Pencarian

Playboy Dari Nanking 7

Playboy Dari Nanking Karya Batara Bagian 7


"She Tan" Dan nama lengkap inkong?"
"Wah-wah, inkong lagi! Kenapa pelupa dan bodoh amat" Eh, panggil saja aku Tan-loheng (kakak Tan), hujin. Nama lengkapku aku lupa! Ya, begitu. Tan-loheng, ha-ha!"
Nyonya ini semburat merah. Lawan yang tak mau memperkenalkan nama tentu saja membuat dia jengah kalau terlampau mendesak. Orang sudah menolong dirinya dan nama depannya sudah diketahui. Kakek itu minta agar dia menyebut saja Tan-loheng. Dan karena sebutan itu dianggap cukup pantas karena usia mereka tak berbeda jauh maka nyonya ini menahan debaran hatinya ketika mengangguk dengan senyum malu-malu.
"Baiklah, Tan-loheng. Lalu bagaimana?"
"Bagaimana apanya" Kau yang bagaimana, karena kau belum habis bercerita!"
Nyonya ini tertawa. Akhirnya dia menjadi geli dan akrab dengan sahabat barunya ini. Kakek ini kocak dan periang, wataknya begitu gembira dan rupanya selalu riang, terbawalah dia. Dan ketika dia juga tertawa dan kakek itu terbahak maka mereka menjadi akrab satu sama lain dan tiba-tiba saja nyonya ini tak mempunyai jarak lagi dengan tuan penolongnya itu.
"Tan-loheng, kau lucu. Agaknya seumur hidup kau selalu periang dan tertawa belaka!"
"Ha-ha, memangnya salahkah itu" Eh, hidup cuma sekali, hujin. Tak guna untuk bersedih atau berduka belaka. Aku memang periang, dan watakku sejak dulu suka humor! Kau suka humor?"
"Semua orang kukira suka?"
"Eh, bukan semua orang yang kutanya, melainkan dirimu! Sukakah kau dengan humor" Kau suka dengan yang serba lucu?"
"Hi-hik, kau aneh, loheng. Tentu saja aku suka itu. Orang berhumor katanya awet muda!"
"Ha-ha, seperti kau. Wah, kau ini juga awet muda. Kutaksir, hmm" umurmu tak. lebih dari tigapuluh satu tahun. Benar, tak akan lebih!" Dewa Mata Keranjang mulai melancarkan ilmu penakluk wanitanya, memuji dan berseri-seri dan wanita yang bersangkutan tentu saja tertawa merekah. Mien Nio tak tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang jago penakluk wanita, pujian dan umpakan mulai dilancarkan kakek ini, sebuah senjata ampuh! Dan ketika dia menggeleng dan tertawa berkata bahwa umurnya tigapuluh sembilan maka Dewa Mata Keranjang pura-pura membelalakkan mata seolah tak percaya.
"Masa" Kau tak bohong" Ah, tidak. Wajah dan tubuhmu tak menunjukkan setua itu, hujin. Kau baru tigapuluh satu tahun atau paling banter tigapuluh dua!"
"Aku tigapuluh sembilan, dan hampir empatpuluh! Aku tak bohong dan kau boleh melihat KTP-ku!"
"Masa?" kakek ini pasang aksi. "Ah, tampaknya tak masuk akal, hujin. Kalau begitu, ha-ha". kau benar-benar awet muda!"
Sang nyonya masuk perangkap. Dewa Mata Keranjang sudah memuji-mujinya dan pandai benar kakek ini mengambil hati. Kalau Fang Fang ada di situ tentu dia akan melihat betapa lihianya gurunya ini mengumpak dan menyanjung-nyanjung si nyonya, yang kini sudah menjadi janda. Dan ketika semuanya itu tentu saja membuat hati si nyonya senang dan sebentar kemudian nyonya ini sudah melupakan kematian suaminya maka Dewa Mata Keranjang tiba-tiba berkelebat dan bergerak ke kiri.
"Hei, aku lupa!"
Sang nyonya terkejut. Kakek itu menghilang tapi tak lama kemudian sudah muncul di balik batu besar, tadi kakek itu bergerak dan berkelebat ke arah batu besar itu. Nyonya ini tak dapat mengikuti dan tentu saja dia tersentak. Namun ketika kakek itu muncul dan membawa seekor kelinci gemuk, yang tadi ditangkap dan disambarnya maka kakek itu berkata sambil tertawa-tawa.
"Aku lupa bahwa kau tentu lapar. Habis bertempur tentu sudah menguras tenaga. Nah, maukah kau memanggangnya, hujin" Nah, ini makanan bergizi!"
Nyonya itu kagum. Dia tak tahu bahwa semua yang dilakukan Dewa Mata Keranjang adalah sesuai teknik menaklukkan wanita. Pertama tentu saja memuji-muji-nya dan kedua adalah memancing rasa kagum yang besar. Kalau laki-laki dapat melakukan dua hal itu maka untuk selanjutnya wanita akan mudah digenggam, begitulah teori kakek ini. Dan ketika benar saja wanita itu terkejut dan kagum melihat kehebatan si kakek, yang pandai menghilang dan cepat muncul kembali maka dia sudah menerima kelinci gemuk itu yang kepalanya ternyata sudah pecah disentil kuku jari si kakek!
"Wah, gemuk sekali, dan gerakanmu luar biasa cepat! Waduh, hebat, loheng. Hebat dan mengagumkan! Ah, kau benar. Aku sudah lapar dan perutku berkeruyuk!" si nyonya menerima, cepat memuji dan memang dia kagum akan kelihaian kakek ini. Tadi merobohkan Gaktwako dan teman-temannya demikian mudah sekarang pun mampu menangkap seekor kelinci gemuk yang dia sendiri tak tahu kapan datangnya. Agaknya kakek itu tahu dari tajamnya pendengaran, bukti betapa hebatnya kakek ini. Dan ketika Dewa Mata Keranjang tertawa dan menyerahkan tangkapannya maka kakek ini mengangguk dan menghilang lagi, berkata akan mencari kayu-kayu kering dan benar saja tak i lama kemudian di situ sudah terkumpul i setumpuk kayu bakar! Dan ketika kakek itu membantu si janda cantik untuk menguliti dan membersihkan kelinci ini maka tak lama kemudian bau sedap kelinci panggang sudah menusuk hidung!
"Ha-ha, lezat. Wow, tanganmu pun trampil sekali meracik bumbu! Ah-ah". perutku pun berkeruyuk!" si kakek memuji bau masakan si nyonya, ganti membolak-balik daging di atas api dan senanglah si nyonya dipuji habis-habisan. Tadi tentang kemudaannya yang masih awet dan penuh pesona dan sekarang kehebatan jari-jarinya meracik bumbu. Wanita mana tak senang dipuji lahir batin" Maka ketika wanita itu terkekeh dan melihat ada yang matang sepotong maka cepat dia menyambar itu dan menyerahkannya pada si Dewa Mata Keranjang.
"Loheng rasakan sepotong. Barangkali masih ada yang kurang!"
"Ha-ha, kurang bagaimana, hujin" Diserahkan oleh jari-jari yang halus dan lentik macam tanganmu ini saja tiba-tiba semua masakan seolah sudah menjadi sedap. Wah, benar sedap. Luar biasa?"wow!"
-o-dwkz-kei-o"
Jilid: XII KAKEK itu terbahak-bahak. Dewa Mata Keranjang melihat wajah si nyonya yang bersemu dadu. Pujiannya yang menyinggung tentang halus dan lentiknya jari si nyonya terang membuat wanita itu kemerah-merahan. Dewa Mata Keranjang memujinya dengan cara yang cerdik sekali, halus dan sopan dan tentu saja kata-kata kakek itupun tidak terdengar kurang ajar. Ah, kurang ajar bagaimana" Justeru nyonya ini merasa senang, hati berbunga! Dan ketika tak lama kemudian kakek itu sudah menghabiskan sepotong dan potongan-potongan lain segera disambar dan ganti diberikannya kepada si nyonya maka kakek itu terbahak-bahak menyuruh si nyonya mencoba.
"Sekarang kaurasakan, cobalah. Ah, rasanya benar-benar istimewa. Kalah segala ayam panggang di istana!"
"Ih!" wanita itu terbelalak. "Loheng sudah pernah menikmati masakan istana?"
"Ha-ha, setiap hari aku di sana, hu-jin. Eh, sudahlah. Jangan banyak tanya dan nikmati sepotong pangganganmu ini!" Dewa Mata Keranjang tak membuat lawan terkesima lebih jauh, sudah memberikan sepotong dan nyonya itu tampak tertegun. Dewa Mata Keranjang yang memberi tahu bahwa setiap hari katanya di istana tentu saja membuat wanita ini terkejut. Kalau begitu, kakek ini adalah orang istana, mungkin pembesar atau pengawal kaisar! Dan ketika nyonya itu mulai terbelalak dan semakin kagum maka daging yang disodorkan Dewa Mata Keranjang hampir lupa dimakannya, meski pun sudah diterima.
"Hayo, jangan melenggong saja. Rasakan itu!"
Si nyonya tersipu. Akhirnya dia menggigit dan Dewa Mata Keranjang menelan ludah melihat gigi yang putih kecil-kecil itu, seperti timun berderet. Aduh, manisnya. Dan karena Dewa Mata Keranjang adalah seorang laki-laki dan meskipun sudah berumur limapuluhan tetap saja dia seorang lelaki maka gairah kakek ini bangkit namun dia tidak cepat melakukan hal-hal yang dapat membuat lawan tersentak.
"Ha-ha, bagaimana, hujin" Lezat, bukan" Ah, racikan bumbumu memang tepat. Ayam panggang atau babi panggang yang kunikmati di istana tidaklah senikmat ini. Ah, kau ahli masak jempolan!"
Si nyonya tersenyum. "Loheng siapakah sebenarnya" Apakah dari istana" Coba kudengar siapa dan bagaimana asal-usul loheng."
"Wah-wah, aku orang biasa. Banyak yang menyebutku si gila!"
"Loheng tidak gila, loheng waras!"
"Ha-ha, itu kata yang waras, hujin. Tapi bagi yang gila, yang tidak waras maka mereka akan menyebutku orang gila, ha-ha!"
Nyonya ini tertawa. "Loheng suka bergurau?"
"Hah, bukankah sudah kukatakan" Hidup sekali haruslah gembira. Bergurau memang kesukaanku!"
"Dan loheng seorang yang baik!"
"Ah, jangan memuji, hujin. Baik atau tidak hanyalah permainan pikiran belaka. Kalau orang diuntungkan, maka baiklah katanya. Tapi kalau dirugikan, wah, tentu tak baik katanya. Ha-ha, sudahlah. Aku tak berani menyebut diriku baik karena aku juga banyak menumpuk dosa, ha-ha!"
Si nyonya tersenyum. Akhirnya dia merasa dekat dan akrab dengan sahabat barunya ini. Dewa Mata Keranjang memang baik dan telah melepas budi. Orang agaknya berwatak aneh dan sedikit tak menghiraukan tata tertib dunia. Baik atau tidak hanyalah permainan pikiran belaka, begitu katanya. Dan karena dia setuju dengan pendapat itu dan mengangguk kagum maka dia coba mengorek siapa sebenarnya kakek yang lihai ini, sayang selalu dikelit dan Dewa Mata Keranjang hanya ganda ketawa kalau setiap kali didesak. Tak terasa akhirnya kelinci panggang itu habis. Dan ketika kakek ini berdiri dan mengusap-usap mulutnya yang berminyak akhirnya kakek ini berkata bahwa dia akan ke perbatasan.
"Aku mendapat tugas untuk menumpas pemberontak. Kalau hujin suka, eh maksudku kalau hujin hendak membantu negara barangkali hujin dapat membantuku dan kita sama-sama ke perbatasan!"
"Loheng seorang utusan?" wanita ini terkejut, bangkit berdiri pula. "Ah, hebat dirimu ini, loheng. Sudah kuduga bahwa kau tentulah seorang yang dekat dengan sri baginda!"
"Ha-ha, jangan mengumpak dulu. Aku orang biasa, kakek tua bangka. Tugas ini kebetulan saja dan kuterima serta kini akan segera kukerjakan. Hujin mau ikut?"
"Tentu! Aku sudah mendengar pemberontakan itu, loheng. Dan aku sebenarnya juga ingin membantu negara tapi merasa tenagaku tak berarti. Kalau loheng mengajakku tentu saja aku gembira, tapi ingat bahwa aku tak berkepandaian!"
"Ha-ha, jangan merendah, hujin. Aku tahu kau cukup memiliki kepandaian dan barangkali sejurus dua jurus dapat kuajarkan kepadamu. Hitung-hitung untuk menambah pengetahuanmu agar tidak terlalu gampang dipermainkan orang!"
"Ah, loheng mau memberiku kepandaian?"
"Kalau kau suka, hujin. Kalau?"
"Tentu saja!" wanita itu sudah terlanjur girang. "Aku suka, loheng. Dan jangan sebut lagi aku hujin! Aku sekarang janda, suamiku sudah tiada. Panggillah namaku dan aku tentu amat berterima kasih!"
"Ah!" kakek ini terbelalak. "Kau meminta itu" Ha-ha, baiklah, Mien Nio. Kalau begitu mari kita berangkat dan sambil berjalan biarlah kuajarkan padamu sejurus dua ilmu-ilmu silat cakar ayamku!"
Sang nyonya dan sang kakek sama-sama girang. Akhirnya Dewa Mata Keranjang mengajak wanita itu pergi meninggalkan tempat itu. Mayat orang she Cak ditendang dan mencelat ke jurang, keduanya sudah melakukan perjalanan dengan tak habis-habisnya bicara. Dan ketika tak lama kemudian Dewa Mata Keranjang sudah menurunkan sejurus dua ilmu silatnya maka tak lama kemudian pula keduanya sudah harus saling berpegang-pegangan tangan. Dewa Mata Keranjang memberi petunjuk-petunjuk dan sentuhan-sentuhan di antara mereka ini tentu saja mulai menimbulkan getaran fisik, yang akhirnya menembus ke getaran batin. Dan ketika semuanya itu berjalan dari hari ke hari-? eh, Dewa Mata Keranjang memang sengaja memperlambat perjalanannya ? maka sang nyonya akhirnya bertekuk lutut ketika kakek itu menyatakan cintanya!
"Aku hendak bicara serius," pada hari ke tujuh kakek ini mengajak temannya duduk di atas batu hitam, bersinar-sinar, tajam penuh selidik namun lembut penuh mesra. "Aku hendak menyatakan sesuatu yang ada di hatiku, Mien Nio. Bolehkah aku berterus terang?"
"Loheng hendak bicara apa?" wanita i-tu berdebar, tentu saja sudah menangkap namun pura-pura tidak tahu. Inilah wanita! Dan ketika kakek itu tersenyum dan menggenggam lembut tangan si nyonya, eh" si janda, maka Dewa Mata Keranjang berkata, melancarkan aksinya.
"Aku hendak menyatakan apa yang ada di hati ini. Maksudku, hmm" bagaimana kalau aku mengambilmu sebagai is-teri, Mien Nio" Bolehkah aku menggantikan mendiang suamimu itu?"
Wanita ini terisak, tiba-tiba menunduk.
"Bagaimana, Mien Nio?" Dewa Mata Keranjang berkata melanjutkan, sabar dalam sebuah pertanyaan lembut. "Aku mencintaimu, aku menyayangmu. Kalau kau suka, hmm" kita dapat menjadi suami isteri tapi aku tak akan memaksamu!"
