Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 15

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 15


Beng Cu sudah tahu asal-usul dirinya. Pikir Cu Jiang.
Sekarang Ang Nio Cu membawanya ketempat itu,
mungkin mereka berdua sedang menggunakan apa yang
disebut Gok-ji ki atau siasat Menyakiti-diri.
Tetapi bukankah wakil ketua Gedung Hitam Li Ing Bo
itu sudah tahu penghianatannya " Apakah siasat Gok-Ji ki
itu akan berhasil. Merenung hal itu, Cu Jiang gelisah.
"Heh, heh, heh, heh..." terdengar suara orang tertawa
mengekek sinis. Beberapa sosok tubuh dari arah lain,
muncul berlarian mendatangi. Yang paling depan adalah
ketua Gedung Hitam sendiri, dibelakangnya diiring oleh
dua orang pengawal Gedung Terlarang.
Melihat musuh muncul, darah Cu Jiang mendidih, hawa
pembunuh meluap-luap.
"Ang Nio Cu." seru ketua Gedung Hitam, "hebat juga
engkau dapat menemukan tempat rahasia disini. . ."
"Thian maha pemurah!" tukas Ang Nio Cu.
"Bebaskan dia!"
"Boleh, tetapi ada syaratnya !"
"Syarat bagaimana?"
"Engkau harus bertempur, lawan aku satu lawan satu,
Iain orang tak boleh membantu."
"Hi, ha. ha, ha . . . Ang Nio Cu, tak ada lain hal yang
lebih bagus dari syarat yang engkau ajukan itu!"
"Masih ada lagi," kata Ang Nio Cu, "budak perempuan
ini telah kututuk jalan darahnya dengan ilmu tutuk yang
istimewa. Jangan engkau coba2 bertindak licik untuk
merebutnya. Kecuali aku, tak mungkin lain orang mampu membuka
jalan darahnya yang tertutuk itu. Jika tak kubuka, dalam
waktu sejam, dia tentu mati!"
"Engkau pintar sekali ..."
"Bagimu masih tak terhitung apa2."
"Ang Nio Cu, kalau engkau mati, bukankah putriku yang
tersayang itu akan ikut mati juga ?"
"Hal itu tergantung dari rejekimu !"
"Baik, mari kita mulai."
"Suruh anakbuahmu itu mundur agak jauh."
"Kalian mundur," ketua Gedung Hitampun memberi
perintah dan kedua pengiringnyapun segera mundur sejauh
lima tombak. Ang Nio Cu juga loncat mundur dua tombak untuk
meletakkan Cukat Beng Cu di kaki puncak. Dan secara
kebetulan tepat di depan Cu Jiang bersembunyi.
Pemuda itu kerutkan dahi. Dia tahu mungkin Ang Nio
Cu tak dapat menandingi kesaktian ketua Gedung Hitam.
Bukankah tindakannya itu berbahaya sekali " Dendam tak
terbalas, dirinyapun mungkin binasa sendiri.
Ang Nio Cu kembali maju lagi. Dia membawa pedang
Cu Jiang yang tempo hari dijadikan barang tanda pengikut
perjodohan dengan Ho Kiong Hwa, Ketua Gedung Hitam
juga mencabut pedang. Setelah saling menatap beberapa
saat, mereka lalu mulai bergerak.
Ilmu pedang Ang Nio Cu memiliki gaya aneh dan
dahsyat dari sumber perguruan agama. Begitu bertempur,
keduanya sukar dilerai lagi.
Cu Jiang mengikuti pertempuran itu dengan penuh
perhatian. Dia tahu bahwa Ang Nio Cu mempunyai
dendam darah yang hebat dengan ketua Gedung Hitam.
Diam2 Cu Jiang menimang, jika dia keluar dan
menggantikan Ang Nio Cu tentu tak punya kesempatan lagi
untuk melampiaskan dendam kesumatnya.
Tetapi kalau tak turun tangan, Ang Nio Cu tentu tak
dapat membunuh ketua Gedung Hitam itu.
Pertempuran berjalan makin seru dan menakjubkan.
Sekonyong-konyong dua sosok tubuh diam2 telah
menyelinap ke tempat Cukat Beng Cu dan terus ulurkan
tangan hendak menyambar nona itu.
Cu Jiang terkejut. Cepat dia menjulurkan jari untuk
memancarkan ilmu Jari-sakti kepada kedua orang itu.
