Pencarian

Mentari Senja 9

Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja Bagian 9


pun meloncat menyerang Ki Jagaprana dengan ayunan
tangannya. Ki Jagaprana bergeser surut. Tangan itu tidak menyentuh
tubuhnya. Tetapi serangan berikutnya pun segera menyusul.
Krendhawa telah menjulurkan kakinya menyerang lambung.
Tetapi dengan cepat Ki Jagaprana menggeliat, sehingga
serangan itu sama sekali tidak mengenainya.
Bahkan tiba-tiba saja Ki Jagaprana yang tua itu melenting
sambil berputar. Kakinya yang terayun mendatar hampir saja
menyambar kening Krendhawa.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Iblis tua" geram Krendhawa sambil meloncat menjauh. Ki
Jagaprana tertawa pula. Katanya "Jangan mengumpat.
Umpatanmu tidak akan membantumu mengalahkan aku."
"Diam kau iblis tua," teriak Mingkara.
Tetapi Jagaprana tertawa semakin keras.
Demikianlah pertempuran pun semakin lama menjadi
semakin sengit. Krendhawa dan Mingkara memang bertempur
berpasangan. Tetapi ternyata bahwa Ki Jagaprana benar-
benar seorang yang berilmu tinggi.
Semakin lama Krendhawa dan Mingkara bertempur
melawan orang tua iru, maka mereka pun semakin menyakini
akan tingkat kemampuannya, sehingga kedua orang yang
dianggap kembar itu harus meningkatkan ilmunya pula.
Pertempuran memang menyala semakin besar. Tidak hanya
di belakang pintu-pintu butulan. Tetapi juga di belakang pintu
gerbang utama. Agak terpisah, Nyai Wiji Sari tengah bertempur melawan Ki
Pandi yang bongkok. Pedang Nyai Wiji Sari yang kehitam-
hitaman itu berputar dengan cepat. Namun Ki Pandi pun telah
mengimbanginya. Dengan cepat orang bongkok itu menghindari serangan-serangan Nyai Wiji Sari. Pedang yang
terayun-ayun itu tidak segera dapat mengenai tubuh orang
bongkok yang mampu bergerak cepat itu.
Namun sebenarnya lah, bahwa serangan-serangan Nyai Wiji
Sari tidak cukup membahayakan bagi Ki Pandi. Betapapun
garangnya serta tingginya ilmu Nyai Wiji Sari, namun
dihadapan Ki Pandi, Nyai Wiji Sari bukan seorang yang
mencemaskan. http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka hentakan-hentakan serangan Nyai Wiji
Sari tidak mampu menembus pertahanan Ki Pandi.
Nyai Wiji Sari mulai menjadi gelisah. Apa pun yang
dilakukan, serangan-serangannya tidak mampu menyentuh
tubuh orang bongkok itu. Nyai Wiji Sari yang bangga akan kecepatan geraknya, di
hadapan Ki Pandi tidak terlalu banyak berarti, karena Ki Pandi
itupun mampu bergerak cepat pula meskipun nampaknya
orang itu selalu berjalan terbongkok-bongkok.
Semakin lama Nyai Wiji Sari semakin menyadari, bahwa
orang bongkok itu memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya.
Bahkan Nyai Wiji Sari itupun mulai menyadari, bahwa orang
bongkok itu masih belum sampai ke puncak kemampuannya.
Meskipun demikian, Nyai Wiji Sari tidak segera berputus-
asa. Perempuan yang garang itu mempunyai pengalaman
yang luas sekali. Ia sudah pernah bertempur melawan orang
yang memiliki berbagai macam ilmu.
Sementara itu, Nyai Wiji Sari masih merasa mempunyai
puncak ilmu yang masih belum ditrapkan. Meskipun Nyai Wiji
Sari itu tidak yakin bahwa puncak ilmunya itu akan dapat
mengakhiri pertempuran itu, namun ia harus mencobanya.
Nyai Wiji Sari sendiri mencemaskan keragu-raguannya
sendiri. Biasanya ia tidak pernah merasa ragu menghadapi
lawan yang betapapun garangnya. Bahkan dalam pertempuran
yang terjadi diantara mereka yang berebut daerah jelajah.
Pertengkaran dan permusuhan yang terjadi diantara orang-
orang yang hidupnya berada di bawah permukaan.
Namun dalam pada itu. Nyai Wiji Sari pun merasa heran,
bahwa serangan-serangan Ki Pandi pun tidak pernah
membahayakannya. Sekali-sekali seruling Ki Pandi memang
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pernah menyentuh kulitnya, tetapi sama sekali tidak
menyakitinya. Seakan-akan Ki Pandi hanya ingin membuktikan, betapa rapuhnya pertahanan Nyai Wiji Sari itu
dihadapan Ki Pandi yang bongkok itu.
Meskipun Nyai Wiji Sari masih harus berteka-teki, namun ia
masih bertempur terus. Pedangnya masih berputaran dengan
garangnya, meskipun serangan-serangannya tidak pernah
berhasil. Dalam, keadaan yang gawat itu, maka Nyai Wiji Sari mulai
mempertimbangkan untuk mengetrapkan ilmu puncaknya. Ia
sadar, jika ia gagal, maka orang bongkok itu tentu akan
menjadi bersungguh-sungguh pula. Mungkin dengan demikian
pertahanannya justru benar-benar akan dihancurkannya.
Tetapi akibat yang paling buruk harus dijalaninya, karena
sejak semula Nyai Wiji Sari sudah memperhitungkan
kemungkinan yang demikian akan dapat terjadi atas dirinya.
Tetapi Nyai Wiji Sari memang tidak dengan serta-merta
mengetrapkan ilmu puncaknya. Ia masih membuat beberapa
pertimbangan dan persiapan.
Sementara itu, dua orang pengawalnya masih juga
bertempur dengan sengitnya melawan dua orang cantrik yang
datang bersama Ki Pandi. Nampaknya mereka memiliki
kesempatan yang sama. Mereka adalah orang-orang yang
memiliki pengalaman yang cukup luas dengan landasan ilmu
yang cukup. Sedangkan pertempuran yang terjadi di sekitar pintu-pintu
bu-tulan pun telah merambat semakin lebar. Para cantrik tidak
dapat membatasi pertempuran di arena yang terbatas. Tetapi
para pengikut Kiai Narawangsa berusaha untuk menebar
seluas-luasnya di padepokan itu.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun ada yang pernah terjadi sebelumnya telah terjadi pula di padepokan
itu. Para cantrik dari padepokan itu telah memanfaatkan pengenalan mereka atas medan sebaik-
baiknya. Diantara bangunan-
bangunan yang ada, para cantrik menyerang lawan- lawannya dengan tiba-tiba.
Mereka muncul dari balik sudut-sudut bangunan yang
ada. Dari balik pintu dan dari
ruang-ruang yang tersebar
dalam bangunan-bangunan di padepokan itu. Para cantrik pemula, yang
terdiri dari anak-anak muda
yang belum lama berada di padepokan, menyerang lawan-
lawan mereka dalam kelompok-kelompok kecil.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi menggapai puncak
langit, pertempuran telah menyebar hampir di seluruh
padepokan. Para cantrik sulit mengendalikan lawan mereka.
Dalam pada itu, Ki Lemah Teles dan Ki Warana yang sudah
turun dari panggungan, telah menghilang diantara bangunan
yang ada di padepokan itu. Bersama beberapa orang cantrik
pemula, mereka berusaha menemukan lawan disela-sela
bangunan. Ki Lemah Teles kadang-kadang membiarkan para
cantrik pemula untuk mendapatkan pengalaman. Tetapi dalam
keadaan yang gawat, maka Ki Lemah Teles telah berusaha
untuk mengurangi kekuatan lawan.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti sosok hantu diterik cahaya matahari, Ki Lemah Teles
telah berhasil menyusut lawan cukup banyak. Tetapi
sebenarnyalah Ki Lemah Teles bukan seorang pembunuh. Ia
selalu berusaha melumpuhkan lawan-lawannya tanpa membunuhnya. Dalam pada itu, pertempuran tidak jauh dari pintu gerbang
utama masih berlangsung dengan sengitnya. Kiai Narawangsa
ternyata tidak segera mengalahkan lawannya yang dianggapnya sudah terlalu tua untuk turun ke medan
pertempuran. Lawannya, Ki Ajar Pangukan benar-benar
seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga ilmunya sama
sekali tidak dapat disusul oleh umurnya yang semakin tua.
