Pencarian

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 7

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 7


Tiba2 Tjing Ang-bian mendjawab dengan suara jang rawan: Sun-ko, sudah berpuluh tahun engkau mendjadi Ongya, rasanja djuga sudah tjukup. Marilah ikut padaku, selandjutnja aku akan menurut pada segala keinginan dan perintahmu, seketjappun aku takkan memaki engkau dan sedikitpun aku takkan memukul engkau. Lihatlah puteri kita jang tjantik ini, masakah tidak disajang olehmu"
Tergerak hati Toan Tjing-sum, serunja tanpa pikir: Baik, aku ikut pergi padamu!
Girang sekali Tjin Ang-bian, ia ulut tangan kanan menantikan djabatan tangan Toan Tjing-sun.
Tapi mendadak terdengar suara seorang wanita sedang berkata dengan dingin dibelakang: Tjitji, kembali kau kena diakali lagi. Paling2 dia mempermainkan engkau beberapa hari sadja, lalu pulang kesini pula untuk mendjadi Ongya!
Terguntjang pula perasaan Toan Tjing-sun demi mengenali suara itu, serunja: He, A Po, djadi engkau djuga sudah datang!
Waktu Wan-djing berpaling, ia lihat orang jang bitjara itu adalah seorang wanita berbadju sutera hidjau, ternjata adalah Tjiong-hudjin dari Ban-djiat-kok. Dibelakangnja terdapat pula tiga orang, jaitu Yap Dji-nio dan In Tiong-ho, seorang lagi adalah Lam-hay-gok-sin jang sudah pergi itu, tahu2 kini telah kembali lagi. Bahkan jang lebih mengedjutkan Bok Wan-djing adalah Lam-hay-gok-sin itu memondong pula seorang jang ternjata adalah Toan Ki.
He, Toan-long, bagaimanakah engkau" seru Wan-djing kuatir.
Tadinja Toan Ki sedang merebah ditempat tidurnja dalam keadaan terluka, dalam keadaan sadar-tak-sadar, tiba2 Lam-hay-gok-sin melompat masuk kamarnja serta memondongnja lari. Saking kagetnja pikiran Toan Ki mendjadi sadar malah, sebab itulah ia dapat mendengar sebagian pertjakapan antara ajahnja dan Bok Wan-djing serta Tjin Ang-bian. Meski tidak seluruhnja dapat ia dengar, namun iapun sudah dapat meraba sebagian besar duduknja perkara.
Kini mendengar gadis itu masih memanggil dirinja sebagai Toan-long, ia mendjadi pilu, sahutnja dengan rawan: Moaytju (adikku), selandjutnja kita kaka-beradik asalkan selalu saling kasih-sajang, bukankah serupa djuga.
Tidak, djauh bedanja! seru Wan-djing dengan gusar, Engkau adalah lelaki pertama jang telah melihat wadjahku.
Tapi bila ingat bahwa pemuda itu adalah satu ajah dengan dirinja, betapapun engkoh dan adik tidak mungkin boleh kawin. Pabila dalam hal ini, tenaga manusia jang tjoba merintangi pernikahan mereka, tentunja ia bisa membinasakan orang itu dengan panah beratjunnja. Tapi kini jang mendjadi penghalang bagi mereka adalah takdir ilahi, biarpun setinggi langit ilmu silatnja atau mempunjai kekuasaan memerintah djagat djuga tidak mempu menghapusnja.
Seketika itu perasaan Bok Wan-djing serasa hampa. Dalam keadaan putus asa, tanpa pikir ia melompat keluar kamar terus berlari pergi.
Wan-dji, Wan-dji! Hendak kemana engkau" seru Tjin Ang-bian kuatir.
Namun Wan-djing tidak mau gubris lagi pada sang guru merangkap ibu pengasih itu, serunja: Kau membikin susah padaku, aku tak peduli padamu lagi. ~ Berbareng itu, larinja bertambah tjepat.
Siapa itu" tiba2 didepan menghadang seorang pengawal istana.
Tanpa mendjawab lagi Bok Wan-djing terus bidikkan sebatang panahnja hingga mengenai tenggorokan pengawal itu dan terdjungkal roboh. Sigadis sendiri setindakpun tidak pernah berhenti, hanja dalam sekedjap sadja bajangan tubuhnja jang ramping itu sudah menghilang dalam kegelapan.
Melihat puteranja telah digondol Lam-hay-gok-sin, Toan Tjing-sun mendjadi kuatir, ia tidak urus lagi kemana puterinja sudah pergi, tapi djarinja terus bekerdja, kontan Lam-hay-gok-sin hendak ditutuk.
Namun dari samping Yap Dji-nio telah menangkis sambil memotong urat nadi pergelangan Tjing-sun. Tjepat pengeran itu baliki tangannja hendak menangkap tangan lawan, tapi tahu2 Yap Dji-nio malah mendjentik kepunggung tangan Tjing-sun dengan djari tengahnja.
Begitulah dengan tjepat lawan tjepat, hanja sekedjap sadja kedua orang sudah saling serang beberapa djurus. Diam2 Toan Tjing-sun terkesiap: Sungguh hebat perempuan ini.
Toan Tjing-sun! tiba2 Tjian Ang-bian berseru sambil ulur tangannja mengantjam diatas kepalanja Toan Ki. Kau masih inginkan djiwa puteramu atau tidak"
Tjing-sun terkedjut, tjepat ia berhenti menjerang lagi. Ia tjukup kenal wataknja Tjin Ang-bian jang aneh, bentjinja kepada Si Pek-hong, jaitu isterinja sendiri sekarang ini, boleh dikata merasuk tulang, maka bukan mustahil bila djiwa Toan Ki bisa benar2 ditamatkan olehnja. Tjepat ia mendjawab: Ang-bian, luka anakku sangat parah karena dipanah oleh puterimu.
Dia sudah diberi obat penawar, takkan mati, biarlah sementara ini aku membawanja pergi. demikian kata Tjin Ang-bian pula.
Dan kau boleh pilih, inginkan puteramu atau lebih suka tetap mendjadi Ongya.
Hahahaha! tiba2 Lam-hay-gok-sin ikut ter-bahak2. Botjah ini achirnja toh harus djuga mengangkat guru padaku!
Ang-bian, sahut Tjing-sun kemudian, biarlah kuterima segala permintaanmu, asal engkau bebaskan puteraku.
Sebenarnja tjinta Tjin Ang-bian kepada Toan Tjing-sun belum pernah tawar biarpun sudah lewat 18 tahun lamanja. Maka mendengar utjapan Toan Tjing-sun jang penuh rasa kuatir itu, hatinja mendjadi lemas, sahutnja kemudian: Apa ben......... benar engkau akan menurut segala permintaanku"
Ja, ja! seru Tjing-sun tanpa pikir.
Tjitji, djangan kau pertjaja lagi kepada laki2 jang berhati palsu ini, tiba2 Tjiong-hudjin menjela, Gak-sianseng, marilah kita pergi!
Tanpa bitjara lagi Lam-hay-gok-sin terus melompat keatas, sekali membalik badan diudara, ia sudah tantjap kaki diatas rumah diseberang sana, menjusul terdengar suara gedebukan dua kali, Yap Dji-nio dan In Tiong-ho masing2 telah merobohkan dua djago pengawal istana jang berusaha hendak merintangi Lam-hay-gok-sin.
Toan Tjing-sun tahu meski mengerahkan antero kekuatan pendjaga istana, belum tentu bahwa kawanan musuh itu takbisa ditjegat. Namun keselamatan puteranja sendiri terantjam, betapapun tidak boleh bertindak gegabah, tindakan kekerasan bukan djalan jang baik, apalagi dua wanita dihadapannja ini sangat luar biasa hubungannja dengan dirinja. Maka terpaksa ia menjahut dengan suara halus. A Po, ken......... kenapa engkau djuga ikut2 memusuhi aku"
Aku adalah isterinja Tjiong Ban-siu, djangan kau sembarangan memanggil, tahu" seru Tjiong-hudjin.
A Po, selama ini, sungguh aku sangat merindukan dikau. demikian Toan Tjing-sun meraju pula.
Tjiong-hudjin mendjadi terharu, matanja merah memberambang, sikapnja berubah lunak seketika, sahutnja rawan: Tempo hari, begitu aku melihat Toan-kongtju, segera aku........ aku tahu dia adalah anakmu.
Sumoay, sekarang kau sendiri kena dipikat lagi olehnja! seru Tjin Angbian.
Ja, baiklah, mari kita pergi! sahut Tjiong-hudjin sambil tarik tangannja Ang-bian. Lalu ia berpaling kepada Tjing-sun: Bila engkau inginkan puteramu dengan baik2, bawalah kepala Si Pek-hong sambil menjembah tiap2 langkah pergi ke Ban-djiat-kok
Ban-djiat-kok" Tjing-sun menegas.
Sementara itu dilihatnja Lam-hay-gok-sin sudah makin djauh berlari pergi dengan menggondol Toan Ki. Ko Sing-thay, Leng Djian-li dan lain2
tampak sedang mengudak dan merintangi dari berbagai djurusan.
Tjing-sun menghela napas, serunja kemudian: Ko-hiante, biarkanlah mereka pergi!
Sahut Ko Sing-thay: Tapi Siau-ong-ya.......
Biarlah, pelahan2 kita tjari akal lain. kata Tjing-sun. Sembari bitjara, ia terus memburu kehadapan Ko Sing-thay dan berkata pula: Musuh sudah pergi, semua orang supaja kembali ketempatnja masing2.
Habis itu, mendadak ia melesat kesamping Tjiong-hudjin, katanja dengan suara halus: A Po, apa baik2 sadja engkau selama ini"
Sudah tentu, apa jang kurang baik" sahut Tjiong-hudjin ketus.
Se-konjong2 djari Toan Tjing-sun terus bekerdja, setjepat kilat ia telah tutuk Tan-tiong-hiat didada njonja itu. Dalam keadaan tak ber-djaga2, kontan sadja Tjiong-hudjin terus roboh.
Tjepat Tjing-sun tahan tubuh njonja itu dengan tangan kiri sambil pura2
kaget berseru: He, A Po, ken........ kenapakah engkau"
Karuan Tjing Ang-bian ikut terkedjut, tanpa tjuriga sesuatu ia lantas mendekati dan menanja dengan kuatir: Ada apakah, Sumoay"
Dan dikala Ang-bian sedang berdjongkok hendak memeriksa keadaan Tjiong-hudjin, setjepat kilat Toan Tjing-sun kerdjakan djarinja lagi, tepat Koh-tjing-hiat Tjing Ang-bian kena ditutuknja djuga.
Dalam keadaan tertutuk kaku, Tjin Ang-bian dan Tjiong-hudjin kena dipeluk dikedua belah tangan Toan Tjing-sun, tanpa merasa mereka sama2
melotot kepada pangeran bangor itu, dalam hati masing2 sama2 sedang berpikir: Ai, kembali aku terpedaja lagi! Kenapa aku begini semberono, dulu sudah pernah masuk perangkapnja, mengapa sekarang aku terpedaja pula"
Dalam pada itu Toan Tjing-sun telah berkata pada Ko Sing-thay: Ko-hiante, lukamu belum sembuh, harap engkau pulang kamarmu untuk mengaso sadja. Djian-li, kau pimpin kawan2 jang lain berdjaga disekitar sini.
Dengan hormat Ko Sing-thay dan Leng Djian-li mengia sambil membungkuk badan. Lalu Tjing-sun kempit kedua wanita itu kembali keruangan tadi dan suruh koki menjediakan daharan pula, perdjamuan segera diperbaharui lagi.
Setelah selesai menjediakan daharan dan para dajang sudah mengundurkan diri, Tjing-sun tutuk dulu Hiat-to dibagian kaki kedua tawanannja supaja mereka tidak bisa berdjalan, lalu melepaskan Hiat-to jang ditutuknja semula.
Terus sadja Tjin Ang-bian berteriak sesudah bisa bersuara: Toan Tjing-sun, sampai sekarang kau masih ingin menghina kami berdua"
Toan Tjing-sun memutar kehadapan kedua wanita itu, ia memberi hormat sambil berkata: Maafkan aku telah berbuat kasar, terimalah hormatku ini.
Siapa pingin kau memberi hormat" seru Tjin Ang-bian dengan gusar. Lekas lepaskan kami!
Kita bertiga sudah belasan tahun tidak berdjumpa, kebetulan hari ini bisa berkumpul lagi, djusteru banjak sekali ingin kubitjarakan pada kalian, demikian sahut Tjing-sun. Ang-bian, ternjata watakmu masih keras begini. Dan kau, A Po, makin lama engkau makin aju, kenapa sedikitpun tidak kentara menandjak tua"
Lekas kau lepaskan aku, teriak Ang-bian dengan gusar sebelum Tjiong-hudjin berkata, Kalau A Po makin tua makin tjantik, djadi aku makin tua makin djelek bukan" Hajo lekas lepaskan aku, buat apa kau menahan seorang nenek2 djelek seperti aku"
Ang-bian, kata Tjing-sun dengan gegetun, tjobalah engkau mengatja, pabila engkau seorang nenek2 rejot dan djelek, maka sastrawan2 jang biasa melukiskan ketjaintikan wanita kudu ganti ungkapannja mendjadi sedjelek bidadari.
Karena geli, tak tertahan Tjin Ang-bian mengikik tawa, dan karena kaki takbisa bergerak, terpaksa ia menggerutu: Huh, siapa jang adjak bergujon dengan kau" Tjengar-tjengir, masakah begitulah kelakuan seerang pengeran"
Melihat sikap orang jang berr-sungut2 tapi rawain itu, hati Tjing-sun terguntjang, terkenang olehnja tjinta kasih kasih dimasa dahulu, tak tertahan lagi ia mendekati Tjin Ang-bian, ngok, ia mentjium sekali dipipi wanita itu.
Meski kakinja takbisa bergerak, tapi tubuh bagian atas Tjin Ang-bian dapat bergerak dengan bebas. maka plok, kontan ia persen sekali tamparan dimuka pengeran bangor itu.
Kalau mau menghindar sebenarnja tidak susah, bagi Toan Tjing-sun, tapi ia sengadja menerima pukulan itu, bahkan ia terus berbisik ditelinga orang: Mati dibawah Siu-lo-to, biar djadi setan djuga rela!
Seketika badan Tjin Ang-bian tergetar mendengar itu, air matanja terus bcrtjutjuran, ia menangis keras2, katanja dengan parau: Kembali.................. kembali engkau mengutjapkan kata2 demikian lagi.
Kiranja dimasa dulu Tjin Ang-bian malang-melintang dikalangan Kangouw dengan sepasang sendjatanja Jang berupa golok Siu-lo-to, karena itu djuga ia mendapat djulukan dari nama sendjatanja itu. Ketika kesutjiannja dirusak oleh Toan Tjing-sun, kedjadiannja adalah mirip sepcrti tadi, jaitu di-ngok dulu dan ia menampar pipi pangeran itu, lalu ia diraju oleh bisikan kata2 Mati dibawah Siu-lo-to, djadi setan pun rela. Kalimat itu entah sudah beratus ribu kali mengiang ditelinganja selama belasan tahun ini. Kini mendadak didengarnja pula dari mulutnja Toan Tjing-sun, sungguh ia merasa sangat bahagia dengan aneka matjam perasaan lain jang bertjampuraduk.
Sutji, orang ini paling pandai meraju, pintar bermulut manis, tapi djangan kau pertjaja lagi padanja, tiba2 Tjiong-hudjin memperingatkan sang Sutji.
Ja, henar! Aku tidak bisa pertjaja lagi pada budjukanmu! demikian kata Ang-bian jang ditudjukan kepada Toan Tjing-sun.
Tapi dengan tjengar-tjengir Toan Tjing-sun lantas mendekati Tjiong-hudjin, katanja dengan tertawa: A Po, kalau aku djuga ngok pipimu, boleh tidak"
Karuan Tjiong-hudjin kelabakan kuatir, dalam keadaan takbisa berdjalan, kalau orang benar2 berbuat seperti apa jang dikatakan, kan bisa runjam.
