Pencarian

Pusaka Negeri Tayli 8

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D Bagian 8


tegang: Tetapi kali ini memang berbeda. Kaum persilatan
menyanjung Toan-kiam-Jan Jin sebagai seorang Dewa-
pedang. Setiap kali dia hanya menggunakan sebuah jurus
dan musuh tentu terluka atau mati. Kalau.... aku dapat
mengalahkannya, aku merasa puas seumur hidup !"
Diam2 Cu Jiang tercekat hatinya. Lelaki itu jelas seorang
silat maniak, seorang yang gila akan ilmu silat. Suatu cita2
yang jahat dan juga melanggar etika (susila) persilatan.
Bukankah banyak jalan untuk mengangkat nama supaya
termasyhur. Menjalankan kebaikan, menolong yang lemah,
memberantas yang jahat dan lain2 cara yang bersifat
ksatrya, merupakan cara yang lebih utama dan terpuji
daripada dengan jalan menghancurkan setiap orang yang
dipandang lebih tinggi kepandaiannya dari dirinya.
Terdengar pula sasterawan itu berkata: "Kabarnya dia
muncul disekeliling daerah ini. Aku hendak mencarinya
Ceng moay, ijinkan aku. Hal ini kecuali dirimu, merupakan
cita2 harapanku yang utama. Sejak aku berumur tujuh belas
tahun dan mendapat pelajaran ilmu pedang dari jago
pedang yang tak dikenal itu, baru hari ini aku dapat
memahaminya dengan sempurna."
Tampak wanita cantik itu agak tenang. "Apakah engkau
tetap hendak menantang Toan-kiam jan jin ?" serunya
dingin. Wajah sastrawan itu berobah merah.
"Ceng-moay, kabulkanlah keinginanku !"
Sepatah demi sepatah, wanita cantik itu berkata dengan
tegas: "Jika begitu, bunuhlah aku lebih dulu !"
Sastrawan terkejut sekali, serunya: "Apa maksudmu?"
"Karena kita berdua takkan dapat berkumpul"
"Mengapa ?"
"Aku mempunyai firasat, kali ini engkau pasti takkan
kembali lagi."
Sastrawan itu mundur dua langkah. Sepasang matanya
berkilat tegang lalu berseru dengan suara tergetar:
"Ceng-moay, menganggap aku akan mati ditangan Toan-
kiam jan Jin?"
"Aku benar2 mempunyai firasat begitu !"
Sasterawan membuka bungkusan kain panjang dan
sebatang pedang pusaka nampak menongol.
"Engkoh Hong, apakah engkau benar2 sudah tetap pada
keputusanmu?" teriak wanita cantik itu.
Setelah mencabut pedang itu maka tampak pedang itu
memancarkan hawa panas yang menyeramkan. Ditingkah
sinar matahari silam, pedang itu memancarkan sinar yang
aneh, seolah memberi suatu firasat.
"Ceng-moay, hanya sekali ini saja aku mohon
kepadamu!"
Tampak cahaya muka wanita cantik itu sebentar-sebentar
berobah dan akhirnya membeku. Dia mengangguk:
"Sejak dulu aku memang sudah meramalkan bahwa
kelak tentu akan menghadapi saat seperti ini. Tetapi aku
tetap menikah dengan engkau. Mungkin kesemuanya ini
sudah garis takdir !"
"Ceng-moay, jangan berkata begitu!"
"Sekarang aku baru tahu. Engkau tidak mencintai diriku
tetapi lebih cinta pada pedang. Hidup-mu hanya untuk
pedang..."
"Ceng-moay, ucapanmu terlalu tajam..."
Wanita cantik tertawa dingin:
"Bukankah kenyataan memang begitu?"
"Ceng-moay," kata sasterawan dengan nada pilu, "aku
cinta padamu. Tindakanku ini membuatmu bersedih tetapi
kumohon engkau suka maafkan. Aku berjanji, hanya satu
kali ini saja, ya, sekali ini saja !"
"Ya hidup itu .. . memang hanya sekali ini saja !"
"Ceng-moay . .."
"Hong-ko, semoga engkau berhasil mengangkat nama !"
habis berkata tiba2 wanita cantik loncat kebelakang rumah
dan terus lari keatas gunung.
Sasterawan itu tercengang, sesaat kemudian baru
berteriak: "Hai, hendak kemana engkau, Ceng-moay?"
Tetapi wanita cantik tak menghiraukan lagi. Larinya
makin kencang. Melihat itu sasterawanpun segera mengejar
dan berteriak-teriak memangginya:
"Ceng-moay . . . Ceng-moay ..."
Cu Jiang geleng2 kepala dan menghela napas. Pikirnya,
manusia memang aneh. Mengapa sudah enak2 hidup
tenteram, masih hendak cari perkara" Mengapa orang itu
lebih mengutamakan nama daripada cinta" Apakah
kemasyhuran nama itu" Ayah juga diagungkan sebagai
Seng-kiam (Dewa Pedang), tetapi apa jadinya"
Tertarik oleh peristiwa kedua suami isteri itu, Cu Jiang
diam2pun lari mengikuti, Ia lupa akan rasa lapar.
Tiba di lamping gunung, ia terkejut menyaksikan suatu
adegan yang mendebarkan. Wanita cantik itu berdiri di atas
sebuah batu karang tinggi yang hanya cukup untuk
ditempati seorang. Di bawah karang itu terbentang air-
terjun yang meluncur ke bawah sampai beratus tombak.
Sasterawan merangkak naik menghampiri seraya berseru
membujuknya. "Ceng moay . . . kembalilah, aku. . . akan menurut segala
permintaanmu!"
Wanita cantik tertawa dingin:
"Terlambat, aku tak mau mengemis cinta karena engkau
kasihan kepadaku. Aku tidak bersandiwara, juga tidak
menggertakmu. Semoga engkau menjaga diri baik2, engkoh
Hong, selamat tinggal, jago pedang nomor satu di dunia . ."
Saat itu sasterawan sudah merangkak ke atas permukaan
karang dan terus menyambar kaki wanita itu tetapi ah....
hanya terpaut seujung jari dan terlambatlah dia. Wanita
cantik itu sudah loncat ke bawah jurang ....
"Ceng moay . . . !" terdengar sasterawan itu melolong
seperti serigala mengaum di tengah malam. Nadanyapun
kepiluan dan putus asa.
Tetapi hal itu tidak menolong apa2. Bahkan hanya
merupakan suatu irama musik yang menghantar tubuh
wanita cantik lenyap tenggelam dalam kabut senja yang
menutupi permukaan jurang.
Hidung Cu Jiang turut mengembang air. Betapa
menyedihkan peristiwa itu. Kematian wanita cantik itu
walaupun dengan cara membuang diri ke bawah jurang,
tetapi hal itu tak lain hanya sebagai akibat dari ambisi
sasterawan itu. Atau lebih jelas, dia mati di tangan lelaki
yang dicintainya.
Karena tak ingin menderita berpisah mati dengan
suaminya yang akan menantang ilmu pedang dengan Toan-
kiam-jan jin, lebih baik ia mati lebih dulu.
Tetapi adakah pengorbanan jiwanya itu mampu
meredakan ambisi besar dari suaminya yang begitu sangat
bernafsu untuk mencari nama itu"
Sebenarnya Cu Jiang tak suka akan pikiran dan tindakan
sasterawan itu. Dia hendak muncul dan memberinya
pengajaran. Tetapi mengingat bahwa baru saja sasterawan
itu berduka cita kehilangan isteri tercinta, dia terpaksa
menahan diri. Dia mengharap semoga peristiwa pahit itu
akan menyadarkan pikirkan orang itu.
Sasterawan itu terus lari ke bawah untuk mencari mayat
isterinya di bawah air-terjun. Cu Jiang pun tak mau
mengikuti lagi dan terus melanjutkan perjalanan.
Keesokan harinya dia sudah keluar dari daerah gunung
Bu-leng-san. Hanya tinggal lima puluh li dari kota Li-jwan.
Ia berhenti di sebuah kota kecil lalu meneruskan jalan lagi.
Diperhitungkan waktu lohor nanti dia akan sudah tiba di
Li-jwan. Menurut perhitungan hari itu masih kurang dua hari dari
waktu perjanjian. Entah apakah Tio Hong Hui dan
puterinya sudah datang atau belum.
Tengah berjalan tiba2 dia melihat beberapa rumah
pondok di pinggir jalan. Ternyata beberapa kedai minuman.
Kedai2 itu menjadi tempat persinggahan dari para penjual
dari desa. Cu Jiang juga merasa haus. Dia singgah di sebuah kedai
dan minta disediakan arak putih.
Tengah dia perlahan-lahan menikmati minuman, tiba2
terdengar suara orang tertawa dan seorang pemuda berseru:
"Aneh, Can Su Nio, kepala perguruan Hot-goat-bun,
selama ini tak pernah meninggalkan kota Gong-an. Tetapi
mengapa kali ini tiba2 dia membawa muridnya Kim hun-li
pesiar ke daerah yang begini sunyi?"
Kawannya, juga seorang anak muda menyahut:
"Saudara Tio, mungkin bukan hendak pesiar tetapi ada
lain tujuan . . ."
"Ha, ha, ha .... Ho toako, kecuali cari kumbang memikat
kupu-kupu", apalagi pekerjaan perguruan Hoa-goat-bun
itu?" "Apakah engkau bermaksud . . . bertamasya di taman
bunga Tho yang indah?"
"Apakah Ho toako tak ingin juga?"
"Kita satu tujuan, satu warna, ha, ha, ha, ha..."
"Ho toako hendak memberi bingkisan apa kepada
mereka ?" "ini... ya, sebatang pohon Cian lian-hosiu-oh."
"Ah, benar2 sebuah benda yang jarang sekali."
"Dan engkau ?"
"Sepasang mustika Han-giok warisan leluhurku . . ."
"Ah, cukup nilainya."
Agak panas juga telinga Cu Jiang. Partai Hoa-goat-bun,
dia pernah mendengar. Partai itu menggunakan paras
cantik untuk menggaet kawanan orang persilatan yang
rendah moralnya, mengadakan tukar menukar ilmu
kepandaian dengan benda2 pusaka. Setiap kota, besar kecil,
dibuka cabang. Pengaruhnya cukup besar. Sepak terjang mereka tak
lebih tak kurang seperti sarang pelacur. Hanya bedanya
setiap anak murid perempuan dari partai itu, rata2 memiliki
ilmu silat yang tinggi.
"Ho toako, engkau lebih banyak pengalaman. Menurut
pendapatmu, apakah kita akan berhasil?" tanya pemuda
yang pertama. "Asal imbalannya cukup tinggi, dimana-mana tentu
dapat saling tukar. Apakah engkau baru pertama kali ini?"
"Ah, sudah . . . pernah sekali."
"Bagaimana?"
"Sukar dikata."
"Ha, ha, ha, ha...."
"Selama bunga Bo-tan masih berkembang, sudah jadi
setanpun orang tetap akan mengenang."
"Anak murid Hoa-goat-bun rata2 memiliki ilmu
kepandaian Kwan-ing-kang-hu (lunak dan keras). Terutama
dalam kepandaian di atas ranjang... sekali engkau pernah
merasakan mereka, engkau takkan kepingin lagi terhadap
lain wanita sekalipun dia itu secantik bidadari."
"Ho toako, hari ini kita akan sama2 mendayung dalam
satu perahu, bukan?"
"Ha, ha, ha . . . lote, jangan kuatir, hari ini aku hendak
coba2 menempel ketuanya, Hong Cek. Dengan sebatang
mustika Cian-lian-ho-siu-oh ini, tentu dapat menarik
perhatian ketuanya. Jika muridnya sudah begitu yahud,
ketuanya tentu lebih hebat lagi, heh, heh . . ."
"Aku sih asal dapat menggaet muridnya yang bernama
Soh-hunli itu saja, rasanya sudah puas!"
"Jika begitu kita sudah ada pembagian, tak mungkin
terjadi rebutan, ha, ha, ha .... "
"Apakah mereka benar menginap di kuil Lian hoa-yan
sana?" "Benar, kita harus lekas2 ke sana. Jangan sampai
didahului lain orang."
"Mari."
Setelah membayar kedua anak muda itu terus keluar. Cu
Jiang segan mengurus mereka. Setelah minuman, diapun
terus melanjutkan perjalanan. Di jalan dia melihat kedua
busu (orang persilatan) tengah berjalan cepat. Tentulah
kedua pemuda yang berbicara dalam warung tadi.
Cu Jiang bahkan tak mau cepat2 berjalan. Dia masih
mempunyai waktu dua hari. Mungkin Tio Hong Hui masih
sedang dalam perjalanan.
Tiba di persimpangan jalan, yang satu menjurus ke
sebelah kiri dan masuk ke hutan, dia melihat sebuah
pertandaan rahasia. Dia terkejut. Apakah sandi itu dibuat
oleh salah seorang dari ke empat jago ko-jiu Tayli itu"
Apakah di daerah ini terdapat jejak kawanan Sip-pat-thian-
mo" Ia terus balik ke tikungan jalan. Ia melihat jelas tanda
rahasia itu. Agar tidak membikin kaget lawan, dia segera
masuk ke dalam hutan, mematahkan ranting pohon lalu
dengan menutup diri pakai daun2, dia melanjutkan berjalan
ke muka. Kira-kira setengah li jauhnya, tampak sebuah rumah
yang berdinding batu merah. Rupanya sebuah kuil. Segera
dia gunakan tata-langkah Gong-gong-poh hwat untuk
menghampiri. Ketika dekat, Ia terkejut. Ternyata gedung itu adalah kuil
Lian hoa-yan seperti yang dikatakan kedua anak muda di
warung tadi. Cu Jiang menyembunyikan diri dan merenungkan apa
maksud dari pertandaan rahasia yang ditinggalkan keempat
jago Tayli itu " Tetapi sampai lama ia tak dapat
menemukan jawabannya.
Tiba2 dari dalam kuil itu terdengar suara tawa dari orang
perempuan. Nadanya amat cabul. Cu Jiang menduga, yang
tertawa itu tentu anak-murid dari partai Hoa-guat-bun yang
bernama Soh-hun li. Kuil merupakan sebuah tempat
pemujaan yang suci. Mana bisa akan dijadikan tempat
maksiat semacam itu.
Lalu apakah maksud tanda rahasia itu mengundang dia


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya datang ke tempat itu " Karena tetap tak dapat
menemukan jawaban akhirnya Cu Jiang memutuskan
untuk bersembunyi menunggu perkembangan.
Ia segera menuju ke samping dan terus menyelundup
masuk kedalam kuil.
Lian-hoa-yan partainya Kuil Teratai. Yang dipuja disitu
adalah Koan Im pousat. Keadaan bersih dan indah sekali.
Tak kalah mewah dengan gedung orang kaya.
Dari ruang sebelah barat yang berhias bunga2 indah.
terdengar suara tawa cabul tadi. Kedua busu tadi berdiri
diluar pintu ruangan. Wajahnya tampak dirangsang nafsu
yang berkobar-kobar.
Saat itu Cu Jiang bersembunyi digerumbul bambu yang
berhadapan dengan ruang bunga tadi. Melalui sela2 daun,
dia dapat melihat apa yang terjadi di ruang itu. Begitu
melihat, darahnyapun bergolak, mata merah membara.
Yang duduk didalam, ruang itu tak lain adalah Tio Hong
Hui dan puterinya. Tingkah mereka yang genit dan cabul
jauh berbeda sekali dengan sikap mereka yang sedih ketika
berada di kota Gong-an tempo hari.
"Mengapa Tio Hong Hui hendak berjumpa dengan ketua
Hoa-goat-bun ?" demikian Cu Jiang menimang dan
merenung peristiwa aneh itu.
Ah, mungkin Tio Hong Hui itu memang seorang wanita
cabul seperti yang dikatakan oleh bekas suaminya Cukat
Giok atau Koh-tiong-jin, orang dan dalam lembah itu.
Dengan kata2 yang merangsang dan genit berserulah Tio
Hong Hui kearah pintu.
"Karena kalian dengan bersungguh hati datang kemari
hendak mencari keharuman, maka ketua kamipun terpaksa
meluluskan. Begini sajalah, kalian berdua dengan sepasang
burung hong mencari burung hong."
Dada Cu Jiang hampir meledak. Ternyata di dunia
terdapat wanita yang serendah itu martabatnya. Tetapi pada
lain saat dia terpaksa harus sabar. Dalam hal itu tentulah
terdapat sesuatu rahasia. Sebun Ong tentu mengatur
rencana dalam peristiwa itu.