Sementara itu, bindi Gunasraba yang berat itu setiap kali
saling berbenturan dengan pedang Ki Sambi Pitu. Kekasaran
dan tenaga yang besar dari Gunasraba sama sekali tidak
banyak berarti bagi Ki Sambi Pitu. Beberapa kali Gunasraba
harus meloncat menjauhi lawannya untuk memperbaiki
keadaannya. Namun rasa-rasanya ujung pedang Ki Sambi Pitu
selalu memburunya. Meskipun Gunasraba beberapa kali
berusaha menjauh, namun Ki Sambi Pitu itu selalu saja lekat
dihadapannya. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Namun akhirnya batas kemampuan pertahanan Gunasraba
dapat ditembus. Ujung pedang Ki Sambi Pitu mulai menyentuh
kulit. Sebuah goresan menyilang di lengan Gunasraba.
Gunasraba mengumpat kasar. Kemarahannya semakin
membakar ubun-ubunnya. Luka di lengannya itu telah
menitikkan darahnya yang hangat.
Tetapi kemarahan, umpatan dan geram tidak cukup untuk
menghentikan perlawanan Ki Sambi Pitu. Untuk mengalahkan
lawannya diperlukan kemampuan dan ilmu yang tinggi.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gunasraba yang gelisah itu masih memutar bindinya. Justru
semakin cepat. Bindi itu terayun-ayun di seputar tubuhnya,
sehingga memang sulit bagi Ki Sambi Pitu untuk mendekat.
Tetapi Ki Sambi Pitu bukannya seorang cantrik yang baru
mulai berlatih mengenali dasar-dasar ilmu kanuragan. Ki
Sambi Pitu adalah seorang yang sudah kenyang menelan pahit
manisnya dunia yang keras.
Itulah sebabnya, maka putaran bindi Gunasraba yang
bahkan seakan-akan merupakan gumpalan awan hitam yang
mengelilingi tubuhnya, tidak mampu membentengi serangan
Ki Sambi Pitu. Sebuah serangan yang cepat, menyusup diantara putaran
bindi itu, langsung menyentuh pundak Gunasraba. Namun
hampir saja bindi itu menghantam kening Ki Sambi Pitu.
Ki Sambi Pitu bergerak dengan cepatnya. Sambil merendah,
sekali lagi pedangnya terjulur. Ketika sambaran angin yang
ditimbulkan oleh ayunan bindi Gunasraba itu menyambar
wajahnya, maka pedang Sambi Pitu itu mematuk dengan
cepatnya menyusup disela-sela tulang iga Gunasraba.
Terdengar teriakan melengking tinggi. Gunasraba terhuyung-huyung surut. Demikian Ki Sambi Pitu menarik
pedangnya, maka darah pun memancar dari luka di dada
Gunasraba. Sejenak kemudian, maka Gunasraba itupun jatuh terbanting
di tanah seperti sebatang pohon pisang yang rebah.
Kematian Gunasraba menimbulkan kegelisahan yang
mencengkam jantung para pengikut Kiai Narawangsa. Ki
Gunasraba menurut pengertian mereka adalah seorang yang
berilmu tinggi. Ia merupakan kepercayaan Kiai Narawangsa di
medan pertempuran. Apalagi Ki Gunasraba adalah adik Kiai
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Narawangsa yang diharapkan akan menggantikannya memimpin padepokan yang akan ditinggalkan oleh Kiai
Narawangsa dan Nyai Wiji Sari.
Ki Sambi Pitu yang berdiri termangu-mangu sambil
menggenggam hulu pedangnya yang basah oleh darah
tercenung sejenak memandangi tubuh yang terbaring diam.


Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Beberapa
orang pengikut Kiai Narawangsa itupun serentak telah
menyerang Ki Sambi Pitu. Ki Sambi Pitu pun dengan cepat berloncatan menghindar.
Sementara itu para cantrik pun tidak membiarkan lawan
mereka bergerak leluasa. Tetapi pertanda-pertanda buruk telah nampak pada
pasukan Kiai Narawangsa. Ternyata kekuatan yang mereka
hadapi jauh lebih besar dari perhitungan mereka. Bahwa di
padepokan itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi
sebelumnya tidak pernah mereka duga. Satu-satunya orang
yang mereka perhitungkan mempunyai ilmu yang tinggi
adalah Kiai Banyu Bening sendiri. Tetapi justru Kiai Banyu
Bening itu sudah tidak ada. Yang ada adalah beberapa orang
ysng berilmu tinggi. Kematian Gunasraba merupakan satu pukulan yang berat
bagi Kiai Narawangsa. Kecuali Gunasraba adalah adiknya, ia
termasuk orang yang cerdik dan berilmu tinggi. Namun di
padepokan itu, Gunasraba tidak mampu mempertahankan diri
menghadapi lawannya yang sudah menjadi tua itu.
Sementara itu, Kiai Narawangsa sendiri mengalami kesulitan
menghadapi Ki Ajar Pangukan. Kiai Narawangsa yang memiliki
pengalaman yang sangat luas itu harus menghadapi
kenyataan, bahwa di padepokan itu terdapat seorang yang
mampu mengimbangi ilmunya.Sedangkan orang yang lain lagi,
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih juga bertempur melawan Nyai Wiji Sari. Nampaknya
Nyai Wiji Sari yang bertempur tidak jauh dari sebuah tugu
sebagai alas sebuah nisan kecil itu, juga tidak segera dapat
mengalahkan lawannya. "Darimana saja orang-orang berilmu tinggi yang berkumpul
di padepokan ini?" bertanya Kiai Narawangsa didalam hatinya.
Kiai Narawangsa pun bertanya-tanya pula kepada diri
sendiri. Bagaimanakah dengan Parung Landung dan Paron Waja
serta Krendhawa dan Mingkara.
Tetapi Kiai Narawangsa tidak mempunyai banyak waktu
untuk merenungi keadaan. Ki Ajar Pangukan telah melibatkan
dalam pertempuran yang sengit. Hampir tidak ada waktu
sekejap pun untuk memperhatikan keadaan, kecuali jika Kiai
Narawangsa itu sengaja mengambil jarak.
Dalam pada itu, Manggada masih bertempur melawan
Parung Landung, sedangkan Laksana menghadapi Paron
Waja. Mereka adalah anak-anak muda yang jantungnya masih
mudah terbakar. Sementara itu mereka adalah anak-anak
muda yang memiliki bekal ilmu yang tinggi.
Namun Parung Landung yang bertempur melawan
Manggada harus menyadari, bahwa lawannya ternyata
memiliki ilmu yang tinggi. Jika anak muda itu lebih baik
menyingkir ketika mereka berpapasan, itu bukan karena
mereka tidak mempunyai bekal untuk berkelahi, tetapi
agaknya anak muda itu memang menghindari perselisihan
yang tidak perlu. Tetapi ketika anak muda itu benar-benar dihadapkan pada
satu pertempuran yang tidak dapat dihindari, maka ternyata ia
telah menunjukkan kemampuannya yang tinggi.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnyalah Manggada mampu bertempur dengan cepat,
keras dan garang. Tubuhnya yang liat seakan-akan tidak
bertulang lagi. Anak muda itu mempunyai banyak sekali cara
untuk menyerang dan bertahan. Kakinya dengan tangkas
berloncatan seakan-akan tidak lagi berjejak diatas tanah.
Tetapi Parung Landung yang ditempa dalam lingkungan
yang keras dan kasar itupun menjadi keras dan kasar pula.
Ketika ia menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang
tinggi, maka Parung Landung itupun telah meningkatkan
serangan-serangannya. Dengan demikian, maka pertempuranpun menjadi semakin
sengit. Serangan-serangan Parung Landung menjadi semakin
garang. Ketika kemudian ditangannya tergenggam sebuah
golok yang besar, maka Manggada pun telah memegang
pedangnya pula. Ternyata keduanya memiliki kemampuan bermain senjata
yang tinggi. Golok yang besar di tangan Parung Landung
menjadi semakin berbahaya karena kekuatan anak muda itu
memang sangat besar. Tetapi tidak kalah berbahayanya
pedang di tangan Manggada. Pedang itu berputaran dengan
cepatnya. Terayun-ayun mendebarkan.
Sementara itu, Laksana dan Paron Wajapun masih juga
bertempur dengan sengitnya pula. Keduanya juga sudah
menggenggam senjata. Benturan-benturan telah terjadi
dengan kerasnya. Kedua-duanya memiliki kekuatan yang
besar. Namun Laksana yang telah ditempa dalam kehidupan hutan
bersama Manggada dan Ki Pandi itu, dengan cepat
menyesuaikan diri dengan gaya permainan senjata lawannya.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, apapun yang dilakukan oleh Mingkara, Laksana
dapat mengimbanginya. Justru karena itu, kemarahan Mingkara bagaikan telah
menyulut ubun-ubunnya. Dihentakkannya kemampuan dan
ilmunya untuk mengatasi ketangkasan lawannya.