Tjepat sadja ia berseru: Tidak, djangan kau kurangadjar! Aku adalah wanita bersuami, sekali2 aku tidak boleh menodai nama baik suamiku, asal kau berani menjentuh badanku, segera aku gigit lidahku sendiri biar mati dihadapanmu.
Melihat kata2 itu diutjapkan dengan tegas dan sungguh2, Tjing-sun tidak berani semberono djuga, tanjanja kemudian: A Po, bagaimanakah matjam suamimu itu"
Suamiku sangat djelek, tabiatnja djuga aneh, ilmu silatnja djauh dibawahmu, orangnja tidak segagah engkau pula, lebih2 tidak punja pangkat dan kedudukan seperti engkau. Namun demikian, dengan hati sutji murni ia mentjintai aku, maka akupun membalasnja dengan sama baiknja. Pabila aku berbuat sedikit menjeleweng, itu berarti aku berdosa padanja, biarlah aku dikutuk Allah, untuk se-lama2nja takbisa mendjelma kembali.
Mau-tak-mau Toan Tjing-sun menaruh hormat djuga kepada sikap tegas njonja Tjiong itu, maka ia tidak berani meng-ungkat2 peristiwa asmara dimasa dulu lagi. Katanja kemudian: Kalian telah mentjulik puteraku, sebenarnja apa maksud tudjuan kalian" A Po, Ban-djiat-kok jang kau katakan itu letaknja dimana"
Djangan katanja padanja! tiba2 seorang berkata diluar djendela dengan suara jang serak.
Karuan Toan Tjing-sun terkedjut. Ia telah perintahkan Leng Djian-li dan kawan2nja berdjaga diluar, kenapa diam2 ada orang asing telah sampai diluar kamar situ"
Maka terdengar Tjiong-hudjin membuka suara dengan menarik muka: Lukamu belum sembuh, buat apa engkau djuga kemari"
Menjusul mana, terdengar pula suara seorang wanita sedang berkata: Silahkan masuk, Tjiong-sianseng!
Mendengar suara itu, Toan Tjing-sun terlebih kedjut hingga air mukanja merah djengah. Dan begitu kerai pintu tersingkap, terttampak masuklah seorang wanita jang bukan lain adalah Yau-toan-siantju, dibelakangnja menjusul seorang lak2 bermuka sangat djelek, betapa pandjang mukanja itu hingga mirip muka kuda. Itulah dia muka jang istimewa dari Tjiong Ban-siu, itu Koktju atau pemilik lembah dari Ban-djiat-kok.
Tjiong-hudjin mendjadi lebih heran demi nampak sang suami jang mendadak djuga datang kesitu itu, ternjata datangnja bersama njonja Toan alias Si Pek-hong itu.
Kiranja sesudah lama Bok Wan-djing berkelana dan belum pulang, Tjin Ang-bian mendjadi kuatir, segera ia keluar mentjarinja ketempat sang Sumoay, jaitu Tjiong-hudjin dari Ban-djiat-kok, kemudian mereka berdua lantas keluar pula mentjari djedjaknja Wan-djing. Ditengah djalan mereka telah beretmu dengan Yap Dji-nio, Lam-hay-gok-sin dan in Tiong-ho. Angbian sudah kenal hubu Yap Dji-nio, sebab diantara perguruan mereka ada sedikit hubungan, tjuma biasanja tidak pernah saling bergaul. Ketika mendengar Bok Wan-djing telah ikut pergi ke Tayli, segera Sam-ok itu ikut datang kesitu.
Sebaliknja Tjiong Ban-siu jang sangat mentjintai sang isteri itu, rasa tjemburunja djuga sangat besar, sedjak sang isteri pergi, ia mendjadi tak enak makan dan tidur, tanpa peduli lagi bahwa lukanja belum sembuh, serta tak peduli bahwa selama ini dirinja telah pura2 mati dan mengasingkan diri dilembah sunji itu, segera ia berangkat menjusul sang isteri. Sampai diluar istana pangeran, kebetulan ia pergoki Si Pek-hong sedang berlari keluar dengan marah2, begitu kepergok, segera kedua orang lantas saling gebrak. Tengah sengit pertarungan mereka, tiba2 ada sesosok bajangan orang berbadju hitam melajang lewat disamping mereka, orang itu tampak menutupi mukanja sambil menangis, ternjata adalah Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing.
Melihat gadis itu, Tjiong Ban-siu mendjadi kuatir atas diri sang isteri, katanja segera: Paling penting aku harus mentjari isteriku dulu, aku tiada tempo buat menempur kau lagi.
Kemana engkau hendak mentjari isterimu" tanja Si Pek-hong.
Kerumah sibangsat Toan Tjing-sun, sahut Tjiong Ban-siu. Sekali isteriku ketemu Toan Tjing-sun, wah, bisa runjam!
Sebab apa bisa runjam" tanja Pek-hong pula.
Toan Tjing-sun bermulut manis, pintar membudjuk raju, adalah seorang hidung belang ahli pemikat wanita, Lotju harus membunuhnja nanti! sahut Ban-siu gemas.
Diam2 Si Pek-hong membatin, sang suami sudah berumur lebih empat puluh, djenggotnja sudah pandjang, masakah disamakan pemuda hidung belang segala" Tapi tentang sifat sang suami jang memang bangor itu, ia pertjaja pada apa jang dikatakan orang bermuka kuda itu. Segera ia tjoba menanjakan nama dan asal-usul suami-isteri Tjiong Ban-siu. Dan ketika mengetahui Tjiong-hudjin adalah salah satu bekas kekasih sang suami, Pek-hong mendjadi tjuriga, segera ia kembali keistana bersama Tjiong Ban-siu.
Meski waktu itu pendjagaan disekitar Tin-lam-onghu itu dilakukan dengan sangat keras, tapi demi nampak Onghui, para pengawal tentu tak berani merintangi. Sebab itulah Si Pek-hong dan Tjiong Ban-siu dapat mendekati ruang belakang tanpa sesuatu peringatan dari para pendjaga. Dan dengan sendirinja budjuk raju Toan Tjing-sun kepada Tjin Ang-bian dan Tjiong-hudjin jang dilakukan dengan tjengar-tjengir, dapat didengar semua oleh kedua orang diluar djendela itu.
Karuan hampir2 meledak dada Si Pek-hong saking gusarnja oleh kelakuan sang suami itu. Sebaliknja Tjiong Ban-siu girang tidak kepalang mendengar sang isteri sedemikian teguh imannja.
Tjepat Tjiong Ban-siu berlari kesamping sang isteri dengan rasa kasih sajang tertjampur girang, ia terus mengitar kian kemari mengelilingi sang isteri sambil berkata: Biar, bila dia berani menghina engkau, aku lantas adu djiwa dengan dia!
Dan selang sedjenak, baru teringat olehnja bahwa Hiat-to sang isteri masih tertutuk, segera ia berpaling kepada Toan Tjing-sun dan berkata: Lekas, lekas lepaskan Hiat-to isteriku!
Kalian telah mentjulik puteraku, asal puteraku itu kalian bebaskan lebih dulu, dengan sendirinja aku akan melepaskan isterimu, demikian sahut Tjing-sun.
Saking gugupnja, terus sadja Tjiong Ban-siu memidjat dan menepuk dipinggang sang isteri, tapi biarpun Lwekangnja sangat tinggi, betapapun ia tak mampu memunahkan tutukan It-yang-tji dari keluarga Toan jang tiada bandingannja itu. Sebaliknja karena dipidjat dan ditepuk, Tjiong-hudjin mendjadi sakit dan geli, sedangkan Hiato-to dikaki jang tertutuk itu belum lagi terlepas, maka omelnja: Tolol, tak perlu kau bikin malu sadja!
Terpaksa Tjiong Ban-siu berhenti dengan kikuk, saking dongkolnja, terus sadja ia membentak: Toan Tjing-sun, marilah madju, biar kita bertempur 300 djurus dulu! ~ Ia gosok2 kepala lantas hendak melabrak Toan Tjing-sun.
Namun Tjiong-hudjin telah berkata: Toan-ongya, puteramu ditjulik oleh Lam-hay-gok-sin dan begundalnja, biarpun suamiku minta mereka lepaskan puteramu, belum tentu mereka mau menurut. Tapi kalau aku dan Sutji sudah pulang dan mentjari kesempatan untuk menolong, mungkin ada harapan.
Paling sedikit puteramu takkan dibikin susah oleh mereka!
Tapi aku tidak bisa pertjaja, sahut Tjing-sun menggeleng kepala.
Tjiong-sianseng, silahkan engkau pulang sadja, bawalah puteraku kemari untuk menukar isterimu.
Tjiong Ban-siu mendjadi gusar, teriaknja: Istanamu ini adalah tempat jang tjabul dan kotor, kalau isteriku ditinggalkan disini, wah, berbahaja!
Muka Toan Tjing-sun mendjadi merah, bentaknja: Tutup mulutmu! Kau berani mengotjeh tidak karuan lagi, djangan salahkan aku berlaku kasar.
Sedjak masuk tadi Si Pek-hong terus berdiam sadja, kini mendadak menjela: Kau ingin menahan kedua wanita disini, sebenarnja apa maksud tudjuanmu" Untuk kepentinganmu sendiri atau demi keselamatan Ki-dji"
Tjing-sun menghela napas, sahutnja: Ternjata engkau djuga tidak pertjaja padaku. ~ Mendadak ia kerdjakan djarinja menutuk pinggang Tjin Ang-bian untuk melepaskan djalan darahnja. Menjusul mana, segera hendak menutuk djuga kepinggang Tjiong-hudjin.
Tapi tjepat Tjiong Ban-siu lantas menghadang didepan sang isteri sambil gojang2 kedua tangannja kepada Toan Tjing-sun, katanja: Djangan kau main pegang2 badan wanita, orang matjam kau paling suka tjubat-tjubit, tapi tubuh isteriku tidak boleh kau menjenggolnja!
Namun isterimu tertutuk, biarpun kepandaianku tidak berarti, tapi tjara Tiam-hiat ini takbisa ditolong oleh orang lain, kalau terlalu lama, mungkin kedua kaki isterimu akan tjatjat, udjar Tjing-sun tersenjum dongkol.
Ban-siu mendjadi murka, damperatnja: Isteriku jang tjantik molek ini bila benar2 mendjadi tjatjat, aku pasti akan mcntjintjang djuga puteramu.
Kau ingin aku melepaskan Hiat-to isterimu, tapi melarang aku menjentuh tubuhnja pula, lantas hagaimana aku harus berbuat" udjar Tjing-sun tertawa.
Ban-siu bungkam takbisa mendjawab, se-konjong2 ia mendjadi gusar pula, bentaknja: Habis, mengapa kau menutuknja tadi" He, tjelaka! Kalau begitu, waktu kau menutuknja tadi tentu sudah menjentuh tubuhnja. Biar akupun menutuk sekali ditubuh isterimu!
Kembali kau mengatjo-belo tak karuan lagi! omel Tjiong-hudjin sambil melototi sang suami.
Habis, aku tidak mau dirugikan! sahut Ban-siu
Tengah ribut2 itu, tiba2 kerai tersingkap, dengan langkah pelahan telah masuk seorang berdjubah sutera kuning, berdjenggot tjabanq tiga, alis pandjang, mata tjeli, muka putih, itulah dia Toan Tjinq-beng, radja Poting-te dari negeri Tayli.
Honq-heng! segera Tjing-sun menjapa kaka baginda.
Po-ting-te mengangguk tanpa mendjawab, tiba2 dari djauh ia angkat djarinja menutuk kepinggang Tjiong-hudjin, remang2 se-akan2 ada seutas benang putih mirip asap memantjur dari udjung djarinja kesamping pinggang njonja itu. Seketika Tjiong-hudjin merasa perutnja mendjadi hangat, dua arus hawa panas terus mengalir ke kaki, tjepat darahnja berdjalan dgn lantar dan bisa berdiri denqan leluasa.
Melihat radja Tayli itu mengundjukan.kepandaian sakti Keh-kong-kay-hiat atau membuka djalan darah dari tempat djauh, saking kagum dan kagetnja sampai Tjiong Ban-siu ternganga mulutnja takbisa bitjara, sungguh tak tersangka olehnja didunia ini ternjata ada orang memiliki kepandaian sedemikian hebatnja
Hong-heng, kata Tjing-sun kemudian, Ki-dji telah digondol lari oleh mereka!
Po-ting-te mengangguk, sahutnja: Ja, Sian-tan-hou sudah katakan padaku.
Sun-te, kalau keturunan keluarga Toan kita ada jang djatuh ditangan musuh, tentu orang tua atau pamannja jang harus pergi menolongnja, kita djangan menahan orang lain sebagai djaminan.
Muka Toan Tjing-sun mendjadi merah, sahutnja membenarkan utjapan kaka-baginda-nja itu.
Utjapan Po-ting-te itu sangat gagah penuh harga diri, jaitu merasa merosotkan pamor keluarga Toan bila adik pangerannja itu menahan musuh sebagai djaminan keselamatan puteranja. Dan sesudah merandek sedjenak, kemudian katanja pula: Sekarang silahkan kalian pergi sadja. Dalam tiga hari, keluarga Toan tentu ada orang akan mengundjungi Ban-djiat-kok.
Tapi tempat Ban-djiat-kok kami itu sangat dirahasiakan, kalian belum tentu mampu menemukannja, untuk mana perlukan kiranja aku memberitahukan tempatnja" tanja Tjiong Ban-siu. Dalam hati ia berharap Po-ting-te akan minta diberitahukan tempatnja itu, tetapi kalau lawan menanja, ia djusteru tidak mau mengatakan.
Tak tersangka Po-ting-te tidak gubris pada pertanjaannja itu, sekali mengebas lengan badju, katanja pula: Hantarkan tamu keluar!
Tjiong Ban-siu sendiri berdjuluk Kian-djin-tjiu-sat atau melihat orang lantas membunuh, suatu tanda sifatnja jang kedjam tak kenal ampun, dengan sendirinja wataknja sangat keras, terutama diwaktu sebelum dia mengasingkan diri, namanja sangat ditakuti oleh orang2 Kangouw umumnja, asal mendengar kedatangannja, setiap orang tentu kebat-kebit kuatir dibunuh olehnja. Sebab itulah, maka Sikong Hian, itu ketua dari Sin-long-pang mendjadi sangat ketakutan djuga ketika mengetahui bahwa Tjiong Ling adalah puterinja Tjiong Ban-siu. Tapi berdiri dihadapan Po-ting-te jang berwibawa itu, aneh djuga, gembong iblis jang tak kenal apa artinja takut itu mendjadi djeri dengan sendirinja dan bingung. Begitu mendengar Poting-te menjatakan hantar tetamu pergi, segera ia berseru: Baik, marilah kita pergi! Hm, Lotju selamanja paling bentji pada orang she Toan, tiada seorang she Toan pun didunia ini adalah manusia baik2! ~ Habis bitjara, ia gandeng tangan sang isteri terus melangkah keluar dengan masih marah2.
Tjitji, marilah kita pergi! demikian Tjiong-hudjin mendjawil djuga lengan badjunja Tjin Ang-bian.
Sekilas Tjin Ang-bian memandang kepada Toan Tjing-sun, ia lihat pangeran itu berdiri terpaku dengan bungkam, hatinja mendjadi pedih, kembali matanja memberambang, dengan rasa gemas ia melotot sekali kearah Si Pek-hong, lalu ikut pergi dengan menunduk kepala.
Begitu keluar ruangan, segera ketiga orang itu melompat keatas wuwungan rumah.
Diatas udjung emperan situ sudah berdiri Ko Sing-thay, ia membungkukkan tubuh sambil berkata: Selamat djalan!
Tjis! Tjiong Ban-siu meludah dengan sengit. Huh, pura2 berlagak, tiada seorang pun manusia baik2!
