Pencarian

Bara Diatas Singgasana 16

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 16


"Hamba hanya menduga-duga."
"Dugaanmu sebagian benar. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Tetapi biarlah yang sudah lampau. Tetapi apakah masih ada kemungkinan baik bagiku?"
"Tuanku benar-benar mengherankan. Aku tidak mengerti apakah yang sudah terjadi diarena ini. Aku bahkan menjadi bingung melihat hasil usahaku sendiri."
Anusapati tidak segera menyahut. Namun ia melihat kebimbangan membayang di wajah gurunya. Agaknya gurunya melihat sesuatu yang kurang dimengertinya. Dan Anusapati-pun langsung dapat menduga, bahwa didalam perkelahian yang berat sebelah itu, terjadi hal-hal yang aneh baginya.
"Tuanku," berkata gurunya, "mungkin hamba memang sudah pikun. Hamba melihat tata gerak yang tidak pernah hamba berikan kepada tuanku Tohjaya didalam latihannya yang terlampau bernafsu ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Apakah kau dapat mengetahui tata gerak yang manakah yang telah kau berikan kepada seseorang didalam suatu perkelahian dan yang mana yang tidak?"
"Hamba tuanku. Hamiba dapat mengenal tata gerak hamba dan yang pernah hamba berikan kepada murid hamba. Dan sudah tentu hamba dapat mengenal tata gerak yang tidak hamba ketahui."
"Tetapi apakah didalam suatu perkelahian hal itu tidak terjadi secara kebetulan saja." Anusapati berusaha meyakinkan.
"Biasanya tidak tuanku. Biasanya didalam gerak yang cepat dan tidak terkendali, secara naluriah, tata gerak yang sudah dimiliki itu akan muncul didalam beberapa jenis gabungan yang memang tampaknya agak lain dan tiba-tiba. Tetapi bagi seorang yang menguasai ilmu itu pasti akan segera dapat membedakan, unsur-unsur gerak yang menyusup dari susunan ilmu yang lain."
"Dan kau melihat pada tata gerak adinda Tohjaya?"
"Hamba tuanku."
"Bagaimana menurut pikiranmu" "
Perwira itu termenung sejenak. Tetapi ia tidak segera menyahut. Bahkan Anusapati telah bertanya pula, "Apakah kau juga berpikir begitu tentang aku?"
"Tidak tuanku. Tuanku masih berada didalam batas-batas tata gerak yang hamba berikan. Namun tuanku-pun telah mengherankan hamba pula."
"Kenapa?" "Tuanku mampu bergerak terlampau cepat. Jauh melampaui kecepatan yang pernah hamba saksikan diarena latihan ini sebelumnya."
"Benar begitu" "
"Hamba tuanku. Hamba berkata sebenarnya."
Anusapati memandang gurunya dengan tajamnya. Kemudian kepalanya terangguk-angguk. Dan ia-pun kemudian berlanya, "Apakah sebabnya maka dapat terjadi demikian?"
Perwira itu menggeleng, "Hamba tidak tahu tuanku. Tetapi ada dugaan hamba, bahwa tuanku Tohjaya telah mendapat guru yang lain kecuali hamba."
"Apakah hal itu melanggar tata kesopanan suatu perguruan?"
"Diluar istana ini, dipadepokan-padepokan dan diperguruan-perguruan olah kanuragan, memang demikian. Seorang guru akan merasa tersinggung apabila muridnya menjadi murid orang lain, atau berguru kepada orang lain selagi ia masih tetap menjadi muridnya, apabila hal itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan seijinnya."
"Kenapa kau mengatakan padepokan dan perguruan, diluar halaman istana ini?"
"Didalam istana ini semuanya serba lain tuanku. Apa-pun yang dikehendaki oleh Sri Rajasa tidak akan ada yang berani menentang. Seandainya Sri Rajasa memang menghendaki puteranya dipimpin oleh dua atau tiga orang guru sekalipun, maka tidak akan ada orang yang dapat menentangnya."
"Bagaimana kalau Sri Rajasa sendiri?"
Gurunya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, "Hamba kurang mengerti tuanku. Hamba belum pernah melihat, bagaimana sebenarnya ayahanda Sri Rajasa. Hamba hanya pernah mengikuti tuanku Sri Rajasa itu berburu. Tetapi hamba belum pernah melihat tuanku Sri Rajasa itu benar-benar didalam suatu pertempuran sehingga hamba tidak dapat mengatakan apakah ilmu yang dimiliki oleh tuanku Tohjaya itu bersumber pada tuanku Sri Rajasa. Sedangkan apabila demikian seharusnya tuanku Putera Mahkota akan mendapatkan bimbingannya pula, karena Sri Rajasa adalah seseorang yang berilmu tanpa tanding. Bahkan seakan-akan ia memiliki ilmu yang gaib. Sayang hamba belum pernah berkesempatan menyaksikan ilmu itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun segores keprihatinan yang pahit telah menyentuh hatinya. Apabila benar demikian, maka ia benar-benar seorang Putera Mahkota yang tersisih dari sisi ayahanda. Seandainya Tohjaya mendapat warisan ilmu yang tidak ada duanya itu, maka kenapa bukan Tohjaya sajalah yang diangkat menjadi Putera Mahkota"
Sampai saat itu Anusapati masih yakin bahwa ilmunya yang sebenarnya telah jauh melampaui kemampuan Tohjaya. karena Tohjaya pasti tidak akan berusaha seperti dirinya sendiri, menyimpan ilmu yang dimilikinya. Tetapi apakah lambat laun ilmu Tohjaya itu tidak akan merayap mendekati kemampuannya"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Bukan Tohjaya sendirilah yang agaknya telah menyakiti hati gurunya. Seandainya gurunya itu mengetahuinya, ia-pun akan menyakiti hatinya, karena ia-pun telah berguru pula kepada orang lain. Bahkan perlahan-lahan ia telah menyerap ilmu dari dua perguruan yang dapat disatukan dengan serasi seperti yang dilakukan oleh gurunya. Yaitu ilmu dari perguruan mPu Purwa lewat Mahisa Agni dan ilmu dari mPu Sada, juga lewat Mahisa Agni dan sebagian dapat diserapnya dari Sumekar, kawan berlatihnya. Bahkan atas ijin Mahisa Agni, ia-pun telah mencoba meluluhkan ilmu dari perguruan Panji Bojong Santi dibawa oleh Witantra kepadanya. Semuanya itu dapat dilakukan karena Anusapati telah cukup matang memahami ilmunya didalam olah kanuragan. Namun demikian, ia sadar, apabila Sri Rajasa telah menurunkan ilmunya kepada Tohjaya, maka pada suatu saat, ia akan mendapat perbandingan ilmu yang cukup berat.
"Aku harus lebih tekun," berkata Anusapati didalam hatinya.
Demikianlah akhirnya Anusapati-pun meninggalkan arena latihan itu pula. Dengan kepala yang tunduk ia berjalan di halaman istana. Disudut-sudut dinding telah terpancang obor-obor yang melemparkan cahayanya yang kemerah-merahan.
Angin malam yang silir membuat Anusapati merasa segar. Dengan tangannya ia mengusap kening yang basah oleh keringat. Anusapati hampir tidak memperhatikan keadaan disekitarnya, karena ia selalu mengingat-ingat tata gerak Tohjaya yang tidak bersumber dari perwira prajurit yang melatihnya itu. Ia ingin menunjukkan kepada orang-orang yang pernah melihat ayahanda Sri Rajasa bertempur.
"Hanya paman Mahisa Agni," desisnya, "tentu tidak mungkin aku bertanya kepada para Panglima yang pernah mengikuti ayahanda kemedan perang. Mereka pasti akan menjadi curiga dan mempersoalkannya. Tetapi kapan aku dapat menemui paman Mahisa Agni?"
Namun demikian ingin juga Anusapati menunjukkannya kepada Sumekar atau kepada Witantra. Mungkin mereka dapat memberikan tanggapan atas tata gerak yang belum dikenalnya itu.
Langkah Anusapati tertegun ketika tiba-tiba saja ia berpapasan dengan Tohjaya beserta pengawalnya. Hampir saja Anusapati melanggarnya, karena seluruh perhatian sedang ditumpahkannya kepada tata gerak adiknya itu.
"Apakah kakanda Anusapati sedang melamun?" bertanya Tohjaya.
"O. maaf adinda," desis Anusapati, "aku terlampau letih. Dadaku masih terasa sakit."
"Salah kakanda sendiri. Kalau kakanda membantu aku, kakanda tidak akan menjadi sakit."
"Mungkin. Mungkin memang salahku."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Ia tidak menduga bahwa Anusapati langsung mengaku salah. Ia mengharap Anusapati membela diri dan dengan demikian ia akan dapat mengumpatinya. Tetapi Anusapati tidak membantah.
"Kakanda," berkata Tohjaya kemudian, "beruntunglah kakanda bahwa aku masih menjaga nama baik kakanda. Dengan demikian aku tidak menyampaikannya kepada ayahanda tentang kakanda. "
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar. Demikianlah setiap kali. Tohjaya selalu mengadukannya kepada Sri Rajasa yang kemudian memanggilnya dan memarahinya.
"Tetapi apabila kakanda menggagalkan niatku lain kali, aku tidak akan memaafkannya lagi. Aku akan langsung menghadap ayahanda Sri Rajasa dan mengatakan apa yang telah terjadi."
Anusapati tidak menjawab.
"Ingat-ingatlah kakanda. Aku tidak bermain-main. Kita sudah sama-sama meningkat dewasa. Kita harus dapat saling membantu, saling menjaga nama baik dan harga diri. Kakanda telah membuat aku malu dihadapan adik-adik dan gurunya."
"Kenapa adinda menjadi malu?"
" Suatu kesengajaan, pasti suatu kesengajaan. Kakanda ingin menumbuhkan kesan kepada adinda Mahisa-wonga-teleng dan adinda yang lain, bahwa Anusapati adalah seorang yang sabar. Yang membiarkan dirinya disakiti. Dengan demikian maka kesan yang sebaliknya akan timbul padaku. Aku seakan-akan seorang yang tamak, sombong dan tidak berperi kemanusiaan. Bukankah begitu?"
"Adinda. Kenapa adinda berkesan demikian, seolah-olah aku dengan sengaja ingin merusak nama baikmu?"
"Ah, jangan ingkar lagi kakanda. Sudah aku katakan, kali ini aku tidak akan berbuat sesuatu. Tetapi kakanda harus menyesal dan disaat yang lain kakanda tidak mengulanginya. Lebih baik bagi kakanda untuk mengakui kekalahan kakanda daripada menghinakan aku demikian."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Bagaimana-pun juga aku ingin mengatakan bahwa kesan yang kau tangkap itu sama sekali keliru. Aku sama sekali tidak berniat demikian."
Tetapi Tohjaya tertawa menyakitkan hati. Katanya, "Boleh saja kakanda ingkar. Aku-pun tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi kalau kakanda berbuat sekali lagi, maka aku tantang kakanda untuk benar-benar berkelahi. Aku tidak akan setiap kali mengadu kepada ayahanda. Maksudku agar kakanda mendapat nasehat dari ayahanda dan tidak menimbulkan salah paham. Tetapi kesalahan-lahan yang serupa selalu kakanda ulangi, bahkan semakin lama semakin menyakitkan hati. Karena itu, meski-pun ayahanda berpesan bahwa kita masing-masing tidak boleh melakukan tindakan sendiri-sendiri, aku tidak akan menghiraukannya lagi. Kakanda Anusapati akan menanggung akibatnya kalau aku menjadi benar-benar marah dan tidak dapat mengendalikan diri lagi."
Anusapati masih tetap berdiam diri. Dan Tohjaya berkata selanjutnya, "Pikirkanlah kakanda. Kecuali kakanda memang sudah siap menghadapi tantangan itu. Ingat, akan aku tantang kakanda untuk berkelahi. Sesungguhnya berkelahi."
"Itu tidak pantas adinda. Kita adalah putera-putera ayahanda Sri Rajasa. Kalau kita selalu bertengkar, maka hal itu pasti akan menyuramkan nama ayahanda pula."
"Nah, sekarang kakanda mencoba bersembunyi dibelakang nama ayahanda," jawab Tohjaya, "Tetapi aku tidak akan peduli. Kita adalah laki-laki dewasa."
"Kalau kita meski-pun bersaudara, tetapi lahir diantara rakyat kebanyakan, tidak banyak orang yang akan memperhatikan kita. Tetapi kita adalah putera raja yang besar, dan apalagi aku adalah seorang Pangeran Pati. Sudah tentu tidak, akan pantas kalau hal itu terjadi."
"Terjadi atau tidak terjadi itu terserah kepada kakanda. Kalau kakanda tidak mengganggu aku lagi, apalagi dihadapian banyak orang, maka aku-pun tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi kalau aku sekali lagi merasa tersinggung, maka aku akan segera mulai. Biar-pun dihadapan orang banyak, bahkan dihadapan ayahanda Sri Rajasa sendiri."
Anusapati tidak menjawab. Dipandanginya wajah adiknya. Kemudian disambarnya pula wajah-wajah pengawalnya yang berdiri tegak dibelakang Tohjaya itu.
"Hem," desis Anusapati didalam hatinya, "pengawal-pengawal itu terlampau setia. Mereka sama sekali tidak sempat berpikir, apa dan bagaimana tugas-tugas mereka. Kalau Tohjaya terlibat didalam suatu persoalan, mereka akan segera terlibat pula."
"Nah, apakah kakanda berjanji tidak akan menyakiti hatiku untuk seterusnya?"
"Kalau begitu, apakah kita saling berjanji adinda," jawab Anusapati kemudian.
"Maksud kakanda?"
"Kita bersama-sama berjanji, bahwa kita tidak akan saling menyakiti hati. Kita tidak akan saling menyinggung perasaan dan saling mengganggu. Biarlah kita hidup didalam dunia kita sendiri-sendiri. Biarlah kita tidak saling berbuat sesuatu yang memungkinkan kita saling menyinggung perasaan."
Sejenak Tohjaya terdiam. Wajahnya menjadi merah. Ia tidak menyangka bahwa kakaknya telah menghadapkannya pada pertanyaan yang sulit itu.
"Aku kira pendapatku itu adil. Bukan sepihak saja. Bukan hanya aku yang harus berjanji tidak menyakiti hatimu, tetapi kau-pun harus berbuat demikian."
Tiba-tiba kening Tohjaya menegang dan bertanya, "Apakah aku pernah menyakiti hati kakanda?"
"Mungkin kau tidak sengaja berbuat demikian."
