Pencarian

Bara Diatas Singgasana 14

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 14


Ketika Sumekar disore hari kembali kepada kerjanya, menyiram batang-batang perdu dan bunga-bungaan didekat bangsal Anusapati, dilihatnya Putera Mahkota itu duduk diatas tangga sambil bertopang dagu.
Sumekar tidak berani mendekatinya. Bukan karena Anusapati, tetapi ia takut dicurigai. Karena itu, maka ia-pun segera berjongkok disamping sebatang pohon soka kuning yang sedang tumbuh.
Anusapati yang melihatnyalah yang kemudian mendekatinya. Wajahnya muram dan langkahnya-pun terasa berat.
"Ayahanda Sri Rajasa pergi berburu lagi," desisnya.
"Hamba tuanku. Hamba tadi melihat di pinggir jalan."
"Dimana kau?" "Hari ini hamba mendapat istirahat. Pagi tadi hamba berjalan-jalan keluar istana. Dan hamba melihat iring-iringan ayahanda pergi berburu."
"Adinda Tohjaya diperkenankan ikut. Tetapi aku tidak."
"Apakah tuanku sudah menyatakan keinginan tuanku, kepada ayahanda?"
"Ya. Aku sudah memohon agar aku diperkenankan ikut serta."
"Apakah jawab Sri Rajasa?"
"Aku adalah seorang Putera Mahkota. Aku harus selalu menjaga diri, agar aku tidak terkena bahaya. Aku harus menjadi orang simpanan yang tidak boleh lecet sedikit-pun juga, karena tidak pada tempatnya apabila seorang raja kelak mempunyai cacat pada tubuhnya."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Dan apa yang dicemaskan-pun segera ternyata pula. Anusapati itu kemudian berkata, "Paman, ternyata kedudukanku sama sekali tidak menyenangkan. Barangkali lebih baik buatku apabila aku tidak menjadi seorang Putera Mahkota. Aku lebih senang menjadi seorang biasa yang bebas dan dapat berbuat apa saja yang diingini. Tetapi seorang Putera Mahkota terikat oleh berbagai macam peraturan dan pantangan yang menjemukan sekali."
"Tuanku Pangeran Pati," berkata Sumekar kemudian, "Tuanku harus tabah menghadapi semuanya itu. Setiap orang merasa mempunyai kesulitan perasaannya masing-masing. Setiap orang merasa, bahwa orang lain agaknya jauh lebih senang dari dirinya sendiri. Sudah pasti tidak seorang-pun yang akan menyangka, bahwa seorang Pangeran Pati seperti Tuanku ini masih juga merasa hidupnya terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang tuanku anggap menjemukan sekali. Sebaliknya tuanku merasa bahwa hidup diluar istana, hidup tidak sebagai seorang Pangeran Pati pasti akan menyenangkan sekali. Tuanku, sudah tentu itu tidak benar seluruhnya. Karena kita masing-masing tidak dapat melihat kesulitan-kesulitan yang ada didalam hati orang lain, yang biaranya berusaha disembunyikan apabila ia berhadapan dengan orang lain. Seorang perempuan yang sedang menangis sekalipun, akan segera mengusap air matanya apabila ada seorang tamu yang datang ke rumahnya."
Anusapati terdiam sejenak.
"Karena itu tuanku," Sumekar meneruskan, "kita hanya dapat melihat senyum dan tawa orang lain, karena mereka akan segera bersembunyi apabila mereka menangis."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian ia berkata, "Tetapi aku mempunyai keadaan yang khusus paman."
"Hamba mengerti Tuanku. Hamba mengerti apa yang tersirat dihati tuanku. Tetapi tidak seluruhnya daripada itu benar sama sekali."
Anusapati terdiam. "Sebaliknya tuanku mencoba mentaati semua peraturan dan pantangan sejauh dapat tuanku lakukan. Semuanya itu merupakan tempaan yang membuat tuanku menjadi baja yang tahan uji disegala keadaan."
Anusapati masih tetap berdiam diri. Tetapi ia mencoba untuk merenungkan kata-kata Sumekar itu. Meski-pun kemudian ia dapat mengerti, tetapi ia tidak dapat menyingkirkan kepahitan yang selalu harus ditelannya.
"Paman Sumekar tidak mengalaminya," katanya didalam hati, "agaknya memang lain. Orang yang tidak mengalami akan dapat memberikan nasehat sebaik-baiknya. Tetapi agaknya berbeda bagi orang yang langsung terkena. Tetapi aku harus mempertimbangkannya untuk mendapatkan pegangan."
Tetapi Sumekar seakan-akan mengetahui apa yang tersirat dihati Putera Mahkota itu. Maka katanya, "Tuanku, hamba hanya sekedar dapat memberikan nasehat dan barangkali sedikit petunjuk. Memang lain sekali bagi orang yang langsung mengalami. Meski-pun demikian, didalam keragu-raguan kata-kata hamba akan dapat memberikan keseimbangan."
"Terima kasih paman," sahut Anusapati. "Aku memang ragu-ragu. Tetapi aku akan mencoba mencarinya didalam suasana yang lebih bening dari kini."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari bahwa luka dihati Anusapati semakin lama menjadi semakin parah. Kalau tidak ada obat yang dapat mencegah menjalarnya penyakit itu kesegenap sudut hatinya maka pada suatu saat pasti akan meledak dan menumbuhkan akibat yang gawat.
Untunglah bahwa agaknya gurunya kini tidak lagi seperti gurunya yang dahulu. Kalau prajurit yang dahulu itu masih juga hidup dan menjadi pelatihnya, maka ia pasti akan mempercepat peristiwa itu. Anusapati pasti tidak akan dapat bertahan terlampau lama.
Di saat-saat istana kosong, maka para penjaga-pun agaknya merasa seolah-olah tugasnya menjadi bertambah ringan. Didalam istana itu tidak ada lagi orang yang harus dipertanggung jawabkannya dan orang yang akan menuntut tanggung jawabnya.
Dalam kesuraman hati, Anusapati mempergunakan saat yang demikian untuk keluar dari istana dimalam hari setelah agak lama ia tidak melakukannya. Ia ingin melepaskan himpitan yang menekan perasaannya selama ini. Ia ingin berbuat sesuatu. Sendiri. Bahkan Sumekar-pun tidak diberitahukannya.
Para penjaga yang tidak begitu mantap di hari-hari yang sepi, tidak mengetahui bahwa Putera Mahkota meninggalkan istana dimalam hari, pergi kejurang sungai yang dalam dan gelap, yang jarang sekali disentuh oleh kaki manusia.
Seperti seorang yang dibakar oleh dendam yang tiada taranya, Anusapati telah mencoba melepaskan kekuatannya, menghantam batu-batu padas didinding, sehingga berguguran. Ia ingin melihat, betapa kekuatannya kini, seakan-akan ia sudah siap untuk mempergunakannya.
Dengan nafas yang terengah-engah ia menyaksikan batu-batu padas yang pecah dan berserakan dibawah kakinya. Tetapi ia tidak segera menjadi puas. Diulanginya sekali, dua kali dan hampir saja ia lupa akan waktu.
Agaknya warna-warna merah dilangit telah memperingatkannya. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia meninggalkan jurang itu dan kembali keistananya.
Demikianlah pada malam kedua dan ketiga. Anusapati pergi sendiri ketempat latihannya, ia seakan-akan ingin melihat ilmunya semakin cepat masak. Ia tidak tahu, apakah ia akan segera mempergunakannya. Tetapi apabila ilmu itu sudah masak, ia akan merasa dirinya aman. Ia setidak-tidaknya sudah mempunyai pegangan yang kuat bagi kedudukannya yang menjemukan itu.
Dengan demikian maka di siang hari Anusapati merasa dirinya sangat letih. Bahkan kadang-kadang dengan wajah yang suram ia duduk saja ditangga bangsalnya, sehingga setiap prajurit dan hamba istana yang lewat di muka bangsal itu, harus membungkuk dan berjalan terbongkok-bongkok karena Pangeran Pati duduk diatas tangga bangsal.
Sumekar yang melihat keadaan Putera Mahkota menjadi cemas. Tetapi ia tidak berani menanyakannya. Ia hanya dapat menduga, bahwa dimalam hari, Anupati pasti sedang berbuat sesuatu. Dan Sumekar-pun menduga bahwa yang dilakukan oleh Anusapati itu pasti melatih diri, memeras tenaga antuk menemukan kemampuan tertinggi.
Tetapi di alam keadaan yang demikian Sumekar tidak berani menegurnya. Selagi Anusapati merasa dirinya terasing, karena ia sama sekali tidak mendapat kesempatan yang serupa dengan Tohjaya. Meski-pun demikian, tumbuh juga dihatinya suatu keinginan untuk mengawasinya. Kalau karena tekanan perasaan Anusapati berbuat berlebih-lebihan, maka hal itu pasti akan sangat berbahaya baginya.
Demikianlah, maka tanpa setahu Anusapati, Sumekar telah membayanginya. Ketika malam menjadi semakin gelap, dan Anusapati meloncati dinding istana yang tinggi, Sumekar ikut pula melakukannya.
Sumekar tahu benar kemampuan Anusapati. Itulah sebabnya, maka ia harus berhati-hati mengikutinya. Ia sadar, bahwa prajurit pelatih Anusapati yang terjerumus kedalam jurang itu, sama sekali tidak mengetahui, bahwa sebenarnya Anusapati sudah mengetahui, bahwa ia sedang diikuti.
Tetapi Sumekar-pun memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari pelatih itu, sehingga ia dapat menempatkan dirinya, agar Anusapati tidak mengetahuinya.
Dengan hati yang berdebar-debar Sumekar melihat Anusapati menuruni tebing. Betapa-pun gelapnya, namun bagi Anusapati yang sudah terlampau biasa, kakinya seolah-olah dapat melihat jalan setapak yang menuruni tebing yang curam.
Dengan hati-hati, Sumekar yang telah memahami daerah itu pula, turun lewat jalur jalan setapak yang lain. Dengan hati-hati pula ia merayap mendekati tempat latihan Anusapati, di bawah tebing, didalam jurang yang agak dalam, ditepian sungai berpasir.
Sumekar-pun kemudian duduk dibalik sebuah batu yang besar. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat, bagaimana Anusapati telah memeras segenap tenaganya didalam latihan-latihan yang berat selama beberapa malam berturut-turut.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kagum atas kemauan Anusapati yang seolah-olah telah membakar jiwanya.
Namun dalam pada itu, selagi Anusapati mengerahkan segenap tenaganya menghantam tebing yang berbatu-batu padas, mereka telah dikejutkan oleh ledakan kekuatan yang luar biasa menghantam dan memecahkan sebuah batu besar, tidak jauh dari tempat latihan itu.
Sejenak Anusapati seakan-akan telah membeku ditempatnya. Bukan saja Anusapati, tetapi Sumekar yang bersembunyi dibalik sebuah batu-pun menjadi tegang karenanya. Mereka sadar, bahwa kekuatan itu adalah kekuatan yang tidak terkira besarnya.
Belum lagi Anusapati berbuat sesuatu, terdengar suara tertawa yang berkepanjangan dari arah batu yang pecah itu. Semakin lama semakin keras, sehingga seolah-olah telah mengguncangkan jurang yang dibatasi oleh dua buah tebing sebelah menyebelah yang tinggi itu.
"Siapa kau?" terdengar suara Anusapati. Tetapi suara itu masih juga bergema terus.
"Siapa kau?" Anusapati hampir berteriak. Dan suara tertawa itu-pun menurun.
Anusapati masih tetap berdiri ditempatnya. Tetapi ia harus berhati-hati. Kekuatan orang yang tertawa itu terlampau dahsyat, sehingga apabila ia tersudut kedalam kesulitan, maka ia harus melawan dengan puncak kemampuannya, Gundala Sasra yang telah diterimanya dari gurunya, Mahisa Agni.
Meski-pun demikian Anusapati masih juga ragu-ragu, apakah kekuatan puncaknya yang masih belum matang itu akan mampu melawan kedahsyatan orang yang tidak dikenalnya itu" Namun dengan kekuatan aji itu, ia akan dapat sekedar melindungi dirinya. Kalau ia sama sekali tidak memiliki rangkapan seperti Gundala Sasra, maka ia pasti akan pecah dan hancur seperti batu itu.
Karena orang yang tertawa itu masih belum menjawab, maka sekali lagi Anusapati bertanya, "Siapakah kau?"
Tetapi orang itu sama sekali tidak menyahut. Namun didalam gelapnya malam Anusapati melihat sebuah bayangan yang hitam melangkah mendekatinya.
"Siapa kau" Kalau kau tidak menjawab, kita akan bertempur," berkata Anusapati kemudian.
Orang itu berhenti beberapa langkah dari Anusapati, sementara Sumekar menahan nafasnya. Tetapi ia merasa tergetar oleh suara jantan Anusapati. Ternyata Anusapati mempunyai sikap yang terpuji menghadapi suatu keadaan yang tidak diduganya.
"Jangan begitu garang Tuanku Pangeran Pati," terdengar suara bayangan itu seakan-akan menggeram, "hamba memang ingin menghadapi dalam kesempatan serupa ini."
Dada Anusapati berdesir. Ternyata orang itu mengetahui, bahwa ia adalah Putera Mahkota. Karena itu, maka dadanya menjadi semakin berdebar-debar.
"Disini dahulu Tuanku Anusapati pernah membunuh seseorang," berkata suara itu, "guru tuanku sendiri."
"Gila. Siapa kau?"
"Tunggu. Apakah tuanku Anusapati akan membunuh hamba juga karena hamba mengetahui rahasia tuanku" Bahwa tuanku sering datang ketempat ini dan dengan sungguh-sungguh telan melatih diri, melepaskan aji Gundala Sasra" Tidak ada orang lain yang mampu mempelajari aji Gundala Sasra selain keturunan atau murid turun-tumurun dari perguruan di Padepokan Panawijen lama, mPu Purwa. Sekarang, hamba melihat tuanku memiliki aji itu. Karena itu, maka tuanku pasti murid dari perguruan itu. Tidak ada orang lain diperguruan mPu Purwa selain Mahisa Agni, paman tuanku. Sehingga kesimpulan yang hamba dapatkan, tuanku telah mendapat ilmu Gundala Sasra yang dahsyat itu dari Mahisa Agni, yang telah dicurigai dan disingkirkan oleh tuanku Sri Rajasa ke Kediri. Tetapi sebelum itu ternyata ia telah sempat menurunkan ilmunya kepada tuanku."
