Pencarian

Bara Diatas Singgasana 23

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 23


"Semua orang yang memiliki ilmu yang tinggi sedang berkumpul dipaseban. Tidak ada seorang-pun yang dapat dicurigai." prajurit itu berhenti sejenak. Lalu, "jika kakanda Tuan Puteri Ken Dedes tidak ada dipaseban, maka pasti ia akan dicurigai."
"Tidak. Sebelum hal ini terjadi sekarang, beberapa saat yang lampau bahkan Sri Rajasa sendiri tidak berhasil menangkapnya, justru waktu itu Mahisa Agni ada pula bersamanya."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Mahisa Agni tidak dapat dicurigai. Malam ini Mahisa Agni dengan beberapa orang Senapati-pun sibuk mencarinya disegala tempat.
"Mungkin orang itu memang tinggal didalam halaman istana ini," desis prajurit itu.
Tetapi kawannya menyahut, "Hanya Sri Rajasa sendirilah yang mampu melakukannya. Mungkin penasehat yang diliputi oleh rahasia itu pula. Ia mengatakan, bahwa hampir saja ia berhasil menangkap, sehingga dengan demikian ia pasti mempunyai kemampuan yang cukup pula."
"Apakah penasehat itu bukan sekedar membual, atau bahkan ia sedang bermimpi?"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam.
Ketika malam menjadi semakin dalam, serta tidak ada tanda-tanda yang dapat dipakai untuk menemukan orang yang sedang mereka cari itu, maka para Senapati-pun telah menghentikan usaha mereka. Para prajurit ditarik kegardu-gardu selain mereka yang mengepung halaman istana. Mereka masih harus tetap mengawasi dinding istana sampai pagi berganti-ganti.
Dalam pada itu, penasehat Sri Rajasa itu-pun telah melaporkan semua yang terjadi kepada Sri Rajasa. Tetapi selagi masih ada beberapa orang yang menghadap, maka penasehat itu tidak mengatakan yang sebenarnya.
Baru ketika hampir dini hari, para pemimpin pemerintahan Singasari diperkenankan meninggalkan istana, masing-masing dengan pengawalan yang kuat.
Setelah para pemimpin itu meninggalkan bangsal, barualah penasehat itu mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Hubungan antara orang berkerudung hitam itu dengan Kiai Kisi. Sebelum Kiai Kisi terbunuh, ternyata Kiai Kisi telah mengatakan bahwa ia mendapat tugas dari orang dalam di istana.
"Orang itu berusaha memeras hamba," berkata penasehat Sri Rajasa itu.
"Orang itu sangat berbahaya. Bukan bagimu saja tetapi bagi kelangsungan kewibawaanku. Kalau ia salah paham dan menyangka bahwa aku terlibat pula didalam hal ini, maka namaku pasti akan tercemar apabila ia pada suatu saat akan mengumumkannya."
"Tidak tuanku. Tuanku dapat membantah. Lewat satu atau dua orang pemimpin Singasari tuanku dapat menuduh hal itu sebagai suatu fitnah."
Sri Rajasa menundukkan wajahnya. Ia sadar, bahwa pasti banyak orang tua-tua yang mengetahui keadaan Anusapati yang sebenarnya, karena pada saat Tunggul Ametung terbunuh, Ken Dedes memang sudah jelas mengandung.
"Kau memang bodoh sekali," Sri Rajasa masih selalu menyesali tindakan penasehatnya. Kalau saja orang itu tidak memberinya kepuasan karena ia berhasil mengasuh Tohjaya maka ia pasti sudah mengambil tindakan tersendiri.
Tetapi dalam keadaannya yang sekarang, ia tidak dapat melakukannya. Namun Sri Rajasa-pun menyadarinya, bahwa kedudukannya pasti akan tersentuh juga oleh akibat kebodohan penasehatnya yang sebenarnya ingin mendapat pujian daripadanya itu, betapa-pun kecilnya.
"Kita tidak akan dapat mengabaikan mereka," berkata Sri Rajasa. "Telah beberapa kali orang-orang berkerudung itu menjamah halaman istana. Bahkan aku sendiri pernah berusaha untuk menangkapnya, tetapi ia berhasil lolos. Belum tentu orang yang datang sekarang itu orang yang terdahulu juga. Bahkan pernah terjadi mereka datang bersama-sama tiga orang seperti yang pernah kau katakan. Apalagi mereka berhasil menggagalkan usaha Kiai Kisi untuk membunuh atau menangkap Putera Mahkota. Nah, kau dapat membayangkan bahwa hal ini bukannya suatu permainan yang dapat diabaikan. Kita tidak tahu, apakah dibelakang mereka berdiri pasukan segelar sepapan dari orang-orang berkerudung hitam dan memiliki kemampuan yang menggemparkan itu. Bukankah ia berhasil mengelabuhimu dengan berpura-pura tidak mampu lagi mengadakan perlawanan sehingga kau dengan membusungkan dada mengucapkan lagu kemenangan yang telah menjeratmu sendiri?"
Penasehat itu menganggukkan kepalanya.
"Kita harus berhati-hati. Aku harus menyusun kekuatan sebelum terlambat. Pada suatu saat Tohjaya harus mengerti dan mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak sekarang dan tidak sekasar seperti yang kau lakukan."
"Hamba tuanku," kepala penasehat itu menjadi semakin tunduk.
Tetapi pembicaraan itu tidak dapat berlangsung terus, karena Mahisa Agni dan beberapa orang Panglima dan Senapati telah menghadap pula.
"Apakah kalian dapat menemukan?" bertanya Sri Rajasa.
Mahisa Agnilah yang menjawab, "Ampun tuanku. Kami tidak menemukannya. Kami sudah mencari diseluruh sudut istana. Tidak ada sejengkal tanah-pun yang terlampaui. Bahkan bangsal-bangsal dan rumah-rumah yang ada didalam halaman ini, yang kami anggap dapat dipergunakan untuk bersembunyi seseorang telah kami lihat pula. Tetapi kami tidak menemukannya."
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Hal yang serupa pernah juga terjadi didalam istana ini selagi aku pergi berburu. Bahkan aku sendiri pernah berusaha menangkap bayangan berkerudung hitam serupa itu, tetapi gagal. Dan sekarang hal yang serupa pula telah berulang. Jadikanlah hal ini peringatan bahwa sebenarnyalah Singasari tidak sekuat yang kita tunjukkan lewat kebesaran pemerintahannya dan kekuatan pasukannya. Ternyata masih ada juga kekuatan lain yang mampu mengganggu ketenangan istana justru selagi kita sedang sibuk dengan peralatan perkawinan salah seorang putera istana."
Tidak ada seorang-pun yang menjawab. Tetapi Mahisa Agni melihat kekecewaan yang dalam membayang di wajah Sri Rajasa.
Karena itu maka ruangan itu sejenak menjadi sepi. Tiba-tiba saja Sri Rajasa dibayangi oleh sebuah kenangan tentang dirinya sendiri, selagi masih berkeliaran di padang Karautan. Hampir tidak dapat dimengerti bagaimana hal itu dapat terjadi, selagi tidak ada harapan baginya untuk dapat hidup lebih panjang lagi karena orang-orang padukuhan yang mengejarnya semakin lama semakin banyak. Sedangkan dihadannya terbentang sebuah sungai yang deras dan tidak mungkin diseberangi. Tanpa dipikirkannya lagi, maka saat itu ia-pun dengan tergesa-gesa naik memanjat pohon tal. Hatinya telah berkeriput sebesar menir, ketika orang-orang itu menebang pohon tal tempat ia memanjat. Rasa-rasanya nyawanya sudah berada di ubun-ubunnya. Tetapi ia berhasil lolos karena suara yang seakan-akan melontar dari langit, agar ia memotong dan naik keatas sepelepah pohon tal itu menyeberang sungai.
"Apakah orang-orang berkerudung hitam itu juga dapat berbuat seperti yang aku lakukan saat itu, tetapi dengan cara-cara yang lain sehingga mereka dapat lolos dari kepungan prajurit Singasari yang rapat dan bersenjata lengkap?" bertanya Sri Rajasa kepada diri sendiri. Namun kenangan masa muda itu benar-benar telah mengganggunya. Seolah-olah ia harus mengalami gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh tingkah lakunya sendiri semasa itu.
Tiba-tiba Sri Rajasa menggeretakkan giginya ketika tiba-saja bayangan wajah mPu Gandring melintas dirongga matanya. Seakan-akan orang tua itu menunjuk hidungnya sambil berkata, "Ken Arok. Ken Arok. Lebur sajalah keris itu, karena keris itu akan menuntut kematian-kematian berikutnya."
Wajah Sri Rajasa tiba-tiba menjadi pucat. Hampir saja ia meneriakkan umpatan untuk mengatasi ketegangan hatinya. Untunglah bahwa ia berhasil menahan diri dan menelan kata-kata kotor yang telah berada di tenggorokannya.
Namun demikian keringat yang dingin mulai mengalir diseluruh tubuhnya.
"Persetan dengan mPu tua itu," ia menggeram didalam hatinya, "aku tidak peduli. Aku adalah Sri Rajasa Batara Sang murwabumi. Aku adalah anak Brahma, putera angkat Siwa dan kekasih Wisnu. Tidak ada yang lebih besar dari Sri Rajasa saat ini selain Siwa sendiri."
Tetapi tubuhnya terasa menggigil ketika terpandang olehnya mata Mahisa Agni yang seolah-olah menyala membakar seluruh isi dadanya. Orang itu mempunyai sesuatu yang dapat menjadi pengejawantahan Siwa sendiri. Sebuah Trisula yang aneh. Yang tiba-tiba saja membuatnya menjadi silau. Membuatnya kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu.
"O, gila, gila," tiba-tiba Sri Rajasa berteriak sehingga seisi paseban itu terkejut karenanya. Bahkan Sri Rajasa sendiri terkejut pula oleh teriakannya itu.
"Ampun tuanku," berkata Mahisa Agni, "apakah yang telah membuat tuanku menjadi risau?"
Sri Rajasa mengejapkan matanya. Kini dilihatnya Mahisa Agni duduk dihadapannya sambil menundukkan kepalanya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Sri Rajasa berkata, "Ternyata kita hampir gila dibuatnya. Prajurit segelar sepapat yang ada di halaman istana ini tidak mampu menangkap hanya satu orang. Prajurit Pengawal Istana Singasari yang dibanggakan ini, dipimpin langsung oleh para Senapati dan Panglimanya, sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa."
Tidak seorang-pun yang berani mengangkat kepalanya, Mahisa Agni-pun tunduk pula dalam-dalam. Tetapi Sri Rajasa tidak dapat menyingkirkan kecemasannya. Trisula yang pernah dilihatnya itu kini pasti telah berada ditangan Mahisa Agni.
"O," Sri Rajasa menjadi gemetar. Seakan-akan dilihatnya cahaya trisula kecil itu memancar langsung menyilaukan matanya. Kemudian meluncur dari dalam cahaya itu keris bertuah yang menuntut berlakunya kutukan mPu Gandring, keris yang bertangkaikan dahan cangkring. Kemudian seorang keturunau Tunggal Ametung yang telah dibunuhnya pula membayang disela-sela cahaya yang menyilaukan itu.
Sekali lagi Sri Rajasa hampir terpekik. Semua itu seakan-akan tampak jelas tidak saja didalam angan-angannya.
Untunglah bahwa ia segera menyadari keadaannya, bahwa ia kini berada dihadapan Mahisa Agni, beberapa orang Panglima dan Senapati Singasari.
"Mereka adalah orang-orang yang setia," ia mencoba menenteramkan hatinya sendiri meski-pun masih terasa gejolak yang menggelora didadanya.
Dalam pada itu, baik Mahisa Agni dan para prajurit yang menghadap Sri Rajasa melihat, betapa hati Sri Rajasa itu bergejolak tidak menentu. Tetapi mereka menyangka bahwa Sri Rajasa sedang dicengkam oleh kemarahan dan kecemasan, bahwa orang yang berkerudung hitam itu semakin lama menjadi semakin berani. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa orang-orang berkerudung hitam itu adalah orang-orang yang pilih tanding. Bahkan Sri Rajasa sendiri telah gagal menangkap salah seorang dari mereka.
Demikianlah maka para pemimpin pemerintahan dan prajurit Singasari menjadi murung meski-pun dalam suasana yang gembira. Bagaimana-pun juga mereka tidak akan dapat segera melupakan, orang berkerudung hitam yang setiap kali membayangi istana Singasari.
Namun peristiwa itu telah mendorong para prajurit untuk semakin bersiaga setiap saat. Ternyata bahwa Singasari tidaklah setenang yang mereka sangka.
Demikianlah, maka dua orang putera Ken Dedes telah berkeluarga. Sedangkan putera sulung Ken Umang masih merasa perlu untuk menempa diri didalam olah kanuragan dibalik dinding tertutup, seakan-akan Sri Rajasa berusaha untuk menyembunyikan kemampuan Tohjaya yang sebenarnya.
Tetapi ternyata Tohjaya sendiri tidak dapat merahasiakan kemampuannya. Setiap kali ia justru ingin memperlihatkan, bahwa ia adalah seorang putera Sri Rajasa yang perkasa.
"Aku juga akan menjalani pendadaran seperti yang pernah dilakukan oleh kakang Anusapati," berkata Tohjaya setiap kali kepada para prajurit. Dan ia memang minta kepada ayahandanya untuk pada suatu saat mendapat tugas yang serupa, agar ia mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya.
"Kau akan mendapat kesempatan itu," berkata Sri Rajasa.
Tetapi Sri Rajasa masih selalu mempertimbangkan waktu dan suasana yang tepat. Adalah tidak mustahil, apabila rencana ini diketahui oleh salah seorang dari orang-orang berkerudung hitam itu, maka akibatnya akan gawat bagi Tohjaya. Dan Sri Rajasa-pun mengambil kesimpulan, bahwa tidak mustahil bahwa orang-orang didalam istana Singasari itu-pun ada yang telah berkhianat pula, dan memberi kesempatan kepada orang-orang berkerudung hitam untuk berlindung apabila keadaan memaksa.
Ketika hari-hari yang ramai untuk merayakan perkawinan Mahisa Wonga Teleng itu sampai pada akhirnya, maka Mahisa Agni-pun harus segera kembali ke Kediri. Namun ia sempat mencari waktu di sela-sela kesibukannya untuk bertemu dengan Sumekar dan mendengarkan ceriteranya tentang usahanya untuk menyadap pengakuan dari penasehat itu.
"Kau memang cerdik," berkata Mahisa Agni sambil tersenyum.
Namun dibalik senyumnya, Mahisa Agni melihat bahwa Anusapati benar-benar telah dibayangi oleh bahaya yang sebenarnya telah mengancam jiwanya.
