berunding
memberi pendapatmu."
"Aneh, Tay-lun-beng-ong dari Tay-swat-san terkenal sangat saleh dan tinggi ibadatnja, kenapa ada perselisihan dengan kita?" Po-ting-te dengan heran.
Segera Thian-in mengeluarkan seputjuk surat jang berwarna kuning menjilaukan dan diangsurkan kepada Po-ting-te. Ternjata sampul surat itu sangat aneh, rasanja djuga antap, kiranja terbuat dari lapisan emas murni jang sangat tipis, diatas sampul surat itu terbingkai pula beberapa huruf dari emas putih jang ditulis dalam bahasa Hindu kuno.
Po-ting-te tjukup paham ilmu Budha, maka dapat membatja tulisan itu maksudnja: "Dihaturkan kepada ketua Thian-liong-si". Dari sampul emas itu Po-ting-te mengeluarkan setjarik kertas surat jang terbuat dari emas djuga, surat itupun tertulis dalam bahasa Sangsekarta dan terdjemahannja kira2 adalah: "Dahulu aku kebetulan bertemu dengan Bujung-siansing dari Koh-soh dinegeri Thian-tiok hingga mengikat persahabatan jang akrab.
Dalam membitjarakan ilmu silat didunia ini, Bujung-siansing sangat memudji kitab 'Lak-meh-sin-kiam' dari geredja kalian dan menjatakan menjesal sebegitu djauh masih belum dapat membatjanja. Belum lama berselang kabarnja Bujung-siansing telah meninggal, rasa dukaku sungguh tak terkatakan, sebagai tanda persahabatanku, aku ingin memohon kitab jang dimaksudkannja itu kepada kalian untuk dibakar dihadapan makam Bujung-siansing. Untuk mana dalam waktu singkat aku akan berkundjung kemari, hendaklah djangan menolak permintannku ini. Sudah tentu Siauong akan memberi timbalan jang setimpal dengan hadiah jang bernilai tinggi, masakan aku berani mengambilnja dengan begitu sadja."
Tulisan Sangsekarta dalam surat itupun ditjetak dengan emas putih dengan sangat indah, terang dibuat oleh pandai emas jang sangat pintar.
Melulu sampul dan surat itu sadja sudah merupakan dua matjam benda mestika, maka dapatlah dibajangkan betapa royalnja Tay-lun-beng-ong itu.
Po-ting-te mengetahui Tay-lun-beng-ong itu adalah Hou-kok-hoat-ong atau radja agama pelindung negara dari negeri Turfan, kabarnja seorang jang tjerdik-pandai dan mahir ilmu Budha, setiap lima tahun sekali tentu mengadakan Chotbah setjara terbuka, maka banjak paderi2 saleh dari Thian-tiok dan negeri2 barat lainnja sama berkundjung ke Tay-lun-si di Tay-swat-san untuk mengikuti tjeramah keagamaan itu. Tapi dalam surat jang ditudjukan kepada Thian-liong-si ini dia mengatakan pernah tukar pikiran dalam hal ilmu silat dengan Bujung-siansing dari Koh-soh serta bersahabat sangat karib, maka dapat dipastikan Tay-lun-beng-ong itupun seorang tokoh silat jang tinggi. Orang tjerdik-pandai demikian kalau sudah beladjar silat, maka dapat dipastikan lain dari jang lain.
Lalu terdengar Thian-in berkata: "Itu 'Lak-meh-sin-kiam-keng' adalah kitab pusaka geredja kita dan merupakan ilmu tertinggi daripada ilmu silat keluarga Toan kita di Tayli ini, Tjing-beng, ilmu silat keluarga Toan jang tertinggi adalah terdapat di Thian-liong-si sini, engkau adalah orang biasa, meski terhitung sanak keluarga sendiri, namun terpaksa banjak rahasia ilmu silat kita tak boleh dikatakan padamu."
"Ja, hal itu aku paham," sahut Po-ting-te.
"Anehnja," demikian Thian-koan ikut bitjara, "tentang geredja kita mempunjai 'Lak-meh-sih-kiam-keng', bahkan Tjing-beng dan Tjing-sun djuga tidak tahu, mengapa orang she Bujung itu malah mengetahuinja?"
"Dan Tay-lun-beng-ong itu toh djuga seorang paderi saleh jang terkemuka didjaman ini, mengapa begitu tidak kenal aturan dan berani meminta kitab setjara kekerasan pada kita," udjar Thian-som dengan gusar. "Tjing-beng, oleh karena Hongtiang suheng tahu musuh jang bakal datang itu tentu tidak bermaksud baik, akibat dari urusan ini tidaklah ketjil, maka Koh-eng Susiok telah diundang untuk mengatasi urusan ini".
"Sungguh memalukan djuga" Thian-in ikut berkata, "meski geredja kita mempunjai kitab pusaka itu, tapi tiada seorangpun diantara kita jang mahir ilmu sakti itu, bahkan mempeladjari djuga tidak pernah. Sedangkan ilmu jang dijakinkan Koh-eng Susiok adalah sematjam ilmu sakti lain dari geredja kita, untuk- mana djuga diperlukan sedikit waktu lagi baru bisa terlatih sempurna. Sebaliknja kalau mengingat kedatangan Tay-lun-beng-ong itu, kalau dia tidak mempunjai sesuatu andalan, masakah dia berani setjara terang2an meminta kitab pusaka kita setjara kekerasan?"
"Sudah tentu iapun tidak berani memandang enteng Lak-meh-sin-kiam,"
udjar Koh-eng Tianglo tiba2. "Melihat isi suratnja itu, agaknja dia begitu mengagumi Bujung-siansing dan orang she Bujung itupun sangat tertarik pada kitab pusaka kita, dengan sendirinja Tay-lun-beng-ong bisa mengukur dirinja sendiri. Namun dia menduga dalam geredja kita tiada sesuatu tokoh jang luar biasa, biarpun terdapat kitab pusaka djuga tiada orang mampu mejakinkan, makanja dia tidak djeri pada kita."
"Djika dia sendiri mengagumi kitab pusaka kita, asal dia mau memindjam dengan baik2, mengingat dia adalah paderi saleh dalam Budha, paling banjak kita akan menolaknja setjara terhormat dan urusan akan Selesai begitu sadja. Tapi ia djusteru hendak meminta kitab itu untuk dibakar dihadapan orang jang sudah mati, bukankah tindakan demikian terlalu menghina Thian-liong-si kita?" demikian Thian-som berseru dengan gusar.
"Ai, Sute djuga tidak perlu mesti marah." sahut Thian-siang. "Kulihat Tay-lun-beng-ong itu bukan seorang jang bodoh, tapi dia hendak menirukan perbuatan orang didjaman dulu dengan membakar kitab didepan kuburan sahabat, agaknja dia benar2 sangat kagum kepada Bujung-siansing itu."
"Apakah Thian-siang Taysu kenal bagaimana pribadi Bujung-siansing itu?"
tanja Po-ting-te. "Aku tidak tahu," sahut Thian-siang "Tapi mengingat betapa seorang tokoh matjam Tay-lun-beng-ong djuga begitu kesemsem padanja, maka dapat dipastikan Bujung-siansing itu pasti seorang jang lain dari jang lain." " Berkata sampai disini, sikapnja ikut sangat kesemsem pada orang jang dibitjarakan itu.
