Pencarian

Pendekar Pendekar Negeri Tayli 6

Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong Bagian 6


Kiranja jang datang ini adalah Tju Tan-sin jang ketinggalan dibelakang tadi. Sesudah dekat dan melihat wadjah si To-koh rada aneh, ia sangka orang telah ditjederai oleh In Tiong-ho, dengan kuatir segera ia menanja: Yau-toan-siantju, apa engkau engkau sudah bergebrak dengan dia"
Tiba-tiba In Tiong-ho bergelak ketawa, serunja: Sekarang dimulai djuga belum terlambat! ~ Habis berkata, ia terus berdiri diatas pelana kuda.
Dasar perawakan In Tiong-ho sudah djangkung, berdiri lagi diatas kuda, karuan mirip tiang bendera menegak. Sekonjong-konjong tubuhnja mendojong kedepan, ia gantol pelana kuda dengan kaki kanan, kedua tjakar badjanja terus menggaruk kearah si To-koh alias Yan-toan-siantju.
Tjepat Yan-toan-siantju berkelit dan mengisar kesisi kiri kuda, sekali kebutnja menjabet, segera kaki kiri In Tiong-ho diintjar.
Sama sekali In Tiong-ho tidak menghindar, sebaliknja ia masih ulur tjakar badja sebelah kiri untuk mentjengkeram punggung si To-koh. Tapi tjepat sekali To-koh itu mendak tubuh terus menerobos lewat dibawah perut kuda, menjusul kebutnja mengebas, beratus ribu benang perak jang kemilauan terus menantjap kekaki kanan lawan.
Namun kaki kanan In Tiong-ho segera melangkah madju, ia berdiri diatas kepala kuda dengan enteng, dari tempat jang lebih tinggi itu kembali ia menjerang, tjakar badja kanan terus menjerampang.
Turun! tiba-tiba Tju Tan-sin membentak terus ikut menerdjun kekalangan pertempuran. Mendadak iapun melompat keatas bokong kuda, dari situ ia lantas memukul pinggang lawan dengan kepalan kiri, sedangkan kipas ditangan kanan berbareng menutuk kaki.
Sendjata jang dipakai Tju Tan-sin sangat pendek dan sangat menguntungkan untuk bertempur dari djarak dekat.
Tjepat In Tiong-ho menangkis dengan tjakar sebelah kiri, berbareng tjakar badja jang lebih pandjang itu ditjengkeramkan kedepan. Namun dengan tjepat Yan-toan-siantju sudah tarik kembali kebutnja terus menjabet pula kekaki lawan.
In Tiong-ho benar-benar sangat lihay, biarpun dikerojok dua, ia masih dapat memainkan sepasang tjakar badannja dengan kentjang, sedikitpun tidak terdesak dibawah angin. Melihat orang berdiri diam diatas kuda, kedudukannja lebih menguntungkan. Segera Bok Wan-djing bidikan sebatang panah ketjil hingga menantjap dimata kiri kuda itu. Ratjun panahnja itu sangat lihay, begitu masuk dimata, seketika binatang itu roboh binasa.
Pada saat itu djuga kebut Yan-toan-siantju sudah dapat menggubet sebelah tjakar badja lawan, berbareng Tju Tan-sin ikut merangsang madju dan menjerang tiga kali be-runtun2.
Huh, bangsat2 Tayli hanja pintar main kerojokan sadja! damperat In Tiong-ho sambil menjerang kekanan dan kekiri, lalu ia melajang keatas pagar tembok dan melarikan diri.
Karena kedua sendjata tergubat mendjadi satu, Yau-toan-siantju dan In Tiong-ho saling betot sekuatnja. Meski tenaga dalam In Tiong-ho lebih kuat dari lawannja, tapi karena sebagian tenaganja harus dipakai menangkis serangan kipas badja Tju Tan-sin, pula mesti ber-djaga2
serangan panah beratjun dari Bok Wan-djing, maka ia tak kuat lagi memegangi sendjatanja itu, sekali tergetar, tjakar badja dan kebut pertapaan mentjelat keudara berbareng.
Namun sekali tangan kiri Yau-toan-siantju mengajun, tahu2 seutas selendang sutera jang melibat dipinggangnja telah ditarik dan disabetkan pula.
Huh, bangsat2 dari Tay-li-kok hanja pintar main kerojok sadja! damperat In Tiong-ho. Ia insaf takkan bisa menang lagi, sekali tutul kakinja diatas pelana kuda, setjepat panah orangnja terus melesat keluar, sekali tjakar badja jang masih ketinggalan itu menggantol pagar tembok, orangnja terus mengapung keatas dan sekali berdjumpalitan, menghilanglah keluar.
Pada waktu jang sama Bok Wan-djing telah membidikkan pula sebatang panah, tapi toh masih kalah tjepat, plok, panah itu menantjap diatas pagar tembok, sedang In Tiong-ho sudah lenjap bajangannja. Menjusul mana terdengarlah suara gemerantang jang njaring, kebut dan tjakar badja djatuh ketanah bersama. Diam2 Yau-toan-siantju saling pandang dengan Tju Tan-sin dan Bok Wan-djing, mereka terpesona oleh ketjepatan In Tiong-ho jang luar biasa itu.
Selang sedjenak, barulah Tju Tan-sin membuka suara: Yau-toan-siantju, kalau bukan engkau turun tangan, hari ini Tan-sin pasti sudah tewas ditangannja.
Yau-toan-siantju tersenjum, sahutnja: Sudah belasan tahun tidak pakai sendjata, sudah kaku rasanja. Tju-hiati, siapakah sebenarnja orang tadi ini"
Kabarnja Su-tay-ok-djin (empat orang maha djahat) telah datang ke Tayli semua, orang tadi adalah nomor empat dari Su-tay-ok-djin itu. Tapi ilmu silatnja sudah begini tinggi, maka tiga orang jang lain tak usah ditanja lagi, demikian sahut Tan-sin. Maka lebih baik engkau menghindarinja sementara ke Onghu sadja sampai nanti kalau keempat durdjana itu sudah dibereskan.
Wadjah Yau-toan-siantju rada berubah, sahutnja kurang senang: Guna apa aku pulang ke Onghu (istana pangeran)" Kalau Su-tay-ok-djin datang semua dan aku tak bisa melawannja, biarlah aku terima nasib sadja.
Tju Tan-sin ternjata sangat menghormat pada paderi wanita itu, ia tidak berani bitjara lagi, sebaliknja berulang kali mengedipi Toan Ki agar pemuda itu ikut membudjuk.
Maka berkatalah Toan Ki: Mak, keempat durdjana itu benar2 terlalu djahat dan kedjam, djika kau tidak mau pulang, marilah kita pergi ketempat Pekhu (paman) sadja!
Tidak, aku tidak mau sahut Yau-toan-siantju sambil menggeleng, matanja lantas memberambang se-akan2 meneteskan air mata.
Kalau ibu tidak mau pulang, biarlah aku menemani engkau disini, udjar Toan Ki. Lalu katanja pada Tju Tan-sin: Tju-toako, harap kau suka laporkan pada Empek dan ajahku, katakan bahwa kami ibu dan anak tetap tinggal disini untuk melawan musuh bersama.
Yau-toan-siantju mendjadi tertawa, katanja: Tidak malu, kepandaian apa jang kau miliki, berani bilang akan melawan musuh bersama aku" ~ walaupun ia tertawa geli karena kelakuan Toan Ki itu, namun tidak urung air matanja jang mengembeng dikelopak matanja itu menetes djuga, lekas2 ia berpaling dan mengusap air matanja dengan lengan badju.
Diam2 Bok Wan-djing heran: Kenapa ibu Toan-long adalah seorang paderi"
Dan dengan perginja In Tiong-ho itu, tentu selekasnja akan datang pula bersama tiga orang kawannja, lalu ibunja apa sanggup melawannja" Tapi dia sudah bertekad tak mau menjingkir pergi. Ah, tahulah aku! Memang laki2
didunia ini berhati palsu semua, pasti ajahnja Toan-long punja kekasih baru lagi, hingga ibunja marah, terus tirakat menjutjikan diri. ~
Berpikir demikian, ia mendjadi solider pada Yau-toan-siantju, katanja segera: Yau-toan-siantju, biar aku membantu kau melawan musuh.
Yau-toan-siantju meng-amat2i paras Bok Wan-djing sedjenak, mendadak ia menanja dengan suara bengis: Kau harus mengaku terus terang, sebenarnja
'Siu-lo-to' Tjin Ang-bian itu pernah apamu"
Bok Wan-djing mendongkol djuga oleh sikap orang, sahutnja: Bukankah sudah kukatakan bahwa selamanja aku tidak pernah kenal nama itu. Apakah Tjin Ang-bian itu laki2 atau perempuan, manusia atau chewan, sama sekali aku tidak tahu.
Baru sekarang Yau-toan-siantju mau pertjaja, sebab kalau gadis ini adalah sanak keturunan Siu-lo-to, tidak mungkin berkata tentang chewan segala. Maka sikapnja berubah ramah kembali, katanja dengan tersenjum: Nona djangan marah, soalnja karena tadi aku melihat tjara kau melepaskan panah sangat mirip seorang wanita jang kukenal, parasmu djuga rada memper, maka timbul rasa tjurigaku. Nona Bok, siapakah nama kedua orang tuamu" Ilmu silatmu sangat bagus, tentu djuga keluaran perguruan ternama!
Bok Wan-djing menggeleng kepala, sahutnja: Sedjak ketjil aku sudah piatu, Suhu jang membesarkan aku. Maka aku tidak tahu siapa2 ajah-bundaku.
Djika begitu, siapakah gerangan gurumu itu" tanja Yau-toan-siantju lagi.
Guruku bernama 'Bu-beng-khek' sahut Wan-djing.
Namanja Bu-beng-khek" Yau-toan-siantju mengulangi nama itu sambil merenung sedjenak, kemudian ia pandang Tju Tan-sin dengan maksud menanja apakah kenal akan nama itu.
Tapi Tju Tan-sin menggojang kepala, katanja: Tan-sin tinggal terpentjil didaerah selatan, sempit pengalamannja, maka banjak kaum kesatria gagah di Tionggoan tidak dikenalnja. Tjianpwe 'Bu-beng-khek' itu tentunja seorang kosen jang mengasingkan diri dipegunungan sunji.
Tengah berbitjara, tiba2 diluar sana ramai dengan suara derapan kuda, dari djauh ada seorang sedang berseru menanja: Site, Kongtjuya baik2
bukan" Ja, Toako, Kongtjuya tidak kurang suatupun apa! sahut Tan-sin.
Hanja sebentar sadja, empat penunggang kuda sudah berhenti didepan Djing-hoa-koan, Bu-sian-tio-to, Djay-sin-khek dan Tiam-djong-san-long bertiga tampak masuk, terus menjembah kehadapan Yau-toan-siantju.
Sedjak ketjil Bok Wan-djing dibesarkan dipegunungan sunji, ia mendjadi heran melihat tata-krama jang ber-tele2 itu, pikirnja: Orang2 ini sangat hebat ilmu silatnja, mengapa melihat seorang wanita lantas menjembah semua"
Melihat keadaan ketiga orang itu rada runjam, muka Tiam-djong-san-long, sipetani dari pegunungan Tiam-djong, tampak terluka pula hingga perlu dibalut, Djay-sin-khek, situkang kaju, badannja djuga berlepotan darah, sedang alat pantjing Bu-sian-tio-to, situkang pantjing dari danau Busian, sudah terkutung sebagian, maka tjepat Yau-toan-siantju menanja: Bagaimana, apa musuh terlalu hebat" Parah tidak lukanja Su-kui"
Tang Su-kui adalah nama Tiam-djong-san-long, sipetani.
Mendengar pertanjaan itu, matanja se-akan2 berapi saking penasarannja, sahutnja keras2: Su-kui pertjuma beladjar, sungguh memalukan hingga Onghui mesti ikut berkuatir.
Kau sebut aku Onghui apa segala" kata Yau-toan-siantju dengan pelahan.
Rupanja ingatanmu begitu djelek, ja
Seketika Tang Su-kui menunduk, sahutnja: Ja, harap Onghui memaafkan!
Walaupun mengaku salah tapi mulutnja tetap menjebut Onghui atau isteri pangeran. Rupanja panggilan itu sudah terlalu biasa diutjapkan hingga susah disuruh berubah.
Dimanakah Ko-houya" Kenapa tidak ikut datang " demikian Tan-sin menanja.
Houya berada diluar, ia terluka dalam sedikit, tidak leluasa untuk turun dari kudanja, sahut Bu-sian-tio-to, sinelajan, jang bernama Leng Djian-li.
Ah, djadi Houya djuga terluka" Ap ... apa parah" seru Yau-toan-siantju terkedjut.
Ko-houya tadi mengadu tenaga dengan Lam-hay-gok-sin, dalam keadaan tak terpisahkan, se-konjong2 Yap Dji-nio menjerangnja dari belakang hingga punggungnja kena digablok sekali, tutur Leng Djian-li.
Setelah ragu2 sedjenak, mendadak Yau-toan-siantju menarik Toan Ki dan mengadjak: Marilah, Ki-dji, kita keluar mendjenguk Ko-sioksiok.
Segera mereka berdua mendahului keluar diikut empat tokoh Hi-djiau-keng-dok atau sinelajan, situkang kaju, sipetani dan sipeladjar. Begitu pula Bok Wan-djing mengikut keluar.
Benar djuga segera nampak Sian-tan-hou Ko Sing-thay tengkurap diatas kudanja, badju dibagian punggung tampak robek dan djelas kelihatan bekas telapak tangan. Tjepat Toan Ki memburu madju dan menanja: Ko-sioksiok, bagaimanakah keadaanmu"
Waktu Ko Sing-thay mendongak dan nampak Yau-toan-siantju berdiri didepan pintu, tjepat ia meronta turun dari kuda untuk memberi hormat.
Ko-houya, kau terluka, tidak perlu banjak adat lagi, kata Yau-toan-siantju.
Namun Ko Sing-thay sudah menjembah ditanah dari djauh serta berkata: Sing-thay menjampaikan salam bakti kepada Onghui!
Ki-dji, lekas kau memajang bangun Ko-sioksiok! seru Siantju segera.
Diam2 Bok Wan-djing bertambah tjuriga, pikirnja: Ilmu silat orang she Ko ini sangat lihay, dengan serulingnja jang pendek itu, hanja beberapa gebrak sadja sudah kalahkan Yap Dji-nio, tentu dia sangat terkemuka didunia persilatan, tapi kenapa melihat ibunja Toan-long, ia mendjadi begitu menghormat serta menjebutnja Onghui" Apa mungkin Toan-long adalah
..... adalah Ongtju (putera pangeran) segala" Tapi, ah, seorang peladjar ke-tolol2an seperti dia masakah mirip seorang Ongtju apa"
Dalam pada itu terdengar Yau-toan-siantju lagi berkata: Djika Ko-houya terluka, silahkan segera pulang Tayli untuk merawat dirimu.
Ko Sing-thay mengia sambil berbangkit. Tapi segera katanja pula: Sutay-ok-djin telah datang ke Tayli semua, keadaan sangat berbahaja, harap Onghui suka pulang istana untuk menghindarinja sementara.
Yau-toan-siantju menghela napas, sahutnja: Selama hidupku ini takkan pulang kesana lagi.
Djika begitu, biarlah kita tinggal mendjaga diluar Djing-hoa-koan ini, udjar Sing-thay. Lalu ia berpaling pada Tang Su-kui dan berkata: Su-kui, kembalilah kau dan lekas laporkan pada Hongsiang dan Ongya.
Su-kui mengia terus mentjemplak keatas kudanja. Meski lukanja tidak ringan, tapi gerak-geriknja masih sangat tjekatan.
Nanti dulu ! tiba2 Yau-toan-siantju mentjegah. Ia menunduk memikir.
Sorot mata semua orang terpusatkan pada dirinja, tapi dari air muka Siantju jang ber-ubah2 itu, terang dia lagi menghadapi pertentangan batin jang serba sulit. Selang agak lama, mendadak ia menengadah dan berkata: Baiklah, marilah kita pulang ke Tayli semua, tidaklah patut kalau melulu untuk diriku mesti bikin semua orang tinggal disini.