"Kau harus lebih berhati-hati," berkata Mahisa Agni kepada Sumekar. "tolong awasi anak itu. Meski-pun kemampuannya didalam olah kanuragan semakin lama menjadi semakin masak, tetapi bagaimana-pun juga masih muda. Kadang-kadang ia masih kehilangan pengamatan diri dan kesabaran, sehingga tingkah lakunya akan dapat berbahaya bagi dirinya sendiri."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku akan berusaha," berkata Sumekar.
Namun dahinya segera menjadi berkerut merut ketika ia melihat tatapan mata Mahisa Agni yang menjadi semakin tajam.
Dengan bersungguh-sungguh Mahisa Agni berkata, "Sumekar. Ada sesuatu yang penting yang hendak aku bicarakan sebelum aku meninggalkan Singasari, apalagi ketika aku meyakini, bahwa Anusapati memang memerlukan perlindungan yang sebaik-baiknya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
"Sumekar," berkata Mahisa Agni. "apakah kau pernah juga berpikir, bahwa pada suatu saat, apabila keadaan memaksa Sri Rajasa sendiri akan turun tangan untuk memaksakan kedudukan Putera Mahkota bagi Tohjaya?"
Sumekar mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Betapa-pun kecilnya, namun ada juga bayangan yang suram itu terjadi. Tetapi bukankah usaha-usaha itu sejak sekarang sudah kita rasakan?"
"Ya. Tetapi maksudku, karena kemampuan kanuragan Anusapati yang tidak dapat teratasi oleh orang-orang yang mendapat tugas langsung menyingkirkannya, apakah pada suatu saat Sri Rajasa sendiri, akan melakukan hal itu. Tentu saja ia berusaha agar tidak seorang-pun yang mengetahuinya."
Sumekar merenung sejenak. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Sumekar," berkata Mahisa Agni kemudian. "kita melihat bahwa kemampuan Anusapati semakin lama menjadi semakin sempurna. Padahal umurnya masih sangat muda, sehingga kemungkinan baginya masih terbuka luas. Pada suatu saat tidak akan ada seorang-pun yang dapat melampauinya diseluruh istana ini. Dalam keadaan yang demikian, tidak ada orang lain yang dapat melakukannya selain Sri Rajasa pribadi. Dalam arti, Sri Rajasa sendirilah yang harus menghadapi Anusapati."
Sekali lagi Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Hal itu tidak mustahil terjadi. Tentu Sri Rajasa tidak akan melepaskan cita-citanya untuk meletakkan warisan singgasana Singasari kepada keturunannya yang paling dikasihinya."
"Kau pernah mendengar bagaimana Tunggul Ametung terbunuh?"
Sumekar menganggukkan kepalanya.
"Kebo Ijo?" Sekali lagi Sumekar mengangguk.
"Dan Kelak Anusapati, begitu maksudmu?" bertanya Sumekar.
Mahisa Agni-pun mengangguk pula. Jawabnya, "Ya. itu tidak mustahil. Bukankah kau juga mengetahui siapakah Anusapati itu sebenarnya?"
Demikianlah ternyata bahwa Mahisa Agni telah mengambil suatu keputusan yang merupakan suatu hal yang sangat penting, dan bahkan hampir menetukan didalam perjalanan hidup Anusapati. Ternyata Mahisa Agni telah mengambil suatu keputusan, bahwa ia harus mempertahankan Anusapati dan keturunannya untuk tetap memegang pimpinan kerajaan. Meski-pun keputusan itu tidak diucapkannya, namun hal ini seakan-akan merupakan janji didalam hatinya. Janji yang membawa akibat-akibat yang sangat luas pada tingkah laku dan sikapnya kemudian.
Sumekar melihat sesuatu bergejolak didalam hatinya. Dan Sumekar-pun seakan-akan dapat menangkap getar didalam dada Mahisa Agni itu.
Demikianlah ketika peralatan perkawinan Mahisa Wonga Teleng selesai, istana Singasari-pun kembali menjadi sepi. Semuanya kembali kepada keadaan seperti sediakala. Anusapati masih saja dalam kedudukannya yang lama, yaitu seorang Putera Mahkota, namun kedudukan itu hampir tidak memberikan akibat apa-pun baginya. Ia masih saja seperti anak-anak yang dengan sekehendak hatinya berbuat sesuai dengan kesenangannya sendiri. Kalau ia ingin melihat-lihat latihan-latihan keprajuritan, maka ia-pun pergi melihat. Kalau ia ingin berada dipusat pimpinan pasukan pengawal, maka ia-pun pergi pula kesana.
Namun dengan demikian hati Anusapati sendiri merasa tersiksa. Dipaseban dalam dan luar, dimana Sri Rajasa dihadap oleh para pemimpin dan panglima serta Senapati, kedudukan Putera Mahkota hampir tidak berarti apa-apa. Apabila pada hari-hari yang ditentukan Sri Rajasa berhalangan, ia sama sekali tidak memberikan kesempatan apa-pun untuk berbuat sesuatu pada sebuah pertamuan, meski-pun sekedar pertemuan biasa. Tidak ada kesempatan yang ada padanya, dan apalagi bimbingan dan pengarahan.
Alangkah sakit hati Anusapati. Kalau saja ia masih anak-anak, maka ia akan dapat menangis sambil memeluk pinggang ibunya.
Tetapi ia bukan lagi anak-anak. Bahkan sebentar kemudian Anusapati telah menjadi seorang ayah. Namun kedudukannya masih belum berarti sama sekali.
Sumekar yang menjadi semakin tua ternyata telah mengambil keputusan pula untuk tetap tinggal di istana Singasari. Hidup dipetamanan yang penuh dengan pohon bunga-bungaan dan pohon buah-buahan, baginya tidak jauh berbeda dari kehidupan dipadepokannya. Di halaman istana Singasari ia merasa mendapatkan tempat yang sesuai dengan kehidupannya di padepokan yang tenteram, tenang dan segar. Meski-pun di halaman istana kadang-kadang ia ikut serta dilanda oleh ketegangan apabila terjadi sesuatu dengan Anusapati.
"Paman Sumekar," berkata Anusapati pada suatu saat, "apakah paman melihat kemungkinan yang dapat aku capai dengan cara hidupku sekarang?"
Sumekar tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah Anusapati dengan saksama. Lalu sejenak kemudian justru ia bertanya, "Apakah yang tuanku maksud?"
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Paman, rasa-rasanya kedudukan sebagai Putera Mahkota hanyalah sekedar kedudukan saja karena aku putera ibunda Permaisuri. Tetapi setiap masalah, ayahanda Sri Rajasa selalu berbincang dengan adinda Tohjaya. Aku sadar, bahwa aku tidak boleh iri hati, seperti yang selalu dikatakan oleh orang tua-tua dan paman Mahisa Agni. Juga yang aku baca didalam kitab-kitab serta dari pemimpin-pemimpin kejiwaan yang pandai. Tetapi aku tidak dapat ingkar dari perasaan ini, seakan-akan aku telah dicengkam oleh perasaan itu."
Sumekar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyalahkan Anusapati, karena semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Anusapati akan menjadi semakin tersisih. Bahkan lambat laun, sikap para pemimpin dan Panglima-pun seakan-akan telah terpengaruh oleh keadaan itu. Seakan-akan wajah mereka mulai berpaling dari Anusapati dan memandang Tohjaya sebagai seorang putera Sri Rajasa yang besar.
Tidak seperti Anusapati yang menyembunyikan kemampuannya yang hampir sempurna, maka ketika Tohjaya merasa dirinya seorang anak muda yang perkasa, ia justru telah berbuat hal-hal yang dapat mengagumkan rakyat Singasari.
"Paman," berkata Anusapati, "para pemimpin masih tetap menganggap aku sebagai seorang anak muda yang lemah dan dungu. Ternyata hal itu berpengaruh atas sikap mereka. Lambat laun mereka tidak mempunyai harapan dan pilihan apa-pun padaku. Kadang-kadang mereka menjadi kagum juga apabila aku mengambil sikap. Tetapi kesempatan itu terlampau jarang. Dan yang aku lakukan hanyalah sekedar mengambil sikap, tidak diikuti dengan perbuatan-perbuatan yang dapat membuat mereka yakin akan kemampuanku. Bukan saja dalam olah kanuragan yang memang tidak pernah aku tunjukkan kepada siapapun, tetapi kemampuanku memimpin dan bertindak sebagai seorang Raja yang besar."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Keluhan itu bukannya tidak berdasar. Tohjaya semakin lama menjadi semakin dikenal oleh rakyat Singasari sebagai seorang anak muda yang perkasa. Tetapi sebaliknya Anusapati hampir tidak dibicarakan orang didalam olah kanuragan dan kegiatan pemerintahan.
Sumekar tidak dapat ingkar, bahwa satu dua orang justru pernah berkata, "Anusapati lebih senang menunggui isterinya daripada berbuat sesuatu untuk Singasari."
"Inilah agaknya jalan yang akan ditempuh oleh Sri Rajasa. Memang tidak sekasar yang dilakukan oleh penasehatnya. Tetapi justru terlampau berbahaya bagi Putera Mahkota. Penolakan rakyat Singasari atas Putera Mahkota akan menimbulkan akibat yang sangat gawat baginya dan bagi Singasari," berkata Sumekar didalam hatinya.
"Paman," berkata Anusapati kemudian. "apakah sebaiknya aku diam saja sambil menunggu nasib yang akan menjebakku kemudian, apa-pun akibatnya?"
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya sikap dan perasaan yang bergolak didalam dada Mahisa Agni di saat-saat terakhir hari perkawinan Mahisa Wonga Teleng. Seolah-olah ia dapat membaca dengan jelas pada wajah Mahisa Agni, bahwa ia akan berbuat sesuatu. Sesuatu yang penting bagi Anusapati.
Tetapi Sumekar tidak dapat mengatakannya. Ia hanya melihat sesuatu yang membayang. Tetapi ia tidak jelas dan tidak dapat memastikan apakah penglihatannya itu benar.
Namun demikian ia berusaha untuk membesarkan hati Putera Mahkota, "Tentu tidak tuanku. Tuanku tidak akan begitu saja pasrah kepada nasib. Tuanku harus berbuat sesuatu. Dan hamba yakin bahwa pamanda Mahisa Agni-pun sudah memperhitungkannya. Pamanda Mahisa Agni dapat mengerti, apa yang sedang dilakukan oleh ayahanda sekarang, dan karena itu, ia akan berbuat sesuatu."
"Tetapi paman, apakah paman sampai sekarang tidak melihat, bahwa sikap ayahanda Sri Rajasa semakin lama menjadi semakin asing bagiku" Hanya dihadapan ibunda Permaisuri ayahanda bersikap baik. Tetapi jika tidak ada ibunda Permaisuri sikap ayahanda terasa aneh sekali." Anusapati berhenti sejenak lalu, "paman, aku sekarang sudah bukan anak-anak lagi. Seharusnya aku sudah mulai mendapatkan kesempatan-kesempatan didalam pimpinan pemerintahan. Bukan sekedar mengikuti pendadaran dengan menumpas perampok-perampok kecil disana-sini. Bukan pula dengan menonton latihan-latihan keprajuritan." Suara Anusapati merendah, "Paman. Aku pernah mendengar suara yang sangat menyakitkan hati, seolah-olah aku sama sekali tidak menghiraukan lagi keadaan Singasari. Seolah-olah aku hanya memikirkan diriku sendiri, isteriku dan orang-orang terdekat saja."
Sumekar tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk. Dan Anusapati meneruskan, "Lebih dari itu paman, aku sudah mendengar dari hamba yang dekat dengan keluargaku, maksudku, seorang emban yang mengatakannya kepada isteriku, bahwa Sri Rajasa tidak memerlukan aku lagi."
"Tuanku," Sumekar terkejut.
"Ya. Dan isteriku menangis semalam suntuk. Hal itu bukannya yang pertama kali didengarnya. Bermacam-macam persoalan yang aku kira memang dengan sengaja, dihembus-hembuskan agar sampai ketelinga isteriku. Dengan demikian, kedudukanku menjadi semakin lemah. Dari luar dan dari dalam."
"Itu sudah keterlaluan," tiba-tiba Sumekar menggeram, "sebenarnya tuan puteri tidak boleh mendengar hal-hal semacam itu."
"Tetapi menurut perhitunganku, memang ada kesengajaan. Isteriku juga pernah mendengar ejekan orang tentang kelemahan dan kebodohanku dibandingkan dengan adinda Tohjaya."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Jika demikian keadaan memang sudah gawat tuanku. Pamanda Mahisa Agni harus segera mengetahuinya."
Anusapati mengangguk kecil, "Ya. Tetapi pamanda Mahisa Agni akan lebih baik tetap diam. Aku melihat ada sesuatu yang menahan pamanda untuk berbuat sesuatu. Aku kira pamanda Mahisa Agni adalah sahabat ayahanda Sri Rajasa. Didalam batas-batas tertentu pamanda Mahisa Agni tidak dapat bertindak lebih maju lagi."
"Bukan begitu tuanku. Pamanda tuanku tidak hanya sekedar berhenti pada suatu batas tertentu. Ia akan maju terus. Percayalah. Tetapi pamanda tuanku akan mengambil jalan yang paling baik buat tuanku, buat ayahanda tuanku dan buat Singasari. Itu adalah tanggung jawab yang tidak dapat dihindarinya."
Anusapati tidak menjawab. Sekilas terbayang apa saja yang pernah dilakukan oleh Mahisa Agni untuknya.
"Memang sudah banyak sekali," tiba-tiba Anusapati berdesis.
"Apa tuanku?" bertanya Sumekar.
"Paman Mahisa Agni memang sudah banyak sekali berbuat untukku."
"Dan pamanda tuanku itu masih akan banyak lagi berbuat."
Demikianlah Sumekar dapat merasakan goncangan-angan perasaan pada putera Mahkota. Semakin lama justru menjadi semakin berat. Bahkan setelah Anusapati menjadi seorang ayah. Orang-orang istana Singasari tidak lagi dangan segan-segan memperkatakannya. Anusapati tidak lagi mendengar dari satu dua orang, bagaimana tanggapan orang-orang di istana Singasari itu atasnya. Dengan demikian Anusapati dapat memperhitungkan, bagaimanakah kira-kira tanggapan rakyat Singasari seluruhnya terhadapnya, terutama mereka yang tinggal dipusat pemerintahan.
Sumekar-pun semakin lama menjadi menyadari kedudukan Putera Mahkota yang sulit itu. Apalagi setiap kali Tohjaya selalu mamancing persoalan dan menunjukkan kelebihannya dari setiap putera Sri Rajasa yang lain.