"Aku" aku?" wanita itu menangis. "Aku janda, loheng. Maukah kau mengambil aku?"
"Hush, akupun bukan jejaka, Mien Nio. Memangnya aku harus mencari yang gadis dan perawan" Tidak, aku mencintaimu, aku sayang padamu. Kalau kau suka, sekarang juga kau jawab tapi kalau tidak biarlah tak usah ada perasaan mengganjal di hati kita!"
"Aku" aku menerima. Tapi" tapi a-ku khawatir kau kecewa!"
"Ha-ha, kecewa apa" Kita sudah bukan anak-anak muda lagi, Mien Nio. Hidup kita hanya dibaktikan untuk cinta dan kasih sayang. Kalau begitu, terima kasih!" dan si Dewa Mata Keranjang yang memeluk dan menyambar wanita ini tiba-tiba sudah menciumnya dengan lembut dan mesra, sebelumnya di hari-hari terakhir ini tentu saja mereka sudah kian dekat. Sambar-menyambar kerling mata sudah dimulai kakek ini dan Mien Nio pun tersipu malu. Maka begitu cintanya diterima dan kakek ini terbahak girang, sudah menduga sebelumnya maka sigap dan tangkas tak kalah seperti anak-anak muda kakek ini sudah melumat bibir lawannya.
"Aku cinta padamu" wo-ai-ni!"
Mien Nio mengerang. Mula-mula dia terkejut karena kakek yang sudah berumur setengah abad ini masih trengginas dan cepat bagai anak muda. Namun begitu bibirnya dicium dan lumatan-lumatan lembut dilakukan Dewa Mata Keranjang tiba-tiba saja wanita itu mabok dan mengeluh. Dan ketika Dewa Mata Keranjang berbisik menyatakan kata-kata cintanya, hangat dan panas akhirnya wanita ini terbang ke sorga! Dewa Mata Keranjang telah mengajaknya mabok sampai di tingkat paling atas. Kakek itu dengan amat lihai dan panasnya membangkitkan gairah wanita ini. Dan karena pada dasarnya wanita itu sudah menaruh kagum dan rasa suka maka Dewa Mata Keranjang berhasil menundukkan lawannya yang baru saja seminggu menjadi janda!
"Ha-ha, hebat kau, Mien Nio. Ah, sudah kuduga. Kau memang hebat dan diam-diam panas membara!"
Mien Nio tertawa malu-malu. Akhirnya mereka berdua bergulingan di rerumputan yang tebal. Ah, Fang Fang tentu tertawa kalau menyaksikan keadaan gurunya ini. Cepat dan tangkas, melebihi anak-anak muda Dewa Mata Keranjang telah menundukkan lawan dengan mudah. Mien Nio tak ingat lagi akan mendiang suaminya tercinta, tak ingat lagi bahwa kematian suaminya itu baru saja berjalan satu minggu, belum satu bulan, apalagi satu tahun! Dan ketika Dewa Mata Keranjang berhasil menundukkannya luar dalam dan Mien Nio jatuh bangun diguncang asmara yang dengan suaminya sendiri dulu tak pernah dia dapatkan maka luluhlah wanita itu dalam cumbuan si Dewa Mata Keranjang, menyerah dan bertekuk lutut dan sehari tak bersanding dengan kakek ini dia merasa panas dingin. Permainan cinta Dewa Mata Keranjang yang begitu aduhai dan "menggigit" membuat wanita ini lupa daratan. Dewa Mata Keranjang tahu titik-titik kelemahan wanita, seperti dia juga tahu titik-titik kelemahan pria. Dan ketika tak lama kemudian mereka sudah benar-benar sebagai suami isteri, meskipun belum terikat oleh tali perkawinan resmi maka wanita cantik yang masih bahenol itu sudah menyerahkan dirinya secara total, lahir batin.
"Aku tak dapat lagi pisah denganmu. Ah, aku ingin kita segera meresmikan perjodohan ini dan punya anak!"
"Ha-ha, apa kau bilang, Mien Nio" Perkawinan resmi" Ah, betapa tololnya. Kau dan aku sudah terikat, kita sudah menjadi suami isteri dan kekasih. Tak usah segala peradatan itu karena sesungguhnya aku tak suka!"
"Apa?" wanita ini terkejut. "Kita".. kau?"
"Hm, duduklah, isteriku manis. Jangan salah paham. Aku tidak bilang bahwa aku mempermainkanmu. Tidak, aku mencintaimu sungguh-sungguh. Hanya aku tak suka dengan segala tata upacara resmi dan biarlah kita hidup di gunung dan kelak orangpun tahu bahwa kau adalah isteriku. Itu cukup, tak akan ada yang berani meng ganggu!"
"Tapi" tapi peresmian?""
"Wah, kau tak malu diarak sebagai pengantin seperti anak-anak muda" Wah, aku yang malu, Mien Nio. Kita ini sudah tua bangka dan tak layak menjadi pengantin. Sudahlah, kalau sekedar ingin diresmikan boleh juga. Nanti aku dapat meminta Cun-ongya untuk meresmikan kita!"
"Cun-ongya?"
"Ya, dia. Sahabatku!"
"Dan kau, hmm?" wanita ini tiba-tiba terbelalak, merah mukanya. "Tidak bolehkah aku tahu siapa sebenarnya kau ini, suamiku" Masihkah harus berahasia lagi sementara semuanya telah kuberikan kepadamu?"
"Ha-ha, jangan marah, jangan sewot. Aku dilahirkan dengan nama Tan Cing Bhok. Nah, sudah puas, isteriku" Kau mau tanya apalagi" Aku benar-benar orang biasa, bukan bekerja di istana. Pangeran Cun adalah sahabatku, dan kami berdua sudah mengenal sejak lama!"
Mien Nio tertegun. "Tan Cing Bhok?" serunya lupa-lupa ingat. "Serasa kukenal nama ini, suamiku. Tapi?"
"Ha-ha, yang punya nama itu di dunia ini bukan cuma aku seorang. Kalau kau mau mengingatnya silahkan, tapi kalau tidak, hmm" tentu saja lebih baik!" Dewa Mata Keranjang tertawa, meraih dan mencium isteri barunya itu dan tentu saja dia tak akan memperkenalkan julukannya kepada Mien Nio. Wah, siapa mau memberitahukan nama julukan Dewa Mata Keranjangnya pada kekasih baru" Bisa runyam, jalan terbaik adalah tak usah mengatakan! Dan ketika Mien Nio dicium dan mengeluh didekap kekasihnya ini maka hubungan mereka sudah baik kembali.
"Kau nakal!" wanita ini mencubit. "Memperkenalkan nama lengkap saja pelitnya bukan main, suamiku. Agaknya kalau tidak kutanya barangkali kau juga tak akan memberitahukan!"
"Ha-ha, apalah artinya sebuah nama!" kakek ini bersajak. "Nama itu tong kosong belaka, Mien Nio. Yang penting orangnya! Eh, kau mau menambah pelajaran ilmu silat, bukan" Atau hanya bercumbu dan bercintaan melulu?"
"Ih, kau yang membuatku begitu. Kau nakal!" dan ketika keduanya tertawa dan kakek ini terbahak maka untuk kesekian kalinya pula mereka berciuman, saling peluk dan saling rapat dan tak dapat dicegah lagi masa-masa pengantin baru direguk keduanya. Dewa Mata Keranjang girang dan senang karena mendapatkan kekasih barunya ini, wanita empatpuluhan yang memang matang dan sudah jadi. Seumpama baju, hmm" sudah tinggal pakai dan menikmati saja. Asyiik! Dan ketika keduanya kembali tertawa dan bergulingan maka malam harinya baru mereka beristirahat.
"Wah-wah, keropos tulang-tulangku nanti. Haduh, kau tak capai, isteriku sayang" Kau masih kuat dan ingin bercinta terus?"
"Ih, akupun capai. Tapi, hmm" rasanya tak mau sudah. Begitu nikmat dan indah! Suamiku, apakah kau akan tetap mencintaiku sepanjang masa" Apakah kau akan baik-baik selalu kepadaku?"
"Ha-ha, aku bukan suami yang buruk, Mien Nio. Justeru biasanya isteri-isteriku-lah yang meninggalkan aku pergi. Mereka ". hm!" kakek ini terlanjur bicara. "Mereka tak setia padaku!"
Wanita ini bangkit terduduk. "Kau sudah beristeri" Eh, ceritakan tentang isteri-isterimu itu, suamiku. Jangan rahasiakan masa lalumu kepadaku!"
"Benar, aku memang sudah beristeri. Tapi, ah" mereka itu memusuhi aku, pergi dan meninggalkan aku sendirian!"
"Hm, bagaimana itu. Ceritakanlah kepadaku!"
"Pengalaman pahit, pengalaman buruk!" Dewa Mata Keranjang tertawa menyeringai, tak dapat berhenti. "Aku sebenarnya dimusuhi isteri-isteriku itu karena intinya mereka cemburu. Hm, kau mungkin juga akan seperti mereka, Mien Nio. Akan meninggalkan aku dan memusuhi diriku!"
"Aku bukan isteri yang gila. Kalau tak ada sebab-musabab tak mungkin aku melakukan itu. Mustahil!"
"Kau berjanji?"
"Tentu saja! Aku bukan isteri yang tak setia, suamiku. Kau tahu itu!"
"Hm, baiklah. Aku ceritakan!" kakek itu lalu bercerita, tentu saja diambil dari sudut pandangannya dan kesalahan ditimpakan kepada bekas isteri-isterinya itu. Sejauh ini Dewa Mata Keranjang tetap tidak memberitahukan bahwa dia adalah laki-laki yang dijuluki biangnya mata keranjang. Baginya mencinta setiap wanita cantik tidaklah salah. Kalau disambut dan diterima kenapa ditolak" Hidup adalah untuk bersenang-senang, dan masalah cinta adalah masalah hangat yang selalu menjadi buah perkembangan peristiwa-peristiwa indah. Karena cintalah manusia berkembang dan hidup. Karena cintalah semua mahluk di bumi dan langit bersuka cita dan bergembira. Kenapa harus menolak dan ditampik" Dan karena Dewa Mata Keranjang adalah laki-laki yang selalu tertarik pada wanita cantik dan tentu a-kan menyambut dan menerima kalau cintanya tak bertepuk sebelah tangan maka kakek itu bergelimang madu asmara sepanjang hidupnya, tak perduli pada pasangannya bagaimana reaksi mereka kalau dia terus berganti-ganti kekasih. Hal ini tak dipikirkan dan dihiraukan kakek itu. Yang penting keduanya senang, bahagia. Dan ketika dia bercerita bahwa semua isterinya pencemburu dan terlalu mengekangnya maka dia membela diri.
"Aku ingin hidup bebas, senang. Aku tak biasa dikekang dan tak mungkin dikekang. Aku adalah laki-laki, kenapa harus diperintah dan diatur perempuan" Kalau mereka di atasku maka terbaliklah hukum alam ini, Mien Nio. Karena aku sebagai laki-laki akan dikuasai dan digenggam mereka. Hal ini aku tak suka. Dan karena kami mulai sering cekcok maka akhirnya mereka menjadi tak senang dan meninggalkan aku, setelah gagal dan tak bisa membunuhku!"
"Hm, kau mau dibunuh?"
"Ya, mereka itu?" kakek ini tertawa. "Mereka mengira dapat membunuh aku dengan mudah, Mien Nio. Padahal dari akulah mereka mendapat tambahan pelajaran silat itu. Ha-ha, seperti murid mau membunuh gurunya!"
"Dan mereka itu, di mana sekarang" Berapa orang pula isterimu?"
"Wah, banyak. Ha-ha, lebih dari dua!"
"Lebih dari dua?"
"Ya, kau kaget" Mulai cemburu" Ha-ha, hati-hati, Mien Nio. Awas jangan-jangan kaupun akan meninggalkan aku, memusuhi aku!"
"Tidak!" wanita ini tersipu merah. "A-ku tak akan melakukan itu, suamiku. Tapi luar biasa juga kalau isterimu sampai lebih dari dua. Kau agaknya tukang kawin cerai!"
"Wah-wah, tuduhan tajam!" kakek ini terbahak. "Jangan menuduhku seperti itu, Mien Nio. Aku pribadi tak pernah menceraikan mereka. Dan hebatnya, merekapun masih setia kepadaku!"
"Eh!" Mien Nio terkejut. "Kau tahu itu" Bagaimana bisa begitu" Bukankah mereka memusuhi dan membenci dirimu?"
"Benar, tapi di lubuk hati masing-masing mereka tak dapat melupakan aku, Mien Nio. Mereka selalu ingat dan terkenang kepadaku. Barangkali, ha-ha" mereka tak dapat melupakan bagaimana servisku melayani mereka. Mereka tahu bahwa tak mungkin ada laki-laki lain yang mampu membuat isteri sampai di sorga ketujuh kecuali aku!"
Mien Nio semburat merah. Kalau sudah bicara tentang ini memang dia harus mengakui bahwa Dewa Mata Keranjang adalah jagonya. Kakek itu amat lihai dan pandai sekali melayani isteri. Tehnik dan kemampuannya luar biasa, mendiang suaminya sendiri tak seperti itu! Dan ketika wanita ini tersipu dan Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak maka kakek itu meraih dan menyambar wanita ini.
"Ha-ha, bagaimana, Mien Nio" Kau mengakui kata-kataku?"
"Hm, benar," wanita ini mengangguk, bersinar-sinar, berahinya bangkit. "Kau memang luar biasa, suamiku. Permainanmu dan cara melayani isteri sungguh hebat luar dalam. Kau laki-laki lihai yang amat mengagumkan di dalam dan di luar ranjang!"
"Ha-ha, kalau begitu kau tahu bagaimana aku, bukan?"
"Ya, kau hebat. Tapi aku khawatir jangan-jangan?"
"Jangan-jangan apa?"
"Kau membuatku cemburu pula!"
"Ah-ah, aku sudah tua, Mien Nio. Aku bukan anak muda!"
"Tapi pengetahuanmu banyak, tehnik-mu cerdik!"
"Ha-ha, kau sudah mengakui itu sampai sejauh ke sana" Wah, terima kasih, Mien Nio. Kalau begitu berarti aku berhasil" cup!" dan si kakek yang mencium serta melumat kekasihnya akhirnya bergulingan lagi dan membuat Mien Nio memejamkan mata. Kalau sudah begini tentu dia akan segera panas dingin namun ternyata Dewa Mata Keranjang sudah agak lelah. Kakek ini hanya memberikan cumbuan dan dekapan ringan. Dan ketika dia mengajak bangkit dan Mien Nio mangar-mangar maka kakek itu tertawa menepuk pinggul kekasihnya.
"Sudahlah, masih ada waktu bagi kita. Hayo tidur dan besok kita sudah sampai di tempat yang dituju!"
"Kau tak?"
"Hush, minta lagi" Ha-ha, stop dulu, Mien Nio. Dengkulku sudah berkeriyit dan minta istirahat. Dengarlah ini kriyet-kriyet"!" kakek itu memainkan lututnya, memang berkeriyit dan Mien Nio tentu saja terkekeh. Wanita ini geli karena Dewa Mata Keranjang ternyata seorang kakek yang lucu. Ah, dia menggigit telinga kakek itu. Dan ketika kakek ini berkaok namun tentu saja tak marah maka malam itu Mien Nio dikeloni dan tidur dengan manja. Masih tetap tak menduga bahwa "suaminya" ini adalah Dewa Mata Keranjang. Rasa humor yang tinggi serta tingkah laku yang lucu dan aneh dari kakek ini membuat kakek itu memiliki kepribadian yang lain dari kakek-kakek lain. Hidup bersama Dewa Mata Keranjang seolah diajak untuk bergembira terus, ketawa melulu. Dan ketika keesokannya mereka bangun dan Mien Nio membuka mata ternyata sepoci teh hangat sudah tersedia di depan kakinya, lengkap dengan roti dan kue-kue kecil!
