Pencarian

Patung Emas Kaki Tunggal 1

Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H Bagian 1


" (Tok Kak Cin Jin) ~ Unta Sakti ~ Diceritakan oleh Gan KH Jilid 1 SELAYANG PANDANG pasir menguning terbentang luas
tidak berujung pangkal, jejak sejarah telah terbenam di bawah
tebaran pasir yang bergulung tertiup angin tak pernah
berhenti. Sang sunya memancarkan cahayanya yang merah
menguning menyinari padang pasir yang semakin dingin
ditaburi kabut malam. Tatkala itu, di padang pasir nan luas tak
berujung pangkal itu, berkumpul banyak sekali orang-orang
gagah dan Para Enghiong dan empat penjuru, mereka terdiri
dari berbagai aliran dan golongan yang satu sama lain
berlainan haluan dan cita-cita. Tapi jelas bahwa mereka sama
mempunyai pengalaman juang dalam mengarungi kehidupan
kaum persilatan yang penuh diliputi mara bahaya dan elmaut.
Pengalaman gagah dan perbuatan yang perwira mereka sama
dilandasi dan dengan segala pengorbanan yang besar, entah
darah, keringat, pengalaman dan keyakinan yang teguh, dan
yang terutama mereka mempertaruhkan jiwa dan raga.
Apakah tujuan mereka mengadakan pencarian besar di
tengah padang pasir yang serba kekurangan ini"
Tabir malam sudah menyelimuti seluruh alam semesta.
Para gembala yang jauh berada di padang pasir sana mulai
mengumpulkan kotoran untuk membikin api unggun,
menyambut kedatangan kabut malam yang sudah menyelimuti
seluruh penghuni dunia ini.
Bintang mulai bermunculan berkelap-kelip di tengah
cakrawala, putri malampun mulai menongolkan mukanya yang
cantik molek laksana raut wajah seorang putri remaja yang
sedang memadu cinta. Para gembala sedang bergembira ria, menyanyi dan
menari, ada yang memetik harpa ada pula yang menggesek
biola dan menyebul tanduk, mereka sama melagukan
nyanyian kisah perjuangan kaum gembala yang gagah
perwira, suasana semakin riang dan gegap gempita.
Kelompok orang-orang gagah yang sedang meringkuk
tersebar membentuk sebuah bundaran diam tak bersuara,
suasana sunyi dan kelam, kadang-kadang terdengar suara
gerutu dan umpat caci penasaran tapi itu hanya terjadi
selintas lalu saja. Apakah yang mereka sedang nantikan"
Dari gundukan pasir tinggi sebelah sana mendadak
terdengar dengusan rendah lirih, disusul sebuah bayangan
yang ditimpa cahaya rembulan muncul dari kejauhan,
bayangan tinggi dan besar, itulah seorang sebatangkara yang
bercokol di punuk unta. Orang-orang yang meringkuk ada yang duduk ada yang
berbaring itu jadi gempar dan ribut, dalam batin mereka sama
berkata, "Datang. Akhirnya datang?"
Hadirin menjadi tegang serasa hampir susah bernapas tapi
tiada seorangpun yang berani mengeluarkan suara keras,
begitulah sementara bayangan unta itu sudah semakin
mendekat masuk ke tengah bundaran di antara mereka.
Di bawah cahaya rembulan yang terang benderang semua
orang dapat melihat tegas, orang yang bercokol di atas
punggang unta itu ternyata seorang pemuda, meskipun ia
sudah menanjak usia lima enam belasan, tapi usianya yang
masih muda ini, sungguh membuat semua hadirin menjadi
heran dan hampir tak percaya akan pandangan mata sendiri.
Menghadapi sekian banyak orang-orang gagah yang
kenamaan dalam Bulim, ketenangan si pemuda hampir sulit
dipercaya. Pelan-pelan ia menghentikan tunggangannya,
sepasang bijimatanya memancarkan sinar terang setajam
ujung pisau menyapu pandang ke sekitarnya, lalu dengan
suara yang kalem ia berkata, "Maafkanlah keterlambatanku
sehingga tuan-tuan lama menunggu. Apakah kalian sudah
lengkap semua".?"
Suasana sekelilingnya tetap sunyi, tidak terdengar jawaban
seorangpun, pemuda itu menunggu sebentar lalu berseru pula
dengan lantang, "Bagaimana kalian ini, sebelumnya Cayhe
sudah memberi pengumuman, bahwa Kiu-sun-sam-pay, Citkok
Cap-si-po, asal ada salah seorang dari mereka yang tidak
hadir, maka pertemuan ini kuanggap batal!"
Sesaat lamanya keadaan masih sunyi senyap, mendadak
terdengar sebuah suara serak dan ketua-tuaan berteriak,
"Matamu kan tidak picak, apakah semua sudah hadir atau
belum masa kau tidak bisa lihat sendiri?"
Pemuda itu tersenyum, tanyanya, "Siapa yang bicara"
berdiri!" Di sebelah samping kiri berdiri seorang laki-laki tua tinggi
besar, serunya dengan suara serak, "Lohu Kok Liang dari Kimsapo!"
Seperti kilat biji mata si pemuda menyapu pandang ke
arahnya, ditatap sinar mata yang tajam itu Kok Liang jadi
merinding dan berdiri bulu kuduknya, ia tak habis mengerti
pengalaman puluhan tahun di kalangan Kangouw entah
kenapa hatinya jeri dan kuncup nyalinya menghadapi pemuda
gagah di atas unta itu, Tampak si pemuda tersenyum ramah, katanya, "Oo,
kiranya Kok-pocu, pengalamanmu sangat luas, minta tolong
untuk memeriksanya sebentar, apakah orang-orang dari
semua aliran dan golongan yang kusebut tadi sudah hadir
semua. Soalnya Cayhe baru pertama kali ini bersua dengan
kalian, terpaksa aku bertanya lebih dulu."
Seru Kok Liang dengan nada dongkol. "Tak perlu diperiksa
lagi, Lohu berani tanggung seorangpun tidak akan kurang.
Selama dua puluh tahun, seluruh sahabat Bulim menantikan
pertemuan malam ini, tak mungkin mereka yang
berkepentingan tidak hadir pada saat ini."
"Kalau begitu bagus!" seru si pemuda sambil tertawa keras.
"Marilah kita mulai menyelesaikan urusan kita! Siapa yang
maju lebih dulu?" Sesaat lamanya suasana sunyi mencekam mata, baru saja
Kok Liang hendak membuka suara, tiba-tiba seorang di
sampingnya keburu berseru, "Kok-pocu harap berhenti
sebentar! Pinceng punya persoalan yang perlu dibikin jelas
lebih dulu." Kok Liang berpaling dengan laku hormat berkata, "Silakan
Ciangbunjin!" Orang itu maju beberapa langkah, jubahnya yang besar
gerombyongan dari kain kasar merupakan seragam
keagamaannya, itulah dia Siau-lim Ciangbun yang menjagoi
dunia Kangouw masa ini, Thong-sian Taysu, beliau sudah
berusia delapan puluhan, suaranya keras berisi, serunya
sambil merangkap tangan di depan dada, "Omitohud!
terhadap asal-usul Sicu tetap masih rada curiga."
"Jadi Taysu menyangsikan Cayhe bukan Bing-tho-ling-cu
yang tulen?" tanya si pemuda tertawa lebar.
Thong sian Taysu manggut-manggut, sahutnya, "Dua puluh
tahun yang lalu, Lohu beruntung pernah melihat wajah asli
Bing-tho-ling-cu, sebaliknya siau Sicu"."
Pemuda itu bergelak tertawa, ujarnya, "Dua puluh tahun
yang lalu aku berusia lima puluh tahun, yang Taysu jumpai
sudah tentu bukan aku, sang waktu berlalu dengan cepat, kini
guruku sudah mangkat, maka janji beliau kepada tuan-tuan
sekalian terpaksa menjadi tanggung jawabku."
Hadirin menjadi ribut bisik-bisik dan bersuara heran.
Agaknya mereka tidak mau percaya bahwa tokoh kosen gagah
perwira yang pernah malang melintang menjagoi dunia
persiltan dua puluh tahun yang lalu kini sudah berpulang ke
tempat asal". Ujar Thong-sian Taysu dengan kejut-kejut heran, "Tokkosiansing
masih berusia sedang dan bertubuh sehat walafiat,
mana bisa meninggalkan dunia fana di tengah jalan "."
Dengan rasa rawan si pemuda menjawab, "Ya, guruku
memang seorang genius yang tiada taranya, bakatnya tak ada
yang dapat menandingi, sayang "."
"Sungguh Lolap merasa sayang dan ikut berbela sungkawa
akan nasib Tokko-sianseng yang malang itu. Tapi dapatkah
Sicu membuktikan bahwa kau betul-betul murid Bing-tho-lingcu
yang asli?" Si pemuda tersenyum dengan angkuh, dari buntalan yang
tergantung di punggung tunggangannya ia mengeluarkan
sebuah bungkusan kain kuning, ia buka kain pembalut di
sebelah luar, seketika mereka semua hadirin terbelalak kiranya
buntalan itu berisi sebuah patung kaki tunggal berbentuk
manusia yang terbuat dari emas, di bawah pancaran sinar
rembulan, menyorot sinar kemilau yang menyilaukan mata.
Sambil angkat patung emas ke atas, pemuda itu berseru
lantang tapi khidmat, "Orangnya sudah mati tapi untanya
belum mati. Kalau tulang bisa menjadi keropos maka senjata
ini akan tetap abadi, unta yang kutunggangi ini adalah
peninggalan dari guruku almarhum. Tok-ga-kim-sin yang
kupegang ini kukira Taysu tidak melupakannya bukan!?"
"Benar!" sahut Thong-sian Taysu dengan sungguhsungguh.
"Memang senjata itu milik Tokko-sianseng dulu,
apakah lolap boleh pinjam lihat sebentar?"
Si pemuda bergelak tertawa, serunya; "Taysu tidak perlu
curiga lagi, di atas jidat Kimsin ini ada melekuk tiga lobang, ini
kan hasil kanya tangan Taysu dulu, waktu guru almarhum
masih hidup beliau sangat mengindahkan Taysu. Dalam
kolong langit ini tokoh yang dapat meninggalkan bekas di atas
senjatanya ini cuma Taysu seorang."
Dengan sikap hormat Thong-sian Taysu merangkap tangan
pula, cepat ia menjura ke arah Kim-sin di tangan si pemuda.
serunya "Lolap tak curiga lagi. Dua puluh tahun yang lalu
gurumu Tokko sianseng menerjang ke Siau-lim-si, dimana dia
berhasil memecahkan Lo han-tin, syukurlah mengandal segala
kemampuan Lolap selama puluhan tahun, aku hanya
terkalahkan oleh gurumu, dengan suka rela kami
menyerahkan Ling-hu dari partai kami. Meski peristiwa ini
merupakan kejadian yang memalukan bagi kejayaan Siau-limpay
kami selama ratusan tahun, tapi Lolap pribadi sangat
segan dan menghargai gurumu, tak nyana takdir Tuhan
menentukan dia harus mangkat lebih dulu, sungguh Lolap
merasa sangat menyesal dan ikut berduka cita."
Si pemuda tertawa tawar, ujarnya, "Taysu terlalu sungkan,
dalam masa dua puluh tahun ini tentu Taysu telah melatih dan
menciptakan ilmu yang tiada taranya."
"Mencipta ilmu apa segala sungguh Lolap tidak berani
menerima pujian ini. Cuma untuk merebut kembali Ling-hu
perguruan kami, terpaksa nanti Lolap akan minta sedikit
pelajaran dari Sicu"."
"Taysu tidak usah sungkan, bukan saja perguruan Taysu,
Kiu-hun-lam-pai, Jit-ko-cap-si-po, seluruhnya berjumlah tiga
puluh tiga Ling-hu atautanda kepercayaan, seluruhnya sudah
diserahkan kepadaku oleh guru almarhum. Setengah tahun
yang lalu tujuanku menyebar Bing-tho-ling (perintah unta
sakti), adalah untuk mengembalikan semua barang-barang itu.
Tapi". kalian harus dapat memenuhi syarat yang diajukan
oleh guruku almarhum."
Dengan tajam Thong-sian Taysu menatapnya, katanya
dengan suara heran, "Kapan Sicu ingin membereskan semua
urusan itu?" "Kukira semua orang sudah menunggu dengan gelisah,
sudah tentu lebih cepat lebih lebih baik. Maka kupikir harus
segera dimulai." Thong-sian Taysu agaknya masih kurang percaya,
tanyanya, "Dulu gurumu mengandal bakatnya yang tiada
taranya ia tokh harus makan waktu setengah tahun baru
berhasil menundukkan sekian banyak golongan dan aliran.
Tapi Sicu seorang diri malam ini hendak menghadapi tiga
puluh tokoh kosen secara bergantian?"
Si pemuda menengadah sambil tertawa, serunya, "Dulu
kalian berpencar terlalu jauh, guruku harus satu persatu
meluruk ke tempat kalian, maka akhirnya menghabiskan
waktu begitu lama, tapi sekarang aku lebih beradat keras dan
ingin lekas selesai, maka sekaligus kuundang kalian semua
untuk menyelesaikan urusan ini bersama."
Perasaan Thong-sian Taysu rada tergetar oleh rasa
sombong dan congkak pemuda di hadapannya ini, setelah
terlongong sekian lamanya ia berkata pula dengan
menggeleng kepala, "Mengandal kekuatan jasmani sicu
sekarang yang perkasa, kau hendak angkat diri dan
menciptakan rekor yang luar biasa, meski lohu percaya bila
Sicu punya kemampuan itu, pihak kami tidak akan sudi
meminta kembali Ling-hu kami dalam keadaan yang demikian,
maka terpaksa Lolap mohon mengundurkan diri saja dari
pertemuan malam ini."
Mengawasi jenggot memutih di depan dada si padri tua ini,
timbul rasa hormat si pemuda, segara ia menjura serta
katanya hormat, "Taysu punya perasaan yang luhur dan
mengenal kebijaksanaan, sungguh Cayhe sangat kagum. kalau
Taysu tidak sudi mengambil keuntungan ini, Cayhe tidak
berani main paksa. silahkan Taysu menonton dari samping,
nanti setelah Cayhe selesai mengurus persoalan di sini, kalau
Taysu masih anggap Cayhe punya tenaga biarlah nanti kita
lanjutkan babak terakhir saja."
Thong-sian Thaysu geleng-geleng kepala, tanpa bicara lagi
cepat ia menyingkir ke samping.
Dengan seenaknya si pemuda melompat turun dari atas
punggung unta, lalu menepuk paha belakangnya, katanya
lembut "Sahabat tua, carilah tempat untuk istirahat, tidak akan
lama aku pasti sudah menyelesaikan semua urusan di sini."
Agaknya unta cerdik yang Sakti itu seperti bisa mendengar
ucapan majikannya, dengan mengeluh rendah perlahan-lahan
ia jalan pergi meninggalkan gelanggang sambil mengobatabitkan
ekornya. Dulu Bing-tho-ling-cu Tokko Bing dengan kepandaian
silatnya yang maha tinggi berhasil menundukkan banyak
golongan dan aliran silat serta berhasil merebut tanda
kebesaran dan kepercayaan berbagai golongan dan waktu itu
ia berjanji dua puluh tahun yang akan datang, mengundang
berbagai golongan dan aliran itu untuk mengambil pulang
Ling-hu atau tanda kebesaran mereka dengan kepandaian
masing-masing. Sudah tentu kejadian itu merupakan suatu
penghinaan besar terhadap berbagai kaum persilatan itu,


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka mereka rela berlatih dan rajin belajar memperdalam
ilmu masing-masing untuk menagih malu dan penghinaan dua
puluh tahun yang lalu. Siapa nyana dua puluh tahun kemudian, hari ini mereka
mendengar bahwa Tokko Bing sudah ajal, pemuda congkak
dan takabur yang mengaku sebagai murid tunggalnya akan
menyelesaikan pertikaian lama itu.