Mahisa Wonga Teleng yang kemudian juga mempunyai seorang anak laki-laki-pun merasakan sesuatu yang tidak wajar pada sikap ayahanda Sri Rajasa. Meski-pun sikap Sri Rajasa padanya jauh lebih baik dari sikap ayahanda kepada Anusapati, namun bagi setiap putera Sri Rajasa merasa alangkah besarnya kesempatan yang telah diberikan kepada Tohjaya. Namun bagi rakyat Singasari, sikap dan tingkah laku Tohjaya kadang-kadang memang menimbulkan kekaguman.
"Lepaskan kerbau gila itu disebelah pasar," berkata Tohjaya pada suatu saat kepada pembantu-pembantunya yang terdekat, "disaat orang berlari-larian menyelamatkan diri dari amukan kerbau itu, aku akan hadir."
Demikianlah di saat-saat yang telah ditentukan itu, seekor kerbau gila karena mulutnya telah disuapi dengan daun yang membuatnya mabuk sehingga tingkah lakunya telah menggemparkan penduduk yang kebetulan ada ditempat itu. Orang-orang yang sedang berada dipasar-pun menjadi gempar dan berlari-larian cerai berai.
Pada saat yang demikian itu, lewatkan iring-iringan seorang putera Sri Rajasa yang perkasa, diikuti oleh beberapa orang pengawal, melalui jalan yang menjadi sepi lengang.
Beberapa orang yang sedang berlari-larian dan berpapasan dengan iring-iringan itu mencoba menyongsong sambil berkata, "Tuanku, ampun. Janganlah tuanku lewat jalan ini. Seekor kerbau sedang mengamuk disebelah pasar."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia justru tersenyum sambil berkata, "Biarlah kerbau itu mengamuk. Aku hanya akan sekedar lewat."
-ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 70) Jilid 70 "TETAPI TUANKU, kerbau itu sangat berbahaya."
Toh jaya masih saja tersenyum. Ia-pun kemudian bertanya, "Di mana kerbau itu sekarang?"
"Disebelah pasar. Semua orang berlari-larian. Beberapa buah tiang telah diseruduknya sehingga roboh."
" Aku ingin melihat kerbau yang mengamuk itu."
Orang-orang itu menjadi heran. Tetapi mereka tidak dapat mencegah. Dengan tenangnya Tohjaya berjalan ketempat yang menjadi sangat sepi. Tetapi beberapa orang yang menjadi cemas, mencoba mengikutinya dari kejauhan. Mereka angin melihat apa yang akan terjadi.
Namun terasa dada setiap orang yang menyaksikannya berdesir ketika mereka melihat seekor kerbau yang berlari-larian dijalan raya. Tanpa menghiraukan apa-pun juga, ditanduknya pagar-pagar batu di pinggir jalan, tiang-tiang gubug pelindung orang-orang yang berjualan didalam pasar, sehingga beberapa diantaranya menjadi roboh karenanya. Kemudian kerbau itu seolah-olah berloncatan kian kemari dengan garangnya.
Tetapi Tohjaya justru tersenyum karenanya. Perlahan-lahan Ia melangkah semakin maju, sehingga beberapa orang terpekik, "Tuanku. Kerbau itu berlari kearah tuanku."
Tohjaya tidak beranjak dari tempatnya. Dilihatnya kerbau yang menjadi gila itu telah melihatnya dan dengan garangnya berlari menyerang.
"Berikan tombak itu," berkata Tohjaya kepada seorang pengiringnya.
Justru pengiringnya itulah yang menjadi cemas melihat kerbau yang gila itu. Dengan ragu-ragu diberikannya tombak itu kepada Tohjaya sambil berdesis, "Hati-hatilah tuanku. Apakali hamba perlu menjaga keseimbangan perlawanan tuanku atas kerbau yang gila itu."
"Bodoh kau. Kau sangka aku anak-anak yang takut melihat kerbau terlepas dari ikatannya."
Pengiringnya itu terdiam. Betapa-pun juga, ia tidak berani mengganggu Tohjaya yang kemudian siap dengan tombaknya menyambut kadatangan kerbau yang menyerangnya.
Semua orang yang menyaksikan peristiwa berikutnya, telah menahan nafas. Kerbau itu benar-benar telah menyerang Tohjaya. Dengan kepala menunduk, dan dengan tanduk yang tajam runcing, kerbau itu menyeruduk dengan derasnya.
Tohjaya masih tetap berdiri ditempatnya. Namun kini tombaknya-pun telah merunduk pula.
Ketika kerbau itu seakan-akan telah menyeruduknya dengan tanduknya yang tajam, beberapa orang telah memekik tertahan. Namun mereka-pun segera sadar, bahwa ternyata Tohjaya telah bergeser selangkah kesamping, sehingga ia sama sekali tidak tersentuh oleh tanduk kerbau itu.
Pada saat kerbau itu meluncur dihadapannya, maka tombaknya telah menghunjam kedalam tubuh kerbau yang gila itu. Tetapi demikian lajunya derap lari kerbau itu, dan demikian kuat tangan Tohjaya, maka tangkai tombak itulah, yang telah patah ditengah.
"Bukan main," setiap mulut-pun kemudian berdesis.
Apalagi ternyata Tohjaya tidak menunggu lagi. Ia-pun segera meloncat mengejar kerbau yang terdorong beberapa langkah sebelum berhasil menghentikan larinya, karena serangannya tidak mengenai sasarannya.
Tetapi begitu kerbau itu berhenti, Tohjaya telah mengayunkan tangannya dengan dilambari oleh kekuatan aji pamungkasnya. Demikian dahsyatnya, sehingga hantaman tangannya itu telah menggemparkan orang-orang yang menyaksikannya.
Mereka melihat kerbau itu terloncat sekali. Kemudian menggeliat sambil mendengus keras sekali. Sejenak orang-orang itu melihat kerbau itu-pun roboh ditanah.
Beberapa saat kerbau itu masih bergerak-gerak. Tetapi sejenak kemudian kerbau itu-pun mati. Mati karena ujung tombak yang menghunjam dilambungnya disusul dengan hentakan tangan yang dahsyat di tengkuknya, sehingga tulang lehernya telah patah.
Orang-orang yang menyaksikan hal itu telah dicengkam oleh pesona yang menggetarkan hati mereka. Baru ketika mereka seakan-akan terbangun dari mimpi, terdengar sorak yang menggemuruh.
Orang-orang yang bersembunyi ketakutan, terkejut mendengar sorak yang seakan-akan meruntuhkan langit. Perlahan-lahan mereka beringsut.
Karena suara sorak itu masih berkepanjangan, maka mereka-pun memberanikan diri merayap keluar. Dengan dada yang berdebar-debar mereka-pun mendekat. Dan akhirnya, mereka melihat dengan dada yang berdegup semakin cepat, bangkai seekor kerbau vang berlumuran darah. Disampingnya putera Sri Rajasa dari isteri mudanya Ken Umang berdiri sambil tersenyum menyambut sorak yang gegap gempita itu.
"Seorang putera yang perkasa," desis seseorang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kekaguman yang tiada taranya telah menyentuh hatinya.
"Tidak ada duanya di Singasari," desis yang lain.
Seorang yang berambut putih mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata trenyuh, "Sungguh-sungguh bagaikan dewa yang turun kebumi, melindungi hambanya yang sedang dikejar oleh ketakutan. Tidak ada orang yang menyamai Tuanku Tohjaya di seluruh Singasari."
"Alangkah dahsyatnya," gumam yang lain. Sejenak ia merenung. Lalu katanya," Apakah tuanku Putera Mahkota mampu juga berbuat demikian?"
Beberapa orang saling berpandangan. Namun salah seorang dari mereka menggelengkan kepalanya sambil bergumam, "Tentu tidak. Putera Mahkota tidak dapat berbuat demikian."
"Ya, tentu tidak," gumam yang lain sambil menundukkan kepalanya. Sepercik kekecewaan membayang di wajahnya.
" Padahal, Putera Mahkotalah yang kelak akan menjadi raja Singasari. Kita memerlukan perlindungannya."
"Tetapi meski-pun Putera Mahkota, tuanku Anusapati yang menjadi Raja di Singasari, tentu tuanku Tohjaya akan menjadi seorang Senapati. Seorang prajurit yang tidak saja akan melindungi rakyat Singasari, tetapi juga kedudukan Putera Mahkota. Kedudukan kakandanya."
Tiba-tiba tanpa sesadarnya seseorang berdesis, "Alangkah baiknya kalau seorang yang perkasa sajalah yang menjadi seorang Raja seperti Sri Rajasa sendiri. Bukankah Sri Rajasa seorang yang Maha perkasa" Kalau yang kemudian menggantikannya seorang yang lemah, maka kedudukan Singasari pasti akan goyah. Meski-pun adinda Sri Baginda adalah seorang sakti seperti tuanku Tohjaya, tetapi tentu akibatnya akan lain sekali, kalau Sri Baginda sendirilah yang memiliki keunggulan kemampuan dan pilih tanding seperti tuanku Sri Rajasa."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Seakan-akan mereka telah mengambil suatu keputusan, bahwa Tohjaya pasti akan lebih baik dari Anusapati. Bahkan seorang yang kurus berkata kepada kawan yang berdiri disampingnya, "Sayang sekali bahwa Putera Mahkota segera terikat perkawinan, sehingga sebagian besar waktunya telah diserahkan bagi keluarganya. Seorang putera laki-laki telah membuatnya semakin jauh dari kewajibannya."
"Ya sayang sekali. Tuanku Putera Mahkota masih terlalu muda ketika ia telah terjerat oleh hangatnya pinjung isterinya yang juga masih terlalu muda."
"Kasian ibunda Permaisuri. Dua puteranya kawin terlampau muda."
Orang-orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan penuh kekaguman mereka kini memandang Tohjaya yang sambil tersenyum meninggalkan bangkai kerbau yang masih tergolek ditengah jalan."
"Buanglah bangkai kerbau itu," katanya kepada orang-orang yang kemudian mengerumuninya, "buang saja, atau kuburkan biar tidak menimbulkan gangguan apa-pun juga."
Sepeninggal Tohjaya, maka orang-orang yang mengerumuni bangkai kerbau itu mulai sadar, bahwa mereka harus menyeret bangkai itu jauh-jauh dan menggali lubang yang dalam.
Keluhan orang-orang itulah yang kemudian terdengar oleh Sumekar. Penilaian orang terhadap Tohjaya dan Anusapati yang membuat hatinya berdebar-debar.
"Kecemasan yang mencengkam hati tuanku Anusapati memang beralasan," katanya didalam hati, "apakah dalam keadaan ini kakang Mahisa Agni masih juga membiarkannya dalam kebingungan."
Dan ternyata kemudian Tohjaya tidak hanya melakukannya hal serupa itu sekali dua kali. Didalam setiap kesempatan ia pasti tampil sebagai seorang pahlawan.
Apabila Anusapati sekali dua kali masih harus mengikuti pendadaran sebagai seorang prajurit, yang dengan berat hati dilakukannya dalam batas kemampuan seorang prajurit, maka Tohjaya sudah berani memimpin pasukan-pasukan kecil untuk melakukan penumpasan gerombolan-gerombolan yang melakukan kejahatan, sehingga dengan demikian semakin lama Tohjaya menjadi semakin semarak dihati rakyat Singasari.
Hal inilah yang membuat Anusapati semakin bersedih. Sehingga hampir saja ia tidak dapat menahan diri dan berbuat diluar garis yang selama ini ditempuhnya.
Tetapi untunglah bahwa ia masih tetap bertahan dengan sekuat tenaganya agar semua rencananya itu tidak rusak karenanya.
Tetapi dalam suatu kesempatan ketika Mahisa Agni berkunjung ke Singasari, hal itulah yang pertama-tama dike mukakannya kepada Mahisa Agni.
Mahisa Agni dapat mengerti kesulitan yang dialami oleh Anusapati. Dan ia-pun memang menganggap bahwa Anusapati sudah berada pada puncak kesulitannya.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian, "aku tidak akan mengekang kau lagi agar kau tetap menjadi seorang putera Raja yang bodoh dan malas. Pada saatnya kau harus tampil sebagai seorang Putera Mahkota yang sebenarnya. Tetapi tidak mudah untuk merebut kekaguman rakyat Singasari atas Tohjaya. Karena itu, kau harus membuat rencana sebaik-baiknya."
"Apakah aku masih harus menunggu lagi paman?"
"Tidak. Kau tidak boleh menunggu lagi. Tetapi kau-pun tidak boleh berbuat tergesa-gesa, Pamanmu Sumekar sudah aku beri pesan apa yang harus dilakukannya. Tetapi kau tidak dapat melakukannya sendiri. Kau memerlukan bantuan beberapa orang yang tidak akan menimbulkan kecurigaan."
"Aku menurut segala petunjuk paman."
"Aku sudah berbicara dengan pamanmu Witantra dan Sumekar," berkata Mahisa Agni kemudian, "semuanya sudah beres. Pada suatu saat kau akan merebut kebesaran nama Tohjaya itu sekaligus."
Meski-pun Anusapati tidak mengerti cara yang mana yang harus dilakukannya, tetapi ia percaya, bahwa pamannya berkata sebenarnya, dan apa yang dikatakan oleh pamannya itu akan menguntungkannya.
Demikianlah Anusapati menunggu dengan cemas. Apa yang sudah terjadi dan apa yang sudah dilakukan oleh Sumekar mau-pun Witantra.
Dalam pada itu, selagi anusapati menunggu dengan hati yang gelisah, pecahlah berita diseluruh Singasari, bahwa telah muncul seorang kesatria diatas kuda putih. Kesatria yang diliputi oleh rahasia yang kabur.
Dari hari kehari, ceritera tentang kesatria berkuda putih itu menjadi semakin berkembang. Kesatria yang baik hati dan selalu menolong sesama. Hampir setiap kejahatan yang terjadi, telah ditumpasnya habis-habisan.
Dengan demikian maka kekaguman rakyat Singasari segera terpecah. Sebagian mengagumi kebesaran Tohjaya sebagai seorang putera Sri Rajasa, meski-pun bukan putera Mahkota, sedang yang lain mulai membicarakan kesatria berkuda putih itu.
Tetapi tidak seorang-pun yang mengetahui, siapakah sebenarnya kesatria berkuda putih itu, karena wajahnya selalu dibayangi oleh kain yang berwarna putih pula, seperti juntai yang terselip diikat pinggangnya.
"Siapakah setan yang telah mengganggu itu," bentak Tohjaya pada suatu saat kepada pembantu-pembantunya.