Busu orang she Ho dengan hormat membungkukkan
tubuh lalu berkata.
"Bun-cu, aku yang rendah merasa sangat dahaga dan
mohon bun-cu sudi mencurahkan air hujan..."
Bun-cu artinya ketua perguruan.
"Ah, tak mungkin, barang upetinya tidak memenuhi
syarat." kata Tio Hong Hui dengan tertawa cabul.
"Akan kutambahi dengan pedang Keng-lui-kiam tinggalan leluhurku!"
"Akan kuberi kelonggaran kepada kalian berdua untuk
bermain-main dengan burung hong !"
"Ini.... ini ... ."
"Terserah mau atau tidak. Jika tak mau, silahkan
kembali dan bawalah barang upeti itu !"
Kedua busu itu saling bertukar pandang. Lalu sama2
mengangguk. Tio Hong Hui berpaling ke arah dara yang duduk
disampingnya: "Anak manis, layanilah kedua tuan itu dengan baik2,
Jangan sampai mengecewakan."
Gadis itu tertawa dan berbangkit. Setelah menyatakan
kesanggupannya, ia terus melontarkan lirikan mata kepada
kedua busu yang berdiri di depan pintu, seraya
mengundang: "Mari. kalian silahkan masuk !" Lirikan mata gadis itu
benar2 maut sekali. Seakan-akan mempunyai daya pesona
yang kuat. Tiba2 Cu Jiang teringat akan ocehan Thian-put-toa
ketika dipuncak wuwungan rumah berhala.
"Selembar jiwa cepat atau lambat pasti akan diantar ke
bawah kun (rok) si Ciok Liu ..."
Orang tua aneh itu memperingatkan bahwa pantangan
besar bagi seorang pendekar ialah paras cantik.
Dengan begitu jelas bahwa Thian put thou ternyata
sudah tahu bahwa Ratu-kembang Tio Hong Hui dan
puterinya itu wanita yang cabul. Sayang Thian put-thou tak
mau bilang dengan terus terang dan Cu Jiang pun tak mau
bertanya lebih lanjut.
Sudah tentu pula Cukat Giok, kakek bernasib malang
yang terlempar didasar jurang itu, tak tahu bahwa isteri dan
puterinya sudah menjadi wanita penjual senyum.
Kedua busu itupun segera melangkah masuk. Cu Jiang
hampir tak dapat menguasai diri dan hendak keluar
membunuh mereka. Tetapi tiba2 terdengar suara tawa keras
dan dari balik gunungan batu yang tak jauh dari kuil itu,
meluncur keluar sesosok bayangan, seorang tua berjubah
kuning, berwajah merah segar seperti bayi, tubuh gagah
perkasa, memasuki ruangan.
Menilik perawakannya, teringatlah Cu Jiang akan
kawanan Sip-pat-thian-mo.
Terpaksa dia menahan kesabarannya. Dengan hormat kearah ruangan, orang tua jubah kuning
itu berseru. "Buncu, sudah lama kita tak berjumpa."
Pada saat itu Tio Hong Hui agak keheranan tetapi cepat
ia tenangkan diri dan tertawa.
"Oh, siapakah anda ?"
"Cobalah terka !"
"Seumur hidup belum pernah kenal, sukar untuk
menerka." "Di seluruh kolong jagad ini, yang mampu melayani
bertanding ilmu kepandaian dengan bun-cu, siapa lagi
orangnya kecuali aku."
"O, biarlah kuingat-ingatnya dulu . . ."
"Apakah ketua yang dulu tak pernah menceritakan
tentang peristiwa pertempuran seratus babak yang
berlangsung sehari semalam itu?"
Ratu-kembang Tio Hong Hui serentak berbangkit dan
berseru tegang:
"Apakah anda itu dalam persekutuan Sip-pat-thian-mo,
bukan Hong-gwat-mo yang menempati urutan keempat?"
Orang tua jubah kuning itu tertawa gelak2.
"Benar, benar, itulah aku. Bagaimana kekuatan buncu
sekarang?"
"Dalam seratus babak, masih dapat melayani!"
"Bagus, aku sih orangnya tua tetapi tombak ku tak
pernah tua. Akan menjadi menteri utama untuk mengawal
pintu gedung bun-cu!"
Cu Jiang ingin mendekap telinganya agar tak mendengar
kata2 cabul yang bagi mereka diucapkan dengan enak saja.
Saat itu gadis Beng Cu dan kedua bu-su muda tadi sudah
masuk ke dalam kamar samping. Mungkin mereka sudah
mulai melangsungkan adegan yang disebut "Sepasang
burung hong bermain dengan burung hong". Dua lelaki
melakukan adegan ranjang melawan seorang perempuan.
"Apakah aku boleh masuk?" seru orang tua jubah kuning
itu. "Tunggu dulu!"
"Apakah bun cu masih hendak mengatakan pesan lagi?"
"Anda tahu peraturan perguruan kami?"
"Untuk aku si tua ini juga harus terkena peraturan?"
"Siapapun tiada yang dikecualikan!"
"Baiklah, sebuah ilmu silat, bagaimana?"
"Ilmu silat yang bagaimana?"
"Kui ai-lay-hwat?"
"Oh, ilmu pernapasan kura-kura, itu harus di berikan
lebih dulu. . ."
"Aku sudah tak dapat menunggu lagi ..."
"Tidak bisa, itu sudah menjadi peraturan perguruan
kami!" "Baiklah."
"Silahkan masuk!"
Melihat itu Cu Jiang tak dapat menahan hatinya lagi.
Sambil berseru supaya mereka jangan bergerak dia terus
melesat ke luar.
Melihat Cu Jiang wajah Ratu-kembang Tio Hong Hui
berobah seketika. Kemunculan Cu Jiang benar2 tak pernah
diduganya. Tanpa berpaling iblis Hong-gwat-mo berseru seram.
"Hai, manusia mana yang tak punya malu berani cari
mampus?" Berulang kali Tio Hong Hui mengedipkan mata memberi
isyarat kepada iblis itu. Hong-gwat-mo pelahan-lahan
membalik tubuh dan . . .
"Hm engkau tentu Toan-kiam-jan jin yang memusuhi
golonganku?" serunya gemetar.
"Benar!"
"Baik, aku memang hendak mencarimu!"
"Sama-sama."
"Hari ini engkau harus mati!"
"Kata2 itu seharusnya aku yang mengatakan kepadamu!"
Mata Cu Jiang berkilat-kilat menyapu ke dalam ruang.
Ratu kembang Tio Hong Hui menggigil.
Iblis Hong-gwat mo melangkah maju dua tindak. Tiada
angin, jubahnya menggelembung sendiri.
Cu Jiang beralih memandang iblis itu. Diam2 ia
menimang. Walaupun raja Tayli tidak menyukai suatu
pembunuhan dan waktu berangkatpun suhunya, Gong
gong-cu, memberi pesan agar menghindari pembunuhan
dan cukup menghancurkan tenaga kepandaian musuh saja,
tetapi Cu Jiang berpendapat bahwa terhadap iblis cabul
macam Hong-gwat-mo, jika dibiarkan hidup tentu akan
merusak gadis2 dan kaum wanita di dunia. Harus dibasmi.
Setelah mengambil keputusan, mata Cu Jiang pun
memancar sinar pembunuhan. Kata2 Thian-put thou
kembali terngiang di telinganya . . . "jangan kasih
kesempatan pada lawan " . . . .
Dan Cu Jiangpun teringat akan peristiwa yang
dialaminya sendiri. Karena bertempur terlalu lama, hampir
saja dia mati di tangan kawanan Bu Mo dan kawan-
kawannya. Hong-gwat-mo memang tak kecewa sebagai seorang
pentolan iblis. Melihat sinar mata Cu Jiang ia dapat menilai
isi hati pemuda itu. Maka cepat dia mendahului
menghantam lawan dengan kedua tangannya.
Tetapi dengan memiliki kepandaian yang tinggi, Cu
Jiangpun memiliki gerak yang cepat sekali. Begitu lawan
menghantam diapun terus menyabet dengan pedang
kutungnya. Gerakan itu hampir berbareng waktunya.
Terdengar erang tertahan dan Hong-gwat-mo terhuyung
mundur tiga langkah. Lengan kanannya berdarah. Tetapi
Cu Jiang pun termakan pukulan lawan sehingga tubuhnya
berguncang keras.
Begitu tercerai Hong gwat-mo terus melesat pergi. Sudah
tentu Cu Jiang sangat terkejut sekali. Bagaimana seorang
iblis berasal dari Sip pat thian-mo, dalam satu gebrak saja
sudah ngacir. "Hai, mau lari kemana engkau !" Cu Jiang terus
mengejar. Tetapi dalam sekejab mata iblis itu sudah lenyap
dalam kegelapan malam. Sekeliling penjuru hutan lebat,
sukar untuk mengejarnya.
Cu Jiang termangu, Ia mengakui bahwa nasehat orang
tua Thian-put-thou itu memang tepat. Jika tadi dia terus
melancarkan serangan dahsyat, Hong-gwat-mo tentu tak
sempat melarikan diri lagi.
Ia terus alihkan perhatiannya pada Tio Hong Hui dan
anak gadisnya. Cepat dia kembali masuk kedalam ruang.
Tetapi alangkah kecewanya ketika melihat ruang itu sudah
kosong melompong.
Ketika menuju ke ruang kecil, ia mendengar suara orang
merintih aneh. Setelah menentukan rintihan dari dalam
sebuah kamar, dia terus menghantam pintunya dan
menerobos masuk. Apa yang di saksikan membuatnya
muak dan panas.
Diatas ranjang kayu yang besar, kedua busu tadi rebah
dengan telanjang. Mereka terus menerus merintih-rintih
karena dibungkus dengan kasur dan dibuntal dengan kain
kelambu. Sedang gadis tadi bersama ibunya sudah lolos.
Kedua bu-su itu lemas tak bertenaga. Mereka tentu
terkena ilmu pesona.
"Menjadi kaum persilatan tetapi melanggar peraturan
persilatan, pantas dibunuh!" Cu Jiang mendamprat seraya
mengangkat tinjunya.
Kedua bu-su itu membuka mulut tetapi tak dapat
bersuara apa2. Keduanya hanya membelalakkan mata
menunggu kematian.
Adegan itu menimbulkan ingatan Cu Jiang akan
kematian yang mengenaskan dari mamah dan anak
perempuan paman Liok Keduanya itu telah menjadi korban
pembunuhan dan perkosaan yang keji dari kawanan
manusia iblis. Seketika hilanglah rasa kasihan Cu Jiang. Sekali tangan
berayun, ke dua bu su itupun menjadi setan2 cabul di
neraka. Cu Jiang tak mau menyaksikan lebih lanjut. Dia menuju
kembali ke dalam ruang, ia marah sekali. Dia telah kena
dikelabuhi oleh Sebun Ong dan Tio Hong Hui. Ia menyesal
karena meragukan kepercayaan Cukat Giok.
Kini kemarahannya ditumpahkan pada para rahib dalam
kuil itu. Kuil Lian-hoa-yan merupakan tempat suci,
mengapa sampai dijadikan tempat maksiat. Jelas para rahib
di situ tentu tersangkut. Mereka tentu bukan rahib baik2.
Tetapi ketika dia menuju ke ruang tempat tinggal para
rahib dan lain2 ruang, dia tak melihat barang seorang
rahibpun juga. Rupanya mereka sudah sama melarikan diri


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semua. Karena tak mendapat hasil, dia kembali lagi ke ruang
depan. Tiba2 sesosok bayangan muncul. Cu Jiang terkejut
dan mengawasi tajam. Ah, kiranya pendatang itu seorang
sahabat baik dari suhunya, yaitu Lam-ki-soh.
"Locianpwe, selamat berjumpa," dia memberi hormat.
Tiba2 ia teringat bahwa saat itu ia memakai kain kerudung
penutup muka. Tetapi mengapa Lam-ki-soh dapat
mengenalinya"
"Ho, budak kecil, engkau masih ingat kepadaku?"
tenang2 saja Lam-ki soh menjawab.
"Sudah tentu tak lupa."
"Karena mendapat berita dari suhumu, maka akupun
akan menjaga dirimu . . ."
"Oh, terima kasih, lo cianpwe. "
"Tak perlu."
"Tetapi bagaimana locianpwe dapat datang ke mari" "
Cu Jiang bertanya pula.
"Aku si orang tua justeru hendak bertanya kepadamu.
Mengapa engkau hendak mengejar Hoa-gwat bun bun-cu, si
gagak tua yang tidak tahu malu itu?"
"Aku menerima permintaan tolong dari seorang sahabat
untuk menyelesaikan sebuah persoalan."
"Menerima permintaan orang ?"
"Dari Tionggoan-thayhiap Cukat Giok."
"Hm, bukan orang tak bernama. Mengapa dia dapat
meminta bantuanmu untuk mengejar ketua Hoa-goat bun ?"
"Karena wanita itu adalah isterinya !"
"Apa?"
"Ketua Hoa goat-bun itu adalah isteri Cukat Giok."
"Ngaco!" bentak Lam-ki-soh dengan mata membelalak.
Walaupun menaruh rasa hormat, tetapi Cu Jiang tak
suka diperlakukan semacam itu, Ia menyabut dengan nada
dingin: "Aku tidak ngaco!"
"Budak, siapa yang bilang kalau isteri dari Cukat Giok
itu ketua Hoa-goat-bun ?" bentak Lam-ki-soh.
"Cukat Giok sendiri."
"Apa itu bukan ngaco belo namanya?"
"Aku bukan manusia yang gemar ngaco !"
"Apa Cukat Giok sudah gila?"
Cu Jiang tertegun lalu menjawab tegas:
"Dia tidak gila !"
"Mengapa dia minta tolong kepadamu supaya mencari
jejak isterinya?"
"Dia telah dikhianati orang dan kini menjadi manusia
cacad, ilmu kepandaiannya sudah punah. Dia mengatakan
bahwa istrinya itu tidak setia dan menyeleweng."
Lam-ki-soh regangkan kepala, merenung sejenak lalu
berkata: "Apakah dia mengatakan kalau isterinya itu ketua dari
Hoa gwat bun?"
"Tidak ! Dia mengatakan isterinya adalah Hoa Hou
(Ratu kembang) To Hong Hui."
"Ya benar. Dan mengapa engkau tidak mencari Hoa hou
Tio Hong Hui tetapi memburu ketua Hoa-goat-bun?"
Rupanya Cu Jiang cepat menyadari. .
"Apakah ketua Hoa-goat-bun itu bukan Tio Hong Hui?"
serunya dengan nada gemetar.
"Engkau kurang pengalaman. Ketua Hoa-goat bun itu
Can Su Nio. Setiap hidung belang tahu. Mengapa hendak
engkau jadikan sebagai Tio Hong Hui" Apakah engkau
hendak mempersamakan kuda dengan keledai ?"
"Aku kena ditipu !" Cu Jiang menggeram.
"Siapa yang menipu ?"
"Bu lim-seng hud Sebun Ong !"
Lam-Ki soh kerutkan dahi.
"Nama Sebun Ong itu harum sekali, bagaimana
menipumu?"
Dengan mengertak gigi, Cu Jiang lalu memberitahu
semua peristiwa yang telah diceritakan Cukat Giok
kepadanya, tetapi dia tak mau mengatakan tentang dirinya
disiksa Bu Mo dan dilempar kedalam jurang.
"O, kiranya begitu. Kalau demikian, aku telah salah
duga. Ternyata Sebun Ong seorang ksatrya palsu yang
mengelabuhi mata seluruh kaum persilatan!" kata Lam-ki-
soh. "Takkan kubiarkan dia dapat bebas berkeliaran lagi."
seru Cu Jiang. "Tetapi tak mudah engkau hendak mencarinya. Dan
hati-hatilah terhadap rencana2 jahat yang akan dilakukannya terhadap dirimu. "
"Lalu bagaimana langkahmu sekarang ?"
"Membikin perhitungan dengan ketua Gedung Hitam."
Pada saat itu terdengar suara dengusan dingin yang
menusuk telinga.
"Siapa!" teriak Cu Jiang.
Tetapi tiada penyahutan. Pada saat Cu Jiang hendak
mengejar, Lam-ki-sohpun mencegahnya:
"Jangan! Mereka dapat bersembunyi tanpa kita ketahui.
