Pencarian

Bara Diatas Singgasana 26

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 26


Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dan ia-pun kemudian bertanya, "Ki Sanak, apakah Ki Sanak tidak dapat menunjukkan seorang perwira yang bernama Kebo Pamungkas?"
"Jika Witantra sendiri datang, aku akan mengatakan kepadanya, tentang seorang perwira yang bernama Kebo Pamungkas."
Witantra merenung sejenak, lalu gumamnya. "Jika demikian tempat yang ditunjukkan kepadaku itu ternyata keliru. Aku mendapat keterangan, bahwa dirumah ini aku akan dapat dapat menjumpai seorang perwira yang bernama Kebo Pamungkas."
"Kebo Pamungkas adalah seorang perwira prajurit Tumapel, bukan seorang prajurit Singasari."
"O." Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "jadi, jika demikian aku telah salah. Atau barangkali Witantralah yang salah."
"Aku akan menunjukkan kepada Witantra jika ia datang sendiri kepadaku," berkata perwira itu.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, "Ki Sanak sudah mengenal Witantra?"
"Tentu sudah. Aku mengenalnya dengan baik sejak kami bersama-sama menjadi prajurit di Tumapel."
"O, jadi Ki Sanak juga seorang prajurit Tumapel?"
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Dan Witantra mendesaknya, "Jika demikian Ki Sanak sebenarnya juga mengenal orang yang bernama Kebo Pamungkas yang Ki Sanak sebut sebagai seorang prajurit Tumapel itu."
Sejenak perwira itu terdiam. Namun kemudian ia berkata, "Sudah aku katakan, jika Witantra itu datang, aku akan menjelaskannya."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Witantra, "aku akan mengatakan agar Witantra datang sendiri kepada Ki Sanak. Tetapi Ki Sanak tentu sudah tidak mengenalnya, karena ia menjadi semakin tua, tidak lagi berpakaian seperti seorang Panglima dan tidak lagi mempunyai pengaruh apa-pun pada lingkungannya."
"Dan Kebo Pamungkas?"
"jangan bertanya lagi sebelum Witantra datang."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya perwira itu sejenak. Namun benar tidak ada kesan bahwa perwira itu masih mengenalnya.
Sejenak Witantra termangu-mangu. Apakah ia akan menunjukkan dirinya sendiri, atau ia akan mengambil keputusan lain sebelum terlanjur, karena akibatnya masih sangat diragukannya. Apalagi orang itu yang menurut pengenalannya bernama Kebo Pamungkas, selalu mencoba mengingkar; nama itu karena ia kini seorang perwira prajurit Singasari.
"Apakah ada keberatannya ia menyebut nama itu?" bertanya Witantra kepada diri sendiri.
Sejenak kedua orang itu dicengkam oleh keragu-raguan. Namun karena kehadiran Witantra itu memang dengan sengaja untuk membangunkan nama Witantra kembali, maka ia-pun kemudian menetapkan bahwa ia akan menyatakan dirinya sendiri dihadapan perwira itu.
Maka dengan hati-hati Witantra-pun kemudian bertanya, "Ki Sanak. Jika Witantra itu datang, apakah Ki Sanak tidak akan melupakannya?"
"Pertanyaanmu sudah beberapa kali aku jawab, aku tidak akan dapat melupakan Witantra."
Witantra itu tertawa. Katanya, "Ternyata kau keliru Ki Sanak. Kau ternyata sudah tidak akan dapat mengenal Witantra lagi."
"Akh. Kenapa kau mendahului menebak" Kau belum mengetahui bagaimana aku mengenalnya dahulu dan bagaimana ia mengenal aku."
"Bagaimana jika aku membawa dua atau tiga orang sekaligus datang kemari" Apakah kau dapat memilih, yang mana diantara mereka yang bernama Witantra?"
"Tentu, bawalah mereka kemari. Tiga, empat atau sepuluh orang sekaligus."
Witantra justru tertawa karenanya. Katanya, "Tidak lebih dari seorang, dan Ki Sanak sudah tidak mengenalnya."
"He," orang itu mengerutkan keningnya.
"Tidak lebih dari satu orang," ulang Witantra, "apakah Ki Sanak benar-benar masih mengenal Witantra he?"
Orang itu termangu-mangu sejenak.
Dan Witantrapnn tertawa semakin lebar, "Kau kenal aku?"
"Witantra, Witantra," orang itu menyebut namanya. Diamat-amatinya Witantra yang masih saja tertawa itu.
"Apakah maksudmu?" perwira itu bertanya.
"Akulah Witantra," jawab Witantra itu.
Kerut merut dikening perwira itu menjadi semakin dalam. Namun dengan ragu-ragu ia berkata, "Mustahil aku tidak mengenalnya lagi. Mustahil."
"Apakah yang aneh menurut pendapatmu" Pakaian saudagar kaya ini?"
Orang itu tidak menjawab.
"Maaf," berkata Witantra, "sebenarnya akulah Witantra itu. Itulah sebabnya aku mengetahui namamu. Dan itulah sebabnya aku menjadi agak bimbang ketika kau agaknya mengingkari nama itu."
Orang itu masih memandang Witantra dengan tajamnya. Keragu-raguan yang dalam tampak pada sorot matanya. Namun sejenak kemudian ia berdesis, "Witantra, Witantra."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Rambutku sudah berubah warnanya. Keningku sudah menjadi berkerut merut, dan barangkali pipiku sudah mulai melipat."
"Ah," orang itu berdesah. Namun perlahan-lahan ia mulai dapat mengingat kembali wajah Witantra. Wajah Panglima pasukan Pengawal istana pada masa kekuasaan Akuwu Tunggul Ametung. Wajah yang tenang, dan seakan-akan permukaan air yang dalam. Diam, namun mengandung perbawa yang mencengkam.
Sejenak perwira itu memandang wajah Witantra. Dan dengan suara yang ragu ia bertanya, "Apakah benar aku berhadapan dengan Witantra."
"Ya Ki Sanak. Aku berkata sebenarnya bahwa kau memang sedang berhadapan dengan Witantra. Karena itu jangan ingkar lagi bahwa kau adalah Kebo Pamungkas."
Perlahan-lahan perwira itu menganggukskan kepalanya. Dan perlahan-lahan pula ia berkata, "Ya. aku semakin mempercayaimu, bahwa aku memang berhadapan dengan Witantra. Dan karena itu aku tidak akan dapat mengingkari nama itu lagi, meski-pun sejak aku menjadi perwira dari pasukan Pengawal di Singasari, namaku sudah berubah.
"O," Witantra menganggukkan kepalanya, "tetapi aku sadar bahwa kau ingin meyakinkan, apakah aku benar-benar Witantra. Nah, sekarang kau masih mendapat kesempatan. Apakah yang ingin kau ketahui, dan apakah yang dapat aku katakan, agar kau benar-benar percaya bahwa aku adalah Witantra."
Perwira itu memandang Witantra sejenak. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, "Apakah yang kau ketahui tentang Putera Mahkota?"
Witantra tersenyum. Katanya, "Kau tidak mau mengatakannya. Tetapi baiklah, akulah yang akan mengatakannya bahwa Putera Mahkota itu bukan putera Sri Rajasa. Sebagai seorang Panglima Pasukan Pengawal aku tahu pasti, bahwa pada saat Akuwu Tunggul Ametung terbunuh, Ken Dedes sedang mengandung muda. Aku tahu pasti, bagaimana tuan puteri itu selalu diganggu oleh pening dikepala dan kadang-kadang muntah-muntah. Bagaimana tuan puteri selalu ingin makan mentah-mentahan yang asam. Dalam keadaan itulah tuan puteri kemudian kawin dengan Ken Arok yang dengan sendirinya melaksanakan tugas pemegang kekuasaan atas Tumapel. Dan ternyata ia adalah seorang yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Itulah sebabnya, dengan bekal yang ada ia akhirnya dapat mempersatukan seluruh Singasari. Sehingga ia akhirnya bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Nah, apakah kau percaya bahwa aku Witantra. Tentu bukan sekedar keteranganku itulah yang memastikan jika aku Witantra, tetapi terlebih-lebih adalah ingatanmu tentang aku."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku yakin sekarang, bahwa kau memang Witantra. Tetapi Witantra memiliki kekuatan yang luar biasa. Kemampuannya hampir tidak ada duanya di Tumapel waktu itu, kecuali Mahisa Agni dan barangkali Sri Rajasa sendiri."
Witantra tersenyum. Katanya, "Itu adalah pada masa mudaku, selagi olah kanuragan seakan-akan merupakan keputusan terakhir bagi setiap persoalan."
Perwira itu memandang Witantra sejenak. Meski-pun ia menjadi semakin yakin bahwa yang dihadapinya memang Witantra, sebenarnyalah ia mengharapkan agar Witantra dapat membuktikan dirinya dengan kemampuannya yang luar biasa.
Tetapi tidak ada tanda-tandanya bahwa Witantra akan berbuat sesuatu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia masih saja duduk ditempatnya sehingga perwira Singasari itu tidak lagi mengharap bahwa ia dapat melihat Witantra menunjukkan sesuatu kepadanya.
Sejenak keduanya berdiam diri. Sejenak perwira itu masih mengharap. Namun kemudian ia mengerutkan keningnya dan berkata seakan-akan diluar kehendaknya, "Aku sekarang yakin, bahwa kau memang Witantra. Justeru bahwa kau tidak berbuat apa-apa itulah, yang menunjukkan kepadaku, sebenarnyalah kau seorang yang matang dan memiliki ilmu tinggi. Kau tidak dengan tergesa-gesa turun kehalaman dan meremas sebongkah batu menjadi debu. Itulah yang mengagumkan. Aku jadi yakin sekarang."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sukurlah, jika kau mempercayaiku. Justru aku tidak berbuat apa-apa."
"Karena kau tidak berbuat apa-apa itulah aku jadi yakin." sahut perwira itu, "jika kau dengan bangga menunjukkan kemampuanmu dan membuat pengeram-eram, maka kau tentu bukan Witantra yang aku kenal dahulu. "
Witantra tertawa. Katanya, "Tanggapanmu-pun adalah tanggapan seorang perwira yang matang. Jarang sekali seseorang memiliki tanggapan serupa itu. Jika bukan Ki Kebo Pamungkas, ia tentu ingin melihat aku meremas batu menjadi debu."
Keduanya tertawa. Dan perwira itu berkata, "Ternyata kita masih sempat bertemu lagi. Aku senang sekali dapat bertemu dengan Kau Witantra. Selama aku menjadi prajurit sejak di Tumapel, aku belum pernah mempunyai Panglima seperti kau. Bukan saja Panglima Pasukan Pengawal, tetapi Panglima pasukan yang manapun."
"Kau memuji. Tentu aku jauh ketinggalan dari Panglima yang ada sekarang. Mereka tentu memiliki kecakapan dan kemampuan melampaui setiap Panglima yang pernah ada."
Perwira itu mengangkat bahunya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak ingin mengatakan sesuatu tentang para Panglima yang ada sekarang.
"Baiklah," berkata Witantra, "kita tidak berbicara terlalu banyak tentang diri kita sendiri. Aku ingin bertanya secara keseluruhan, apakah terdapat banyak kemajuan sejak Singasari berdiri sampai sekarang?"
Kebo Pamungkas mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Secara keseluruhan kita memang banyak mengalami kemajuan. Tumapel memang terlampau kecil dibanding dengan Singasari sekarang." ia berhenti sejenak. Lalu, "aku berkata sebenarnya Witantra."
"Ya, aku mengerti. Demikian juga menurut pengamatanku dari luar dinding istana Singasari. Bahkan sampai ke puncak bukit yang jauh masih terasa kekuasaan tetapi juga perlindungan dari Singasari. Memang agak berbeda dengan Tumapel yang seakan-akan hanya berkuasa di kota-kota besar saja sekitar Tumapel. Meski-pun pada saat itu masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. Kediri."
"Tetapi," tiba-tiba suara perwira itu merendah, "ternyata kemudian telah timbul persoalan didalam istana Singasari sendiri. Didalam keluarga Ken A rok yang bergelar Sri Rajasa. Sebagai seorang Maharaja ia berhasil membina Singasari menjadi suatu negara besar. Tetapi sebagai seorang ayah ia benar-benar gagal."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apalagi lahir Anusapati yang bukan anaknya yang sebenarnya. Ternyata Sri Rajasa yang berjiwa besar menghadapi persoalan Kediri, bukan Ken Arok yang berjiwa besar menghadapi kelahiran anak tiri yang sudah diketahui sejak Ia kawin, bahwa pada saatnya anak itu tentu akan lahir."
Witantra masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Dan ternyata anak itu sampai saat ini masih juga membawa persoalan. Ternyata kematian Tunggul Ametung bukan suatu penyelesaian yang tuntas bagi Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa."
Witantra memandang wajah Perwira itu sejenak. Ia melihat sesuatu melintas diwajah itu, dan dengan serta-merta ia bertanya, "Bagaimanakah tanggapan para prajurit, terutama para Pelayan Dalam, Pasukan Pengawal dan pemimpin pemerintahan?"
"Maksudmu?" "Tentang hubungan Sri Rajasa dengan putera Tunggul Ametung yang sekarang justru menjadi Putera Mahkota."
"Kurang baik. Tidak ada yang dapat disalahkan pada keduanya. Keadaanlah yang memang menghadapkan mereka pada suatu sikap yang hampir dapat dikatakan bertentangan. Alangkah mudahnya melenyapkan Putera Mahkota itu sebenarnya seandainya tidak ada Mahisa Agni yang kebetulan adalah kakak tuan Puteri Ken Dedes yang pengaruhnya ternyata cukup besar di Singasari dan Kediri."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Seakan-akan ia baru mendengar semuanya itu untuk pertama kalinya.
"Persoalan ini sebenarnya tumbuh sejak Ken Arok mengambil keputusan untuk kawin dengan Ken Dedes yang sedang mengandung. Itulah soalnya."
"Dan siapakah yang paling baik bagi Singasari" Seharusnya kita tidak berbicara tentang siapakah orangnya. Tetapi apakah yang dilakukannya bagi Singasari yang sudah memiliki bentuknya ini."
Perwira Singasari yang semula bernama Kebo Pamungkas itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Witantra sejenak, lalu dengan sungguh-sungguh ia berkata, "Bagiku Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu adalah orang yang paling baik bagi Singasari. Baru kemudian Anusapati yang memang sudah menunjukkan darmanya bagi rakyat. Ia adalah orang yang terkenal dengan sebutan Kesatria Putih. Tetapi justru ketika rakyat Singasari dan juga kalangan istana mengetahui bahwa Kesatria Putih adalah Putera Mahkota, maka geraknya menjadi terbatas sekali."
Witantra mengerutkan keningnya. Bahkan hampir di luar sadarnya ia berkata. "Jika demikian, maka yang terbaik sekarang adalah mempertahankan kekuasaan Sri Rajasa seandainya timbul persoalan, karena seperti yang kau katakan hubungan antara Sri Rajasa dan Anusapati agak kurang baik."
