Pencarian

Bara Diatas Singgasana 17

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 17


Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia mendekati Mahisa Agni sambil berkata, "Inilah kakanda Anusapati paman. Ia selalu mengakhiri latihan-latihan serupa ini sebelum waktunya. Sebenarnya kakanda Anusapati akan dapat lebih maju apabila ia tidak terlampau malas."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, apakah pendapat paman atas kita berdua?"
"Mengagumkan," jawab Mahisa Agni.
"Siapakah yang mengagumkan?"
Mahisa Agni tersenyum. Sekilas dilihatnya perwira prajurit yang menjadi pelatih kedua putera Sri Rajasa itu menolong Anusapati bangkit berdiri.
"Aku kagum melihat kelincahanmu. Kau bergerak cepat dan tangkas. Agaknya kau berlatih dengan tekun. Selain latihan-latihan yang kau lakukan disini, kau pasti selalu berlatih pula."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menegang. "Maksud paman?"
"Maksudku, kau tentu mengulangi tata gerak yang kau dapat dari gurumu ini diwaktu-waktu yang lain. Mungkin sebelum mandi. Dipagi hari bangun tidur atau waktu-waktu dan kesempatan-kesempatan yang lain. Hal itu memang banyak sekali berpengaruh. Tata gerak yang telah kau kuasai akan menjadi masak."
"Ya paman." Tohjaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "aku kira paman menyangka aku mengadakan latihan dan menerima tuntunan dari orang lain."
Mahisa Agni masih tersenyum. "Aku menyangka lain."
Tohjaya memandang Mahisa Agni dengan tajamnya. Tetapi kemudian ia berkata, "Paman benar. Aku memang selalu mengulangi ilmu yang aku terima disetiap kesempatan. Tetapi agaknya kakanda Anusapati memang malas sekali."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Sekilas ia berpaling kepada Anusapati yang berdiri berpegangan kepada pelatihnya sambil menyeringai. Nafasnya terdengar semakin cepat mengalir.
Katanya kemudian, "Anusapati memang kurang mantap. Tetapi apabila ia sedikit tekun, maka ia akan dapat menambah kemampuannya. Secara naluriah sebenarnya Anusapati mempunyai kelebihan. Tetapi ia tidak memanfaatkannya."
Tohjaya memandang Mahisa Agni dengan tajamnya. Kemudian ia bertanya, "Kelebihan apakah yang paman maksudkan?"
"Anusapati mempunyai tanggapan yang cepat secara naluriah. Kalau ia dengan rajin melatih diri, maka seolah-olah ia akan mempunyai indera yang dapat menangkap apa yang akan dilakukan oleh lawan didalam perkelahian."
"Apakah benar begitu?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana dengan aku paman?"
"Sudah aku katakan. Kau dapat bergerak cepat dan tangkas. Jarang sekali orang dapat bergerak secepat kau. Meski-pun tanggapan naluriahmu wajar, maksudku tidak ada kelebihan dari orang lain, namun gerak yang kemudian kau lakukan ternyata melampaui kesempatan seseorang mencernakan tanggapannya."
Tohjaya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia tersenyum mendengar pujian itu. Bahkan kemudian ia bertanya, "Apakah kemampuanku masih akan dapat berkembang?"
"Tentu. Kau dan Anusapati masih mempunyai kemungkinan yang sangat luas. Kalau kalian berdua benar-benar mempergunakan waktu sebaik-baiknya, kalian akan menjadi anak muda yang perwira. Kalian akan menjadi kesatria yang benar-benar diharapkan bagi Singasari."
Tohjaya masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak senang mendengar Kemungkinan yang dapat dicapai oleh Anusapati. Meski-pun demikian ia berkata didalam hatinya, "Aku berlatih pada seorang pelatih yang khusus. Setiap saat aku memerlukannya, ia akan hadir tanpa mengenal waktu. Sudah tentu jarak yang ada diantara kami akan menjadi semakin jauh. Apalagi kalau kakanda Anusapati masih tetap malas seperti sekarang."
"Berlatihlah terus," berkata Mahisa Agni sambil menepuk bahu Tohjaya.
"Terima kasih paman," sahut Tohjaya.
Mahisa Agni-pun kemudian minta diri, setelah ia menasehatkan agar latihan itu dihentikan, karena Anusapati sudah terlampau lelah.
Demikianlah maka Mahisa Agni-pun segera meninggalkan arena. Ia masih akan menemui Permaisuri dan Sri Rajasa sendiri. Masih ada yang akan dibicarakan mengenai kemungkinan-kemungkinan perkawinan Anusapati.
Dalam pada itu, perwira prajurit yang menjadi pelatih Tohjaya dan Anusapati itu benar-benar ingin melihat, siapakah sebenarnya orang yang telah merebut kepercayaan Sri Rajasa untuk membentuk puteranya menjadi seorang laki-laki yang kuat dan mumpuni didalam olah kanuragan.
"Apakah orang itu sudah lama berada di istana, atau orang yang termasuk baru?" bertanya perwira itu kepada diri sendiri. Sebenarnyalah ia tidak tahu, bahwa guru Tohjaya itu sudah ada sejak lama, namun baru beberapa saat kemudian Tohjaya benar-benar berlatih kepadanya, karena perwira itu tidak sependirian dengan gurunya yang sudah meninggal. Dengan demikian Tohjaya tidak dapat mengharapkannya lagi. Itulah sebabnya maka ia kemudian memberatkan latihan-latihannya kepada gurunya yang tersembunyi itu.
Dengan demikian maka perwira itu bertekad untuk selalu mengawasi Tohjaya, siang dan malam, apabila ia keluar dari bangsalnya. Tetapi waktu yang sehari semalam itu ternyata tidak dapat dikuasainya terus menerus. Kadang-kadang ia menjadi lengah selagi ia makan didalam biliknya dibagian belakang istana itu. Atau selagi ia mandi, Tohjaya menyeberangi longkangan dibelakang bangsal ayahanda. Disanalah ia berlatih bersama gurunya yang khusus itu.
Tetapi perwira itu tidak putus asa. Ia selalu berusaha. Bahkan ia berpendirian, "Kalau tidak sekarang, besok aku pasti akan menjumpainya. Kalau tidak besok, biarlah lusa, atau dihari kemudian.
Beberapa hari kemudian Mahisa Agni-pun meninggalkan istana Singasari kembali ke Kediri. Perwira itu memerlukan menemuinya untuk mengucapkan selamat jalan. Tetapi ia juga berkata, "Aku belum berhasil. Tuan sudah akan meninggalkan istana."
"Aku akan mondar mandir sebelum perkawinan Anusapati benar-benar dapat berlangsung. Kita masih belum menemukan bakal isteri yang mantap untuk Putera Mahkota."
Pelatih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Mudah-mudahan tuan masih menjumpai aku di istana ini."
"Kenapa?" "Siapa tahu, besok atau lusa, aku benar-benar digantung."
"Ah. Kalau kau sudah ragu-ragu, hentikan saja usahamu. Apakah untungnya kau menemukan oang itu" Kau hanya sekedar menuruti perasaanmu. Mungkin kau menjadi puas melihat orang itu. Tetapi mungkin kau justru menjadi gila dan kehilangan pertimbangan nalar."
"Aku akan tetap berpikir bening. Doakan saja tuan."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Hati-hatilah. Disekitarmu terdapat banyak orang-orang yang luar biasa. Jangan sampai kau menjerumuskan dirimu."
"Aku akan sangat berhati-hati."
Tetapi perwira itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa Mahisa Agni-pun telah berpesan kepada Sumekar, agar ia berusaha mengawasi gerak-gerik perwira itu dan apabila mungkin sekaligus menemukan pelatih Tohjaya yang tersembunyi itu.
"Awasilah perwira itu," berkata Mahisa Agni, "kasihan apabila ia tersjerumus kedalam kesulitan. Menilik lontaran unsur-unsur gerak yang ada pada Tohjaya, maka gurunya yang kasar itu memang mempunyai banyak kelebihan. Sayang, ia bukan seorang guru yang baik, sehingga ia tidak menghiraukan perkembangan jasmani muridnya sama sekali."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang mempunyai dugaan yang sama. Kedua guru Tohjaya itu agaknya memang bukan guru-guru yang baik. Perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang masih kurang selapis untuk membentuk Tohjaya menjadi seorang yang mumpuni, karena perwira itu sendiri, masih belum mencapai suatu tingkatan yang dapat dibanggakan di dalam olah kanuragan, meski-pun untuk mendasari kedua anak-anak muda itu agaknya ia mampu juga melakukannya, bahkan ia agak lebih baik dari guru Tohjaya yang terbunuh. Sedang gurunya yang lain, menilik tata geraknya, adalah seorang yang berilmu kasar dan bersumber pada ajaran yang kurang dapat dipertanggung jawabkan.
"Perwira itu ingin melihat, siapakah orang yang telah ditunjuk oleh Sri Rajasa untuk menjadi guru Tohjaya pula," berkata Mahisa Agni, dan ia menceriterakan apa yang akan dilakukan oleh perwira itu.
Karena pesan itulah, maka Sumekar-pun kemudian mempunyai tugas tambahan. Setiap kali ia ada kesempatan, maka dengan pakaian yang dapat membantu membayanginya, ia selalu berkeliaran di halaman istana. Dengan berkerudung kain hitam, tutup wajah hitam dan semua serba hitam, Sumekar berusaha untuk memenuhi pesan Mahisa Agni.
"Paman Sumekar sekarang senang bermain hantu-hantuan," desis Anusapati.
Sumekar hanya tersenyum saja. Tugas itu termasuk tugas yang berat baginya.
"Aku ingin ikut pada suatu kali," minta Anusapati.
"Jangan tuanku. Tuanku Sri Rajasa adalah seorang luar biasa. Seolah-olah ia memiliki indera rangkap."
"Bukankah dengan demikian akan berbahaya juga bagi paman?"
"Hamba hanya seorang juru taman tuanku."
"Kalau kau hanya seorang juru taman, apakah kepentinganmu untuk mengetahui guru Tohjaya" Seorang juru taman sama sekali tidak berkepentingan apa-apa selain cangkul, pupuk kandang, sapu dan sebagainya. Setiap datang saatnya menerima upah dari kerjanya, kenaikan pangkat dan kebutuhan-kebutuhan lain. Makan dan sedikit kebanggaan. Apalagi?"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
"Ternyata paman bukan seorang juru taman. Justru paman telah sudi merendahkan diri menjadi seorang juru taman."
"Tuanku, meski-pun hamba bukan juru taman karena hamba memerlukan pekerjaan untuk kehidupan hamba, tetapi harga hamba sama sekali tetap tidak sebanding dengan tuanku. Bukankah tuanku Putera Mahkota yang sebenarnya" Siapa-pun hamba, hamba adalah seorang dari padesaan. Dari sebuah padepokan yang hampir dilupakan orang."
"Paman memang suka merendahkan diri. Apakah paman tahu nilai dari tugas yang paman lakukan" Aku tahu paman berbuat sesuatu yang berbahaya dan kadang-kadang mengancam jiwa paman itu, sekedar untuk kepentinganku. Bukankah dengan demikian nasibku sebagai Putera Mahkota sebagian telah paman selamatkan?"
"Nasib tidak berada ditangan kita tuanku. Kita hanya sekedar berusaha. Dan hamba-pun sekedar berusaha seperti tuanku juga berusaha."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tetapi paman telah mempertaruhkan diri sendiri."
"Tuanku," berkata Sumekar, "hamba tidak mempunyai kekuasaan apa-apa di Singasari. Tuanku adalah Putera Mahkota yang apabila datang saatnya, akan menjadi Raja Besar di Singasari. Adalah berbahagia sekali bahwa hamba dapat mengenal langsung seorang Raja Besar. Tidak banyak orang yang mendapat kebahagiaan demikian. Hanya orang-orang besar di istana sajalah yang mengenal secara pribadi seorang Raja." Sumekar berhenti sejenak, lalu "tetapi lebih dari pada itu, bukankah dengan demikian hamba telah dapat mengangkat diri hamba sendiri, ikut didalam pemerintahan" Karena hamba yakin, bahwa tuanku akan berbuat sebaik-baiknya. Apabila hamba dapat menyerahkan setitik air, maka hamba-pun merasa telah ikut serta didalam kebesaran tuanku itu. Tanpa tuanku, hamba tidak dapat berbuat apa-apa bagi Singasari yang besar ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sumekar berkata terus, "Karena itu, tuanku jangan berbuat sesuatu yang terlampau berbahaya. Ini-pun hanya suatu usaha untuk keselamatan tuanku. Biarlah hamba saja yang bermain hantu-hantuan berkerudung kain hitam agar hamba tidak mudah dilihat dimalam hari."
"Di siang hari?"
"Di siang hari hamba tidak berani."
Anusapati tersenyum. Memang tidak mungkin untuk melakukannya di siang hari.
Demikianlah, maka Sumekar-pun berusaha untuk mengetahui, dimanakah Tohjaya berlatih. Kadang-kadang ia mengawasi perwira prajurit yang juga selalu mengendap-endap dimalam hari untuk mencari tempat yang dipergunakan oleh Tohjaya. Tetapi keduanya masih belum berani untuk mendekati bangsal Sri Rajasa. Apalagi mereka sama sekali tidak menduga, bahwa latihan itu akan dilakukan dibelakang bangsal itu.
Namun akhirnya, setelah seluruh istana mereka awasi meski-pun mereka tidak berjanji untuk melakukan bersama, tanpa dapat mereka ketemukan, maka mereka-pun sampai pada suatu kesimpulan, bahwa satu-satunya tempat yang belum pernah mereka intai adalah longkangan dibelakang bangsal Sri Rajasa.
Tetapi untuk melakukannya adalah sangat berbahaya. Selain bangsal itu dijaga ketat, maka untuk sampai kebelakang bangsal itu, hampir tidak ada jalan sama sekali. Apalagi mereka menyadari, bahwa Sri Rajasa adalah seorang yang ajaib. Seorang yang pilih tanding.
Tetapi pada suatu saat, datang juga kesempatan yang meski-pun belum pasti, namun tampaknya seperti membuka jalan bagi keduanya untuk melakukan tugas mereka masing-masing.
Sumekar menjadi berdebar-debar ketika ia mendengar berita bahwa Sri Rajasa ingin berburu seperti kebiasaan yang di lakukannya. Tetapi kali ini puteranya yang biasanya ikut serta, ingin tinggal di istana.
