Pendekar Pendekar Negeri Tayli 11
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 11
Karuan Thian-in dan lain2 terkedjut, betapa tinggi tenaga dalam paderi asing ini sungguh sudah mentjapai tingkatan jang susah diukur. Tapi Thian-in dan Po-ting-te lantas mengendus pula bau belirang jang terbakar, maka tahulah mereka, kiranja diputjuk dupa2 itu terdapat obat bakar, sekali Tjiumoti menggosok obat bakar itu dengan tenaga dalamnja, segera dupa2 itu menjala. Meski perbuatan itu tidak mudah dilakukan, namun Poting-te merasa dirinja masih mampu melakukannja djuga.
Sesudah menjala, asap dupa lantas mengepul mendjadi enam djalur.
Tjiumoti berduduk sambil kedua tangannja terpentang mentjakup kedepan, sekali ia kerahkan tenaga dalamnja, keenam djalur asap itu terus membengkok dan menudju kearah Koh-eng dan Po-ting-te berenam.
Kiranja ilmu Tjiumoti ini disebut "Hwe-yam-to" atau golok berkorbarnja api. Meski tanpa wudjut dan takdapat diraba, tapi lihaynja bukan kepalang untuk membinasakan lawan. Namun maksud tudjuan Tjiumoti sekarang tjuma ingin mendapat kitab pusaka dan tiada niat membunuh orang, maka hanja enam batang dupa dinjalakan untuk menundjukan kemana arah tenaga serangannja ditudjukan, pertama sebagai tanda ia telah jakin pasti lebih unggul dari lawan2nja, kedua sebagai tanda welas-asihnja jang tidak ingin membunuh orang, tapi tjuma saling mengukur kepandaian silat masing2.
Begitulah, ketika enam djalur asap itu sampai didepannja Thian-in dan lain2, mendadak asap itu lantas berhenti dan tidak menjambar madju lagi.
Sungguh kedjut Thian-in dan lain2 bukan buatan. Menggunakan tenaga dalam untuk mendesak madjunja asap tidaklah sulit, tapi memakai tenaga dalam untuk memberhentikannja, terang kepandaian ini berpuluh kali lebih sukar daripada jang duluan.
Thian-som tidak mau undjuk lemah, sekali djari ketjil kiri terangkat,
"tjus," sedjalur hawa putih djuga memantjar dari Siau-tjiong-hiat kearah asap jang berada didepannja. Karena tolakan tenaga dalam Thian-som, tjepat luar biasa tali asap itu lantas menjambar kembali kearah Tjiumoti.
Tapi ketika sudah dekat, waktu tenaga "Hwe-yam-to" jang dikerahkan Tjiumoti diperkeras lagi, djalur asap itu lantas berhenti dan tidak mampu madju lagi.
"Ehm, memang hebat," kata Tjiumoti sambil memanggut. "Ternjata didalam Lak-meh-sin-kiam memang adalah satu tjabang "Siau-tjiong-kiam" seperti ini.
Setelah kedua orang saling gempur dengan tenaga dalam, Thian-som merasa kalau dirinja tetap duduk, daja tekanan ilmu pedangnja itu akan susah dilantjarkan. Maka segera ia berdiri dan melangkah tiga tindak kekiri, dengan tenaga dalamnja itu ia menjerang lebih kuat dari sana.
Segera Tjiumoti angkat tangan kiri dan tenaga serangan itu lantas tertahan. Thiam-koan ikut bertindak djuga, sekali djari tengahnja menegak, "tjus," iapun menusuk kedepan dengan "Tiong-tjiong-kiam".
"Bagus, inilah Tiong-tjiong-kiam-hoat!" seru Tjiumoti sambil menangkis.
Meski satu lawan dua, namun sama sekali tak tampak ia terdesak.
Toan Ki duduk didepannja Koh-eng, ia dapat menoleh kekanan dan miring kekiri untuk mengikuti pertarungan hebat jang susah diketemukan dalam Bulim itu. Meski dia tidak paham ilmu silat, tapi tahu djuga bahwa Hwesio2
itu sedang bertanding pedang dengan Lwekang mereka, lihay dan bahajanja pertandingan Lwekang ini djauh lebih hebat daripada bertanding dengan sendjata tadjam.
Ia lihat djurus2 ilmu pedang dan golok jang dikeluarkan Tjiumoti, Thian-som dan Thian-koan itu sangat lambat. Setelah belasan djurus, tiba2
pikirannja tergerak: "He, bukankah Tiong-tjiong-kiam jang dimainkan Thian-koan Taysu itu tiada ubahnja seperti apa jang kubatja dalam gambar itu?" ~ pelahan2 ia lantas membuka lukisan Tiong-tjiong-kiam-hoat jang memang terletak didepannja itu. Ia tjotjokan antara gerakan hawa putih jang menjambar kian kemari itu dengan petundjuk dalam gambar, njata ilmu pedang itu memang sama, maka djelaslah baginja ilmu pedang itu.
Sungguh girang Toan-ki bukan buatan. Segera ia mengikuti Siau-tik-kiam-hoat jang dimainkan Thian-som itu. Ilmu pedang inipun sama dengan gambar.
Tjuma Tiong-tjong-kiam-hoat itu lingkungannja lebih luas dan daja tekannja lebih keras, sebaliknja Siau-tik-kiam lebih lintjah, menjusup kian kemari dengan matjam2 perubahan jang rumit.
Melihat kedua Sutenja sama sekali tidak lebih unggul menggerojok Tjiumoti, Thian-in mendjadi kuatir latihan mereka belum masak, djangan2
segala gaja permainan mereka keburu dipahami Tay-lun-beng-ong jang maha pintar itu. Segera ia berseru: "Thian-siang dan Thian-tim Sute, marilah kita turun tangan!"
Berbareng Thian-in atjungkan djari telundjuknja, ia keluarkan Siang-yang-kiam-hoat. Menjusul Thian-siang djuga memainkan "Siau-tjiong-kiam"
dengan djari ketjil kanan. Sedang Po-ting-te menjerang dengan "Koan-tjiong-kiam," jaitu dengan djari manis.
Tiga arus hawa pedang jang hebat serentak menerdjang kearah tiga djalur asap musuh.
Sudah tentu jang paling untung adalah Toan Ki, melihat "Siang-yang-kiam" jang dilontarkan Thian-in itu djauh lebih kuat daripada Thian-som berdua, tjepat ia membuka gambar ilmu pedang itu, tapi ia mendjadi lebih heran pula ketika melihat gerakan ilmu pedang sang paman sebaliknja sangat lambat dan berat.
Memang diantara djari2 tangan umumnja djari telundjuk paling lintjah dan hidup, sebaliknja djari manis kaku dan bodoh. Makanja Sian-yang-kiam mengutamakan kegesitan dan kelintjahan, sebaliknja Koan-tjiong-kiam gerak-geriknja lambat dan berat.
Saking asjiknja Toan Ki mengikuti ilmu2 pedang itu sambil berpaling kesini dan menoleh kesana, tanpa merasa suatu waktu kepalanja telah menempel didepan hidungnja Koh-eng Taysu. Ia merasa risih ketika tengkuknja se-akan2 di-sebul2 karena napas orang tua itu. Tanpa sengadja ia terus mendongak, tapi apa jang dilihatnja membuatnja ternganga kaget.
Ternjata wadjah jang dilihatnja itu aneh luar biasa, separoh muka sebelah kiri merah bertjahaja, daging penuh, kulit gilap, mirip muka anak ketjil. Tapi muka jang separoh sebelah kanan kurus kering tinggal kulit membungkus tulang. Ketjuali kulitnja jang kuning hangus itu, sedikitpun tiada dagingnja hingga tulang pipinja menondjol mirip setengah rangka tengkorak sadja.
Dalam kagetnja tjepat2 Toan Ki menoleh dan tidak berani memandang lagi, hatinja mendjadi ber-debar2 pula. Ia tahu muka Koh-eng Taysu itu pasti akibat mejakinkan "Koh-eng-sian-kang" ilmu Budha subur dan kering, makanja wadjahnja separoh "koh" (kering) dan separoh "eng" (subur).
Tiba2 Koh-eng Taysu membisikinja: "Kesempatan bagus djangan dibuang, lekas perhatikan ilmu pedang!"
Toan Ki tersadar, ia mengangguk dan tjepat mentjurahkan perhatiannja untuk mengikuti ilmu pedang Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te serta ditjotjokan dengan gamabr2 Kiam-boh jang bersangkutan.
Bila kemudian ketiga tjabang Kiam-hoat itupun sudah selesai dipeladjarinja, sementara itu permainan ilmu pedang Thian-som dan Thian-koan sudah ulangan kedua kalinja. Kini tanpa membandingkan dengan gambarnja, Toan Ki sudah dapat memahami dimana letas kebagusan Lak-meh-kiam-hoat itu. Ia merasa garis2 jang terlukis digambar itu adalah barang mati, tapi hawa putih jang dipantjarkan dengan tenaga dalam itu benar2
tiada habis2 perubahannja dan dapat dikerahkan pergi-datang dengan hidup, kalau dibandingkan apa jang terlukis digambar, terang lebih ruwet tapi lebih padat.
Setelah mengikuti pula sebentar, terlihat Kiam-hoat jang dimainkan Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te djuga sudah selesai. Tiba2 djari2
ketjil Thian-siang mendjentik pula dengan djurus "Hun-hoa-hut-liu" atau membelai bunga menjingkap daun Liu. Njata untuk kedua kalinja ia telah mainkan ilmu pedangnja pula.
Tjiumoti mengangguk sedikit. Menjusul Thian-in dan Po-ting-te djuga mengadakan perobahan pula dari permainan ilmu pedang mereka jang sudah selesai itu. Tapi mendadak didepan tubuh Tjiumoti bersuara mentjitjit daja tekan "Hwe-yam-to" ternjata bertambah hebat hingga tenaga dalam dari gerakan pedang kelima lawannja ditolak kembali semua.
Kiranja semula Tjiumoti tjuma bertahan sadja dengan tudjuan mengikuti permainan Lak-meh-sin-kiam kelima orang lawannja itu hingga selesai, habis itu barulah mengadakan serangan balasan. Dan sekali ia sudah balas menjerang, kelima djalur asap putih segera menari dan beterbangan dengan hidup sekali, sedang djalur asap keenam tetap berhenti kira2 satu meter dibelakang tubuh Koh-eng Taysu.
Koh-eng Taysu sengadja hendak melihat sampai dimana kekuatan bertahan musuh. Namun Tjiumoti sadar djuga bila terlalu lama menahan djalur asap jang keenam itu, tenaga dalamnja jang terbuang akan terlalu banjak. Maka kini ia mulai pusatkan tekanannja kedjalur asap keenam itu hingga sedikit demi sedikit mulai mendesak madju kebelakang kepalanja Koh-eng.
Toan Ki mendjadi kuatir, tjepat katanja: "Thaysuhu, awas, djalur asap musuh sedang menjerang engkau."
Koh-eng meng-angguk2, ia terus membentang lukisan "Siau-siang-kiam,"
jaitu bagian dari Lak-meh-sin-kiam menurut gambar jang harus dimainkannja itu didepan Toan Ki.
Pemuda itu tahu maksud baik Koh-eng Taysu. Maka dengan memusatkan perhatian, segera ia membatja isi daripada gambar itu. Ia lihat ilmu pedang Siau-siangkiam dalam lukisan itu hanja sederhana sadja garis2
petundjuknja, tapi memiliki tenaga maha kuat jang tiada taranja.
Sambil membatja lukisan itu, Toan Ki tidak lupa djalur asap musuh jang mengantjam Koh-eng tadi. Ketika ia menoleh pula, ia lihat djalur asap itu tinggal beberapa senti sadja dibelakang kepalanja Koh-eng. Ia mendjadi kaget dan berseru: "Awas!"
Mendadak Koh-eng membaliki tangannja kebelakang, kedua djari djempolnja menahan kedepan berbareng, dengan suara mentjitjit dua kali, sekaligus ia serang dada kanan dan pundak kiri Tjiumoti. Kiranja serangan musuh tadi tak ditangkisnja, sebaliknja Koh-eng melakukan serangan kilat diluar dugaan musuh. Ia memperhitungkan Hwe-yam-to musuh agak lambat madjunja, untuk bisa mengenai dirinja masih diperlukan sementara waktu lagi, tapi kalau ia bisa mendahului menjerang sasarannja, tentu musuh akan kerepotan.
Tjiumoti sendiri dapat memikirkan kemungkinan2 itu, maka sebelumnja ia sudah bersiap untuk mendjaga kalau mendadak diserang oleh Koh-eng Taysu jang merupakan lawan paling kuat. Tapi jang dia duga tjuma satu djurus serangan Siau-yang-kiam jang lihay dan tidak menjangka Koh-eng sekaligus dapat menjerang dua pedang dengan sasaran dua tempat. Tjepat ia kerahkan tenaga jang sudah disiapkan itu untuk menangkis tenaga tusukan jang mengarah dadanja itu, menjusul kakinja memetul, baru2 ia melompat mundur dengan tjepat. Tapi betapapun tjepatnja tetap kalah tjepat daripada hawa pedang jang tak kelihatan itu, "tjret," tahu2 djubah bagian pundak terobek dan merembes keluar darah.
Saat lain Koh-eng Taysu telah tarik kembali djarinja dan hawa pedang ikut mengkeret kembali, maka patahlah keenam batang dupa sekaligus.
Berbareng Thian-in, Po-ting-te dan lain2 ikut menarik kembali djuga hawa pedang mereka, perasaan kuatir mereka baru sekarang dapat terasa longgar.
Tjiumoti melangkah madju lagi, katanja: "Ilmu sakti Koh-eng Taysu memang bukan main hebatnja, Siautjeng merasa kagum tak terhingga. Tapi tentang Lak-meh-sin-kiam itu, ha, kiranja tjuma omong kosong belaka.
"Kenapa omong kosong, silahkan memberi pendjelasan." kata Thian-in.
"Dahulu jang dikagumi Bujung-siansing adalah Kiam-hoat (ilmu permainan pedang) dan bukan Kiam-tin (barisan pedang) dari Lak-meh-sin-kiam," sahut Tjiumoti "Walaupun benar Kiam-tin dari Thian-liong-si barusan ini sangat kuat dan hebat, tapi kalau diukur djuga tidak lebih seperti Lo-han-kiam-tin dari Siau-lim-si dan Kun-goan-kiam-tin dari Kun-lun-pay. Agaknja belum dapat dikatakan Kiam-tin jang tiada bandingannja didunia ini.
Dengan menekankan Kiam-tin dan bukan Kiam-hoat, Tjiumoti anggap dirinja sekaligus telah menandingi keenam lawan, sebaliknja pihak lawan tiada seorangpun jang mampu menggunkan Lak-meh-sin-kiam sebagaimana dirinja memainkan Hwe-yam-to itu.
Thian-in merasa apa jang dikatakan orang memang benar, ia mendjadi bungkam takbisa mendjawab. Namun Thian-som lantas tertawa dingin, katanja: "Biar Kiam-tin atau Kiam-hoat, namun pertandingan tadi apakah Beng-ong jang telah menang atau pihak Thian-liong-si kami jang telah menang?"
Tjiumoti tidak mendjawab, ia pedjamkan mata memikir sedjenak, selang agak lama, lalu djawabnja: "Babak pertama kalian memang lebih unggul, tapi babak kedua ini Siautjeng sudah pasti akan menang."
Halaman 21: gambar
Dengan tenaga "Hwe-yam-to-hoat" jang hebat, seorang diri Tay-lun-beng-ong menandingi Lak-meh-sin-kiam jang dimainkan Koh-eng Taysu dan Thian-in berenam.
Thian-in terkedjut, tanjanja: "Djadi Beng-ong masih ingin bertanding lagi?"
"Apa boleh buat," sahut Tjiumoti. "Seorang laki-laki harus dapat dipertjaja. Sekali Siautjeng sudah berdjandji pada Bujung-siansing, mana boleh mundur setengah djalan?"
"Lalu, andalan apa Beng-ong jakin pasti akan menang?" tanja Thian-in.
Tjiumoti tersenjum, sahutnja: "Kalian adalah gembong-gembong persilatan, masakan masih belum dapat menerkanja" Terimalah seranganku!"
~ Sembari berkata, kedua tangannja terus mendorong kedepan dengan pelahan.
Koh-eng, Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain seketika merasa didesak oleh dua arus tenaga dalam jang kuat dari arah-arah jang berlainan.
Thian-in dan lain-lain merasa daja tekanan musuh itu tidak kuat untuk ditahan oleh ilmu Lak-meh-sin-kiam, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk menangkis, hanja Koh-eng Taysu sadja tetap pakai kedua djari djempol untuk menjambut tenaga musuh dengan ilmu "Siau-yang-kiam" dari Lak-meh-sin-kiam itu.
Namun setelah melontarkan tenaga serangan itu, segera Tjiumoti menarik kembali lagi serangannja dan berkata: "Maaf!"
Thian-in saling pandang sekedjap dengan Po-ting-te, keduanja sama-sama paham bahwa ilmu Hwe-yam-to paderi asing itu terang lebih unggul daripada Lak-meh-sin-kiam mereka. Sekali bergerak Tjiumoti mampu mengeluarkan berbagai tenaga jang berlainan, maka sekalipun Siau-yang-kiam jang telah dilontarkan Koh-eng Susiok itu mendesak lebih kuat djuga tak mampu menangkan dia.
Pada saat itu djuga, tiba-tiba tampak ada asap mengepul didepan Koh-eng Taysu, asap itu mengepul mendjadi empat djurusan dan mengepung kearah Tjiumoti.
Terhadap Hwesio jang duduk menghadapi dinding itu memangnja Tjiumoti sangat djeri, kini mendadak nampak ada asap hitam menjerang kearahnja, seketika ia mendjadi bingung apa masksud orang, iapun keluarkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan dari empat djurusan dan tidak balas menjerang, disamping berdjaga-djaga kalau Thian-in dan lain-lain ikut mengerubut, diam-diam iapun memperhatikan serangan apa jang hendak dilakukan Koh-eng Taysu.
Namun jang kelihatan hanja asap hitam makin lama makin tebal, daja serangan Koh-eng bertambah hebat. Diam-diam Tjiumoti mendjadi heran:
"Tjara serangannja dengan sekuat tenaga ini apakah dapat bertahan lama"
Koh-eng Taysu adalah seorang paderi terkemuka didjaman ini, kenapa menggunakan tjara keras seperti ini?"
Ia menduga Koh-eng Taysu pasti tidak mungkin begitu semberono, tentu dibalik serangannja itu ada pula muslihat lain, maka dengan siap siaga ia menantikan segala kemungkinan.
Selang tak lama, mendadak empat djalur asap itu terpentjar lagi, satu mendjadi dua dan dua mendjadi empat, dalam sekedjap sadja djalur asap berubah mendjadi 16 djalur dan merubung kearah Tjiumoti.
"Hanja kekuatan panah jang sudah hampir djatuh, apa artinja?" demikian pikir Tjiumoti sambil mengerahkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan setiap djalur asap lawan.
Dan begitu tenaga kedua pihak saling bentur, tiba-tiba djalur-djalur asap itu bersebaran memenuhi seluruh ruangan itu hingga seperti kabut tebal. Namun sedikitpun Tjiumoti tidak gentar, iapun kerahkan antero kekuatannja untuk melindungi seluruh tubuhnja. Lambat-laun kabut asap itu tampak mulai menipis, Thian-in berlima kelihatan berlutut dilantai dengan sikap sungguh-sungguh, bahkan wadjah Thian-koan dan Thian-som tampak mengundjuk rasa sedih.
Tjiumoti tertegun sedjenak, segera ia mendjadi sadar: "Wah, tjelaka!
Kiranja situa Koh-eng ini insaf tak mampu menandingi aku, maka Lak-meh-kiam-boh telah dibakar olehnja."
Ternjata lukisan-lukisan Lak-meh-kiam-boh itu memang telah terbakar oleh tenaga dalam It-yang-tji jang dipantjarkan Koh-eng Taysu itu. Ia kuatir kalau Kiam-boh itu akan direbut Tjiumoti, maka untuk mengelabui lawan itu, ia sengadja menjerangnja dengan kabut asap, ketika kabut asap lenjap, sementara itu Lak-meh-kiam-boh djuga sudah terbakar habis.
Thian-in dan kawan-kawannja adalah tokoh-tokoh ahli It-yang-tji, maka begitu melihat asap hitam tadi, mereka lantas tahu sebab-musababnja.
Mereka tahu sang Susiok lebih suka membakar kitab pusaka sendiri daripada benda itu djatuh ditangan musuh. Dan dengan demikian, permusuhan Thian-liong-si dengan Tay-lun-beng-ong mendjadi takbisa diselesaikan dengan mudah.
Kedjut dan gusar Tjiumoti tak terkatakan, biasanja ia sangat andalkan ketjerdasannja, tapi kini telah dua kali ketjundang dibawah tangannja Koh-eng Taysu. Dan kalau Lak-meh-kiam-boh sudah terbakar, perdjalanannja ini mendjadi sia-sia belaka tanpa hasil, sebaliknja malah sudah mengikat permusuhan dengan Thian-liong-si. Segera ia berkata sambil memberi hormat: "Buat apa Koh-eng Taysu mesti bertindak sekeras ini" Siautjeng mendjadi merasa tidak enak mengakibatkan musnanja kitab pusaka kalian, baiknja kitab itu toh takkan dapat dilatih oleh tenaga seorang sadja, musna atau tidak memangnja djuga sama. Siautjeng mohon diri."
Dan sebelum Koh-eng dan lain-lain memberi sesuatu djawaban, sedikit ia memutar tubuh, sekonjong-konjong pergelangan tangan Po-ting-te terus ditjekalnja, lalu katanja pula: "Koktju (kepala negara) kami sudah lama mengagumi nama kebesaran Po-ting-te serta sangat ingin dapat berkenalan, maka sekarang djuga silahkan ikut Siautjeng pergi ke Turfan."
Kedjadian ini benar-benar diluar dugaan dan sangat mengedjutkan.
Serangan mendadak itu ternjata sama sekali takdapat dihindari oleh Poting-te jang berilmu silat setinggi itu, apalagi Kim-na-djiu-hoat atau ilmu tjara menangkap dan mentjekal Tjiumoti itu sangat aneh, sekali Hiat-to pergelangan tangan terpegang, biarpun dengan tjepat Po-ting-te harus kerahkan tenaga dalamnja untuk melepaskan diri dari tutukan orang, namun sama sekali tidak berhasil. Dalam keadaan begitu, keselamatan Po-ting-te setiap waktu dapat terantjam, maka orang lain mendjadi sangat sulit untuk menolongnja. Meski Thian-in dan lain-lain merasa tindakan Tjiumoti itu terlalu rendah, sangat merosotkan pamornja sebagai tokoh ternama, tapi mereka tjuma marah belaka tanpa berdaja.
Maka tertawalah Koh-eng Taysu dengan terbahak-bahak, katanja kemudian:
"Dia dahulu memang benar adalah Po-ting-te, tapi kini ia sudah meninggalkan tahta dan mendjadi paderi, gelarnja Thian-tim. Nah, Thian-tim, djika kepala negara Turfan sudah mengundang kau, tiada halangannja engkau ikut berkundjung kesana."
Dalam keadaan terpaksa, mau-tak-mau Po-ting-te mengiakan. Ia tahu maksud sang Susiok. Kalau dirinja dalam kedudukannja sebagai radja Tayli ditawan oleh musuh, tentu Tjiumoti akan pandang dirinja sebagai tawanan mahal. Tapi kalau dirinja sudah meletakkan tahta dan kini sudah mendjadi Hwesio, maka apa jang ditawan Tjiumoti sekarang tidak lebih tjuma seorang Hwesio biasa dari Thian-liong-si sadja, boleh djadi dirinja akan segera dibebaskan.
Akan tetapi Tjiumoti tidak mudah diakali. Sebelumnja ia sudah menjelidiki dan tahu didalam Thian-liong-si itu ketjuali Koh-eng Taysu, diantara paderi-paderi angkatan "Thian" tjuma ada empat orang, tapi kini tiba-tiba telah bertambah lagi seorang Thian-tim, tenaga dalamnja djuga tidak lebih lemah daripada keempat paderi jang lain, pula dari wadjahnja jang kereng dan sikapnja jang agung, begitu melihat segera Tjiumoti mendjuga dia pasti adalah Po-ting-te.
Ketika mendengar Koh-eng Taysu menjatakan Po-ting-te sudah meletakkan tahtanja dan mendjadi Hwesio, diam-diam Tjiumoti memikir pula: "Ja, konon setiap radja Tayli bila sudah landjut usianja tentu mengundurkan diri untuk kemudian mendjadi paderi, maka kini kalau Po-ting-te djuga menjutjikan diri ke Thian-liong-si sini, hal inipun tidak mengherankan.
Tapi umumnja seorang radja mendjadi Hwesio tentu diadakan upatjara keagamaan setjara besar-besaran, tidak mungkin dilakukan setjara diam-diam tanpa diketahui umum."
Karena itu, segera katanja pula: "Baik Po-ting-te sudah mendjadi Hwesio ataupun belum, pendek kata aku harus mengundangnja berkundjung ke Turfan untuk menemui kepala negara kami." ~ Sembari berkata, terus sadja Poting-te diseretnja menudju keluar.
"Nanti dulu!" seru Thian-in mendadak, sekali melompat, bersama Thian-koan mereka sudah mengadang diambang pintu.
"Siautjeng tiada maksud membikin susah Po-ting-te, tapi kalau kalian terlalu mendesak, terpaksa Siautjeng tidak dapat mendjamin keselamatannja lagi," kata Tjiumoti. Berbareng tangannja bersiap-siap mengantjam dipunggungnja Po-ting-te.
Thian-in tjukup kenal betapa lihaynja orang, sekali Po-ting-te sudah ditjengkeram urat nadinja, pasti tak berdaja lagi untuk melawan. Maka ia mendjadi bungkam, tapi tetap mengadang ditempatnja.
"Kedatangan Siautjeng kesini tidak membawa hasil apa-apa, sungguh malu terhadap mendiang Bujung-siansing, beruntung sekarang dapat mengundang Po-ting Hongya, tidaklah hilang sama sekali arti perdjalananku ini, maka sukalah kalian memberi djalan," kata Tjiumoti.
Namun Thian-in dan Thian-koan masih ragu-ragu, mereka pikir Po-ting-te adalah kepala negara Tayli, mana boleh kena digondol lari oleh musuh"
Tjiumoti mendjadi tidak sabar, serunja: "Kabarnja para paderi dalam Thian-liong-si sini sangat bidjaksana, kenapa menghadapi urusan ketjil ini mesti bingung seperti anak ketjil sadja?"
Dalam pada itu jang paling kuatir adalah Toan Ki ketika melihat sang paman ditawan musuh. Semula ia menduga sang paman tentu dapat melepaskan diri dari tangan musuh, siapa tahu makin lama Tjiumoti makin garang.
Thian-in dan lain-lainpun tampak tjemas dan gusar, tapi toh takbisa berbuat apa-apa, apalagi setindak demi setindak Tjiumoti mulai melangkah keluar. Toan Ki mendjadi gugup, tanpa pikir lagi ia terus berteriak:
"Hai, lepaskan pamanku!" ~ Segera ia pun berdjalan keluar dari aling-alingnja Koh-eng Taysu.
Sedjak tadi Tjiumoti sudah mengetahui djuga didepan Koh-eng ada berduduk seorang lagi jang tak diketahui siapa, pula tidak paham apa maksud Koh-eng menjuruh seorang duduk didepannja. Kini melihat orang itu bertindak keluar, ia mendjadi heran, tanjanja segera: "Siapakah engkau?"
"Tak perlu kau tanja siapa aku, lekas engkau lepaskan pamanku," sahut Toan Ki sambil ulur tangannja hendak menarik tangan Po-ting-te jang lain.
Po-ting-te mendjabat djuga tangan Toan Ki jang diulurkan sambil berkata: "Ki-djie, djangan kau urus diriku, lekas kau pulang dan minta ajahmu segera naik tahta menggantikan aku. Kini aku sudah berupa seorang Hwesio tua jang tiada artinja, buat apa dipikirkan?"
Dan karena tangan bergandeng tangan, seketika tubuh Po-ting-te tergetar, segera ia merasakan daja sedot "Tju-hap-sin-kang" dari tubuhnja Toan Ki. Dan pada saat jang sama djuga, Tjiumoti djuga merasakan tenaga murninja terus merembes keluar. Dalam hal Lwekang Tjiumoti lebih tinggi banjak daripada Po-ting-te, ia menjangka Po-ting-te sedang menggunakan sematjam ilmu gaib untuk mengisap tenaga dalamnja, tjepat ia himpun kekuatan untuk saling berebut hawa murni dengan Po-ting-te.
Kalau Po-ting-te tertawan oleh Tjiumoti adalah dikarenakan sama sekali tidak menduga paderi asing itu bakal berbuat setjara pengetjut, tapi tenaga dalam dan ilmu silat Po-ting-te sedikitpun tidak berkurang, maka ketika mendadak merasa kedua tangan sendiri berbareng timbul dua arus tenaga maha kuat saling membetot keluar, terus sadja timbul akalnja untuk
"memindjam tenaga orang untuk melawan tenaga jang lain," ia gunakan ilmu itu untuk mempertemukan kedua arus tenaga jang hebat itu. Dan begitu kedua tenaga itu saling bentrok, Po-ting-te jang berada ditengah itu mendjadi bebas dari ikatan tenaga-tenaga itu dan terhindarlah dia dari tawanan Tjiumoti. Tjepat ia melompat mundur sambil menarik Toan Ki, dalam hati diam-diam ia bersjukur harini ternjata berkat pertolongan keponakannja itu.
Dalam pada itu kedjut Tjiumoti sungguh tak terkatakan, pikirnja:
"Ternjata dunia persilatan di Tionggoan telah muntjul pula seorang djago kelas wahid, mengapa aku sama sekali tidak mengetahui" Usia orang ini paling banjak tjuma 20-an tahun, mengapa sudah setinggi ini kepandaiannja?"
Tadi Tjiumoti mendengar Toan Ki mendengar Po-ting-te sebagai paman, ia mendjadi lebih ragu-ragu lagi, sebab selamanja belum didengarnja bahwa diantara angkatan muda keluarga Toan di Tayli terdapat seorang tokoh kelas satu begini" Sungguh tak tersangka olehnja bahwa sergapannja jang sudah berhasil menawan Po-ting-te itu mendadak digagalkan oleh seorang pemuda tak terkenal, tentu sadja membuatnja sangat penasaran.
Maka dengan mengangguk pelahan kemudian iapun berkata: "Selamanja Siautjeng menjangka Toan-si di Tayli ini kusus hanja mejakinkan ilmu keturunan leluhur dan tidak mempeladjari ilmu kepandaian dari luar, siapa tahu angkatan mudanja jang gagah begini ternjata sudi berkawan dengan iblis dari Sing-siok-hay untuk mempeladjari "Hoa-kang-tay-hoat" jang aneh itu. Aneh, sungguh aneh!"
Njata biarpun Tjiumoti seorang tjerdik pandai djuga telah salah sangka Tju-hap-sin-kang jang dimiliki Toan Ki itu sebagai Hoa-kang-tay-hoat.
Dengan tertawa dingin Po-ting-te lantas mendjawab: "Sudah lama kudengar Tay-lun-beng-ong adalah seorang saleh dan mempunjai pengetahuan luas, tapi mengapa bisa menarik kesimpulan jang lutju itu" Sing-siok Lomo (iblis tua dari Sing-siok-hay) banjak melakukan kedjahatan, mana boleh keturunan keluarga Toan kami mempunjai hubungan apa-apa dengan dia?"