Tubuh Anusapati menjadi gemetar. Orang itu tahu terlampau banyak tentang dirinya, sehingga orang itu adalah orang yang sangat berbahaya baginya.
Tetapi karena orang itu masih belum menyebut dirinya, Anusapati masih bertanya lagi, "Siapa kau" Sebut dirimu. Kemudian aku akan mengambil sikap. Atau kita akan bertempur segera."
"Nanti dulu tuanku," berkata orang itu, "apakah semua yang hamba katakan itu benar?"
Sejenak Anusapati menjadi bingung. Namun sejenak kemudian ia membentak, "jawab dahulu, siapa kau."
"Hamba bertanya kepada tuanku, apakah benar tuanku murid Mahisa Agni yang termashur itu."
"Siapa kau?" "Hamba bertanya dahulu."
"Apa hakmu memaksa aku menjawab pertanyaanmu lebih dahulu, sedang akulah yang pertama-tama mengajukan perta nyaan kepadamu. Siapa kau?"
"Jawab tuanku akan menentukan, apakah hamba akan menyebut diriku."
"Aku tidak peduli. Aku tidak akan berbicara dengan, orang yang tidak aku ketahui tentang dirinya. Kalau kau tidak mau menjawab, maka kita akan bertempur. Atau barangkali cara yang terakhir itulah yang kau kehendaki?"
"Tuanku terlampau bernafsu untuk berkelahi."
"Tergantung kepadamu."
"Sebenarnya pertanyaan tuanku tentang hamba sangat menggelikan. Apakah tuanku menyangka bahwa seandainya hamba menyebut sebuah nama itu nama hamba yang sebenarnya" Hamba tahu, tuanku tidak mengenal hamba. Dengan demikian, maka tidak akan ada gunanya tuanku memaksa hamba menyebutkan sebuah nama."
"Itukah kau yang sebenarnya" Disinilah letaknya nilai seseorang. Apakah ia seorang jantan yang jujur, atau seorang pengecut yang licik. Meski-pun aku disini sedang berlatih dengan diam, tetapi aku tidak ingkar. Inilah Anusapati, Putera Mahkota Singasari. Nah, apakah kau berani menyebut namamu dan menyatakan dirimu yang sesungguhnya?"
"Lebih baik tidak tuanku. Meski-pun hamba akan disebut pengecut yang licik, hamba tidak akan mengatakan siapakah hamba ini, karena hal itu tidak akan ada gunanya."
Anusapati menggeretakkan giginya. Selangkah ia maju. Ia kini berada didalam keadaan yang sulit. Orang itu terlampau banyak mengetahui keadaannya.
Sekilas terbayang prajurit yang menjadi pelatihnya, yang terbunuh pula di dalam jurang ini. Meski-pun ia ragu-ragu dan bahkan di saat-saat terakhir ia ingin mengurungkan niatnya, namun pernah terbersit diliatinya untuk memusnakan gurunya itu, karena ia mengetahui rahasia dirinya.
Dan dalam kebimbangan itu ia mendengar orang itu bertanya, "Tuanku, apakah kini tuanku berhasrat untuk membunuh hamba juga seperti prajurit yang menjadi pelatih tuanku itu?"
Tubuh Anusapati menjadi gemetar. Ia benar-benar telah dibakar oleh kebimbangan dan bahkan kebingungan. Ia tidak mengerti apakah yang sebaiknya dilakukan didalam saat3 seperti itu.
"Tuanku," berkata bayangan yang kehitam-hitaman itu, "kenapa tuanku tidak mau menjawab pertanyaan hamba, dan bahkan tuanku memilih jalan kekerasan?"
"Gila. Kau gila. Kaulah yang memaksa aku untuk melakukan kekerasan karena kau tidak menjawab pertanyaanku lebih dahulu. Sudah aku katakan, aku tidak mau berbicara dengan orang yang tidak aku kenal, apalagi mengenai masalah yang penting bagi diriku."
"Baiklah. Baiklah tuanku. Kalau itu merupakan syarat yang harus hamba penuhi, biarlah hamba menyebut nama hamba. Nama hamba adalah Podang Jene, atau kalau nama itu terlampau bagus, hamba bernama Sontrang Jahe, atau tuanku memilih nama lain buat hamba" Misalnya, Banu Werti atau apa saja" Nah, hamba telah menyebut nama hamba. Bahkan tidak hanya satu. Sekarang, tuanku harus menjawab, apakah tuanku pewaris tunggal dari perguruan Panawijen, murid Mahisa Agni dan menerima aji Gundala Sasra dari padanya?"
"Gila. Jawabanmu cukup gila. Apakah sekarang aku harus menjawab bersungguh-sungguh" Baiklah, aku akan menjawab pertanyaan itu. Aku sama sekali tidak kenal dengan paman Mahisa Agni. Aku tidak pernah menjadi muridnya dan aku tidak pernah menerima apa-pun daripadanya. Aku adalah Putera Mahkota Singasari. Pewaris tunggal Kerajaan yang besar ini, dan aku-pun pewaris ilmu yang tiada taranya dari ayahanda Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Nah, kau dengar jawabku."
"Ada sedikit salah tuanku."
"Benar. Tidak ada salahnya."
"Tuanku menyatakan tidak kenal dengan paman Mahisa Agni. Kalau tuanku tidak kenal, tuanku tidak akan mebutnya paman."
"Aku menyebutnya paman karena menurut ceritera ibunda Permaisuri ia adalah kakak ibunda. Nah, ternyata aku tidak salah. Tidak mustahil seseorang belum pernah melihat wajah pamannya seumur hidupnya."
"Tetapi Mahisa Agni pernah tinggal di istana."
"Bangsal kami dibatasi oleh dinding yang rapat. Begitu" Atau aku harus mencari jawab lain yang lebih tidak masuk akal seperti jawabmu?"
Orang itu terdiam sejenak. Namun tiba-tiba suara tertawanya meledak seperti akan memecahkan selaput telinga. Disela-sela suara tertawa ia berkata, "Jadi tuanku berusaha membalas jawaban hamba dengan jawaban yang serupa, yang tidak masuk akal" Agaknya tuanku marah mendengar jawabanku dan tuanku berusaha membuat aku marah pula. Begitu?"
"Gila. Kau memang gila. Aku tidak melihat jalan lain kecuali bertempur. Aku sadar, bahwa kau ligin menunjukkan bahwa kau mempunyai ilmu yang tinggi. Kau dapat memecah batu hitam dengan sisi telapak tanganmu. Tetapi aku tidak dapat kau takut-takuti seperti kanak-anak yang takut melihat topeng hantu-hantuan."
"Aku percaya bahwa tuanku seorang pemberani. Tetapi justru karena itu, tuan menganggap, bahwa penyelesaian yang paling baik dari setiap persoalan adalah dengan kekerasan."
"Tidak. Bukan aku yang memilih cara itu. Tetapi kau."
"Sama sekali tidak tuanku. Hamba minta dengan hormat agar tuanku menyebutkan perguruan tuanku. Kalau tuanku sudah menyebutkannya hamba tidak akan berbuat apalagi. Kita tidak akan melakukan kekerasan satu sama lain. Bukankah begitu?"
Kemarahan Anusapati sudah tidak dapat ditahan-tahankannya lagi. Ia merasa bahwa ia sedang dipermainkan oleh orang itu dengan pertanyaan dan jawabannya yang gila. Karena itu, terasa dadanya serasa terbakar oleh jatungnya yang membara.
"Aku tidak lagi mempedulikan siapa kau. Kau sengaja membuat aku marah dengan hinaan yang tidak ada taranya itu. Ingat, aku adalah putera Mahkota. Kau memang pantas untuk mendapat hukuman karena kau telah menghinakan Putera Mahkota."
"Nah, bukankah tuanku sebenarnya memang berhasrat membunuh hamba?"
"Aku tidak peduli. Kau memang harus disingkirkan. Aku tidak tahu maksudmu sebenarnya dan siapakah kau sebenarnya. Tetapi kau sudah menghina aku, dan kau terlampau banyak mengetahui tentang aku."
"Tuanku agaknya telah memilih langkah yang salah. Sekali tuanku berusaha menjelubungi suatu kesalahan, maka tuanku akan membuat kesalahan-lahan berikutnya. Untuk tetap menutup rahasia pembunuhan itu, tuanku harus melakukan pembunuhan berikutnya. Demikian seterusnya, sehingga pada suatu saat, tuanku akan membunuh orang demi orang. Kalau kelak tuanku menjadi raja, maka untuk menyembunyikan rahasia ini, tuanku akan membunuh seluruh isi negeri."
-ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 62) Jilid 62 "AKU tidak perduli," teriak Anusapati yang sudah benar-benar kehilangan kesabaran. "Aku akan membunuh siapapun. Dan kini aku akan membunuhmu."
"Tuanku keliru."
"Aku tidak peduli, "Anusapati menggeram sambil melangkah maju. Ia sudah siap untuk bertempur dengan orang yang tidak dikenalnya itu.
Orang itu mundur selangkah. Tetapi agaknya ia sudah mempersiapkan dirinya pula.
Dialam keremangan malam keduanya-pun kemudian berdiri tegak didalam kesiagaan tertinggi.
"Tuanku benar-benar akan melakukan kekerasan." berkata orang itu.
"Jangan menganggap aku anak-anak lagi," sahut Anusapati, "kau memang datang untuk memancing persoalan. Untuk memancing kekerasan. Jadi kau tidak usah menilai tindakanku lagi. Aku yakin inilah yang kau ingini."
Orang itu terdiam sejenak. Namun tampaklah bahwa ia menjadi semakin tegang. Bahkan tiba-tiba ia berkata lantang, "Memang, inilah yang aku kehendaki. Aku ingin tahu apakah benar Putera Mahkota Singasari yang pernah membunuh pelatihnya sendiri itu benar-benar seorang yang tidak ada duanya diseluruh jagad. Aku adalah saudara laki-laki dari orang yang terbunuh itu. Dan kini aku akan menuntut balas."
Belum lagi orang itu mengatupkan mulutnya. Anusapati telah memotong, "bersiaplah. Aku akan mulai."
Orang itu terdiam. Ketika Anusapati melangkah maju, ia tetap berdiri ditempatnya.
"Jadi kau adalah saudara orang yang terbunuh itu," desis Anusapati, "aku tidak akan ingkar. Akulah yang membunuhnya."
Orang itu tidak menjawab namun tiba-tiba saja ia melangkah maju dan dengan lincahnya ia meloncat menyerang Anusapati. Tangannya terjulur lurus kedepan, sedang tangannya yang lain bersilang didadanya.
Tetapi Anusapati-pun sudah siap menghadapi serangan itu. Dengan tangkas pula ia meloncat kesamping menghindari serangan yang mengarah kelehemya.
Tetapi lawannya yang kehilangan sasaran itu tidak membiarkannya menghindar. Ketika kakinya berpijak diatas pasir, maka ia telah melingkar. Badannya terbungkuk kedepan sedang kakinya yang lain terjulur lurus dengan tubuhnya, menyambar Anusapati.
Anusapati terpaksa meloncat surut. Namun ketika telapak kaki lawannya lewat menyambar dihadapannya, ia telah membalas serangan itu. Sebuah serangan mendatar dengan telapak kakinya yang mengarah kelambung lawannya yang masih bergerak oleh kekuatannya sendiri. Serangan itu dalang begitu cepatnya, sehingga lawannya yang berdiri pada satu kakinya itu tidak sempat menghindar. Yang dapat dilakukan adalah justru menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh.
Demikianlah perkelahian itu segera meningkat menjadi perkelahian yang seru. Anusapati ternyata sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk menghadapi lawan yang tangguh. Selama ini Anusapati seakan-akan hanya sekedar berlatih dengan Mahisa Agni, dengan Sumekar dan dengan batu-batu. Sekali ia pernah berkelahi melawan pelatihnya sendiri. Tetapi pelatihnya itu tidak dapat memberi perlawanan yang seimbang, sehingga perkelahian itu tidak dapat dinilai sepenuhnya.
Kini Anusapati mendapat lawan yang tangguh. Orang yang menyebut dirinya saudara laki-laki gurunya yang terbunuh itu ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, jauh lebih tinggi dari kemampuan prajurit yang terbunuh itu sendiri.
Dengan demikian maka perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Mereka berloncatan dengan cepatnya diatas pasir didalam gelapnya malam. Bahkan mereka meloncat dari batu ke batu. Serang menyerang, seperti sepasang garuda yang berlaga diudara.
Sumekar yang masih bersembunyi ditempatnya, menyaksikan perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba saja ia memang ingin melihat apa yang dapat dilakukan oleh Putera Mahkota itu menghadapi lawan yang tangguh.
Kadang-kadang Sumekar terpaksa menahan nafasnya apabila Anusapati terdesak. Bahkan pernah Anusapati yang gagal menghindari serangan lawannya telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja ia terbanting diatas batu sebesar punggung kerbau. Tetapi Putera Mahkota itu cukup lincah. Karena ia menggeliat, maka ia tidak menyentuh batu itu sama sekali. Tetapi ia terjatuh pada pundaknya diatas pasir ditepian.
Demikianlah keduanya serang menyerang, desak mendesak. Sekali-sekali terjadi benturan yang dahsyat dari dua kekuatan yang besar itu.
Meski-pun nampaknya orang itu memiliki pengalamam yang lebih banyak dari Anusapati, tetapi ternyata Anusapati cukup lincah untuk mengimbanginya. Memang kadang-kadang Anusapati harus berloncatan mundur, tetapi ia segera menemukan keseimbangannya kembali, sehingga dengan garangnya ia segera membalas menyerang.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya disaat Anusapati mampu menunjukkan kelebihannya dari lawannya, Kadang-kadang lawannya memang terdesak beberapa langkah. Namun seperti Anusapati sendiri, lawannya-pun segera mampu menemukan keseimbangan.
Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin sengit, seakan-akan keduanya memang disiapkan untuk bertempur ilmu mereka dan bahkan kekuatan mereka hampir tidak ada bedanya. Setiap benturan yang terjadi, keduanya pasti terdorong selangkah dua langkah surut.
Namun sampai begitu jauh. Sumekar sama sekali tidak mau mencampurinya. Dibiarkannya saja Anusapati melawan orang itu sendiri seutuhnya.