"Tidak seorang-pun yang mengetahui tuanku. Tetapi hampir semua yang tuanku lakukan, dilakukanya pula. Ia telah pernah membunuh seekor kerbau yang mengamuk seperti yang dahulu pernah tuanku lakukan. Ia pernah menangkap lima orang perampok sekaligus dan mengikat mereka dibatang-batang pohon sepanjang jalan, sampai para prajurit datang menangkap mereka. Dan masih banyak lagi yang dilakukannya, seolah-olah dengan sengaja menyaingi perbuatan-perbuatan tuanku yang selama ini membuat rakyat Singasari kagum."
"Aku ingin bertemu dengan orang berkuda putih itu. Apakah ia berniat baik atau jelek. Kalau ia berniat jelek, maka aku tidak akan segan-segan menyingkirkannya."
Tidak seorang-pun yang dapat memberikan penjelasan tentang kesatria berkuda putih dan bertutup wajah putih. Ia hanya datang disaat-saat yang diperlukan, kemudian menghilang lagi tanpa meninggalkan bekas.
Tohjaya yang perlahan-lahan berhasil mengambil hati Rakyat Singasari semakin jarang dipercakapkan orang. Kini perhatian mereka bergeser pada kesatria berkerudung putih dan berkuda putih itu.
Namun dengan demikian sifat-sifat Tohjaya yang sebenarnya telah muncul kembali. Sifatnya yang ramah tamah dibuat-buat, semakin lama menjadi semakin kabur. Bahkan kadang-kadang ia sudah mulai membentak-bentak tanpa sebab, dan berbuat kasar kepada orang-orang yang selama ini mengaguminya.
"Usahakan untuk menangkap orang berkuda putih itu," berkata Tohjaya, "orang itu pasti dengan sengaja mengganggu kepesatan kemajuan yang aku capai selama ini."
Dan akhirnya, kesatria berkuda putih itu didengar pula oleh Sri Rajasa. Laporan tentang kesatria berkuda putih itu membuatnya sangat marah. Perlahan-lahan ia berhasil mengetrapkan rencananya tanpa menimbulkan kecurigaan. Tetapi ternyata kini ada seseorang, sengaja atau tidak sengaja, telah menghambat rencananya itu. Karena itu, seperti Tohjaya ia-pun memerintahkan untuk mencari dan menangkap orang berkerudung putih dan berkuda putih itu.
Tetapi usaha itu selalu sia-sia. Mereka hampir tidak pernah menemukan jejak orang berkuda putih itu. Hampir tidak masuk di akal mereka, bahwa seseorang mampu bergerak demikian cepatnya. Datang dan segera pergi menghilang seperti asap ditiup angin.
"Gila," Tohjaya membentak-bentak, "prajurit diseluruh Singasari tidak dapat menangkap hanya seorang berkuda putih?"
"Ampun tuanku. Bukannya kami tidak dapat menangkap, tetapi kami masih belum dapat menemukannya."
"Cari orang itu sampai dapat."
Dalam pada itu, Anusapati masih tetap dicengkam oleh kegelisahan. Selagi ia memerlukan pemecahan masalah yang membuatnya selama ini selalu risau, terbetik berita yang seakan-akan tidak ada hubungannya sama sekali dengan keadaannya. Ia sama sekali tidak berkepentingan dengan kesatria berkuda putih itu. Dan kesatria berkuda putih itu sama sekali tidak akan dapat memberikan jalan kepadanya, untuk merebut kekaguman hati rakyat Singasari terhadap Tohjaya.
"Paman," berkata Anusapati pada suatu saat, "apakah keuntunganku dengan timbulnya ceritera tentang kesatria berkuda putih itu?"
"Ampun tuanku. Ternyata kesatria berkuda putih itu secara tidak langsung memang menguntungkan tuanku. Perhatian rakyat Singasari untuk sementara tidak tertuju kepada tuanku Tohjaya saja, tetapi kini seakan-akan telah terbagi. Bahkan tuanku Tohjaya seakan-akan tidak mendapat kesempatan seluas sebelumnya untuk berbuat sesuatu di Singasari. Rakyat Singasari mula-mula mempercakapkan kesatria berkerudung putih itu." jawab Sumekar.
"Tetapi itu bukan jawaban sebenarnya dari persoalanku," berkata Anusapati, "mungkin kekaguman rakyat Singasari bergeser, atau setidak-tidaknya terbagi. Tetapi mereka masih tetap menganggap aku sebagai seorang Putera Mahkota yang bodoh dan malas."
"Bersabarlah tuanku. Pada suatu saat akan datang kesempatan itu. Anggaplah bahwa kehadiran kesatria berkuda putih itu sebagai langkah pertama untuk suatu rencana yang sangat besar."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu tiba-tiba ia bertanya, "Paman, apakah kesatria berkuda putih itu paman Sumekar?"
Sumekar menggelengkan kepalanya, jawabnya, "Aku selalu berada ditaman istana Singasari tuanku. Bagaimana aku dapat berbuat serupa itu."
"Apakah paman tidak tahu siapakah orang itu"
"Aku masih belum tahu tuanku. Mungkin pamanda tuanku Mahisa Agni telah mulai dengan langkah-langkah tandingan dari langkah-langkah yang telah dibuat oleh Sri Rajasa untuk menempatkan tuanku Tohjaya pada tempat yang lebih tinggi, dari yang seharusnya."
"Maksud paman, adinda Tohjaya akan mendesak kedudukanku."
Sumekar tidak menyahut. Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah mengiakan pertanyaan Anusapati itu.
Dan karena Sumekar tidak menyahut, maka Anusapati bertanya selanjutnya, "Aku-pun mempunyai firasat demikian. Apakah paman Sumekar juga" Maksudku, paman sendiri?"
Pertanyaan itu terlalu sulit untuk dijawab. Namun Sumekar menyahut, "Kita masih harus melihat perkembangan keadaan, tuanku."
"Apakah keadaan yang kita hayati sekarang masih belum meyakinkan?"
Sumekar tidak dapat menjawab lagi. Karena itu, ia-pun terdiam sejenak.
Demikianlah maka keduanya saling berdiam diri untuk beberapa lamanya. Terbayang dirongga mata masing-masing, seorang kesatria naik seekor kuda putih menjelajahi tanah Singasari.
Tetapi memang tidak seorang-pun yang mengetahui, siapakah kesatria berkuda putih itu.
Namun ternyata bahwa hampir setiap lidah telah menyebutnya. Rakyat Singasari menamakannya Kesatria Putih. Kesatria yang banyak menolong rakyat Singasari dari bermacam-macam kesulitan. Bahkan kemudian nama Tohjaya seakan-akan telah terdesak oleh kebesaran nama Kesatria Putih, karena Tohjaya hanya bertindak disekitar istana dan didalam pusat pemerintahan, sedang Kesatria Putih seakan-akan berada diseluruh Singasari.
Ternyata bahwa Tohjaya menaruh curiga juga kepada Mahisa Agni. Terbukti ia telah mengirimkan dua orang petugas sandi khusus untuk menyelediki apakah Mahisa Agni tidak meninggalkan istananya di Kediri.
Ternyata bahwa kedua petugas sandi itu menemukan Mahisa Agni tetap ditempatnya, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa Kesatria Putih itu pasti bukan Mahisa Agni.
"Gila," Tohjaya mengumpat-umpat. Bahkan Sri Rajasa yang telah menyusun rencananya dengan cermat menjadi cemas juga. Kesatria Putih benar-benar telah mengganggu usahanya, membangkitkan kepercayaan rakyat Singasari kepada Tohjaya.
"Kita harus segera menangkapnya dengan diam-diam," berkata Sri Rajasa. "Jika kita dengan terang-terangan menangkapnya, maka keadaan akan berbalik. Rakyat akan marah kepada para prajurit, karena mereka menganggap Kesatria Putih itu kini sebagai pengejawantahan para dewa."
Tidak ada yang dapat menyangkal. Tohjaya tidak. Penasehatnya-pun tidak. Kesatria Putih itu benar-benar merupakan seorang yang telah banyak memberikan perlindungan kepada Rakyat Singasari dimana-mana.
"Kita harus memancingnya," berkata Sri Rajasa.
"Bagaimana kita dapat melakukannya?"
"Kita membuat sekelompok prajurit pilihan yang dapat kita percaya untuk melakukan kejahatan. Maka Kesatria Putih pasti akan mencoba menghancurkan perangkap yang telah kita pasang untuknya."
Demikianlah rencana itu telah dijalankankan. Dengan mengupah beberapa orang prajurit pilihan, Tohjaya dengan mempergunakan tangan penasehat Sri Rajasa berhasil menyusun sekelompok penjahat untuk memancing Kesatria Putih.
Dan usaha itu tampaknya memang berhasil. Setiap kali mereka melakukan kejahatan yang benar-benar mereka jalankan, bukan sekedar suatu pancingan, karena para prajurit itu benar-beaar mengambil keuntungan dari tindakan mereka, merampas barang-barang dan harta benda, maka bayangan Kesatria Putih selalu tampak, meski-pun masih belum bertindak.
"Ternyata orang itu sangat berhati-hati," berkata pemimpin kelompok itu. "Tetapi kita berbuat terus. Kita adalah perampok-perampok yang dilindungi oleh istana. Kita mendapat dua keuntungan sekaligus. Kita mendapat upah, dan yang akan dilipat gandakan apabila kita dapat membunuh Kesatria Putih, dan kita mendapat harta rampasan yang banyak sekali."
Kawan-kawannya-pun tertawa berkepanjangan. Tugas itu adalah tugas yang menyenangkan meski-pun berat.
Demikianlah, ketika saatnya telah tiba, barulah orang yang mereka tunggu-tunggu itu benar-benar telah berdiri dihadapan mereka. Kesatria Putih.
"Siapa kau ?" bertanya pemimpin kelompok perampok yang mendapat perlindungan dari istana itu.
"Akulah yang disebut orang Kesatria Putih."
"Apa maksudmu menghentikan kami ?"
"Kau pasti sudah mendengar tentang Kesatria Putih yang tidak senang mendengar kejahatan terjadi di Singasari. Apalagi kejahatan yang dilakukan oleh para prajuritnya sendiri."
Jawaban Kesatria Putih itu benar-benar telah menggemparkan dada para prajurit yang berkedok perampok itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Lalu pemimpinnya Serianya, "Siapakah yang kau maksudkan ?"
"Kalian ?" "Darimana kau mendapatkan dasar tuduhan itu."
"Aku mengenal tandang para prajurit. Aku mengenal perbedaan tingkah laku perampok dan prajurit. Meski-pun kalian benar-benar telah merampok dan justru melampaui kekejaman para perampok yang sebenarnya, tetapi aku mengenal sikap kalian. Kalian adalah prajurit Singasari."
"Persetan." teriak pemimpinnya. Lalu, "kami memang menjebakmu. Dan sekarang kau akan mati diujung senjata kami. Kami akan mendapat upah ganda dan keuntungan yang tiada taranya. Kami adalah perampok-perampok yang mendapat perlindungan. Kau boleh tahu hal itu sebelum kau mati."
"Kalian akan salah hitung. Apakah benar kalian dapat membunuh aku?"
Para prajurit itu menjadi tegang sejenak. Tetapi mereka telah mendapat perintah untuk membunuh Kesatria Putih itu.
Para prajurit itu-pun kemudian mempersiapkan diri mereka. Mereka sadar, bahwa lawannya tentu bukan orang kebanyakan. Meski-pun hanya seorang, tetapi tentu beralasan, kenapa Kesatria Putih berani menampakkan diri setelah ia mengerti bahwa yang dihadapinya adalah sekelompok prajurit.
Tetapi para prajurit itu-pun kemudian yakin, betapa kuat dan tangkasnya Kesatria Putih, tetapi seorang diri menghadapi sekelompok prajurit adalah pekerjaan yang sangat berat, sehingga meski-pun Kesatria Putih berilmu sempurna, namun adalah mustahil untuk dapat mengalahkan mereka.
"Nah bersiaplah untuk mati," terdengar suara Kesatria putih. Suaranya yang seakan bergulung-gulung didalam perutnya itu memancarkan pengaruh yang disaput oleh rahasia. Tanpa disadari maka tengkuk para prajurit itu-pun meremang.
Tetapi pemimpin prajurit yang benar-benar telah menjadi perampok itu-pun kemudian menggeram, "Jangan banyak tingkah. Meski-pun ilmumu menyentuh langit, tetapi jika kau tidak bernyawa rangkap, kau akan mati ditangan kami. Kami tidak akan ingkar, bahwa kami adalah prajurit-prajurit pilihan pengawal istana."
"Aku sudah tahu. Kalian adalah prajurit-prajurit pilihan dari pasukan Pengawal Istana. Ayo, bersiaplah. Jika kalian tidak memanfaatkan kesempatan kalian untuk merampok, aku tidak akan sampai hati bertindak sungguh-sungguh terhadap kalian. Tetapi kalian ternyata benar-benar telah merampok penduduk Singasari sendiri, maka aku akan membunuh kalian seperti aku membunuh perampok-perampok yang sebenarnya."
"Persetan," pemimnin prajurit itu menggeram. Dan sejenak kemudian terdengarlah aba-abanya untuk menyerang Kesatria Putih.
Demikianlah mereka terlibat dalam suatu perkelahian yang sengit. Kesatria Putih bertempur diatas kudanya. Seperti burung garuda, maka kudanya menyambar-nyambar kian kemari, sedang senjata Kesatria Putih bagaikan kuku seekor burung raksasa yang bernafaskan maut.
Para prajurit itu benar-benar telah terperanjat melihat tandang nya. Kudanya-pun seakan-akan mengerti, bahwa ia sedang mendukung Kesatria Putih yang bertempur melawan beberapa orang sekaligus.
Tetapi kali ini lawan Kesatria Putih adalah prajurit-prajurit Singasari dari pasukan Pengawal Istana yang terpilih. Yang dengan sengaja dipergunakan untuk menjebak Kesatria Putih, sehingga karena itu, kali ini Kesatria Putih benar-benar terlibat dalam pertempuran yang sangat berat.
Namun demikian, lawan-lawannya menjadi bingung justru karena kuda Kesatria Putih yang berlari melingkar-lingkar. Setiap kali kuda itu berderap menyambar lawannya, maka salah seorang dari para prajurit itu mengaduh dan jatuh terbaring ditanah, sehingga jumlah mereka-pun menjadi semakin lama semakin kecil.
"Gila," teriak pemimpin prajurit itu, "dari mana ia mendapat ilmu iblis itu."
Kesatria Putih sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia menyerang semakin garang. Tidak ada seorang-pun yang kemudian dapat lolos dari senjatanya. Para prajurit yang telah menjadikan diri mereka benar-benar sekelompok perampok yang garang itu, seorang demi seorang telah mati diujung senjata Kesatria Putih itu.
