Pencarian

Bara Diatas Singgasana 27

Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Bagian 27


Demikianlah para prajurit itu hanya dapat memandangi langkah Mahisa Agni yang menyusup kedalam gelap. Namun demikian rasa2nya mereka telah mengabaikan tugas mereka jika mereka tidak tahu, kemana Mahisa Agni itu pergi.
Karena itu, maka pemimpin peronda itupun memerintahkan seseorang untuk mengawasi kemana Mahisa Agni itu pergi.
Namun ternyata bahwa orang itu kurang dapat menguasai keadaan. Ia tidak memperhitungkan kemampuan Mahisa Agni sehingga dengan mudah Mahisa Agni dapat, mengetahui bahwa seseorang telah mengikutinya.
Prajurit yang mengikuti itu menjadi bingung ketika tiba-tiba saja orang yang harus diawasinya itu hilang. Mahisa Agni yang berjalan perlahan2 didalam kegelapan itu tiba2 saja seperti dapat lenyap menembus bumi.
"Gila," desis prajurit itu, "dimanakah orang itu bersembunyi?"
Dengan hati2 ia melangkah mendekati gerumbul yang ada didekat tempat Mahisa Agni menghilang. Namun ketika ia sampai ditempat itu, ternyata ia tidak menjumpai seorang-pun.
"Aneh," desisnya, "apakah aku sedang mengikuti sesosok hantu?"
Namun dengan demikian hatinya menjadi berdebar-debar. Seakan2 ia benar2 berhadapan dengan hantu yang dapat menghilang dan kemudian menampakkan diri.
Ketika ia sudah yakin bahwa ia tidak akan dapat menemukan Mahisa Agni, maka dengan kesal iapun meninggalkan tempat itu. Dengan tergesa2 ia berjalan kembali ketempat tugasnya dengan berbagai macam perasaan yang kisruh.
Tetapi hampir terlonjak prajurit itu ketika ia melihat seseorang berjalan sambil menyilangkan tangannya dipunggung. Selangkah demi selangkah, seakan2 tidak menghiraukan apa pun lagi.
"Tuan," prajurit itu menyapanya.
"O, siapa kau?"
"Bukankah tuan Mahisa Agni?"
"Ya, kenapa" Aku ingin berjalan2. He, apakah kau prajurit yang bertugas di regol bangsalku?"
"Ya tuan." "Kenapa kau disini" Bukankah kau masih ada diregol ketika aku berangkat berjalan2" Dan kenapa tiba2 saja kau sudah berada disini?"
Orang itu menjadi bingung. Seharusnya ialah yang bertanya kepada Mahisa Agni. Namun justru kini Mahisa Agnilah yang bertanya kepadanya.
"He, kenapa kau diam saja?" desak Mahisa Agni.
"Tidak, maksudku aku memang berjalan2."
"Akulah yang berjalan2 bukan kau."
"O," orang itu menjadi semakin bingung, "maksudku tuan, aku juga berjalan2 untuk mengendorkan ketegangan."
Mahisa Agni memandangi prajurit itu sejenak. Namun iapun kemudian tertawa sambil berkata, "Aku memang sudah ketinggalan. Agaknya memang sudah menjadi peraturan, bahwa setiap prajurit yang sedang bertugas diperkenankan berjalan2 untuk mengendorkan ketegangan, sekaligus dengan membawa senjatanya sekali."
Terasa dada prajurit itu berdesir. Ia merasa sindiran yang halus tetapi tepat mengenai sasarannya. Meskipun begitu prajurit itu tidak dapat berbuat apapun juga. Sehingga karena itu, maka jawabnya, "Hanya suatu kesempatan tuan. Bukan peraturan."
Mahisa Agni menepuk bahu prajurit itu sambil berkata, "Cepat, kembali kepada tugasmu. Itu jika kau sudah selesai mengendorkan ketegangan?"
"Ah." "Tetapi ketegangan apakah sebenarnya yang mencengkammu."
Prajurit itu tidak menjawab. Karena itu, maka Mahisa Agnipun berkata, "Baiklah, cepat kembali. Mungkin kawan2mu memerlukan kau."
Prajurit itupun kemudian dengan tergesa2 kembali kedalam biliknya. Namun disepanjang langkahnya, ia tidak henti2nya bertanya2 kepada diri sendiri, bagaimana dapat terjadi, bahwa Mabisa Agni yang diikutinya itu begitu saja telah hilang dan yang tanpa diduga2nya ditemuinya dijalan kembali kegardunya.
"Benar2 anak iblis," katanya didalam hati, "tentu bukan manusia biasa yang dapat melakukannya."
Ketika prajurit itu sampai diregol halaman bangsal Mahisa Agni, maka iapun segera menceriterakan pengalamanya itu kepada kawan2nya. Sebagian dari mereka menjadi terheran2 dan berkata, "Itulah sebabnya, ia diangkat menjadi Senapati Agung di Kediri."
Namun pemimpin peronda itu berkata, "Kau tentu dibayangi oleh ketakutan saja."
"Omong kosong. Selagi ia masih berdiri diatas tanah ia tidak akan dapat melenyapkan dirinya. Percayalah bahwa iu tidak lebih dari seorang prajurit biasa. Hanya kesempatan sajalah yang membuatnya menjadi orang terkemuka di Singasari. Jangan kau sangka bahwa tidak ada orang lain yang memiliki kelebihan tetapi belum mendapat kesempatan. Sebenarnya aku ingin melihat dan bahkan mengalami, betapa tingginya ilmu orang yang bernama Mahisa Agni dan juga orang yang bergelar Kesatria Putih itu."
"Putera Mahkota?" bertanya seorang kawannya.
"Ya, Putera Mahkota. Ceritera tentang mereka sama dahsyatnya. Tetapi aku belum pernah melihat kebenaran dari ceritera itu."
"Semua orang pernah mendengar bahwa Mahisa Agni pernah membunuh Senapati Agung dari Kediri."
"Dan siapakah yang mengetahui sebenarnya, betapa tinggi ilmu Senapati Agung Kediri itu" Mungkin yang disebut Senapati Agung Kediri itu tidak lebih tangguh dari kau atau salah seorang prajurit yang memiliki sedikit kelebihan. Nah, bukankah dengan demikian kemenangannya itu bukan ukuran dari keperwiraannya."
"Ah," berkata prajurit yang lain, "kau jangan mencoba ingkar. Kau tentu mengetahui bahwa Kesatria Putih pernah membunuh beberapa orang yang ternyata adalah prajurit2 Singasari dan melemparkan senjata mereka dimuka pintu gerbang?"
"Aku berkata tentang Mahisa Agni," sahut pemimpin peronda itu.
"Tetapi bukankah kau juga menyebut Kesatria Putih."
Pemimpin prajurit yang sedang berjaga2 itu tidak menyahut.
"Dan kau tentu juga mengetahui, bahwa Putera Mahkota itu adalah anak kemenakan Mahisa Agni. Ilmu yang dimilikinyapun tentu keturunan ilmu Mahisa Agni."
Pemimpin peronda itu masih tetap berdiam diri.
Kawannyapun tidak berkata lebih lanjut. Mereka untuk beberapa lamanya saling berdiam diri dan duduk berserakan, selain yang bertugas didepan tangga bangsal.
Dalam pada itu, Mahisa Agni yang berjalan2 dihalaman melintasi gerumbul2 bunga mendekati bangsal Anusapati. Namun ia tidak ingin menimbulkan kecurigaan pada para prajurit yang bertugas. Karena itu, ia berusaha untuk berlindung dibalik dedaunan.
Seperti yang dikatakan oleh Sumekar, memang dihalaman istana malam itu ada beberapa kesibukan. Tetapi menurut perhitungan Mahisa Agni tentu belum akan dilakukan malam ini. Ia melihat prajurit yang terpencar2, dan sama sekali tidak ada pemusatan yang lebih besar didalam maupun diluar istana.
Meskipun demikian, Mahisa Agni memang tidak boleh lengah. Itulah sebabnya, maka ia ingin dapat bertemu dengan Witantra, Kuda Sempana dan Mahendra. Karena mereka tidak mempunyai pasukan yang cukup apabila diperlukan, dan memang hal itu sama sekali bukan menjadi tujuan Mahisa Agni, maka ia masih berusaha untuk menemukan jalan lain yang lebih baik.
Setelah beberapa lama ia mengamat2i bangsal Anusapati, maka Mahisa Agni itupun segera meninggalkan tempatnya dan kembali kebangsalnya sebelum para penjaganya menjadi curiga pula.
"Siapa lagi yang sedang berjalan2?" bertanya Mahisa Agni ketika ia sampai dimuka regol bangsalnya.
Beberapa orang prajurit menjadi termangu2. Tetapi prajurit yang mengetahui sindirian itupun menjadi tersipu2. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.
Karena tidak ada seorangpun dari mereka yang menjawab, maka Mahisa Agni itupun kemudian berkata, "Baik2lah didalam tugas kalian. Aku selalu berterima kasih kepada kalian, karena keselamatanku tergantung kepada kalian malam ini. Selamat malam."
Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya. Ternyata bahwa Mahisa Agni adalah seorang pemimpin yang ramah.
Hampar diluar sadarnya ia menjawab seperti kepada seorang sahabatnya yang karip, tidak seperti terhadap seorang Senapati Agung, "Baiklah, selamat malam."
Pemimpin peronda itu terkejut sendiri atas jawabannya itu. Tetapi ia tidak sempat mengulanginya karena Mahisa Agnipun telah melangkah meninggalkannya.
Pemimpin peronda itu mengangguk2kan kepalanya. Katanya, "jarang sekali terdapat Senapati besar seramah Mahisa Agni." Namun tiba-tiba ia menyambung dengan serta-merta, "Tetapi itu bukan karena kebaikan hati. Itu adalah karena ia merasa bahwa ia tidak lebih dari seorang anak Padepokan di Panawijen."
Para prajurit itu mengangguk2kan kepalanya. Seperti terbangun dari mimpi mereka. Mereka menyadari sesungguhnya, sehingga setiap anggapan bahwa Mahisa Agni adalah seorang yang baik akan dapat mengurangi kesungguhan mereka menjalankan tugas itu.
Ternyata belum lagi Mahisa Agni menutup pintu bangsalnya rapat, ternyata seorang Senapati yang lain telah mendatangi regol itu. Kepada pemimpm prajurit yang bertugas ia berkata, "Aku mengemban tugas Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi."
Pemimpin peronda itu mengangguk dalam2 sambil berkata, "Silahkan. Baru saja tuan Mahisa Agni masuk kedalam bangsal."
"Baru saja?" bertanya perwira itu.
"Ya." "Darimana?" "Sekedar berjalan2 didalam halaman ini."
Perwira itu mengangguk2kan kepalanya. Lalu, "Apakah tidak ada seorangpun yang mengikutinya?"
"Hanya dihalaman ini."
"Ya, tetapi setidak2nya kalian tahu apa yang dilakukan dihalaman ini."
"Seorang dari kami mengikutinya dari kejauhan. Tetapi ia tidak berbuat apa2," jawab pemimpin peronda itu sambit memandang kepada prajurit yang mengikuti Mahisa Agni tetapi gagal.
Prajurit itu tidak membantah, meskipun dadanya terasa bergetaran.
"Baiklah," berkata perwira itu, "aku akan bertemu dengan Mahisa Agni atas perintah Sri Rajasa."
"Silahkan. Tentu tuan Mahisa Agni masih belum masuk kedalam biliknya."
Perwira itupun kemudian naik tangga bangsal Mahisa Agni. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu bangsal itu.
"Siapa?" bertanya Mahisa Agni yang ternyata masih duduk diruang dalam.
"Aku, utusan Sri Rajasa."
Mahisa Agni terkejut. Jarang sekali terjadi, utusan Sri Rajasa datang dimalam hari. Hanya apabila ada persoalan yang sangat penting sajalah, maka ia dipanggil menghadap dimalam hari."
Namun demikian, Mahisa Agni harus melakukan apapun bunyi perintah itu. Meskipun demikian ia menjadi berdebar2, karena ia sudah terlanjur menyuruh Sumekar membawa Witantra dan kawan2nya masuk kedalam bangsalnya lewat pintu butulan dibelakang.
Dengan ragu2 Mahisa Agni melangkah mendekati pintu. Ada juga kecurigaan yang bergejolak didalam hatinya. Karena itu, maka iapun harus berhati2. Ia tidak tahu pasti, berapa orangkah yang datang pada saat itu. Dan apakah hal itu ada hubungannya dengan sikap para prajurit2 di regol yang mencoba mengkutinya"
Perlahan2 Mahisa Agni meraba pintu bangsalnya. Kemudian dengan hati2 dan penuh kewaspadaan ia membuka pintu itu.
Mahisa Agni menarik nafas ketika ia melihat seorang perwira berdiri dimuka pintu, dan yang kemudian menganggukkan kepalanya.
"O, kau," sapa Mahisa Agni, "silahkan masuk."
Perwira itu melangkah masuk kedalam. Kemudian merekapun duduk diatas dingklik kayu yang dialasi dengan kulit domba berwarna hitam.
"Kakang Mahisa Agni," berkata perwira itu, "kedatanganku kemari sekedar menjalankan perintah Sri Rajasa."
"Ya. Apakah perintah itu."
"Kakang Mahisa Agni," berkata perwira itu, "besok dibangsal paseban dalam akan diadakan sidang terbatas. Kakang diharap hadir didalam sidang itu."
"O, sidang terbatas?"
"Ya, ada sesuatu yang harus segera diselesaikan. Karena itu kakang diharap hadir didalam sidang itu."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Firasatnya tiba2 saja telah menyentuh perasaannya. Karena itu, maka ia mengambil kesimpulan didalam hatinya, "Tentu ada sesuatu yang benar2 penting. Bukan saja bagi Singasari, tetapi juga bagi Anusapati."
Tetapi Mahisa Agni tidak dapat memperhitungkan sikap apakah yang akan diambil oleh Sri Rajasa. Karena itu, maka ia tidak segera melihat kemungkinan yang dapat dilakukan. Agar perwira itu segera pergi meninggalkan bangsalnya maka iapun kemudian menjawab, "Perintah Sri Rajasa aku junjung-tinggi. Besok aku akan menghadap dipaseban dalam."
"Baiklah kakang. Aku hanya menyampaikan perintah."
"Dan perintah itu sudah aku terima."
Perwira itu mengangguk2kan kepalanya. Memang ia hanya mendapat tugas untuk menyampaikan perintah, dan perintah itu memang sudah diterima.
Karena itu maka perwira itupun segera minta diri. Dan itulah memang yang dikehendaki oleh Mahisa Agni. Semakin cepat menjadi semakin baik.
Sepeninggal perwira itu, maka Mahisa Agnipun menarik nafas dalam2. Sebentar lagi beberapa orang akan memasuki bangsalnya. Karena itu, maka tidak boleh ada orang lain lagi yang akan memasuki bangsalnya.