Dan sedang Tjiumoti tertjengang oleh djawaban itu, tiba-tiba Toan Ki ikut berkata: "Engkau adalah tamu, maka Thian-liong-si menjambut engkau dengan hormat, tapi setjara litjik engkau telah membokong pamanku, mengingat kita sesama murid Budha, maka kami berusaha mengalah sedapat mungkin, sebaliknja kau semakin mendapat hati, seorang alim ulama masakah sekasar seperti engkau ini?"
Diam-diam semua orang ikut senang mendengar Toan Ki mendamperat Tjiumoti, berbareng merekapun berwaspada kalau-kalau dari malu Tjiumoti mendjadi gusar dan mendadak melontarkan serangan kepada pemuda itu.
Tak tersangka Tjiumoti tetap tenang-tenang sadja, katanja: "Sungguh harini aku sangat beruntung dapat berkenalan dengan seorang tokoh muda.
Maka sudilah memberi petundjuk barang beberapa djurus agar menambah pengalaman Siautjeng."
Tapi dengan terus terang Toan Ki mendjawab: "Aku tidak bisa ilmu silat, selamanja aku tidak pernah beladjar apa-apa."
Tjiumoti terbahak-bahak, sudah tentu ia tidak pertjaja. Katanja:
"Pandai, sungguh pandai. Biarlah Siautjeng mohon diri sadja!" ~ dan sedikit tubuhnja bergerak, dimana lengan badjunja mengebas, tahu-tahu tangannja menjusup keluar, sekaligus empat tipu serangan Hwe-yam-to terus dilontarkan kearah Toan Ki.
Toan Ki sama sekali tidak paham tjara bagaimana bertempur dengan ilmu silat maha tinggi itu, maka diserang musuh dengan tipu jang sangat lihay, ia sendiri masih belum sadar. Sjukur Po-ting-te dan Thian-som telah menolongnja dari samping, berbareng mereka memapak serangan Tjiumoti itu dengan djari-djari mereka. Tjuma begitu kena benturan tenaga dalam Tjiumoti jang maha kuat itu, tubuh mereka lantas menggeliat, bahkan Thian-som terus muntahkan darah segar.
Melihat Thian-som muntah darah, barulah Toan Ki sadar bahwa barusan Tjiumoti telah membokong pula. Ia mendjadi gusar, ia tuding paderi itu sambil memaki: "Kau Hwesio asing jang tidak kenal aturan ja!"
Dan karena dia menuding sekuatnja, pikirannja bekerdja, hawa murni pun mengalir, otomatis lantas keluar satu djurus Kiam-hoat dari "Siau-yang-kiam." Lwekang Toan Ki sekarang sebenarnja sudah tiada bandingannja didunia ini, sedjak ia duduk didepan Koh-eng Taysu dan membatja gambar Lak-meh-sin-kiam-boh serta tjara bergeraknja, ketika tanpa sengadja djarinja menuding, tanpa disadarinja gerakan itu tepat sekali seperti apa jang telah dilihatnja dalam gambar, maka terdengarlah suara "tjus,"
serangkum tenaga dalam jang maha kuat dalam gaja "Kim-tjiam-to-djiat"
atau djarum emas menghindarkan maut, terus sadja ia tutuk kearah Tjiumoti.
Sama sekali Tjiumoti tidak menjangka tenaga dalam pemuda itu bisa sedemikian kuatnja, bahkan djurus kutukan "Kim-tjiam-to-djiat" itu tampak sangat tjekatan dan merupakan serangan Kiam-hoat jang paling tinggi.
Dalam kagetnja, tjepat ia keluarkan Hwe-yam-to-hoat, ia menangkis dengan tapak tangannja.
Serangan Toan Ki itu ternjata tidak melulu mengedjutkan Tjiumoti sadja, bahkan Koh-eng, it dan lain-lainpun merasa heran, diantaranja jang paling heran sudah tentu adalah Po-ting-te dan Toan Ki sendiri. Pikir Toan Ki:
"Inilah aneh sekali" Aku tjuma menuding sekenanja, mengapa Hwesio ini menangkis dengan sungguh" Eh, ja, barangkali tudinganku tadi gajanja mirip dengan sesuatu tipu serangan, dan Hwesio ini menjangka aku mahir Lak-meh-sin-kiam. Ha-ha-ha, djika demikian, biarlah aku menggertaknja lagi."
Segera Toan Ki berseru: "Siau-yang-kiam barusan masih belum apa-apa!
Lihatlah sekarang kumainkan Kiam-hoat dari Tiong-tjiong-kiam!" Berbareng djari tengahnja sekarang jang menuding. Gajanja memang tepat, tapi sekali ini ternjata tidak membawa tenaga dalam jang kuat.
Ketika melihat pemuda itu menutuk lagi, memangnja Tjiumoti sudah siapkan tenaganja untuk menjambut, tak terduga serangan Toan Ki itu ternjata tidak membawa kekuatan apa-apa. Semula ia terkedjut sebab mengira serangan pemuda itu mungkin hanja pantjingan belaka, tetapi sesudah tutukan kedua kalinja tetap kosong tak berisi, barulah Tjiumoti bergirang: "Memangnja aku tidak pertjaja didunia ini ada orang mahir memainkan Siau-yang-kiam dan Tiong-tjiong-kiam sekaligus, dan njatanja botjah ini memang tjuma main gertak sadja hingga aku tadi diingusi."
Dasar watak Tjiumoti memang tinggi hati, dan orang jang tinggi hati tentu dengki. Kedatangannja ke Thian-liong-si tidak berhasil apa-apa, bahkan telah ketjundang beberapa kali, ia pikir kalau tidak balas mengundjuk gigi sedikit, tentu nama baik Tay-lun-beng-ong akan merosot.
Segera telapak tangan kirinja memotong kekanan dan kekiri beberapa kali, lebih dulu ia tutup djalan bantuan Po-ting-te dan lain-lain dengan tenaga dalamnja, menjusul tapak tangan kanan terus memotong kepundak kanan Toan Ki. Tipu serangan "Pek-hong-koan-djit" atau pelangi putih menembus sinar matahari, adalah salah satu djurus paling bagus dari Hwe-yam-to-hoat dengan penuh kejakinan bahu Toan Ki pasti akan dibelah olehnja.
Melihat itu, Po-ting-te, Thian-in dan Thian-som berseru kuatir: "Awas!"
~ berbareng djari mereka terus menutuk serentak kearah Tjiumoti.
Serangan serentak mereka itu adalah serangan jang memaksa musuh harus menolong diri sendiri lebih dulu. Tak tersangka lebih dulu Tjiumoti sudah membungkus tempat-tempat bahaja tubuhnja dengan tenaga dalam jang kuat, sedang serangannja kepada Toan Ki tetap dilontarkan tanpa menghiraukan antjaman Po-ting-te bertiga.
Ketika mendengar seruan kaget Po-ting-te bertiga tadi, Toan Ki tahu gelagatnja tentu tidak menguntungkan, tanpa pikir tangan kanan dan kiri terus menutuk kedepan sekuatnja, dalam kuatirnja itu, hawa murni dalam tubuhnja dengan sendirinja bergolak, maka sekaligus Siau-tjiong-kiam ditangan kiri dan Siau-tik-kiam ditangan kanan telah dilontarkan untuk menangkis Hwe-yam-to-hoat musuh, bahkan begitu kuat tenaganja hingga mampu balas menghantam Tjiumoti dengan daja tekanan jang hebat. Karuan Tjiumoti kelabakan, tanpa pikir lagi ia bertahan sekuat-kuatnja.
Setelah beberapa kali menutuk, lapat-lapat Toan Ki sudah dapat merasakan bahwa terlebih dulu harus timbul sesuatu maksudnja, habis itu barulah kerahkan tenaga dan menutuk, dengan demikian tenaga dalam dan hawa murninja barulah dapat bekerdja serentak. Namun mengapa bisa begitu, dengan sendirinja ia masih bingung.
Begitulah dalam sekedjap sadja Toan Ki menutuk berulang-ulang menurutkan perasaannja jang timbul dari apa jang dilihatnja digambar-gambar Lak-meh-sin-kiam itu. Djarinja bekerdja dengan tjepat dan indah hingga makin lama Tjiumoti makin heran dan terkesiap. Sekuatnja ia kerahkan tenaga dalamnja untuk melawan Lak-meh-sin-kiam jang lihay itu, hingga seketika hawa pedang samber-menjamber dengan tadjamnja.
Selang sebentar, Tjiumoti merasakan tenaga dalam lawan makin lama makin kuat, perubahan Kiam-hoatnja djuga tiada habis-habisnja dan susah diraba.
Makin lama Tjiumoti makin heran dan menjesal telah gegabah meretjoki Thian-liong-si, tahu-tahu kini muntjul seorang tokoh muda selihay ini.
Sekonjong-konjong ia menjerang tiga kali, lalu berseru: "Berhenti dulu!"
Namun meski Toan Ki mahir Lak-meh-sin-kiam, ia takdapat menguasai hawa murni dalam tubuhnja, maka ketika lawan berseru minta berhenti, seketika ia mendjadi bingung tjara menarik kembali tenaga dalamnja, terpaksa djarinja diangkat keatas sehingga menuding keatap rumah. Berbareng hatinja memikir: "Biarlah aku tidak keluarkan tenaga lagi, tjoba apa jang dia hendak katakan."
Tapi sekilas sadja Tjiumoti jang maha pintar itu sudah dapat melihat sikap bingung Toan Ki itu, tjaranja menarik kembali hawa murninja tampak kerepotan, kentara sekali kalau masih sangat hidjau. Sedikit tergerak pikirannja, terus sadja Tjiumoti melompat madju terus mendjotos kemuka Toan Ki.
Tentang Toan Ki berhasil memperoleh peladjaran Lak-meh-sin-kiam jang hebat itu adalah disebabkan setjara kebetulan serta ada djodoh sadja, tapi mengenal ilmu silat jang paling umum sekalipun sebenarnja dia tidak paham. Maka ketika djotosan Tjiumoti itu tiba, biarpun serangan ini sangat sederhana dan mudah dihindari, namun bagi Toan Ki malah sebaliknja susah ditangkis.
Umumnja segala matjam kepandaian didjagat ini lazimnja dipeladjari mulai dari jang tjetek, kemudian menudju jang dalam, tidak mungkin memahami jang dalam, tapi malah tidak bisa jang tjetek, dan hanja ilmu silat Toan Ki itulah merupakan suatu ketjuali besar. Ketika melihat dirinja didjotos, walaupun serangan itu sangat sederhana, tapi ia djusteru kelabakan menangkisnja. Karuan kesempatan itu tidak diabaikan Tjiumoti, mendadak ia hentikan djotosannja ditengah djalan dan terus menjampok tangan Toan Ki kesamping, menjusul dada pemuda itu lantas didjamberertnja ditempat "Sin-hong-hiat." Tanpa ampun lagi antero tubuh Toan Ki terasa lemas linu takbisa berkutik.
Walaupun Tjiumoti telah dapat melihat diantara ilmu silat Toan Ki itu terdapat banjak lubang-lubang kelemahannja, tapi toh tak terduga olehnja bahwa setjara begitu gampang pemuda itu dapat ditangkpanja. Ia kuatir Toan Ki sengadja ditawan dan masih ada tipu mulsihat lain, maka begitu kena tjengkeram Sin-hong-hiat didada pemuda itu, menjusul ia menutuk pula
"Tan-tiong," "Tay-tui" dan beberapa Hiat-to penting lainnja. Tapi pada saat jang sama, Tjiumoti djuga merasa tenaga murni dalam tubuh sendiri terus-menerus merembes keluar melalui telapak tangan kanan jang mentjengkeram dadanja Toan Ki itu. Tjepat ia pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri sambil mundur beberapa tindak, lalu katanja:
"Siausitju (tuan ketjil) ini sudah apal benar dari ilmu Lak-meh-sin-kiam, sedangkan Kiam-boh itu sudah dibakar oleh Koh-eng Taysu ..." sambil bitjara, ia megap2 djuga, sebab sekali mulutnja mengap, tak tertahan lagi hawa murninja lantas merembes keluar, terpaksa ia bitjara dengan tjepat dan berputus: " ..... namun Siausitju ini sama ..... sama sadja sebagai Kiam-boh hidup, biarlah kubawa ke ..... kekuburan Bujung-siansing untuk dibakar hidup2 disana, bukankah se ..... serupa djuga ....
"Dan karena kuatir kelemahannja diketahui Koh-eng dan kawan2nja , tjepat Tjiumoti keluarkan serangan Hwe-yam-to-hoat lagi be-runtun2
beberapa kali, sekali melesat, keluarlah dia dari ruang Bo-ni-tong itu.
Ketika Po-ting-te, Thian-in dan lain2 hendak mengedjar, namun mereka kena dipaksa kembali oleh serangan2 Tjiumoti jang hebat itu.
Begitu sampai diluar, segera Tjiumoti lemparkan Toan Ki kepada sembilan laki2 jang mendjaga diluar itu sambil membentak: "Lekas berangkat!"
Segera dua laki2 diantaranja berlari madju menjambuti tubuhnja Toan Ki dan digondol lari melalui djalan jang tidak semestinja seperti mereka datang tadi. Tjiumoti sendiri lantas merasa tenaga murninja tidak merembes keluar lagi begitu terpisah dengan tubuh Toan Ki, ia tetap melontarkan serangan2 Hwe-yam-to-hoat jang hebat kepintu keluar Bo-ni-tong, seketika Po-ting-te dan lain2 mendjadi tertahan didalam dan susah membobol djaring2an golok musuh jang tak berwudjut itu.
Setelah mendengar derapan kuda begundalnja sudah pergi agak djauh dengan menggondol Toan Ki, kemudian tertawalah Tjiumoti, katanja: "Haha, Kiam-boh kertas terbakar, kini memperoleh Kiam-boh jang hidup malah.
Bujung-siansing boleh tidak usah merasa kesepian lagi dialam baka, beliau segera akan mendapat teman." ~ Dan sekali tangannja memotong, terdengarlah suara gemuruh, dua pilar Bo-ni-tong telah dipatahkan olehnja, menjusul tertampaklah bajangan orang berkelebat, setjepat angin ia sudah menghilang dari pandangan mata.
Ketika Po-ting-te dan Thian-som kemudian memburu keluar, namun Tjiumoti sudah pergi djauh. "Hajo lekas kita kedjar!" seru Po-ting-te. Segera iapun mendahului berlari kedepan. Tjepat Thian-som ikut dibelakangnja untuk mengedjar musuh.
Dalam keadaan tak dapat berkutik karena Hiat-to tertutuk, Toan Ki merasa dirinja ditaruh diatas kuda dengan tengkurap hingga kepalanja mendjulur kebawah. Karena itu ia dapat melihat sibuknja kaki kuda bekerdja, debu bertebaran memnuhi mukanja. Ia dengar beberapa laki2 itu sedang mem-bentak2 dalam bahasa asing entah apa jang dipertjakapkan. Ia tjoba menghitung kaki kuda, seluruhnja ada 40 buah, itu berarti ada 10
penunggang kudanja.
Setelah belasan li djauhnja, sampailah mereka disuatu simpang djalan.
Terdengar Tjiumoti berkata beberapa patah, lalu lima penunggang kuda mengambil djalan kiri, sedangkan Tjiumoti sendiri bersama laki2 jang menggondol Toan Ki serta tiga orang lain lagi membiluk kedjalan kanan.
Beberapa li pula, kembali ada simpang djalan lagi, kembali Tjiumoti membagi diri mereka mendjadi dua rombongan.
Toan Ki tahu Tjiumoti sengadja hendak mementjarkan perhatian pengedjarnja agar bingung kemana harus mengedjar mereka.
Dan tidak lama kemudian, tiba2 Tjiumoti melompat turun dari kudanja, ia ambil seutas sabuk kulit untuk mengikat pinggangnja Toan Ki, lalu tubuh pemuda itu lantas didjindjingnja terus dibawa menudju ke-lereng2 bukit.
Sedangkan kedua begundalnja mengeprak kuda mereka kedjurusan barat.
Diam2 Toan Ki mengeluh: "Wah, tjelaka! Djika demikian, sekalipun Pekhu mengerahkan pasukan besar untuk mengedjar, paling banjak tjuma kesembilan lelaki itu jang dapat ditangkap kembali, tapi susah untuk mendapatkan aku."
Meski tangannja mendjindjing seorang, namun tindakan Tjiumoti tidak mendjadi lambat. Makin lama makin djauh dan makin tjepat djalannja. Dalam waktu beberapa djam lamanja ia selalu berkeliaran diantara lereng2 gunung jang sunji.
Toan Ki melihat sang surya sudah mendojong diufuk barat dan menjorot dari sebelah kiri, maka tahulah dia bahwa Tjiumoti membawanja menudju keutara.
Petangnja, Tjiumoti angkat tubuh Toan Ki untuk diletakkan diatas satu dahan pohon, ia ikat sabuk kulit itu diatas ranting pohon, sama sekali ia tidak adjak bitjara pada pemuda itu, bahkan memandangnjapun tidak, hanja sambil mungkur ia sodorkan beberapa potong roti kering padanja. Untuk mana iapun membuka Hiat-to dilengan kiri Toan Ki agar pemuda itu dapat bergerak untuk makan.
Dengan tangan kiri jang sudah dapat bergerak itu, Toan Ki pikir hendak menjerangnja dengan Siau-tik-kiam, siapa duga sekali Hiat-to besar ditubuhnja tertutuk, hawa murni seluruhnja ikut tertutup, maka djari tangannja tjuma dapat bergerak sadja, tapi tak bertenaga sedikitpun.
Begitulah, selama beberapa hari Tjiumoti terus mendjindjingnja keutara.
Beberapa kali Toan Ki memantjing pembitjaraan orang dan menanja mengapa dirinja ditawan serta untuk apa menudju keutara" Namun tetap Tjiumoti tidak mendjawab.
Setelah belasan hari, mereka sudah berada diluar wilajah Tayli, Toan Ki merasa arah jang ditempuh Tjiumoti telah berganti menudju ketimur-laut, tapi tetap tidak mengambil djalan raja, sebaliknja selalu mendjeladjahi lereng gunung dan alas belukar, tjuma tanahnja tampak kian lama kian datar, sungai pun semakin banjak, setiap hari hampir beberapa kali mesti menjeberang sungai.
Tjara perdjalanan Tjiumoti dengan mendjindjing Toan Ki se-akan2 orang mentjangking hewan itu, sudah tentu sangat menherankan orang jang berlalu-lalang disampingnja. Tapi sampai achirnja, Toan Ki sendiri merasa bosan djuga setiap kali berdjumpa dengan orang ditengah djalan.
Sungguh mendongkol Toan Ki tak terkatakan. Dahulu ketika ia ditawan oleh adik perempuannja, jaitu Bok Wan-djing, walaupun setiap hari ia dihadjar dan disiksa, banjak penderitaan jang dirasakannja, tapi rasanja toh tidak kesal seperti ditawan Tjiumoti sekarang ini.
Setelah belasan hari lagi, Toan Ki mendengar logat bitjara orang jang berlalu-lalang mulai ramah-tamah dan enak didengar, diam2 ia membatin:
"Ah, tentu tempat ini adalah daerah Kanglam (selatan sungai Yangtje). Ia membawa diriku kekuburannja Bujung-siansing, rasanja tidak lama lagi sudah akan tiba ditempat tudjuannja. Ilmu silat paderi asing ini sedemikian lihay, sampai Pekhu berenam djuga tak mampu merobohkan dia.
Sekarang aku djatuh dibawah tjengkeramannja, terpaksa aku menjerah pada nasib, masakah aku masih ada harapan buat lolos?"
Berpikir begitu, hatinja mendjadi lapang malah, tanpa pikir lagi ia mendongak untuk memandang keadaan sekitarnja. Tatkala itu adalah pergantian antara musim semi dan musim panas, hawa sedjuk pemandangan indah, angin meniup silir2 memabukkan orang.
Sudah lebih sebulan Toan Ki mendjadi barang tjangkingan Tjiumoti, hal itu sudah biasa baginja. Kini melihat pemandangan alam jang indah permai itu, hatinja mendjadi gembira, tanpa merasa ia ber-njanji2 ketjil sambil menikmati pemandangan danau jang indah dipinggir djalan.
"Huh, hari adjal sudah dekat, masih begini iseng?" djengek Tjiumoti.
"Manusia mana didunia ini jang takkan mati?" sahut Toan Ki dengan tertawa. "Paling banjak engkau tjuma hidup lebih lama buat beberapa tahun, apa bedanja kelak?"
Tjiumoti tidak gubris padanja lagi. Ia tjoba menanja orang dimana letaknja "Som-hap-tjheng." Tapi meski sudah beberapa orang ditanja, tetap tiada seorangpun jang tahu dimana beradanja kampung itu.
"Tidak pernah kudengar sesuatu dusun jang bernama Som-hap-tjheng, barangkali kau salah dengar, Hwesio," demikian kata seorang tua.
"Djika begitu, apakah engkau tahu seorang hartawan she Bujung, dimana rumahnja?" tanja Tjiumoti.
"Dikota Sohtjiu sini banjak orang she Tan, she Li dan she lain2nja, semua hartawan besar, tapi tidak pernah mendengar ada hartawan she Bujung" sahut orang tua itu.
Sedang Tjiumoti bingung, tiba2 didengarnja suara seorang sedang berkata didjalan ketjil ditepi danau sana: "Kabarnja orang she Bujung itu tinggal di Yan-tju-oh kira2 tigapuluh li dibarat kota, marilah kita menudju kesana!"
"Ja, kita sudah sampai tempatnja, kita harus ber-hati2!" demikian sahut seorang jang lain.
Suara pertjakapan kedua orang itu sangat pelahan, maka Toan Ki tidak mendengar, sebaliknja Lwekang Tjiumoti sangat tinggi, ia dapat mendengar dengan sangat djelas. Diam2 ia heran apakah orang sengadja bitjara kepadanja"
Ketika Tjiumoti berpaling, ia lihat seorang berperawakan gagah berpakaian berkabung, seorang lagi kurus ketjil mirip pentjoleng. Tapi sekilas pandang sadja dapatlah diketahui Tjiumoti bahwa kedua orang itu memiliki ilmu silat semua. Dan belum lagi ia ambil keputusan apa mesti menanja kedua orang itu atau tidak, mendadak Toan Ki sudah lantas berseru: "Hai, Ho-siansing, Ho-siansing!"
Kiranja laki2 kurus ketjil bermuka djelek itu tak-lain-tak-bukan adalah Kim-sui-poa Tjui Pek-khe, simesin hitung emas. Dan laki2 jang lain adalah murid keponakannja, Tui-hun-djiu Ko Gan-tji.
Sesudah kedua tokoh itu tinggalkan Tayli, dengan semangat jang berkobar2 mereka hendak membalas dendamnja Kwa Pek-hwe. Walaupun mereka djuga tahu susah untuk melawan orang she Bujung, tapi sakit hati itu harus dibalas betapapun akibatnja, maka achirnja mereka tiba djuga di Koh-soh.
Sebelumnja mereka telah menjelidiki dan mendapat tahu tempat tinggal keluarga Bujung, jaitu Yan-tju-oh, dan setjara kebetulan telah tiba pada waktu jang sama dengan Tjiumoti dan Toan Ki.
Ketika mendadak mendengar seruan Toan Ki tadi, Tjui Pek-khe tertjengang sedjenak, tapi segera ia melompat kedepannja Tjiumoti dan berkata dengan heran: "He, Siauongtju (putera pangeran ketjil), kiranja kau" Eh, Toahwesio, lekas engkau melepaskan Kongtjuya ini, apa kau tahu siapa dia?"
Sudah tentu Tjiumoti tidak pandang sebelah mata kepada kedua orang itu, tapi karena dia lagi bingung mengenai tempat tinggalnja Bujung-siansing, kini kebetulan kedua orang ini mengetahui tempatnja, maka iapun tidak marah terhadap kata2 Tjui Pek-khe tadi. Ia taruh Toan Ki ketanah membiarkan pemuda itu berdiri sendiri, lalu melepaskan Hiat-to dikakinja, kemudian berkata: "Aku hendak pergi kerumah keluarga Bujung, harap kalian berdua suka menundjukkan djalannja."
Pengetahuan dan pengalaman Tjui Pek-khe sangat luas, tapi meski dipikir toh tak teringat olehnja siapakah gerangan Hwesio ini. Maka tanjanja:
"Numpang tanja, siapakah gelaran sutji Taysu" Mengapa membikin susah kepada Siauongtju ini dan untuk keperluan apa hendak pergi kerumah keluarga Bujung?"
"Banjak omong tiada gunanja, nanti tentu akan tahu sendiri," sahut Tjiumoti.
"Apakah Taysu adalah sobat baik Bujung-siansing?" tanja Tjui Pek-khe pula.
"Benar, makanja kalau Ho-siansing mengetahui dimana letak Som-hap-tjheng tempat tinggal Bujung-siansing itu, harap memberitahukan djalannja," sahut Tjiumoti.
Tadi ia mendengar Toan Ki menjerukan "Ho-siansing" kepada Tjui Pek-khe, maka ia menjangka tokoh Ko-san-pay itu benar2 she Ho.
Geli2 dongkol Tjui Pek-khe, sambil meng-garuk2 kepala ia tjoba menanja Toan Ki: "Bagaimana baiknja, Siauongtju"."
Toan Ki mendjadi sulit djuga oleh pertanjaan itu. Ia pikir ilmu silat Tjiumoti itu teramat tinggi, didunia ini mungkin tiada seorangpun jang mampu melawannja, apalagi tjuma kedua tokoh Ko-san-pay ini, terang bukan tandingannja, kalau berani berusaha buat menolongnja, paling2 tjuma menghantarkan njawa sadja, lebih baik memperingatkan mereka sadja agar lekas2 melarikan diri. Maka tjepat katanja: "Taysu ini seorang diri telah mengalahkan pamanku dan kelima tokoh tertinggi dari Tayli, achirnja akupun tertawan olehnja. Katanja dia adalah sobat kentalnja Bujung-siansing, maka aku hendak dibakarnja hidup2 didepan kuburan Bujung-siansing untuk memenuhi sesuatu djandjinja. Kalian berdua selamanja tiada sangkut-paut apa2 dengan keluarga Bujung, maka silahkan menundjukkan djalannja sadja, lalu bolehlah kalian pergi."
Mendengar Hwesio itu telah mengalahkan Po-ting-te dan djago2 lain di Tayli, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjadi kaget. Lebih2 ketika mendengar pula bahwa paderi itu adalah sobat baiknja orang she Bujung.
Namun meskipun lahiriah Tjui Pek-khe itu djelek, tapi batinnja berdjiwa kesatria. Ia pikir sudah belasan tahun dirinja bersembunji didalam Tinlam-ong-hu, untuk itu belum pernah ia membalas sesuatu kebaikan apa2.
Kini Siauongtju berada dalam kesulitan, mana boleh dirinja tinggal diam tidak urus" Betapapun sekarang sudah berada di Koh-soh, memangnja keselamatan djiwa sendiri sudah tak terpikir, biarpun akan mati ditangan musuh atau orang lain toh sama sadja.
Berpikir begitu, sekali tangannja bergerak, segera ia menarik keluar sebuah Suipoa jang bersinar emas kemilauan, ia angkat tinggi2 sendjatanja itu dan dikotjak hingga mengeluarkan suara gemerintjing jang ramai.
Katanja: "Toahwesio, kau bilang Bujung-siansing adalah sobat baikmu, sebaliknja Siauongtju ini adalah kawan karibku. Maka lebih baik engkau melepaskan dia sadja!"
Melihat sang Susiok sudah bersiap, Ko Gan-tji tjepat melolos djuga rujung lemas jang melilit dipinggangnja.
"Hehe, apakah kalian adjak berkelahi?" djengek Tjiumoti.
"Sekalipun tahu takkan mampu menandingi engkau, namun apa boleh buat, betapapun aku ingin mentjoba, mati atau hidup .... auuuh!" mendadak Tjui Pek-khe mengaduh sebelum selesai utjapannja.
Kiranja mendadak Tjiumoti telah samber rujung jang dipegang Ko Gan-tji itu, sekali menjabet, tahu2 Suipoa emas Tjui Pek-khe itu kena tergubat, ketika rujung bergerak pula, kedua matjam sendjata itu mentjelat berbareng menudju ketengah danau disisi kanan.
Tampaknja kedua sendjata itu sekedjap lagi akan ketjemplung kedalam danau, tak tersangka tenaga jang dikeluarkan Tjiumoti itu ternjata sangat aneh dan tepat, udjung rujung itu mendadak mendjengat keatas dan tepat menggubat pada suatu ranting pohon Liu ditepi danau itu. Ranting pohon Liu itu sangat lemas, digantungi lagi dengan sebuah Suipoa emas, maka tiada hentinja ranting itu berguntjang naik turun, air danaupun beriak oleh karena Suipoa emas itu menjentuh air.
Ko Gan-tji itu berdjuluk "Tui-hun-djiu" atau sipenguber njawa, suatu tanda betapa tjepat gerak-geriknja, apalagi rujung lemas itu adalah sendjata tunggal perguruannja jang terkenal, siapa sangka hanja sekali gebrak sadja sudah dirampas musuh. Bahkan tjara bagaimana Tjiumoti mendekati dan merebut sendjata, tjara bagaimana menggubat Suipoa emas lalu orangnja melompat kembali tempatnja semula, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sama sekali tidak djelas melihatnja.
Kemudian sambil merangkap kedua tangannja, Tjiumoti berkata dengan suara lemah-lembut: "Harap sudilah kedua tuan ini menundjukkan djalannja."
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji dan bingung apa jang harus mereka lakukan. Maka terdengarlah Tjiumoti berkata pula: "Djikalau kalian tidak suka mengadjak kami kesana, silahkan menundjukkan arahnja sadja, biar Siautjeng mentjarinja sendiri kesana."
Melihat ilmu silat sihwesio begitu tinggi, tapi sikapnja ramah-tamah, Tjui Pek-khe berdua mendjadi ragu2 dan serba salah, hendak main kasar toh orang bersikap sopan, hendak mengadjak bitjara setjara baik2, terang putera pangeran dari Tayli ditawan olehnja.
Untunglah pada saat itu terdengar suara meriaknja air, dari udjung danau sana tampak tiba sebuah sampan didajung oleh seorang gadis ketjil berbadju hidjau, sambil mendajung, gadis itupun sembari bernjanji dengan gembiranja, lagunja indah, suaranja merdu hingga makin menambah permainja suasana danau itu.
Sudah lama Toan Ki mengagumi keindahan alam Kanglam dari sjair2 gubahan pudjangga jang pernah dibatjanja. Kini dihadapi pemandangan permai dengan njanjian merdu, semangatnja se-akan2 terbang ke-awang2 dan lupa daratan bahwa dirinja waktu itu sedang terantjam bahaja, serentak sadja ia memandang kearah sigadis itu. Ia lihat kedua tangan sigadis putih bersih bagai batu kemala jang bening tembus.
Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji ikut tertarik djuga dan memandang sigadis.
Hanja Tjiumoti sadja tetap membuta dan membudek, katanja: "Djika kalian toh tidak sudi memberitahu letak Som-hap-tjheng, biarlah Siautjeng mohon diri sadja."
Saat itu sampan sigadis sudah dekat menepi. Maka utjapan Tjiumoti itu dapat didengarnja, terus sadja ia menjela: "Taysu ini hendak pergi ke Som-hap-tjheng, entah ada keperluan apakah?"
Suara gadis itu ternjata sangat njaring dan manis hingga bagi jang mendengar akan timbul rasa nikmat jang tak terkatakan. Usia gadis itu ternjata baru belasan tahun, wadjahnja lemah-lembut, dandanannja serasi.
Diam2 Toan Ki memudji: "Wanita daerah Kanglam sungguh tak tersangka setjantik ini."
Maka mendjawablah Tjiumoti: "Siautjeng hendak pergi ke Som-hap-tjheng, entah apakah nona sudi menundjukkan djalannja?"