"Adinda Tohjaya tidak ikut serta," berkata Anusapati kepada Sumekar, "katanya, ia ingin memperdalam olah kanuragan."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan hamba mendapat kesempatan untuk melihat latihan itu," berkata Sumekar.
Dan bersamaan dengan itu, perwira saudara sepupu Ken Umang-pun berkata didalam hatinya, "Mudah-mudahan aku mendapat kesempatan. Aku harap bahwa aku-pun tidak dibawanya serta didalam perburuan itu."
Ternyata bahwa perwira itu kemudian tidak dibawa serta oleh Sri Rajasa. Bahkan ia mendapat pesan, agar latihan-latihan bagi Tohjaya agak dipercepat.
"Anak itu sudah dewasa penuh," berkata Sri Rajasa.
Ketika pada suatu pagi, Sri Rajasa beserta para pengiringnya keluar dari istana, Sumekar berdiri termangu-mangu diregol petamanan. Dari kejauhan ia melihat iring-iringan itu menyusup regol samping dan turun ke jalan raya.
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia-pun melangkah maju. Ia mengerutkan keningnya ketika dilihatnya perwira pelatih Tohjaya dan Anusapati berdiri termangu-mangu pula.
Dari kejauhan Sumekar melihat Tohjaya berjalan bersama Anusapati masuk kembali kehalaman samping setelah mereka melepaskan ayahanda pergi berburu diregol istana. Dibelakang mereka dua orang prajurit pengawal Tohjaya berjalan dengan tegapnya. Tanpa menghiraukan perwira perajurit itu Tohjaya berjalan langsung kebiliknya. Namun Anusapati masih juga berpaling sambil menganggukkan kepalanya.
Perwira itu memandang keduanya dengan kening yang berkerut-merut. Namun kemudian ia-pun meninggalkan tempatnya dan kembali ketempat tinggalnya, didalam lingkungan istana itu pula.
Sumekar hanya dapat memandang mereka dengan dada yang berdebar-debar. Diregol dalam kedua anak-anak muda itu berpisah, Masing-masing pergi kebangsalnya.
Perlahan Sumekar-pun melangkah maju. Kini ia berjalan dilongkangan tengah. Sekali-sekali ia berhenti sambil mengamati pohon bunga-bungaan yang tumbuh di pinggir longkangan itu. Namun kemudian ia melanjutkan langkahnya keregol dalam. Tetapi Sumekar sudah tidak melihat kedua putera Sri Rajasa itu lagi.
"He, apa yang kau lakukan disini," bertanya seorang prajurit ketika ia melihat Sumekar berdiri termangu-mangu.
"O, tidak apa-apa tuan. Aku hanya melihat-lihat kalau ada tanaman yang kurang terpelihara."
Prajurit itu tidak menghiraukannya lagi. Ditinggalkannya Sumekar yang masih berdiri termangu-mangu itu.
Namun dalam pada itu Sumekar sempat memperhatikan bangsal Sri Rajasa meski-pun dari kejauhan. Bangsal yang berdiri megah ditengah-engah halaman yang luas. Meski-pun setiap kali Sumekar selalu bergantian dengan kawan-kawannya juru taman membersihkan halaman itu dan memelihara tanaman yang tumbuh disekeliling bangsal dan ditepi-tepi dinding, namun rasa-rasanya ia masih ingin memperhatikan bangunan itu seteliti-telitinya.
"Dibelakang bangsal itu ada sebuah longkangan yang tertutup. Sebuah pintu butulan di samping, menghubungkan bagian belakang bangsal itu dengan halaman yang luas disekitarnya. Diwaktu senggang Sri Rajasa sering duduk dibagian belakang bangsal itu. Kadang-kadang seorang diri apabila ia tidak ingin diganggu."
Sumekar berkata kepada diri sendiri, "hanya longkangan dibelakang bangsal itu, didepan serambi yang sering dipergunakan oleh Sri Rajasalah yang belum pernah aku jenguk selama aku mencari pelatih yang tersembunyi itu. Agaknya sekarang aku mendapat kesempatan. Tanpa Sri Rajasa, agaknya aku akan lebih mudah untuk melakukannya. Guru Tohjaya yang tersembunyi itu pasti tidak akan dapat menyamai Sri Rajasa menilik caranya memberikan ajaran kepada muridnya."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat dua orang prajurit peronda yang lewat melintasi halaman, maka ia-pun melangkah kesamping dan berjongkok disamping sebatang pohon kemuning yang sedang tumbuh.
Tetapi kedua prajurit itu sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka hanya melintas halaman, dan hilang diregol sebelah kiri, regol yang menghubungkan bagian istana ini dengan halaman bangsal sebelah, bangsal yang dipergunakan oleh Tohjaya. Disebelah bangsal itulah terdapat sebuah bangsal lain pula. Bangsal Ken Umang yang seolah-olah terpisah dari istana lama ini oleh dinding batu. Tetapi regol-regol yang terdapat disepanjang dinding itu agaknya selalu terbuka, siang dan malam. Bahkan Sumekar sendiri pernah untuk beberapa hari bekerja dibelahan istana itu, yang sehari-hari mempunyai petugas-petugasnya sendiri. Juga mempunyai juru taman sendiri dipetamanannya.
"Aku harus segera menemukannya, sebelum pada suatu saat jatuh keputusan hari perkawinan tuanku Anusapati," berkata Sumekar didalam hatinya.
Sejenak kemudian Sumekar-pun meninggalkan halaman yang luas itu kembali kepetamanan. Dilihatnya beberapa orang kawannya sedang beristirahat, duduk dibawah sebatang pohon sawo kecik.
"He. dari mana kau?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Melihat kemuning yang sedang tumbuh itu."
"Di halaman dalam?"
"Ya." "Bagaimana?" "Pohon itu sudah mulai semi."
Kawan-kawannya tidak menghiraukannya lagi. Mereka sedang membuka bungkusan bekal mereka. Ketan serundeng kelapa muda. Jenang alot dan pondoh jagung.
Sumekar-pun kemudian duduk pula diantara mereka. Namun angan-angannya masih saja tersangkut pada longkangan dibelakang bangsal Sri Rajasa.
"Jangan pura-pura. Kau memang anak manja," bentak salah seorang kawannya.
Sumekar berpaling sambil mengerutkan keningnya.
"He, kau mesti dipersilahkan. Kalau tidak, kau pura-pura tidak acuh saja pada jenang alot dan ketan serundeng yang dibawa oleh jajar yang lencir kuning ini. Tetapi nanti kalau sudah habis kau menggerutu sepanjang hari. Bahkan semalam suntuk kau tidak akan dapat tidur nyenyak."
"O," Sumekar tersenyum, "maaf. Aku tidak bermaksud manja dan harus dipersilahkan. Bukankah aku harus mengenal sopan santun" Siapa tahu, aku tidak termasuk dalam rencana pembagian rejeki itu."
"He, benar begitu" Kau berharap agar kau tidak masuk didalam lingkungan kami yang menerima rejeki."
"Bukan, bukan begitu."
Kawannya bersungut-sungut, "Jangan banyak cakap. Lihat, betapa aku berusaha memuaskan orang yang membawa makanan ini." Dan dengan lahapnya ia menyuapi mulutnya dengan ketan serundeng.
Sumekar tersenyum. Sejenak ia termangu-mangu, namun sejenak kemudian ia mengulurkan tangannya, memungut sepotong jenang alot.
"Nah begitu. Jangan malu-malu dan jangan berpura-pura malu."
Semuanya tertawa. Sumekar juga tertawa.
Namun hampir berbareng mereka berdiri serentak ketika mereka melihat Putera Mahkota muncul diregol petamanan. Bahkan pemimpin juru taman yang ikut makan bersama kawan-kawannya, dengan tergesa-gesa membungkus sisa makanan itu dan sambil menelan makanan yang sedang dikunyahnya, melangkah terbungkuk-bungkuk mendekati Putera Mahkota.
"Apakah yang kalian kerjakan?" bertanya Anusapati.
"Ampun tuanku. Hamba dan kawan-kawan hamba sedang makan beberapa potong makanan yang dibawa oleh salah seorang dari kawan hamba."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan pemimpin juru taman itu menarik nafas dalam-dalam ketika Putera Mahkota itu berkata, "Selesaikan sama sekali. Kemudian, aku ingin salah seorang dari antara kalian untuk memperbaiki sebatang pohon soka yang rusak."
"Kenapa tuanku?"
"Aku tidak sengaja telah menginjaknya, ketika aku berusaha menangkap seekor burung jalak yang masih muda."
"Pohon soka disebelah tangga bangsal tuanku?" bertanya Sumekar.
"Ya." "Hambalah yang menanamnya."
"Kalau begitu, kau sajalah yang melihatnya. Apakah pohon soka itu masih dapat tumbuh atau harus diganti yang baru."
Sumekar mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya kawan-kawannya. Kemudian ia menatap bungkusan makanan yang masih belum habis itu.
Pimpinan juru taman yang berdiri disebelahnya mengerutkan keningnya sambil berdesis, "Hamba tuanku," berkata Sumekar kemudian, "hamba akan melihatnya."
"Marilah," berkata Anusapati sambil melangkah mendahului.
Ketika Sumekar mulai melangkahkan kakinya, pemimpin juru taman itu berkata perlahan-lahan, "Anak yang malang. Kau tidak sempat ikut menikmati makanan ini lebih banyak lagi."
"Kalau kalian tidak menyisihkan beberapa potong untukku, aku akan memancing kalian agar kalian diberi tugas, yang sangat berat dari Tuanku Putera Mahkota."
"Apa misalnya?"
"Memotong pohon sawo kecik itu."
Kawan-kawannya tertawa tanpa mereka sadari sehingga Anusapati yang masih belum begitu jauh berhenti dan berpaling sehingga suara tertawa itu dengan serta merta terputus. Sumekar-pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah mengikuti Anusapati.
Tanpa dicurigai oleh kawan-kawannya. Sumekar yang sedang membetulkan sebatang pohon soka itu dapat berbicara panjang dengan Anusapati tentang Tohjaya."
"Hamba akan melihat longkangan dibelakang bangsal ayahanda tuanku."
"Berbahaya paman."
"Hamba tuanku. Tetapi hamba mempunyai dugaan bahwa disanalah tuanku Tohjaya berlatih. Tidak ada tempat lain. Semuanya sudah aku lihat, dan agaknya perwira itu sudah melihatnya pula."
"Apakah kalian berdua?"
"Tidak tuanku. Hamba tahu bahwa perwira itu juga berusaha menemukan tempat berlatih tuanku Tohjaya dari kakang Mahisa Agni. Tetapi perwira itu tidak tahu, bahwa aku-pun sedang berusaha mencarinya dan sekaligus mengawasi perwira itu. Menurut kakang Mahisa Agni, kalau guru Tohjaya yang tersembunyi itu mengetahuinya, maka perwira itu tidak akan dapat melawannya. Menurut penilaian kakang Mahisa Agni, guru Tohjaya yang penuh dengan rahasia itu agaknya mempunyai beberapa kelebihan."
"Seandainya demikian apakah paman akan melibatkan diri?"
"Kalau perlu tuanku. Itulah sebabnya hamba mengenakan pakaian hitam dan kerudung muka. Mudah-mudahan aku tidak dapat dikenal. Dengan demikian, aku akan tetap dapat berada di istana ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tetapi paman harus benar-benar berhati-hati. Apakah paman dan paman Mahisa Agni yakin, bahwa orang yang tersembunyi itu akan dapat paman kuasai" "
Sumekar menggelengkan kepalanya, "Tidak tuanku, memang tidak."
Anusapati mengerutkan keningnya. Terbayang betapa beratnya tugas Sumekar kali ini. Kalau ia gagal, maka ia akan menjadi korban pula. Sedangkan Sumekar tidak tahu pasti, kemampuan orang yang bakal dihadapinya.
"Tuanku," berkata Sumekar kemudian, "sudah hamba perhitungkan apa yang dapat terjadi atas hamba. Hamba pohon doa restu tuanku."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Meski-pun demikian ia berkata, "Aku akan melihat apa yang terjadi meski-pun dari kejauhan. Aku akan mempergunakan pakaian seperti paman Sumekar."
"Jangan tuanku. Kalau tuanku terlibat dalam soal ini dan ternyata dapat diketahui, maka pengorbanan itu terlampau besar. Singasari akan mengalami kegoncangan."
"Aku hanya akan melihat dari kejauhan saja. Aku berjanji bahwa aku akan menghindarkan diriku dari keterlibatan lebih jauh daripada melihat dari kejauhan saja."
"Jangan tuanku."
"Paman Sumekar. Bukankah aku bukan anak-anak lagi. Aku akan dapat menjaga diriku. Bukankah hanya sekedar bersembunyi dan melarikan diri apabila perlu?"
Sumekar menarik nafas dalam-dalam.
"Paman jangan terlampau mencemaskan aku."
Sumekar tidak dapat mencegahnya lagi. Betapa-pun beratnya, namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya, "Dari kejauhan tuanku. Jangan sekali-sekali melibatkan diri apa-pun yang akan terjadi atas hamba. Mungkin hamba akan menjadi korban. Tetapi itu adalah kuwajiban dan akibat yang wajar."
"Aku berjanji paman."
"Baiklah. Nanti malam hamba akan pergi kebelakang bangsal tuanku Sri Rajasa."
"Apakah paman akan singgah di bangsal ini?"
"Hamba akan memberikan tanda. Mungkin tuanku akan segera mengenal apabila hamba menirukan suara burung tuhu. Hamba akan berada disudut halaman samping bangsal Sri Rajasa. Sebelum hamba sendiri akan melihat longkangan itu, hamba akan mencoba mengikuti perwira prajurit yang menjadi pelatih tuanku itu. Hamba kira ia-pun akan pergi kelongkangan itu. Selama ini hamba selalu mengikutinya. Ia sudah mengelilingi seluruh bagian dari istana ini, seperti hamba. Tetapi agaknya ia-pun tidak berani pergi kelongkangan belakang dari bangsal tuanku Sri Rajasa."
"Baiklah paman. Aku akan menunggu isyarat paman."
"Suara burung tuhu, tiga kali berturut-turut."
"Ya paman." "Tuanku hamba persilahkan langsung pergi kesudut kanan halaman samping sebelah Utara dari bangsal itu."
"Aku akan datang. Aku akan memberikan isyarat pula, dan apabila paman sudah ada disana, aku harap paman menjawab. Tetapi kalau paman belum ada, paman harus memberi isyarat pula ketika paman datang."
