Pencarian

Bara Diatas Singgasana 13

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 13


"Paman," berkata Anusapati, "aku sama sekali tidak berputus asa. Aku saat ini menganggap, bahwa barangkali aku lebih sesuai menjadi seorang rakyat biasa saja daripada menjadi seorang Putera Mahkota."
"Tidak tuanku. Tuanku harus bercita-cita. Tuanku adalah keturunan seorang raja, sehingga cita-cita yang paling sesuai bagi tuanku adalah menjadi seorang Raja pula."
"Tetapi aku merasa istana ini seperti sebuah sangkar raksasa bagiku. Dinding-dinding batu itu bagaikan terali-terali yang kokoh, yang membatasi aku dengan dunia. Sedang isi istana ini sendiri serasa sangat asing pula bagiku. Ayahanda, ibunda, adik-adikku dan apalagi ibunda Ken Umang. Para pemimpin pemerintahan dan para Senapati dan Panglima-pun seolah-olah tidak begitu mengenal aku, meski-pun aku seorang Putera Mahkota."
Untuk sementara, jangan hiraukan tuanku. Kelak pada saatnya, apabila tuanku memang menunjukkan kemampuan yang melampaui orang lain, maka tuanku akan menjadi seorang Raja yang disegani."
Anusapati menggeleng lemah. Katanya, "Aku sama sekali tidak bernafsu untuk menjadi seorang raja."
"Jika demikian, maka usaha mereka telah berhasil. Mereka memang membuat tuanku jemu dan kehilangan gairah hidup menyongsong masa depan."
"Siapakah yang kau maksud?"
"Tuanku Tohjaya, dan mereka yang berpihak kepadanya."
"Benar begitu?"
"Menurut penilaian hamba memang begitu, meski-pun mungkin hamba keliru."
Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengatakan apa-pun juga. Sejenak ia melihat kembang Ceplok Piring yang putih bersih sedang mekar. Kemudian bunga Arum Dalu yang mencuat dari batangnya yang rendah.
Ketika terlihat oleh Anusapati juru taman yang sedang menyiangi tanaman disudut petamanan, maka ia-pun sadar, bahwa ia tidak boleh menumbuhkan kecurigaan orang lain. Sejenak ia berjongkok disamping batang Arum Dalu yang sedang berkembang kemudian berdiri setelah memetik bunganya beberapa tangkai.
Sejenak kemudian maka Anusapati itu-pun melangkah meninggalkan tempat itu. Sumekar mengikutinya beberapa langkah. Namun kemudian ia berhenti.
"Hamba akan tinggal disini tuanku," katanya.
Putera Mahkota itu berpaling, "Ya, aku akan kembali kebangsalku."
"Silahkanlah. Kita masih belum tahu pasti, apakah didalam taman ini tidak ada orang yang selalu mencari persoalan apa-pun alasannya."
"Ya, aku harus selalu mengingat akan hal itu." Anusapati-pun kemudian meninggalkan Sumekar yang berdiri tegak sambil mengawasinya. Namun ternyata langkah Anusapati tertegun ketika ia melihat juru taman yang telah tertidur lagi. Tetapi agaknya ia telah berpindah tempat. Kini ia tidur bersandar dinding batu, dibawah pohon Soka Merah yang rimbun.
Perlahan-lahan Anusapati mendekatinya. Ketika ia menyentuh pundak juru taman itu, ia-pun terkejut bukan buatan. Sebelum Anusapati bertanya sesuatu ia telah berkata terbata-bata, "Ampun tuanku. Bukankah tuanku telah mengijinkan hamba untuk beristirahat?"
"Ya, aku sudah mengijinkan."
"Tuanku tidak akan marah?"
"Tidak. Aku hanya akan berpesan agar kau jangan lupa memindahkan pohon Kemuning itu nanti sore. Kalau kau lupa, besok kau akan mendapat hukuman."
"Tentu tuanku. Hamba tidak akan berani lupa."
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum.
"Baiklah. Sekarang beristirahatlah. Tetapi apabila kau sudah merasa cukup, mulailah membantu kawan-kawanmu. Kalau saatnya rangsum datang, dan kau masih juga beristirahat, maka kau tidak akan mendapatkannya."
"Ya. ya tuanku. Hamba akan berhenti beristirahat kalau rangsum datang."
Anusapati masih saja tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "jangan tidur terus menenrus."
"Hamba tuanku," orang itu menggosok matanya.
Namun sementara itu Anusapati-pun telah meninggalkannya.
Tetapi langkah Anusapati tertegun ketika tiba-tiba saja Tohjaya bersama kedua pengawalnya sudah berdiri di muka regol taman itu.
"Apakah aku mengejutkan kakanda?" bertanya Tohjaya.
Anusapati memandangi sejenak. Jawabnya, "Ya. Aku terkejut karenanya."
"Aku mohon maaf. Aku tidak ingin mengejutkan kakanda Putera Mahkota."
"Apakah maksudmu?" bertanya Anusapati.
"Tidak apa-apa kakanda. Sebenarnyalah bahwa petamanan ini lebih menyenangkan dari petamanan sebelah. Tangan-tangan yang mengerjakan memang tangan yang ahli. Beberapa hari seorang juru taman dari petamanan ini telah membantu dipetamanan sebelah. Hasilnya-pun segera, tampak."
"Ya," sahut Anusapati sambil memandang berkeliling. Kemudian ia menunjuk kepada Sumekar yang lagi berjongkok disamping bunga Arum Dalu. "Orang itulah yang telah kau pinjam beberapa hari."
"Ya, orang itu. Tetapi meski-pun demikian aku merasa disini masih jauh lebih meresapkan dan menyegarkan. Tata susunan petamanan ini menumbuhkan perasaan tenteram dan sejuk."
"Ya." "Karena itu, maka mungkin sekali aku masih akan meminjam orang itu untuk saat-saat mendatang."
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Tohjaya, "Tergantung kepada kepentingan taman ini. Kalau ia tidak mempunyai pekerjaan disini, baiklah. Tetapi kalau dipetamanan ini sedang banyak pekerjaan, tentu aku tidak akan dapat mengijinkan."
Jawaban itu telah membuat Tohjaya menjadi heran. Anusapati biasanya tidak berani menyanggah keinginannya. Tetapi kini sikapnya menjadi jauh berbeda.
"Kenapa kakanda Anusapati tidak mengijinkannya" " Tohjaya bertanya.
"Tergantung kepada keadaan. Kalau aku sendiri memerlukannya, tentu aku tidak meminjamkan kepada orang lain."
"Tetapi apakah juru taman itu mengabdi kepada kakanda Anusapati" Bukankah ia hamba istana, hamba ayahanda Sri Rajasa."
"Kalau kau tahu akan hal itu, kenapa kau meminjamnya kepadaku?"
"Ia bekerja disini. Meski-pun tidak resmi, tetapi dinding batu ini seolah-olah merupakan batas antara dua bagian dari istana Singasari. Daerah ini adalah daerah yang diperuntukkan bagi ibunda Permaisuri, sedang daerah yang berada disisi dinding ini adalah daerah yang seolah-olah diperuntukkan bagi ibunda Ken Umang. Bukankah begitu?"
"Ya." "Tetapi sudah tentu tidak dengan seluruh hamba yang ada diseberang menyeberang dinding. Mereka tetap hamba istana. Hamba Sri Rajasa."
"Kalau begitu kenapa kau minta kepadaku?"
Tohjaya tidak segera menjawab. Sikap ini bukan kebiasaan sikap Anusapati. Karena itu Tohjaya justru menjadi agak bingung menghadapinya.
Meski-pun Sumekar masih tetap berjongkok disamping bunga Arum Dalu, namun ia dapat mendengarkan sebagian dari percakapan itu. Karena itu, maka dadanya menjadi berseakan-akan selalu tertindih oleh berbagai perasaan yang terdebar-debar. Ia mengerti, bahwa hati Anusapati yang setiap saat tahan didalam dadanya, kadang-kadang ingin meledak. Kalau Anusapati tidak pandai menahan diri, maka akibatnya akan merugikan dirinya sendiri.
Karena itu, maka perlahan-lahan Sumekar berdiri sambil terbatuk-batuk. Kemudian sambil menjinjing sebatang bibit Arum Dalu ia berjalan mendekati kedua anak-anak muda yang sedang berbicara semakin lama semakin tegang itu.
"Ampun Tuanku Putera Mahkota," berkata Sumekar yang pura-pura tidak tahu apa yang mereka percakapkan, "hamba telah mengambil bibit Arum Dalu ini. Apakah hamba dapat menanamnya sekarang disamping pintu bangsal tuanku?"
Anusapati mengerutkan keningnya. Namun ketika terpandang olehnya tatapan mata Sumekar, maka terasa hati Anusapati berdesir. Wajah juru taman itu seolah-olah memperingatkannya, agar ia selalu berusaha menjaga dirinya. Sudah sekian lama ia menahan hati. Kalau kali ini ia kehilangan kendali, maka yang sekian lama itu akan tidak berarti apa-apa sama sekali.
"Ampun tuanku," Sumekar berkata pula, "jadi, apakah bibit yang begini maksud tuanku."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya. Bibit itu. Bawalah kebangsal. Dan tanamlah sebelah menyebelah pintu."
"Jadi sepasang tuanku?"
"Ya sepasang." "O, hamba baru membawanya sebatang," sahut Sumekar, "kalau begitu, hamba akan membawa sebatang lagi."
"Ya, ambillah sebatang lagi."
Sumekar membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Kemudian ia pergi meninggalkan keduanya, kembali kebatang Arum Dalunya yang sedang berkembang.
Dalam pada itu beberapa orang juru taman yang lain-pun sedang asyik bekerja dibagian masing-masing. Tetapi mereka tidak menghiraukan apa saja yang sedang dipercakapkan oleh kedua Putera Sri Rajasa itu.
-ooo0dw0ooo- Jilid 61 KETIKA Sumekar sudah kembali ketempatnya, maka Tohjaya masih meneruskan, "Jadi kakanda keberatan?"
"Tidak," jawab Anusapati kemudian.
Tohjaya menjadi bingung mendengar jawaban itu, Sekati lagi ia meyakinkan, "Kakanda tidak berkeberatan?"
"Aku tidak. Tetapi kalau kau anggap bahwa kita masing-masing dapat berbuat apa saja atas hamba yang ada di istana ini, baiklah."
Dada Tohjaya menjadi berdebar-debar. "Maksud kakanda?"
"Seperti yang kau kehendaki. Semua hamba didalam istana ini adalah hamba ayahanda Sri Rajasa. Kalau kita masing-masing memerlukan maka kita dapat mengambilnya, kau dapat mengambil juru taman dipetamanan ini, dan pada suatu ketika apabila aku perlukan, aku dapat mengambil pengawalan."
Wajah Tohjaya tiba-tiba menjadi merah. Namun sebelum ia berkata sesuatu Anusapati yang agaknya benar-benar sulit mengendalikan diri berkata, "Ingat, aku adalah Putera Mahkota. Aku adalah saudara tuamu dan aku mempunyai kekuasaan dan kewewenangan yang lebih besar daripada putera yang mana-pun juga."
Wajah Tohjaya menjadi semakin merah padam. Sejenak ia justru terbungkam. Namun tampak pada sorot matanya hatinya yang bergelora.
Sumekar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mencoba memperingatkan Anusapati dengan caranya. Ia menyangka bahwa Anusapati akan segera dapat mengekang dirinya. Namun ternyata meski-pun Anusapati agaknya sudah mencoba, tetapi ia memang tidak akan dapat terus-menerus mengalah terhadap adiknya.
Sejenak kedua anak-anak muda itu saling berdiam diri. Tetapi terasa bahwa dada mereka telah dilanda ketegangan yang semakin memuncak.
Dan tiba-tiba saja Tohjaya kemudian bertanya, "Sejak kapan kakanda berpendirian demikian?"
"Sejak kita sama-sama meningkat dewasa. Sejak aku mengerti tentang diriku dan harga diriku."
"Tetapi kakanda tidak pernah menunjukkan sikap seperti ini. Aku sangka kakanda Anusapati adalah seorang yang baik, yang rendah hati dan terlampau sabar."
"Ternyata aku sudah terbentur pada batas kesabaran, karendahan hati dan kebaikan."
"Aku tidak mengerti," desis Tohjaya, "semula aku hanya berniat meminjam seorang juru taman. Itu-pun hanya apabila aku masih memerlukan dilain kali. Bukan sekarang. Ternyata kakanda Anusapati tiba-tiba saja menjadi marah, Aku tidak mengerti."
"Aku sama sekali tidak marah adinda Tohjaya. Aku hanya ingin bersikap wajar, seperti seharusnya seorang Putera Mahkota. Aku ingin kau bersikap wajar pula sebagai seorang saudara muda. Selama ini batas diantara kuwajiban dan wewenang kita tidak jelas. Aku tahu, bahwa ayahanda Sri Rajasa masih belum menganggap hal itu perlu. Mungkin karena ayahanda masih tetap menganggap kita sebagai kanak-anak. Tetapi pada suatu saat, kita memang harus bersikap dewasa. Kita bukanlah anak-anak yang manja yang selalu merengek apabila keinginan kita tidak terpenuhi."
"Apakah begitu anggapan kakanda Anusapati terhadapku."
"Bukan terhadapmu. Tetapi terhadap kita bersama-sama. Aku, kau dan semua adik-adikku. Tetapi biarlah mereka yang masih kanak-anak bersikap seperti kanak-anak. Tetapi kita tidak."
"Baiklah. Itulah yang kakanda kehendaki."
"Ya. Hubungan kita selanjutnya adalah hubungan orang-orang dewasa yang mempunyai batas-batas kewajiban dan wewenang, karena kita masih berada didalam lingkungan ketentuan yang diatur oleh berbagai macam peraturan."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya meski-pun wajahnya menjadi merah. Ketika ia berpaling memandang wajah kedua pengawalnya berganti-ganti, dilihatnya wajah-wajah itu-pun menjadi tegang.
"Kita kembali," desis Tohjaya.
Kedua pengawalnya menganggukkan kepalanya.
"Aku minta diri kakanda Anusapati," berkata Tohjaya kemudian. Namun ketika ia mulai melangkahkan kakinya ia berpaling, "Apakah kakanda Anusapati senang bermain dengan bunga?"
Anusapati tidak segera menjawab. Tanpa sesadarnya ia memandangi bunga Arum Dalu ditangannya.
"Hanya gadis-gadis dan perempuan-perempuan sajalah yang senang bermain dengan bunga. Tetapi seorang laki-laki sepantasnya bermain dengan pedang." sambung Tohjaya.
Anusapati mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk membatasi diri betapa-pun terasa dadanya seakan-akan pecah.