"Nah, kakanda sudah mengatakan bahwa mungkin aku tidak sengaja. Bagaimana aku dapat mencegah kalau aku tidak sengaja berbuat demikian."
"Jadi." "Itu diluar perjanjian. Sudah tentu sesuatu yang tidak disengaja tidak akan dapat kita persoalkan."
"Baiklah. Tetapi ketahuilah, bahwa aku juga tidak sengaja menyakiti hatimu. Bahkan aku tidak menduga bahwa kau menjadi sakit hati dan merasa tersinggung karenanya. Padahal, aku merasa bahwa yang aku lakukan adalah hal yang sewajarnya, yang paling baik."
"Omong kosong."
"Jadi, ternyata bahwa apa yang kita anggap menyinggung perasaan, menyakitkan hati dan sebagainya itu tergantung sekali, darimana kita memandang. Adinda Tohjaya, cobalah kau renungkan. Kalau pada suatu saat kakimu terantuk batu didalam bilikmu, maka kau tentu akan marah. Siapakah yang menaruh batu didalam bilik itu pasti kau anggap bersalah, karena tidak pada tempatnya batu berada didalam bilik. Tetapi kalau kau yang menaruh batu itu, dan orang lain, hamba-hambamu yang kakinya terantuk batu itu, maka kau-pun akan marah kepadanya. Kau akan mengatakan bahwa mereka tidak melihat apa yang ada didepan mereka. Mereka tidak berhati-hati, bahkan kau akan menuduh bahwa mata mereka terpejam dan apa lagi. Begitulah kira-kira keadaan ini yang tidak menyenangkan kau apa-pun sebabnya pastilah bersalah. Sedang ukuran kebenaran hanyalah kau pandang dari sudut kepentinganmu dari sudutmu sendiri. Itu adalah salah satu sebab, maka kau menganggap bahwa akulah yang selalu menyinggung perasaanmu. Akulah yang menyakiti hatimu dan akulah yang harus melihat kepada diri sendiri apa saja yang sudah aku lakukan, kesalahan apta saja yang telah aku perbuat."
Tohjaya menjadi merah padam. Kemarahannya telah membakar darahnya. Namun ia tidak membantah. Apalagi ketika Anusapati bertanya, "Nah, apakah kali ini aku juga telah menyinggung perasaanmu, menyakiti hatimu dan kau menganggap bahwa kau merasa perlu untuk menghukum aku dengan caramu itu" "
Yang terdengar adalah gemeretak gigi Tohjaya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba saja ia melangkahkan kakinya meninggalkan Anusapati yang berdiri termangu-mangu.
Tohjaya yang marah ini sama sekali tidak berpaling lagi. Bahkan langkahnya menjadi semakin panjang dan cepat. Seolah-olah Anusapati adalah seseorang yang harus dijauhinya.
Anusapati hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia masih memandang langkah Tohjaya sejenak, yang kemudian hilang disudut dinding halaman dalam.
"Aku benar-benar dapat menjadi gila menghadapi persoalan-persoalan serupa ini," gumam Anusapati. Ternyata dengan susah payah ia telah menahan perasaannya. Sehingga dadanya seakan-akan merasa retak, hampir saja perasaan itu meledak tidak terkendalikan lagi. Untunglah Tohjaya segera pergi meninggalkannya. Kalau saja Tohjaya pada saat itu berbuat sesuatu, maka Anusapati pasti akan lupa diri, dan melayaninya dengan marah pula.
Anusapati terkejut ketika ia melihat seseorang berjongkok di halaman bangsalnya. Didalam kegelapan. Sedang embannya masih juga berdiri di serambi.
Dengan dada yang berdebar-debar Anusapati melangkah mendekati orang yang berjongkok itu. Agaknya orang itu baru sibuk dengan sebatang tanaman di halaman.
"Ampun tuanku," embannya yang melihat kedatangannya segera menyongsongnya. "juru taman itu sudah minta ijin kepadaku, untuk menancapkan sebatang tanaman baru di halaman seperti pesan tuanku."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Meski-pun ia tidak pernah berpesan sesuatu, namun ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Bagus. Apakah ia sedang menanam pohon itu?"
"Hamba tuanku," jawab embannya.
Anusapati-pun melangkah terus, mendekati juru taman yang tidak lain adalah Sumekar.
"Kau menanam pohon itu?" bertanya Anusapati.
"Hamba tuanku," jawab Sumekar, "baru hamba mengambilnya dari taman. Hamba tidak dapat melakukannya di siang hari. Pohon jenis ini terlampau lemah. Karena itu, batang bunga ini hanya dapat ditanam dimalam hari."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Sumekar-pun agaknya menjadi gelisah. Ia ingin segera mendengar apa yang telah terjadi. Tetapi ia tidak segera dapat mendekatinya dan berceritera tentang dirinya, karena embannya-pun menunggunya pula.
Karena itu maka Anusapati-pun kemudian berjalan ketangga bangsalnya diikuti oleh embannya. Namun tiba-tiba ia tertegun sambil berpaling, "Pergilah dahulu bibi. Sediakan pakaian dan air panas. Aku akan berpesan kepada juru taman itu sejenak."
Emban itu-pun mengangguk sambil menjawab, "Hamba tuanku. Hamba akan segera menyediakannya."
Ketika emban itu kemudian masuk kebangsalnya dan langsung pergi kebilik Anusapati menyediakan pakaiannya, kemudian menyediakan air panas dipakiwan, Anusapati telah menemui Sumekar yang sedang berjongkok disamping sebatang pohon bunga.
"Semakin lama hubungan kami menjadi semakin jelek," desis Anusapati.
"Ya tuanku. Hamba melihat apa yang terjadi."
"Diarena?" "Bukan tuanku. Di halaman sebelah, ketika tuanku Tohjaya menunggu tuanku."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diceriterakannya dengan singkat apa yang telah terjadi di arena. Apa yang telah dilakukan oleh Tohjaya untuk menghinakannya, dan apa pula yang dikatakan oleh Tohjaya di halaman, bahwa ialah yang telah menyinggung perasaan dan menghina Tohjaya.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Sampai saat ini tuanku masih tetap berhasil berbuat sebaik-baiknya."
"Tetapi jelas, bahwa pada suatu saat aku akan kehilangan akal. Tohjaya sudah dihinggapi penyakit anak-anak jalanan, ia berbuat seperti dijalan-jalan saja, meski-pun di halaman istana. Ia mencegatku, mengancam dan menantang berkelahi. Itu sama sekali bukan sifat seorang satria."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Didalam kitab-kitab aku jumpai tulisan-tulisan, bahwa sifat satria bukan sekedar berani menantang perang tanding. Tetapi seorang satria harus berani memandang kebenaran menurut penilaian wajar. Meski-pun masih juga tergantung kepada setiap pribadi, namun dalam batasan yang umum, ada juga nilai-nilai yang pantas untuk disebut sebagai suatu kebenaran, setidak-tidaknya yang telah disetujui bersama. Meski-pun bukan kebenaran yang hakiki yang masih harus dicari. Alangkah bahagianya apabila kita pada suatu saat dapat menemukan kebenaran itu dan dapat menerimanya didalam hati. "
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Hamba juga pernah menjumpainya didalam kitab."
"Nah. Karena itulah agaknya aku justru menjadi semakin bimbang akan diriku sendiri. Kadang-kadang aku melihat nilai-nilai kebenaran yang hakiki itu didalam kitab-kitab tuntunan untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung. Tetapi kadang-kadang kita tidak dapat menerima seutuhnya, dan mencoba menyesuaikan dengan keinginan kita sendiri, dengan kepentingan kita pribadi."
Sumekar mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Dengan demikian ia melihat betapa keragu-raguan dan kebimbangan tentang diri sendiri, tentang masa depan dan harapan, tentang hidup dan kehidupan, menjadi semakin dalam mencengkam jantungnya.
"Hal ini menjadi sangat berbahaya bagi Putera Mahkota," berkata Sumekar didalam hatinya, "pada suatu saat. apabila dadanya benar-benar telah penuh sesak, perasaan yang tidak menentu itu akan dapat meledak dan menghancurkan suasana termasuk dirinya sendiri.
Tetapi Sumekar tidak dapat berkata apapun. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sekilas teringat olehnya, hagaimana mungkin ia dapat berbuat sesuatu agar Putera Mahkota itu dapat segera mendapatkan seorang isteri. Seorang isteri yang baik."
Sumekar mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Putera Mahkota itu berkata, "Paman. Apakah paman pernah melihat unsur-unsur gerak ayahanda Sri Rajasa?"
Sumekar mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, "Hamba belum pernah melihat tuanku. Tetapi barangkali pamanda Mahisa Agni pernah. "
"Tentu, paman Mahisa Agni tentu pernah melihatnya," jawab Anusapati, "aku ingin meyakinkan, apakah tata gerak yang dimiliki oleh Tohjaya itu bersumber dari ayahanda Sri Rajasa. Jika demikian, maka pasti ada sesuatu didalam istana ini. Yang tampak pasti tidak akan sesuai dengan yang tersembunyi. Ayahanda akan membuat garis yang tajam antara keturunan Ken Dedes dan keturunan Ken Umang."
"Tuanku jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Biarlah pada suatu saat tuanku meyakinkannya," sahut Sumekar, "memang didalam saat yang tidak terbatas, tuanku harus menahan hati. Hamba tahu tuanku. Bahwa hal itu bukannya suatu pekerjaan yang mudah. Tetapi yang harus tuanku lakukan."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak sempat berkata apa-apa lagi karena embannya telah datang mendekatinya sambil berkata, "Tuanku, semuanya telah hamba sediakan."
"Terima kasih bibi."
"Sebaiknya tuanku segera mandi, supaya air hangat itu tidak menjadi dingin."
Anusapati menganggukkan kepalanya. Kemudian ditinggalkannya Sumekar sendiri.
Sepeninggal Anusapati, Sumekar-pun kemudian berdiri sambil berdesis, "Terlampau berat. Agaknya Sri Rajasa benar-benar ingin menyingkirkannya dengan segala macam cara, Ibunda Permaisuri bagaikan seorang yang tenggelam didalam keputus-asaan. Kekecewaan yang paling dalam ketika Sri Rajasa mengambil isteri mudanya, telah membuatnya seolah-olah acuh tidak acuh terhadap kehidupannya sendiri dan kehidupan putera-puteranya."
Sumekar memandang pintu bangsal yang masih terbuka. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia-pun melangkah pergi.
Di pagi hari berikutnya, Anusapati minta kepada Sumekar, untuk keluar dari istana malam nanti, ia ingin menunjukkan kepada Sumekar beberapa tata gerak yang sempat ditangkapnya dari adiknya Tohjaya.
"Apakah tuanku tidak berlatih?" bertanya Sumekar.
"Aku akan berlatih pagi sampai siang hari," jawab Anusapati.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Baiklah tuanku. Hamba akan keluar malam nanti dan menunggu tuanku ditempat yang biasa kita kunjungi."
Dipagi itu, Anusapati dan Tohjaya berlatih seperti kebiasaan mereka. Namun suasananya menjadi lain. Tidak ada gairah sama sekali dari semua pihak, Tohjaya sudah tidak berminat sama sekali mengikuti latihan-latihan itu. Apalagi setelah ia diperkenankan memusatkan diri kepada gurunya yang lain. Gurunya ini, perwira prajurit yang melatihnya bersama Anusapati, adalah sekedar kebiasaan dan suatu cara untuk menunjukkan bahwa Sri Rajasa telah berbuat seadil-adilnya atas kedua puteranya.
Gurunya yang mengetahui, bahwa Tohjaya telah berguru kepada orang lain juga tidak berminat lagi mencurahkan tenaganya untuk menuntun Tohjaya. Namun yang menjadi persoalan baginya adalah Anusapati. Kalau Anusapati masih tetap menuntut ilmunya seperti itu, maka dalam waktu yang singkat ia akan menjadi jauh ketinggalan dari adiknya. Ia benar-benar akan menjadi umpan yang lunak sekali bagi ketamakan Tohjaya dihari-hari mendatang.
Tetapi perwira prajurit itu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak akan dapat menuntun Anusapati dengan cara yang khusus, karena setiap kali, Tohjaya akan hadir juga diarena latihan meski-pun ia sendiri sebenarnya tidak memerlukan. Tetapi kehadirannya sebagian adalah sekedar untuk mengamati perkembangan pengetahuan kakaknya Anusapati. Ia akan dapat melihat seandainya gurunya berbuat curang, memberikan lebih banyak pengetahuan bagi Anusapati.
Sedangkan Anusapati sendiri, sebenarnya tidak memerlukan apa-apa lagi dari perwira itu. Ilmunya telah jauh melampaui kemampuan perwira itu. Hanya karena kuwajibannya dan sekedar menutupi kenyataannya sajalah, maka ia datang kedalam latihan-latihan itu, dan bahkan selalu berpura-pura dan berperan sebagai seorang Putera Mahkota yang bodoh, lemah dan sedikit penakut.
Karena itulah, maka latihan-latihan yang berlangsung berikutnya, tidak ubahnya sebagai suatu permainan yang sangat menjemukan. Meski-pun demikian latihan-latihan itu berlangsung terus. Tohjaya selalu datang bersama pengawalnya. Melakukan beberapa gerakan, kemudian menonton Anusapati berlatih sampai mandi keringat, namun kurang mampu menyerap ilmu dari gurunya. Gurunya melatihnya sekedar memenuhi kuwajiban. Dan bahkan akhirnya ia tidak peduli, apakah kedua muridnya nanti akan menjadi seorang yang memiliki ilmu yang cukup atau sekedar mampu melakukan tata gerak bela diri secukupnya.
"Apakah jadinya, kalau pada suatu saat Putera Mahkota memimpin langsung sepasukan prajurit dipeperangan. Atau kelak apabila sudah memegang jabatan ayahanda Sri Rajasa?"
Namun perwira itu kemudian berkata didalam hatinya pula, "Agaknya memang ada suatu kesengajaan seperti yang dikatakan oleh Ken Umang."
Dimalam mendatang, seperti telah dijanjikan, maka Sumekar-pun dengan diam-diam meninggalkan halaman istana, pergi ketepian sungai di celah-celah jurang yang curam. Sejenak ia menunggu hadirnya Pangeran Pati. Dan ternyata ia tidak usah menunggu terlalu lama. Anusapati-pun segera datang menyusulnya.
"Sumekar," berkata Anusapati, "sebelum aku lupa sama sekali aku ingin menirukan tata gerak yang aneh dari Tohjaya. Aku minta agar kau ikut serta mengingat-ingat, sampai pada suatu saat, tata gerak itu akan kita perlihatkan kepada paman Mahisa Agni."