"Menurut penilaian Susiok pada kekuatan musuh," demikian kata Thian-in,
"kalau kita tidak lekas2 mejakinkan Lak-meh-sin-kiam, mungkin kitab pusaka kita akan direbut orang dan Thian-liong-si akan runtuh untuk se-lama2nja. Tjuma ilmu pedang sakti itu mengutamakan tenaga dalam dan tidak mungkin berhasil dilatih dalam waktu singkat. Tjing-beng, bukanlah kami tidak mau membantu menjembuhkan Ki-dji, tapi kita kuatir terlalu banjak membuang tenaga, lalu musuh tangguh mendadak datang, tentu kita akan susah melawannja. Tampaknja keselamatan Ki-dji takkan terantjam dalam waktu beberapa hari, maka selama beberapa harini biarlah dia merawat dirinja disini, bila kesehatannja bertambah buruk, kita akan dapat menolongnja setiap saat, sebaliknja kalau tidak apa2, nanti kalau musuh tangguh sudah dienjahkan, kita akan berusaha menolongnja sepenuh tenaga."
Walaupun Po-ting-te sangat kuatirkan kesehatannja Toan Ki, namun demikian dia adalah seorang jang bidjaksana, ia tahu Thian-liong-si itu adalah modal dasar keluarga Toan dari Tayli, setiap kali keradjaan ada bahaja, selalu Thian-liong-si memberi bantuan sekuatnja. Selama lima keturunan keradjaan Tayli sudah mengalami banjak kesukaran dan dapat berdiri sampai sekarang, djasa Thian-liong-si itu sesungguhnja tidak ketjil. Sebaliknja sekarang Thian-liong-si terantjam bahaja, manabisa dirinja tinggal diam.
Maka berkatalah Po-ting-te: "Atas kebaikan Hongtiang, Tjing-beng merasa terima kasih sekali. Entah urusan menghadapi Tay-lun-beng-ong itu apakah Tjing-beng dapat sekedar memberi bantuan?"
Thian-in memikir sedjenak, lalu menjahut: "Engkau adalah djago nomor satu dari keluarga Toan kita dikalangan orang biasa, pabila engkau dapat menggabungkan tenagamu untuk menghadapi musuh sudah tentu akan banjak menamhah kekuatan kita. Tjuma sadja engkau adalah orang biasa, kalau ikut tjampur pertengkaran dalam kalangan agama, tentu akan ditertawai Tay-lun-beng-ong bahwa Thian-liong-si kita sudah kehabisan djago".
"Kalau kita melatih Lak-meh-sin-kiam itu sendiri2, biar siapapun tiada seorangpun jang bisa berhasil," tiba2 Koh-eng berkata. "Kitapun sudah memikirkan suatu akal, jaitu masing2 orang melatih satu 'meh' (nadi, Lak-meh = enam nadi) diantara Lak-meh-sin-kiam itu. Dikala menghadapi musuh, tjukup salah seorang tampil kemuka, sedang kelima orang lainnja hanja membantunja dengan menjalurkan tenaga dalam kepadanja. Asal lawan tidak mengetahui akal kita ini, tentu kita akan menang. Tjara ini meski kurang djudjur, namun apa daja, keadaan terpaksa. Tapi untuk mentjari orang keenam jang memiliki tenaga djari jang hebat, didalam Thian-liong-si ini susah diketemukan lagi Kebetulan engkau telah datang kemari ,Tjing-beng, marilah engkau boleh ikut mengisi kekurangan itu. Tjuma engkau harus ditjukur dulu dan memakai djubah Hwesio."
"Kembali pada Budha memang sudah lama mendjadi tjita2 Tjing-beng, tjuma ilmu sakti jang hebat itu selamanja Tjing-beng belum pernah mendengarnja..............."
"Djika memakai akal itu, sudah lama engkau memahaminja, kini asal kau mempeladjari tipu ilmu pedangnja sudah tjukup", sela Thian-som tjepat.
"Po-ting-te mendjadi bingung, tanjanja: "Silahkan Taysu memberi petundjuk."
"Tjoba engkau duduklah untuk bitjara lebih djelas," kata Thian-in.
Dan sesudah Po-ting-te duduk bersila diatas sebuah tikar, lalu Thian-in berkata pula: "Apa jang disebut Lak-meh-sin-kiam itu sebenarnja tidak ada wudjut pedang sungguh2, hanja menggunakan tenaga djari dari It-yang-tji jang hebat hingga mendjadikannja hawa pedang, ada kekuatannja tapi tiada wudjutnja, maka boleh djuga dikatakan sematjam Bu-heng-gi-kiam (pedang hawa jang tak Berwudjut). Tentang Lak-meh (enam nadi) diatas lengan itu adalah Thayim, Koatin............" " Sambil berkata, ia terus mengeluarkan satu berkas kertas gulungan. Mungkin sudah terlalu tua, maka gulungan kertas itu sudah bersemu kuning.
Setelah Thian-som menjambut gulungan kertas itu, lalu digantung diatas dinding. Waktu gulungan kertas itu sudah terbuka, kiranja adalah sebuah lukisan bentuk badan seorang laki2, diatas badan tertjatat dengan djelas tempat2 Hiat-to mengenai enam urat nadi jang bersangkutan.
Po-ting-te adalah ahli It-yang-tji, pula "Lak-meh-sin-kiam-keng" itu berdasarkan tenaga It-yang-tji, djadi sedjalan dengan ilmu silat Keluarga Toan mereka, dengan sendirinja ia lantas paham begitu melihat gambar itu tanpa pendjelasan lagi.
"Tjing-beng," kata Thian-in kemudian, "engkau adalah seorang radja dari suatu negeri, untuk sementara meski dapat menjamar, tapi kalau sampai diketahui oleh musuh, tentu akan sangat merugikan nama baik Tay-li-kok.
Dari itu, sebelumnja hendaklah kau pertimbangkan lebih masak."
"Madju terus, pantang mundur," sahut Po-ting-te tegas.
"Bagus," kata Thian-in. "Lak-meh-sin-kiam-keng ini tidak diadjarkan pada anak murid orang biasa, maka engkau harus mentjukur rambut djadi Hwesio baru aku bisa mengadjarkan padamu."
Tanpa pikir Po-ting-te lantas berlutut kehadapan Thian-in dan berkata:
"Silahkan Taysu!"
"Kemarilah kau, biar aku jang mentjukur engkau," kata Koh-eng Taysu tiba2.
Po-ting-te menurut, ia lantas melangkah madju dan berlutut, oleh karena Koh-eng duduk menghadap dinding, djadi Po-ting-te berlutut dibelakangnja.
Dengan anteng Toan Ki sedjak tadi masih meringkuk ditempatnja dengan perasaan sadar, maka ia dapat mengikuti semua pertjakapan orang tadi, pikirnja: "Bitjara kesana kesini ternjata selalu ada sangkut-pautnja lagi dengan orang she Bujung itu." " Dan ketika melihat sang paman hendak ditjukur untuk mendjadi Hwesio, diam2 ia terkesiap djuga. Ia lihat Koh-eng Taysu telah baliki tangan kanannja dan meraba keatas kepala Po-ting-te, begitu kurus tangannja itu hingga benar2 tinggal kulit membungkus tulang belaka.