Sikap dan tingkah laku si pemuda yang sombong dan
pongah sungguh menimbulkan kemarahan massa, mereka tak
kuasa menahan hawa amarah.
Kim-sa-pocu Kok Liang yang berangasan lebih tidak kuasa
menahan gajolak hatinya, dengan berjingkrak gusar ia
berseru, "Keparat, kau terlalutakabur dan pandang rendah
kami semua." Si pemuda tertawa angkuh, sahutnya, "Aku toh ahli waris
dari Bing-tho-ling-cu, sudah tentu cukup setimpal untuk
bersikap angkuh." "Lohu ingin tampil lebih dulu!" teriak Kok Liang murka.
"Sudah tentu boleh." jawab si pemuda acuh tak acuh.
"Coba kau serahkan dulu Bing tho-ling yang kukirim kepada
kau itu." Dengan muka merah padam, Kok Liang merogoh keluar
sekeping tembaga dari kantong bajunya terus dilempar di
depan kaki si pemuda. Tembaga itu sebesar tiga centi persegi berbentuk bundar
sebelah atasnya, di balik yang mengkilap diukir seekor unta,
itulah lambang tunggangan si pemuda.
Perlahan-lahan si pemuda mengeluarkan sebuah lempitan
kertas terus dibeber. Ia membaca di bawah sinar rembulan,
"Kim-sa-po. Satu lembar Panji kuning sutera, harap maaf Pocu
tua, mainanmu itu terlalu besar tak bisa kugembol jadi
terpaksa kulempit dan kusimpan di bawah tempat duduk
tungganganku itu. Kalau kau dapat mengalahkan aku, segera
kuserahkan barang milikmu itu."
Saking murka muka Kok Liang sampai pucat dan membiru,
teriaknya, "Jikalau Lohu yang menang, maka jiwa bocah
keparat ini pasti melayang."
"Bagus sekali. Orang lain kurasa tidak perlu menggunakan
banyak tenaga lagi, di atas kertas ini ada daftar gambar milik
kalian, semua boleh silahkan ambil sendiri milik masingmasing,
seluruhnya kusimpan di atas tungganganku itu, harap
nanti kau kembalikan menurut daftar yang tertulis disini."
Kok Liang menjengek gusar, semprotnya, "Keparat tidak
perlu banyak mulut, boleh kau mulai saja!"
Dengan acuh tak acuh si pemuda berkata, "Nanti dulu, kau
belum lagi mencari tahu namaku! terlanjur kau menghadapi
Giam-lo-ong di akherat, cara bagaimana kau hendak
mengadukan kepadanya, apakah kau tidak penasaran nanti"
Lo-pocu dengarlah supaya jelas, aku she Koan bernama Sangwat!
Bing tho-ling-cu ke II."
"Sreng." Kok Liang melolos golok bergigi di atas
punggungnya. Di sebelah atasnya ada sembilan gelang
tembaga yang mengeluarkan suara gemerincing nyaring,
sekali digerakkan terdengarlah suara ribut yang memekakkan
kuping, teriaknya, "Bocah keparat, serahkanlah jiwamu!"
Dengan tenang Koan San-gwat mengangkat Kim-sin di
tangannya ujarnya, "Kok-pocu jangan mengumbar adat, kalau
bertempur paling pantang marah, demi nama dan gengsimu,
kalau hari ini kau terjungkal di tanganku, kau harus tunggu
lagi dua puluh tahun, usiamu kan sudah lanjut, apakah kau
mampu menunggu sekian lamanya ".?"
Ia mengoceh seenaknya, nada ucapannya pun sangat
sombong, tapi setiap arti kata-katanya justru cukup beralasan
dan punya aturan karenanya Kok Liang jadi melengak dan
tertegun, cepat ia kendalikan perasaan hatinya, setelah
longgar ia menjengek dingin, "Kalau hari ini Lohu kalah, panji
kebesaran Kim-sapo kau hancurkan saja. Lohu pun tidak akan
menunggu dua puluh tahun lagi."
"Kurasa tidak perlu begitu, Kim-sapo kalian toh sudah
angkat nama dan cukup tenar di daerah Ko-liok, panji
kebesaran Kim-sa-po kalian juga sudah kenamaan puluhan
tahun di Bulim, untuk memperoleh kebesaran ini kukira bukan
persoalan yang sepele, maka bolehkah kuberi kesempatan
kepada keturunanmu kelak!"
Kok Liang jadi melongo, sesaat barulah bersuara, "Terima
kasih akan kemurahan hatimu." tanpa banyak bacot golok
bajanya terangkat terus membacok dari depan, sekian lama
Kok Liang angkat nama di Kangouw mengandal tenaga yang
besar, golok bajanya ini terbuat dari baja murni yang beratnya
ada enam puluh kati ditambah kekuatan latihan tenaga
pergelangan tangannya selama puluhan tahun, jurus serangan
goloknya ini benar-benar laksana gunung Thaysan menindih
batok kepala. Seluruh hadirin tumplek perhatiannya menyaksikan
pertempuran mereka. Bahwa pemuda yang bernama Koan
San-gwat ini mewakili Bing-tho-ling-cu Tokko Bing yang
digjaya itu, bahwa perbawa dan sikap si pemuda sejak
permulaan memang sudah menggerakkan sanubari banyak
hadirin, maka sekarang tibalah saat mereka membuktikan
kepandaian silatnya yang sejati.
Koan San-gwat mandah tersenyum manis. Patung malaikat
kaki tunggal di tangannya diangkat dan sedikit digentak, maka
terdengarlah suara "trang" yang tidak begitu keras, bacokan
golok Kok Liang yang membawa tenaga laksaan kati itu
dengan mudah dipecahkan, tiada seorang pun yang melihat
tegas dengan Jurus apa ia mematikan sarangan golok yang
hebat itu. Walaupun Kok Lang sendiri merasa takjup tapi rasa
kuatirnya malah jadi berkurang, serunya sambil tertawa keras,
"Tak heran kau berani mengagulkan diri, kiranya kau mahir
kepandaian dari aliran sesat, kalau berani mari kau sambut
jurus serangan Lohu secara kekerasan."
Hadirin serempak memberi dukungan atas tantangan Kok
Liang, mereka sama senang tapi juga rada kecewa, jelas
mereka anggap bahwa Lwekang Koan San-gwat betapapun
masih terbatas, paling Tokko Bing cuma mengajar beberapa
jurus pelajaran kembangan belaka dalam hal penggunaan
tenaga betapapun masih terlalu rendah.
Mereka senang karena hari ini bakal menebus rasa malu
dan penghinaan dulu, mereka kecewa pula karena Koan Sangwat
cuma kuat di dalam tapi keropos di dalam.
Cuma Thong-sian Taysu seoranglah yang menghela napas
gegetun, tapi hanya beberapa orang di sekitarnya saja yang
mendengar. Sementara itu, Koan San-gwat sedang tertawa ringan,
sambil mengulapkan tangan, katanya, "Anggapanmu aku tidak
mampu menyambut sejurus seranganmu"!"
Kok Liang mengangguk, katanya, "Coba waktu aku
bertanding dengan Tokko Bing. Cuma sejurus saja golokku
terpental lepas dari cekalan, meski kalah Lohu tunduk lahir
batin"." Koan San-gwat menarik muka, katanya dengan nada berat,
"Dulu guruku memberi muka kepadamu, kau kira tenagamu
sendiri betul-betul hebat" Tapi aku tidak akan menggunakan
cara guruku dulu. kalau kau tidak percaya, silahkan kau
bermain beberapa jurus dengan senjataku ini!!"
Tiba-tiba ia ulur tangan mengangsurkan ke hadapan hidung
Kok Liang, jarak mereka cuma beberapa tindak, ujung kepala
Kim-sin tepat menyodok ke hidung Kok Liang, karuan berubah
rona wajah Kok Liang, cepat ia menyampok dengan goloknya,
tak nyana gerakan Koan San-gwat jauh lebih cepat, dimana
tahu-tahu golok Kok Liang sudah terampas sementara Kim-sin
di tangan kanan masih diulurkan kepada Kok Liang.
Kok Liang sendiri tidak tahu cara bagaimana goloknya
dirampas orang, cepat kedua tangannya menyanggah ke atas
dan mencengkram kepala Kim-sin yang dijulurkan kepadanya
itu, tapi seketika berubah air mukanya, badannya terhuyung
mundur beberapa tindak ke belakang.
Ternyata tak kuasa tangannya memegang Kim-sin hingga
jatuh di atas pasir dan "Blesss" amblas ke dalam pasir separo
lebih. Dengan ayunan tangan seenaknya Koan San-gwat
membuang golok Kok Liang sejauh-jauhnya, terus
membungkuk menjemput Kim-sinnya, katanya, "Sekarang kau
pasti tidak berani mengagulkan tenagamu sendiri. Guruku
menaruh belas kasihan kepadamu, cuma menggetar terbang
senjatamu saja, kalau beliau balas menyerang, yakin tulang
belulangmu sudah remuk redam."
Pucat dan berkeringat selebar muka Kok Liang, katanya
menghela napas panjang, "Ai, tamat sudah seluruhnya! Untuk
selanjutnya biarlah nama Kim-sa-po dihapus dari percaturan
Bulim." Golok bergiginya tidak sempat dijemput lagi, sekali
menggelundung jauh dan beberapa kali loncatan,
bayangannya lenyap ditelan tabir malam.
Kedua orang ini cuma berhantam sejurus belaka, tapi di
luar cara yang ditentukan semula ternyata sudah berhasil
menentukan kalah dan menang, seluruh hadirin kembali
dicekam rasa tegang, rasa girang seketika tersapu bersih, rasa
kecewa sebaliknya semakin bertambah tebal! Tapi rasa
kecewa yang terakhir ini berlainan, karena terselip juga rasa
kejut dan heran yang mulai menghantui perasaan mereka.
Terdengar Lu Bu-wi Ciang bunjin Ciong-lam-pay yang
berdiri di samping Thong-sian Taysu menghela napas,
katanya, "Dula waktu Losiu bertanding dengan Tokko Bing, ia
menggunakan Kim-sin itu, bertanding enam puluh jurus
lamanya, akhirnya ia menang karena permainan tipu jurusnya
yang banyak ragamnya, sunggah di luar tahuku bahwa benda
itu ternyata begitu berat!"
Thong-sian Taysu menggeleng kepala, katanya, "Entah
terbuat dari Logam apa Kim-sin itu. Malam itu Tokko Bing
meluruk ke Siau-lim, ia bertanding dengan Suteku Tay-lik sin
Ngo-seng. Sute kuatir senjatanya terlalu enteng maka ia
memberi peringatan kepadanya, tidak nyana sambil tertawatawa
ia ajak tukar mempergunakan Senjata dengan Suteku
untuk membedakan milik siapa yang lebih berat, ternyata Kimsin
ini satu kali lipat lebih berat dari senjata tongkat besi besar
milik Suteku itu"."
Berubah air muka Lu Bu-wi, katanya terkejut, "Tay-lik sinceng
terkenal pembawaan tenaganya yang besar, kabarnya
besar tongkat besi dinginnya itu ada lima ratusan kati, jadi
Kim-sin sepanjang tiga kaki itu ada ribuan kati lebih beratnya.
". Thong-sian Taysu manggut-manggut, katanya, "Kalau
penilaian Lolap tak salah, Kim-sin ini paling sedikit ada dua
ribu kati, bocah ini dapat menarikannya seenteng seperti main
gala yang terbuat dari gabus tanpa menggunakan tenaga
sedikitpun, kelihatannya ia sudah mendapat warisan tunggal
Tokko Bing, pertemuan malam ini, akan banyak pihak yang
menghadapi rasa kekecewaan pula."
Lu Bu-wi menunduk diam, pikirannya kacau-balau, sikapnya
terharu. Didengarnya Koan San-gwat yang bertolak pinggang
di tengah gelanggang sedang berseru, "Selanjutnya siapa lagi
yang ingin memberi petunjuk?"
Suasana hening sebentar, tampak seorang perempuan
pertengahan umur yang mengenakan pakaian serba hijau
melayang maju ke tengah gelanggang, tangannya menghunus
pedang baju warna hijau, gerak langkahnya enteng dan
lincah, begitu melihat orang melayang tiba, segera Koan Sangwat
menyapa dengan tertawa, "Saudara ini tentu Ya-li-kiam
Han Lihiap dari Thian-bok-san bukan?"
Perempuran pertengahan umur itu cuma sedikit
menganggukkan kepala, sahutnya, "Benar, dua puluh tahun
yang lalu beruntung mendapat petunjuk sejurus dari gurumu,
hingga selama ini aliran Thian Bok kami menyembunyikan diri
dari Bulim. Malam ini, aku Han Ji-ing ingin mohon petunjuk
dari ahli waris Bing-tho yang tunggal."
Koan San-gwat tertawa, katanya, "Guru almarhum sangat
kagum dan memuji pada ilmu pedang Han lihiap, karena Hanlihiap
sudi mengalah, maka Ci kim Hong-ce tanda kebesaran
Han-lihiap itu kusimpan di dalam kantong bajuku. semoga
Han-lihiap nanti berhasil merebutnya kembali."
Merah jengah muka Han Ji-ing, serunya dengan uring
uringan, "Bocah keparat banyak cerewet, dua puluh tahun
yang lalu pelajaran ilmu pedangku memang belum sempurna
sehingga terkalahkan oleh Tokko Bing. Dalam jangka dua
puluh tahun ini, setiap saat setiap detik aku bersumpah untuk
berlatih lebih giat mempertinggi pelajaran pedang untuk
melampiaskan rasa dongkol dan penghinaan itu, tak kira
Tokko Bing sudah mampus, maka perhitungan ini terpaksa
kutagih kepadamu!" Koan San-gwat tetap bersikap tawar, katanya, "Agaknya
Han-lihiap suka mengumbar napsu, meskipun guruku
almarhum berhasil mengambil Ci-kim-hong-ce mu itu, tetapi
tidak anggap sebagai benda rampasan dari hasil
kemenangannya, tapi beliau anggap sebagai tanda kenangkenangan.
Sebelum beliau ajal, setiap hari ia suka
mengeluarkan benda itu. Sikap kasar Lihiap apakah tidak
membuat kecewa perasaan guruku".?"
Meskipun usia Han Ji-ing sudah menanjak pertengahan,
tapi dia masih perawan suci belum pernah menikah, karuan ia
malu serta gusar mendengar ocehan Koan San-gwat,
teriaknya bengis, "Keparat bergajul yang tidak tahu malu,
kalau hari ini aku tidak memecah luluh tubuhmu aku
bersumpah tidak akan jadi manusia".!!!"
Seiring dengan bentakannya pedang panjang di tangannya
sudah membabat pergi datang bolak-balik, bayangan
pedangnya menggugus tinggi laksana gunung, setiap jurus
pasti mengarah tempat-tempat penting mematikan di seluruh
tubuh Koan San-gwat. Meski bentuk tubuh Koan San-gwat terkurung rapat di
dalam sinar pedangnya, tetapi sikapnya masih tenang,
seenaknya saja ia angkat Kim-sin di tangannya, entah
menyambut atau menyampok dan menindih, dengan mudah ia
dapat memunahkan setiap rangsakan pedang lawan yang
hebat dan deras laksana hujan lebat.
