Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 7

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 7


kepalang. Ternyata dia adalah kakak kandungku sendiri
yang sejak kecil sudah berpisah dengan aku. Serentak
kupatahkan pedang dan bersumpah. Sejak saat itu aku tak
mau menggunakan pedang lagi. Demikianlah sekelumit
kisah hidupku!"
"Oh, kiranya begitu. Maafkan kalau tanpa sengaja aku
telah mengungkit lagi peristiwa yang menusuk perasaan
locianpwe." Cu Jiang dengan lapang dada meminta maaf.
"Tetapi engkohku sudah meninggal, dan tak lama
akupun tentu akan mati. Tak ada sesuatu yang harus
dipedihkan lagi, "kata Thiau-put-thou.
"Aku mohon diri!" Cu Jiang memberi hormat lalu
lanjutkan langkah.
"Ahli pedang seperti dia, dalam seratus tahun sukar
ditemui," Thian-put-thou mengigau seorang diri.
Sambil memandang bayangan Cu Jiang, Ho Bun Caipun
berkata: "Seorang yang cacad tubuhnya ternyata mampu
memiliki kepandaian sesakti itu ...."
"Itu yang dikatakan, jangan pandang orangnya tetapi
kepandaian." sambut Thian-put thou.
"Cianpwe kaya akan pengalaman dan luas pandangan.
Dapatkah cianpwe memberitahu, apakah sumber ilmu
pedang orang itu?" tanya Ho Bun Cai.
"Sedikitpun aku tak mengetahui?"
"Mungkinkah dia seorang jago pedang dari seberang
lautan?" "Sukar diduga."
Dalam pada itu Cu Jiangpun sudah jauh dari biara.
Rembulan sudah pudar dan angin segar mulai berhembus.
Saat itu menjelang pagi.
Dari pertandingan tadi, dia mulai menaruh kepercayaan
pada ilmu pedang yang dimilikinya. Apabila ajaran ilmu
pedang It-kiam-tui-hun dari mendiang ayahnya, ia mainkan
dengan tenaga sakti yang dimilikinya sekarang, tentu
perbawanya hebat sekali.
Tak mungkin lemah lagi. Rasanya dalam dunia
persilatan dewasa itu, jarang sekali jago silat yang mampu
menerima serangan dengan ilmu pedang itu.
Mendiang ayahnya telah digelari sebagai Kiam-seng ibu
Nabi pedang. Tentulah gelar itu bukan didapat dengan sia-
sia. Tetapi ilmu pedang ayahnya apabila dibanding dengan
ilmu pedang Thian-te-kiau-thay, ah, masih kalah tinggi.
Hal itu menandakan bahwa ilmu silat itu benar2 tiada
batasnya. Tak lama hari pun pagi, Kota Kengciu sudah tertinggal
jauh di belakang. Tiba2 ia tersentak oleh sebuah
pemandangan yang mengerikan di sebelah muka.
Di tengah jalan terdapat sebelas tubuh manusia yang
terkapar malang melintang. Mereka berpakaian warna
hitam. Empat orang diantaranya memakai mantel hitam.
Cu Jiang tak ragu lagi. Kesebelas mayat itu tentulah anak
buah Gedung Hitam.
Mayat2 itu keadaannya mengerikan sekali. Jelas bahwa
pembunuhnya telah melampiaskan dendam kebencian yang
meluap-luap. Terutama keempat Pengawal Hitam itu,
tubuhnya penuh berhias tusukan pedang. Rupanya sebelum
mati mereka telah melakukan pertempuran dahsyat.
Tetapi siapakah gerangan yang berani bermusuhan
dengan Gedung Hitam" Yang dapat membunuh Pengawal
Hitam tentulah tokoh yang sakti. Tetapi apakah pembunuh
itu hanya seorang atau beberapa orang"
Karena tiada hubungan dengan kepentingannya, Cu
Jiangpun tak mau menyelidiki lebih lanjut Ia terus berjalan.
Tetapi baru setengah li jauhnya, kembali dia berhadapan
dengan pemandangan yang ngeri lagi.
Kali ini lima sosok mayat malang melintang di tengah
jalan jalan. Empat di antaranya berpakaian ringkas warna
kuning dan seorang mengenakan jubah kuning. Kepala
mereka hancur, benaknya berhamburan ke luar.
Apakah artinya itu" Apakah dalam dunia persilatan
muncul pula seorang momok yang ganas"
Dan siapakah mayat-mayat berpakaian kuning itu "
Di kala Cu Jiang sedang menimang-nimang peristiwa
aneh itu, tiba2 tiga sosok bayangan berlarian mendatangi.
Ketika dekat, ternyata mereka berpakaian baju kuning
semua. Seorang mengenakan jubah panjang dan yang dua
berpakaian ringkas seperti umumnya kaum persilatan.
Mereka itu jelas sekaum dengan korban2 baju kuning
yang terkapar di tengah jalan.
"Hai!"
Terdengar teriakan kaget dan ketiga orang baju kuning
itupun serempak berhenti.
Orang berjubah kuning itu seorang lelaki tua, matanya
tajam, hidung seperti paruh burung elang. Dengan wajah
sarat dan mata berapi memandang Cu Jiang.
"Sahabat, engkau terlalu ganas.!" serunya.
"Aku hanya kebetulan jalan di tempat ini," sahut Cu
Jiang. "Sudah membunuh orang masih tak berani mengaku?"
"Gila!"
"Sebutkan namamu!"
Tetapi Cu Jiang tak peduli. Setelah mendengus dia terus
ayunkan langkah.
"Berhenti!" teriak orang tua jubah kuning itu seraya
menghadang jalan. Sementara kedua lelaki muda yang lain
terus mencabut pedang dan mencegat di kanan kiri Cu
Jiang. "Apakah artinya ini" " seru Cu Jiang.
"Hutang jiwa bayar jiwa!" lelaki tua itu tertawa seram.
Cu Jiang tertawa mengkal tetapi dia masih dapat
menguasai diri, serunya:
"Sudah kukatakan dengan sejujurnya, aku hanya
kebetulan lalu di tempat ini."
"Beritahukan namamu!"
"Tak perlu."
"Minta mati, ya" "
"Engkau tak layak mengatakan begitu."
"Jangan menutup muka pura2 jadi orang baik. Tahukah
engkau aku ini siapa?"
"Siapa" "
"Kepala barisan keamanan dari perkumpulan Thong
thian-kau cabang Siok-ciu."
Cu Jiang terkesiap. Sepanjang berita yang didengarnya
sepanjang perjalanan, partai yang baru muncul ialah Thong
thian-kau, makin berkembang dan makin mendesak
pengaruh Gedung Hitam. Tak kira kalau kawanan orang
baju kuning itu ternyata anak buah mereka.
"Aku tiada mempunyai kepentingan suatu apa dengan
partai kalian," seru Cu Jiang dengan nada dingin.
"O. kalau begitu jelas engkau memang cari mati."
"Kentut !"
"Bunuh!"
Serta mulut berteriak, serempak kedua lelaki muda baju
kuning itu pun membacok Cu Jiang.
Cu Jiang mengisar tubuh dan menggunakan gerak
langkah Gong-gong-poh-hwat
ajaran Gong-gong-cu. Dengan lincah, dia menghindari serangan pedang.
Tetapi diam2 ia terkejut Juga. Ternyata jurus ilmu
pedang kedua orang itu, cukup unggul. Lebih unggul dari
kepandaian Pengawal Hitam. Dapat digolongkan sebagai
jago kelas satu dalam dunia persilatan.
Ketiga orang baju kuning itu tertegun.
"Jangan memaksa aku membunuh orang!" teriak Cu
Jiang memberi peringatan.
Tetapi kedua lelaki muda baju kuning itu rupanya
penasaran. Dengan mendengus geram, mereka menyerang
lagi, makin ganas.
Setelah lolos dari serangan maut, mata Cu liang berapi-
api memancarkan hawa pembunuhan.
"Apa kalian benar-2 ingin mati?" serunya.
"Ha, dengan mengandalkan ilmu meloloskan diri seperti
setan itu, engkau hendak menggertak kami?" orang tua baju
kuning menyeringai.
Kedua lelaki muda baju kuning mulai menyerang lagi.
"Haahh, bum. ..." terdengar jeritan ngeri dan kedua lelaki
baju kuning itupun rubuh ke tanah. Sementara tahu2 tangan
Cu Jiang sudah mencekal pedang kutung yang memancar
sinar darah. Orang tua baju kuning mundur beberapa langkah.
Wajahnya berubah pucat dan ketakutan. Rupanya dia tak
tahu cara bagaimana tadi Cu Jiang mencabut pedang dan
membunuh kedua kawannya.
Pelahan-lahan Cu Jiang masukkan pedang kutungnya
kedalam kerangka dan dengan tegas menyebut dirinya:
"Toan-kiam-jan-jin !"
Tetapi lelaki tua baju kuning itu sudah pecah nyalinya.
Tanpa berkata apa2, dia terus lari.
Dengan menyebut nama itu, Cu Jiang bermaksud
hendak memperdengarkan diri agar kawanan durjana yang
menjadi musuh2 keluarganya itu muncul mencarinya.
"Ho, sahabat, ilmu pedangmu sungguh membuat hatiku
pecah !" sekonyong-konyong terdengar gema nyaring dan
dari dalam hutan ditepi jalan muncul seorang lelaki tua
mengenakan jubah berwarna kuning emas.
Dia bukan lain adalah Sebun Ong, yang bergelar Bu lim-
seng hud atau Budha-hidup dunia-persilatan.
"Bagus," diam2 Cu Jiang bersorak girang dalam hati.
"Bukankah anda ini yang bernama Buddha hidup Sebun
Ong ?" serunya.
Orang itu tertawa gelak2.
"Ho, kiranya engkau juga tahu namaku ?"
"Ya, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat
bertemu muka .. .."
"Ah, Jangan merendah diri !"
"Tetapi memang benar aku hendak mencari anda."
Serentak Sebun Ong hentikan tawa dan berseru kaget:
"Engkau hendak mencari aku?"
"Benar."
"Keperluan ?"
"Menolongi seorang sahabat untuk membereskan suatu
hutang lama dengan engkau !"
"Menagih hutang ?"
"Hm,"
"Sepanjang hidup, Jarang sekali aku meminjam kepada
orang. Siapakah kiranya sahabatmu itu?"
"Anda tentu tak asing lagi dengan orang itu. Dia adalah
Pendekar-besar dari Tionggoan yang bernama Cukat Giok!"
Seketika cahaya muka Sebun Ong berobah dan menyurut
mundur selangkah.
"Apakah Cukat Giok masih hidup ?" serunya.
"Ya." sahut Cu Jiang dengan dingin, "tetapi hidup-
hidupan, jauh lebih celaka dari orang mati."
Muka Sebun Ong berkerenyutan. Sampai beberapa saat
tak dapat berkata apa2. Wajahnya berobah-robah dan
akhirnya terluncurlah kata-kata dari mulutnya:
"Dia ... dia masih hidup ?"
"Anda tak menyangka bukan ?"
"Benar, memang tak kusangka sama sekali. Dia seorang
sahabatku yang paling erat. Sejak dia lenyap, aku
membuang waktu sepuluhan tahun untuk mencarinya tetapi
sia2. Kukira dia sudah meninggal.. ."
Mendidih darah Cu Jiang. Sebun Ong benar-benar
seorang manusia yang pandai bermain sandiwara.
Mulutnya bersedih tetapi hatinya membenci. Dia telah
mencelakai sahabat itu dan merebut isterinya. Manusia
yang berhati serigala, masih digelari orang sebagai Buddha-
hidup. Dengan begitu jelas dunia persilatan itu kabur akan
pandangannya terhadap manusia baik dan jahat.
"Apakah engkau berkata dengan sesungguh hati?" tegur
Cu Jiang. "Sudah tentu," sahut Sebun Ong, "di manakah dia
sekarang?"
"Soal itu anda tentu sudah tahu sendiri."
"Ah, mengapa engkau berkata begitu?"
"Sudahlah, jangan berpura-pura. Aku cukup tahu siapa
anda ini. "
Sebun Ong kerutkan alis.
"Sahabat, walaupun aku tak berani bertepuk dada
membanggakan bahwa setiap tindakanku selama ini selalu
berjalan lurus sesuai dengan Jalan Persilatan, tetapi sedikit
banyak aku mempunyai nama."
"Singkat saja kukatakan, bahwa lebih dulu aku hendak
bertemu dengan Ratu-kembang Tio Hong Hui dan puterimu
. . . . " "Hai, engkau salah. Tio Hong Hui itu isteri Cukat Giok
dan anak perempuan itu juga puterinya . . ."
"Apakah aku boleh bertemu?"
"Tentu saja boleh. Kalau ibu dan anak itu tahu Cukat
Giok masih hidup, ah betapa girang mereka!"
Ucapan itu benar2 diluar dugaan Cu Jiang. Apakah ada
sesuatu rahasia dibalik peristiwa itu" Mengapa Sebun Ong
mengakui bahwa Tio Hong Hui dan puterinya itu adalah
anak isteri Cukat Giok" Dan betapa cepat Sebun Ong
menyanggupi untuk mempertemukannya dengan kedua ibu
anak itu. Hal itu beda sekali dengan keterangan Cukat Giok
tempo hari. Tetapi ketika dia terjatuh di dasar jurang, dia melihat dan
menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa penderitaan Cukat Giok saat itu. Apakah dia sampai hati
akan merangkai cerita bohong" Mungkinkah itu"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menilik keadaannya, keterangan Cukat Giok itu
berlawanan dengan Sebun Ong. Apakah memangnya Cukat
Giok hendak memperalat dirinya untuk melakukan balas
dendam terhadap Sebun Ong. Tetapi ah, pada saat itu
bukankah dia masih seorang pemuda yang cacad dan tak
berkepandaian tinggi" Mungkinkah Cukat Giok hendak
mengelabuhinya supaya menuntutkan balas"
Tetapi di kalangan persilatan nama Sebun Ong itu sangat
harum. Mungkinkah dia akan melakukan perbuatan yang
sedemikian hina, membunuh sahabat dan merampas
isterinya"
Cu Jiang agak bingung. Dan akhirnya ia memutuskan,
sebelum mengetahui jelas duduk perkaranya, ia tak mau
turun tangan lebih dulu.
Tiba2 ia teringat akan bungkusan Ho poh (teratai ) dan
Poh-po (kain). Bungkusan ho poh itu berisi racun,
diperuntukkan Tio Hong Hui. Sedang bungkusan kain
supaya diserahkan kepada puterinya. Kedua bungkusan itu
masih disimpannya dengan baik. Nanti apabila berhadapan
dengan Tio Hong Hui, segala sesuatu tentu akan terang.
Sebun Ong menghela napas, ujarnya: "Sejak Cukat Giok
menghilang, isteri dan anaknya tiada yang menjadi tiang
sandaran. Aku sebagai seorang sahabat, wajib untuk
memelihara mereka selama belasan tahun ini."
"Tetapi keterangan Cukat Giok lain dengan keterangan
anda!" tukas Cu Jiang.
"Apa katanya?"
"Mencelakai sahabat merampas isterinya."
"Ah, atas dasar apakah tuduhan itu?" sesaat berhenti, dia
melanjutkan pula, "soal itu tentu terselip suatu kesalahan
paham. Kuyakin Cukat Giok bukan seorang yang suka
menghambur fitnah. "
"Di manakah nyonya Cukat sekarang?"
"Telah kuatur tempat yang aman untuknya, di jalan
Lam-tay kota Gong-an."
"Ah."
"Silahkan saudara mengunjunginya. Dengan begitu
selesailah sudah tugasku sebagai seorang sahabat."
Menilik ucapannya itu, jelas bahwa Sebun Ong itu
seorang yang budiman suka menolong orang.
"Apakah aku tentu dapat menemukan alamat itu?" kata
Cu Jiang masih meragu.
"Tentu."
"Bagaimana cara mencarinya?"
"Akan kusuruh orang untuk menanti kedatangan anda."
"Baik, dalam sepuluh hari lagi aku pasti akan
mengunjungi rumah itu."
"Apakah aku boleh pergi dulu?"
"Silahkan."