Tetapi sebelum ia sempat melakukannya. tiba2 kedua orang
itu mengerang terus rubuh, Cu Jiang diam2 menghela napas
longgar. Kiranya Ang Nio Cu sudah menyiapkan langkah untuk
menghadapi perbuatan musuh yang hendak mengganggu
Cukat Beng Cu. Tetapi saat itu Ang Nio Cu sudah mulai terdesak oleh
pedang ketua Gedung Hitam. Dengan mati-matian Ang
Nio Cu harus bertahan diri walaupun dengan pontang-
panting. "Huak..." terdengar mulut Ang Nio Cu menguak dan
tubuhnya sempoyongan.
"Berhenti!" saat itu Cu Jiang tak dapat menahan diri lagi
dan terus melayang keluar.
"Adik !" teriak Ang Nio Cu girang sekali.
Ketua Gedung Hitam mundur tiga langkah seraya
berseru gemetar : "Toan-kiam-jan-jin !"
Sepasang mata Cu Jiang memancar hawa pembunuhan,
gerahamnya bergemerutuk.
"Tua bangka, dengarkan yang jelas, aku bernama Cu
Jiang putera tunggal dari Dewa pedang Cu Beng Ko!"
Kembali ketua Gedung Hitam mundur dua langkah
dengan wajah terkejut. Cu Jiang menghampiri maju dan
terus mencabut pedang kutung dari pinggangnya.
Ketua Gedung Hitam memandang Cukat Beng Cu
dengan mata penuh kemarahan, serunya:
"Budak hina, engkau berani mengkhianati aku?"
"Bangsat tua, aku hendak menyayat-nyayat daging
tubuhmu. Sekarang, bukalah kedok mukamu !" teriak Cu
Jiang. Mata ketua Gedung Hitam berkeliaran ke samping tetapi
Cu Jiang segera menghardik:
"Jahanam, Jangan coba2 cari akal busuk, jangan harap
engkau dapat lolos!"
Cukat Beng Cu berbangkit terus lari kesisi Ang Nio Cu.
Ketua Gedung Hitam mendengus geram. Ia terus
mainkan pedang menyerang Cu Jiang. Serangannya itu
dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Tampaknya dia
bernapsu sekali dirangsang kegugupan.
Cu Jiang membentak lalu memainkan ilmu pedang It-
kiam-tui-hun ajaran mendiang ayahnya.
Begitu terjadi benturan, terdengarlah suitan nyaring di
udara dan ketua Gedung Hitam itu terus hendak berputar
tubuh. Tetapi Cu Jiang sudah menjagai hal itu. Dia loncat
membayangi dengan ujung pedang kutung sehingga ketua
Gedung Hitam itu terpaksa berbalik tubuh lagi untuk
melayaninya. Rupanya kedua belah pihak sangat bernafsu sekali untuk
membunuh lawan. Setiap jurus yang dilancarkan selalu
jurus2 maut yang dahsyat.
Terdengar bentakan nyaring campur erang tertahan dan
tubuh ketua Gedung Hitampun berlumur warna merah. Dia
sempoyongan. Cu Jiang tak mau memberi ampun lagi. Ia
menyerang dengan sebuah Jurus ilmupedang It-kiam-tui-
hun. Tring, tring....
Ketua Gedung Hitam mundur lagi beberapa langkah
tetapi ia masih dapat menangkis serangan maut lawan.
Cu Jiang makin kalap. Bagai harimau haus darah, dia
terus menyerang lagi. Terdengar erang pelahan dan tubuh
ketua Gedung Hitaaa bertambah luka baru pula.
"Aku hendak menghias mayatmu dengan seribu
tusukan." seru Cu Jiang.
"Hm. . . .!" ketua Gedung Hitam menggembor dan balas
menyerang seperti orang kalap. Delapan buah jurus yang
aneh dan ganas, disertai dengan seluruh tenaganya,
dilancarkan dengan hebat, Cu Jiang sibuk juga menangkis
dan terdesak mundur dua langkah.
Jika dia menggunakan ilmu pedang Thian-te-kau-thay
dari kitab pusaka Giok-kah-kim-keng, ketua Gedung Hitam
tentu tak mampu bertahan sampai lima Jurus. Tetapi karena
hendak membalas dendam maka ia tetap mempergunakan
ilmu pedang ajaran ayahnya. Itulah sebabnya maka ketua
Gedung Hitam mampu balas menyerang.
Delapan jurus yang dilancarkan ketua Gedung Hitam
telah selesai. Kini Cu Jiang mulai balas menyerang. Dia
tetap menggunakan ilmu pedang It-kiam-tui-hun.
Tring . . . terdengar pekik kejut dan pedang ketua
Gedung Hitam itupun mencelat ke udara. Cu Jiang julurkan
pedang buntung lurus ke muka. Mengarah dada lawan.
Ketua Gedung Hitam ketakutan dan mundur tetapi Cu
Jiang tetap mendesak maju.