"Jika persoalannya terbatas sampai disitu, maka kau benar. Tetapi persoalannya tidak berhenti sampai disitu."
"Masih, akan timbul persoalan apa lagi?"
"Tentu umur Sri Rajasa betapa-pun ia manusia yang ajaib, tidak akan abadi. Pada suatu saat ia akan mati apa-pun sebabnya. Nah, jika ia meninggal, timbullah persoalan yang berat bagi Singasari."
"Persoalan yang mana yang masih harus dinilai lagi?"
"Tentu Sri Rajasa ingin tahta Singasari jatuh pada keturunannya. Bukan kepada anak Tunggul Ametung. Karena ia tidak dapat ingkar bahwa anak Tunggul Ametung itu yang dianggap oleh rakyat Singasari sebagai puteranya yang sulung, maka ia adalah Putera Mahkota. Namun Sri Rajasa tidak ingin Putera Mahkota itu akan menggantikannya sebagai Maharaja, karena ia agaknya memilih tuanku Tohjaya."
Witantra mengerutkan keningnya. Ia kagum atas penilaian Kebo Pamungkas. Agaknya Kebo Pamungkas tidak dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya, sehingga ia dapat melibat setiap orang di dalam istana Singasari dengan tepat.
"Jadi apakah yang kira-kira akan dilakukan oleh Sri Rajasa?" bertanya Witantra.
"Tidak seorang-pun yang mengetahuinya," jawab Kebo Pamungkas, "mungkin ia berusaha menyingkirkan Anusapati. Mungkin pula ia berusaha agar Anusapati menarik diri atas kehendaknya sendiri."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu. "Tetapi yang manakah tanda-tanda yang dapat kau lihat akan terjadi?"
Perwira itu menggelengkan kepalanya, "Tidak seorang-pun yang tahu. Semuanya dapat terjadi. Tetapi mungkin juga tidak terjadi sesuatu."
Witantra mengangguk-angguk sambil tersenyum. Memang sulit untuk mengatakannya. Hanya orang-orang yang terlibat langsung sajalah yang dapat melihat kemungkinan yang lebih jelas akan terjadi di Singasari. Bahkan Mahisa Agni yang terlibat-pun masih juga mengharap bahwa yang mungkin terjadi itu tidak terjadi.
Demikianlah Witantra berada dirumah perwira itu untuk beberapa saat, sehingga akhirnya ia-pun minta diri. Tetapi ia masih bertanya, siapa sajakah kawan-kawan lamanya yang dapat dikunjunginya, sekedar untuk melepaskan perasaan sepi karena, untuk beberapa tahun lamanya ia tinggal dipadepokan yang terpencil.
"Kau benar-benar tinggal dipadepokan terpencil?"
"Benar. Untuk itu aku berkata sebenarnya."
"Atau barangkali kau justru menjadi seorang pedagang yang kaya raya, tetapi tidak bernama Witantra?"
"Tidak. Aku tidak melakukannya. Aku hanya meminjam perlengkapan adikku yang memang menjadi seorang pedagang, agar kehadiranku dikota yang besar ini agak pantas dipandang orang."
"Terutama kau yang dengan sengaja melepaskan semua bekas yang masih tertinggal pada seorang Panglima Pasukan Pengawal."
"Bekas saja," sahut Witantra.
Kebo Pamungkas tertawa. Katanya, "Baiklah Witantra jika kau mempunyai kesempatan, maka kawan-kawan lama yang kau kunjungi pasti akan menerimamu dengan senang hati. Tetapi jangan terkejut jika orang Singasari akan menyebut namamu lagi, karena masih banyak orang-orang tua yang ingat akan namamu."
"Tentu tidak. Meski-pun masih ada juga orang yang ingat akan namaku, tetapi mereka tidak akan menyebutnya lagi. Karena namaku sekarang tidak mempunyai arti apa-apa lagi."
"Apa salahnya. Kadang-kadang sebuah kenangan mempunyai arti tersendiri didalam hidup ini. Juga kenangan atas seorang prajurit yang bernama Witantra, yang pada waktu itu menjabat sebagai seorang Panglima Pasukan Pengawal."
Witantra tertawa. Katanya, "Terima kasih. Mudah-mudahan kawan-kawan lama mempunyai tanggapan seperti kau."
Demikianlah maka Witantra-pun kemudian minta diri kepada perwira yang pernah mempergunakan nama Kebo Pamungkas itu. Seperti yang ditunjukkan kepadanya, maka ia-pun berjalan menuju kerumah seorang perwira yang lain, yang seperti juga Kebo Pamungkas, kini menjabat didalam keprajuritan Singasari, juga dalam Pasukan Pengawal, Tanggapan beberapa orang kawan yang dikunjunginya hampir tidak ada bedanya. Juga tanggapan mereka atas keadaan Singasari seutuhnya. Namun dari pembicaraan yang dilakukan, meski-pun seakan-akan hanya sepintas lalu, ternyata bahwa para perwira menilai Anusapati lebih baik dari Tohjaya.
Namun seorang perwira berkata kepadanya. "Tetapi hati-hati kakang Witantra. Diantara para prajurit, bahkan para Panglima yang sekarang, ada yang dengan membabi buta berpihak kepada Tohjaya, meski-pun hal itu telah dipengaruhi oleh pamrih pribadi."
Pembicaraan-pembicaraan itu ternyata memberikan gambaran yang hampir lengkap bagi Witantra atas keadaan Singasari. Bagaimana-pun juga Sri Rajasa dan Mahisa Agni menyimpan perasaan masing-masing dan sejauh-jauhnya menimbulkan kesan pertentangan yang ada didalam dada mereka, namun ternyata bahwa hal itu terasa pula bagi para perwira di Singasari.
Perang yang berlangsung dengan diam-diam itu tidak dapat disembunyikan seutuhnya, sehingga dengan diam-diam pula hampir setiap perwira telah mencoba menilai keduanya, dan bahkan telah berusaha untuk menempatkan dirinya.
Namun lebih daripada itu, seperti yang memang dimaksudkan oleh Mahisa Agni, maka nama Witantra-pun mulai disebut-sebut lagi. Dari bibir kebibir, beberapa orang dari lingkungan Pasukan Pengawal mulai membicarakannya.
"Witantra, aku pernah mendengar nama itu," berkata seorang prajurit muda.
"Tentu," jawab yang lain, yang umurnya sudah jauh lebih tua. "Witantra adalah Panglima Pasukan Pengawal pada jaman Akuwu Tunggul Ametung bertahta di Tumapel."
Prajurit yang masih muda itu mengerutkan keningnya. Lalu, "Aku memang pernah mendengar. Ia terusir oleh Mahisa Agni dalam perang tanding diarena, karena Witantra mencoba mempertahankan nama baik, kebo Ijo, yang mati terbunuh, setelah ia membunuh Akuwu Tunggul Ametung."
"Nah, kau banyak mengetahui tentang Witantra," berkata yang sudah lebih tua, "begitulah ceriteranya."
"Tetapi kenapa ia sekarang datang lagi ke Singasari?"
Prajurit yang tua itu menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu. Mungkin ia sekedar ingin melihat Singasari sekarang. Tetapi mungkin ia ingin menemui beberapa orang kawan-kawannya."
Prajurit yang muda itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sedang prajurit yang tua itu berkata pula, "Jika kehadirannya ini didengar oleh Mahisa Agni mau-pun oleh Sri Rajasa, pasti akan menimbulkan persoalan baru, Mahisa Agni yang pernah bermusuhan diarena itu, tentu tidak akan segera dapat melupakan. Bahkan mungkin Witantra sekarang ingin melihat persoalan yang terjadi di Singasari dan siapa tahu, ia masih mampu menentukan sikap dan berbuat sesuatu, karena bagaimana-pun juga ia adalah seorang Panglima yang besar pada waktu itu. Agaknya tidak ada orang lain kecuali Mahisa Agni sajalah yang dapat mengalahkannya, yang kebetulan karena kematian mPu Gandring, maka Mahisa Agni merasa berkepentingan untuk menghukum Kebo Ijo dan tetap menempatkannya pada kedudukannya sebagai seorang pembunuh."
Prajurit yang muda itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ceritera semacam itu pernah didengarnya meski-pun tidak lengkap. Namun bagaimana-pun juga kehadiran Witantra menjadi bahan pembicaraan disetiap kalangan, terutama keprajuritan, bukan saja dari lingkungan pasukan Pengawal.
Ternyata bahwa ceritera tentang Witantra itu menjalar terus sehingga suatu ketika sampai juga ketelinga Tohjaya. Seperti hampir setiap prajurit dan orang-orang didalam lingkungan istana pernah mendengar nama itu, maka Tohjaya-pun pernah mendengarnya pula. Tohjaya mengetahui bahwa Witantra pernah melakukuan perang tanding melawan Mahisa Agni, sehingga Witantra dengan menderita malu meninggalkan Tumapel pada waktu itu.
"Tentu Witantra itu masih tetap mendendam Mahisa Agni," berkata Tohjaya didalam hatinya, "mudah-mudahan dendamnya itu kini semakin menyala didalam hatinya."
Dengan harapan yang melonjak didalam hatinya, maka Tohjaya-pun kemudian menyampaikan ceritera yang didengarnya itu kepada ayahanda Sri Rajasa.
"Siapakah yang mengatakan kepadamu?" bertanya Sri Rajasa.
"Beberapa orang menceriterakan bahwa mereka mendengar tentang kehadiran Witantra di Singasari."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun ia-pun menggelengkan kepalanya, "Aku tidak memerlukannya lagi."
"Ayahanda," berkata Tohjaya kemudian, "jika Witantra itu dahulu pernah bermusuhan dengan pamanda Mahisa Agni, apakah salahnya jika sekarang Witantra itu berada istana ini dan dihadapkan kepada kemungkinan yang dapat ditimbulkan oleh pamanda Mahisa Agni" Atau barangkali ayahanda dapat mengambil kebijaksanaan, agar Kediri tidak terpengaruh terlampau dalam oleh pamanda Mahisa Agni, ayahanda dapat mengangkat Witantra itu menggantikannya."
Sri Rajasa menggelengkan kepalanya. Katanya. "Tentu tidak semudah itu Tohjaya. Inilah salah satu tugas yang harus dilakukan oleh seorang raja. Tidak sekedar menuruti gejolak perasaannya saja. Kita harus mempertimbangkan, akibat yang dapat ditimbulkan oleh keputusan-keputusan yang kita ambil. Memang terlampau mudah untuk mengambil keputusan itu. Tetapi akibat dari keputusan itulah nanti yang akan menimbulkan persoalan-persoalan yang membuat kita bertambah pening."
"Baiklah ayahanda. Tetapi apa-pun yang dapat kita berikan kepadanya, sebaiknya Witantra itu kita undang untuk masuk kembali kedalam istana."
Sri Rajasa tidak segera menyahut. Kini setiap kali ia selalu diganggu oleh kenangan masa lampaunya. Bagaimanakah kiranya jika Witantra itu mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah membunuh Tunggul Ametung, mPu Gandring dan kemudian siapakah yang telah mendorong Kebo Ijo dengan licik, sehingga ia terbunuh sebagai seorang pembunuh.
Bahkan tiba-tiba saja timbul pertanyaan didalam hatinya, "Apakah Witantra sudah mengetahuinya dan kehadirannya itu didorong oleh sakit hatinya" Jika demikian tentu bukan Mahisa Agni yang dicarinya untuk melepaskan dendam dan sakit hatinya."
Tetapi Sri Rajasa tidak dapat mengatakannya kepada Tohjaya. Tohjaya masih belum tahu apakah yang dilakukan oleh ayahandanya untuk mencapai kedudukannya yang sekarang. Dan tentu Sri Rajasa tidak akan membiarkan anaknya mengetahui bahwa ia adalah seorang pembunuh. Pembunuh yang licik meski-pun kini setiap orang mengakuinya sebagai seorang Maharaja yang berani dan bijaksana. Tetapi sekali ini ia dibelit oleh persoalan keluarga yang kadang-kadang mengaburkan kebijaksanaannya.
Sri Rajasa terkejut ketika Tohjaya bertanya kepadanya, "Apakah ayahanda sependapat?"
Sri Rajasa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku akan mempertimbangkannya Tohjaya. Tetapi tentu dengan segala macam perhitungan. Sebagai seorang raja yang mengemudikan Singasari dalam keseluruhan, bukan hanya sekedar didalam istana ini, atau lebih sempit lagi hanya mengurusi kau dan Anusapati, mungkin juga Mahisa Agni. maka aku harus membuat pertimbangan-angan yang masak."
"Ayahanda," Tohjaya mencoba mendesak, "apakah persoalan ini akan ada sangkut pautnya dengan kebijaksanaan ayahanda bagi Singasari?"
"Tentu Tohjaya. Anusapati adalah seorang Pangeran Pati. Semua persoalan yang menyangkut Anusapati, tentu akan menyangkut Singasari."
"Maksudku, jika kemudian pamanda Mahisa Agni dan kakanda tersingkir dan ayahanda mengangkat penggantinya, maka persoalannya tentu akan selesai. Agar mereka tidak akan dapat berbuat apa-pun lagi untuk seterusnya, maka sebaiknya mereka itu harus disingkirkan untuk selama-lamanya."
"Aku mengerti maksudmu. Dan aku akan memikirkannya."
Tohjaya tidak berani mendesaknya lagi. Sejenak ia masih duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia-pun mohon diri meninggalkan bangsal ayahandanya Sri Rajasa.
Bersama dua orang pengawalnya ia berjalan dihalaman istana Singasari. Dengan sengaja ia berjalan melalui lorong yang menyilang halaman bangsal Anusapati.
Ternyata seperti yang diharapkannya Anusapati berada didepan bangsalnya bersama anak laki-lakinya. Sejenak Tohjaya berhenti. Kemudian perlahan-lahan ia mendekatinya.
"Putera kakanda sudah pandai berkelahi," berkata Tohjaya sambil tersenyum.
Anusapati-pun tersenyum pula. Sambil mengusap kepala anaknya ia berkata, "Sebentar lagi ia sudah pandai memacu seekor kuda."
Tohjaya menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Tentu seperti ayahandanya. Sebagai Kesatria Putih kakanda adalah penunggang kuda yang baik."
"Terima kasih," sahut Anusapati mendengar pujian itu, lalu ia-pun mencoba mempersilahkan Tohjaya meski-pun ia tahu pasti bahwa Tohjaya tidak akan bersedia melakukannya.
"Ah, aku hanya singgah sebentar kakanda Anusapati, Aku baru saja menghadap ayahanda Sri Rajasa."
"O," Anusapati mengangguk-angguk.
"Apakah kakanda Anusapati sudah mendengar berita yang baru saja tersiar diseluruh kota Singasari ini?"
