Pencarian

Pertemuan Di Kotaraja 4

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 4


dada Ji Bun-lui.
Di saat pihak lawan melempar keluar benda besar itu, Ji
Bun-lui pun dapat melihat dengan jelas arah tempat
persembunyian lawan. Kapak terbangnya segera dilontarkan
ke muka, menerjang ke sana, sementara sepasang tangannya
berusaha mencengkeram benda yang dilemparkan ke arahnya.
Di kala Ji Bun-lui mencengkeram benda itu, dari balik
pohon kembali meluncur keluar dua benda, langsung
menerjang iga kiri dan kanan jagoan Kwang-tong ini.
Sementara itu Ji Bun-lui telah berhasil menangkap benda
besar yang pertama. Ternyata benda itu adalah mayat
seseorang. Sekujur tubuhnya berwarna putih pucat tanpa
warna darah, dua bekas gigitan membekas di tengkuknya.
Dia tak lain adalah si Keleningan Pencabut Sukma Hoa Pian!
Namun lantaran tenaga lemparan itu sangat kuat, biar
tenaga dalam yang dimiliki Ji Bun-lui sangat hebat, tak urung
tubuhnya mundur tiga langkah dengan sempoyongan. Pada
saat itulah senjata rahasia bercahaya putih itu sudah
mendekati iga kiri dan kanan Ji Bun-lui.
Saat itu si jago Kwang-tong ini sedang menerima tubuh
Hoa Pian, sementara kapak terbangnya telah dilontar keluar
dan badannya sedang mundur ke belakang dengan
sempoyongan. Mustahil baginya untuk menghadapi datangnya
sergapan senjata rahasia itu. Tampaknya dia segera akan
terhajar amgi itu.
"Duuuk, duuuk!" tahu-tahu kedua benda itu sudah
ditangkap oleh dua tangan yang berbeda dari kiri dan kanan.
Ternyata pada detik yang amat kritis itulah Coa Giok-tan
dan In Seng-hong sudah turun tangan mencengkeram senjata
rahasia itu. Mereka merasa tangannya amat dingin, lekas
benda itu dibuang ke tanah.
"Praaang!" diiringi sudah nyaring, kedua benda itu hancur
berantakan. Ternyata senjata rahasia ini tak lain adalah
175 kepingan salju yang runcing. Cahaya semu hijau tampak
berkilauan dari hancuran kepingan salju itu.
Jay In-hui yang cerdas segera memahami akan sesuatu.
Teriaknya tanpa sadar, "Aaah, rupanya Pa-sianseng mati
lantaran ini!"
Begitu mendengar teriakan itu, semua orang ikut sadar.
Ternyata Pa Thian-sik memang tewas lantaran terhajar
kepingan salju yang runcing. Ketika kepingan salju itu
menembus badannya, karena bertemu darah yang panas,
kontan kepingan salju itu segera mencair. Tak heran ketika si
Pengejar Nyawa dan yang lainnya tiba di tempat kejadian,
mereka gagal menemukan bekas senjata rahasia.
Meski masih tersisa sedikit yang berhamburan di tanah,
namun karena bercampur dengan lapisan salju, maka orang
tidak terlalu menaruh perhatian. Kalau ada yang melihat,
paling mereka mengira salju itu hancur karena tertumbuk
tubuh Pa Thian-sik yang sedang meronta.
Apalagi ujung tajam dari kepingan salju itu sudah dibubuhi
racun ganas. Tak heran jika sebelum ajal kesadaran Pa Thiansik
jadi kabur, dan dia mulai mengigau serta berteriak macam
orang gila. Ji Bun-lui merasa amat terharu dan berterima kasih karena
In Seng-hong dan Coa Giok-tan telah menyelamatkan jiwanya.
Selain itu, dia pun tercengang karena kapak terbang yang
dilontarkan ternyata tidak terbang balik lagi ke tangannya.
Di saat itu si Pengejar Nyawa sudah menyusul ke belakang
pepohonan. Tampak bunga salju berguguran dengan
hebatnya di sekitar situ. Jelas suatu pertempuran sengit
sedang berlangsung di tempat itu.
Ji Bun-lui, In Seng-hong, Jay In-hui dan Coa Giok-tan
berempat serentak menyusul ke belakang pohon.
"Blaaam!" pada saat itulah tampak seorang wanita kurus
kering mirip setan kelaparan dengan rambut awut-awutan
tampak terbang keluar dari balik pepohonan. Ia berusaha
berdiri tegak, namun tak urung badannya sempoyongan
seakan hendak roboh.
176 Dengan sorot mata buas, ganas dan menakutkan, dia awasi
semua jago yang hadir di situ. Mendadak tubuhnya gemetar
keras, darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Sementara itu kapak terbang milik Ji Bun-lui terlihat menancap
di kakinya. Darah segar bercucuran dari luka itu.
Menyusul kemudian terlihat si Pengejar Nyawa muncul dari
balik pepohonan sembari membersihkan bunga salju dari
tubuhnya. Wajah, rambut dan alis matanya dipenuhi bunga
salju berwarna putih yang lembut. Agaknya pertarungan
singkat yang baru terjadi benar-benar berlangsung amat seru.
Sambil mengawasi perempuan kurus kering macam setan
kelaparan itu, pelan-pelan dia berkata, "Sim-cap-sa-nio, habis
sudah riwayatmu kali ini!"
Ketika semua orang mendengar perempuan ceking itu tak
lain adalah 'Sim-cap-sa-nio', perasaan terkejut segera
menyelimuti hati mereka.
Perempuan yang bernama Sim-cap-sa-nio ini memang
cukup termashur dalam dunia persilatan. Kehebatan ilmu
silatnya jauh di atas dua bersaudara Sim. Tapi kepandaian
andalannya yang paling menghebohkan adalah
kemampuannya yang seperti bunglon. Bila menempel di atas
pohon, maka wujudnya akan mirip sekali dengan selembar
daun. Bila duduk di tanah, maka wujudnya mirip sebuah batu
cadas. Apalagi jika muncul di malam hari yang gelap, memang
jejaknya sulit sekali dilacak.
Selain itu, Sim-cap-sa-nio ahli dalam membidikkan senjata
rahasia beracun. Dia gemar membantai orang. Konon bila
dalam satu hari ia tidak membunuh seorang korban, maka
seluruh badannya akan terasa gatal. Bila dalam tiga belas hari
tidak membunuh, maka ilmu bunglonnya akan mengalami
kemunduran yang drastis!
Sim-cap-sa-nio banyak melakukan kejahatan,
kegemarannya membunuh. Dia tersohor sebagai iblis wanita
dari dunia persilatan. Karena selalu dikejar-kejar empat opas,
akhirnya dia kabur ke wilayah Siang-say untuk bersembunyi.
Konon di situ ia berjumpa dengan iblis wanita lain yang jauh
177 lebih ganas, yaitu Hiat-siang-hui (si Selir Darah) Yan Bu-yu.
Sejak itu pamornya makin merosot, hingga akhirnya tak
pernah muncul lagi berkelana dalam dunia persilatan.
Sungguh tak disangka, dalam peristiwa pembunuhan
berdarah ini, kembali Sim-cap-sa-nio memunculkan diri.
"Toako, kau berhasil menghajarnya?" tanya In Seng-hong.
"Dia sudah termakan sebuah tendanganku. Aku rasa
lukanya cukup parah," jawab si Pengejar Nyawa dengan suara
dalam. "Coba kalau saudara Ji tidak menghadiahkan sebuah
bacokan kapak hingga memecah perhatiannya, belum tentu
aku sanggup mengunggulinya."
Ji Bun-lui menghela napas panjang. "Hai, padahal kalau
bukan lantaran kau sedang menyerang siluman wanita itu
habis-habisan, mana mungkin bacokan kapakku mengenai
sasaran" Kalau bukan saudara Coa dan In-lote turun tangan
menolong, mungkin saat ini nyawaku sudah melayang!"
Si Pengejar Nyawa kembali berpaling ke arah perempuan
ceking itu, lalu ia menghardiknya, "Sim-cap-sa-nio, mengapa
kau bersembunyi di sini dan menyaru menjadi setan sambil
membunuh orang" Sebenarnya apa maksudmu?"
"Kau tak usah ikut campur," sahut Sim-cap-sa-nio sambil
tertawa seram. Ditatapnya wajah si Pengejar Nyawa dengan
pandangan penuh kegusaran. Sorot matanya berapi-api.
"Aku tahu, ilmu Jui-hun-mo-ing (irama iblis pembetot
sukma) bukan kepandaian andalanmu. Darimana kau
mempelajarinya" Si Selir Berdarah saat ini berada dimana?"
"Kau tidak usah banyak tanya," tukas Sim-cap-sa-nio sambil
tertawa seram. "Sampai mati pun aku tak bakal menjawab!"
Tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat, berusaha
mengundurkan diri dari tempat itu.
Empat padri Siau-lim-pay segera mengebaskan tangannya.
Mereka yang kebetulan berjaga di belakang Sim-cap-sa-nio
segera membentak keras sambil melontarkan pukulan
dahsyat. Mendadak bayangan tubuh Sim-cap-sa-nio lenyap dari
pandangan. Yang tampak hanya sebuah gulungan bola salju
178 yang menggelinding pergi. Di antara bola salju itu lamat-lamat
terlihat ada noda darah.
Keempat padri dari Siau-lim-pay sangat terkejut. Mereka
tak mengira musuh dapat menghilang secepat itu. Lekas
mereka mengegos ke samping sambil menarik kembali
pukulannya. "Hati-hati! Bola salju itu adalah wujud penyamarannya!"
terdengar si Pengejar Nyawa memperingatkan.
Benar saja, tiba-tiba bola salju itu melejit ke udara dan
tampak Sim-cap-sa-nio sedang bersiap kabur dari situ.
"Wees!" terdengar desingan angin bergulir ke muka, tahutahu
Coa Giok-tan dengan senjata serat emasnya sudah
menusuk jalan darah Hian-ki, Thian-ki dan Thian-ci di tubuh
perempuan iblis itu.
Serangan yang dilancarkan Coa Giok-tan sangat cepat,
namun Sim-cap-sa-nio memang tidak bernama kosong.
Tubuhnya berjumpalitan tiga kali di udara, meloloskan diri dari
tiga tusukan itu, kemudian melayang melewati atas kepala
tujuh jagoan penuntut balas, tampaknya dia segera akan lolos
dari kepungan. Tiba-tiba tampak cahaya warna-warni berkelebat lewat.
Dengan sepasang pedangnya Jay In-hui telah menghadang
jalan pergi Sim-cap-sa-nio!
Dalam waktu singkat mereka berdua sudah bertarung
hampir tujuh gebrakan. Begitu cepatnya pertarungan itu
berlangsung, yang nampak di tengah udara hanya bayangan
nenek berambut awut-awutan yang seram bagai iblis dengan
seorang nona berbaju warna-warni yang cantik bagai bidadari.
Semua jurus serangan yang mereka gunakan adalah jurus
maut yang sangat mematikan.
Karena harus berhadapan dengan Jay In-hui, maka si
Pengejar Nyawa segera dapat menyusul tiba.
Tampaknya Sim-cap-sa-nio enggan bertemu jagoan dari
empat opas ini. Takut menderita kerugian lagi, segera dia
berusaha melarikan diri.
179 Si Pengejar Nyawa membentak keras, sebuah tendangan
kilat dilontarkan mengarah tubuh lawan.
Cepat Sim-cap-sa-nio melejit ke udara dan bersalto
beberapa kali, kemudian melayang turun di belakang tubuh
lawan. Pengejar Nyawa mendengus dingin. Kakinya yang lain
kembali melancarkan tendangan ke arah belakang. Dengan
begitu, badannya yang berada di udara jadi terbentang lebar
karena satu kakinya menendang ke muka sementara kaki
yang lain menendang ke belakang.
Sim-cap-sa-nio terkesiap. Lekas dia tarik perutnya ke
belakang, menghindarkan diri dari tendangan maut itu.
Kembali si Pengejar Nyawa membentak nyaring, badannya
berputar bagai gangsingan. Kali ini sepasang kakinya
melancarkan tendangan berantai, bagaikan kitiran roda kereta
dia gulung seluruh tubuh perempuan ceking itu.
