Pencarian

Pertemuan Di Kotaraja 12

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 12


beserta empat bocah pedang emas dan perak tergeletak tak
keruan di atas permukaan gua, jalan darah mereka telah
tertotok. Menyaksikan kemunculan Tanpa Perasaan di situ, semua
orang segera memandang ke arahnya dengan sinar mata
berterima kasih bercampur malu.
Dengan cepat pemuda itu berjalan menghampiri dan
berniat membebaskan dulu mereka dari pengaruh totokan,
632 namun dia segera menjumpai masalah, tenaga dalam yang dia
miliki sangat lemah, sekalipun dia hapal di luar kepala seluruh
letak jalan darah penting di tubuh manusia, namun kawanan
jago itu ditotok jalan darahnya oleh Ci Yau-hoa, dengan
kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Tanpa Perasaan
sekarang, masih belum mampu untuk membebaskannya.
Karena tak sanggup membebaskan pengaruh totokan
mereka, sudah tentu dia pun tak mampu membawa kabur
kawanan jago itu, terpaksa dia hanya berdiri di tempat dengan
wajah tertegun.
Saat ini Tanpa Perasaan tahu hanya ada satu cara untuk
mengatasinya, pikirnya, "Segera pergi ke kuil Liu-ho-an,
mencari Ciu Pek-ih dan menghubungi kawanan jago dari Pakshia
dan minta tolong mereka untuk datang menyelamatkan
kawanan jago itu."
Setelah mengambil keputusan, pemuda itupun segera
keluar dari gua. Dia yakin kuil Liu-ho-an pasti terletak tidak
jauh dari tempat itu, karena Ci Yau-hoa, si peronda berbaju
hijau dan putih selalu berjaga-jaga di seputar tempat itu.
Dia harus berhasil menjumpai para jago Pak-shia sebelum
pertarungan antara Ci Yau-hoa melawan Si Ku-pei berakhir.
Begitu keluar gua, Tanpa Perasaan segera memeriksa
permukaan tanah dengan seksama, begitu bertemu dengan
jalanan yang dipenuhi bekas telapak kaki manusia, dia pun
bergerak mengikuti jalanan itu, betul juga, tak selang lama ia
telah melihat sebuah bangunan kuil kuno berdiri di
hadapannya. Kuil itu besar, luas dan sangat kuno, dipandang dalam
kegelapan, bangunan itu terasa sangat menyeramkan.
Tanpa Perasaan menarik napas panjang, baru saja hendak
bicara, mendadak ia saksikan banyak mayat bergelimpangan
di depan bangunan kuil itu, bau busuk mayat, anyir darah
berhembus datang dari seputar tempat itu.
Ketika ia mencoba untuk memeriksa lebih seksama,
dijumpai tumpukan mayat tergeletak dalam kondisi yang
sangat mengenaskan, kutungan kepala, kaki dan tangan
633 berserakan di sana sini, pemandangan sangat mengerikan dan
menggidikkan hati.
Pada saat itulah dari empat sudut bangunan kuil melayang
turun empat sosok bayangan, keempat orang itu muncul dari
arah yang berbeda, belum lagi orangnya tiba, mereka sudah
mengayun tangan masing-masing, tujuh-delapan titik cahaya
bintang segera melesat membelah angkasa langsung
menyerang si Tanpa Perasaan yang berada di dalam tandu.
Dengan satu gerakan cepat Tanpa Perasaan melambung ke
udara, seluruh serangan senjata rahasia itu langsung
menghajar ke dalam tandu.
"Tahan!" bentak Tanpa Perasaan dari tengah udara.
Namun keempat orang jago itu sama sekali tidak
menanggapi, dua bilah pedang langsung menusuk
tenggorokan pemuda itu sementara dua bilah pedang yang
lain menusuk dadanya.
Berada di tengah udara si Tanpa Perasaan berjumpalitan
beberapa kali, sambil melayang turun di depan pelataran kuil
Liu-ho-an, kembali ia menghardik, "Tahan! Dengarkan dulu
perkataanku"
Empat bilah pedang dengan membawa desingan angin
tajam menyambar dari arah belakang, terpaksa si Tanpa
Perasaan membalikkan tubuh, cahaya golok berkelebat lewat,
secepat sambaran petir dia lepaskan sebuah babatan di
tengah kegelapan malam.
Keempat orang lelaki kekar itu hanya merasakan
pandangan matanya berkunang-kunang, tahu-tahu
genggamannya jadi ringan, keempat bilah pedang di tangan
mereka telah terpapas kutung jadi dua bagian.
Kembali Tanpa Perasaan berseru, "Maaf, aku datang kemari
karena ingin menjumpai...."
Belum habis dia bicara, seorang telah menukas dengan
suara nyaring, "Bangsat, kami sudah bosan mendengar
ocehan kalian!"
Seorang rekannya menambahkan pula, "Gara-gara Ting tua
percaya omongan kalian, dia harus mengorbankan nyawanya!"
634 Seorang yang lain berseru pula, "Mau bunuh mau bantai
silakan dilakukan, kami tak bakal menyerah, sudah, jangan
banyak bacot lagi!"
Orang terakhir sambil mengayunkan kutungan pedangnya
menerjang ke muka sambil berteriak kalap, "Bangsat, aku
akan mengadu nyawa denganmu!"
Sekali lagi keempat orang itu menerjang ke depan
menghampiri si Tanpa Perasaan, karena tak sanggup
membendung terjangan itu, lagi pula tak mungkin melukai
orang-orang itu dengan senjata rahasianya, terpaksa pemuda
itu mundur dari situ.
Begitu mundur, dia malah memasuki bangunan kuil. Segera
terdengar desingan angin tajam menderu, tujuh-delapan belas
lelaki kekar dengan aneka senjata kembali bermunculan dari
balik kegelapan dan segera mengepungnya rapat.
"Bagus sekali!" terdengar seorang berseru, "ternyata punya
nyali untuk menerjang masuk seorang diri, ayo teman-teman,
kita kepung dia dan cincang tubuhnya!"
"Berani menerjang masuk seorang diri, bagus, punya nyali!
Sayang kau bisa masuk dengan mudah tapi susah untuk
keluar lagi "Akan kubunuh dia untuk membalas dendam bagi kematian
Siau-sam-cu!"
"Maknya! Tidak nyana orang ganteng macam dia pun
ternyata anak cecunguk kaum iblis laknat!"
"Ya, dia anggap kita orang Pak-shia betul-betul tak punya
jagoan!" Tanpa Perasaan berusaha memberi keterangan, namun
lantaran tenaga dalamnya tidak cukup sempurna, suaranya
tenggelam di balik hiruk pikuknya suara teriakan orang-orang
itu. Sementara itu beberapa buah obor telah dipasang di
sekeliling ruang kuil, membuat suasana di situ nampak jadi
terang benderang.
Tampak ada dua-tiga puluhan orang perempuan tua muda
dan anak-anak dengan tubuh berlepotan darah berbaring atau
635 bersandar di situ, mereka sedang memandang ke arahnya
dengan sinar mata kebencian.
Diam-diam Tanpa Perasaan mengeluh, pikirnya, "Wah, bisa
gawat jika mereka maju menyerang secara bersama-sama,
padahal jalan mundurku sudah tersumbat, bila tidak melukai
orang dengan senjata rahasia, bisa jadi malah aku sendiri
yang bakal mampus."
Mendadak terdengar bentakan nyaring berkumandang,
bersama dengan berkelebatnya sesosok cahaya bianglala
berwarna putih, tampak seorang gadis berbaju putih
menerjang ke muka sambil melepaskan tusukan, serangan itu
dilancarkan dengan cepat dan keji, membuat orang sulit
menghindarkan diri.
Lekas Tanpa Perasaan menggebrak lantai sambil melompat
bangun, dengan cekatan dia meloloskan diri dari tusukan itu
dan mundur hingga ke sudut ruangan.
Gagal dengan serangannya yang pertama, gadis berbaju
putih itu membalik pedangnya lalu tanpa menimbulkan suara
sedikitpun merangsek lebih ke depan dan kembali melepaskan
sebuah tusukan kilat.
Karena tak ada jalan lain untuk mengundurkan diri, Tanpa
Perasaan segera menekan permukaan tanah dengan sepasang
telapak tangannya dan berjumpalitan persis di atas sambaran
pedang gadis berbaju putih itu, teriaknya keras, "Aku datang
untuk berjumpa dengan Ciu-shiacu...."
Gagal dengan tusukan pedangnya, gadis berbaju putih itu
kembali mengungkit ke atas dengan ujung pedangnya,
sementara badannya ikut pula bersalto dengan gerakan yang
sangat indah, lagi-lagi dia mengejar pemuda itu sambil
melepaskan satu tusukan ke punggung lawan.
Berada di tengah udara, sulit bagi Tanpa Perasaan untuk!
Mengerahkan tenaga, sambil membentak nyaring dia segera
berbalik, cahaya emas berkilauan di antara gerak tangannya,
satu babatan maut dilontarkan ke depan.
Merasa gelagat tidak menguntungkan, lekas gadis berbaju
putih itu melintangkan pedangnya untuk menangkis, "Trang!",
636 benturan nyaring bergema memecah keheningan, meminjam
tenaga benturan itu, lagi-lagi Tanpa Perasaan melesat ke
samping naik ke atas dinding pekarangan.
Tak terlukiskan rasa kaget gadis berbaju putih itu, dia tak
menyangka secepat itu pihak lawan melancarkan serangan
balasan yang nyaris membabat sebagian rambutnya, paras
mukanya berubah memucat.
Sementara itu Tanpa Perasaan bersiap untuk bicara lagi,
begitu kakinya melayang turun ke atas tanah, belum sempat
buka suara tiba-tiba muncul lagi tiga orang jagoan, seorang
menggunakan tombak berantai, seorang menggunakan trisula
dan seorang lagi menggunakan golok besar, langsung
menerjang datang dan tanpa bicara melepaskan serangan
maut ke arah anak muda itu.
Dalam keadaan begini, Tanpa Perasaan hanya bisa
menghela napas panjang, kini jiwanya terancam dan posisinya
terdesak hebat, bila dia tidak mau melukai lawan, berarti dia
sendiri yang akan terluka, maka tangan kirinya segera
dikebaskan ke depan, tiga batang paku tulang putih segera
melesat keluar dan menyambar ke tubuh lawan.
Biarpun ketiga batang senjata rahasia itu dilepas hanya
untuk melukai lawan dan sama sekali tak berniat menghabisi
nyawa orang-orang itu, bukan berarti serangannya mudah
dihindari, namun ketiga orang itu sungguh hebat, yang
memakai lombak berantai segera memutar senjatanya
sedemikian rapat hingga paku tulang putih yang tertuju ke
arahnya seketika terpental jatuh, sementara orang yang
bersenjata golok segera melambung ke udara dan membacok
paku tulang putih yang mengarah badannya hingga terpapas
kutung jadi dua bagian, sementara orang yang bersenjata
trisula dengan gerakan keledai malas berguling,
menghindarkan diri dari sambitan senjata rahasia itu, bahkan
menggunakan kesempatan itu merangsek lebih ke depan dan
menggunakan gerakan burung hong mengangguk, kembali ia
menusuk si Tanpa Perasaan.
637 Cukup melihat kemampuan ketiga orang itu dalam
melancarkan serangan, dia tahu mereka bukanlah kawanan
jago sembarangan, tiba-tiba Tanpa Perasaan teringat kembali
perkataan "Tiau Sin" gadungan,
"Kota Pak-shia sudah hampir jebol, pertahanan kami sudah
hampir jebol, sudah tiga kali empat iblis Su-toa-thian-mo
dengan memimpin enam belas orang jagoannya menyerang
kota, kekuatan kami bertambah lemah, dari sepuluh pelindung
hukum sudah tiga orang menemui ajalnya, tiga orang
tertangkap dijadikan "manusia obat" dan berbalik menyerang
kota, sisanya yang dua orang pun sudah terluka parah"
Kini Tanpa Perasaan melihat dari ketiga orang itu, tubuh si
lelaki bersenjata golok sudah dipenuhi balutan kain perban
dan bercak darah, jelas dia telah menderita luka cukup parah,
tapi sebelum dia berpikir lebih jauh, tusukan trisula kembali
sudahi menyambar tiba, dalam keadaan begini dia hanya bisa
menghela napas panjang seraya berkelit.
Tiba-tiba satu ingatan melintas, pikirnya, "Kenapa aku tidak
berusaha menangkap seorang di antara mereka hingga
serangan brutal bisa dihentikan sementara waktu" Aku bisa
menggunakan kesempatan itu untuk memberi penjelasan
kepada mereka".
Berpikir begitu dia segera melambung lagi ke udara.
Gagal dengan tusukannya, lelaki kekar itu siap melancarkan
serangan untuk kesekian kalinya, siapa tahu belum sempat dia
bergerak, tiba-tiba terlihat cahaya tajam berkilauan di seluruh
udara, dua-tiga puluh batang senjata rahasia serentak
meluruk tiba dan mengurung tubuhnya rapat-rapat.
Lelaki itu memang tak malu menjadi salah seorang di
antara sepuluh jagoan paling tangguh ilmu silatnya di kota
Pak-shia, biar terancam bahaya dia sama sekali tak panik,
trisulanya diayunkan berulang kali kian kemari, ternyata
kedua-tiga puluhan batang senjata rahasia itu berhasil
ditangkis semua, jangar lagi melukai badannya, menyentuh
pun tak mampu. 638 Tapi sayang waktu itu Tanpa Perasaan sudah melayang
turun di belakang tubuhnya, di saat lelaki kekar itu sedang
sibuk menyampuk runtuh senjata rahasia yang mengancam
tubuhnya, pisau belati yang sudah siap di tangan langsung
dilintangkan di belakang lehernya.
Golok pembabat kuda dan sepasang tombak berantai dari
dua orang rekannya cepat menyambar tiba, maksudnya untuk
menolong rekannya, tapi si Tanpa Perasaan kembali
menggetarkan tangannya, dua belas senjata rahasia kembali
memancar ke muka dengan kecepatan luar biasa.
Dalam keadaan begini, kedua orang lelaki itu terpaksa
harus berkelit ke samping untuk menghindarkan diri, dengan
demikian mereka pun tak sempat lagi menyelamatkan lelaki
bersenjata trisula itu.
Saat itulah dari sudut kuil kembali muncul seorang, dia
menggunakan gada berkepala harimau sebagai senjata,
sambil meraung gusar, dengan membawa luka di badan dia
langsung menyerbu ke dalam arena pertarungan.
Melihat itu Tanpa Perasaan segera membentak nyaring,
"Kalau kalian berani maju selangkah lagi, akan kubunuh dulu


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang ini!"
Begitu ancaman itu diuarkan keluar, seketika lelaki
bersenjata gada itu menghentikan gerak serangannya, dengan
sorot mata kuatir bercampur cemas dia mengawasi lelaki
bersenjata trisula itu tanpa berkedip.
Kawanan jago yang lain pun berbondong-bondong maju
mengepung, tapi mereka tak berani maju secara gegabah,
hanya teriaknya penuh amarah, "Cepat bebaskan dulu
pelindung hukum Ko!"
"Jika kau berani mengusik pelindung hukum Ko barang
seujung rambutnya, akan kubikin kau mampus tanpa liang
kubur!" "Bajingan cilik, kau ingin mengadu jiwa!" "Bangsat,
bebaskan pelindung hukum Ko dan kuampuni nyawa
anjingmu!"