"Nama Som-hap-tjheng djarang diketahui orang luar, entah dari mana Taysuhu mengetahuinja?" tanja gadis itu dengan tersenjum.
"Siautjeng adalah sobat lama Bujung-siansing, kini sengadja datang berziarah kekuburannja sekedar memenuhi djandji dimasa dulu," sahut Tjiumoti.
Gadis itu merenung sedjenak, lalu katanja: "Wah, agak tidak kebetulan.
Djusteru kemarin dulu Bujung-kongtju bepergian, kalau Taysuhu datang lebih dulu tiga hari, tentu akan dapat berdjumpa dengan Kongtju."
"Sungguh menjesal tidak sempat berkenalan dengan Kongtju, namun djauh2
Siautjeng datang dari negeri Turfan, biarlah aku berkundjung kemakam Bujung-siansing sekedar memberi penghormatan terachir."
"Djikalau Taysuhu adalah sobat baik Bujung-loya, marilah silahkan minum dulu ketempat kami, kemudian akan kusampaikan maksudmu, maukah?"
"Pernah apakah nona dengan Bujung-siansing dan tjara bagaimana aku harus menjebut setjara hormat?" tanja Tjiumoti.
"Ah, aku tjuma dajang jang melajani Kongtju memetik Khim dan meniup seruling," sahut sigadis dengan tersenjum manis. "Namaku A Pik, maka djanganlah Taysuhu sungkan2, panggil sadja A Pik."
"O, baiklah," kata Tjiumoti dengan sangat hormat.
Lalu si A Pik berkata: "Djalan dari sini ke Yan-tju-oh harus melalui djalan air semua, djikalau tuan2 ini hendak kesana semua, marilah kuhantar dengan sampan ini, maukah?"
Setiap kata "maukah" jang ditanjakan oleh A Pik, kedengarannja begitu luwes dan simpatik hingga membuat orang tidak enak untuk menolak. Maka berkatalah Tjiumoti: "Djika begitu, terpaksa mesti membikin repot nona."
~ Berbareng ia terus gandeng tangan Toan Ki dan melompat keatas sampan dengan enteng. Sampan itu hanja ambles kebawah sedikit dan sama sekali tidak terguntjang.
A Pik tersenjum kepada Tjiumoti dan Toan Ki, maksudnja se-akan2 memudji kehebatan kepandaian orang.
Lalu Ko Gan-tji djuga membisiki Tjui Pek-khe: "Bagaimana, Susiok?"
Sebenarnja kedatangan mereka jalah ingin menuntut balas pada orang she Bujung, tapi kedudukan mereka kini mendjadi serba salah dan sangat lutju kelihatannja.
"Djika tuan2 sudah datang di Sohtjiu, pabila toh tiada urusan penting lain, marilah silahkan mampir djuga ketempat kami untuk minum2," demikian kata A Pik lagi dengan tertawa. "Djangan tuan2 ragu2 terhadap sampan jang ketjil ini, biarpun bertambah lagi beberapa orang djuga tidak nanti tenggelam."
Pelahan2 A Pik mendajung sampannja, ketika lewat dibawah pohon Liu tadi, tiba2 ia ambil Kim-sui-poa dan rujung lemas jang tergantung diranting pohon itu. Sekenanja ia ketik2 bidji Suipoa hingga menerbitkan suara "tjrang-tjreng" jang njaring.
Mendengar beberapa suara njaring itu, dengan girang Toan Ki terus berkata: "He, apakah nona sedang memetik lagu "Djay-song-tju" (memetik bidji arbei)?"
Hlm. 39: gambar
"Djika tuan sudah datang di Sohtjiu dan tiada urusan lain, marilah silahkan mampir sekalian ketempat kami untuk minum2 sebentar," demikian kata si A Pik jang mengaku sebagai pelajan Bujung-kongtju.
Kiranja bidji Suipoa jang diketik si A Pik telah mengeluarkan suara jang ber-beda2 hingga berwudjut irama musik dari lagu "Djay-song-tju"
jang merdu. Dengan tersenjum A Pik mendjawab: "Ah, kiranja Kongtju djuga pandai seni suara, maukah memetiknja barang selagu djuga?"
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat gadis itu lintjah ke-kanak2an, ramah-tamah menarik, maka sahut Toan Ki dengan tertawa: "Ja, tapi aku tidak dapat memetik Suipoa." ~ Lalu ia menoleh kepada Tjui Pek-khe, katanja: "Ho-siansing, Suipoamu telah digunakan orang sebagai alat musik jang bagus."
"Benar, benar!" sahut Tjui Pek-khe dengan senjum ewa, "nona benar2
seorang seniwati, alat hitungku jang kasar itu, sekali berada ditangan nona, djadilah segera sebuah alat musik jang bagus."
"Ai, ai, maafkan, djadi ini adalah milik tuan?" seru A Pik gugup. "Wah, alangkah bagusnja Suipoa ini. Ehm, tentu tuan ini seorang hartawan, sampai Suipoa djuga terbuat dari emas. Ho-siansing, inilah kukembalikan."
Sambil berkata, terus sadja A Pik angsurkan Suipoa jang dipegangnja itu. Tapi Tjui Pek-khe berdiri ditepi danau, dengan sendirinja tidak sampai menerimanja. Memangnja iapun merasa berat mesti kehilangan kawan setianja jang selalu dibawanja itu. Maka dengan enteng ia lantas melompat kehaluan sampan untuk menerima Suipoa itu. Kemudian ia berpaling melotot sekali kearah Tjiumoti. Namun wadjah paderi itu tetap bersenjum-simpul dengan welas-asih, sedikitpun tidak marah.
Setelah Suipoa dikembalikan pemiliknja, kini tinggal rujung lemas itu jang masih dipegang si A Pik. Ketika tangan kanannja memegang badan rujung dan sekali digesut dari atas kebawah, karena gesekan kuku djarinja dengan ruas2 rujung lemas itu, maka terbitlah suara matjam2 suara njaring jang menarik hingga mirip orang memetik harpa. Ternjata sematjam sendjata jang pernah melajani berbagai djago2 Bu-lim itu setelah berada ditangan si A Pik, kembali telah berubah mendjadi sematjam alat musik lagi.
"Bagus, bagus!" saking senangnja Toan Ki ber-teriak2. "Sungguh pintar sekali nona, hajolah silahkan memetiknja satu lagu."
Tapi A Pik lantas berkata kepada Ko Gan-tji: "Mungkin rujung ini adalah milik tuan ini bukan" Aku telah sembarangan mengambilnja, sungguh terlalu tidak tahu aturan, harap dimaafkan. Marilah tuan, silahkan tuan naik djuga keatas sampan, sebentar akan kusuguh dengan daharan enak."
Sebenarnja Ko Gan-tji sedang mendendam sakit hati karena gurunja dibunuh orang she Bujung, tapi menghadapi seorang nona tjilik jang selalu bersenjum manis dan ke-kanak2an, betapapun rasa dendam dalam hatinja djuga tidak mungkin dilampiaskan atas diri gadis itu. Pikirnja: "Dia bersedia membawa kami ketempat tinggal orang she Bujung, itulah jang djusteru sangat kami inginkan, bagaimanapun djuga aku harus membunuh beberapa orang mereka untuk membalas sakit hati Suhu."
Karena itu, ia mengangguk terima tawaran A Pik, lalu iapun melompat keatas perahu.
Dengan hati2 dan menghormat A Pik menggulung rujung lemas itu dan dikembalikan kepada Gan-tji. Sekali dajungnja bekerdja, segera sampannja meluntjur kearah barat.
Tjui Pek-khe saling menukar isjarat mata beberapa kali dengan Ko Gan-tji. Diam2 mereka memikir: "Hari ini kita telah memasuki gua harimau, entah bakal mati atau hidup. Menghadapi keluarga Bujung jang kedjam dan sinona jang kelihatannja lemah-lembut ini, betapapun kita harus waspada djangan sampai masuk perangkap musuh."
Begitulah sampan si A Pik terus meluntjur kedepan, setelah membiluk kian kemari, achirnja masuklah sampan itu ketengah danau jang luas.
Sepandjang mata memandang, danau itu se-akan2 tanpa udjung dan bergandengan rapat dengan langit. Karuan Ko Gan-tji bertambah was-was, pikirnja: "Danau besar ini tentulah Thay-oh adanja. Aku dan Tjui-su-siok tidak dapat berenang, asal nona tjilik ini putar balik sampannja, pasti kami berdua akan kelelap kedasar danau sebagai umpan ikan, djangankan lagi bitjara hendak menuntut balas bagi Suhu."
Rupanja Tjui Pek-khe djuga mempunjai firasat jang sama. Ia pikir kalau dajung sampan dapat dipegang sendiri, bila nona itu hendak membalikkan sampannja tentu akan lebih sulit. Maka segera katanja: "Nona, marilah kubantu engkau mendajung, engkau boleh menundjukkan arahnja sadja."
"Ai, mana boleh djadi begitu," sahut A Pik tertawa. "Kalau diketahui Kongtjuya, wah, tentu aku akan didamperat tidak dapat menghormati tamu."
Melihat orang tidak mau, rasa tjuriga Tjui Pek-khe semakin bertambah, katanja pula dengan tertawa: "Haha, bitjara terus terang, sebenarnja kami ingin mendengar nona memperdengarkan ilmu kepandaianmu memetik sesuatu lagu dengan rujung lemas kawanku itu."
"Ilmu kepandaian apa?" udjar A Pik tertawa. "Kalau diketahui A Tju, pasti dia akan mentjemoohkan aku suka pamer didepan tetamu."
Tapi Tjui Pek-khe terus memgambil rujungnja Gan-tji dan diserahkan kepada A Pik, katanja: "Ini, petiklah lekas!" ~ Sembari berkata, terus sadja ia sambuti dajung sampan dari tangan sigadis.
"Baiklah, dan sekalian Kim-sui-poamu itupun pindjamkan aku sebentar,"
kata A Pik. Diam2 Pek-khe mendjadi kuatir: "Dia telah ambil sendjata2 kami, djangan2 ada tipu muslihat apa2?" ~ Namun karena sudah ketelandjur, terpaksa iapun menjerahkan Suipoa emasnja itu.
Tapi Suipoa itu lantas ditaruh diatas geladak sampan oleh A Pik, sambil berduduk ia tarik gagang rujung dengan tangan kiri, udjung rujung itu diindjak dengan kaki kanan hingga rujung lemas itu tertarik dengan lempeng, lalu menarilah kelima djari kanannja meng-gesek2 diatas rujung hingga menerbitkan matjam2 nada suara jang njaring merdu melebihi Pi-pe (alat musik Tionghoa mirip gitar).
Sambil menggesek rujung, terkadang djari A Pik djuga sempat memainkan bidji Suipoa jang terletak dihadapannja itu, suara "tjrang-tjring" dari bidji Suipoa itu berselang-seling dengan suara "trang-tring" gesekan rujung hingga kedengarannja sangat menarik. Sampai puntjaknja, saking gembiranja A Pik terus bernjanji pula mengiringi irama musik jang dimainkannja sendiri dengan merdu itu.
Mendengar suara sigadis jang mengalun empuk itu, sungguh semangat Toan Ki se-akan2 diombang-ambingkan diangkasa raja dan mendjadi seperti orang linglung. Ia gegetun mengapa baru sekarang dirinja sempat pesiar ke Kanglam, ia kagum pula Bujung-kongtju mempunjai seorang dajang sepandai itu, maka dapatlah dibajangkan tokoh matjam apa madjikan sidajang itu.
Selesai A Pik membawakan satu lagu, kemudian iapun kembalikan Suipoa dan rujung itu kepada Pek-khe berdua. Katanja dengan tertawa: "Memalukan, tidak enak didengarkan, harap djangan ditertawai tuan tamu. Nah, dajunglah kesana, ja benarlah!"
Pek-khe menurut dan mendajung sampan itu kesuatu muara sungai ketjil, di permukaan air situ tampak banjak tumbuh daun teratai jang lebat. Tjoba kalau tiada petundjuk si A Pik, tentu tiada jang tahu bahwa disitu ada djalannja.
Setelah mendajung pula sebentar, kemudian A Pik berkata pula: "Biluklah kesana!" Dan permukaan air tempat baru ini ternjata penuh tumbuh daun Lengkak dengan buahnja jang ke-merah2an. A Pik memetik beberapa buah lengkak jang merah itu, ia berikan Ko Gan-tji tiga buah, kemudian memetik pula bagi jang lain.
Meski kedua tangan Toan Ki dapat bergerak, tapi setelah Hiat-to ditutuk orang, sedikitpun ia sudah tak bertenaga, untuk mengupas kulit Lengkak terasa pula tidak kuat. Maka berkatalah A Pik dengan tertawa: "Rupanja Kongtjuya bukan orang Kanglam, makanja tidak biasa mengupas Lengkak.
Biarlah aku mengupasnja untukmu."
Segera ia mengupas beberapa bidji dan diserahkan kepada Toan Ki.
Melihat daging Lengkak itu putih bersih, ketika dimakan rasanja manis gurih, dengan tertawa Toan Ki berkata: "Rasa lengkak ini enak dan tidak membosankan, mirip sekali dengan njanjian nona tadi."
Muka A Pik sedikit bersemu merah, sahutnja dengan tersenjum:
"Membandingkan njanjianku dengan Lengkak, baru pertama kali ini kudengar.
Terima kasih, Kongtju!"
Dan belum selesai sampan itu menjusur rawa Lengkak itu, A Pik telah menundjukkan arah lain lagi jang penuh tumbuh rumput kumbuh jang lebat.
Mau-tak-mau achirnja Tjiumoti mendjadi was-was djuga, diam2 ia mengingat baik2 djalan jang dilalui perahu itu, agar nanti kembalinja tidak kesasar. Tapi rawa2 daun teratai, lengkak dan rumput kumbuh itu hakikatnja serupa sadja tak ada perbedaannja, apa lagi tumbuh2an air itu setiap waktu bisa berubah tertiup angin hingga dalam sekedjap sadja keadaan sudah berlainan daripada semula. Tjiumoti, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji telah berusaha djuga mengikuti sinar mata si A Pik untuk mengetahui tjara bagaimana gadis itu mengenali djalannja, namun tampaknja gadis itu atjuh-tak-atjuh sadja, sambil memetik Lengkak sembari memain air dan memberi petundjuk tanpa pikir, se-akan2 djalanan air jang bersimpang-siur itu sudah merupakan satu peta jang apal baginja.
Begitulah setelah sampan itu didajung berlika-liku kian kemari selama dua djam, lewat lohor, dari djauh tertampaklah pohon Liu me-lambai2
dengan rindangnja dan dibalik pohon tertampaklah udjung emper rumah.
"Itulah dia sudah sampai," seru A Pik segera. "Ho-siansing, telah setengah hari membikin tjapek engkau, terima kasihlah." ~ Ia dengar Toan Ki memanggil Pek-khe sebagai Ho-siansing, maka iapun menirukannja.
Dengan tertawa getir Pek-khe mendjawab: "Asal bisa makan Lengkak sambil mendengarkan njanjianmu, biarpun aku disuruh mendajung selama setahun dua tahun djuga mau."
"Ha, apa susahnja djika engkau benar2 senang makan Lengkak dan suka mendengarkan njanjianku," seru A Pik sambil bertepuk tangan dan tertawa.
"Untuk mana asal engkau tinggal sadja dilembah danau ini dan selama hidup ini djangan meninggalkan sini."
Pek-khe mendjadi kaget oleh utjapan: "selama hidup tinggal dilembah danau" itu, ia tjoba melirik gadis itu, ia lihat A Pik tetap bersenjum simpul sadja seperti tidak punja maksud apa2 dibalik kata2nja itu. Namun begitu hati Pek-khe mendjadi kebat-kebit djuga.
Segera A Pik mengambil penggajuh dari tangannja Pek-khe dan mendajung sampannja ketepian jang penuh pohon Liu itu. Sesudah dekat, tertampaklah sebuah tangga kaju terbuat dari ranting pohon Siong mendjulur dari tepi kedalam air. A Pik menambat perahunja diatas ranting pohon itu serta mendahului mendarat.
Ketika semua orang ikut mendarat, terlihatlah disana-sini ada beberapa buah gubuk jang dibangun ditengah sebuah pulau ketjil atau disemenandjung sana. Gubuk2 itu ketjil mungil dan tjukup indah.
"Apakah disini inikah Som-hap-tjheng dari Yan-tju-oh?" tanja Tjiumoti.
"Bukan," sahut A Pik menggeleng kepala. "Tempat ini adalah kediamanku jang dibangun oleh Kongtju, djelek dan sederhana, sebenarnja tidak pantas untuk menjambut tamu. Tjuma Toasuhu ini menjatakan ingin berziarah kemakamnja Bujung-loya, aku sendiri tidak berani mengambil keputusan, maka terpaksa silahkan tuan2 tunggu sementara disini, biarlah kubitjarakan dulu dengan Entji A Tju."
Mendengar itu Tjiumoti mendjadi dongkol dan menarik muka. Betapa tinggi dan diagungkan kedudukannja sebagai Hou-kok-hoat-ong atau imam negara di negeri Turfan. Djangankan di negerinja sendiri itu dia sangat dihormati oleh kepala negara Turfan, sekalipun pemerintah2 Song, Tayli dan negara2
tetangganja djuga pasti menjambut kedatangannja dengan penuh penghormatan. Apalagi dia adalah sobat lama Bujung-siansing, kini ia datang sendiri buat ziarah, kalau Bujung-kongtju bepergian karena memang sebelumnja tidak tahu, itulah tak dapat disalahkan, tetapi seorang dajang seperti A Pik ini, tamu agung itu tidak dibawa keruang tamu untuk dihormati sebagaimana mestinja, sebaliknja malah dibawa ke suatu gubuk tempat tinggal kaum pelajan, karuan sadja Tjiumoti merasa terhina.
Tapi demi dilihatnja sikap A Pik tetap ke-kanak2an seperti biasa sadja, sedikitpun tidak mengundjuk maksud merendahkan, maka ia pikir mengapa mesti meretjoki urusan begitu dengan seorang pelajan ketjil.
Kemudian Tjui Pek-khe telah menanja: "Siapakah entji A Tju jang kau katakan itu?"
"A Tju ialah A Tju, dia tjuma lebih tua sebulan daripadaku, lantas berlagak sebagai Entji orang," demikian sahut A Pik dengan tertawa. "Ja, apa boleh buat, terpaksa aku harus memanggil dia Entji, habis, siapa suruh dia lahir sebulan lebih dulu" Namun engkau tidak perlu memanggilnja sebagai Entji, kalau tidak tentu lagaknja akan semakin garang."
Sembari berbitjara, dengan lintjahnja A Pik terus menjilahkan keempat tamunja itu masuk kedalam pondoknja.
Toan Ki melihat didepan gubuk itu tergantung sebuah papan ketjil jang bertuliskan "Khim-im-siau-tiok" atau pondok mungil suara harpa. Gaja tulisannja sangat bagus. Setelah masuk, A Pik silahkan semua orang berduduk, kemudian lantas disuguhkannja air teh dan beberapa matjam makanan. Tehnja wangi, makanannja sedap, karuan tiada hentinja Toan Ki memudji.
"Silahkan Kongtju menghabiskannja, persediaan masih tjukup," demikian A Pik.
Sambil melangsir penganan2 kedalam perutnja, terus-menerus Toan Ki memberi pudjian tiada habis2nja. Sebaliknja Tjiumoti, Pek-khe dan Gan-tji bertiga tidak berani menjentuh minuman dan makanan itu sebab kuatir kalau didalam makanan itu ditaruh ratjun.
Diam2 Toan Ki mendjadi tjuriga djuga, pikirnja: "Tjiumoti ini mengaku sebagai sobat lama Bujung-siansing, tapi kenapa berlaku se-hati2 ini "
Pula tjara orang keluarga Bujung menjambut kedatangannja djuga rada tidak beres."
Tjiumoti itu ternjata sangat sabar, ia menunggu hingga Toan Ki sudah habis minum dan selesai mentjitjipi semua penganan jang disuguhkan itu dengan pudjian2 setinggi langit, kemudian barulah dia berkata: "Dan sekarang haraplah nona suka memberitahukan kepada Entji A Tju jang kau katakan tadi."
"Tempat pondok A Tju itu dari sini masih berpuluh li djauhnja, hari ini terang tidak keburu kesana lagi, biarlah tuan2 berempat tinggal semalam disini, besok pagi2 aku lantas membawa kalian ke "Thing-hiang-siau-tiok"
(pondok ketjil jang wangi) ."
"Tahu begitu, mengapa nona tidak tadi2 membawa kami langsung kesana?"
tanja Tjiumoti dengan mendongkol.
"Kenapa mesti buru2 ?" sahut A Pik. "Selama ini aku tiada teman mengobrol, rasanja terlalu sunji. Kini kedatangan tamu sebanjak ini, sudah tentu aku ingin kalian suka tinggal barang sehari untuk meramaikan suasana pondokku ini."
Sedjak tadi Ko Gan-tji hanja berdiam sadja. Kini mendadak ia berbangkit dan membentak: "Dimana tempat tinggal anggota keluarga Bujung"
Kedatanganku kesini bukan untuk minta makan-minum dan untuk mengobrol dengan engkau, tapi datang buat membunuh musuh. Sekali orang she Ko sudah berani datang kemari, memangnja akupun tidak pikir bisa keluar dari sini dengan hidup. Maka lekaslah kau laporkan sana, nona, katakan aku adalah anak murid Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, hari ini sengadja datang untuk menuntut balas sakit hati Suhuku itu"
Habis berkata, sekali rujungnja menjabet, terdengarlah suara gedubrakan jang keras disertai hantjurnja sebuah medja dan sebuah kursi.
Namun sedikitpun A Pik tidak kaget djuga tidak marah, katanja dengan tenang: "Sudah banjak orang2 Kangouw jang gagah perkasa datang hendak mentjari Kongtju, setiap bulannja paling sedikit ada beberapa rombongan.
Diantaranja banjak djuga berlagak garang dan kasar seperti Ko-toaya ini
......" Belum selesai utjapannja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul seorang kakek pendek ketjil berdjenggot dan berambut putih bagai perak, kakek itu membawa tongkat, sambil mendatangi ia berkata: "A Pik, siapakah jang lagi ribut2 disini?"
Tjepat Tjui Pek-khe melompat bangun dan berdiri sedjadjar dengan Ko Gan-tji sambil membentak: "Suhengku Kwa Pek-hwe sebenarnja ditewaskan oleh siapa?"
Toan Ki melihat kakek itu rada bungkuk, mukanja penuh keriputan, usianja kalau tiada seabad, paling sedikit djuga lebih dari 80 tahun.
Maka terdengarlah kakek itu berkata dengan suaranja jang serak: "Kwa Pek-hwe" Ehm, manusia dapat hidup sampai Pek-hwe (seratus tahun), sudah waktunja djuga untuk mati!"
Memangnja Ko Gan-tji sudah tidak sabar lagi hendak membalas sakit hati sang Suhu, kini mendengar pula kata2 sikakek jang kasar itu, ia mendjadi murka, sekali rujungnja bekerdja, terus sadja ia sabet kepunggung kakek itu. Ia kuatir kalau Tjiumoti merintangi tindakannja, maka serangannja sengadja dilontarkan dari djurusan jang tak bisa dihalangi paderi itu.
Siapa duga Tjiumoti tjuma ulur tangannja sadja, seketika tangannja seperti mengeluarkan tenaga sedotan, rujung Ko Gan-tji itu kena ditarik ketangannja dari djauh. Lalu katanja: "Ko-tayhiap, kedatangan kita ini adalah tamu, ada apa2 hendaknja dibitjarakan setjara baik2, djanganlah memakai kekerasan." ~ Habis berkata, ia remas2 rujung rampasannja itu hingga tergulung mendjadi satu, lalu dikembalikan kepada Gan-tji.
Muka Ko Gan-tji mendjadi merah djengah, ia mendjadi kikuk apakah mesti menerima kembali sendjatanja itu atau tidak. Tapi demi dipikir tudjuan pokoknja jalah untuk menuntut balas, hinaan sementara waktu harus berani ditanggungnja. Maka dengan agak malu ia terima kembali rujung itu.
Hlm. 47: gambar
Belum selesai A Pik melajani tetamunja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul seorang kakek pendek ketjil, rambut dan djenggot sudah putih sebagai perak.
Lalu Tjiumoti berkata kepada sikakek: "Siapakah nama Sitju jang terhormat ini" Apakah masih pamili dengan Bujung-siansing atau sahabatnja"."
Kakek itu tertawa, sahutnja: "Aku tjuma seorang budak tua Kongtju sadja, masakah punja nama terhormat segala" Kabarnja Taysuhu adalah sobat baik mendiang Loya kami, entah ada keperluan apakah?"
"Urusanku harus kukatakan berhadapan dengan Bujung-kongtju," sahut Tjiumoti.
"Tapi sajang, kemarin dulu Kongtju telah bepergian, entah kapan baru dapat pulang," kata sikakek.
"Djika begitu, kemanakah Kongtju pergi?" tanja Tjiumoti.
"Wah, aku mendjadi lupa," sahut kakek itu sambil ketok2 djidat sendiri,
"beliau seperti mengatakan hendak pergi kenegeri He atau Tayli, ja, entah Turfan atau negeri mana lagi."
Tjiumoti mendjadi kurang senang oleh djawaban itu, terang tidak mungkin seorang sekaligus keluar negeri sebanjak itu, ia tahu budak tua itu sengadja berlagak pikun, maka katanja: "Djika demikian, akupun tidak menunggu lagi pulangnja Kongtju, harap Koankeh (kepala pengurus rumah tangga) suka membawa aku bersembahjang kemakam Bujung-siansing sekedar memenuhi kewadjiban sebagai seorang sobat lama."
"Ah, permintaan ini aku tidak berani menerima, akupun bukan Koankeh segala," sahut sikakek sambil gojang2 tangannja.
"Djika begitu, siapakah gerangan Koankeh kalian" Dapatkah kutemui dia?"
tanja Tjiumoti.
"Ehm, baiklah, baiklah, akan kupanggilkan Koankeh," kata sikakek sambil mengangguk. Ia putar masuk kebelakang dengan langkah sempojongan sebagaimana lazimnja orang tua sambil menggerundel pandjang-pendek: "Ai, djaman ini memang terlalu banjak orang djahat, banjak jang menjamar Hwesio dan Tosu untuk menipu orang. Huh, orang tua seperti aku pengalaman apa jang tak pernah terdjadi, mana dapat aku diingusi!"
Mendengar itu, saking gelinja sampai Toan Ki terbahak.
Sebaliknja A Pik lekas2 berkata kepada Tjiumoti: "Taysuhu, harap engkau djangan marah, Ui-pepek itu benar2 seorang pikun. Ia mengira dirinja sendiri sangat pintar, tapi kata2nja djusteru selalu menjakiti orang."
Dalam pada itu Tjui Pek-khe lantas menarik Ko Gan-tji kesamping serta membisikinja: "Keledai gundul ini mengaku sebagai sobat orang she Bujung, tapi orang disini terang2an tidak pandang dia sebagai tamu terhormat. Ko-sutit, kita djangan sembarangan bertindak, biarlah melihat dulu apa jang akan terdjadi."
Ko Gan-tji mengia dan kembali ketempatnja tadi. Tapi karena kursinja sendiri telah dihantjurkan oleh sabetan rujungnja tadi, ia mendjadi tidak punja tempat duduk lagi.
Maka dengan tersenjum ramah A Pik lantas memberikan kursinja, katanja dengan tersenjum: "Harap Ko-toaya duduk kursi ini sadja!"
Gan-tji mengangguk puas, pikirnja: "Andaikan aku dapat membunuh bersih antero anggota keluarga Bujung, paling sedikit dajang tjilik ini harus kuampuni."
Sementara itu hati Toan Ki sedang diliputi suatu tanda tanja jang aneh.
Ketika sibudak tua she Ui tadi masuk, diam2 ia merasa ada sesuatu jang kurang beres. Tapi soal apa, ia sendiripun tak bisa mendjawab. Ia tjoba memperhatikan alat perabot ruangan itu, kemudian memandang A Pik, Tjiumoti, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji, namun tiada sesuatu tanda mentjurigakan jang dilihatnja. Tapi anehnja perasaannja djusteru semakin merasa ada sesuatu jang tidak beres.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tindakan orang, dari belakang muntjul seorang laki2 kurus setengah umur. Orang ini memiara djenggot matjam djenggot kambing, gerak-geriknja menundjukkan seorang jang tjekatan dan pandai mengatur rumah tangga, pakaiannja djuga radjin, djari tengah kiri memakai sebuah tjintjin berbatu kemala jang besar. Agaknja inilah dia Koankeh keluarga Bujung.
Orang itu lantas memberi hormat kepada tamu2nja dan berkata: "Hamba Sun Sam menjampaikan salam hormat kepada tuan2 sekalian. Taysuhu, engkau bermaksud ziarah kemakam Loya kami, untuk mana kami menjatakan sangat berterima kasih. Tapi Kongtjuya sedang bepergian, tiada orang jang dapat membalas kehormatan Taysuhu nanti, hal ini akan kelihatan kurang pantas.
Maka kelak kalau Kongtjuya pulang, biarlah kusampaikan sadja maksud baik Taysuhu ini ...."
Bitjara sampai disini, tiba2 Toan Ki mengendus sematjam bau harum jang halus. Seketika pikirannja tergerak, ia tjuriga: "Apakah mungkin demikian halnja?"
Kiranja tadi waktu sibudak tua masuk keruangan situ, Toan Ki lantas mentjium sematjam bau wangi jang halus sedap. Bau harum ini lapat2
seperti bau harum jang teruar dari badannja Bok Wan-djing, walaupun didalamnja memang banjak perbedaannja, namun satu hal adalah pasti, jaitu bau wangi badan anak perawan.
Semula Toan Ki menjangka bau harum itu timbul dari badannja A Pik, maka tidak menaruh perhatian. Tetapi sesudah budak tua itu pergi, bau wangi itupun lenjap. Karena itulah maka timbul perasaan Toan Ki bahwa ada sesuatu jang kurang beres. Sebab mustahil badan seorang kakek tua bangka begitu bisa menguarkan bau harum anak perawan?"
Kemudian ketika Koankeh kurus jang mengaku bernama Sun Sam itu muntjul, kembali Toan Ki mengendus bau wangi jang sama, maka timbul pikirannja pula: "Barangkali dibelakang rumah ini tertanam bunga apa2 jang aneh, siapa sadja jang keluar dari ruangan belakang tentu membawa bau harum jang menggontjang sukma itu. Kalau tidak, maka budak tua itu dan sikurus ini pastilah samaran kaum wanita."
Meski bau wangi itu menimbulkan rasa tjuriga Toan Ki, tapi karena terlalu halus baunja, maka Tjiumoti bertiga sedikitpun tidak tahu.
Sebabnja Toan Ki dapat membedakan bau harum jang halus itu adalah karena dahulu ia pernah disekap bersama Bok Wan-djing didalam kamar batu oleh Djing-bau-khek alias Yan-king Thaytju itu. Maka bau harum jang halus jang timbul dari badan anak perawan itu susah dirasakan orang lain, tapi bagi Toan Ki pengalamannja dulu itu sangat berkesan dan djauh lebih keras malah daripada bau wangi segala matjam wangi2an lainnja.
Meski ia mentjurigai Sun Sam itu adalah samaran wanita, tapi sesudah dipandang dan di-amat2i, toh tiada sesuatu tanda jang mejakinkan. Bukan sadja gerak-gerik Sun Sam itu memang lakunja kaum laki2, bahkan mukanja dan suaranja djuga persis seperti kaum laki2 umumnja. Tiba2 teringat oleh Toan Ki: "Kalau wanita menjamar sebagai lelaki, bidji lehernja sekali2
tak mungkin dipalsukan."