Sebun Ong memberi hormat. Sambil memandang
bayangan orang itu, timbullah keraguan dalam hati Cu
Jiang. Tetapi betapapun setiap perbuatan jahat pasti akan
terbuka kedoknya.
Kalau Sebun Ong itu hanya seorang kuncu ( gentlemen )
palsu, akhirnya tentu terbuka juga belangnya. Menurut
keterangan Cukat Giok, Sebun Ong itu seorang manusia
yang tak pantas diberi hidup. Tetapi buktinya dunia
persilatan sangat menjunjung dan menghormatinya.
Cu Jiang menarik kesimpulan manusia semacam Sebun
Ong itu hanya dapat tergolong satu diantara dua. Kalau
bukan seorang ksatrya yang budiman tentulah seorang
bajingan besar.
Tiba2 muncul seorang lelaki yang menggendong peti
obat. Orang itu memberi hormat ke hadapannya:
"Menghaturkan hormat kepada ciangkun."
Ciangkun adalah jenderal. Demikian pangkat Cu Jiang.
Kini Cu Jiang baru mengetahui bahwa orang yang
menyaru sebagai tukang obat itu tak lain adalah salah
seorang dari Su-tay ko-jiu atau Empat jago sakti dari istana
Tayli, yang ditugaskan untuk diam2 mengikuti dan
memberi bantuan Cu Jiang apabila dalam perjalanan ke
Tionggoan itu mendapat kesulitan.
Keempat jago sakti dari Tayli itu sebenarnya memang
telah dilatih oleh Gong-gong-cu sebagai mata-mata. Tugas
pokoknya untuk menyelidiki jejak gerombolan Sip-pat
thian-mo. Mereka pandai sekali dalam ilmu menyamar dan
berpengalaman luas dalam dunia persilatan.
"Oh apakah bukan saudara Song Pik Liang?" tegur Cu
Jiang setelah mengetahui siapa yang berada didepannya itu.
"Ah, harap ciangkun jangan merendah diri. Panggil saja
namaku secara langsung."
"Ah, masakan begitu. Ada kabar ?"
"Ya. Menurut keterangan Ko Cun, kepala dari partai
Thian- liong - kau cabang Siok Liu itu adalah Kian mo. Iblis
terakhir dari gerombolan Sip-pat-thian-mo. Saat ini Ko Cun
masih akan menyelidiki lagi secara cermat. Demikianlah
aku mengaturkan laporan lebih dulu kepada sausu agar
sausu dapat berita !."
"Jika begitu Thian tong-kau itu didirikan oleh Sip-pat-
thian-mo?" Cu Jiang menegas.
"Kemungkinan besar."
"Baik, aku akan kembali kedalam kota."
Sejenak memandang kearah mayat2 baju kuning itu
berkatalah Song Pek Leng pula:
"Apakah ciangkun tahu akan asal usul korban2 itu?"
"Anak buah partai Thian-tong-kau cabang Siok-ciu !"
"Benar. Dan tahukah ciangkun siapa pembunuhnya ?"
"Siapa ?"
"Lelaki tua jubah kuning emas yang barusan pergi tadi."
"O, Bu-lim-seng hud Sebun Ong yang membunuh
mereka ?" teriak Cu Jiang terkejut.
Song Pak Liang mengangguk.
"Ya, memang dia. Lebih dulu kawanan baju kuning ini
yang membunuh belasan jago pedang Gedung Hitam tadi,
kemudian baru lelaki Jubah kuning emas yang membunuh
mereka." "Oh," Cu Jiang mendengus. Bahwa enam murid Thian-
tong-kau membunuh jago2 Gedung Hitam, itu memang
merupakan permusuhan antara kedua partay yang sedang
berebut pengaruh, Tetapi mengapa Sebun Ong membunuh
murid2 Thian-tong-kau?"
Gedung Hitam merupakan sebuah persekutuan jahat
yang mengganggu keselamatan dunia persilatan. Sungguh
kebetulan sekali kalau diberantas oleh Thian-tong-kau. tapi
Thian-tong-kau sendiri tentu juga bukan suatu perkumpulan
yang baik. Mungkinlah Sebun Ong hendak menggunakan siasat
mengadu domba kedua perkumpulan jahat itu"
"Cara lelaki jubah kuning emas turun tangan sungguh
ganas sekali. Tak memberi kesempatan kepada korban itu
untuk membalas." kata Song Pek Liang pula.
"Bagaimana kalau Pek Liang heng melakukan suatu
urusan untukku ?" tanya Cu Jiang.
"Silahkan ciangkun memberi perintah."
"Lelaki Jubah kuning emas itu adalah tokoh Bu lim-seng-
hud Sebun Ong yang terkenal. Dia telah merawat seorang
wanita dan putrinya, ditempatkan di jalan Lam-tay, kota
Gong-an...."
"Suruh hamba melakukan penyelidikan ?"
"Ya, tetapi jangan sampai mengejutkan mereka sehingga
mereka dapat bersiap. Dalam sepuluh hari aku tentu datang
kesana." "Baik."
Cu Jiang meminta agar jangan menggunakan sebutan
ciangkun dan berbahasa saja sebagai orang persilatan, demi
menjaga agar diri mereka jangan sampai ketahuan orang.
"Baik. aku akan ke Siok-ciu dulu untuk berunding
dengan ketiga kawanku, baru menuju ke Gong-an."
Cu Jiang mengiakan.
"Tetapi menurut ciangkun, kita menggunakan sebutan
apa?" tanya Song Pek Liang pula.
"Kupanggil kakak dan kamu berempat menyebut aku
lote saja."
"Ada beberapa kata sandi untuk mengadakan hubungan,
harap dicatat agar hubungan kita jangan sampai putus . .."
"Sebutkan."
"Ciangkun . . ."
"Ai, jangan menyebut begitu!"
"O, benar. Semua telah kutulis di kertas. Setelah
membaca harap lote merobeknya." Song Pek Liangpun
menyerahkan sehelai kertas. Kemudian dia pamit pergi.
Cu Jiangpun segera melanjutkan perjalanan sambil
membuka kertas dan menghafalkan sandi2. Tiba di kota
Sok ciu sudah menjelang petang. Setelah semua sandi
dihapalkan diapun lalu menghancurkan kertas itu.
Dia memilih sebuah rumah makan kecil yang terletak
ditempat yang sepi. Setelah memberi sandi pada pintu dia
lalu masuk. Dia pesan hidangan dan arak, menyuruh jongos pergi
dan mulai makan. Dia sengaja duduk membelakangi
jendela dan menghadap ke sebelah dalam agar orang jangan
melihat wajahnya.
Rumah makan itu sudah sering menerima tetamu-tetamu
yang bertingkah aneh. Mereka tak menghiraukan mereka.
Pokok mereka makan dan bayar.
Brak ,. . tiba2 terdengar meja ditepuk keras oleh orang.
"Hai, Jongos, lekas sediakan daging porsi besar. Ho,
lapar setengah mati. Juga sepoci besar arak !"
Jongos gopoh2 melakukan pesanan itu. Diam2 Cu Jiang
membatin tetamu kasar itu kalau bukan Jahat tentu seorang
limbung. Rupanya tetamu itu tak menghiraukan apa2. Dia
bersenandung dengan nada suaranya yang parau:
"Tio Bik Tik dengan tiga kali menggerung dapat
meruntuhkan tiang. Bu Siong membunuh harimau besar di
Kang-yang-hong...."
Mendengar senandung yang tak keruan juntrungannya
itu, tiba2 Cu liang teringat akan kata2 sandi. Ah, tetamu itu
tak lain dari Ong Kian, salah seorang dari Su-tay-ko-ju
Tayli. Rupanya dia memang sengaja melantangkan kata
sandi. Tetapi entah dia membawa berita apa saja..."
Tetapi setelah bersenandung beberapa kata tadi, Ong
Kianpun berhenti.
Tiba2 sebuah kertas yang telah dipulung kecil melayang
keatas meja Cu Jiang. Ketika Cu Jiang membukanya
ternyata berisi beberapa tulisan, berbunyi:
"Disebuah gedung besar kira2 tiga li dari sini ke timur,
ketua cabang memang Kiam-mo."
Cu Jiang cepat meremas hancur kertas itu lalu
mengenakan kain kerudung muka lagi. Setelah membayar
rekening dia terus melangkah keluar. Ia sempat melihat
pada Ong Kian yang menyamar sebagai seorang lelaki kasar
tengah menggerogoti paha ayam dan minum arak. Setelah
saling memberi isyarat mata. Cu Jiangpun terus lanjutkan
perjalanan. Dia menuju ke pintu kota timur, Berjalan tiga li jauhnya
dia melihat sebuah bangunan gedung besar, terletak
ditengah hutan dan dikelilingi sawah yang tak terurus
keadaannya. Bukan padi melainkan rumput dan Ilalang
yang tumbuh. Diluar dari hutan itu didirikan sebuah lingkaran pagar
tembok, pintunya setengah terbuka tetapi tak tampak
barang seorangpun juga.
Cu Jiang segera menghampiri ke pintu yang terbuat
daripada papan kayu itu.
Seorang lelaki tua berpakaian kuning segera muncul
menyambut. Dalam sikap dan nada yang dingin dia
berkata: "O, ternyata sahabat datang juga !"
Cu Jiang terkejut. Diam2 ia membatin bahwa ternyata
orang sudah mengadakan persiapan.
"Aku hendak bertemu dengan thau-cu kalian!" sahut Cu
Jiang. "Sahabat.... engkau mau bertemu thancu kami ?"
"Ya."
"Perlu ?"
"Adu pedang!"
"Apa " Adu pedang ?"
"Ya!"
"Ah, sahabat datang ke alamat yang tepat, Silahkan ikut
aku." O0odwo0O Jilid 12 Cu Jiang melangkah masuk. Ternyata di dalamnya telah
bersiap berpuluh-puluh jago silat berpakaian kuning dengan
senjatanya. Tiap tiga langkah seorang baju kuning. Suatu
penjagaan yang seketat pagar pedang.
Pada saat berjalan melalui mereka, mereka pun
mengangkat pedang selaku hormat kepada lelaki tua baju
kuning itu. Jelas lelaki tua itu tentu mempunyai kedudukan
tinggi. Paling tidak tentu sebagai seorang tongcu.
Setelah berpuluh meter menyusuri jalan, tibalah Cu Jiang
disebuah lapangan yang cukup luas. Sebuah bangunan
gedung bertingkat tampak berdiri dengan kokoh.
Bangunan itu tentu sudah lama dibangun, bukan
didirikan oleh partai Thong-thian-kau. Mereka tentu
merebutnya dari lain orang.
Tiba di tengah lapangan, lelaki tua itu berseru:
"Harap tunggu disini," kakinya terus melangkah kearah
gedung. Cu Jiang hentikan langkah. "Heh, heh, heh, heh, heh ..
"Huak, huak !"
Terdengar kekeh tawa seram disusul dengan Jeritan
ngeri. Cu Jiang memandang kearah suara itu dan seketika
darahnya pun mendidih.
Pada tepi yang hitam dari lapangan itu, sedang
berlangsung suatu penjagalan yang mengidikkan bulu roma.
Seorang pemuda dengan dandanan sebagai pelajar,
duduk di sebuah kursi. Di depannya terpancang berpuluh


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

batang tonggak. Setiap tonggak terikat seorang lelaki yang
berpakaian compang-camping seperti pengemis. Tua dan
muda. Di muka tonggak, tegak sekelompok busu baju kuning
mencekal pedang. Pada saat itu sudah ada empat orang
pengemis yang kepalanya menggelinding ke tanah. Tanah
tergenang darah merah.
Tawa kekeh tadi berasal dari mulut pemuda pelajar itu.
Jelas yang sedang dijagal itu adalah anak murid dari
partai Kay pang atau pengemis.
Pemuda pelajar mengangkat tangan dan berseru:
"Hayo, menerima atau tidak?"
Seorang pengemis tua, meraung dengan nada ngeri:
"Tidak bisa ! Anak murid Kay-pang lebih suka mati
daripada menyerah!"
Pemuda pelajar itu tertawa dingin lalu menjulur tiga
buah jari tangannya. Pedang berkelebat dan jeritan ngeri
segera menusuk telinga.
Batang kepala tiga orang murid Kay-pang menggelinding
lagi ke tanah. Darah menyembur tinggi ke udara.
"Berhenti!" Cu Jiang menggembor keras dan terus
menghampiri. "Tunggu!" terdengar teriakan empat orang bu-su
pengawal yang melangkah maju dengan membawa pedang.
Tetapi Cu Jiang tetap ayunkan langkah. Ia memandang
tajam pada keempat bu-su itu.
Pemuda pelajar itu masih tetap duduk di kursinya. Dia
hanya berpaling dan berseru:
"Hai, ada apa?"
Rupanya dia tak tahu akan kedatangan Cu Jiang. Dan
dengan gunakan gerak-langkah Gonggong-poh-hwat, dalam
dua putaran saja Cu Jiang sudah berdiri di muka pemuda
pelajar itu. Dipandangnya pemuda pelajar itu dengan tajam.
Seorang pemuda yang berumur dua puluhan tahun,
berwajah sadis.
Serentak pemuda itupun berbangkit dan menghardik:
"Siapa engkau!"
Belasan bu-su yang bertugas melakukan penjagalan
itupun serempak mengepung. Kilau sinar pedang mereka
mengerikan sekali. Tetapi Cu Jiang tenang2 saja.
"Dan engkau siapa?" Cu Jiang balas bertanya.
"Pelajar-gemar darah Kiang Ki, putera angkat dari ketua
cabang partai . . . . " tiba2 dia teringat sesuatu. Wajahnya
meregang dan berseru dengan tersendat:
"Apakah engkau bukan . . . . "
Sepatah demi sepatah, Cu Jiang berkata:
"Toan . . . kiam ... jan ... jin ...."
Serentak cahaya muka Kiang Ki berobah dan tiba2 ia
menyurut mundur, menendang kursi sampai terpental
setombak jauhnya. Juga kawanan bu-su itupun pucat lalu
mundur beberapa langkah.
"Andakah yang bernama Toan-kiam-jan-jin itu?"
"Benar."
"Apa maksud kedatangan anda ke mari?"
"Menantang adu pedang."
Pemuda pelajar itu terkesiap lalu tertawa sinis:
"Toan-kiam-jan jin, apakah engkau mampu hidup
panjang dengan sikapmu yang congkak itu?"
Sejenak Cu Jiang mengeliarkan pandang ke arah anak
murid Kay-pang yang diikat pada tonggak.
"Apakah anda gemar membunuh orang?" serunya.
"Itu bukan urusanmu. "
"Lepaskan mereka!"
"Heh, heh, heh, dengan dasar apa anda memberi
perintah begitu?"
"Pedang kutung!"
"Bagus ! Hari ini anda beruntung bertemu dengan leluhur
dari orang yang bersenjata pedang."
"Lepaskan mereka !"
"Tidak bisa!"
Namun Cu Jiang tak menghiraukan- Dengan langkah
yang terpincang pincang dia menghampiri ke tempat
tonggak itu. Sekonyong-konyong
setiup hujan pedang segera menghambur ke arahnya. Setiap bu su itu merupakan jago
pedang kelas satu. Mereka berjumlah belasan orang. Sudah
tentu perbawanya luar biasa dahsyatnya.
Sepasang tangan Cu Jiangpun serempak bergerak.
Segulung angin pukulan yang sedahsyat badai segera
berhamburan memekikkan telinga.
Jeritan ngeri dan teriak tertahan, disusul dengan sosok
tubuh yang mencelat keempat penjuru segera tampak. Tiga
dari kawanan bu su itu mencelat ke udara dan melayang
sampai tiga tombak jauhnya Nyawanya pun putus seketika.
Melihat itu wajah Kiang Ki berobah merah padam.
Matanya memancarkan sinar pembunuhan yang ngeri.
Mencabut pedang dia terus melangkah maju dan
membentak bengis:
"Toan-kiam jan jin, engkau berani membunuh anak
buahku, sungguh besar sekali nyalimu."
"Tempat macam apakah ini ?" sahut Cu Jiang.
"Engkau memang hendak cari mati atau hendak menjual
jiwa untuk Kay-pang?"
"Dua-duanya."
"Kalau membiarkan engkau keluar dari sini dengan
masih bernyawa nama Thong - thian - kau tentu akan pudar
dari dunia persilatan."