639 Mendengar teriakan yang simpang siur itu. Tanpa Perasaan
hanya bisa menghela napas panjang, baru saja dia akan
memberi penjelasan, mendadak terdengar lelaki kekar
bersenjata trisula telah berteriak dengan suara parau, "Aku
rela mati daripada harus memenuhi permintaan kawanan tikus
itu." Begitu selesai bicara, sepasang trisulanya dibalik dan
langsung ditusukkan ke jalan darah Thay-yang-hiat di kening
kiri dan kanannya.
Tanpa Perasaan terkesiap, dia tak menyangka lelaki kekar
itu mempunyai watak begitu keras dan tegas.
Kalau tadi dia berhasil menguasai lelaki itu dan
mengancamnya dengan pisau belati, semuanya lantaran pihak
lawan terpecah konsentrasinya karena harus menghadapi
ancaman senjata rahasia, tapi sekarang lelaki itu berniat
bunuh diri, dengan kepandaian silat yang dimiliki Tanpa
Perasaan jelas dia tak sanggup menyelamatkannya.
Padahal bila orang ini sampai mati, maka biarpun Tanpa
perasaan menjelaskan semua hal dengan gamblang dan jelas
pun belum tentu perselisihan itu bisa diselesaikan secara
gampang. Pada saat itulah mendadak dari sudut kuil berkumandang
dua dentingan nyaring diikuti melesatnya dua kilatan cahaya
pedang, secara beruntun kilatan cahaya pedang itu menghajar
di atas sepasang trisula itu hingga miring ke samping dan
menyambar lewat dari sisi kening lelaki itu.
Ternyata kedua kilatan cahaya pedang itu berasal dari
sebilah pedang yang berada dalam genggaman seorang
pemuda berbaju putih, pemuda itu berwajah tampan tapi
dingin dan serius, ia berdiri di ujung kuil dengan penuh
keangkeran. Gadis berbaju putih itu segera menghampiri pemuda itu
sambil berbisik, "Hati-hati, senjata rahasia milik orang ini
sangat lihai!"
640 Tanpa Perasaan menghela napas panjang, dia segera
mendorong lelaki bersenjata trisula itu hingga mundur dari
arena pertarungan.
Pemuda berbaju putih nampak tertegun, agaknya dia tidak
menyangka kalau Tanpa Perasaan akan melepaskan pelindung
hukum Ko. "Terima kasih!" ucap Tanpa Perasaan kemudian.
"Kenapa berterima kasih kepadaku?" pemuda berbaju putih
balik bertanya dengan wajah tertegun.
"Terima kasih kau telah selamatkan nyawa Toako itu!"
"Menolong dia merupakan kewajibanku, kenapa kau mesti
berterima kasih kepadaku?"
"Seandainya kau tidak menyelamatkan jiwanya, aku akan
susah untuk menjelaskan duduknya persoalan!"
"Kau juga yang menguasai dirinya, kenapa kau bilang akan
susah untuk menjelaskan duduknya persoalan?"
Sementara itu lelaki bersenjata gada sudah berteriak dari
sisi arena, "Tidak usah banyak bicara lagi dengan bajingan
macam dia, biar Locu bantai dulu dirinya!"
"Him-huhoat, kau jangan ribut dulu, biar aku tanyai dulu
sampai jelas," tukas pemuda berbaju putih.
"Aku bukan berasal dari komplotan empat iblis langit Sutoa-
thian-mo!" Tanpa Perasaan segera menjelaskan.
"Oya?"
Dengan gemas penuh kebencian lelaki bersenjata golok itu
menyela, "Jangan percaya dengan omong kosongnya, kalau
bukan berasal dari komplotan empat iblis langit, buat apa di
tengah malam buta begini dia seorang diri menyelundup
masuk ke dalam kuil Liu-ho-an?"
"Bagaimana penjelasanmu?" pemuda berbaju putih itu
kembali bertanya.
"Aku kemari untuk mencari kau."
"Oh, mencari aku" Jadi kau tahu siapakah aku?"
"Tentu saja tahu."
"Tapi aku belum pernah berjumpa denganmu."
"Tapi aku tahu, kau adalah Pak-shia Shiacu, Ciu Pek-ih!"
641 "Benar!" pemuda berbaju putih mengakui sambil tertawa.
"Mau apa kau datang kemari?" kembali lelaki bergolok itu
menegur. "Pocu dari benteng Tang-po, Ui Thian-seng telah tiba,
namun sekarang telah dikuasai si Bibi iblis dan nyawanya
berada di ujung tanduk, aku tak mengerti cara membebaskan
totokan jalan darahnya, maka aku datang kemari untuk minta
bantuan kalian."
"Hm, barangkali hanya setan yang mau percaya dengan
omonganmu," sekali lagi lelaki bergolok menyindir.
"Tio-huhoat, aku percaya dengan perkataannya," tiba-tiba
Ciu Pek-ih berkata.
"Apa" Kau percaya dengan perkataannya?" teriak lelaki
bergolok itu tercengang.
"Benar," sahut Ciu Pek-ih sambil tertawa, "sebab aku pun
sudah tahu siapakah dia."
"Siapakah dia?"
"Dia tak lain adalah si Tanpa kaki menempuh ribuan li,
ribuan tangan susah dibendung ... si Tanpa Perasaan dari
empat opas yang termashur," ujar Ciu Pek-ih kata demi kata.
"Apa" Dia adalah si Tanpa Perasaan?" seru Tio-huhoat dan
Him-huhoat sekalian dengan perasaan terkejut.
"Apakah bala bantuan kita akhirnya tiba juga?" seru lelaki
bersenjata tombak itu pula dengan wajah kegirangan.
"Benar, kami telah datang," ujar si Tanpa Perasaan, "tapi
kerugian yang kami derita pun cukup parah, kecuali diriku,
yang lain telah dikuasai musuh, namun si Dewa iblis, Malaikat
iblis beserta kedelapan orang anak buahnya juga berhasil kami
bunuh, empat di antara delapan anak buah si Bibi iblis dan
Pentolan iblis pun sudah tewas. Kita harus segera berangkat
untuk menolong mereka, kalau tidak, keadaan akan
terlambat."
"Baik, kita segera berangkat," Ciu Pek-ih berseru tegas.
"Ciu-shiacu, kau percaya dengan perkataannya?" seru le
laki bertombak itu ragu.
642 "Orang lain sudah menempuh perjalanan ribuan li untuk
datang menolong kita, kedatangan mereka pun hanya
berbekal "percaya" dan "setia-kawan", masakah sekarang kita
tak percaya kepada mereka dan tidak menunjukkan kesetiakawanan
kita" Kalau hal ini sampai ketahuan orang, apakah
perbuatan kita tak akan jadi bahan tertawaan umat
persilatan?"
"Shiacu, aku akan berangkat bersamamu," lelaki bersenjata
trisula segera berseru.
"Jangan, Phang-huhoat, kau bersama Tio-huhoat, Himhuhoat
dan Ko-huhoat tetap berjaga di sini, para korban
terluka butuh perawatan kalian. Cukup aku pergi seorang diri
saja, daripada orang lain memanfaatkan kesempatan untuk
menyerang tempat ini."
"Baik!" serentak keempat orang pelindung hukum itu
menyahut dengan sangat hormat.
"Pek-ih, aku ikut denganmu," seru gadis berbaju putih itu
tiba-tiba. Ketika si Tanpa Perasaan melihat di wajah Ciu Pek-ih
menampilkan perasaan serba salah, dia pun segera berkata,
"Aku tahu, bukankah kau adalah calon istri Ciu-shiacu yang
dijuluki pendekar dewi Pek Huan-ji" Aku tahu ilmu pedangmu
sangat bagus, bagaimana kalau kau pun ikut serta membantu
kami?" "Akan kubantu sebisa mungkin," jawab Pek Huan-ji
kemudian dengan wajah bersemu merah.
"Urusan ini tak bisa ditunda lagi, mari kita segera
berangkat."
"Baik, kita teruskan pembicaraan sambil berjalan."
Sepanjang perjalanan secara ringkas Tanpa Perasaan
menceritakan kembali kisah Ui Thian-seng sekalian hingga
ditangkap Bibi iblis.
Sebaliknya Ciu Pek-ih juga menceritakan bagaimana dia
bersama kesepuluh orang pelindung hukumnya bertarung
sengit mempertahankan kota Pak-shia dari ancaman kawanan
iblis Su-ioa-thian-mo.
643 Selama ini Su-toa-thian-mo sudah tiga kali menyerang kota
Pak-shia yang terkepung, lambat-laun persediaan ransum di
dalam kota makin menipis, sementara korban yang berjatuhan
pun semakin banyak, dari kawanan pelindung hukum itu ada
tiga orang yang telah tewas dan seorang terluka parah.
Dalam keadaan begitu, Ciu Pek-ih berusaha menjebol
pertahanan untuk keluar dari kota, tapi akibat usahanya ini,
kembali dua orang pelindung hukumnya tertawan dan seorang
lainnya terluka, sebaliknya kawanan "manusia obat" yang
digunakan empat iblis untuk menyerang kota pun ada tujuh
delapan orang yang berhasil dibantai.
Gagal keluar dari kota, salah seorang pelindung hukumnya
kembali terperangkap hingga dijadikan "manusia obat",
kemudian bersama tiga orang pelindung hukum lainnya yang
sudah dijadikan "manusia obat", mereka menyerang kota.
Dibantu tujuh delapan orang "manusia obat" ditambah
kawanan iblis dari empat iblis langit, akhirnya serangan
mereka berhasil menjebol pertahanan kota, terpaksa Ciu Pekih
dengan membawa seratusan pengikutnya yang tersisa
mundur ke kuil Liu-ho-an di belakang bukit dan menjadikan
tempat itu sebagai tempat pertahanannya yang terakhir.
Dalam pertempuran terakhir, tiga orang pelindung
hukumnya kembali jadi korban, tewas dalam keadaan
mengenaskan. Oleh sebab itu Ciu Pek-ih bersikeras untuk tetap bertahan
di kuil Liu-ho-an, sesaat sebelum mundur ke sana, kembali
mereka memperoleh tambahan ransum sehingga membuat
semangat kembali berkobar.
Kemudian ketika melihat nasib tragis yang menimpa ketiga
orang rekannya yang dijadikan "manusia obat", mereka pun
bersepakat lebih baik tewas hingga titik darah penghabisan
ketimbang tertangkap lawan.
Menghadapi musuh yang semakin nekad, empat iblis langit
Su-toa-thian-mo pun tak berani bertindak secara gegabah, di
samping karena "manusia obat" andalan mereka sudah
semakin berkurang jumlahnya, keempat iblis langit pun sangat
644 berharap bisa menawan para jago dari Pak-shia dalam
keadaan hidup sehingga bisa dijadikan "manusia obat',
karenanya mereka tak ingin melakukan tekanan yang
berlebihan sehingga membuat rencana mereka malah gagal.
Walau begitu, Ciu Pek-ih sekalian pun sadar bahwa dengan
mengandalkan kekuatan mereka, mustahil bisa lolos dari
kepungan itu, sebab dari seratusan orang yang berkumpul
saat itu, kaum wanita, anak dan orang tua sudah menempati
tiga puluh persen, belasan orang sudah tak punya kekuatan
untuk bertarung lagi, berarti tinggal enam puluhan orang
jagoan saja yang masih bisa bertarung.
Namun bila ingin bertarung melawan empat iblis langit
hanya dengan mengandalkan kekuatan seperti ini, jelas
kerugian besar berada di pihaknya, bisa jadi kekuatan mereka
malah akan musnah sama sekali.
Dalam keadaan demikian mereka malah merasa bertahan di
dalam kuil jauh lebih menguntungkan ketimbang menyerbu
keluar, maka mereka pun memutuskan untuk tetap bertahan
sembari menunggu tibanya bala bantuan.
Keempat iblis langit tidak menyerang lagi, selain karena
jumlah 'manusia obat' andalan mereka sudah semakin
melemah sehingga tak bisa diandalkan lagi untuk melancarkan
serbuan, ternyata di antara mereka berempat juga telah
terjadi saling gontok di antara kalangan sendiri, ditambah lagi
serangan Ui Thian-seng sudah memperlemah daya serang
keempat iblis itu sehingga mereka tak sanggup lagi
menghimpun kekuatan besar untuk melancarkan gempuran.
Sesudah melalui pertempuran berbulan lamanya, kekuatan
kota utara atau Pak-shia boleh dibilang sudah semakin lemah,
selain jumlah jagoannya makin berkurang, kebanyakan pun
sudah letih, Ciu Pek-ih sebagai seorang Shia-cu pun sudah
terdesak hingga mesti mundur dari kota dalam keadaan
mengenaskan, selain rasa benci dan sedih, baginya peristiwa
ini sangat memalukan nama serta pamornya, paling tidak dia
jadi malu karena tak mampu mempertahankan jerih payah
leluhurnya. 645 Kini masalah paling sulit yang dihadapi tinggal dua,
pertama jika pertarungan antara Bibi iblis melawan Pentolan
iblis sudah berakhir, semisalnya Ci Yau-hoa yang menang,
maka dia pasti akan tahu dimana Ui Thian-seng
disembunyikan, besar kemungkinan dia segera akan balik ke
gua itu dan mencelakai rombongan Ui Thian-seng, paling tidak
si Tanpa Perasaan bertiga harus bertarung sengit lebih dulu
melawan Ci Yau-hoa.
Kedua, terlepas Ci Yau-hoa atau Si Ku-pei yang menang,
mereka pasti akan menghimpun kembali semua 'manusia obat'
yang belum digunakan, yang jumlahnya masih ada sekitar
empat lima puluhan orang untuk sekali lagi menyerang Pakshia,
waktu itu, sekalipun rombongan Ui Thian-seng berhasil
lolos dalam keadaan selamat, bukan berarti serangan
kawanan jago yang kehilangan ingatan itu mudah dibendung,
apalagi baik Si Ku-pei maupun Ci Yau-hoa, mereka termasuk


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jagoan tangguh yang sangat memusingkan kepala.
Yang lebih penting lagi, bila saat ini rombongan Ui Thianseng
sudah jadi 'manusia obat', maka biarpun kekuatan yang
dimiliki Ciu Pek-ih tiga kali lipat lebih banyak pun, pada
akhirnya pasti akan menderita kekalahan yang mengenaskan.
Setelah berbulan-bulan bermuram durja, untuk pertama
kalinya Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji memperlihatkan senyuman
di wajah. Bahkan si Tanpa Perasaan yang selalu berwajah serius pun,
kini nampak berseri.
Rupanya mereka telah berjumpa dengan Ui Thian-seng,
bahkan mereka telah membebaskan jalan darah sendiri yang
tertotok. Begitu melompat bangun, Khong Bu-ki langsung mencacimaki
Ci Yau-hoa habis-habisan, sementara Chin Ang-kiok, si
Pedang bambu, si Pedang bunga bwe, si Pedang anggrek
beserta keempat bocah pedang emas dan perak segera
menghembuskan napas panjang.
Menggunakan kesempatan itu Yau It-kang menceritakan
kisah yang mereka alami hingga tertangkap.
646 Ternyata setelah tertangkap, mula-mula Ci Yau-hoa
berusaha menjejalkan sejumlah obat ke dalam mulut mereka,
namun karena kawanan jago itu mati-matian menutup mulut,
sekalipun sudah terjejal pun segera dimuntahkan kembali,
maka dalam keadaan apa boleh buat terpaksa untuk
sementara waktu perempuan iblis itu meninggalkan mereka di
sana. Sebelum pergi dia memerintahkan dua orang manusia
aneh, seorang berbaju hijau dan yang lain berbaju putih untuk
mengawasi mereka, pesannya, biarkan mereka kelaparan
selama beberapa hari, ketika kondisi tubuh mereka mulai
melemah karena kelaparan, maka obat-obatan itu akan
dijejalkan kembali.
ooOOOoo Bab V. PERTEMUAN DI KOTARAJA.