"Atau barangkali bunga yang kakanda petik untuk kekasih?" bertanya Tohjaya pula.
Anusapati masih tetap berdiam diri.
Tohjaya tertawa tertahan-tahan. Katanya, "Tetapi kakanda Anusapati pantas segala berjalan melenggang sambil menjinjing bunga. Bukan pedang."
"Ya," akhirnya Anusapati menyahut, "aku lebih suka membawa bunga daripada membawa pedang."
"Itu tidak pantas bagi seorang laki-laki."
"Aku tidak menghiraukannya. Pantas atau tidak pantas. Aku senang pada bunga. Itulah."
Wajah Tohjaya tiba-tiba berkerut. Tetapi ia masih berkata, "Apalagi seorang Putera Mahkota."
"Justru seorang Putera Mahkota."
"Kenapa?" Bunga dapat mengucapkan apa saja. Suka cita, duka, kenangan dan kepahlawanan."
Tohjaya menarik nafas dalam-dalam.
"Sedang pedang hanya memiliki satu arti. Kekerasan."
Tohjaya tidak menjawab lagi. Dengan serta-merta ia melangkah meninggalkan Anusapati yang masih berdiri ditempatnya sambil menggeram, "Anak cengeng. Sepantasnya ia tidak menyebut dirinya seorang laki-laki. Ia adalah seorang perempuan cengeng."
Pengawalnya tidak menyahut. Mereka berjalan meloncat-loncat dibelakang Tohjaya yang berjalan semakin cepat.
Setelah Tohjaya hilang dibalik regol dinding yang memisahkan kedua bagian istana Singasari, maka Anusapati-pun kembali pula kebangsalnya. Wajahnya menjadi suram dan angan-angannya seakan-akan terbang berputaran tidak menentu.
Embannya yang melajaninya seperti anak sendiri, memandang wajah yang suram itu dengan hati yang berdebar-debar. Meski-pun wajah Anusapati hampir selalu suram, namun di hari-hari terakhir ini Putera Mahkota itu tampaknya menjadi semakin muram.
Meski-pun demikian emban pemomongnya itu tidak bertanya. Ia sudah terlampau sering bertanya, namun jawabannya tidak pernah meyakinkannya. Bahkan justru setiap kali Putera Mahkota itulah yang ganti bertanya kepadanya, "Emban, siapakah aku ini sebenarnya?"
Dan ia selalu menjawab, "Tuanku adalah Putera Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi Maharaja yang kini bertahta diatas Singgasana Singasari."
Tetapi jawaban itu tidak pernah memuaskan Putera Mahkota itu. Bahkan kadang-kadang terloncat dari bibirnya, "Kenapa sikap ayahanda Sri Rajasa terhadapku terlampau berbeda dengan sikap ayahanda kepada adik-adikku."
"Tuanku, itu hanyalah sekedar bayangan yang tuanku anyam sendiri. Tentu ayahanda Sri Rajasa tidak akan membedakan siapakah tuanku dan siapakah putera-putera yang lain."
"Tetapi sangat terasa."
"Mungkin karena tuanku lahir dari tuanku Permaisuri. Tuanku Sri Rajasa ingin bersikap bersungguh-sungguh terhadap tuanku sebagai seorang Putera Mahkota yang kelak akan menjadi seorang raja."
"Sesungguhnya terbalik dari apa yang kau katakan, emban."
"Jangan membiarkan diri tuanku hanyut dalam arus angan-angan yang sesat. Tuanku adalah momongan hamba sejak tuanku kecil. Hamba mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya terhadap tuanku. Juga hamba berharap bahwa tuanku bukanlah seorarg pemimpin yang hidup didalam alam yang mengambang."
Anusapati selalu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menundukkan kepalanya dan masuk kedalam biliknya.
Karena itu emban pemomongnya-pun menjadi sangat berprihatin, ia sadar bahwa ibunda Permaisuri-pun sangat berprihatin pula terhadap Putera Mahkota yang sangat perasa ini.
Tetapi emban itu tidak dapat ingkar kepada diri sendiri. Ia tahu dengan pasti, bahwa memang sikap Sri Rajasa terhadap Putera Mahkota agak berbeda dengan sikap Sri Rajasa terhadap Tohjaya, putera yang lahir dari Ken Umang yang memang mempunyai darah yang agak panas.
Dan emban itupan tahu, tahu dengan pasti, bahwa Anusapati bukanlah Putera Sri Rajasa, karena Anusapati sudah ada didalam kandungan sejak Sri Rajasa kawin dengan Ken Dedes, Permaisuri Tunggul Ametung.
Tetapi sudah tentu emban itu, seperti semua orang didalam istana ini, tidak akan dapat mengatakan siapakah sebenarnya Anusapati itu, dan kenapa sikap ayahanda Sri Rajasa berbeda terhadapnya daripada adik-adiknya.
"Namun sampai kapan rahasia ini tetap tersembunyi bagi Putera Mahkota?" pertanyaan itulah yang selalu mengganggu hati emban itu.
Juga kali ini Putera Mahkota itu kembali dari taman dengan wajah yang muram, meski-pun ia membawa bunga ditangannya. Ternyata bunga itu diletakkannya begitu saja diatas bancik kayu disudut ruangan, sedang ia sendiri langsung masuk kedalam biliknya.
Dalam pada itu, Sumekar yang masih ada didalam taman menjadi berdebar-debar juga. Semakin lama Anusapati pasti menjadi semakin jemu menghadapi keadaannya yang sama sekali tidak menyenangkannya.
"Ia memerlukan seorang kawan," katanya didalam hati, "agaknya ibunda Permaisuri-pun tidak begitu terbuka terhadapnya."
Tetapi kawan bagi Anusapati, sehalusnya dapat membuatnya tidak lagi selalu dilanda oleh kegelisahan. Kawan yang lembut, yang dapat mengisi kekosongan hatinya. Bukan kawan yang sekedar dapat mengawaninya berlatih, yang dapat memberikan beberapa petunjuk dan nasehat. Atau mungkin sedikit menenangkan ketegangan. Namun tidak dapat mendinginkan bara yang selalu menjala didalam dadanya.
"Putera Mahkota memerlukan seorang gadis yang dapat mengerti tentang dirinya," berkata Sumekar kepada diri sendiri.
Tetapi sudah tentu Sumekar tidak dapat berbuat apa-apa. Gadis bagi Putera Mahkota bukannya sesuatu yang begitu saja dapat diambil menurut keinginan sendiri atau orang-orang yang dekat dengannya. Tetapi seorang isteri bagi Putera Mahkota akan ditentukan oleh ayahanda Baginda dan pendapat beberapa orang pemimpin kerajaan, karena isteri Putera Mahkota itu kelak akan menjadi Permaisuri. Berbeda bagi seorang Raja yang akan mengambil permaisurinya sendiri. Ia mempunyai wewenang dan kekuasaan, apalagi apabila ia sudah cukup matang. Sikapnya dan umurnya.
Tetapi tidak bagi Anusapati. Ia masih terlalu muda untuk menentukan hari depannya sendiri, apalagi ia masih seorang Putera Mahkota.
"Meski-pun demikian, ada baiknya aku mulai berbuat sesuatu untuk menuju kearah itu," berkata Sumekar didalam hatinya. "Aku menunggu kakang Mahisa Agni. Kalau ia setuju, maka aku akan segera berbuat sesuatu. Mungkin membujuk Putera Mahkota, mungkin berbicara dengan embannya dan bahkan apabila mungkin menyampaikannya kepada tuanku Permaisuri bagaimana-pun caranya. Tetapi sebelum sampai kesaat yang demikian, aku harus berusaha mengendalikannya. Demikianlah ketika Sumekar mendapat kesempatan bertemu dengan Anusapati, maka ia-pun segera menyampaikan perasaannya itu.
"Tuanku," katanya, "hamba mendengar percakapan tuanku dengan tuanku Tohjaya."
Anusapati mengerutkan keningnya.
"Hamba menjadi berdebar-debar karenanya."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku terlampau sulit untuk mengendalikan diri, paman. Setiap kali aku harus menekan perasaan betapa-pun sakitnya. Aku merasa bahwa pada suatu ketika dadaku akan pecah karenanya."
"Hamba mengerti tuanku. Tetapi ini adalah suatu pendadaran bagi tuanku. Apakah tuanku dapat mengatasi kesulitan yang timbul didalam diri tuanku atau tidak."
Anusapati tidak menjawab.
"Sudah sekian lamanya tuanku berhasil menyembunyikan diri didalam istana ini sebagai seorang Putera Mahkota yang cengeng, bodoh dan lemah. Bukankah dengan demikian tuanku juga harus menekan perasaan. Kenapa tiba-tiba saja tuanku tidak mampu lagi berbuat demikian?"
"Dada ini bagaikan sebuah tempayan," jawab Anusapati, "setitik-titik air akan dapat tertampung didalamnya. Tetapi pada suatu saat tempayan itu akan penuh. Setiap tetes akan segera tertumpah kembali."
"Tuanku harus berada selapang lautan," sahut Sumekar, "lautan yang dapat menampung air dari segala arus sungai, hujan dan bahkan prahara yang terjun dari langit yang seakan-akan terbuka sekalipun. Itu sama sekali bukan suatu kelemahan. Suatu ketika lautan akan dapat menelan gunung dan daratan."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam, sekali dan sekali lagi.
"Tuanku," berkata Sumekar pula, "sebenarnyalah hamba selalu berdebar-debar melihat setiap pertemuan tuangku dengan dinda tuanku itu. Kalau tuanku masih sudi mendengarkan hamba, hamba mengharap tuanku masih tetap mengekang diri. Mungkin setahun lagi dua tahun atau bahkan sepuluh tahun."
Anusapati menundukkan kepalanya.
"Apakah tuanku pernah mendengar ceritera kakang Mahisa Agni ketika ia berada disarang orang yang bernama Kebo Sindet?"
Anusapati menggelengkan kepalanya.
"Hamba pernah mendengar. Baik dari kakang Mahisa Agni sendiri, mau-pun dari kakang Kuda Sempana."
"Tentang paman Mahisa Agni?" bertanya Anusapati.
"Ya." Anusapati mengerutkan keningnya. "Aku ingin mendengarnya."
Sumekar-pun kemudian menceriterakan dengan singkat, apa yang pernah dialami oleh Mahisa Agni. Hinaan dan tekanan, lahir dan batin. Tubuhnya selalu disakiti dan terlebih-lebih lagi hatinya.
"Tetapi kakang Mahisa Agni bertahan," berkata Sumekar kemudian.
Anusapati menarik nafas sekali lagi, seolah-olah dadanya telah menjadi semakin sesak.
Namun ceritera itu merupakan sebuah gambaran yang nyata baginya. Untuk mencapai sebuah cita-cita, kadang-kadang harus ditempuh jalan yang jauh dan sulit.
"Tetapi akhirnya kakang Mahisa Agni dapat keluar dari neraka itu atas hasil perjuangannya. Gurunya sama sekali tidak ikut secara langsung melepaskannya dari belenggu Kebo Sindet. Juga mPu Sada tidak berbuat apa-apa ketika kakang Mahisa Agni bertempur mati-matian melawan Kebo Sindet sehingga Kebo Sindet hilang ditelan oleh buaya-buaya kerdil yang selama itu telah menjaga kerajaannya."
Anusapati menganggukkan kepalanya, "Aku mengerti."
"Demikianlah tuanku. Apabila tuanku terlanjur selangkah, maka tuanku tidak akan dapat surut kembali. Tuanku akan menjadi semakin jauh terdorong kedalam keadaan yang tidak akan dapat tuanku hindari. Sehingga akhirnya tuanku akan dapat mengulangi kesalahan tuanku terhadap prajurit yang ditelan jurang itu."
"Ya. Aku menyadari."
"Kalau begitu, tuanku harus bertahan sekuat-kuatnya."
Anusapati tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Terbayang sekilas dikepalanya, tubuh prajurit yang terbujur mati didalam jurang itu. Ketika itu ia memang tidak dapat menentukan pilihan. Meski-pun ia tidak sengaja membunuhnya, tetapi apa jadinya kalau prajurit pelatihnya itu tidak mati didalam jurang itu. Ia pasti akan berceritera tentang dirinya, tentang kemampuannya dan tentang kepergiannya kejurang itu. Kemudian ayahanda Sri Rajasa pasti akan memaksanya untuk mengaku, siapa saja yang terlibat dengan dirinya. Dan ia terpaksa menyebut nama-nama Mahisa Agni dan Sumekar, juru taman yang baru itu.
"Nah tuanku," berkata Sumekar kemudian, "hamba mengharap ketabahan hati tuanku, demi hari-hari depan yang masih sangat panjang."
Demikianlah maka Anusapati kemudian untuk beberapa saat merenungi kata-kata Sumekar itu. Sumekar yang kemudian meninggalkannya seorang diri supaya tidak ada orang lain yang mencurigainya, apabila mereka terlampau sering bertemu dan berbicara terlampau panjang.
Namun apa yang dicemaskan Sumekar itu, meski-pun tidak terlampau jauh, segera terjadi. Agaknya Tohjaya menceriterakan semuanya yang dikatakan oleh Anusapati kepada ayahanda Sri Rajasa, sehingga Anusapati itu-pun telah dipanggil menghadap.
"Mudah-mudahan aku dapat menahan diri," katanya didalam hati, "apalagi dihadapan ayahanda Baginda."
"Tuanku Sri Rajasa menunggu tuanku Putera Mahkota sebelum senja," berkata prajurit yang diperintahkan oleh Sri Rajasa memanggil Anusapati.
"Sampaikan kepada ayahanda baginda, bahwa Putera Mahkota akan menghadap sesaat sebelum senja," jawab Anusapati. Meski-pun dadanya menjadi berdebar-debar, tetapi ia mencoba untuk menyaput wajahnya dengan sebuah senyuman.
"Hamba tuanku," berkata prajurit itu, "perkenankanlah hamba menyampaikannya kepada tuanku Sri Rajasa."
"Ya." Prajurit itu-pun kemudian mohon diri.
Sepeninggal prajurit itu Anusapati menjadi gelisah. Ia sadar bahwa ayahanda Sri Rajasa pasti akan menanyakan, kenapa ia bersikap begitu kasar terhadap adiknya. Tetapi Sri Rajasa tidak akan pernah menanyakan hal yang serupa kepada Tohjaya.
Sesaat sebelum menghadap Anusapati menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan menghadap ibunda Permaisuri dahulu dan menyampaikan masalah itu, atau tidak.
"Tidak," ia menggeram, "aku adalah seorang laki-laki. Aku tidak akan mencari sandaran siapa-pun juga. Aku akan menghadapi semua masalahku sendiri."
Namun demikian, ketika Sumekar menyiram bunga-bunga di halaman bangsalnya, ia menemuinya dan mengatakannya, "Aku dipanggil oleh ayahanda Sri Rajasa."
