Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 14

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 14


"Tetapi bagaimana ?"
"Katanya, racun itu tak dapat diohati siapapun juga."
"Bagaimana kalau kucobanya?" Pemuda itu memandang
Cu Jiang dengan pandang bersangsi. Wajah pemuda yang
biasa saja itu apakah mampu untuk menolongnya.
"Letakkan dia" tiba2 Cu Jiang berseru.
"Jika sahabat tak dapat menolongnya ?"
"Mudah. Engkau boleh lanjutkan keputusan untuk terjun
kebawah jurang itu."
"Kalau racun dalam tubuhku sudah bekerja sehingga aku
tak dapat berjalan?"
"Aku bersedia unjuk melakukan pesanmu apa saja."
"Benarkah itu ?"
"Ucapan seorang lelaki seperti kuda lepas dari kandang."
"Baik," pemuda itu segera meletakkan gadis kekasihnya.
Wajah pemuda itu sendiripun mulai berobah cahayanya.
Rupanya racun dalam dirinya juga sudah mulai bekerja.
"Engkoh Tio, apakah aku harus mengalami penderitaan
yang lebih lama lagi ?" gumam Sio Yin.
"Yin-moay, mungkin Tuhan bermurah hati untuk
menolong kita."
Cu Jiang mengeluarkan mustika laba2 pemberian Bu-san
Sin li. Ia menjepitnya dengan kedua jari dan berseru:
"Kulumlah dalam mulut nona, tentu sembuh."
Sepasang mata Sin Yin yang sudah redup tiba2
membelalak lebar2 dan serentak timbullah pula tenaganya.
Dia bergeliat bangun seraya berseru gemetar:
"Mustika laba2 !"
"Nona kenal barang ini ?"
"Engkoh Tio, kita... ketolongan !" seru Siu-Yin dengan
kegembiraan yang meluap-luap.
"Benarkah Itu. Yin-moay " Oh, Tuhan terima kasih !"
Kemudaan Siu Yin memandang lekat2 pada wajah Cu
Jiang. Beberapa saat kemudian, dengan nada gemetar ia
berseru: "Bukankah anda ini Toan kiam jan-jin ?"
Cu Jiang mengangguk.
Setiap orang persilatan tentu kenal akan nama Toan
kiam jan-jin. Maka menggigillah pemuda pelajar itu demi
mendengar nama itu.
"Anda .. . anda ... Toan kiam Jan-Jin " Ah, sudah lama
aku mengagumi nama anda, sayang selama itu tak ada
rejeki untuk bertemu. Ah, maafkan kalau tadi aku berlaku
kurang hormat."
"Sudahlah, rupanya kita dapat bertemu ini karena
memang berjodoh," kata Cu Jiang. Ia segera menyerahkan
mustika laba2 itu dan dengan tangan gemetar Siu Yin
menyambut lalu dimasukkan ke dalam mulut.
Hanya dalam beberapa jenak saja. wajahnya yang sudah
pucat itu, pelahan-lahan berobah merah segar lagi.
Beberapa saat kemudian Siu Yin dapat berdiri,
memuntahkan mustika itu dan disusupkan ke-mulut
kekasihnya. Setelah beberapa waktu, pemuda itu menyerahkan
kembali mustika kepada Cu Jiang. katanya: "Namaku Tio
Ki Hung, selama hidup aku pasti takkan melupakan budi
anda." "Ah, tak perlu saudara mengingat pertolongan sekecil
ini," kata Cu Jiang.
Diam2 ia memperhatikan sepasang kekasih yang penuh
kesetiaan itu. Ia tahu bahwa Siu Yin usianya sudah
setengah abad umurnya. Hanya karena mengandalkan obat
Giok-sik-leng-lu,
maka dia dapat mempertahankan kecantikan seperti masa remaja.
Sedangkan Tio Ki Hong lebih kurang baru berumur dua
puluhan tahun. Apakah mereka memang sudah ditakdirkan
menjadi jodoh ataukah karena kekhilafan.
Bagaimana reaksi pemuda itu apabila mengetahui
keadaan Siu Yin yang sebenarnya"
Walaupun pikirannya berkata begitu tetapi Cu Jiang tak
mau mengatakan apa2.
"Sauhiap, persoalan Tang Yin Yin yang meloloskan diri
dari Sin li kiong itu..."
"Dia mati secara mengenaskan sekali."
"Tidak, dia tidak mati."
"Apa" Dia tidak mati ?"
"Tidak, Dia masih hidup dengan selamat. Akulah yang
menolongnya dengan mustika ini."
"O, mengapa orang2 di desanya mengatakan kalau dia
bunuh diri ke dalam sungai."
"Dia memang pintar. Siasat itu kena sekali "
"Dimana dia sekarang?"
"Ah, aku sendiri tak tahu."
Saat itu hari sudah gelap, Cu Jiang menganjurkan supaya
kedua kekasih itu segera tinggalkan tempat itu. Demikian
setelah menghaturkan terima kasih, Tio Ki Hong dan Siu
Yin segera mohon diri.
"Lo-koko, bagaimana kita sekarang ?" tanya Gu Jiang.
"Lanjutkan perjalanan lagi !" seru Thian-put thou.
Kedua orang itupun segera lari menuruni puncak dan
menuju ke jalan besar.
Selama dalam perjalanan ia tak henti-hentinya Cu Jiang
menyatakan kecemasannya terhadap diri puteri Tayli.
"Adik, menurut pendapatku, untuk saat ini lebih baik
jangan engkau menuju ke Pek-te shia." tiba2 Thian put thou
berkata. "Mengapa?"
"Segala persoalan itu ada urutan tingkatannya. Yang
mana harus cepat2 dikerjakan dan yang mana boleh
pelahan sedikit. Thong-thian-kau takkan pindah tempat
sedang keselamatan kongcu menguatirkan.
Lebih dulu harus menolong kongcu itu ke Gedung
Hitam. Dikuatirkan nanti timbul lain2 perobahan yang tak
kita inginkan."
"Tetapi aku sudah berjanji dengan Ang Nio Cu . . ."
"Hm, bukankah kalian sudah saling berjanji akan
bertemu di gunung Keng-san" Bukankah hal itu takkan
terganggu?"
Cu Jiang kerutkan kening merenung, Akhirnya Ia dapat
menyetujui pendapat Thian-put-thou untuk menuju ke
Keng-san. ^0dooow0^ Demikian pada hari itu mereka tiba di kota Kui-cia.
Setelah beristirahat makan di sebuah kedai di luar kota,
tiba2 Cu Jiang menanyakan apakah dalam kota Kui-cia itu
tak ada cabang perkumpulan Thong-thian-kau.
"Hm, ya."
"Karena lo ko-ko pernah mencuri pil Hoa-tok tan dari
Ngo tok mo. tentulah lo koko paham keadaan markas
cabang itu."
"Tentu."
"Kurasa aku hendak menyelesaikan Iblis Ngo tok mo
sekalian."
"Baik, karena engkau membekal mustika yang dapat
mengobati racun, maka dapatlah engkau menghadapinya."
Tiba2 jongos menghampiri dan berkata bisik2:
"Apakah tuan berdua tetamu dari lain daerah?"
"Ya, kenapa?"
"Lebih baik tuan segera tinggalkan tempat ini."
"Mengapa?"
"Kota ini sedang diserang wabah penyakit. Tiap hari
tentu jatuh korban."
"Apa " Wabah penyakit ?"
"Ya, mengerikan sekali. Warung inipun kami bersiap-
siap hendak menutupnya dalam dua tiga hari lagi."
"Terima kasih."
Setelah jongos pergi, Thian-put-thou kerutkan dahi,
katanya: "Aneh, aneh, ditempat ini tidak di serang banjir
atau kebakaran maupun peperangan, mengapa terjangkit
wabah penyakit menular ?"
"Lebih baik menyingkir saja daripada harus menerjang
bahaya," kata Cu Jiang.
"Tidak, disini tentu ada apa-apanya . ."
"Ada apanya " Apakah maksud lo ko-ko, wabah itu tidak
wajar dan buatan manusia ?"
"Benar, dalam dunia persilatan memang tak jarang hal
itu terjadi."
"Tetapi apa tujuan orang hendak mencelakai jiwa
manusia yang tak berdosa ?"
"Mungkin jiwa, harta benda atau mungkin untuk sesaji
sembahyangan."
Tiba2 diluar jalan tampak beratus-ratus rakyat, tua
muda, besar kecil, laki perempuan berjalan berduyun-duyun
dalam keadaan yang kacau balau.
"Apakah yang telah terjadi ?" Thian-put-thou memanggil
seorang jongos dan bertanya.
"Selain Malaekat-hidup yang hendak menyembuhkan
wabah penyakit itu, apa lagi.. .."
"Malaekat hidup ?"
"Ya."
"Bisa mengobati wabah penyakit ?"
"Bukan saja bisa mengobati, pun dapat melindungi. Asal
orang mau minum air suci dari Malaekat-hidup itu,
Jiwanya tentu selamat."
"Dimana Malaekat hidup itu ?"
"O, di biara Sian-yu kwan lebih kurang sepuluh li dari
sini." "Bagaimana wajah Malaekat-hidup itu?"
"Ini .. . tak ada orang yang pernah melihatnya" Yang
minta air-jimat, cukup datang menghadap dan menyerahkan uang sembahyangan. Heh heh... tak mungkin
Malaekat-hidup itu akan menipu. Kabarnya pagi2 tadi
seorang bernama Ma Han Lim berasal dari kota. pura2
menyaru sebagai orang miskin yang hendak mohon air-
Jimat. Dia dikenali oleh Malaekat hidup dan seketika rubuh
mati..." "O. sudah berapa lama Malaikat hidup itu muncul ?"
"Rasanya belum lama."
"Baik," setelah membayar rekening, Cu Jiang dan Thian-
put thou segera melangkah keluar, Thian put-thou
mengajak Cu Jiang untuk menyaksikan keramaian itu.
"Apakah lo-koko hendak campur tangan?"
"Tidak belum semudah begitu. Kukira Malaekat hidup
itu tentulah perbuatan dari kaum Thong thian kau. Mereka
hendak memperdayai rakyat, mengumpulkan harta benda
dan pengikut ?"
"Mungkinkah begitu ?" Cu Jiang menegas.
"Jangan lupa bahwa iblis Ngo-tok-mo itu seorang ahli
penyebar racun yang lihay."
"O," tiba2 Cu Jiang teringat. Keduanya segera ayunkan
langkah menuju ke biara Sian-yu-kwan. Dimuka biara itu
berkerumun penuh sesak dengan orang2. Suasananya
seperti pasar malam.
Cu Jiang dan Thian-put-thou berhasil menyusup ke dekat
pintu biara. Di muka pintu dijaga empat orang imam yang
mencegah orang berdesak-desakan hendak masuk. Orang2
itu harus masuk satu persatu.
Setelah beberapa waktu menunggu akhirnya Cu Jiang
mendapat giliran masuk. Keempat imam itu memandangnya lalu menegur.
"Apa tidak membawa uang lilin?"
"Ada," kata Cu Jiang. Dia segera dipersilahkan masuk.
Cu Jiang ikut dalam urut-urutan orang yang masuk ke
dalam ruang besar. Sebuah meja sembahyangan yang besar,
diterangi dengan lilin yang terang benderang.
Orang yang hendak minta air mantra harus berlutut
memberi hormat lalu menyerahkan uang dan imam yang
menjaga di pinggir meja memberikan selembar kertas hu
(mantra) warna kuning.
Menunggu hampir setengah jam, baru Cu Jiang bisa
berada nomor dua dari orang yang paling depan. Di
depannya itu seorang tua perut gendut, pakaian bagus. Dia
tampaknya tegang sekali. Cu Jiang hanya terpisah tiga
langkah dari orang tua gendut itu.
Begitu tiba di muka meja, orang itu terus berlutut dan
berkemak kemik memanjatkan doa: "Hamba Ut Toa Ki,
mohon dengan sangat agar Sin-sian (malaekat) menurunkan
belas kasihan untuk menyembuhkan lima orang keluarga
hamba yang sakit."
Tiba2 dari balik tirai dibelakang meja terdengar suara
orang: "Ui Toa Ki. Sin-sian menitahkan agar engkau
menghaturkan seribu tail emas."
Orang itu gemetar dan berkata dengan tersendat-sendat :
"Hwat sin-sian .... hamba .... hamba tidak kaya ..."
"Ui Toa Ki, ini bukan jual beli yang boleh tawar
menawar. Apakah lima orang jiwa tak berharga seribu tail "
Apalagi itu suatu dana kebaikan untuk kepentingan orang
banyak." "Baik .. , baik . .. hamba baru membawa dua ratus...."
"Baik. sisanya boleh suruh orang mengantar kemari."
"Ya, ya," ia segera menyambuti beberapa lembar kertas
kuning, keringatnya bercucuran deras sekali. Rupanya ia
gemetar karena harus mengeluarkan biaya yang begitu
banyak. "Bakar kertas hu itu dan abunya terus telan saja. Segala
macam penyakit tentu hilang. Nah, pergilah!" seru orang


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibelakang kain tirai pula.
Setelah menyerahkan uang dua ratus tail, orang gendut
itupun terus merangkak keluar pintu samping.
Sekarang giliran Cu Jiang. Dia agak ragu-ragu tetapi
mengingat dia hendak menyelidiki, terpaksa ia lakukan juga
upacara itu. Berat rasa hatinya harus berlutut memberi
hormat kepada kain tirai.
Thian put thou tak tampak, entah menyelinap ke mana
saja. "Lekas, jangan mengganggu lain orang yang menunggu
giliran !" imam di pinggir meja berseru.
Cu Jiang terpaksa melakukan juga. Dia berkata: "Tecu
bernama Cu Jiang kebetulan lewat di desa ini, mohon Sin-
sian suka memberikan hu untuk menjaga wabah penyakit
itu." Habis berkata ia terus ulurkan tangan dimasukkan dalam
lubang diatas meja. Tetapi saat itu juga tangannya telah
disambut oleh sebuah tangan yang memancarkan tenaga-
dalam kuat. Dia terkejut dan mengakui bahwa apa yang diduga lo
koko Thian put thou memang benar. Malaikat-hidup itu
seorang jago silat yang berilmu tinggi.
Cu Jiangpun segera memancarkan tenaga-dalam untuk
bertahan. Ternyata orang didalam itu tidak lemah. Diapun
pancarkan tenaga dalam lebih hebat lagi. Cu Jiang
mendapat akal. Dia pura2 meringis kesakitan.
"Orang she Cu engkau terkena penyakit aneh. Bila
hendak mengobatimu. Masuk dari pintu samping sebelah
kanan !" "Engkau membawa uang lilin tidak ?" seru imam yang
menjaga disamping meja.
"Berapa ?"
"Sebutir mutiara."
"Baik, bangunlah !"
Tangan yang menjabat tangan Cu Jiang itupun
mengendor dan Cu Jiang segera berbangkit. Sejenak
merenung ia terus melangkah masuk pintu samping kanan.
Begitu tiba di ruang besar pandang matanya terbentur
pada pemandangan yang mengejutkan.
Ruang itu sekelilingnya ditutup dengan kain layar.
Malaikat Hidup itu juga tidak kelihatan berada di situ.
Hanya dua orang lelaki baju hitam memandang berkilat-
kilat ke arah Cu Jiang. Juga terdapat seorang imam yang
duduk bersila dengan mata menunduk.
Suasana dalam ruang itu sungguh menyeramkan. Salah
seorang dari kedua lelaki baju hitam segera menggapai ke
arah Cu Jiang. "Mari, ikut aku."
Cu Jiang mengangguk dan mengikutinya. Setelah
melintasi ruang besar itu, ia tiba di sebuah halaman besar
yang sunyi senyap, Setelah tiga kali melintasi halaman
barulah ia tiba di sebuah bangunan rumah yang dikelilingi
pagar tembok tinggi. Rupanya bangunan itu merupakan
tempat tinggal para Imam.
Setelah membawa masuk Cu Jiang, lelaki baju hitam itu
diam2 terus menyelinap pergi. Seorang lelaki tua Jubah
kuning, duduk dibagian yang tinggi dalam ruang bangunan
itu. Matanya berkilat-kilat memandang Cu Jiang sampai
beberapa saat. "Sahabat, kepandaianmu hebat juga" serunya. Cu Jiang
tertegun, serunya. "Kedatanganku kemari hendak meminta
hu." "Aku tahu."