Karena itu, ia tjoba memperhatikan leher Sun Sam, namun djenggot kambingnja itu tepat mendjulur kebawah dan menutupi leher hingga tidak kelihatan apakah ada bidji leher atau tidak.
Toan Ki masih penasaran, ia berbangkit dan pura2 menikmati lukisan jang tergantung didinding sana, dari samping lalu ia melirik untuk mengintjar lehernja Sun Sam. Sekali ini dapat dilihatnja dengan djelas bahwa leher Sun Sam halus lurus tiada sesuatu jang menondjol dilehernja. Ketika mengawasi dadanja pula, tampak dada Sun Sam itu penuh montok. Walaupun tanda ini tidak dapat dipastikan sebagai tanda wanita, tapi seorang laki2
kurus tidaklah lazim memiliki dada jang montok.
Dapat membongkar rahasia itu, Toan Ki mendjadi sangat senang, pikirnja:
"Ini dia sandiwaranja masih belum tamat, biarlah aku mengikuti terus permainannja."
Dalam pada itu terdengar Tjiumoti sedang berkata dengan gegetun:
"Dahulu aku telah berkenalan dengan Loya kalian dinegeri Thian-tiok serta saling mengagumi ilmu silat masing2, disanalah kami telah mengikat persahabatan kekal. Sungguh tidak njana segala apa didunia fana ini memang mudah berubah, orang bodoh seperti aku ini djusteru masih diberi hidup, sebaliknja Loya kalian malah sudah mendahului kenirwana. Djauh2
aku sengadja datang dari Turfan untuk sekedar memberi hormat dihadapan makam sobat lama, soal ada orang membalas hormat atau tidak, mengapa mesti dipikirkan" Maka haraplah Koankeh suka membawa aku kesana."
Sun Sam tampak mengkerut kening, agaknja merasa serba salah, katanja:
"Aku ..... aku ....."
"Entah Koankeh merasakan kesulitan apa, silahkan memberi pendjelasan,"
tanja Tjiumoti.
"Ja, sebab watak Loya kami, sebagai sobatnja tentu Taysuhu tjukup tahu," sahut Sun Sam. "Loya kami paling tidak suka ada orang berkundjung kepadanja, ia bilang orang jang datang mentjarinja kalau bukan hendak menuntut balas dan membikin rusuh, pasti adalah mohon beladjar dan ingin mendjadi muridnja. Jang lebih rendah lagi bisa djuga datang untuk pindjam uang atau bila jang empunja rumah lengah, terus mentjuri. Beliau mengatakan kaum Hwesio dan Nikoh lebih2 tak dapat dipertjaja lagi, auuuuh..... maaf....." ~ Tiba2 ia seperti tersadar telah menjinggung Tjiumoti, maka tjepat menutupi mulutnja.
Tingkah laku menutupi mulut dengan tangan itu terang lazimnja dilakukan oleh kaum anak gadis, bidji matanja jang hitam pekat mendelik itupun mengerling sekedjap. Meski hanja sekilas sadja tingkah laku demikian, namun Toan Ki jang selalu menaruh perhatiannja itu sudah melihatnja, dia bertambah senang lagi: "Ha, Sun Sam ini bukan sadja memang samaran wanita, bahkan adalah seorang nona jang masih sangat muda."
Ketika ia melirik A Pik, ia lihat udjung mulut gadis itu tersimpul senjuman jang litjik. Maka Toan Ki mendjadi lebih jakin lagi, pikirnja:
"Sun Sam ini sudah terang sama orangnja dengan sibudak tua tadi. Boleh djadi adalah entji A Tju jang dikatakan itu."
Dalam pada itu Tjiumoti sedang berkata: "Memang manusia baik2 didjagat ini lebih sedikit daripada orang jang djahat. Kalau Bujung-siansing tidak suka banjak bergaul dengan chalajak ramai, itupun adalah djamak."
"Ja, dari itulah Loya kami telah meninggalkan pesan agar siapa pun jang datang hendak ziarah kekuburannja, semuanja ditolak," kata Sun Sam. "Ia bilang para keledai gundul itu tidak nanti berniat baik, tentu bermaksud membongkar kuburannja. Aija, maaf Taysuhu, keledai gundul jang dimaksudkan Loya kami itu besar kemungkinan bukan ditudjukan kepadamu."
Diam2 Toan Ki mendjadi geli oleh pertundjukan itu, ini namanja
"dihadapan Hwesio memaki keledai gundul," benar2 sangat tepat. Pikirnja:
"Keledai gundul ini tetap tidak marah sama sekali, semakin djahat dan semakin litjik orangnja, semakin pandai dia berlaku sabar. Keledai gundul ini benar2 bukan sembarangan orang."
Malahan Tjiumoti terus berkata lagi: "Apa jang dipesan Loya kalian itu memang ada benarnja djuga. Dimasa hidupnja dahulu terlalu banjak permusuhan jang telah ditanamnja, kalau waktu hidupnja musuh tidak berani padanja, sesudah beliau wafat, bukan mustahil ada jang berusaha membongkar djenazahnja untuk membalas sakit hati."
"Berani mengintjar djenazah Loya kami" Hahaha, djangan mimpi!" udjar Sun Sam dengan tertawa.
"Tapi aku adalah sobat baik Bujung-siansing, aku hanja ingin memberi hormat dihadapan makamnja dan tiada maksud lain, hendaklah Koankeh djangan bersangka djelek," kata Tjiumoti.
"Dengan sungguh2 hal ini Siaudjin tidak berani mengambil keputusan, sebab kalau pesan Loya dilanggar, nanti kalau Kongtju pulang dan mengetahui, bukan mustahil aku akanmemdapat gandjaran jang setimpal,"
kata Sun Sam. "Tapi begini sadjalah, biarlah kumintakan keputusan Lothaythay, nanti kuberitahukan lagi kesini."
"Lothaythay (njonja besar)" Lothaythay jang mana?" tanja Tjiumoti heran.
"Bujung-lothaythay adalah Entjim daripada Loya kami," sahut Sun Sam.
"Setiap tamu jang berkundjung kemari kebanjakan menghadap untuk mendjura dan menghormatinja. Kini Kongtju tidak dirumah, segala apa harus minta keputusan kepada Lothaythay".
"Baiklah djika begitu," kata Tjiumoti. "Harap kau sampaikan kepada Lothaythay bahwa Tjiumoti dari Turfan menjampaikan salam selamat kepada beliau."
"Ah, engkau terlalu baik, terima kasih, tentu akan kusampaikan pada Lothaythay," sahut Sun Sam. Lalu masuklah dia kebelakang.
Diam2 Toan Ki membatin: "Nona ini sangat litjin dan djenaka, entah apa maksud tudjuannja mempermainkan keledai gundul Tjiumoti ini?"
Selang tidak lama, terdengarlah suara berkeriat-keriut orang berdjalan, dari dalam muntjul seorang nenek tua. Belum tiba orangnja bau harum jang sedap halus tadi sudah tertjium oleh Toan Ki, maka ia mendjadi geli: "Ha, sekali ini dia telah menjamar mendjadi njonja tua."
Tertampak njonja tua itu memakai kun dari sutera warna tjoklat, tangannja memakai gelang kemala, gelungannja berhias aneka mutiara permata, dandanannja agung terhormat, mukanja sudah berkeriput, matanja lapat2 seperti sudah kurang penglihatannja. Mau-tak-mau Toan Ki harus memudji dalam hati akan kepandaian menjamar orang, bukan sadja samarannja sangat persis, bahkan dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Begitulah sambil ber-ingsut2 dengan tongkatnja njonja tua itu berdjalan ketengah ruangan, lalu berkata: "A Pik, apakah sobat baik Loyamu telah datang" Kenapa tidak mendjura padaku?" ~ Sembari berkata, kepalanja tampak menoleh kesana kesini seperti lazimnja orang tua jang sudah pikun dan kurang penglihatannja.
A Pik memberi tanda kepada Tjiumoti dan membisikinja: "Lekaslah mendjura! Sekali engkau sudah mendjura, Lothaythay tentu akan senang dan segala permintaanmu pasti akan diluluskan."
Njonja tua itu lantas miringkan kepalanja, tangannja terangkat ditepi telinga seperti orang sedang mendengarkan sesuatu, lalu tanja keras2: "A Pik, kau bitjara dengan siapa" Orang sudah mendjura belum?"
Maka berkatalah Tjiumoti: "Lothaythay, baikkah engkau" Siautjeng memberikan salam hormat." ~ Lalu ia membungkuk memberi hormat, berbareng kedua tangannja mengerahkan tenaga hingga terdengarlah suara "dak-duk"
diatas lantai seperti kepala orang mendjura jang mem-bentur2 lantai.
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji, diam2 mereka terkesiap oleh tenaga dalam sihwesio jang hebat itu, kalau bertanding, sudah pasti mereka berdua tidak mampu menangkis satu djurus serangannja.
Sementara itu sinjonja tua lantas manggut2 dan berkata: "Baik, baik, sangat baik! Orang djahat didjaman ini memang terlalu banjak, djarang sekali ada orang djudjur. Seumpama orang mendjura sadja toh sengadja pura2 segala, sudah terang tidak mendjura, tapi sengadja membikin lantai bersuara dak-duk untuk mengelabui pandanganku jang sudah berkurang ini.
Ehm, engkau ini sangat baik, sangat penurut, keras sekali engkau mendjura ja."
Saking gelinja tak tertahan lagi Toan Ki tertawa mengekek.
Pelahan2 njonja tua itu menoleh dan menanja dengan pandangan matanja jang me-lajap2, lalu tanjanja: "A Pik, suara apa tadi" Apa ada orang kentut?" ~ Sambil berkata, ia terus meng-kipas2 didepan hidungnja.
"Bukan orang kentut, Lothaythay," sahut A Pik menahan tawa. "Tapi Toan-kongtju ini telah tertawa sekali."
"Toan" Apanja jang putus?" tanja sinenek.
"Bukan Toan artinja putus, Lothaythay, tapi orang she Toan, Kongtju keluarga Toan," sahut A Pik menerangkan.
"Ehm, Kongtju terus-menerus, memang jang kau ingat selalu Kongtju sadja," udjar sinenek sambil manggut2.
"Lothaythay sendiri masakah djuga tidak selalu terkenang pada Kongtjuya?" sahut A Pik agak merah mukanja.
"Apa katamu" Kongtjuya kepingin makan djenang?" tanja sinenek.
"Ja, Kongtjuya kepingin makan djenang, bahkan lebih suka pula engkau punja kue mangkok," sahut si A Pik.
Sudah tentu Toan Ki mengarti pertjakapan kedua orang itu bertjabang, maka ia mendjadi lebih jakin lagi sinenek itu pasti samaran si A Tju.
Kemudian nenek itu memandang kearah Toan Ki dan berkata: "Kau botjah ini berhadapan dengan orang tua mengapa tidak mendjura?"
"Lothaythay," sahut Toan Ki. "Ada sesuatu ingin kubitjarakan dengan engkau, tapi tidak enak kalau didengar orang lain."
"Kau bilang apa?" tanja sinenek sambil mendjulurkan kepalanja kedepan.
"Begini," kata Toan Ki. "Dirumah aku mempunjai seorang keponakan perempuan ketjil, namanja A Tju, ia telah pesan padaku agar menjampaikan beberapa kata kepada Lothaythay dari keluarga Bujung."
"Ah, semberono, semberono!" ber-ulang2 sinenek menggeleng kepala.
Namun Toan Ki melandjutkan pula dengan tertawa: "Keponakanku si A Tju itu memang sembrono dan terlalu nakal. Dia paling suka menjaru seperti monjet, hari ini menjaru monjet djantan, besok menjamar monjet betina, malahan pintar main sunglap segala. Tapi sering kutangkap dia dan hadjar bokongnja."
Kiranja sinenek ini memang benar samaran si A Tju, temannja A Pik.
Kepandaiannja menjamar memang pintar luar biasa, bukan sadja wudjutnja mirip, bahkan tutur kata dan gerak-geriknja dapat menirukan dengan tepat dan bagus tanpa tjatjat sedikitpun. Sebab itulah maka orang sepintar Tjiumoti dan sepengalaman Tjui Pek-khe djuga kena dikelabui. Siapa duga dari bau harum jang teruar dari badannja itulah dapat dibongkar rahasianja oleh Toan Ki.
Karuan sadja A Tju sangat terkedjut, namun lahirnja ia tetap tenang sadja, katanja kemudian: "Anak baik, sungguh pintar sekali kau, belum pernah aku melihat anak setjerdik engkau ini. Anak baik djangan usil, nanti Lothaythay tentu memberikan kebaikan padamu."
Toan Ki pikir dibalik kata2 orang itu terang meminta agar dirinja djangan membuka rahasianja, karena tudjuannja jalah untuk melajani sikeledai gundul Tjiumoti, dan ia kebetulan sedang mentjari kawan untuk menjelamatkan diri. Karena pikiran demikian, Toan Ki lantas mendjawab:
"Lothaythay djangan kuatir, sekali Tjayhe sudah datang disini, segala apa aku tentu menurut perintah Lothaythay."
Dasar A Tju itu memang sangat nakal, segera katanja pula: " Bagus, anak baik, engkau benar2 anak penurut sekali. Nah, sekarang lekaslah engkau mendjura tiga kali kepada Lothaythay, pasti nenek nanti takkan bikin rugi padamu."
Toan Ki melengak. Kurangadjar, pikirnja. Masakah seorang putera pangeran jang diagungkan dari negeri Tayli disuruh mendjura kepada budak ketjil"
Melihat sikap Toan Ki ragu2 dan serba susah, A Tju tertawa dingin, katanja: "Ada manusia jang sudah dekat adjalnja, tapi masih sombong dan angkuh luar biasa. Anak baik, ingin kukatakan padamu, pastilah takkan merugikan engkau djika mendjura beberapa kali kepada nenekmu ini."
Ketika Toan Ki berpaling, ia lihat A Pik dengan bersenjum-simpul sedang melirik padanja, kulit badannja jang putih bersih itu bagai buah manggis segar jang baru dibuka, udjung mulutnja terdapat setitik andeng2 ketjil menambah ketjantikannja jang menggiurkan. Hati Toan Ki tergerak, segera ia menanja: "Entji Apik, katanja engkau masih mempunjai seorang teman entji A Tju. Apakah dia ................ dia setjantik molek engkau?"
"Ai, ai, rupaku jang djelek melebihi siluman ini mana berani dibandingkan entji A Tju," sahut A Pik dengan tersenjum. "Rupaku ini masih belum masuk hitungan, kalau entji A Tju mendengar pertanjaanmu ini, pasti dia akan marah. Ketahuilah bahwa entji A ju itu berpuluh kali lebih aju daripadaku."
"Apa betul?" Toan Ki Menegas.
"Guna apa aku mendustai kau?" sahut A Pik tertawa.
"Berpuluh kali lebih tjantik dari kau, didunia ini tentu takada lagi", udjar Toan Ki, "Ja, ketjuali .............. ketjuali sidewi didalam gua.
Asal setjantik engkau sudah susah ditjari orangnja."
Wadjah A Pik mendjadi ke-merah2an, katanja dengan malu2 kutjing: "Kau disuruh mendjura kepada Lothaythay, tidak perlu kau memudja-pudji diriku."
"Wah dimasa mudanja, Lothaythay pasti djuga seorang wanita maha tjantik,' kata Toan Ki pula.
"Untuk bitjara terus terang, merugikan atau tidak kepadaku sama sekali tak kupikirkan, tapi disuruh mendjura kepada wanita maha tjantik, aku benar2 suka dan rela." ~ Habis berkata, benar sadja ia terus berlutut sambil berkata dalam hati: "Djika sudah mau mendjura, maka harus jang keras sekalian. Memangnja aku sudah pernah mendjura beratus kali kepada patung dewi didalam gua itu, apa halangannja kalau kini tjuma mendjura tiga kali kepada wanita tjantik di Kanglam?" ~ Lalu iapun mendjura tiga kali sampai kepalanja membentur lantai.
Dalam hati A Tju sangat girang, pikirnja: " Kongtjuya ini terang sudah tahu kalau aku tjuma seorang pelajan, tapi toh sudi mendjura padaku, sungguh susah ditjari orangnja," ~ Maka katanja kemudian: "Ehm, anak baik, pintar sekali kau. Tjuma sajang aku tidak membawa uang retjeh untuk djadjan engkau..."
"Sudahlah asal Lothaythay djangan lupa, kasihlah lain kali bila ketemu lagi," sela A Pik tiba2.
A Tju melotot sekali pada kawan itu, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pek-khe dan Gan-tji: "Dan kedua tamu ini mengapa tidak mendjura djuga kepada nenek?"
Gan-tji mendengus dengan gusar, serunja keras2: "Kau dapat ilmu silat atau tidak?"
"Kau berkata apa?" A Tju menegas.
"Kutanja engkau bisa ilmu silat atau tidak?" Gan-tji mengulangi."Djika berilmu silat tinggi, biarlah orang she Ko ini terima kematian dibawah tangan Lohudjin (njonja tua). Tapi kalau bukan orang persilatan, akupun tidak perlu banjak omong dengan engkau."
A Tju menggeleng kepala, katanja berlagak pilon: " Kau berkata tentang ulat atau lalat apa segala. Ulat tidak ada disini, kalau lalat sih banjak. Idiiiih kotor ah!" ~ Lalu iapun
berpaling kepada Tjiumoti: "Toahweshio, katanja engkau hendak membongkar huburannja Bujung-siansing, sebenarnja engkau ingin mentjuri benda mestika apa dikuburannja?"
Tjiumoti sudah dapat melihat djuga bahwa nenek itu berlagak sangat pikun dan pura2 tuli, tjuma belum tahu kalau A Tju sebenarnja seorang gadis tjilik telah menjaru sebagai seorang tua. Maka diam2 ia bertambah waspada, ia pikir: "Bujung-siansing sadja sudah begitu lihay, angkatan tua dirumahnja tentu lebih hebat lagi."
Maka ia sengadja pura2 tidak dengar tentang pertanjaan tadi tapi mendjawab: "Siautjeng adalah sobat baik Bujung-siansing, karena mendengar berita wafatnja, djauh2 dari negeri Turfan datang kemari sekedar memberi salam terachir kepadanja. Waktu almaarhum masih hidup, Siautjeng pernah berdjandji akan mengambilkan gambar Lak-meh-sin-kiam-boh dari keluarga Toan di Tayli untuk dipersembahkan kepada Bujung-siansing. Selama djandji itu belum terpenuhi, sungguh Siau-tjeng merasa sangat malu."
Mendengar kata2 "Lak-meh-sin-kiam-boh" itu seketika A Tju terkesiap. Ia tahu ilmu silat itu bukan sembarangan, dirinja djuga belum lama dapat mendengar dari Kongtju. Ia saling pandang sekedjab dengan A Pik dan sama2
berpikir sihwesio itu sudah mulai membitjarakan atjara pokoknja.
Maka sahut A Tju: " Ada apa tentang Lak-meh-sin-kiam-boh segala?"
"Begini," tutur Tjiumoti, "Dahulu Bujung-siansing berdjandji pada Siautjeng asal dapat mengambilkan Lak-meh-sn-kiam-boh untuk dibatjanja barang beberapa hari, sebagai timbal-baliknja beliau membolehkan Siautjeng membatja kitab2nja beberapa hari dipondok 'Lang-goan-tjui-kok'
dikediaman kalian ini."
A Tju terkedjut, ternjata paderi asing itu kenal nama "Lang-goan-tjui-kok" atau pondok air indah, mungkin apa jang dikatakan itu memang benar2
adanja. Tetapi ia tetap berlaga pilon dan menanja pula: "Kau bilang
'Lang-goan-tjui-kok' apa" O, kau kepingin makan kue mangkok" Itulah mudah, dirumah kami selalu sedia kue mangkok."
Tjiumoti benar2 kewalahan, ia berpaling dan berkata kepada A Pik:
"Lothaythay ini entah benar2 sudah pikun atau tjuma berlaga pilon. Jang terang sekarang berbagai tokoh dari aliran persilatan di Tionggoan sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding tjara bagaimana menghadapi Bujung-si dari Koh-soh sini. Mengingat Siautjeng pernah bersobat dengan Bujung-siansing maka sebenarnja bermaksud mentjurahkan sedikit tenagaku jang tak berarti itu untuk membantunja. Tapi Lothaythay sedemikian sikapnja, sungguh membikin hati orang mendjadi dingin."
A Tju sama sekali tidak gubris utjapannja itu, ia malah berseru kepada A Pik: "He, A Pik, kau dengar tidak, hati Toahwesio ini kedinginan, lengkaslah kau membuat kue mangkok jang hangat2 untuknja."
"Gulanja belum beli, Lothaythay," sahut A Pik dengan menahan geli.
"Pakailah gula batu,"kata A Tju."Tepungnja habis, Lothaythay!" sahut A Pik pula.
"Wah, aku benar2 sudah pikun, lantas bagaimana baiknja?" udjar A Tju achirnja.
Dasar anak gadis Sohtjiu memang terkenal lintjah dan pintar bitjara, pula kedua dajang tjikik ini se-hari2 sudah biasa bergurau dan saling ber-olok2, keruan tingkah laku mereka ini membuat Tjiumoti benar2 mati kutu. Maksud kedatangannja ke Sohtjiu ini memangnja berharap dapat berdjumpa dengan Bujung-kongtju untuk berunding sesuatu urusan penting.
Siapa duga orang jang ditjari tidak ketemu, sebaliknja masih bertemu dengan orang2 jang mengotjeh tak keruan hingga membuatnja bingung.
Namun Tay-lun-beng-ong ini benar2 satu tokoh jang hebat, sedikit memikir, segera ia jakin Bujung-lothaythay, Sun Sam, si budak tua dan A Pik itu telah sengadja meritanginja agar tidak dapat masuk perpustakaan
"Lang-goan-tjui-kok" untuk membatja. Kini tidak peduli lagi mereka berlagak apapun djuga, asalkan sudah dikemukakan dengan kata2, kelak apakah mesti pakai kekerasan atau setjara halusan, dirinja sendiri sudah lebih dulu dipihak jang benar.
Maka dengan sabar dan ramah iapun berkata: "Lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu sekarang djuga sudah Siautjeng bawa. Sebab itulah kumohon dapat diperkenankan pergi membatja ke 'Lang-goan-tjui-kok'."
"Bujung-siansing sudah wafat kini," kata A Pik. "Pertama djandji lisan itu tak berbukti. Kedua, meski Kiam-boh itu sudah dibawa kemari, tapi tiada seorangpun diantara kami jang paham. Maka sekalipun dahulu ada perdjandjian apa2, dengan sendirinja sudah batal."
Namun A Tju lantas berkata: "Kiam-boh apakah itu" Dimana" Tjoba kulihat dulu apakah tulen atau palsu!"
"Toan-kongtju ini telah apal semua lukisan Lak-meh-sin-kiam itu," sahut Tjiumoti sambil menundjuk Toan Ki. "Kini telah kubawanja kemari, maka sama sadja seperti kubawa gambar2 aslinja."
"Huh, kukira Kiam-boh apa segala, kiranja Taysuhu tjuma bergurau sadja," djengek A Pik.
"Siautjeng mana berani sembarangan bergurau?" sahut Tjiumoti sungguh2.
"Lak-meh-sin-kiam-boh jang asli itu telah dibakar Koh-eng Taysu di Thian-liong-si, sjukur Toan kongtju ini telah dapat mengapalkan seluruh isinja denga baik".
"Sekalipun Toan-kongtju benar2 apal, itupun adalah urusannja Toan-kongtju sendiri," udjar A Pik. "Dan andaikan mesti pergi ke Lang-goan-tjui-kok, jang benar djuga Toan-kongtju jang pantas kesana. Apa sangkutpautnja dengan Taysu?"
"Untuk memenuhi djandji Siautjeng dahulu itu, Siautjeng ingin membakar Toan-kongtju ini dihadapan makamnja Bujung-siansing," kata Tjiumoti.
Keruan Semua orang terperandjat oleh utjapan itu. Tapi melihat sikap paderi itu sungguh2 dan sekali2 bukan berkelakar, kedjut merka mendjadi lebih hebat.
Maka berkatalah A Tju: "Ha, bukankah Taysu ini sedang bergurau" Masakah seorang baik2 akan kaubakar hidup2?"
"Ja, Siautjeng hendak membakarnja, rasanja iapun takkan mampu membangkang," sahut Tjiumoti dengan tawar.
Segera A Pik berkata pula: "Taysu bilang Toan-kongtju telah apal semua isi Lak-meh-sin-kiam-boh, njata alasanmu ini sengadja di-tjari2 sadja.
Pikirlah betapa lihaynja ilmu Lak-meh-sin-kiam itu, kalau benar2 Toan-kongtju mahir ilmu pedang sakti itu, masakah dia bisa dikalahkan olehmu?"
"Ja, benar djuga utjapanmu ini," sahut Tjiumoti. "Tapi nona tjuma tahu kepalanja tidak tahu ekornja. Toan-kongtju justeru telah kututuk Hiat-to jang penting, antero tenaga dalamnja tak dapat dikeluarkannja."
Nomun A Tju masih menggeleng kepala, katanja: "Lebih2 aku tidak pertjaja pada alasanmu ini. Untuk membuktikan kebenarannja, tjoba kau melepaskan Hiat-to Toan-kongtju dan suruhlah dia memainkan Lak-meh-kiam-hoat itu. Tapi kujakin 99% engkau pasti bohong."
Tjiumoti manggut2, sahutnja: "Baiklah, boleh djuga ditjoba!"
Kiranja waktu datang tadi, karena kesemsem oleh ketjantikan A Pik, pula sangat tertarik oleh njanjiannja jang merdu, maka Toan Ki telah memberi pudjian kepada dajang itu. Kemudian Toan Ki sudi pula mendjura tiga kali kepada A Tju, hal inipun memperoleh simpatik dajang ini.
Maka demi mendengar Toan Ki tertutuk oleh Tjiumoti, segera kedua dajang tjilik itu sengadja menipu paderi itu supaja melepaskan Hiat-tonja Toan Ki.
Tak tersangka permintaan mereka itu telah diterima setjara mudah oleh Tjiumoti. Segera paderi itu men-tepuk2 beberapa kali didada, paha dan pundaknja, lalu Toan Ki merasa djalan darahnja lantas lantjar kembali, sedikit ia mengerahkan hawa murninja, terasalah bergerak dengan sempurna.
Ia mentjoba mendjalankan tenaga menurut Tiong-tjiong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam itu, ia tarik tenaga dalamnja ke Tiong-tjiong-hiat didjari tengah kanan, maka terasalah djari itu sangat panas, ia tahu asal sekali djarinja menuding kedepan, djadilah sedjurus tusukan pedang jang lihay.
"Toan-kongtju," demikian Tjiumoti lantas berkata, "Bujung-lothaythay tidak pertjaja engkau sudah mahir Lak-meh-sin-kiam, maka silahkan engkau mempertundjukannja. Begini, seperti aku menabas sebatang ranting pohon Kui ini."
Habis berkata, dengan telapak tangan kiri ia terus memotong miring kedepan dengan penuh tenaga dalam jang hebat. Itulah satu djurus jang lihay dari "Hwe-yam-to". Maka terdengarlah suara "krak" sekali, sebatang ranting pohon jang tjukup besar dan berada dipelataran sana tahu2 telah patah sendiri.
Saking kagetnja sampai Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjerit. Meski sebelumnja mereka tahu ilmu paderei asing itu sangat lihay lagi aneh, tapi mereka pertjaja palinng2 djuga tjuma sebangsa ilmu sihir dari kalangan hitam. Tapi kini demi menjaksikan betapa tinggi Lwekangnja jang digunakan untuk menabas ranting pohon dari djauh itu, barulah mereka sadar telah salah sangka.
Maka Toan Ki berkata sambil menggojang kepala: "Tidak, aku tidak bisa ilmu silat apa2, lebih2 tidak tahu tentang Lak-meh atau Tjhit-meh-kiam-hoat segala. Batang pohon orang jang indah itu kenapa engkau rusak tanpa sebab?"
"Kenapa Toan-kongtju mesti merendah diri," sahut Tjiumoti. "Diantara djago2 Toan-si di Tayli, engkaulah tokoh nomor satu. Didunia ini ketjuali Bujung-kongtju dan aku sihewshio mungkin tiada seberapa orang lagi jang mampu menandingi engkau. Tapi keluarga Bujung di Koh-soh ini adalah gudangnja ilmu silat didunia ini, bila kau suka pertudjukan beberapa djurus, kalau ada salah, boleh djadi Lothaythay nanti akan memberi petundjuk2 seperlunja, bukankah hal itu nanti akan menguntungkan kau?"
"Toahweshio, sepandjang djalan kau terlalu kasar padaku, kau telah membanting dan menjeret aku kesini, untuk mana aku mandah sadja diperlakukan sesukamu karena aku kalah pada ilmu silatmu. Sebenarnja aku tidak sudi lagi bitjara dengan engkau, namun setiba disini, aku telah dapat menikmati pemandangan indah dengan gadis2nja jang tjantik2, maka rasa dendamku padamu menjadi terhapus djuga. Maka untuk selandjutnja hubungan kita kuputuskan sampai disini, masing2 tidak perlu menggurus masing2".
Diam2 A Pik dan A Tju merasa geli oleh ke-tolol2an Toan Ki itu. Tapi demi mendengar mereka dipudji tjantik, betapapun mereka sangat senang.
Lalu Tjiumoti telah berkata: "Kongtju tidak sudi mengundjukan Lak-meh-sin-kiam, bukankah itu berarti omonganku tadi tjuma bualan belaka?"
"Memangnja mulutmu djuga tidak bisa dipertjaja," sahut Toan Ki.
"Djikalau benar2 engkau ada djandji dengan Bujung-siansing, mengapa tidak dulu2 mengambil Kiam-boh ke Tayli, tapi menunggu setelah Bujung-siansing meninggal, sesudah tiada saksi, barulah engkau bikin rusuh kesini. Hm, kulihat engkau sebenarnja mempunjai maksud2 tertentu, kau kagum pada ilmu silat keluarga Bujung jang hebat, maka sengadja mengarang dongengan2 jang susah dipertjaja untuk menipu Lothaythay, tapi tudjuanmu sebenarnja ingin mengintip kitab2 pusaka adjaran silat dikamar perpustakaan keluarga Bujung ini, dengan begitu engkau akan meradjai dunia persilatan. Tapi, ha, Tjiumoti, kenapa engkau tidak pikir, bahwa nama orang sedemikian gemilangnja didunia persilatan, masakah terhadap sedikit akalmu ini mereka takkan tahu" Pabila tjuma mengandalkan sedikit otjehanmu ini sadja lantas mengira rahasia ilmu silat keluarga Bujung dapat kau tipu, wah, mungkin setiap orang didunia ini akan mendjadi penipu ulung semua?"
Namun Tjiumoti ternjata meng-geleng2 kepala, katanja: "Tafsiran Toan-kongtju telah salah besar. Meski sudah lama djandji Siautjeng dengan Bujung-siansing itu, soalnja karena selama ini Siautjeng sedang menjepi untuk mejakinkan 'Hwe-yam-to' dan telah sembilan tahun Siautjeng tidak pernah keluar rumah, maka tidak sempat pula mengundjungi Tayli. Dan bila ilmu 'Hwe-yam-to' itu tidak berhasil dijakinkan Siautjeng, mungkin Siautjeng tidak dapat keluar lagi dari Thian-liong-si dengan selamat."
"Toahweshio," kata Toan Ki pula, "bitjara tentang nama, engkau memang sudah terkenal.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 22 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Ksatria Negeri Salju 7
Karuan Thian-in dan lain2 terkedjut, betapa tinggi tenaga dalam paderi asing ini sungguh sudah mentjapai tingkatan jang susah diukur. Tapi Thian-in dan Po-ting-te lantas mengendus pula bau belirang jang terbakar, maka tahulah mereka, kiranja diputjuk dupa2 itu terdapat obat bakar, sekali Tjiumoti menggosok obat bakar itu dengan tenaga dalamnja, segera dupa2 itu menjala. Meski perbuatan itu tidak mudah dilakukan, namun Poting-te merasa dirinja masih mampu melakukannja djuga.