Sepanjang hidup, belum pernah Sim-cap-sa-nio
menyaksikan ilmu tendangan sehebat ini. Pusingan tendangan
berantai itu bukan cuma cepat, tapi juga amat ganas! Untuk
sesaat dia jadi bingung, tak tahu harus bagaimana
menghadapinya. Mendadak ia melengking, tangannya diayunkan berulang
kali. Tujuh delapan belas macam senjata rahasia serentak
dilontarkan ke tubuh lawan.
Dalam sekali serangan, Sim-cap-sa-nio dapat melepaskan
tujuh delapan belas macam senjata, sungguh luar biasa,
apalagi ketujuh delapan belas macam senjata rahasia yang
berbeda itu hampir semuanya beracun. Ada yang cepat ada
pula yang lamban, tapi begitu sampai di hadapan musuh,
semuanya menyerang dengan kecepatan tinggi.
Buru-buru si Pengejar Nyawa memutar badan sambil
melancarkan serangkaian tendangan berantai. Dia sapu rontok
seluruh senjata rahasia yang ditujukan ke badannya.
Begitu pengejaran si Pengejar Nyawa terhambat oleh
ancaman senjata rahasia, Sim-cap-sa-nio segera
180 memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dia
berkelit dari pukulan yang dilancarkan dua bersaudara Sim,
dan sekali lagi bersiap melejit ke udara.
Pada saat itulah mendadak hulu hatinya terasa sakit sekali.
Ternyata tendangan yang bersarang telak di dadanya tadi
membuat ia terluka cukup parah. Ditambah harus menghadapi
hadangan berulang kali dengan menggunakan segenap
kekuatan yang tersisa, nadinya jadi tergetar keras sehingga
membuat rasa sakit di hulu hatinya bagaikan disayat sayat.
Dua Tosu dari Bu-tong-pay segera berpekik nyaring.
Melihat musuhnya kesakitan, mereka segera memanfaatkan
peluang itu dengan melancarkan dua tusukan berantai.
Baru saja ujung pedang mereka berdua hampir bersarang
di tubuh Sim-cap-sa-nio, mendadak bayangan tubuh
perempuan itu hilang tak berbekas. Yang tertinggal hanya
sebatang dahan kayu pohon. Dalam tertegunnya, buru-buru
mereka menarik kembali serangannya.
Siapa tahu belum lagi pedangnya ditarik balik, dahan pohon
itu telah bergerak lagi dan beralih wujud sebagai Sim-cap-sanio.
Sadar bahaya mengancam, segera mereka melompat
mundur. Sayang keadaan terlambat! Sepuluh jari tangan Sim-capsa-
nio yang tajam bagai kaitan telah mencengkeram dada
Cing Leng-cu kuat-kuat.
Cing Leng-cu menjerit kesakitan. Dia buang pedangnya lalu
berbalik memeluk tubuh Sim-cap-sa-nio kuat-kuat, sementara
Cing Siong-cu terkesiap ketika melihat kakak seperguruannya
tertimpa bencana. Sebuah tusukan kilat langsung dilontarkan
dan menembus punggung perempuan kurus itu.
Sim-cap-sa-nio menjerit ngeri. Dia meronta sekuat tenaga
melepaskan diri dari pelukan Cing Leng-cu, kemudian sambil
membalik badan, dia gigit tengkuk Cing Siong-cu kuat-kuat.


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagai jagoan dari perguruan lurus, belum pernah Cing
Siong-cu melihat cara bertarung senekad itu. Dalam gugupnya
dia tak sempat menghindarkan diri, tengkuknya seketika
tergigit telak.
181 Waktu itu para jago lainnya berada cukup jauh dari
mereka, sehingga tak sempat memberi pertolongan. Tubuh
Cing Siong-cu segera roboh ke tanah.
Sigap Sim-cap-sa-nio mencengkeram pedang yang
menembus punggungnya, jengeknya sambil tertawa seram,
"Hehehe ... kalian jangan bangga dulu ... Jisuci dan
Toasuhengku segera ... segera akan mencari kalian untuk
balas dendam ..."
Selesai bicara dia cabut pedang itu dari punggungnya.
Darah segar segera menyembur keluar dengan sangat deras.
Sim-cap-sa-nio mundur sempoyongan, akhirnya roboh
terkapar di atas salju, tewas seketika.
Melihat musuh tangguhnya sudah tewas, diam-diam semua
menghembuskan napas lega. Sebagai kawanan jago
termashur dalam dunia persilatan, belum pernah mereka
saksikan cara bertarung sebrutal ini. Bukan saja Sim-cap-sanio
bertarung dengan nekad, bahkan dia berhasil kabur dari
kepungan dan membantai dua orang Tosu dari Bu-tong-pay
sebelum akhirnya dia sendiri pun ikut tewas. Paling tidak
kehebatan perempuan itu mampu membuat bergidik perasaan
semua orang. Si Pengejar Nyawa menghela napas, gumamnya, "Aku rasa
korban yang berjatuhan akan semakin banyak sepanjang
perjalanan menuju Perkampungan Hantu
"Saudara Pengejar Nyawa, kenapa kau bicara begitu?"
tanya Ji Bun-lui tercengang. Dikiranya jagoan itu sudah patah
arang. Kembali si Pengejar Nyawa menghela napas, ujarnya
serius, "Sebenarnya ilmu silat yang paling diandalkan Sim-capsa-
nio adalah ilmu bunglon serta ilmu menyebar senjata
rahasia beracun. Tapi kenyataan sekarang dia telah
mempelajari ilmu pengisap darah serta irama iblis pembetot
sukma yang jelas merupakan ilmu andalan si Selir Berdarah.
Padahal iblis wanita yang bernama Selir Berdarah itu lebih
sukar dihadapi daripada Sim-iap-sa-nio. Justru karena sangat
hebat itulah Sim-cap-sa-nio sampai tunduk di bawah perintah
182 iblis wanita ini. Menjelang ajalnya tadi Sim-cap-sa-nio sempat
menyinggung soal Toasuheng dan Jisucinya. Bisa jadi
Jisucinya adalah si Selir Berdarah. Entah siapa pula
Toasuhengnya itu" Tapi yang jelas, orang itu pasti semakin
sulit dihadapi!"
"Perkataan saudara Pengejar Nyawa sangat masuk akal,"
Coa Giok-tan manggut-manggut. "Baik ilmu Jui-hun-mo-ing
(irama iblis pembetot sukma) maupun Hip-hiat-kang (ilmu
pengisap darah), semuanya adalah ilmu andalan si Selir
Berdarah. Sekarang Sim-cap-sa-nio terbukti dapat
menggunakan kedua macam ilmu itu, berarti dia mendapat
petunjuk dari Yan Bu-yu ....
"Saudara Coa," sela In Seng-hong tiba-tiba, "siapa Hiathiang-
hui Yan Bu-yu itu" Ilmu macam apa pula ilmu pengisap
darah serta irama iblis pembetot sukma itu?"
"Aku hanya tahu Yan Bu-yu adalah seorang gembong iblis
yang sangat jahat sekali. Selain masih muda, wajahnya cantik
jelita bak bidadari dari kahyangan. Dia tetap awet muda dan
tetap cantik jelita karena mengandalkan ilmu pengisap darah,
dia selalu mengisap habis darah korbannya. Sementara Irama
iblis pembetot sukma adalah sejenis ilmu tenaga dalam yang
sangat aneh. Besar-kecilnya suara dapat dikendalikan sesuai
kehendak. Contohnya seperti suara Sim-cap-sa-nio tadi, dia
bisa membuat lawannya tak tahu dimana ia menyembunyikan
diri. Konon jika seorang telah melatih ilmu irama iblis
pembetot sukma ini hingga mencapai puncak kesempurnaan,
maka dia bisa membuat seorang jadi gila hingga mati. Dia
bahkan bisa menguasai sukmamu hingga kau bersedia
melakukan tugas dan perintah apapun yang diberikannya
tanpa disadari. Soal lain aku kurang tahu, mungkin saudara
Pengejar Nyawa bisa memberi tambahan?"
"Ya, aku bersama tiga orang saudaraku yang lain pernah
menjelajah seluruh wilayah untuk menangkap gembong iblis
wanita itu. Tapi lantaran kungfunya memang luar biasa,
sungguh memalukan ... hingga hari ini kami berempat masih
gagal meringkusnya. Yan Bu-yu memang cantik bagai
183 bidadari, tapi keji bagai kalajengking. Ia pernah merayu anak
murid partai-partai besar untuk membantunya melakukan
perbuatan bejad. Untuk mewujudkan ilmu Hua-hiat-mo-kang
(ilmu iblis pengubah darah) miliknya, dia tak segan mencuri
hawa kelelakian 'Goan-yang-ceng-khi' dua puluh sembilan
orang jejaka hanya dalam semalam saja. Konon si Selir
Berdarah ini sangat menguasai ilmu sebangsa Khi-bun-ngoheng,
sering mengurung musuhnya dalam ilmu barisan. Inilah
salah satu alasan mengapa kami berempat gagal
membekuknya. Suatu kali kami pernah terkurung di dalam
ilmu barisannya yang sangat hebat itu. Karena kami gagal
menjeborbarisannya, akhirnya dia berhasil kabur dengan
leluasa." "Sekarang aku baru sadar, waktu itu Pa Thian-sik bilang di
belakang punggungnya ada suara sehingga dia memutar
badan karena dikiranya ada musuh di belakang. Akhirnya
punggungnya yang terbuka dihajar kepingan salju beracun.
Rupanya dia telah menipu lawannya dengan ilmu Irama iblis
pembetot sukma. Begitu juga dengan lenyapnya Phang Kukian
berempat, jelas itupun hasil tipuan irama iblis pembetot
sukma. Kemudian Sim-cap-sa-nio membunuh Si Tong,
mengisap darah Hoa Pian dan memboyong pergi mayat
mereka dengan burung rajawali, rupanya kesemuanya ini
merupakan tipu muslihatnya untuk menakut-nakuti kita.
Mungkin dia ingin kita ketakutan hingga batal mendatangi
Perkampungan Hantu ... Hm! Padahal sekarang semakin
terbukti bahwa penghuni Perkampungan Hantu ternyata
manusia-manusia busuk yang amat jahat. Kita terlebih harus
mendatangi tempat itu dan membasminya".
Ji Bun-lui tertawa keras, serunya kemudian, "Tentu saja
aku tak akan ketinggalan dalam tugas menegakkan keadilan.
Tapi yang ingin kudapatkan adalah kitab pusaka Pekikan naga
Belum selesai dia bicara, mendadak dari kejauhan sana
terlihat ada seorang berbaju putih berlarian mendekat.
Pakaian orang itu compang-camping, rambutnya kusut tidak
terawat. Sambil menari-nari seperti orang gila, ia tertawa
184 tergelak sambil berteriak, "... Setan... setan... kitab pusaka
Pekikan naga... suara nyanyian... Perkampungan Hantu...
hehehehe".
Gerak tubuh orang itu sangat cepat. Dalam waktu singkat
ia telah tiba di hadapan para jago itu.
Setelah mengamati orang itu sesaat, mendadak terdengar
Coa Giok-tan berseru, "Hah, dia ... Yu-bun Siu?"
Pengejar Nyawa menghela napas panjang. "Hai, rasanya
memang benar dia," katanya. "Sejak hilangnya Ang-sianseng
dan rombongan tiga tahun berselang, hanya Yu-bun Siu
seorang yang berhasil meloloskan diri. Tapi dia jadi gila,
sepanjang hari kerjanya hanya berkeliaran di seputar
Perkampungan Hantu sambil menyebarkan isu kalau di dalam
perkampungan itu terdapat kitab pusaka Pekikan naga
Sementara itu Yu-bun Siu sudah tiba di hadapan para jago
itu. Mendadak ia melotot ke arah Jay In-hui, kemudian dengan
wajah berubah hebat ia menjerit kaget, "Yan Bu-yu ... dewi ...
iblis wanita ... tidak! Aku tak mau ... lebih baik bunuhlah aku".
Mendengar ucapan melantur itu, berubah hebat paras
muka Jay In-hui. Buru-buru In Seng-hong menghadang di
depan gadis itu sambil diam-diam melakukan persiapan,
katanya, "Yu-bun Sianseng, dia adalah adik misanku, bukan
iblis wanita Yan Bu-yu!"