Karuan Toan Ki berdjingkrak saking girang, terus sadja ia peluk sang ibu dan berkata: Beginilah memang ibuku jang baik!
Biar kupergi memberi kabar dulu! seru Su-kui terus keprak kudanja.
Dalam pada itu Leng Djian-li sudah lantas bawakan kuda untuk Yau-toan-siantju, Toan Ki dan Bok Wan-djing.
Begitulah be-ramai2 mereka lantas berangkat ke Tayli. Yau-toan-siantju, Toan Ki, Wan-djing dan Sing-thay berempat menunggang kuda, sedang Busian-tio-to Leng Djian-li, Djay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bek-seng Tju Tan-sin mengikuti dengan djalan kaki.
Tidak djauh, dari depan tampak datang seregu pasukan berkuda negeri Tayli. Leng Djian-li memberi tanda kepada komandan pasukan itu serta berkata beberapa ketjap padanja. Segera komandan pasukan itu memberi perintah, semua peradjurit melompat turun dari kuda serta menjembah ditanah. Toan Ki memberi tanda dan berkata: Silahkan berdiri, tak usah banjak adat!
Segera komandan pasukan itu membawakan tiga ekor kuda lain untuk Leng Djian-li bertiga. Lalu ia pimpin pasukannja mendahului membuka djalan.
Melihat suasana jang luar biasa itu, Bok Wan-djing menduga Toan Ki pasti bukan orang biasa, tiba2 ia mendjadi kuatir: Semula kusangka dia hanja seorang peladjar jang miskin, makanja aku pasrahkan diriku padanja. Tapi melihat gelagatnja ini, kalau bukan sanak-keluarga keradjaan, tentu dia adalah pembesar negeri, bukan mustahil aku akan dipandang hina olehnja.
Suhu pernah berkata bahwa semakin laki2 itu kaja dan berpangkat, semakin tidak punja Liangsim, tjari isteri djuga mesti minta jang sederadjat. Hm, hm, sjukurlah bila dia tetap memperisterikan daku dengan baik, kalau tidak, ragu2 dan matjam2, ha, lihatlah kalau aku tidak batjok kepalanja, peduli apakah kau keluarga radja atau pembesar negeri!
Dan karena berpikir begitu, ia takbisa tahan perasaannja lagi, segera ia keprak kudanja mendjadjari Toan Ki terus menanja: He, sebenarnja siapakah kau" Apa jang kita tetapkan diatas gunung itu masih tetap berlaku tidak"
Melihat didepan umum sigadis terang2an menegur padanja tentang urusan perdjodohan, keruan Toan Ki mendjadi kikuk, sahutnja dengan tersenjum: Setelah sampai dikota Tayli, pelahan2 tentu akan kudjelaskan padamu.
Awas kalau kau mengingkari aku............... aku......... berkata sampai disini, suaranja mendjadi ter-guguk2 dan takbisa diteruskan lagi.
Melihat wadjah sigadis ke-merah2an menahan isak tangis, air matanja mengembeng ber-kilau2 hingga makin menambah tjantiknja, rasa tjinta Toan Ki mendjadi ber-kobar2, katanja dengan lirih: Wan-djing, djanganlah kau kuatir, lihatlah, ibuku djuga sangat suka padamu.
Seketika dari menangis Bok Wan-djing berubah tertawa, sahutnja pelahan: Ibumu suka atau tidak suka padaku, aku tidak urus! ~ dibalik kata2nja ini se-akan menjatakan: asal kau suka padaku, sudahlah tjukup.
Tentu sadja perasaan Toan Ki terguntjang, waktu ia berpaling kearah ibunja, ia lihat Yau-toan-siantju lagi memandang kepada mereka dengan paras jang tertawa-tidak-tertawa. Karuan Toan Ki medah djengah.
Mendjelang petang, kira2 masih 30 li diluar kota Taylil, tiba2
kelihatan debu mengepul tinggi didepan sana, sepasukan tentera jang berdjumlah beberapa ratus orang mendatangi dengan tjepat. Dua buah pandji kuning djingga tambak ber-kibar2, jang sebuah tertulis dua huruf sulam Tin-lam dan jang lain Po-kok (menduduki selatan dan membela negara).
Segera Toan Ki berseru: Mak, ajah sendiri datang memapak engkau!
Yau-toan-siantju hanja mendengus sekali terus memberhentikan kudanja.
Ko Sing-thay dan lain2 lantas turun dari kuda dan berdiri dipinggir djalan. Sedang Toan Ki segera keprak kudanja kedepan. Bok Wan-djing ragu2
sedjenak, tapi tjepat iapun keprak kudanja menjusul.
Tidak lama, pasukan itu sudah dekat, segera Toan Ki berseru: Tiatia (ajah), ibu telah kembali!
Maka tampaklah dari tengah pasukan itu muntjul seorang berdjubah kuning menunggang seekor kuda putih jang tinggi besar sekali, datang2 terus membentak: Ki-dji, kau terlalu bandel hingga Ko-sioksiok ikut terluka parah, lihatlah nanti kalau aku tidak hadjar patah kedua kakimu!
Bok Wan-djing mendjadi kaget, pikirnja: Hm, kedua kaki Toan-long hendak kau patahkan" Tidak bisa, pasti aku akan merintangi, biarpun kau adalah ajahnja! ~ Ia lihat orang berdjubah kuning itu bermuka lebar, sikapnja sangat gagah keren, alis lebat, mata besar, mempunjai wibawa sebangsa radja atau pangeran. Meski utjapannja tadi kedengarannja bengis, tapi melihat sang putera telah pulang dengan selamat, air mukanja lebih banjak girangnja daripada gusarnja.
Diam2 Wan-djing membatin: Untung paras Toan-long lebih banjak mirip ibunja, kalau matjam kau jang garang bengis begini, tentu aku takkan suka.
Ia lihat Toan Ki sudah memapak madju sambil berkata dengan tertawa: Tia, engkau baik2 sadja bukan"
Baik, hitung2 tidak mati gusar oleh perbuatanmu! sahut orang berdjubah kuning itu dengan marah.
Tapi kalau bukan anak keluar rumah, ibu tentu djuga takbisa diadjak pulang. Djasa anak ini rasanja bolehlah mengimbangi kesalahanku, harap ajah djangan gusar lagi, demikian kata Toan Ki dengan tertawa.
Seumpama aku tidak hadjar kau, Empekmu pasti djuga tidak bisa mengampuni kau, udjar sibadju kuning. Dan sekali ia kempit kudanja, setjepat terbang kuda putting ia lantas mentjongklang kearah Yau-toan-siantju.
Melihat peradjurit pasukan itu semua berlapis badja jang mengkilap dengan sendjata lengkap, 20 orang dibaris depan membawa pandji dan papan jang bertjat emas bentuk naga dan harimau, diatas salah sebuah papan merah itu tertuliskan tanda pangkat ajah Toan Ki sebagai Po-kok-tay-tjiang-kun atau panglima besar pembela negara dan papan lain tertulis gelar bangsawannja sebagai Tin-lam-ong she Toan dari negeri Tayli.
Meski biasanja Bok Wan-djing tidak takut langit dan tak gentar pada bumi, tapi menjaksikan perbawa barisan jang angker itu, mau-takmau ia harus prihatin djuga. Tiba2 tanjanja pada Toan Ki: He, apakah Tin-lam-ong, Po-kok-tay-tjiang-kun ini adalah ajahmu"
Toan Ki mengangguk, sahutnja dengan lirih: Dan adalah ajah mertuamu pula.
Sesaat itu Bok Wan-djing mendjadi ter-mangu2 diatas kudanja dengan rasa hampa. Habis itu, ia keprak kudanja mendjadjari Toan Ki pula. Disekitar djalan besar itu penuh dengan orang, tapi ia merasa hampa dan sepi tak terkatakan, ia mendjadi lega bila berdampingan dengan Toan Ki.
Sementara itu Tin-lam-ong tampak sudah berhadapan dengan Yau-toan-siantju, kedua orang saling pandang kian-kemari, tapi tiada satupun jang mulai bitjara.
Mak, ajah sendiri datang menjambut kau, seru Toan Ki segera.
Kau pergi katakan pada Pekbo (bibi) bahwa aku akan tinggal beberapa hari ditempatnja, sesudah mengundurkan musuh, aku lantas kembali ke Djing-hoa-koan, demikian kata Yau-toan-siantju.
Maka dengan mengiring tawa, Tin-lam-ong membuka suara: Hudjin, apakah kau masih marah padaku" Marilah pulang dulu, nanti akan kuminta maaf padamu.
Yau-toan-siantju menarik muka, sahutnja: Tidak, aku tidak pulang, aku akan keistana.
Bagus, seru Toan Ki tertawa, kita keistana dulu untuk mendjumpai Pekhu dan Pekbo. Mak, anak telah keluar kelujuran tanpa permisi, Pekhu tentu akan marah, ajah terang tidak mau membela aku, maka mohon ibu suka mintakan ampun pada Pekhu.
Tidak, semakin besar semakin bandel kau, biar Pekhu memberi hadjaran setimpal padamu, sahut Yau-toan-siantju.
Tapi kalau anak dihadjar, jang merasa sakit tentu ibu, maka lebih baik djangan sampai dihadjar, kata Toan Ki dengan tjengar-tjengir aleman.
Yau-toan-siantju tertawa, katanja lagi: Tidak, semakin keras kau dihadjar, semakin senang aku.
Begitulah, suasana pertemuan kembali Tin-lam-ong dengan sang isteri itu sebenarnja serba runjam, tapi karena banjolan Toan Ki itu, perasaan suami-isteri itu seketika berasa bahagia.
Tia, tiba2 Toan Ki berseru pula, kudamu lebih bagus, kenapa tidak bertukar kuda dengan ibu"
Tidak, kata Yau-toan-siantju, terus keprak kudanja kedepan.
Segera Toan Ki memburunja dan menahan kuda sang ibu. Sementara itu Tinlam-ong sudah turun dari kudanja serta menjusul. Dengan tertawa2 Toan Ki terus pondong sang ibu keatas kuda putih ajahnja dan berkata: Mak, wanita setjantik engkau mendjadi lebih aju lagi bila menunggang kuda putih ini.
Nonamu she Bok itu barulah benar2 tjantik tiada bandingannja, kau sengadja mentertawai ibumu jang sudah nenek2 ini ja" sahut Siantju tertawa.
Baru sekarang Tin-lam-ong berpaling kearah Bok Wan-djing, tanjanja pada Toan Ki: Ki-dji, siapakah nona ini"
Ia adalah ...... adalah nona Bok, ia adalah ..... adalah kawan baik anak, sahut Toan Ki gelagapan.
Melihat sikap puteranja itu, segera Tin-lam-ong tahu apa artinja itu.
Ia lihat Bok Wan-djing tjantik-molek, putih halus, diam2 ia harus memudji djuga kepandaian puteranja jang pintar pilih pasangan itu. Tapi demi nampak sifat liar Bok Wan-djing itu, sama sekali tidak memberi hormat atau menjapa, diam2 katanja dalam hati: Kiranja adalah seorang gadis desa jang tidak kenal peradaban. ~ Ia kuatirkan keadaan luka Ko Sing-thay, segera ia mendekatinja serta menanja dan memeriksa urat nadinja.
Hanja terluka sedikit, tidak apa2, djangan kau buang tenaga................. demikian kata Ko Sing-thay. Namun Tin-lam-ong sudah lantas ulur djari telundjuk kanan dan menutuk tiga kali dipunggung dan tengkuknja, berbareng telapak tangan kiri menahan dipinggangnja.
Lambat laun tampak asap putih mengepul dari ubun2 Tin-lam-ong, selang sedjenak lagi, barulah ia lepaskan tangan kirinja.
Sun-ko, bakal menghadapi musuh tangguh, buat apa kau membuang tenaga dalam dirimu" udjar Ko Sing-thay.
Lukamu tidak enteng, lebih tjepat disembuhkan lebih baik, kalau dilihat Toako, tanpa menunggu aku tentu dia akan turun tangan sendiri, sahut Tinlam-ong alias Toan Tjing-sun.
Melihat wadjah Ko Sing-thay jang tadinja seputjat majat itu, hanja dalam sekedjap sadja sudah bersemu merah, lukanja sudah disembuhkan, diam2 Bok Wan-djing sangat terkedjut: Kiranja ajah Toan-long memiliki Lwekang jang maha tinggi, tapi kenapa............. kenapa dia sendiri tak bisa ilmu silat"
Sementara itu Leng Djian-li sudah bawakan seekor kuda lain untuk Tinlam-ong serta meladeni pangeran itu naik keatas kuda. Tin-lam-ong keprak kudanja berdjadjar dengan Ko Sing-thay dan mengadjaknja bitjara tentang kekuatan musuh. Toan Ki djuga pasang omong dengan senangnja dengan sang ibu, ber-bondong2 pasukan tentara negeri Tayli itu berangkat kembali, hanja Bok Wan-djing jang merasa kesepian karena tiada jang adjak omong.
Petangnja, rombongan sudah memasuki kota Tayli. Dimana pandji2
bertuliskan Tin-lam dan Po-kok tiba, disitu rakjat djelata lantas bersorak-sorai memudji kebesaran panglima itu. Tin-lam-ong balas memberi tangan kepada rakjat jang meng-elu2kannja itu, tampaknja ia sangat disukai oleh rakjat djelata.
Bok Wan-djing melihat kota Tayli itu sangat ramai, gedung berdiri disana-sini dengan megah, djalan raja jang berlapiskan batu hidjau besar rata penuh rakjat jang berlalu-lalang.
Setelah melalui sebuah djalan kota, kemudian tampak didepan mendatar sebuah djalan batu jang lempeng lebar, diudjung djalan itu tampak berdiri beberapa istana berwarna kuning jang indah dengan katja jang kemilauan tersorot oleh tjahaja matahari diwaktu sendja.
Rombongan itu sampai didepan sebuah gapura, semuanja lantas turun dari kuda. Bok Wan-djing melihat diatas papan gapura itu tertulis empat huruf Tjip-to-kiong-tju, artinja djalan menudju istana bidjaksana.
Bok Wan-djing pikir: Tentu inilah istana radja negeri Tayli. Pamannja Toan-long tinggal didalam istana, agaknja kedudukannja sangat tinggi, kalau bukan pangeran, tentu sebangsa panglima besar dan sebagainja.
Setelah lewat gapura itu, sampailah didepan istana radja Seng tju-kiong. Tiba2 seorang Thaykam (dajang kebiri) berlari keluar dengan tjepat, katanja sambil menjembah: Lapor Ongya, Hongsiang dan Nionio (baginda radja dan permaisuri) sedang menunggu di Onghu, silahkan Ongya dan Onghui pulang ke Tin-lam-onghu untuk menghadap Hongsiang!
Tin-lam-ong mengia dengan girang. Begitu pula Toan Ki lantas berseru: Bagus, bagus!
Apanja jang bagus" omel Onghui dengan melototi sang putera, Biarlah aku tunggu Nionio didalam istana sini.
Tapi Nionio memesan agar Onghui diharuskan menghadapnja sekarang djuga, beliau ingin berunding sesuatu jang penting dengan Onghui, demikian segera Thaykam tadi menutur.
Ada urusan penting apa" Huh, tipu muslihat belaka! Yau-toan-siantju menggerundel pelahan.
Toan Ki tahu djuga, itulah rentjana jang sengadja diatur oleh Honghou (permaisuri), sebab menduga ibunja tentu tak mau pulang istana pangeran, maka sengadja menunggu di Tin-lam-onghu untuk mempertemukan kembali ajah-bundanja disana. Maka iapun tidak banjak bitjara lagi, tjepat ia bawakan kuda untuk sang ibu serta menaikkannja keatas kuda.