Yang terakhir memberikan perlawanan adalah pemimpin prajurit Singasari itu. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba menyelamatkan dirinya. Bahkan pemimpin prajurit itu sudah berusaha untuk melarikan dirinya. Tetapi usahanya ternyata sia-sia. Senjata Kesatria Putih justru telah menembus punggungnya.
Dengan keluh tertahan, pemimpin prajurit itu-pun kemudian jatuh ditanah. Sejenak ia masih menggeliat menahan sakit.
Dalam pada itu, Kesatria Putih itu-pun meloncat turun dari kudanya. Didekatinya pemimpin prajurit yang telah terbunuh itu. Perlahan-lahan Kesatria Putih mengangkat kepala prajurit itu sambil berkata, "Sebenarnya aku tidak sampai hati membunuhmu. Tetapi kau telah berbuat terlampau kasar terhadap rakyat Singasari. Bukan sekedar memancing kedatanganku, tetapi kau benar-benar telah merampok mereka habis-habisan."
Pemimpin prajurit yang sudah berada diambang maut itu menggertakkan giginya.
"Kau adalah prajurit tua yang seharusnya sebentar lagi harus beristirahat karena ketuaanmu. Kau seharusnya menikmati masa-masa tuamu dengan tenang. Tetapi tugas yang gila itu telah membuatmu gila pula."
"Persetan." "Jangan mengumpat. Tetapi maafkan aku, bahwa aku telah membunuhmu. Sebenarnya kau adalah seorang prajurit yang baik. Bukankah kau menjadi prajurit sejak jaman pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung?"
"He, dari mana kau tahu?"
Tiba-tiba Kesatria Putih itu perlahan-lahan meraba kerudung putihnya. Ketika kerudung itu tersingkap, maka meski-pun malam disaput oleh gegelapan, namun prajurit itu masih sempat memandang wajah Kesatria Putih yang sebenarnya.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi agaknya perajurit yang berada dipintu maut itu masih ragu-ragu sehingga akhirnya Kesatria Putih berkata, "Aku akan menyalakan api."
Maka Kesatrian Putih-pun segera mengambil sepasang batu. Ketika kedua batu itu beradu, memerciklah api yang menyalakan sejumput gelugut aren. Kemudian dengan sebutir belirang, menyalalah api yang berwarna biru membakar sisa-sisa gelugut aren yang telah ditaburi dengan belerang itu.
Berbareng dengan bau belirang yang menyentak hidung, prajurit yang hampir meninggal itu memekik dengan sisa suaranya yang parau, "Kau, kau?" Tetapi suaranya terputus dikerongkongan. Karena lukanya yang parah, maka prajurit itu-pun menarik nafasnya yang terakhir.
Dengan demikian, tidak seorang-pun yang dapat mengatakan, siapakah sebenarnya orang yang berkeliling Singasari diatas kuda putihnya serta berkerudung putih, sehingga orang menyebutnya Kesatria Putih.
Ternyata Kesatria Putih tidak meninggalkan mayat-mayat para prajurit itu begitu saja. Dikumpulkannya mayat-mayat itu, kemudian dikumpulkannya pula senjata mereka. Ternyata senjata mereka adalah pedang perajurit pengawal.
Istana Singasari-pun menjadi gempar karenanya, ketika kuda putih itu berlari cepat sekali melintas didepan regol samping. Seikat pedang telah dilemparkan oleh penunggangnya. Pedang prajurit pengawal.
Namun, meski-pun hanya sepintas, para pengawal yang kemudian berlari-larian keluar dari gerbang segera dapat mengenalnya, bahwa orang berkuda itulah yang disebut orang Kesatria Putih.
"Tetapi apa maksudnya dengan pedang-pedang ini?" bertanya seorang prajurit pengawal.
"Bukankah pedang ini pedang prajurit pengawal?" Para pengawal itu berpandangan sejenak. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
"Apakah Kesatria Putih itu juga memusuhi prajurit pengawal?"
"Kita laporkan kepada Senapati yang bertugas malam ini."
Demikianlah laporan tentang pedang itu-pun segera memanjat sampai ketelinga Panglima dan Sri Rajasa sendiri. Tetapi bersamaan dengan itu, tersiarlah berita, bahwa sekelompok perampok telah dibunuh oleh Kesatria Putih. Tetapi senjata mereka telah hilang lenyap. Yang ada hanyalah selembar kain putih sebagai ciri orang berkuda itu apabila ia melakukan tindak kekerasan terhadap para penjahat.
Suatu pukulan yang dahsyat terasa seolah-olah menghancurkan jantung Sri Rajasa, Tohjaya dan penasehatnya. Tidak seorang-pun yang dapat mencegah menjalarnya berita, bahwa tentu perampok-perampok itulah yang memiliki senjata yang telah dilemparkan oleh Kesatria Putih di muka regol samping istana. Apalagi ketika para prajurit itu menyadari, beberapa kawan mereka telah hilang.
"Marilah kita lihat," berkata seorang Senapati, "apakah benar yang terbunuh itu prajurit-prajurit pengawal."
Sri Rajasa tidak dapat mencegahnya. Tetapi ia memerintahkan Tohjaya untuk pergi bersama Senapati itu diikuti oleh penasehat Sri Rajasa.
"Jika masih ada yang mungkin berbicara diantara mereka, maka kalian harus membungkamnya," geram Sri Rajasa.
Baik penasehat Sri Rajasa, mau-pun Tohjaya tahu benar akan tugas itu, sehingga sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berkata, "Kami akan berbuat sebaik-baiknya ayahanda."
Demikianlah Sri Rajasa sendiri, Panglima pasukan pengawal dan beberapa Senapati telah melepas beberapa orang prajurit yang ingin membuktikan apakah benar mayat-mayat itu adalah mayat-mayat kawan mereka.
Meski-pun ketika mereka sampai ditempat peristiwa itu, mayat para perampok itu sudah dikuburkan, namun Senapati itu memerintahkan untuk membongkar salah satu dari mereka.
Dan ternyata bahwa orang itu segera dapat mereka kenal. Orang yang terbunuh dan dikubur sebagai perampok-perampok itu tanpa upacara apa-pun juga, adalah prajurit Pengawal. Tidak seorang-pun yang bakal menyiapkan pembakaran mayat-mayat itu. Tidak seorang-pun yang mengacuhkannya dan tidak seorang-pun yang menyebut nama mereka. Mereka mati dengan hina dan dibuang tanpa arti.
"Mereka mencemarkan nama prajurit Singasari," berkata Senapati itu.
"Ya," geram Tohjaya, "ada berapa orang semuanya yang terbunuh?"
Dari orang-orang yang menguburkan perampok-perampok itu Tohjaya mendapat keterangan, bahwa jumlahnya sesuai dengan jumlah prajurit yang telah mendapat tugas rahasia dari ayahanda Sri Rajasa, sehingga dengan demikian Tohjaya menarik kesimpulan bahwa prajurit-prajurit itu telah terbunuh semuanya.
Dengan demikian maka Tohjaya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Namun demikian keheranan yang dahsyat telah mengguncang dadanya. Ternyata Kesatria Putih dapat mengalahkan sekelompok prajurit pengawal pilihan itu, dan membinasakan mereka.
"Apakah benar Kesatria Putih itu hanya seorang diri?" pertanyaan itu telah menyentuh hati Tohjaya, dan bahkan kemudian juga Sri Rajasa.
Tetapi untuk sementara mereka dapat menarik nafas lega, karena rahasia mereka telah ikut terkubur bersama terkuburnya para prajurit yang benar-benar menjadi perampok itu.
Namun demikian mereka masih juga selalu bertanya-tanya, "Apakah Kesatria Putih mengetahui permainan Sri Rajasa, dan karena itu ia telah dengan sengaja melemparkan pedang, pedang prajurit itu kedepan regol samping istana.
Ternyata yang tertarik dengan peristiwa itu bukan saja para prajurit. Tetapi juga Anusapati dan Sumekar. Peristiwa terbunuhnya beberapa orang perajurit yang telah menjadi perampok itu benar-benar telah menggemparkan seisi istana. Bahkan menjalar sampai keluar dinding. Bagaimana juga hal itu dicoba dirahasiakan, namun akhirnya tersebar juga.
"Yang terjadi di Singasari benar-benar telah membingungkan aku," berkata Anusapati kepada Sumekar, "aku tidak tahu, bagaimana aku harus menanggapi masalah ini."
Sumekar-pun menjadi bingung. Ia tidak mempunyai cara yang dapat diberikan kepada Anusapati, meski-pun ia akhirnya yakin, bahwa sebenarnyalah Mahisa Agni telah mulai dengan permainannya untuk mengimbangi permainan Sri Rajasa. Seolah-olah di Singasari telah berdiri dua orang raksasa dengan kepentingannya mereka masing-masing, dan sedang melakukan permainan mereka untuk mempertahankan kepentingan mereka tersebut.
Tetapi disaat-saat keadaan yang semakin memuncak itu, Sumekar menganggap perlu untuk bertemu dengan Mahisa Agni, karena ia merasa sebagai seorang yang harus mengawasi keadaan Anusapati sehari-hari.
Karena itu, maka ia-pun segera mencari kesempatan untuk dapat berkunjung kepada Mahisa Agni di Kediri.
Namun dalam pada itu Sumekar yang juga memiliki kemampuan berpikir itu-pun dapat pula membayangkan, bahwa pasti ada kecurigaan juga terhadap Mahisa Agni didalam kemelutnya keadaan yang semakin gawat. Memang rakyat Singasari tidak banyak melihat pergulatan dua kekuatan dipuncak pemerintahan itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa telah terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Sehingga karena itu, ia-pun harus mempunyai cara yang khusus untuk dapat bertemu dengan Mahisa Agni di Kediri, agar apabila ada pengawasan dari petugas sandi yang dikirim oleh Tohjaya dan Sri Rajasa, ia dapat lepas dari jaring-jaring itu.
Kepergian Sumekar itu telah di desak pula oleh tugas terakhir yang tidak disangka-sangka bagi Putera Mahkota. Ketika suasana Singasari semakin diliputi oleh Kekaguman terhadap Kesatria berkuda putih itu, maka Anusapati lelah dipanggil oleh ayahanda Sri Rajasa untuk menghadap.
"Anusapati," berkata Sri Rajasa, "apakah kau tidak mendengar ceritera tentang orang yang menyebut dirinya Kesatria Putih?"
"Ampun ayahanda. Hamba memang ada mendengar berita itu." jawab Anusapati.
"Dan kau selama ini hanya diam saja?"
Pertanyaan itu ternyata telah membingungkan Anusapati.
"Kau terlalu asyik menunggui isteri dan anakmu. Kau sama sekali tidak berbuat apa-apa bagi Singasari, padahal kau adalah Putera Mahkota, yang aku harapkan kelak untuk memimpin pemerintahan."
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar. Ia memang tidak berbuat apa-apa. Tetapi hal itu justru karena ia tidak berani melanggar segala macam titah dan perintah ayahanda Sri Rajasa.
"Anusapati," berkata Sri Rajasa, "sebagai seorang Putera Mahkota kau harus pandai menilai keadaan. Juga tentang Kesatria Putih itu."
"Ampun ayahanda, sebenarnyalah hamba mengikuti berita tentang Kesatria Putih itu dengan ragu-ragu. Hamba tidak berani mengambil suatu sikap atau kesimpulan apapun, karena hamba tidak berani melanggar titah ayahanda."
"Itu adalah kesalahanmu yang terbesar. Kau adalah Putera Mahkota. Kau harus dapat mengambil sikap menanggapi suatu masalah. Kalau kau selalu menunggu, maka kau akan ketinggalan. Apa yang pernah kau perbuat selama ini bagi Singasari. Sebelum Kesatria Putih muncul, agaknya Tohjaya lebih cekatan dari padamu, ia sudah berbuat sesuatu bagi Singasari. Namun akhirnya terganggu karena munculnya Kesatria Putih. Tetapi apakah yang pernah kau lakukan selama ini?"
Anusapati tidak menjawab. Sambil menundukkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri, "Memang tidak pernah. Aku tidak pernah berbuat sesuatu."
Namun demikian diluar sadarnya Anusapati telah menyalahkan dirinya sendiri. Kenapa selama ini ia harus bersikap pura-pura. Kalau ia tidak bersikap pura-pura, maka ia tidak akan mungkin dianggap sebagai seseorang yang tidak pernah berbuat sesuatu.
"Aku akan berbuat sesuatu," berkata Anusapati, namun, "tetapi bagaimana dengan paman Mahisa Agni" Jika seseorang melihat kemampuanku yang sebenarnya, maka ia pasti akan bertanya, dari mana aku menerima tuntunan untuk mencapai tingkat itu. Maka mau tidak mau aku harus menyebut nama paman Mahisa Agni."
Selagi Anusapati merenungi dirinya sendiri, ia terperanjat kerena Sri Rajasa bertanya pula kepadanya, "Apakah yang kau renungi Anusapati ?"
"Ampun ayahanda. Hamba merenungi diri hamba sendiri. Sebenarnyalah hamba tidak pernah berbuat apa-apa, karena hamba tidak berani melanggar titah ayananda. Bahwa hamba harus selalu berada di istana apabila setiap saat ayahanda memanggil hamba."
"Kau menangkap dan mengartikan semua perintahku seperti kanak-anak atau seperti seseorang yang telah sama sekali pikun. Semua perintah dan tugas harus kau lakukan dengan baik, tetapi hidup, bukan perintah dan tugas yang mati."
"Ampun ayahanda. Hamba akan mencoba menjalankan titah sejauh dapat hamba lakukan. Hamba akan mencoba untuk berbuat sesuatu."
"Terlambat," desis Sri Rajasa.
Meski-pun suara Sri Rajasa itu hampir tidak didengarnya, namun kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan Anusapati, sehingga tanpa sesadarnya ia telah mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu-pun segera tertunduk kembali.
"Anusapati," berkata Sri Rajasa, "betapa-pun kecilnya, Tohjaya pernah berbuat dan merebut hati rakyat. Sakarang, rakyat Singasari seakan-akan telah tertiup oleh nama Kesatria Putih yang muncul disegala tempat. Bahkan hampir mustahil terjadi, bahwa hari ini Kesatria Putih berada diujung Selatan kota, tetapi sehari kemudian ia sudah berada jauh dipadesan disebelah utara untuk menumpas sekelompok perampok. Bahkan pernah terjadi beberapa orang prajurit Singasari yang telah mencemarkan nama baik kelompoknya justru pasukan pengawal."
Anusapati menjadi semakin tunduk.