Suasana gelanggang pertempuran diliputi hawa pembunuhan. Tak ada seorangpun pihak Gedung Hitam
yang tampak. Mungkin karena melihat gelagat buruk
mereka sudah bersembunyi.
Setelah terus menerus mundur, akhirnya ketua Gedung
Hitam tertutup jalan oleh segunduk batu besar.
"Hiaaat . . . !" sekali pedang menggurat, Cu Jiang
berteriak kaget. Ia memang mencongkel kedok muka ketua
Gedung Hitam. Tetapi begitu wajah aseli dari lawan terlihat
jelas ia sendiri terkejut bukan kepalang. Kiranya ketua
Gedung Hitam itu tak lain adalah Bulim seng-hud atau
Buddha hidup Sebun Ong.
Buddha hidup yang begitu diagungkan sebagai tokoh
yang berhati mulia, ternyata seorang biang durjana yang
selama berpuluh puluh tahun telah meneror dunia
persilatan. Hampir Cu Jiang tak percaya apa yang
dilihatnya. Rahasia besar dalam dunia persilatan kini telah
tersingkap. Tiong goan tay hiap Cukat Giok benar. Yang
merampas isteri dan puterinya memang Sebun Ong.
Cu Jiang teringat bahwa ketika menghembuskan napas
yang terakhir, toa suhengnya Ho Bun Cai pernah
mengucapkan kata "Sebun Ong" . Tetapi Cu Jiang tak
menyadari hal itu.
"Sebun Ong, belasan tahun engkau dapat mengelabuhi
mata dunia persilatan. Tetapi akhirnya Thian menghukummu juga, ha, ha, ha ... . "
Cukat Beng cu berbalik diri. Rupanya ia tak sampai hati
melihat keadaan ayah tirinya yang selama ini memperlakukan ia dengan baik. Ia belum tahu akan nasib
ayahnya sendiri.
"Budak, aku menyerah, bunuhlah !" seru Sebun Ong
dengan menarik napas.
"Sebun Ong, mengapa engkau memusuhi ayahku?"
"Dia tak layak mendapat gelar Dewa-pedang."
"Engkau . . . jahanam tua, hanya karena merasa iri saja,
sampai hati untuk membunuh seluruh keluargaku. Engkau
bukan manusia ..."
"Bunuhlah aku!"
"Tidak begitu cepat engkau harus mati, crat ..." pedang
buntung menusuk bahu kiri Sebun Ong, darah mengucur
deras, "ini untuk Cukat Giok lo cianpwe!"
Cret . . . kembali ujung pedang menusuk tembus bahu
kanan. "Dan ini untuk Toa suhengku Ho Bun Cai . . ! "
Sebun Ong berobah menjadi manusia darah. Ia terkulai
tetapi Cu Jiang mencengkeram dada dan mengangkatnya:
"Jahanam, mengapa dulu2 engkau tak mau bertobat!"
"Engkau . . engkau . . keji sekali . ."
"Dan yang ini adalah untuk arwah keluargaku . . . cret! "
pedang itupun menembus ulu hati Sebun Ong. Seketika dia
terkulai putus nyawanya.
Cu Jiang lalu berlutut menghadap ke barat.
"Ayah, mama, adikkku, paman Liok...aku telah
membalas dendam dan hendak menghancurkan kepala
musuh..." Ang Nio Cu maju mencegahnya: "Adik Jiang orang yang
mati, sudah himpas dosanya. Dia sudah menerima buah
dari pberbuatannya!"
Cu Jiang menurut. Memandang ke segenap penjuru, ia
berkata: "Sisanya tentu masih..."
"Tempat ini merupakan sarang rahasia dari Gedung
Hitam yang penuh lorong2 berbahaya. Mereka tentu sudah
melarikan diri..." tiba2 Cukat Beng Cu menyela.
"O, nona Cukat, aku masih ada sesuatu yang belum
sempat kuberitahu kepadamu."
Sambil menggigit gigi, nona itu berkata: "Waktu
mamaku mati karena racun, diapun sudah menerangkan
sedikit . ."
"Tentang ayah nona?"
"Ayah sudah meninggal dunia."
"Tidak, beliau masih hidup!"
"Ayah masih hidup?" seketika gemetarlah tubuh Cukat
Beng Cu. Cu Jiang lalu menuturkan semua peristiwa yang
dialaminya bersama Cukat Giok, serta soal dompet yang
diserahkan kepada mama Cukat Beng Cu. Nona itu
menangis tersedu-sedu.
Tiba2 dia berputar tubuh dan ayunkan tangan ke mayat
Se bun Ong. Tetapi setengah jalan, dihentikan lagi: "Ah,
sudahlah ..."