20. Gugurnya Bibi iblis.
Sebelum berlalu dari situ, Ci Yau-hoa juga sesumbar akan
menangkap si Tanpa perasaan, tentu saja Ui Thian-seng
semakin gelisah, sedemikian gelisahnya ibarat semut di atas
kuali panas, apa mau dikata mereka sama sekali tak mampu
berkutik. Kemudian dari kejauhan berkumandang suara pekikan
lengking yang menusuk pendengaran, manusia aneh berbaju
putih dan hijau segera menunjukkan wajah gelisah bercampur
panik, setelah saling bertukar pandang sekejap, mereka pun
mengeluarkan suara pekikan nyaring lalu pergi meninggalkan
gua dan tak pernah balik lagi. .
Sungguh tak terlukiskan rasa gembira Ui Thian-seng
setelah berjumpa dengan Ciu Pek-ih, pembicaraan di antara
mereka seakan tiada habisnya, sambil tertawa getir Ui Thianseng
baru berkata kepada si Tanpa perasaan, "Tadinya
kusangka kau pasti ikut tertawan karena tidak mengira nenek
siluman itu ternyata adalah Mo-kouw si Bibi iblis, tak
647 terlukiskan rasa cemas dan gelisahku, tadi aku sempat kaget
juga ketika mendengar suaramu berkumandang dari luar gua
... wah, kau memang hebat, sudah waktunya orang lama di
dunia persilatan harus diganti dengan gelombang jago-jago
generasi baru."
"Padahal aku sendiri pun sudah ditangkap Ci Yau-hoa, coba
kalau bukan Si Ku-pei yang muncul di luar dugaan, tak nanti
aku bisa meloloskan diri," ujar si Tanpa perasaan.
"Ketika melihat kau tak mampu membebaskan jalan darah
kami dan segera pergi mencari bala bantuan, sebenarnya kami
sendiri pun merasa kuatir dan bermandikan peluh dingin, kami
kuatir siluman perempuan itu datang duluan dan kemudi.m
menyerang kau secara tiba-tiba, saat itu kami akan jadi
manusi.i berdosa karena telah mencelakaimu." Tanpa
perasaan segera tertawa.
"Untung kejadian itu tidak sampai kita alami ... yang jelas,
aku justru terlibat pertempuran yang cukup alot melawan
jago-jago tangguh dari Pak-shia di kuil Liu-ho-an."
"Ceritanya begini," Ciu Pek-ih segera menjelaskan,
"sewaktu saudara Tanpa perasaan menerjang masuk ke dalam
kuil Liu-ho-arv, dia bertemu dengan beberapa orang saudara
kami, semua orang mengira dia adalah jagoan yang dikirim
Mo-kouw untuk menyergap kami sehingga pertempuran sengit
pun tak bisa dihindari. Kemudian setelah pertarungannya
melawan Tio-huhoat, Him-huhoat, Phang-huhoat dan Kohuhoat
dibantu Pek Huan-ji belum juga menghasilkan menang
kalah, aku segera tahu dia pasti bukan satu komplotan dengan
si Bibi iblis."
"Tanpa perasaan sebenarnya bukan orang yang tanpa
perasaan," sela Ui Thian-seng, "dia sesungguhnya seorang
jago yang berhati welas-asih dan baik hati ... ah benar, selain
pelindung hukum Him, Phang, Ko dan Tio, apakah enam orang
pelindung hukum lainnya juga dalam keadaan baik-baik?"
"Kekuatan yang dimiliki Pak-shia saat ini tersisa seratusan
orang, itupun hanya enam puluhan orang yang masih mampu
bertempur," sahut Ciu Pek-ih sedih, "Pelindung hukum Thay,
648 Kwan, Leng dan lainnya enam orang telah gugur di medan
laga! Ai, Pak-shia benar-benar tertimpa musibah besar kali ini,
aku Ciu Pek-ih jadi tak punya muka untuk bertemu dengan
leluhur! Sekarang aku hanya berharap bisa secepatnya
membantai semua kawanan iblis itu, kemudian, berusaha
mati-matian untuk membangun kembali Pak-shia!"
"Sebenarnya sasaran yang dituju keempat iblis Su-toathian-
mo di dunia persilatan kali ini bukan hanya Pak-shia
saja, mereka bahkan mengincar juga Say-tin, Lam-ce maupun
benteng kami, bahkan mau melibas seluruh dunia persilatan,
Pak-shia tak lebih hanya merupakan sasaran mereka yang
pertama. Aku dengar Lam-ce serta Say-tin juga sudah
menjumpai musuh tangguh yang luar biasa, itulah sebabnya
kenapa kekuatan benteng kami terpaksa harus dibagi tiga
dengan mengirim sepertiga kekuatan untuk menolong yang
lain .... "Aku rasa dalam peristiwa ini kita tak bisa menyalahkan
siapa pun, aku percaya keluarga persilatan mana pun dari kita
empat keluarga besar, jangan harap bisa membendung
serangan Su-toa-thian-mo seorang diri....
"Contoh yang jelas adalah kekuatan kami yang begitu
banyak dan kuat, sekalipun akhirnya kami berjiasil
menghancurkan empat iblis langit, namun sepertiga kekuatan
yang kami bawa telah menjadi korban, sekarang yang tersisa
pun tinggal Khong tua dan It-kang, sementara lima pelindung
hukum kami Lu, Yu, Yan, Li dan Yau-huhoat ditambah si Han
tua dan kacung baju hijau telah menjadi korban keganasan
mereka, dalam kejadian ini, aku harus menyalahkan siapa"
Kecuali mengubah kesedihan menjadi kekuatan, apa lagi yang
bisa kuperbuat" Justru yang penting saat ini adalah
menggunakan kejadian ini sebagai dasar, kita himpun kembali
kekuatan dan membasmi kawanan iblis itu untuk
membalaskan dendam bagi rekan-rekan kita yang telah
gugur." "Terima kasih atas nasehat paman," sahut Ciu Pek-ih sedih.
649 Mendadak terdengar Chin Ang-kiok berseru, "Bukankah tadi
kau mengatakan bahwa sisa kekuatan Pak-shia masih
tertinggal di kuil Liu-ho-an dengan persediaan rangsum yang
terbatas" Kenapa kita tidak segera berangat ke sana sambil
berusaha membantu mereka?"
Biarpun Chin Ang-kiok adalah seorang jagoan yang dingin
dan angkuh, sesungguhnya dia masih memiliki perasaan yang
lembut, paling tidak masih mau menaruh perhatian atas
penderitaan orang lain, tidak seperti Ci Yau-hoa, tampangnya
penuh welas asih padahal hatinya keji bagaikan ular berbisa.
"Aku bermaksud naik gunung lebih dulu, aku ingin tahu
bagaimana hasil pertarungan antara Mo-kouw melawan si
Pentolan iblis," kata si Tanpa perasaan.
"Paling bagus lagi bila mereka sama-sama terluka parah,
jadi kita tinggal datang untuk membereskan mereka secara
mudah," sambung Yau It-kang.
"Ayo, kita berangkat," sambung Ciu Pek-ih.
"Baiklah, cuma kalian mesti hati-hati, orang bilang 'ulat
berkaki seribu, biar sudah mati badan tidak kaku', kekejian
Bibi iblis maupun Pentolan iblis sudah cukup kita ketahui
bersama, lebih baik bila kita bertindak lebih hati-hati."
"Sewaktu kau bertempur melawan Pentolan iblis Si Ku-pei,
aku dapat melihat bahwa kau memiliki kemampuan untuk
menangkan iblis itu," ujar Ui Thian-seng, "asal kekuatan kita
bersembilan bergabung dan turun tangan bersama, aku yakin
kita pasti sanggup merobohkan mereka."
Tanpa perasaan menghela napas panjang, katanya,
"Walaupun Ci Yau-hoa berada dalam kondisi terluka parah,
namun begitu dia turun tangan, aku dapat merasakan
kepandaian silat yang dimilikinya jauh di atas kemampuan Si
Ku-pei, untuk merobohkan Si Ku-pei, jelas kekuatan kita lebih
dari cukup, justru yang ditakuti adalah kalau kita gagal
merobohkan perempuan itu."
"Biarpun Ci Yau-hoa tetap merupakan musuh tangguh yang
menakutkan," sela Pek Huan-ji, "bukankah matanya sudah
buta sebelah" Apalagi dia sudah bertarung sekian lama
650 melawan Si Ku-pei, aku tidak yakin sisa kekuatan yang dimiliki
masih demikian menakutkan seperti apa yang digembargemborkan
dalam dunia persilatan selama ini."
"Yang kita takuti bukan melulu Ci Yau-hoa seorang," kata
Ciu Pek-ih menambahkan, "konon dia memiliki seribu orang
'manusia obat' yang tunduk di bawah komandonya, kekuatan
itulah yang benar-benar menakutkan."
Di bawah sinar rembulan yang mulai tenggelam di langit
barat, pintu gerbang kota Pak-shia berada dalam posisi
setengah terbuka, suasana mengerikan serasa menyelimuti
seluruh tempat, gerbang kota terasa bagaikan gerbang pintu
neraka yang menjadi perjalanan akhir umat manusia, pintu
neraka yang sedang menanti kedatangan mereka semua.
Siapa pun tak tahu jagoan macam apa yang bersembunyi di
balik pintu gerbang itu, tidak tahu apa yang telah mereka
persiapkan untuk menyongsong dan menungga kedatangan
mereka. Tapi sekarang, jagoan macam apapun yang bersembunyi
dan siap menghadang di situ, ancaman itu tidak menyurutkan
niat rombongan Tanpa perasaan untuk menuntut balas.
Ciu Pek-ih, Pek Huan-ji bersama Chin Ang-kiok dan tiga
dayang pedang melesat ke sisi kiri dinding kota dengan
kecepatan tinggi, sedangkan Ui Thian-seng, Khong Bu-ki dan
Yau It-kang bagaikan sambaran kilat menerjang ke sisi kanan
tembok kota. Pada saat bersamaan empat bocah pedang perak dan emas
menendang pintu gerbang kota hingga terpentang lebar, lalu
dengan menggotong tandu yang berisi Tanpa perasaan
menerjang masuk ke dalam kota.
Mereka menerjang masuk dalam waktu bersamaan, namun
secara bersamaan pula mereka semua dibuat tertegun.
Ternyata tak ada manusia hidup di dalam kota itu, yang
ada hanya orang mati.
Tampak sesosok mayat melesak di atas dinding kota
beberapa kaki dari permukaan tanah, dinding batu yang
tertumbuk punggungnya nampak hancur berantakan.
651 Daging punggung orang itupun kelihatan menonjol keluar,
namun dada dan perutnya justru melesak ke dalam, jelas
sebuah pukulan dahsyat telah menghancurkan tulang dada
dan perutnya hingga menekan tulang punggungnya menonjol
keluar. Bukan hanya begitu, saking kuat dan dahsyatnya tenaga
pukulan itu, darah kental nampak meleleh keluar dari tujuh
lubang inderanya, sebuah biji mata nampak melompat keluar
dari balik kelopaknya, garis merah memenuhi bola mata itu,
sementara sebiji bola mata yang lain nampak tergantung di
atas pipinya lantaran kena jotosan yang sangat kuat, dua
bercak darah kental meleleh keluar membasahi seluruh
wajahnya. Kematian orang ini sangat menyeramkan, mulutnya
terpentang lebar tapi dipenuhi dengan cairan darah ...
tampaknya sebelum orang itu sempat mengeluarkan suara
jeritan, pihak lawan telah menghajarnya lebih dulu hingga
mampus. Ternyata orang itu tak lain adalah si Pentolan iblis Si Kupei!
Dilihat dari keadaan jenazah Si Ku-pei, dapat disimpulkan
bahwa dadanya kena sebuah pukulan secara mendadak ketika
sedang bertarung sengit di tengah udara, sedemikian dahsyat
dan kuatnya tenaga pukulan itu membuat badannya mencelat
ke belakang, tapi pihak lawan tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk bertukar napas, baru sampai setengah jalan,
musuh telah menyusul tiba dan secara beruntun melepaskan
pukulan berantai di atas dadanya, hingga membuat
punggungnya menumbuk tembok kota dan melesak ke dalam.
Dari kejadian ini bisa disimpulkan bahwa orang itu menaruh
rasa benci dan dendam yang luar biasa terhadap dirinya,
sebelum lawannya tewas dia enggan menghentikan
serangannya. Bila Si Ku-pei terbukti mati, berarti Ci Yau-hoa masih hidup.
Padahal si Pentolan iblis telah membokong Ci Yau-hoa
hingga iblis wanita itu kehilangan sebelah matanya, namun
652 kenyataan dia tetap menderita kekalahan yang mengenaskan,
dari sini bisa disimpulkan kalau kepandaian silat yang dimiliki
perempuan itu memang luar biasa.
Di atas dinding kota persis di atas jenah Si Ku-pei
tergeletak lagi sesosok mayat, orang itu tak lain adalah satu di
antara empat siluman yang menyaru sebagai 'Tiau sin',
tengkuknya nyaris patah, darah segar bercucuran
menggenangi seluruh dinding, tangan kanannya dalam
keadaan setengah terangkat, tapi di situ pun terlihat bekas
luka kaitan, pergelangan tangan itu nyaris kutung bahkan kulit
tangannya pun ikut terkelupas.
Tampaknya dalam pertarungan yang sengit antara Tiau sin'


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan si Peronda selatan Api setan kaitan pencabut nyawa
Cho Thian-seng, tengkuknya berhasil digaet oleh senjata
lawan secara telak, dalam panik dan gugupnya ia gunakan
tangan telanjang untuk merebut kaitan itu, akibatnya lengan
itu tersayat hingga kulitnya mengelupas, bahkan pergelangan
tangannya nyaris putus.
Di depan pintu gerbang kota kembali dijumpai sesosok,
mayat, wajah mayat itu menghadap keluar kota dan terkapar
di tanah dengan dua lubang penuh cucuran darah di atas
punggungnya, dilihat dari luka itu diperkirakan 'Nyo Su-hay'
yang bertarung sengit melawan si Peronda utara si setan
gantung putih akhirnya terdesak hebat sehingga dia berusaha
kabur keluar kota, siapa tahu punggungnya malah terhajar
sepasang Boan-koan-pit lawan hingga akhirnya malah mati
secara mengenaskan.
Kini si pentolan iblis Si Ku-pei telah tewas di tangan Ci Yauhoa,
sementara sepasang siluman anak buahnya juga sudah
mampus di tangan sepasang peronda dari iblis wanita itu,
boleh dibilang kekuatannya kini sudah musnah.
Tapi dimana Ci Yau-hoa saat ini" Dia bersama Cho Thianseng
dan Jui Kui-po telah pergi kemana"
Mendadak paras muka si Tanpa perasaan berubah hebat,
serunya nyaring, "Cepat kita balik ke kuil Liu-ho-an!"
653 Paras muka Ciu Pek-ih turut berubah hebat, dia yang
meluncur pergi paling dulu.
Ketika Ci Yau-hoa berhasil membunuh Si Ku-pei tadi,
dengan sendirinya dia pasti akan berusaha untuk membunuh
si Tanpa perasaan, tapi ketika ia tidak menemukan jejak anak
muda itu, dia pasti akan menduga pemuda itu pergi mencari
sisa pasukan Pak-shia.