"Baiklah tuanku. Hamba akan mencoba mengingatnya pula."
Sejenak kemudian, maka Anusapati-pun segera memperliatkan beberapa unsur gerak yang pernah ditangkapnya dan Tohjaya.
Sumekar memperhatikannya dengan hati yang berdebar-debar. Meski-pun ia belum pernah melihat, bagaimana Sri Rajasa bertempur, namun menilik ceritera yang pernah didengarnya dari Mahisa Agni, maka Sri Rajasa tidak memiliki ilmu tata bela diri yang teratur dan terperinci. Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa, adalah salah satu dari jenis-jenis manusia ajaib. Ia tidak pernah belajar tata pemerintahan yang teratur, tidak pernah belajar tata bela diri dan olah keprajuritan. Namun ia mampu menjadi seorang pemimpin yang besar, yang menguasai daerah yang luas dan besar.
Memang agak meragukan, kalau orang-orang yang pernah memperhatikan tata gerak dan ilmu Sri Rajasa mengatakan, bahwa Sri Rajasa bertempur dengan kasar dan dengan hati yang bertanya-tanya menyebutkan bahwa cara yang dipergunakan oleh Maharaja yang besar itu agak sedikit liar.
"Ia mendapat anugerah alam," desis Sumekar didalam hatinya. Sedang yang dilihatnya pada Anusapati yang menirukan tata gerak Tohjaya, memiliki pola tertentu dan tersusun rapi.
"Nah," berkata Anusapati kemudian, "apakah kau dapat mengatakan kepadaku, sumber dari ilmu itu?"
Sumekar mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Tuanku, menurut penilikan hamba, aku kira ilmu itu tidak bersumber dari tuanku Sri Rajasa. Tetapi hamba masih belum dapat meyakinkan. Apakah tuanku sudi mengulanginya sekali lagi?"
Ketika Anusapati mengulanginya sekali lagi, Sumekar menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat gerakan-akan yang agak asing dan bahkan dadanya berdesir ketika ia melihat Anusapati menirukan gerakan tangan yang mengerikan. Jari-jarinya mengembang dan lengkung, seperti jari-jari burung elang yang siap menerkam anak ayam. Pukulan-pukulan yang lurus kedepan, kemudian yang mengerikan dan agaknya memusatkan segenap kekuatan pada ujung jarinya."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam ketika Anusapati selesai dengan jenis-jenis tata gerak yang diingatnya. Tata gerak yang masih belum dikenalnya.
"Bagaimana pendapatmu?" bertanya Anusapati.
"Mengerikan sekali."
"Apalagi kalau adinda Tohjaya sendiri yang melepaskannya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bagaimana dengan guru tuanku setelah melihat gerakan-akan itu?"
"Ia menjadi kecewa sekali. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi ia adalah saudara sepupu ibunda Ken Umang."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang sekilas tata gerak yang pernah ditunjukkan oleh kakak seperguruannya, Kuda Sempana. Tata gerak yang didapatnya dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat beberapa tahun yang lampau.
Ada beberapa kemiripan meski-pun Sumekar yakin, bahwa ilmu itu tidak bersumber dari keduanya, atau orang-orang yang seperguruan dengan mereka, karena kedua orang itu sudah bertahun-tahun pula tidak ada lagi.
"Tuanku," berkata Sumekar kemudian, "selain kakang Mahisa Agni, hamba akan dapat minta pertimbangan kepada kakak seperguruan hamba yang bernama Kuda Sempana. Mungkin ia melihat beberapa persamaan dengan ilmu yang sudah dikenalnya. Pengalamannya jauh lebih luas dari pengalaman hamba sendiri."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Atau barangkali kepada Ki Witantra pada suatu saat."
"Ya. Apakah Ki Witantra sudah mengenal ayahanda Sri Rajasa dengan baik?"
"Tetapi aku yakin bahwa orang-orang seperti Ki Witantra mempunyai pengetahuan yang luas tentang berbagai macam ilmu olah kanuragan."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kita akan menunggu saatnya, orang-orang itu dapat kita hubungi."
"Sudah tentu tuanku tidak akan mungkin. Tetapi barangkali, hamba akan mendapatkan kesempatan lain kali."
"Tetapi kau harus ikut mengingat-ingat tata gerak yang aneh itu agar pada suatu saat, kita dapat meyakinkan diri apakah ilmu itu bukan berasal dari ayahanda Sri Rajasa. Sekarang kau hanya dapat menduga-duga saja. Tetapi belum merupakan suatu kepastian."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Namun dalam pada itu, tuanku harus waspada. Bukankah dengan demikian berarti bahwa diluar pengetahuan tuanku, adinda tauanku Tohjaya mendapat tuntunan dalam olah kanuragan" Tuanku tidak akan dapat mengetahui dengan pasti, sampai dimana sebenarnya ilmu adinda tuanku itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jalan satu-satunya bagi tuanku adalah sekali-sekali menerima tantangannya untuk berlatih bersama. Tetapi sudah tentu, tanpa ada orang lain yang akan menjadi saksi kekalahan tuanku, selain guru tuanku, perwira prajurit itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kesempatan yang demikian agaknya sulit dicari. Apabila kesempatan itu ada, maka ia pasti akan benar-benar menderita kesakitan. karena didalam lakon yang akan dibawakannya itu, ia pasti harus kalah.
"Disamping itu," berkata Sumekar kemudian, "tuanku harus rajin berlatih. Diluar atau didalam bilik tuanku. Tuanku harus melatih kekuatan tangan dan kaki. Ada baiknya tuanku berusaha menilik jari-jari tuanku. Tata gerak yang tuanku perlihatkan itu agaknya mempercayakan jari-jari sebagai alat yang sangat berbahaya bagi lawan."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Didalam biliknya ia hanya dapat melatih kekuatan tangan dan kakinya. Bukan kecepatan dan ketrampilan bergerak. Meski-pun demikian, hal itu akan sangat berpengaruh pula baginya.
Ketika mereka sudah merasa cukup, maka keduanya-pun kemudian kembali keistana. Dengan diam-diam, seperti pada saat mereka pergi, demikian pula mereka memasuki halaman istana itu.
Disaat-saat mendatang, latihan-latihan yang berlangsung seakan-akan hanya sekedar berloncat-loncatan saja. Tohjaya tidak memerlukan lagi pengetahuan dari gurunya yang seorang itu. Sedang dengan sengaja ia menghambat kemajuan Anusapati yang dianggapnya mengkhususkan diri berlatih pada perwira itu.
Bahkan ketika mereka berlatih pada suatu pagi, perwira itu berkata, "Tuanku berdua. Hamba telah menerima perintah dari Tuanku Sri Rajasa, bahwa hamba harus segera menyelesaikan latihan-latihan bagi tuanku berdua. Tuanku telah cukup dewasa, dan cukup memiliki bekal. Selanjutnya tuanku dipersilahkan untuk mematangkan ilmu yang ada pada tuanku masing-masing."
Anusapati mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia bertanya, "Kapan latihan-latihan ini akan selesai?"
Didalam waktu singkat tuanku berdua akan meninggalkan masa muda tuanku. Tuanku sudah cukup dewasa. Pada saatnya tuanku akan menjadi orang tua seperti orang-orang lain. Nah, pada saat itulah latihan-latihan akan berakhir. Tuanku Sri Rajasa telah mempertimbangkan hal itu semasak-masaknya."
Tohjaya tersenyum mendengar kata-kata perwira itu. Kemudian katanya, "Maksudmu, begitu kami, aku dan kakanda Anusapati kawin, maka semua pelajaran olah kanuragan ini akan dihentikan."
"Hamba tuanku."
"Jadi kapan kita harus kawin?"
"Ah, itu hamba tidak tahu. Hamba kira tidak ada keharusan dalam batas waktu tertentu. Tetapi pada suatu saat tuanku pasti akan sampai juga pada saat-saat serupa itu. "
Tohjaya menganggukkan kepalanya. Namun ia masih bertanya, "Kalau kakanda Anusapati dahulu kawin, apakah aku juga harus menghentikan latihan-latihan ini?"
"Hamba tidak tahu pasti perintah tuanku Sri Rajasa kelak. Tetapi hal ini hamba beritahukan, agar tuanku berdua dapat mempersiapkan diri menghadapi masa-masa itu."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak begitu tertarik kepada ceritera perwira itu. Kapan ia akan kawin, baginya tidak menjadi soal. Sebagai seorang Putera Mahkota, maka ia tidak akan dapat menentukan menurut kehendaknya. Ia tahu, persoalan kawin bagi seorang Putera Mahkota pasti akan ditentukan oleh sidang para pemimpin dan tetua Kerajaan.
Namun demikian, ada juga terkilas dihatinya suatu sikap curiga. Katanya didalam hati, "Mungkin ayahanda Sri Rajasa akan segera mendesak kepada orang-orang tua dan pada pemimpin di Singasari, agar aku segera kawin. Dengan demikian, maka semua persoalan akan segera berubah. Aku tidak akan lagi mendapat latihan, petunjuk dan apa-pun juga, karena aku sudah bukan anak-anak lagi. Sebagai seorang yang telah dewasa, aku harus mencari kelanjutan dari semuanya itu sendiri. Sedang adinda Tohjaya masih akan mendapat kesempatan jauh lebih lama daripadaku sendiri."
Ketika Anusapati kemudian bertemu dengan Sumekar, maka ia-pun menceriterakan pula hal itu. Bahkan ia-pun mengatakan pula bahwa ia curiga terhadap keterangan perwira itu. Bukan kepada perwira prajurit itu sendiri, tetapi kepada ayahanda Sri Rajasa.
Tetapi Anusapati menjadi heran, karena ia melihat Sumekar tiba-tiba tersenyum. Bahkan berkata, "Kali ini tuanku tidak usah berprasangka. Tuanku Sri Rajasa barangkali tidak akan sampai pada rencana yang demikian, atau barangkali, suatu hal yang kebetulan saja kalau hal itu menguntungkan bagi tuanku Tohjaya."
Anusapati menjadi bertambah heran. "Aku tidak mengerti," desisnya.
"Tuanku. Bukankah tuanku ingat, bahwa hamba baru saja berusaha menemui pamanda tuanku Mahisa Agni untuk membicarakan beberapa masalah mengenai tuanku, juga mengenai Ki Witantra. Didalam pembicaraan yang melingkar-lingkar, maka sampailah kami kepada suatu pembicaraan yang bersungguh-sungguh mengenai diri tuanku. Diantaranya mengenai hari depan tuanku. Tegasnya, pamanda tuanku Mahisa Agni sependapat dengan hamba, bahwa tuanku sebaiknya segera menaiki jenjang perkawinan."
"Ah." "Maaf tuanku." Sumekar melanjutkannya, "dihar-hari terakhir, hamba telah memberanikan diri menghadap tuanku Permaisuri tanpa diketahui oleh banyak orang. Hamba, sudah tentu berdasarkan atas pembicaraan hamba dengan pamanda tuanku, agar hamba tidak dianggap terlampau tidak tahu diri, telah berani menghadap tuanku Permaisuri, hamba menyampaikan pembicaraan hamba dengan pamanda tuanku Mahisa Agni itu."
Wajah Anusapati menjadi kemerah-merahan.
"Sudah tentu hamba harus berterus terang, bahwa hamba adalah orang yang mendapat kepercayaan dari pamanda tuanku, yang hamba kira tuanku Permaisuri sudah tahu serba sedikit sejak hamba diterima di istana."
"Agaknya tuanku Permaisuri sependapat tentang tuanku, sesuai dengan pembicaraan hamba dengan pamanda tuanku Mahisa Agni."
"Ah, jadi usul itu bersumber dari pamanda Mahisa Agni dan paman Sumekar."
"Khusus tentang kemungkinan perkawinan tuanku. Agaknya hal ini telah disampaikan oleh tuanku Permaisuri. Hamba tidak tahu, alasan apakah yang kemudian tersembunyi dibalik sikap tuanku Sri Rajasa. Mungkin juga suatu kebetulan, bahwa dengan demikian, ada alasan untuk secara resmi menghentikan semua latihan dan tuntunan bagi tuanku. Sedang bagi tuanku Tohjaya masih harus menunggu beberapa lama lagi."
Anusapati terdiam untuk beberapa saat. Dan Sumekar-pun mengatakan beberapa alasan, mengapa pamanda Mahisa Agni berpendapat bahwa Putera Mahkota sebaiknya segera mengikat diri didalam perkawinan.
"Tuanku akan mendapatkan kawan berbincang."
Anusapati tidak menyahut.
"Dan sebenarnya umur tuanku telah jauh dari pada cukup. Umur adinda tuanku Tohjaya telah cukup untuk menaiki jenjang perkawinan. Bahkan sebentar lagi adinda tuanku Mahisa-wonga-teleng akan pantas juga untuk kawin. Karena itu, jangan dianggap bahwa perkawinan adalah sesuatu yang dibuat-buat untuk kepentingan yang kurang wajar."
"Maaf paman. Aku tidak tahu sebelumnya."
"Memang masih ada beberapa kesulitan yang akan dihadapi oleh pimpinan Kerajaan dan tetua di Singasari. Untuk menjadi isteri seorang Pangeran Pati, diperlukan seorang Puteri yang pantas, karena ia akan menurunkan raja pula kelak."
Anusapati tidak menyahut. Sambil duduk tepekur disela-sela pohon-pohon bunga Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyatakan pendapatnya.
"Tuanku," berkata Sumekar kemudian, "kami berharap bahwa tuanku tidak berkeberatan, apabila nanti sampai pada suatu tingkat yang bersungguh-sungguh tentang perkawinan ini. Memang mungkin semuanya akan segera dihentikan. Latihan-latihan tuntunan-tuntunan dan segala macam petunjuk tentang ilmu pengetahuan dan ilmu kanuragan. Tetapi bukankah sebenarnya tuanku telah memilikinya hampir lengkap. Bahkan tuanku akan mendapat kesempatan mematangkan ilmu itu secara terbuka. Tuanku akan mendapat kesempatan untuk mematangkan ilmu tuanku, seperti yang memang harus tuanku lakukan. Sudah barang tentu tanpa dilihat oleh orang lain, bahwa sebenarnya tuanku memang tidak memerlukan seorang gurupun."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang ia merasa, bahwa umurnya selalu merayap naik. Tohjaya-pun menjadi semakin dewasa disusul oleh adiknya Mahisa-wonga-teleng.
Adalah suatu saat dimana ia harus menjalaninya. Perkawinan.