"Baiklah tuanku. Kita akan memperdengarkan suara cengkerik. Kita masing-masing akan memberikan isyarat itu, dan kita masing-masing harus menjawabnya. Kalau kita melihat seseorang disudut istana itu tetapi tidak menjawab, maka pasti bukan salah seorang diantara kita. Kita harus menghindarinya."
"Baiklah paman."
Demikianlah, maka mereka-pun telah membicarakan beberapa hal mengenai rencana mereka, isyarat-isyarat yang akan mereka pergunakan dan akibat yang dapat timbul kemudian apabila guru Tohjaya itu dapat melihat atau mengetahui kehadiran mereka.
Agaknya semua pembicaraan sudah menjadi matang. Meski-pun Sumekar masih mencoba mencegah Anusapati, tetapi Anusapati tetap pada pendiriannya.
Sehari-harian Anusapati merasa gelisah. Seolah-olah ia tidak sabar menunggu saat yang dijanjikan oleh Sumekar. Ia harus menunggu suara burung tuhu tiga kali berturut-turut. Kemudian ia harus pergi kesudut halaman bangsal ayahanda Sri Rajasa itu.
Anusapati mengenal halaman itu dengan baik. Ia sering bermain-main disana. Karena itu, ia tahu benar, darimana ia harus datang, dan kemana ia harus pergi apabila diperlukan. Ia mengenal tempat-tempat yang dijaga oleh para prajurit. Ia mengenal gardu-gardu pengawal dengan baik. Terlebih dari itu, ia mengenal tempat-tempat yang gelap dimalam hari.
Demikianlah, dengan gelisahnya Anusapati menunggu. Ketika malam tiba, ia masuk kedalam biliknya, menyediakan pakaian yang akan dipakainya. Dikumpulkannya segala macam pakaian hitam yang ada padanya. Kain hitam dan tutup muka seperti Sumekar. Karena kain hitamnya tidak mencukupi untuk menutup seluruh tubuhnya, maka Anusapati berniat untuk mengenakannya sebagai kain saja. Ia tidak memakai pakaian yang lain. Dan selembar untuk membalut sebagian dari wajahnya.
Ketika malam menjadi semakin kelam, dikejauhan Anusapati mendengar suara burung tuhu tiga kali berturut-turut. Ia sadar bahwa waktunya telah tiba. Ia harus segera pergi ke bangsal ayahanda Sri Rajasa.
Anusapatt-pun kemudian dengan hati-hati keluar dari bangsalnya. Semua orang agaknya telah tidur nyenyak. Di muka pintu ia berhenti sejenak. Diperhatikannya halaman yang sepi, kalau ada prajurit yang sedang meronda.
Seperti apabila ia pergi meninggalkan istana, pergi ke pinggir sungai yang curam itu, ia-pun kemudian hilang di dalam gelap. Dibawah rimbunnya pohon bunga dan batang-batang perdu di halaman istana, Anusapati menyelinap dari bayangan yang kegelapan kebayangan yang lain. Nyala obor di kejauhan memancarkan cahaya kemerah-merahan yang tidak begitu terang, sehingga Anusapati tidak banyak menemui kesulitan.
Sejenak kemudian ia sudah berada disekitar halaman bangsal Sri Rajasa yang sepi. Namun dengan demikian terasa dadanya menjadi semakin berdebar-debar.
Hati Anusapati berdesir ketika ia melihat sesosok tubuh dengan cepatnya melintas beberapa langkah saja daripadanya. Seperti tanpa memiliki bobot tubuh itu meloncat didalam kegelapan, keatas dinding batu yang cukup tinggi.
Anusapati mengerutkan keningnya. Ia tertarik sekali pada bayangan itu. Semula ia menyangka bahwa bayangan itu pasti Sumekar. Tetapi ternyata dugaannya keliru. Setelah beberapa saat kemudian, barulah ia pasti, bahwa bayangan itu adalah perwira prajurit yang mendapat tugas untuk melatih Tohjaya dan dirinya sendiri didalam olah kanuragan.
"Ternyata ilmunya cukup tinggi," desis Anusapati didalam hatinya, "ia pasti mampu bergerak dengan cepat dan lincah."
Perlahan-lahan Anusapati mendekatinya. Tetapi selama bayangan itu masih berada diatas dinding, meski-pun terlindung oleh dedaunan, Anusapati berhenti pada jarak tertentu. Ia tidak mendekati lagi, karena ia menyangka, bahwa pendengaran orang itu-pun cukup tajam, sehingga desah nafasnya akan dapat didengarnya.
Beberapa saat bayangan itu bertengger diatas dinding batu. Agaknya ia menunggu saat yang sebaik-baiknya untuk berbuat sesuatu.
Agaknya setelah ia yakin, bahwa tidak seorang-pun yang mengamatinya, maka ia-pun segera meloncat turun didalam lingkungan halaman bangsal Sri Rajasa.
Anusapati-pun kemudian meloncat pula dibagian yang lain dari dinding itu. Ia tidak mau kehilangan perwira itu. Karena itu dengan hati-hati ia-pun meloncat masuk kehalaman dan berlindung sebaik-baiknya.
Tetapi baru saja ia menenangkan pernafasannya, ia melihat sesosok tubuh yang lain telah bertengger pula dekat sekali dengan tempatnya bersembunyi. Tetapi kali ini dibarengi suara cengkerik yang berderik perlahan-lahan.
"Nah, pasti paman Sumekar," desisnya. Dan dugaannya kali ini ternyata tidak meleset. Ketika ia membatas isyarat itu, maka bayangan itu-pun segera beringsut dan meloncat turun disampingnya.
"Tuanku," desis Sumekar, "hamba mengikuti perwira itu."
"Ia berada di halaman ini. Aku juga mengikutinya. Ia bersembunyi dibawah rum-pun pering cendani itu."
"Apakah ia tidak melihat kita disini?"
"Aku kira tidak."
"Tetapi kita tidak melihatnya juga, apabila ia bergeser dari tempatnya disepanjang rum-pun cendani itu."
"Ia tidak dapat pergi kemana-mana tanpa kita ketahui. Bukankah bagian itu tertutup oleh dinding yang tinggi" Aku kira ia tidak akan meloncati dinding itu, karena ia tahu, bahwa dibelakang dinding itu adalah bagian dari petamanan ibu Ken Umang."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau ia bergeser, ia pasti akan melewati sela-sela antara rum-pun cendani itu dan dinding yang membatasi longkangan belakang itu. Ia pasti tidak akan berani meloncat keatas dinding batas itu pula. Jika didalam ada seseorang, maka orang didalam longkangan itu pasti akan segera mengetahuinya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Jadi jalan manakah yang paling baik dilalui?"
"Pohon sawo kecik itu."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Hamba juga sudah menduga, bahwa jalan itulah yang paling baik. Seandainya hamba pergi sendiri, hamba-pun akan meloncat keatas dahan sawo kecik itu."
"Kalau perwira itu juga berpikir demikian, dan ia juga meloncat pada dahan sawo itu. kita kehilangan tempat untuk bertengger."
"Sawo yang lain tuanku."
"Ada kekurangannya. Jaraknya terlampau jauh, dan mudah diketahui oleh orang yang berada dicabang sawo yang pertama."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi mereka-pun terdiam, bahkan menahan nafas mereka, ketika dua orang prajurit peronda lewat beberapa langkah saja dihadapan mereka.
Baru setelah prajurit itu hilang dibalik regol, keduanya menarik nafas dalam-dalam.
"Mudah-mudahan perwira itu menemukan jalan lain." desis Sumekar.
Anusapati dan Sumekar-pun kemudian terdiam. Mereka memperhatikan rum-pun cendani itu dengan seksama. Mereka tidak mau kehilangan perwira prajurit yang sedang berusaha melihat dimana Tohjaya berlatih.
Ternyata perwira itu seperti juga Anusapati dan Sumekar, ia mengenakan pakaian serba hitam. Ia-pun menganggap bahwa pakaian hitam adalah pakaian yang paling baik baginya untuk bersembunyi dimalam hari.
Setelah menunggu sejenak, maka Anusapati dan Sumekar-pun melihat, bayangan yang bergerak-gerak disela-sela rum-pun bambu cendani itu, sehingga mereka bergeser sejengkal maju.
"Paman," bisik Anusapati, "agaknya dari tempat itu, ia dapat mendengar seandainya ada seseorang yang sedang berlatih dibalik dinding."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Kini mereka berdua dengan tajamnya mengikuti prajurit itu dengan tatapan mata mereka. Sejenak mereka berteka-teki, dimanakah perwira itu akan mencari tempat untuk melihat longkangan belakang bangsal Sri Rajasa"
Tanpa diduga-duga, ternyata perwira itu memilih tempat yang lain sama sekali dari perhitungan Sumekar dan Anusapati. Ternyata perwira itu kemudian meloncat keatas atap bangsal yang kehitam-hitaman, sehingga ketika ia menelungkup, maka hampir tidak dapat dilihat sama sekali, bahwa ada seseorang diatas atap itu.
Sumekar dan Anusapati saling berpandangan sejenak. Kemudian bersama-sama mereka tersenyum.
"Terang juga pikiran orang itu," desis Anusapati.
"Ya tuanku. Ia tahu benar, bahwa bangsal itu sekarang sedang kosong karena tuanku Sri Rajasa sedang tidak ada di istana."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian, "Lalu, bagaimana dengan kita?"
"Kita masih mendapat tempat tuanku."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menggamit Sumekar sambil menunjuk kearah perwira yang berada diatas atap itu, "Ia bergeser kesamping. Ia akan melihat longkangan itu dari bumbungan atap."
"Marilah, kita memanjat pohon sawo itu. Tetapi kita harus berhati-hati. Kita harus memanjat dibalik batangnya, supaya apabila tidak disadarinya ia berpaling, ia tidak akan dapat melihat kita."
"Baiklah." Keduanya kemudian dengan hati-hati mendekati pohon sawo di pinggir halaman. Sumekar yang berada dibelakang Anusapati berkata, "Silahkan tuanku naik. Aku akan mengamati keadaan dibawah pohon ini."
Anusapati mengangguk. Dengan hati-hati ia-pun kemudian meloncat naik dan memanjat batang sawo itu sampai pada dahan yang paling bawah.
Setelah Anusapati duduk diatas dahan itu, maka Sumekar-pun kemudian naik pula.
Keduanya kemudian naik semakin tinggi. Tetapi kini mereka merasa bahwa tidak akan ada orang yang melihat mereka didalam rimbunnya dahan-dahan.
Dari sebatang dahan yang condong keatas dinding longkangan dibelakang itu. mereka dapat menyaksikan bagian dalam dengan saksama, selama mereka masih tetap dapat melihat perwira yang menelungkup dibumbungan atap bangsal istana.
Ketika mereka menjengukkan kepalanya, dada keduanya tiba-tiba berdesir. Terasa detak jantung mereka menjadi semakin keras memukul dinding dada mereka, sehingga seolah-olah tidak tertahankan lagi.
Dari tempatnya, mereka melihat apa yang selama ini mereka cari. Tohjaya yang sedang asyik berlatih dibawah tuntunan seorang guru yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
Perlahan-lahan Anusapati berdesis, "Itulah orangnya. Benar-benar diluar dugaan. Orang itu adalah seorang yang tampaknya halus, sopan dan lembut. Tetapi pancaran ilmunya ternyata begitu kasar dan garang."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia-pun sama sekali tidak menduga, bahwa salah seorang dari penasehat Sri Rajasa sendirilah yang telah menuntun Tohjaya didalam olah kanuragan."
Dalam pada itu, perwira yang bertengger dibumbungan bangsal itu-pun tidak kalah terperanjatnya dari kedua orang yang berada didahan pohon sawo itu. Orang itu sama sekali tidak mencerminkan seorang yang kasar dan keras. Tetapi didalam olah kanuragan ternyata ia adalah seorang yang kasar dan tanpa menghiraukan nilai-nilai budi sama sekali.
Perwira yang menelungkup diatas bumbungan atap itu untuk sejenak membeku. Tetapi ternyata kemudian ia tidak puas dengan sekedar mengetahui. Ia ingin melihat, latihan-latihan yang diberikannya kepada Tohjaya.
Jarak dari bumbungan atap dan dari pohon sawo itu kelongkangan belakang tidak begitu dekat. Tetapi mereka dapat melihat dengan jelas apa yang telah terjadi. Mereka dapat melihat dengan jelas, betapa Tohjaya ditempa dengan kerasnya oleh gurunya. Tanpa menghiraukan kemampuan jasmaniah Tohjaya sendiri, gurunya mencoba memaksa Tohjaya menjadi seorang yang berilmu tinggi didalam waktu yang singkat seperti dipesankan oleh ayahanda Sri Rajasa.
Ketika orang yang dengan diam-diam menyaksikan latihan itu melihat, bagaimana Tohjaya harus berguling-guling ditanah. Meloncat seperti bilalang, tetapi kemudian meloncat seperti kijang. Berlari sambil melepaskan serangan dengan tiba-tiba kepada pelatihnya, kemudian menghindari serangan-serangan yang diluncurkan oleh gurunya itu. Bahkan sekali-sekali Tohjaya telah dilemparkan keudara dan sekali ia harus berputar, kemudian jatuh diatas kakinya.
"Latihan yang berat sekali," desis Anusapati.
"Kasihan," sahut Sumekar, "kalau tuanku Tohjaya tidak tahan, maka tubuhnya akan rusak. Tetapi kalau tahan mengalami tempaan yang demikian kerasnya, ia akan menjadi sepotong besi baja yang kuat sekali, tetapi tidak mampu berpikir dan bertindak didalam saat-saat yang penting. Ia hanya dapat mengulang dan menirukan tata gerak yang pernah dipelajarinya dengan keras dan kasar."
"Tetapi ia akan dituntun oleh pengalaman dikemudian hari berdasarkan bekal yang ada padanya."
"Gerakan-gerakan naluriah. Ia tidak mempunyai kemampuan menciptakan suasana didalam suatu perkelahian yang sebenarnya. Ia tidak dapat mempergunakan akalnya. Kemampuannya tergantung pada kekuatan dan ketrampilannya saja. Sekali ia berbuat kesalahan, sulit sekali baginya untuk menemukan jalan kembali."
Anusapati mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, "Tetapi pengalaman dapat membuatnya mengenal kekurangan itu paman."
"Lambat sekali tuanku. Hamba pernah mempelajari ilmu yang kasar dan keras. Tetapi guru hamba memperhatikan akal yang ada pada hamba. Kadang-kadang hamba dihadapkan pada kesulitan yang harus hamba pecahkan. Bukan sekedar membenturkan kepala pada batang pisang, kemudian batang besi yang dilapisi sabut kelapa, dan lambat laun batang-batang besi tanpa lambaran apapun. Tetapi hamba juga diajar mempergunakan nalar dan memecahkan persoalan."