"Ada persoalan yang penting barangkali tuanku."
"Mungkin adinda Tohjaya telah menyampaikan perselisihan kami itu kepada ayahanda Sri Rajasa. Seperti setiap kali kami berselisih, maka akulah yang akan mendapat marah dari ayahanda."
"Tuanku," sahut Sumekar, "itu merupakan ujian bagi keprihatinan tuanku. Tuanku harus tetap berusaha menahan diri apa-pun yang akan terjadi, dan apa-pun yang akan dikatakan oleh ayahanda Sri Rajasa."
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Apakah aku harus menghadap ibunda lebih dahulu?"
"Jangan tuanku, ini hanya akan menambah ibunda semakin berwajah muram."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menjadi semakin yakin bahwa memang seharusnya ia tidak bersandar kepada siapa-pun juga. Apalagi ibunya yang mudah sekali tersentuh hatinya.
Demikianlah ketika tiba saatnya, Anusapati-pun dengan berdebar-debar telah pergi menghadap ayahanda Sri Rajasa, di bangsal Agung. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia melangkah semakin dekat dengan tangga.
"Ayahanda pasti akan marah," desisnya perlahan-lahan sekali. Namun Anusapati masih merasakan betapa angin senja yang sejuk mengusap keningnya yang basah oleh keringat.
Sekali Anusapati menengadahkan kepalanya. Dilihatnya kelelawar satu-satu mulai beterbangan dilangit yang biru bersih. Cahaya kemerah-merahan yang terakhir masih juga menyangkut diujung pohon kelapa yang tinggi di halaman belakang istana.
Langkah Anusapati menjadi semakin lambat. Dibawah tangga ia menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya dua orang prajurit yang bertugas disebelah menyebelah pintu bangsal Agung.
Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar dari salah seorang prajurit itu bahwa ayahanda justru berada di serambi belakang bangsal itu.
"Kenapa di serambi?"
"Entahlah tuanku. Tetapi agaknya udara memang terlampau panas. Tuanku Sri Rajasa memang sering berada di serambi belakang dari bangsal ini."
"Dengan siapa?"
"Sendiri. Baru saja tuanku Tohjaya juga menghadap di serambi belakang."
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar.
"Silahkanlah masuk dan langsung pergi keserambi belakang."
"Aku akan lewat dilongkangan sebelah."
Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya.
"Biarlah. Aku akan lewat samping."
Dan Anusapati-pun tidak memasuki bangsal itu, tetapi ia melingkarinya, lewat longkangan sebelah dan langsung sampai keserambi dibelakang bangsal itu.
Dilihatnya didalam keremangan cahaya pelita yang redup, ayahanda Sri Rajasa duduk diatas sehelai tikar yang tebal, yang terbuat dari anyaman sabut kelapa bersulam benang-benang kapuk yang berwarna warni.
Tiba-tiba langkah Anusapati tertegun sejenak. Ia menjadi ragu-ragu. Apa saja yang akan dikatakan oleh ayahanda Sri Rajasa kepadanya"
Tetapi ia tidak dapat surut, ia harus menghadap, karena ayahanda Sri Rajasa memang memanggilnya. Sebelum senja. Dan kini senja sudah mencengkam langit dan bahkan seluruh kerajaan Singasari yang besar.
Betapa-pun beratnya, Anusapati telah melangkahkan kakinya maju kedepan mendekati ayahanda Sri Rajasa yanp sedang duduk seorang diri di serambi sambil mengusap dagunya.
Semakin dekat Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Ayahanda Sri Rajasa agaknya sama sekali tidak mengetahui kedatangannya, karena ia masih saja duduk memandang ke kejauhan.
Beberapa langkah dari serambi itu Anusapati berhenti. Keringat dingin telah mengalir diseluruh tubuhnya. Ayahanda Sri Rajasa sama sekali masih belum berpaling kepadanya.
Anusapati yang menjadi agak kebingungan itu tiba-tiba telah terbatuk-batuk perlahan-lahan. Perlahan-lahan sekali.
Ternyata suaranya seolah-olah telah membangunkan Sri Rajasa. Perlahan-lahan ia berpaling, memandang Anusapati yang masih berdiri, didalam bayangan yang samar-samar.
Sejenak Sri Rajasa memandanginya. Namun kemudian pandangan matanya telah terlempar kembali ke kejauhan, tanpa menghiraukan lagi Anusapati. Bahkan kemudian seolah-olah Sri Rajasa itu acuh tidak acuh saja atas kehadiran Putera Mahkota itu.
Anusapati masih berdiri sejenak, dalam kebingungan. Keringatnya semakin banyak mengalir membasahi kulitnya. Apalagi ketika dilihatnya Sri Rajasa agaknya menjadi acuh tidak acuh saja. Meski-pun ia telah mengetahui kehadirannya, namun ia sama sekali tidak menyapanya, apalagi mempersilahkannya.
Anusapati tidak tahu apakah yang sebaiknya dilakukannya. Karena itu, kakinya justru menjadi gemetar dan jantungnya berdebaran semakin cepat.
Dengan mata yang hampir tidak berkedip, dipandanginya saja wajah ayahanda Sri Rajasa yang sedang menatap kedalam keremangan cahaya senja. Seolah-olah ingin memandangi satu-satu cahaya yang kemerah-merahan lenyap ditelan oleh gelapnya malam yang turun perlahan-lahan.
Namun akhirnya Anusapati menemukan kepribadiannya. Tiba-tiba saja ia sadar, bahwa ia adalah Putera Mahkota yang sedang menghadap ayahanda Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Putera Mahkota dari suatu kerajaan yang besar, yang kelak akan menggantikan kedudukan ayahanda, menjadi seorang raja yang menguasai daerah yang besar pula. Karena itu, maka tumbuhlah ketabahan didalam dadanya, untuk menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya itu.
Dengan demikian maka Anusapati-pun melangkah semakin dekat. Perlahan-lahan ia-pun kemudian duduk bersila, diatas lantai disisi ayahanda Sri Rajasa yang masih tidak menghiraukannya sama sekali.
Tetapi Anusapati sudah tidak gemetar lagi. Kini ia justru telah menjadi tenang. Perlahan-lahan ia beringsut maju mendekati ayahanda Sri Rajasa.
Setelah ia duduk selangkah disamping ayahanda, maka Anusapati itu-pun berkata, "Ampun ayahanda. Bukankah ayahanda berkenan memanggil hamba untuk menghadap sebelum senja?"
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berpaling dan berkata sambil menarik nafas dalam-dalam, "Aku menunggu sikapmu ini. Aku bangga bahwa kau mempunyai keberanian untuk menegur aku. Aku sudah berniat untuk memarahimu, bahkan menghukummu kalau ternyata kau seorang pengecut. Buat apa aku mempunyai seorang putera Mahkota yang hatinya sekecil kelinci" Yang hanya berani terbatuk-batuk tanpa mengatakan sepatah katapun?"
Anusapati tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia kini menjadi berdebar-debar kembali.
"Anusapati," panggil Sri Rajasa.
"Hamba ayahanda," sahut Anusapati gemetar.
"Aku memang memanggilmu. Dan kau sudah berani menghadap aku seorang diri. Itu sudah mengurangi kesalahanmu yang mana-pun juga. Apalagi sikapmu yang baru saja kau lakukan. Kemarahanku sudah susut separonya."
"Ampun ayahanda," desis Anusapati.
"Sekarang kau tidak usah takut lagi. Kalau kau tidak berani menegurku, dan kau masih saja berdiri di kegelapan, mungkin aku akan berbuat kasar terhadapmu karena kesalahanmu terhadap adikmu. Sebagai saudara tua kau sama sekali tidak dapat berbuat baik, sedikit mengalah dan bersikap dewasa terhadap saudara yang lebih muda. Lebih muda hubungannya didalam tingkatan kekeluargaan dan memang jauh lebih muda umurnya."
Anusapati sama sekali tidak berani menyahut. Ia duduk sambil memandang jari-jari kakinya sendiri.
"Untunglah bahwa kau kali ini memenuhi harapanku. Kau mempunyai jiwa yang cukup besar. Kau kali ini sedikit memberi aku kebanggaan. Selama ini kau selalu bersikap seperti perempuan cengeng. Tetapi sekarang kau agak lain. Sikapmu terhadap adikmu menjadi semakin keras, tetapi kau-pun menjadi kian jantan."
Anusapati masih tetap berdiam diri. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar ayahanda Sri Rajasa bertanya, "Siapakah yang mengajarmu berbuat demikian?"
Keringat dingin yang hampir mengering, tiba-tiba telah mengembun lagi dipunggungnya. Meski-pun angin senja yang basah bertiup menyentuhnya, namun tubuh Anusapati serasa menjadi panas karenanya.
"Apakah ada seseorang yang mengajarmu, agar kau menjadi seorang laki-laki yang baik?"
"Ampun ayahanda Sri Rajasa," jawab Anusapati kemudian meski-pun agak terputus-putus, "sesungguhnya tidak ada seorang-pun yang pernah mengajari hamba berbuat demikian."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun wajahnya kemudian menjadi tegang. Dipandanginya Anusapati sejenak. Lalu katanya dengan nada yang keras, "Kau sudah kembali menjadi seorang pengecut. Kenapa kau tidak mau mengatakan, siapakah yang telah mengajarmu menjadi seorang laki-laki yang baik?"
Anusapati menjadi bingung. Tetapi ia bertanya, "Maksud ayahanda, seseorang yang memberikan petunjuk kepada hamba?"
"Seseorang yang telah berbuat apa-pun atasmu sehingga kau kini menjadi seorang laki-laki yang tidak terlampau cengeng, pengecut dan berpribadi."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia menjawab, "Ibunda Permaisuri."
Sri Rajasa terkejut mendengar jawaban itu sehingga ia berkisar sejengkal mendekatinya. Ditatapnya wajah Anusapati seperti belum pernah melihatnya.
Sejenak kemudian Sri Rajasa itu bertanya, "Ibunda Permaisuri" Benarkah kau menjawab demikian?"
"Hamba ayahanda. Ibunda Permaisuri."
"Apa yang sudah dilakukan oleh ibunda Permaisuri sehingga kau perlahan-lahan telah berubah menjadi seseorang yang berpribadi."
"Ibunda Permaisuri selalu berceritera kepada hamba."
"Apa yang diceriterakan?"
Anusapati tertegun sejenak. Sekilas ia memandang wajah ayahanda Sri Rajasa. Namun kemudian kepalanya tertunduk kembali.
"Apa yang diceriterakan kepadamu he?" desak ayahanda Sri Rajasa.
"Ibu banyak bercerita tentang kepahlawanan seseorang. Tentang pribadi yang mengagumkan. Dan tentang ayahanda Sri Rajasa sendiri, pamanda Mahisa Agni dan para pemimpin-pemimpin Singasari."
Terasa sesuatu berdesir didada Sri Rajasa. Dan ia mendengar Anusapati berkata selanjutnya, "Ceritera ibunda selalu berkesan dihati hamba, sehingga kadang-kadang hamba terpengaruh karenanya. Apalagi ibunda selalu mengajar kepada hamba untuk berbuat seperti seorang kesatria, sesuai dengan kedudukan hamba sekarang."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba kemarahan yang telah membara didadanya, sejak ia mendengar Tohjaya mengadu kepadanya, menjadi semakin susut. Katanya, "Anusapati, kau sudah mengurangi kemarahanku separo lagi. Kau mengatakan bahwa ibunda Permaisurilah yang mengajarimu, yang berceritera kepadamu tentang pahlawan-pahlawan Singasari. Aku mempercayai kata-katamu dan sekali lagi aku berbangga karenanya, bahwa kau telah terkesan oleh ceritera-ceritera itu." Sri Rajasa berhenti sejenak, lalu "selain ceritera tentang pahlawan dari kerajaan Singasari ini sendiri apalagi yang diceriterakan kepadamu?"
"Ibunda Permaisuri menganjurkan hamba membaca kitab-kitab. Dan hamba-pun membacanya pula. Hamba meminjam kitab dari bangsal perbendaharaan dan kitab-kitab yang ada didalam simpanan ibunda sendiri. Hamba mencoba untuk mengambil berbagai macam tuntunan dari dalamnya."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Dan kau mempelajari ilmu kanuragan pula?"
Pertanyaan itu mengejutkan pula bagi Anusapati. Tetapi ia mencoba untuk menyembunyikannya kesan itu dari wajahnya. Katanya kemudian, "Ampun ayahanda. Hamba tidak dapat mencari tuntunan tentang olah kanuragan. Tidak ada kitab yang pernah hamba baca yang dapat memberikan petunjuk ilmu kanuragan."
Sri Rajasa menarik nafas. Tanpa disadarinya ia menganggukkan kepalanya. Katanya, "itulah sebabnya, kau hampir tidak dapat berbuat apa-apa didalam olah kanuragan karena waktumu kau pergunakan untuk membaca kitab-kitab itu. Mungkin isi kitab-kitab itu memberikan manfaat bagimu, tetapi kalau kau habiskan waktumu dengan menekuni kitab-kitab itu saja, maka kau akan menjadi seorang yang kehilangan keseimbangan. Ilmu lahiriahmu akan jauh ketinggalan dari ilmu pengetahuanmu."
Anusapati tidak menyahut. Kepalanya masih saja tunduk dalam-dalam, ia mencoba untuk memilih setiap kata yang diucapkannya. Didalam percakapan yang demikian, apabila ia tidak berhati-hati maka ia akan dapat tergelincir. Sekali ia tergelincir, maka sulitlah baginya untuk bangkit kembali.
Untunglah, bahwa kali ini ia cukup berhati-hati. meski-pun keringatnya telah membasahi punggungnya kembali.
"Anusapati," berkata Sri Rajasa kemudian, "sekarang kau boleh kembali kebangsalmu. Aku mengurungkan niatku untuk marah kepadamu karena kau telah berlaku kasar terhadap adikmu, Tohjaya. Untunglah bahwa kau menunjukkan sikap yang baik, yang memberikan kebanggaan kepadaku. Kalau tidak, mungkin aku sudah berbuat sesuatu. Tetapi meski-pun demikian, aku tetap akan memperingatkan kepadamu, jangan berbuat kasar kepada saudara muda. Kau harus memberikan bimbingan dan tuntunan sebaik-baiknya."
Anusapati mengangguk dalam-dalam, "Hamba ayahanda."
"Kau tidak usah mengelakkan keinginannya. Biasakan dirimu mengalah terhadap saudara muda, seperti juga Tohjaya harus mengalah kepada adik-adiknya."
"Hamba ayahanda."