Mahisa Agnipun kemudian pergi keruang depan. Meskipun pintu bangsal itu sudah tertutup, tetapi dari luar masih tampak di sela2 dinding, bahwa lampunya masih menyala dengan terangnya. Karena itu, maka Mahisa Agnipun kemudian memadamkan lampu itu sama sekali.
Beberapa orang prajurit yang bertugas didepan bangsal itupun segera melihat, bahwa ruang depan bangsal Mahisa Agni itu sudah menjadi gelap.
"Mahisa Agni itu sudah akan pergi tidur," berkata salah seorang prajurit.
"Ya, ternyata ia sendirilah yang seperti ayam," jawab prajurit yang lain.
"Kenapa seperti ayam?"
"Bukankah ketika kita bertanya, apakah ia akan berjalan malam2 begini ia menjawab, bahwa kita ini seperti ayam saja, yang sudah pergi tidur sejak senja turun."
Kawan2nyapun tertawa. Katanya, "Memang sudah cukup malam untuk pergi tidur."
Yang lainpun terdiam. Mereka memang menyangka bahwa Mahisa Agni akan segera pergi tidur.
Namun tidak scorangpun dari mereka yang mengetahui, apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Agni itu. Mereka tidak menyangka bahwa akan ada beberapa orang yang dengan diam2 memasuki halaman bangsal itu dan kemudian memasuki bangsal Mahisa Agni dari belakang.
Sejenak Mahisa Agni masih menunggu. Tetapi ia yakin bahwa orang2 itu pasti akan datang menemuinya.
Ternyata Mahisa Agni tidak perlu menunggu terlampau lama. Sejenak kemudian ia mendengar pintu butulan dibelakang berderit, dan muncullah beberapa orang memasuki bangsalnya.
"O," bisik Mahisa Agni, "aku sudah menduga bahwa kalian pasti akan datang."
Witantra tertawa. Katanya, "Kami merasa wajib datang malam ini seperti yang kau kehendaki. Jika tidak perlu sekali maka kau tentu tidak akan memanggil kami bersama2."
"Sebenarnya tidak perlu sekali. Tetapi memang aku memerlukan kalian didalam keadaan seperti ini. Aku kira kita memang sudah mulai memanjat kepuncak persoalannya sehingga semuanya akan segera berakhir. Karena itu, maka kita inipun harus segera mengambil sikap."
Witantra mengangguk2kan kepalanya. Jawabnya, "Kami sadar akan hal itu."
"Tetapi dimana Sumekar?" bertanya Mahisa Agni.
"Ia mengantar sampai kebelakang bangsal ini. Tetapi ia berkata bahwa ia ingin pergi untuk suatu keperluan sebentar."
"He?" Mahisa Agni menjadi heran, "kemana?"
"Kami tidak tahu. Tetapi katanya hanya sebentar saja."
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya, "Baiklah sambil menunggu Sumekar, aku ingin berbicara sedikit. Ternyata bahwa Sri Rajasa sudah menyiapkan sebuah kekuatan untuk melaksanakan niatnya yang barangkali dengan kekerasan. Ia tidak dapat menghindar lagi dari tuntutan Ken Umang dan Tohjaya."
"Memang Sri Rajasa didorong oleh keadaan yang sulit yang hampir tidak dapat dihindari. Namun bagaimana mungkin ia dengan tergesa2 mengangkat Anusapati menjadi Pangeran Pati, dan kemudian ingin melemparkannya?"
"Ada beberapa kemungkinan. Ia ingin menghilangkan golongan yang bagaimanapun juga masih mengagumi Tunggul Ametung. Karena sebagian dari mereka mengetahui bahwa Anusapati adalah putera Tunggal Ametung, maka dengan diangkatnya Anusapati maka pengikutnya tidak akan berbuat terlampau banyak. Termasuk kau Witantra."
Witantra tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Dan Mahisa Agnipun meneruskan, "Agaknya kini Sri Rajasa yakin bahwa pengikut Tunggul Ametung sudah lenyap sama sekali. Kehadiranmu dikota ini memang banyak menimbulkan persoalan. Tetapi diantaranya mereka menganggap bahwa dendammu tertuju kepadaku. Apalagi karena kau hanya sekali dua kali muncul dan tidak menimbulkan kesan yang lain, maka untuk sementara Sri Rajasa mengabaikanmu."
Witantra mengangguk2kan kepalanya. Lalu katanya, "Jika demikian aku dapat mengambil sikap yang lain. Aku akan menumbuhkan kesan, bahwa aku adalah pengikut Tunggul Ametung yang setia. Nah, bukankah dengan demikian sikap Sri Rajasa terhadap Anusapati akan berubah?"
"Ya. Tetapi kesempatan kita agaknya terlampau sempit. Malam ini kalian harus tetap berada disini."
"Untuk apa?" "Jika kekerasan itu benar2 terjadi."
"Dan kami akan melawan segenap prajurit yang ada dihalaman?"
"Tidak. Aku mempunyai cara lain. Bukan melawan segenap prajurit yang ada dihalaman ini, tetapi kita berusaha berbuat sebaik2nya tanpa menimbulkan pertempuran yang hanya akan menmbulkan korban jiwa saja."
Witantra mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mahisa Agni dengan pertanyaan yang memenuhi dadanya.
Mahisa Agni seakan2 menyadari, apa yang dipikirkan oleh Witantra. Karena itu maka katanya kemudian, "Tentu kita tidak akan mungkin bertempur melawan segenap prajurit dan Senapati yang ada dihalaman ini dan yang telah diatur pula oleh Sri Rajasa dan orang2nya. Tetapi kita dapat menemukan cara lain. Kita langsung berhubungan dengan Sri Rajasa."
Witantra memandang Mahisa Agni dengan tajamnya, lalu bertanya, "Kita akan memotong langsung kepalanya?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Katanya, "Tidak ada jalan lain. Kita tidak akan berbuat apa2. Kita akan menemuinya dan menjelaskan persoalannya. Mungkin kita dapat dianggap memaksanya. Tetapi itu adalah jalan yang terbaik."
"Sri Rajasa bukan seorang yang mudah menyerah kepada keadaan Agni," berkata Kuda Sempana, "mungkin ia akan mengtakan pendapat kita, tetapi kita tidak tahu apa yang akan dilakukan besok."
"Sabda seorang Maharaja tidak akan berubah. Jika ia menolak, tentu ia akan menolak seketika itu apapun akibatnya, tetapi jika ia mengiakannya, maka ia akan melakukannya."
Kuda Sempana mengangguk2kan kepalanya. Katanya, "Jika kau yang menjadi Maharaja, maka mungkin sekali kau akan berbuat demikian. Dan mungkin juga raja2 yang lain. Tetapi apakah demikian pula yang akan dilakukan oleh Ken Arok yang sekarang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu?"
"Aku tidak tahu Kuda Sempana. Mudah2an ia seorang Kesatria sepenuhnya meskipun masa lampaunya adalah masa lampau yang kelam."
"Kita dapat mencoba," berkata Mahendra, "sementara kita menyiapkan diri. Setidak2nya kita mendapat kesempatan untuk menyelamatkan Putera Mahkota, dan membawa kesuatu tempat yang terpencil dan aman. Tentu Sri Rajasa tidak dapat menutup mata, bahwa Putera Mahkota Sebagai Kesatria Putih akan dengan mudah mendapat pengikut apabila Sri Rajasa benar2 ingkar akan janjinya."
Mahisa Agni mengangguk2kan kepalanya. Katanya, "Itu adalah pendapat yang baik. Demikian Sri Rajasa menyanggupi untuk mengambil sikap yang pasti bagi Putera Mahkota, maka kita akan menyingkirkan Putera Mahkota itu sejauh2nya sementara kita menunggu perkembangan. Putera Mahkota akan kembali keistana tanpa melanggar haknya dan hak orang lain, sementara Sri Rajasa tidak akan dapat berbuat apapun lagi, karena persiapan Putera Mahkotapun telah matang."
"Ya. Kita akan mencobanya. Mudah2an kita hanya sekedar berprasangka."
"Kau terlampau lembut. Tetapi mudah2an kau benar. Namun seandainya harus terjadi, kita sudah siap. Kita akan langsung mendapatkan Sri Rajasa, dan jika perlu menembus barisan pengawalnya."
"Apaboleh buat," sahut Mahisa Agni. Lalu, "Sekarang, kalian dapat beristirahat disini. Aku menjamin bahwa tidak akan ada orang lain yang mengetahuinya. Biarlah kita menunggu Sumekar. Mungkin ia sedang mengamat2i perkembangan baru dihalaman istana ini."
"Aku ingin juga keluar sebentar. Aku akan berhati2," berkata Witantra.
"Kita menunggu Sumekar sejenak."
Witantra mengangguk2kan kepalanya, dan Mahisa Agni berkata seterusnya, "Aku besok dipanggil dibangsal paseban."
Witantra memandang Mahisa Agni sejenak. Lalu, "Tidak ada penjelasan lagi?"
"Tidak." "Dan dihalaman ini terjadi kesibukan malam ini?"
"Sedikit. Aku tidak melihat bahaya yang menentukan. Namun aku tidak tahu, bahwa timbul firasatku bahwa justra paseban besok akan menentukan sesuatu sehubungan dengan kegiatan malam ini."
"Kita memang harus mengamati keadaan. Mungkin sekali terjadi. Justru ketika kau berada dipaseban, para prajurit mengambil tindakan terhadap Putera Mahkota. Tentu tidak mengetahuinya."
"Akupuu menduga demikian. Jika tidak, tentu tidak akan ada kegiatan yang melampaui kebiasaan dan sehubungan dengan sikap dan penglihatan Sumekar, bahwa yang terjadi halaman ini tidak pernah dilihatnya sebelumnya."
"Tentu ada hubungannya."
"Dan akupun ternyata diikuti oleh seorang prajurit ketika aku berjalan2 dihalaman."
Witantra dan kedua kawan2nya saling berpandangan. Seakan2 mereka telah menjadi yakin, bahwa sesuatu memang akan terjadi. Karena itulah maka Witantrapun berkata, "Baiklah aku mengamati keadaan. Mungkin kita haras bertindak cepat. Aku akan memberikan isyarat dari kejauhan dan kalian harus segera pergi kebangsal Sri Rajasa."
"Tetapi hati2lah. Akupun akan menengok bangsal Anusapati," jawab Mahisa Agni.
"Jika demikian," berkata Kuda Sempana kemudian, "kita berada diluar bangsal ini saja, karena agaknya memang lebih aman. Kita mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu."
"Baiklah," berkata Mahisa Agni, "tetapi kita menunggu Sumekar sejenak. Kita mendengar pendapatnya."
Witantra mengangguk2kan kepalanya. Katanya, "Baiklah. Tetapi jangan terlalu lama. Hari menjadi semakin malam."
"Tentu tidak lama," Kuda Sempanalah yang menyahut, "ia hanya akan singgah sejenak. Dan iapun akan segera menyusul kemari."
Sejenak mereka saling berdiam diri. Mereka menunggu kedatangan Sumekar yang memisahkan dirinya ketika mereka memasuki halaman istana.
"Lama sekali," desis Mahendra.
"Mungkin ia singgah kegubugnya."
Mahendra menarik nafas dalam2.
Namun tiba2 saja mereka dikejutkan oleh guruh yang seakan2 meledak diatas istana. Begitu kerasnya dan mengejutkan segenap bangunan yang ada dilingkungan halaman istana serasa bergetar karenanya.
"Mengejutkan," desis Kuda Sempana.
Witantra mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Bukankah ketika kita memasuki halaman ini, langit nampaknya bersih?"
Kuda Sempana menganggukkan kepalanya. Namun merekapun kemudian mendengar angin yang menderu, seakan2 semakin lama menjadi semakin keras.
"Angin," desis Mahendra, "agaknya hujan memang akan turun."
Mahisa Agni hanya mengangguk2kan kepalanya saja. Tetapi tiba2 saja terasa dadanya berdesir ketika ia melihat kain2 selintru bergetar oleh angin yang menyusup dinding. Bahkan terasa pada kulit tubuh mereka, angin yang basah berhembus melintasi ruangan.
Sekali lagi mereka mendengar guruh dilangit. Suaranya menggelegar berkepanjangan, seperti sebuah pedati raksasa yang lewat dijalan langit yang berbatu2. Panjang sekali.
Orang2 yang ada didalam bangsal itu menaiik nafas dalam2. Terasa udara malam menjadi asing. Angin yang berhembus rasa2nya semakin lama menjadi semakin kencang.
"Musim hujan memang sudah tiba," berkata Mahendra.
"Tetapi belum waktunya angin dan guntur bersahut2an dilangit," sahut Witantra.
"Memang kadang2 terjadi kelainan seperti ini," berkata Mahisa Agni, "ketika Akuwu Tunggul Ametung masih memerintah pernah juga terjadi hujan dikelainan musim. Tiga hari tiga malam. Kemudan pada masa pemerintahan Sri Rajasapun pernah juga terjadi."
"Ingatanmu baik sekali Mahisa Agni."
"Kebetulan saja bersamaan waktunya dengan kejadian besar yang tidak dapat aku lupakan. Mungkin masih banyak terjadi kelainan musim. Tetapi aku sudah tidak ingat lagi."
"Kejadian besar yang manakah yang kau maksudkan?" bertanya Witantra.
"Yang pertama menurut ingatanku, yaitu pada saat pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung adalah saat2 menjelang akhir pemerintahannya. Hujan turun beberapa hari. Tetapi waktu itu kita tidak menghiraukannya, karena musim hujan memang sudah diambang pintu."
"Seperti saat ini."
"Ya, seperti saat ini."
"Dan pada masa pemerintahan Sri Rajasa?"
"Tiba2 saja hujan turun seperti dicurahkan dari langit."
"Ya. Bersamaan waktunya dengan peristiwa yang mana?"
"Menjelang gugurnya Sri Kertajaya Maharaja di Kediri."
Witantra menarik nafas dalam2. Katanya, "Pantas kau dapat mengingatnya. Sebenarnya yang kau ingat bukan hujan dan angin, tetapi peristiwa2 besar itulah agaknya."
"Sudah aku katakan. Mungkin musim yang salah itu sering terjadi. Tetapi tentu aku tidak dapat mengingatnya lagi."
Merekapun terdiam ketika mereka mendengar guruh sekali lagi mengumandang dilangit. Seleret cahaya yang terang benderang telah membelah kegelapan malam, disambut oleh suara angin yang gemerasak didedaunan.
"Anginpun ikut berbicara bersama kita. Kau dengar?" bertanya Mahendra.
Yang lain mengangguk2kan kepalanya. Namun tampaklah wajah Witantra menjadi bersungguh2. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, "Kadang2 kejadian2 besar memang ditandai oleh peristiwa alam yang agak lain dari urutan musimnya."
Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Witantra sejenak. Lalu, "Apakah ada sesuatu terasa dihatinya."
"Semacam firasat buruk," Kuda Sempanalah yang menyahut.
"Ya," berkata Mahendra pula. "Ada sesuatu yang lain dihati ini."