Jelas mereka tentu bukan kawanan yang lemah. Percuma
mengejarnya. Yang penting, bagaimana rencanamu hendak
mencari ketua Gedung Hitam itu?"
"Aku sudah punya rencana !"
Lam ki-soh tak mau mendesak. Dia beralih pembicaraan.
Dia mengatakan bahwa kuil Lian-hoa-yan itu merupakan
cabang perkumpulan Hoa-goat-bun, lebih baik dibakar.
Cu Jiang mengiakan! Dia masuk, merobek kain kelambu
dan menyalakannya. Keduanya keluar dan menyaksikan
kuil itu di makan api. Tiba2 beberapa sosok bayangan
melesat keluar dari dalam kuil itu. Seorang rahib tua dan
lima rahib muda.
"Karena sarangnya terbakar, kawanan rase bermunculan
keluar." Lam ki-soh bertepuk tangan.
"Apakah rahib2 itu anak murid Hoa-goat-bun ?"
"Ya, kau..."
Cu Jiang cepat loncat ke muka. Dengan beberapa
ayunan tangan, keenam rahib cabul itu menjerit ngeri dan
terlempar lagi ke dalam api.
"Budak, agaknya ganas sekali engkau ini." seru Lam.ki-
soh. "Membasmi kejahatan harus sampai bersih. Membiarkan
orang2 seperti itu hidup di dunia, takkan membawa berkah
pada manusia."
"Hayo, kita pergi." seru Lam ki soh.
Tiba2 pula Lam ki soh berkata bahwa sebaiknya mereka
pergi secara berpencar. Sudah tentu Cu Jiang setuju. Dalam
melakukan pembalasan terhadap Gedung Hitam itu, dia
memang ingin melakukan dengan tenaganya sendiri, tak
perlu dibantu orang.
Demikian keduanya lalu menyetujui rencana itu dan Cu
Jiang terus berangkat dulu. Dalam perjalanan dia masih
marah terhadap Sebun Ong yang telah mengelabuhi
dirinya, menyodorkan ketua Hoa-goat-bun sebagai Tio
Hong Hui. Diam2 ia bersyukur karena tak lekas menyerahkan kedua
bungkusan dari Cukat Giok itu kepada ketua Hoa-goat-bun.
Andaikata dia terlanjur memberikan, bukankah dia akan
menelantarkan pesan Cukat Giok" Ketua Hoa-goat-bun
mati selagi Tio Hong Hui masih hidup.
Cu Jiang merasa tak perlu masuk ke kota Li Jwan lagi.
Dia memutar dari samping tembok kota lalu menyusur
jalan di sepanjang tepi sungai.
Tengah dia berjalan tiba2 dari belakang terdengar orang
berseru: "Hai, bung. berhenti dulu!"
Cu Jiang berhenti tetapi tak mau berpaling melainkan
balas menegur: "Sahabat dari mana ini?"
"Bukankah anda ini Toan-kiam jan jin?" seru orang itu
pula. "Benar."
"Aku Ban Ki Hong."
"Ada keperluan?"
"Hendak minta beberapa jurus ilmu pedang dari anda."
Cu Jiang berputar tubuh, Ban Ki Hong adalah orang
yang membawa kemauannya sendiri, berkeras hendak
menempurnya sehingga isterinya sampai nekad melempar
diri ke dalam jurang.
Hanya beberapa hari setelah kematian isterinya, Ban Ki
Hong sudah turun gunung dan mengejarnya. Orang itu
benar2 gila. "Mari kita ke atas pesisir sana." seru Ban Ki Hong seraya
menunjuk ke sebuah pesisir.
"Apa engkau yakin kalau aku tentu mau meladeni
permintaanmu?" seru Cu Jiang.
"Bukankah anda takkan pelit untuk memberi pelajaran
kepadaku?" agak kurang senang Ban Ki Hong balas
bertanya. "Mungkin."
Wajah Ban Ki Hong berobah seketika.
"Terus terang aku menantang anda!" serunya dengan
nada tergetar. "Engkau belum pantas menjadi lawanku." sahut Cu
Jiang. Ban Ki Hong melotot mata, teriaknya: "Anda tak
memandang mata kepadaku!"
"Memang."
"Toan kiam-jan-jin, engkau terlalu menghina orang . . ."
"Lalu?"
"Kita bertempur sampai mati!"
"Telah kukatakan, engkau belum pantas!"
Ban Ki Hong mencabut pedang dan menggetarkannya.
Segulung sinar berhamburan menyilaukan mata.
"Baik, mari kita ke sana," tiba2 Cu Jiang merobah
keputusan. Dua puluhan tombak jauhnya terdapat sebuah padang
rumput! rumput yang tebal sehingga teraling dari
pandangan orang. Sedang di depannya terdapat pasir yang
menjurus ke tepi sungai.
"Ban Ki Hong, engkau benar2 manusia yang tak punya
perikemanusian !" seru Cu Jiang.
Didamprat begitu, Ban Ki Hong gemetar marah,
serunya: "Kita belum kenal mengenal. Menantang adu ilmu
pedang sudah lazim dikalangan persilatan. Mengapa
engkau menghambur makian kepadaku ?"
"Hm. sekali lagi kutegaskan. Engkau memang belum
pantas menjadi lawanku."
"Apa artinya ?"
"Dengan memburu nama kosong, engkau mengesampingkan kecintaan isteri sehingga istrimu sampai
bunuh diri. Apakah engkau ini seorang insan manusia ?"
Pucat seketika wajah Ban Ki Hong. Dia menyurut
mundur sampai empat lima langkah. Dipandangnya Cu
Jiang sampai lama sekali, baru dia berseru:
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Tak perlu bertanya. Engkau mengakui atau tidak!"
"Aku... aku .... tak membunuhnya," suaranya penuh
mengandung kesedihan.
"Memang bukan engkau yang membunuh. Tetapi karena
ulah tindakanmu yang menyebabkan doa putus asa dan
nekad. Apakah itu tidak sama artinya engkau yang
membunuh ?"
Butir2 keringat sebesar kedelai bercucuran turun dan dari
dahi Ban Ki Hong. Wajahnya mengerut tegang.
"Apakah anda.... melihat peristiwa sedih itu?" serunya
dengan gemetar.
"Ya "
"Aku tak mengira kalau dia berlaku senekad itu."
"Tetapi kematiannya tetap tak dapat menolong. Engkau
tetap akan turun gunung."
Mendengar itu menjeritlah Ban Ki Hong seperti orang
kalap: "Aku harus mengadu ilmu-pedang dengan engkau, ini
merupakan jalan hidupku. Ayahku juga keras kepala . ..
tetapi .... akhirnya mati dibawah pedang."
Air matanya berderai-derai membasahi kedua pipinya.
"Bukankah engkau sudah berjanji kepada istrimu takkan
mengeluarkan pedang itu lagi ?"
"Ya."
"Kalau sudah merasa tak dapat memegang janji,
mengapa engkau menikah dengan dia ?"
"Ini.... ini... karena aku mencintainya!"
"Bohong, engkau tak punya malu ! Tak layak engkau
menjadi seorang bu-su !"
Wajah Ban Ki Hong makin berkerenyutan dan berteriak
sekerasnya: "Tetap harus mengadu pedang!"
"Mudah sekali untuk membunuhmu !"
"Biar, biar ! Mati atau hidup bagiku sekarang sudah tidak
penting lagi."
"Pandangan isterimu memang tepat. Engkau memang
tak dapat dinasihati lagi."
"Cabut pedangmu."
"Engkau mengatakan bahwa waktu berumur tujuh belas
tahun engkau pernah menerima ajaran Ilmu pedang dari
seorang sakti yang tak dikenal. Apakah hingga sekarang
engkau dapat mengerti pelajaran itu?"
"Benar!"
"Engkau hendak mengangkat nama dengan sejurus ilmu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang itu?"
"Bukan, aku hanya melanjutkan cita2 mendiang
ayahku." "Apakah ayahmu juga segila engkau ?"
"Jangan menghina orang yang sudah mati !"
"Ah !"
"Baik, akan kululuskan keinginanmu !" Cu Jiang terus
mencabut pedang kutung, diacungkan condong ke arah
kanan. Ban Ki Hongpun mengangkat pedang ke muka dada.
Sikapnya tenang kembali. Suatu sikap yang diperlukan
sebelum melakukan gerakan. Walaupun memiliki ilmu
pedang yang sakti, tanpa ketenangan, juga akan berkurang
kesaktiannya. Melihat sikap perobahan orang, Cu Jiang makin curiga
dan berseru: "Tunggu dulu!"
"Anda mau bicara apa lagi ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa nama jurus ilmu pedangmu itu?"
"Entah !"
"Lalu apa orang yang memberi pelajaran kepadamu itu
tak meninggalkan namanya ?"
"Tidak."
Merenung sejenak Cu Jiang lalu mempersilahkan Ban Ki
Hong menyerang.
Ban Ki Hong tenangkan perhatian. Sepasang mata tak
berkelip memandang Cu Jiang. Melihat sikap dan gayanya,
memang rapat dan tak memberi kesempatan lawan untuk
mencari bagian yang lemah.
Keduanya seperti dua buah patung batu. Saling pandang
memandang tanpa berkedip.
"Haaiit !" dua buah pekikan terdengar. Hampir serempak
sehingga sukar dibedakan mana yang lebih dulu
menghambur teriak dan serangan.
Yang tampak hanya lingkar sinar yang mencurah bagai
bunga, mirip pula dengan ratusan ular perak menari-nari.
Hanya sekejap dan terdengarlah suara mengerang...
00^od^^wo^00 Jilid 14 Suara erangan tertahan dan jeritan kaget hampir
serempak terdengar dan tahu2 pedang Ban Ki Hong
menjulai ke tanah. Tubuhnya berhias empat lobang yang
mengucurkan darah. Wajahnya lebih pucat dari orang mati.
Sinar matanya redup.
Cu Jiang tegak memandangnya.
Beberapa saat kemudian tiba2 Ban Ki Hong menjerit:
"Ceng-moay, aku bersalah kepadamu!" habis berkata dia
terus hendak menikam tenggorokannya sendiri.
"Tring "
Cu Jiang acungkan jarinya dan pedang Ban Ki Hong pun
jatuh ke tanah.
"Toan-kiam jan-jin, seharusnya engkau dapat membunuh
aku dengan jurusmu tadi. Mengapa tak engkau lakukan?"
serunya. Cu Jiang tidak menyahut tetapi hatinya gelisah. ilmu
pedang yang dimainkan Ban Ki Hong itu ternyata adalah
ilmu simpanan dari ayahnya ialah ilmu pedang It- kiam-tui-
hun. Ia heran mengapa ayahnya mengajarkan ilmu pedang itu
kepada Ban Ki Hong.
"Toan kiam Jan jin, apakah engkau hendak menyiksa
diriku ?" seru Ban Ki Hong.
"Apa perlu harus begitu?"
"Mengapa engkau tak membiarkan aku mati?"
"Apakah jiwa begitu rendah harganya?"
"Aku sudah tak berharga hidup lagi."
"Ban Ki Hong, sedangkan sip-pat-thian-mo pun mati
dibawah pedangku, apalagi engkau!"
"Tak mampu melaksanakan cita2 ayah, menerima
dendam penasaran isteri. Tidak berbakti dan tidak berbudi,
perlu apa aku hidup di dunia..."
"Jurus ilmu pedangmu tadi, cukup menggetarkan kaum
persilatan. Mengapa tidak engkau gunakan untuk melakukan perbuatan2 yang berbudi agar arwah isterimu
dapat mengasoh tenang di alam baka" Engkau malu hidup
di dunia, tidakkah engkau akan lebih malu apabila bertemu
dengan isterimu di alam baka?"
Seketika wajah Ban Ki Hong berobah, Dari tegang
menjadi duka dan akhirnya dengan penuh rasa sesal dia
mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Nasihat anda yang berharga, menyadarkan pikiranku
yang gelap. Mohon sejak sekarang jangan..."
"Tunggu !"
"Apa anda masih ingin memberi pesan lagi ?"
"Dalam waktu setahun ini, jangan engkau gunakan jurus
ilmu pedangmu itu. Kalau tak menurut engkau tentu akan
mengalami bencana besar !"
"Mengapa ?" Ban Ki Hong terkejut.
Cu Jiang tak mau secara terus terang memberitahu
bahwa jurus ilmu pedang It Kiam tui-hun itu adalah ilmu
simpanan mendiang ayahnya. Apabila Ban Ki Hong
menggunakan tentu musuh akan tahu dan menduga dia
keluarga Lamkiong, dan pasti akan membunuhnya.
"Maaf, aku belum dapat menjelaskan sekarang tetapi
peringatanku itu memang keluar dari ketulusan hatiku."
sahutnya. "O, aku memang memutuskan hendak hidup di
pegunungan sepi untuk menemani arwah isteriku tercinta.
Sejak saat ini aku takkan mengurus soal persilatan lagi."
"Bagus." Cu Jiang gembira, "waktu isteri masih hidup tak
dapat pegang janji, setelah isteri meninggalpun masih
mempunyai kesempatan untuk menebus kesalahan."
"Terima kasih."
"Masih ada sebuah hal lagi. Apabila engkau tak
keberatan, maukah menceritakan, tentang peristiwa dari
orang asing yang memberikan ilmu pedang kepadamu itu?"
Sejenak merenung Ban Ki Hongpun berkata.
"Baiklah. Peristiwa itu terjadi secara tak terduga, Jago
pedang itu bersama isterinya sedang menempuh perjalanan
lalu dikejar musuh. Saat itu isteri si jago pedang sedang
mengandung tak mampu lari. Sedang karena melindungi
istrinya, jago pedang itupun menderita luka berat. Mereka
lalu kerumahku minta perlindungan. Kusembunyikan
mereka dan ketika kawanan musuh datang, kukelabuhi
mereka dengan keterangan yang bohong. Setelah peristiwa
itu selesai, jago pedangpun lantas memberikan Jurus ilmu
pedang itu kepadaku."
"Ah . .. ." Cu Jiang hampir mengucurkan air mata tetapi
untung dia dapat menahan. isteri jago pedang itu tak lain
adalah mamanya. Dan bayi yang dikandungnya itu adalah
dirinya sendiri.
Dengan begitu jelas bahwa Ban Ki Hong itu pernah
menolong jiwa kedua ayah bundanya.
"Apakah anda kenal dengan jago pedang itu?" tanya Ban
Ki Hong. Cu Jiang bersangsi sejenak lalu mengatakan, kelak
setelah ada bukti baru dia akan memberi keterangan lagi
"Apakah anda masih hendak memberi pesan lagi ?"
Cu Jiang teringat bahwa Ban Ki Hong telah melepas
budi yang sedemikian besar kepada ayah-bundanya dan
untuk itu ayahnya telah mengajarkan sejurus ilmu Pedang
istimewa, Walaupun tanpa ikatan apa2, tetapi hal itu tak
ubah sebagai ikatan perguruan. .
"Bagaimana kalau kita bersahabat?" tiba2 Cu Jiang
berseru. "Anda menjadi sahabatku?" Ban Ki Hong menegas.
"Benar."
"Sudah tentu aku aku menurut sekali"
"Anda lebih tua. aku . . . sebagai siaute dan anda sebagai
heng-tay!"
"Ini ... ini ..."
"Toako," cepat Cu Jiang menukas, "ikatan persahabatan
kita ini merupakan jodoh yang dipertemukan pedang.
Bagaimana asal usul diriku, untuk sementara tak dapat
memberitahu dulu. Dalam hal ini kuharap toako suka
memaafkan."
Peristiwa saat itu telah menghapus semua derita
perasaan Ban Ki Hong. Derita malu karena kalah, derita
kehilangan isteri tercinta.
"Baiklah, lote, aku menurut saja rencanamu."
"Apakah toako hendak kembali ke gunung Bu-leng-san?"
Teringat akan kematian isteri tercinta, Ban Ki Hong
bercucuran air matanya.
"Sudah tentu aku akan ke gunung lagi untuk menemani
makam isteriku."
"Baiklah, toako, kelak kita berjumpa lagi di gunung itu."
kata Cu Jiang. "Hiante hendak ke mana?"
"Masih banyak urusan yang hendak kulakukan. Kelak
tentu akan kuceritakan semua kepadamu, toako."
"Jadi sekarang kita akan berpisah?"
"Musuhku terlalu banyak, kurang baik kalau kita selalu
bersama." Ban Ki Hong menurut. Tiba2 Ban Ki Hong
melemparkan pedangnya ke dalam sungai.