"Mudah-mudahan pamanda tuanku Mahisa Agni pada suatu saat, akan ikut serta menentukan saat-saat itu bagi tuanku. Bahkan mungkin lebih dari itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Meski-pun hatinya masih tergetar mendengar kata-kata itu, tetapi ada juga terselip suatu harapan, bahwa perkawinan akan dapat merubah keadaannya.
"Yang menjadi soal kemudian," katanya didalam hati, "siapakah bakal isteriku itu?"
Dan ternyata bahwa bakal isteri Anusapati itulah yang sulit.
Ibunda Permaisuri sependapat, mudah-mudahan perkawinan akan dapat memberikan suatu bentuk kehidupan baru bagi Anusapati. Meski-pun ia terasing dari keluarga istana Singasari, namun ia akan mendapat ketenangan didalam suatu keluarga baru yang akan disusun itu.
Ken Dedes yang melihat kesepian yang dalam membayang didalam kehidupan puteranya menjadi cemas, bahwa pada suatu saat Anusapati akan menilai dirinya sendiri. Kadang-kadang, kecemasan Ken Dedes itu hampir tidak tertahankan lagi. Apalagi apabila Anusapati mengeluh kepadanya, bahwa perlakuan Sri Rajasa atas dirinya dan Tohjaya jauh berbeda.
"Kenapa ibu?" pada suatu saat Anusapati pernah bertanya kepadanya.
"Aku tidak tahu Anusapati. Mungkin karena Ken Umang lebih cantik dan lebih muda dari padaku."
"Hanya itu" Lalu, ayahanda Sri Rajasa menumpahkan kekecewaannya itu kepada hamba?"
Ken Dedes tidak dapat menjawab lagi. Hanya kepalanya sajalah yang ditundukkannya dan setitik air mata telah membasah dipelupuknya.
"Maaf ibu," desis Anusapati setiap kali, "hamba tidak bermaksud menyakiti hati ibunda. Hamba hanya sekedar ingin tahu, karena Putera-putera ibunda yang lain, tidak juga diperlakukan seperti hamba. Maksud hamba, bukan salah ibunda bahwa hamba diperlakukan begini. Jika salah ibunda, seperti yang ibunda katakan, pasti bukan hamba saja yang dibenci oleh tuanku Sri Rajasa. Tetapi pasti juga adik-adik hamba. Karena itulah hamba ingin mendengar ibunda menunjuk kesalahan hamba. Apakah hamba terlampau nakal dimasa kecil, apakah hamba kurang sopan dan tidak menurut titah ayahanda, atau kesalahan-lahan yang lain?"
Titik-titik air mata Permaisuri justru semakin deras. Sehingga setiap kali Anusapati tidak dapat mendesaknya lagi. Ia merasa bahwa setiap kali ia telah melukai hati ibunya. Dan pada suatu saat ia tidak berniat untuk bertanya lagi tentang dirinya.
"Apa-pun yang terjadi atas diriku, apa-pun anggapan Sri Rajasa atasku, biarlah semuanya aku tanggungkan."
Kini ibunda Permaisuri itu telah bersepakat untuk mengawinkannya. Didalam hal ini, ibunda Permaisuri dan ayahanda Sri Rajasa agaknya telah sependapat, bahwa kawin adalah suatu cara yang baik untuk kepentingan mereka masing-masing. Ibunda mengharap ia mendapat ketenangan, sedang ayahanda mengharap bahwa dengan demikian semua pintu kemajuan didalam berbagai macam pengetahuan telah tertutup. Setidak-tidaknya akan terlambat karenanya.
Meski-pun berbeda kepeningan, tetapi' mereka dapat bertemu pada suatu rencana tentang dirinya.
Anusapati sendiri yang sudah jemu dengan kehidupan yang sekarang sedang berlangsung, memang mengharapkan suatu perubahan. Perkawinan akan dapat menimbulkan perubahan. Seperti orang yang jemu hidup didalam suatu lingkungan, ia ingin meloncat kedalam suatu lingkungan yang lain, meski-pun ia belum tahu, apakah yang ada didalam dunia yang baru itu. Apakah keadaannya akan menjadi kian baik atau justru sebaliknya.
Agaknya rencana perkawinannya itu berjalan terus. Bahkan pada suatu saat, ibunda Permaisuri memohon kepada Sri Rajasa untuk memanggil Mahisa Agni.
"Kenapa Mahisa Agni?" bertanya Sri Rajasa.
"Bukankah ia pamannya" Satu-satunya keluarga hamba yang masih ada. Ia akan dapat memberikan beberapa petunjuk dan barangkali pendapat yang berguna bagi Anusapati."
Sri Rajasa mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak memerlukan Mahisa Agni. Ia dapat mengawinkan tanpa memanggil Mahisa Agni. Ia dapat menemukan gadis mana-pun juga bagi Anusapati. Ia dapat tanpa menghiraukan hari depan Putera Mahkota itu memilih siapa-pun diseluruh Singasari tanpa ada orang yang dapat melarang dan menolak.
Tetapi Ken Dedes memerlukannya.
Bagaimana-pun juga Ken Arok masih harus mempertimbangkan pendapat Ken Dedes. Ia tidak dapat ingkar, bahwa didalam hatinya, ada kecenderungan untuk tunduk kepada pendapat Permaisurinya. Ia tidak dapat melupakan penglihatannya, bahwa tubuh Permaisurinya seakan-akan menyala disaat ia masih menjadi isteri Tunggul Ametung, dan bahkan kadang-kadang masih juga dilihatnya didalam keadaan yang khusus. Kalau Ken Dedes tampak sedang merenungi keadaannya sedemikian dalamnya, masih juga tampak oleh Ken Arok, kelebihan Ken Dedes dari perempuan-perempuan lain. Tetapi apabila ia sudah berada didekat Ken Umang yang berdarah hangat itu, maka semuanya itu sudah dilupakannya. Ken Dedes seakan-akan sudah tidak banyak mempunyai arti lagi baginya.
Apalagi apabila dilihatnya wajah Anusapati yang seakan-akan selalu dibayangi oleh wajah Tunggul Ametung, maka kebenciannya kepada anak itu seakan-akan telah membakar jantungnya. Bahkan kadang-kadang hampir tidak terkekang.
Demikianlah, maka pada suatu saat seorang utusan telab berpacu ke Kediri untuk memanggil Mahisa Agni. Sumekar yang mengetahui keberangkatan utusan itu-pun segera berusaha menyampaikannya kepada Anusapati.
"Tuanku, utusan itu telah berangkat. Ada beberapa kepentingan yang dapat tuanku petik dari kunjungan pamanda tuanku itu," berkata Sumekar kepada Ausapati.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah tentu ia akan memanfaatkan kunjungan Mahisa Agni ini sebaik-baiknya.
Ketika kemudian Mahisa Agni benar-benar telah datang di Istana Singasari, setelah menghadap Sri Rajasa serta Permaisuri, barulah Mahisa Agni dapat menemui Anusapati.
Tetapi yang ditanyakan oleh Anusapati yang pertama-tama adalah, "Apakah pamanda mengenal tata gerak ayahanda Sri Rajasa sebaik-baiknya?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Tuanku Putera Mahkota," berkata Mahisa Agni, "kenapakah tuanku bertanya pertama-tama tentang olah kanu-ragan" Kenapa tuanku tidak bertanya tentang keselamatan pamanda, atau tentang pemerintahan di Kediri, atau tentang perintah ayahanda tuanku Sri Rajasa yang telah memanggil hamba kembali ke Singasari?"
"O," Anusapati menundukkan kepalanya.
"Seharusnya tuanku sebagai Putera Mahkota bertanya, "Bagaimanakah pemerintahan yang ada di Kediri" Bagaimanakah kadang sentana Kediri memerintah dan bagaimana hamba mendampinginya?"
"Maaf paman," desis Anusapati. Kepalanya masih tertunduk dalam-dalam.
Tetapi Mahisa Agni kemudian tertawa, "Sudahlah Anusapati," katanya, "aku tahu, kenapa kau pertama-tama bertanya tentang olah kanuragan. Aku sudah berpapasan dengan Sumekar. Dan Sumekar sudah mengatakannya serba sedikit."
Anusapati menengadahkan wajahnya. Ketika dilihatnya Mahisa Agni tersenyum, maka wajah Anusapati-pun menjadi sedikit terang.
"Aku tahu, bahwa kau menyimpan teka-teki tentang tata gerak yang berhasil kau tangkap dari Tohjaya. Bukankah begitu?"
"Ya paman." "Selebihnya aku belum tahu. Aku hanya berpapasan dengan Sumekar di halaman. Aku berhenti sejenak, dan Sumekar-pun berjongkok disamping batang-batang soka putih. Kami tidak dapat berbicara banyak."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Begitulah paman. Aku melihat tata gerak yang asing pada adinda Tohjaya yang tanpa disadarinya telah terlontar didalam suatu latihan yang khusus menurut keinginannya, tetapi tidak aku layani."
"Aku ingin melihat beberapa macam tata gerak itu kelak."
"Apakah pamanda Mahisa Agni masih akan tetap tinggal di istana ini beberapa lama?"
"Ya. Aku akan tetan tinggal disini. Ayahanda Sri Rajasa dan ibunda Permaisuri memerlukan aku. Kami akan membicarakan masa depanmu. Bukankah kau sudah mendengar bahwa ayahanda dan ibunda menginginkan kau segera kawin" Kau sudah cukup dewasa. Bahkan terlampau dewasa."
"Ya paman. Hamba pernah mendengar. Bahkan pelatih hamba pernah memberitahukan kepada hamba bahwa latihan akan segera dihentikan apabila hamba telah kawin."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Paman," berkata Anusapati kemudian dengan nada rendah, "apakah hal itu suatu kebetulan ataukah suatu kesengajaan, agar adinda Tohjaya mendapat kesempatan jauh lebih banyak dari hamba?"
"Tidak Anusapati. Itu sama sekali bukan kesengajaan. Terutama ibumu dan aku, salah seorang yang ikut menganjurkan agar kau segera mendapat kawan hidup yang dekat." Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu "terimalah persoalan ini dengan hati terbuka."
Anusapati menundukkan kepalanya.
"Tetapi, meski-pun demikian, kau memang harus tetap berhati-hati menghadapi keadaan disekelilingmu. Kau sudah cukup masak untuk menilai keadaanmu disini. Beberapa tahun yang lalu, aku tidak pernah mengatakan kepadamu, bahwa kau hidup ditengah-engah semak yang berduri. Tetapi sekarang aku tidak dapat membohongi kau lagi dengan kata-kata hiburan dan harapan-harapan."
"Ya paman. Aku merasakan. Dan karena itulah aku selalu dibayangi oleh kecurigaan. Seperti saat-saat perkawinan ini, seolah-olah merupakan suatu sarana untuk menghentikan kegiatanku sama sekali dan memberi kesempatan kepada adinda Tohjaya untuk maju terus."
"Jika demikian, biarlah. Bukankah kau sudah memiliki bekal yang jauh, jauh sekali, lebih banyak dari Tohjaya. Kecuali kalau kau berhenti sama sekali berlatih, maka pada suatu saat yang lama sekali, Tohjaya akan dapat menyusulmu. Tetapi kalau kau masih juga berusaha maju, maka sampai akhir jaman, Tohjaya tidak akan menyusul kau. Seandainya pada suatu saat diadakan sayembara tanding, siapa yang menang akan ditetapkan menjadi Putera Mahkota yang sebenarnya, kau tidak akan dapat dikalahkan dengan cara apa-pun juga."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia kemudian berkata, "Paman. Adinda Tohjaya yang agaknya baru beberapa lama benar-benar mendalami ilmunya itu, ia sudah dapat melepaskan serangan-angan yang aneh dan berbahaya."
"Mungkin ia dapat mempelajari itu dengan loncatan yang jauh. Ilmu yang diserapnya memang berbahaya, tetapi juga berbahaya bagi dirinya sendiri. Karena dengan demikian tidak ada keseimbangan. Perkembangan maju ilmunya jauh mendahului perkembangan kekuatan jasmaniahnya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah Anusapati, pada suatu saat kau akan menunjukkan tata gerak itu kepadaku. Tetapi berangkali sekarang kau dapat menunjukkan sikap dari tangan dan kakinya."
Anusapati ragu-ragu sejenak. Tetapi bangsal itu kosong. Selain ia dan pamannya tidak ada orang lain didalam bangsal itu. Embannya-pun tidak ada.
-ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 64) Jilid 64 PERLAHAN-LAHAN Anusapati berdiri. Tetapi ia masih ragu-ragu.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak ada seorang-pun Anusapati," desis Mahisa Agni.
"Bagaimana kalau ada seseorang yang mengintip" Prajurit pengawal misalnya?"
"Aku tentu mendengar kehadirannya. Terutama desah nafasnya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya akan kata-kata pamannya. Kalau ada orang yang mengintipnya, maka Mahisa Agni pasti mendengarnya.
Karena itu, meski-pun Anusapati tidak menirukan tata geraknya, tetapi ia dapat mempertunjukkan kepada pamannya, sikap tangan dan kaki Tohjaya dalam ilmu yang asing bagi Anusapati itu.
Mahisa Agni mengikuti sikap Anusapati dengan saksama, ia melihat bagaimana tangannya dan kakinya bersikap, dengan gerakan-gerakan kecil untuk meyakinkan keterangannya.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Cukup Anusapati. Aku sudah melihat sikap itu, tetapi belum didalam tata gerak yang lengkap."
"Tetapi apakah paman sudah dapat mengatakan tentang sikap itu?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Aku belum, akan mengatakan sesuatu Anusapati."
"Jadi bagaimana dengan penjelasan tentang ilmu itu?"
"Kita akan mencari waktu. Aku akan ikut bersamamu ketebing itu pada suatu saat nanti. Kau dapat memberitahukan kepada pamanmu Sumekar. Kita akan pergi bersama-sama."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, usahakan secepatnya. Aku dapat meninggalkan istana ini setiap saat. Kalau persoalanmu sudah dianggap selesai, maka aku harus segera kembali ke Kediri."
Anusapati-pun kemudian berusaha menjumpai Sumekar dan memberitahukan keinginan Mahisa Agni. Mereka-pun kemudian berjanji, pada suatu malam untuk bertemu ditempat yang telah mereka tentukan.
Demikianlah, pada saat yang mereka janjikan, dengan diam-diam Anusapati keluar dari istana seperti biasanya. Hampir bersamaan waktunya Sumekar dan Mahisa Agni-pun diam-diam telah meninggalkan istana pula pergi ketempat yang sudah mereka tentukan.