"Lalu mengapa aku diundang kemari?"
"Kasih tahu dulu nama perguruanmu!"
"Apa hubungan hal itu dengan pengobatan penyakitku ?"
"Jangan bertanya, engkau hanya wajib menjawab !"
"Aku tak mempunyai perguruan, kepandaianku berasal
dari keluargaku sendiri."
"Siapa ayahmu ?"
"Dahulu dia seorang piausu."
"Engkau berlatih dengan senjata apa ?"
"Pedang."
"Bagus!" seru orang tua jubah kuning itu lalu meneriaki
orangnya. Seorang lelaki berpakaian hitam muncul dari
pintu samping dengan membawa pedang. Cu Jiang tak
mengerti apa yang akan terjadi.
"Cu Ing Jit. engkau boleh bertanding pedang dengan
dia." seru orang tua jubah kuning. Memang Cu Jiang
menggunakan nama Cu Ing Jit.
"Bertanding pedang " Mengapa harus begitu?" Cu Jiang
terkejut. "Jangan tanya !"
"Kedatanganku kemari bukan untuk bertanding ilmu
pedang," Cu Jiang membantah.
"Jangan banyak bicara !"
Akhirnya Cu Jiang memutuskan. Ia akan menurut saja
perintah orang. Ia ingin tahu apa saja tujuan mereka. Segera
ia menuju ketengah halaman. Lelaki baju hitam itupun
menyerahkan sebatang kepada Cu Jiang.
"Sahabat, engkau harus mengeluarkan seluruh kepandaianmu kalau tidak engkau tentu menyesal."
katanya. Memang Cu Jiang tak membawa pedang kutungnya.
Pedang kutung itu dibungkus kain dan dibawa Thian put-
thou. "Menyesal bagaimana?" tanya Cu
Jiang seraya menyambuti pedang.
"Terluka atau mati, engkau sendiri yang menanggung
akibatnya."
"Ini mengadu kepandaian atau bertanding dengan
taruhan jiwa?"
"Kalau tak bertanding sungguh2, tentu tak dapat
diketahui kepandaianmu yang sesungguhnya!"
"Aku tak mengerti apakah maksudnya semua ini ?"
"Tak perlu tanya. Nanti engkau tahu sendiri, Itupun
kalau engkau masih hidup."
Cu Jiang kerutkan dahi. Ia benar2 tak mengerti apa
maksud orang itu.
"Lekas cabut pedang !" seru orang itu.
Cu Jiang terpaksa menurut, Lelaki baju hitam itupun
segera menghunus pedangnya dan terus menaburkannya
dalam suatu gerak lingkaran yang menimbulkan tebaran
sinar pedang. "Sahabat, kita saling menyerang dalam tiga jurus !"
"Baik."
"Awas, sambutlah. . ."
"Silahkan !"
Lelaki baju hitam itu berubah merah wajahnya. Segera ia
menyerang dengan jurus yang ganas. Cu Jiang hanya
gunakan tiga bagian tenaganya untuk menghadapi.
Tring tring .. . pedang saling beradu dan kekuatan kedua
belah fihak ternyata berimbang.
"Kali ini harap hati2!" seru orang baju hitam itu seraya
menyerang dengan gerak yang cepat dan dahsyat. Ujung
pedang mengarah ketiga buah jalan darah didada Cu Jiang.
Kali ini Cu Jiang gunakan lima bagian tenaganya untuk
menangkis dan dapat mengimbangi.
"Sahabat," orang itu tertawa dingin. "engkau selalu
hanya bertahan. Serangan yang ketiga ini memastikan
hidup matimu. Waspadalah !"
Dalam berkata-kata itu pedangpun sudah meluncur
cepat. Tampaknya orang itu menggunakan seluruh
kepandaiannya untuk menyerang.
Terpaksa Cu Jiang gunakan delapan bagian tenaganya
untuk bertahan.
Tring .. . pedang orang baju hitam itu terpental dan
orangnyapun tersurut mundur dua langkah.
"Sudah cukup ?"
"Sahabat, sekarang giliranmu yang menyerang !"
"Ah, tak usah."
"Tidak bisa." orang itu berkeras.
"Selama ini aku hanya menyerang cukup satu jurus saja."
"Apa engkau hanya mampu menyerang dalam satu jurus
saja ?" "Katakan begitu."
"Baik."
Cu Jiang memutuskan, sebelum ia Jelas akan keadaan
orang, ia takkan menggunakan jurus yang ampuh. Ia akan
menggunakan delapan bagian tenaga dan setengah dari
Jurus Thian te-kiau-thay. Sekalipun begitu, perbawanya
masih tetap dahsyat.
Tring .... orang itu mundur sampai beberapa langkah.
Ujung pedang Cu Jiang mengarah ke dada dan terus
membayanginya, terpisah hanya satu dim tetapi tidak
ditusukkan. Wajah orang itu berobah menyeramkan.
"Bagus, boleh masuk kemari !" seru orang tua berjubah
kuning. Cu Jiang hentikan serangannya dan mengembalikan
pedang kepada orang baju hitam itu.
"Ilmu pedangmu menarik sekali," orang tua jubah kuning
itu memuji. "Ah, jangan memuji."
"Engkau lulus ujian !"
"Lulus ujian " Apa artinya ?"
"Engkau akan diangkat sebagai pengawal dari perkumpulan kita!"
"Tetapi kedatanganku kemari karena hendak minta obat.
bukan untuk melamar menjadi pengawal .. ."
"Engkau tak boleh menolak !"
Cu Jiang menyeringai heran lalu bertanya perkumpulan
apakah yang akan dimasukinya itu.
"Thong-thian kau!"
Mendengar itu benar2 Cu Jiang kagum akan ketajaman
mata Thian put-thau. Thian put thou dengan cepat dapat
menduga bahwa wabah penyakit di kota itu adalah buatan
dari kaum Thian-thong-kau hendak mengumpulkan dana
dan mencari pengikut.
"Tong-thian kau ?" Cu Jiang pura2 terkejut.
"Ya. Perkumpulan Thong thian kau dalam waktu yang
tak lama lagi akan bergerak untuk menguasai dunia.
Sahabat, kesempatan yang engkau peroleh ini tak
sembarang orang bisa mendapatkan. Aku adalah hu-hwat
dari cabang Thong-thian-kau kota Kui-ciu, Engkau jelas
sekarang ?"
"Tetapi, aku ... "
"Jangan banyak bicara ! Engkau tak dapat memilih lain."
"Jika aku tak ingin menjadi pengawal Thong thian-kau ?"
Orang tua jubah kuning itu bertepuk tangan dan pintu
samping terbuka. Diatas meja tampak beberapa butir kepala
manusia yang masih berlepotan darah.
"Seperti itulah !" serunya.
Melihat itu bergidiklah bulu roma Cu Jiang Seketika
hawa pembunuhan meluap-luap dalam dadanya. Tetapi dia
pura2 bersikap kaget, serunya:
"Aku . . . suka menerima . . . ."
Pintu itupun tertutup lagi. Kemudian lelaki tua berjubah
kuning itu segera memerintahkan orang berbaju hitam
supaya membawa Cu Jiang keluar menunggu perintah.
"Aku masih mempunyai seorang kawan yang datang
bersama, aku hendak memberitahu kepadanya dulu . ."
"Tidak boleh !"
"Ikut aku !" lelaki baju hitam itu melambai kepada Cu
Jiang. Dengan membawa sikap seperti enggan, Cu Jiang
mengikuti orang itu masuk ke dalam halaman samping.
Dalam ruang terdapat empat orang pemuda yang mengerut
dahi. Rupanya mereka juga terpilih menjadi pengawal
Thong-thian-kau. Melihat kedatangan Cu Jiang. merekapun
diam tak mengacuhkan.
"Tunggulah disini, Jangan coba2 membuat rencana yang
tidak-tidak, tak ada orang yang mampu keluar dengan
masih bernyawa dari tempat ini" habis berkata lelaki baju
hitam itu terus ngeloyor pergi.
Kini kelima orang itu saling berpandangan tanpa
berkata-kata apa.
Tak berapa lama, dari lain ruangan terdengar suara
orang dan gemerincing pedang lalu erang jeritan ngeri.
Tentulah seorang calon sedang diuji dan karena
kepandaiannya kurang lalu menemui kematian.
Seperminun teh lamanya, terdengar lagi suara pertempuran. Tetapi kali ini rupanya dengan adu pukulan,
tidak menggunakan pedang.
Setelah berhenti beberapa waktu, seorang lelaki tua kurus
berumur lebih kurang lima puluhan tahun, dibawa masuk
ke dalam ruang itu. Begitu melihat orang itu, diam2 Cu
Jiang bersorak dalam hati. Orang itu tak lain adalah lo-
kokonya yakni Thian put-thou. Dia telah lulus dari ujian.
Dengan langkah bergoyang gontai, Thian-put-thou
melangkah masuk. Setelah pengawal baju hitam itu pergi,
dia terus melangkah kedepan mata kepada Cu Jiang,
serunya: "Aku si tua ini sungguh masih punya rejeki besar.
Dalam umur yang begini tua, aku masih mendapat


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan untuk mengangkat nama."
Keempat pemuda yang lebih dulu berada dalam ruang
itu tak menyahut.
Thian-put-thou Ciok Yau Hong itu sudah berumur
delapan puluh tahun, rambutnya putih. Tetapi karena dia
menyaru, maka sukarlah orang mengenalinya.
"Ha, ha." Cu Jiang menyambut tawa gembira.
Thian-put-thou kerutkan alis lalu berkata dan menyerahkan bungkusan pedang kutung: "Adik kecil, inilah
barangmu !"
"Terima kasih." Cu Jiang menyambutinya.
Beberapa waktu kemudian, masuklah lelaki jubah kuning
dengan dua orang pengawal baju hitam. Mereka
memandang rombongan enam orang yang berada dalam
ruang itu lalu berkata dengan nada sarat:
"Saudara2 telah mendapat kehormatan untuk menjadi
pengawal perkumpulan kami. Lebih dulu kami hendak
menghaturkan selamat. Kemudian akan membagikan tugas
menurut urutan kepandaian kalian.
Sekarang, beberapa pil ini dapat menambah tenaga dan
kekuatan, pemberian khusus dari Malaikat hidup sebagai
tanda menyambut kedatangan kalian."
Kedua pengawal baju hitam lalu maju dan membagikan
sebutir pil merah kepada setiap orang. Setelah menyambuti,
keempat pemuda itu tampak bersangsi untuk menelan.
"Jangan tak menghargakan kebaikan Hwat-sin-sian
(Malaekat hidup), makanlah!"
Setelah memberi kicupan ekor mata, Cu Jiang terus
menelan pil itu demikian pula Thian-put thou. Melihat itu
keempat pemuda itupun segera mengikuti.
Lelaki jubah kuning tertawa serunya: "Bagus, sebentar
lagi akan disalurkan hidangan, silakan nanti kalian
menikmati sepuas-puasnya,
Malam ini kita nanti mengadakan pertemuan!"
"Bagus! Thian put-thou bertepuk tangan, sudah tiga
bulan aku si tua ini tak pernah makan enak dan sebulan tak
pernah minum arak!"
Sejenak memandangnya lelaki jubah kuning itupun
segera meninggalkan ruang itu.
Menjelang petang, memang benar muncul orang yang
mengantar hidangan dan arak. Walaupun tak terdiri diri
masakan yang lezat tetapi juga cukup untuk membuat lidah
bergoyang. Saat itu keempat pemuda tadi sudah berobah
sikapnya. Mereka bicara dan tertawa. Wajahnya yang mengerut,
sudah lenyap. Thian-put thou juga seperti berobah adanya.
Diam2 Cu Jiang sudah mengulum katak mustika,
kemudian diam2 menaruhkan mustika itu ke dalam cawan
araknya dan lalu ditukarkan dengan cawan Thian-put thou.
Setelah minum, tak berapa lama tingkah laku Thian-put
thou sudah normal kembali. Tetapi dia tak mengetahui hal
itu. Menjelang tengah malam, dua orang pengawal baju
hitam muncul dan salah seorang berseru mengajak mereka
berangkat. Mereka keluar dan biara itu menyusur jalan menuju ke
barat. Setelah tiba ditempat yang sunyi. Cu Jiang baru turun
tangan menotok jalan darah kedua pengawal baju hitam itu.
"Hah, apa-apaan itu ?" keempat pemuda itu berteriak
kaget. Cu Jiang tak sempat memberi penjelasan lagi, dengan
cepat dia berkata:
"Pil yang saudara telan tadi, mengandung racun.
Sekarang akan kuberi obat dan setelah itu silakan saudara
pergi !" Tanpa memberi kesempatan. Cu Jiang memaksa
keempat orang itu supaya mengulum katak-mustika.
Mereka menurut. Beberapa saat kemudian mereka seperti
sadar. "Mengapa tak lekas pergi!" bentak Thian-put thou.
Keempat pemuda itu memberi hormat lalu melesat pergi.
"Lo koko, kita tunggu dulu beberapa waktu lagi." bisik
Cu Jiang. "Apa maksudmu?"
"Tunggu mereka datang kemari hendak memberi
pertolongan kepada kedua orangnya ini..
"Apa tak kuatir kalau kita akan ketahuan ?"
"Tak apa, kalau secara gelap tak dapat kita harus
menempuh dengan cara yang terang-terangan. Silahkan lo
koko menyingkir dulu."
"Mengapa?"
"Yang ku arah hanyalah si Iblis Ngo-tok-mo itu. Jika aku
bertindak seorang diri, tentu lebih leluasa !"
"Apakah engkau hendak membuang aku?"
"Ah, Jangan lo koko berpendapat begitu. Berbicara soal
pengetahuan dan pengalaman sudah tentu aku tak menang
dengan lo-koko. Hanya kali ini dalam menghadapi jago2
dari Kawanan iblis ..."
"Sudahlah, Jangan panjang lebar. Dimana kita nanti
akan berjumpa?"
"Di warung kecil yang kemarin kita singgahi itu.
Disebelahnya terdapat sebuah penginapan, bagaimana
kalau kita bertemu di situ !"
"Sudah. Hati-hati saja di jalan."
"Terima kasih."
Habis memberi pesan Thian put thou terus berputar
tubuh dan melangkah pergi. Tapi belum berapa jauh sudah
kembali lagi. "Apakah lo koko hendak memberi pesan lagi?"
"Hampir saja aku melupakan sebuah urusan besar."
"Urusan apa."
"Soal wabah penyakit itu. Sebenarnya itu merupakan
racun yang bekerjanya lambat. Perbuatan keji dari pihak
Thong-thian kau itu tentu dilakukan dengan cara diam2
menyebarkan racun dalam sumur2 rumah rakyat. Jika tak
memperoleh obat yang tepat tentu akan menimbulkan
bencana..."
"Baiklah."
"Kita bekerja secara terpisah..."
"Bagaimana tindakan lo koko?"
"Hi, hi, kerjaan lama. Malam ini aku hendak berziarah
ke biara Sin yu kwan, menjenguk si Malaekat hidup itu.
Mereka memberi hu, pada hal itu tentu dilumuri dengan
obat penawar racun. Di samping itu akan menggali tanah
baru." "Apa maksud lo-koko?"
"Menganjurkan supaya penduduk jangan menggunakan
air dari sumur tetapi membuat sumur baru atau
menggunakan air sungai. agar terhindar dari keracunan."
"Bagus !"
"Sudahlah, pencuri tua akan mulai bekerja !" habis
berkata Thian put thou terus melesat sampai beberapa
tombak dan pada lain saat sudah lenyap dalam kegelapan.
Diam2 Cu Jiang kagum akan ilmu meringankan tubuh lo
kokonya itu. Kecuali tata langkah Gong-gong pon hwat,
rasanya dalam dunia persilatan tak ada lain ilmu yang
mampu menandingi gerakan Thian put-thou itu.
Beberapa waktu kemudian, tampak beberapa sosok
bayangan berlari-lari mendatangi. Yang di muka tak lain
adalah orang tua jubah kuning itu.
Cu Jiang serentak menyongsong dan berseru: "Laporan
kepada hu hwat, telah terjadi peristiwa besar."