Tahu akan hal ini, bisa dipastikan perempuan iblis itu
berusaha menghalangi niat si Tanpa perasaan, atau dia
mendahului datang ke kuil Liu-ho-an dan berusaha
menggempurnya lebih dahulu daripada meninggalkan bibit
bencana di kemudian hari.
Mimpi pun Ci Yau-hoa tidak menyangka kalau si Tanpa
perasaan berhasil menentukan arah tujuan yang benar hanya
berdasarkan asal suara pekikan yang dikumandangkan dua
orang perondanya, bukan saja ia berhasil menemukan Ui
Thian-seng, malah berhasil juga bertemu dengan Ciu Pek-ih
dan mengajaknya berangkat membantu Ui Thian-seng.
Pada saat si Tanpa perasaan mengajak Ciu Pek-ih dan Pek
Huan-ji sekali lagi berkunjung ke gua batu itu, saat itulah Ci
Yau-hoa dengan mengajak sepasang perondanya ditambah
dengan empat-lima puluhan orang 'manusia obat'
melancarkan serangan ke kuil Liu-ho-an dengan sepenuh
tenaga. Padahal waktu itu tinggal Pelindung hukum Him, Tio, Ko
dan Phang yang menjaga kuil Liu-ho-an, bahkan Ciu Pek-ih
dan Pek Huan-ji pun sedang tidak berada di tempat, dengan
kekuatan sekecil ini mana mungkin mereka sanggup
membendung serbuan yang menakutkan itu"
Tak heran paras muka semua orang berubah hebat, tanpa
banyak bicara lagi segera berangkat menuju ke kuil Liu-ho-an.
Dari kejauhan tampak bangunan kuil Liu-ho-an masih
berdiri angker di balik kegelapan, hanya bedanya saat ini
adalah sekeliling bangunan itu sudah tidak lagi memancarkan
hawa pembunuhan yang menggidikkan, sebagai gantinya
terasa hawa dingin yang merasuk ke tulang.
654 Apalagi bagi Ciu Pek-ih, dia semakin merasakan hawa
dingin yang mencekam perasaan hati itu.
Kini di sekeliling kuil Liu-ho-an sudah tidak dijumpai
seorang manusia hidup pun, yang berserakan di depan kuil
hanya mayat-mayat yang penuh berlepotan darah, begitu juga
dalam ruang kuil serta di belakang halaman kuil, mayat serasa
membukit di tempat itu.
Mayat pertama yang dijumpai tergeletak di depan kuil
adalah mayat Pelindung hukum Him, lelaki bersenjata gada itu
mati dengan sepasang mata melotot, tengkuknya nampak
berubah bentuk jadi lebih sempit dan kecil, kelihatannya dia
mati karena dijerat selembar kain yang mencekik tengkuknya.
Tapi kemana perginya pelindung hukum Phang, Ko dan
Tio" Sekali lagi sepasang mata Ciu Pek-ih berbinar, sebab
jumlah mayat yang tergeletak di sekeliling kuil itu paling cuma
tiga puluhan sosok dan kebanyakan merupakan mayat mereka
yang sebelumnya memang sudah terluka atau yang sama
sekali tak mengerti ilmu silat.
Kemana perginya yang lain"
"Mereka mengundurkan diri lewat jalanan ini!" tiba-tiba
terdengar si Tanpa perasaan berseru dari belakang kuil.
Ui Thian-seng dan Ciu Pek-ih segera melompat ke sana,
benar juga terlihat di belakang kuil tampak sederet pepohonan
telah tumbang ke sana kemari, tapi di antara kayu yang
tumbang itu membujur sebuah jalan tembus langsung ke
bagian bukit sebelah belakang, di atas jalan setapak itu penuh
dengan bekas telapak kaki yang kacau, dinodai pula dengan
bercak darah. Bagaimanapun juga pelindung hukum Phang, Ko dan Tio
termasuk jago silat yang banyak pengalaman, setelah sadar
kekuatan mereka mustahil dapat membendung serbuan
musuh yang begitu tangguh, mereka putuskan untuk mundur
melalui pintu belakang kuil.
655 Menanti rombongan Ci Yau-hoa yang berkumpul dan
bertempur sengit di depan kuil menyadari hal itu, keadaan
sudah terlambat.
Tentu saja keberhasilan ini tak lepas dari kerelaan
pelindung hukum Him beserta sekelompok jagoannya untuk
memancing serta mengalihkan perhatian musuh, tapi untuk
tindakannya itu pelindung hukum Him dan anak buahnya
harus gugur di medan laga
Ketika Ci Yau-hoa akhirnya menemukan arah "jalan yang
digunakan mereka untuk melarikan diri, pengejaran pun
segera dilakukan.
Orang-orang Pak-shia harus mundur dengan membawa
kawan-kawan mereka yang terluka dan kaum tua serta anakanak,
bagaimana mungkin mereka bisa kabur dengan cepat7
Mana mungkin mereka bisa lolos dari kejaran kawanan
pembunuh sadis itu"
Ditinjau dari keadaan di lapangan, nampaknya sudah
terjadi perubahan watak pada diri Ci Yau-hoa setelah matanya
buta sebelah, sekarang dia sudah tak berminat lagi untuk
menangkap hidup kawanan jago dari Pak-shia untuk dijadikan
'manusia obat', yang terpikirkan olehnya saat ini adalah
bagaimana membasmi mereka, rasa dendam dan sakit hatinya
karena kehilangan sebelah mata dilampiaskan ke tubuh
kawanan jago dari Pak-shia yang sebenarnya sama sekali tak
bersalah itu. Rombongan Tanpa perasaan segera berangkat dengan
kecepatan tinggi, mereka hanya berharap bisa menghadang
dan mencegat Ci Yau-hoa terlebih dulu, serta berduel matimatian
melawan iblis wanita ini sebelum mereka berhasil
menjumpai sisa kekuatan dari Pak-shia serta membasminya.
Kini mereka sudah menemukan mayat yang keempat belas.
Jalan setapak itu semakin ditelusuri semakin terjal, bukan
saja jalannya sempit dan licin bahkan dikelilingi tebing batu
karang yang tinggi, terjal dan tajam.
656 Sepanjang jalan setapak itu mereka telah menemukan dua
belas sosok mayat dari kawanan jago Pak-shia ditambah dua
sosok mayat dari manusia obat.
Sepasang mata Ciu Pek-ih sudah berubah jadi merah,
tampaknya Ci Yau-hoa dan rombongan telah berhasil
menyusul kawanan jago dari Pak-shia. Para jago dari Pak-shia
harus kabur sembari berusaha membendung serangan yang
tiba, tapi setiap kali bertarung melawan kawanan manusia
obat, korban yang berjatuhan semakin bertambah banyak.
Tiba-tiba si Tanpa perasaan bertanya, "'Sebenarnya jalanan
ini tembus kemana?"
Rupanya secara tiba-tiba ia melihat ada empat huruf besar
terukir di atas tebing berbatu tajam itu, tulisan itu berbunyi:
'Sik-bun-kun-soat', pintu batu salju bergelindingan.
"Jalanan ini langsung tembus ke pintu utara kota Po-shia,
jaraknya kurang lebih dua puluh li dari Pak-be-thou" sahut Pek
Huan-ji. Berkilat sepasang mata si Tanpa perasaan, serunya
kemudian, "Kalau bisa masuk ke kota Po-shia, mungkin kita
bisa memaksa Ci Yau-hoa bertempur habis-habisan.'?
"Semoga kita benar-benar bisa berduel melawan
perempuan iblis itu di kota Po-shia," kata Ui Thian-seng
dengan suara dalam.
Kota Po-shia penuh dengan rumput kering dan ranting
pohon yang mulai layu, hawa panas serasa menusuk hingga
ke balik kulit.
Kota itu dikelilingi tebing berbatu yang tinggi, terjal dan
tajam, di punggung bukit terjal itulah terlihat ada sekelompok
manusia sedang melangsungkan pertarungan mati hidup.
Ketika Tanpa perasaan dan rombongan tiba di tempat itu,
kebetulan terdengar suara jeritan ngeri yang memilukan hati
berkumandang memecah keheningan, tampak seorang
perempuan bermata satu sedang menghujamkan kelima jari
tangannya yang runcing dan tajam ke atas dada Pelindung
hukum Tio. 657 Kawanan jago Pak-shia lainnya sambil mengertak gigi
sedang bertarung sengit melawan sekelompok manusia, ada
empat puluhan 'manusia obat' sedang mengepung dan
menyerang mereka secara kalap.
Ciu Pek-ih merasa darah dalam rongga dadanya mendidih
setelah menyaksikan kejadian itu, dengan mata memerah ia
membentak nyaring, "Perempuan siluman, jangan kurangajar
kau Tubuh berikut pedangnya langsung menerjang ke tebing
itu, baru saja tubuhnya mendekati Ci Yau-hoa, mendadak
terlihat sesosok bayangan hijau melintas, menyusul kemudian
terlihat munculnya tiga titik cahaya hijau menyerang dari atas,
tengah dan bawah tubuh pemuda itu.
Berada di tengah udara, Ciu Pek-ih segera mengayun
senjatanya, tampak bianglala putih membelah bumi, dengan
tiga kali egosan yang cekatan ia menghindarkan diri dari
ancaman ketiga titik cahaya hijau itu, sementara pedangnya
tetap terarah ke tubuh Ci Yau-hoa.
Sekali lagi bayangan hijau berkelebat, dua kaitan emas
menyambar tiba dari tengah udara, langsung membendung
serangan pedang Ciu Pek-ih.
Menghadapi serangan itu Ciu Pek-ih mendengus dingin,
pedangnya berputar, begitu ditarik ke belakang, satu tusukan
kembali dilancarkan, kali ini dia menyerang jalan darah Bunteng-
hiat dan Tiau-huan-hiat di tubuh orang berbaju hijau itu,
kemudian sambil membalik tangan ia lepaskan lagi serangan
yang ketiga menusuk Kui-wi-hiat di punggung lawan.
Perlu diketahui jalan darah Bun-teng-hiat letaknya di atas
ubun-ubun, Tiau-huan-hiat berada di tumit sementara Kui-wihiat
berada di punggung belakang.
Dalam waktu singkat Ciu Pek-ih telah melancarkan tiga
serangan tanpa mengubah posisinya, tiga serangan dengan
tiga sasaran berbeda, satu serangan maut yang hakikatnya
susah dipercaya dengan akal sehat.
658 Menghadapi datangnya ancaman maut itu, orang berbaju
hijau itu tidak bermaksud menghindar atau berkelit, sepasang
kaitannya malah langsung digaetkan ke tenggorokan lawan.
Dia rupanya sudah bersiap mengadu jiwa untuk
menghadapi ancaman musuhnya itu.
Menghadapi manusia nekad macam begini, terpaksa Ciu
Pek-ih harus menarik kembali serangannya, dia cepat
melancarkan serangan, cepat pula menarik kembali
serangannya, bahkan dengan satu perubahan jurus yang jauh
lebih cepat lagi dia tangkis datangnya dua serangan maut
lawan. "Tring, tring!", tahu-tahu sepasang kaitan itu sudah
terpental ke samping.
Semua serangan orang itu segera tertangkis, namun
serangan yang dilancarkan Ciu Pek-ih ikut terhenti sesaat.
Setelah terjadinya bentrokan itu, masing-masing sudah
mempunyai perhitungan sendiri atas kemampuan lawannya,
sambil tertawa dingin Ciu Pek-ih segera menegur, "Setan api
kaitan pencabut nyawa Cho Thian-seng?"
Cho Thian-seng mendengus dingin. "Jadi kau adalah Shiacu
dari Pak-shia, Ciu Pek-ih?" ia balik menegur.
Pada saat Ciu Pek-ih melompat masuk ke dalam arena
pertarungan tadi, Pek Huan-ji ikut terjun ke dalam arena, tapi
baru saja dia akan melibatkan diri dalam pertarungan,
mendadak terlihat ada bayangan putih berkelebat, menyusul
kemudian seorang berkata dengan suara dingin, "Bocah ayu,
mau apa kau kemari" Mau mengantarkan badanmu yang
montok untuk memuaskan napsuku?"
Tak terlukiskan rasa gusar Pek Huan-ji, pedangnya segera
dibalik sambil menyabet ke depan, sekilas serangan itu tidak
nampak aneh atau hebat, padahal di balik, kecepatan yang
luar biasa tersembunyi kekuatan serangan yang luar biasa,
serangan itu langsung menggulung ke tubuh orang itu.
Orang itu mendengus dingin, dia tak lain adalah si Setan
gantung putih Jui Kui-po, sambil menghimpit pedang Pek
659 Huan-ji dengan sepasang Boan-koan-pitnya, kembali ia
tertawa sesat, "Kau tahu apa nama jurus seranganku ini?"
Merah padam wajah Pek Huan-ji karena jengah, tiba-tiba
dia lepas tangan, dengan sepasang tinjunya dia melancarkan
serangkaian pukulan berantai.
Jui Kui-po tidak mengira sikapnya yang kelewat
memandang enteng lawan berakibat fatal, baru saja
tangannya terasa enteng, tahu-tahu iga kiri dan kanannya
sudah terhajar pukulan, saking keras dan sakitnya pukulan itu
membuat ia terhuyung mundur sejauh tujuh delapan langkah.
Sementara dia masih mengaduh kesakitan, kembali Pek
Huan-ji membalikkan tangannya menyambar kembali
pedangnya yang dilepas tadi, lalu secara beruntun


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melancarkan tujuh delapan jurus serangan.
Dengan terbendungnya Cho Thian-seng oleh Ciu Pek-ih dan
Jui Kui-po oleh Pek Huan-ji, kawanan jago Pak-shia lainnya
segera semangatnya kembali berkobar, dengan "semangat
dan tenaga baru serentak mereka menghadang serbuan
keempat puluhan manusia obat.
Dalam pada itu si Tanpa perasaan yang mengamati
jalannya pertarungan dari atas tebing segera melihat Ci Yauhoa
sama sekali tidak ikut terlibat dalam pertempuran itu, dia
hanya mengeluarkan pekikan dan siulan aneh dari sisi arena
untuk memberi perintah.
Kawanan manusia obat tampak maju atau mundur
mengikuti suara pekikan dan siulan anehnya itu, tampaknya
suara itulah yang mengendalikan mereka.
Kecuali melancarkan serangan, ternyata kawanan manusia
obat sudah kehilangan kontrol atas diri mereka sendiri, bukan
saja mereka tak tahu bagaimana mempertahankan diri,
bahkan ketika bertarung sampai di tepi jurang pun seolah
tidak tahu untuk berhenti, terlihat salah seorang manusia obat
itu tergelincir dan terjatuh ke dasar jurang.
Tiba-tiba terdengar Chin Ang-kiok menjerit kaget, pekikannya
penuh dengan nada sedih, rupanya dia telah menyaksikan
kakaknya si Ribuan li setitik noda Chin Sam-kang serta
660 suaminya si Pisau terbang Wu Si-hiong berada di antara
kelompok 'manusia obat' itu, dengan sepasang mata setengah
terbuka dan wajah memancarkan sinar kebengisan, mereka
sedang bertarung sengit melawan kawanan jago dari Pak-shia.