"Ajarilah adikmu menekuni kitab-kitab seperti yang kau baca itu. Tetapi kau-pun harus sedikit menaruh perhatian kepada olah kanuragan. Kau jauh ketinggalan dari adikmu Tohjaya. Apalagi kini, setelah gurumu itu mengalami kecelakaan yang penuh rahasia. Sebentar lagi kau berdua akan mendapatkan seorang guru yang lain, yang barangkali dapat menuntun kalian dan dapat berbuat lebih baik dari gurumu yang telah tidak ada lagi itu."
"Hamba ayahanda. Hamba akan mencoba berbuat segalanya."
"Sekarang, kau boleh kembali. Tetapi ingat, bahwa sikapmu sajalah yang telah membuat aku kehilangan kemarahan. Kalau kau masih mengulanginya, maka aku akan menghukummu."
"Hamba ayahanda," jawab Anusapati sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski-pun demikian, meski-pun Sri Rajasa kali ini tidak menghukumnya, namun terasa semakin dalam tergores dihati Putera Mahkota itu, perbedaan sikap dari ayahanda kepada putera-puteranya. Kepadanya dan kepada adik-adiknya.
Bahkan ayahanda Sri Rajasa telah mengancamnya, apabila ia berbuat sekali lagi, maksudnya apabila ia bertengkar sekali lagi dengan Tohjaya, maka ialah yang akan mendapat hukuman, karena ia tidak mau mengalah kepada saudara muda.
"Nah, kembalilah," berkata Sri Rajasa kemudian, "dan sebentar lagi kau akan mendapat seorang guru yang baru. Seorang perwira prajurit yang baik, yang akan dapat memberi kalian tuntunan olah kanuragan. Sebagai seorang Putera Mahkota, kau perlu berlatih, agar kau tidak saja mempunyai kebijaksanaan, tetapi kau harus mampu juga turun kemedan perang apabila semua prajurit dan Senapatimu sudah tidak ada lagi yang dapat menahan arus musuh. Seperti Sri Baginda Kertajaya yang gugur dipeperangan. Setelah semua Panglimanya terbunuh, ia sendiri turun kemedan."
Sekali lagi Anusapati menundukkan kepalanya. Katanya, "Hamba ayahanda. Hamba akan mencoba berlatih sebaik-baiknya. Hamba akan melakukan latihan-latihan disetiap hari, meski-pun tidak bersama dengan pelatih hamba."
Tiba-tiba Sri Rajasa mengerutkan keningnya, "Apa yang akan kau lakukan?"
"Berlatih ayahanda. Mengulangi latihan-latihan yang pernah hamba dapatkan dari guru hamba. Melakukan gerak-gerak pokok yang sudah diajarkan dan membiasakan anggauta badan hamba melakukan gerak-gerak yang cepat dan teratur."
"He, siapakah yang mengajarmu demikian?"
Pertanyaan itu telah mengejutkan Anusapati sekali lagi. Jawabnya, "Guru hamba ayahanda. Guru hamba yang sudah tidak ada lagi. Guru hamba itu selalu memerintahkan kepada hamba untuk mengulangi setiap unsur gerak yang telah diberikannya. Menurut guru hamba itu, bukan saja setiap hari, tetapi setiap saat."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, begitulah," katanya kemudian.
Sejenak kemudian maka Anusapati-pun mohon diri kepada ayahanda Sri Rajasa, setelah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Namun, setelah Anusapati berada di halaman, ia-pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, "Apakah aku dapat bertahan sampai setahun atau dua tahun lagi" Hanya oleh tuntunan yang ajaib, aku akan dapat tetap hidup dengan cara ini."
Demikianlah, maka apa yang dikatakan oleh Sri Rajasa itu-pun segera terjadilah. Seorang prajurit telah mendapat tugas, menggantikan kedudukan prajurit yang telah menanggal didalam jurang.
"Kalian harus menerima perwira prajurit dari pasukan pengawal ini untuk menjadi guru kalian," berkata Sri Rajasa kepada kedua puteranya, ketika untuk pertama kalinya kedua anak-anak muda itu dihadapkan kepada pelatihnya.
Tohjaya dan Anusapati berdiri tegak ditempatnya memandang perwira prajurit dari pasukan pengawal itu. Prajurit itu bertubuh tinggi, besar dan berkumis lebat. Rambutnya yang pajang disanggulnya diatas ikat kepalanya yang melingkar diatas dahi.
Ketika Anusapati memandang wajah perwira itu lebih jelas lagi tampaklah olehnya wajah itu bagaikan batu padas yang keras berbongkah-bongkah. Otot-otot dilengan dan kakinya, menjorok seperti jalur-jalur yang memenuh seluruh kulitnya.
"Apakah kalian berkeberatan?" bertanya Sri Rajasa.
Anusapati tidak menyahut. Ia tahu bahwa pertayaan itu memang tidak memerlukan jawaban. Tetapi Tohjaya masih juga menjawab, "Tidak ayahanda. Tidak."
Tetapi ternyata bahwa Sri Rajasa masih juga bertanya kepada Anusapati karena ia masih belum menyahut, "Apakah kau keberatan?"
"Tidak ayahanda," jawab Anusapati.
"Bagus. Kalian harus bersungguh-sungguh mengikuti petunjuknya. Disuatu saat, kalian akan mendapat kesempatan untuk berlatih bersama diarena terbuka seperti yang pernah kalian lakukan."
Kedua putera Sri Rajasa itu menganggukkan kepalanya. Sekilas teringat oleh Anusapati, wajah pamannya Mahisa Agni. Kalau saja tidak ada rahasia yang tersembunyi, maka ia pasti akan dapat mengusulkan, agar pamannya Mahisa Agni sajalah yang diangkat menjadi guru mereka. Sri Rajasa sendiri pasti mengetahui, bagaimana kemampuan dari Mahisa Agni itu. Bahkan Anusapati yakin, bahwa kemampuan pamannya itu belum pasti berada dibawah tingkat ilmu Sri Rajasa.
Tetapi hal itu tidak akan mungkin terjadi. Karena itu, maka Anusapati-pun berusaha untuk menghilangkan saja bayangan itu dari kepalanya.
"Nah, selanjutnya kalian berdua aku serahkan kepada guru kalian ini," berkata Sri Rajasa, yang sejenak kemudian meninggalkan perwira itu bersama dengan kedua puteranya.
Melihat wajah dan bentuk tubuhnya Anusapati menjadi berdebar-debar. Orang ini pasti memiliki kemampuan yang lebih baik dari gurunya yang terdahulu. Bahkan mungkin orang ini mempunyai sipat yang lebih kasar dan menyakitkan hati.
"Aku dapat menjadi gila apabila aku tetap dalam keadaan serupa ini. Apalagi dengan prajurit yang agaknya memang sekeras batu padas ini," berkata Anusapati didalam hatinya.
Namun Anusapati terkejut ketika ia mendengar orang itu mulai berbicara. Suaranya kecil melengking, dan sama sekali tidak membayangkan kekasaran.
"Hamba akan menjadi pelatih tuanku berdua untuk seterusnya," berkata orang itu.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya, "Aku sudah mengenal hampir setiap orang didalam kesatuan pasukan pengawal. Tetapi aku belum pernah melihat kau?"
Perwira itu tersenyum. Ternyata ia menjawab dengan jujur, "Hamba termasuk orang baru didalam lingkungan pasukan pengawal."
Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah prajurit yang keras itu. Kemudian tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Tohjaya yang masih berdiri disampingnya.
Anusapati mengerutkan keningnya ketika melihat wajah Tohjaya yang menjadi buram. Tetapi Anusapati tidak tahu, apakah sebabnya, maka Tohjaya tampak tidak begitu seriang atas pertanyaannya mengenai prajurit itu.
"Paman," berkata Tohjaya kemudian, "apakah kita dapat mulai hari ini?"
"Tentu tuanku. Kita dapat segera mulai."
"Tunggu," potong Anusapati. "Aku belum tahu, siapakah namamu?"
"Nama hamba" " prajurit itu mengangkat alisnya, kemudian tertawa sambil berkata, "nama hamba Pinta Sati."
"He?" Anusapati mengerutkan keningnya, "Pinta Sati. Nama yang aneh. Agak kurang sesuai dengan bentuk tubuhmu yang tinggi besar dan berkumis lebat."
"Jadi, siapakah sebaiknya nama hamba tuanku?"
"Aku tidak tahu," jawab Anusapati.
Perwira itu tertawa. Katanya, "Nama itu sudah sesuai sekali dengan keadaanku. Namun itu pemberian ayah dan ibuku."
"Sudahlah," potong Tohjaya, "kita tidak akan sekedar berbicara saja. Kita akan berlatih. Marilah kita mulai."
"O," prajurit yang bernama Pinta Sati itu tertawa, "marilah. Kita akan mulai tidak dari permulaan, karena tuanku berdua sudah pernah menerima ilmu dari seorang guru. Tetapi sudah tentu, setiap orang mempunyai kekhususannya sendiri-sendiri, sehingga mungkin justru ada beberapa unsur dari ilmu yang pernah tuanku terima harus dilupakan, dan disingkirkan sama sekali, karena justru akan mengganggu perkembangan tuanku berdua."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu, maka perkenankanlah hamba melihat, apa saja yang pernah tuanku terima dari guru tuanku yang terdahulu."
Kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya.
"Apakah maksudmu?" bertanya Tohjaya.
"Sebaiknya hamba melihat lebih dahulu tuanku berdua berlatih. Hamba akan segera dapat menentukan, dari mana hamba harus mulai, atau hamba justru harus membersihkan ilmu yang sudah ada itu dahulu."
Tohjaya dan Anusapati berpandangan sejenak. Namun sejenak kemudian Tohjaya barkata, "Baiklah. Kami akan berlatih bersama." lalu ia-pun berpaling kepada Anusapati, "kita akan memperlihatkan sampai dimana kemampuan kita masing-masing, kakanda."
Anusapati tidak menjawab. Tetapi dengan ragu-ragu ia menganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Marilah kita pergi kearena latihan yang lebih luas. Hamba akan melihat, apa sajalah yang pernah tuanku terima dari guru tuanku itu."
Mereka-pun kemudian bersama-sama pergi kearena latihan di halaman belakang istana. Tempat mereka setiap hari berlatih dibawah tuntunan guru mereka yang sudah tidak ada lagi, "Nah. baiklah tuanku berdua mulai," berkata pelatih yang baru itu.
Tohjaya dengan wajah yang tegang maju kearena, sedang Anusapati masih saya tampak ragu-ragu.
"Silahkan tuanku. Kenapa tuanku ragu-ragu?" bertanya pelatih itu.
Anusapati tergagap karenanya. Tetapi ia-pun kemudian memasuki arena. Disudut tempat latihan itu, dua orang prajurit pengawal Tohjaya berdiri tegak dengan kening yang berkerut-merut.
Sejenak kemudian kedua putera Sri Rajasa itu-pun sudah bersiap. Mereka telah membenahi pakaian mereka, dan menyangkutkan kain panjang mereka pada ikat pinggang kulit.
"Mulailah," desis pelatih yang baru itu.
Sejenak kemudian maka Anusapati dan Tohjaya itu-pun segera terlibat dalam suatu perkelahian, meski-pun mereka berdua hanya sekedar bermaksud menunjukkan kepada pelatih mereka yang baru, apa yang telah mereka peroleh. Tetapi seperti biasanva. Tohjaya telah benar-bernafsu untuk mengalahkan Anusapati. Ia masih tetap ingin disebut sebagai seorang anak muda yang mempunyai banyak kelebihan dari kakaknya, meski-pun ia lebih muda dari padanya.
Tetapi Anusapati-pun berbuat seperti biasanya pula. Pesan Sumekar masih selalu terngiang ditelinganya, bahwa sebaiknya ia tidak melepaskan kekangannya atas diri sendiri.
Dengan demikian maka perkelahian itu tampaknya menjadi seru sekali. Desak mendesak, dorong mendorong dan serang menjerang. Namun setiap kali, Tohjaya selalu berhasil mendesak lawannya, meski-pun tidak segera mampu mengalahkannya.
Pelatihnya yang baru itu memandang kedua anak-muda yang berlatih itu dengan saksama. Ia memperhatikan setiap unsur gerak yang tampak pada tata gerak keduanya. Dan sejenak kemudian ia-pun telah dapat mengambil kesimpulan dari latihan yang dilihatnya.
Dengan demikian maka ia-pun kemudian berkata lantang, "Cukup tuanku, cukup."
Anusapati yang mendengar juga perintah itu segera meloncat mundur dan menghentikan latihannya. Tetapi ia sama sekali tidak menduga, bahwa Tohjaya agaknya masih tetap meyerangnya. Bahkan ia mempergunakan kesempatan itu untuk mengenai langsung tubuh Anusapati.
"Jangan tuanku," teriak pelatih yang baru itu. Tetapi serangan itu sudah meluncur. Anusapati yang sama sekali tidak menyangka, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengelak. Ia hanya dapat memutar tubuhnya dan menangkis serangan itu dengan tangannya.
Untunglah bahwa Anusapati masih tetap sadar, sehingga ia masih tetap dapat melakukan peranannya, meski-pun tidak sempurna karena peristiwa yang tiba-tiba itu.
Dalam benturan yang kemudian terjadi. Anusapati telah terlempar dan jatuh terbanting ditanah. Wajahnya menegang sejenak, kemudian ia menyeringai kesakitan. Beberapa saat ia masih tetap terbaring ditanah sambil memijit tangannya yang agaknya menjadi terlampau sakit.
Dalam pada itu, Tohjaya terpental selangkah surut. Terasa kakinya yang membentur tangan Anusapati itu menjati panas. Pada pergelangan kakinya itu seolah-olah telah melekat segumpal bara. Karena itu, betapa ia mencoba menahan sakit tetapi ia-pun terpaksa berdesis sambil mengusap-usap pergelangannya itu.
Karena Anusapati tidak juga segera bangkit, maka dengan cemas pelatihnya yang baru itu-pun mendekatinya. Sambil meraba-raba tangan Anusapati, ia berkata, "Ampun tuanku Putera Mahkota. Apakah tangan tuanku terasa sakit."
"Ya, sakt sekali. Bukan saja tanganku, tetapi seluruh tubuhku."
"Ah," Tohjaya berdesah, "kakanda Anusapati memang cengeng. Nah, sekarang kau lihat sendiri. Dan kau baru akan mempercayainya."
"Bukan tuanku. Bukan karena cengeng. Mungkin tangan tuanku Putera Mahkota benar-benar sakit, bahkan mungkin sisi dadanya yang menahan lengannya dalam benturan itu."
"Tetapi betapa-pun sakitnya, kakanda Anusapati sebenarnya tidak perlu merengek-rengek seperti anak-anak."
Pelatihnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, "Tuanku agak terdorong sedikit. Pada saat kakanda Putera Mahkota sudah menghentikan latihan, tuanku masih menyerangnya, sehingga tuanku Anusapati tidak siap sama sekali menghadapinya."
"Ah, itu adalah dalih yang usang. Sejak dahulu kakanda Antisapati selalu merasa, bahwa ia sudah menghentikaa latihan."
"Memang tidak," sahut Anusapati sambil berusaha bangun, "memang aku agak kurang berhati-hati."
Perwira prajurit pengawal yang bernama Pinta Sati itu mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa Anusapati telah menyalahkan dirinya sendiri. Menurut pengamatannya, pelatih yang baru itu yakin bahwa Tohjayalah yang sengaja telah melanggar perintahnya untuk menghentikan latihan.
Tetapi prajurit itu tidak mempersoalkannya lagi. Kalau hal itu sudah dapat dianggap selesai oleh yang bersangkutan, maka ia tidak berkeberatan.
Apalagi, apabila disadarinya, tugas yang dibebankannya kepadanya oleh Sri Rajasa. Ia harus melatih kedua Puteranya. Tetapi Tohjaya harus mendapat perhatiannya lebih banyak dari Anusapati. Terlebih-lebih lagi pesan isteri muda Sri Rajasa, ibu Tohjaya yang merasa sangat berkepentingan terhadap kedua anak muda itu. "Anusapati tidak boleh mendekati, apalagi menyamai, kemampuan Tohjaya."
Perwira itu mengerutkan keningnya. Kemudian terngiang kembali pesan Ken Umang, "Kau akan mendapat hadiah secukupnya. Bukan saja dari Sri Rajasa, tetapi juga dari padaku."
Pinta Sati menarik nafas dalam-dalam. Hadiah memang sangat menarik baginya. Apalagi ia bukanlah seorang yang kaya. Ia memang memerlukan sekali sesuatu yang berharga bagi dirinya dan keluarganya. Apalagi yang menyanggupi untuk memberikan hadiah itu Maharaja Singasari dan isterinya. Terlebih-lebih lagi, isterinya yang bernama Ken Umang itu, masih mempunyai sangkut paut darah keturunan. Ken Umang bukan orang lain bagi Pinta Sati. Mereka adalah saudara sepupu. Namun karena perbedaan tingkat kehidupan dan tingkat kederajadan, mereka tampaknya bukan lagi saudara yang masih cukup dekat.
Tetapi ketika pada suatu saat putera Ken Umang memerlukan seorang pelatih yang dapat dikendalikan, maka Ken Umang mengusulkan kepada Sri Rajasa, untuk mengangkat Pinta Sati menjadi guru untuk kedua anak-anak muda itu. Apalagi Pinta Sati memang mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjadi seorang pelatih pada tataran permulaan. Bahkan tidak kalah dari pelatih kedua Putera Sri Rajasa yang telah meninggal itu.
"Tetapi, apakah aku akan menjual harga diriku semurah ini?" tiba-tiba terbersit pertanyaan didalam hatinya.
Pinta Sati menarik nafas dalam-dalam. Dan ia berusaha untuk mengambil keputusan, "Aku tidak akan dapat melawan kehendak Sri Rajasa. Seandainya tanpa hadiah apapun, aku pasti akan melakukannya juga. Tetapi aku tidak dapat berbuat sewenang-wenang. Mungkin aku orang yang rendah, kasar dan bodoh. Tetapi aku tidak dapat mengorbankan orang lain dengan semena-mena."
Dalam pada itu, karena Pinta Sati tiba-tiba saja merenung, Tohjaya yang berdiri termangu-mangu bertanya, "He, apakah yang kau renungi" Kakanda Anusapati?"
"Bukan, bukan tuanku," jawab Pinta Sati, "aku menunggu tuanku Anusapati dapat bangkit dan berdiri."
"O," lalu katanya kepada Anusapati, "bangkitlah."
"Apakah kakanda Anusapati tidak dapat berdiri lagi."
Tertatih-tatih Anusapati mencoba berdiri. Kemudian menggeliat sambil berdesah.
Namun dalam pada itu, kaki Tohjaya masih juga terasa sakit. Dengan menahan sakit, ia menyembunyikan perasaan yang serasa dihentak-hentakkan dari pergelangan kakinya. Bahkan kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Kita akhiri perkenalan kita hari ini. Agaknya kakanda Anusapati tidak dapat lagi berbuat apa-pun selain menyeringai."
Perwira yang baru diangkat justru karena ia akan dijadikan seorang guru bagi putera Sri Rajasa itu menganggukkan kepalanya, katanya, "Baiklah. Kita sudah cukup berkenalan hari ini. Besok hamba akan dapat menentukan dari mana hamba akan mulai. Bukankah begitu tuanku Putera Mahkota?"
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, begitulah."
"Baklah. Sekarang, tuanku berdua dapat beristirahat. Besok kita akan mulai dengan latihan-latihan kita."
Demikianlah maka kedua putera Sri Rajasa itu-pun meninggalkan arena latihan. Tohjaya bersama kedua pengawalnya kembali kebangsalnya, demikian juga Anusapati.
Ketika Anusanati berjalan di halaman, ia melihat Sumekar sedang membersihkan pohon bunga-bungaan di halaman. Memotong daun-daun yang mulai kering dan mencabut rerumputan liar yang mengganggu.
Anusapati tertegun sejenak. Kemudian ia mendekatinya sambil berkata, "Aku sudah mendapatkan guru baru."
"O," Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagaimana agaknya tuanku?" bertanya Sumekar.
"Aku belum dapat mengetahui, bagaimanakah sikapnya. Ia belum berbuat apa-apa. Ia sedang melihat, sampai dimana kemampuan kami sebelum ia mulai."
"Kalau begitu, pelatih tuanku yang baru ini cukup berhati-hati."
"Ya. Menilik wajahnya, ia termasuk orang yang kasar. Tubuhnya tinggi besar. Tetapi suaranya tinggi."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dipermulaan aku melihat sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, pada saat kami berada dibawah pelatih yang meninggal itu."
"Kenapa tuanku?"
"Pelatih kami yang baru ini, dengan berani dan jujur telah menegur adinda Tohjaya ketika ia berbuat kesalahan."
"Apa yang dilakukannya?"
"Ketika pelatih kami yang baru menghentikan latihan, adinda Tohjaya masih juga menyerang. Untunglah bahwa aku masih tetap sadar, untuk menjatuhkan diri dan menyeringai kesakitan. Pada saat itulah ia langsung menegur kesalahan itu."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Mudahkan ia seorang pelatih yang lebih bak."
Anusapati mengangguk-angguk, "Mudah-mudahan. Setidak-tidaknya ia bukan seorang penjilat yang dapat membuat aku menjadi gila."
Ketika Anusapati kemudian meninggalkan Sumekar, juru taman itu tengah dicengkam oleh keragu-raguan. Ada sesuatu yang ingin dikatakan, namun ia masih juga ragu-ragu.
Akhirnya Sumekar hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya saja Anusapati yang kemudian masuk kedalam biliknya.
Sumekar hanya menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, "Belum waktunya aku mengatakannya sekarang."
Dan Sumekar memang tidak mengatakannya untuk sementara, bahwa ia telah ditemui oleh seseorang ketika ia keluar dari istana. Sebagai seorang juru taman, maka tidak seorang-pun yang mencurigainya apabila ia dihari-hari tertentu pergi keluar dan berkunjung ke rumah beberapa orang kawannya yang tidak tinggal di istana.
Masih terbayang diangan-angannya, seorang laki-laki yang memanjat keusia tuanya, menjumpainya di pinggir jalan. Dengan ramahnya orang itu menyapa, "Apakah Ki Sanak yang bernama Sumekar?"
Sumekar menganggukkan kepalanya. Jawabnya ragu-ragu, "Ya. Aku adalah seorang juru taman."
"Aku sudah mengira. Menilik pakaian Ki Sanak, Ki Sanak, adalah seorang juru taman, pakaian bagi juru taman Singasari tidak banyak berubah sejak jaman Tumapel dibawah pemerintah Akuwu Tunggal Ametung."
"Apakah Ki Sanak mengenal dua jaman itu?" bertanya Sumekar.
"Ya. Aku mengenalnya dengan baik."
Sumekar mengerutkan keningnya, lalu "Tetapi apakah maksud Ki Sanak menjumpai aku disini?"
"Ki Sanak akan pergi kemana sekarang ini?"
"Aku mendapat istirahat hari ini. Aku hanya sekedar berjalan-jalan."
"Ya. Aku memang sering melihat Ki Sanak berjalan-jalan tanpa tujuan. Hanya sekedar keluar. Tetapi kadang-kadang Ki Sanak pergi ke rumah kawan Ki Sanak yang tinggal diluar istana."
"Ya." Sumekar menjadi semakin heran, dan bahkan kemudian timbullah kecurigaannya. Namun demikian ia masih tetap berlaku sebagai seorang juru taman.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "apakah Ki Sanak sudi singgah sebentar?"
"Kemana" Apakah rumah Ki Sanak dekat disekitar ini?"
Orang itu menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tetapi kita dapat duduk sebentar dibawah pohon yang rindang. Berbicara seenaknya sambil melihat orang lalu lalang."
Tiba-tiba saja Sumekar tertarik akan ajakan itu. Meski-pun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Meski-pun ia masih tetap bersikap sebagai seorang juru taman, namun apabila diperlukan setiap saat ia dapat membangunkan kekuatan aji Kala Bama yang diterima temurun dari gurunya mPa Sada.
"Ki Sanak ragu-ragu?" bertanya orang itu.
Sumekar tidak menyahut. "Sebaiknya aku berterus terang. Aku ingin berbicara dengan Ki Sanak. Meski-pun menilik pakaian Ki Sanak adalah seorang juru taman, tetapi menilik sikap dan sinar mata Ki Sanak, Ki Sanak bukanlah seorang kebanyakan, seperti orang-orang yang berjalan hilir mudik ini. Bahkan isi istana yang setingkat dengan Ki Sanak agaknya tidak lebih dari jumlah jari-jari kita masing-masing, termasuk Putera Mahkota Anusapati."
Dada Sumekar tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Dan ia mendengar orang itu berkata seterusnya, "Sayang, Ki Sanak tidak membawa tongkat panjang itu. Kalau Ki Sanak membawanya, maka sempurnalah penglihatan kami atas murid terkasih dari mPu Sada yang terkenal itu. Bukankah begitu?"
Dada Sumekar menjadi semakin berdebar-debar. Dengan suara tertahan-tahan ia kemudian bertanya, "Siapakah sebenarnya Ki Sanak ini?"
Orang itu tersenyum, tetapi ia tidak segera menjawab.
"Apakah Ki Sanak merahasiakan diri, sementara itu Ki Sanak mencoba mengetahui segala sesuatu tentang diriku?"
Orang itu tidak segera menyahut. Ia masih saja tersenyum ambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak kemudian ia berkata. "Adalah sepantasnya apabila kau mencurigaiku. Kita belum pernah berkenalan secara akrab."
Sumekar mencoba mengingat-ingat. Apakah ia pernah bertemu dengan orang ini"
"Ki Sumekar," berkata orang itu kemudian, "aku banyak mengetahui tentang Ki Sanak. Selain aku tahu bahwa Ki Sanak adalah seorang juru taman dan bahwa Ki Sanak adalah murid mPu Sada, yang hampir mewarisi semua ilmunya hampir sempurna, Ki Sanak juga mempunyai tugas khusus di istana."
Dada Sumekar menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak ia memandang orang itu dengan saksama.
"Ki Sanak tidak usah ingkar. Aku tahu dengan pasti, bahwa Ki Sanak mendapat tugas untuk mengamat-amati Putera Mahkota yang bernama Anusapati itu."
Sumekar menarik keningnya. Kemudian ia bertanya, "Apakah Ki sanak yakin tentang apa yang Ki Sanak katakan?"
"Aku meyakininya. Kau telah menggantikan kedudukan Mahisa Agni, meski-pun tidak tepat seperti orang itu. Kau sekedar melanjutkan sebagian dari tugasnya. Membawa Putera Mahkota berlatih di tempat-tempat yang sunyi, sehingga dengan demikian ilmu kalian telah meningkat bersama-sama."
Sumekar masih tetap berdiam diri.
"Apakah aku salah sebut" Atau barangkali bukan Ki Sanak yang aku maksud" Tetapi aku sendiri yakin, bahwa Ki Sanaklah orang itu."
"Siapakah kau sebenarnya?"
Orang itu kini tertawa. Katanya, "Ternyata bahwa Putera Mahkota memiliki kemampuan yang cukup. Ia adalah keturunan dari seseorang yang mumpuni. Yang memiliki kemampuan diatas kemampuan orang kebanyakan."
"Ya. Sri Rajasa memang seorang yang aneh," desis Sumekar.
"Ah, jangan berpura-pura tidak tahu. Kau-pun pasti sudah mendengar, bahwa Putera Mahkota itu bukan putera Sri Rajasa."
Dada Sumekar berdesir. "Ki Sanak tidak usah terkejut. Aku tahu semuanya. Aku tahu bahwa Anusapati adalah putera Akuwu Tunggul Ametung. Setiap orang mengetahuinya. Tetapi setiap orang tahu akan kewajibannya, menyimpan rahasia itu, terutama bagi Putera Mahkota itu sendiri."
"Tetapi Ki Sanak belum mengatakan, siapakah kau sebenarnya?"
Orang itu masih tertawa. Katanya kemudian, "Sudah lama aku mengetahui hubungan yang kurang serasi didalam istana ini. Sri Rajasa, Permasuri, Ken Umang, Anusapati, Tohjaya, bahkan aku tahu bahwa pelatih Putera Mahkota yang terdahulu telah mati terjerumus kedalam jurang didalam suatu perkelahian dengan Anusapati. Guru yang jauh dibawah kemampuan muridnya. Bukankah begitu?"
Tanpa sesadarnya maka Sumekar itu-pun menganggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut sendiri. Dan dengan serta-merta ia bertanya, "Ki Sanak, aku minta kau menyebutkan namamu atau ciri-cirimu yang dapat segera mengingatkan aku kepadamu."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah. Aku kira kau-pun akan segera mengenal aku. Aku adalah seorang prajurit dimasa pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku terusir karena aku gagal mempertahankan nama baik adik seperguruanku, yang aku yakin tidak bersalah. Tetapi ia harus menjalani hukuman mati. Nah, kau mengenal aku?"
"Belum." "Aku kemudian terlibat dalam perang tanding melawan Mahisa Agni. Tetapi aku dikalahkannya waktu itu" Kau ingat orang yang pernah dikalahkan oleh Mahisa Agni diarena, tetapi Mahisa Agni tidak mau membunuhnya?"
Dada Sumekar menjadi berdebar-debar.