Yu-bun Siu kelihatan agak tertegun. Dipandangnya wajah
Jay In-hui dengan termangu, kemudian gumamnya, "Adik
misan" Adik misanmu" Adik misanku" Adik misan ... hahaha
.... Yan Bu-yu..."
Dalam pada itu, para jago penuntut balas telah berjalan
mendekat. Lelaki yang bersenjata gurdi besi itu segera
menegur, "Yu-bun Sianseng, konon guru kami masuk ke
dalam Perkampungan Hantu bersama Sianseng, tapi kemudian
lenyap tak berbekas. Apa sebenarnya yang telah terjadi
dengan guru kami?"
"Guru kami" Apa itu guru kami ... guru ..." Guru siapa?"
Yu-bun Siu yang ditanya semakin tertegun.
185 "Guru kami adalah si Tangan Pengejar Nyawa Kok Ci-keng,"
jelas lelaki bersenjata rantai, "beliau masuk ke Perkampungan
Hantu bersama engkau"
Tiba-tiba Yu-bun Siu tertawa keras, tertawa melengking
seperti jeritan setan. Teriaknya, "Kok Ci-keng" Tangan ...
tangan pengejar nyawa ... hahaha ... Perkampungan Hantu ...
mampus semua ... sudah mampus semua ... Yu-bun Siu juga
telah mampus ... lepaskan aku"
Tubuhnya segera menyelinap lewat di atas kepala kawanan
jago penuntut balas itu, kemudian kabur ke balik pepohonan.
Langkah yang dilakukan Yu-bun Siu ini sama sekali di luar
dugaan siapa pun. Sementara tujuh jago penuntut balas masih
melenggong, Sim Ciu dari dua bersaudara Sim mendengus
dingin. Dia menghadang jalan pergi orang dan tegurnya
dengan ketus, "Tunggu dulu! Apa benar di dalam
Perkampungan Hantu terdapat kitab pusaka Pekikan naga?"
Sim Sat tidak ketinggalan, dia menghadang pula di depan
Yu-bun Siu sambil berseru, "Jangan bergerak! Katakan dulu
apa kau telah melihat kitab pusaka Pekikan naga" Kitab itu
disimpan dimana?"
Yu-bun Siu tidak langsung menjawab, seakan tidak paham
dengan pertanyaan itu. Dia hanya berdiri melongo, seperti
orang bodoh. "... Kitab pusaka Pekikan naga ... kitab pusaka Pekikan
naga" ... aku tidak pernah mendengar" ... kitab ... pusaka ...
Pekikan ... naga...."
Mendadak mencorong sinar tajam dari balik matanya.
Kepada dua bersaudara Sim, ia membentak dengan penuh
kegusaran, "Setan! Setan telah datang! Irama iblis telah
datang! Cepat lari... cepat lari dari sini...!"
Biarpun dihadang jalan perginya oleh dua bersaudara Sim,
namun Yu-btfrf Siu seolah sama sekali tidak melihatnya. Dia
melancarkan sebuah pukulan ke depan.
Dua bersaudara Sim tertawa dingin, tangan tunggal mereka
segera diputar dan siap menyambut datangnya serangan itu.
186 In Seng-hong sudah pernah menyaksikan kehebatan ilmu
pukulan Toan-pit-khi-kang (ilmu sakti lengan kutung) dari dua
bersaudara Sim. Dia juga tahu kalau tenaga dalam dua
bersaudara itu cukup tangguh. Ketika menyerang Ji Bun-lui
tadi, andaikata tenaga dalam yang dimiliki jagoan Kwang-tong
itu tidak sempurna, mungkin luka yang dideritanya waktu itu
akan cukup parah.
Dan sekarang dia saksikan dua bersaudara Sim itu kembali
menggunakan pukulan yang sama untuk menghadapi seorang
yang tak waras otaknya. Timbul perasaan kuatir di hati
kecilnya. Tanpa sadar teriaknya, "Yu-bun Siu Sianseng, hati
hati ...! Ilmu pukulan lengan kutung!"
Ketika mendengar teriakan itu, Yu-bun Siu malah berpaling
sambil melemparkan sebuah senyuman ke arah In Seng-hong.
Saat itulah pukulan saling membentur, tenaga pukulan yang
dilancarkan Yu-bun Siu seakan lenyap ditelan samudra luas.
Ternyata pukulan itu berhasil diisap oleh dua bersaudara Sim.
Pada saat yang bersamaan, pukulan lengan yang lain telah
menumbuk tiba, maka benturan tiga kekuatan yang sangat
kuat menimbulkan pusaran angin berpusing yang amat
dahsyat. Dalam perkiraan banyak orang, kali ini Yu-bun Siu bakal
tertimpa kemalangan. "Blaaaam!" tiba-tiba Yu-bun Siu
memutar tangannya, melepaskan satu pukulan lagi.
Menggunakan peluang tersebut, badannya berjumpalitan
mundur. Dalam waktu singkat tubuhnya sudah berada tujuh delapan
kaki jauhnya dari posisi semula.
Tampak Yu-bun Siu mundur lagi beberapa langkah dengan
sempoyongan, kemudian dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh It-sia-jian-li, dalam sekejap mata ia sudah
berada di tempat jauh.
Dua bersaudara Sim berdiri tertegun. Mereka tak
menyangka Yu-bun Siu yang tak waras otaknya ternyata bisa
meminjam tenaga pukulan mereka berdua untuk melarikan
diri. 187 Dalam gusarnya, kedua bersaudara Sim mendelik sekejap
ke arah In Seng-hong. Belum sempat melakukan pengejaran,
terdengar Ji Bun-siu membentak penuh amarah, "Kalian
benar-benar tak tahu malu! Dua orang waras menggebuki
seorang gila. Kalau memang ingin mendapatkan kitab pusaka
Pekikan naga, ayo bergabung dengan Toayamu dan bersamasama
memasuki Perkampungan Hantu! Buat apa kalian paksa
orang itu bicara?"
Sekali lagi dua bersaudara Sim mendelik gusar ke arah Ji
Bun-lui. Tapi berhubung mereka sudah pernah mencicipi
kehebatan lawan dan sadar kemampuan orang itu luar biasa,
mereka berdua tak lagi berani bertindak gegabah.
Mendadak si Pengejar Nyawa menegur dengan ketus, "Bila
kalian berdua berulah terus, terpaksa kami akan tinggalkan
kalian di sini!"
Agaknya dua bersaudara Sim merasa amat segan terhadap
si Pengejar Nyawa. Terpaksa mereka menahan diri dan tidak
bicara lagi. Setelah suasana tenang kembali, si Pengejar Nyawa baru
menarik napas panjang dan berkata lagi, "Tampaknya
perjalanan kita menuju Perkampungan Hantu teramat
berbahaya. Bila ada di antara rekan-rekan yang enggan ikut,
dipersilakan tetap tinggal di sini. Aku harap kalian berpikir dulu
yang matang sebelum mengambil keputusan."
Lelaki bersenjata peluru geledek yang tampaknya bernyali


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paling besar segera berseru, "Kami tujuh jagoan penuntut
balas bukan manusia lemah yang takut mati! Kami ikut serta!"
Liong-thaysu, satu di antara empat padri Siau-lim-pay
berkata pula, "Lolap sekalian jauh-jauh dari Siong-san datang
kemari, tujuannya adalah untuk menyelidki kasus hilangnya
anggota kami tiga tahun berselang. Sebelum mendapat hasil,
masakah Lolap akan mengundurkan diri?"
Dua bersaudara Sim ikut mendengus dingin, kata Sim Ciu,
"Kami dua bersaudara sudah hadir di sini"
"Tentu saja kami tak akan pulang sebelum tujuan tercapai!"
sambung Sim Sat.
188 In Seng-hong melirik Jay In-hui sekejap, nona itu segera
membalas dengan senyuman mesra. Melihat itu dia pun
berkata, "Cayhe berdua akan turut serta dalam kunjungan ke
Perkampungan Hantu. Kami ingin mencari pengalaman!"
"Dan aku pun akan turut meramaikan rombongan ini!" kata
Coa Giok-tan pula sambil tertawa hambar.
Ji Bun-lui tertawa tergelak, serunya, "Aku bukan seorang
Kuncu, tapi paling suka mencari gara-gara dengan para Siaujin
dan manusia bangsa kurcaci. Tentu saja aku tak mau
ketinggalan!"
Sambil berkata begitu, dia acungkan kapaknya ke arah dua
bersuadara Sim. Kontan saja kedua orang itu jadi gusar. Tapi
karena harus menahan diri, paras muka mereka berubah hijau
membesi. Melihat tak ada yang mau tetap tinggal di situ, si Pengejar
Nyawa menghela napas panjang. Katanya kemudian,
"Baiklah, mari kita berangkat. Tapi ingat, jangan tergesagesa
dan tak perlu jalan cepat. Lebih baik kita jalan bersama,
sebisa mungkin jangan berpisah dari rombongan. Terlebih
lagi, jangan menyerang secara gegabah!"
Habis berkata demikian, dia berjalan meninggalkan tempat
itu. Tak lama kemudian kedelapanbelas orang jagoan itu sudah
melewati jalan air Siau-lian-huan-wu yang permukaan airnya
telah membeku. Dengan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh, bergeraklah mereka menyeberangi kanal itu.
Setelah lewat hutan di depan Perkampungan Hantu,
akhirnya perkampungan yang menghebohkan itu berada di
hadapan mereka.
Bangunan gedung yang tinggi dan besar itu tampak
mencekam dalam keheningan. Selain lapisan salju yang
menutupi wuwungan rumah, atap, belandar dan lorong,
lamat-lamat terasa pula hawa membunuh yang luar biasa
muncul dari balik gedung.
189 Si Pengejar Nyawa menarik napas dalam-dalam, bisiknya
kemudian, "Mari kita masuk!"
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba Jay In-hui berseru. "Coba
kalian lihat."
Semua orang berpaling. Tampak di atas dinding
pekarangan yang putih karena dilapisi salju, sebuah panah
besi yang telah berkarat menancap di ujung tembok. Kalau
ditinjau dari karat yang ada di atas benda itu, semestinya
sudah cukup lama anak panah itu berada di sana. Tapi
anehnya anak panah itu sekarang berlumuran darah segar,
bahkan masih menetes ke atas permukaan salju.
Di atas permukaan salju yang ada tetesan darahnya itu,
terteralah beberapa huruf besar yang sangat menggiriskan
hati. Tulisan itu berbunyi:
'"Sekali masuk Perkampungan Hantu, selama hidup jangan
harap balik ke rumah."
Membaca tulisan ini, Ji Bun-lui tertawa terbahak-bahak,
katanya, "Hahaha ... aku Ji Bun-lui memang tak berminat
untuk balik lagi ke-Kwang-tong!"
Sebuah pukulan langsung dilontarkan ke depan, bunga
salju pun beterbangan. Tulisan itupun ikut lenyap.
Terdengar lelaki yang bersenjata gurdi besi itu berseru
sambil menuding ke arah anak panah karatan itu.
"Bukankah anak panah itu milik Pau Hau?"
"Ya. Benar, benar tujuh jago penuntut balas yang lain
segera mengiakan.
Pengejar Nyawa ikut berkata, "Konon Soat-say-sam-ok
lenyap pada tiga tahun berselang. Tampaknya anak panah itu
adalah panah penembus bukit milik Pao Hau."
"Kita tak usah peduli anak panah itu lagi," tukas Ji Bun-lui
sambil tertawa nyaring. "Toaya ingin masuk sekarang!"
Sambil berkata, dia bacok pintu gerbang itu dan melangkah
masuk. Waktu itu langit masih gelap. Begitu pintu gerbang
terbelah, terlihatlah perkampungan bobrok itu membentang
190 sangat luas. Halaman dengan bangunan tinggi entah berakhir
sampai dimana. Di hadapan mereka sekarang adalah sebuah lorong yang
panjang sekali, tapi lorong itu sudah dilapisi salju.
Dengan sangat hati-hati, kedelapan belas orang jagoan itu
menelusuri lorong dan masuk ke dalam perkampungan.
Tapi kecuali kegelapan dan deru angin utara yang kencang,
mereka tidak melihat apapun dan tidak mendengar apapun!