"Ha-ha, selamat pagi. Mandilah, dan sarapan!"
Mien Nio melompat. Dia heran dan terbelalak memandang kakek ini, disambar dan dicium lagi. Dan ketika Dewa Mata Keranjang menunjuk sebuah mata-air kecil di mana suara gemericik menunjukkan tempat mandi yang segar tiba-tiba Mien Nio tertawa.
"Aku tak mau mandi, kalau kau tak ikut!"
"Heh, aku?"
"Ya, kau, suamiku. Aku ingin kau memandikan aku dan kita berdua mandi di sana!"
"Ha-ha!" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. "Aku sudah mandi, Mien Nio. Sudah berpakaian rapi! Aku"."
"Tidak, kau tetap mandi bersamaku atau aku tak mau mandi!"
"Weh!" si kakek terbahak-bahak. "Kau genit, Mien Nio. Baiklah, kita mandi dan mari mandi bersama". byurr!" Dewa Mata Keranjang sudah menyambar kekasihnya ini, berkelebat dan terjun ke mata-air kecil itu. Dan karena mereka masih sama-sama berpakaian dan kakek itu juga baru saja mengenakan pakaian bersih maka tak ayal keduanya basah kuyup dan Dewa Mata Keranjang terbahak-bahak, melepas pakaian kekasihnya ini dan dua manusia setengah baya sudah telanjang sambil tertawa-tawa. Mien Nio bahagia diremas dan dimandikan kakek ini, balas memandikan Dewa Mata Keranjang dan mereka yang tiada ubahnya seperti anak-anak muda ini terkekeh-kekeh dan tidak memperdulikan sekitarnya lagi. Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak menggosok dan memandikan kekasihnya itu. Ah, jaripun merayap ke sana-sini dan Mien Nio terkekeh geli. Dan ketika mereka berciuman dan roboh di air maka keduanya terguling dan tertawa-tawa.
Kegembiraan kembali terjadi di sini.
Dewa Mata Keranjang membuat kekasihnya terengah-engah dan tak malu-malu diciumi serta diusap. Mien Nio akhirnya balas mengusap dan meremas-remas kakek ini. Dan ketika keduanya terbang ke sorga dan pagi yang cerah itu disambut gelak tawa dan kekeh bahagia maka setengah jam kemudian barulah mereka keluar. Mien Nio berseri-seri dan mengibas rambutnya ke kiri kanan.
"Ha-ha, patung pualam yang indah!? Dewa Mata Keranjang memuji, kagum dan berseru melihat kekasihnya yang telanjang bulat muncul di air, tak canggung atau malu-malu memperlihatkan tubuhnya di alam terbuka. "Wah, hebat, Mien Nio. Tubuhmu benar-benar hebat dan tak kalah dengan remaja puteri!"
"Hi-hik, biar kau tetap mencintaiku, suamiku. Aku ingin mengikatmu agar tak tertarik wanita lain!"
"Ah, aku tak mungkin tertarik lagi. Aku tertarik padamu!" dan ketika Dewa Mata Keranjang melompat ke tepi, juga telanjang bulat maka Mien Nio terkeken namun kagum melihat tubuh kekar dan masih padat berisi dari kakek gagah ini.
"Kau juga," serunya. "Kaupun hebat. suamiku. Lihat tubuhmu yang kokoh dan tegap itu. Hm, kau melebihi anak-anak muda jaman sekarang. Dan kekuatanmu" hi-hik, seperti kuda. Selalu siap tempur!"
Dewa Mata Keranjang terbahak. Dia menyambar dan menciumi lagi tubuh kekasihnya ini, tak habis-habisnya kagum dan memang nafsunya agaknya selalu bangkit. Dia begitu terpesona dan tergetar oleh tubuh indah yang terpampang di depan mata ini. Tapi merasa cukup dan harus segera berangkat kakek ini berkata,
"Kita berpakaian, setelah itu ke perbatasan!"
Mien Nio mengangguk. "Ya, aku juga ingin begitu. Baiklah, ambilkan pakaianku, suamiku. Dan kenakanlah di tubuhku?"
"Wah, kau manja. Aku sendiri masih telanjang!"
"Aku yang akan mengenakan pakaianmu nanti, juga membersihkan dan menyisir rambutmu. Ayolah, ambil pakaianku dan kenakan cepat!"
Dewa Mata Keranjang tertawa-tawa.
Kekasih barunya ini lain dari yang lain, manja namun penuh pesona. Dan karena dia tentu saja tak ingin membuat kecewa maka kakek itu berkelebat mengambil pakaian Mien Nio, mengenakannya dan keduanya tertawa-tawa saling cubit. Mien Nio geli melihat kakek itu dalam keadaan tanpa busana, geli namun juga penuh kagum karena Dewa Mata Keranjang laki-laki tua yang hebat. Tubuhnya sama sekali segar dan tidak terlihat keriput. Kakek ini masih kencang dan gagah, tanda memelihara baik tubuhnya itu dan tentu saja dia suka. Lain dari yang lain kakek ini memang istimewa. Dan ketika semuanya selesai dan ganti dia yang mengambilkan dan mengenakan pakaian kakek itu maka Dewa Mata Keranjang geli terkili-kili.
"Waduh, belum pernah aku diperlakukan seperti anak kecil begini. Heh-heh, lucu, Mien Nio. Kau pandai melayani suami!"
"Dan kau pandai melayani isteri. Sudahlah, sekarang rambutmu dan mari kusisir!"
Dewa Mata Keranjang merem-melek. Kakek ini merasa nikmat dan gembira karena baru dari semua kekasih-kekasihnya yang ada barulah Mien Nio ini yang memperlakukannya seperti itu. Dia senang dan terharu sekali. Dan ketika tiba-tiba cinta yang mendalam tumbuh di hatinya maka kakek ini berbisik apakah Mien Nio tak akan meninggalkannya kalau seumpama isteri-isteri lamanya muncul, meraih dan memeluk pinggang wanita itu.
"Aku telah menjadi isterimu, segalanya telah kuserahkan padamu. Kalau benar seperti katamu maka aku tak akan cemburu atau marah, apalagi meninggalkanmu."
"Wah, benar?"
"Boleh buktikan itu, suamiku. Sebagai wanita Tiongkok kukira justeru tak pantas seorang isteri meninggalkan suaminya. Yang banyak terjadi ialah suami yang meninggalkan isterinya. Kalau hal itu kaulakukan, hmmm". tentu saja aku tak dapat berbuat apa-apa!"
"Ah, tidak!" Dewa Mata Keranjang mencium kekasihnya ini. "Aku tak akan meninggalkanmu, Mien Nio. Aku berjanji tak akan meninggalkanmu! Tapi, sungguhkah kau tak marah atau benci padaku kalau bertemu dengan bekas isteri-isteriku yang lain" Tak marahkah kau kalau mendengar bagaimana sikapku dan sepak terjangku selama ini?"
"Hm, aku telah menjadi isterimu, kanda. Apapun yang kaulakukan di masa yang silam tak akan membuatku marah sedikitpun!"
"Kanda" Ah, ha-ha"!" dan Dewa Mata Keranjang yang bahagia dan memeluk kekasihnya ini lalu menyatakan terima kasih dan tentu saja girang luar biasa karena Mien Nio telah menyebutnya "kanda", sebutan halus yang penuh mesra dan Min Nio hanya tersenyum saja ketika dipeluk dan diciumi. Dan ketika kakek itu melepaskannya dan menarik napas penuh haru maka kakek ini berkata,
"Baiklah, sebentar lagi kau akan tahu siapa diriku, Mien Nio. Dan ingin kubuktikan bagaimana reaksimu!"
"Kita segera berangkat?"
"Ya, dan di perbatasan barangkali kau akan kaget!"
"Aku tak akan kaget, aku biasa-biasa saja.."
"Hm, belum tentu, Mien Nio. Baiklah, mari kita buktikan!" dan ketika kakek itu berkelebat dan menyambar lengan kekasihnya maka Mien Nio sudah dibawa terbang dan kali ini Dewa Mata Keranjang bersikap serius, tidak lagi mainmain atau bergurau karena kakek itu memang ingin membuktikan apa yang telah diucapkan Mien Nio. Dia mulai merasa bahwa inilah wanita terakhir yang akan menjadi kekasihnya. Mien Nio lain dari yang lain dan tiba-tiba Dewa Mata Keranjang diliputi semacam perasaan haru yang mendalam. Tangan wanita itu diremasnya dan Mien Nio pun balas meremas. Dan ketika dia menoleh dan saling berpandangan maka Dewa Mata Keranjang merasa bahagia karena inilah agaknya calon wanita yang benar-benar tidak egois!
-0-dwkz-kei-0- "Nah, kita sampai," kakek ini menahan larinya. "Berhenti, Mien Nio. Dan lihat beberapa pengawal mulai mendatangi kita."
Mien Nio tertegun. Tembok perbatasan yang tinggi dan tegak telah menjulang di depan mereka, begitu megah dan kokoh, kuat dan tebal sebagaimana layaknya dinding-dinding pemisah antar batas negara. Dan ketika dia berhenti dan benar saja beberapa penjaga melihat dan mendatangi tempat mereka, karena Dewa Mata Keranjang tak bermaksud menyembunyikan diri maka sepuluh perajurit telah menghampiri dengan cepat, tombak bergetar dan penuh kecurigaan tertodong ke depan.
"Berhenti, dan siapa kalian!"
Dewa Mata Keranjang tersenyum. "Aku mau menghadap komandan di sini, panggil Bu-goanswe (jenderal Bu)!"
"Siapa kau?" perajurit-perajurit itu ter kejut. "Dan dari mana?"
"Ha-ha, tak usah kalian tahu. Panggil saja Bu-goanswe dan nanti kalian sendiri tahu!"
"Keparat, kau rupanya musuh. Orang baik-baik tak akan menyembunyikan nama. Tangkap dia, dan bekuk wanita ini!" perajurit itu, yang rupanya menjadi pemimpin di antara sepuluh penjaga tiba-tiba membentak dan menyerang. Tombaknya bergerak dan kawan-kawannya pun mengikuti. Tapi begitu tombak menusuk dan yang lain mengikuti mendadak Dewa Mata Keranjang berkelebat dan" lenyap di depan sepuluh orang itu, bersama Min Nio.
"Ha-ha, kalian kecoa-kecoa busuk!"
Sepuluh orang itu kaget. Mereka tak melihat kapan kakek ini bergerak, tahu-tahu lenyap begitu saja seperti iblis. Dan ketika mereka menoleh karena tawa itu terdengar di belakang sana tiba-tiba kakek itu sudah jauh di sana mendekati kemah besar.
"Hei, tangkap dia. Awas!"
Sepuluh penjaga menjepretkan panah. Mereka juga membawa itu di belakang punggung, cepat melepas dan mementang gendewa. Dan ketika di sana Dewa Mata Keranjang tertawa menangkis, tanpa menoleh maka sepuluh orang ini kaget dan tiba-tiba meniup terompet tanda bahaya. Tet-teettt"!"
Kakek itu tertawa. Menara di atas tembok yang tinggi tiba-tiba bergetar dan bergoyang, ratusan kepala muncul dan melongok. Dan ketika mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan berkelebatan seperti siluman maka semua menjadi gempar sementara Dewa Mata Keranjang sendiri terkekeh-kekeh.
"Ada musuh! Awas, ada musuh"!"
Mien Nio berdebar. Wanita ini tiba-tiba menjadi tegang dan cemas, suaminya tak perduli dan bahkan berkata biarlah mereka membuat ribut-ribut sedikit. Kekacauan akan ditimbulkan di situ dan biar semua orang panik. Dan ketika kakek ini tertawa dan menarik tangan kekasihnya maka Mien Nio mendengar bentakan dan jepretan panah-panah yang berbahaya dari atas menara.
"Berhenti, atau kalian mampus!"
Puluhan panah mendesing. Mien Nio menggerakkan tangan tapi kalah cepat dengan Dewa Mata Keranjang, kakek itu sudah mengebut dan puluhan panah runtuh! Dan ketika Mien Nio terkejut tetapi kagum maka para penjaga di atas menara juga tersentak dan membelalakkan matanya.
"Iblis! Kakek itu lihai!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Dia memang hendak mainmain sedikit sebelum menemui Bu-goanswe. Orang-orang di situ tak tahu adat dan ingin dia menghajar sedikit. Dan ketika dari bawah muncul ratusan orang karena terompet dan tambur dipukul gencar maka Dewa Mata Keranjang sudah menghadapi sebuah pasukan besar yang siap mengepung!
"Pegang aku erat-erat, aku hendak terbang!"
Mien Nio terbelalak. Dia gelisah dan cemas karena tiba-tiba saja suaminya ini melayani musuh. Katanya mereka adalah kawan tapi suaminya bersikap bukan sebagaimana layaknya seorang kawan. Kakek ini cenderung membuat ribut-ribut dan mereka tentu saja dianggap musuh, lawan yang berbahaya. Dan karena Dewa Mata
Keranjang Juga menunjukkan kelihaiannya di mana sekali kebut atau tampar semua panah-panah yang berhamburan runtuh maka pasukan menjadi marah tapi juga kaget melihat kepandaian kakek ini, bergerak dan sudah memapak dan dari mana-mana ratusan orang sudah terkumpul. Mereka adalah pasukan siap tempur yang cukup terlatih. Mereka penjaga perbatasan dan pertempuran sewaktu-waktu memang sudah menjadi bagian mereka. Tapi ketika mereka meluruk dan Dewa Mata Keranjang berkata pada kekasihnya agar Mien Nio berpegang erat-erat mendadak kakek ini meloncat tinggi dan". terbang seperti superman!
"Heii"!" semua mata terbelalak. "Sihirkah ini" Silumankah kakek itu" Wah, a-was, dia menuju kita". des-dess!" dan De wa Mata Keranjang yang terbang dan meluncur seperti superman tiba-tiba membagi tamparan dan tertawa-tawa membuat para perajurit terpelanting, jroboh terjengkang dan masuklah kakek itu melalui barikade ketat barisan pengepung. Dan ketika kakek itu hinggap dan menempel di dinding, tiba-tiba, eh". kakek ini merayap dan dengan cepat sekali sudah mendekati menara.
"Heiii"!" semua perajurit gempar. "Tahan kakek itu, awas?"
Dewa Mata Keranjang tertawa-tawa. Dia tak memperdulikan Mien Nio yang ada di gendongannya. Wanita itu nyaris memejamkan mata karena tembok yang didaki kakek ini bukan main tingginya, tak kurang dari duapuluh meter dan nyaris sama dengan tingginya sebuah pohon kelapa! Dan ketika perajurit di bawah berteriak-teriak maka penjaga di atas menara tak kalah kaget dan hebohnya. Dewa Mata Keranjang telah merayap seperti cecak dan ilmu merekat yang ditunjukkan kakek itu luar biasa sekali. Menggendong seorang wanita cantik sambil mengibas runtuh anak-anak panah yang menyambar sekali dua masih juga dapat dilakukan kakek itu, terperangahlah para perajurit, bengong. Tapi begitu kakek ini tiba di atas dan empat orang maju membentak ma ka jari-jari kakek itu dibacok senjata tajam.