Tetap Koh-eng Tianglo itu tidak memutar tubuh sedikitpun, hanja mulutnja mengutjapkan sabda Budha, ketika tangannja kemudian diangkat, tahu2 seluruh rambutnja Po-ting-te bertebaran djatuh ketanah, kepalanja sudah gundul kelimis, biarpun ditjukur dengan pisau tjukur mungkin djuga tidak sehalus itu.
Sungguh kedjut Toan Ki tak terkatakan, sekalipun Po-ting-te, Thian-koan dan lain2 djuga kagum tak terhingga atas ilmu sakti paman guru mereka itu. Maka terdengar Koh-eng Taysu berkata: "Sesudah masuk kedalam Budha, nama agamamu adalah Thian-tim."
"Terima kasih Suhu atas pemberian nama ini," sahut Po-ting-te dengan merangkap tangan.
Dan oleh karena Po-ting-te telah ditjukur oleh Koh-eng, menurut agama ia mendjadi Sutenja Thian-in, walaupun dalam urut2an keluarga Thian-in sebenarnja adalah pamannja.
Lalu Koh-eng berkata pula: "Boleh djadi malam ini djuga Tay-lun-beng-ong itu bakal tiba, Thian-in, boleh engkau adjarkan inti rahasia Lak-meh-sin-kiam padanja."
Thian-in mengia dan menundjukan tanda2 Hiat-to jang terdapat diatas gambar jang tergantung didinding itu. Segera Po-ting-te menurutkan petundjuk itu untuk mendjalankan tenaga murninja dimana djarinja menutuk.
Segera mengeluarkan suara mentjitjit jang pelahan.
Koh-eng sangat girang, katanja: "Tidak tjetek latihan Lwekangmu, meski Kiam-koat ini sangat ruwet perubahannja, namun hawa pedangan sudah dapat kau wudjutkan, dengan sendirinja dapatlah engkau gunakan sesuka hati."
"Marilah sekarang djuga kita mulai berlatih," udjar Thian-in. "Susiok kusus melatih Siau-siang-kiam dengan djari djempol, aku melatih djari telundjuk, Thian-koan Suheng melatih djari tengah. Thian-tim Sute melatih djari manis dan Thian-siang Suheng memakai djari ketjil. Sedangkan Thian-som Sute djuga melatih djari ketjil tangan kiri. Waktu sudah mendesak, kita harus tjepat mejakinkannja".
Tjepat ia mengeluarkan pula enam lukisan. dan digantung disekeliling dinding, keenam lukisan itu masing2 menundjukan titik2 Hiat-to sendiri2
dari enam orang jang harus dilatihnja dan menggambarkan dimana djari mereka harus menutuk.
Dalam pada itu Toan Ki merasakan hawa murni dalam tubuhnja semakin penuh dan bergolak dengan hebat, djauh lebih menderita daripada sebelumnja, sebab tadi Thian-in berlima telah tidak sedikit pula mentjurahkan tenaga dalam mereka kedalam badan pemuda itu. Karena sang paman dan paderi2 itu sedang memusatkan pikiran untuk melatih ilmu sakti, maka Toan Ki tidak berani mengganggu, ia bertahan sekuatnja dengan ter-menung2. Dalam isengnja, tanpa sengadja ia tjoba memandang kelukisan jang menggambarkan Hiat-to dibadan manusia jang tergantung didinding itu, dan kebetulan pada saat itu tanpa merasa tangan kirinja sendiri sedang me-londjat2 seakan2 ada sesuatu jang akan menerobos keluar dari bawah kulit tangannja. Tempat jang ber-kedut2 seperti diterobos tikus itu tertjatat sebagai "Hwe-tjong-hiat" diatas lukisan itu. Waktu ia melirik sang paman, ia lihat Po-ting-te sedang memperhatikan gambar Siau-yang-keng jang kusus harus dilatihnja dan tergantung didepannja itu, djari manis sang paman tampak sedang bergerak pelahan. Toan Ki tjoba mengikuti tanda2 jang tertjatat diatas gambar itu. Aneh djuga, karena pikirannja ditjurahkan untuk mengikuti garis2 jang menghubungkan Hiat-to satu dan lain menurut gambar, se-konjong2 hawa murni dalam tubuhnja itupun ikut berdjalan menurut perasaannja, mula2 hawa itu timbul dari lengan menaik keatas bahu dan terus kepundak.
Dan meski tjuma sedikit hawa murni itu berdjalan. namun rasa Toan Ki jang muak dan sesak tadi lantas terasa longgar. Njata tanpa sengadja ia telah tarik hawa murni itu keurat nadi Sam-djiau. Tetapi karena tjara mendjakinkan hawa murni itu sebenarnja adalah sematjam Lwekang jang sangat tinggi, Toan Ki tidak paham seluk-beluknja setjara tepat, baru sebentar ia djalankan tenaganja, terus sadja ia men-djerit2 aduh.
Untunglah sebelum hawa dalam badannja itu kesasar, karena mendengar teriakannja, segera Po-ting-te menanja: "Kenapakah Ki-dji?"
"Dalam badanku terasa penuh terisi hawa jang bergolak dan menerdjang kian kemari, rasanja sangat menderita, waktu aku mengikuti garis2 merah diatas lukisanmu itu, hawa ini lantas mengalir masuk kedalam perut, tetapi, aduuuuh.................. tetapi hawa dalam perut makin lama semakin penuh terisi dan sekarang rasa perutku se-akan2 meledak!"
demikian tutur Toan Ki sambil meringis.
Perasaan Toan Ki itu hanja dapat dirasakan oleh sipenderita sendiri, ia merasa perutnja melembung dan seakan-akan meledak, tapi bagi penglihatan orang lain toh keadaannja biasa sadja tiada sesuatu jang aneh.
Namun Po-ting-te tjukup paham tentang segala kemungkinan-kemungkinan bagi orang jang melatih Lwekang. Perasaan perut melembung akan meledak itu umumnja tjuma bisa terdjadi pada orang jang melatih Lwekang berpuluh tahun lamanja, tapi selamanja Toan Ki tidak pernah beladjar silat, darimana bisa terdjadi begitu" Ia pikir tentu gara-gara ratjun jang mengeram didalam tubuhnja itu. Karena itu, Po-ting-te mendjadi kuatir kalau-kalau ratjun itu akan mengamuk hingga hawa djahat ketelandjur masuk kedjantung, untuk melenjapkannja tentu akan susah.
Biasanja Po-ting-te dapat bertindak tegas dan tjepat ambil keputusan.
Tapi kedjadian didepan matanja sekarang menjangkut baik buruk selama hidupnja Toan Ki. Kalau sedikit ajal, mungkin akan membahajakan djiwa pemuda itu. Dalam keadaan kepepet, biarpun akibatnja mungkin tjelaka, terpaksa harus ditjobanja djuga. Maka katanja: "Ki-dji, biar kuadjarkan engkau tentang memutarkan hawa menudju kepusat." ~ Habis ini, segera ia mengadjarkan penuntun ilmu itu kepada Toan Ki sambil tangannja sendiri tetap berlatih menurut gambar.