"Barangkali."
Kiang Ki makin kalap, ia tertawa seram : "Hm, engkau
akan mati dengan tubuh tercincang!"
"Jangan terburu mengatakan begitu dulu. Apa lagi
engkaupun tak layak berkata begitu. Sekarang katakan dulu,
apa sebab anak murid Kay-pang hendak engkau jagal ?"
"Sederhana sekali. Kay-pang harus enyah dari wilayah
Kekuasaan partai Thong thian-kau cabang kota ini. Kalau
tidak, akan dibunuh semua !"
"Apa mampu ?"
"Tentu."
"Saat ini aku belum mau membunuhmu..." Belum selesai
Cu Jiang berkata, tiba2 terdengar suara nyaring berteriak.
"Than cu datang !"
Sekalian bu-su serempak mundur sampai beberapa
tombak, menundukkan kepala dan tubuh. Juga kawan-2
mereka yang terluka, berusaha untuk mundur.
Cu Jiang berputar tubuh, memandang ke muka. Seorang
lelaki tua bertubuh tinggi besar dan berjubah kuning dengan
dikawal oleh berpuluh orang, melangkah masuk. Lebih
kurang lima tombak dari tempat Cu Jiang, para pengawal
itu berhenti dan membentuk diri dalam formasi busur
melengkung. Sementara lelaki tua berjubah kuning itu teruskan
langkah menuju ke tengah lapangan.
Pelajar-gemar-darah Kiang Ki serentak memberi hormat:
"Gihu, orang ini hendak menantang adu pedang."
"Kutahu," sahut lelaki tua jubah kuning itu.
Ketika beradu pandang, Cu Jiang agak terkesiap. Dari
sorot mata lelaki tua itu, dapatlah ia menarik kesimpulan
bahwa orang itu memiliki tenaga-dalam yang hebat sekali.
"Apakah engkau yang disebut Toan-kiam-Jan-jin?" tegur
lelaki tua jubah kuning.
"Benar," sahut Cu Jiang, "dan anda tentulah ketua
cabang partai Thong-thian-kau yang bernama Kiam-mo.
bukan?" "Geladak! Engkau berani menyebut gelar itu seenakmu
sendiri ....!" bentak Kiang Ki dengan kemarahan meluap-
luap. Tetapi Cu Jiang tak berkedip dan tak mengacuhkan. Dia
tetap mencurah pandang kepada lelaki tua berjubah kuning
itu. Tiba2 lelaki jubah kuning itu tertawa, serunya:
"Engkau . ... hendak menantang adu pedang dengan
aku?" "Benar."
"Bagaimana engkau tahu gelaranku?"
"Berkelana dalam dunia persilatan, mata dan telinga
harus tajam."
"Apa tujuanmu?"
Cu Jiang teringat sesuatu.. Dengan nada dan sikap yang
congkak sekali ia berkata:
"Sejak turun gunung, belum pernah aku ber temu dengan
lawan yang mampu menandingi kepandaianku. Kudengar
setiap anggauta dari Sip-pat-thian-mo itu memiliki
kepandaian hebat maka aku hendak menemui mereka satu
demi satu."
"Engkau hendak menempur Sip-pat-thian-mo?"
"Begitulah"
"Mungkin engkau akan kecewa."
"Mengapa ?"
"Karena hari ini engkau sudah keburu mati ditempat ini."
"Ha, ha, ha . . . anda bermulut besar . . .."
Kiang Ki mengisar selangkah, serunya: "Gihu, ijinkan
aku yang menyempurnakannya"
"Jangan,"
cegah Kiam-mo, "engkau bukan tandingannya."
"Bukankah gihu mengatakan bahwa kepandaianku
sekarang ini sudah dapat menghadapi jago pedang yang
manapun dalam dunia penilaian di Tionggoan .. .."
"Tetapi tidak dengan orang ini," tukas Kiam-mo.
"Atas dasar apa Gihu membuat penilaian itu?"
"Tenaga-dalammu belum menyamainya."
"Tetapi ilmu pedangku masakan kalah ?"
"Jika tak mencekal senjata, jangan masuk kedalam
hutan. Lebih baik engkau jangan coba-coba."
"Justeru aku ingin sekali mencoba berhadapan dengan
jago pedang yang sakti."
Cu Jiang mendengus dingin:
"Setiap kali pedang kutungku keluar, takkan masuk
kedalam sarungnya apabila belum meminum darah."
Kiang Ki getarkan pedangnya sehingga memancarkan
sinar sampai meluas, lalu berseru dengan congkak:
"Akupun juga begitu. Sebelum minum darah takkan
berhenti."
Kiam-mo mundur tiga langkah, serunya: "Kalau mau
mencoba silahkan. Tetapi hanya boleh sampai tiga jurus
saja." Serentak meluaplah kemarahan Cu Jiang. Dia memutuskan hendak membasmi pemuda yang ber hati buas
itu agar melenyapkan bahaya dalam dunia persilatan.
Demikian pula ia hendak mengejutkan kawanan Sip pat
thian-mo agar beramai-ramai keluar mencarinya. Ya, ia
harus bertindak ganas.
"Tidak perlu," serunya, "selama ini aku hanya
menggunakan satu jurus saja. "
"Peraturan yang kupegang selama ini." sahut Kiang Ki,
"jika lawan belum mengucurkan darah, takkan berhenti. "
"Bagus, silahkan mulai! "
"Cabutlah pedangmu."
"Menghadapi engkau, belum perlu." Kata2 yang congkak
dari Cu Jiang itu benar2 meledakkan dada Kiang Ki.
"Marah merupakan pantangan dalam ilmu pedang,"
tiba2 Kiam-mo berseru memberi peringatan kepada pemuda
yang menjadi putera angkatnya itu.
Mendengar itu Kiang Ki tenangkan diri. Ia mengangkat
pedang ke atas, sorot matanya penuh dengan nafsu
pembunuhan yang meluap-luap. Sementara Cu Jiang tetap
memandangnya dengan tak berkedip.
Suasana senyap seketika. Seluruh mata sekalian orang
tercurah ruah ke tengah lapangan. Hati mereka tegang
bukan kepalang.
Walaupun belum lama timbul, tetapi kebesaran nama
Thong thian kau melebihi penguasa dunia persilatan yang
sekarang yakni Gedung Hitam. Bahwa orang berani datang
untuk menantang adu kepandaian, tentulah dia manusia
yang harus digolongkan satu diantara dua jenis: gila atau
sakti. "Hai!" terdengar pekikan singa yang menggetar jantung
sekalian orang. Pedang dari Kiang Ki memancar
menyambar ke arah Cu Jiang. Bukan saja dengan tenaga
penuh, pun jurus gerakannya luar biasa anehnya.
Selarik sinar pedang memancar lalu padam.
"Huak..." terdengar teriakan keras tetapi hanya setengah
jalan berhenti Dan selesailah pertempuran yang penuh
ketegangan itu.
Tampak Cu Jiang masih mencekal sebatang pedang
kutung, entah bagaimana cara dia mencabut dan
menyerang. Terlalu cepat bagi mata memandangnya.
Ujung pedang Kiang Ki masih menjulur maju ke muka
dada Cu Jiang, hanya terpisah tiga inci dari dada. Dan
sekalian orangpun masih menahan napas. Tetapi mengapa
terdengar jeritan ngeri tadi" Dari mulut siapakah jeritan itu"
Mengapa saat itu Kiang Ki tak melanjutkan gerak
pedangnya untuk menusuk dada Cu Jiang.
Bluk .... sekonyong-konyong tubuh Kiang Ki rubuh,
kepalanya terpisah dari leher, menggelinding ke tanah,
diantar oleh darah segar yang menyembur seperti pancuran.
"Ai..." terdengar teriakan hiruk pikuk yang menggema.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan Cu Jiangpun pelahan-lahan menyarungkan pedang
kutungnya. Wajah Kiam-mo berobah hebat. Serentak dia berteriak:
"Bawa pedang ke mari!"
Seorang busu baju kuning segera menghaturkan sebatang
pedang. Kiam-mo mencabut pedang itu dan busu pun
kembali mundur lagi.
Pedang itu memancarkan sinar dingin yang kebiru-
biruan warnanya. Tentulah sebatang pedang pusaka.
Maju selangkah kehadapan Cu Jiang, Kiam-mo berseru
bengis: "Budak, apakah maksud kedatanganmu kemari benar2
hendak menantang adu ilmu pedang?"
"Benar," jawab Cu Jiang. "aku telah terlanjur bersumpah.
Apabila aku, Toan-kiam-jan jin masih hidup, takkan
membiarkan seorang jago pedang yang manapun menjagoi
dunia." "Kecongkakanmu hebat sekali . . ."
"Aku tak pandai putar lidah."
"Sejak hari ini, dunia persilatan takkan terdapat seorang
manusia yang bergelar Toan-kiam-jan-jin lagi."
"Jangan anda terlalu membanggakan diri. Mungkin
nama Kiam-mo akan lenyap."
"Engkau menghendaki cara bagaimana?"
"Satu jurus!"
"Sebelum engkau mati, aku takkan berhenti."
"Aku tetap hanya satu jurus."
Wajah Kiam-mo membesi dan gerahamnya bergemerutukan.
"Seumur hidup baru pertama kali ini aku berjumpa
dengan seorang yang bakal mati tetapi tetap congkak
sekali." Cu Jiang tak menghiraukan. Dia tetap tenang dan
dingin. "Pujian." serunya.
"Mulailah!"
"Tunggu dulu, aku mempunyai syarat," tiba-tiba Cu
Jiang berkata "Apa" Engkau masih akan mengajukan syarat apa lagi?"
"Ya, memang. Dan syarat itu sederhana sekali. Karena
ada Toan-kiam-jan-jin, tak boleh ada Kiam-mo. Salah satu,
engkau atau aku yang harus hidup di dunia persilatan . . ."
"Ha, apa lagi!"
"Yang kalah, harus menghancurkan ilmu kepandaiannya
sendiri dan selama-lamanya tak boleh muncul dalam dunia
persilatan."
"Bagiku, hanya jiwamu yang akan kuminta," seru Kiam-
mo. "Baik tetapi anda pun harus menerima syaratku. Kalau
tak berani, tak usah turun tangan, " kata Cu Jiang.
"Jangan banyak mulut, lekas bersiap menerima
kematian!" bentak Kiam-mo.
Serentak dia melakukan sikap pembukaan yang aneh.
Ujung pedang tak henti-hentinya ditarik dan dijulurkan.
Hawa pedang segera berhamburan meluncur seluas satu
tombak. Hal itu menandakan bahwa segenap tenaga dalam telah
dikerahkan. Rupanya dia sangat bernapsu sekali dalam satu
gebrak dapat menghabisi lawan.
Suasana tegang sekali. Sekalian pengawal Kiam mo yang
berada di sekeliling lapangan itu memandang dengan mata
tak berkedip dan napas tertahan.
Kedua jago itu masing2 mengadakan sikap kuda2 yang
tangguh dan sukar diterobos.
Detik demi detik berlalu cepat. Sekalian pengawal Kiam-
mo-un sudah bercucuran keringat. Mereka dicekam
ketegangan dari pertempuran yang akan terjadi. Entah
bagaimana nanti hasil dari pertempuran itu apabila
berlangsung. Mata Cu Jiang seperti melekat tak berkedip. Beberapa
waktu kemudian, dahi Kiam-mo mulai agak berkereyutan.
"Hatimu!"
Akhirnya yang dinanti-nanti terjadi juga. Sebuah ledakan
suara gemboran yang dahsyat segera disusul dengan dering
benturan senjata yang seolah-2 memutuskan urat2 jantung.
Setelah itu terus sirap. Sepi lagi.
Cu Jiang memasukkan kembali pedang kutungnya ke
dalam sarung. Pedang di tangan Kiam-mo menjulai ke bawah dan
orangnyapun sudah bergeser tiga langkah ke belakang.
Mukanya menggigil, sorot matanya yang menyeramkanpun
sudah kehilangan perbawanya. Dua alir darah mengucur
dari sudut mata dan mulutnya
Kiam-mo, salah seorang tokoh dari gerombolan Sip-pat
thian mo yang termasyhur, saat itu menderita kekalahan.
Kekalahan yang menggemparkan, Suatu peristiwa yang
benar2 orang tak mungkin mau percaya.
Suasana sunyi senyap. Tiada barang suatu pekik kejut
ataupun teriakan ngeri Seluruh jago2 ko jiu dari Thong-
thian-kau terlongong-longong.
Beberapa saat kemudian baru Cu Jiang terdengar
membuka mulut. Nadanya dingin dan hambar tetapi
mengandung perbawa yang menakutkan.
"Harap anda segera melakukan syarat itu!" sepatah demi
sepatah diucapkan dengan nada seberat palu menghantam
paku. Tiba2 pecah gelombang bentakan. Belasan sosok tubuh
berhamburan menaburkan pedang menyerang Cu Jiang.
Huak .... huak ....
Tetapi bagaikan gelembung air tertimpa hujan, cepat
sekali tubuh itu berserakan tercerai berai keempat penjuru.
Yang tertinggal, empat sosok tubuh manusia yang sudah
menjadi mayat. Kiam-mo menggigil.
"Aku menunggu jawabanmu!" seru Cu Jiang.
"Engkau suruh aku menjawab apa?" Kiam-mo meraung
seperti singa terluka.
"Sesuai dengan syarat yang kukatakan tadi. Lekas
engkau hancurkan ilmu kepandaian anda sendiri!"
"Tidak bisa!"
"Ho, tak kira kalau kawanan Sip pat-thian-mo yang
termasyhur itu ternyata hanya kantong nasi yang tak
berguna. Sungguh mengecewakan sekali. Apa yang
kukatakan tentu kujalankan. Kalau anda tak mau merusak
tenaga kepandaian anda sendiri, terpaksa aku yang akan
mewakili ...."
"Engkau berani?" bentak Kiam-mo dan bertaburan sinar
pedangnya mencurah kepada Cu Jiang.
Cu Jiang menggembor dan hujan sinar pedang itupun
serentak lenyap, berganti dengan selarik sinar melambung
ke udara. Pedang Kiam-mo terlempar ke atas.
"Auh . . . . " terdengar teriak kejut yang menggeledek.
Cu Jiang mengangkat tangan dan menebarkan sebuah
jari ke muka Seketika Kiam-mo mengerang tertahan.
Tubuhnya yang tinggi besar terhuyung-huyung. Wajah
pucat lesi. "Sejak saat ini, dunia persilatan tak ada tokoh yang
bernama Kiam-mo lagi!" seru Cu Jiang dengan nada bengis.
Kiam-mo memandang Cu Jiang dengan sorot mata
penuh dendam kesumat lalu berputar tubuh dan berjalan
masuk ke dalam gedung.
Sekian banyak jago2 Thong-thian-kau,
tak ada seorangpun yang berani bergerak menyerang Cu Jiang.
Dengan langkah yang terpincang-pincang, Cu Jiang
segera menghampiri ke tempat tonggak. Dengan pedang
menggurat putus tali yang mengikat tubuh seorang
pengemis tua. Pengemis itu serta merta menghaturkan
hormat. "Terima kasih atas bantuan anda, partai kami .... "
Tiba2 Cu Jiang mengacungkan sebuah benda dan
serentak pengemis tua itupun terkejut lalu jatuhkan diri
berlutut. "Murid Ang Ih, kepala cabang kwan-se, menghaturkan
hormat ke hadapan tianglo."
"Harap bangun." seru Cu Jiang, "lencana Tiok-hu ini
pemberian tianglo Kay-pang Pengemis-sakti pencabut
nyawa Tong Ih Leng kepada tokoh Lam-kek-sah. Lam kek-
sah minta tolong kepadaku supaya menyerahkan kembali
kepada pemiliknya. Harap Ang tho cu suka mewakili
menerimanya."
Pengemis tua yang bernama Ang Ik itu segera berbangkit
dan menyambuti.
"Lekas ajak anak buah anda tinggalkan tempat ini," kata
Cu Jiang seraya menyimpan pedangnya.
Ang Ikpun segera melakukan perintah. Membebaskan
anak buahnya yang terikat lalu membawa kawan2 yang
menjadi korban. Sebelum pergi mereka beramai-ramai
menghaturkan terima kasih kepada Cu Jiang.