Sesudah menjala, asap dupa lantas mengepul mendjadi enam djalur.
Tjiumoti berduduk sambil kedua tangannja terpentang mentjakup kedepan, sekali ia kerahkan tenaga dalamnja, keenam djalur asap itu terus membengkok dan menudju kearah Koh-eng dan Po-ting-te berenam.
Kiranja ilmu Tjiumoti ini disebut "Hwe-yam-to" atau golok berkorbarnja api. Meski tanpa wudjut dan takdapat diraba, tapi lihaynja bukan kepalang untuk membinasakan lawan. Namun maksud tudjuan Tjiumoti sekarang tjuma ingin mendapat kitab pusaka dan tiada niat membunuh orang, maka hanja enam batang dupa dinjalakan untuk menundjukan kemana arah tenaga serangannja ditudjukan, pertama sebagai tanda ia telah jakin pasti lebih unggul dari lawan2nja, kedua sebagai tanda welas-asihnja jang tidak ingin membunuh orang, tapi tjuma saling mengukur kepandaian silat masing2.
Begitulah, ketika enam djalur asap itu sampai didepannja Thian-in dan lain2, mendadak asap itu lantas berhenti dan tidak menjambar madju lagi.
Sungguh kedjut Thian-in dan lain2 bukan buatan. Menggunakan tenaga dalam untuk mendesak madjunja asap tidaklah sulit, tapi memakai tenaga dalam untuk memberhentikannja, terang kepandaian ini berpuluh kali lebih sukar daripada jang duluan.
Thian-som tidak mau undjuk lemah, sekali djari ketjil kiri terangkat,
"tjus," sedjalur hawa putih djuga memantjar dari Siau-tjiong-hiat kearah asap jang berada didepannja. Karena tolakan tenaga dalam Thian-som, tjepat luar biasa tali asap itu lantas menjambar kembali kearah Tjiumoti.
Tapi ketika sudah dekat, waktu tenaga "Hwe-yam-to" jang dikerahkan Tjiumoti diperkeras lagi, djalur asap itu lantas berhenti dan tidak mampu madju lagi.
"Ehm, memang hebat," kata Tjiumoti sambil memanggut. "Ternjata didalam Lak-meh-sin-kiam memang adalah satu tjabang "Siau-tjiong-kiam" seperti ini.
Setelah kedua orang saling gempur dengan tenaga dalam, Thian-som merasa kalau dirinja tetap duduk, daja tekanan ilmu pedangnja itu akan susah dilantjarkan. Maka segera ia berdiri dan melangkah tiga tindak kekiri, dengan tenaga dalamnja itu ia menjerang lebih kuat dari sana.
Segera Tjiumoti angkat tangan kiri dan tenaga serangan itu lantas tertahan. Thiam-koan ikut bertindak djuga, sekali djari tengahnja menegak, "tjus," iapun menusuk kedepan dengan "Tiong-tjiong-kiam".
"Bagus, inilah Tiong-tjiong-kiam-hoat!" seru Tjiumoti sambil menangkis.
Meski satu lawan dua, namun sama sekali tak tampak ia terdesak.
Toan Ki duduk didepannja Koh-eng, ia dapat menoleh kekanan dan miring kekiri untuk mengikuti pertarungan hebat jang susah diketemukan dalam Bulim itu. Meski dia tidak paham ilmu silat, tapi tahu djuga bahwa Hwesio2
itu sedang bertanding pedang dengan Lwekang mereka, lihay dan bahajanja pertandingan Lwekang ini djauh lebih hebat daripada bertanding dengan sendjata tadjam.
Ia lihat djurus2 ilmu pedang dan golok jang dikeluarkan Tjiumoti, Thian-som dan Thian-koan itu sangat lambat. Setelah belasan djurus, tiba2
pikirannja tergerak: "He, bukankah Tiong-tjiong-kiam jang dimainkan Thian-koan Taysu itu tiada ubahnja seperti apa jang kubatja dalam gambar itu?" ~ pelahan2 ia lantas membuka lukisan Tiong-tjiong-kiam-hoat jang memang terletak didepannja itu. Ia tjotjokan antara gerakan hawa putih jang menjambar kian kemari itu dengan petundjuk dalam gambar, njata ilmu pedang itu memang sama, maka djelaslah baginja ilmu pedang itu.
Sungguh girang Toan-ki bukan buatan. Segera ia mengikuti Siau-tik-kiam-hoat jang dimainkan Thian-som itu. Ilmu pedang inipun sama dengan gambar.
Tjuma Tiong-tjong-kiam-hoat itu lingkungannja lebih luas dan daja tekannja lebih keras, sebaliknja Siau-tik-kiam lebih lintjah, menjusup kian kemari dengan matjam2 perubahan jang rumit.
Melihat kedua Sutenja sama sekali tidak lebih unggul menggerojok Tjiumoti, Thian-in mendjadi kuatir latihan mereka belum masak, djangan2
segala gaja permainan mereka keburu dipahami Tay-lun-beng-ong jang maha pintar itu. Segera ia berseru: "Thian-siang dan Thian-tim Sute, marilah kita turun tangan!"
Berbareng Thian-in atjungkan djari telundjuknja, ia keluarkan Siang-yang-kiam-hoat. Menjusul Thian-siang djuga memainkan "Siau-tjiong-kiam"
dengan djari ketjil kanan. Sedang Po-ting-te menjerang dengan "Koan-tjiong-kiam," jaitu dengan djari manis.
Tiga arus hawa pedang jang hebat serentak menerdjang kearah tiga djalur asap musuh.
Sudah tentu jang paling untung adalah Toan Ki, melihat "Siang-yang-kiam" jang dilontarkan Thian-in itu djauh lebih kuat daripada Thian-som berdua, tjepat ia membuka gambar ilmu pedang itu, tapi ia mendjadi lebih heran pula ketika melihat gerakan ilmu pedang sang paman sebaliknja sangat lambat dan berat.
Memang diantara djari2 tangan umumnja djari telundjuk paling lintjah dan hidup, sebaliknja djari manis kaku dan bodoh. Makanja Sian-yang-kiam mengutamakan kegesitan dan kelintjahan, sebaliknja Koan-tjiong-kiam gerak-geriknja lambat dan berat.
Saking asjiknja Toan Ki mengikuti ilmu2 pedang itu sambil berpaling kesini dan menoleh kesana, tanpa merasa suatu waktu kepalanja telah menempel didepan hidungnja Koh-eng Taysu. Ia merasa risih ketika tengkuknja se-akan2 di-sebul2 karena napas orang tua itu. Tanpa sengadja ia terus mendongak, tapi apa jang dilihatnja membuatnja ternganga kaget.
Ternjata wadjah jang dilihatnja itu aneh luar biasa, separoh muka sebelah kiri merah bertjahaja, daging penuh, kulit gilap, mirip muka anak ketjil. Tapi muka jang separoh sebelah kanan kurus kering tinggal kulit membungkus tulang. Ketjuali kulitnja jang kuning hangus itu, sedikitpun tiada dagingnja hingga tulang pipinja menondjol mirip setengah rangka tengkorak sadja.
Dalam kagetnja tjepat2 Toan Ki menoleh dan tidak berani memandang lagi, hatinja mendjadi ber-debar2 pula. Ia tahu muka Koh-eng Taysu itu pasti akibat mejakinkan "Koh-eng-sian-kang" ilmu Budha subur dan kering, makanja wadjahnja separoh "koh" (kering) dan separoh "eng" (subur).
Tiba2 Koh-eng Taysu membisikinja: "Kesempatan bagus djangan dibuang, lekas perhatikan ilmu pedang!"
Toan Ki tersadar, ia mengangguk dan tjepat mentjurahkan perhatiannja untuk mengikuti ilmu pedang Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te serta ditjotjokan dengan gamabr2 Kiam-boh jang bersangkutan.
Bila kemudian ketiga tjabang Kiam-hoat itupun sudah selesai dipeladjarinja, sementara itu permainan ilmu pedang Thian-som dan Thian-koan sudah ulangan kedua kalinja. Kini tanpa membandingkan dengan gambarnja, Toan Ki sudah dapat memahami dimana letas kebagusan Lak-meh-kiam-hoat itu. Ia merasa garis2 jang terlukis digambar itu adalah barang mati, tapi hawa putih jang dipantjarkan dengan tenaga dalam itu benar2
tiada habis2 perubahannja dan dapat dikerahkan pergi-datang dengan hidup, kalau dibandingkan apa jang terlukis digambar, terang lebih ruwet tapi lebih padat.
Setelah mengikuti pula sebentar, terlihat Kiam-hoat jang dimainkan Thian-in, Thian-siang dan Po-ting-te djuga sudah selesai. Tiba2 djari2
ketjil Thian-siang mendjentik pula dengan djurus "Hun-hoa-hut-liu" atau membelai bunga menjingkap daun Liu. Njata untuk kedua kalinja ia telah mainkan ilmu pedangnja pula.
Tjiumoti mengangguk sedikit. Menjusul Thian-in dan Po-ting-te djuga mengadakan perobahan pula dari permainan ilmu pedang mereka jang sudah selesai itu. Tapi mendadak didepan tubuh Tjiumoti bersuara mentjitjit daja tekan "Hwe-yam-to" ternjata bertambah hebat hingga tenaga dalam dari gerakan pedang kelima lawannja ditolak kembali semua.
Kiranja semula Tjiumoti tjuma bertahan sadja dengan tudjuan mengikuti permainan Lak-meh-sin-kiam kelima orang lawannja itu hingga selesai, habis itu barulah mengadakan serangan balasan. Dan sekali ia sudah balas menjerang, kelima djalur asap putih segera menari dan beterbangan dengan hidup sekali, sedang djalur asap keenam tetap berhenti kira2 satu meter dibelakang tubuh Koh-eng Taysu.
Koh-eng Taysu sengadja hendak melihat sampai dimana kekuatan bertahan musuh. Namun Tjiumoti sadar djuga bila terlalu lama menahan djalur asap jang keenam itu, tenaga dalamnja jang terbuang akan terlalu banjak. Maka kini ia mulai pusatkan tekanannja kedjalur asap keenam itu hingga sedikit demi sedikit mulai mendesak madju kebelakang kepalanja Koh-eng.
Toan Ki mendjadi kuatir, tjepat katanja: "Thaysuhu, awas, djalur asap musuh sedang menjerang engkau."
Koh-eng meng-angguk2, ia terus membentang lukisan "Siau-siang-kiam,"
jaitu bagian dari Lak-meh-sin-kiam menurut gambar jang harus dimainkannja itu didepan Toan Ki.
Pemuda itu tahu maksud baik Koh-eng Taysu. Maka dengan memusatkan perhatian, segera ia membatja isi daripada gambar itu. Ia lihat ilmu pedang Siau-siangkiam dalam lukisan itu hanja sederhana sadja garis2
petundjuknja, tapi memiliki tenaga maha kuat jang tiada taranja.
Sambil membatja lukisan itu, Toan Ki tidak lupa djalur asap musuh jang mengantjam Koh-eng tadi. Ketika ia menoleh pula, ia lihat djalur asap itu tinggal beberapa senti sadja dibelakang kepalanja Koh-eng. Ia mendjadi kaget dan berseru: "Awas!"
Mendadak Koh-eng membaliki tangannja kebelakang, kedua djari djempolnja menahan kedepan berbareng, dengan suara mentjitjit dua kali, sekaligus ia serang dada kanan dan pundak kiri Tjiumoti. Kiranja serangan musuh tadi tak ditangkisnja, sebaliknja Koh-eng melakukan serangan kilat diluar dugaan musuh. Ia memperhitungkan Hwe-yam-to musuh agak lambat madjunja, untuk bisa mengenai dirinja masih diperlukan sementara waktu lagi, tapi kalau ia bisa mendahului menjerang sasarannja, tentu musuh akan kerepotan.
Tjiumoti sendiri dapat memikirkan kemungkinan2 itu, maka sebelumnja ia sudah bersiap untuk mendjaga kalau mendadak diserang oleh Koh-eng Taysu jang merupakan lawan paling kuat. Tapi jang dia duga tjuma satu djurus serangan Siau-yang-kiam jang lihay dan tidak menjangka Koh-eng sekaligus dapat menjerang dua pedang dengan sasaran dua tempat. Tjepat ia kerahkan tenaga jang sudah disiapkan itu untuk menangkis tenaga tusukan jang mengarah dadanja itu, menjusul kakinja memetul, baru2 ia melompat mundur dengan tjepat. Tapi betapapun tjepatnja tetap kalah tjepat daripada hawa pedang jang tak kelihatan itu, "tjret," tahu2 djubah bagian pundak terobek dan merembes keluar darah.
Saat lain Koh-eng Taysu telah tarik kembali djarinja dan hawa pedang ikut mengkeret kembali, maka patahlah keenam batang dupa sekaligus.
Berbareng Thian-in, Po-ting-te dan lain2 ikut menarik kembali djuga hawa pedang mereka, perasaan kuatir mereka baru sekarang dapat terasa longgar.
Tjiumoti melangkah madju lagi, katanja: "Ilmu sakti Koh-eng Taysu memang bukan main hebatnja, Siautjeng merasa kagum tak terhingga. Tapi tentang Lak-meh-sin-kiam itu, ha, kiranja tjuma omong kosong belaka.
"Kenapa omong kosong, silahkan memberi pendjelasan." kata Thian-in.
"Dahulu jang dikagumi Bujung-siansing adalah Kiam-hoat (ilmu permainan pedang) dan bukan Kiam-tin (barisan pedang) dari Lak-meh-sin-kiam," sahut Tjiumoti "Walaupun benar Kiam-tin dari Thian-liong-si barusan ini sangat kuat dan hebat, tapi kalau diukur djuga tidak lebih seperti Lo-han-kiam-tin dari Siau-lim-si dan Kun-goan-kiam-tin dari Kun-lun-pay. Agaknja belum dapat dikatakan Kiam-tin jang tiada bandingannja didunia ini.
Dengan menekankan Kiam-tin dan bukan Kiam-hoat, Tjiumoti anggap dirinja sekaligus telah menandingi keenam lawan, sebaliknja pihak lawan tiada seorangpun jang mampu menggunkan Lak-meh-sin-kiam sebagaimana dirinja memainkan Hwe-yam-to itu.
Thian-in merasa apa jang dikatakan orang memang benar, ia mendjadi bungkam takbisa mendjawab. Namun Thian-som lantas tertawa dingin, katanja: "Biar Kiam-tin atau Kiam-hoat, namun pertandingan tadi apakah Beng-ong jang telah menang atau pihak Thian-liong-si kami jang telah menang?"
Tjiumoti tidak mendjawab, ia pedjamkan mata memikir sedjenak, selang agak lama, lalu djawabnja: "Babak pertama kalian memang lebih unggul, tapi babak kedua ini Siautjeng sudah pasti akan menang."
Halaman 21: gambar
Dengan tenaga "Hwe-yam-to-hoat" jang hebat, seorang diri Tay-lun-beng-ong menandingi Lak-meh-sin-kiam jang dimainkan Koh-eng Taysu dan Thian-in berenam.
Thian-in terkedjut, tanjanja: "Djadi Beng-ong masih ingin bertanding lagi?"
"Apa boleh buat," sahut Tjiumoti. "Seorang laki-laki harus dapat dipertjaja. Sekali Siautjeng sudah berdjandji pada Bujung-siansing, mana boleh mundur setengah djalan?"
"Lalu, andalan apa Beng-ong jakin pasti akan menang?" tanja Thian-in.
Tjiumoti tersenjum, sahutnja: "Kalian adalah gembong-gembong persilatan, masakan masih belum dapat menerkanja" Terimalah seranganku!"
~ Sembari berkata, kedua tangannja terus mendorong kedepan dengan pelahan.
Koh-eng, Thian-in, Po-ting-te dan lain-lain seketika merasa didesak oleh dua arus tenaga dalam jang kuat dari arah-arah jang berlainan.
Thian-in dan lain-lain merasa daja tekanan musuh itu tidak kuat untuk ditahan oleh ilmu Lak-meh-sin-kiam, maka mereka menggunakan kedua tangan untuk menangkis, hanja Koh-eng Taysu sadja tetap pakai kedua djari djempol untuk menjambut tenaga musuh dengan ilmu "Siau-yang-kiam" dari Lak-meh-sin-kiam itu.
Namun setelah melontarkan tenaga serangan itu, segera Tjiumoti menarik kembali lagi serangannja dan berkata: "Maaf!"
Thian-in saling pandang sekedjap dengan Po-ting-te, keduanja sama-sama paham bahwa ilmu Hwe-yam-to paderi asing itu terang lebih unggul daripada Lak-meh-sin-kiam mereka. Sekali bergerak Tjiumoti mampu mengeluarkan berbagai tenaga jang berlainan, maka sekalipun Siau-yang-kiam jang telah dilontarkan Koh-eng Susiok itu mendesak lebih kuat djuga tak mampu menangkan dia.
Pada saat itu djuga, tiba-tiba tampak ada asap mengepul didepan Koh-eng Taysu, asap itu mengepul mendjadi empat djurusan dan mengepung kearah Tjiumoti.
Terhadap Hwesio jang duduk menghadapi dinding itu memangnja Tjiumoti sangat djeri, kini mendadak nampak ada asap hitam menjerang kearahnja, seketika ia mendjadi bingung apa masksud orang, iapun keluarkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan dari empat djurusan dan tidak balas menjerang, disamping berdjaga-djaga kalau Thian-in dan lain-lain ikut mengerubut, diam-diam iapun memperhatikan serangan apa jang hendak dilakukan Koh-eng Taysu.
Namun jang kelihatan hanja asap hitam makin lama makin tebal, daja serangan Koh-eng bertambah hebat. Diam-diam Tjiumoti mendjadi heran:
"Tjara serangannja dengan sekuat tenaga ini apakah dapat bertahan lama"
Koh-eng Taysu adalah seorang paderi terkemuka didjaman ini, kenapa menggunakan tjara keras seperti ini?"
Ia menduga Koh-eng Taysu pasti tidak mungkin begitu semberono, tentu dibalik serangannja itu ada pula muslihat lain, maka dengan siap siaga ia menantikan segala kemungkinan.
Selang tak lama, mendadak empat djalur asap itu terpentjar lagi, satu mendjadi dua dan dua mendjadi empat, dalam sekedjap sadja djalur asap berubah mendjadi 16 djalur dan merubung kearah Tjiumoti.
"Hanja kekuatan panah jang sudah hampir djatuh, apa artinja?" demikian pikir Tjiumoti sambil mengerahkan Hwe-yam-to-hoat untuk menahan setiap djalur asap lawan.
Dan begitu tenaga kedua pihak saling bentur, tiba-tiba djalur-djalur asap itu bersebaran memenuhi seluruh ruangan itu hingga seperti kabut tebal. Namun sedikitpun Tjiumoti tidak gentar, iapun kerahkan antero kekuatannja untuk melindungi seluruh tubuhnja. Lambat-laun kabut asap itu tampak mulai menipis, Thian-in berlima kelihatan berlutut dilantai dengan sikap sungguh-sungguh, bahkan wadjah Thian-koan dan Thian-som tampak mengundjuk rasa sedih.
Tjiumoti tertegun sedjenak, segera ia mendjadi sadar: "Wah, tjelaka!
Kiranja situa Koh-eng ini insaf tak mampu menandingi aku, maka Lak-meh-kiam-boh telah dibakar olehnja."
Ternjata lukisan-lukisan Lak-meh-kiam-boh itu memang telah terbakar oleh tenaga dalam It-yang-tji jang dipantjarkan Koh-eng Taysu itu. Ia kuatir kalau Kiam-boh itu akan direbut Tjiumoti, maka untuk mengelabui lawan itu, ia sengadja menjerangnja dengan kabut asap, ketika kabut asap lenjap, sementara itu Lak-meh-kiam-boh djuga sudah terbakar habis.
Thian-in dan kawan-kawannja adalah tokoh-tokoh ahli It-yang-tji, maka begitu melihat asap hitam tadi, mereka lantas tahu sebab-musababnja.
Mereka tahu sang Susiok lebih suka membakar kitab pusaka sendiri daripada benda itu djatuh ditangan musuh. Dan dengan demikian, permusuhan Thian-liong-si dengan Tay-lun-beng-ong mendjadi takbisa diselesaikan dengan mudah.
Kedjut dan gusar Tjiumoti tak terkatakan, biasanja ia sangat andalkan ketjerdasannja, tapi kini telah dua kali ketjundang dibawah tangannja Koh-eng Taysu. Dan kalau Lak-meh-kiam-boh sudah terbakar, perdjalanannja ini mendjadi sia-sia belaka tanpa hasil, sebaliknja malah sudah mengikat permusuhan dengan Thian-liong-si. Segera ia berkata sambil memberi hormat: "Buat apa Koh-eng Taysu mesti bertindak sekeras ini" Siautjeng mendjadi merasa tidak enak mengakibatkan musnanja kitab pusaka kalian, baiknja kitab itu toh takkan dapat dilatih oleh tenaga seorang sadja, musna atau tidak memangnja djuga sama. Siautjeng mohon diri."
Dan sebelum Koh-eng dan lain-lain memberi sesuatu djawaban, sedikit ia memutar tubuh, sekonjong-konjong pergelangan tangan Po-ting-te terus ditjekalnja, lalu katanja pula: "Koktju (kepala negara) kami sudah lama mengagumi nama kebesaran Po-ting-te serta sangat ingin dapat berkenalan, maka sekarang djuga silahkan ikut Siautjeng pergi ke Turfan."
Kedjadian ini benar-benar diluar dugaan dan sangat mengedjutkan.
Serangan mendadak itu ternjata sama sekali takdapat dihindari oleh Poting-te jang berilmu silat setinggi itu, apalagi Kim-na-djiu-hoat atau ilmu tjara menangkap dan mentjekal Tjiumoti itu sangat aneh, sekali Hiat-to pergelangan tangan terpegang, biarpun dengan tjepat Po-ting-te harus kerahkan tenaga dalamnja untuk melepaskan diri dari tutukan orang, namun sama sekali tidak berhasil. Dalam keadaan begitu, keselamatan Po-ting-te setiap waktu dapat terantjam, maka orang lain mendjadi sangat sulit untuk menolongnja. Meski Thian-in dan lain-lain merasa tindakan Tjiumoti itu terlalu rendah, sangat merosotkan pamornja sebagai tokoh ternama, tapi mereka tjuma marah belaka tanpa berdaja.
Maka tertawalah Koh-eng Taysu dengan terbahak-bahak, katanja kemudian:
"Dia dahulu memang benar adalah Po-ting-te, tapi kini ia sudah meninggalkan tahta dan mendjadi paderi, gelarnja Thian-tim. Nah, Thian-tim, djika kepala negara Turfan sudah mengundang kau, tiada halangannja engkau ikut berkundjung kesana."
Dalam keadaan terpaksa, mau-tak-mau Po-ting-te mengiakan. Ia tahu maksud sang Susiok. Kalau dirinja dalam kedudukannja sebagai radja Tayli ditawan oleh musuh, tentu Tjiumoti akan pandang dirinja sebagai tawanan mahal. Tapi kalau dirinja sudah meletakkan tahta dan kini sudah mendjadi Hwesio, maka apa jang ditawan Tjiumoti sekarang tidak lebih tjuma seorang Hwesio biasa dari Thian-liong-si sadja, boleh djadi dirinja akan segera dibebaskan.
Akan tetapi Tjiumoti tidak mudah diakali. Sebelumnja ia sudah menjelidiki dan tahu didalam Thian-liong-si itu ketjuali Koh-eng Taysu, diantara paderi-paderi angkatan "Thian" tjuma ada empat orang, tapi kini tiba-tiba telah bertambah lagi seorang Thian-tim, tenaga dalamnja djuga tidak lebih lemah daripada keempat paderi jang lain, pula dari wadjahnja jang kereng dan sikapnja jang agung, begitu melihat segera Tjiumoti mendjuga dia pasti adalah Po-ting-te.
Ketika mendengar Koh-eng Taysu menjatakan Po-ting-te sudah meletakkan tahtanja dan mendjadi Hwesio, diam-diam Tjiumoti memikir pula: "Ja, konon setiap radja Tayli bila sudah landjut usianja tentu mengundurkan diri untuk kemudian mendjadi paderi, maka kini kalau Po-ting-te djuga menjutjikan diri ke Thian-liong-si sini, hal inipun tidak mengherankan.
Tapi umumnja seorang radja mendjadi Hwesio tentu diadakan upatjara keagamaan setjara besar-besaran, tidak mungkin dilakukan setjara diam-diam tanpa diketahui umum."
Karena itu, segera katanja pula: "Baik Po-ting-te sudah mendjadi Hwesio ataupun belum, pendek kata aku harus mengundangnja berkundjung ke Turfan untuk menemui kepala negara kami." ~ Sembari berkata, terus sadja Poting-te diseretnja menudju keluar.
"Nanti dulu!" seru Thian-in mendadak, sekali melompat, bersama Thian-koan mereka sudah mengadang diambang pintu.
"Siautjeng tiada maksud membikin susah Po-ting-te, tapi kalau kalian terlalu mendesak, terpaksa Siautjeng tidak dapat mendjamin keselamatannja lagi," kata Tjiumoti. Berbareng tangannja bersiap-siap mengantjam dipunggungnja Po-ting-te.
Thian-in tjukup kenal betapa lihaynja orang, sekali Po-ting-te sudah ditjengkeram urat nadinja, pasti tak berdaja lagi untuk melawan. Maka ia mendjadi bungkam, tapi tetap mengadang ditempatnja.
"Kedatangan Siautjeng kesini tidak membawa hasil apa-apa, sungguh malu terhadap mendiang Bujung-siansing, beruntung sekarang dapat mengundang Po-ting Hongya, tidaklah hilang sama sekali arti perdjalananku ini, maka sukalah kalian memberi djalan," kata Tjiumoti.
Namun Thian-in dan Thian-koan masih ragu-ragu, mereka pikir Po-ting-te adalah kepala negara Tayli, mana boleh kena digondol lari oleh musuh"
Tjiumoti mendjadi tidak sabar, serunja: "Kabarnja para paderi dalam Thian-liong-si sini sangat bidjaksana, kenapa menghadapi urusan ketjil ini mesti bingung seperti anak ketjil sadja?"
Dalam pada itu jang paling kuatir adalah Toan Ki ketika melihat sang paman ditawan musuh. Semula ia menduga sang paman tentu dapat melepaskan diri dari tangan musuh, siapa tahu makin lama Tjiumoti makin garang.
Thian-in dan lain-lainpun tampak tjemas dan gusar, tapi toh takbisa berbuat apa-apa, apalagi setindak demi setindak Tjiumoti mulai melangkah keluar. Toan Ki mendjadi gugup, tanpa pikir lagi ia terus berteriak:
"Hai, lepaskan pamanku!" ~ Segera ia pun berdjalan keluar dari aling-alingnja Koh-eng Taysu.
Sedjak tadi Tjiumoti sudah mengetahui djuga didepan Koh-eng ada berduduk seorang lagi jang tak diketahui siapa, pula tidak paham apa maksud Koh-eng menjuruh seorang duduk didepannja. Kini melihat orang itu bertindak keluar, ia mendjadi heran, tanjanja segera: "Siapakah engkau?"
"Tak perlu kau tanja siapa aku, lekas engkau lepaskan pamanku," sahut Toan Ki sambil ulur tangannja hendak menarik tangan Po-ting-te jang lain.
Po-ting-te mendjabat djuga tangan Toan Ki jang diulurkan sambil berkata: "Ki-djie, djangan kau urus diriku, lekas kau pulang dan minta ajahmu segera naik tahta menggantikan aku. Kini aku sudah berupa seorang Hwesio tua jang tiada artinja, buat apa dipikirkan?"
Dan karena tangan bergandeng tangan, seketika tubuh Po-ting-te tergetar, segera ia merasakan daja sedot "Tju-hap-sin-kang" dari tubuhnja Toan Ki. Dan pada saat jang sama djuga, Tjiumoti djuga merasakan tenaga murninja terus merembes keluar. Dalam hal Lwekang Tjiumoti lebih tinggi banjak daripada Po-ting-te, ia menjangka Po-ting-te sedang menggunakan sematjam ilmu gaib untuk mengisap tenaga dalamnja, tjepat ia himpun kekuatan untuk saling berebut hawa murni dengan Po-ting-te.
Kalau Po-ting-te tertawan oleh Tjiumoti adalah dikarenakan sama sekali tidak menduga paderi asing itu bakal berbuat setjara pengetjut, tapi tenaga dalam dan ilmu silat Po-ting-te sedikitpun tidak berkurang, maka ketika mendadak merasa kedua tangan sendiri berbareng timbul dua arus tenaga maha kuat saling membetot keluar, terus sadja timbul akalnja untuk
"memindjam tenaga orang untuk melawan tenaga jang lain," ia gunakan ilmu itu untuk mempertemukan kedua arus tenaga jang hebat itu. Dan begitu kedua tenaga itu saling bentrok, Po-ting-te jang berada ditengah itu mendjadi bebas dari ikatan tenaga-tenaga itu dan terhindarlah dia dari tawanan Tjiumoti. Tjepat ia melompat mundur sambil menarik Toan Ki, dalam hati diam-diam ia bersjukur harini ternjata berkat pertolongan keponakannja itu.
Dalam pada itu kedjut Tjiumoti sungguh tak terkatakan, pikirnja:
"Ternjata dunia persilatan di Tionggoan telah muntjul pula seorang djago kelas wahid, mengapa aku sama sekali tidak mengetahui" Usia orang ini paling banjak tjuma 20-an tahun, mengapa sudah setinggi ini kepandaiannja?"
Tadi Tjiumoti mendengar Toan Ki mendengar Po-ting-te sebagai paman, ia mendjadi lebih ragu-ragu lagi, sebab selamanja belum didengarnja bahwa diantara angkatan muda keluarga Toan di Tayli terdapat seorang tokoh kelas satu begini" Sungguh tak tersangka olehnja bahwa sergapannja jang sudah berhasil menawan Po-ting-te itu mendadak digagalkan oleh seorang pemuda tak terkenal, tentu sadja membuatnja sangat penasaran.
Maka dengan mengangguk pelahan kemudian iapun berkata: "Selamanja Siautjeng menjangka Toan-si di Tayli ini kusus hanja mejakinkan ilmu keturunan leluhur dan tidak mempeladjari ilmu kepandaian dari luar, siapa tahu angkatan mudanja jang gagah begini ternjata sudi berkawan dengan iblis dari Sing-siok-hay untuk mempeladjari "Hoa-kang-tay-hoat" jang aneh itu. Aneh, sungguh aneh!"
Njata biarpun Tjiumoti seorang tjerdik pandai djuga telah salah sangka Tju-hap-sin-kang jang dimiliki Toan Ki itu sebagai Hoa-kang-tay-hoat.
Dengan tertawa dingin Po-ting-te lantas mendjawab: "Sudah lama kudengar Tay-lun-beng-ong adalah seorang saleh dan mempunjai pengetahuan luas, tapi mengapa bisa menarik kesimpulan jang lutju itu" Sing-siok Lomo (iblis tua dari Sing-siok-hay) banjak melakukan kedjahatan, mana boleh keturunan keluarga Toan kami mempunjai hubungan apa-apa dengan dia?"
Dan sedang Tjiumoti tertjengang oleh djawaban itu, tiba-tiba Toan Ki ikut berkata: "Engkau adalah tamu, maka Thian-liong-si menjambut engkau dengan hormat, tapi setjara litjik engkau telah membokong pamanku, mengingat kita sesama murid Budha, maka kami berusaha mengalah sedapat mungkin, sebaliknja kau semakin mendapat hati, seorang alim ulama masakah sekasar seperti engkau ini?"