Kini hadirin tahu bahwa Kim-sin berkaki situ di tangan Koan
San-gwat itu ribuan kati beratnya, sekarang mereka
menyaksikan benda berat itu dimainkan begitu enteng dan
lincah sekali, sudah tentu hati mereka mendelu dan berkuatir


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula. Ada beberapa Pay, Pang, Bun dan Keh yang hadir merekareka
dalam hati bahwa kekuatan mereka tidak lebih unggul
dibanding Kok Liang, diam-diam sudah putus asa dan
mengaku asor saja, bahwasanya selama dua puluh tahun ini
berarti mereka menanti dengan sia-sia saja.
Apalagi menurut tafsiran mereka bahwa tenaga si bocah
yang harus mereka hadapi ini agaknya tidak lebih rendah dari
gurunya dulu, lebih ciut nyali mereka.
Dalam pada itu, pertempuran di tengah gelanggang sudah
mencapai puncak yang tidak terkendalikan lagi, semakin
bertempur Han Ji-ing semakin bernapsu dan gagah berani,
pedang panjangnya beruntun merangsak dan menggempur
dengan berbagai tipu pedang yang ganas dan licik, setiap
jurusnya mengandung perubahan yang lihay dan sulit
diselami, semua menjurus ke tempat mematikan di tubuh
lawannya. Tapi Koan San-gwat sedikitpun tak menjadi gugup
karenanya, ia seperti tidak ambil perhatian terhadap seluruh
gempuran pedang lawan, seenaknya saja ia mainkan senjata
malaikat emasnya yang berat itu, jarang sekali ia gunakan
ajaran gurunya untuk balas menyerang tapi cukup serangan
satu jurusnya saja, pasti berhasil menyusup ke dalam lobang
kelemahan pihak musuh, karuan Han Ji-ing dibuat mencakmencak
dan harus mengurungkan setiap kali serangan
nekadnya untuk menyelamatkan dirinya lebih dulu.
Enam puluh jurus dilampaui. Samar-samar sudah kelihatan
Han Ji-ing mulai payah, sebaliknya Koan San-gwat masih
segar bugar dan seperti tidak terjadi apa-apa, tak kelihatan
sedikitpun merasa lelah, napasnya pun tidak memburu.
Para penonton di luar gelanggang banyak yang menjadi
kabur pandangannya, ada pula yang melotot saking asyik dan
ada pula yang menghela napas gegetun memikirkan nasibnya
sendiri. Ciong-lam-pay Ciangbunjin Lu Bu-wi berbisik kepada
Thong-sian Taysu. "Di antara sungai dan gunung, seluas dunia
persilatan ini tidak sedikit jumlah orang-orang yang suka
mengagulkan kepandaian dan bernama kosong belaka, tapi
tidak sedikit pula yang berkepandaian sejati. Thian-bok-pay
terletak di daerah yang bersembunyi, jarang berkecimpung di
kalangan Kangouw, tetapi latihan ilmu pedang Han-lihiap
benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna, dibanding
para pentolan yang lain seperti Kim-sa-pocu. Kok Liang tadi,
entah berapa tingkat lebih unggul."
Dengan prihatin Thong-sian Taysu mengangguk, ujarnya,
"Yali-kiam-hoat diciptakan pada jaman Chun-ciu, turun
temurun secara tunggal diturunkan ke generasi muda dalam
lingkungan kekeluargaan sendiri sampai sekarang sudah
ratusan tahun, sudah tentu tidak boleh dipandang ringan atau
dianggap ilmu pedang pasaran belaka. Tapi yang Lolap
khawatirkan justru pemuda itu, naga-naganya dia jauh lebih
hebat dibanding Tokko Bing dulu."
"Meski murid Bing-tho tidak jelek, tapi bergebrak sebanyak
enam puluh jurus ini, menurut pandangan Losiu tiada tandatanda
dimana letak kelihaiannya," demikian Lu Bu-wi memberi
tanggapan." "Lu-heng cuma melihat lahiriah atau kulitnya saja, harus
diketahui senjata yang digunakan Han-lihiap adalah pedang,
paling berat cuma dua puluh kati, tapi senjata Tok-ga-kim-sin
bocah itu beratnya mungkin ada ratusan kali lipat, untuk
pertandingan berat antara kedua senjata ini saja adalah cukup
mengejutkan." Merah muka Lu Bu-wi, rasa kagumnya terhadap Thong-sian
Taysu bertambah tebal, orang tidak malu sebagai seorang
pemuka dari sebuah aliran murni yang kenamaan,
pandangannya memang jauh lebih tajam dan berpengalaman
dari dirinya. Setelah menonton sekian lamanya, akhirnya Thong-sian
menghela napas panjang, katanya, "Selama ratusan tahun
belakangan ini kaum Bu-lim mengidamkan hidup aman
sentosa dan sejahtera, menutup pintu memperdalam
kepandaian silat masing-masing, semua senang dihinggapi
angan-angan kosong yang muluk-muluk, untung Tokko Bing
muncul sehingga mereka sadar. Kalau tidak, mungkin mereka
bakal tenggelam oleh angan-angan bahwa kepandaian sendiri
sebetulnya sampai di tingkat mana. Lolap rasa pertemuan
malam inilah saatnya yang paling baik."
Baru saja Lu Bu-wi hendak membuka mulut, tiba-tiba dalam
gelanggang terdengar suara bentrokan lirih, terlihat pedang
panjang Han Ji-ing sudah terpental terbang dan jatuh ke
tanah, seketika ia menjublek di tempatnya.
Ternyata pada gebrakan kesembilan puluh sembilan,
permainan Koan San-gwat mendadak berubah, Tok-ga-kim-sin
mendadak menyodok ke ulu hati Han Ji-Ing, yang di arah
adalah lobang kelemahan lawan, sudah tentu Han Ji-ing jadi
kelabakan dan tak sempat menangkis atau menghindar lagi. Di
saat senjata kepala musuh sudah menyentuh kain bajunya ia
sudah pejamkan mata dan menunggu ajal saja, tanpa merasa
ia mengendorkan cekalan senjatanya.
Tak nyana cara Koan San-gwat melancarkan serangannya
memang hebat, tapi caranya membatalkan serangan serta
menariknya balik justru lebih menakjupkan lagi, jarak tinggal
beberapa mili saja, mendadak ia tarik mentah-mentah tenaga
sodokannya, terus mundur dua langkah, serunya tertawa,
"Kuucapkan selamat kepada Han-lihiap, Yali-kiam-hoat
ternyata berlipat ganda lebih maju setelah kau latih selama
dua puluh tahun, kini ilmu pedang Li-hiap sudah cukup untuk
menjagoi dunia persilatan"."
Sekian lama rona wajah Han Ji-ing masam gelap, dengan
susah payah baru ia kuasa membuka suara, "Bocah keparat,
terhitung kau yang menang! Tapi jangan mulutmu
sembarangan bicara".!"
Cepat Koan San-gwat menggoyangkan Tangan, tukasnya,
"Lihiap salah paham, sebenarnya Cayhe tidak punya maksud
menghina, pedang sebagai raja dari segala senjata, tombak
sebagai pimpinan dari semua senjata panjang. Yang pendek
tidak akan menang dari yang panjang. Ini sudah merupakan
suatu hal yang jamak. Terpaksa Cayhe harus melancarkan
jurus Tiang-liong-ni-coan dari ajaran ilmu tombak Liok-sim-ciohoat
yang paling lihai "."
"Bohong!" semprot Han ji-ing dengan berjingkrak gusar.
"Senjatamu tiga kaki, mana dapat kau gunakan sebagai
tombak?" Dengan sabar dan kalem, Koan San-gwat coba
menerangkan, "Tergantung dari pemakainya, Kim-sin ini
kuperoleh dari guruku, aku percaya dia tidak asor dibanding
tombak yang panjang, sebaliknya kalau ganti orang lain,
seumpama dia benar-benar memegang sebatang tombak
aslipun belum tentu kuat menghadapi pedang panjang Lihiap
itu." Han ji-ing jadi melongo, akhirnya dia membungkuk
menjemput pedangnya, katanya dengan suara keretekan,
"Bocah, semoga umurmu panjang dapat hidup melewati
malam ini. Cukup tiga tahun pasti akan kudidik seorang murid,
tetap dengan Yali-kiam-hoat ini untuk mwngalahkan kau."
"Aku percaya akan datang hari yang diharapkan itu."
demikian ujar Koan San-gwat dengan lapang dada. "Kuharap
Han-lihiap tidak putus asa, lebih giat dan rajin"."
Han Ji-ing mendengus gemas terus tinggal pergi dan
menghilang di dalam kelompok orang orang banyak.
Sambil menenteng senjata beratnya, Koan San-gwat
menyapu pandang ke sekelilingnya. Beruntung dia sudah
barhasil mengalahkan dua tokoh Bulim, perbawanya sudah
cukup menggetarkan nyali semua hadirin, tetapi sikapnya
yang semula angkuh dan congkak kini berganti menjadi dingin
dan tenang, membuka suara pun rasanya ogah.
Keadaan menjadi sepi, yang terdengar cuma pernapasan
orang saja, Ciong-lam-pay Ciangbunjin Lu Bu-wi tidak tahan
lagi, katanya keras, "Losiu ingin maju, meski aku tidak punya
harapan menang, betapa pun waktu yang kutunggu-tunggu
selama dua puluh tahun jangan sampai tersia-sia "."
"Nanti dulu Lu-heng." kata Thong-sian Taysu menarik
tangannya. Dengan tidak mengerti, Lu Bu-wi pandang muka orang.
Dengan merendahkan suaranya Thong-sian Taysu berkata
lirih, "Lolap bisa main hitung nasib orang, kulihat nasib dan
watak bocah ini lain dari yang lain, gebrak selanjutnya aku
kuatir bahayanya jauh lebih besar."
Tengah Lu Bu-wi keheranan, dari depan sana dilihatnya
berjalan keluar seseorang dengan langkah goyang gontai,
orang itu mengenakan pakaian sastrawan, sikapnya lemah
lembut, seluruh hadirin seketika melongo. Sebab orang ini
teramat asing, agaknya tak pernah menongolkan kepalanya di
dunia persilatan. Dengan pandangan dingin Koan San-gwat menyambut
kedatangan laki-Laki sastrawan ini, katanya, "Saudara ini dari
golongan mana?" Perlahan-lahan laki-laki sastrawan itu membuka kipasnya,
serunya bersenandung, "Rumah tinggal di Liok-cau, she aku
turunan Ni-san." Tergerak hati Koan San-gwat, katanya, "Oo, kiranya Khongkokcu
dari Liok-cau-san dalam lembah Loh-hun-kok."
Laki-laki sastrawan itu terkekeh tertawa, ujarnya, "Beliau
adalah engkohku Khong Bun-thong, aku yang rendah Khong
Bun-ki tidak berani menerima penghormatan itu."
Berdiri alis Koan San-gwat, tanyanya, "Kenapa engkohmu
sendiri tidak datang?"
Khong Bun-ki mengebas-ngebaskan kipasnya, katanya,
"Tuan menyebar Bing-tho-ling, engkohku sudah menduga apa
maksud saudara. Seumpama Tokko bing tidak akan unjukkan
diri, maka hari ini akulah yang mewakili beliau."
Hadirin ribut dan berbisik-bisik, keluarga Khong di Loh-hunkok
di puncak gunung Liok Cau-san merupakan keluarga
misterius bagi kaum persilatan. Sepak terjang mereka aneh
dan main sembunyi sulit diraba juntrungannya, ilmu silat
mereka pun tersendiri berbeda dari aliran mana pun juga.
Tiada orang luar yang pernah memasuki Loh-hun-kok
(lembah sukma gentayangan), kadang kala cuma Khong bunthong
pernah muncul di kalangan Kangouw, melenyapkan
beberapa pentolan penjahat-penjahat besar yang sering
mengganggu keselamatan umum, nama kebesaran mereka
mulai ternama karena beberapa peristiwa besar yang
menggemparkan itu. Kata-kata Khong Bun-ki sangat mengejutkan semua
hadirin, sebab sejak tadi baru dia yang berani bersikap kasar
dan main sindir dengan tajam terhadap Koan San-gwat.
Karuan hadirin senang seolah-olah mendapat imbalan yang
cukup melegakan sanubari, tapi melihat tindak-tanduknya
yang lemah lembut itu, mau tidak mau mereka kuatir juga
atas keselamatan dirinya.
Tapi Koan San-gwat tidak menghiraukan perkataan orang.
Dengan nada tawar ia bertanya, "Bagus sekali, saudara ingin
menggunakan cara apa untuk merebut kembali Pi-seng-cu
milik kalian?" Khong Bun-ki membalikkan mata, lalu balas bertanya,
"Dulu cara bagaimana Tokko Bing merampas dari tangan
kami?" Melotot mata Koan San-gwat, katanya, "Dalam hal
pelajaran silat dan sastra sudah tentu aku tidak bisa dibanding
guruku, tapi kalau saudara ingin menggunakan cara lama, aku
yang rendah dengan senang hati akan melayani segala
seleramu." "Baik! Baik!" seru Khong Bun-ki tertawa besar. "Tokko Bing
seorang terpelajar yang tinggi ilmunya, mana mungkin murid
didikannya seorang berotak tumpul."
Tiba-tiba Koan San-gwat bersuit nyaring, unta saktinya itu
segera bergegas berdiri dan berlari datang dengan cepat ke
sampingnya. Dari lehernya, Koan San-gwat mengambil sebuah
kantong kulit, lalu menepuk paha untanya itu, tanpa
diperintah unta itu menyingkir ke tempat tadi.
Dari sebelah belakang Khong Bun-ki dengan cermat
mengawasi unta itu, serunya memuji, "Bagus, hebat, memang
seekor unta yang sakti!"
"Tuan tak usah main sindir. Kalau kena aku kau kalahkan,
pertaruhan guruku dulu masih tetap berlaku, bukan saja
tungganganku itu boleh kau bawa pulang, senjata Kim-sinku
ini pun akan kuserahkan sekalian."
"Saudara tidak perlu berpura-pura royal, kalau malam ini
kau tidak bisa mengenyahkan aku, jangan harap kau dapat
mengangkangi barang-barang itu lagi."
Mendengarkan percakapan yang membingungkan ini
perhatian hadirin tertuju ke arah kantong kulit yang dipegang
Koan San-gwat. Entah apa isi kantong kulit itu" Demikian
semua orang bertanya-tanya.
Perlahan-lahan Koan San-gwat membuka tali pengikat
mulut kontong itu, bau harum semerbak seketika tersebar luas
menyampok hidung. Bau dari arak wangi yang sudah disimpan
puluhan tahun lamanya. Koan San-gwat mengangsurkan kantong kulitnya kepada
Khong Bun-ki, katanya, "Di padang pasir yang terpencil begini
sulit mencari arak yang paling bagus, sudah tentu arak
bekalku ini tidak bisa dibanding arak buatan Loh-hun-kok
kalian, coba saudara periksa apakah arakku ini bisa
dipergunakan sebagai alat untuk permainan kita nanti?"
Khong Bun-ki menerima kantong itu terus diendus ke
depan hidung, serunya dengan tertawa besar, "Boleh, boleh.
Saudara masih berusia muda belia, kepandaian memilih arak
ternyata tidak lebih asor dari Tokko Bing. Bau arak ini cukup
baik, kalau dugaanku tidak salah sari airnya terbuat dari
sumber air dingin di puncak Thian-san bukan?"
Koan San-gwat tertawa ringan, katanya, "Tokoh-tokoh dari
Loh-hun-kok ternyata memang hebat, cangkir sinar malam
saudara apakah dibawa serta?"
Khong Bun-ki tersenyum lebar, dari dalam lengan bajunya
ia mengeluarkan sebuah cangkir jade, lalu menuang penuh
secangkir arak, katanya tertawa, "Memang sebelumnya sudah
kupersiapkan, saudara silahkan"."