Namun langkah mereka tertegun ketika mereka melihat sesosok tubuh mengikuti perjalanan mereka. Tetapi agaknya orang yang mengikuti mereka itu, tidak merasa perlu untuk menyembunyikan diri ketika ketiganya berhenti dan menunggunya.
Semakin dekat, Mahisa Agni, Sumekar dan Anusapati-pun segera mengenalnya, Witantra.
"O, kau," sapa Mahisa Agni.
Witantra tertawa. Sejenak mereka saling menyapa tentang keselamatan masing-masing.
"Sudah agak lama kita tidak bertemu," berkata Mahisa Agni, "adalah kebetulan bahwa hari ini aku mengikuti Anusapati ketempat ini."
"Bukan suatu kebetulan. Aku mendengar kehadirannya di Singasari."
"Siapakah yang memberitahukannya?"
"Tidak ada. Tetapi kehadiran orang-orang besar cepat diketahui oleh rakyat."
"Ah," Mahisa Agni berdesah. Dan keduanya tertawa.
"Berbeda dengan seorang juru taman," potong Sumekar, "tidak seorang-pun yang menghiraukan kehadirannya."
Mereka tertawa semakin keras. Bahkan Anusapati-pun tersenyum pula.
"Aku sengaja menunggumu," berkata Witantra, "aku yakin bahwa kau akan pergi ketebing itu. Kau pasti akan memberikan beberapa latihan kepada tuanku Putera Mahkota selama kau ada di Singasari, sehingga kehadiranmu tidak sia-sia bagi Putera Mahkota."
Mahisa Agni tersenyum. Kepalanya terangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berkata, "Kali ini kau salah tebak. Kehadiranku di Singasari pasti tidak akan sia-sia bagi tuanku Putera Mahkota meski-pun aku tidak memberikan beberapa latihan tertentu. Dan bahkan kali ini-pun aku tidak akan memberikan beberapa macam latihan, tetapi justru aku akan melihat sesuatu yang baru."
"Apakah yang telah menarik perhatianmu itu?"
"Marilah kita lihat, Tuanku Putera Mahkota akan memperlihatkan sesuatu yang sangat menarik."
Witantra mengerutkan keningnya.
"Kalau begitu tidak sia-sia aku menunggumu beberapa malam ditempat ini. Apa-pun kepentingannya, tetapi kau benar-benar telah datang kemari," berkata Witantra kemudian.
Mereka-pun kemudian bersama-sama pergi ketebing yang curam itu. Sejenak kemudian maka Anusapati-pun sudah siap mempertunjukkan gerakan-gerakan yang disangkanya bersumber dari Sri Rajasa itu.
"Paman Sumekar," berkata Anusapati, "aku sudah menunjukkan kepada paman sejak aku melihat tata gerak ilmu yang tidak aku kenal itu. Kalau kali ini aku keliru, paman dapat memperingatkannya."
"Baiklah tuanku," jawab Sumekar.
Mereka-pun kemudian duduk diatas batu yang banyak berserakan ditepian itu, sedang Anusapati-pun segera mulai menirukan tata gerak dan sikap Tohjaya yang asing itu.
Mahisa Agni, Witantra dan Sumekar mengamati tata gerak Anusapati itu dengan saksama. Mereka bertiga telah mewakili tiga perguruan dengan pangkal ilmu yang berbeda-beda meski-pun diantara mereka kadang-kadang saling pengaruh-mempengaruhi.
Wajah ketiganya semakin lama menjadi semakin tegang. Mereka melihat sesuatu yang mendebarkan jantung, seperti Sumekar berdebar-debar ketika ia melihat untuk pertama kalinya.
Ketika Anusapati selesai, maka ia-pun segera bertanya kepada Mahisa Agni, "Bagaimana paman" Apakah paman melihat kesamaan tata gerak itu dengan unsur-unsur gerak ayahanda Sri Rajasa?"
Mahisa Agni merenung sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi ilmu itu cukup mendebarkan."
Anusapati mengerutkan keningnya. Sesuatu tergetar didadanya. Namun ia masih bertanya, "Jadi, maksud paman, bukan ayahanda yang memberikan ilmu itu kepada adinda Tohjaya."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Namun demikian tampaklah bahwa ia sedang berpikir tentang tata gerak yang baru saja dilihatnya.
"Jadi," bertanya Anusapati mendesak, "ilmu dari manakah adinda Tohjaya mendapatkannya?"
"Anusapati," berkata Mahisa Agni, "Sri Rajasa adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki ilmu yang hampir tidak ada tandingnya di muka bumi ini. Aku tidak dapat mengatakan, apakah ada seorang yang dapat menandinginya. Tetapi ia tidak mengerti tentang ilmunya sendiri. Ia tidak mengerti apakah yang sebenarnya dimilikinya menurut patokan tertentu. Dan sudah barang tentu Sri Rajasa tidak akan dapat memberikannya kepada orang lain seperti yang selalu harus dilakukan oleh seorang guru. Sri Rajasa sendiri tidak tahu gerak-gerak dasar dari ilmunya yang dahsyat itu."
Anusapati memandang Mahisa Agni dengan heran.
"Paman," berkata Anusapati, "jadi dari manakah ayahanda Sri Rajasa mendapatkan ilmunya itu" Apa guru ayahanda Sri Rajasa sengaja menurunkan ilmunya kepada ayahanda sebagai pewaris terakhir dan membuat ayahanda bingung dikemudian hari atas ilmu yang dimilikinya sendiri" Bukankah dengan demikian ayahanda hanya dapat mempergunakan ilmunya itu didalam pertempuran yang sebenarnya, tetapi tidak dapat mewariskannya kepada siapapun?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Itulah kekuasaan Yang Maha Agung. Ia dapat membuat seseorang menguasai sesuatu tanpa mempelajarinya dari siapa-pun juga."
Anusapati mengerutkan keningnya.
"Tetapi itu pula petunjuk dari kekuasaannya, bahwa Sri Rajasa yang mendapat ilmunya langsung tanpa dipelajarinya itu, tidak dapat mewariskannya kepada siapapun."
"Pamanda mengetahui betul tentang keadaan ayahanda?"
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia mengatakan bahwa ia mengenal Ken Arok sejak dipadang Karautan. Untunglah bahwa ia segera dapat menguasai perasaannya. Namun demikian Mahisa Agni sendiri membayangkan, bagaimana untuk pertama kalinya ia menjumpai Hantu Karautan itu dipadang Karautan bersama gurunya mPu Purwa.
Dan Mahisa Agni berkata didalam hatinya, "Bukan tidak ada yang dapat mengalahkannya. Trisula kecil itu masih ada padaku. Sebagai hadiah Siwa, ia tidak terlawan oleh siapa-pun juga."
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat mengatakan hal itu kepada siapapun. Hanya ia sendirilah yang mengetahui tentang trisula kecil peninggalan gurunya itu.
"Pada suatu saat aku harus mewariskan trisula itu kepada seseorang," berkata Mahisa Agni, "tetapi akan sangat berbahaya sekali apabila disaat-saat kekecewaan terhadap Sri Rajasa ini memuncak. Apalagi apabila Anusapati mengetahui tentang dirinya sendiri."
"Paman Mahisa Agni," bertanya Anusapati kemudian, "jadi bagaimana menurut pendapat paman tentang ilmu adinda Tohjaya itu sebenarnya?"
"Aku tidak dapat mengatakan Anusapati. Tetapi disini ada tiga orang yang mewakili tiga perguruan. Kami semuanya tidak mengenal dengan pasti ilmu itu. Apakah Witantra dapat mengatakannya?"
Witantra menggelengkan kepalanya. "Aku belum mengenalnya. Tetapi watak dari ilmu itu agak mencemaskan aku."
Mahisa Agni dan Sumekar hampir berbareng menganggukkan kepalanya. Dan Mahisa Agni menyahut, "Itulah yang perlu mendapat perhatian. Yang pasti, didalam istana kini ada seorang guru yang perlu mendapat pengamatan. Mungkin orang itu sudah lama berada didekat Tohjaya, tetapi menilik ceritera Anusapati, agaknya baru untuk beberapa lama Tohjaya benar-benar mempelajari ilmu dari padanya, setelah ia menganggap gurunya, perwira prajurit kemanakan Ken Umang itu tidak dapat dimanfaatkannya lagi."
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Yang penting," berkata Mahisa Agni kemudian, "kita wajib mengetahui, siapakah yang ada dibelakang Tohjaya saat ini. Agaknya Tohjaya tidak akan menjadi semakin baik. Dengan ilmu yang dikuasainya, ia akan menjadi semakin sombong dan merasa dirinya besar."
"Apalagi ilmu yang dipelajarinya adalah ilmu yang kasar. Bukankah menilik tata gerak dan wataknya, ilmu itu agak kurang sesuai bagi para kesatria." sahut Witantra.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ilmu yang ada pada Sumekar-pun mempunyai bentuk yang agak kasar, sesuai dengan petualangan gurunya dimasa lampau. Tetapi sejalan dengan perkembangan jiwa mPu Sada, serta watak Sumekar sendiri, maka lambat laun, ilmu itu mempunyai bentuk yang berubah, meski-pun tidak pada gerak dasar dan sifat-sifatnya. Tetapi ilmu yang ada pada Tohjaya itu adalah ilmu yang lain.
Sekilas Mahisa Agni teringat kepada sepasang iblis yang pernah menguasainya. Wong Sarimpat dan Kebo Sindet. Meski-pun tidak sejalan, tetapi kedua jenis ilmu itu mempunyai persamaan watak dan sifat.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni, "didalam keadaan yang khusus, kau harus menerima tantangan Tohjaya untuk berlatih. Tetapi sudah tentu yang tidak akan mencemarkan namamu. Dapat saja kau kalah dihadapan guru, perwira prajurit itu. Tetapi kau wajib menghindar apabila ada saksi-saksi lain. Kau dapat mempergunakan alasan apapun, supaya orang tidak terbiasa mengagumi Tohjaya sebagai seorang putera yang memiliki kelebihan dari padamu secara berlebih-lebihan."
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Lebih daripada itu, usahakan untuk mengetahui, siapakah sebenarnya yang berdiri dibelakang Tohjaya itu. Tentu dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan."
Anusapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya dipandanginya Sumekar yang ikut mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tanpa ditunjuk, ia merasa bahwa ia-pun ikut serta mendapat kuwajiban itu, mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah memberikan ilmu kepada Tohjaya. Ilmu yang mencemaskan beberapa orang yang berilmu hampir sempurna itu pula.
"Karena itu Anusapati," berkata Mahisa Agni, "didalam latihan-latihan, kau harus sangat hati-hati. Kalau orang itu hadir sebagai saksi didalam latihan-latihan khusus bersama Tohjaya tanpa kau ketahui, ia akan dapat mengenal tata gerak yang lain dari tata gerak yang kau terima dari perwira saudara sepupu Ken Umang itu, seperti kau mengenal tata gerak Tohjaya yang lain itu."
Anusapati menganggukkan kepalanya.
"Kecuali semuanya itu," berkata Mahisa Agni, "kau harus berlatih semakin tekun, agar pada suatu saat, kau tidak akan tersusul oleh Tohjaya, bagaimana-pun juga ia memeras semua kemampuan yang ada padanya untuk mempelajari ilmu dari gurunya itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sebagai pengetahuan, kau akan aku beri beberapa petunjuk tentang ilmu-ilmu yang kasar seperti yang sedang dipelajari oleh Tohjaya, yang justru telah dipilih oleh Sri Rajasa," berkata Mahisa Agni pula, "sebenarnyalah bahwa ilmu yang dimiliki oleh Sri Rajasa tanpa dipelajari dari siapa-pun itu, terpengaruh oleh banyak hal, termasuk juga ilmu yang kasar."
"Aku juga menerima warisan ilmu yang kasar," berkata Sumekar.
"Tetapi terpengaruh oleh pribadimu dan perubahan pandangan hidup dari gurumu, maka ilmumu-pun perlahan-lahan telah bergeser. Tetapi ilmu Sri Rajasa masih tetap seperti dahulu." sahut Mahisa Agni, "tetapi terlebih-lebih dari ilmu siapapun, aku menguasai beberapa tata gerak dan unsur-unsur dari ilmu Kebo Sindet, seperti kakak seperguruan adi Sumekar, Kuda Sempana."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Besok aku akan memberimu beberapa petunjuk sebagai pengalaman."
Demikianlah, dimalam berikutnya, Mahisa Agni bersama-sama Sumekar dengan diam-diam telah membawa Anusapati ketempat itu. Witantra-pun hadir pula menunggui Mahisa Agni memberikan beberapa petunjuk kepada Anusapati. Karena selama ini Anusapati selalu terkungkung didalam tembok istana, maka ia memerlukan pengalaman-pengalaman. Diluar dinding istana ada berpuluh-puluh perguruan yang mempunyai ciri-cirinya sendiri dan Mahisa Agni berusaha memperkenalkan Anusapati dengan beberapa jenis ilmu-ilmu itu.
"Kalau kau sudah mengenal, maka kau akan menemukan cara untuk mengatasinya apabila pada suatu saat kau terpaksa menghadapi ilmu-ilmu semacam itu, termasuk ilmu yang kasar," berkata Mahisa Agni.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan tekun ia menangkap beberapa jenis tata gerak. Bahkan oleh Mahisa Agni ia dihadapkan pada ilmu-ilmu itu. Bagaimana ia harus mengatasinya.
Demikianlah Anusapati mendapat pengalaman baru. Ternyata Mahisa Agni menguasai beberapa jenis unsur dasar dari berbagai macam ilmu, yang seolah-olah telah menghadapkan Anusapati melawan orang-orang dari berbagai jenis perguruan.
Dengan dasar ilmunya yang telah masak, Anusapati berusaha menanggapi keadaan. Meski-pun mula-mula agak canggung, namun akhirnya ia dapat berusaha menyesuaikan dirinya menghadapi berbagai macam ilmu.
Ternyata pengalaman yang demikian itu perlu. Mahisa Agni yang berada di sarang Kebo Sindet beberapa lama sebelum ia berhasil mengalahkannya, telah mencoba mengenal baik-baik ilmu yang kasar itu, dan mempelajari, bagaimana berusaha mengatasi dan menguasainya apabila pada suatu saat mereka harus berbenturan.