Sekalian anak buah Thong thian-kau hanya melihat saja
anak buah Kay-pang itu pergi tetapi tak berani berbuat
apa2. Setelah mereka pergi barulah Cu Jiang tinggalkan tempat
itu. Berita kekalahan partai Thong-thian-kau cabang kota
Kwo-se itu cepat sekali tersiar dalam dunia persilatan.
Kaum persilatan terkejut, heran dan hampir tak percaya,
tetapi mereka harus menerima berita itu sebagai suatu
kenyataan. Nama Toan-kiam jan-jin menjadi buah bibir.
Tantang menantang.
Kira2 empat belas li dari kota Gong-an, di tepi jalan
besar dibangun sebuah pagoda peranginan, untuk pejalan2
yang hendak beristirahat. Di tepi pagoda peranginan itu
dibangun juga beberapa rumah pondok untuk kedai
minuman dan orang2 jualan.
Ciat goan-thong atau pagoda Pelepas-lelah, demikian
nama tempat peristirahatan itu. Kabarnya pada jaman dulu
ada seorang penyair ternama yang singgah di tempat itu.
Sebelum araknya habis, syair telah selesai dirangkainya.
Sejak itu maka pagoda peranginan diberi nama seperti
diatas. Saat itu waktu lohor. Di dalam pagoda peranginan
duduk lima jago pedang yang mengenakan pakaian ringkas.
Dua diantaranya berumur dua puluhan tahun, yang dua
lagi berumur tiga puluhan tahun sedang yang satu disekitar
empat puluhan tahun.
Lelaki yang paling tua itu mondar-mandir menggendong
tangan. Wajahnya tegang dan tak henti-hentinya memandang ke arah jalanan seperti menunggu sesuatu.
Kawanan yang empat juga agak gelisah.
"Toa-suheng, kukira sudah sajalah," tiba2 salah seorang
yang muda berkata.
"Apa" Sudah?" teriak lelaki yang paling tua itu dengan
nada tegang. "sejak lima puluh tahun berselang ketika
ciang-bun su cun (kakek guru ketua partai) kita kalah adu
pedang di gunung Bo-san, nama partai Hoa san-pay seolah-
olah tenggelam dalam dunia persilatan. Sekarang ini kita
mendapat kesempatan yang jarang sekali datangnya untuk
membangun kembali nama perguruan Hoa-san pay,
bagaimana kita akan sudah begitu saja."
"Tetapi .... toa-suheng, ilmu pedang lawan memang
benar2 telah mencapai tataran yang sukar dibayangkan . . ."
"Sute, sepuluh tahun lamanya aku mati-matian bersusah
payah untuk berlatih ilmu pedang, apa tujuanku?"
"Membangun partai, banyak jalan yang dapat ditempuh.
Mengapa harus mengambil cara begini."
"Itu merupakan satu-satunya jalan yang tercepat. "
"Apakah toa suheng yakin pasti menang?"
"Kalau tak berhasil tentu gagal. Kalau kalah tentu mati.
Apakah pendirian hidup seorang ksatria itu?"
"Kukira tidak begitu."
"Sute, engkau salah pilih. Seharusnya engkau menyekap
diri dalam kamar dan rajin belajar agar dapat mencapai
nama. Tak seharusnya engkau memilih jalan hidup sebagai
seorang bu su."
"Toa-suheng, apakah
engkau benar2 mempunyai pegangan?"
Rupanya lelaki yang paling tua dan dipanggil sebagai
toa-suheng itu agak kurang senang, sahutnya:
"Sudahlah, ji sute, jangan merengek-rengek. Sejak
mendapatkan kitab rahasia peninggalan su-cou ya (kakek
guru), aku telah mempelajari dan berlatih keras selama
sepuluhan tahun baru dapat mencapai hasil. Hoa-san-pay
mampu atau tidak untuk bangkit kembali dan menempatkan diri dalam jajaran Empat-besar partai-
pedang, semua tergantung pada gerakan kali ini. Sejak
berkunjung ke markas partai Bu-tong dan Go-bi,


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepercayaan ku makin tumbuh delapan puluh persen. . ."
"Pernyataan siau sute tadi memang bukan tak beralasan.
Selama dalam perjalanan beberapa kali kita sudah saling
menguji ilmu pedang dengan kawan2 dari partai Bu tong
dan Gobi. Ternyata hasilnya tak mengecewakan. Hal itu
cukup." "Keputusanku sudah tetap, tak perlu banyak bicara.
Coba pikir, kalau nanti aku dapat menangkan barang
setengah jurus saja dari lawan, bagaimanakah akibatnya."
"Andaikata Hoa-san-pay tak dianggap sebagai partai
ilmu pedang yang paling hebat, tetapi sekurang-kurangnya
tentu akan sejajar dengan partai Bu-tong dan Go-bi."
"Mudah-mudahan begitu, tetapi..."
"Tetapi bagaimana ?"
"Kalau tak berhasil menang?"
"Telah kukatakan. Sebagai seorang kaum persilatan,
janganlah kita berat akan Jiwa kita. Dengan susah payah
sucouwnya telah mendirikan partai Hoa-san-pay. Kemudian kita yang menerima warisan untuk memelihara
ternyata tak mampu menjaga kelangsungan hidupnya.
Apakah ini tidak memalukan ?"
Tiba2 lelaki yang paling muda itu menunjuk ke arah
jalan dan berseru: "Tuh sudah datang !"
Kelima orang itu menjadi tegang dan serempak berdiri.
Dua ekor kuda lari sekencang angin dan beberapa saat tiba
ditempat itu. Penunggangnya loncat turun. Ternyata dua
lelaki baju hitam.
"Bagaimana kabarnya?" serentak lelaki tua yang disebut
toa suheng itu bertanya.
Salah seorang lelaki baju hitam memberi hormat:
"Hatur beritahu kepada ciangbun ..."
"Jangan menyebut ciangbun, belum saatnya!!" tukas
lelaki tua tadi.
Orang berbaju hitam itu agak merah mukanya lalu
berganti sebutan.
"Hatur beritahu kepada toa-supeh, akan segera tiba."
"Segera tiba ?"
"Ya, dia berjalan lambat sekali dan tak kira kalau hanya
seorang cacat..."
"Jangan banyak cakap! Sekarang dia sampai di mana?"
"Kira-kira lima li."
"Baik, kalian boleh kembali ke kota."
Setelah mengiakan kedua pendatang itu pun melarikan
kudanya. Dibawah bayang2 pagoda peranginan yang menjulur
panjang sampai ke tengah itu, tegak berjajar kelima orang
itu. Pedagang2 disekitar tempat itu sudah sama menutup
dagangannya. Pejalan2 pun sudah sepi.
Tak berapa lama tampak sesosok tubuh muncul dari
ujung jalan. Jalannya aneh, seperti bergoyang gontai.
"Tuh, akhirnya dia datang Juga," kata busu yang
dipanggil toa-suheng.
Keempat kawannya mulai tegang. Makin dekat makin
tampak kalau pendatang itu seorang berkaki pincang,
mengenakan dandanan seperti sasterawan tetapi mukanya
bertutup kain cadar.
"Dengarkan, sute berempat," kata lelaki yang tertua.
"kamu cukup menyaksikan disamping, tak boleh ikut turun
tangan. Kalau aku gagal maka tugas untuk membangun
partai terletak di bahu kalian."
"Toa-suheng,kan ini hanya merupakan saling uji
kepandaian, bukan ajang saling bunuh mencari balas
dendam. Kalah atau menang, bukan soal," seru bu su yang
paling muda. "Benar," sahut busu yang tua, "tetapi kali ini aku
berjuang untuk mengangkat nama. Seorang ksatrya hidup
demi nama."
"Tetapi apakah toa-suheng tidak memikirkan beberapa
jago dari Bu-tong dan Go bi yang engkau kalahkan itu, juga
tidak berpikiran seperti toa-suheng juga ?"
"Itu lain persoalannya ..."
Saat itu pelajar pincang sudah tiba. Tanpa menghiraukan
pandang, dia terus berjalan.
Setelah sejenak memandang kearah keempat sutenya,
busu yang tertua itu loncat dari pagoda peranginan lalu
memberi hormat.
"Sahabat, harap berhenti dulu!"
Sasterawan pincang itu berhenti. Memandang datar
kepada orang itu. Tidak berkata apa-apa kecuali hanya
memandang saja.
"Aku yang rendah ini adalah Tan Bun Cau dari partai
Hoa-san-pay. Bukankah sahabat ini yang disebut Toan-
kiam Jan-Jin ?" seru busu yang tertua itu pula.
Memang sasterawan pincang itu tak lain adalah Cu
Jiang. Dia hendak ke kota Seng tou untuk memenuhi suatu
janji. "Ya, benar, apa maksud anda?" sahutnya dengan nada
yang dingin. "Kabarnya, anda telah mengobrak-abrik partai Thong-
thian-kau cabang Kwo se. Membunuh Pelajar-gemar darah
Kiang Ki dan melumpuhkan Kiam-mo ?" seru Tan Bun
Biau pula. Cu Jiang tergerak pikirannya.
"Lalu apa maksud anda?"
"Aku sangat mengagumi ilmu pedangmu !"
"Lalu ?"
"Sengaja aku mencari anda untuk mohon pengajaran."
"Ha, ha, ha, ha " Cu Jiang menengadah dan tertawa
gelak2 seraya lanjutkan langkah.
Tan Bun Ciau cepat menghadang.
"Apakah sahabat tak mau memberi pelajaran kepadaku?"
Cu Jiang terpaksa berhenti, Menatap orang itu lalu
berkata dengan nada dingin:
"Aku tak punya selera !"
"Menganggap hina ?"
"Terserah anggapan anda."
"Toan kiam jan jin, apa engkau kira dalam dunia ini
tiada yang mampu menandingi engkau?"
"Aku tak pernah mengatakan begitu. "
Keempat busu yang berjajar di dalam pagoda peranginan
tak setuju melihat tindakan Tan Bun Ciau, toa-suheng
mereka. Tetapi mereka tak dapat berbuat apa2.
"Apakah engkau tak berani?" seru Tan Bun Ciau
menantang. "Apa yang tak berani?"
"Menguji ilmu pedang!"
"Sudah kukatakan, aku tak punya selera."
"Tetapi aku justeru berselera sekali."
"Menantang?"
"Terserah. "
"Apa tujuanmu?"
"Untuk membuktikan apakah ilmu pedang dari partai
Bu-tong pay itu sederajat dengan partai2 ilmu pedang yang
lain!" "Ha, ha, ha, ha .... "
"Mengapa tertawa?"
Cu Jiang hentikan tawa, serunya :
"Aku bukan ukuran ilmu pedang masa ini, anda salah
alamat. " "Aku tetap akan minta pelajaran."
"Apakah anda bernafsu sekali untuk cari nama?"
Tan Bun Ciao terkesiap. Dengan mengertak gigi dia
menyahut: "Terserah akan dianggap bagaimana !"
"Sudah anda pikirkan masak-masak ?"
"Hmm."
"Ilmu silat itu tiada batasnya. Andaikata dapat
mengalahkan aku, belum tentu anda akan menjadi jago
nomor satu dalam dunia. Dan apabila anda sampai lengah."
"Aku tak meminta nasehatmu!"
"Jadi anda tetap ngotot hendak adu pedang?"
"Ya."
"Kalau aku menolak ?"
"Kecuali engkau Toan-kiam-jan Ji menyatakan menyerah,"
"Ah, Jangan terlalu mendesak orang."
"Terpaksa begitu."
"Sekali lagi kuperingatkan. Anda ini bukan tandinganku."
"Harus dibuktikan dulu."
"Silahkan melolos pedang!"
Mendengar itu keempat murid Hoa-sanpay yang lain
serempak keluar dari pagoda peranginan. Beberapa
pedagang yang masih berada disitu terkejut dan cepat2
membenahi dagangannya.
Mereka mengira terjadi bentrokan dari beberapa orang
persilatan yang hendak menuntut balas.
Tan Bun Ciau mencabut pedang dan terus pasang kuda-
kuda. Matahari hampir tenggelam. Bayang2 orang itu
makin menjulur panjang.
Cu Jiang tegak seperti patung. Kedua tangannya
menjulai kebawah.
"Mengapa tak mencabut pedang?" tegur Tan Bun Ciau.
"Silahkan mulai."
"Jangan keliwat sombong !"
"Anda yang menantang pertarungan ini."
Tan Bun Ciau tak mau banyak bicara, Ia salurkan
tenaga-dalam kebatang pedang. Tetapi segera ia melihat
sesuatu yang mengejutkan. Walaupun tampaknya diam
seperti patung tetapi sikap Cu Jiang itu sukar diserang. Tan
Bun Ciau masih menunda serangannya.
Keempat sutenya menghampiri dan berdiri pada jarak
tiga tombak dari tempat pertempuran.
Cepat sekali sudah sepeminum teh lamanya dan Tan
Bun Cian tak uban lagi. Ia menyadari dirinya bukan
tandingan lawan tetapi karena sudah terlanjur menantang,
terpaksa dia harus melanjutkan.
"Haiiiiit!"
Serempak meraung keras, Tan Bun Ciau segera
lancarkan serangan dengan sepenuh tenaga. Jurus itu luar
biasa hebatnya dan telah dilatih dengan sempurna oleh Tan
Bun Ciau. Dalam dunia persilatan, dia sudah termasuk jago
kelas satu. Tetapi sayang dia cari gara2 dengan Cu Jiang.
"Trinng . . . ! " terdengar dering senjata yang nyaring
sekali dan Tan Bun Ciau terhuyung-huyung mundur
beberapa langkah. Pedangnya hampir jatuh.
Keempat sutenya serempak memekik kaget. Cu Jiang
menyarungkan lagi pedangnya, dan berseru:
"Aku hanya menggunakan setengah jurus karena
sebenarnya kita tak saling bermusuhan apa2."
Habis berkata dia terus angkat kaki melanjutkan
perjalanan. Setengah jurus" Hanya setengah jurus" Ah, mungkin
orang2 tentu takkan percaya. Wajah Tan Bun Ciau pucat
lesu, tubuh bergemetaran keras. Hanya setengah jurus saja,
impiannya yang muluk telah hancur berantakan.
"Ya, sudahlah ..." tiba2 dia ayunkan pedang ke
tenggorokannya sendiri.
"Toa suheng, jangan . . ." keempat sutenya menjerit dan
serempak lari mencegah tetapi terlambat.
Cret .... Tan Bun Cau rubuh mandi darah.
Karena belum jauh Cu Jiang mendengar juga peristiwa
itu. Dia menghela napas tetapi tak mau berpaling. Dia
merasa tak bertanggung jawab atas peristiwa sedih itu. Hal
itu merupakan suatu akibat dari perbuatan seorang
persilatan yang sangat ambisius atau bernafsu untuk cari
nama. Sekalipun begitu, Cu Jiang diam2 merasa sayang bahwa
seorang jago pedang yang memiliki kepandaian sehebat itu
harus mengakhiri hidupnya sendiri secara begitu mengenaskan. Menjelang malam tibalah Cu Jiang di pintu selatan kota
Gong-an. Jalan Lam-tay terletak di pintu selatan kota itu.
Seorang penjual obat tengah merentang tikar dan
menjajakan dagangannya. Dia berteriak-teriak memanggil
pembeli. Pada sebuah peti obat dilandasi selembar kain
yang bertuliskan beberapa huruf, berbunyi. "Obat pusaka
dari kakek moyang, khusus mengobati segala penyakit aneh
yang sukar disembuhkan."
Mendengar suara penjual obat itu, Cu Jiang segera dapat
mengenali siapa orangnya. Orang itu tak lain adalah Song
Pek Liang, salah seorang dari Keempat jago Tayli yang
ditugaskan Cu Jiang untuk menyelidiki tempat yang
dijanjikan Sebun Ong.
Cu Jiang menghampiri dan memberi isyarat mata.
Melihat itu Song Pek Liang segera menegur: "Tuan hendak
memerlukan apa?"
"Ya apakah khusus mengobati penyakit istimewa ?"
sahut Cu Jiang.