"Awas!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Mien Nio berteriak karena empat golok di tangan empat orang itu sudah mem bacok jari-jari kakek ini, yang siap mencengkeram puncak tembok dan sudah berada di bagian yang paling atas. Sekali sampai dan mengayunkan tubuhnya tentu kakek ini sudah akan berada di atas, tak terhalangi. Namun begitu Mien Nio berteriak dan wanita itu membentak untuk menangkis tiba-tiba Dewa Mata Keranjang berseru mencegah dan buku-buku jari kakek itu berkerotok.
"Tak-tak!"
Empat golok patah-patah. Mien Nio kagum dan bengong sementara kakek itu terbahak menggerakkan kakinya. Dari bawah ia menyodok pantat kekasihnya ini dan terlemparlah Mien Nio melewati kepala si kakek. Dan ketika empat penyerang tampak terkejut dan tertegun di sana maka sebuah totokan jarak jauh dilancarkan kakek ini dan robohlah empat o-rang yang masih bengong itu.
"Bluk-bluk!"
Dewa Mata Keranjang sudah berada di atas. Mien Nio berteriak tertahan tapi menjadi gembira karena selamat turun di atas benteng. Mereka kini sudah berada di tempat yang tinggi dan pasukan di bawah tak dapat menyerang lagi. Mereka hanya berteriak-teriak dan anak panah jarang yang sampai ke situ. Hanya tangan-tangan kuat yang penuh tenaga sajalah yang dapat melepaskan panah sampai sejauh itu. Tapi ketika Mien Nio sudah berseru girang karena Dewa Mata Keranjang tak apa-apa tiba-tiba terdengar geraman dan jepretan sebatang panah yang luar biasa kuatnya.
"Pengacau dari mana berani datang mengganggu". serr!"
Mien Nio terkejut. Dari belakang si kakek muncul seorang laki-laki gagah bermuka persegi, tinggi besar dan geraman-nya itu sanggup menggetarkan lantai menara sampai berderak. Tapi ketika panah mendesing dan Dewa Mata Keranjang diserang tiba-tiba kakek itu membalik dan panah yang menyambar disambut dengan dua buah jarinya.
"Ha-ha, selamat bertemu, Bu-goanswe. Inilah aku" cep!" panah terjepit, langsung dipatahkan dan terkejutlah laki-laki tinggi besar itu. Tapi begitu dia melihat siapa kakek ini tiba-tiba Bu-goanswe, laki-laki gagah itu berseru girang.
"Ah, kiranya kau. Dewa Mata Keranjang"!" dan Bu-goanswe yang tertawa menyimpan pukulannya, yang siap dihantamkan dan dipukulkan setelah desingan panah tiba-tiba melompat maju dan menubruk kakek ini, mencengkeram dan mengguncang-guncangnya dan terkejutlah Mien Nio mendengar sebutan itu. Dewa Mata Keranjang! Dan ketika kakek dan laki-laki tinggi besar ini berpelukan sambil meremas-remas maka Dewa Mata Keranjang terbahak mendorong jenderal tinggi besar itu.
"Ya, aku, goanswe. Dan sekarang kau tentu tahu apa maksud kedatanganku, ha-ha!"
Bu-goanswe tersenyum lebar. Dia memberi aba-aba dan semua orang yang naik ke atas menara disuruh turun, membentak dan berkata pada mereka bahwa inilah Dewa Mata Keranjang, utusan istana. Dan ketika semua orang kaget tapi tentu saja gembira, gempar namun girang maka jenderal itu tertegun melihat Mien Nio yang menjublak dan berdiri di sana. "Dia" siapa itu?"
"Ha-ha, isteriku, goanswe. Kekasih baruku!"
?Ah, kau masih juga.?
"Sst, jangan ramai-ramai. Lihat dia gemetar!" dan Dewa Mata Keranjang yang membalik dan menghampiri kekasihnya lalu memegang dan menyambar tangan kekasihnya itu. "Mien Nio, sekarang kau tahu siapa aku. Nah, boleh kautinggalkan aku kalau tidak suka atau mari kuperkenalkan dirimu pada Bu-goanswe!"
Wanita ini tergetar hebat. Sekarang dia ingat bahwa di dunia ini tokoh yang bernama Tan Cing Bhok ya Dewa Mata Keranjang inilah. Nama itu sekarang dikenalnya baik dan wanita ini terguncang. Pantas! Dia serasa ingat dan tahu nama itu. Tapi karena nama Dewa Mata Keranjang jauh lebih terkenal daripada nama Tan Cing Bhok maka Mien Nio terhuyung dan tiba-tiba terisak.
"Kau" kau Dewa Mata Keranjang?"
"Ya, akulah itu, Mien Nio. Sekarang kau tahu siapa aku dan aku tak bermaksud menyembunyikan diriku. Nah, aku sudah bersikap terus terang dan terserah kau apakah dapat tetap bersamaku atau kau pergi seperti kekasih-kekasihku yang lain."
"Ooh, tidak!" dan Mien Nio yang tersedu dan menubruk kakek ini tiba-tiba berkata, terbata, "Aku" aku sudah menjadi isterimu. Tak baik bagi wanita Han meninggalkan suaminya apapun yang terjadi. Aku mencintaimu, suamiku" aku tak akan meninggalkanmu. Aku menepati janji!" dan Dewa Mata Keranjang yang terharu dan memeluk wanita ini lalu mencium bibirnya mesra, membuat Bu-goanswe melengos
"Kau tak marah padaku" Kau tak benci padaku?"
"Aku sudah berjanji, dan aku sudah menetapkan hati. Kalau kau yang mau meninggalkan aku untuk mencari kekasih baru silahkan, pokoknya bukan aku yang pergi!"
"Ah, ha-ha". bagus!" dan Dewa Mata Keranjang yang kembali memeluk dan mencium kekasihnya ini lalu membawa wanita itu diperkenalkan pada jenderal Bu. "Coanswe, inilah isteriku yang terakhir. Aku berjanji dan bersumpah padamu bahwa inilah isteriku sekaligus kekasihku yang terakhir. Kau dan langit serta bumi menjadi saksi!"
Bu-goanswe tertawa lebar. "Kau mudah melepas sumpah, Dewa Mata Keranjang. Tapi kau mudah pula melepaskannya. Ha-ha, aku menjadi saksi sekaligus orang yang akan melihat kebohonganmu!"
"Tidak, aku bersungguh-sungguh"!"
"Ah, sungguh-sungguhnya Dewa Mata Keranjang tetaplah mata keranjang juga! Ha-ha, sekarang tak perlu kita bicara ini, Dewa Mata Keranjang. Sebutkan siapa dia dan bagaimana berita istana untuk kudengar di sini!"
"Ha-ha!" kakek itu tertawa bergelak, ganti mendongkol. "Kau tak percaya seorang utusan, goanswe. Lebih baik tak usah kuberitahukan!"
"Heii"!" jenderal Bu terkejut. "Jangan begitu, Dewa Mata Keranjang. Aku percaya!" dan sang jenderal yang gugup dan bingung melihat kakek itu berkelebat keluar tiba-tiba memburu dan menyuruh pasukannya mengepung. "Tahan kakek itu. Heii". tahan dia!"
Pasukan terkejut. Mereka baru saja girang dan gembira karena Dewa Mata Keranjang, tokoh yang amat terkenal datang ke tempat mereka. Bu-goanswe sudah berkata bahwa kakek itu adalah utusan istana, berarti akan memberi bantuan kepada mereka dan tentu saja mereka senang. Tapi begitu Bu-goanswe berteriak-teriak dan mereka kaget melihat kakek itu terjun begitu saja dengan membawa si cantik itu tiba-tiba mereka bergerak dan Dewa Mata Keranjang sudah dikepung!
"Heii" tahan dia. Tapi jangan serang!" Bu-goanswe gugup, mengambil tali dan secepat kilat jenderal ini mengaitkan tali itu pada puncak menara. Dan begitu terkait dan dia melempar tubuhnya maka jenderal ini sudah terjun dan melorot de-ngan bantuan tali itu, tak berani seperti si kakek lihai.
"Jlug!" jenderal ini telah anjlog. Gugup dan tergopoh menghampiri kakek itu jenderal ini berteriak-teriak agar Dewa Mata Keranjang tidak pergi. Kakek itu meninggalkannya karena marah, karena dia menganggap sumpah kakek itu tadi sebagai mainmain. Maka berlari dan cepat menangkap kakek ini jenderal itu berkata,
"Tan-lo-enghiong (orang tua gagah Lo), biarlah aku minta maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hatimu. Nah, aku mempercayai sumpahmu, semua perajurit juga mendengar. Wanita ini, eh" siapa namanya?"
"Mien Nio"."
"Ya, Mien Nio adalah isterimu yang terakhir dan paling akhir. Kau tak akan mencari isteri atau kekasih baru lagi. Nah, aku percaya dan sekarang mari ke atas menara lagi dan kauceritakan apa perintah kaisar!"
"Ha-ha, kau tak meledekku lagi?"
"Tidak!"
"Kalau begitu baik, terima kasih..?
?wut!" dan si kakek yang berjungkir balik dan menepuk jenderal itu tiba-tiba telah melayang ke atas dan menjejak-jejakkan kakinya empat kali ke dinding, mempergunakan daya pantul dari setiap jejakannya itu hingga tubuhnya pun otomatis terlempar ke atas, semakin tinggi dan tinggi dan akhirnya sekejap kemudian dia sudah tiba di atas menara lagi. Dan ketika semua orang menjadi bengong dan takjub serta kagum, karena kakek ini mempergunakan cara yang lain untuk mendaki menara maka Bu-goanswe cemberut mulutnya tapi tertawa.
"Sialan, aku tak mungkin mengikuti caramu, Dewa Mata Keranjang. Baiklah kususul tapi mempergunakan caraku sendiri!" dan si jenderal yang menyambar tali dan kembali naik ke atas lalu merayap dan menjejak-jejakkan kakinya pula dan sebentar kemudian diapun sudah tiba di atas menara, tentu saja kalah cepat dengan gerakan si Dewa Mata Keranjang tapi orang memuji juga gerakan jenderal tinggi besar ini. Kalau tidak memiliki kekuatan dan kegagahan dalam memanjat tak mungkin jenderal itu sampai ke atas. Setombak dari atas jenderal ini sudah melempar tubuh dan berjungkir balik ke puncak. Dan ketika dengan selamat dia sudah di atas dan menemui kakek itu maka Dewa Mata Keranjang terkekeh-kekeh mempermainkan jenderal ini.
"Nah, lain kali jangan mainmain dengan seorang utusan. Nanti kuwalat!"
"Hm, kau memang sinting! Eh, mari duduk yang enak, Dewa Mata Keranjang. Dan ceritakan bagaimana berita istana!"
"Nanti dulu! Dari mana kau tahu bahwa aku mengemban tugas sebagai utusan!"
"Hm, Cun-ongya telah memberitahuku sebelumnya. Tapi yang direncanakan adalah muridmu. Mana muridmu itu?" jenderal ini tersenyum.
"Ha-ha, kiranya begitu!" kakek ini tertawa bergelak. "Pantas, kalau begitu Cun-ongya sungguh cerdik, goanswe. Jauh-jauh hari dia kiranya sudah mengatur rencana dan percaya pada rencananya itu. Wah, mengagumkan!"
"Dan kau, apakah masih mau melantur saja?"
"Ha-ha, kau tak sabar?"
"Tentu, para pemberontak menjengkelkan hatiku, Dewa Mata Keranjang. Dan sudah empatratus anak buahku roboh binasa!"
"Hm!" kakek ini serius, tiba-tiba tak mainmain lagi. "Baiklah, mari, goanswe. Kuceritakan apa yang harus kuceritakan!" lalu duduk dan mulai menerima hidangan ringan Bu-goanswe mendengarkan berita istana. Bahwa Cun-ongya telah mengutus kakek ini untuk menumpas pemberontakan di perbatasan, mengharap korban tak berjatuhan lagi dan jenderal itu mengangguk-angguk. Dan ketika jenderal itu bertanya apa yang harus atau akan dilakukan kakek itu maka Dewa Mata Keranjang tersenyum.
"Aku akan membekuk dua pimpinan pemberontak itu. Katakan padaku di mana mereka bersembunyi."
"Hm, maksudmu?"
"Aku ingin sendiri, goanswe. Menangkap dan membekuk Lauwtaijin dan Thaitaijin itu, juga sekalian membebaskan Gwa-ciangkun!"
"Tapi itu berbahaya!" Bu-goanswe terkejut. "Pasukan pemberontak tak kurang dari seribu orang, Dewa Mata Keranjang. Dan merekapun bersenjata api! Gara-gara senjata api itulah kami kehilangan empatratus anak buah!"
"Tak jadi soal. Aku bukan menghadapi pasukan itu. Yang kuhadapi hanyalah dua pucuk pimpinannya!" lalu, tertawa dan menepuk pundak jenderal itu kakek ini berdiri. "Goanswe, sebutkan saja di mana Lauwtaijin dan Thaitaijin itu bersembunyi. Kalau nanti malam aku datang dan menyelinap ke sana tentu mereka tak akan tahu. Nah, biarkan aku bekerja sendiri dan pasukan pemberontak barulah menjadi bagianmu. Aku hanya pucuk pimpinannya saja!"
Jenderal Bu tertegun. Akhirnya dia berkedip dan sadar akan kepandaian kakek ini. Dewa Mata Keranjang adalah tokoh yang tak perlu disangsikan lagi dan tentu saja dia girang. Dan ketika kakek itu berkata bahwa yang dicari dan diincar kakek ini hanyalah Lauwtaijin dan Thaitaijin maka Bu-goanswe pun bangkit berdiri mencengkeram pundak kakek itu, berseri-seri.
"Dewa Mata Keranjang, kau memang seorang tua jempolan. Ah, terima kasih. Kalau kau dapat membekuk atau menangkap dua orang itu tentu pasukannya akan mudah kutundukkan. Baiklah, mereka itu bersarang di Lembah Kuning!"
"Hm, mana Lembah Kuning itu?"
"Jauh di depan, setengah hari perjalanan biasa. Mereka baru saja kupukul mundur ketika hendak merebut benteng!" jenderal ini ganti bercerita, menceritakan bahwa dua hari yang lalu pasukan musuh datang menyerbu. Tapi karena mereka berada di tempat yang tinggi dan menara-menara di atas dinding itu membantu mereka untuk melancarkan serangan ke bawah maka musuh gagal mendaki karena dihujani panah atau tombak, senjata-senjata "koeno".
"Benteng pertahanan ini sungguh menguntungkan. Meskipun mereka bersenjata api namun kalau hendak merebut haruslah naik dulu. Dan karena setiap kali naik tentu kami hujani senjata maka mereka gagal dan tak berhasil. Tempat perlindungan ini sungguh tepat bagi kami, menguntungkan!"
"Dan kau tak berani mengejar mereka!"
"Ah, pasukanku akan binasa, Dewa Mata Keranjang. Tak mungkin senjata api dilawan dengan senjata biasa. Bisa mati konyol!"
"Ha-ha, aku tahu. Baiklah, nanti malam aku pergi dan besok kau akan melihat aku menawan dua orang itu!"