Rombongan pendatang itu berhenti. Orang tua jubah
kuning memandang kedua pengawal baju hitam yang
menggeletak di tanah lalu berseru:
"Peristiwa apa ?"
"Kita menerima serangan gelap yang tak terduga-duga !"
"Dan orang2 itu kemana ?"
"Dibawa mereka !"
"Mengapa engkau tidak ikut dibawa?"
"Uh . .. hamba bukan kerbau. Dengan kepandaian yang
kumiliki, mereka tak mampu membawa aku."
"Apakah kedua orang itu mati?"
"Tidak, hanya ditutuk jalan-darahnya tetapi entah
dengan ilmu tutukan apa, aku tak mengerti."
"Siapa musuh yang menyerang itu?"
"Semua mengenakan pakaian hitam sampai mukanyapun tertutup kain hitam..."
"O, kutahu. Tentulah pihak Gedung Hitam hendak
mencari gara-gara."
Orang tua jubah kuning itu terus memeriksa kedua anak
buahnya yang menggeletak di tanah itu. Tetapi sampai
beberapa saat dia tak berhasil apa2. Jelas diapun tak tahu
ilmu tutuk apa yang digunakan musuh untuk menutuk jalan
darah ke dua orang itu.
Diam2 Cu Jiang geli. Memang dia mempergunakan ilmu
tutukan dari kitab Giok kah-simkeng. Tokoh-2 silat pada
umumnya tentu tak mengerti ilmu tutukan itu.
"Bawa mereka pulang ke markas !" teriak lelaki jubah
kuning dengan marah.
Rombongan anak buahnya segera memanggul kedua
korban itu Kemudian mereka melanjutkan perjalanan
lagi,.Tak berapa lama tiba di sebuah pedesaan.
Setelah saling memberi sandi rahasia, mereka lalu
masuk. Lingkungan markas itu memang luas dan besar.
Sepanjang jalan terdapat pos2 penjagaan yang ketat.
Sampai jalan masuk tentu dijaga oleh pengawal. Cu Jiang
dibawa kesebuah ruang oleh seorang pengawal.
Dalam ruang itu beberapa anak buah tengah bergembira
ria, bersorak dan mabuk-mabukan sehingga mereka tak
mengacuhkan kedatangan Cu Jiang.
Cu Jiang duduk disebuah meja dekat jendela.
Dia tak mau membuang waktu. Keselamatan puteri
Tayli selalu membayangi benaknya. Urusan di tempat itu
harus selesai malam itu. Paling lambat sampai besok pagi.
Tiba2 seorang thau-bak atau kepala kelompok, muncul di
pintu dan melongok ke dalam.
"Ong San Ko. kalian berenam nanti menjelang tengah
malam harus pergi ke biara Sianyu-kwan untuk mengganti
penjagaan di sana !"
Ternyata kawanan anak buah yang berada dalam
ruangan itu tengah berjudi dan minum arak. Salah seorang
yang bermuka hitam mengangkat muka dan berseru:
"Li thaubak, apakah engkau yang memimpin kami?"
"Hm."
"Siapakah yang menjadi Malaekat hidup besok pagi?"
"Song hu-hwat."
"Uh, sukar dilayani . .."
"Ong Sam Ho, jangan kuatir, lain orang malah mudah."
"Apa yang harus kita sediakan?"
"Mudah saja, bawakan seguci air yang sudah bertuliskan
huruf2 mantra."
"Harus meminta kepada Song hu-hwat?"
"Tak usah, besok aku yang membawanya."
"Saudara2, mari kita lanjutkan permainan lagi sampai
puas," si wajah hitam itu berseru lalu memegang lagi
kartunya. Kemudian thaubak yang disebut orang she Li itu berseru
kepada Cu Jiang: "Thamcu memanggil, mari ikut aku!"
"Baik," Cu Jiang berbangkit lalu melangkah. Dia masih
membawa bungkusan pedang.
"Hai. bung, taruh saja barang itu disini. Tak ada orang
yang mau mencurinya."
"Tetapi ini . . . tak dapat terpisah dari aku."
"Apa berisi pusaka?"
"Hampir begitulah."
Salah seorang anak buah yang tengah bermain judi itu,
menyelutuk: "Kabarnya pendatang baru itu berkepandaian tinggi
sehingga Tio si su saja kalah . . ."
"Mungkin akan diberi jabatan yang keras. Karena
walaupun kepandaiannya tinggi tetapi orangnya dingin."
sambut Ong Sam Ho.
Cu Jiang tertegun. Dipanggil oleh pimpinan tentu tak
boleh membawa bungkusan barang. Tetapi di mana dia
harus menaruh bungkusan pedang itu.
"Lekas apa engkau suruh thamcu menunggu sampai
lama?" teriak Li thaubak.
Karena belum mendapat akal, terpaksa Cu Jiang
membawa bungkusan pedangnya. Thaubak itu hanya
tertawa tapi tak berkata apa2.
Setelah melalui berlapis-lapis penjagaan, mereka tiba di
sebuah ruang besar yang diterangi dengan lampu besar.
"Anggauta yang baru itu telah menghadap." seru Li
thaubak. "Suruh masuk."
Li thaubak melirik kepada Cu Jiang dan menyuruhnya
dia sendiri yang masuk. Cu Jiang mengangguk. Ia masuk
dan melangkah naik ke atas titian dan masuk ke dalam
ruang. Dalam ruang Itu terdapat sebuah meja besar,
rupanya sebagai tempat untuk memberi perintah.
Di belakang meja itu duduk seorang tua berjubah kuning
emas Matanya berkilat-kilat merah seperti mata ular
sehingga menimbulkan rasa seram. Pada kedua samping
meja terdapat delapan kursi dari kayu jati. Tetapi baru berisi


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga orang lelaki tua dan seorang lelaki setengah tua
berjubah kuning.
Cu Jiang menduga bahwa lelaki tua berjubah emas
duduk dibelakang meja pimpinan itu tentulah iblis Ngo tok-
mo. "Menghaturkan hormat kepada thamcu." begitu masuk
Cu Jiang memberi hormat kepada lelaki di meja pimpinan
itu. "Oh, engkau membawa apa itu?"
"Perlengkapan bekal."
Ngo tok mo mengerling memandang ke arah tiga lelaki
tua jubah hitam yang duduk di sebelah kanan.
"Ku congkoan !"
"Siap !" seru salah seorang lelaki jubah hitam itu.
"Sediakan semua persiapan dan tunggu perintah dari
thancu." "Di ruang Bu-thia," katanya pula.
"Baik."
Ruang Bu-thia atau tempat berlatih silat saat itu terang
benderang. Di panggung telah hadir tokoh2 pimpinan yang
berada dalam ruang tadi.
Di bawah panggung terbentang sebuah lapangan seluas
tiga tombak. Di sekeliling lapangan itu berjajar-jajar dua
puluhan orang busu atau jago silat, tua dan muda.
Cu Jiang ditempatkan di pintu masuk.
"Song huhwat !" seru Ngo-tok-mo.
Lelaki tua Jubah kuning berdiri dari tempat duduk dan
memberi hormat.
"Siapa namanya?"
"Cu Ing Jit."
"Kepandaiannya tergolong tingkat ke berapa?"
"Dalam ujian, dengan sebuah jurus dia dapat
mengalahkan Tio sisu, rupanya bisa digolongkan kelas
satu." "Kelas satu?"
"Ya,"
"Suruh seorang busu kelas satu untuk bertanding dengan
dia ?" "Baik."
Lelaki jubah kuning itu berpaling kearah busu yang
duduk pada Jajaran kedua dan berseru: "Kwee sisu, cobalah
dia barang sejurus !"
Seorang bu-su berumur lebih kurang 40an tahun segera
berbangkit dan mengiakan. Dia melangkah ke tengah
gelanggang, memberi hormat ke arah panggung lalu
berputar tubuh dan berdiri di samping.
"Cu Ing Jit, pilihlah senjata dan bertandinglah dengan
Kwee si-su !"
Sebenarnya Cu Jiang sudah sebal tetapi apa boleh buat,
dia harus bersabar lagi. Tanpa menyahut ia terus
menghampiri rak senjata dan sembarangan saja mengambil
sebatang pedang lalu menuju ke gelanggang dan
berhadapan dengan jago yang bernama Tio si-su. Tangan
kirinya tetap mencekal bungkusan pedang kutung.
Orang she Tio itu kerutkan kening dan berseru :
"Letakkan bungkusanmu itu."
"Tak usah !" Cu Jiang tersenyum.
"Mengapa engkau begitu sombong ?"
"Bukan sombong tetapi aku memang selamanya hanya
menggunakan sebelah tangan saja."
"Kita bertandang sejurus saja."
"Silakan menyerang dulu!"
"Tidak, engkau yang mulai dulu"
"Si su adalah tokoh terkemuka dalam perkumpulan kita,
bagaimana aku berani berlaku kurang hormat"
"Jika begitu, siap2lah menyambut seranganku ini!"
pedang dileburkan dan berhamburan hawa dingin melanda
Cu Jiang. Jalan-darah yang penting diseluruh tubuh, dari
atas sampai bawah. terancam ujung pedang. Hebatnya
membuat orang leletkan lidah.
Saat itu Cu Jiang tak berani menunjukkan siapa dirinya.
Dia hanya menangkis. Terdengar dering pedang beradu dan
serangan Kwee si-su itu semua dapat ditangkisnya. Merah
padam muka jago she Kwee itu.
"Maaf. sekarang harap menyambut seranganku." seru Cu
Jiang. ia terus gunakan salah sebuah jurus dari ilmu pedang
Thian te kiau thay. Pedang menyerang datar dan lurus ke
muka tetapi Kwee si su kelabakan tak dapat menangkis dan
terpaksa mundur tiga langkah. Wajahnya menyeringai tak
sedap dipandang.
Cu Jiang tak mau mengejar. Ia menarik pulang
pedangnya. "Cukup!" seru Ngo-tok-mo "persidangan dibubarkan,
tujuh hari kemudian akan diadakan pengangkatan jabatan
yang resmi."
Selain bu su serempak berdiri dan memberi hormat. Ngo
tok mopun segera masuk kedalam pintu samping.
Sementara seorang bu-su lain mengantarkan Cu Jiang
kembali kedalam kamar peristirahatannya.
Keenam bu su yang berjudi tadi sudah selesai dan siap
menunggu perintah. Diatas meja terdapat sebuah botol,
tentulah berisi air hu atau mantra.
Tak berapa lama, Li thaubak bergegas datang dan
berkata: "Cu In Jit, kamar ini hanya tinggal engkau seorang,
silakan beristirahat, jangan pergi kemana-mana."
"Baik."
Ketujuh orang itupun segera tinggalkan ruangan. Cu
Jiang menutup pintu dan memadamkan lampu lalu rebah di
ranjang. Dia memikir-mikir bagaimana tindakan yang akan
dilakukan. Saat itu sudah lewat tengah malam, suasana sunyi sekali.
Kecuali hanya terdengar derap langkah dari para peronda,
tak terdengar apa2 lagi.
Cu Jiang memutuskan untuk bertindak. Ia berganti
pakaian dan mengenakan kain kerudung muka, membawa
pedang kutung. Setelah siap dalam penyamaran sebagai
Toan-kiam-jan-jin, dia terus ke luar.
Para peronda itu hanya anak buah biasa. Sudah tentu
mereka tak dapat mengetahui gerak-gerik Cu Jiang.
Gedung itu mempunyai banyak sekali ruangan sehingga
sukar untuk mencari tempat Ngo tok-mo. Dia menuju ke
sebuah ruang yang paling akhir sendiri lalu bersembunyi di
ujung yang gelap.
Tiba2 sesosok bayangan masuk ke dalam ruang dan
berseru: "Hamba Lu Goan, mohon menghadap hun than-
ciang untuk menghaturkan laporan penting!"
Semangat Cu Jiang timbul seketika. Ternyata dia telah
menemukan ruang yang tepat.
Dari dalam ruang itu terdengar suara Ngo-tok-mo yang
menusuk telinga: "Soal penting apa?"
"Cong-than, memberitahukan sebuah peristiwa yang
penting!" "Katakan!"
"Menurut laporan rahasia, puteri Tayli yang pesiar ke
Tiong goan telah ditawan oleh pihak Gedung Hitam. Dan
tokoh yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu ternyata telah
menjabat pangkat sebagai Tin tian ciang-kun (jenderal
bhayangkara keraton) Tayli. Diapun murid dari Koksu
Gong gong-cu. Pimpinan mengumumkan, supaya setiap
ketua cabang menyelidiki tentang gerak gerik Toan kiam-
janjin. Kalau menemukannya tak boleh bergerak sendiri
tetapi harus cepat2 memberi laporan karena ketua hendak
turun tangan sendiri untuk membereskannya."
"Oh." seru Ngo tok-mo.
"Murid masih ada sebuah hal yang perlu murid
haturkan."
"Hal apa?"
"Kedua anak buah kita yang tertutuk jalan-darahnya itu
tak dapat diobati sehingga binasa. Kamipun berhasil
menangkap lima anak buah Gedung Hitam dan setelah
kami paksa menelan pil Ok-tim-wan, mereka memberi
keterangan bahwa Gedung Hitam tak mempunyai jago2
unggul didaerah Kwi ciu. Gedung Hitam tak tahu menahu
tentang peristiwa itu."
"Lu ciangleng. bagaimana pendapatan sendiri ?"
"Kuanggap Cu Ing Jit yang baru saja kita terima menjadi
pengawal itu, mencurigakan . . ."
"Apa alasannya ?"
"Dari kelima calon yang hendak kita terima menjadi bu-
su. ternyata yang empat dapat meloloskan diri, hanya
tinggal dia seorang yang selamat. Dan pula menilik gerak
ilmu pedangnya seperti bukan berasal dari ilmu pedang
aliran Tionggoan. Dia masih belum mau menunjukkan
ilmu kepandaiannya yang sesungguhnya. Sebenarnya waktu
di biara Sian-yu-kwan dia sudah disuruh menelan pil In-
seng-wan, tetapi ternyata pikirannya masih sadar dan
tingkah lakunya juga tetap biasa .... "
"Hal itu aku memang sudah melihatnya. Kalau menurut
Lu ciangleng, bagaimana kita akan menyelesaikan orang
itu?" "Segera membuka sidang peradilan dan seluruh tong-cu
harus hadir."
"Baik."
Ciangleng atau pembawa amanat orang she Lu itu segera
bergegas keluar. Cu Jiang loncat ke luar dari tempat gelap.
Ia mendorong pintu ruang tengah tetapi ruang itu kosong.
Dia terus melangkah masuk.
"Siapa?"
"Aku."
"Engkau siapa?"
"Orang yang anda hendak cari itu!"
Ngo tok-mo segera membawa lampu keluar. Begitu
melihat siapa yang berada dalam ruang itu, dia berteriak
gentar: "Engkau Toan-kiam-jan jin?"
"Heh, heh, benar," Cu Jiang tertawa mengekeh, "silakan
engkau berteriak minta tolong atau memanggil bala bantuan
anak buahmu!"
Ngo-tok-mo deliki mata. Ia menyulut lilin besar dalam
ruang itu kemudian mempersilakan tetamunya duduk.
"Tak usah," Cu Jiang menolak.
"Kita akan bercakap cakap."
"Tak perlu!"
"Lalu apa maksudmu datang kemari?"
"Katakan saja, untuk menagih hutang darah dari rakyat!"
"Ha, ha. ha, ha ...."
"Hm, rupanya engkau tenang2 saja" "
Segulung bau harum bertebaran menyusup hidung. Cu
Jiang segera menyadari bahwa saat itu Ngo-tok-mo sedang
menebarkan racun harum. Tetapi dia tenang saja karena
mempunyai katak-mustika.
"Toan kiam-jan-jin, engkau benar2 bernyali besar karena
berani menyusup masuk ke dalam markas ini. Entah
bagaimana engkau harus menderita kematian nanti."
"Mungkin kebalikannya, bukan aku tetapi engkau!"
"Mengapa engkau tak mencoba mengerahkan tenagamu?"
"Apa maksudmu?"
"Ketahuilah, dalam lingkungan tempat kamar ku, penuh
dengan racun2 berbisa. Sekali melangkah kedalam
lingkaran daerah racun itu, dewapun pasti mati juga!
