Bende Mataram 39
Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 39
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk menangkis pukulan tanpa suara itu, Andangkara menggunakan bentakan-bentakan
dengan disertai pukulan keras. Selanjutnya mereka bertarung melalui beberapa puluh jurus dengan mempertunjukkan kemahiran serta keahliannya masing-masing. Sampai pada suatu saat tibalah pada babak penentuan.
Kusuma Winata memukul dengan telapakan terbuka dengan tangan kiri. Tetapi yang tiba
terlebih dahulu pada sasarannya ialah tangan kanan. Lalu tangan kiri yang memukul dengan telapakan terbuka berubah mencengkeram pundak melalui punggung. Jadi tiga macam serangan yang dilakukan dengan sekali gerakan.
Untuk menangkis serangan berbahaya itu, Andangkara tak boleh berayal lagi. Mendadak ia
menggerung dan dengan kedua kepalannya ia memukul berbarengan. Maka bertemulah dua
kepalan dengan dua telapak tangan. Kemudian berdiri tak bergerak.
Orang mengira bahwa sudah datang saatnya mereka hendak mengadu kekuatan tenaga sakti.
Memang nampaknya tiada jalan lain, kecuali hanya mengadu tenaga sakti untuk memperoleh
penentuan terakhir. Tak terduga, mendadak Kusuma Winata melesat mundur. Kemudian berdiri tegak dengan pandang kagum. Setelah itu membungkuk hormat seraya berkata hormat.
"Benar-benar aku merasa takluk. Dengan ini terimalah hormatku."
"Mana bisa" Mana bisa?" sahut Andangkara dengan tertawa gelak. "Rekan Kusuma Winata sama sekali belum kalah."
Dengan tersenyum Kusuma Winata berkata membalas, "Tuanku Andangkara merasa tidak
mengalahkan aku" Tidak! Dengan sebenarnya, aku sudah kalah. Memang nampaknya seimbang
atau katakan saja sama kuat. Tetapi tuanku habis bertempur melawan tujuh orang. Sedangkan aku dalam keadaan segar-bugar. Kalau sama-sama kuat, bukankah aku sudah kalah seurat?"
Mendengar kata-kata Kusuma Winata, harga murid Mandalagiri naik setingkat di depan mata
Sangaji. Adik seperguruan Kusuma Winata masih tiga orang lagi yang belum mengadu kekuatan.
Nanang Atmaja, Brata Manggala dan
Tatang Rusmaja. Dengan pernyataan kalah Kusuma Winata itu berarti pula, bahwa ketiga adik seperguruannya tidak perlu maju lagi ke gelanggang. Maka diam-diam Sangaji berpikir, tak kukira, bahwa anak-murid pendekar Watu Gunung berjiwa ksatria. Kalau mau dengan mudah Aki
Andangkara dapat ditumbangkan oleh ketiga adik seperguruannya. Tenaga sakti Aki Andangkara terang sekali sudah nyaris habis. Kalau begitu bunyi makiannya tadi yang seolah-olah hendak menuntut pertanggungan jawab atas matinya rakyat Jawa Barat, sebenarnya hanya suatu
sandiwara belaka. Dia bahkan memberi kesempatan kepada Aki Andangkara untuk menyatakan
cita-cita luhurnya di depan para pendekar lainnya ....
Semenjak berguru kepada Wirapati, Sangaji dididik untuk menghargai jiwa ksatria. Maka
kesannya kini terhadap Kusuma Winata beserta adik-adiknya seakan-akan dari kalangannya
sendiri. Dalam pada itu, tenaga jasmani Andangkara benar-benar sudah melampaui batas
kemampuannya. Dari ubun-ubunnya asap putih nampak mengepul-epul kena cerah pegunungan.
Seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Ia nampak kuyu pula, meskipun masih gagah berwibawa.
t Pendekar-pendekar di pihak lawan yang masih mempunyai harga diri, merasa tidak pantas
menantang bertanding untuk menentukan keputusan terakhir. Seumpama me-nangpun, rasanya
tiada harganya. Tetapi ternyata tidak semua pendekar di pihak lawan berpaham demikian.
Mendadak saja terdengarlah suara seruan nyaring, "Ha"anak-murid Mandalagiri sudah
menyerah. Nah, biarlah kini aku bermain-main dengan Andangkara."
Dialah yang-tadi gembar-gembor menganjurkan agar menyembelih semua anggota Himpunan
Sangkuriang. Namanya Kartasas-mita, pemimpin pasukan anak murid Gunung Gembol. Perawakan orang itu pendek buntet. Bercambang tebal bermuka kehitam-hitaman. Suaranya keras bagaikan kaleng kena tendang. Dan mendengar bunyi perkataannya, semua orang menoleh kepadanya.
Andangkara mendongkol akan kelicik-annya. Ia mengerling tajam padanya. Katanya di dalam
hati, "Hm, kalian kurcaci-kur-caci dari Gunung Gembol masakan ada harganya bertanding melawan aku" Tapi hari ini memang akulah yang sial. Kalau aku tadi runtuh di tangan anak murid Mandalagiri, tak mengapalah. Tapi kalau aku tewas di tangan manusia licik itu ... manusia yang hendak mengeduk keuntungan selagi diriku terjepit di pojokan begini, alangkah penasaran hatiku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Alisnya yang putih terus saja berdiri tegak. Meskipun ruas-ruas tulangnya kini terasa menjadi nyeri, namun sekali tergugah semangat jantannya ia lantas membentak, "Pengecut, hayo maju!"
Semua orang tahu, Andangkara sudah lelah. Walaupun masih garang, namun parasnya nampak
kuyu. Diam-diam Kartasasmita girang serta bersyukur dalam hati. Seolah-olah seorang pendekar yang menggenggam kunci penentuan, ia melangkah dengan langkah pasti. Tiba-tiba berputar
berlingkaran, lalu menghantam punggung lawan.
Andangkara memiringkan " tubuhnya. Kemudian kakinya menyapu dengan dahsyat. Ternyata
dengan gesit ia dapat mengelak. Kemudian bermain berlompat-lompat berlingkaran sambil sekali-kali menyerang dengan pukulan-pukulan keras.
Diperlakukan demikian, lambat laun tenaga Andangkara terkuras habis. Pandang matanya
sudah mulai gelap. Dunia seolah-olah berputar balik. Telinganya menjadi pengung. Sekonyong-konyong ia memuntahkan darah segar. Lantaran tak tahan lagi, ia duduk setengah bersimpuh.
Sudah barang tentu, Kartasasmita girang bukan main. Dengan gelak tertawa ia membentak,
"Andangkara"nah"hari ini tibalah saatmu mampus oleh pukulanku. Lihat yang terang, supaya jangan mengira aku berlaku licik!"
Melihat keadaan Andangkara tidak mungkin dapat bergerak lagi, timbullah aksi Kartasasmita hendak sedikit memamerkan kepandaiannya. Dengan menjejak tanah, ia melesat ke udara dan
dari atas menghantam dengan sekuat tenaga sambil memekik keras. Semua orang terkesiap.
Sangaji segera bermaksud hendak melompat ke dalam gelanggang menolong Andangkara.
Sekonyong-konyong ia melihat Andangkara mengangkat tangan kanannya miring ke atas dengan gaya yang sangat indah. Itulah tangkisan maut untuk menjaga serangan dari atas. Benar juga.
Kartasasmita yang sudah terlanjur mengapung di udara tak dapat menarik serangannya kembali.
Segera terdengar suara menyusul, "krak-krak krak!"
Tiga kali berturut-turut, lengan Kartasasmita kena terpatahkan dengan sekaligus oleh ilmu cengkeraman Andangkara. Tubuhnya turun tak terkendalikan lagi. Menyusul lagi suara krak krak!
Kini tulang pahanya patah remuk. Dan dengan suara gedebukan, Kartasasmita jatuh di samping Andangkara tak berkutik lagi.
Bukan main kagum semua orang yang menyaksikan kegagahan dan keperkasaan Andangkara.
Selagi dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati saja, ternyata ia masih sanggup
mematahkan serangan lawan yang berbahaya. Maka diam-diam, mereka memuji di dalam hati.
Sebaliknya yang kehilangan pamor adalah semua anak murid perguruan Gunung Gembol.
Sebab Kartasasmita adalah murid golongan atas. Ilmu kepandaiannya hanya dua tingkat di bawah gurunya. Di dalam pengge-rebegan itu, ia memegang peranan nomor tiga di samping dua kakak perguruannya. Sekarang Kartasasmita menggeletak di samping musuh tanpa bisa berkutik
sedikitpun. Dan tiada seorangpun yang berani mengambil atau menolong membangunkannya.
Baru setelah berjalan beberapa waktu lamanya, seorang laki-laki berperawakan tinggi besar masuk ke gelanggang. Dialah kakak-seperguruan Kartasasmita nomor dua. Bernama Jajang
Kartamanggala. Matanya bulat menyala. Berbibir tebal serta berkumis
Dengan menjejak tanah, Kartasasmita melesat ke udara dan dari atas menghantam
Andangkara dengan sekuat tenaga sambil memekik keras.
lebat. Kira-kira dua puluh langkah dari Andangkara dia berhenti mengamat-amati. Lalu
mendepak sebuah batu sambil membentak mengguruh, "Bangsat Aundangkara! Dahulu hari aku pernah kau malukan di hadapan umum. Nah, hari ini biarlah aku membuat perhitungan. Hayo
maju!" Dengan pernyataan itu, tahulah semua orang bahwa Jajang Kartamenggala dahulu pernah
kalah bertanding melawan Andangkara. Kini untuk merebut kehormatannya lagi, hendak membuat perhitungan di depan umum, mumpung6) Andangkara masih hidup.
Dalam pada itu, batu yang ditendangnya tadi melesat dan menyambar dahi Andangkara. Tak!
Dan dahi Andangkara lantas saja menyemburkan darah.
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan setiap orang yang menyaksikan. Kenapa Andangkara
tak dapat mengelakkan atau menangkis" Mustahil, Andangkara bisa kena serangan batu demikian rupa. Setelah di-amat-amati, ternyata Andangkara dalam keadaan setengah-setengah ingat. Itulah sebabnya, ia tak dapat berkelit atau mengelak disambar sebuah batu.
6). Mumpung: kebetulan ada kesempatan/ peluang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah barang tentu, siapa saja akan gampang dikalahkan lawan apabila sedang dalam keadaan demikian. Apalagi, kalau Jajang Kar-tamanggala terlalu panas hati, ia bisa mengambil nyawa Andangkara dengan mudah. Dan nampaknya pendekar dari Gunung Gembol itu hendak
mengambil nyawa Andangkara benar-benar. Ia melangkah mendekati. Sekonyong-konyong
melesatlah seorang pendekar muda menghadang di depannya.
Dialah Nanang Atmaja anak murid Mandalagiri. Salah seorang adik seperguruan Kusuma
Winata. Gerakannya gesit serta cekatan. Sambil menghadang di depan Andangkara, ia berkata:
"Raja muda Andangkara sudah terlu-ka parah. Seumpama engkau dapat mengalahkan, rasanya akan ditertawakan juga oleh para ksatria di seluruh Nusantara. Karena dia mempunyai utang permusuhan dengan pihak kami, maka biarlah kami yang akan menyelesaikan utangnya."
"Kau bilang apa" Terluka parah?" bentak Kartamanggala. "Manusia itu paling pintar berpura-pura. Bukankah dia tadi bermain tipu muslihat berpura-pura lumpuh tak berdaya, sehingga adikku Kartasasmita masuk perangkapnya" Nanang Atmaja! Andangkara tidak hanya bermusuhan dengan pihakmu, tapi dengan kamipun juga. Rasa sakit hati harus dibalas. Biarlah aku menghantamnya dengan tiga kali pukulan saja. Kalau dia masih saja hidup, itulah keuntungannya...."
Tetapi Nanang Atmaja tidak menyetujui maksud Jajang Kartamanggala. Andangkara adalah
seorang raja muda. Namanya harum, gagah perkasa sehingga ditakuti lawan dan kawan. Kalau sekarang harus tewas seperti anjing kena gebuk di depan mata para ksatria, bukankah patut disayangkan. Maka ia berkata, "Jajang Kartamanggala! Tiap orang tahu ilmu pukulan Gunung Gembol yang termasyhur di seluruh jagat. Itulah pukulan ilmu sakti Gumbala Geni. Jangan lagi raja muda Andangkara dalam keadaan payah, seumpama dalam keadaan segar bugar kena
pukulan Gumbala Geni secara telak, dia takkan bisa menolong jiwanya iagi."
"Baik," sahut Jajang Kartamanggala setelah menimbang-nimbang sebentar. "Aku takkan memukulnya dengan ilmu sakti Gumbala Geni kami yang termasyhur. Dia tadi mematahkan lengan dan kaki adik seperguruanku. Karena itu, biarlah aku mematahkan lengan dan kakinya juga. Itulah baru adil."
Nanang Atmaja tidak menjawab. Pendekar muda itu seperti lagi menimbang-nimbang. Ia
nampak tak menyetujui. Lantaran memperoleh kesan demikian, Jajang Kartamanggala berkata
lagi: "Nanang Atmaja! Sebelum kita mendaki dataran tinggi sudah terjadi suatu ikrar bersama.
Mengapa kau kini malahan melindungi lawan yang tinggal menunggu saat hancurnya?"
Nanang Atmaja menghela napas. Ia seperti terdorong ke pojok. Setelah berdiam sejenak, ia menyahut: "Baiklah, kau mau menghantam, hantamlah sampai mati. Tetapi kalau semuanya ini sudah selesai, sebelum pulang ke perguruan kita masing-masing aku akan belajar kenal dengan pukulan Gumbala Geni yang kau agung-agungkan."
Mendengar ucapan Nanang Atmaja, hati Jajang Kartamenggala terkesiap. Pikirnya dalanvhati: Heran, apa sebab dia melindungi Andangkara justru pada "saat Himpunan Sangkuriang akan runtuh serata tanah.
Terhadap anak murid Watu Gunung, Jajang . Kartamanggala agak segan. Tetapi di depan
umum, betapa ia sudi memperlihatkan kelemahannya. Maka dengan mengulum senyum
merendahkan, dia menyahut: "Kau boleh mengaku sebagai ahli waris ilmu sakti Resi Buddha Wisnu yang terkenal di seluruh jagat. Tapi masakan kami harus bersujud takluk kepada semua keputusanmu" Mana bisa begitu?"
Dengan tak langsung, Jajang Karta-manggala sudah menyinggung nama baik Resi Buddha
Wisnu yang dianggap sebagai titisan dewa suci pada zaman itu. Tentu saja, cucu muridnya tidak rela. Maka demi menjaga nama agung sesembahannya Nanang Atmaja bersedia mengalah. Lalu
membungkuk hormat sambil berkata nyaring, "Maafkan... aku lupa bahwa engkau ini sebenarnya seorang ksatria tulen. Maaf-maaf...."
Terang sekali ke mana arah sasaran ucapan Nanang Atmaja. Itulah suatu ejekan luar biasa
terhadap Jajang Kartamanggala. Namun pendekar itu seolah-olah tidak merasa diejek. Di dalam hati, sesungguhnya ia segan bercekcok dengan anak murid Mandalagiri. Sebab akibatnya bisa runyam. Apalagi di tengah suasana yang sedang hangat. Maka begitu melihat Nanang Atmaja
sudah memundurkan diri, segera ia maju menghampiri Andangkara yang sudah berada dalam
keadaan lupa-lupa ingat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, pendekar Gunung Gilu, Alang-alang Cakrasasmita yang agaknya menjadi
pemimpin persekutuan penggere-began, segera berseru nyaring:
"Kawan-kawan! Sudah datang saatnya kita menyelesaikan tugas suci ini. Basmi semua sisa anggota Himpunan Sangkuriang terkutuk itu. Hancurkan semua gedung dan perumah-an-perumahannya. Rampas semua barang-barangnya."
Mendengar perintah ini, pendekar-pendekar pihak penggerebegan sorak bergunturan. Dengan
aba-aba nyaring, pemimpin pasukannya meneruskan perintah Alang-alang Cakra-sasmita. Dan
seluruh pasukan nampak akan segera bergerak.
44. ILMU SAKTI TUNGGULMANIK
Selamanya, Sangaji selalu beragu dalam mengambil setiap keputusan. Hal ini disebabkan
hatinya terlalu sederhana dan mulia. Terhadap para pendekar yang menggerebeg dataran tinggi Gunung Cibugis, ia tak mempunyai permusuhan langsung. Sebaliknya apabila mereka hendak
membasmi seluruh anggota Himpunan Sangkuriang, hatinya tak rela. Setiap melihat kemungkinan itu, senantiasa berkelebatlah bayangan Ki Tunjungbiru di dalam benaknya. Mengingat betapa kasih sayang orang tua itu terhadapnya, ia seperti mempunyai kewajiban untuk membalas budinya.
Coba seumpama dahulu dia tidak diantarkan ke Pulau Edam untuk menghisap getah sakti pohon Dewadaru serta tidak memperoleh petunjuk-petunjuknya dalam soal semedi, pastilah dia bukan menjadi manusia seperti sekarang.
Pada waktu itu, dari arah Gedung Markas Besar keluarlah beberapa anggota Himpunan
Sangkuriang yang sudah tak bersenjata lagi. Di antara mereka nampak pendekar lnu Kerta-pati, Sidi Mantera dan Kamarudin yang masih kena pengaruh racun asap. Dengan berbareng mereka
menyebut kebesaran Tuhan, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Tiga kali beruntun, kemudian duduk bersimpuh di belakang pemimpin-pemimpin mereka untuk menerima saat
ajalnya. Hebat pengaruh pengliatan itu terhadap Sangaji. Teringat betapa kejam Edoh
Permanasari serta betapa licik anak-anak murid Gunung Gembol, sirnalah semua keragu-
raguannya. Melihat Jajang Karta-manggala sudah hampir mencapai Andangkara, terus saja ia menyerobot masuk ke dalam gelanggang pertarungan seraya berkata nyaring: "Nanti dulu!
Caramu hendak membuat perhitungan, begitu licik dan memalukan. Apakah engkau tidak
mempunyai kehormatan diri lagi" Mundur!"
Karena didesak gelombang hati, dengan tak sadar Sangaji sudah menggunakan tenaga saktinya penuh-penuh. Karuan saja, suaranya meledak melebihi guntur. Pasukan yang sudah bergerak
hendak melakukan perintah Alang-alang Cakrasasmita, kaget mendengar suara bergemuruh itu sampai mereka terpaku dengan tak disadarinya sendiri. Tak terkecuali semua pendekar-pendekar besar yang memimpinnya.
Sebaliknya, tidaklah demikian halnya Jajang Kartamanggala. Melihat seorang pemuda cilik
mendadak ikut campur menyanggah kehendaknya, tangannya terus menjulur dengan maksud
mendorong Sangaji ke pinggir. Kemudian maju selangkah hendak membinasakan Andangkara. Tak terduga, bahwa pemuda itu sesungguhnya sudah mengantongi kesaktian keris Kyai Tunggulmanik.
Tenaga saktinya luar biasa hebatnya. Dapat dikendalikan sekehendaknya. Untuk melayani semua ilmu aliran sakti di manapun juga, tidak akan mengecewakan. Sebab, guratan yang terdapat pada keris sakti Tunggulmanik adalah puncak kesempurnaan hakekat ilmu manusia yang terdapat di persada bumi ini.
Maka begitu Jajang Kartamanggala bermaksud mendorongnya, justru kena sebaliknya. Tiba-
tiba saja, suatu kekuatan dahsyat berbalik mendorongnya. Jajang Kartamanggala kena diseret arus gelombang tenaga sakti yang dahsyat luar biasa itu. Tahu-tahu tubuhnya terpental di udara dan jatuh ber-jungkir-balik dua tiga kali. Tatkala kaki kanannya mencoba bertahan, masih saja ia kena seret. Maka untuk memunahkan tenaga dorong itu, ia terpaksa berjungkir balik lagi sampai lima kali. Dengan demikian, tiba-tiba saja ia sudah berada di luar garis gelanggang pertarungan.
Mereka yang tidak mengerti apa sebab Jajang Kartamanggala berjungkir balik selagi tangannya tinggal menghantam mampus Andangkara, kaget dan terkejut. Akhirnya mereka mengira, bahwa Jajang Kartamanggala sudah berhasil memukul Andangkara, lalu mundur dengan aksi jungkir balik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agar memperoleh pujian. Bukankah adiknya tadi juga bermain aksi pula tatkala menggempur
Andangkara dengan lewat udara"
Terkejut dan bergusar adalah Jajang Kartamanggala. Sejenak ia seperti kehilangan diri sendiri.
Kemudian bercelingukan hendak mencari kambing hitamnya. Mendadak melototi Manang Atmaja
pendekar anak murid Mandalagiri. Terus mendamprat, "Hm... kalau memang mau mencoba
pukulan sakti Gumbala Geni, janganlah memukul secara menggelap. Itu bukan ksatria."
Didamprat tanpa perkara, sudah barang tentu Nanang Atmaja berganti melototinya.
"Kau kira apa aku ini sampai main gelap-gelapan segala" Aku telah mengapakan dirimu" Kau sendirilah yang berpura-pura aksi berjungkir balik seolah-olah hendak mengesankan bahwa raja muda Andangkara sudah memukulmu balik. Hm, aksi kampungmu macam begitu apa perlu
kaupamerkan di hadapan kita?"
Jajang Kartamanggala terpaksa berpikir keras. Tadinya ia mengira, Nanang Atmaja membantu Sangaji sewaktu ia bermaksud mendorongnya pergi. Ternyata dia membantah keras. Dan
nampaknya tidak berdusta. Memperoleh kesan demikian, perlahan-lahan ia berputar menghadap Sangaji sambil menuding.
"Anak muda, kau siapa?"
"Aku bernama Sangaji," sahut Sangaji sambil membantu menyalurkan tenaga saktinya ke punggung Andangkara. Suatu tenaga luar biasa kuat menyusup ke tubuh Andangkara pada saat itu juga. Dan begitu tenaga sakti itu menggetarkan jantung serta mengalirkan darah, Andangkara tersadar dengan sekaligus. Ia menyenakkan mata. Tatkala melihat wajah Sangaji, ia jadi terheran-heran.
Sebagai seorang ahli, ia kaget menerima bantuan suatu tenaga luar biasa dahsyat dari seorang anak muda yang belum pernah dikenalnya. Begitu hebat tenaga sakti Sangaji sampai sebelum Jajang Kartamanggala dapat menghampirinya kembali, jalan darahnya sudah lancar seperti
sediakala. Tak peduli belum kenal siapa yang membantunya, ia terus berkata perlahan: "Anak muda terima kasih..." Setelah mengucapkan kata-kata berterima kasih, mendadak ia melompat berdiri dengan gagahnya sambil berkata nyaring: "Hai orang-orang dari Gunung Gembol, apa sih kehebatan pukulan sakti yang kalian agung-agungkan" Pukulan Gumbala Geni" Hm... hayo maju, ingin aku mencoba pukulan sakti yang kalian bangga-banggakan itu."
Melihat Andangkara tiba-tiba saja sudah bisa berdiri kembali dengan gagah perkasa, bukan main kagetnya Jajang Kartamanggala. Hatinya lantas saja mengeluh. Memang sesungguhnya dia jeri terhadap jago tua itu. Dahulu hari, pernah ia merasakan kehebatannya. Maka terpaksalah ia menyahut dengan suara rendah, "Ilmu Gumbala Geni memang dimasyhurkan orang sangat
berlebih-lebihan. Tetapi apabila kau mau mencoba, hayo bukalah dadamu. Aku akan memukulmu tiga kali beruntun dengan janji kau tak boleh menangkis atau membalas menyerang. Dengan
begitu engkau akan merasakan betapa hebat ilmu sakti kami."
Mendengar nama Gumbala Geni, Sangaji mengerenyitkan dahi. Nama ilmu itu pernah ia dengar dari kakek gurunya Kyai Kasan Kesambi. Itulah suatu ilmu yang konon dikabarkan untuk
menaklukkan iblis. Di Jawa Tengah, ilmu tersebut terkenal dengan nama: pukulan iblis atau pukulan gandarwa. Sesungguhnya ilmu pukulan Gumbala Geni bukanlah ilmu pukulan murahan.
Kalau saja pemiliknya mempunyai tenaga sakti yang hebat, tidaklah sembarang orang tahan
menerima pukulan dahsyatnya. Tetapi Andangkara yang gagah perkasa menyahut dengan suara
berkobar-kobar: "Jangan lagi tiga pukulan. Hayo pukullah aku dengan tiga puluh kali. Kalau ada sehelai rambutku yang rontok ke bumi, nyatakan aku sudah kalah denganmu."
Dengan mata menyala ia menatap wajah Jajang Kartamanggala. Kemudian beralih ke pada
Alang-alang Cakrasasmita. Dan berseru nyaring, "Alang-alang Cakrasasmita! Andangkara belum menyatakan kalah. Dengan sendirinya kau tak boleh melanggar perjanjian. Perjanjian kita
berbunyi, kalau Andangkara sudah mati, nah bolehlah kalian bertindak membasmi semuanya.
Sekarang lantaran Andangkara masih kuat berdiri bunuhlah dahulu sampai mati."
Hebat kata-kata Andangkara, sampai Sangaji tergetar pula hatinya. Maka tahulah dia, bahwa terjadinya perang tanding perorangan itu adalah akal Andangkara untuk mengulur waktu. Dengan dipaksa mengikat suatu perjanjian bertanding perorangan, maka berarti pula tidak boleh main keroyokan. Benar di pihaknya telah banyak yang terluka parah atau mati, namun hal itu berarti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memberi kesempatan besar bagi Tatang Sontani dengan rekan-rekannya untuk memulihkan
tenaga saktinya yang tergempur oleh serangan gelap Suryakusumah. Sekarang ia belum mengaku kalah. Maka aba-aba Alang-alang Cakra-sasmita untuk membasmi habis sisa anggota Himpunan Sangkuriang, dengan sendirinya jadi batal. Maka terpaksalah Alang-alang Cakrasasmita memberi isyarat agar menunda dahulu perintah pembasmiannya.
Namun keadaan Andangkara sebenarnya belum pulih benar-benar. Tenaga sakti yang dimiliki
kini semata-mata lantaran diperolehnya dari bantuan Sangaji. Kalau memaksa diri untuk menerima pukulan sakti Gumbala Geni belum tentu dapat bertahan. Hal itu sebenarnya telah diinsyafi pula.
Soalnya dalam hatinya sudah terjadi suatu keputusan hendak gugur demi membela Himpunan
Sangkuriang peninggalan Gusti Ratu Bagus Boang yang dihormati sampai ke dasar hatinya.
Sangaji sudah terlanjur memasuki gelanggang. Maka ia mendekati Andangkara. Berkata
membisiki, "Aki Andangkara, biarlah aku yang mewakili menerima pukulan Gumbala Geni.
"Bilamana aku tak sanggup, nah biarlah Aki maju lagi." Andangkara menoleh dengan terharu.
Mendengar anak muda itu menyebut dirinya dengan Aki1) maka tahulah dia bahwa anak muda itu bukan dari kalangannya. Ia tahu, tenaga sakti anak muda itu hebat. Barangkali lebih hebat daripada dirinya sendiri dalam keadaan segar-bugar. Namun apabila sampai menjadi korban
pukulan sakti Gumbala Geni tanpa dasar perjuangan, bukankah berarti suatu korban sia-sia belaka. Sebagai salah seorang tokoh Himpunan Sangkuriang yang wajib bertanggung jawab atas baik buruknya himpunannya, tak sudi ia membawa orang lain ke kancah masalahnya. Apalagi
sampai menjadi korban. Maka berkatalah ia di dalam hati, mungkin pula anak muda ini dapat menggugurkan ilmu sakti Gumbala Geni. Namun walaupun kepandaiannya tinggi untuk
menghadapi perlawanan secara bergiliran, akhirnya ia akan terluka lantaran lelah. Kalau sampai 1). Kakek.
tewas hm... sungguh sayang nampaknya dia seorang pemuda yang gagah perkasa serta luhur
budi. Setelah memperoleh pertimbangan demikian, dengan perlahan ia berkata kepada Sangaji,
"Anak muda, kau sebenarnya murid siapa" Rupanya engkau bukan anggota Himpunan
Sangkuriang. Kalau sampai terjadi sesuatu atas dirimu, betapa aku harus bertanggung jawab terhadap gurumu?"
"Memang aku bukan anggota Himpunan Sangkuriang," sahutnya. "Tetapi pernah aku menerima jasa-jasa baiknya. Kemudian aku menerima undangan agar datang. Dalam sakuku ada sebuah
logam undangan. Kalau aku kini diberi kesempatan melawan musuh berdampingan dengan Aki,
alangkah besar rasa hatiku."
Mendengar keterangan Sangaji, Andangkara terhenyak keheranan. Sebagai seorang panglima
Himpunan Sangkuriang berpanji-panji Garuda Sakti dimana Suhanda termasuk salah seorang
bawahannya, sudah barang tentu ia mengerti tentang undangan itu. Maka suatu pertanyaan
bertumpuk-tumpuk merumpun dalam otaknya. Tatkala hendak membuka mulut. Jajang
Kartamanggala sudah nampak memasuki gelanggang sambil berseru, "Hai
Andangkara! Majulah! Kau bilang mau menerima tiga pukulanku."
Sebelum Andangkara menyahut, Sangaji sudah mendahului, "Raja muda Andangkara bilang kau tak pantas melawan dia. Terlebih dahulu lawanlah aku! Kalau aku kalah, baru boleh bergebrak dengan dia."
Mendengar ucapan Sangaji, Jajang Kartamanggala merasa terhina. Membentak dengan gusar,
"Bangsat cilik! Kau manusia macam apa sampai berani menerima tiga pukulan sakti Gumbala Geni?"
Didamprat demikian, timbullah suatu pikiran dalam hati Sangaji. "Benar! Aku seorang diri.
Betapa mungkin aku sanggup mengalahkan mereka seorang demi seorang. Satu-satunya jalan aku harus menghancurkan inti ilmu kebanggaan masing-masing perguruan mereka."