"Saat itu aku adalah panglima pasukan pengawal istana."
"Witantra, Ki Sanakkah yang bernama Witantra?"
Orang itu tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya. Aku adalah orang yang bernama Witantra itu. Yang kemudian mengasingkan diri karena tidak tahan menanggung malu. Tidak pada tempatnya seseorang dapat keluar dari perang tanding didalam mempertahankan nama baik seseorang mesk-pun ia kalah. Seharusnya aku mati saat itu. Tetapi aku tidak mati."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, bukankah tidak mustahil kalau aku tahu, bahwa sebenarnya Tuan Puteri Ken Dedes sudah mengandung pada saat ia kawin dengan Ken Arok yang kini bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi?"
Sumekar masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dadanya menjadi sangat berdebar-debar. Apakah maksud kedatangan Witantra kali ini" Witantra yang meninggalkan Tumapel dengan perasaan malu, sakit dan bingung" Apakah ia ingin membalas dendam atau untuk kepentingan yang lain"
"Tetapi jangan cemas Ki Sanak," berkata Witantra, "aku sudah bertemu dengan Mahisa Agni. Bahkan ia sering berkunjung kepadepokanku yang sepi. Ia kini mengetahui, apakah yang sebenarnya sudah terjadi, dan ia menyesal bahwa saat itu ia naik kearena melawan aku didalam perang tanding."
"Apakah kakang Mahisa Agni mengatakan banyak hal tentang istana ini?"
"Ya. Antara lain tentang kau. Tentang Anusapati dan Tohjaya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Itulah sebabnya aku berniat untuk mengetahui serba sedikit tentang Putera Mahkota dan orang-orang disekitarnya. Termasuk prajurit yang terbunuh itu, dan kini, pelatihnya yang baru itu."
"Apakah Ki Sanak mengenal pelatihnya yang baru itu?"
"Ya. Aku mengenalnya."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung, seolah-olah sedang mengingat-ingat apakah yang akan dikatakannya.
Sumekar masih juga bertanya-tanya didalam hati. Apakah maksud Witantra ini sebenarnya. Menilik jalan hidup yang pernah ditempuh, kegagalan dan perasaan malu yang dahsyat, agaknya justru membuat Witantra semakin matang, lahir dan batin.
Namun bagaimana-pun juga Sumekar merasa bahwa ia harus tetap berhati-hati menghadapi orang yang tidak begitu dikenalnya ini. Segala hal mungkin dapat terjadi. Yang baik bermanfaat baginya, tetapi mungkin juga sebaliknya.
Agaknya Witantra melihat gejolak dihati Sumekar itu. Sambil tersenyum ia berkata, "Apakah Ki Sanak mencurigai aku?"
Sumekar tidak menjawab, tetapi ia tersenyum.
"Itu sudah wajar. Wajar sekali. Kita belum akrab, dan aku pernah mengalami goncangan yang dahsyat. Aku pernah bermusuhan dengan Mahisa Agni. Tetapi percayalah, bahwa semuanya itu sudah lampau. Kami sama-sama bersikap dewasa menghadapi masalah yang tanpa kita kehendaki telah menerkam diri kita masing-masing." Witantra terdiam sejenak, kemudian. "Seperti masalah yang sama yang terjadi antara Mahisa Agni dan kakak seperguruanmu. Mereka sama-sama menghadapi masalah mereka dengan sikap dewasa. Tanpa mendendam dan sakit hati. Yang sudah itu sudah dilupakannya, agar kita dapat membina hari depan yang baik. Kalau hidup kita masih saja dibayangi oleh dendam, sakit hati dan kebencian, bagaimana kita akan membersihkan diri kita" Meski-pun untuk menyingkirkannya sama sekali, manusia dengan segala kelemahannya pasti tidak akan mampu. Aku-pun masih juga dibebani oleh keinginan-keinginan yang lahir karena hari lampau."
Sumekar tidak menyahut. "Dan karena kelemahan itulah aku datang kemari."
Sumekar masih tetap berdiam diri. Agaknya orang yang bernama Witantra itu banyak sekali mengetahui berbagai hal tentang Mahisa Agni. Bahkan tentang kakak seperguruannya, Kuda Sempana.
Namun Sumekar itu-pun kemudian bertanya, "Apakah sebenarnya maksud Ki Witantra datang menemui aku?"
"Aku ingin bertanya, bagaimana dengan pelatih yang baru itu?"
"Aku masih belum tahu. Pelatih itu mash belum bergaul dengan tuanku Putera Mahkota. Secara pribadi aku masih belum mengenalnya pula. Aku baru mendengar bahwa akan datang seorang perwira untuk melatih kedua Putera Sri Rajasa. Aku pernah melihat orangnya sepintas. Hanya itu."
"Bagaimana menurut pertimbanganmu dengan orang itu?"
Sumekar menggeleng, "Aku tidak tahu. Aku tidak mempunyai kesan apapun."
"Menilik bentuk lahiriahnya?"
"Orang itu termasuk orang yang keras menurut bentuk lahiriahnya. Tetapi kadang-kadang kita terkecoh oleh bentuk-bentuk lahiriah itu."
"Ya. Tetapi kita mempunyai pangkal untuk menanggapi persoalannya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ki Sanak," berkata Witantra kemudian, "aku minta tolong kepadamu. Awasilah pelatih yang baru itu kelak apabila ia sudah dihadapkan kepada kedua Putera Sri Rajasa itu. Sebaiknya kita akan sering bertemu."
"Apakah Ki Witantra mempunyai kepentingan dengan pelatih yang baru itu?"
"Ya. Ia adalah saudara sepupu isteri muda Ken Arok."
"Saudara sepupu Ken Umang?"
"Ya." Wajah Sumekar menegang sejenak. Tetapi ia segera berusaha menyembunyikan perasaannya.
Tetapi Witantra sudah bertanya, "Apakah kau terkejut?"
"Tidak." "Kau mempunyai tanggapan yang khusus terhadap kabar ini."
"Tidak." "Hatimu bergejolak. Aku melihat sekilas meski-pun Ki Sanak mencoba menyembunyikan."
"Tidak apa-apa."
"Baiklah aku yang mulai. Ketahuilah, bahwa Ken Umang adalah saudara muda dari isteriku."
Sekali lagi Sumekar terperanjat. Kalau begitu, Tohjaya adalah kemanakannya. Apakah dengan demikian Witantra yang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Mahisa Agni ini mempunyai kepentingan yang berlawanan dengan Mahisa Agni" Apakah Witantra ingin membentuk Tohjaya yang mumpuni untuk menghadapi Anusapati yang mendapat tuntunan dari Mahisa Agni.
"Jangan salah tangkap Ki Sanak," berkata Witantra, "aku memang masih bersangkut paut dengan Tohjaya. Ia adalah anak saudara muda isteriku. Sedang pelatih yang bakal diberikan kepada kedua putera Sri Rajasa itu adalah saudara sepunu Ken Umang. Tetapi justru karena itu aku minta kita sering bertemu. Aku ingin melihat apakah kelak yang akan dilakukan oleh perwira yang baru saja diangkat itu."
"Apakah maksud Ki Sanak sebenarnya?"
Witantra tidak segera menjawab. Dipandanginya awan yang terbang bergumpalan ditiup angin dari Selatan.
Sejenak kemudan perlahan-lahan ia berkata, "Kau memang dapat mencurigai aku. Tetapi ketahuilah, aku adalah seorang perwira tertinggi pada pasukan pengawal istana dimasa Akuwn Tunggul Ametung berkuasa. Aku tidak menentang usaha Sri Rajasa yang kini membuat Singasari menjadi besar, tetapi aku tidak senang melihat anak Ken Umang itu mendesak kedudukan putera Ken Dedes, meski-pun bukan anak Tunggul Ametung itu. Aku kenal adik iparku itu. Aku kira ia adalah jurang yang dalam dan terjal yang dapat menyeret Singasari kedalam arus nafsunya yang tidak terkendali, sehingga justru Singasari akan menjadi korban karenanya."
Sumekar tidak segera menjawab. Ia sengaja tidak banyak memberikan keterangan, ia belum tahu pasti lawan berbicaranya itu, sehingga mungkin sekali keterangannya dapat disalah gunakan.
Tetapi menilik pengenalan yang hampir lengkap itu, Sumekar semakin lama semakin menaruh kepercayaan, meki-pun ia masih juga tetap berhati-hati.
"Karena itu," berkata Witantra kemudian, "aku berharap, bahwa Singasari yang telah dibina oleh Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi ini dapat diselamatkan. Kalau ia bergeser dari keturunan Ken Dedes keketurunan Ken Umang, maka aku tidak akan dapat membayangkan, apa yang akan terjadi kelak, meski-pun Ken Umang itu adalah iparku."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi jangan salah paham. Yang penting bagiku bukan keturunan Akuwu Tunggul Ametung, tetapi justru keturunan Ken Dedes."
"Kenapa?" tiba-tiba Sumekar bertanya.
"Hak atas takhta Tumapel memang sudah berpindah dari Akuwu Tunggul Ametung kepada Ken Dedes atas kerelaannya sendiri. Dan selanjutnya, Ken Dedes memang seorang perempuan yang memiliki tanda-tanda khusus, bahwa ia akan menurunkan raja-raja diatas kerajaan ini."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya ia bertanya, "Dari mana Ki Sanak mengetahui, bahwa Ken Dedes akan melahirkan keturunan yang akan memerintah kerajaan ini?"
Witantra menarik nafas sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Tidak mudah untuk mengetahuinya. Tetapi tanda itu memang ada. Seorang Brahmana yang bernama Lohgawe pernah menceriterakan semuanya kepadaku dan kepada Mahisa Agni."
"Apakah Ki Sanak pernah menghadap Brahmana itu?"
"Ya, kami seorang-seorang pernah menghadap. Dan kami bersama-sama-pun pernah menghadap."
"Tetapi kakang Mahisa Agni akhir-akhir ini berada di Kediri."
"Berapa jauhnya jarak dari Kediri ke padukuhanku, kemudian ke Singasari?" jawab Witantra, "tetapi kami menghadap di saat-saat Maihsa Agni masih berada di Singasari."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa tidak semua sudah dikatakan oleh Witantra, tetapi yang tidak dikatakan itu pasti tidak akan dikatakan pula meski-pun ditanyakannya. Karena itu maka Sumekar-pun tidak bertanya kepadanya.
"Sudahlah Ki Sanak," berkata Witantra itu, "aku kira pertemuan kita sudah cukup. Kita sudah saling melengkapi pengetahuan kita tentang istana Singasari. Tetapi aku berharap, bahwa untuk seterusnya kita akan dapat saling bertemu. Aku juga sering pergi ke Kediri, menemui Mahisa Agni."
"Baiklah," jawab Sumekar, "aku akan berusaha."
"Sebentar lagi, kedua putera Sri Rajasa itu akan segera dihadapkan kepada pelatihnya yang baru. Cobalah mengamati, apa yang akan terjadi. Selain kita yang tua-tua ini tidak kehilangan kesempatan, kita juga tidak boleh membiarkan Anusapati membuat kesalahan yang serupa, yang menyebabkan gurunya itu terjerumus kedalam jurang. Hal itu akan menyulitkannya dan mempengaruhi jalan pikirannya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya, "Baiklah. Aku akan mencobanya."
"Disini aku akan selalu menunggu Ki Sanak setiap kali. Aku dapat menghitung hari, kapan Ki Sanak keluar dari istana," berkata Witantra selanjutnya, "biasanva dihari-hari keempat. Dihari keempat yang pertama Ki Sanak kadang keluar dipagi hari, sedang dihari keempat yang kedua kadang-kadang Ki Sanak keluar disore hari."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Witantra itu tahu tepat, kapan ia mendapat waktu untuk beristirahat. Setengah hari dihari keempat. Pagi, kadang-kadang sore. Dan Witantra telah menghitung hari itu.
Sambil tersenyum Witantra itu kemudian berdiri. Katanya, "Jangan heran. Orang-orang tua yang sudah tidak mempunyai kerja apa-pun seperti aku ini, selalu mempunyai waktu untuk melakukan hal-hal yang kadang-kadang aneh, dan bahkan tidak masuk akal bagi orang lain. Seperti menghitung hari-hari istirahat. Memperhatikan saat-saat Sri Rajasa berburu sebulan sekali. Dan hal-hal yang sama sekali tidak penting bagi orang lain."
Sumekar-pun tersenyum pula. Jawabnya, "Pengamatan Ki Sanak memang luar biasa. Ki Sanak adalah orang yang sangat telaten mempelajari sesuatu masalah."
Witantra-pun kemudian tertawa. Katanya, "Terima kasih atas pujian itu. Sekarang aku minta diri. Kita akan sering bertemu di hari-hari mendatang."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Semuanya itu telah terbayang kembali seperti benar-benar baru saja terjadi. Dan kini, apa yang dikatakan Witantra itu telah mulai. Latihan bagi Putera Mahkota dan bagi Tohjaya.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia-pun segera menyadari pekerjaannya. Karena itu, ia-pun segera melanjutkan kerja itu. Memotong dahan-dahan kering dan memetik daun yang sudah menjadi kuning.
Namun demikian, ia berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan membantu Witantra mengamati gerak-gerik guru Anusapati yang baru itu. Semuanya itu untuk kepentingan kesanggupannya kepada Mahisa Agni, tetapi juga untuk kepentingan hari depan Singasari. Kalau benar kata Witantra, bahwa Ken Umang adalah lambang nafsu yang tidak terkendali, maka ia akan menjadi perempuan yang justru paling berbahaya bagi Singasari, karena pengaruhnya yang besar terhadap Ken Arok. Pengaruh kehangatan darahnya yang sengaja membakar hati Sri Rajasa. untuk kepentingan pribadinya dan keturunannya.
Dihari-hari berikutnya, Sumekar selalu berusaha untuk dapat melihat latihan-latihan yang dilakukan oleh kedua putera Sri Rajasa itu. Meski-pun hanya dari kejauhan, tetapi ia selalu mencoba memperhatikan apa yang sudah terjadi. Dengan demikian ia dapat melengkapi ceritera Anusapati dengan pengamatannya langsung atas pelatih yang baru itu.
Namun dalam pada itu, ternyata Tohjaya telah menyampaikan kepada ibunya, apa yang dialaminya dihari pertama, sehingga Ken Umang kemudian telah memanggil kemanakannya yang menjadi perwira prajurit itu.
"Kenapa kau berbuat begitu?" Ken Umang bertanya.
"Apakah hamba bersalah?" bertanya perwira itu.