"Benarkah itu?"
"Engkau..."
"Bagaimana kepandaianmu kalau dibanding dengan
nenek Teh-hun-pi-peh?"
Wajah Ngo tok-mo seketika berobah. Sesaat kemudian
dia menenangkan diri, mempersiapkan kedua tangan untuk
menjaga diri dengan ketat.
Cu Jiang harus memburu waktu. Dia tak mau tenaganya
diperas terlalu lama disitu. Dengan membentak keras, ia
terus ayunkan pedang kutung. Harus cepat2 dapat
membunuh iblis itu maka dia gunakan seluruh tenaganya.
Ngo tok-mo tak dapat menghindar mundur. Kanan
kiripun telah tertutup oleh sinar pedang. Tak ada lain jalan
kecuali harus mengadu jiwa. Maka diapun lancarkan
serangan balasan.
Huak.... terdengar suara menguak ngeri, disusul dengan
darah menyembur. Tangan Ngo tok mo masih menuding
Cu Jiang dan mulut menganga seolah-olah ia tak puas harus
menemui keakhiran hidup seperti itu. Tetapi nasib sudah
digariskan. Dia tetap terkulai dan rubuh ke tanah.
Pada saat lawan melancarkan serangan balasan tadi, Cu
Jiang pun sudah mundur beberapa langkah. Darahnya
bergolak keras.
Jeritan ngeri dari Ngo-tok-mo itu telah mengejutkan
kawanan peronda. Mereka segera memburu masuk ke
ruang itu. Cu Jiang membakar kain tirai dan kelambu.
Begitu terbit kebakaran, terompet pertandaan segera
berbunyi. Seluruh markas di makan api.
Sekali sudah turun tangan, Cu Jiang tak mau kepalang
tanggung. Dia terus melepas api untuk membakar markas.
Setelah seluruh markas menyala, barulah dia lari menuju ke
biara Sian-yu-kwan.
Tetapi saat itu ternyata biara Sian-yu-kwan juga sedang
kacau balau tak keruan. Malaikat-hidup yang biasa
memberikan obat, hilang entah ke mana. Sedang seguci hu
yang baru saja diangkut ke biara itu juga lenyap.
Siapakah yang berani melakukan perbuatan itu"
Lelaki jubah kuning yang hendak mengganti giliran
sebagai Malaikat hidup, berjingkrak-jingkrak seperti
kebakaran jenggot. Dia memerintahkan seluruh anak buah
biara itu untuk mencari secara diam2 tak boleh menyiarkan.
Karena kalau hal itu sampai bocor, tentulah permainan
mereka akan ketahuan orang.
Tiba di biara Sian yu kwan. Cu Jiang melihat waktu
sudah hampir mendekati fajar. Dia terus menyelinap masuk


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke bagian belakang.
"Siapa itu ?"
Terdengar orang menegur dan terdengar pula suara
sosok tubuh yang jatuh ke tanah.
Lelaki jubah kuning lari memburu ke halaman. Sejenak
memandang ke empat penjuru, ia berseru bengis: "Sahabat
dari manakah yang berkunjung kemari?"
"Aku datang hendak menghadap Malaikat-hidup."
terdengar suara penyahutan dari arah tempat yang gelap.
Lelaki jubah kuning itu terkejut dan dengan gemetar ia
berseru pula: "Siapakah sahabat ini?"
Tiba2 dihadapannya muncul seorang yang mengenakan
kain kerudung muka.
"Engkau . , . Toan kiam janjin" "
"Benar! "
"Engkau . . , engkau . .. hendak mengapa?"
"Hendak menumpas kedosaanmu yang berani menyaru
menjadi Malaikat dan mencelakai rakyat!"
"Tolong . . !" teriak lelaki jubah kuning memanggil anak
buahnya. Beberapa anak buahnya segera berhamburan muncul.
Empat orang yang mengenakan pakaian seperti imam serta
busu terus menyerang Cu Jiang. Tetapi hampir serempak,
mereka menjerit ngeri dan rubuh.
Lelaki jubah kuning itu tahu akan kelihayan Toan-kiam
jan jin yang mampu mengalahkan nenek Toh-hun pipeh
atau guru dari gerombolan iblis Sip-pat-thian mo.
Maka pada saat keempat anak buahnya menyerang Cu
Jiang, diapun terus menyelinap pergi dan menghilang
dalam kegelapan.
Tetapi ternyata Cu Jiang lebih gesit. Begitu tiba dalam
hutan di belakang biara, baru lelaki tua jubah kuning itu
menghela napas longgar dan hendak menyembunyikan diri,
tiba2 sesosok bayangan berkelebat dan:
"Malaikat-hidup, mau mengumpat kemana engkau?"
terdengar teriakan disertai munculnya Toan kiam jan jin di
hadapannya. Lelaki jubah kuning melongo seperti kehilangan
semangat. "Malaikat hidup, bagaimana kalau engkau bunuh diri
saja?" Cu Jiang tertawa dingin.
Tiba2 lelaki tua jubah kuning itu mengangkat kedua
tangannya dan menghantam. Karena gugup ketakutan, dia
telah menggunakan seluruh tenaganya.
"Hm, rupanya engkau mau membangkang! " Cu Jiang
menyelinap dan ayunkan tangan. Lelaki jubah kuning itu
mengaum, terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang
dan muntah darah.
"Uh..." Cu Jiang memburu dan menutukkan jarinya.
Lelaki tua jubah kuning itupun rubuh.
Cu Jiang menjinjing tubuh orang itu, lari kembali ke
biara, menyingkap kain tirai dan mengikat lelaki jubah
kuning itu pada kursi.
"Malaikat hidup, begitu hari terang, rakyat yang minta
air hu kepadamu itu akan memberi peradilan!"
"Toan kiam janjin, bunuhlah aku!" seru lelaki jubah
kuning itu. Cu Jiang menutuk jalan darah gagu di tenggorokan
orang itu, katanya: "Enak kalau engkau harus mati.
Masakah permainan tadi dari Thong thian kau tak ada
urusannya lagi?"
Sepasang mata lelaki jubah kuning itu seperti mau pecah.
Dadanya diamuk amarah dan kembali dia muntah darah.
Tetapi ilmu kepandaiannya sudah dirusak dan mulutnya tak
dapat bicara, Tak ada lain jalan baginya kecuali hanya
pasrah nasib. Cu Jiang berdiri di muka ruang sambil mencekal pedang
kutung. Kawanan anak buah yang diperintah untuk
mencari gentong air hu yang hilang itu mulai kembali lagi
ke biara. Tetapi mereka telah disambut Cu jiang. Cu Jiang tak
mau membunuh, melainkan hanya merusak tenaga
kepandaian mereka.
Hari baru saja fajar tetapi di luar pintu biara sudah
banyak orang yang berkerumun untuk minta air hu. Mereka
antri. Cu Jiang tertawa puas, lalu tinggalkan biara itu.
Begitu masuk kedalam biara, rakyat tentu akan mengetahui
peristiwa dalam biara itu.
Cu Jiang kembali menyamar seperti pemburu dan lari
keluar kota untuk menemui Thian put thou di rumah
penginapan. Ternyata Thian put thou memang sudah
menunggu. "Adik kecil, bagaimana keadaannya?"
"Rakyat akan menghakimi. Tetapi air hu itu .... "
"Oh. telah kuserahkan kepada pimpinan partai Kay pang
disini untuk membagi-bagikan kepada penduduk."
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan. Hari itu mereka
tiba di sebuah kota kecil didaerah pegunungan. Dari situ
mulai memasuki gunung tempat markas Gedung Hitam.
Ternyata kota kecil disitu sudah dikuasai pihak Gedung
Hitam. Tiga empat kali mereka bertemu dengan orang2
Gedung Hitam yang bertanya tentang diri mereka.
Untung Thian-put thou banyak pengalaman. Dia dapat
memberi jawaban yang menghilangkan kecurigaan orang,
Menilik hal itu, jelas bahwa penjagaan Gedung Hitam tentu
luar biasa ketatnya.
Mereka singgah disebuah rumah makan. Waktu makan.
Cu Jiang berbisik-bisik meminta agar Thian put thou tinggal
di kota itu. "Uh, engkau memang selalu hendak mencampakkan aku
saja ..." "Bukan begitu. Aku terlanjur bersumpah hendak
melakukan balas dendam itu dengan tanganku sendiri."
"Tetapi bukankah tujuanmu kemari karena hendak
menolong puteri dari Tayli itu ?"
"Melakukan pembalasan, sekalian untuk menolong
orang dan mungkin masih ada lain2 hal lagi."
"Apakah tenagaku tak engkau butuhkan ?"
"Tentu. Maka kuminta lo koko tinggal disini agar setiap
waktu yang diperlukan, dapat memberi bantuan kepadaku."
"Baiklah, toh percuma saja aku ngotot, engkau tentu tak
mau merobah pendirianmu."
Cu Jiang tertawa dan minta maaf karena selama ini
selalu suka membawa adat menuruti kemauannya sendiri.
Thian-put thou hanya tertawa dan mengajaknya
melanjutkan makan dan minum. Setelah selesai, mereka
lalu berpisah. Cu Jiang berangkat masuk ke gunung. Dia tak
mau mengambil jalan biasa melainkan melintas gunung dan
desa yang lebih dekat.
Selain mempersingkat waktu, pun pos2 penjagaan
Gedung Hitam juga sukar untuk mengetahui.
Menjelang petang, tibalah dia di puncak yang terdapat
kuil gunung. Kuil itu dulu pernah dibuat tempat sau-pohcu
atau putera dari ketua Gedung Hitam, melarikan Ki Ing dan
hendak mencemarkan kehormatan nona itu.
Saat itu malam tiada rembulan, hanya bintang2
bertaburan di langit. Tiba2 Cu Jiang melihat tak berapa jauh
dari tempatnya berdiri, terdapat dua gunduk tanah kuburan.
Dia terkejut dan heran.
Segera tempat itu dihampirinya. Ternyata tak ada batu
nisannya dan gundukan tanah itupun penuh ditumbuhi
dengan rumput tinggi. Dengan begitu tak dapat diketahui
siapakah yang dikubur didalam tanah itu.
Didepan tanah kuburan yang tak bernama itu terdapat
sebuah batu besar yang berbentuk seperti kerbau
mendekam. Dia naik keatas gunduk batu itu dan
menimang-nimang langkah selanjutnya. Dia lalu membuat
guratan tentang peta yang dibuai Ih Se lojin, paman
gurunya dahulu.
Tindakan itu memang tepat sekali. Apabila terlambat,
dia tentu akan mengalami nasib yang mengerikan. Pada
saat jarinya merabah permukaan batu itu, ia seperti
merasakan batu itu terdapat guratan, serentak ia menghapus
pakis yang memenuhi batu itu.
Kini ia melihat jelas bahwa pada permukaan batu itu
terdapat dua buah guratan yang melukiskan sebuah topi
imam dan sebuah kopiah pendeta.
Apakah artinya itu "
Setelah merenung beberapa saat, tiba2 ia tersadar. Jelas
bahwa yang dikubur dalam dua buah gunduk tanah itu
tentulah kedua tokoh dari Bu-lim Sam-cu yakni Thian-hian
cu dan Go-leng-cu.
Ternyata toa suhengnya, Ho Bun-cai, tak ingkar janji.
Dia benar2 mengubur jenazah kedua tokoh itu dengan
sebaik-baiknya. Dan agar tidak diketahui orang, maka dia
hanya membuat dua buah guratan gambar topi dan kopiah.
Penemuan itu hanya membuat hatinya sedih mengenangkan peristiwa2 yang telah lampau. Kedua tokoh
Bu-lim Sam-cu telah binasa demikian pula Ho Bau Cai, toa
suhengnya, pun mati dibunuh oleh Gedung Hitam.
Ia harus membalas semua dendam darah itu. ia tak tahu
bagaimana nanti kesudahan dari tindakannya menggempur
markas Gedung Hitam itu.
Sekonyong-konyong terdengar suitan nyaring memecah
kesunyian. Cu Jiang menduga tentulah kawanan anak buah
Gedung Hitam yang sedang melakukan ronda.
Untuk sementara ia tak mau turun tangan dan akan
bersembunyi dulu. Ia segera melayang masuk kedalam
hutan dan bersembunyi di atas dahan sebuah pohon yang
lebat. Tepat pada saat itu muncul empat orang lelaki tua
bertubuh tinggi besar. Salah seorang rambutnya putih
mengkilap, Cu Jiang dapat melihat jelas bahwa kemungkinan besar keempat orang itu bukan dari Gedung
Hitam. Keempat orang itu tiba2 berhenti lalu duduk bersila
di muka gunduk kuburan.
"Suhu, kapan kita mulai turun tangan ?" seru salah
seorang yang duduk di sebelah kanan kepada lelaki tua
berambut putih yang duduk ditanah.
"Setelah terang tanah !"
"Masih ada waktu."
"Kita bunuh dulu beberapa kelinci dan anak cucunya."
"Tetapi tidakkah hal itu akan membuat mereka tahu dan
memperkeras penjagaan ?"
"Ah. tak apa. Mereka hanya mengandalkan barisan Ho
thian-tin saja."
Orang yang duduk di sebelah kiri berseru sinis: "Asal
Gedung Hitam sudah dibasmi dan Toan-kiam-janjin
menyerahkan batang kepalanya, perkumpulan kita tentu
akan menjadi yang dipertuan dalam dunia persilatan."
Cu Jiang terkejut. Kiranya beberapa orang itu adalah
tokoh2 terkemuka dari gerombolan Sip-pat-thian-mo.
Sungguh kebetulan sekali. Jika mereka menyebut kakek
berambut putih itu dengan panggilan suhu, bukankah kakek
itu tokoh iblis yang bernama Jui- beng-koh"
Barisan Ho-thian-tin merupakan salah satu dari ilmu
barisan Ki bun ceng coat. Dan ilmu ajaran Ki bun ceng coat
itu berasal dari perguruan Thay hi bun.
Mengapa mereka tahu akan nama barisan itu" Dan
mengapa pihak Gedung Hitam dapat menyusun barisan
semacam itu"
Cu Jiang teringat bahwa toa-supeh (paman guru) pernah
menyuruh dia menyelidiki, siapakah orang yang dapat
menyusun barisan itu.
Tiba2 salah seorang dari keempat lelaki tua itu berkata:
"Kali ini jika tak mengandalkan ilmu kepandaian merobah
muka dari Kiu-te (saudara yang kesembilan) sehingga dapat
menyusup kedalam Gedung Hitam tentu sukar untuk
mengetahui siapa yang menyusun barisan itu..."
Cu Jiang menimang. Kiu-te adik kesembilan tentulah
dimaksud Cian-bin Koay-mo atau Iblis-seribu muka yang
tercantum pada urutan ke sembilan dalam gerombolan Sip-
pat-thian-mo. Mengapa mereka hendak mencari orang yang menyusun
barisan itu " Apa maksudnya "
Cu Jiang segera memasang telinga untuk mendengarkan
pembicaraan mereka lebih lanjut.
"Lo pat, rupanya Thian memberkahi kita," kata lelaki
yang berada di sebelah kiri.
"Tetapi harus membantu diri sendiri dulu baru Thian
akan membantu kita." sahut orang tua berambut pulih.
"Lo-liok, yang paling menakutkan adalah si Toan kiam
jan-jin itu..."
"Ji-ko," kata kawannya yang disebut Lo-liok atau
saudara yang keenam, "keadaan kita memang sudah
berantakan. Yang mati dan yang cacad. Dendam darah ini,
negeri Tayli harus membayar seratus kali lipat."
-oo0dw0oo- Jilid 23 Tamat Diam2 Cu Jiang menghitung-hitung. Gerombolan sip-
pat-thian-mo, selain tiga iblis yang saat itu berada disitu,
hanya tinggal dua lagi yaitu iblis nomor sembilan dan iblis
nomor satu. Kalau ia dapat membasmi empat iblis lagi.
kekuatan mereka tentu sudah rontok.
Tetapi dia tahu bahwa iblis tua yang berada disitu, tentu
sukar dihadapi. Tentu harus mencari aksi dan kesempatan
untuk menghancurkan mereka. Jika mereka sempat bersatu
dan melakukan pengeroyokan, akibatnya tentu sukar
dibayangkan. "Lo kiu datang"!" tiba2 lelaki tua di sebelah kiri berseru.