Sambil mendengarkan petundjuk sang paman, terus sadja satu kata demi kata dituruti Toan Ki untuk melaksanakannja. Dan inti Lwekang keluarga Toan dari Tayli itu memang sangat hebat, selesai Toan Ki melakukan petundjuk sang paman, hawa jang bergolak tadi djuga sudah dapat ditarik masuk semua kepusat. Maka terasalah badannja makin lama semakin segar, rasanja enteng seakan-akan melajang keudara.
Melihat wadjah pemuda itu berseri-seri girang, Po-ting-te malah menjangka sang keponakan itu terlalu dalam keratjunan dan kelak akan susah disembuhkan lagi. Maka diam-diam ia sangat gegetun.
Meski Koh-eng Taysu sedjak tadi duduknja tetap menghadap dinding, tapi pertjakapan kedua orang itu dapat diikutinja semua. Sesudah selesai mendengar Po-ting-te mengadjarkan kepandaiannja kepada Toan Ki, segera ia berkata: "Thian-tim, ketahuilah bahwa segala apa sudah takdir ilahi, maka engkau tidak perlu kuatir bagi orang lain, jang penting sekarang lekas engkau melatih Siau-yang-kiam sadja!"
Po-ting-te mengia dan memusatkan kembali perhatiannja untuk melatih Siau-yang-kiam jang diwadjibkannja diantara Lak-meh-kiam-hoat itu.
Dalam pada itu hawa murni dalam tubuh Toan Ki jang sangat padat itu sudah tentu takdapat dipusatkan seluruhnja dalam waktu singkat, tjuma penuntun dasar jang diterimanja dari Po-ting-te itu dapat berdjalan dengan lantjar dan semakin tjepat.
Begitulah ketudjuh orang jang berada didalam pondok itu masing-masing melatih ilmunja sendiri-sendiri, tanpa merasa hari sudah malam dan subuh sudah mendatang.
Mendjelang pagi itulah Toan Ki merasa kaki-tangannja enteng leluasa tidak tersisa sedikitpun hawa jang hendak meledak seperti kemarin itu. Ia tjoba berdiri dan melemaskan otot-ototnja. Ia lihat sang paman dan kelima paderi saleh itu masih asjik melatih ilmu pedangnja masing-masing. Ia tidak berani membuka pintu untuk keluar, pula tidak berani bersusara mengganggu keenam orang itu, saking iseng, ia tjoba mengikuti gambar didepan sang paman jang melukiskan letak-letak urat nadi dengan ilmu pedang Siau-yang-kiam itu, dikala perhatiannja terhadap gambar itu memusat, tiba-tiba terasa suatu arus hawa murni membandjir keluar dari perutnja terus menerdjang kebahu. Jang paling aneh jalah dimana pikiran Toan Ki ditjurahkan pada titik urat nadi dalam gambar itu, segera hawa murni jang mengalir dalam tubuh itu lantas menjusup kesana, djadi dari bahu kelengan dan dari lengan kedjari. Tapi Toan Ki tidak dapat mendjalankan Lwekangnja untuk mengatur hawa murni itu, maka ketika hawa murni menerdjang keudjung djari, ia merasa djarinja seperti abuh hendak petjah, maka pikirnja: "Ah, biarkan arus hawa ini kembali sadja." ~ Aneh djuga, begitu pikirannja, begitu pula hawa murni itu lantas mengalir kembali keperutnja.
Kiranja tanpa merasa Toan Ki telah berhasil memperoleh inti dasar ilmu Lwekang jang sangat tinggi, tapi ia sendiri sama sekali tidak tahu. Ia hanja merasa arus hawa jang mengalir kian kemari dilengannja itu dapat dimainkan sesukanja.
Kemudian ia lihat Thian-siang Taysu diantara ketiga paderi Bo-ni-tong itu adalah jang paling ramah-tamah, ia tjoba melongok gambar "Siau-im-keng-meh-toh" jang wadjib dilatih paderi itu. Ia lihat titik nadi gambar itu dimulai dari "Kek-tjoan-hiat" dibawah ketiak terus menurun sampai di
"Siau-tjiong-hiat" diudjung djari ketjil. Kembali satu-persatu ia mengikuti garis Hiat-to itu hingga arus hawa murni dalam tubuhnja mengalir lagi seperti tadi menurut perasannja.
Ternjata dalam waktu singkat sadja Toan Ki sudah dapat menembus semua urat nadi dilengan itu. Dan karena Lak-meh atau enam nadi itu dapat ditembus, semangatnja mendjadi segar malah. Dalam isengnja ia terus memeriksa pula gambar-gambar lain jang sedang dilatih Thian-in dan lain-lain itu, namun ia mendjadi pusing melihat garis-garis merah, biru, hitam dan lain-lain jang ruwet itu. Pikirnja: "Ah, begini sulit ilmu pedang itu, mana dapat aku ingat seluruhnja?" ~ Lalu pikirnja pula: "Aneh, kenapa kedua paderi ketjil itu tidak menghantarkan makanan kemari"
Biarlah diam-diam aku mengelojor keluar untuk mentjari makanan."
Tapi pada saat itu djuga hidungnja lantas mentjium sematjam bau wangi jang halus, menjusul terdengarlah suara orang bernjanji dalam pudjian Budha, suara itu hanja sajup-sajup sadja, sebentar terdengar sebentar tidak.
"Siantjay, Siantjay! Tay-lun-beng-ong telah tiba, bagaimana dengan latihan kalian?" demikian Koh-eng Taysu berkata dengan gegetun.
"Meski belum masak betul-betul, namun sudah tjukup untuk menghadapi musuh," sahut Thian-som.
"Thian-in," kata Koh-eng pula, "aku tidak suka bergerak, bolehlah kau undang Beng-ong bitjara keruang Bo-ni-tong ini sadja."
Thian-in mengia dan keluar.
Segera Thian-koan menjiapkan lima kasuran tikar dan didjadjarkan mendjadi satu baris. Ia sendiri lantas menduduki kasuran pertama, Thian-siang kedua, Po-ting-te keempat, Thian-som kelima dan ketiga jang luang itu disediakan untuk Thian-in. Toan Ki tidak punja tempat duduk, terpaksa ia berdiri dibelakangnja Po-ting-te.
Tahu musuh tangguh bakal tiba, lekas-lekas Koh-eng dan Thian-koan berlima mengapalkan sekali lagi petundjuk Kiam-hoat dalam gambar, lalu lukisan itu tjepat-tejapt digulung semua dan ditaruh didepannja Koh-eng.
"Ki-dji," kata Po-ting-te, "sebentar bisa terdjadi pertarungan sengit, tentu diruangan ini akan penuh hawa pedang jang tadjam, tentu akan membahajakan dirimu, sedangkan paman tak dapat melindungi kau, maka lebih baik engkau keluar sadja sana!"
Toan Ki mendjadi terharu, ia pikir: "Dari pertjakapan paman dan lain-lain, agaknja ilmu silat Tay-lun-beng-ong itu teramat lihay, sedangkan ilmu pedang paman ini baru sadja djilatih, entah mampu tidak melawan musuh, dan kalau terdjadi apa-apa, lantas bagaimana baiknja?" ~ Maka katanja segera: "Pekhu, aku ... aku ingin tinggal disini, aku kua ...
kuatirkan pertempuran nanti ...." ~ Bitjara sampai disini, suaranja mendjadi parau dan tak lantjar.