Dengan tjepat mereka terus melompat pergi melintasi rumah2 disekitar situ. Ketika kompleks istana pangeran itu sudah hampir habis dilalui, tinggal melintasi pagar tembok luar sadja, segera Tjiong Ban-siu endjot tubuh sekuatnja, kaki kiri terus hendak berpidjak diatas pagar tembok kurung istana pangeran itu. Tak tersangka, mendadak didepannja sudah bertambah seorang jang persis berdiri diatas pagar tembok tempat jang akan dipidjaknja itu. Orang itu berdjubah longgar, ikat pinggangnja kendor, siapa lagi dia kalau bukan Ko Sing-thay jang mengutjapkan selamat djalan padanja tadi.
Sudah terang Ko Sing-thay tadi berdiri diemperan istana sana, entah darimana, tahu2 sudah mendahului berada dihadapannja Tjiong Ban-siu, bahkan begitu tepat perhitungannja bahwa tempat itulah jang akan dipidjak oleh kaki, maka ia telah mendahului, menghadang disitu.
Dalam keadaan tubuhnja sudah terapung diudara, untuk mundur lagi terang tidak mungkin, membiluk kedjurusan lain djuga takbisa, karuan Tjiong Ban-siu kelabakan, terpaksa ia sodokan kedua tangannja kedepan sambil membentak: Minggir!
Dengan tenaga sodokan kedua tangannja jang bisa menemukan batu itu, Ban-siu mentaksir apabila lawan menangkis, tentu akan dapat bikin lawan itu terpental kebawah. Andaikata tenaga lawan sama kuatnja dengan dirinja, paling sedikit djuga dapat memindjam tenaga aduan itu untuk menggeser keatas pagar tembok disampingnja.
Sungguh tak tersangka, ketika kedua tangannja itu tampaknja sudah hampir kena menjodok didada orang, se-konjong2 Ko Sing-thay dojongkan tubuhnja kebelakang, dengan separoh tubuhnja terapung. Ko Sing-thay telah gunakan gerakan Tiat-pan-hio atau djembatan papan badja, hanja kedua kakinja jang masih menantjap diatas tembok. Dan karena tubuh mendojong lurus kebelakang itulah, ia dapat menghindarkan tenaga sodokan Tjiong Ban-siu jang hebat itu.
Sekali menjerang tidak kena, diam2 Tjiong Ban-siu mengeluh bisa tjelaka. Sementara itu tubuhnja sudah melajang lewat diatas tubuh Ko Sing-thay jang mendojong lurus kebelakang itu. Dalam keadaan begitu, Tjiong Ban-siu takkan mampu berbuat apa-apa bila diserang oleh Ko Sing-thay. Untung baginja sama sekali Ko Sing-thay tidak melontarkan serangan hingga dengan selamat Tjiong Ban-siu dapat menantjapkan kakinja ditanah.
Menjusul mana Tjin Ang-bian dan Tjiong-hudjin djuga sudah melompat keluar.
Sementara itu Ko Sing-thay sudah berdiri tegak lagi diatas pagar tembok dengan gagah, katanja: Maafkan tidak menghantar lebih djauh!
Ban-siu mendjengek sekali, tapi mendadak terasa tjelananja melorot kebawah, hampir ia kedodoran tjelana didepan umum, untung tjepat ia sempat menariknja keatas lagi. Baru sekarang ia tahu bahwa tali kolornja telah putus, rupanja tadi waktu melajang lewat diatas tubuh Ko Sing-thay, tali kolor tjelananja telah kena diputuskan orang. Tjoba bajangkan, pabila bukan Ko Sing-thay sengadja berbuat murah hati, sekali tutuk dibagian Hiat-to penting, mungkin djiwanja sudah melajang sedjak tadi.
Mengingat itu, Tjiong Ban-siu tidak berani lama2 lagi tinggal disitu, tjepat ia adjak sang isteri dan Tjin Ang-bian meninggalkan Tayli.......
* * * Kembali bertjerita tentang Hiang-yok-djeh Bok Wan-djing.
Ketika berlari keluar dari istana Tin-lam-ong sambil menutup mukanja, meski kepergok dan ditegur oleh Si Pek-hong dan Tjiong Ban-siu, namun dia tidak ambil peduli dan berlari terus kedepan tanpa tudjuan.
Ia berlari serabutan dilereng gunung dan hutan belukar, sampai fadjar sudah menjingsing, baru ia merasakan kedua kakinja linu pegal, ia berhenti sambil bersandar pada satu pohon besar, mulutnja komat-kamit sendiri: Lebih baik aku mati sadja, lebih baik aku mati sadja!
Meski hatinja penuh rasa bentji dan sesal, tapi ia tidak tahu siapa jang harus dibentjinja.
Toan-long tidak mengingkari diriku, soalnja karena sudah takdir ilahi, ia djusteru adalah saudaraku sendiri dari satu ajah. Sedang guruku sendirinja ternjata adalah ibu kandungku. Selama belasan tahun ini dengan susah pajah ibu telah membesarkan aku, budi sebesar gunung itu mana dapat aku menjalahkan dia" Adapun Tin-lam-ong Toan Tjing-sun itu adalah ajahku, meski dia berdosa kepada ibu, namun bukan mustahil didalam persoalannja ada banjak kesulitan2 jang susah dikatakan. Dia sangat ramah-tamah dan kasing-sajang padaku, katanja kalau aku mempunjai sesuatu tjita2, beliau pasti akan berusaha sebisanja untuk memenuhi harapanku. Tetapi persoalanku ini djusteru beliau tak mampu berbuat apa-apa. Sebabnja ibu takbisa menikah dengan ajah, mungkin disebabkan adanja rintangan Si Pek-hong, makanja ibu menjuruh aku membunuhnja. Tapi diukur dari hati nurani, pabila aku menikah dengan Toan-long, rasanja sekali2 akupun tak mengidjinkan dia menjukai wanita lain lagi, apalagi Si Pek-hong sudah tirakat mendjadi paderi, dapat diduga tentu ajah djuga berbuat salah padanja hingga melukai hatinja. Aku telah panah dia dua kali, tapi putera satu2-nja jang terkena, sebaliknja dia tidak dendam padaku, tampaknja dia toh bukan seorang wanita jang kedjam dan galak...
Begitulah makin dipikir, hati Bok Wan-djing makin berduka. Katanja seorang diri: Sedjak kini aku akan melupakan Toan Ki, aku takkan pikirkan dia lagi!
Namun omong memang gampang, untuk melupakan begitu sadja masakah begitu mudah" Biarpun sedetikpun bajangan Toan Ki jang tampan ganteng itu selalu timbul dalam benaknja.
Kemudian dia tjoba menghibur diri sendiri: Biarlah untuk selandjutnja kau anggap dia sebagai kakakku. Asalnja aku adalah anak jatim piatu, kini ajah sudah punja, ibu pun sudah ada, malah bertambah pula seorang saudara tua, kurang apa lagi" Bukankah aku sebenarnja harus bergirang, sungguh tolol aku ini!
Akan tetapi, seorang kalau sudah terlibat dalam djaring2 asmara, makin meronta makin ruwet dan susah melepaskan diri. Kalau dia sudah sabar menanti selama tudjuh-hari-tudjuh-malam diatas puntjak Bu-liang-san, njata akar tjintanja sudah bersemi setjara mendalam dan susah untuk dihapus lagi.
Ia dengar suara gemuruhnja ombak jang men-debur2 semakin keras, dalam keadaan putus asa, timbul djuga maksudnja membunuh diri. Ia mendekati kearah suara ombak itu, setelah melintasi sebuah bukit, achirnja tertampak ombak sungai Landjong menjusur tjepat dibawah karang situ. Ia menghela napas dan berkata seorang diri: Ai, pabila aku mentjeburkan diri kedalam sungai, rasa kesalku tentu takkan terasa lagi.
Pelahan2 ia menjusuri tepi sungai. Sang surja jang baru menjingsing itu mulai memantjarkan tjahajanja jang gemerlapan menjilaukan mata. Ia termangu2 berdiri diatas batu karang ditepi sungai dengan perasaan bergolak sehebat ombak sungai jang mendebur.
Se-konjong2 sekilas dilihatnja diatas sebuah batu karang sebelah sana berduduk seorang. Tjuma orang itu sedjak tadi tak bergerak sama sekali, badjunja berwarna hidjau mirip warnja batu karang jang berlumut, maka tak diketahui olehnja sedjak tadi.
Waktu Wan-djing memandang lagi lebih djelas orang itu, ia mendjadi terkedjut: Tentu ini adalah orang sudah mati.
Sudah banjak manusia jang dia bunuh, dengan sendirinja Bok Wan-djing tidak takut pada orang mati. Karena tertarik, segera ia mendekatinja. Ia lihat orang berbadju hidjau itu adalah seorang kakek, djenggotnja pandjang sampai didada dan hitam gilap, matanja terpentang lebar2 sedang menatap kepusat sungai tanpa berkedip sekedjappun.
Kiranja bukan orang mati! udjar Wan-djing sendiri.
Tapi ketika ditegasi pula, ia lihat tubuh orang itu sedikitpun tidak bergerak, bahkan kelopak matanja djuga tidak berkitjup sama sekali, terang bukan pula orang hidup. Maka katanja pula: Ah, kiranja orang mati!
Tapi sesudah di-amat2-i sebentar lagi, ia merasa kedua mata orang mati itu bersemangat, wadjahnja bertjahaja darah pula. Ia tjoba memeriksa pernapasan hidup orang, terasa napasnja se-akan2 ada dan seperti tak ada pula, waktu meraba pipinja, tiba2 terasa dingin dan lain saat berubah hangat. Dalam herannja terus sadja Wan-djing meraba dada orang, kini terasa djantung orang berkedat-kedut, seperti berdenjut, seperti djuga berhenti.
Karuan Wan-djing bertambah heran, katanja seorang diri: Orang ini sungguh aneh, katakan dia orang mati, toh seperti orang hidup; bilang dia orang hidup, mirip orang mati pula.
Aku adalah orang-hidup-mati! tiba2 terdengar sesuatu suara orang berkata.
Wan-djing mendjadi kaget, tjepat ia menoleh, tapi tiada bajangan seorangpun jang dilihatnja. Disekitar itu adalah batu karang tandus jang tak dapat dibuat sembunji orang. Sebaliknja sedjak tadi dia berhadapan lurus dengan orang aneh itu dan tidak kelihatan bibirnja bergerak ketika mendengar suara perkataan tadi.
Dengan penasaran segera Bok Wan-djing berseru: Siapa berani menggoda nonamu" Apa barangkali kau sudah bosan hidup" ~ Sembari berkata, ia terus putar tubuh membelakangi sungai, maka ketiga arah lain dapat dilihatnja dengan djelas.
Tapi lantas terdengar suara tadi sedang berkata pula: Ja, aku memang sudah bosan hidup, terlalu bosan hidup!
Kedjut Wan-djing sungguh tak terkatakan, sudah terang, ketjuali orang aneh jang berada dihadapannja ini, dapat dipastikan tiada seorang lain lagi. Namun terang gamblang kelihatan bibir orang aneh ini sedikitpun tidak bergerak, mengapa bisa bitjara"
Segera Wan-djing membentak lagi: Siapa jang sedang bitjara"
Kau sendiri sedang bitjara" sahut suara itu.
Dan siapa jang bitjara dengan aku" seru Wan-djing.
Tidak ada orang bitjara dengan kau! sahut suara itu pula.
Dengan tjepat Wan-djing putar tubuhnja tiga kali, tapi selain bajangannja sendiri, tiada sesuatu tanda2 aneh jang kelihatan.
Ia jakin pasti Djing-hau-khek atau orang berbadju hidjau di depannja ini jang sedang main gila padanja, dengan tabahkan hati segera ia mendekati lebih rapat, ia tjoba tekap bibir orang, lalu menanja pula: Apakah engkau jang sedang bitjara padaku"
Bukan! kembali suara itu mendjawab.
Sedikitpun tangan Wan-djing tidak merasakan suatu getaran suara, maka tanjanja lagi: Sudah djelas ada orang sedang bitjara padaku, kenapa bilang tidak ada"
Aku bukan orang, akupun bukan aku, didunia ini tiada seorang aku lagi!
demikian sahut suara itu.
Seketika Bok Wan-djing mengkirik, pikirnja: Djangan2 ada setan" ~
Segera ia menanja lagi: Apakah engkau... engkau adalah setan"
Kau sendiri tadi bilang tidak ingin hidup lagi, tentu kau akan mendjadi setan djuga, tapi mengapa kau begini ketakutan pada setan" sahut suara itu.
Siapa bilang aku takut pada setan" Aku tidak takut pada langit djuga tidak gentar pada bumi! seru Wan-djing dengan berani.
Djika begitu, ada sesuatu jang kau takutkan, kata suara itu.
Hm, tidak, segala apapun aku tidak takut! sahut Wan-djing tegas.
Takut, kau pasti takut! Jang kau takutkan jalah seorang tjalon suami mendadak telah berubah mendjadi saudara sendiri!
Kepala Bok Wan-djing seperti dikemplang oleh utjapan itu, dengan lemas ia duduk mendoprok ketanah. Ia ter-mangu2 sedjenak, lalu katanja dengan komat-kamit: Engkau adalah setan, engkau adalah setan!
Djangan kuatir, aku bisa menolong kau, demikian kata suara tadi. Aku bisa mendjadikan Toan Ki bukan kakamu, dapat pula mendjadikannja suamimu jang tertjinta.
Tidak, kau ... kau menipu aku, kata Wan-djing dengan suara gemetar.
Nasibku ini sudah ditakdirkan ilahi, takbisa ... takbisa diubah lagi.
Peduli apa dengan takdir ilahi segala, udjar suara itu. Aku mempunjai djalan untuk mengubah kakamu mendjadi suamimu, kau mau tidak"
Dalam keadaan putus asa dan hilang harapan, utjapan itu benar2
merupakan suara bahagia baginja jang turund ari langit, meski ragu2
djuga, tjepat Wan-djing mendjawab: Ja, mau, aku mau!
Sesudah aku selesai membantu kau, dengan apa kau akan berterima kasih padaku"
Apa jang kumiliki" Aku tak punya apa-apa! sahut Wan-djing dengan pilu.
Kini kau tak punja, tapi kelak mungkin akan punja.
Baiklah, apa jang kau inginkan, aku lantas berikan padamu.
Tapi sampai saatnja nanti, djangan2 kau akan ingkar djandji. udjar suara itu.
Aku pasti akan pegang djandji! seru Wan-djing. Dalam hati ia berpikir: Di dunia ini ada benda apakah jang bisa melebihi Toan-long jang akan mendjadi suamiku" Seumpama aku mendjadi radja, rela djuga aku berikan tachtaku kepada orang aneh ini.
Namun suara itu telah berkata pula: Utjapan kaum wanita susah dipertjaja. Pabila kelak kau tidak mau berikan padaku, lantas bagaimana"
Kepandaianmu begini sakti, bolehlah kau membunuh aku! udjar Wan-djing.
Tidak, aku takkan membunuh kau. Kalau kau tidak pegang djandjimu, suamimu jang akan kubunuh. kata suara itu.
Diam-diam Wan-djing berpikir: Ketjuali Toan-long, aku pasti takkan menikah. Dan bila Toan-long bisa diubah bukan lagi kakakku tapi mendjadi suamiku, maka segala apa aku tidak pingin lagi, tidak mungkin aku merasa berat memberi apapun kepada setan hantu ini. ~ Maka segera didjawabnya: Baiklah, aku terima sjaratmu.
Dan sampai waktunja nanti, djangan lagi kau meminta-minta padaku dengan menangis. Selamanja aku paling bentji kalau ditangisi wanita. kata suara itu.
Aku pasti takkan memohon padamu, sahut Wan-djing. Eh, siapakah engkau sebenarnja" Dapatkah engkau undjukkan mukamu padaku"
Sudah sekian lamanja kau melihat aku, masakah masih belum tjukup" kata suara itu pula. Sedjak mula sampai sekarang nada suara itu selalu sama sadja, tidak keras tidak rendah, tanpa irama pula.
Djadi engkau adalah...... adalah engkau ini" tanja Wan-djing kaget.