Dalam keadaan begini, terpaksa semua orang harus
menghimpun tenaga dalam sambil bersiaga.
Sepanjang perjalanan In Seng-hong merasa kakinya seperti
menginjak sesuatu hingga berbunyi aneh. Terkadang dia
seperti merasa menendang sesuatu benda, kadang seperti
menginjak hancur suatu benda. Dalam heran dan curiganya,
buru-buru ia pasang api untuk memeriksa.
Apa yang kemudian terlihat membuat Jay In-hui menjerit
saking kagetnya. Ternyata permukaan lantai dipenuhi dengan
tulang-belulang manusia. Tampaknya orang-orang itu sudah
mati cukup lama, badannya sudah membusuk dan
keadaannya sangat menyeramkan. Bila ditinjau dari senjata
yang berserakan dimana-mana, tampaknya mayat-mayat
yang membusuk itu adalah mayat para jago dunia persilatan.
Mendadak dari antara bebatuan di atas gunung-gunungan,
si Pengejar Nyawa melihat ada sebuah tongkat baja yang
menancap di situ. Toya itu paling tidak beratnya mencapai
puluhan kati. Bila dilihat benda itu bisa menancap di sana,
dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga sang pemilik.
Di samping toya baja itu, membujur setumpuk tulangbelulang
manusia. Pada bagian tengkorak kepalanya masih
terlihat sisa rambutnya yang berwarna perak keabu-abuan.
Melihat semua itu, si Pengejar Nyawa menghela napas. Ia
berkata, "Ternyata Ang Su Sianseng memang tewas di tempat
ini!" Waktu itu mereka sudah tiba di depan undak-undakan
menuju ke halaman perkampungan. Dengan sangat hati-hati
kawanan jago itu melanjutkan perjalanannya.
191 Di tepi lorong sepanjang ruangan, mereka jumpai semakin
banyak tulang-belulang manusia yang berserakan di lantai. Di
dekat empat belandar besar, mereka pun menjumpai empat
kerat tulang-belulang manusia dengan dandanan pakaian
padri bersandar di situ.
Melihat tulang-belulang itu, keempat padri Siau-lim-si
segera merangkap tangan sambil menghela napas panjang,
"Murid sekalian, beristirahatlah dengan tenang. Guru pasti
akan membalaskan dendam kalian!"
Ketika tujuh jagoan penuntut balas melihat jenazah Ang Su
Sianseng dan para padri Tat-mo dari Siau-lim-si telah
ditemukan, mereka pun berharap jenazah guru mereka dapat
segera ditemukan. Tak kuasa menahan diri mereka berteriak
bersama, "Suhu ... Suhu ... Tecu telah datang!"
Teriakan itu diulang beberapa kali, namun tak ada jawaban
dari balik perkampungan. Kobaran darah dalam dada tujuh
jagoan penuntut balas makin berkobar, mereka memburu
masuk lebih dalam.
Di hadapan mereka sekarang terbentang tujuh delapan
puluh buah lorong panjang. Semua lorong saling
bersambungan, setiap sudut tikungan tergantung sebuah
lentera kuning yang berkedip bagai api setan.
Melihat ketujuh jagoan penuntut balas telah masuk duluan
dengan penuh bernafsu, si Pengejar Nyawa beramai segera
membuntuti, mereka kuatir ketujuh orang itu tertimpa
musibah. Cahaya lentera itu sungguh mengerikan hati. Ketika
menyoroti wajah mereka, persis seperti menyinari wajah
orang mati. Setelah menelusuri beberapa lorong lagi, akhirnya di ujung
sebuah ruangan ketujuh jagoan penuntut balas menemukan
sesosok mayat yang mengenakan baju hitam membujur di
sudut tembok. Lelaki bersenjata tombak emas itu segera membuang
lampu lentera ke lantai dan berteriak sedih, "Ahhh ...
bukankah jenazah itu adalah jenazah Suhu ..."
192 Tujuh jagoan penuntut balas segera maju mengelilinginya.
Setelah diteliti, akhirnya mereka mengenali tulang-belulang itu
sebagai jenazah Kok Ci-keng. Tak terlukiskan rasa sedih dan
gusar orang-orang itu. Sambil melolos senjata, mereka mulai
berteriak dan bersumpah akan membalas dendam.
Rombongan Si Pengejar Nyawa segera memburu tiba.
Siapa tahu, walaupun sudah satu kentongan lamanya mereka
berlarian dalam kegelapan, namun lorong ketemu lorong,
belandar ketemu belandar, bangunan yang ada di depan mata
seakan berlapis-lapis tiada habisnya.
Si Pengejar Nyawa tahu, gelagat tidak menguntungkan.
Benar juga, setelah berjalan beberapa saat kemudian, mereka
jumpai lagi lentera yang dibuang lelaki bersenjata tombak
emas itu. Kini mereka baru sadar bahwa mereka hanya
berputar-putar di tempat yang sama.
Diam-diam semua orang terkesiap. Langkah mereka
semakin berhati-hati. Setengah kentongan kemudian, akhirnya
mereka berhasil menemukan jenazah tiga jago Bu-tong-pay.
Dengan demikian, semakin terbukti bahwa rombongan Ang Su
Sianseng yang lenyap pada tiga tahun berselang, ternyata
sudah tewas di dalam perkampungan ini!
Perjalanan kembali dilanjutkan. Tapi sayangnya, walaupun
sudah berputar kian kemari, pada akhirnya mereka tetap
kembali ke posisi semula.
Dua kentongan sudah lewat. Semua orang mulai kelelahan,
tapi mereka belum juga berhasil keluar dari lorong panjang
itu. Melihat kejadian ini, si Pengejar Nyawa segera berkata
dengan nada berat, "Setelah kuamati, dapat kusimpulkan
bahwa lorong panjang ini tampaknya dibangun berdasarkan
barisan Jit-ji-kiu-hui (tujuh tikungan sembilan balikan). Sayang
aku sendiri kurang paham ilmu barisan ini. Tanpa mengetahui
kunci rahasianya, percuma kita berputar terus karena kita
akan kehabisan tenaga dan hasilnya tetap balik ke posisi
semula." 193 Setelah berlarian sekian lama, jidat Ji Bun-lui mulai dibasahi
keringat. Gagal menemukan jalan keluar membuat dia sangat
mendongkol, teriaknya, "Maknya! Tak usah berlagak seperti
setan! Kalau punya keberanian, ayo keluar dan bertarung tiga
ratus gebrakan melawanku!"
Dia mengulangi perkataan itu sampai beberapa kali,
suaranya menggaung sampai kemana-mana. Namun, kecuali
suara pantulan sendiri, sama sekali tak terdengar jawaban.
Waktu itu si Pengejar Nyawa sedang memperhatikan air
yang berceceran di lantai. Di bawah pantulan cahaya kuning,
mendadak ia melihat adanya biasan sinar hijau kehitamhitaman.
Segera ia berteriak, "Hati-hati! Besar kemungkinan
air itu beracun!"
Dia robek ujung bajunya, lalu dicelupkan ke dalam air itu.
Benar saja, pakaian itu segera berubah jadi kehitam-hitaman.
Maka sambil tertawa getir ia berkata, "Tampaknya dia sengaja
menyebar racun di dalam air, agar kita semua mati terkurung
di lorong panjang ini. Yan Bu-yu benar-benar sangat lihai!"
"Aku tidak percaya kalau tak bisa melewati bangunan
bobrok ini," teriak lelaki bersenjata rantai itu penuh amarah.
Kematian gurunya membuat dia bertambah sewot hingga
nyaris tak mampu mengekang diri. "Ayo kita segera
berangkat!"
Sambil berkata, ia menerjang maju ke muka.
"Jangan gegabah!" teriak si Pengejar Nyawa
memperingatkan.
Tapi lelaki itu sudah menerjang hingga ke sudut tikungan
lorong sana, diikuti dua rekan lainnya. Mendadak cahaya api di
tikungan padam, disusul kemudian muncul segulung asap
hitam berbau sangit. Jeritan ngeri yang memilukan hati pun
berkumandang memecah keheningan. Jeritan ngeri lelaki
bersenjata rantai!
Dua rekannya yang bersenjata Boan-koan-pit dan tombak
berantai nampak tertegun dan segera menghentikan langkah.
194 Si Pengejar Nyawa, In Seng-hong, Jay In-hui, Ji Bun-lui dan
Coa Giok-tan dengan cepat melampaui atas kepala mereka,
memburu ke tikungan lorong.
Tampak lelaki bersenjata rantai sudah tergeletak dengan
mata membalik. Seluruh otot badannya mengejang keras, dua
buah lubang kecil membekas di tenggorokannya, luka yang
merenggut jiwanya.
Dalam pada itu kenam jagoan penuntut balas, empat padri
dari Siau-lim dan dua bersaudara Sim telah menyusul tiba.
Melihat rekannya kembali jadi korban pembunuhan gelap,
rekan-rekan yang lain jadi sangat marah.
Si Pengejar Nyawa segera menghardik, "Saudara berenam,
bila kalian tak dapat mengendalikan diri, maka kalian bakal
terbantai habis di dalam Perkampungan Hantu ini!"
Ji Bun-lui tertawa dingin, ujarnya pula, "Bila kalian memang
sudah bosan hidup, silakan saja maju terus. Mau kulihat siapa
yang bakal membalaskan dendam guru kalian!"
Enam jagoan penuntut balas saling bertukar pandang
sekejap. Perkataan Ji Bun-lui sangat mengenai perasaan hati
mereka. Meski secara pribadi mereka tidak takut mati, tapi bila
mereka keburu mati, siapa yang bakal membalaskan dendam
sakit hati mereka"
Coa Giok-tan tidak malu disebut jago kenamaan dunia


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persilatan. Setelah melihat sekejap situasi di tempat itu, dia
segera berusaha mengendalikan diri lalu bertanya kepada si
Pengejar Nyawa, "Menurut pendapatmu, apakah kita tunggu
saja sementara waktu hingga fajar menyingsing?"
"Ai, aku sendiri juga tidak tahu," si Pengejar Nyawa
menghela napas panjang, "tapi aku rasa, biar menunggu
sampai esok pagi juga belum tentu kita dapat menjebol ilmu
barisan ini. Bila barisan ini takut sinar, mereka tak perlu
memasang begitu banyak lentera di sini. Jika harus menunggu
sampai esok pagi, mungkin kita akan kehilangan banyak
kesempatan. Selain itu, entah berapa banyak lagi korban yang
akan mati sia-sia. Dapat atau tidak kita menjebol barisan yang
sulit dijebol ini, yang penting adalah berusaha. Menunggu
195 sambil berpeluk tangan jelas bukan jalan keluar yang tepat.
Hanya saja aku belum menemukan jalan terbaik. Atau
mungkin ada diantara kalian yang punya jalan lebih baik?"
"Ya, bila saudara Pengejar Nyawa pun kehabisan akal,
apalagi aku si orang kasar?" sela Ji Bun-lui.
"Bila kau kehabisan akal, terpaksa kita duduk sambil
menunggu kematian!" ujar Sim Ciu.
"Ya, kalau kau punya kepandaian, carilah siluman
perempuan itu. Tak usah omong besar," sambung Sim Sat
sambil mendengus.
"Kalau aku pun tak sanggup, memangnya kalian dua
manusia banci sanggup?"
Mendengar ejekan itu, sontak saja dua bersaudara Sim naik
pitam. Melihat keributan itu, si Pengejar Nyawa segera
menghardik, "Sekarang keadaan sedang gawat, jangan hanya
masalah sepele malah saling gontok. Kalau ingin ribut,
menyingkirlah jauh-jauh, agar tidak menyusahkan yang lain!"
Ternyata dua bersaudara Sim paling benci kalau dikatai
orang sebagai banci. Namun mereka berdua pun agak segan
pada wibawa si Pengejar Nyawa. Maka setelah mendelik
sekejap ke arah Ji Bun-lui dengan penuh amarah, Sim Ciu
berseru, "Ingat baik-baik, hutang ini
"Pasti akan kami perhitungkan!" sambung Sim Sat.
"Bagus, lain kali aku pun akan mencari kalian untuk bikin
perhitungan," kata Ji Bun-lui pula menirukan logat mereka.