"Nona, inilah barang titipan ayah nona yang telah


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diberikan kepadamu," kata Cu Jiang seraya menyerahkan
dompet dari Cukat Giok. Dengan tangan gemetar, Cukat
Beng Cu menyambutinya.
Kemudian Cu Jiang bertanya kepada Ang Nio Cu
mengapa dapat muncul lebih pagi di gunung Keng-san itu.
"Luka adik Beng Cu sembuh lebih cepat dari waktunya.
Kami segera menuju kemari. Mata2 Gedung Hitam
mengatakan kepada adik Beng Cu bahwa wakil ketua Li lng
Bo telah mati dibunuh orang Thong thian-kau. Maka ketua
itu tak tahu tentang perbuatan adik Beng Cu yang berpaling
haluan. Pada saat kami tiba, ternyata markas Gedung
Hitam sudah hancur. Dan dari seorang anak buah, adik
Beng Cu tahu kalau tempat ini merupakan tempat
persembunyian rahasia dari ketua Gedung Hitam . . ."
"Oh, maka taci lalu menggunakan siasat Gok-ji-ki untuk
memikat supaya Sebun Ong keluar !"
"Ya, tetapi aku salah..."
"Mengapa?"
"Tak tahu kekuatan diri sehingga apabila engkau tak
muncul, akibatnya tentu sukar dibayangkan!"
"Ah, itu karena Sebun Ong memang sudah sampai
umurnya mati!"
Tiba2 dua sosok bayangan berlari mendatangi. Ternyata
keduanya adalah Poan toanio dan Thian put thou.
Lebih dulu Cu Jiang memperkenalkan Ang Nio Cu dan
Cukat Beng Cu kepada bibinya.
"Ho, sungguh tak kira kalau ketua Gedung Hitam itu
ternyata Sebun Ong !" seru Thian-put-thou.
Dengan berlinang-linang. Poan toanio berkata: "Nak,
kini arwah ayah bundamu, adik-adikmu dan kawan2 yang
telah mati dengan penasaran tentu akan terhibur di alam
baka!" Tiba2 Cu Jiang memperhatikan bahwa pada waktu
Cukat Beng Cu membuka dompet dari ayahnya, nona itu
tampak terlongong-longong.
"Nona Cukat !" tak terasa Cu Jiang berseru menegurnya.
Cukat Beng Cu tundukkan kapala. Mulutnya mendesis
lalu berpaling ke samping memandang Ang Nio Cu.
Cu Jiang mengikuti dengan pandang mata.Di lihatnya di
tangan nooa itu terdapat sebuah kumala yang berwarna
hijau kehitam-hitaman. Di bawah batu kumala itu terdapat
pula secarik kertas yang berisi beberapa tulisan.
"Apakah itu bukan Lencana Hitam ?" diluar kesadaran,
mulut Cu Jiang mendesir.
Cukat Beng Cu memandang Cu Jiang dengan pandang
mata yang aneh, Kemudian ia mengeluarkan sebutir
kumala dari bajunya lalu diletakkan di sisi kumala tadi. Ah,
benar2 sepasang batu kumala hitam yang baik bentuk dan
warnanya seperti pinang dibelah dua.
"Apakah artinya itu ?" Cu Jiang berseru heran.
Wajah nona itu nampak pilu.
"Kedua untai kumala ini sebenarnya merupakan
sepasang. Ayah dan ibu masing2 menyimpan satu.Milik
mendiang, ibu telah diserahkan kepadaku." sampai disini ia
hentikan kata-katanya.
Wajahnya mengerut tegang, entah mengandung perasaan marah atau dendam, kemudian melanjutkan pula:
"Kemudian kumala yang menjadi milikku itu, kujadikan
sebagai tanda diriku dan disebut Hek-hu. Hanya... begitulah
!" "O, benar." kini Cu Jiang menyadari. "waktu nona
memberikan kumala itu kepadaku, kecuali dalam lingkungan anak buah Gedung Hitam, diluar memang tak
ada pengaruhnya apa2. Kiranya karena hal itu..."
"Cu siangkong, tadi engkau mengatakan bahwa ayahku
telah dicelakai Sebun Ong?"
"Keterangan itu menurut cerita ayah nona sendiri."
"Aku.... ingin bertemu dengan ayahku !"
"Lembah rahasia itu hanya mempunyai sebuah jalan.
Dan pada musim kemarau barulah dapat mencapai ke
tempat itu. Aku bersedia mengantar nona ke sana. ."
"Kapan ?"
"Setelah kubasmi iblis yang terakhir dari gerombolan Sip-
pat thian-mo itu !"