Anusapati tidak menjawab. Tetapi ia membenarkan kata-kata Sumekar itu. Ia sendiri mengalami latihan yang berat dibawah asuhan Mahisa Agni. Sebelum ia mulai dengan menyerap ilmu yang sebenarnya, ia sudah harus melatih tubuhnya dengan gerakan-gerakan yang melelahkan. Namun demikian, ia merasa bahwa ia setiap kali mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu menurut getar didadanya sendiri. Ia tidak selalu harus menirukan gerak demi gerak tanpa mempersoalkan gerak itu sendiri.
Meski-pun demikian, baik Anusapati mau-pun Sumekar masih belum dapat memastikan bahwa demikianlah latihan-latihan yang dilakukannya setiap hari. Sehingga Anusapati berkata, "Mungkin pada saat lain, Tohjaya mendapat kesempatan untuk mempergunakan otaknya, bukan sekedar tenaganya."
Sumekar tidak menyahut. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu, latihan yang berlangsung dilongkangan belakang istana itu semakin lama menjadi semakin keras. Agaknya guru Tohjaya itu ingin agar Tohjaya dengan cepat menjadi seorang yang berilmu tinggi.
Sementara Tohjaya memeras tenaganya dengan latihan yang keras itu, gurunya yang lain, perwira prajurit yang juga saudara sepupu ibunya, menyaksikan latihan-latihan itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia mengerti juga, bahwa dengan demikian tubuh Tohjayalah dapat menjadi korban nafsu yang terlampau besar tanpa menghiraukan akibat yang dapat timbul karenanya.
"Orang itu memiliki ilmu yang tinggi," desis perwira itu kepada diri sendiri, "tetapi kenapa ia tidak dapat mempertimbangkan kemungkinan yang jelek yang dapat menimpa putera Sri Rajasa" Dan kenapa Sri Rajasa sendiri tidak pernah berkeberatan menyaksikan latihan-latihan itu apabila ia berkesempatan?"
Tetapi perwira itu tidak mengetahui, bahwa Sri Rajasa tidak pernah menghiraukan cara dan usaha yang telah dilakukan oleh penasehatnya itu, karena Sri Rajasa sendiri tidak pernah mengalami masa penempaan seperti itu. Alamlah yang menempanya menjadi seorang yang pilih tanding. Kesulitan dan kekerasan Padang Karautanlah yang membuatnya menjadi seperti Sri Rajasa yang sekarang. Lebih dari itu, ia adalah kekasih Dewa Brahma. Ia adalah seorang yang lahir karena kekuasaan Dewa itu.
Tetapi Tohjaya bukan lahir karena kekuasaan Dewa Brahma, bukan pula kekasih Siwa dan bukan pengejawantahan Wisnu. Ia memang dilahirkan oleh seseorang yang mempunyai kelebihan dari manusia biasa. Tetapi bukan berarti bahwa Dewa yang mengasihi Ken Arok harus mengasihi anak yang diturunkannya.
Itulah sebabnya, maka Tohjaya tidak dapat terbentuk seperti Ken Arok. Ia harus melalui latihan-latihan yang terlampau berat bagi kemampuan jasmaniahnya. Tetapi ia tidak mau surut. Hatinya yang sombong memaksanya untuk menjadi seorang yang tidak terkalahkan, bukan saja oleh seisi istana, tetapi seluruh daerah kekuasaan Singasari harus mengakui kelebihannya kelak.
Karena itu, betapa hatinya semakin lama menjadi semakin tegang menyaksikan latihan itu. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja apa yang akan terjadi atas Tohjaya itu kelak. Namun karena Tohjaya itu juga muridnya dan juga kemenakannya, maka terasa juga sesuatu yang membebani hatinya.
"Aku tidak peduli," ia mencoba untuk mengusir perasaan itu, "ia dan ayah ibunya, sudah mengesampingkan aku. Bahkan menghinaku. Terserah, akibat apa saja yang dapat timbul karenanya."
Perwira prajurit itu mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia masih saja tetap digetarkan oleh debar didalam dadanya. Kadang-kadang bahkan ia menggigit bibirnya melihat Tohjaya terlempar keudara, kemudian jatuh terbanting ditanah. Seharusnya ia jatuh diatas kedua kakinya, tetapi kadang-kadang ia gagal.
Perwira itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Tohjaya mendapat kesempatan untuk beristirahat. Sambil tersenyum gurunya menepuk punggung Tohjaya sambil berkata, "Latihan yang berat tuanku. Tetapi tuanku akan menjadi seorang anak muda yang maha perkasa."
Tohjaya mencoba tersenyum juga. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Hampir patah tulang punggungku."
"Tetapi sekarang dengan mudahnya tuan akan dapat mengalahkan kakanda tuanku, didepan atau tidak di depan saksi-saksi."
Tohjaya tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan keserambi, memungut sebuah gendi dan minum beberapa teguk air dari dalamnya.
Baik Sumekar dan Anusapati, mau-pun perwira prajurit yang bertengger diatas bumbungan atap, dapat menangkap percakapan itu meski-pun tidak begitu jelas, karena keduanya sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang mengintai latihan itu.
Namun demikian, ketika mereka sudah beristirahat, mulailah perhatian mereka terpecah pada keadaan disekeliling mereka.
Ketika tanpa dikehendakinya sendiri, perwira yang berada diatas bumbungan atap itu bergerak, ia telah membuat sebuah bunyi yang telah menarik perhatian.
Tetapi keduanya agaknya tidak menghiraukannya lebih lama lagi. Meski-pun mereka tergerak sejenak, namun kemudian mereka telah tenggelam pada sebuah pembicaraan yang asyik.
"Satu hal yang harus tuanku ingat," berkata gurunya, "tuanku masih harus menyimpan ilmu ini. Tetapi agaknya tuanku terlampau sulit melakukannya, sehingga kadang-kadang didalam latihan yang biasa tuanku lakukan, unsur-unsur gerak ini tersembul juga diantara ilmu yang tidak berarti yang sampai sekarang masih saja tuanku pelajari itu."
"Apakah salahnya?" bertanya Tohjaya.
Gurunya tersenyum, "Untuk sementara, kalau mungkin, jangan dahulu. Tetapi apabila sudah terlanjur, apaboleh buat."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia-pun tertawa. Katanya, "Itu bukan persoalanmu. Semua yang ditentukan oleh ayahanda Sri Rajasa adalah tanggung jawab ayahanda Sri Rajasa. Aku mohon kepada ayahanda, dan ayahanda telah menentukan. Siapakah yang akan menolak?"


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dahulu ayah memerintahkan agar aku menerima ilmumu disamping ilmu yang aku terima dari guru yang meninggal itu, perlahan-lahan. Tetapi kemudian ayahanda berkeputusan lain. Aku mohon semuanya dipercepat, dan ayahanda membenarkannya. Nah, siapakah yang akan berani mempersoalkan meski-pun aku berguru lima, sepuluh atau seratus orang apabila ayahanda sudah mengijinkan" Siapakah yang akan menentang keputusan ayahanda" Seandainya ayahanda bukan seorang raja besarpun, tidak ada orang yang berani menolak keputusannya. Karena ayahanda adalah seorang yang tidak terkalahkan diseluruh jagad ini."
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak ada seorang-pun yang dapat membantah, bahwa Sri Rajasa seolah-adalah manusia yang tidak terkalahkan.
Hanya Sumekar dan Anusapati berpendapat lain. Apakah Sri Rajasa itu dapat mengalahkan Mahisa Agni"
Tetapi mereka tidak akan mempersoalkannya. Kini mereka sedang menyaksikan Tohjaya diarena latihannya yang dirahasiakan. Anak muda itu terlampau percaya bahwa Sri Rajasa adalah tempat gantungan yang tidak tergoyahkan.
"Apalagi perwira prajurit yang mengaku dirinya saudara sepupu ibunda Ken Umang itu. Aku kira ia sama sekali tidak ada artinya bagi ayahanda Sri Rajasa."
"O," sahut gurunya, "sebenarnya orang itu tidak memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi agaknya ibunda tuan Puteri tidak mengetahui, sehingga memanggilnya dan sekedar memberinya pekerjaan di istana ini."
Tohjaya tertawa. Katanya, "Pada suatu saat akulah yang akan mengajarnya dalam olah kanuragan."
Alangkah sakit hati perwira prajurit yang ada diatas bumbungan atap rumah itu. Bagaimana-pun juga ia menahan hatinya, namun terasa juga tangannya gemetar.
Namun ia tidak mau melibatkan diri dalam kesulitan. Karena itu, ia tidak berbuat apa-apa betapa-pun sakit hatinya. Tetapi ia berusaha untuk pada suatu saat dapat bertemu dengan guru Tohjaya itu. Ia ingin mengatakan dengan caranya, bahwa ilmu orang itu-pun bukan ilmu yang paling sempurna, "Suatu kali, ia pasti akan keluar dari istana untuk keperluan apapun. Aku atau orang itu yang akan mati. Sikapnya sungguh memuakkan, seolah-olah ia memiliki nyawa rangkap tujuh."
Dalam pada itu, Sumekar dan Anusapati-pun menjadi berdebar-debar. Kalau perwira yang ada dibumbungan atap itu tidak dapat menahan hati, maka pasti akan terjadi sesuatu diarena latihan itu.
Tetapi ternyata bahwa perwira itu tidak berbuat apa". Dengan sekuat tenaga ia menahan hatinya.. Meski-pun demikian, ia telah menanamkan suatu dendam diliati, dendam yang setiap saat akan dapat meledak.
"Kalau Mahisa Agni datang," berkata perwira itu didalam hatinya, "aku akan segera menyampaikannya. Mungkin ia akan mengambil sikap tertentu."
Tetapi agaknya justru Anusapatilah yang tidak dapat menahan hati. Darah mudanyalah yang terasa telah menggelitik jantung. Betapa-pun juga ia menahan diri, namun akhirnya ia berbisik, "Paman, apakah aku boleh turun sebentar kearena itu?"
Sumekar terkejut. Katanya, "Jangan tuanku, Perwira yang bersembunyi dibumbungan atap itu-pun agaknya telah menahan diri. Kenapa tuanku justru ingin terlibat dalam persoalan yang akan berakibat panjang?"
"Ia tidak mengenal aku."
"Tetapi kalau tutup wajah tuanku itu terlepas, maka semuanya akan rusak, juga pamanda Mahisa Agni akan terlibat."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, kenapa Sumekar telah menahannya.
"Hamba juga tidak akan berbuat apa-apa. Hamba hanya ingin tahu, siapakah guru tuanku Tohjaya itu. Setelah hamba tahu, hamba tidak berniat untuk berbuat itu. Juga karena tugas dari pamanda Mahisa Agni, harus mengamati perwira itu. Sebab menurut penilaian pamanda Mahisa Agni, meski-pun ia belum tahu kemampuan guru tuanku Tohjaya itu, namun dapat diperkirakan bahwa ilmunya agak lebih tinggi dari perwira itu. Barulah apabila terjadi sesuatu, apalagi yang mengancam jiwanya, hamba akan melerainya dengan cara hamba."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam.
Namun tiba-tiba mereka telah terkejut, sama sekali diluar dugaan bahwa sekali lagi perwira diatas bumbungan itu berbuat kesalahan. Tanpa disadarinya, oleh kemarahan yang menyala dihati, dan oleh pemusatan kehendak untuk menahan diri, tangannya telah meremas sebatang kayu hiasan diatas bumbungan itu. Terdengar suara gemeresak, kemudian sekeping kecil kayu telah berguling diatas atap, kemudian jatuh dilongkangan-belakang.
Perwira itu sendiri ternyata telah terkejut oleh katelanjurannya. Ia sadar, bahwa sepotong kecil kayu yang terjatuh itu akan sangat menarik perhatian.
Sejenak ia termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia berdesis, "Apaboleh buat. Aku sudah berusaha untuk tidak membuat ribut di istana. Tetapi agaknya yang terjadi bukan yang aku kehendaki."
Karena itu, perwira itu mengikat selubung hitamnya di wajahnya. Ia masih tetap berusaha untuk tidak dikenal, agar ia dapat membatasi persoalan. Kecuali apabila ia kemudian tidak dapat tetap berahasia.
Ternyata dugaan perwira prajurit itu benar. Sepotong kecil kayu yang terjatuh dari atas itu telah menarik perhatian mereka yang ada dilongkangan belakang. Dengan ragu-ragu guru Tohjaya itu memungut sepotong kayu itu. Kemudian diamat-amatinya dengan saksama. pecahan kayu itu masih baru," desisnya, "aneh."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Kemudian ditengadahkan wajahnya. Tetapi perwira itu telah berusaha untuk menyembunyikan diri dibalik bumbungan.
"Kepung bangsal ini," perintah guru Tohjaya, lalu "tuanku tetap disini. Aku akan keluar. Kedua pengawal itu supaya berada disebelah Utara dan Selatan bangsal."
Kedua pengawal Tohjava itu tidak menunggu perintah lagi. Mereka segera berlari-larian keluar dan yang seorang berjaga-jaga disebelah Selatan yang lain disebelah Utara, sedang guru Tohjaya atu-pun segera pergi kebagian Timur dari bangsal itu.
Perwira yang berada diatas bumbungan itu tidak dapat bersembunyi lagi. Karena itu, ia-pun justru meloncat dan bertengger diatas. Dalam pakaian hitam dan tutup wajah yang hitam, perwira itu bagaikan hantu yang berjongkok diatas bangsal yang sedang kosong karena Sri Rajasa sedang pergi berburu.
Keempat orang yang mencarinya itu hampir bersamaan telah melihat perwira itu. Karena itu, maka guru Tohjaya-pun segera berkata, "He, turunlah. Marilah kita berbicara. Apakah yang sebenarnya kau kehendaki?"
Perwira itu tidak menjawab. Ia berjongkok diatas bumbungan seperti acuh tidak acuh saja terhadap kata-kata guru Tohjaya yang juga merangkap sebagai penasehat istana.
"Turunlah. Jangan memaksa aku meloncat naik. Kalau terjadi keributan diatas atap, maka semua prajurit yang sedang meronda akan melihat, dan kau tidak akan mendapat kesempatan lagi. Tetapi kalau kau turun dan berbicara barang sejenak, maka masih ada kemungkinan lain buatmu."
Orang yang diatas atap itu sama sekali tidak menghiraukannya.