Seperti diketahui, ilmu warisan keris Kyai Tunggulmanik merupakan puncak inti hakekat semua ilmu sakti di seluruh jagat raya. Meskipun Sangaji belum pernah mengenal macam ilmu sakti Gumbala Geni, namun ia pernah menerima penjelasan-penjelasan dari kakek gurunya Kyai
Kesambi. Dengan sendirinya ia tak menemui kesulitan lagi untuk memecahkan. Maka dengan
suara pasti ia berkata, "Ilmu sakti Gumbala Geni memang hebat. Semua orang gagah di seluruh Nusantara mengagumi. Bukankah ilmu sakti tersebut berasal dari Warok Suramenggala pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
zaman Majapahit"2) tetapi kalau kau mengira, ilmu Gumbal Geni merupakan ilmu pukulan tersak-ti di atas dunia ini adalah salah."
Mendengar ucapan Sangaji bergaya seorang guru, Jajang Kartamanggala mendongkol bukan
main. Katanya, "Kau bangsat cilik ini tahu apa tentang hebatnya ilmu Gumbala Geni" Apakah kau ini penjelmaan malaikat?"
Direndahkan demikian, Sangaji tetap bersikap tenang. Sebaliknya semua yang mendengar
tangkisan Jajang Kartamanggala tertawa bergemuruh. Terdengar suara nyeletuk, "Hai bangsat cilik! Kau sebenarnya murid siapa sampai berani ngoceh tak keruan?"
"Bocah ingusan itu barangkali tak waras. Buat apa mendengarkan pidato orang tak waras?"
seru lainnya. Dan kembali lagi mereka tertawa bergemuruh. Dan mendengar suara tertawa bergemuruh yang
bernada mengejek itu yang paling resah adalah Manik Angkeran. Tetapi melihat Sangaji tetap tenang-tenang saja, hatinya agak sedikit terhibur.
2). Pada tahun berapa hidup Warok Suramenggala tidak dapat dipastikan. Diperkirakan pada zaman Majapahit
Tiba-tiba Sangaji berkata lantang, "Tuan-tuan! Untuk apa Tuan-tuan sekalian saling
bermusuhan dan saling bunuh membunuh" Bukankah Tuan-tuan sekalian sedarah dan sebangsa"
Coba aku ingin berbicara dengan ketua persekutuan penggerebegan."
Kata-kata Sangaji itu diucapkan dengan nyaring dan terang walaupun di tengah gemuruh
tertawa riuh rendah. Dan hebatnya, tiap orang dapat menangkap setiap patah kata-katanya
dengan jelas. Keruan saja jago-jago tujuh aliran yang mendaki dataran tinggi Gunung Cibugis terkesiap semua. Diam-diam mereka membatin, "Bocah ini masih muda belia, apa sebab ilmu saktinya begini dahsyat?"
Dalam pada itu muncullah seorang laki-laki berberewok bersenjata sebuah tongkat besar.
Dialah Andi Apenda salah seorang murid perguruan Gunung Kencana. Dengan mengulum senyum
dia berkata, "Kau ini sebenarnya setan dari mana sampai berteriak-teriak tak keruan juntrungnya?"
"Apakah Tuan yang menjadi ketua persekutuan?" Sangaji menegas.
"Hm, untuk meladeni orang gendeng seperti kau, masakan perlu ketua kami segala?" sahut Andi Apenda cepat.
"Apakah kau sendiri Ketua Himpunan Sangkuriang" Bih, bih! Kalau benar engkau Ketua
Himpunan Sangkuriang, aku sendiri menganggap dirimu tak lebih dan tak kurang adalah anak seorang janda. Anak seorang janda ru-din. Daripada kau berteriak-teriak tak keruan juntrungnya, lekaslah pulang! Siapa tahu, selagi kau gembar-gembor di sini, ibumu dikawini orang!"
Sebenarnya ejekan Andi Apenda adalah sekenanya saja. Tak tahu, bahwa ejekannya itu justru tepat mengenai sasaran yang paling menyakitkan hati.
Sangaji adalah anak seorang janda yang miskin. Terhadap ibunya, Sangaji menghormati dan
menjunjung tinggi melebihi jiwanya sendiri. Sekarang ia mendengar ibunya dihina seolah-olah tak lebih daripada seorang janda pasaran. Keruan saja suatu gumpalan perasaan meledak dalam
dadanya. Pemuda yang biasanya sangat sabar melebihi seorang pendeta itu, tiba-tiba saja tak sanggup lagi menguasai luapan perasaannya. Meskipun semenjak tadi, ia selalu menyadarkan diri sendiri, bahwa tujuannya yang pokok ialah berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan kedua pihak agar di kemudian hari merupakan suatu himpunan perjuangan rakyat seluruh Jawa Barat.
Ternyata kini ia seperti lupa daratan. Sekali melompat tangannya menjangkau tubuh Andi
Apenda. Dengan kegesitan yang sukar dilukiskan, ia mencengkeram punggung Andi Apenda dan diangkatnya ke atas. Kemudian tangan kanannya merampas tongkat besi Andi Apenda dengan
sekali hentak. Kena diterkam Sangaji yang memiliki tenaga dahsyat, Andi Apenda mati kutu dengan tiba-tiba.
Tenaganya sirna dan lumpuh sekaligus. Ia tak ubah seekor anak ayam kena cengkeram seekor elang. Melihat berkelebat-nya tangan kanan Sangaji hendak mengemplang kepalanya dengan
senjata tongkat besinya yang berat dan gede, terus saja ia menutup matanya rapat-rapat.
Tetapi kalau nasib masih baik, sekonyong-konyong melompatlah dua orang rekannya ke
gelanggang. Sukra dan Kusna, namanya. Mereka berdua adalah kakak seperguruannya. Dengan
bersenjata tongkat besi raksasa pula, mereka langsung merangsang dan berbareng mengemplang tubuh Sangaji. Hebat dan berbahaya benar cara mereka berdua menyerang. Yang satu dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
samping mengarah kepala. Lainnya membabat kaki mengarah pinggang. Tujuan serangan
demikian ialah agar Sangaji melepaskan Andi Apenda dari cengkeramannya. Apabila masih
membandel, ia tak akan mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak.
Tetapi sambil menjinjing Andi Apenda di tangan kiri dan tangan kanan tetap menggenggam
tongkat besi raksasa, tiba-tiba Sangaji menggenjot kedua kakinya dan terus meletik ke udara.
Kedua penyerangnya sama sekali tak menduga dia bisa lolos dengan terbang ke atas. Keruan saja mereka bertubrukan. Untung sekali senjata mereka masing-masing tidak mengemplang kepala
mereka. Di bawah pekik kaget para pendekar, Sangaji membawa Andi Apenda mengapung di udara.
Dengan sedikit berputaran ia turun ke bumi enteng sekali. Pendekar Sindung Riwut pemimpin penyerbuan dari perguruan Gunung Gembol tiba-tiba berteriak. "Hai. Bukankah itu ilmu meletik ke udara ajaran Gunung Damar?"
Sudahlah menjadi suatu kelaziman, bahwa tiap-tiap perguruan mengenal corak serta macam
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajaran perguruan lainnya. Pelajaran itu termasuk pengetahuan umum. Tujuan pokok pengetahuan umum itu, agar bisa berjaga-jaga dalam membawa diri.
Memang apa yang diperlihatkan Sangaji tadi ialah ilmu meletik ke udara ajaran Kyai Kasan Kesambi yang dipelajarinya lewat gurunya, Wirapati. Karena seringnya ia menekuni ilmu itu, dalam keadaan terjepit mendadak saja tanpa berpikir lagi terus menggunakan ilmu meletik untuk menghindari serangan gencetan yang sangat berbahaya.
Loncatan meletik ke udara, sebenarnya dapat dilakukan oleh beberapa pendekar lainnya.
Seperti Kusuma Winata dengan sekalian adik seperguruannya atau Edoh Permanasari serta
beberapa murid pilihannya. Tetapi kalau sebelah tangan menjinjing tubuh segede Andi Apenda berbareng membawa sebuah tongkat raksasa terbuat dari besi dan kegesitan corak loncatannya harus sama ringannya dengan membawa dirinya seorang, itulah sesuatu hal yang tak dapat
mereka lakukan. Para pendekar golongan Gunung Kencana mati kutu melihat Andi Apenda jatuh di dalam
cengkeraman Sangaji. Mereka berada pada jarak sepuluh meteran. Untuk berusaha menolong
menyelamatkan rekannya itu, tidak mungkin lagi. Sebab sekali Sangaji mengemplang kepala Andi Apenda dengan tongkat besi yang dirampasnya, dia akan mampus dengan kepala pecah sumyur.
Siapakah di dunia ini yang sanggup bergerak melebihi kecepatan ayunan tangan yang tinggal turun saja. Maka mereka hanya berdiri tegak dengan doa panjang pendek.
Pendekar-pendekar yang datang meluruk ke dataran tinggi Gunung Cibugis adalah pendekar-
pendekar kelas satu. Seperti, Kusuma Winata, Panjang Mas dari Gunung Kencana, Ratu Kenaka dari Gunung Aseupan. Begog dan Sianyer dari Muarabinuangeun, Alang-alang Cakrasasmita dari Gunung Gilu dan Sindung Riwut pendekar sakti dari Gunung Gembol. Namun menghadapi Sangaji mereka tak berdaya sama sekali. Sebab gerakan Sangaji meletik ke udara terjadi dengan tiba-tiba.
Seumpama dapat menebak pastilah mereka akan menghujani senjata sebelumnya, untuk
menolong Andi Apenda. Pada saat" itu Sangaji sedang menerkam tongkat besi raksasa erat-erat. Pandangnya penuh rasa benci serta gemas. Perlahan-lahan ia mengangkat tongkat besinya dan tinggal menurunkan deras. Dan kepala Andi Apenda akan remuk berantakan. Melihat adegan ngeri itu, banyak kawan-kawannya yang menutup mata. Tetapi kakak-kakak seperguruannya bersiaga untuk segera
mengkerubut membalaskan dendam.
Tak terduga, bahwa tangan Sangaji yang sudah mengangkat tongkat besi itu tidak juga segera mengemplangkan. Air mukanya berubah-ubah. Terang sekali di dalam hati pemuda itu sedang
bergumul suatu derum hati yang saling mengendapkan. Dan tiba-tiba ia menurunkan tongkat
besinya, kemudian meletakkan tubuh Andi Apenda perlahan-lahan ke tanah, la menarik napas panjang.
Sesungguhnya dalam sekejap itu, timbullah suatu perjuangan seru dalam hati Sangaji. Teringat betapa tajam penghinaan Andi Apenda kepadanya ingin ia mengemplangnya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya. Tetapi tiba-tiba timbullah suatu pikiran lain entah dari mana asalnya. Begini bunyinya, kalau aku membinasakan salah seorang di antara ketujuh aliran sakti yang mendaki dataran ketinggian Gunung Cibugis, bukankah aku lantas menjadi musuh ketujuh golongan besar ini" Dan sekali bermusuhan selamanya aku takkan mendapat kepercayaan mereka untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempersatukan. Dengan begitu aku akan gagal, semata-mata karena menuruti luapan rasa hatiku sendiri. Aku harus berani menahan hati. Tak peduli betapa mereka menghina aku.
Darimanakah asal datangnya suara hati itu" Dasar hati Sangaji adalah jujur, sederhana dan mulia. Pada saat itu ia menghadapi suatu masalah yang maha besar dan luar biasa sulitnya.
Sehingga secara wajar, banyak ia menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasa. Dan karena itu banyak menggunakan getaran rasa, secara naluriah tergetarlah darahnya. Seketika itu juga terjadilah suatu gelombang dahsyat dalam diri Sangaji.
Seperti diketahui dalam diri Sangaji mengalirlah ilmu sakti manunggalnya getah sakti
Dewadaru, madu Tunjungbiru, ilmu sakti Kumayan Jati, ilmu Kyai Kasan Kesambi dengan guratan keris sakti Kyai Tunggulmanik warisan ilmu sakti pada zaman 4900 tahun yang lalu. Ilmu sakti tersebut secara otomatis akan bekerja apabila kena sentuh dari luar. Tapi sekarang sama sekali tiada persentuhan dari luar. Yang ada hanya getaran rasa. Maka dalam sekejap itu terjadilah suatu perkembangan baru di dalam diri Sangaji di luar pengamatan manusia.
Sekonyong-konyong dunia pikiran Sangaji seperti terbuka dengan tak disadarinya sendiri.
Pikirannya lantas menjadi tajam luar biasa. Maka benarlah konon yang dikabarkan dalam kisah sejarah bahwa pusaka sakti di kemudian hari menjanjikan kepada pemiliknya akan menjadi
manusia yang berotak cerdas. Tapi dasar watak Sangaji sederhana, berhati polos serta mulia, maka perubahan itu tidak nampak dari luar. la tetap seperti sediakala, sebagai seorang pemuda yang tak pandai berbicara dan berhati beku.
Demikianlah setelah Sangaji memperoleh bentuk pikirannya secara tak disadarinya sendiri, ia segera membebaskan Andi Apenda. Katanya kemudian dengan tenang, "Aku memang anak
seorang janda. Seorang janda yang terpaksa hidup berlarat-larat sampai di Jakarta. Lantaran ditinggal suaminya gugur dalam suatu pertarungan. Apakah buruknya anak seorang janda"
Apakah menurut penda-patmu, ibuku tak berhak lagi hidup tenteram sebagai manusia lainnya"
Karena kebetulan sudah menjadi janda?"
Andi Apenda tertegun-tegun, la telah lolos dari suatu maut secara ajaib. Keduanya sama sekali tak pernah menduga bahwa ejekannya merupakan suatu hal yang sangat menusuk hati Sangaji, karena kebetulan pemuda itu anak seorang janda pula. Maka tatkala Sangaji mengangsurkan
tongkat besinya, dengan menundukkan kepala dia menerima senjatanya kembali dengan tersipu-sipu.
Setelah Andi Apenda keluar gelanggang perhatian penonton beralih kembali kepada Jajang
Kartamanggala. Pendekar ini diam-diam menjadi kecil hati, menyaksikan kepandaian Sangaji yang berada di luar kemampuannya sendiri. Seumpama tidak di depan mata para pendekar di seluruh Jawa Barat, sudah sedari tadi dia menyelinap keluar gelanggang dengan diam-diam. Apa boleh buat sekarang sudah ke-pepet. Maka teriaknya nyaring, "Hai anak muda! Kau tadi ingin berbicara dengan ketua kami. Sebenarnya siapakah yang mendalangi engkau" Bilanglah yang terang,
barangkali aku masih bisa mengampuni."
"Aku datang ke mari atas namaku sendiri. Meskipun aku dibesarkan di Jakarta, tetapi aku berasal dari Jawa Tengah. Sekarang aku melihat dan menyaksikan betapa para pendekar Jawa Barat saling bertengkar dan bunuh membunuh. Menuruti kata hatinya, aku memberanikan diri untuk tampil ke muka agar kalian bersatu padu."
"Hm, aku kau suruh berdamai dengan pihak Himpunan Sangkuriang" Itu tidak mudah. Bangsat tua Andangkara masih berutang tiga kali pukulan sakti Gumbala Geni. Suruhlah dia membayar utangnya dahulu! Dan nanti baru kita berbicara." Setelah berkata demikian ia menggulung lengan bajunya.
"Rupanya engkau paling senang membicarakan ilmu sakti Gumbala Geni. Baiklah memang
hebat ilmu sakti tersebut. Tetapi sayangnya, engkau tidak sedahsyat pemiliknya dahulu. Apa yang kau capai belum lagi jatuh separahnya," kata Sangaji sambil tersenyum.
"Kau bilang apa?" bentak Jajang Kartamanggala.
"Aku bilang, engkau belum mencapai separahnya. Itu malah kebetulan. Sebab kalau engkau berani maju satu tingkat lagi, jiwamu akan terancam suatu kematian runyam."
"Darimana kau tahu?" Jajang Kartamanggala penasaran.
"Sebab tenaga dasarmu belum kuat. Seumpama sebuah balon kau akan meledak apabila
menambah satu tiupan lagi," sahut Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ceramah Sangaji, wajah Jajang Kartamanggala berubah hebat. Ia melihat pemuda
itu berkata dengan setulus-tulusnya. Tidak mungkin berdusta. Teringat betapa dahsyat tenaga sakti pemuda itu, ia akan dapat membuktikan manakala diajaknya bertanding mengadu kekuatan.
Sebaliknya anak Gunung Gembol angkatan muda yang masih berdarah panas, mendongkol
mendengar ujar Sangaji. Terus saja mereka memaki-maki kalang kabut. Di luar dugaan Jajang Kartamanggala maju selangkah sambil berkata menegas.
"Kau bilang, aku bisa mati runyam manakala aku mencapai satu tingkat lagi. Agaknya
keteranganmu masuk akal pula. Tapi masakan ilmu pukulanku tiada gunanya?"
Sangaji menggeleng kepala sambil menjawab, "Tenaga sakti Gumbala Geni yang kau-miliki sekarang memang dapat menggertak kurcaci-kurcaci. Tetapi berhadapan dengan seorang seperti raja muda Andangkara, sama sekali tiada guna. Malahan engkau bisa berada dalam bahaya."
"Bahaya bagaimana?"
"Sebab bilamana lawanmu seorang yang memiliki tenaga sakti melebihi dirimu, maka
pukulanmu akan terpental berbalik memukulmu," sahut Sangaji dengan sungguh-sungguh.
Tetapi berbareng dengan itu, berkelebatlah sesosok bayangan yang terus memukul punggung
Sangaji sambil membentak, "Coba rasakan, kau bisa hidup tidak?"
Cepat sekali gerakan penyerang itu, sampai semua orang terkesiap. Dan dia adalah Aceng
Suwirya kakak seperguruan Jajang Kartamanggala. Betapa hebat pukulannya tidak usah
diragukan. Tenaga saktinya setingkat lebih tinggi daripada Jajang Kartamanggala. Maka dapat dibayangkan akibat pukulannya. Apalagi mengenai punggung dengan telak.
Siapa saja akan terjungkal melontakkan darah. Dan jiwanya takkan tertolong lagi, walaupun umpamanya ada malaikat turun dari langit.
Gerakannya yang cepat itu, bagi Sangaji mudah untuk mengelakkan. Tetapi Sangaji sudah
memutuskan hendak menaklukkan pendekar-pendekar penyerbu dengan berbareng, agar dapat
dihindari pertarungan secara bergiliran. Maka ia sengaja menerima pukulan Gumbala Geni tanpa mengelak sedikitpun jua.
Tatkala itu terdengarlah suara langkah tertatih-tatih sambil mendamprat.
"Bagus ya! Kau sampai memukul dengan cara menggelap. Macam ksatria apa?"
Dialah Manik Angkeran. Kesehatannya belum pulih kembali. Tetapi berkat pertolongan tenaga sakti Sangaji serta pengetahuannya sendiri tentang rahasia ilmu pertabiban, ia sudah sanggup bergerak. Kalau perlu masih bisa dia berkelahi meskipun untuk selintasan. Namun melawan Aceng Suwirya sudah barang tentu dia bukan merupakan lawan yang berarti, sekalipun andaikata dalam keadaan segar bugarpun. Maka baru ia mengangkat tangan, ia sudah kena terpentalkan ke
samping. Dan sekali lagi Aceng Suwirya menggebuk punggung Sangaji dengan tepat sampai dua kali berturut-turut.
Dipukul demikian, Sangaji seperti kebal dari segala, la pun tidak mengadakan suatu pembelaan untuk memukul balik penyerangannya. Bahkan ia lantas berkata kepada Manik Angkeran dengan tersenyum.
"Tak usahlah engkau khawatir. Pukulan Gumbala Geni dengan tenaga semacam ini, sedikitnya tiada gunanya."
Mendengar keterangan Sangaji, barulah Manik Angkeran bernapas lega. Dengan wajah
menyatakan rasa kagum dan penuh pengertian, ia menyahut: "Ah, ya, bukankah engkau cucu murid Kyai Kasan Kesambi..." sampai di sini ia cepat-cepat menutup mulutnya. Kemudian dengan terpincang-pincang ia kembali ke tempatnya semula.
Menyaksikan adegan serta mendengar keterangan Sangaji, jago dari Gunung Gembol itu seperti bermimpi di siang hari. Heran ia mengamat-amati wajah Sangaji yang menentangnya dengan
tenang-tenang. Setelah beberapa saat baru ia membuka mulut, "Apakah perguruan Kyai Kasan yang termasyhur pula sampai di Jawa Barat, mengajarkan ilmu kebal ini?"
Dengan sedikit mengangguk, Sangaji menjawab: "Aku memang cucu murid Kyai Kasan
Kesambi. Tetapi kalau dibandingkan dengan kesaktian kakek guruku bagaikan bumi dan langit..."
Sebagai anak-murid yang mendalami ilmu sakti Gumbala Geni, ia percaya tentang ilmu kebal Warok Suramenggala yang hidup pada zaman Majapahit3) dahulu terkenal akan kekebalannya.
Dan pendekar sakti itulah yang mewariskan ilmu pukulan sakti Gumbala Geni. Dahulu Warok
Suramenggala pernah bertempur tiga hari tiga malam melawan Warok Cadarma. Karena mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdua sangat kebal dan bertenaga sakti seimbang, maka hampir saja tidak dapat memutuskan siapakah yang lebih unggul. Akhirnya hanya karena kelalaian sedikit saja, Warok Cadarma kena digempur sampai tewas. Ialah pada bagian mulutnya sewaktu diajak berbicara.
Memang selagi mengadu kekuatan sakti, berbicara merupakan pantangan besar. Kini, ia melihat Sangaji sedang berbicara. Tak sudi ia menyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu. Dengan
menggerung ia melompat dan menggempur tubuh Sangaji dengan seluruh kekuatannya. Tetapi
sekali lagi tertegun keheran-heranan. Sangaji ternyata tak bergeming. Bahkan pemuda itu lantas tertawa sambil berkata, Tadi sudah kukatakan manakala kalian sudah
3) Tahun hidupnya belum pasti.
memiliki tenaga sakti tinggi kalian dapat bertempur sambil berbicara. Dan sekali
menggempurkan tenaga sakti pukulan Gumbala Geni, maka dahsyatnya tak dapat dilukiskan. Tapi apa yang kalian miliki sekarang tidak berarti. Kau tak percaya" Nah, pukullah sekali lagi. Sepuluh dua puluh kali, boleh juga. Silakan!"
Benar juga. Aceng Suwirya yang penasaran terus menggebuki Sangaji dengan pukulan dahsyat lebih dari sepuluh kali. Tidak hanya menghantam punggung saja, tetapi juga kepala, mulut, perut dan pinggang. Namun Sangaji-tidak bergeming sama sekali.
Kini tidak hanya Aceng Suwirya dan Jajang Kartamanggala yang terheran-heran tetapi para
pendekar kedua belah pihak jadi gempar. Mereka semua tahu betapa dahsyat pukulan ilmu sakti Gumbala Geni seumpama sebuah bukitpun bisa runtuh berguguran. Walaupun kabar itu terlalu dilebih-lebihkan, namun betapa berbahaya ilmu sakti tersebut di tangan para pendekar kelas satu tidak dapat dibantah lagi.
Anak murid Mandalagiri yang masih mendongkol terhadap kelicikan pendekar-pendekar Gunung Gembol, terus saja mengejek.
"Kabarnya pukulan Gumbala Geni dapat menggugurkan gunung. Tak tahunya cuma bisa
menggugurkan semangatnya sendiri. Ai... ai... sungguh hebat!"
Yang lain berkata lagi, "Pantas pendekar yang berilmu Gumbala Geni hanya berani berhadapan dengan lawan yang sudah luka parah. Sungguh seorang ksatria jempolan!"
Mendengar bunyi ejekan itu, muka Jajang Kartamanggala merah padam. Meskipun tidak
langsung menyebut namanya, namun dia merasa sendiri. Seketika itu juga meledaklah
amarahnya. Sekali maju selangkah, ia menghantam dada Sangaji. Bres! Kakak seperguruannya membarengi pula memukul dari belakang. Dengan begitu, Sangaji kena gencet. Orang-orang
terkesiap. Mereka berpikir, kalau tidak tewas, pada saat itu juga, pastilah tulang-belulangnya akan remuk.
Tetapi sekali lagi, Sangaji menunjukkan kelebihannya. Getah sakti Dewadaru yang mengalir dalam tubuhnya lantas saja bekerja. Kedua tangan lawannya kena dihisap.
Aceng Suwirya dan Jajang Kartamanggala kaget setengah mati. Buru-buru mereka hendak
menarik tangannya, namun sudah kasep. Tangannya terlengket. Untung Sangaji tiada berniat jahat, la bahkan mengirimkan tenaga saktinya, sehingga badan kedua anak murid
Gunung Gembol malahan terasa menjadi nyaman sekali.
"Beginilah baru benar," kata Sangaji dengan berbisik. "Jalan darah kalian sudah tertembus. Di kemudian hari, kalian akan dapat mencapai tingkatan ilmu sakti Gumbala Geni lebih tinggi lagi.
Sekarang biarlah kubuktikan, manakala musuh kalian bermaksud mementalkan kalian. Awas!"
Setelah berkata demikian, kedua tubuh anak murid Gunung Gembol tiba-tiba saja terpental ke udara. Dan dengan berjungkir-balik mereka turun ke tanah. Ajaibnya begitu kepalanya menukik nyaris terbentur tanah, sekonyong-konyong membalik dengan cepat. Berbareng dengan gerakan itu, mereka sudah berdiri tegak di atas tanah dengan tak kurang suatu apa.
Betapa garang mereka tapi kena diperlakukan demikian, sirnalah rasa permusuhannya. Seperti berjanji mereka membungkuk hormat dan berjalan keluar gelanggang dengan muka pucat lesi.
Itulah untuk yang pertama kalinya, mereka merasa takluk benar: benar terhadap seorang lawan.
Sangaji lalu memanggil Manik Angkeran. Berkata, "Paman! Sekarang aku membutuhkan
tenagamu." "Mengapa paman?" Manik Angkeran menegas dengan pandang heran.
Sangaji terdiam sejenak. Sekilas berkelebat-lah bayangan Fatimah di depan matanya. Tapi pada waktu itu juga, teringatlah dia betapa Manik Angkeran gusar tatkala anak-anak murid Tatang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggala menyebut nama Fatimah di depan pertapaan tabib sakti Maulana Ibrahim. Hampir ia berkata, "Fatimah tunanganmu adalah adik guruku Wirapati. Dengan sendirinya aku harus menyebutmu dengan paman..." Tapi kemudian berlatih cepat. "Eh... Maksudku adik. Maaf."
Manik Angkeran memandangnya dengan mata penuh selidik. Maka cepat-cepat Sangaji
membelokkan perhatian. "Kau tolonglah anak murid Gunung Gembol. Dengan begitu, kau akan dapat menolong kelangsungan hidup Himpunan Sangkuriang."
Manik Angkeran mengalihkan pandang kepada Kartasasmita yang masih saja belum dapat
berkutik di dekat Andangkara. Sebagai seorang tabib yang merasa diri mampu untuk menolong menyembuhkan, sudah sedari tadi ia ingin bekerja. Sekarang di depan ratusan orang, ia mendapat kesempatan untuk memperlihatkan sedikit kecepatannya. Sudah barang tentu, ia merasa diri memperoleh kehorrsan besar. Terus saja, ia menyingsingkan lengan dan kemudian menyambung tulang-tulang Kartasasmita dengan cekatan. Setelah itu ia minta beberapa obat sambung tulang dari para pendekar yang sudi memberi bantuan. Dengan begitu, pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat.
"Maksud Saudara memang bagus," tiba-tiba terdengar seorang berkata. "Tetapi janganlah mengharap, bahwa dengan jasa-jasa baikmu lantas kami merasa berkewajiban memenuhi
permintaanmu agar mengampuni bangsat-bangsat Himpunan Sangkuriang. Mana bisa begitu"
Kalau kau menjadi kecewa atas pernyataanku ini, nah patahkan sekali lagi tulang-tulang muridku itu. Aku gurunya, Sindung Riwut namaku."
Mendengar nama Sindung Riwut, gemparlah para pendekar kedua belah pihak. Ya, siapakah
yang tak kenal nama yang menakutkan itu. Ia berperawakan pendek tipis dengan rambut putih terurai panjang. Pandangan matanya menyala. Hidungnya bengkok seperti burung betet. Giginya belingsatan sehingga lebih menyerupai kumpulan taring. Dengan begitu muka berkesan kejam serta bengis.
"Hai, anak muda! Siapa namamu?" bentaknya. "Asal dari mana sampai berani memberi ceramah perkara Gumbala Geni segala...."
"Anak muda, hati-hati!" Andangkara memperingatkan. Sebagai seorang pemuda yang sudah memiliki puncak semua tenaga sakti serta puncak ilmu sakti di jagat ini, sudah barang tentu ia mengetahui tinggi rendahnya tenaga sakti lawan dengan otomatis. Namun melihat majunya
Sindung Riwut ia masih nampak acuh tak acuh saja. Katanya tenang, "Namaku Sangaji anak seorang janda miskin. Mengapa?"
"Kau mengoceh perkara Gumbala Geni. Apakah kau sudah mengenal kehebatan ilmu sakti
tersebut?" "Ilmu sakti di seluruh dunia ini, bukanlah bersumber satu" Kalau saja pukulan Gumbala Geni dilakukan seseorang yang sudah memiliki tenaga penuh, siang-siang aku akan lari menjauhi.
Lihat!" Terhadap seorang yang berusia tua selamanya Sangaji menaruh hormat kepadanya. Tak peduli dia berada di pihak mana. Dan kembalilah sifatnya yang asli. Ialah tak senang banyak berbicara.
Maka segera mengalihkan pandang ke arah sebatang pohon sebesar sepelukan orang. Setelah
semua penonton memutar kepalanya, ia terus menghantam dari tempatnya.