Demikianlah, maka dentang senjata yang berbenturan
itupun telah memercikkan bunga api. Senjata-senjata yang
terbuat dari baja pilihan itu berputaran, menyambar, mematuk
dan saling mendera. Sementara itu, pertempuran antara para pengikut Kiai
Narawangsa dan para penghuni padepokan itupun menjadi
semakin sengit pula. Satu-satu korban pun berjatuhan.
Beberapa orang yang sempat, telah menyingkirkan kawan-
kawan mereka yang terluka, agar mereka tidak terlanjur mati
terinjak-injak kaki mereka yang sedang bertempur.
Ketika matahari melewati puncaknya, maka langit pun
bagaikan membara. Panasnya seakan-akan menyusup tubuh
dan menghanguskan tulang. Sementara itu pertempuran
masih saja berlangsung dengan sengitnya.
Ki Jagaprana memang harus bekerja keras menghadapi dua
orang saudara yang semula disangkanya kembar. Kedua orang
itu mampu bertempur berpasangan dengan rapat. Saling
mengisi dan saling melindungi. Mereka datang menyerang
berganti-ganti berurutan seperti gelombang yang didera oleh
prahara, bergulung-gulung menghantam tebing.
Tetapi Ki Jagaprana adalah seorang yang mumpuni.
Ilmunya yang tinggi benar-benar telah mapan di tempa oleh
pengalaman. Meskipun umurnya menjadi semakin tua, tetapi
ia masih tetap seorang yang sulit dicari tandingnya.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sesaat demi sesaat, dua orang kakak beradik itu menjadi
semakin berat. Serangan-serangan Ki Jagaprana tidak kalah
garangnya dengan serangan-serangan kedua orang lawannya.
Meskipun tidak terlalu sering, tetapi beberapa kali membuat
kedua orang lawannya itu terkejut dan terpaksa berloncatan
menjauhinya. Namun Ki Jagaprana tidak ingin pertempuran itu menjadi
semakin berkepanjangan. Ia hanya seorang diri, sedangkan
lawannya bertempur berpasangan. Pada saatnya, maka ia
harus memeras tenaga lebih banyak dari lawannya seorang-
seorang. Karena, itu, selagi tenaganya masih belum susut,
maka ia harus berusaha mengakhiri pertempuran itu.
Dalam pada itu, pertempuran di sekitarnya masih
berlangsung Bahkan semakin menebar. Para pengikut Kiai
Narawangsa tidak mau terkurung dalam batasan yang sempit.
Karena itu, maka mereka pun berusaha untuk menebar
semakin luas. Dalam pada itu, Krendhawa yang sempat mendesak Ki
Jagaprana surut berteriak "Mati kau orang tua yang
sombong." Tetapi Ki Jagaprana tidak mati. Ia sempat mengelakkan
senjata Krendhawa yang terjulur ke arah dadanya. Namun
dalam waktu yang hampir bersamaan Mingkara pun berteriak
"Mati kau iblis tua."
Tetapi Jagaprana justru tertawa. Dengan nada tinggi ia
berkata "Kalian tahu artinya mati?"
"Tutup mulutmu" bentak Krendhawa.
Ki Jagaprana merendahkan dirinya. Senjata Krendhawa
terayun deras di atas kepalanya. Tetapi senjata itu tidak
menyentuh kulit Ki Jagaprana.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun Mingkara itu berteriak "Kau tidak akan dapat luput
dari tangan kami iblis tua. Kau akan segera jatuh ke tangan
kami, apapun yang kau lakukan."
"Jangan banyak sesumbar" desis Ki Jagaprana sambil
menghindari serangan Krendhawa "jika aku memerlukan
kawan, maka aku tinggal berteriak saja. Beberapa orang akan
segera berdatangan dan membantu aku membantai kalian
berdua. Tetapi bukan itu niatku. Aku masih ingin menjajagi
kemampuanku, apakah panasku, masih lebih tajam dari
panasmu. Apakah panas Matahari senja masih mampu
membuat air mendirih atau sekedar mengepulkan asap."
"Kau memang terlalu banyak berbicara." geram Krendhawa.
Namun kata-kata Krendhawa terputus. Ki Jagaprana
memang sudah mulai merasa letih. Ia sadar, bahwa beberapa
saat kemudian, maka tenaganya tentu akan menyusut.
"Apakah aku memang sudah tua?" bertanya Ki Jagaprana
kepada diri sendiri "kenapa aku sekarang menjadi terlalu cepat
letih?" Ki Jagaprana masih menguji dirinya sendiri. Tetapi karena ia
harus bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi,
maka Ki Jagaprana memang harus mengerahkan tenaga dan
kemampuannya. Namun dalam pada itu, meskipun Ki Jagaprana telah mulai
merasa letih, tenaganya masih belum menyusut justru karena
itu, maka ia ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran
itu sebelum tenaganya benar-benar telah menyusut.
Sementara itu, maka Krendhawa dan Mingkara pun telah
berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Mereka pun ingin
agar orang tua itu segera dapat diakhiri.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka kedua orang itu telah mengerahkan
kemampuan mereka tertinggi. Seperti Gunasraba, maka
keduanya memiliki kekuatan yang sangat besar. Dengan
mengandalkan kekuatannya itu, keduanya telah mencoba
menghimpit Ki Jagaprana dari dua arah yang berlawanan.
Ki Jagaprana pun mulai merasakan seakan-akan kekuatan
kedua orang lawannya itu meningkat. Setiap terjadi benturan,
Jagaprana memang merasakan tekanan yang kuat dari kedua
orang lawannya. Namun kekuatan yang besar itu tidak
menjamin kemenangan dalam pertempuran yang cepat dan
keras itu. Dalam keadaan yang gawat itu, maka Ki Jagaprana telah
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghentikan
pertempuran. Senjata yang sudah berada di tangannya itu
mulai menyusup di sela-sela pertahanan senjata lawan-
lawannya. Di bawah teriknya sinar matahari, maka kecepatan gerak Ki
Jagaprana ternyata menjadi sangat menguntungkan, justru
karena lawannya mengandalkan kekuatan mereka. Ketika
senjata Krendhawa terayun dengan derasnya, maka Ki
Jagaprana masih sempat untuk merendah. Namun bersamaan
dengan itu, Ki Jagaprana telah berputar, sementara tangannya
yang menggenggam senjatanya itupun telah terentang.
Putaran ujung senjata Ki Jagaprana itu ternyata berhasil
menyusup dibawah pertahanan Krendhawa. Karena itu, maka
sejenak kemudian terdengar Krendhawa itu berteriak nyaring.
Umpatan-umpatan kasar terdengar meloncat dari mulutnya.
Krendhawa itupun kemudian terhuyung-huyung beberapa
langkah surut. Ternyata ujung senjata Ki Jagaprana itu telah
mengoyak lambung. http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mingkara yang melihat saudaranya terluka, dengan serta-
merta telah meloncat menyerang Ki Jagaprana. Senjata
terayun dengan derasnya mengarah ke kening Ki Jagaprana.
Namun Ki Jagaprana sempat melihat serangan itu. Sekali lagi
ia dengan cepat merendah dengan berjongkok diatas satu
lututnya, sementara ujung senjatanya terjulur lurus menggapai tubuh lawannya.
Mingkara terkejut. Langkahnya terhenti. Namun ia tidak
tahu lagi apa yang telah terjadi. Ujung senjata Ki Jagaprana
itu ternyata telah menggapai jantung Mingkara.
Ketika kemudian Ki Jagaprana menarik senjatanya, maka
Mingkara itu telah jatuh terjerembab. Tubuhnya terbanting di
tanah sementara nafasnya telah terputus.
Krendhawa melihat keadaan saudara laki-lakinya itu. Karena
itu dengan sisa tenaganya ia berusaha menyerang Ki
Jagaprana. Ki Jagaprana melihat serangan itu. Yang dilakukannya
kemudian adalah sekedar menghindar. Dengan cepat ia
bangkit dan meloncat, kesamping.
Serangan Krendhawa itu tidak menyentuh sasaran. Namun
dengan menghentakkan tenaganya, sementara lambungnya
sudah terkoyak, maka darah Krendhawa seakan-akan telah
diperas keluar. Sejenak Krendhawa itu terhuyung-huyung. Namun demikian
banyaknya darah yang terperas, sehingga tubuh itu menjadi
sangat lemah. Perlahan-lahan Krendhawa jatuh berlutut. Namun kemudian
tubuhnya itu terguling. Meskipun demikian Krendhawa itu
masih sempat mengerang kesakitan.


Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagaprana termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
tubuh yang terbaring diam. Beberapa langkah dari tubuh
Krendhawa itu, tubuh Mingkara pun terbaring diam pula.