Rombongan segera putar balik keistana pangeran. Disana suasana tampak sangat angker, pasukan pengawal berdiri dengan radjin memberi hormat atas pulangnja Tin-lam-ong dan permaisuri. Tin-lam-ong mendahului masuk kepintu istana, tapi Yau-toan-siantju masih ogah2an, begitu naik keatas undak2an, segera matanja memberambang basah. Namun dengan setengah mendorong dan setengah menjeret Toan Ki dapat mengiringkan sang ibu kedalam istana, lalu katanja: Tia, anak telah mengadjak ibu pulang kerumah, djasa anak sebesar ini, hadiah apa jang akan ajah berikan padaku"
Saking senangnja, Tin-lam-ong menjahut: Kau boleh tanja ibumu, ibu bilang hadiah apa, segera kuberikan.
Kubilang paling tepat beri hadiah gebukan, kata Yau-toan-siantju dengan tertawa.
Toan Ki melelet lidah dan tak berani bitjara lagi.
Setelah ikut masuk ruangan pendopo, Ko Sing-thay dan lain2 tidak ikut masuk lebih djauh. Kata Toan Ki kepada Wan-djing: Bok .... Bok-kohnio, silahkan kau menunggu sebentar disini, setelah kuhadap Hongsiang, segera kudatang lagi.
Terpaksa Wan-djing mengangguk, walaupun dalam hati sangat berat ditinggal pemuda itu. Tanpa peduli lagi ia terus duduk diatas kursi pertama jang tersedia disitu. Sebaliknja Ko Sing-thay dan lain2 tetap berdiri, setelah Tin-lam-ong bertiga masuk keruangan dalam, barulah Ko Sing-thay ambil tempat duduk, jang lain2 tetap berdiri dengan tangan lurus tegak.
Bok Wan-djing tidak ambil pusing mereka itu, ia lihat didalam pendopo itu penuh terhias pigura lukisan dan seni tulis, begitu banjak hingga dia bingung sendiri melihatnja, apalagi memang banjak djuga huruf jang tak dikenalnja. Maklum gadis gunung jang tak banjak makan sekolahan.
Tidak lama, seorang dajang membawakan teh, sambil setengah berlutut, dajang itu angkat nampan tinggi2 menjuguhkan minuman itu kepada Bok Wan-djing dan Ko Sing-thay. Diam2 sigadis mendjadi heran mengapa hanja dirinja dan Ko Sing-thay jang mendapat minum, sedang Tju Tan-sin dan lain2 tidak. Padahal djago2 itu ketika menghadapi musuh dipuntjak gunung, perbawanja tiada terkatakan kerennja. Tapi sampai didalam Tin-lam-onghu, mereka mendjadi begitu prihatin, sampai bernapaspun tak berani keras2.
Sesudah lama ditunggu, ternjata Toan Ki belum djuga keluar, Wan-djing mendjadi tak sabar, teriaknja tak peduli: Toan Ki, Toan Ki, kerdja apa kau didalam, lekas keluar!
Ruangan itu hening sunji, bahkan setiap orang berdiam dengan menahan napas, tapi mendadak Bok Wan-djing menggembor, karuan mereka kaget. Tapi segera mereka merasa geli djuga. Kata Ko Sing-thay: Harap nona Bok suka sabar, sebentar Siauongya tentu akan keluar
Siauongya apa katamu" tanja Wan-djing.
Toan-kongtju adalah putera Tin-lam-ong, bukankah Siauongya (putera pangeran) namanja" sahut Sing-thay.
Bok Wan-djing mendjadi heran, katanja kemak-kemik: Siauongya" Huh, peladjar ke-tolol2an begitu masakah memper seorang Ongya segala"
Apakah engkau inilah kaisar negeri Tayli" tanja Bok Wan-djing setjara blak2an tanpa berlutut dan tidak menjembah.
Sedjenak kemudian, dari dalam keluarlah seorang Thaykam dan berseru: Titah baginda: Sian-tan-hou dan Bok Wan-djing diperintahkan masuk menghadap!
Waktu melihat keluarnja Thaykam itu, Ko Sing-thay sudah lantas berdiri dengan sikap menghormat. Tapi Bok Wan-djing sama sekali tak peduli, ia tetap duduk ditempatnja dengan enaknja. Dan demi mendengar namanja disebut begitu sadja, ia mendjadi kurang senang, omelnja pelahan: Masakan menjebut nona djuga tidak, apakah namaku boleh sembarangan kau panggil"
Ko Sing-thay tersenjum, katanja segera: Marilah nona Bok, kita masuk menghadap Hongsiang
Biarpun Bok Wan-djing tidak pernah gentar pada siapa dan apapun djuga, tapi mendengar akan menghadapi radja, tanpa merasa ia djadi merinding.
Terpaksa ia ikut dibelakang Ko Sing-thay, setelah menjusur serambi pandjang dan menerobos beberapa ruangan lagi, achirnja sampailah disebuah ruangan besar jang indah.
Segera Thaykam tadi berseru sembari menjingkap kerai: Sian-tan-hou dan Bok Wan-djing datang menghadap Hongsiang dan Nionio.
Ko Sing-thay mengedipi Bok Wan-djing agar mengikut tjaranja, lalu ia mendahului masuk keruangan terus berlutut kehadapan seorang laki2 dan wanita agung jang berduduk ditengah situ. Sebaliknja Wan-djing tidak ikut berlutut, bahkan ia meng-amat2i laki2 jang berdjubah sulam kuning dan berdjenggot pandjang itu, lalu menanja: Apakah engkau ini adalah Hongte (kaisar)".
Memang laki2 jang duduk di-tengah2 dengan agungnja ini adalah Toan Tjing-beng, kaisar negeri Tayli sekarang jang bidjaksana dengan gelar Poting-te.
Tay-li-kok atau negeri Tayli itu berdiri sedjak djaman Ngotay, sudah bersedjarah lebih 150 tahun. Po-ting-te sudah belasan tahun naik tachta, tatkala itu seluruh negeri aman sentausa, rakjat hidup sedjahtera, negara makmur, rakjat subur.
Melihat Bok Wan-djing tidak berlutut, sebaliknja menanja apakah dirinja kaisar atau bukan, Po-ting-te mendjadi geli malah, maka sahutnja: Ja, akulah kaisar. Bagaimana, senang tidak pesiar dikota Tayli ini"
Begitu masuk kota aku lantas datang kemari, belum ada tempo untuk pesiar, sahut sigadis.
Biarlah besok Ki-dji mengadjak kau pesiar menikmati keindahan Tayli ini, udjar Po-ting-te dengan tersenjum.
Baiklah, kata Wan-djing. Dan kau apa akan mengiringi kami djuga"
Mendengar itu, semua orang ikut tertawa geli. Namun Po-ting-te menoleh kepada permaisurinja dan menanja: Honghou, dara ini minta kita mengiringi dia, kau bilang bagaimana"
Dengan tersenjum belum lagi permaisuri itu mendjawab, Bok Wan-djing sudah lantas buka suara pula: Apakah engkau Honghou-nionio" Sungguh tjantik benar!
Po-ting-te ter-bahak2, serunja: Ki-dji, nona Bok ini sungguh polos dan ke-kanak2an, sungguh menarik.
Kenapa kau panggil dia Ki-dji" tiba2 Wan-djing menanja lagi. Empek (paman) jang sering dia sebut itu apakah engkau adanja" Kali ini dia berkelujuran keluar, dia sangat takut dimarahi olehmu. Harap kau djangan menghadjar dia, ja"
Sebenarnja aku akan persen dia 50 kali rangketan, sahut Po-ting-te dengan tertawa. Tapi kau telah minta ampun baginja, baiklah kuampuni dia.
Nah, Ki-dji, tak lekas kau menghaturkan terima kasih pada nona Bok"
Melihat Bok Wan-djing membikin baginda sangat senang, Toan Ki bergirang djuga, ia tjukup kenal watak sang paman jang suka turut permintaan orang, maka tjepat ia berkata pada Wan-djing: Terima kasih atas kebaikanmu, nona Bok.
Sigadis membalas hormat serta menjahut dengan pelahan: Tak usah kau berterima kasih, asal kau tak dihadjar pamanmu aku sudah lega. ~ Lalu ia berkata pula kepada Po-ting-te: Semula kusangka seorang kaisar tentu sangat bengis menakutkan, siapa tahu engkau ..... engkau sangat baik!
Sebagai kaisar, umumnja orang hanja djeri dan menghormat padanja, tapi belum pernah ada orang memudjinja engkau sangat baik, karuan Po-ting-te sangat senang terutama melihat sifat sigadis jang polos ke-kanak2an itu, maka katanja pada permaisurinja: Honghou, barang apa akan kau hadiahkan padanja"
Segera Honghou tanggalkan sebuah gelang kemala dari lengannja dan disodorkan pada Bok Wan-djing dan berkata: Ni, dihadiahkan padamu!
Wan-djing tidak menolak, ia terima hadiah itu dan dipakai ditangan sendiri, katanja kemudian dengan tertawa: Terima kasih, ja! Lain kali akupun akan mentjari sesuatu barang bagus untuk dipersembahkan padamu.
Honghou tersenjum dan belum lagi mendjawab, se-konjong2 diluar beberapa rumah sana, kedengaran atap rumah berbunji keresek sekali. Segera Honghou berpaling pada Po-ting-te dan berkata: Itu dia, ada orang menghantar hadiah padamu!
Belum selesai utjapannja, kembali suara keresekan berbunji pula diatas rumah sebelah. Bok Wan-djing terperandjat, ia tahu musuh jang datang itu berilmu Ginkang jang maha tinggi, entengnja laksana daun djatuh, bahkan tjepatnja luar biasa.
Dalam pada itu segera terdengar djuga ada beberapa orang telah melompat keatas rumah, menjusul terdengar suara Bu-sian-tio-to Leng Djian-li lagi menegur: Siapakah tuan ini, ada urusan apa malam2 mengundjungi Onghu"
Aku ingin mentjari muridku! Dimana muridku jang sajang itu, lekas suruh dia keluar! demikian djawab suara seorang jang menjerikan mirip logam digesek. Itulah dia suaranja Lam-hay-gok-sin.
Diam2 Bok Wan-djing berkuatir, meski iapun tahu pendjagaan dalam istana itu sangat keras dan kuat, Tin-lam-ong sendiri dan Yau-toan-siantju serta tokoh2 Hi-djiau-keng-dok sangat tinggi ilmu silatnja, tapi Lam-hay-gok-sin itu sesungguhnja teramat lihay, tambahan pula dibantu Yap Dji-nio dan In Tiong-ho, belum lagi orang djahat nomor satu didunia jang belum muntjul itu, sekaligus Su-ok bersatu untuk merampas Toan Ki, mungkin tidak mudahlah untuk melawannja.
Sementara itu terdengar Leng Djian-li lagi menanja: Siapakah gerangan muridmu" Didalam Tin-lam-onghu ini darimana ada seorang muridmu"
Se-konjong2 gerubjak sekali, tahu2 dari udara menjelonong turun sebuah tangan besar hingga kerai didepan pintu tersempal separoh, menjusul suatu bajangan orang berkelebat, Lam-hay-gok-sin sudah berdiri ditengah ruangan dengan matanja jang mirip kedelai itu lagi meng-amat2i setiap orang jang hadir disitu, ketika melihat Toan Ki, segera ia ter-bahak2: Haha, memang benar apa jang dikatakan Losi, muridku sajang ternjata ada disini.
Hajolah lekas ikut pergi padaku untuk beladjar. ~ sembari berkata, tangannja jang mirip tjakar ajam itu terus mentjengkeram bahu pemuda itu.
Mendengar samberan angin dari tjengkeraman Lam-hay-gok-sin itu sangat keras, Tin-lam-ong mendjadi kuatir sang putera dilukai, tanpa pikir lagi iapun memapak dengan sebelah telapak tangannja. Plak, kedua tangan saling beradu dan sama2 merasakan getaran tenaga masing2.
Diam2 Lam-hay-gok-sin terperandjat, tanjanja: Siapakah kau" Aku hendak mengambil muridku, peduli apa dengan kau"
Tjayhe Toan Tjing-sun, sahut Tin-lam-ong. Pemuda ini adalah puteraku, bilakah dia mengangkat guru padamu"
Dia jang paksa hendak menerima aku sebagai murid, demikian Toan Ki menjela dengan tertawa. Sudah kukatakan padanja bahwa aku sudah punja guru, tapi dia djusteru tidak mau pertjaja.
Lam-hay-gok-sin pandang2 Toan Ki, lalu perhatikan Tin-lam-ong Toan Tjing-sun pula, kemudian berkata: Jang tua ilmu silatnja sangat hebat, tapi jang muda sedikitpun tidak betjus, aku djusteru tidak pertjaja kalian adalah ajah dan anak. Toan Tjing-sun, sekalipun dia benar anakmu, namun tjara adjaran silatmu tidak tepat, anakmu ini terlalu geblek.
Sajang, hehe, sungguh sajang.
Apanja jang sajang" tanja Toan Tjing-sun.
Bangun tubuh puteramu ini lebih mirip diriku, boleh dikata adalah bahan beladjar silat jang susah ditjari didunia ini, asal dia beladjar 10 tahun padaku, tanggung dia akan djadi seorang djago muda kelas satu di Bu-lim, sahut Gok-sin.
Sungguh geli dan mendongkol Toan Tjing-sun. Tapi dengan gebrakan tadi, iapun tahu ilmu silat orang sangat hebat. Selagi hendak buka suara pula, tiba2 Toan Ki telah mendahului: Gak-losam, ilmu silatmu masih terlalu tjetek, tidak sesuai untuk mendjadi guruku. Silahkan kau pulang Ban-gok-to di Lam-hay untuk berlatih lagi 10 tahun, habis itu barulah kau ada nilainja buat bitjara tentang ilmu silat.
Karuan Gok-sin mendjadi gusar, bentaknja: Kau botjah ingusan ini tahu apa"
Kenapa aku tidak tahu" sahut Toan Ki. Tjoba, ingin kutanja padamu, apa artinja: Hong-lui-ek, kun-tju-ih-kian-sian-tjek-ih, yu-ko-tjek-kay. Hajo, djawab lekas!
Lam-hay-gok-sin mendjadi melongo tak bisa mendjawab, tapi segera ia mendjadi gusar, bentaknja: Ngatjo belo! Apakah artinja itu" Artinja kentut!
Hahaha! Toan Ki ter-bahak2. Hanja sedikit kalimat jang tjetek artinja sadja kau tak paham, tapi kau masih bitjara tentang ilmu silat segala"
Semua orang ikut geli mendengar Toan Ki menggunakan isi kitab I-keng untuk mempermainkan Lam-hay-gok-sin itu. Meski Bok Wan-djing djuga tidak paham apa jang diuraikan Toan Ki itu, tapi ia dapat menduga tentu sipeladjar tolol itu lagi putar lidah.
Sebaliknja Lam-hay-gok-sin lantas insaf dirinja tentu lagi dipermainkan demi nampak wadjah semua orang mengundjuk sikap mentertawai dirinja.
Dengan menggerung sekali, segera ia hendak menjerang.
Namun Toan Tjing-sun telah melangkah kedepan sang putera. Maka dengan tertawa Toan Ki dapat berkata lagi: Apa jang kukatakan tadi adalah istilah2 ilmu silat jang maha mudjidjat, kalau tjuma engkau ini, terang takkan paham. Haha, katak didalam sumur matjammu ini djuga ingin mendjadi guru orang, sungguh gigi orang bisa tjopot tertawa geli. Padahal semua guruku, kalau bukan kaum terpeladjar, tentu adalah paderi saleh.
Sebaliknja matjam kau, biar beladjar 10 tahun lagi djuga belum tentu sesuai untuk angkat guru padaku.
Lam-hay-gok-sin menggerung murka, teriaknja: Siapa gurumu, hajo suruh dia keluar undjukkan beberapa djurus padaku!
Melihat Lam-hay-gok-sin hanja datang sendirian, untuk melawannja tidaklah sulit, maka Toan Tjing-sun tidak mentjegah kelakuan Toan Ki, apalagi hari ini suami-isteri bisa berkumpul kembali, ia pikir biar puteranja menggoda orang djahat ketiga itu sekedar bikin senang hati sang isteri.
Karuan Toan Ki bertambah berani, segera ia berkata pula: Baiklah, djika kau berani, tunggulah sebentar, biar kupanggil guruku dulu, kalau djantan sedjati, djangan kau lari!
Gok-sin mendjerit murka: Aku Gak-lodji selama hidup malang-melintang diseluruh djagat, pernah takut pada siapa" Hajo lekas panggil sana, lekas!