Dan serentak itu seorang lelaki tua berpakaian hitam


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul dengan mencekal tangan seorang lelaki setengah
tua yang juga berbaju hitam.
Wajah lelaki setengah tua itu pucat lesi dan gemetar
ketakutan. Lelaki tua berambut putih berpaling dan menegur tajam:
"Bagaimana !"
"Dia sudah melukis barisan itu."
"Boleh dipercaya?"
"Dia takut mati sekali !"
"Ha, ha, ha, ha..."
Cian bin koay-mo segera mengeluarkan segulung kertas,
katanya: "Inilah gambar barisan itu. Setiap lukisan empat
helai, harap suhu periksa."
Ia memberikan kepada iblis kedelapan yang berada dekat
dengan dia, kemudian iblis kedelapan itu memberikan
selembar kepada iblis tua berambut putih, sisanya dibagi-
bagikan setiap orang selembar.
Dalam tempat persembunyiannya, Cu Jiang memandang
dengan seksama kepada lelaki setengah tua yang tangannya
dicengkeram iblis Cian-bin koay-mo.
Tetapi ternyata dia tak kenal dengan orang itu, Menurut
pakaiannya, orang itu tentulah seorang tokoh Gedung
Hitam yang mempunyai kedudukan tinggi.
Keempat iblis itu memeriksa teliti gambar barisan.
Kemudian iblis ke sembilan atau cian-bin koay-mo (iblis
seribu muka) berkata:
"Gambar itu sama dengan gambar yang dulu dia
serahkan. Agar tidak salah maka kusuruh dia membuat lagi
empat lembar..."
"Waktu sudah hampir tiba, kita bekerja menurut rencana
semula!" kata iblis tua rambut putih.
Cianbin koay-mo segera menarik lelaki setengah tua itu
bersembunyi kearah ia datang tadi. Sedang ketiga iblis yang
lain lalu berpencaran.
Terdengar suara genderang berbunyi tiga kali. Cu Jiang
makin tegang. Tak perlu diragukan lagi iblis tua berambut
putih itu tentulah iblis Jui bengkok atau si Genderang-
pelelap nyawa, guru dari kawanan Sip pat thian mo.
Suara kentungan itu ternyata bukan kentungan biasa
melainkan hamburan dari mulut iblis berambut putih itu.
Memang aneh dan dahsyat sekali nadanya sehingga anak
telinga hampir pecah di buatnya.
Diam2 Cu Jiang teringat akan pasangan dari iblis tua itu
yakni nenek Toh hun pi peh. Jika tidak karena ia memiliki
tenaga dalam yang kuat, tentulah dia sudah binasa digetar
suara harpa nenek itu.
Diapun masih memikiri lelaki setengah tua yang
diringkus Cian bin koay mo itu. Orang itu rupanya tahu
akan rahasia barisan Ho thian tin ia harus membayangi
orang itu. Maka iapun segera menyelinap turun dari pohon dan
terus mengitar menuju kesamping mencari Cian-bin koay-
mo. Bagian belakang gunung itu merupakan sebuah tempat
yang turun naik seperti bentuk pelana kuda, puncak disitu
seolah2 bersambung dengan puncak yang lain seperti
bentuk punggung onta.
Saat itu sudah menjelang tengah malam, Gelap sekali.
Karena sampai beberapa waktu tak dapat melihat bayangan
Cian bin koay-mo akhirnya Cu Jiang naik lagi ke puncak
gunung. Diatas puncak itu pohon2 tumbuh tinggi tetapi tak
berapa banyak. Dari jauh ia seperti melihat sosok bayangan
bergerak dibawah pohon. Hati2 sekali Cu Jiang menghampiri. Ternyata dibawah pohon itu memang terdapat Cian bin
koay-mo. Sedang lelaki setengah tua itu diikat dengan akar
pohon, rupanya jalan-darahnya telah ditutuk.
Cu Jiang membuka bungkusan dan menyisipkan pedang
kutung di pinggang. Dia tak mengenakan kerudung muka
dan tetap tak ganti pakaian.
"Tio-huhwat." seru Cian bin koay-mo dengan nada sinis.
"terpaksa menyiksamu satu malam ini. Kalau penghancuran barisan itu berjalan lancar, engkau boleh
bebas!" Kiranya lelaki setengah tua itu hu-hwat dari Gedung
Hitam. Tetapi mengapa dia dapat melukis barisan Ho thian-
tin " Waktu amat mendesak. Cu Jiang tak mau membuang
waktu. Dia terus muncul dan Cian-bin koay-mo pun cepat
dapat mengetahui.
"Siapa ?" Ia berputar diri dan membentak.
"Seorang pejalan gunung." sahut Cu Jiang.
Melihat perwujudan Cu Jiang, rupanya Cian bin koay-
mo meremehkan, Dia terus melesat maju menghampiri dan
tertawa mengekeh: "Budak kecil, pulang saja ke rumah
nenekmu !"
Secepat kilat. Cian-bin koay-mo mencengkeram. Begitu
hampir menyentuh dada. Cu Jiang terus menghantamnya.
Sudah tentu Cian-bin koay-mo tak mengira sama sekali.
Apalagi tenaga kepandaian Cu Jiang jauh lebih tinggi.
Seketika ia menjerit ngeri dan muntah darah.
"Bluk . . ." iblis itupun jatuh.
"Bangun !" bentak Cu Jiang.
Cian-bin koay-mo berbangkit dan memandang Cu Jiang
dengan bengis. "Budak, engkau .... siapa ?"
"Bukankah anda ini Cian-bin koay-mo ?" Cu Jiang balas
bertanya. "Bagaimana .... engkau tahu ?"
"Aku telah mengarungi empat penjuru dunia karena
hendak mencari engkau."
Cian bin koay-mo menyurut langkah.
"Siapa sebenarnya engkau !"
Pelahan-lahan Cu Jiang mencabut pedangnya.
"Toan-kiam-jan Jin!" Cian-bin koay-mo memekik kaget,
seraya terus loncat ke balik pohon. Tetapi Cu Jiang
gunakan tata-langkah Gong-gong-poh-hwat untuk mengejar
sehingga Cian-bin-koay-mo kabur matanya karena tak
dapat menentukan tempat posisi lawannya.
Cian bin koay-mo serasa bilang semangatnya ketika
melihat Cu Jiang seperti lenyap. Pukulan yang dideritanya
telah menyebabkan ia terluka parah.
Satu-satunya jalan yang paling selamat ialah harus lari.
Dengan menghimpun sisa tenaga, dia terus hendak
ayunkan tubuh....
"Berhenti!" tiba2 segulung tenaga telak mendorong
tubuhnya yang tengah melayang di udara itu terpental jatuh
ke tanah lagi. Dan tahu2 Toan-kiam-jan-jin sudah berada
dihadapannya. "Toan-kiam jan-Jin ... engkau hendak mengapakan
diriku ?" seru iblis itu menggigil.
Karena jejaknya sudah diketahui oleh kawanan Sip-pat-
thian mo, maka Cu Jiang memutuskan akan membasmi
kawanan iblis itu. Kalau tidak kelak tentu menimbulkan
bahaya besar bagi negeri Tayli.
"Bagaimana selera anda tentang alam pemandangan di
tempat ini?" serunya dingin.
Tubuh Cian-bin koay-mo gemetar. Tiba2 mulutnya
memekik aneh dan dengan menggunakan segenap sisa
tenaganya yang ada. ia hantamkan kedua tangannya kearah
Cu Jiang. Dia memang sudah kalap dan tak mau mati
begitu saja. Bum . . . Cu Jiang pun menyongsongkan kedua tangan
untuk mengadu kekerasan. Terdengar suara erang tertahan
dan tubuh Cian bin koay-mo sempoyongan lalu rubuh.
Setelah beberapa saat menggelepar meregang jiwa,
akhirnya tubuhnya pun kaku tak berkutik lagi.
Cu Jiang terkejut sekali ketika melihat wajah Cian-bin
koay-mo telah berubah menjadi lain perwujudan. Tetapi dia
tak sempat untuk menyelidiki hal itu dan terus lari kembali
ke tempatnya tadi.
Dari puncak disebelah muka terdengar suara bentakan
keras bercampur dengan pekik jeritan ngeri. Rupanya
kawanan iblis itu sudah mulai mengganyang anak buah
Gedung Hitam. Biar mereka saling bunuh sendiri, Cu Jiang
tak mau menghiraukannya.
Ketika melihat Cu Jiang, huhwat Gedung Hitam yang
diikat dengan akar pohon tadi. wajahnya berobah lesi. Cu
Jiang segera menghampiri.
"Siapakah nama anda ?" tegurnya.
"Lau Wi Han."
"Asal dari ?"
"Maaf tak dapat memberitahu."
Cu Jiang mendengus: "Apakah barisan Ho-thian tin itu
anda yang merencanakan?"
"Ya, benar."
"Gambar barisan yang aseli, darimana anda mendapatkan ?"
Hu-hwat Gedung Hitam itu deliki mata. Beberapa saat
kemudian baru dia berkata dengan suara tersendat:
"Ini ... ini .. . warisan keluargaku!"
"Apa katamu" Warisan dari keluarga?"
"Ya."
"Siapa keluarga anda?"
"Ya . . . yalah keluarga Lau."
"Ilmu barisan keluarga Lau."
"Benar."
"Dalam dunia persilatan Tionggoan, rasanya tak pernah
terdengar sebuah barisan dari keluarga Lau ..."
"Yang mengerti, belum pasti namanya akan termasyhur."
Cu Jiang menggeram marah: "Ketahuilah, Jika anda tak
mau bicara terus terang, aku tak menjamin keselamatan
jiwamu." "Memang keteranganku itu semua sungguh2!"
"Betul" Hm, rupanya kalau belum Melihat peti mati,
anda memang belum menangis . . . . " habis berkata Cu
Jiang hendak menutuk perut orang itu tetapi tiba2 dia
melihat jari tangan kanan orang itu hanya tiga. Jari telunjuk
dan jari tengah hilang.
Seketika meluaplah bawa pembunuhan dalam benak Cu
Jiang. Dia batalkan tutukannya.
"Mengapa jari tangan anda hilang dua buah?" tegurnya
dengan mengertek gigi.
Seketika wajah orang itu berkerenyutan tegang dan
membisu. "Bilang!" bentak Cu Jiang.
"Ini . . . apa kepentinganmu?"
"Apa engkau tetap tak mau bilang?"
"Tak . . . bisa memberitahu."
"Peristiwa berdarah di gunung Bu-leng san, apa engkau
masih berani menyangkal tak ikut campur?"
Wajah Lau Wi Hian makin ngeri.
"Toan kiam janjin . . . engkau . . . engkau benar putera
dari Dewa-pedang?"
"Ya. "
"Mengapa . . . engkau tahu?"
"Di tempat pertempuran itu terdapat kutungan jari."
"Tetapi . . . tetapi hal itu hanya secara kebetulan saja.
Aku . . . aku tak tahu ..."
Karena geram, Cu Jiang menutuk perut orang itu. Lau
Wi Hian meraung kesakitan. Cu Jiang memutuskan tali
pengikatnya dan membuka jalan-darah yang ditutuk Cian
bin koay mo tadi.
Bum . . . Lau Wi Hian rubuh dan berguling-guling di
tanah. menggelepar dan meregang . . .
"Engkau mau bilang atau tidak?"
"Tidak . . tahu . . ."
"Baik, akan kucincang tubuhmu," ia mematahkan sebuah
dahan pohon, mengalirkan tenaga-dalam ke dahan itu dan
menghardik: "Orang she Lau, kalau menggunakan pedang, engkau
tentu keenakan. Sekarang aku hendak memakai dahan
pohon itu agar engkau tahu bagaimana rasanya disate itu."
"Aah . . . ," Lau Wi Hian menjerit ngeri ketika dahan
kayu itu menembus bahunya. Ujung dahan itu tak runcing
dan tak rata. Hanya karena disaluri dengan tenaga-dalam
maka dahan itu menjadi sekeras baja. Begitu menyusup ke
dalam daging, sakitnya jangan dikata lagi.
"Bilang! "
"Auh . . . kembali lengannya tertusuk ujung dahan.
Darah bercampur dengan tanah dan orang itu sudah tak
seperti manusia lagi wujudnya. Dia meraung-raung seperti
harimau buas. "Kalau tak mau bilang, akan kuhias tubuhmu dengan
seratus lubang tusukan."
"Bu . , nuh saja aku!"
"Tidak seenak itu. bung !"
"Ya. . aku akan bilang . . dan kasihlah aku kematian
yang lebih cepat . ."
"Bilang !"
"Be . . nar . . kedua jari tanganku ini . . memang . .
dibabat putus oleh Dewa-pedang. . "
"Berapa banyak orang yang ikut dalam pengeroyokan
itu?"

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada . . dua puluh orang lebih."
"Siapa pemimpinnya?"
"Ketua . . Gedung Hitam."
"Baik, sekarang terangkan asal usul barisan Ho-thian-tin
itu!" Lau Wi Hian menenangkan napas, tiba" ia menjerit
kalap: "Aku memang harus mati !"
"Tentu," kata Cu Jiang dangau nada dingin. "meskipun
mati sampai seratus kali, juga belum cukup. Lekas bilang,
mengapa engkau mampu membentuk barisan Ho-thian-tin
itu?" "Mengapa eng . . kau menanyakan hal itu?"
"Sudah tentu ada kepentingannya."
"Apakah . . engkau mau memberitahu tentang
kepentinganmu itu?"
"Sudahlah, kewajibanmu hanya memberi keterangan
tentang barisan itu."
"Aku . . merasa heran . . mengapa engkau mendesak
pertanyaan itu . ."
Cu Jiang menggeram: "Ketahuilah, bahwa ilmu barisan
Mo-thian-tin itu merupakan ilmu simpanan dari sebuah
perguruan. Orang luar tak mungkin mengetahuinya."
Lau Wi Hian berhenti berguling, sepasang matanya yang
merah berdarah memandang Cu Jiang sampai beberapa
saat. "Engkau .. mengapa tahu soal itu?" serunya.
"Kuberitahu yang lebih jelas lagi. Bahwa Ilmu simpanan
itu adalah dari perguruanku."
Biji mata Lau Wi Hian melotot seperti mau keluar,
serunya: "Perguruan . . per . . guruan . . kapan engkau
masuk kedalam perguruanmu?"
Cu Jiang tergetar hatinya. Tiba2 ia teringat sesuatu dan
berseru bengis:
"Bukankah engkau murid pertama dari toa-supehku Ih
Se lojin?"
"Siapakah engkau . . ,. sebenarnya ?" Lau Wi Hian
makin gemetar. "Kenalkah engkau akan orang yang bernama Yang Wi ?"
"Engkau .... pewaris dari Yang suhu ?"
"Benar."
"Cousu yang berada di alam baka, murid berdosa besar
dan dengan ini murid hendak menebus dosa itu . . ."
terdengar jeritan ngeri dari mulut Lau Wi Hian. Mulutnya
menyembur darah dan seketika putuslah jiwanya. Ternyata
dia telah bunuh diri dengan menggigit lidahnya.
Murid murtad, musuh dan suheng ....
Mau tak mau tangan dan kaki Cu Jiang terasa dingin
juga, Dia seolah mengalami impian buruk. Menurut
keterangan dari toa-supeh (paman guru) murid pertama dari
paman gurunya itu pada sepuluh tahun berselang telah
pulang untuk merawat ibunya.
Tiap setahun baru murid itu berkunjung ke gua. Ternyata
dia telah bekerja pada Gedung Hitam dan menjadi sebagai
hu hwat. Setelah mengubur mayat Lau Wi Hian. Cu Jiang
kembali ke puncak di sebelah muka lagi. Di langit timur
sudah menyemburat warna kuning. Empat penjuru puncak
gunung itu penuh bertebaran sosok2 mayat.
Kemudian dia turun dan menuju ke tempel kawanan
iblis itu berkumpul beberapa taat lalu, gembong iblis Jui-
beng-koh berbangkit dan memberi perintah:
"Kita mulai, dibagi empat kelompok menyerbu kedalam
barisan. Kita bertemu di pintu barisan. Perhatikan, setiap
tempat yang terdapat tiang merah, disitu terdapat
pemasangan obat peledak. jangan menyentuhnya !"