Sangaji sudah mahir dalam ilmu sakti Kumayanjati. Karena tenaga saktinya melebihi tenaga sakti Gagak Seta, maka dahsyatnya jauh melebihi, la tahu, bahwa inti pukulan Gumbala Geni ialah merupakan urat nadi berbareng tulang belulangnya. Hal itu baru diketahui setelah seminggu kemudian. Ini terlalu lama dan bukan maksudnya untuk memamerkan tenaga saktinya. Tujuannya yang pokok ialah hendak menggertak. Maka ia menggunakan ilmu sakti Kumayanjati yang keras dan lembek dengan berbareng. Tak mengherankan bahwa pada saat itu juga, terdengarlah suara gemeretak.
Dahan sekalian ranting dan mahkota daunnya, terbang berhamburan. Yang tinggal hanya
batang pohonnya tak ubah sebatang pohon kelapa kena tersambar geledek.
Menyaksikan pukulan sedahsyat itu, semua pendekar kagum. Hati mereka tercekat. Pikir
mereka, ia memukul dari jarak jauh. Sekalipun demikian akibatnya begitu hebat. Apalagi kalau memukul langsung, barangkali pohon itu tumbang berkeping-keping....
Tetapi Sindung Riwut terdengar tertawa berkakakan. Katanya, "Itu kan bukan ilmu sakti Gumbala Geni. Mana dapat kauingusi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi sebentar kemudian terdengarlah suara beberapa orang menyatakan kagum luar biasa.
Ternyata pohon itu tidak hanya patah berantakan, tetapipun urat-uratnya hangus remuk. Apalagi kalau bukan akibat getaran pukulan ilmu sakti Gumbala Geni"
Sebentar mereka heran ternganga-nganga, kemudian menyusullah sorak-sorai gemuruh sampai
lama sekali. "Guru!" seru Jajang Kartamanggala. "Memang benar. Inilah Gumbala Geni."
"Kau tahu apa?" bentuk Sindung Riwut. Kemudian beralih kepada Sangaji. "Anak muda, kau memang hebat! Tapi untung mataku belum lamur."
Mendengar ujar Sindung Riwut, diam-diam Sangaji kagum padanya. Pikirnya dalam hati:
"Orang tua ini memang hebat. Ilmu Gumbala Geni berpokok pada pukulan keras dan lembek berbareng. Akupun tadi menggunakan ilmu Kumayanjati keras dan lembek dengan berbareng
pula. Namun masih bisa dia membedakan."
"Kau tadi bisa mengoceh perkara Gumbala Geni. Coba terka, apa ini!" bentak Sindung Riwut dengan suara mengguntur.
Belum lagi Sangaji menentukan sikap, Sindung Riwut sudah melompat mencengkeram kepala.
Melihat gerakan tangannya,
Andangkara yang berada tak jauh dari Sangaji segera memberi peringatan lagi.
"Awas! Itulah Gumbala Geni. Jangan berkhayal dahulu!"
Bukan main dahsyat serangan itu. Maklumlah, Sindung Riwut bukan seperti Aceng Suwirya atau Jajang Kartamanggala. Dialah gurunya yang sudah menyelami inti ilmu sakti Gumbala Geni
semenjak belasan tahun yang lalu. Tenaga saktinya hampir sejajar dengan ketujuh tokoh sakti di Jawa Tengah. Karena itu, serangannya menerbitkan kesiur angin bergulungan serta berhawa
panas. Tetapi dengan sedikit mengelakkan diri, Sangaji luput dari serangannya. Para pendekar yang menumpahkan seluruh perhatiannya semenjak Sangaji memperlihatkan sedikit
kepandaiannya, tidak dapat menangkap gerakan Sangaji yang cepat dan ajaib. Mereka hanya
melihat gerakan Sangaji yang enteng luar biasa dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di luar bidang serangan lawan.
Akan tetapi Sindung Riwut adalah satu di antara ke tujuh jago kelas utama di Jawa Barat. Ilmu sakti Gumbala Geni yang ditekuninya semenjak masa mudanya, sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. Sangaji sendiri tadi mengakui, bahwa apabila seseorang sudah
Dihadapan Sindung Riwut dan yang lainnya, Sangaji menggunakan ilmu sakti Kuma-yan Jati
yang keras dan lembek berbareng ke arah sebatang pohon. Terdengarlah suara gemeretak.
mencapai tingkat kesempurnaan, ia sendiri akan lari jauh-jauh sebelum kena pukulan ilmu sakti Gumbala Geni yang memang hebatnya tiada taranya. Itulah sebabnya pula, ia tak berani
menyongsong serangan Sindung Riwut. Maka begitu serangannya kena dielakkan, Sindung Riwut terus menyusulkan serangannya yang kedua. Kali ini lebih cepat dan lebih hebat.
Tetapi sekali lagi, Sangaji dapat mengelakkan serangan itu dengan enteng di luar pengamatan mata. Tak terduga, mendadak Sindung Riwut telah mencegat dengan serangannya yang ketiga, keempat dan kelima yang dilontarkan secara berturut-turut. Begitu cepat serangannya itu, sehingga tubuh Sindung Riwut berkelebatan tak ubah raksasa meng-gunturi pintu kahyangan para dewa.
Kali ini, Sangaji benar-benar repot. Ia tak dapat main mengelak lagi. Dalam kegugupannya, tiba-tiba baju lengannya kena sobek. Bret! Gesit ia melompat ke samping. Namun tak urung lengannya nampak terkena cakaran yang segera mengeluarkan darah bertetesan.
Melihat Sangaji teiiuka, para pendekar di pihak penyerbu bersorak mengguntur. Sebaliknya terdengarlah suara Andangkara cemas.
"Anak muda! Kukunya mengandung racun jahat!"
Mendengar disebutnya racun jahat, Manik Angkeran memekik terkejut. Tanpa memedulikan
akibatnya, ia terus masuk gelanggang sambil berseru: "Kau harus berhati-hati! Apakah ...
apakah...." Hati Sangaji terguncang. Katanya di dalam hati, tunangan Fatimah ini benar-benar seorang pemuda yang baik hati. Ia begitu memperhatikan diriku....
Manik Angkeran tak tahu, bahwa di dalam diri Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru yang
kebal dari sekalian racun atau bisa di dunia. Itulah sebabnya, ia tak merasakan akibat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cengkeraman beracun itu. Malahan darah yang merembes ke luar mendadak saja berhenti
mengalir. Rasa pedih pun lenyap pula.
"Lekaslah keluar! Serangan cengkeraman Gumbala Geni bukan main bahayanya," katanya dengan tersenyum. Dan melihat Sangaji tersenyum serta yakin bahwa racun Sindung Riwut tidak mempengaruhi dirinya, dengan tenang Manik Angkeran kembali ke tempatnya.
Kiranya Sangaji tadi sudah berusaha seda-patnya untuk menghindari serangan berondongan
yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya. Mendadak ia melihat Sindung Riwut mulai
bergerak lagi. Rupa-rupanya pendekar tua itu tidak sudi kehilangan kesempatan bagus. Begitu melihat Sangaji sedang berbicara dengan Manik Angkeran, ia terus menyambar. Keruan saja hati Sangaji tercekat. Untuk membebaskan Manik Angkeran dari sasaran serangan lawan, cepat ia melesat mundur ke arah lain. Benar saja. Sindung Riwut terus mengubernya. Dengan demikian, Manik Angkeran dapat diselamatkan.
Mereka bertarung secara aneh sekali seakan-akan kanak-kanak bermain petak. Yang satu
menubruk dari depan dan yang lain melompat mundur. Gerakan menubruk dari depan lebih
mudah dan lebih leluasa dilakukan. Sebaliknya gerakan meloncat mundur, dua kali lebih sulit.
Meskipun demikian, tak pernah lagi Sindung Riwut berhasil menyentuh tubuhnya. Maka teranglah siapa yang lebih unggul dalam hal mengadu kegesitan.
Sebenarnya Sangaji dapat dengan mudah lari menghindari. Asal saja ia terus melesat lari
menjauhi. Tetapi wataknya yang asli tidak mengizinkan. Itulah watak yang terus-terang. Watak yang senantiasa berhadap-hadapan dalam menghadapi tiap persoalan betapa sulit-pun. Kecuali itu, pengamatannya akan hilang, apabila terus lari menghindari. Itulah sebabnya pula,
lompatannya ke belakang hanya sejauh dua tiga langkah. Matanya tak pernah beralih dari tipu muslihat gerakan lawan. Bagi mata para ahli tahulah sudah, bahwa Sangaji sedang menyelami ilmu Gumbala Geni sampai ke dasarnya.
Sesungguhnya ilmu sakti pukulan Gumbala Geni mempunyai 47 jurus. Gaya pukulannya tidak
banyak keragamannya. Inti gerakannya berdasarkan pada kecepatan dan tenaga. Sederhana
nampaknya, tetapi sebenarnya dahsyat bukan kepalang. Karena gerakan kaki dan tipu muslihatnya memenuhi bidang gerak. Selama hidupnya, Sindung Riwut belum pernah menghancurkan lawan
lebih dari enam belas jurus. Itulah sebabnya, ia terkenal di seluruh Jawa Barat sebagai hantu yang memiliki pukulan maut tak terlawan. Tak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa untuk melawan seorang lawan yang muda belia dia sudah hampir menghabiskan ke 47 jurusnya. Namun satu
juruspun tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dalam kemendongkolannya ia berpikir dalam hati, pemuda ini hanya mengadu kegesitannya belaka. Coba dia berani, bertarung dengan
berhadap-hadapan, masakan dia sanggup bertahan sampai 20 jurus saja. Aku ingin melihat.
Dalam pada itu, Sangaji sudah memperoleh pegangan kini. Tatkala Sindung Riwut terpaksa
mengulangi jurusnya yang pertama, tahulah dia bahwa jurus pukulan sakti Gumbala Geni hanya berjumlah 47 jurus, la kini bukan lagi Sangaji pada zaman berguru kepada Jaga Saradenta dan Gagak Seta. Otaknya sudah berubah cerdas luar biasa. Apa yang dilihatnya dengan tak disadarinya sendiri terus saja sudah dapat menangkap intinya dan malahan sanggup menirukan gerakannya sampai sekecil-kecilnya. Meskipun demikian masih saja ia ragu-ragu hendak memutuskan cara mengadakan perlawanan yang tepat. Pikirnya dalam hati, kalau aku hendak mencabut nyawanya gampangnya seperti membalikkan tanganku sendiri. Tetapi bila aku berbuat demikian, aku akan gagal mempersatukan mereka. Malahan bisa-bisa aku justru menanamkan bibit dendam yang akan jadi berlarut-larut.
Selagi ia dalam keragu-raguan didengarnya Sindung Riwut membentak.. "Anak muda! Kau cuma bisa mengelak untuk menyelamatkan diri. Ini namanya bukan bertanding."
Sangaji hendak menyahut, tiba-tiba Sindung Riwut menyerangnya dahsyat. Tahulah Sangaji,
bahwa Sindung Riwut mencoba memancingnya agar berbicara. Sebab berbicara merupakan suatu pantangan besar bagi seorang yang lagi bertanding. Setidak-tidaknya bisa lengah. Tapi Sangaji justru tersenyum, berkata seenaknya: "Apakah kau menghendaki aku melawanmu sungguhsungguh" Kalau aku menang apakah taruhannya?"
Sambil berkata-kata, Sangaji tetap mengelak tiap serangan Sindung Riwut dengan gesit serta tangkas. Mau tak mau Sindung Riwut terpaksa memuji dalam hati. Katanya, "Kau memang gesit.
Tapi dalam hal mengadu pukulan kau takkan menang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belum tentu. Paling tidak, tenagaku lebih muda dari padamu."
"Bagus! Jika aku kalah, aku akan membunuh diri di depanmu, atau kau boleh mencincang aku sekehendak hatimu."
"Ah, aku tak berani bertaruh begitu," sahut Sangaji cepat. "Begini saja, bila kau kalah kau harus membawa rekan-rekanmu turun gunung. Dan habisi permusuhanmu dengan pihak Himpunan
Sangkuriang." "Grusan ini bukan berada di tanganku. Itulah Alang-alartg Cakrasasmita. Dialah yang memegang pucuk pimpinan. Aku hanya bisa mempertanggung jawabkan diriku sendiri. Ah anak
muda! Bagaimana kau sampai berani bilang, bahwa aku bisa kaukalahkan?"
Sangaji mengerenyitkan dahi mencari akal. Tiba-tiba timbullah keputusannya. Katanya di dalam hati, biarlah aku mengandalkan ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik. Aku ingin merasakan sendiri, apakah guratan keris Kyai Tunggulmanik berisikan pula rahasia ilmu sakti Gumbala Geni. Dan setelah berpikir demikian ia berkata, "Kakek Sindung Riwut! Sudah kukatakan tadi kepada murid-muridmu, bahwa jauh-jauh aku akan melarikan diri manakala aku bertemu dengan seorang yang sudah memiliki inti tenaga sakti ilmu Gumbala Geni dengan sempurna. Tetapi, maaf Kakek
Sindung Riwut walaupun sudah mencapai tingkat kesempurnaan, tetapi belum sempurna benar-
benar. Karena itu masih banyak terdapat kelemahannya."
"Bagus," bentak Sindung Riwut mendongkol. "Jika kau dapat mematahkan setiap jurus seranganku, aku akan menutup perguruanku. Dan selamanya aku takkan muncul lagi dalam
percaturan masyarakat."
"Itupun tak perlu," kata Sangaji.
la tahu maksud Sindung Riwut hendak menutup perguruannya. Lantaran selama hidupnya
mengagul-agulkan ilmu saktinya Gumbala Geni sebagai suatu ilmu sakti yang tiada tandingnya dalam jagat ini. Tak tahunya, justru di depan murid-muridnya ia kena dipermainkan oleh seorang pemuda, sehingga kegarangan Gumbala Geni seakan-akan hilang dayanya.
Tetapi Sangaji adalah seorang pemuda yang halus budi. Untuk mengalihkan perhatian
penonton, tiba-tiba ia menjejak tanah dan melesat tinggi di udara. Kemudian berputar-putar sampai empat lima kali dan setiap kali berputar tubuhnya mendaki lebih tinggi lagi. Setelah itu dengan mendadak pula ia menukik ke bawah dan turun ke bumi dengan gerakan yang enteng
sekali. Saking takjubnya, penonton sampai terpaku. Malah dalam cerita anak-anak, rata-rata mereka pernah mendengar tentang seorang sakti yang bisa melesat ke udara dengan berputar-putar tak ubah burung dara. Tetapi setelah menjadi dewasa dengan demikian sirna dari ingatannya. Tak tahunya, hari itu mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Seumpama tidak, mereka
takkan percaya selama hidupnya. Sebab di jagat ini tiada se-orangpun dapat berlatih sampai mencapai ilmu kepandaian demikian. Maka setelah terpaku beberapa saat lamanya, mereka
bersorak gemuruh seperti tersontakkan.
Tubagus Simuntang yang selama hidupnya membanggakan diri sebagai manusia paling cepat
bergerak dan ilmu meletiknya ke udara tiada yang membandingi di seluruh nusantara, mau tak mau terpaksa menghela napas oleh rasa kagumnya yang tak terhingga begitu menyaksikan
kesanggupan Sangaji. Dan begitu Sangaji turun ke tanah, Sindung Riwut sudah memburunya. Kali ini ia tak mau
menyerang seperti tadi. Setelah menatap wajah Sangaji, lalu berkata tenang:
"Nah, anak muda! Sekarang kita mulai bertanding mengadu ilmu pukulan, bukan?"
"Silakan!" sahut Sangaji.
"Pasti pula kau takkan main mundur, bukan?"
"Tidak," sahut Sangaji dengan tersenyum. "Kalau aku sampai mundur meski hanya selangkah, nyatakan aku kalah."
Tatang Sontani dan rekan-rekannya meskipun masih saja belum bisa bergerak, namun panca
inderanya tetap bekerja seperti sediakala. Mereka adalah gembong-gembong yang terlalu besar keyakinannya kepada kemampuan diri sendiri. Tapi begitu mendengar ucapan Sangaji, mereka kaget. Mereka kenal tentang kehebatan serta kedahsyatan pukulan ilmu sakti Gumbala Geni.
Apalagi dimainkan sendiri oleh cikal bakalnya di Jawa Barat. Meskipun ilmu kepandaian Sangaji
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nampak lain daripada yang lain, namun masakan tidak akan mengalami langkah mundur dalam
suatu gebrakan seru"
Untung, pada saat itu terdengarlah ucapan Sindung Riwut. "Itupun tak perlu. Aku hanya ingin menguji saja. Ingin membuktikan kebenaran ucapanmu. Pabila aku kalah. Biarlah aku kalah. Pabila menang itupun sudah sewajarnya." Setelah berkata demikian, dengan menggerung ia menubruk.
"Awas!" serunya. Segera ia menyerang pundak dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri meliuk menubruk dada.
Di luar dugaan siapa saja, tiba-tiba Sangaji-pun bergerak serupa pula. Tetapi ia menyerang pundak Sindung Riwut dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menangkap tangan
Sindung Riwut yang meliuk menubruk dada. Dengan demikian gerakannya terbalik, namun
jurusnya sama. Dan anehnya, sebelum tangan kanan Sindung Riwut tiba pada sasarannya, tangan Sangaji sudah mencakar kepala Sindung Riwut.
Sindung Riwut kaget bukan kepalang. Tahu-tahu tangannya tergetar timbunan tenaga ilmu
sakti Gumbala Geni sirna dengan mendadak, la sudah menutup mata, tatkala melihat
berkelebatnya tangan Sangaji hendak mencengkeram ubun-ubunnya. Di luar dugaan, Sangaji
justru menarik tangannya yang sudah hampir tiba pada sasarannya yang cepat.
Sindung Riwut tertegun sejenak. Lalu dengan kecepatan yang tak terduga, kedua tangannya
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencengkeram kedua pelipis Sangaji. Tetapi Sangaji tetap menirukan pula. Sudah barang tentu, gerakannya lebih lambat daripada gerakan Sindung Riwut. Namun yang mengherankan datangnya lebih cepat beberapa detik daripada cengkerman Sindung Riwut. Dan kedua pelipis Sindung Riwut tiba-tiba sudah kena tersentuh.
Pelipis merupakan bagian tubuh yang mematikan bilamana kena tembus. Dalam suatu
pertarungan, bilamana pelipis sampai kena terserang, maka tiada harapan lagi untuk bisa ditolong.
Dia akan tewas pada saat itu juga. Akan tetapi Sangaji hanya mengusap saja. Setelah itu, tangannya meliuk ke belakang tengkuk seolah-olah hendak mengancam batang leher.
Tatkala pelipisnya kena teraba Sangaji, Sindung Riwut sudah tertegun lagi. Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya tangan Sangaji hendak mengancam tengkuknya. Cepat ia meloncat
mundur sambil membentak: "Hai! Darimanakah engkau mengenal pukulan ilmu sakti Gumbala Geni...?"
Dengan menunjuk dadanya, Sangaji menjawab: "Dari sini."
Sebenarnya jawaban Sangaji jujur, la menunjuk tepat di tengah dadanya. Maksudnya, di dalam dirinya mengalir rasa sarwa sakti manunggalnya guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan ilmu-ilmu sakti lainnya yang pernah dipelajarinya. Tetapi Sindung Riwut menganggap
menghinanya. Dengan garang ia membentak lagi. "Bagus! Kalau begitu jangan salahkan aku."
Setelah membentak demikian, ia mem-berondongi serentetan serangan. Tetapi seperti tadi
Sangajipun bergerak serupa pula dan tibanya lebih cepat pada sasarannya. Dengan gemas
Sindung Riwut kini mengadakan jebakan. Ia menyerang kembali dengan dua jurus sekaligus. Jurus 47 dan jurus 14. Dua jurus yang bertentangan. Lemah nampaknya, tapi sesungguhnya
mengandung jebakan. Ternyata jebakannya membawa hasil. Tiba-tiba Sangaji melangkah maju dan menirukan gaya
jurus tersebut setelah meliuk ke kiri, badannya nyelonong masuk dan tangannya dengan cepat menerkam dada Sindung Riwut.
Buru-buru Sindung Riwut mundur selangkah, agar diburu. Benar saja, Sangaji menubruk maju.
Girang Sindung Riwut membatin, kau setan cilik! Sekarang tiba saatmu kau termakan jebakanku.
Ia menarik serangan Sangaji lebih ke dalam. Mendadak kedua tangannya menghantam kedua
siku Sangaji dengan tenaga sedahsyat-dahsyatnya. Untung-untungan, kalau tepat kedua lengan Sangaji akan terlepas dari tulang sambungnya. Kalau tertangkis, paling tidak akan patahlah pergelangan tangan Sangaji.
Tak pernah terduga, bahwa di dalam diri Sangaji mengalirlah getah sakti Dewadaru yang
mempunyai sifat menghisap. Begitu cengkeraman Sindung Riwut menyambar siku Sangaji, tibatiba saja kena sedot. Dan tenaga pukulannya sirna dengan begitu saja. Keruan saja ia kaget setengah mati. Dan berbareng dengan kesadarannya, tangan Sangaji sudah meraba dada dan
tengkuknya. Inilah tempat mematikan. Tetapi Sangaji tidak meneruskan serangannya. Ia menarik kedua tangannya kembali dengan sikap menunggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sindung Riwut benar-benar menjadi putus asa. Berpuluh tahun ia berlatih. Berkali-kali ia menang dalam suatu pertarungan di mana saja dia berada. Namun menghadapi seorang pemuda
yang mengenal ilmu Gumbala Geni pula, latihannya selama itu tiada gunanya sama sekali, la mati kutu benar-benar. Maka dengan suara tertahan-tahan ia berkata setengah berbisik, "Anak muda...!
Ilmu kepandai-anmu ternyata jauh berada di atasku."
Setelah berkata demikian, kedua tangannya menghantam kepalanya sendiri. Tetapi belum lagi dapat meraba rambutnya, kedua lengannya runtuh lunglai. Sekali lagi ia kalah cepat dengan gerakan tangan Sangaji yang mencegah perbuatannya hendak bunuh diri.
"Ilmu sakti Gumbala Geni siapakah yang dapat mengatasi kehebatannya," kata Sangaji dengan nyaring. "Kalau aku tidak melawannya dengan ilmu Gumbala Geni pula, tak bakal aku menang.
Sebab sesungguhnya, ilmu Gumbala Geni merupakan pukulan yang paling tinggi di atas dunia ini."
Mendengar ucapan Sangaji, celeret cahaya bergelimang pada wajah Sindung Riwut. Maklumlah, ia kalah di depan hidung murid-muridnya sendiri. Dan yang terhebat, lebih-lebih di depan para pendekar ia bersumpah akan menutup perguruannya. Di luar dugaan, Sangaji malahan memuji
keunggulan ilmu sakti Gumbala Geni yang diagul-agulkan. Keruan saja, di dalam hatinya
tumbuhlah rasa terima kasih tak terhingga besarnya. Oleh rasa harunya, air matanya hampir saja terbintik ke luar. Cepat-cepat ia berkata, "Anak muda! Perkenankan aku mengagumi keluhuran serta kemuliaan hatimu. Sekarang aku akan membawa murid-muridku. Aku tak peduli lagi, mereka akan mengatakan apa kepadaku. Lantaran terbukti engkaulah yang memelihara kelangsungan
hidup kami. Terima kasih."
Sindung Riwut benar-benar membuktikan ucapannya. Setelah kembali ke tempatnya, segera
memerintahkan murid-muridnya agar turun gunung. Mendadak saja terdengarlah suara
melengking. "Sindung Riwut! Bagaimana ini?"
"Bagaimana ini?" potong Sindung Riwut. "Aku sudah dikalahkan. Mau apa lagi?"
"Bagus! Kau akan lari turun gunung tanpa izin Alang-alang Cakrasasmita. Benar-benar kau melanggar sumpah."
"Aku hanya berikrar dalam penggerebegan ini. Tapi Sindung Riwut bukan di bawah perintah Alang-alang Cakrasasmita. Apakah dia bermaksud menghalang-halangi aku" Boleh coba!"
Edoh Permanasari tak meladeni lagi. Ia hanya tertawa dingin. Kemudian dengan membawa
pedang Sangga Buwana yang tajamnya tiada bandingnya di jagat ini, masuklah ia ke gelanggang.
"Kusuma Winata!" katanya lagi. "Apakah kau tidak mencoba-coba kekuatan bocah ini?"
Dengan membungkuk hormat Kusuma Winata menjawab, "Tadi aku sudah dikalahkan raja
muda Andangkara. Dengan sendirinya, kami anak murid Mandalagiri tidak berhak lagi terjun ke gelanggang."
"Hm," dengus Edoh Permanasari dengan wajah masam.
Melihat wajah Edoh Permanasari, hati Wijaya merasa tidak enak. Ia menaruh hati terhadap Ida Kusuma. Kalau ingin merebut hati Ida Kusuma, terlebih dahulu ia berkewajiban mencuri hati Edoh Permanasari. Maka diam-diam ia berpikir, meskipun kepandaian Edoh Permanasari adalah warisan Ratu Fatimah, tetapi takkan melebihi kepandaian kakak Kusuma Winata atau Sindung Riwut. Kalau dia kalah, bukankah kita semua ikut terjungkal habis-habisan" Biarlah aku mencobanya dahulu.
Setelah berpikir demikian, ia masuk ke gelanggang seraya mengencangkan ikat pinggangnya.
Berkata keras, "Bibi! Biarlah kami berlima mencoba-coba kepandaian pemuda terlebih dahulu.
Kemudian baru bibi. Pastilah bibi akan dapat memenangkan pertandingan ini dengan mudah."
Edoh Permanasari tahu maksudnya. Meskipun Sangaji mempunyai tenaga sakti bagaikan
gelombang yang tiada habis-habisnya, namun apabila dipaksa berkelahi secara bergiliran masakan tidak letih" Dengan pedang pusaka Sangga Buwana di tangan, pastilah dia dapat menghabisi jiwa Sangaji dengan mudah. Tetapi Edoh Permanasari adalah seorang wanita yang angkuh. Katanya,
"Terima kasih! Selamanya kami biasa hidup berdiri sendiri. Seumpama aku menang, apakah arti menang melawan seorang lawan yang keletihan" Rasanya kurang menyenangkan. Silakan
mundur." Pernyataan Edoh Permanasari ini di luar dugaan Wijaya. lapun lantas tak berani membantah.
Demikianlah, maka dengan pedang terhunus Edoh Permanasari menghampiri Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyaklah sudah anggota-anggota Himpunan Sangkuriang yang tewas oleh pedang Sangga
Buwana itu. Maka begitu pedang Sangga Buwana nampak di mata mereka, terdengarlah suara
kemurkaan mereka. Sidi Mantera yang benci benar pada pendekar wanita itu, terus saja mengutuk kalang-kabut. Hanya Inu Kertapati dan Kamarudin saja yang menutup mulut. Diam-diam mereka menghela napas.
"Kalian ribut-ribut apa perlu?" bentak Edoh Permanasari. "Tunggulah barang sebentar! Kalau aku sudah membereskan bocah ini, nah barulah datang giliran kalian menyusul ke neraka.
Sekarang tenang-tenanglah dulu!"
"Huuuu... siapa kesudian mendengarkan ocehan nona tuaaa..." Mereka menyahut beramai-ramai. Rupanya mereka semua kenal siapa Edoh Permanasari. Dan pendekar wanita itu paling benci manakala diejek sebagai nona tua. Maka tak mengherankan, bahwa wajahnya jadi beringas.
Dalam pada itu, Sangaji sadar bahwa pedang Sangga Buwana memang sangat susah untuk
dilawan. Kecuali ada niatnya hendak mengambil jiwa pemiliknya. Dan hal itu tidaklah
diinginkannya, meskipun ia mempunyai kesan buruk terhadap Edoh Permanasari.
"Hai anak muda! Kau ambillah senjatamu! Lebih cepat, lebih baik," bentak Edoh Permanasari tak sabar. Dan sekali lagi penonton di pihak Himpunan Sangkuriang menyahut haaaa atau huuu karena rasa dengkinya.
"Aku tidak mempunyai senjata apa pun sahut Sangaji." Dan oleh jawaban Sangaji, suasana gelanggang menjadi hening sejenak.
Tiba-tiba terdengarlah Andangkara menarik pedang pusakanya perlahan-lahan dari sarungnya.
Kemudian berkata, "Pedang ini adalah pedang warisan leluhur kami. Namanya Tunjungbiru. Itulah sebabnya, kakakku menggunakan nama pedang ini sebagai suatu pernyataan berbakti. Nah,
pakailah anak muda. Memang ia kalah tajam daripada Sangga Buwana. Walaupun demikian,
termasuk pula pedang yang tiada duanya di Jawa Barat."
Setelah berkata demikian, ia mementil pedang Tunjungbiru. Cring! Pedang itu memantul
melengkung lantas tegak lurus. Suaranya nyaring tak ubah sebuah rencong.
Dengan sangat hormat, Sangaji menerima pedang Tunjungbiru seraya berkata, "Terima kasih, Aki."
"Sudah belasan tahun, pedang ini berada di pinggangku. Selama berhamba padaku, entah sudah berapa puluh manusia rendah dan jahat terbunuh olehnya," kata Andangkara dengan tertawa melalui dada. "Hari ini, mudah-mudahan dia berkesempatan pula mereguk darah nona tua. Kalau berhasil, matipun aku akan rela sampai ke dasar hatiku."
"Mudah-mudahan, aku dapat memenuhi harapan Aki," sahut Sangaji.
la terus menyabetkan pedang Tunjungbiru dan menghadap Edoh Permanasari. Memang dalam
hati, ia sudah gemas melihat wanita itu. Dahulu menurut suara hatinya, pernah ia menantang Edoh Permanasari tatkala pendekar wanita itu membakar sebuah perkampungan nelayan. Kini
dengan mata menyala ia menentang wajah Edoh Permanasari. Lalu berkata, "Ilmu pedang warisan Ratu Fatimah, pastilah merupakan ilmu pedang yang tiada terlawan. Sesungguhnya tak berani aku melawan engkau. Tetapi kau sudah menantang aku, maka terpaksalah aku melayanimu se-bisa-bisaku. Mudah-mudahan arwah Rostika membantu aku dari angkasa."