Benar djuga Toan Ki lantas pergi keluar. Tinggal Lam-hay-gok-sin jang memandangi setiap orang jang hadir disitu dengan sikap menantang, sama sekali ia tidak djeri biarpun seorang diri berada di-tengah2 lawan sebanjak itu.
Tiada lama, terdengarlah suara tindakan orang, dua orang kedengaran sedang mendatangi. Ketika Gok-sin mendengarkan, langkah orang2 jang datang itu katjau tak bertenaga, terang orang2 jang tak paham ilmu silat.
Maka terdengarlah suara seruan Toan Ki dari luar: Mana itu Gak-losam, dia tentu sudah lari ketakutan" Tia, djangan kau biarkan dia lolos, ini, Suhuku sudah datang!
Buat apa aku lari" bentak Gok-sin dengan aseran. Kurang adjar Siautju ini, bikin gusar padaku melulu.
Belum selesai utjapannja, tertampak Toan Ki sudah melangkah masuk sambil menjeret satu orang. Melihat itu, seketika semua orang bergelak ketawa.
Ternjata orang jang dibawa datang Toan Ki itu kurus ketjil, bertopi bentuk kulit semangka, berdjubah pandjang longgar, berkumis tikus, kedua matanja merah sepat se-akan2 kurang tidur selalu, kepalanja mengkeret takut2, sikapnja lutju menggelikan. Segera Yau-toan-siantju dapat mengenal orang ini sebagai djurutulis dikantor Tin-lam-onghu. Djurutulis she Ho ini setiap hari suka kantuk sadja dan kerdjanja berdjudi dengan para pelajan didalam istana. Dalam keadaan setengah mabuk, ia diseret Toan Ki kedalam ruangan, dengan takut, tjepat djurutulis itu berlutut dan menjembah kehadapan Po-ting-te dan permaisuri.
Sudah tentu Po-ting-te tidak kenal siapa djurutulis ketjil itu, ia perintahkan dia berbangkit. Segera Toan Ki gandeng Ho-sinshe itu kehadapan Lam-hay-gok-sin, katanja: Nah, Gak-losam, diantara guru2ku, Suhuku inilah ilmu silatnja paling rendah. Maka lebih dulu kau harus menangkan dia, baru kau ada harganja buat menantang guru2ku jang lain.
Gok-sin ber-kaok2 murka, teriaknja: Matjam begini gurumu" Haha, dalam tiga djurus sadja kalau aku tak bisa bikin dia remuk seperti bergadel, biar aku angkat guru padamu.
Seketika sinar mata Toan Ki terbeliak terang mendengar itu, tanjanja tjepat: Utjapanmu ini benar2 atau tidak" Seorang laki2 sedjati, sekali bitjara harus bisa pegang djandji, kalau ingkar djandji, itu berarti anak kura2 haram djadah!
Baik, mari, mari! segera Gok-sin ber-teriak2.
Dan kalau tjuma tiga djurus sadja, tidak usah guruku turun tangan, biarlah aku sendiri sudah lebih tjukup untuk melajani kau, udjar Toan Ki.
Mendengar pemuda itu hendak madju sendiri, karuan Lam-hay-gok-sin bergirang. Datangnja keistana pangeran ini atas berita In Tiong-ho jang menjatakan, tjalon muridnja jang hilang, diketemukan didalam istana situ, maka tudjuannja melulu ingin djemput Toan Ki untuk mendjadi ahliwarisnja dari Lam-hay-pay. Tapi ketika tadi bergebrak sekali dengan Toan Tjing-sun, ia mendjadi kaget oleh kepandaian pangeran itu. Apalagi disamping itu masih banjak pula djago2 lainnja, kalau hendak menggondol Toan Ki begitu sadja, rasanja tidaklah mudah. Maka ia mendjadi girang mendengar pemuda itu sendiri jang akan bergebrak dengan dirinja, sekali ulur tangan, ia jakin sudah dapat menawan pemuda itu.
Maka katanja segera: Bagus, djika kau jang madju aku pasti takkan gunakan tenaga dalam untuk melukai kau.
Kita djandji dulu dimuka, dalam tiga djurus kalau kau tak bisa djatuhkan aku, lantas bagaimana" tanja Toan Ki.
Lam-hay-gok-sin ter-bahak2, ia tahu pemuda itu adalah seorang peladjar lemah jang ibaratkan memegang ajam sadja tidak kuat, apalagi hendak bertanding tiga djurus dengan dirinja, mungkin setengah djurus sadja tidak tahan. Maka sahutnja segera: Dalam tiga djurus kalau aku tak bisa menangkan kau, aku lantas angkat kau sebagai guru!
Nah, semua hadirin disini sudah mendengar semua, djangan kau mungkir nanti! seru Toan Ki.
Gok-sin mendjadi gusar, teriaknja: Aku Gak-lodji selamanja kalau bilang satu ja satu, bilang dua tetap dua!
Gak-losam! seru Toan Ki.
Gak-lodji! bentak Gok-sin.
Gak-losam! Toan Ki mengulangi.
Sudahlah, kau tjerewet apa lagi, hajo lekas mulai! teriak Gok-sin tak sabar.
Segera Toan Ki melangkah madju hingga berhadapan dengan tokoh ketiga dari Su-ok.
Diantara hadirin itu, dimulai Po-ting-te dan permaisuri kebawah, setiap orang menjaksikan dewasanja Toan Ki, semuanja tahu kalau pemuda itu gemar sastra dan tidak suka ilmu silat, selama hidupnja tidak pernah beladjar silat sedjuruspun. Malahan ketika dipaksa oleh Po-ting-te dan ajahnja supaja beladjar silat, ia lebih suka minggat dari rumah. Djangankan bertanding melawan djago kelas wahid matjam Lam-hay-gok-sin, biarpun melawan seorang peradjurit biasa djuga kalah. Semula semua orang mengira pemuda itu sengadja menggoda Lam-hay-gok-sin, siapa duga sekarang benar2
akan bertanding.
Sebagai seorang ibu jang sangat sajang pada puteranja itu, segera Yau-toan-siantju membuka suara: Ki-dji, djangan semberono, orang liar matjam begitu djangan kau gubris padanja.
Tjepat Honghou djuga memberi perintah: Sian-tan-hou, lekas kau perintahkan tangkap perusuh ini!
Sian-tan-hou Ko Sing-thay mengia dan segera berseru: Leng Djian-li, Tang Su-kui, Siau Tiok-sing dan Tju Tan-sin berempat dengarkan perintah, atas titah Nionio, lekas tangkap perusuh kurangadjar ini!
Bu-sian-tio-to Leng Djian-li berempat membungkuk menerima perintah itu.
Melihat dirinja hendak dikerojok, segera Lam-hay-gok-sin membentak: Biarpun kalian madju semua djuga Lotju tidak gentar. Hajo, Hongte dan Honghou djuga silahkan madju sekalian!
Nanti dulu, nanti dulu! demikian Toan Ki mentjegah dengan gojang2 kedua tangannja. Biarlah aku selesaikan tiga djurus dengan kau dulu.
Po-ting-te kenal keponakannja itu tindak-tanduknja sering2 diluar dugaan orang, boleh djadi diam2 dia sudah atur perangkap untuk mendjebak musuh, apalagi ada dirinja berdua saudara mendjaga disamping, kalau Lam-hay-gok-sin hendak bikin susah pemuda itu, rasanja djuga tidak bisa.
Dengan tersenjum ia lantas berkata: Mundurlah kalian, biarkan perusuh ini beladjar kenal betapa lihaynja Ongtju dari Tay-li-kok, supaja dia tahu rasa!
Mendengar perintah itu, Leng Djian-li berempat jang sudah ber-siap2
mengerubut madju itu lantas undurkan diri pula.
Gak-losam, segera Toan Ki berkata lagi, marilah kita djandji sebelumnja setjara lebih tegas. Kalau dalam tiga djurus kau tak bisa robohkan aku, kau harus angkat guru padaku. Tapi meski aku mendjadi gurumu, melihat kau terlalu tolol begini, aku merasa pertjuma kalau mengadjarkan ilmu silatku padamu. Djadi aku tak mau adjarkan apa2 padamu, kau harus berdjandji.
Siapa pingin beladjar silat padamu" bentak Gok-sin gusar. Huh, ilmu silat kentut andjing apa jang kau miliki"
Baik, baik! Tak perlu banjak tjerewet lagi, hajo, lekas mulai! bentak Lam-hay-gok-sin dengan tak sabar, segera ia mentjengkeram dengan djari tangannja jang mirip tjakar itu.
Baik, itu artinja kau sudah terima sjaratku, udjar Toan Ki. Dan sesudah kau menjembah guru, segala perintah guru selandjutnja harus kau turut.
Kalau membangkang, itu berarti durhaka dan akan dikutuk oleh setiap orang Bu-lim. Kau terima tidak sjarat kedua ini.
Hahaha, sudah tentu, Gok-sin ter-bahak2 malah. Dan begitu pula bila kau nanti angkat guru padaku.
Ja, namun kalau kau ingin menerima aku sebagai murid, kau harus kalahkan dulu setiap Suhuku untuk membuktikan bahwa kepandaianmu memang lebih tinggi dari guru2ku itu, barulah aku merasa ada harganja mengangkat guru padamu.
Baik,baik, tak perlu tjerewet lagi, hajo lekas madju! sahut Gok-sin tak sabar.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Buat apa buru2" Lihatlah seorang guruku sudah berdiri dibelakangmu.....
kata Toan Ki dengan tersenjum sambil menuding kebelakang Gok-sin.
Lam-hay-gok-sin tidak merasa kalau dibelakangnja ada orang, namun begitu toh dia menoleh djuga. Kesempatan itu lantas digunakan Toan Ki dengan baik, mendadak ia melangkah miring kekiri, dengan tjepat dan lutju ia terus mentjengkeram To-to-hiat dipunggung Gok-sin.
Gerak-gerik Toan Ki sama sekali tidak mirip seorang jang bersilat, tapi Hiat-to jang dipegangnja itu adalah salah-satu djalan darah penting ditubuh manusia. Begitu tertjengkeram, seketika Lam-hay-gok-sin merasa dadanja sesak. Sementara itu tangan Toan Ki jang lain sudah lantas tahan di Ih-sik-hiat bagian pinggangnja, djari djempol tepat menekan ditengah Hiat-to itu.
Dalam kagetnja tjepat Lam-hay-gok-sin meronta dengan tenaga dalam. Tapi dua Hiat-to penting sudah diatasi orang, sekali tenaga dalam dikerahkan, bukannja terlepas dari tjengkeraman Toan Ki, sebaliknja kedua tenaga itu saling terdjang hingga seketika ia mendjadi lemas pegal tak bisa berkutik. Terus sadja Toan Ki angkat tubuh Lam-hay-gok-sin dan dibanting kelantai. Untung lantai diruangan pendopo itu digelari permadani hingga kepalanja jang botak itu tidak sampai bendjut.
Walaupun begitu, dengan nama besar Lam-hay-gok-sin, setjara begitu sadja ia kena dibanting Toan Ki, tentu sadja ia malu. Dalam murkanja, sekali melompat dengan gerakan Le-hi-tah-ting atau ikan lele meledjit, begitu berdiri, ia terus mentjengkeram kearah Toan Ki.
Semua hadirin jang berada diruangan itu adalah djago2 terkemuka semua, tapi tiada seorangpun jang menjangka Toan Ki jang diketahui sama sekali tidak pernah beladjar silat dan lemah itu, ternjata bisa membanting Lam-hay-gok-sin dengan begitu mudah. Dalam kesiap mereka, sementara itu Lam-hay-gok-sin sudah melantjarkan serangan tadi kepada Toan Ki.
Toan Tjing-sun mendjadi kuatir, tapi belum sempat turun tangan melindungi sang putera, tahu2 tampak pemuda itu sudah menggeser miring kekiri, langkahnja aneh gesit, hanja satu langkah itu sadja sudah dapat menghindarkan serangan kilat Lam-hay-gok-sin.
Bagus! seru Toan Tjing-sun memudji.
Menjusul mana serangan Gok-sin jang kedua sudah dilontarkan lagi. Tapi Toan Ki tetap tidak membalas, hanja melangkah madju malah dua tindak dan kembali serangan itu sudah luput.
Dua kali menjerang tidak kena sasaran, Lam-hay-gok-sin mendjadi gusar dan kedjut. Ia lihat Toan Ki hanja berdiri satu meter didepannja, sekonjong2 ia menggerang keras2, kedua tangannja mengulur berbareng terus mentjengkeram dada dan perut pemuda itu. Ini adalah salah satu ilmu silat tunggal maha lihay jang sudah dilatihnja selama sepuluh tahun ini, namanja Tok-liong-djiau atau tjakaran naga berbisa. Ilmu ini sebenarnja disediakan untuk melawan Yap Dji-nio guna merebut gelar runner up dari Thian-he-su-ok atau empat orang maha djahat dari dunia.
Tapi kini, karena telah dibanting, pula menjerang berulang tidak kena, Gok-sin sudah kalap, tak terpikir lagi olehnja apakah tjakarannja itu bakal membinasakan tjalon ahliwarisnja itu atau tidak.
Dalam pada itu Po-ting-te, Honghou, Toan Tjing-sun, Yau-toan-siantju dan Ko Sing-thay mendjadi kuatir djuga, berbareng mereka memperingatkan Toan Ki: Awas!
Namun dengan enteng sadja pemuda itu melangkah kekanan setindak, menjusul menggeser pula kekiri selangkah, tahu2 ia sudah memutar sampai dibelakang Lam-hay-gok-sin. Plok, ia terus keplak sekali diatas kepala Gok-sin jang botak itu.
Sungguh sedikitpun Gok-sin tidak menduga bahwa pemuda itu bisa menabok kepalanja setjara demikian adjaibnja. Ketika meras tangan orang sudah sampai diatas kepala, diam2 ia mendjerit: Matilah aku! ~ Tapi demi kepala sudah kena ditabok, segera ia tahu serangan Toan Ki itu sedikitpun tidak bertenaga dalam. Tanpa ajal lagi ia angkat tangan kiri keatas, tjret, kontan punggung tangan Toan Ki tertjakar lima djalur luka oleh kuku djari.
Waktu Toan Ki tarik kembali tangannja dengan tjepat, serangan Gok-sin itu masih belum bisa direm, tjakarannja masih merosot kebawah hingga djidatnja sendiri djuga ikut tertjakar.
Sebenarnja sesudah berhasil menghindarkan tiga djurus serangan lawan, Toan Ki sudah menang dan dapat mengachiri pertandingan itu. Tapi dasar sifat botjahnja masih belum hilang, biarpun dirinja tak bisa Lwekang, namun ketika nampak ada kesempatan untuk menabok kepala orang, terus sadja ia keplak sekali kepala Lam-hay-gok-sin jang gundul itu, akibatnja hampir2 dirinja kena tertawan. Karuan kedjutnja bukan buatan, buru2 ia mengumpet kebelakang sang ajah dengan muka putjat ketakutan.
Yau-toan-siantju melotot sekali kearah puteranja itu, katanja dalam hati: Bagus, djadi selama ini diam2 kau telah beladjar ilmu sehebat itu kepada ajah dan pamanmu, tapi aku sama sekali tak diberitahu.
Dalam pada itu Bok Wan-djing terus berseru: Nah, Gak-losam, sudah tiga djurus kau tak mampu merobohkan dia, sebaliknja kau sendiri jang kena dibanting olehnja. Sekarang lekas kau menjembah dan panggil Suhu padanja.
Muka Lam-hay-gok-sin mendjadi merah, ia garuk2 kepalanja jang tak gatal itu dan menjahut: Dia toh belum bergebrak sungguh2 dengan aku, kedjadian tadi tak bisa dihitung.
He, tidak malu" seru Bok Wan-djing. Kau tidak mau mengaku guru padanja, itu berarti kau terima mendjadi anak kura2. Sebenarnja kau mau mengangkat guru sadja atau terima mendjadi anak kura2"
Tidak semua, sahut Gok-sin. Aku ingin mengulangi bertanding dengan dia.