"Tentu. Kakang sudah memihak. Dan adalah aneh sekali bahwa kakang berpihak kepada Anusapati. Bukankah kemenakanmu itu Tohjaya, dan bukankah aku pula yang telah mengusulkan kau diangkat menjadi seorang prajurit dan bahkan seorang perwira. Pekerjaanmu sekarang jauh lebih baik dari pekerjaanmu dipadukuhan. Kau hanya sekedar mendapat upah karena kau mempunyai ilmu. Kau diupah apabila kau mendapat pekerjaan mengawal seseorang atau serombongan pedagang yang akan melintasi jalan-jalan yang berbahaya. Tetapi disini kau mendapat semuanya. Penghasilan yang cukup, kehormatan sebagai seorang perwira dan pekerjaan yang ringan."
Terasa sesuatu begetar didada perwira itu.
"Kakang," berkata Ken Umang kemudian, "aku minta kesediaanmu untuk mengasuh Tohjaya sebaik-baiknya. Baik ia sebagai kemanakanmu, mau-pun ia sebagai putera Sri Rajasa. Kau jangan membuat ia berkecil hati dan membuat Anusapati menjadi besar kepala. Itu bukan maksud kami. Bukan maksudku dan bukan maksud Sri Rajasa. Anusapati harus tetap berjiwa kerdil, tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menyamai Tohjaya dan tidak mempunyai Kepercayaan kepada diri sendiri. Itulah tugasmu. Bukan sebaliknya. Bahkan kau telah menyalahkan Tohjaya dihadapan Anusapati."
"Tuan Puteri," jawab perwira itu, "hamba tahu benar tugas hamba. Tetapi apakah dengan demikian justru tidak membuat tuanku Tohjaya tersesat" Sebab tuanku Tohjaya tidak melihat keadaan yang sewajarnya. Kalau ia terus-menerus merasa dirinya benar dan menang, maka pada suatu saat, apabila ia terjun kedalam pergaulan, ia akan canggung. Mungkin Tuanku Putera Mahkota akan berhati kerdil, tidak mempunyai kepercayaan kepada diri sendiri dan selalu mengalah. Tetapi orang lain pasti tidak akan bersedia berbuat demikian. Nah, dalam keadaan itu, baru akan terasa, bahwa tuanku Tohjaya akan kehilangan pegangan. Ia akan terkejut terbentur pada sikap yang tidak sekedar mengalah, ketakutan dan tidak berpendirian."
"Tetapi siapakah yang akan berani menentang Tohjaya" Diseluruh Singasari sekarang, orang yang mempunyai derajat yang lebih tinggi dari anakku Tohjaya adalah Sri Rajasa sendiri dan Anusapati. Kalau Anusapati sudah dapat dibentuk menjadi manusia yang berjiwa kerdil, lalu siapakah yang berani menentang Tohjaya" Ia akan menjadi orang yang paling berkuasa di Singasari mesk-pun ia tidak menjadi raja. Apakah kau dapat mengerti akan hal itu?"
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, renungkan. Aku berharap kau dapat melakukannya. Apalagi kau adalah pamannya. Paman Tohjaya. Tetapi karena keadaan derajad kita berbeda, maka kita harus dapat menempatkan diri kita masing-masing."
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia-pun menganggukkan kepalanya, "Baiklah Tuan Puteri. Hamba bersedia melakukannya segala perintah Tuan Puteri. Tetapi hamba minta, agar hamba mendapat kesempatan untuk mempergunakan cara yang baik menurut hamba."
"Marah-marah dan berbuat tidak adil?"
"Bagaimana hamba dapat marah Tuan Puteri" Hamba adalah seorang prajurit. Perwira yang paling rendah. Bagaimana hamba dapat marah kepada kedua atau salah seorang dari putera Tuanku Sri Rajasa?"
"Ingat-ingatlah hal itu."
"Tentu Tuan Puteri."
"Jangan menegur Tohjaya lagi, apalagi dihadapan Anusapati atau orang lain."
"Hamba Tuanku."
"Terima kasih. Aku serahkan kedua putera Sri Rajasa itu kedalam tanganmu. Kau harus membentuknya. Membentuk kedua-duanya menjadi manusia yang aku inginkan. Kau mengerti" Tohjaya harus menjadi orang yang paling berkuasa, bahkan lebih berkuasa dari Sri Rajasa sendiri."
"Gila," perwra itu menggeram didalam hatinya.
"Baiklah. Berhati-hatilah."
"Hamba tuanku. Hamba akan selalu mengingat segala pesan Tuan Puteri."
Demikianlah maka perwira itu telah dibekali dengan suatu sikap. Tetapi ternyata ia bukan seorang penjilat yang sangat lemah hati. Ia masih mempunyai diri, meski-pun ia tidak berani berterus-terang.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian maka sikapnya-pun tidak terlampau jelas berpihak kepada Tohjaya. Hanya kadang-kadang saja ia dengan sengaja menunjukkan bahwa ia memang harus berbuat begitu. Berbuat agar ia tampak berpihak kepada Tohjaya. Tetapi di saat-saat lain ia berbuat wajar sebagai seorang guru bagi keduanya.
Dalam pada itu, karena ilmu Anusapati yang sebenarnya telah lebih tinggi dari gurunya, demikian pula Sumekar, maka mereka segera merasakan, bahwa pelatihnya kali ini, tidak terlampau banyak memberikan perbedaan ajaran kepada keduanya. Didalam olah kanuragan, bahkan keduanya tidak begtu banyak mengalami perbedaan perlakuan, meski-pun secara lahiriah kadang-kadang Tohjaya merasa, dirinya adalah pusat dari segala-galanya.
Tetapi sikap Tohjaya itu tidak banyak berpengaruh kepada Anusapati. Ia tidak mempedulikan, apakah Tohjaya merasa bahwa ia menjadi pusat putaran dunia atau apapun. Namun sikap gurunya yang baru itu banyak memberikan ketenangan kepada Anusapati.
Anusapati tidak lagi merasa dirinya selalu dihina, digelitik dan direndahkan. Apalagi oleh gurunya. Sehingga kadang-kadang timbul niatnya untuk berbuat sesuatu untuk melepaskan himpitan perasaannya itu. Akhirnya sengaja atau tidak, sadar atau tidak, keadaan itu telah berakhir dengan terbunuhnya gurunya itu.
"Tetapi guru yang baru ini bersikap bijaksana," katanya di dalam hati, "setidak-tidaknya ia tidak terlampau berpihak. Seandainya ia berpihak, ia tidak sering menghina dan menyakitkan hatiku."
Tetapi sikap itu agaknya tidak menyenangkan hati Tohjaya. Ia ingin gurunya itu berbuat seperti gurunya yang dahulu. Menghina langsung di muka banyak orang sekalipun. Menunjukkan kekurangan dan kebodohan Anusapati secara langsung. Dan tindakan-akan yang menyakitkan hati lainnya.
"Kakang," berkata Ken Umang pada suatu saat kepada perwira itu, "aku berterima kasih bahwa kau sudah berusaha melakukan tugasmu dengan baik. Tetapi aku masih mengharap kau berbuat agak lebih tegas lagi. Kau tidak perlu membuat banyak pertimbangan. Serahkan segala akibatnya kepadaku dan kepada Sri Rajasa, seandainya Anusapati merasa dirinya terhina. Atau bahkan merasa dirinya dikesampingkan. Meski-pun ia Putera Mahkota tetapi Sri Rajasa sama sekali tidak menyukainya. Dan kau tahu, apakah sebabnya. Hanya untuk menjaga ketenteraman Singasari sajalah maka ia ditetapkan menjadi seorang Putera Mahkota, karena menurut ujud lahiriahnya, ia adalah anak yang sulung."
"Hamba Tuan Puteri," jawab perwira itu, "hamba akan mencoba. Tetapi menurut pertimbangan hamba, sikap hamba tidak sebaiknya terlampau jelas dapat dilihat dan dirasakan oleh orang lain seandainya ada yang melihatnya. Dengan demikian, orang tidak akan menganggap Tuanku Tohjaya mempunyai kelebihan apa-apa lagi. Orang menganggap bahwa kelebihan Tuanku Tohjaya adalah suatu hal yang wajar sekali, karena gurunya berpihak kepadanya."
Ken Umang mengerutkan keningnya.
"Ah, kau terlalu mempunyai banyak pertimbangan," berkata Ken Umang kemudian, "itu tentu hanya perasaan saja. Tidak akan ada orang yang memperhatikannya."
"Tetapi bagi seorang prajurit, apalagi bagi seorang perwira dan Senapati yang kebetulan melihat meski-pun hanya sekilas, akan jelas baginya, bahwa kelebihan Tuanku Tohjaya adalah hal yang wajar sekali. Tidak mengherankan dan apalagi mengagumkan. Tetapi kalau sikap hamba tidak jelas seperti sekarang, bahkan ternyata Tuanku Tohjaya sendiri tidak tahu, maka hamba dengan bangga akan dapat mengatakan kepada siapa-pun bahwa Tuanku Tohjaya mempunyai banyak kelebihan dari Tuanku Anusapati. Ternyata dengan latihan-latihan yang sama, hasilnya bagi keduanya sangat berbeda."
Ken Umang mengerutkan keningnya. Dan saudara sepupunya yang diangkatnya menjadi pelatih puteranya itu melanjutkan, "Kalau sejak semula banyak orang yang mengetahui perbedaan sikap itu, setidak-tidaknya apabila Tuanku Anusapati sendiri merasakannya dan mengatakan kepada orang lain, maka setiap orang yang melihat kelebihan Tuanku Tohjaya tidak akan mengaguminya lagi."
Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ada juga kebenarannya. Tetapi bagaimana-pun caranya, namun Tohjaya harus mempunyai kelebihan dari Anusapati. Aku tidak puas dengan pelatihnya yang lalu. Diarena Tohjaya tidak segera dapat memenangkan perkelahian itu."
"Nah, sedangkan setiap orang sudah tahu, bahwa pelatih itu berpihak kepada Tuanku Tohjaya."
Sekali lagi Ken Umang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah. Terserahlah kepadamu. Tetapi kau tidak boleh menyakiti hati Tohjaya seperti yang pernah terjadi."
"Hamba Tuan Puteri."
"Aku akan menunggu hasilnya. Setahun lagi aku akan membuat neraca imbangan bagi keduanya. Agaknya demikian juga niat Tuanku Sri Rajasa."
"Jangan setahun Tuan puteri. Jarak itu terlampau pendek. Hamba belum mendapat kesempatan berbuat apa-apa. Sekarang hamba sedang memperbaiki sikap dan tata gerak dari Tuanku Tohjaya dan sedikit Tuanku Anusapati. Agaknya pelatihnya yang dahulu tidak mempergunakan perhitungan yang masak. Keduanya telah mempelajari ilmu yang tidak seharusnya. Pelatih itu tergesa-gesa ingin membuat keduanya berbeda terlampau jauh, sehingga bagi Tuanku Tohjaya sendiri agaknya merugikan. Ia mempergunakan tata gerak pada tingkatan yang jauh, sebelum dasarnya dikuasai. Hal itu akan sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmunya kemudian. Tampaknya saja Tuanku Tohjaya kuat diluar, tetapi rapuh didalam."
Ken Umang menganggukkan kepalanya pula. Lalu katanya, "Terserahlah kepadamu."
"Hamba akan mencoba. Sampai sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Tuanku Anusapati yang ketinggalan itu, ternyata mempunyai dasar yang lebih kuat, sehingga kelak apabila kesalahan didalam penurunan ilmu itu berlangsung terus, Tuanku Anusapati akan memiliki kemampuan dan kekuatan jasmaniah yang jauh lebih kuat dari Tuanku Tohjaya."
"Kau harus memperbaiki kesalahan itu."
"Hamba Tuanku. Hamba akan mencoba. Tetapi hamba memerlukan waktu. Tidak hanya setahun, tetapi tiga tahun. Meski-pun pada tahun kedua penilaian itu sudah dapat dilakukan. Tetapi dengan pengawasan yang langsung dan ketat."
"Terserahlah kepadamu. Tetapi Tohjaya itu selain junjunganmu, ia kemanakanmu pula. Kau mengerti?"
Perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang itu menarik nafas panjang. Ia mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia berkata didalam hatinya, "Untuk mendapat keuntungan, ia dapat juga mengatakan bahwa Tohjaya adalah kemanakanku. Tetapi pantaskah aku harus bersikap seperti budak ini terhadap kemanakan sendiri" " namun kemudian dijawabnya sendiri, "ia kebetulan lahir sebagai putera Maharaja Singasari yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Dan aku lahir dari seorang perempuan disebuah padukuhan kecil."
"Baiklah kakang," berkata Ken Umang kemudian, "kita bersama-sama akan mengasuh anak itu menurut bidang kita masing-masing. Aku adalah ibunya. Kau adalah gurunya, sekaligus pamannya."
"Hamba akan mencoba tuan Puteri. Hamba akan berbuat sebaik-baiknya."
Demikianlah maka mau tidak mau, perwira itu harus menumbuhkan perbedaan bagi kedua putera Sri Rajasa itu. Tetapi terasa betapa hatinya sendiri menjadi tersinggung karenanya. Sebagai guru dari dua orang anak-anak muda, ia harus membuat yang satu menjadi lebih baik dari yang lain.
Tetapi ternyata bahwa ia tidak berbuat semata-mata seperti guru kedua anak muda itu yang terdahulu. Menurut pengamatan Sumekar, perwira itu agak lebih baik dari perwira prajurit yang telah meninggal dijurang itu.
Sumekar mengangguk-angguk kecil ketika ia menyaksikan latihan yang berlangsung di halaman dalam dari kejauhan. Dari sela-sela regol petamanannya. Ia melihat perwira itu memberikan petunjuk-petunjuk bagi keduanya. Memang tampaknya ia ragu-ragu apabila ia mencoba mengajari Anusapati. Seolah-olah ada sesuatu yang mengekangnya.
"Tetapi ia tidak berniat buruk," berkata Sumekar kepada diri sendiri. Seperti juga Anusapati berkata kepada dirinya sendiri, "ia tidak berniat buruk."
"He," tegur seorang juru taman kawan Sumekar yang melihat Sumekar asyik menyaksikan latihan itu dari kejauhan.
"Apakah kau ingin berlatih seperti kedua anak muda itu?"
"Sebenarnya," jawab Sumekar, "alangkah senangnya apabila aku mampu melakukan tata gerak seperti mereka."
"Kalau kau dapat melakukan, apa yang kau kerjakan pertama-tama sekarang?"
"Sekarang?" "Ya, sekarang."
Sumekar mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Merampas rangsummu."
"Huh," desis kawannya. Tetapi ia kemudian tertawa, "Hanya itu?"
"Tidak. Aku akan merampas temanmu juga."
"Tidak bisa. Kalau kau mampu bergerak seperti itu, aku pasti mampu berkelahi segarang Tuanku Sri Rajasa. Aku putar lehermu, kemudian aku banting kau diatas semak berduri itu."