Diam-diam semua orang ikut senang mendengar Toan Ki mendamperat Tjiumoti, berbareng merekapun berwaspada kalau-kalau dari malu Tjiumoti mendjadi gusar dan mendadak melontarkan serangan kepada pemuda itu.
Tak tersangka Tjiumoti tetap tenang-tenang sadja, katanja: "Sungguh harini aku sangat beruntung dapat berkenalan dengan seorang tokoh muda.
Maka sudilah memberi petundjuk barang beberapa djurus agar menambah pengalaman Siautjeng."
Tapi dengan terus terang Toan Ki mendjawab: "Aku tidak bisa ilmu silat, selamanja aku tidak pernah beladjar apa-apa."
Tjiumoti terbahak-bahak, sudah tentu ia tidak pertjaja. Katanja:
"Pandai, sungguh pandai. Biarlah Siautjeng mohon diri sadja!" ~ dan sedikit tubuhnja bergerak, dimana lengan badjunja mengebas, tahu-tahu tangannja menjusup keluar, sekaligus empat tipu serangan Hwe-yam-to terus dilontarkan kearah Toan Ki.
Toan Ki sama sekali tidak paham tjara bagaimana bertempur dengan ilmu silat maha tinggi itu, maka diserang musuh dengan tipu jang sangat lihay, ia sendiri masih belum sadar. Sjukur Po-ting-te dan Thian-som telah menolongnja dari samping, berbareng mereka memapak serangan Tjiumoti itu dengan djari-djari mereka. Tjuma begitu kena benturan tenaga dalam Tjiumoti jang maha kuat itu, tubuh mereka lantas menggeliat, bahkan Thian-som terus muntahkan darah segar.
Melihat Thian-som muntah darah, barulah Toan Ki sadar bahwa barusan Tjiumoti telah membokong pula. Ia mendjadi gusar, ia tuding paderi itu sambil memaki: "Kau Hwesio asing jang tidak kenal aturan ja!"
Dan karena dia menuding sekuatnja, pikirannja bekerdja, hawa murni pun mengalir, otomatis lantas keluar satu djurus Kiam-hoat dari "Siau-yang-kiam." Lwekang Toan Ki sekarang sebenarnja sudah tiada bandingannja didunia ini, sedjak ia duduk didepan Koh-eng Taysu dan membatja gambar Lak-meh-sin-kiam-boh serta tjara bergeraknja, ketika tanpa sengadja djarinja menuding, tanpa disadarinja gerakan itu tepat sekali seperti apa jang telah dilihatnja dalam gambar, maka terdengarlah suara "tjus,"
serangkum tenaga dalam jang maha kuat dalam gaja "Kim-tjiam-to-djiat"
atau djarum emas menghindarkan maut, terus sadja ia tutuk kearah Tjiumoti.
Sama sekali Tjiumoti tidak menjangka tenaga dalam pemuda itu bisa sedemikian kuatnja, bahkan djurus kutukan "Kim-tjiam-to-djiat" itu tampak sangat tjekatan dan merupakan serangan Kiam-hoat jang paling tinggi.
Dalam kagetnja, tjepat ia keluarkan Hwe-yam-to-hoat, ia menangkis dengan tapak tangannja.
Serangan Toan Ki itu ternjata tidak melulu mengedjutkan Tjiumoti sadja, bahkan Koh-eng, it dan lain-lainpun merasa heran, diantaranja jang paling heran sudah tentu adalah Po-ting-te dan Toan Ki sendiri. Pikir Toan Ki:
"Inilah aneh sekali" Aku tjuma menuding sekenanja, mengapa Hwesio ini menangkis dengan sungguh" Eh, ja, barangkali tudinganku tadi gajanja mirip dengan sesuatu tipu serangan, dan Hwesio ini menjangka aku mahir Lak-meh-sin-kiam. Ha-ha-ha, djika demikian, biarlah aku menggertaknja lagi."
Segera Toan Ki berseru: "Siau-yang-kiam barusan masih belum apa-apa!
Lihatlah sekarang kumainkan Kiam-hoat dari Tiong-tjiong-kiam!" Berbareng djari tengahnja sekarang jang menuding. Gajanja memang tepat, tapi sekali ini ternjata tidak membawa tenaga dalam jang kuat.
Ketika melihat pemuda itu menutuk lagi, memangnja Tjiumoti sudah siapkan tenaganja untuk menjambut, tak terduga serangan Toan Ki itu ternjata tidak membawa kekuatan apa-apa. Semula ia terkedjut sebab mengira serangan pemuda itu mungkin hanja pantjingan belaka, tetapi sesudah tutukan kedua kalinja tetap kosong tak berisi, barulah Tjiumoti bergirang: "Memangnja aku tidak pertjaja didunia ini ada orang mahir memainkan Siau-yang-kiam dan Tiong-tjiong-kiam sekaligus, dan njatanja botjah ini memang tjuma main gertak sadja hingga aku tadi diingusi."
Dasar watak Tjiumoti memang tinggi hati, dan orang jang tinggi hati tentu dengki. Kedatangannja ke Thian-liong-si tidak berhasil apa-apa, bahkan telah ketjundang beberapa kali, ia pikir kalau tidak balas mengundjuk gigi sedikit, tentu nama baik Tay-lun-beng-ong akan merosot.
Segera telapak tangan kirinja memotong kekanan dan kekiri beberapa kali, lebih dulu ia tutup djalan bantuan Po-ting-te dan lain-lain dengan tenaga dalamnja, menjusul tapak tangan kanan terus memotong kepundak kanan Toan Ki. Tipu serangan "Pek-hong-koan-djit" atau pelangi putih menembus sinar matahari, adalah salah satu djurus paling bagus dari Hwe-yam-to-hoat dengan penuh kejakinan bahu Toan Ki pasti akan dibelah olehnja.
Melihat itu, Po-ting-te, Thian-in dan Thian-som berseru kuatir: "Awas!"
~ berbareng djari mereka terus menutuk serentak kearah Tjiumoti.
Serangan serentak mereka itu adalah serangan jang memaksa musuh harus menolong diri sendiri lebih dulu. Tak tersangka lebih dulu Tjiumoti sudah membungkus tempat-tempat bahaja tubuhnja dengan tenaga dalam jang kuat, sedang serangannja kepada Toan Ki tetap dilontarkan tanpa menghiraukan antjaman Po-ting-te bertiga.
Ketika mendengar seruan kaget Po-ting-te bertiga tadi, Toan Ki tahu gelagatnja tentu tidak menguntungkan, tanpa pikir tangan kanan dan kiri terus menutuk kedepan sekuatnja, dalam kuatirnja itu, hawa murni dalam tubuhnja dengan sendirinja bergolak, maka sekaligus Siau-tjiong-kiam ditangan kiri dan Siau-tik-kiam ditangan kanan telah dilontarkan untuk menangkis Hwe-yam-to-hoat musuh, bahkan begitu kuat tenaganja hingga mampu balas menghantam Tjiumoti dengan daja tekanan jang hebat. Karuan Tjiumoti kelabakan, tanpa pikir lagi ia bertahan sekuat-kuatnja.
Setelah beberapa kali menutuk, lapat-lapat Toan Ki sudah dapat merasakan bahwa terlebih dulu harus timbul sesuatu maksudnja, habis itu barulah kerahkan tenaga dan menutuk, dengan demikian tenaga dalam dan hawa murninja barulah dapat bekerdja serentak. Namun mengapa bisa begitu, dengan sendirinja ia masih bingung.
Begitulah dalam sekedjap sadja Toan Ki menutuk berulang-ulang menurutkan perasaannja jang timbul dari apa jang dilihatnja digambar-gambar Lak-meh-sin-kiam itu. Djarinja bekerdja dengan tjepat dan indah hingga makin lama Tjiumoti makin heran dan terkesiap. Sekuatnja ia kerahkan tenaga dalamnja untuk melawan Lak-meh-sin-kiam jang lihay itu, hingga seketika hawa pedang samber-menjamber dengan tadjamnja.
Selang sebentar, Tjiumoti merasakan tenaga dalam lawan makin lama makin kuat, perubahan Kiam-hoatnja djuga tiada habis-habisnja dan susah diraba.
Makin lama Tjiumoti makin heran dan menjesal telah gegabah meretjoki Thian-liong-si, tahu-tahu kini muntjul seorang tokoh muda selihay ini.
Sekonjong-konjong ia menjerang tiga kali, lalu berseru: "Berhenti dulu!"
Namun meski Toan Ki mahir Lak-meh-sin-kiam, ia takdapat menguasai hawa murni dalam tubuhnja, maka ketika lawan berseru minta berhenti, seketika ia mendjadi bingung tjara menarik kembali tenaga dalamnja, terpaksa djarinja diangkat keatas sehingga menuding keatap rumah. Berbareng hatinja memikir: "Biarlah aku tidak keluarkan tenaga lagi, tjoba apa jang dia hendak katakan."
Tapi sekilas sadja Tjiumoti jang maha pintar itu sudah dapat melihat sikap bingung Toan Ki itu, tjaranja menarik kembali hawa murninja tampak kerepotan, kentara sekali kalau masih sangat hidjau. Sedikit tergerak pikirannja, terus sadja Tjiumoti melompat madju terus mendjotos kemuka Toan Ki.
Tentang Toan Ki berhasil memperoleh peladjaran Lak-meh-sin-kiam jang hebat itu adalah disebabkan setjara kebetulan serta ada djodoh sadja, tapi mengenal ilmu silat jang paling umum sekalipun sebenarnja dia tidak paham. Maka ketika djotosan Tjiumoti itu tiba, biarpun serangan ini sangat sederhana dan mudah dihindari, namun bagi Toan Ki malah sebaliknja susah ditangkis.
Umumnja segala matjam kepandaian didjagat ini lazimnja dipeladjari mulai dari jang tjetek, kemudian menudju jang dalam, tidak mungkin memahami jang dalam, tapi malah tidak bisa jang tjetek, dan hanja ilmu silat Toan Ki itulah merupakan suatu ketjuali besar. Ketika melihat dirinja didjotos, walaupun serangan itu sangat sederhana, tapi ia djusteru kelabakan menangkisnja. Karuan kesempatan itu tidak diabaikan Tjiumoti, mendadak ia hentikan djotosannja ditengah djalan dan terus menjampok tangan Toan Ki kesamping, menjusul dada pemuda itu lantas didjamberertnja ditempat "Sin-hong-hiat." Tanpa ampun lagi antero tubuh Toan Ki terasa lemas linu takbisa berkutik.
Walaupun Tjiumoti telah dapat melihat diantara ilmu silat Toan Ki itu terdapat banjak lubang-lubang kelemahannja, tapi toh tak terduga olehnja bahwa setjara begitu gampang pemuda itu dapat ditangkpanja. Ia kuatir Toan Ki sengadja ditawan dan masih ada tipu mulsihat lain, maka begitu kena tjengkeram Sin-hong-hiat didada pemuda itu, menjusul ia menutuk pula
"Tan-tiong," "Tay-tui" dan beberapa Hiat-to penting lainnja. Tapi pada saat jang sama, Tjiumoti djuga merasa tenaga murni dalam tubuh sendiri terus-menerus merembes keluar melalui telapak tangan kanan jang mentjengkeram dadanja Toan Ki itu. Tjepat ia pegang pergelangan tangan kanan dengan tangan kiri sambil mundur beberapa tindak, lalu katanja:
"Siausitju (tuan ketjil) ini sudah apal benar dari ilmu Lak-meh-sin-kiam, sedangkan Kiam-boh itu sudah dibakar oleh Koh-eng Taysu ..." sambil bitjara, ia megap2 djuga, sebab sekali mulutnja mengap, tak tertahan lagi hawa murninja lantas merembes keluar, terpaksa ia bitjara dengan tjepat dan berputus: " ..... namun Siausitju ini sama ..... sama sadja sebagai Kiam-boh hidup, biarlah kubawa ke ..... kekuburan Bujung-siansing untuk dibakar hidup2 disana, bukankah se ..... serupa djuga ....
"Dan karena kuatir kelemahannja diketahui Koh-eng dan kawan2nja , tjepat Tjiumoti keluarkan serangan Hwe-yam-to-hoat lagi be-runtun2
beberapa kali, sekali melesat, keluarlah dia dari ruang Bo-ni-tong itu.
Ketika Po-ting-te, Thian-in dan lain2 hendak mengedjar, namun mereka kena dipaksa kembali oleh serangan2 Tjiumoti jang hebat itu.
Begitu sampai diluar, segera Tjiumoti lemparkan Toan Ki kepada sembilan laki2 jang mendjaga diluar itu sambil membentak: "Lekas berangkat!"
Segera dua laki2 diantaranja berlari madju menjambuti tubuhnja Toan Ki dan digondol lari melalui djalan jang tidak semestinja seperti mereka datang tadi. Tjiumoti sendiri lantas merasa tenaga murninja tidak merembes keluar lagi begitu terpisah dengan tubuh Toan Ki, ia tetap melontarkan serangan2 Hwe-yam-to-hoat jang hebat kepintu keluar Bo-ni-tong, seketika Po-ting-te dan lain2 mendjadi tertahan didalam dan susah membobol djaring2an golok musuh jang tak berwudjut itu.
Setelah mendengar derapan kuda begundalnja sudah pergi agak djauh dengan menggondol Toan Ki, kemudian tertawalah Tjiumoti, katanja: "Haha, Kiam-boh kertas terbakar, kini memperoleh Kiam-boh jang hidup malah.
Bujung-siansing boleh tidak usah merasa kesepian lagi dialam baka, beliau segera akan mendapat teman." ~ Dan sekali tangannja memotong, terdengarlah suara gemuruh, dua pilar Bo-ni-tong telah dipatahkan olehnja, menjusul tertampaklah bajangan orang berkelebat, setjepat angin ia sudah menghilang dari pandangan mata.
Ketika Po-ting-te dan Thian-som kemudian memburu keluar, namun Tjiumoti sudah pergi djauh. "Hajo lekas kita kedjar!" seru Po-ting-te. Segera iapun mendahului berlari kedepan. Tjepat Thian-som ikut dibelakangnja untuk mengedjar musuh.
Dalam keadaan tak dapat berkutik karena Hiat-to tertutuk, Toan Ki merasa dirinja ditaruh diatas kuda dengan tengkurap hingga kepalanja mendjulur kebawah. Karena itu ia dapat melihat sibuknja kaki kuda bekerdja, debu bertebaran memnuhi mukanja. Ia dengar beberapa laki2 itu sedang mem-bentak2 dalam bahasa asing entah apa jang dipertjakapkan. Ia tjoba menghitung kaki kuda, seluruhnja ada 40 buah, itu berarti ada 10
penunggang kudanja.
Setelah belasan li djauhnja, sampailah mereka disuatu simpang djalan.
Terdengar Tjiumoti berkata beberapa patah, lalu lima penunggang kuda mengambil djalan kiri, sedangkan Tjiumoti sendiri bersama laki2 jang menggondol Toan Ki serta tiga orang lain lagi membiluk kedjalan kanan.
Beberapa li pula, kembali ada simpang djalan lagi, kembali Tjiumoti membagi diri mereka mendjadi dua rombongan.
Toan Ki tahu Tjiumoti sengadja hendak mementjarkan perhatian pengedjarnja agar bingung kemana harus mengedjar mereka.
Dan tidak lama kemudian, tiba2 Tjiumoti melompat turun dari kudanja, ia ambil seutas sabuk kulit untuk mengikat pinggangnja Toan Ki, lalu tubuh pemuda itu lantas didjindjingnja terus dibawa menudju ke-lereng2 bukit.
Sedangkan kedua begundalnja mengeprak kuda mereka kedjurusan barat.
Diam2 Toan Ki mengeluh: "Wah, tjelaka! Djika demikian, sekalipun Pekhu mengerahkan pasukan besar untuk mengedjar, paling banjak tjuma kesembilan lelaki itu jang dapat ditangkap kembali, tapi susah untuk mendapatkan aku."
Meski tangannja mendjindjing seorang, namun tindakan Tjiumoti tidak mendjadi lambat. Makin lama makin djauh dan makin tjepat djalannja. Dalam waktu beberapa djam lamanja ia selalu berkeliaran diantara lereng2 gunung jang sunji.
Toan Ki melihat sang surya sudah mendojong diufuk barat dan menjorot dari sebelah kiri, maka tahulah dia bahwa Tjiumoti membawanja menudju keutara.
Petangnja, Tjiumoti angkat tubuh Toan Ki untuk diletakkan diatas satu dahan pohon, ia ikat sabuk kulit itu diatas ranting pohon, sama sekali ia tidak adjak bitjara pada pemuda itu, bahkan memandangnjapun tidak, hanja sambil mungkur ia sodorkan beberapa potong roti kering padanja. Untuk mana iapun membuka Hiat-to dilengan kiri Toan Ki agar pemuda itu dapat bergerak untuk makan.
Dengan tangan kiri jang sudah dapat bergerak itu, Toan Ki pikir hendak menjerangnja dengan Siau-tik-kiam, siapa duga sekali Hiat-to besar ditubuhnja tertutuk, hawa murni seluruhnja ikut tertutup, maka djari tangannja tjuma dapat bergerak sadja, tapi tak bertenaga sedikitpun.
Begitulah, selama beberapa hari Tjiumoti terus mendjindjingnja keutara.
Beberapa kali Toan Ki memantjing pembitjaraan orang dan menanja mengapa dirinja ditawan serta untuk apa menudju keutara" Namun tetap Tjiumoti tidak mendjawab.
Setelah belasan hari, mereka sudah berada diluar wilajah Tayli, Toan Ki merasa arah jang ditempuh Tjiumoti telah berganti menudju ketimur-laut, tapi tetap tidak mengambil djalan raja, sebaliknja selalu mendjeladjahi lereng gunung dan alas belukar, tjuma tanahnja tampak kian lama kian datar, sungai pun semakin banjak, setiap hari hampir beberapa kali mesti menjeberang sungai.
Tjara perdjalanan Tjiumoti dengan mendjindjing Toan Ki se-akan2 orang mentjangking hewan itu, sudah tentu sangat menherankan orang jang berlalu-lalang disampingnja. Tapi sampai achirnja, Toan Ki sendiri merasa bosan djuga setiap kali berdjumpa dengan orang ditengah djalan.
Sungguh mendongkol Toan Ki tak terkatakan. Dahulu ketika ia ditawan oleh adik perempuannja, jaitu Bok Wan-djing, walaupun setiap hari ia dihadjar dan disiksa, banjak penderitaan jang dirasakannja, tapi rasanja toh tidak kesal seperti ditawan Tjiumoti sekarang ini.
Setelah belasan hari lagi, Toan Ki mendengar logat bitjara orang jang berlalu-lalang mulai ramah-tamah dan enak didengar, diam2 ia membatin:
"Ah, tentu tempat ini adalah daerah Kanglam (selatan sungai Yangtje). Ia membawa diriku kekuburannja Bujung-siansing, rasanja tidak lama lagi sudah akan tiba ditempat tudjuannja. Ilmu silat paderi asing ini sedemikian lihay, sampai Pekhu berenam djuga tak mampu merobohkan dia.
Sekarang aku djatuh dibawah tjengkeramannja, terpaksa aku menjerah pada nasib, masakah aku masih ada harapan buat lolos?"
Berpikir begitu, hatinja mendjadi lapang malah, tanpa pikir lagi ia mendongak untuk memandang keadaan sekitarnja. Tatkala itu adalah pergantian antara musim semi dan musim panas, hawa sedjuk pemandangan indah, angin meniup silir2 memabukkan orang.
Sudah lebih sebulan Toan Ki mendjadi barang tjangkingan Tjiumoti, hal itu sudah biasa baginja. Kini melihat pemandangan alam jang indah permai itu, hatinja mendjadi gembira, tanpa merasa ia ber-njanji2 ketjil sambil menikmati pemandangan danau jang indah dipinggir djalan.
"Huh, hari adjal sudah dekat, masih begini iseng?" djengek Tjiumoti.
"Manusia mana didunia ini jang takkan mati?" sahut Toan Ki dengan tertawa. "Paling banjak engkau tjuma hidup lebih lama buat beberapa tahun, apa bedanja kelak?"
Tjiumoti tidak gubris padanja lagi. Ia tjoba menanja orang dimana letaknja "Som-hap-tjheng." Tapi meski sudah beberapa orang ditanja, tetap tiada seorangpun jang tahu dimana beradanja kampung itu.
"Tidak pernah kudengar sesuatu dusun jang bernama Som-hap-tjheng, barangkali kau salah dengar, Hwesio," demikian kata seorang tua.
"Djika begitu, apakah engkau tahu seorang hartawan she Bujung, dimana rumahnja?" tanja Tjiumoti.
"Dikota Sohtjiu sini banjak orang she Tan, she Li dan she lain2nja, semua hartawan besar, tapi tidak pernah mendengar ada hartawan she Bujung" sahut orang tua itu.
Sedang Tjiumoti bingung, tiba2 didengarnja suara seorang sedang berkata didjalan ketjil ditepi danau sana: "Kabarnja orang she Bujung itu tinggal di Yan-tju-oh kira2 tigapuluh li dibarat kota, marilah kita menudju kesana!"
"Ja, kita sudah sampai tempatnja, kita harus ber-hati2!" demikian sahut seorang jang lain.
Suara pertjakapan kedua orang itu sangat pelahan, maka Toan Ki tidak mendengar, sebaliknja Lwekang Tjiumoti sangat tinggi, ia dapat mendengar dengan sangat djelas. Diam2 ia heran apakah orang sengadja bitjara kepadanja"
Ketika Tjiumoti berpaling, ia lihat seorang berperawakan gagah berpakaian berkabung, seorang lagi kurus ketjil mirip pentjoleng. Tapi sekilas pandang sadja dapatlah diketahui Tjiumoti bahwa kedua orang itu memiliki ilmu silat semua. Dan belum lagi ia ambil keputusan apa mesti menanja kedua orang itu atau tidak, mendadak Toan Ki sudah lantas berseru: "Hai, Ho-siansing, Ho-siansing!"
Kiranja laki2 kurus ketjil bermuka djelek itu tak-lain-tak-bukan adalah Kim-sui-poa Tjui Pek-khe, simesin hitung emas. Dan laki2 jang lain adalah murid keponakannja, Tui-hun-djiu Ko Gan-tji.
Sesudah kedua tokoh itu tinggalkan Tayli, dengan semangat jang berkobar2 mereka hendak membalas dendamnja Kwa Pek-hwe. Walaupun mereka djuga tahu susah untuk melawan orang she Bujung, tapi sakit hati itu harus dibalas betapapun akibatnja, maka achirnja mereka tiba djuga di Koh-soh.
Sebelumnja mereka telah menjelidiki dan mendapat tahu tempat tinggal keluarga Bujung, jaitu Yan-tju-oh, dan setjara kebetulan telah tiba pada waktu jang sama dengan Tjiumoti dan Toan Ki.
Ketika mendadak mendengar seruan Toan Ki tadi, Tjui Pek-khe tertjengang sedjenak, tapi segera ia melompat kedepannja Tjiumoti dan berkata dengan heran: "He, Siauongtju (putera pangeran ketjil), kiranja kau" Eh, Toahwesio, lekas engkau melepaskan Kongtjuya ini, apa kau tahu siapa dia?"
Sudah tentu Tjiumoti tidak pandang sebelah mata kepada kedua orang itu, tapi karena dia lagi bingung mengenai tempat tinggalnja Bujung-siansing, kini kebetulan kedua orang ini mengetahui tempatnja, maka iapun tidak marah terhadap kata2 Tjui Pek-khe tadi. Ia taruh Toan Ki ketanah membiarkan pemuda itu berdiri sendiri, lalu melepaskan Hiat-to dikakinja, kemudian berkata: "Aku hendak pergi kerumah keluarga Bujung, harap kalian berdua suka menundjukkan djalannja."
Pengetahuan dan pengalaman Tjui Pek-khe sangat luas, tapi meski dipikir toh tak teringat olehnja siapakah gerangan Hwesio ini. Maka tanjanja:
"Numpang tanja, siapakah gelaran sutji Taysu" Mengapa membikin susah kepada Siauongtju ini dan untuk keperluan apa hendak pergi kerumah keluarga Bujung?"
"Banjak omong tiada gunanja, nanti tentu akan tahu sendiri," sahut Tjiumoti.
"Apakah Taysu adalah sobat baik Bujung-siansing?" tanja Tjui Pek-khe pula.
"Benar, makanja kalau Ho-siansing mengetahui dimana letak Som-hap-tjheng tempat tinggal Bujung-siansing itu, harap memberitahukan djalannja," sahut Tjiumoti.
Tadi ia mendengar Toan Ki menjerukan "Ho-siansing" kepada Tjui Pek-khe, maka ia menjangka tokoh Ko-san-pay itu benar2 she Ho.
Geli2 dongkol Tjui Pek-khe, sambil meng-garuk2 kepala ia tjoba menanja Toan Ki: "Bagaimana baiknja, Siauongtju"."
Toan Ki mendjadi sulit djuga oleh pertanjaan itu. Ia pikir ilmu silat Tjiumoti itu teramat tinggi, didunia ini mungkin tiada seorangpun jang mampu melawannja, apalagi tjuma kedua tokoh Ko-san-pay ini, terang bukan tandingannja, kalau berani berusaha buat menolongnja, paling2 tjuma menghantarkan njawa sadja, lebih baik memperingatkan mereka sadja agar lekas2 melarikan diri. Maka tjepat katanja: "Taysu ini seorang diri telah mengalahkan pamanku dan kelima tokoh tertinggi dari Tayli, achirnja akupun tertawan olehnja. Katanja dia adalah sobat kentalnja Bujung-siansing, maka aku hendak dibakarnja hidup2 didepan kuburan Bujung-siansing untuk memenuhi sesuatu djandjinja. Kalian berdua selamanja tiada sangkut-paut apa2 dengan keluarga Bujung, maka silahkan menundjukkan djalannja sadja, lalu bolehlah kalian pergi."
Mendengar Hwesio itu telah mengalahkan Po-ting-te dan djago2 lain di Tayli, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjadi kaget. Lebih2 ketika mendengar pula bahwa paderi itu adalah sobat baiknja orang she Bujung.
Namun meskipun lahiriah Tjui Pek-khe itu djelek, tapi batinnja berdjiwa kesatria. Ia pikir sudah belasan tahun dirinja bersembunji didalam Tinlam-ong-hu, untuk itu belum pernah ia membalas sesuatu kebaikan apa2.
Kini Siauongtju berada dalam kesulitan, mana boleh dirinja tinggal diam tidak urus" Betapapun sekarang sudah berada di Koh-soh, memangnja keselamatan djiwa sendiri sudah tak terpikir, biarpun akan mati ditangan musuh atau orang lain toh sama sadja.
Berpikir begitu, sekali tangannja bergerak, segera ia menarik keluar sebuah Suipoa jang bersinar emas kemilauan, ia angkat tinggi2 sendjatanja itu dan dikotjak hingga mengeluarkan suara gemerintjing jang ramai.
Katanja: "Toahwesio, kau bilang Bujung-siansing adalah sobat baikmu, sebaliknja Siauongtju ini adalah kawan karibku. Maka lebih baik engkau melepaskan dia sadja!"
Melihat sang Susiok sudah bersiap, Ko Gan-tji tjepat melolos djuga rujung lemas jang melilit dipinggangnja.
"Hehe, apakah kalian adjak berkelahi?" djengek Tjiumoti.
"Sekalipun tahu takkan mampu menandingi engkau, namun apa boleh buat, betapapun aku ingin mentjoba, mati atau hidup .... auuuh!" mendadak Tjui Pek-khe mengaduh sebelum selesai utjapannja.
Kiranja mendadak Tjiumoti telah samber rujung jang dipegang Ko Gan-tji itu, sekali menjabet, tahu2 Suipoa emas Tjui Pek-khe itu kena tergubat, ketika rujung bergerak pula, kedua matjam sendjata itu mentjelat berbareng menudju ketengah danau disisi kanan.
Tampaknja kedua sendjata itu sekedjap lagi akan ketjemplung kedalam danau, tak tersangka tenaga jang dikeluarkan Tjiumoti itu ternjata sangat aneh dan tepat, udjung rujung itu mendadak mendjengat keatas dan tepat menggubat pada suatu ranting pohon Liu ditepi danau itu. Ranting pohon Liu itu sangat lemas, digantungi lagi dengan sebuah Suipoa emas, maka tiada hentinja ranting itu berguntjang naik turun, air danaupun beriak oleh karena Suipoa emas itu menjentuh air.
Ko Gan-tji itu berdjuluk "Tui-hun-djiu" atau sipenguber njawa, suatu tanda betapa tjepat gerak-geriknja, apalagi rujung lemas itu adalah sendjata tunggal perguruannja jang terkenal, siapa sangka hanja sekali gebrak sadja sudah dirampas musuh. Bahkan tjara bagaimana Tjiumoti mendekati dan merebut sendjata, tjara bagaimana menggubat Suipoa emas lalu orangnja melompat kembali tempatnja semula, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji sama sekali tidak djelas melihatnja.
Kemudian sambil merangkap kedua tangannja, Tjiumoti berkata dengan suara lemah-lembut: "Harap sudilah kedua tuan ini menundjukkan djalannja."
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji dan bingung apa jang harus mereka lakukan. Maka terdengarlah Tjiumoti berkata pula: "Djikalau kalian tidak suka mengadjak kami kesana, silahkan menundjukkan arahnja sadja, biar Siautjeng mentjarinja sendiri kesana."
Melihat ilmu silat sihwesio begitu tinggi, tapi sikapnja ramah-tamah, Tjui Pek-khe berdua mendjadi ragu2 dan serba salah, hendak main kasar toh orang bersikap sopan, hendak mengadjak bitjara setjara baik2, terang putera pangeran dari Tayli ditawan olehnja.
Untunglah pada saat itu terdengar suara meriaknja air, dari udjung danau sana tampak tiba sebuah sampan didajung oleh seorang gadis ketjil berbadju hidjau, sambil mendajung, gadis itupun sembari bernjanji dengan gembiranja, lagunja indah, suaranja merdu hingga makin menambah permainja suasana danau itu.
Sudah lama Toan Ki mengagumi keindahan alam Kanglam dari sjair2 gubahan pudjangga jang pernah dibatjanja. Kini dihadapi pemandangan permai dengan njanjian merdu, semangatnja se-akan2 terbang ke-awang2 dan lupa daratan bahwa dirinja waktu itu sedang terantjam bahaja, serentak sadja ia memandang kearah sigadis itu. Ia lihat kedua tangan sigadis putih bersih bagai batu kemala jang bening tembus.
Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji ikut tertarik djuga dan memandang sigadis.
Hanja Tjiumoti sadja tetap membuta dan membudek, katanja: "Djika kalian toh tidak sudi memberitahu letak Som-hap-tjheng, biarlah Siautjeng mohon diri sadja."
Saat itu sampan sigadis sudah dekat menepi. Maka utjapan Tjiumoti itu dapat didengarnja, terus sadja ia menjela: "Taysu ini hendak pergi ke Som-hap-tjheng, entah ada keperluan apakah?"
Suara gadis itu ternjata sangat njaring dan manis hingga bagi jang mendengar akan timbul rasa nikmat jang tak terkatakan. Usia gadis itu ternjata baru belasan tahun, wadjahnja lemah-lembut, dandanannja serasi.
Diam2 Toan Ki memudji: "Wanita daerah Kanglam sungguh tak tersangka setjantik ini."
Maka mendjawablah Tjiumoti: "Siautjeng hendak pergi ke Som-hap-tjheng, entah apakah nona sudi menundjukkan djalannja?"
"Nama Som-hap-tjheng djarang diketahui orang luar, entah dari mana Taysuhu mengetahuinja?" tanja gadis itu dengan tersenjum.