Hati Po-ting-te terharu djuga, pikirnja: "Anak ini ternjata sangat berbakti kepada orang tua."
"Ki-djie," tiba-tiba Koh-eng buka suara, "bolehlah kau duduk kedepanku sini, betapa lihaynja Tay-lun-beng-ong itu djuga takkan mengganggu seudjung rambutmu!"
Meski nada Koh-eng Taysu itu tetap dingin sadja tanpa perasaan, namun dari kalimatnja itu kentara sekali rasa angkuhnja.
Tentu sadja Toan Ki mengia dan membungkuk mendekati Koh-eng Taysu, ia tidak berani memandang muka paderi itu, lalu duduk bersila dengan menghadap dinding djuga. Memangnja tubuh ke djauh lebih tinggi dari Toan Ki, maka badan pemuda itu hampir teraling-aling seluruhnja.
Po-ting-te mendjadi girang dan terima kasih, tadi ketika Koh-eng mentjukur rambutnja dengan ilmu saktinja, kepandaian itu sudah tjukup untuk ditondjolkan dalam dunia persilatan. Maka sekarang Toan Ki dibawah perlindungannja, sudah tentu tidak perlu kuatir lagi.
Selang agak lama, terdengarlah suara Thian-in Hongtiang lagi berkata diluar. "Atas kundjungan Beng-ong, silahkan masuk keruang Bo-ni-tong ini sadja!"
Lalu suara seorang lain menjahut: "Harap Hongtiang suka menundjukkan djalannja!"
Mendengar suara orang jang halus dan ramah-tamah itu, Toan Ki jakin Tay-lun-beng-ong itu pasti bukan seorang jang kedjam dan buas. Djika didengar dari suara tindakan orang diluar, kedengarannja berdjumlah belasan orang banjaknja.
Kemudian terdengar suara pintu didorong oleh Thian-in sambil berkata:
"Silahkan Beng-ong masuk!"
"Maafkan!" sahut Tay-lun-beng-ong sambil melangkah masuk. Lalu ia masuk memberi hormat kepada Koh-eng Taysu sambil berkata: "Wanpwe adalah Tjiumoti dari negeri Turfan, dengan ini memberi sembah kepada Tjianpwe Taysu."
Diam-diam Toan Ki membatin: "Kiranja nama asli Tay-lun-beng-ong ini adalah Tjiumoti."
Maka menjahutlah Koh-eng Taysu: "Beng-ong datang dari djauh, maafkan kalau Lolap tidak memberi sambutan jang pantas."
Dan sesudah saling mengutjapkan kata-kata merendah pula, kemudian Thian-in menjilahkan duduk Tay-lun-beng-ong alias Tjiumoti itu.
Diam-diam Toan Ki ingin tahu matjam apakah Tay-lun-beng-ong jang disegani itu. Pelahan-pelahan ia menoleh sedikit dan melirik dari samping Koh-eng Taysu. Ia lihat disebelah sana berduduklah seorang paderi berdjubah kuning, usianja belum ada setengah abad, sederhana dandanannja, tapi mukanja bertjahaja bagai permata kemilauan. Baru melihat sekedjap sadja lantas timbul rasa suka dan kagumnja Toan Ki. Waktu memandang pula keluar pintu, ternjata diluar sana berdiri 8 atau 9 laki-laki jang berperawakan berbeda-beda dan wadjah berlainan, tapi kebanjakan bengis menakutkan, tidak seperti orang Tiongkok umumnja. Terang mereka pengiringnja Tay-lun-beng-ong jang dibawanja dari daerah barat.
Kemudian dengan merangkap tangannja memberi hormat, Tjiumoti itu berkata: "Budha berkata: tiada hidup takkan mati, tiada kotor takkan bersih. Bakat Siautjeng terlalu bodoh dan belum dapat memahami suka-duka dan mati-hidup manusia. Tjuma selama hidup Siautjeng mempunjai seorang kawan karib, jaitu orang she Bujung dari Koh-soh dinegeri Song. Siautjeng telah berkenalan dengan dia dinegeri Thian-tiok, disana kami telah tukar pikiran tentang ilmu silat dan pedang. Bujung-siansing itu ternjata sangat luas pengetahuannja, tiada sesuatu ilmu silat didunia ini jang tak dipahaminja, berkat petundjuknja dalam beberapa hari, segala pertanjaanku selama hidup jang tak terdjawab itu telah dipetjahkan olehnja dalam sekedjap. Tak terduga orang pandai itu djusteru berumur pendek, kini Bujung-siansing telah pulang kenirwana. Karena itu Siautjeng ada sesuatu permohonan jang tidak pantas, sukalah para Tianglo menaruh belas-kasihan."
Sudah tentu Thian-in paham apa maksud tudjuan dibalik utjapannja itu.
Djawabnja segera: "Beng-ong dapat bersahabat dengan Bujung-siansing, itu berarti ada djodoh, dan bila masa djodoh itu sudah habis, guna apa mesti dipaksakan lagi" Bujung-siansing sudah lama wafat, mengapa terhadap ilmu silat didunia fana ini mesti disajangkan pula" Tindakan Beng-ong ini apa tidak berlebihan?"
"Nasihat Hongtiang ini memang benar djuga," sahut Tjiumoti. "Tjuma Siautjeng dasarnja memang agak bandel, meskipun sudah sekian lamanja toh kebaikan persahabatan dahulu susah untuk dilupakan. Dahulu ketika Bujung-siansing bitjara tentang Kiam-hoat di dunia ini, ia jakin "Lak-meh-sin-kiam" dari Thian-liong-si ini adalah nomor satu dari segala ilmu pedang, ia menjatakan sangat menjesal karena selama hidupnja tidak sempat melihat ilmu pedang sakti itu."
"Tempat kami ini terpentjil didaerah perbatasan selatan, tapi toh mendapat perhatian Bujung-siansing, sungguh kami merasa sangat bangga,"
sahut Thian-in. "Tetapi diwaktu hidupnja mengapa Bujung-siansing tidak datang sendiri untuk memindjam lihat Kiam-keng (kitab ilmu pedang) kami ini?"
Tiba-tiba Tjiumoti menghela napas pandjang dan wadjahnja berubah sedih, sedjenak kemudian barulah dia berkata: "Bujung-siansing sendiri tahu bahwa kitab itu adalah pusaka geredja kalian, meskipun mohon lihat dengan terus terang djuga tak mungkin diidzinkan. Ia bilang Toan-si dari Tayli diagungkan sebagai radja, tapi toh tidak melupakan setia-kawan dalam Kangouw, tjinta negeri dan berkati rakjat, maka ia tidak enak untuk melakukan pentjurian atau main ambil setjara paksa."
"Terima kasih atas pudjian Bujung-siansing itu," udjar Thian-in. "Dan bila Bujung-siansing sudi menghargai Toan-si dari Tayli, Beng-ong adalah sobat karibnja, seharusnja djuga suka memaklumi djiwanja itu."
"Ja, namun tempo dulu Siauwtjeng sudah ketelandjur omong besar bahwa Siau-tjeng adalah Koksu (imam negara) dari Turfan, bukan sanak dan lain kadang daripada keluarga Toan di Tayli, djikalau Bujung-siansing merasa sungkan untuk memintanja sendiri, biarlah Siautjeng akan mewakilinja.