Ki Jagaprana mengerutkan keningnya ketika ia melihat
Krendhawa itu kemudian telah bergerak. Dengan sisa
tenaganya, Krendhawa berusaha untuk merangkak mendekati
tubuh adiknya yang telah tidak bernafas lagi
"Bangkitlah Mingkara. Ayo bangkit. Kita bunuh iblis tua itu.
Kita adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Segala
kemauan kita terjadi."
Ki Jagaprana memandang tingkah laku Krendhawa itu
dengan jantung yang berdebaran. Ketika ia melihat
Krendhawa itu mengguncang-guncang tubuh adiknya, maka
dada Ki Jagaprana itupun menjadi berdebar-debar. Ternyata
Krendhawa tidak mau melihat kenyataan sampai pada saat-
saat terakhirnya. Bahkan kemudian Krendhawa itu berusaha untuk bangkit.
Dicobanya untuk mengangkat kepala adiknya sambil berkata
dengan suara gemetar "Bangkitlah Mingkara. Bangkitlah. Kita
tidak punya banyak waktu lagi."
Tetapi Mingkara sama sekali tidak bergerak lagi.
"Mingkara, Mingkara" Krendhawa itupun kemudian berte
riak "kau kenapa he?"
Sementara itu darah dari luka Krendhawa itupun mengalir
semakin banyak. Gerak seru teriakan-teriakannya membuat
darahnya mengalir bergumpal-gumpal.
Sementara itu pertempuran pun masih berlangsung di
mana-mana. Tetapi tidak seorang pun yang sempat mendekati
mereka. Para cantrik dari padepokan itu telah semakin
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menekan para pengikut Kiai Narawangsa. Ketika ada seorang
yang akan berlari kearah Krendhawa dan Mingkara, maka
seorang cantrik telah menahan mereka dan melibatnya dalam
pertempuran. Ki Jagaprana yang menyaksikan tingkah laku Krendhawa itu
pun menjadi iba. Dengan hati-hati iapun telah mendekatinya.
Tetapi Krendhawa tidak menghiraukannya. Seakan-akan ia
ti dak melihat lagi orang-orang lain yang ada di sekitarnya,
selain adiknya yang telah terbunuh itu.
"Ki Sanak" desis Ki Jagaprana "jangan terlalu banyak
bergerak. Darahmu akan semakin terperas dari tubuhmu.
Tenanglah, berbaringlah dengan baik."
Krendhawa itu mencoba memandang wajah Ki Jagaprana.
Tetapi ternyata ia tidak lagi dapat mengenalinya. Selain
matanya yang sudah menjadi kabur, nalarnya juga sudah tidak
utuh lagi. Sementara itu, matahari di langit membuat
pandangannya menjadi silau.
"Siapa kau?" bertanya Krendhawa.
"Siapa pun aku tidak penting bagimu. Tetapi tenanglah.
Berbaringlah." "Aku sedang membangunkan adikku. Ia sudah terlalu lama
tidur. Ia harus bangkit. Perang sudah dimulai."
"Perang sudah selesai. Biarlah adikmu beristirahat. Ia
sangat letih." "Perang sudah selesai?" bertanya Krendhawa
Krendhawa itu termangu-mangu sejenak. Tetapi tubuhnya
sudah menjadi semakin lemah. Darahnya membasahi tanah.
Sementara tubuhnya sendiri juga sudah menjadi merah
sebagaimana tubuh Mingkara.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Perang memang sudah selesai. Beristirahatlah dengan
sebaik-baiknya." Krendhawa mengerutkan keningnya. Ia mencoba untuk
mengamati wajah Ki Jagaprana. Tetapi segala-galanya
menjadi semakin kabur. Meskipun demikian, Krendhawa itupun meletakkan kepalanya di tubuh adiknya. Seakan-akan diluar sadarnya ia
berkata '"Aku akan tidur dahulu. Perang sudah selesai."
Tetapi tiba-tiba Krendhawa itu mengangkat kepalanya
sambil bertanya"Apakah kita menang?"
"Ya. Kita menang."
"Kiai Banyu Bening sudah dibunuh?"
"Ya. Kiai Banyu Bening sudah dibunuh."
Orang itu tersenyum. Namun kemudian kepalanya itupun
diletakkannya kembali. Ia masih akan berbicara lagi. Tetapi
terasa pedih dilambungnya.
Krendhawa masih mencoba tersenyum karena kemenangan
yang telah dicapai oleh Kiai Narawangsa dengan membunuh
Kiai Banyu Bening. Namun senyuman itu adalah senyumannya yang terakhir.
Krendhawa pun telah mengakhiri hidupnya di medan
pertempuran. Ki Jagaprana menarik nafas, dalam-dalam. Iapun Kemudian
berdiri dan melangkah meninggalkan tubuh dua orang kakak
beradik yang semula disangkanya kembar itu.
Pertempuran masih terjadi di sekitarnya. Para cantrik masih
belum dapat mengusir lawan-lawannya. Bahkan pertempuran
pun telah menjadi semakin meluas dimana-mana.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ki Jagaprana yang telah kehilangan lawannya itu pun
kemudian melangkah mendekati arena. Beberapa orang
pengikut yang sempat melihat Ki Jagaprana membunuh
Krendhawa dan Mingkara, menjadi berdebar-debar. Tengkuk
mereka meremang, seolah-olah senjata Ki Jagaprana itu telah
menyentuhnya. "Siapa yang akan menyerah, menyerahlah" teriak Ki
Jagaprana tiba-tiba. Ternyata teriakannya itu berpengaruh. Para pengikut Kiai
Narawangsa menjadi semakin gelisah.
Dengan lantang Ki Jagaprana itu berkata selanjurnya
"Hanya ada dua pilihan. Menyerah atau mati."
Beberapa orang pengikut Kiai Narawangsa memang mulai
memikirkan untuk menyerah. Namun seorang yang bertubuh
tinggi dan besar itu berteriak "Hanya ada dua pilihan bagi
kami. Menang atau mati."
"Apakah aku tidak salah dengar?" bertanya Ki Jagaprana
"menyerah atau mati."
"Tidak. Menang atau mati."
Ki Jagaprana menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya
orang itu termasuk seorang yang berpengaruh di lingkungan
para pengikut Kiai Narawangsa. Sambil berteriak orang itu
bertempur melawan dua orang cantrik. Katanya "Kita sudah
berada di ambang kemenangan. Tidak ada orang yang dapat
menghalangi kita." Jantung Ki Jagaprana mulai tergelitik. Karena itu, maka
iapun mendekatinya sambil berkata "Kau lihat aku membunuh
kedua orang yang semula aku sangka kembar itu?"
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan mengigau. Aku tidak peduli apa yang telah kau
lakukan. Tetapi kami tidak akan menyerah."
Ki Jagaprana yang mulai letih itu memang menjadi mudah
tersinggung. Panasnya terik matahari, keringat yang
membasahi tubuhnya serta pertempuran yang menjalar
kemana-mana membuatnya cepat mengambil keputusan.
Orang itu harus dihentikan. Kemudian yang lain akan mudah
dikendalikan. Karena itu, maka Ki Jagaprana pun telah mendekatinya
sambil berkata "Mulutmu memang harus dibungkam."
"Mulutmu yang akan aku koyakkan jika kau berani
mendekat." Ki Jagaprana pun melangkah semakin dekat. Kemudian
katanya kepada kedua orang yang bertempur melawan orang
yang bertubuh tinggi besar itu "Minggirlah. Bantu kawan-
kawanmu, biarlah aku selesaikan orang ini."
Kedua orang cantrik yang bertempur melawan orang yang
bertubuh tinggi besar itupun segera berloncatan menjauh,
sementara Ki Jagaprana telah memasuki medan.
Orang yang bertubuh tinggi besar itu menggeram. Ketika Ki
Jagaprana melangkah semakin dekat, maka orang yang
bertubuh tinggi besar itu telah meloncat menyerangnya.
Kemarahan memang sudah membakar jantung
Ki Jagaprana. Karena itu, maka ketika orang itu meloncat
menyerang, maka Ki Jagaprana telah bergeser selangkah,
sehingga serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun
bersamaan dengan itu, senjata Ki Jagaprana telah terayun
mendatar. http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Segores luka telah menyilang di dada orang itu. Terhuyung-
huyung ia terdorong beberapa langkah surut
Orang itu masih sempat mengumpat. Tetapi tubuhnya pun
segera jatuh terguling. Orang itu memang tidak terbunuh. Namun ia sudah tidak
mempunyai kemampuan lagi untuk bangkit.
