Pencarian

Bende Mataram 44

Bende Mataram Karya Herman Pratikto Bagian 44


maksud mulia itu." Cukuplah sudah keterangan itu bagi Rukmini. Perasaan nalurinya sudah dapat menebak
sebelumnya. Mayor de Hoop akan membuat sulit keadaan anaknya. Hanya saja tidak pernah ia mengira, bahwa kejadiannya sangat cepat dan terlalu dahsyat.
Ia menjatuhkan diri di atas kursi. Tak terasa ia mengusap-usap mata tombak warisan suaminya yang sudah berkaratan. Selagi pikirannya gelisah, pandangannya runtuh kepada ketiga pusaka keramat Sangaji yang berada di atas meja semenjak tadi.
Nah, apa kataku dahulu, bisiknya di dalam hati. Pusaka terkutuk itulah yang menerbitkan
keruwetan lagi. Teringat akan nasib suaminya, hatinya menggeridik. Apakah anaknya akan menemui nasib
yang sama pula" Ia pergi menjenguk keluar. Benar-benar kompeni mengepung kediamannya
rapat-rapat. Samar-samar terlihatlah beberapa serdadu berjalan mondar-mandir dengan
menyandang senapan. Sudah hampir jam empat. Sangaji belum muncul juga. Rupanya dia tahu, rumahnya dikepung
militer, katanya di dalam hati. Tiba-tiba ia setengah berdoa. "Ya Tuhan ...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
moga-moga Sangaji tak teringat akan pulang. Dengan begitu dia selamat. Ya Tuhan ...
lindungilah anakku..."
la duduk kembali di atas kursinya berdoa panjang pendek. Hal demikian itu, tidak hanya
dilakukan pada malam itu. Sudah sering ia berdoa demikian untuk kebahagiaan anaknya pada saat-saat tertentu. Sebab bukankah dia meninggalkan kampung halaman dan ikhlas menanggung derita sepanjang jalan dahulu semata-mata demi anaknya belaka" Itulah sebabnya ancaman
terhadap anaknya samalah juga halnya mengancam dirinya sendiri. Malahan lebih hebat.
Sebab tiap ibu di mana saja akan rela menggantikan penanggung anaknya. Kalau perlu rela
pula mengganti dengan jiwanya sendiri.
Selagi demikian, tibalah Sangaji. Ilmu anaknya sangat tinggi sehingga dengan tiba-tiba saja sudah berada di depannya seperti malaikat.
"Aji!" serunya entah bersyukur entah cemas. "Mengapa kau pulang" Rumah ini dikepung."
Sangaji mengangguk. Dengan berdiam diri, ia memungut ketiga pusakanya. Pedang Sokayana
yang mempunyai berat 80 kg, disangkutkan melintang di belakang punggungnya dengan seutas tali urat kerbau.
Sedangkan Bende Mataram seperti biasanya digantungkan pada pinggangnya. Dan keris Kyai
Tunggulmanik disisipkan di balik bajunya.
"Hai! Mengapa kau bawa-bawa juga benda terkutuk itu?" tegur Rukmini. "Lihatlah! Begini akibatnya. Bukankah aku sudah bilang?"
Sangaji menoleh. Ia merenungi wajah ibunya. Kemudian dengan menghela napas, ia
menyahut: "Benar, Bu. Nampaknya benar. Selalu saja terjadi suatu kekeruhan. Karena itu..."
"Bukankah yang satu kepunyaan Sanjaya?" potong Rukmini. "Sebenarnya bagaimana mulanya sampai engkau yang membawanya?"
Soal beradanya kedua pusaka sakti itu, Sangaji memang belum pernah mengisahkan. Tapi pada saat itu, kehilangan kegembiraan. Dasar ia memang seorang yang selamanya tidak pandai berkata berkepanjangan. Selain itu, kini menghadapi masalah pelik. Maka ia menyahut tak jelas.
"Panjang ceritanya ... Ibu, aku datang untuk menjemput Ibu."
"Kau bilang menjemput Ibu?" Rukmini menegas, la berpikir sejenak. Lalu berkata lagi seperti terkejut. "Ah ya. Kompeni itu. Nah, apa kubilang tadi. Bukankah kusuruh engkau berkata kepada Sonny, bahwa engkau ingin berbicara dengan ayahnya."
"Ya, Bu. Tapi saat ini nampaknya tidak mungkin lagi. Kompeni sudah bertindak. Karena itu kita harus pergi secepat-cepatnya."
"Aku pergi juga?"
"Tentu," sahut Sangaji dengan wajah menebak-nebak.
"Kita pulang ke kampung memang itulah tujuan kita. Tetapi kalau pergi begitu saja seperti orang melarikan diri, rasanya kurang baik. Kau berbicaralah dahulu kepada ayah Sonny. Pintalah ijinnya dan baru kita bisa pulang ke kampung dengan hati lega. Bukankah kedatangan kita dahulu di sini dengan jalan terang juga?"
Sangaji tergugu, la seperti kena suatu pukulan telak. Sekian lamanya, baru dia berkata
memutuskan. "Baiklah, aku akan mencoba berbicara."
Mendengar jawaban anaknya, Ibunya bernapas lega. Sekonyong-konyong suatu ingatan
menusuk kesadarannya. Lantas berkata kaget. "Tapi ... tapi ... kompeni di luar nampaknya bermaksud hendak menangkapmu..."
"Ibu menghendaki aku berbicara dengan Mayor de Hoop dan aku akan pergi meskipun akhirnya aku ditangkapnya."
"Tidak ... tidak! Kalau begitu, tidak baik. Kau harus lari... Ya, harus lari...," kata Rukmini dengan suara tinggi. Tetapi ia terkejut atas ucapannya sendiri. Dan wajahnya nampak menjadi bingung.
Sangaji melihat ibunya bingung, hatinya terasa berguguran. Lantas saja ia memeluk ibunya sambil berkata memberi semangat.
"Ibu! Mari kita berangkat! Semalam aku sudah mendengar wartanya Titisari. Benar-benar ia berada di dekatku."
"Kau bilang apa?" Rukmini terbelalak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan penuh semangat Sangaji menceritakan pengalamannya setelah melihat penjara.
Dengan sedikit segan ia menerangkan, bahwa sersan yang membawa ketiga pusaka itu adalah
salah seorang raja muda Himpunan Sangkuriang. Dengan begitu ia berada di bawah perintahnya.
Girang Rukmini mendengar keadaan putera-nya yang disujudi orang-orang bermartabat tinggi, sehingga ia melupakan suasana yang gawat untuk selintasan.
"Eh Aji, bagaimana kau bisa menanam pengaruh begitu besar kepada para raja muda?"
serunya girang berbareng bangga.
"Itu semua berkat doa restu Ibu. Karena itu, mari kita berangkat. Aku masih sanggup menerobos kepungan ini. Kukira pula, rekan-rekan Himpunan Sangkuriang tidak akan tinggal diam," kata Sangaji yakin. "Aku percaya Paman Maulana Syafri. Sudah sekian tahun lamanya ia mengenakan pakaian seragam. Pastilah dia mengetahui seluk beluk tata militer kompeni."
Mendengar kata-kata Sangaji, wajah Rukmini bersinar terang. Tetapi hanya sebentar.
Mendadak suram kembali. Dengan menggelengkan kepala ia berkata dengan suara berat.
"Anakku, kau berangkatlah sendiri! Ibu akan tinggal di sini. Ibu akan berusaha berbicara dengan Mayor de Hoop."
Sangaji kenal tabiat ibunya yang keras. Sekali telah memutuskan sesuatu, dia berani
menanggung akibatnya. Kalau tidak, ia dahulu tidak akan tabah menanggung siksaan batin.
Kodrat yang membawanya lari ke Jakarta. Karena itu, ia menundukkan kepalanya. Hatinya jadi lemas. Dasar ia seorang yang tak pandai berbicara, dengan sendirinya tak pandai membujuk pula.
Maka katanya menyerah. "Baiklah, Bu! Ibu tidak berangkat, akupun tidak berangkat."
"Kau tak boleh berkata begitu. Kau harus berangkat! Hanya saja pesanku, kau harus menjauhi kedua benda terkutuk itu! Aku tak rela engkau akan menanggung sengsara lagi dengan Titisari.
Engkau harus hidup tenteram dengan Titisari. Sebab puteri itulah yang telah merebut jiwamu di benteng batu. Perkara keluarga Sonny, itulah urusan Ibu. Biar mereka tahu, bahwa kita ini jelek-jelek mengerti membalas budi," kata Rukmini dengan suara menggeletar.
"Ibu hendak melakukan apa?" Sangaji kaget.
"Anakku..." tiba-tiba suara Rukmini terdengar tenang. "Itulah urusan Ibu! Sebentar tadi timbullah keputusanku ... Tuhan Maha Besar ... aku diberi penerangan, diberi jalan yang baik.
Rumah ini dikepung. Maksudnya untuk menangkapmu. Ah ya, mengapa tadi aku tak bisa berpikir begitu" Kalau engkau harus berbicara dengan Mayor de Hoop, bukankah berarti memasuki lautan api" Ah ... Tuhan Maha Besar, hampir saja aku berbuat suatu kesalahan. Sebab, itulah
kewajibanku. Akulah yang akan berbicara. Sebab yang berhutang budi padanya adalah aku. Bukan engkau, anakku ... Dan percayalah, serdadu yang mengepung rumah ini tidak akan berbuat apa-apa terhadapku. Tadi aku sudah berbicara dengan opsirnya..."
"Tidak Bu... Ibu tidak berangkat, akupun tidak berangkat," kata Sangaji. Dan kata-katanya itu disokong oleh pendiriannya yang kuat.
Selagi Rukmini hendak menyanggah, tiba-tiba di luar terdengar suara nyaring.
"Sangaji! Kau menyerah tidak?"
Selamanya tak pernah Sangaji mengenal istilah menyerah meskipun kerapkali ia menghadapi
ancaman maut. Maka kali inipun demikian. Sedang hatinya lagi masgul, ia mendengar suara
direndahkan. Perasaannya yang gampang tersinggung sekaligus tergugah. Setengah meloncat ia muncul di pendapa. Lalu menjawab keras:
"Kau mau tangkap, tangkaplah! Kau mau tembak, tembaklah! Tak usah engkau banyak
berbicara!" Hebat keputusan itu. Bunyinya bagaikan geledek baik bagi Letnan Van Vuuren maupun
Rukmini. "Bagus! Aku akan menghitung sampai sepuluh kali!" Letnan Van Vuuren mengancam. "Jika aku sudah menghitung sampai sepuluh dan engkau tetap membandel, aku akan memberi perintah
menembak. Kau pikirkanlah masak-masak! Ingat semutpun masih sayang akan nyawanya..."
Belum lagi habis kumandang suaranya, mendadak terjadilah suatu kekacauan. Tentara yang
berada di belakang, kena diserbu tiga penunggang kuda. Sedangkan yang berada di tengah
lapangan nampak terdesak mundur. Melihat pemandangan itu, hati Sangaji hampir bersorak.
Pastilah itu perbuatan laskar Himpunan Sangkuriang yang sudah tiba di Jakarta. Tetapi mendadak,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
matanya yang tajam melihat sepucuk meriam raksasa menghadap ke gedungnya. Bukan main
terkejutnya. Terus saja ia memutar tubuh menghampiri ibunya seraya berkata, "Ibu! Mari berangkat. Juga ibu nampaknya tidak diampuni. Rumah kita terancam sepucuk meriam raksasa."
Rukmini tidak memikirkan mati hidupnya lagi. Ia sudah mengambil keputusan hendak
membunuh diri di depan keluarga Mayor de Hoop untuk alasan tahu akan arti budi. Namun
mendengar berita tentang meriam itu, hatinya tergetar. Kalau meriam itu ditembakkan ke
rumahnya, tidak hanya dia seorang yang mati. Sangajipun demikian.
"Di mana?" Ia berdiri tertatih-tatih sambil menggenggam mata tombaknya, la menjenguk ke pendapa. Begitu melihat meriam, terloncatlah perkataannya:
"Lari! Kau larilah!"
Pada saat itu juga, Sangaji mendengar suara melengking jernih yang sudah dikenalnya:
"Sangaji ... lariiii!" Itulah suara teriakan Sonny de Hoop. Dan mendengar suara itu, hati Sangaji lemas. Dalam selintasan saja sadarlah dia, bahwa gadis itu ternyata berada di pihaknya.
"Rubuhhh!" Terdengar suara keras bagaikan genta. Sangaji mengenal suara itu. Sekali pandang, terlihatlah Tubagus Simuntang merabu lima serdadu dengan sekali gerak. Berbareng dengan penglihatan itu, terdengar pula suara Letnan Van Vuuren menggeram.
"Sangaji, aku sudah memberi kesempatan! Satu!... Dua...!"
Sangaji tak bergerak dari tempatnya. Pandangnya dingin seakan-akan tidak menghiraukan
ancaman itu. Sebaliknya, Rukmini menjadi gelisah luar biasa. Dengan suara membujuk ia berkata,
"Aji, anakku! Kau larilah!"
Tetapi Sangaji masih saja tak mau bergerak dari tempatnya. Melihat sikap anaknya itu, tiba-tiba timbullah ingatan Rukmini. Bergegas ia masuk ke dalam kamarnya. Ia memungut kedua pusaka hantaran laskar Jawa Barat. Itulah buah ajaib Dewaretna dan kalung berlian. Berkatalah ia di dalam hati, kalau aku tak mau meninggalkan rumah, betapa dia meninggalkan rumah ini pula.
Baiklah! Ia menghampiri Sangaji dan menyerahkan kedua benda hantaran itu. Katanya, "Kau benarbenar tak mau meninggalkan Ibu?" suaranya pilu berbareng terharu. "Baiklah, kau benar-benar seorang anak yang dapat membereskan hati ibumu. Tak sia-sialah ayahmu menurunkan engkau di dunia. Tunggu, Ibu akan berkemas-kemas. Hanya saja pesan Ibu jangan lupa. Kau kelak harus menjauhkan benda terkutuk itu!"
Sangaji mengira, bahwa ibunya akan berkemas-kemas benar. Hatinya terguncang. Semangat
perjuangannya timbul. Maka dengan wajah berseri-seri ia menerima dua benda hantaran laskar Jawa Barat. Selagi hendak membuka mulut, di lapangan terdengar aba-aba Letnan Van Vuuren.
"Tiga! empat! lima! enam ...!"
Rukmini menekap pergelangan tangan anaknya erat-erat. Hatinya tergetar. Setengah berbisik ia berkata seperti meyakinkan dirinya sendiri. "Benar-benar engkau tak mau berangkat..."
"Mari, kita sekarang pergi!" ajak Sangaji.
Meriam sudah diarahkan ke gedung. Mendadak terdengar suara lengking halus.
"Berhenti!" Tetapi Letnan Van Vuuren tak menghiraukan. Dia terus menghitung. "Tujuh! ... Delapan ...!
Sembilan ...! "Berhenti! Siapapun dilarang menembakkan meriam!" kata suara lengking halus menyanggah.
Dialah Sonny de Hoop yang lari mendekati pasukan penembak meriam. Dan mendengar
larangannya, semua serdadu dalam kesangsian. Mereka tahu, Sonny de Hoop puteri
komandannya. Selain itu, dia sudah berpangkat letnan pula apabila berada di medan perang.