Entahlah, akupun tidak tahu apakah aku adalah aku, Ai! demikian suara itu. Helaan napas paling achir itu telah menandakan rasa sesal dan masgul dalam hatinja jang tak terkatakan.
Karuan Bok Wan-djing bertambah sangsi, tapi kini ia sudah jakin benar-benar bahwa suara itu memang keluar dari kakek berbadju hidjau di depannja ini. Segera ia tanja pula: Engkau tidak buka mulut, mengapa bisa bitjara"
Aku adalah orang-hidup-mati, bibir tak bisa bergerak, tapi bersuara dari dalam perut. sahut suara itu.
Dasar sifat kanak-kanak Bok Wan-djing belum hilang sama sekali, kalau tadi ia sangat berduka dan putus asa, adalah sekarang demi mendengar ada orang mampu bitjara tanpa buka mulut dan gerakkan bibirnja, ia mendjadi sangat ketarik, segera tanjanja pula: Engkau bitjara dengan perut"
Sunggub aneh! Kau tidak pertjaja" sahut Djing-bau-khek itu. Tjobalah kau pegang perutku, tentu kau akan pertjaja nanti.
Tanpa pikir Wan-djing terus ulur tangan untuk meraba perut orang.
Kau merasakan getaran perutku atau tidak" tanja Djing-bau-khek.
Benar djuga Wan-djing merasa perut orang naik turun dengan pelahan mengikuti gelombang suara tadi. Ia mendjadi geli: Haha, sungguh aneh!
Kiranja apa jang dilatih Djing-bau-khek atau orang berbadju hidjau itu adalah sematjam Hok-ghi-sut atau ilmu bitjara dengan perut *) Ilmu bitjara dengan perut itu pada djaman sekarang masih banjak jang mahir, jaitu terutama dalang boneka bitjara. Tjuma untuk bitjara dengan tegas dan djelas scperti Djing-bau-khek ini tentunja tidak mudah, sebab diperlukan Lwekang jang tinggi.
Dengan keheran-heranan, Bok Wan-djing masih mengitar beberapa kali sambil mengamat-amati orang, kemudian tanjanja pula: Mulutmu tak bisa bergerak, lalu tjara bagaimana engkau makan"
Begini! sahut orang itu sambil angkat kedua tangannja, ia pentang bibir atas dan tarik rahang bawah hingga mulutnja ternganga, lalu ambil sebutir makanan terus didjedjalkan ke dalam mulut, kerujuk , makanan itu ditelan sekaligus.
O, kasihan!' udjar Wan-djing melihat tjara makan orang, Bukankah tiada rasa apa-apa"
Dan baru sekarang ia mengetahui kulit daging muka orang kaku membeku, kelopak matanja tak bisa terkatup, dengan sendirinja tiada sesuatu tanda perasaan pada mukanja itu, dari itulah maka mula-mula Bok Wan-djing menjangkanja orang mati.
Pikirnja orang aneh ini sendiri tak bisa menghilangkan kesulitan sendiri jang luar biasa, mana mampu berbuat durhaka mengubah kakak sendiri mendjadi suami baginya" Agaknja apa jang dikatakannja tadi hanja bualan belaka.
Setelah memikir sedjenak, lalu Wan.djing berkata: Aku akan pergi sadja!
Kemana" tanja si djubah hidjau
Entah, aku sendiri tidak tahu! sahut si gadis.
Aku akan membikin Toan Ki mendjadi suamimu, kau djangan meninggalkan aku, udjar orang itu.
Wan-djing tersenjum tawar sambil berdjalan beberapa tindak ke depan, tiba-tiba ia berhenti dan menanja pula sambil memutar tubuh: Selamanja kita tidak kenal, darimana engkau mengetahui" Engkau......engkau kenal Toan-long"
Sudah tentu aku mengetahui kandungan hatimu. sahut orang itu. Tiba-tiba katanja pula: Kembalilah! ~ berbareng tangan kirinja diulur dan menarik dari djauh.
Aneh djuga, tiba-tiba Buk Wan-djing merasa tenaga maha kuat jang tak bisa ditahan, tanpa kuasa tubuhnja diseret mentah-mentah oleh tenaga tak kelihatan itu dengan sempojongan dan tahu-tahu sudah berdiri lagi di depan Djing-bau-khek itu.
Kedjadian itu benar-benar sangat mengedjutkan Bok Wan-djing, katanja dengan suara gemetar : Apakah........apakah kepandaianmu disebut Kim-liong-tjiong-ho-kang"
Ehm, luas djuga pengetahuanmu. Udjar Djing-bau-khek, Tapi ini bukan Kim-liong-tjiong-ho-kang (ilmu menangkap naga dan menawan bangau), hanja kasiatnja sama, tjara melatihnja juga berbeda.
Habis apa namanja" tanja Wan-djing pula.
Namanja Kui-gi-lay-hi sahut Djing-bau-khek.
Kui-gi-lay-hi (kalau sudah pergi, pulanglah)! Ha, nama ini djauh lebih bagus daripada Kim-liong-tjiong-ho-kang, pabila Toan-long mendengar nama demikian, tentu dia....dia...... teringat pada Toan Ki, kembali Wan-djing berduka pula.
Marilah berangkat! kata Djing-bau-khek tiba-tiba sambil mengeluarkan dua potong tongkat bambu dari badjunja. Sekali tongkat bambu kiri itu menutul, tubuhnya terus melajang ke depan dan dengan enteng sudah melangkah setombak djauhnya.
Melihat tubuh orang ketika terapung di udara, kedua kakinja tetap menekuk seperti waktu duduk bersila, Wan-djing mendjadi heran, tanjanja: He, kedua kakimu....
Ja, sudah lama kedua kakiku buntung, sahut Djing-bau-khek. Sudahlah, mulai saat ini urusanku dilarang kau bertanja lagi.
Kalua aku tanja lagi" baru kalimat ini diutjapkan Bok Wan-djing, sekonjong-konjong kedua kakinja terasa lemas, tubuhnja terbanting roboh.
Kiranja dengan ketjepatan luar biasa si djubah hidjau sudah melesat ke tempatnja, tongkat bambu sebelah kanan beruntun menutuk dua kali di balik lutut, menjusul mengetoknja sekali lagi, karuan Bok Wan-djing kesakitan seakan-akan remuk tulang kakinja, saking tak tahan sampai ia mendjerit.
Menjusul mana Djing-bau-khek menutuk lagi dua kali untuk membuka Hiat-to si gadis.
Dengan tjepat Wan-djing melompat bangun, damperatnja dengan gusar: Mengapa engkau begini kurangadjar" ~ berbareng panah di dalam lengan badju sudah lantas siap untuk dibidikkan.
Djangan kau tjoba-tjoba main kaju dengan aku, ja! demikian kata Djing-bau-khek. Berani kau memanah aku sekali, segera aku hadjar bokongmu satu kali, kau memanah sepuluh kali, akupun gablok sepuluh kali bokongmu.
Kalau tidak pertjaja, boleh tjoba-tjoba kau lakukan!
Wan-djing mendjadi r,agu-ragu, pikirnja: Djika sekali aku dapat memanah kau, seketika djiwamu lantas melajang, mana dapat kau membalas hadjar diriku" Tapi ilmu orang ini sangat sakti, tampaknja ilmu silatnja djauh lebih tinggi darpada Lam-hay-gok-sin, rasanja susah kalau hendak memanahnjn. Orang aneh ini berani bitjara berani berbuat, kalau benar-benar bokongku digablok olehnja, kan tjialat!
Nah, djika kau tidak berani memanah aku, kau harus menurut perintahku dengan baik, djangan membangkang! demikian kata orang itu pula.
Hm, aku djusteru tidak mau menurut perintahmu! sahut Wan-djing.
Walaupun begitu katanja, namun panah jang sudah disiapkan tadi disimpan djuga kembali.
Segera Djing-bau-khek gunakan kedua tongkatnja sebagai kaki terus bertindak ke depan dengan tjepat. Bok Wan-djinq mengikutinja dari belakang. Ia lihat kedua tongkat bambu orang sangat ketjil tapi keras seperti badja, biar menjangga di ketiaknja, namun sedikitpun tidak bengkong. Tongkat bambu itu pandjangnja lebih satu setengah meter, sekali melangkah, djauhnja melebihi langkah orang biasa. Terpaksa Bok Wan-djing harus kerahkan Ginkang sekuatnja barulah sekedar dapat menjusulnja.
Tangkas sekali tjara berdjalan Djing-bau-khek ini, biar mendaki gunung atau melintasi bukit, djalannja seperti di tanah lapang sadja tjepatnja.
Bahkan jang dia pilih bukan lagi djalan besar jang rata tapi adalah hutan belukar atau djalan pegunungan jang berserakan dengan batu-batu karang, karuan jang tjialat adalah Bok Wan-djing, ia mendjadi megap-megap dan badjunja sobel oleh duri belukar. Namun dasar wataknja memang keras, biarpun menderita, sedikitpun ia tidak mau undjuk kelemahan.
Setelah melintasi beberapa lereng bukit kemudian tertampak dari djauh banjak sekali kuburan2, diam2 Wan-djing heran: Kenapa mendatangi Ban-djiat-kok ini"
Benar djuga Djing-bau-khek itu terus menudju ke kuburan jang batu nisannja tertulis: Kuburan Ban Siu Toan, segera tongkatnja menghantam batu nisan tepat di atas huruf Toan.
Sudah beberapa kali Bok Wan-djinq mendatangi Ban-djiat-kok, tiap-tiap kali ia gunakan rahasia tjara memasuki gerbang lembah el maut itu, jaitu mendepak beberapa kali di atas huruf Toan dari batu nisan itu. Tapi kini demi melihat huruf itu lagi, tiba2 timbul sematjam perasaan aneh jang dahulu tidak pernah ada.
Untuk apa kita datang ke Ban-djiat-kok ini" demikian ia tjoba menanja.
Tapi mendadak Djing-bau-khek itu membalik tubuh, tongkatnja terus mengetok sekali ke paha kanannja sambil membentak: Kau berani tjeriwis lagi tidak"
Kalau turuti watak Bok Wan-djing jang berangasan itu, betapa pun dia tidak sudi dihina setjara demikian, biarpun dia tahu tak kan mampu melawan orang. Tapi kini lapat2 terasa olehnja bahwa Djing-bau-khek ini tentu memiliki kepandaian di atas orang lain, bukan mustahil akan dapat mcmbantu melaksanakan tjita-tjitanja, jaitu bersuamikan Toan Ki. Maka terpaksa omelnja: Hm, djangan kau sangka nona takut padamu, biarlah sementara ini aku mengalah padamu.
Hajo djalan! seru Djing-bau-khek pula.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera Bok Wan-djing mendahului masuk ke liang kubur dan disusul oleh Djing-bau-khek, mereka telah masuk ke Ban-djiat-kok tempat tinggal Tjiog Ban-siu.
Terhadap keadaan di dalam lembah itu, agaknja Djing-bau-khek itu sudah apal. Beberapa kali Bok Wan-djing ingin menanja, tapi kuatir digebuk pula oleh tongkat orang, maka urung buka mulut.
Orang aneh itu membawanja mengitar kesana dan membiluk kesini terus menudju ke belakang lembah.
Bok Wan-djing pernah djuga tinggal beberapa hari di lembah Ban-djiat-kok ini, jaitu ketika ia mengundjungi bibi-gurunja, Tjiong hudjin. Tjuma sifat mereka berdua berbeda djauh, pada hari pertama djuga mereka sudah lantas tjektjok mulut. Tapi kini tempat2 jang didatanginja bersama Djing-bau-khek ini ternjata sebelumnja tidak pernah dikundjunginja. Sungguh tak tersangka olehnja bahwa di tengah lembah sunji itu masih ada tempat-tempat jang lebih terpentjil.
Setelah beberapa li lagi, mereka telah masuk ke sebuah rimba raja jang pohon-pohonnja tinggi besar mendjulang ke langit, biarpun waktu itu di siang hari, namun sinar sang surja ternjata tak bisa menembus ke dalam rimba jang rindang itu. Makin dalam masuk ke tengah rimba itu, makin gelap dan rindang suasananja. Makin djauh ,tumbuh-tumbuhan di situpun semakin rapat hingga sampai achirnja, untuk lewat diperlukan miringkan tubuh.
Setelah beberapa puluh meter lagi djauhnja, tertampaklah di depan tumbuh barisan-barisan pohon tua jang tinggi merapat hingga mirip pagar jang kukuh, untuk masuk ke dalam sana terang sangat sulit.
Mendadak Djing-bau-khek tantjapkan tongkatnja ke tanah untuk menjangga bahunja, lalu kedua tangannja mendjodjok ke batang dua pohon terus dipentang ke samping sekuatnja. Sungguh sangat mengagumkan, kedua pohon besar itu pelahan-lahan lantas terpentang lebar ke samping hingga tjukup untuk menjelinap tubuh manusia.
Lekas masuk kesana! bentak orang aneh itu.
Tanpa pikir lagi Bok Wan-djing terus menjusup ke balik pagar pohon itu.
Waktu diperhatikan, ternjata di situ terdapat pula suatu tanah kosong jang luas, di tengah tanah lapang itu terdapat sebuah rumah batu jang dibangun dengan bentuk sangat aneh jaitu terdiri dari sambungan dan tumpukan batu-batui besar hingga mirip piramid. Rumah batu itu hanja terdapat sebuah pintu jang lebih mirip gua besarnja.
Nah, masuk ke sana! kata Djing-bau-khek pula.
Wan-djing tjoba memandang ke dalam rumuh batu itu, ia lihat keadaan di dalamnja gelap gulita, entah tersembunji machluk aneh atau tidak, dengan sendirinja ia tidak berani memasuki begitu sadja.
Sedang Wan-djing sangsi2, sekonjong-konjong punggung terasa ditempel oleh sebuah telapak tangan, tjepat ia bermaksud mengelakkan diri, namun sudah tcrlambat, tenaga dorongan Djing-bau-khek itu sudah dikerahkan.
Tanpa kuasa lagi tubuh Bok Wan-djing mentjelat ke depan seakan-akan terbang masuk ke dalam rumah batu itu.
Walaupun badan terapung, namun Bok Wan-djing segera melindungi badan sendiri dengan sebelah tangan, ia gunakan gaja Hiau-hong-but-liu atau angin pagi menghembus pohon, tangan lain dipakai melindungi muka sendiri.
Ia kuatir kalau dalam keadaan gelap djangan-djangan lantas diserang oleh sesuatu machluk aneh. Dalam pada itu, segera terdengar pula suara gemuruh jang keras, pintu rumah telah ditutup orang dengan benda antap.
Karuan Wan-djing terkedjut, tjepat ia bcrlari ke arah pintu buat mendorong, tapi dimana tangannja memegang, rasanja kasap dan keras sekali. Ternjata tutup pintu itu adalah sepotong batu karang raksasa.
Sekuatnja ia tjoba hendak membukanja, namun sedikitpun batu itu tidak bergeming, bahkan gojangpun tidak. Dalam kuatirnja, ia terus berteriak-teriak: Hai, hai! Mengapa engkau mengurung aku di sini"
Maka terdengar suara Djing-bau-khek mendjawab: Apa jang kau pernah mohon padaku mengapa telah kau lupakan sendiri"
Suara orang itu menjusup masuk dari lubang batu tadi, tapi kedengaran tjukup djelas.
Wan-djing tenangkan diri sedjenak, ia lihat lubang jang ditutup dengan batu karang itu sekitarnja masih banjak tjelah2, tjuma untuk diterobos dengan tubuh manusia terang tidak bisa. Terpaksa ia berteriak-teriak lagi: Lepaskan aku, lepaskan aku keluar!
Tapi jang terdengar hanja suara keresakan dahan pohon di luar, agaknja Djing-bau-khek itu sudah pergi melintasi pagar pohon itu. Waktu mengintip keluar, jang dilihat Wan-djing hanja rontokan daun pohon jang berhamburan, selain itu tiada sesuatu lagi jang kelihatan.