"Baiklah. Kalau kau tidak mau turun, akulah yang akan naik. Namun bersamaan dengan itu, maka para peronda-pun akan berdatangan."
Karena orang yang diatas atap itu masih diam, maka seperti tanpa bobot, guru Tohjaya itu-pun meloncat keatas atap. Dengan hati-hati ia merayap naik mendekati perwira prajurit yang sudah lebih dahulu berada diatas. Namun demikian, ia selalu siap untuk menghadapi kemungkinan apabila bayangan diatas atap itu tiba-tiba saja menyerangnya.
Tetapi bayangan hitam diatas atap itu tidak menyerang. Bahkan tanpa diduga-duga, bayangan itu bagaikan terbang, terjun meluncur kebawah dan langsung terjun kelongkangan, dihadapan Tohjaya yang berdiri termangu-mangu.
Gurunya yang juga menjadi penasehat Sri Rajasa itu menjadi cemas. Karena itu, secepat kilat, ia-pun menyusulnya terjun dilongkangan itu juga.
Tetapi ternyata orang yang berpakaian hitam itu tidak berbuat sesuatu atas Tohjaya. ia hanya berdiri tegak diatas kedua kakinya yang bagaikan tertancap jauh kedalam tanah.
Sejenak kemudian kedua guru Tohjaya itu sudah berhadapan. Tohjaya sendiri bergeser selangkah kesamping.
"Siapakah kau?" bertanya gurunya yang kasar itu.
Perwira prajurit yang berpakaian serba hitam itu tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan nada suara yang dirobah ia berkata, "Latihan yang menarik. Aku tidak mengira bahwa didalam istana ada seorang guru yang begitu dahsyatnya seperti orang yang sehari-hari menjadi penasehat raja. Seorang yang halus dan lembut. Seorang yang ramah tamah dan rendah hati. Tetapi setelah aku melihat, bagaimana ia melontarkan ilmunya, alangkah dahsyatnya."
Penasehat raja itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah kau" Kenapa kau berani masuk kedalam istana dan lebih-lebih lagi kelongkangan ini?"
Perwira itu tertawa. Ia masih berusaha untuk merubah suaranya, "Kau tidak perlu mengetahui siapa aku. Aku dapat menyebut lebih dari sepuluh nama yang semuanya tidak akan kau kenal."
Penasehat raja itu berkata pula, "Apakah kau menyadari apa yang kau lakukan ini" Aku dapat menangkapmu dan menyerahkannya kepada Sri Rajasa."
"Aku sadar," jawab perwira itu, "tetapi aku juga dapat menghindarkan diri."
"Jangan terlampau sombong. Di halaman istana ini ada lebih dari lima puluh orang prajurit. Separo dari mereka sedang bertugas digardu-gardu. Yang lain siap untuk dibangunkan, dan ikut menangkapmu, betapa-pun kau memiliki kemampuan berkelahi."
Sumekar dan Anusapati heran mendengnr kata-kata itu. Penasehat raja itu tetap dalam sikap yang sehari-hari ditunjukkannya. Ia bukan seorang yang sombong, bahkan sedikit rendah hati. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat menuntun Tohjaya dalam latihan yang begitu kasar dan diluar perhitungan, seolah-olah ilmu itu diterimanya dari Kebo Sindet seperti yang sering dikatakan oleh Mahisa Agni."
Perwira prajurit itu-pun menjadi heran pula. Penasehat raja itu tidak seperti yang diduganya. Kasar, membentak-bentak dan kemudian menyerang dengan garangnya. Karena itu, maka ia-pun mencoba memancing sikapnya yang sebenarnya, katanya, "Kempa kau berceritera tentang limapuluh orang prajurit yang ada didalam istana ini" Kenapa kau tidak berkata bahwa kau sendiri dapat menangkap aku atau membunuhku" Kenapa kau menyerahkan hal itu kepada limapuluh orang prajurit di halaman ini?"
Penasehat raja itu tersenyum. Ditatapnya orang berpakaian hitam dan berkerudung hitam pula menutupi wajahnya itu tajam-tajam, seakan-akan ingin langsung menembus kain itu.
"Kenapa kau bertanya begitu" Lima puluh orang prajurit itu dapat menangkapmu. Itu sudah cukup."
"Ya, kenapa limapuluh orang prajurit" Kenapa bukan kau sendiri?"
Ternyata jawab penasehat raja itu telah mengejutkan mereka yang mendengarnya sekali lagi. Justru kali ini Sumekar menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sesadarnya.
Ternyata orang yang disangkanya ramah tamah, rendah hati dan lembut itu adalah orang yang paling sombong yang pernah dilihat sepanjang hidupnya. Sambil tersenyum dengan nada yang ramah dan merendah penasehat raja itu menyahut, "Ki Sanak. Aku kira duapuluh lima orang prajurit itu sudah cukup. Tuanku Tohjaya dan kedua pengawalnya tidak usah ikut bersusah payah membantu mereka menangkapmu. Adalah jarang sekali seseorang besar yang bernilai sama dengan limapuluh orang prajurit itu."
Perwira itu termangu-mangu sejenak.
"Karena itu Ki Sanak, jangan mengharap aku turun tangan. Kalau lima puluh orang prajurit itu gagal menangkapmu barulah kau memaksa aku untuk berbuat sesuatu. Sebab, agaknya Ki Sanak masih belum terlampau masak untuk mencoba menggerakkan aku untuk berbuat sesuatu.
Jawaban itu benar-benar telah menyayat jantung perwira itu. Alangkah sakit hatinya. Penasehat raja itu agaknya mempunyai suatu keahlian yang tidak diduganya. Merendahkan orang lain dengan gayanya yang khusus, seolah-olah ia adalah seorang yang ramah tamah dan rendah hati.
"Ki Sanak," berkata penasehat itu, "aku adalah orang yang tidak ingin menunjukkan kemampuanku kepada siapapun. Karena itu aku melatih tuanku Tohjaya dengan bersembunyi dilongkangan ini. Aku adalah orang yang paling rendah hati diseluruh istana ini. Aku adalah orang yang tidak pernah menyombongkan diri dengan segala macam cara, karena aku adalah orang yang yakin akan nilai dan harga diriku sendiri."
Dada perwira itu benar-benar hampir meledak karenanya. Adalah orang yang paling sombong sajalah yang mengatakan dengan merundukkan kepalanya, bahwa ia adalah orang yang tidak pernah menyombongkan dirinya.
"Nah," berkata penasehat raja itu, "karena itu, sebaiknya kau berterus terang, siapakah kau dan apakah maksudmu datang kemari dimalam hari. Apakah kau sekedar ingin tahu apakah kau sengaja mencuri ilmu yang aku berikan kepada tuanku Tohjaya?"
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab sambil mengangguk dalam-dalam, "Ya. Sebenarnyalah aku pernah mendengar seseorang yang memiliki ilmu termulia didunia. Seorang yang rendah hati dan sama sekali seperti pengakuannya sendiri, bukannya seorang yang sombong. Karena itulah maka aku memerlukan datang keistana Singasari untuk melihat, apakah benar-benar seperti kata orang, bahwa seorang penasehat raja Singasari ini benar-benar memiliki ilmu yang tanpa tanding," orang berpakaian hitam itu berhenti sejenak, lalu "tetapi aku agak kecewa bahwa ia lebih senang mempergunakan lima puluh orang prajurit untuk menangkap aku daripada ia melakukannya sendiri. Karena sebenarnyalah, aku dapat mengalahkan tidak hanya limapuluh orang prajurit, tetapi lebih dari tujuhpuluh lima. Tetapi aku tidak pernah mengatakannya kepada siapapun, karena aku tidak mau disangka sebagai seseorang yang tidak terkalahkan, apalagi diketahui bahwa ternyata ilmuku lebih tinggi dari penasehat raja yang rendah hati ini."
Sumekar dan Anusapati mengumpat didalam hati. Ternyata perwira itu mampu juga bersombong setinggi langit, mereka melihat wajah penasehat raja itu menjadi tegang.
Sejenak guru Tohjaya yang kasar itu tercenung. Ia tidak menyangka bahwa ada seseorang yang dapat menyamai sikapnya. Sombong, namun diselubungi dengan kata-kata yang ramah dan lembut.
Karena itu, kemarahannya yang tertahan dan selalu disaput dengan sikap yang ramah itu mulai pudar. Wajahnya perlahan-lahan menegang.
"Jangan mengungkat kemarahanku Ki Sanak," berkata penasehat itu, "aku benar-benar dapat membunuhmu."
"Aku sudah terlanjur masuk kedalam halaman ini. Bagaimana-pun juga aku pasti akan ditangkap dan dihukum. Karena itu, lebih baik kita mencoba membuktikan, apakah benar guru putera Sri Rajasa itu tidak terkalahkan" Aku datang dari jauh. Aku akan kecewa sekali, kalau aku terpaksa membunuh limapuluh orang prajurit yang tidak bersalah. Apakah tidak lebih baik seorang saja?"
"Gila," tiba-tiba wajahnya yang sehari-hari tampak lembut itu mengeras. "Jangan membuat aku marah."
"Maaf Ki Sanak. Aku memang mencari jalan membuat Ki Sanak marah. Semula aku sudah hampir putus asa. Orang seramah dan selembut kau pasti tidak akan dapat marah bagaimana-pun juga aku berusaha."
Penasehat itu berusaha menahan diri sekuat tenaga. Namun ledakan-akan yang terjadi didadanya telah memaksanya berkata, "Kau memang pantas untuk ditangkap dan dihukum paling berat di halaman depan istana disaksikan oleh seluruh isi istana." Orang itu berhenti sejenak, lalu "eh, maksudku, dihukum dialun-alun disaksikan oleh seluruh rakyat. Nah. jangan menyesal. Aku benar-benar akan menangkapmu, dan menyerahkan kau kepada Sri Rajasa, apakah Sri Rajasa nanti kembali dari berburu."
"Kaukah yang akan menangkap" Ternyata aku telah mendapat kehormatan tertinggi di istana ini."
Wajah penasehat raja itu menjadi semakin tegang. Kini ia tidak dapat menyembunyikan kemarahannya lagi. Dengan demikian maka watak yang sebenamya-pun perlahan-lahan muncul dipermukaan sikapnya.
"Kau terlampau sombong," suaranya mulai kasar, "apakah kau sangka kau bernyawa rangkap."
"Tidak. Aku tidak menyangka demikian. Aku hanya ingin membuatmu marah dan mendapat kehormatan berkelahi dengan seorang penasehat raja, guru yang terpercaya dari putera Sri Rajasa, meski-pun kau dengan masih harus dibantu oleh seorang guru yang lain, seorang perwira prajurit saudara sepupu Ken Umang."
"Bohong," penasehat itu membentak, "aku sama sekali tidak memerlukannya. Persetan dengan orang itu. Sebenarnya, ia tidak mempunyai ilmu apapun."
"Jika demikian, orang itu pasti tidak akan mendapat kepercayaan untuk menggurui dua orang putera Sri Rajasa sekaligus. Apalagi yang seorang adalah Putera Mahkota."
"Ya. Perwira itu hanya pantas menjadi guru Putera Mahkota, yang tidak lebih dari seorang perempuan yang lemah. Sebentar lagi Putera Mahkota itu tidak akan berarti apa-apa bagi Singasari. Dan Singasari akan mempunyai seorang putera yang perkasa, menjadi Putera Mahkota atau bukan, namun ditangannyalah kelak kekuatan Singasari akan berpusat."
"Dan orang itu adalah tuanku Tohjaya ini?" sahut perwira yang berkerudung hitam itu.
"Ya." -ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 65) Jilid 65 PERWIRA ITU mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Apakah aku dapat menilai sampai dimana kemampuannya?"
Sebelum penasehat raja itu menjawab, Tohjaya yang sombong, yang merasa mendapat tantangan segera menjawab, "Baik. Baik. Aku tidak berkeberatan. Tidak usah guruku. Aku akan menangkapmu. Dan aku pula yang akan membunuhmu."
Perwira yang berkerudung hitam itu tertawa pendek. Masih berusaha merubah nada suaranya. Katanya, "Benar."
Tetapi garunya menggelengkan kepalanya, "Jangan tuanku. Biarlah aku saja menangkapnya. Biarlah ia mendapat kehormatan besar menjelang saat matinya. Aku kira aku dapat memanggil prajurit-prajurit peronda saja untuk menangkapnya. Tidak perlu aku sendiri. Tetapi aku kasihan kepadanya. Biarlah ia berbangga dihari matinya, bahwa aku, seorang penasehat rajalah yang akan membunuhnya. Bukan prajurit-prajurit kecil dan bukan pula seorang pemenggal leher yang akan memancungnya di alun-alun."
"Begitu?" Tohjaya mengerutkan keningnya. Namun ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk melawan orang yang berkerudung hitam itu.
"Sekarang sebut namamu," penasehat itu berkata.
Tetapi perwira itu menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu. Kau tidak perlu mengenal aku. Kalau kau mengenal aku, maka kau akan melihatnya apabila aku sudah kau tangkap, atau apabila aku sudah terbunuh."
Kemarahan penasehat raja itu-pun sudah memuncak pula. Karena itu sambil menggeram ia maju selangkah, "Baiklah. Kita akan bertempur. Kau akan hancur menjadi kepingan tulang dan sayatan daging didalam genangan darahmu."
Kata-kata itu benar-benar telah mendirikan bulu diseluruh tubuh perwira itu. Bahkan juga Sumekar dan Anusapati. Kini mereka dapat melihat hati penasehat yang tampaknya lembut itu. Kata-kata yang terloncat dari bibirnya itu adalah bentuk yang sebenarnya dari sifat dan wataknya.
Tetapi perwira itu sudah bertekad untuk bertempur karena ia tidak mendapat kesempatan untuk menghindar. Apa-pun yang akan terjadi, ia tidak akan ingkar lagi. Mati disayat-sayat oleh penasehat yang rendah hati itu, atau dipancung di alun-alun, atau bahkan dihukum picis sekalipun.
Karena itu, sejenak kemudian kedua orang itu-pun telah terlibat didalam perkelahian. Penasehat raja yang marah itu tidak dapat mengekang dirinya lagi. Dengan garangnya ia mulai menyerang. Tetapi perwira itu-pun sudah siap pula, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenai sasarannya.
Demikianlah, maka keduanya segera mengerahkan segenap kemampuan mereka. Ternyata kini, bahwa sebenarnyalah penasehat raja itu adalah seorang yang kasar. Dengan garangnya tangannya terayun-ayun kesegenap penjuru. Kadang-kadang ia menggeram seperti seekor harimau. Namun kemudian suaranya meninggi seperti bunyi seekor kera raksasa.