Karena itu, suaranya harus didengar. Dengan Letnan Van Vuuren samalah derajatnya.
"Sonny ...! Minggirrr!" Tiba-tiba dengan suara menggelegar Sangaji memekik nyaring. Pendapa gedungnya tergetar oleh suara saktinya. Dan semua serdadu tercekat hatinya.
Sonny de Hoop melepaskan pandang ke arah pendapa rumah. Ia tertawa. Ia tidak berhias.
Rambutnya yang bagus kelihatan kusut. Sebuah hiasan rambutnya terkatung-katung di tepi
telinga. Terang, bahwa ia tak memikirkan lagi kebiasaannya mempercantik diri. Gerakannya serba gugup dan tergesa-gesa.
Letnan Van Vuuren melemparkan pandang kepada Sonny dengan mata terbelalak. Ia seperti
kebingungan. Sebagai seorang perwira, perintahnya tiada yang berani membangkangnya. Itulah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termasuk peraturan dan tata tertib militer dengan sanksi hukum. Karena itu ia heran mendengar bunyi suara Sonny. Ia seperti tak mempercayai pendengarannya sendiri. Apakah gadis itu
mempunyai pegangan kuat" Sebagai gerakan militer, mungkin pula dia menerima perintah
tindakan lain. Dugaannya diperkuat dengan wajah Sonny yang mendadak tertawa terhadap
Sangaji. Memang, meriam itu tidak boleh ditembakkan bila tidak terpaksa benar. Tujuannya yang utama hanyalah untuk memecahkan kekerasan hati Sangaji. Sebab, kalau Sangaji mau diajak
bekerja sama, itulah jauh lebih bagus. Untuk memperoleh keyakinan, ia menegas. "Dilarang menembak" Siapakah yang memberi perintah?"
"Apakah tuli telingamu?" bentak Sonny de Hoop. "Aku yang melarang."
Letnan Van Vuuren adalah perwira kepercayaan Mayor de Hoop. Biasanya terhadap Sonny dia
bersikap lemah-Iembut. Bahkan mencari-cari muka agar mendapat kesan baik dari ayahnya. Akan tetapi pagi itu, dia menerima perintah langsung dari Mayor de Hoop.
Siapapun dilarang mencampuri. Meskipun demikian, tak berani ia bersikap terlalu tegas
terhadap Sonny. Masih ia mencoba. "Aku mendengar nyata perintahmu. Tetapi kali ini, kuharap kau jangan ikut campur!" Lalu dengan mendadak dia memberi perintah. "Tembak!"
kedua alis Sony de Hoop bangun, karena marahnya. Membentak garang. "Siapa berani
menembak, akan kubunuh! Tidak sekarang., nanti, besok atau lusa! Hayo siapa berani
menembak" Letnan Van Vuuren, mengapa kau tak menghargai diriku lagi?"
Serdadu bagian penembak berbimbang-bimbang. Temannya sudah mengisi bubuk obat. Ia
tinggal menyalakan api, kemudian menyulutnya. Tetapi mendengar ancaman Sonny, tangannya
yang sudah menggenggam nyala api terhenti di tengah jalan dengan gemetaran.
Letnan Van Vuuren mendongkol oleh rintangan itu. Begitu mendongkol dia, sampai ia tertawa terbahak-bahak. Katanya, "Aku hanya tunduk kepada perintah komandan. Apakah kau membawa surat ayahmu?"
"Aku justru datang kemari dengan membawa perintah ayahku. Dan perintah ayahku berbunyi: Jangan tembak! Kau dengar?" Sudah barang tentu, itulah suatu dusta karena gadis itu merasa diri terjepit ke pojok. Sebaliknya Letnan Van Vuuren jadi bersangsi. Tadinya dia mengira demikian halnya. Namun melihat sikap Sonny tak wajar serta pula suaranya terdengar agak menggeletar, timbullah syaknya. Dengan hati-hati ia berkata menguji. "Jika benar, manakah surat perintahnya?"
Sanggahan demikian sudah termasuk dalam perhitungan Sonny. Gadis itu menjawab dengan
beraninya. "Bagaimana Ayah sempat menulis surat perintah" Inilah keputusan mendadak."
Letnan Van Vuuren memberi hormat takzim kepada Sonny sambil berkata, "Perintah ini sangat penting, Sonny. Ayahmu tahu akan hal itu. Andaikata tiada sempat menulis lagi, mestinya Beliau harus datang. Sonny tahu sendiri, tanpa bukti surat perintah, bagaimana aku kelak harus
mempertanggung jawabkan?" Setelah berkata demikian, suaranya kini berubah menjadi tegas berwibawa. "Aku minta dengan hormat, kau mundurlah!" Lalu memberi perintah kepada penembak meriam sambil menghunus pedangnya: "Tembak! Tembak! Siapa membangkang, aku bunuh dengan tanganku sendiri!"
Selama berada di bawah pimpinan opsir itu, belum pernah serdadunya mendengar Letnan
Van Vuuren memberi perintah begitu bengis. Maka dengan kaki dan tangan bergemetaran,
serdadu penembak meriam lantas menyulut bubuk obatnya. Tetapi sebelum sumbu kena sulut,
sekonyong-konyong berkelebatlah sesosok tubuh menyambar dirinya.
"Apakah kau kira, aku tak berani membunuhmu?" itulah suara Sonny sambil menyambar.
Kaget setengah mati serdadu itu. Ia bergulungan mengelakkan. Tatkala ia dapat berdiri lagi, tubuhnya masih utuh. Memang Sonny de Hoop hanya menggertak. Semenjak tadi, dia tak
bersenjata. Tetapi sekarang ia menggenggam sepucuk pedang pendek semacam bayonet. Itulah senjata serdadu tadi yang kena rampas.
Diperlakukan demikian, Letnan Van Vuuren kuwalahan. Wajahnya merah padam, karena tak
tahu lagi apa yang harus dilakukan terhadap puteri komandannya.
"Sonny! Kau membuat aku susah. Ingatlah hal itu!" ia berkata setengah mengeluh. Tatkala itu fajar hari hampir habis. Gdara mulai cerah benar-benar. Itulah waktu yang ditentukan untuk menembakkan meriam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku perintahkan, semua mundur!" bentak Sonny kalap. "Siapa berani mendekati meriam ini, akan kubunuh!" Letnan Van Vuuren benar-benar dalam kesulitan. Kalau saja Sonny bukan puteri komandannya, dia dapat bertindak keras. Tetapi Sonny anak komandannya yang menggenggam
masa depannya. Sekali keliru tangan, dia bisa dihukum atau dipecat. Kalau sampai terjadi demikian, habislah sudah harga laki-lakinya di dunia ini. Karena itu, dia dalam kesangsian.
Sekonyong-konyong datanglah seorang bumi putera yang mengenakan pakaian pelayan. Itulah
pelayan semalam yang dilihat Sonny datang menghadap ayahnya. Melihat kedatangannya, hatinya sudah merasa tak enak. Pastilah ini warta buruk baginya. Dan dugaannya benar.
"Letnan," kata pelayan itu. "Perintah komandan harap terus dilakukan. Siapa saja dilarang membatalkan perintahnya sekalipun puterinya sendiri."
"Mana surat perintahnya?" Letnan Van Vuuren minta keyakinan.
"Ini," jawab pelayan itu. Rupanya pelayan itu yang ingin mengambil muka, dengan diam-diam lari menghadap Mayor de Hoop setelah melihat peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Seperti diketahui, kediaman Mayor de Hoop berada tak jauh dari lapangan.
Letnan Van Vuuren dengan cepat membaca surat perintah itu. Bunyinya: Siapa saja berani
membatalkan perintah, wajib ditembak mati. Meskipun puterinya sendiri. Membaca bunyi perintah itu, hati Letnan Van Vuuren menjadi mantap. Lalu memandang kepada Sonny seraya berkata,
"Sonny, kau dengar sendiri bunyi perintah ayahmu. Nah, minggirlah!"
Mendengar bunyi tulisan ayahnya, Sonny memekik kaget dengan tubuh gemetaran. Bukan main
sedihnya. Inilah untuk yang pertama kalinya ia mengenal tabiat ayahnya. Selamanya ia senantiasa dimanjakan. Semua kehendaknya dipenuhi. Meskipun yang diminta sebenarnya bertentangan
dengan martabat bangsanya. Seperti tunangannya dengan Sangaji. Karena itu, dia berani
menentang perintah Letnan Van Vuuren dengan mengandalkan kepada kasih sayang ayahnya. Di luar dugaan, ia menumbuk batu. Ayahnya tidak hanya berkeras kepala tapi pun sampai rela
mengorbankan jiwanya bila perlu. Dia boleh dibunuh jika perlu! Alangkah dahsyat bunyi perintah itu. Apakah ini benar-benar perintah ayahnya yang dahulu sangat menyayanginya" Sungguh!
Sama sekali ia tak pernah membayangkan, bahwa ayahnya dapat berbuat sekejam itu. Nyatalah kasih sayang ayahnya adalah kasih sayang palsu. Alangkah jauh bedanya dengan almarhum
ibunya. Teringat hal itu, ia menangis dengan hati pedih.
"Sonny! Mundurlah! Perintah militer tak dapat dibatalkan dengan tangisanmu. Kau mundurlah, sebelum aku terpaksa berlaku kasar terhadapmu," ancam Letnan Van Vuuren. Perwira itu sudah memperoleh sandaran kuat. Karena itu, ia bersikap mantap.
Sonny de Hoop menjadi putus asa. Hatinya terasa mendelong. Dunia seolah-olah jadi lawan
baginya. Ia kecewa benar. Kecewa luar biasa besarnya. Mendadak saja ia memutar tubuhnya
menghadap rumah Sangaji. Lalu berkata nyaring.
"Sangaji, kekasihku ... Bukannya aku tak mau membelamu ... tapi karena aku tak berdaya lagi.
Sangaji hatiku ada padamu...."
Setelah berkata demikian, ia menikam ulu hatinya dengan bayonet rampasannya, la rubuh
terbalik. Tapi sebelum rebah di tanah, tangannya berhasil memeluk pangkal meriam. Dan
darahnya membanjir bagaikan dicurahkan.
Melihat peristiwa di luar dugaan itu, Letnan Van Vuuren kaget sampai memekik tertahan. Tetapi dia seorang militer. Segera ia menguasai din, lalu memberi perintah.
Setelah Sonny menikam ulu hatinya dengan bayonet rampasannya, ia rubuh terbalik.
... Dan sebelum jatuh ia sempat memeluk laras meriam sehingga darah yang mengucur dengan derasnya itu membasahi sumbu meriam, hingga...
"Singkirkan tubuhnya! Tembak!"
Beberapa serdadu menarik tubuh Sonny de Hoop yang melengket pada pangkal meriam.
Setelah bersusah payah mereka berhasil menyingkirkan.
Letnan Van Vuuren tak sabar lagi. Ingin ia membuat jasa besar. Maka ia merebut penyulut
sumbu meriam, lalu dinyalakan. Dengan sekali gerak ia memasukkan penyulut itu ke dalam ruang sumbu. Kemudian buru-buru melompat ke samping. Tetapi meriam itu tidak meledak juga. Darah Sonny de Hoop masih dapat menyelamatkan jiwa kekasihnya. Sumbu dengan bubuk mesiu jadi
basah oleh darah. Meskipun disulut berulang kali, tetap saja macet.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua kejadian itu tak terlepas dari pengamatan Sangaji. Dia seorang pemuda yang memiliki ilmu tinggi. Dengan menajamkan pendengarannya, ia dapat menangkap semua pembicaraan yang terjadi di tengah lapangan itu dengan jelas. Hatinya ikut bersitegang melihat Sonny de Hoop yang kemudian disusul dengan membunuh diri, hatinya hancur seperti tergodam palu raksasa. Sesaat ia kehilangan dirinya seolah-olah darahnya berhenti dengan tiba-tiba. Tak terasa ia mengeluh sedih.
"Sonny... cinta kasihmu kutanamkan di dalam dadaku..."
Tak dikehendaki sendiri ia memutar kepala mencari ibunya. Sekonyong-konyong suatu peristiwa baru lagi terjadi di depannya. Rukmini sudah berlumuran darah. Sebuah mata tombak menancap dalam tepat di tengah dadanya. Itulah tombak karatan warisan almarhum Made Tantre. Hati
Sangaji mencelos. Pada saat itu, ia terus memekik.
"Ibu...! Kenapa?"
49. PULANG HATI seorang perempuan memang sukar diduga. Kalau tidak masakan perbuatan Rukmini
dapat terluput dari pengamatan Sangaji yang sudah memiliki ilmu sangat tinggi. Soalnya, seluruh perhatiannya ditegangkan oleh peristiwa yang terjadi di tengah lapangan. Dan sekelumitpun tiada terbintik dalam hati Sangaji, bahwa ibunya akan membunuh diri pula mencontoh Sonny de Hoop.
Alasan untuk berbuat demikian sangatlah lemah.
Jalan pikir Rukmini memang sangat aneh. Melihat anaknya tiada hendak meninggalkan rumah, lantas timbullah keputusannya akan membunuh diri. Ia sendiri tak dapat pergi bersama anaknya, sebelum berbicara dengan Major de Hoop yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi
perlindungannya. Untuk perbuatan itu, ia merasa berutang budi setinggi gunung. Kalau ia pergi begitu saja meskipun alasan-alasannya cukup kuat serta mendesak ia takut dikatakan sebagai makhluk tak kenal budi. Padahal anjingpun mengerti akan membalas budi. Masakan manusia
tidak" Sekiranya terjadi demikian, namanya yang buruk akan menyangkut pula masa depan
anaknya. Itulah sama halnya dengan meracun hidup anak tunggalnya untuk selama-lamanya.
Hidup satu tahun sebagai kambing, apakah senangnya" Itulah bunyi tulisan Wirapati pada tombak almarhum suaminya yang senantiasa mengiang-iang dalam kalbunya.
Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan betapa Sonny dengan gigih hendak
menyelamatkan jiwa anaknya. Hatinya terharu. Sedangkan seorang yang bukan sanak bukan
kadang, berani mempertaruhkan jiwanya. Masakan dia yang melahirkan Sangaji dari rahimnya sendiri, tidak" Hebat getaran hatinya tatkala mendengar pekik penghabisan Sonny yang
menyatakan rasa cinta kasih yang tulus terhadap anaknya. Dan begitu melihat Sonny de Hoop menghabisi jiwanya sendiri, lantas saja ia menikam dadanya.
"Anakku ...! Inilah jalan yang paling baik," bisiknya tatkala kena pandang anaknya. "Sebenarnya hal ini sudah harus kulakukan semenjak ayahmu tewas. Tetapi mengingat engkau ... aku ... aku ...
sekarang, kalau engkau tidak dapat membawa Ibu pergi dari sini... akan sia-sialah jasat ibumu ini..."
Dengan hati pecah Sangaji menyambar tubuh ibunya dan memeluknya sambil menciumi ibunya
sudah menjadi mayat. "Tangkap! Tangkap!" terdengar suara Letnan Van Vuuren. Opsir itu seperti menjadi gila, tatkala melihat meriam kebanggaan kompeni macet oleh darah Sonny de Hoop yang membasahi sumbu
dan bubuk mesiu. Itu berarti akan mensia-siakan kesempatan yang baik untuk membuat jasa.