Ketika ia memutar tubuh ke dalam dan tjoba menegaskan keadaan rumah batu itu, ia lihat di podjok sana ada sebuah dipan, di atas dipan berduduk satu orang. Karuan ia kaget, tanjanja terputus-putus: Sia..........siapa kau"
Djing-moay, kiranja kau telah masuk ke sini djuga! demikian sahut orang itu. Suaranja penuh rasa girang tertjampur heran. Kiranja Toan Ki adanja.
Dalam keadaan putus asa, tiba-tiba Wan-djing ketemu Toan Ki lagi, saking girangnja hampir2 djantungnja melontjat keluar dari rongga dadanja. Tjepat ia menubruk ke pangkuan pemuda itu.
Remang2 melihat muka si gadis putjat lesi, kasih sajang Toan Ki sungguh tak terkatakan. ia peluk si gadis kentjang2, melihat bibir si gadis jang merah mungil itu, tak tertahan lagi terus diketjupnja.
Tapi demi bibir sudah menempel bibir, segera kedua muda-mudi itu teringat: Hal kita adalah kakak dan adik, mana boleh berbuat jang tidak senonoh"
Tjepat kedua orang melepaskan tangan masing2 dan sama2 menjingkir mundur. Kedua orang berdiri bersandar pada dinding batu dan saling pandang dengan terkesima.
Bok Wan-djing jang lebih dulu menangis. Namun Toan Ki lantas menghiburnja: Djing-moay, rupanja nasib kita sudah ditakdirkan begini, hendaklah engkau djangan sedih. Mempunjai seorang adik perempuan seperti engkau, aku merasa sangat senang.
Aku djusteru tidak senang, aku merasa sedih, demikian seru Wan-djing sambil banting2 kaki sendiri. Djadi kau merasa senang" Itu berarti kau tidak punja Liangsim (perasaan).
Apa mau dikata lagi, kenjataan memang begini, udjar Toan Ki menghela napas. Tjoba kalau dulu aku tidak bertemu dengan engkau, urusan tentu akan mendjadi lain.
Toh bukan aku jang ingin bertemu dengan kau, sahut Wan-djing. Habis, siapa suruh kau mentjari padaku, dan kalau kau tidak kembali hendak memberi kabar padaku, belum tentu aku bisa kenal engkau. Ja, semuanja adalah salahmu, kau mengakibatkan kematian mawar hitamku, bikin hatiku luka, bikin Suhuku berubah mendjadi ibuki, bikin ajahmu ikut mendjadi ajahku. Tapi aku tidak mau, semuanja, aku tidak mau, kau membikin susah aku pula hingga dikurung di sini, aku ingin keluar, aku ingin keluar!
Ja, dah, Djing-moay, memang semuanja salahku, sahut Toan Ki, Djanganlah engkau marah, marilah kita mentjari djalan untuk lari keluar dari sini.
Tidak, aku tidak mau keluar, biarlah mati disini atau mati diluar sana, sama sadja bagiku. Aku tidak mau keluar! demikian Wan-djing berteriak-teriak.
Sungguh lutju djuga, semula minta keluar dari situ, tapi sebentar lagi bilang tidak mau. Tapi Toan Ki tahu perasaan si gadis terlalu terguntjang, seketika djuga susah diberi mengerti. Maka, ia tidak bitjara lagi.
Dan seteleh muring2 sedjenak, melihat Toan Ki diam sadja, Wan-djing lantas tanja: Kenapa kau tidak bitjara"
Habis, apa jang harus kukatakan" sahut Toan Ki.
Tjoba terangkan, untuk apa kau berada di sini" tanja Wan-djing.
Aku ditawan muridku ke sini.........
Muridmu" Wan-djing memotong dengan heran. Tapi segera teringat olehnja, ia tertawa dan berkata: Ja, benar, itulah Lam-hay-gok-sin, dia jang menawan dan mengurung engkau disini"
Toan Ki mengia.
Kenapa kau tidak gunakan pengaruhmu sebagai guru menjuruh dia melepaskan kau dari sini" udjar si gadis.
Sudah, entah sudah berapa kali aku suruh dia, tapi dia bilang aku harus berganti mengangkat dia sebagai guru, barulah dia mau melepaskan aku.
Ah, mungkin lagakmu sebagai guru kurang berwibawa, makanja dia berani membangkang. udjar Wan-djing.
Ja, mungkin begitulah, sahut Toan Ki gegetun. Dan engkau sendiri bagaimana, siapa jang menangkap kau kesini"
Maka berceritalah Bok Wan-djing tentang Djing-bau-khek jang didjumpainja itu. Tjuma tentang djandji orang aneh itu hendak mengubah kakak mendjadi suaminja itu tak ditjeritakannja.
Mendengar ada seorang jang bisa bitjara dengan perut tanpa bergerak mulutnja, bisa berdjalan setjepat terbang meski kakinja buntung, Toan Ki mendjadi sangat ketarik, berulang-ulang ia ber-kotjek2 kagum dan menanja lebih djelas. I
Setelah lama mereka berbitjara, tiba2 terdengar suara keletak sekali diluar, dari tjelah2 batu tampak disodor masuk sebuah mangkok, terdengar suara seorang lagi berkata: Ini, makanlah!
Segera Toan Ki menjambuti mangkok itu, ternjata isinja adalah Ang-sio-bak jang masih hangat dan berbau sedap. Menjusul dari luar diangsurkan masuk pula semangkok ham keluaran Hunlam jang terkenal, semangkok lagi sajur dan beberapa potong bakpao.
Kau kira di dalam makanan ini ditaruh ratjun tidak" tanja Toan Ki kepada Wan-djing sesudah letakkan makanan itu diatas medja.
Umpama mereka hendak membunuh kita, tentunja tidak perlu susah2 menaruh ratjun di dalam makanan. udjar Wan-djing.
Benar djuga pikir Toan Ki. Memangnja ia sudah sangat lapar, maka katanja: Marilah makan! ~ Terus sadja in mendahului serbu Ang-sio-bak jang lezat itu bersama bakpau.
Habis makan lemparkan keluar mangkok2 itu, nanti ada orang jang membereskannja. demikian terdengar suara orang diluar tadi. Habis berkata, orang itu lantas tinggal pergi.
Waktu Bok Wan-djing mendengarkan dengan tjermat, ia dengar orang itu mandjat ke atas pohon untuk kemudian melontjat turun di balik pagar pohon sana, terang kepandaian orang itu hanja biasa sadja. Segera ia terima djuga bakpao dan ham jang diangsurkan Toan Ki terus dimakan pelahan-lahan.
Engkau djangan kuatir, Djing-moay! demikian kata Toan Ki sembari makan.
Pekhu dan ajah pasti akan datang menolong kita. Biarpun ilmu silat Lam-hay-gok-sin dan kawan2nja tjukup hebat, tapi mereka belum tentu sanggup melawan ajah. Apalagi kalau paman mau turun tangan sendiri, tentu sadja mereka bisa disapu bersih dengan mudah.
Hm, dia tjuma seorang radja negeri Tayli doang, masakan ilmu silatnja ada sesuatu jang hebat" demikian Wan-djing mengolok-oloki. Aku tidak pertjaja dia mampu mengalahkan orang aneh berbadju hidjau itu, paling2
dia hanja bisa kerahkan pasukannja setjara besar-besaran untuk menjerbu ke sini.
Tidak, tidak! berulang-ulang Toan Ki menggojang kepala. Leluhur kita adalah tokoh Bu-lim di Tionggoan, meski medjadi radja di negeri Tayli ini, selama ini tidak pernah melupakan peraturan2 Bu-lim jang berlaku.
Kalau mengalahkan musuh dengan djumlah lebih banjak, bukankah keluarga Toan kita akan ditertawai orang persilatan di djagat ini"
Ehm, kiranja sesudah pamilimu mendjadi radja dan Ongya, mereka tetap tak mau melupakan kedudukan mereka di kalangan Kangouw, udjar Wan-djing.
Ja, paman dan ajah serinq berkata, itu namanja tidak melupakan asal-usul, sahut Toan Ki.
Huh. djengek si gadis tiba2. Di mulut selalu tentang kebadjikan dan budi kebaikan, tapi jang diperbuat tak lain adalah hal2 jang rendah memalukan. Tjoba djawab, ajahmu sudah mempunjai ibumu, kenapa........
kenapa mentjederai Suhuku lagi, hajo"
He! Kenapa engkau memaki ajahku"Ajahku kan djuga ajahmu" sahut Toan Ki rada tertjengang. Lagipula, setiap pangeran atau orang bangsawan di djagat ini, siapa orangnja jang tidak punja beberapa isteri" Sekalipun mempunjai delapan atau sepuluh orang isteri kan tidak mendjadi soal"
Tatkala itu adalah djamannja dinasti Song utara. Di utara ada negeri Tjidan, di tengah adalah keradjaan Song, di barat laut negeri He, di barat daja ada negeri Turfan, sedang di selatan adalah negeri Tayli, seluruh Tiongkok waktu itu terbagi lima negeri. Dan memang benar, tak usah tentang radja masing2, tjukup pangeran-pangerannja dan bangsawan-bangsawannja, setiap orang tentu mempunjai beberapa isteri, bahkan berpuluh selir pula. Hal mana sudah mendjadi kelaziman djaman feodal, kalau setiap bangsawan itu hanja memiliki seorang isteri melulu, atau tegasnja monogamy, hal mana malah dipandang sebagai luar biasa.
Akan tetapi Bok Wan-djing mandjadi gusar demi mendengar pembelaan Toan Ki itu, plok, kontan ia tampar pipi pemuda itu.
Karuan Toan Ki kaget hingga separoh bakpao jang masih dipegangnja terdjatuh ke tanah. Kau............... kau kenapa" tanjanja dengan bingung.
Tidak, aku tidak mau panggil dia sebagai ajah! demikian seru Wan-djing.
Kalau lelaki boleh punja beberapa isteri, kenapa wanita tidak boleh"
Geli dan mendongkol Toan Ki, sambil meraba-raba pipinja jang sakit pedas itu, ia berkata dengan tersenjum getir: Kau adalah adikku, kenapa engkau memukul engkohmu sendiri"
Namun amarah si gadis masih belum sirap, tangannja diangkat terus hendak menampar lagi. Tapi sekali ini Toan Ki sudah berdjaga-djaga, sedikit kakinja menggeser, tjepat ia keluarkan langkah Leng-po-wi-poh jang aneh, tahu2 sudah menjelinap ke belakang Bok Wan-djing. Ketika tangan si gadis menghantam ke belakang, kembali Toan Ki dapat menghindar pula.
Meski luas kamar batu itua tidak lebih dari dua meteran, namun Leng-po-wi-poh itu benar-benar sangat adjaib, biarpun pukulan Bok Wan-djing makin lama makin tjepat, dari awal sampai achir tetap tak bisa mengenai Toan Ki.
Karuan semakin marah Bok Wan-djing, tiba-tiba ia mendapat akal.
Auuh! ia pura-pura mendjerit terus djatuhkan diri ke tanah.
He, kenapa kau! seru Toan Ki kuatir sambil berdjongkok untuk memajang si gadis.
Dengan lemas sadja Wan-djing menjandarkan tubuhnja di pangkuan Toan Ki, tangan kiri terus merangkul leher pemuda itu, mendadak ia mcnjikap kentjang sambil berkata, dengan tertawa: Sekarang kau masih bisa menghindar tidak" ~ menjusul terus sadja tangan kanan diajun lagi, plak, lagi-lagi pipi Toan Ki kena dipersen sekali tamparan.
Dalam sakitnja, Toan Ki mendjerit sekali, mendadak sematjam arus hawa panas membubung ke atas dari dalam perutnja, seketika denjut nadinja bekerdja keras, napsu birahinja berkobar-kobar hingga susah ditahan.
Bok Wan-djing berdjuluk Hiang-yok-djeh atau si gendruwo wangi, memang tubuhnja membawa sematjam bau harum jang memabukkan orang, kini tubuhnja terangkul di pangkuan Toan Ki, bau harum jang semerbak itu semakin mengatjaukan pikiran sehat pemuda itu, tanpa merasa ia terus mentjium bibir si gadis.
Dan sekali ditjium, seketika Bok Wan-djing lemas lunglai seluruh badannja. Segera Toan Ki mengangkat tubuh gadis itu dan dibawa ke atas dipan............
Engkau........... engkau adalah kakakku! tiba-tiba Wan-djing berbisik.
Meskipun pikiran sehat Toan Ki waktu itu sudah kelelap, namun kata-kata Wan-djing itu mirip bunji beledek di siang hari bolong. Ia tertegun sedjenak, sekonjong2 ia lepaskan gadis itu dan mundur2 beberapa tindak, menjusul plak-plok beberapa kali, ia berondongi pipi sendiri dengan tamparan2 keras sambil memaki: Mampus kau, mampus kau!
Melihat kedua mata pemuda itu merah membara menjorotkan sinar jang aneh, kulit daging dimukanja ber-kerut2, hidungnja berkembang-kempis.
Wan-djing mendjadi kaget, teriaknja: He, Toan-long, kita telah terpedaja, di dalam makanan itu ada ratjunnja!
Waktu itu Toan Ki merasa antero badannja panas bagai dibakar. Demi mendengar si gadis bilang di dalam makanan ada ratjunnja, ia mendjadi girang malah, pikirnja: Ah, kiranja ratjunlah jang telah mengatjaukan pikiran-sutjiku hingga timbul maksud tak senonoh terhadap Djing-moay, tapi bukan karena djiwaku jang kotor dan mendadak hendak menirukan perbuatan binatang jang rendah.
Akan tetapi panasnja badan benar2 susah ditahan, saking tak tahan satu persatu ia tjopot badjunja hingga achirnja melulu tinggal pakaian dalam sadja, untunglah pikirannja masih rada djernih hingga tidak mentjopot lebih djauh, tjepat ia duduk bersila mentenangkan diri untuk melawan pikiran2 djahat tadi.
Bok Wan-djing sendiri djuga merasakan panasnja badan seperti Toan Ki, sampai achirnja saking tak tahan, iapun menanggalkan badju luarnja.
Namun Toan Ki lantas menteriakinja: Djing-moay, djangan kau lepas badju lagi! Lekas tempelkan punggungmu kedinding, tentu akan berasa segar sedikit!
Begitulah segera mereka bersandar didinding batu. Namun ratjun didalam badan tetap bekerdja dengan hebat, meski punggung berasa sedikit dingin, anggota2 badan lain malah bertambah panas. Toan Ki melihat kedua pipi Wan-djing merah membara, tjantiknja susah dikatakan, matanja ber-kilau2
se-akan2 ingin sekali menubruk kepangkuannja, ia pikir: Dengan teguhkan iman kita lawan terus bekerdianja ratjun. Namun tenaga manusia terbatas djuga, kalau achirnja bcrbuat djuga hal2 jang tidak senonoh, ini benar2
akan menodai habis2an nama baik keluarga Toan dan selama djaman susah untuk menembus kesalahan ini.
Maka tjepat ia berrkata: Djing-moay, lemparkanlah sebatang panahmu kepadaku!
Untuk apa" tanja Wan-djing.
Supaja............... supaja kalau aku sudah tak tahan, sekali tikam aku akan membunuh diri dengan panah berbisa itu, agar tidak membikin susah padamu, sahut Toan Ki.
Tidak, aku takmau memberi," kata sigadis.
Djika begitu, djandjilah padaku untuk memenuhi sesuatu permohonanku, pinta Toan Ki.
Tentang apa" tanja Wan-djing.
Pabila tanganku sampai menjentuh badanmu, sekali panah boleh kau binasakan aku, kata Toan Ki.
Tidak, aku tidak mau! sahut sigadis.
Djing-moay, terimalah permintaanku itu, pinta Toan Ki dengan sangat.
Nama baik keluarga Toan kita jang sudah beratus tahun lamanja ini tidak boleh hantjur ditanganku. Kalau tidak,.sesudah mati, mana bisa aku mempertanggungdjawabkan pada leluhur dialam baka?"