Mahisa Agni menarik nafas dalam2. Katanya, "Inikah pertanda itu?" ia terdiam sejenak, lalu, "jika demikian tinggallah kalian disini. Aku akan pergi kebangsal Anusapati."
Witantra termenung sejenak. Lalu, "Kenapa kau" Kenapa bukan aku?"
"Aku lebih leluasa bergerak dihalaman istana ini."
Witantra tidak segera menyahut. Tetapi sepercik cahaya telah memancar lagi. Terang sekali, diiringi suara guruh yang menggelegar dilangit.
Belum lagi suara guruh itu lenyap, terdengar sesuatu yang mendebarkan jantung. Perlahan2 pintu butulan telah diketuk orang.
"Sumekar," desis Mahisa Agni.
Mahendrapun kemudian berdiri. Dengan hati2 ia menarik selarak. Ketika pintu terbuka sedikit, mereka yang ada didalam ruangan itupun terkejut bukan kepalang. Ternyata yang datang sama sekali bukan Sumekar, tetapi Anusapati.
"Kau Anusapati?" bertanya Mahisa Agni perlahan2.
Anusapati tidak menjawab, Iapun kemudian melangkah masuk dengan ragu2. Dilihatnya beberapa orang yang sudah ada diruangan itu.
"Duduklah." Anusapati menganggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, "Dimanakah paman Sumekar?"
Pertanyaan itu mengejutkan Mahisa Agni dan orang2 yang ada didalam bilik bangsal itu.
"Pamanmu Sumekar tidak ada disini," jawab Mahisa Agni, "kami memang sedang menunggunya."
"Baru saja paman Sumekar datang kepadaku."
"O," kata2 itu sangat menarik perhatian. Lalu, "dimana ia sekarang?" bertanya Mahisa Agni.
"Aku sedang mencarinya kemari. Menurut paman Sumekar, ia akan pergi kebangsal ini."
"Ia belum datang. Mungkin ia singgah ditempat tinggalnya atau keperluan lain. Sebentar lagi ia akan datang. Karena iapun menyatakan kepada kami, bahwa ia akan segera datang."
Anusapati memandang Mahisa Agni dengan heran. Katanya, "Paman Sumekar mengatakan kepadaku, bahwa paman menyuruhnya pergi kepadaku."
"Aku?" "Ya paman." "Kenapa aku" Dan apa katanya?"
"Paman menyuruh paman Sumekar kebangsalku dan dengan diam2 menemui aku, karena paman ingin melihat keris mPu Gandring itu."
"Keris mPu Gandring?"
"Ya. Paman Sumekar telah membawa keris itu, yang menurut paman Sumekar akan diserahkannya kepada paman Mahisa Agni."
Jawaban itu telah mengguncangkan dada Mahisa Agni dan orang2 yang ada diruangan itu, sehingga Witantra bergeser setapak. "Jadi, keris itu sekarang dibawa oleh Sumekar."
"Ya." Terasa sesuatu bergejolak disetiap dada.
"Bagaimana paman," bertanya Anusapati, "apakah tidak demikian?"
"Katakan Anusapati, bagaimana hal itu terjadi."
Anusapati menjadi gelisah. Katanya, "Paman Sumekar datang kepadaku dengan diam2. Paman Sumekar membawa pesan paman Mahisa Agni untuk membawa keris itu. Karena paman Mahisa Agni ingin melihatnya."
"Bukankah aku pernah melihat keris itu?"
"Ya, tetapi menurut paman Sumekar, paman Mahisa Agni ingin melihat lebih cermat lagi, apakah keris itu benar2 keris mPu Gandring."
"Ah," Mahisa Agni berdesah.
"Jadi, apakah tidak demikian?" bertanya Anusapati.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. "Ia sama sekali menduga bahwa tiba2 terjadi suatu hal yang tidak dapat dimengertinya. Sumekar selama ini tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali. Namun tiba-tiba ia telah berbuat sesuatu yang tentu mendebarkan jantung."
"Tetapi tentu bukan maksudnya untuk mencelakakan Anusapati, Justru selama ini ia menunjukkan betapa ia ingin berbuat sesuatu untuk Anusapati."
Ternyata pikiran itu justru telah mengejutkan Mahisa Agni sendiri. Sekali lagi diulanginya didalam hatinya, "Sumekar ingin berbuat sesuatu untuk Anusapati."
Mahisa Agni menarik nafas dalam2.
"Jadi, bagaimanakah sebenarnya paman?" desak Anusapati.
"Anusapati," berkata Mahisa Agni kemudian. Dengan hati2 ia ingin menjelaskan masalahnya, "Aku tidak memberikan pesan itu kepada pamanmu Sumekar."
"Jadi apakah maksud paman Sumekar?"
Mahisa Agni memandang wajah Witantra, Kuda Sempana dan Mahendra berganti2. Sebelum ia berkata sesuatu, Kuda Sempana telah berdesis, "Memang mengherankan. Tetapi juga mencemaskan."
"Anusapati," berkata Mahisa Agni, "selama ini Sumekar telah berbuat sebaik2nya bagimu. Selama ini ia berusaha untuk membantumu jika kau berada didalam kesulitan. Karena itu, jika ia membawa keris itu, tentu maksudnya sama sekali tidak diarahkan kepadamu. Namun demikian, kita masih juga tetap meraba2. Karena itu, marilah kita mencarinya. Mungkin kau dapat mencarinya kesekitar bangsal ayahandamu. Tetapi ingat, dengan diam2. Aku akan mencarinya ditempai lain yang lebih berbahaya, didaerah seberang dinding. Siapa tahu, Sumekar pergi kebangsal Ken Umang dan Tohjaya dengan keris itu ditangan. Jika kita bertemu dengan Sumekar, maka cobalah membujuknya. Bawalah ia kebangsal ini. Katakan bahwa pamanmu Kuda Sempana menunggunya, karena pamanmu Kuda Sempana adalah saudara tua seperguruan dari pamanmu Sumekar."
"Baiklah paman. Aku akan mencoba mencarinya."
"Hati2lah. Jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki, meskipun agaknya persiapan didalam istana ini menjadi semakin meningkat."
"Itulah yang akan aku katakan kepada paman Sumekar, agar ia menjadi berhati2, karena menurut pengamatanku, ada beberapa kelainan dihalaman istana ini."
"jika demikian, apakah aku juga dapat ikut mencarinya?" bertanya Witantra.
"Ada juga baiknya. Tetapi aku harap Kuda Sempan dan Mahendra tetap berada dibangsal ini. Aku kira tidak akan ada orang yang akan memasukinya. Jika ada, tentu orang itu membawa tugas rahasia."
"Baiklah paman. Aku akan mencarinya."
"Marilah kita pergi. Berhati2lah. Aku juga harus berhati2, karena di bangsal Tohjaya itu kini mendapat penjagaan yang sangat kuat."
"Aku akan mencarinya ditempat lain dari kedua tempat itu."
Demikian, seorang demi seorang, Mahisa Agni, Witantra dan Anusapati meninggalkan bangsal itu. Sebelum Anusapati mengikuti pamannya keluar dari pintu butulan, Kuda Sempana masih sempat berpesan. "Tuanku Putera Mahkota, Sumekar sebenarnya adalah seorang yang keras hati. Karena itu, jika tuanku bertemu, katakan bahwa tuanku mendapat pesan daripadaku, bahwa aku akan menemuinya sejenak tanpa merubah rencananya."
"Baiklah paman. Mudah2an aku dapat menemuinya."
"Silahkan. Tetapi seperti pesan paman tuanku, berhati2lah. Agaknya persiapan yang meningkat ini diarahkan kepada tuanku."
"Sebenarnya aku memang sudah menduga paman. Tetapi agaknya pamanda Mahisa Agni terlampau mempercayai kelembutan hati manusia yang lain seperti dirinya sendiri. Seakan2 didunia ini memang tidak ada kedengkian dan kepalsuan."
"Sukurlah jika tuanku sudah menyadarinya."
"Tetapi jika mereka benar2 bertindak malam ini, agaknya aku sudah terlambat. Kecuali meninggalkan istana ini, hanya seorang diri, tanpa anak dan isteriku."
"Sekarang, silahkan angger mencari Sumekar. Memang agaknya lebih aman disekitar bangsal Sri Rajasa, justru karena Sri Rajasa memiliki kelebihan dari orang lain, sehingga tidak memerlukan penjagaan sekuat bangsal ibunda Ken Umang dan adinda tuanku Tohjaya."
"Terima kasih paman. Aku minta diri."
Anusapatipun kemudian dengan hati2 meninggalkan bangsal itu lewat halaman belakang yang sepi. Dengan lincahnya ia meloncat keatas dinding batu yang tinggi dan kemudian hilang dibalik dinding itu.
Dalam pada itu, maka tiga orang yang tanpa diketahui oleh para penjaga, telah menyusup diantara gerumbul2 pohon bunga dihalaman. Yang seorang menuju kebangsal Sri Rajasa, yang memang tidak begitu banyak mendapat penjagaan, justru karena setiap orang yakin, bahwa Sri Rajasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain, serta atas perhitungan bahwa tentu tidak akan ada seorangpun yang berani mengganggunya, sedang yang seorang lagi pergi kebangsal di bagian lain dari istana Singasari, yaitu bangsal Ken Umang dan Tohjaya serta adik2nya. Kemudian Witantra mencoba mencari dibagian lain dihalaman istana itu. Mungkin justru Sumekar menjumpai bahaya diperjalanannya menuju kebangsal Mahisa Agni.
Sementara itu guntur dilangit masih juga terdengar sekali2 meledak memekakkan telinga. Angin yang kencing bertiup diantara dedaunan, sehingga lampu yang sudah dinyalakan dihalaman dan di gardu2 bagaikan diguncang2, sehingga kadang2 sinarnya menjadi amat redup dan bahkan hampir padam.
"Suasananya terasa aneh sekali," gumam seorang prajurit, "guntur dan guruh tiba2 saja berkejar2an dilangit yang sehari ini tampak cerah."
"Tiba2 saja. Aku menjadi bertanya2 didalam hati, apakah ini suatu pertanda."
"Pertanda apa?"
"Aku tidak mengerti, kenapa kita harus bertugas malam ini. Inipun suatu perintah tiba2 seperti guruh yang tiba2 saja meledak dilangit."


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau sama sekali tidak mengerti persoalan yang sedang berkecamuk dihalaman istana ini?"
"Aku memang mendengarnya, tetapi aku ragu2 untuk mempercayainya."
"Apa?" "Besok pagi dipaseban akan ada sidang para pemimpin yang akan membicarakan kenaikan upah bagi para prajurit."
"Ah," prajurit yang lain berdesah.
"Apakah bukan itu yang kau maksud?"
"Tentu bukan." "Jadi?" "Pertentangan yang semakin lama menjadi semakin tajam antara kedua putera Sri Rajasa."
"Lalu, apakah hubungannya dengan kita sekarang ini?"
"Kita harus berjaga2, agar tidak terjadi bentrokan terbuka antara keduanya dan para pengikutnya."
Kawannya mengangguk2kan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara lagi.
Namun dalam pada itu, kedua prajurit itu tidak mengerti bahwa seorang perwira sedang memperhatikan mereka. Perwira itu kadang2 mengerutkan keningnya, kadang2 wajahnya menjadi tegang. Tetapi kemudian sebuah senyum menghiasi bibirnya. Katanya didalam hati, "Tentu kalian tidak mengerti apa yang harus kalian lakukan. Besok kalian harus menguasai keadaan jika beberapa orang Senapati menangkap Anusapati dan Mahisa Agni di paseban. Perintah itu baru akan datang besok pagi jika paseban sudah penuh dengan mereka yang akan mengikuti Sidang. Dan bahkan ketika Sri Rajasa sudah duduk di paseban itu pula."
Tetapi Senapati yang tersenyum itupun tidak mengetahui bahwa dihalaman itu merayap beberapa orang yang sedang melakukan tugas masing2. Dan merekapun tidak tahu, bahwa seseorang yang lebih dahulu dari ketiga orang yang lainpun sedang merayap pula diantara rimbunnya pepohonan. Bukan saja sedang mengendap2 mencari seseorang, tetapi ternyata bahwa ia telah menggenggam keris telanjang ditangannya.
Keris bukan sembarang keris, tetapi keris itu pusaka yang dibuat oleh mPu Gandring. Keris yang sudah dibasahi dengan darah mPu Gandring sendiri dan darah Akuwu Tunggul Ametung. Sehingga dengan demikian keris yang sudah bernoda darah itu agaknya justru telah menjadi haus. Seperti yang dipesankan oleh mPu Gandring menjelang tarikan nafasnya yang terakhir, agar keris itu dihancurkan saja, karena keris itu tentu akan menuntut darah orang berikutnya.
Demikianlah dengan berdebar2 Anusapati, Mahisa Agni dan Witantra berusaha menemukan Sumekar sebelum terjadi apapun juga, karena dugaan mereka semakin lama menjadi semakin kuat bahwa Sumekar akan mengambil tindakan tersendiri. Sudah sejak beberapa lamanya, Sumekar merasa bahwa keadaan yang terkatung2 itu harus diakhiri dengan caranya. Dan cara itulah yang mendebarkan hati Anusapati, Mahisa Agni dan kawan2nya.
Dalam pada itu Anusapatipun menjadi semakin dekat dengan bangsal Sri Rajasa. Tetapi ia harus sangat berhati2. Jika seseorang melihatnya, persoalannya tentu akan menjadi berbeda. Dan ia tidak akan dapat ingkar lagi, seandainya para prajurit dan kemudian Sri Rajasa sendiri menuduhnya untuk melakukan perlawanan terhadap ayahanda Sri Rajasa bahwa tuduhan yang lebih berat lagi, usaha membunuh Sri Rajasa.
Atas kesadaran itu, maka Anusapatipun menjadi semakin hati2. Ia sama sekali tidak berani mendekati bangsal itu dari depan. Tetapi ia menyusur dinding batu dibelakang bangsal itu dan mendekat lewat longkangan belakang.
"Ayahanda sering menghirup udara di longkangan itu," berkata Anusapati.
Namun ia menjadi ragu2. Sri Rajasa adalah seorang yang memiliki kemampuan tiada taranya. Jika ia berani mendekat, maka Sri Rajasa itu tentu dapat mengetahuinya.
Karena itulah, maka untuk beberapa saat Anusapati menjadi termangu2. Namun ada semacam dorongan yang memaksanya untuk bergerak lebih dekat lagi.
"Aku akan melihat dari kejauhan lebih dahulu," berkata Anusapati didalam hatinya, "agar seandainya ayahanda benar2 ada didalam aku tidak terjebak oleh incerannya yang sangat tajam."
Demikianlah, maka Anusapatipun telah memanjat sebatang pohon preh yang rimbun. Didalam gelapnya malam dan angin yang rasa2nya bertiup semakin kencang, tidak seorangpun yang memperhatikan pohon preh yang bagaikan diguncang2 itu.