Melihat gerak langkah puteranja tadi sangat hebat dan bagus luar biasa, sampai dirinja djuga tidak paham dimana rahasia kepandaian itu, segera Toan Tjing-sun membisiki Toan Ki: Kau boleh madju lagi. Djangan pukul dia, tapi tjari kesempatan mentjengkeram Hiat-tonja.
Tapi anak mendjadi takut sekarang, mungkin tak berhasil, sahut Toan Ki lirih.
Djangan kuatir, aku mengawasi kau dari samping, kata Tjing-sun.
Njali Toan Ki mendjadi besar lagi karena mendapat dukungan sang ajah.
Segera ia melangkah kedepan dan berkata pada Lam-hay-gok-sin: Sudah tiga djurus kau tak mampu merobohkan aku, kau harus menjembah guru padaku!
Tapi tanpa mendjawab lagi, Gok-sin menggerung sekali terus menghantam dengan telapak tangannja.
Lekas Toan Ki melangkah miring kekiri, dengan enteng sadja ia hindarkan serangan itu. Brak, pukulan Gok-sin itu telah menghantjurkan sebuah medja.
Toan Ki pusatkan pikirannja sambil mulutnja pelahan2 mengutjapkan istilah2: San-ta-pak, hwe-te-tjin.... dan seterusnja, jaitu istilah2
didalam kitab I-keng. Sama sekali ia tidak pandang datangnja serangan Lam-hay-gok-sin, tapi ia urusi langkahnja sendiri jang kekanan, kekiri, madju dan mundur sesukanja.
Dalam pada itu semakin lama semakin tjepat dan keras pukulan2 Lam-hay-gok-sin hingga terdengarlah suara gedubrakan dan gemerantang jang riuh didalam ruangan pendopo, medja-kursi dan mangkok tjangkir sama petjah berantakan kena pukulan2 Gok-sin. Tapi dari mulai sampai achir, sedikitpun dia masih belum mampu menjenggol udjung badjunja Toan Ki.
Hanja sekedjap sadja lebih 30 djurus sudah berlangsung. Selama itu Poting-te Toan Tjing-beng dan Tin-lam-ong Toan Tjing-sun sudah dapat melihat tindakan Toan Ki enteng kaku, sedikitpun memang tak bisa ilmu silat. Tjuma entah darimana pemuda itu mendapat adjaran seorang kosen dalam sedjurus ilmu gerak langkah jang adjaib dengan mengikuti filsafah Pat-kwa tjiptaan Hok-hi didjaman baheula, jaitu jang mempunjai hitungan 8
x 8 = 64 segi. Padahal kalau dia benar2 bertempur dengan Lam-hay-gok-sin, mungkin tidak lewat sedjurus pemuda itu sudah bisa dibinasakan orang.
Tapi dia djusteru mengurusi gerak langkahnja sendiri sambil mulut mengutjapkan istilah2 jang bersangkutan, dan sebegitu djauh pukulan Lam-hay-gok-sin tetap tak bisa menjenggolnja.
Diam2 Toan Tjing-beng dan Toan Tjing-sun berdua saudara saling pandang sekedjap, sekilas mereka mengundjuk rasa kuatir djuga. Dalam hati mereka sama2 berpikir: Pabila Lam-hay-gok-sin itu menjerang dengan pedjamkan mata misalnja, hakikatnja dia tak perlu melihat kemana Ki-dji melangkah, sekenanja ia lontarkan sedjurus pukulan dan tidak susah2 lagi tentu pemuda itu akan dirobohkannja.
Tapi Lam-hay-gok-sin ternjata tidak mempunjai pikiran seperti mereka.
Sebaliknja wadjahnja makin lama semakin beringas, matanja djuga semakin mendelik hingga bidji mata jang tadinja sebesar katjang, kini melotot sebesar gundu, ia masih tetap memukul sedjurus demi sedjurus dan tetap tak bisa mengenai sasaran biarpun ia telah berganti tipu serangan dengan tjepat. Toan Ki selalu dapat menghindarkan diri ketempat jang sama sekali diluar perhitungannja.
Namun pertarungan demikian itu kalau diteruskan, sekalipun Toan Ki tidak sampai dirobohkan, tapi untuk mengalahkan lawan djuga tidaklah mungkin.
Setelah melihat lagi sebentar, tiba2 Po-ting-te berkata: Ki-dji, melangkah pelahan sedikit, papak dari depan dan tjengkeram Hiat-to didadanja.
Toan Ki mengia sambil melambatkan tindakannja, segera ia memapak Lam-hay-gok-sin dari depan. Tapi ketika sinar matanja kebentur dengan sorot mata Gok-sin jang beringas itu, ia mendjadi djeri, sedikit kakinja merandek, tempat kedudukannja mendjadi rada mentjeng. Sekali tjakar Lam-hay-gok-sin menjamber, kebetulan menjerempet turun disamping kuping kirinja hingga letjet berdarah. Pabila tjakaran itu sedikit geser kekanan, tentu Toan Ki sudah mendjadi majat disitu.
Dan karena kupingnja berasa kesakitan, Toan Ki semakin djeri, ia pertjepat langkahnja menjingkir kesamping, terus mundur kebelakang sang ajah sambil berkata dengan menjengir: Pekhu, aku tak sanggup!
Tjing-sun mendjadi gusar, serunja: Keturunan keluarga Toan dari Tayli mana ada jang mundur ketakutan digaris depan" Hajo, lekas madju lagi, apa jang diandjurkan Pekhu tadi memang tidak salah!
Yau-toan-siantju terlalu sajang pada sang putera, tjepat ia menjela: Ki-dji sudah bergebrak hampir 60 djurus dengan dia, keluarga Toan mempunjai keturunan sehebat ini, apakah kau masih belum puas" Ki-dji, sedjak tadi kau sudah menang, tak perlu diteruskan lagi.
Tidak, kata Toan Tjing-sun, puteraku tak perlu kau ikut tjampur, aku tanggung dia takkan mati.
Sedih dan dongkol rasa Yao-toan-siantju, air matanja terus ber-kilau2
akan menetes. Melihat itu, Toan Ki mendjadi tak tega. Dengan beranikan diri, segera ia melangkah madju dengan membusungkan dada, bentaknja: Marilah kita teruskan bertempur! ~ sekali ini ia sudah nekad, ia berputar kian kemari dengan teratur, makin lama makin lambat, ketika berhadapan dengan Gok-sin, ia tidak mau beradu sinar mata lagi, tapi kedua tangan diulur terus mentjengkeram kedada lawan.
Melihat tangan Toan Ki jang diulur itu lemas tak bertenaga, Lam-hay-gok-sin ter-bahak2 geli, ia miringkan tubuh terus angkat tangannja hendak pegang bahu pemuda itu malah. Tak terduga gerak langkah Toan Ki ternjata bisa berubah dengan susah diraba, kedua orang berbareng menggeser tubuh hingga kebetulan dada Lam-hay-gok-sin tepat se-akan2 dipapakkan kedjari tangan Toan Ki. Tanpa ajal lagi Toan Ki intjar Tan-tiong-hiat dan Gi-ko-hiat dengan tepat, sekaligus tangannja terus mentjengkeram.
Sama sekali Toan Ki tidak punja tenaga dalam, meski berhasil memegang dua tempat Hiat-to dibadan lawan, tapi kalau Lam-hay-gok-sin anggap sepi sadja, tidak menggunakan tenaga dalam, tapi pelahan2 meronta melepaskan diri setjara biasa, sebenarnja Toan Ki djuga tak bisa apa2kan dia. Namun karena merasa Hiat-to penting dibadan kena ditjengkeram lawan, dalam kagetnja, tanpa pikir Lam-hay-gok-sin kerahkan tenaga dalam untuk menutup kedua Hiat-to itu, berbareng kedua tangannja balas menjerang kemuka Toan Ki.
Serangan Gok-sin ini mengarah kedua mata Toan Ki, sebenarnja sangat tepat pemakaiannja, jaitu apa jang disebut menjerang tempat musuh jang terpaksa mesti menolong diri sendiri lebih dulu , betapapun lihaynja musuh, kalau menghadapi serangan demikian, terpaksa harus tarik kembali tangannja untuk melindungi diri sendiri. Dan bagi Lam-hay-gok-sin akan dapatlah terhindar dari malapetaka.
Tak tersangka olehnja bahwa Toan Ki sedikitpun tidak paham tentang menjerang atau diserang segala, ketika djari Gok-sin mentjolok kearah matanja, hakikatnja ia tidak memikir harus tjepat tarik kembali tangannja untuk menangkis, sebaliknja kedua tangannja masih tetap mentjengkeram kentjang ditempat Hiat-to tadi.
Dan kesalahan ini ternjata malah membawa kebetulan baginja. Ketika Lam-hay-gok-sin mengerahkan Lwekang tadi, se-konjong2 ketemu rintangan ditempat kedua Hiat-to itu, seketika hawa murni dan darah bergolak hebat dalam badannja, kedua tangannja jang sudah mendjulur kira2 belasan senti didepan mata Toan Ki, tahu2 terasa lemas tak mau turut perintah lagi. Ia masih belum terima, ia kerahkan tenaga dalam lebih kuat.
Tapi lebih tjelaka lagi baginja, sekali tenaga dikerahkan, ia merasa dua arus tenaga maha hebat saling terdjang didalam tubuhnja hingga aliran darah ikut katjau dan mogok, seketika matanja ber-kunang2.
Sebaliknja mendadak Toan Ki djuga merasakan dua arus tenaga maha kuat membandjir ketangannja hingga tubuhnja ikut sempojongan. Ia sadar akan keadaan waktu itu, asal kedua tangannja melepaskan Hiat-to lawan, segera djiwanja akan terantjam. Sebab itulah meski rasanja menderita sekali, sedapat mungkin ia tjoba bertahan.
Djaraknja waktu itu dengan Toan Tjing-sun hanja satu meteran sadja.
Ketika melihat air muka sang putera makin lama makin merah, terang pemuda itu lagi menahan rasa derita, segera Tjing-sun ulur djari telundjuknja untuk menahan Tay-tjui-hiat dipunggung Toan Ki.
It-yang-tji atau ilmu djari betara surja dari keluarga Toan dinegeri Tayli sudah tersohor diseluruh djagat. Maka begitu djari Toan Tjing-sun menempel punggung Toan Ki, seketika suatu arus hawa hangat jang halus menjalur kebadan pemuda itu. Kontan badan Lam-hay-gok-sin tergetar, pelahan2 ia roboh dengan lemas.
Segera Toan Tjing-sun pajang sang putera sambil kerahkan tenaga djarinja lebih kuat. Hanja sebentar sadja, lambat-laun air muka Toan Ki sudah pulih kembali, tapi untuk sedjenak iapun belum sanggup bitjara.
Bagaimana diam2 Toan Tjing-sun memakai ilmu It-yang-tji untuk membantu sang putera, hingga Lam-hay-gok-sin dapat dirobohkan, hal ini dapat diketahui setiap orang jang diruangan itu. Namun begitu, toh Lam-hay-gok-sin tetap djatuh dibawah tangannja Toan Ki, betapapun hal ini tak bisa dibantah.
Hiong-sat-ok-sin itu benar2 lihay djuga luar biasa. Begitu tangan Toan Ki melepaskan Hiat-to dibadannja, seketika ia melompat bangun. Ia pandang Toan Ki dengan kedua matanja jang bundar ketjil itu, sikapnja penuh rasa heran, gemas dan sedih pula.
Nah, Gak-losam, demikian Bok Wan-djing lantas menteriaki, sekarang kau sudah kalah lagi, kulihat engkau lebih suka mendjadi anak kura2 daripada mengangkat guru, bukan"
Tidak, aku djusteru ingin berbuat diluar dugaanmu, seru Gok-sin murka.
Angkat guru ja angkat guru, malu2 apa" Aku Gak-lodji sekali2 tidak sudi mendjadi anak kura2 ~ Habis berkata, benar djuga ia terus berlutut dan menjembah empat kali kepada Toan Ki sambil berteriak: Suhu, ni, Tetju Gak-lodji memberi hormat padamu!
Untuk sedjenak Toan Ki terkesima, dan belum lagi sempat mendjawab, mendadak Lam-hay-gok-sin sudah melompat bangun terus mentjelat keatas wuwungan rumah. Tiba2 terdengar suara djeritan sekali diatas rumah itu, menjusul suara gedebukan sekali, dari atas terbanting kebawah tubuh seorang. Waktu semua orang menegas, kiranja adalah seorang pengawal istana pangeran, dadanja sudah berlumuran darah dan berlubang, buah hatinja telah kena dikorek oleh Lam-hay-gok-sin untuk dimakan. Wi-su atau pengawal itu masih berkelodjotan belum lantas mati, keadaannja sangat mengerikan.
Sebenarnya kepandaiannja pengawal itupun tidak rendah, walaupun tidak setingkat dengan empat tokoh Hi-djiau-keng-dok, tapi hanja dalam segebrakan sadja ternjata hatinja sudah kena dikorek orang. Karuan semua orang saling pandang dengan terkedjut.
Longkun, muridmu itu benar-benar kurangadjar, lain kali kalau ketemu, kau harus hadjar dia sampai minta ampun, seru Bok Wan-djing dengan gusar.
Kemenanganku tadi hanja setjara kebetulan sadja berkat bantuan Tiatia, sahut Toan Ki tersenjum. Tapi lain kali kalau ketemu lagi, mungkin buah hatiku sendiri djuga bisa dikorek oleh dia, kepandaian apa jang kumiliki untuk hadjar dia lagi"
Dikala bitjara itulah, Leng Djian-li dan Siau Tiok-sing sudah gotong keluar majat pengawal tadi. Toan Tjing-sun memberi perintah agar diberi pensiun pada keluarganja dan suruh Ho-sinshe tadi undurkan diri.
Ki-dji, kata Po-ting-te kemudian. Poh-hoat (ilmu gerak langkah) jang kau mainkan tadi berasal dari filsafah Pat-kwa tjiptaan Hok-hi, kau bolehnja beladjar dari siapa"
Anak mempeladjarinja setjara ngawur dari dalam sebuah gua, entah tepat atau tidak, masih mengharapkan petundjuk dari Pekhu, sahut Toan Ki.
Dari sebuah gua tjara bagaimana, tjoba tjeritakan, tanja Po-ting-te.
Maka bertjeritalah Toan Ki tentang pengalamannja.
Kiranja tempo hari waktu dia ditinggal diatas puntjak karang, Wan-djing digondol pergi oleh Lam-hay-giok-sin, dalam keadaan bingung Toan Ki terus mengudak. Tapi baru beberapa tindak, tiba-tiba ia mengindjak diatas badan seekor ular sawa jang besar. Bundar dan litjin badan ular itu penuh lendir jang basah-basah. Toan Ki terpeleset dan tergelintjir kepinggir djurang. Dalam keadaan bahaja, untung tangannja jang menggagap-gagap serabutan itu dapat memegang sebatang akar pohon hingga badannja tidak terdjerumus lebih djauh kebawah, mati-matian ia pegang kentjang akar pohon itu tak mau melepaskan lagi demi keselamatannja.
Dalam keadaan badan setengah terguntai, kaki Toan Ki merasa mengindjak diatas suatu batu karang, telinganja mendengar pula suara gemuruh, air sungai mendebur-debur hebat dibawah sana. Ia tjoba tenangkan diri dan mengawasi sekitarnja, ternjata dirinja berada ditengah tebing jang terdjal sekali, untuk merambat keatas terang tidak mampu, kalau turun kebawah akan ketjebur kesungai. Terpaksa merembet kekiri sana, disitu masih ada tempat untuk berpidjak. Begitulah segera ia menggeremet kesana dengan hati2.
Setelah merajap sebentar, ia mengaso sedjenak. Kalau ketemukan tempat jang tjuram, terpaksa tabahkan diri dan achirnja dapat merajap lewat djuga dengan selamat. Sampai hari sudah magrib, ia lihat didepan masih tetap tebing djurang jang terdjal, sedikitpun belum ada tanda2 akan sampai ditempat datar, diam2 Toan Ki sudah putus asa. Ia tjoba merajap lagi sebentar, se-konjong2 pikirannja tergerak, pemandangan didepan matanja, ini lapat2 seperti sudah dikenalnja.