"Cianpwe Pengejar Nyawa," tiba-tiba Jay In-hui berbisik,
"aku punya akal. Cuma kurang tahu bisa digunakan atau
tidak?" "Coba katakan."
"Kalau toh kita tak mampu menjebol barisan di lorong ini,
kenapa tidak kita musnahkan saja" Toh barisan ini hanya
terbuat dari kayu, batu dan papan lapuk. Tidak susah untuk
menghancurkannya."
"Hah, benar! Benar! In-lote, binimu memang luar biasa!"
puji si Pengejar Nyawa berulang-kali.
196 Jay In-hui memang sudah cerdas sejak kecil. Sebagai
seorang perempuan, hatinya welas-asih dan tak terlalu senang
membunuh. Maka dalam soal ilmu silat dia kalah dari In Senghong.
Walau begitu, dia amat senang memutar otak dan selalu
berusaha mencari akal untuk menghadapi setiap musuh
tangguhnya. Maka ketika mereka kesulitan menjebol ilmu
barisan di lorong itu, terlintas dalam benaknya, mengapa tidak
sekalian menghancurkan barisan itu ketimbang peras otak
mencari cara pemecahannya"
Kembali si Pengejar Nyawa berkata sambil tertawa, "Nona
cilik, akalmu memang amat jitu! Daripada buang tenaga
memikirkan cara pemecahan barisan itu, memang lebih
gampang memusnahkannya. Aaai, percuma aku hidup
puluhan tahun lebih lama. Kalau dilihat tonggak-tonggak kayu
itu rasanya sudah lapuk dimakan usia. Dengan kekuatan kita,
paling dalam satu kentongan sudah dapat menyingkirkan
setengah bagian di antaranya. Cuma rekan-rekan harus
waspada, pertama karena ilmu barisan yang terpasang adalah
ilmu barisan Jit-ji-kiu-hui-tin. Bila dibilang kunci kehebatan
ilmu barisan berada pada lampu-lampu minyak itu, maka
pertama-tama kita harus memadamkan dulu semua lentera
yang ada, agar Yan Bu-yu tak sanggup melihat keberadaan
kita. Kedua, bila semua tonggak kayu, penghalang dan atap
bangunan telah kita hancurkan, maka akan terbukalah sebuah
jalan tembus. Cuma kalian mesti waspada, jangan sekali-kali
menginjak di atas papan kayu di bawah kaki kita. Lapisan air
di atas kolam ini tak bakal membeku meski di musim salju.
Bila kalian sampai tercebur, besar kemungkinan akan
mengalami nasib celaka!"
Semua orang kegirangan. Mereka segera turun tangan
membongkar semua penghalang yang ada. Menggunakan
kesempatan itu In Seng-hong melirik sekejap ke arah Jay Inhui
sambil memuji, "Hui-ji, kau memang luar biasa!"
Merah padam wajah Jay In-hui lantaran jengah. Tapi sikap
gadis itu justru membuat In Seng-hong semakin kesemsem.
197 Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri kembali berkumandang. In
Seng-hong segera mengendus bau kebakaran tak sedap.
Rupanya lelaki bersenjata rantai itu secara tak sengaja telah
menumbangkan sebuah lampu lentera ketika
berusaha memadamkannya. Minyak berwarna hitam yang
menodai tangan dan pakaiannya segera membuat seluruh
badannya ikut menghitam.
Melihat itu In Seng-hong berteriak, "Hati-hati, ada racun!"
Ketika lima jagoan penuntut balas hendak memayang lelaki
berantai itu, si Pengejar Nyawa segera menghalangi jalan
perginya. Dengan wajah serius dia berseru, "Tubuhnya
terkena racun jahat. Bagaimanapun juga jangan sampai
tersentuh!"
Waktu itu paras muka lelaki bersenjata rantai sudah
berubah jadi hitam keabu-abuan, sepasang biji matanya
melotot hampir keluar. Kepada kelima orang rekannya dia
berteriak, "Jangan sentuh aku ... aku ... aku tak tahan lagi! Ba
... balaskan dendam kematianku!"
Mendadak dia cabut senjatanya lalu ditusukkan ke lambung
sendiri! Tewaslah jagoan itu.
Dari tujuh jagoan penuntut balas, kini tinggal lima orang
yang masih hidup. Rasa gusar, sedih, dendam bercampuraduk
dalam perasaan mereka.
Si Pengejar Nyawa menghela napas panjang, ujarnya,
"Ketika rekan kita tewas karena mengendus bau sangit tadi,
seharusnya aku sudah mencurigai hal ini! Aaai, kenapa aku
tidak menduga kalau asap itu mengandung racun?"
"Kalau memang beracun, biar kudorong masuk ke dalam
air!" seru Ji Bun-lui.
"Betul, mari kubantu," sambung Coa Giok-tan.
Ji Bun-lui mengayunkan sepasang tangannya berulang kali.
Dimana angin pukulannya menyambar lewat, cahaya lentera
segera padam, sementara piring berisi minyak langsung
mencelat ke udara dan tercebur ke dalam kolam. Tak setetes
minyak pun yang tercecer di lantai.
198 Coa Giok-tan tidak tinggal diam. Senjata serat emasnya
diayunkan pula berulang kali menusuk api lentera hingga
padam. Setelah itu dia pun menyampuk piring berisi minyak
hingga mencelat keluar dan tercebur ke dalam kolam.
Tak lama kemudian, seluruh lentera yang ada sudah padam
dan tercebur ke dalam kolam. Anehnya, begitu cahaya lentera
itu padam, ternyata keadaan lorong panjang itupun berubah.
Tidak sepanjang dan sedalam tadi lagi.
Dengan hilangnya rintangan dari lampu minyak, dengan
cepat para jago mulai membongkar benda-benda yang ada di
sepanjang lorong. Dengan kemampuan beberapa orang ini,
tentu saja bukan pekerjaan susah untuk menyingkirkan segala
macam rintangan. Dimana angin pukulan menyambar lewat
atau senjata tajam menyapu datang, semua tonggak,
penghalang dan kayu berguguran roboh ke tanah.
Tiba-tiba kembali terdengar jerit kesakitan bergema.
Ternyata lelaki bersenjata tali karena kurang hati-hati,
menginjak papan hingga kakinya tercebur ke dalam kolam.
Seketika itu juga badannya jadi kaku dan kesemutan. Baru
meronta beberapa kali seluruh badannya sudah tenggelam ke
dasar kolam, yang tersisa hanya buih air.
Tak lama kemudian jenazahnya mengapung di permukaan
air, namun empat anggota badannya sudah membusuk. Yang
masih tersisa hanya bagian kepalanya, sebuah wajah yang
penuh dicekam perasaan ngeri.
Beberapa saat kemudian si Pengejar Nyawa berkata, "Mari
kita lanjutkan pembongkaran. Cuma kalian mesti hati-hati,
jangan sampai mati sia-sia karena tak ada yang bakal
membalaskan dendam!"
Setengah kentongan kemudian semua barang yang
menghadang di sepanjang lorong sudah dibongkar dan
disingkirkan. Kini jalan masuk maupun keluar sudah terlihat jelas. Maka
sambil tertawa dingin si Pengejar Nyawa berseru,
"Yan Bu-yu, kau gagal mengurung kami!"
199 Tiba-tiba dari bilik sebelah timur terdengar seseorang
tertawa merdu, kemudian tampak seorang wanita cantik
bagaikan bidadari dari kahyangan pelan-pelan berjalan
mendekat. Gadis itu baru berusia dua puluhan tahun,
senyumnya manis bagai bunga yang mekar, gerak-geriknya
genit merangsang. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai
di punggung. Dia mengenakan baju berwarna putih salju.
Semula keempat jagoan penuntut balas merasa gusar,
sedih bercampur dendam. Mereka ingin sekali mengumbar
amarah. Tapi setelah mengetahui yang muncul hanya seorang
nona muda yang cantik, lemah dan berwajah pucat, mereka
jadi mele-ngak dan berdiri melongo.
Jay In-hui juga merasa amat simpatik. Tanpa sadar ia
memanggilnya sambil tertawa, "Cici"
Perempuan berwajah pucat itu tertawa manis, katanya
lembut, "Nona, kemarilah kau, ayo ... kemari"
Tanpa sadar Jay In-hui melangkah maju. Ia merasa
perempuan itu semakin dipandang semakin menarik hati.
Walau dalam hati tak ingin bergerak, namun kakinya seakan
bergeser sendiri.
Tampaknya perhatian semua orang waktu itu sudah terisap
oleh senyuman dan kecantikan perempuan itu. Tak seorang
pun berusaha menghalangi si nona maju mendekat.
Ketika Jay In-hui berjalan maju lagi beberapa langkah, tibatiba
perempuan itu menggeser rambut panjangnya dengan
lembut, lalu berbisik, "Ayohlah, mendekat... mendekat
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring menggelegar, secepat
sambaran kilat In Seng-hong menyelinap ke hadapan Jay Inhui.
"Criiing!" cahaya putih berkelebat, tahu-tahu dia sudah
merontokkan sebatang jarum dengan pedangnya.
Bentakan dan serangan yang dilakukan sangat mendadak,
seketika menyadarkan semua orang dari pengaruh sihir itu.
Untung In Seng-hong mencongkel serangan jarum itu tepat
pada waktunya. Jangan dilihat jarum itu sangat kecil, ternyata
In Seng-hong merasakan pergelangan tangannya kesemutan!
Kenyataan ini tentu saja membuat dia semakin terkesiap.
200 Jay In-hui yang baru sadar dari pengaruh sihir nampak
ketakutan setengah mati. Wajahnya pucat pasi, dia tidak
menyangka perempuan yang nampak tersenyum ramah dan
selalu bersikap lemah-lembut ini ternyata tega melancarkan
serangan mematikan. Coba jika In Seng-hong tidak segera
sadar, mungkin saat ini jiwanya sudah melayang.
Ilmu Si-hun-toa-hoat (ilmu hipnotis) yang dikuasai Yan Buyu
memang luar biasa hebatnya. Asal pikiran orang mulai
terpecah dan memperhatikan dirinya, maka dengan ilmu itu
Yan Bu-yu akan mengendalikan seluruh pikiran dan perasaan
korbannya. Jangan lagi mereka yang berilmu cetek, bahkan
orang dengan tenaga sesempurna si Pengejar Nyawa dan Ji
Bun-lui pun, karena kurang hati-hati, untuk sesaat mereka
kena pengaruh hipnotis si Selir Berdarah ini.
Tenaga dalam ln Seng-hong memang tidak sehebat si
Pengejar Nyawa. Semestinya dia pun sulit terlepas dari
pengaruh sihir itu. Namun berhubung konsentrasinya waktu
itu justru tertuju ke diri Jay In-hui, maka walaupun dia pun
terpikat oleh kecantikan Yan Bu-yu, namun pikirannya tidak
seratus persen terpengaruh. Itulah sebabnya di saat yang
paling kritis, ia masih sempat menyelamatkan jiwa Jay In-hui.
Dengan penuh amarah, para jago mulai melototi Yan Buyu.
Tapi perempuan siluman itu masih tetap tertawa genit
sembari berkata, "Nona cilik itu telah merusak Jit-ji-kiu-huitinku.
Jadi aku pun ingin mencicipi apakah darahnya manis"
Atau kecut" Atau getir atau asin ...?"
"Siluman perempuan!" umpat Ji Bun-lui gusar, "kau masih
punya ilmu simpanan apa lagi" Ayo cepat keluarkan semua!"
"Ilmu simpanan apa lagi?" Yan Bu-yu tertawa ringan, "Jit-jikiu-
hui-tin telah kalian jebol, kolam Huan-kut-ti (kolam
penghancur tulang) gagal melumat tulangmu, minyak neraka
gagal menggoreng kulit kalian, jarum sakti pencabut nyawa
berhasil kalian patahkan, ilmu pembetot sukma juga tak
berhasil mempengaruhi kalian. Aku masih punya simpanan
apa lagi" Ya, rasanya terpaksa harus membiarkan kalian
membunuhku"
201 Walaupun apa yang disinggung merupakan ilmu pembunuh
yang paling menakutkan dan menyeramkan, namun ia justru
mengucapkannya dengan nada begitu sendu, seolah dialah
orang yang patut dikasihani.