"Hai, mengapa toako lakukan hal itu?" Cu Jiang heran.
"Walaupun aku juga mempunyai dendam, tetapi aku
harus putuskan janjiku terhadap isteri. Aku takkan
menggunakan pedang lagi."
"Bagus, toako, dengan demikian arwah ensoh pasti akan
tenang di alam baka, " seru Cu Jiang.
Memandang pada kain cadar yang menutup wajah Cu
Jiang, Ban Ki Hong hendak berkata tetapi tak jadi.
Rupanya Cu Jiang tahu maksud Ban Ki Hong, katanya:
"Toako, maaf, untuk sementara waktu ini aku tak dapat
menunjukkan mukaku."
Ban Ki Hong tertawa dan memuji Cu Jiang cerdas dan
tajam pandangannya. Dia segera minta diri. Setelah saling
memberi hormat. Ban Ki Hong lalu melesat pergi.
Cu Jiang masih tegak termenung memandang riak
gelombang sungai. Ia merenungkan pula peristiwa kedua
suami isteri itu. Apabila dia terus muncul dan menerima
tantangan Ban Ki Hong. tentulah istrinya tak sampai bunuh
diri. Tetapi iapun heran mengapa untuk hal itu, isteri Ban Ki
Hong sampai melakukan perbuatan yang senekad itu "
Dan diapun tak menyangka akhirnya mengikat tali
persahabatan dengan Bin Ki Hong.
Tengah melamun tiba2 ia merasa ada suatu getaran yang
menyiak hawa udara. Jika tidak memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi tentu takkan mampu merasakan getaran itu.
Cu Jiang menyadari bahwa dari arah belakang tentu
terdapat orang yang mendatangi. Dan pendatang itu tentu
memiliki kepandaian yang tinggi. Tanpa berpaling, dia terus
menegur: "Sahabat dari mana itu?" Sebuah suara yang tak asing
nadanya segera menyahut:
"Aku Ho Bun Cai!"
Cu Jiang berbalik tubuh. Dua tombak jauhnya tegak
seorang lelaki. Dia tak lain adalah Ho Bun Cai yang
menjabat sebagai cong-koan atau pengurus rumah tangga
Gedung Hitam. Melihat Ho Bun Cai muncul, Cu Jiang menduga bahwa
ketua Gedung Hitam tentu juga berada disekitar tempat itu.
Dendam membara pula di dada Cu Jiang. Ia
memutuskan, bahwa dia harus mengorek keterangan dan
mulut Ho Bun Cai ini.
"Ho Bun Cai, congkoan dari Gedung Hitam, "seru orang
itu setelah beberapa saat memandang Cu Jiang, "Toan-kiam
jan-jin, mari kita bicara baik-baik."
"Bagus, akupun memang bermaksud begitu," sahut Cu
Jiang. "Kenalkah engkau dengan lelaki yang bertanding sejurus
ilmu pedang dengan engkau tadi ?"
Cu Jiang terkejut. Rupanya orang itu sudah lama
bersembunyi dan menyaksikan peristiwa tadi. Diam2 dia
bersyukur karena tak memberikan keterangan lebih luas
kepada Ban Ki Hong.
Tetapi pertanyaan menimbulkan hawa pembunuhan
dalam hati Cu Jiang.
"Anda sudah bersembunyi diatas tembok samping itu
dan mendengarkan semua pembicaraan kami ?"
"Aku tak menyangkal."
"Lalu mengapa anda bertanya soal itu ?"
"Sudah tentu ada maksudnya."
"Katakanlah."
"Tetapi lebih dulu jawablah beberapa pertanyaanku itu."
"Apakah anda tahu juga akan jurus ilmu pedang orang
itu?" "Tentu saja."
"Apa namanya ?"
"ilmu pedang satu Jurus It-kiam-tui hun-kiam dari Dewa
pedang Cu-Beng Ko."
Cu Jiang tak terkejut karena ilmu pedang mendiang
ayahnya itu memang sudah sangat terkenal di dunia
persilatan. "ilmu pedang itu memang sudah dikenal dalam dunia
persilatan. Andapun tentu begitu."
"Sekalipun begitu tetapi lain keadaannya !"
"Apa maksudmu ?"
"Engkau tentu tak menyangkal bahwa engkau merasa
heran waktu orang itu mengeluarkan jurus ilmu pedang itu
bukan ?" "Benar, lalu ?"
"Dengan bukti itu aku melihat suatu ujung dari lingkaran
. .."

Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Katakan!"
"Pertama, engkau tentu pemuda yang melarikan diri dari
penjara Gedung Hitam dahulu yakni Gok-jin ji..."
Cu Jiang mendengus.
"Taruh kata benar, lalu bagaimana ?"
Nada Ho Bun Caipun makin tegang:
"Engkau tentu mempunyai hubungan erat dengan pelajar
baju putih itu. Sekali-kali bukan seperti yang pernah engkau
katakan bahwa engkau melakukan permintaan dari pelajar
baju putih itu."
Hawa pembunuhan makin menebal di dahi Cu Jiang,
"Berbahaya sekali penilaianmu itu?"
"Mengapa ?"
"Mungkin aku terpaksa harus turun tangan kepadaku."
Wajah Ho Bun Cai agak berobah, serunya. "Untuk
menghapus mulut, bukan?"
"Mungkin saja begitu."
"Tetapi Jika aku mempunyai penilaian baru lagi ?"
"Penilaian apa ?"
Ho Bun Cai mementang mata lebar2 dan berseru :
"Engkau ini adalah pelajar baju putih !"
Cu Jiang menyurut mundur selangkah.
"Siapakah pelajar baju putih itu?" serunya dengan nada
tergetar. Wajah Ho Bun Cai berkerenyutan lalu berseru pelahan:
"Putera mendiang Dewa pedang yang bernama Cu
Jiang!" Tegang sekali wajah Cu Jiang. katanya tandas:
"Anda tahu terlalu banyak !"
"Engkau mengakui ?"
Cu Jiang merabah tangkai pedang dan berseru:
"Dan anda harus mati !"
Tubuh Ho Bun Cai gemetar dan dahinyapun beralun
kernyit. Diam2 Cu Jiang heran mengapa orang itu bersikap
demikian. Memandang beberapa kali kearah pesisir sungai, Ho Bun
Cai berkata pula.
"Bukankah engkau datang dari Tayli ?"
Kejut Cu Jiang sukar dilukiskan lagi. Mengapa Ho Ban
Cai tahu semua tentang dirinya " Berbahaya, itu harus
dirahasiakan sekali.
"Kenalkan engkau dengan Poan toanio si wanita gemuk
itu?" kembali Ho Bun Cai bertanya pula. Cu Jiang benar2
kewalahan kejutnya.
Ia teringat ketika dibawa Ho Bun Cai ke Gedung Hitam,
ditengah jalan bertemu kembali dengan wanita gemuk yang
menjual kacang. Saat itu Ho Bun Cai tak menunjukkan
reaksi apa2 kecuali mengajukan pertanyaan sederhana dan
lalu memberi uang, suruh wanita gemuk itu jangan
menampilkan diri di muka umum.
Juga ia terkejut ketika bertemu wanita gemuk itu dalam
keraton raja Tayli.
Mengapa sekarang Ho Bun Cai tiba2 mengajukan
pertanyaan tentang diri wanita gemuk itu "
"Ya, kenal" sahut Cu Jiang.
"Engkau tahu asal usulnya ?"
"Soal itu .... aku tak tahu."
"Dia bernama Cu Han Ih."
"Hai, dia orang she Cu" seru Cu Jiang.
"Bukan hanya she Cu, pun juga..."
"Juga bagaimana ?"
"Engkau mengakui apa yang kukatakan tadi semua ?"
"Ya."
"Baik," kata Ho Ban Cai, "sekarang aku hendak
memberitahu kepadamu bahwa jejakmu selama berada di
Tayli maupun datang ke Tionggoan sini, semua adalah dia
yang menyelidiki."
"Dia.... dia memberi berita itu kepada anda?"
"Benar, tetapi dia hanya menyampaikan berita saja dan
tak tahu jelas asal usul dirimu ..."
"Siapakah sesungguhnya wanita itu?"
"Dia adalah adik perempuan mendiang ayahmu, jadi
bibimu." Cu Jiang seperti disambar petir kejutnya hingga dia
sampai gemetar, terhuyung mundur tiga langkah. Sungguh
tak pernah diduganya sama sekali bahwa wanita gemuk itu
ternyata bibinya sendiri.
Lalu terbayanglah dia akan peristiwa2 yang lampau.
Ketika di kota Li jwan membuka rumah makan, wanita
gemuk itu sangat memperhatikan sekali dirinya. Dia ketika
ia menerima Amanat-maut dari Gedung Hitam, wanita
gemuk itu berusaha untuk menyembunyikan dirinya dalam
kamar rahasia. Akibatnya rumah makan itu dibakar habis
oleh gerombolan Gedung Hitam.
Cu Jiangpun teringat bahwa dalam pembicaraan, samar2
seadanya nyonya gemuk itu dapat mengetahui asal usul
dirinya.... Jika benar seperti yang dikatakan Ho Bun Cai bahwa
nyonya gemuk itu adalah adik perempuan ayahnya, tentu
tidaklah mengherankan kalau nyonya gemuk itu diam2
selalu memperhatikan dan melindungi dirinya.
Tetapi yang membuat Cu Jiang tak habis bertanya
mengapa Ho Bun Cai yang menjabat congkoan dari
Gedung Hitam, bisa tahu semua hal ini"
"Mengapa anda bisa tahu jelas semua peristiwa ini ?"
akhirnya ia meminta keterangan juga.
Tiba2 mata Ho Bun Cai berlinang-linang.
"Tahukah siapa aku ini sebenarnya ?" serunya dengan
nada rawan. Cu Jiang terkejut, gelengkan kepala.
"Aku ini sebenarnya adalah suhengmu sendiri!"
Kali ini benar" Cu Jiang terkejut setengah mati. Hampir
ia tak percaya akan apa yang didengarnya saat itu. Ho Bun
Cai, cong koan dari Gedung Hitam itu suhengnya " Ah,
tidak, tidak mungkin.
Tetapi kalau tidak, mengapa dia bisa tahu jelas asal
usulnya, keadaan rumah-tangga, tentang diri nyonya gemuk
itu. Dan bahkan dia selalu mengejar jejak pelajar baju putih
itu. Tindakan2 Ho Bun Cai sebagai tokoh penting Gedung
Hitam benar2 tak sesuai dengan perintah perkumpulan itu.
Adakah dia seorang mata2 yang menyelundup dalam tubuh
Gedung Hitam. Diam2 timbullah percik harapan dalam benak Cu Jiang.
Jika demikian halnya, tentulah dia mempunyai jalan untuk
membongkar rahasia pemimpin Gedung Hitam.
Tetapi seingatnya, waktu masih hidup, mendiang
ayahnya tak pernah mengatakan pernah menerima murid.
Apakah Ho Bun Cai itu menggunakan siasat halus dengan
mengaku sebagai murid mendiang ayahnya"
Kalau tidak, mengapa dia bisa menjabat sebagai Cong-
koan Gedung Hitam" Kalau memang bukan seorang yang
setia, bagaimana ketua Gedung Hitam sampai begitu
percaya mengangkatnya sebagai congkoan"
Mungkinkah tokoh durjana macam ketua Gedung Hitam
itu dapat dikelabuhi begitu mudah "
"Anda .... mengatakan apa ?" akhirnya ia menegas.
"Aku. . .. adalah suhengmu."
"Engkau .... suhengku ?"
"Sute, dengarkanlah. Selain aku, suhu memang tak
pernah menerima murid lain. Dan beliau menerima akupun
sangat dirahasiakan sekali. Tak ada seorang dalam dunia
persilatan yang tahu hal itu!"
Cu Jiang deliki mata. serunya.
"Bahwa ayah diagungkan sebagai tokoh Dewa-pedang,
semua orang persilatan tahu. Mengapa harus merahasiakan
soal menerima murid ?"
"Suhu memang memiliki pandangan jauh ke muka yang
tajam. Pohon semakin tinggi semakin dilanda angin. Nama
makin termasyhur makin terancam. Karena itu beliau lebih
dulu telah mempersiapkan rencana."
"Tetapi mengapa engkau menghamba sebagai congkoan
pada gerombolan semacam Gedung Hitam itu?"
"Demi menyelidiki sebuah rahasia!"
"Rahasia apa?"
"Tentang diri ketua Gedung Hitam itu!"
"Apakah sudah berhasil?"
Tiba2 seekor burung merpati terbang melintas di udara
dengan mengedarkan bunyi kelinting.
Wajah Ho Bun Cai berobah dan berseru gopoh:
"Sute, lain kali saja kita bicara lagi!" habis berkata ia
terus melesat dan lenyap dari pandang mata.
Cu Jiang masih tertegun. Siapakah yang telah melepas
burung merpati pos itu" Mengapa Ho Bun Cai begitu
ketakutan terus bergegas pergi"
Mengapa tidak sebelum dan sesudahnya tetapi tepat
pada saat Ho Bun Cai sedang akan menuturkan soal
penyelidikannya terhadap diri ketua Gedung Hitam, lalu
tiba2 burung merpati pos itu tiba2 melayang di atas mereka"
Sebenarnya Cu Jiang akan segera mengetahui rahasia
yang diinginkan mengenai diri ketua Gedung Hitam atau
tiba2 digagalkan oleh seekor buyung merpati.
Dan masih banyak hal2 lain yang perlu ditanyakan.
Sudah tentu Cu Jiang penasaran sekali. Tetapi tak dapat
berbuat apa2. Ho Bun Cai, menurut pengakuannya, adalah satu-
satunya murid dari mendiang ayahnya. Menurut katanya
pula, dia telah mendapat perintah rahasia dari suhunya
supaya menyelundup kedalam Gedung Hitam untuk
mencari tahu rahasia dari ketua Gedung Hitam.
Dan hal itu sudah dilaksanakannya selama belasan
tahun. Apakah selama itu masih belum berhasil menyelidiki
suatu apa" Bukankah dia menjabat sebagai congkoan yang
dekat sekali hubungannya dengan ketua Gedung Hitam"
Dan jika dia mempunyai hubungan dengan nyonya
gemuk, tentulah sebelumnya dia harus sudah tahu bahaya
yang akan menimpa nyonya itu.
Tetapi mengapa rumah makan nyonya gemuk itu sampai
dibakar oleh kawanan Gedung Hitam.
Banyak sekali rahasia yang menyelubungi diri Ho Bun
Cai itu. Asal menuju gunung Keng-san tentu dapat
menemuinya pula.
Setelah meninggalkan pesisir dia mengambil jalan yang
besar lagi. Belum seberapa jauh berjalan tiba2 ia melihat
sebuah peti warna merah, melintang di tengah jalan.
Tutup peti itu dibuang ke tepi jalan dan seorang
perempuan menggeletak di samping peti mati itu.
Sudah tentu Cu Jiang terkejut sekali menyaksikan
pemandangan itu.
Saat itu muncul empat orang busu yang berjalan lewat
samping peti mati. Rupanya mereka juga terkejut melihat
pemandangan di tengah jalan itu.
Mereka menjerit dan saling berpandangan lalu lari
menghampiri. Seketika wajah mereka pucat dan bergerak
menyingkir. Sudah tentu Cu Jiang makin kaget. Dia lari
menghampiri. Dan ketika menyaksikan peti mati itu,
seketika tegaklah bulu romanya dan menjerit tertahan.
Di dalam peti mati ternyata berisi sesosok mayat yang
telah dipotong2. Sedang yang menggeletak di samping peti
mati itu mayat seorang gadis. Beberapa peralatan dari peti-
mati itu berserakan di sekelilingnya.
Apakah artinya itu"
Potongan kaki dan tangan dari mayat dalam peti mau itu
tak mengucurkan darah lagi. Tentulah sesudah mati, baru
korban itu dipotong-potong.
"Ganas benar !" diam2 Cu Jiang memaki. Sesaat
kemudian ia berjongkok untuk memeriksa mayat gadis itu.
Tak terdapat barang sebuah luka pada tubuhnya, entah mati
karena apa. Memegang tangannya, ternyata masih hangat.
"Ah, belum mati, mungkin masih dapat ditolong."
katanya seorang diri.
Demi menolong jiwa, Cu Jiang tak mengacuhkan tata
susila apa2 lagi. Ia membalikkan tubuh si gadis yang
menggeletak miring.