"Maksudmu?" bertanya Anusapati.
"Kakanda, apakah kakanda pernah mendengar nama Witantra?"
"Witantra," Anusapati mengulangi.
"Ya. Witantra."
Anusapati menjadi berdebar-debar. Tentu ia mengenal Witantra dengan baik. Tetapi kenapa Tohjaya bertanya kepadanya"
"Aku memang pernah mendengar," jawab Anusapati ragu-ragu.
"Tentu sudah. Witantra pernah menjabat sebagai seorang Panglima pada jaman pemerintahan Tumapel yang dipimpin hanya oleh seorang Akuwu bernama Tunggul Ametung."
Dengan kaku Anusapati menganggukkan kepalanya. Tunggul Ametung adalah nama yang dikenalnya dengan baik sejak ia mengetahui siapakah dirinya itu sebenarnya.
"Sudah lama Witantra menghilang. Kau tahu sebabnya kakanda?" bertanya Tohjaya pula.
Anusapati tidak menyahut.
"Tentu kau pernah mendengar. Witantra ternyata dikalahkan oleh pamanda Mahisa Agni diarena, dalam usahanya membersihkan nama baik seorang prajurit bernama Kebo Ijo. Kau tentu pernah mendengar."
Anusapati menjadi semakin berdebar-debar. Dan ia masih harus mendengarkan beberapa keterangan lagi mengenai Witantra itu, yang semuanya telah diketahuinya dengan baik.
"Yang penting kakanda," berkata Tohjaya kemudian, "bahwa Witantra dan pamanda Mahisa Agni adalah musuh bebuyutan," ia berhenti sejenak. Lalu, "ternyata sekarang nama Witantra itu timbul kembali. Dihari terakhir Witantra telah menampakkan dirinya diantara rakyat Singasari. Kita tidak tahu maksudnya. Namun yang terdengar, setelah Witantra bertapa diatas bukit yang sangat jauh, ia kini memiliki kemampuan jasmaniah yang tiada terkira. Juga ilmu kejiwaan dan kekuatan rokhaniahnya. Pokoknya kini ia menjadi seorang yang mumpuni."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kini dadanya justru menjadi sedikit lapang. Ternyata tanggapan Tohjaya tentang Witantra tidak tepat seperti yang sebenarnya.
"Karena itu kakanda," berkata Tohjaya kemudian, "aku ingin berpesan. Bukan maksudku merendahkan pamanda Mahisa Agni, tetapi jika masih ada kesempatan, sebaiknya pamanda Mahisa Agni segera meninggalkan Singasari sebelum Witantra berbuat sesuatu untuk melepaskan dendamnya terhadap paman Mahisa Agni. Kekalahannya diarena tidak akan pernah dapat dilupakan seumur hidupnya justru karena ia seorang kesatria."
Terasa dada Anusapati terguncang pula mendengar kata-kata Tohjaya. Meski-pun Anusapati mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Tohjaya itu tidak akan terjadi, karena justru Witantra sudah terlampau sering, bukan saja bertemu, tetapi sudah bekerja sama untuk waktu yang lama, namun cara mengucapkan kata-katanya benar-benar menyakitkan hati.
"Jangan tersinggung kakanda," berkata Tohjaya kemudian, "aku tahu bahwa pamanda Mahisa Agni adalah pamanmu karena ia adalah kakak ibunda Permaisuri, namun sebenarnyalah aku memang bermaksud baik."
Sejenak Anusapati terdiam. Dengan susah payah ia mencoba menahan perasaannya. Setelah gejolak dihatinya mereda, maka ia-pun menjawab, "Terima kasih atas pesanmu adinda Tohjaya. Jika aku bertemu dengan pamanda Mahisa Agni, biarlah aku memberitahukannya."
"Bukan sekedar memberitahukan kakanda. Tetapi kakanda harus mohon kepada pamanda Mahisa Agni, agar ia menyingkir. Mungkin ia sekarang merasa dirinya tidak terkalahkan selain oleh ayahanda Sri Rajasa. Ia merasa menang pula atas prajurit Singasari dan Kediri secara pribadi. Namun mungkin ia harus berpikir lain terhadap orang yang bernama Witantra itu. Setelah bertahun-tahun Witantra hilang dari Tumapel, maka ia tentu bukan Witantra yang dahulu. Sedang apakah sebenarnya yang dimiliki oleh pamanda Mahisa Agni?"
"Memang tidak ada," berkata Anusapati, "karena itu aku memang akan menyampaikannya. Seperti katamu, aku akan minta pamanda Mahisa Agni kembali saja ke Kediri."
Tohjaya mengerutkan keningnya. Ia mengharap Anusapati menjadi sakit hati. Tetapi ternyata Anusapati kemudian sama sekali tidak memberi kesan bahwa ia telah tersinggung karenanya.
"Kakanda Anusapati," berkata Tohjaya kemudian, yang memang berusaha membuat Anusapati marah, "jika pamanda Mahisa Agni tidak ingin segera kembali ke Kediri karena ibunda Permaisuri sedang sakit, maka sebaiknya pamanda Mahisa Agni bersembunyi saja didalam istana. Di sini pamanda Mahisa Agni akan mendapat perlindungan dari ayahanda Sri Rajasa, jika Witantra mencarinya."
Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Terlintas dikepalanya, pertengkaran yang hampir saja menyeretnya kedalam suatu pertentangan yang terbuka. Karena itu, maka betapa-pun juga. Anusapati masih mencoba menahan hatinya. Bahkan ia-pun mencoba untuk segera mengakhiri pembicaraan yang membosankan itu, katanya, "Adinda Tohjaya. Apakah adinda sudah melihat kehadiran Witantra?"
Tohjaya termangu-mangu sejenak. Namun katanya, "Apakah aku perlu melihat sendiri" Aku dan ayahanda mempunyai beberapa orang petugas sandi. Mereka benar-benar sudah meyakini, bahwa Witantra kini ada di Singasari."
"Maksudku," berkata Anusapati. "adinda Tohjaya sudah mendapat keterangan langsung dari mereka yang memang bertugas mengawasinya, atau orang-orang yang secara kebetulan menjumpainya?"
Tohjaya tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Anusapati sejenak, lalu katanya. "Aku sudah mendengarnya langsung dari petugas sandi."
"Jika demikian, alangkah akan berterima kasihnya pamanda Mahisa Agni, tentu tidak akan melupakan budi baik adinda Tohjaya, karena dengan demikian adinda Tohjaya sudah menyelamatkan nyawanya."
Sepercik warna semburat merah membayang diwajah Tohjaya. Meski-pun demikian ia masih juga menjawab, "Itu tidak perlu. Bagiku, tidak banyak kepentingannya apakah pamanda Mahisa Agni terjebak oleh Witantra atau tidak. Terserahlah kepada kakanda. Apakah kakanda menganggap perlu menyampaikannya atau tidak."
"O." Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "baiklah, aku akan memberitahukan. Tetapi aku justru menjadi sangat cemas."
"Karena itu, kakanda harus segera menemuinya."
"Bukan karena pamanda Mahisa Agni akan mengalami pembalasan dendam. Tetapi yang aku cemaskan, jika aku salah memberikan keterangan, justru pamanda Mahisa Agnilah yang akan mencari Witantra itu."
Dada Tohjaya berdesir. Cepat-cepat ia berkata, "Apakah pamanda Mahisa Agni sudah jemu hidup" Witantra bukan lagi Witantra yang dikalahkan."
"Perkembangan waktu yang berjalan dalam kehidupan Witantra akan dialami juga oleh pamanda Mahisa Agni. Ingat, bahwa pamanda Mahisa Agni telah berhasil mengalahkan Senapati Agung Kediri pada waktu itu. Bukan sekedar peorang Panglima Pasukan Pengawal istana Tumapel."
Dada Tohjaya telah terguncang. Ia tidak dapat membantah, bahwa sebenarnyalah Mahisa Agni pernah mengalahkan Senapati Agung Kediri, pada saat Sri Rajasa berhasil memecah pertahanannya dan membunuh Maharaja Kediri pula.
Meski-pun demikian Tohjaya masih berkata, "Terserahlah kepadamu. Cobalah sekali-sekali melihat kenyataan. Jika pamanda Mahisa Agni ingin mencari Witantra, sebaiknya di persilahkan saja."
"Baiklah adinda Tohjaya," berkata Anusapati kemudian, "aku akan menyampaikannya. Sikap yang akan diambil kemudian terserah kepada pamanda Mahisa Agni. Apakah pamanda Mahisa Agni akan mengulangi perang tanding diarena, atau pamanda ingin menemuinya dan langsung membunuhnya."
"Pamanda Mahisa Agni yang akan dibunuhnya."
"O begitu?" Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata sikap Anusapati itu sama sekali tidak menyenangkan hati Tohjaya. Bahkan hampir saja ia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Untunglah bahwa kedua prajurit pengawalnya itu kemudian mendekatinya dan berkata, "Tuanku, marilah. Ibunda tentu menunggu."
Tohjaya memandang kedua pengawalnya yang juga menjadi penasehatnya sejenak. Tetapi ketika ia melihat prajurit yang ada didepan regol halaman bangsal Anusapati timbul kecurigaannya, bahwa pengawal-pengawalnya itu telah menjadi ketakutan.
Namun Tohjaya tidak berbuat apa-apa. Dipandanginya sekali lagi Anusapati sambil berkata, "berhati-hatilah. Mungkin Witantra tidak hanya sekedar menuntut balas kepada pamanda Mahisa Agni saja."
"Terima kasih atas peringatan ini. Tetapi kesatria Putih akan mencarinya sampai ketemu, apa-pun yang akan terjadi."
Wajah Tohjaya menjadi merah padam. Ternyata hati Anusapati sama sekali tidak menjadi kecut. Bahkan sebaliknya. Namun Tohjaya masih juga berkata, "Jangan terlalu sombong. Kesatria Putih tidak ada harganya dihadapan Witantra."
"Tetapi Kesatria Putih pernah membinasakan penjahat yang paling berbahaya di Singasari. Jika demikian, maka Kesatria Putih akan mencobanya jika ia gagal, biarlah ia terkubur bersama kesombongannya."
Kemarahan Tohjaya sudah sampai diubun-ubunnya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa, karena ia masih tetap sadar, bahwa ia berada di halaman bangsal Anusapati.
"Baiklah kakanda," berkata Tohjaya, "aku minta diri. Aku sudah mengatakannya. Terserahlah kepada kakanda. Jika terjadi sesuatu dengan Mahisa Agni dan Kesatria Putih, sama sekali kakanda tidak dapat menyalahkan aku lagi."
"Terima kasih adinda."
Tohjaya-pun kemudian dengan tergesa-gesa melangkah meninggalkan bangsal Anusapati. Ia tidak berhasil menakut-nakuti Pangeran Pati itu, tetapi justru sebaliknya. Hatinya sendiri serasa terbakar. Namun untuk menyenangkan hatinya sendiri ia berkata kepada kedua pengawalnya, "Kakanda Anusapati memang sombong sekali. Tetapi ia tentu menjadi ketakutan. Mungkin ia akan berlari-lari kepada pamanda Mahisa Agni dan mengatakan bahwa sebaiknya pamanda Mahisa Agni pergi saja dari Singasari dan bahkan mungkin kakanda Anusapati ingin ikut serta bersamanya. Tentu ia tidak akan dapat berbuat apa-apa dihadapan Witantra meski-pun ia menamakan dirinya Kesatria Putih atau Kesatria hijau atau hitam sama sekali."
Kedua pengawalnya sama sekali tidak menyahut. Mereka sudah mengenal Tohjaya dengan baik. Jika mereka berani membantahnya barang satu patah kata, maka Tohjaya itu tentu akan membentak-bentaknya.
Sebenarnyalah bahwa Anusapati-pun kemudian memang pergi kepada Mahisa Agni. Diceriterakannya apa saja yang dikatakan oleh Tohjaya kepadanya.
Mahisa Agni justru tersenyum mendengar ceritera Anusapati tentang Tohjaya tersebut. Katanya, "Tentu ia tidak mengetahui bagaimana perasaan ayahandanya. Jika ayahandanya menduga bahwa Witantra mengerti apa yang sudah terjadi, maka Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tentu akan berpikir lain dari Tohjaya. Tetapi tentu ia tidak akan mengatakannya kepada puteranya itu."
"Aku kira adinda Tohjaya akan menunggu, apakah pamanda akan segera pergi ke Kediri atau tidak. Jika pamanda kemudian ternyata pergi ke Kediri, maka adinda Tohjaya tentu menganggap bahwa pamanda menjadi ketakutan dan dengan tergesa-gesa meninggalkan Singasari."
"Kasihan anak itu," berkata Mahisa Agni kemudian.
"Jadi, apakah yang akan paman lakukan setelah paman Witantra sekarang mulai disebut-sebut orang lagi."
"Aku menunggu perintah Sri Rajasa. Mungkin Sri Rajasa akan memanggilku dan mempersoalkan Witantra itu."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Apakah pendapat adinda Tohjaya itu juga pendapat ayahanda Sri Rajasa?"
"Belum dapat ditentukan," jawab Mahisa Agni.
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya, ayahanda tentu akan memanggil pamanda Mahisa Agni, karena menurut ayahanda Sri Rajasa, pamanda berkepentingan karena pamanda pernah melakukan perang tanding melawan Witantra. Dan agaknya hal itu semua orang mengetahuinya."
"Terutama yang umurnya sudah cukup tua. Mungkin banyak diantara prajurit Singasari sekarang yang menyaksikan perang tanding pada waktu itu. Namun yang aku tidak mengerti, dari mana Tohjaya dapat mengatakan bahwa Witantra sekarang bukan Witantra yang dahulu."
"Kesan setiap orang tentu demikian pamanda, karena paman Witantra seakan-akan baru saja turun dari pertapaannya. Tentu ia sudah membekali dirinya dengan ilmu yang paling sakti. Jika ia datang ke Singasari, maka tentu orang akan menghubungkannya dengan pamanda Mahisa Agni."
Makisa Agni tersenyum pula. Lalu katanya, "Anusapati. Aku akan menunggu. Tentu tidak akan lama lagi Sri Rajasa memanggil aku untuk membicarakan Witantra. Dan tentu tidak dalam sidang di paseban, meski-pun aku telah dipanggil pula mengikuti sidang di paseban."
"O, jadi paman akan mengikuti sidang di paseban?"
"Ya." "Dan aku, seorang Pangeran Pati tidak dipanggil untuk mengikuti sidang ini?"
"Bukan yang pertama kali terjadi Anusapati."
Anusapati menggeretakkan giginya. Tetapi sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Silahkan paman."
Mahisa Agni-pun kemudian minta diri untuk pergi ke paseban, sedang Anusapati-pun meninggalkan bangsal pamannya itu dan berjalan tanpa tujuan dihalaman. Rasa-rasanya ia sudah jemu untuk bermain-main dengan diam-diam seperti itu. Tetapi apa boleh buat. Seperti kata pamannya, bahwa apabila mungkin biarlah persoalannya selesai dengan baik.