Koan San-gwat meletakkan Kim-sin di atas pasir, dia sendiri
lantas duduk bersimpuh di atas pasir, matanya menatap tajam
Khong Bun-ki, serunya sambil tertawa lantang, "Bulan sabit


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali akan menjadi saksi dari dua pertandingan seperti
kejadian masa yang sudah silam. Masih segar dalam
ingatanku, sewaktu pertandingan dulu, saudara tuamu yang
mulai lebih dulu. Maka sekarang kuharap saudara mulai lebih
dulu pula." Khong Bun-ki tersenyum perlahan-lahan ia dorong telapak
tangannya kedepan, make cangkir diatas telapak tangannya
itu tahu-tahu terbang lurus ke depan, seolah-olah disanggah
dari bawah pelan-pelan maju ke depan Koan San-gwat.
Cangkir itu terbuat dari jade putih bersemu hijau yang
tembus sinar, di bawah pancaran sinar bulan sabit yang cukup
terang kelihatan memancarkan cahaya kemilau yang berwarna
kelabu. Sementara cangkir itu tiba di atas Koan San-gwat kira-kira
terpaut satu setengah kaki mendadak berhenti sendiri terus
berputar-putar seperti gangsingan di tengah udara.
Dari jauh sekonyong-konyong Khong Bun-ki sedikit
mengulap dan mengayunkan kedua tangannya, karuan
cangkir yang berputar berhenti di tengah udara itu sedikit
bergetar, maka terlihatlih selarik arak kemilau keluar dari
dalam cangkir terus melesat ke arah Koan San-gwat.
Koan San-gwat duduk tenang tak bergerak, tiba-tiba ia
ayun sebelah tangan memapak ke depan, kontan arak itu
kena ditampar berpercik menjadi titik-titik kecil berterbangan
balik menungkup ke arah Khong Bun-ki.
Jangan dikira cuma percikan arak yang menjadi titik-titik
kecil tapi daya terbangnya ternyata mengeluarkan desir angin
yang keras berpencar lebar maka dapatlah diperkirakan
berapa besar tenaga yang dikerahkan.
Tapi Khong Bun-ki mandah bergelak tawa, sikapnya yang
lemah lembut tadi berubah menjadi beringas dan garang,
sepasang biji matanya memancarkan cahaya buas yang
dilandasi kemarahan, mendadak ia pentang mulutnya
menyedot keras-keras. Titik-titik arak yang beterbangan
memenuhi angkasa itu kena disedot masuk ke dalam mulutnya
tanpa ada setetes pun yang ketinggalan, lalu ia sodorkan pula
telapak tangannya menarik balik cangkirnya. Sekali lagi ia
menuang penuh secangkir arak terus diangkat tinggi di depan
kepalanya, serunya, "Murid tunggalnya Bing-tho-ling-cu
ternyata memang hebat, untuk jurus pertama ini aku mengaku
kalah. Tapi pertemuan malam ini bukan pertemuan asal
ketemu saja, apakah saudara masih sudi memberi pelajaran
lebih lanjut".?"
"Khong-ji sianseng kenapa sungkan, sejak tadi aku yang
rendah sudah siap menanti petunjuk selanjutnya."
Khong Bun-ki berhenti bergerak, pelan-pelan ia pejamkan
mata. seolah-olah sedang berpikir mencari daya cara
bagaimana ia harus mulai dengan jurus permainannya.
Tak tahan lagi Ciong-lam-pay Ciangbunjin Lu Bu-wi
bertanya kepada Thong-sian Taysu, "Tadi kedua pihak sama
mengeluarkan tenaga dalam yang sembabat kelihatannya
sama kuat dan sebanding, kenapa Khongji sianseng mengaku
kalah?" "Mungkin Lu-heng tidak perhatikan," demikian sahut
Thong-sian Taysu. "Orang she Khong itu mengumpulkan arak
menjadi selarik benang meluncur ke depan, kekuatannya
terpusatkan pada satu titik permulaan belaka, sebaliknya Koan
San-gwat masih mampu memukul balik tenaganya itu, malah
titik-titik arak yang tersebar luas di tengah udara ini
memencarkan daya tenaga pukulannya. Tetapi orang she
Khong cuma mampu menyambuti dan tidak mampu balas
menyerang, sudah tentu dia terhitung kalah seurat."
Berubah air muka Lu Bu-wi, katanya, "Bocah ini masih
berusia muda, lwekangnya ternyata sudah sedemikian hebat.
Naga-naganya jerih payah kami selama dua puluh tahun tak
akan berguna lagi. Bagaimana nanti kami mampu
menyelesaikan uruusan lama ini."
Thong-sian menggeleng kepala, katanya serius, "Lu-heng
tidak usah putus asa, urusan toh belum sampan ctitik
penentuan. Menurut penglihatan Lolap, orang she Khong
agaknya belum lagi menggunakan seluruh kemampuannya,
siapa duga bakal terjadi sesuatu peristiwa yang
menggemparkan." Lu Bu-wi curiga dan setengah percaya, dengan cermat ia
perhatikan pertandingan di tengah gelanggang, demikian pula
seluruh hadirin yang lain, mereka insyaf akan kemampuan
sendiri, maka mereka tumplek seluruh harapan kepada Khong
Bun-ki yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya.
Suasana tenang sesaat lamanya, mendadak Khong Bun-ki
membuka mata, katanya pelan-pelan, "Sekarang mulai babak
kedua, harap saudara perhatikan." lalu dengan suara lantang
ia bersenandung memetik syair-syair gubahan pujanggapujangga
kuno. Lenyap suaranya tiba-tiba kedua tangan yang menyanggah
cangkir dilepas, Ya-kong-pek (cangkir sinar malam) yang
penuh berisi arak itu kembali terbang lurus ke depan ke arah
Koan San-gwat, daya luncurannya tidak pesat tapi juga tidak
lambat. Koan San-gwat agaknya tertegun, ia tak dapat menyelami
makna senandung orang, tapi sang waktu tidak mengijinkan ia
memeras otak, terpaksa dia siap waspada menanti
perkembangan lebih lanjut.
Bila cangkir itu dua kaki di hadapannya ia masih belum
merasakan adanya tekanan apa-apa. Pelan-pelan ia ulur
tangannnya meraih dengan mudah sekali ia pegang cangkir
arak itu, tak tertahan ia berseru heran, "Apakah maksud
tindakan Khong-ji sianseng?"
Tanpa menunjukkan perasaannya Khong Bun-ki menyahut,
"Asal saudara berani minum arak itu tentu kau akan paham
apa maksud dan tindakanku."
Di bawah sinar rembulan, Koan San-gwat mengawasi dan
memeriksa cangkir arak di tangannya, sedikitpun tiada sesuatu
yang ganjil. Arak adalah bekalnya sendiri, sudah tentu akan
terjadi sesuatu, cuma cangkir adalah milik Khong Bun-ki, tadi
juga sudah digunakan minum araknya itu, tak mungkin dia
bisa berbuat licik atau mengatur tipu daya. Setelah berpikir
sejenak, ia angkat cangkir itu terus hendak diteguk habis, tapi
baru saja tiba di dekat bibir, tiba-tiba terjadilah sesuatu
kejadian yang aneh. Kiranya mendadak terasa telapak tangannya tersalur suhu
hangat dari cangkir arak kemudian arak di dalam cangkirnya
itu bergolak mendidih seperti dimasak, sebentar saja secangkir
arak menguap jadi asap dan menghilang ke tengah udara.
Koan San-gwat tersenyum takjup, ujarnya, "Agaknya
Khong-ji sianseng sudah sempurna melatih Le-hwe-sin-kang
dari kerajaan Lam-bing yang terkenal itu. Secangkir arak ini
jadi sulit kuhirup lagi!"
Khong Bun-ki cuma tersenyum tanpa bersuara. Koan Sangwat
pun tertawa-tawa tanpa berkata apa-apa pula, ia biarkan
secangkir arak itu semakin susut dan akhirnya kering menjadi
asap, sebentar saja cangkir di tangannya sudah menjadi
kosong. Koan San-gwat menjungkir balikkan mulut cangkir itu ke
bawah, ternyata setetes pun tidak ketinggalan lagi. Seketika
terdengarlah sorak-sorai yang gegap gempita.
Hadirin kagum dan memuji akan kepandaian Khong Bun-ki
yang sempurna. Jarak ke dua pihak ada beberapa tombak,
tetapi jarak sejauh itu ia mampu mengerahkan tenaga dalam
sehingga cangkir arak itu mendidih dan menguap kering,
pertunjukan yang aneh dan ajaib laksana permainan sulap ini
sungguh sulit dipercaya. Siapapun tidak menyangka keluarga
Khong dari Loh-hun-kok yang jarang berkecimpung di dunia
persilatan ternyata adalah tokoh kosen yang luar biasa.
Di samping kagum merekapun senang karena dalam
gebrak kedua ini Koan San-gwat jelas sudah kalah. Cangkir
berada di tangannya tapi orang dari jarak sedemikian jauh tapi
arak itu dapat mendidih kering, Bahwa pemuda yang bersikap
sombong dan takabur ini terjungkal, siapa takkan merasa
senang dan terharu. Dalam pada itu, tanpa menunjukkan sesuatu perasaan
Koan San-gwat membalik cangkir di tangannya, mulut
menghadap langit, lalu dengan tersenyum ia berkata,
"Permainan sakti Khong-jie siansing sungguh membuat aku
takluk, cuma aku kurang paham makna senandung saudara
tadi." "Bukankah tadi sudah kujelaskan, setelah saudara
menenggak habis secangkir arak itu, kau akan paham sendiri.
Sekarang"." Mendadak Koan San-gwat mendongak ke langit, serta
menukas kata-katanya, "Heeey, bulan bercokol di langit, udara
cerah tanpa mega mendung kenapa bisa hujan!?"
Para hadirin tertegun mendengar ucapan yang tanpa
juntrungan ini. Ada sementara orang yang mengulur tangan,
tapi udara tetap kering, sesuai dengan keadaan padang pasir
yang panas, mana ada setitikpun air hujan!
Tapi ada beberapa orang yang pandangannya tajam
seketika berubah hebat air mukanya, beramai-ramai mereka
berseru heran dan terkejut, semuanya kesima mengawasi
Koan San-gwat, boleh dikata mereka hampir tidak percaya
akan penglihatan mata sendiri.
Kelima jari Koan San-gwat menyanggah pantat cangkir
sambil duduk tenang tak bergerak, di atas kepalanya
bergulung gulung uap merah tebal, uap merah ini semakin
tebal dan akhirnya meneteskan cairan warna merah pula
semua menetes masuk ke dalam cangkir, suaranya berbunyi
tak tik pelan-pelan sangat menusuk pendengaran.
Bagi yang berpengalaman luas sekali pandang lantas
paham bahwa kabut merah di atas kepala Koan San-gwat itu
adalah uap arak dari cangkir yang dipegangnya tadi, tapi kini
kena dikendalikan oleh tenaga dalam Koan San-gwat yang
hebat menjadi kabut yang bergulung-gulung di atas
kepalanya, akhirnya didinginkan menjadi cairan kembali dan
menetes ke tempat semula.
Bahwa arak yang sudah menguap dicairkan kembali
menjadi arak adalah suatu kejadian yang luar biasa. apalagi
dapat dikendalikan oleh tenaga dalam sehingga tidak kering
tersirap udara. Kejadian ini sungguh seperti dongeng dalam
cerita khayal belaka, adalah tidak heran bila semua hadirin
melongo dan takjup. Tidak Lama kemudian cangkir ini telah penuh terisi arak
lagi. Kabut di atas kepala Koan San-gwat pun sudah sirna, di
lain saat sekali menenggak ia habiskan arak di dalam cangkir
itu, serunya dengan tertawa besar, "Untung guruku almarhum
di alam baka melindungi diriku, sehingga aku tidak konyol
karenanya. Terima kasih akan persembahan arakmu ini. Cuma
aku tidak selihai Khong-ji sianseng. Harap kaupun dengar
senandung syairku ini." Begitulah ia pun bersenandung
menanggapi keadaan pihaknya yang menang total.
Berubah rona wajah Khong Bun-ki, sambil menyeringai ia
berkata, "Bagus sekali, kiranya kau membekal kepandaian silat
yang luar biasa, aku harus mengaku asor saja, cuma kaupun
jangan dapat bersimaharaja selamanya."
Koan San-gwat mengangguk, tapi tiba-tiba air mukanya
berubah hebat, cangkir di tangannya kontan dibantingnya
hancur, teriaknya dengan mata mendelik, "Kau taruh apa
dalam arak merahku itu?"
Khoag Bun-ki tertawa sadis, jengeknya, "Tidak apa-apa,
cuma sedikit kupolesi sesuatu."
Jawaban Khong Bun-ki seketika membuat hadirin gempar,
sungguh mereka tidak menduga akan perubahan yang lihai
ini. Koan San-gwat sendiripun gugup tanyanya tak sabar,
"Sesuatu apa?" "Kukira murid tunggal Bing-tho-ling-cu cukup cerdik dan
serba bisa, ternyata ada pula sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kalau begitu baiklah kujelaskan. Dalam cangkir itu ada kupoles
getah Ui-ho-ciu-ce-sa, bukankah nama obat ini kusebut dalam
senandungku?" Seketika berubah pucat dan berkeringat selebar muka Koan
San-gwat, tiba-tiba bibirnya mencibir bersuit panjang
mengundang unta saktinya itu, bergegas unta itu berlari
masuk gelanggang. Dari bawah tempat duduk unta itu Koan San-gwat
menurunkan berbagai barang besar kecil lalu merogoh
kantong dalam baju membuang seluruh isinya, terus
melompat naik ke punggung tunggangannya, dengan bersoja
keempat penjuru ia berkata dengan tertawa getir, "Semua
barang saudara sudah kutinggalkan, aku percaya kalian bisa
menemukan sendiri dan tidak akan salah ambil milik orang
lain"." Semua hadirin terkesima dan menjublek di tempat masingmasing
oleh hasil pertandingan yang menakjubkan itu,
sehingga lupa bergerak dan tak bersuara, mereka membiarkan
saja unta itu mencongklang pergi dengan cepat dan sebentar
saja lenyap dari pandangan mata.
Setelah bayangan Koan San-gwat dengan tunggangannya
lenyap barulah Khong Bun-ki memperdengarkan gelak tawa
panjang seperti serigala yang kelaparan, cepat-cepat ia
mendahului maju mengotak-atik barang-barang yang
ditinggalkan di atas pasir, mengambil sebutir mutiara sebesar
telur burung, dengan hati-hati ia simpan di dalam bajunya,
terus mengangkat tangan soja ke sekitarnya, serunya, "Berkat
doa dan harapan saudara-saudara sekalian, aku berhasil
dalam pertandingan ini, sekaligus telah merebut balik separuh
barang milik saudara-saudara sekalian silahkan saudarasaudara
ambil milik kalian masing-masing."
Sesaat semua orang berdiam diri lalu beramai-ramai maju
ke tengah gelanggang. Tak tertahan lagi Lu Bu-wi menghela
napas, serunya, "Sungguh tidak dikira pertandingan ini bisa
berakhir dalam keadaan yang mengenaskan ini."
Thong-sian Taysu geleng-geleng kepala tak bersuara, cuma
dengan isyarat mata ia perintahkan salah seorang muridnya
mengambil tanda kebesaran Siau-lim-pay yaitu Giok-ji-i.