Perwira prajurit, saudara sepupu Ken Umang itu-pun melawan sejauh-jauh dapat dilakukan. Tetapi ternyata bahwa ia-pun bukan orang yang lemah, meski-pun terlampau hati-hati. Itulah sebabnya, maka cara yang ditempuhnya untuk menuntun murid-muridnya sangat terpengaruh oleh sifatnya itu. Dengan demikian maka Tohjaya telah menempuh dua orang yang berlawanan didalam menuntut ilmu kanuragan. Gurunya yang seorang menuntunnya dengan cara yang keras, kasar dan cepat, sedang yang lain, terlampau hati-hati dan agak lamban.
Namun demikian ketika kedua gurunya bertemu didalam perkelahian yang sebenarnya, ternyata ilmu mereka tidak terpaut banyak seperti yang diduga. Perwira prajurit itu ternyata mempunyai jenis tata gerak yang selama ini belum pernah diberikan, baik kepada Tohjaya mau-pun kepada Anusapati, meski-pun menurut tanggapan Sumekar dan Anusapati. tara gerak itu hanyalah pendalaman dari tata gerak yang pernah dilihatnya. Meski-pun demikian, tanpa memperhatikan dengan saksama, maka seolah-olah perwira yang bertempur melawan penasehat raja itu, mempergunakan ilmu yang lain dari ilmu yang diberikan kepada Tohjaya dan Anusapati, sehingga baik penasehat raja yang sedang bertempur dan tidak banyak mendapat kesempatan untuk menilai tata gerak lawannya, mau-pun Tohjaya yang masih belum cukup matang.
Dengan demikian, maka baik Tohjaya mau-pun gurunya yang sedang bertempur itu tidak segera dapat mengenal, siapakah orang yang berkerudung hitam itu. Juga lewat tata geraknya Tohjaya tidak dapat mengetahui meski-pun ia mendiri sudah mempelajarinya.
Karena itu, maka Tohjaya hanya dapat berdiri termangu-mangu. Ternyata orang yang berkerudung hitam itu mampu mengimbangi gurunya yang selama ini dibanggakannya.
Sumekar dan Anusapati yang bertengger diatas dahan menyaksikan pertempuran itu dengan dada yang berdebar-debar. Ternyata bahwa guru Tohjaya, penasehat raja itu, benar-benar seorang yang memiliki cabang ilmu yang kasar. Tata geraknya yang hampir tidak mengenal pengekangan, kadang-kadang memang membuat sulit mereka yang menyaksikan menjadi berkerut.
Tohjaya sendiri merasa ngeri melihat gurunya bertempur. Tangannya mengambang keduanya. Sekali-sekali terayun kesegenap arah, kemudian menyambar dan memukau seperti kaki burung rajawali. Jari-jarinya mengembang seperti hendak mencengkeram.
Lawannya, orang yang berkerudung hitam itu harus bertempur dengan hati-hati. Setiap kali ia meloncat menghindar. Namun sekali-sekali ia-pun menyerang dengan tiba-tiba.
Namun kemudian ternyata bagi Sumekar dan Anusapati. bahwa ilmu perwira itu memang tidak setingkat dengan ilmu penasehat raja itu. Meski-pun tidak terpaut banyak, tetapi karena kekasaran dan keganasannya, maka setiap kali orang yang berkerudung hitam itu selalu terdesak.
Meski-pun demikian, menurut penilikan Sumekar dan Anusapati. orang berkerudung hitam itu akan dapat menyelamatkan dirinya apabila dikehendakinya. Ia masih akan dapat bertahan untuk waktu yang lama, dan kesempatan melarikan diri-pun agaknya masih dapat dilakukannya.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, "Ilmu mereka tidak terpaut banyak. Tetapi benar juga pamanda tuanku, bahwa penasehat itu pasti lebih tinggi meski-pun hanya selapis, tataran ilmunya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi kekurangan itu tidak akan berbahaya baginya."
Sekali lagi Anusapati mengangguk.
Namun dalam pada itu, perwira yang berkerudung hitam itu selalu terdesak surut. Meski-pun demikian penasehat raja itu tidak pernah berhasil mengenainya dengan mantap, sehingga berpengaruh berat baginya.
"Jangan mencoba untuk lari," penasehat itu menggeram, "kau harus hancur bersama namamu disini."
Perwira itu tidak menyahut. Dengan sekuat tenaga ia melawan serangan penasehat raja yang kasar itu.
Ternyata perlawanan yang gigih itu telah membuat penasehat raja itu menjadi semakin marah. Ia merasa seseorang yang tidak ada lawannya di istana ini, selain Sri Rajasa sendiri. Kini tiba-tiba ia bertemu dengan seseorang yang tidak dikenalnya, yang tidak segera dapat dikalahkannya, meski-pun secara pasti ia dapat mendesak lawannya itu terus-menerus.
Karena itu, maka guru Tohjaya yang kasar itu tidak dapat menahan hati lagi. Sekali lagi ia hampir berteriak, "Jangan lari. Suaraku dapat menjadi semakin keras. Aku dapat berteriak memanggil para penjaga dan mengepung istana ini."
Tetapi jawab perwira yang berkerudung hitam itu, "Jika ada prajurit peronda yang lewat didekat bangsal ini, mereka pasti mengira bahwa suara kita yang sedang bertempur ini, adalah jejak kakimu dan tuanku Tohjaya yang sedang berlatih."
"Bodoh kau. Aku dapat memanggil mereka dengan satu teriakan, atau aku dapat menyuruh salah seorang pengawal tuanku Tohjaya itu untuk membunyikan tanda."
"Itu-pun tidak akan banyak berarti. Aku dapat lari dengan mudah. Aku dapat meloncat dinding dan terjun ke halaman sebelah. Bukankah dibelakang dinding batu ini termasuk bagian dari istana tuan Puteri Ken Umang."
"Kau sangka disana tidak ada prajurit peronda?"
"Aku dapat lari lebih cepat dari mereka."
"Gila," tiba-tiba penasehat raja itu kehilangan kesabaran. Lalu, "Tuanku, bawalah kedua pengawal tuanku itu untuk mengurung orang ini. Aku akan menangkapnya."
Tohjaya termangu-mangu sejenak. Dan gurunya itu berkata terus, "Jangan beri kesempatan ia berloncatan surut menghindari seranganku. Itu licik sekali. Aku akan memaksanya menyerah, atau hancur sama sekali karena kekuatan aji pamungkasku."
Perwira itu menjadi berdebar-debar. Mungkin orang itu tidak sekedar menakut-nakutinya. Mungkin ia akan segera melepaskan aji pamungkas yang masih belum diketahui sampai betapa jauh kemampuannya.
"Aku masih belum sempat menyempurnakan aji pamungkasku. Kalau ilmunya itu cukup masak, aku pasti tidak akan dapat mengimbanginya," berkata perwira itu di dalam hatinya. Karena itu, maka ia-pun semakin terdesak surut.
Sumekar melihat keadaan itu. Ia merasakan, bahwa perwira yang berkerudung hitam itu semakin terdesak. Apalagi setelah Tohjaya menyadari keadaannya, dan siap untuk ikut bertindak bersama kedua pengawalnya.
"Nah," berkata penasehat raja itu, "aku tidak perlu memanggil duapuluh lima orang. Sekarang kau akan hancur di bangsal ini. Sri Rajasa akan mengucapkan terima kasih kepadaku, apabila kelak aku dapat menunjukkan sekeping telingamu, atau jari-jarimu sebagai bukti bahwa seorang yang sakti telah memasuki longkangan ini. Namun aku masih juga dapat menumpasnya."
Perwira yang berkerudung hitam itu tidak menyahut. Tetapi ia merasa bahwa ia benar-benar berada didalam kesulitan. Ia tidak akan dapat dengan mudah meninggalkan longkangan itu, karena sejenak kemudian Tohjaya dan dua orang pengawalnya telah mengurungnya. Meski-pun dengan mudah ia dapat mengalahkan ketiga orang itu sekaligus, tetapi ditempat itu hadir juga penasehat raja, sehingga meski-pun ketiga orang itu tampaknya tidak begitu berarti, namun mereka pasti akan ikut menentukan akhir dari perkelahian ini.
"Perwira itu berada dalam kesulitan," desis Sumekar.
Anusapati menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku akan membantunya, sekedar melepaskannya dari tangan penasehat ayahanda Sri Rajasa. Kalau orang itu dapat ditangkap, maka ia akan berceritera tentang bermacam-macam hal yang barangkali dapat menyinggung namaku. Mungkin ia pernah juga melihat tata gerakku yang tanpa aku sadari lepas didalam latihan-latihan yang kami selenggarakan, terutama apabila aku harus menghadapi ketamakan adinda Tohjaya."
"Bukan tuanku," berkata Sumekar, "biarlah hamba bermain-main dengan kedua orang itu. Bukankah mereka tidak akan mengenal hamba dan tata gerak dari cabang perguruan hamba" Mungkin masih akan tampak unsur-unsur gerak yang kasar, meloncat dari pada hamba."
Anusapati mengerutkan keningnya.
"Biarlah tuanku berada disini. Sudah hamba katakan, taruhannya terlampau mahal apabila tuanku ikut didalam persoalan ini."
Anusapati tidak menjawab. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.
Sumekar tidak berkata apa-pun lagi. Dipandanginya dengan tajamnya bagaimana perwira, guru Anusapati itu semakin terdesak, sehingga akhirnya ia tidak dapat lepas lagi. Ia kini berdiri diantara penasehat itu dan Tohjaya bersama dua orang pengawalnya. Kalau ia memaksa dirinya untuk menyerang Tohjaya agar ia mendapat jalan keluar dari kepungan itu, maka waktu yang sesaat itu sudah cukup bagi lawannya untuk menghancurkan punggungnya.
Karena itu, perwira prajurit itu berdiri termangu-mangu. Namun ia sudah bertekad untuk menghadapi akibat apa-pun yang bakal menimpa dirinya.
"Sayang," desisnya, "aku belum dapat mengatakan kepada Mahisa Agni, siapakah orang yang tersembunyi ini."
Tetapi ia benar-benar tidak sempat. Berpikir-pun tidak sempat, karena lawannya itu melangkah semakin dekat sambil tertawa. Katanya disela-sela suara tertawanya, "Maaf, bahwa aku harus berbuat sesuatu atasmu. Mungkin aku akan membunuhmu, mungkin karena ketahanan tubuhmu yang luar biasa, kau hanya akan sekedar menjadi pingsan. Tetapi sebenarnya itulah yang aku inginkan. Sebab apabila kau masih hidup, aku akan dapat lebih banyak berbuat atasmu. Mungkin aku akan dapat menyadap keterangan tentang usahamu yang gila ini, mungkin aku akan mendapat kepuasan yang khusus karena aku dapat membunuhmu dengan cara yang lebih baik daripada menghancurkanmu dengan satu pukulan."
Terasa bulu-bulu ditubuh perwira itu meremang. Namun kemudian ia menemukan kebulatan tekadnya kembali. Bahkan-ia sempat menjawab, "Mati adalah jalan yang paling baik untuk menyelesaikan semua persoalan. Juga persoalanku yang rumit ini."
"Ternyata kau sudah berputus asa. Kau ingin membunuh diri disini" " penasehat itu berhenti sejenak, lalu, "gila. Kau akan mempergunakan aku sebagai alat untuk membunuh diri" Itu sangat menyakitkan hati." ia terdiam pula sejenak, lalu, "tetapi kau akan menyesal. Kau akan menyesal. Barangkali lebih baik bagimu untuk menggantung diri dibatang beringin di alun-alun. Atau menerjunkan dirimu ke dalam jurang yang dalam, atau menusuk perutmu sendiri dengan senjatamu. Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan lagi. Kau akan mengalami jalan maut yang paling mengerikan."
Perwira itu tidak menjawab. Tetapi ia tidak menyerah. Ia masih berdiri siap dengan senjatanya, meski-pun di segenap penjuru, ujung-ujung senjata telah mengarah kepadanya.
"Kau masih mendapat waktu sekejap. Berdoalah kepada Yang Maha Agung, agar kau mendapat tempat yang baik dimasa hidupmu mendatang."
Perwira itu sama sekali tidak menjawab. Dengan tenang ia menengadahkan dadanya menghadap maut yang bagimana-pun juga garangnya.
Namun, selagi penasehat raja itu melangkah selangkah maju, tiba-tiba ia terkejut. Telinganya yang tajam segera mendengar gemerasak daun dipepohonan. Ketika ia berpaling, dilihatnya sesosok tubuh meloncat dari cabang pohon yang satu kepohon yang lain, kemudian hinggap diatas dinding batu yang membatasi longkangan dibelakang bangsal itu.
Orang-orang yang ada dilongkangan itu-pun terperanjat. Yang berdiri diatas dinding batu itu juga seorang yang berkerudung hitam seperti orang yang sedang berkelahi itu. Namun sebenarnyalah bahwa perwira yang berkerudung hitam itu-pun terkejut pula melihat orang lain yang memakai pakaian seperti yang dipakainya.
"Ha," berkata Sumekar. Seperti perwira prajurit itu, suaranya-pun telah dirubah menjadi suara yang lain, melengking tinggi meski-pun tidak begitu keras, "ternyata orang yang namanya terkenal diseluruh Singasari ini adalah orang yang licik. Ia terpaksa menghadapi lawannya bersama-sama dengan murid dan pengawalnya. Itu sama sekali tidak adil. Kawanku datang dan bertempur seorang diri. Seharusnya kau melawan juga seorang diri. Perang tanding adalah sikap kesatria jantan di Singasari."
Penasehat raja itu menggeram. Terdengar suaranya parau, "Siapa pula kau?"
Sumekar-pun kemudian meloncat dengan lincahnya turun kelongkangan belakang diatas rerumputan. Sambil bertolak pinggang Sumekar berdiri tegak memandang orang-orang yang keheranan itu satu demi satu.
"He, kenapa kalian berdiri keheranan seperti melihat hantu yang datang dari kegelapan atau barangkali hantu yang datang dari pojok-pojok istana ini." Sumekar berhenti sejenak, lalu, "aku sama sekali bukan hantu. Aku hanya seseorang biasa yang dengan sengaja menutup wajahku dengan kain hitam, berpakaian hitam agar tidak mudah dilihat apabila aku bersembunyi, dan sudah barangkali tentu, dengan kerudung hitam ini aku ingin menyembunyikan wajahku. Mungkin kalian sudah mengenal aku dan kawanku itu. Karena itulah maka dengan sengaja kami ingin agar kalian tidak mengetahui siapakah aku ini."