"Paman terlampau dipengaruhi oleh kelembutan hatinya. Sebagai seorang prajurit, paman pasti bersikap lain. Sebab dengan demikian, ia akan mengalami kesulitan," berkata Anusapati didalam hatinya.
Namun tiba-tiba saja ia tidak dapat ingkar mengingat kemenangan pamandanya itu di Kediri melawan Senapati Agung Kediri saat itu. Tanpa disadarinya maka langkah Anusapati-pun membawanya kedalam taman. Ketika ia melihat beberapa orang juru taman sedang beristirahat dibawah pohon yang rindang, ia-pun mendekatinya.
Juru taman yang sedang duduk-duduk itu-pun segera bangkit, seakan-akan mereka sedang bermalas-malasan dan tidak melakukan pekerjaannya. Kedatangan Anusapati membuat mereka terkejut dan justru merasa bersalah.
Tetapi Anusapati segera berkata, "Duduklah. Duduklah. Aku tidak sedang mengamat-amati kerja kalian. Jika kalian bermalas-malasan, biarlah aku pura-pura tidak melihat. Tetapi jika memang waktunya kalian beristirahat, itu adalah hak kalian."
Para juru taman itu termangu-mangu sejenak. Namun Sumekarlah yang mula-mula duduk kembali ditempatnya, sedang kawan-kawannya-pun mengikutinya meski-pun ragu-ragu.
Anusapati-pun kemudian mendekati mereka, dan bahkan duduk diantara mereka.
Juru taman yang ada disekitarnya menjadi segan-segan juga sehingga mereka berkisar menjauh.
"Duduklah. Kenapa kalian menjadi bingung" Aku sekali-sekali ingin duduk bersama kalian disini. Tidak dipaseban."
Para juru taman itu menarik nafas dalam-dalam.
"Nah, berbicaralah tentang persoalan yang sedang kalian bicarakan sebelum aku datang."
Sejenak para juru taman itu saling berpandangan. Lalu Sumekarlah yang menyahut, "Kami tidak membicarakan sesuatu tuanku."
"jadi apa yang kalian perbuat?"
"Kami berbicara tentang isteri Ki Ruwe ini," sahut salah seorang dari mereka.
"Kenapa dengan isterinya?"
"Isterinya adalah seorang juru masak yang paling pandai menurut penilaiannya. Ia sangat pandai membuat segala macam masakan. Masakan dari segala macam bahan. Daging, telur, ikan air, udang, yuyu, cengkerik dan bilalang."
"Ah," potong juru taman yang bernama Ki Ruwe, "siapa yang mengatakan cengkerik dan bilalang. Tentu isterimu sendiri."
Kawan-kawannya tertawa. Salah seorang berkata. "O, jadi kau tidak menyebut cengkerik dan bilalang?"
Ki Ruwe memandang kawannya itu dengan mata terbelalak. Sedang kawan-kawannya yang lain tidak dapat menahan tertawanya.
Kemudian beberapa lamanya mereka berbicara tentang taman dan bunga-bungaan. Tentang pepohonan didalam dan diluar istana. Pohon beringin dan pohon preh yang hidup disekitar istana. Pohon sawo kecik dan pohon tanjung.
Akhirnya, Anusapati-pun bertanya kepada para juru taman itu, "He, apakah kalian mendengar berita tentang sesuatu yang agak lain dari ceritera tentang pepohonan dan pohon buah-buahan?"
Juru taman itu saling berpandangan sejenak. Beberapa diantara mereka menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Tidak tuanku. Kami tidak mendengar berita tentang apa-pun juga. Mungkin karena kami hanya juru taman saja di istana ini."
Anusapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, "Misalnya ceritera tentang seseorang yang sudah lama sekali hilang dari pembicaraan dan tiba-tiba saja sekarang muncul kembali."
"O," tiba-tiba juru taman yang bernama Ki Ruwe itu menyahut, "Aku mendengar."
"Apa?" bertanya kawan-kawannya, "tidak tentang masakan."
"Tidak. Aku baru saja mendengar para prajurit membicarakan seorang yang bernama Witantra."
"Witantra," sahut yang lain, "aku juga mendegar."
"Ya, aku juga mendengar," berkata juru taman yang sudah tua. "Aku mendengar kehadiran kembali Witantra di Singasari setelah bertahun-tahun lamanya ia menghilang dari Tumapel. Tentu tidak dari Singasari, sebab pada waktu itu pemerintahan didaerah ini dipimpin oleh seorang Akuwu yang terbunuh."
"Akuwu Tunggul Ametung maksudmu?" bertanya Anusapati.
Ki Ruwe mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya, Akuwu Tunggul Ametung. Aku juga pernah mendengar."
"Ah kau," potong kawannya yang lain.
Dan juru taman yang sudah tua itu melanjutkan, "Sekarang Witantra itu kembali lagi."
"Apakah kau pernah mengalami pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung?" bertanya Anusapati.
"Ya, aku mengalaminya," sahut juru taman yang tua itu.
"Bagaimana menurut penilaianmu?"
Juru taman itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia teringat, bahwa selagi Permaisuri yang melahirkan Anusapati itu kawin dengan Ken Arok, ia sudah mengandung muda. Karena itu maka ia-pun menjadi ragu-ragu untuk mengatakannya.
"Bagaimana?" desak Anusapati.
Juru taman itu menjadi semakin bingung. Bahkan timbul pertanyaan didalam hatinya, "Apakah Putera Mahkota ini sudah mengetahui tentang dirinya?"
Sejenak Anusapati menunggu. Tetapi juru taman itu tidak mengatakan apa-pun juga.
"Bagaimana?" desak Anusapati, "bagaimanakah menurut penilaianmu?"
Juru taman itu menjadi bingung. Keringatnya mengalir diseluruh tubuhnya.
"Baiklah," berkata Anusupati, "kau tidak mau mengatakannya?"
"Bukan tidak mau," jawab juru taman itu, "tetapi hamba waktu itu belum menjadi seorang juru taman."
"Meski-pun kau belum seorang juru taman, tetapi kau tentu dapat mengingat, apa yang sudah terjadi di Tumapel waktu itu."
"Ya, ya tuanku. Hamba memang mengingat serba sedikit. Tetapi yang hamba ingat, Tumapel adalah kota yang tenang."
"Tenang sekali?" bertanya Anusapati.
Juru taman itu menjadi bingung. Karena itu maka jawabnya, "Yang tenang sekali."


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anusapati tersenyum. Ia mengerti bahwa juru taman itu tidak dapat mengatakan apa yang sesungguhnya ada didalam hatinya. Baik atau jelek. Namun tiba-tiba saja sesuatu berdesir dihati Anusapati. Agaknya banyak orang-orang Tumapel yang pada waktu itu pernah mengenal ibunda Permaisuri, bahwa sebenarnya ibundanya itu sudah mengandung pada saat ia kawin dengan Ken Arok.
"Tentu semua orang mengetahuinya waktu itu," berkata Anusapati didalam hatinya, "jika mereka tidak mengetahuinya dari bentuk jasmaniah ibunda, mereka-pun dapat menghitung waktu. Belum genap sembilan bulan ibunda kawin dengan Sri Rajasa, aku tentu sudah dilahirkan."
Tiba-tiba saja Anusapati menjadi semburat merah. Namun ia berusaha untuk menyembunyikan gejolak perasannya itu. Bahkan kemudian ia-pun tertawa sambil berkata, "Suatu ukuran yang dapat kau pergunakan, apakah kau menjadi semakin kaya atau miskin. Jika kau menjadi semakin kaya, maka Singasari tentu lebih baik bagi rakyat kecil seperti kau. Tetapi jika kau menjadi semakin miskin tentu ada kesalahan. Apakah Singasari yang bersalah sehingga rakyatnya miskin, atau kaulah yang kemudian dihinggapi penyakit kemaksiatan. Judi barangkali?"
Juru taman yang gelisah itu menarik nafas dalam-dalam melihat Anusapati tertawa. Demikian juga juru taman yang lain, yang ikut menjadi tegang pula.
"Hamba, hamba tidak menjadi lebih kaya dan tidak menjadi lebih miskin, tuanku. Rasa-rasanya hamba dahulu dapat makan sekeluarga, dan sekarang juga hamba dapat makan sekeluarga."
"Apakah jumlah keluargamu sama?"
"Tidak tuanku. Dahulu hamba seorang pengantin baru disaat Akuwu Tunggul Ametung meninggal. Sekarang hamba sudah mempunyai sembilan belas anak."
"Sembilan belas?" Anusapati menjadi terheran-heran.
"Hamba tuanku."
"Bagaimana mungkin kau mempunyai sembilan belas orang anak?"
"Hamba beristeri tiga orang, tuanku."
"O," Anusapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itulah sebabnya hidupmu sejak dahulu sampai sekarang tetap saja seperti itu. Sembilan belas orang anak."
"Tetapi mereka semuanya mendapat bagiannya tuanku."
Anusapati tersenyum. Lalu, "Dan kau tinggal juga didalam halaman istana?"
"Tidak tuanku, hamba tinggal diluar. Hamba mempunyai sebidang tanah yang sempit, sebuah rumah yang besar meski-pun buruk untuk menampung tiga orang isteri dan sembilan belas anak hamba itu."
Anusapati menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu katanya, "Pantas jika isterimulah yang pandai memasak ikan air, yuyu, cengkerik dan bilalang."
"Bukan tuanku, bukan isteri hamba."
Anusapati hanya tersenyum saja. Namun kemudian ia berkata, "Aku akan berjalan-jalan. Dipaseban sedang ada sidang. Tetapi aku tidak ikut serta."
-ooo0dw0ooo- (bersambung jilid 78) Jilid 78 JURU TAMAN yang ada ditempai itu hampir tidak ada yang menaruh perhatian, apakah Anusapati ikut serta didalam sidang di paseban atau tidak. Tetapi bagi Sumekar pemberitaan itu merupakan pertanda, bahwa jarak antara Sri Rajasa dan Anusapati masih belum menjadi semakin dekat seperti yang diharapkan oleh Mahisa Agni. Keduanya pasti tetap didalam pendirian dan sikap masing2.
"Jika demikian, perang dengan diam2 ini tidak akan segera berakhir. Jika Mahisa Agni keluar dari bangsalnya, aku harus menegaskan sekali lagi."
Namun kemudian Sumekar mendengar Anusapati berkata, yang agaknya memang ditujukan kepada dirinya, "Aku akan menunggu paman Mahisa Agni setelah sidang dipaseban."
Sumekar mengangguk2kan kepalanya. Ternyata bahwa Mahisa Agni justru dipanggil menghadap Sri Rajasa didalam sidang di paseban.
Sepeninggal Anusapati, maka para juru taman itupun segera kembali pada kerja masing2. Sumekarpun kemudian mengambi cangkul kecil bertangkai panjang. Dengan hati2 iapun kemudian menyiangi sebatang pohon soka putih disudut taman itu.
Anusapati yang merasa semakin tersisih itu mengisi waktunya dengan berjalan2 disepanjang halaman. Kadang2 ia berhenti pada sebuah gardu peronda. Prajurit Pengawal yang berada di gardu2 itu ternyata telah mendengar pula dan bahkan membicarakan tentang Witantra.
"Nama itu masih mempunyai pengaruh," berkata Anusapati didalam hatinya.
Dalam pada itu, dipaseban, Sri Rajasa dan para pemimpin Singasari sedang membicarakan beberapa masalah tentang Singasari. Tentang beberapa gerombolan penjahat yang sudah berhasil diusir dari tempat2 yang ramai dan tersudut dihutan-hutan, daerah yang selalu diserang banjir, dan beberapa persoalan lainnya yang penting.
Para Panglima yang ikut didalam sidang itupun melaporkan kegiatan pasukan masing2 dari tingkat yang tertinggi sampai dengan tingkat yang terendah.
Seperti yang didengar oleh Mahisa Agni pada paseban yang lewat, pada umumnya semua laporan adalah ceritera tentang kebaikan, kemenangan, kemakmuran dan kedamaian. Meskipun atas pertanyaan Sri Rajasa disinggung2 pula tentang bahaya banjir tentang kejahatan, tentang hama tanaman yang meluas, namun pada umumnya para pemimpin itu mengatakan, bahwa semuanya sudah dapat diatasi.
Sri Rajasa mengangguk2kan kepalanya seperti pada sidang dipaseban yang lewat. Karena itu, bagi Mahisa Agni, sidang itu hampir tidak dapat menarik perhatiannya sama sekali. Hanya karena keharusan ia memperhatikan setiap keterangan dan laporan. Hanya karena orang lain mengangguk-anggukkan kepalanya, maka Mahisa Agnipun mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Namun berbeda dengan sidang yang lewat, maka kali ini Mahisa Agni diminta oleh Sri Rajasa untuk memberikan keterangan tentang Kediri dan daerahnya. Hal yang serupa hampir tidak pernah dilakukan dipaseban. Biasanya Mahisa Agni dipanggil menghadap langsung kepada Sri Rajasa dan satu dua orang penasehatnya saja, termasuk guru Tohjaya. Tetapi kini ia harus berbicara dimuka sidang.
Sejenak Mahisa Agni menjadi ragu2, jika ia berkata sebenarnya maka nada laporan adalah jauh berbeda dengan nada kidung yang mengalun dalam himbauan angin pegunungan. Jika ia berkata sebenarnya, maka nadanya bagaikan guruh yang meledak dilangit yang bersih jernih.
Tetapi seperti yang ada didalam nuraninya, maka Mahisa Agni tidak dapat berkata lain. Bahkan kemudian ia menganggap dirinya telah dipaksa oleh Sri Rajasa untuk membenturkan kepalanya sendiri pada dinding batu.
"Apakah aku akan dapat mengatakan keadaan yang benar2 terjadi dengan jujur, sedang setiap orang didalam paseban ini mengatakan bahwa mereka berhasil melakukan tugas masing2 dengan baik," bertanya Mahisa Agni kepada diri sendiri. Namun ternyata bahwa pertanyaan itu justru telah mendorongnya untuk menyatakan dirinya, pribadinya, meskipun akibatnya beberapa orang akan menyebutnya sebagai seorang Senapati Agung yang kurang mampu melaksanakan tugasnya karena didalam laporannya masih terdapat cacat2 yang cukup besar."
Sri Rajasa yang duduk diatas singgasananya yang beralaskan kulit harimau yang belum sama berhasil ditangkapnya di hutan selagi ia berburu, menunggu dengan berdebar2. Sebenarnyalah bahwa ia ingin mengetahui, apakah Mahisa Agni dapat mengatakan seperti yang dikatakannya langsung kepadanya tentang kekurangan2 yang terjadi di Singasari. Apakah ia tidak termasuk salah seorang dari para pemimpin Singasari yang selalu menyembunyikan kenyataan dihadapan banyak orang sekedar untuk mengangkat martabatnya sendiri.