Bu-goanswe girang. Dewa Mata Keranjang minta petunjuk lebih jelas lagi tentang di mana tepatnya Lembah Kuning i-tu, diberi tahu bahwa Lembah Kuning a-dalah tempat yang berbahaya di sana, setengah hari perjalanan orang biasa tapi tentu saja mungkin hanya setengah jam bagi kakek ini. Lembah Kuning adalah tempat strategis bagi musuh karena merupakan sebuah ceruk atau lembah di permukaan bumi, terlindung oleh dua bukit kecil di kiri kanannya di mana di atas bukit-bukit itulah pasukan Lauwtaijin atau Thaitaijin berjaga. Dua pimpinan itu sendiri tinggal di lembah, sepintas tampaknya mudah ditangkap tapi tentu saja pasukannya yang berjaga di atas akan melindungi dan memberondong serangan. Siapa yang akan masuk lembah tentu ketahuan dan tak mungkin lolos. Jadi dua orang itu seolah merupakan perangkap agar musuh masuk, diserang dan dibunuh di mulut lembah. Dan ketika jenderal itu menerangkan tapi kakek ini mengangguk-angguk sambil tertawa maka Dewa Mata Keranjang geli memandang jenderal itu.
"Memang semuanya berbahaya bagi orang biasa, terutama pasukanmu. Tapi kalau aku datang sendiri, menyelinap dan menyatroni di sana siapa yang akan melihat, goanswe" Orang tentu tak menyangka bahwa bukan pasukan besar yang datang menyatroni melainkan aku seorang diri. Ha-ha, dan kulakukan pula di malam gelap. Mereka tentu tak melihat dan besok kujanjikan dua orang itu sudah kubawa ke sini!" .
"Hm, terima kasih. Tapi apakah hanya kau sendirian, Dewa Mata Keranjang" Bagaimana kalau aku ikut" Aku juga berani, dan sanggup membantumu!"
"Ah, kau seorang jenderal, pimpinan di sini. Tentu tak lucu kalau kau harus meninggalkan pasukanmu!"
"Dan aku?" Mien Nio tiba-tiba tampil bicara. "Apakah aku juga tak ikut?"
"Hm!" kakek ini tertawa, bersinar-sinar memeluk kekasihnya. "Kaupun tinggal di sini, Mien Nio. Aku ingin bebas dan tak terpecah perhatianku. Senjata api memang berbahaya, kau belum mempelajari dariku bagaimana harus menghadapi senjata itu."
"Jadi aku tak ikut?"
"Sementara ini di sini, di dalam benteng. Aku akan lebih lega dan tenang kalau kau tak ikut!"
"Tapi kalau ada apa-apa?" wanita ini cemas, kecewa. "Aku dapat membantumu, kanda. Dan aku tak mau kau tinggal!"
Bu-goanswe merah mukanya. Dia melirik Dewa Mata Keranjang itu karena mendengar sebutan "kanda" dari wanita ini. Hm, seperti anak-anak muda saja, bukan main! Tapi ketika Dewa Mata Keranjang terbahak dan mengerling padanya kakek itu bicara,
"Mien Nio, ini kulakukan justeru agar kita selalu dapat berdua. Kau tak usah khawatir tentang diriku, justeru aku yang akan khawatir kalau kau ikut denganku. Siapa dapat menggangguku kalau hanya orang-orang macam begitu saja" Tidak sombong, tapi kalau hanya pasukan dan orang macam Lauwtaijin ataupun Thaitaijin aku tak takut, tak perlu kau khawatir. Dan goanswe kukira tahu akan ini!"
"Benar," jenderal itu mengangguk. "Apa yang dikata kakek ini benar, niocu. Aku percaya pada kepandaiannya dan tak usah khawatir. Kalau besok dia tidak datang barulah kita merasa perlu khawatir. Tapi tidak, tak akan terjadi apa-apa pada suamimu ini dan aku akan bertanggung jawab kalau ada apa-apa!"
"Nah, kau dengar?" kakek itu tertawa. "Jaminan Bu-goanswe berarti jaminan negara, Mien Nio. Kalau ada apa-apa denganku tentu bukan hanya Bu-goanswe saja yang bertindak tapi istana juga tak akan tinggal diam! Sudahlah, kau tak perlu khawatir dan nanti malam biar aku pergi!"
Mien Nio mengalah. Akhirnya dia melihat juga bahwa Dewa Mata Keranjang ini bukanlah kakek biasa. Tadi ketika memasuki wilayah ini saja kakek itu dengan mudah dapat melampauinya. Pasukan Bu-goanswe dibuat tak berdaya dan mereka dipermainkan. Dan ketika malam itu mereka tinggal berdua dan percakapan dengan Bu-goanswe selesai maka kakek ini mengecup bibir kekasihnya sebelum berangkat.


Playboy Dari Nanking Karya Batara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besok aku sudah kembali. Dan kita akan berdua lagi."
"Kau akan pergi" Begini saja?"
"Eh, maksudmu?" tapi ketika Mien Nio terisak dan memeluk kakek ini maka Dewa Mata Keranjang sadar bahwa sebuah "tanda mata" harus diberikannya dulu kepada kekasihnya ini, tertawa dan memeluk dan segera dia membawa kekasihnya itu ke pembaringan. Bu-goanswe telah memberikan sebuah kamar yang baik untuk mereka. Dan ketika kakek itu mencumbu dan akhirnya bercinta sebelum pergi maka legalah Mien Nio akan kebutuhan biologisnya ini.
"Terima kasih, dan kuharap kau secepatnya kembali besok!"
"Tentu, aku tak akan lama, Mien Nio. Selamat tinggal dan tenanglah di sini!" lalu ketika kakek itu berkelebat dan pergi meninggalkannya maka Mien Nio melambai dan menunggu sampai esok harinya, semalam dapat tidur dengan nyenyak tapi orang yang ditunggu tak muncul keesokannya. Pagi terganti siang dan siang pun beralih menjadi sore. Dan ketika sore juga lenyap terganti malam maka Mien Nio berdebar sementara Bu-goanswe juga terbelalak tak mempercayai kenyataannya.
"Dia belum kembali?"
"Belum?"
"Dan tak ada berita apa-apa?"
"Akulah yang justeru ingin tahu itu!" Mien Nio terisak, bersinar-sinar memandang jenderal ini. "Aku khawatir padanya, goanswe. Dan aku menuntut pertanggungjawabanmu kalau suamiku belum kembali!"
"Tapi semalam dia bersamamu!"
"Benar, tapi setelah itu pergi melaksanakan tugasnya, goanswe. Dia membantumu dan tak meninggalkan pesan apa-apa kepadaku!"
"Hm, tenanglah," jenderal ini melihat si wanita mulai emosi. "Aku akan mempertanggungjawabkan janjiku, niocu. Kalau besok dia tak datang juga maka aku akan membawa seluruh pasukanku menggempur Lembah Kuning!"
Mien Nio menangis. Akhirnya wanita ini pergi dan kembali ke kamarnya, tak dapat tidur dan semalam dia menangis terus, gelisah menanti namun keesokannya pun Dewa Mata Keranjang tak muncul juga. Dan ketika hari kedua lewat dengan cepat sementara Mien Nio mulai marah-marah maka Bu-goanswe menggeram dan cepat mengumpulkan pembantu-pembantunya, dimintai tanggung jawab dan gusarlah jenderal itu oleh ketidakpastian mi. Dia bingung dan tak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi pada kakek lihai itu. Tak mungkin rasanya kalau Dewa Mata Keranjang tertangkap atau terbunuh di Lembah Kuning, hal yang tak masuk akal. Tapi ketika dua malam berturut-turut kakek itu tak datang juga dan hari ketiga mulai muncul maka Bu-goanswe telah menyiapkan pasukan besarnya untuk menyerbu Lembah Kuning.
"Kita tak tahu apa yang telah terjadi pada diri Tan-taihiap (pendekar besar Tan). Tapi kita wajib menyelidikinya. Nah, kita bersiap dan mari menggempur musuh!"
Pasukan pun ribut. Mereka berbisik-bisik dan merasa aneh di samping bingung. Namun ketika Bu-goanswe telah menetapkan begitu dan mereka siap menyerbu dengan satu serangan besar maka semua o-rang bangkit semangatnya dan ingin menumpas musuh. Apa yang terjadi pada kakek itu" Kenapa dua hari berturut-turut tak muncul" Marilah kita lihat, karena sesuatu yang di luar dugaan memang telah terjadi di Lembah Kuning!
Malam itu, meninggalkan kekasihnya dengan mulut tersenyum-senyum kakek ini langsung terbang ke tempat musuh. Ancer-ancer Lembah Kuning telah diketahui, kakek itu berkelebat dan turun serta naik mendaki beberapa gunung kecil. Dan ketika dia mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk terbang di malam itu maka setengah jam kemudian kakek ini sudah mulai melihat adanya api penerangan di sebuah lembah.
"Hm, itu agaknya Lembah Kuning. Bagus, akan kubekuk batang leher dua pemberontak itu!" Dewa Mata Keranjang berseri-seri, langsung menuju ke tempat ini dan benar saja sepasang bukit di kiri kanan lembah menjulang tegak, melindungi dan kokoh merupakan tebing yang angkuh menghadapi musuh. Dan ketika kakek ini tiba di situ dan merasa heran karena tak ada bayangan-bayangan bergerak, seperti biasanya pasukan yang berjaga maka dengan enak namun hati-hati dia memasuki lembah. Mula-mula waspada dan memasang telinga baik-baik karena siapa tahu di sekitar tempat itu ada pasukan pendam. Meskipun tidak takut namun sebaiknya berhati-hati juga. Dan ketika benar saja Sebuah lubang jebakan hampir saja membuat kakek itu terpelanting dan terperosok ke dalam maka suara jepretan atau desing senjata-senjata menyambar disampok kakek itu.
"Keparat!" Dewa Mata Keranjang marah. "Kiranya kalian memasang jebakan sebagai pengganti penjaga" Hm. aku bukan babi hutan, tikus-tikus busuk. Awas kalau nanti kalian tertangkap!" kakek itu marah, berjungkir balik ke atas dan sudah menyelamatkan dirinya. Malam yang gelap tiada berbintang memang cukup membuat pandangannya terganggu. Lubang jebakan tadi hampir saja menjebloskannya namun kakek ini terlalu lihai kalau ingin dirobohkan seperti itu. Dan ketika dia memaki-maki dan terus mendekati lampu penerangan di tengah lembah akhirnya Dewa Mata Keranjang tertegun di sebuah rumah kecil yang terbuat dari papan.
"Setan, tak ada orang bercakap-cakap. Sunyikah rumah itu" Hm, namun sekarang kudengar gerakan seseorang. Satu". dua". empat". ah, tujuh orang!" kakek itu menyeringai, mulai mendengar gerakan-gerakan seseorang dan telinganya yang tajam tentu saja tak mungkin meloloskan gerakan itu. Dengus atau napas seseorang mulai ditangkap, semuanya bersembunyi di sekeliling rumah itu dan kakek ini tertawa. Agaknya, kedatangannya diketahui. Barangkali oleh berkereseknya dahan-dahan patah yang diinjaknya tadi, lubang jebakan di mana dia berhasil meloloskan diri. Dan ketika kakek itu tertawa dan berkelebat ke atas tiba-tiba kakek ini ingin menggoda dan menangkap sebuah bayangan di atas pohon.
"Wut!" Dewa Mata Keranjang lenyap dari tempatnya, menghilang dan tahu-tahu sudah ada di atas pohon itu. Cepat dan luar biasa kakek ini sudah berada di dahan yang tertinggi, melihat bayangan di atas pohon itu semeter saja di bawahnya, longak-longok, seorang wanita! Dan ketika kakek ini terkejut dan heran, karena tak menyangka bayangan itu seorang wanita maka bayangan ini, wanita yang ada di bawahnya tiba-tiba mendesis.
"Setan, ke mana dia" Keparat, menghilang!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Dia serasa mengenal suara itu namun sayang tak dapat melihat wajahnya. Wanita di bawahnya itu membungkuk dan celingukan ke sana ke mari, mendesis-desis, mengepal tinju. Dan ketika pantat orang tiba-tiba menungging, dalam usahanya mencari ke bawah tiba-tiba Dewa Mata Keranjang timbul sifat nakalnya dan menepuk pantat itu, berbisik,
"Hei, aku di sini!"
Wanita itu kaget bukan main. Sikap nakal dari kakek ini yang tahu-tahu menepuk pantatnya, berbisik dan tahu-tahu sudah ada di atas sungguh membuat wanita itu terkejut bukan main. Dia berteriak dan langsung membalik, menghantam dan sekaligus memberi tahu teman-temannya bahwa kakek itu ada di situ. Dan ketika Dewa Mata Keranjang tentu saja menangkis dan tertawa bergelak, tak mau menyembunyikan diri lagi maka pukulan a-tau hantaman wanita itu diterimanya. "Dess!"
Pohon itu berderak roboh! Dewa Mata Keranjang berseru kaget karena tak menyangka demikian dahsyatnya pukulan itu. Pukulan seperti itu hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi saja, padahal katanya di Lembah Kuning tak ada orang-orang kang-ouw kecuali pasukan biasa, pasukan pemberontak. Dan ketika kakek itu terpental dan berjungkir balik menghindari pohon yang roboh maka enam bayangan lain berturut-turut berkelebatan dan muncul mengelilingi dirinya!
(o-dwkz-kei-o) Jilid : XIII "BUNUH kakek ini. Jangan biarkan dia lolos!"
Dewa Mata Keranjang tertegun. Di depannya, berkelebatan dengan cepat dan sudah mengepung rapat tahu-tahu muncul Lin Lin dan May-may serta lain-lainnya itu. Mereka adalah kekasih-kekekasihnya sendiri dan tadi yang di atas pohon adalah Lin Lin, nenek lihai yang melepas pukulan Bhi-kong-ciang. Pantas saja demikian hebat! Dan ketika kakek itu tertegun karena Bwee Kiok, Dewi Cambuk Kilat juga ada di situ maka lengkaplah tujuh kekasihnya mengepung.
"Cing Bhok, kau manusia tak tahu diuntung. Menyerahlah, dan sekarang kami akan membunuhmu!"
"Ah-ah!" kakek ini terkejut, tapi tiba-tiba menyeringai lebar. "Kalian ini, Lin Lin" Dan kau, Bwee Kiok" Ah, sungguh tak kusangka. Sungguh pertemuan yang menggembirakan"."
"Tar!" cambuk meledak, memotong kata-kata kakek itu. "Tak perlu kau merayu kami, Cing Bhok. Kami sekarang i-ngin membunuhmu dan tak perlu kau banyak bicara. Hayo, serang si tua bangka ini dan robohkan sampai mampus!" Bwee Kiok tiba-tiba menerjang, sudah meledakkan cambuk kilatnya dan cambuk itu men jeletar seperti petir. Lin Lin dan lain-lain juga bergerak dan sudah mengangguk, empat yang lain melengking dan menyerbu tanpa banyak bicara. Dan ketika Dewa Mata Keranjang harus mengelak dan menangkis sana-sini maka kakek itu bingung dan gugup karena bukan Lauwtai-jin atau Thaitaijin yang ditemui melainkan bekas isteri-isterinya sendiri!
"Hei-heii"!" kakek itu berteriak-teriak. "Tahan dulu, Lin Lin. Jangan menyerang. Aku mau bicara" tar!" cambuk menyengat, malah membuat kakek itu terkejut karena dengan beringas si Dewi Cambuk Api itu meledakkan senjatanya, menggores dan telapak tangan kakek ini pecah. Dan ketika Dewa Mata Keranjang terkejut karena itulah tanda kesungguhan si Cambuk Kilat ini maka Lin Lin menghantam dengan Bhi-kong-ciangnya sementara nenek May-may meledakkan rambutnya.
"Des-dess!"