Sejenak Ki Jagaprana berdiri termangu-mangu. Bahwa
orang bertubuh tinggi besai itu sudah tidak berdaya, ternyata
pengaruhnya memang besar sekali. Para pengikut Kiai
Narawangsa yang bertempur di sekitar tempat itu hatinya
menjadi semakin kecut. Dalam pada itu Ki Jagaprana berteriak lagi "Siapa yang
akan menyerah, akan mendapat perlakuan wajar. Tetapi siapa
yang tidak menyerah, akan mengalami perlakuan yang buruk."
Tetapi masih juga ada pengikut Kiai Narawangsa yang setia.
Dengan lantang ia berteriak "Hanya pengkhianat sajalah yang
akan menyerah." Tetapi demikian mulutnya terkatub, maka ujung sepucuk
tombak pendek telah mematuknya.
Orang itu terkejut. Tetapi ia sudah terlambat untuk berbuat
sesuatu. Ujung tombak itu telah menghunjam dalam-dalam di
dadanya. Ketika orang itu rebah di tanah, maka seorang cantrik
dengan tombak di tangan telah bergeser menjauhinya.
Dalam pada itu, sekali lagi Ki Jagaprana berkata lantang
"Siapa yang akan menyerah" Yang keras kepala seorang demi
seorang akan mati di padepokan ini."
Tidak ada seorang pun yang berani berteriak lagi. Ketika Ki
Jagaprana menawarkan kesempatan sekali lagi untuk
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerah, maka beberapa orang dengan serta-merta telah
bergeser menjauhi lawan-lawannya sambil meletakkan senjata
mereka "Aku menyerah."
Pernyataan beberapa orang itu telah diikuti oleh beberapa
orang yang lain lagi. Semakin lama semakin banyak, sehingga
akhirnya hampir semua orang yang bertempur di sekitarnya
telah menyerah pula. Tetapi mereka yang telah bergeser jauh dari pintu gerbang
itu, tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi di
pintu gerbang itu. Karena itu, mereka; yang tidak mendengar
teriakan Ki Jagaprana dengan jelas tidak berbuat sebagaimana
dilakukan oleh kawan-kawan mereka.
Mereka masih saja bertempur dengan garangnya.
Namun akhirnya mereka mengetahuinya pula, kenapa
banyak kawan-kawannya yang menghentikan perlawanan.
"Krendhawa dan Mingkara telah mati terbunuh."
Sementara itu, di pintu butulan yang lain, Manggada dan
Laksana masih bertempur dengan sengitnya melawan Parung
Landung dan Paron Waja. Anak-anak muda itu telah bertempur habis-habisan.
Nampaknya pertempuran itu akan menentukan, siapa yang
akan hidup dan siapa yang akan mati.
Namun sebenarnyalah kegarangan Parung Landung dan
Paron Waja tidak mampu mengimbangi kemampuan ilmu
Manggada dan Laksana. Kedua orang anak muda yang sudah
ditempa di sanggar oleh ayah Laksana dan yang kemudian
dimatangkan oleh pengalaman. Bahkan kemudian mereka
telah ditumbuh-besarkah oleh Ki Pandi dengan caranya.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tubuh Manggada dan Laksana menjadi liat dan mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan yang bagaimana pun juga
rumitnya. Di hutan mereka menjalani laku yang berat, namun
yang sangat berarti bagi perkembangan ilmu mereka.
Parung Landung yang merasa dirinya mempunyai
kemampuan yang sangat tinggi, semula merasa yakin akan
dapat mengalahkan lawannya. Tetapi ternyata kemudian
bahwa kemampuannya tidak dapat mengguncang ilmu
Manggada. Goloknya yang besar setiap kali terayun tanpa
mampu menyentuh sasarannya. Jika terjadi benturan, maka
goloknya yang berat itu malah terasa sebagai beban.
Di bawah teriknya matahari, maka ujung pedang Manggada
mulai menyusup menembus pertahanan Parung Indung.
Betapa kuatnya Parung Landung, namun ketangkasan
Manggada ternyata sulit untuk diimbanginya.
Demikianlah maka perlahan-lahan tetapi pasti, Manggada
telah mendesak lawannya. Ayunan golok yang berat sama
sekali tidak menyulitkannya. Senjata yang lebih kecil justru
terasa lebih berarti. Ketika ujungnya sempat menggapai tubuh
Parung Landung, maka terdengar Parung Landung itu
mengeluh tertahan. Parung Landung meloncat surut. Ia sempat mengusap
bahunya dengan telapak tangannya yang menjadi merah.
Ketika Parung Landung dengan geram melangkah maju,
terdengar tidak terlalu jauh daripadanya, Paron Waja berteriak
kesakitan. Terhuyung-huyung ia melangkah surut. Namun
kemudian tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat
Laksana memburunya. Pedangnya terjulur lurus mengarah ke
dada. http://dewi-kz.info/

Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Paron Waja masih berusaha menangkis. Tetapi karena
keseimbangannya sedang goyah, maka ayunan senjatanya
tidak mampu menepis ujung pedang Laksana. Karena itu,
maka dalam keadaan yang goyah, ujung pedang Laksana
telah terhunjam di dadanya, langsung menyentuh jantungnya.
Paron Waja tidak mempunyai kesempatan lagi. Tubuhnya
terdorong semakin jauh, sehingga akhirnya jatuh terbanting di
tanah. Parung Landung yang melihat adiknya tertusuk di dadanya
berteriak memanggil namanya sambil meloncat menjauhi
lawannya, memburu kearah Paron Waja terpelanting jatuh.
Tetapi langkahnya terhenti, ketika Laksana pun menghadangnya sambil mengacukan pedangnya.
Parung Landung termangu-mangu sejenak. Ketika ia
berpaling, maka dilihatnya Manggada maju selangkah demi
selangkah mendekatinya. "Menyerahlah" berkata Manggada "kau sudah terluka. Kau
tidak akan dapat melawan kami berdua, sementara orang-
orangmu tidak akan sempat menyelamatkanmu, karena
mereka telah terikat dengan lawannya masing-masing.
Parung Landung menggeram. Ketika ia memandang
pertempuran di sekitarnya, maka ia memang tidak dapat
mengharapkan para pengikut Kiai Narawangsa membantunya.
Setiap orang harus berjuang untuk melindungi dirinya sendiri.
Sementara itu, Manggada dan Laksana telah menjadi
semakin dekat. Keduanya telah mengacukan senjata mereka.
Parung Landung masih berdiri tegak di tempatnya.
Sementara Manggada sekali lagi berkata "Jangan melawan
lagi. Tidak akan ada gunanya"
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Parung Landung berdiri termangu-mangu. Dari lukanya
masih mengembun darahnya yang merah.
Namun senjata Parung Landung itu seakan-akan telah
terkulai. Ujungnya bahkan telah menyentuh tanah.
Kepala anak muda itu tertunduk lesu. Sekali-sekali ia masih
berpaling memandang tubuh adiknya yang terkapar.
"Menyerahlah. Letakkan senjatamu." berkata Manggada
kemudian. Parung Landung itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
pun mulai membungkuk untuk meletakkan senjatanya.
Nampaknya ia tidak ingin melemparkan goloknya yang telah
mengawani dalam petualangannya yang panjang.
Laksana melangkah mendekat. Ia berniat untuk memungut
senjata itu setelah diletakkan oleh Parung Landung.
Namun tiba-tiba saja Manggada berteriak "Laksana, hati-
hati." Laksana terkejut. Tetapi yang tidak dikehendaki itu telah
terjadi. Parung Landung yang seolah-olah sudah meletakkan
senjatanya itu, tiba-tiba telah meloncat menyerang Laksana
dengan garangnya sambil berteriak "Aku bunuh kau karena
kau sudah membunuh saudaraku."
Laksana memang agak terlambat menangkis serangan itu.
Golok yang berat itu terjulur langsung mengarah ke dada
Laksana. Serangan itu terjadi demikian cepatnya. Laksana yang
menepis golok lawannya itu tidak seluruhnya berhasil. Ujung
golok itu ternyata masih sempat mengoyak pundaknya.
Tubuh Laksana bagaikan diputar. Anak muda itu benar-
benar telah kehilangan keseimbangannya. Dengan derasnya
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Laksana terlempar jatuh. Pedangnya terlepas dari tangannya
dan terpental beberapa langkah daripadanya.
Parung Landung dengan cepat meloncat memburunya.
Goloknya yang besar itupun segera terangkat Dengan
geramnya ia mengayunkan goloknya untuk menghabisi anak
muda yang telah membunuh saudaranya itu.