Hanya setiap kali tatit memancar dilangit, Anusapati harus melekat pada batang pohon preh itu agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Ketika Anusapati sudah berada ditempat yang cukup tinggi, maka iapun segera menyelusur sebatang cabang yang besar, agar ia dapat melihat kedalam longkangan dalam.
Terasa jantung Anusapati bagaikan berhenti berdenyut. Dari tempatnya, ia melihat seseorang telah berada didalam longkangan belakang bangsal Sri Rajasa. Didalam keremangan cahaya lampu dilongkangan itu. Anusapati melihat, orang itu membawa sebilah keris telanjang.
"Paman Sumekar," ia berdesis.
Sejenak Anusapati justru terpukau oleh pemandangan itu. Ia merasa sesuatu menyentuh hatinya. Sumekar berbuat hal itu justru untuk kepertingannya, karena Sumekar sudah jemu melihat perkembangan yang tidak menentu diistana Singasari ini.
Tetapi apakah ia akan berdiam diri saja melihat tindakan Sumekar itu"
Tiba2 sesuatu terbersit di dalam hatinya. Sebagai manusia biasa Anusapati tidak terlepas dari gangguan kepentingan diri. Itulah sebabnya telah terjadi semacam benturan didalam dirinya. Seperti yang dipesankan oleh pamannya, bahwa sebaiknya ia berusaha membujuk Sumekar untuk kembali ke bangsal Mahisa Agni, namun didalam hatinya yang paling dalam ia berkata kepada diri sendiri. "Apakah aku sudah melanggar pesan paman Mahisa Agni jika aku membiarkan paman Sumekar melakukan usahanya untuk menyingkirkan ayahanda Sri Rajasa" Bukankah aku bukan sanak dan bukan kadangnya."
Anusapati justru menjadi ragu2.
Namun sesuatu yang mendesak didalam hatinya justru pengaruh pertentangannya dengan ayahanda Sri Rajasa. Persiapan-persiapan yang menjadi semakin ketat didalam istana Singasari. Dan apalagi ketika terbersit tanggapannya, "Ayahanda mempersiapkan semuanya ini untuk menyingkirkan aku. Tentu bukan sekedar menyingkirkan saja dari istana Singasari ini, tetapi tentu juga mengancam jiwanku." lalu tiba2 ia bergumam, "selagi ayahanda Sri Rajasa masih ada, maka ancaman maut itu tidak akan dapat aku hindarkan. Tetapi apakah aku tidak berhak membela diriku" Dan jika perbuatan paman Sumekar itu merupakan perlindungan bagi jiwaku tanpa berbuat langsung, itu aku dapat dipersalahkan?"
Dalam keragu2an itu, terasa darah Anusapati seakan2 terhenti. Ternyata dari dalam bangsal itu, Sri Rajasa mengetahui bahwa seseorang ada dilongkangan dalam.
"sangat berbahaya bagi paman Sumekar." berkata Anusapati kepada diri sendiri. Tanpa disadarinya ia mencoba memperhatikan para prajurit yang ada didepan bangsal itu.
"Apakah mereka tidak akan mendengar jika terjadi perkelahian."
Dalam pada itu, angin seakan2 menjadi semakin kencang, dan guruh meledak2 dilangit. Memang suatu kelainan musim yang aneh.
"Angin yang keras ini akan melindungi paman Sumekar," berkata Anusapati didalam hatinya. "Namun jika ayahanda Sri Rajasa memberikan isyarat kepada para prajurit, maka paman Sumekar akan menjadi sayatan daging di longkangan itu."
Hati Anusapati menjadi semakin berdebar2. Ia sadar, betapa marahnya Sri Rajasa. Tetapi agaknya Sumekarpun sudah bertekad bulat.
"Aku harus mendekat. Aku harus melihat akhir dari peristiwa ini."
Dengan tergesa2 Anusapatipun segera turun dari pohon preh itu. Namun ia masih tetap sadar, bahwan ia memang harus berhati2."
Demikianlah, selagi Anusapati meluncur turun dari pohon preh yang besar itu. Sri Rajasa telah berada dilongkangan belakang. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, maka iapun segera mengetahui bahwan ada seseorang yang mencurigakan dilongkangan. Apalagi Sumekar, yang memang dengan hati yang bulat dan sikap yang pasti, ingin berbuat sesuatu bagi Singasari menurut caranya.
Itulah sebabnya ia dengan sengaja telah memancing Sri Rajasa untuk keluar dari bangsalnya kelongkangan belakang.
Didalam gemuruhnya angin kencang dan guntur yang sekali2 meledak dilangit, maka terdengarlah suara Sumekar lamat2 dan yang hanya didengar oleh Sri Rajasa sendiri, "Tuanku, ternyata perbuatan tuanku sudah tidak dapat dihentikan dengan cara yang ditempuh oleh Mahisa Agni. Justru pada saat Mahisa Agni berusaha dengan segala kelemahan yang ada padanya, tuanku mempergunakan kesempatan ini sebaik2nya. Persiapan yang tuanku lakukan bukannya sekedar sebuah permainan yang dapat dianggap sebagai angin lalu. Tentu ada maksud tuanku yang tidak akan dapat tuanku ingkari lagi, memusnahkan Putera Mahkota dan Mahisa Agni sekaligus."
Sri Rajasa menjadi marah bukan buatan mendengar kata2 Sumekar. Namun ia masih sempat bertanya, "Siapa kau?"
"Apakah tuanku belum pernah melihat hamba" Hamba adalah seorang Pengatasan dari Batil."
"Apa perlumu datang kemari?"
"Hamba ingin memberikan sedikit darma bakti bagi Singasari. Hamba adalah orang yang kagum kepada tuanku yang telah berhasil menyatukan Singasari yang besar dengan segala macam kelebihan tuanku dibidang pemerintahan dan keprajuritan. Namun menyesal sekali bahwa hamba tidak sampai hati melihat apa yang akan tuanku lakukan disaat2 menjelang hari tua tuanku. Hamba tidak rela melihat usaha tuanku menyerahkan Singasari kepada seseorang yang tidak akan dapat meneruskan keagungan pemerintahan tuanku."
"Aku tidak tahu maksudmu."
"Tuanku, sebenarnyalah hamba berharap agar tuanku tidak menarik keputusan tuanku untuk menyerahkan kekuasaan Singasari dari tangan Anusapati, karena menurut pengamatan hamba, Putera Mahkota Anusapati akan dapat mengendalikan kekuasaan Singasari dan memperkembangkannya seperti yang tuanku kehendaki. Tetapi tentu tidak demikian dengan tuanku Tohjaya. Tuanku Tohjaya seperti ibundanya, adalah seorang yang paling tamak diseluruh Singasari."
"Cukup," bentak Sri Rajasa.
Meskipun suaranya cukup keras namun para prajurit didepan bangsal itu tidak dapat mendengarnya karena angin yang keras diseling dengan suara guntur yang menggelegar.
"Apakah kau ada hubungan keluarga dengan Anusapati?" bertanya Sri Rajasa.
"Tidak. Aku tidak mempunyai hubungan keluarga dengan tuanku Anusapati, juga tidak dengan tuanku Tohjaya."
"Kau adalah pengikut Tunggul Ametung yang setia."
"Pada jaman Akuwu Tunggul Ametung, aku tidak tahu apa2 sama sekali."
"Jadi, apa sebenarnya yang kau kehendaki?"
"Kelangsungan hasil kerja tuanku Sri Rajasa yang besar."
"Gila, kau ingin kelangsungan hidup Singasari yang besar atas usahaku sekarang kau datang dengan cara yang gila ini."
"Tuanku, hamba mohon agar tuanku mengurungkan niat tuanku untuk menggeser tuanku Anusapati. Tuanku tidak usah ingkar. Dan hamba mengharap agar tuanku Tohjaya dibatasi kekuasaannya sehingga bukan tuanku Tohjayalah yang seakan2 menjabat sebagai seorang Pangeran Pati. Tetapi tuanku Anusapati."
"Jangan gila pengalasan dari Batil. Aku berhak menentukan apa saja. Bukan kau. Aku mempunyai kekuasaan tidak terbatas di Singasari."
-ooo0dw0ooo- JILID 79 " ITULAH kesalahan tuanku, Justru karena tuanku merasa memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. "
" Lalu apa maumu sebenarnya. "
" Sudah hamba katakan. "
" Gila, aku tidak mau mendengar kata2mu itu. Aku berhak mengatakan apa saja yang ingin aku katakan. Dan aku berhak memutuskan apa yang ingin aku putuskan. "
" Tuanku " berkata Sumekar yang bagaikan orang kehilangan, nalar " hamba tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Hamba mohon tuanku berjanji. "
" Tidak. " " Kenapa tidak" "
" Kau gila. " " Tidak tuanku, hamba tidak gila. Hamba ingin hal itu terjadi. Tuanku harus berjanji. "
" Aku tidak mau. "
" Jika tidak, hamba terpaksa melakukan kekerasan. Untuk kepentingan kabesaran hasil usaha tuanku atas Singasari, maka hamba terpaksa menyingkirkan tuanku. "
" Kau gila. Kau benar2 sudah menjadi gila. "
" Tinggal ada dua pilihan. Memenuhi permohonan hamba, atau hamba terpaksa membunuh tuanku. Lihat, hamba sudah membawa pusaka yang pasti tuanku kenal. "
Sri Rajasa memandang keris ditangan Sumekar itu dengan dada yang ber-debar2. Ia tahu bahwa keris itu tentu jatuh ketangan Anusapati lewat ibundanya. Maka katanya
" Kau tentu mendapat perintah dari Anusapati, atau Mahisa" Agni atau bahkan dari Ken Dedes sendiri. "
" Tidak. Tidak seorangpun memerintahkan kepada-hamba. Hamba justru telah menipu tuanku Anusapati, sehingga hamba mendapatkan keris buatan mPu Gandring ini.. Keris yang sudah pernah menjilat darah. "
Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu menjadi ber-debar2. Dipandanginya keris buatan mPu Gandring itu. Keris yang pernah dipergunakannya untuk membunuh beberapa orang. Diantaranya adalah mPu Gandring sendiri.
Sri Rajasa menarik nafas dalam2. Katanya " Apakah kau sudah gila" Kau tentu tahu bahwa aku adalah Sri Rajasa. Seseorang yang pernah mengalahkan dan membinasakan Maharaja di Kediri. Sekarang, kau seorang pengalasan yang bodoh mencoba untuk membunuh aku. Apapun yang kau genggam, namun tentu nyawamu sendirilah yang akan direnggut oleh ujung senjata itu. Karena itu, urungkan niatmu. Aku tidak akan menuntut hukuman apapun karena aku tahu, bahwa kau sedang terganggu syarafmu. Aku akan melupakannya. Dan kau dapat bekerja seperti biasa ditaman istana Singasari ini. Tetapi, serahkan keris itu kepadaku. "
" Maaf tuanku. Hamba mohon jawaban tuanku. Apakah tuanku mengurungkan niat tuanku untuk menyingkirkan tuanku Anusapati apa tidak. Jawaban tuanku adalah jawaban seorang Maharaja yang tentu tidak akan dijilat kembali meskipun musim berubah sehari tujuh kali. "
Sri Rajasa menjadi tegang. Kemarahan yang menyala di-dadanya bagaikan membakar jantung. Namun ia masih tetap berusaha menjaga diri sebagai seorang Maharaja. Tentu tidak pantas bahwa seorang Maharaja yang besar harus berkelahi melawan seorang juru taman meskipun didalam beberapa saat saja juru taman itu akan terbunuh. Dan apakah kata para prajurit yang bertugas diregol, bahwa dilongkangan ini terdapat mayat seorang pengalasan"
Namun tiba2 Sri Rajasa menggeretakkan giginya. Katanya
" Para prajurit memang terlampau malas. Kenapa mereka tidak melihat seorang pengalasan yang tiba2 saja sudah berada di longkangan ini" "
" Tuanku " berkata Sumekar kemudian " tuanku belum memberikan jawab. "
" Pangalasan yang dungu " berkata Sri Rajasa kemudian
" seharusnya kau dapat mengerti, bahwa usahamu ini akan sia2. Mungkin kau memang memiliki beberapa kelebihan karena ternyata kau dapat sampai dilongkangan ini tanpa diketahui oleh seorangpun. Tetapi kau seharusnya mengerti, siapakah yang sedang kau hadapi sekarang. Karena itu, serahkan keris itu dan tinggalkan longkangan ini. Aku akan mengampunimu, karena seperti yang aku katakan, bahwa aku menganggap kau sekarang sedang dihinggapi setan, atau katakanlah bahwa kau memang mempunyai penyakit gila. "
Sumekar memang tidak melihat bahwa Sri Rajasa akan mengerti maksudnya. Karena itu maka katanya, " Ampun tuanfcu. Untuk kepentingan Singasari yang besar, dan sebagai timbangan yang tidak berarti bagi kesatuan Singasari yang telah tuanku bina hamba terpaksa membunuh tuanku, agar tuanku Tohjaya tidak akan mendapat kesempatan untuk menduduki tahta Singasari. Sebenarnya bukan niat hamba untuk membunuh. Tetapi apa boleh buat, karena ternyata tuanku tidak bersedia berjanji untuk tidak memberi kesempatan kepada tuanku Tohjaya yang manja dan tamak itu."
" Pangalasan dari Batil " berkata Sri Rajasa " jangan membunuh diri disini. Jika kau memang terganggu oleh pikiran gila sehingga kau ingin membunuh diri, lakukanlah. Tetapi jangan disini. "
Sumekar memandang Sri Rajasa dari ujung rambut sampai keujung kakinya. Dan tiba2 saja matanya menjadi liar, sehingga sambil menggeram ia melangkah maju " Kesempatan terakhir bagi tuanku. "
Ketika kilat menyambar dilangit, Sri Rajasa melihat wajah Sumekar semakin jelas. Matanya menjadi merah dan wajah itu menegang. Tangan yang menggenggam keris itu menjadi gemetar.
Sri Rajasa ter-mangu2 sejenak. Se-akan2 ia melihat dirinya sendiri ketika ia mengambil keputusan untuk membunuh mPu Gandring untuk menghilangkan jejak pembunuhan yang akan dilakukannya. Juga se-akan2 dilihatnya bayangan dirinya sendiri pada saat ia membunuh Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel
" Apakah memang sudah waktunya aku menebus kesalahan itu setelah aku berhasil dengan cita2ku mempersatukan Smgasari" " ia bertanya kepada diri sendiri.
" Tetapi tidak lantaran seorang pangalasan. Tidak lantaran seorang budak yang rendah. Seandainya aku akan mati juga, maka biarlah orang yang pantas telah membunuhku. "
Tetapi sekali lagi terbayang, bahwa Akuwu Tunggul Ametungpun mati dibunuh oleh seorang prajurit rendahan, Ken Arok yang pernah menjadi penghuni padang Karautan, berkawan Malang, berselimut awan dan beralaskan bumi jika malam telah datang.