"Iblis yang mana ?" Poan toanio menyela.
"Iblis ke satu yang disebut Hui-thian Sin-mo..."
"Tak perlu engkau buang tenaga!"
"Kenapa ?"
"Iblis kesatu sama2 hancur binasa dengan wakil ketua
Gedung Hitam Li Ing Bo. Hui-thian Sin-mo mati akibat
bahan pasang yang diledakkan Li Ing Bo tetapi Li Ing
Bopun akhirnya mampus karena dibunuh biang iblis Jui-
beng-koh."
"Ah...." Cu Jiang menghela napas longgar, Kini tugasnya
ialah selesai. Musuh besar telah dl-tumpas, tak ada lagi
yang harus diresahkan. Tiba2 la teringat akan nasib Ho
Kiong Hwa, calon isterinya itu.
Saat itu Ang Nio Cu mengambil surat dari tangan Cukat
Beng Cu setelah membaca dia berseru: "Bagus, adik Beng
Cu, akulah yang akan mengaturnya."
Cukat Beng Cu tertawa tersipu-sipu lalu tundukkan
kapala. Sudah tentu sekalian orang heran melihat kasak-
kusuk kedua orang itu.
Ang Nio Cu beralih memandang Cu Jiang.
"Adik Jiang, sekali lagi aku hendak menjodohkan
engkau." "Apa" Taci mengatakan apa?" Jiang terbeliak.
"Akan menjadi comblangmu !"
Poan toanio dan lain2, memandang heran ke-arah
wanita yang mukanya selalu ditutup dingin kain selubung
itu. "Aku benar-2 tak mengerti !" seru Ca Jiang.
"Bacalah sendiri," seru Ang Nio Cu seraya menyerahkan
kertas itu kepada Cu Jiang. Cu Jiang menyambuti dan
membacanya. Serentak merahlah wajah anak muda itu.
Hatinya mendebur keras dan mulut ternganga tak dapat
berkata sepatahpun jua.
Ternyata surat itu berbunyi, minta kepada Beng Cu akan
menikah dengan orang yang menyampaikan pesan dari
ayahnya itu. Memang bagi Beng Cu itu merupakan suatu perintah
dari ayahnya. Tetapi sebenarnya, sebelum peristiwa itu
terjadi, diapun sudah jatuh hati kepada pemuda itu. Sudah
tentu peristiwa itu merupakan suatu kebenaran yang tak
terduga-duga sama sekali.
"Adik Jiang, bagaimana maksud mu?" desak Ang Nio
Cu. Dengan wajah merah. Cu Jiang menyahut tergagap
"Taci. engkau tentu tahu sendiri . . . jangan mengolok-olok
aku !" "Siapa sih yang mengolok-olok engkau ?"
"Ho Kiong Hwa, adalah taci yang menjodohkan."
"Benar, tetapi peristiwa itu sudah lampau."
"Pernikahan bukan seperti mainan kanak2. Aku Cu
Jiang, takkan menjadi seorang manusia yang mengecewakan hati orang...."
"Ho Kiong Hwa sendiri yang memutuskan tali
perjodohan itu, bukan salahmu."
"Tidak!"
"Apakah adik Beng Cu tak layak menjadi pasangan
hidupmu?" Mendengar ucapan itu barulah Poan toanio dan yang
lain2 tahu duduk persoalannya.
"Taci .... engkau sungguh .... keterlaluan!" teriak Cu
Jiaug. "Sudah tentu adik Beng Cu tak dapat berkata apa2.
Disamping hal itu merupakan perintah ayahnya, pun
bagaimana dulu hubungannya dengan engkau, dia sudah
memberitahu kepadaku. Pelajar baju putih, lencana Kumala
Hitam sebagai saksi!"
Memandang ke arah Beng Cu yang tundukkan kepala.
Cu Jiang mengusap keringat pada dahinya dan berseru
rawan: " Memang Ho Kiong Hwa malang sekali nasibnya.
Tetapi ke ujung langitpun, aku tetap akan mencarinya."
"Dalam kehidupan yang sekarang ini, tak mungkin dia
mau menemui engkau! " kata Ang Nio Cu dengan rawan.
"Tetapi aku tetap akan mencarinya!"
"Hatinya keras sekali, jangan mendesak dia ke arah jalan
buntu . . ."
"Taci, jangan lupa, engkaulah yang jadi comblangnya!"
"Adik Jiang, aku takkan lupa."
"Kalau begitu, seharusnya taci bantu menyelesaikan soal
itu." "Itu sudah takdir, kita manusia tak berdaya merobahnya."