Laksana tidak dapat berbuat banyak. Yang dapat dilakukan
adalah melindungi dahinya dengan lengannya ketika golok itu
mengaiah kekepalanya. Tetapi golok itu tidak pernah memecahkan kepala Laksana
atau mematahkan lengannya. Demikian golok itu terayun,
maka Parung Landung itu terdorong dengan derasnya. Justru
dari dadanya tersembul ujung pedang yang ditusukkan dari
punggung. Parung Landung tidak sempat mengaduh. Goloknya yang
terayun itu tidak mengenai sasarannya justru ketika Parung
Landung itu jatuh tertelungkup. Ketika tubuhnya terdorong
maju, maka kakinya sudah menyangkut tubuh Laksana yang
terbaring di hadapannya. Bukan hanya Parung Landung, bahkan Manggada yang
telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyelamatkan Laksana telah terdorong dan seperti Parung
Landung, kakinya juga terantuk tubuh Laksana.
Sejenak kemudian, Manggada pun telah bangkit berdiri.
Demikian pula Laksana meski pun harus terdorong tubuh
Parung Landung. Demikian mereka berdiri, maka tubuh Laksana justru telah
menjadi merah oleh darah. Kecuali darahnya sendiri yang
mengalir dari lukanya di pundaknya, darah Parung Landung
telah membasahi tubuhnya pula.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manggada yang kemudian telah menarik pedangnya,
memandangi tubuh kedua orang saudara yang terbaring diam
itu. Laksana yang telah memungut senjatanya pula, kemudian
berdiri tegak memandangi arena pertempuran yang semakin
meluas. Tetapi kekuatan Kiai Narawangsa sudah menjadi semakin
tipis. Mereka bahkan seakan-akan telah kehilangan hubungan
yang satu dengan yang lain, sehingga mereka harus
menentukan langkah mereka masing-masing.
Manggada dan Laksana pun kemudian telah mendekati
arena pertempuran itu. Beberapa sosok tubuh telah terbaring
diam. Namun masih ada yang merintih dan mengaduh karena
luka-lukanya. Ketika Manggada itu telah berdiri di arena, maka iapun
segera berteriak "Menyerahlah. Tidak ada gunanya lagi kalian
bertempur. Lihat, kedua orang pemimpin kalian telah
terbunuh." Para pengikut Kiai Narawangsa memang menjadi ragu-ragu.
Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi di medan yang lain.
Tetapi rasa-rasanya keadaan kawan-kawannya menjadi tidak
jauh berbeda. Seandainya mereka mampu mendesak para
cantrik dari padepokan itu, maka aliran kemenangan mereka
yang memasuki pintu gerbang utama tentu sudah sampai dan
memenuhi seisi padepokan.
Tetapi mereka belum melihat kelompok-kelompok yang
memasuki padepokan itu dari pintu gerbang utama sampai ke
tempat itu. Dalam pada itu, sekali lagi mereka mendengar suara
Manggada "Aku beri kesempatan kepada kalian untuk
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerah. Jika kesempatan ini kalian sia-siakan, maka kalian
tidak akan pernah mendapat kesempatan lagi."
Para pengikut Kiai Narawangsa itu memang tidak melihat
kemungkinan lain. A palagi sebagian dari mereka rasa-rasanya
sudah menjadi berputus-asa. Pertempuran diteriknya panas
matahari tanpa melihat harapan. Pemimpin mereka telah
terbunuh, sehingga dengan demikian, maka kedua orang anak
muda yang telah membunuh pemimpin mereka itu akan dapat
membunuh mereka pula tanpa ampun.
Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka beberapa
orang diantara mereka yang ketahanan jiwaninya lemah, telah
memutuskan untuk menyerah.
Tetapi sebagaimana di bagian lain dari kelompok-kelompok
pengikut Kiai Narawangsa, maka di kelompok-kelompok itu
pun terdapat orang-orang yang setia kepada Kiai Narawangsa.
Dengan lantang orang itupun berteriak "Jika nanti Kiai
Narawangsa mengambil alih padepokan ini, maka siapa yang
berkhianat akan digantung."
Keragu-raguan memang melanda para pengikut Kiai
Narawangsa. Untuk meyakinkan mereka, maka Manggada dan
Laksana pun benar-benar telah turun kedalam arena
pertempuran. Ternyata pedang kedua orang anak muda itu benar-benar
membuat bulu tengkuk para pengikut Kiai Narawangsa itu
berdiri. Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai
pilihan lain. Ketika sekali lagi Manggada meneriakkan
kesempatan untuk menyerah, maka beberapa orang diantara
mereka pun langsung melemparkan senjata-senjata mereka.
Beberapa orang yang setia kepada Kiai Narawangsa masih
berusaha untuk membakar keberanian kawan-kawan mereka
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi masih saja ada diantara mereka yang melemparkan
senjata mereka. Pertempuran itu pun kemudian telah mereda. Mereka yang
tidak mau menyerahkan dirinya, harus menghadapi kenyataan, bahwa mereka benar-benar akan dihancurkan.
Dengan demikian maka pertempuran di beberapa tcmpat
pun sudah menjadi semakin mereda. Sebagian dari para
pengikut Kiai Narawangsa sudah menyerah.
Namun di halaman depan padepokan itu, pertempuran
masih berlangsung dengan sengitnya. Apalagi karena Kiai
Narawanagsa sendiri masih bertempur melawan Ki Ajar
Pangukan. sementara Nyai Wiji Sari bertempur melawan Ki
Pandi. Namun kehadiran orang-orang tua yang berilmu tinggi di
arena pertempuran itu sangat membatasi gerak para pengikut
Kiai Narawangsa. Ki Sambi Pitu yang telah kehilangan lawannya, telah berada
diantara para cantrik pula. Sementara itu Ki Lemah Teles dan
Ki Warana bersama-sama para cantrik telah membersihkan
para pengikut Kiai Narawangsa yang sudah terlanjur
menyusup diantara bangunan-bangunan di padepokan itu.
Dalam pada itu, Kiai Narawangsa sendiri ternyata tidak
segera dapat mengalahkan lawannya. Bahkan Ki Ajar
Pangukan itu selalu dapat mengimbangi ilmunya yang selalu
ditingkatkannya. Kiai Narawangsa itu semakin lama menjadi semakin gelisah.
Kematian Gunasraba telah membuat hatinya bagaikan
terkoyak. Kecuali ia merasa kehilangan, menurut perhitungannya, lawan Gunasraba itu akan dapat dengan
semena-mena menghancurkan para pengikutnya. Sedangkan
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Nyai Wiji Sari masih juga belum dapat melepaskan diri dari
lawannya yang bongkok itu.
Sementara itu, Kiai Narawangsa pun mulai dapat menilai
kenyataan yang dihadapinya. Para pengikutnya sudah
menyusut dengan cepat. Para pemimpin kelompoknya sudah
terbunuh di medan. Karena itu, maka satu-satunya harapannya adalah
membinasakan lawannya, kemudian menghadapi yang lainnya
yang berkeliaran di antara para cantriknya.
Dalam saat-saat yang gawat itu Kiai Narawangsa telah
mengerahkan ilmu pamungkasnya. Sejenak ia sempat
memusatkan nalar budinya. Kemudian disebutnya sumber-
sumber kekuatan dan daerah kelam. Kiai Narawangsa
memang mengandalkan ilmunya berdasarkan kekuatan dari
kerajaan hitam. Ketika kemudian Kiai Narawangsa itu mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi, maka rasa-rasanya tubuhnya telah
bergetar. Semacam awan yang hitam mulai mengabut di
sekitarnya. Semakin lama semakin tebal. Awan itu mulai
berputar perlahan-lahan. Tetapi semakin lama menjadi
semakin cepat. Ki Ajar Pangukan yang berpengalaman itupun segera
menyadari, bahwa lawannya telah mengetrapkan ilmunya
yang sangat berbahaya. Awan yang kehitam-hitaman itu akan
dapat melibatnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, kemudian
membantingnya ke tanah. Karena itulah, maka Ki Ajar Pangukan harus menanggapinya. Ia tidak ingin dilibat oleh awan yang akan
menjadi semacam angin pusaran itu.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan cepat, Ki Ajar Pangukan telah mengambil jarak
untuk mendapat kesempatan melawan awan yang berputar
itu.

Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para cantrik dan bahkan para pengikut Kiai Narawangsa
sendiri yang sedang bertempur telah menyibak. Tidak seorang
pun yang dapat bertahan jika awan yang kehitam-hitaman itu
melibat mereka dan mengangkatnya ke udara. Kemudian
membantingnya jatuh di atas tanah. Tubuh mereka tentu akan
lumat dan mereka akan kehilangan nyawa mereka.
Ki Ajar Pangukan memperhatikan awan itu dengan dahi
yang berkerut. Sementara itu, Ki Sambi Pitu, Ki Lemah Teles serta para
cantrik menyaksikan ungkapan ilmu Kiai Narawangsa itu
dengan jantung yang berdebar-debar.