Sumekar termenung sejenak. Namun kemudian ia-pun tertawa. Katanya, "He, jangan marah. Bukankah aku belum merampas rangsummu?"
Orang itu memandang Sumekar sejenak. Tetapi ia-pun tertawa juga. Katanya, "Aku pertahankan rangsumku dengan nyawaku."
Keduanya-pun tertawa. Namun dengan demikian Sumekar tidak lagi dapat memperhatikan latihan itu dengan baik. Setiap kali ia terpaku pada tata gerak yang samar-samar, kawannya berkata, "He, bekerjalah. Kalau Putera Mahkota itu melihat kau menjadi malas, kau akan dimarahinya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia kemudian berkata, "Aku belum pernah melihat Tuanku Putera Mahkota itu marah. Sebenarnya marah."
Kawannya seakan-akan berpikir sejenak. Lalu, "Ya. Aku lebih lama bekerja disini daripada kau. Tetapi aku juga belum pernah melihat Putera Mahkota itu marah."
Selanjutnya Sumekar tidak sempat lagi melihat latihan berikutnya. Tetapi di hari-hari lain ia mendapat kesempatan meski-pun hanya sepotong-sepotong. Namun dengan demikian ia mendapat kesimpulan, bahwa guru Anusapati yang baru ini tidak menambah beban perasaan Putera Mahkota itu.
Hal itu telah dibenarkan oleh Anusapati ketika Sumekar berkesempatan untuk bertemu.
"Memang ia berbuat kurang adil," berkata Anusapati, "ia membina adinda Tohjaya lebih baik daripada aku. Tetapi tidak terlampau menyolok seperti pelatih yang dahulu. Dan yang lebih penting, perwira itu tidak pernah membuat hatiku terlampau sakit."
"Sokurlah. Ternyata sifatnya tidak segarang ujudnya. Bukankah begitu Tuanku?"
"Ya, ujudnya jauh lebih kasar dari pelatih yang dahulu. Tetapi meski-pun sikapnya kadang-kadang kasar juga, namun ia jauh lebih jujur. Ia bukan orang yang licik seperti yang dahulu."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hamba akan mengikutinya dari kejauhan."
"Ya paman. Aku harap paman membantu pengamatanku kalau-kalau aku salah tangkap, sehingga pada suatu saat aku akan terjebak karenanya."
Demikianlah, maka setelah beberapa lama latihan-latihan itu berlangsung, Anusapati menjadi semakin yakin, bahwa gurunya memang orang yang jujur, meski-pun ia melihat juga perbedaan yang dilakukannya didalam sikapnya menghadapi kedua muridnya.
Dalam pada itu, ketika Sumekar berkesempatan keluar dari istana, berjalan-jalan menikmati hari istirahatnya, maka sekali lagi ia ditemui oleh orang yang bernama Witantra itu. Kali ini ia bertanya tentang sikap guru Anusapati yang baru itu.
Seperti yang pernah terjadi, keduanya-pun kemudian duduk dibawah sebatang pohon yang rindang ditepi jalan, sambil melihat orang yang lalu lalang.
"Dahulu aku tidak berani duduk di pinggir jalan seperti ini," berkata Witantra, "setiap orang akan memandang kepadaku dengan heran."
"Ya, selagi Ki Sanak masih seorang Panglima."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Katanya, "Mungkin masih ada orang-orang lama yang masih bertugas dikesatuannva. Tetapi mereka pasti sudah tidak mengenal aku lagi. Aku sudah semakin tua dan badanku-pun telah susut banyak sekali dibandingkan dengan saat aku masih seorang prajurit."
"Ya. Memang masih banyak orang-orang lama itu. Diantara para juru taman-pun masih ada juru taman yang lama, yang sudah bekerja di istana sejak jaman Akuwu Tunggul Ametung."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tetapi," katanya, "pada saat itu Tumapel masih belum sebesar Singasari sekarang. Istananya-pun belum seluas sekarang pula."
"Apalagi sekarang istana itu berisi dua orang isteri Sri Rajasa."
"Sayang sekali. Itu adalah sumber perpecahan dimasa datang. Seandainya Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu hanya beristerikan Ken Dedes saja, maka kami bersama-sama akan mengharap bahwa Singasari akan maju."
"Ya. Ternyata sekarang pertentangan itu sudah nampak."
"Pertentangan itu sudah terbayang pada Anusapati dan Tohjaya. Adik-adiknya akan terseret pula agaknya didalam arus pertentangan itu. Mereka yang merasa anak Ken Dedes dan mereka yang merasa anak Ken Umang, meski-pun semuanya Putera Sri Rajasa."
Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sejenak mereka berdiam diri. Witantra memandang orang-orang yang lewat dihadapannya seolah-olah ia benar-benar datang dari pedukuhan yang jauh, yang heran melihat orang-orang kota memakai pakaian yang baik.
Ia mengerutkan keningnya ketika ia melihat dua orang prajurit berkuda lewat dihadapannya. Dua orang prajurit pengawal istana.
"Apakah Sri Rajasa akan keluar istana hari ini?" Sumekar mengerutkan keningnya.
"Dua orang prajurit itu dari pasukan pengawal. Apakah ia sedang merintis jalan bagi Sri Rajasa?"
"Aku tidak mendengar berita itu. Tetapi setiap saat Sri Rajasa memang sering pergi keluar istana untuk berburu, kapan saja ia kehendaki."
Witantra mengangguk-angguk pula. Katanya, "Kalau benar Sri Rajasa akan keluar istana hari ini, aku harus bersembunyi. Banyak orang yang tidak mengenal aku lagi. Tetapi aku tidak berani memastikan bahwa Sri Rajasa-pun tidak mengenal aku pula. Orang itu adalah orang aneh. Ingatannya tajam sekali, seperti kecerdasan dan kemampuannya berpikir yang jarang ada duanya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Memang mungkin sekali, tiba-tiba saja Sri Rajasa keluar istana."
Sebelum Witantra sempat menjawab, mereka melihat sekali lagi dua orang dari pasukan pengawal yang lewat mengendarai kuda sambil memegang senjata telanjang.
"Pasti. Sri Rajasa akan keluar istana hari ini."
"Ya. Sekarang aku-pun pasti."
Dalam pada itu, orang-orang di pinggir jalan-pun mulai menyibak. Kedua prajurit pengawal itu adalah pertanda bahwa Sri Rajasa akan melalui jalan itu.
"Aku harus menyingkir," desis Witantra.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Marilah. Aku-pun akan menyingkir pula."
Keduanya-pun kemudian berjalan menjauh, berbelok pada lorong sempit yang disebelah menyebelah dipagari oleh dinding batu yang agak tinggi.
"Kita disini. Mungkin kita masih dapat melihat dari balik regol halaman sebelah," desis Witantra.
Keduanya-pun kemudian berdiri diregol halaman seseorang. Regol yang masih tertutup. Ketika seorang anak laki-laki berlari keluar regol itu, ia terkejut. Ditatapnya kedua orang yang berdiri bersandar dinding regol halaman rumahnya.
Tetapi hampir berbareng keduanya tersenyum. Dengan ramahnya Wintantra bertanya, "Apakah kau akan melihat iring-iringan Tuanku Sri Rajasa?"
"Ya. Aku sudah mendengar tengara."
Witantra tertawa, "Suara bende itu?"
"Ya," jawab anak itu.
"Sebentar lagi Tuanku Sri Rajasa akan lewat."
"Apakah paman berdua tidak ingin melihat?"
"Tentu, nanti kami akan melihat. Tetapi sekarang kami sedang duduk-duduk melepaskan lelah disini. Bukankah kau tidak berkeberatan apabila kami duduk-duduk disini?"
"Tentu tidak." "Ayahmu juga tidak?"
"Rumah ini rumah kakek. Ayah tinggal dirumah kami yang lain diujung lorong ini. Kakek tentu tidak berkeberatan."
"Apakah kakekmu ada dirumah?"
"Tidak. Kakek pergi ke pasar mengantar nenek. Aku sendiri dirumah."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebelum ia menjawab anak itu sudah menghambur lari ke jalan raya, berdesakan diantara mereka yang ingin melihat iring-iringan Sri Rajasa lewat.
Sejenak kemudian maka dari kejauhan Witantra dan Sumekar melihat empat buah kepala tersembul dari balik mereka yang berdiri berjajar di pinggir jalan. Kepala empat orang prajurit berkuda. Dibelakangnya kemudian beberapa orang lagi, juga berkuda. Sedang suara bende menjadi semakin lama semakin dekat.
Sumekar dan Witantra masih berdiri ditempatnya. Bahkan kadang-kadang mereka harus mengangkat kepalanya, untuk dapat melihat prajurit berkuda yang lewat dijalan raya.
Ternyata bahwa dugaan mereka, bahwa Sri Rajasa yang keluar dari istananya kali ini akan berburu adalah benar. Di belakang prajurit berkuda yang membawa tombak pendek, Sri Rajasa sendiri berada dipunggung kudanya yang berwarna kehitaman sambil menyandang busurnya dan endong anak panah. Dibelakang Sri Rajasa, puteranya Tohjaya, mengikutinya sambil membawa busurnya pula.
"Kau benar," desis Witantra, "Ken Arok itu pergi berburu."
"Ya," sahut Sumekar.
"Seperti kebiasaan Akuwu Tunggul Ametung."
"Sejak beberapa saat yang lalu, puteranya. Tuanku Tohjaya sering ikut bersamanya."
"Anusapati?" Sumekar menggelengkan kepalanya, "Tidak. Tuanku Putera Mahkota tidak pernah ikut bersama mereka."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Suatu perbuatan yang kurang bijaksana. Seharusnya Sri Rajasa tidak terlampau menunjukkan perhatian yang berbeda pada keduanya. Bahkan seakan-akan justru dengan sengaja."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hal-hal serupa inilah yang membuat Putera Mahkota merasa dirinya semakin kecil. Bahkan kadang-kadang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri."
"Kasihan. Apakah Ki Sanak berusaha membantunya untuk tetap bersikap tabah."
"Ya. Aku memang selalu berusaha. Bahkan menurut pendengaranku, embannya-pun selalu mencobanya pula."
"Mudah-mudahan ia tidak tergelincir," desis Witantra, "lalu bagaimana dengan pelatihnya itu?"
Sumckar-pun segera menceriterakannva apa yang dilihatnya.
"Jadi, perwira itu tidak terlampau jelek buat Anusapati?"
Sumekar menggeleng, "Tidak."
"Apakah ia ikut didalam iring-iringan itu?"
"Aku tidak tahu. Pelatihnya yang dahulu memang sering mengikutinya meski-pun Tohjaya sendiri tidak ikut."
"Aku kira ia-pun ikut pula bersama Sri Rajasa. Tetapi aku tidak melihatnya."
Sumekar tidak menjawab. Tetapi ketika ia memandang ke jalan raya, orang-orang-pun sudah melanjutkan perjalanan mereka masing-masing. Dari ujung lorong Sumekar dan Witantra melihat anak laki-laki yang berlari-lari keluar dari regol rumah itu-pun sudah berjalan seenaknya pulang.
"Mereka sudah jauh," desis Witantra. Sumekar menganggukkan kepalanya.
"Aku kira, aku sudah cukup hari ini. Aku akan sering berada dikota ini."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ketika ia akan menjawab, anak laki-laki itu-pun berlari kepadanya dan bertanya, "Apakah paman berdua akan singgah?"
Witantra dan Sumekar tersenyum, "Terima kasih," hampir berbareng mereka menjawab.
"Kakek sebentar lagi pasti akan segera pulang."
"Terima kasih," ulang Sumekar, "katakan kepada kakekmu, kami mengucapkan terima kasih."
"Bukankah kakek tidak memberikan apa-apa kepada paman berdua?" bertanya anak itu.
Keduanya tertawa mendengar pertanyaan itu. Witantra menjawab di sela-sela tertawanya, "Memang tidak. Tetapi kami sudah berteduh diregol halaman rumahnya."
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan Menyampaikannya kepada kakek."
Sumekar menepuk bahu anak itu, "Kami minta diri. Kami akan pulang."
"Dimanakah rumah paman?"
"Jauh sekali." "Jauh sekali" " ulang anak itu.
"Ya, jauh sekali. Paman datang berdua untuk melihat Iring-iringan Tuanku Sri Rajasa hari ini."
"Apakah paman sudah tahu, bahwa Sri Rajasa akan keluar istana hari ini?"
Keduanya mengerutkan keningnya, "Kami, yang tinggal dikota ini-pun tidak tahu. Tiba-tiba saja kami mendengar tengara." Anak itu melanjutkan.
Witantra mengusap kepala anak itu sambil tertawa pula, "Sudahlah. Pulanglah. Tungguilah rumahmu baik-baik. Bukankah rumah itu kosong?"
"Ya." "Nanti ayammu masuk kegeledeg di dapur. Apakah nenekmu sudah menanak nasi?"
Anak itu mengerutkan keningnya. "Jadi paman berdua tidak singgah?"
"Terima kasih."
Anak itu-pun kemudian berlari masuk keregol halaman rumahnya melintas kependapa.
Wtantra dan Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka memandangi anak yang kemudian hilang dibalik pintu.
"Anak yang berani," desis Witantra.
"Ya. Ia mempunyai dada yang terbuka. Tidak seperti Tuanku Putera Mahkota. Kadang-kadang ia menyimpan berbagai macam perasaan didalam dadanya."
"Lingkungannya telah membentuknya demikian. Tetapi mudah-mudahan akibatnya tidak terlampau jelek buatnya."
"Aku akan mencoba selalu memperingatkannya, agar ia tidak menjadi semakin kecil, dan kehilangan harga diri. Sampai saat ini ia tidak merasa terganggu oleh pelatihnya yang baru."
Witantra menganggukan kepalanya. Sejenak ia memandang ke jalan raya yang sudah menjadi semakin sepi. Satu dua orang masih tampak berjalan dengan tergesa-gesa karena matahari menjadi semakin terik membakar kulit.
"Pertemuan kita sampai disini hari ini Ki Sanak," berkata Witantra.
"Kita akan bertemu lagi," sahut Sumekar, "agaknya kita menemukan bahan pembicaraan yang sama-sama menarik perhatian kita masing-masing."
Keduanya-pun kemudian berpisah. Sumekar tidak jadi berjalan-jalan menyusuri kota, tetapi ia-pun segera kembali keistana.
Di saat-saat Sri Rajasa keluar istana, apakah ia pergi berburu, bercengkerema atau apapun, istana terasa menjadi sepi. Putera-putera Sri Rajasa biasanya ada pada ibu masing-masing. Sedang Tohjaya ikut serta dengan Sri Rajasa pergi berburu.
Pedang Darah Bunga Iblis 3 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Anak Berandalan 3
^