Dewa Mata Keranjang terlempar. Kakek ini terpelanting karena mula-mula dia tak bersungguh-sungguh. Ketujuh lawannya itu adalah bekas isteri-isterinya sendiri dan tentu saja dia tak mau melayani, bermaksud membujuk namun mereka tampaknya sudah beringas. Pertandingan berkali-kali yang selalu dimenangkan kakek ini membuat nenek-nenek cantik itu gusar. Kemarahan mereka sudah sampai di ubun-ubun dan agaknya mereka i-ngin bertempur mati hidup. Bukan main! Dan ketika Dewa Mata Keranjang harus bergulingan meioncat bangun dan lawan sudah mengejar lagi maka apa boleh buat kakek ini harus mengeluarkan kepandaiannya dan mulailah dia menolak atau menampar, menghalau semua serangan-serangan berbahaya dan tujuh nenek-nenek itu melengking. Mereka gusar dan marah karena lawan tetaplah lihai. Dewa Mata Keranjang tetaplah Dewa Mata Keranjang dan kakek itu hebat luar biasa. Karena begitu dia mengeluarkan bentakannya dan berputar serta meliuk tiba-tiba kakek ini telah beterbangan di antara hujan senjata dan cambuk.
"Plak-plak-plak!"
Tujuh wanita itu menjerit. Mereka membentak dan menyerang lagi, dua nenek cantik Bi Hwa dan Bi Giok melengking, mengeluarkan Kiam-ciangnya atau Tangan Pedang dan mendesing-desinglah sepasang tangan dua nenek itu seperti pedang yang tajam. Daun-daun di sekitar mereka rontok terbabat dan orang yang belum melihat kepandaian nenek ini tentu ngeri. Mereka bakal pucat dan gentar karena Tangan Pedang sungguh seperti sebatang pedang saja, ampuh dan nggegirisi.
Tapi ketika Dewa Mata Keranjang berkelebatan dan menangkis Kiam-ciang mereka ternyata dua nenek itu selalu terhuyung dan Tangan Pedang mereka tertolak.
"Keparat!" dua nenek itu mendelik. "Kau lihai, Cing Bhok. Tapi kami tak a-kan berhenti!"
Dewa Mata Keranjang mengeluh dan gagal membujuk bekas isteri-isterinya i-tu. Dia memang dapat menghalau semua serangan lawan namun mereka selalu maju kembali, kian lama kian hebat dan juga nekat. Naga-naganya, kalau dia tak menurunkan tangan besi tak mungkin mereka itu mau berhenti, hal yang berat dilakukan kakek ini. Dan ketika mereka semakin nekat saja dan May-may meledakkan rambutnya maka Bhi Li, nenek berpayudara besar menyeruduk dan tiba-tiba menumbukkan kepalanya!
"Biar aku tangkap si jahanam ini. Kalian mengikuti!"
Kakek itu terkejut. Bhi Li, si payudara besar ternyata nekat menumbukkan kepalanya. Hal ini membahayakan jiwa nenek itu sendiri karena kalau dia bersikap kejam tentu dia dapat memukul dan memecahkan kepala itu. Agaknya, nenek ini memang hendak mati sampyuh, biar tewas tapi sekali cengkeraman kuku-kuku jarinya menancap di tubuh Dewa Mata Keranjang tentu tak mudah kakek ini melepaskannya. Nenek itu memang mengerahkan kekuatannya pada sepuluh jarinya yang berkerotok. inilah serangan nekat yang sudah mengarah pada mengadu jiwa. Dan ketika kakek itu terkejut dan tentu saja tak mau membunuh nenek ini, yang dulu disayangnya karena memiliki payudara yang indah dan montok maka saat itu nenek May-may dan lain-lain menghantam dari muka dan belakang.
"Celaka, kalian nekat!" kakek ini mem bentak keras, tubuh diayun tinggi dan tiba-tiba serudukan si nenek Bhi Li dielak. Cepat dan luar biasa kakek ini telah melakukan sesuatu yang berani, menghindar namun saat itu juga tubuhnya melayang turun, menghadapi enam serangan lain yang datang belakangan. Dan karena dia bergerak luar biasa cepat dan tahu-tahu hinggap di tubuh Bhi Li, kekasihnya itu maka nenek ini terkejut karena tiba-tiba punggungnya terdorong dan enam pukulan yang lain menuju ke arahnya tapi kaki si Dewa Mata Keranjang bergerak menendang dan menghalau semua serangan-serangan itu.
"Des-des-dess!"
Nenek ini dan lain-lain terpelanting. Mereka mengeluh dan menjerit karena dengan caranya yang luar biasa dan amat lihai Dewa Mata Keranjang itu telah menolak dan menangkis serangan-serangan berbahaya. Nenek Bhi Li sendiri yang menyeruduk seperti gajah sudah kehilangan sasaran, tubuh dihinggapi lawan dan tahu-tahu punggungnya terdorong ke .depan, menerima dan melihat sambaran enam temannya itu. Tapi karena Dewa Mata Keranjang bergerak di atasnya dan kakek itu menendang dan menghalau semua serangan, membantu nenek ini, maka nenek itu selamat tapi dia sendiri terjelungup dan terdorong oleh gerakan kaki si Dewa Mata Keranjang. "Blub!"
Nenek ini mengumpat caci. Dia gagal mengadu jiwa namun sudah bergulingan meloncat bangun seperti enam temannya yang lain, membentak dan melengking menyerang lagi. Dan ketika Dewa Mata Keranjang membelalakkan mata karena usahanya tadi tak membawa perobahan besar, karena tujuh orang nenek-nenek itu sudah menyerang dan menubruknya lagi dengan beringas maka kakek ini mengeluh dan berloncatan ke sana-sini, berkelebatan mempergunakan ginkangnya dan mun cul serta lenyap lagi di antara sambaran-sambaran pukulan. Ketujuh lawannya melotot dan memekik gusar, dibujuk untuk berhenti tapi malah menggila. Kini Sin-mauw Sin-ni si Dewi Rambut Sakti menggantikan kedudukan Bhi Li, melesat dan menjeletarkan rambutnya untuk mengadu jiwa. Tapi ketika lawan lolos dan selamat di sana maka yang lain-lain ganti-ber ganti coba mengajak kakek ini berhadapan secara berdepan, ingin menerkam dan menangkap kakek ini, mengadu jiwa. Tapi karena Dewa Mata Keranjang memang kakek siluman yang amat lihai di mana sebentar-sebentar kakek ini menghilang dan muncul di antara ledakan rambut atau pukulan-pukulan lain maka akhirnya ketujuh nenek itu menjerit dan mereka bersuit memberi aba-aba. Dan begitu suitan atau aba-aba itu dikeluarkan mendadak gemebyarlah tempat itu ketika puluhan lampu-lampu besar dinyalakan, serentak, dari tempat gelap di delapan penjuru mata angin.
"Byar-byar!"
Dewa Mata Keranjang terkejut. Tiba-tiba di tempat itu muncul ratusan orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mula-mula seperti bayangan-bayangan setan di balik kubur. Tapi begitu mereka datang dengan lampu-lampu besar yang diarahkan ke pertandingan maka Dewa Mata Keranjang menjadi silau sementara tujuh nenek lawannya merogoh sesuatu dari kantung baju dan sudah mengenakan kacamata hitam!
"Heii"!" kakek itu berseru keras. "Kalian mau apa, May-may" Dan, eihh" plak-dess!" sang kakek terkena pukulan, silau oleh cahaya lampu yang mendadak disorotkan kepadanya. Lin Lin yang menghantamnya dengan pukulan Bhi-kong-ciang, pukulan Kilat Biru sudah membuat kakek ini mencelat. Dia menangkis namun salah, pandangannya kacau oleh puluhan lampu-lampu besar yang diarahkan kepadanya itu. Dan ketika kakek ini mencelat dan terlempar bergulingan maka nenek Bi Hwa menggerakkan Kiam-ciangnya dan nenek Bwee Kiok meledakkan Cambuk Kilatnya, senjata ampuh yang meledak seperti petir itu. Dan ketika kakek ini kelabakan karena itu sungguh tak diduga ma ka hantaman Rambut Sakti menutup jalan darah di tengkuknya. "Prat!"
Kakek ini roboh terbanting. Dewa Mata Keranjang kaget bukan main karena gemebyarnya lampu itu sungguh tak disangka. Ketujuh bekas isterinya sudah cepat mengenakan kacamata hitam yang sebelumnya memang sudah dipersiapkan, tidak seperti dia yang tentu saja silau cahaya. Dan ketika pukulan dan hantaman bertubi-tubi mendarat di tubuhnya dan totokan terakhir dari nenek May-may itu menutup jalan darah di tengkuk kakek ini maka Dewa Mata Keranjang roboh terpelanting dan macet pernapasannya, tak dapat berteriak atau menjerit karena jalan darah pi-teng-hiat ditutup. Lecutan rambut tadi dilakukan di antara serangan-serangan lain, jadi dapat menyelinap dan tepat sekali mengenai leher kakek ini.
Dan ketika kakek itu terbanting dan sejenak tak dapat bergerak, karena kaget dan masih tertegun oleh banyaknya sinar lampu yang menyilaukan matanya maka tujuh nenek itu bergerak dan". hampir berturut-turut dan cepat sekali semuanya menotok dan melumpuhkan si kakek lihai ini, membuatnya tak berdaya. "Ces-ces-tuk".!"
Dewa Mata Keranjang mengeluh pendek. Sekarang kakek gagah ini tak berkutik dalam waktu begitu cepat. Semuanya berlangsung dengan cara luar biasa dan tertawalah nenek Bi Giok melihat lawannya roboh. Tapi ketika dia berkelebat dan siap menusukkan gin-ciam, jarum peraknya untuk membunuh tiba-tiba terdengar letusan pistol dan seruan seseorang.
"Tahan, jangan bunuh". dor-dor!"
Nenek itu terhuyung, mendengar desing peluru di sebelah telinganya dan mengelak dengan cepat. Bentakan itu sudah disusul dengan tawa dan munculnya dua orang, berpakaian perlente dan satu di antaranya menggenggam pistol yang masih mengeluarkan asap. Laki-laki itulah yang tadi mencegah dan melepas tembakan. Dan ketika nenek Bi Giok mundur dan kaget memandang laki-laki itu, yang tertawa dan membungkuk di depannya maka laki-laki ini menjura.
"Maaf, perjanjian kita tak boleh dilanggar. Dewa Mata Keranjang tak boleh dibunuh. Harap locianpwe ingat dan tidak marah kepadaku."
"Ha-ha, benar!" satunya, laki-laki yang berkumis pendek berkata, menyambung kata-kata rekannya. "Apa yang dikata Lauwtaijin benar, Kiam-ciang Sian-li (Dewi Tangan Pedang). Dewa Mata Keranjang tak perlu dibunuh karena ia sekarang tertangkap. Kalian berhasil karena atas bantuan kami juga. Sudahlah, terima kasih dan serahkan tawanan ini kepada kami!" dan ketika nenek itu tertegun sementara yang lain juga memandang bersinar-sinar akhirnya nenek ini menyimpan kembali gin-ciamnya itu dan mundur membiarkan dua laki-laki ini, Lauwtaijin dan Thaitaijin menghampiri si Dewa Mata Keranjang, yang masih rebah di tanah.
"Ha-ha, selamat datang, Dewa Mata Keranjang. Selamat bertemu! Kau sungguh lihai, dan mengagumkan. Tapi lihatlah, sekarang kau menjadi tawanan!"
Dewa Mata Keranjang sudah hilang kagetnya. Kakek ini tadi terpengaruh oleh silaunya cahaya lampu yang mendadak dihidupkan di suasana yang gelap, tak mampu melindungi dirinya karena memang dia tak membawa kacamata hitam segala, seperti ketujuh bekas isterinya itu. Tapi begitu dia sudah biasa lagi dan lampu-lampu besar juga tidak disorotkan secara langsung, membiarkan dia lega maka kakek ini tertawa bergelak.
"Ha-ha, kalian pemimpin pemberontak" Aku berhadapan dengan dua tikus busuk orang-orang she Lauw dan Thai?"
"Hm!" si kumis, yang berdiri di sebelah kanan tersenyum. "Kau benar, Dewa Mata Keranjang, tapi kami bukan pemimpin pemberontak. Istilah itu salah. Kami pejuang-pejuang yang sedang memperjuangkan nasib rakyat yang sedang ditindas istana!"
"Ha-ha, omongan apa ini" Heh, aku sudah mendengar tentang kalian, Thaitai-jin, dan aku tak mau banyak bicara lagi. Di sini ada tujuh isteri-isteriku sendiri, biarkan mereka maju dan suruh bicara dengan aku. Aku tak mau bicara dengan pemberontak!"
Thaitaijin tak goyah. Laki-laki berkumis ini tetap tenang dan tersenyum, mau menerima saja semua semprotan dan hinaan itu. Tapi Lauwtaijin yang marah dan gemas ternyata tak seperti dirinya, karena begitu Dewa Mata Keranjang meludah dan melengos ke samping tiba-tiba dia menendang dan kepala kakek itu terlempar lagi ke arahnya, disuruh memandang.
"Dewa Mata Keranjang, jangan kau bersikap sombong. Kau adalah pecundang, lihatlah dan hargai kami!"
"Hargai apa?" Dewa Mata Keranjang melotot. "Kalian pemberontak-pemberontak hina, Lauwtaijin. Aku tak sudi bicara dan jangan paksa aku". cuh!" kakek itu meludah, tiba-tiba dapat menyerang karena tanpa disangka sama sekali kakek ini dapat mengerahkan hawa khikangnya, ludah itu menyemprot dan keras seperti batu, hal yang tak diduga. Dan ketika Lauwtaijin tentu saja menjerit dan terpelanting mengaduh-aduh, muka serasa ditusuki jarum maka Thaitaijin terkejut dan bayangan nenek Bi Giok menyambar lagi.
"Cing Bhok, kau laki-laki keparat. Sudah ditotok masih juga dapat menyerang. Hih, gagulah kau!" nenek itu menusuk bawah rahang Dewa Mata Keranjang, mempergunakan dua jarinya dan tercekiklah Dewa Mata Keranjang tak dapat bicara lagi. Serangan si nenek kali ini mematikan urat rahangnya, tak dapat meludah tapi juga tentu saja tak dapat bicara! Dan ketika Lauwtaijin di sana menyumpah-nyumpah dan sudah ditolong anak buahnya maka nenek yang lain berkelebatan maju dan Lauwtaijin tiba-tiba menyambar sebatang tombak. "Biar kubunuh dia!"
Semua terkejut. Lupa pada kata-katanya sendiri untuk tidak membunuh lawan mendadak laki-laki tinggi kurus ini menusuk tubuh si Dewa Mata Keranjang. Kalap dan mata gelap oleh ludah yang sekeras batu panglima ini merebut sebatang tombak, meloncat dan sudah menusuk tubuh yang tergolek di tanah itu. Tapi ketika yang lain terkejut dan tombak sudah terlanjur menyambar ternyata tombak mental dan tubuh si Dewa Mata Keranjang tak apa-apa.
"Tak-augh!" Lauwtaijin menjerit. Dia serasa menusuk tubuh sekenyal karet, tak apa-apa dan telapak tangannya pedas. Dan ketika dia mengulang dan menusuk lagi namun tombak malah patah maka laki-laki ini terjengkang dan nenek Bwee Kiok kini berkelebat maju.
"Tak usah dibunuh, hawa sinkangnya memang hebat!" dan ketika nenek yang lain mengangguk dan Lauwtaijin pucat maka Bwee Kiok sudah menghadapi dua pimpinan pemberontak itu.