Sebentar kemudian terdengarlah suara letusan senapan. Dan dalam ruang pendapa rumah
Sangaji, peluru lantas berdesingan. Delapan serdadu maju berbareng hendak menangkap
buruannya. Sangaji sangat bersedih. Hatinya terluka. Tubuh ibunya terus dipeluknya. Tatkala melihat berkelebatnya bayangan orang maju mengepung rumahnya rapat-rapat, teringatlah pesan ibunya bahwa ia harus membawa jasat ibunya pergi dari Jakarta. Suatu perasaan ajaib bergelora di dalam dirinya. Ia harus melaksanakan pesan yang penghabisan itu dengan sebaik-baiknya. Berhasil atau tidak, bukan soal. Yang penting, ia benar-benar sudah membuktikan. Inilah kebaktiannya yang terakhir terhadap ibunya yang dicintainya dengan segenap hatinya. Maka terbangunlah semangat tempurnya. Hebat akibatnya. Dengan memondong tubuh ibunya, ia menyambut serbuan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan sapuan kaki. Selama memiliki ilmu sakti warisan Pangeran Semono, belum pernah ia
bertempur dengan sepenuh hati. Tapi kali ini, hatinya terlalu sakit, la mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan musuh yang kebetulan sangat tepat. Suatu kesiur angin dahsyat menderum bagaikan gelombang pasang. Meskipun jarak sasarannya masih cukup jauh, namun
kedelapan penyerangnya terangkat naik oleh suatu tenaga dahsyat. Tahu-tahu tubuh mereka
terbuang jauh tak ubah bola tendang.
Sangaji yang biasanya berperasaan sangat halus, tidak memedulikan akibat serangannya. Ia justru melompat maju menggempur serombongan pasukan berikutnya. Tangannya menyambar.
Krak! Iga-iga empat orang serdadu sekaligus patah gemeretak. Dengan jerit pilu mereka rebah tak berkutik. Dan nyawanya amblas mendaki udara.
Menyaksikan robohnya dua belas serdadu dengan gampang, semua bintara dan perwira
kompeni hampir maju berbareng dengan serentak.
Sangaji melompat ke belakang pagar pesanggrahan. Tangan kirinya bergerak lagi. Kali ini
menggempur dinding pagar. Brol! Dinding batu ambrol berantakan dan melesat bagaikan peluru berondongan. Dan berbareng dengan itu, ia menyeberang lapangan. Luar biasa gerakan Sangaji.
Tatkala berada di dataran tinggi Gunung Cibugis menghadapi keroyokan para pendekar jempolan, ia melawan dengan dasar mengadu kepandaian. Ia masih dapat menimbang-nimbang arti
kebijaksanaan. Tapi kali ini, dia benar-benar mengamuk. Sebab selain hatinya pepat. Ia sadar bahwa yang dihadapi adalah butir-butir peluru. Maka gerak-geriknya dahsyat bukan kepalang.
Lapangan terbuka seolah-olah kena landa suatu angin puyuh yang datang lenyap tak menentu.
Itulah reaksi ilmu sakti keris Kyai Tunggulmanik yang tersekap sekian lamanya dalam dirinya.
"Ibu!" Sangaji memanggil ibunya sambil menangis. Ia tidak memperoleh jawaban. Ketika tangannya meraba hidung ibunya, tiada terasa lagi kehangatan napasnya. Itulah suatu tanda, bahwa ibunya sudah berpindah tempat ke dunia lain menyusul arwah ayahnya yang sudah lama mendahului. Bukan main rasanya hati Sangaji. Tetapi ia sadar, dirinya terancam bahaya. Lalai sedikit akan mensia-siakan pesan ibunya yang terakhir. Maka selagi serdadu-serdadu kompeni kacau kena serbuan-nya, ia lari sekuat-kuatnya.
Kupingnya yang tajam mendengar bunyi terompet. Lalu bergeraknya pasukan di empat
penjuru. Mereka berteriak-teriak terkejut. Rupanya kena serbu juga. Itulah aksi ketiga
panglimanya: Maulana Syafri, Tatang Sontani dan Tubagus Simuntang yang dapat bergerak ke sana ke mari tak ubah iblis.
"Gusti Aji! Lari..."
Sangaji kabur tanpa tujuan. Kabur begitu saja untuk menjauhi kepungan rapat. Betapa sakti dia, tak mungkin dapat melawan ratusan serdadu dengan seorang diri. Dalam kesulitan itu, barulah dia teringat kepada Willem, si kuda jempolan. Semenjak tiba dari Gunung Cibugis, tiada kesempatan baginya untuk mengurus Willem. Lalu ia dirundung berbagai kejadian yang mendesak dan bertubi-tubi, sehingga Willem luput dari perhatiannya.
Tiba di pinggir kota, ia mementang penglihatannya. Di sebelah selatan nampak sebuah gunung berdiri tegak. Ingin ia cepat-cepat mencapai gunung itu. Kalau ia sampai di wilayahnya, bahaya dapat dilewati dengan selamat.
Pemuda itu masih saja menangis, tetapi tiada bersuara. Ia mengumpulkan semangatnya. Lalu melesat dengan menggunakan ilmu lari ajaran pendekar Gagak Seta. Itulah ilmu petak ajaib.
Apalagi ia bersandar pada tenaga sakti kepesatannya tak dapat dilukiskan lagi. Hakikinya dalam jagat ini, hanya dia seorang yang memiliki kepesatan berlari demikian hebat.
Tengah berlari kencang, di depannya muncul sepasukan serdadu yang dipimpin seorang
perwira berperawakan gagah gesit. Seorang tua berambut putih maju menghadang dari samping.
Sangaji segera mengenal siapa dia. Itulah Tatang Manggala yang datang membantu pengepungan dengan pedang Sangga Buwana di tangannya. Sangaji melompat ke samping untuk mengelak


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan itu. Ia kenal ketajaman pedang pusaka Banten itu. Maka tak mau ia terikat. Dengan menjejak tanah ia menyer-bukan diri ke dalam pasukan yang sedang mempersiagakan alat
bidiknya. Tepat sekali akal Sangaji menyerang pasukan yang bersenjata senapan. Dengan
serangan jarak dekat, senapan tak dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Dan kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sangaji. Pemuda itu lantas menerjang membuat suatu jalan terbuka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perwira yang berperawakan gagah itu, masih saja tenang-tenang berada di atas kudanya. Di belakangnya berderet pasukan berkudanya yang sudah siap dengan senapannya. Mereka bergerak perlahan-lahan membuat pagar pengepungan. Melihat bergeraknya pasukan kuda yang rapih itu, hati Sangaji mengeluh. Sebab untuk menerobos pagar pengepungannya, ia harus membunuh. Hal itu berarti ia akan terikat oleh suatu medan. Tujuan menyingkirkan jauh-jauh akan gagal dengan sendirinya. Tiba-tiba ia mendengar suatu seruan tajam yang sangat dikenalnya.
"Adikku Sangaji! Apakah kau tidak memandang mata padaku?"
Hati Sangaji terkesiap, la menoleh. Dan melihat kakak angkatnya Willem Erbefeld. Dialah tadi perwira yang berperawakan gagah perkasa.
"Kakak Willem! Apakah engkau hendak menangkap aku pula?" seru Sangaji nyaring dengan hati pilu pedih.
"Ya," sahut Willem Erbefeld dengan pendek.
Sangaji tertegun, sehingga gerakan perlawanannya terhenti dengan sendirinya. Berpikirlah dia, Sonny mati. Ibu tiada lagi. Mereka hendak menangkap aku mati atau hidup. Aku sudah kehilangan Ibu dan pelindung ... untuk apa lagi kusayangi nyawaku" Baiklah, daripada aku kena tangkap yang lain lebih baik kuserahkan diriku kepada kakakku ini. Dengan .begitu, jasa akan jatuh kepadanya."
Setelah berpikir demikian, dengan tenang dia berkata, "Baiklah, Kak. Tangkaplah aku! Tapi izinkan aku mengubur Ibu dahulu."
Tanpa menunggu persetujuan, Sangaji melayangkan matanya. Seratus meter di depannya
menghadang sepetak hutan. Tanahnya meninggi meraba suatu gundukan, sehingga merupakan
suatu bukit mungil. Ia bawa ibunya mendaki bukit kecil itu. Dengan pedang Sokayana, ia
menggempur tanah dan membuat liang kubur. Kemudian dengan perlahan-lahan ia meletakkan
ibunya di atas tanah. Mata tombak almarhum ayahnya masih menancap kencang di tengah dada ibunya. Ia tak berani mencabutnya. Kemudian ia berdiri mundur dan membungkuk hormat tiga kali. Setelah itu berjongkok membuat sembah tiga kali pula. Hatinya sangat sedih dan penuh tumpuan-tumpuan perasaan yang tak jelas bunyinya, sehingga ia tak dapat menangis.
Willem Erbefeld melompat dari kudanya, la menghampiri kuburan Rukmini. Dia seorang yang
berpendidikan Belanda. Tak dapat ia membuat sembah, karena itu ia hanya membungkuk hormat.
Setelah itu, ia menyerahkan senapannya dan segenggam uang emas. Akhirnya ia menyerahkan
kudanya pula, kepada Sangaji.
"Kau pergilah! Mungkin untuk selama hidup kita tak bakal bertemu lagi..."
Sangaji tercengang. "Kak Willem... tapi engkau akan kena salah. Banyak bawahanmu menyaksikan, engkau telah dapat menangkap aku ..."
"Aku sudah kenyang hidup ... berperang dari timur ke barat, dari utara ke selatan ...Teringatlah aku, seorang pemuda tanggung kurang lebih berumur 14 tahun berani mempertaruhkan jiwanya untuk menolong jiwaku. Itulah engkau, adikku. Masakan aku tak berani berkorban jiwa untukmu pula" Maka itu, pergilah!" kata Mayor Willem Erbefeld.
"Tapi ... tapi engkau akan kena salah! Biarlah aku mati. Hidupku toh sudah jadi tawar. Aku kehilangan semua yang menambat hatiku. Di depanku hanya tergelar suatu teka-teki belaka ..."
Sangaji menyahut dengan suara gemetaran.
"Meskipun engkau kini seumpama sudah menjadi raja, aku masih menganggap engkau adikku.
Tetapi kemungkinan besar, pasukanku berpikir lain. Engkau dipandang sangat tinggi. Kalau mereka dapat menangkap engkau, akan besar jasanya." Mayor Willem Erbefeld memperingatkan:
"Pergilah, selagi aku masih dapaf menguasai mereka. Cepat!"
Dengan perlahan-lahan, Sangaji menuntun kuda pemberian Willem Erbefeld setelah
memanggul pedang Sokayana di atas punggungnya kembali. Seluruh pasukan Mayor Willem
Erbefeld melompat dari kudanya. Ternyata mereka adalah serdadu-serdadu tangsi yang pernah bergaul dengannya tatkala dia masih hidup di dalam tangsi.
Willem Erbefeld melompat dari kudanya. Ia menghampiri kuburan Rukmini, lalu memandang
Sangaji lama-lama. Dengan Rukmini ia mengenal hatinya, lewat Sangaji yang luhur serta mulia budi. Apa sebab seorang perempuan yang pernah melahirkan seorang pemuda seluhur itu, dapat melakukan bunuh diri" Ia mencoba mengingat-ingat dan merenungkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rukmini seorang perempuan desa yang sederhana hatinya. Ia kawin dengan Made Tantre
seorang bekas prajurit dari Pulau Bali. Agama Hindu Bali dewasa itu masih keras. Seorang isteri yang kematian suaminya, harus pula ikut mati dibakar dengan mengantarkan suaminya kembali ke alam baka. Itulah perbuatan cinta dan kesetiaan abadi. Dan sedikit banyak paham ini pernah meresap dalam hati Rukmini yang sederhana. Tatkala suaminya dahulu tewas sebenarnya ia sudah bermaksud hendak ikut mati pula. Tetapi teringat akan anaknya, ia mengurungkan niatnya. Hal itu, bukanlah berarti ia sudah melepaskan diri dari suatu paham yang sudah menjadi
keyakinannya. Setiap kali ia merasa diri kena amat-amatan suaminya di alam baka. Karena itu, ia pernah jatuh sakit selama hampir satu minggu tatkala Sangaji gagal melakukan tugas suci
membalas dendam keganasan Pangeran Bumi Gede. Di atas tempat tidur ia berjanji kepada
suaminya hendak segera menyusul ke alam baka, manakala Sangaji sudah menjadi orang.
Sekarang terjadilah peristiwa Mayor de Hoop. Hatinya yang sederhana dan bersih terpukul oleh perkembangan hidup. Sebagai seorang yang berhati sederhana, ia merasa diri tak pantas
meninggalkan kota Jakarta tanpa pamit. Lebih baik ia mati daripada merosot kehormatan dirinya sekeluarga. Taruh kata ia meninggalkan Jakarta dengan Sangaji, apakah kata Mayor de Hoop. la akan ditertawakan, diejek dibicarakan dan dikutuk sejarah sebagai seorang yang tidak kenal budi.
la ikhlas mengorbankan diri untuk anaknya, tapi tidak rela apabila anaknyapun ikut pula mati.
Ia mencoba membujuk anaknya agar meloloskan diri dari kepungan. Tapi Sangaji tak mau.
Pemuda itupun berkeras hati hendak mati bersama dengan ibunya.
Perempuan yang berhati sederhana dan bersih dalam kebingungan. Dalam saat-saat yang
sangat penting, manusia ini sering memperoleh titik penyelesaian. Tiba-tiba saja timbullah keputusannya, hendak mati untuk menebus budi berbareng menyelamatkan anaknya. Dan
keputusan ini dipicu pula saat melihat matinya Sonny de Hoop. Gadis Belanda itu rela membunuh diri untuk menyatakan cinta kasihnya terhadap anaknya. Hati seorang ibu manakah yang tidak tergetar oleh peristiwa yang suci itu. Pada detik itu juga, semua keraguan lenyap. Dengan niat menebus budi, menyusul arwah suaminya berbareng menyelamatkan anaknya, ia lalu menikam
dadanya. Sadar perbuatan Rukmini itu atas dirinya. Dalam jiwanya akan melayang, masih ia berpesan kepada Sangaji agar membawa jenasahnya keluar dari rumah. Ia kenal akan hati
anaknya yang patuh dan berbakti padanya. Ternyata pengorbanannya tidak sia-sia. Tuhan
meluluskan jalan bagi seseorang yang bertujuan suci bersih.
Willem Erbefeld seorang Indo berpendidikan barat. Meskipun demikian, ia dapat merasakan
perjuangan hati Rukmini yang sederhana itu. Tanpa berbicara, ia lalu membungkuk hormat
terhadap arwah seorang wanita yang selama hidupnya belum pernah memikirkan suatu
kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
Kemudian ia menyerahkan senapannya dan segenggam emas. Akhirnya ia menyerahkan
kudanya pula kepada Sangaji.
"Selamat jalan adikku ... kau selamatlah pulang ke kampung halaman!" kata mereka hampir berbareng.
Terharu hati Sangaji sampai ia menghela napas. Ia lantas membungkuk hormat kepada
mereka. Setelah itu ia melompat di atas kuda pemberian kakak angkatnya Mayor Willem Erbefeld.