Sejenak Mahisa Agni masih berdiam diri. Ketika ia memandang wajah Sri Rajasa yang tegang, maka iapun segera bergeser sejenak sambil berkata, "Baiklah tuanku. Hamba akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi didaerah pengawasan Hamba sebagai orang yang mendapat pelimpahan kekuasaan dari tuanku, Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi. Maharaja di Singasari." Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "yang mendapat anugerah kewajiban atas Kediri yang telah dipersatukan dengan Singasari."
Sri Rajasa mengangguk2kan kepalanya, sedang para pemimpin yang lainpun menjadi berdebar2. Namun mereka merasa bahwa yang akan didengarnya adalah senada dengan setiap laporan yang disampaikan didalam sidang di paseban itu.
"Ampun tuanku," berkata Mahisa Agni, "bahwa hamba akan mengatakan yang benar kepada tuanku, bukan sekedar berkata untuk menyatakan Kebenaran diri sendiri. Sebenarnyalah bahwa Kediri masih belum memenuhi keinginan hamba sepenuhnya."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya, dan para pemimpin yang lainpun mulai merasakan kelainan didalam nada laporan Mahisa Agni.
Demikianlah maka Mahisa Agnipun sagera melaporkan apa yang sebenarnya terjadi di Kediri. Yang baik, yang bahkan kadang2 melampaui batas keinginannya sendiri, namun juga yang jauh dari memuaskan. Bahaya kering disamping bahaya banjir, sehingga akan mengancam Kediri dengan paceklik yang panjang. Tetapi juga beberapa daerah yang mengalami panen berlimpah2.
"Masih juga ada kejahatan," berkata Mahisa Agni, "meskipun tangan Kasatria Putih terasa juga didaerah Kediri."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Ternyata Mahisa Agni adalah Mahisa Agni. Ketika Sri Rajasa memandang wajah-wajah para pemimpin di paseban itu, tampaklah wajah2 yang tegang dan kemerah2an. Laporan Mahisa Agni tentang daerah kekuasaannya bagaikan suatu sindiran yang tajam atas mereka yang tidak pernah mengakui kekurangan masing2.
Namun tanggapan Sri Rajasa ternyata sangat mengejutkannya. Ia tidak menyangka bahwa sebenarnyalah ia masuk kedalam jebakan rangkap. Apapun yang dikatakannya, maka ia tentu akan terperosok didalam tanggapan yang pahit.
"Itulah katanya," berkata Sri Rajasa, "tampaknya Mahisa Agni adalah seorang yang rendah hati. Yang mengakui kekurangan dan kebodohannya."
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar2. Sejenak ia diam mematung. Ketika ia sempat memandang para pemimpin Singasari yang ada dipaseban itu termasuk para Panglima, hatinya menjadi berdebar2.
"Para pemimpin Singasari yang bijaksana," berkata Sri Rajasa, "apakah kita akan dapat memberikan gelar kepadanya sebagai seorang pahlawan" Pahlawan yang membela kepentingan rakyat yang menurut penilaiannya didalam kesulitan" Itulah Mahisa Agni yang sebenarnya. Sombong dan kurang bijaksana. Ia mencoba menyindir dan mencemoohkan laporan para pemimpin Singasari yang lain, yang seolah2 sekedar menjilat kepadaku. "
Wajah Mahisa Agni menjadi merah padam. Sekilas ia melihat para pemimpin itu bergeser dan hampir setiap mata memandanginya dengan tajamnya.
"Apa katamu Mahisa Agni?" bertanya Sri Rajasa kepada Mahisa Agni kemudian.
Mahisa Agni tidak segera dapat menjawab. Ia dicengkam oleh kebingungan menghadapi Sri Rajasa. Ia tidak mengerti, bagaimanakah sebenarnya sikap Sri Rajasa atasnya akhir2 ini.
Namun akhirnya Mahisa Agni mencoba menganggap bahwa sebenarnya Sri Rajasalah yang sedang berada dipuncak kebingungannya menghadapi persoalannya. Ia kadang2 bersikap seakan2 manyesali dirinya. Tetapi kadang2 ia dikejar olen kengerian atas segala dosa yang telah diperbuatnya, sehingga ia berusaha untuk mempertahankan dirinya.
"Ini adalah salah satu bentuk dari kebingungan itu," berkata Mahisa Agni didalam hatinya, "sehingga kebingungan itu telah merambat didalam diriku pula."
"Mahisa Agni," berkata Sri Rajasa, "coba katakan dihadapan sidang ini, apakah maksudmu sebenarnya mengucapkan sindiran yang tajam itu kepada para pemimpin yang lain sehingga kau korbankan dirimu sendiri sebagai contoh dari kebodohan seorang pemimpin?"
"Tuanku," berkata Mahisa Agni kemudian, "hamba tidak bermaksud apapun dengan laporan yang hamba katakan." Mahisa Agni berhenti sejenak. Dipandanginya wajah Sri Rajasa dengan saksama. Namun kemudian, seolah2 tidak ada pilihan lain baginya dari pada mempertahankan ucapannya dengan segala akibatnya, "sebenarnyalah bahwa hamba tidak mempunyai prasangka dan maksud buruk. Hamba mengatakan tentang diri hamba. Bukan sebagai taruhan untuk mencemoohkan para pemimpin yang lain. Hamba tidak tahu apa yang telah terjadi didaerah2 lain dibawah pengamatan dan pimpinan pemimpin Singasari yang lain."
"Jangan ingkar," berkata Sri Rajasa, "kau pernah mengatakan kepadaku diluar sidang, bahwa daerah2 lain itu sebenarnya adalah daerah2 yang paling buruk. Laporan2 palsu itu sengaja dikatakan sekedar untuk mendapat pujian daripadaku."
Terasa sesuatu bergejolak didada Mahisa Agni. Namun ia masih juga menjawab, betapapun hatinya menjadi berdebar-debar, "Tuanku, memang ada kalanya seseorang mengatakan sesuatu tidak dihadapan orang lain. Jika hamba pernah mengatakan sesuatu tentang daerah2 lain tidak dihadapan orang lain tentu ada maksudnya. Tetapi jika tuanku menganggap, bahwa sebaiknya hamba mengatakan tentang daerah2 lain di luar harapan hamba, maka hambapun tidak akan berkeberatan. Hamba akan mengatakan seperti yang hamba katakan, dengan harapan penilaian yang wajar dari para pemimpin Singasari, karena hamba yakin apa yang hamba katakan itu benar, dan tentu akan dibenarkan, jika kita semuanya adalah pemimpin2 Singasari yang sebenarnya, yang ingin melihat Singasari maju dan berkembang." Mahisa Agni berhenti sejenak. Lalu, "tetapi jika hamba sudah mengatakannya tuanku, hamba mengharap agar tuankupun mengucapkan tanggapan tuanku seperti yang pernah tuanku ucapkan kepada hamba itu terhadap para pemimpin Singasari yang lain. Ucapan dan tanggapan tuanku itupun adalah tanggapan yang wajar dari seorang Maharaja yang berpandangan jauh kedepan bagi negerinya."
"Cukup, cukup," Sri Rajasa memotong kata2 Mahisa Agni dengan suara yang bergetar. Wajahnya menjadi merah padam dan sorot matanya bagaikan menyala.
Namun demikian masih tampak padanya suatu usaha untuk menahan diri dan mengendalikan perasaannya. Karena itulah maka iapun berkata tertahan2, "Baiklah Mahisa Agni. Kau memang seorang pemimpin Singasari yang lengkap. Kau pandai bermain dengan pedang dipeperangan, tetapi kau juga pandai bermain lidah didalam paseban. Tetapi akupun tidak akan ingkar. Aku menghargai sikapmu yang terbuka itu, tetapi akupun menilai sikapmu itu sebagai sikap yang sangat sombong, seakan2 kau tidak terpengaruh oleh kehadiranku dan tanpa menghargai kuasaku sama sekali."
"Ampun tuanku," jawab Mahisa Agni, "sama sekali bukan maksud hamba berbuat demikian."
Sri Rajasa terdiam sejenak. Tampak betapa ia berusaha menahan hatinya yang bergejolak.
Sementara itu, para pemimpin yang lain, yang mula2 perasaan mereka yang tersinggung bagaikan disentuh api, tiba2 mempunyai tanggapan yang lain. Pembicaraan itu mengingatkan mereka, bahwa sebenarnya Mahisa Agni adalah seorang Senapati Agung yang memiliki kekhususan. Bukan karena ia saudara tuan Permaisuri, tetapi Senapati Agung itu adalah Senapati perang yang pilih tanding.
Dalam pada itu, selagi para pemimpin terombang-ambing didalam suasana yang tegang, maka Mahisa Agnipun berkata, "Ampun tuanku, masih ada yang ketinggalan didalam laporan hamba agar hamba tidak ingkar atas segala masalah yang hamba ketahui. Bahwa telah hadir di dalam kota Singasari tanpa menyatakan diri kepada yang berkuasa, seorang yang bernama Witantra. Belum ada seorangpun yang menyebutnya didalam paseban ini, atau barangkali ada kesengajaan untuk menyembunyikannya."
Sri Rajasa sebenarnya sudah mengetahui bahwa Witantra telah menampakkan dirinya didalam kota Singasari, sehingga laporan tentang kehadiran Witantra itu tidak meagejutkannya. Tetapi yang mengejutkan adalah bahwa Mahisa Agni menganggap perlu membicarakan orang itu secara khusus.
Karena itu, maka Sri Rajasapun kemudian berkata, "Kehadiran itu memang tidak perlu dilaporkan dipaseban ini. Aku sudah mengerti bahwa Witantra telah menampakkan dirinya setelah ia hilang bertahun2. Aku kira pada pemimpin yang lainpun telah mengetahuinya pula. Mereka sama sekali tidak tertarik pada berita itu. Dan apakah gunanya kehadiran seseorang dibicarakan didalam paseban" Apakah para pemimpin Singasari tidak mempunyai persoalan lain yang penting selain membicarakan orang2 yang sudah lama sekali tidak kita lihat dan tiba-tiba muncul dikota ini."
"Tidak tuanku, jika orang itu bukan Witantra," sahut Mahisa Agni, "apakah tuanku tidak ingat lagi, bagaimana Witantra itu menghilang dari Tumapel?"
"Tentu," jawab Sri Rajasa.
"Hamba telah mengalahkannya didalam perang tanding. Karena itu maka hamba sangat berkepentingan dengan orang yang bernama Witantra itu."
"Kau takut pembalasan dendam?"
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Lalu katanya, "Tentu tidak tuanku. Hamba tidak berkeberatan jika saat ini Witantra datang keistana dan menuntut perang tanding untuk menebus kekalahannya. Tetapi yang penting bagi kita, apakah kedatangannya itu membawa persoalan baru baginya dan bagi kita."
"Cukup." wajah Sri Rajasa menegang sejenak, namun kemudian sekali lagi ia menguasai dirinya dan melanjutkannya, "baiklah kita tidak membicarakannya. Jika ia datang keistana, aku akan menemuinya dan jika ia masih mendendam karena kekalahannya, kini bukan tanggung jawabmu lagi. Jika saat itu kau bertempur tidak atas namamu sendiri, maka tanggung jawabnya tentu kini ada padaku."
Mahisa Agni menarik nafas dalam2. Katanya, "Terima kasih tuanku. Jika demikian, maka persoalannya hamba serahkan kepada tuanku Sri Rajasa."
"Kenapa kau menyerahkan persoalannya kepadaku" Seharusnya kau tidak mengatakan demikian. Tanggung jawab itu sudah ada padaku. Kau serahkan atau tidak kau serahkan."
"Ampun tuanku, demikianlah kiranya maksud hamba."
"Nah, sekarang, apakah masih ada persoalan2 yang penting bagi Singasari. Aku hanya ingin berbicara tentang persoalan-persoalan yang penting, bukan persoalan seorang demi seorang yang hanya akan menghabiskan waktu saja."
Tidak seorangpun yang menjawab. Sidang dipaseban itu rasa2nya menjadi tegang. Pusat perhatian para pemimpin Singasari kini tertuju kepada Sri Rajasa dan Mahisa Agni. Dua orang yang seakan2 menjadi puncak pimpinan pemerintahan yang langsung tidak langsung telah mereka hubungkan dengan kedua putera laki2 Sri Rajasa yang lahir dari dua orang ibu. Bahkan para pemimpin Singasari yang mengetahui dengan pasti bahwa Anusapati sama sekali bukan putera Sri Rajasa melihat seakan2 pertentangan antara Sri Rajasa dan Tunggul Ametung kini berkobar lagi dalam bentuknya yang berbeda, yang seakan2 telah diwarisi oleh Anusapati dan Tohjaya.
"jika tidak ada persoalan lagi, sidang ini aku bubarkan. Aku tidak akan mengadakan pembicaraan khusus dengan si apapun."
Sejenak kemudian maka para pemimpin Singasari itupun segera meninggalkan paseban dengan hati yang berdebar2. Sebagian dari mereka masih merasa betapa jantungnya tergores oleh pengakuan Mahisa Agni terhadap kekurangan didalam daerah kuasa yang dilimpahkan kepadanya oleh Sri Rajasa. Seperti yang dikatakan oleh Sri Rajasa, bahwa sebenarnyalah Mahisa Agni sama sekali bukan seorang yang rendah hati, yang mengakui kekurangannya, tetapi yang dengan sengaja telah menganggap bahwa para pemimpin adalah penjilat yang bodoh.
Tetapi beberapa orang yang lain merasa bahwa sebenarnyalah bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan. Mereka seakan2 dengan sengaja berusaha menyembunyikan kekurangan yang ada pada diri mereka. Dengan sadar mereka berbangga bahwa masih ada juga orang yang dengan berani menyatakan kebenaran dihadapan Sri Rajasa dan dihadapan paseban.
Namun pada umumnya mereka merasa cemas, bahwa perkembangan keadaan di Singasari tidak begitu menggembirakan hati. Apalagi kehadiran Witantra seperti yang dikatakan oleh Mahisa Agni, tentu bukan sekedar persoalan kecil karena sejak semula Witantra menyimpan persoalan yang tentu dianggapnya belum selesai.
"Kehadirannya tentu akan menentukan suatu peristiwa yang penting di Singasari," beberapa orang pemimpin Singasari saling berbisik. Seorang perwira yang sudah lanjut usia berkata, "Ia adalah seorang Senapati yang mapan."
Namun dalam pada itu Panglima Pasukan Pengawal Singasari ternyata mempunyai perhatian khusus terhadap kehadiran Witantra. Meskipun Singasari sekarang jauh lebih besar dari Tumapel, namun nama Witantra sebagai seorang Senapati pasukan Pengawal adalah cukup besar dibandingkan dengan namanya sendiri.
Dengan demikian, maka berbagai kesan telah melibat hati para pemimpin Singasari yang baru saja meninggalkan sidang di paseban itu.