Setelah beberapa lama keduanya bertempur memeras segenap kekuatan, maka tampaklah bahwa mereka justru menjadi semakin mapan. Mereka, tidak lagi memberatkan perkelahian itu pada kekuatan tenaga melulu. Dengan demikian tampaknya mereka justru menjadi semakin lincah dan bergerak semakin cepat. Serangan-angan mereka menjadi semakin terarah, karena mereka tidak mau kehabisan tenaga.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian timbullah kecemasan didalam hatinya. Kalau keduanya tetap berkelahi semacam itu, dan Anusapati tidak dapat menyadari keadaannya sendirinya, maka ia akan melupakan waktu. Ia tidak akan ingat lagi, kapan ia harus keanbali keistana, karena perkelahian yang demikian akan dapat iberlangsung sampai sehari semalam, bahkan lebih dari itu. karena keduanya memang orang-orang yang pilih tanding.
Meski-pun demikian Sumekar tidak mau mengganggu perkelahian itu, ia masih juga bersembunyi dibalik sebuah batu. menyaksikan perkelahian yang semnkin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing tidak sekedar dikejar oleh nafsu. Tetapi masing-masing benar-benar berkelahi dengan segenap perhitungan.
Demikianlah pasir ditepian itu menjadi seperti telah dibajak karena kaki-kaki mereka yang bertempur itu. Batu-batu berserakan dan berloncatan diudara, tersentuh oleh serangan-angan yang tidak mengenai sasaran.
Ternyata malam berjalan terus, sehingga semakin lama semakin mendekati fajar. Dan kedua orang yang berkelahi itu masih juga terus berkelahi.
"Apakah keduanya tidak dapat mengenal waktu lagi?" desis Sumekar, "jika fajar menyingsing dan Putera Mahkota masih berkelahi saja, maka ia akan terlambat masuk kehalaman istana. Dan itu akan sangat berhahaya baginya."
Tetapi agaknya Anusapati tidak melupakan waktu. Ia sadar, bahwa malam tetah jauh melampaui pusatnya. Karena itu, apabila ia tidak segera berhasil menyelesaikan perkelahian itu, maka ia akan kehabisan waktu.
Karena itu. Anusapati yang sudah tersudut pada suatu kesulitan yang tidak dapat dihindarinya itu, tidak melihat jalan dari pada kemampuan puncaknya. Ia sadar, bahwa orang itu-pun memiliki ilmu yang cukup tinggi. Tetapi dengan demikian akhir dari perkelahian itu akan segera dicapainya. Entah siapa yang harus menang dan siapa yang harus kalah. Apakah orang itu atau dirinya sendiri yang akan terkapar diatas pasir tanpa diketahui oleh oleh seorang-pun juga. Bahkan mungkin nasib yang akan dialami oleh siapa-pun yang akan kalah itu akan lebih jelek lagi dari prajurit yang terbunuh dijurang ini, karena tidak ada orang yang akan menemukan mayatnya atau mayatnya akan menjadi mangsa binatang buas yang kehausan atau menjadi makan burung gagak yang beterbangan dilangit.
"Kalau aku tidak dapat membunuh orang itu, biarlah aku yang terbunuh. Berita tentang prajurit yang mati itu akan membuat ayahanda Sri Rajasa murka, dan aku-pun tidak akan dapat lari dari hukumannya. Bahkan mungkin aku akan menjadi pangewan-ewan dialun-alun Singasari," berkata Anusapati didalam hatinya, "Jika demikian, bagiku, bagi Putera Mahkota, akan lehih baik jika aku mati saja disini dan tidak seorang-pun yang akan menemukan mayatku dan tidak seorang-pun yang tahu, kenapa aku mati. Mungkin orang-orang di istana akan menyangka bahwa aku melarikan diri dari istana dan pergi jauh sekali. Atau mereka akan mencari aku ke Kediri."
Tetapi ketika terkilas wajah ibunya yang suram, dada Anusapati berdesir. Kadang-kadang ia merasa kasihan juga kepada ibunya, karena ia tahu, bahwa Sri Rajasa lebih senang tinggal di bangsal ibunya tirinya daripada di bangsal ibunya. Ken Umang memang lebih muda dan lebih banyak berbuat sesuatu untuk mencambil hati Sri Rajasa daripada ibunya yang lebih banyak diam dan menahan perasaan didalam dada.
Karena Anusapati berangan-angan, maka hampir saja kepalanya tersambar oleh serangan lawan. Untunglah bahwa ia masih mampu menghindar, meski-pun ia harus berguling-guling diatas pasir yang basah.
"Aku tidak mempunyai pilahan lagi," desisnya, "aku harus memilih didalam saat serupa ini. meski-pun bukan niatku membunuh atau dibunuh. Waktunya sudah semakin sempit. Kalau aku terlambat kembali keistana, maka berarti aku harus mati saja di pinggir sungai ini."
Dengan demkian maka Anusapati-pun berkelahi semakin dahsyat. Serangannya semakin keras dan kuat. Segala macam ilmunya telah dikerahkannya untuk mengatasi lawannya, semua ilmu puncaknya. Tetapi disaat-saat terakhir, ilmu puncaknya pulalah agaknya yang harus dipergunakannya.
Demikianlah, maka sampai juga Anusapati pada puncak kemampuannya. Ketika ia mendapat kesempatan maka ia-pun segera justru meloncat menjauh. Sejenak dibangunkannya ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni Gundala Sasra.
Lawannya terperanjat melihat ia membangun ilmu punyaknya. Karena itu, ia-pun segera mempersiapkan dirinya pula, sehingga orang itu-pun telah mempersiapkan kemampuannya pula untuk melawan aji Gundala Sasra.
Sejenak kemudian maka Anusapati telah siap untuk melepaskan ilmunya itu. Karena itu dengan sorot mata yang membara perlahan-lahan ia maju mendekati lawannya. Tba-tiba saja ia meloncay dengan kecepatan yang seolah-olah tidak dapat diikuti dengan mata telanjang, menyerang lawannya dengan aji yang dahsyat itu.
Ternyata lawannya-pun cukup tangkas pula. Ia tidak membenturkan ilmunya melawan ilmu Anusapati. Dengan sigapnya ia meloncat menghindar, sehingga tangan Anusapati yang terayun itu tidak mengenai sasarannya. Tetapi Anusapati tidak dapat menahan ayunan tangannya yang dilandasi dengan ilmu tertinggi itu, agar tidak merusak tubuhnya sendiri. Sehingga dengan demikian ketika ayunan tangannya itu menyentuh batu-batu padas yang berserakan, maka batu itu seolah-olah meledak karenanya.
Tetapi Anusapati, tidak boleh tinggal diam. Ketika batu padas yang tersentuh tangannya itu meledak, lawannya telah melonyat pula menyerangnya.
Meski-pun Anusapati tetap dalam ilmunya yang tertinggi, namun ia tidak dapat menangkis serangan itu, yang Anusapati sadar, bahwa serangan itu adalah serangan yang dilambari dengan kekuatan yang dahsyat pula. Karena itu, maka Anusapati-pun segera meloncat menghindar dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan serangan lawannya.
Seperti serangan Anusapati, maka serangan lawannya-pun tidak mengenai sasarannya pula. Tetapi ketika tangan orang itu menyentuh batu pula, maka batu itu-pun pecah berserakan.
Anusapati tidak membiarkan kesempatan itu, selagi lawannya sedang melepaskan pukulannya. Dengan cepatnya pula ia menyerang dengan ayunan tangannya yang dilandasinya dengan aji Gundala Sasra.
Tetapi keduanya memang orang-orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Serangan-angan mereka yang dilandasi dengan ilmu yang hampir tidak terlawan itu tidak segera dapat mengenai sasarannya, sehingga batu-batuan ditanah itulah yang menjadi sasaran tangan mereka. Batu-batu padas dan batu-batu hitam. Bahkan kadang-kadang tangan mereka mencapai seonggok pasir, yang seolah-olah dilontarkan memencar kesekitarnya.
Sumekar menjadi berdebar-debar didalam hati. Perkelahian itu benar-benar suatu perkelahian yang dahsyat. Tangan-angan yang terayun-ayun didalam arena perkelahian itu bagaikan sayap-sayap maut dan sepasang raksasa yang berlaga diudara.
Loncatan dan serangan mereka hampir tidak dapat diikuti denagn tatapan mata biasa. Didalam keremangan malam, keduanya bagaikan angin pusaran yang kelam berputar mengerikan.
Demikianlah yang terjadi untuk beberapa saat lamanya. Sumekar justru menjadi semakin cemas melihat perkelahian yang sengit itu. Ternyata kekuatan aji Gundala Sasra didalam hal ini tidak segera dapat mengakhiiri perkelahian itu, bahkan dengan demikian keduanya semakin tenggelam didalam perkelahian yang semakin dahsyat, seolah-olah tidak akan ada akhirnya.
"Apakah aku harus menunggu sampai fajar menyingsing dan Putera Mahkota itu akan terlambat?" Sumekar berkata didalam hatinya.
Tetapi agaknya Anusapati-pun menyadari akan hal itu. Ternyata tandangnya menjadi semakin garang didalam kemamouan tertingginya, sehingga perkelahian itu menjadi mengerikan. Batu berserakan dan pasir berhamburan diudara. Seolah-olah tanah disekitar perkelahian itu telah dilanda oleh gempa bumi yang paling dahsyat yang pernah terjadi.
Namun pada akhirnya, perkelahian itu-pun sampai kepada puncaknya. Akhirnya mereka tidak sabar lagi membiarkan diri mereka meloncat berputaran serang menyerang dan sambar menyambar tidak berketentuan. Keduanya akhirnya memaksa diri mereka untuk segera melihat siapakah sebenarnnya diantara mereka yang berhak memenangkan perkelahian itu. Itulah sebabnya, maka tanpa berjanji seakan-akan keduanya telah bersepakat untuk membenturkan kekuatan mereka masing-masing.
Demikianlah dengan berdebar-debar Sumekar melihat keduanya menjadi, semakin cepat bergerak, menyerang, dan bahkan sekali-sekali mereka telah menyentuhkan kekuatan mereka. Seakan-akan mereka sedang menilai ilmu masing-masing.
Sumekar masih tetap bersembunyi ditempatnya. Betapa-pun ia menjadi berdebar-debar, tetapi ia sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Dengan kagum ia melihat bagaimana Anusapati telah mengungkapkan ilmu yang diterimanya dari Mahisa Agni. Meski-pun Putera Mahkota itu belum berpengalaman namun ia dapat mengetrapkan ilmunya dengan mapan.
Bertempur yang sebenarnya memang berbeda dengan, sekedar latihan saja. Didalam latihan, masing-masing pihak sadar, bahwa serangan yang dilancarkan oleh lawan berlatih, bukanlah serangan yang berbahaya. Karena itu sama sekali tidak akan ada kekhawatiran, seandainya karena lengah, pihak yang lain tidak dapat menghindarkan diri.
Kini Sumekar telah melihat dengan mata kepala sendiri, Anusapati telah melakukan perkelahian. Perkelahian yang tidak berpura-pura dan terkendali. Ia sudah mencoba mempergunakan segala macam ilmu yang ada padanya.
Sekali-sekali terbayang didalam rongga mata Sumekar, adik Anusapati yang bernama Tohjaya. Meski-pun ia berguru rangkap, tetapi ia tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Anusapati untuk waktu yang sangat panjang. Meski-pun seandainya Mahisa Agni sendiri yang mengajar Tohjaya, namun keadaannya yang lain dan Anusapati yang prihatin itu. pasti tidak akan dapat membuatnya seperti Anusapati pula, dalam waktu yang suigkat.
Tanpa sesadarnya Sumekar menengadahkan wajahnya. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Meski-pun Tohjaya dan ayahanda Sri Rajasa tidak ada, tetapi berbahaya juga bagi Anusaptai apabila ia terlambat masuk kehalaman.
Setiap kali Sumekar hanya dapat menelan ludahnya. Ia tidak dapat memperingatkan Anusapatyi, bahwa warna semburat langit telah memerah. Sebentar lagi fajar pasti akan segera muncul.
Tetapi ia tidak akan menunggu terlalu lama. Menilik tanda-tanda yang dilihatnya, maka perkelahian itu benar-benar telah sampai pada akhirnya. Apalagi ketika Sumekar melihat Anusapati sendiri telah memperhatikan wajahnya sekilas. Sumekar menyangka bahwa Anusapati-pun telah menyadari bahwa waktunya tinggal sedikit.
Demikianlah maka akhirnya Anusapati tidak ingin lagi menghindarkan diri dari serangan lawannya. Apa-pun yang akan terjadi ia akan membenturkan aji Gundala Sasra yang belum matang itu untuk melawan ilmu lawannya. Hidup atau mati, perkelahian itu harus segera berakhir.
Karena itu dengan berdebar-debar Sumekar melihat Anusapati bersiap dengan mengerahkan segenap kekuatannya melawan serangan lawannya yang kemudian meluncur seperti petir yang menyambar dilangit.
Sejenak kemudian maka terjadilah sebuah benturan yang dahsyat dari kekuatan. Sumekar yang melihat benturan itu mbeku ditempatnya. Darahnya seolah-olah berhenti mengalir oleh ketegangan yang membakar jantungnya.
Sejenak kemudian ia melihat Anusapati terlempar beberapa langkah, dan jatuh terbanting diatas pasir. Beberapa kali Anusapati terguling. Namun kemudian ia menggeliat sekali, lalu diam. Anusapati telah pingsan.
Benturan itu ternyata telah mengguncang seluruh isi dadanya. Jantungnya seakan-akan telah rontok bersama iga-iganya. Matanya menjadi kabur dan malam yang gelap menjadi semakin gelap, sehingga semuanya menjadi hitam pekat.
Ternyata kekuatan lawannya adalah kekuatan yang sangat besar melampaui kekuatan aji Gundala Sasra yang telah dimilikinya, aji Gundala Sasra yang belum masak.
Dalam pada itu didalam keremangan malam, Sumekar melihat lawan Anusapati masih berdiri tetegak. Ia hanya terdorong selangkah surut. Namun kemudian seakan-akan tidak terjadi lagi sesuatu atasnya.
Perlahan-lahan orang itu melangkah maju mendekati Anusapati yang terbaring diatas pasir, di pinggir sungai yang mengalirkan air gemericik berloncatan disela-sela batu.
Sumekar melihat orang itu berjongkok disamping Anusapati. Kemudian meraba kening dan dahinya.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan pula ia berdiri. Selangkah ia maju sambil berkata, "Dahsyat sekali. Perkelahian yang dahsyat sekali."
Orang itu berpaling. Tetapi ia sama sekali tidak terkejut melihat kehadiran Sumekar. Bahkan perlahan-lahan ia berkata, "Aku melihat Ki Sanak mengikuti Putera Mahkota. Tetapi kemudian Ki Sanak seakan-akan telah hilang didalam jurang ini."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jadi kau melihat aku juga?"