Saat itu jagoan dari Pak-shia yang masih mampu bertarung
tinggal empat puluhan jago, tentu saja ilmu silat mereka
selisih jauh bila dibandingkan kawanan 'manusia obat' itu,
hakikatnya kondisi mereka waktu itu sudah berada di ujung
tanduk. Melihat keadaan itu, lekas si Tanpa perasaan berseru, "Uilopocu,
saudara Khong, Chin-lihiap, ilmu silat yang dimiliki
nenek siluman itu sangat lihai, kalian mesti mengepungnya
secara beramai-ramai, kalau bisa pancing dia agar mau naik
kemari." Bagaikan rajawali mementang sayap, Ui Thian-seng
melayang turun dengan kecepatan tinggi, begitu juga Chin
Ang-kiok, bagaikan seekor burung walet merah, dia menuruni
tebing itu, sementara Khong Bu-ki dengan menjinjing tombak
panjangnya menyusul di belakang, sedang Yau It-kang
sembari merogoh kantung Am-ginya turut menuruni tebing
terjal itu. Pedang bunga bwe, Pedang anggrek serta Pedang bambu
sebenarnya ingin turut menyusul, tapi Tanpa perasaan segera
mencegahnya, "Kalian bertiga jangan ikut turun, apakah ada
yang membekal arak api atau korek api dan sebangsanya?"
Semenjak berada di kota Po-ke-tin, Ui Thian-seng memang
sudah memerintahkan semua orang untuk mengurus sendiri
segala perbekalan dan ransum termasuk korek api dan bahan
api lainnya, karena dia tahu, kemungkinan memasak sendiri di
tengah jalan sangat besar, tak heran semua orang memiliki
perbekalan seperti itu.
Setelah menerima semua benda yang diminta, kembali si
Tanpa perasaan menitahkan keempat bocah pedangnya untuk
mengumpulkan semua perbekalan pakaian yang ada, setelah
itu ia berkata, "Coba kalian bertujuh mulai mengumpulkan
semua ranting kering, rumput ilalang serta bahan lain yang
661 mudah terbakar, makin banyak makin baik, makin cepat makin
baik!" Empat bocah pedang sudah terbiasa mengikuti si Tanpa
perasaan, mereka cukup tahu kehebatan pemuda itu sehingga
tanpa membantah serentak mereka melaksanakan perintah
itu, berbeda dengan si Pedang bambu, dengan keheranan ia
bertanya, "Kongcu, buat apa kita mesti mengumpulkan barangbarang
itu?" "Kepandaian silat yang dimiliki Ci Yau-hoa sangat tinggi dan
hebat, rasanya susah buat kita untuk menghadapinya," ujar si
Tanpa perasaan sambil memanggut, "untuk meraih
kemenangan rasanya kita mesti menggunakan akal. Aku
berencana menggunakan kobaran api untuk membasmi
siluman perempuan itu!"
Pedang bambu. Pedang bunga bwe dan Pedang anggrek
saling bertukar pandang sekejap, kemudian tanpa bicara lagi
mereka berlalu dari situ.
Kini tinggal si Tanpa perasaan seorang yang mengikuti
jalannya pertarungan itu dari dalam tandunya.
Sementara itu Ui Thian-seng sudah tiba di samping Ci Yauhoa,
golok besarnya dengan jurus Tiang-sah-lok-jit (pasir
kencang merontokkan matahari) langsung dibacokkan ke
batok kepala lawan.
Tampaknya Ci Yau-hoa tercengang juga melihat
kemunculan Ui Thian-seng, dengan nada keheranan tegurnya,
"Hey, rupanya kau berhasil meloloskan diri!"
Sementara berbicara, dia memunahkan bacokan golok Ui
Thian-seng bahkan sempat melancarkan enam buah serangan
balasan yang memaksa jago tua itu mundur sejauh enam
langkah. Mendadak desingan angin tajam kembali menyambar , kali
ini mengancam punggung siluman wanita itu.
Sekali lagi Ci Yau:hoa mengayun tangan kanannya ke
belakang, di antara gulungan ujung bajunya, dia melilit
pedang Chin Ang-kiok yang menyambar tiba.
662 Khong Bu-ki yang menyusul segera menghujamkan
tombaknya ke mata kanan perempuan itu.
Ci Yau-hoa tertawa dingin, dalam keadaan begini mau tak
mau terpaksa dia harus lepas tangan, tampak angkin
berwarna kuning itu menggulung ke samping, ia segera melilit
tombak panjang Khong Bu-ki, lalu ketika dibetot ke samping,
dia buang tombak berikut Khong Bu-ki ke arah jurang di sisi
tebing. Melihat rekannya terancam bahaya maut, Ui Thian-seng
segera merentangkan lengannya merangkul tubuh Khong Buki
erat-erat, di saat terakhir dia betot tubuh rekannya hingga
keluar dari jalur jurang yang dalam itu, meski begitu batu dan
pasir sempat berguguran juga ke dalam jurang.
Ci Yau-hoa tertawa dingin, menggunakan kesempatan itu
dia melancarkan sebuah pukulan ke punggung Khong Bu-ki.
Bila serangan ini sampai bersarang telak, niscaya tubuh
Khong Bu-ki berikut Ui Thian-seng akan tercebur lagi ke dalam
jurang. Pada saat itulah terlihat tiga titik cahaya terang berkelebat,
langsung meluncur ke tubuh Ci Yau-hoa.
Merasakan datangnya ancaman, cepat Ci Yau-hoa
menempelkan kepalanya ke tanah sembari merendahkan
badan, bagaikan seekor ikan belut dia meloloskan diri dari
ancaman itu. Rupanya orang yang melancarkan serangan senjata rahasia
itu adalah Yau It-kang.
Begitu lolos dari serangan senjata rahasia, kembali
perempuan iblis itu membalikkan tangan sambil menyerang,
kali ini dalam genggamannya telah bertambah dengan sebilah
pedang pendek berwarna kuning emas.
Yau It-kang sangat terperanjat, belum sempat dia
melakukan suatu gerakan, tahu-tahu Ci Yau-hoa sudah
merangsek maju sambil menempel di hadapan tubuhnya.
Pantangan paling besar bagi seorang ahli senjata rahasia
adalah pertarungan jarak pendek, baru saja Yau It-kang siap
663 mundur ke belakang, pedang pendek di tangan Ci Yau-hoa
sudah meluncur tiba dan langsung menghujam ke perutnya.
Sambil menjerit ngeri tubuh Yau It-kang terlempar ke
belakang dan jatuh ke dalam jurang yang curam itu.
Baru berhasil dengan tusukan pedangnya dan tidak sempat
mencabut kembali senjata itu, serangan pedang Chin Ang-kiok
telah tiba, terpaksa Ci Yau-hoa harus berkelit ke samping
menghindarkan diri.
Tubuh Yau It-kang pun dengan membawa pedang pendek
segera lenyap ke dasar jurang sana.
Pelan-pelan Ci Yau-hoa membalikkan badan memandangi
wajah Chin Ang-kiok dengan mata melotot, biarpun matanya
tinggal satu, tapi sinar buas yang memancar keluar sungguh
menggidikkan, tiba-tiba dia mengebaskan angkin dalam
genggamannya lalu menerkam ke muka dengan garang.
Chin Ang-kiok tak berani bertarung lebih jauh, mendadak ia
membalikkan badan lalu kabur dari situ, lari menuju ke atas
tebing. Berkilat sorot mata Ci Yau-hoa, tampaknya dia enggan
membiarkan lawannya kabur, pengejaran segera dilakukan.
Di pihak lain, Ui Thian-seng dan Khong Bu-ki ikut
melakukan pengejaran pula ke arah Ci Yau-hoa, mereka
berusaha menolong jiwa Chin Ang-kiok yang terancam.
Peristiwa yang berlangsung saat itu sungguh di luar dugaan
siapa pun, baru saja pertarungan berlangsung, Ci Yau-hoa
telah berhasil membunuh Am-gi-boan-thian (senjata rahasia
memenuhi angkasa) Yau It-kang, mendesak Hong-ta-pit-pay
(tiap bertarung pasti kalah) Khong Bu-ki sampai nyaris
tercebur ke dalam jurang, lalu memukul mundur Toa-monghau,
Kim-to-bu-tek (sang harimau perkasa, golok emas tanpa
tanding) Ui Thian-seng dan mengejar Siau-thian-san-yan (si
walet kecil dari Thian-san) Chin Ang-kiok hingga kabur terbiritbirit.
Namun di arena pertarungan yang lain, saat itu mulai
terjadi pula perubahan yang sangat besar.
664 Karena seluruh perhatian Ci Yau-hoa hanya tertuju untuk
menghadapi Ui Thian-seng, tentu saja kawanan 'manusia obat'
tak ada yang mengendalikan, dengan sendirinya kemampuan
serta daya serang mereka pun berkurang banyak,
menggunakan kesempatan itu kawanan jago Pak-shia pun
bisa berganti napas.
Di antara sekian jago, hanya si Peronda selatan Cho
Thianseng dan Peronda utara Jui Kui-po yang sama sekali
tidak terpengaruh, namun kedua orang itupun sedang terlibat
pertarungan seru melawan Ciu Pek-ih dan Pek Huan-ji.
Baik Ci Yau-hoa maupun Chin Ang-kiok, kedua orang
wanita ini sama-sama termashur di dunia persilatan karena
ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, tapi nama besar Ci
Yau-hoa selama ini jauh lebih tersohor karena selama ini dia
menggunakan nama julukan si Dewi terbang untuk
menyembunyikan nama busuk sebenarnya si Bibi iblis, dalam
hal ilmu silat maupun ilmu meringankan tubuh dia sengaja
lebih menonjol diri.
Tapi kini begitu mereka berdua saling gempur dengan
sepenuh tenaga, jelas kelihatan kalau Chin Ang-kiok masih
ketinggalan jauh dalam segala hal, tak heran dia terpaksa
harus melarikan diri untuk menghindar.
Ci Yau-hoa sendiri pun cukup mengetahui situasi yang
sedang dihadapi, ia sadar pertarungan harus diselesaikan
secepatnya, maka ia pun berpekik nyaring, dua orang manusia
obat yang berada di sekitar sana segera memberikan
reaksinya, muncul dari sisi kiri dan kanan tebing, mereka
langsung menghadang jalan pergi Chin Ang-kiok sembari
melancarkan sergapan maut.
Tanpa bantuan siapapun, sebenarnya Chin Ang-kiok tak
mampu menerima tiga jurus serangan Ci Yau-hoa, apalagi
sekarang ditambah kepungan dua orang manusia obat,
keadaannya benar-benar gawat, berbahaya dan terancam
jiwanya. Di saat kritis itulah tiba-tiba muncul sambaran cahaya putih
dari atas tebing, begitu tiba di hadapan Chin Ang-kiok, sinar
665 putih itu langsung membelah jadi dua dan secara terpisah
menyambar ke samping kiri dan kanan jagoan wanita itu.
"Bluk, bluk!", dua batang gurdi baja langsung menghajar
dan menghujam hulu hati kedua orang manusia obat.
Sebenarnya kedua manusia obat itu terhitung jagoan lihai
yang cukup termashur dalam dunia persilatan, hanya saja sifat
asli mereka telah terbius dan kesadaran otak mereka hilang,
sementara serangan Am-gi si Tanpa perasaan sangat cepat
dan lincah, sekilas seakan ditujukan ke arah Chin Ang-kiok.
baru setelah tiba di tengah jalan serangan itu berbelok dan
menghajar sasaran, dalam keadaan begini bukan saja jagoan
lihai macam Ci Yau-hoa tidak mampu memberikan
pertolongan, apalagi dua orang manusia obat bagaimana
mungkin dapat menghindarkan diri"
Begitu tahu datangnya serangan Am-gi yang berasal dari
atas tebing, Ci Yau-hoa segera tahu kalau Tanpa perasaan
berada di atas, dia lebih suka tidak membunuh Chin Ang-kiok
daripada kehilangan kesempatan menyerbu ke atas tebing dan
mencabut nyawa pemuda cacad itu.
Meskipun penyebab hilangnya sebelah matanya itu lantaran
serangan Si Ku-pei, namun seandainya si Tanpa perasaan
tidak hadir di situ, tak nanti dia membiarkan Si Ku-pei
mendekati samping tubuhnya sedekat itu, seandainya Tanpa
perasaan tidak melemparkan pisau terbangnya, belum tentu
serangan jarum maut Si Ku-pei akan menghajar matanya, oleh
sebab itu dia menaruh rasa benci yang luar biasa terhadap
anak muda itu, dia bersumpah ingin menghabisi nyawa
pemuda itu untuk membalaskan sakit hati ini.
Dengan menghimpun tenaga dalamnya, Ci Yau-hoa
mempercepat gerakan tubuhnya, dalam sekejap mata dia
telah berhasil menyusul Chin Ang-kiok dan melepaskan sebuah
pukulan. Sadar akan datangnya bahaya, segera Chin Ang-kiok
menghimpun pula segenap tenaga dalam yang dimilikinya
untuk menerjang ke depan lebih cepat, kemudian melambung
ke udara dan menghindarkan diri dari ancaman.
666 Ci Yau-hoa segera mengayunkan tangan kanannya, kembali
angkin panjang berwarna kuning meluncur ke udara, kali ini
berusaha membelit pergelangan kaki lawan.
Berubah hebat paras muka Chin Ang-kiok, di saat kritis lagilagi
terlihat cahaya tajam menyambar, enam titik cahaya
bintang berputar kencang membelah angkasa dan ' langsung
membelah kain angkin itu hingga putus jadi dua.


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak terlukiskan rasa gusar Ci Yau-hoa, bentaknya keras,
"Sialan kau, jangan bersembunyi terus sambil melepas senjata
rahasia. Hm! Lihat saja nanti, aku si Bibi dewi pasti akan
menyeretmu keluar dan mencincang tubuhmu hingga hancur
Sambil mengumpat marah, dia langsung melesat ke atas
tebing karang. Ci Yau-hoa memang berilmu tinggi dan bernyali besar,
apalagi dalam kondisi amat gusar dan bertekad ingin
menghabisi nyawa si Tanpa perasaan, begitu tiba di atas
tebing karang, dia langsung menerjang ke arah tandu
misterius itu. Pada saat bersamaan, tandu itupun sedang bergerak
menerjang ke arahnya.
Dengan mata kepala sendiri Ci Yau-hoa pernah
menyaksikan bagaimana si Tanpa perasaan dengan
mengandalkan alat rahasia yang terpasang di tandunya
menghajar si Pentolan iblis Si Ku-pei hingga kalang kabut,
meski dia sendiri berilmu hebat, namun sedikit banyak merasa
ngeri juga menghadapi serbuan tandu itu, melihat datangnya
terjangan, lekas dia melambung ke udara menghindarkan diri.
Lompatan Ci Yau-hoa tepat pada waktunya, baru saja ia
melejit ke udara, tandu itu sudah menyambar lewat hanya tiga
inci di bawah kakinya.
Belum sempat perempuan iblis itu melayang turun ke
permukaan tanah, mendadak batang kayu pengusung tandu
berputar cepat dan melepaskan dua batang pisau'tajam, pisau
itu masing-masing panjangnya lima inci dan langsung
mengancam dada kiri dan kanannya.
667 Ci Yau-hoa memang dapat memperhitungkan secara tepat
kalau tandu itu bakal melesat tiga inci di bawah kakinya,
namun dia tak menyangka akan datangnya serangan pisau
terbang itu, dalam keadaan begitu biarpun dia bisa
melambung lebih tinggi ke udara pun keadaan sudah
terlambat. Saat itulah mendadak ... "Tring, tring", Ci Yau-hoa
menyentilkan jari telunjuk dan ibu jarinya, sentilan itu persis
menghajar di atas pisau terbang yang membuat kedua bilah
Am-gi itu patah menjadi dua, setelah mencelat di udara
segera ia berputar balik dan meluncur ke dalam tandu dengan
kecepatan tinggi.