Mendengar Sangaji menyebut nama Rostika, hati Edoh Permanasari tercekat sampai alisnya
berdiri tegak. "Kau bicara apa?" ia menegas.
Belum lagi Sangaji menjawab, tiba-tiba terdengar Sidi Mantera berteriak nyaring, "Hai Edoh!
Kalau kau berani, coba lawan dengan bertangan kosong!"
Dan Inu Kertapati yang semenjak tadi berdiam diri, akhirnya tak kuat juga menahan hati. Terus menyambung, "Ilmu kepandaian apa sih yang hendak dipamerkan" Paling-paling cuma
mengandalkan pedangnya melulu."
"Atau begini saja," sahut Sidi Mantera. Pendekar ini memang muak terhadap Edoh Permanasari.
"Tukar pedang Sangga Buwana dengan pedang pusaka lainnya. Sekarang boleh bertanding dengan saudara Sangaji. Kalau sampai bisa melampaui tiga jurus, aku boleh mencarikan jodohnya si nona tua itu."
"Apa" Tiga jurus. Mana bisa sampai tiga jurus" Sejuruspun takkan mampu," sambung yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan main mendongkolnya Edoh Permanasari. Dengan tak sabar lagi, ia terus menggertak,
"Hayo, seranglah!"
Sangaji sendiri, resminya tak pernah belajar ilmu pedang. Sekarang ia disuruh menyerang.
Karuan saja ia jadi ragu-ragu. Mendadak teringatlah dia kepada ilmu pedang paman gurunya, Suryaningrat yang mahir memainkan ilmu pedang Mayangga Seta. Maka terus saja ia menusuk ke depan sambil menggetarkan ujungnya. Hebat akibatnya. Karena tenaga saktinya luar biasa kuat, pedang Tanjungbiru yang bersifat keras lembek mendadak menggaung memperdengarkan
kegarangannya. Karuan saja, Edoh Permanasari kaget setengah mati. Gesit ia melompat ke
samping sambil berpikir di dalam hati, untung aku membawa pedang Sangga Buwana. Tak
kusangka pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian banyak sekali ragamnya. Kalau begitu, aku tak boleh berayal lagi. Tiap kesempatan harus kugunakan untuk membabat pedangnya.
Benar saja. Dengan menggerakkan tangkai pedangnya, Sangga Buwana terus menikam perut
Sangaji. Sangaji terkejut. Cepat ia mengelak ke samping. Tahu-tahu ujung pedang Sangga Buwana
sudah mengancam tenggorokan. Memang sesungguhnya ilmu pedang warisan Ratu Fatimah
bukan suatu ilmu sembarangan. Karena kecerdikan serta kelicikan Ratu Fatimah, ilmu pedangnya merupakan puncak-puncak gabungan ilmu pedang di seluruh Jawa Barat4). Tak mengherankan,
bahwa tiap gerakannya merupakan puncak tipu muslihat yang tinggi nilainya.
Diancam begitu mendadak sedangkan baru saja mengelak, Sangaji kaget setengah mati. Dalam seribu kerepotannya, ia mengendap lalu menjatuhkan diri dengan bergulingan. Tetapi baru saja ia hendak bangkit, kembali lagi pedang Sangga Buwana sudah mengancam punggungnya. Dalam
sekilas pandang, ia melihat berkelebatnya pedang menetak ping-
4) Dengan obat bius ia berhasil menawan tokoh-tokoh pendekar.
gangnya. Sadarlah dia, bahwa dirinya dalam bahaya. Tanpa berpikir lagi, ujung kakinya
menjejak tanah. Sekaligus meletiklah ia dan terbang miring melewati garis tebasan.
Gerakan itu dilakukan dalam keadaan yang tak mungkin dapat dilakukan orang lain. Selagi
kaum Himpunan Sangkuriang hendak bersorak memuji, sekonyong-konyong Edoh Permanasari
melesat pula ke udara berbareng menyabetkan pedangnya membabat pinggang. Benar-benar
Sangaji dalam bahaya. la belum lagi turun ke tanah dan sama sekali tak diduganya bahwa Edoh Permanasari akan
mengubernya dengan melesat ke udara pula. Sekarang terjadilah suatu keajaiban. Ilmu keris sakti Kyai Tunggulmanik mengadakan reaksi lantaran rasa hati Sangaji yang terkejut bukan kepalang.
Mendadak saja dengan menukik, ujung pedang Tunjungbiru menumbuk pedang Sangga Buwana
dan tubuh Sangaji terus dipentalkan ke udara lagi.
Akan tetapi Edoh Permanasari tidak mengenal ampun. Ia melompat maju pula mencegah
turunnya Sangaji ke tanah. Begitu Sangaji turun dari udara, cepat ia menyerang lagi dengan suatu tikaman berbareng membabat. Melihat bahaya yang ketiga kalinya, Sangaji terpaksa menangkis dengan pedangnya.
Tahu-tahu pedang Tunjungbiru tinggal separah. Sedetik itu pula tangan kirinya menghantam.
Suatu tenaga dahsyat menindih dada Edoh Permanasari dari atas. la seperti melesak. Gerakannya macet. Namun wataknya yang bandel masih saja bisa membabatkan pedang Sangga Buwana
sekenanya. Untung Sangaji dapat bertindak lebih cepat lagi. Kurungan pedang Tunjungbiru lantas disam-bitkan dan tepat mengenai ujung pedang Sangga Buwana. Dia sendiri terus melesat
menjauhi. Kena sambitan kutungan pedang, lengan Edoh Permanasari terasa pegal luar biasa. Hampir
saja Sangga Buwana terpental dari genggamannya. Benar-benar ia terkejut. Dengan sekali
pandang ia melihat Sangaji sudah berada sepuluh langkah jauhnya dengan menimang-nimang
kutungan pedangnya. Rupanya begitu kutungan pedang terpental dari ujung pedang Sangga
Buwana, Sangaji menyambarnya kembali berbareng dengan melesat menjauhi.
Gebrakan itu hanya terjadi sekejapan saja. Namun bahayanya jauh melebihi pertarungan yang lampau. Dengan gerakan kilat Edoh Permanasari sudah memberondongi Sangaji dengan sembilan serangan yang dilakukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Edoh Permanasari membabatkan pedang Sangga Buana sekenanya. Kutungan pedang Tunjung
Biru lantas disambitkan oleh Sangaji dan tepat mengenai ujung pedang Sangga Buana, dia sendiri terus melesat menjauhi.
tanpa mengenal ampun. Tetapi semuanya dapat dipecahkan Sangaji dalam keadaan buruk.
Setiap kali ia seperti lolos dari lubang jarum.
Andangkara - Tatang Sontani dan gembong-gembong lainnya yang mengikuti gebrakan kilat itu semuanya menahan napas dengan rasa kagum. Itulah pertarungan luar biasa cepatnya. Yang
menyerang cepat dan yang diserang cepat pula. Setiap kali melihat betapa kedudukan Sangaji sangat sulit, mereka menahan napas. Dan apabila ternyata masih saja bisa luput dari serangan yang bertubi-tubi datangnya, dengan serentak mereka melepaskan napas lega. Tapi tak urung keringat dinginnya membasahi tubuhnya. Sekarang mereka melihat Sangaji sudah berdiri jauh dengan tak kurang suatu apa. Saking kagumnya, mereka bersorak memuji. Dan soraknya
disambung seluruh pasukan Himpunan Sangkuriang dengan riuh rendah.
Sembilan kali serangan. Dan Sangaji berada di pihak yang diserang. Sama sekali tak membalas.
Malahan pedangnya kutung menjadi dua potong. Jelaslah sudah, bahwa dalam gebrakan itu ia telah kalah. Tetapi dia tadi dapat menahan serangan berondongan dengan menghantam ujung
Sangga Buwana sampai Edoh Permanasari membungkuk-bungkuk kena ditahan suatu tenaga
dahsyat. Dengan demikian apabila dia mau membalas pastilah ia takkan kena desak lagi.
Sudah barang tentu, penilaian yang benar hanya ada pada Edoh Permanasari. Untuk pertama
kali itulah ia bertempur dengan sungguh-sungguh, la sudah memberondong sembilan kali dengan menggunakan puncak-puncak jurus ilmu pedangnya, namun masih saja belum mengenal
sasarannya. Diam-diam ia heran. Dasar ia seorang wanita yang angkuh, maka lantas berkata:
"Pergilah, cari senjata yang lain. Tak mau aku menang dengan mengandalkan pedang."
Sekarang pihak Himpunan Sangkuriang tak lagi berani melontarkan kata-kata ejekan. Melihat betapa tangguh Edoh Permanasari, mereka malahan jadi prihatin.
Sangaji sendiri tidak menyahut. Dengan berdiam diri ia merenungi pedang pusaka Tunjungbiru.
Pikirnya, benar-benar aku mengecewakan hati Aki Andangkara. Pedang ini menjadi pusaka turun temurun. Tapi akhirnya kutung di tanganku....
Tiba-tiba terdengarlah suara Andangkara yang didahului dengan gelak tertawa.
"Pedang patah di dalam suatu pertarungan, apakah yang harus disayangkan?"
Sangaji menoleh. Sewaktu hendak membuka mulut, Otong Surawijaya berteriak nyaring, "Aku mempunyai sebatang luwuk5) pusaka. Pakailah! Mudah-mudahan jahanam itu tumpas oleh
golokku." "Tetapi pedang Sangga Buwana terlalu tajam. Golok Paman akan rusak pula."
"Biar kutung menjadi beberapa potong, apalah artinya" Kalau kau kalah, bukankah kita semua bakal mampus" Ambillah!" * Benar juga, pikir Sangaji. Lalu ia maju menerima golok pusaka Otong Surawijaya.
"Saudara Sangaji," bisik Tatang Sontani. "Pedang Edoh Permanasari sangat tajam. Karena itu jangan biarkan dirimu kena serang. Sebaliknya engkau harus menyerangnya terlebih dahulu."
Mendengar Tatang Sontani menyebut namanya, Sangaji tercengang sejenak. Setelah dipikir-
pikir sadarlah dia. la tadi sudah memperkenalkan namanya, rupanya Tatang Sontani merasukkan ke dalam ingatannya. Melihat betapa pendekar itu masih tak bisa berkutik akibat kena racun Suryakusumah tapi masih sudi mengingat-ingat namanya, timbullah rasa senang dalam hati
Sangaji. Maka dengan membungkuk ia menyahut, "Terima kasih atas petunjuk Paman."
"Gunakan kecepatanmu bergerak. Kege-sitanmu takkan terlawan oleh siapapun juga," bisik Tubagus Simuntang. Teringat betapa Tubagus Simuntang pernah mempermainkan Edoh
Permanasari, hati Sangaji jadi girang. Dengan serta merta ia menyahut, "Terima kasih atas saran Paman."
Tatang Sontani, Dadang Wirahata dan Tubagus Simuntang adalah tokoh-tokdh Himpunan
Sangkuriang yang berkepandaian tinggi. Benar mereka semua dalam keadaan lumpuh tetapi
panca inderanya bekerja seperti sediakala. Dengan sendirinya pengamatannya sebagai seorang ahli tidaklah luput. Seumpama mereka dalam keadaan segar bugar, kepandaiannya malah lebih tinggi daripada Edoh Permanasari. Sayang, mereka kena serangan gelap justru pada saat
menghadapi mati hidupnya Himpunan Sangkuriang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah setelah menggenggam golok pusaka Sangaji kembali ke tengah gelanggang
dengan hati besar, la sudah berlatih dengan pedang Sokayana yang beratnya lebih dari 100 kati.
Dengan sendirinya golok pusaka Otong Surawijaya yang mempunyai berat kurang dari 50 kati, bukan menjadi suatu halangan baginya. Dalam hati sudah timbul suatu kepu-tusan, takkan
membiarkan golok Otong Sara-wijaya terkutung seperti pedang Tunjungbiru. Segera ia
menghimpun tenaga saktinya.
"Bagus!" sahut Edoh Permanasari.
"Awas! Aku mulai menyerang," Sangaji memberi peringatan. Sehabis berkata demikian, tiba-tiba tubuhnya kelepat dan hilang dari pengamatan.
Bukan main kagetnya Edoh Permanasari. Belum lagi ia sempat memutar badannya, Sangaji
sudah berada di sampingnya. Cepat ia membalik dan berputar ke kiri. Tetapi Sangaji sudah berada di sebelah kanan. Lalu kembali lagi berputar ke kiri dan menyelonong ke belakang sambil
memberondongi serangan dua kali berturut-turut.
Gugup Edoh Permanasari menangkis seke-nanya. la hanya mengandalkan ketajaman
pedangnya. Maka ia hanya membabat saja. Tatkala melihat berkelebatannya tubuh Sangaji, ia mencoba menyerang. Namun kembali lagi tubuh Sangaji lenyap dari pengamatannya.
Dahulu saja sewaktu mengkhawatirkan keadaan Padepokan Gunung Damar ia menang cepat
daripada Ki Hajar Karangpartdan yang memiliki ilmu berlari sepi angin. Apalagi kini, sesudah mempunyai waktu untuk berlatih.
Maka di bawah sorak-sorai bergemuruh, tubuhnya berkelebatan tak ubah kilat, la datang
menjauh untuk kemudian lenyap tak karuan tempatnya. Jangan lagi Edoh Permanasari, Tubagus Simuntang sendiri kagum luar biasa dan merasa diri tak mampu menandingi.
Edoh Permanasari bingung bukan main dikocak demikian. Karena bingungnya ia membacok
serabutan. Namun bayangan Sangaji sama sekali tak dapat disentuhnya. Lantaran cepatnya,
bayangannya nampak pecah menjadi berpuluh-puluh sehingga mata Edoh Permanasari menjadi
kabur. Gebrakan dalam babak kedua ini, jatuh sebaliknya. Kalau tadi Sangaji menjadi pihak' yang diserang, kini Edoh Permanasari yang menjadi bulan-bulanan tanpa dapat mengadakan serangan balasan biar selintaspun. Sayang Sangaji agak jeri dengan pedang Sangga Buwana, sehingga tidak berani mendekati Edoh Permanasari. la khawatir terpaksa menangkis babatan Edoh Permanasari meskipun dilakukan dengan serabutan. Dalam hati, tak mau lagi ia sampai mengurungkan golok Otong Surawijaya. Dengan demikian, terpaksalah ia melancarkan serangan dari jauh saja.
Tubuhnya tak ubah seekor burung seriti menyambar belalang.
Melihat gelagat buruk, Suwega murid Edoh Permanasari segera berteriak nyaring, "Saudara-saudara! Mari kita serbu sisa Himpunan Sangkuriang! Tunggu apa lagi?"
Mendengar seruan itu, rekan-rekan seperguruannya tersadar dengan sekaligus. Lantas saja
mereka menghunus pedangnya masing-masing. Kemudian bergerak menyeberang gelanggang.
Melihat gerakan itu, kaum Himpunan Sangkuriang jadi gempar.
Namun mereka tak bergerak dari tempatnya, seolah-olah bersedia menerima mautnya dengan
ikhlas. Tetapi tidak demikianlah halnya dengan Sangaji. Melihat mereka bergerak, terus saja ia melesat menghadang, la sudah berpengalaman melawan barisan Jala Sutra Indrajaya. Maka dengan
mudah saja, ia merabu pedang mereka dengan sekaligus.
Edoh Permanasari tentu saja tidak sudi me-nyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu. Mau ia mengadakan serangan balasan, mendadak saja pedang murid-muridnya berhamburan menyerang
dirinya. Maka mau tak mau, terpaksalah ia menangkis kalang kabut.
"Beginilah caramu melawan aku?" ejeknya dengan raut muka masam.
Sangaji melesat ke tengah gelanggang. Mau ia menjawab, tetapi Otong Surawijaya si pendekar berangasan sudah mendahului.
"Kau membiarkan murid-muridmu memasuki gelanggang. Begitulah caramu hendak merebut
kemenangan?" Didamprat demikian, timbullah keangkuhan Edoh Permanasari. Serentak ia memerintahkan
murid-muridnya agar kembali ke tempatnya masing-masing. Kemudian memutar menghadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji dan berkata sambil menuding, "Kau yang berlagak jantan, mengapa melayani murid-muridku yang tidak berarti."
"Siapa yang mendahului?" damprat Otong Surawijaya lagi.
"Hm," dengus Edoh Permanasari.
"Hm - hm apa?" Otong Surawijaya tak mau mengalah.
"Kau manusia bergelimpangan tiada gunanya, apa perlu ikut-ikut berbicara."
"Sekalipun aku tak bisa berkutik begini, tapi kalau disuruh mengawini nona tua masakan sudi?"
Otong Surawijaya penasaran, la adalah seorang pendekar bermulut jahil. Sekali sumbunya kena sulut, mulutnya akan mengoceh tak keruan. Dan rupanya Edoh Permanasari kenal siapa Otong Surawijaya. Maka ia membuang mukanya dan kembali menatap Sangaji, menegas: "Jadi beginilah caramu melawan aku?"
Dengan tenang Sangaji menyahut, "Bagaimana aku harus mengiringkan kehendakmu?"
"Kau becus melawan aku atau tidak?"
"Kalau aku menang, apakah taruhannya?"
Edoh Permanasari menimbang-nimbang sejenak. Menyahut, "Baiklah kalau aku sampai kalah, aku akan meninggalkan gunung ini. Biarlah lain kali aku membuat perhitungan dengan bangsat-bangsat Himpunan Sangkuriang."
Tiga kali sudah, Sangaji berhadap-hadapan kembali dengan Edoh Permanasari. la terpaksa
berpikir keras. Pedang pusaka Sangga Buwana memang menakutkan hatinya. Akan mendahului
menyerang, ia khawatir kena tangkis. Sebaliknya hendak mengadu kegesitan bergerak, lambat laun ia akan lelah juga. Padahal lawannya masih banyak.
"Ha, bagaimana?" gertak Edoh Permanasari. "Engkau akan berlari-lari lagi?"
Hati Sangaji terkesiap, la adalah seorang pemuda yang tak boleh tersinggung perasaannya.
Apabila tersinggung perasaannya akan muncullah suatu ketekatan di luar perhitungan manusia.
Seperti dahulu, tatkala ia kena dihina
Mayor de Groote. Maka ia melawannya dengan mati-matian, meskipun kepalanya kena tumbuk
gagang pedang berkali-kali. Juga sewaktu kena hinaan Tako Weidema, Jan de Groote dan kedua temannya. Meskipun dikerubut empat orang ia berani melabraknya juga. Sekalipun akhirnya
pingsan tak sadarkan diri, lantaran dilemparkan ke dalam parit.
Sekarang ia kena ejekan Edoh Permanasari. Meskipun luapan hatinya tidaklah sebesar sewaktu diejak Andi Apenda, namun terasa mendidih juga. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk dalam
benaknya. Itulah ilmu sakti ciptaan Kyai Kasan Kesambi: Suradira jaya-ningrat lebur dening pangastuti, yang dahulu pernah dicobanya melawan Warok Kuda Wanengpati dan Watu Gunung
untuk yang pertama kalinya. Teringat akan hal itu, terus saja ia menyahut: "Sebenarnya kalau aku mau aku akan melawanmu tanpa bersenjata. Dan apabila aku sampai meninggalkan satu langkah saja, kau boleh mengutungi kedua lenganku."
Pernyataan Sangaji itu diucapkan dengan nyaring dan jelas, sehingga menerbitkan suatu
kegemparan. Betapa mungkin" Dua kali bergebrak, ternyata pemuda itu tak berani menghampiri Edoh Permanasari dalam jarak dekat.
Sekarang, ia berani berkata takkan meninggalkannya biarpun satu langkahpun" Itulah Sangaji, seorang pemuda yang tak boleh tersinggung kehormatannya. Sekali tersinggung akan meletupkan suatu keputusan yang menggemparkan.
Sangaji sendiri lantas mengembalikan golok pusaka. Sudah barang tentu, Otong Surawijaya
yang biasa bermulut usilan kali ini jadi ter-longoh-longoh. Belum lagi pendekar bermulut jahil itu membuka suara, Sangaji sudah melesat mematahkan sebatang dahan pohon. Kemudian berbalik
memasuki gelanggang pertarungan dengan amat tenang.
Edoh Permanasari mengamat-amati sebentar, lalu berkata acuh tak acuh.
"Kau sudah memilih jalan mampusmu sendiri. Bagus, itu bukan salahku. Hayo mulai!"
Dengan tenang Sangaji melintangkan pedang kayunya di depan dadanya. Kemudian digoreskan
ke depan setengah lingkaran. Orang-orang yang menonton tiada mengerti apa maksudnya.
Mereka tahu, pemuda itu sedang diancam ketajaman Sangga Buwana. Tetapi mengapa malahan
bermain-main menggores udara segala" Mereka sama sekali tak tahu, bahwa pada saat itu
mendadak terdengarlah suara mencicit. Itulah tenaga sakti Sangaji yang tersalur lewat pedang kayunya. Coba ia menggunakan pedang Sokayana, pastilah tenaga saktinya akan membanjir
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluar tak ubah badai. Walaupun demikian pedang Sangga Buwana tertindih dengan sekaligus.
Sudah barang tentu Edoh Permanasari kaget setengah mati. Mimpipun tidak, kalau pedang kayu bisa dibuat menandingi pedangnya yang terkenal tajam tiada bandingnya. Tanpa sadar, ia berseru nyaring: "Hai! Ilmu Siluman!"
Cepat ia menarik pedangnya dan terus membabat pinggang Sangaji. Sangaji segera
menyongsong sabetan pedang Sangga Buwana dengan kayunya pula. Dengan tenaga dahsyatnya
ia menempel punggung pedang lawan. Dan seketika itu juga, lengan Edoh Permanasari tergetar.
Pedang Sangga Buwana berdengung nyaring.
"Bagus!" Otong Surawijaya bersorak memuji. Dialah tadi yang paling mencemaskan maksud Sangaji hendak melawan pedang Sangga Buwana dengan ranting pohon. Mula-mula ter-longoh-longoh. Lalu mencakari telinganya. Kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Akhirnya berteriak kagum dan lega luar biasa manakala melihat betapa pedang Sangaji yang istimewa itu bisa
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menindih pedang Sangga Buwana.
Meskipun kedua pedang sama sekali berbeda tetapi begitu punggung pedang Sangga Buwana
kena ditempel pedang kayu Sangaji lantas saja sirna dayagunanya.
Inilah ilmu Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti eiptaan Kyai Kasan Kesambi yang sangat tinggi nilainya yang bersumber pada kekuatan hidup manusia. Ternyata pedang kayu dapat memusnahkan ketajaman pedang Sangga Buwana yang tiada taranya di jagat ini.
Sesungguhnya yang diajarkan Kyai Kasan Kesambi kepada Sangaji hanyalah merupakan suatu
coretan huruf. Nampaknya sederhana. Tapi sesungguhnya gerakan itu adalah gerakan
menghimpun tenaga sakti yang tersekap dalam tiap dada manusia. Mula-mula ciptaan-nya diambil dari ilham ilmu Pancawara (gelombang angin pegunungan yang datang dan perginya cepat serta tak terduga). Kemudian tatkala Sangaji berlatih dengan pedang Sukayana yang beratnya 100 kati lebih, ia menggabungkan dengan jurus-jurus Kuma-yanjati yang sederhana, ternyata serasi dan sejiwa. Dahsyatnya tak terkirakan. Permukaan laut yang kena sapunya melompat tinggi di udara dan melanda pantai dengan bergemuruh. Ini disebabkan karena sifat Kumayanjati dan pedang Sokayana yang ternyata terbuat sebagian besar dari campuran baja, besi berani dan monel.
Menghadapi Edoh Permanasari, Sangaji tak mau menggunakan senjata berukuran besar dan
terbuat dari besi campuran, la takut akan merupakan saluran tenaga sakti yang luar biasa dahsyatnya. Maka dipilihnya sebatang kayu yang sifatnya justru memusnahkan daya getaran.
Perlunya, ia hanya menyalurkan tenaga angin saja yang kurang berbahayanya daripada daya
getaran. Pada saat itu, di gelanggang pertarungan terdengarlah suara pedang Sangga Buwana meraung berdengungan. Edoh Permanasari memutar pedangnya luar biasa cepat. Penonton menjadi kabur dibuatnya. Namun dengan tenangnya Sangaji masih saja menggores-gores udara seakan-akan
tidak memedulikan. Sekalipun demikian, gerakan Sangga Buwana seperti terbendung tembok yang tiada kelihatan. Kemana saja larinya pedang Sangga Buwana, selalu terpental balik. Bahkan lambat-laun gerakan Edoh Permanasari makin lambat seolah-olah terbungkus oleh suatu
perangkap halimun. Perlahan-lahan Sangaji menindihnya. Gerakan ilmu saktinya makin lama makin padat.
Itu suatu tanda, bahwa angin pancawara sudah tertimbun berjejal-jejal. Kalau mau, ia tinggal melontarkan saja. Dan Edoh Permanasari akan terpental ke udara.
Edoh Permanasari sendiri nampak bertambah kuwalahan. Berat pedangnya terasa bertambah
berat dan berat. Manakala tenaganya susut, pedang Sangga Buwana terseret arus tenaga sakti Sangaji. la mencoba menarik untuk menyingkir. Tetapi malahan terseret melingkar-lingkar. Gugup ia menebas. Namun pedangnya tak pernah dapat menyentuh pedang kayu. Ia jadi kebingungan.
Sebab pedangnya tak bisa lagi ditarik atau ditusukkan. Sekarang ia menjadi jeri. Dan selama hidupnya baru kali itu, ia berkecil hati. Suatu peristiwa yang baru dialami.
Setelah mendekati 400 jurus, makin nampaklah ia kepayahan. Ia mencoba mengganti ilmu
pedangnya yang lain. Namun hasilnya masih nol besar. Mau tak mau ia benar-benar merasa
keripuhan. Dalam pada itu, Sangaji sudah memasang jaring-jaring serangan. Sedikit demi sedikit ia
mempersempit lingkarannya. Bagi orang lain, tiada mengetahui dengan pasti apakah dia lagi menyerang atau bertahan. Hanya Andangkara, Tatang Sontani, Tubagus Simuntang,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dwijendra, Walisana, Dadang Wiranata dan Ratna Bumi yang tahu. Sedang Otong Surawijaya
yang ilmu kepandaiannya setingkat lebih rendah dari mereka belum dapat menangkap inti
lingkaran Sangaji yang makin lama makin menjadi sempit.
Memang ilmu sakti Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti ciptaan Kyai Kasan Kesambi isinya gerakan lingkaran melulu. Lingkaran kecil dan lingkaran besar.
Namun tetap bergerak tak ubah gelombang samudera yang tiada hentinya. Tetapi tahu-tahu
terdengar suara pekik Edoh Permanasari terkejut.
Semua penonton menajamkan penglihatan. Edoh Permanasari nampak mundur selangkah.
Kemudian dengan memekik tinggi, tiba-tiba masuk ke dalam perangkap jaringan sambil
menusukkan Sangga Buwana. Itulah suatu jurus mati bersama lawan.
Dalam terkejutnya, Sangaji menjepit ujung punggung pedang. Dengan tenaga saktinya yang
luar biasa dahsyatnya, seketika itu juga pedang Sangga Buwana terlengket erat. Kemudian tangan kanannya yang memegang pedang kayu terangkat ke atas dan turun hendak menabas. Tiba-tiba terdengarlah suara, "Ampunilah dia!"
Mendengar suara itu, Sangaji kaget, la sudah terlanjur menurunkan pedang kayunya dengan
deras hendak menebas lengan. Tetapi tak kecewa ilmu sakti Keris Kyai Tunggulmanik yang
meresap dalam dirinya. Dalam rasa kagetnya, masih saja ia bisa memencengkan tebasan. Karena terjadi suatu pertentangan, terbitlah kesiur angin timbunan Pancawara. Dan dengan tak
terkendalikan lagi, meledaklah gumpalan ilmu Kumayanjati. Sebelum sadar apa akibatnya, tubuh Edoh Permanasari terangkat naik dan terbanting tinggi seperti benda tipis ringan yang
terlemparkan ke udara. Di tengah gemuruh sorak dan pekikan, Sangaji menoleh ke arah suara tadi. la melihat
Kamarudin berdiri sempoyongan dengan gumpalan darah di mulutnya. Dengan hati terkesiap ia melesat menghampiri.
Kiranya semenjak tadi dalam diri Kamarudin terjadilah suatu pergulatan seru antara dendam dan kisah asmaranya. Melihat Edoh Permanasari, hatinya meledak bagaikan guntur. Itulah
disebabkan, lantaran teringat seluruh anggota keluarganya dibinasakan oleh iblis itu. Tetapi begitu melihat Edoh Permanasari dalam bahaya, tanpa disadarinya memintakan ampun. Bagus, itu suatu tanda bahwa ia sudah dapat memenangkan rasa dendamnya dengan suatu keikhlasan. Namun
bagi dirinya sendiri, akibatnya sangat runyam. Seperti diketahui ia baru saja kena racun berbahaya. Pertolongan Sangaji terhadapnya sekedar pertolongan pertama, la belum sempat
merawat, lantaran terjadilah perkembangan peristiwa.
Dengan demikian, racun itu berkembang lagi. Dan lantaran dalam dirinya terjadi suatu
guncangan racun lantas saja menyerang jantung. Itulah sebabnya, begitu habis melepaskan
ucapan, segumpal darah meloncat ke tenggorokan.
"Paman...! Kau... kau... sebenarnya belum boleh mengeluarkan tenaga ..." kata Sangaji dengan gugup.
Pedang Tanpa Perasaan 10 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bunga Ceplok Ungu 2
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Untuk menangkis pukulan tanpa suara itu, Andangkara menggunakan bentakan-bentakan
dengan disertai pukulan keras. Selanjutnya mereka bertarung melalui beberapa puluh jurus dengan mempertunjukkan kemahiran serta keahliannya masing-masing. Sampai pada suatu saat tibalah pada babak penentuan.