"Nah, kau harus mempunyai beberapa pengalaman itu," berkata Mahisa Agni, "karena kau tidak dapat keluar dari dinding istana tanpa pengawasan, maka dengan cara ini kau mengenali ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa sangat beruntung memiliki seorang paman seperti Mahisa Agni. Selain seorang paman yang baik, ia juga mempunyai pengetahuan, dalam olah kanuragan yang luas sekali. Pengalaman yang sangat banyak yang akan sangat bermanfaat baginya, karena ia sendiri tidak akan dapat mencari pengalaman seperti Mahisa Agni.
Dimalam-malam berikutnya, maka Anusapati berusaha untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman itu. Bukan saja Anusapati tetapi juga Sumekar yang masih belum begitu luas pula pengalamannya, karena ia agak lama berada di istana, mengawani Anusapati.
Dari Mahisa Agni dan Witantra, keduanya menyadap pengalaman yang sangat berguna bagi mereka. Bahkan didalam kesempatan tersendiri, keduanya dituntun oleh Mahisa Agni dan Witantra mencoba mengenyam bermacam-macam ilmu itu untuk melengkapi ilmu mereka sendiri.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni, "sebenarnya kau kini sudah lengkap. Meski-pun kau belum pernah terjun didalam dunia petualangan yang liar, namun sedikit banyak kau telah sempat mangkhayalkannya. Didalam keadaan yang terpaksa dan tiba-tiba, kau tidak akan mengecewakan lagi, asal kau tekun mempelajarinya."
"Terima kasih paman," jawab Anusapati, "aku sudah mendapat gambaran, betapa liarnya dunia yang berada diluar pengamatan dan perlindungan tata peradaban. Bahkan didalam dunia yang beradab-pun terdapat sifat-sifat itu. Bahkan jauh lebih berbahaya dari dunia petualangan itu sendiri, karena sifat-sifat yang tidak beradab didunia peradaban selalu diselubungi rapat-rapat."
Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban Anusapati itu. Ternyata hatinya benar-benar telah terluka oleh keadaan disekitarnya didalam istana ini. Seolah-olah ia hidup didalam liarnya peradaban yang justru lebih berbahaya dari liarnya hutan belukar.
Tetapi Mahisa Agni tidak berkata apa-pun lagi. Didalam kekecewaan itu masih terasa sedikit kebanggaan pada dirinya. Mudah-mudahan kebanggaan itu akan dapat berkembang, sehingga Anusapati akan dapat membentuk pribadinya sebagai seorang Pangeran Pati yang seutuhnya.
Beberapa malam selama Mahisa Agni ada di Singasari itu, ternyata telah banyak memberikan pengalaman kepadanya. Ia belajar menyesuaikan diri melawan tata gerak dari ilmu olah kanuragan dari segala macam watak dan sifat, meski-pun yang membawakannya Mahisa Agni atau Witantra, yang sudah barang tentu tidak akan dapat seliar orang-orang liar yang sebenarnya. Tetapi dalam saat yang bersamaan, Anusapati masih harus juga menghadiri latihan-latihannya yang sama sekali sudah tidak bergairah.
Namun Anusapati masih tetap mengharapkan latihan-latihan serupa itu diadakan terus, sehingga pada saat-saat tertentu ia akan dapat memancing Tohjaya untuk mengadakan latihan seperti yang dikehendakinya, justru apabila tidak ada orang lain.
Agaknya Tohjaya-pun mempunyai maksud yang sama. Ia memang mendapat pesan dari gurunya, agar ia selalu dapat mengamati, sampai berapa jauh kemajuan Anusapati didalam olah kanuragan.
"Tuanku harus melihat dan menilainya setiap saat," berkata guru Tohjaya, "kalau tuanku sudah tidak bergairah lagi mengikuti latihan-latihan itu, maka pada suatu saat perwira yang bodoh itu akan melihat bahwa tuanku telah membawakan sesuatu yang baru baginya, sehingga dapat menumbuhkan kegelisahan padanya. Tentu ia tidak akan berani menegur tuanku. Dengan demikian ia akan mencari cara untuk melepaskan sakit hatinya, ia akan dapat menempa tuanku Anusapati dan membuat menjadi seorang laki-laki. Siapa tahu, pada suatu saat ia akan dapat menyamai tuanku."
"Tidak mungkin," jawab Tohjaya, "sejak saat-saat terakhir aku menjadi semakin jauh meninggalkannya. Apakah yang dapat dilakukan" Perwira yang mengaku pamanku itu-pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Meski-pun ia bekerja keras riang dan malam, namun pada dasarnya kakang Anusapati tidak memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu kanuragan."
Gurunya mengangguk-angguk. Tetapi ia masih memperingatkan, "Masih belum pasti tuanku. Yang paling baik bagi tuanku, mengamatinya setiap saat. Arena latihan itu dapat tuanku jadikan tempat untuk mengawasinya."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Disaat-saat tertentu, tuanku dapat mengadakan latihan-latihan, khusus untuk maksud tersebut."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud gurunya dan ia-pun berniat untuk melakukannya.
Disaat yang pendek, istana Singasari ternyata telah disibukkan dengan berita, bahwa Sri Rajasa bermaksud untuk mencarikan jodoh tuanku Putera Mahkota. Hampir setiap orang membicarakannya niat itu, dan hampir setiap orang menebak-nebak, siapakah yang akan menjadi isteri Putera Mahkota dan yang kelak akan menjadi Permaisuri itu.
"Tentu sudah ada pilihan," berkata salah seorang.
"Belum pernah disebut-sebut," jawab yang lain.
"Hanya kita, orang kecil-kecil ini tidak mengetahui. Tetapi sudah tentu bahwa pembicaraan tentang perkawinan Putera Mahkota, tuanku Sri Rajasa, dan tuan Puteri, pasti sudah mempunyai pilihan. Tetapi pilihan itu belum diumumkan."
"Belum tentu. Mungkin baru timbul niat itu."
"Kalau begitu apakah kau mempunyai anak perawan?"
"Ah. Macammu. Meski-pun aku mempunyai sepasukan anak perawan, apakah kau kira penghuni istana itu pernah melihat perawan-perawan kecil seperti anakku, anakmu dan anak-anak lain dipadukuhan kita."
"He, apakah kau tidak tahu, bahwa tuanku Permaisuri yang sekarang, tuanku Ken Dedes berasal dari pedukuhan pula?"
"Dari padepokan seorang pendeta."
"Apakah bedanya?"
"Ada bedanya. Ia masuk kedalam istana Tumapel sebagai isteri Akuwu."
"Permasuri Akuwu?"
"Ya. Permaisuri Akuwu. Kemudian barulah ia menjadi Permaisuri tuanku Sri Rajasa."
"Ah. Kenapa harus melingkar-lingkar. Tuanku Ken Dedes berasal dari padepokan."
"Kalau begitu anakmu barangkali yang akan diambil menantu oleh Sri Rajasa."
"Dan aku akan pingsan tujuh hari tujuh malam."
Demikianlah setiap orang sudah membicarakannya. Meski-pun pihak istana belum berniat mengumumkan, tetapi desas-desus itu tersebar lebih cepat dari terbang kapuk dihembus angin.
Dalam pada itu, Ken Dedes-pun telah membicarakannya dengan sungguh-sungguh, masalah perkawinan Anusapati yang dianggapnya akan membuka kemungkinan baru bagi kehidupannya yang serba suram.
Tetapi sebenarnyalah bahwa pimpinan Kerajaan Singasari, termasuk Sri Rajasa sendiri, Mahisa Agni dan tuanku Permaisuri masih belum menemukan calon isteri Anusapati.
"Kita tidak akan menemukannya di Singasari," berkata Sri Rajasa. "Tidak ada seorang gadis-pun yang seimbang dengan kedudukan Anusapati. Bangsawan yang ada di Singasari, adalah sekedar keturunan seorang Akuwu. Aku adalah Maharaja yang pertama dan aku belum menebarkan keturunan kebangsawanan disini."
Setiap orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Mahisa Agni-pun segera menangkap maksudnya. Sri Rajasa ingin melemparkan pilihannya kepada keturunan bangsawan berdarah raja dari Kediri. Meski-pun demikian Mahisa Agni tidak berkata apa-pun juga. Sebenarnya bagi Mahisa Agni, darah bangsawan atau bukan tidak begitu penting, karena ia sendiri menyadari, bahwa ia bukan keturunan bangsawan. Ken Dedes juga bukan keturunan bangsawan, bahkan Ken Arok juga bukan keturunan bangsawan.
"Tetapi ia telah dipilih oleh Brahma menjadi anaknya," berkata Mahisa Agni didalam hatinya. Terbayang warna-warna merah yang disaat-saat tertentu dapat menyala di ubun-ubun Ken Arok sebagai ciri pilihan Brahma.
Namun dijawabnya sendiri, "Brahma memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya. Apakah ia keturunan bangsawan, atau Hantu Karautan."
Namun ternyata Ken Arok itu sendirilah yang ingin memilih seorang bangsawan untuk dijadikan menantunya.
"Jadi, apakah kata kalian tentang perempuan yang akan dijadikan isteri Anusapati itu?" bertanya Ken Arok kepada beberapa orang pemimpin yang sedang bermusyawarah tentang perkawinan Anusapati.
"Bagaimana kalau tuanku menyerahkannya kepada tuanku Anusapati," berkata seseorang diantara mereka.
Ken Arok menggelengkan kepalanya. Katanya, "Anak-anak tidak dapat berpikir bening, ia tidak berpandangan jauh. Ia hanya terbatas pada suatu keinginan yang langsung menyentuh hatinya. Yang baik. Yang cantik. Tetapi ia tidak dapat menilai didalam keseluruhan."
Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyatakan pendapatnya lagi.
Beberapa orang yang lain sama sekali tidak berkata apa-pun. Mereka hanya mengangguk-angguk kecil. Karena sebenarnya mereka sama sekali tidak mempunyai bahan yang dapat mereka ke mukakan, baik kepada Sri Rajasa, mau-pun kepada Permaisuri yang juga hadir.
"Bagaimana kalau kita memandang agak jauh," berkata Sri Rajasa. "Tidak disekitar Singasari, tetapi kita memandang ke Kediri."
Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Namun didalam hati mereka berkata, "Kediri adalah suatu negeri yang sudah dikalahkan. Kalau salah seorang puterinya menjadi seorang permaisuri, maka Kediri akan bangkit lagi. Hati rakyatnya tergugah akan harga diri mereka."
Tetapi Sri Rajasa berkata didalam hati, "Biarlah Anusapati mendapat isteri dari kerajaan yang telah ditundukkan itu. Setiap orang tidak tahu, apa yang akan terjadi besok atau lusa. Juga apabila Anusapati dapat tersisih dari kedudukannya. Anak itu agaknya kurang mempunyai bekal dan terlebih-lebih wibawa untuk kelak menjadi seorang raja. Mungkin ia dapat menjabat kedudukan. Mahisa Agni sekarang dengan isteri yang dibawanya dari Kediri sendiri."
Namun sudah barang tentu bahwa alasan itu tidak dike mukakannya. Karena itu, maka setiap orang meraba-raba menurut penilaian mereka sendiri. Kenapa Kediri"
Pembicaraan itu tidak segera menemukan kesimpulan. Pada umumnya mereka hanya menunggu titah Sri Rajasa daripada ingin menyatakan pendapatnya. Itulah sebabnya, maka pembicaraan serupa itu hampir tidak ada gunanya. Tetapi bagi Sri Rajasa, seakan-akan ia telah mengumpulkan pendapat dan apa yang dilakukan kemudian seakan-akan merupakan tanggung jawab bukan saja dari dirinya sendiri, tetapi dari seluruh peserta musyawarah.
Karena tidak ada seorang-pun yang mengajukan pendapatnya, maka Sri Rajasa kemudian berkata, "Aku masih akan berbicara dengan kalian sekali lagi. Pikiran apa yang paling baik. Seperti apa yang aku katakan, bagaimana dengan Kediri?"
Orang-orang yang hadir hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sri Rajasa berkata, "Kediri adalah kerajaan yang lebih tua dari Singasari, meski-pun Singasari berhasil menguasainya didalam suatu lingkaran kesatuan. Nah, pikirkanlah. Apakah yang paling baik."
Meski-pun pada dasarnya, Sri Rajasa tidak memaksakan pendapatnya, tetapi tidak ada seorang-pun yang dapat menunjukkan jalan lain. Permaisuri-pun tidak mempunyai pendapat lain. Memang disekitar kehidupan Anusapati bahkan didalam istana dan rumah-rumah para pemimpin pemerintahan, tidak ada seorang gadis yang pantas dike mukakan. Itulah sebabnya, maka pada suatu saat, Sri Rajasa mengambil keputusan untuk memanggil Mahisa Agni.
"Tidak ada keputusan lain yang lebih baik," berkata Sri Rajasa, "kau yang berada di Kediri dan Anusapati adalah kemanakanmu. Aku harap kau dapat menemukan seorang gadis bangsawan yang baik dan sesuai bagi Anusapati."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah kau pernah memikirkannya, bahwa ada seorang puteri yang pantas buat menantu raja Singasari?"
"Belum tuanku. Hamba belum pernah memikirkannya."
"Baiklah. Masih ada waktu. Bukankah kita tidak terlampau tergesa-gesa meski-pun semakin cepat semakin baik?"
"Hamba tuanku."
"Adalah tugasmu menemukan puteri itu dan atas nama Maharaja Singasari, meminangnya sama sekali. Kau sebagai wakil Sri Rajasa, tetapi juga sebagai pamannya."
"Kalau tuanku sudah melimpahkan tugas itu kepada hamba, hamba akan melakukannya sebaik-baiknya, meski-pun hamba masih akan selalu datang menghadap untuk mohon pertimbangan."
"Tentu, tentu. Dan Kediri-pun bukan suatu keputusan yang mutlak. Seandainya tidak ada seorang puteri-pun yang pantas dan baik buat Anusapati, maka kita akan berbicara lagi."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Hamba tuanku," sedang didalam hati ia berkata, "Tampaknya Sri Rajasa-pun bersikap baik. Longgar dan bersungguh-sungguh. Tetapi siapa tahu, apa yang disimpannya didalam hati."
Tetapi Mahisa Agni hanya dapat melaksanakan perintah itu sejauh-jauh dapat dilakukan. Untuk menjalankan tugas dan untuk kepentingan kemanakannya yang selalu dicengkam keprihatinan.
Tetapi hal itu ternyata dapat dimanfaatkan pula oleh Mahisa Agni. Dengan demikian ia akan dapat mondar-mandir, Kediri dan Singasari. Dengan demikian pula ia akan dapat selalu membicarakan berbagai masalah dengan Anusapati, Sumekar dan bahkan dengan Witantra tanpa dicurigai.