Waktu ia perhatikan lebih djauh, tak tertahan lagi ia berteriak: Aha, ingatlah aku! Ketika aku keluar dari dalam gua didasar danau itu, pemandangan jang kulihat tak-lain-tak-bukan adalah seperti ini!
Toan Ki senang sekali demi mengenal keadaan sekitar itu, ia masih ingat bila dia merajap lagi lewat beberapa tebing tjuram, ia akan sampai disuatu djalan ketjil dan kalau djalan terus belasan li pula, ia akan tiba didjembatan Sian-djin-toh. Djadi terang mulut gua itu berada tidak djauh dari tempatnja sekarang ini. Pabila teringat pada patung dewi didalam gue jang tjantik tiada bandingannja itu, perasaannja mendjadi bergolak, ia tak tahan lagi, betapapun ia ingin pergi mendjenguk patung aju itu.
Maka tanpa pikir lagi segera ia merangkak terus. Tiada belasan meter djauhnja, benar djuga ia sudah sampai dimulut gua tempat keluarnja dari djalan dibawah danau tempo hari. Terus sadja ia menjusup kedalam gua, mengikut djalan lama achirnja ia dapat mentjapai kamar batu jang dulu.
Sementara itu hari sudah gelap, tapi didalam kamar batu itu tetap terang benderang oleh tjahaja mutiara mestika jang menghiasi seputar dinding kamar. Toan Ki ter-mangu2 memandangi patung dewi itu, pikirnja: Untung ini hanja patung belaka dan bukan manusia. Pabila didunia benar2
ada gadis setjantik ini, aku Toan Ki bukan mustahil rela mati asal dapat mempersuntingkannja.
Begitulah ia terus kesima dihadapan patung aju itu sampai kakinja sudah terasa lemas, toh dia masih belum merasa tjapek, njata, saat itu segala Bok Wan-djing, Lam-hay-gok-sin dan lain2 sudah dibuang olehnja keawang-awang. Sampai achirnja ia benar2 tidak tahan lagi, lalu ia mendeprok rebah dibawah kaki patung itu dan terpulas.
Dalam mimpi, patung itu telah bisa bergerak dan memberikan Toan Ki sebilah pisau serta menjuruh dia membunuh 36 orang laki2 dan wanita jang tak berdosa. Tanpa membantah, Toan Ki terima pisau itu dan membunuh serabutan hingga sekedjap lebih dari 50 orang telah dibunuhnja hingga majat bergelimpangan dan darah bertjetjeran.
Patung itu tersenjum senang seakan-akan memudji akan perbuatan Toan Ki, lalu menjuruhnja pergi membunuh ajahnja sendiri. Tapi Toan Ki tetap tidak mau, patung itu mendjadi marah, katanja: Kau tidak turut perintah, lebih baik kau membunuh diri sadja! ~ Tanpa ragu2 lagi Toan Ki terus angkat pisaunja dan menikam ulu hatinja sendiri. Dalam kagetnja ia terus mendjerit hingga tersadar dari tidurnja dengan keringat dingin membasahi djidatnja, hatinja masih berdebar2 dengan kerasnja. Ia lihat didalam kamar sudah terang-benderang oleh tjahaja matahari, njata ia sudah tertidur semalam.
Ia pandang2 patung itu pula dengan matjam2 pikiran berketjamuk, tiba2
teringat olehnja: He, kamar ini berada didasar danau, darimana datangnja sinar matahari itu"
Ia tjoba memandang kearah datangnja sinar sang surja, ia lihat diudjung kanan atas kamar itu tergantung sebuah tjermin perunggu, sinar matahari itu menjorot balik dari tjermin itu. Ketika tjermin perunggu itu diperhatikannja lebih djelas, lapat2 ternjata diatas tjermin itu ada ukirannja. Tergerak pikirannja: Didalam kamar ini penuh terdapat tjermin seperti ini, bukan mustahil ada udang dibalik batunja"
Segera ia ambil tjermin tadi, ia kebut debu diatasnja serta diusap lebih bersih, maka tertampaklah diatas tjermin itu memang terukir banjak sekali garis2 jang tegak dan miring, disamping garis2 itu terukir pula huruf It-poh, Liang-poh, Poan-poh (satu langkah, dua langkah, setengah langkah) dan seterusnja. Dan ditiap2 udjung garis itu terukir pula pendjelasan Tong-djin, Tay-yu, dan matjam2 huruf2 ketjil lain.
Toan Ki pernah membatja I-keng, maka tahu Tong-djin, Tay-yu dan sebagainja itu adalah nama2 dari segi2 Pat-kwa jang seluruhnja berdjumlah 8 X 8 = 64 segi itu. Waktu tjermin itu ia balik, dipunggung tjermin terukir pula empat huruf kuno Leng-po-wi-poh atau Langkah lembut dewi tjantik. Kalimat ini mengingatkan Toan Ki pada sjair Tjo Tju-kian, itu puteranja Tjo Tjho didjaman Sam-kok, jaitu sjair jang memudja wanita tjantik. Tapi bagi Toan Ki, ia merasa sjair itu masih belum tjukup untuk melukis betapa tjantiknja patung didepan matanja ini.
Untuk sekian lamanja ia ter-mangu2 disitu sambil memegang tjermin perunggu. Kemudian teringat pula olehnja tulisan dipapan perunggu dibawah kaki patung jang pernah dibatjanja itu. Kata tulisan itu: Sesudah kau genap mendjura seribu kali padaku, itu berarti sudah mendjadi muridku.
Pengalamanmu selandjutnja akan sangat mengenaskan, hendaklah kau djangan menjesal. Ilmu silat perguruan kita jang tiada bandingannja didjagat ini berada didalam ruangan batu ini, harap kau melatihnja dengan tekun.
Malah tempo hari waktu dia berpisah dari patung itu pernah mengatakan: Entji Dewi, aku tidak mau mendjadi muridmu, ilmu silatmu jang tiada bandingannja itu djuga aku tidak mau mempeladjarinja ~ Tapi kini sesudah memandang lebih mesra terhadap patung itu, pikirannja mendjadi kabur tak terkendali, pikirnja sekarang: Dimanakah beradanja ilmu silat tiada bandingannja itu" Apa barangkali terukir diatas tjermin2 perunggu ini"
Entji Dewi suruh aku beladjar silat, takbisa tidak aku harus mempeladjarinja sekarang.
Berpikir begitu, segera ia balik tjermin perunggu tadi dan mengapalkan segi2 hitungan dari 64 segi Pat-kwa itu, lalu setindak demi setindak mulai berdjalan.
Semula ia hanja melangkah mengikuti petunjduk jang terukir diatas tjermin itu tanpa mengetahui dimana letak keadjaibannja, terkadang tulisan ditjermin itu sangat aneh, setelah melangkah setindak, langkah selandjutnja mendjadi buntu rasanja. Tapi ketika kemudian mesti melompat sambil memutar tubuh,djalan selandjutnja terbuka lagi dengan lantjar.
Sering pula harus disertai dengan melompat madju dan mundur untuk bisa tjotjok dengan petundjuk diatas tjermin itu.
Dasar peladjar seperti Toan Ki memang sudah biasa tekun beladjar, maka sekali sudah mau, biarpun ketemukan persoalan sulit, ia harus memetjahkannja dengan peras otak baru mau sudah. Dan bila kemudian sudah paham, ia lantas berdjingkrak girang seperti orang gendeng. Pikirnja: Elok benar! Djadi dalam ilmu silat djuga bisa membikin orang senang, bahkan tidak kurang menariknja daripada orang membatja kitab. ~ Lalu pikirnja pula: Aku tidak suka bikin susah atau membunuh orang, makanja selama ini aku tidak sudi beladjar silat. Tapi Poh-hoat (ilmu gerak langkah) ini tak bisa dipakai membunuh orang, sebaliknja dapat menghindarkan maksud djahat musuh, kalau dipeladjari, ada manfaatnja tiada djeleknja. Seumpama ilmu silat lainnja kalau melulu digunakan untuk menolong sesamanja, sebenarnja djuga tidak djelek.
Begitulah, sekali dia sudah suka, ia lantas merasa tiada salahnja beladjar silat. Dan dengan demikian, ia lantas beladjar terlebih giat.
Hanja dalam satu hari sadja, Poh-hoat jang tertulis diatas tjermin itu sudah 2-3 bagian dapat dipahaminja.
Sambil membatja ukiran2 jang tertulis diatas tjermin perunggu, selangkah demi selangkah Toan ki mengapalkan Leng-po-wi-poh jang adjaib itu.
Malamnja, ia merasa sangat lapar. Segera ia keluarkan Bong-koh-tju-hap dan biarkan binatang itu bersuara untuk memanggil ular, la pilih seekor ular jang gemuk, lalu menjembelihnja, ia keluar ketepi sungai itu untuk mentjari kaju bakar dan memanggang daging ular untuk dimakan.
Selama beberapa hari, ketjuali makan ular dan tidur, senantiasa Toan Ki terbenam dalam peladjarannja Leng-po-wi-poh jang aneh itu. Terkadang kalau sudah malas, begitu mendongak dan memandang patung dewi itu, ia lantas merasa wadjah patung' tjantik itu lagi mengomeli dia, ia terkesiap dan kembali beladjar lagi dengan tekun.
Hari keempat, seluruh peladjaran ilmu melangkah itu sudah dapat diapalkannja. Selama itu, sering djuga teringat olehnja. Akan diri Bok Wan-djing jang tak diketahui bagaimana nasibnja selama digondol Lam-hay-gok-sin itu, tentu gadis itu lagi menunggu dirinja pergi menolongnja, demikian pikirnja. Tapi bila sinar matanja kebentrok dengan pandangan patung tjantik itu, ia mendjadi seperti keselurupan dan lupa daratan.
Tapi kini ia telah ambil ketetapan jang tegas: ku harus pergi menolong nona Bok dulu kemudian baru aku kembali lagi kesini!
Segera ia kembalikan tjermin perunggu itu ketempat asalnja, sekilas ia dapat melihat pula bahwa diatas tjermin perunggu lain jang berada dilantai djuga lorang-loreng penuh terukir tulisan dan garis2. Ia tahu bila terus melatih ilmu diatas tjermin itu, tentu akan makan waktu beberapa hari lagi, padahal nona Bok masih berada dibawah tjengkeraman orang djahat dan sedang menantikan kedatangannja untuk menolong. Namun begitu, dalam hati ketjilnja timbul djuga sematjam rasa berat untuk meninggalkan patung tjantik itu Kalau dia pergi, toh djelas dirinja takkan mampu mengalahkan Lam-hay-gok-sin dan terpaksa mengangkat guru padanja baru nona Bok mau dibebaskan. Padahal untuk suruh dia angkat orang sedjahat itu mendjadi guru, Toan Ki merasa lebih suka mati daripada mesti menurut.
Sebab itulah, pertentangan batinnja mendjadi hebat, ia ragu2 sampai lama sekali. Achirnja merasa bila dirinja tidak pergi menolong Bok Wan-djing, itu bcrarti tidak berbudi dan takbisa dipertjajai, seorang laki2
sedjati tidak nanti berbuat demikian, sekalipun achirnja dirinja mesti tjelaka, kalau sekali sudah djandji harus ditepati. Karena itu, segera ia mendjura kepada patung dewi itu, katanja: Entji Dewi, pabila aku bisa meloloskan diri dari Lam-hay-gok-sin jang djahat itu dengan ilmu Leng-po-wi-poh adjaranmu, kelak tiap2 tahun aku pasti akan tinggal bersama engkau disini setengah tahun lamanja.
Habis itu, segera ia bertindak keluar gua dengan gaja berlenggang menurut gerak langkah Leng-po-wi-poh itu.
Tak tersangka, baru sadja ia mengindjak sudut Thay dan menggeser kesegi Koh, se-konjong2 suatu arus hawa panas menerdjang keatas dari dalam perutnja. Seketika badannja terasa lumpuh, kontan ia ambruk kelantai.
Dalam kagetnja tjepat Toan Ki bermaksud menahan lantai dengan tangannja untuk merangkak bangun. Tak terduga semua anggota badannja djuga terasa kaku pegal tak mau turut perintahnja lagi, bahkan untuk menggerakkan sebuah djari sadja terasa susah.
Kiranja Leng-po-wi-poh jang tertera diatas tjermin perunggu itu adalah sematjam ilmu silat maha tinggi, kalau orang melatihnja sudah mempunjai dasar ilmu silat jang baik, maka setiap gerak-geriknja akan selalu disertai dengan tenaga dalam jang kuat. Sebaliknja Toan Ki sedikitpun tidak mempunjai dasar Lwekang, djalannja tergantung ingatannja melulu, melangkah sekali, pikir sekali dulu, lalu berhenti, kemudian melangkah pula, tjara demikian tidak mendjadi halangan karena pergolakan darah jang disebabkan gerak langkah itu mendapat tjukup waktu untuk berhenti. Tapi kini sesudah dia apal, lalu sekaligus djalan begitu sadja, seketika djalan darahnja berontak dan menerdjang balik, seketika ia lumpuh dilantai, hampir2 tersesat atau apa jang disebut Tjau-hwe-djip-mo dalam ilmu silat. Untung dia baru melangkah dua tindak dan tidak terlalu tjepat pula, maka urat nadinja tidak sampai petjah atau putus.
Dalam keadaan kaget itulah, Toan Ki tjoba hendak meronta bangun, tapi semakin bergerak semakin kaku, rasanja ingin muntah2, tapi toh tidak muntah. Achirnja ia menghela napas pasrah nasib. Aneh djuga, setelah dia pasrah masabodoh, rasa muaknja malah hilang lambat-laun.
Dan sekali dia sudah menggeletak tak berkutik, keadaan itu berlangsung hingga esok paginja masih tetap begitu. Diam2 ia pikir: Papan perunggu dibawah kaki Entji Dewi itu tertulis bahwa pengalamanku selandjutnja akan sangat mengenaskan, suruh aku djangan menjesal. Namun kalau aku tjuma mati kelaparan begini sadja, rasanja masih belum termasuk terlalu mengenaskan.
Kira2 sampai pukul 10 pagi itu, sinar matahari menjorot miring dari luar hingga persis menerangi diatas sebuah tjermin perunggu. Mata Toan Ki mendjadi silau oleh repleksi tjahaja matahari itu. Pikirnja ingin egos kepala menghindari sinar menjilaukan itu, tapi apa daja, antero badannja tak bisa bergerak. Tiba2 ia melihat diatas tjermin itu lapat2 seperti terukir huruf2 Bi-the, Siau-ko dan lain2. oleh karena kepalanja toh tak bisa bererak, sekalian ia lantas batja tulisan2 itu setjara tjermat, lalu direnungkan dalam2.
Dari tjermin pertama tadi ia hanja dapat beladjar 32 segi daripada 64
segi itu. Kebetulan apa jang terukir diatas tjermin sekarang ini adalah sisa 32 segi jang lain. Segera ia mempeladjarinja lebih djauh. Meskipun kakinja takbisa bergerak, tapi pikirannja dipusatkan se-akan2 kakinja lagi bergerak menurut langkah2 jang ditundjukkan diatas tjermin itu.
Sampai petang, sudah ada belasan langkah dapat dipahami, rasa muaknja ternjata djauh berkurang.
Sampai besok paginja lagi, ke-32 langkah itu sudah dapat dipetjahkan seluruhnja. Diam2 ia mengapalkan lagi seluruh 64 segi itu dari awal sampai achir. Dan njatanja memang berdjalan dengan lantjar. Ibaratnja orang jang mogok ditengah djalan karena menghadpai djalan buntu, kini mendadak djalan itu dapat ditembus. Karuan Toan Ki sangat girang, terus sadja ia melontjat bangun sambil bertepuk tangan dan berseru: Bagus, bagus! ~ Dan ia mendjadi tertegun heran ingat dirinja mendadak sudah dapat bergerak lagi tanpa merasa.