Huh, apanja jg hebat dari keluarga Toan di Tayli" tiba2 suara seorang mendjengek diluar rumah batu itu. Paling2 dimulut sadja selalu bitjara tentang kebaikan dan kemanusiaan, tapi apa jang diperbuat lebih rendah daripada binatang. Apanja jang dapat dipudji"
Siapa kau" Ngatjo-belo belaka! damperat Toan Ki dengan gusar.
Dia.................. dia adalah sibadju hidjau jang aneh itu, dengan lirih Wan-djing membisiki Toan Ki.
Maka terdengar Djing-bau-khek itu lagi berkata: Bok-kohnio, aku sudah menjanggupi kau akan menjadikan kakakmu sebagai suamimu, urusan ini kutanggung pasti akan memenuhi harapanmu.
Kau sengadja memakai ratjun untuk mentjelakai kami, apa sangkut-pautnja dengan permohonanku padamu" sahut Wan-djig gusar. .Di dalam Ang-sio-bak jang sudah kalian makan itu telah kutjampur dengan banjak Im-yang-ho-hap-san (pujer mendjodohkan negatip dan positip), siapa jang minum, kalau tidak terdjadi pembauran hawa Im dan Yang, kalau laki2 dan wanit.a tidak mendjadi suami-isteri, maka antero badannja segera akan membusuk, mata hidung dan telinga akan mengutjurkan darah, achirnja mati. Bekerdjanja obat Ho-hap-san itu makin hari makin lihay, sampai hari kedelapan, sekalipun dewa turun dari kajangan djuga takkan mampu menolong. demikian orang itu mendjelaskan.
Toan Ki mendjadi gusar, damperatnja: Aku selamanja tiada permusuhan apa2 dengan engkau, kenapa kau memperlakukan aku ini kedji" Kau bermaksud membikin aku berbuat hal2 jang durhaka, agar ajah dan pamanku malu selama hidup terhadap umum, namun biar seratus kali aku harus mati, tidak......... tidak nanti aku bisa masuk perangkapmu!
Kau memang tiada permusuhan apa2 dengan aku, tapi leluhur keluarga Toan kalian djusteru mempunjai permusuhan sedalam lautan dengan aku, demikian sahut Djiny-bau-khek Hm, kalau Toan Tjing-beng dan Toan Tjing-sun kedua Siautju ini dirundung malu selama hidup hingga tiada muka buat bertemu dengan orang luar, itulah paling bagus, paling bagus! ~ Rupanja karena mulutnja tak bisa bergerak, maka meski hatinja sangat senang, namun tak bisa bergelak ketawa.
Dan selagi Toan Ki hendak mendebat pula, sekilas dilihatnja paras Bok Wan-djing jang tjantik bagai kuntum bunga baru mekar, hatinja ber-debar2
keras lagi, seketika benaknja mendjadi katjau pula, pikirnja: Awalnja aku memang ada ikatan perdjodohan dengan Djing-moay, andaikan kami tidak pulang ke Tayli, siapa lagi jang mengetahui kami adalah kakak dan adik"
Apa jang terdjadi ini adalah hukum karma akibat dosa leluhur, peduli apa dengan kami berdua"
Berpikir begitu, segera Toan Ki berbangkit dengan sempojongan.
Tertampak sambil berpegangan dinding, Bok Wan-djing djuga sedang berdiri pelahan2. Se-konjong2 terkilas pula pikiran sehat dalam benaknja: Wah, tidak boleh, tidak boleh! Wahai Toan Ki, perbuatan kebinatangan jang hendak kau lakukan ini tergantung pada pikiran sekilas sadja, pabila hari ini kau terdjerumus, bukan sadja nama baikmu sendiri akan hantjur lebur, bahkan nama baik ajah dan paman serta leluhur djuga ikut tjelaka.
Karena itu, mendadak ia membentak: Djing-moay, aku adalah kakamu dari satu ajah, dan engkau adalah adikku sendiri, tahu tidak kau" Kau paham Ih-keng atau tidak"
Dalam keadaan sadar-tak-sadar Bok Wan-djing mendjawab: Ih-keng apa" Aku tidak paham.
Baiklah, biar aku mengadjarkan padamu, kata Toan Ki. Peladjaran Ih-keng ini rada sulit dan sangat dalam, engkau harus mendengarkan dengan tjermat.
Untuk apa aku mempeladjarinja" tanja Wan-djing.
Besar manfaatnja sesudah kau beladjar, sahut Toan Ki. Boleh djadi sesudah beladjar, kita berdua akan dapat melepaskan diri dari kesulitan ini.
Kiranja Toan Ki merasa napsunja semakin menjala2. Dalam pertentangan antara kemanusiaan dan kebinatangan itu, sungguh keadaannja sangat berbahaja, asal Bok Wan-djing mendekatinja dan sedikit menggoda, rasanja pertahanannja tentu akan bobol. Sebab itulah ia bermaksud mengadjarkan Ih-keng padanja untuk membilukan pikirannja dari kesesatan. Maka katanja pula: Dasar Ih-keng berada pada Thay-kek (azas alamiah) dan Thay-kek melahirkan Liang-gi (langit dan bumi). Liang-gi mentjiptakan Su-siang (empat musim), Su-siang menimbulkan Pat-kwa (delapan unsur). Kau tahu tidak lukisan Pat-kwa"
Tidak! Wah, gerah benar! Toan-long, marilah kau madju kesini, aku ingin bitjara padamu! demikian kata sigadis.
Aku adalah kakamu, djangan panggil aku Toan-long, tapi harus panggil Toako, sahut Toan Ki. Tjoba dengarkan, aku akan menguraikan kalimat2
bentuk Pat-kwa itu, kau harus mengingatnja dengan baik, Kian-sam-thong, Kun-liok-toan.........
Apa Kian, apa Kun" Entahlah, aku tidak paham! kata Wan-djing.
Itu menggambarkan bentuk daripada Pat-kwa, tutur Toan Ki. Harus kau ketahui, Pat-kwa itu meliputi segala benda dialam semesta ini, dari langit dan bumi sampai semua machluk didunia. Misalnja keluarga kita, Kian adalah ajah dan Kun adalah ibu, Tjin menjimbolkan putera dan Soan menandakan puteri ...... kita berdua adalah kaka-beradik, aku adalah unsur Tjin dan engkau unsur Soan.
Tidak, engkau unsur Kian dan aku unsur Kun, demikian sahut Wan-djing dengan ke-malas2an. Biarlah kita berdua menikah, kelak melahirkan putera dan puteri............
Mendengar utjapan sigadis jang tak keruan itu, hati Toan Ki terguntjang, serunja kuatir: He, Djing-moay, djangan kau pikir jang tidak2, dengarkanlah uraianku lebih djelas!
Kau duduk disampingku sini, aku lantas mendengarkan uraianmu, udjar Wan-djing.
Bagus, bagus! Sesudah kalian berdua mendjadi suami-isteri dan melahirkan putera-puteri, aku lantas melepaskan kalian keluar," demikian terdengar Djing-bau-khek jang aneh itu berkata diluar rumah batu. Dan bukan sadja aku takkan membunuh kalian, bahkan aku akan mengadjarkan kalian matjam2 kepandaian, biar kalian suami-isteri malang-melintang diselurub djagat.
Ngatjo! seru Toan Ki gusar. Sampai saat tcrachir, aku akan benturkan kepalaku didinding. Anak-tjutju keluarga Toan lebih suka mati daripada terima hinaan. Kau ingin membalas dendam atas diriku, djangan kau harap!
Kau mau mati atau ingin hidup, aku peduli apa" sahut Djing-bau-khek.
Pabila kalian berdua mentjari mati sendiri, aku lantas tjopot antero pakaian kalian hingga telandjang bulat, aku akan menuliskan keterangan diatas majat kalian bahwa inilah putera-puterinja Toan Tjing-sun jang telah berbuat masiat, tapi kepergok orang, saking malu, lantas membunuh diri. Aku akan bawa majat kalian berkeliling kesetiap kota sesudah aku mengasin dulu majat kalian.
Sungguh tidak kepalang gusarnja Toan Ki, bentaknja murka: Permusuhan apakah sebenarnja keluarga Toan kami dengan dirimu, hingga kau membalasnja setjara begini kedji"
Urusanku, buat apa kutjeritakan padamu" sahut Djing-bau-khek. Habis ini, suaranja. tak terdengar lagi, munqkin sudah pergi.
Toan Ki insaf lebih banjak bitjara dengan Bok Wan-djing, bahajanja akan bertambah besar pula. Segera ia duduk menghadapi dinding untuk memikirkan langkah2 dalam Leng-po-wi-poh jang adjaib itu. Setelah terdiam. agak lama, tiba2 teringat olehnja: Entji Dewi didalam gua itu berpuluh kali lebih tjantik daripada Djing-moay, pabila aku bisa memperisterikan dia, rasanja tidak ketjewalah hidupku ini.
Dalam keadaan sadar-tak-sadar ia berpaling, ia lihat paras muka Bok Wan-djing samar2 mulai berubah mendjadi patung tjantik didalam gua itu.
O, Entji Dewi, betapa deritaku ini, tolonglah aku! demikian Toan Ki berteriak. Mendadak ia menubruk kedepan merangkul betis Bok Wan-djing.
Djusteru pada saat itu djuga, diluar ada suara bitjara orang: Makan malam dulu ini! ~ berbareng sebatang lilin jang sudah dinjalakan telah diangsurkan. Dengan ketawa orang itu berkata lagi: Nah, lekas sambuti ini, malaman penganten, mana boleh tanpa lilin"
Dalam kedjutnja Toan Ki terus berbangkit, dibawah sinar lilin jang terang itu, ia lihat mata sigadis jang tjeli itu ber-kilau2 penuh arti, tjantiknja susah dilukiskan. Tjepat ia sebul lilin itu hingga padam, lalu membentak: Didalam nasi ada ratjunnja, lekas bawa pergi, kami tidak mau makan!
Sudah banjak ratjun jang masuk diperutmu, tidak perlu ditambahi lagi, sahut suara itu sambil tetap menjodorkan daharannja.
Dengan tak sadar Toan Ki menjambut djuga dan ditaruh diatas medja.
Pikirnja: Kalau sudah mati, musnalah segalanja, apa jang terdjadi sesudah itu, manabisa aku mengurusnja lagi" ~ Lalu pikirnja pula: Tapi betapa kasih-sajangnja ajah-bunda dan paman padaku, mana boleh aku menodai nama baik keluarga Toan hingga ditertawai orang"
Tiba2 terdengar Bok Wan-djing menteriakinja: Toan-long, aku akan bunuh diri dengan panahku, supaja aku tidak bikin susah padamu!
Nanti dulu! seru Toan Ki, Biaroun kita sudah mati, keparat jang maha djahat itupun takkan mengampuni kita. Orang ini sangat kedji dan litjik, dibanding Yap Dji-nio jang suka isap darah baji dan Lam-hay-gok-sin jang suka makan hati manusia, orang ini djauh lebih djahat! Entah siapa dia sebenarnja"
Utjapan Siautju memang tidak salah, tiba2 terdengar suara Djing-bau-khek itu mendjawab, Lohu tak-lain-tak-bukan adalah Ok-koan-boan-eng (kedjahatan sudah melebihi takaran), kepala dari Su-ok akulah adanja!
BAGIAN KEDUA Kembali mengenai keadaan diistana Tin-lam-ong.
Si Pek-hong alias Yau-toan-siantju mendjadi sangat kuatir atas diri sang putera jang digondol kawanan Su-ok itu, tanjanja pada Po-ting-te: Hong-heng, dimanakah letak Ban-djiat-kok itu, apakah Hong-heng sudah tahu"
Nama Ban-djiat-kok aku djuga baru dengar harini," sahut Po-ting-te Toan Tjing-beng. Tapi rasanja tidak djauh dari Tayli ini.
Dari nada utjapan Tjiong Ban-siu itu, agaknja tempat itu sanqat dirahasiakan, kata Pek-hong dengan kuatir. Dan kalau terlalu lama Ki-dji berada ditjengkeraman musuh, mungkin........
Ki-dji terlalu di-mandja2kan dirumah, biarkan dia mengalami sedikit gemblengan djuga ada baiknja," demikian sela Po-ting-te dengan tersenjum.
Si Pek-hong mendjadi tidak berani banjak bitjara lagi meski dalam hati kelabakan sekali.
Maka Po-ting-te berkata pula kepada Tjing-sun: Sun-te, suruh keluarkan daharan lagi, mari kita mendjamu diri sendiri dahulu.
Tjing-sun mengia terus memberi perintah, hanja sebentar sadja perdjamuan lengkap sudah disediakan lagi. Segera Po-ting-te suruh semua orang duduk semedja untuk makan-minum. Meski dia diagungkan sebagai radja, tapi kalau tempatnja bukan dikeraton, biasanja ia tidak suka banjak adat-istiadat, maka Toan Tjing-sun, Si Pek-hong dan Ko Sing-thay lantas ikut duduk mengiringi tanpa rikuh2.
Dalam perdjamuan itu, mereka sama sekali tidak bitjara tentang kedjadian2 tadi.
Ketika dekat fadjar, tiba2 seorang Si-wi masuk melapor: Pah-sukong ingin menghadap Hongsiang!
Suruh masuk, sahut Po-ting-te.
Maka masuklah seorang laki2 ke-hitam2an, bertubuh pendek kurus. Ia memberi hormat pada Po-ting-te dan berkata: Lapor Hongsiang, tempat sana melalui Sian-djin-toh dan djembatan rantai, mulut lembahnja adalah sebuah kuburan.
Wah, bila tahu Pah-sukong sudah turun tangan, masakah sarang musuh takkan diketemukan dan akupun tidak perlu kuatir setengah harian ini, seru Pek-hong dengan tertawa.
Ong-hui terlalu memudji, Pah Thian-sik tidak berani menerima, sahut laki2 hitam itu.
Kiranja Pah Thian-sik ini meski bermuka djelek dan potongannja ketjil, tapi dia sangat tjerdik dan pintar, sudah banjak berdjasa bagi Po-ting-te. Pangkatnja sekarang dinegeri Tayli adalah Sukong. Gelar2 pangkat Suto, Suma dan Sukong sangat terhormat dalam keradjaan ketjil ini. Pah Thian-sik sendiri ilmu silatnja sangat tinggi, lebih2 dalam ilmu Ginkang.
Kali ini ia ditugaskan Po-ting-te untuk menguntit djedjak musuh, dan benar djuga ia dapat mengetahui tempat Ban-djiat-kok itu.
Thian-sik, duduklah kau dan makan jang kenjang, kata Po-ting-te kemudian dengan tertawa. Habis makan, kita lantas berangkat.
Thian-sik tjukup kenal watak sang radja jang biasanja tidak suka orang berlutut menjembah padanja, kalau terlalu kukuh pada adat2 kolot itu, sang radja malah kurang senang. Maka ia hanja mengia sekali terus ambil tempat duduk semedja, terus sadja ia serbu apa jang tersedia diatas medja itu.
Setetes arakpun Pah Thian-sik tidak minum, tapi takaran makannja ternjata sangat mengedjutkan, hanja sekedjap sadja hampir sepuluh mangkok nasi telah disapu kedalam perutnja.
Toan Tjing-sun, Ko Sing-thay dan lain2 sudah lama bersahabat dengan Pah Thian-sik, maka mereka tidak mendjadi heran akan kelakuan orang aneh itu.
Habis makan, segera Thian-sik berbangkit, ia usap mulutnja jang berlepotan minjak itu dengan lengan badju, lalu berkata: Marilah Hongsiang, biar hamba menundjukkan djalannja. ~ Dan segera ia mendahului melangkah keluar.
Ber-turut2 Po-ting-te, Toan Tjing-sun suami-isteri dan Ko Sing-thay lantas mengikut dibelakangnja.
Sampai diluar istana, tampak tokoh2 Hi-djiau-keng-dok sudah menanti disitu sambil menuntun kuda, disamping itu ada belasan pengawal lain jang membawakan sendjatanja Po-ting-te.