Yan Bu-yu sesungguhnya adalah seorang gadis yang
berbakat alam, cerdik dan memiliki ilmu silat sakti. Namun
sejak diperkosa oleh pangeran Se-ih, kemudian dicampakkan
begitu saja, dia selalu berusaha agar pangeran itu mau
mencintai dirinya. Malah dia pun menjuluki diri sebagai
seorang 'selir'. Tapi usahanya itu berakhir dengan kegagalan.
Yan Bu-yu tidak putus asa. Berulang kali dia memohon
kepada Pangeran Se-ih agar tidak mencampakkan dirinya
begitu saja. Tapi dasar berhati kejam dan telengas, bukan saja
sang pangeran menolak cintanya, bahkan merusak wajahnya
dan membuang tubuhnya ke dalam jurang.
Untung dia tidak tewas karena peristiwa itu. Untuk
membalas dendam, dia pun melatih ilmu Si-hun-toa-hoat dan


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sin-hun-mo-ing, kemudian berlatih pula ilmu pengisap darah
untuk memulihkan kecantikan wajah dan kemudian berlatih
pula ilmu jarum pencabut nyawa.
Ketika ia berhasil menguasai seluruh kepandaian itu,
pelacakan pun dilakukan. Akhirnya dia berhasil menemukan
jejak sang pangeran. Dengan ilmu Si-hun-toa-hoat, dia
hipnotis para pengawal hingga tunduk di bawah perintahnya,
lalu dengan ilmu irama iblis dia kalahkan pangeran Se-ih. Dan
dengan menggunakan jarum pencabut nyawa, dia butakan
sepasang mata sang pangeran lalu mengisap darahnya hingga
kering. Sejak itulah dia terkenal sebagai Selir Berdarah. Namun
wataknya ikut berubah, banyak muda-mudi dan perempuan
hamil yang diisap darahnya demi terwujudnya ilmu iblis Huahiat-
mo-kang. Kecantikan wajahnya pun makin menggiurkan.
Banyak tokoh silat dan jago lihai yang murka setelah
mengetahui sepak terjangnya. Mereka berusaha memburu dan
membunuhnya, tapi sayang hampir semuanya mati sia-sia.
Apalagi setelah dia berhasil melatih ilmu barisan yang bisa
202 mengurung banyak orang, kehebatannya semakin tiada
tandingannya. "Omitohud," terdengar empat padri Siau-lim-si berkata
sehabis mendengar perkataan yang mengenaskan itu,
"kedatangan Lolap bukan bermaksud akan mencelakai Li-sicu.
Bila Li-sicu mau melepaskan golok pembunuh dan kembali ke
jalan Buddha, Lolap jamin keselamatan Li-sicu hingga tiba di
kuil kami."
"Toa-hwesio, kalian tak boleh membebaskan dia!" teriak
lelaki bersenjata peluru geledek dengan cepat. "Guru kami dan
saudara-saudara kami telah tewas di tangannya. Kau tak
boleh mengampuni jiwanya!"
Yan Bu-yu segera tertawa cekikikan, ujarnya kepada
keempat Hwesio itu, "Coba kalian lihat, kamu berempat
bersedia membebaskan aku, tapi mereka tak mau"
"Omitohud!"
"Kalian jangan memuji Buddha melulu, tidak enak didengar.
Lebih baik aku saja yang bernyanyi untuk kalian."
"Jangan beri kesempatan kepadanya untuk bernyanyi" tibatiba
Pengejar Nyawa membentak nyaring.
Sayang, sebelum dia menyelesaikan perkataannya, Yan Buyu
sudah memutar tangannya yang halus sambil menyanyi
merdu: "Awan ingin pakaian, bunga ingin wajah, angin berhembus
sepoi menyiarkan bau harum".
Si Pengejar Nyawa ingin menghardik, namun dadanya
segera terasa bergolak keras. Lekas dia tutup mulut sambil
menghimpun tenaga dalam melindungi denyut nadi. Dia tak
berani lengah karena sedikit saja kurang hati-hati, pikirannya
pasti akan dikendalikan lawan.
Pengejar Nyawa tahu, Yan Bu-yu telah menggunakan irama
iblis pembetot sukma untuk menguasai pikiran dan perasaan
orang. Tampak paras muka Ji Bun-lui sudah mulai berubah. Kalau
tadinya keras dan kasar, maka sekarang mulai melemah. Coa
Giok-tan kelihatan agak terharu, sementara dua bersaudara
203 Sim nampak seperti orang bingung. Yang paling parah adalah
empat jagoan penuntut balas, mereka seakan sudah mulai
mabuk kepayang.
Yan Bu-yu semakin menggila. Kini bukan saja menyanyi,
dia pun mulai menari. Tariannya indah, lemah gemulai
bagaikan putri keraton yang sedang menari di singgasana.
"Bila tidak bersua di puncak bukit, kapan bisa bertemu di
tengah kolam"
Semua jago makin terpikat, makin terpengaruh. Mereka
seakan sudah mabuk, kesadarannya mulai berkurang.
Pengejar Nyawa amat gelisah. Ia sadar, bila gadis itu tak
dicegah maka semua jago akan celaka. Maka sambil
menghimpun tenaga dalamnya melindungi detak jantung,
selangkah demi selangkah dia paksakan diri maju
menghampiri Yan Bu-yu. Hanya satu keinginannya saat ini,
yaitu segera menghentikan tarian dan nyanyiannya.
Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Pengejar Nyawa
merasa hatinya tergiur, perasaan cinta mendadak menyelimuti
hatinya. Ia sadar keadaan tidak menguntungkan, segera hawa
murni dihimpun kembali dan ia berusaha memadamkan napsu
birahi yang muncul secara tiba-tiba itu.
Kalau manusia macam si Pengejar Nyawa saja sulit
mengendalikan diri, bisa dibayangkan keadaan orang lain.
Tapi yang paling parah keadaannya adalah empat jagoan
penuntut balas.
Terdengar Yan Bu-yu bernyanyi lebih jauh:
"Setangkai bunga merah, layu sebelum berkembang, hutan
di tengah bukit, kabur dan gelap diguyur hujan ...."
Ketika perempuan iblis itu bernyanyi sampai di situ, empat
jagoan penuntut balas sudah tak kuasa mengendalikan diri
lagi. Mereka mulai ikut mencak-mencak dan menari seperti
orang gila... "Byuuurrr ...!" lelaki bersenjata Boan-koan-pit tak dapat
menahan diri lagi, dia mencak-mencak sambil melompat ke
tengah kolam. Akhirnya ... dalam sekejap di dalam kolam
204 pelumat tulang kembali bertambah dengan sesosok mayat
yang telah membusuk.
Situasi bertambah kritis, tampaknya sejenak lagi semua
jago akan terpengaruh oleh irama iblis itu.
Mendadak terdengar seorang bersenandung nyaring,
suaranya keras dan lantang seakan Pekikan naga yang
membelah angkasa....
"... Bertanya ke istana, siapa penghuninya, kasihan si walet
terbang kehilangan sarangnya...."
Ternyata orang yang bersenandung nyaring itu tak lain
adalah In Seng-hong!
Sebenarnya, jika ilmu irama iblis pembetot sukma dapat
menguasai si Pengejar Nyawa, tentu dapat pula menguasai In
Seng-hong dan Jay In-hui. Tapi berhubung jago yang hadir di
arena saat itu lebih banyak lelakinya, maka Yan Bu-yu
menggunakan irama rangsangan untuk menggiring pikiran
mereka memasuki alam seks, kemudian menuntun mereka
satu per satu agar menceburkan diri ke dalam kolam pelumat
tulang. Karena irama itu hanya khusus ditujukan untuk kaum pria,
dengan sendirinya pengaruh bagi Jay In-hui hanya sebatas
menumbuhkan perasaan cinta yang lebih mendalam. Apalagi
gadis itu masih perawan dan belum pernah dijamah lelaki,
dengan sendirinya irama iblis itu tak bisa membangkitkan
birahinya. Sebagai seorang pria, otomatis In Seng-hong terpengaruh
juga oleh irama iblis itu. Namun karena cinta kasihnya
terhadap Jay In-hui adalah cinta sejati, maka yang muncul
pada sikapnya hanyalah sebatas pandangan menerawang.
Jay In-hui segera menyadari kalau gelagat tidak beres.
Maka dengan sekuat tenaga ia pencet jalan darah In Senghong
yang membuat pemuda itu sadar seketika. Melihat para
jago mulai dipengaruhi irama iblis sementara si Pengejar
Nyawa su-dah bermandikan keringat, lekas dia kerahkan hawa
murninya dan bersenandung nyaring.
205 Betapa terperanjatnya Yan Bu-yu ketika melihat irama
iblisnya dijebol oleh seorang anak muda yang sama sekali tak
dikenal sebelumnya.
Begitu pengaruh irama iblis buyar, si Pengejar Nyawa
langsung menerjang ke depan diikuti Ji Bun-lui dan Coa Gioktan.
Yan Bu-yu semakin terkesiap. Saking kagetnya, paras
mukanya berubah jadi pucat. Segera dia merubah nada
nyanyiannya, kali ini dia membawakan sebuah lagu sedih dan
menyayat hati....
Waktu itu si Pengejar Nyawa beramai sudah berada di
hadapan iblis wanita itu, tapi belum sempat mereka
melancarkan serangan, nyanyian yang memilukan hati telah
berkumandang. Pikiran mereka kontan tergoncang, dalam
kagetnya mereka tak sempat lagi menyerang iblis wanita itu.
Segera mereka menghimpun tenaga dalam untuk melindungi
diri. Meskipun In Seng-hong masih bersenandung dengan suara
lantang, tapi karena lagu yang dinyanyikan Yan Bu-yu dalam
irama iblisnya bukan lagu gubahan penyair terkenal, maka
walaupun suara pemuda itu amat nyaring, tenaga dalamnya
belum terlalu sempurna. Lambat-laun suaranya semakin
melemah dan mulai terpengaruh oleh suara nyanyian lawan.
Perlu diketahui, meskipun In Seng-hong berjiwa lurus dan
belum pernah menjamah tubuh Jay In-hui, namun bagaimana
pun juga dia tetap seorang pemuda yang berdarah panas.
Lama-lama imannya goyah juga, perlahan-lahan dia mulai
terpengaruh oleh irama iblis itu dan sukar mengendalikan diri.
Para jago mulai merasa ada segulung hawa panas
berkeliaran di seputar Tan-tian, hawa panas itu mulai
menyembur kian-kemari secara liar. Merasakan hal itu, semua
jago jadi terperanjat.
Mereka sadar, bila hawa sesat itu semakin berkeliaran
secara liar dan tak terkendali, maka mereka semua akan
mengalami Cau-hwe-jip-mo (jalan api menuju neraka). Sekali
206 hawa murni buyar, selama hidup jangan harap bisa terhimpun
kembali. Lekas mereka pusatkan segenap perhatian untuk
menyalurkan hawa murni dan melawan irama iblis itu.
Kembali beberapa saat lewat dengan cepatnya, peluh telah
membasahi wajah semua orang. Bukan cuma jidat yang
basah, pakaian mereka pun basah kuyup.
Nampak musuh mulai kepayahan, Yan Bu-yu semakin
menggila. Dia mulai melepas sebagian pakaiannya dan mulai
menari cabul. Wajahnya yang semula putih, kini berubah
makin memucat. Tampaknya pertempuran ini sudah mencapai
puncaknya, masing-masing pihak berusaha merobohkan lawan
secepat mungkin.
Lelaki bersenjata tombak emas dari tiga jagoan penuntut
balas mulai tak mampu mengendalikan diri. Napasnya mulai
ngos-ngosan seperti kerbau, akhirnya tak kuasa lagi, ia jatuh
tercebur ke dalam kolam. Sesosok mayat membusuk kembali
menjadi penghuni tetap kolam itu.
"Omitohud!" pujian kepada sang Buddha mendadak
mendengung di angkasa. Pujian pertama membawa kekuatan
bagaikan Pekikan naga, disusul pekikan kedua yang membawa
auman harimau. Begitu irama iblis itu sedikit jebol, pujian
kepada sang Buddha yang ketiga dan keempat bergema susulmenyusul.