"Ya." Sumekar berdiri mematung sejenak. Kemudian perlahan-lahan ia melangkah maju.
"Tuanku Anusapati telah pingsan."
"Apakah keadaannya berbahaya?"
"Tidak. Tidak berbahaya. Ia akan segera menjadi baik."
Sumekar-pun kemudian mendekatinya. Ia masih mendengar nafas Anusapati yang tersendat-sendat.
"Lepaskan ikat pinggangnya," desis orang yang telah melukai Anusapati itu.
Sumekar kemudian melepas ikat pinggang Anusapati. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya dan perlahan-lahan pula memijit lambungnya.
Sejenak kemudian Anusapati menjadi semakin teratur. Sejuk udara dimalam hari yang menyentuh keningnya membuatnya perlahan-lahan menyadari dirinya.
Ketika ia membuka matanya, maka yang pertama-tama dilihatnya adalah bintang-bintang yang kabur dilangit. Kemudian bayangan yang suram dan dua orang yang berjongkok disampingnya.
Perlahan-lahan Anusapati mulai teringat kembali apa yang telah terjadi atasnya. Karena itu tiba-tiba saja ia berusaha bangun. Namun keadaannya masih terlampau lemah, sehingga kepalanya kembali terkulai diatas pasir.
"Berbaringlah dahulu tuanku," Sumekar berbisik di telinga Anusapati.
"Siapa kau?" bertanya Anusapati. Suaranya serasa pernah ia dengar.
"Hamba Sumekar tuanku."
"Paman Sumekar, paman ada disini pula."
"Ya. Tuanku. Hamba mengikuti tuanku keluar dari istana."
"Paman datang ketempat ini bersamaan dengan kedatanganku?"
"Hamba tuanku."
"Paman melihat aku bertempur?"
"Hamha tuanku. Hamba melihat tuanku membenturkan kekuatan aji Gundala Sasra."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, "Dimanakah lawanku tadi?"
Sumekar tidak menjawab. Tetapi ia berpaling dan memandang awan. Anusapati yang juga berjongkok disampingnya, "Ampun tuanku. Hambalah yang telah melawan tuanku."
"Kau. kau?" sekali lagi Anusapati berusaha bangkit. Kali ini tubuhnya sudah menjadi semakin kuat, sehingga ia berhasil duduk diatas pasir.
"Kenapa kau tidak membunuh aku sama sekali. Apakah paman Sumekar telah mencegahmu dengan aji Kala Bama?"
"Tidak tuanku." Sumekarlah yang menyahut, "hamba tidak melibatkan diri didalam perkelahian ini. Hamba hanya sekedar melihat, betapa aji Gundala Sasra berbenturan dengan aji Braja Pati."
"Braja Pati?" bertanya Anusapati.
"Hamba tuanku."
Anusapati-pun kemudian berdiri tertatih-tatih. Tetapi ia segera mempersiapkan dirinya kembali untuk bertempur apabila lawannya mulai menyerang.
"Hamba tidak akan bertempur lagi tuanku," berkata lawannya yang kemudian berdiri pula. Tetapi tiba-tiba saja ia membungkukkan badannya dalam-dalam.
"Siapakah kau sebenarnya dan apakah maksudmu?"
"Ampun tuanku. Hamba hanya ingin sekali bertempur melawan aji Gundala Sasra."
"Kau akan menunjukkan kelebihan aji Braja Patimu?"
"Sama sekali tidak. Aji Gundala Sasra tidak kalah dahsyatnya dari aji Braja Pati. Apalagi aji Gundala Sasra yang hampir sempurna pada Mahisn Agni sekarang."
Dada Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata orang itu mengetahui tentang banyak hal dari dirinya. Bahkan mengenal Mahisa Agni. Karena itu maka sekali lagi ia bertanya, "Siapakah kau sebenarnya?"
"Ampun tuanku, hamba adalah orang dan padepokan yang jauh terpencil. Padepokan yang sepi, meski-pun hamba pernah juga tinggal di kota ini."
"Ya. siapa namamu?"
"Nama hamba Witantra."
"Witantra," Anusapati mengulang. Tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk kecil, "Kau kenal paman Mahisa Agni?"
"Apakah Mahisa Agni tidak pernah menyebut nama hamba?"
Anusapati mengerutkan keningnya. "Mungkin paman Mahisa Agni pernah menyebut nama Witantra dan pernah pula menyebut aji Bajra Pati, aji Sura Pati dan aji Bajra Kumala."
"Tidak semuanya hamba miliki," jawab Witantra.
"Tetapi, kenapa kau tiba-tiba saja menjumpai aku disini dan sengaja memancing perkelahian?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya sambil menengadahkan wajahnya ke langit, "Sebentar lagi Fajar akan menyingsing. Sebaiknya tuanku segera kembali ke istana. Biarlah Ki Sumekar menjelaskan kepada tuanku kenapa hamba berbuat begitu?"
Anusapati mengerutkan dahinya pula. Katanya, "Jadi paman Sumekar mengetahui apa yang terjadi?"
"Secara kebetulan tuanku. Tetapi hamba akan mencoba mengerti apakah sebabnya Ki Witantra telah berbuat demikian. Tetapi adalah benar sekali katanya, bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing. Tuanku harus sudah berada di istana. Waktu kini sudah sempit sekali."
Anusapati mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah Aku akan segera kembali ke istana."
Setelah minta diri kepada Witantra, maka Anusapati dan Sumekar-pun segera meninggalkan jurang itu kembali ke istana. Langkahnya yang masih gontai memaksanya untuk berpegangan kepada Sumekar ketika ia memanjat tebing. Tetapi kemudian Anusapati berjalan lebih dahulu beberapa puluh langkah dari Sumekar.
Witantra yang mereka tinggalkan dibarah, diantara tebing yang curam, memandang Putera Mahkota itu dengan hati yang berdebar-debar.
"Ternyata darah Tunggul Ametung mengalir pula didalam tubuhnya. Anak itu agak terlampau cepat marah. Apalagi lingkungannya yang tidak menguntungkannya. Sehari-hari ia harus menekan perasaannya, menyimpan kemarahan dan merendam kata hati. Dalam kesempatan tertentu, semuanya itu akan meledak. Witantra bergumam kepada diri sendiri, "tetapi juga kemampuannya menakjubkan. Hanya anak Tunggul Ametung, dibawah asuhan Mahisa Agni sajalah, seorang anak yang semuda itu mampu melepaskan aji Gundala Sasra demikian kuatnya, sehingga aku terloncat selangkah surut."
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Witantra memandang Anusapati yang memanjat tebing bersama Sumekar itu sampai mereka hilang dibalik tanggul.
"Hampir saja aku salah menghitung. Kalau aku terlampau sedikit melepaskan tenaga aji Bajra Pati, maka akulah yang pasti akan pingsan. Kalau tidak ada orang lain, aku pasti akan dibunuhnya."
Sekali lagi Witantra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia-pun segera bergerak meninggalkan jurang itu, sementara langit menjadi semakin merah.
Dan Witantra masih bergumam, "Mudah-mudahan Mahisa Agni berhasil membentuk Putera Mahkota menjadi seorang yang pantas menduduki takhta kelak. Meski-pun Mahisa Agni kini berada di Kediri, tetapi hadirnya Sumekar di istana akan dapat melanjutkan usahanya."
Dalam pada itu, Anusapati berjalan dengan tergesa-gesa kembali ke istana. Meski-pun tubuhnya masih terlampau lemah, namun ia berusaha untuk berjalan secepat-cepatnya, karena fajar telah menjadi semakin merah.
Untunglah bahwa Anusapati masih dapat mencapai istana sebelum terang tanah. Dengan tergesa-gesa ia meloncati dinding dan berjalan tersuruk-suruk diantara pepohonan di halaman, diantara batang-batang perdu dan pohon bunga-bungaan.
Dengan hati-hati sekali Anusapati melintasi halaman bangsalnya, ketika tidak ada peronda yang sedang lewat, dan dengan diam-diam memasuki biliknya.
Secepat-cepatnya Anusapati segera berganti pakaian meski ia tidak cemas apabila karena sesuatu harus segera keluar dari bangsal dengan pakaian itu dan dilihat oleh orang lain, maka hal itu pasti akan membahayakannya.
Demikianlah, baru saja ia selesai, maka istana itu seolah-olah telah terbangun karenanya. Para juru taman, juru masak di dapur dan para emban yang akan membersihkan bangsal-bangsal bersama juru tebah, telah terbangun. Api di dapur telah menyala dan sejenak kemudian telah terdengar derik sapu lidi di halaman, dibawah pohon sawo kecik.
Anusapali yang sudah menyembunyikan pakaiannya yang kotor dan basah itu-pun segera keluar pula dari biliknya dan duduk diseranibi bangsalnya. Dilihatnya didalam keremangan cahaya fajar, hamba istana berjalan hilir mudik menuju ketempat kerja mereka masing-masing, sedang para prajurit peronda-pun telah kembali kegardu pula.
"Hampir saja aku terlambat," desis Anusapati. Namun terasa badannya masih terlampau letih. Benturan aji Gundala Sasra dengan ilmu Witantra itu telah membuat Anusapati seolah-olah kehilangan semua kekuatannya.
Namun udara pagi yang segar telah mengusap wajahnya, sehingga perlahan-lahan kekuatannya-pun seakan-akan pulih kembali.
Tetapl dengan demikian Anusapati mengharap dapat segera menemui Sumekar untuk mendengar keterangannya tentang orang yang bernama Witantra.
Ketika embannya datang membawa minuman hangat, Anusapati berdiri dan pergi ke ruang dalam. Sambil duduk di atas sebuah papan kayu cendana yang terukir disudut ruangan, ia menggeliat dan berkata, "Alangkah segarnya pagi ini. Hampir semalam suntuk aku tidak terbangun sama sekali."
Embannya tersenyum. Tetapi ia mengerutkan keningnya ketika tiba-tiba Anusapati menguap.
"Tuanku nampaknya letih sekali, justru letih sekali." berkata embannya.
"Tidak. Aku merasa segar sekali."
Embannya yang kemudian memandanginya sejenak. Lalu katanya, "Ya, tuanku nampak segar sekali."
Tetapi Anusarati menyadari, bahwa embannya yang sudah sekian lama merawatnya itu tidak dapat ditipunya. Embannya mengenalnya seperti mengenal anaknya sendiri.
"Tuanku, silahkanlah tuanku minum agar tuanku menjadi semakin segar, mumpung minuman masih hangat, berkata embannya kemudian.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Masih tertampan panas," katanya.
Embannya yang kemudian duduk. didepannya tidak menyahut. Tetapi dengan kerut-merut dikeningnya ia memandangi saja wajah Anusapati. Bahkan seperti tidak disadarinya ia berkata, "Apakah tuanku sakit?"
"Tidak, aku sehat sekali," berkata Anusapati sambil mengangkat kedua tangannya.
"Tetapi tuanku pucat sekali, dan tampak terlampau letih."
Anusapati tersenyum, "Aku tidak apa-apa bibi. Aku tidak apa-apa. Mungkin aku justru terlampau banyak tidur. Aku tidak biasa tidur sampai semalam suntuk."
Embannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia hanya mempersilahkan Anusapati minum minuman yang masih hangat itu.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Silahkanlah tuanku. Hamba akan membersihkan bilik tuanku dan menunggui para hamba istana membersihkan ruangan-angan lain."
"Baiklah bibi. Aku menunggu minuman ini agak dingin."
Embannya-pun kemudian meninggalkan ruangan itu masuk kedalam bilik Anusapati. Ia mengerutkan keningnya ketika dilihatnya dilantai bilik itu pasir yang berhamburan. Agaknya pasir yang melekat dipakaian Anusapati telah mengotori lantai biliknya.
Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia membersihkan lantai bilik itu. Bukan juru panebah atau hamba istana yang lain yang membersihkannya tetapi ia sendiri. Emban itu mengetahui serba sedikit apakah sebenarnya yang sering dilakukan oleh Putera Mahkota. Seperti yang dilihatnya hari ini bahwa Putera Mahkota pasti telah melakukan latihan olah kanuragan.
Tetapi emban itu segan bertanya lebih banyak lagi. Ia tidak mau mengganggu Putera Mahkota yang sedang digelisahkan oleh keadaan yang tidak serasi didalam keluarganya. Hubungan yang pincang antara ayahanda dan pureranya.
Sebenarnya bagi emban itu agaknya sudah jelas, apa yang terjadi dengan Anusapati. Hadirnya Ken Umang didalam keluarga utama sebenarnya telah membuat hubungan keluarga didalam istana itu menjadi buram.
Dalam pada itu, ketika Anusapati kemudian meninggalkan ruangan setelah minum beberapa teguk dan memasuki biliknya yang sedang dibersihkan, ia menjadi terkejut sendiri ketika dilihatnya seonggok pasir disudut ruangan.
Dengan dada yang berdebar-debar ia mencoba untuk tidak menghiraukannya, seolah-olah hal itu sama sekali bukannya hal yang tidak wajar terjadi didalam bilik sebuah bangsa. Putera Mahkota.
Tetapi embannyalah yang kemudian berkata, "Tuanku, bilik ini terlampau kotor oleh pasir yang berserakan."
"Mungkin aku lupa mencuci kakiku semalam. Aku langsung pergi kedalam bilik ini setelah aku berjalan semalaman. Pasir yang melekat dikakiku agaknya terlampau banyak, karena kakiku agak basah."
Pasir di halaman adalah pasir yang putih tuanku. Tetapi pasir ini adalah pasir yang hitam, pasir ditepian sungai."
Anusppati terperanjat. Tetapi embannya segera menyambung, "Jangan gelisah. Hamba tidak akan mempersoalkannya dengan siapapun. Dan bukankah hamba pernah membantu tuanku memanasi sebakul pasir. Meski-pun tuanku sudah dewasa agaknya tuanku masih senang bermain-main dengan pasir. Dimana-pun dan kapan-pun juga."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam, ia tidak perlu ingkar. Embannya memang sudah mengetahui serba sedikit.
"Tolonglah bibi, bersihkan pasir itu. Aku juga menyembunyikun pakaianku yang kotor oleh pasir serupa itu."
Embannya tersenyum. Jawabnya, "Jangan cemas terhadap hamba tuanku. Kalau hamba melakukan tugas hamba sebaiknya didalam bangsal Putera Mahkota ini mungkin keadaannya sudah berbeda."