Gadis itu baru berumur 18 an tahun. Rambut terurai,
mukanya basah dengan airmata tetapi masih cantik sekali.
Ketika memandang ke tubuh nya, tergetarlah darah Cu
Jiang. Baju nona itu sudah robek sehingga tampak sepasang
buah dudanya. Buru2 Cu Jiang berpaling muka.
Beberapa saat kemudian setelah menenangkan perasaan,
akhirnya ia memutuskan, demi menolong jiwa, tak
seharusnya ia mempunyai pikiran yang bukan2. Terlambat
sedikit saja, jiwa nona itu pasti takkan tertolong lagi.
Dia terus bertindak, memeriksa jalan darah tubuh si
nona Hasilnya, ia mendapatkan bahwa jalan darah nona itu
telah ditutuk orang. Jika tidak keburu ditolong, dia pasti
mati. Tetapi walaupun memeriksa dengan teliti, ia tak dapat
meneruskan jalan darah yang mana yang telah ditutuk itu.
Lebih dulu ia akan membawa nona itu kesebuah tempat
yang sepi dan pelahan-lahan berusaha untuk membuka
jalan darahnya Tetapi saat itu terang benderang, berjalan
dengan menggotong seorang nona tentu akan mengejutkan
orang2. Namun kalau membiarkan saja nona itu menggeletak
disitu, itu-pun menyalahi hatinnya sendiri sebagai seorang
bu su. Dia berbangkit, memandang keempat penjuru untuk
mencari tempat yang sesuai. Tiba2 ia melihat sebuah thiat-
pau atau lencana dari besi, menggeletak disamping peti
mati. "Amanat-maut!" Ternyata orang Gedung Hitam yang
melakukan kekejaman ini," serunya. Kini dia mengerti apa
sebab beberapa busu yang lalu disitu tadi, tak berani campur
tangan. Gedung Hitam mengganas lagi. Kini Cu Jiang makin
mantap untuk menolong gadis itu. Ia berjongkok,
menutupkan baju nona itu pada bagian dadanya lagi, lalu


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengangkatnya. Tetapi ia tertumbuk pula akan mayat dalam peti yang
telah dipotong-potong itu. Apa boleh buat, yang mati
biarlah mati. Yang hidup perlu ditolong ditolong dulu.
Biarlah mayat dalam peti itu diurus orang2 yang lewat
disitu. Mayat dalam peti itu rautnya sudah berubah, umurnya
lebih dari lima puluh. Entah apa hubungannya dengan
gadis itu. Cu Jiang menendang Amanat maut, agar orang2 yang
tiba disitu tidak takut untuk menolong orang tua yang
sudah menjadi mayat itu. Kemudian dia terus melanjutkan
perjalanan menyusur sepanjang sungai.
Tetapi hampir satu li berjalan, masih juga ia belum
melihat sebuah tempat yang sesuai. Tiba2 pada sebatang
pohon yang tumbuh ditepi sungai, tertambat sebuah perahu
nelayan. Segera ia menghampiri perahu itu dan berseru
memanggil pemiliknya.
Tukang perahu muncul. Melihat Cu Jiang membawa
seorang gadis, tukang perahu itu terkejut.
"Apakah tuan hendak menyewa perahu?"
"Membeli perahumu !"
"Apa " Mau membeli ?"
"Ya."
"Tuan, aku mengandalkan perahu ini untuk cari makan.
Tak kujual."
"Berapa kira2 harga perahu semacam ini kalau masih
baru?" "Tidak kujual!"
"Hanya tanya saja berapa harganya?"
"Kalau baru paling tidak antara sepuluh tail perak."
"Bagaimana kalau kuberimu dua-puluh tail perak?"
Beberapa orang yang muncul lagi dari dalam ruang perah
itu pun tidak percaya.
"Tuan mengatakan apa?"
"Dua puluh tail perak untuk perahumu ini."
Pemilik perahu mengusap-usap kepala dan sesaat
kemudian berteriak. "Baik, kujuallah!"
Cu Jiang merogoh kepingan perak, dilemparkan kepada
pemilik perahu yang menyambuti dengan tertawa gembira.
"Tuan mau mendayung sendiri atau suruh aku . . ."
"Sendiri!"
"Baik, kami akan turun."
"Angkat semua barang-barangmu."
Dengan gembira tukang perahu itu segera memindahkan
semua barangnya, menyapu lantai geladak sampai bersih
lalu mempersilakan Cu Jiang.
"Tuan, perahu ini menjadi milikmu!" tukang perahu dan
beberapa kawannya segera loncat ke daratan.
Cu Jiang terus loncat ke dalam perahu.
Meletakkan si nona di atas tempat tidur kayu yang butut
dan dia sendiri terus naik ke atas geladak. Dan perahupun
mulai meluncur terbawa arus.
Tak berapa lama perahu tiba di sebuah rumpun ilalang.
Cu Jiang hentikan perahu. Setelah menambatkan pada
sebatang pohon, dia terus masuk ke dalam ruang. Gadis itu
masih pingsan. Kalau tak lekas ditolong tentu mati.
Cu Jiang mulai memeriksa lagi jalan darah nona itu.
tetapi baru diketahuinya bahwa jalan darah yang tersumbat
itu terletak pada bagian bawah perut. Ah .... Cu Jiang
terkesiap. Bagaimana mungkin seorang pria akan mengurut
jalan darah di bawah perut seorang gadis"
Cu Jiang ki mengucurkan keringat dingin. Dia benar2
diuji hatinya. Betapa tidak, baju si gadis yang robek itu
memperlihatkan dua gunduk buah dadanya yang putih.
Sedang tubuh si gadis yang menyiarkan bau harum, benar2
membuat Cu Jiang berdebar-debar.
Seharusnya dia suruh saja beberapa jago Tayli yang
mengawalnya itu untuk melakukan pekerjaan menolong si
nona. Tetapi kemanakah harus mencari mereka.
Dan tentu memakan waktu menemukan mereka, si nona
sudah tak dapat ditolong lagi.
Akhirnya ia nekad. Dengan pejamkan mata ia mulai
bekerja. Melepaskan baju si nona lalu membuka celananya
dan pelahan-lahan tangannya mulai mengurut jalan darah
dibawah perutnya. Tangannya gemetar dan bajunyapun
basah kuyup dengan keringat.
Orang yang telah menutuk jalan darah sinona itu
memang ganas sekali serta memiliki ilmu tutuk yang lihay.
Jika tak bertemu tokoh semacam Cu Jiang, tentu sukarlah
nona itu tertolong jiwanya.
Setelah selesai membuka Jalan darah sinona, Cu Jiang
sandarkan diri pada dinding ruang dan napasnya terengah-
engah seperti orang yang habis kerja berat.
Tak berapa lama, napas nona itu makin lancar dan tak
lama kemudian dia membuka mata, memandang ke
sekeliling. "Siapa engkau ?" tiba2 ia melonjak kaget ketika melihat
Cu Jiang. "Toan-kiam-Jan-jin !"
"Toan-kiam jan jin?"
"Benar."
Gadis itu menyiak rambutnya yang menutup muka.
Ketika menunduk dan melihat bajunya robek2, marahnya
bukan kepalang.
"Kuhantam mampus engkau, iblis Jahanam !" serunya
seraya menghantam.
Karena jaraknya amat dekat, hampir berhadapan, maka
Cu Jiang tak dapat menghindar. Jika menangkis, ia kuatir
akan melukai nona. Terpaksa ia menyambar pergelangan
tangannya. "Nona, engkau salah faham!"
"Salah paham" Kalian kawanan anjing Gedung Hitam,
harus dibunuh!"
Ia meronta tetapi tak mampu terlepas. Akhirnya ia
menghantam kepala Cu Jiang dengan tangan kiri. Tetapi
kembali Cu Jiang menyambar pergelangan tangannya.
"Nona harap tenang. Cobalah ingat lagi peristiwa yang
engkau alami."
"Tak perlu, engkau atau aku yang mati..."
Karena kedua tangannya dikuasai, nona itu ayunkan
kaki menendang dada Cu Jiang. Cu Jiang miringkan tubuh
lalu mendorong si nona ke ranjang lagi:.
"Salahkah aku karena menolongmu?"
Dara itu tertegun lalu menangis. Cu Jiang melengos
memandang ke luar jendela. pemandangan yang dihadapinya saat itu benar2 menggetarkan hatinya.
"Harap nona jangan menangis. Aku hendak bertanya
kepadamu." beberapa saat kemudian Cu Jiang berseru.
Nona itu menurut tetapi masih terisak-isak, katanya:
"Siapakah nama sauhiap?"
"Toan-kiam-jan Jin."
"Aku mohon tanya nama anda,"
"Aku tak punya nama lain."
"Apakah sauhiap yang menolong aku?"
"Ya "
"Mengapa berada di perahu ini ?"
"Untuk menolong jiwa nona."
"Dan jenasah ayahku?"
"Oh, itu .. .. ayahmu..."
Airmata nona itu bercucuran lagi dan dengan mengertak
gigi mengiakan.
"Siapa nama nona?"
"Pui Ji-Ji."
Cu Jiang tergetar. Sungguh sebuah nama yang menarik.
"Maukah nona Pui menuturkan tentang peristiwa yang
nona alami ?"
Ji ji mengusap airmatanya lalu dengan menahan isak
bercerita: "Ayahku bernama Pui Lim, seorang busu. Ayah bekerja
sebagai pengawal dari gedung Tio gisu dikota Seng tou.
Mamaku sudah meninggal, kami hanya hidup berdua ayah
dengan anak . . .
"Ah, tahukah nona siapa pembunuh ayah nona itu ?"
"Tahu. Kawanan iblis dari Gedung Hitam."
"Apa sebabnya ?"
"Kabarnya ketika Tio gi-su menjabat di kota raja, secara
tak sengaja pernah mendapat sebuah mutiara dari seorang
utusan negeri lain, mutiara itu disebut Hiat-liong-cu."
"Hat liong-cu ?" Cu Jiang terkejut.
"Ya. mutiara itu mempunyai khasiat untuk menolak
bahaya api, air dan segala racun. Maka menjadi incaran
orang persilatan ...
"Lalu ?"
"Sebulan yang lalu, pada malam hari datanglah seorang
bunsu (sastrawan) yang menyampaikan perintah tuannya,
minta supaya dalam waktu setengah bulan, ayah mencuri
mutiara itu dan menyerahkan kepadanya. Kalau tidak.
keselamatan Jiwa ayah tak terjamin."
Cu Jiang mengangguk. Diam ia menduga, bun-su
pertengahan umur itu tentulah Ho Bun Cai, yang mengaku
sebagai suhengnya.
Pui Ji ji mengucap airmatanya pula.
"Ayah seorang yang berhati lurus. Sudah tentu dia tak
mau melakukan pekerjaan hina itu terhadap Tio gisu yang
baik budi. Tetapi dia takut akan ancaman gerombolan
Gedung Hitam. Begitu sudah tiba waktu yang dijanjikan,
ayah lalu minta berhenti, membawa aku pulang ke
kampung halaman."
Tetapi ketika tiba di Kun ciu, kita telah disergap mereka.
Aku seorang anak perempuan, setelah ayah bundaku
meninggal, bagaimana aku dapat hidup .... "
Ia mengusap air matanya lagi.
"Beberapa kali hendak bunuh diri, selalu digagalkan oleh
orang yang baik hati. Kali ini bersama ayah pulang ke
kampung, akhirnya dibunuh oleh musuh. Ayah dibunuh
dan akupun juga dicelakai." sampai disini gadis itu
menangis tersedu sedan.
"Hutang jiwa harus bayar jiwa. Harap nona lihat saja."
seru Cu Jiang dengan menggeram.
Ji-ji memandang Cu Jiang lalu mendadak. Melihat
bajunya compang camping ia menangis makin keras
sehingga Cu Jiang sibuk menghiburnya.
"Selama kawanan iblis itu masih merajalela memang
banyak sekali orang sengsara. Nona termasuk salah seorang
korban keganasan mereka."
Ji-ji tiba2 berbangkit dan berseru: "Budi kebaikan
siauhiap. kelak dalam penitisanku yang akan datang, tentu
ku balas!"
Habis berkata dia terus melangkah keluar. "Nona mau ke
mana?" buru-2 Cu Jiang mau cegah.
"Akan menyusul ayah!"
"Ah, mengapa nona bertindak begitu" Apakah ayah nona
akan meram di alam baka?"
"siauhiap . . . aku . . . aku . . . bagaimana dapat hidup
dalam dunia ini!"
"Duduk dan marilah kita bicara yang tenang."
Ji-ji menurut, lalu bertanya dengan masih terisak-isak:
"Apakah .... yang harus kukatakan?"
"Silahkan, apa saja yang nona hendak katakan."
Sambil menunduk, nona itu berkata: "Ah, sebenarnya
aku ini seorang manusia yang tak kenal budi . . ."
"Ya, silakan bilang apa saja. Di sini tak ada orang lain. "
"Walaupun aku bukan anak seorang keluarga ternama
atau berpangkat, tetapi akupun mengerti tentang susila
seorang wanita..."
"Bagaimana?"
"Ini... suruh harus mengatakan bagaimana?"
"Tak apa. Nona hendak mengatakan apa saja, aku
takkan marah."
Pui Ji ji mengangkat muka memandang Cu Jiang,
katanya: "Diambil isteri atau dijadikan pelayan, mohon siauhiap
suka menerima diriku."
Kejut Cu Jiang bukan kepalang.
"Mengapa nona mengatakan begitu ?"
Sambil terisak-isak Ji Ji berkata.
"Aku bukan seorang gadis yang tak punya rasa malu.
Jika siauhiap tak meluluskan, aku . . . lebih baik mati"
"Eh, bagaimana begitu ?" Cu Jiang kelabakan dibuatnya.
"Siauhiap sudah... menyentuh tubuhku. Bagaimana
aku... dapat menikah dengan lain orang lagi ?"
Cu Jiang tertawa meringis.
"Nona, hal itu kulakukan demi membuka jalan darah
guna menolong jiwamu. Sama sekali aku tak bermaksud
melakukan perbuatan yang hina..."
"Ya .... maka kecuali mati, tak ada jalan lain yang layak
kutempuh !"
"Nona juga seorang puteri persilatan, mengapa terlalu
terikat pada peraturan yang begitu?"
"Itu bukan tata aturan." seraya menarik dada bajunya
sehingga kedua buah dadanya berguncang-guncang lagi.
Sekilas teringat akan tindakannya membuka jalan darah
nona itu, merahlah muka Cu Jiang. Betapapun dia seorang
muda yang masih berdarah panas.
Iapun teringat akan hubungannya dengan si Jelita Ho
Kiong Hwa. Belum dia menyelesaikan perjodohan yang
hendak diatur Ang Nio Cu. sekarang sudah bertambah
dengan seorang nona lagi.
"Ah, apa wanita itu memang tak layak ditolong ?"
pikirnya. Teringat akan perjanjiannya dengan Ang Nio Cu,
iapun terkesiap. Waktu perjanjiannya dengan Ang Nio Cu
sudah lebih dari setahun. Bagaimana nanti kalau bertemu
dengan Ang Nio Cu lagi "


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan bagaimana dia harus menyelesaikan gadis yang
bernama Pui Ji-ji ini "
"siauhiap, aku sudah menebalkan kulit muka untuk
mengutarakan isi hatiku. Sekarang bagaimana jawaban
siauhiap?" seru Ji-ji pula.
Cu Jiang gemetar tangannya. Ia bingung. Kalau menolak
tentulah akan menyinggung perasaannya dan tentulah nona
itu akan nekad bunuh diri. Sampai lama ia memutar otak
baru kemudian berkata:
"Nona Pui, musuhku tak terhitung banyaknya. Entah
pagi entah sore, setiap saat jiwaku terancam. Harap engkau
pikir yang masak lagi."
"Tidak! Keputusanku sudah tetap, tak dapat dirobah
lagi!" "Percuma saja engkau ikut aku. Engkau tentu tak
bahagia..."
"Tidak peduli, siauhiap mati akupun akan ikut mati! "
Mendengar kenekadan gadis itu, mau tak mau tergerak
juga hati Cu Jiang. Terus terang, walaupun demi untuk
melakukan pertolongan, tetapi dia telah menyentuh bagian
yang paling dirahasiakan oleh seorang gadis. Menilik
wajahnya, Ji-jipun tak kalah dengan Ho Kiong Hwa,
bahkan dengan puteri raja Tayli.