Ketika itu Sri Rajasapun telah kembali pula kebangsalnya diiringi oleh para pengawal. Dengan wajah muram ia masuk kedalam biliknya. Dibantingnya dirinya di atas sebuah tempat duduk kayu yang dialasi dengan kulit menjangan berwarna coklat.
Sambil menarik nafas dalam2 ia berkata didalam hatinya. "Peristiwa apa saja yang akan terjadi di Singasari. Justru pada saat2 terakhir timbul berbagai persoalan yang tidak aku kehendaki. Gila juga Mahisa Agni itu."
Ketika diluar pintu seseorang berdiri termangu2, maka Sri Rajasapun berteriak, "Siapa itu?"
"Hamba tuanku," jawab seorang pelayan, "hamba menyiapkan pakaian tuanku."
"Pergi, pergi." bentak Sri Rajasa.
Pelayan itu menjadi ketakutan. Dengan ragu2 ditinggalkannya pintu bilik Sri Rajasa dengan berbagai pertanyaan didalam hati. Tidak pernah terjadi bahwa Sri Rajasa tidak memerintahkannya menyediakan pakaian setelah ia selesai melakukan kuwajiban resminya sebagai seorang Maharaja di Singasari.
Didalam bilik, pikiran Sri Rajasa masih tetap kusut. Sebenarnyalah seperti yang diduga oleh Mahisa Agni, dalam keadaan yang kisruh hati Sri Rajasa tidak dapat tetap. Pikirannya selalu berubah setiap saat didorong oleh kegelisahan yang semakin dalam. Kehadiran Witantra sebenarnya sama sekali tidak dapat diabaikannya.
Dalam kekeruhan hati itulah tiba2 ia berteriak memanggil seorang Pelayan Dalam yang bertugas didalam bangsal itu.
Sambil berlari2 kecil. Pelayan Dalam itu menghampiri pintu bilik Sri Rajasa. Kemudian dengan ragu2 ia bergumam, "Hamba menghadap tuanku."
"Panggil Tohjaya," teriak Sri Rajasa masih didalam biliknya.
"Hamba tuanku," perintah Sri Rajasa itu tidak perlu diulangi. Dengan tergesa2 Pelayan Dalam itupun berlari2 ke bangsal dibagian yang lain dari istana Singasari itu.
"Tuanku," berkata Pelayan Dalam itu dengan nafas yang terengah2, "tuanku Sri Rajasa memanggil tuanku."
"Ayahanda memanggil aku?" bertanya Tohjaya.
"Hamba tuanku."
Tohjaya menjadi berdebar2. Tentu ada persoalan yang penting yang akan dikatakan oleh ayahandanya setelah sidang dipaseban. Karena itu, maka dengan tergesa2 Tohjaya menghadap ibundanya yang mengatakan perintah ayahandanya itu.
"Memang sudah sampai waktunya Tohjaya. Semakin lama Anusapati menjadi semakin sombong. Jika semula ia sudah hampir kehilangan semua kesempatan dan kemungkinan untuk merebut hati rakyat Singasari, lambat laun ia sudah memperolehnya. Karena itu, jika ayahandamu memang memerintahkan lakukanlah dengan segera. Gurumu dan beberapa orang Senapati yang sudah kau hubungi akan dapat disiapkan segera, apalagi langsung dibawah perintah ayahandamu sendiri. Anusapati memang harus segera disingkirkan. Agar tidak timbul persoalan dikemudian hari, maka Mahisa Agni yang mumpung berada diistana inipun harus dibinasakan pula."
"Hamba akan mengatakannya kepada ayahanda. Jika ayahanda mengucapkan perintah itu kepada para Panglima, maka semuanya akan terjadi."
"Kau harus berhati2. Mahisa Agni mempunyai cukup pengaruh, terutama diluar istana. Karena itu, maka yang dilakukan haruslah didalam istana dan dalam waktu yang singkat. Jika kau ingin menangkap seekor ular berbisa, tangkaplah kepalanya. Jika kau gagal, maka kau sendirilah yang akan binasa karena racunnya."
"Baik ibunda. Hamba akan segera menghadap ayahanda, sudah tentu bahwa dalam waktu yang singkat, kita akan melakukannya."
"Dan beberapa hari kemudian, kau adalah putera Mahkota."
"Ya. Aku akan menjadi Putera Mahkota di Singasari yang besar. Aku akan berbuat sebaik2nya sebagai Putera Mahkota. Tidak seperti kakanda Anusapati."
"Sekarang menghadaplah. Usahakan agar ayahandamu merintahkan aku menghadap pula."
"Baiklah ibunda, hamba akan berusaha."
Dengan tergesa2 Tohjayapun kemudian pergi menghadap ayahandanya di bangsalnya. Dengan hati yang berjebar2 ia menaiki tangga bangsal itu, sedang kedua pengawalnya tinggal dibawah tangga, bersama pengawal bangsal itu sendiri.
Perlahan2 Tohjaya membuka pintu bangsal itu. Kemudian dengan degup jantung yang keras ia melangkah masuk.
Tetapi Tohjaya tidak segera melihat ayahandanya.
Ketika ia melihat seorang Pelayan Dalam dipintu samping bangsal itu, maka iapun kemudian bertanya, "Dimana Ayahanda Sri Rajasa."
"Ampun tuanku," Pelayan Dalam itu mengangguk. "Ayahanda tuanku ada didalam biliknya."
Tohjaya menarik nafas dalam2. Tetapi iapun kemudian melangkah kepintu bilik.
"Hanya untuk persoalan yang sangat penting dan sangat rahasia ayahanda memanggil kedalam biliknya," berkata Tohjaya didalam hatinya.
Dengan ragu2 akhirnya Tohjaya berdiri didepan pintu bilik Sri Rajasa. Sejenak ia termangu2, namun kemudia ia berkata lirih, "Ampun ayahanda. Hamba sudah menghadap."
Sejenak Sri Rajasa menunggu. Kemudian didengarnya jawab, "Masuklah Tohjaya."
Dada Tohjaya menjadi semakin berdebar2. Perlahan2 didorongnya daun pintu itu kesamping. Dengan langkah yang terasa berat iapun kemudian melangkah masuk.
Dilihatnya ayahandanya, Sri Rajasa duduk diatas tempat duduk kayu yang beralaskan kulit menjangan.
"Duduklah," berkata Sri Rajasa kemudian.
Tohjaya termangu2 sejenak. Dan iapun kemudian duduk diatas tempat duduk kayu disudut bilik itu.
"Apakah seorang prajurit telah memanggilmu?"
"Hamba ayahanda. Bukankah ayahanda memanggil hamba menghadap?"
"Ya." "Hamba siap menerima perintah apapun, ayahanda. Agaknya memang sudah waktunya ayahanda memerintahkan kepada hamba untuk berbuat sesuatu."
Sri Rajasa menarik nafas dalam2.
Dan Tohjayapun kemudian bertanya, "Dan apakah perintah itu ayahanda?"
Sri Rajasa memandang puteranya itu sejenak. Namun kemudian terdengar ia berdesah. Katanya, "Tidak ada perintah apapun saat ini Tohjaya."
Bukan main terperanjatnya Tohjaya. Bahkan kemudian ia tidak percaya kepada pendengarannya sehingga ia bertanya, "Apakah yang ayahanda maksudkan?"
"Dengarlah sekali lagi Tohjaya," jawab ayahandanya, "aku tidak akan memberikan perintah apapun juga."
Dada Tohjaya terguncang karenanya. Dengan terbata2 ia bertanya, "Tetapi, bukankah ayahanda memanggil hamba setelah sidang di paseban" Menurut dugaan hamba, ayahanda mendapat bahan2 yang cukup lengkap selama sidang sehingga Ayahanda memutuskan untuk menjatuhkan perintah terakhir. Bukankah ayahanda perlu mengambil tindakan tertentu untuk mengakhiri keadaan yang tidak ada ujung pangkalnya?"
Tetapi Sri Rajasa itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak dapat menentukan sekarang. Aku masih harus memikirkannya."
Tohjaya benar2 menjadi bingung. Ia tidak mengerti, kenapa ayahandanya memanggilnya dengan tergesa2. Namun kemudian ia sama sekali tidak memberikan perintah apapun juga. Sebenarnyalah bahwa Sri Rajasa sendiri sedang dilibat oleh kebingungan yang hampir tidak dapat dipecahkannya. Setiap kali sikapnya selalu dibayangi oleh keragu2an sehingga terombang-ambing tidak menentu.
Dengan demikian maka bilik itupun sejenak dicengkam oleh kesepian. Sri Rajasa duduk sambil menundukkan kepalanya, sedang Tohjaya menjadi sangat gelisah menghadapi keadaan itu. Namun ia tidak berani lagi bertanya sesuatu kepada ayahandanya, karena Tohjayapun kemudian menyadari bahwa agaknya ada sesuatu yang sedang bergejolak dihati ayahandanya.
"Tohjaya," berkata Sri Rajasa kemudian memecahkan kebekuan suasana, "tinggalkan bilik ini."
Tohjaya menjadi semakin bingung. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Perlahan2 ia berdiri dan berkata, "Hamba ayahanda. Hamba mohon diri."
Sri Rajasa hanya mengangguk kecil. Kemudian wajahnya itupun tertunduk lagi. Bahkan kemudian disandarkannya dagunya pada kedua belah tangannya yang sikunya bertelekan pada lututnya.
Tohjayapun kemudian melangkah keluar perlahan2. Hatinya diamuk oleh kebingungan yang dahsyat, karena dengan demikian iapun menyadari bahwa ayahandanya sendiripun masih juga dikuasai oleh keragu2an.
"Kenapa ayahanda masih selalu ragu2. Mungkin ayahanda masih saja terpengaruh oleh ibunda Permaisuri, justru karena ibunda Permaisurilah maka ayahanda tidak dapat berbuat tegas atas kakanda Anusapati. Seharusnya ayahanda tidak lagi menghiraukan ibunda Permaisuri itu. Jika ayahanda masih saja terlampau banyak pertimbangan, maka ahkirnya ayahanda akan terlambat."
Namun dengan demikian langkahnya pun menjadi tergesa2. Kedua pengawalnya berlari2 kecil mengikutinya dibelakang.
Sementara itu, Ken Umang sudah dicengkam oleh angan2 tentang tahta kerajaan Singasari sepeninggal Sri Rajasa. Jika Anusapati sudah disingkirkan, maka tentu Tohjaya akan segera diangkat menjadi Pangeran Pati menggantikan kedudukannya. "Tentu tidak akan ada persoalan apapun juga jika Sri Rajasa sudah memutuskan. Pengaruhnya terlampau besar, dan kekuasaannya adalah mutlak." namun kemudian, "tetapi Mahisa Agni itupun harus disingkirkan. Dan tentu Sri Rajasa tidak akan mengalami kesulitan. Betapapun saktinya Mahisa Agni, namun sudah barang tentu tidak akan dapat mengimbangi kesaktian Sri Rajasa sendiri."
Ken Umang itupun terloncat berdiri ketika ia melihat Tohjaya datang kedalam biliknya dengan wajah yang tegang. Dengan tergesa2 ia menyongsongnya dan bertanya, "Perintah apakah yang telah kau terima Tohjaya?"
Tohjayapun kemudian duduk dengan lesunya. Sejenak ia termangu2 sehingga ibunyapun menjadi heran.
"Tohjaya, apakah kau terima perintah itu?"
Tohjaya menggelengkan kepalanya. Dengan nada yang aneh ia menjawab, "Hamba tidak menerima perintah apapun juga ibu."
"He," Ken Umang terperanjat. Sejenak ia memandangi anaknya dengan wajah yang tegang. Kemudian perlahan2 didekatinya anaknya yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Diguncang2nya pundak anaknya sambil berkata, "Apakah aku sudah pikun" Coba katakan sekali lagi Tohjaya."
"Hamba tidak menerima perintah apapun ibunda. Ketika hamba menghadap, ayahanda berkata, "Kembalilah, tinggalkan aku."
"Tohjaya, apakah kau sedang mengigau?"
"Sebenarnya ibunda, ayahanda memerintahkan hamba untuk meninggalkan bilik itu. Itulah perintah satunya yang hamba terima."
Ken Umang memandang anaknya dengan wajah yang tegang, sehingga pelupuk matanya hampir tidak berkedip. Ia tidak dapat mengerti apakah yang sebenarnya dikatakan oleh anaknya itu.
"Ibunda," berkata Tohjaya kemudian, "hambapun tidak mengerti, kenapa ayahanda tidak memberikan perintah apapun kecuali memerintahkan hamba meninggalkan ayahanda itu seorang diri."
"O," Ken Umangpun kemudian terduduk pula, "aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti."
Tohjaya memandang wajah ibunya sejenak. Namun kepalanyapun segera tertunduk pula. Memang yang baru saja terjadi sama sekali tidak dapat dimengertinya, dan ibunyapun menjadi bingung karenanya.
Sejenak keduanya terdiam. Seakan2 kabut yang kelam telah menyelubungi angan2 dan pikiran mereka, sehingga mereka sama sekali tidak mengerti, apa yang harus mereka lakukan.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang masih juga dibayangi oleh pembicaraan2 didalam sidang, mencoba untuk menemukan suatu gambaran, apakah yang sebenarnya bergolak didalam hati Sri Rajasa. Namun setiap kali yang diketemukannya, adalah sekedar menganggap bahwa Sri Rajasa memang sedang kebingungan.
"Tetapi kebingungan itu dapat membahayakan keadaan," berkata Mahisa Agni didalam hati, "setiap saat pikirannya dapat berubah dan setiap saat Singasari dapat bergejolak. Satu langkah yang salah dari Sri Rajasa, dan membuat Singasari menjadi berantakan. Sedangkan persoalan yang sebenarnya adalah persoalan ketamakan Ken Umang semata2. Namun apabila hati Sri Rajasa tidak goyah, maka hal yang seperti sekarang ini tidak perlu terjadi."
Demikianlah ketika Mahisa Agni kemudian bertemu dengan Anusapati dan Sumekar, maka diceriterakannya apa yang terjadi di paseban.
"Sebenarnyalah bahwa ancaman itu sudah langsung ditujukan kepadamu," berkata Sumekar kepada Mahisa Agni, "tetapi karena sikap para pemimpin Singasari yang tidak jelas, maka Sri Rajasa masih harus berpikir sekali lagi. Jika didalam paseban itu tanggapan atas tuduhan Sri Rajasa terhadapmu, terhadap yang disebutkan kesombonganmu itu cukup baik baginya, maka ia tidak akan menunggu lebih lama lagi. Tetapi karena ia melihat keragu2an pada pemimpin Singasari, maka iapun tidak segera memerintahkan saat itu juga untuk menangkapmu."