"Ya. Ya. Aku tahu, dan aku berterima kasih sekali kepada bibi."
"Ah sudahlah, silahkan tuanku berada diluar dahulu. Hamba belum selesai membersihkan bilik ini."
Anusapati-pun kemudian pergi keluar dan memutari tangga bangsalnya. Suasana istana ini masih terlampau sepi. Bukan saja karena masih terlampau pagi, tetapi karena Sri Rajasa memang tidak ada di istana bersama para panglima beberapa orang Senapati dan puteranya Tohjaya.
Dengan lemahnya Anusapati melangkah satu-satu di halaman. Tanpa sesadarnya ia sudah berada didepan regol petamanan. Dilihatnya didalam petamanan itu beberapa orang juru taman sedang membersihkannya dengan sapu lidi.
Ketika salah seorang dari mereka melihat Anusapati, segera membengkokkan kepalanya sambil berkata, "Masih sepagi ini tuanku sudah ada di petanaman."
Anusapati memandang juru taman itu dengan tatapan mata yang letih. Tetapi ia mencoba untuk tersenyum dan berkata, "Alangkah segarnya pagi ini. Aku bingung terlampau pagi. Aku sudah berjalan-jalan mengelilingi halaman istana."
Juru taman itu mengerutkan keningnya ia melihat Anusapati pucat dan lelah. Sama sekali ia tidak melihat Putera Mahkota menjadi segar. Terapi juru taman itu tidak mengatakannya.
Anusapati sendiri tidak begitu menyadari keadaannya, ia tidak melihat wajahnya sendiri. Betapa ia mencoba melenyapkan semua kesan itu dari dirinya, tetapi ia tidak sepenuhnya berhasil.
la menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Sumekar ada di petamanan itu juga. Ia hampir tidak sabar lagi untuk mendengar ceriteranya tentang orang yang bernama Witantra itu. Ia ingin segera tahu apakah alasan Witantra memancing perkelahian selain ingin mengetahui betapa jauh kemampuan aji Gundala Sasra.
Tetapi Anusapati tidak dapat begitu saja dengan serta merta mendekatinya dan langsung bertanya kepadanya. Bagaimana-pun juga ia harus bersabar, sampai kesempatan yang baik datang.
Karena itu maka sejenak Anusapati mondar-mandir di petanaman. Dilihatnya berbagai macam bunga yang sedang berkembang. Kadang-kadang ia memetik setangkai. Tetapi kemudian ditaruhnya bunga itu di sisi regol.
Ketika Anusapati sedang asyik melihat setangkai kembang menur yang memancarkan warnanya yang putih. Sumekar menghampirinya. Kemudian sambil berjongkok disamping Anusapati ia berbisik, "Pagi-pagi benar tuan sudah datang kepetamanan?"
"Ya. Aku ingin paman segera berceritera.
"Tetapi keadaan tuanku menumbuhkan pertanyaan. Tuanku nampak letih dan pucat."
"Begitu" Emban juga berkata begitu."
"Sebenarnyalah tuanku. Sebaiknya tuanku pergi beristirahat di bangsal. Nanti hamba akan menghadap."
"Kau akan menghadap aku di bangsal?"
"Tidak. Hamba akan memelihara tanaman di halaman bangsal di hampir tengah hari. Tuanku sempat tidur sejenak, supaya keadaan tuanku menjadi bertambah baik. Kalau saat ini ayahanda tuanku melihat keadaan tuanku pasti segera tumbuh pertanyaan apa saja yang sudah tuanku lakukan semalam atau seandainya ibunda Permaisuri yang melihatnya tuanku pasti disangkanya sakit. Agaknya benturan kekuatan yang terjadi itu terlampau berat bagi tuanku. Masih tampak di wajah tuanku, keadaan tuanku yang sangat lemah."
Anusapati mengangguk-anggukan kepalanya. Jawabnya, "Baiklah paman. Sebenarnya aku ingin segera tahu, siapakah sebenarnya paman Witantra itu."
"Tetapi tuanku harus menjaga agar tuanku tidak menumbuhkan pertanyaan dikalangan istana. Mungkin para prajurit atau siapa-pun yang melihat keadaan tuanku."
Anusapati-pun menurut nasehat Sumekar. Sejenak kemudian ia-pun segera meninggalkan taman itu dan kembali ke bangsalnya.
Ketika ia memasuki bangsalnya dilihatnya Embannya masih membenahi biliknya. Beberapa orang hamba istana masih juga sibuk membersihkan bangsalnya. Mencuci ukiran umpak tiang dan membersihkan dinding-dinding kayu.
"Dari mana tuanku sepagi ini?" bertanya embannya.
"Dari taman bibi. Aku mencoba untuk membuat diriku menjadi segar. Tetapi seorang juru taman berkata pula kepadaku bahwa akupucat dan letih."
"Sebenarnyalah begitu tuanku," jawab embannya, "seperti yang sudah hamba katakan, tuanku memang letih dan pucat."
"Aku akan beristirahat bibi. Aku akan tidur. Kalau ibunda memanggil katakanlah bahwa hamba agak penting sedikit. Tetapi apabila tidak ada utusan ibunda jangan kau katakan apapun. Nanti siang aku akan menghadap ibunda."
Memenuhi nasehat Sumekar, Anusapati-pun kemudian terbaring dipembaringannya. Ia dapat tidur dengan tenang, karena ayahanda Sri Rajasa dan adinda Tohjaya tidak ada di istana, sehingga ia merasa tidak terginggu karenanya.
Hampir tengah hari Anusapati baru terbangun. Kini ia benar-benar merasa tubuhnya menjadi segar. Kekuatannya sudah pulih kembali meski-pun ia menjadi agak pening. Ternyata benturan kekuatannya dengan kekuatan Witantra telah menggoncangkan sendi-sendinya.
"Apakah paman Sumekar sudah berada di halaman?" bertanya kepada diri sendiri.
Karena itu, Anusapati-pun segera bangkit. Setelah membenahi diri, ia-pun segera keluar dari biliknya.
Ternyata bangsal itu sudah menjadi sepi. Hamba istana yang membersihkannya sudah tidak ada lagi. Bahkan embannya-pun sudah pergi pula.
Namun didepan bangsal itu Anusapati melihat seorang juru taman yang sedang asyik membersihkan pohon bunga-bungaan.
"Paman Sumekar," Anusapati berdesis.
Sunekar berpaling. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Tuanku kini benar-benar sudah menjadi segar."
Anusapati-pun tersenyum pula. Perlahan-lahan ia mendekati Sumekar yang sedang sibuk.
"Apakah paman dapat menceriterakannya sekarang?"
"Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Baiklah tuanku, tetapi disini sajalah sambil menyiangi pepohonan."
"Ya disini saja."
Anusapati kemudian berjongkok disamping Sumekar yang nampaknya sedang sibuk. Ketika dua orang prajurit lewat didepan bangsal itu terkejut karenanya ketika tiba-tiba mereka melihat Putera Mahkota berjongkok di halaman.
Prajurit itu-pun kemudian berhenti sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Anusapati berpaling. Baru setelah ia mengangguk pula maka kedua prajurit itu-pun berjalan lewat.
"Apa kera Putera Mahkota itu?" bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.
"Mungkin ia memang tidak mempunyai pekerjaan lagi daripada mengurus masalah-masalah yang sama sekali tidak penting," jawab yang lain.
"Itu tidak sesuai dengan kedudukannya."
"Memang agaknya Putera Mahkota tidak mempunyai cukup wibawa. Adalah tidak pantas, ia berjongkok bersama seorang juru taman di halaman."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ia telah merendahkan dirinya sendiri. Adalah salahnya sendiri kalau hambanya tidak menghormatinya kelak, apabila ia benar-benar menggantikan Sri Rajasa apabila sampai waktunya."
Kawannya masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau hanya mengangguk-angguk saja. Apakah tanggapanmu tentang hal ini?"
"Aku mempunyai pendirian lain," jawab kawannya, "aku memandangnya dari sudut yang berbeda."
"Apa menurut katamu?"
"Tuanku Putera Mahkota sama sekali tidak merendahkan dirinya tetapi ia memang seorang yang rendah hati."
"Omong kosong. Kau lihat adiknya, Tuanku Tohjaya" Ia adalah gambaran seorang putera Maharaja yang besar seperti Sri Rajasa."
Kawannya tidak menjawab. "Banyak orang yang berceritera tentang Putera Mahkota. Apakah kau belum pernah mendengar tentang dirinya?"
"Ya bukankah umurku lebih banyak dari umurmu" Ketika kau lahir aku sudah dapat mengejar burung gelatik muda."
"Nah, apakah kau tahu siapakah sebenarnya Anusapati itu?"
"Hus kau merendahkannya. Ia adalah Putera Mahkota."
"Aku melihat perbedaan yang besar dari Aknwu Tunggul Ametung dan Sri Rajasa sekarang."
"Kau mengenal Akuwu Tunggul Ametung" Berapa umurmu ketika Akuwu terbunuh?"
Kawannya itu tidak menyahut.
"Aku mempunyai pandangan yang berbeda dengan kau. Tuanku Putera Mahkota adalah seorang yang rendah hati. Berbeda dengan tuanku Tohjaya. Ia adalah gambaran dari seorang yang paling sombong yang pernah menghuni istana ini."
"Ah." "Itu anggapanku. Dan mudah-mudahan aku keliru. Tetapi aku justru hormat kepada Tuanku Putera Mahkota yang tidak membeda-bedakan siapa saja dari hamba-hambanya. Ia mau duduk disisi seorang juru taman disisi embannya dan bahkan kadang-kadang digardu peronda."
"Tidak pantas bagi seorang Putera Mahkota."
"Itu tanggapan yang salah. Agaknya kesombongan memang sudah menjalar diseluruh isi istana."
Prajurit yang muda itu tidak menyahut 1agi. Tetapi keningnya tampak berkerut-merut. Mereka kemudian berjalan saja sambil membisu sampai kegardu mereka. Kawan-kawannya yang melibat wajah keduanya menjadi heran. Seorang yang lebih tua lagi dari mereka bertanya, "Apakah kalian bertengkar" Berebut sawo yang jatuh di halaman belakang?"
"Tidak Kami tidak apa-apa. Kami hanya sekedar berbicara tentang Putera Mahkota."
Prajurit yang bertanya itu tidak meneruskan pertanyaannya. Ternyata ia cukup bijaksana, karena ia tahu, bahwa masalah Putera Mahkota adalah masalah yang paling rawan untuk dibicarakan.
Dalam pada itu. Anusapati masih tetap berjongkok di samping Sumekar yang sedang menyiangi pepohonan. Sambil mencabut rerumputan, Sumekar berkata, "Witantra adalah sahabat kakang Mahisa Agni."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia bertanya, "Tetapi kenapa ia memancing perkelahian" Kemudian bahkan melawan aji Gundala Sasra dengan kekuatan ajinya pula."
"Itulah yang menarik. Ia tidak sempat mengatakan alasan itu kepada hamba. Tetapi menilik sikap dan pembicaraan hamba dengan Ki Witantra sebelumnya. maka hamba menduga, bahwa Ki Witantra sekedar ingin tahu sampai di mana kemampuau tuanku."
"Ya. itu aku sudah menduga. Tetapi apakah maksudnya" Baik atau sebaliknya."
"Aku kira maksudnya, baik ia sependapat dengan kakang Mahisa Agni, bahkan tuanku kelak harus menjadi seorang Raja yang besar. Kalau mungkin melampaui kebesaran ayahanda Sri Rajasa."
"Apakah hubungan antara Witantra dengan urusan ini?"
"Ki Witantra ingin melihat Singasari yang besar. Ia adalah seorang yang pernah mengalami hidup didalam istana ini."
"Di istana ini?"
"Ia adalah bekas Panglima. Pasukan Pengawal."
"O," Anusapati mengerutkan keningnya maka, "Aku ingat. Witantra. Panglima Pengawal Istana. Maksudnya pada jamsn Akuwu Tunggul Ametung memerintah Tumapel yang kecil, yang masih termasuk salah satu wilayah Kediri."
"Hamba tuanku."
"Apakah ia saudara seperguruan orang yang bernama Kebo Ijo, juga dari pasukan Pengawal?"
"Ya. Tuankn benar."
"O. jadi ia adalah seorang yang pernah naik kearena melawan paman Mahisa Agni?"
"Dari mana tuanku tahu?"
"Pelatihku yang terbunuh itu pernah bercerita. Mahisa Agni pernah mengatakannya meski-pun tidak lengkap. Adinda Tohjaya pernah juga mengatakannya."
Sumekar menganggukkan kepalannya. Kalau Tohjaya pernah berceritera tentang Witantra, Kebo Ijo dan peristiwa yang menyangkut keduanya, maka kemungkinan terbesar adalah justru Sri Rajasa sendirilah yang berceritera kepadanya. Dan ternyata dugaannya itu benar karena Tohjaya mengatakan pula kepada Anusapati bahwa ia mendengarnya dari ayahanda Sri Rajasa.
"Ayahanda hanya mengatakannya kepada adinda Tohjaya. Tetapi tidak kepadaku. Aku tidak mengerti kenapa ayahanda tidak mau mengatakannya kepadaku. Apakah aku memang tidak berhak, atau kalau dianggap oleh ayahanda sama sekali tidak penting bagiku."
"Mungkin ayahanda tidak sengaja," sahut Sumekar, "ayahanda barangkali lupa. kepada siapa ayahanda pernah berceritera. Mungkin ayahanda menganggap bahwa ayahanda Sri Rajasa pernah berceritera pula kepada tuanku."
"Bagaimana mungkin hal itu dapat terjadi?"
"Ayahada mempunyai banyak sekali kewajiban, sehingga ayahanda Sri Rajasa tidak akan sempat mengingat-ingat apakah yang pernah diceriterakan kepada putera-puteranya."
Anusapati menganggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia sesuai dengan keterangan Sumekar itu. Meski-pun demikian Anusapati tidak membantah.
"Tetapi apakah yang dikatakan oleh Tuanku Tohjaya?"