Sekali seorang laki-laki sedjati sudah buka suara, biarpun mati atau hidup tak boleh menjesal. Dari itu djandji Siautjeng kepada Bujung-siansing itu tidak nanti kudjilat kembali."
Habis berkata, ia terus tepuk-tepuk tangan tiga kali. Maka masuklah dua laki-laki diluar itu sambil menggotong sebuah peti kaju tjendana dan ditaruh dilantai. Waktu lengan badju Tjiumoti mengebas, tanpa dibuka tutup peti itu lantas mengap sendiri. Maka tertampaklah sinar kemilauan, didalam peti itu terdapat sebuah kotak ketjil dari emas. Segera Tjiumoti ambil kotak emas itu dan disunggi diatas tangannja.
"Kita sama-sama orang diluar dunia ramai, masakah masih tamak terhadap benda mestika apa segala?" diam-diam Thian-in membatin. "Apalagi keluarga Toan diagungkan sebagai radja di Tayli, dengan harta pusaka kumpulan selama ratusan tahun ini masakan masih kekurangan?"
Diluar dugaan Tjiumoti lantas membuka tutup kotak emas itu, apa jang dikeluarkan dari kotak itu ternjata adalah tiga djilid kitab lama. Ketika ia balik-balik halaman kitab itu sekenanja, sekilas Thian-in dan lain-lain dapat melihat isi kitab itu ada gambarnja djuga ada tulisannja, semuanja tulisan tangan dari tinta merah.
Tiba-tiba Tjiumoti termangu-mangu, memandangi ketiga djilid kitab itu dengan air mata berlinang-linang, sikapnja sangat menjesal dan berduka luar biasa. Karuan Thian-in dan lain-lain mendjadi heran.
Namun Koh-eng Taysu lantas berkata: "Beng-ong terkenang kepada sahabat jang sudah meninggal, batin belum bersih dari kedunawian, apakah tidak malu disebut Ko-tjeng (paderi saleh)?"
"Taysu maha pintar dan maha sakti, sudah tentu Siautjeng tak mampu menjamai," sahut Tay-lun-beng-ong. "Tjuma ketiga djilid kuntji ilmu silat ini adalah tulisan tangan Bujung-siansing jang menguraikan tentang titik pokok ke-72 djenis ilmu tunggal dari Siau-lim-pay, diuraikan pula tentang tjara melatihnja dan tjara memetjahkannja."
Halaman 9: Gambar
Tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengeluarkan sebuah kotak emas, dari kotak itu dikeluarkannja pula tiga djilid kitab jang sudah tua.
Semua orang terkedjut oleh keterangan itu, pikir mereka: "Ilmu silat tunggal dari Siau-lim-pay termasjhur diseluruh dunia, konon sedjak Siau-lim-pay didirikan, ketjuali didjaman permulaan ahala Song pernah ada seorang paderi sakti jang berhasil melatih 36 djurus ilmu tunggal, selamanja tiada orang kedua lagi jang bisa melebihi dari itu. Tapi Bujung-siansing ini dapat memahami kuntji daripada ke-72 djenis ilmu silat Siau-lim-pay jang lihay, bahkan tentang tjara bagaimana mematahkan ilmu-ilmu silat itupun dapat dipetjahkannja, hal ini benar-benar susah untuk dimengarti orang."
Maka berkatalah Tay-lun-beng-ong: "Bujung-siansing telah menghadiahkan ketiga djilid kitab ini kepada Siautjeng, sesudah kubatja sungguh tidak sedikit Siautjeng memperoleh manfaatnja. Kini Siautjeng bersedia menukar ketiga djilid kitab ini dengan Lak-meh-kim-keng kalian. Pabila para Taysu setudju hingga Siautjeng dapat memenuhi djandji kepada sahabat lama, sungguh Siautjeng merasa terima kasih tak terhingga."
Thian-in terdiam, pikirnja dalam hati: "Apa jang tertjatat didalam kitab-kitab itu bila benar adalah ke-72 djenis ilmu tunggal Siau-lim-si, maka sesudah kami memperolehnja, bukan sadja dalam ilmu silat Thian-liong-si bakal sedjadjar dengan nama Siau-lim-si, bahkan mungkin dapat lebih tinggi daripada mereka. Sebab Thian-liong-si dapat memahami seluruh ilmu Siau-lim-si, sebaliknja ilmu tunggal dari geredja kami tak diketahui oleh Siau-lim-si."
Lalu Tay-lun-beng-ong menjambung lagi: "Dan diwaktu kalian menjerahkan kitab pusaka kepadaku, silahkan menjalin dulu turunannja, dengan begitu pertama Taysu telah berbuat baik kepada Siautjeng, untuk mana aku takkan lupa sampai tua, sebaliknja tidak merugikan pihak Taysu; kedua, sesudah Siautjeng menerima kitab pusaka kalian, segera akan kubungkus rapat-rapat, sekali-sekali takkan mengintai isinja sedikitpun dan akan menjampaikan sendiri kitab pusaka kehadapan kuburan Bujung-siansing dan dibakar disana, dengan demikian ilmu sakti dari geredja kalian ini takkan tersiar diluaran; ketiga, ilmu silat Thian-liong-si memangnja sudah hebat, dengan tambahan ilmu-ilmu sakti ke-72 djenis dari Siau-lim-pay ini, diantaranja seperti "Tjian-hoa-tji", "Bu-siang-djiat-tji" dan "To-lo-yap-tji" sangat berguna djuga untuk bahan perbandingan dengan It-yang-tji kalian."
Tjara berkata Tjiumoti itu sangat enak didengar dan menarik, masuk diakal pula, maka Po-ting-te dan Thian-siang Taysu jang lebih dulu tertarik. Tjuma diatas mereka masih ada Hongtiang serta sang Susiok, maka merekapun tidak enak untuk mengutarakan pikiran mereka.
Segera Tay-lun-beng-ong melandjutkan lagi: "Mungkin usia Siautjeng masih muda dan pengalaman tjetek, apa jang kukatakan barusan belum tentu dapat dipertjajai para Taysu. Maka tentang ketiga djenis Tji-hoat (ilmu djari) tadi boleh djuga Siautjeng memberi demonstrasi sekedarnja sekarang." ~ Segera ia berbangkit dan berkata pula: "Tjuma apa jang dipahami Siautjeng ini masih sangat tjetek dan kasar, bila ada kesalahan, mohon para Taysu suka memberi petundjuk. Sekarang aku mulai dengan Tjiam-hoa-tji."
Habis itu, tertampak ia menggunakan djari-djari djempol dan telundjuk kanan dengan gaja memetik bunga seakan-akan telah memetik setangkai bunga, dengan wadjah bersenjum kelima djari tangan kiri kemudian mendjentik pelahan kekanan.
Diantara semua orang jang berada didalam ruangan itu, ketjuali Toan Ki, jang lain-lain adalah ahli Tji-hoat kelas wahid. Maka mereka dapat melihat betapa indah dan lemah-lembutnja gaja gerakan itu.