Kusuma Winata memukul dengan telapakan terbuka dengan tangan kiri. Tetapi yang tiba
terlebih dahulu pada sasarannya ialah tangan kanan. Lalu tangan kiri yang memukul dengan telapakan terbuka berubah mencengkeram pundak melalui punggung. Jadi tiga macam serangan yang dilakukan dengan sekali gerakan.
Untuk menangkis serangan berbahaya itu, Andangkara tak boleh berayal lagi. Mendadak ia
menggerung dan dengan kedua kepalannya ia memukul berbarengan. Maka bertemulah dua
kepalan dengan dua telapak tangan. Kemudian berdiri tak bergerak.
Orang mengira bahwa sudah datang saatnya mereka hendak mengadu kekuatan tenaga sakti.
Memang nampaknya tiada jalan lain, kecuali hanya mengadu tenaga sakti untuk memperoleh
penentuan terakhir. Tak terduga, mendadak Kusuma Winata melesat mundur. Kemudian berdiri tegak dengan pandang kagum. Setelah itu membungkuk hormat seraya berkata hormat.
"Benar-benar aku merasa takluk. Dengan ini terimalah hormatku."
"Mana bisa" Mana bisa?" sahut Andangkara dengan tertawa gelak. "Rekan Kusuma Winata sama sekali belum kalah."
Dengan tersenyum Kusuma Winata berkata membalas, "Tuanku Andangkara merasa tidak
mengalahkan aku" Tidak! Dengan sebenarnya, aku sudah kalah. Memang nampaknya seimbang
atau katakan saja sama kuat. Tetapi tuanku habis bertempur melawan tujuh orang. Sedangkan aku dalam keadaan segar-bugar. Kalau sama-sama kuat, bukankah aku sudah kalah seurat?"
Mendengar kata-kata Kusuma Winata, harga murid Mandalagiri naik setingkat di depan mata
Sangaji. Adik seperguruan Kusuma Winata masih tiga orang lagi yang belum mengadu kekuatan.
Nanang Atmaja, Brata Manggala dan
Tatang Rusmaja. Dengan pernyataan kalah Kusuma Winata itu berarti pula, bahwa ketiga adik seperguruannya tidak perlu maju lagi ke gelanggang. Maka diam-diam Sangaji berpikir, tak kukira, bahwa anak-murid pendekar Watu Gunung berjiwa ksatria. Kalau mau dengan mudah Aki
Andangkara dapat ditumbangkan oleh ketiga adik seperguruannya. Tenaga sakti Aki Andangkara terang sekali sudah nyaris habis. Kalau begitu bunyi makiannya tadi yang seolah-olah hendak menuntut pertanggungan jawab atas matinya rakyat Jawa Barat, sebenarnya hanya suatu
sandiwara belaka. Dia bahkan memberi kesempatan kepada Aki Andangkara untuk menyatakan
cita-cita luhurnya di depan para pendekar lainnya ....
Semenjak berguru kepada Wirapati, Sangaji dididik untuk menghargai jiwa ksatria. Maka
kesannya kini terhadap Kusuma Winata beserta adik-adiknya seakan-akan dari kalangannya
sendiri. Dalam pada itu, tenaga jasmani Andangkara benar-benar sudah melampaui batas
kemampuannya. Dari ubun-ubunnya asap putih nampak mengepul-epul kena cerah pegunungan.
Seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Ia nampak kuyu pula, meskipun masih gagah berwibawa.
t Pendekar-pendekar di pihak lawan yang masih mempunyai harga diri, merasa tidak pantas
menantang bertanding untuk menentukan keputusan terakhir. Seumpama me-nangpun, rasanya
tiada harganya. Tetapi ternyata tidak semua pendekar di pihak lawan berpaham demikian.
Mendadak saja terdengarlah suara seruan nyaring, "Ha"anak-murid Mandalagiri sudah
menyerah. Nah, biarlah kini aku bermain-main dengan Andangkara."
Dialah yang-tadi gembar-gembor menganjurkan agar menyembelih semua anggota Himpunan
Sangkuriang. Namanya Kartasas-mita, pemimpin pasukan anak murid Gunung Gembol. Perawakan orang itu pendek buntet. Bercambang tebal bermuka kehitam-hitaman. Suaranya keras bagaikan kaleng kena tendang. Dan mendengar bunyi perkataannya, semua orang menoleh kepadanya.
Andangkara mendongkol akan kelicik-annya. Ia mengerling tajam padanya. Katanya di dalam
hati, "Hm, kalian kurcaci-kur-caci dari Gunung Gembol masakan ada harganya bertanding melawan aku" Tapi hari ini memang akulah yang sial. Kalau aku tadi runtuh di tangan anak murid Mandalagiri, tak mengapalah. Tapi kalau aku tewas di tangan manusia licik itu ... manusia yang hendak mengeduk keuntungan selagi diriku terjepit di pojokan begini, alangkah penasaran hatiku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Alisnya yang putih terus saja berdiri tegak. Meskipun ruas-ruas tulangnya kini terasa menjadi nyeri, namun sekali tergugah semangat jantannya ia lantas membentak, "Pengecut, hayo maju!"
Semua orang tahu, Andangkara sudah lelah. Walaupun masih garang, namun parasnya nampak
kuyu. Diam-diam Kartasasmita girang serta bersyukur dalam hati. Seolah-olah seorang pendekar yang menggenggam kunci penentuan, ia melangkah dengan langkah pasti. Tiba-tiba berputar
berlingkaran, lalu menghantam punggung lawan.
Andangkara memiringkan " tubuhnya. Kemudian kakinya menyapu dengan dahsyat. Ternyata
dengan gesit ia dapat mengelak. Kemudian bermain berlompat-lompat berlingkaran sambil sekali-kali menyerang dengan pukulan-pukulan keras.
Diperlakukan demikian, lambat laun tenaga Andangkara terkuras habis. Pandang matanya
sudah mulai gelap. Dunia seolah-olah berputar balik. Telinganya menjadi pengung. Sekonyong-konyong ia memuntahkan darah segar. Lantaran tak tahan lagi, ia duduk setengah bersimpuh.
Sudah barang tentu, Kartasasmita girang bukan main. Dengan gelak tertawa ia membentak,
"Andangkara"nah"hari ini tibalah saatmu mampus oleh pukulanku. Lihat yang terang, supaya jangan mengira aku berlaku licik!"
Melihat keadaan Andangkara tidak mungkin dapat bergerak lagi, timbullah aksi Kartasasmita hendak sedikit memamerkan kepandaiannya. Dengan menjejak tanah, ia melesat ke udara dan
dari atas menghantam dengan sekuat tenaga sambil memekik keras. Semua orang terkesiap.
Sangaji segera bermaksud hendak melompat ke dalam gelanggang menolong Andangkara.
Sekonyong-konyong ia melihat Andangkara mengangkat tangan kanannya miring ke atas dengan gaya yang sangat indah. Itulah tangkisan maut untuk menjaga serangan dari atas. Benar juga.
Kartasasmita yang sudah terlanjur mengapung di udara tak dapat menarik serangannya kembali.
Segera terdengar suara menyusul, "krak-krak krak!"
Tiga kali berturut-turut, lengan Kartasasmita kena terpatahkan dengan sekaligus oleh ilmu cengkeraman Andangkara. Tubuhnya turun tak terkendalikan lagi. Menyusul lagi suara krak krak!
Kini tulang pahanya patah remuk. Dan dengan suara gedebukan, Kartasasmita jatuh di samping Andangkara tak berkutik lagi.
Bukan main kagum semua orang yang menyaksikan kegagahan dan keperkasaan Andangkara.
Selagi dalam keadaan setengah hidup dan setengah mati saja, ternyata ia masih sanggup
mematahkan serangan lawan yang berbahaya. Maka diam-diam, mereka memuji di dalam hati.
Sebaliknya yang kehilangan pamor adalah semua anak murid perguruan Gunung Gembol.
Sebab Kartasasmita adalah murid golongan atas. Ilmu kepandaiannya hanya dua tingkat di bawah gurunya. Di dalam pengge-rebegan itu, ia memegang peranan nomor tiga di samping dua kakak perguruannya. Sekarang Kartasasmita menggeletak di samping musuh tanpa bisa berkutik
sedikitpun. Dan tiada seorangpun yang berani mengambil atau menolong membangunkannya.
Baru setelah berjalan beberapa waktu lamanya, seorang laki-laki berperawakan tinggi besar masuk ke gelanggang. Dialah kakak-seperguruan Kartasasmita nomor dua. Bernama Jajang
Kartamanggala. Matanya bulat menyala. Berbibir tebal serta berkumis
Dengan menjejak tanah, Kartasasmita melesat ke udara dan dari atas menghantam
Andangkara dengan sekuat tenaga sambil memekik keras.
lebat. Kira-kira dua puluh langkah dari Andangkara dia berhenti mengamat-amati. Lalu
mendepak sebuah batu sambil membentak mengguruh, "Bangsat Aundangkara! Dahulu hari aku pernah kau malukan di hadapan umum. Nah, hari ini biarlah aku membuat perhitungan. Hayo
maju!" Dengan pernyataan itu, tahulah semua orang bahwa Jajang Kartamenggala dahulu pernah
kalah bertanding melawan Andangkara. Kini untuk merebut kehormatannya lagi, hendak membuat perhitungan di depan umum, mumpung6) Andangkara masih hidup.
Dalam pada itu, batu yang ditendangnya tadi melesat dan menyambar dahi Andangkara. Tak!
Dan dahi Andangkara lantas saja menyemburkan darah.
Peristiwa itu benar-benar mengejutkan setiap orang yang menyaksikan. Kenapa Andangkara
tak dapat mengelakkan atau menangkis" Mustahil, Andangkara bisa kena serangan batu demikian rupa. Setelah di-amat-amati, ternyata Andangkara dalam keadaan setengah-setengah ingat. Itulah sebabnya, ia tak dapat berkelit atau mengelak disambar sebuah batu.
6). Mumpung: kebetulan ada kesempatan/ peluang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah barang tentu, siapa saja akan gampang dikalahkan lawan apabila sedang dalam keadaan demikian. Apalagi, kalau Jajang Kar-tamanggala terlalu panas hati, ia bisa mengambil nyawa Andangkara dengan mudah. Dan nampaknya pendekar dari Gunung Gembol itu hendak
mengambil nyawa Andangkara benar-benar. Ia melangkah mendekati. Sekonyong-konyong
melesatlah seorang pendekar muda menghadang di depannya.
Dialah Nanang Atmaja anak murid Mandalagiri. Salah seorang adik seperguruan Kusuma
Winata. Gerakannya gesit serta cekatan. Sambil menghadang di depan Andangkara, ia berkata:
"Raja muda Andangkara sudah terlu-ka parah. Seumpama engkau dapat mengalahkan, rasanya akan ditertawakan juga oleh para ksatria di seluruh Nusantara. Karena dia mempunyai utang permusuhan dengan pihak kami, maka biarlah kami yang akan menyelesaikan utangnya."
"Kau bilang apa" Terluka parah?" bentak Kartamanggala. "Manusia itu paling pintar berpura-pura. Bukankah dia tadi bermain tipu muslihat berpura-pura lumpuh tak berdaya, sehingga adikku Kartasasmita masuk perangkapnya" Nanang Atmaja! Andangkara tidak hanya bermusuhan dengan pihakmu, tapi dengan kamipun juga. Rasa sakit hati harus dibalas. Biarlah aku menghantamnya dengan tiga kali pukulan saja. Kalau dia masih saja hidup, itulah keuntungannya...."
Tetapi Nanang Atmaja tidak menyetujui maksud Jajang Kartamanggala. Andangkara adalah
seorang raja muda. Namanya harum, gagah perkasa sehingga ditakuti lawan dan kawan. Kalau sekarang harus tewas seperti anjing kena gebuk di depan mata para ksatria, bukankah patut disayangkan. Maka ia berkata, "Jajang Kartamanggala! Tiap orang tahu ilmu pukulan Gunung Gembol yang termasyhur di seluruh jagat. Itulah pukulan ilmu sakti Gumbala Geni. Jangan lagi raja muda Andangkara dalam keadaan payah, seumpama dalam keadaan segar bugar kena
pukulan Gumbala Geni secara telak, dia takkan bisa menolong jiwanya iagi."
"Baik," sahut Jajang Kartamanggala setelah menimbang-nimbang sebentar. "Aku takkan memukulnya dengan ilmu sakti Gumbala Geni kami yang termasyhur. Dia tadi mematahkan lengan dan kaki adik seperguruanku. Karena itu, biarlah aku mematahkan lengan dan kakinya juga. Itulah baru adil."
Nanang Atmaja tidak menjawab. Pendekar muda itu seperti lagi menimbang-nimbang. Ia
nampak tak menyetujui. Lantaran memperoleh kesan demikian, Jajang Kartamanggala berkata
lagi: "Nanang Atmaja! Sebelum kita mendaki dataran tinggi sudah terjadi suatu ikrar bersama.
Mengapa kau kini malahan melindungi lawan yang tinggal menunggu saat hancurnya?"
Nanang Atmaja menghela napas. Ia seperti terdorong ke pojok. Setelah berdiam sejenak, ia menyahut: "Baiklah, kau mau menghantam, hantamlah sampai mati. Tetapi kalau semuanya ini sudah selesai, sebelum pulang ke perguruan kita masing-masing aku akan belajar kenal dengan pukulan Gumbala Geni yang kau agung-agungkan."
Mendengar ucapan Nanang Atmaja, hati Jajang Kartamenggala terkesiap. Pikirnya dalanvhati: Heran, apa sebab dia melindungi Andangkara justru pada "saat Himpunan Sangkuriang akan runtuh serata tanah.
Terhadap anak murid Watu Gunung, Jajang . Kartamanggala agak segan. Tetapi di depan
umum, betapa ia sudi memperlihatkan kelemahannya. Maka dengan mengulum senyum
merendahkan, dia menyahut: "Kau boleh mengaku sebagai ahli waris ilmu sakti Resi Buddha Wisnu yang terkenal di seluruh jagat. Tapi masakan kami harus bersujud takluk kepada semua keputusanmu" Mana bisa begitu?"
Dengan tak langsung, Jajang Karta-manggala sudah menyinggung nama baik Resi Buddha
Wisnu yang dianggap sebagai titisan dewa suci pada zaman itu. Tentu saja, cucu muridnya tidak rela. Maka demi menjaga nama agung sesembahannya Nanang Atmaja bersedia mengalah. Lalu
membungkuk hormat sambil berkata nyaring, "Maafkan... aku lupa bahwa engkau ini sebenarnya seorang ksatria tulen. Maaf-maaf...."
Terang sekali ke mana arah sasaran ucapan Nanang Atmaja. Itulah suatu ejekan luar biasa
terhadap Jajang Kartamanggala. Namun pendekar itu seolah-olah tidak merasa diejek. Di dalam hati, sesungguhnya ia segan bercekcok dengan anak murid Mandalagiri. Sebab akibatnya bisa runyam. Apalagi di tengah suasana yang sedang hangat. Maka begitu melihat Nanang Atmaja
sudah memundurkan diri, segera ia maju menghampiri Andangkara yang sudah berada dalam
keadaan lupa-lupa ingat. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, pendekar Gunung Gilu, Alang-alang Cakrasasmita yang agaknya menjadi
pemimpin persekutuan penggere-began, segera berseru nyaring:
"Kawan-kawan! Sudah datang saatnya kita menyelesaikan tugas suci ini. Basmi semua sisa anggota Himpunan Sangkuriang terkutuk itu. Hancurkan semua gedung dan perumah-an-perumahannya. Rampas semua barang-barangnya."
Mendengar perintah ini, pendekar-pendekar pihak penggerebegan sorak bergunturan. Dengan
aba-aba nyaring, pemimpin pasukannya meneruskan perintah Alang-alang Cakra-sasmita. Dan
seluruh pasukan nampak akan segera bergerak.
44. ILMU SAKTI TUNGGULMANIK
Selamanya, Sangaji selalu beragu dalam mengambil setiap keputusan. Hal ini disebabkan
hatinya terlalu sederhana dan mulia. Terhadap para pendekar yang menggerebeg dataran tinggi Gunung Cibugis, ia tak mempunyai permusuhan langsung. Sebaliknya apabila mereka hendak
membasmi seluruh anggota Himpunan Sangkuriang, hatinya tak rela. Setiap melihat kemungkinan itu, senantiasa berkelebatlah bayangan Ki Tunjungbiru di dalam benaknya. Mengingat betapa kasih sayang orang tua itu terhadapnya, ia seperti mempunyai kewajiban untuk membalas budinya.
Coba seumpama dahulu dia tidak diantarkan ke Pulau Edam untuk menghisap getah sakti pohon Dewadaru serta tidak memperoleh petunjuk-petunjuknya dalam soal semedi, pastilah dia bukan menjadi manusia seperti sekarang.
Pada waktu itu, dari arah Gedung Markas Besar keluarlah beberapa anggota Himpunan
Sangkuriang yang sudah tak bersenjata lagi. Di antara mereka nampak pendekar lnu Kerta-pati, Sidi Mantera dan Kamarudin yang masih kena pengaruh racun asap. Dengan berbareng mereka
menyebut kebesaran Tuhan, "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Tiga kali beruntun, kemudian duduk bersimpuh di belakang pemimpin-pemimpin mereka untuk menerima saat
ajalnya. Hebat pengaruh pengliatan itu terhadap Sangaji. Teringat betapa kejam Edoh
Permanasari serta betapa licik anak-anak murid Gunung Gembol, sirnalah semua keragu-
raguannya. Melihat Jajang Karta-manggala sudah hampir mencapai Andangkara, terus saja ia menyerobot masuk ke dalam gelanggang pertarungan seraya berkata nyaring: "Nanti dulu!
Caramu hendak membuat perhitungan, begitu licik dan memalukan. Apakah engkau tidak
mempunyai kehormatan diri lagi" Mundur!"
Karena didesak gelombang hati, dengan tak sadar Sangaji sudah menggunakan tenaga saktinya penuh-penuh. Karuan saja, suaranya meledak melebihi guntur. Pasukan yang sudah bergerak
hendak melakukan perintah Alang-alang Cakrasasmita, kaget mendengar suara bergemuruh itu sampai mereka terpaku dengan tak disadarinya sendiri. Tak terkecuali semua pendekar-pendekar besar yang memimpinnya.
Sebaliknya, tidaklah demikian halnya Jajang Kartamanggala. Melihat seorang pemuda cilik
mendadak ikut campur menyanggah kehendaknya, tangannya terus menjulur dengan maksud
mendorong Sangaji ke pinggir. Kemudian maju selangkah hendak membinasakan Andangkara. Tak terduga, bahwa pemuda itu sesungguhnya sudah mengantongi kesaktian keris Kyai Tunggulmanik.
Tenaga saktinya luar biasa hebatnya. Dapat dikendalikan sekehendaknya. Untuk melayani semua ilmu aliran sakti di manapun juga, tidak akan mengecewakan. Sebab, guratan yang terdapat pada keris sakti Tunggulmanik adalah puncak kesempurnaan hakekat ilmu manusia yang terdapat di persada bumi ini.
Maka begitu Jajang Kartamanggala bermaksud mendorongnya, justru kena sebaliknya. Tiba-
tiba saja, suatu kekuatan dahsyat berbalik mendorongnya. Jajang Kartamanggala kena diseret arus gelombang tenaga sakti yang dahsyat luar biasa itu. Tahu-tahu tubuhnya terpental di udara dan jatuh ber-jungkir-balik dua tiga kali. Tatkala kaki kanannya mencoba bertahan, masih saja ia kena seret. Maka untuk memunahkan tenaga dorong itu, ia terpaksa berjungkir balik lagi sampai lima kali. Dengan demikian, tiba-tiba saja ia sudah berada di luar garis gelanggang pertarungan.
Mereka yang tidak mengerti apa sebab Jajang Kartamanggala berjungkir balik selagi tangannya tinggal menghantam mampus Andangkara, kaget dan terkejut. Akhirnya mereka mengira, bahwa Jajang Kartamanggala sudah berhasil memukul Andangkara, lalu mundur dengan aksi jungkir balik
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agar memperoleh pujian. Bukankah adiknya tadi juga bermain aksi pula tatkala menggempur
Andangkara dengan lewat udara"
Terkejut dan bergusar adalah Jajang Kartamanggala. Sejenak ia seperti kehilangan diri sendiri.
Kemudian bercelingukan hendak mencari kambing hitamnya. Mendadak melototi Manang Atmaja
pendekar anak murid Mandalagiri. Terus mendamprat, "Hm... kalau memang mau mencoba
pukulan sakti Gumbala Geni, janganlah memukul secara menggelap. Itu bukan ksatria."
Didamprat tanpa perkara, sudah barang tentu Nanang Atmaja berganti melototinya.
"Kau kira apa aku ini sampai main gelap-gelapan segala" Aku telah mengapakan dirimu" Kau sendirilah yang berpura-pura aksi berjungkir balik seolah-olah hendak mengesankan bahwa raja muda Andangkara sudah memukulmu balik. Hm, aksi kampungmu macam begitu apa perlu
kaupamerkan di hadapan kita?"
Jajang Kartamanggala terpaksa berpikir keras. Tadinya ia mengira, Nanang Atmaja membantu Sangaji sewaktu ia bermaksud mendorongnya pergi. Ternyata dia membantah keras. Dan
nampaknya tidak berdusta. Memperoleh kesan demikian, perlahan-lahan ia berputar menghadap Sangaji sambil menuding.
"Anak muda, kau siapa?"
"Aku bernama Sangaji," sahut Sangaji sambil membantu menyalurkan tenaga saktinya ke punggung Andangkara. Suatu tenaga luar biasa kuat menyusup ke tubuh Andangkara pada saat itu juga. Dan begitu tenaga sakti itu menggetarkan jantung serta mengalirkan darah, Andangkara tersadar dengan sekaligus. Ia menyenakkan mata. Tatkala melihat wajah Sangaji, ia jadi terheran-heran.
Sebagai seorang ahli, ia kaget menerima bantuan suatu tenaga luar biasa dahsyat dari seorang anak muda yang belum pernah dikenalnya. Begitu hebat tenaga sakti Sangaji sampai sebelum Jajang Kartamanggala dapat menghampirinya kembali, jalan darahnya sudah lancar seperti
sediakala. Tak peduli belum kenal siapa yang membantunya, ia terus berkata perlahan: "Anak muda terima kasih..." Setelah mengucapkan kata-kata berterima kasih, mendadak ia melompat berdiri dengan gagahnya sambil berkata nyaring: "Hai orang-orang dari Gunung Gembol, apa sih kehebatan pukulan sakti yang kalian agung-agungkan" Pukulan Gumbala Geni" Hm... hayo maju, ingin aku mencoba pukulan sakti yang kalian bangga-banggakan itu."
Melihat Andangkara tiba-tiba saja sudah bisa berdiri kembali dengan gagah perkasa, bukan main kagetnya Jajang Kartamanggala. Hatinya lantas saja mengeluh. Memang sesungguhnya dia jeri terhadap jago tua itu. Dahulu hari, pernah ia merasakan kehebatannya. Maka terpaksalah ia menyahut dengan suara rendah, "Ilmu Gumbala Geni memang dimasyhurkan orang sangat
berlebih-lebihan. Tetapi apabila kau mau mencoba, hayo bukalah dadamu. Aku akan memukulmu tiga kali beruntun dengan janji kau tak boleh menangkis atau membalas menyerang. Dengan
begitu engkau akan merasakan betapa hebat ilmu sakti kami."
Mendengar nama Gumbala Geni, Sangaji mengerenyitkan dahi. Nama ilmu itu pernah ia dengar dari kakek gurunya Kyai Kasan Kesambi. Itulah suatu ilmu yang konon dikabarkan untuk
menaklukkan iblis. Di Jawa Tengah, ilmu tersebut terkenal dengan nama: pukulan iblis atau pukulan gandarwa. Sesungguhnya ilmu pukulan Gumbala Geni bukanlah ilmu pukulan murahan.
Kalau saja pemiliknya mempunyai tenaga sakti yang hebat, tidaklah sembarang orang tahan
menerima pukulan dahsyatnya. Tetapi Andangkara yang gagah perkasa menyahut dengan suara
berkobar-kobar: "Jangan lagi tiga pukulan. Hayo pukullah aku dengan tiga puluh kali. Kalau ada sehelai rambutku yang rontok ke bumi, nyatakan aku sudah kalah denganmu."
Dengan mata menyala ia menatap wajah Jajang Kartamanggala. Kemudian beralih ke pada
Alang-alang Cakrasasmita. Dan berseru nyaring, "Alang-alang Cakrasasmita! Andangkara belum menyatakan kalah. Dengan sendirinya kau tak boleh melanggar perjanjian. Perjanjian kita
berbunyi, kalau Andangkara sudah mati, nah bolehlah kalian bertindak membasmi semuanya.
Sekarang lantaran Andangkara masih kuat berdiri bunuhlah dahulu sampai mati."
Hebat kata-kata Andangkara, sampai Sangaji tergetar pula hatinya. Maka tahulah dia, bahwa terjadinya perang tanding perorangan itu adalah akal Andangkara untuk mengulur waktu. Dengan dipaksa mengikat suatu perjanjian bertanding perorangan, maka berarti pula tidak boleh main keroyokan. Benar di pihaknya telah banyak yang terluka parah atau mati, namun hal itu berarti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memberi kesempatan besar bagi Tatang Sontani dengan rekan-rekannya untuk memulihkan
tenaga saktinya yang tergempur oleh serangan gelap Suryakusumah. Sekarang ia belum mengaku kalah. Maka aba-aba Alang-alang Cakra-sasmita untuk membasmi habis sisa anggota Himpunan Sangkuriang, dengan sendirinya jadi batal. Maka terpaksalah Alang-alang Cakrasasmita memberi isyarat agar menunda dahulu perintah pembasmiannya.
Namun keadaan Andangkara sebenarnya belum pulih benar-benar. Tenaga sakti yang dimiliki
kini semata-mata lantaran diperolehnya dari bantuan Sangaji. Kalau memaksa diri untuk menerima pukulan sakti Gumbala Geni belum tentu dapat bertahan. Hal itu sebenarnya telah diinsyafi pula.
Soalnya dalam hatinya sudah terjadi suatu keputusan hendak gugur demi membela Himpunan
Sangkuriang peninggalan Gusti Ratu Bagus Boang yang dihormati sampai ke dasar hatinya.
Sangaji sudah terlanjur memasuki gelanggang. Maka ia mendekati Andangkara. Berkata
membisiki, "Aki Andangkara, biarlah aku yang mewakili menerima pukulan Gumbala Geni.
"Bilamana aku tak sanggup, nah biarlah Aki maju lagi." Andangkara menoleh dengan terharu.
Mendengar anak muda itu menyebut dirinya dengan Aki1) maka tahulah dia bahwa anak muda itu bukan dari kalangannya. Ia tahu, tenaga sakti anak muda itu hebat. Barangkali lebih hebat daripada dirinya sendiri dalam keadaan segar-bugar. Namun apabila sampai menjadi korban
pukulan sakti Gumbala Geni tanpa dasar perjuangan, bukankah berarti suatu korban sia-sia belaka. Sebagai salah seorang tokoh Himpunan Sangkuriang yang wajib bertanggung jawab atas baik buruknya himpunannya, tak sudi ia membawa orang lain ke kancah masalahnya. Apalagi
sampai menjadi korban. Maka berkatalah ia di dalam hati, mungkin pula anak muda ini dapat menggugurkan ilmu sakti Gumbala Geni. Namun walaupun kepandaiannya tinggi untuk
menghadapi perlawanan secara bergiliran, akhirnya ia akan terluka lantaran lelah. Kalau sampai 1). Kakek.
tewas hm... sungguh sayang nampaknya dia seorang pemuda yang gagah perkasa serta luhur
budi. Setelah memperoleh pertimbangan demikian, dengan perlahan ia berkata kepada Sangaji,
"Anak muda, kau sebenarnya murid siapa" Rupanya engkau bukan anggota Himpunan
Sangkuriang. Kalau sampai terjadi sesuatu atas dirimu, betapa aku harus bertanggung jawab terhadap gurumu?"
"Memang aku bukan anggota Himpunan Sangkuriang," sahutnya. "Tetapi pernah aku menerima jasa-jasa baiknya. Kemudian aku menerima undangan agar datang. Dalam sakuku ada sebuah
logam undangan. Kalau aku kini diberi kesempatan melawan musuh berdampingan dengan Aki,
alangkah besar rasa hatiku."
Mendengar keterangan Sangaji, Andangkara terhenyak keheranan. Sebagai seorang panglima
Himpunan Sangkuriang berpanji-panji Garuda Sakti dimana Suhanda termasuk salah seorang
bawahannya, sudah barang tentu ia mengerti tentang undangan itu. Maka suatu pertanyaan
bertumpuk-tumpuk merumpun dalam otaknya. Tatkala hendak membuka mulut. Jajang
Kartamanggala sudah nampak memasuki gelanggang sambil berseru, "Hai
Andangkara! Majulah! Kau bilang mau menerima tiga pukulanku."
Sebelum Andangkara menyahut, Sangaji sudah mendahului, "Raja muda Andangkara bilang kau tak pantas melawan dia. Terlebih dahulu lawanlah aku! Kalau aku kalah, baru boleh bergebrak dengan dia."
Mendengar ucapan Sangaji, Jajang Kartamanggala merasa terhina. Membentak dengan gusar,
"Bangsat cilik! Kau manusia macam apa sampai berani menerima tiga pukulan sakti Gumbala Geni?"
Didamprat demikian, timbullah suatu pikiran dalam hati Sangaji. "Benar! Aku seorang diri.
Betapa mungkin aku sanggup mengalahkan mereka seorang demi seorang. Satu-satunya jalan aku harus menghancurkan inti ilmu kebanggaan masing-masing perguruan mereka."