Kedjut dan girang Toan Ki tidak terkira, ia kuatir kalau lupa, maka ke-64 gerak langkah itu diulanginja beberapa kali hingga apal benar2, ia melangkah pelahan2 setindak demi setindak hingga achirnja tertjapai dengan bulat, ia merasa semangatnja mendjadi kuat dan seger. Meski sudah beberapa hari tidak makan, tapi toh tidak terasa lapar. Ia memberi hormat kearah patung dan mengutjapkan terima kasih, lalu tjepat berlari keluar dari gua itu. Dengan mengikuti djalan jang pernah dilaluinja, ia melintasi Sian-djin-toh dan kembali ke Bu-liang-san, achirnja berdjumpa pula dengan Bok Wan-djing.
Demikianlah ia tjeritakan pengalamannja itu kepada sang ajah dan paman, hanja mengenai patung tjantik itu ia tidak tjeritakan, ia bilang menemukan dua buah tjermin perunggu dan dari ukiran tulisan diatas tjermin2 itulah dapat diperoleh ilmu gerak langkah jang adjaib itu. Ia merasa dihadapan orang sebanjak itu tidak pantas kalau mentjeritakan dirinja kesemsem oleh sebuah patung aju, apalagi Bok Wan-djing tentu akan marah besar dan bukan mustahil dirinja bisa digampar pula.
Selesai Toan Ki bertjerita, Po-ting-te lantas berkata: Ke-64 gerak langkah itu terang mengandung sematjam ilmu Lwekang jang maha tinggi, tjobalah kau melakukan sekali lagi dari awal sampai achir.
Toan Ki mengia, lalu mulai berdjalan selangkah demi selangkah menurut perhitungan Pat-kwa.
Po-ting-te, Toan Tjing-sun dan Ko Sing-thay adalah ahli2 Lwekang semua, tapi terhadap keadjaiban ilmu langkah itu, mereka tjuma bisa menangkap satu-dua bagian sadja, selebihnja merekapun merasa bingung.
Selesai Toan Ki melangkah ke-64 segi itu, persis ia memutar suatu lingkaran besar dan tiba kembali ditempat semula. Po-ting-te sangat girang, serunja: Bagus sekali! Poh-hoat ini tiada bandingannja diseluruh djagat, sungguh beruntung sekali Ki-dji dapat memperolehnja, harap Ki-dji melatihnja lebih masak. Sekarang silakan kau omong2 dengan ibumu jang baru pulang istana. ~ Lalu ia berpaling pada permaisurinja: Marilah kita pulang keraton!
Honghou mengia sambil berbangkit. Segerak Toan Tjing-sun dan lain2
menghantar Hongte dan Honghou keluar gapura istana Tin-lam-ong.
Setelah berada didalam istana sendiri, segera Toan Tjing-sun mengadakan perdjamuan untuk menjambut pulangnja sang isteri dan datangnja Bok Wan-djing. Satu medja hanja empat orang, jaitu Toan Tjing-sun suami isteri, Toan Ki dan Wan-djing, tapi dajang jang melajani hampir 20 orang banjaknja. Sudah tentu selama hidup Bok Wan-djing belum pernah melihat kemewahan demikian, begitu pula semua masakan jang disuguhkan disitu djangankan melihat, bahkan mendengar djuga tidak pernah. Tapi demi nampak ajah-bunda Toan Ki memandang dirinja sebagai anggota keluarga sendiri, diam2 iapun sangat lega dan senang.
Ketika melihat sikap ibunja terhadap ajahnja tetap dingin sadja, tidak mau minum arak dan tidak makan daging, hanja dahar sedikit sajuran sadja, segera Toan Ki menuangi satu tjawan arak dan berkata: Mak, marilah anak menghormati engkau setjawan!
Tidak, aku tidak minum arak, sahut Yan-toan-siantju.
Tapi Toan Ki menuang lagi setjawan dan mengedipi Wan-djing, katanja pula: Minumlah, mak, nona Bok djuga ingin menjuguh engkau setjawan!
Segera Bok Wan-djing mengangkat tjawan jang diangsurkan Toan Ki itu dan berdiri. Yan-toan-siantju mendjadi tidak enak kalau bersikap dingin juga terhadap Bok Wan-djing, maka katanja dengan tersenjum: Nona, puteraku ini terlalu nakal, ajah-bundahnja susah mengendalikan dia, selandjutnja kau perlu membantu aku mengawasi dia lebih keras.
Tentu, sahut Wan-djing. Kalau dia tidak menurut, kontan kudjewer dia!
Yan-toan-siantju mengikik keli oleh djawaban itu sambil melirik sang suami. Dengan kikuk Toan Tjing-sun djuga tertawa, udjarnja: Memang harus begitu!
Lalu Yan-toan-siantju ulur tangannja menerima tjawan arak suguhan Bok Wan-djing itu. Dibawah sinar lilin jang terang-benderang, Wan-djing melihat lengan njonja pangeran itu putih halus bagaikan saldju. Tiba2
dapat dilihatnja pula dipunggung tangan dekat pergelangan terdapat sebuah andeng2 merah sebesar mata uang (tembong). Seketika badang Wan-djing tergetar, tjepat ia tanja dengan suara gemetar: Apa ... apakah engkau ber
... bernama Si Pek-hong"
Darimana kau tahu namaku" sahut Yan-toan-siantju dengan tertawa.
Engkau benar... benar2 Si Pek-hong" Wan-djing menegas pula dengan terputus2. Bukankah dahulu engkau memakai sendjata... sendjata petjut"
Melihat gadis itu rada aneh, namun Yan-toan-siantju alias Si Pek-hong masih belum tjuriga, sahutnja pula dengan tersenjum: Sungguh Ki-dji sangat baik kepadamu, sampai nama ketjilku djuga diberitahu padamu.
Mendadak Bok Wan-djing terus berteriak: Budi guru maha tinggi, perintah guru susah dibangkang! ~ bebareng tangannja bergerak, dua batang panah beratjun lantas menjamber kedada Yan-toan-siantju.
Dalam perdjamuan jang diliputi suasana riang gembira diantara anggota keluarga sendiri itu, sudah tentu siapapun takkan menjangka bakal terdjadi penjerangan mendadak dari Bok Wan-djing. Biarpun ilmu silat Yan-toan-siantju djauh lebih tinggi daripada Bok Wan-djing, tapi djarak kedua orang sangat dekat, pula terdjadinja setjara tiba2, tampak kedua panah itu segera akan menantjap didada sasarannja.
Toan Tjing-sun duduk disebelah kiri Bok Wan-djing, begitu melihat gelagat djelek, tjepat djarinja menutuk, tapi It-yang-tji jang lihay itu djuga tjuma dapat membikin Bok Wan-djing takbisa berkutik, sedang kedua panah masih tetap menjamber kedepan.
Sebaliknja Toan Ki duduk disisi kanan, sudah beberapa kali ia pernah menjaksikan Bok Wan-djing menjerang dan panahnja jang berbisa lihay itu.
Maka begitu nampak gadis itu ajun tangannja, segera ia tahu bakal tjelaka. Ia takbisa ilmu silat, tapi diengan Leng-po-wi-poh jang tjepat luar biasa, tahu2 ia dapat menjelinap menghadang didepan sang ibu sehingga kedua panah berbisa tepat menantjap didadanja. Bebareng itu Bok Wan-djing djuga merasa badannja mendjadi kaku dan takbisa berkutik karena ditutuk Toan Tjing-sun. Betapa tjepatnja Tin-lam-ong itu hingga menjusul sekaligus ia tutuk pula, beberapa kali disekitar luka Toan Ki jang terpanah itu agar ratjun tidak terus menjerang lebih dalam. Habis itu, ia baliki tangan memuntir lengan Bok Wan-djing hingga terlepas dari ruasnja, dengan demikian supaja gadis itu takbisa melepaskan panahnja pula. Lalu ia lepaskan Hiat-to jang ditutuk dan membentak: Lekas keluarkan obat penawarnja!
Aku ... aku tidak bermaksud memanah Toan-long, aku ingin ... ingin membunuh Si Pek-hong! demikian djerit Wan-djing setengah emratap. Dengan menahan sakit lengannja jang keseleo, tjepat ia keluarkan dua botol ketjil obat penawar ratjun, katanja: Jang merah minumkan, jang putih bubuhkan dilukanja, lekas, harus lekas! Kalau terlambat tidak keburu tertolong lagi!
Yan-toan-siantju melotot sekali kearah gadis itu, melihat begitu perhatiannja terhadap puteranja jang timbul sungguh2 dari hati murninja.
Diam2 ia sudah dapat membade sebab-musabab kedjadian ini. Segera ia rebut obat penawar itu dan mengobati Toan Ki menurut petundjuk Bok Wan-djing tadi.
Terima kasih kepada langit dan bumi bahwa... bahwa djiwanja dapat diselamatkan, kalau... kalau tidak... demikian Bok Wan-djing tak sanggup meneruskan lagi ratapannja.
Sementara itu setelah terpanah, Toan Ki sudah djatuh pingsan dipangkuan sang ibu. Suami-isteri Toan Tjing-sun terus memperhatikan luka Toan Ki, melihat darah jang mengalir keluar dari luka itu dari hitam sudah berubah ungu, lalu mendjadi merah kembali, mereka baru merasa lega karena tahu djiwa sang putera sudah dapat diselamatkan.
Segera Yan-toan-siantju pondong puteranja kedalam kamar, lalu ia keluar lagi keruangan makan itu.
Tidak apa2, bukan" tanja Toan Tjing-sun kepada sang isteri.
Tapi Yan-toan-siantju tak mendjawabnja, sebaliknja lantas berkata kepada Bok Wan-djing: Pergilah kau katakan pada Siu-lo-to Tjin Ang-bian bahwa...
Mendengar disebutnja Siu-lo-to Tjin Ang-bian itu, seketika wadjah Toan Tjing-sun berubah hebat, tanjanja dengan ter-gagap2: Kau... kau bilang apa"
Tapi Yan-toan-siantju tak menggubrisnja, ia tetap berkata pada Wan-djing: Katakanlah padanja, djika dia inginkan djiwaku, pakailah tjara terbuka dan terang2an, tapi kalau main litjik begini, tentu akan dibuat tertawaan orang sadja.
Aku tidak kenal siapa gerangan Siu-lo-to Tjin Ang-bian! djawab Wan-djing keras2.
Habis, siapa jang suruh kau membunuh diriku! tanja Siantju.
Guruku, sahut Wan-djing. Guruku suruh aku membunuh dua orang. Jang seorang adalah engkau. Beliau menerangkan padaku bahwa ditanganmu ada andeng2 merah jang besar, namanja Si Pek-hong, parasnja tjantik, bersendjatakan petjut. Tapi dia tidak bilang kau berdandan sebagai To-koh (imam wanita). Kulihat pula engkau memakai kebut pertapaan, bernama Yan-toan-siantju pula, sungguh tidak njana bahwa engkaulah orang jang harus kubunuh menuru perintah guruku, lebih2 tak kusangka bahwa engkau adalah ibunja Toan-long... ~ berkata sampai disini, tak tertahan lagi air matanjua bertjutjuran.
Dan orang kedua jang gurumu ingin membunuhnja itu, bukankah djuga seorang wanita tjantik, tangan kanannja sudah kehilangan tiga djari"
tanja Si Pek-hong alias Yan-toan-siantju.
Benar, seru Wan-djing heran. Darimana engkau tahu" Wanita itu katanja she Kheng....
Tiba2 pipi Si Pek-hong basah djuga oleh air mata jang sudah berlinang2, ia memikir sedjenak, lalu berkata kepada sang suami: Tjing-sun, haraplah kau merawat Ki-dji baik2!
Pek-hong, sahut Tin-lam-ong, suka-duka dimasa lalu, buat apa masih tetap kau pikir"
Kau tidak memikir, tapi aku tetap memikirnja dan orang lainpun tidak pernah melupakannja, sahut Si Pek-hong dengan rasa pedih. Habis ini, sekonjong2 ia melompat naik terus melesat keluar melalui djendela.
Tjepat Toan Tjing-sun hendak menarik lengan badjunja, namun Si Pek-hong sempat angkat tangannja itu terus menjabet kemuka sang suami, untuk Tinlam-ong sempat mengegoskan kepalanja, bret, hanja sepotong kain lengan badju Si Pek-hong kena dirobeknja.
Apa kau adjak berkelahi" seru Si Pek-hong dengan gusar sambil menoleh.
Pek-hong, kau ... baru sekian Toan Tjing-sun mendjawab, segera Si Pek-hong sudah melesat dengan tjepat.
Dari djauh terdengar suara bentakan Leng Djian-li jang keras: Siapa itu" ~ Segera terdengar Si Pek-hong mendjawab: Aku! ~ Lalu kedengaran Leng Djian-li berseru dengan gugup: Ah, kiranja Onghui! ~ Habis itu, lalu sunji senjap tiada suara lagi.
Tjing-sun ter-mangu2 berdiri ditempatnja, achirnja ia menghela napas dan memandang Bok Wan-djing jang sementara itu tampak putjat pasi menahan sakit, tapi toh tidak melarikan diri. Ia mendekati gadis itu dan pegang langannja, krok, ia betulkan lagi ruas tulang jang sengadja dipuntir keseleo tadi.
Aku telah panah isterinja, entah siksaan kedji apa jang hendak dia lakukan atas diriku" demikian Wan-djing membatin.
Tak terduga Toan Tjing-sun hanja diam2 sadja, dengan lesu kemudian ia berduduk diatas kursinja, pelahan2 ia angkat tjawan araknja tadi dan diteguk habis sekaligus. Pandangannja terpaku kearah perginja Si Pek-hong tadi dengan ter-mangu2. sedjenak kemudian, ia menuang arak dan diteguknja habis lagi. Dengan tjara menuang sendiri dan minum sendiri, tidak lama sudah 13 tjawan dikeringkannja, kalau potji arak jang satu sudah kering, lantas menuang dari potji jang lain. Menuangnja sangat lambat, tapi meneguknja sangat tjepat.
Makin lama Bok Wan-djing mendjadi semakin kesal, saking tak tahan, achirnja ia berteriak keras2: Tjara bagaimana kau hendak siksa aku, lekaslah kau lakukan!
Baru sekarang Toan Tjing-sun mendongak kearahnja serta memandangnja dengan mata tak berkedip. Selang agak lama, ia berkata: Sungguh mirip!
Seharusnja aku sudah melihatnja sedjak tadi, ja, beginilah wadjahnja dan beginilah tabiatnja ....
Mendengar utjapan orang tak karuan tudjuannja, Bok Wan-djing berseru pula: Kau bilang apa" Ngatjo-belo belaka!
Tapi Tjing-sun tak mendjawabnja, tiba2 ia berbangkit, pelahan2 telapak tangan kiri memotong miring kebelakang, ser sekali dengan pelahan, tahu2
api lilin jang berkobar2 dibelakangnja terpadam sebatang. Menjusul telapak tangan kanan memotong pula kebelakang dan lagi2 api lilin jang lain disirapkan. Ber-turut2 ia memadamkan lima batang api lilin, tapi pandangannja selalu melihat kedepan, gerak tangannja pelahan, tapi enteng dan indah gajanja.
He, bukankah ini adalah... adalah Ngo-lo-gin-yan-tjiang"Kenapa engkau djuga bisa" demikian tanja Wan-djing dengan heran dan terkedjut.
Pernahkah gurumu mengadjarkan ilmu ini kepadamu" sahut Tjing-sun dengan tersenjum getir.
Tidak pernah, sahut sigadis. Suhu bilang kepandaianku belum tjukup masak untuk melatih ilmu pukulan ini. Pula, Suhu menjatakan ilmu pukulannja ini sudah pasti takkan diturunkan pada orang lain, kelak akan dibawanja serta keliang kubur.
O, djadi dia bilang takkan mengadjarkan pada orang lain dan akan dibawa serta keliang kubur kelak" Tjing-sun menegas.
Ja, sahut Wan-djing. Tjuma Suhu masih sering melatihnja diluar tahuku, karena itu, diam2 aku sudah sering melihatnja djuga.
Dia sering melatih ilmu pukulan ini seorang diri" Tjing-sun menegas pula.
Wan-djing memanggut, sahutnja: Ja. Setiap kali Suhu melatih ilmu pukulan ini, tentu dia muring2 dan mendamperat aku. Tapi ken... kenapa kaupun bisa" Eh, malahan engkau seperti lebih pandai memainkannja daripada guruku.