Di tempat persembunyiannya, diam2 Cu Jiang bersyukur
dalam hati. Jika tidak mendengar keterangan iblis tua itu
mungkin dia akan tertimpa bencana.
Keempat iblis itu segera lari turun dari puncak. Diam2
Cu Jiang mengikuti mereka. Ia sudah mengerti tentang
susunan barisan Ho Hay tin itu.
Jika menggunakan kesempatan itu untuk menghancurkan ketiga iblis, maka hanya tinggal gembong
iblis Jui-beng-koh yang akan berhadapan dengan ketua
Gedung Hitam. Dan dia akan menyelundup untuk
menolong puteri Tayli.
Rupanya serangan yang diincarkan keempat iblis telah
menghasilkan jatuhnya banyak korban dari pihak Gedung
Hitam. Kini mereka dapat leluasa memasuki barisan..
Cuaca pagi makin terang. Lembah yang terjepit diantara
dua buah puncak, merupakan pintu barisan. Setelah saling
memberi isyarat, mereka berempat lalu menyerbu masuk.
Cu Jiang memutuskan untuk mengikuti iblis nomor dua.
Setelah masuk dan membiluk kesebelah kanan ia melihat
disebelah muka tampak seorang tengah memotong jalan.
Orang itu tentulah iblis kedua.
Keempat iblis itu memasuki barisan dengan menurutkan
peta yang dibuat Lau Wi Hian, Sedang Cu Jiang sudah
faham akan barisan itu. Setelah beberapa waktu mengikuti
di belakang. Cu Jiang lalu melesat ke belakang iblis kedua
itu dan membentak: "Tunggu dulu!"
Iblis kedua terkejut dan berpaling. Tetapi sebelum ia
sempat berbuat apa2, Cu Jiang sudah menyabet batang
leher iblis itu hingga jatuh terpisah dari tubuhnya.
Setelah itu dia mengitar lagi untuk mencari iblis keenam
dan iblis ke sembilan. Tanpa banyak membuang tenaga,
dapatlah dia membunuh ketiga Iblis dari gerombolan Sip
pat thian mo itu.
Kini tinggal gembongnya yakni iblis tua Jui beng ko. Ia
membobol jalan disebelah kiri dan menyusuri jejak Jui
beng-ko. Barisan itu memang rapat sekali sehingga waktu ketiga
iblis dibunuh Cu Jiang, iblis tua Ju -beng koh tak tahu.
Cu Jiang tiba di bagian mata barisan yang dahulu Ang
Nio Cu mengatakan pernah tersesat. Tempat itu merupakan
tempat persambungan antara barisan bagian dalam dan
barisan bagian luar. Kunci pemecahannya sebatang pohon
siong yang pendek dan tiga gunduk kepingan batu. Asal
mata barisan sudah pecah, seluruh barisan akan berantakan.
Jui-beng-koh lebih dulu tiba disitu. Pada saat dia
mengangkat tangan hendak menghantam pohon siong itu,
tiba2 dari tengah2 tumpukan batu muncul seseorang yang
membawa sebuah bola kecil warna merah. Orang itu terus
melontarkan bola merah itu kepada Jui-beng-koh.
Saat itu Cu Jiangpun muncul: Melihat bola merah
melayang, tanpa disadari dia berseru: "Lekas mundur !"
Mendengar itu Jui-beng-ko pun cepat melayang mundur
sampai beberapa tombak lalu bertiarap.
Bola merah itu dihembus segulung angin keras dan
melayang jatuh ketengah gunduk keping batu, buum ....
Terdengar ledakan dahsyat, pasir dan tanah berhamburan muncrat, batu2 pun hancur berantakan.
Beberapa saat kemudian di tempat ledakan itu telah
berlobang besar.
Pohon siong pendek lenyap dan gunduk keping batu
itupun rata, bahkan terdapat pula beberapa daging dan
kutungan anggauta tubuh manusia yang berserakan di
empat penjuru. Suatu pemandangan aneh telah muncul. Begitu ledakan
dahsyat itu sirap. lebih kurang sepuluh tombak disebelah
muka, tampak muncul sebuah poh atau bangunan besar
yang terbuat dari batu, Bentuknya mirip dengan sebuah
benteng. Jui-beng koh berbangkit, sambil membersihkan pakaiannya dari debu. ia memandang Cu Jiang dengan
tajam, serunya : "Engkau siapa?"
"Penyerbu barisan !" sahut Cu Jiang.
"Engkau telah menolong jiwaku."
Cu Jiang tertegun. Sama sekali dia tak berniat hendak
menolong orang itu. Bahkan dia hendak membunuhnya.
Tetapi karena tak sadar tadi dia telah meneriakinya supaya
menyingkir. Dan kini secara tak sengaja, keduanya pun
menjadi kawan setujuan.
"Hm, ha. ya kebetulan saja!" sahutnya.
Di pinto poh, golok dan pedang bergemerlapan. Paling
tidak lima puluh orang terbagi menjadi empat lima
kelompok, berjajar-jajar di depan pintu. Mereka terdiri dari
laki perempuan, tua muda.
Jui-beng-koh memandang kian kemari. Rupanya dia
tengah mencari ketiga muridnya. Sementara jago2 dari
Gedung Hitam itupun tegang wajahnya.
Tiba2 Jui beng ko mengacungkan pusakanya, sebuah
genderang kecil, lalu dipukulnya. Serentak terdengar bunyi
genderang meledak sehingga jantung orang2 yang berada
disitu tergetar seperti mau putus.
Tung.. tung, tung . . .
Berturut-turut terdengar ledakan dahsyat macam halilintar memecah angkasa. Berpuluh-puluh jago Gedung
Hitam itu kacau balau dan berbondong-bondong mundur ke
dalam gedung. Sesaat genderang berhenti, maka di depan pintu gedung
itupun berserakan lebih dari dua puluh sosok mayat. Mata,
hidung, mulut dan telinga mereka mengalir darah.
Ngeri juga Cu Jiang menyaksikan peristiwa itu. Nyata
Jui-beng-koh memang sakti sekali.
Sekali lagi Jui beng-koh berpaling ke arah pohon siong
pendek. Tetapi dia tetap tak melihat ke tiga iblis anak
muridnya: "Aneh, " gumamnya.
Cu Jiang tak mau membuang tempo. Agar tidak
diketahui orang siapa dirinya, ia memungut sebatang
pedang dari salah seorang jago Gedung Hitam yang
menggeletak di tanah. Setelah itu dia terus menyerbu
masuk. Jui beng-ko cepat melesat mendahului di muka Cu
Jiang. Diam2 Cu Jiang girang. Biarlah gembong iblis itu
yang membuka jalan.
Gedung Hitam sesuai dengan namanya, memang
merupakan sebuah bangunan yang terbuat dari batu hitam
semua sehingga menimbulkan pemandangan yang menyeramkan. Juga halaman yang berada di belakang pintu besar,
ditabur dengan batu hitam. Di sekeliling tepi lapangan
terdapat jajaran rumah2 yang berpintu besi dan jendela
dengan terali besi. Semua berwarna hitam, mirip penjara.
Cu Jiang mengikuti Jui beng koh yang berhenti di tengah
lapangan. Sunyi senyap tak ada seorang pun juga.
"Siaucu, engkau tabu siapa aku ini?" Jui beng koh
berpaling. "Sama dengan aku." sahut Cu Jiang hambar.
"Sama" Apanya yang sama?"
"Bukankah kita sama2 menjadi musuh Gedung Hitam?"
"O, benar. Menilik engkau hanya seorang diri saja dan
mampu menghantam pelor Bi lik tan tadi, engkau tentu
hebat sekali."
"Ah, harap jangan memuji."
"Waktu masuk ke dalam barisan, apakah engkau melihat
ketiga anak buahku?"
"Sudah mati semua. "
"Hai" Mati?"
"Ya, mayatnya malang melintang dalam barisan."
"Engkau melihat sendiri?" rambut putih dari iblis tua itu
bertebaran kencang.
"Ya."
"Bagaimana kematian mereka?"
"Di tangan Toan kiam jan jin."
"Toan kiam jan jin! " teriak Jui bengkok.
"Ya, memang dia. Mukanya bertutup kain, kaki pincang
dan pedangnya kutung."
Jui beng koh menggertakkan gigi: "Aku akan merobek
robek manusia itu!"
"Ingat, disini tempat Gedung Hitam, harap jangan lupa
!" Cu Jiang deliki mata.
"Mengapa aku tak melihat bayangannya ?"
"Kalau dia mau, tentu akan muncul."
"Engkau ini.. Jika tak pernah menolong aku ..."
"Ada orang keluar!" cepat Cu Jiang menukas.
Memang saat itu disebelah muka dari pintu salah sebuah
rumah, muncul seorang lelaki tua berjubah hitam dan
mukanya ditutup dengan kain hitam. Dia diiring oleh
empat orang lelaki jubah hitam berwajah seram.
"Hah, hah, apakah ketua Gedung Hitam ?" Jui-beng-koh
tertawa mengekeh.
"Benar." sahut lelaki berkerudung kain hitam itu dengan
suara seram. "bukankah anda ini Jui-beng-koh ?"
"Benar !"
"Apa maksud kedatangan anda ?"
"Hendak menyampaikan sepatah kata!"
"Kedatangan anda dengan mengadakan pembunuhan
besar-besaran ini hanya perlu hendak menyampaikan
sepatah kata?"
"Hm..."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketua Gedung Hitam terkesiap mendengar jawaban
gembong iblis Jui-beng-koh yang begitu dingin.
"Kata2 itu tentu penting sekali. Aku ingin mendengarnya." katanya.
"Hari ini juga. bubarkan gerombolan Gedung Hitam dan
jangan muncul dalam dunia persilatan lagi!" seru Jui-beng-
koh. "Hanya itu?"
"Ya."
"Ha, ha, ha ... . anda, eh, Thay-siang kaucu masakan
Gedung Hitam yang begitu termasyhur akan serentak bubar
hanya karena sebuah kata dari engkau tadi?"
"Menurut atau tidak, terserah saja kepadamu."
"Kalau tidak menurut?"
"Dalam beberapa kejap. Gedung Hitam akan menjadi
kota hantu!"
Keempat pengiring yang berada di belakang ketua
Gedung Hitam mendengus geram. Tetapi ketua Gedung
Hitam sendiri tertawa lagi.
"Thay-siang kaucu." serunya lantang, "jangan kelewat
tak memandang mata pada orang!"
"Memang kalian tak kuanggap semua!"
"Walaupun Gedung Hitam bukan akhirat, tetapi
keadaannya hampir sama dengan neraka. Bisa masuk, tak
mungkin dapat keluar!" habis berkata tiba2 pintu tertutup.
Jui-beng koh mengerling kearah Cu Jiang, serunya: "Aku
hendak menghancurkan neraka ini."
Saat itu Cu Jiang sedang memperhatikan keadaan tempat
itu. Tetapi selain beberapa bangunan rumah batu yang
kelihatan, ia tak dapat melihat suatu apa lagi. Dia pernah
ditawan dalam penjara batu Gedung Hitam.
Karena menggunakan siasat pura2 jadi orang mati, ia
beruntung dapat lolos. Tetapi bagaimana ia dijebloskan
dalam penjara dan bagaimana ia lolos keluar, semua berada
dalam tempat gelap.
Sedikitpun tak berbekas dalam ingatannya. Diam2 ia
gelisah memikirkan cara untuk menolong puteri.
Jui-beng-koh mengangkat
senjata genderang dan tangannya yang satupun siap hendak memukul.
"Thaysiang kaucu," ketua Gedung Hitam tertawa sinis,
"seranglah, aku bersedia menerima letusan genderangmu
sampai tiga kali. Tetapi lebih dulu perlu kujelaskan..."
"Apa yang hendak engkau katakan ?" Jui-beng-koh
hentikan tangannya.
"Bagaimana kalau aku dapat bertahan menerima tiga kali
pukulan genderangmu?"
"Aku akan mengundurkan diri selama-lamanya dari
dunia persilatan dan perkumpulan Thong-thian-kau akan
kububarkan!"
"Apakah kata-katamu itu dapat kupercaya ?"
"Huh, masakan Jui beng ko..."
"Ah, sukar dikata !"
Cu Jiang tahu bagaimana kelicikan ketua Gedung Hitam
itu. Matanya yang berkeliaran dan sikap serta nada
perkataannya yang begitu tenang, jelas menunjukkan bahwa
dia sedang mengulur waktu.
Dan ketua Gedung Hitam itu seorang ahli dalam obat
peledak. Diam2 Cu Jiang meningkatkan kewaspadaan.
Tiba2 ia memperhatikan salah seorang dari pengiring
ketua Gedung Hitam, berpaling ke samping dan memberi
anggukan kepala.
"Dung...." Jui-beng ko mulai menghantam genderang.
Cu Jiang loncat menyerbu ke arah rumah batu di tengah.
Gerakan itu mencapai lima tombak.
Dan serempak waktu itu juga, terdengar letusan dahsyat.
Batu2 berhamburan, peron dari bangunan rumah di
lapangan itu hancur lebur.
Ternyata rumah2 itu mempunyai pintu penghubung satu
sama lain. Cu Jiang hampir saja tertimbun, untung dia
sudah waspada dan terus menyusup masuk ke bagian
dalam. Setelah ledakan, berpuluh-puluh anak buah Gedung
Hitam berhamburan ke luar. Lapangan yang berlapis batu
hitam itu sudah hancur lebur penuh dengan lubang2 besar
sampai seluas lima tombak.
Dari jendela rumah, Cu Jiang dapat menyaksikan
pemandangan yang mengerikan itu. Kaki dan tangan Jui
beng-koh sudah hancur dan terkapar dua tombak dari pintu.
Rupanya diapun berusaha hendak meloloskan diri tetapi
terlambat. "Hatur beritahu kepada pohcu, mayat setan kecil itu tak
kelihatan!" terdengar sebuah suara.
"Apa?"
"Hanya iblis tua itu yang hancur!"
"Lekas cari dalam rumah!"
"Baik."
Berpuluh-puluh anak buah itu segera lari masuk ke
dalam bangunan rumah. Cu Jiang mendapat akal. Dia lari
ke bagian belakang karena orang2 Itu memeriksa bagian
muka. Tetapi dia tak tahu keadaan gedung itu dan terpaksa
hanya lari membabi buta saja.
Beberapa saat dia tiba di sebuah pintu bundar yang
keadaannya beda dengan gedung2 lainnya. Gedung itu
dikelilingi pagar tembok. Di sebelah dalam pintu, bunga2
yang aneh menyiarkan bau harum dan jajaran batu-2
gunung yang sedap dipandang.
Cu Jiang teringat bahwa dalam Gedung Hitam terdapat
apa yang disebut Gedung Terlarang yang tak boleh
sembarangan dimasuki orang. Rupanya gedung itu tentu
Gedung Terlarang.
Setelah timbul pemikiran itu, cepat ia menyerbu masuk.
Tetapi belum sempat ia berdiri tegak, empat orang sudah
membentak dan menyerangnya dari kanan kiri.
Cu Jiang menyambut dengan pedang kutung. Terdengar
jeritan ngeri dan dua orangpun rubuh. Kiranya keempat
penyerbunya itu pengawal2 baju hitam.
Jika demikian benarlah dugaannya bahwa rumah gedung
yang hendak dimasukinya itu memang Gedung Terlarang
karena gedung itu khusus dijaga oleh Pengawal Hitam.
Kedua Pengawal Hitam yang lain kesima. Sementara
saat itu dari ruang tengah muncul dua wanita. Cu Jiang
cepat membabat kedua Pengawal Hitam itu. Yang satu
rubuh dan yang satu sempat loncat meloloskan diri keluar
dari pintu dan terus lenyap.
Tung, tung, tung, tung . . , dari halaman Gedung
Terlarang itu segera berdentang-dentang genta peringatan
bahaya. Cu jiang terus lari ke arah kedua perempuan itu. Mereka
menjerit kaget dan lari masuk tetapi Cu Jiang sudah
memburu dan mengarahkan ujung pedang pada salah
seorang dari mereka dan membentak: "Dimana tempat
ditahannya tawanan gadis itu" Lekas bilang !"