Tetapi dia sendiri" Ah, ketika teringat akan wajahnya
yang sudah rusak, dinginlah hatinya.
"Tidak, aku seorang cacad!"
Tanpa banyak pikir, Ji ji kontan menjawab: "Bagiku,
bagaimanapun wajah dan keadaan siauhiap, pokok aku
dapat melayani siauhiap!"
"Pada satu saat nona pasti kecewa!"
"Tidak!" teriak Ji ji.
"Tetapi maaf, aku tak dapat nona."
Mendengar itu Ji ji memandang rawan ke arah Cu Jiang,
lalu berbangkit hendak melangkah keluar. Cu Jiang
terpaksa mencegahnya lagi.
"Apakah siauhiap meluluskan?"
"Kita rundingkan lagi."
"Aku tak berani mengharap menjadi isteri siauhiap.
Pokok asal siauhiap suka menerima diriku, aku sudah
bahagia." "Nona yakin kalau aku belum beristeri?"
"Tak jadi apa. Sebagai isteri atau selir, pun boleh."
"Jangan mencinta secara buta. Silahkan duduk," tiba2 Cu
Jiang lepaskan cekalannya dan tiba2 Ji-jipun terhuyung
jatuh ke dada pemuda itu.
Cu Jiang bicara sambil duduk. Bahwa sesosok tubuh
yang lembut dan harum tiba2 menekan dadanya, ia gugup
dan hendak mendorongnya. Tetapi sepasang lengannya
secara tak sengaja telah memegang dua gunduk daging
lembut yang menghias dada si nona. Seperti kena aliran
stroom, dia cepat2 menarik kembali.
Ji-ji seperti tergelitik geli dan makin merapat ke dada Cu
Jiang. Cu Jiang kehilangan diri dan terlongong. Hawa
harum makin menyerbak hidung dan darah mudanya pun
makin mengelora.
Walaupun dia seorang patung malaekat yang terbuat dari
baja, tetapi dalam menghadapi saat seperti itu, tentu akan
luluh juga. Apalagi dia hanya seorang manusia biasa,
seorang anak muda yang masih panas darahnya.
Mempunyai gelora asmara atau perasaan.
Tubuh Ji ji menggigil tak henti-hentinya. Bau harum dari
tubuhnya makin membius. Suasana saat itu sunyi senyap
sehingga napaspun terdengar.
Darah Cu Jiang makin deras, jantungnya mendebur
keras sekali dan napaspun makin berat. Tubuhnya terasa
panas. Ji-ji menengadahkan muka. sepasang bibirnya yang
mungil merah gemetar. Matanya memancarkan sinar
bening yang penuh pesona. Ah, saat itu pria manakah di
dunia ini yang sanggup menghadapi tantangan semacam
itu" Cu Jiangpun berantakan imamnya. Ia dapat ditundukkan. Serentak kedua lengannya yang kokoh
memeluk pinggang si nona, matanya menatap mata si dara.
Dan Ji jipun pasrah bagai seekor domba. Pada lain kejap,
dua pasang bibir telah merapat dengan hangat.
Sejak dahulu kala hingga sekarang, seorang ksatria sukar
untuk melawan godaan wanita cantik. Dan Cu Jiangpun
tak terkecuali.
Pada saat keduanya terbenam dalam kehangatan ciuman
yang mesra. Tiba2 Cu Jiang melihat wajahnya terbayang
pada biji mata Ji-ji. Ia melihat bahwa saat itu mukanya
tertutup kain cadar. Dan seketika timbullah rasa ngeri
apabila sekarang akan wajahnya yang telah rusak itu.
Buruk muka! Cacat kaki!
Tubuh berlumur darah musuh
Bahu memikul beban berat!
Serentak ia menyiak dara itu lalu berkisar ke haluan
perahu dan menghembus napas longgar.
"Sungguh berbahaya!" diam2 ia berseru. Karena
didorong, Ji Ji terpelanting jatuh telentang. Dia menjerit
kaget: "Koko. engkau kenapa ?"
"Kita tak boleh melakukan begitu !"
"Kenapa ?"
"Soal yang menyangkut kepentingan seumur hidup,
masakan diselesaikan karena secara kebetulan ?"
"Tetapi .... aku sudah menjadi milikmu!"
"Itu persoalan lain !"
Ji ji tetap tak mau bangun dan mulai menangis seraya
berseru rawan: "Koko, apakah engkau tak mau lagi kepadaku ?"
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menjawab: "Aku tak
mengatakan kalau tak menghendaki engkau."
"Tetapi engkau memperlakukan begitu!"
"Nona Pui . . ."
"Mengapa tak mau memanggil namaku saja?"
Cu Jiang terpesona lagi tetapi untung dia dapat menahan
diri. "Ji ji . . ."
"Ehm..."
"Kalau kita mau menikah, harus ada yang menjadi
perantara dan saksi."
"Langit yang menjadi perantara, sungai menjadi saksi.
Apakah itu tidak cukup?"
"Tidak, Ji ji, harus tunggu sampai lain waktu."
"Lalu aku.... seorang gadis yang sudah sebatang kara dan
mengembara di dunia persilatan, apakah Gedung Hitam
mau membiarkan saja?"
Memang betul. Gedung Hitam pasti takkan membebaskan dia. Lalu bagaimana baiknya" Dia sendiri
pun sudah sebatang kara. Tiada rumah tiada keluarga.
"Ji-ji, apakah engkau punya keluarga yang dapat engkau
ikuti?" serunya.
"Oh, engkau hendak menghindari aku . . ."
"Bukan begitu. Aku masih mempunyai banyak persoalan
besar yang harus kukerjakan. Engkau harus mempunyai
tempat tinggal yang aman."
"Lalu besok bagaimana?"
"Setelah urusanku selesai, aku tentu akan mengambilmu
sebagai isteri."
"Memperisteri diriku" Engkau... belum beristeri?"
"Belum."
"Kekasih?"
Serentak terkilas bayang2 Ki Ing dan Ho Kiong Hwa
dalam benak Cu Jiang. Walaupun kedua jelita itu memang
menaruh hati kepadanya, tetapi belum dapat digolongkan
sebagai kekasih. Maka dia pun gelengkan kepala dan
menyahut: "Tidak punya."
"Ah, aku sungguh beruntung sekali." Ji-ji tertawa cerah,
Secerah bunga di pagi hari.
Namun hati Cu Jiang kecut. Pada suatu saat apabila dara
itu tahu wajahnya yang rusak, apakah dia akan tetap
merasa bahagia "
"Tak mungkin engkau bahagia !" katanya dengan
hambar. "Mengapa ?" Ji-ji heran.
"Bukan saja takkan bahagia, pun engkau bahkan akan
kecewa !" Sambil menyiak rambutnya yang terurai Ji-ji deliki mata.
"Mengapa?"
"Aku seorang cacat!" Cu Jiang tertawa masam.
"Kakimu pincang?"
"Masih ada yang lebih hebat lagi."
"Bagaimana hebatnya?"
"Wajahku .... sudah rusak !"
"Itu lebih baik!"
"Apa maksudmu ?"
"Aku tak kuatir engkau direbut orang."
"Ah, itu nanya omongan iseng saja."
"Koko, aku menginginkan hatimu, tak peduli engkau ini
cacat bagaimana saja."
Memang kebaikan seorang Jelita itu sukar sekali ditolak
dan Cu Jiangpun tergerak mendengar pernyataan itu. Ia
memeluk Ji Ji dan berkata dengan nada tegang:
"Ji Ji, aku tak berharga untuk cintamu yang begitu
besar." Ji-Jipun rebahkan kepala di dada Cu Jiang dan berbisik:
"Koko, Jangan berkata begitu. Jiwaku adalah engkau
yang telah menghidupkan."
"Oh. engkau dasarkan pada membalas budi?"
"Sebagian, tetapi yang penting..."
"Apa ?"
Ji ji menggeser kepalanya menyusup kedada pemuda itu
dan dengan manja berkata:
"Engkau sudah tahu tetapi pura2 tak tahu biar aku
malu..." Cu Jiang mengusap-usap bahu si dara. "Ji ji, aku cinta
kepadamu." katanya.
"Ah, koko, aku seperti bermimpi mendengar ucapanmu
itu. Matipun aku puas."
Cu Jiang tak berkata lagi. Ia benar2 tenggelam dalam
lautan asmara yang menghanyutkan. Kepasrahan Ji-ji
dengan wajahnya yang cantik, senyum menggiurkan dan
tubuh yang putih mulus membias keharuman itu, telah
melelapkan kesadaran Cu Jiang.
Dia sudah tak dapat menguasai diri lagi dan
tangannyapun mulai melepaskan pakaian si dara dan...
"Toan-kiam jan-jin, engkau cari mati!" tiba2 dalam saat
yang gawat. Cu Jiang mendengar lengking seruan orang
dari atas geladak.
Tidak keras tetapi cukup menusuk telinga. Jelas orang itu
tentu memiliki tenaga-dalam yang kuat "
Cu Jiang terkejut. Nafsunya hilang seketika dan serentak
dia loncat keluar ke geladak. Tetapi diluar hanya gerumbul
rumput ilalang yang menggunduk di sekeliling dan debur
arus sungai, tak tampak barang seorang manusiapun jua.
"Koko, ada apa ?"
Cu Jiang berpaling dan suruh dara itu tetap berada dalam
ruang bawah. Setelah mengeliarkan pandang ke sekeliling
penjuru, lalu berseru dengan sarat.
"Sahabat dari mana itu " Mengapa tak mau unjuk diri?"
"Toan-kiam Jan-jin, engkau cari mampus. Bukan
begitukah caranya ?"
Suara itu berasal dari balik pohon. Nadanya suara
seorang wanita yang tak asing lagi. Cu Jiang tegang sekali.
Orang itu tak lain adalah yang hendak ditemuinya tetapi ia
takut bertemu, ialah Ang Nio Cu. Apakah semua yang
terjadi dalam perahu itu telah diketahui semua olehnya "
"Bukankah anda ini Ang Nio Cu ?"
"Ho, kiranya engkau masih mengenal!"
"Hendak memberi pesan apa?"
"Engkau sudah mati dua kali."
Cu Jiang terkejut.
"Bagaimana aku sudah mati sampai dua kali?"
"Tidak percaya?"
"Bukan tidak percaya, tetapi tak mengerti."
"Engkau ternyata juga romantis sekali sehingga tak tahu
mati...." "Apa maksud anda ?"
"Tanya sendiri kepada dirimu !"
Wajah Cu Jiang merah tetapi dia terus menjawab:
"Aku tak melakukan perbuatan seperti yang anda
katakan itu."
Ang Nio Cu tertawa sinis.
"Masih menyangkal?"
"Tak perlu."
"Apakah engkau anggap aku terlalu usil mencampuri
urusanmu?"
"Aku tidak menganggap begitu."
"Lalu mengapa tak mau mengakui?"
"Ya, memang aku telah menolong seorang nona."
"Dan perahu itu memang sebuah tempat in-de-boy yang
asyik ...."
"Hanya agar dapat tenang mengobatinya."
"Dan untuk mengantar jiwamu."
"Mengapa anda tak mau berkata terus terang?"
Tiba2 dari bawah ruang perahu terdengar Ji-ji berseru
terkejut: "Koko, aku takut."


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak perlu," kata Cu Jiang, "orang itu tak bermaksud
jahat." Ang Nio Cu tertawa dingin "Toan-kiam jan-jin, engkau
sungguh tak tahu atau hanya pura2 saja?"
"Benar2 aku tak mengerti ucapan anda, " seru Cu Jiang.
"Engkau akan mengerti. Bawalah siluman rase itu ke
darat sini!"
"Apa" Siluman rase . . ."
"Ya, jangan sampai dia dapat lolos!"
Dari ruang perahu terdengar pula Ji-ji berseru gemas:
"Koko, engkau percaya pada omonganku atau dia?"
Cu Jiang agak bingung.
"Aku tak mengerti bagaimana sebenarnya urusan ini" "
"Sederhana sekali."
"Sederhana?"
"Benar. Hanya wanita yang tahu jelas hati wanita, " kata
Ji ji. "Bagaimana?" tanya Cu Jiang.
"Dia mungkin mencintaimu!"
Tergetar hati Cu Jiang mendengar kata2 Ji-ji itu. "Ang
Nio Cu tak mungkin mencintai dirinya. Tetapi wanita itu
memang menjadi jomblang untuk menjodohkan dirinya
dengan Ho Kiong Hwa. Tetapi apakah kata2 Ji-ji itu benar .
. ." "Atas budi pertolongan anda kepadaku, aku pasti takkan
melupakan . . . . " serunya kepada Ang Nio Cu.
"Itu soal lain. " sahut Ang Nio Cu, "aku hendak
menangkap siluman rase itu."
"Mengapa?"
"Apa engkau tergila-gila kecantikannya?"
"Aku bukan manusia semacam itu!"
"Kalau tidak, lekaslah lakukan permintaanku tadi."
"Aku mohon penjelasan dulu."
"Segera engkau akan tahu."
"Apakah anda tak mau memberi keterangan?"
"Tidak!"
"Ini . . . apakah tidak berani anda mencelakai orang?"
"Kecuali kalau engkau memang sudah tak ingin hidup
lagi" "Harap anda jangan membuat teka teki ..."
"Tahukah engkau dia itu siapa?"
"Dia bernama Pui Ji ji, dicelakai oleh gerombolan
Gedung Hitam . . ."
"Dan engkau percaya?"
"Aku melihat dengan mata kepala sendiri."
"Seluruh peristiwa?"
Cu Jiang terbeliak.
"Dia menggeletak di tengah jalan dan kutolong . . ."
"Seorang ksatrya akan dikelabuhi dengan cara keksatriyaan. Toan kiam-jan jin, masih banyak hal2 yang
perlu engkau pelajari. Ilmu silat bukan suatu jaminan dapat
mengatasi segala apa.
"Apakah dia . . ."
"Dia memainkan perannya dengan sempurna sekali. Dan
ini memang keistimewaan dari wanita2 yang telah dilatih."
"Dia menjalankan peran?"
Tiba2 dari ruang perahu Ji-ji melengking keras:
"Biar aku mengadu jiwa dengan dia ..."
"Ji-ji, tenanglah, jangan keluar!" cegah Cu Jiang.
"Tetapi koko .... apakah engkau mampu melindungi
keselamatanku?"
"Bila perlu, tentu."
"Tetapi koko fitnah itu amat berbisa. Dia pandai
mengada-ada untuk merangkai fitnah . . ."
"Sudahlah, jangan bergerak."
"Tetapi . . . aku . . . toh sudah tak menghiraukan soal
mati hidup lagi!" serunya dengan nada marah dan putus
asa. Dan arah daratan terdengar Ang Nio Cu berseru pula:
"Toan kiam-jan-jin, pernahkah engkau mendengar nama
Hoa Goet?"
Tergetar hati Cu Jiang seketika. Baru beberapa hari saja
dia menghadapi peristiwa gerombolan wanita2 cabul itu.
Sudah tentu dia tahu.
"Tahu," Cu Jiang menggeram, "mereka perempuan2 hina
yang harus dilenyapkan."
"Bagus, bunuhlah lebih dulu siluman dalam perahu itu!"
"Dia .... juga . . ."
Cu Jiang berputar tubuh memandang Ji ji.
"Apakah engkau benar perempuan jalang dari gerombolan Hoa-gwat bun?" tegurnya dingin. Karena benci
sekali kepada pemimpin Hoa gwat-bun yang telah
bersekongkol dengan Sebun Ong untuk menipunya, maka
begitu bicara dia terus gunakan kata2 yang kasar.
Wajah Ji-ji berobah seketika.
"Aku tak tahu apa itu Hoa gwat-bun. Fitnah itu benar2
merupakan siasat busuk dari orang Gedung Hitam!"
serunya tak kalah keras.
Cu Jiang tahu bahwa Ang Nio Cu merupakan musuh
bebuyutan dengan Gedung Hitam.
"Tak usah menyinggung-nyinggung Gedung Hitam.
Bilang terus terang!" bentaknya.
"Aku matipun tak apa, karena manusia semacam diriku
yang bernasib jelek tentu tetap jamak," Ji-ji mengertek gigi,
lalu melesat keluar.
"Hai, mau apa engkau," Cu Jiang cepat menghadangnya.