Seperti diketahui, ilmu warisan keris Kyai Tunggulmanik merupakan puncak inti hakekat semua ilmu sakti di seluruh jagat raya. Meskipun Sangaji belum pernah mengenal macam ilmu sakti Gumbala Geni, namun ia pernah menerima penjelasan-penjelasan dari kakek gurunya Kyai
Kesambi. Dengan sendirinya ia tak menemui kesulitan lagi untuk memecahkan. Maka dengan
suara pasti ia berkata, "Ilmu sakti Gumbala Geni memang hebat. Semua orang gagah di seluruh Nusantara mengagumi. Bukankah ilmu sakti tersebut berasal dari Warok Suramenggala pada
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
zaman Majapahit"2) tetapi kalau kau mengira, ilmu Gumbal Geni merupakan ilmu pukulan tersak-ti di atas dunia ini adalah salah."
Mendengar ucapan Sangaji bergaya seorang guru, Jajang Kartamanggala mendongkol bukan
main. Katanya, "Kau bangsat cilik ini tahu apa tentang hebatnya ilmu Gumbala Geni" Apakah kau ini penjelmaan malaikat?"
Direndahkan demikian, Sangaji tetap bersikap tenang. Sebaliknya semua yang mendengar
tangkisan Jajang Kartamanggala tertawa bergemuruh. Terdengar suara nyeletuk, "Hai bangsat cilik! Kau sebenarnya murid siapa sampai berani ngoceh tak keruan?"
"Bocah ingusan itu barangkali tak waras. Buat apa mendengarkan pidato orang tak waras?"
seru lainnya. Dan kembali lagi mereka tertawa bergemuruh. Dan mendengar suara tertawa bergemuruh yang
bernada mengejek itu yang paling resah adalah Manik Angkeran. Tetapi melihat Sangaji tetap tenang-tenang saja, hatinya agak sedikit terhibur.
2). Pada tahun berapa hidup Warok Suramenggala tidak dapat dipastikan. Diperkirakan pada zaman Majapahit
Tiba-tiba Sangaji berkata lantang, "Tuan-tuan! Untuk apa Tuan-tuan sekalian saling
bermusuhan dan saling bunuh membunuh" Bukankah Tuan-tuan sekalian sedarah dan sebangsa"
Coba aku ingin berbicara dengan ketua persekutuan penggerebegan."
Kata-kata Sangaji itu diucapkan dengan nyaring dan terang walaupun di tengah gemuruh
tertawa riuh rendah. Dan hebatnya, tiap orang dapat menangkap setiap patah kata-katanya
dengan jelas. Keruan saja jago-jago tujuh aliran yang mendaki dataran tinggi Gunung Cibugis terkesiap semua. Diam-diam mereka membatin, "Bocah ini masih muda belia, apa sebab ilmu saktinya begini dahsyat?"
Dalam pada itu muncullah seorang laki-laki berberewok bersenjata sebuah tongkat besar.
Dialah Andi Apenda salah seorang murid perguruan Gunung Kencana. Dengan mengulum senyum
dia berkata, "Kau ini sebenarnya setan dari mana sampai berteriak-teriak tak keruan juntrungnya?"
"Apakah Tuan yang menjadi ketua persekutuan?" Sangaji menegas.
"Hm, untuk meladeni orang gendeng seperti kau, masakan perlu ketua kami segala?" sahut Andi Apenda cepat.
"Apakah kau sendiri Ketua Himpunan Sangkuriang" Bih, bih! Kalau benar engkau Ketua
Himpunan Sangkuriang, aku sendiri menganggap dirimu tak lebih dan tak kurang adalah anak seorang janda. Anak seorang janda ru-din. Daripada kau berteriak-teriak tak keruan juntrungnya, lekaslah pulang! Siapa tahu, selagi kau gembar-gembor di sini, ibumu dikawini orang!"
Sebenarnya ejekan Andi Apenda adalah sekenanya saja. Tak tahu, bahwa ejekannya itu justru tepat mengenai sasaran yang paling menyakitkan hati.
Sangaji adalah anak seorang janda yang miskin. Terhadap ibunya, Sangaji menghormati dan
menjunjung tinggi melebihi jiwanya sendiri. Sekarang ia mendengar ibunya dihina seolah-olah tak lebih daripada seorang janda pasaran. Keruan saja suatu gumpalan perasaan meledak dalam
dadanya. Pemuda yang biasanya sangat sabar melebihi seorang pendeta itu, tiba-tiba saja tak sanggup lagi menguasai luapan perasaannya. Meskipun semenjak tadi, ia selalu menyadarkan diri sendiri, bahwa tujuannya yang pokok ialah berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan kedua pihak agar di kemudian hari merupakan suatu himpunan perjuangan rakyat seluruh Jawa Barat.
Ternyata kini ia seperti lupa daratan. Sekali melompat tangannya menjangkau tubuh Andi
Apenda. Dengan kegesitan yang sukar dilukiskan, ia mencengkeram punggung Andi Apenda dan diangkatnya ke atas. Kemudian tangan kanannya merampas tongkat besi Andi Apenda dengan
sekali hentak. Kena diterkam Sangaji yang memiliki tenaga dahsyat, Andi Apenda mati kutu dengan tiba-tiba.
Tenaganya sirna dan lumpuh sekaligus. Ia tak ubah seekor anak ayam kena cengkeram seekor elang. Melihat berkelebat-nya tangan kanan Sangaji hendak mengemplang kepalanya dengan
senjata tongkat besinya yang berat dan gede, terus saja ia menutup matanya rapat-rapat.
Tetapi kalau nasib masih baik, sekonyong-konyong melompatlah dua orang rekannya ke
gelanggang. Sukra dan Kusna, namanya. Mereka berdua adalah kakak seperguruannya. Dengan
bersenjata tongkat besi raksasa pula, mereka langsung merangsang dan berbareng mengemplang tubuh Sangaji. Hebat dan berbahaya benar cara mereka berdua menyerang. Yang satu dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
samping mengarah kepala. Lainnya membabat kaki mengarah pinggang. Tujuan serangan
demikian ialah agar Sangaji melepaskan Andi Apenda dari cengkeramannya. Apabila masih
membandel, ia tak akan mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak.
Tetapi sambil menjinjing Andi Apenda di tangan kiri dan tangan kanan tetap menggenggam
tongkat besi raksasa, tiba-tiba Sangaji menggenjot kedua kakinya dan terus meletik ke udara.
Kedua penyerangnya sama sekali tak menduga dia bisa lolos dengan terbang ke atas. Keruan saja mereka bertubrukan. Untung sekali senjata mereka masing-masing tidak mengemplang kepala
mereka. Di bawah pekik kaget para pendekar, Sangaji membawa Andi Apenda mengapung di udara.
Dengan sedikit berputaran ia turun ke bumi enteng sekali. Pendekar Sindung Riwut pemimpin penyerbuan dari perguruan Gunung Gembol tiba-tiba berteriak. "Hai. Bukankah itu ilmu meletik ke udara ajaran Gunung Damar?"
Sudahlah menjadi suatu kelaziman, bahwa tiap-tiap perguruan mengenal corak serta macam
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ajaran perguruan lainnya. Pelajaran itu termasuk pengetahuan umum. Tujuan pokok pengetahuan umum itu, agar bisa berjaga-jaga dalam membawa diri.
Memang apa yang diperlihatkan Sangaji tadi ialah ilmu meletik ke udara ajaran Kyai Kasan Kesambi yang dipelajarinya lewat gurunya, Wirapati. Karena seringnya ia menekuni ilmu itu, dalam keadaan terjepit mendadak saja tanpa berpikir lagi terus menggunakan ilmu meletik untuk menghindari serangan gencetan yang sangat berbahaya.
Loncatan meletik ke udara, sebenarnya dapat dilakukan oleh beberapa pendekar lainnya.
Seperti Kusuma Winata dengan sekalian adik seperguruannya atau Edoh Permanasari serta
beberapa murid pilihannya. Tetapi kalau sebelah tangan menjinjing tubuh segede Andi Apenda berbareng membawa sebuah tongkat raksasa terbuat dari besi dan kegesitan corak loncatannya harus sama ringannya dengan membawa dirinya seorang, itulah sesuatu hal yang tak dapat
mereka lakukan. Para pendekar golongan Gunung Kencana mati kutu melihat Andi Apenda jatuh di dalam
cengkeraman Sangaji. Mereka berada pada jarak sepuluh meteran. Untuk berusaha menolong
menyelamatkan rekannya itu, tidak mungkin lagi. Sebab sekali Sangaji mengemplang kepala Andi Apenda dengan tongkat besi yang dirampasnya, dia akan mampus dengan kepala pecah sumyur.
Siapakah di dunia ini yang sanggup bergerak melebihi kecepatan ayunan tangan yang tinggal turun saja. Maka mereka hanya berdiri tegak dengan doa panjang pendek.
Pendekar-pendekar yang datang meluruk ke dataran tinggi Gunung Cibugis adalah pendekar-
pendekar kelas satu. Seperti, Kusuma Winata, Panjang Mas dari Gunung Kencana, Ratu Kenaka dari Gunung Aseupan. Begog dan Sianyer dari Muarabinuangeun, Alang-alang Cakrasasmita dari Gunung Gilu dan Sindung Riwut pendekar sakti dari Gunung Gembol. Namun menghadapi Sangaji mereka tak berdaya sama sekali. Sebab gerakan Sangaji meletik ke udara terjadi dengan tiba-tiba.
Seumpama dapat menebak pastilah mereka akan menghujani senjata sebelumnya, untuk
menolong Andi Apenda. Pada saat" itu Sangaji sedang menerkam tongkat besi raksasa erat-erat. Pandangnya penuh rasa benci serta gemas. Perlahan-lahan ia mengangkat tongkat besinya dan tinggal menurunkan deras. Dan kepala Andi Apenda akan remuk berantakan. Melihat adegan ngeri itu, banyak kawan-kawannya yang menutup mata. Tetapi kakak-kakak seperguruannya bersiaga untuk segera
mengkerubut membalaskan dendam.
Tak terduga, bahwa tangan Sangaji yang sudah mengangkat tongkat besi itu tidak juga segera mengemplangkan. Air mukanya berubah-ubah. Terang sekali di dalam hati pemuda itu sedang
bergumul suatu derum hati yang saling mengendapkan. Dan tiba-tiba ia menurunkan tongkat
besinya, kemudian meletakkan tubuh Andi Apenda perlahan-lahan ke tanah, la menarik napas panjang.
Sesungguhnya dalam sekejap itu, timbullah suatu perjuangan seru dalam hati Sangaji. Teringat betapa tajam penghinaan Andi Apenda kepadanya ingin ia mengemplangnya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya. Tetapi tiba-tiba timbullah suatu pikiran lain entah dari mana asalnya. Begini bunyinya, kalau aku membinasakan salah seorang di antara ketujuh aliran sakti yang mendaki dataran ketinggian Gunung Cibugis, bukankah aku lantas menjadi musuh ketujuh golongan besar ini" Dan sekali bermusuhan selamanya aku takkan mendapat kepercayaan mereka untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mempersatukan. Dengan begitu aku akan gagal, semata-mata karena menuruti luapan rasa hatiku sendiri. Aku harus berani menahan hati. Tak peduli betapa mereka menghina aku.
Darimanakah asal datangnya suara hati itu" Dasar hati Sangaji adalah jujur, sederhana dan mulia. Pada saat itu ia menghadapi suatu masalah yang maha besar dan luar biasa sulitnya.
Sehingga secara wajar, banyak ia menggunakan pertimbangan-pertimbangan rasa. Dan karena itu banyak menggunakan getaran rasa, secara naluriah tergetarlah darahnya. Seketika itu juga terjadilah suatu gelombang dahsyat dalam diri Sangaji.
Seperti diketahui dalam diri Sangaji mengalirlah ilmu sakti manunggalnya getah sakti
Dewadaru, madu Tunjungbiru, ilmu sakti Kumayan Jati, ilmu Kyai Kasan Kesambi dengan guratan keris sakti Kyai Tunggulmanik warisan ilmu sakti pada zaman 4900 tahun yang lalu. Ilmu sakti tersebut secara otomatis akan bekerja apabila kena sentuh dari luar. Tapi sekarang sama sekali tiada persentuhan dari luar. Yang ada hanya getaran rasa. Maka dalam sekejap itu terjadilah suatu perkembangan baru di dalam diri Sangaji di luar pengamatan manusia.
Sekonyong-konyong dunia pikiran Sangaji seperti terbuka dengan tak disadarinya sendiri.
Pikirannya lantas menjadi tajam luar biasa. Maka benarlah konon yang dikabarkan dalam kisah sejarah bahwa pusaka sakti di kemudian hari menjanjikan kepada pemiliknya akan menjadi
manusia yang berotak cerdas. Tapi dasar watak Sangaji sederhana, berhati polos serta mulia, maka perubahan itu tidak nampak dari luar. la tetap seperti sediakala, sebagai seorang pemuda yang tak pandai berbicara dan berhati beku.
Demikianlah setelah Sangaji memperoleh bentuk pikirannya secara tak disadarinya sendiri, ia segera membebaskan Andi Apenda. Katanya kemudian dengan tenang, "Aku memang anak
seorang janda. Seorang janda yang terpaksa hidup berlarat-larat sampai di Jakarta. Lantaran ditinggal suaminya gugur dalam suatu pertarungan. Apakah buruknya anak seorang janda"
Apakah menurut penda-patmu, ibuku tak berhak lagi hidup tenteram sebagai manusia lainnya"
Karena kebetulan sudah menjadi janda?"
Andi Apenda tertegun-tegun, la telah lolos dari suatu maut secara ajaib. Keduanya sama sekali tak pernah menduga bahwa ejekannya merupakan suatu hal yang sangat menusuk hati Sangaji, karena kebetulan pemuda itu anak seorang janda pula. Maka tatkala Sangaji mengangsurkan
tongkat besinya, dengan menundukkan kepala dia menerima senjatanya kembali dengan tersipu-sipu.
Setelah Andi Apenda keluar gelanggang perhatian penonton beralih kembali kepada Jajang
Kartamanggala. Pendekar ini diam-diam menjadi kecil hati, menyaksikan kepandaian Sangaji yang berada di luar kemampuannya sendiri. Seumpama tidak di depan mata para pendekar di seluruh Jawa Barat, sudah sedari tadi dia menyelinap keluar gelanggang dengan diam-diam. Apa boleh buat sekarang sudah ke-pepet. Maka teriaknya nyaring, "Hai anak muda! Kau tadi ingin berbicara dengan ketua kami. Sebenarnya siapakah yang mendalangi engkau" Bilanglah yang terang,
barangkali aku masih bisa mengampuni."
"Aku datang ke mari atas namaku sendiri. Meskipun aku dibesarkan di Jakarta, tetapi aku berasal dari Jawa Tengah. Sekarang aku melihat dan menyaksikan betapa para pendekar Jawa Barat saling bertengkar dan bunuh membunuh. Menuruti kata hatinya, aku memberanikan diri untuk tampil ke muka agar kalian bersatu padu."
"Hm, aku kau suruh berdamai dengan pihak Himpunan Sangkuriang" Itu tidak mudah. Bangsat tua Andangkara masih berutang tiga kali pukulan sakti Gumbala Geni. Suruhlah dia membayar utangnya dahulu! Dan nanti baru kita berbicara." Setelah berkata demikian ia menggulung lengan bajunya.
"Rupanya engkau paling senang membicarakan ilmu sakti Gumbala Geni. Baiklah memang
hebat ilmu sakti tersebut. Tetapi sayangnya, engkau tidak sedahsyat pemiliknya dahulu. Apa yang kau capai belum lagi jatuh separahnya," kata Sangaji sambil tersenyum.
"Kau bilang apa?" bentak Jajang Kartamanggala.
"Aku bilang, engkau belum mencapai separahnya. Itu malah kebetulan. Sebab kalau engkau berani maju satu tingkat lagi, jiwamu akan terancam suatu kematian runyam."
"Darimana kau tahu?" Jajang Kartamanggala penasaran.
"Sebab tenaga dasarmu belum kuat. Seumpama sebuah balon kau akan meledak apabila
menambah satu tiupan lagi," sahut Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar ceramah Sangaji, wajah Jajang Kartamanggala berubah hebat. Ia melihat pemuda
itu berkata dengan setulus-tulusnya. Tidak mungkin berdusta. Teringat betapa dahsyat tenaga sakti pemuda itu, ia akan dapat membuktikan manakala diajaknya bertanding mengadu kekuatan.
Sebaliknya anak Gunung Gembol angkatan muda yang masih berdarah panas, mendongkol
mendengar ujar Sangaji. Terus saja mereka memaki-maki kalang kabut. Di luar dugaan Jajang Kartamanggala maju selangkah sambil berkata menegas.
"Kau bilang, aku bisa mati runyam manakala aku mencapai satu tingkat lagi. Agaknya
keteranganmu masuk akal pula. Tapi masakan ilmu pukulanku tiada gunanya?"
Sangaji menggeleng kepala sambil menjawab, "Tenaga sakti Gumbala Geni yang kau-miliki sekarang memang dapat menggertak kurcaci-kurcaci. Tetapi berhadapan dengan seorang seperti raja muda Andangkara, sama sekali tiada guna. Malahan engkau bisa berada dalam bahaya."
"Bahaya bagaimana?"
"Sebab bilamana lawanmu seorang yang memiliki tenaga sakti melebihi dirimu, maka
pukulanmu akan terpental berbalik memukulmu," sahut Sangaji dengan sungguh-sungguh.
Tetapi berbareng dengan itu, berkelebatlah sesosok bayangan yang terus memukul punggung
Sangaji sambil membentak, "Coba rasakan, kau bisa hidup tidak?"
Cepat sekali gerakan penyerang itu, sampai semua orang terkesiap. Dan dia adalah Aceng
Suwirya kakak seperguruan Jajang Kartamanggala. Betapa hebat pukulannya tidak usah
diragukan. Tenaga saktinya setingkat lebih tinggi daripada Jajang Kartamanggala. Maka dapat dibayangkan akibat pukulannya. Apalagi mengenai punggung dengan telak.
Siapa saja akan terjungkal melontakkan darah. Dan jiwanya takkan tertolong lagi, walaupun umpamanya ada malaikat turun dari langit.
Gerakannya yang cepat itu, bagi Sangaji mudah untuk mengelakkan. Tetapi Sangaji sudah
memutuskan hendak menaklukkan pendekar-pendekar penyerbu dengan berbareng, agar dapat
dihindari pertarungan secara bergiliran. Maka ia sengaja menerima pukulan Gumbala Geni tanpa mengelak sedikitpun jua.
Tatkala itu terdengarlah suara langkah tertatih-tatih sambil mendamprat.
"Bagus ya! Kau sampai memukul dengan cara menggelap. Macam ksatria apa?"
Dialah Manik Angkeran. Kesehatannya belum pulih kembali. Tetapi berkat pertolongan tenaga sakti Sangaji serta pengetahuannya sendiri tentang rahasia ilmu pertabiban, ia sudah sanggup bergerak. Kalau perlu masih bisa dia berkelahi meskipun untuk selintasan. Namun melawan Aceng Suwirya sudah barang tentu dia bukan merupakan lawan yang berarti, sekalipun andaikata dalam keadaan segar bugarpun. Maka baru ia mengangkat tangan, ia sudah kena terpentalkan ke
samping. Dan sekali lagi Aceng Suwirya menggebuk punggung Sangaji dengan tepat sampai dua kali berturut-turut.
Dipukul demikian, Sangaji seperti kebal dari segala, la pun tidak mengadakan suatu pembelaan untuk memukul balik penyerangannya. Bahkan ia lantas berkata kepada Manik Angkeran dengan tersenyum.
"Tak usahlah engkau khawatir. Pukulan Gumbala Geni dengan tenaga semacam ini, sedikitnya tiada gunanya."
Mendengar keterangan Sangaji, barulah Manik Angkeran bernapas lega. Dengan wajah
menyatakan rasa kagum dan penuh pengertian, ia menyahut: "Ah, ya, bukankah engkau cucu murid Kyai Kasan Kesambi..." sampai di sini ia cepat-cepat menutup mulutnya. Kemudian dengan terpincang-pincang ia kembali ke tempatnya semula.
Menyaksikan adegan serta mendengar keterangan Sangaji, jago dari Gunung Gembol itu seperti bermimpi di siang hari. Heran ia mengamat-amati wajah Sangaji yang menentangnya dengan
tenang-tenang. Setelah beberapa saat baru ia membuka mulut, "Apakah perguruan Kyai Kasan yang termasyhur pula sampai di Jawa Barat, mengajarkan ilmu kebal ini?"
Dengan sedikit mengangguk, Sangaji menjawab: "Aku memang cucu murid Kyai Kasan
Kesambi. Tetapi kalau dibandingkan dengan kesaktian kakek guruku bagaikan bumi dan langit..."
Sebagai anak-murid yang mendalami ilmu sakti Gumbala Geni, ia percaya tentang ilmu kebal Warok Suramenggala yang hidup pada zaman Majapahit3) dahulu terkenal akan kekebalannya.
Dan pendekar sakti itulah yang mewariskan ilmu pukulan sakti Gumbala Geni. Dahulu Warok
Suramenggala pernah bertempur tiga hari tiga malam melawan Warok Cadarma. Karena mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdua sangat kebal dan bertenaga sakti seimbang, maka hampir saja tidak dapat memutuskan siapakah yang lebih unggul. Akhirnya hanya karena kelalaian sedikit saja, Warok Cadarma kena digempur sampai tewas. Ialah pada bagian mulutnya sewaktu diajak berbicara.
Memang selagi mengadu kekuatan sakti, berbicara merupakan pantangan besar. Kini, ia melihat Sangaji sedang berbicara. Tak sudi ia menyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu. Dengan
menggerung ia melompat dan menggempur tubuh Sangaji dengan seluruh kekuatannya. Tetapi
sekali lagi tertegun keheran-heranan. Sangaji ternyata tak bergeming. Bahkan pemuda itu lantas tertawa sambil berkata, Tadi sudah kukatakan manakala kalian sudah
3) Tahun hidupnya belum pasti.
memiliki tenaga sakti tinggi kalian dapat bertempur sambil berbicara. Dan sekali
menggempurkan tenaga sakti pukulan Gumbala Geni, maka dahsyatnya tak dapat dilukiskan. Tapi apa yang kalian miliki sekarang tidak berarti. Kau tak percaya" Nah, pukullah sekali lagi. Sepuluh dua puluh kali, boleh juga. Silakan!"
Benar juga. Aceng Suwirya yang penasaran terus menggebuki Sangaji dengan pukulan dahsyat lebih dari sepuluh kali. Tidak hanya menghantam punggung saja, tetapi juga kepala, mulut, perut dan pinggang. Namun Sangaji-tidak bergeming sama sekali.
Kini tidak hanya Aceng Suwirya dan Jajang Kartamanggala yang terheran-heran tetapi para
pendekar kedua belah pihak jadi gempar. Mereka semua tahu betapa dahsyat pukulan ilmu sakti Gumbala Geni seumpama sebuah bukitpun bisa runtuh berguguran. Walaupun kabar itu terlalu dilebih-lebihkan, namun betapa berbahaya ilmu sakti tersebut di tangan para pendekar kelas satu tidak dapat dibantah lagi.
Anak murid Mandalagiri yang masih mendongkol terhadap kelicikan pendekar-pendekar Gunung Gembol, terus saja mengejek.
"Kabarnya pukulan Gumbala Geni dapat menggugurkan gunung. Tak tahunya cuma bisa
menggugurkan semangatnya sendiri. Ai... ai... sungguh hebat!"
Yang lain berkata lagi, "Pantas pendekar yang berilmu Gumbala Geni hanya berani berhadapan dengan lawan yang sudah luka parah. Sungguh seorang ksatria jempolan!"
Mendengar bunyi ejekan itu, muka Jajang Kartamanggala merah padam. Meskipun tidak
langsung menyebut namanya, namun dia merasa sendiri. Seketika itu juga meledaklah
amarahnya. Sekali maju selangkah, ia menghantam dada Sangaji. Bres! Kakak seperguruannya membarengi pula memukul dari belakang. Dengan begitu, Sangaji kena gencet. Orang-orang
terkesiap. Mereka berpikir, kalau tidak tewas, pada saat itu juga, pastilah tulang-belulangnya akan remuk.
Tetapi sekali lagi, Sangaji menunjukkan kelebihannya. Getah sakti Dewadaru yang mengalir dalam tubuhnya lantas saja bekerja. Kedua tangan lawannya kena dihisap.
Aceng Suwirya dan Jajang Kartamanggala kaget setengah mati. Buru-buru mereka hendak
menarik tangannya, namun sudah kasep. Tangannya terlengket. Untung Sangaji tiada berniat jahat, la bahkan mengirimkan tenaga saktinya, sehingga badan kedua anak murid
Gunung Gembol malahan terasa menjadi nyaman sekali.
"Beginilah baru benar," kata Sangaji dengan berbisik. "Jalan darah kalian sudah tertembus. Di kemudian hari, kalian akan dapat mencapai tingkatan ilmu sakti Gumbala Geni lebih tinggi lagi.
Sekarang biarlah kubuktikan, manakala musuh kalian bermaksud mementalkan kalian. Awas!"
Setelah berkata demikian, kedua tubuh anak murid Gunung Gembol tiba-tiba saja terpental ke udara. Dan dengan berjungkir-balik mereka turun ke tanah. Ajaibnya begitu kepalanya menukik nyaris terbentur tanah, sekonyong-konyong membalik dengan cepat. Berbareng dengan gerakan itu, mereka sudah berdiri tegak di atas tanah dengan tak kurang suatu apa.
Betapa garang mereka tapi kena diperlakukan demikian, sirnalah rasa permusuhannya. Seperti berjanji mereka membungkuk hormat dan berjalan keluar gelanggang dengan muka pucat lesi.
Itulah untuk yang pertama kalinya, mereka merasa takluk benar: benar terhadap seorang lawan.
Sangaji lalu memanggil Manik Angkeran. Berkata, "Paman! Sekarang aku membutuhkan
tenagamu." "Mengapa paman?" Manik Angkeran menegas dengan pandang heran.
Sangaji terdiam sejenak. Sekilas berkelebat-lah bayangan Fatimah di depan matanya. Tapi pada waktu itu juga, teringatlah dia betapa Manik Angkeran gusar tatkala anak-anak murid Tatang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggala menyebut nama Fatimah di depan pertapaan tabib sakti Maulana Ibrahim. Hampir ia berkata, "Fatimah tunanganmu adalah adik guruku Wirapati. Dengan sendirinya aku harus menyebutmu dengan paman..." Tapi kemudian berlatih cepat. "Eh... Maksudku adik. Maaf."
Manik Angkeran memandangnya dengan mata penuh selidik. Maka cepat-cepat Sangaji
membelokkan perhatian. "Kau tolonglah anak murid Gunung Gembol. Dengan begitu, kau akan dapat menolong kelangsungan hidup Himpunan Sangkuriang."
Manik Angkeran mengalihkan pandang kepada Kartasasmita yang masih saja belum dapat
berkutik di dekat Andangkara. Sebagai seorang tabib yang merasa diri mampu untuk menolong menyembuhkan, sudah sedari tadi ia ingin bekerja. Sekarang di depan ratusan orang, ia mendapat kesempatan untuk memperlihatkan sedikit kecepatannya. Sudah barang tentu, ia merasa diri memperoleh kehorrsan besar. Terus saja, ia menyingsingkan lengan dan kemudian menyambung tulang-tulang Kartasasmita dengan cekatan. Setelah itu ia minta beberapa obat sambung tulang dari para pendekar yang sudi memberi bantuan. Dengan begitu, pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan cepat.
"Maksud Saudara memang bagus," tiba-tiba terdengar seorang berkata. "Tetapi janganlah mengharap, bahwa dengan jasa-jasa baikmu lantas kami merasa berkewajiban memenuhi
permintaanmu agar mengampuni bangsat-bangsat Himpunan Sangkuriang. Mana bisa begitu"
Kalau kau menjadi kecewa atas pernyataanku ini, nah patahkan sekali lagi tulang-tulang muridku itu. Aku gurunya, Sindung Riwut namaku."
Mendengar nama Sindung Riwut, gemparlah para pendekar kedua belah pihak. Ya, siapakah
yang tak kenal nama yang menakutkan itu. Ia berperawakan pendek tipis dengan rambut putih terurai panjang. Pandangan matanya menyala. Hidungnya bengkok seperti burung betet. Giginya belingsatan sehingga lebih menyerupai kumpulan taring. Dengan begitu muka berkesan kejam serta bengis.
"Hai, anak muda! Siapa namamu?" bentaknya. "Asal dari mana sampai berani memberi ceramah perkara Gumbala Geni segala...."
"Anak muda, hati-hati!" Andangkara memperingatkan. Sebagai seorang pemuda yang sudah memiliki puncak semua tenaga sakti serta puncak ilmu sakti di jagat ini, sudah barang tentu ia mengetahui tinggi rendahnya tenaga sakti lawan dengan otomatis. Namun melihat majunya
Sindung Riwut ia masih nampak acuh tak acuh saja. Katanya tenang, "Namaku Sangaji anak seorang janda miskin. Mengapa?"
"Kau mengoceh perkara Gumbala Geni. Apakah kau sudah mengenal kehebatan ilmu sakti
tersebut?" "Ilmu sakti di seluruh dunia ini, bukanlah bersumber satu" Kalau saja pukulan Gumbala Geni dilakukan seseorang yang sudah memiliki tenaga penuh, siang-siang aku akan lari menjauhi.
Lihat!" Terhadap seorang yang berusia tua selamanya Sangaji menaruh hormat kepadanya. Tak peduli dia berada di pihak mana. Dan kembalilah sifatnya yang asli. Ialah tak senang banyak berbicara.
Maka segera mengalihkan pandang ke arah sebatang pohon sebesar sepelukan orang. Setelah
semua penonton memutar kepalanya, ia terus menghantam dari tempatnya.