" Tuanku " berkata Sumekar " tuanku jangan mengulur waktu untuk mendapat kesempatan memanggil para prajurit yang bertugas didepan bangsal ini. Langit yang berawan gelap dan angin yang kencang serta guruh yang ber-sahut2an adalah pertanda bahwa niatku telah mendapat restu dari Yang Maha Agung. Tuanku tidak akan dapat memanggil siapapun. juga, karena mereka tidak akan mendengar suara tuanku. "
" Pangalasan dari Batil. Aku tidak perlu memanggil siapapun juga. Aku dapat membunuhmu seperti aku membunuh seekor lalat. Yang aku pikirkan justru bagaimana aku menyelamatkanmu dari kegilaan ini. "
" Tuanku jangan berpikir tentang hamba. Lihatlah langit yang gelap untuk yang terakhir kalinya. Hamba sudah kehabisan kesabaran dan waktu. "
Sebenarnyalah Sri Rajasapun sudah jemu pula dengan permainan yang memuakkan itu. Karena itu, maka iapun ingin segera mengakhirinya. Apapun yang dikatakan oleh para prajurit, bahwa didalam longkangan itu terdapat seorang pengalasan yang mati, ia tidak peduli. Biarlah mereka membuang mayat itu seperti membuang mayat pengenrs yang paling rendah derajadnya karena pengkhianatan yang gila itu.
Karena itu, maka Sri Rajasa tidak menjawab lagi. Tak menunggu Sumekar menyerangnya. Kemudian dengan sebuah pukulan ia ingin membunuhnya.
Namun melihat sikap Sumekar, Sri Rajasa menjadi heran. Sikap itu bukan sekedar sikap seorang juru taman yang bodoh, bahkan yang telah terganggu urat syarafnya. Ia melihat sikap yang lain pada juru taman itu, sehingga karena itu, maka Sri Rajasapun menjadi curiga.
Ternyata dugaan itu benar. Untunglah bahwa ia sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, karena ternyata serangan Sumekar kemudian adalah bagaikan tatit yang sedang berloncatan dilangit.
Sri Rajasa masih sempat mengelak. Dan dengan kemarahan yang rasa2nya membakar jantungnya, maka iapun menyerang kembali dengan dahsyatnya pula.
Demikianlah maka keduanyapun segera terlihat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata bahwa kemampuan Sumekar diluar dugaan Sri Rajasa. Ia mampu me-loncat2 dengan lincahnya seperti anak kijang dipadang yang luas.
Tetapi lawannya adalah Sri Rajasa. Seorang yang memiliki kemampuan yang ajaib. Yang tidak dapat dimengerti oleh siapapun juga, bahkan oleh Sri Rajasa sendiri.
Dengan demikian maka perkelahian itopun semak'n lama menjadi semakin dahsyat. Di-sela2 deru guruh dilangit dan desah angin yang keras, keduanya telah mempertaruhkan jiwa masing2 dalam perkelahian yang tiada taranya. Bahkan Sumekar tidak ragu lagi mempergunakan ilmunya yang paling menakjubkan.
Meskipun demikian, ternyata bahwa ia tidak segera dapat menguasai lawannya. Bahkan kemudian, ketika semakin lama kemampuan aji puncaknya berhasil mendesak Sri Rajasa, tampaklah, betapa kemarahan yang menyala didalam dada Sri Rajasa itu telah mempengaruhi tata geraknya, yang semakin lama menjadi semakin kasar. Tangannya yang terayun kesegala arah, beserta kakinya yang berloncatan, membuat Sumekar kadang2 menjadi bingung. Namun karena Sumekar cukup memiliki bekal, maka iapun tetap berhasil menguasai dirinya.
Namun tiba2 dada Sumekar menjadi ber-debar2 semakin dahsyat. Tiba2 ia melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang hanya pernah didengarnya. Kini ia benar2 melihat.
Dalam perkelahian yang semakin sengit itu, tampaklah sesuatu diatas ubun2 Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa itu. Cahaya yang samar2, yang semakin lama menjadi semakin jelas. Warna merah bara yang tampak antara ada dan tidak ada.
" Inilah pertanda kebesarannya " bertanya Sumekar kepada diri sendiri.
Namun ia sudah bertekad untuk membunuh Ken Arok itu dengan keris mPu Gandring. Keris yang pernah dibasahi dengan darah orang yang menciptakannya, mPu Gandring oleh Ken Arok itu sendiri. Sekarang keris itu menuntut imbalan yang seimbang. Darah Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi.
Tetapi tidak mudah untuk membunuh Sri Rajasa. Betapapun juga Sumekar mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, namun ia tidak segera berhasil menyentuh kulit
Sri Rajasa dengan ujung kerisnya, Segorespun tidak. Betapa ia menghentakkan aji pamungkasnya, yang mendorong setiap tata geraknya menjadi senakin cepat dan semakin kuat, berlipat ganda, namun ternyata Sri Rajasa dapat mengimbanginya Bahkan tandangnya semakin lama menjadi semakin kasar, dan adalah diluar dugaan Sumekar, bahwa cara Ken Arok bertempur benar2 mencerminkan tata perkelahian sesosok Hantu di padang Karautan.
Agaknya cahaya yang ke-merah2an itulah yang menuntun segala gerak Ken Arok yang tidak dimengertinya sendiri itu. Kempnararn uiuna keris Sumekar hereerak dan menyambar, tubuh Ken Arok itu se-akan2 memiliki mata disetiap jengkal, sehingga ia masih juga mampu menghindarinya.
Bahkan kadang2 kecepatan gerak Ken Arok benar2 diluar dugaan, sehingga justru Sumekarlah yang sering menjadi bingung dan kehilangan lawannya.
" Gila " Sumekar berdesis " inilah agaknya yang telah dapat menolongnya membunuh Maharaja Kediri itu. Kemampuan yang luar biasa tetapi juga betapa kasar dan liarnya. Kecepatan bergerak dan menyerang. Kadang2 diluar jangkauan nalar, "
Meskipun demikian Sumekar tidak gentar sama sekali. Selain aji yang pernah diterimanya dari gurunya, ia juga menggenggam sipat kandel yang jarang ada duanya dimuka bumi. Keris yang memiliki kemampuan tiada taranya. Setiap sentuhan, pasti akan berarti maut.
Maka Sumekar mencoba mempergunakan keris itu sebaiknya. Diputarnya keris itu bagaikan baling2. Kemudian mematuk seperti mulut ular yang paling berbisa.
Tetapi ia masih belum berhasil menyentuh lawannya.
Sri Rajasapun menjadi semakin heran melihat kemampuan Sumekar. Karena itu, maka lapun kemudian bertanya " Siapakah sebenarnya kau, dan siapakah yang menyuruhmu datang kemari" "
Sumekar tidak segera menjawab, tetapi ia menyerang semakin dahsyat, sehingga perkelahian itupun menjadi semakin seru karenanya.
Sri Rajasa yang sudah kehilangan kesabaran itupun kemudian menggeram " Persetan. Aku tidak peduli, siapakah yang menyuruh kau kemari. Tetapi kau memang harus segera dibinasakan. "
Demikianlah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa, dan yang pernah merajai Padang Karautan sejak ia masih sangat muda itu, mengerahkan segenap kemampuannya oleh kemarahan yang mendesak. Karena itu, maka cahaya yang ke-merah2an-di-ubun2nya itu menjadi semakin terang. Namun dalam pada itu kemampuannyapun se-akan2 telah berlipat2. Dengan kecepatan yang liar Sri Rajasa telah menyerang Sumekar se-jadi2-nya,
Sumekar akhirnya benar2 telah terdesak. Ia tidak mempunyai ruang gerak isama sekali. Namun ia masih percaya kepada kerisnya. Jika ia masih sempat menggoreskannya pada .tubuh Sri Rajasa, maka ia tentu akan mati. Cepat atau lambat..
Tetapi yang menjadi benar2 diluar dugaan. Tusukan Sumekar, yang se-akan2 merupakan kesempatan yang terbuka, ternyata telah masuk kedalam perangkap tangan Ken Arok. Sesuatu yang tidak di-sangka2 sama sekali telah menghentikan setiap harapan yang pernah tumbuh didada Sumekar.
Ketika Sri Rajasa tampaknya lengah, maka Sumekarpun segera menusuk lambung kanannya. Namun ternyata Ken Arok masih sempat mengelak. Dan adalah diluar kemampuan Sumekar, bahwa tangan Ken Arok begitu cepatnya menangkap pergelangan Sumekar. Yang terjadi kemudian hanyalah sekejap saja ketika justru keris ditangannya, yang dipertahankan mati2-an meskipun pergelangan tangannya ditangkap oleh Ken Arok, telah dihentakkan oleh Ken Arok itu, sehingga justru telah menyentuh lengan kirinya sendiri.
" Gila, kau gila " Sumekar mengumpat se-jadi2nya. Ia sadar apa yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu, dengan membabi buta ia kemudian mengayunkan kerisnya bagaikan orang gila melanda Ken Arok, meskipun Ken Arok masih tetap tidak melepaskan genggamannya.
Ken Arok terkejut melihat sikap itu. Ternyata sentuhan keris mPu Gandring pada lengan Sumekar membuatnya berputus asa dan kehilangan segala macam harapan untuk tetap hidup.
Adalah diluar dugaan Ken Arok, maka keputus-asaan itu membuat Sumekar memiliki kemampuan terakhir yang tidak dapat dibayangkan. Dengan hentakan yg menyentak Sumekar berhasil melepaskan tangannya yang memegang keris dari genggaman Ken Arok. Kemudian seperti serigala lapar ia meloncat menerkam mangsanya.
Namun sekali lagi Ken Arok berhasil menghindar, sehingga Sumekar sama sekali tidak berhasil menyentuhnya.
Ternyata bahwa Sumekar telah menghentakkan segenap kekuatannya yang terakhir. Dengan demikian, ketika ia tidak berhasil menyentuh Ken Arok dan kemudian jatuh tertehingkup, maka Sumekar sudah tidak mampu bergerak sama sekali. Ia hanya dapat menggeliat sambil mengacungkan kerisnya dan berkata " Ken Arok, kau sekarang dapat melepaskan diri dari keris ini, tetapi pada suatu saat, kau akan disentuhnya juga. "
Dalam pada itu, Ken Arok berdiri dengan tegang. Sekali terdengar guruh meledak dilangit, dan angin bagaikan semakin keras bertiup. Awan yang hitam ber-gulung2 hanyut dilangit didorong oleh angin yang kencang.
Tiba2 Ken Arok terkejut ketika ia mendengar desir diatas dinding longkangan. Dengan gerak naluriah ia meloncat surut dan segera mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan.
Ternyata bahwa pada saat Sumekar kehilangan semua kekuatannya, Anusapati yang telah cukup lama mengintai perkelahian itu, tidak sampai hati membiarkannya terbaring diam. Sebagai seorang yang merasa dirinya dilindungi, dibantu dan bahkan yang terakhir, Sumekar telah berjuang untuk dirinya, Anusapati tidak dapat membiarkan Sumekar mati tanpa, seorangpun yang memperhatikannya, selain pandangan yang penuh amarah dari Sri Rajasa.
Karena itulah maka ketika Sumekar telah sampai pada saat2 menjelang akhir hidupnya, maka Anusapati telah mengabaikan segala macam akibat yang dapat terjadi atas dirinya.
" Anusapati. kau " terdengar Ken Arok berdesis.
Anusapati telah berjongkok disamping Sumekar. Dengan tatapan mata yang sayu ia berkata
" Paman Sumekar, apakah yang telah terjadi " "
Sumekar membuka matanya. Dilihatnya Anusapati berjongkok disampingnya.
" O, tuanku. Kenapa tuanku kemari " "
" Aku sedang mencari paman. Tetapi aku tidak menemukan paman dibangsal pamanda Mahisa Agni. "
" Maafkan tuanku. Aku telah menipu tuanku. Aku memang tidak akan membawa keris itu kepada Mahisa Agni, tetapi aku ingin segera menyelesaikan persoalan ini dengan Ken Arok. Tetapi aku ternyata gagal tuanku. Ternyata Ken Arok adalah jelmaan iblis yang paling laknat dipadang Karaii-tan. "
Anusapati berpaling sejenak. Dipandanginya Ken Arok yang masih berdiri diam. Namun ketika ia melihat sorot mata Anusapati, maka iapun berkata penuh kemarahan " Jadi kau yang menyuruhnya Anusapati " "
" Tidak ayahanda. Seperti yang dikatakan, ia telah menipu aku. "
Ken Arok memandang Anusapati sejenak. Lalu dengan nada yang datar ia bertanya " Jadi kau mendengar apa yang dikatakannya " "
Anusapati menjadi ragu2 sejenak. Lalu jawabnya " Ya ayahanda. Hamba mendengar beberapa bagian dari pembicaraan ayahanda dengan pengalasan dari Batil. "
" Jika orang ini bukan atas namamu, kau tentu tidak hanya akan tinggal diam. Jika benar ia telah menipumu, maka kau tentu akan dengan ter-gesa2 mencegahnya. " Ken Arok berhenti sejenak, lalu " dan kau tidak, akan datang dengan diam2 lewat tongkangan belakang. Kau tentu akan menemui prajurit yang mengawal bangsal ini didepan. "
" Ampun ayahanda " desis Anusapati " hamba sebenarnya memang sedang mencarinya. "
" Kenapa kau tidak mencegahnya ketika kau sudah mengetahui bahwa ia sudah berada disini" "
Pertanyaan itu benar2 telah membingungkan Anusapati. Karena itu, maka ia tidak segera dapat menjawabnya.
" Anusapati " berkata Ken Arok " ternyata bahwa kau benar2 telah feeiMiianat. Jika tidak, tentu tidak akan terjadi persoalan seperti ini. Karena itu, maka seperti kau juga rela atas kematianku, maka akupun rela jika kau mati dilong kangan ini. "
Ken Arok " Sumekar masih mencoba berbicara " sebenarnyalah tuanku Anusapati tidak bersalah. Aku telah menipunya dan menguasai keris itu. "
" Omong kosong. " potong Sri Rajasa " tentu kalian sudah membicarakannya lebih dahulu untuk menghadapi kemungkinan seperti ini. "
Sumekar yang semakin lemah itu akhirnya tidak dapat lagi berbicara terlampau keras, sehingga hampir tidak terdengar ia berkata " Ken Arok. Aku bukan seorang yang licik seperti kau. Aku tidak membunuh orang dengan curang, atau meminjam tangan orang lain. Aku berusaha melakukannya sendiri atas kemauanku sendiri. "
" Gila " bentak Sri Rajasa " bukan kau yang meminjam tangan orang lain. Tetapi ternyata Anusapatilah yang berusaha meminjam tanganmu. Tetapi sayang, bahwa kaulah yang mati, bukan aku. "
Sumekar masih akan menjawab. Tetapi warangan keris mPu Gandring telah bekerja diseluruh tubuhnya, sehingga Sumekar tidak dapat lagi mengucapkan sepatah katapun. Namun dengan matanya yang redup ia masih ingin mohon diri kepada Anusapati. Ketika kilat memancar dilangit, maka Anusapati melihat Sumekar itu tersenyum.
" Paman, paman " panggil Anusapati.