Sementara itu, Kim-sa-pocu Kok Liang pun sudah
mengambil panji kuning sutranya, tanyanya ingin tahu,
"Khong-ji sianseng dapat melampiaskan rasa penasaran kami
selama beberapa tahun ini, sungguh Lohu sangat berterima
kasih. Tapi kenapa harimau ganas itu dibiarkan pulang ke
gunung, apakah kelak tidak mendatangkan bibit bencana".?"
"Kok-heng tak usah kuatir," ujar Khong Bun-ki tertawa.


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam jangka enam jam, padang pasir ini bakal ketambah
sesosok mayat yang sudah membusuk, raja akhirat bakal
kedatangan seorang penghuni baru yang penasaran."
Kok Liang terkejut, tanyanya, "Sebetulnya barang macam
apakah itu" Masa begitu lihai?"
-oo0dw0oo- Jilid 2 "HA HA HA". itulah semacam obat yang jarang terdapat,
tumbuhnya di Sing-siok-hay di pesisir pasir kuning di sebelah
sumber air, dimana ada tumbuh semacam tanaman yang
bernama Ciu-Ceng, akar dari pohon ini ada tumbuh semacam
bisul, akar bisul ini dapat diperas getahnya lalu diramu dengan
berbagai obat-obatan rumput lain. maka jadilah semacam obat
yang tidak berwarna, tidak berbau dan tiada rasanya, obat ini
dapat menyembuhkan penyakit rheumatik dan penyakit tulang
lainnya yang sangat mujarab "."
"Kalau obat mujarab kenapa bisa menggebah bocah itu
dan kenapa pain dia bakal mampus?" tanya Kok Using tidak
mengerti. "Kalau cuma setetes memang merupakan obat mujarab,
tapi kalau sampai sepuluh tetes dapat menghancurkan usus
dan isi perut lainnya. Dalam dinding cangkir itu sebelumnya
sudah kupolesi obat itu, takarannya dapat sekaligus
memburuh puluhan orang, begitu obat ini masuk ke dalam
perut segera menjalar ke kaki tangan serta tulang-tulang
seluruh badan, tiada obat untuk menyembuhkannya."
Kok Liang berpikir sebentar lalu bertanya, "Bukankah
Khong-ji sianseng sendiri juga ada minum arak dari cangkir
itu, kenapa kau tidak keracunan. ".?"
Khong Bun-ki terbahak-bahak, ujarnya, "Dalam suhu udara
biasa Ui-ho ciu-ce-sa itu tidak mudah terbaur dalam cairan
arak atau air, cuma setelah dipanaskan mendidih dengan
sendirinya arak itu jadi beracun, arak yang kuminum arak
dingin, maka aku sendiri tidak kurang suatu apapun."
Kok Liang menepuk paha sambil memuji, ujarnya, "Jadi
Khong-ji sianseng menggunakan tenaga dalam membuat arak
itu mendidih kiranya punya maksud tertentu."
"Benar, meski keparat itu berusia muda tapi latihan
Lwekangnya rasanya tidak kalah oleh Tokko Bing dulu, kalau
tidak menggunakan akalku itu, mana bisa mengalahkan dia.
Aku tahu kalau cuma mengandal Le-hwe-sin-kang tidak akan
berhasil menundukkan dia, maka terpaksa kugunakan sedikit
akal muslihat. Ternyata keparat itu kena diketahui, mimpi juga
ia tidak akan menyangka bahwa arak itu mengandung racun
jahat." "Khong-ji sianseng mempunyai rencana matang dengan
perhitungan yang lihay. sungguh besar pahalamu untuk
menentramkan seluruh jagat ini."
Para ketua atau pimpinan dari berbagai golongan dan aliran
memuji dan bersorak mengacungkan jempol.
Cuaca sudah hampir terang tanah, segera Khong Bun-ki
bersoja ke sekelilingnya, ujarnya, "Urusan sudah selesai, kita
boleh bubar saja, maaf terpaksa siau-te harus mendahului
pulang." "Silahkan Khong sianseng!" Kok Liang membungkukkan diri
dengan hormat. Karena dirangsang rasa terima kasih, banyak kaum
persilatan itu yang mengantarkan Khong Bun-ki dengan laku
hormat berkelebihan. Tapi Khong Bun-ki cukup
menganggukkan kepala dan membusungkan dada tinggal
pergi sambil menggoyang-goyangkan kipasnya.
Tak lama kemudian barisan orang-orang gagah yang
berkumpul di padang pasir itu sudah bubar dan menghilang,
tinggal Thong-sian Taysu dan para muridnya belum bergeser
dari tempatnya semula, lekas-lekas Lu Bu wi maju bertanya,
"Ciangbunjin, adakah sesuatu yang kurang beres menurut
nalar Taysu?" Thong-sian menunduk khidmat, katanya, "Apakah dunia
kini sudah aman dan damai, Lolap kuatir kaum persilatan
selanjutnya bakal dihadapi berbagai keonaran dan keributan
yang tiada habisnya."
"Kemana juntrungan kata-kata Ciangbunjin?" tanya Lu Buwi
tidak mengerti. "Firasat telah menyentuh, tapi Lolap tidak bisa
menunjukkan bukti-bukti secara kenyataan, semoga Tuhan
Yang Maha Esa suka memberi jalan kehidupan yang sempurna
kepada umatnya, kalau tidak ". aih!"
Lu Bu-wi ikut tenggelam dalam keprihatinan, agaknya iapun
dapat menyimpulkan apa-apa, katanya, "Ucapan Ciangbunjin,
juga terasakan oleh Losiu. Dari pertemuan malam ini sudah
kentara bahwa Loh-hun-kok punya angan-angan untuk
menjagoi dan bersimaharaja di Bulim. meskipun orang she
Khong mewakili merebut kembali tanda kebesaran kita, tapi
entah bagaimana dalam perasaan Losiu, sedikitpun tidak
merasa simpati terhadapnya."
Thong-sian taysu menghela napas lalu mohon diri, bersama
para muridnya pelan-pelan mereka beranjak pergi tanpa
bersuara, pertemuan yang, gegap gempita tadi, kini sudah
berubah sunyi dan sepi. Memang dalam lubuk hati sementara orang amat haru dan
senang bahwa kedatangan mereka malam ini tanpa
mengeluarkan tenaga tapi adapula sementara orang yang
merasa kasihan dan sayang akan nasib Koan San-gwat,
mereka sayang karena pemuda gagah seperti Koan San-gwat
harus menemui ajal tanpa ada tempat untuk menguburnya.
Angin berlalu pasir pun berterbangan merubah bentuk
gundukan pasir yang melebar luas tak berujung pangkal. Di
tengah suara angin ribut dengan selingan pasir berterbangan
secara lapat-lapat terdengar suara kelintingan yang nyaring,
itulah suara kelintingan di bawah leher unta yang sedang
berlari kencang di tengah padang pasir.
Koan San-gwat memeluk punuk untanya tanpa mampu
mengeluarkan tenaga. Dia sudah bertahan selama dua hari,
selama dua hari dua malam dia disiksa dalam kesengsaraan
dari penderitaan yang luar biasa. Dia sendiri heran dan tidak
habis mengerti bahwa dirinya kuat bertahan sekian lamanya.
Sebab setiap orang yang terkena racun Ui-ho-ciu-ce-sa, tiada
yang mampu hidup lewat enam jam. Sebaliknya dia, kondisi
badan yang luar biasa dengan kekuatan batinnya yang
menyala-nyala ternyata kuat bertahan dua hari meski disiksa
penderitaan yang kelewat batas.
Meski demikian, ia paham bahwa tidak akan luput dari
renggutan elmaut yang akan mencabut nyawanya. Dan saat
itu pula dia sedang menuju ke jalan kematian, malah semakin
lama semakin dekat pada puncak kematian.
"Oh, guru berbudi! Agaknya aku harus menyia-nyiakan
harapanmu, kalah di bawah akal licik sungguh mati pun aku
merasa penasaran dan tidak rela. Terpaksa aku menghancurleburkan
harapan dan kebesaran namamu, bagaimana aku
bisa menentramkan arwahmu di alam baka"."
Dia ingin menyumpah dan sesambatan kepada Tuhan, atau
menggembor sekeras-kerasnya untuk melampiaskan rasa
penasaran hatinya, tapi tenggorokannya sudah kering
merekah karena racun, terpaksa hanya mengumpat caci dan
mengeluh di dalam hati. Tiba-tiba di dalam deru angin kencang didengarnya suara
lain yang memburu datang, menurut pengalamannya yang
sudah lama bertempat tinggal di daerah gurun pasir, ia tahu
itulah suara derap kaki kuda yang dibedal pesat, ada
penunggang kuda mengejar datang di belakangnya.
"Siapakah mereka" Apakah orang-orang gagah Bulim yang
hendak mengejar dan membunuh aku?" demikian pikirnya.
"Lebih baik aku mati tanpa terkubur dengan menjadi mangsa
burung elang daripada terjatuh ke tangan mereka. Aku!
Generasi kedua dari Bing-tho-ling-cu! Mana boleh
menghembuskan napas yang penghabisan di hadapan musuh
"." Ingin dia mengeprak tunggangannya supaya berlari lebih
pesat, tapi tenaga mengangkat jari saja tidak mampu,
terpaksa di dalam hati ia mengeluh, "Ahhh". sahabat tuaku,
ayo lekas lari. Bing-tho-ling-cu II betapapun pantang mati di
tangan musuh. Meski aku bakal menjadi generasi terakhir dari
Bing-tho Ling-cu"."
Agaknya unta tunggangannya itu dapat mendengar
gemboran hatinya ternyata ia kerahkan tenaga larinya lebih
pesat dari angin. Timbullah setitik harapan dalam benak Koan San-gwat,
diam-diam ia bersyukur, "Sahabat tuaku, ternyata kau
memang pintar, unta sakti tidak mengena usia tua, tenaga
baru semangat tetap menyala. Cuma sayang aku tak akan
kuasa menemani kau sepanjang masa"."
Setelah lari sekian lamanya akhirnya ia jadi keheranan pula,
sebab derap di belakangnya bukan saja ketinggalan semakin
jauh malah terdengar semakin dekat, karuan hatinya menjadi
gundah dan gugup. "Ayah sahabat tua, kenapa kau tidak becus lagi, di atas
pasir masa kau tidak mampu menandingi kecepatan lari
kuda?" Kecepatan lari unta tetap seperti sedia kala, tapi derap kaki
kuda di belakang semakin kencang. Tanpa terasa ia menghela
napas panjang dan gegetun, karena ia mendapati bahwa
tunggangannya tidak berlari sepenuh tenaga, maka lamakelamaan
terkejar oleh kuda di belakangnya. Padahal tenaga
untuk angkat jari saja tak mampu dikerahkan, bila untanya
berlari pesat, goncangan tubuhnya tidak akan terkendalikan
lagi, bukan mustahil ia bakal terjungkal jatuh.
"Sahabat tua! Jangan hiraukan aku, betapapun kita
pantang jatuh ke tangan musuh ". "."
Dengan watak kekerasan seekor binatang, si unta
mendengus rendah, tetapi kakinya tetap berlari dengan
kecepatan sama. Kuda di belakang itu sudah mengejar dekat,
dari punggung kuda tampak melesat sesosok bayangan orang
meraih tali kekang yang terikat di besi dan tergigit di mulut
unta, leher panjang si unta bergerak berusaha menghindar.
Koan San-gwat yang berada di punggungnya tidak kuasa
mengendalikan badannya lalu terjungkal jatuh.
Orang yang berusaha menghentikan lari si unta cepat
melompat ke belakang meraih tubuhnya. Samar-samar di
antara sadar tak sadar Koan San-gwat hanya melihat seraut
wajah yang putih halus dan seikal rambut panjang yang
terkuncir di belakang kepala. Selanjutnya apa yang terjadi tak
diketahui olehnya. Di kala ia siuman, baru dia tahu bahwa dirinya telah
terbaring di tengah padang rumput yang menghijau, di
sampingnya terdapat sebuah kolam air, itulah oase, sumber
air di padang rumput yang tumbuh subur di tengah padang
pasir. Begitu siuman Koan San-gwat lalu ingin membuktikan
apakah dirinya masih hidup atau sudah mati. Orang yang
hidup di gurun pasir semuamengharap dapat menemui ajal di
oase, maka begitu ia melihat dirinya ada di padang rumput, ia
jadi menganggap bahwa dirinya sudah ajal.
Dengan susah payah ia berusaha menggerakkan badan,
tapi seluruh badannya terass sakit dan menderita luar biasa,
cuma semangatnya saja yang rada pulih kembali. Serta merta
ia menghela napas, keluhnya, "Kata orang, bila orang yang
sudah mati hilanglah segala penderitaannya, tapi kenapa
badanku masih begini sakit".?"
Tiba-tiba di belakangnya seseorang berkata tertawa,
"Orang yang takut melihat setan seumpama mati juga tidak
akan mendapatkan tempat yang sentosa."
Dengan kejut Koan San-gwat menoleh, dilihatnya seorang
gadis remaja berusia tujuh belasan, mengenakan pakaian
gembala, wajahnya bundar putih, biji matanya yang besar
hitam dan bening, kuncir rambutnya panjang dan besar, itulah
raut wajah yang dilihatnya sekilas sebelum ia jatuh dari atas
tunggangannya di padang pasir itu, tanpa disadari ia jadi
terlongong sekian lamnnya, katanya tersendat, "Nona".
sebetulnya aku sekarang masih hidup atau sudah mati?"
Gadis itu membelalakkan matanya yang bundar,
semprotnya sambil cemberut, "Kau sudah mati! Sekarang kau
sedang berhadapan dengan setan dan aku inilah setannya!"
Koan San-gwat tertegun dibuatnya, dari sikap dan nada
perkataan gadis di hadapannya ini ia tahu orang sedang
berkelakar dan menggoda dirinya, maka dengan sendirinya ia
sadar bahwa dirinya belum mati, lalu dengan menghela napas
ia berkata, "Hm, nona jangan marah, karena aku terluka parah
dan aku anggap diriku tidak tertolong lagi, maka begitulah
jalan pikiranku "."
"Kalau kau telah tahu terluka berat," sempot gadis itu pula
dengan uring-uringan. "Kenapa mendengar kami menyusul
kau lari, kami kan bukan rampok, kalau tahu begitu lebih baik
kami tidak menolong kau saja."
Terpaksa Koan San-gwat menyengir kecut. Sebetulnya
gadis itu marah ingin mengomelinya, tapi mendadak dari
samping didengarnya sebuah suara menyela, "Ah-ceng! Tuan
ini terkena racun dalam tubuhnya belum punah seluruhnya.
Jangan kau bikin ribut, cuma membuang energi dan
tenaganya saja." Koan San-gwat cuma melihat sebuah bayangam yang
samar-samar, mendadak dirasakannya Ling-tay-hiat kena
tertutuk dan selanjutnya apapun tidak terlihat lagi, cuma
kupingnya lapat-lapat masih mendengar gadis itu bertanya,
"Yah, sebetulnya ia terkena racun jahat apa" masa Siau-toksan
mu yang mujarab itu tidak mampu menyembuhkannya?"
Lalu didengarnya pula jawaban seorang laki-laki
pertengahan umur, "Jangan kau banyak tanya lagi, racun
macam itu merupakan tantangan bagi dunia pengobatanku,
terpaksa kita harus menggotongnya pulang ke gunung,
dengan segala daya upayaku, ingin kulihat apakah aku mampu
mengendalikan racun semacam itu."
selanjutnya di antara sadar tak sadar Koan San-gwat
seperti merasa badannya terangkat, ingatannya semakin
kabur, dan akhirnya tak ingat apa-apa lagi.