Setelah mendjentik belasan kali, tiba-tiba Tay-lun-beng-ong mengangkat lengan badju kanan, menjusul iapun meniup kemuka lengan badju sendiri itu, dalam sekedjap sadja bertebaranlah berpotong-potong kain ketjil sebesar mata uang hingga lengan badjunja berwudjut belasan lubang bundar.
Kiranja djentikan-djentikan ilmu "Tjiam-hoa-tji" tadi telah mengenai lengan badju sendiri dari djauh, tenaganja lembut, tapi merusak badju, semula tampaknja badjunja tiada kurang suatupun apa, tapi sekali ditiup angin, barulah kentara betapa sakti kepandaian paderi itu.
Thian-in, Thian-koan dan Po-ting-te saling pandang sekedjap, dalam hati mereka diam-diam terperandjat. Dengan ilmu It-yang-tji mereka, untuk melubang badju seperti itu tidaklah susah bagi mereka, tapi untuk mentjapai tingkatan selihay lawan itu, mau-tak-mau mereka harus mengaku masih kalah setingkat.
"Sekianlah," kata Tjiumoti kemdian dengan tersenjum. "Tenaga djari Tjiam-hoat-tji Siautjeng barusan terang djauh dibawah Hian-toh Taysu dari Siau-lim-si. Dan tentang "To-lo-yap-tji" tentu sadja selisih lebih djauh lagi."
Habis berkata, tjepat ia berputar mengitari peti kaju jang berada dilantai tadi dan menutuk beruntun-runtun dengan sepuluh djarinja, maka tertampaklah potongan kaju bertebaran dan dalam sekedjap sadja peti itu sudah berwudjut seonggok bubuk kaju.
Sebenarnja Po-ting-te dan lain-lain tidak heran oleh kepandaian orang meremukkan peti kaju mendjadi bubuk itu, tapi demi nampak engsel dan sebagainja dari logam jang berada dipeti itupun hantjur berkeping-keping oleh tenaga djarinja, mau-tak-mau mereka terkedjut djuga.
Lalu berkatalah Tjiumoti: "Tjara Siautjeng menggunakan To-lo-yap-tji ini masih sangat hidjau, diharap para Taysu djangan mentertawakannja." ~
Sembari berkata kedua tangannja sembari dimasukan dilengan badju sendiri.
Mendadak tumpukan bubuk kaju itu bisa menari-nari diudara seakan-akan didalangi orang dengan sesuatu alat jang tak kelihatan.
Waktu Po-ting-te dan lain-lain memandang Tay-lun-beng-ong, paderi itu kelihatan tetap bersenjum simpul, djubahnja sedikitpun tidak bergerak, njata tenaga djarinja dilontarkan dari dalam lengan badjunja hinga tidak kelihatan wudjutnja.
"Ha, inilah Bu-siang-djiat-tji! (tutukan maut tak kelihatan) Sungguh hebat, kagum, kagum!" demikian seru Thian-siang Taysu tak tertahan.
"Ah, Taysu terlalu memudji," udjar Tjiumoti. "Padahal bubuk kajunja tampak bergerak, itu berarti masih kelihatan wudjutnja. Untuk bisa mentjapai tingkatan sesuai dengan namanja hingga tanpa kelihatan, rasanja perlu melatih diri seumur hidup."
"Apakah didalam kitab pusaka tinggalan Bujung-siansing itu terdapat tjara-tjara untuk memetjahkan "Bu-siang-djiat-tji" itu?" tanja Thian-siang.
"Ada," sahut Tjiumoti. "Ilmu pemetjahannja menggunakan nama seperti gelaran Taysu."
Thian-siang merenung sedjenak, kemudian katanja: "Ehm, namanja Thian-siang-tji-hoat, Thian-siang mengalahkan Bu-siang, sungguh pintar sekali."
Setelah menjaksikan pertundjukan ketiga matjam tenaga djari sakti dari Tjiumoti itu, Thian-in, Thian-koan, dan Thian-som mendjadi tertarik djuga. Mereka tahu ketiga djilid kitab pusaka itu benar-benar memuat ke-72 djenis ilmu tunggal Siau-lim-si jang termasjhur diseluruh dunia, apakah mesti terima tawaran tukar-menukar dengan "Lak-meh-sin-kiam,"
sungguh hal ini sangat meragukan.
Maka berkatalah Thian-in: "Susiok, djauh-djauh Beng-ong telah berkundjung kemari, suatu tanda betapa teguh maksud tudjuannja ini.
Lantas bagaimana kita harus bertindak, harap Susiok suka memberi petundjuk."
"Thian-in, apa tudjuan kita beladjar silat dan melatih diri?" tanja Koh-eng Taysu tiba-tiba.
Sama sekali Thian-in tidak menduga bakal ditanja demikian oleh sang Susiok, ia rada terkesiap, tapi segera djawabnja; "Demi membela agama dan negara."
"Pabila kita kedatangan orang djahat dan kita tidak dapat menginsafkannja dengan djalan Budha dan terpaksa mesti turun tangan membasminja, untuk mana harus menggunakan ilmu apa?" tanja Koh-eng pula.
"Djika sudah terpaksa, harus menggunakan It-yang-tji," sahut Thian-in.
"Dan dalam hal It-yang-tji, sampai ditingkatan berapa engkau telah berhasil menjakinkannja?" tanja Koh-eng.
"Tetju terlalu bodoh, diwaktu latihan kurang giat, maka sampai sekarang baru mentjapai tingkatan kelima," djawab Thian-in dengan berkeringat.
"Kalau menurut pendapatmu, It-yang-tji dari keluarga Toan di Tayli ini bila dibandingkan Tjiam-hoa-tji, To-lo-yap-tji dan Bu-siang-djiat-tji dari Siau-lim-si itu, jang manakah lebih bagus dan jang mana lebih djelek?"
"Ilmu tutukan itu sama2 bagus dan tergantung keuletan masing2." sahut Thian-in.
"Benar, dan kalau It-yang-tji kita dapat dilatih sampai tingkatan tertinggi, lalu bagaimana?"
"Dalamnja susah didjadjaki, Tetju tidak berani sembarangan omong!"
"Bila engkau misalnja dapat hidup seabad lagi, dapatkah engkau mejakinkan sampai tingkat keberapa?"
Keringat didjidat Thian-in mulai ber-ketes2, djawabnja dengan gemetar:
"Tetju tak dapat mendjawab."
"Dapatkah mentjapai tingkatan pertama?" tanja Koh-eng.
"Pasti takkan dapat," sahut Thian-in.
Maka Koh-eng Taysu tidak bitjara lagi.
Achirnja Thian-in berkata pula: "Petundjuk Susiok memang tepat.
Sedangkan It-yang-tji sendiri sadja kita tak mampu menjakinkannja hingga sempurna, untuk apa mesti mengambil kepandaian orang lain lagi" Beng-ong telah datang dari djauh, biarlah kami sekedar memenuhi kewadjiban sebagai tuan rumah." ~ Dengan utjapannja ini, tegasnja ia telah tolak tawaran Tay-lun-beng-ong tadi.