Dua hari dua malam ia melarikan kudanya. Ia hanya berhenti untuk memberi makan dan
minum kudanya. Untuk dia sendiri, ia tak memikirkan. Nafsu segalanya lenyap dari
perbendaharaan hatinya. Dunia baginya seolah-olah tawar. Kuda pemberian Mayor Willem
Erbefeld termasuk seekor kuda pilihan. Tetapi dibandingkan dengan si Willem, selisihnya masih jauh. Meskipun demikian, dengan berlari kencang terus-menerus sampailah dia di Jatibarang pada hari ketiga.
Pada hari keempat, ia memperlambat perjalanan. Pikirnya, untuk apa aku terburu-buru" la
hampir berhenti di tengah jalan dengan pikiran muram. Tiba-tiba teringatlah dia akan pesan ibunya untuk mengembalikan dua pusaka warisan Pangeran Semono. Teringat hal itu,
semangatnya timbul. Sekarang ia mempunyai tujuan. Dan dengan tujuan itu, perjalanannya terasa menjadi lancar.
Sekarang ia telah memasuki wilayah Kasultanan Cirebon. Dan kembali ia merasakan dirinya
asing. Ke mana kelak kalau melaksanakan pesan ibunya" Dalam beberapa bulan saja, ia telah kehilangan tiga mutiara hidupnya. Titisari, Sonny de Hoop, dan Ibu. Tiada lagi ia mempunyai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sanak atau kadang. Bahkan rumahpun tiada. Yang ada tinggal kedua gurunya, paman-paman guru dan eyang gurunya: Kyai Kasan Kesambi yang bermukim di atas Gunung Damar.
Selagi ia bermenung demikian, sekonyong-konyong terdengarlah seorang memanggil dirinya, la menoleh dan melihat seorang laki-laki tua menunggang kuda yang datang padanya dengan pesat.
Setelah diamat-amati, ternyata Tatang Manggala.
"Berhenti! Aku ingin mendengar perkataanmu!" serunya nyaring berulang kali.
Sangaji menahan kendalinya. Dengan tenang ia menunggu. Tak lama kemudian, Tatang
Manggala mendahului beberapa langkah dengan sikap menghadang. Ia bercokol pula di atas
kudanya dengan melintangkan pedang Sangga Buwana. Berkata garang, "Hampir lima hari aku menyusulmu, ternyata engkau masih bisa berlari cepat. Kakak angkatmu membebaskanmu, tetapi aku tidak. Sekarang jawablah yang jujur! Kau masih kembali ke Jawa Barat atau tidak?"
Dengan orang tua itu, tiga kali Sangaji pernah bersua selintasan. Yang pertama di padepokan tabib sakti Maulana Ibrahim. Yang kedua di atas pegunungan Cibugis. Dan yang ketiga tatkala ia bertemu dengan pasukan Mayor Willem Erbefeld. la tak mempunyai permusuhan langsung dengan dia. Rasa permusuhannya hanya berhubungan dengan kedudukannya sebagai Ketua Himpunan
Sangkuriang. Karena itu, ia bersikap tenang tiada kesan buruk. Dengan matanya yang tajam ia kini dapat melihat perawakan Tatang Manggala dengan tegas.
Ia seorang yang berperawakan tegap. Usianya sekitar tujuh puluhan tahun. Meskipun demikian, tubuhnya nampak masih kekar dan kuat. Pandang matanya jernih, suatu tanda bahwa ia tak
berhati buruk. "Nah, jawablah pertanyaanku itu!" ia mendesak.
Sangaji tak segera menjawab. Pendengarannya yang tajam menangkap bunyi pernapasan
beberapa orang yang berada tak jauh dari padanya. Di antara mereka terdapat napas seorang perempuan. Hatinya tercekat. Ia tak tahu apakah mereka musuh atau lawan. Maka dengan tenang ia berkata, "Sebenarnya, apa maksudmu?"
"Kau jawablah pertanyaanku dahulu! Kau masih akan kembali ke Jawa Barat atau tidak?"
"Kalau benar bagaimana, kalau tidak bagaimana?"
"Hm," dengus Tatang Manggala. "Kalau kau masih berangan-angan kembali ke Jawa Barat, hari ini aku terpaksa membunuhmu. Di atas Gunung Cibugis, kau disertai budak-budakmu. Dan
beberapa hari yang lalu, kita diganggu serdadu. Sekarang kau sendirian, akupun begitu. Nah, marilah kita mencoba-coba siapakah yang lebih unggul."
Tatkala Sangaji mengintip di padepokan tabib sakti Maulana Ibrahim, sedikit banyak ia telah mendengar latar belakang riwayat hidup
Tatang Manggala. Orang tua itu mengabdikan diri kepada kerajaan Banten. Ternyata ia seorang hamba kerajaan yang setia. Meskipun Ratu Fatimah tiada lagi, masih ia bekerja untuk kewibawaan kerajaan Banten.
Sangaji tersenyum mendengar ujar Tatang Manggala yang berkesan kentus2). Hendak ia
menyahut, tiba-tiba terdengarlah suara lantang.
"Eh, kau masih ikut-ikutan pula?" Dan begitu habis suara itu muncullah seorang perempuan tua dari balik belukar. Tubuh perempuan itu melengkung karena dimakan usianya. Namun gerakgeriknya gesit. Ternyata dia Diah Kartika adik seperguruan Tatang Manggala, juga salah seorang anggota Himpunan Sangkuriang.
"Di depan ketua kami, masakan kau berani menjual lagak?" bentak Diah Kartika tak senang.
Kemudian dia berputar menghadap Sangaji dan terus membuat sembah adat istiadat Pasundan.
Katanya takzim, "Hamba duta Himpunan Sangkuriang menghaturkan sembah kehadapan Paduka."
Sangaji melompat dari kudanya. Ia membalas hormat seraya membalas. "Apakah Bibi yang disebut Diah Kartika?"
"Benar. Itulah hambamu." Diah Kartika membuat sembah lagi. "Kakak seperguruan hamba berlaku sangat kurang ajar kehadapan Paduka. Perkenankan hamba mengajar adatnya."
Sangaji melirik kepada Tatang Manggala yang nampak pula merosot dari punggung kudanya. Ia tahu, Tatang Manggala kakak seperguruan Diah Kartika yang bersimpang jalan setelah masingmasing menjadi dewasa. Sekarang Diah Kartika minta ijin kepadanya untuk menghajar perilakunya yang tidak disetujui. Kalau ia menyetujui, rasanya kurang tepat. Pikirnya, betapa berbeda jauh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pahamnya, tetapi mereka adalah saudara seperguruan. Kalau sampai bercidera akan merupakan suatu kejadian yang sangat menyedihkan. Menimbang demikian, ia segera berkata:
"Bibi! Nampaknya Paman Tatang Manggala tidak akan mau sudah, apabila belum kubuat-nya puas. Biarlah dia berbuat sekehendaknya."
"Hai! Bagaimana kau kenal namaku?" teriak Tatang Manggala.
"Huh... di dunia ini, manakah yang tidak diketahui pemimpinku" Apalagi hanya namamu yang tiada harganya," bentak Diah Kartika dengki.
Sangaji tersenyum menyaksikan lagak lagu Diah Kartika yang berkesan rada-rada liar itu.
Katanya sabar, "Secara kebetulan aku kenal dengan keponakan murid Paman, Manik Angkeran.
Dialah yang banyak membicarakan Paman."
"Ah, bocah itu?" Tatang Manggala memotong sengit. Ia berhenti bersungut-sungut, lalu berkata meneruskan. "Baiklah kau sekarang sudah kenal siapakah diriku. Nah bagaimana, apakah...
apakah..." ia berbimbang-bimbang. Matanya liar memandang ke kiri kanan. Ternyata dirinya sudah kena kepung para raja muda yang muncul tak ubah cendawan di musim hujan. Andangkara,
Tubagus Simuntang, Dwijendra, Walisana, Dadang Wiranata, Otong Surawijaya, Tatang Sontani dan Maulana Syafri. Mereka berbareng membuat sembah kepada Sangaji. Kemudian dengan tajam mengawaskan Tatang Manggala yang nampak jadi kebingungan.
"Hai! Hai! Apakah kau hendak main kerubut?" katanya sejadi-jadinya.
Sangaji memutar pandangnya dan melihat para panglimanya tidak bergerak atau menunjukkan
suatu kesan. Ia jadi heran. Tatkala melihat mereka meruntuhkan pandang kepada Diah Kartika, maka tahulah dia bahwa Diah Kartika harus bertanggung jawab pada sepak terjang kakak
seperguruannya itu terhadap pemimpin besarnya. Mereka tak mau mengadili, karena Tatang
Manggala kakak seperguruan Diah Kartika. Dengan begitu, mereka menghargai rekan
perjuangannya. Bagus rasa persaudaraan ini, sampai pula Otong Surawijaya yang biasanya
bermulut jahil dapat menguasai diri....
Yang nampak maju mundur adalah Diah Kartika seorang. Menuruti hati, ingin ia membungkam
mulut kakak seperguruannya itu. Tapi mengingat pemimpinnya belum mengizinkan, tak berani ia menentukan sikap. Sangaji tahu pula hal itu. Maka ia maju menghampiri Tatang Manggala dan menegas.
"Manik Angkeran kemenakan murid Paman, sekarang menjadi laskar kami. Sepatutnya tak dapat aku bermusuhan denganmu. Tetapi berkatalah, bagaimana aku akan membuatmu puas."'
"Kalau kau mau pergi meninggalkan wilayah Jawa Barat, pergilah! Aku bahkan akan
mengantarkan sampai di sini. Tapi bila kau bermaksud akan balik kembali di kemudian hari, aku harus merintangi mulai sekarang."
"Tatang Manggala, kau jangan kurangajar!" bentak Diah Kartika. "Kau sudah berjanji tidak akan bertemu muka dengan aku. Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya aku harus melunasi nyawamu demi cita-cita perjuangan. Tapi hal itu kutunda, berhubung himpunan kami ini mendapat seorang pemimpin baru yang setanding dengan Gusti Ratu Bagus Boang. Nah, bukankah berkat adanya
beliau aku telah menunda pelunasan jiwamu" Kau malah tidak merasa berutang budi sebaliknya, malah kini kau banyak bertingkah. Lagipula apakah andalanmu" Meskipun kau menggenggam
pedang pusaka itu, masakan aku tak dapat melawanmu" Kau tak percaya, marilah kita coba!"
"Diah Kartika, adikku," sahut Tatang Manggala. "Denganmu aku memang merasa takluk, sebab guru telah mewariskan seluruh ilmu kepandaiannya. Tetapi dia..."
"Tapi dia bagaimana?" potong Diah Kartika. "Apakah kau kira ilmu kepandaianku pantas dijajarkan dengan ilmu kepandaian ketua kami yang baru" Ketahuilah, meskipun tinggi ilmu sakti perguruan kita, tapi bila dibandingkan dengan ilmu kepandaian ketua kami, seumpama
segenggam garam tercebur di dalam Lautan Teduh. Kau percaya tidak?"
"Mungkin kata-katamu benar. Tapi aku seorang laki-laki. Masakan seorang laki-laki harus mengandalkan saja kepada suatu omongan belaka?"
Betapapun juga, Diah Kartika dan Tatang Manggala merupakan saudara seperguruan yang
sudah bergaul lama semenjak mudanya. Meskipun setelah dewasa bersimpang jalan, dalam hati mereka masing-masing masih ada rasa kasih sayang. Maka mau tak mau, Diah Kartika menghela napas mendengar jawabannya. Akhirnya berkata, "Baiklah begini saja. Kau boleh memilih lawan di antara rekan-rekan kita. Kalau kau menang, anggaplah kita semua kalah. Dan barulah kau boleh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencoba-coba kepandaian melawan pemimpin kami. Sebaliknya bila kalah, maka kekalahanmu itu tidak akan merusak pamor perguruan kita.Nah, bagaimana?"
"Tak bisa! Tak bisa! Tak bisa!" kata Tatang Manggala berjingkrakan. "Aku hanya bermusuhan dengan dia. Lainnya boleh berurusan di kemudian hari. Jangan khawatir, umurku masih cukup seratus tahun lagi...."
Melihat lagak lagu kakak seperguruannya, Diah Kartika mengerenyitkan dahi. Ia kenal Tatang Manggala semenjak mudanya, tapi tak pernah melihat kakaknya berlagak demikian. Ia merasa curiga.
Dalam pada itu, berkatalah Sangaji. "Bibi Kartika, biarlah aku membuatnya puas. Aku berjanji takkan membuatnya kecewa."
"Dia boleh mati, boleh pula cacat. Paduka janganlah bersegan-segan. Sebab meskipun ilmu silat kakak hamba tiada harganya, tetapi dia mempunyai kepandaian main racun. Sedang di tangannya menggenggam pedang pusaka Banten," kata Diah Kartika dengan bersembah.
Sangaji mengangguk, la lantas maju dua langkah lagi. Mendadak di luar dugaan siapa saja.
Tatang Manggala menjerit-jerit sambil membolang-balingkan pedangnya dengan serabutan.
"Gusti Ayuuuu! Gusti Ayuuu ... tolong! Dia maju benar-benar! Tolong! Tolong!"
Semua yang mendengar jeritan itu jadi tercengang. Terlebih-lebih Sangaji. Ia menoleh kepada Diah Kartika untuk mencari kesan. Perempuan tua itu mengerenyitkan dahi dengan memutarkan matanya. Tiba-tiba wajahnya jadi mengerti. Malah lantas terbayang suatu senyum. Sangaji
berpaling ke arah pandang Diah Kartika. Hatinya memukul. Karena tak jauh dari padanya,
berjalanlah seorang gadis yang membuat dia bermimpi terus-menerus. Dialah Titisari yang
berjalan perlahan-lahan memasuki lapangan dengan diikuti oleh seorang laki-laki berperawakan ramping. Laki-laki itu sebaya usianya dengan paman gurunya, Gagak Handaka.
Tatang Manggala menyongsong dengan setengah berlari sambil menuding-nuding Sangaji.
"Gusti Ayuuu ... dia benar-benar hendak melawan aku. Bagaimana" Apakah aku harus melawan juga?" katanya kekanak-kanakan.
Belum lagi Sangaji habis rasa herannya oleh kejadian yang mengajaibkan itu, tiba-tiba suatu kesiur angin dahsyat merabu dari samping, la kaget sampai perlu menghindari.
"Hai! Hai! Mana anakku" Inilah Raja Langit yang baru tiba," kata seorang laki-laki sambil terus menggempur. Dialah Kebo Bangah yang semenjak beberapa bulan yang lalu terus berputar-putar dari tempat ke tempat dengan tak keruan juntrungnya.
Tatang Manggala kaget setengah mati, menghadapi serangan tiba-tiba itu. la sama sekali tak berjaga-jaga. Dalam kagetnya, masih ia berusaha menangkis gempuran itu dengan pedangnya.
Tapi jangan lagi ia dalam keadaan tak berjaga-jaga, sekalipun ia bersiaga betapa sanggup menangkis gempuran Kebo Bangah yang terkenal maha dahsyat semenjak belasan tahun yang
lalu. Maka bersama pedangnya ia terpental di udara dan jatuh menggabruk di atas tanah dengan me-lontakkan darah. Untung, pedangnya terlepas dari genggamannya. Kalau tidak, tubuhnya bisa kutung beberapa bagian.