0000)0(ooco KHONG BUN-THONG majikan dari Loh-hun-kok di Liok-causan
waktu itu mengundang orang-orang gagah kenamaan di
seluruh dunia persilatan, di antaranya pada Ciangbunjin dari
sembilan Pay dan Para Pangcu dari berbagai Pang yang
tersohor untuk menghadiri perayaan hari ulang tahunnya yang


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke enam puluh. Pertemuan besar di gurun pasir pada malam
itu kini sudah berselang tiga tahun".
Berkat kelicikan Khong Bun-ki yang berhasil meracuni Koan
San-gwat murid tunggal Bing-tho-ling-cu akhirnya seluruh
golongan dan aliran yang hadir dapat mengambil balik tanda
kebesaran mereka masing-masing, untuk ini mau tidak mau
nama Liok-cau-san makin menonjol dan menempatkan darinya
pada kedudukan tertinggi sebagai datuk persilatan.
Liok-cau-san semula tidak pernah diperhatikan khalayak
ramai, dalam jangka tiga tahun itu menjadi ramai, orangorang
gagah dari berbagai aliran berkunjung. Terutama
Kimsa-pocu Kok Liang dan beberapa golongan yang berdiri
tunggal serta para guru silat punya huhungan yang sangat
akrab dengan mereka. Soalnya tenaga serta wibawa mereka di kalangan Kangouw
sudah pudar, tak mungkin membuka lembaran sejarah yang
gilang gemilang. Dengan rasa kepercayaan yang menjadi
landasan hidup berdampingan begi kaum persilatan, apalagi
murid mereka sering membuat onar dan bikin ribut di luaran,
mereka tidak angkat senjata dan mandah dihina dan terima
nasib melulu, karena kondisi yang buruk ini mau tidak mau
mereka menjilat ke pihak Liok-cau-san, paling juga ingin
gagah-gagahan dan unjuk garang saja.
Sementara Ciangbunjin dan berbagai Pay dan Pang besar,
mengingat budi Khong Bun-ki dahulu karena sungkan lalu
mengalah terhadap Liok-cau-san, setiap kali timbul pertikaian,
asal salah seorang dari keluarga Khong unjuk diri untuk
menyelesaikan urusan itu, kedua belah pihak pasti memberi
muka dan anggap perkara itu tidak pernah terjadi.
Selama tiga tahun mendatang ini, pihak Liok-cau-san
sangat aktif di kalangan Kangouw. Kaki tangan mereka
semakin tersebar luas di mana-mana. Secara terbuka
merekapun anggap sebagai pimpinan tertinggi saja. Nama,
gengsi dan perbawa mereka jadi semakin menonjol dan besar.
Hari ulang tahun keenam puluh majikan Loh-hun-kok
Khong Bun-thong merupakan salah satu peristiwa besar dalam
kalangan Kangouw tahun ini, setengah tahun sebelumnya
mereka sudah menyebar luas undangan.
Sudah tentu para Ciangbunjin atau Pangcu dari berbagai
golongan dan aliran itu sama tahu bahwa dalam perayaan hari
ulang tahun itu, pihak Liok-cau-san pasti mempertunjukkan
sesuatu permainan yang bakal mengggemparkan. Tapi karena
soal muka serta gengsi, seumpama mereka sendiri tidak sudi
datang, terpaksa harus mengurus anak muridnya sebagai
wakil menyampaikan selamat hari ulang tahun.
Perayaan ulang tahun terjadi pada tanggal tujuh belas
bulan sembilan, pada tanggal enam belas, para tamu yang
diundang sudah datang, Liok-hun -kok di Liok-cau-san yang
biasanya sepi kini jadi ramai, dimana-mana didirikan barakbarak
darurat yang penuh sesak dihuni para tamu-tamu yang
berdatangan, mereka makan minum sepuasnya tak mengenal
waktu, agaknya banyak di antara mereka yang siap untuk
berpesta pora semalam suntuk.
Mereka makan minum jor-joran. Banyak tamu jadi sinting
dan mabok. Begitulah keadaan Kim-sa-pocu Kok Liang,
mukanya merah padam, biji matanya mendadak menyala,
dengan sempoyongan ia berdiri dan mengeluarkan suara
bagai bunyi genta, teriaknya, "Para Losu dan sahabat sekalian,
tiga tahun yang silam Khong-ji sianseng dengan secangkir
arak beracun berhasil menundukkan Bing-tho-ling-cu sehingga
kita berhasil memperoleh kembali tanda kebesaran masingmasing,
budi yang luhur ini, seluruh sahabat Kangouw tidak
ada seorangpun yang tidak merasa berterima kasih "."
Ucapannya ini terlalu menusuk perasaan. Kontan hadirin
merasa kurang senang, agaknya Kok Liang menyadari
omongannya tidak berkenan di hati mereka, cepat ia
melanjutkan, "Pertemuan hari itu, meski Tokko Bing sudah
mampus, tetapi murid tunggalnya Koan San-gwat ternyata
membekal kepandaian yang tiada taranya, jikalau kalian
mengandal tenaga dan kepandaian sendiri, siapa pula yang
bakal bisa mengalahkan dia!"
Ucapannya ini memang kenyataan, orang-orang yang
kurang senang ini mau tidak mau harus menelan rasa
penasaran mereka. Setelah menanti sebentar melihat tiada
orang yang menyanggah pertanyaannya, Kok Liang lantas
mengunjuk sikap gagah-gagahan, serunya, "Besok adalah hari
ulang tahun Khong Kokcu, kami sudah menyiapkan kado
untuk mewakili seluruh sahabat Kangouw untuk menyatakan
hormat dan kagum kepada beliau." habis berkata ia memberi
tanda keluar, segera dua orang laki-laki menjunjung sebuah
pigura besar yang bercat kuning emas, di atas pigura ini ada
diukir lima huruf besar dengan cat emas yang berbunyi
"Thian-he-te-it-keh."
"Thian-he-te-it-keh" berarti keluarga nomor satu di seluruh
kolong langit. Tanpa menanti reaksi orang banyak, cepat-cepat Kok Liang
menambahkan, "Thian-he-te-it-keh, kukira cuma keluarca
Khong dari Loh-hun-kok ini yang pantas mendapatkannya,
sekarang aku harap tuan rumah suka menerima kado ini."
Ciong-lam Ciangbunjin Lu Bu-wi yang duduk di sebelah
Sim-sian Taysu yang mewakili Siau-lim-si tak tahan lagi segera
ia berjingkrak bangun, serunya, "Sungguh tak masuk akal dan
tidak punya aturan! Kalau kita diamkan saja keparat ini
menganugerahkan pigura itu berarti kami semua sama
mengakui bahwa dia memang Thian-he-te-it-keh. Apakah
kelima nama ini dapat begitu gampang diperoleh?"
Sim-sian adalah Suheng Thong-sian Taysu, usianya pun
lebih tua dari Thong-sian, cuma kepandaiannya sedikit asor,
tapi dia merupakan jago nomor dua dari dari Siau-lim-pay,
cuma dia rada rikuh untuk menyatakan pendapatnya terpaksa
dia tarik baju Lu Bu-wi serta katanya, "Lu-ciangbunjin harap
sabar, perbuatan Kok Liang ini meski harus dicela, tapi kukira
ucapannya itu pasti punya alasannya sendiri, tiga tahun yang
lalu jikalau Khong Bun-ki kalah bertanding, maka Ling-hu atau
tanda kebesaran dari berbagai golongan dan aliran tidak akan
begitu mudah diperoleh kembali."
Tapi Lu Bu-wi tidak ambil perduli, katanya, "Dalam keadaan
yang memalukan itu meski mendapatkan kembali Ling-hu
kami, sebenarnya aku lebih rela milikku itu masih tetap berada
di tangan Bing-tho-ling-cu."
Sim-sian Taysu menggeleng kepala, ujarnya, "Meski
kemenangan Khong Bun-ki kurang layak dan tidak bisa
dibanggakan, tapi dari jarak yang jauh dapat mendidihkan
arak sehingga menguap kering, memanaskan arak
mencampur racun, dalam hal latihan dan kesempurnaan
pelajaran silat secara kenyataan memang sudah teramat
hebat dan sangat mengejutkan sekali."
Lu Bu-wi menjadi keheranan, tanyanya, "Siau-lim-pay
sebagai aliran yang paling diagungkan dan dijunjung tinggi
oleh kaum persilatan, apakah Taysu juga mengakui bahwa
keluarga Khong merupakan keluarga nomor wahid di seluruh
jagat?" "Orang beribadat seperti kami sudah lepas dari kehidupan
duniawi, tidak mengejar nama dan gengsi, menurut pendapat
kami siapa pun yang mendapat gelar Thian-he-te-it-keh tiada
menjadi soal, cuma kurasa keluarga Khong tidak akan puas
melulu mendapat gelar dan simbol yang kosong."
"Mereka mau apa lagi" masakan kita harus bertekuk lutut
terhadap mereka?" Alis Sim-sim Taysu berkerut semakin dalam, katanya
menghela napas, "Kalau hanya bertekuk lutut dan patuh
karena perintah sih lumayan, dunia bakal aman dan tenteram,
untuk itu Pinceng tidak merasa"."
Lu Bu-wi jadi patah semangat mendengar uraian Si Hwesio
tua ini, ia rasakan orang terlalu lemah dan gampang
terpengaruh. Tetapi tatkala itu Khong Bun-thong tuan rumah
yang merayakan hari ulang tahun itu sedang cengar-cengir
melangkah ke tengah siap menerima pigura besar itu, dari
barak-barak sekitarnya sudah terdengar tepuk tangan.
Khong Bun-thong tidak perduli sambutan tepuk tangan itu
hanya sebagian kecil kaki tangannya belaka, serunya sambil
tersenyum lebar, katanya, "Budi kebaikan Kok-heng
bagaimana juga sungguh aku tidak berani terima. Tiga tahun
yang lalu adikku cuma sedikit menyumbaang tenaganya, masa
mengandal kepandaian yang tak berarti itu kami berani
menempatkan diri sebagai keluarga agung nomor satu di
seluruh jagat, maka harap pigura sumbangan Kok-heng ini
dianugerahkan kepada tokoh kosen yang sesuai saja."
Kok Liang mengulur leher mengeraskan suara, serunya,
"Pada jaman sekarang ini, tokoh kosen mana yang bisa
dibanding dan lebih kosen dari Khong-kokcu?"
"Bukan begitu persoalannya," ujar Khong Bun-thong. "Aku
sendiri tidak berani mengakui sebagai seorang kosen, kukira
orang lain pun tidak akan berani sembarangan mengakui
dirinya orang kosen, kalau tidak percaya coba Kok-heng lihat
air muka para sahabat yang hadir."
Kok Liang berpaling dan menjelajahkan pandangannya ke
segenap penjuru, memang dilihatnya rona wajah banyak
orang menunjukkan rasa kurang senang dan penasaran,
kecuali pihak Siau-lim-pay, para Ciangbunjin atau wakil lain
sembilan partai besar lainnya sama mengunjuk tawa dingin
dan mengejek. Kok Liang jadi serba runyam, tapi segera berteriak lantang,
"Bila siapa yang tidak menyetujui pandanganku ini, maka dia
hanya manusia kerdil yang tidak mengenal budi kebaikan."
Ucapannya ini terlalu berat. Baru saja lenyap suaranya,
hampir berbareng ada lima orang menekan meja bergegas
berdiri, terutama Ciong-lam Ciangbunjin Lu Bu-wi tidak tahan
lagi, bentaknya dengan suara berat, "Oranng she Kok, Kau ini
manusia apa berani bertingkah dan main gembar-gembor
dihadapan sekian banyak orang-orang gagah!"
Baru saja Kok Liang hendak balas memaki keburu Khong
Bun-thong turun tangan mencegah, ujarnya, "Para saudara
demi ikut menghadiri hari ulang tahunku sam berkunjung ke
Liok-cau-san, untuk ini aku sudah merasa bersyukur dan
berterimakasih, jarang sekali karena urusan kecil sampai
timbul pertikaian merusak persahabatan, mari ku
persembahkan secangkir arak untuk menyatakan rasa terima
kasih kami." Lalu ia bertepuk tangan berbareng berteriak dengan suara
lantang, "Bawa arak kemari."
Dari luar barak sana segera mendatangi empat laki-laki
besar, dengan pikulan mereka sama menggotong sebuah guci
arak yang besar sekali, tinggi guci itu kira-kira ada tiga kaki,
panjang perutnya yang gendut itu ada sembilan kaki, dengan
dipikul empat orang kelihatan masih terasa berat, maka
dapatlah dibayangkan betapa berat seluruh arak di dalam guci
itu. Guci itu baru diletakkan setelah tiba di sampingnya, dua
orang diantaranya bekerja sama membuka tutupnya, benar
juga di dalamnya terisi arak yang bagus, sambil tersenyum
lebar, Khong Bun-thong memegangi kedua pinggir guci besar
itu, katanya, "Karena hadirin terlalu banyak, terpaksa
kugunakan cara yang paling praktis saja untuk menyuguhkan
arak ini." Bertepatan dengan lenyapnya suaranya, arak dalam guci
itu mendadak menyemprot keluar seperti sebuah tonggak
besar melambung tinggi dua tombak, lalu di tengah udara
seperti meledak berpencar ke empat penjuru menjadi titik-titik
bintang bertaburan. Maka di lain saat terdengarlah suara tak
tik, itulah hujan tetesan arak yang masuk ke dalam cangkir.
Seluruh hadirin sama mengeluarkan seruan heran dan
kagum, ada pula yang menghela napas, sebab sekejap saja
cangkir setiap hadirin sama sudah terisi penuh arak, persis
rata dengan mulut cangkir, tidak sampai luber.
Permainan Khong Bun-thong menunjukkan bahwa
Lwekangnya sudah mencapai tingkat paling sempurna.
Sekaligus ia sudah menunjukkan tiga macam permainan yang
sulit dilakukan. Pertama arak yang dia tebarkan menggunakan Lwekangnya
cuma persis mengisi secangkir semua hadirin. Apalagi duduk
para tamunya itu terpencar lebar, meja yang mereka tempati
selain berisi bermacam-macam makanan masih banyak tempat
luang, tapi setetespun tidak ada yang tercecer di luar.
Kedua, bahwa cangkir sementara orang masih ada sedikit
sisa arak, tapi dia dapat mengisi cukup sampai cangkir itu
menjadi penuh saja, isi dari setiap cangkir itu sama rata
dengan mulut cangkir. Ketiga, dengan cara menebarkan arak ke tengah udara
untuk mengisi arak ini, sekaligus ia kerjakan terhadap ribuan
tamu yang hadir dalam berbagai barak yang terpencar luas,
tapi tiada satupun yang ketinggalan.
Kim-sa-pocu yang memang bersifat penjilat itu mendahului
bertepuk tangan sekeras-kerasnya, mau tidak mau hadirin
yang lain juga ikut bertepuk tangan bahkan kagum, maka
tepuk tangan kali menjadi amat ramai dan lama sekali.
Terbayang senyum puas dan rasa bangga pada wajah
Khong Bun-thong, cepat ia lepas pegangannya terus angkat
tangan bersoja ke empat penjuru, berulang kali mulutnya
mengucapkan kata-kata merendah, lekas-lekas Kok Liang
menjinjing lagi pigura besar itu terus diangsurkan ke
hadapannya, katanya, "Kepandaian silat dan sastra Khong
Kokcu tak ada bandingannya di dunia ini, maka pigura ini
sudah selayaknya kami persembahkan"."