Tiba2 Beng Cu mengangkat muka dan dengan mata
berkaca-kaca, dia berseru: "Taci, tali perjodohan itu
memang sudah digariskan oleh takdir. Harap jangan
membicarakan lagi soal ini."
"Nona Cukat, harap nona suka memaklumi kesukaranku." seru Cu Jiang.
"Tak mungkin aku dapat memaklumi. Engkau hanya
melaksanakan apa yang dipesan ayah dan akupun
menghaturkan terima kasih kepadamu Ya, memang,
bermula .... aku pernah jatuh hati kepada pelajar baju putih
itu. Tetapi peristiwa itu sudah lampau Cu sauhiap, engkau
bukan pelajar baju putih yang dahulu. Pelajar baju putih
yanbg dahulu juga bukan Toan-kiam-jan-jin yang sekarang
ini..." Nada nona itu mengandung getar2 isak. Dan Cu Jiang
pun bungkam tak dapat menyahut.
"Adik Beng Cu, serahkan semua ini kepadaku." Ang Nio
Cu menepuk bahu Cukat Beng Cu dan menghiburnya.
"Soal ini memang menyangkut perasaan dukacita." kata
Poan toanio, "nasib yang menimpa Ho Kiong Hwa sungguh
menyedihkan sekali sehingga dia melarikan diri karena
putus asa. Disamping menunjukkan sifatnya yang suci, pun
dia tentu menderita luka hati yang dalam sekali . . ."
"Ku kira juga begitu, jangan menambahkan luka hati
pada nona yang bernasib malang itu!" seru Thian put-thou.
"Nah, bagaimana pendapat taci" " seru Cu Jiang.
Tetapi Ang Nio Cu tetap berkeras: " Soal diri Ho Kiong
Hwa, aku yang bertanggung jawab!"
Cukat Beng Cu tertawa rawan:
"Sudahlah, harap kalian jangan bertengkar tentang hal
ini. Aku sendiri memang juga bernasib malang. Belasan
tahun aku menganggap seorang bangsat sebagai ayahku
yang tersayang. Budi kebaikan saudara-2 selama ini, akan
kubawa seumur hidup dan sekarang aku hendak mohon diri
. . ." "Jangan pergi!" seru Ang Nio Cu.
Cu Jiang benar2 serba salah. Beberapa saat kemudian
baru dia dapat berkata:
"Nona Cukat, kalau hendak menemui ayah nona, harus
kuantar." Nona itu memandang Cu Jiang lalu berkata: "Cukup
sauhiap mengatakan letak tempat dan jalannya, aku tentu
dapat mencarinya sendiri!"
"Adik Jiang, bagaimana keputusanmu?" Ang Nio Cu
mendesak. "Maaf, aku tak dapat menurut perintah taci, " kata Cu
Jiang. Ang Nio Cu memandang Cu Jiang dengan dengan
pandang aneh, penuh dengan arti dan penuh pula dengan
berbagai luap perasaan hati. Tiada seorangpun yang dapat
menebak bagaimana isi hati wanita misterius ini.
Lama, lama sekarli baru dia kedtengaran berkataq
dengan nada rarwan memilukan:
"Adik Jiang, apabila Ho Kiong Hwa tak berada dalam
dunia fana ini?"
Seketika wajah Cu Jiang berobah tegang, serunya tegas:
"Mengapa taci mengatakan begitu?"
"Aku hanya mengatakan saja."
"Tetapi mengapa taci berkata begitu, tentulah ada
sebabnya?"
"Jawablah, janganlah hiraukan lain2 sebab lagi!"
Cu Jiang menggerinyit gigi dan berkata dengan tandas.
"Jika dia benar2 mati, akupun akan mencari jenasahnya!"
"Kalau ketemu lalu apa yang hendak engkau lakukan?"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan kutanam dan aku akan menjaga makamnya
selama hidupku."
Singkat kata2 itu tetapi artinya cukup menyatakan
bagaimana keras dan setia hati Cu Jiang terhadap rasa cinta
itu. Sekalian orang itu tergetar hatinya mendengar
pernyataan pemuda itu.
Cukat Beng Cu tertawa rawan:
"Cu sauhiap, aku sangat menghormati engkau. Aku
gembira sekali karena kenal dengan engkau dan
bersahabat," serinya.
"Adik Jiang, Ho Kiong Hwa tentu tidak menghendaki
begitu," seru Ang Nio Cu dengan gemetar.
"Seharusnya dia tak perlu memberi pengorbanan begitu
besar." kata Cu Jiang.
"Dia ibarat., . bunga yang sudah terpetik . ." kata2 yang
terakhir itu diucapkan Ang Nio Cu dengan berbisik.