"Karena itu Anusapati," berkata Sri Rajasa kemudian, "berbuatlah sekarang untuk merintis jalan bagimu. Kesempatan bagimu yang sudah lewat itu, harus kau buka kembali. Kalau kau berhasil, maka kau akan mendapat tempat dihati rakyat Singasari. Tetapi kalau kau gagal, maka kau akan tetap dalam keadaanmu sekarang. Seorang laki-laki cengeng yang hanya dapat menunggui isteri didalam biliknya."
Dada Anusapati serasa akan pecah mendengar kata-kata Sri Rajasa itu. Hampir saja ia menjelaskan keadaan dirinya sendiri yang sebenarnya karena perasaannya yang pedih. Tetapi untunglah bahwa ia masih mampu bertahan untuk menundukkan kepalanya terus.
"Anusapati," berkata Sri Rajasa, "apakah kau bersedia membuka kesempatan baru bagimu sendiri ?"
"Ampun ayahanda. Jika ada jalan itu, hamba akan mencobanya." jawab Anusapati.
"Sekarang hampir tidak ada seorang-pun yang dapat menunjukkan jasanya kepada rakyat kecil di Singasari selain Kesatria Putih. Meski-pun apa yang dikerjakan oleh Kesatria Putih itu menguntungkan bagi rakyat, tetapi sebenarnya tidak bagi kita. Bagi kelangsungan hidup kita disinggasana. Kau mengerti?"
Dada Anusapati menjadi berdebar-debar.
"Sekarang setiap orang lebih senang mengucapkan nama Kesatria Putih dari menyebut namamu, nama Tohjaya dan nama Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Kau mengerti ?"
"Hamba mengerti ayahanda," jawab Anusapati. Tetapi suaranya menjadi gemetar.
"Nah, jika kau mengerti, carilah kesempatan baru itu. Apakah kau juga mengerti ?"
Keringat dingin telah mengalir diseluruh tubuh Anusapati. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa kesimpulan itulah yang telah ditarik oleh ayahanda Sri Rajasa. Sehingga karena itu maka untuk sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata.
"Anusapati," berkata Sri Rajasa, "apakah kau mengerti ?"
"Hamba ayahanda," suara Anusapati gemetar.
"Bagus. Kau mendapat tugas untuk menyingkirkan Kesatria Putih itu. Bukankah kau Putera Mahkota " Tentu kau tidak rela apabila sepeninggalku kelak, orang lebih senang mematuhi pimpinan Kesatria Putih daripadamu. Dan baru setelah Kesatria Putih itu lenyap, kau mendapat kesempatan baru untuk berbuat jasa bagi Rakyat Singasari. Dan rakyat Singasari akan selalu menyebut namamu sebagai Putera Mahkota, yang kelak akan menggantikan kedudukanku, Maharaja di Singasari."
Tiba-tiba saja dada Anusapati menjadi berdentangan. Ia tahu arti perintah itu dengan pasti. Dan itu berarti bahwa ia harus mencari Kesatria Putih.
"Anusapati," berkata Sri Rajasa, "tentu kau tidak akan dapat berbuat dengan terbuka. Kesatria Putih sangat disenangi oleh rakyat Singasari, sehingga kau harus berbuat dengan sangat hati-hati dan tersembunyi. Kematian Kesatria Putih harus diliputi oleh rahasia, sehingga rakyat tidak mendendammu dan mendendam kerajaan."
Anusapati tidak segera menjawab. Tetapi getar didadanya serasa menjadi semakin dahsyat.
"Nah, terserah kepadamu. Apakah kau memilih keadaan seperti sekarang ini, atau kau sanggup membuka kesempatan baru," berkata Sri Rajasa, "tetapi perintahku tetap. Singkirkan Kesatria Putih. Kalau kau sanggup, kau akan membuka jalan bagimu, kalau tidak, kau tetap seorang laki-laki cengeng."
"Ampun ayahanda," berkata Anusapati kemudian, "bagaimana-pun juga hamba akan mencobanya."
"Aku tahu bahwa tugas ini bukan tugas yang ringan. Tetapi kau dapat memilih beberapa orang untuk membantumu. Misalnya pamanmu Mahisa Agni. Satu atau dua orang panglima yang kau pilih. Kau dapat memanggil mereka menghadap aku, dan aku akan memberikan perintah rahasia kepada mereka."
"Hamba tuanku. Hamba akan melakukannya. Jika hamba diperkenankan mencari kawan didalam hal ini, hamba akan memilih paman Mahisa Agni."
"Baiklah. Biarlah pamanmu Mahisa Agni aku panggil."
"Hamba tuanku."
"Dan kaulah yang harus pergi ke Kediri untuk memanggilnya."
Anusapati mengangkat wajahnya, tetapi wajah itu-pun segera tertunduk.
"Bawa beberapa orang pengawal bersamamu."
"Hamba ayahanda. Hamba akan pergi ke Kediri memenuhi perintah ayahanda."
Demikianlah, maka kesempatan itu dipergunakan sebaiknya oleh Anusapati. Dengan tidak diketahui oleh siapa-pun juga, maka Sumekar telah diberitahukan semuanya itu. Dan Sumekar-pun harus mencari kesempatan untuk pergi ke Kediri disaat-saat Anusapati pergi juga ke Kediri.
"Tetapi jagalah, agar para pengawalku tidak mengetahui bahwa paman ada juga di Kediri saat aku tiba disana. Kau harus mendahului aku dan mengatakan hal ini kepada paman Mahisa Agni. Paman Mahisa Agni pasti akan dapat mengaturnya.
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Hamba akan mendahului tuanku."
Demikianlah maka Sumekar-pun segera mencari kesempatan untuk mendapatkan waktu beristirahat untuk beberapa hari dengan alasan yang dibuat-buatnya seperti yang pernah dilakukan. Sumekar minta diri untuk menengok kampung halaman dan keluarganya yang sudah lama tidak dilihatnya.
Ternyata bahwa Sumekar berhasil mendapat kesempatan itu. Dengan demikiaa maka ia-pun segera pergi ke Kediri. Dengan hati-hati dan tanpa menimbulkan kecurigaan siapa-pun juga, Sumekar berhasil dilihat oleh Mahisa Agni duduk di pinggir jalan raya di Kediri, hanya beberapa langkah dari regol istananya.
"Hem," desis Mahisa Agni, "orang itu pasti mempunyai kepentingan."
Adalah, tanpa diduga-duga sama sekali, bahwa tiba-tiba saja kuda Mahisa Agni melonjak dan tidak dapat dikuasainya. Dengan liarnya kuda itu berputar-putar sambil melonjak-lonjak. Untunglah bahwa dengan tangkasnya Mahisa Agni berhasil meloncat dan terhindar dari malapetaka. Dan ternyata ia meloncat selangkah didekat Sumekar.
Sumekar yang duduk di pinggir jalan dengan tergesa-gesa meloncat berdiri. Kemudian dengan kaki gemetar ia melekat dinding batu didepan istana Mahisa Agni.
Beberapa orang pengiring Mahisa Agni-pun segera berusaha menangkap kendali kuda yang tiba-tiba menjadi liar. Sementara itu Mahisa Agni sempat bebisik, "Masuklah nanti tengah malam meloncati dinding belakang. Aku sedang dalam pengawasan."
Mahisa Agni tidak sempat mengatakan keterangan tentang dirinya lebih panjang lagi. Ketika beberapa orang pengiring mengerumuninya, ia tertawa sambil menepuk pundak Sumekar yang menggigil ketakutan, "Kau tidak apa-apa ?"
"O, tidak tuan, tidak. Hamba tidak apa-apa." Sementara itu para pengiring Mahisa Agni telah berhasil menangkap kendali kuda Mahisa Agni dan menenangkannya.
"Bawa kuda itu kekandangnya," berkata Mahisa Agni, "ada sesuatu yang kurang berkenan dihatinya."
Para pengiring Mahisa Agni itu-pun segera menuntun kuda itu masuk halaman dan langsung dibawa kekandang, sementara Mahisa Agni berjalan memasuki halaman istananya. Dengan demikian maka para pengiringnya-pun tidak lagi naik keatas punggung kuda masing-masing, tetapi mereka-pun menuntun kuda mereka memasuki regol.
Dimalam hari, ketika bintang gubug penceng tepat berada ditengah, sesosok tubuh dengan hati-hati telah meloncati dinding bagian belakang halaman istana Mahisa Agni. Perlahan-lahan ia berlindung dibagian yang dibayangi oleh tetanaman perdu.
Sejenak Sumekar menunggu ketika kemudian sesosok tubuh yang lain-pun telah menyelinap didalam bayangan tumbuhan mendekati tempat Sumekar berlindung.
"Kakang Agni," panggil Sumekar berbisik.
Mahisa Agni yang sedang menjemput Sumekar itu berhenti sejenak. Meski-pun ia belum melihat orangnya, tetapi ia sudah mendengar desah nafasnya, sehingga sejenak kemudian ia-pun segera dapat menemukannya.
"Marilah, masuklah ke ruang dalam."
Sumekar tidak menyahut. Ia hanya mengikuti saja Mahisa Agni yang berjalan mengendap-endap di istananya sendiri.
"Aku merasa bahwa Sri Rajasa sedang mengawasi tingkah lakuku," berkata Mahisa Agni.
"Darimana kau tahu?" bertanya Sumekar.
Mahisa Agni tidak segera menyahut. Baru setelah mereka berada didalam ia menjelaskan, "Firasatku mengatakan demikian. Apalagi ketika aku melihat dua orang prajurit dari pasukan pengawal berada di Kediri. Tentu bukan hanya mereka berdua. Pasti ada prajurit sandi pula yang selalu berkeliaran disini."
"Kenapa Sri Rajasa mengawasi kakang Mahisa Agni?"
"Aku kira tentang orang yang disebut Kesatria Putih, Sri Rajasa agaknya curiga juga, apakah orang yang menyebut dirinya Kesatria putih itu bukan aku."
"Apakah Sri Rajasa menebak tepat?"
"Tentu tidak. Aku tidak akan mendapat kesempatan keluar dari istana terlalu sering. Bagaimana-pun justru aku berusaha, tetapi jika demikian pada suatu saat pasti akan diketahuinya pula."
"Jadi siapakah Kesatria Pulih itu?"
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Akulah yang mengendalikannya, meski-pun bukan aku sendiri."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku sudah yakinkan sebelumnya. Permainan kalian sudah mulai. Sri Rajasa dengan permainannya dan kau dengan permainanmu. Agaknya usaha Sri Rajasa untuk menyemarakkan nama Tohjaya dapat kau potong dengan Kesatria Putihmu."
Mahisa Agni masih tersenyum. Jawabnya, "Ya, demikianlah yang aku kehendaki."
"Tetapi kau tidak mengetahui akibat selanjutnya. Ternyata permainan Sri Rajasa menjadi semakin keras?"
"Maksudmu?" "Aku menduga bahwa prajurit-prajurit pengawal yang baru-baru ini dimusnakan oleh Kesatria Putih adalah prajurit-prajurit yang sengaja dipasang oleh Sri Rajasa."
Mahisa Agni mengangguk-angguk.
"Ternyata setelah prajurit-prajurit itu hancur, keluarlah perintahnya yang tidak terduga-duga."
"Apakah perintahnya dan kepada siapa?"
"Anusapati," jawab Sumekar. Lalu diceriterakannya apa yang harus dilakukan oleh Anusapati atas Kesatria Putih itu.
"Jadi Anusapati mendapat perintah untuk membinasakan Kesatria Putih?"
"Ya, dan ia boleh memilih diantara para Panglima dan Senapati untuk membantunya. Dan orang itu adalah kakang Mahisa Agni."
"Ah," Mahisa Agni berdesah.
Kemudian dikatakannya pula oleh Sumekar, bahwa Anusapati akan segera datang ke Kediri secara resmi memanggilnya menghadap Sri Rajasa, untuk menerima perintah rahasia itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejenak, maka katanya kemudian, "Baiklah. Biarlah Anusapati bertemu sendiri dengan Kesatria Putih itu."
"Apakah ia ada disini?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya. Ia ada disini. Apakah kau akan menemuinya?"
Sumekar termangu-mangu sejenak.
"Sore tadi aku memanggil mereka masuk."
"Mereka?" "Ya mereka." Sumekar menjadi semakin termangu-mangu. Apalagi ketika kemudian dari balik pintu keluarlah tiga orang dalam pakaian kesatria yang disebut Kesatria Putih lengkap dengan kerudung putihnya.
Ketiga orang itu berjalan hampir berbareng mendekatinya. Sumekar sama sekali tidak dapat mengenal mereka seorang demi seorang. Yang dapat dibedakan hanya perbedaan tinggi dari ketiganya yang tidak begitu menyolok. Yang seorang lebih tinggi dari yang lain, tetapi agak lebih kurus. Salah seorang dari ketiga bertubuh sedang dan segar berdiri di paling tengah.
"Apakah kau dapat mengenal mereka?" bertanya Mahisa Agni.
Sumekar menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tentu tidak. Tetapi sekarang aku tahu, inilah agaknya rahasia Kesatria Putih yang seakan-akan naik kuda semberani yang dapat terbang dari ujung keujung Singasari yang lain. Sehari ia berada di Utara, sehari kemudian sudah diujung Selatan. Ternyata Kesatria Putih itu tidak hanya seorang. Sungguh, permainan yang mengasyikkan."
Mahisa Agni tersenyum. "Kau akan segera mengenalnya," berkata Mahisa Agni, "merekalah yang telah merampas kesempatan Tohjaya untuk mendapat dukungan lebih besar lagi karena permainan yang baik dari Sri Rajasa. Setiap kali mereka memancing kerusuhan-kerusuhan, dan Tohjayalah yang berhasil menyelesaikan. Tetapi sejak munculnya Kesatria Putih, maka kesempatan itu hampir tidak ada lagi. Semua orang kini mempercakapkan Kesatria Putih."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Silahkan memperkenalkan diri," berkata Mahisa Agni kepada ketiga Kesatria Putih itu.
Hampir berbareng ketiga melepaskan kerudungnya. Dan Sumekar yang melihat mereka seorang demi seorang menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berdesah, "Yang seorang memang sudah aku duga. Tetapi yang dua sama sekali tidak."
Yang seorang dari mereka adalah Witantra. Sambil tersenyum ia berkata, "Aku telah ikut didalam permainan yang menyenangkan ini."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu pula, bahwa bekas tangan Kesatria Putih memang agak berbeda-beda. Kadang-kadang Kesatria Putih tidak membunuh korbannya. Tetapi kadang-kadang ditumpasnya habis-habisan.
Dan kini ia dapat menduga, siapa yang telah melakukannya. Bagaimana-pun juga sisa-sisa sifat yang pernah dimiliki oleh Kesatria Putih yang seorang masih juga membekas. Meski-pun kini ia sama sekali sudah berubah, namun dalam saat-saat yang genting, tanpa disadarinya masih juga muncul kekerasan dan bahkan kekasarannya. Ia adalah kakak seperguruan Sumekar sendiri. Kuda Sempana.