Kali ini tak ada seorangpun yang berani menentang, Lu Buwi
jadi lesu dan patah semangat, tapi dalam hati ia masih
uring-uringan tapi pertunjukan kepandaian Khong Bun-thong
benar-benar sudah menciutkan nyali, sehingga ia tidak berani
banyak bercuit lagi. Khong Bun-thong sengaja pura-pura sangsi dan menolak,
tapi setelah melihat tak ada orang yang menantang lagi,
dengan cengar-cengir ia mengulur tangan menerima, katanya,
"Banyak terima kasih akan anugrah yang sangat besar artinya
ini." Dengan diterimanya pigura itu berarti semua hadirin diamdiam
sudah mengakui bahwa keluarga Khong merupakan
Thian-he-te-it-keh, dengan mendapat anugerah yang memang
sudah lama dicita-citakan, sudah tentu Khong bun-thong
teramat senang, katanya, "Inilah anugrah dari para orang
gagah yang hadir hari ini, kalian harus hati-hati, serahkan


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Jikong-cu untuk disimpan."
Orang-orang itu mengiyakan, baru saja mereka hendak
bergerak, dari samping sana muncullah Khong Bun-ki yang
tetap mengenakan pakaian sastrawan, katanya sambil berseri
tawa, "Toako! Sekarang sudah lewat tengah malam, sudah
tibalah saat upacara hari ulang tahunmu. Menurut
pendapatku, lebih baik gantung saja pigura itu di samping
pendopo ini, kurasa lebih serasi dan cocok dengan keadaan."
"Jangan!" sahut Khong Bun-thong menggeleng. "Cara ini
kurasa terlalu takabur!"
"Tidak, tidak!" tersipu-sipu Kok Liang lantas bicara. "Cuma
pendopo upacara Kokcu yang cocok untuk menempatkan
pigura ini, kuharap cepatlah Ji-kokcu menggantungkannya di
sana, kami ingin segera menyampaikan selamat panjang
umur." Khong Bun-ki tertawa ringan, sebelah tangannya
menyanggah bagian bawah pigura terus disendal ke atas,
kontan pigura itu terbang ke atas melampaui kepala para
hadirin dan tepat jatuh di atas belandar besar di atas pojok
pendopo. Di atas belandar mungkin sudah disediakan tempatnya,
sehingga pigura itu tepat sekali menempel di dinding, di lain
saat cepat sekali ke empat laki-laki ini sama mengayun
sebelah tangan menimpukkan sebatang paku panjang yang
gemerlapan, masing-masing melesat ke empat pojok pigura
itu dan tepat sekali memanteknya di atas sana.
Hadirin sekali lagi bertepuk tangan lebih keras dan gegap
gempita. Cuma Lu Bu-wi dengan rasa penasaran menggerutu,
"Terang sekali semua ini sudah dipersiapkan sebelumnya"."
Sim-sian Taysu menarik bajunya, ia beri tanda supaya
orang tidak terlalu banyak kata.
Terdengarlah Kok Liang mendahului berteriak, "Selamat
ulang tahun, selamat ulang tahun. Ayo, harap tuan rumah
menempati tempat duduknya."
Segera Khong Bun-ki mendorong Khong Bun-thong berdiri
di bawah pigura, seorang protokol segera mengumrumkan
upacara dimulai. Maka beramai-ramai para hadirin banngun berdiri, ada
yang suka rela dan senang hati, tapi ada pula yang terpaksa,
tapi mereka sama membungkuk diri menjura kepada Khong
Bun-thong. Khong Bun-thong tersenyum lebar, mulutnya terbuka lebar,
katanya, "Terima kasih, mana aku berani terima
penghormatan besar ini." sambil balas menghormat dengan
membungkuk-bungkuk badan, tapi waktu dia angkat kepala,
tiba-tiba dilihatnya para hadirin berdiri melongo dan terbelalak
mengawasi pigura di atas kepalanya, cepat ia pun mendongak
melihat ke atas, kontan ia berjingkrak kaget dan hampir saja
ia berteriak terkejut. Ternyata di tengah antara kelima huruf besar di atas pigura
yang berbunyi "Thian-he-te-it-keh itu kini bertambah dua
huruf kecil berwarna putih yang menyolok sekali, bunyinya,
"Thian-he-te-it-bing-tho-keh." (Keluarga unta sakti nomor satu
di seluruh jagat). Sekian lama Khong bun-thong keheranan dan tidak habis
mengerti, akhirnya air mukanya menjadi gelap dan merah
padam. Serunya lantang dengan amarah yang meluap-luap,
"Sahabat manakah yang mencari gara-gara?"
Beruntun ia berkaok-kaok sampai empat kalitanpa ada
reaksi apa-apa. Dengan suara lebih lantang menandakan
amarah yang semakin memuncak ia berteriak lagi, "Hari ini
adalah ulang tahunku, dengan hati tulus dan sejujurnya kami
undang para sahabat Kangouw untuk ikut menikmati
secangkir arak, tidak lebih hanya ingin berkenalan dengan
orang-orang gagah seluruh dunia yang berkumpul hari ini,
kalau mau menyampaikan selamat sebetulnyalah aku tidak
berani terima, bahwa kalian sudah hadir dalam perjamuan ini
berarti memberi muka kepadaku, tapi entah siapa dengan cara
yang memalukan mempermainkan aku, sungguh memalukan
dan menghina keluar batas."
Setelah berkata mukanya semakin membesi hijau, tapi
keadaan masih tetap tenang dan sunyi. Selang sejenak,
mendadak dari tempat yang agak jauh terdengarlah gelak
tawa berkumandang, nada gelak tawa ini mengandung nada
menghina dan mencemooh. Serempak pandangan semua hadirin ditujukan ke arah
datangnya gelak tawa, tampak di barak sebelah timur seorang
laki-laki pertengahan umur berpakaian seperti gembala di luar
perbatasan dengan perawakan tubuhnya yang kekar sedang
berdiri bertolak pinggang di atas meja, mukanya rada asing
dan belum dikenal, apalagi tempat duduk sebelah timur sana
disediakan bagi golongan kelas dua, maka hadirin heran dan
kaget bahwa orang ini berani bertingkah begitu kasar dan
menghina kepada Khong Bun-thong.
Sambil memicingkan mata, Khong Bun thong mendesis
berkata, "Kawan ini siapa dan siapa namamu?"
Orang itu lalu tertawa tawar, sahutnya, "Aku yang rendah
Thio Hun-cu, bertempat tinggal di Thian-san utara tidak lebih
cuma seorang keroco kelas rendah saja."
Sekian saat Khong Bun-thong mengamatinya, tapi ia tidak
berhasil menemukan asal-usul orang ini, akhirnya dengan
menarik muka ia menjengek, "Apa maksud gelak tawa sahabat
Thio tadi?" Thio Hun-cu menengadah terkekeh dua kali, ujarnya,
"Untuk ini harus tanya kepada dirimu sendiri. Tadi sudah
mengudal mulut membuat sebuah cerita bohong yang
mengelabui orang banyak, kedengarannya memang cukup
mengasyikan den mengetuk hati semua orang, tapi apa pula
maksud tindakan rahasia saudara?"
Berubah hebat air mukanye Khong Bun-thong, matanya
menyorot sinar bengis dan buas, teriaknya beringas, "Kawan
Thio! Hari ini adalah hari baikku, bahwasanya aku tidak akan
membuat salah kepada pare sahabat, tapi sepak terjang
saudara tadi agaknya memang sengaja memaksa aku orang
she Khong untuk bertindak tidak mengenal kasihan lagi."
"Khong-kokcu!" seru Thio Hun-cu terloroh-loroh. "Tepat
sekali ucapanmu! Hari ini memang hari baikmu, sebab bukan
saja hari ini hari ulang tahunmu, tapi juga merupakan hari
besar dimana kau dapat mengekang dan menindas kaum
persilatan serta menjagoi seluruh jagat ".
"Pembual!" hardik Khong Bun-thong dengan amarah yang
meluap-luap. "Meski pigura itu pemberian dari para sahabat
Kang-ouw tapi aku sendiri masih ragu-ragu apakah aku orang
she Khong sembabat mendapatkan simbol itu."
"Tapi di bawah ancaman dan tekanan jiwa, siapa yang
berani membangkang dan tidak mendengar perintahmu?"
jengek Thio Hura-cu iambi" tersenyum.
Rona wajah Kong Bun-thong berubah lebih jelek, sinar
matanya mengandung hawa membunuh yang tebal, terutama
Kh?ng Bun-ki yang berada di belakangnya sudah tidak bisa
menahan gejolak hatinya, sambil menghardik tubuhnya
berkelebat maju sambil angkat tangannya menyerang,
mulutnya pun memaki keras, "Bedebah berani mengacau
perayaan hari ulang tahun Toakoku, sudah bosan hidup
ya".?" Tangan kiri mengacungkan dua jari menotok dada Thio
Hun-cu, tipu yang digunakan cukup ganas dan keji, tapi Thio
Hun-cu yang tidak ternama cukup menurunkan pundak dan
menekuk lutut dengan mudah meluputkan diri.
Karuan tercekat hati Khong Bun-ki, cepat kedua telapak
tangannya bergerak bersama dari kiri kanan mengatuk ke
tengah berbareng ia menepuk pula satu kali, jurus serangan
ke dua ini jauh lebih berbahaya dan telengas, seolah-olah
saking gemasnya ia ingin sekali pukul membikin mampus
lawannya. Kelihatannya Thio Hun-cu sulit terhindar dari mara
bahaya, sebab serangan tangan Khong Bun-ki itu di sebelah
atas menepuk Thay-yang-hiat sedang bagian tengah
mencengkeram lambungnya, betapapun ia dapat
mengkerutkan tubuhnya menjadi anak kecil juga tak akan
luput dari rangsakan hebat ini.
Akan tetapi di saat semua orang menjerit kaget den kuatir
itu, tampak badan Thio Hun-cu mendadak berputar seperti
gangsingan cepatnya, sekonyong-konyong badan yang
berputar kencang itu menerjang ke arah Khong Bun-ki, maka
terdengarlah benturan keras, entah dengan cara apa tahutahu
badan Khong Bun-ki yang meluncur ke depan ini ditolak
mundur sempoyongan lima enam tindak, lengan kanannya
lemas semampai tidak bergerak lagi, agaknya terluka oleh
serangan musuh. Maka terdengarlah dengus rendah Khong Bun-thong. Tibatiba
telapak tangannya terayun menepuk ke punggung Thio
Hun-cu, luncuran telapak tangannya keras tapi tidak
memperdengarkan suara. Seolah-olah Thio Hun-cu tidak
bersiaga, setelah telapak tangan memukul tiba baru ia
berjingkrak kaget, tapi sudah terlambat. Kontan ia tersuruk
maju beberapa langkah oleh tenaga pukulan yang hebat itu.
Tapi kepandaian orang ini agaknya tidak lemah, di luar
dugaan semua hadirin, setelah kena dibokong oleh pukulan
telak Khong Bun-thong, ternyata sedikitpun dia tidak terluka,
begitu menggeliatkan pinggang di lain saat ia sudah dapat
berdiri tegak pula, pelan-pelan ia membalik badan serta
tersenyum, katanya kepada Khong Bun-thong, "Orang she
Khong, ingat akan pukulanmu ini, nanti pasti akan kubalas
sekali pukul kepada kau, tapi dalam melancarkan pukulanku,
kulakukan secara terang gamblang, tidak akan kulancarkan
secara membokong seperti perbuatanmu yang rendah dan
hina ini." Muka Khong Bun-thong jadi merah padam karena sindiran
ini, di samping itu hatinya pun kaget bukan kepalang, baru
sekarang ia insyaf bahwa lawannya bukan sembarang tokoh,
karena dapat menerima pukulan tangannya, padahal jarang
ada musuh yang mampu menerima genjotan lima bagian
tenaganya, sungguh ia tidak mau percaya bahwa di dunia ini
ada manusia sekebal ini. Bahwasanya nama Loh-hun-kok baru tiga tahun ini
menonjol di kalangan Kangouw tapi sebenarnya jauh pada dua
puluh tahun yang lalu, mereka punya angan-angan untuk
merajai dunia persilatan, setiap tokoh kosen persilatan sudah
mereka selidiki dengan sempurna, hasilnya mereka
menganggap bahwa itu tidak lebih cuma kelas kambing
belaka, meski diantaranya membekal kepandaian asli yang
murni dari perguruan masing-masing, tapi masih jauh bila
dibandingkan Kungfunya, maka ia merasa puas akan bekal
sendiri dan bersiap melakukan suatu tindakan yang
menggemparkan. Tak nyana mendadak muncullah Bing tholing-
cu Tokko Bing dalam suatu partandingan yang tidak
menyenangkan, sehingga ia kena dikalahkan habis-habisan
terpaksa ia harus pendam dulu angan-angan besarnya,
menyemhunyikan diri giat memperdalam ilmu. Tunggu punya
tunggu ternyata sampai dua puluh tahun.
Pertemuan dipariang pasir itu dulu sebetulnya iapun ikut
hadir, tapi karena takut terjungkal lagi dan malu di hadapan
sekian banyak orang, terpaksa ia menyamar dan menyuruh
adiknya yang menjadi wakilnya.
Sebuah berita yang membuat semangatnya terbangkit
adalah bahwa Tokko Bing sudah meninggal, tapi murid
tunggalnya Koan San-gwat ternyata juga bukan main
hebatnya dalam segala hal agaknya tidak kalah dibandingkan
dengan Tokko Bing dua puluh tahun yang lalu. Tapi
betapapun pemuda ini masih berusia muda cetek pengalaman
dan pengetahuan. maka akhirnya ia terjungkal dalam tipu
daya dengan menenggak habis arak yang dicampuri racun
jahat, sejak saat itu kemenangan yang tidak tersangka-sangka
itu sekaligus telah menjunjung tinggi gengsi dan membuat
nama Loh-hun-kok menjulang tiada bandingannya.
Dengan segala daya upaya Khong Bun-thong juga selama
tiga tahun ini menghimpun diri memupuk kekuatan, kebetulan
meminjam hari ulang tahunnya yang keenam puluh,
kesempatan ini hendak ia gunakan untuk mengangkat diri dan
mengumumkan kepada dunia, demi mencapai cita-cita dan
ambisinya yang luar biasa.
Sungguh di luar tahunya pula bahwa di tengah jalan
usahanya ini kena dijegal pula dengan munculnya Thio Hun-cu
yang kurang dikenal namanya.
Beberapa patah kata Thio Hun-cu hakikatnya telah
menggerakkan akal dan perbuatan liciknya. Sekaligus telah
merusak nama baiknya pula, banyak diantara hadirin yang
merasa kurang senang dengan segala sepak terjangnya tadi,
kalau hari ini tidak melenyapkan keparat ini, selanjutnya tidak
ada muka baginya bercokol lagi". ".
Sesaat lamanya termenung, lalu akhirnya Khong Bun-thong
berkata sinis, "Kepandaian saudara sungguh membuat hatiku
takluk. Dengan kepandaianmu tidak sulit angkat nama di
Bulim, tapi kenapa kau sengaja mengacau dalam perayaan
hari ulang tahunku ini".?"
Thio Hun-cu tertawa dingin jengeknya, "Meski pun aku
punya kepandaian silat tapi cuma untuk menyehatkan badan
saja, tiada pikiran untuk angkat nama atau junjung gengsi
segala. Hari ini karena terpaksa baru aku mencari perkara
kepada kau. Sebetulnya aku tak ingin terjadi bahwa hari ulang
tahunmu menjadi hawa kematian sekian banyak tokoh-tokoh
Bulim yang hadir dalam pertemuanmu ini."
Berubah air muka Khong Bun-thong hardiknya dengan
bengis, "Kau membual apa lagi?"
"Hatimu sendiri kan paham," jengek Thio Hun-cu.
"Permainan menyuguh arak yang sudah kau campuri Ui-heciu-
ce-sa masakah dapat menundukkan sekian banyak orang
supaya mendengar perintahmu, seumpama racunmu dapat
membikin dua tiga orang mampus, semangat juang dan jiwa
kesatria golongan persilatan tidak akan begitu mudah kau
ancam dan kau kuasai."