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Memang dapat juga terjadi seperti yang dikatakan oleh Sumekar itu. Tetapi Mahisa Agnipun tahu, bahwa sebenarnya Sumekar telah dipenuhi oleh prasangka dan bahkan sikap yang pasti, yaitu Sri Rajasalah yang harus disingkirkan, justru untuk menyelamatkan hasil yang pernah dicapai oleh Sri Rajasa sendiri. Singasari yang besar dan kuat. Namun bagi Mahisa Agni sendiri, masih harus ditempuh pertimbangan2 yang semasak2nya meskipun kadang2 orang lain menganggapnya tidak berbuat apa-apa.
Dalam pada itu, Anusapatipun sebenarnya mempunyai tanggapan persoalan yang dikatakan oleh Mahisa Agni itu sejalan dengan pendapat Sumekar. Namun Anusapati menyerahkan persoalannya kepada Mahisa Agni, karena ia percaya, bahwa pertimbangan pamannya didasari oleh pengalaman dan pengetahuannya yang luas.
Namun mendung yang semula membayang diatas istana Singasari itu kini bagaikan mekar meliputi seluruh kota dan bahkan menjalar keseluruh negeri. Terasa bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya telah terjadi didalam lingkungan keluarga Sri Rajasa. Jika semula persoalan itu hampir tidak mendapat perhatian karena yang berkepentingan masih mampu membatasi diri masing2, maka semakin lama persoalannya menjadi semakin jelas dapat dilihat oleh para pemimpin Singasari.
Dalam keadaan yang demikian itulah, Singasari mulai menyebut2 nama Witantra.
Namun sebenarnyalah bahwa nama Witantra itu telah mengganggu hati Sri Rajasa pula. Ia tidak mengerti dengan pasti apakah sebenarnya yang dikehendakinya. Sehingga karena itulah maka dengan diam2 Sri Rajasapun berusaha untuk mencari hubungan dengan Witantra, meskipun ia berpesan dengan sungguh2, agar Witantra tidak mengetahuinya, bahwa Sri Rajasa yang memberikan perintah itu kepada beberapa orang petugas sandi yang dipercayainya.
Ternyata sangat sulitlah untuk mencari hubungan dengan Witantra itu, karena Witantra tidak pernah lagi kelihatan di kota Singasari. Hanya namanya dan beberapa ceritera sajalah yang dapat ditangkap oleh para petugas sandi itu.
"Ya, ia datang kepadaku," berkata seorang perwira yang menghubungi orang2 yang diduga dapat bertemu langsung dengan Witantra.
"Apa saja yang dilakukannya?"
"Tidak apa2. Ia hanya bertanya tentang keselamatanku sekeluarga, dan sedikit tentang padepokannya dipuncak gunung."
"Gunung yang mana?" bertanya petugas sandi itu.
"Witantra tidak mau menyebutkannya."
"Apakah ia sering datang kemari?"
"Hanya satu kali. Hanya satu kali. Tetapi ia berkata kepadaku, bahwa pada suatu saat ia akan datang kembali mengunjungi sahabat2 lamanya."
"Apakah benar ia tidak mempersoalkan apapun juga yang dapat menjadi petunjuk arah perhatiannya selama ini?"
"Tidak. Ia tidak mengatakan apapun juga. Tetapi ia menyatakan kegembiraannya melihat perkembangan Singasari sekarang ini. Singasari yang jauh lebih besar dari Tumapel dijaman Akuwu Tunggui Ametung."
Petugas sandi itu hanya dapat mengangguk2kan kepalanya. Bahan yang didapatkannya untuk mengetahui keadaan Witantra ternyata terlampau sedikit. Para petugas itu sama sekali tidak dapat menyimpulkan, apakah sebenarnya maksud Witantra datang ke Singasari. Bahkan setelah mereka menghubungi beberapa orang yang pernah dikunjungi oleh Witantra itu.
"Baiklah," berkata seorang petugas sandi kepada seorang perwira yang pernah mendapat kunjungan Witantra, "jika ia datang sekali lagi, tolong, beritahukan aku."
Perwira itu mengangguk2kan kepalanya. Perwira itupun mengetahui bahwa orang yang datang itu adalah seorang prajurit sandi. Dan perwira itupun tahu pasti, kepada siapa ia harus melaporkan jika Witantra datang sekali lagi.
"Ternyata pihak istana menaruh perhatian besar sekali," berkata perwira itu. Namun demikian, merekapun menjadi gelisah, karena jika timbul sesuatu karena perbuatan Witantra, maka mereka yang diketahui telah mendapat kunjungan Witantra itu pasti akan menjadi sumber keterangan.
Tetapi bukan saja para perwira itu yang mengetahui bahwa pihak istana menaruh perhatian yang besar sekali. Dari pembicaraan beberapa orang prajurit, Sumekarpun mengetahui, bahwa ada beberapa petugas sandi yang mendapat tugas mencari jejak tentang Witantra itu.
Dalam pada itu, semua laporan tentang Witantra itu sudah sampai ditelinga Sri Rajasa. Seperti apa yang dapat ditangkap oleh para petugas sandi, maka tidak ada keterangan yang pasti yang dapat dijadikan bahan untuk menentukan apakah yang sebenarnya akan dilakukan oleh Witantra.
Namun demikian ada seorang petugas sandi yang mempunyai keterangan yang agak lain dari kawan2nya.
"Witantra menyebut2 nama Mahisa Agni tuanku," berkata petugas sandi itu ketika ia dipanggil menghadap.
"Apa katanya?" "Ia hanya bertanya, dimanakah sekarang Mahisa Agni itu. Apakah ia masih tetap berada di Kediri, karena menurut pendengarannya Mahisa Agni menjadi seorang Senapati Agung yang bertugas di Kediri sebagai wakil Mahkota. Atau sudah mendapatkan jabatan lain."
"Apa lagi?" "Hanya itu tuanku. Hamba tidak mendapatkan bahan yang lain. Sedang yang dibicarakan Witantra itu pada umumnya adalah persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintahan. Kadang2 ia berbicara tentang jalan2 yang ramai, sawah yang hijau dan rumah kawan2nya yang menjadi perwira di Singasari."
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Namun dari keterangan itu Sri Rajasa mendapatkan suatu arah betapapun samarnya, bahwa Witantra masih menaruh perhatian terhadap Mahisa Agni.
"Mudah2an Witantra masih mendendamnya."
Naman ternyata setelah itu, Sri Rajasa tidak pernah mendapat keterangan apapun lagi tentang Witantra. Meskipun ada juga seorang dua orang yang melaporkan bahwa Witantra tampak berada didalam kota, namun sama sekali tidak menarik perhatian orang, karena ia tidak berbuat apa2.
"Aku dapat menjadi gila," berkata Ken Arok kemudian ketika ia berada didalam bilik Ken Umang.
Ken Umang yang masih nampak jauh lebih muda dari Permaisuri yang sakit2an itu, mendekatinya sambil berkata, "Tuanku, persoalannya sudah jelas bagi tuanku. Sebenarnya hamba ingin mengajukan suatu sikap yang akan dapat menolong keadaan. Tetapi justru karena hamba adalah ibu Tohjaya, maka hamba berada didalam kesulitan."
"Kenapa?" "Orang dapat menuduh hamba, semata2 sikap hamba itu didorong oleh ketamakan dan kebencian."
Sri Rajasa tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Ken Umang sejenak.
Sambil tersenyum Ken Umang beringsut mendekat, ia duduk diatas sebuah kulit harimau hasil buruan Sri Rajasa di samping tempat duduk Sri Rajasa sendiri yang beralaskan kulit seekor ular raksasa.
"Tuanku," Ken Umang bergesar mendekatinya. Kemudian sambil bersandar pada kaki Sri Rajasa Ken Umang berkata, "Memang tuanku harus segera mengakhiri keadaan yang tidak menentu sekarang ini. Hamba tahu bahwa tuanku menjadi ragu2. Tetapi hambapun tahu, siapakah sebenarnya puteranda Anusapati itu, karena hamba tahu saat2 perkawinan tuanku."
"Banyak orang yang mengetahui siapakah sebenarnya Anusapati, karena setiap orang yang umumnya berkisar diantara kita dapat menghitung saat perkawinanku dan saat kelahiran Anusapati."
"Nah," berkata Ken Umang, "sebenarnya tidak ada persoalan lagi. Kasar atau halus, tuanku dapat melakukannya. Sedang tuanku sendiri mempunyai putera laki2 yang akan dapat menggantikan kedudukan tuanku. Jika tuanku membiarkan keadaan ini berlangsung terus, maka sebenarnyalah tuanku dapat terganggu. Lahir dan batin."
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menyahut.
"Tuanku, jika hamba bukan ibu Tohjaya, hamba akan dapat dengan leluasa menyampaikan pendapat hamba. Tetapi justru karena itulah, maka hamba menjadi ragu2. Tuankulah yang akan dapat menentukan, apakah yang sebaiknya tuanku lakukan. Tetapi segera. Tidak dengan ragu2 dan condong kepada kebingungan. Ternyata seperti sikap tuanku. Tuanku memanggil Tohjaya, namun kemudian tuanku tidak menjatuhkan perintah. Hamba tahu bahwa perintah itu sudah siap. Tetapi tuanku ragu2, sehingga tuanku mengurungkannya."
Sri Rajasa tidak segera menyahut. Tetapi setiap kali ia bertemu dengan Ken Umang, rasa2nya sudah jatuhlah keputusannya untuk menyingkirkan Anusapati dan Mahisa Agni. apapun akibatnya. Baginya Permaisurinya Ken Dedes sudah tidak begitu banyak diperlukan lagi. Ken Dedes itu menjadi semakin cepat tua dan sakit2an.
Namun setiap saat ia teringat, bahwa ada sesuatu yang lain pada Ken Dedes, hatinya menjadi berdebar2. Ken Dedes nemiliki sesuatu kurnia dari Yang Maha Agung yang tidak dimiliki oleh Ken Umang. Cahaya yang tidak dapat dimengertinya itu setiap kali dapat dilihatnya.
"Tuanku," berkata Ken Umang kemudian, "apakah sebenarnya yang membuat tuanku ragu2" Mungkin kemampuan Mahisa Agni dan pengaruhnya" Tentu tuanku akan dapat mengatasinya karena Mahisa Agni tidak akan sekuat Sri Baginda di Kediri yang dapat tuanku kalahkan itu. Sedang pengaruhnyapun tidak akan sebesar para Panglima dan Senapati yang lain, karena sudah lama ia berada di Kediri. Jika tuanku memperhitungkan pengaruhnya di Kediri, maka dapat diperhitungkan bahwa Kediri sekarang tentu tidak akan mampu berbuat apa2." Ken Umang berhenti sejenak. Lalu, "Tuanku, hambapun mendengar apa saja yang dikatakan oleh Mahisa Agni dipaseban itu. Bukankah itu sudah suatu sikap yang pasti untuk menantang tuanku, merendahkan kekuasaan tuanku dan seakan2 suatu pameran kekuatan bahwa Mahisa Agni sama sekali tidak takut terhadap kuasa tuanku, selain dengan sengaja menghinakan para pemimpin yang lain."
Ken Arok masih tetap berdiam diri.
"Nah, hamba persilahkan tuanku mempertimbangkan semuanya itu, karena hamba tidak berhak berbuat apapun selain memberikan sedikit pertimbangan yang barangkali tidak berarti apa2 bagi tuanku."
Sri Rajasa masih tetap tidak menyahut sepatah katapun. Dipandanginya bintik2 dikejauhan seolah2 dicarinya sesuatu diantara kekosongan dikejauhan.
Ken Umang tidak mendesaknya lagi. Dibiarkannya Sri Rajasa merenungi kata2nya. Ken Umang itu masih tetap yakin bahwa Sri Rajasa akan lebih percaya kepadanya daripada kepada Ken Dedes, apalagi kelemahan yang ada pada keturunan Ken Dedes itu ialah bahwa Anusapati adalah anak Tunggul Ametung.
Sejenak kemudian, setelah bergolak dengan dahsyatnya, dada Ken Arok seakan2 mulai terbuka. Seakan2 Ken Arok melihat sebuah jalan lurus yang harus ditempuhnya. Satu2nya jalan, karena tidak ada pintu lain yang terbuka baginya.
Betapapun jalan itu lewat celah2 lorong yang mengerikan, namun setapak demi setapak rasa2nya Ken Arok sudah memasuki pintu itu, didorong oleh tangan2 halus Ken Umang dan puteranya yang penuh dengan nafsu.
"Aku harus mengadakan persiapan sebaik2nya," berkata Ken Arok didalam hatinya, "aku harus bertemu dengan orang2 yang dapat aku percaya."
Namun Ken Arok itupun menarik nafas dalam2 sambil berdesah didalam dirinya, "Apakah aku akan berhasil tanpa mengganggu keutuhan Singasari. Sekian lama aku bekerja untuk mempersatukan Singasari. Dan kini aku sendiri akan menimbulkan perpecahan didalamnya."
Tetapi Ken Arok memang tidak melihat jalan lain. Yang harus dilakukan adalah menyingkirkan Anusapati dan Mahisa Agni dengan akibat yang sekecil2nya.
Itulah sebenarnya yang diharapkan oleh Ken Umang. Dan ia yakin bahwa yang diharapkan itu akan terjadi.
Demikianlah, dihari berikutnya, Ken Arok memanggil beberapa orang Senapati. Untuk tidak memberikan kesan yang mencurigakan, maka beberapa orang itu menghadap tidak berdasarkan waktunya. Bahkan juga Panglima pasukan pengawal yang menurut pendapatnya, akan dapat dipergunakannya sebagai perisai jika terjadi sesuatu.
"Kita tidak dapat menunda lagi," berkata Sri Rajasa kepada penasehatnya, yang sekaligus guru Tohjaya didalam olah kanuragan, "Anusapati harus disingkirkan. Beberapa orang Senapati sudah siap untuk melakukannya. Dan cara yang akan aku tempuh adalah cara yang paling kecil akibatnya."
Para Senapati harus dengan diam2 mengambil Anusapati dan membawanya keluar istana untuk diselesaikan. Tentu dimalam hari. Pasukan Pengawal akan diatur oleh Panglimanya, sehingga ketika terjadi hal itu, para pengawal tidak akan berada di tempatnya kecuali yang memang dapat dipercaya dan dapat dibawa bekerja bersama."
"Tetapi pekerjaan itu akan sangat sulit tuanku. Tuanku Anusapati memiliki kemampuan secara pribadi."
"Tentu, jika kalian harus bertempur seorang lawan seorang. Tetapi kalian akan menghadapinya dengan beberapa orang Senapati."
"Disaat yang ditentukan aku akan memanggilnya. Jika ia mengetahuinya dan tentu akan berbuat sesuatu, diseluruh Singasari tidak ada orang lain yang dapat dihadapkan kepadanya selain aku sendiri. Untuk sementara kita dapat, melupakan Witantra. Aku kira ia tidak akan berbuat sesuatu. Sokurlah jika ia justru sedang mencari Mahisa Agni untuk membuat perhitungan atas kekalahannya diarena disaat kematian Akuwu Tunggul Ametung waktu itu."