"Seperti yang Kau katakan. Witantra telah mencoba membela Kebo Ijo Adinda Tohjaya mengatakan bahwa Witantra kakak seperguruan Kebo Ijo tidak mau melihat kenyataan bahwa Kebo Ijo telah bersalah karena membunuh Akuwu Tunggul Ametung. Ia mencoba mempergunakan pengaruhnya untuk membebaskan adik seperguruannya. Tetapi ketika Keho Ijo berusaha melarikan diri, ayahanda Sri Rajasa yang saat itu bernama Ken Arok, berhasil menangkap dan membunuhnya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ceritera itulah yang sampai saat ini masih dikenal oleh rakyat Singasari. Kepahlawanan Ken Arok yang membuatnya disegani. Tetapi Sumekar-pun telah pernah mendengar serba sedikit, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Tetapi tidak pada tempatnya apabila ia mengatakannya kepada Anusapati. Dengan demikian pasti akan dapat timbul persoalan-persoalan baru yang gawat bagi Singasari.
"Kenapa paman diam saja" Bukankah memang demikian yang telah terjadi?"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya tuanku. Demikianlah yang hamba ketahui."
"Dan sekarang paman Witantra telah muncul kembali. Apakah maksudnya yang sebenarnya" Aku tidak mengerti, dimanakah sebenarnya ia berdiri. Sebapai seorang pengawal setia dari Akuwu ia pasti tidak akan memaafkan kesalahan siapa-pun yang telah membunuhnya meski-pun ia adik seperguruannya. Tetapi ternyata Ia tidak berbuat demikian. Ia sama sekali tidak menunjukkan kesetiaannya kepada Akuwu Tunggul Ametung. Bahkan ia mencoba untuk mencuci kesalahan adik seperguruannya itu. Dan seandainya ia tidak senang lagi kepada pemerintahan yang dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung ia pasti akan menerima dengan senang hati perubahan yang terjadi di Tumapel. Tetapi ia-pun justru telah mnugudurkan diri."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Pikiran itu memang masuk akal. Pada saat itu Witantra memang tidak menunjukkan sikap yang tegas menghadapi keadaan.
"Ia adalah seseorang yang mencoba berdiri diatas kebenaran," terdengar suara Mahisa Agni mengiang didalam rongga jantung Sumekar. Mahisa Agni-pun pernah berceritera kepadanya, bagaimana Witantra menolak untuk ikut serta mengambil Ken Dedes dari padepokannya ketika Akuwu telah dapat terpancing oleh niat Kuda Sempana saat itu.
"Meski-pun Witantra tahu Akuwu akan dapat menghukumnya. Tetapi, ia tetap pada pendiriannya," berkata Mahisa Agni lebih lanjut. Dan Mahisa Agni-pun pernah berceritera bagaimana Witantra melawan kehendak Mahendra antuk mengambil Ken Dedes kemudian menantang Mahisa Agni berperang tanding ketika ia mengetahui bahwa yang bernama Wiraprana bukanlah Mahisa Agni.
Tetapi Sumekar masih juga belum menjelaskannya. Ia masih juga harus meyakinkan pendengarannya tentang orang yang bernama Witantra itu sendiri, karena seperti juga Anusapati. Sumekar mengenal ceritera tentang Witantra sebelum kakak seperguruannya Kuda Sempana dan bahkan dari gurunya mPu Sada dan baru kemudian sebagian dari Witantra sendiri.
"Paman," bertanya Anusapati kemudian, "bagaimanakah menurut paman tentang paman Witantra" Apakah kita dapat mempercayainya atau tidak" "
"Ampun tuanku. Hamba tidak tahu dengan pasti. Tetapi perasaan hamba mempercayainya."
"Tetapi, apakah ia mempunyai maksud-maksud tertentu untuk kepentingannya sendiri" Aku sama sekali tidak mengerti. Mungkin ia memang mempunyai perhitungan tersendiri. Mungkin ia tidak sesuai dengan ayahanda Sri Rajasa. Sejak ayahada Sri Rajasa mempunyai pengaruh di Tumapel saat itu pengaruh Witantra semakin berkurang. Dan kini ia melihat keadaan yang kurang serasi didalam istana ini. Apakah agaknya ia akan memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingannya. Meski-pun ia tidak mempunyai pamrih yang langsung untuk maksud sendiri secara lahiriah, tetapi kukeruhan yang dapat terjadi memberinya kepuasan."
"Tuanku jangan terlampau berprasangka. Hamba akan berusaha menemui kakang Mahisa Agni. Hamba akan mendapat penjelasan yang lebih pasti daripadanya."
"Kapan kau akan pergi?"
"Hamba akan mencari waktu. Hamba akan minta ijin dahulu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sumekar memang tidak dapat pergi begitu saja. Sebagai seorang juru taman maka ia harus mendapat ijin lebih dahulu dari pemimpinnya.
"Baiklah paman," berkata Anusapati, "kita sebaiknya minta nasehat paman Mahisa Agni untuk menilai paman Witantra. Mungkin paman Witantra bermaksud haik. Tetapi memang ada kemungkinan bahwa paman Witantra ingin berbuat sesuatu atas ayahanda Sri Rajasa, tetapi ia ingin meminjam tangan orang lain. Dan ia melihat hubungan yang kurang serasi di dalam istana ini."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, "Tuanku mempunyai pertimbangan yang cukup jauh. Ternyata bahwa tuanku sudah benar-benar menjadi dewasa."
"Aku hanya ingin berhati-hati paman. Aku merasa bahwa pengetahuanku sebenarnya sangat picik. Tetapi bagaimana juga aku adalah seorang anak yang harus berbakti kepada ayahandanya apa-pun dan bagainana sikap ayahanda terhadap anaknya."
"Pendirian tuanku memang terpuji. Itu adalah sikap seorang satria. Apalagi seorang Putera Mahkota."
"Karena itu kalau paman Sumekar mendapat kesempatan alangkah baiknya kalau paman dapat menemui paman Mahisa Agna Sudah temu paman tidak boleh menarik perhatian."
"Ya. Hamba akan minta ijin untuk menengok kampung halaman selama sepekan."
"Tetapi kalau ada seseorang yang mengetahui kau menemui paman Mahisa Agni di Kediri, kemudian disampaikannya kepada ayahanda Sri Rajasa, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan."
"Ya, hamba mengerti."
Anusapati-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia-pun berdiri dan berjalan menjauhi Sumekar melihat pepohonan yang lain di halaman bangsalnya.
"Sudahlah tuanku," berkata Sumekar kemudian, "hamba akan kembali kepetamanan."
"Ya. Kembalilah sepaya kawan-kawanmu tidak menunggu."
"Apabila sampai waktunya hamba akan mengatakannya kepada tuanku."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut. Dipandanginya saja Sumekar yang kemudian meninggalkan halaman. Sekali-sekali Sumekar masih juga berhenti berjongkok mencabut beberpa rumpuy liar yang tumbuh didekat batang-batang bunga-bungaan.
"He, aku kira kau tertidur didepan bangsal Putera Mahkota itu," bertanya kawannya ketika ia melihat Sumekar kembali kepetamanan.
"Tuanku Putera Mahkota minta memindahkan sebatang pohon Arum dalu."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak memperhatikan Sumekar lagi yang kemudian mulai memotong daun pohon-pohon bunga yang kuning.
Dihari berikutnya maka istana Singasari itu nampaknya telah mulai terbangun kembali karena Sri Rajasa bersama rombongannya telah kembali. Namun pada saat yang bersamaan, Sumekar telah menghadap pemimpinnya tetua para juru taman untuk minta ijin mengunjungi keluarganya di padukuhannya selama sepekan.
"Begitu lama?" bertanya pemimpinnya.
"Ya Ki Lurah bukankah aku datang dari tempat yang jauh" Kalau aku mempergunakan waktu kurang dari itu, maka perjalanan pulang dan kembali keistana tidak seimbang dengan hari-hari istirahat di tengah-engah keluarga."
Pemimpinnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, "Tetapi agaknya Putera Mahkota menaruh perhatian khusus terhadapmu. Karena itu kau harus mohon diri kepada Tuanku Patera Mahkota."
Dada Sumekar berdesir karenanya. Ternyata menurut pengamatan pemimpinnya ia mendapat perhatian dari Purera Mahkota. Hal ini tidak menguntungkan baginya dan bagi Anusapati. Karena itu maka ia-pun segera berkata, "Ah bukankah itu salah Ki Lurah. Akulah kemudian yang mendapat banyak sekali tugas yang tidak aku mengerti."
"Kenapa salahku?"
"Ki Lurahlah yang pertama-tama mengatakan kepada Putera Mahkota bahwa aku memiliki kecakapan yang lebih baik dari yang lain. Padahal itu tidak benar."
Pemimpinnya mengerutkan keningnya. "Apakah aku pernah mengatakan hal itu?"
"Ya." "Mungkin justru kepada tuanku Tohjaya aku memang pernah mengatakan ketika tuanku Tohjaya memerlukan seorang juru taman."
"Sebelum itu Ki Lurah pernah mengatakan pua kepada tuanku Anusapati, sehingga akhirnya aku harus melayani kesukaannya kepada jenis-jenis bunga yang aneh."
Pemimpinnya mengerutkan keningnya, ia tidak ingat lagi tentang hal itu, bahkan ia merasa bahwa ia tidak pernah berbuat demikian. Tetapi ia-pun kemudian tertawa, "Tetapi bukankah kau senang menerima hadiah?"
"Hadiah apa?" "Kalau kau harus memberikan pelayanan khusus di halaman bangsalnya"
"Ah ada-ada saja Ki Lurah. Aku tidak pernah mendapat apa-apa."
"Salah seorang embannya barangkali?"
"Rambutku sudah mulai ubanan."
"Emban yang ubanan pula."
"Ah," Sumekar mengerutkan keningnya tetapi ia-pun kemudian tersenyum sambil berkata, "Jadi apakah aku mendapat ijin itu?"
Pemimpinnya berpikir sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Tetapi kau harus menepati waktu yang kau tentukan sendiri itu."
Sumekar-pun kemudian menganggukkan kepalanya. Menurut perhitungannya waktu yang sepekan itu pasti sudah cukup. Ia dapat tinggal satu malam saja di Kediri. Dan waktu yang satu malam itu pasti sudah cukup untuk membicarakan banyak sekali masalah mengenai Putera Mahkota, Witantra dan bahkan mengenai Singasari.
Seperti pesan pemimpinnya Sumekar masih juga mohon diri kepada Putera Mahkota ketika akan berangkat. Sambil berbisik ia berpesan, "Hati-hatilah tuanku. Sebentar lagi tuanku pasti harus mulai lagi dengan latihan itu. Apabila ada sesuatu yang tidak berkenan dihati tuanku sebaiknya tuanku menahankannya. Kalau tuanku tidak dapat mengendalikan diri, maka keadaannya tidak akan menjadi semakin jernih. Adinda tuanku ternyata dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya."
Anusapati-pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilepaskannya Sumekar pergi meninggalkan istana untuk sepekan. Terasa betapa hari-hari berikutnya akan menjadi sangat sepi bagi Anusapati. Jauh lebih sepi dari pada ketika Sri Rajasa pergi berburu bersama adinda Tohjaya.
Seperti yang dikatakan oleh Sumekar maka Anusapati segera mulai lagi dengan latihan-latihannya bersama Tohjaya dan yang semakin lama menjadi semakin berat. Tetapi gurunya yang baru ini tidak begitu menyakitkan hatinya seperti gurunya yang pertama. Bahkan kadang-kadang guru ini memandangnya dengan sorot mata yang aneh.
"Paman," berkata Tohjaya pada suatu saat, "seperti yang pernah terjadi pada suatu waktu kita harus melakukan latihan di arena terbuka."
"Ya," jawab gurunya, "tetapi waktunya masih lama."
"Kenapa" Kami pernah melakukan sebelumnya. Dan ayahanda memang berpendapat bahwa sebaiknya kami mengadakan latihan dalam waktu-waktu tertentu."
"Hamba sependapat tuanku. Tetapi keadaan tuanku berdua harus menjadi mapan lebih dahulu."
"Jadi maksud paman kami berdua masih belum mapan?"
"Ya. Masih belum mapan. Aku sedang membongkar bangunan lama yang aku anggap tidak berguna sama sekali dari tuanku berdua. Yang masih mungkin dipergunakan tetap akan hamba pergunakan. Barulah selelah bangunan baru nanti berbentuk tuanku akan mengadakan latihan terbuka."
"Tetapi tidak ada seorang Senapati-pun yang mencela ilmu kami sebelumnya. Kenapa paman menganggap bangunan itu tidak berarti."
"Mereka hanya melihat sepintas lalu. Hamba-pun tidak akan melihat kesalahan-lahan itu apabila hamba hanya sekedar melihat tuanku berdua berlatih satu dua kali. Dan hamba-pun tidak akan berkeberatan apa-pun seandainya hamba tidak harus menjadi guru tuanku, sehingga hamba harus menyesuaikan keadaantuanku berdua dengan dasar-dasar dari ilmu hamba."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Ia merasa gurunya yang baru ini mempunyai sikap tersendiri. Gurunya yang lama tidak pernah berpikir sampai dua tiga kali. Apa yang dikehendakinya pasti disetujuinya.
Meski-pun demikian Tohjaya tidak dapat menolak. Gurunya yang baru ini adalah saudara sepupu ibunya yang harusnya lebih banyak memberikan kesempatan daripada orang lain.
Dalam pada itu, Sumekar dengan tergesa-gesa kembali kepadepokan yang telah lama ditinggalkannya. Tetapi penghuni-penghuninya masih tetap mengenalnya karena setiap kali ia menengoknya, dan memberikan seekor kuda kepadanya.
Selelah menyiapkan bekal secukupnya, maka Sumekar-pun segera pergi ke Kediri untuk menemui Mahisa Agni. Namun ia sempat Singgah ke Panawijen lama, kesebuah padepokan baru, yang dihuni oleh Kuda Sempana.
Dari Kuda Sempana ia mendapatkan beberapa keterangan yang lebih memantapkan dugaannya, bahwa Witantra adalah orang yang jujur dan tidak mempunyai pamrih yang berlebih-lebihan apalagi pamrih pribadi.
"Aku pernah membencinya sampai keujung rambut seperti aku pernah membenci Mahisa Agni," berkata Kuda sempana, "tetapi ternyata akulah yang salah."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi baiklah kau menemui Mahisa Agni."
Demikianlah maka setelah bermalam semalam. Sumekar melanjutkan perjalanannya menuju ke Kediri, ia berusaha untuk tidak menarik perhatian. Karena itu ia memasuki kota disenja hari, ketika gelap mulai menyelubungi kota.
Sumekar dengan hati-hati memasuki halaman rumah Mahisa Agni. Sebuah halaman yang luas dan berdinding tinggi. Dua prajurit berada digardu didepan regol.
"Siapa?" bertanya salah seorang prajurit.