Bahkan pada suatu saat Mahisa Agni sempat melihat kedua Putera Sri Rajasa itu berlatih. "Bukan main," berkata Mahisa Agni tiba-tiba ketika ia melihat tata gerak Tohjaya yang hanya dilontarkannya dengan seenaknya, "Kau memang seorang anak muda yang memiliki kelebihan."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan bangga ia bertanya, "Apakah paman melihat kelebihan itu?"
"Tentu. Aku orang yang sudah lama berada didalam lingkungan olah kanuragan. Aku kira aku tidak salah menilai." Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu ia bertanya kepada guru Tohjaya, "Kedua muridmu memang aneh. Kenapa dapat tercipta jarak yang menurut pengamatanku cukup jauh dari keduanya" Bukankah mereka selalu berlatih bersama dan menerima tuntunan yang sama pula?"
"Ya tuan. Aku mencobanya untuk tidak membedakan keduanya. Aku mencoba agar keduanya memiliki kemampuan yang seimbang."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Memang setiap orang mempunyai kemampuan tersendiri. Mungkin yang kau berikan sama, tetapi daya tangkap keduanyalah yang tidak sama."
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya menjadi berdebar-debar. Bahkan ia tidak dapat menahan perasaannya lagi, dan berkata, "Tuan, sebenarnya aku menjadi sedih. Justru tuan dengan jujur memuji kelebihan-kelebihan tuanku Tohjaya. Tetapi akulah yang merasa seolah-olah aku tidak berbuat adil. Tuanku Tohjaya adalah kemanakan sepupuku, sedang tuanku Anusapati adalah kemanakan tuan."
"Ah," desis Mahisa Agni. "aku tidak pernah memikirkan hal itu. Aku tahu, bahwa hampir setiap guru tidak pernah menilai muridnya dengan cara itu. Aku percaya bahwa kau juga tidak menilai murid-muridmu dengan cara itu pula. Jika tejadi perbedaan tingkat ilmunya, itu pasti terjadi karena perbedaan daya tangkap murid-murid itu sendiri."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa semakin kecil berhadapan dengan Mahisa Agni yang dadanya seakan-akan selapang luas lautan.
"Tuan terlampau percaya," desis perwira itu, "tuan tidak melihat kelemahan seseorang."
"Setiap orang pasti mempunyai kelemahan. Tetapi setiap orang akan berusaha mengurangi kelemahan itu."
Perwira itu terdiam sejenak. Hampir saja ia terdesak oleh kekecilan dirinya dan mengatakan bahwa Tohjaya mempunyai ilmu yang tersalur dari perguruan yang lain. Itulah agaknya yang membuatnya mempunyai kelebihan yang agak menyolok dari Anusapati. Untunglah ia sadar, bahwa sama sekali tidak bijaksana mengatakannya hal itu dihadapan Tohjaya dan Anusapati.
Tetapi agaknya sikap Mahisa Agni itu benar-benar telah mempengaruhinya. Perwira itu benar-benar telah kagum atas kebesaran pribadi Mahisa Agni. Dengan demikian, maka timbullah niatnya untuk mengatakannya hal itu dengan cara yang lain. Ia ingin menunjukkan bahwa Tohjaya menyimpan ilmu yang lain selain ilmu yang diturunkannya. Karena itu, tiba-tiba saja maka ia berkata kepada kedua muridnya, "Tuanku berdua. Apakah tuanku kali ini bersedia melakukan latihan khusus dihadapan pamanda tuanku. Tuanku pasti akan mendapatkan petunjuk yang sangat berharga. Tuanku tahu bahwa paman tuanku adalah seorang prajurit yang tidak terkalahkan dimedan perang."
"Ah," desah Mahisa Agni, "kau memuji. Itu terlampau berlebih-lebihan."
"Tidak tuan. Aku berkata sebenarnya." lalu perwira itu berkata pula kepada Tohjaya, "tuanku, hamba kira saat ini jarang sekali akan terulang."
Tohjaya mengangkat dadanya. Sambil tersenyum ia berkata, "Terserah kepada kakang Anusapati. Apakah ia bersedia atau tidak."
"Tuanku Putera Mahkota," berkata perwira itu, "keadaan ini sangat berbeda dengan keadaan pada waktu tuanku Mahisa-wonga-teleng berada diarena ini. Sekarang yang berdada disini adalah pamanda tuanku yang sempurna."
Anusapati mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah pamannya. Ketika ia melihat pamannya memberikan isyarat kepadanya, maka ia-pun kemudian menjawab, "Baiklah. Tetapi aku minta, kau mengawasi dari dekat. Aku sebenarnya agak takut."
Tohjaya tertawa. Katanya, "Kenapa kakanda Anusapati takut" Kita bersama telah mendapat ilmu yang sama. Dan sudah barang tentu aku tidak akan berlaku seperti kita benar-benar bertempur."
"Jangan terlampau berkecil hati Anusapati," berkata Mahisa Agni, "kau adalah seorang Putera Mahkota. Kalau kau dibayangi oleh ketakutan saja, maka kau tidak akan dapat berdiri sebagai seorang Putera Mahkota yang baik. Berlatihlah dengan tekun dan bersungguh-sungguh."
Anusapati mencoba untuk menunjukkan keragu-raguan sikap. Agaknya ia berhasil sehingga gurunya berkata, "Hamba akan berada didekat tuanku. Jika keadaan memaksa hamba dapat menghentikan latihan setiap saat."
Akhirnya Anusapati menganggukkan kepalanya. Katanya dengan nada rendah, "Baiklah. Aku akan berlatih. Tetapi tidak terlampau lama, dan jangan menyakiti tubuhku seperti beberapa saat yang lalu. Tiga hari rasa sakit itu masih saja mencengkamku."
Tohjaya tertawa sambil berkata, "Bukankah kakanda seorang anak laki-laki. Maksudku seorang laki-laki. Kakanda sudah bukan anak-anak lagi. Sebentar lagi kakanda akan mengalami masa yang paling berbahagia. Bukankah kakanda akan segera kawin" Nah, bekali kakanda dengan ilmu seorang laki-laki."
Anusapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia-pun mengangguk perlahan, "Baiklah. Kita akan berlatih."
Tohjaya mengerutkan keningnya mendengar kesanggupan Anusapati. Namun sejenak kemudian ia tertawa sambil berkata, "Nah, begitulah. Kakanda benar-benar seorang laki-laki. Kakanda dapat menunjukkan kepada pamanda Mahisa Agni. apakah yang sudah kakanda capai selama kakanda berada dibawah asuhan guru-guru kita selama ini. Baik yang sudah meninggal itu, mau-pun yang sekarang."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih bertanya, "Sampai berapa jauh kita akan berlatih?"
"Sejauh-jauhnya. Seolah-olah kita benar-benar berkelahi."
"Ah." "Itulah baru namanya latihan olah kanuragan. Bukan latihan menari. Mungkin kakanda Anusapati lebih cakap menari daripada berlatih olah kanuragan."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Tohjaya-pun kemudian melepas pedangnya. Diberikan pedangnya itu kepada pengawalnya. Kemudian ia-pun menyangkutkan ujung kain panjangnya pada ikat pinggangnya dipunggung.
"Marilah kakanda."
"Perlahan-lahan Anusapati memasuki lapangan. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan. Memancing ilmu Tohjaya yang tersembunyi. Kemudian kalah."
Sudah tentu bahwa serangan Tohjaya harus ada yang mengenainya. Dan ia tidak dapat berpura-pura. Serangan itu pasti akan benar terasa sakit ditubuhnya. Tetapi ia harus melakukannya, dan ia harus menyediakan dirinya untuk menjadi sasaran serangan Tohjaya. asal serangan itu tidak berbahaya dan tidak membuatnya terluka didalam.
Demikianlah keduanya-pun kemudian telah siap diarena. Anusapati yang berdiri termangu-mangu sekali-sekali berpaling kepda Mahisa Agni, sedang Tohjaya sambil tersenyum-senyum melangkah maju mendekati kakaknya.
"Apakah kakanda sudah siap?" bertanya Tohjaya.
Anusapati memandang gurunya. Dan ia-pun bertanya, "beritahukan, kapan kami akan mulai?"
"Baiklah tuanku. Sekarang tuanku hamba persilahkan mempersiapkan diri."
Anusapati kemudian bersiap. Ia berdiri pada kedua kakinya yang renggang, dan merendah sedikit pada lututnya. Kemudian ia berputar pada tumitnya sambil menyilangkan tangannya didada.
"Bagus," Tohjaya tertawa, "begitukah guru kita memberitahukan, bagaimana kita harus bersiap menghadapi lawan. Kakanda Anusapati benar-benar menguasainya, sehingga setiap unsur gerak telah dilakukannya dengan sempurna. Tetapi apabila perkelahian yang sebenarnya berlangsung, maka sebelum kakanda Anusapati selesai melakukan unsur-unsur gerak itu satu demi satu, maka tubuh kakanda Anusapati pasti sudah berguling-guling ditanah."
Anusapati yang sudah bersiap itu-pun kemudian berdiri tegak kembali. Dipandanginya Tohjaya dengan herannya, kemudian ia berpaling kepada Mahisa Agni dan gurunya berganti-ganti.
"Tuanku sudah melakukan gerakan yang benar," berkata gurunya, "kenapa tuanku ragu-ragu. Mungkin tuanku Tohjaya menganggap tuanku terlampau lamban."
Suara tertawa Tohjaya masih berkepanjangan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Ya, ya begitulah." Lalu ia bertanya kepada Mahisa Agni, "Bagaimanakah pendapat paman" Bukankah paman seorang Senapati yang tidak terkalahkan dipeperangan. sehingga paman pasti akan dapat menilai tata gerak kakanda Anusapati. Apakah paman mengaguminya?"
Mahisa Agni tersenyum. Dipandanginya Anusapati yang berdiri termangu-mangu. Namun demikian didalam hatinya Mahisa Agni berkata, "Apakah yang mendorong Tohjaya berbuat demikian" Agaknya hal ini terlalu berlebih-lebihan."
Dengan demikian Mahisa Agni mengetahui, betapa beratnya peranan yang harus dilakukan oleh Anusapati selama ini.
"Kau harus berbuat lebih cepat sedikit Anusapati. Seperti yang dikatakan oleh gurumu. Kau sudah melakukan tata gerak yang benar, hanya kurang cekatan sedikit. Nah mulailah."
Anusapati-pun kemudian mengulanginya, agak lebih cepat sedikit. Tetapi Tohjaya ingin menunjukkan kelebihannya yang jauh dari Putera Mahkota itu. Sehingga dengan tiba-tiba saja, selagi Anusapati mempersiapkan diri, Tohjaya sudah melakukan loncatan yang panjang langsung menyerang Anusapati.
Dada gurunya serasa berdentang. Ia benar-benar tidak menyangka, bahwa Tohjaya sampai hati berbuat demikian, sehingga karena itu ia tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi dalam pada itu, Anusapati yang terkejut melihat serangan itu, ternyata tanpa sesadarnya telah berguling menghindari serangan yang cukup berbahaya. Kalau serangan itu mengenainya, maka pasti akan dapat membuatnya benar-benar kesakitan. Dan apabila ia benar-benar dalam keadaan seperti yang diperankan, ia pasti akan pingsan dan barangkali terluka didalam.
Tetapi hal itu tidak terjadi. Justru karena itu, gurunya berdiri saja termangu-mangu sejenak. Hampir ia tidak percaya bahwa Anusapati berhasil menghindarkan diri, meski-pun dengan cara yang sangat sederhana. Menjatuhkan diri, kemudian berguling-guling menjauhi lawannya.
Tohjaya-pun terkejut pula. Hampir ia tidak percaya ketika kakinya sama sekali tidak menyentuh tubuh Anusapati. Bahkan kemudian terasa nyeri ketika ujung-ujung jarinya menyentuh tanah.
Sejenak Tohjaya berdiri dengan tegangnya. Dipandanginya Anusapati yang tertatih-tatih berdiri. Nafasnya menjadi terengah-engah dan wajahnya menjadi gelisah.
"Aneh," desis Tohjaya.
Namun didalam hati gurunya juga berdesis, "Aneh."
"Apa yang aneh?" bertanya Anusapati kepada Tohjaya.
Tohjaya tidak segera menjawab. Ditatapnya Anusapati yang sudah berdiri tegak dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kekuatan apakah yang sudah menggerakkannya sedemikian cepatnya.
Karena Tohjaya tidak menjawab, maka Mahisa Agni mendesaknya, "Apakah yang aneh?"
"Aku heran paman," berkata Tohjaya, "tiba-tiba saja kakang Anusapati menjadi sangat lincah. Ia mampu bergerak sedemikian cepatnya menghindari seranganku."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, "Tidak ada yang aneh. Tentu wajar sekali kalau Anusapati dapat menghindari serangan itu. Serangan yang hanya sekedar mau tidak mau. Serangan yang dilontarkan tidak lebih dari seperempat dari segenap kemampuan dan kecepatan bergerak yang ada. Apalagi aku tidak melihat gerakan olah kanuragan yang sebenarnya dari angger Anusapati. Seakan-akan Anusapati bergerak berdasarkan dorongan naluriah, seperti apabila disenja hari, seekor binatang terbang hampir membentur mata kita. Kita tidak pernah berlatih, tetapi kecepatan gerak kita melampaui kecepatan binatang kecil yang terbang kemata kita itu. Begitu binatang itu menyentuh kita, maka kelopak mata kita yang sudah tertutuplah yang dibenturnya."
Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Anusapati sejenak, namun kemudian ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah benar aku hanya melepaskan seperempat dari tenaga dan kemampuan yang ada padaku?" Tetapi ia mempunyai kesimpulan lain, "Jika kecepatan itu dianggap hanya seperempat dari segenap kemampuanku, ternyata aku-pun sama sekali masih terlampau kecil dimata Paman Mahisa Agni. Tetapi paman masih lebih menghargai aku, karena ia menganggap apa yang dilakukan oleh kakanda Anusapati sama sekali bukan karena kemampuannya, tetapi hanya sekedar gerakan naluriah."
Namun sementara itu, baik Mahisa Agni, Anusapati mau-pun perwira prajurit yang menjadi pelatih kedua putera Sri Rajasa itu melihat, sesuatu yang lain pada serangan Tohjaya. Kekuatan yang dilontarkan adalah kekuatan yang didapatnya dari gurunya yang lain. meski-pun agaknya Tohjaya masih berusaha menyesuaikan tata geraknya dengan ajaran gurunya yang menungguinya saat itu.