"Dewa Mata Keranjang tak dapat dibunuh oleh orang-orang biasa, hanya kamilah yang dapat mengerjainya. Kaiau tai-jin setuju biarlah dia bersama kami dan kami yang akan bicara."
"Hm!" Thaitaijin kagum. "Hebat sekali tawanan ini, Lui-pian Sian-li (Cambuk Kilat), tapi kuakui juga kebenaran kata-katamu itu. Baiklah, dia tak dapat bicara, telah kalian totok. Boleh kalian bawa tapi harus di tempat kami. Sebaiknya kubicara pada kalian bertujuh apa yang perlu kalian ketahui. Marilah!" Thaitaijin meloncat, menggapai pada tujuh nenek itu dan Bwee Kiok serta yang lain-lain mengikuti. Mereka akhirnya berbisik-bisik di sana, bergerombol dan berhenti di bawah rumah kecil itu. Dan ketika semua tampak mengerti dan nenek Bwee Kiok mengangguk-angguk maka nenek ini berkelebat kembali bersama keenam temannya.
"Kami mengerti, serahkan pada kami!" lalu ketika terdengar aba-aba. dari Thaitaijin agar pasukan mundur, membiarkan
Dewa Mata Keranjang ditangkap dan ditawan ketujuh isterinya maka saat itu juga kakek ini dimasukkan ke rumah kecil itu, dibebaskan totokan urat gagunya.
"Ha-ha!" Dewa Mata Keranjang langsung tertawa. "Kalian mau apa mengurung aku di sini, Bwee Kiok. Lebih baik bunuh kali ingin membunuh!"
"Hm, kami tak jadi membunuhmu!" Bi Giok membentak gemas, rupanya dia adalah nenek yang paling berangasan. "Janji dan ucapan Thaitaijin menahan kami untuk tetap baik-baik denganmu, Cing Bhok. Dan sekarang duduklah di situ hadapi kami bertujuh!" kakek ini dilempar kasar, jatuh dan berdebuk di sudut ruangan namun Bwee Kiok membantunya duduk. Dewi Cambuk Api ini terisak kecil namun Dewa Mata Keranjang dapat mendengarnya, terbeliak dan terkekeh. Namun ketika enam yang lain sudah mengurung dan bersikap bengis padanya maka Lin Lin kali ini membentak.
"Cing Bhok, jangan pringas-pringis. Kami ingin bicara padamu dan dengarlah!"
"Hm, mau bicara apa?" kakek ini tertawa lebar, dapat tersenyum. "Kalian rupanya kaki tangan dua pemberontak itu, Lin Lin. Dan menyesal sekali bahwa kalian isteri-isteriku ikut-ikutan berkomplot dengan pemberontak."
"Tutup mulutmu! Kami sudah bukan menjadi isterimu lagi!"
"Ha-ha, begitukah" Tapi kalian semua baik-baik mengusap dan mengelus tubuhku. Ah, kau?"" kakek ini memandang nenek Lin Lin, yang beringas dan marah.
"Usapan jarimu masih lembut dan mesra, Lin Lin. Aku jadi teringat kalau kita berdua di tempat tidur. Kau selalu memijiti punggungku dan aku akan selalu mencium perutmu!"
"Keparat!" nenek itu melengking. "Jangan merayu atau coba mengingatkan saat-saat indah kita, Cing Bhok. Aku tak sudi mendengarmu dan tak akan mendengarmu!"
"Ha-ha, begitukah" Kalau begitu coba ". pukul dan tampar aku!"
Nenek itu membentak. Akhirnya dia berkelebat dan benar-benar menampar Dewa Mata Keranjang ini, tapi ketika kakek itu terpelanting dan enam yang lain menjerit, aneh sekali, mendadak Bi Hwa dan lain-lainnya itu menghadang.
"Lin Lin, jangan sakiti dia. Biarkan dia bicara sesuka hatinya saja!"
"Kalian tak marah?"
"Hm, siapa bilang" Tapi kau tak berhak memukulnya, dia adalah tawanan kita bertujuh!"
"Benar," Bwee Kiok menyela cepat. "Kalau ingin menghukum atau membunuh si tua bangka ini kau harus bertanya kami semua, Lin Lin. Atau tindakanmu dianggap main hakim sendiri dan tidak menghargai yang lain!"
"Kalau begitu aku pergi, biar kalian saja yang urus!" dan nenek Lin Lin yang marah berkelebat keluar tiba-tiba uring-uringan dan tak mau meladeni si Dewa Mata Keranjang, tak tahu bahwa diam-diam enam nenek-nenek cantik itu siap membela si Dewa Mata Keranjang kalau kakek itu dikasari. Aneh! Dan ketika Dewa Mata Keranjang tertawa dan tentu saja melihat itu, karena matanya yang awas dapat menyaksikan bahwa semua bekas-bekas isterinya itu sesungguhnya masih mencintainya, tak rela dia dipukul atau dihajar yang lain maka kakek ini girang namun tiba-tiba pura-pura merintih.
"Aduh, Lin Lin memang terlalu. Kepalaku".. ah, rasanya retak!"
Bwee Kiok dan lain-lain mendadak berkelebat dan menolong kakek itu, hampir berbareng memegangi kepalanya. "Apa yang sakit" Bagian mana yang kau rasa?"
Kakek ini hampir terbahak. Setelah kini tiba-tiba enam bekas isterinya itu berkelebatan dan menolong dirinya, saling memijit dan memegangi kepalanya maka kakek ini yakin bahwa yang tampak di luar memang tak selamanya cocok dengan apa yang kelihatan di dalam. Tadi keenam bekas isterinya ini begitu sengit dan seolah ingin membunuhnya habis-habisan, ketika dia melawan dan diserang. Tapi begitu dia roboh dan Lin Lin hendak menghajarnya, eh" mendadak yang lain mencegah dan kini merubungnya seperti kumbang di setangkai bunga yang lemah dan lunglai. Terbalik! Dewa Mata Keranjang hampir terbahak namun dia dapat menahan itu, yakin seyakin-yakinnya bahwa isteri-isterinya ini memang tidak sepenuh hati membencinya. Mereka itu masih saja tetap mencintanya meskipun bercampur marah dan cemburu karena dia suka main perempuan. Dan ketika kakek itu menyeringai dan pura-pura menahan sakit, melihat bahwa satu di antaranya harus dibujuk dan ditempel kalau dia ingin bebas maka kakek ini sudah mengin car Bwee Kiok, si Cambuk Kilat itu. Lalu mengedip namun masih terus pura-pura merintih, memberi kesan kesakitan kakek ini minta dipapah.
"Aku tak tahu mana yang sakit. Tapi tolong sandarkan aku dulu ke dinding!"
Enam nenek itu bergerak. Mereka mau mendahului namun yang lain ternyata juga melakukan hal yang sama, akibat nya satu tubuh dipegangi banyak orang. Dan ketika masing-masing saling pandang dan kelihatan terkejut, jengah, maka Bi Hwa berkata biarlah dia yang membawa tawanannya.
"Lepaskan, biar aku yang membawanya?
Yang lain melepaskan. Kakek ini akhirnya dibawa dan disandarkan ke dinding,
Bi Hwa meletakkannya hati-hati dan tersenyumlah kakek itu mengucap terima kasih. Diam-diam dia mengerahkan hawa sinkangnya untuk membuka totokan, ketujuh isterinya itu hebat dan jelek-jelek mereka Pernah Pula mempelajari totokan darinya, jadi kini mereka mempergunakan itu untuk melumpuhkannya. Dan ketika dia sudah disandarkan dan keenam isterinya mengurung lagi maka kakek ini menghela napas, pura-pura bertanya,
?Aku tak mengerti, aku heran. Kenapa kalian. membawa aku ke sini dan menawan" Kalian mau apa"?
?Cing Bhok? Bi Hwa, si Tangan Pedang berkata mendahuui, mewakili teman-temannya. Kami tidak membunuhmu melainkan menangkap dan membawamu hidup-hidup ke sini bukan lain adalah ingin bicara baik-baik kepadamu. Ketahuilah, kami tak senang melihat kau datang sebagai utusan istana!"
"Ha, kalian tahu?"
"Kaukira apa?" nenek itu menjengek, tertawa mengejek. "Kami tahu apa yang kaulakukan, Cing Bhok. Dan Thaitaijin serta Lauwtaijin sudah tahu bahwa kau akan datang ke mari!"
"Hm-hm, hebat sekali!" kakek ini tertawa, sama sekali tidak marah. "Dan kalian menjadi pembantu pemberontak-pemberontak itu, Bi Hwa. Sungguh sayang!"
"Tak usah kau menghina mereka!" nenek Bi Giok tiba-tiba membentak, dia memang gusar. "Lauwtaijin maupun Thaitaijin bukanlah pemberontak-pemberontak, Cing Bhok. Mereka adalah orang-orang yang tidak puas kepada istana dan kini berjuang untuk melawan ketidakbecusan!"
"Ketidakbecusan bagaimana" Dan bagaimana kalian nenek-nenek begini sudah ikut campur urusan negara" Kalian mau menjadi politikus ataukah pendekar-pendekar wanita yang biasanya tak pernah perduli urusan negara?"
"Hm, kami tetaplah pendekar-pendekar yang menjunjung kebenaran. Kami tak mungkin ikut campur urusan negara kalau saja kaisar dan seluruh pembantunya tidak melakukan kesalahan!" May-may, yang sejak tadi diam tak bicara mendadak maju melangkah, bersinar-sinar. "Kami melihat ketidakbenaran yang dilakukan kaisar, Cing Bhok. Dan karena kami penentang ketidakbenaran maka kami berpihak pada Lauwtaijin dan Thaitaijin yang telah disakiti hatinya!"
Kakek ini terbelalak. "Kau bicara apa" Eh, sebaiknya terus terang saja, ambil yang pokok dan apa yang sesungguhnya kalian inginkan dariku!"
Dewa Mata Keranjang, yang dapat melihat isteri-isterinya bicara memutar segera tahu dengan cepat bahwa ada sesuatu yang hendak dimaui isteri-isterinya itu. Kalau mereka belum menuju ke pokok persoalan yang jelas dan masih bicara memutar-mutar maka pasti itulah penting. Dia tak mau menunggu lagi dan minta agar mereka segera bicara. Dan begitu dia memandang dan keenam nenek di situ merah mukanya maka Bi Giok mendesis, tiba-tiba membuka kartu.
"Kami menghendaki kau membantu Lauwtaijin, tetap di sini. Itu garis besarnya!"
"Apa?" kakek ini tiba-tiba tertawa. "Membantu pemberontak" Ha-ha, kalian melantur, Bi Giok, tak lucu! Aku tak mungkin menerima itu dan justeru aku yang hendak meminta kalian meninggalkan dua pimpinan pemberontak itu!"
"Hm, kau pikir baik-baik!" nenek Bhi Cu kini bicara. "Kau tawanan dan tangkapan Lauwtaijin, Cing Bhok. Kalau dia menghendaki kau mati tentu kau mampus!"
"Ha-ha, ancaman kuno?" Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. "Kau tahu aku tak takut itu, Bhi Cu. Dibunuhpun sekarang aku tak gentar! Eh, kau salah kalau ingin memaksa aku dengan ancaman mati!"
"Hm, kau benar," Bwee Kiok kini maju ke depan. "Kami tahu bahwa kau adalah laki-laki yang gagah perkasa, Cing Bhok. Dan kami agaknya lupa bahwa kau laki-laki yang tak takut mati. Baiklah, tapi harap kau ingat bahwa sebagai tawanan tak selayaknya kau menyakiti kami dan sepatutnya kalau kau bicara baik-baik!"
Dewa Mata Keranjang tersenyum lebar. Sekarang keenam isterinya di situ sudah bicara baik-baik, artinya mereka tak bersikap keras dan kasar lagi. Dan karena Bwee Kiok sudah bicara seperti itu dan memang benar akhirnya dia mengangguk dan mulai melepas rayuan mautnya.
"Bwee Kiok, dan kalian berlima. Kalian tahu bahwa selamanya aku tak pernah bersikap tak baik kepada kalian. Lihat tadi pertempuran itu. Adakah aku bersikap keras dan kasar kepada kalian" Adakah aku tak pernah mengalah" Hm, kalau aku kejam dan bersikap tak baik-baik tak mungkin kalian dapat menangkap aku, Bwee Kiok. Dan ini saja sudah merupakan bukti bagi kalian bahwa aku selamanya bersikap baik, dahulu dan sekarang!"
"Tapi kau menolak permintaan kami" Bi Giok menyergah, tajam berseru sengit. "Dan ini tak sesuai omonganmu, Cing Bhok. Kau bohong!"
"Hm, permintaan kalian berat, dan bertentangan. Mana mungkin aku menerima" Kalian tak tahu siapa Lauwtaijin dan temannya itu, Bi Ciok. Dan aku hendak memperingatkan bahwa mereka itu dua manusia berbahaya yang dapat mencelakakan kalian sendiri! Aku berkewajiban di sini untuk memberi tahu kalian agar tidak dekat-dekat dengan dua orang itu. Mereka penipu, orang-orang yang pandai bicara, pembujuk!"
"Hm, kau tak dapat menerima kami?" "Ah, ha-ha!" Dewa Mata Keranjang ter tawa bergelak. "Menerima kalian tentu saja dapat, Bi Ciok. Dan justeru aku harapkan! Kalian adalah isteri-isteriku dan tentu saja aku siap menerima kalian. Ini tak pernah kutolak!"
"Hm, bukan itu!" Bi Ciok, si nenek can tik bersemu dadu. "Yang kumaksudkan adalah permintaan kami tadi. Jangan kau berpura-pura tak tahu!"
"Hm-hm!" Dewa Mata Keranjang tertawa cerdik. "Bicara tentang itu sungguh membuat kepalaku serasa berat, Bi Giok. Baiklah, biarkan aku memikirkannya dan besok kita bicara lagi!"
"Kau mau apa?"
"Istirahat, minta tenggang waktu!" lalu menguap dan tidak menghiraukan isteri-isterinya itu kakek ini melempar kepala ke dinding dan".. mendengkur.
"Hei"!" Bi Giok gusar. "Jangan main gila, Cing Bhok. Kuremukkan kepalamu nanti!"
"Ah, kalian mau apa?" kakek ini membuka mata, tertawa lebar. "Mau memaksa orang" Hm, malam sudah larut, Bi Giok. Aku lelah. Orang yang bicara dalam kelelahan tentu keputusannya tak dapat dipertanggungjawabkan. Sudahlah, besok kita bicara dan aku ingin istirahat. Kukira wajar kalau persoalan-persoalan macam begini tak layak dimintakan jawabannya dalam waktu demikian singkat!"
Nenek itu mendelik. Dewa Mata Keranjang tak menghiraukannya lagi dan menguap semakin berat, entah sungguh-sungguh atau tidak. Tapi ketika mata itu tertutup dan dia mau memaki tiba-tiba nenek May-may menggamit tangannya dan empat yang lain memberi tanda, termasuk encinya, nenek Bi Hwa.
"Dia benar, perlu tenggang waktu. Biarlah besok kita kembali dan sekarang kita menghadap Thaitaijin!"
"Mandah saja dipermainkan kakek ini?"
"Tidak, Cing Bhok benar, Bi Giok. Kalau kita memaksa dan dia bersikap sama keras tentu maksud dan usaha kita tak berhasil. Sudahlah, dia tak mungkin melarikan diri. Kita tinggalkan sejenak dan kita menghadap Thaitaijin!"