Pada detik terakhir sebelum kedua bilah kutungan pisau
terbang itu menembus tandu, mendadak berkilat lagi sebuah
cahaya tajam dari balik tandu, sebilah pisau terbang melesat
keluar dengan kecepatan tinggi langsung membentur kedua
bilah kutungan pisau itu, kemudian ketiga bilah senjata itu
ber-balik arah dan kembali menerjang ke tubuh Ci Yau-hoa.
Bukan hanya serangan Am-gi, tandu itupun ikut berputar
dan kembali menumbuk ke arah perempuan iblis itu.
Mendadak berkelebat bayangan manusia dengan kecepatan
luar biasa, tahu-tahu bayangan tubuh Ci Yau-hoa sudah
lenyap dari pandangan mata.
Padahal waktu itu Ci Yau-hoa sedang berdiri di tepi tebing
yang curam, dengan lenyapnya bayangan tubuh Ci Yau-hoa
maka terjangan tandu itupun ikut berhenti secara tiba-tiba,
berhenti persis di tepi tebing.
Tiga bilah cahaya pisau berkelebat di udara kemudian
lenyap dari pandangan.
Pada saat itulah tubuh Ci Yau-hoa bagaikan sebuah ayunan
meluncur balik dengan kecepatan tinggi, begitu muncul di
depan tandu, kesepuluh jari tangannya yang tajam bagaikan
sepuluh bilah pisau belati langsung ditancapkan ke balik
tandu. 668 Ternyata ia tidak mundur dari tebing, hanya dalam waktu
singkat sepasang kakinya dikaitkan di sisi dinding tebing
kemudian menjatuhkan diri ke belakang.
Menanti serangan senjata rahasia menyambar lewat, saat
itulah bagaikan sebuah ayunan dia memental balik lagi ke atas
tebing. Kecepatan Ci Yau-hoa melancarkan serangan sungguh tak
terlukiskan dengan kata, baru saja tubuhnya memunculkan
diri, sama sekali tak terlihat bagaimana cara dia melancarkan
serangan, tahu-tahu tangannya sudah menembus tirai tandu.
Sayang sekali, begitu tangannya menancap masuk ke balik
tirai bambu itu, tiba-tiba saja tirai seakan berubah jadi
selembar papan baja yang sangat tipis.
Ketika kesepuluh jari tangannya menembus 'papan besi' itu,
bukan saja tidak berhasil menembus lebih jauh, bahkan kedua
belah tangannya itu seakan terkunci dan melekat kuat di situ.
Bersamaan waktunya tiga titik cahaya bintang meluncur
keluar dari balik tandu, langsung mengancam dada dan perut
perempuan iblis itu.
Siapapun orangnya, apabila sepasang tangannya terjepit di
hadapannya, maka tubuh bagian- dada dan perut akan berada
dalam keadaan terbuka. Apalagi dalam waktu singkat,
mustahil bagi Ci Yau-hoa untuk menarik kembali tangannya.
Perempuan iblis ini memang luar biasa, sekalipun dia tak
sempat lagi menarik kembali tangannya, bukan berarti dia
membiarkan dadanya terbuka, mendadak sepasang kakinya
diayunkan berulang kali, secara beruntun dia lepaskan empat
buah tendangan berantai.
Tiga tendangan diarahkan menyingkirkan senjata rahasia
yang datang mengancam, menendang senjata rahasia itu
hingga mencelat ke bawah tebing dan mengancam tubuh Ui
Thian-seng, Khong Bu-ki serta Chin Ang-kiok.
Sementara tendangan terakhir diarahkan ke tepi tandu,
bersamaan waktunya kesepuluh jari yang semula dipakai
untuk menusuk, kini berubah jadi mencakar dan menarik tirai
itu dengan kuat.
669 "Brak!", diiringi suara keras, tandu itu tertendang hingga
mencelat sejauh tiga depa, papan baja di atas tandu itu nyaris
terbetot lepas.
Pada saat itulah tiba-tiba dari balik retakan papan baja
kembali meluncur keluar puluhan titik cahaya bintang yang
menyilaukan mata.
Cepat Ci Yau-hoa menyilangkan papan baja yang berhasil
dibetotnya untuk melindungi tubuh sendiri, "Tring, trang,
tring, trang", puluhan benda tajam itu bagaikan terpaan hujan
badai langsung menghajar papan baja itu.
Begitu suara dentingan berhenti, tubuh Ci Yau-hoa ikut
menerjang ke depan.
Rupanya dia telah menggunakan papan besi yang berhasil
direbutnya sebagai tameng untuk melindungi tubuhnya yang
menerjang maju ke muka.
Tandu berlapis baja itu tampaknya tak mampu
membendung terjangan lawan, rangsekan lawan memaksanya
harus mundur terus ke belakang.
Padahal di belakang tebing merupakan tepi jurang yang
sangat dalam, jika tandu itu mundur beberapa depa lagi,
niscaya akan tercebur dan hancur ke dasar jurang yang tak
terhingga dalamnya itu.
Dengan sekuat tenaga Ci Yau-hoa mendorong tandu itu ke
belakang, dalam waktu singkat tandu itu sudah terdorong
hingga tiba di tepi jurang.
Di saat tandu mulai tercebur ke dasar jurang yang dalam,
sesosok bayangan manusia menerjang keluar 'dari balik tandu
dan membumbung tinggi ke udara, kemudian sambil melesat
lewat di atas kepala Ci Yau-hoa, tujuh titik cahaya bintang
kembali meluncur ke bawah dengan kecepatan luar biasa.
Ci Yau-hoa boleh saja menggunakan lempengan baja itu
untuk melindungi tubuh bagian depannya, namun batok
kepala maupun punggungnya berada dalam keadaan terbuka.
Kepala dan punggung Ci Yau-hoa kini menjadi sasaran dan
ancaman dari ketujuh titik cahaya tajam itu.
670 Dalam waktu yang amat singkat Ci Yau-hoa berhasil
mendorong tandu yang menjadi momok dan kendaraan yang
paling ditakutinya itu meluncur ke dasar jurang.
Berbareng bagian kepala dan punggungnya yang semula
terbuka kini berubah jadi selembar papan baja, ketujuh
batang cahaya tajam itu semuanya menancap rapi di atas
papan besi itu.
Dengan membawa suara gemuruh yang memekakkan
telinga, tandu itu menggelinding dan meluncur ke dasar
jurang, tapi pada saat itulah ada puluhan titik senjata rahasia
yang nyaris sama sekali tidak menimbulkan sedikit suara pun
melesat tiba dengan kecepatan tinggi.
Ci Yau-hoa sama sekali tidak melihat akan datangnya
ancaman itu, sebab selain matanya sudah buta sebelah,
lapisan besi yang digunakan sebagai tameng telah
menghalangi pandangannya.
Dia memang memiliki ketajaman pendengaran yang bagus,
dia pun memiliki lapisan baja sebagai tameng yang hebat
untuk membendung ancaman senjata rahasia, bahkan dia pun
memiliki kemampuan untuk mendengar desingan suara dan
membedakan antara angin biasa dengan serangan senjata
rahasia, pada hakikatnya ancaman senjata rahasia sulit
menjangkau bahkan menjamah tubuhnya.
Tapi sayang kali ini dia tidak mendengar akan datangnya
ancaman, sebab senjata rahasia yang meluncur tiba kelewat
kecil bentuknya, sama sekali tidak menimbulkan desingan
suara, apalagi suara gemuruh yang ditimbulkan tandu yang
terperosok ke dalam jurang sedang menggelegar di angkasa.
Titik cahaya lembut itu tak lain berasal dari sepuluh batang
jarum berwarna perak.
Kesepuluh batang jarum perak itu melesat lewat dan
menembus masuk persis melalui sepuluh lubang bekas jari
tangan Ci Yau-hoa yang menancap di atas lempengan baja
tadi. Menanti Ci Yau-hoa sadar akan datangnya ancaman, jarum
lembut itu sudah menembus lubang di atas lempengan baja
671 dan menyambar tiba, ancaman itu sudah berada setengah
depa dari wajahnya.
Bersamaan waktunya, tubuh si Tanpa perasaan telah
meluncur turun dari udara, dalam waktu singkat desingan
angin senjata telah menyelimuti seluruh udara.
Lekas Ci Yau-hoa menghentakkan lempengan baja dalam
cengkeramannya ke depan, tiga empat puluhan macam
senjata rahasia yang semula menancap di atas lempengan
baja itu, kini menyembur keluar dan meluncur ke tubuh anak
muda itu. Cepat si Tanpa perasaan menarik napas panjang, bukannya
meluncur turun dia malah melambung lagi ke atas, secepat
kilat sepasang tangannya diayunkan berulang kali, dua
puluhan macam senjata rahasia kembali meluncur keluar
dengan kecepatan luar biasa.
Dengan melambung ke udara, si Tanpa perasaan telah
berhasil menghindari setengah dari senjata rahasia yang
mengancam tiba, sedang sisanya yang setengah lagi berhasil
dirontokkan oleh sambitan senjata rahasianya barusan.
Mendadak Ci Yau-hoa melemparkan lempengan baja itu ke
depan, dengan membawa desingan angin tajam lempengan
itu membabat tubuh si Tanpa perasaan yang masih berada di
udara. Di saat lempengan baja itu meluncur ke udara, sekilas si
Tanpa perasaan telah melihat bagaimana kesepuluh batang
jarum peraknya telah digigit Ci Yau-hoa dalam mulutnya.
Tiba-tiba saja anak muda ini merasakan suatu kegagalan,
suatu kekalahan yang belum pernah dirasakan sebelumnya,
perasaan ini terasa aneh sekali, terutama sewaktu muncul di
detik kritis semacam ini, di saat mati hidupnya' berada di
ujung tanduk. Lempengan baja itu menerjang tiba dengan kecepatan luar
biasa, Tanpa perasaan sadar, mustahil baginya untuk
menghindarkan diri dari sergapan maut itu.
Kini tandu andalannya sudah musnah, senjata rahasianya
gagal mengenai sasaran, bila papan baja itu hanya meluncur
672 datang, mungkin dia masih bisa menghindarkan diri, tapi
sekarang lempengan itu membabat dengan disertai tenaga
serangan yang dahsyat, anak muda itu sadar bahwa dia tidak
memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapinya.
Dalam keadaan seperti ini hanya ada satu cara baginya
untuk menanggulangi ancaman itu yakni menerima dengan
sepasang tangannya, namun tenaga dorongan lawan
sedemikian kuat sementara tenaga dalam sendiri sangat
cetek, bila dia lakukan hal itu, niscaya badannya akan
terpental hingga jatuh dari tebing.
Jika dia sampai terpental jatuh dari atas tebing, bukan saja
mati hidupnya bakal tidakketahuan, rencana terakhir yang
telah dipersiapkan pun akan sulit untuk dilaksanakan.
Belum lagi tubuhnya tenggelam ke dasar tebing, Tanpa
perasaan sudah merasa hatinya serasa tenggelam ke dasar
jurang. Pada saat itulah terdengar bentakan nyaring menggelegar
di angkasa, bayangan manusia berkelebat, lempengan baja itu
tahu-tahu sudah terpapas kutung jadi dua dan rontok ke
samping kiri dan kanan, terbelah dua karena bacokan golok
yang luar biasa dahsyatnya, ataukah hancur karena suara
bentakan yang menggelegar bagaikan suara guruh"
Jagoan yang muncul tepat pada saatnya itu tak lain adalah
Toa-mong-hau, Kim-to-bu-tek (sang harimau perkasa, golok
emas tanpa tanding) Ui Thian-seng.
Begitu Ui Thian-seng muncul di arena pertarungan, tak
lama kemudian menyusul pula Khong Bu-ki serta Chin Angkiok.
Tombak Khong Bu-ki langsung diayunkan ke muka mele-*
paskan sapuan, sementara pedang Chin Ang-kiok menyambar
secepat petir mengiringi serangan rekannya.
Tiba-tiba Ci Yau-hoa mementang lebar mulutnya,
kesepuluh batang jarum perak yang berada dalam gigitannya
itu segera disemburkan ke depan.
Lekas Khong Bu-ki memutar tombaknya sedemikian rapat
hingga air hujan pun susah menembus, sementara Chin AngTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
673 kiok terpaksa melayang balik ke belakang bagaikan seekor
burung walet. Tak lama kemudian Ui Thian-seng sudah berdiri berjajar


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan si Tanpa perasaan, sementara Khong Bu-ki berdiri
berjajar dengan Chin Ang-kiok.
Begitu mereka berempat berdiri bersama, perasaan hangat
segera menyelimuti hati setiap orang, sebab di saat susah, di
kala jiwa terancam ternyata ada teman rela membela dan siap
mati bersama. Walaupun begitu, mereka berempat pun merasa terkesiap
bercampur ngeri, sebab kungfu yang dimiliki Ci Yau-hoa
memang luar biasa hebatnya, bukan cuma hebat, pada
hakikatnya telengas, kejam dan buas bukan kepalang.
Dalam pada itu Ci Yau-hoa telah memandang ke arah
mereka dengan sorot mata sedingin salju, jengeknya sambil
bergerak menyerang, "Kalian semua ingin mampus bukan"
Pergilah mampus sekarang!"
"Lepaskan api!" mendadak Tanpa perasaan membentak
keras. Ketika Ci Yau-hoa terlibat pertarungan sengit melawan
Tanpa perasaan di atas tebing tadi, pertarungan antara para
jago Pak-shia melawan kawanan manusia obat pun sudah
mengalami satu perubahan yang sangat besar.
Ketika kawanan manusia obat menyerang dengan
bimbingan siulan Ci Yau-hoa tadi, para jago dari Pak-shia
memang terdesak dan tak sanggup melakukan perlawanan,
tapi semenjak iblis wanita itu bertarung sengit di atas tebing
hingga kawanan manusia obat itu kehilangan suara komando,
situasinya seketika berubah drastis.
Pengalaman mereka bertarung melawan kawanan manusia
obat selama beberapa bulan ini membuat kawanan jago dari
Pak-shia cukup memahami ciri serta kelebihan musuhnya,
maka mereka pun memanfaatkan situasi medan yang terjal
serta serangan senjata rahasia dan kelincahan tubuh untuk
bertarung melawan manusia manusia obat itu, dengan
674 mengandalkan kelebihan yang mereka miliki, sementara waktu
keadaan pun berimbang.
Pada awalnya Ci Yau-hoa berniat menghabisi dulu nyawa si
Tanpa perasaan, kemudian baru memberi perintah kawanan
manusia obat itu untuk menghabisi kawanan jago dari Pakshia.
Dia memang tak pernah memandang enteng tenaga
serangan yang dimiliki si Tanpa perasaan, namun dia sama
sekali tak menyangka kalau anak muda itu ternyata jauh lebih
sulit dihadapi ketimbang apa yang dibayangkan semula.
Dalam pada itu pertarungan antara Cho Thian-seng
melawan Ciu Pek-ih pun mulai menunjukkan tanda-tanda
berakhir. Kaitan emas Cho Thian-seng bagaikan jaring langit yang
disebarkan dari angkasa, mengurung seluruh tubuh Ciu Pek-ih
dengan rapat, seakan menganggap lawan bagaikan seekor
ikan yang masuk jaring, biarpun berusaha menerjang ke kiri
kanan pun tak berhasil lolos dari kepungannya.