"Benar," sahut Pek Liang, "ilmu pengobatanku dari
warisan leluhur. Penyakit ayan, gila, kesetanan, luka2
dibagian tubuh yang manapun, bisul2 yang kelihatan dan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak kelihatan, angin duduk, angin jahat, tentu dapat ku
sembuh kan. Bagaimana kehendak tuan ?"
Cu Jiang geli dalam hati.
"Ada seorang sanakku, menderita penyakit ulu hati,
segala obat telah dicoba tetapi tak mempan ..."
"O, penyakit ulu hati ?" seru Pek Liang, "itu karena
pencernaan macet, hawa darah tak dapat mengalir lancar.
Setelah bertahun-tahun baru meledak. Tuan aku mempunyai resep. Tuan boleh belikan di rumah obat, tiga
hari kemudian tuan boleh datang lagi kemari, nanti akan
kubuatkan resep lain."
Habis berkata dia terus menulis diatas secarik kertas, lalu
diserahkan kepada Cu Jiang.
"Tuan. obat dalam resep ini harganya mahal tetapi
mengingat tuan tentu seorang kaya maka kurasa tuan tentu
tak keberatan membelikannya."
"O, aku tahu bahan2 obat," seru Cu Jiang.
"Kalau begitu kebetulan sekali."
Setelah memeriksa resep itu, Cu Jiang mengatakan
apakah takerannya tidak terlalu berat.
"Tidak, tidak berat." seru Pek Liang. "justeru disitulah
letak perbedaan resepku dengan resep orang lain. Kayu
pwe-bok lipat dua, tidak pakai biji Ti-lip, yang penting som,
harap diperbankan, belikan menurut resep."
"O, baiklah. Lalu berapa ongkosnya ?"
"Tak usah. Apabila obat itu manjur, tiga hari lagi harap
datang dan tuan boleh bayar ongkosnya."
Setelah mengucapkan terima kasih, Cu Jiang-pun segera
melanjutkan langkah.
Cu Jiang berotak cerdas. Sandi2 yang diselipkan dalam
kata2 Pek Liang tadi, dia cepat dapat menangkap
maksudnya. Yang dibilang "belikan obat menurut resep",
ialah supaya bertindak menurut keterangan. Sedang "kayu
pwe-bok lipat dua dan tidak pakai biji Ti-lip", berarti ada
dua wanita tetapi tidak ada lelakinya. Berarti yang ada
hanya si Ratu-kembang Tio Houw Hui dan putrinya.
Sedang kata2 "yang penting som", artinya yalah
menunjukkan Budha-hidup Sebun Ong. Sementara yang
dibilang "Harganya mahal", menunjukkan bahwa lawan
memiliki kepandaian tinggi.
Menurut tanda2 sandi disepanjang jalan, akhirnya Cu
Jiang tiba di depan sebuah rumah gedung besar. Pintu
bercat merah, gentengnya warna hijau. Beberapa pohon tua
yang tumbuh di sekeliling, menjulang tinggi melampaui
puncak rumah. Baru Cu Jiang melangkah ke muka rumah, pintupun
sudah terbuka dan seorang lelaki tua menyambutnya.
"Apakah yang datang ini bukan tuan Toan-kiam-jan-jin?"
"Ya, benar."
"Hamba diperintah majikan untuk menyambut kedatangan tuan. Mari silahkan masuk."
Sejenak meragu, Cu Jiang segera melangkah ke titian
dan masuk ke dalam gedung. Dinding ruangan berhias
sebuah lukisan pemandangan alam. Dua buah lentera dari
sutera tergantung tinggi.
Di belakang tembok, merentang sebuah lorong yang
terbuat dari batu putih. Tak panjang dan beberapa saat
sudah tampak pintu dan jendela dari gedung utama.
Setiba di muka serambi, bujang tua itu berseru nyaring:
"Tetamu sudah datang."
"Ha, ha, ha, sahabat benar2 menepati janji!" tiba2
terdengar suara orang tertawa dan muncullah Budha-hidup
Sebun Ong. "Anda juga pegang janji." Cu Jiang balas memberi
hormat. Sebun Ong mempersilakan tetamunya masuk dan duduk
di tengah ruang. Seorang kacung menghaturkan teh.
"Bolehkah sekarang aku bertemu dengan nyonya Cukat
dan puterinya ?" sesaat kemudian Cu Jiang berkata.
"Boleh." kata Sebun Ong lalu menggapai kacung tadi,
"pergilah mengundang Cukat hujin dan siocia kemari.
Katakan kalau tetamu yang ku ceritakan itu sudah datang."
Tak berapa lama muncullah dua orang wanita. Dengan
nada sopan, Sebun Ong mempersilakan wanita itu masuk.
Kembali timbul keraguan dalam hati Cu Jiang. Sebun
Ong benar2 bersikap seperti seorang kuncu atau gentleman.
Beda sekali seperti yang di gambarkan Koh tiong-jin atau
Cukat Giok tempo hari. Apakah benar2 terdapat salah
faham dalam peristiwa itu.
Kedua wanita itupun melangkah masuk. Yang di muka
seorang nyonya dalam pakaian sederhana. Di belakangnya
mengikuti seorang gadis berumur 17-18 tahun. Cantik
menyilaukan mata.
Cu Jiang serentak berdiri memberi hormat: "Maaf atas
kedatanganku pada malam begini."
Sebut Ongpun memperkenalkan diri Cu Jiang sebagai
Toan kiam jan-jin yang menerima permintaan tolong dari
Cukat Giok. Sejenak memandang Cu Jiang, wanita itu segera
menggandeng tangan si gadis, diajak duduk di samping.
Wajahnya menampilkan kedukaan. Sedang gadis itu
menundukkan kepala.
"Sahabat, silahkan bicara. Kalau tak leluasa, baiklah aku
mengundurkan diri . . . . " kata Sebun Ong.
"Tak usah," cegah Cu Jiang kemudian berkata kepada
wanita itu, "apakah nyonya itu Tio Hong Hui yang bergelar
Ratu-kembang dahulu" Dan nona ini apakah puteri
nyonya?" "Ya. Kabarnya suamiku masih hidup?"
"Masih."
"Mengapa dia menelantarkan kami ibu dan anak?"
"Tetapi sekalipun masih hidup, keadaannya jauh lebih
menderita dari mati. "
"Ih, kenapa?"
Mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat seperti
hendak menembus isi hati nyonya itu. Kemudian dengan
keras ia mengucapkan kata2 sepatah demi sepatah:
"Dia telah dicelakai orang, kini menjadi orang yang
cacad tubuhnya! "
Wajah wanita itu pucat seketika dan dengan nada
gemetar berseru:
"Mengapa dia sampai dicelakai orang?"
Cu Jiang tertegun. Dia agak bingung bagai mana akan
menyelesaikan persoalan itu. Untuk membalas budi Cukat
Giok, dia telah menyanggupi untuk menyelesaikan
persoalan itu. Tetapi kenyataannya, lain seperti yang
diceritakan Cukat Giok. Karena hal itu mengenai jiwa
manusia, ia harus hati2 bertindak.
"Maaf. aku hendak bicara secara blak-blakan. Suami
nyonya telah dicelakai oleh sahabatnya yang karib sendiri."
"Siapa! " teriak wanita itu.
Dengan mata berkilat-kilat, Cu Jiang mengerling ke arah
Sebun Ong dan berseru:
"Sebun tayhiap! "
"Ah . . . ! " kedua ibu dan anak itu serempak menjerit
kaget. Sebun Ong berbangkit tetapi duduk lagi dan tersenyum
hambar: "Bagaimana dasar dari tuduhan itu?"
Tiba2 Cu Jiang berdiri dan berseru dengan nada tegang:
"Cukat cianpwe menceritakan sendiri kepada ku. Anda
telah menurunkan tangan ganas kepada nya. Mengorek
sebuah biji matanya, mengutungkan kedua kaki dan
melemparkannya ke dasar jurang. Jika tak ada kenyataannya, masakan Cukat cianpwe akan merangkai
cerita begitu?"
"Aku.... mengapa harus melakukan perbuatan yang tak
kenal perikemanusian seperti itu?" teriak Sebun Ong dengan
tegang. "Karena hendak merebut isterinya."
"Haia. sungguh suatu fitnah yang menyakitkan hati!"
Wanita itupun segera mengelap muka dengan lengan
bajunya dan dengan suara terisak-isak, berseru:
"Aku tak percaya, tak mungkin terjadi peristiwa
semacam itu ! Sepuluh tahun lamanya aku dan anakku
telah mendapat pertolongan Sebun siokhu yang memberi
tempat tinggal dan menjamin kehidupan kami dengan baik.
Agar tidak disangka buruk oleh orang, maka hanya setahun
sekali Sebun sioksiok datang kemari. Mengapa ... ada cerita
semacam itu."
Juga gadis itu rebahkan kepala ke dada ibunya dan ikut
terisak-isak. Melihat adegan itu, itu tak enak hati Cu Jiang. Soal itu
benar2 diluar dugaannya. Lalu bagaimana dia harus
berbuat " Jika begitu dia perlu harus kembali ke dalam
jurang untuk meminta keterangan yang jelas kepada Cukat
Giok mengenai peristiwa itu.
Bungkusan bunga teratai yang harus diberikan kepada
Tio Hong Hui dan bungkusan kertas yang harus diberikan
kepada nona Beng Cu itu, lebih baik ditahan dulu.
Sambil mengusap air mata, wanita itu berkata pula
dengan rawan: "Apakah tidak mungkin dia menderita penyakit syaraf
karena putus asa?"
Cu Jiang terkesiap. Memang hal itu mungkin.
Tiba2 nona Beng Cu mengangkat muka dan berkata
dengan sedih: "Di manakah ayah sekarang" Aku bersumpah akan
mencarinya sampai ketemu . . ."
"Sahabat !" Sebun Ong cepat menanggapi lagi. "dalam
soal salah paham ini, sukar untuk menjelaskan dengan
kata2. Lebih baik anda menunjukkan tempat Cukat beng.
Setelah bertemu dengan orangnya sendiri, segala apa tentu
dapat dijelaskan!"
Cu Jiang tertegun diam.
"Apakah suamiku sudah tak dapat berjalan lagi?" tanya
wanita itu. "Hm tenaganya sudah hilang, umurnyapun takkan
panjang lagi."
"Apakah dia minta tolong anda untuk membereskan
peristiwa ini?"
"Ya."
"Apa pesannya?"
"Potong kepala manusia yang mencelakai kawan dan
merebut isterinya itu !"
"O, Aah .. ..." Tio Hong Hui meratap. Air matanya
berderai-derai keluar.
"Lalu bagaimana anda akan bertindak ?" kata Sebun Ong
dengan wajah beku.
"Memeriksa lagi persoalan ini sampai jelas."
"Mengapa anda keberatan untuk memberitahu tempat
Cukat-heng !"
"Soal ini .... untuk sementara tak dapat, maaf."
Tiba2 wajah Sebun Ong membesi, serunya : "Sahabat,
maafkan kelancanganku berbicara. Kedatangan anda ini
sangat mencurigakan."
Cu Jiang tertawa meringis. Kini dia berbalik menerima
tuduhan. Ia mendengus:
"Persoalan ini masih belum selesai. Aku masih akan
menyelidiki sampai tenang, maaf, aku mohon diri."
"Tunggu."
"Anda masih mempunyai pesan apa lagi?"
"Sahabat datang sebagai tetamu, ijinkan aku menunaikan
kewajibanku sebagai tuan rumah ...."
"Ah, jangan banyak peradatan."
"Lepas dari persoalan ini, apakah anda benar2 tak mau
memberi muka kepada Sebun Ong?"
"Aku sudah biasa berkelana seorang diri. Tak suka
berkawan, maaf." habis berkata Cu Jiang menatap ke arah
nona Beng Cu, kemudian melangkah keluar.
"Sahabat," Sebun Ong memburu, "setelah persoalan ini
selesai, apakah sahabat tak keberatan bersahabat dengan
aku ?" "Kelak kita bicara lagi." Jawab Cu Jiang dengan nada
dingin. Sehabis keluar dari pintu, tiba2 Tio Hong Hui lari dan
menghadangnya: "Anda harus menunjukkan tempat suamiku !"
"Nyonya, sekarang masih belum waktunya."
"Sudah belasan tahun kami suami isteri tak bertemu.
Kita sama2 tak mengetahui bagaimana nasib kita masing2.
Mengapa anda begitu ...."
"Nyonya, kuminta suka bersabar beberapa waktu lagi."
"Tidak, tidak !" tiba2 Tio Hong Hui menjeritkan
tangisan. Gadis Beng Cu juga lari keluar dan dengan bercucuran
airmata, berseru:
"Apakah anda benar2 tak mengetahui bagaimana
perasaan suami isteri dan anak?"
Tiba2 Tio Hong Hui berlutut, disusul oleh puterinya.
Melihat keadaan itu Cu Jiang benar2 kelabakan. Ia
tertusuk perasaannya Juga. Jika Tio Hong Hui memang tak
bersalah dan semuanya terjadi karena salah faham,
bukankah berat untuk menerima permohonan yang disertai
berlutut dari Tio Hong Hui "


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukankah Tio Hong Hui itu juga seorang cianpwe dalam
dunia persilatan" Kalau memang tidak sungguh2, masakan
wanita itu mau berlutut di hadapannya.
Tetapi apabila memang benar Tio Hong Hui itu
menyeleweng, jika ia memberi tahu tempat Cukat Giok
kepadanya, apakah itu tidak berarti merusak kepercayaan
dan mencelakai Cukat Giok"
Dan ia masih mempunyai lain persoalan yang penting,
jelas tak dapat menemani wanita dan puterinya itu ke
gunung Bu-leng san mencari Cukat Giok.
Cu Jiang bingung dan cepat2 menghindar jauh seraya
berseru. "Nyonya, jangan bersikap begitu. Kita bisa berunding!"
"Oh, anda meluluskan?" seru Tio Hong Hui penuh
harap. Cu Jiang teringat bahwa ketika dia jatuh ke dalam jurang
dan ditolong Cukat Giok, ia jelas mengetahui orangnya itu
masih normal pikirannya, tidak terganggu atau menderita
sakit jiwa. Tetapi ternyata keterangan orang tua itu lain dengan
kenyataan. Mana yang salah dan mana yang benar, ia
masih belum tahu. Teringat akan budi pertolongan orang
tua itu, sebaiknya ia menuju ke dasar jurang menemuinya
lagi agar persoalan itu jelas dan selesai.
Tio Hong Hui dan puterinya masih tetap berlutut. Sebun
Ongpun muncul. Dia kerutkan dahi.
"Sahabat, persoalan ini harus selekasnya dibereskan,
jangan biarkan pembunuh itu bebas berkeliaran diluar.
Sebaiknya engkau luluskan permintaan mereka dan
bersama-sama menemui Cukat-Heng. Hubungan darah
daging, setiap orang tentu merasakan."
"Jika anda tetap menolak, lebih baik anda bunuh aku
sebagai seorang wanita hina!" teriak Tio Hong Hui,
Dalam terdesak dan gugup akhirnya Cu Jiang
mengangguk dan meluluskan. Tio Hong Hui dan Beng Cu
serempak berbangkit.
"Mohon anda memberitahu tempat suamiku itu, agar
kami dapat lekas2 menemuinya," seru Tio Hong Hui.
"Tidak, tempat itu amat rahasia sekali. Harus aku yang
menjadi penunjuk jalan!"
"Ini . . . . ah, bagaimana kami berani membikin repot
anda . . ."
"Aku mempunyai beban dari Cukat cianpwe untuk
melindungi kebenaran."
Tio Hong Hui memandang kearah Sebun Ong dengan
pandang bertanya pendapatnya.
"Sahabat." kata Sebun Ong dengan nada sarat, "bukan
karena aku banyak curiga, Tetapi ke dua nyonya dan
puterinya itu telah diserahkan dalam tanggung jawabku.
Maka hendak kutitipkan keselamatan mereka kepadamu."
"Baik akan kulaksanakannya
dengan sekuat kemampuanku."
"Apakah aku juga boleh ikut?"
"Ah, maaf, rasanya belum waktunya."
"Tetapi sahabat secara lisan mengatakan menjalankan
permintaan tolong dari Cukat Heng. Adakah sahabat
membawa sesuatu yang dapat dijadikan bukti?"
"Ada!"