Tjiumoti menghela napas, katanja kemudian: "Ai, semuanja gara2 mulut Siautjeng jang usil, kalau tidak, tentunja tidaklah sesulit seperti sekarang ini. Tapi ada djuga sepatah kata Siautjeng jang mungkin kurang sopan, pabila Lak-meh-sin-kiam itu benar2 sebagus seperti apa jang dikatakan Bujung-siansing, sekalipun geredja kalian memiliki lukisan pusakanja, namun bukan mustahil belum ada seorangpun jang berhasil mejakinkannja. Dan kalau ada jang dapat mejakinkan, tentu ilmu pedang itulah jang tidak sebagus seperti jang dikagumi Bujung-siansing."
"Sebenarnja ada sesuatu jang Lolap merasa tidak mengarti, bolehkah Beng-ong suka memberi pendjelasan?" tanja Koh-eng.
"Silahkan?" sahut Tjiumoti.
"Tentang geredja kami memiliki Lak-meh-sin-kiam-keng itu sekalipun anggota keluarga Toan kami djuga tiada jang tahu, tapi darimanakah Bujung-siansing bisa mengetahuinja?" tanja Koh-eng.
"Hal itu dahulu djuga tidak diterangkan oleh Bujung-siansing." kata Tjiumoti. "Tapi menurut dugaan Siautjeng, tentunja ada hubungannja dengan Yan-king Thaytju dari keluarga Toan."
Thian-in angguk2 dan ikut bertanja: "Djadi Yan-king Thaytju kenal pada Bujung-siansing?"
"Ja, pernah Bujung-siansing memberi petundjuk beberapa djurus ilmu silat padanja, tapi menolak menerimanja sebagai murid."
"Sebab apa menolak?" tanja Koh-eng Taysu.
"Itu adalah urusan pribadi Bujung-siansing, Siautjeng tidak enak banjak menanja." sahut Tjiumoti. Dibalik kata2nja ini se-akan2 djuga minta Koh-eng djangan banjak menanja.
Tapi Koh-eng djusteru berkata pula: "Yan-king Thaytju itu adalah keturunan Toan-si kami. segala tindak-tanduknja diluar, Thian-liong-si dan kepala keluarga Toan berhak mengurusnja".
"Benar," sahut Tjiumoti dengan tawar.
Segera Thian-in Hongtiang ikut berkata: "Selama belasan tahun Susiok kami tidak menemui orang luar, tapi mengingat Beng-ong adalah Ko-tjeng (paderi saleh) didjaman ini, barulah Susiok mau menemuinja. Sekarang sudah selesai, silahkanlah!" ~ sembari berkata ia terus berdiri sebagai tanda menjilahkan tamunja pergi.
Namun Tjiumoti menjahuti: "Bila Lak-meh-sin-kiam tjuma pudjian kosong sadja, mengapa kalian memandangnja begitu penting hingga mesti mengorbankan persahabatan Thian-liong-si dengan Tay-lun-si serta antara Tayli dan Turfan?"
"Apakah Beng-ong maksudkan, pabila kami tidak meluluskan permintaanmu, Tayli dan Turfan akan terdjadi perang?" tanja Thian-in.
Sebagai kepala negara, sudah tentu Po-ting-te paling tertarik oleh tanja-djawab terachir itu.
Pelahan2 Tjiumoti berkata: "Sudah lama Koktju kami kagum pada negeri Tayli jang makmur, sudah lama beliau ingin mengadakan perburuan kesini.
Tapi Siautjeng pikir tindakan itu pasti akan banjak ambil korban djiwa dan harta, maka selama beberapa tahun Siautjeng selalu berusaha mentjegahnja."
Sudah tentu Thian-in dan lain2 memahami kata2 orang jang bersifat mengantjam itu. Sebab Tjiumoti adalah Koksu dari negeri Turfan. Seperti djuga Tayli, rakjat Turfan djuga memeluk agama Budha dan Tjiumoti itu sangat mendapat kepertjajaan Koktju, perang atau damai banjak besar tergantung kepada kekuasaannja. Kini kalau tjuma urusan sedjilid kitab hingga kedua negeri mesti terlibat dalam peperangan, hal ini benar2 tidak perlu. Tapi bila sedikit digertak lantas menjerahkan mentah2 apa jang diminta, bukankah sangat merosotkan kehormatan Thian-liong-si dan keradjaan Tayli"
Maka berkatalah Koh-eng Taysu: "Djikalau Beng-ong bertekad harus mendapatkan kitab kami ini, mengapa Lolap mesti pelit. Beng-ong bersedia menukar dengan ilmu tunggal dari Siau-lim-si, kamipun tidak berani menerimanja. Meski sudah berpuluh tahun Lolap menghadap dinding, namun tahu djuga bahwa kepandaian Beng-ong dari Tay-lun-si itu djauh lebih hebat daripada 72 djenis ilmu2 dari Siau-lim-pay."
Tjiumoti merangkap kedua tangannja dan berkata: "Apakah maksud Taysu jalah supaja Siautjeng mempertundjukan sedikit kepandaianku jang djelek ini?"
"Beng-ong mengatakan bahwa Lak-meh-sin-kiam-keng kami tjuma pudjian kosong belaka dan tidak berguna dipraktekan, maka biarlah kami lantas beladjar kenal beberapa djurus dengan Beng-ong," demikian sahut Koh-eng.
"Apakah memang benar seperti apa jang dikatakan Beng-ong bahwa Lak-meh-kiam-hoat kami ini hanja bernama kosong dan tidak berguna, lalu untuk apalagi mesti kami sajangkan" Dengan rela akan kami serahkan kitab jang diminta Beng-ong."
Diam2 Tjiumoti terkesiap oleh djawaban itu. Dahulu diwaktu ia berbitjara tentang "Lak-meh-sin-kiam" dengan Bujung-siansing, keduanja berpendapat Kiam-hoat itu memang sangat bagus, tapi mungkin susah dijakinkan oleh tenaga manusia. Kini mendengar utjapan Koh-eng, agaknja bukan Koh-eng sadja jang dapat memainkan Kiam-hoat itu, bahkan kelima kawannja jang lain djuga bisa. Tapi segera iapun mendjawab: "Djikalau Taysu sekalian sudi memberi petundjuk dengan Sin-kiam jang hebat itu, sungguh Siautjeng merasa sangat beruntung sekali."
"Sendjata apa jang dipakai Beng-ong, silahkan mengeluarkan," kata Thian-in segera.
Tiba2 Tjiumoti menepuk tangan, maka masuklah laki2 tinggi besar jang menunggu diluar itu. Tjiumoti berkata beberapa patah dalam basa asing dan laki2 itupun meng-angguk2, lalu keluar dan membawa masuk seikat dupa kepada Tjiumoti, kemudian laki2 itu undurkan diri pula keluar.
Semua orang merasa heran untuk apakah dupa itu. Dupa itu adalah benda lemah dan mudah patah, masakan dapat digunakan sebagai sendjata"
Tertampak Tjiumoti lolos sebatang dupanja, lalu tangan lain meraup segenggam bubuk kaju terus dikepal hingga mengeras, dupa itu lantas ditantjapkan ditengahnja dan ditaruh diatas lantai. Dengan tjara jang sama ia djadjarkan enam batang dupa dengan djarak kira2 belasan senti satu sama lain. Menjusul ia meng-gosok2 kedua telapak tangannja terus menggesek kedepan, berbareng udjung keenam batang dupa itu lantas menjala dan tersulut.
Sepak Terjang Hui Sing 8 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pendekar Jembel 15
^