Penasehat raja itu menggeram. Terasa olehnya, bahwa orang yang baru datang ini mempunyai kepercayaan diri yang lebih besar dari orang yang pertama. Mungkin orang ini lebih berbahaya atau setidak-tidaknya sama seperti orang yang pertama yang masih berada ditempat itu pula.
Orang yang berkerudung hitam pertama, betapa-pun juga Ia keheranan, namun ia mencoba menyesuaikan dirinya. Ia tidak berbuat apa-apa, meski-pun ia tidak yakin, apakah orang berkerudung hitam yang datang kemudian itu nanti tidak berbahaya baginya sendiri.
"Siapakah sebenarnya kalian" Sudah waktunya kalian membuka kerudung-kerudung hitam itu. Marilah kita berhadapan dengan wajah tengadah seperti lazimnya laki-laki."
Sumekar tertawa. Suaranya menggetarkan isi dada meski-pun nadanya rendah dan tidak terlampau keras. Bahkan Anusapati-pun merasakan getaran itu menyentuh jantung. Ia tidak menduga bahwa Sumekar memiliki kekuatan yang tajam didalam lontaran getaran suaranya.
"Cukup," geram penasehat raja itu, "aku muak melihat kalian. Pengecut yang sombong. Jangan menyesal kalau aku dengan sungguh-sungguh berusaha membinasakan kalian berdua."
Sumekar masih tertawa. Katanya disela-sela derai tertawanya, "Jangan terlampau garang."
"Persetan," guru Tohjaya itu maju selangkah, "agaknya kau memang lebih berbahaya dari kawanmu ini."
"Terserahlah apa saja yang akan kau katakan. Tetapi aku memang ingin berkelahi. Ingin mengetahui sampai dimana kemampuan guru tuanku Tohjaya yang namanya terkenal sampai keujung bumi."
Penasehat raja itu maju selangkah lagi. Namun kemudian ia berpaling kepada Tohjaya, "Tuanku, jagalah agar yang seorang itu tidak lari dari longkangan ini. Hamba akan menyelesaikan orang ini. Orang yang agaknya lebih licik dari kawannya yang pertama itu."
Tohjaya menganggukkan kepalanya. Tetapi tampaklah keragu-raguan menggetarkan dadanya. Apakah ia dapat menahan orang itu apabila orang itu benar-benar berniat untuk pergi" Tetapi kesombongannya ternyata telah mendorongnya untuk menjawab, "Baiklah guru. Aku akan membinasakannya apabila ia akan lari."
Tetapi dadanya berdesir ketika orang yang pertama itu tertawa. "Apakah tuanku dapat melakukannya?"
"Persetan," bentak Tohjaya sambil mengacukan pedangnya, "cobalah kalau kau ingin dadamu terbelah."
Sekali lagi orang itu tertawa. Namun sebelum ia menyahut Sumekar telah mendahuluinya, "Biarlah. Jangan lari. Biarlah tuanku Tohjaya menganggap bahwa kau takut kepada ujung pedangnya itu. Supaya tidak sia-sialah guru-gurunya mengajarinya. Guru yang ini dan guru yang satu lagi. Apakah kau mengenalnya?"
Bukan saja dada Tohjaya yang berdesir. Tetapi dada perwira itu-pun menjadi berdebar-debar pula. Tetapi ia mencoba menghilangkan kesan itu. Sambil tertawa ia berkata, "Ya. Aku juga sudah mendengar bahwa tuanku Tohjaya mempunyai dua orang guru. Bukankah dengan demikian seharusnya tuanku Tohjaya menjadi orang yang mumpuni?"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak sempat menyahut karena penasehat raja itu membentak, "Tutup mulut kalian. Kalian akan menyesal. Selain kami yang berada disini masih ada lima puluh orang prajurit yang siap untuk menangkap kalian. Dengan satu tanda, mereka akan berlari-larian kemari."
"He?" sahut Sumekar, "aneh. Nada suaramu berubah. Kalau semula kau mengucapkan kata-kata ini dengan kesombongan yang menggunung dihatimu, seolah-olah kau jauh lebih berharga dari limapuluh orang prajurit itu. sehingga seolah-olah kau tidak usah berbuat apa-apa, cukup prajurit-prajurit itu saja, kini nada itu sudah berubah. Kau benar-benar ketakutan dan kau benar-benar membutuhkan bantuan mereka. Bantuan lima-puluh orang prajurit, bukan karena kau jauh lebih berharga dan tidak pantas berbuat, karena limapuluh orang itu sudah cukup. Tetapi karena kau menjadi ketakutan."
"Diam," orang itu membentak. Dengan mata yang seakan-akan menyala itu mendekati Sumekar.
Sumekar tidak berbicara lagi. Tetapi ia sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Ia sudah melihat penasehat raja itu berkelahi, sehingga sedikit banyak ia sudah dapat menjajagi kedahsyatan ilmunya.
Dugaan Sumekar tidak salah lagi. Tiba-tiba orang itu meloncat menyerang dengan cepatnya, seperti tatit diudara. Tangannya terjulur lurus, seperti sepasang tangan harimau yang siap menerkam mangsanya.
Tetapi Sumekar sama sekali tidak lengah. Dengan tangkas ia menghindarkan dirinya, dan bahkan dengan tangkas pula ia membalas menyerang.
Sejenak kemudian maka keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang seru.
Seperti yang telah diduga oleh Sumekar, maka guru Tohjaya yang kasar itu pasti memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Bukan saja untuk melawan perwira prajurit yang berkerudung hitam itu, tetapi juga untuk menghadapi orang-orang yang telah hampir masak menguasai ilmunya.
Dengan demikian, maka Sumekar-pun harus mengerahkan sebagian besar dari kemampuannya untuk melawannya, meski-pun Sumekar kemudian segera dapat memastikan, bahwa ia akan segera dapat menguasai lawannya.
Namun demikian, kekuatan orang itu harus diperhitungkan apabila pada suatu saat terjadi sesuatu didalam istana ini, apabila ada perubahan keadaan. Seandainya pada suatu saat datang waktunya, Sri Rajasa menyerahkan pimpinan kerajaan kepada Pangeran Pati, dan Tohjaya tidak dapat menerima kenyataan itu, maka penasehat raja ini harus mendapat perhatian yang khusus.
Demikianlah maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Sumekar harus melayaninya dengan sebaiknya, karena orang itu cukup berbahaya baginya. Apalagi setelah sekian lama mereka berkelahi, namun penasehat raja yang merasa dirinya tidak terkalahkan itu tidak dapat segera menguasai lawannya, maka kekasarannya-pun seolah-olah ditumpahkannya seluruhnya. Langkahnya dan gerak tangannya, bahkan mulutnya yang mengumpat-umpat. Benar-benar tidak sesuai dengan tingkah lakunya sehari-hari.
Tetapi Sumekar-pun pernah mendapat tuntunan ilmu yang agak kasar juga, sehingga untuk menyesuaikan dirinya, maka ia-pun melepaskan tata gerak yang kasar dan cepat, sehingga lawannya terkejut karenanya.
"Setan manakah yang telah mengirim kau kemari?" bentaknya.
Tetapi Sumekar tidak menjawab. Yang terdengar adalah suaranya melengking seperti suara hantu kelaparan.
"Gila," geram penasehat itu, "sebut namamu sebelum kau mati. Tidak ada orang yang dapat mengalahkan aku. Tetapi kau tidak segera dapat aku bunuh. Namun dengan demikian, kau telah membuat aku menjadi semakin marah. Dan kau akan menyesal nanti."
Sumekar tidak menghiraukannya. Ia bertempur terus dengan tangkasnya. Bahkan sekali-sekali ia telah membuat lawannya menjadi bingung.
"He, jangan berputar-putar seperti seekor anak ayam sakit-sakitan," desis Sumekar ketika lawannya kehilangan arah.
"Persetan," gigi penasehat itu gemeretak. Tetapi ia tidak dapat mengelakkan kenyataan, bahwa lawannya memang memiliki kelebihan daripadanya.
Tohjaya yang melihat perkelahian itu menjadi cemas. Ia tidak mengira bahwa ada orang yang mampu menandingi gurunya. Ia menyangka, bahwa gurunya adalah seorang yang paling kuat diseluruh Singasari kecuali ayahandanya dan Mahisa Agni.
"Apakah orang itu paman Mahisa Agni?" pertanyaan itu membersit dihatinya, "tentu bukan," ia menjawabnya sendiri. "Bentuk tubuhnya sama sekali tidak sesuai dengan bentuk tubuh paman Mahisa Agni."
"Dan siapa pulakah kawannya yang telah lebih dahulu berkelahi dengan guru itu?" ia bertanya pula didalam hatinya.
Tohjaya menjadi bingung karenanya. Ia melihat bahwa gurunya agaknya terdesak terus.
Tiba-tiba Tohjaya menggeretakkan giginya. Sambil meloncat maju ia berkata, "Guru. Perkenankan aku ikut menangkap orang ini?"
Gurunya yang sedang bertempur berpaling sejenak sambil meloncat menjauhi Sumekar. Dilihatnya Tohjaya melangkah maju dengan pedang ditangan. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berkata, "Jangan tuanku. Orang ini cukup berbahaya bagi tuanku."
"Aku menjadi muak melihatnya." sahut Tohjaya.
"Tetapi tuanku jangan mendekatinya. Tangannya seperti mulut ular yang berbahaya apabila berhasil mematuk tubuh kita."
"Aku akan membunuhnya dengan pedang."
Sebelum gurunya menjawab, perwira yang berkerudung hitam itulah yang menyahut, "Jangan ikut campur tuanku. Ingat, hamba sekarang berdiri bebas. Hamba dapat berbuat apa saja terhadap tuanku."
"Kedua pengawalku akan membunuhmu."
Perwira itu tertawa. Katanya, "Jangan kau banggakan kedua pengawal tuanku yang tidak lebih dari dua ekor cucurut itu. Hamba dapat membunuh mereka dengan sekali gerak."
"Bohong," salah seorang dari kedua prajurit itu menjadi seakan-akan terbakar seluruh jantungnya. Ia melangkah maju dengan pedang didalam genggaman.
Tetapi perwira prajurit itu masih tetap berdiri saja di tempatnya. Bahkan seakan-akan ia tidak mengacuhkannya sama sekali. Ia masih tetap memperhatikan orang yang berkerudung hitam yang telah terlibat kembali dalam perkelahian melawan penasehat raja itu.
"Perkelahian yang dahsyat," desisnya, "tetapi sayang, bahwa kawan yang berkerudung hitam itu agaknya akan dapat mengalahkan guru tuanku itu."
"Persetan," Tohjaya mengumpat. Ia memandang perkelahian antara gurunya dengan orang yang berkerudung hitam itu dengan tajamnya. Dan tiba-tiba saja berkata lantang kepada kedua pengawalnya, "Bunuh dia. Aku akan ikut menyelesaikan orang itu."
Tanpa menunggu perintah itu diulangi, kedua pengawal Tohjaya itu-pun segera menyerang perwira yang berkerudung hitam itu.
Perwira itu-pun terpaksa mengelakkan serangan itu. Mau tidak mau ia harus melayani mereka. Justru karena perwira itu tidak ingin mengalahkan lawannya dengan menjatuhkan korban jiwa, maka ia harus bertempur dengan berhati-hati. Tetapi meski-pun demikian, ia masih juga sempat menyerang Tohjaya untuk mencegahnya, agar ia tidak melibatkan diri melawan orang yang berkerudung hitam itu.
Tohjaya mengumpat dengan kasarnya. Ternyata sifat gurunya sudah menjalar pula kepadanya, meski-pun hanya di saat-saat tertentu. Didalam kehidupannya sehari-hari, seperti juga gurunya, ia adalah orang baik, yang tidak pernah mengucapkan kata-kata kotor. Tetapi kalau gurunya berhasil menyembunyikan kesombongannya, Tohjaya sama sekali tidak berusaha untuk menahan diri.
Dengan kasarnya Tohjaya mencoba membalas menyerang bersama kedua pengawalnya. Kemudian, kembali ia meloncat meninggalkannya, dan mendekati gurunya yang sedang terdesak.
"Bunuh saja orang itu," katanya kepada kedua pengawalnya. Tetapi membunuh perwira itu bukan pekerjaan yang mudah. Bahkan sama sekali diluar kemampuan mereka. Itulah sebabnya kedua pengawal itu hanya dapat berputar-putar sambil mengacu-acukan pedangnya.
"Tetapi mereka tidak tahu menahu tentang hal ini," desis perwira itu didalam hatinya, "sehingga tidak selayaknya apabila mereka mengalami bencana karenanya. Hanya apabila keadaan memaksa, apa boleh buat."
Namun demikian ternyata kedua prajurit itu terasa sangat mengganggu usahanya mencegah Tohjaya agar tidak mengganggu pula orang yang berkerudung hitam itu. Karena Itu, maka timbullah pikirannya untuk membuat kedua orang itu tidak berdaya.
"Biarlah mereka aku paksa untuk tidur sejenak," katanya didalam hati.
Demikianlah perwira itu ingin menyerang kedua prajurit pengawal itu ditempat yang langsung dapat membuat pingsan, tetapi tidak membahayakan jiwanya. Ia pernah mempelajari tekanan-tekanan di tengkuk yang dapat melenyapkan kesadaran seseorang untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Tetapi sekali lagi longkangan itu telah dikejutkan oleh suara tertawa yang aneh. Serentak orang-orang yang ada dibelakang bangsal itu berpaling. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat seorang lagi berjongkok diatas dinding. Orang ini-pun menutup wajahnya dengan kerudung hitam.
"Setan alas," geram penasehat raja itu, "ternyata kalian datang dalam jumlah yang banyak. Kalau begitu, aku memang harus memanggil para pengawal istana ini."
"Sekarang sudah tidak mungkin lagi," desis Sumekar meski-pun ia menggerutu didalam hatinya. Agaknya Anusapati tidak berhasil mengekang perasaannya, sehingga ia-pun telah terjun pula kelongkangan itu.
"Kenapa tidak sempat?" bertanya penasehat raja.
"Kau tidak akan dapat pergi kemana-pun atau membunyikan tanpa apapun."
"Aku dapat berteriak."
"Berteriak-pun kau tidak akan sempat." sahut Sumekar, "bukan karena kau tidak mempunyai waktu, tetapi kejantananmulah yang akan mencegahnya. Menurut katamu, lima puluh orang itu tidak akan dapat mengimbangi kemampuanmu seorang diri."