"Siautjeng adalah sobat lama Bujung-siansing, kini sengadja datang berziarah kekuburannja sekedar memenuhi djandji dimasa dulu," sahut Tjiumoti.
Gadis itu merenung sedjenak, lalu katanja: "Wah, agak tidak kebetulan.
Djusteru kemarin dulu Bujung-kongtju bepergian, kalau Taysuhu datang lebih dulu tiga hari, tentu akan dapat berdjumpa dengan Kongtju."
"Sungguh menjesal tidak sempat berkenalan dengan Kongtju, namun djauh2
Siautjeng datang dari negeri Turfan, biarlah aku berkundjung kemakam Bujung-siansing sekedar memberi penghormatan terachir."
"Djikalau Taysuhu adalah sobat baik Bujung-loya, marilah silahkan minum dulu ketempat kami, kemudian akan kusampaikan maksudmu, maukah?"
"Pernah apakah nona dengan Bujung-siansing dan tjara bagaimana aku harus menjebut setjara hormat?" tanja Tjiumoti.
"Ah, aku tjuma dajang jang melajani Kongtju memetik Khim dan meniup seruling," sahut sigadis dengan tersenjum manis. "Namaku A Pik, maka djanganlah Taysuhu sungkan2, panggil sadja A Pik."
"O, baiklah," kata Tjiumoti dengan sangat hormat.
Lalu si A Pik berkata: "Djalan dari sini ke Yan-tju-oh harus melalui djalan air semua, djikalau tuan2 ini hendak kesana semua, marilah kuhantar dengan sampan ini, maukah?"
Setiap kata "maukah" jang ditanjakan oleh A Pik, kedengarannja begitu luwes dan simpatik hingga membuat orang tidak enak untuk menolak. Maka berkatalah Tjiumoti: "Djika begitu, terpaksa mesti membikin repot nona."
~ Berbareng ia terus gandeng tangan Toan Ki dan melompat keatas sampan dengan enteng. Sampan itu hanja ambles kebawah sedikit dan sama sekali tidak terguntjang.
A Pik tersenjum kepada Tjiumoti dan Toan Ki, maksudnja se-akan2 memudji kehebatan kepandaian orang.
Lalu Ko Gan-tji djuga membisiki Tjui Pek-khe: "Bagaimana, Susiok?"
Sebenarnja kedatangan mereka jalah ingin menuntut balas pada orang she Bujung, tapi kedudukan mereka kini mendjadi serba salah dan sangat lutju kelihatannja.
"Djika tuan2 sudah datang di Sohtjiu, pabila toh tiada urusan penting lain, marilah silahkan mampir djuga ketempat kami untuk minum2," demikian kata A Pik lagi dengan tertawa. "Djangan tuan2 ragu2 terhadap sampan jang ketjil ini, biarpun bertambah lagi beberapa orang djuga tidak nanti tenggelam."
Pelahan2 A Pik mendajung sampannja, ketika lewat dibawah pohon Liu tadi, tiba2 ia ambil Kim-sui-poa dan rujung lemas jang tergantung diranting pohon itu. Sekenanja ia ketik2 bidji Suipoa hingga menerbitkan suara "tjrang-tjreng" jang njaring.
Mendengar beberapa suara njaring itu, dengan girang Toan Ki terus berkata: "He, apakah nona sedang memetik lagu "Djay-song-tju" (memetik bidji arbei)?"
Hlm. 39: gambar
"Djika tuan sudah datang di Sohtjiu dan tiada urusan lain, marilah silahkan mampir sekalian ketempat kami untuk minum2 sebentar," demikian kata si A Pik jang mengaku sebagai pelajan Bujung-kongtju.
Kiranja bidji Suipoa jang diketik si A Pik telah mengeluarkan suara jang ber-beda2 hingga berwudjut irama musik dari lagu "Djay-song-tju"
jang merdu. Dengan tersenjum A Pik mendjawab: "Ah, kiranja Kongtju djuga pandai seni suara, maukah memetiknja barang selagu djuga?"
Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat gadis itu lintjah ke-kanak2an, ramah-tamah menarik, maka sahut Toan Ki dengan tertawa: "Ja, tapi aku tidak dapat memetik Suipoa." ~ Lalu ia menoleh kepada Tjui Pek-khe, katanja: "Ho-siansing, Suipoamu telah digunakan orang sebagai alat musik jang bagus."
"Benar, benar!" sahut Tjui Pek-khe dengan senjum ewa, "nona benar2
seorang seniwati, alat hitungku jang kasar itu, sekali berada ditangan nona, djadilah segera sebuah alat musik jang bagus."
"Ai, ai, maafkan, djadi ini adalah milik tuan?" seru A Pik gugup. "Wah, alangkah bagusnja Suipoa ini. Ehm, tentu tuan ini seorang hartawan, sampai Suipoa djuga terbuat dari emas. Ho-siansing, inilah kukembalikan."
Sambil berkata, terus sadja A Pik angsurkan Suipoa jang dipegangnja itu. Tapi Tjui Pek-khe berdiri ditepi danau, dengan sendirinja tidak sampai menerimanja. Memangnja iapun merasa berat mesti kehilangan kawan setianja jang selalu dibawanja itu. Maka dengan enteng ia lantas melompat kehaluan sampan untuk menerima Suipoa itu. Kemudian ia berpaling melotot sekali kearah Tjiumoti. Namun wadjah paderi itu tetap bersenjum-simpul dengan welas-asih, sedikitpun tidak marah.
Setelah Suipoa dikembalikan pemiliknja, kini tinggal rujung lemas itu jang masih dipegang si A Pik. Ketika tangan kanannja memegang badan rujung dan sekali digesut dari atas kebawah, karena gesekan kuku djarinja dengan ruas2 rujung lemas itu, maka terbitlah suara matjam2 suara njaring jang menarik hingga mirip orang memetik harpa. Ternjata sematjam sendjata jang pernah melajani berbagai djago2 Bu-lim itu setelah berada ditangan si A Pik, kembali telah berubah mendjadi sematjam alat musik lagi.
"Bagus, bagus!" saking senangnja Toan Ki ber-teriak2. "Sungguh pintar sekali nona, hajolah silahkan memetiknja satu lagu."
Tapi A Pik lantas berkata kepada Ko Gan-tji: "Mungkin rujung ini adalah milik tuan ini bukan" Aku telah sembarangan mengambilnja, sungguh terlalu tidak tahu aturan, harap dimaafkan. Marilah tuan, silahkan tuan naik djuga keatas sampan, sebentar akan kusuguh dengan daharan enak."
Sebenarnja Ko Gan-tji sedang mendendam sakit hati karena gurunja dibunuh orang she Bujung, tapi menghadapi seorang nona tjilik jang selalu bersenjum manis dan ke-kanak2an, betapapun rasa dendam dalam hatinja djuga tidak mungkin dilampiaskan atas diri gadis itu. Pikirnja: "Dia bersedia membawa kami ketempat tinggal orang she Bujung, itulah jang djusteru sangat kami inginkan, bagaimanapun djuga aku harus membunuh beberapa orang mereka untuk membalas sakit hati Suhu."
Karena itu, ia mengangguk terima tawaran A Pik, lalu iapun melompat keatas perahu.
Dengan hati2 dan menghormat A Pik menggulung rujung lemas itu dan dikembalikan kepada Gan-tji. Sekali dajungnja bekerdja, segera sampannja meluntjur kearah barat.
Tjui Pek-khe saling menukar isjarat mata beberapa kali dengan Ko Gan-tji. Diam2 mereka memikir: "Hari ini kita telah memasuki gua harimau, entah bakal mati atau hidup. Menghadapi keluarga Bujung jang kedjam dan sinona jang kelihatannja lemah-lembut ini, betapapun kita harus waspada djangan sampai masuk perangkap musuh."
Begitulah sampan si A Pik terus meluntjur kedepan, setelah membiluk kian kemari, achirnja masuklah sampan itu ketengah danau jang luas.
Sepandjang mata memandang, danau itu se-akan2 tanpa udjung dan bergandengan rapat dengan langit. Karuan Ko Gan-tji bertambah was-was, pikirnja: "Danau besar ini tentulah Thay-oh adanja. Aku dan Tjui-su-siok tidak dapat berenang, asal nona tjilik ini putar balik sampannja, pasti kami berdua akan kelelap kedasar danau sebagai umpan ikan, djangankan lagi bitjara hendak menuntut balas bagi Suhu."
Rupanja Tjui Pek-khe djuga mempunjai firasat jang sama. Ia pikir kalau dajung sampan dapat dipegang sendiri, bila nona itu hendak membalikkan sampannja tentu akan lebih sulit. Maka segera katanja: "Nona, marilah kubantu engkau mendajung, engkau boleh menundjukkan arahnja sadja."
"Ai, mana boleh djadi begitu," sahut A Pik tertawa. "Kalau diketahui Kongtjuya, wah, tentu aku akan didamperat tidak dapat menghormati tamu."
Melihat orang tidak mau, rasa tjuriga Tjui Pek-khe semakin bertambah, katanja pula dengan tertawa: "Haha, bitjara terus terang, sebenarnja kami ingin mendengar nona memperdengarkan ilmu kepandaianmu memetik sesuatu lagu dengan rujung lemas kawanku itu."
"Ilmu kepandaian apa?" udjar A Pik tertawa. "Kalau diketahui A Tju, pasti dia akan mentjemoohkan aku suka pamer didepan tetamu."
Tapi Tjui Pek-khe terus memgambil rujungnja Gan-tji dan diserahkan kepada A Pik, katanja: "Ini, petiklah lekas!" ~ Sembari berkata, terus sadja ia sambuti dajung sampan dari tangan sigadis.
"Baiklah, dan sekalian Kim-sui-poamu itupun pindjamkan aku sebentar,"
kata A Pik. Diam2 Pek-khe mendjadi kuatir: "Dia telah ambil sendjata2 kami, djangan2 ada tipu muslihat apa2?" ~ Namun karena sudah ketelandjur, terpaksa iapun menjerahkan Suipoa emasnja itu.
Tapi Suipoa itu lantas ditaruh diatas geladak sampan oleh A Pik, sambil berduduk ia tarik gagang rujung dengan tangan kiri, udjung rujung itu diindjak dengan kaki kanan hingga rujung lemas itu tertarik dengan lempeng, lalu menarilah kelima djari kanannja meng-gesek2 diatas rujung hingga menerbitkan matjam2 nada suara jang njaring merdu melebihi Pi-pe (alat musik Tionghoa mirip gitar).
Sambil menggesek rujung, terkadang djari A Pik djuga sempat memainkan bidji Suipoa jang terletak dihadapannja itu, suara "tjrang-tjring" dari bidji Suipoa itu berselang-seling dengan suara "trang-tring" gesekan rujung hingga kedengarannja sangat menarik. Sampai puntjaknja, saking gembiranja A Pik terus bernjanji pula mengiringi irama musik jang dimainkannja sendiri dengan merdu itu.
Mendengar suara sigadis jang mengalun empuk itu, sungguh semangat Toan Ki se-akan2 diombang-ambingkan diangkasa raja dan mendjadi seperti orang linglung. Ia gegetun mengapa baru sekarang dirinja sempat pesiar ke Kanglam, ia kagum pula Bujung-kongtju mempunjai seorang dajang sepandai itu, maka dapatlah dibajangkan tokoh matjam apa madjikan sidajang itu.
Selesai A Pik membawakan satu lagu, kemudian iapun kembalikan Suipoa dan rujung itu kepada Pek-khe berdua. Katanja dengan tertawa: "Memalukan, tidak enak didengarkan, harap djangan ditertawai tuan tamu. Nah, dajunglah kesana, ja benarlah!"
Pek-khe menurut dan mendajung sampan itu kesuatu muara sungai ketjil, di permukaan air situ tampak banjak tumbuh daun teratai jang lebat. Tjoba kalau tiada petundjuk si A Pik, tentu tiada jang tahu bahwa disitu ada djalannja.
Setelah mendajung pula sebentar, kemudian A Pik berkata pula: "Biluklah kesana!" Dan permukaan air tempat baru ini ternjata penuh tumbuh daun Lengkak dengan buahnja jang ke-merah2an. A Pik memetik beberapa buah lengkak jang merah itu, ia berikan Ko Gan-tji tiga buah, kemudian memetik pula bagi jang lain.
Meski kedua tangan Toan Ki dapat bergerak, tapi setelah Hiat-to ditutuk orang, sedikitpun ia sudah tak bertenaga, untuk mengupas kulit Lengkak terasa pula tidak kuat. Maka berkatalah A Pik dengan tertawa: "Rupanja Kongtjuya bukan orang Kanglam, makanja tidak biasa mengupas Lengkak.
Biarlah aku mengupasnja untukmu."
Segera ia mengupas beberapa bidji dan diserahkan kepada Toan Ki.
Melihat daging Lengkak itu putih bersih, ketika dimakan rasanja manis gurih, dengan tertawa Toan Ki berkata: "Rasa lengkak ini enak dan tidak membosankan, mirip sekali dengan njanjian nona tadi."
Muka A Pik sedikit bersemu merah, sahutnja dengan tersenjum:
"Membandingkan njanjianku dengan Lengkak, baru pertama kali ini kudengar.
Terima kasih, Kongtju!"
Dan belum selesai sampan itu menjusur rawa Lengkak itu, A Pik telah menundjukkan arah lain lagi jang penuh tumbuh rumput kumbuh jang lebat.
Mau-tak-mau achirnja Tjiumoti mendjadi was-was djuga, diam2 ia mengingat baik2 djalan jang dilalui perahu itu, agar nanti kembalinja tidak kesasar. Tapi rawa2 daun teratai, lengkak dan rumput kumbuh itu hakikatnja serupa sadja tak ada perbedaannja, apa lagi tumbuh2an air itu setiap waktu bisa berubah tertiup angin hingga dalam sekedjap sadja keadaan sudah berlainan daripada semula. Tjiumoti, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji telah berusaha djuga mengikuti sinar mata si A Pik untuk mengetahui tjara bagaimana gadis itu mengenali djalannja, namun tampaknja gadis itu atjuh-tak-atjuh sadja, sambil memetik Lengkak sembari memain air dan memberi petundjuk tanpa pikir, se-akan2 djalanan air jang bersimpang-siur itu sudah merupakan satu peta jang apal baginja.
Begitulah setelah sampan itu didajung berlika-liku kian kemari selama dua djam, lewat lohor, dari djauh tertampaklah pohon Liu me-lambai2
dengan rindangnja dan dibalik pohon tertampaklah udjung emper rumah.
"Itulah dia sudah sampai," seru A Pik segera. "Ho-siansing, telah setengah hari membikin tjapek engkau, terima kasihlah." ~ Ia dengar Toan Ki memanggil Pek-khe sebagai Ho-siansing, maka iapun menirukannja.
Dengan tertawa getir Pek-khe mendjawab: "Asal bisa makan Lengkak sambil mendengarkan njanjianmu, biarpun aku disuruh mendajung selama setahun dua tahun djuga mau."
"Ha, apa susahnja djika engkau benar2 senang makan Lengkak dan suka mendengarkan njanjianku," seru A Pik sambil bertepuk tangan dan tertawa.
"Untuk mana asal engkau tinggal sadja dilembah danau ini dan selama hidup ini djangan meninggalkan sini."
Pek-khe mendjadi kaget oleh utjapan: "selama hidup tinggal dilembah danau" itu, ia tjoba melirik gadis itu, ia lihat A Pik tetap bersenjum simpul sadja seperti tidak punja maksud apa2 dibalik kata2nja itu. Namun begitu hati Pek-khe mendjadi kebat-kebit djuga.
Segera A Pik mengambil penggajuh dari tangannja Pek-khe dan mendajung sampannja ketepian jang penuh pohon Liu itu. Sesudah dekat, tertampaklah sebuah tangga kaju terbuat dari ranting pohon Siong mendjulur dari tepi kedalam air. A Pik menambat perahunja diatas ranting pohon itu serta mendahului mendarat.
Ketika semua orang ikut mendarat, terlihatlah disana-sini ada beberapa buah gubuk jang dibangun ditengah sebuah pulau ketjil atau disemenandjung sana. Gubuk2 itu ketjil mungil dan tjukup indah.
"Apakah disini inikah Som-hap-tjheng dari Yan-tju-oh?" tanja Tjiumoti.
"Bukan," sahut A Pik menggeleng kepala. "Tempat ini adalah kediamanku jang dibangun oleh Kongtju, djelek dan sederhana, sebenarnja tidak pantas untuk menjambut tamu. Tjuma Toasuhu ini menjatakan ingin berziarah kemakamnja Bujung-loya, aku sendiri tidak berani mengambil keputusan, maka terpaksa silahkan tuan2 tunggu sementara disini, biarlah kubitjarakan dulu dengan Entji A Tju."
Mendengar itu Tjiumoti mendjadi dongkol dan menarik muka. Betapa tinggi dan diagungkan kedudukannja sebagai Hou-kok-hoat-ong atau imam negara di negeri Turfan. Djangankan di negerinja sendiri itu dia sangat dihormati oleh kepala negara Turfan, sekalipun pemerintah2 Song, Tayli dan negara2
tetangganja djuga pasti menjambut kedatangannja dengan penuh penghormatan. Apalagi dia adalah sobat lama Bujung-siansing, kini ia datang sendiri buat ziarah, kalau Bujung-kongtju bepergian karena memang sebelumnja tidak tahu, itulah tak dapat disalahkan, tetapi seorang dajang seperti A Pik ini, tamu agung itu tidak dibawa keruang tamu untuk dihormati sebagaimana mestinja, sebaliknja malah dibawa ke suatu gubuk tempat tinggal kaum pelajan, karuan sadja Tjiumoti merasa terhina.
Tapi demi dilihatnja sikap A Pik tetap ke-kanak2an seperti biasa sadja, sedikitpun tidak mengundjuk maksud merendahkan, maka ia pikir mengapa mesti meretjoki urusan begitu dengan seorang pelajan ketjil.
Kemudian Tjui Pek-khe telah menanja: "Siapakah entji A Tju jang kau katakan itu?"
"A Tju ialah A Tju, dia tjuma lebih tua sebulan daripadaku, lantas berlagak sebagai Entji orang," demikian sahut A Pik dengan tertawa. "Ja, apa boleh buat, terpaksa aku harus memanggil dia Entji, habis, siapa suruh dia lahir sebulan lebih dulu" Namun engkau tidak perlu memanggilnja sebagai Entji, kalau tidak tentu lagaknja akan semakin garang."
Sembari berbitjara, dengan lintjahnja A Pik terus menjilahkan keempat tamunja itu masuk kedalam pondoknja.
Toan Ki melihat didepan gubuk itu tergantung sebuah papan ketjil jang bertuliskan "Khim-im-siau-tiok" atau pondok mungil suara harpa. Gaja tulisannja sangat bagus. Setelah masuk, A Pik silahkan semua orang berduduk, kemudian lantas disuguhkannja air teh dan beberapa matjam makanan. Tehnja wangi, makanannja sedap, karuan tiada hentinja Toan Ki memudji.
"Silahkan Kongtju menghabiskannja, persediaan masih tjukup," demikian A Pik.
Sambil melangsir penganan2 kedalam perutnja, terus-menerus Toan Ki memberi pudjian tiada habis2nja. Sebaliknja Tjiumoti, Pek-khe dan Gan-tji bertiga tidak berani menjentuh minuman dan makanan itu sebab kuatir kalau didalam makanan itu ditaruh ratjun.
Diam2 Toan Ki mendjadi tjuriga djuga, pikirnja: "Tjiumoti ini mengaku sebagai sobat lama Bujung-siansing, tapi kenapa berlaku se-hati2 ini "
Pula tjara orang keluarga Bujung menjambut kedatangannja djuga rada tidak beres."
Tjiumoti itu ternjata sangat sabar, ia menunggu hingga Toan Ki sudah habis minum dan selesai mentjitjipi semua penganan jang disuguhkan itu dengan pudjian2 setinggi langit, kemudian barulah dia berkata: "Dan sekarang haraplah nona suka memberitahukan kepada Entji A Tju jang kau katakan tadi."
"Tempat pondok A Tju itu dari sini masih berpuluh li djauhnja, hari ini terang tidak keburu kesana lagi, biarlah tuan2 berempat tinggal semalam disini, besok pagi2 aku lantas membawa kalian ke "Thing-hiang-siau-tiok"
(pondok ketjil jang wangi) ."
"Tahu begitu, mengapa nona tidak tadi2 membawa kami langsung kesana?"
tanja Tjiumoti dengan mendongkol.
"Kenapa mesti buru2 ?" sahut A Pik. "Selama ini aku tiada teman mengobrol, rasanja terlalu sunji. Kini kedatangan tamu sebanjak ini, sudah tentu aku ingin kalian suka tinggal barang sehari untuk meramaikan suasana pondokku ini."
Sedjak tadi Ko Gan-tji hanja berdiam sadja. Kini mendadak ia berbangkit dan membentak: "Dimana tempat tinggal anggota keluarga Bujung"
Kedatanganku kesini bukan untuk minta makan-minum dan untuk mengobrol dengan engkau, tapi datang buat membunuh musuh. Sekali orang she Ko sudah berani datang kemari, memangnja akupun tidak pikir bisa keluar dari sini dengan hidup. Maka lekaslah kau laporkan sana, nona, katakan aku adalah anak murid Kwa Pek-hwe dari Ko-san-pay, hari ini sengadja datang untuk menuntut balas sakit hati Suhuku itu"
Habis berkata, sekali rujungnja menjabet, terdengarlah suara gedubrakan jang keras disertai hantjurnja sebuah medja dan sebuah kursi.
Namun sedikitpun A Pik tidak kaget djuga tidak marah, katanja dengan tenang: "Sudah banjak orang2 Kangouw jang gagah perkasa datang hendak mentjari Kongtju, setiap bulannja paling sedikit ada beberapa rombongan.
Diantaranja banjak djuga berlagak garang dan kasar seperti Ko-toaya ini
......" Belum selesai utjapannja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul seorang kakek pendek ketjil berdjenggot dan berambut putih bagai perak, kakek itu membawa tongkat, sambil mendatangi ia berkata: "A Pik, siapakah jang lagi ribut2 disini?"
Tjepat Tjui Pek-khe melompat bangun dan berdiri sedjadjar dengan Ko Gan-tji sambil membentak: "Suhengku Kwa Pek-hwe sebenarnja ditewaskan oleh siapa?"
Toan Ki melihat kakek itu rada bungkuk, mukanja penuh keriputan, usianja kalau tiada seabad, paling sedikit djuga lebih dari 80 tahun.
Maka terdengarlah kakek itu berkata dengan suaranja jang serak: "Kwa Pek-hwe" Ehm, manusia dapat hidup sampai Pek-hwe (seratus tahun), sudah waktunja djuga untuk mati!"
Memangnja Ko Gan-tji sudah tidak sabar lagi hendak membalas sakit hati sang Suhu, kini mendengar pula kata2 sikakek jang kasar itu, ia mendjadi murka, sekali rujungnja bekerdja, terus sadja ia sabet kepunggung kakek itu. Ia kuatir kalau Tjiumoti merintangi tindakannja, maka serangannja sengadja dilontarkan dari djurusan jang tak bisa dihalangi paderi itu.
Siapa duga Tjiumoti tjuma ulur tangannja sadja, seketika tangannja seperti mengeluarkan tenaga sedotan, rujung Ko Gan-tji itu kena ditarik ketangannja dari djauh. Lalu katanja: "Ko-tayhiap, kedatangan kita ini adalah tamu, ada apa2 hendaknja dibitjarakan setjara baik2, djanganlah memakai kekerasan." ~ Habis berkata, ia remas2 rujung rampasannja itu hingga tergulung mendjadi satu, lalu dikembalikan kepada Gan-tji.
Muka Ko Gan-tji mendjadi merah djengah, ia mendjadi kikuk apakah mesti menerima kembali sendjatanja itu atau tidak. Tapi demi dipikir tudjuan pokoknja jalah untuk menuntut balas, hinaan sementara waktu harus berani ditanggungnja. Maka dengan agak malu ia terima kembali rujung itu.
Hlm. 47: gambar
Belum selesai A Pik melajani tetamunja, tiba2 dari ruangan belakang muntjul seorang kakek pendek ketjil, rambut dan djenggot sudah putih sebagai perak.
Lalu Tjiumoti berkata kepada sikakek: "Siapakah nama Sitju jang terhormat ini" Apakah masih pamili dengan Bujung-siansing atau sahabatnja"."
Kakek itu tertawa, sahutnja: "Aku tjuma seorang budak tua Kongtju sadja, masakah punja nama terhormat segala" Kabarnja Taysuhu adalah sobat baik mendiang Loya kami, entah ada keperluan apakah?"
"Urusanku harus kukatakan berhadapan dengan Bujung-kongtju," sahut Tjiumoti.
"Tapi sajang, kemarin dulu Kongtju telah bepergian, entah kapan baru dapat pulang," kata sikakek.
"Djika begitu, kemanakah Kongtju pergi?" tanja Tjiumoti.
"Wah, aku mendjadi lupa," sahut kakek itu sambil ketok2 djidat sendiri,
"beliau seperti mengatakan hendak pergi kenegeri He atau Tayli, ja, entah Turfan atau negeri mana lagi."
Tjiumoti mendjadi kurang senang oleh djawaban itu, terang tidak mungkin seorang sekaligus keluar negeri sebanjak itu, ia tahu budak tua itu sengadja berlagak pikun, maka katanja: "Djika demikian, akupun tidak menunggu lagi pulangnja Kongtju, harap Koankeh (kepala pengurus rumah tangga) suka membawa aku bersembahjang kemakam Bujung-siansing sekedar memenuhi kewadjiban sebagai seorang sobat lama."
"Ah, permintaan ini aku tidak berani menerima, akupun bukan Koankeh segala," sahut sikakek sambil gojang2 tangannja.
"Djika begitu, siapakah gerangan Koankeh kalian" Dapatkah kutemui dia?"
tanja Tjiumoti.
"Ehm, baiklah, baiklah, akan kupanggilkan Koankeh," kata sikakek sambil mengangguk. Ia putar masuk kebelakang dengan langkah sempojongan sebagaimana lazimnja orang tua sambil menggerundel pandjang-pendek: "Ai, djaman ini memang terlalu banjak orang djahat, banjak jang menjamar Hwesio dan Tosu untuk menipu orang. Huh, orang tua seperti aku pengalaman apa jang tak pernah terdjadi, mana dapat aku diingusi!"
Mendengar itu, saking gelinja sampai Toan Ki terbahak.
Sebaliknja A Pik lekas2 berkata kepada Tjiumoti: "Taysuhu, harap engkau djangan marah, Ui-pepek itu benar2 seorang pikun. Ia mengira dirinja sendiri sangat pintar, tapi kata2nja djusteru selalu menjakiti orang."
Dalam pada itu Tjui Pek-khe lantas menarik Ko Gan-tji kesamping serta membisikinja: "Keledai gundul ini mengaku sebagai sobat orang she Bujung, tapi orang disini terang2an tidak pandang dia sebagai tamu terhormat. Ko-sutit, kita djangan sembarangan bertindak, biarlah melihat dulu apa jang akan terdjadi."
Ko Gan-tji mengia dan kembali ketempatnja tadi. Tapi karena kursinja sendiri telah dihantjurkan oleh sabetan rujungnja tadi, ia mendjadi tidak punja tempat duduk lagi.
Maka dengan tersenjum ramah A Pik lantas memberikan kursinja, katanja dengan tersenjum: "Harap Ko-toaya duduk kursi ini sadja!"
Gan-tji mengangguk puas, pikirnja: "Andaikan aku dapat membunuh bersih antero anggota keluarga Bujung, paling sedikit dajang tjilik ini harus kuampuni."
Sementara itu hati Toan Ki sedang diliputi suatu tanda tanja jang aneh.
Ketika sibudak tua she Ui tadi masuk, diam2 ia merasa ada sesuatu jang kurang beres. Tapi soal apa, ia sendiripun tak bisa mendjawab. Ia tjoba memperhatikan alat perabot ruangan itu, kemudian memandang A Pik, Tjiumoti, Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji, namun tiada sesuatu tanda mentjurigakan jang dilihatnja. Tapi anehnja perasaannja djusteru semakin merasa ada sesuatu jang tidak beres.
Tidak lama kemudian, terdengarlah suara tindakan orang, dari belakang muntjul seorang laki2 kurus setengah umur. Orang ini memiara djenggot matjam djenggot kambing, gerak-geriknja menundjukkan seorang jang tjekatan dan pandai mengatur rumah tangga, pakaiannja djuga radjin, djari tengah kiri memakai sebuah tjintjin berbatu kemala jang besar. Agaknja inilah dia Koankeh keluarga Bujung.
Orang itu lantas memberi hormat kepada tamu2nja dan berkata: "Hamba Sun Sam menjampaikan salam hormat kepada tuan2 sekalian. Taysuhu, engkau bermaksud ziarah kemakam Loya kami, untuk mana kami menjatakan sangat berterima kasih. Tapi Kongtjuya sedang bepergian, tiada orang jang dapat membalas kehormatan Taysuhu nanti, hal ini akan kelihatan kurang pantas.
Maka kelak kalau Kongtjuya pulang, biarlah kusampaikan sadja maksud baik Taysuhu ini ...."
Bitjara sampai disini, tiba2 Toan Ki mengendus sematjam bau harum jang halus. Seketika pikirannja tergerak, ia tjuriga: "Apakah mungkin demikian halnja?"
Kiranja tadi waktu sibudak tua masuk keruangan situ, Toan Ki lantas mentjium sematjam bau wangi jang halus sedap. Bau harum ini lapat2
seperti bau harum jang teruar dari badannja Bok Wan-djing, walaupun didalamnja memang banjak perbedaannja, namun satu hal adalah pasti, jaitu bau wangi badan anak perawan.
Semula Toan Ki menjangka bau harum itu timbul dari badannja A Pik, maka tidak menaruh perhatian. Tetapi sesudah budak tua itu pergi, bau wangi itupun lenjap. Karena itulah maka timbul perasaan Toan Ki bahwa ada sesuatu jang kurang beres. Sebab mustahil badan seorang kakek tua bangka begitu bisa menguarkan bau harum anak perawan?"
Kemudian ketika Koankeh kurus jang mengaku bernama Sun Sam itu muntjul, kembali Toan Ki mengendus bau wangi jang sama, maka timbul pikirannja pula: "Barangkali dibelakang rumah ini tertanam bunga apa2 jang aneh, siapa sadja jang keluar dari ruangan belakang tentu membawa bau harum jang menggontjang sukma itu. Kalau tidak, maka budak tua itu dan sikurus ini pastilah samaran kaum wanita."
Meski bau wangi itu menimbulkan rasa tjuriga Toan Ki, tapi karena terlalu halus baunja, maka Tjiumoti bertiga sedikitpun tidak tahu.
Sebabnja Toan Ki dapat membedakan bau harum jang halus itu adalah karena dahulu ia pernah disekap bersama Bok Wan-djing didalam kamar batu oleh Djing-bau-khek alias Yan-king Thaytju itu. Maka bau harum jang halus jang timbul dari badan anak perawan itu susah dirasakan orang lain, tapi bagi Toan Ki pengalamannja dulu itu sangat berkesan dan djauh lebih keras malah daripada bau wangi segala matjam wangi2an lainnja.
Meski ia mentjurigai Sun Sam itu adalah samaran wanita, tapi sesudah dipandang dan di-amat2i, toh tiada sesuatu tanda jang mejakinkan. Bukan sadja gerak-gerik Sun Sam itu memang lakunja kaum laki2, bahkan mukanja dan suaranja djuga persis seperti kaum laki2 umumnja. Tiba2 teringat oleh Toan Ki: "Kalau wanita menjamar sebagai lelaki, bidji lehernja sekali2
tak mungkin dipalsukan."