Njata, biarpun kedua saudara Toan ini mempunjai kedudukan terpudja, namun mereka tidak pernah meninggalkan etiket sebagai orang Bu-lim dari Tionggoan jang diwariskan dari leluhur mereka. Seringkali merekapun menjamar sebagai rakjat biasa untuk pesiar keluar, kalau ketemukan orang Bu-lim hendak menuntut balas atau mentjari mereka, selalu merekapun menghadapinja menurut peraturan Bu-lim, selamanja tidak gunakan pengaruh kedudukan mereka untuk menghina orang. Sebab itulah, maka keluarnja Poting-te sekarang ini sedikitpun tidak mengherankan para pengiringnja, mereka anggap sudah biasa.
Melihat diantara beberapa orang pengiring itu ada jang membawa patjul dan sekop, dengan tertawa Si Pek-hong menanja: Pah-sukong, apakah kita hendak pergi menggali pusaka pendaman"
Pergi menggali kuburan! sahut Pah Thian-sik.
Begitulah segera rombongan mereka berangkat be-ramai2, kuda jang mereka pakai adalah pilihan semua, maka tidak sampai lohor mereka sudah sampai ditanah pekuburan diluar Ban-djiat-kok itu.
Gali disitu! kata Pah Thian-sik segera sambil menundjuk pada kuburan besar jang ketudjuh.
Terus sadja pengiring2 jang membawa alat2 galian itu bekerdja tjepat.
Wah, penghuni di Ban-djiat-kok ini rupanja dendam tiada taranja terhadap keluarga Toan kita! demikian kata Po-ting-te dengan tertawa sambil menuding batu nisan jang bertuliskan Kuburan Ban Siu Toan atau kuburan orang beribu sakit hati pada orang Toan
Dalam pada itu Djay-sin-khek Siau Tiok-sing sudah lantas ajun kapaknja dengan tjepat keatas batu nisan itu hingga batu kerikil mentjiprat bertebaran, hanja sebentar sadja batu nisan itu sudah dihantjurkan olehnja, melulu ketinggalan huruf Toan diatasnja jang masih tetap utuh.
Sementara itu para pengiring sudah dapat meratakan sebagian besar kuburan itu hingga kelihatan djalan masuk kebawah tanah itu. Segera Siau Tiok-sing mendahului masuk kedalam, ia ajun kapaknja membatjok peti mati didalam liang kubur itu hingga hantjur, lalu empat tokoh Hi-djiau-keng-dok mendahului membuka djalan, dibelakangnja adalah Pah Thian-sik dan Ko Sing-thay, menjusul lantas Toan Tjing-sun suami-isteri dan paling achir jalah Po-ting-te.
Setelah masuk kedalam lembah itu ternjata keadaan sunji senjap sadja, tiada seorangpun jang menjambut kedatangan mereka.
Pah Thian-sik menurutkan peraturan Kang-ouw, ia bawa kartu nama Toan Tjing-beng dan Toan Tjing-sun berdua menudju kedepan rumah utama dilembah itu, serunja keras2: Dua saudara she Toan dari negeri Tayli ingin bertemu dengan Tjiong-koktju!
Baru selesai utjapannja, se-konjong2 dari semak2 pohon sisi kiri sana berkelebat sesosok bajangan orang jang pandjang sekali, dengan tjepat luar biasa tahu2 sudah melajang kearah Pah Thian-sik terus hendak menjambar kartu nama jang dipegangnja itu.
Namun Thian-sik tjukup tjepat djuga gerakannja, ia menggeser kesamping sambil membentak: Siapa engkau"
Kiranja itulah Kiong-hiong-kek-ok In Tong-ho. Sekali samber tidak kena, ia tidak berhenti sama sekali, tapi terus memutar balik dan menubruk pula kearah Thian-sik.
Melihat Ginkang orang sangat hebat, timbul keinginan Pah Thian-sik untuk mendjadjal kepandaian orang jang sesungguhnja, maka tjepat ia menggeser pula kesamping lain. Segera In Tiong-ho mengudak djuga. Maka tertampaklah dua bajangan orang, jang satu djangkung, jang lain pendek, dalam sekedjap sadja sudah saling uber kian kemari beberapa kali. Meski langkah In Tiong-ho sangat lebar, namun dengan gesit sambil berlompatan, Pah Thian-sik dapat menjusup pergi-datang dengan sangat lintjah, djarak kedua orang tetap terpisah satu meter. In Tiong-ho takbisa mentjandak Pah thian-sik, sebaliknja Thian-sik djuga tak mampu melepaskan diri dari kedjaran Tiong-ho.
Biasanja kedua orang itu sama2 sangat mengandalkan Ginkangnja sendiri, tapi kini ketemukan lawan jang setanding, diam2 mereka sama2 terkedjut.
Makin berlari makin tjepat, begitu tjepatnja hingga badju mereka berkibaran mendjangkitkan angin jang men-deru2. Meski hanja dua orang jang kedjar mengedjar, namun bagi penglihatan orang mendjadi seperti beberapa orang jang sedang saling udak kian kemari. Sampai achirnja, saking tjepatnja lari mereka hingga orang merasa bingung apakah sebenarnja In Tiong-ho jang lagi mengedjar Pah Thian-sik atau Thian-sik jang sedang mengudak Tiong-ho"
Tiba2 terdengar suara keriutnja pintu dibuka, Tjiong Ban-siu tampak keluar dari rumah itu.
Melihat tuan rumah itu, tanpa berhenti berlari, Pah Thian-sik lantas kerahkan tenaga dalam terus sambitkan kartu nama jang dipeganginja kearah Tjiong Ban-siu.
Kartu nama itu adalah benda jang enteng dan lemas, tapi Thian-sik ternjata dapat menimpukannja dengan lurus anteng, apalagi dia sedang berlari diuber musuh, angin jang terdjangkit karena larinja itu tjukup keras, tapi kartu nama itu mampu menembus samberan angin dan tetap menudju kearah Tjiong Ban-siu, maka dapatlah dibajangkan betapa lihay Lweekangnja Pah Thian-sik.
Ban-siu lantas tangkap kartu jang terbang kearah itu, serunja dengan gusar: Orang she Toan, djika kau datang kelembah ini menurut peraturan Kangouw, mengapa kau merusak peralatan pintu lembahku"
Hongsiang maha agung, mana boleh menerobos liang kuburmu serta peti matimu jang busuk itu" demikian sahut Bu-sian-tio-toh Leng Djian-li.
Si Pek-hong sendiri paling kuatirkan keselamatan puteranja, maka segera ia menanja: Dimanakah anakku, kalian mengurungnja dimana"
Belum lagi Tjiong Ban-siu mendjawab, se-konjong2 dari belakangnja tampil kemuka seorang wanita, dengan suaranja jang tadjam ia berseru: Kedatanganmu sudah terlambat, botjah she Toan itu sudah kami belih dadanja dan kuras isi perutnja sebagai umpan andjing!
Kedua tangan wanita itu tampak memegangi sepsang golok, batang golok itu sangat tjiut bagai daun pohon Liu, tapi bersinar kemilauan. Itulah dia Sin-lo-to jang ditakuti orang Kangouw bila melihatnja.
Kedua wanita ini ~ Si Pek-hong dan Tjin Ang-bian ~ dimasa belasan tahun jang lalu sudah saling bermusuhan. Meski Si Pek-hong tahu apa jang dikatakan Tjin Ang-bian tadi tidak benar, namun utjapan orang jang begitu mengerikan atas diri puteranja, seketika Si Pek-hong menjadi gusar, dendam lama dan bentji baru meledak sekaligus, dengan dingin ia balas meng-olok2: Huh, aku bitjara sendiri dengan Tjiong-koktju, siapa jang sudi omong2 dengan wanita jang rendah tak kenal malu hingga mengotorkan diri sendiri.
Tjreng-tjreng, se-konjong2 kedua golok Tjin Ang-bian membatjok setjepat kilat keatas kepala Si Pek-hong. Serangan Sip-dji-gam atau batjokan bersilang, jang satu malang kesana dan jang lain melintang kesini, djurus ini adalah kepandaian tunggal Tji Ang-bian jang telah banjak mendjungkalkan djago silat Kangouw.
Maka lekas2 Si Pek-hong ajun kebut pertapaannja utk menangkis, berbareng tubuhnja menggeser kesamping, udjung kebutnja lantas balas menjabet kepunggung lawan.
Menjaksikan itu, Toan Tjing-sun mendjadi serba salah. Jang seorang adalah isteri kesajangannja, dan jang lain adalah bekas kekasih. Dalam pertarungan sengit itu, biarpun siapa jang bakal terluka, dirinja jang sudah pasti akan menjesal selama hidup. Maka segera ia membentak: Berhenti, berhenti dulu! ~ Ia terus melompat madju dengan pedang terhunus hendak memisah.
Melihat Toan Tjing-sun, amarah Tjiong Ban-siu lantas berkorbar, ia lolos goloknja Tay-goan-to, golok tebal jang banjak gelangnja hingga menerbitkan suara gemerantang jang njaring, tanpa bitjara lagi terus membatjok keatas kepala Toan Tjing-sun.
Tak usah Ongya mentjapekan diri, biar hamba membereskan dia sadja, kata Leng Djian-li sambil mendjodjoh dengan sendjata pantjingnja.
Haha, Ban-siu tertawa mengedjek. Memangnja aku sudah tahu orang she Toan hanja besar omong sadja, paling2 tjuma mengandalkan orang lebih banjak dan main kerojokan.
Mundur Djian-li! seru Tjing-sun dengan tertawa, biar aku beladjar kenal sendiri dengan kepandaian Tjiong-koktju jang lihay.
Berbareng ia lantas tangkis tangkai pantjing Leng Djian-li, sekalian pedangnja terus melajang kebawah menempel punggung Tay-goan-to lawan jang dipakai menangkis tangkai pantjing Leng Djian-li tadi, untuk memotong djari tangan Tjiong Ban-siu.
Ban-siu terkedjut oleh tiga gerakan jang dilakukan sekaligus, jaitu menangkis, menempel dan memotong, diam2 ia harus mengaku orang she Toan ini benar2 lihay. Maka ia tidak berani umbar amarah lagi, tapi dengan prihatin ia hadapi lawan dengan sungguh2. Meski wataknja kasar, namun kalau sudah berhadapan musuh, ia bisa berlaku hati2.
Tjoba kalian masuk menggeledah kesana! perintah Po-ting-te kepada Leng Djian-li.
Djian-li mengia, segera tokoh2 Hi-djiau-keng-dok menjerbu kedalam rumah orang. Tapi baru sebelah kaki Siau Tiok-sing melangkah masuk, tiba2 dari depan menjamber sebatang golok tipis kemukanja. Untung ia sempat mengkeret kembali dengan tjepat, kalau tidak tentu mukanja sudah rata terpotong, paling tidak batang hidungnja pasti terpapas.
Saking kagetnja sampai Siau Tiok-sing berkeringat dingin. Ia tjoba perhatikan siapa gerangan penjergap itu. Kiranja adalah seorang wanita jang berparas tjantik, itulah dia Bu-ok-put-tjok Yap Dji-nio adanja.
Golok jang dipakai Yap Dji-nio itu bentuknja sangat aneh, enteng tipis, sekeliling sendjata tadjam luar biasa. Sambil memegangi gagang golok jang pendeknja tjuma belasan senti itu, hanja sedikit diputar, seketika terdjadilah segulung sinar putih.
Kaget Siau Tiok-sing semula memang luar biasa, tapi sesudah tenangkan diri, segera ia membentak keras, kapak badja diajun, terus sadja ia batjok keatas sendjata musuh.
Namun Yap Dji-nio lekas putar goloknja jang tipis tadjam itu, ia tidak berani benturkan sendjatanja itu dengan kapak lawan. Siau Tiok-sing mainkan 36 djurus Khay-san-po-hoat atau ilmu permainan kapak membuka gunung, ia terus membatjok keatas dan membabat kebawah. Sebaliknja Yap Dji-nio terus-menerus mengedjeknja dengan kata2 jang menusuk hati.
Melihat perempuan itu sambil bitjara seenaknja sadja melajani serangan Tiok-sing, Tju Tan-sin mendjadi kuatir djangan2 kawannja itu kena dipedaja musuh. Maka tjepat iapun merangsang madju, kipasnja diputar terus menutuk.
Tatkala itu In Tiong-ho masih tetap main putar kajun dengan Pah Thian-sik. Ginkang kedua orang sama lihaynja, mereka insaf djuga dalam waktu singkat susah untuk menentukan kalah-menang, tapi jang diudji sekarang adalah tenaga dalam, siapa jang lebih tahan lama, dia akan menang. Tapi Thian-sik tahu bahwa lawannja sudah kerahkan tenaga sepenuhnja untuk mengedjar, berbeda seperti dirinja jang main melompat dan meledjit, tenaga dalam masih selalu terpelihara, pabila suatu waktu dirinja mendadak berhenti berlari terus menjerang serentak, tentu lawan tak kuat menahan. Tjuma tudjuannja memang ingin mengudji Ginkang lawan, maka ia masih terus berlari dan belum ingin menangkan lawan dengan ilmu pukulan Setan alas, darimana datangnja kawanan andjing ini, bikin berisik melulu hingga Lotju takbisa tidur! demikian tiba2 terdengar suara makian orang. Lalu tertampaklah Lam-hay-gok-sin melompat datang dengan sendjatanja jang istimewa, jaitu Gok-tjui-tjian atau gunting montjong buaja.
Segera Tiam-djong-san-long mendjawabnja dengan suara keras: Ini dia ajah dari gurumu jang telah datang kemari!
Apa ajah dari guruku" bentak Lam-hay-gok-sin tak paham.
Ini, sahut Tiam-djong-san-long sambil tundjuk Toan Tjing-sun, Tin-lam-ong adalah ajahnja Toan-kongtju, dan Toan-kongtju adalah gurumu, masakah kau berani menjangkal, hajo"
Biarpun perbuatan Lam-hay-gok-sin adalah maha djahat, tapi ada sesuatu sifatnja jang baik, jaitu apa jang dia pernah utjapkan, tentu ditepatinja. Maka demi mendengar djawaban itu, mukanja mendjadi merah padam saking gusar, tanpa mendjawab benar atau tidak utjapan orang, segera ia membentak pula: Aku angkat guru adalah urusanku sendiri, peduli apa dengan anak kura2 matjam kau ini"
Hahaha! Aku toh bukan anakmu, kenapa kau panggil aku anak kura2" sahut San-long bergelak tertawa.
Lam-hay-gok-sin tertegun sedjenak, ia bingung akan djawaban itu. Tapi kemudian ia mendjadi sadar bahwa setjara tidak langsung orang telah memaki dirinja sebagai kura2 alias germo. Insaf akan hal itu, karuan ia ber-djingkrak2 gusar, terus sadja sendjatanja jang aneh itu menggunting beberapa kali kearah musuh.
Walaupun otaknja rada bebal, tapi ilmu silat Lam-hay-gok-sin benar2
sangat lihay. Gok-tjui-tjian jang dipakai itu penuh dengan gigi2 buaja jang tadjam gilap, baru Tiam-djong-san-long menangkis tiga djurus dengan patjul garuknja, kedua lengannja sudah mulai terasa linu pegal.
Melihat kawannja terdesak, segera pantjing Bo-sian-tio-toh Leng Djian-li bergerak, sekali mengajun, tjepat kait pantjingnja melajang kearah mata kiri Gok-sin.
Huh, sendjata apa2an ini" djengek Lam-hay-gok-sin.
Aku berdjuluk Lam-hay-tio-toh, kerdjanja memantjing buaja! sahut Leng Djian-li dengan tertawa olok2.
Kau paham kentut, masakah buaja dapat dipantjing, sekali gigit sudah putus pantjingmu ini, sahut Gok-sin takmau kalah.
Baik, boleh kau tjoba2, udjar Djian-li tertawa. Kembali tali pantjingnja membuai dan kait pantjing hendak menjangkol kemulutnja Lam-hay-gok-sin.
Namun Gok-sin sedikitpun tidak pernah lengah, mendadak Gok-bwe-pian atau rujung ekor buaja terus dilorot keluar, sekali sabet, segera tali pantjing lawan hendak digulungnja.