Tetapi Sumekar tidak dapat menjawab lagi. Wajahnya menjadi pucat, dan akhirnya Sumekar menghembuskan nafasnya yang terakhir.
" Ayahanda telah membunuhnya " desis Anusapati.
" Ya, aku telah membunuhnya. Bukan saja Pangalasan dari Batil. Tetapi juga kau harus mati. "
" Apakah ayahanda akan membunuh aku" "
" Ya, " " Hamba memang sudah merasa bahwa ayahanda akan Melakukannya. Seandainya hamba tidak datang kemari malam mi, maka ayahanda pasti akan melakukannya besok. Hamba sudah tahu rencana itu. Pergantian prajurit yang agak mencurigakan, kegiatan yang diluar kebiasaan, bahwa ayahanda telah memanggil paman Mahisa Apii bersidang dipaseban besok dan semuanya yang tidak hamba mengerti, telah menimbulkan kecurigaan hamba. "
" Dan karena itu, kau telah menyuruh pangalasan ini untuk membunuhku" "
" Tentu tidak. Hamba tidak menyuruhnya seperti yang udah. hamba katakan. "
" Aku tidak percaya. "
" Terserah kepada ayahanda. "
" Dan sekarang, jangan menyesal. Aku akan membunuhmu juga. Aku tidak akan dapat dipersalahkan, karena kaw berada disini dengan pengalasan itu. Apalagi disini ada kera mPu Gandring yang telanjang. Setiap orang tentu akan dapat mengerti apa yang telah terjadi, sehingga semua orangpun. mengerti, bahwa aku sekedar membela diriku. "
Anusapati menjadi ter-mangu2 sejenak.
" Jangan menyesal, bahwa kau sudah terperosok keda-lam kandang serigala. Kau akan mati- Dan jabatanrou akan berpindah kepada Tohjaya. "
Anusapati tidak segera menyahut. Dipandanginya saja wajah ayahandanya yang tegang. Namun dalam pada itu, ter-kilas di dalam kepalanya kata2 ibunya, bahwa Sri Rajasa sebenarnya memang bukan ayahnya. Dan justru Sri Rajasalah yang telah membunuh ayahandanya yang sebenarnya, Akuwu Tunggul Ametung.
" Nah, apakah sebelum matimu kau akan mengucapkan pesan" " bertanya Sri Rajasa.
" Tidak ayahanda " jawab Anusapati " hamba tidak akan berpesan apapun. Tetapi biarlah sebelum hamba mati', apakah hamba boleh bertanya " "
" Apa" " " Apakah benar ayahanda memang akan membunuh hamba " "
Ken Arok menjadi ragu2. Namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab " Ya. Aku memang akan menyingkirkan kau yang selama ini bagiku merupakan sepucuk duri didalam daging. "
Terasa dada Anusapati tersirap. Ternyata bahwa rencana yang pernah didengarnya itu bukan sekedar isapan jari saja.
Sambil menengadahkan kepalanya ia bertanya pula " Jadi benar kata orang bahwa ayahanda memang ingin melimpahkan kedudukanku kepada adinda Tohjaya" " .
" Ya. Dan tentu kau tahu sebabnya. Kau sebenarnya .bukan anakku. Tetapi kau dengan enaknya ingin merampas bak dari keturunanku. Akulah yang telah mempersatukan Singasari yang besar Bukan Akuwu Tunggul Ametung. "
" Ya ayahanda. Aku memang putera ayahanda Tunggui Ametung yang mati terbunuh. Tentu tidak salah pula pendengaranku, bahwa ayahanda Sri Rajasalah yang telah membunuhnya pula. "
" Ya. Aku yang sudah membunuhnya. Karena itu apa yang akan aku kerjakan sekarang, tidak berdiri sendiri. Kau adalah rangkaian dari sekian banyak pembunuhan. Karena itu kau memang harus mati. Singasari harus benar2 jatuh kedalam tangan keturunan Sri Rajasa. "
" Ayahanda " bertanya Anusapati " apakah adik-adik hamba yang lahir dari ibunda Permaisuri bukan keturunan ayahanda Sri Rajasa " "
Pertanyaan itu tidak diduga sama sekali oleh Ken Arok. Karena itu ia menjadi bingung sejenak. Namun kemudian jawabnya " Aku berhak menentukan, siapa saja yang akan aku angkat menjadi Putera Mahkota. "
" Tetapi adalah menjadi ketentuan, bahwa yang berhak menggantikan kedudukan seorang raja per-tama2 adalah putera Permaisuri. Jika yang dimaksud bagi Singasari bukannya Anusapati, maka tentu Mahisa " Wonga " Teleng yang berhak menggantikan ayahanda kelak, bukan Tohjaya "
" Diam " bentak Sri Rajasa " kau tidak berhak me ngigau sekarang. Kau memang harus mati. Jika aku memberikan pengakuan yang berangkah sudah pernah kau dengar dari ibundamu itu tentu karena kau sudah akan mati, dan kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. "
" Ayahanda benar. Hamba memang tidak akan dapat berbuat apa2 lagi. Tetapi apakah ayahanda tidak mengeru bahwa ada pihak yang tentu tidak akan dapat menyetujui bahwa adinda Tohjaya akan menggantikan kedudukan ayahanda" Justru karena ayahanda mempunyai putera laki2 yang lahir dari ibunda Permaisuri" "
" Aku tidak peduli. Aku mempunyai kekuasaan. "
" Jika kekuasaan adalah bentuk penindasan atas ketentuan yang berlaku, maka tentu orang lain tidak akan menghiraukan pula atas ketentuan2 yang ada. Dan mereka akan cenderung mempergunakan kekerasan untuk mencapai maksudnya daripada mengikuti ketentuan2 yang dianggap sah di dalam negeri ini. "
" Dan agaknya kau sudah memulainya. Kau sudah mempergunakan kekerasan untuk menyingkirkan aku. Itukah suatu sikap yang sesuai dengan ketentuan2 yang berlaku " "
" Sudah hamba katakan, bahwa hamba sama sekali tidak menyuruhnya memasuki bangsal ini, apalagi untuk membunuh ayahanda, karena hamba sama sekali masih belum yakin bali wa sebenarnyalah ayahanda mempunyai rencana untuk membunuh hamba. "
" Jangan membohong. Sekarang, jika ada yang ingin kau pesankan katakanlah. Aku sudah mulai muak melihat wajahmu. "
" Hamba menyadari ayahanda. Tetapi seperti yang sudah hamba katakan, hamba tidak mempunyai pesan apapun karena pesan itu tidak akan ada artinya sama sekali. "
Wajah Sri Rajasa terbelalak karenanya. Katanya " Kau memang sombong seperti ayahmu. Baiklah, jika kau memang tidak mempunyai pesan yang lain, aku akan segera membunuhmu. Aku dapat memukul kepalamu sampai hancur, atau dadamu sehingga seluruh isi tubuhmu akan rontok. Akibatnya sama saja bagimu. Kau akan mati. "
" Kenapa ayahanda tidak mempergunakan cara seperti yang sudah ayahanda lakukan " Sudah berapa orang yang mati terbunuh oleh keris mPu Gandring ini " "
Dada Ken Arok tiba2 berdesir tajam. Dilihatnya keris mPu Gandring yang terletak ditangan Sumekar yang sudah membeku.
Namun tiba2 terbayang diwajahnya keris yang itu jugalah yang telah mengakhiri hidup pembuatnya. Tanpa disadarinya ia mulai ber-angan2. Dan tanpa dikehendakinya tiba2 bayangan mPu Gandring itu bagaikan hadir dilongkangan itu. Ketika ia memandang wajah pangalasan yang mati itu, seakan2 ia melihat kembali wajah mPu Gandring yang menyeringai menahan sakit ketika tiba2 saja ia menusuk lambungnya dengan keris itu. Dan tiba2 saja terbayang diwajah Anusapati itu wajah ayahandanya, Akuwu Tunggul Ametung. "
" Pergi,-pergi " Ken Arok tiba2 berteriak. Namun suaranya tenggelam didalam ledakan guruh yang keras.
Anusapati menjadi termangu2 sejenak. Namun perlahan-lahan timbul pula gejolak didalam hatinya. Jika ayahandanya terbunuh dan meninggalkan seorang anak laki2 saja, maka apakah anak laki-laki itu akan menyerahkan dirinya pula untuk dibunuh " Dan kemudian jika Anusapati sudah terbunuh, bagaimanakah nasib anak laki2nya.
Ketika Anusapati teringat kepada anak laki2nya, yang tentu merupakan duri pula bagi Sri Rajasa, terasa hatinya menjadi ber-debar2.
Namun dalam pada itu Sri Rajasa sudah menggeram " Aku bunuh kau ular kecil yang berbisa. Aku bunuh kau dengan semua keturunanmu. "
Anusapati menjadi semakin ber-debar2. Kini jelas baginya, bahwa ,Ken Arok memang berniat untuk memusnakan keturunan Akuwu Tunggul Ametung. jika tidak, maka keturunan Tunggul Ametung itu benar2 akan menjadi duri didalam dagingnya. Dan sudah terucapkan, bahwa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu memang akan membunuhnya dan keturunannya.
" Apakah aku akan membiarkan keturunan Tunggul Ametung punah" " bertanya Anusapati kepada diri sendiri.
Terbayang wajah isteri dan anaknya yang tidak tahu menahu sama sekali tentang persoalan yang ada di Singasari itu. Dan apakah mereka harus juga ikut menanggung akibatnya.
Dalam ke-ragu2an itulah maka ia melihat Ken Arok melangkah maju. Tatapan matanya bukan lagi tatapan seorang Maharaja. Tetapi sorot matanya menjadi liar, seperti liarnya Hantu yang haus akan darah.
Terasa bulu tengkuk Anusapati meremang. Bahkan kemudian ia berdesis " Jangan ayahanda. "
Tetapi Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu tidak menghiraukan kata2 itu. Setapak demi setapak ia maju dengan jari2 tangan yang mengembang. " Aku akan mencekik kau sampai mati. Jangan berbuat sesuatu. Jangan sentuh keris mPu Gandring itu, supaya kau tidak mati karena racunnya seperti pengalasan yang gila itu. "
" Tetapi jangan bunuh anak dan isteriku. "
" Aku akan membunuh mereka semua, termasuk Mahisa Agni. "
" Tidak, jangan. "
" Aku tidak peduli. "
Jawaban yang meyakinkan itu membuat darah Anusapati tiba2 saja bergetar. Hampir diluar sadarnya tangannya telah menggapai hulu keris mPu Gandring.
" Anusapati, kau akan melawan aku" Kau akan mencoba menghindarkan diri dari keharusan yang akan berlaku atasmu". Kau memang harus mati, dan kau akan kehilangan darah keturunanmu, sebagai penerus nafas kehidupan Akuwu Tunggul Ametung. "
" Ayahanda, anak dan isteri hamba tidak mengetahui semua persoalan ini. Jika ayahanda akan membunuh hamba, ayahanda tidak akan mengalami kesulitan tetapi jika ayahanda berjanji, sebagai seorang Maharaja yang tidak pemah ingkar, bahwa ayahanda tidak akan membunuh anak. dan isteriku. juga paman Mahisa Agni. "
" Persetan " geram Sri Rjasa " aku tidak peduli. Aku akan membunuh kau dan semua keluargamu, termasuk Mahisa Agni. "
Wajah Ken Arok menjadi merah, semerah sorot matannya yang benar2 menjadi liar.
Anusapati yang cemas menjadi semakin cemas. Tetapi hampir diluar sadarnya ia telah menggenggam keris itu.
Anusapati mundur selangkah. Ia sudah hampir berputus? asa. Sumekar yang membawa keris itu pula tidak dapat melawan Sri Rajasa, apalagi dirinya yang masih belum berhasil menyempurnakan ilmunya sejauh Sumekar.
" Menyerahlah. Kau dan anak isterimu akan aku bunuh malam ini juga. " geram Sri Rajasa.
Ternyata bahwa suara itu bagaikan membangunkan Anusapati dari mimpinya. Ia sadar, bahwa yang terjadi ini benar2 diluar rencana siapapun. Juga bukan rencana Sri Rajasa, karena Sumekar telah mengambil sikap sendiri. Namun demikian tentu ia tidak akan dapat menyerahkan seluruh keluarganya itu.
" Aku harus lari dari tempat ini " berkata Anusapati.."se-tidak2nya aku berhasil menyelamatkan diri sampai ke-bangsal pamanda Mahisa Agni. Persoalannya tentu akan menjadi berbeda jika ayahanda malam ini bertemu dengan salah seorang yang ada didalam bangsal itu. Apakah ia paman Kuda Sempana yang telah berhasil menyempurnakan diri dengan ilmunya, atau paman Mahendra, atau ke-dua2-nya. Atau bahkan paman Witantra. "
" Kau tidak akan dapat lari " geram Sri Rajasa " semuanya sudah terjadi. Dan yang sudah terjadi tidak akan dapat dicegah lagi. Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa, sudah menentukan, bahwa kau dan keluargamu harus mati. Tidak ada kekuasaan dan kemampuan yang dapat mencegah. "
Anusapati terus melangkah surut, sedang Sri Rajasa-mengikutinya dengan jari2 tangan yang mengembang.
" Aku akan mencekikmu. Aku sendiri bukan orang lain. Bukan para prajurit, dan bukan pula seorang Senapati.
Dada Anusapati bagaikan menjadi pepat. Tetapi tiba2 saja tangannya yang menggenggam keris itu telah bersilang didepan dadanya.
" Kau akari melawan he, kau akan melawan" Tidak ada gunanya. Itu hanya akan memperpanjang caramu mati. Dan itu sangat merugikan kau sendiri. "
Anusapati tidak menyambut. Ia telah berdiri didepan dinding, sehingga ia tidak akan dapat melangkah lagi. Ka-rena itulah, maka iapun kemudian berdiri diatas kakinya yang merenggang sambil mengacungkan senjatanya. Keris mPu Gandring yang sudah berbau darah itu. Darah beberapa orang yang sama sekali tidak bersalah.
Ken Arok tertegun sejenak memandang Anusapati yang se-akan2 sudah tidak dapat bergeser lagi. Namun sorot matanya yang bagaikan menusuk langsung kedalam jantung Pu-tera Mahkota itu membuat Anusapati bergetar.
Kemudian selangkah demi selangkah Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa Batara Sang Amurwabumi itu melangkah maju dengan jari2 tangan yang mengembang. Anusapati baginya tidak lebih dari anak2 yang tidak berdaya.
Dalam pada itu, Mahisa Agni sedang me-runduk2 di-sekitar bangsal Ken Umang. Dengan hati2 ia berusaha untuk mendekati bangsal itu. Ternyata seperti yang diduganya, bangsal itu mendapat pengawasan yang sangat ketat. Para. prajurit tidak saja berada didepan bangsal, tetapi juga dibagi-an belakang telah mendapat pengawasan yang seksama.
" Tidak mudah mendekati bangsal itu, apalagi memasukinya tanpa diketahui orang " berkata Mahisa Agni di dalam hatinya.