Seketika seluruh hadirin menjadi ribut mendengar kata-kata
Thio Hun-cu ini, mimpi juga mereka tak menduga bahwa
Khong Bun-thong telah mencampuri racun di dalam araknya.
Ciong-lam Ciangbunjin Lu Bu-wi yang sejak semula sudah
sirik terhadapnya, sekarang tak kuasa menahan amarahnya
lagi, segera ia melompat menuding Khong Bun-thong,
teriaknya, "Khong Bun-thong! Bangsat kurcaci macammu ini
berani melakukan perbuatan keji yang memalukan"."
Melihat Thio Hun-cu sudah membongkar rencana kejinya,


Patung Emas Kaki Tunggal ( Unta Sakti ) Karya Gan K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih kaget Khong Bun-thong dibuatnya, cuma ia berlaku
tenang, terpaksa ia bertindak nekad, jengeknya, "Lu-heng
jangan mengumbar nafsu, racun itu tidak bakal mencabut
nyawamu dalam waktu dekat dekat, nanti tentu dapat kuberi
obat pemunahnya. Tapi bila kau marah-marah dan
mengumbar adatmu, bila kadar racunnya bekerja, itu menjadi
resikomu sendiri." Secara tidak langsung ucapannya terus mengakui bahwa
araknya memang dicampur racun, karuan hadirin berjingkrak
gusar, yang beradat kadar malah membalikkan meja dan
memukul hancur semua perabotnya, berbondong-bondong
mereka merubung maju mengurung Khong Bun-thong, ingin
rasanya mereka membuat perhitungan dan adu jiwa.
Tapi Khong Bun-thong tidak terpengaruh akan keadaan,
sikapnya tetap tenang, sementara Khong Bun-ki sambil
menahan sakit berdiri di belakangnya siap dan waspada, di
samping itu banyak pula orang-orang Kangouw yang punya
haluan suka menjilat. Meski dirinya terkena racun tapi masih
rela berdiri di pihak Loh-hun-kok. Mereka jadi sama
berhadapan saling pelotot dan ancam seperti ayam aduan.
Thio Hun-cu yang menjadi gara-gara semua keributan ini
malah terhimpit ke samping tapi dengan sikap acuh tak acuh
dia berkata kepada Lu Bu-wi, "Lu Ciangbunjin! Memang lebih
baik kau jangan mengumbar adat, kalau tidak kau akan terima
akibatmu sendiri"."
Bahna gusarnya Lu Bu-wi jadi tidak pandang bulu lagi,
semprotnya dengan gusar, "Kaupun bukan manusia baik-baik,
kalau kau sudah tahu dalam arak dicampuri racun, kenapa
tidak sejak tadi kau bongkar kelicikannya, kau mandah saja
melihat kita ditipu mentah-mentah!"
Thio Hun-cu cengar-cengir, lalu katanya, "Kurasa tidak
perlu, karena kalian tidak terancam jiwanya.Sebetulnya Khong
Bun-thong tidak punya maksud mencelakai jiwa kalian, cuma
bertidak mengekang dan mengancam supaya kalian suka
dengar perintah dan rela jadi kaki tangannya. Dia sendiri
sudah menyiapkan obat pemunahnya, tapi obat itu cuma
dapat menekan kadar racun supaya tidak kumat dalam tubuh
kalian, setiap setengah tahun harus minum obat pemunahnya
sekali. Jikalau kalian masih ingin hidup, harus tunduk dan
patuh akan semua kehendaknya"."
"Kentut!!!!" maki Lu Bu-wi. "Meski harus mengadu jiwa
sampai mati, masa kami mandah kena digencet dan bertekuk
lutut padanya!" "Ciangbunjin terlalu mengecil artikan nyawamu sendiri,"
ujar Thio Hun-cu tersenyum sinis. "Kalian adalah kesatria
gagah dan tunas harapan Bulim pada masa kini, masa begitu
gampang harus mengorbankan jiwa, celaka kalau situasi dunia
selanjutnya bakal terjatuh ke dalam kekuasaan keluarga
Khong yang lalim ini"."
"Kau sendiri sebenarnya termasuk aliran yang mana?"
semprot Lu Bu-wi lebih gusar.
"Kenapa bicara plintat-plintut tak punya pendirian, apa kau
ingin kami tunduk dan bertekuk lutut padanya"!"
"Bicara mengenai hati nurani aku berdiri di pihak kalian,
sebab aku mengutamakan hati yang lapang dan jujur
bijaksana, tapi dalam sepak terjang". aku berdiri di pihaknya,
kaum persilatan malang melintang di Kangouw kecuali ilmu
silat harus pula menggunakan otak dan pikiran, mana boleh
seperti kalian begini tidak becus, begitu mudah dikerjai
orang." "Bohong! apakah kau sendiri tidak minum arak tadi?" teriak
Lu Bu-wi pula lebih murka.
"Lain aku lain kalian," sahut Thio Hun-cu kalem. "Aku sudah
tahu ada racun tapi sengaja aku minum juga arak itu."
Lu Bu-wi jadi melengak heran, tanyanya, "Kau sengaja
minum arak yang dicampuri racun!?"
"Tidak salah! Aku memang sengaja meminumnya, ingin
kulihat kecuali mati atau bertekuk lutut apakah masih ada
jalan ketiga untuk kupilih."
Berputar biji mata Khong Bun-thong, selanya dingin,
"Terhadap kau! Cuma satu jalan saja, yaitu kematian! Orang
macammu ini kalau hidup terlalu lama tentu sangat
berbahaya, umpama kau mau tundukpun aku tidak akan
mengampuni kau!" Mendadak Thio Hun-cu bergelak tawa, ujarnya, "Jangan
kau mimpi! Tiga tahun yang lalu aku pernah menelan Ui-hociu-
ce-sa, kenyataannya aku tidak mati keracunan, kalau hari
ini kau hendak membunuhku, gunakan dengan cara yang
gemilang, selesaikan dengan kepandaian silatmu."
"Tiga tahun yang lalu"." seru Khong Bun-thong terkejut,
"Lalu kau ini adalah"."
Di tengah gelak tawa Thio Hun-cu yang berkumandang
nyaring, tiba-tiba ia copot topi kepalanya, telapak tangannya
mengusap raut mukanya beberapa kali, mencabut jenggot
palsu di tengah dagunya sekejap saja kini ia sudah berubah
jadi seorang pemuda yang bersikap gagah dengan semangat
menyala-nyala. Seketika terdengar seruan kaget dari berbagai penjuru,
tanpa berjanji mereka sama berteriak, "Koan San-gwat!"
Masih segar da1am ingatan mereka, pemuda di hadapan ini
bukan lain adalah pemuda yang menunggang unta sakti di
padang pasir dulu dan mengaku sebagai murid tunggal Bingtho-
ling-cu tiga tahun yang lalu itu.
Waktu itu dia terkena racun lalu melarikan diri ditelan tabir
malam di tengah gurun, semua orang anggap jiwanya pasti
sudah melayang, ada sementara orang merasa kasihan dan
sayang akan kematiannya itu.
Sungguh tidak dinyana, kini pemuda muncul pula di
hadapan mereka secara aneh dan mengejutkan.
Koan San-gwat tertawa lantang, jarinya menuding ke arah
pigura yang telah ia ganti huruf-hurufnya, serunya, "Thian-hete-
it-bing-tho-keh! Harap kalian sama ingat, asal suatu hari
mampus, keempat huruf Thian-he-te-it-keh itu, jangan harap
bakal terjatuh di atas kepala orang lain!"
Laksana naga sakti saja Koan San-gwat mendadak muncul
dalam keadaan yang sangat kritis ini, mengeluarkan
pernyataan yang takabur dan gagah lagi, kontan semua
hadirin sama terpengaruh oleh perbawanya, seluruh hadirin
jadi bungkam dan sunyi merayap, tidak seorangpun berani
mengeluarkan suara. Memang dia setimpal menerima anugerah ini, jangan kata
Tokko Bing pernah menundukkan dunia. kepandaian silat yang
diunjukkan di pertemuan di padang pasir itupun tiada
tandingannya. Malam itu jikalau Khong Bun-ki tidak menggunakan akal
liciknya sehingga keracunan, siapapun tidak berani
membayangkau betapa akibatnya. Tapi kenyataan bocah ini
memang panjang umur, setelah terkena racun sedemikian
jahatnya, ternyata masih hidup sehat walafiat malah kini
muncul kembali. Setelah terlongong sekian lamanya, akhirnya Khong Bunthong
tersentak sadar dari lamunannya, tanyanya dengan
suara yang hampir tidak mau percaya, "Koan San-gwat! Cara
bagaimana kau bisa tetap hidup setelah terkena racun Ui-ho
ciu-ce-sa?" "Seluruh benda yang ada di mayapada ini tiada satupun
mutlak, ada racun pasti ada obat pemunahnya, kalau tokh aku
bisa selamat dan bisa hidup kembali setelah terkena racun
jahatmu itu sudah tentu aku sudah mendapatkan obat
pemunahnya." "Memang harus diakui bahwasanya Tokko Bing berbakat
dan berkepandaian, luas pengetahuan lagi, cuma d
aalam ilmu pengobatan sedikitpun ia tidak paham, maka
betapapun aku tidak percaya bahwa kau bisa memunahkan
racunku itu!" Koan San-gwat manggut-manggut, ujarnya, "Memang tidak
salah ucapanmu, guruku tidak mahir ilmu pengobatan,
sehingga aku kau kelabui mentah-mentah, tapi di saat jiwaku
cuma tergantung pada seutas benang, aku ketemu orang
kosen yang mengasingkan diri, bukan saja beliau telah
menolong jiwaku, beliaupun berhasil menyelidiki cara
memunahkan racun jahatmu itu!"
"Siapa orang itu"!" desak Khong Bun-thong.
Koan San-gwat menuding seseorang di sampingnya,
katanya, "Orang kosen ini sangat terkesan dan kagum kepada
kau yang bisa meramu obat beracun macam Ui-ho-ciu-ce-sa
itu, kali ini ia ikut kemari untuk berkenalan dan cari
pengalaman, tadi aku menggunakan nama beliau. Sekarang
marilah kuperkenalkan, beliau adalah seorang tabib sakti yang
sejak lama menyembunyikan diri di puncak Thian-san, Thio
Hun-cu Cianpwee adanya."
Pandangan semua orang beralih ke arah yang ditunjuk,
tampak seorang laki-laki pertengahan umur mengenakan
pakaian gembala bermuka kuning seperti penyakitan, di
sebelahnya berdiri pula seorang nona remaja, pakaiannya
seperti gembala di padang rumput, hidungnya mancung
matanya bening. Parasnya yang cantik itu membayangkan
wataknya yang keras dan sikapnya yang gagah, raut wajahnya
hampir mirip dengan laki-laki pertengahan umur itu, sekali
pandang dapat diketahui bahwa mereka ialah ayah beranak.
Sebetulnya Thio Hun-cu berdiri agak jauh, begitu Koan
San-gwat menuding ke arah dirinya, cepat ia maju
menghampiri sambil tersenyum lebar, orang-orang di
sekelilingnya menyingkir ke samping memberi jalan
kepadanya, akhirnya dia berdiri berendeng dengan Koan Sangwat.
Gadis remaja itu berada di belakangnya, ujung mulutnya
menyungging senyum manis, agaknya ia jadi
tertarik akan keadaan yang bergolak ini.
Khong Bun-thong menatap ke arah Thio Hun-cu sampai
orang berada di hadapannya, baru dia batuk- batuk, kulit
mukanya kelihatan rada gemetar jelas bahwa hatinya sudah
mulai tegang, dengan tertawa dibuat-buat ia berkata setenang
mungkin, "Tak nyana di puncak Thian-san masih ada tokoh
yang sembunyi di sana, kami menyambut kurang hormat,
sungguh keterlaluan!"
Thio Hun-cu tertawa ewa, katanya, "Ah, kenapa Kokcu
begitu sungkan, orang liar dari perbatasan seperti kami bisa
mendapat tempat duduk dalam meja perjamuan Kokcu sudah
merupakan suatu kehormatan bagi kami. Maklum dari tempat
yang jauh kami tak bisa menyediakan kado yang berarti, kami
hanya bawa beberapa butir buah Tho yang kutanam sendiri
sebagai kado, tapi karena Kokcu sangat repot, tiada
kesempatan kupersembahkan sekarang. Mohon Kokcu suka
terima dengan senang hati!"
Lalu ia berpaling kepada gadis remaja itu, "Ah-ceng!
Persembahkan buah Tho kepada Kokcu yang berulang tahun.
" Dengan lemah gemulai gadis itu menurunkan buntalan
yang diikat di punggungnya, setelah dibuka ternyata berisi
lima enam buah Tho sebesar mangkok. Warnanya merah
bersemu kuning, dengan kedua tangannya si gadis
mengangsurkan sebuah di antaranya ke hadapan Khong Bunthong.
Katanya tertawa manis, "Harap tuan rumah suka
terima dan mencicipinya!"
Di hadapan sekian banyak tamunya terpaksa Khong Bunthong
mengulurkan tangannya mengambil buah itu, dengan
terpaksa ia menyengir tawa, sahutnya, "Terima kasih!"
Thio Hun-cu juga tertawa, ujarnya, "Buah Tho ini hasil dari
puncak Thian-san, meski tidak berharga bila dinilai dengan
uang, tapi rasanya manis dan sedap. Kalau Kokcu sudi,
silahkan cicipi bagaimana rasanya."
Khong Bun-thong mengamat-amati buah Tho itu sekian
lamanya, tidak terlihat adanya sesuatu yang mencurigakan.
tapi ia tahu bahwa buah Tho ini pasti bukan buah Tho seperti
buah-buahan umumnya, maka sesaat lamanya ia jadi ragu dan tak berani segera
memakannya. "Apakah Kokcu merasa sumbanganku ini terlalu tidak
berharga?" Khong Bun-thong jadi serba runyam, sahutnya dengan
kikuk, "Mana, mana! Sebetulnya aku orang she Khong sangat
senng daen terpesona akan buah Tho sebesar ini, entah
bagaimana aku harus membalas pemberian ini. Aku yakin
buah macam ini tentu sulit didapat. Biarlah kusimpan saja
pelan-pelan kunikmati lain kesempatan saja."
"Terserah pada kehendak Kokcu, cuma sudah lama aku
mendengar ketenaran nama Kokcu, katanya mampu meramu
Ui-ho-ciu-ce-sa pula, maka sengaja kupetikkan buah Tho itu
sebagai permainan. Mohon petunjuk kepada Kokcu, kalau
Kokcu tidak sudi memberi muka, anggap saja sia-sialah segala
jerih payahku." Kedengarannya ia mengobrol seenaknya saja, tapi bagi
pendengaran Khong Bun-thong sangat menusuk perasaannya
dan menjatuhkan gengsi, sebetulnya ia memang kuatir bila
buah Tho itu ada rahasia apa-apa, tapi setelah ditantang
dengan sindiran tajam Thio Hun-cu, ia jadi lwbih tak enak
kalau tak makan buah itu, tapi dengan pura-pura sungkan ia
berkata, "Kalau begitu terpaksa aku terima pemberian ini."
"Orang she Khong," jengek Koan San-gwat. "Jangan
terlalu cepat kau melulusi permintaannya, buah Tho itu
tumbuh di puncak Thian-san, dinamakan Thinn-toh (buah
langit). Sesuai dengan namanya, bila kau berani makan,
jiwamu segera bakal melayang ke sorga, apakah kau benarbenar
Jodoh Rajawali 27 Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Rahasia 180 Patung Mas 13
^