"Harap menunjukkan."
Dengan hati2 Cu Jiang segera mengeluarkan bungkusan
teratai yang berisi racun sambil menunjuk, dia berkata.
"Benda inilah !"
Sesaat wajah Sebun Ong tampak berobah pada lain saat
sudah tenang kembali. Kemudian berpaling kepada Tio
Hong Hui: "Ensoh, kenalkah engkau akan benda itu?"
Tio Hong Hui tertegun lalu mengangguk:
"Ya, memang benar."
Cu Jiang menyimpan kembali.
"Sahabat, karena sudah ada keputusan. harap masuk
kedalam lagi, akan kuhaturkan arak terima kasih ..."
"Ah, tak perlu."
"Mengapa sahabat menolak?"
"Adatku memang begitu."
"Apakah sekarang sahabat akan membawa Toasoh dan
puterinya?"
"Kita bertemu di kota Li-Jwan."
"Ah, Li Jwan jauh sekali. Kapan ?"
"Dalam sepuluh hari."
"Jika begitu, baiklah."
Sepeninggal Cu Jiang dari rumah itu, dia masih berkabut
kegelapan. Antara kata Cukat Giok dengan kenyataan tidak
sama. Hal itu berarti dia masih terlibat dalam persoalan
yang belum selesai.
Malam sudah larut. Jalan2 sepi. Tak mungkin dia akan
mencari rumah penginapan. Terpaksa dia berjalan dengan
langkah tertatih-tatih.
Tiba di tempat Pek Liang menjajakan dagangannya, ia
melihat sebuah tanda sandi. Ia mengikutkan pandang
matanya kearah yang ditunjuk oleh tanda sandi itu. Diatas
segunduk tembok ia melihat beberapa corat-coretan yang
melukiskan seorang lelaki tengah dikejar anjing.
Diujung muka, terlukis beberapa ekor anjing, dibawahnya diberi tulisan yang berbunyi: "Kawanan anjing
milik keluarga siapa?"
Sepintas pandang, lukisan itu merupakan corat coret
yang biasa dilakukan anak-anak nakal pada tembok2
rumah. Tetapi bagi Cu Jiang hal itu merupakan petunjuk
rahasia bahwa saat itu dia sedang dikuntit orang. Selain itu
juga sedang terancam oleh beberapa kawanan musuh yang
belum di ketahui golongannya.
Cu Jiang terkejut heran. Siapa yang secara diam2
mengikuti perjalanannya itu" Orang2 Thong-thian-kau,
Gedung Hitam atau...
Ah, tetapi dia tak gentar. Setelah melalui pintu kota dan
berjalan di jalan yang sepi, ia merasa di belakangnya
terdapat seseorang yang mengikuti.
Tetapi dia pura2 tak tahu.
Tak berapa lama berjalan, tibalah Cu Jiang disebuah
rumah berhala kecil yang terletak di tepi Jalan. Cepat ia
gunakan tata langkah Gong-gong-poh-hwat, menyelinap
bersembunyi. Tetapi orang yang mengintil itu cerdik sekali. Dia
berhenti tak mau ikut masuk. Cu Jiang tak mengacuhkan.
Dia naik keatas wuwungan dan duduk bersemedhi.
Semalam tak terjadi suatu apa. Tetapi ketika keesokan
harinya dia hendak melanjutkan perjalanan, tiba2 ia
mendengar suara orang mendengus. Kejutnya bukan
kepalang dan cepat2 Ia berpaling kearah suara itu, tempat ia
bersembunyi, diujung wuwungan belakang, tampak seorang
lelaki tua tengah tidur melingkar dan mendengkur.
Kapan orang tua itu muncul, sama sekali tak
diketahuinya. Yang jelas ketika semalam dia naik keatas
wuwungan, ia tak melihat sesosok bayangan manusiapun.
Ah.... Suatu hal yang benar2 mengejutkan hatinya. Karena
kalau menilik ilmu kepandaian yang dimilikinya sekarang,
tak mungkin dia tak mengetahui. Jangankan manusia,
barang semut berjalanpun ia dapat menangkap suaranya.
Dengan begitu jelas orang tua itu bukan orang
sembarangan. Oh, apakah dia yang menguntitnya selama ini "
Setelah menenangkan pikiran, Cu Jiang batuk2. Orang
tua itu membalikkan tubuh dan mengingau:
"Siapa yang lebih dulu sadar dalam mimpi, segala urusan
aku dapat mengetahui sendiri. Belum puas tidur diatas
wuwungan rumah berhala uh, mahluk apa yang
mengganggu mimpiku ?"
Kini Cu Jiang semakin Jelas.. Orang tua itu tak lain
adalah Ciok Yau to bergelar Thian-put loya atau Hanya-
langit-yang-tak-dicuri.
Jelas orang tua itu datang belakangan dan bukan karena
secara kebetulan tetapi tentu mempunyai tujuan.
"Aku manusia, bukan binatang." serunya.
Pencuri sakti itu membuka besar-besar mata sambil
bangun, ia lalu memandang Cu Jiang dan tertawa meringis:
"Oh, sungguh kebetulan sekali ! Kiranya Toan-kiam-jan
jiu !" Sepasang mata Cu Jiang memancar sinar berkilat-kilat,
serunya dingin:
"Apa maksud anda mengikuti aku?"
"Mengikuti " Tidak, tidak! Aku kemalaman dan terpaksa
tidur disini."
"Apa benar begitu ?"
"Percaya atau tidak. terserah !"
"Didalam dunia itu jangan terjadi hal secara kebetulan
seperti kali ini .." Cu Jiang terus melayang turun dan
ayunkan langkah. Nada dan suaranya sungguh jumawa
sekali. "Hai, menganggap dunia ini tiada tandingannya. Lambat
atau cepat tentu akan mengantar Jiwa dibawah kun (rok) si
Ciok Liu !" terdengar orang tua itu mengigau seorang diri.
Cu Jiang terkesiap tetapi dia tak mau menghiraukan dan
pura2 tak dengar.
Sinar matahari mulai menghangatkan bumi.
Di Jalan pun sudah banyak orang. Cu Jiang singgah
disebuah kedai makan lalu melanjutkan perjalanan lagi.
Dalam sepuluh hari dia harus tiba di Li jwan, bertemu
dengan Tio Hong Hui dan puterinya.
Sebenarnya dia segan kembali ke dasar jurang yang
menyeramkan itu. Tetapi apa boleh buat. Diam2 ia
menimang, berpisah sekian lama, kemungkinan Ko-tiong
Jiu Cukat Giok itu sudah meninggal dunia.
Karena pada waktu berpisah, orang tua itu mengatakan
bahwa tak lama lagi dia tentu sudah mati. Jika Cukat Giok
benar2 sudah mati, bukankah persoalan Itu akan terbeku
selama-lamanya "
Saat itu dia sedang menempuh jalan yang sepi.
Walaupun dengan kaki sebilah pincang tetapi kecepatannya
mengejutkan orang.
Tiba2 ia merasakan sesuatu yang mencurigakan. Serasa
ada orang yang bersembunyi. Sengaja ia lambatkan
langkah. Tak berapa lama berjalan, pada jarak sepuluh tombak
dari tepi jalan, ada sebuah gunduk tanah digerumbul
pohon. Rupanya gunduk itu, masih baru dan didepannya
dipasang sebilah papan batu yang bertulis:
"Toan-kiam-jan jin dikubur disini."
Melihat itu Cu Jiang tertawa gelak2. Dia segera
menghampiri. Memang benar, gunduk tanah itu masih
baru. rupanya orang2 itu hendak mencegat, membunuh dan
menguburkan dia disitu.
Selesai memeriksa dia lalu duduk bersemedhi dibawah
sebatang pohon tua, diatas lutut, kemudian pejamkan mata.
Beberapa saat kemudian semula mendengar suara yang
lembut. Dan dua musuh tentu mulai bergerak tetapi dia
diam saja. Setiup angin dahsyat segera melanda kearah kepalanya.
Huak.... terdengar jeritan ngeri disusul dengan sosok
tubuh yang jatuh. Tanpa membuka mata, pedang kutung di
acungkan keatas dan hawa pedang memancar sampai dua
tombak, merontokkan ranting dan daun2..
"Ha. ha, ha .... Toan-kiam-Jan-jin sungguh hebat sekali !"
Suara gelak tawa itu menggetarkan empat penjuru
angkasa. Cu Jiang menurunkan pedang, membuka mata dan
berbangkit. Kedua matanya memancarkan sinar berapi-api.
Didepannya melintang sesosok mayat dari seorang busu
baju kuning. Mungkin karena melibat Cu Jiang duduk pejamkan
mata, busu itu terus melancarkan serangan. Tetapi
akibatnya dia sendiri yang mati.
Dua tombak jauhnya, tampak seorang aneh berjubah
kuning. Mulutnya mencolot, tulang pipinya menonjol, biji
matanya banyak putih dari hitamnya. Tingginya tak kurang
dari dua meter.
Cu Jiang cepat mengenali orang aneh itu sebagai si Iblis
gila atau Gong Mo yang dahulu pernah memukulnya
dengan pukulan Thian-kong-sat.
Tetapi rupanya iblis itu tak kenal siapa sebenarnya Toan-
kiam jan-jin. Dia tentu tak mengira bahwa Toan kiam-Jan
Jin itu tak lain adalah pemuda Gok-jin-Ji yang dahulu itu.
Melihat orang yang telah mencelakai dirinya menjadi
cacat, seketika meluaplah hawa pembunuhan Cu Jiang.
Tetapi ketika keliarkan mata ke sekeliling, ia terkejut juga.
Ternyata sekeliling empat penjuru, telah dikepung tak
kurang dan lima puluhan orang. Pelahan-lahan mereka
maju menghampiri.
Dia menyadari apa yang akan dihadapi saat itu.
Rupanya Thong thian kau telah mengirim berpuluh-puluh
jago sakti untuk membunuhnya. Mereka tentu marah
mendengar berita Thong thian-kau cabang Siok-ciu telah
diobrak-abrik dan ketuanya yakni Kiam Mo. menjadi
manusia lumpuh dan cacat seumur hidup.
"Toan-kiam jan jin," seru Gong Mo dengan nyaring,
"liang sudah disediakan untukmu. Jika ingin mayatmu
utuh, masuklah sendiri ke dalam liang kuburmu itu!"
Cu Jiang mendengus dingin: "Gong Mo, liang itu
untukmu sendiri!"
"Engkau tahu namaku?" Gong Mo terkejut.
"Bukan baru sekarang ini!"


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapakah engkau ini?"
"Tak usah bertanya. Aku keluar demi menumpas
kawanan iblis seperti engkau dan kawan-kawan mu itu."
"Ha, ha. ha ... . engkau adalah manusia kedua yang
paling congkak yang kujumpai didunia ini!"
"Siapa yang kesatu?"
"Gok-jin-ji budak gila itu."
Diam2 Cu Jiang geli tetapi ia berseru dengan nada
dingin: "Sayang engkau takkan bertemu orang yang ketiga lagi!"
"Apa maksudmu?"
"Sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat nama
Gong Mo lagi!"
Karena marah Gong Mo tertawa nyaring: "Akan ku
tangkap hidup-hidupan untuk kusiksa sepuas hatiku. "
"Asal engkau mampu." sahut Cu Jiang. "aku sih tak
memilih kematian cara apa saja."
"Bagus, engkau ini memang budak . .." Gong Mo maju
dua langkah sehingga hanya terpisah tidak sampai dua
meter. Cu Jiang lekatkan pandang matanya, menyalurkan
tenaga dalam ke tangan.
Suasana tegang sekali, diliputi hawa pembunuhan. Tiba2
Gong Mo dorongkan kedua tangannya, menghantam Cu
Jiang. Pedang berkilat, dengan sepenuh tenaga Cu Jiang
pancarkan ilmu pedang Thian-tay kiau-thay.
Angin pukulan menderu dahsyat, hawa pedang pun
meroket angkasa. Jeritan ngeri, erang tertahan serempak
terdengar. "Huak . . . . "
"Auh..."
Cu Jiang terdorong tiga langkah ke belakang. Darah
dalam tubuhnya bergolak-golak, pukulan Thian-kong-sat
dari Gong Mo hampir memberantakan tenaga kong gi yang
dipancarkan Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya.
Jika setahun yang lalu, dia tentu mati karena pukulan itu.
tetapi sekarang ia mampu bertahan.
Jubah Gong Mo mengalirkan darah merah. Bluk ....
tubuhnya yang tinggi besar segera terjungkal rubuh ke tanah
dan tak dapat bangun lagi untuk selama-lamanya.
"Hai ...." pecahlah teriak kejut dari sekalian anak buah
Thong-thian-kau.
Benar2 mereka tak percaya pada peristiwa yang
dilihatnya saat itu. Seorang anggauta Sip-pat thian mo yang
termasyhur, ternyata hanya dengan sebuah jurus saja, sudah
terbunuh mati. Secepat kilat dua batang pedang segera menerjang Cu
Jiang. Cu Jiangpun cepat memutar pedang kutungnya.
Huak. . . huak . . . kembali di atas tanah bertambah lagi
dengan dua sosok mayat.
Menyusul tiga pedang menyerang lalu pekik bentakan,
jeritan ngeri. Darah, sinar golok, bayangan pedang, angin
pukulan dan deru sambaran senjata rahasia, bertubi-tubi
menggemuruh ....
Hutan itu segera berobah menjadi tempat pembunuhan.
Jago2 Thong-thian-kan susul menyusul rubuh. Setiap kali
Cu Jiang menggerakkan pedang, paling sedikit tentu ada
seorang musuh yang rubuh.
Mayat makin lama makin menumpuk. Tetapi jago2
Thong-thian kau itu seperti kerasukan setan. Mereka
menyerang dengan jurus2 maut. Mereka tak menghiraukan
mati. Cu Jiang merah matanya. Diapun ikut kalap seperti
lawan. Pakaiannya penuh berlumur percikan darah.
"Mundur ...!"
tiba2 terdengar sebuah bentakan menggeledek. Kawanan jago itupun berhamburan mundur. Dari
sejumlah lima puluhan orang, kini mereka hanya tinggal
belasan orang. Dua orang aneh berjubah warna kuning, serempak maju
ke dalam gelanggang. Keduanya berwajah menyeramkan.
Cu Jiang menjulurkan pedangnya ke bawah, pedang itu
masih mengucurkan darah.
Kedua pendatang itu yang seorang memegang senjata
Tok kak thong jiu atau Orang-tembaga-berkaki-satu dan
yang lain mencekal Ki bi-thiat kun atau tongkat besi. Kedua
senjata itu termasuk senjata berat. Jelas keduanya tentu
memiliki tenaga yang kuat sekali.
Sepasang mata mereka berkilat-kilat memancarkan sinar
buas sekali seperti singa mencium darah.
"Rupanya kalian berdua ini juga anggauta dari Sip pat
thian mo?" tegur Cu Jiang.
"Benar, aku adalah Bu Mo yang termasuk pada jajaran
ke tujuh belas." sahut orang yang mencekal tongkat besi.
"Dan aku iblis yang ketiga belas. Toa-lat-sin-mu. Budak,
aku takkan berhenti sebelum mencincang tubuhmu! "
"Kalian akan maju berdua atau . . ."
"Heh, heh, heh .... Sip pat thian-mo selalu bertempur
satu lawan satu."
"Siapa yang akan maju dulu?"
"Aku."
"Silakan ! Aku masih ada lain urusan penting. Tak dapat
lama disini."
Bu Mo mundur setombak jauhnya. Sementara setelah
siap dengan senjata Tok-kak-thong-jin. maka dengan
tertawa seram, Toa-lat-cin-mo atau Iblis-sakti-bertenaga
besar segera melancarkan serangan menghantam kepala Cu
Jiang dengan sekuat-kuatnya.
Cu Jiang menangkis dengan pedangnya.
Tring . . . senjata Tok-kak-thong-jin tertolak tetapi adu
tenaga itu menggetarkan tubuh Cu Jiang sehingga darahnya
bergolak keras.
Tok-kak-thong Jin atau naga berbentuk orang berkaki
satu merupakan senjata yang berat. Sedang pedang adalah
senjata ringan, hanya mengutamakan kelincahan dan
tenaga si pemakai.