Rujung lawan kasar antap, sedang tali pantjingnja halus enteng, maka Leng Djian-li tak berani semberono, tjepat ia tarik pantjingnja dan diputar sekali diudara, menjusul batok kepala belakang Gok-sin hendak dikait lagi.
Menjaksikan situasi pertarungan itu, Po-ting-te menaksir pihaknja tidak berbahaja, tjuma sepasang Siu-lo-to dari Tjin Ang-bian jang dimainkan dengan tjepat luar biasa dengan aneka matjam perubahannja, diatas golok2
tipis itu dilumasi ratjun pula. Dalam hal ilmu silat sedjati tidak nanti Si Pek-hong kalah, tapi kalau tersentuh sendjata lawan jang beratjun, itulah jang dikuatirkan.
Segera Po-ting-te berkata pada Ko Sing-thay: Kau mendjaga dan mengawasi keadaan disini, kalau menguatirkan, segera kau boleh rampas sebelah golok njonja itu.
Ko Sing-thay mengia, dengan tenang ia berdiri mengawasi dipinggir kalangan pertempuran dengan gagahnja.
Habis itu, Po-ting-te lantas masuk kedalam rumah, serunja keras2: Ki-dji, apakah kau berada disini"
Tapi sama sekali tiada djawaban orang. Ia tjoba membuka pintu kamar sebelah kiri serta berseru pula: Ki-dji, Ki-dji! ~ Belum hilang suaranja, se-konjong2 sesosok bajangan hidjau berkelebat, seutas tali pandjang setjepat kilat menjamber kelehernja.
Walaupun benda hidjau itu menjamber dengan terapung diudara, tapi ternjata adalah machluk hidup; Po-ting-te terkedjut, segera ia dapat melihat djelas bahwa benda itu adalah seekor ular hidjau jang pandjang.
Dengan lidahnja jang mulur mengkeret, ular itu terus hendak menggigit tenggorokannja.
Tanpa pikir lagi Po-ting-te segera menjelentik dengan djarinja hingga tepat kena dibawah leher ular itu.
Tenaga selentik Po-ting-te ini sungguh bukan main hebatnja, biarpun ular hidjau itu keras sebagai kawat badja, sekali kena diselentik, seketika patah djuga tulang-belulangnja, ular itu djatuh kelantai, setelah mengingsut beberapa kali, lalu mati.
Maka terdengarlah suara djeritan kaget seorang gadis tjilik: Haja, kau telah bunuh aku punja Djing-leng-tju!
Waktu Po-ting-te memperhatikan tertampak seorang nona tjilik berusia antara 15-16 tahun muntjul dari balik pintu dengan wadjahnja jang kaget tertjampur kuatir.
Dimana Toan-kongtju berada" tanja Po-ting-te.
Engkau takkan dapat menolongnja, udjar gadis itu. Ia dikurung orang didalam sebuah rumah batu, diluar ada jang djaga pula.
Harap kau membawa aku kesana, kata Po-ting-te. Aku akan robohkan orang jang mendjaga, membuka rumah batu itu dan menolong keluar Toan-kongtju.
Tidak bisa! sahut sigadis tjilik. Kalau aku membawa engkau kesana, tentu ajah akan membunuh aku!
Siapa ajahmu" tanja Po-ting-te.
Aku she Tjiong, ajahku adalah tuan rumah dari lembah ini, sahut sigadis tjilik jang bukan lain adalah Tjiong Ling itu. Dan engkau sendiri siapa"
Po-ting-te hanja mengangguk tanpa mendjawab. Ia pikir terhadap seorang nona tjilik begini, baik memantjingnja dengan kata-kata atau menggunakan kekerasan untuk mengantjam, semuanja tidak enak kalau digunakan atas diri gadis ketjil itu. Kalau Toan Ki sudah terang dikurung didalam lembah itu, tentunja tidak sulit untuk mentjarinja.
Karena itu, ia lantas keluar lagi dari rumah itu dengan maksud mentjari djalan lain untuk menemukan Toan Ki....
Kembali mengenai Toan Ki dan Bok Wan-djing jang dikeram didalam kamar batu sebagai ternak jang disuruh mengembangbiak itu. Ketika mendengar bahwa Djing-bau-khek jang mengeram mereka dengan muslihat kedji itu adalah Ok-koan-boan-eng atau kedjahatan sudah melampau takaran, tentu sadja mereka bertambah kedjut dan kuatir.
Dan karena katjau pikiran mereka, keteguhan iman mereka semakin tipis, sampai achirnja, entah bagaimana djadinja, tiba-tiba mereka duduk saling bersandaran.
Djing-moay, demikian Toan Ki berkata pelahan, kita sudah djatuh ditjengkeramannja, mungkin susah menjelamatkan diri.
Wan-djing hanja mengia sekali, ia merasa pipinja panas bagai dibakar, terus sadja ia susupkan kepalanja dipangkuan Toan Ki.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelahan-lahan Toan Ki membelai rambut sigadis, keringat kedua orang sudah membasahi badju masing-masing hingga mirip orang habis ketjemplung dalam air. Dan begitu mentjium bau uapan badan masing-masing, karuan semakin bertambah daja tariknja. Djangankan mereka adalah pemuda-pemudi jang belum berpengalaman, seumpama tidak terpengaruh oleh ratjun, tentu merekapun susah mengendalikan diri, apalagi ratjun Im-yang-ho-hap-san jang mereka minum itu sangat banjak, biarpun nabi sekalipun kalau sudah minum ratjun itu djuga akan gugur imannja.
Untungnja dalam keadaan lupa daratan itu, dalam benak Toan Ki masih timbul setitik sinar terang jang mengingatkan nama baik dan kehormatan keluarga Toan mereka, maka sekuat mungkin ia terus bergulat dengan napsu kebinatangan didalam tubuhnja itu.
Jang paling tjelaka adalah sibadju hidjau alias Ok-koan-boan-eng itu masih terus membakar dari luar, katanja: Hajolah lekas kalian laksanakan tjita-tjitamu. Lebih lekas kalian mempunjai anak lebih tjepat pula kalian akan keluar dari kurungan ini. Nah, aku akan pergilah! ~ Habis itu, terdengar suara daun pohon berkeresekan, agaknja orangnja sudah pergi djauh.
Terus sadja Toan Ki berteriak-teriak: Gak-losam! Gak-losam! Gurumu ada kesulitan, lekas kau menolongnja!
Namun sampai tenggorokannja bedjat tetap tiada seorangpun jang menjahut, pikirnja: Dalam keadaan begini, biarpun aku harus angkat guru padanja djuga takbisa dipersoalkan lagi. Soal salah mengangkat orang djahat sebagai guru adalah urusan pribadiku dan tak boleh menjangkut diri ajah dan paman.
Karena itu, segera ia berteriak-teriak pula: Gak-losam! Lam-hay-gok-sin! Aku rela mengangkat guru padamu, terima mendjadi ahliwaris Lam-hay-paymu, lekasan engkau datang menolong muridmu ini. Kalau tidak, tentu kau takkan memperoleh seorang murid bagus lagi! ~ Tapi sampai ia tjapek sendiri, tetap tiada suatu bajangan setanpun jang kelihatan.
Toan-long, tiba-tiba Wan-djing berkata, sesudah kita kawin, kau lebih suka anak pertama kita nan laki-laki atau wanita"
Laki-laki, sahut Toan Ki dalam keadaan sadar-tak-sadar.
Hai, Toan-kongtju, engkau adalah Engkohnja, tak boleh kalian kawin!
tiba-tiba suara seorang gadis ketjil menjela dari luar batu itu.
Toan Ki mendjadi terperandjat, tjepat sahutnja: Ap ... apakah engkau Tjiong-kohnio adanja"
Ja, benar, memang akulah! demikian sahut gadis itu jang memang adalah Tjiong Ling. Aku telah dengar semua utjapan Djing-bau-khek jang djahat itu, tapi djangan kuatir, aku pasti akan berdaja untuk menolongmu!
Bagus! seru Toan Ki girang. Nah, lekasan kau pergi mentjuri obat penawarnja untuk kami.
Ada lebih baik aku geser batu besar ini untuk menolong engkau keluar dahulu, demikian udjar Tjiong Ling.
Tidak, tidak! Lekas kau mentjurikan obat penawar dahulu, sahut Toan Ki tjepat. Se ... sebab aku sudah tak tahan lagi, aku ham ... hampir-hampir mati ini!
Apanja jang kau tak tahan" Apakah kau sakit perut" tanja Tjiong Ling kuatir.
Bu ... bukan, sahut Toan Ki.
Habis, apakah sakit kepala" Tjiong Ling menegas pula.
Djuga bukan, sahut Toan Ki.
Habis, apamu jang tidak enak"
Toan Ki mendjadi sulit, masakah urusan begituan boleh diterangkan pada seorang nona tjilik jang masih hidjau" Terpaksa ia mendjawab: Seluruh badanku merasa tidak enak, tjukuplah asal kau berusaha mendapatkan obat penawarnja.
Tapi kau tidak terangkan apa penjakitnja, darimana aku bisa tahu obat penawar apa jang diperlukan" udjar Tjiong Ling mengkerut dahi. Ajahku pandai mengobati segala penjakit, tapi dia harus mengetahui dahulu apakah kau sakit perut, sakit kepala, atau sakit djantung"
Ak ... aku tidak sakit apa-apa, sahut Toan Ki menghela napas. Tapi aku telah salah ... salah minum sematjam ratjun jang disebut Im-yang-ho-hap-san.
Bagus, seru Tjiong Ling, asal engkau tau namanja, mudahlah urusan diselesaikan.
Lalu dengan tjepat gadis itu pulang kerumah hendak minta obat penawar Im-yang-ho-hap-san pada ajahnja.
Tak tersangka begitu sigadis menjebut tentang Im-yang-ho-hap-san segala, belum lagi ia menerangkan lebih landjut, kontan Tjiong Ban-siu terus tarik mukanja jang berbentuk muka kuda itu, damperatnja: Anak perempuan seketjil ini suka tanja ini dan itu jang tidak karuan. Kalau kau berani sembarangan omong lagi, sebentar aku djewer kupingmu.
Dan sebelum Tjiong Ling sempat bitjara lebih landjut, saat itulah Poting-te dan rombongannja sudah menjerbu kedalam lembah Ban-djiat-kok, maka tjepat Ban-siu keluar menghadapi musuh sehingga Tjiong Ling ditinggal sendirian didalam kamar.
Ketika mendengar diluar sudah terdjadi pertarungan sengit, Tjiong Ling tidak ambil pusing sama sekali, ia asjik membongkar almari obat simpanan sang ajah. Ia obrak-abrik beratus botol obat Tjiong Ban-siu jang tersimpan didalam almari itu, setiap botol obat itu tertempel etiket jang menundjukkan nama obat masing-masing, tapi obat penawar Im-yang-ho-hap-san itu djusteru tidak terdapat.
Dan sedang Tjiong Ling bingung entah kemana harus mentjari obat penawar jang dibutuhkan, tiba-tiba terdengar suara orang mendobrak pintu dan melangkah masuk. Tanpa pikir lagi ia terus lepaskan Djing-leng-tju, siapa duga badan Djing-leng-tju jang kuat seperti besi itu, sekali diselentik Po-ting-te lantas binasa.
Dalam pada itu, Toan Ki jang menunggu-nunggu kembalinja Tjiong Ling hingga lama itu, pikiran tak senonohnja sudah semakin berkobar-kobar, beberapa kali hampir-hampir ia menubruk madju untuk memeluk Bok Wan-djing. Sampai achirnja, saking tak tahan, segera ia berteriak: Djing-moay, aku tidak ingin hidup lagi, lekaslah kau memberikan panahmu jang berbisa itu!
Tidak, aku takmau memberi, sahut Wan-djing dengan suara serak dan mata merah.
Toan Ki terus memukul-mukul dada dan perut sendiri sambil teriaknja pula: Mati, matilah kau! ~ Dan mendadak kepalan jang menghantam dada sendiri itu memukul diatas sebuah benda keras, itulah kotak kemala jang berada dalam badjunja. Seketika hatinja tergerak: Ha, biarlah aku gunakan Bong-koh-tju-hap ini untuk memanggil ular-ular beratjun, biarlah aku digigit mati ular-ular berbisa sadja.
Segera ia keluarkan kotak kemala itu dan membuka tutupnja. Benar djuga sepasang katak aneh itu lantas menguak keras-keras.
Namun dilembah Ban-djiat-kok itu berhubung Tjiong Ling suka memainkan Kim-leng-tju dan Djing-leng-tju, maka ular-ular berbisa lainnja sudah djauh menjingkir kelain tempat sehingga tidak mungkin mendengar suara menguaknja katak-katak radja ular itu.
Sampai lama Toan Ki menunggu, namun tiada seekor ularpun jang kelihatan. Sebaliknja badannja semakin panas, mulutnja serasa kering, keringatnja membasah kujup badjunja. Pikirnja: Sepasang Tju-hap ini bisa mengatasi ular-ular beratjun, agaknja pada badan binatang itu ratjunnja pasti djauh lebih lihay daripada ular-ular beratjun jang paling djahat. ~
Karena dia sudah ambil keputusan hendak membunuh diri, dalam keadaan pikiran sudah gelap, tanpa banjak pikir lagi ia terus tjomot seekor katak merah itu, ia masukkan binatang itu kedalam mulut terus dikunjahnja.
Ia merasakan air segar mengalir masuk ketenggorokannja, rasanja sangat enak. Ternjata katak-katak itu adalah binatang berdarah dingin. Maka hanja sekedjap sadja seekor katak merah jang merupakan machluk mestika jang djarang diketemukan didjagat ini sudah dimakannja habis. Bahkan ia belum lagi puas, segera katak jang kedua dimakannja pula.
Melihat muka Toan Ki sangat beringas sambil memakan katak hingga mulutnja penuh berlepotan darah, rambutnja kusut masai pula, Bok Wan-djing mendjadi rada takut malah.
Sementara itu setelah makan dua ekor Tju-hap mestika itu, pernapasan Toan Ki bertambah megap-megap, ia djusteru mengharapkan ratjun binatang itu lekas bekerdja agar dirinja lekas mati, supaja terhindar daripada siksaan jang susah ditahan itu....
Kembali mengenai Po-ting-te. Sesudah tinggalkan Tjiong Ling, ia tjoba mentjari pula tempat terkurungnja Toan Ki. Tiba-tiba terdengar dari belakang ada suara tindakan orang, tjepat ia menoleh, ternjata adalah Tjiong Ling jang sedang menjusulnja. Segera iapun berhenti menantikan gadis tjilik itu.
Sambil mendekati, terdengar Tjiong Ling berkata: Aku tak menemukan obat penawarnja, marilah aku membawa engkau kesana. Tapi entah batu itu dapat engkau geser atau tidak"
Sudah tentu Po-ting-te bingung tentang obat penawar segala, tanjanja: Obat penawar apa" Dan batu apa lagi"
Marilah ikut padaku, sebentar kau akan tahu sendiri, sahut Tjiong Ling terus mendahului djalan kedepan.
Meskipun djalanan di Ban-djiat-kok itu sangat berliku-liku penuh rahasia, namun dibawah petundjuk Tjiong Ling, sebentar sadja ia sudah membawa Po-ting-te sampai didepan pagar pohon jang mengelilingi rumah batu itu.
Dengan enteng Po-ting-te angkat bahu Tjiong Ling, sama sekali tidak tampak radja itu endjot kakinja, tahu-tahu ia sudah melintasi pagar pohon itu dengan enteng dan anteng sambil membawa Tjiong Ling. Karuan gadis itu kagum dan kegirangan, ia bertepuk tangan memudji: Bagus, bagus! Kau seperti bisa terbang sadja, sungguh hebat! Wah, tjelaka! Tiba-tiba seruannja ditutup oleh djeritan kuatir itu.
Kiranja tiba-tiba dilihatnja didepan rumah batu itu berduduk seorang, itulah dia Djing-bau-khek atau sibadju hidjau jang aneh itu.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 21 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih 9
^