"Baiklah tuanku. Hamba akan melaksanakannya. Memang tidak ada jalan lain dari jalan kekerasan. Tentu kami akan memperhitungkan semua pihak yang dapat mengganggu usaha ini. Tetapi jika tuanku menghendaki kami bertindak langsung didalam istana ini, maka soalnya akan menjadi lebih mudah."
"Kami akan memaksakan keadaan ini kepada para Panglima dan rakyat Singasari sebagai suatu keharusan. Anusapati adalah orang lain bagiku."
Penasehat Sri Rajasa itupun merasa, bahwa telah datang waktunya ia menunjukkan jasa yang paling besar bagi Sri Rajasa dan Tohjaya. Ia harus dapat menyingkirkan Anusapati kasar atau halus. Bahkan jika terpaksa dengan pertempuran terbuka.
"Tentu tidak akan banyak yang berpihak kepadanya. Panglima Pasukan Pengawal akan mengatur, bahwa disaat yang ditentukan itu, para petugas dilstana ini adalah orang2 yang dapat dipercaya."
Demikianlah penasehat Sri Rajasa itu telah melakukan tugasnya dengan cermat. Dihubunginya Panglima Pasukan Pengawal. Ia tahu benar, bahwa Panglima itu terlalu setia kepada Sri Rajasa. Demikian pula beberapa orang Senapati dan prajurit yang akan dapat diajaknya bekerja bersama.
"Baiklah," berkata seorang Senapati, "tentukan, kapan kita akan melakukannya."
"Secepatnya. Kita akan segera bertindak sebelum Anusapati dan Mahisa Agni mengetahuinya."
"Mereka tidak akan tahu rencana ini."
"Diistana ini ada sejumlah pengkhianat."
Sebenarnyalah bahwa Sumekar telah tertarik kepada perubahan2 yang terjadi diistana. Beberapa orang prajurit yang dikenalnya mulai membicarakan kebijaksanaan yang baru. Perubahan yang tidak pada tempatnya telah terjadi didalam tugas2 para prajurit, didalam dan diluar istana. Prajurit2 yang bertugas sehari2, tiba2 saja telah ditarik dari istana dan orang2 barulah yang menggantikannya di tempat2 terpenting.
Sumekar yang mempunyai penglihatan yang tajam tidak dapat membiarkan semuanya terjadi diluar pengetahuan Mahisa Agni. Karena itu, maka iapun segera menemuinya dan mengatakan apa yang dilihatnya sejak hari ini.
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya, "Sebenarnya perubahan2 semacam itu adalah perubahan yang wajar didalam tugas keprajuritan."
"Mungkin. Tetapi aku mempunyai firasat yang lain kali ini. Tentu dalam waktu yang singkat akan terjadi sesuatu. Jika tidak hari ini, tentu malam nanti."
Mahisa Agni menarik nafas dalam2. Katanya kepada Sumekar, "Mungkin kau benar Sumekar. Karena itu bersiaplah. Adalah lebih baik jika kau dapat mengambil Witantra dan kau bawa masuk kedalam istana ini."
"Sekarang?" "Jika malam gelap. Tetapi jika terjadi sesuatu sebelum gelap, tentu kita tidak sempat memberitahukan kepadanya."
"Baiklah. Aku akan berada ditaman sehari penuh. Jika terjadi sesuatu, aku berada didalam taman itu."
"Baiklah. Aku akan menemui Anusapati."
Dengan dada yang berdebar2 Mahisa Agnipun kemudian menemui Anusapati dibangsalnya. Ketika ia melihat para penjaga bangsal itu, hatinya menjadi berdebar2. Prajurit2 itu sama sekali bukan prajurit yang biasanya bertugas dibangsal itu.
"Semuanya cepat berubah," berkata Mahisa Agni didalam hatinya, "dibeberapa hari terakhir, agaknya Sri Rajasa dan orang2nya sudah siap untuk melakukan rencana terakhirnya. Sudah tentu, bahwa Sri Rajasa terpaksa melakukannya dengan kekerasan untuk menempatkan Tohjaya menjadi searang Putera Mahkota."
Tetapi ternyata dihari itu, tidak terjadi sesuatu. Anusapati yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, masih saja tinggal didalam bangsalnya. Mahisa Agni masih belum memberikan isyarat apapun juga. Sedang Sumekar yang berada didalam taman dan kadang2 hilir mudik dihalaman membawa lodong bambu masih juga belum melihat perkembangan keadaan yang memuncak.
Karena itulah, maka ketika senja turun, ia berusaha untuk pergi kerumah persembunyian Witantra didalam kota Singasari.
Sumekar ternyata hanya memerlukan waktu yang pendek. Keduanya kemudian dengan hati2 meloncat masuk kedalam halaman istana.
"Bersembunyilah didalam taman," berkata Sumekar kepada Witantra, "aku akan berusaha menemui Mahisa Agni."
"Apa kau tidak akan dicurigai?"
"Aku akan membawa bibit pohon soka, yang dapat aku pakai sebagai alasan. Menanam pohon soka memang sebaiknya dimalam hari."
"Baiklah, tetapi hati2lah."
Sumekarpun kemudian pergi untuk menemui Mahisa Agni. Dengan berdebar2 ia melihat beberapa orang prajurit yang tampaknya mulai bersiap2. Bahkan dilihatnya penasehat Sri Rajasa berjalan tergesa2 didepan bangsal Mahisa Agni. Hati Sumekar menjadi berdebar juga ketika dilihatnya Panglima Pasukan pengawal ada pula diantara beberapa orang prajurit yang sedang bertugas.
"Apakah sesuatu bakal terjadi malam ini?" bertanya Sumekar kepada diri sendiri, "jika demikian, apakah kekuatan yang dapat dipergunakan oleh Anusapati untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya. Sejauh2 yang dapat dilakukan adalah melontarkan, isyarat itu kepada Kuda Sempana dan Mahendra. Tetapi dihalaman ini adalah berpuluh2 prajurit pilihan, termasuk Sri Rajasa sendiri."
Sumekar menarik nafas dalam2. Katanya, "Akhirnya kelembutan hati Mahisa Agni telah menempatkan Anusapati dalam kesulitan. Akhirnya bahwa Sri Rajasalah yang telah, bersiap lebih dahulu menghadapi Putera Mahkota itu, yang sebenarnya adalah bukan puteranya sendiri."
Dalam kecemasan itu, akhirnya Sumekar menemukan jalan lain yang justru akan dilakukan. Jalan yang sama sekali tidak diketahui oleh Mahisa Agni dan bahkan oleh Anusapati sendiri.
"Aku akan bertindak atas tanggung jawabku sendiri. Sebelum terjadi pembunuhan atas tuanku Anusapati, aku harus segera bertindak."
Meskipun demikian, ia melanjutkan langkahnya membawa sebatang bibit pohon soka mendekati bangsal Mahisa Agni.
Dihalaman bangsal itu Sumekar telah dicegat oleh dua orang prajurit. Dengan kasar salah seorang dari mereka menyapa, "Siapa kau?"


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau tidak dapat mengenal aku?" bertanya Sumekar.
Prajurit itu termangu2. Lalu, "Sebut siapa namamu."
"Aku Pangalasan dari Batil."
"O. juru taman. Tetapi apa kerjamu malam2 begini?"
"Aku akan menanam pohoa soka seperti yang dipesan oleh tuanku Mahisa Agni."
"Kenapa tidak besok siang?"
"Menanam pohon noka hanya dapat dilakukan malam hari."
"Bohong, kau sangka aku tidak mengerti tentang tanaman" Aku adalah bekas seorang juru taman pada jaman pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi kemudian aku mendapatkan warisan ilmu sehingga aku berhasil mengikuti pendadaran untuk menjadi seorang prajurit."
"O, jika demikian seharusnya kau tahu, bahwa menanam pohon soka sebaiknya pada malam hari. Mungkin dapat dilakukan disiang hari, tetapi hasilnya tidak akan memberi kepuasan."
Prajurit itu termenung. Tanpa disadarinya dicobanya untuk mengingat kembali, apa yang pernah dilakukan pada saat ia menjadi juru taman. Namua ia sudah tidak dapat mengingat apapun lagi.
Karena itu, maka katanya, "Cepat, lakukan."
Sumekarpun dengan tergesa2 memasuki halaman bangsal itu. Namun ia masih berpura2 bertanya, "Dimana aku harus menanam pohon ini?"
"Aku tidak tahu."
"Jika demikian, apakah kau dapat bertanya kepada tuanku Mahisa Agni."
"Kenapa aku?" "Aku tidak berani. Tolong katakan kepadanya."
"Aku tidak peduli. Itu bukan urusanku."
Sumekar berdiri termangu2 sejenak. Namun ia tersenyum didalam hati. Kesempatan itulah yang memang ditunggunya.
Demikianlah akhirnya ia berhasil bertemu dengan Mahisa Agni, dan mengatakan apa yang telah dilihatnya.
"Kaupun sudah diawasi," berkata Sumekar.
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya.
"Nah, kita agaknya sudah terlambat."
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya, "Tidak. Aku masih mempunyai jalan. Apakah kau bertemu dengan Witantra?"
"Ya." "Bagaimana dengan Kuda Sempana dan Mahendra?"
"Aku hanya memanggil Witantra. Ia sudah berada di dalam taman."
"Baiklah. Tetapi usahakan agar mereka semuanya berada didalam istana ini. Mereka harus berada dibangsalku. Aku akan membicarakan sesuatu yang penting dengan mereka dan kau."
"Sekarang?" "Ya. Panggil mereka."
Sumekar menjadi termangu2 sejenak. Lalu katanya. "Tetapi bagaimana jika semuanya, ini akan segera terjadi?"
"Jika begitu, minta Witantra memanggil keduanya. Kau mengawasi keadaan sebaik2nya."
"Tetapi, apakah yang dapat kita kerjakan hanya bersama dengan mereka bertiga."
"Kita sudah bertiga dengan Anusapati."
"Tetapi dihalaman ini ada berpuluh2 prajurit yang agaknya sudah mendapat petunjuk2 yang pasti."
"Karena itu, panggil mereka. Aku masih mempunyai jalan."
Sumekar mengangguk2kan kepalanya. Lalu katanya, "Baiklah, aku akan menghubungi Witantra. Biarlah ia datang kebangsal ini, akulah yang akan menjemput Kuda Sempana dan Mahendra yang ada dirumah itu juga."
"Cepat. Sebelum semuanya terjadi. Sementara itu aku akan mempersiapkan semua rencana. Jangan beri tahu Anusapati lebih dahulu. Aku akan berada di halaman, supaya aku dapat melihat kesiagaan mereka yang semakin meningkat. Suruhlah Witantra langsung memasuki lewat pintu belakang. Hati2lah. Para prajurit agaknya benar2 bersiap."
Sumekar melangkah meninggalkan Mahisa Agni. Namun tiba2 ia teringat, "Tetapi, aku mengatakan kepada para penjaga, bahwa aku akan menanam pohon soka."
"Tinggalkan. Jika kau kembali bersama Kuda Sempana dan Mahendra, kau tidak usah melalui halaman bangsal ini."
Sumekarpun mengetahui apa yang harus dikerjakan. Karena itulah maka iapun segera pergi meninggalkan Mahisa Agni. Di halaman depan para prajurit menegurnya, katanya, "Sudah selesai?"
"Tuanku Mahisa Agni marah bukan main."
"Kenapa?" "Kau memang gila. Aku sudah memperingatkan bahwa sebaiknya besok pagi saja."
"Ya, aku menyesal. Tetapi menanam pohon soka hanya dapat dilakukan dimalam hari, maksudku, yang paling baik dilakukan dimalam hari."
"Dimana pohon sokamu itu?"
"Diinjak2 sampai lumat. Tetapi anehnya, aku harus mencari lagi. Justru Kembang Soka Kuning, jenis yang paling sulit dicari."
Para prajurit itu tertawa. Dipandanginya juru taman itu dengan ibanya. Namun mereka tidak dapat menolongnya, karena mereka sendiri belum pernah melihat jenis Kembang Soka yang berwarna kuning.
Sepeninggal Sumekar, maka Mahisa Agnipun kemudian membenahi dirinya. Tetapi betapapun ia mencemaskan keadaan, tetapi Mahisa Agni tidak menganggap perlu membawa senjata. Tangannya yang dapat dialiri dengan aji Gundala Sasra dan sekaligus Kala Bama dalam bentuknya yang sesuai, adalah semata yang tidak kalah dahsyatnya dari segala macam jenis semata tajam maupun senjata2 yang lain.
Ketika ia keluar dari bangsalnya dilihatnya beberapa orang prajurit berada dihalaman. Seperti biasanya Mahisa Agnipun menyapa mereka dengan ramahnya. Namun kali ini para prajurit itu menjawabnya dengan ragu2.
"He, apakah kalian tidak pernah bertugas di bangsal ini?" bertanya Mahisa Agni kepada prajurit2 itu.
Pemimpin peronda itupun menjawab dengan termangu-mangu, "Belum. Eh, maksud kami, kami memang belum pernah bertugas diregol ini, tetapi sudah sering bertugas dibagian lain."
"Dimana?" Pemimpin peronda itu menjadi semakin bingung, sehingga ia menjawab penuh kebimbangan, "Di Istana bagian dalam."
"He, bagian dalam yang mana" Apakah ada bagian luar dan bagian dalam."
Prajurit itu menjadi semakin bingung. Katanya, "Maksudku, istana yang baru."
"O, maksudmu kau sering bertugas dibagian yang baru dari istana ini. Jelasnya di bangsal yang didiami oleh tuan puteri Ken Umang dan yang lain yang didiami oleh tuanku Tohjaya."
"Ya. ya." Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya, "Dan kau sekarang mendapat tugas baru disini."
"Ya. menurut panglima, sudah saatnya kita saling bertukar tempat didalam tugas kami, agar kami tidak selalu berada ditempat yang sama sepanjang kami menjadi prajurit."
"Bagus. Itu adalah usaha yang bagus sekali," berkata Mahisa Agni, "nah, bertugaslah dengan baik. Aku akan berjalan2 sebentar."
"Berjalan2?" prajurit itu menjadi heran, "sudah terlampau malam tuan masih akan berjalan2."
"Malam?" bertanya Mahisa Agni, "kau ini seperti seekor ayam saja," berkata Mahisa Agni sambil tertawa, "baru saja senja tenggelam. Biasanya aku keluar hampir sampai tengah malam. Bahkan kadang2 lebih."
Prajurit itu mengangguk2kan kepalanya. Sudah barang tentu bahwa mereka tidak akan dapat mencegahnya.
Kisah Pedang Di Sungai Es 23 Kucing Suruhan Karya S B Chandra Pendekar Pengejar Nyawa 15
^