"Aku tak menghiraukan, soal itu bukan kesalahannya,
hanya nasib buruk yang membuatnya menderita!"
"Mengapa nona Ang berkeras hendak melaksanakan hal
itu ?" tiba2 Poan toanio menegur.
Terpaksa Poan toanio menyebut nona Ang, karena ia tak
tahu nama dan she yang sesungguhnya dari Ang Nio Cu.
Demikian pula raut dan wajahnya. Hanya karena Ang Nio
Cu itu berbahasa taci adik kepada Cu Jiang, iapun
menyebutnya dengan kata "nona Ang".
"Pernah apakah nona itu dengan engkau, nona Ang "!"
Poan toanio mendesak lagi.
"Hampir sama orangnya. Kepalanya dua, tetapi jiwanya
satu." "Kata2 dan tindakan nona, sungguh sukar dirobah ..."
Tiba2 Cu Jiang berkata dengan wajah serius: "Toanio,
kuminta pembicaraan itu selesai sampai disini saja."
"Adik Jiang," seru Ang Nio Cu, "yang dikata tidak
berbakti itu ada tiga hal. Tidak punya keturunan termasuk
salah satu. Engkau harus menikah."
"Arwah ayah bunda di alam baka, tentu dapat
mengampuni diriku yang tidak berbakti ini." sahut Cu
Jiang. "Apakah engkau benar2 tak mau merobah pendirianmu
?" "Tidak !"
"Apakah engkau tetap hendak bertemu dengan Ho Kiong
Hwa?" Tergetar hati Cu Jiang mendengar pertanyaan itu. Dia
benar2 pusing dikacau ucapan Ang Nio Cu yang dibolak-
balik berulang kali. Ia hanya nyalangkan mata dan
memandang Ang Nio Cu tanpa berkata sepatah kata.
Bahkan Cukat Beng Cu, Poan toanio dan Thian-put-thou
juga tertegun. "Adik Jiang, jawablah !" sekali lagi Ang Nio Cu
mendesak. "Tidak hanya ingin saja." seru Cu Jiang penuh
ketegangan. "bahkan aku bersumpah, takkan berhenti
berusaha sebelum dapat mencarinya !"
"Aku dapat memberitahunya supaya bertemu dengan
engkau. . ."
"Sungguh?" teriak Cu Jiang.
"Kapankah aku pernah bohong kepadamu."
Karena dicengkam ketegangan, Cu Jiang sampai
gemetar. "Taci, dia ... sebenarnya berada dimana ?" serunya.
Dengan ketenangan yang rawan. Ang Nio Cu menjawab:
"Jangan tanyakan dulu dia berada di mana. Untuk
berjumpa dengan dia, hanya ada syaratnya !"
"Bagaimana syaratnya !"
"Engkau harus meluluskan perjodohanmu dengan nona
Beng Cu !"
Poan toanio dan Thian-pui-thou menghela napas. Wajah
merekapun berobah cahayanya.
Dahi Cu Jiang tampak berkerenyut keras.
"Sekalipun Cu sauhiap meluluskan, aku pun tak mau.
Aku tak menghendaki diriku menjadi seorang yang tak
kenal kebajikan."
"Jangan ikut bicara!" Ang Nio Cu deliki mata kepada
Beng Cu. Benak Cu Jiang benar2 kacau balau.
"Taci, jangan menyiksa diriku, aku tak kuat menderitanya putus asa."
"Sama sekali aku tak bermaksud hendak menyiksamu,"
kata Ang Nio Cu dengan dingin, "adik Jiang, asmara murni
memang demikian."
"Aku tak percaya !"
"Mau bukti?"
"Ya."
"Tetapi engkau mau meluluskan soal pernikahanmu
dengan Beng Cu atau tidak?"
"Tidak dapat."
"Hm, kalau begitu dalam hidupmu sekarang ini engkau
takkan berjumpa dengan Ho Kiong Hwa untuk selama-
lamanya !"
"Tidak ! Aku pasti akan mencarinya... tetapi aku tak
dapat melalaikan hal itu. Taci, engkau sungguh kejam !"
Airmata Cu Jiang berderai-derai membasahi kedua
pipinya. Suasana di tempat itu tenggelam dalam kesunyian yang
lengang. Kesunyian yang menghimpit dada dan menekan
perasaan. Beberapa waktu kemudian baru Ang Nio Cn berkata
pula dengan nada yang berbeda:
"Adik Jiang, aku mau mengalah selangkah. Tetapi
setelah engkau bertemu dengan Kiong Hwa, diapun akan
mengajukan permintaan kepadamu. Apakah engkau mau
meluluskan ?"
Saat itu pikiran Cu Jiang sudah kacau. Tanpa banyak
pertimbangan lagi dia terus berseru:
"Baik, dia dimana.. . ."