"Bukan salahku," berkata perwira itu didalam hatinya, "adalah berbahaya sekali bagi tuanku Tohjaya. Ia mempergunakan dua unsur kekuatan yang tidak dapat luluh. Apabila ia selalu mempergunakan cara itu, maka lambat laun ia akan mengalami gangguan yang akan membuatnya menyesal." Tetapi aku tidak berhak memberinya peringatan.
Tetapi bukan itu saja. Bukan hanya karena ia tidak berhak, tetapi disudut hatinya terbersit suatu pikiran, "Biarlah. Biarlah ia menyesal bahwa ia sudah membuat aku menjadi bersakit hati. Seolah-olah aku sama sekali tidak mampu melatihnya menjadi seorang laki-laki yang baik."
Tetapi perwira itu merasa bahwa agaknya karena ia tidak dapat menundukkan kepalanya saja seperti yang dikehendaki oleh saudara sepupunya, agar ia berbuat curang atas kedua muridnya itu.
"Ia memerlukan bantuan orang lain." katanya didalam hati.
Dalam pada itu Tohjaya yang masih termangu-mangu sejenak mulai menyadari keadaannya. Karena itu maka katanya. "Baiklah. Apakah kita akan melanjutkan latihan ini?"
Pelatihnya memandang Anusapati sejenak. Tetapi tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk menyaksikan tata gerak Tohjaya lebih banyak lagi. Karena itu katanya kepada Anusapati, "Silahkan tuanku."
Anusapati menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia-pun kemudian melangkah maju. Ditatapnya wajah gurunya sejenak, lalu katanya, "Baiklah. Tetapi terasa bulu-bulu tengkukku meremang."
Tohjaya tersenyum. Sambil menengadahkan kepalanya ia berkata, "Jangan takut. Aku adalah Tohjaya yang selama ini berlatih bersama kakanda Anusapati."
Demikianlah maka keduanya segera bersiap. Perlahan-lahan mereka saling mendekat. Dan sejenak kemudian latihan itu-pun segera mulai.
Agaknya Tohjaya tidak ingin mengulangi serangannya yang dapat membahayakan Anusapati. Ia sadar, bahwa Mahisa Agni adalah paman Anusapati. Ia tentu tidak akan membiarkan kemanakannya mengalami bencana. Meski-pun demikian ia harus menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan yang jauh dari Anusapati.
Ketika latihan itu kemudian mulai berlangsung, maka Mahisa Agni memperhatikan segalanya dengan saksama. Seperti yang diduganya dan seperti yang dikehendaki oleh pelatih itu, maka karena kecakapan Anusapati. Tohjaya telah melepaskan beberapa jenis unsur gerak yang asing tanpa disadarinya.
"Apakah kau melihat sesuatu?" bertanya Mahisa Agni sambil berbisik kepada pelatih Anusapati itu.
Perwira itu menganggukkan kepalanya. Dipandanginya kedua pengawal Tohjaya sejenak. Kemudian ia menjawab lirih, "Itulah yang ingin aku tunjukkan kepada tuan."
"O," desis Mahisa Agni, "jadi kau sudah tahu?"
"Ya tuan." "Kau tahu siapakah yang memberinya?"
Perwira itu menggelengkan kepalanya.
"Aneh sekali, aku tidak tahu maksud Sri Rajasa dengan caranya."
Perwira itu ragu-ragu sejenak. Hampir saja ia mengatakan apa yang tersimpan dihatinya. Tetapi niatnya itu-pun diurungkannya.
"Apakah kau tidak ingin melihat, siapakah yang memberi bekal lain pada Tohjaya itu?"
"Tentu tuan. Tetapi aku tidak dapat."
"Asal kau sempat mengawasi Tohjaya pada saat-saat yang kau sangka mungkin. Kau ikuti ia kemana perginya. Mungkin malam hari. Jika demikian bahkan akan lebih menguntungkan bagimu."
"Mungkin ditempat tertutup."
"Kau dapat memanjat?"
Pelatih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kenapa selama ini tidak terkilas dikepalanya, untuk mengetahui siapakah guru Tohjaya itu. Meski-pun seandainya ia tidak akan berbuat apa-apa, tetapi ia dapat mengetahui orang yang telah merangkapinya, menuntun Tohjaya didalam olah kanuragan.
Karena itu maka katanya kemudian, "Aku tidak pernah memikirkan sebelumnya tuan. Tetapi apakah aku sebaiknya melakukannya?"
"Ah, kau aneh," berkata Mahisa Agni, "sudah tentu semuanya itu terserah kepadamu."
"Tetapi apakah hal itu baik aku lakukan?"
Mahisa Agni tidak menyahut. Ia hanya tersenyum saja.
Sudah barang tentu bahwa ia tidak terlampau jauh melibatkan dirinya. Ia tidak akan menempatkan dirinya sebagai pangkal dari perbuatan seandainya perwira itu benar-benar ingin melakukannya.
"Bagaimanakah pendapat tuan?" bertanya perwira itu mendesak.
"Jangan bertanya kepadaku. Sudah tentu aku tidak akan dapat mendorongmu untuk melakukan perbuatan ini. Aku hanya bertanya. Sekedar bertanya. Keputusannya ada padamu. Bahkan tanggung jawab-pun ada padamu. Seandainya kau tertangkap karenanya, maka kaulah yang akan mengalami segalanya. Bukan aku. Karena itu aku tidak mau menjadi penyebab bahwa pada suatu saat kau digantung. Setiap orang akan mendengar alasanmu, bahwa akulah yang menyuruhmu. Kalau aku tidak ikut digantung, maka semua orang akan berkata bahwa akulah yang manyebabkan kau dihukum."
"Tidak tuan. Aku tidak akan menyalahkan siapa saja. Aku akan bertanggung jawab sendiri."
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Ia masih mengawasi latihan yang sedang berlangsung antara kedua putera Sri Rajasa itu. Semakin lama semakin seru, dan Tohjaya-pun mulai melepaskan ilmu rangkapnya tanpa disadarinya.
"Memang berbahaya," berkata Mahisa Agni didalam hati, "bukan saja berbahaya bagi lawannya, tetapi berbahaya bagi dirinya sendiri."
Perwira pelatihnya yang kemudian juga terdiam, memandangi latihan itu pula. Ia mengikutinya dengan saksama. Setiap tata gerak yang terlontar dari keduanya, memang sangat menarik perhatian. Ia sudah mengetahui, bahwa Tohjaya tidak saja mempergunakan ilmu yang didapat daripadanya. Tetapi beberapa tata gerak yang lain telah terlontar pula.
Berbeda dengan Tohjaya, Anusapati-pun membuatnya heran pula. Ia masih berada didalam lingkungan ilmu yang diberikannya. Tetapi kadang-kadang sesuatu yang tidak terduga-duga telah terjadi. Anusapati mampu mempergunakan unsur-unsur gerak yang justru tidak terpikirkan oleh gurunya didalam hubungan yang hampir tidak berbatas. Seperti air yang mengalir melalui jalur-jalur yang lurus lapang tanpa rintangan apapun.
Sekali-sekali gurunya menggelengkan kepalanya. Bahkan ia berkata didalam hatinya, "Aneh sekali. Putera Mahkota itu menemukan susunan tata gerak yang mengherankan. Tetapi jelas, bahwa unsur-unsurnya dalam unsur-unsur ilmu yang aku berikan."
Tetapi gurunya tidak pernah mengerti, bahwa justru karena kematangan sikap Anusapati, maka ia mampu mempergunakan unsur-unsur gerak yang diterimanya dengan baik dan cepat. Meski-pun ia juga tidak sengaja membuat gurunya heran, tetapi didalam keadaan tertentu ia tidak dapat menghindari lagi. Adalah lebih baik mempergunakan ilmu yang diterimanya itu dalam tataran yang lebih tinggi daripada ia mempergunakan ilmu yang lain yang akan membuat gurunya menjadi semakin bingung.
Namun nampaknya latihan itu masih akan berlangsung lama. Tohjaya tidak lagi terlampau bernafsu untuk segera menjatuhkan Anusapati. Tetapi ia sengaja ingin mempermainkannya. Kadang-kadang ia menyerang dan mendesak Anusapati sampai beberapa langkah surut. Kemudian dengan tenangnya ia melangkah ketengah arena, memberi kesempatan agar Anusapati menyerangnya. Apabila Anusapati meloncat menyerang, dengan gerak yang sederhana ia mengelak sambil tertawa dan berkata, "Aku disini kakanda Anusapati."
Demikianlah latihan itu berlangsung terus. Anusapati telah membiarkan dirinya setiap kali ditertawakan oleh Tohjaya. Namun setiap kali ia membuat dahi gurunya berkerut karena tata geraknya yang tidak terduga-duga. Tetapi Tohjaya yang sibuk dengan kemenangannya sama sekali tidak menghiraukannya, meski-pun kadang-kadang ia kecewa juga, bahwa serangannya tidak mengenai sasaran atau usahanya untuk membuat Anusapati kehilangan arah, kadang-kadang gagal.
"Tuan," perwira pelatih itu mengulangi desakannya, "bagaimana pendapat tuan kalau aku berusaha mengetahui, siapakah yang menjadi guru yang lain dari tuanku Tohjaya."


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah," desis Mahisa Agni, "kau bukan anak-anak lagi. Kau dapat menimbang mana yang baik dan mana yang busuk."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia mengambil keputusan, "Aku akan mencoba melihat. Mencoba. Kalau berhasil baik, sukurlah. Kalau tidak, biarlah."
Tetapi tiba-tiba sebuah pertanyaan melonjak dikepalanya, "Bagaimana kalau dihukum mati karena Sri Rajasa menemukan aku mengintip latihan itu?"
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya didalam hati, "Seperti orang pergi berperang. Menang atau mati."
Dengan demikian perwira itu tidak mendesak Mahisa Agni lagi. Ia sadar, bahwa Mahisa Agni tidak mau terlibat didalam persoalan ini meski-pun ialah yang pertama-tama menyalakan keinginan itu didalam hatinya.
Keduanya kini memperhatikan latihan itu dengan saksama. Anusapati menjadi semakin lama semakin terdesak. Kadang-kadang serangan-serangan Tohjaya mengenainya dan melemparkannya. Kadang-kadang ia jatuh terguling. Dan kadang-kadang bahkan seperti seekor ayam digelanggang, Berlari-lari mengelilingi arena apabila Tohjaya mendesaknya terus.
Tohjaya menjadi semakin gembira. Seperti anak-anak mendapat mainan yang mengasyikkan. Setiap kali terdengar Ia tertawa. Namun kadang-kadang ia mengerutkan keningnya karena kegagalannya.
Guru Anusapati dan Tohjaya itu tiba-tiba menjadi curiga. Apakah Anusapati benar-benar tidak mampu mengimbangi Tohjaya" Putera Mahkota itu kadang-kadang mampu bergerak secepat serangan Tohjaya, justru apabila serangan itu berbahaya baginya. Tetapi sampai begitu jauh perwira itu tidak melihat unsur-unsur gerak yang lain, selain unsur-unsur gerak yang diberikannya, meski-pun kadang-kadang dalam susunan yang ia sendiri tidak pernah memikirkannya.
Tetapi latihan itu sendiri kemudian tidak menarik lagi baginya. Yang dipikirkannya adalah bagaimana ia dapat mengetahui siapakah yang telah menuntun Tohjaya dengan ilmu yang menurut penilaiannya agak terlampau kasar dan berbahaya.
Karena itu tanpa menghiraukan latihan itu lagi ia berkata, "Aku akan melakukannya."
"Apa?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku akan berusaha melihat tuanku Tohjaya latihan dengan gurunya yang lain. Aku akan melihat apakah gurunya itu seorang manusia sempurna tanpa tanding?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Katanya, "Apakah kau memutuskan demikian?"
"Ya tuan." "Kau sudah menimbang akibatnya?"
"Sudah tuan." "Terserahlah kepadamu."
"Aku akan menanggung segala akibatnya. Kalau aku berhasil aku akan memberitahukan kepada tuan, siapakah gurunya itu. Apakah ia orang istana atau orang diluar istana."
"Itu-pun terserah kepadamu. Tetapi aku tidak akan menolak. Setidak-tidaknya aku ikut mengetahuinya pula, meski-pun seandainya tidak-pun tidak apa-apa."
"Aku harap tuan bersedia. Aku tidak akan melibatkan tuan seperti yang tuan harapkan, meski-pun tuanlah yang telah menumbuhkan niat itu didalam hatiku. Aku tidak tahu, apakah tuan sengaja berbuat demikian atau tidak."
Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut.
Sejenak kemudian mereka kembali mengamati latihan yang sedang berlangsung itu. Anusapati semakin lama menjadi semakin terdesak, sedang Tohjaya semakin menjadi gembira karenanya. Kini ia telah memilih cara ini untuk menunjukkan kemenangannya. Ia tidak ingin dengan sekali banting, Anusapati tidak dapat bangun lagi. Tetapi ia ingin memperlakukan Anusapati seperti kucing yang sedang mempermainkan seekor tikus kecil.
Ketika serangan Tohjaya mengenai lengan Anusapati sehingga Anusapati terpelanting jatuh, Tohjaya tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Marilah kakanda. Jangan berbaring ditanah. Nanti sajalah kakanda beristirahat sama sekali setelah latihan ini selesai."
Tertatih-tatih Anusapati berusaha untuk bangkit. Tetapi ketika ia tegak, maka serangan Tohjaya telah melandanya. Sekali lagi ia terdorong dan jatuh berguling ditanah.
Terdengar suara tertawa Tohjaya semakin keras. Sambil memandang Mahisa Agni dan perwira pelatih itu berganti-ganti, ia bertolak pinggang menikmati kemenangannya.
Kali ini Anusapati tidak segera bangkit. Sambil menyeringai kesakitan ia berlutut dan bersandar pada kedua tangannya. Tetapi ketika Mahisa Agni memandangnya tanpa setahu Tohjaya ia memejamkan sebelah matanya, sehingga hampir saja Mahisa Agni tertawa karenanya.
"Sudahlah," berkata gurunya, "latihan sudah selesai. Tuanku Anusapati sudah tampak terlampau lelah."
Tohjaya masih tertawa. Katanya, " Bertanyalah kepada kakanda Anusapati. Apakah ia bersedia meneruskan latihan ini atau tidak."
Perwira itu mendekati Anusapati sambil bertanya, "Apakah latihan masih akan diteruskan?"
Anusapati menggelengkan kepalanya, katanya, "Tidak, Aku sudah lelah sekali."
Si Pemanah Gadis 6 Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Pendekar Guntur 21
^