Perempuan itu berputar tubuh hendak tetap melarikan
diri tetapi dia segera menjerit karena punggung tertusuk. Cu
Jiang berpaling dan mengancam perempuan yang seorang.
"Lekas bilang !"
Perempuan itu pucat dan gemetar. Dengan suara
tersendat-sendat dia berkata: "Di. .. di.. sini..."
"Tunjukkan ke sana!"
Dengan langkah gontai, perempuan itu pun melangkah
keluar pintu ruang dan berjalan di lorong serambi menuju
ke kamar sebelah timur.
Sementara itu terdengar derap orang berlari. Perempuan
itu berpaling, dahinya mengerut kesangsian.
"Lekas !" bentak Cu Jiang seraya lekatkan ujung pedang.
Perempuan itu mengerang kesakitan lalu terhuyung-
huyung melangkah kedepan dan tiba dipintu ruang samping
kanan. Beberapa penjagapun muncul dan terus menyerang Cu
Jiang. Cu Jiang menabas, dua orang rubuh, lainnya jeri..
Cu Jiang menendang daun pintu. Seorang dara cantik
tengah berdiri kesima di tengah ruang itu. Itulah puteri
Tayli. "Kongcu, apa kenal dengan suaraku?" serunya tegang.
"Bukankah anda ini sausu?" puteri itu terkejut.
Beberapa sambaran angin pedang tiba dan Cu Jiang
berbalik diri membabatnya. Kembali dua orang rubuh.
"Kiongcu, apa engkau dapat berjalan ?"
"Tenagaku . ., dilumpuhkan."
"Lekas, kemari !"
Kiongcu melangkah keluar dari kamar dan terus lari
kepada Cu Jiang. Belasan pengawal sudah siap mengepung
mereka di tengah ruang.
Cu Jiang menikung. Yang penting ia harus menyelamatkan putri itu dulu. Dia berada dalam kurungan
barisan, harus dapat mengendalikan nafsu untuk membalas
dendam. Segera ia mengepit tubuh puteri di tangan kiri, ia terus
melangkah dengan pedang di tangan kanan. Baru
selangkah. beberapa orang itu sudah menyerangnya.
Penyerang2 itu menilik pakaiannya dapat di ketahui
bahwa mereka adalah pengawal dari Gedung Terlarang.
Sudah tentu kepandaiannyapun lebih tinggi dari Pengawal
Hitam biasa. Tring, tring, huak. . huak ... tiga batang pedang terpental
ke udara, salah seorang penyerang itu rubuh. Cu Jiang
lanjutkan langkah. Ia membabat jago2 yang mengepung itu.
Empat batang pedang serempak meluncur ke arahnya.
Cu Jiang memutuskan. Untuk meloloskan diri tak ada
lain jalan kecuali harus turun tangan dengan ganas.
Terdengar jeritan ngeri dan dua orang jago Gedung
Hitam menggeletak lagi. Kepungan di tengah ruang itu
bobol tetapi diluar masih terdapat kepungan yang lebih
ketat lagi. Tetapi Cu Jiang sudah nekad. Dia melangkah ke pintu
bundar. Kali ini dering senjata dan jeritan seram makin
hiruk. Separoh dari Jago2 yang mengepungnya itu rubuh,
sedang yang separoh masih tetap menyerang.
Saat itu Cu Jiang sudah tiba di tepi pintu. Diluar pintu
barisan Pengawal Hitam sudah siap menunggu. Andai tidak
memikirkan keselamatan puteri, tentulah saat itu dia sudah
mengamuk sepuas-puasnya.
Puteri terkejut dan pucat menyaksikan pertumpahan
darah yang begitu dahsyat. Ia mendekap pinggang Cu Jiang
makin kencang. Diam2 kegagahan Cu Jiang itu telah
bersemi dalam hati puteri.
Rupanya barisan Pengawal Hitam itu gentar juga
menyaksikan kegagahan Cu Jiang. Mereka menyurut
mundur. "Mundur !" tiba2 terdengar bentakan keras dan kawanan
jago Gedung Hitam itupun serempak menyingkir ke
samping sehingga terbuktilah sebuah jalan. Ternyata ketua
Gedung Hitam muncul.
Cu Jiang tegang dan sangsi mampukah dalam keadaan
seperti itu ia menghadapi ketua Gedung Hitam" Tetapi
berhadapan dengan musuh besar, bagaimana mungkin ia
takkan mengadu jiwa "
"Lepaskan aku, engkau sukar lolos. Jangan kita berdua
kehilangan jiwa. Pergilah, mereka menghendaki kitab Giok-
kah kim-keng, untuk sementara tentu takkan mencelakai
aku." Kata2 itu membangkitkan keputusan Cu Jiang.
Menyelamatkan puteri
adalah yang penting. Ilmu kepandaiannya didapat dari kitab Giok-kah-kim-keng dan
kitab itu merupakan kitab pusaka negeri Tayli. Dia merasa
menerima budi besar dari baginda Toan hongya. Dia harus
membalas budi itu.
Satu-satunya keuntungan pada saat itu, dirinya belum
ketahuan lawan, mereka mengira dia seorang jago dari
Thong-thian kau.
"Engkau benar2 panjang umur. Tetapi jangan harap
engkau dapat lolos dari Gedung Hitam," seru ketua Gedung
Hitam. "Coba saja."
"Apa kedudukanmu dalam Thong-thian-kan?"
"Maaf. soal itu tak dapat kuterangkan."
"Lepaskan nona itu."
"Tidak bisa !"
"Apa tujuan mu membawanya ?"
"Kita sama2 setujuan."
"Engkau tahu ... dia siapa?"
"Puteri kerajaan Tayli."
"Sahabat, lepaskan dia dan engkau boleh pergi dari sini
atau kalau membangkang engkau tentu mati."
"Ha, ha, sudah kukatakan, tidak bisa."
"O, kalau begitu engkau kepingin menyusul ketuamu
Thay-siang kaucu itu?"
"Siasat keji, aku tak dapat menghargai."
"Terserah apa saja engkau mau bilang, pokoknya,
engkau tentu mati. ."
"Kalau tidak hidup tentu mati. Hidup itukan hanya


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu," Cu Jiang tertawa sinis.
"Heh. hah, rupanya nyalimu hebat sekali,"
"Tak perlu memuji."
"Baik akan kulaksanakan keinginanmu itu."
Tring. ketua Gedung Hitam mencabut pedang. Cu
Jiangpun segera kerahkan seluruh semangatnya dan
menghimpun segenap kekuatannya.
Saling bersiap menyerang itu berlangsung cukup lama
sehingga suasana tegang sekali.
"Hait..." tiba2 Cu Jiang menyerang dulu. Dia tak mau
tenaga-dalamnya terhambur sia2.
Terdengar dering senjata yang tajam dan keduanya
mundur selangkah. Rencana Cu Jiang adalah hendak
menyelamatkan puteri. Setelah menempatkan puteri itu
disebelah lengan kiri, dia mulai menyerang lagi.
Ketua Gedung Hitam mampu menangkis. Tetapi setelah
Cu Jiang menyerang yang ketiga kalinya, ketua Gedung
Hitam sempoyongan beberapa langkah ke belakang. Bahu
sebelah kanannya berwarna merah.
Cu Jiang tak mau menghilangkan kesempatan. Dia
menyerang lagi yang keempat kalinya. Ketua Gedung
Hitam menggembor, tangan kiri menghantam dan tangan
kanan yang mencekal pedang-pun menabas ke atas.
Tetapi ternyata serangan Cu Jiang itu hanya gertakan
kosong. setelah sudah terpisah agak jauh dari ketua Gedung
Hitam, Cu Jiang terus gunakan ilmu langkah Gong-gong
poh-hwat untuk melesat ke luar.
"Kejar !" teriak ketua Gedung Hitam yang terus
mendahului loncat. Rombongan anak buah Gedung
Hitampun segera mengikuti.
Saat itu Cu Jiang sudah tiba di lapangan depan.
Rombongan anak buah Gedung Hitampun tiba tetapi Cu
Jiang sudah mempunyai rencana.
Setelah berhasil menghindari serangan dari muka, sekali
loncat ia sudah melesat di bawah pagar tembok lalu enjot
kakinya melambung ke atas tembok.
"Mau lari ke mana engkau!" ketua Gedung Hitam
memburu sampai di tengah lapangan. Tetapi Cu Jiang
sudah loncat turun di luar pagar tembok. Beberapa anak
buah Gedung Hitam yang hendak menghadangnya,
terpaksa harus melarikan diri.
Setelah melintasi dua buah puncak gunung, Cu Jiang tiba
di sebuah lembah, mencari tempat yang bersih, meletakkan
tubuh puteri Tayli lalu menghela napas: "Ah, akhirnya lolos
juga dari sarang harimau. "
Puteri memandang pemuda itu dengan rasa terima kasih.
Lama baru dia membuka mulut: "Jiang ko, aku merepotkan
engkau saja! "
Tergetar hati Cu Jiang ketika dipanggil Jiang-ko atau
engkoh Jiang. Ia tertawa: "Kalau kongcu sudah selamat,
aku sudah bersyukur kepada langit dan bumi."
"Apa engkau tak dapat mengganti panggilan kepadaku?"
"Tata susila tak boleh diabaikan."
Setelah mengalami peristiwa penculikan itu rupanya
perangai puteri yang nakal dan periang mulai berobah.
Dengan tersenyum rawan dia menghela napas: "Jiang-ko,
apakah engkau . . . tak mengerti hatiku?"
Sudah tentu Cu Jiang tahu, tetapi dia tak ingin menderita
kepahitan lagi maka dengan nada bersungguh2 dia berkata:
"Kongcu, lebih baik tinggalkan daerah Tionggoan..."
"Maksudku tak lain hanya ingin menikmati keindahan
alam di daerah Tionggoan."
"Tetapi dunia persilatan di Tionggoan itu penuh dengki
peristiwa2 yang berbahaya. Kurang baik bagi Kongcu. "
"Apakah engkau mengusir aku?"
"Ah tidak. Aku berkata dengan maksud baik. Biarlah Ki
Siau Hong dan Ko Kun yang mengantarkan kongcu
kembali ke Tayli."
"Dan engkau?" puteri kerutkan dahi.
Cu Jiang tertawa hambar: "Aku seorang persilatan,
setelah urusan tugas dan peribadi sudah selesai, aku hendak
menggantung pedang dan hidup menyepi ..."
"Hidup menyepi" Ah. kata2 mu seperti ucapan orang
tua. Jiang-ko, berapakah usiamu?"
"Kongcu, apa yang kualami dalam kehidupan banyak
sekali ..."
"Engkau tak mau kembali ke Tayli lagi?"
"Suhu telah mengatakan, memberi kebebasan kepadaku
untuk bertindak."
"Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
Cu Jiang tertegun lalu keraskan hati, menjawab:
"Kongcu, aku . . sangat berterima kasih atas kebaikan
budimu ..."
"Sudahlah, jangan mengucapkan kata2 yang merendah
begitu." "Ini bukan kata merendah."
"Lanjutkan kata-katamu."
"Aku . . sudah terikat dengan Janji pernikahan."
Seketika berobahlah cahaya wajah puteri itu, serunya
gemetar: "Benarkah itu?"
"Tentu saja benar . ."
"Apa engkau bukan cari alasan untuk menolak aku?"
Cu Jiang mengeluarkan dompet dari bajunya, "Inilah
tanda pengikat pernikahan itu." Puteri kesima. Hatinya
tentu remuk rendam. Beberapa saat kemudian barulah ia
paksakan bersenyum.
"Pilihanmu tentu seorang yang jelita sekali dan cerdas..."
"Tidak, hanya seorang gadis biasa," jawab Cu Jiang
penuh rasa haru karena teringat akan nasib Ho Kiong Hwa.
"Aku tak percaya."
"Ah, hal itu memang tak dapat kuhindari," kata Cu
Jiang, "kongcu, bukankah engkau mengatakan tenagamu
telah dilumpuhkan mereka?"
"Ya."
"Ijinkanlah aku membukanya."
"Baik."
Atas pertanyaan, kongcu itu mengatakan bahwa Jalan
darah Jin tok dan Tay-meh tak dapat lancar. Cu Jiang
segera menjulurkan jari dan melakukan tutukan dari jarak
jauh. Cara membuka jalan darah dari jauh itu, hanya beberapa
orang saja di dunia persilatan yang mampu melakukan.
"Sudah, " seru puteri seraya menggeliat.
"Kongcu, mari kita tinggalkan tempat ini!"
"Baik."
"Daerah ini dikuasai Gedung Hitam. Mereka tentu telah
menghias daerah ini dengan alat2 yang berbahaya. Maka
terpaksa aku harus membawa kongcu untuk melintas
gunung dan menyeberang sungai."
"Bagus, akupun senang juga."
Demikian keduanya segera berangkat.
"Bagaimana kongcu sampai jatuh ketangan mereka ?"
tanya Cu Jiang.
"Ketua Gedung Hitam turun tangan sendiri."
"Oh..."
"Kepandaiannya memang menakjubkan sekali. Gerak
langkah yang kupelajari dari paman Nyo, ternyata tak
mampu menghindari dari orang itu."
Sebenarnya Cu Jiang hendak mengatakan bahwa bukan
gerak Gong-gong-poh hwat itu yang salah tetapi karena
tenaga-dalam puteri itu memang masih kurang sehingga tak
dapat mengembangkan ilmu tersebut.
"Ya, kepandaian ketua Gedung Hitam memang hebat
sekali," kata Cu Jiang karena tak mau menyakiti hati puteri.
"dan otaknya memang hebat. Kalau tidak masakan dia
mampu menguasai dunia persilatan Tionggoan selama
belasan tahun."
"Dimana toanio ?"
"Kita akan bertemu di jalan terdekat."
Petang hari, mereka tiba di kota pegunungan. Setelah
menempatkan puteri disebuah tempat yang aman, Cu Jiang
masuk kedalam kota, mencari Thian put-thou Ciok Yau Je.
Tokoh itu berada dalam sebuah rumah makan kecil sedang
minum arak. "Adik kecil, mari kita minum arak !" serunya girang
ketika melihat Cu Jiang.
"Tidak, usah ada urusan penting."
"Urusan apa ?"
"Orang yang kita cari, sudah menunggu diluar kota ini."
"Dia ?"
"Ya,"
"Lalu bagaimana ?"
"Kita belikan makanan dan pakaian, suruh dia
menyamar ..." kata Cu Jiang, "dan apakah bisa
menyediakan kuda ?"
"Berapa ekor ?"
"Cukup seekor saja. Nanti akan kuserahkan pengawalannya kepada pengawalnya."
"Baik, engkau tunggu saja disini," kata Thian-put-thou
terus ngacir keluar. Hanya setengah jam kemudian Thian-
put thou sudah muncul lagi dengan membawa sebuah
bungkusan besar: "Makanan dan pakaian disini semua.
Kudanya di luar kota, Berangkatlah dulu, nanti kutunggu
dengan kuda itu."
Pada saat itu dua orang imam yang jubahnya tak keruan,
masuk kedalam rumah makan itu dan duduk di pojok. Cu
Jiang seperti kenal dengan mereka. Ketika mengawasi
dengan seksama, ia girang sekati. Kedua imam itu tak lain
adalah Ki Siau Hong dan Ko Kun.
"Lekas berangkat, tunggu apa lagi !" desak Thian put
thou. "Mereka sudah datang."
"Siapa ?"
"Orang yang akan mengawal."
"Oh..." Thian-put thou yang cerdas segera dapat
memahami maksud Cu Jiang.
Cu Jiang memberi sandi yang mendapat jawaban dari
kedua imam palsu itu. Karena tak leluasa berbicara, Cu
Jiang mengangguk kepala dan memberi isyarat "aman".
Setelah itu memberi pesan kepada Thian-put-thou
supaya mengadakan kontak dengan kedua imam itu, iapun
terus keluar. Ia kuatir puteri terlalu lama menunggunya.
Alangkah kejutnya ketika tiba ditempat dan tak
mendapatkan puteri berada disitu. Ia terlongong-longong
bingung. "Nak..." tiba2 terdengar sebuah suara yang tak asing bagi
Cu Jiang, serentak dia menyahut: "Apakah toa-nio ?"