Kalau bukan Cu Jiang, tentu tak ada orang berani
mengadu pedang dengan Tok-kak-thong-Jin tetapi pun jika
bukan Toa lat sin-mo, tentu sudah mati di bawah pedang
Cu Jiang. Toa-lat-sin-mo juga terkejut bukan kepalang. Dia tak
menyangka lawan berani mengadu pedang dengan gada
yang berat. Dan lebih kaget lagi ketika ia merasakan akibat
dari benturan senjata itu. Ternyata lawan memiliki tenaga
dalam yang hebat sekali.
Pada saat Toa lat-sin-mo masih tercengkram terlongong
keheranan. Cu Jiangpun sudah bergerak menyerang dengan
jurus Thian te kun-thay.
"Uh.." cepat Toa lat sin-mo lintangkan gada Tok kak
thong-jin untuk melindungi tubuhnya.
Iblis itu memang hebat dan cepat bergerak tetapi sayang
masih kalah cepat setindak dengan Cu Jiang.
Serentak terdengar seruan tertahan dan keduanyapun
loncat berpencar diri. Dada Toa-lat sin-mo berhias dengan
suatu luka sepanjang setengah meter, darahnya bercucuran.
Melihat dirinya terluka, Sin-mo marah sekali. Dengan
menggerung seperti singa kelaparan, dia menyerang
dahsyat. Wut.. tongkat besi dari Bu Mopun ikut menyerang.
Kalau dua iblis maju serempak, dahsyatnya sukar
dilukiskan. Cu Jiang terkejut dan cepat menggunakan gerak-langkah
Gonggong-poh-hwat untuk menghindar.
Kedua iblis itu menggeram dan serempak berputar
tubuh. Sebenarnya Cu Jiang hanya menyelinap ke belakang,
bukan melarikan diri.
"Bukankah Sip-pat-thian-mo itu selalu bertempur satu
lawan satu?" serunya mengejek.
"Kecuali terhadap engkau karena engkau harus mati,"
sahut Bu Mo dengan menyeringai.
Dan kedua iblis itu lantas menyerang lagi. Deru angin
sambaran dan dua buah senjata berat mereka, menimbulkan
letupan2 macam halilintar menyambar.
Kali ini Bu Mo benar2 ngotot sekali. Dia menumpahkan
segenap kepandaiannya. Dia cepat merobah permainannya
dalam jurus Ya-con-pat-hong atau bertempur-empat-arah-
pada-malam-hari.
Suatu jurus yang sederhana.. Tetapi dimainkan oleh
seorang iblis macam Bu Mo, jurus itu berobah menjadi
gerak yang hebat.
Saat itu Cu Jiang melihat suatu lubang kesempatan.
Sehabis menghindari serangan, dia terus menghantam
punggung Sin-mo.
0oodwoo0 Jilid 13 Tring ... . terdengar dering senjata beradu di susul dengan
erang kesakitan. Andaikata tak tertahan oleh tongkat dari
Bu Mo, tentulah Toa-lat-sin-mo sudah mati.
Tetapi sekalipun tertahan tongkat, ujung pedang kutung
dari Cu Jiang masih dapat melukai punggung Toa lat sin-
mo sampai sepanjang beberapa jari. Kembali bercucuran
darah lagi. Dan lebih sakit dari luka di dadanya sehingga
dia terhuyung-huyung hampir rubuh.
Cu Jiang tak mau buang tempo. Kin dia akan
membereskan Bu Mo, Tongkat besi merupakan senjata
berat dan panjang. Harus dibasmi dulu.
Tetapi Bu Mo memang lebih berpengalaman. Sesuai
dengan gelarnya Bu Mo atau iblis-silat. dia memang sakti
dan waspada. Pada saat Cu Jiang bergerak, diapun sudah
cepat-cepat menghindar lalu menghantam.
"Ahhh !" terdengar jeritan ngeri. Karena Bu Mo
menghindar, babatan Cu Jiang itu berganti sasarannya.
Karena menderita luka dan gerakannya agak lamban, maka
Toa lat sin mo tak keburu menghindar.
Kepalanya terbelah, darah menyembur dan tubuhnyapun
rubuh. Serempak pada saat itu, pukulan jarak jauh dari Bu Mo
tadi telah menghantam tubuh Cu Jiang. Karena sedang
melancarkan serangan maka tenaga sakti yang digunakan
Cu Jiang untuk melindungi tubuhnya agak lemah. Dia
mengerang tertahan dan terhuyung-huyung tiga langkah ke
belakang. Melihat itu Bu Mo tak memberi kelonggaran lagi. Dia
terus menyerang dengan tongkat besinya. Ilmu permainan
tongkatnya, luar-biasa dahsyat dan aneh. Cepat dan gencar
sekali sehingga Cu Jiang tak sempat menangkis. Dia
terpaksa hanya menghindar saja.
Trang. . . . tongkat tersiak tetapi kedua tangan Cu
Jiangpun terasa kesemutan, pedangnya hampir terlepas.
Darah bergolak keras.
Dia sempoyongan sampai lima langkah baru dapat
berdiri tegak. Bertempur menghadapi serbuan berpuluh-puluh ko jiu
dari Thong-thian kau lalu harus menghadapi keroyokan
kedua iblis itu, menyebabkan Cu Jiang banyak kehilangan
tenaga dalam. Kekuatannyapun banyak berkurang.
Bu Mo tak mau memberi ampun lagi. Dia menyerang
lagi dengan jurus2 permainan tongkat yang aneh dan keras.
Cu Jiang menghindar lalu tangan kirinya menuding
memancarkan tenaga-dalam ke luar.
"Hem ..." Bu Mo mengerang. Bahu sebelah kiri
tertembus, darah bercucuran. Tetapi iblis durjana yang buas
dan ganas itu tidak menyerah karena luka sekecil itu. Dia
menyerang lagi makin dahsyat dan gencar.
Dalam keadaan itu tiada lain jalan bagi Cu Jiang kecuali
menggunakan cara menghindar. Kadang dalam keadaan
terpaksa, baru dia menangkis adu kekerasan.
Tetapi lama2 dia marah juga. Dia memilih cara yang
belakang yakni adu kekerasan. Dengan mengerahkan
seluruh tenaga, dia segera memutar pedang terus
menyerang, tring
Tongkat Bu Mo terbabat, melayang ke udara. Mulut,
hidung, mata dan telinganya mengucurkan darah dan
tubuhnya sempoyongan lalu rubuh. Dia tak kuat mengadu
kekerasan dengan Cu Jiang.
Urat2 jantungnya putus.
Tetapi Cu Jiang juga menderita luka dalam. Mulutnya
menyembur darah sampai separoh dari kerudung mukanya
merah. Diapun terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang lalu jatuh terduduk.
Melihat itu belasan jago2 Thong thian-kau segera
berteriak dan menyerbu Cu Jiang yang ngelupruk di tanah
itu. Melihat maut mengancam, dengan kuatkan diri Cu
Jiangpun berdiri lagi. Ia mengerahkan lagi tenaganya untuk
menyambut serangan musuh.
Huak, huak . . . dua orang jago Thong-thian-kau rubuh.
Yang lain2 serempak mundur.
Napas Cu Jiang makin tersengal-sengal dan tubuhnya
gemetar keras. Tiba2 terdengar gemboran keras. Empat
orang menyerang lagi dari empat arah.
Cu Jiang mengertek gigi.
"Cu Jiang, jangan engkau rubuh. Kalau engkau rubuh,
habislah riwayatmu. Hayo, kuatkan dirimu dan bunuhlah
mereka . . ." seolah telinganya mendengar sebuah suara
mengiang-ngiang, membangunkan semangatnya.
Dengan kuatkan diri. Cu Jiang lalu memutar pedangnya.
Terdengar jeritan ngeri dan keempat orang itupun rubuh
mandi darah. Musuh yang berada di sebelah depan, malah
mengalami kematian yang mengerikan.
Kepalanya terbelah, darahnya muncrat mengenai kain
kerudung muka Cu Jiang.
Darah, mayat dan kutungan anggauta badan. Berserak-
serak memenuhi tempat itu. Sekilas terbayanglah benak Cu
Jiang bahwa keadaan tubuh ibunya ketika menghadapi


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keroyokan dari berpuluh tokoh2 sakti, tentulah sedemikian
juga. Teringat akan kematian ayah bundanya, darahnya
meluap, semangatnya pun berkobar lagi.
"Ha, ha, ha . ..." Ia tertawa nyaring. Nadanya
menyerupai aum singa yang menginjak korbannya.
Kini yang masih tinggal hanya sembilan orang. Mereka
saling bertukar pandang. Menilik keadaannya, Cu Jiang
telah seperti pelita yang kehabisan minyak. Jika tidak saat
itu membunuhnya, tentu akan mensia-siakan suatu
kesempatan yang bagus.
Tetapi ilmu pedang Toan kiam jan-jin itu luar biasa aneh
dan saktinya. Dalam keadaan menderita luka, masih
mampu membunuh empat orang jago kojiu ...
Saat itu Cu Jiang seperti orang kerasukan setan. Ia
terbayang akan akan kematian kedua orang tua, kedua
adiknya yang masih kecil, paman Liok dan isterinya serta
anak perempuannya, gadis malang yang diperkosa lalu
dibunuh itu. Hutan darah, dendam darah, saat itu berkecamuk dalam
dada Cu Jiang sehingga tenaga-dalamnya yang sudah
menurun itu mulai bangkit lagi.
Pelahan-lahan dia berputar tubuh menghadapi kesembilan sisa jago2 Thong-thian-kau itu.
Pandang mata Cu Jiang yang penuh dendam kesumat
berdarah, tampak merah membara sehingga nyali kesembilan orang itupun makin berguguran, berganti
dengan bayang2 ketakutan.
"Pergi . . ." entah siapa yang berseru tetapi ke sembilan
orang itupun segera berhamburan mundur.
"Berhenti!" Cu Jiang menggerung dan secepat kilat
berputar-putar menyerang mereka.
Huak, huak, huak . . . jeritan susul menyusul, darah
berhamburan memerah tanah dan sosok2 tubuhpun rubuh
morat marit. Ia berhasil membasmi beberapa jago itu tetapi setelah itu
diapun kehabisan tenaga, Bluk, dia jatuh terduduk, mata
berkunang-kunang. Entah berselang berapa lama, hingga
pikirannya timbul: "Aku harus tinggalkan tempat ini."
Apabila saat itu Thong-thian-kau mengirim jago-jagonya,
cukup seorang saja, tentulah dengan mudah mengambil
jiwa Cu Jiang. Karena dia benar-benar lunglai sehingga
rasanya tak kuasa lagi mengangkat pedangnya.
Namun tekadnya yang membaja menimbulkan kekuatannya. Dia merangkak bangun dan dengan
terhuyung-huyung ia melangkah pergi.
"Cu Jiang, kuatkan dirimu. Jangan rubuh, ayo, terus
jalan pelahan-lahan. Makin jauh dari tempat itu makin baik
. . ." suara hatinya membisikinya.
Entah berapa lama dan entah sampai di mana, akhirnya
ia merasa tak kuat lagi.
"Ayo, jangan rubuh ..." hatinya berkata namun tubuhnya
tak kuat Dan jatuhlah ia ke tanah, tak ingat apa2 lagi. .
Tak berapa lama, sesosok bayangan merah muncul. Dia
terlongong tegak di samping Cu Jiang, berjongkok
membuka kain penutup muka anakmuda itu dan menjerit
kaget: "Oh, kiranya dia!"
Dari nadanya menunjukkan bahwa pendatang itu
seorang wanita. Tetapi siapakah dia" Apakah dia kenal
pada Cu Jiang"
Tiba-2 terdengar suara pekik seram berkumandang dari
kejauhan. Bayangan merah itu segera menghilang dalam
kegelapan lagi.
Selekas bayangan merah itu lenyap maka muncullah
seorang berjubah hitam. Wajahnya juga ditutup dengan
kain kerudung. Gesit sekali orang itu sudah melompat ke
tempat Cu Jiang, membuka kain penutup mukanya dan
menyurut mundur tiga langkah.
"Kiranya tak salah dugaan itu, memang dia!"
Habis berkata dia terus mengangkat tangan dan
menghantam kearah Cu Jiang, tetapi di tengah jalan tiba2
dihentikan lagi.
"Apakah harus sekarang mencabut jiwanya?" Beberapa
saat kemudian, dia mengangkat lagi tangannya. Tiba2
terdengar tawa dari seorang perempuan. Orang berjubah
hitam itu menarik tangannya dan secepat kilat terus lari
kearah suara tawa itu.
Kembali muncul sesosok bayangan. Dengan cepat orang
itu terus menyambar tubuh Cu Jiang dibawa lari.
Ketika sadar, Cu Jiang dapatkan dirinya tidur diatas
tumpukan rumput yang empuk. Walaupun gelap, dia dapat
mengetahui kalau sedang berada disebuah goa.
"Hah, mengapa aku berada disini " Bukankah aku
terkulai rubuh kehabisan tenaga ?" Ia terkejut sendiri.
Demi menjaga keselamatan, dia tak berani bergerak dan
pura2 tetap pingsan. Tetapi diam2 ia kerahkan tenaga-
dalam. Ternyata sudah pulih separoh bagian. dan sudah tak
merasa sakit. Hal itu tak mengherankannya. Jalan darah utama Seng-
si-hun-koen pada tubuhnya sudah tertembus. Dan hal itu
hanya merupakan satu langkah lagi untuk mencapai
kesempurnaan tenaga-dalam.
Diam2 dia mengingat dan menghafalkan isi pelajaran
kitab Giok ka-kim-keng mengenai ilmu pernapasan untuk
menenangkan perasaan hati. Dalam beberapa saat
kemudian, tenaganya makin pulih.
Dan kilat pandang matanyapun bertambah tajam.
Memang benar tempat itu sebuah gua yang dalamnya dua
tombak. Diluar tampak bintang2 berkelip-kelip.
Menunjukkan bahwa saat itu masih malam hari.
Tiba2 ia mengetahui bahwa dalam suasana yang gelap
itu ada sepasang mata yang berkilat-kilat tajam memandang
kepadanya. Dia terkejut sekali dan beranjak bangun.
Dari sinar bulan yang menyeruak ke dalam gua, ia segera
mengetahui bahwa pemilik sepasang mata tajam itu tak lain
adalah pencuri-sakti Ciok Yau to bergelar Thian-put-hoa.
Mengapa orang tua itu berada disitu" Belum sempat ia
menegur, orang itu sudah mendahului tertawa:
"Ho, hebat sekali. Ternyata engkau cepat kali sudah
sembuh !" Diam2 Cu Jiang merabah pedangnya.
"Sahabat kecil, jangan banyak curiga. Kalau mau, aku
dapat dengan mudah mencabut jiwamu!"
Cu Jiang malu atas tindakannya mencurigai orang.
"Apakah cianpwe yang menolong aku?"
"Separoh bagian."
"Separoh bagian" Aku tak mengerti maksud cianpwe."
"Engkau mati satu kali."
Cu Jiang makin bingung.
"Aku benar2 masih tak jelas!"
"Duduk dan mari kita bercakap-cakap," orang itu
memberi isyarat tangan. Dan Cu Jiangpun menurut.
Setelah berbatuk-batuk, Thian-put-thou berkata pelahan-
lahan. "Setelah engkau membunuh ketiga iblis, membasmi
kawanan kunyuk2 kecil, engkau kehabisan tenaga dan
menggeletak dalam hutan . . ."
"O, lo cianpwe tahu semua ini?" Cu Jiang terkejut.
"Tentu."
"Lalu?"
"Seorang gadis baju merah yang mukanya bertutup kain
cadar, muncul dan membuka penutup wajahmu . . ."
"Ah, dia ...."
"Bentuk badannya seperti hantu. Jika aku tak salah terka,
dia adalah iblis wanita yang disohorkan orang sebagai Ang
Nio Cu !" "Ang Nio Cu ?" Cu Jiang mengulang gemetar.
"Tetapi itu hanya dugaan saja. Akupun hanya
mendengar namanya belum pernah tahu orangnya."
"Lalu?"
"Ang Nio Cu membawa anak buahnya yang sembunyi.
Ketika mendengar anak buahnya bersuit memberi tanda,
dia terus kabur. Dan lalu muncul lagi seorang lain..."