Tetapi yang seorang dari ketiganya, Sumekar masih harus mengingat-ingat.
"Adi seperguruanku," berkata Witantra, "namanya Mahendra."
"O," Sumekar mengangguk-angguk.
"Nah," berkata Mahisa Agni, "jika ada kesempatan, kau dan aku dapat ikut bermain juga. Tetapi kesempatan itu terlampau sulit kita dapatkan."
Sumekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi masih ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Meski-pun pertanyaan itu belum terucapkan, namun Mahisa Agni yang seolah-olah telah mengerti apa yang tersimpan didalam hatinya berkata, "Mereka bertiga adalah orang-orang yang tidak terikat pada waktu dan keadaan. Mereka hidup dipadepokan terpencil, dan waktu bagi mereka tergantung kepada mereka sendiri. Sedang Mahendra pernah menjadi seorang pedagang yang berhasil. Agaknya ia tidak perlu lagi menambah timbunan kekayaannya. Kini ia memilih bermain-main dengan jiwanya, karena panggilan yang dalam dari dasar hati. Selain diwaktu mudanya, Mahendra memang seorang petualang, didalam tugasnya sebagai seorang saudagar keliling, ia masih juga bertualang menghadapi penyamun-penyamun dan perampok-perampok. Adalah tepat sekali apabila ia mengenakan kerudung putih dan bertempur melawan setiap kejahatan."
"Ah," desis Mahendra. Tetapi ia tidak memberikan tanggapan selain sebuah senyum dibibirnya.
Mahisa Agni-pun tiba-tiba menarik nafas dalam-dalam. Terkilas didalam angan-angannya, peristiwa yang pernah melihat mereka berempat. Witantra, Mahendra, Kuda Sempana dan Mahisa Agni sendiri. Mereka pernah bertempur yang satu dengan yang lain, bahkan sampai pada kebulatan tekad untuk saling membunuh. Namun kini keadaan telah mempertemukan mereka didalam suatu usaha yang dapat mereka pertemukan. Menyelamatkan Anusapati, anak Ken Dedes.
"Tak dapat dipungkiri. Tentu masih ada bekas-bekas sentuhan dihati mereka. Baik Kuda Sempana mau-pun Mahendra pernah mengharap dapat memperisteri seorang gadis dari padepokan Panawijen yang bernama Ken Dedes," berkata Mahisa Agni didalam hati. Namun tiba-tiba sebuah pertanyaan melonjak dihatinya pula, "Dan bagaimana dengan aku sendiri."
Mahisa Agni terperanjat ketika Sumekar kemudian bertanya, "Siapakah diantara Kesatria Putih bertiga ini yang paling akhir membunuh beberapa orang prajurit dan melemparkan senjata mereka dipintu gerbang."
Ketiganya tidak menjawab, ketiga tersenyum. Tetapi karena Witantra dan Mahendra berpaling kepada Kuda Sempana, maka tahulah Sumekar, bahwa Kesatria Putih itu adalah Kuda Sempana. Itulah sebabnya ia mengenal bahwa orang-orang yang dihadapinya itu sebenarnya adalah prajurit-prajurit Singasari, karena ia pernah menjadi Pelayan Dalam, didalam istana Tumapel. Sehingga ia memerlukan melemparkan pedang para prajurit itu di muka regol.
"Tetapi kalian akan segera menghadapi lawan yang tidak akan dengan mudah kalian kalahkan," berkata Sumekar kemudian.
"Siapa?" bertanya Witantra.
"Telah turun perintah Sri Rajasa, bahwa Putera Mahkotalah yang akan menangkap Kesatria Putih itu."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya mendengar keterangan Sumekar itu. Dengan memperhatikan ketika orang yang berpakaian sebagai Kesatria Putih itu, Mahisa Agni
ingin mengetahui, bagaimanakah tanggapan mereka atas berita itu.
Mahisa Agni melihat wajah-wajah itu menengang. Tetapi justru karena itu ia berkata, "Selain Putera Mahkota masih ada lagi orang yang harus kalian perhitungkan."
"Siapa?" bertanya Kuda Sempana.
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "bertanyalah kepada adi Sumekar."
Ketiga orang yang berpakaian Kesatria Putih itu serentak berpaling kepada Sumekar. Dan sebelum mereka bertanya Sumekar telah menjelaskan, "Ia adalah yang atas nama Sri Rajasa mengawasi pemerintahan di Kediri."
"Mahisa Agni," desis Witantra.
Sumekar mengangguk. Sejenak mereka termenung. Namun hampir berbareng mereka tertawa.
"Mereka tentu akan berhasil menangkap Kesatria Putih itu," berkata Mahendra, "soalnya tinggal menunggu waktu yang paling baik. Dan siapakah diantara kita bertiga yang akan mewakili menjadi tawanan di istana Kediri."
"Bukan menangkap," sahut Sumekar, "tetapi membinasakan mereka."
Mahisa Agni-pun tertawa pula. Katanya, "Jika kalian bertiga tidak lagi muncul, maka Kesatria Putih itu akan lenyap dengan sendirinya. Aku dan Putera Mahkota akan menyampaikan laporan kepada istana, bahwa kami telah berhasil membinasakan mereka, eh, maksudku Kesatria Putih itu."
Ketiganya mengangguk-angguk. Dan Kuda Sempana bertanya, "Apakah tidak ada pertanda yang harus diserahkan sebagai bukti kematian Kesatria Putih."
"Tidak ada. Kematian Kesatria Putih jangan diketahui oleh rakyat yang semakin lama semakin menaruh perhatian kepadanya. Bukti yang diharapkan oleh Sri Rajasa adalah, Kesatria Putih itu tidak akan muncul kembali." jawab Sumekar, tetapi ia segera menyambung, "namun demikian, semuanya akan menjadi lebih jelas apabila Putera Mahkota telah datang."
"Apakah Putera Mahkota akan datang?"
"Ya. Putera Mahkota akan memanggil kakang Mahisa Agni dengan resmi untuk menghadap Sri Rajasa. Ia akan menerima perintah tentang Kesatria Putih itu."
"Baiklah. Besok malam kita akan segera menemuinya disini."
"Aku akan menunggu kalian."
"Dan bukankah malam ini kita tidak mampunyai persoalan lain?"
Mahisa Agni menggeleng. Mahendra-pun segera berkata, "Aku akan segera minta diri. Aku mendengar sekelompok padagang akan menyeberangi hutan disebelah kota ini, besok dini hari. Mudah-mudahan tidak ada penyamun yang mengganggunya. Aku hanya akan melihat saja, dan apabila perlu baru berbuat sesuatu, karena agaknya para pedagang itu sendiri sudah merasa dirinya kuat."
"Tetapi ingat, besok malam kalian ada disini pula. Mungkin Anusapati akan sagera datang."
"Baik. Dan bagaimana dengan kakang Witantra?"
"Aku juga akan minta diri."
"Baiklah. Hubungilah Kuda Sempana apabila perlu," berkata Mahisa Agni kemudian, lalu katanya kepada Sumekar, "ia juga menjadi juru taman di istana ini."
"O," Sumekar tersenyum.
"Kalau ada yang pernah mangenalnya ketika ia tinggal di istana Tumapel, maka mereka sekarang pasti tidak akan dapat mengingatnya lagi."
Sumekar masih mengangguk sambil tersenyum.
Demikianlah Witantra dan Mahendra meninggalkan istana Mahisa Agni, sedang Kuda Sempana dengan diam-diam pergi ke rumahnya yang terletak di halaman itu pula.
"Tidurlah dirumahku. Tidak akan banyak mendapat perhatian apabila kau tidak berbuat sesuatu yang aneh."
"Terima kasih kakang."
"Kami-pun minta diri," berkata Kuda Sempana, "besok kita akan bartemu lagi. Biarlah Sumekar berada dipondokku."
Demikianlah Kuda Sempana membawa Sumekar kepondoknya. Dari Kuda Sempana, Sumekar banyak mendengar tentang Kesatria Putih. Ada kalanya Kesatria Putih tidak bekerja sendiri. Tetapi berdua, meski-pun yang seorang tidak dengan berterus terang. Dalam menghadapi lawan yang kuat, dua atau bahkan tiga orang itu telah bekerja bersama. Tetapi pasti hanya ada satu Kasatria Putih disatu tempat dan diwaktu yang sama."
Ternyata setelah terpaut sehari, barulah Putera Mahkota itu benar-benar telah datang ke Kediri dengan resmi sehingga rakyat Kediri telah menyambutnya. Beberapa orang Senapati terpilih telah mengiringinya. Kehadiran Anusapati benar-benar telah mendapat sambutan yang baik, justru karena Mahisa Agni bersikap baik terhadap mereka.
Mahisa Agni-pun telah mangadakan sambutan yang resmi pula. Namun dalam pada itu, dipondok Kuda Sempana telah menunggu Witantra, Madendra dan Sumekar. Mereka harus mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Anusapati.
Sementara itu Mahendra sempat menceriteraksn saat-saat ia mengikuti para pedagang yang menyeberangi hutan disebelah kota.
"Tarnyata perjalanan itu telah tercium oleh segerombol perampok. Meski-pun iring-iringan pedagang itu menyeberang tepat dini hari, namun penyamun itu telah menunggunya. Agaknya mereka benar-benar telah mamperhitungkan kekuatan mereka.
Witantra, Kuda Sempana dan Sumekar mendengarkan ceritera itu sambil mengangguk-angguk. Mahendra yang juga sering mengenakan pakaian Kesatria Putih itu lebih senang menolong para pedagang, karena ia sendiri pernah menjadi seorang pedagang. Seperti Kuda Sempana ia tidak tanggung-tanggung menghancurkan setiap penjahat. Namun kadang-kadang masih juga ada seorang dua orang yang tersisa. Tetapi lain dengan Kuda Sempana. Ia menyapu setiap gerombolan sejauh mungkin dapat dilakukannya.
"Apakah mereka bertempur?" bertanya Sumekar kemudian.
"Ya. Para penyamun itu menjebak para pedagang dengan sebuah kepungan yang rapat sekali. Tetapi ternyata bahwa para pedagang itu-pun memiliki kemampuan perlawanan yang tinggi, sehingga tidak mudah bagi para penyamun untuk manundukkannya.
"Tetapi para pedagang itu kalah," sahut Witantra, "dan ceritera itu disambung dengan kehadiran Kesatria Putih untuk menolong mereka dan menghancurkan para penjahat itu."
Mahendra tertawa. Katanya, "Tidak. Aku tidak menunggu para pedagang itu kalah, karena penyamun itu benar-benar kuat. Aku datang selain para pedagang itu masih bertahan sekuat-kuat tenaga mereka. Dengan demikian, maka pakerjaanku tidak begitu berat karena aku dibantu oleh para pedagang itu sendiri. Namun demikian, berita yang tersiar, Kasatria Putih seorang diri telah berhasil membinasakan segerombolan penyamun yang maha kuat."
Mereka yang mendengarkan caritera itu tertawa. Bahkan Sumekar-pun berkata, "Seandainya aku mendapat kesempatan, aku ingin juga sekali-sekali menjadi orang yang paling terkenal diseluruh Singasari sekarang, tetapi juga orang yang selalu diliputi oleh rahasia yang tidak terungkapkan."
Witantra tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Mungkin selama kau berada disini, kau akan mendapat kesempatan."
"Berapa hari kau berada disini?" bertanya Kuda Sempana.
"Aku harus sagera kembali, sebelum Putera Mahkota kembali keistana."
"Kau tidak akan mendapat kesempatan. Biasanya sampai dua tiga pekan setelah Kesatria Putih bertindak, tidak ada seorang penjahat-pun yang berani berbuat sesuatu."
"Sayang," desis Sumekar, "agaknya permainan itu mengasyikkan sekali."
"Mudah-mudahan Putera Mahkota tidak segera kembali," berkata Mahendra.
"Tetapi akulah yang harus segera kembali, karena aku hanya mendapat waktu tujuh hari."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Sumekar-pun menyambung, "Mudah-mudahan lain kali aku akan mendapatkan kesempatan itu."
"Tetapi bukankah kita akan segera ditangkap olaa Putera Mahkota dan Mahisa Agni."
Hampir serentak meledaklah suara tertawa mereka, sehingga Kuda Sempana meletakkan jarinya di muka bibirnya sambil berdesis, "Sst, tetangga-tetanggaku, para abdi istana ini akan menjadi heran dan curiga mendengar kalian adalah saudara-saudaraku yang datang dari desa. Tetapi kalau kalian tertawa terbahak-bahak, mereka akan mencurigainya. Orang-orang yang datang dari desa tidak pernah tertawa terlampau keras."
"Bonong," sahut Mahendra, "aku benar-benar datang dari desa, tetapi mungkin akulah yang paling keras tertawa."
Kawan-kawannya-pun kemudian menutup mulut mereka, karena tertawa mereka hampir meledak kembali.
Dalam pada itu, Mahisa Agni telah mengatur suatu acara khusus untuk mempertemukan Kesatria Putih dengan Anusapati tanpa diketahui oleh para pengiringnya. Didalam ruangan tersendiri, dan tanpa menimbulkan kecurigaan, Anusapati sempat menjadi terheran-heran ketika ia dihadapkan kepada tiga orang Kesatria Putih.
"Aku hampir tidak percaya kepada penglihatanku," ia berdesis.
"Hamba-pun semula tidak mempercayainya," bisik Sumekar yang duduk disampingnya.
"Siapakah mereka?"
"Hamba tidak boleh menjelaskan tuanku. Biarlah kakang Mahisa Agni menyebut mereka seorang demi seorang."
Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Aku akan memperkenalkan mereka."
Anusapati memandang mereka dengan terheran-heran ketika ketiganya membuka kerudung masing-masing.
"Nah," berkata Mahisa Agni, "kau sudah berhadapan dengan Kesatria Putih. Apakah kau akan menangkap mereka?"
Anusapati masih merenungi ketiga orang itu. Witantralah yang kemudian berkata sambil membungkukkan kepalanya, "Hamba menunggu perintah tuanku. Apakah tuanku akan menangkap hamba, atau tuanku akan mengijinkan hamba meneruskan permainan ini."
Anusapati menjadi termangu-mangu. Ia tahu benar bahwa Witantra berdiri dipihaknya didalam perbandingan kekuatan yang ada, yang berujung pada dirinya sendiri dan adiknya Tohjaya.
"Apakah sebenarnya maksud paman dengan permainan ini?" bertanya Anusapati.