Namun Ciu Pek-ih bukan jagoan kemarin sore, .dia seperti
sebatang anak panah yang sangat tajam menerjang masuk ke
tengah pusat pusaran kaitan emasnya.
Pusat pusaran kaitan itu tak lain adalah Cho Thian-seng
sendiri. Cho Thian-seng ibarat sebuah batu karang yang sedang
menyumbat pusaran arus air yang kencang, ketika arus
menghantam di atas karang maka pusaran air pun muncul.
Namun begitu karang penghambat dimusnahkan, yang
tersisa hanyalah arus deras, arus yang mengalir lancar tak
menimbulkan pusaran lagi.
Julukan Ciu Pek-ih dalam dunia persilatan adalah si pedang
kilat, begitu serangan pedang dilancarkan, dia langsung
menusuk ke pusat pusaran angin dari kaitan itu.
Seketika itu juga pusaran yang kuat lenyap tak berbekas.
Kaitan itu satu dari depan yang lain dari belakang, bagaikan
besi semberani saja, langsung melekat di atas pedang lawan
dan menempelnya terus dengan kuat.
675 Ciu Pek-ih sama sekali tidak menjadi panik karena kejadian
ini, dia tetap melayani serangan musuh dengan tenang,
mendadak dengan ilmu Liong-hau-hap-ki-toa-hoat (naga dan
harimau menggempur bersama) dari Liong-hau Sanjin dia
melancarkan serangan balik, tenaga dalamnya disalurkan
susul menyusul, melewati ujung pedang langsung menghimpit
tubuh lawan. Saat itulah tiba-tiba Cho Thian-seng melepaskan
tangannya, sepasang tangannya langsung digetarkan, dua titik
cahaya api berwarna hijau pupus secepat petir meluncur.
Berubah paras muka Ciu Pek-ih menghadapi kejadian ini.
Saat itu pedangnya sudah ditempel ketat oleh sepasang
kaitan lawan, tidak leluasa baginya untuk menarik kembali
senjatanya seraya menangkis, apalagi memang waktunya tak
sempat lagi, dalam keadaan begini mau tak mau terpaksa dia
harus melepaskan pedangnya.
Begitu pedang dilepas, kelima jari tangannya dengan jurus
Jiu-hui-pi-pe (tangan menyentil pi-pe) dia lepaskan
serangkaian sentilan maut.
Pada detik dia melepaskan pedangnya, Cho Thian-seng
justru membalik tangan menyambar kembali sepasang
kaitannya. Namun sentilan maut yang dilancarkan Ciu Pek-ih adalah
Sian-jin-ci (ilmu jari dewa) yang dipelajarinya dari Siong-san.
Dalam anggapan Cho Thian-seng, tak seorang manusia pun
di dunia ini yang berani menyambut serangan 'api setan'
miliknya dengan tangan telanjang, namun mimpi pun dia tidak
menyangka kalau ilmu jari dewa milik lawan sanggup
menghancurkan batu pualam, mematahkan batangan emas
tanpa harus menyentuh bendanya, seketika itu juga api setan
yang dilancarkan segera terpental balik.
Api setan memang dibuat dari campuran fosfor dengan
sejenis racun keji, barang siapa terkena api ganas itu, sekujur
tubuhnya niscaya akan membusuk hingga mengakibatkan
kema-tian, jangan kan orang lain, Cho Thian-seng sendiri pun
tahu, tak ada obat yang bisa menyembuhkannya.
676 Dalam terkesiap bercampur ngerinya, terpaksa dia
melepaskan kaitannya sambil mundur.
Berbareng dengan terlepasnya kaitan itu, tiba-tiba ia
merasakan lambungnya panas sekali dan terasa amat sakit.
Rasa sakit yang luar biasa membuat seluruh badannya
kempis seperti bola yang bocor, langsung roboh terkulai.
Dua biji api setan itu langsung menyambar dan menghajar
tepat sepasang matanya.
Tak ampun Cho Thian-seng menjadi buta seketika, tidak
sampai jerit kesakitan yang ketiga kalinya berkumandang,
nyawanya sudah melayang meninggalkan raga.
Hingga mati pun dia masih belum mengerti, dengan cara
apa Ciu Pek-ih bisa begitu cepat meraih kembali pedangnya
bahkan langsung dihujamkan ke perutnya.
Padahal Ciu Pek-ih sendiri pun tidak sempat meraih kembali
pedangnya, dia hanya melancarkan sebuah tendangan
berbarengan ketika melancarkan serangan dengan ilmu jari
dewa tadi. Ketika tendangannya mengenai gagang pedang, tubuh
pedang menggerakkan pula kaitan hingga menumbuk ke
depan dan menghujam persis di atas perut si Peronda selatan
Cho Thian-seng.
Tusukan maut itu langsung saja merenggut nyawa jagoan
she Cho itu. Begitu Cho Thian-seng tewas, sambil menyambar
pedangnya, kembali Ciu Pek-ih bergerak maju ke depan dan
terjun ke arena pertarungan dimana Pek Huan-ji sedang
bertarung seru melawan si Setan gantung putih Jui Kui-po.
Sebenarnya ilmu silat yang dimiliki Jui Kui-po maupun Pek
Huan-ji hampir setara, kalau ilmu pedang yang dimiliki Pek
Huan-ji lebih didominasi oleh tenaga lembut berhawa negatip,
maka ilmu pedang Jui Kui-po lebih mengandalkan pada
tutulan, tusukan, tekanan, gesekan, sodokan maupun
cungkilan, satu gerakan dengan beribu macam perubahan,
ditambah lagi pengalaman bertarung Pek Huan-ji memang
677 jauh di bawah lawannya, tak aneh kalau makin bertarung dia
semakin terdesak di bawah angin.
Pada saat itulah tiba-tiba pit kanan Jui Kui-po menusuk ke
arah jalan darah Ki-hay-hiat di tubuh gadis itu.
Cepat Pek Huan-ji menekan pedangnya ke bawah lalu
berusaha menangkis datangnya tusukan itu.
Saat itulah pit kiri Jui Kui-po dengan kecepatan luar biasa
menotok Seng-wi-hiat di bawah mata gadis itu, serangannya
begitu cepat hingga susah diikuti dengan pandangan mata.
Padahal letak Seng-wi-hiat berada di atas sedang Ki-hayhiat
berada di bawah, dua buah jalan darah yang sama sekali
tak ada sangkut-pautnya dan terpisah jauh itu ternyata
diserang pada saat bersamaan.
Cepat Pek Huan-ji merentangkan kelima jari tangannya
berusaha mencengkeram gagang pit lawan.
Jui Kui-po tertawa seram, sepasang tangannya segera
digetarkan, di saat getaran dilakukan, tahu-tahu dari ujung
kedua batang pit itu menyembur dua gumpal cairan berwarna
hitam. Cairan hitam berbau amis, tentu saja bukan cairan tinta bak
biasa. Barang siapa ternoda setitik saja oleh cairan hitam itu,
akibatnya mungkin jauh lebih parah ketimbang terhajar api
setan milik Cho Thian-seng.
Pucat pias wajah Pek Huan-ji, tergopoh-gopoh dia
miringkan kepala untuk berkelit, cairan hitam itu segera
menyembur lewat di sisi pipinya.
Serangan ke atas kepala memang bisa dihindari, namun dia
tak mengira kalau dari arah bawah pun muncul ancaman yang
sama, menanti dia menyadari akan datangnya ancaman itu,
terlambatlah bagi gadis itu untuk menghindarkan diri dari
sem-' buran cairan hitam atas jalan darah Ki-hay-hiatnya.
Untunglah di saat yang paling kritis muncul sentilan tajam
dari tangan seseorang, desingan angin tajam yang disentilkan
dari ilmu jari dewa langsung meluncur ke depan dan
menghantam ke arah semburan tinta hitam itu.
678 Terhajar angin tajam, gumpalan tinta hitam tadi seakan
membentur dinding baja hingga terpental dan berbelok arah,
kemudian memancar balik ke belakang dan menghantam
tubuh Jui Kui-po.
Tak terlukiskan rasa kaget Jui Kui-po menghadapi kejadian
ini, ia sadar tinta hitam itu mengandung racun yang berpuluh
kali lipat lebih dahsyat daripada racun api setan milik Cho
Thian-seng, tergopoh-gopoh dia berjumpalitan tiga kali di
udara dan menghindar sejauh beberapa kaki dari posisi
semula. Baru saja tubuhnya melayang turun ke permukaan tanah,
Ciu Pek-ih telah menempel tiba sambil melakukan ancaman.
Jui Kui-po segera memutar sepasang Boan-koan-pitnya dan
melancarkan tusukan berbareng ke kiri kanan tubuh lawan.
Belum sampai serangannya mencapai sasaran, mendadak
sepasang pitnya tercekal oleh sepasang kaitan.
Begitu melihat munculnya kaitan itu, Jui Kui-po seketika
merasa hatinya bergidik, dia segera sadar bahwa Cho Thianseng
telah menemui ajalnya.
Saat itulah Ciu Pek-ih mengendorkan tangannya lalu
dengan pedangnya dia tusuk perut lawan.
Waktu itu sepasang Boan-koan-pit Jui Kui-po sudah
tertahan oleh sepasang kaitan hingga nyaris tak bisa
digunakan lagi, dalam keadaan begini terpaksa dia hanya bisa
mundur untuk menghindar.
Sayangnya dia hanya sendirian, sementara Ciu Pek-ih dan
Pek Huan-ji berdua. Punggungnya juga tidak bermata, dia tak
tahu pedang Pek Huan-ji sedang menunggu dirinya di situ.
Dia pun sama sekali tidak mendengar adanya desingan
angin serangan, sebab ilmu pedang gadis perawan Siok-likiam-
hoat milik gadis itu mengutamakan tenaga Yin yang
lembut, serangan yang dia lancarkan tak pernah membawa
desingan angin sedikitpun.
Jui Kui-po merasakan punggungnya menyentuh ujung
pedang lawan, kagetnya setengah mati, cepat badannya
melejit maju ke depan untuk menghindar.
679 Tapi Ciu Pek-ih sudah menanti dengan pukulan tangan
kirinya, dengan menggunakan tenaga Bu-siang-sin-kang dia
hajar dada lawan, sedemikian kuatnya hantaman itu bukan
saja membuat tubuh Jui Kui-po tak sanggup bergerak lagi ke
depan, bahkan mendorong badannya hingga menyongsong
datangnya tusukan pedang dari belakang.
"Duk!", begitu pukulan menghajar dadanya, bagaikan
seekor ikan yang mati digencet, sepasang biji matanya
seketika melompat keluar dan tak pernah bergerak lagi untuk
selamanya. Berbareng dengan kematian si Setan gantung Jui Kui-po,
pelindung hukum Ko dari Pak-shia juga tewas dibantai tiga
orang manusia obat.
Sekalipun sudah tujuh-delapan orang manusia obat yang
mati terbunuh, namun kawanan jago dari Pak-shia juga mulai
terdesak hebat hingga tak sanggup lagi mempertahankan diri.
Melihat keadaan yang gawat itu, Ciu Pek-ih segera
melompat ke depan dan siap terjun ke arena pertarungan, tapi
Pek Huan-ji segera menarik tangannya sambil berbisik,
"Kawanan manusia obat itu dikendalikan Ci Yau-hoa, sedang
Ci Yau-hoa saat ini sudah dipancing si Tanpa perasaan naik ke
tebing atas, ketimbang membunuh mereka, apa tidak lebih
baik kita membantu Tanpa perasaan bersama-sama
menghabisi nyawa perempuan iblis itu" Aku rasa tindakan itu
jauh lebih bermanfaat."
"Baik!" sahut Ciu Pek-ih kemudian.
Saat itulah terdengar si Tanpa perasaan membentak keras
dari atas tebing, "Lepaskan api!"
Ci Yau-hoa tertegun begitu mendengar teriakan itu, tibatiba
ia sadar dirinya sedang berdiri di tepi jurang yang dalam
sementara sekeliling tubuhnya telah dikelilingi aneka macam
bahan yang mudah terbakar, malah dia pun sempat
mengendus bau minyak yang sangat menusuk hidung.
Berubah hebat paras muka iblis wanita itu, tanpa pikir


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang dia segera melambung ke udara dan berusaha
menyingkir dari situ.
680 Tak lama kemudian, tujuh delapan obor api sudah dilempar
dari sisi kiri dan kanan tebing, begitu api menyentuh bahan
yang mudah terbakar itu, jilatan api segera menyebar
kemannmana, kobaran api pun membesar dalam waktu
singkat. Ci Yau-hoa melambung semakin tinggi, biarpun jilatan api
semakin membesar dan lidah api sudah membumbung ke
angkasa, namun bukan tindakan gampang untuk
mencegahnya me larikan diri.
"Sret, sret", desingan tajam membelah bumi, dua bilah
pisau terbang meluncur dengan kecepatan tinggi langsung
mengancam jalan darah Tiong-tong-hiat dan Sun-hiat di
tubuhnya. Berada di udara, Ci Yau-hoa berjumpalitan beberapa kali,
dengan satu gerakan kilat dia tangkap kedua bilah pisau
terbang itu, baru saja dia akan mengerahkan tenaga untuk
melompati jilatan api, mendadak pandangan matanya terasa
kabur, kemudian terasa sakit yang luar biasa menusuk
tubuhnya, dalam gugupnya lekas dia melompat balik ke posisi
semula. Rupanya sewaktu Ci Yau-hoa berjumpalitan di udara tadi,
secara kebetulan dia berhadapan langsung dengan asap tebal
yang dihasilkan jilatan api itu, asap pedas yang tebal langsung
menusuk matanya, padahal Ci Yau-hoa hanya memiliki mata
sebelah, sementara mata yang lain memang sudah terasa
sakit sejak tadi, sekarang ditambah lagi dengan rasa sakit
karena kemasukan asap tebal, bagaimana mungkin dia bisa
menahannya"
Sadar dia sudah terperangkap oleh jebakan yang
dipersiapkan lawannya, Ci Yau-hoa merasa panik bercampur
jengkel, merah padam wajahnya lantaran gusar, sembari
membentak penuh amarah sekali lagi dia melambung ke
udara. Kali ini dia melambung setinggi empat kaki lebih, jauh
melampaui jilatan api yang berkobar dan langsung menerjang
keluar kepungan.
681 Tanpa perasaan yang sudah menanti sejak tadi kembali
mengayunkan tangan berulang kali, empat batang trisula
disam-bitkan ke atas mengancam sepasang kaki perempuan
iblis itu. Melihat datangnya ancaman itu, Ci Yau-hoa menyambitkan
dua batang pisau terbang yang berhasil dirampasnya tadi
untuk memukul rontok dua senjata rahasia yang datang
menyerang, kemudian sepasang tangannya kembali meraup
ke depan menangkap dua batang senjata rahasia lainnya,
baru saja tubuhnya siap melampaui garis kobaran api, tibatiba
tampak bayangan kuning berkelebat, ibarat burung
rajawali yang sedang menyambar mangsanya, sebuah
bacokan golok langsung dibabatkan ke pinggang lawan.
Menghadapi datangnya ancaman, terpaksa Ci Yau-hoa
menggunakan sepasang trisula rampasannya untuk
menangkis. "Trang!", di tengah benturan nyaring, kedua orang
berbareng melayang turun ke atas permukaan tanah, Ui
Thian-seng dengan golok siap menyerang berdiri di luar garis
kobaran api, sementara Ci Yau-hoa tetap berada di balik garis
kobaran api. Sekali lagi Ci Yau-hoa menghimpun tenaga dalamnya untuk
melambung, kali ini dia bergerak dengan amarah luar biasa.