"Koko, engkau dan aku, dalam kehidupan sekarang tak
dapat terangkap sebagai suami isteri, biarlah kelak dalam
penitisan yang akan datang kita berjumpa lagi! " seru Ji ji
dengan kalap. "Jangan sampai dia lolos!" teriak Ang Nio Cu.
Tetapi pada saat itu Ji ji sudah loncat ke dalam air. Cu
Jiang ulurkan tangan hendak menyambar tetapi saat itu
lengannya terasa kesemutan seperti terkena tusukan.
Terpaksa dia lepaskan cekalannya, blung. Tubuh Ji-Jipun
tercebur dalam air dan tak lama lenyap ditelan arus.
Cu Jiang memandang terlongong-longong kearah sungai.
"Ai, dia nekad mengubur diri dalam sungai," pikirnya.
Sampai lama tak terdengar suara Ang Nio Cu. Cu Jiang
mulai curiga, pikirnya: "Dia mendesak orang sampai mati,
apakah terus ngacir ?"
"Mengapa anda tak berkata lagi?" serunya.
Tak ada penyahutan. Cu Jiang mulai gelisah. Apakan
benar2 Ang Nio Cu memang hendak memfitnah Ji-ji
supaya mati" Kalau tidak mengapa sekarang dia diam saja "
Pikir dia tiba pada suatu kesimpulan Bahwa oleh karena
kepentingan peribadi, Ang Nio Cu tak segan untuk
memfitnah seorang dan sehingga mati secara begitu sia-sia.
Diam2 ia merasa bertanggung jawab akan kematian Ji ji.
Mengapa dia begitu saja mau percayai omongan Ang Nio
Cu. Tiba2 ia rasakan lengannya yang terkena tusukan tadi
mulai menyerang ke atas bahunya. Ketika memeriksanya
pada tempat bekas tusukan ia telah memupuk sebuah
lingkaran darah warna merah hitam.
"Racun!" seketika ia terkejut sekali. Segera dia kerahkan
tenaga-dalam untuk menghentikan peredaran racun itu.
Kini dia harus merombak semua pikirannya tadi. Pada
waktu hendak mencebur ke dalam sungai dan dicekalnya, Ji
ji telah menusuknya dengan benda beracun. Jelas apa yang
dikatakan Ang Nio Cu itu benar semua.
Sebun Ong menggunakan Cian Su Nio ketua Hoa gwat-
bun dan muridnya yang bernama Soh-hun li untuk
menyamar sebagai Ratu kembang Tio Hong Hui dan anak
gadisnya, telah terbongkar rahasianya. Mungkin mereka
hendak menggunakan siasat racun untuk membunuhnya.
Kepala Cu Jiang mulai terasa pusing, pandang
matanyapun berkunang-kunang. Dia duduk bersandar pada
dinding geladak. Kesadaran pikirannya mulai kabur.
Entah sampai berapa lama, ketika membuka mata, ia
masih dapatkan dirinya berada diatas perahu. Tetapi sudah
berbaring diatas tempat tidur kayu dalam ruang perahu.
Diatas geladak duduk seorang wanita yang mukanya
ditutup dengan kain merah. Siapa lagi kalau bukan Ang Nio
Cu. Cu Jiang coba untuk menyalurkan tenaga dalam, ia
rasakan agak lancar. Hanya lengannya yang terluka tadi,
seolah-olah tak ada atau mati-rasa.
"Apakah aku . . . terkena racun?"
"Ya." Ang Nio Cu menjawab dingin. "racun yang ganas
sekali Racun Toan-bun tok dari perkumpulan Hoa-gwat-
bun!" "Toan bun-tok?"
"Hm. racun yang tiada obatnya lagi. Sedang yang punya
racun sendiri juga tak punya obat penawarnya. Kecuali
terhadap musuh besar atau lawan yang harus dilenyapkan
jiwanya, racun itu tak sembarangan digunakan."
Serasa terbang semangat Cu Jiang mendengar keterangan itu.
"Kalau begitu, aku .... pasti mati, " katanya dengan nada
getar. "Mungkin!"
Tiba2 Cu Jiang mendengar suara orang merintih
pelahan. Ternyata dibawah kolong geladak yang terletak di
muka tempat tidur itu menggeletak seorang dara yang basah
kuyup. Hai, Pui Ji ji!
Dengan mengertek gigi, Cu Jiang menggeliat bangun dan
berseru geram: "Akan kubunuhnya . . ."
"Jangan bergerak dulu." cegah Ang Nio Cu, "sudah
kuminumkan pil tik-tok wan kepadamu. Tetapi dayanya
hanya dapat melindungi jiwa dalam waktu yang terbatas.
Jika engkau marah maka racun itu akan berkembang dan
menyerang ulu hatimu. Biarlah sekarang dia merasakan
buah yang di tanamnya."
Cu Jiang memandang ke arah Ji ji yang ternyata seekor
ular berbisa Gadis itu tengah memandangnya dengan sorot
mata memohon kasihan.
"Engkau bernama Rase Kumala! " bentaknya.
"Ya..."
"Murid dari Hoa gwat-bun?"
"Hm."
"Mengapa engkau mencelakai aku?"
"Menjalankan perintah atasan."
"Perintah dari Ciam Su Nio?"
"Ya."
"Mengapa?"
"Entah."
"Engkau . . . jalang hina, sampah dunia persilatan.
Engkau bermain sandiwara dengan bagus sekali. Sekarang
tamatlah riwayatmu."
"siauhiap .... aku berbuat begitu lantaran terpaksa . . ."
"Hm, benar, karena terpaksa. Entah berapa banyak jiwa
yang melayang karena perbuatanmu yang terpaksa itu. Aku
terpaksa harus mencincang mu . . ."
Ang Nio Cu melesat ke muka.
"Siluman ini pura2 membuang diri ke dalam sungai
tetapi sebenarnya dia hendak meloloskan diri. Ketika aku
menyelam ke dalam air ternyata dapat membekuknya."
Kemudian ia alihkan mata memandang berkilat2 kepada
Rase Kumala, serunya.
"Rase kecil, engkau bunuh dirimu sendiri saja!"
"Ang cianpwe." Rase Kumala merintih-rintih. "mohon
suka mengampuni jiwaku seorang perempuan hina ini."
"Seorang pendekar pedang yang menyinari dunia
persilatan, saat ini sedang menghadapi kematian. Apakah
engkau berharap hidup?"
Tahu bahwa sia2 saja ia memohon hidup, Rase Kumala
nekad. Mencabut tusuk kundai pada sanggulnya ia terus
menusuk sikunya sendiri. Hanya dalam beberapa kejap saja,
dari ketujuh lubang tubuhnya mengalirkan darah. putuslah
jiwanya. "Apakah yang digunakan untuk menusuk tangannya juga
tusuk kundai itu" " seru Cu Jiang.
"Ya, memang benda itu," kata Ang Nio Cu. "dinamakan
Toan hun-emn. Cobalah renungkan,
betapa besar kesempatan yang diperolehnya untuk membunuh engkau?"
Cu Jiang terkejut dan diam2 menyesal. Teringat akan
adegan2 yang romantis itu, wajahnya makin merah.
Memang benar, pada saat pikirannya limbung dirangsang
nafsu, mudah sekali bagi Rasa Kumala untuk membunuhnya. Jika Ang Nio Cu tak keburu datang, dia tentu sudah
mati. Dia makin mendapat pengalaman, betapa ganas, licik
dan keji insan2 dalam dunia persilatan itu.
Menurut Ang Nio Cu. racun Toan-bun tok itu tiada
obatnya. Dengan begitu jelas dia tentu mati. Mati dia tak
masalah. Tetapi kalau harus mati di tangan perempuan


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalang semacam gerombolan Hoa-gwat-bun, dia benar2 tak
rela. "Masih ingat perjanjian tempo hari?" tiba2 Ang Nio Cu
menegurnya. "Masih."
"Lalu bagaimana keteranganmu?"
"Saat ini aku sudah terkena racun Toan hun tok. Aku
tentu mati. Apa guna aku harus memberi keterangan?"
"Tidak! Seorang ksatrya harus pegang janji. Selama
engkau masih dapat bicara, harus melaksanakan janji itu!"
Cu Jiang tertawa meringis.
"Lalu . . . apa yang harus kukatakan?"
"Cukup mengatakan, engkau suka atau tidak suka
mengambil Ho Kiong Hwa sebagai isteri?"
Sukar untuk mengatakan perasaan hati Cu Jiang saat itu.
Dia ingin membuka kain penutup muka Ang Nio Cu. Ingin
ia melihat bagaimana wajah yang sebenarnya dari wanita
yang misterius itu. Masakan tahu dia pasti mati karena
racun itu, masih tetap didesak untuk memberi jawaban
tentang pernikahan dengan Ho Kiong Hwa.
"Apakah anda tak memikirkan kepentingan nona Ho?"
tanyanya. "Kepentingan apa?"
"Aku tak lama tentu mati. Apakah hal itu tidak
menelantarkan hidupnya . . ."
"Itu lain persoalan."
"Anda tetap hendak menjadi jomblang untuk nya?"
"Benar, semua aku yang memutuskan!"
"Aku sungguh tak mengerti ..."
"Tak usah banyak pikir, engkau suka atau tidak?"
Cu Jiang kewalahan. Pikirnya: "Aku toh pasti mati. Dan
karena menjaga gengsi maka Ang Nio Cu sampai bertindak
begitu. Ia pun merasa bahwa dirinya tak sembabat menjadi
jodoh Ho Kiong Hwa"
Setelah merenung beberapa saat. akhirnya ia mengangguk : "Baik, aku menurut."
"Tetapi apa keluar dari ketulusan hatimu?"
"Tentu. Masakan dalam persoalan yang begitu penting,
aku hanya berolok-olok ?"
"Baik, ini sudah menjadi keputusan," kata Ang Nio Cu,
lalu mengambil sebuah benda dan dilemparkan Cu Jiang,
katanya: "Terimalah, itu tanda pengikat dari fihak isterimu."
Cu Jiang menyambuti dan memeriksa. Sebuah kantong
kecil sulaman. Dia tertegun. Sebenarnya dia sembarangan
saja menyetujui karena toh tak dapat hidup lama. Tak kira
Ang Nio Cu begitu serius dan menyerahkan tanda panjar
pengikat perjodohan.
"Bukalah, mengapa terlongong saja?" seru Ang Nio Cu
pula. Cu Jiang meringis. Ia melakukan perintah. Ternyata
kantong itu berisi sepasang anting-anting dari kumala hijau.
"Engkau menyerahkan apa"*
"Aku .... tak punya apa"."
"Kalau begitu, pakai pedang ini saja," dari bajunya
merah yang gerombyongan, dia mencabut sebatang pedang.
"Memakai pedang anda sebagai pengikat?" Cu Jiang
heran. "Pedang ini milikmu .. ."
"O . . .. benar, milikku .. ."
Ang Nio Cu mencabut pedang dari kerangkanya dan
bertanya: "Apa masih mengenali ?"
"Thiat-kiam." teriak Cu Jiang. Dia tak menyangka
bahwa pedang thiat-kiam (besi) miliknya akan jatuh
ditangan Ang Nio Cu. Kini baru dia teringat. Ketika dia
dihantam dan dilempar ke dasar jurang oleh ketiga tokoh
Sip-pat thian-mo, pedang itupun jatuh entah dimana.
Tentulah Ang Nio Cu menemukannya disekitar lembah
buntu itu. "Bagaimana ?" tegur Ang Nio Cu.
"Baik," kata Cu Jiang.
"Ingat baik-baik! Sejak saat itu nona Ho Kiong Hwa itu
adalah calon isterimu yang resmi!" kata Ang Nio Cu
dengan tandas. Cu Jiang meringis. Ia merasa seperti bermimpi. Kini dia
sudah mempunyai isteri. Apabila racun itu tak dapat
disembuhkan, bukankah Ho Kiong Hwa akan menjadi Ong
bun-koa atau janda yang belum dikawin.
Setelah menyimpan pedang thiat-kiam, berkata pula Ang
Nio Cu : "Mari kita berunding mencari jalan menyembuhkan
racun itu."
Cu Jiang terkesiap.
"Bukankah anda mengatakan bahwa racun Toan-bun-tok
itu tiada obatnya lagi?"
"Benar. Tetapi ada seorang yang mungkin dapat
menyembuhkannya."
"Siapa ?"
"Dia berwatak nyentrik sekali, sukar diajak kenal. Tetapi
demi menolong jiwa, terpaksa harus menempuh jalan itu..."
"Siapakah dia itu?"
"Ban Yok ih yang bergelar Kui-Jiu sin-Jin atau manusia
sakti bertangan setan"
"Kui-Jiu-sin Jin Ban Yuk Ih.. ..rasanya aku pernah
mendengar nama itu."
"Kepandaiannya dalam ilmu pengobatan, dalam dunia
ini tiada yang melawan. Tetapi wataknya angkuh dan
menjengkelkan sekali. Kecuali dia suka menolong sendiri,
tak mungkin dia dipaksa untuk memberi obat kepada orang
sekalipun akan diancam bunuh ...."
"Apakah dia benar2 mampu menyembuhkan racun
dalam tubuhku ?"
"Kemungkinan besar."
"Berapa lama aku dapat hidup?"
"Aku mempunyai sepuluh butir pil Bi-tok-wan, dapat
membekukan racun itu supaya jangan menjalar. Kalau tiap
hari makan sebutir, engkau pasti mampu bertahan hidup
sampai sepuluh hari..."
"Sepuluh hari!"
"Ya."
"Di mana tempat tinggal Kui-jiu-sin-Jin Bun Yok Ih itu?"
"Didalam lembah dibelakang puncak Sin li hong gunung
Busan." Sejenak memperhitungkan perjalanannya, Co Jiang
berkata: "Masih keburu, tetapi..."
"Tetapi bagaimana?"
"Apakah dia mampu menyembuhkan racun itu masih
menjadi pertanyaan, Dan apakah dia mau memberi obat,
juga masih menjadi soal."
"Asal mampu menyembuhkan saja. suka tak suka, mau
tak mau, dia harus mengobati"
"Memakai kekerasan "* tanya Cu Jiang.
"Cara apapun dihalalkan asal dapat mencapai tujuan."
"Kalau begitu harap tunjukkan jalannya."
"Aku akan menemanimu."
Cu Jiang terkesiap. Ia tak nyana Ang Nio Cu yang
dimasyhurkan dunia persilatan sebagai seorang momok
ganas, ternyata baik sekali kepadanya.
Dengan nada singkat Cu Jiang menyatakan bahwa dia
tak berani merepotkan Ang Nio Cu.
"Sudahlah, jangan banyak cakap. Apakah engkau dapat
mendayung perahu?" tukas Ang Nio Cu.
"Ya."
"Mari kita berangkat dengan perahu." Sejenak merenung
Cu Jiang menyatakan bahwa hal itu kurang leluasa.
"Mengapa?"
"Dengan naik perahu tentu sukar untuk menyembunyikan jejak. Dan akupun tak pandai berenang.
Apabila musuh menyerang, tentu sukar untuk menghadapi.
"Ya, benar juga. Kalau begitu kita masing2 mengambil
jalan sendiri. Dan nanti bertemu di Busan, bagaimana?"
Cu Jiang setuju.
"Ingat, tiap hari harus minum sebutir pil Bik-tok wan itu,
dan jangan marah!" Ang Nio Cu memberi peringatan lagi.
"Ya, aku akan mengingat hal itu."
Ang Nio Cu berkata sambil botol dilemparkan kepada
Cu Jiang: "Itulah pil Pik-tok-wan hanya tinggal sembilan butir,
dapat memperpanjang usiamu sembilan hari. Hati2
menjaganya."
Sambil menyambuti, Cu Jiang menghaturkan terima
kasih. "Kita berjalan berpisah, tenggelamkan saja perahu ini,"
kata Ang Nio Cu terus loncat ke darat dan tak berapa kejab
sudah lenyap. Dengan gemas Cu Jiang memandang mayat Rase
Kumala. kemudian dia menghantam papan lantai perahu,
setelah itu loncat ke daratan. Perahu mulai menyelam dan
tak lama sudah tenggelam.
Karena buru2 menuju ke Busan, terpaksa ia putar
kembali ke Kui-ciu. Tak sampai setengah li ia melihat
sebuah tandu warna hijau dipikul oleh empat lelaki gagah,
berjalan seperti terbang.
Dalam sekejab saja sudah tiba. Jelas keempat lelaki
pemikul tandu itu tentu bangsa kaum persilatan.
Cu Jiang tak mau cari perkara. Ia menyingkir ke pinggir.