Rupanya empat padri sakti dari Siau-lim-si telah
menyelamatkan situasi yang amat kritis itu. Sebagai padri
yang pantang berpikiran cabul, tentu saja mereka lebih
gampang menguasai diri ketimbang jago lainnya.
Pengejar Nyawa, Ji Bun-lui dan Coa Giok-tan kembali
tersadar dari pengaruh irama iblis. Serentak mereka mendesak
ke muka dan siap melancarkan serangan.
Tiba-tiba terlihat paras muka Yan Bu-yu berubah jadi hijau
membesi, sekujur badan gemetar keras. Dia tidak nampak
seluwes dan segenit tadi lagi. Sementara irama iblisnya
kembali berubah, kini dia membawakan suara nyanyian seperti
207 jeritan setan iblis dari neraka! Bagai rintihan dan jeritan ngeri
roh-roh gentayangan yang muncul dari alam baka.
Empat padri Siau-lim-pay kembali mengerahkan auman
singanya untuk melawan pengaruh irama iblis itu. Namun
sesaat kemudian perlawanan mereka semakin melemah dan
tiba-tiba darah segar menyembur dari mulut keempat orang
padri itu. Keadaan kembali gawat.
Si Pengejar Nyawa sadar, bila keadaan dibiarkan begitu
terus maka mereka akan kalah total. Maka sambil
memaksakan diri, selangkah demi selangkah dia berusaha
mendekati Yan Bu-yu. Maksudnya agar perempuan iblis itu
pecah perhatiannya.
Yan Bu-yu bukan orang bodoh, tentu saja dia tahu tujuan
lawan. Irama iblisnya semakin diperhebat.
Para jago merasa jantung mereka berdebar makin keras,
terasa ada beribu-ribu setan iblis seakan sedang
mencengkeram hulu hati, membuat bulu kuduk berdiri, peluh
bercucuran bagai hujan gerimis.
Dua jagoan penuntut balas yang tersisa mulai gontai.
Mereka seakan melihat guru mereka, Kok Ci-keng, berdiri di
hadapannya dengan tubuh berlumuran darah, wajahnya
menyeramkan. Bahkan sambil berjalan di tengah lorong,
gurunya berseru agar mereka membalaskan dendam sakit
hatinya dengan membunuh si Pengejar Nyawa!
Hancur sudah pertahanan batin kedua jagoan itu. Mereka
segera menganggap si Pengejar Nyawa benar-benar adalah
musuh besarnya. Sambil mempersiapkan senjata peluru
geledek dan gurdi panjangnya, mereka menyerang si Pengejar
Nyawa habis-habisan.
Irama iblis pembetot sukma Yan Bu-yu merupakan sejenis
ilmu yang boros tenaga dalam. Bila serangan yang
berkepanjangan tidak segera disudahi, maka dia akan
menderita luka parah.
Ketika irama iblisnya dua kali terbendung hingga jebol,
keadaan Yan Bu-yu sudah makin parah. Dalam keadaan begini
208 dia hanya berharap bisa segera melenyapkan musuh secepat
mungkin. Waktu itu sebenarnya si Pengejar Nyawa sudah bersiap
melancarkan serangan ke arah Yan Bu-yu. Tapi dengan
datangnya serangan dua jagoan penuntut balas, konsentrasi si
Pengejar Nyawa jadi terbelah.
Di satu pihak si Pengejar Nyawa harus mengerahkan hawa
murni untuk melindungi diri dari pengaruh irama iblis, di pihak
lain harus membendung serangan menggila dua jagoan
penuntut balas. Padahal dia pun merasa tak tega untuk
membunuh kedua orang rekannya. Tak heran kalau dia segera
keteter hebat, terjerumus di bawah angin dan posisinya
sangat berbahaya.
Ji Bun-lui dan Coa Giok-tan berdua, meski punya keinginan
untuk memberi bantuan, namun mereka sendiri pun tak
mampu berkutik karena dengan susah payah mereka harus


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan pengaruh irama iblis.
Begitu pula keadaan In Seng-hong dan Jay In-hui, dua
bersaudara Sim maupun empat padri dari Siau-lim-si.
Di saat yang amat kritis itulah mendadak terdengar seorang
tertawa keras, suaranya tinggi melengking, tertawanya seperti
orang gila tapi segera menjebol pengaruh irama iblis!
Menyusul tampak seorang berbaju putih compang-camping
menerjang masuk ke dalam ruangan. Begitu bertemu Yan Buyu,
ia segera membentak nyaring,
"Kembalikan nyawa Suhengku!"
Begitu berada di sisi Selir Berdarah, sebuah pukulan
langsung dilancarkan.
Ternyata orang ini tak lain adalah Yu-bun Siu!
Tiga tahun berselang, ketika Yu-bun Siu bersama Ang Su
Sianseng dan Kok Ci-keng memasuki Perkampungan Hantu,
dia sudah terbetot sukmanya oleh irama iblis itu hingga
kehilangan kesadaran otaknya.
Meskipun kemudian ia berhasil lolos dari Perkampungan
Hantu, namun perasaan takut selalu mencekam hatinya. Dia
tak pernah berani memasuki perkampungan itu lagi. Maka dia
209 pun luntang-lantung di dalam dunia persilatan sambil bicara
melantur. Tadi dia telah bertemu dengan rombongan si Pengejar
Nyawa, bahkan sempat beradu pukulan dengan dua
bersaudara Sim. Kemudian dia pun melihat jenazah si Tamu
Berjubah Hitam Pa Thian-sik yang tewas secara mengenaskan.
Padahal Pa thian-sik adalah saudara seperguruan Yu-bun
Siu. Hubungan batin mereka selama ini sangat akrab melebihi
hubungan persaudaraan. Terbukti kedatangan Pa Thian-sik ke
Perkampungan Hantu pun khusus untuk melacak siapa yang
telah membuat saudaranya itu jadi gila.
Sayang sebelum niatnya membalas dendam tercapai, dia
sudah tewas di tangan Sim-cap-sa-nio.
Tatkala Yu-bun Siu menemukan jenazah Pa Thian-sik tadi,
tiba-tiba kenangan lamanya pelan-pelan muncul kembali.
Dia pun menganggap kakak seperguruannya tewas di
tangan Yan Bu-yu.
Karena itu dia menerobos masuk lagi ke Perkampungan
Hantu dan kebetulan bertemu dengan Yan Bu-yu.
Dalam keadaan masih dipengaruhi irama iblis, dalam benak
Yu-bun Siu hanya tahu dia harus membunuh Yan Bu-yu untuk
membalaskan sakit hati kakak seperguruannya. Dengan
sendirinya dia jadi tidak terpengaruh sama sekali oleh irama
iblis yang masih disenandungkan waktu itu.
Begitu irama iblis jebol, Ji Bun-lui dan Coa Giok-tan segera
melejit ke udara dan mundur ke belakang sambil bersiap,
sementara dua jagoan penuntut balas merasa badan jadi
lemas tak bertenaga. Otomatis serangan mereka pun langsung
terhenti. Sebaliknya empat padri Siau-lim-pay segera mengatur
pernapasan untuk memulihkan kembali kekuatan, sedang dua
bersaudara Sim seakan baru mendusin dari mimpi buruk.
Diam-diam mereka menyeka keringat dingin.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Yu-bun Siu memang
sangat hebat. Oleh karena waktu itu Yan Bu-yu sedang
berkonsentrasi mengerahkan irama iblisnya, ia jadi kaget
210 ketika melihat pihak musuh tahu-tahu sudah muncul di depan
mata. Untuk berkelit jelas sudah terlambat!
Ketika melihat Yu-bun Siu sedang berusaha menghantam
jalan darah Thian-leng-kay di ubun-ubunnya, Yan Bu-yu tak
sempat lagi mengurusi irama iblisnya. Dia segera melejit ke
samping sambil menggigit tengkuk musuhnya kuat-kuat.
"Kraaak, kraaak ..." suara gemerutuk keras bergema dari
tengkuk Yu-bun Siu. Setelah meronta berapa kali, karena
saluran pernapasannya putus, matilah jagoan itu dengan mata
mendelik. Pengejar Nyawa segera melihat peluang baik untuk lolos
dari pengaruh irama iblis. Serangan Yu-bun Siu telah
membuat iblis wanita itu pecah konsentrasinya. Buru-buru dia
berseru, "Cepat kita serang Yan Bu-yu! Jangan beri
kesempatan kepadanya untuk menggunakan irama iblisnya
lagi!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, dia telah
melepaskan tiga puluh enam buah tendangan berantai.
Hampir semua jurus serangannya ganas dan hebat! Hal ini
memaksa Yan Bu-yu harus mundur tiga puluh enam langkah
secara beruntun.
Belum lagi dia sempat mengeluarkan irama iblisnya, seutas
tali serat berwarna emas telah menusuk Jin-tiong-hiat di
bawah hidungnya. Lekas perempuan iblis itu menundukkan
kepala menghindar.
Coa Giok-tan tidak tinggal diam. Ia ikut menerjang ke muka
sambil melancarkan serangan maut.
Karena harus menghadapi serangan dari dua arah, Yan Buyu
tak punya kesempatan lagi mengeluarkan ilmu irama iblis
pembetot sukmanya.
Padahal ilmu yang paling diandalkan Yan Bu-yu .adalah
ilmu barisan ditambah ilmu pembetot sukma dan irama iblis,
sementara ilmu pengisap darah hanya berguna untuk
pertarungan jarak dekat.
211 Dengan posisi pertarungan jarak jauh seperti saat ini, Yan
Bu-yu mulai keteter hebat. Dia hanya bisa bertahan sekuat
tenaga. Beberapa gebrakan kemudian, mendadak perempuan iblis
itu berusaha menggigit tengkuk Coa Giok-tan. Menghadapi
ancaman ini, buru-buru jagoan she Coa ini melompat mundur.
Saat itulah Yan Bu-yu berpekik nyaring, suaranya amat keras
hingga bergema sampai dimana-mana.
Bersamaan dengan bergemanya suara pekikan itu, tiba-tiba
dari dua sisi lorong bermunculan sepuluh orang jago.
Ternyata mereka adalah enam orang gagah dari Siang-pak
serta empat manusia berbaju emas. Saat itu rambut mereka
awut-awutan, sinar mata mereka memancarkan kebuasan.
Dengan senjata terhunus mereka menyerang si Pengejar
Nyawa dengan membabi buta.
ooOOoo 7. Membunuh Sahabat.
Para jagoan tahu, beberapa orang itu pasti sudah
terpengaruh irama iblis sehingga tunduk pada perintah Yan
Bu-yu. Tak terlukiskan rasa gusar Ji Bun-lui melihat kekejaman
perempuan itu. Tanpa peduli gengsi lagi dia segera mengayun
kapaknya dan ikut mengembut wanita iblis itu dengan
serangan brutal. Yang diharapkan sekarang hanya secepatnya
membunuh sang Selir Berdarah.
Dua bersaudara Sim yang eksentrik dan aneh juga sadar,
bila Yan Bu-yu sampai mendapat kesempatan untuk
menggunakan irama iblisnya, bisa jadi mereka berdua akan
mati mengenaskan. Maka mereka segera maju menyongsong
datangnya serangan dari sepuluh orang itu dan bertarung
mati-matian. Waktu itu keempat padri dari Siau-lim hanya bisa duduk
mengatur pernapasan, karena mereka telah kehilangan
banyak tenaga. In Seng-hong sadar keadaan sangat gawat,
212 bersama Jay In-hui mereka ikut menyerang Yan Bu-yu habishabisan.
Hanya sayang Jay In-hui seakan masih menaruh
simpati terhadap si Selir berdarah, hingga selalu enggan
melancarkan serangan mematikan.
Karena harus menghadapi kerubutan lima orang jagoan
sekaligus, sesaat kemudian seluruh badan Yan Bu-yu sudah
basah keringat. Dia mulai menunjukkan wajah duka yang
mendalam. Di pihak lain, dua bersaudara Sim dengan mengandalkan
ilmu saktinya, bertarung melawan dua orang jagoan dari
Siang-pak serta seorang lelaki berbaju emas.
Ji Bun-lui yang berangasan dan kasar akhirnya tak mampu
menahan diri lagi, dia lancarkan sebuah bacokan kilat
mengancam punggung Yan Bu-yu.