Ki Pandi yang sedang bertempur melawan Nyai Wiji Saripun
sempat melihat awan yang berputaran itu sejenak. Sementara
itu Nyai Wiji Sari yang melihat kerut di dahi Ki Pandi berkata,
"Nah, bongkok buruk. Apa yang dapat dilakukan oleh kawan-
kawanmu untuk melawan kemampuan Kiai Narawangsa. Ilmu
itu adalah ilmu yang jarang sekali dipergunakan. Tetapi karena
kalian membuatnya sangat marah, maka tidak ada pilihan lain
dari Kiai Narawangsa kecuali membinasakan kalian dengan
ilmunya." Ki Pandi mengangguk-angguk. Tetapi ia tetap memelihara
jarak dengan Nyai Wiji Sari, agar tidak terjadi serangan yang
tiba-tiba. "Bongkok buruk. Kenapa kau tidak menghentikan saja
perlawananmu" Menyerahlah. Kau akan mendapat hukuman
yang ringan." http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah pengertian hukuman yang ringan itu didalam
lingkunganmu?" bertanya Ki Pandi "dipenjara setahun, dua
tahun atau harus bekerja paksa di kebun-kebun di bawah
teriknya matahari atau justru digantung?"
"Apapun ujudnya, tetapi tentu lebih baik daripada disambar
angin pusaran itu." Tetapi sikap Ki Pandi itu mengejutkan sekali. Orang
bongkok itu justru tersenyum sambil berkata "Aku tidak
mengira bahwa didalam kalutnya pertempuran yang
menentukan ini. Kiai Narawangsa sempat mengajak bermain-
main." "Gila kau. Ia tidak sedang bermain-main. Ilmu itu benar-
benar dapat membunuhmu."
Tetapi Ki Pandi menggeleng. Katanya sambil tertawa "Bagi
Ki Ajar Pangukan, maka asap-asapan itu hanya dapat
membuatnya sedikit terbatuk-batuk."
"Tidak" Nyai Wiji Sari hampir berteriak "lihat. Kawanmu itu
akan mati dilibat, diangkat dan kemudian dihempaskan diatas
batu padas." "Nyai keliru" sahut Ki Pandi "penriainan itu adalah
permainan Ki Ajar Pangukan dimasa kanak-kanaknya."
"Iblis bongkok. Kau akan melihat, bagaimana tubuh
kawanmu itu hancur nanti".
"Marilah kita bertaruh, Nyai" desis Ki Pandi.
Nyai Wiji Sari tidak menyahut. Tetapi wajahnya nampak
menjadi tegang. Dalam pada itu, asap yang kehitam-hitaman serta berputar
semakin cepat itu telah dilihat pula oleh para pengikut Kiai
Narawangsa yang berada di bagian belakang padepokan.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan mereka yang telah menyerah pun menyesali
keputusannya yang tergesa. Ilmu yang nggegirisi itu tentu
akan sanggup menyelesaikan pekerjaan Kiai Narawangsa yang
berat itu. "Kenapa kita demikian tergesa-gesa menyerah" desis salah
seorang pengikut Kiai Narawangsa.
"Bukan salah kita. Kenapa baru sekarang Kiai Narawangsa
melepaskan ilmunya" Kenapa tidak tadi sebelum kita
menyerah?" "Awan yang kehitam-hitaman itu akan dapat menghancurkan kawan-kawan kita sendiri. Agaknya kawan-
kawan kita sekarang telah berpencar, sehingga Kiai
Narawangsa mendapat kesempatan untuk melepaskan
ilmunya itu." "Alangkah bobohnya kita disini."
Tetapi para pengikut Kiai Narawangsa yang sudah terlanjur
menyerah itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Senjata
mereka telah dirampas. Di sekelilingnya para cantrik siap
berjaga-jaga dengan senjata telanjang.
Namun seorang diantara para pengikut Kiai Narawangsa
yang sudah terlanjur menyerah itu bangkit berdiri sambil
berteriak "Itulah akhir dari segala-galanya. Padepokan ini akan
hanyut diterbangkan oleh angin pusaran itu. Kita semuanya
pun akan hanyut pula. Kemudian dilepaskan di udara sehingga
kita akan mati terbanting di atas tanah ini. Tetapi itu lebih baik
bagi kita daripada menjadi tawanan"
Mulutnya terkatup ketika tiba-tiba saja pangkal landean
tombak menyambar mulutnya. Dua giginya tanggal dan
mulutnya pun mulai berdarah.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, maka angin pusaran itu mulai merayap
menuju ke tempat Ki Ajar Pangukan berdiri.
Ki Ajar Pangukan menyadari, apa yang sedang dihadapinya
itu. Karena itu, maka ia pun telah bersiap sebaik-baiknya. Ki
Ajar Pangukan sudah bertekad untuk beradu ilmu, apapun
yang akan terjadi atas dirinya.
Karena itu, maka Ki Ajar Pangukan itupun segera
mempersiapkan dirinya. Dipusatkannya nalar budinya menghadapi ilmu lawannya itu.
Ketika pusaran asap yang kehitam-hitaman itu mendekatinya, maka Ki Ajar Pangukan itupun telah
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dilandasi dengan
segenap kekuatan ilmu dan kemampuannya, maka Ki Ajar
Pangukan itu telah meloncat dan mengayunkan tangannya
menghantam pusaran kabut yang kehitam-hitaman itu.
Satu benturan ilmu telah terjadi. Kabut yang kehitam-
hitaman dan berputar menghampiri Ki Ajar Pangukan itu tiba-
tiba telah pecah. Angin pusaran itu bagaikan telah tertiup eleh
prahara sehingga pecah bercerai berai.
Kiai Narawangsa terkejut melihat akibat dari benturan ilmu
itu. Selangkah ia mundur. Ia hampir tidak percaya, bahwa
ilmunya itu telah dipecahkan sehingga tidak berdaya sama
sekali. Dalam pada itu, selagi Kiai Narawangsa itu termangu-
mangu, maka Ki Ajar Pangukan telah menghentakkan
tangannya sekali lagi mengarah langsung kepada Kiai,
Narawangsa. Tangannya sama sekali tidak menyentuh Kiai Narawangsa
yang masih berdiri termangu-mangu karena ungkapan ilmunya
itu hancur dan kemudian hanyut tidak berbekas.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun selagi kabut yang kehitam-hitaman itu menjadi
semakin tipis, maka Kiai Narawangsa itu terkejut sekali.
Ayunan tangan Ki Ajar Pangukan yang mengarah kepadanya
itu, telah menghentakkan kekuatan dan ilmu yang dahsyat
sekali. Tetapi Kiai Narawangsa itu terlambat. Kekuatan ilmu Ki Ajar
Pangukan itu menghantam tubuhnya dengan kekuatan yang
tidak terlawan. Tubuh Kiai Narawangsa itupun telah terlempar beberapa
langkah surut. Kemudian jatuh terbanting di atas tanah.
Sekali Kiai Narawangsa itu menggeliat. Namun kemudian
tubuhnya menjadi tidak berdaya sama sekali.
Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka tidak ada lagi
kekuatan yang dapat menggerakkan tubuhnya.
Nyai Wiji Sari pun terkejut pula menyaksikan peristiwa itu.
Di luar sadarnya, maka ia pun segera berlari ke arah tubuh
Kiai Narawangsa terbaring. Dengan serta-merta Nyai Wiji Sari
pun berlutut di sisi tubuh yang menjadi sangat lemah itu.
"Kiai" suara Nyai Wiji Sari bagaikan tersangkut di
kerongkongan. Kiai Narawangsa masih membuka matanya. Dilihatnya Nyai
Wiji Sari yang berlutut di sebelahnya.
"Nyai" suaranya lemah sekali "aku tidak dapat lagi
membantumu mengambil anakmu."
"Kiai" desis Nyai Wiji Sari "bangkitlah. Jangan tinggalkan
aku sendiri disarang serigala ini."
Wajah Kiai Narawangsa menjadi merah sesaat. Namun
kemudian wajah itu menjadi pucat kembali. Nafasnya menjadi
tersengal-sengal. http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nyai, aku tidak kuasa menyeberangi batas ini."
"Tidak. Kau adalah seorang yang tidak terkalahkan. Kau
mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Alasi kesulitan bagian
dalam tabuhmu, Kiai."
Kiai Narawangsa menggeleng lemah. Katanya "Siapa pun
aku Nyai, ternyata aku juga mempunyai keterbatasan. Hati-
hatilah membawa diri Nyai. Kau memang berada di sarang
serigala-serigala yang lapar."
"Kiai, Kiai."Nyai Wiji Sari menggungcang-guncang tubuh itu.