"Merebut perhatian rakyat Singasari dari Tohjaya. Permainan mereka-pun sudah dimulai. Dan kita-pun harus mengimbanginya jika kita tidak ingin tertinggal."
"Tetapi apakah keuntunganku dengan permainan paman ini."
"Setidak-tidaknya, rakyat Singasari tidak lagi selalu mengelukan Tohjaya sebagai seorang yang paling mereka sukai diseluruh Singasari."
"Kemudian?" "Kita akan melihat perkembangan seterusnya."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya ketiga orang yang disebut Kesatria Putih itu dengan saksama, kemudian ia berpaling dan memandang Mahisa Agni yang sedang merenunginya pula.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian, "memang kau tidak akan mendapat keuntungan langsung dari hadirnya Kesatria Putih ini dibumi Singasari, tetapi pada suatu saat kau akan merasakan manfaatnya."
"Tetapi paman Mahisa Agni, apakah yang harus aku lakukan dengan perintah ayahanda Sri Rajasa untuk menyingkirkan Kesatria Putih" Bahkan bersama paman Mahisa Agni?"
"Kita harus menyanggupinya. Tetapi tentu saja kita tidak dapat memberikan batas waktu."
"Namun ternyata bahwa Kesatria Putih masih saja berkeliaran."
"Kita tentu dapat mengemukakan alasan, bahwa kita belum dapat menjumpainya. Kesatria Putih selalu menghindari kita berdua."
"Mungkin ayahanda dapat mempercayainya sebulan dua bulan. Tetapi pada suatu saat ayahanda akan menjadi curiga juga terhadap kita."
"Dalam pada itu kita akan mencari jalan. Kalau perlu, kegiatan Kesatria Putih kita hentikan. Bukankah dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa kita sudah berhasil menyingkirkannya?" Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "tetapi kita-pun harus bersiap menghadapi permainan Tohjaya berikutnya."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah Anusapati," berkala Mahisa Agni kemudian, "kau tidak usah menjadi gelisah oleh perintah Sri Rajasa itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kapalanya. Selama ini pamannya banyak memberikan tuntunan dan jalan keluar dari hampir setiap kesulitan. Karena itu, maka kali ini-pun ia percaya bahwa pamannya akan dapat memberikan jalan kepadanya, keluar dari kesulitannya kali ini."
Demikianlah maka pada saatnya, setelah Sumekar mendahului, Anusapati-pun kembali pula ke Singasari bersama Mahisa Agni, yang kemudian menerima perintah langsung dari Sri Rajasa untuk menyingkirkan Kesatria Putih bersama Anusapati.
"Aku percaya kepadamu," berkata Sri Rajasa, "bahwa kau akan dapat melakukannya untuk kepentingan Putera Mahkota, yang seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk dikenal oleh rakyat Singasari."
"Hamba tuanku," jawab Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya, "hamba akan mencobanya."
"Kau harus berhasil. Jika tidak, maka nasib Anusapati kelak tidak akan dapat kita bayangkan. Ia tidak lebih dari seorang Kesatria yang selalu dibayangi oleh Kesatria lain yang tidak dikenal. Dan tidak mustahil, bahwa setelah mendapatkan perhatian sedemikian besarnya dari rakyat Singasari, Kesatria Putih akan berani melakukan perbuatan yang dapat menghanyutkan Anusapati dari tahtanya." Sri Rajasa berhenti sejenak. Lalu, "Mungkin hal itu tidak akan dapat dilakukannya selagi aku masih ada. Tetapi pada suatu saat, aku akan kembali kepada Yang Maha Agung. Nah, sesudah datang saat itu, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi atas Anusapati dan melindunginya dari setiap bahaya yang mengancamnya."
"Baiklah tuanku," berkata Mahisa Agni, "hamba mengerti, betapa pentingnya tugas ini, tetapi juga betapa sulitnya. Hamba harus melakukannya tanpa setahu rakyat Singasari. karena bagi mereka Kesatria Putih adalah seorang pahlawan."
"Ya." "Mudah-mudahan hamba dapat melakukannya bersama tuanku Putera Mahkota."
Demikianlah Mahisa Agni dan Anusapati mempersiapkan diri untuk melakukan tugas itu. Namun Mahisa Agni telah memohon kepada Sri Rajasa, agar ia diperkenankan melakukan tugas itu berdua saja dengan Anusapati, tanpa pengiring dan pasukan pengawal sama sekali.
"Kenapa" " bertanya Sri Rajasa.
"Sepasukan prajurit, batapa-pun kecilnya akan mudah sekali diketahui oleh Kesatria Putih, sehingga mereka akan selalu menghindar."
"Kenapa mereka" Apakah Kesatria Putih itu lebih dari seorang?"
"Maksud hamba, ia akan selalu menghindar."
"Bagaimana kalau kau mempergunakan cara yang justru akan mamancing Kesatria Putih itu."
"Maksud tuanku, hamba menyamar sebagai segerombolan perampok?"
"Ya."

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kesatria Putih akan segera mengenal dan dapat membedakan karena hamba tentu tidak akan benar-benar melakukan perampokan itu."
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya," terserah kepadamu. Yang penting, Kesatria Putih itu dapat kita singkirkan. Setidak-tidaknya ia tidak dapat melakukan kegiatannya lagi."
Demikianlah, maka Mahisa Agni dan Anusapati mulai dengan tugasnya yang baru. Mahisa Agni tidak segera kembali ke Kediri, karena ia harus mengawani Anusapati mencari Kesatria Putih.
Tidak seorang-pun yang mengetahui tugas itu. Ken Dedes tidak, isteri Anusapati-pun tidak. Usaha manyingkirkan Kesatria Putih tidak boleh diketahui oleh siapa-pun juga. Jika berita itu sampai menyusup ketelinga rakyat Singasari, maka pasti akan menimbulkan persoalan diantara mereka, karena Kesatria Putih bagi mereka, justru seorang pahlawan.
Setelah mencium anaknya yang tumbuh semakin besar dan mohon diri kepada ibunya, maka Anusapati pergi meninggalkan istana diiringi oleh Mahisa Agni.
Kepergian Anusapati diiringi dengan berbagai macam pertanyaan dihati seisi istana. Yang mereka ketahui adalah, bahwa Anusapati sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang Putara Mahkota.
"Sebuah tugas rahasia," berkata salah seorang Senapati.
"Ya," sahut yang lain.
Tetapi ada sesuatu yang menggetarkan jantungnya. Kenapa tugas itu sama sekali tidak diketahui oleh para pemimpin prajurit sekalipun.
Sepeninggal Anusapati, maka mulailah Tohjaya mengharap mendapat kesempatan lagi untuk melakukan tindakan-akan yang dapat mengangkat namanya, ia berharap bahwa Mahisa Agni akan berhasil menyingkirkan Kesatria Putih, karena dari Anusapati sendiri tidak dapat diharapkan apa-pun juga.
"Tanpa paman Mahisa Agni, kakanda Anusapati tidak akan dapat kembali. Hanya namanya sajalah yang akan tetap dikenang oleh rakyat Siugasari, bahwa pernah tersebut seorang Putera Mahkota yang belum sempat menduduki tahta, telah mati terbunuh oleh Kesatria Putih," berkata Tohjaya didalam hatinya.
Namun bagi Anusapati sendiri, ternyata kesempatan itu adalah kesempatan yang tidak diduga-duganya. Kepergiannya bersama Mahisa Agni telah memberikan kesempatan kepadanya untuk menyempurnakan ilmunya. Disepanjang perjalanannya yang tanpa tujuan, Anusapati telah membentuk dirinya menjadi seorang yang menguasai ilmunya dengan matang.
Ternyata bahwa bukan saja Mahisa Agni, tetapi didalam kesempatan itu, Witantra dan Kuda Sempana sempat memberikan ilmu perbandingan kepada Anusapati. Dengan bekal yang ada padanya. Anusapati mampu menerima ilmu dari kedua orang itu, sebagai bahan untuk menyempurnakan ilmunya sendiri. Seperti Mahisa Agni maka Anusapati-pun mencoba meluluhkan ilmu yang dipelajarinya itu menjadi suatu bentuk yang benar-benar mendebarkan jantung. Darah Tunggul Ametung dan mPu Purwa yang bergabung didalam dirinya, membuatnya menjadi seorang anak muda yang perkasa, yang mantap menguasai ilmu yang tidak terkirakan dahsyatnya.
Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Kuda Sempana yang selalu menungguinya, apabila Anusapati berlatih, menjadi berdebar-debar. Bahkan akhirnya mereka percaya, bahwa ilmu yang dimiliki oleh Anusapati itu adalah ilmu yang tidak ada duanya. Dengan bekal itu, seandainya ia di desak oleh suatu keharusan, maka ia pasti akan dapat mengimbangi kemampuan Sri Rajasa yang memiliki ilmu tanpa dipelajarinya dari perguruan mana-pun juga.
Sementara Anusapati menempa dirinya, maka Sumekar selalu berdebar-debar menungguinya. Apa saja yang telah dilakukan oleh Anusapati didalam perjalanannya. Namun Sumekar telah membayangkan pula, bahwa Anusapati pasti akan mempergunakan kesempatan itu untuk menyempurnakan diri.
"Mudah-mudahan Putera Mahkota berhasil membuat dirinya menjadi laki-laki terbaik di Singasari," desisnya.
Dalam pada itu, maka Sumekar berusaha memenuhi pesan Anusapati dan Mahisa Agni sebaik-baiknya, sementara Putera Mahkota tidak ada, Sumekar harus menjaga isterinya dan Ibunda Permaisuri sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka atas permintaan Mahisa Agni, ketiga orang yang sering melakukan petualangan sebagai Kesatria Putih, untuk beberapa saat lamanya telah menghentikan kegiatannya.
Dengan demikian maka untuk beberapa saat nama Kesatria Putih tidak lagi disebut-sebut dalam suatu tindakan baru. Orang-orang Singasari justru mulai bertanya-tanya, dalam beberapa saat terakhir Kesatria Putih tidak lagi pernah muncul. Disaat-saat yang lampau, meski-pun tidak sedang melakukan tugasnya, menghancurkan perampok dan penjahat. Kesatria Putih sering menampakkan dirinya kepada para peronda. Melambaikan tangannya dan bahkan kadang-kadang berbicara sepatah kata.
"Sudah agak lama kita tidak mendengar sasuatu tentang Kesatria Putih," desis seseorang, "apakah hilangnya Kesatria Putih itu pertanda bahwa Singasari akan diguncang oleh kejahatan dan kekacauan?"
"Ah tentu tidak. Seandainya Kesatria Putih sudah jemu melakukan tugas-tugas kemanusiaannya, maka kita akan tetap mendapat perlindungan dari Sri Rajasa. Bukankah sebenarnya Kesatria Putih itu hanya membantu tugas para prajurit Singasari."
"Tetapi pernah terjadi. Kesatria Putih menghancurkan sekelompok prajurit Singasari."
"Bukan prajurit Singasari. Meski-pun mereka prajurit, tetapi Kesatria Putih menghancurkan mereka sebagai segerombolan perampok."
"Itulah yang mencemaskan. Ternyata ada juga prajurit yang kehilangan keseimbangannya dan melakukan perbuatan terkutuk itu."
Namun bagaimana-pun juga, rakyat Singasari merasa seakan-akan kehilangan apabila benar-benar Kesatria Putih tidak akan muncul lagi diatas bumi Singasari.
Hilangnya Kesatria Putih untuk beberapa saat itu ternyata didengar pula oleh Sri Rajasa dan Tohjaya. Meski-pun mereka belum yakin, kalau Mahisa Agni dan Anusapati berhasil, namun kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Tohjaya. Meski-pun tidak segarang Kesatria Putih, maka Tohjaya-pun nulai melakukan tindak kepahlawanan bersama Penasehat Sri Rajasa, yang tidak lain adalah guru Tohjaya sendiri.
Tidak segan-segan Tohjaya mengumpankan beberapa orang prajurit untuk berperan sebagai perampok-perampok yang bengis. Kemudian Tohjaya dan pengiringnya hadir mengusir mereka ketika mereka sedang melakukan kejahatan.
"Untunglah," berkata salah seorang rakyat Singasari, "selagi Kesatria Putih menghilang beberapa lama, tuanku Tohjaya telah mengambil alih tugasnya yang mulia itu."
"Apakah Kesatria Putih itu justru Tuanku Tohjaya?"
Rakyat Singasari memang mulai menghubung-hubungkan kepahlawanan Tohjaya dengan Kesatria Putih. Tetapi mereka-pun bertanya didalam hati, "Jika demikian, apakah gunanya Tohjaya menutup wajahnya dengan selembar kain putih dan disebut sebagai Kasatria Putih."
Tidak seorang-pun yang dapat menjawab. Namun mereka condong kepada suatu pendirian, bahwa Kesatria Putih memang bukan Tohjaya.
Namun demikian, yang kemudian tersebar adalah pertanyaan tentang Putera Mahkota. Rakyat Singasari menganggap bahwa Putera Mahkota kurang gairah didalam ikut serta membina pemerintahan di Singasari. Anusapati ternyata tidak selincah Tohjaya yang meski-pun bukan seorang Putera Mahkota, tetapi ia telah melakukan tindakan-akan yang nyata bagi rakyat Singasari.
Dalam pada itu, setelah melakukan tugasnya beberapa lama, maka Anusapati dan Mahisa Agni menghadap kembali kehadapan Sri Rajasa untuk menyampaikan hasil tugas mereka.
"Kami tidak berhasil mengusirnya," berkata Mahisa Agni, "Kesatria Putih terlampau sulit untuk diketemukan. Namun dengan usaha ini, ternyata Kesatria Putih sudah menghilang. Mungkin ia mendengar bahwa hamba dan tuanku Putera Mahkota sedang mencarinya."
"Apakah kau yakin bahwa ksatria Putih tidak akan muncul lagi?"
"Itulah yang hamba bimbangkan. Memang mungkin pada suatu saat ia muncul kembali."
"Mahisa Agni dan Anusapati," berkala Sri Rajasa kemudian, "adalah tugasmu dan tugas setiap keluarga istana untuk melakukannya. Jika Kesatria Putih itu telah benar lenyap, datanglah kesempatan bagi Anusapati. Kini ternynla bahwa Tohjaya sudah berhasil merintis jalannya kembali. Saat mendatang, adalah masa-masa yang akan menentukan kedudukanmu Anusapati. Berbuat sesuatu seperti yang dilakukan oleh Tohjaya."
Anusapati hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Sementara Sri Rajasa berkata selanjutnya, "Tugas ini berlaku terus-menerus. Kapan-pun jika kalian menjumpai Kesatria Putih, kalian harus bertindak."
Pendekar Bayangan Setan 7 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Golok Sakti 8
^