Karena itu, ia tjoba memperhatikan leher Sun Sam, namun djenggot kambingnja itu tepat mendjulur kebawah dan menutupi leher hingga tidak kelihatan apakah ada bidji leher atau tidak.
Toan Ki masih penasaran, ia berbangkit dan pura2 menikmati lukisan jang tergantung didinding sana, dari samping lalu ia melirik untuk mengintjar lehernja Sun Sam. Sekali ini dapat dilihatnja dengan djelas bahwa leher Sun Sam halus lurus tiada sesuatu jang menondjol dilehernja. Ketika mengawasi dadanja pula, tampak dada Sun Sam itu penuh montok. Walaupun tanda ini tidak dapat dipastikan sebagai tanda wanita, tapi seorang laki2
kurus tidaklah lazim memiliki dada jang montok.
Dapat membongkar rahasia itu, Toan Ki mendjadi sangat senang, pikirnja:
"Ini dia sandiwaranja masih belum tamat, biarlah aku mengikuti terus permainannja."
Dalam pada itu terdengar Tjiumoti sedang berkata dengan gegetun:
"Dahulu aku telah berkenalan dengan Loya kalian dinegeri Thian-tiok serta saling mengagumi ilmu silat masing2, disanalah kami telah mengikat persahabatan kekal. Sungguh tidak njana segala apa didunia fana ini memang mudah berubah, orang bodoh seperti aku ini djusteru masih diberi hidup, sebaliknja Loya kalian malah sudah mendahului kenirwana. Djauh2
aku sengadja datang dari Turfan untuk sekedar memberi hormat dihadapan makam sobat lama, soal ada orang membalas hormat atau tidak, mengapa mesti dipikirkan" Maka haraplah Koankeh suka membawa aku kesana."
Sun Sam tampak mengkerut kening, agaknja merasa serba salah, katanja:
"Aku ..... aku ....."
"Entah Koankeh merasakan kesulitan apa, silahkan memberi pendjelasan,"
tanja Tjiumoti.
"Ja, sebab watak Loya kami, sebagai sobatnja tentu Taysuhu tjukup tahu," sahut Sun Sam. "Loya kami paling tidak suka ada orang berkundjung kepadanja, ia bilang orang jang datang mentjarinja kalau bukan hendak menuntut balas dan membikin rusuh, pasti adalah mohon beladjar dan ingin mendjadi muridnja. Jang lebih rendah lagi bisa djuga datang untuk pindjam uang atau bila jang empunja rumah lengah, terus mentjuri. Beliau mengatakan kaum Hwesio dan Nikoh lebih2 tak dapat dipertjaja lagi, auuuuh..... maaf....." ~ Tiba2 ia seperti tersadar telah menjinggung Tjiumoti, maka tjepat menutupi mulutnja.
Tingkah laku menutupi mulut dengan tangan itu terang lazimnja dilakukan oleh kaum anak gadis, bidji matanja jang hitam pekat mendelik itupun mengerling sekedjap. Meski hanja sekilas sadja tingkah laku demikian, namun Toan Ki jang selalu menaruh perhatiannja itu sudah melihatnja, dia bertambah senang lagi: "Ha, Sun Sam ini bukan sadja memang samaran wanita, bahkan adalah seorang nona jang masih sangat muda."
Ketika ia melirik A Pik, ia lihat udjung mulut gadis itu tersimpul senjuman jang litjik. Maka Toan Ki mendjadi lebih jakin lagi, pikirnja:
"Sun Sam ini sudah terang sama orangnja dengan sibudak tua tadi. Boleh djadi adalah entji A Tju jang dikatakan itu."
Dalam pada itu Tjiumoti sedang berkata: "Memang manusia baik2 didjagat ini lebih sedikit daripada orang jang djahat. Kalau Bujung-siansing tidak suka banjak bergaul dengan chalajak ramai, itupun adalah djamak."
"Ja, dari itulah Loya kami telah meninggalkan pesan agar siapa pun jang datang hendak ziarah kekuburannja, semuanja ditolak," kata Sun Sam. "Ia bilang para keledai gundul itu tidak nanti berniat baik, tentu bermaksud membongkar kuburannja. Aija, maaf Taysuhu, keledai gundul jang dimaksudkan Loya kami itu besar kemungkinan bukan ditudjukan kepadamu."
Diam2 Toan Ki mendjadi geli oleh pertundjukan itu, ini namanja
"dihadapan Hwesio memaki keledai gundul," benar2 sangat tepat. Pikirnja:
"Keledai gundul ini tetap tidak marah sama sekali, semakin djahat dan semakin litjik orangnja, semakin pandai dia berlaku sabar. Keledai gundul ini benar2 bukan sembarangan orang."
Malahan Tjiumoti terus berkata lagi: "Apa jang dipesan Loya kalian itu memang ada benarnja djuga. Dimasa hidupnja dahulu terlalu banjak permusuhan jang telah ditanamnja, kalau waktu hidupnja musuh tidak berani padanja, sesudah beliau wafat, bukan mustahil ada jang berusaha membongkar djenazahnja untuk membalas sakit hati."
"Berani mengintjar djenazah Loya kami" Hahaha, djangan mimpi!" udjar Sun Sam dengan tertawa.
"Tapi aku adalah sobat baik Bujung-siansing, aku hanja ingin memberi hormat dihadapan makamnja dan tiada maksud lain, hendaklah Koankeh djangan bersangka djelek," kata Tjiumoti.
"Dengan sungguh2 hal ini Siaudjin tidak berani mengambil keputusan, sebab kalau pesan Loya dilanggar, nanti kalau Kongtju pulang dan mengetahui, bukan mustahil aku akanmemdapat gandjaran jang setimpal,"
kata Sun Sam. "Tapi begini sadjalah, biarlah kumintakan keputusan Lothaythay, nanti kuberitahukan lagi kesini."
"Lothaythay (njonja besar)" Lothaythay jang mana?" tanja Tjiumoti heran.
"Bujung-lothaythay adalah Entjim daripada Loya kami," sahut Sun Sam.
"Setiap tamu jang berkundjung kemari kebanjakan menghadap untuk mendjura dan menghormatinja. Kini Kongtju tidak dirumah, segala apa harus minta keputusan kepada Lothaythay".
"Baiklah djika begitu," kata Tjiumoti. "Harap kau sampaikan kepada Lothaythay bahwa Tjiumoti dari Turfan menjampaikan salam selamat kepada beliau."
"Ah, engkau terlalu baik, terima kasih, tentu akan kusampaikan pada Lothaythay," sahut Sun Sam. Lalu masuklah dia kebelakang.
Diam2 Toan Ki membatin: "Nona ini sangat litjin dan djenaka, entah apa maksud tudjuannja mempermainkan keledai gundul Tjiumoti ini?"
Selang tidak lama, terdengarlah suara berkeriat-keriut orang berdjalan, dari dalam muntjul seorang nenek tua. Belum tiba orangnja bau harum jang sedap halus tadi sudah tertjium oleh Toan Ki, maka ia mendjadi geli: "Ha, sekali ini dia telah menjamar mendjadi njonja tua."
Tertampak njonja tua itu memakai kun dari sutera warna tjoklat, tangannja memakai gelang kemala, gelungannja berhias aneka mutiara permata, dandanannja agung terhormat, mukanja sudah berkeriput, matanja lapat2 seperti sudah kurang penglihatannja. Mau-tak-mau Toan Ki harus memudji dalam hati akan kepandaian menjamar orang, bukan sadja samarannja sangat persis, bahkan dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Begitulah sambil ber-ingsut2 dengan tongkatnja njonja tua itu berdjalan ketengah ruangan, lalu berkata: "A Pik, apakah sobat baik Loyamu telah datang" Kenapa tidak mendjura padaku?" ~ Sembari berkata, kepalanja tampak menoleh kesana kesini seperti lazimnja orang tua jang sudah pikun dan kurang penglihatannja.
A Pik memberi tanda kepada Tjiumoti dan membisikinja: "Lekaslah mendjura! Sekali engkau sudah mendjura, Lothaythay tentu akan senang dan segala permintaanmu pasti akan diluluskan."
Njonja tua itu lantas miringkan kepalanja, tangannja terangkat ditepi telinga seperti orang sedang mendengarkan sesuatu, lalu tanja keras2: "A Pik, kau bitjara dengan siapa" Orang sudah mendjura belum?"
Maka berkatalah Tjiumoti: "Lothaythay, baikkah engkau" Siautjeng memberikan salam hormat." ~ Lalu ia membungkuk memberi hormat, berbareng kedua tangannja mengerahkan tenaga hingga terdengarlah suara "dak-duk"
diatas lantai seperti kepala orang mendjura jang mem-bentur2 lantai.
Tjui Pek-khe saling pandang dengan Ko Gan-tji, diam2 mereka terkesiap oleh tenaga dalam sihwesio jang hebat itu, kalau bertanding, sudah pasti mereka berdua tidak mampu menangkis satu djurus serangannja.
Sementara itu sinjonja tua lantas manggut2 dan berkata: "Baik, baik, sangat baik! Orang djahat didjaman ini memang terlalu banjak, djarang sekali ada orang djudjur. Seumpama orang mendjura sadja toh sengadja pura2 segala, sudah terang tidak mendjura, tapi sengadja membikin lantai bersuara dak-duk untuk mengelabui pandanganku jang sudah berkurang ini.
Ehm, engkau ini sangat baik, sangat penurut, keras sekali engkau mendjura ja."
Saking gelinja tak tertahan lagi Toan Ki tertawa mengekek.
Pelahan2 njonja tua itu menoleh dan menanja dengan pandangan matanja jang me-lajap2, lalu tanjanja: "A Pik, suara apa tadi" Apa ada orang kentut?" ~ Sambil berkata, ia terus meng-kipas2 didepan hidungnja.
"Bukan orang kentut, Lothaythay," sahut A Pik menahan tawa. "Tapi Toan-kongtju ini telah tertawa sekali."
"Toan" Apanja jang putus?" tanja sinenek.
"Bukan Toan artinja putus, Lothaythay, tapi orang she Toan, Kongtju keluarga Toan," sahut A Pik menerangkan.
"Ehm, Kongtju terus-menerus, memang jang kau ingat selalu Kongtju sadja," udjar sinenek sambil manggut2.
"Lothaythay sendiri masakah djuga tidak selalu terkenang pada Kongtjuya?" sahut A Pik agak merah mukanja.
"Apa katamu" Kongtjuya kepingin makan djenang?" tanja sinenek.
"Ja, Kongtjuya kepingin makan djenang, bahkan lebih suka pula engkau punja kue mangkok," sahut si A Pik.
Sudah tentu Toan Ki mengarti pertjakapan kedua orang itu bertjabang, maka ia mendjadi lebih jakin lagi sinenek itu pasti samaran si A Tju.
Kemudian nenek itu memandang kearah Toan Ki dan berkata: "Kau botjah ini berhadapan dengan orang tua mengapa tidak mendjura?"
"Lothaythay," sahut Toan Ki. "Ada sesuatu ingin kubitjarakan dengan engkau, tapi tidak enak kalau didengar orang lain."
"Kau bilang apa?" tanja sinenek sambil mendjulurkan kepalanja kedepan.
"Begini," kata Toan Ki. "Dirumah aku mempunjai seorang keponakan perempuan ketjil, namanja A Tju, ia telah pesan padaku agar menjampaikan beberapa kata kepada Lothaythay dari keluarga Bujung."
"Ah, semberono, semberono!" ber-ulang2 sinenek menggeleng kepala.
Namun Toan Ki melandjutkan pula dengan tertawa: "Keponakanku si A Tju itu memang sembrono dan terlalu nakal. Dia paling suka menjaru seperti monjet, hari ini menjaru monjet djantan, besok menjamar monjet betina, malahan pintar main sunglap segala. Tapi sering kutangkap dia dan hadjar bokongnja."
Kiranja sinenek ini memang benar samaran si A Tju, temannja A Pik.
Kepandaiannja menjamar memang pintar luar biasa, bukan sadja wudjutnja mirip, bahkan tutur kata dan gerak-geriknja dapat menirukan dengan tepat dan bagus tanpa tjatjat sedikitpun. Sebab itulah maka orang sepintar Tjiumoti dan sepengalaman Tjui Pek-khe djuga kena dikelabui. Siapa duga dari bau harum jang teruar dari badannja itulah dapat dibongkar rahasianja oleh Toan Ki.
Karuan sadja A Tju sangat terkedjut, namun lahirnja ia tetap tenang sadja, katanja kemudian: "Anak baik, sungguh pintar sekali kau, belum pernah aku melihat anak setjerdik engkau ini. Anak baik djangan usil, nanti Lothaythay tentu memberikan kebaikan padamu."
Toan Ki pikir dibalik kata2 orang itu terang meminta agar dirinja djangan membuka rahasianja, karena tudjuannja jalah untuk melajani sikeledai gundul Tjiumoti, dan ia kebetulan sedang mentjari kawan untuk menjelamatkan diri. Karena pikiran demikian, Toan Ki lantas mendjawab:
"Lothaythay djangan kuatir, sekali Tjayhe sudah datang disini, segala apa aku tentu menurut perintah Lothaythay."
Dasar A Tju itu memang sangat nakal, segera katanja pula: " Bagus, anak baik, engkau benar2 anak penurut sekali. Nah, sekarang lekaslah engkau mendjura tiga kali kepada Lothaythay, pasti nenek nanti takkan bikin rugi padamu."
Toan Ki melengak. Kurangadjar, pikirnja. Masakah seorang putera pangeran jang diagungkan dari negeri Tayli disuruh mendjura kepada budak ketjil"
Melihat sikap Toan Ki ragu2 dan serba susah, A Tju tertawa dingin, katanja: "Ada manusia jang sudah dekat adjalnja, tapi masih sombong dan angkuh luar biasa. Anak baik, ingin kukatakan padamu, pastilah takkan merugikan engkau djika mendjura beberapa kali kepada nenekmu ini."
Ketika Toan Ki berpaling, ia lihat A Pik dengan bersenjum-simpul sedang melirik padanja, kulit badannja jang putih bersih itu bagai buah manggis segar jang baru dibuka, udjung mulutnja terdapat setitik andeng2 ketjil menambah ketjantikannja jang menggiurkan. Hati Toan Ki tergerak, segera ia menanja: "Entji Apik, katanja engkau masih mempunjai seorang teman entji A Tju. Apakah dia ................ dia setjantik molek engkau?"
"Ai, ai, rupaku jang djelek melebihi siluman ini mana berani dibandingkan entji A Tju," sahut A Pik dengan tersenjum. "Rupaku ini masih belum masuk hitungan, kalau entji A Tju mendengar pertanjaanmu ini, pasti dia akan marah. Ketahuilah bahwa entji A ju itu berpuluh kali lebih aju daripadaku."
"Apa betul?" Toan Ki Menegas.
"Guna apa aku mendustai kau?" sahut A Pik tertawa.
"Berpuluh kali lebih tjantik dari kau, didunia ini tentu takada lagi", udjar Toan Ki, "Ja, ketjuali .............. ketjuali sidewi didalam gua.
Asal setjantik engkau sudah susah ditjari orangnja."
Wadjah A Pik mendjadi ke-merah2an, katanja dengan malu2 kutjing: "Kau disuruh mendjura kepada Lothaythay, tidak perlu kau memudja-pudji diriku."
"Wah dimasa mudanja, Lothaythay pasti djuga seorang wanita maha tjantik,' kata Toan Ki pula.
"Untuk bitjara terus terang, merugikan atau tidak kepadaku sama sekali tak kupikirkan, tapi disuruh mendjura kepada wanita maha tjantik, aku benar2 suka dan rela." ~ Habis berkata, benar sadja ia terus berlutut sambil berkata dalam hati: "Djika sudah mau mendjura, maka harus jang keras sekalian. Memangnja aku sudah pernah mendjura beratus kali kepada patung dewi didalam gua itu, apa halangannja kalau kini tjuma mendjura tiga kali kepada wanita tjantik di Kanglam?" ~ Lalu iapun mendjura tiga kali sampai kepalanja membentur lantai.
Dalam hati A Tju sangat girang, pikirnja: " Kongtjuya ini terang sudah tahu kalau aku tjuma seorang pelajan, tapi toh sudi mendjura padaku, sungguh susah ditjari orangnja," ~ Maka katanja kemudian: "Ehm, anak baik, pintar sekali kau. Tjuma sajang aku tidak membawa uang retjeh untuk djadjan engkau..."
"Sudahlah asal Lothaythay djangan lupa, kasihlah lain kali bila ketemu lagi," sela A Pik tiba2.
A Tju melotot sekali pada kawan itu, lalu ia berpaling dan berkata kepada Pek-khe dan Gan-tji: "Dan kedua tamu ini mengapa tidak mendjura djuga kepada nenek?"
Gan-tji mendengus dengan gusar, serunja keras2: "Kau dapat ilmu silat atau tidak?"
"Kau berkata apa?" A Tju menegas.
"Kutanja engkau bisa ilmu silat atau tidak?" Gan-tji mengulangi."Djika berilmu silat tinggi, biarlah orang she Ko ini terima kematian dibawah tangan Lohudjin (njonja tua). Tapi kalau bukan orang persilatan, akupun tidak perlu banjak omong dengan engkau."
A Tju menggeleng kepala, katanja berlagak pilon: " Kau berkata tentang ulat atau lalat apa segala. Ulat tidak ada disini, kalau lalat sih banjak. Idiiiih kotor ah!" ~ Lalu iapun
berpaling kepada Tjiumoti: "Toahweshio, katanja engkau hendak membongkar huburannja Bujung-siansing, sebenarnja engkau ingin mentjuri benda mestika apa dikuburannja?"
Tjiumoti sudah dapat melihat djuga bahwa nenek itu berlagak sangat pikun dan pura2 tuli, tjuma belum tahu kalau A Tju sebenarnja seorang gadis tjilik telah menjaru sebagai seorang tua. Maka diam2 ia bertambah waspada, ia pikir: "Bujung-siansing sadja sudah begitu lihay, angkatan tua dirumahnja tentu lebih hebat lagi."
Maka ia sengadja pura2 tidak dengar tentang pertanjaan tadi tapi mendjawab: "Siautjeng adalah sobat baik Bujung-siansing, karena mendengar berita wafatnja, djauh2 dari negeri Turfan datang kemari sekedar memberi salam terachir kepadanja. Waktu almaarhum masih hidup, Siautjeng pernah berdjandji akan mengambilkan gambar Lak-meh-sin-kiam-boh dari keluarga Toan di Tayli untuk dipersembahkan kepada Bujung-siansing. Selama djandji itu belum terpenuhi, sungguh Siau-tjeng merasa sangat malu."
Mendengar kata2 "Lak-meh-sin-kiam-boh" itu seketika A Tju terkesiap. Ia tahu ilmu silat itu bukan sembarangan, dirinja djuga belum lama dapat mendengar dari Kongtju. Ia saling pandang sekedjab dengan A Pik dan sama2
berpikir sihwesio itu sudah mulai membitjarakan atjara pokoknja.
Maka sahut A Tju: " Ada apa tentang Lak-meh-sin-kiam-boh segala?"
"Begini," tutur Tjiumoti, "Dahulu Bujung-siansing berdjandji pada Siautjeng asal dapat mengambilkan Lak-meh-sn-kiam-boh untuk dibatjanja barang beberapa hari, sebagai timbal-baliknja beliau membolehkan Siautjeng membatja kitab2nja beberapa hari dipondok 'Lang-goan-tjui-kok'
dikediaman kalian ini."
A Tju terkedjut, ternjata paderi asing itu kenal nama "Lang-goan-tjui-kok" atau pondok air indah, mungkin apa jang dikatakan itu memang benar2
adanja. Tetapi ia tetap berlaga pilon dan menanja pula: "Kau bilang
'Lang-goan-tjui-kok' apa" O, kau kepingin makan kue mangkok" Itulah mudah, dirumah kami selalu sedia kue mangkok."
Tjiumoti benar2 kewalahan, ia berpaling dan berkata kepada A Pik:
"Lothaythay ini entah benar2 sudah pikun atau tjuma berlaga pilon. Jang terang sekarang berbagai tokoh dari aliran persilatan di Tionggoan sedang berkumpul di Siau-lim-si untuk berunding tjara bagaimana menghadapi Bujung-si dari Koh-soh sini. Mengingat Siautjeng pernah bersobat dengan Bujung-siansing maka sebenarnja bermaksud mentjurahkan sedikit tenagaku jang tak berarti itu untuk membantunja. Tapi Lothaythay sedemikian sikapnja, sungguh membikin hati orang mendjadi dingin."
A Tju sama sekali tidak gubris utjapannja itu, ia malah berseru kepada A Pik: "He, A Pik, kau dengar tidak, hati Toahwesio ini kedinginan, lengkaslah kau membuat kue mangkok jang hangat2 untuknja."
"Gulanja belum beli, Lothaythay," sahut A Pik dengan menahan geli.
"Pakailah gula batu,"kata A Tju."Tepungnja habis, Lothaythay!" sahut A Pik pula.
"Wah, aku benar2 sudah pikun, lantas bagaimana baiknja?" udjar A Tju achirnja.
Dasar anak gadis Sohtjiu memang terkenal lintjah dan pintar bitjara, pula kedua dajang tjikik ini se-hari2 sudah biasa bergurau dan saling ber-olok2, keruan tingkah laku mereka ini membuat Tjiumoti benar2 mati kutu. Maksud kedatangannja ke Sohtjiu ini memangnja berharap dapat berdjumpa dengan Bujung-kongtju untuk berunding sesuatu urusan penting.
Siapa duga orang jang ditjari tidak ketemu, sebaliknja masih bertemu dengan orang2 jang mengotjeh tak keruan hingga membuatnja bingung.
Namun Tay-lun-beng-ong ini benar2 satu tokoh jang hebat, sedikit memikir, segera ia jakin Bujung-lothaythay, Sun Sam, si budak tua dan A Pik itu telah sengadja meritanginja agar tidak dapat masuk perpustakaan
"Lang-goan-tjui-kok" untuk membatja. Kini tidak peduli lagi mereka berlagak apapun djuga, asalkan sudah dikemukakan dengan kata2, kelak apakah mesti pakai kekerasan atau setjara halusan, dirinja sendiri sudah lebih dulu dipihak jang benar.
Maka dengan sabar dan ramah iapun berkata: "Lukisan Lak-meh-sin-kiam-boh itu sekarang djuga sudah Siautjeng bawa. Sebab itulah kumohon dapat diperkenankan pergi membatja ke 'Lang-goan-tjui-kok'."
"Bujung-siansing sudah wafat kini," kata A Pik. "Pertama djandji lisan itu tak berbukti. Kedua, meski Kiam-boh itu sudah dibawa kemari, tapi tiada seorangpun diantara kami jang paham. Maka sekalipun dahulu ada perdjandjian apa2, dengan sendirinja sudah batal."
Namun A Tju lantas berkata: "Kiam-boh apakah itu" Dimana" Tjoba kulihat dulu apakah tulen atau palsu!"
"Toan-kongtju ini telah apal semua lukisan Lak-meh-sin-kiam itu," sahut Tjiumoti sambil menundjuk Toan Ki. "Kini telah kubawanja kemari, maka sama sadja seperti kubawa gambar2 aslinja."
"Huh, kukira Kiam-boh apa segala, kiranja Taysuhu tjuma bergurau sadja," djengek A Pik.
"Siautjeng mana berani sembarangan bergurau?" sahut Tjiumoti sungguh2.
"Lak-meh-sin-kiam-boh jang asli itu telah dibakar Koh-eng Taysu di Thian-liong-si, sjukur Toan kongtju ini telah dapat mengapalkan seluruh isinja denga baik".
"Sekalipun Toan-kongtju benar2 apal, itupun adalah urusannja Toan-kongtju sendiri," udjar A Pik. "Dan andaikan mesti pergi ke Lang-goan-tjui-kok, jang benar djuga Toan-kongtju jang pantas kesana. Apa sangkutpautnja dengan Taysu?"
"Untuk memenuhi djandji Siautjeng dahulu itu, Siautjeng ingin membakar Toan-kongtju ini dihadapan makamnja Bujung-siansing," kata Tjiumoti.
Keruan Semua orang terperandjat oleh utjapan itu. Tapi melihat sikap paderi itu sungguh2 dan sekali2 bukan berkelakar, kedjut merka mendjadi lebih hebat.
Maka berkatalah A Tju: "Ha, bukankah Taysu ini sedang bergurau" Masakah seorang baik2 akan kaubakar hidup2?"
"Ja, Siautjeng hendak membakarnja, rasanja iapun takkan mampu membangkang," sahut Tjiumoti dengan tawar.
Segera A Pik berkata pula: "Taysu bilang Toan-kongtju telah apal semua isi Lak-meh-sin-kiam-boh, njata alasanmu ini sengadja di-tjari2 sadja.
Pikirlah betapa lihaynja ilmu Lak-meh-sin-kiam itu, kalau benar2 Toan-kongtju mahir ilmu pedang sakti itu, masakah dia bisa dikalahkan olehmu?"
"Ja, benar djuga utjapanmu ini," sahut Tjiumoti. "Tapi nona tjuma tahu kepalanja tidak tahu ekornja. Toan-kongtju justeru telah kututuk Hiat-to jang penting, antero tenaga dalamnja tak dapat dikeluarkannja."
Nomun A Tju masih menggeleng kepala, katanja: "Lebih2 aku tidak pertjaja pada alasanmu ini. Untuk membuktikan kebenarannja, tjoba kau melepaskan Hiat-to Toan-kongtju dan suruhlah dia memainkan Lak-meh-kiam-hoat itu. Tapi kujakin 99% engkau pasti bohong."
Tjiumoti manggut2, sahutnja: "Baiklah, boleh djuga ditjoba!"
Kiranja waktu datang tadi, karena kesemsem oleh ketjantikan A Pik, pula sangat tertarik oleh njanjiannja jang merdu, maka Toan Ki telah memberi pudjian kepada dajang itu. Kemudian Toan Ki sudi pula mendjura tiga kali kepada A Tju, hal inipun memperoleh simpatik dajang ini.
Maka demi mendengar Toan Ki tertutuk oleh Tjiumoti, segera kedua dajang tjilik itu sengadja menipu paderi itu supaja melepaskan Hiat-tonja Toan Ki.
Tak tersangka permintaan mereka itu telah diterima setjara mudah oleh Tjiumoti. Segera paderi itu men-tepuk2 beberapa kali didada, paha dan pundaknja, lalu Toan Ki merasa djalan darahnja lantas lantjar kembali, sedikit ia mengerahkan hawa murninja, terasalah bergerak dengan sempurna.
Ia mentjoba mendjalankan tenaga menurut Tiong-tjiong-kiam-hoat dari Lak-meh-sin-kiam itu, ia tarik tenaga dalamnja ke Tiong-tjiong-hiat didjari tengah kanan, maka terasalah djari itu sangat panas, ia tahu asal sekali djarinja menuding kedepan, djadilah sedjurus tusukan pedang jang lihay.
"Toan-kongtju," demikian Tjiumoti lantas berkata, "Bujung-lothaythay tidak pertjaja engkau sudah mahir Lak-meh-sin-kiam, maka silahkan engkau mempertundjukannja. Begini, seperti aku menabas sebatang ranting pohon Kui ini."
Habis berkata, dengan telapak tangan kiri ia terus memotong miring kedepan dengan penuh tenaga dalam jang hebat. Itulah satu djurus jang lihay dari "Hwe-yam-to". Maka terdengarlah suara "krak" sekali, sebatang ranting pohon jang tjukup besar dan berada dipelataran sana tahu2 telah patah sendiri.
Saking kagetnja sampai Tjui Pek-khe dan Ko Gan-tji mendjerit. Meski sebelumnja mereka tahu ilmu paderei asing itu sangat lihay lagi aneh, tapi mereka pertjaja palinng2 djuga tjuma sebangsa ilmu sihir dari kalangan hitam. Tapi kini demi menjaksikan betapa tinggi Lwekangnja jang digunakan untuk menabas ranting pohon dari djauh itu, barulah mereka sadar telah salah sangka.
Maka Toan Ki berkata sambil menggojang kepala: "Tidak, aku tidak bisa ilmu silat apa2, lebih2 tidak tahu tentang Lak-meh atau Tjhit-meh-kiam-hoat segala. Batang pohon orang jang indah itu kenapa engkau rusak tanpa sebab?"
"Kenapa Toan-kongtju mesti merendah diri," sahut Tjiumoti. "Diantara djago2 Toan-si di Tayli, engkaulah tokoh nomor satu. Didunia ini ketjuali Bujung-kongtju dan aku sihewshio mungkin tiada seberapa orang lagi jang mampu menandingi engkau. Tapi keluarga Bujung di Koh-soh ini adalah gudangnja ilmu silat didunia ini, bila kau suka pertudjukan beberapa djurus, kalau ada salah, boleh djadi Lothaythay nanti akan memberi petundjuk2 seperlunja, bukankah hal itu nanti akan menguntungkan kau?"
"Toahweshio, sepandjang djalan kau terlalu kasar padaku, kau telah membanting dan menjeret aku kesini, untuk mana aku mandah sadja diperlakukan sesukamu karena aku kalah pada ilmu silatmu. Sebenarnja aku tidak sudi lagi bitjara dengan engkau, namun setiba disini, aku telah dapat menikmati pemandangan indah dengan gadis2nja jang tjantik2, maka rasa dendamku padamu menjadi terhapus djuga. Maka untuk selandjutnja hubungan kita kuputuskan sampai disini, masing2 tidak perlu menggurus masing2".
Diam2 A Pik dan A Tju merasa geli oleh ke-tolol2an Toan Ki itu. Tapi demi mendengar mereka dipudji tjantik, betapapun mereka sangat senang.
Lalu Tjiumoti telah berkata: "Kongtju tidak sudi mengundjukan Lak-meh-sin-kiam, bukankah itu berarti omonganku tadi tjuma bualan belaka?"
"Memangnja mulutmu djuga tidak bisa dipertjaja," sahut Toan Ki.
"Djikalau benar2 engkau ada djandji dengan Bujung-siansing, mengapa tidak dulu2 mengambil Kiam-boh ke Tayli, tapi menunggu setelah Bujung-siansing meninggal, sesudah tiada saksi, barulah engkau bikin rusuh kesini. Hm, kulihat engkau sebenarnja mempunjai maksud2 tertentu, kau kagum pada ilmu silat keluarga Bujung jang hebat, maka sengadja mengarang dongengan2 jang susah dipertjaja untuk menipu Lothaythay, tapi tudjuanmu sebenarnja ingin mengintip kitab2 pusaka adjaran silat dikamar perpustakaan keluarga Bujung ini, dengan begitu engkau akan meradjai dunia persilatan. Tapi, ha, Tjiumoti, kenapa engkau tidak pikir, bahwa nama orang sedemikian gemilangnja didunia persilatan, masakah terhadap sedikit akalmu ini mereka takkan tahu" Pabila tjuma mengandalkan sedikit otjehanmu ini sadja lantas mengira rahasia ilmu silat keluarga Bujung dapat kau tipu, wah, mungkin setiap orang didunia ini akan mendjadi penipu ulung semua?"
Namun Tjiumoti ternjata meng-geleng2 kepala, katanja: "Tafsiran Toan-kongtju telah salah besar. Meski sudah lama djandji Siautjeng dengan Bujung-siansing itu, soalnja karena selama ini Siautjeng sedang menjepi untuk mejakinkan 'Hwe-yam-to' dan telah sembilan tahun Siautjeng tidak pernah keluar rumah, maka tidak sempat pula mengundjungi Tayli. Dan bila ilmu 'Hwe-yam-to' itu tidak berhasil dijakinkan Siautjeng, mungkin Siautjeng tidak dapat keluar lagi dari Thian-liong-si dengan selamat."
"Toahweshio," kata Toan Ki pula, "bitjara tentang nama, engkau memang sudah terkenal.
Pedang Golok Yang Menggetarkan 22 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Ksatria Negeri Salju 7