Namun Kiai Narawangsa telah meninggalkannya untuk
selama-lamanya. Nyai Wiji Sari yang garang itu menangis. Kepergian Kiai
Narawangsa benar-benar tidak diduganya. Ketika mereka
berangkat dari padepokan mereka, Kiai Narawangsa dan Nyai
Wiji Sari sudah demikian yakin akan keberhasilan mereka.
Tetapi ternyata mereka harus menghadapi kekuatan yang
tidak mereka duga sebelumnya.
Ternyata bahwa Kiai Narawangsa itu telah terbunuh.
Ki Ajar Pangukan berdiri termangu-mangu. Di sebelahnya Ki
Pandi mengangguk-angguk kecil. Ki Lemah Teles, Ki Sambi
Pitu, Ki Jagaprana bahkan Manggada dan Laksana pun telah
berdiri di sekitar tubuh yang terbaring itu.
Pertempuran yang terjadi di halaman itupun dengan cepat
menyusut. Tanpa ada yang memberi peringatan atau
mengancam, para pengikut Kiai Narawangsa itu telah
menyerah. Namun berbeda dengan mereka, Nyai Wiji Sari itu tiba-tiba
telah bangkit. Pedangnya masih berada di tangannya. Bahkan
pedang itu pun kemudian telah berputar dengan cepatnya.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang-orang yang berdiri di seputarnya berloncatan surut.
Mereka tidak menduga bahwa tiba-tiba saja Nyai Wiji Sari
telah mengamuk seperti seseorang yang kerasukan iblis.
Yang terutama menjadi sasaran serangan-serangannya
adalah Ki Pandi, sehingga Ki Pandi itupun berloncatan surut
beberapa langkah. "Nyai" Ki Pandi mencoba untuk mencegahnya "jangan Nyai.
Jangan kehilangan akal seperti itu."
Tetapi Nyai Wiji Sari tidak mendengarnya. Serangan-
serangannya datang beruntun. Bahkan kemudian dengan
membabi buta. Kiai Pandi terpaksa setiap kali berloncatan menghindar,
menangkis dan bahkan sekali-sekali membentur senjata Nyai
Wiji Sari. Tetapi Ki Pandi sendiri tidak pernah membalas serangan-
serangan itu. Nyai Wiji Sari yang mengetahui bahwa lawannya tidak
pemah membalasnya menyerang, berkata lantang "Kenapa
kau hanya berloncatan menghindar" Kenapa kau tidak
membalas menyerang."
"Sabarlah Nyai. Sebenarnya apa yang kau cari. Jika kau
ingin mendapatkan anakmu, itulah anakmu. Tidak seorang
pun yang akan menghalangimu. Ambil anakmu dan bawa
kemana kau mau." "Kau berusaha untuk melemahkan tekadku untuk membunuhmu dan membunuh kawan-kawanmu. A yo, katakan
kepada kawan-kawanmu itu. Kita akan bertempur sampai
tuntas. Aku sanggup membunuh semua penghuni padepokan
ini." http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Nyai" berkata Ki Pandi sambil menghindari serangan-
serangannya. "Cobalah kau pergunakan nalarmu. Berpikirlah
dengan tenang. Jangan kau biarkan gejolak perasaanmu itu
membakar dadamu." Nyai Wiji Sari tidak mendengarkannya sama sekali.
Perempuan itu masih saja menyerang Ki Pandi dengan
garangnya. Tetapi akhirnya Ki Pandi tidak mencegahnya lagi.
Dibiarkannya perempuan itu mengerahkan tenaga dan
kemampuannya. Bahkan Ki Pandi itu justru sekali-sekali mulai
menyerang, menyentuh tubuh lawannya dengan serulingnya
meskipun tidak menimbulkan akibat apapun juga. Tetapi
sentuhan-sentuhan itu telah memancing Nyai Wiji Sari untuk
mengerahkan tenaga dan kemampuannya.
Ki Ajar Pangukan, Ki Sambi Pitu, Ki Jagaprana dan Ki Lemah
Teles dan beberapa orang yang lain memang dapat


Mentari Senja Seri Arya Manggada V Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui maksud Ki Pandi. Karena itu, mereka sama sekali
tidak mencegahnya. Selangkah demi selangkah Ki Pandi memancing lawannya
mendekati tugu kecil di depan pendapa bangunan utama
padepokan itu, sehingga akhirnya keduanya telah bertempur
hanya beberapa langkah saja dari tugu kecil itu.
Namun betapapun Nyai Wiji Sari mengerahkan kemampuannya, namun ia sama sekali tidak pernah mampu
menyentuh tubuh lawannya dengan ujung pedangnya. Tetapi
Ki Pandi pun tidak pula pernah menyakiti Nyai Wiji Sari.
Betapapun tinggi daya tahan tubuh Nyai Wiji Sari, akhirnya
iapun telah sampai pada batas ketahanannya. Semakin
bernafsu ia ingin membunuh lawannya, maka tenaganyapun
menjadi semakin terperas habis.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akhirnya, Nyai Wiji Sari itu tidak dapat mengingkari bahwa
tenaganya justru mulai menyusut.
Kenyataan itulah yang kemudian dihadapi oleh Nyai Wiji
Sari. Ketika tenaganya benar-benar sudah terkuras habis,
maka serangan-serangannya menjadi tidak berarti lagi. Nyai
Wiji Sari setiap kali justru terhuyung-huyung terseret oleh
ayunan pedang sendiri. Akhirnya, Nyai Wiji Sari itu pun justru telah terjatuh di sisi
tugu kecil itu. Ki Pandi berdiri termangu-mangu sejenak. Nyai Wiji Sari
masih menggenggam pedangnya yang kehitam-hitaman.
Meskipun pedangnya tidak mengkilap, tetapi pedang itu tentu
tajam sekali. "Nyai" suara Ki Pandi lunak "sudahlah. Bukankah tidak ada
artinya lagi jika Nyai masih saja membiarkan perasaan Nyai
bergejolak." Nyai Wiji Sari tidak menyahut.
"Nyai, anakmu sudah tidak ada lagi. Kiai Banyu Bening juga
sudah tidak ada. Aku tidak tahu, apa yang akan kau lakukan
terhadap Kiai Banyu Bening seandainya ia masih ada."
Nyai Wiji Sari tidak segera menjawab.
"Terakhir, Kiai Narawangsa pun sudah tidak ada pula Nyai."
Nyai Wiji Sari tidak menjawab. Tetapi yang terdengar
kemudian adalah isak tangisnya. Bahkan tiba-tiba dipeluknya
tugu itu, seperti ia sedang memeluk anaknya.
Pertempuran pun benar-benar telah selesai, tidak ada
perlawanan lagi di seluruh padepokan itu. Semua pengikut Kiai
Narawangsa sudah menyerah.
http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika matahari kemudian turun menjelang senja, maka
Nyai Wiji Sari itu berdiri di pintu gerbang padepokan. Ki Ajar
Pangukan, Ki Pandi, Ki Lemah Teles, Ki Sambi Pitu, Ki
Jagaprana bahkan Manggada dan Laksana mengantarnya
sampai keluar pintu gerbang.
"Aku akan melihat dunia dari sisi yang lain" berkata Nyai
Wiji Sari "aku titip anakku. Aku yakin bahwa ia tidak akan
tersia-sia di sini. Aku akan mencari jalan untuk dapat menebus
segala dosa dan kesalahanku. Semuanya itu bersumber dari
ketidak-setiaanku." Ki Ajar Pangukan mengangguk kecil sambil berdesis "Hati-
hatilah Nyai." Nyai Wiji Sari itupun kemudian berjalan meninggalkan
padepokan itu sambil berdesis "Terima kasih atas kesempatan
yang kalian berikan kepadaku."
Perempuan itupun kemudian melangkah dengan langkah
yang tetap menjauhi padepokan itu. Tetapi ia tidak lagi
mengenakan pakaian khususnya. Ia mengenakan pakaian
sebagaimana seorang perempuan tanpa senjata dilambungnya. Matahari masih bersinar. Sinarnya tidak lagi menggigit.
Tetapi matahari senja itu masih memberikan cahaya kepada
Nyai Wiji Sari yang berjalan menjauh. Ia tidak tau kemana ia
harus memilih jalan yang lain dari jalan yang pernah
ditempuhnya bersama Kiai Narawangsa.
Meskipun kemudian langit menjadi semakin suram, tetapi
di-hati Nyai Wiji Sari, matahari justru memancarkan cahayanya
yang terang. (Oo-ismo-dwkz-mch-oO) http://dewi-kz.info/ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"TAMAT" http://dewi-kz.info/ Cinta Bernoda Darah 6 Kisah Sepasang Bayangan Dewa 8 Jurus Lingkaran Dewa 2 Karya Pahlawan Bagus Sajiwo 4
^