"Aku datang dari Panawijen," jawab Sumekar sambil meloncat turun dari punggung kudanya, "kawannya bermain dimasa kanak-anak."
"Kawan siapa?" "Mahisa Agni." "Tuanku Mahisa Agni yang kau maksud?"
"Ya, ya." "Siapa namamu?"
"Sada seorang cantrik dari padepokan Panawijen."
"Tunggulah disini. Salah seorang dari kami akan menyampaikannya kepada seorang pelayan dalam."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Agni adalah seorang yang penting di Kediri, meski-pun kedudukan itu tidak menarik bagi Mahisa Agni sendiri. Ia lebih senang bebas seperti burung elang diudara tanpa ikatan yang sangat menjemukan itu.
Tetapi ia tidak dapat menentang perintah Sri Rajasa yang berkuasa di Singasari dan Kediri.
Demikianlah maka salah seorang dari para pengawal halaman itu masuk kedalam dan menyampaikannya kepada para pelayan dalam. Seorang pelayan dalam kemudian menunggu kesempatan untuk dapat menyampaikannya kepada Mahisa Agni diruang dalam.
"Siapa yang mencari aku?" bertanya Mahisa Agni.
"Ampun tuan. Seorang cantrik dari padepokan Panawijen," pelayan itu membungkukkan kepalanya.
"Cantrik dari Panawijen?" Mahisa Agni bergumam, "siapakkah namanya?"
"Sada tuan." "Sada" Cantrik bernama Sada?"
"Ya tuan." "Apakah ia sudah sangat tua?"
"Tidak tuan ia masih belum tua benar, ia baru separoh baya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Meski-pun ia masih belum jelas siapakah yang datang dan menyebut dirinya bernama Sada itu, namun ia berkata kepada pelayannya, "Suruhlah ia masuk."
Namun demikian Mahisa Agni menjadi berdebar-debar juga. Ia belum pernah mendengar nama seorang cantrik yang bernama Sada. Satu-satunya orang yang dikenalnya bernama Sada adalah mPu Sada. Guru Kuda Sempana. Karena itu maka Mahisa Agni-pun harus berhati-hati menerima tamunya. Mungkin seseorang dengan niat yang tersembunyi. Tetapi mungkin juga seseorang yang memang pernah dikenalnya sehingga karena itu tidak menolaknya.
Sejenak kemudian maka perintah Mahisa Agni itu-pun telah sampai kepada prajurit yang berjaga di regol halaman. Karena itu maka mereka-pun segera mempersilahkan Sumekar masuk. Diantar oleh seorang pelayan dalam, maka Sumekar-pun kemudian dibawa ke ruang depan gandok sebelah Timur. Disitulah biasanya Mahisa Agni menerima tamunya apabila tamu itu bukan seorang tamu resmi.
Ketika kemudian Mahisa Agni keluar dari dalam gandok sebelah Timur dan dilihatnya Sumekar duduk di atas sebuah tikar pandan rangkap yang bersulam benang-benang pandan berwarna ia-pun menarik nafas sambil berkata, "Aku kira aku menerima tamu seorang mPu yang sudah sangat tua."
Sumekar-pun tertawa. Ketika Mahisa Agni sudah duduk disampingnya, maka Sumekar-pun berkata, "Aku takut kalau berita kedatangan Sumekar sampai ketelinga Sri Rajasa di Singasari."
"Ya kau memang seorang yang bijaksana. Kau menyebut suatu nama yang memang pernah aku kenal. Karena itu aku menjadi ragu-ragu. Tetapi aku memang sudah menduga bahwa yang datang pasti ada hubungan atau sangkut pautnya dengan orang yang bernama Sada. Ternyata yang datang adalah muridnya yang terkasih."
Sumekar tersenyum. "Tetapi," tiba-tiba Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "apakah ada sesuatu yang akan kau sampaikan sesuatu yang mendesak?"
Sumekar mengelengkan kepalanya, "Tidak kakang. Tidak ada sesuatu yang mendesak."
"Kalau begitu baiklah. Kita tidak usah berbicara tentang keperluanmu dahulu. Kau bermalam disini?"
"Tentu kakang. Aku tidak mempunyai keluarga lain disini. Tetapi seperti aku datang maka besok sebelum siang aku akan sudah meninggalkan rumah ini. Tidak sepantasnya seorang juru taman Singasari berada dirumah ini sebagai seorang tamu."
Mahisa Agni tersenyum. Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing maka katanya, "Rumah ini adalah rumah yang besar dan dilayani oleh orang-orang yang sudah berpengalaman melayani pembesar pemerintahan di Kediri. Rumah ini adalah rumah yang paling besar diluar istana Raja dan istana Kepatihan. Rumah ini adalah istana Ratu Angabaya pada suatu jaman pemerintahan sebelum Tuanku Sri Baginda Kertajaya. Tetapi beberapa lama istana ini pernah kosong. Sehingga ketika aku masuk kedalamnya, rasa-rasanya aku memasuki sebuah kuburan."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Rumah ini memang besar sekali. Aku menjadi bingung karenanya. Pantaslah kalau rumah ini pernah menjadi istana Ratu Angabaya. Bangsal yang besar dibelakang gandok kiri dan kanan yang dibatasi oleh longkangan-angan yang luas. Pohon Sawo kecik yang rindang dan pendapa yang besar dengan tiang dan umpak berukir. Dua orang prajurit diregol depan dan beberapa orang di gandok Kulon beserta beberapai orang pelayan dalam, semakin meyakinkan bahwa sebenarnyalah aku berada didalam istana Ratu Angabaya."
"Tetapi semuanya ini bagaikan sebuah sangkar yang menjemukan bagiku," desis Mahisa Agni, "kadang-kadang aku menjadi rindu kepada padang dan sawah di Panawijen. Bahkan baru terasa kini. kebebasan yang segar apabila kita berkeliaran dipadang Karautan. Disendang buatan yang manis atau berkejaran dengan binatang buruan."
"Itu pulalah agaknya bahwa Sri Rajasa terlampau sering pergi berburu. Kadang-kadang dengan para pengiring yang lengkap, tetapi kadang-kadang hanya beberapa orang pengawal pilihan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi," berkata Sumekar, "karena di dalam istana Singasari ada Ken Dedes dan Ken Umang maka Sri Rajasa masih selalu kembali keistana pula."
"Ah," Mahisa Agni tersenyum.
"Istana ini pasti akan terasa kering. Apakah sampai pada saat akhir kakang Mahisa Agni tetap seorang diri?"
"Ah, kita akan berbicara tentang masalah yang lain."
"Baik, baik. Apakah aku boleh mengatakan maksud kedatanganku sekarang?"
"Nanti sajalah. Kau dapat mandi dahulu. Kau adalah tamuku. Nanti malam kita punya hauyak waktu meski-pun besok pagi-pagi kau akan meninggalkan rumah ini. Aku tahu, bahwa hal itu memang harus kau lakukan meski-pun bukan maksudku untuk mengusirmu."
Sumekar tersenyum. Agaknya Mahisa Agni-pun menyadari bahaya yang dapat timbul apabila seseorang dapat menyampaikan kepada Sri Rajasa, bahwa Sumekar seorang juru taman telah datang menjadi tamu Mahisa Agni di Kediri.
"Ya," jawab Sumekar, "besok pagi-pagi benar."
"Sekarang kalau kau ingin membersihkan dirimu pergilah ke pakiwan."
"Dimanakah pakiwan itu" Meskipuu aku seorang hamba istana tetapi aku jarang sekali masuk kedalam, apa lagi sampai kebagian yang paling belakang karena aku seorang juru taman yang pekerjaanku setiap hari dipetamanan. Berbeda dengan seorang prajurit pengawal istana, seorang pelayan dalam atau hamba-hamba istana yang tugasnya didalam istana, seperti juru panebah."
Mahisa Agni tertawa. Jawabnya, "Jangan sakit hati, kalau aku tidak dapat mengantarkan kau. Sebenarnya aku ingin berbuat demikian, tetapi hal itu akau menimbulkan pertanyaan pada pelayan-pelayan dalam dan para hamba yang lain."
"Jadi aku harus mencari sendiri?"
"Tidak. Aku terpaksa bertepuk tiga kali. Seorang pelayan akan masuk dan aku akan menyuruhnya mengantarkan kau."
Sumekar mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian tersenyum sambil berkata, "Ya, aku lupa bahwa aku berhadapan dengan wakil Sri Paduka Maharaja Singasari."
"Bersikaplah sebagai seorang tamu didalam istana ini, bukan seorang juru taman. Aku cemas bahwa besok demikian kau terbangun kau akan turun kehalaman dan menyiangi pepohonan."
Keduanya-pun tertawa. Sumekar-pun kemudian pergi kepakiwan diantar oleh seorang pelayan yang datang ketika Mahisa Agni bertepuk tiga kali.
"Kau benar-benar seorang wakil raja kakang," desis Sumekar.
Mahisa Agni hanya tersenyum saja.
Terasa alangkah sejuknya air dipakiwan istana Ratu Angabaya yang kini dihuni oleh Mahisa Agni. Apalagi setelah sehari-harian Sumekar berpacu diatas punggung kuda dari Panawijen. Seolah-olah tidak berhenti sama sekali sejak fajar menyingsing.
Setelah makan malam dan berkelakar sejenak, maka mulailah Sumekar menyatakan maksud kedatangannya.
"Aku telah minta ijin sepekan kepada pemimpin juru taman untuk pulang ke padukuhanku. Tetapi aku telah mempergunakan waktu itu untuk melawat ke Kediri, agar aku dapat menyampaikan ceritera tentang tuanku Putera Mahkota kepada kakang Mahisa Agni."
"Apakah ada sesuatu yang menyimpang pada tuanku Pangeran Pati?" bertanya Mahisa Agni.
"Tidak. Semua berjalan dengan wajar dan baik. Tuanku Putera Mahkota masih dapat melakukan peranannya dengan baik. Seandainya didalam istana Singasari dibentuk sebuah kelompok penari maka tuanku Pangeran Pati pasti akan dapat berperan dengan bagus sekali."
"Maksudmu?" "Ia dapat memainkan lakon yang betapa-pun sulitnya."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia-pun tersenyum. Katanya, "Aku hampir menjadi bingung. Apakah hubungannya antara Putera Mahkota dan sekelompkk penari" Tetapi akhirnya aku mengerti juga."
Sumekar-pun tersenyum pula. Lalu dilanjutkannya ceriteranya, "Betapa-pun berat peranan yang harus di bawakan. Memang kadang-kadang, Tuanku Anusapati hampir tidak dapat lagi menahan hati. Untunglah bahwa sampai saat ini, semuanya masih tetap merupakan suatu rahasia bagi Sri Rajasa."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan Anusapati dapat selamat sampai, ke Singgasana. Bukan niat kami berbuat jahat. Bukan maksud kami untuk menumbangkan kekuasaan yang ada sekarang. Tetapi kami ingin yang bakal datang tidak memuramkan tahta Singasari. Lebih dari itu, takhta Singasari akan jatuh ketangan orang yang memang berhak atasnya. Keturunan Ken Dedes bukan keturunan Ken Umang."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, "Begitu pulalah yang dikatakannya."
"Siapa" Siapa yang berkata begitu juga?"


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"O, aku masih belum mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan seseorang."
Mahisa Agni memandang wajah dengan penuh pertanyaan disorot matanya.
"Aku bertemu dengan seorang yang pernah memegang jabatan penting di jaman Tumapel."
"Siapa?" "Panglima Pengawal istana."
"Witantra maksudmu?"
"Ya." "Dimana?" "Witantra sengaja menemui aku."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sementara itu Sumekar-pun segera berceritera tentang bekas Panglima pasukan pengawal Akuwu Tunggul Ametung itu. Diceriterakannya pula bagaimana ia menemui Anusapati dijurang yang terasing tempat Putera Mahkota melatih diri. Dan bahkan Witantra telah memancing benturan antara dua kekuatan yang dahsyat.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Tetapi aku yakin maksudnya-pun pasti baik pula."
"Aku juga mengharap demikian. Tetapi karena aku belum begitu mengenalnya maka aku memerlukan menemui kakang Mahisa Agni untuk meyakinkannya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Aku kira Witantra ingin melihat betapa melihat betapa jauh Anusapati mendalami ilmunya. Bukankah dengan demikian Anusapati akan mendapat kesempatan untuk menambah pengalamannya?"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, ia sependapat dengan Mahisa Agni dan bahkan Putera Mahkota-pun berpendapat demikian. Tetapi apa yang ada dibalik keinginannya untuk mengetahui tingkat ilmu Putera Mahkota itu" Dan apabila ia berusaha memperkaya pengalaman Putera Mahkota apakah pamrihnya"
Meski-pun pertanyaan-pertanyaan itu tidak diucapkan, namun Mahisa Agni seakan-akan dapat menangkap dari siratan pandangan mata Sumekar. Karena itu maka katanya, "Adi Sumekar. Aku tidak tahu pasti apa yang ada didalam hati seseorang. Tetapi aku kira Witantra sama sekali tidak bermaksud jelek. Ia tidak ingin sekedar mendorong pertentangan atau katakanlah hubungan yang kurang sewajarnya antara Putera Mahkota dan Sri Rajasa. Meski-pun Witantra banyak mengetahui mengenai latar belakang kehidupan Sri Rajasa di masa mudanya dan usahanya untuk mendapatkan kedudukannya yang sekarang, tetapi Witantra tidak akan mengguncang kebesaran Singasari sekarang. Hal itu disadarinya, tidak akan ada gunanya. Bahkan Witantra sebagai seorang pejuang dimasa mudanya, pasti ingin melihat Singasari semakin berkembang. Tetapi sudah tentu Witantra tidak ingin pemerintahan Singasari itu jatuh ketangan keturunan Ken Umang. Witantra adalah saudara iparnya yang mengetahui banyak tentang perempuan yang bernama Ken Umang itu. Perempuun yang jantung dan hatinya dibakar oleh ketamakan dan nafsu lahiriah yang berlebih-lebihan. Bahkan segala macam nafsu."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi," katanya, "kesimpulan dari pendapat kakang Mahisa Agni adalah, bahwa kakang Mahisa Agni tidak berkeberatan sama sekali atas kehadiran Witantra di hari-hari mendatang dalam kehidupan Putera Mahkota!"