Setelah mementalkan Tatang Manggala, Kebo Bangah berputar menyerang Titisari. Dengan
gesit Titisari mengelak. Sewaktu menoleh, Kebo Bangah sedang bertempur dengan laki-laki
setengah umur yang mengawalnya.
"Suryapranata! Hati-hati!" seru Maulana Syafri yang sudah kenal siapa pendatang itu.
Baik Suryapranata maupun Kebo Bangah belum pernah bertemu. Apalagi mengadu kepandaian.
Maka perkelahian tanpa sebab musabab itu, tak ubah saling menjajal-jajal kepandaian lawan.
Titisari dan Maulana Syafri kenal ketinggian ilmu Kebo Bangah. Karena itu mereka mencemaskan Suryapranata.
Kebo Bangah seorang pendekar bertubuh tinggi besar. Meskipun ia menekuk sedikit kedua
kakinya, masih saja ia nampak lebih tinggi daripada Suryapranata. Dia terus mendesak dengan pukulan-pukulan dahsyat. Hebat cara bertempurnya. Apalagi otaknya miring. Cara berkelahinya lantas saja mirip dengan orang sedang kalap.
Suryapranata sebenarnya seorang jago yang sudah lama terkenal di antara laskar perjuangan Jawa Barat. Gerak geriknya gesit, pukulannya berat dan pandai melihat gelagat. Ia bersenjata tongkat terbuat dari baja pilihan. Dan dengan baja itu, ia malang melintang tanpa tandingan.
Karena itu, ia termasuk seorang raja Himpunan Sangkuriang yang besar pengaruhnya. Setiap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
langkahnya membawa suatu tenaga tekanan. Pukulannya disertai angin berderu-deru. Meskipun demikian, melawan Kebo Bangah yang berotak miring ia nampak keteter.
Sebentar saja lima puluh jurus telah terlampaui. Sekonyong-konyong Kebo Bangah kumat
penyakitnya. Dengan menjerit-jerit ia menyerang kalang-kabut. Ia menggigit kakinya sendiri, mengemplang kepalanya sendiri, namun serangannya tiada henti. Kacau cara dia menyerang. Tapi justru kacau tak keruan, hati Maulana Syafri berkebat-kebit.
Para raja muda yang berdiri berjajar di tepi gelanggang tercengang menyaksikan gerakan Kebo Bangah. Selama hidupnya belum pernah mereka bersua. Siapakah orang itu yang memiliki ilmu silat begitu tinggi" Mereka saling pandang dengan bertanya-tanya..
"Suryapranata, awas!" Maulana Syafri memberi peringatan. "Jangan menganggap dia lawan lumrah. Dialah sang maha sakti pendekar Kebo Bangah."
Mendengar kata-kata Maulana Syafri, selain Sangaji, Titisari terkejut sampai wajah mereka berubah. Sebagai tokoh-tokoh sakti, sudah barang tentu nama itu mereka kenal. Tetapi orangnya, baru hari itulah mereka kenal.
Hebat pengaruhnya bagi pendengaran Suryapranata. Meskipun ia termasuk golongan pendekar
besar, namun hatinya tercekat juga. Gerakannya agak kacau. Dan inilah suatu pantangan besar bagi mereka yang sedang mengadu kepandaian dalam saat-saat menentukan mati hidupnya.
Karena begitu terlowong sedikit, Kebo Bangah lantas saja menerobos masuk dengan
gempurannya. Tetapi benar-benar Suryapranata bukan nama kosong melompong. Dalam bahaya, masih ingat
ia menyelamatkan diri. Sekali menggenjot kakinya, tubuhnya terlempar di udara. Kemudian
dengan berjumpalitan ia turun ke tanah dengan manis.
"Benar-benar berbahaya," keluhnya. Tetapi ia tertawa juga. Katanya, "Siapa yang akan mencoba-coba?"
Belum habis perkataannya, Kebo Bangah sudah merabunya kembali dengan bergulungan.
Selagi Suryapranata sibuk menebak-nebak, Maulana Syafri maju menyongsong serangan aneh.
Dengan Kebo Bangah sudah pernah dia bertempur satu kali. Itulah sebabnya, ia lebih mengenal sifat serangan Kebo Bangah daripada rekan-rekannya. Tanpa ragu-ragu lagi ia menusukkan
pedangnya ke arah mata. "Hai, pembunuh anakku! Biarpun kau malaikat, raja dari langit tidak takut," teriak Kebo Bangah.
Menyusul teriakannya, tubuhnya mencelat tinggi. Kedua kakinya dengan berbareng menendang ke arah mata Maulana Syafri. Dan melihat serangan balasan itu, mau tak mau sekalian raja muda yang hadir di situ, menghela napas.
Mereka berdua lantas saja bertempur dengan serunya. Dan rekan-rekannya menyaksikan
dengan jantung berdebaran. Mereka tahu, Kebo Bangah dalam keadaan tidak beres otaknya.
Karena mereka belum mengenal Kebo Bangah sewaktu masih sehat, maka mereka menganggap
perlawanannya benar-benar timbul dari kesadarannya.
Beberapa puluh jurus telah lewat. Maulana Syafri mulai bermain, mundur. Raja muda
Andangkara jadi gatal. Dengan bersuit ia melompat maju sambil menghantam. Hebat
gempurannya. Itulah gempuran dengan disertai ilmu sakti andalannya. Dan digempur demikian, cepat Kebo Bangah membalikkan diri. Ia songsong gempuran itu dengan hantaman pula. Bres!
Luar biasa akibatnya. Kedua-duanya terpental mundur. Tubuh Andangkara tergoyang-goyang.
Kemudian berjungkir-balik untuk memusnahkan tenaga lawan. Sebaliknya Kebo Bangah masih bisa tertawa haha-hihi.
Semenjak ia kena pukulan ilmu sakti Sangaji, tenaga sakti menjadi berlipat ganda. Dahulu saja, tenaga saktinya seimbang dengan Gagak Seta atau Adipati Surengpati. Mereka berdua merasa tak ungkulan. Tenaga sakti Andangkara dan raja muda lainnya sejajar dengan tenaga sakti Gagak Seta dan Adipati Surengpati. Mungkin pula masih kalah satu tingkat. Karena itu tidak
mengherankan, bahwa dengan sekali beradu tenaga, gempurlah benteng pertahanan Andangkara.
Sadar bahwa ia masih kalah beberapa tingkat, ia mengmundurkan diri dengan tertatih-tatih.
Wajahnya nampak wajar. Ia menganggap kekalahan itu sudah semestinya, mengingat nama Kebo Bangah terlalu besar baginya. Dan melihat mundurnya Andangkara, rekan-rekannya yang lain tidak berani mencoba-coba. Hanya si mulut jahil, Otong Surawijaya masih penasaran. Teriaknya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nyaring, "Hai Kebo Bangah! Kau jangan terburu menepuk dada. Soalnya kita tak mau maju berbareng. Coba kau kita kerojok dua tiga orang saja, bagaimana kau bisa menaruhkan kakimu."
Meskipun jahil, sesungguhnya Otong Su-rawijaya berotak cerdik. Dengan ucapannya itu, ia
bermaksud hendak melindungi nama para pendekar Himpunan Sangkuriang yang kena dikalahkan oleh Kebo Bangah. Sudah barang tentu, ucapannya tidak disetujui rekan-rekannya. Semenjak semula tiada berbintik niatnya hendak main keroyokan.
Sangaji tahu kesukaran mereka, namun dirinya seolah-olah hilang. Pandangnya terus
terpancang pada wajah Titisari yang berdiri tegak tak ubah seorang dewi. Kala itu Titisari mengenakan pakaian serba putih. Wajahnya cantik luar biasa dan nampak lebih matang.
"Benarkah aku bertemu kembali dengan Titisari?" kata hati Sangaji yang tak mempercayai penglihatannya sendiri. Maklumlah, hatinya hancur berantakan ditimpa suatu malapetaka
beruntun. Titisari kenal keadaan hati kekasihnya. Untuk memperoleh kepulihannya lagi, pemuda itu harus disentakkan urat syarafnya. Memikir demikian, ia berjalan memasuki gelanggang pertarungan.
Lalu berkata lantang kepada Kebo Bangah, "Bangah! Kau mencari anakmu?"
Kebo Bangah tercengang mendengar suara itu. Itulah suara yang pernah dikenalnya. Dengan
kepala miring, ia mengawaskan wajah Titisari dengan paras berkerut-kerut.
"Kau bilang apa, Nona?" tanyanya mendengus dengan suara gemetaran.
"Kau mencari anakmu?"
"Ya benar. Kau siapa?" dahi Kebo Bangah mengerenyit. Tiba-tiba meledak, "Hai! Bukankah engkau menantuku?" Wajahnya lantas saja jadi berseri-seri. la nampak tercengang atas pertemuan itu.
"Benar! Aku memang anak menantumu," kata Titisari.
"Ah, anak yang baik. Lalu ... dimanakah suamimu?"
"Dewaresi, maksudmu?"
"Ya, dimana dia" Mengapa tidak bersamamu?"
Titisari tertegun. Selang beberapa saat berkata dengan suara sedih. "Dia dibunuh orang."
"Kau bilang apa?" Kebo Bangah terkejut. "Dia dibunuh orang!"
Mendengar ketegasan Titisari, orang tua itu sekonyong-konyong menangis menggerung-
gerung. Di antara tangisnya terdengarlah suara keluh kesahnya yang sedih luar biasa.
Tubuh Kebo Bangah terpental dan terangkat naik ke udara. Kemudian dengan suara
bergedebrukan, Kebo Bangah jatuh tertengkurap di atas tanah.
"O, Allah ... kau mati dibunuh orang" Kau mati dibunuh orang?"
Para pendekar Himpunan Sangkuriang tak mengerti latar belakang riwayat itu. Mereka
mendengarkan serentetan pembicaraan mereka berdua, dengan tercengang-cengang serta penuh teka-teki. Menurut warta pendengaran mereka, Titisari adalah calon permaisuri junjungannya.
Mendadak kini mengaku sebagai menantu Kebo Bangah. Apakah ini suatu akal cerdik atau
memang dia seorang janda pilihan junjungannya"
Selagi berteka-teki sibuk, mendadak Kebo Bangah menggerung dahsyat, la menegakkan
kepalanya. Dengan pandang bengis, ia membentak. "Ah tidak! Tidak!... Bukankah engkau gadis yang menolak pinanganku?"
"Benar," jawab Titisari. "Kau sudah tahu, mengapa kau menyebut aku sebagai menantumu?"
Mendengar jawaban Titisari, legalah hati para raja muda.
"Bagus! Kalau begitu, engkaulah yang membunuh anakku. Benar?"
"Benar. Memang aku yang membunuhnya. Dia kutikam seribu kali sampai tubuhnya porak-
poranda, lalu kukuliti. Lalu kukeluarkan isi perutnya. Lalu kumakankan kepada binatang
piaraanku. Akupun mencicipi sebongkah dagingnya. Dasar ia berhati binatang, maka dagingnya bukan main ketatnya ..."
Hebat kata-kata ini. Sedangkan dilontarkan kepada seorang yang sehat otaknya sekaligus dapat menggeridikkan bulu roma serta dapat membangunkan rasa mata gelap. Apalagi Kebo Bangah kini bukan Kebo Bangah dahulu yang sehat akalnya. Seketika itu juga, menggerunglah dia dahsyat.
Begitu dahsyat suara menggerungnya, sehingga mampu menggetarkan tubuh para raja muda.
Menyusul genangannya, tubuhnya berkelebat menerkam Titisari. Dan para raja muda memekik
terkejut Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sangaji yang semenjak tadi berdiri seperti kena pukau tersentak kaget oleh bunyi derum itu.
Hatinya terguncang sewaktu melihat Titisari terancam bahaya. Sekaligus lupalah dia kepada masalahnya yang ruwet. Ia sadar kembali seperti sediakala. Terus saja berkata nyaring. "Titisari!
Jangan takut, aku akan menolongmu!"
Dengan menjejak tanah, ia melesat dan menghadang pukulan Kebo Bangah yang kedua setelah
pukulannya pertama dapat dihindari Titisari. Sangaji pernah mengadu tenaga dengan Kebo
Bangah di padepokan Gunung Damar. Maka ia bisa menimbang berat entengnya. Ia tak berniat hendak menewaskan, karena itu hanya menggunakan tenaga tujuh bagian. Meskipun demikian,
tubuh Kebo Bangah terpental dan terangkat naik ke udara. Kemudian dengan suara
bergedebrukan, Kebo Bangah jatuh tertengkurap di atas tanah.
Tatang Manggala, Suryapranata dan Diah Kartika belum pernah menyaksikan ilmu sakti Sangaji.
Melihat peristiwa itu, mereka kagum sampai terperanjat. Pikir mereka, di dunia ini masakan ada seorang yang memiliki tenaga begitu dahsyat" Ratu Bagus Boang sendiri, belum tentu."
"Eh tolol! Kau akhirnya ingat untuk menolong aku," kata Titisari.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manis sekali suara itu dalam pendengaran Sangaji. Sekian lamanya, tiada yang menyebutnya dengan si tolol. Sekarang ia mendengar kembali untuk yang pertama kali. Alangkah sedap.
"Kau baik, bukan?" katanya senang.
"Kalau tidak baik, masakan kau sudi melihat aku lagi?" sahut Titisari genit. O, bukan kepalang nyamannya. Suara itu meresap di dalam kalbu Sangaji seolah-olah air hidup turun dari alam gaib.
Maka terbangunlah semangat jantannya.
"Paman Kebo Bangah! Lihatlah yang terang! Siapakah aku?"
Waktu itu Kebo Bangah telah merangkak-rangkak bangun. Ia heran kena pukulan itu, sampai
tenaganya sendiri mendadak menjadi punah. Selama hidupnya, entah sudah berapa kali ia
mengadu kepalan dengan siapa saja. Belum pernah bertemu tandingnya kecuali ... Tiba-tiba samar-samar ia seperti pernah mengadu tenaga dahsyatnya itu.
"Hai...! Bukankah engkau Sangaji?"
"Benar, Paman. Akulah Sangaji ..." jawab Sangaji dengan terharu. Dan begitu mendengar nama Sangaji, tiba-tiba Kebo Bangah menjerit. Lalu kabur dengan lari tunggang-langgang.
"Sangaji! Sangaji! Sangajiii" la lari sambil menjerit-jerit. Sebentar tubuhnya lenyap dari penglihatan, namun gaung suaranya masih terdengar selintasan. Lalu lenyap di balik pegunungan hijau.
Dengan hati pilu Sangaji mengawaskan keblat larinya Kebo Bangah. Ia menghela napas. Lalu berputar menghadapi Titisari. Wajahnya penuh dengan pertanyaan bertubi-tubi.
"Hai, tolol! Masakan engkau tak mau menyambut aku" Baiklah aku pergi lagi seperti dahulu..."
Hati Sangaji tidak terbuka seperti hati Titisari. Kena pandang bawahannya, ia merasa bersegan-segan. Tanpa berkata sepatah kata-pun jua, ia datang menghampiri, la mendekap pergelangan tangan Titisari erat-erat. Namun mulutnya masih saja membisu.
Luar biasa hebat kesan adu tenaga dahsyat itu bagi Suryapranata dan Diah Kartika. Terus saja mereka datang menghadap dan membuat sembah,
"Hamba Suryapranata dengan ini menghaturkan sembah," kata Suryapranata.