Sangaji sudah mahir dalam ilmu sakti Kumayanjati. Karena tenaga saktinya melebihi tenaga sakti Gagak Seta, maka dahsyatnya jauh melebihi, la tahu, bahwa inti pukulan Gumbala Geni ialah merupakan urat nadi berbareng tulang belulangnya. Hal itu baru diketahui setelah seminggu kemudian. Ini terlalu lama dan bukan maksudnya untuk memamerkan tenaga saktinya. Tujuannya yang pokok ialah hendak menggertak. Maka ia menggunakan ilmu sakti Kumayanjati yang keras dan lembek dengan berbareng. Tak mengherankan bahwa pada saat itu juga, terdengarlah suara gemeretak.
Dahan sekalian ranting dan mahkota daunnya, terbang berhamburan. Yang tinggal hanya
batang pohonnya tak ubah sebatang pohon kelapa kena tersambar geledek.
Menyaksikan pukulan sedahsyat itu, semua pendekar kagum. Hati mereka tercekat. Pikir
mereka, ia memukul dari jarak jauh. Sekalipun demikian akibatnya begitu hebat. Apalagi kalau memukul langsung, barangkali pohon itu tumbang berkeping-keping....
Tetapi Sindung Riwut terdengar tertawa berkakakan. Katanya, "Itu kan bukan ilmu sakti Gumbala Geni. Mana dapat kauingusi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi sebentar kemudian terdengarlah suara beberapa orang menyatakan kagum luar biasa.
Ternyata pohon itu tidak hanya patah berantakan, tetapipun urat-uratnya hangus remuk. Apalagi kalau bukan akibat getaran pukulan ilmu sakti Gumbala Geni"
Sebentar mereka heran ternganga-nganga, kemudian menyusullah sorak-sorai gemuruh sampai
lama sekali. "Guru!" seru Jajang Kartamanggala. "Memang benar. Inilah Gumbala Geni."
"Kau tahu apa?" bentuk Sindung Riwut. Kemudian beralih kepada Sangaji. "Anak muda, kau memang hebat! Tapi untung mataku belum lamur."
Mendengar ujar Sindung Riwut, diam-diam Sangaji kagum padanya. Pikirnya dalam hati:
"Orang tua ini memang hebat. Ilmu Gumbala Geni berpokok pada pukulan keras dan lembek berbareng. Akupun tadi menggunakan ilmu Kumayanjati keras dan lembek dengan berbareng
pula. Namun masih bisa dia membedakan."
"Kau tadi bisa mengoceh perkara Gumbala Geni. Coba terka, apa ini!" bentak Sindung Riwut dengan suara mengguntur.
Belum lagi Sangaji menentukan sikap, Sindung Riwut sudah melompat mencengkeram kepala.
Melihat gerakan tangannya,
Andangkara yang berada tak jauh dari Sangaji segera memberi peringatan lagi.
"Awas! Itulah Gumbala Geni. Jangan berkhayal dahulu!"
Bukan main dahsyat serangan itu. Maklumlah, Sindung Riwut bukan seperti Aceng Suwirya atau Jajang Kartamanggala. Dialah gurunya yang sudah menyelami inti ilmu sakti Gumbala Geni
semenjak belasan tahun yang lalu. Tenaga saktinya hampir sejajar dengan ketujuh tokoh sakti di Jawa Tengah. Karena itu, serangannya menerbitkan kesiur angin bergulungan serta berhawa
panas. Tetapi dengan sedikit mengelakkan diri, Sangaji luput dari serangannya. Para pendekar yang menumpahkan seluruh perhatiannya semenjak Sangaji memperlihatkan sedikit
kepandaiannya, tidak dapat menangkap gerakan Sangaji yang cepat dan ajaib. Mereka hanya
melihat gerakan Sangaji yang enteng luar biasa dan tahu-tahu pemuda itu sudah berada di luar bidang serangan lawan.
Akan tetapi Sindung Riwut adalah satu di antara ke tujuh jago kelas utama di Jawa Barat. Ilmu sakti Gumbala Geni yang ditekuninya semenjak masa mudanya, sudah mencapai tingkat
kesempurnaan. Sangaji sendiri tadi mengakui, bahwa apabila seseorang sudah
Dihadapan Sindung Riwut dan yang lainnya, Sangaji menggunakan ilmu sakti Kuma-yan Jati
yang keras dan lembek berbareng ke arah sebatang pohon. Terdengarlah suara gemeretak.
mencapai tingkat kesempurnaan, ia sendiri akan lari jauh-jauh sebelum kena pukulan ilmu sakti Gumbala Geni yang memang hebatnya tiada taranya. Itulah sebabnya pula, ia tak berani
menyongsong serangan Sindung Riwut. Maka begitu serangannya kena dielakkan, Sindung Riwut terus menyusulkan serangannya yang kedua. Kali ini lebih cepat dan lebih hebat.
Tetapi sekali lagi, Sangaji dapat mengelakkan serangan itu dengan enteng di luar pengamatan mata. Tak terduga, mendadak Sindung Riwut telah mencegat dengan serangannya yang ketiga, keempat dan kelima yang dilontarkan secara berturut-turut. Begitu cepat serangannya itu, sehingga tubuh Sindung Riwut berkelebatan tak ubah raksasa meng-gunturi pintu kahyangan para dewa.
Kali ini, Sangaji benar-benar repot. Ia tak dapat main mengelak lagi. Dalam kegugupannya, tiba-tiba baju lengannya kena sobek. Bret! Gesit ia melompat ke samping. Namun tak urung lengannya nampak terkena cakaran yang segera mengeluarkan darah bertetesan.
Melihat Sangaji teiiuka, para pendekar di pihak penyerbu bersorak mengguntur. Sebaliknya terdengarlah suara Andangkara cemas.
"Anak muda! Kukunya mengandung racun jahat!"
Mendengar disebutnya racun jahat, Manik Angkeran memekik terkejut. Tanpa memedulikan
akibatnya, ia terus masuk gelanggang sambil berseru: "Kau harus berhati-hati! Apakah ...
apakah...." Hati Sangaji terguncang. Katanya di dalam hati, tunangan Fatimah ini benar-benar seorang pemuda yang baik hati. Ia begitu memperhatikan diriku....
Manik Angkeran tak tahu, bahwa di dalam diri Sangaji mengalir getah sakti Dewadaru yang
kebal dari sekalian racun atau bisa di dunia. Itulah sebabnya, ia tak merasakan akibat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cengkeraman beracun itu. Malahan darah yang merembes ke luar mendadak saja berhenti
mengalir. Rasa pedih pun lenyap pula.
"Lekaslah keluar! Serangan cengkeraman Gumbala Geni bukan main bahayanya," katanya dengan tersenyum. Dan melihat Sangaji tersenyum serta yakin bahwa racun Sindung Riwut tidak mempengaruhi dirinya, dengan tenang Manik Angkeran kembali ke tempatnya.
Kiranya Sangaji tadi sudah berusaha seda-patnya untuk menghindari serangan berondongan
yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya. Mendadak ia melihat Sindung Riwut mulai
bergerak lagi. Rupa-rupanya pendekar tua itu tidak sudi kehilangan kesempatan bagus. Begitu melihat Sangaji sedang berbicara dengan Manik Angkeran, ia terus menyambar. Keruan saja hati Sangaji tercekat. Untuk membebaskan Manik Angkeran dari sasaran serangan lawan, cepat ia melesat mundur ke arah lain. Benar saja. Sindung Riwut terus mengubernya. Dengan demikian, Manik Angkeran dapat diselamatkan.
Mereka bertarung secara aneh sekali seakan-akan kanak-kanak bermain petak. Yang satu
menubruk dari depan dan yang lain melompat mundur. Gerakan menubruk dari depan lebih
mudah dan lebih leluasa dilakukan. Sebaliknya gerakan meloncat mundur, dua kali lebih sulit.
Meskipun demikian, tak pernah lagi Sindung Riwut berhasil menyentuh tubuhnya. Maka teranglah siapa yang lebih unggul dalam hal mengadu kegesitan.
Sebenarnya Sangaji dapat dengan mudah lari menghindari. Asal saja ia terus melesat lari
menjauhi. Tetapi wataknya yang asli tidak mengizinkan. Itulah watak yang terus-terang. Watak yang senantiasa berhadap-hadapan dalam menghadapi tiap persoalan betapa sulit-pun. Kecuali itu, pengamatannya akan hilang, apabila terus lari menghindari. Itulah sebabnya pula,
lompatannya ke belakang hanya sejauh dua tiga langkah. Matanya tak pernah beralih dari tipu muslihat gerakan lawan. Bagi mata para ahli tahulah sudah, bahwa Sangaji sedang menyelami ilmu Gumbala Geni sampai ke dasarnya.
Sesungguhnya ilmu sakti pukulan Gumbala Geni mempunyai 47 jurus. Gaya pukulannya tidak
banyak keragamannya. Inti gerakannya berdasarkan pada kecepatan dan tenaga. Sederhana
nampaknya, tetapi sebenarnya dahsyat bukan kepalang. Karena gerakan kaki dan tipu muslihatnya memenuhi bidang gerak. Selama hidupnya, Sindung Riwut belum pernah menghancurkan lawan
lebih dari enam belas jurus. Itulah sebabnya, ia terkenal di seluruh Jawa Barat sebagai hantu yang memiliki pukulan maut tak terlawan. Tak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa untuk melawan seorang lawan yang muda belia dia sudah hampir menghabiskan ke 47 jurusnya. Namun satu
juruspun tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dalam kemendongkolannya ia berpikir dalam hati, pemuda ini hanya mengadu kegesitannya belaka. Coba dia berani, bertarung dengan
berhadap-hadapan, masakan dia sanggup bertahan sampai 20 jurus saja. Aku ingin melihat.
Dalam pada itu, Sangaji sudah memperoleh pegangan kini. Tatkala Sindung Riwut terpaksa
mengulangi jurusnya yang pertama, tahulah dia bahwa jurus pukulan sakti Gumbala Geni hanya berjumlah 47 jurus, la kini bukan lagi Sangaji pada zaman berguru kepada Jaga Saradenta dan Gagak Seta. Otaknya sudah berubah cerdas luar biasa. Apa yang dilihatnya dengan tak disadarinya sendiri terus saja sudah dapat menangkap intinya dan malahan sanggup menirukan gerakannya sampai sekecil-kecilnya. Meskipun demikian masih saja ia ragu-ragu hendak memutuskan cara mengadakan perlawanan yang tepat. Pikirnya dalam hati, kalau aku hendak mencabut nyawanya gampangnya seperti membalikkan tanganku sendiri. Tetapi bila aku berbuat demikian, aku akan gagal mempersatukan mereka. Malahan bisa-bisa aku justru menanamkan bibit dendam yang akan jadi berlarut-larut.
Selagi ia dalam keragu-raguan didengarnya Sindung Riwut membentak.. "Anak muda! Kau cuma bisa mengelak untuk menyelamatkan diri. Ini namanya bukan bertanding."
Sangaji hendak menyahut, tiba-tiba Sindung Riwut menyerangnya dahsyat. Tahulah Sangaji,
bahwa Sindung Riwut mencoba memancingnya agar berbicara. Sebab berbicara merupakan suatu pantangan besar bagi seorang yang lagi bertanding. Setidak-tidaknya bisa lengah. Tapi Sangaji justru tersenyum, berkata seenaknya: "Apakah kau menghendaki aku melawanmu sungguhsungguh" Kalau aku menang apakah taruhannya?"
Sambil berkata-kata, Sangaji tetap mengelak tiap serangan Sindung Riwut dengan gesit serta tangkas. Mau tak mau Sindung Riwut terpaksa memuji dalam hati. Katanya, "Kau memang gesit.
Tapi dalam hal mengadu pukulan kau takkan menang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Belum tentu. Paling tidak, tenagaku lebih muda dari padamu."
"Bagus! Jika aku kalah, aku akan membunuh diri di depanmu, atau kau boleh mencincang aku sekehendak hatimu."
"Ah, aku tak berani bertaruh begitu," sahut Sangaji cepat. "Begini saja, bila kau kalah kau harus membawa rekan-rekanmu turun gunung. Dan habisi permusuhanmu dengan pihak Himpunan
Sangkuriang." "Grusan ini bukan berada di tanganku. Itulah Alang-alartg Cakrasasmita. Dialah yang memegang pucuk pimpinan. Aku hanya bisa mempertanggung jawabkan diriku sendiri. Ah anak
muda! Bagaimana kau sampai berani bilang, bahwa aku bisa kaukalahkan?"
Sangaji mengerenyitkan dahi mencari akal. Tiba-tiba timbullah keputusannya. Katanya di dalam hati, biarlah aku mengandalkan ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik. Aku ingin merasakan sendiri, apakah guratan keris Kyai Tunggulmanik berisikan pula rahasia ilmu sakti Gumbala Geni. Dan setelah berpikir demikian ia berkata, "Kakek Sindung Riwut! Sudah kukatakan tadi kepada murid-muridmu, bahwa jauh-jauh aku akan melarikan diri manakala aku bertemu dengan seorang yang sudah memiliki inti tenaga sakti ilmu Gumbala Geni dengan sempurna. Tetapi, maaf Kakek
Sindung Riwut walaupun sudah mencapai tingkat kesempurnaan, tetapi belum sempurna benar-
benar. Karena itu masih banyak terdapat kelemahannya."
"Bagus," bentak Sindung Riwut mendongkol. "Jika kau dapat mematahkan setiap jurus seranganku, aku akan menutup perguruanku. Dan selamanya aku takkan muncul lagi dalam
percaturan masyarakat."
"Itupun tak perlu," kata Sangaji.
la tahu maksud Sindung Riwut hendak menutup perguruannya. Lantaran selama hidupnya
mengagul-agulkan ilmu saktinya Gumbala Geni sebagai suatu ilmu sakti yang tiada tandingnya dalam jagat ini. Tak tahunya, justru di depan murid-muridnya ia kena dipermainkan oleh seorang pemuda, sehingga kegarangan Gumbala Geni seakan-akan hilang dayanya.
Tetapi Sangaji adalah seorang pemuda yang halus budi. Untuk mengalihkan perhatian
penonton, tiba-tiba ia menjejak tanah dan melesat tinggi di udara. Kemudian berputar-putar sampai empat lima kali dan setiap kali berputar tubuhnya mendaki lebih tinggi lagi. Setelah itu dengan mendadak pula ia menukik ke bawah dan turun ke bumi dengan gerakan yang enteng
sekali. Saking takjubnya, penonton sampai terpaku. Malah dalam cerita anak-anak, rata-rata mereka pernah mendengar tentang seorang sakti yang bisa melesat ke udara dengan berputar-putar tak ubah burung dara. Tetapi setelah menjadi dewasa dengan demikian sirna dari ingatannya. Tak tahunya, hari itu mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Seumpama tidak, mereka
takkan percaya selama hidupnya. Sebab di jagat ini tiada se-orangpun dapat berlatih sampai mencapai ilmu kepandaian demikian. Maka setelah terpaku beberapa saat lamanya, mereka
bersorak gemuruh seperti tersontakkan.
Tubagus Simuntang yang selama hidupnya membanggakan diri sebagai manusia paling cepat
bergerak dan ilmu meletiknya ke udara tiada yang membandingi di seluruh nusantara, mau tak mau terpaksa menghela napas oleh rasa kagumnya yang tak terhingga begitu menyaksikan
kesanggupan Sangaji. Dan begitu Sangaji turun ke tanah, Sindung Riwut sudah memburunya. Kali ini ia tak mau
menyerang seperti tadi. Setelah menatap wajah Sangaji, lalu berkata tenang:
"Nah, anak muda! Sekarang kita mulai bertanding mengadu ilmu pukulan, bukan?"
"Silakan!" sahut Sangaji.
"Pasti pula kau takkan main mundur, bukan?"
"Tidak," sahut Sangaji dengan tersenyum. "Kalau aku sampai mundur meski hanya selangkah, nyatakan aku kalah."
Tatang Sontani dan rekan-rekannya meskipun masih saja belum bisa bergerak, namun panca
inderanya tetap bekerja seperti sediakala. Mereka adalah gembong-gembong yang terlalu besar keyakinannya kepada kemampuan diri sendiri. Tapi begitu mendengar ucapan Sangaji, mereka kaget. Mereka kenal tentang kehebatan serta kedahsyatan pukulan ilmu sakti Gumbala Geni.
Apalagi dimainkan sendiri oleh cikal bakalnya di Jawa Barat. Meskipun ilmu kepandaian Sangaji
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nampak lain daripada yang lain, namun masakan tidak akan mengalami langkah mundur dalam
suatu gebrakan seru"
Untung, pada saat itu terdengarlah ucapan Sindung Riwut. "Itupun tak perlu. Aku hanya ingin menguji saja. Ingin membuktikan kebenaran ucapanmu. Pabila aku kalah. Biarlah aku kalah. Pabila menang itupun sudah sewajarnya." Setelah berkata demikian, dengan menggerung ia menubruk.
"Awas!" serunya. Segera ia menyerang pundak dengan cengkeraman tangan kanan, sedangkan tangan kiri meliuk menubruk dada.
Di luar dugaan siapa saja, tiba-tiba Sangaji-pun bergerak serupa pula. Tetapi ia menyerang pundak Sindung Riwut dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menangkap tangan
Sindung Riwut yang meliuk menubruk dada. Dengan demikian gerakannya terbalik, namun
jurusnya sama. Dan anehnya, sebelum tangan kanan Sindung Riwut tiba pada sasarannya, tangan Sangaji sudah mencakar kepala Sindung Riwut.
Sindung Riwut kaget bukan kepalang. Tahu-tahu tangannya tergetar timbunan tenaga ilmu
sakti Gumbala Geni sirna dengan mendadak, la sudah menutup mata, tatkala melihat
berkelebatnya tangan Sangaji hendak mencengkeram ubun-ubunnya. Di luar dugaan, Sangaji
justru menarik tangannya yang sudah hampir tiba pada sasarannya yang cepat.
Sindung Riwut tertegun sejenak. Lalu dengan kecepatan yang tak terduga, kedua tangannya
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencengkeram kedua pelipis Sangaji. Tetapi Sangaji tetap menirukan pula. Sudah barang tentu, gerakannya lebih lambat daripada gerakan Sindung Riwut. Namun yang mengherankan datangnya lebih cepat beberapa detik daripada cengkerman Sindung Riwut. Dan kedua pelipis Sindung Riwut tiba-tiba sudah kena tersentuh.
Pelipis merupakan bagian tubuh yang mematikan bilamana kena tembus. Dalam suatu
pertarungan, bilamana pelipis sampai kena terserang, maka tiada harapan lagi untuk bisa ditolong.
Dia akan tewas pada saat itu juga. Akan tetapi Sangaji hanya mengusap saja. Setelah itu, tangannya meliuk ke belakang tengkuk seolah-olah hendak mengancam batang leher.
Tatkala pelipisnya kena teraba Sangaji, Sindung Riwut sudah tertegun lagi. Sekonyong-konyong ia melihat berkelebatnya tangan Sangaji hendak mengancam tengkuknya. Cepat ia meloncat
mundur sambil membentak: "Hai! Darimanakah engkau mengenal pukulan ilmu sakti Gumbala Geni...?"
Dengan menunjuk dadanya, Sangaji menjawab: "Dari sini."
Sebenarnya jawaban Sangaji jujur, la menunjuk tepat di tengah dadanya. Maksudnya, di dalam dirinya mengalir rasa sarwa sakti manunggalnya guratan rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan ilmu-ilmu sakti lainnya yang pernah dipelajarinya. Tetapi Sindung Riwut menganggap
menghinanya. Dengan garang ia membentak lagi. "Bagus! Kalau begitu jangan salahkan aku."
Setelah membentak demikian, ia mem-berondongi serentetan serangan. Tetapi seperti tadi
Sangajipun bergerak serupa pula dan tibanya lebih cepat pada sasarannya. Dengan gemas
Sindung Riwut kini mengadakan jebakan. Ia menyerang kembali dengan dua jurus sekaligus. Jurus 47 dan jurus 14. Dua jurus yang bertentangan. Lemah nampaknya, tapi sesungguhnya
mengandung jebakan. Ternyata jebakannya membawa hasil. Tiba-tiba Sangaji melangkah maju dan menirukan gaya
jurus tersebut setelah meliuk ke kiri, badannya nyelonong masuk dan tangannya dengan cepat menerkam dada Sindung Riwut.
Buru-buru Sindung Riwut mundur selangkah, agar diburu. Benar saja, Sangaji menubruk maju.
Girang Sindung Riwut membatin, kau setan cilik! Sekarang tiba saatmu kau termakan jebakanku.
Ia menarik serangan Sangaji lebih ke dalam. Mendadak kedua tangannya menghantam kedua
siku Sangaji dengan tenaga sedahsyat-dahsyatnya. Untung-untungan, kalau tepat kedua lengan Sangaji akan terlepas dari tulang sambungnya. Kalau tertangkis, paling tidak akan patahlah pergelangan tangan Sangaji.
Tak pernah terduga, bahwa di dalam diri Sangaji mengalirlah getah sakti Dewadaru yang
mempunyai sifat menghisap. Begitu cengkeraman Sindung Riwut menyambar siku Sangaji, tibatiba saja kena sedot. Dan tenaga pukulannya sirna dengan begitu saja. Keruan saja ia kaget setengah mati. Dan berbareng dengan kesadarannya, tangan Sangaji sudah meraba dada dan
tengkuknya. Inilah tempat mematikan. Tetapi Sangaji tidak meneruskan serangannya. Ia menarik kedua tangannya kembali dengan sikap menunggu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sindung Riwut benar-benar menjadi putus asa. Berpuluh tahun ia berlatih. Berkali-kali ia menang dalam suatu pertarungan di mana saja dia berada. Namun menghadapi seorang pemuda
yang mengenal ilmu Gumbala Geni pula, latihannya selama itu tiada gunanya sama sekali, la mati kutu benar-benar. Maka dengan suara tertahan-tahan ia berkata setengah berbisik, "Anak muda...!
Ilmu kepandai-anmu ternyata jauh berada di atasku."
Setelah berkata demikian, kedua tangannya menghantam kepalanya sendiri. Tetapi belum lagi dapat meraba rambutnya, kedua lengannya runtuh lunglai. Sekali lagi ia kalah cepat dengan gerakan tangan Sangaji yang mencegah perbuatannya hendak bunuh diri.
"Ilmu sakti Gumbala Geni siapakah yang dapat mengatasi kehebatannya," kata Sangaji dengan nyaring. "Kalau aku tidak melawannya dengan ilmu Gumbala Geni pula, tak bakal aku menang.
Sebab sesungguhnya, ilmu Gumbala Geni merupakan pukulan yang paling tinggi di atas dunia ini."
Mendengar ucapan Sangaji, celeret cahaya bergelimang pada wajah Sindung Riwut. Maklumlah, ia kalah di depan hidung murid-muridnya sendiri. Dan yang terhebat, lebih-lebih di depan para pendekar ia bersumpah akan menutup perguruannya. Di luar dugaan, Sangaji malahan memuji
keunggulan ilmu sakti Gumbala Geni yang diagul-agulkan. Keruan saja, di dalam hatinya
tumbuhlah rasa terima kasih tak terhingga besarnya. Oleh rasa harunya, air matanya hampir saja terbintik ke luar. Cepat-cepat ia berkata, "Anak muda! Perkenankan aku mengagumi keluhuran serta kemuliaan hatimu. Sekarang aku akan membawa murid-muridku. Aku tak peduli lagi, mereka akan mengatakan apa kepadaku. Lantaran terbukti engkaulah yang memelihara kelangsungan
hidup kami. Terima kasih."
Sindung Riwut benar-benar membuktikan ucapannya. Setelah kembali ke tempatnya, segera
memerintahkan murid-muridnya agar turun gunung. Mendadak saja terdengarlah suara
melengking. "Sindung Riwut! Bagaimana ini?"
"Bagaimana ini?" potong Sindung Riwut. "Aku sudah dikalahkan. Mau apa lagi?"
"Bagus! Kau akan lari turun gunung tanpa izin Alang-alang Cakrasasmita. Benar-benar kau melanggar sumpah."
"Aku hanya berikrar dalam penggerebegan ini. Tapi Sindung Riwut bukan di bawah perintah Alang-alang Cakrasasmita. Apakah dia bermaksud menghalang-halangi aku" Boleh coba!"
Edoh Permanasari tak meladeni lagi. Ia hanya tertawa dingin. Kemudian dengan membawa
pedang Sangga Buwana yang tajamnya tiada bandingnya di jagat ini, masuklah ia ke gelanggang.
"Kusuma Winata!" katanya lagi. "Apakah kau tidak mencoba-coba kekuatan bocah ini?"
Dengan membungkuk hormat Kusuma Winata menjawab, "Tadi aku sudah dikalahkan raja
muda Andangkara. Dengan sendirinya, kami anak murid Mandalagiri tidak berhak lagi terjun ke gelanggang."
"Hm," dengus Edoh Permanasari dengan wajah masam.
Melihat wajah Edoh Permanasari, hati Wijaya merasa tidak enak. Ia menaruh hati terhadap Ida Kusuma. Kalau ingin merebut hati Ida Kusuma, terlebih dahulu ia berkewajiban mencuri hati Edoh Permanasari. Maka diam-diam ia berpikir, meskipun kepandaian Edoh Permanasari adalah warisan Ratu Fatimah, tetapi takkan melebihi kepandaian kakak Kusuma Winata atau Sindung Riwut. Kalau dia kalah, bukankah kita semua ikut terjungkal habis-habisan" Biarlah aku mencobanya dahulu.
Setelah berpikir demikian, ia masuk ke gelanggang seraya mengencangkan ikat pinggangnya.
Berkata keras, "Bibi! Biarlah kami berlima mencoba-coba kepandaian pemuda terlebih dahulu.
Kemudian baru bibi. Pastilah bibi akan dapat memenangkan pertandingan ini dengan mudah."
Edoh Permanasari tahu maksudnya. Meskipun Sangaji mempunyai tenaga sakti bagaikan
gelombang yang tiada habis-habisnya, namun apabila dipaksa berkelahi secara bergiliran masakan tidak letih" Dengan pedang pusaka Sangga Buwana di tangan, pastilah dia dapat menghabisi jiwa Sangaji dengan mudah. Tetapi Edoh Permanasari adalah seorang wanita yang angkuh. Katanya,
"Terima kasih! Selamanya kami biasa hidup berdiri sendiri. Seumpama aku menang, apakah arti menang melawan seorang lawan yang keletihan" Rasanya kurang menyenangkan. Silakan
mundur." Pernyataan Edoh Permanasari ini di luar dugaan Wijaya. lapun lantas tak berani membantah.
Demikianlah, maka dengan pedang terhunus Edoh Permanasari menghampiri Sangaji.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyaklah sudah anggota-anggota Himpunan Sangkuriang yang tewas oleh pedang Sangga
Buwana itu. Maka begitu pedang Sangga Buwana nampak di mata mereka, terdengarlah suara
kemurkaan mereka. Sidi Mantera yang benci benar pada pendekar wanita itu, terus saja mengutuk kalang-kabut. Hanya Inu Kertapati dan Kamarudin saja yang menutup mulut. Diam-diam mereka menghela napas.
"Kalian ribut-ribut apa perlu?" bentak Edoh Permanasari. "Tunggulah barang sebentar! Kalau aku sudah membereskan bocah ini, nah barulah datang giliran kalian menyusul ke neraka.
Sekarang tenang-tenanglah dulu!"
"Huuuu... siapa kesudian mendengarkan ocehan nona tuaaa..." Mereka menyahut beramai-ramai. Rupanya mereka semua kenal siapa Edoh Permanasari. Dan pendekar wanita itu paling benci manakala diejek sebagai nona tua. Maka tak mengherankan, bahwa wajahnya jadi beringas.
Dalam pada itu, Sangaji sadar bahwa pedang Sangga Buwana memang sangat susah untuk
dilawan. Kecuali ada niatnya hendak mengambil jiwa pemiliknya. Dan hal itu tidaklah
diinginkannya, meskipun ia mempunyai kesan buruk terhadap Edoh Permanasari.
"Hai anak muda! Kau ambillah senjatamu! Lebih cepat, lebih baik," bentak Edoh Permanasari tak sabar. Dan sekali lagi penonton di pihak Himpunan Sangkuriang menyahut haaaa atau huuu karena rasa dengkinya.
"Aku tidak mempunyai senjata apa pun sahut Sangaji." Dan oleh jawaban Sangaji, suasana gelanggang menjadi hening sejenak.
Tiba-tiba terdengarlah Andangkara menarik pedang pusakanya perlahan-lahan dari sarungnya.
Kemudian berkata, "Pedang ini adalah pedang warisan leluhur kami. Namanya Tunjungbiru. Itulah sebabnya, kakakku menggunakan nama pedang ini sebagai suatu pernyataan berbakti. Nah,
pakailah anak muda. Memang ia kalah tajam daripada Sangga Buwana. Walaupun demikian,
termasuk pula pedang yang tiada duanya di Jawa Barat."
Setelah berkata demikian, ia mementil pedang Tunjungbiru. Cring! Pedang itu memantul
melengkung lantas tegak lurus. Suaranya nyaring tak ubah sebuah rencong.
Dengan sangat hormat, Sangaji menerima pedang Tunjungbiru seraya berkata, "Terima kasih, Aki."
"Sudah belasan tahun, pedang ini berada di pinggangku. Selama berhamba padaku, entah sudah berapa puluh manusia rendah dan jahat terbunuh olehnya," kata Andangkara dengan tertawa melalui dada. "Hari ini, mudah-mudahan dia berkesempatan pula mereguk darah nona tua. Kalau berhasil, matipun aku akan rela sampai ke dasar hatiku."
"Mudah-mudahan, aku dapat memenuhi harapan Aki," sahut Sangaji.
la terus menyabetkan pedang Tunjungbiru dan menghadap Edoh Permanasari. Memang dalam
hati, ia sudah gemas melihat wanita itu. Dahulu menurut suara hatinya, pernah ia menantang Edoh Permanasari tatkala pendekar wanita itu membakar sebuah perkampungan nelayan. Kini
dengan mata menyala ia menentang wajah Edoh Permanasari. Lalu berkata, "Ilmu pedang warisan Ratu Fatimah, pastilah merupakan ilmu pedang yang tiada terlawan. Sesungguhnya tak berani aku melawan engkau. Tetapi kau sudah menantang aku, maka terpaksalah aku melayanimu se-bisa-bisaku. Mudah-mudahan arwah Rostika membantu aku dari angkasa."