Tanpa perasaan mendengus dingin, lagi-lagi sepuluh butir
biji teratai Cing-lian-cu disambitkan ke arahnya.
Sambil tetap melambung ke udara, Ci Yau-hoa
mengebaskan ujung bajunya, kesepuluh biji Cing-lian-cu itu
segera teraup semua ke balik bajunya.
Ui Thian-seng membentak keras, sambil melambung ke
udara dia melancarkan sebuah bacokan dengan jurus Hengto-
toan-sui (melintangkan golok membendung air).
Ci Yau-hoa memuntir trisulanya sambil membetot, golok
emas Ui Thian-seng segera terseret hingga miring ke samping,
tampaknya dia segera akan melampaui garis kobaran api itu.
Mendadak sebatang tombak telah menyambar tiba dan
langsung menusuk mata kanannya.
682 Sekali lagi Ci Yau-hoa menangkis dengan trisula di tangan
kirinya, biarpun senjata rahasia itu kecil bentuknya, ternyata
berhasil menjepit tombak itu hingga tak mampu bergerak.
Menggunakan kesempatan itu Ci Yau-hoa bergeser ke
samping, maksudnya ingin menyelinap keluar dari kepungan
api itu melalui celah antara Ui Thian-seng dan Khong Bu-ki,
siapa tahu belum sempat dia menyelinap keluar, kembali
sebilah pedang menyambar langsung menusuk perutnya.
Tusukan maut pedang Chin Ang-kiok.
Ci Yau-hoa berkoar-koar makin gusar, kini tenaganya sudah
habis digunakan, tenaga dalamnya sudah melemah, terpaksa
dia berjumpalitan sekali lagi di udara dan melayang balik ke
dalam lingkaran kobaran api itu.
Baru saja dia bersiap melambung untuk ketiga kalinya,
mendadak langit terasa gelap, menyusul air mata bercucuran
keluar terus dari balik matanya yang semakin perih dan pedas.
Di antara bahan-bahan bakar yang disiapkan di seputar
tebing itu, selain ranting dan daun kering, disertai pula dengan
robekan kain yang basah oleh minyak bakar, ketika jilatan api
mulai membakar gumpalan kain berminyak itu, maka asap
tebal yang dihasilkan pun semakin menebal.
Tatkala Ci Yau-hoa untuk kesekian kalinya gagal melintasi
kobaran api itu, asap tebal sudah makin menyelimuti sekitar
tebing, bukan saja hembusan angin memperparah tebalnya
asap, Ci Yau-hoa dengan mata yang tinggal sebelah semakin
menderita, saat itu nyaris dia tak sanggup lagi untuk
menyaksikan benda di sekelilingnya.
Jilatan api berkobar semakin besar melalap seluruh bahan
kering yang ada di sekitar tebing, kini api sudah makin
mempersempit ruang gerak iblis wanita itu ke arah tepi
jurang, sekalipun mata kiri Ci Yau-hoa tidak sakit, dengan
semakin menebalnya asap hitam yang menyelimuti tempat itu,
rasanya sia-papun tak mungkin bisa mempertahankan diri.
Ci Yau-hoa menjerit keras, kali ini dia kerahkan segenap
tenaga dalam yang dimilikinya, dengan meminjam dinding
tebing yang curam, dia melambung setinggi empat kaki.
683 Ketika menerjang keluar dari balik asap tebal, dengan
memaksakan diri ia masih sempat melihat benda di
sekelilingnya kendatipun pandangannya kabur, senjata rahasia
Cing-lian-cu yang berhasil diraupnya tadi langsung ditebarkan
ke arah Tanpa perasaan dengan kecepatan tinggi.
Kini kondisinya sudah semakin parah, bukan cuma
pandangan matanya saja yang kabur karena tebalnya asap,
suara kobaran api yang begitu bergemuruh menghalangi pula
ketajaman pendengarannya, dalam situasi seperti ini, yang
paling dia takuti adalah serangan senjata rahasia dari Tanpa
perasaan. Waktu itu arah hembusan angin menuju ke arah tepi
jurang, sementara Ci Yau-hoa bergerak menentang arah
angin, maka bagi orang yang berada di luar areal kebakaran,
semua gerak-gerik iblis wanita itu dapat terlihat sangat jelas,
sebaliknya bagi Ci Yau-hoa yang menerjang keluar dari balik
asap tebal, sulit baginya untuk melihat jelas keadaan di luar.
Baru saja Tanpa perasaan siap melepaskan senjata rahasia,
ancaman senjata rahasia telah datang duluan, terpaksa dia
sam-bitkan Am-ginya untuk merontokkan Cing-lian-cu yang
mengarah ke tubuhnya.
Di saat hambatan itu berlangsung, Ci Yau-hoa kelihatan
segera akan berhasil melewati garis lingkaran kobaran api.
Dalam terjangannya kali ini, Ci Yau-hoa memang sudah
mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya.
Khong Bu-ki segera menerjang ke muka, tombaknya
langsung disodokkan ke depan mengancam dada lawan.
Ci Yau-hoa berpekik nyaring, dengan trisula dia tangkis
tombak itu sementara tubuhnya merangsek maju, trisula yang
berada di tangan lain ditusukkan ke tenggorokan lawan,
langsung menembus lehernya.
Tiba-tiba Khong Bu-ki mendelik lebar, selama hidup dia
sudah seratus dua puluh delapan kali kalah di tangan orang
lain, bahkan kekalahannya kali ini telah merenggut pula
nyawanya. 684 Namun Khong Bu-ki tak ingin menyerahkan nyawanya
secara begitu gampang, dia buang tombaknya lalu memeluk
erat tubuh Ci Yau-hoa dan menariknya masuk ke balik lautan
api yang sedang berkobar.
Ci Yau-hoa terkesiap, lekas dia buang trisulanya lalu
menghajar dada Khong Bu-ki berulang kali, sayang Khong Buki
tak pernah mau melepaskan pelukannya, kendatipun waktu
itu tulang iganya telah hancur.
Kedua orang itu segera tercebur ke dalam kobaran api yang
membara. Saat itu mata kanan Ci Yau-hoa sudah tak mampu melihat
benda apapun, tapi begitu badannya menempel tanah, segera
ia membabat sepasang lengan Khong Bu-ki dengan bacokan
telapak tangannya, kemudian sekali lagi dia menerjang keluar
dari balik kobaran api.
Biarpun berada dalam kondisi yang parah, ternyata
perempuan iblis itu masih mampu membedakan arah, ketika
muncul dari balik kobaran api, seluruh tubuhnya sudah
terbakar sebagian, dari tujuh-delapan buah luka bakar yang
memenuhi badannya, ada empat-lima buah di antaranya
masih mengepulkan asap dan api.
Yang paling penting lagi adalah untuk sesaat dia tak
mampu melihat benda apapun yang berada di hadapannya.
Tapi si Tanpa perasaan dapat melihatnya, Ui Thian-seng
dapat melihatnya pula, tidak terkecuali Chin Ang-kiok.
Mereka bertiga serentak menerjang maju ke muka, kini Ci
Yau-hoa sudah menerjang keluar dari kabut api, bila
kesempatan baik ini tidak dimanfaatkan, mereka tak pernah
akan memiliki peluang untuk membunuhnya lagi.
Tanpa perasaan 'menerjang' ke depan dengan menyentilkan
dua butir peluru besinya.
Waktu itu Ci Yau-hoa sedang menerjang keluar dari balik
kobaran api, tiba-tiba dia merangkap tangannya ke depan lalu
mencengkeram sebutir peluru besi di antaranya, sayang dia
hanya mampu menangkap sebutir, sementara peluru besi
685 yang lain segera menghantam kakinya, begitu keras benturan
itu hingga terdengar suara tulang yang hancur dan patah.
Kepandaian silat yang dimiliki Ci Yau-hoa memang sangat
hebat, yang paling menakutkan adalah kehebatan ilmu
meringankan tubuhnya.
Tapi kini tulang kakinya sudah hancur, dia telah kehilangan
senjata andalannya yang paling hebat.
Ui Thian-seng menarik napas panjang, secepat petir
goloknya membacok dengan jurus To-pit-hoa-san (membacok
bukit Hoa-san).
Bacokan itu luar biasa hebatnya, bukan hanya cepat
bahkan amat sempurna, tiada setitik kelemahan pun yang
nampak, tapi dia telah melakukan satu kesalahan.
Ui Thian-seng tidak seharusnya bersuara ketika menarik
napas panjang tadi.
Dengan ketajaman pendengaran yang dimiliki Ci Yau-hoa,
dia segera dapat menangkap asal munculnya suara itu, peluru
besi hasil rampasannya segera diayun ke atas, bacokan golok
itu pun menghajar persis di atas peluru baja itu.
"Tring!", bunga api menyebar ke empat penjuru, bacokan
maut itu pun segera tertangkis hingga mencelat ke samping.
Namun gara-gara benturan itu, kaki Ci Yau-hoa yang sudah
cacad tak sanggup menahan bobot badannya lagi, seketika ia
tergetar hingga roboh ke tanah.
Ui Thian-seng sendiri pun terdesak mundur sejauh lima
langkah. "Blam!", dengan mengikuti arah datangnya suara itu, Ci
Yau-hoa melontarkan peluru besinya ke depan dengan
sepenuh tenaga.
Senjata itu langsung menghajar dada Ui Thian-seng,
membuat jago tua itu memuntahkan darah segar, badannya
langsung roboh telentang ke tanah.
Chin Ang-kiok tidak tinggal diam, saat itulah tusukan
pedangnya menyambar.
Sebenarnya Chin Ang-kiok melancarkan serangan hampir
bersamaan dengan Ui Thian-seng, hanya saja karena ilmu silat
686 jago tua itu lebih hebat maka bacokan goloknya tiba lebih
dulu. Padahal semua kejadian itu berlangsung hanya dalam
waktu yang amat singkat.
Api masih menjilat di seluruh badan Ci Yau-hoa, namun iblis
wanita itu tidak ambil peduli, dengan satu sambaran kilat dia
mencengkeraman pedang Chin Ang-kiok yang menusuk tiba.
Serangan pedang Chin Ang-kiok memang cepat, tapi
sayang di balik kecepatan serangannya membawa suara
desingan tajam, dengan munculnya suara berarti serangan itu
segera tertangkis.
Bersamaan dengan tangkisan itu, iblis wanita itu berhasil
pula menangkap sebatang Hui-yan-piau yang tertuju ke
tubuhnya. Rupanya di saat menerjang maju sambil melepaskan
tusukan pedang tadi, Chin Ang-kiok melontarkan juga tiga
batang Hui-yan-piau, yang dilepaskan bukan hanya sebatang
melainkan tiga batang.
Pada saat Ci Yau-hoa berhasil menangkap tusukan pedang
yang meluncur datang, kedua batang senjata rahasia walet
terbang itupun serentak menghujam di atas dadanya secara
telak. Ketika ujung senjata rahasia menembus kulit badannya
sedalam tiga inci, tusukan itu segera terhenti sebab pada saat
itulah tenaga dalam yang dimiliki Ci Yau-hoa telah dihimpun di
atas dadanya, malah dia berhasil mementalkan balik semua
senjata rahasia yang menancap di badannya itu.


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyusul terpentalnya kedua batang senjata rahasia itu,
darah segar ikut menyembur keluar bagaikan pancuran air.
Ketika tenaga dalam dialihkan ke dada sebelah depan,
tangan Ci Yau-hoa yang mencengkeram pedang pun ikut
mengucurkan darah, namun dia tidak menyerah karena itu,
cengkeramannya semakin diperkencang.
Senjata rahasia yang memental balik tadi langsung
menyambar ke tubuh Chin Ang-kiok, lekas jagoan wanita itu
merentangkan kelima jari tangannya, dengan jari telunjuk dan
687 jari tengah dia tangkap sebatang Hui-yan-piau yang
menyambar tiba, sementara jari manis dan kelingkingnya
menjepit sambaran senjata rahasia yang lain.
Ci Yau-hoa mendengus dingin, dia merangsek ke depan,
tangannya yang lebih tajam daripada mata golok langsung
dihujamkan ke dada lawan.
Tak ada jerit kesakitan, yang terdengar hanya bentakan
gusar. Pada saat Chin Ang-kiok menemui ajalnya tertusuk telapak
tangan lawan, Pedang bunga bwe, Pedang anggrek dan
Pedang bambu serentak membentak gusar.
"Mundur!" hardik Tanpa perasaan kaget.
Sayang ketiga orang dayang itu enggan menuruti seruan
itu, melihat kematian yang menimpa Chin Ang-kiok, ketiga
orang dayang itu lebih rela mati daripada mundur dari arena
pertarungan. Maka mereka bertiga pun ikut kehilangan nyawanya.
Setelah berhasil membunuh Chin Ang-kiok, Ci Yau-hoa
segera mengebaskan tangan berulang kali ke seluruh
badannya, dia berusaha memadamkan jilatan api yang masih
membakar beberapa bagian badannya.
Tangannya penuh berlepotan darah, darah dari tubuh Chin
Ang-kiok, dimana tangannya menepuk, jilatan api pun segera
ikut padam. Sepasang tangannya sudah penuh berlepotan darah,
dipenuhi dengan luka, tapi kuat dan hebatnya bukan
kepalang, dia sanggup menangkap senjata macam apapun
yang menghampirinya, barang siapa berani menyentuh
sepasang tangannya itu, kalau bukan mati tentu akan dibuat
terluka parah, bahkan jilatan api yang membara pun seketika
padam begitu bersentuhan dengan tangan itu.
Tangannya memang sepasang tangan yang hebat,
sepasang tangan yang sangat menakutkan.
Di saat ia berhasil memadamkan kobaran api yang menjilat
tubuhnya, serangan pedang ketiga budak pedang itu telah
menyambar tiba.
688 Ci Yau-hoa pun segera menggunakan sepasang tangan
tlitambah sebuah kakinya melancarkan serangan berantai.
Menyusul kemudian darah muncrat kemana-mana, tubuh
ketiga orang dayang itu mencelat ke dalam kobaran api.
Di saat Ci Yau-hoa belum sempat menarik kembali
sepasang tangan dan kakinya, kembali ada empat sosok
bayangan manusia berbaju hijau menerjang masuk ke dalam
arena pertarungan dengan kecepatan tinggi, dua bilah cahaya
perak diiringi dua kilatan cahaya emas meluncur ke tubuh
lawan secara bersamaan.
Dua kilatan cahaya menghujam sepasang lengan Ci Yauhoa,
sebuah kilatan cahaya menghujam di atas paha
perempuan itu, sementara yang sebuah menghujam langsung
ke perut iblis wanita itu.
Kaki kiri Ci Yau-hoa sudah remuk tulangnya karena terhajar
peluru besi yang diluncurkan si Tanpa perasaan tadi, sulit bagi
perempuan ini untuk menangkis datangnya serangan yang
mengarah ke bawah, maka tak ampun lagi sebilah pedang
emas langsung menancap di atas perutnya, sementara ketiga
bilah pedang yang lain menancap di atas paha kanan serta
sepasang lengannya.
Tampak keempat orang bocah pedang itu mencelat ke
belakang dan roboh terjungkal ke bawah tebing.
Sementara Ci Yau-hoa juga tak sanggup menahan diri lagi,
tubuhnya ikut roboh terjungkal ke tanah.
Dalam waktu yang amat singkat, dia telah menghajar Yau
It-kang hingga mencelat dan terkubur di dasar jurang,
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 13 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pedang Pusaka Buntung 3
^