Cepat Sangaji membalas sembahnya dengan membungkuk hormat.
"Paman! Namamu sudah tersimpan dalam ingatanku semenjak aku berada di atas dataran
tinggi Gunung Cibugis. Juga nama Bibi Diah Kartika. Dahulu ingin aku bertemu dengan kalian bertiga, Paman Maulana Syafri, Paman Suryapranata dan Bibi Diah Kartika. Hatiku belum merasa tenteram, sebelum aku bertemu muka. Sekarang telah dikabulkan. Hanya Aki Tunjungbiru, di manakah dia?"
Semua raja muda mengarahkan pandang kepada Titisari. Sangaji mengikuti pandang itu.
Melihat Titisari tersenyum manis, ia hendak membuka mulut untuk minta keterangan. Tetapi Titisari sudah mendahului.
"Aki Tunjungbiru dan kudamu Willem sebentar lagi akan tiba. Tinggal tunggu sutradaranya ..."
Sangaji tercengang mendengar ujar Titisari. Katanya dengan suara tinggi.
"Siapa sutradara yang kau maksudkan?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Titisari tak menjawab. Ia membuang pandang ke samping. Dan betapa tolol Sangaji, ia seperti sudah dapat menebak. Tanpa berkata mendesak lagi, ia terus menggenggam tangan Titisari
kencang-kencang. "Eh, Aji! Apakah kau hendak meremuk tanganku?" kata Titisari. "Ya, memang pantas aku kau remuk. Aku menerbitkan gelombang yang tak menyenangkan bagimu. Semestinya engkau kini
sudah menjadi menantu seorang opsir kompeni Belanda"
"Titisari! Kalau kau berkata begitu sekali lagi, aku benar-benar hendak meremuk tanganmu,"
ancam Sangaji, seraya menguraikan genggamannya.
Titisari menengadah ke langit. Hatinya lega luar biasa. Ia ingin menikmati kelegaan hati itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara Tatang Manggala dengan napas kempas-kempis.
"Gusti Ayu ... Tolong terangkan, bahwa sepak terjangku yang kurang ajar, sesungguhnya atas petunjukmu."
Titisari tersenyum. Ia lantas berbisik di dekat telinga Sangaji.
"Dia menyebutku dengan Gusti Ayu. Itulah sebutan bagi seorang permaisuri. Kau kini seorang raja. Apakah sebutan itu terjadi, karena aku benar-benar pantas disebut begitu?"
Teringat akan cerita Maulana Syafri tentang Tatang Manggala dan Titisari serta sepak
terjangnya yang bermusuhan dengan laskar pejuang dan kini mendadak bisa mengabdi kepada
Titisari, benar-benar merupakan suatu hal yang menarik perhatian Sangaji.
"Titisari!" kata Sangaji. "Semenjak dahulu kau tahu otakku amat bebal. Dia menyebutmu dengan sebutan Gusti Ayu. Apakah engkau...." Merah wajah Titisari mendengar kalimat Sangaji yang penghabisan itu. Memang sebutan Gusti Ayu diperuntukkan bagi seorang permaisuri.
Sedangkan untuk puteri yang belum kawin digunakan sebutan Gusti Ajeng. Sekarang Sangaji
bersangsi terhadapnya, seolah-olah ia sudah menyerahkan dirinya kepada jejaka lain. Padahal dia tadi sudah menyindirnya Sangaji sebagai seorang raja. Teringat akan kepolosan dan
kesederhanaan hati pemuda itu, ia lantas berkata. "Panjang ceritanya ... Bibi Diah Kartika pastilah pula mempunyai kepentingan langsung. Baiklah, kita mencari tempat yang teduh sambil
menunggu Aki Tunjungbiru. Mari!"
Mereka semua bergerak mencari tempat berteduh. Kebetulan sekali, beradanya mereka dekat
sepetak hutan. Hutan belantara pada dewasa itu, masih penuh-penuh menutupi wilayah negara.
Beberapa kilometer saja di luar kota, sudah menghadang ladang hutan yang berpal-pal
panjangnya. Maka dengan serentak mereka menyeberangi lapangan berlaga. Juga Tatang
Manggala mengikuti mereka dengan jalan tertatih-tatih.
"Bibi Kartika, mendekatlah! Cerita tentang Paman Tatang Manggala benar-benar menarik,"
Titisari mulai. Seperti diketahui, Titisari kena pukulan beracun Tatang Manggala. Kalau, tidak memperoleh pertolongan Diah Kartika, pastilah dia akan tewas. Karena itu, tak dapat ia melupakan Tatang Manggala. Kebetulan pula Diah Kartika sudah merasa takluk kepadanya semenjak mengadu ilmu pengetahuan. Titisari selain seorang gadis gagah, ia pandai mengambil hati pula. Selama berobat ia sudah dapat menawan hati Diah Kartika dengan uraian-uraian tentang dalil ilmu Aljabar, ilmu Alam, ilmu Hayat dan ilmu perbintangan. Dari mulut Diah Kartika ia mengenal Tatang Manggala lebih jelas. Maulana Ibrahim, Tatang Manggala dan Diah Kartika adalah saudara seperguruan.
Mereka murid pendekar sakti Sadewata. Mendengar kabar bahwa ilmu silat Tatang Manggala
sebenarnya tidak tinggi, besarlah hati Titisari. Begitu sembuh dari lukanya, bersama Maulana Syafri ia mencari Tatang Manggala.
"Aku yakin bahwa Tatang Manggala bukan manusia jahat," katanya. "Murid pendekar sakti Sadewata, masakan bisa salah jalan" Pastilah ada sebab-musababnya."
Titisari memang seorang gadis berotak cemerlang yang dilahirkan oleh zamannya. Apa yang
masih gelap bagi orang lain, untuknya dapat terbaca dengan terang. Jalan hidupnya seperti sudah disediakan di depannya. Dan demikianlah dengan pertolongan Maulana Syafri yang memiliki ilmu tinggi, ia berhasil menyelidiki keadaan rumah tangga Tatang Manggala. Ternyata murid kedua pendekar sakti Sadewata itu tidak pernah kawin. Ia hidup membujang semenjak zaman mudanya.
Hal itu menarik perhatiannya.
Kalau dia tidak beranak isteri apa sebab dia begitu bersemangat mengabdikan diri kepada Ratu Fatimah yang terang-terangan memusuhi laskar Jawa Barat"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada suatu malam, waktu ia berada di atas genting dilihatnya Tatang Manggala menangisi
sebuah gambar tangan yang dipasangnya di atas tempat tidur. Lapat-lapat ia mendengar Tatang Manggala mengeluh, "Sudah sekian tahun lamanya, masakan kau tak tahu hatiku" Kini engkau bahkan akan membunuhku. Baiklah, aku serahkan jiwaku asalkan engkau membunuh aku
bersama-sama dengan kakak Maulana Ibrahim."
Titisari manajamkan penglihatannya. Gambar tangan itu melukiskan wajah seorang gadis yang elok. Setelah diamat-amati, ia terkejut. Karena wajah pada gambar itu seperti pernah dilihatnya.
Sewaktu ia minta pertolongan Maulana Syafri, dengan serta-merta ia memperoleh jawaban.
"Itulah wajah Diah Kartika pada masa mudanya. Mengapa orang tua itu menangis dan meratapi?"
Sampai di situ, tiba-tiba Tatang Manggala berkata nyaring. "Sudahlah ... sudahlah ... itukan zaman mudaku!" Wajah pendekar itu berubah menjadi merah. "Kalau diteruskan, aku akan lari saja."
"Paman! Kau ingin memperoleh perdamaian hati. Itulah manakala kau dapat diterima kembali oleh Bibi Diah Kartika. Dan aku sudah berjanji. Sekarang Bibi berada pula di sini. Kalau aku tidak meriwayatkan latar belakangnya, masakan aku bisa berhasil menunggalkan kembali?" kata Titisari dengan wajah merengut. "Toh di sini hanya ada handai taulan dan sahabat-sahabat yang sudah kenyang makan garam hidup."
Di luar dugaan Diah Kartika nampak resah. Agaknya ia seperti sudah dapat menebak dua tiga bagian. Mula-mula tercengang-cengang, mendadak wajahnya yang sudah banyak keriputnya
bersemu merah dadu. Rasa dan perasaan demikian memang tidak hanya dimiliki oleh orang-orang muda belaka.
Dengan Tatang Manggala memang dia sudah bergaul rapat di masa mudanya. Hanya saja dia
tidak tahu, bahwa diam-diam Tatang Manggala mencintainya. Malahan tidak hanya Tatang
Manggala melulu. Kakaknya seperguruan Maulana Ibrahim yang dianggapnya sebagai kakak-
kandungnya sendiri, mencintainya juga.
Ia terkejut tatkala mendengar keterangan Titisari, bahwa Maulana Ibrahim dan Tatang
Manggala pernah berkelahi mati-matian untuk memperebutkan. Aneh sekali, bahwa kedua kakak seperguruannya selama di perguruan tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda begitu. Rupanya demi menjaga hatinya masing-masing, antara Maulana Ibrahim dan Tatang Manggala sudah
terjalin suatu ikrar, bahwa masing-masing tidak boleh memiliki adik seperguruannya yang cantik jelita itu. Tetapi sewaktu Diah Kartika sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang pendekar lain, mereka serempak bersakit hati. Kedengkian mulai menggerumuti perasaan mereka berdua. Dan seperti berjanji, mereka berdiri di pihak lain demi mengimbangi kebahagiaan Diah Kartika yang terkutuk itu. Selain Diah Kartika dan suaminya berada di pihak Ratu Bagus Boang, dengan
serempak mereka mengabdikan diri kepada Ratu Fatimah. Demikianlah semenjak itu, terjadilah suatu simpang jalan.
Dan sekarang, baik Maulana Ibrahim maupun Tatang Manggala sudah menjadi tua. Meskipun
untuk menyatakan cinta kasihnya terhadap Diah Kartika, mereka enggan bersentuhan dengan
wanita lain, namun lambat laun kekerasan hatinya mulai pudar dimakan usianya. Semenjak itu, mereka merindukan kedamaian hati. Suatu kedamaian yang pernah mereka kejap tatkala masih hidup bersama di dalam perguruan. Untuk mencapai hal itu, Maulana Ibrahim memundurkan diri dari pemerintahan Kesultanan Banten. Dan
Tatang Manggala kembali ke kampung halaman.
Kelemahan itu segera dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Titisari. Dia melihat suatu keuntungan untuk masa depan pada diri Tatang Manggala. Maka tujuan untuk membalas dendam diubahnya menjadi tujuan untuk menaklukkannya.
Titisari memang seorang gadis yang selalu berhasil dalam setiap tujuan, meski betapa sulit jalan yang akan ditempuhnya. Itulah kehendak zamannya. Manusia tak dapat mengganggu-gugat.
Kebetulan sekali, dan di luar dugaan Titisari sendiri, Edoh Permanasari yang terkenal sebagai seorang yang berhati iblis, mempunyai kejujuran hati yang murni. Belasan tahun, ia malang-melintang tanpa tandingan dan tiada seorangpun di dunia ini yang ditakuti selain gurunya.
Mendadak terhadap Titisari, ia mempunyai kesan lain. Itulah disebabkan oleh cerita tentang Sangaji. Ia merasa diri mempunyai jalan hidup yang mirip. Sama-sama patah cinta dan hidup merana dalam kesepian dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hati kecilnya, sesungguhnya ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merindukan seorang teman yang senasib dan sepaham. Dan menurut Edoh Permanasari syarat itu diketemukan dalam diri Titisari, di dalam hatinya mendadak terbersit-lah suatu rasa kasih sayang.
Seperti seorang yang kehilangan pujaan hati, ia mulai mencari wartanya. Teringat betapa Titisari kena pukulan beracun Tatang Manggala, maka ia hendak mencari keterangan daripadanya. Di
tengah jalan ia bertemu dengan Titisari. Dan betapa gembiranya, hanya dapat dirasakan oleh si iblis itu saja.
"Aku sebenarnya hendak mencari Tatang Manggala untuk memperoleh kabar tentang dirimu.
Kau sekarang sudah sehat kembali. Untuk kesehatanmu, aku pantas bersyukur," kata Edoh Permanasari.
Watak Titisari sendiri sebenarnya rada-rada liar. Dengan orang-orang yang berhati iblis, ia pandai bergaul. Dengan orang beribadah, ia pandai pula menyesuaikan diri. Karena itu untuk meladeni hati si iblis bukan merupakan soal asing baginya. Apalagi ia sedang menaruh perhatian kepada Tatang Manggala dan iblis itu menyinggung namanya. Singkatnya dengan pertolongan
Edoh Permanasari ia dapat menjinakkan Tatang Manggala. Selanjutnya ia mengikatnya dengan masalah Diah Kartika.
"Baiklah aku bersumpah," kata Tatang Manggala. "Kalau engkau bisa mendamaikan hati kami kembali, menjadi anjingmu aku tak keberatan."
Edoh Permanasari yang ingin membuat jasa, lain caranya. Ia mencontoh Titisari tatkala
menaklukkan dirinya, ialah dengan cara mengadu kepandaian. Memang antara dia dan Diah
Kartika sudah terjadi suatu permusuhan. Itulah perkara kekasihnya Kamarudin. Maka untuk
menjalankan semangat bertempur Diah Kartika, ia membunuhi seluruh keluarga Kamarudin. Tentu saja hal itu membuat Diah Kartika makin kalap. Tahu bahwa pekerti Edoh Permanasari mempunyai hubungan dengan kepentingan Tatang Manggala, ia bersalah paham. Diah Kartika lantas
mengancam Tatang Manggala dan Maulana Ibrahim hendak dilunasi jiwanya dengan berbareng.
Dan untuk mencuci diri, Tatang Manggala dan Maulana Ibrahim meracuni tiap pasien yang sedang diobati Manik Angkeran.
Dalam hal ilmu silat, Edoh Permanasari setanding dengan Titisari. Tetapi dalam hal kecerdasan, kecerdikan dan melihat orang, dia kalah jauh. Titisari bisa mengikuti kebiasaan orang. Tahu bahwa Tatang Manggala seorang hamba kerajaan Sultan Banten yang setia, ia justru menganjurkan agar dia tetap bekerja seperti sediakala. Ia menjamin dengan nyawanya sendiri. Untuk
menghilangkan kesangsiannya, ia memperkenalkan dengan Maulana Syafri. Kemudian dengan
Suryapranata setelah ia sendiri diperkenalkan oleh Maulana Syafri. Mula-mula Suryapranata ragu-ragu terhadap dirinya. Tetapi dengan sokongan dan petunjuk-petunjuk dari Ki Tunjungbiru yang tersekap dalam penjara, semuanya jadi lancar. Seperti diketahui, untuk menolong Ki Tunjungbiru, Suryapranata berpura-pura menjadi salah seorang pegawai penjara.
Demikianlah, dengan kecerdikannya, Titisari menjadi dalangnya. Dalang laskar Himpunan
Sangkuriang dan laskar Banten dengan berbareng. Di pihak Himpunan Sangkuriang ia
menggunakan pengaruh-pengaruh Ki Tunjungbiru, Suryapranata, Diah Kartika dan Maulana Syafri.