Mendengar Sangaji menyebut nama Rostika, hati Edoh Permanasari tercekat sampai alisnya
berdiri tegak. "Kau bicara apa?" ia menegas.
Belum lagi Sangaji menjawab, tiba-tiba terdengar Sidi Mantera berteriak nyaring, "Hai Edoh!
Kalau kau berani, coba lawan dengan bertangan kosong!"
Dan Inu Kertapati yang semenjak tadi berdiam diri, akhirnya tak kuat juga menahan hati. Terus menyambung, "Ilmu kepandaian apa sih yang hendak dipamerkan" Paling-paling cuma
mengandalkan pedangnya melulu."
"Atau begini saja," sahut Sidi Mantera. Pendekar ini memang muak terhadap Edoh Permanasari.
"Tukar pedang Sangga Buwana dengan pedang pusaka lainnya. Sekarang boleh bertanding dengan saudara Sangaji. Kalau sampai bisa melampaui tiga jurus, aku boleh mencarikan jodohnya si nona tua itu."
"Apa" Tiga jurus. Mana bisa sampai tiga jurus" Sejuruspun takkan mampu," sambung yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan main mendongkolnya Edoh Permanasari. Dengan tak sabar lagi, ia terus menggertak,
"Hayo, seranglah!"
Sangaji sendiri, resminya tak pernah belajar ilmu pedang. Sekarang ia disuruh menyerang.
Karuan saja ia jadi ragu-ragu. Mendadak teringatlah dia kepada ilmu pedang paman gurunya, Suryaningrat yang mahir memainkan ilmu pedang Mayangga Seta. Maka terus saja ia menusuk ke depan sambil menggetarkan ujungnya. Hebat akibatnya. Karena tenaga saktinya luar biasa kuat, pedang Tanjungbiru yang bersifat keras lembek mendadak menggaung memperdengarkan
kegarangannya. Karuan saja, Edoh Permanasari kaget setengah mati. Gesit ia melompat ke
samping sambil berpikir di dalam hati, untung aku membawa pedang Sangga Buwana. Tak
kusangka pemuda ini mempunyai ilmu kepandaian banyak sekali ragamnya. Kalau begitu, aku tak boleh berayal lagi. Tiap kesempatan harus kugunakan untuk membabat pedangnya.
Benar saja. Dengan menggerakkan tangkai pedangnya, Sangga Buwana terus menikam perut
Sangaji. Sangaji terkejut. Cepat ia mengelak ke samping. Tahu-tahu ujung pedang Sangga Buwana
sudah mengancam tenggorokan. Memang sesungguhnya ilmu pedang warisan Ratu Fatimah
bukan suatu ilmu sembarangan. Karena kecerdikan serta kelicikan Ratu Fatimah, ilmu pedangnya merupakan puncak-puncak gabungan ilmu pedang di seluruh Jawa Barat4). Tak mengherankan,
bahwa tiap gerakannya merupakan puncak tipu muslihat yang tinggi nilainya.
Diancam begitu mendadak sedangkan baru saja mengelak, Sangaji kaget setengah mati. Dalam seribu kerepotannya, ia mengendap lalu menjatuhkan diri dengan bergulingan. Tetapi baru saja ia hendak bangkit, kembali lagi pedang Sangga Buwana sudah mengancam punggungnya. Dalam
sekilas pandang, ia melihat berkelebatnya pedang menetak ping-
4) Dengan obat bius ia berhasil menawan tokoh-tokoh pendekar.
gangnya. Sadarlah dia, bahwa dirinya dalam bahaya. Tanpa berpikir lagi, ujung kakinya
menjejak tanah. Sekaligus meletiklah ia dan terbang miring melewati garis tebasan.
Gerakan itu dilakukan dalam keadaan yang tak mungkin dapat dilakukan orang lain. Selagi
kaum Himpunan Sangkuriang hendak bersorak memuji, sekonyong-konyong Edoh Permanasari
melesat pula ke udara berbareng menyabetkan pedangnya membabat pinggang. Benar-benar
Sangaji dalam bahaya. la belum lagi turun ke tanah dan sama sekali tak diduganya bahwa Edoh Permanasari akan
mengubernya dengan melesat ke udara pula. Sekarang terjadilah suatu keajaiban. Ilmu keris sakti Kyai Tunggulmanik mengadakan reaksi lantaran rasa hati Sangaji yang terkejut bukan kepalang.
Mendadak saja dengan menukik, ujung pedang Tunjungbiru menumbuk pedang Sangga Buwana
dan tubuh Sangaji terus dipentalkan ke udara lagi.
Akan tetapi Edoh Permanasari tidak mengenal ampun. Ia melompat maju pula mencegah
turunnya Sangaji ke tanah. Begitu Sangaji turun dari udara, cepat ia menyerang lagi dengan suatu tikaman berbareng membabat. Melihat bahaya yang ketiga kalinya, Sangaji terpaksa menangkis dengan pedangnya.
Tahu-tahu pedang Tunjungbiru tinggal separah. Sedetik itu pula tangan kirinya menghantam.
Suatu tenaga dahsyat menindih dada Edoh Permanasari dari atas. la seperti melesak. Gerakannya macet. Namun wataknya yang bandel masih saja bisa membabatkan pedang Sangga Buwana
sekenanya. Untung Sangaji dapat bertindak lebih cepat lagi. Kurungan pedang Tunjungbiru lantas disam-bitkan dan tepat mengenai ujung pedang Sangga Buwana. Dia sendiri terus melesat
menjauhi. Kena sambitan kutungan pedang, lengan Edoh Permanasari terasa pegal luar biasa. Hampir
saja Sangga Buwana terpental dari genggamannya. Benar-benar ia terkejut. Dengan sekali
pandang ia melihat Sangaji sudah berada sepuluh langkah jauhnya dengan menimang-nimang
kutungan pedangnya. Rupanya begitu kutungan pedang terpental dari ujung pedang Sangga
Buwana, Sangaji menyambarnya kembali berbareng dengan melesat menjauhi.
Gebrakan itu hanya terjadi sekejapan saja. Namun bahayanya jauh melebihi pertarungan yang lampau. Dengan gerakan kilat Edoh Permanasari sudah memberondongi Sangaji dengan sembilan serangan yang dilakukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Edoh Permanasari membabatkan pedang Sangga Buana sekenanya. Kutungan pedang Tunjung
Biru lantas disambitkan oleh Sangaji dan tepat mengenai ujung pedang Sangga Buana, dia sendiri terus melesat menjauhi.
tanpa mengenal ampun. Tetapi semuanya dapat dipecahkan Sangaji dalam keadaan buruk.
Setiap kali ia seperti lolos dari lubang jarum.
Andangkara - Tatang Sontani dan gembong-gembong lainnya yang mengikuti gebrakan kilat itu semuanya menahan napas dengan rasa kagum. Itulah pertarungan luar biasa cepatnya. Yang
menyerang cepat dan yang diserang cepat pula. Setiap kali melihat betapa kedudukan Sangaji sangat sulit, mereka menahan napas. Dan apabila ternyata masih saja bisa luput dari serangan yang bertubi-tubi datangnya, dengan serentak mereka melepaskan napas lega. Tapi tak urung keringat dinginnya membasahi tubuhnya. Sekarang mereka melihat Sangaji sudah berdiri jauh dengan tak kurang suatu apa. Saking kagumnya, mereka bersorak memuji. Dan soraknya
disambung seluruh pasukan Himpunan Sangkuriang dengan riuh rendah.
Sembilan kali serangan. Dan Sangaji berada di pihak yang diserang. Sama sekali tak membalas.
Malahan pedangnya kutung menjadi dua potong. Jelaslah sudah, bahwa dalam gebrakan itu ia telah kalah. Tetapi dia tadi dapat menahan serangan berondongan dengan menghantam ujung
Sangga Buwana sampai Edoh Permanasari membungkuk-bungkuk kena ditahan suatu tenaga
dahsyat. Dengan demikian apabila dia mau membalas pastilah ia takkan kena desak lagi.
Sudah barang tentu, penilaian yang benar hanya ada pada Edoh Permanasari. Untuk pertama
kali itulah ia bertempur dengan sungguh-sungguh, la sudah memberondong sembilan kali dengan menggunakan puncak-puncak jurus ilmu pedangnya, namun masih saja belum mengenal
sasarannya. Diam-diam ia heran. Dasar ia seorang wanita yang angkuh, maka lantas berkata:
"Pergilah, cari senjata yang lain. Tak mau aku menang dengan mengandalkan pedang."
Sekarang pihak Himpunan Sangkuriang tak lagi berani melontarkan kata-kata ejekan. Melihat betapa tangguh Edoh Permanasari, mereka malahan jadi prihatin.
Sangaji sendiri tidak menyahut. Dengan berdiam diri ia merenungi pedang pusaka Tunjungbiru.
Pikirnya, benar-benar aku mengecewakan hati Aki Andangkara. Pedang ini menjadi pusaka turun temurun. Tapi akhirnya kutung di tanganku....
Tiba-tiba terdengarlah suara Andangkara yang didahului dengan gelak tertawa.
"Pedang patah di dalam suatu pertarungan, apakah yang harus disayangkan?"
Sangaji menoleh. Sewaktu hendak membuka mulut, Otong Surawijaya berteriak nyaring, "Aku mempunyai sebatang luwuk5) pusaka. Pakailah! Mudah-mudahan jahanam itu tumpas oleh
golokku." "Tetapi pedang Sangga Buwana terlalu tajam. Golok Paman akan rusak pula."
"Biar kutung menjadi beberapa potong, apalah artinya" Kalau kau kalah, bukankah kita semua bakal mampus" Ambillah!" * Benar juga, pikir Sangaji. Lalu ia maju menerima golok pusaka Otong Surawijaya.
"Saudara Sangaji," bisik Tatang Sontani. "Pedang Edoh Permanasari sangat tajam. Karena itu jangan biarkan dirimu kena serang. Sebaliknya engkau harus menyerangnya terlebih dahulu."
Mendengar Tatang Sontani menyebut namanya, Sangaji tercengang sejenak. Setelah dipikir-
pikir sadarlah dia. la tadi sudah memperkenalkan namanya, rupanya Tatang Sontani merasukkan ke dalam ingatannya. Melihat betapa pendekar itu masih tak bisa berkutik akibat kena racun Suryakusumah tapi masih sudi mengingat-ingat namanya, timbullah rasa senang dalam hati
Sangaji. Maka dengan membungkuk ia menyahut, "Terima kasih atas petunjuk Paman."
"Gunakan kecepatanmu bergerak. Kege-sitanmu takkan terlawan oleh siapapun juga," bisik Tubagus Simuntang. Teringat betapa Tubagus Simuntang pernah mempermainkan Edoh
Permanasari, hati Sangaji jadi girang. Dengan serta merta ia menyahut, "Terima kasih atas saran Paman."
Tatang Sontani, Dadang Wirahata dan Tubagus Simuntang adalah tokoh-tokdh Himpunan
Sangkuriang yang berkepandaian tinggi. Benar mereka semua dalam keadaan lumpuh tetapi
panca inderanya bekerja seperti sediakala. Dengan sendirinya pengamatannya sebagai seorang ahli tidaklah luput. Seumpama mereka dalam keadaan segar bugar, kepandaiannya malah lebih tinggi daripada Edoh Permanasari. Sayang, mereka kena serangan gelap justru pada saat
menghadapi mati hidupnya Himpunan Sangkuriang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikianlah setelah menggenggam golok pusaka Sangaji kembali ke tengah gelanggang
dengan hati besar, la sudah berlatih dengan pedang Sokayana yang beratnya lebih dari 100 kati.
Dengan sendirinya golok pusaka Otong Surawijaya yang mempunyai berat kurang dari 50 kati, bukan menjadi suatu halangan baginya. Dalam hati sudah timbul suatu kepu-tusan, takkan
membiarkan golok Otong Sara-wijaya terkutung seperti pedang Tunjungbiru. Segera ia
menghimpun tenaga saktinya.
"Bagus!" sahut Edoh Permanasari.
"Awas! Aku mulai menyerang," Sangaji memberi peringatan. Sehabis berkata demikian, tiba-tiba tubuhnya kelepat dan hilang dari pengamatan.
Bukan main kagetnya Edoh Permanasari. Belum lagi ia sempat memutar badannya, Sangaji
sudah berada di sampingnya. Cepat ia membalik dan berputar ke kiri. Tetapi Sangaji sudah berada di sebelah kanan. Lalu kembali lagi berputar ke kiri dan menyelonong ke belakang sambil
memberondongi serangan dua kali berturut-turut.
Gugup Edoh Permanasari menangkis seke-nanya. la hanya mengandalkan ketajaman
pedangnya. Maka ia hanya membabat saja. Tatkala melihat berkelebatannya tubuh Sangaji, ia mencoba menyerang. Namun kembali lagi tubuh Sangaji lenyap dari pengamatannya.
Dahulu saja sewaktu mengkhawatirkan keadaan Padepokan Gunung Damar ia menang cepat
daripada Ki Hajar Karangpartdan yang memiliki ilmu berlari sepi angin. Apalagi kini, sesudah mempunyai waktu untuk berlatih.
Maka di bawah sorak-sorai bergemuruh, tubuhnya berkelebatan tak ubah kilat, la datang
menjauh untuk kemudian lenyap tak karuan tempatnya. Jangan lagi Edoh Permanasari, Tubagus Simuntang sendiri kagum luar biasa dan merasa diri tak mampu menandingi.
Edoh Permanasari bingung bukan main dikocak demikian. Karena bingungnya ia membacok
serabutan. Namun bayangan Sangaji sama sekali tak dapat disentuhnya. Lantaran cepatnya,
bayangannya nampak pecah menjadi berpuluh-puluh sehingga mata Edoh Permanasari menjadi
kabur. Gebrakan dalam babak kedua ini, jatuh sebaliknya. Kalau tadi Sangaji menjadi pihak' yang diserang, kini Edoh Permanasari yang menjadi bulan-bulanan tanpa dapat mengadakan serangan balasan biar selintaspun. Sayang Sangaji agak jeri dengan pedang Sangga Buwana, sehingga tidak berani mendekati Edoh Permanasari. la khawatir terpaksa menangkis babatan Edoh Permanasari meskipun dilakukan dengan serabutan. Dalam hati, tak mau lagi ia sampai mengurungkan golok Otong Surawijaya. Dengan demikian, terpaksalah ia melancarkan serangan dari jauh saja.
Tubuhnya tak ubah seekor burung seriti menyambar belalang.
Melihat gelagat buruk, Suwega murid Edoh Permanasari segera berteriak nyaring, "Saudara-saudara! Mari kita serbu sisa Himpunan Sangkuriang! Tunggu apa lagi?"
Mendengar seruan itu, rekan-rekan seperguruannya tersadar dengan sekaligus. Lantas saja
mereka menghunus pedangnya masing-masing. Kemudian bergerak menyeberang gelanggang.
Melihat gerakan itu, kaum Himpunan Sangkuriang jadi gempar.
Namun mereka tak bergerak dari tempatnya, seolah-olah bersedia menerima mautnya dengan
ikhlas. Tetapi tidak demikianlah halnya dengan Sangaji. Melihat mereka bergerak, terus saja ia melesat menghadang, la sudah berpengalaman melawan barisan Jala Sutra Indrajaya. Maka dengan
mudah saja, ia merabu pedang mereka dengan sekaligus.
Edoh Permanasari tentu saja tidak sudi me-nyia-nyiakan kesempatan yang bagus itu. Mau ia mengadakan serangan balasan, mendadak saja pedang murid-muridnya berhamburan menyerang
dirinya. Maka mau tak mau, terpaksalah ia menangkis kalang kabut.
"Beginilah caramu melawan aku?" ejeknya dengan raut muka masam.
Sangaji melesat ke tengah gelanggang. Mau ia menjawab, tetapi Otong Surawijaya si pendekar berangasan sudah mendahului.
"Kau membiarkan murid-muridmu memasuki gelanggang. Begitulah caramu hendak merebut
kemenangan?" Didamprat demikian, timbullah keangkuhan Edoh Permanasari. Serentak ia memerintahkan
murid-muridnya agar kembali ke tempatnya masing-masing. Kemudian memutar menghadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji dan berkata sambil menuding, "Kau yang berlagak jantan, mengapa melayani murid-muridku yang tidak berarti."
"Siapa yang mendahului?" damprat Otong Surawijaya lagi.
"Hm," dengus Edoh Permanasari.
"Hm - hm apa?" Otong Surawijaya tak mau mengalah.
"Kau manusia bergelimpangan tiada gunanya, apa perlu ikut-ikut berbicara."
"Sekalipun aku tak bisa berkutik begini, tapi kalau disuruh mengawini nona tua masakan sudi?"
Otong Surawijaya penasaran, la adalah seorang pendekar bermulut jahil. Sekali sumbunya kena sulut, mulutnya akan mengoceh tak keruan. Dan rupanya Edoh Permanasari kenal siapa Otong Surawijaya. Maka ia membuang mukanya dan kembali menatap Sangaji, menegas: "Jadi beginilah caramu melawan aku?"
Dengan tenang Sangaji menyahut, "Bagaimana aku harus mengiringkan kehendakmu?"
"Kau becus melawan aku atau tidak?"
"Kalau aku menang, apakah taruhannya?"
Edoh Permanasari menimbang-nimbang sejenak. Menyahut, "Baiklah kalau aku sampai kalah, aku akan meninggalkan gunung ini. Biarlah lain kali aku membuat perhitungan dengan bangsat-bangsat Himpunan Sangkuriang."
Tiga kali sudah, Sangaji berhadap-hadapan kembali dengan Edoh Permanasari. la terpaksa
berpikir keras. Pedang pusaka Sangga Buwana memang menakutkan hatinya. Akan mendahului
menyerang, ia khawatir kena tangkis. Sebaliknya hendak mengadu kegesitan bergerak, lambat laun ia akan lelah juga. Padahal lawannya masih banyak.
"Ha, bagaimana?" gertak Edoh Permanasari. "Engkau akan berlari-lari lagi?"
Hati Sangaji terkesiap, la adalah seorang pemuda yang tak boleh tersinggung perasaannya.
Apabila tersinggung perasaannya akan muncullah suatu ketekatan di luar perhitungan manusia.
Seperti dahulu, tatkala ia kena dihina
Mayor de Groote. Maka ia melawannya dengan mati-matian, meskipun kepalanya kena tumbuk
gagang pedang berkali-kali. Juga sewaktu kena hinaan Tako Weidema, Jan de Groote dan kedua temannya. Meskipun dikerubut empat orang ia berani melabraknya juga. Sekalipun akhirnya
pingsan tak sadarkan diri, lantaran dilemparkan ke dalam parit.
Sekarang ia kena ejekan Edoh Permanasari. Meskipun luapan hatinya tidaklah sebesar sewaktu diejak Andi Apenda, namun terasa mendidih juga. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk dalam
benaknya. Itulah ilmu sakti ciptaan Kyai Kasan Kesambi: Suradira jaya-ningrat lebur dening pangastuti, yang dahulu pernah dicobanya melawan Warok Kuda Wanengpati dan Watu Gunung
untuk yang pertama kalinya. Teringat akan hal itu, terus saja ia menyahut: "Sebenarnya kalau aku mau aku akan melawanmu tanpa bersenjata. Dan apabila aku sampai meninggalkan satu langkah saja, kau boleh mengutungi kedua lenganku."
Pernyataan Sangaji itu diucapkan dengan nyaring dan jelas, sehingga menerbitkan suatu
kegemparan. Betapa mungkin" Dua kali bergebrak, ternyata pemuda itu tak berani menghampiri Edoh Permanasari dalam jarak dekat.
Sekarang, ia berani berkata takkan meninggalkannya biarpun satu langkahpun" Itulah Sangaji, seorang pemuda yang tak boleh tersinggung kehormatannya. Sekali tersinggung akan meletupkan suatu keputusan yang menggemparkan.
Sangaji sendiri lantas mengembalikan golok pusaka. Sudah barang tentu, Otong Surawijaya
yang biasa bermulut usilan kali ini jadi ter-longoh-longoh. Belum lagi pendekar bermulut jahil itu membuka suara, Sangaji sudah melesat mematahkan sebatang dahan pohon. Kemudian berbalik
memasuki gelanggang pertarungan dengan amat tenang.
Edoh Permanasari mengamat-amati sebentar, lalu berkata acuh tak acuh.
"Kau sudah memilih jalan mampusmu sendiri. Bagus, itu bukan salahku. Hayo mulai!"
Dengan tenang Sangaji melintangkan pedang kayunya di depan dadanya. Kemudian digoreskan
ke depan setengah lingkaran. Orang-orang yang menonton tiada mengerti apa maksudnya.
Mereka tahu, pemuda itu sedang diancam ketajaman Sangga Buwana. Tetapi mengapa malahan
bermain-main menggores udara segala" Mereka sama sekali tak tahu, bahwa pada saat itu
mendadak terdengarlah suara mencicit. Itulah tenaga sakti Sangaji yang tersalur lewat pedang kayunya. Coba ia menggunakan pedang Sokayana, pastilah tenaga saktinya akan membanjir
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluar tak ubah badai. Walaupun demikian pedang Sangga Buwana tertindih dengan sekaligus.
Sudah barang tentu Edoh Permanasari kaget setengah mati. Mimpipun tidak, kalau pedang kayu bisa dibuat menandingi pedangnya yang terkenal tajam tiada bandingnya. Tanpa sadar, ia berseru nyaring: "Hai! Ilmu Siluman!"
Cepat ia menarik pedangnya dan terus membabat pinggang Sangaji. Sangaji segera
menyongsong sabetan pedang Sangga Buwana dengan kayunya pula. Dengan tenaga dahsyatnya
ia menempel punggung pedang lawan. Dan seketika itu juga, lengan Edoh Permanasari tergetar.
Pedang Sangga Buwana berdengung nyaring.
"Bagus!" Otong Surawijaya bersorak memuji. Dialah tadi yang paling mencemaskan maksud Sangaji hendak melawan pedang Sangga Buwana dengan ranting pohon. Mula-mula ter-longoh-longoh. Lalu mencakari telinganya. Kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Akhirnya berteriak kagum dan lega luar biasa manakala melihat betapa pedang Sangaji yang istimewa itu bisa
Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menindih pedang Sangga Buwana.
Meskipun kedua pedang sama sekali berbeda tetapi begitu punggung pedang Sangga Buwana
kena ditempel pedang kayu Sangaji lantas saja sirna dayagunanya.
Inilah ilmu Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti eiptaan Kyai Kasan Kesambi yang sangat tinggi nilainya yang bersumber pada kekuatan hidup manusia. Ternyata pedang kayu dapat memusnahkan ketajaman pedang Sangga Buwana yang tiada taranya di jagat ini.
Sesungguhnya yang diajarkan Kyai Kasan Kesambi kepada Sangaji hanyalah merupakan suatu
coretan huruf. Nampaknya sederhana. Tapi sesungguhnya gerakan itu adalah gerakan
menghimpun tenaga sakti yang tersekap dalam tiap dada manusia. Mula-mula ciptaan-nya diambil dari ilham ilmu Pancawara (gelombang angin pegunungan yang datang dan perginya cepat serta tak terduga). Kemudian tatkala Sangaji berlatih dengan pedang Sukayana yang beratnya 100 kati lebih, ia menggabungkan dengan jurus-jurus Kuma-yanjati yang sederhana, ternyata serasi dan sejiwa. Dahsyatnya tak terkirakan. Permukaan laut yang kena sapunya melompat tinggi di udara dan melanda pantai dengan bergemuruh. Ini disebabkan karena sifat Kumayanjati dan pedang Sokayana yang ternyata terbuat sebagian besar dari campuran baja, besi berani dan monel.
Menghadapi Edoh Permanasari, Sangaji tak mau menggunakan senjata berukuran besar dan
terbuat dari besi campuran, la takut akan merupakan saluran tenaga sakti yang luar biasa dahsyatnya. Maka dipilihnya sebatang kayu yang sifatnya justru memusnahkan daya getaran.
Perlunya, ia hanya menyalurkan tenaga angin saja yang kurang berbahayanya daripada daya
getaran. Pada saat itu, di gelanggang pertarungan terdengarlah suara pedang Sangga Buwana meraung berdengungan. Edoh Permanasari memutar pedangnya luar biasa cepat. Penonton menjadi kabur dibuatnya. Namun dengan tenangnya Sangaji masih saja menggores-gores udara seakan-akan
tidak memedulikan. Sekalipun demikian, gerakan Sangga Buwana seperti terbendung tembok yang tiada kelihatan. Kemana saja larinya pedang Sangga Buwana, selalu terpental balik. Bahkan lambat-laun gerakan Edoh Permanasari makin lambat seolah-olah terbungkus oleh suatu
perangkap halimun. Perlahan-lahan Sangaji menindihnya. Gerakan ilmu saktinya makin lama makin padat.
Itu suatu tanda, bahwa angin pancawara sudah tertimbun berjejal-jejal. Kalau mau, ia tinggal melontarkan saja. Dan Edoh Permanasari akan terpental ke udara.
Edoh Permanasari sendiri nampak bertambah kuwalahan. Berat pedangnya terasa bertambah
berat dan berat. Manakala tenaganya susut, pedang Sangga Buwana terseret arus tenaga sakti Sangaji. la mencoba menarik untuk menyingkir. Tetapi malahan terseret melingkar-lingkar. Gugup ia menebas. Namun pedangnya tak pernah dapat menyentuh pedang kayu. Ia jadi kebingungan.
Sebab pedangnya tak bisa lagi ditarik atau ditusukkan. Sekarang ia menjadi jeri. Dan selama hidupnya baru kali itu, ia berkecil hati. Suatu peristiwa yang baru dialami.
Setelah mendekati 400 jurus, makin nampaklah ia kepayahan. Ia mencoba mengganti ilmu
pedangnya yang lain. Namun hasilnya masih nol besar. Mau tak mau ia benar-benar merasa
keripuhan. Dalam pada itu, Sangaji sudah memasang jaring-jaring serangan. Sedikit demi sedikit ia
mempersempit lingkarannya. Bagi orang lain, tiada mengetahui dengan pasti apakah dia lagi menyerang atau bertahan. Hanya Andangkara, Tatang Sontani, Tubagus Simuntang,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dwijendra, Walisana, Dadang Wiranata dan Ratna Bumi yang tahu. Sedang Otong Surawijaya
yang ilmu kepandaiannya setingkat lebih rendah dari mereka belum dapat menangkap inti
lingkaran Sangaji yang makin lama makin menjadi sempit.
Memang ilmu sakti Suradira jayaningrat lebur dening pangastuti ciptaan Kyai Kasan Kesambi isinya gerakan lingkaran melulu. Lingkaran kecil dan lingkaran besar.
Namun tetap bergerak tak ubah gelombang samudera yang tiada hentinya. Tetapi tahu-tahu
terdengar suara pekik Edoh Permanasari terkejut.
Semua penonton menajamkan penglihatan. Edoh Permanasari nampak mundur selangkah.
Kemudian dengan memekik tinggi, tiba-tiba masuk ke dalam perangkap jaringan sambil
menusukkan Sangga Buwana. Itulah suatu jurus mati bersama lawan.
Dalam terkejutnya, Sangaji menjepit ujung punggung pedang. Dengan tenaga saktinya yang
luar biasa dahsyatnya, seketika itu juga pedang Sangga Buwana terlengket erat. Kemudian tangan kanannya yang memegang pedang kayu terangkat ke atas dan turun hendak menabas. Tiba-tiba terdengarlah suara, "Ampunilah dia!"
Mendengar suara itu, Sangaji kaget, la sudah terlanjur menurunkan pedang kayunya dengan
deras hendak menebas lengan. Tetapi tak kecewa ilmu sakti Keris Kyai Tunggulmanik yang
meresap dalam dirinya. Dalam rasa kagetnya, masih saja ia bisa memencengkan tebasan. Karena terjadi suatu pertentangan, terbitlah kesiur angin timbunan Pancawara. Dan dengan tak
terkendalikan lagi, meledaklah gumpalan ilmu Kumayanjati. Sebelum sadar apa akibatnya, tubuh Edoh Permanasari terangkat naik dan terbanting tinggi seperti benda tipis ringan yang
terlemparkan ke udara. Di tengah gemuruh sorak dan pekikan, Sangaji menoleh ke arah suara tadi. la melihat
Kamarudin berdiri sempoyongan dengan gumpalan darah di mulutnya. Dengan hati terkesiap ia melesat menghampiri.
Kiranya semenjak tadi dalam diri Kamarudin terjadilah suatu pergulatan seru antara dendam dan kisah asmaranya. Melihat Edoh Permanasari, hatinya meledak bagaikan guntur. Itulah
disebabkan, lantaran teringat seluruh anggota keluarganya dibinasakan oleh iblis itu. Tetapi begitu melihat Edoh Permanasari dalam bahaya, tanpa disadarinya memintakan ampun. Bagus, itu suatu tanda bahwa ia sudah dapat memenangkan rasa dendamnya dengan suatu keikhlasan. Namun
bagi dirinya sendiri, akibatnya sangat runyam. Seperti diketahui ia baru saja kena racun berbahaya. Pertolongan Sangaji terhadapnya sekedar pertolongan pertama, la belum sempat
merawat, lantaran terjadilah perkembangan peristiwa.
Dengan demikian, racun itu berkembang lagi. Dan lantaran dalam dirinya terjadi suatu
guncangan racun lantas saja menyerang jantung. Itulah sebabnya, begitu habis melepaskan
ucapan, segumpal darah meloncat ke tenggorokan.
"Paman...! Kau... kau... sebenarnya belum boleh mengeluarkan tenaga ..." kata Sangaji dengan gugup.
Pedang Tanpa Perasaan 10 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bunga Ceplok Ungu 2