"Ya. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Aku justru berharap, Putera Mahkota akan menjadi semakin mantap, dan akan menjadi Putera Mahkota yang penuh dengan bekal yang akan bermanfaat bagai masa depannya. Bahkan Witantrra bukan sekedar seseorang yang berilmu mumpuni, tetapi ia juga memiliki pengetahuan dan pengalaman didalam ilmu pemerintahan. Bawalah Pangernn Pati itu kepada suatu keadaan yang sejauh-jauhnya dapat dicapainya. Jangan disangka bahwa Tohjaya-pun tidak mendapat bermacam-macam ilmu sebelum pada suatu saat ia akan diperbandingkan dengan Anusapati. Langsung atau tidak langsung."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan pada saatnya Anusapati dapat mempersiapkan dirinya," berkata Mahisa Agni lebih lanjut. "Kumpulan dari pengetahuan atas ilmu yang mantap, aji Gundala Sasra, Kala Bama dan Bajra Pati akan dapat memberikan banyak manfaat bagi perkembangan ilmu dasarnya Gundala Sasra. Asal Anusapati mendapat tuntunan yang terarah ia tidak akan ditelan oleh benturan yang tidak mampuan dari kedua ilmu itu, dan bahkan mungkin ilmu-ilmu yang lain kelak."
Sumekar masih juga mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kini ia sudah mendapat pegangan. Ia menjadi semakin yakin bahwa memang Witantra adalah seorang pejuang yang tidak diombang-ambingkan oleh perasaan dan sikap pribadi. Ia hanya mendambakan suatu negeri yang makmur dan berarti bagi rakyatnya. Karena itu, betapa-pun juga ia mempunyai persoalan pribadi, namun ia tidak mau mengguncang Singasari yang sedang mendaki ke puncak kejayaannya.
"Nah bagaimana pendapatmu," bertanya Mahisa Agni.
"Aku sependapat dengan kakang Mahisa Agni sudah jauh lebih banyak mengenal watak dan tabiatnya. Didalam hubungan yang pendek aku juga sudah melihat sifat-sifat itu, sehingga akupu-pun percaya kepadanya bahwa ia sama sekali tidak bermaksud buruk."
"Aku akan berbicara pula dengan Witantra. Ia sering pula datang kemari. Kadang-kadang tanpa disangka-sangka ia sudah berdiri diambang pintu, dalam pakaian seorang pratapu."
"O." "Aku akan meyakinkan, apa yang sudah dikerjakannya."
Sumekar masih juga mengangguk-angguk.
Demikianlah maka mereka-pun telah menentukan suatu sikap yang serupa atas Witantra. Keduanya tidak berkeberatan apabila untuk seterusnya Witantra hadir didalam dunia pertumbuhan Pangeran Pati Anusapati.
Setelah berdiam diri sejenak maka Sumekar-pun kemudian berkata selanjutnya, "Kakang. selain Witantra masih ada yang akan aku bicarakan."
"Tentang?" "Tentang Putera Mahkota."
Mahisa Agni tidak menyahut. Tetapi kerut merut dikeningnya menjadi semakin dalam.
"Di hari-hari terakhir tampaknya hati Putera Mahkota menjadi semakin sepi."
Mahisa Agni tidak segera menyahut.
"Beberapa saat yang lampau. Putera Mahkota tidak pernah mempersoalkan apabila Sri Rajasa pergi berburu dan membawa serta tuanku Tohjaya. Tetapi sekarang, Tuanku Anusapati merasa dirinya menjadi semakin terasing. Saat ini aku masih dapat membujuknya dengan macam-macam cara. Tetapi aku mencemaskannya, bahwa pada suatu saat perasaan sepi dan terasing dari keluarganya itu akan meledak dalam bentuk yang tidak kita ketahui sebelumnya."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Yang menjadi persoalan bagi kita adalah bagaiman kita dapat mengisi kesepian dan kekosongan hati Putera Mahkota itu?"
"Bagaimana dengan ibunda Permaisuri?"
"Bukan maksud ibunda Permaisuri memisahkannya dari adik-adiknya. Tetapi kembali kepada sikap Sri Rajasa, maka perhatian ibunda Permaisuri seakan-akan telah terampas oleh putera-puteranya yang kemudian. Hanya kadang-kadang saja Putera Mahkota menghadap ibunda di bangsal Permaisuri."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya, terbayang kembali wajah Permaisuri Ken Dedes dirongga matanya, sejak ia masih seorang gadis di Panawijen. Meski-pun bukan maksudnya sendiri, namun Ken Dedes adalah seorang perempunn yang mempunyai anugerah ciri kebesaran yang jarang bahkan hampir tidak pernah dijumpai pada perempuan yang lain.
Namun sebagai manusia biasa ia mempunyai kelemahan-kelemahan. Dan kini karena pengaruh lingkungannya, ia telah membiarkan puteranya yang sangat dikasihinya itu menjadi kesepian. Mungkin Ken Dedes sendiri akan menjadi sangat bersedih apabila ia mengetahui keadaan Anusapati yang sebenarnya. Mengetahui keadaan bukan saja lahiriahnya, tetapi juga isi jiwanya.
"Adi Sumekar," berkata Mahisa Agni kemudian,"Putera Mahkota memerlukan perhatian ibunda lebih banyak lagi. Adik-adiknya memang lebih leluasa berhubungan dengan ayahanda dan ibunda, namun Permaisuri sendiri harus memberi lebih banyak peluang untuk putera sulungnya."
"Itulah yang barangkali kurang mendapat perhatian. Mungkin tuanku Permaisuri sama sekali tidak bermaksud demikian. Namun keadaan lingkungannyalah yang telah menjadikannya seakan-akan agak terpisah dan putera sulungnya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, "Tetapi kenapa kau menyinggung masalah itu" Atau barangkali kau telah membayangkan suatu cara yang paling baik untuk menolong keadaan Anusapati."
"Kakang Mahisa Agni. Sekarang Tuanku Putera Mahkota telah dewasa penuh! Bahkan adik-adiknya-pun telah menjadi anak-anak muda yang gagah. Apalagi tuanku Tohjaya. Apakah tidak pada tempatnya apabila kakang Mahisa Agni sebagai pamannya memikirkan untuk mencari seorang perempuan yang dapat menjadi kawan hidup Tuanku Putera Mahkota itu?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Kalau tidak ada seorang-pun yang memikirkannya maka hal itu pasti tidak akan segera menarik perhatian tuanku Anusapati sendiri. Sehingga apabila padfa suatu saat, tuanku Tohjaya atau seorang adiknya yang lain, Putera Tuanku Sri Rajasa mendahuluinya, maka Tuanku Pangeran Pati akan merasa semakin kesepian."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah adik-adiknya sama sekali, tidak pernah bergaul dengan Anusapati" Maksudku adik-adiknya yang lahir dari Permaisuri itu pula?"
"Jarang sekali. Sekali-kali mereka berkumpul juga. Telapi itu hanya terjadi tidak lebih dari sepekan sekali. Yang paling sering datang berkunjung atau kadang-kadang mereka bertemu dihangsal ibunda Permaisuri adalah adinda Mahisa-wongateleng."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Baik Anusapati mau-pun Mahisa-wongateleng adalah putera Ken Dedes. Juga putera-puteranya yang lain Panji Sabrang, Agnibaya dan adik-adiknya. Tetapi yang paling dikenalnya adalah Anusapati. Atas putera-putera Ken Dedes yang lain Mahisa Agni tidak begitu mengenalnya seorang demi seorang dengan baik. Ia hanya mengenal mereka itu sebagai kemanakanuya. Tetapi ia tidak mengenalnya lebih dekat lagi. Hanya Anusaoptilah yang dapat dikenalnya lahir dan batinnya, justru karena Anusapati seakan-akan terpisah dari lingkungannya di istana.
"Apakah Mahisa-wongateleng mengenal keadaan Anusapti dengan baik?"
"Tidak, tidak seorang-pun yang mengenal tuanku Putera Mahkota."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Perlahan-lahan ia berdesis, "Kau benar adi Sumekar. Aku kira jalan itu dapat ditempuh Anusapati akan melengkapi kekurangannya dengan hubungan yang akrab didalam lingkungannya sendiri."
"Tuanku Putera Mahkota akan dapat membagi kesepiannya."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Tetapi tidak mudah memilih seorang isteri buat Anusapati. Ia harus seorang yang sabar dan mengerti keadaan Anusapati sepenuhnya. Ia harus dapat menjadi tempat yang dapat memberikan kesejukan dihati Putera Mahkota yang gersang itu."
"Tentu. Kita akan dapat membantunya. Kalau tuanku Anusapati mendapatkan seorang gadis yang hidup didalam lingkungan yang prihatin pula mungkin ia akan dapat membagi duka. Tetapi kalau sebaliknya ia mendapatkan seorang gadis yang manja, maka hal itu hanya akan menambah duka hatinya menjadi semakin parah. Tuanku Anusapati memerlukan seorang perempuan dengan sifat keibuan yang sejuk. Selama ini ia merasa bahwa kasih ibunya telah dirampas oleh keadaan, oleh ayahandanya dan oleh adik-adiknya sendiri."
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Direnunginya nyala pelita yang bergetar disentuh angin malam yang dingin.
Namun kemudian ia berkata, Ya, seorang gadis dari suatu lingkungan yang prihatin. Seorang gadis yang mempunyai sifat keibuan yang sejuk. Seorang gadis yang tidak mementingkan diri sendiri dan mengerti sepenuhnya keadaan Anusaputi. Tetapi selain daripada itu. ia harus seorang gadis yang cerdas dan berhati Agung dan berwibawa. Kelak ia adalah seorang Permaisuri. Itulah yang agak sulit. Tentu banyak gadis yang ingin menjadi searang Permaisuri, tetapi jarang gadis yang mau mengalami prihatin dan tidak mementingkan dirinya sendiri."
Sumekar-pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang terlampau sulit untuk mendapatkan seorang perempuan yang sekaligus memenuhi beberapa syarat. Syarat yang tidak dapat ditinggalkan pula gadis itu harus mempunyai darah seorang besar yang akan pantas menjadi seorang Permaisuri dan kelak menjadi Seorang ibu dari Puteri Mahkota berikutnya.
Tetapi lebih-lebih dari semuanya itu baik Mahisa Agni mau-pun Sumekar sadar bahwa bukanlah mereka yang harus menentukan siapa yang akan menjadi isteri Anusapati kelak. Mereka hanya dapat mengusulkan. Tetapi yang akan menentukan kata terakhir adalah Sri Rajasa sebagai ayahandanya.
"Ken Arok dapat mencari siapa saja untuk dijadikan isterinya," berkata Mahisa Agni seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.
"Bahkan ia dapat berbuat lain sama sekali tidak ada seorang-pun perempua-pun yang dipilihnya untuk dijadikan isrti Putera Mahkota," berkata Sumekar.
"Ya, memang mungkin sekali Sri Rajasa dapat berbuat apa saja. Yang baik mau-pun yang tidak baik bagi Anusapati," sahut Mahisa Agni, "tetapi aku mengharap bahwa Ken Dedes masih dapat berbuat sesuatu untuk anaknya. Aku kira kalau Ken Dedes berani mengusulkan sesuatu tantang Anusapati. Sri Rajasa-pun akan segan menolaknya justru karena keduauya tahu. siapakah Anusapati itu. Ken Arok pasti tidak akan dapat berbuat sewenang-wenang dengan berterus terang kepada Ken Dedes termasuk untuk mendapatkan seorang isteri bagi Pangeran Pati."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Memang mungkin sekali. Persoalan selanjutnya, bagaimana dengan tuanku Permaisuri. Kita berharap bahwa untuk masalah yang penting ini Tuanku Permaisuri akan bersedia berbuat sesuatu, betapa-pun berat perasaannya. Kalau tidak, maka Ken Umanglah yang akan menentukan segala-galanya, tuanku Pangeran Pati akan dijerumuskan kedalam perkawinan yang sama sekali tidak akan memberinya kebahagiaan. Apalagi memberikan kesejukan seorang ibu baginya."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia berkata, "Aku akan menghubungi Ken Dedes dalam waktu singkat. Kelak aku akan mempertaruhkan pengaruh pribadiku yang masih tersisa atas keduanya, baik Permaisuri man-pun Ken Arok sendiri. Mudah-mudahan Sri Rajasa masih mempunyai sedikit rasa segan kepadaku. Didalam persoalan yang penting, aku kira suaraku tidak akan diabaikannya, ia pasti masih memperhitungkan banyak persoalan sebelum memutuskan untuk menyingkirkan aku sama sekali."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Cobalah kakang Mahisa Agni. Memang akibatnya akan dapat menyimpang dari keinginan kita. Tetapi kalau kita tidak berani berbuat apa-pun maka semua jalan pasti akan tertutup bagi Tuanku Anusapati."
Demikianlah maka didalam pembicaraan itu, mereka berkesimpulan bahwa mereka akan ikut serta mengambil peranan didalam masalah yang penting itu, masalah seorang isteri bagi Anusapati.
Selain pembicaraan yang penting maka Sumekar-pun menceriterakan pula serba sedikit tentang guru Anusapati yang baru. Meski-pun ia kemanakan Ken Umang, namun sikapnya agak berbeda. Prajurit itu masih mempunyai harga diri yang cukup baik dibandingkan dengan guru mereka yang terbunuh didalam jurang itu.
"Sukurlah," gumam Mahisa Agni, "mudah-mudahan ia mendapatkan jalan yang lapang dihari-hari mendatang."
"Kehadiran Witantra langsung didalam kehidupannya merupakan masalah yang dapat membantunya," berkata Sumekar.
"Tetapi Anusapati tidak boleh keliru ini hanyalah kesimpulan. Kita sama sekali bukan setuju kumpulan orang-orang sakit hati yang akan mempergunakannya untuk tujuan tertentu. Kita harus meyakinkannya, bahwa kita hanyalah sekedar akan membantunya, memberikan keberhasilan didalam kedudukannya." berkata Mahisa Agni. Kemudian, "Tetapi apabila ada orang lain yang mengetahui masalah ini maka akan dapat dengan sengaja berbuat demikian. Orang ini akan dapat menyebut beberapa nama yang memang dapat ditarik kedalam suatu lingkaran orang-orang sakit hati. Mungkin aku, kau, Kuda Sempana, Witantra, Mahendra dan beberapa orang-orang lain. Hal ini harus kita hindarkan, karena kita sama sekali tidak ingin berbuat demikian. Kita hanya membantu untuk mengembangkan hati Putera Mahkota dan mengembangkan Singasari kelak."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, ia-pun menyadari bahaya itu. Bahaya yang dapat menyeret mereka kedalam kesulitan. Bahkan bersama Putera Mahkota.
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 2 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pedang Naga Kemala 6
^