"Siapa ?"
"Seorang yang pakaian dan mukanya bertutup kain
hitam, entah siapa . . ."
Cu Jiang mengangguk. Pikirnya, mungkin ketua Gedung
Hitam tetapi Thian-put-thou tak mau mengatakan.
Pencuri-sakti Thian-put-thou melanjutkan: "Orang itu
mengenal engkau . . ."
"Apakah dia juga membuka kain penutup mukaku ?" Cu
Jiang terkejut.
"Benar, dia hendak menghancurkan dirimu, tetapi ragu2.
Itulah sebabnya maka kubilang, engkau sudah mati satu
kali." "Akhirnya dia tak jadi turun tangan ?"
"Jadi. tetapi pada saat dia hendak melepaskan hantaman,
tiba2 Ang Nio Cu bersuit untuk mengganggunya."
"Oh !" Cu Jiang mendesah pula. Diam2 ia mengeluh
karena merasa terlalu banyak berhutang budi pada Ang Nio
Cu. "Ketika si baju hitam itu pergi, akupun segera
membawamu ke mari, Itulah sebabnya maka aku katakan
bahwa aku hanya memberi pertolongan separoh bagian
adalah wanita baju merah itu." kata Thian put thou pula.
Cu Jiang bangun dan memberi hormat:
"Terima kasih lo cianpwe. Budi locianpwe akan kucatat
baik2 dalam hati."
"Tak usah, tak usah," Thian-put thou gopoh mencegah,
"aku situa ini masih berhati seperti anak kecil. Kita jadi
sahabat saja."
"Tua dan muda harus ada tata peraturannya, masakan .."
"Duduk, duduk. Kalau engkau suka, panggil saja aku
sebagai lo-koko, mau?"
"Ini ..."
"Aku tak senang segala macam peradatan."
"Kalau begitu terpaksa aku menurut saja."
"Begitulah, adik kecil, ha, ha, ha . . ."
"Rupanya lo-koko terus menerus mengikuti aku . . ."
"Kukatakan, hatiku masih seperti anak kecil," kata Thian
put thou lalu berobah serius, katanya. "adik kecil, aku
mempunyai isi hati, seperti tulang menyekat di tenggorokanku, kalau tak kukatakan cukup mengganjel. . ."
"Lo koko mau bilang apa, silakan."
"Adik kecil! Aku, bagi seorang ksatrya sejati, apakah
pantangannya nomor satu?"
Cu Jiang terbeliak. Ia tak mengerti apa yang akan
dimaksud oleh orang tua itu.
"Pantangan .... apa?"
"Wanita !" Thian-put-thou berkata dengan tegas.
Serentak Cu Jiang teringat, ketika hendak meninggalkan
rumah berhala di luar kota Gong-an. Thian put thou pernah
bergumam: "Hm, jangan menganggap dirinya paling gagah
sendiri di dunia. Lambat atau cepat, pasti akan mengantar
jiwa ke bawah kun ( rok ) si Ciok Liu . . ."
Kini orang tua itu mengatakan soal pantangan, tentu ada
sebabnya. Tetapi Cu Jiang heran, ke mana tujuan kata2
Thian-put thou itu. Selama ini ia merasa selalu menjaga diri
dan menjauhi kehidupan dengan wanita iseng ....
Ia hendak menyatakan keadaan dirinya kepada Thian
put-thou tetapi saat itu dari kejauhan terdengar lengking
jeritan ngeri dari seorang wanita.
Thian-put thou pun serentak berbangkit: "Jangan2
wanita baju merah itu disiksa orang berbaju hitam itu ?"
"Mungkinkah ?" teriak Cu Jiang penuh emosi.
"Mungkin sekali. Ketika kubawa engkau kemari, wanita
baju merah itu masih berkeliaran ditempat itu, rupanya dia
hendak mencari engkau...."
"Lo koko, mari kita ke sana."
"Hayo !"
Keduanya segera melesat dari goa. Menilik letak bintang
Pak-tou, saat itu tengah malam. Setelah jeritan ngeri itu, tak
terdengar suara apa2 lagi. Sukar untuk menentukan
arahnya. Cu Jiang yakin dugaannya tentu benar. Orang berbaju
hitam dan berkerudung muka kain hitam itu tentulah ketua
Gedung Hitam dan wanita baju merah itu tentulah Ang Nio
Cu. Kemungkinan Ang Nio Cu tentu bukan tandingan dari
Ketua Gedung Hitam. Ia memang telah banyak berhutang
budi kepada Ang Nio Cu, tak dapat ia berpeluk tangan tak
memperdulikan. Dan lagi, diapun hendak mencari ketua
Gedung Hitam itu untuk menyelesaikan dendam hutang
darah yang terakhir.
"Lo-ko, lari ke timur dan aku yang kebarat. Kalau
bertemu sesuatu, berilah pertandaan suitan."
"Baik," kata Thian put thou yang terus lari ke timur. Cu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jiangpun menuju ke barat.
Cu Jiang melintasi sebuah hutan. Walaupun gelap sekali
tetapi berkat tenaga-dalam yang dimiliki sudah mencapai
tingkat tinggi, dia tetap dapat menembuskan pandang
sampai jarak seluas delapan tombak.
Beberapa saat berlari dia sudah tiba di ujung hutan.
Ketika dia hendak berputar tubuh balik lagi mencari lain
jalan, tiba2 ia melihat sesosok bayangan bergerak cepat dari
balik gerumbul.
Cu Jiang cepat mengejarnya. Tetapi karena kaki kirinya
pincang. dia kalah gesit dengan orang itu yang diduga tentu
seorang jago ko jiu. Jaraknya makin lama makin jauh.
Orang itu sebentar tampak sebentar lenyap.
Setelah sepuluhan li, tiba2 orang itu berhenti seperti
sudah lelah. Cu Jiang percepat gerakannya. Dalam
beberapa loncatan dia sudah tiba di samping orang. Tetapi
ketika memandangnya, kejutnya bukan kepalang.
Yang dihadapannya, seorang wanita baju merah dan
dibawah kaki wanita itu menggeletak sesosok mayat dari
seorang wanita baju merah lagi.
Cu Jiang tak asing lagi. Wanita baju merah itu adalah
salah seorang dari keempat wanita baju merah yang
memikul tandu tempo hari. Dengan demikian benarlah
dugaan Thian put-thou, bahwa wanita baju merah yang
muncul di hutan itu, tak lain adalah Ang Nio Cu.
Tampaknya wanita baju merah itu tak terkejut atas
kemunculan Cu Jiang. Mungkin pada waktu berkejar-
kejaran tadi, wanita itu sudah tahu.
"Apakah anda Toan-kiam-jan-jin?" tegur wanita itu.
"Ya, benar."
"Engkau tidak mati?" tanya pula wanita itu tanpa
sungkan lagi. Mengingat Ang Nio Cu, Cu Jing tak marah kepada
bujang baju merah itu, sahutnya:
"Kalau mati masakan bisa datang ke sini."
Sambil menunjuk pada kawannya yang menggeletak di
bawah kakinya, bujang baju merah itu menggeram:
"Engkau masih bernyawa tetapi dia sudah mati."
"Mengapa mati?"
"Karena engkau."
Cu Jiang terperanjat, serunya:
"Apa" Dia mati karena aku?"
"Siapa bilang tidak?"
"Bagaimana peristiwanya?"
"Kami berdua menerima perintah majikan untuk
mencari jejakmu . . ."
"Oh, lalu siapa yang membunuhnya?"
"Seorang baju hitam yang berkerudung muka."
"Dia!" Cu Jiang mengertek gigi.
"Siapa?" dayang baju merah itu tegang.
"Ketua Gedung Hitam!"
"Dia ... dia pemimpin Gedung Hitam yang menguasai
dunia persilatan itu?"
"Ya. "
"Hm, baik, baik . . ." bujang baju merah itu tak
melanjutkan katanya karena terdesak oleh rasa tegang yang
meluap-luap. Dengan mengertek gigi, berkatalah Cu Jiang dalam nadi
tegas: "Aku akan membalaskan sakit hatinya."
"Majikan kamipun dapat juga!"
"Di mana majikanmu?"
"Mengejar jejak lelaki jubah hitam itu."
"Lalu hendak engkau apakan mayat kawanmu itu?"
"Menurut peraturan perguruan kami, akan dikubur
dengan baik. "
"Apakah aku dapat membantu" "
"Tak usah."
"Majikanmu mengejar ke arah mana?" tanya Cu Jiang.
"Barat. "
"Bila bertemu dengan majikanmu, tolong sampaikan,
bahwa Toan-kiam-jan-jiu takkan melupakan budinya!"
"Hm, mudah-mudahan hatimu sesuai dengan kata-
katamu." wanita baju merah mendengus dingin.
"Apa maksudmu ?"
Wanita baju merah itu tertawa rawan.
"Orang bawahan tak bebas bicara. Semoga anda ingat
apa yang anda ucapkan tadi!"
Cu Jiang tak mengerti tetapi dia tak mau mendesak.
"Aku seorang lelaki, apa yang kuucapkan adalah
pendirianku Bagaimana aku tak dapat pegang Janji"
Sudahlah, jangan cemas," kata Cu Jiang terus lari ke arah
barat. Karena sampai terang tanah tak bertemu suatu apa,
terpaksa dia kembali ke timur lagi.
"Thian put-thou kebanyakan tentu sudah tak berada
dalam goa itu. Karena aku harus menepati janji dengan Tio
Hong Hui di Li-jwan. Lebih baik aku kesana dulu."
pikirnya. Dengan keputusan itu ia segera melanjutkan
perjalanan. Setiba di kota lebih dulu ia membeli seperangkat pakaian
baru untuk ganti, lalu meneruskan perjalanan lagi. Dan
pada hari itu setelah menyeberang di pangkalan Ciok-po-
say, tibalah dia didaerah pegunungan Bu-leng san. Dengan
kota Li-Jwan sudah tak berapa jauh lagi.
Begitu memasuki daerah gunung Bu-leng san, perasaan
Cu Jiang mulai tegang. Keluarganya telah terbunuh di
gunung itu. Dendam darah itu belum terbalas, bagaimana ia
dapat menghibur arwah kedua orang tua dan adik-adiknya"
Untuk mempersingkat jalan, dia tak mau mengambil
jalan besar tetapi melintasi daerah hutan di gunung.
Saat itu matahari sudah condong ke barat. Di sebelah
muka hutan belantara yang tak diketahui ujungnya. Tak
terdapat sebuah rumah pendudukpun juga.
Pada saat ia bingung, tiba2 ia melihat gumpalan asap
mengepul dari arah lamping gunung. Jelas itu sebuah
perumahan, entah milik kaum pemburu entah orang lain.
Cepat ia lari menuju ke tempat itu.
Setelah melintas sebuah bukit, ternyata lamping gunung
itu merupakan sebuah lembah sempit dengan sebuah air-
terjun. Di dekat air-terjun itu, terdapat sebuah rumah
bambu. Membelakangi gunung dan menghadap air-terjun.
Cu Jiang termangu-mangu menyaksikan tempat yang
tenang dengan dikelilingi alam yang indah itu. Ia duga
tempat itu tentu bukan rumah orang tani melainkan tempat
persembunyian seorang yang mengundurkan diri dari
pergaulan ramai.
Cepat ia menuju ke tempat itu. Tiba di muka pagar, pada
waktu hendak berseru tiba2 muncul seorang lelaki
berpakaian seperti seorang sasterawan, tangannya membawa sebuah buntalan kain panjang.
Jelas dia bukan orang desa atau bangsa pemburu. Cu
Jiang cepat melesat ke belakang sebuah batu besar.
Sasterawan itu melangkah pelahan-lahan ke tengah
ruang. kemudian berdiri tegak dan memandang langit
seolah seperti memikirkan sesuatu yang sulit.
Wajahnya gagah, alis tebal menaungi sepasang matanya
yang bundar. Usianya lebih kurang tiga puluhan tahun.
"Adakah dia seorang persilatan yang menyembunyikan
diri dari kejaran musuh?" tiba2 timbul dugaan Cu Jiang.
"Engkoh Hong!"
"Ya, aku di sini!" terdengar sebuah penyahutan dan
tahu2 muncul seorang wanita muda yang cantik sekali.
"Ah, mengapa kedua orang itu tinggal ditempat yang
sesunyi begini?" timbul lagi pikiran Cu Jiang.
Dengan langkah tergontai, wanita cantik itu menghampiri ke sisi sasterawan, memandangnya sejenak,
lalu berseru: "Engkoh Hong, mengapa tiba2 engkau berobah?"
"Ceng-moay, aku tidak berobah." sahut sasterawan itu
dengan tak acuh.
"Ih, mengapa engkau tak mau mengaku. Sejak tiga hari
yang lalu engkau turun gunung, pulang di rumah sikapnya
agak lain ..."
"Ah, engkau terlalu banyak mereka-reka sesuatu."
Wanita cantik itu beralih memandang pada bungkusan
kain yang dipegang sasterawan itu, seketika wajahnya pucat
dan tubuh gemetar.
"Engkau . . . mengeluarkan . . . barang itu lagi?" serunya
dengan nada tergetar.
Wajah sasterawan itu mengulum senyum tetapi tak
sedap dipandang. Suatu senyum hambar yang dipaksakan.
Dan cepat sekali wajahnya sudah membeku lagi.
"Ceng-moay. aku . . . aku ..."
"Engkau bagaimana?"
"Terus terang saja, selama tiga tahun ini aku memang tak
dapat melupakan barang ini!"
Airmata wanita itu mulai berlinang-linang dan dengan
rawan berkata: "Kalau begitu selama tiga tahun ini, engkau mempermainkan aku?"
Sasterawan itu tertawa hambar, sahutnya: "Bagaimana
engkau mengatakan begitu?"
"Engkau membohongi aku! Mempermainkan cinta . . ."
"Tidak, aku tidak merasa begitu. Kalau aku memang
bermaksud hendak membohongimu, tentu tak dapat
mengatakannya."
"Tetapi engkau . . . berobah.."
"Berobah?"
"Engkoh Hong, bilanglah dengan setulus hatimu, engkau
mencintai aku atau tidak?"
Di tempat persembunyiannya, Cu Jiang tak mengerti apa
yang terjadi pada kedua orang laki dan wanita itu.
"Sudah tentu mencintaimu." sahut sasterawan itu.
"Kalau sungguh-2 mencintai aku, lupakan barang itu! "
seru wanita itu dengan tegang.
"Tetapi ..."
"Oh, tak dapat melupakan, bukan?"
"Ceng moay, kuminta dengan sangat akan pengertianmu.
Hal itu merupakan tujuan utama dari hidupku . . ."
"Tutup mulut! Engkau lupa bagaimana kita berdua
sampai berkumpul disini. Bukankah karena hendak
menghindari keramaian dunia?"
Dahi sasterawan itu nampak berkerut.
"Engkoh Hong, darimana sepuluh buah luka yang terjadi
pada tubuhmu itu" Tampaknya engkau sudah hampir mati
sampai beberapa kali " Engkau pernah mengatakan bahwa
selamanya engkau akan melupakan dan takkan membuka
bungkus kain itu lagi. Tetapi mengapa sekarang engkau
berobah pendirian ?"
Wajah sasterawan itu makin tak sedap dipandang.
Menandakan bahwa saat itu hatinya sedang kacau.
"Ceng-moay, aku sangat menderita. Banyak kali aku
berusaha untuk melupakannya, tetapi aku . . . tak dapat!"
akhirnya ia berkata.
"Eh, sebenarnya engkau bertemu apa waktu kali ini turun
gunung ?" seru wanita cantik itu dengan tegang.
"Kudengar.... di daerah Tionggoan telah muncul seorang
jago pedang yang hebat sekali, bernama Toan-kiam-jan jin!"
"Benar, sejak dulu memang begitu. Begitu mendengar di
daerah mana muncul seorang jago pedang, engkau terus
buru2 mencarinya. Apa yang engkau dapatkan" Engkau....
engkau..."
Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
tersekat oleh kemarahan.
Sasterawan kerutkan alis dan berkata dengan nada
Pendekar Pemetik Harpa 30 Neraka Hitam Seri Bara Maharani Karya Khu Lung Pendekar Bodoh 12
^