"Persetan," geram orang itu pula.
"Nah, biarlah kita bermain-main sendiri," berkata Sumekar selanjutnya, "kita adalah laki-laki jantan. Kita masing-masing mempunyai kekuatan lebih dari kekuatan lima orang. Marilah kita tunjukkan kemampuan itu. Bukan sekedar ceritera khayal tanpa ujung pangkal."
Guru Tohjaya itu tidak menjawab. Ia menyerang Sumekar semakin garang, meski-pun dengan demikian menjadi semakin jelas, bahwa ia tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu.
Namun dalam pada itu, Sumekar itu-pun menjadi cemas melihat Anusapati berada diantara mereka. Setelah meloncat turun, perlahan-lahan ia berjalan mendekati Tohjaya. Agaknya Anusapati ingin mengetahui kekuatan Tohjaya yang sebenarnya, sehingga karena itu dengan nada tinggi ia bertanya. "Inikah putera Sri Rajasa kinasih yang bernama Tohjaya?"
Tidak ada seorang-pun yang menjawab. Sumekar sedang sibuk berkelahi melawan penasehat raja, sedangkan kedua pengawal Tohjaya-pun telah mulai menyerang orang yang berkerudung itu pula.
Tohjaya yang agaknya menjadi sasaran orang berkerudung yang terakhir itu-pun merasa mendapat tantangan. Karena itu, sebelum orang berkerudung itu mempersiapkan dirinya, Tohjaya segera menyerangnya. Dengan cepatnya ujung pedang Tohjaya bagaikan lidah api yang mematuk tubuh Anusapati. Tetapi ternyata bahwa Anusapati mampu bergerak lebih cepat lagi, sehingga ujung pedang itu sama sekali tidak menyentuh sasarannya.
Dilongkangan itu-pun kemudian terjadi tiga lingkaran perkelahian. Namun sejenak kemudian, mereka masing-masing mengetahuinya, bahwa orang-orang yang berkerudung hitam itu ternyata tidak ingin berkelahi dengan sungguh-sungguh. Sumekar yang berhasil menguasai lawannya-pun tidak banyak berbuat atasnya. Hanya kadang-kadang tangannya menyentuh penasehat raja itu. Tetapi Sumekar sama sekali tidak ingin mencelakainya, meski-pun dengan demikian ia harus berhati-hati. Penasehat raja itu-pun memiliki ilmu yang cukup tinggi. Ia melepaskan ilmu tanpa kekangan, sedang Sumekar masih harus mempertimbangkan akibat dari setiap gerakannya. Itulah sebabnya maka kadang-kadang Sumekar masih harus meloncat menjauhinya, apabila ia kehilangan kesempatan untuk berpikir karena serangan lawannya yang datang membanjir.
Perwira prajurit yang bertempur dengan kedua pengawal Tohjaya itu-pun dapat mengimbangi lawannya dengan tanpa kesulitan. Bahkan apabila ia inginkan, ia pasti dapat mengalahkan keduanya dalam waktu yang singkat. Namun tiba-tiba saja ia masih ingin meneruskan permainan itu, sambil melihat Tohjaya berkelahi melawan orang ketiga yang datang terakhir itu.
Namun segera ternyata pula, bahwa Tohjaya tidak berdaya sama sekali. Meski-pun ia memegang senjata, sedang orang berkerudung itu hanya bertempur dengan tangannya, namun Tohjaya sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa.
Demikianlah, maka Anusapati telah berhasil memancing Tohjaya dalam perkelahian yang telah memeras semua kemampuan yang ada pada Tohjaya. Dengan demikian, maka Anusapati-pun dapat menilai tingkat ilmu adiknya itu pada suatu saat. Betapa Tohjaya mengerahkan segenap ilmunya yang kasar itu, namun kemampuannya sama sekali tidak dapat mendekati ilmu Anusapati yang sudah dipelajarinya bertahun-tahun, sehingga hampir masak.
Tetapi ternyata didalam perkelahian itu, bahwa ketiga orang yang berkerudung hitam itu tidak ingin menimbulkan bencana. Mereka tidak ingin menjatuhkan korban sama sekali. Bahkan perwira prajurit yang sedang berkelahi melawan dua orang prajurit pengawal Tohjaya itu-pun membatalkan niatnya untuk membuat kedua prajurit itu pingsan.
Demikian pula Sumekar yang tidak dapat diimbangi oleh lawannya, betapa-pun penasehat raja itu mengerahkan kemampuannya, meski-pun Sumekar harus berhati-hati karena kadang-kadang penasehat raja itu dapat menyerangnya dengan tiba-tiba dan cukup berbahaya, namun masih tetap didalam penguasaannya.
Perkelahian yang tidak seimbang itu masih berlangsung beberapa lama. Penasehat raja yang memang sudah merasa tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu, dan apalagi setelah ia melihat, bagaimana Tohjaya hanya bagaikan golek permainan saja, benar-benar menjadi bimbang. Ia memang dapat berteriak memanggil penjaga yang ada disekitar bangsal itu. Tetapi harga dinya telah mencegahnya. Tetapi apabila ia tetap berdiam diri maka pada saatnya, ia pasti akan kehilangan segenap kemampuannya untuk melawan. Demikian pula Tohjaya dan kedua prajurit pengawalnya.
Selagi penasehat itu berkelahi sambil termangu-mangu, maka Sumekar-pun berkata, "Kami telah cukup lama bermain-main disini, kami sudah mengetahui, sampai dimana kemampuan guru tuanku Tohjaya yang namanya bagaikan bunga Arum Dalu dimalam hari, dalam taman Singangsari yang besar ini. Tetapi sayang sekali, bahwa kemampuan yang sebenarnya, sama sekali tidak seimbang dengan keharuman namanya."
Penasehat raja itu menggeram. Alangkah sakit hatinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus menerima hal itu sebagai suatu kenyataan.
"Kami akan segera kembali. Kami akan menyampaikan berita ini kepada raja kami. Bukan Maharaja sebesar Sri Rajasa. Raja kami adalah Raja dari suatu kerajaan kecil yang terpencil, yang tidak banyak dikenal. Tetapi kalian sudah dapat melihat tiga orang prajurit dari negara kami. Kami bukanlah orang-orang terkuat dinegara kami yang kecil itu. Tetapi kami telah berhasil menguasai orang yang paling kuat di Singasari, selain Sri Rajasa sendiri. Kami akui, bahwa Sri Rajasa adalah orang yang luar biasa menurut pendengaran kami. Tetapi pasti ada orang dinegeri kami yang dapat mengalahkannya."
Penasehat raja itu tidak menyahut. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Ia masih memaksa dirinya untuk bertempur terus, meski-pun ia tahu hal itu akan sia-sia saja.
"Kau tidak usah memanggil prajurit-prajurit yang sedang mengawal istana ini," berkata Sumekar kemudian, "aku tidak akan tinggal lebih lama lagi disini. Aku akan segera minta diri."
"Persetan," geram penasehat itu, "kau salah sangka. Di Singasari bukan Sri Rajasa sajalah orang-orang yang luar biasa didalam olah kanuragan."
"Aku tahu. Selain Sri Rajasa adalah kau sendiri. Begitu maksudmu?"
"Masih ada paman Mahisa Agni," sahut Tohjaya yang nafasnya menjadi terengah-engah.
"Siapakah Mahisa Agni itu?" bertanya Sumekar.
"Yang mewakili ayahanda Sri Rajasa di Kediri saat ini."
"Apakah Mahisa Agni juga bernama Kuda Taksaka yang perkasa itu?"
Tohjaya menjadi termangu-mangu. Ia belum pernah mendengar nama Kuda Taksaka.
"Kalau Mahisa Agni itu bukan Kuda Taksaka, maka namanya sama sekali tidak akan menggetarkan negeri kami yang kecil."
Tohjaya tidak menyahut. "Kami akan segera pergi," berkata Sumekar, "sayang, disini tidak ada orang yang kau sebut bernama Mahisa Agni. Lain kali kami akan pergi ke Kediri. Kami ingin membuktikan dengan cara ini, betapa orang yang kau agung-agungkan itu dapat mengimbangi kemampuan kami. Selain Mahisa Agni, kami juga ingin menjajagi kemampuan Anusapati yang kini telah diangkat menjadi Pangeran Pati. Kami ingin tahu, apakah anak itu telah memiliki bekal cukup bagi jabatannya itu."
Penasehat raja itu sama sekali tidak berkata apapun. Tohjaya-pun menjadi termangu-mangu pula. Bahkan perwira prajurit, guru Tohjaya dan Anusapati itu-pun heran mendengar kata-kata Sumekar. Agaknya orang berkerudung hitam yang membantunya itu belum mengenal Mahisa Agni, dan belum juga mengenal Anusapati. Dan bahkan ia menyebut-nyebut nama Kuda Taksaka yang belum pernah didengarnya.
Tetapi orang berkerudung hitam yang masih saja selalu menghindari serangan dua orang pengawal Tohjaya itu-pun mendengar Sumekar berkata, "Hentikan serangan-serangan kalian yang tidak berguna ini. Kami akan meninggalkan lonngkangan ini segera. Tetapi kalau kalian masih tetap ingin berkelahi, kami akan berkelahi dengan sungguh-sungguh dan meninggalkan kalian pingsan disini."
Tohjaya-pun menjadi ragu-ragu. Tanpa sesadarnya serangannya-pun telah mengendor. Bahkan ia tidak memburu lagi ketika Anusapati meloncat menjauhinya.
"Sudahlah. Kami sudah cukup untuk kali ini," desis Sumekar dengan nada yang tinggi melengking.
Tohjaya, gurunya yang kasar dan kedua pengawalnya-pun kemudian berdiri termangu-mangu. Mereka menjadi seakan-akan kehilangan kesadaran, apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Ketika ketiga orang berkerudung itu perlahan-lahan melangkah surut kesudut longkangan, mereka hampir tidak berbuat apa-apa selain dengan mata tanpa berkedip memandanginya.
"Selamat malam. Berlatihlah terus," berkata Sumekar.
Sejenak kemudian maka Sumekar-pun meloncat keatas dinding longkangan itu disusul oleh Anusapati dan perwira prajurit itu, dan menghilang didalam kegelapan malam.
Dalam pada itu, ketika ketiganya tidak lagi dapat mereka lihat, barulah penasehat raja itu menyadari keadaannya. Dengan lantang ia berkata, "Bunyikan tanda bahaya. Perintahkan kepada setiap prajurit untuk menutup semua regol dan menjaga agar tidak seorang-pun dapat keluar dari istana ini. Setiap jengkal dinding istana dan halaman dibagian mana-pun juga harus diawasi."
Kedua prajurit pengawal Tohjaya itu-pun segera berlari-larian kegardu peronda yang terdekat. Sejenak kemudian suara tanda itu-pun telah bergema memenuhi seluruh halaman.
Sementara itu, Sumekar dan kedua kawannya telah berada diluar halaman bangsal Sri Rajasa. Tetapi tanda bahaya itu merupakan peringatan bagi mereka, bahwa sebentar lagi, prajurit-prajurit yang sedang bertugas di halaman istana ini akan berlari-larian kesegenap penjuru.
Karena itu maka Sumekar-pun berkata. "Cepatlah kembali kepondokmu. Ternyata baik tuanku Tohjaya, mau-pun gurunya itu belum mengetahui siapakah kau ini."
"Tetapi, siapakah sebenarnya kalian?"
"Aku harus segera meninggalkan istana ini sebelum semua bagian dari dinding istana ini diawasi. Aku tidak mempunyai banyak waktu, Kau-pun tidak."


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanda bahaya digardu pertama itu-pun segera disahut oleh gardu-gardu yang lain, sehingga sejenak kemudian setiap gardu didalam lingkungan istana itu-pun telah membunyikan tanda-tanda yang serupa.
"Cepat," desak Sumekar, "sebelum seseorang mengetahui tentang dirimu. Aku-pun akan segera pergi."
Sumekar dan Anusapati-pun kemudian bagaikan terbang meninggalkan perwira yang termangu-mangu itu. Tetapi perwira itu-pun segera menyadari keadaannya dan menyelinap masuk kedalam pondoknya. Dengan cepat ia-pun melepas kerudung hitamnya dan menyembunyikannya rapat, setelah ia berganti pakaian.
Tetapi perwira itu sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa pada saat yang hampir bersamaan, Sumekar dan Anusapati-pun telah berbuat hal yang serupa. Mereka-pun telah mengganti pakaian mereka, dan menyembunyikan kerudung-kerudung hitam itu.
Demikianlah maka halaman istana itu menjadi gempar. Para pengawal segera bersiap ditempat tugas masing-masing. Para prajurit peronda-pun segera berlari-larian kesegenap sudut istana, mengawasi segala bagian dari dinding yang memagari istana Singasari, sehingga tidak ada sejengkal-pun yang dapat dilalui oleh siapapun.
Di muka bangsal Permaisuri-pun empat orang prajurit telah siap dengan senjata telanjang. Demikian pula didepan bangsal Ken Umang. Tohjaya yang masih berada di bangsal Sri Rajasa bersama guru dan pengawalnya segera bergabung dengan pengawal yang kemudian menempatkan diri dibagian depan dan yang lain dibagian belakang.
Empat prajurit yang lain telah berdiri sebelah menyebelah bangsal Putera Mahkota untuk mengawasi apabila ada orang-orang yang menyelinap dan berniat berbuat jahat.
Para prajurit pengawal bangsal Anusapati itu segera menyongsong Putera Mahkota yang keluar dari bangsalnya sambil menggosok-gosok matanya.
"Masuklah tuanku," berkata salah seorang pengawal.
"Aku mendengar tanda bahaya."
"Ya. Karena itulah hamba berada disini."
Anusapati menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak memerlukan pengawal. Bukankah seluruh istana ini sudah diawasi."
"Tetapi dalam keadaan bahaya, hamba mendapat tugas mengawasi bangsal ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Terima kasih. Tetapi apakah yang sebenarnya sudah terjadi?"
"Ada tiga orang asing telah memasuki istana ini dalam pakaian hitam."
"He?" Anusapati terkejut, "bagaimana hal itu dapat terjadi" Apakah para pengawal regol dan para peronda tertidur semuanya?"
"Tidak tuanku. Para pengawal dan para peronda tetap berada pada tugas masing-masing. Tetapi mereka tidak melihat mereka masuk."
Alap Alap Laut Kidul 4 Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Suling Emas Dan Naga Siluman 2
^