Seorang wanita gemuk muncul dari tempat gelap Dia
bukan lain memang Poan toanio, bibi Cu Jiang sendiri.
"Toanio, engkau juga kemari ?"
"Sudah berjumpa dengan kedua imam palsu itu?" kata
Poan toanio. Cu Jiang mengangguk.
"Selama dalam perjalanan kami tak menemui rintangan
suatu apa dan kebetulan sekali dapat berjumpa dengan
engkau," kata Poan toanio.
"Toanio, kongcu..."
Poan toanio kerutkan dahi dan berkata dengan nada
sarat: "Nak, ada beberapa pertanyaan yang kuminta engkau
menjawab dengan sungguh."
Cu Jiang terkejut namun ia mempersilakan bibinya
mengatakan. "Engkau anggap kongcu itu cantik tidak."
"Cantik sekali."
"Bagaimana peribadinya ?"
"Periang, lincah, ah, semuanya baik."
"Tetapi mengapa engkau menolaknya?"
Merah wajah Cu Jiang. Ia tertawa rawan.
"Toanio, tit-ji hanya seorang kelana dalam dunia
persilatan . . ."
"Begitupun suhumu, Gong-gong-cu tetapi dia pun mau
menjabat sebagai Koksu. Mendiang ayahmu bergelar
Dewa-pedang asal keturunanmu tidak rendah, nak."
"Ya, tetapi . . ."
"Mengapa engkau merendahkan dirimu sendiri. Jika
wajahmu belum pulih seperti sekarang, aku memang tak
dapat berkata apa2."
"Toanio belum mendengarkan habis keteranganku . . .
tit-ji sudah terikat perjodohan dengan orang."
Sepasang mata Poan toanio yang besar terbelalak.
"Benarkah itu?"
"Toanio mengapa aku membohongmu ?"
"Engkau tak pernah mengatakan hal itu kepadaku."
"Hal itu terjadi belum berapa lama dan Ang Nio Cu yang
menjadi perantaranya . . ."
"Ang Nio Cu menjadi comblangnya?"
"Ya."
"Siapa gadis itu?"
"Seorang gadis yang bernasib malang, namanya Ho
Kiong Hwa."
"Hm, Ho Kiong Hwa ..."
"Tetapi toanio, aku tak dapat mengecewakannya..."
"Apa dia pernah melepas budi kepadamu?"
"Tidak, tetapi bagaimanapun aku tak dapat membuangnya . . . "
"Mengapa?"
Cu Jiang lalu menuturkan semua peristiwa yang
menimpa diri Ho Kiong Hwa yang karena merasa telah
ternoda lalu membatalkan ikatan kawin itu.
"Nak, apakah engkau keberatan untuk membatalkan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikatan itu?"
"Walaupun ke ujung langitpun aku tetap hendak
mencarinya. Sebagai seorang ksatrya, aku tak mau
melanggar janji. Apalagi sebelumnya dia sudah terikat
perjodohan dengan aku."
"Itulah sebabnya maka engkau menolak kongcu?"
"Begitulah."
"Hm, memang engkau tak bersalah, tetapi kongcu
hancur hatinya ..."
"Akupun mengetahui hal itu."
"Baik, kita sudahi saja pembicaraan tentang hal itu.
Bagaimana keadaan di Gedung Hitam?"
"Barisannya sudah hancur. Karena Thong-thian-kau juga
ikut menggempur, banyak jago2 Gedung Hitam yang mati.
Kekuatan Gedung Hitam sudah lemah."
"Engkau pernah bertempur dengan ketua Gedung
Hitam?" "Ya, tetapi demi menyelamatkan kongcu, terpaksa untuk
sementara kulepaskan dia."
"Bagaimana wajahnya yang aseli?"
"Tetapi masih belum diketahui tetapi kupercaya tak lama
kedoknya tentu akan terbuka."
"Lalu pihak Sip-pat-thian-mo?"
"Hanya tinggal seorang, yakni Hui-thian Sin-mo yang
kemungkinan menjaga di markas besar Thong-thian-kau.
Tugas yang diberikan suhu, boleh dikata hampir selesai."
"Nak, setelah tugasmu selesai, bagaimana kira-kira
rencanamu nanti?"
"Lebih dulu mencari Ho Kiong Hwa lalu mengundurkan
diri dan dunia persilatan."
"Tak kembali ke Tayli untuk menjabat Tin-lian ciang-kun
lagi?" "Toanio, tit-ji tak begitu tertarik dengan pangkat."
"Juga kepada diriku ini?"
"Ah, toanio, tit-ji mempunyai rencana?"
"Di gunung Bu-leng san terdapat seorang bu su yang
bernama Ban Ki Hong. Dahulu pernah mendapat pelajaran
ilmu pedang dari mendiang ayah. Dia senang tinggal
mengasingkan diri di gunung itu.
Apabila toanio ingin meninggalkan dunia ramai, tit-ji
bersedia mengantar toanio kesana. Kelak tit-ji tentu akan
merawat toanio sampai tua."
Poan toanio berlinang-linang air mata dan mengangguk
angguk: "Baik . . . baik ..."
"Toanio, kongcu ..."
"Mari ikut aku!"
Cu Jiang mengikuti wanita gemuk itu. Beberapa jenak
kemudian mereka tiba di sebuah tempat yang penuh
gunduk batu tinggi.
"Kongcu! Kongcu!" teriak Poan toanio. Tetapi sampai
diulang beberapa kali tak terdengar penyahutan. Cu Jiang
mulai gelisah. Poan toanio segera mencari ke sekeliling tempat itu
tetapi beberapa saat kemudian ia muncul dengan dahi
mengeriput: "Aneh, dia menunggu aku di sini."
Tiba2 ia melihat sesosok tubuh kecil berlari-lari
mendatangi. Cepat ia meneriaki Cu Jiang dan pemuda itu
pun bergegas keluar.
"O, dia adalah sahabat tit-ji, Thian-put-thou lo koko !"
serunya gembira.
Memang yang datang itu Thian put thou. "Adik kecil,
engkau di sini" Dan ini . . "
"Bibiku Poan toa-nio."
"O, insaf, pencuri tua menghaturkan hormat."
"Ah, terima kasih," Poan toaniopun balas memberi
hormat. Kemudian Thian-put-thou bertanya kepada Cu Jiang:
"Apa engkau hendak mencari kongcu?"
Cu Jiang mengiakan.
"Tak perlu engkau cari ..."
"Mengapa?"
"Dia sudah pergi."
"Pergi?" Cu Jiang terkejut.
"Ya, dia telah diiring oleh kedua pengawal yang
menyaru sebagai imam itu."
"Ah . . ." Cu Jiang mendesah.
"Dia hanya meninggalkan pesan kepadamu, asam di
gunung, garam di laut, semoga dapat berpadu!"
Cu Jiang mengeluh dalam hati. Dia seperti kehilangan
sesuatu. "Baik. perpisahan begini memang lebih baik."
akhirnya ia menghela napas.
"Ya, tetapi kurang enak juga terhadap Kok-su dan
baginda Toan hongya, " kata Poan toanio.
"Kalau begitu tit-ji akan menyusulnya."
"Buat apa?"
Cu Jiang tertegun. Ya, kalau bertemu dengan puteri
Tayli itu apakah yang harus ia katakan. Bukankah kedua
pihak akan sama menderita hatin"
"Nak, tak perlu bersedih. Biarlah urusan itu selesai
sampai disini." Poan toanio menghiburnya.
"Waktu kembali ke Tionggoan, keempat pengawal itu
ikut. Tetapi kini mereka hanya tinggal dua yang pulang.
Bukankah suhu dan baginda akan kecewa kepada tit-ji ?"
Poan toanio menghela napas dan mengatakan bahwa
kedua jago yang telah mengorbankan jiwa untuk kerajaan
Tayli itu, kelak tentu akan mendapat penghargaan."
"Sudahlah, Jangan bersedih akan peristiwa yang telah
lalu. Sekarang bagaimana langkahmu ?" tanya Poan toanio.
"Menyerbu Gedung Hitam lagi !"
"Tidak menunggu Ang Nio Cu ?" Thian-put-thou garuk2
kepala. "Dikuatirkan ketua Gedung Hitam itu akan meloloskan
diri, tentu sukar untuk mencarinya !" kata Cu Jiang, "lo-
koko. .." "Mau menghalang diriku lagi, ya ?" Thian-put-thou deliki
mata. "Ih, bukan begitu."
"Lalu bagaimana ?"
"Langkahku kali ini adalah untuk membalas dendam
keluargaku."
"Tak menghendaki bantuan orang ?" Thian-put-thou
menukas. "Ai, lo-koko .. ."
"Si tua ini hanya melihat saja, tidak ikut turun tangan,
bagaimana?"
Apa boleh buat, Cu Jiang hanya dapat tertawa meringis.
"Baiklah kalau begitu."
Demikian ketiga orang itu segara lari menuju ke gunung
lagi. Tiba di daerah markas Gedung Hitam, sudah hampir
fajar hari. Karena sudah faham jalannya, maka Cu Jiang
membawa Poan toanio dan Thian put thou ke puncak yang
di datangi dulu.
"Toanio, dari sini lebih kurang seperempat jam lagi. kita
akan tiba di Gedung Hitam! Mumpung musuh belum
bersiap-siap, kita terus menyerangnya saja!"
"Baik," sahut kedua kawannya.
Kali ini Cu Jiang memang hendak datang secara terang-
terangan. Dia menanggalkan kedok kulit muka dan berganti
dalam pakaian seperti seorang pelajar. Pedang kutung
diselipkan di pinggang. Kini dia benar2 kembali seperti Cu
Jiang dahulu atau si pelajar baju putih.
Tiba2 saat itu di lereng puncak yang terpaut sebuah
jurang, seperti tampak berpuluh bayangan orang sedang
bergerak. "Toanio, lo koko, apakah melihat apa yang berada di
lereng puncak itu?"
Thian put thou memandang ke puncak itu:
"O, orang, paling sedikit sepuluh."
"Api !" tiba2 Poan toanio menunjuk ke arah markas
Gedung Hitam. Cu Jiang berpaling. Memang benar Gedung Hitam yang
besar dan luas itu sedang dimakan api.
"Jangan2 mereka membakar sarangnya sendiri?" kata
Thian put-thou.
Cu Jiang seperti disadarkan. Orang2 dilereng puncak
sebelah muka itu, mungkin ....
"Aku hendak mencegat mereka!" ia terus loncat dan
menghilang dalam kabut. Poan toanio pun mengajak Thian-
put-thou menyusul.
Dengan gunakan gerak Gong-gong-poh-hwat, setelah
melintasi lembah, naik gunung turun gunung, dalam
beberapa waktu dapatlah Cu Jiang tiba di tempat orang2
tadi. Agar jangan membikin kaget mereka, ia sengaja
memutar dari samping dan naik ke puncak. Tetapi orang2
itu ternyata sudah tak ada.
Saat itu cuaca makin terang tetapi kabut di puncak
gunung masih meremang, pandang mata Cu Jiang
mengelilingi puncak itu tetapi tetap tak dapat menemukan
apa2. Gedung Hitam sudah dibumi hanguskan dan tentulah
ketuanya sudah pergi. Thong-thian-kaupun sudah tak
mempunyai kekuatan lagi untuk menyerang Gedung
Hitam. Poan toanio dan Thian-put-thou tiba.
"Bagaimana?" seru thian-put-thou.
"Mereka menghilang!"
"Mungkin kita salah siasat " tiba2 Poan toanio berkata.
"Bagaimana?"
"Sebenarnya kita langsung menyerbu ke Gedung Hitam,
mungkin masih dapat membekuk seorang atau dua orang
anak buahnya dan dapat kita korek keterangan. Sekarang
sudah terlambat."
"Sosok2 bayangan tadi memang mencurigakan."
"Mungkin sosok yang memusuhi Gedung Hitam."
Cu Jiang menghela napas. Menilik gelagatnya jelas ketua
Gedung Hitam sudah melarikan diri entah kemana.
Tengah ketiga orang itu termenung-menung kehilangan
langkah, tiba2 sesosok bayangan orang yang aneh, muncul
dari hutan jauh disebelah muka. Orang itu seperti mengepit
seseorang. Tanpa bicara apa-2, Cu Jiang terus loncat memburu.
Ketika dekat, ia terkejut sekali. Ternyata orang itu tak lain
adalah Ang Nio Cu dan yang dikempitnya adalah Cukat
Beng Cu, puteri dari Cukat Giok yang kemudian waktu
menjadi anak dari ketua Gadung Hitam berganti nama Ki
Ing. Menurut perhitungan tak mungkin Cukat Bsog Cu itu
dapat sembuh sedemikian cepatnya, kecuali tokoh aneh Kui
jiu-sinjin mempercepat pengobatannya.
Diam2 Cu Jiang mengikuti. Ilmu meringankan tubuh
dari Ang Nio Cu memang hebat sekali. Jika bukan Cu
Jiang, tentu sukar untuk mengikuti.
Berlari beberapa waktu, mereka tiba ditepi puncak. Dari
tempat itu melihat sebuah puncak jauh disebelah muka
Puncak gunung itu dikelilingi oleh lekuk2 lembah yang
lebat. Ketika memandang kearah puncak itu seketika darah Cu
Jiangpnn bergelora. Belasan sosok tubuh yang menghilang
tadi ternyata sedang berjalan melintasi celah2 gunung.
Ang Nio Cu berhenti, turunkan Cukat Beng Cu dan
berbisik: "Apakah disini ?"
"Ya, benar," Cukat Beng Cu mengangguk.
"Kulihat ada orang yang berlari disini . ."
"Apa yang siau-moay duga memang tak salah," sahut
Cukat Beng Cu. Ia membahasakan dirinya sebagai siau-
moay atau adik.
"Celaka mengapa Toan-kiam Jan jin tak kelihatan
bayangannya ?"
"Taci, kalau engkau seorang diri apakah tidak terlalu
berbahaya.. ."
"Demi membalas dendam suhuku, aku tak menghiraukan apa2 lagi!"
Mendengar itu Cu Jiang seperti mengetahui sesuatu.
Tetapi pada saat dia hendak muncul, Ang No Cu sudah
menyambar Cukat Beng Cu dan terus dibawa lari lagi.
Cu Jiang terpaksa mengikuti Bayangan orang yang
tampak berjalan di celah gunung tadi, tiba2 lenyap. Cu
Jiang terpaksa hentikan langkah. Tetapi Ang Nio Cu tetap
maju, bahkan rupanya ia sengaja berjalan ditengah celah
gunung itu. Tiba2 timbul pikiran Cu Jiang. Jika dia mengitari gedung
itu tentulah dia akan dapat menemukan rombongan orang
tadi. Dan kalau dia berhati-hati bersembunyi dibalik batu
atau pohon, tentulah mereka takkan mengetahui.
Segera ia lakukan hal itu. Saat itu Ang Nio Cu tiba
ditempat dimana rombongan orang tadi menghilang. Ang
Nio Cu berhenti disitu. Cu Jiangpun segera bersembunyi
dibalik segunduk batu besar, terpisah tiga tombak dari
tempat Ang Nio Cu.
"Ang Nio Cu sengaja datang hendak bertemu!" seru Ang
Nio Cu dengan nyaring tetapi tak ada penyahutan.
Sekali lagi Ang Nio Cn mengulangi: "Jika tak mau
menampakkan diri, aku terpaksa akan menghancurkan
sandera ini!"
Sandiwara " Apakah ketua Gedung Hitam bersembunyi
disitu " Waktu Cu Jiang dan Thian-put thou tak berkutik
menghadapi ancaman wakil ketua Gedung Hitam yang
hendak meledakkan obat pasang, tiba2 Cukat Beng Cu
muncul dan minta tali penarik bahan peledak itu dari
tangan Li Ing Bo, wakil ketua Gedung Hitam.
Ternyata dia meneriaki Cu Jiang dan Thian put-thou
supaya lari dan tidak mau menarik tali itu. Li lng Bo marah
lalu melepaskan pukulan beracun yang hampir saja
menewaskan jiwanya. Dengan tindakan itu tentulah Cukat


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Pemetik Harpa 15 Istana Tanpa Bayangan Karya Efenan Pendekar Kidal 16
^