Sedangkan untuk laskar kerajaan Banten, ia memakai tenaganya Edoh Permanasari dan Tatang Manggala. Dialah yang mengatur penyerbuan dataran tinggi Gunung Cibugis. Dia pulalah yang mengatur jebakan bagi laskar penyerbuan dengan bantuan Tatang Manggala dan Ratu Kenaka.
Mendengar pengakuan Titisari, semuanya yang mendengar takjub bukan main. Baru
sekaranglah mereka sadar, kena didalangi seorang gadis muda belia. Otong Surawijaya yang biasanya membanggakan kecerdikannya, menggaruk-garuk kepalanya. Sedangkan Sangaji sendiri menjadi bungkam. Tak tahu ia, apakah harus bergembira, bersyukur atau menangis sedih. Sebab dalam medan pedalangan Titisari, ia kehilangan dua orang. Sonny de Hoop dan ibunya. Tetapi dengan sesungguhnya, kematian mereka berdua di luar perhitungan Titisari sendiri. Sebab untuk memisahkan hubungan Sonny de Hoop dengan Sangaji pujaan hatinya, cukuplah sudah dengan
menaruhkan kedudukan mereka di pihak yang bermusuhan. Kompeni Belanda dan laskar
Himpunan Sangkuriang. Sedangkan menurut perhitungan Titisari, dengan adanya jurang pemisah itu, Sangaji pasti akan membawa ibunya dari Jakarta. Di sinilah terbukti betapa pandai seorang hamba Tuhan ia masih manusia juga. Seperti bunyi pepatah: Sepandai-pandai tupai melompat, sesekali gagal juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kak Tatang kalau begitu maafkan adikmu yang tidak mempunyai jantung ini," terdengar suatu suara. Semua menoleh. Dialah Diah Kartika, yang tiba-tiba berdiri dengan terharu. "Tetapi ...
tetapi aku kan bukan seperti dahulu. Kulitku sudah kisut semua. Apakah aku masih bisa
menyenangkan Kakak seperti pada masa mudaku, entahlah."
Semua yang mendengar bunyi ucapan Diah Kartika tahu, bahwa itulah suatu tanda ia sudah
sudi menerima kembali perdamaian yang dirindukan Tatang Manggala.
"Adikku!" seru Tatang Manggala girang. "Orang lain bilang kau sudah kisut, tetapi di mataku engkau tetap cantik seperti dahulu. Aku percaya, umur Kak Maulana Ibrahim akan bertambah seratus tahun lagi bilamana mendengar kabar gembira ini."
Sudah tentu mereka yang mendengar tersenyum geli mendengar ucapan Tatang Manggala.
Tetapi sesaat kemudian mereka menjadi terharu. Mereka tahu, bahwa itulah ucapan syukur
seorang tua yang merindukan perdamaian. Dan bukannya ucapan seorang pemuda yang masih
dirangsang luapan hati. Tergerak hati Diah Kartika. Segera ia bersembah kepada Sangaji. Terus berkata, "Paduka hendak menjenguk kampung halaman. Hamba hanya dapat mengantarkan sampai di perbatasan.
Bila diperkenankan, ingin hamba memundurkan diri dahulu. Hamba ingin cepat-cepat menemui kakak seperguruan hamba yang tertua."
"Silakan, Bibi. Mengapa terlalu memegang teguh adat istiadat. Di kemudian hari, akupun ingin mengunjungi padepokan Paman Maulana Ibrahim lagi"
Bukan main girang hati Diah Kartika. Ia lalu berputar kepada Titisari. Dengan tertawa ia membungkuk hormat dan menyatakan terima kasih atas jerih-payah gadis itu mendamaikan
dirinya. Kemudian berkata nyaring kepada Tatang Manggala, "Kak Tatang! Jika mulai hari ini engkau bersumpah takkan jadi hamba Kerajaan Banten atau menjadi kaki tangan Kompeni
Belanda, aku mau ikut engkau menemui Kakak Maulana Ibrahim."
"Adikku! Usiaku sudah tua. Masakan masih kemaruk harta atau nama kosong lagi?" sahut Tatang Manggala meyakinkan.
Mendengar kata-kata Tatang Manggala, legalah hati Diah Kartika. Hal itu berarti bahwa
semenjak hari itu dia berada di pihak laskar perjuangan Jawa Barat. Maka semua raja muda bersyukur di dalam hati. Mereka berdiri dengan serentak untuk menyatakan hormatnya.
Diah Kartika memutar badannya lagi menghadap Sangaji.
"Gusti Aji! Paduka adalah harapan kami laskar seluruh Jawa Barat. Karena itu, baik-baiklah menjaga diri. Hamba mohon doa restu." Setelah itu, ia memutar badannya dan datang
menghampiri Tatang Manggala. "Mari kita menemui Kak Maulana Ibrahim," katanya.
Tatang Manggala girang bukan main. Meskipun kesehatannya belum pulih, ia lantas saja
mendampingi Diah Kartika. Mereka berjalan sangat cepat. Sebentar saja bayangannya hilang dari penglihatan.
Melihat mereka rukun kembali, tak terasa Sangaji dan Titisari menghela napas. Keadaan
merekapun tak berbeda jauh. Mereka hampir terpisahkan oleh kehendak peradaban manusia.
Hanya oleh kehendak Sang Maha Pasti, mereka bisa berkumpul kembali dengan ajaib.
Dalam keheningan itu, mereka mendengar derap kuda mendatangi. Seorang laki-laki berkepala gede, berbibir tebal dan berkulit hitam lekam meloncat dari punggung kuda. Begitu tiba di atas tanah, lantas saja ia membungkuk hormat. Buru-buru Sangaji mencegah seraya berkata, "Aki Tunjungbiru, mengapa mesti melakukan peradatan yang bukan-bukan" Aku adalah cucumu,
Sangaji yang dahulu."
"Jangan kau tolak sikap hormatku ini. Ingat, kau kini menjadi junjunganku pula," kata Ki Tunjungbiru. "Kalau engkau merubah tata tertib ini, engkau akan merusak kepemimpinanmu sendiri. Lagipula siapa saja tahu, bahwa aku tidak menyembahmu. Tetapi hormatku kualamatkan kepada jabatanmu. Engkaulah pemimpin para raja muda. Dengan sendirinya wajib aku
menyebutmu dengan Gusti."
Tentu saja Sangaji tak dapat menerima pernyataan Ki Tunjungbiru itu. Terhadap Ki
Tunjungbiru, selamanya ia menganggap sebagai kakeknya sendiri dan setengah gurunya.
Bukankah orang tua itu yang mula-mula membawanya ke jenjang percaturan dunia dengan
pengaruh getah sakti Dewadaru" Kecuali itu ia mewarisi ajaran cara bersemadi pula. Tetapi ia melihat pandang Ki Tunjungbiru bersungguh-sungguh. Melihat Titisari tak membantah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernyataannya, mau tak mau ia harus menerimanya. Meskipun demikian, mulutnya tak kuasa
berbicara. Ia hanya memanggut dengan kepala kosong. Dan melihat anggukan itu, wajah Ki
Tunjungbiru nampak menjadi cerah.
"Nah, inilah kuda Willem. Kalau bukan anakku Titisari yang mengatur sudah lama binatang jempolan ini kena rampas kompeni," kata Ki Tunjungbiru.
Lagi-lagi Titisari. Semuanya Titisari. Hati Sangaji benar-benar menjadi terharu. Baru ia hendak membuka mulut, Ki Tunjungbiru berkata: "Banyak yang hendak kita bicarakan. Tapi baiklah kita tunda dahulu. Sekarang kau berangkatlah dahulu melapangkan hatimu yang sedang pepat. Aku hanya mengantarkan sampai di perbatasan ini. Selamat jalan dan jagalah dirimu baik-baik."
Ki Tunjungbiru lalu menyiratkan pandang kepada rekan-rekannya. Ia memberi isyarat. Dan para raja muda lantas saja datang memberi hormat. Seorang demi seorang menyampaikan selamat
jalan. Kemudian mereka memutar badan dan pergi berbareng memasuki hutan belantara wilayah Jawa Barat untuk meneruskan perjuangan melawan penindasan, kesewenang-wenangan dan
ketidak adilan. Bukan main pilu rasa hati Sangaji. la seperti terasa ditinggalkan semua yang dicintainya.
Untung di sampingnya masih ada tambatan jiwanya. Itulah Titisari permata yang paling mahal baginya. Tak dikehendaki sendiri, ia menoleh. Kebetulan pula, Titisari mengawaskan padanya.
Maka bertumbuklah pandang mereka.
"Titisari! Sekarang kita ke mana?" ia berbisik.
"Aku akan pergi. Kita mempunyai jalan kita masing-masing," jawab Titisari sengit. Itulah suatu jawaban di luar dugaan Sangaji.
Mengapa gadis ini mendadak menjadi begitu" Belum lagi hilang rasa herannya, Titisari benarbenar lari menjauhi dengan sekencang-kencangnya.
"Hai! Titisari! Mengapa kau?" seru Sangaji kaget.
Titisari boleh mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk lari sekencang-kencangnya. Tetapi dengan sekali berkelebat, Sangaji telah menghadang di depannya.
"Eh, tolol! Mengapa kau berlagak menghalang-halangi kepergianku" Aku hendak ke mana saja, apa pedulimu?" katanya sengit.
"Titisari! Mengapa kau ... kau ..." Sangaji tergegap-gegap. la kini memiliki ilmu sakti yang paling tinggi di dunia. Tetapi menghadapi Titisari, ia seperti macet.
"Tatang Manggala tadi menyebut aku dengan Gusti Ayu. Apa sebab engkau tidak minta
keterangan lagi kepadaku?" potong Titisari cepat. "Barangkali kau segan terhadap mulut jahil bawahanmu. Tapi sekarang mereka sudah pergi. Mengapa engkau berlongoh-longoh seperti anak tolol?" "
Tercengang Sangaji mendengar bunyi kata-kata Titisari. Tetapi ia kenal lagak lagu Titisari yang kadang-kadang meletup di luar dugaan. Maka cepat-cepat ia berkata, "Aku selamanya tolol.
Bukankah engkau sudah tahu?"
"Siapa yang berani berkata, bahwa kau tolol" Orang itu bosan hidup," suara Titisari beralih mengancam.
Sangaji jadi kuwalahan. Tapi selamanya ia bersabar hati. Lalu berkata mengembalikan soalnya.
"Titisari! Bukankah semenjak tadi aku ingin minta keterangan apa sebab Paman Tatang Manggala menyebutmu dengan sebutan Gusti Ayu" Lalu engkau mulai meriwayatkan kisah
perjalananmu "Bagus! Apakah engkau sudah mengetahui dengan jelas, setelah aku selesai berkisah?"
"Belum. Bahkan engkau tidak menyinggung-nyinggung lagi."
"Kalau tidak tahu, mengapa tidak mendesak" Itulah suatu bukti, bahwa engkau tidak
membutuhkan aku lagi. Karena itu aku akan pergi..."
"Nanti dahulu!" Sangaji gugup. "Biarlah kuulangi lagi pertanyaanku. Apa sebab Paman Tatang Manggala menyebutmu dengan sebutan gusti Ayu?"
Mendengar pertanyaan itu, wajah Titisari lantas berubah menjadi sabar. Matanya berseri-seri dan mulutnya menyungging senyum. Katanya:
"Coba tebak apa sebabnya!"
Dalam mengadu kelancaran mulut, betapa Sangaji dapat melawan Titisari.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Titisaril Kaulah saja yang mengatakan. Selamanya aku tak dapat berpikir cepat," katanya dengan suara mengalah.
Titisari merengut, la mencibirkan bibir dengan hati dengki. Lantas menyahut:
"Dosa ini engkaulah yang memikul."
"Dosa yang mana?" Sangaji heran.
"Hm, laki-laki selamanya memang mau menang sendiri," Titisari menyesali. "Apa sebab engkau kemaruk kekuasaan sampai menjadi seorang raja" Para raja muda lantas membahasakan akan diri hamba. Dan si tua bangkotan Tatang Manggala lantas ikut-ikutan pula menyebut aku dengan
Gusti Ayu. Bukankah keterlaluan?" sampai di sini, wajahnya mendadak bersemu merah.
"Ah, Titisari!" seru Sangaji girang setelah sebentar tercengang. "Memang engkau permaisuriku.
Paman Tatang Manggala tidak salah."
"Benar?" Titisari bersyukur.
"Benar." "Sungguh?" "Sungguh!" "Bersumpahlah!"
"Aku harus bersumpah bagaimana?" Sangaji menegas.
"Bersumpahlah dengan dasar hatimu!"
Sangaji berpikir sebentar. Lalu bersumpah, "Aku bersumpah kepada diriku sendiri, bahwa kau akan menjadi isteriku. Dan aku akan menjadi suamimu."
Mendengar bunyi sumpah Sangaji, Titisari tertawa terpingkal-pingkal. Kalau hal itu terjadi pada seorang pemuda lain, pastilah pemuda itu akan mencari kata-kata besar dan kalimat-kalimat yang menyeramkan. Tapi dasar watak Sangaji sangat sederhana dan polos, maka ia bersumpah pada pokok tujuannya saja. Tapi justru demikian, Titisari sangat bersyukur. Dengan sekali lompat, ia menjatuhkan diri dalam pelukan Sangaji sambil berkata berbisik. "Aji! Bawalah aku ke atas punggung kudamu. Mari kita pulang menemui Ayah!"
Hati Sangaji melonjak gembira. Dan begitu gembira dia, sampai ia merasa diri menjadi
gendeng. Tanpa berbicara lagi, ia lari menghampiri kudanya. Titisari diletakkan di atas punggung Willem. Sedangkan dia sendiri berada di atas kuda pemberian kakak angkatnya Willem Erbefeld.
Mereka menempuh perjalanan dengan tak perlu tergesa-gesa. Karena itu pada hari ketiga,
barulah mereka tiba di Pekalongan. Hati mereka sangat lapang dan penuh syukur. Kota
Pekalongan yang dahulu membuat mereka sibuk, kini berkesan segar. Maka terasalah, bahwa
semuanya itu tergantung kepada keadaan hati.
Di Pekalongan mereka mendengar warta terakhir tentang semua yang terjadi di Jawa Tengah.
Laskar Sultan Hamengku Buwono II berhasil menggempur laskar gabungan Pangeran Bumi Gede.
Menurut kabar, pangeran itu kini dikejar-kejar dari tempat satu ke tempat lainnya. Dimana dia berada, masih merupakan suatu teka-teki besar.
Mendengar warta itu, hati Sangaji tercekat. Ia mencemaskan Sanjaya. Maka dengan
persetujuan Titisari ia mempercepat perjalanannya.
Pada hari kelima, sampailah mereka di pinggang Gunung Sumbing. Itulah jalan yang pernah
diambah gurunya Wirapati. Mendadak saja selagi mereka menikmati pemandangan alam, mata
Sangaji yang tajam melihat berkelebatnya Kebo Bangah. Ia jadi heran.
"Melihat lagak-lagunya, ia seperti seorang yang tidak waras akalnya," kata Titisari, "Tetapi aneh semenjak lama ia selalu mengikutimu. Tahukah engkau, dia selalu mencoba menjejak ke mana saja pergimu" Pastilah kau tidak menyangka demikian. Memang buruk bagimu, tapi baik bagiku."
Mendengar kata-kata Titisari, Sangaji bertambah heran. Minta keterangan.
"Baik bagaimana?"