Toan Tjing-sun menghela napas, kemudian katanja pula: Ilmu Ngo-lo-gin-yan-tjiang ini adalah aku jang mengadjarkan pada Suhumu.
Wan-djing terkedjut, tapi ia pertjaja djuga. Sebab setiap kali gurunja melatih pukulan itu, seringkali mesti dua-tiga kali gerakan baru bisa memadamkan api lilin. Tapi Toan Tjing-sun ini tjukup sekali kebas sudah bisa sirapkan api lilin, geraknja indah dan dilakukan seperti seenaknja sadja. Maka dengan tak lantjar ia menanja pula: Djadi engkau adalah gurunja Suhuku" Engkau adalah........ adalah kakek guruku"
Bukan! sahut Tin-lam-ong dengan menggeleng kepala. Kemudian ia komat-kamit sendiri sambil bertopang dagu: Setiap kali dia berlatih tentu muring2 dan menjatakan ilmu ini takkan diadjarkan pada orang lain, tapi akan dibawa serta keliang kubur.....
Dan bagaimana engkau......"
Baru Wan-djing hendak menanja atau Toan Tjing-sun sudah menggojang tangan mentjegahnja supaya djangan bersuara. Lewat sebentar, tiba2 ia menanja: Tahun ini kau berumur 18, kau terlahir dibulan sembilan, betul tidak"
He, darimana kau tahu" Kau pernah apa dengan Suhuku" tanja Wan-djing heran.
Maka tertampaklah air muka Toan Tjing-sun penuh rasa derita, dengan suara parau ia mendjawab: Aku merasa ber....... dosa pada gurumu, berdosa pada....... padamu, Wan-djing, kau......
Ada apa" sahut Wan-djing Kulihat engkau ini sangat ramah-tamah, sangat baik.
Apa nama gurumu tak pernah diberitahukan padamu" tanja Tjing-sun pula.
Suhu bilang namanja Bu-beng-khek, tapi sebenarnja she apa dan nama apa, aku tidak mengetahuinja.
Bagaimana penghidupan gurumu selama ber-tahun2 ini" Dimana kalian tinggal" tanja Tjing-sun lebih djauh.
Kami tinggal dibalik suatu gunung jang tinggi dan tidak pernah bertemu dengan siapapun, sedjak ketjil akupun demikian. sahut sigadis.
Siapakah ajah-bundamu, apakah kau tak diberitahu oleh gurumu"
Kata Suhu, aku adalah anak piatu jang dibuang oleh orang tua, Suhu dapat menemukan aku ditepi djalan.
Kau bentji pada ajah-bundamu atau tidak"
Bok Wan-djing tidak lantas mendjawab, ia meng-gigit2 kuku djarinja sambil miringkan kepalanja memikir.
Melihat sikap demikian itu, tak tertahan lagi hati Toan Tjing-sun mendjadi pilu dan meneteskan air mata.
Wan-djing mendjadi heran melihat pengeran itu menangis, tanjanja: He, kenapa engkau menangis"
Lekas2 Tin-lam-ong berpaling dan mengusap air matanja, lalu paksakan diri tertawa dan mendjawab: Ah, masakan aku menangis" Tapi pengaruh arak itu, mataku mendjadi pedas!
Sudah tentu sigadis takmau pertjaja, katanja: Terang aku melihat engkau menangis. Biasanja tjuma wanita jang menangis, djadi laki2 djuga bisa menangis" Aku tak pernah melihat orang laki2 menangis, ketjuali anak ketjil.
Melihat gadis itu sama sekali tidak mengerti peradaban orang hidup, Tin-lam-ong mendjadi lebih terharu. Katanja kemudian: Wan-dji, kelak aku pasti akan djaga baik2 padamu barulah dapat sekedar mengganti kesalahanku jang lalu. Adalah sesuatu tjita2mu, tjoba katakanlah padaku, pasti aku akan melaksanakannja sepenuh tenaga bagimu.
Sebenarnja hati Bok Wan-djing masih kebat-kebit karena habis memanah njonja Toan, tapi demi mendengar utjapan Toan Tjing-sun ini, ia mendjadi girang, serunja: Djadi kau takkan marah lagi karena aku memanah isterimu"
Djusteru seperti apa jang kaukatakan tadi: Budi guru maha tinggi, perintah guru susah dibantah, urusan orang tua dimasa dahulu tiada sangkut-pautnja dengan dirimu, maka aku takkan marah padamu. Tjuma sadja lain kali djangan lagi kau kurang sopan pada isteriku.
Tapi kalau kelak Suhuku menanjakan, lantas bagaimana" udjar Wan-djing.
Bawalah aku pergi menemui gurumu, biar kubitjara padanja. kata Tjing-sun.
Bagus! seru Wan-djing dengan girang sambil bertepuk tangan. Tapi segera ia berkata pula dengan mengkerut kening: Namun guruku sering bilang bahwa laki2 didunia ini semuanja berhati palsu. Selamanja dia tidak sudi menemui orang laki2.
Sekilas Tjing-sun mengundjuk rasa aneh dan heran, tanjanja tjepat: Gurumu selamanja tidak bertemu dengan orang laki2"
Ja, untuk keperluan se-hari2, Suhuku selalu suruh pelajan perempuan tua jang melakukan, sahut Wan-djing. Satu kali, pelajan tua itu sakit, ia suruh puteranja mewakili belandja keperluan dapur, Suhu mendjadi marah dan suruh dia taruh djauh2 diluar pintu dan melarangnja masuk kerumah.
Ai, Ang-bian, Ang-bian! Buat apa engkau menjiksa diri begitu" demikian Tjing-sun menghela napas.
Kau mengatakan Ang-bian lagi, sebenarnja siapakah gerangan Ang-bian itu" tanja Wan-djing.
Urusan ini takbisa membohongi kau selamanja, biarlah kukatakan padamu.
Gurumu asalnja bernama Tjin Ang-bian, orang memberi djulukan Siu-lo-to padanja.
O, kiranja begitu! Pantas begitu melihat tjaraku membidikkan panah, njonjamu lantas tanja aku pernah apa dengan Siu-lo-to Tjin Ang-bian.
Tatkala itu aku benar2 tidak tahu, djadi bukan sengadja berdusta. Kiranja guruku bernama Tjin Ang-bian, ehm, namanja ini indah benar!
Tadi aku telah puntir tanganmu, masih sakit tidak sekarang" tanja Tjing-sun dengan penuh menjesal.
Melihat sikap pengeran itu begitu ramah tamah, dengan tersenjum Wan-djing mendjawab: Sekarang sudah baik. Marilah kita pergi mendjenguknja"
Kukuatir ratjun panahku itu belum lagi bersih dari lukanja.
Baiklah. sahut Tjing-sun sambil berbangkit. Lalu katanja pula: Kau mempunjai keinginan apa, tjoba katakanlah padaku.
Paras Bok Wan-djing mendjadi merah djengah, ia menunduk dan menjahut: Sesudah........ sesudah kupanah isterinja, kukuatir dia........ dia akan marah padaku.
Kita pelahan2 minta maaf padanja, boleh djadi kelak dia takkan marah lagi, kata Tjing-sun.
Sebenarnja aku tidak pernah minta maaf pada siapapun djuga. Tapi demi Toan-long, tidak apalah biar kuminta ampun padanja kelak, habis ini, tiba2 Wan-djing beranikan diri dan berkata pula: Tin-lam-ong, apabila kukatakan tjita2ku, apa benar2 engkau akan........ akan melaksanakan bagiku"
Sudah tentu, asal tenagaku tjukup utk melakukannja, pasti akan kulaksanakan bagimu. sahut Tjing-sun.
Apa jang kau katakan ini, djangan kau pungkir djandji. udjar Wan-djing.
Tin-lam-ong tersenjum, ia mendekati sigadis dan mem-belai2 rambutnja dengan penuh rasa kasih-sajang, kemudian djawabnja: Aku pasti takkan pungkir djanji.
Baiklah, djika begitu urusan pernikahan kami berdua, haraplah engkau melaksanakannja, tidak boleh dia mengingkari djandji dan berhati palsu. ~
Habis mengutjapkan kata2 itu, wadjah Wan-djing tampak bertjahaja berseri2.
Sebaliknja air muka Toan Tjing-sun semakin guram dan pelahan2 melangkah mundur, lalu mendjatuhkan diri diatas kursinja dengan lesu. Lama sampai lama sekali masih tidak bitjara.
Melihat gelagatnja rada kurang benar, segera Bok Wan-djing mendesak lebih djauh: Engkau......... engkau menjanggupi atau tidak"
Tidak, kau pasti tidak dapat menikah dengan Ki-dji. sahut Tjing-sun kemudian dengan suaranja jang parau berat, tapi tegas.
Seketika rasa Bok Wan-djing mendjadi dingini, se-akan2 digujur seember air, tanjanja dengan ter-putus2: Sebab apa" Se............ sebab apa"
Dia............ dia sendiri sudah berdjandji pada......... padaku, Tapi Toan Tjing-sun hanja mendjawab singkat: Hukum karma, hukum karma!
Wan-djing semakin gugup, serunja: Djika dia tidak mau lagi padaku,aku............ aku lantas membunuhnja, lalu............ lalu membunuh diri. Sebab aku telah............ telah bersumpah dihadapan Suhu.
Takbisa! sahut Tjing-sun sambil geleng kepala pelahan.
Mengapa takbisa" Biar aku pergi tanja dia!
Ki-dji sendiripun takkan tahu, udjar Tjing-sun. Dan ketika melihat rasa derita sigadis jang memilukan itu mirip benar dengan kedjadian 18 tahun jang lalu, dimana ketika mendadak Tjin Ang-bian mendengar berita duka, ia takbisa menahan perasaannja lagi, tertjetuslah segera dari mulutnja: Kau takbisa menikah dengan Ki-dji, djuga tak boleh membunuhnja!
Sebab apakah"
Sebab............... sebab Toan Ki adalah kakamu sendiri!
Seketika mata Bok Wan-djing terbelalak lebar, sungguh ia tidak pertjaja pada pendengaran sendiri itu, tanjanja dengan suara gemetar: Ap.........
apa katamu" Kau......... kau bilang Toan-long adalah kakaku"
Ja, sahut Tjing-sun tegas. Wan-dji, apa kau belum tahu siapakah sebenarnja gurumu itu" Dia adalah ibu kandungan dan aku adalah ajahmu!
Terperandjat dan gusar tak terhingga rasa Bok Wan-djing hingga wadjahnja putjat pasi, katanja pula dengan ter-putus2: Aku ti............... tidak pertjaja, aku tidak pertjaja!
Sekonjong2 terdengar suara seorang menghela napas pandjang diluar djendela, lalu suara seorang wanita telah berkata: Wan-dji, barilah kita pulang sadja!
He, Suhu! teriak Wan-djing sambil memutar tubuh dengan tjepat.
Srak, mendadak djendela itu terbuka, maka tertampaklah diluar situ sudah berdiri seorang wanita setengah umur, berwadjah bundar telor,alis lentik, mata tjeli, paras mukanja sangat tjantik, sinar matanja menjorotkantjahaja bengis dan kekerasan hatinja.
Melihat bekas.kekasihnja ~ Siu-lo-to Tiin Ang-bian ~ mendadak muntjul di situ, Toan Tjing-sun mendjadi kaget dan girang, serunja keras2: Angbian, Ang-bian! Selama beberapa ta............ tahun ini, entah betapa aku te........ telah merindukan dikau!
Namun Tjin Ang-bian tidak mendjawab, katanja pula kepada Bok Wan-djing: Wan-dji, marilah keluar! Rumah manusia jang tipis budi dan berhati palsu, djangan tinggal terlalu lama disini!
Melihat sikap sang Suhu terhadap Toan Tjing-sun itu, perasaan Bok Wan-djing mendjadi lebih tersedak, serunja dengan tak lantjar: Suhu, dia...... dia telah menipu aku, katanja engkau adalah......... adalah ibuku dan dia....... dia adalah ajahku.


Pendekar Pendekar Negeri Tayli Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ibumu sudah lama meninggal, begitu pula ajahmu, sahut Tjian Ang-bian dengan sikap dingin.
Mendadak Tjing-sun berlari keambang djendela, serunja dengan suara memohon: Ang-bian, marilah masuk kesini, biarkan aku bisa memandang engkau barang sebentar. Djangan lagi engkau tinggalkan daku, marilah selandjutnja kita selalu hidup berdampingan bersama.
Tiba2 sinar mata Tjin Ang-bian mengkilat terang, tanjanja: Kau bilang kita akan hidup berdampingan untuk se-lama2nja" Benar2 demikian maksudmu"
Ja, benar, benar! sahut Tjing-sun. O, Ang-bian, selama ini tidak pernah sedetikpun aku melupakan dikau.
Tapi apa engkau tega meninggalkan Si Pek-hong" tanja Ang-bian.
Tjing-sun mendjadi tertegun, ia ragu2 dan tidak bisa mendjawab, wadjahnja mengundjuk rasa serba sulit.
Maka Tjin Ang-bian berkata pula: Pabila engkau masih menaruh kasihan pada puteri kita ini, maka marilah engkau ikut pergi padaku dan selandjutnja tidak boleh ingat lagi pada Si Pek-hong, untuk se-lama2nja djangan pulang lagi kesini.
Mengikuti pertjakapan itu, perasaan Bok Wan-djing mendjadi makin tenggelam, makin tertekan, air matanja ber-kilau2 dikelopak matanja hingga bajangan sang guru dan Toan Tjing-sun tampak samar2. Sekarang ia telah jakin bahwa kedua orang dihadapannja ini memang benar2 adalah ajah-bunda kandungnja sendiri. Dan jang lebih memukul perasaannja adalah kekasih jang selama ini ditjintainja itu ternjata adalah saudara laki2
sendiri dari satu ajah tapi lain ibu. Maka segala impian muluk2 jang pernah dibajangkan olehnja selama ini dalam sekedjap sadja telah bujar sirna semua.
Terdengar Toan Tjing-sun telah mendjawab: Tapi, Ang-bian, aku adalah....... adalah Tin-lam-ong dari negeri Tayli ini, aku memegang kekuasaan penuh pemerintahan militer dan sipil, sebentar.......
sebentarpun aku takbisa meninggalkannja.....
Delapanbelas tahun jang lalu kau berkata demikian, delapanbelas tahun kemudian kau tetap berkata begini, Toan Tjing-sun, wahai Toan Tjing-sun!
Engkau manusia berhati palsu dan tipis budi ini, aku bentji....... bentji padamu....... demikian mendadak Tjin Ang-bian mendamperat dengan suara bengis.
Pada saat itu djuga, tiba2 terdengar diatas rumah sebelah timur sana ada suara orang bertepuk tangan beberapa kali, lalu dari sebelah barat djuga ada orang membalas dengan bertepuk tangan, begitu pula dari kedua djurusan jang lain. Menjusul mana lantas terdengar suaranja Ko Sing-thay dan Leng Djian-li sedang berseru berbareng: Ada musuh! Para saudara harap djaga ditempatnja masing2 dan djangan sembarangan bergerak.
Melihat keadaan mulai genting, segera Tjin Ang-bian membentak: Wan-dji, kenapa engkau masih belum keluar"
Wan-djing mengia, lalu melajang keluar djendela dan menubruk kepangkuan sang guru merangkap ibunda jang tertjinta.
Ang-bian, apa benar2 engkau akan meninggalkan aku begini sadja" tanja Ting-sun. Ketika ia pandang keatas rumah, ternjata diempat pendjuru sudah penuh terdjaga dengan orang.
Hendaklah diketahui bahwa didalam istana pengeran Tin-lam-ong ini banjak berkumpul tamu2 terhormat, tidak sedikit djago2 silat kelas tinggi jang telah mengabdi dibawahnja serta dipimpin oleh Siau-tan-hou Ko Sing-thay bersama tokoh2 Hi-djiau-keng-kok, maka sekali ada tanda bahaja, serentak para djago2 itu lantas siap siaga ditempat masing2.
Kisah Pedang Di Sungai Es 7 Pendekar Sakti Dari Lembah Liar Karya Liu Can Yang Jaka Lola 10
^