Namun demikian ia mempunyai dugaan yang kuat, bahwa Sumekar telah datang kebangsal itu. Agaknya kebenciannya kepada Tohjaya tidak dapat ditahankannya lagi.
" Jika terjadi pembunuhan dibangsal ini, maka tuduhan yang pertama tentu akan jatuh kepada Anusapati, siapakah yang telah melakukannya. Bahkan seandainya pelakunya tertangkap, maka tentu Anusapatilah yang disangka telah meminjam tangan untuk membinasakan Tohjaya dan barangkali juga Ken Umang " berkata Mahisa Agni didalam hati " dan itu sangat merugikan perjuangan Anusapati, 'karena setiap orang akan menyangka, bahwa Anusapati telah melakukan perbuatan yang terkutuk itu untuk mempertahankan kedudukannya. "
Karena itulah maka Mahisa Agni mencoba untuk berusaha menemukan Sumekar disekitar bangsal itu.
Tetapi beberapa lamanya ia berada disekitar bangsal itu, ia sama sekali tidak melihat sesosok bayanganpun. Ia telah berada dibagian belakang bangsal itu, yang menurut dugaannya adalah satu2nya jalan untuk memasuki longkangan.
Namun Mahisa Agni tidak melihat seseorang- Ia tidak melihat Sumekar memasuki longkangan, atau berada didalam longkangan itu.
" Apakah ia tidak datang kemari" " bertanya Mahisa Agni didalam hatinya.
Tetapi untuk beberapa lamanya Mahisa Agni masih menunggu. Ia masih mengharap bahwa ia dapat menemukan Sumekar disekitar tempat itu.
" Mungkin ia tidak segera memasuki daerah ini " katanya didalam hati " atau barangkali Sumekar belum menemu-can jalan yang paling baik untuk memasuki daerah ini. "
Untuk beberapa saat mahisa Agni masih tetap bersembunyi sambil menunggu. Tetapi beberapa saat kemudian hatinya menjadi cemas. Agaknya Sumekar memang tidak datang ke-tempat itu.
" Mungkin ia langsung pergi kebangsal Sri Rajasa " katanya didalam had.
Dalam pada itu, hatinya menjadi bergetar. Bahkan kemudian ia hampir pasti, bahwa Sumekar pergi kebangsal Sri Rajasa.
" Aku harus menengoknya. Jika benar ia pergi kesans mudahkan Anusapati sempat mencegahnya. Ia agaknya dapat dilunakkan oleh Anusapati yang hampir setiap hari dilayaninya seperti muridnya yang paling manja.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Agnipun berusaha meninggalkan tempat itu. Seperti pada saat ia datang, maka iapun. harus sangat ber-hati2 ketika ia melalui beberapa orang prajurit yang mengawasi bagian balakang dari bangsal itu.
Ketika Mahisa Agni telah berada agak jauh dengan para penjaga itu, iapun menarik nafas dalam2, se-olah2 ia terlepas dari terkaman serigala.
Namun iapun segera sadar, bahwa sesuatu yang penting sedang menunggunya. Sumekar yang masih belum dapat dike-temukamrya.
Dengan hati2 sekali Mahisa Agnipun meninggalkan bagian istana yang dihuni oleh Ken L'niang dan putera2nya itu. Dengan penuh kewaspadaan ia meloncati dinding yang memisahkan kedua bagian dari istana Singasari itu. Ketika kemudian la meloncat turun, maka Mahisa Agni itupun sudah berada liibagian yang lain dari istana itu.
Setiap kali ia harus memperhatikan setiap gerak dan bunyi. Ia sadar, bahwa penjagaan halaman istana malam itu niperkuat. Bahkan seperti yang dikatakan oleh Sumekar, beberapa orang Senapati telah ikut didalam penjagaan yang kuat diihalaman itu.
Mahisa Agni itupun bergeser semakin maju mendekati pangsa! Sri Rajasa. Meskipun bangsal ini tidak dijaga sekuat Bangsal Tohjaya, karena Sri Rajasa sendiri yakin akan dirinya dan pengaruhnya, namun Mahisa Agni masih juga harus menembus beberapa bagian yang agak sulit.
Namun tiba2 Mahisa Agni itu tertegun. Telinga yang tajam mendengar sesuatu berdesir tidak, begitu jauh daripadanya. Karena itu, maka iapun berhenti. Dengan segenap kemampuannya ia berusaha menangkap suara yang semakin Lama menjadi semakin dekat.
Beberapa saat kemudian ternyata desir yang lembut itu berhenti. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang me-empaui kemampuan manusia biasa, maka Mahisa Agnipun mengetahui bahwa seseorang berada tidak begitu jauh dari padanya.


Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka Mahisa Agnipun segera mempersiapkan kiri untuk menghadapi setiap kemungkinan. Dengan ketajaman Inderanya, ia tahu dimana orang itu berada, sehingga karena itu ia tidak mau menunggu lebih lama lagi. Bahkan ialah yang kemudian bergeser mendekati.
Tetapi ternyata bahwa orang itupun berusaha mendekatinya pula, sehingga dengan demikian Mahisa Agni dapat menduga bahwa orang itu bukannya orang kebanyakan karena orang itu dapat pula mengetahui kehadirannya.
Sejenak kemudian Mahisa Agni berhenti, la sudah dapat mengetahui dengan tepat, dimana orang itu berada. Karena itu ketika selembar daun bergetar, tidak sejalan dengan arah angin bertiup Mahisa Agni segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun ternyata, ketika sesosok tubuh meloncat dari batik geruinbul dan bersiap dengan tangan bersilang didada Mahisa Agni menarik nafas dalam2. Orang itu adalah Witantra.
" Kau Witantra " desis Mahisa Agni.
Witantrapun berdesah lembut. Sambil tersenyum ia berkata " Untunglah, aku belum lari ketakutan. Jika demikian kau tentu akan mentertawakan. "
" Juga untung bahwa kau tidak segera menyerang aku. sehingga aku masih sempat bernafas sekarang. "
Keduanya tertawa tertahan, karena keduanya tetap sadar, bahwa mereka sedang menghindarkan diri dari .pengamatan para prajurit Singasari yang sedang bertugas.
Dalam pada itu, maka Mahisa Agnipun kemudian bertanya tentang Anusapati, apakah Witantra melihatnya.
" Bukankah ia pergi kebangsal Sri Rajasa. "
" Jika ia tidak menemukan Sumekar disana, ia tentu akan bergeser pula. "
" Aku belum melihat keduanya. Sumekar tidak, dan tuanku Putera Mahkota juga tidak. " jawab Witantra " bahkan aku menyangka bahwa kau adalah Sumekar sebelum kau memperlihatkan diri. "
" Jika demikian Anusapati tentu masih ada dibangsal Sri Rajasa. Ada dua kemungkinan. Ia memang menunggu karena Sumekar belum ada disana, atau ada persoalan lain yang gawat justru karena Sumekar sudah terlanjur berusaha mendapatkan Sri Rajasa. "
" Marilah kita lihat. "
Mahisa Agni ragu2 sejenak. Namun kemudian sambil meng-angguk2 ia menjawab " Baiklah Marilah kita lihat. "
Keduanyapun kemudian dengan sangat hari2 mencoba mendekati bangsal Sri Rajasa. Betapapun sulitnya, namun keduanya berhasil menembus setiap daerah penjagaan para prajurit pengawal istana. Mereka menyusup diantara gardu2 penjagaan dan setiap kali menghindari para peronda yang mengelilingi halaman istana Singasari itu.
Akhirnya, keduanya berhasil mencapai halaman belakang bangsal Sri Rajasa. Seperti yang lain, menurut perhitungan mereka, yang paling mungkin mereka lakukan adalah melihat dan apabila perlu memasuki longkangan.
Sementara itu, angin masih juga bertiup. Sekali2 terdengar guntur dan guruh gemuruh dilangit. Namun demikian kedua orang itu masih dapat juga membedakan desir lembut kaki mereka sendiri daripada gemuruhnya angin yang keras.
Ketika kemudian mereka berhasil menjengukkan kepala mereka dari sebatang pohon yang se-olah2 diayun oleh angin, maka hati mereka berdesir. Mereka melihat orang2 yang sedang mereka cari itu berada dilongkangan bangsal Sri Rajasa.
Yang mula-mula mereka lihat adalah sesosok tubuh yang tekapar ditanah. Tubuh itu segera dapat mereka kenal, bahwa orang itu adalah Sumekar.
" Terlambat " desis Mahisa Agni tidak seorang-pun yang dapat menyelamatkannya. Sumekar agaknya sudah, terbunuh. "
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata " Ya, kita sudah terlambat. Tetapi dimanakah tuanku Anusapati" "
" Mungkin iapun ada dilongkangan itu. Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Mudah-mudahan Anusapati belum terbaring ditanah seperti Sumekar itu. "
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya " Kita harus mendekat. Keadaan sudah benar2 diluar dugaan kita, sehingga kita harus mengambil sikap dengan segera menghadapi keadaan yang tiba-tiba ini "
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya tanpa menjawab separah katapun. Dengan sigapnya keduanyapun segera teran dari pohon itu dan dengan hati-hati mendekati dinding bagian belakang longkangan bangsal itu.
" Satu-satunya jalan " berbisik Mahisa Agni.
" Kita memanjat ", sahut Witantra.
Keduanyapun kemudian dengan hati-hati sekali dan hampir tidak dapat dilihatnya bahwa keduanya sedang merayap naik pada dinding longkangan itu. Jika mereka kehendaki, mereka dapat meloncat naik dengan mudahnya, namun dengan demikian tentu akan menarik perhatian seseorang jika orang itu berada dilongkangan.
Sejenak kemudian, maka merekapun dengan sangat hati-hati mencoba untuk menjengukkan kepalanya mereka. Jika ikat kepala mereka dapat terlihat, maka usaha mereka itupun akan gagal karenanya.
Namun darah mereka serasa terhenti, ketika pada saat itu tampak oleh mereka, Anusapati sedang dalam kesulitan.
Yang mereka lihat adalah Sri Rajasa sudah siap untuk menerkam Anusapati yang tidak mempunyai kesempatan untuk melangkah surut karena punggungnya sudah melekat dinding.
Tetapi yang terjadi kemudian adalah cepat sekali, sehingga baik Mahisa Agni, maupun Witantra tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat banyak.
Ketika mereka tanpa menghiraukan lagi Sri Rajasa, meloncat keatas dinding, mereka melihat, bahwa kedua orang dilongkangan itu sudah mulai bertempur. Sri Rajasa sudah mulai menyerang.
Hanya karena ditangan Anusapati tergenggam keris-mPu Gandring sajalah, maka Anusapati masih dapat menghindarkan diri pada setangan yang pertama,
Namun Anusapatipun sadar, bahwa Sumekar dengan keris mPu Gandring itu ditangannya, sama sekali tidak berhasil menyelamatkan dirinya. Dan sudah barang tentu Sumekar memiliki ilmu yang lebih matang dari ilmunya sendiri
Dalam keragu-raguan atas keadaan yang sedang dihadapinya, Anusapati tanpa sesadarnya, telah menyentuh sesuatu dibawah ikat pinggangnya. Ternyata sentuhan itu telah mengejutkannya sendiri. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan banyak untuk mempertimbangkan keadaan yang sedang dihadapi. Karena itulah maka ketika Sri Rajasa maju setapak lagi dengan tangan terkembang, tiba-tiba ditangan Anusapati telah tergenggam sebuah trisula yang berwarna kekuning-kuningan.
Sri Rajasa terkejut melihat Trisula itu. Meskipun Sri Rajasa sudah menduga, bahwa akhirnya Trisula itu akan dapat jatuh ketangan Anusapati, namun ketika tiba2 saja ta harus menghadapinya, maka iapun masih juga terperanjat, sehingga rasa-rasanya jantungnya berhenti berdenyut.
Pada saat yang bersamaan, Witantra dan Mahisa Agni telah meloncat kedalam longkangan. Sentuhan kakinya diatas tanah masih dapat didengar oleh ketajaman indera Sri Rajasa disela-sela desah angin yang semakin keras.
Ketika sekali langit seakan-akan menyala, Sri Rajasa -dapat melihat, dengan jelas, bahwa dua orang yang datang, ini adalah Mahisa Agni dan Witantra. Namun kemudian ia menjadi silau bukan oleh kilat yang meloncat diudara, tetapi oleh trisula yang seakan-akan bercahaya kekuning-Jkuningaru
Sri Rajasa mundur beberapa langkah surut. Dengan? suara yang berat ia berkata " Mahisa Agni, ternyata bahwa saatnya akan tiba, kau membalas sakit hatimu karena kematian pamanmu. "
Mahisa Agni memandang Sri Rajasa yang silau itu sejenak. Kemudian jawabnya " Tidak Sri Rajasa.. Hamba tidak datang dengan dendam didalam hati. Sebenarnyalah hamba datang dengan niat yang baik. Untunglah bahwa belum terjadi sesuatu atas tuanku. Tetapi sayang, bahwa-Sumekar agaknya telah terbunuh. "
" Siapakah Sumekar" " bertanya Sri Rajasa.
" Juru taman itu. "
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Katanya " Pangalasan dari Batil "
" Ya, Pangalasan dari Batil itu bernama Sumekar. "
Sri Rajasa memandang tubuh Sumekar yang masih terbaring diam. Kemudian ditatapnya Anusapati yang hanya dapat dilihatnya lamat-lamat, diantara silaunya cahaya trisula yang masih saja diacukan kepadanya.
Dalam keadaan itulah, Sri Rajasa seakan-akan telah dihadapkan pada suatu pengadilan. Disekitarnya berdiri beberapa orang yang mempunyai kepentingan terhadap, dirinya. Mahisa Agni telah kehilangan pamannya mPu Gandring, Witantra telah kehilangan adik seperguruannya, Kebo Ijo yang telah diumpankan sebagai tertuduh pada saat terbunuhnya Akuwu Tunggul Ametung. Kemudian Anusapati yang agaknya sudah mengetahui pula, apakah yang telah terjadi atasnya.
" Tuanku " berkata Witantra " barangkali tuanku telah mendengar bahwa hamba memang sudah berada didalam kota Singasari. "
" Apa maksud kedatanganmu Witantra" " bertanya Sri Rajasa kemudian meskipun sebenarnya ia telah dapat menduga justru karena ia datang bersama Mahisa Agni. Namun ia masih juga melanjutkannya " Apakah ada hubungannya dengan kekalahanmu dari Mahisa Agni saat itu" "
" Benar tuanku. Kedatangan hamba memang mempunyai hubungan dengan kekalahan hamba waktu itu. Tetapi bukan untuk melepaskan dendam kepada Mahisa Agni, karena pada waktu itu ia sedang diliputi oleh kesedihan karena pamannya telah terbunuh. "
" Jadi siapakah yang kau cari" "
" Tidak apa-apa tuanku. Hamba hanya ingin melihat Singasari yang sekarang dibandingkan dengan Tumapel yang kecil. Dan barangkali setelah sekian tahun hamba dapat menemukan pembunuh Kebo Ijo yang sebenarnya. Karena sejak semula hamba yakin bahwa Kebo Ijo tidak bersalah. "
" Apakah kau sudah menemukannya" "
" Ampun tuanku. Hamba sudah menemukannya seperti Mahisa Agni juga sudah menemukan pembunuh pamannya. Selain kami berdua agaknya Puteran Mahkota-pun telah menemukan pula pembunuh ayahandanya. "
Ken Arok mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya " Ya. Kalian telah menemukan orang yang kalian cari. Dan yang kalian cari itupun telah melihat, bahwa cahaya yang kuning keputih-putihan itu adalah cahaya keluhuran yang akan menjemput aku. "
Mahisa Agni, Witantra dan Anusapati menjadi ter-mangu-mangu sejenak. Dilihatnya Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu dengan tatapan mata yang mengandung pertanyaan.