"Disini !"
Sekalian orang mencurah pandang kepada Ang Nio Cu.
Tampak Ang Nio Cu dengan tangan gemetar mulai
menyingkap kain merah yang menutup wajahnya...
"Hai !"
Serempak orang2 itu menjerit kaget, Cu Jiang terhuyung-
huyung mundur beberapa langkah. Serasa bumi yang
dipijaknya itu amblong.
Langit ambruk, dunia berputar-putar keras sehingga
tubuhnyapun hendak terjungkal roboh.
Ang Nio Cu . . . ternyata juga Ho Kiong Hwa calon
mempelai Cu Jiang. Peristiwa itu benar2 diluar dugaan
orang. Ang Nio Cu sendiri yang berkeras menjadi comblang
untuk menjodohkan Cu Jiang dengan Ho Kiong Hwa.
Tetapi kemudian dia sendiri juga yang memutuskan tali
perjodohan itu. Kemudian dia juga berkeras untuk
melangsungkan perjodohan antara Cu Jiang dengan Cukat
Beng Cu. Tidakkah kesemuanya itu mengejutkan hati Cu Jiang
sehingga dia seperti disambar petir rasanya.
"Engkau . . . engkau . . . Kiong Hwa ..." Cu Jiang
menuding kearah Ang Nio Cu dan berseru tergagap-gagap.
Ang Nio Cu atau Ho Kiong Hwa tertawa rawan. Dua
butir airmata mengembang pada kedua matanya. Tetapi dia
sudah bersiap-siap dan dengan sekuat tenaga dapat
menahan segala gejolak perasaannya.
"Adik Jiang, bukankah tadi engkau sudah meluluskan,
begitu bertemu dengan aku, engkau harus menurut
perkataanku?"
"Ya ... . aku memang berjanji begitu." kata Cu Jiang
setengah berbisik.
"Jika begitu, kuminta engkau mau melangsungkan
perjodohan dengan adik Beng Cu!"
"Tidak! Tidak bisa, matipun aku tak dapat melakukan
hal itu!" teriak Cu Jiang.
Mendengar itu pucatlah wajah Cukat Beng Cu. Ia
mengerang pelahan lalu ayunkan tubuh melesat pergi.
"Hai. nona Cukat, hendak ke manakah engkau" " teriak
Poan toanio seraya lari mengejar.
Melihat itu Ho Kiong Hwa berseru tajam:
"Jika engkau tak mau meluluskan hal itu, jangan harap
engkau dapat bertemu dengan aku untuk selama-lamanya . .
." Pada saat mengucapkan kata2 yang terakhir itu Ho
Kiong Hwa atau Ang Nio Cupun sudah melayang beberapa
tombak dengan gerak yang mengejutkan sekali. Hanya
dalam beberapa loncatan saja, dia sudah berada di puncak
dan menghilang kedalam hutan.
"Aya, celaka nih. Yang satu ngacir, yang satu lari . . ."
teriak Thian-put-thou terus lari mengejar Ho Kiong Hwa.
Kini yang tinggal di tempat itu hanya Cu Jiang seorang.
Kaki tangannya serasa lunglai. Pikirannya kosong
melompong. Dia kehilangan diri. Beberapa waktu kemudian baru
terdengar mulutnya mengigau:
"Walaupun dunia ini teramat luas, aku tetap akan
mencarinya ..."
Perlahan-lahan dia ayunkan langkah. Tak tahu ke mana
ia harus pergi. Ia membiarkan kakinya berjalan membawa
raganya. Ia rasakan saat itu amat letih. Sejak bertahun-tahun ia
selalu dikejar-kejar oleh peristiwa yang malang, menelan
berbagai penderitaan lahir dan batin, terjerat datam jaring2
asmara dan melakukan pertempuran2 maut.
Kini setelah semua peristiwa itu telah usai dia masih
harus menghadapi penyelesaian soal perjodohan yang
rumit. Ia dapat merasakan derita hati yang dialami Ang Nio Cu
alias Ho Kiong Hwa. Dia harus menghibur dan
menerimanya sebagai isteri yang tercinta.
"Dapatkah cinta itu dibagi?" teringat pula urusan
perjodohannya dengan Cukat Beng Cu.
"Tetapi Kiong Hwa begitu tulus ikhlas. Jika aku menolak
Beng Cu, Kiong Hwapun tak mau menjadi isteriku.
Memang aneh pendiriannya. Tetapi dia berhati mulia, ah..."
Cu Jiang menghela napas.
0-Tamat-0 Panji Wulung 10 Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Pahlawan Padang Rumput 5
^