Bi Giok bersungut-sungut. Akhirnya dia setuju juga dan mengangguk gemas. Dewa Mata Keranjang itu sudah mendengkur keras tapi dia tak percaya bahwa si kakek benar-benar sudah tertidur. Itu tentu kepura-puraannya saja untuk mempermainkan dirinya. Maka begitu encinya berkelebat dan yang lain-lain juga keluar meninggalkan si kakek maka nenek ini melepas gemasnya dengan tamparan di pipi. Dewa Mata Keranjang kena gaplok dan kakek itu terpelanting. Tapi ketika dengkurnya bertambah nyaring dan kakek itu rupanya benar-benar terlelap, menganggap tamparan itu sebagai bagian dari "mimpinya yang buruk" maka Bi Giok tertegun juga dan nenek ini berkelebat keluar meninggalkan ruangan itu.
-0-dwkz-kei-0- "Nah, sekarang katakan bagaimana jawabanmu," keesokan harinya kakek ini sudah dikitari tujuh bekas isterinya itu. Cing Bhok si Dewa Mata Keranjang menyeringai dan menggosok-gosok matanya, dia baru bangun dan kini tujuh orang isterinya itu sudah berdiri tegak, mengepung. Namun ketika dia tertawa dan bangkit duduk maka yang diminta adalah sepanci air hangat dan handuk.
"Aku tak dapat bicara kalau masih begini. Kuminta Bi Giok menyeka mukaku dengan air hangat, dengan handuk kecil."
"Kau bilang apa?" si nenek, yang gusar dan melotot membentak. "Minta diseka seperti anak kecil" Cih, lihat dirimu itu, Cing Bhok. Kau sudah tua bangka dan tak perlu macam-macam!"
"Ha-ha, kalau begitu apakah mesti bicara dalam keadaan begini bau" Kalian tak muntah" Eh, jelek-jelek aku adalah laki-laki yang selalu menjaga kebersihan, Bi Ciok. Kalau kau tak mau biarlah enci-mu, Bi Hwa!"
Bi Hwa, si nenek satunya mengerutkan kening. Sebenarnya dia tak membenci sepenuhnya si Dewa Mata Keranjang ini, jelek-jelek adalah suaminya sendiri. Tapi karena di situ ada enam wanita yang lain dan dia merasa likat maka nenek ini enggan.
"Hei!" kakek itu berseru. "Seka mukaku, Bi Hwa. Atau aku tak mau bicara!"
"Hm, biarlah aku saja!" Bwee Kiok tiba-tiba maju, memberikan sepanci air hangat dan menyeka kakek itu. Tanpa ragu atau sungkan lagi nenek ini membasuh kepala si kakek. Lalu ketika si kakek tertawa bergelak dia menyuruh Dewa Mata Keranjang berkumur.
"Ha-ha!" kakek ini menerima sekaan itu. "Kalian berdua terlalu, Bi Hwa. Kepada suami sendiri masih juga tak baik-baik melayani. Awas, lain kali kuketok kalian!"
"Sudahlah," Bwee Kiok menyelesaikan pekerjaannya. "Kaupun tak perlu macam-macam, Cing Bhok. Jangan buat kami marah!"
"Hm, terima kasih!" kakek itu bersinar-sinar, memandang isterinya berjuluk si Cambuk Kilat ini. "Kau masih dapat menghargai aku, Bwee Kiok. Terima kasih. Nah, kalian boleh bicara tapi aku ingin menikmati kopi hangat. Bicara dengan kalian bertujuh diseling minum kopi begini tentu nikmat. Ayo, May-may ambilkan kopi itu dan kita bercakap-cakap!"
"Apa?" May-may, si Dewi Rambut Sakti terkejut. "Kau memerintah aku" Kau minta dihajar?"
"Hm-hm, jangan begitu. Kepandaianmu meningkat pesat adalah berkat aku juga, May-may. Dulu biasanya kau menyediakan minumanku sebelum diperintah. Aku minta kopi dan harap diambilkan?"
"Aku tak sudi!" nenek itu membentak, memotong. "Kau jangan macam-macam, Cing Bhok. Atau kubunuh kau nanti!"
"Kalau begitu aku juga tak mau bicara!" si kakek terbahak. "Boleh kaupukul atau bunuh aku, May-may. Tapi sebagai suami aku tetap menuntut pelayananmu seperti dulu-dulu. Hayo, tambah pula dengan meminumkannya kepadaku, secara baik-baik". plak-plak!" Dewa Mata Keranjang terpelanting, belum habis omongannya karena tiba-tiba May-may nenek yang marah itu melengking dan berkelebat ke depan, menampar. Dan ketika dia memaki-maki dan kakek itu mengaduh kesakitan tiba-tiba enam yang lain bergerak dan May-may dihadang, sekaligus mendapat bentakan.
"May-may, jangan lancang. Cing Bhok tak boleh kauhakimi secara sepihak. Dia adalah milik kita bertujuh!"
May-may terkejut. Sama seperti dia menghadang dan marah-marah ketika nenek Lin Lin menampar kakek ini maka kini enam rekannya itu bergerak dan mengancam dirinya. Dia akan diserang kalau sampai menyakiti Dewa Mata Keranjang, tak diperkenankan menghukum atau menghajar kakek itu kalau tidak atas persetujuan bersama. Ah! Dan ketika nenek ini tertegun dan sadar, mundur membelalakkan mata maka Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak.
"Ha-ha, lihat!" kakek itu berseru. "Kalau aku ingin menghukummu mudah, May-may. Sekali kuminta yang lain membalas tamparanmu maka kau akan jatuh bangun dan mengalami seperti aku. Hayo, aku tak bersikap keras dan masih sayang kepadamu. Ambilkan kopi dan minumi aku secara baik-baik!"
May-may menggigil. Nenek ini marah dan mau menerjang lagi tapi keenam temannya berdiri di situ, siap melindungi dan mungkin akan menyerangnya, kalau ia berani menyerang atau menyakiti Dewa Mata Keranjang itu. Dan karena ia sadar bahwa betapapun juga enam temannya itu adalah isteri-isteri si Dewa Mata Keranjang pula maka apa boleh buat ia menahan kemarahannya dan memaki.
"Aku tak mau, kau tua bangka sialan!"
"Kalau begitu aku juga tak mau bicara, ha-ha!" dan Dewa Mata Keranjang yang tutup mulut dan meramkan mata lalu coba mendengkur dan tidur lagi, tak perduli pada semuanya dan merahlah nenek May-may itu. Dia diminta agar menyiapkan kopi, seperti tadi nenek Bi Hwa dan Bi Giok diminta menyiapkan air hangat dan handuk. Dan ketika dia menolak dan reaksi kakek itu adalah diam, tak perduli lagi maka enam temannya yang lain memandangnya marah dan aneh sekali merekapun meminta agar dia memenuhi permintaan itu.
"Cing Bhok tak akan bicara, kalau kau tak segera memenuhi perintahnya. Lebih baik ambilkan minuman itu dan anggaplah seperti anak kecil."
"Benar," Lin Lin yang kemarin marah-marah meninggalkan ruangan berkata menimpali. "Kita semua tahu kekerasan kepala tua bangka ini, May-may. Kau mengalahlah dan ambilkan minuman itu. Atau kita semua akan menghadapi sebuah patung batu dan maksud kita kandas!"
"Hm, baiklah!" nenek itu melompat marah. "Kalau bukan kalian yang bicara tentu tak sudi aku melaksanakannya, Lin Lin. Baiklah kuanggap dia sebagai anak kecil dan kalian tunggu dia di situ!"
Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak. Setelah May-may berkata seperti itu dan pergi mengambil apa yang diminta maka dia membuka mata dan tertawa.
Kakek ini rupanya nakal dan ingin menggoda, karena ketika May-may datang lagi dengan secangkir kopi panas, yang masih mengebul maka dia minta agar nenek itu minum dulu!
"Ha-ha, terima kasih. Tapi ah, aku ingin menikmati sisamu dulu. Minumlah sedikit dan setelah itu dekatkan ke bibirku, May-may. Terima kasih dan kau sungguh baik!"
Si nenek tertegun. Dia sengaja membawa kopi yang panas mengebul itu untuk menghajar kakek ini. Biarlah lidah kakek itu kepanasan dan Dewa Mata Keranjang mungkin akan berteriak-teriak. Tapi ketika dia disuruh minum dulu dan kakek itu tertawa menggoda maka kopi yang siap di tangan hampir saja dilontarkan ke muka kakek ini!
"Kau keparat, jahanam tua bangka! Ah, ingin aku meremukkan kepalamu!" namun menghirup sedikit kopi itu dan mengerahkan sinkangnya agar lidah tidak tersengat maka kopi akhirnya diberikan juga pada kakek nakal itu. Tapi Dewa Mata Keranjang yang melihat kemarahan isterinya rupanya masih belum puas, karena ketika kopi sudah didekatkan ke bibirnya dia berkata agar nenek itu mencium pipinya dulu.
"Hm, semakin marah semakin cantik! Ha-ha, cium pipiku dua kali, May-may. Baru setelah itu kuminum!"
"Kau"!"
"Jangan marah. Sekali kau membuang kopi itu ke mukaku maka yang lain-lain-akan bergerak! Ha-ha, lihat, May-may. Kau akan mendapat kesulitan kalau berani menyakiti aku!"
May-may tertegun. Memang lagi-lagi dia melihat bahwa Lin Lin dan lain-lainnya itu akan bergerak begitu dia akan menyiram kakek ini dengan kopi panas. May-may gemetar dan marah bukan main, a-pa boleh buat terpaksa menahan kemarahannya itu. Dan ketika Dewa Mata Keranjang tertawa bergelak-gelak dan berkata bahwa itu adalah hukuman untuknya karena dia selalu cemberut maka nenek ini mendekatkan mulutnya dan dicium tapi juga disemprotnya kakek itu dengan maki-makian geram.
"Kau manusia tak tahu malu. Kau bedebah".. ngok-ngok!"
Dewa Mata Keranjang terbahak-bahak. Disemprot dan dicium secara kasar kakek ini bahkan merasa gembira, dia balas mencium nenek itu tapi si nenek melengos. Dan ketika kopi sudah diberikan padanya dan kakek nakal ini tertawa bergelak maka dia duduk tegak bersandar dinding, masih tertotok beberapa bagian tubuhnya hingga tak dapat berdiri.
"Ha-ha, sekarang aku puas. Bicaralah, apa yang ingin kalian bicarakan!"
"Hm, kami bicara tentang yang kemarin," Bwee Kiok, yang geli dan juga gemas melihat ulah Dewa Mata Keranjang ini berkata mendahului yang lain-lain. la memandang kakek itu dengan mata bersinar-sinar dan tajam, dibalas tawa ringan dan mendongkollah yang lain-lain oleh sikap kakek ini yang angin-anginan. Dan ketika yang lain mengangguk dan berkata benar maka Dewa Mata Keranjang menarik napas.
"Semalam sudah kupikir, dan jawabannya tetap."
"Tetap bagaimana?" Bwee Kiok bertanya.
"Hm, tetap seperti kemarin, Bwee Kiok. Bahwa aku tak dapat membantu pemberontak!"
"Keparat!" nenek Bhi Cu tiba-tiba memekik. "Jangan kau mainmain di sini, Cing Bhok. Kalau begitu jawabanmu tentu kemarin kami sudah membunuhmu!"
"Ha-ha, bunuhlah. Aku tak takut!" tapi ketika si nenek bergerak dan hendak menghantam kakek ini mendadak, seperti tadi, enam yang lain bergerak dan mencekal lengannya.
"Bhi Cu, tak boleh sembarangan. Tua bangka ini memang suka menggoda. Sebaiknya kita bujuk dia!" dan Bi Hwa yang melangkah maju dengan mata bersinar tiba-tiba berdiri angkuh di depan si Dewa Mata Keranjang. "Cing Bhok, ketahuilah. Kami semalam sepakat bahwa kalau kau mau berdiri di pihak kami maka kami semua akan melayanimu lagi seperti dulu-dulu. Kami tetap menganggap diri kami sebagai isterimu, melupakan peristiwa yang sudah-sudah. Tapi kalau kau menolak maka akan memusuhimu dan apa boleh buat terpaksa bersikap tidak bersahabat!"
"Hm, apa itu sikap tidak bersahabat?" kakek ini mengejek. "Mau menyiksa dan membunuhku" Ha-ha, kau tahu bagaimana aku, Bi Hwa. Tak pernah undur dan takut menghadapi apapun. Kalian boleh saja bicara seperti itu, tapi akupun juga boleh bicara seperti apa yang aku suka!"
Bi Hwa, nenek ini mulai marah. Dia jengkel dan gemas melihat sikap keras kepala kakek ini. Tapi ketika dia gagal membujuk dan lain-lain juga begitu tiba-tiba Bhi-kong-ciang Sia Cen Lin atau nenek Lin Lin maju ke depan.
"Cing Bhok," nenek ini berapi. "Kau harus turut kami atau kami akan melumpuhkan otakmu. Maaf, semalam kami telah sepakat pula untuk mencuci otakmu kalau dengan jalan baik-baik kau tak mau dengar. Nah, pilih satu di antara dua dan kau bergabung atau akan menjadi patung bernyawa!"
"Cuci otak?" kakek ini terkejut, kaget memandang nenek itu. "Apa maksudmu, Lin Lin" Kau mau"."
"Ya, kau tahu, bukan" Dengan ini dan jarum-jarum di tangan Bi Giok kami akan dapat memaksamu!" si nenek mengeluarkan seperangkat alat-alat garpu dan pisau bedah, bahkan juga gunting dan sebungkus obat berbau harum. Dan ketika kakek ini melihat semuanya itu, terutama obat di tangan si nenek tiba-tiba Dewa Mata Keranjang berseru tertahan.
"Ni-kok-tan (Obat Lembah Seruni)!"
"Benar, hi-hik!" nenek itu berkata tertawa. "Obat yang di tanganku adalah Ni-kok-tan, Cing Bhok. Dan dengan obat ini kau pasti tahu apa yang dapat kulakukan padamu!"
Dewa Mata Keranjang berobah. Tiba-tiba dia tak mainmain lagi dan sikapnya menjadi serius. Ni-kok-tan, atau pil obat dari Lembah Seruni itu adalah obat yang dipergunakan untuk melupakan daya ingat seseorang. Sekali seseorang diminumi obat ini maka segala daya ingatnya hilang. Orang itu akan menjadi budak si pemberi obat dan apa saja yang dikatakan si pemberi obat akan dia laksanakan tanpa banyak bicara lagi. Adalah mengejutkan kalau tiba-tiba sekarang isterinya si Kilat Biru ini memiliki obat itu. Teringatlah Dewa Mata Keranjang akan percakapan beberapa tahun yang lampau ketika isterinya itu bertanya tentang di mana obat yang hebat ini, yakni ketika mereka bercakap-cakap dan sedang bermesraan di tempat tidur. Dan ketika kakek itu terbelalak dan segera sadar, apa kiranya tujuan nenek itu bertanya tentang Ni-kok-tan segera Dewa Mata Keranjang dapat mengetahui apa kiranya yang tersembunyi di benak isterinya ini, yakni kiranya akan menundukkan dia dengan obat penghapus ingatan itu. Dan sekali dia terjatuh di bawah pengaruh Ni-kok-tan tentu seumur hidup dia akan menjadi budak isterinya ini!
"Hi-hik, bagaimana, Cing Bhok" Kau masih juga menolak?"
"Hm-hm, kupikir dulu!" kakek ini terkejut. "Beri aku waktu sehari lagi, Lin Lin. Dan besok kuberikan jawaban yang pasti!"
Pedang Dan Kitab Suci 23 Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 13
^