Namun Sri Rajasa itupun tersenyum sambil berkata selanjutnya " Kenapa kalian termangu-mangu. Bukankah sudah datang saatnya" Dihadapan cahaya itu aku seolah-olah sudah tidak berdaya lagi. Didalam bayangan yang silau, aku tidak akan dapat melihat bagaimana ujung keris mPu Gandring itu akan menyentuh kulitku. Benar-benar suatu gabungan yang tidak terlawan bagiku. Keris mPu Gandring yang sakti dan cahaya yang kuning silau itu. Apalagi disini berdiri orang-orang Sakti seperti Mahisa Agni dan Witantra. "
" Tuanku. Jangan berhayal terlampau jauh. Sebenarnyalah kami tidak membawa dendam diliati atas kematian-kematian itu. Kami hanya ingin meyakinkan bahwa sebenarnyalah kami telah menemukan pembunuh dari orang-orang yang kami cintai. Tetapi setelah itu, kami tidak akan berbuat apa-apa. "
Sri Rajasa mengerutkan keningnya. Lalu katanya " Jadi apakah yang kalian kehendaki" "
Kami memang sedang mencari pangalasan ini dengan harapan untuk mencegah sesuatu yang dapat terjadi. Tetapi kami terlambat. Anusapati juga agaknya telah terlambat. "
" Kalian telah menyuruhnya memasuki bangsal ini. "
" Tidak tuanku. Hamba berkata sebenarnya. Jika kami memang menghendakinya, kenapa kami tidak datang sendiri dengan trisula itu sekaligus" "
Namun Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itupun tersenyum pula. Kesan diwajahnya telah berubah sama sekali. Matanya tidak lagi liar dan wajahnya tidak menjadi bengis.
" Anusapati " berkata Sri Rajasa " ternyata bahwa semuanya memang harus berakhir. Ceritera tentang Sri Rajasa yang berhasil duduk diatas Singasari beralaskan mayat dan darah inipun memang harus berakhir. Aku tahu, sejak aku duduk diatas Singasari, aku sudah menduga bahwa singgasana itu bagaikan bara api yang akan membakarku dan akan membakar siapa saja yang akan duduk diatasnya apabila ia memang tidak dilindungi oleh dewa-dewa. Itulah sebabnya, maka sepeninggalku, berhati-hatilah. Tentu tidak ada orang lain yang akan diangkat untuk duduk diatas Singgasana itu selain Anusapati. Mudah-mudahan kau mendapat perlindungan Anusapati, sehingga kau tidak mengalami nasib seperti nasibku. ?"
" Hamba tidak ingin berbuat sesuatu saat ini ayahanda. Biarlah ayahanda tetap duduk diatas Singgasana Singasari. "
" Jangan berkata begitu Anusapati. Kau ternyata sudah menyiksa aku dengan sikapmu itu. Aku lebih senang melihat kau marah dan menghujamkan keris itu didadaku selagi aku silau melihat cahaya trisula itu. Tetapi kau tidak berbuat demikian. Kau berbuat seperti seorang yang berhati putih. Kau seakan-akan tidak mendendam meskipun kau tahu bahwa aku telah membunuh ayahmu yang sebenarnya seperti Mahisa Agni juga seolah-olah tidak mendendam karena aku sudah membunuh mPu Gandring dan juga adik seperguruan Witantra. Kenapa kau tidak bersama-sama dengan Mahisa Agni dan Witantra membunuhku saja" "
Anusapati tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun sebenarnyalah nafsunya untuk melihat Sri Rajasa binasa seperti yang menyala sesaat ketika ia melihat Sumekar bertempur melawan Sri Rajasa itu telah' lenyap.
" Anusapati, jangan menyiksa dengan pameran kebesaran jiwa dan keluhuran budi seperti itu. Aku pernah membunuh orang-orang yang aku anggap dapat menghalangi usaha untuk merebut tahta Tumapel waktu itu. Kenapa kau tidak berbuat serupa, membunuh aku, karena selama aku masih ada, aku tidak akan menyerahkan tahta Singasari kepadamu. "
" Ayahanda adalah Maharaja Singasari. jika memang itu keputusan ayahanda, maka aku akan melepaskan kedudukanku sebagai Putra Mahkota. "
" Omong kosong. Aku tidak percaya. Didalam keadaan seperti ini kau memang berusaha menyiksaku, menyakiti hatiku karena aku akan merasa terlampau kecil berhadapan dengan kau yang berjiwa samodra, yang menampung segala macam perasaan didalam hatimu. Tetapi terbuatlah jujur. Kau tentu ingin melihat aku mati. "
Tetapi Anusapati menjawab " Tidak. Tidak ayahanda. Hamba tidak ingin membunuh. "
" Gila, kau gila dan tidak jujur. Orang gila biasanya berbuat sesuai dengan gerak perasaannya tanpa kendali. Tetapi kau adalah orang gila yang berpura-pura. "
Anusapati menjadi bingung. Ketika ia memandang Mahisa Agni sejenak, maka dilihatnya keningnya berkerut-merut dalam sekali,
" Cepat, lakukan. Aku tidak dapat melihat kau dengan jelas. Aku tidak dapat melihat keris itu. " berkata Sri Rajasa.
Tetapi Anusapati masih tetap berdiam diri.
" Anusapati, jangan berdiri saja seperti patung. Sebentar lagi para prajurit didepan bangsal ini akan meronda sampai keiongkangan ini. Lebih baik kau bunufa akiT sekarang, selagi suara kita tidak didengar oleh mereka karena angin dan guruh yang terus-menerus. Rupa-rupanya alampun telah siap membawa jiwaku kembali kepada penciptanya, setelah aku menunaikan tugasku mempersatukan Singasari. ?"
" Ah " terdengar Anusapati berdesis.
" Cepat " sekali lagi Sri Rajasa menggeram. Dan tiba-tiba saja Sri Rajasa itulah yang meloncat menyerang Anusapati.
Yang terjadi itu benar-benar mengejutkan. Mahisa Agni dan Witantra tidak sempat berbuat apa-apa. Mereka melihat Sri Rajasa bagaikan tatit yang meloncat dilangit.
Demikian pula Anusapati. Ia sama sekali tidak sempat berpikir. Ketika ia melihat Sri Rajasa meloncat menyerang nya, maka dengan gerak-gerak naluriah ia mempertahankan dirinya. Karena ia tidak dapat bergeser mundur lagi, maka hampir diluar sadarnya ia telah mempergunakan kerisnya.
Sebenarnyalah bahwa Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu benar-benar telah disilaukan oleh cahaya trisula kecil ditangan Anusapati itu. Trisula yang pernah pula dilihatnya ketika ia masih bertualang dipadang Karautan. Seolah-olah Trisula ku telah memperingatkan kepadanya apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah dilakukan olehnya dipadang Karautan itu. Juga atas seorang tua yang seakan-akan telah membimbingnya untuk mengenal Yang Maha Agung meskipun sebelumnya ia pernah merasakan pertolongan tangan-Nya yang Maha Kuasa.
Itulah sebabnya selain mata wadagnya yang silau oleh trisula kecil ditangan Anusapati, maka mata hatinyapun telah menjadi silau pula melihat dosa-dosa yang pernah dilakukannya sendiri.
Dengan demikian, maka Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa itu sama sekali tidak melihat, bagaimana Anusapati berbuat diluar sadarnya, mengacungkan keris buatan mPu Gandring itu untuk menahan serangannya.
Jika Anusapati berbuat demikian, ia berniat untuk sekedar mengurungkan serangan Ken Arok yang bagaikan tatit itu. Namun Anusapati tidak tahu, bahwa sebenarnyalah Ken Arok tidak dapat melihat ujung keris yang mengerikan itu.
Didalam kesilauannya, tiba-tiba saja terasa oleh Keh Arok ujung keris ditangan Anusapati itu telah menyentuhnya. Sejenak ia berdesis dan meloncat surut. Namun kemudian dipandanginya luka dilengannya itu sejenak sambil berkata " Ternyata telah datang saatnya. "
" Ayahanda " desis Anusapati.
" Jangan mendekat Anusapati " berkata Sri Rajasa ?" aku adalah ujud dari kekasih Dewa yang melakukan tugasku dibumi, tetapi aku juga ujud daripada dosa yang paling besar dimuka bumi ini. Jika kau mendekati aku, maka tanganku yang berlumuran dosa ini tentu akan meremaskan menjadi debu. Biarlah kebesaran kasih Dewa yang ada padaku menyelamatkan kau dari kehancuran itu. "
Kata2 Sri Rajasa itu ternyata telah menggetarkan hati setiap orang yang mendengarkanya. Anusapati menjadi termangu-mangu sejenak. Sedang Mahisa Agni dan Witantra bagaikan membeku diternpatnya.
Namun seperti permintaan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa.itu Anusapati sama sekali tidak mendekat ketika kemudian Sri Rajasa berlutut sambil bertelekan dengan kedua tangannya. Sekali-Sekali ia meraba lukanya. Luka karena ujung keris mPu Gandring.
Tubuh Sri Rajasa semakin lama menjadi semakin lemah. Didalam keremangan cahaya malam dan lampu di-kejauhan, Sri Rajasa memandang Mahisa Agni, Witantra dan Anusapati yang berdiri mematung.
" Jangan bingung " berkata Sri Rajasa " memang sudah waktunya aku mati. Aku tidak akan berteriak memanggil para prajurit yang sedang bertugas didepan bangsal ini. Mereka tidak akan tahu apa sebabnya aku mati. " Ken Arok berhenti sejenak, lalu " tetapi bawalah pangalasan itu keluar dari bangsal ini. Apapun alasannya, kehadiran seseorang dibangsal ini akan menimbulkan banyak pertanyaan. Dan Anusapati tidak akan dapat
Terbuat banyak disini, karena jika demikian, kehadiran-nyapun mencurigakan pula. "
" Jadi apa yang harus hamba lakukan" " tiba-tiba saja Anusapati bertanya.''
" Bawalah pangalasan itu kebangsahnu. Kau dapat mengatakan kepada siapapun juga, bahwa peristiwa ini Idalah peristiwa yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkembangan keadaan akhir2 ini diLstana Singasari. "
" Maksud ayahanda" "
" Pangalasan itu telah membunuh aku karena sakit hati. Kemudian akan membunuhmu pula. Tetapi kau berhasil membinasakannya. Itulah ceriteranya. Dan mudah-mudahan orang-orang Singasari mempercayainya dan memberikan hakmu atas tahta, Anusapati. Sebab jika ada yang mencurigaimu memasuki bangsal ini, maka akan timbul persoalan yang berkepanjangan, karena kau tahu, aku mempunyai seorang anak laki-laki yang ingin aku tempatkan diatas tahta pula. "
" O " terasa kerongkongan Anusapati menjadi panas.
Namun tiba-tiba Putc-ra Mahkota itu terkejut ketika ia mendengar Sri Rajasa mengumpat " Jahanam, jahanam kau Anusapati. Tentu kau yang menyuruh pengatasan itu membunuh aku. Agaknya kau sudah tahu rencana yang aku susun sebiak-baiknya untuk membinasakan kau dan Mahisa Agni. Dengar, bahwa Tohjaya tidak akan merelakan pembunuhan ini terjadi. "
" Tetapi, tetapi hamba tidak pernah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membunuh ayahanda. Memang kadang-kadang terbersit ingatan untuk melakukannya. Namun hamba selalu berhasil mengendalikannya. "
" O " kepala Ken Arok seakan-akan terkulai. Tubuhnya menjadi semakin lemah. Katanya " Ya, kau memang tidak bersalah. Karena itu, lakukanlah pesanku, agar kau tidak dicurigai oleh siapapun. Agaknya memang keturunan Ken Dedes yang pantas untuk menggantikan kedudukanku di Singasari ini.
Anusapati tidak segera menjawab. Dipandanginya saja Sri Rajasa yang semakin lama menjadi semakin lemah. Namun yang tiba-tiba telah mengumpat sekali lagi " O, kau telah berkhianat Anusapati. Meskipun aku bukan ayahandamu sendiri, tetapi sejak lahir kau berada dibawahi asuhanku. akulah yang memberikan kedudukan kepadamu sebagai seorang Putera Mahkota. "
Sri Rajasa yang lemah itu seakan-akan ingin meloncat dan meremas Anusapati menjadi berkeping-keping.
Tetapi tubuh itu benar-benar sudah sangat lemah oleh racun yang keras dari keris mPu Gandring itu. Semakin lama Sri Rajasa, Maharaja di Singasari itu menjadi semakin tidak mampu lagi untuk tetap duduk. Akhirnya, perlahan-lahan Sri Rajasa seakan-akan telah membaringkan dirinya sendiri sambil berkata " Aku minta diri. Tidak ada yang pantas menunggui kematianku selain kau Anusapati. Kau yang berjiwa samodra dan berhati seputih kapas. " namun kemudian " tetapi, justru itulah yang menyiksaku, yang membuat aku ingin membunuhmu sekarang. " suaranya mulai surut, lalu " jangan mendekat
Anusapati. Tungguilah aku dari kejauhan. Sarungkan trisulamu supaya aku dapat menatap wajahmu, karena, trisula itu membuat mataku bagaikan buta. "
Anusapati ragu-ragu sejenak. Namun ketika Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, maka trisula itupun disarungkannya juga.
" Hem " Sri Rajasa bergumam " terima kasih. Aku minta diri. Tetapi jangan mendekat. Jangan sampai tersentuh jari-jari tanganku. "
Anusapati melangkah maju. Tetapi ia tidak dapat mengabaikan pesan Sri Rajasa.
Sejenak kemudian Sri Rajasa itu menyilangkan tangan didadanya. Matanyapun terpejam dan mulutnya terkatub rapat. Bahkan bibirnya tampak bagaikan tersenyum, seperti juga bibir Sumekar yang terbaring tidak jauh dari Sri Rajasa itu.
Pada saat terakhir masih terdengar suara Sri Rajasa lamat-lamat. " Jahanam kau Anusapati kau telah berhasil merebut tahta yang aku sediakan buat Tohjaya. "
Kasih Diantara Remaja 8 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Hati Budha Tangan Berbisa 9
^