"Kalau tidak, masakan kau sekarang sudi memperhatikan aku," sahut Titisari. "Melihat dia selalu berputar-putar di wilayah Jawa Barat, segera aku pergunakan tenaganya, la sengaja kupancing.
Begitu engkau muncul di tengah-tengah para panglimamu, muncullah dia pula. Ternyata
semuanya berjalan seperti kehendakku."
Sangaji tertegun. Baru sekaranglah dia sadar, apa sebab Kebo Bangah muncul dengan tiba-tiba dan akhirnya merupakan jembatan penghubung antara dia dan Titisari. Ia masygul berbareng bersyukur. Akhirnya ia tertawa geli di dalam hati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Selamanya engkau nakal," katanya setengah berbisik.
Sesungguhnya Kebo Bangah mempunyai jalan pikirannya sendiri, la berada dalam keadaan
sadar dan tidak. Semenjak kena gempur tenaga sakti Sangaji, ia seperti merasa diri terikat kepada pemuda itu. Apa itu, ia sendiri tak dapat meskipun dengan tiba-tiba ia memperoleh kesehatannya kembali. Yang terasa dalam dirinya, ia harus mengikutinya ke mana saja Sangaji pergi. Ia seperti mempunyai pihutang-pihutang rasa dendam bercampur dengan rasa jeri. Hal itu terjadi akibat wataknya yang mau menang sendiri pada zaman jayanya. Ia ingin merajai segalanya.
Selama hidupnya belum pernah ia dikalahkan orang. Maka kekalahannya terhadap Sangaji,
membuat ia berpenasaran dalam keadaan bawah sadar. Seakan-akan timbullah suatu wajib dalam dirinya harus menuntut balas untuk menebus kekalahannya. Tetapi anehnya, bilamana mendengar nama Sangaji ia seperti melihat sesuatu yang sangat menakutkan hatinya. Ia harus cepat-cepat berlalu. Akan tetapi manakala sudah tenang kembali, lagi-lagi teringat dia untuk menebus kekalahannya. Dengan demikian ia hidup terombang-ambing mengikuti arus angannya yang selalu berubah-ubah.
Pada hari itu ia memang sedang menguntit jejak Sangaji, setelah dapat menguasai
ketenangannya sehabis lari tunggang-langgang kena gertak pemuda itu. Sangaji dan Titisari meneruskan perjalanannya dengan lambat-lambat, karena itu mudah untuk menyusulnya. Ia
bersikap hati-hati sekali. Rasa nalurinya selalu mengkisiki dirinya, agar mengikuti dalam jarak jauh.
Karena betapapun juga ia seorang berilmu tinggi. Maka pandailah ia melihat gelagat. Tapi meskipun demikian, akhirnya ia tak dapat luput dari indera Sangaji yang tajam luar biasa. Merasa akan mendapat bahaya, cepat ia lari menubras-nubras menyeberangi daerah hutan dan
pegunungan. Titisari tertawa perlahan. Katanya, "Lihatlah dia bukan orang gendeng benar-benar. Kita bisa mengandal kepada kecepatan si Willem. Tapi kalau dia memasuki hutan, menyeberang sungai
apalagi melompati jurang serta mendaki gunung, meskipun Willem mempunyai sayap takkan
mampu menyusulnya. Bukankah cerdik?"
Sangaji menghela napas. Seperti kepada diri sendiri ia menyahut. "Sebenarnya Paman Kebo Bangah, tidaklah terlalu jahat. Dia berjuang untuk mencapai idam-idaman hatinya. Kalau dipikir tiap orang berjuang untuk idaman hatinya. Hanya saja untuk mencapai idaman hatinya, kerapkali ia menggunakan akal licik. Inilah yang kurang benar."
"Eh Aji! Sejak kapan kau pandai berbicara?" Titisari heran.
Merah muka Sangaji kena sindiran Titisari. la . tak menyahut. Sebaliknya lantas saja ia membedalkan kudanya. Kuda pemberian Willem Erbefeld cepat larinya. Tetapi Willem, lebih cepat lagi.
Menjelang sorehari, mereka sudah berjalan berendeng lagi dengan hati penuh syukur.
Pada malam harinya, selagi beristirahat, mereka mendengar kentung bertalu bersam-bung-
sambung. Dusun lantas nampak sibuk. Beberapa pemuda keluar rumah dengan berkelompok.
Mereka membawa tombak, parang, golok atau pedang.
Wajahnya nampak tegang. Titisari selamanya usil. Tidak menunggu persetujuan Sangaji, ia turun ke desa mencari berita.
Satu jam ia pergi, kemudian datang dengan membawa berita.
"Aji! Celakalah adik angkatmu. Laskar Sanjaya dan Pangeran Bumi Gede dimusuhi rakyat.
Setiap gerakannya diintip. Suara kentung tadi adalah suatu tanda, bahwa mereka berada di sekitar tempat ini. Kabarnya mereka dikejar-kejar laskar Pangeran Ontowiryo. Kau berangkat, tidak?"
Tercekat hati Sangaji mendengar berita itu.
Ia mencemaskan keselamatan jiwa Sanjaya. "Laskar Pangeran Bumi Gede hancur atau tidak, itulah bukan urusanku. Tapi Sanjaya adalah adik angkatku," katanya dengan suara menggeletar.


Bende Mataram Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus! Tapi ingatlah, Sanjaya tak beda dengan bangsat. Hatinya sangat buruk!" Titisari memperingatkan.
"Titisari, janganlah kau berkata begitu," tegor Sangaji. "Meskipun andaikata benar kata-katamu, tapi dia merupakan sisa milik kita satu-satunya
Teringat betapa Sangaji sudah tidak memiliki sanak kadang lagi, hati Titisari jadi terharu.
Katanya dengan suara rendah, "Baiklah semenjak kini aku takkan membicarakan dia lagi. Aku berjanji! Hanya saja, meskipun kau menganggapnya baik, aku tidak. Mari kita berangkat!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mereka berdua lantas saja melarikan kudanya cepat-cepat. Gdara kala itu nampak jernih. Bulan sudah tidak sipit lagi. Bahkan sudah nampak hampir bulat penuh. Seluruh persada bumi dicerahi dengan cahayanya yang lembut. Maka perjalanan itu sangat menyenangkan.
Kira-kira menjelang tengah malam, mereka dihadang oleh serombongan penjaga dusun.
Seorang laki-laki berusia lanjut tersembul di antara mereka. Lalu berteriak dengan suaranya yang parau.
"Siapa mengumbar adat sampai berani keluyuran di tengah malam begini" Hayo, turun!"
Mendengar suara itu, Sangaji kaget bercampur girang. Itulah suara yang sangat dikenalnya.
Terus ia melompat dari punggung kudanya seraya berteriak nyaring: "Guru! Aku muridmu yang tolol!" Ia kemudian menoleh kepada Titisari dan memanggil. "Titisari! Guruku Jaga Saradenta!"
Titisari lantas turun dari punggung kudanya, la datang menghampiri dengan agak kemalas-
malasan. Seperti diketahui terhadap guru Sangaji yang berwatak uring-uringan itu, ia mempunyai kesan kurang baik. Dahulu di lapangan Pekalongan, hampir saja ia bentrok. Untunglah sewaktu berjuang bersama-sama di kubang batu melawan laskar Pangeran Bumi Gede, kesan buruk itu
berkurang banyak. Itulah sebabnya, meskipun nampak kemalas-malasan, namun wajahnya
menunjukkan rasa girang. Terkejut ialah Jaga Saradenta. Mendengar suara Sangaji ia seperti lagi bermimpi. Benarkah itu muridnya yang selalu dirindukannya" Ia mengira dalam hidup ini takkan berjumpa lagi.
"Benarkah kau anakku Sangaji?" suara gemetaran karena terharu.
Dengan hati pilu, Sangaji mencium lutut gurunya.
"Benar! Aku si tolol Sangaji."
"Ah kalau begitu, aku bukan mimpi. O, anakku ... kenapa kau datang lagi" Mari ... mari kita berbicara dahulu ..."
Jaga Saradenta membawa Sangaji dan Titisari memasuki sebuah gubuk. Ternyata itulah gubuk penjagaan dalam rencana pengepungan laskar Pangeran Bumi Gede. Setelah saling melahirkan rindunya masing-masing, Jaga Saradenta segera minta keterangan apa sebab pemuda itu datang kembali ke Jawa Tengah.
Sangaji segera menceritakan pengalamannya selama berada di Jawa Barat. Ia menyinggung
pula kepergiannya mendaki dataran tinggi Gunung Cibugis, tetapi lama sekali tidak mengabarkan siapa dirinya sekarang. Tatkala kisahnya mulai menyinggung Sonny de Hoop dan ibunya mulutnya terasa terkunci. Hampir saja ia menangis. Syukur ingatlah dia, bahwa gurunya itu sangat benci kepada air mata. Meskipun demikian mendengar Rukmini meninggal secara tak wajar, orang tua itu tak dapat menahan air matanya juga. Matanya nampak merah. Dan kumisnya bergetaran
menahan rasa tangis. "Sudahlah ... sudahlah ... siapa yang pernah lahir di dunia ini yang tidak akan mati?" katanya mengatasi perasaannya sendiri.
Mereka berbicara sampai menjelang fajar hari. Kemudian orang tua itu menerangkan sebab
musabab beradanya di dusun itu.
"Kau tahu, jelek-jelek aku ini seorang Demang. Dusun ini masih termasuk wilayahku," ia mulai.
"Laskar Bumi Gede kini tinggal menunggu saat-saat terakhir. Pangeran Ontowiryo tidak hanya mengerahkan laskar Kasultanan saja, tapi pun minta bantuan para pendekar. Gurumu Wirapati kabarnya turun gunung pula dengan paman-paman gurumu, juga gurumu sendiri pendekar Gagak Seta kabarnya tidak menolak. Dia memang seorang pejuang semenjak Perang Giyanti, masakan menolak permintaan Pangeran Ontowiryo3)." Ia berhenti mengesankan. Lalu mendadak
mengalihkan pandang kepada Titisari. "Nona...! Ayahmu ikut menyingsingkan lengan baju pula.
Inilah suatu kejadian luar biasa. Kabarnya hal itu dilakukan, demi untukmu."
"Demi untukku?" Titisari tercengang.
"Ah, siapa yang tidak tahu kesedihan ayahmu karena memikirkan kepergianmu. Cuma saja ia mengira, bahwa kepergianmu itu karena bosan melihat sepak terjangnya yang menyendiri. Maka dia berkata: mulai hari itu dia akan kembali berjuang seperti dahulu hendak mengikis habis semua angkara murka, selagi tubuh masih bisa bergerak. Ah, hebat."
"Sungguh hebat! Kyai Kasan Kesambi sampai tertawa terbahak-bahak oleh rasa syukurnya ..."
Mendengar berita tentang ayahnya, hati Titisari menjadi pilu. Teringat akan perjalanannya sendiri yang selalu bertaruhan dengan jiwa, ia menjadi iba terhadap ayahnya, la tahu sepak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjang ayahnya itu sesungguhnya ter-bersit dari rasa rindu dan rasa sepi. Maka ingin sekali ia cepat-cepat menghadap ayahnya.
Sangajipun demikian. Ia kini tidak sanak tidak kadang. Ayah dan ibunya sudah meninggal pula.
Satu-satunya yang dicintainya kini ialah kedua gurunya. Dengan Jaga Saradenta dia sudah dapat berjumpa dengan ajaib. Hatinya sangat bersyukur. Sekarang inginlah pula ia mencium lutut gurunya Wirapati yang senantiasa dipujanya di dalam hati, sekalipun ilmunya sendiri kini sudah jauh melampaui.
"Kalian ingin segera berangkat?" kata Jaga Saradenta seakan-akan dapat membaca gejolak hati mereka. "Akupun ikut. Sebentar! Aku akan berkemas-kemas."
Fajar hari telah tiba, tatkala mereka bertiga berangkat menuju ke Dusun Krosak. Sepanjang jalan mereka mendapat warta tentang pertempuran sengit antara sisa-sisa laskar Pangeran Bumi Gede dan laskar Pangeran Ontowiryo. Sekarang sisa-sisa laskar Pangeran Bumi Gede tinggal menunggu kematiannya di sekitar Desa Gumrenggeng. Kabarnya, Pangeran Bumi dan Sanjaya kini tinggal mengandal kepada perlindungan para pendekarnya yang tinggal beberapa orang saja.
Mendengar berita itu, Sangaji memacu kudanya. Titisari dan Jaga Saradenta segera menyusul dengan memacu kudanya pula. Sebentar saja, Dusun Gumrenggeng sudah nampak di depannya.
"Mereka terkepung di pinggir hutan dekat tebing kali," kata seorang penjaga dusun.
Sangaji segera mengarah ke arah petun-jukannya. Hatinya gelisah bukan main. Mengingat
Pangeran Ontowiryo mengerahkan para pendekar yang dibantu pula oleh pendekar Gagak Seta
dan Adipati Surengpati, maka pendekar-pendekar pelindung Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya, bukanlah merupakan soal sulit.
Benar juga. Baru ia melintasi dua petak sawah, pendengarannya yang tajam menangkap suara tertawa yang dikenalnya. Itulah suara Gagak Seta.
"Hai, Jangkrik Bongol4)! Bangsat itu tinggal memijit kepalanya. Hayo siapa di antara kita yang akan membuat jasa terlebih dahulu?"
Adipati Surengpati tertawa perlahan. Sahutnya angkuh. "Untuk membunuh kedua binatang itu, masakan perlu kita bersegan-segan" Tapi tunggu dahulu sampai teman-teman anakku sudah
merasa puas." Sangaji dan Titisari melompat dari atas kudanya. Begitu bernafsu mereka sampai hampir
melupakan Jaga Saradenta. Setelah orang tua itu melompat pula dari kudanya, mereka bertiga lalu mendekati sebuah ketinggian.
Di tengah lapangan terbuka yang dipagari hutan, nampaklah beberapa orang menggeletak tak berkutik lagi. Di sebelah timur pendekar Hajar Karangpandan sedang menghajar lawannya. Di dekatnya Panembahan Tirtomoyopun berada di atas angin. Musuh mereka tinggal dua orang itu saja. Pendekar Cocak Hijau dan Manyarsewu.
Pangeran Bumi Gede nampak pucat lesi. Pakaiannya kusut. Dengan putus asa ia mengikuti
jalannya pertarungan itu. Di dekatnya terbaring seorang pemuda yang bernapas kempas-kempis.
Pakaian yang dikenakan pemuda itu sudah lusuh dan rontang-ranting. Dialah nDoromas Sanjaya yang nampaknya kini menjadi bangkrut. Mereka berdua tak dapat menyingkirkan diri lagi, karena seluruh lapangan sudah terkepung rapat. Apalagi di sana terdapat pula pendekar sakti Gagak Seta dan Adipati Surengpati.
Melihat Sanjaya, hati Sangaji pedih pilu. Ia melayangkan pandang. Mendadak ia melihat
gurunya Wirapati berdiri gagah di samping paman-paman gurunya. Sebentar ia heran, apa sebab gurunya berada pula di situ. Teringat keterangan gurunya Jaga Saradenta, bahwa pada saat itu orang-orang gagah di seluruh tanah air sedang mengepung Pangeran Bumi Gede untuk
Pedang Dan Kitab Suci 5 Memburu Manusia Harimau Seri Manusia Harimau Karya S B Chandra Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 10
^