Dan tandu itupun cepat sekali sudah berlalu.
Tiba2 telinga Cu Jiang terngiang ia sebuah suara lembut
sekali. Mungkin orang lain tentu tak mungkin dapat
mendengar. "Itulah si pembunuh besar, lekas, jangan cari gara2
kepadanya! " ngiang suara lembut itu.
"Apa dia Toan- kiam jan jin?"
"Benar, memakai penutup muka, kakinya pincang,
masakan ciri2 itu masih belum cukup jelas!"
Cu Jiang berpaling memandang, Ia terkejut ketika
melihat pada bagian belakang tandu itu terdapat pertandaan
dari keempat kojiu dari Tayli yang mengikuti perjalanannya
selama ini. Tanda rahasia itu berbunyi: "Tolong orang
dalam tandu."
O0oood0wooo0O Jilid 15 "Berhenti!" serentak Cu Jiang berteriak dan dengan
beberapa loncatan dia sudah berada di depan tandu.
Keempat pemikul tanda Itu berhenti dan letakkan tandu.
Wajah mereka berobah tegang.
"Siapa di dalam tandu" " seru Cu Jiang.
Keempat pemikul itu saling bertukar pandang. Tiba2 dari
dalam tandu terdengar lengking seorang wanita:
"Siapa yang menghadang jalan itu?"
Cu Jiang terkejut. Keempat Tay-li-ko-jiu tak mungkin
keliru meninggalkan pertandaan bahaya. Tetapi nada
perempuan dalam tandu itu seperti bukan orang yang
membutuhkan pertolongan.
Sejenak meragu, Cu Jiang segera mengambil keputusan.
Betapapun halnya, dia harus memeriksa lebih dulu.
"Toan kiam-jan-jin." serunya dengan nada tergetar.
"Oh, Toan kiam-jan jin, sudah lama tak berjumpa.
Mengapa menghadang jalan?" seru wanita dalam tandu.
Cu Jiang gelagapan tetapi dia tetap berkeras, serunya :
"Tandu ini agak mencurigakan, aku akan memeriksanya!"
"Apa" Mau memeriksa?"
"Ya."
"Apakah engkau hendak melanggar peraturan?"
"Katakanlah begitu. Lekas buka pintu!"
"Toan-kiam-jan jin, ilmu silat mempunyai tata peraturan
silat, masakan hendak digunakan untuk menggertak!"
"Aku tak peduli!"
"Aku seorang wanita baik, harap anda tahu aturan,
jangan berbuat yang tak senonoh . . ."
Cu Jiang sudah terlanjur bertindak dan dia malu untuk
mundur. "Apakah menghendaki aku turun tangan?"
Keempat pemikul tandu itu tampaknya memang orang
persilatan tetapi semua takut kepada Toan-kiam jan jin.
kecuali mengeluh kejut, mereka tak berani ikut bicara.
Pintu tandu terbuka dan tampaklah seorang wanita
muda yang cantik tengah duduk dalam tandu.
Cu Jiang makin bingung. Keempat kojiu dari Tayli itu
tak mungkin akan berolok-olok dengan dia tetapi mengapa
mereka meninggalkan pertandaan rahasia di tandu itu"
Ternyata dalam tandu itu kecuali seorang wanita muda
yang cantik tak terdapat sesuatu yang mencurigakan lagi.
Adakah karena diancam maka nyonya muda itu tak
berani bergerak"
"Harap beritahukan nama." akhirnya ia berseru.
Dengan tertawa secerah musim semi, nyonya itu berkata:
"Apakah perlu harus begitu?"
Suara tawa itu amat memikat hati. Tetapi Cu Jiang
sudah tak mau kena pengaruh lagi.
"Tentu." sahutnya tegas.


Pusaka Negeri Tayli Karya Can I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa engkau kenal aku" Kalau aku memberi keterangan
yang palsu, apakah engkau dapat membedakan?"
Cu Jiang terbeliak.
"Ya, mungkin benar. Sekarang silakan turun saja."
Nyonya cantik itu kerutkan alis. "Aku harus turun?"
serunya. "Ya."
"Mengapa?"
"Tak perlu tanya. "
" Kalau aku tak mau?"
"Apa yang kukatakan, tentu kulakukan."
"Apakah anda hendak membunuh aku?"
"Mungkin."
"Sungguh tak ada aturannya. Engkau berjalan sendiri
dan akupun naik tandu sendiri . . ."
"Ah, terlalu banyak bicara, turun!"
"Tetapi engkau harus memberi alasan!"
"Aku hendak memeriksa tandu ini"
"Aneh, kitakan belum saling kenal, mengapa engkau
hendak mengganggu kami ...."
"Lebih baik engkau turut perintah saja."
Terpaksa nyonya cantik itu turun dari pintu. Cu
Jiangpun menghampiri ke pintu dan memandang ke dalam
tandu. Ternyata tandu itu kosong melompong. Diam2 ia
menghela napas dan meringis dalam hati.
"Sudahkah?" nyonya cantik itu tertawa mengejek.
"Pergilah!" terpaksa Cu Jing mundur teratur. Dengan
tertawa nyonya cantik itupun segera melangkah masuk ke
dalam tandu lagi.
Tiba2 sekonyong-konyong dari dalam tandu terdengar
suara orang bernapas.
Telinga Cu Jiang yang tajam segera dapat menangkap
suara itu dan terus membentak:
"Tunggu!"
Nyonya cantik Itu terkejut. Berputar tubuh dan
menyurut mundur beberapa langkah.
"Toan kiam Jan-jin, apa maksudmu?"
"Apa yang berada dibawah dudukan itu ?" seru Cu Jiang.
Seketika wajah nyonya cantik itu berobah dan menyurut
mundur lagi. Keempat pemikul tandu itupun ikut mundur.
Cu Jiang tak mau membuang tempo. Dia menghantam
atas tandu dan mengangkat papan. Kejutnya bukan alang
kepalang ketika melihat seorang manusia yang lebih
menyerupai seorang manusia darah, berada dibawah
tempat duduk. Orang itu telah dimasukkan kebawah tempat duduk
sehingga tak kelihatan.
Setelah tempat duduk dibongkar, barulah orang itu dapat
terlihat. Seketika Cu Jiang terkejut demi melihat orang itu:
"Dia !"
Orang itu tak lain adalah Ho Bun Cai, congkoan dari
Gedung Hitam yang mengaku sebagai suhengnya. Saat itu
napasnya lemah sekali.
Melihat kepandaian Ho Bun Cai, tentu yang merubuhkan dan memasukkannya kebawah tempat duduk
tandu itu, memiliki kepandaian yang sakti.
Begitu rahasianya terbongkar, wanita cantik dan keempat
pemikul tandu itu terus melarikan diri.
Ketika Cu Jiang menyadari, mereka sudah jauh sekali.
Sebenarnya dia mampu mengejarnya tetapi menilik
keadaan Ho Bun Cai yang sudah begitu payah, terpaksa dia
harus menolongnya dulu.
Ternyata tubuh Ho Bun Cai penuh berhias sabetan
pedang sehingga dagingnya murmur.
"Suheng, suheng !"
Ho Bun Cai hanya bergerak sedikit tetapi tak memberi
jawaban apa2. Cu Jiang segera mengangkat tubuh Ho Bun Cai dan
dibawa kedalam hutan. Meletakkannya di tempat yang
sunyi. Waktu ia memeriksanya, Cu Jiang makin lemas
hatinya. Bukan saja urat-uratnya malang melintang tak karuan,
pun urat nadi bagian hati telah putus. Jelas luka bagian
dalam lebih parah dari bagian luar.
Siapa yang telah melukainya sampai begitu hebat "
Cu Jiang getun sekali karena tak dapat membekuk
wanita cantik itu. Lalu bagaimana dia harus bertindak "
Amarahnya berderai-derai membanjir. Satu satunya
murid dari ayahnya, ternyata tak dapat ditolong
Sesosok tubuh berkelebat dan muncullah seorang tua
bongkok, Cu Jiang segera mengenalinya sebagai salah
seorang dari Empat-kojiu Tayli. Namanya Ko Kun.
"Apakah engkau yang membuat tanda rahasia itu ?"
tegur Cu Jiang.
"Ya."
"Bagaimana peristiwanya ?"
"Hamba mendapatkan korban itu menggeletak dipintu
sebuah kuil di tepi sungai. Mulutnya menyebut Toan-kiam-
Jan-jin. Itulah sebabnya hamba terus meninggalkan
pertandaan rahasia. Tetapi pada saat itu muncul beberapa
orang yang membawa tandu. Korban juga diangkut
kedalam tandu. Oleh karena telah menerima titah baginda
bahwa hamba sekalian tak boleh turun tangan, demi
melaksanakan amanat baginda dan demi menjaga
keselamatan negara serta ciangkun sendiri, maka diam2
hamba mengikuti tandu itu untuk mencari kesempatan
meninggalkan pertandaan rahasia pada tandu itu."
"Oh..."
"Apakah masih dapat ditolong ?"
"Sukar," sahut Cu Jiang dengan sedih.
"Ini...."
"Aku harus berusaha supaya dia dapat bicara !"
Ko Kun membungkuk dan memeriksa urat-nadi. Sesaat
ia gelengkan kepala:
"Kecuali terjadi keajaiban, tak mungkin dia dapat
ditolong lagi !"
"Akan kusaluri tenaga-murni kedalam tubuhnya."
"Mungkin tak dapat bahkan kebalikannya akan
mempercepat kematiannya."
"Tetapi aku perlu bertanya banyak sekali kepadanya."
"Ciangkun...."
"Jangan menggunakan sebutan itu."
"Baiklah," kata Ko Kun, "hanya dengan memberikan
saluran tenaga-murni secara pelahan-lahan, Mungkin saja
dapat menyadarkannya."
"Akan kucoba."
"Demi menjaga rahasia diri, maaf, terpaksa aku harus
pergi. ." "Silakan."
Ko Kun terus lari dan menyusup kedalam hutan. Saat itu
Cu Jiang seperti mau menangis. Pertama karena
mendapatkan suhengnya tak tertolong jiwanya dan kedua
karena dia masih mempunyai banyak sekali pertanyaan
yang belum diketahui. Kalau suheng itu mati. rahasia
itupun ikut lenyap.
Rahasia diri ketua Gedung Hitam. Musuh-musuh
mendiang orang tuanya dan sebab2 mengapa dirinya
sampai dianiaya oleh orang.
Kesemuanya itu masih merupakan teka teki besar yang
belum terpecahkan. Bibinya, wanita gemuk itu, mungkin
tahu semua peristiwa itu. Tetapi dia berada jauh di negeri
Tayli. Sementara saat itu suhengnya menghadapi kematian dan
dia sendiripun terkena racun sehingga tak dapat berbuat
suatu apa. Merenungkan hal itu semua teringatlah ia akan
suhunya, Gong gong-cu. Jika suhunya berada disitu,
tentulah mudah bila diajak berunding...
Ah... tiba2 ia teringat. Bukankah dia saat itu sedang
menuju ke gunung Busan untuk mencari Kui jiu-sin-jin Bun
Yok Ih yang kabarnya mempunyai kepandaian mengobati
orang yang sudah mati dapat hidup lagi.
Jika demikian apabila dia membawa suhengnya kesana,
tentulah ada harapan jiwanya tertolong. Tetapi ah ... .
Busan sedemikian jauh dan keadaan suhengnya sedemikian
parah, apakah hal itu dapat tercapai.
Setelah merenung sekian saat, ia memutuskan untuk
memberi pertolongan sendiri. Dengan tangan kiri melekat
ke pusar suhengnya, ia menyalurkan tenaga-murni.
Kemudian tangan kanannya menutuk ketiga belas jalan
darah tubuh suhengnya.
Beberapa waktu kemudian barulah tampak mulut Ho
Bun Cai mulai bergerak-gerak dan napaspun mulai
mendengus, kemudian membuka mata. Tetapi sinar
matanya tampak kuyu.
"Suheng, suheng. apakah kenal kepadaku?" serunya
tegang. Setelah mengulang berapa kali tampak bibir Ho Bun Cai
mulai bergetar tetapi tetap terkatup. Rupanya dia hendak
berkata tetapi tak dapat bersuara. Sikapnya mengunjukkan
penderitaan yang hebat.
Perasaan Cu Jiang makin rawan. Dia memperkeras
saluran tenaga murninya sembari berseru memanggil:
"Suheng, suheng."
Dengan susah payah akhirnya mulut Ho Bun Cai dapat
juga mengucap beberapa patah kata.
"Bu-lim .... seng-hud . . . Sebun. . . Ong . . . balas
dendam . .." dia hendak melanjutkan kata-katanya tetapi tak
kuat. Matanya melotot dan seketika putuslah nyawanya.
Cu Jiang memeluk tubuh suhengnya dan menangis
tersedu-sedu. Sanak saudaranya dalam dunia ini, satu demi
satu telah meninggalkannya. Betapapun keras hatinya
namun hancur juga kesedihannya.
Bu-lim-seng-hud si Buddha-hidup Sebun Ong itu si
manusia agung yang palsu itu. Mengapa dia membunuh Ho
Bun Cai" Apakah karena Ho Bun Cai itu congkoan dari
Gedung Hitam. Tetapi apa bedanya Sebun Ong dengan ketua Gedung
Hitam" Bukankah mereka setali tiga uang, sama2 manusia
jahat" Apakah Ho Bun Cai tak dapat meloloskan diri dari
genggaman Gedung Hitam"
Dengan menilai beberapa kesan itu akhirnya Cu Jiang
menyimpulkan bahwa wanita cantik dalam tandu itu
tentulah salah seorang anak buah gerombolan Hoa-gwat-
bun. Sungguh tak terduga bahwa Sebun Ong dapat menguasai
gerombolan perempuan2 jalang itu.
Hm jika tak dapat membuka kedok manusia Sebun Ong,
dunia persilatan tentu tak mau percaya bahwa apa yang
mereka agungkan sebagai ksatrya berbudi luhur seperti
Buddha-hidup ternyata seorang manusia jahanam.
Cu Jiang teringat pula akan peristiwa ketika Ho Bun Cai
ditantang oleh Tio Pit Bu. murid dari Hun-kong kiam Go
Siok Ping. Ho Bun Cai mengatakan bahwa dia tak mau
menggunakan jurus ilmu pedang yang dahulu itu.
Dia duga yang dimaksudkan Ho Bun Cai itu tentulah
sejurus ilmu pedang It kiam-tui-hun ajaran mendiang
ayahnya. Ah, jika pada malam itu dia tak ikut campur dan
membiarkan Tio Pit Bu mendesak Ho Bun Cai, tentulah dia
segera dapat mengetahui diri Ho Bun Cai. Dan tentulah dia
akan memperoleh banyak keterangan dari suhengnya itu.
Dan mungkin peristiwa sedih seperti saat itu takkan terjadi.
Tetapi kesemuanya itu sudah terjadi dan tak mungkin
dirobah. Sesal kemudian tak berguna. Suhengnya telah mati
dengan mengenaskan sekali.
"Sebun Ong! Sebun Ong!" ia menggeram dengan penuh
dendam kesumat. Kemudian ia mencari sebuah tempat di
tepi sungai untuk mengubur Jenazah Ho Bun Cai. Ia
mencari batu untuk nisan dan dengan jarinya ia menggurat
beberapa patah kata:
Makam Ho Bun Cai, murid Dewa-pedang.
Karena menulis itu dia harus menggunakan tenaga-
dalam dan saat itu dia rasakan badannya kurang enak.
Tetapi dia tak menghiraukannya.
Kesedihan dan kemarahan yang meluap-luap telah menegangkan urat-
syarafnya. Selesai penguburan, dia memberi hormat yang terakhir
dan siap hendak tinggalkan tempat itu. Sekonyong-konyong
terdengar sebuah suara orang berseru dengan nada dingin:
"Toan kiam-jan jin, tempat ini bagus sekali alam
pemandangannya.
Tepat kalau menjadi tempat peristirahatanmu selama-lamanya."
Cu Jiang terkejut dan cepat berputar tubuh. Dua tombak
jaraknya, tegak seorang yang berpakaian hitam dan
mukanya bertutup kain hitam.
Ah, orang itu adalah tokoh misterius yang paling
termasyhur dalam dunia persilatan dewasa itu, yaitu ketua
Gedung Hitam. Seketika meluaplah darah Cu Jiang, serunya geram:
Bara Naga 6 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Istana Yang Suram 17
^