Tampaknya perempuan iblis itu akan segera tewas oleh
bacokan maut itu ... mendadak terlihat cahaya emas
berkelebat lewat. Ternyata Coa Giok-tan tak tega menyaksikan
perempuan itu tewas mengenaskan, maka dia tangkis bacokan
kapak itu dengan senjatanya.
Menggunakan kesempatan itu, Yan Bu-yu melancarkan
tubrukan nekad! Tampak bayangan putih berkelebat, dia
langsung menggigit tengkuk si Pengejar Nyawa.
Segera opas sakti itu mundur ke belakang, mendadak
kakinya menginjak tempat kosong, tubuhnya terjerumus ke
bawah! Untung si Pengejar Nyawa memang seorang jago
yang hebat. Cepat dia menghimpun tenaga sambil bersalto
berulang kali di udara. Meski berhasil mendarat selamat di
tengah lorong, tak urung peluh dingin membasahi
tubuhnya. Untuk sesaat si Pengejar Nyawa terpisah dari rombongan.
Yan Bu-yu segera memanfaatkan peluang ini dengan
melepaskan tujuh delapan belas jurus serangan berantai.
Semua ancaman ditujukan ke jalan darah penting di tubuh In
Seng-hong. 213 Dicecar semacam ini, In Seng-hong dipaksa mundur hampir
tujuh delapan langkah. Jay In-hui sendiri sesungguhnya
memang tak berniat bertarung melawan perempuan iblis itu,
sejak awal dia sudah berniat membebaskannya. Maka begitu
melihat Yan Bu-yu menyerang secara nekad, dia pun ikut
mengundurkan diri dari arena.
Sebenarnya inilah kesempatan yang terbaik bagi si Selir
Berdarah Yan Bu-yu meloloskan diri dari kepungan, ketika itu
serat emas Coa Giok-tan sedang digunakan untuk menahan
bacokan kapak Ji Bun-lui. Sayang si Selir
Berdarah memang berwatak brutal. Bukannya mundur, dia
malah tertawa seram dan secara beruntun melepaskan tiga
batang jarum sakti pencabut nyawa.
Tiga batang jarum sakti pencabut nyawa itu semuanya
diarahkan ke tubuh Coa Giok-tan. Padahal waktu itu senjata
serat emasnya sedang menahan bacokan kapak. Dia tak
sempat lagi menarik kembali senjatanya. Segera tangan
kirinya disentil ke depan untuk merontokkan sebatang jarum,
kemudian dia miringkan kepala menghindari jarum kedua.
Namun jarum ketiga langsung menghajar lengan kirinya.
Coa Giok-tan segera merasakan lengannya kaku. Sadar
kalau jarum itu beracun, segera dia tarik kembali senjatanya
dan menggulung ke arah tubuh perempuan iblis itu.
Melihat Coa Giok-tan termakan jarum beracunnya, Yan Buyu
kegirangan setengah mati. Serunya sambil tertawa
terkekeh, "Mampus kau! Jarum sakti pencabut nyawa hanya
bisa dipunahkan olehku dan Toasuheng. Lebih baik tunggulah
kematianmu di sini!"
Dengan cepat dia melompati kolam pelumat tulang
kemudian melayang turun di lorong yang lain.
Dalam pada itu Ji Bun-lui telah menarik kapak terbangnya.
Melihat Yan Bu-yu berhasil melukai Coa Giok-tan, ia jadi amat
gusar. Bentaknya, "Siluman perempuan, lihat kapakku!"
"Wees!" kembali kapaknya meluncur ke udara dan
membacok ke atas kepala Yan Bu-yu.
214 Waktu itu baru saja si Selir Berdarah melayang turun di
lorong lain. Dia jadi kaget ketika melihat datangnya ancaman
itu. Bingung bagaimana cara menghindar, dengan cepat dia
sambar tubuh seorang lelaki berbaju emas yang kebetulan
berada di sisinya dan digunakan untuk menangkis.
"Bluuuk!" diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati, kapak
terbang Ji Bun-lui menghajar telak dada lelaki itu.
Dalam pada itu dua bersaudara Sim baru saja berhasil
memenangkan pertarungannya. Dengan kemampuan yang
mereka miliki, dalam waktu singkat dua jagoan dari Siang-pak
dan seorang lelaki berbaju emas telah berhasil mereka habisi.
Melihat si Selir Berdarah berada dekat mereka, dua
bersaudara Sim segera memutar telapak tangan dan langsung
dihajarkan ke tubuh perempuan itu.
Yan Bu-yu tertawa dingin, dia buang jenazah lelaki berbaju
emas itu dan menangkis datangnya dua pukulan itu.
Siapa tahu serat emas Coa Giok-tan telah menyambar tiba!
Karena perempuan itu sedang terpecah perhatiannya untuk
menghadapi kapak terbang Ji Bun-lui dan serangan dua
bersaudara Sim, dia tak menyangka datangnya serangan serat
emas itu. Sepasang kakinya segera terlilit dan terbelenggu
kuat-kuat. Tak terkirakan rasa kaget Yan Bu-yu. Dia paksakan
tubuhnya terpantek di lantai, Coa Giok-tan kuatir musuh
terlepas, ia segera menarik senjatanya makin kencang. Saat
itulah si Pengejar Nyawa melompati kolam pelumat tulang.
Begitu tiba di hadapan perempuan iblis itu, secara beruntun
dia lancarkan delapan tendangan berantai.
Dari kedelapan tendangan berantai itu, ada beberapa
tendangan yang menyerang dada Yan Bu-yu, ada yang
menyerang iga kiri-kanannya, bahkan ada pula yang
menyerang punggungnya. Hampir semua ancaman datang
pada situasi yang tak ter-bayangkan dan dari sudut yang tak
terkirakan. Waktu itu Yan Bu-yu tak bisa mundur, kekuatannya juga
sudah habis. Tatkala berhasil memunahkan kedelapan buah
215 tendangan berantai itu, tubuhnya sudah gontai hendak roboh.
Pada saat itulah tiba-tiba muncul dua senjata yang
mengancam tubuhnya, senjata peluru geledek dan yang lain
adalah guidi berantai.
Waktu itu posisi Yan Bu-yu sudah sangat parah, tubuhnya
gontai karena delapan tendangan berantai si Pengejar Nyawa.
Dengan sendirinya dia pun tak sanggup menghindari
datangnya serangan dua macam senjata itu.
"Duuuk, duuuk!" dua kali benturan keras, Yan Bu-yu
memuntahkan darah segar.
Melihat serangannya berhasil melukai lawan, lelaki
bersenjata peluru geledek dan gurdi berantai sangat girang.
Baru saja mereka akan menyerang lebih jauh, mendadak
terdengar si Pengejar Nyawa berseru, "Tangkap dia hiduphidup,


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita butuh obat penawar untuk menolong saudara
Coa!" Sesudah dua kali menderita luka parah, ditambah lagi
kakinya terjerat serat emas lawan, Yan Bu-yu sadar tiada
harapan lagi baginya untuk meloloskan diri. Dia jadi nekad,
tiba-tiba sambil menjejakkan kaki ke tanah, ia menceburkan
diri ke dalam kolam sembari berseru, "Jangan harap kalian
semua bisa hidup! Toasuheng pasti akan membalaskan
dendam sakit hatiku"
Dalam waktu singkat tubuhnya sudah tenggelam ke dasar
kolam dan tidak bersuara lagi.
Coa Giok-tan terperanjat, lekas dia betot senjatanya dan
menarik paksa tubuh Yan Bu-yu ke atas. Terlihat sekujur
badannya sudah mulai mengelupas dan membusuk, kulit dan
daging tubuhnya mulai meleleh, keadaannya sangat
mengerikan dan menggidikkan hati.
Bukan cuma itu, senjata serat emasnya yang tercelup air
kolam pun berubah warna. Jelas air kolam memang betulbetul
beracun. Selama hidup belum pernah Jay In-hui menyaksikan
pemandangan seseram ini. Dia tak tega, sambil menjerit
tertahan wajahnya ditutup dengan kedua belah tangan.
216 Dengan tewasnya Yan Bu-yu, suasana di sekitar tempat itu
pun dicekam dalam keheningan. Dua bersaudara Sim juga
telah selesai membantai sisa jago dari Siang-pak serta lelaki
berbaju emas Kini mereka semua beristirahat sambil
meningkatkan kewaspadaan.
Selang beberapa saat kemudian, si Pengejar Nyawa baru
berdehem pelan sambil berkata, "Aku dengar jarum sakti
pembetot sukma sangat jahat dan berbahaya. Korban yang
terhajar senjata ini akan keracunan hebat, racun menyusup ke
dalam tubuh mengikuti aliran darah. Satu jam kemudian racun
akan mulai bekerja, dan menyebabkan kematian. Saudara
Coa, bagaimana rasanya sekarang?"
Coa Giok-tan tertawa getir.
"Kini aku merasa sekujur tubuhku seperti digigit ribuan ekor
binatang, sakitnya bukan kepalang. Hai, sungguh tak nyana
gara-gara menaruh belas kasihan kepada iblis perempuan itu,
akhirnya aku sendiri yang tertimpa bencana! Aaai, memang
salahku sendiri!"
"Kini nasi sudah jadi bubur, percuma disesali," tukas si
Pengejar Nyawa cepat. "Yang harus kita lakukan sekarang
adalah menemukan Toasuhengnya secepat mungkin,
kemudian mencari obat penawar untuk mengobati luka
saudara Coa."
"Benar, kita tak perlu buang waktu lagi. Ayo berangkat
sekarang juga," ajak In Seng-hong.
"Sebelum bergerak, kita perlu tingkatkan kewaspadaan
karena jago yang ada di Perkampungan Hantu tampaknya
seorang lebih hebat dari yang lain. Burung rajawali yang kita
bunuh tadi adalah Su-site, itu pun sudah amat sulit dihadapi.
Sim-cap-sa-nio adalah Sam-sumoay, sedang si Selir berdarah
adalah Jisuci. Dari sini bisa disimpulkan kalau Toasuhengnya
pasti berkepandaian hebat!"
"Ya, kita segera berangkat!" seru Ji Bun-lui pula. "Aku
memang ingin bertanya kepada Toasuhengnya, dimana ia
simpan kitab pusaka Pekikan naga!"
217 "Hmmm, biar sudah tahu pun belum tentu kau mampu
mengambilnya," ejek Sim Ciu sambil tertawa dingin.
"Memangnya kau anggap sudah cukup mampu
mendapatkan kitab pusaka Pekikan naga?" sambung Sim Sat.
Ji Bun-lui sangat berang, teriaknya, "Kalau aku tak mampu,
memangnya kalian dua manusia cacad punya kemampuan
itu?" Dua bersaudara Sim naik pitam. Selain benci disebut orang
sebagai 'banci', mereka pun benci bila dibilang 'cacad'. Baru
saja mereka akan melancarkan serangan, si Pengejar Nyawa
segera menukas sambil berseru, "Jangan ribut, ayo kita segera
berangkat!"
Maka berangkatlah ketiga belas orang itu menelusuri lorong
hingga ke ujung. Di situ terbentang sebuah ruangan yang
amat lebar, tapi suasana dalam ruangan gelap gulita. Hanya
ada tujuh buah lentera bintang tujuh yang menyinari setiap
sudut. Di belakang lampu tujuh bintang, lamat-lamat tampak ada
seorang duduk bersila di situ. Dia duduk tak bergerak di
tengah ruangan, persis seperti patung dewa di depan altar.
Semua orang meningkatkan kewaspadaan dan masuk ke
dalam ruangan dengan langkah lamban. Namun orang itu
masih tetap duduk tak bergerak.
Makin lama rombongan itu semakin mendekat, namun
orang yang duduk bersila itu belum juga bergerak. Ketika
cahaya kuning menyoroti wajahnya, tampak wajah orang itu
pucat-pasi, sama sekali tak membawa warna darah.
Potongan wajah orang itu sangat lembut, mirip seorang
sastrawan atau seorang wan-gwe. Alis matanya melengkung
dengan mata sipit, wajahnya lembut, dandanannya bersih, di
janggutnya memelihara jenggot panjang.
Ketika melihat wajah orang itu, Coa Giok-tan nampak
terperanjat. Mula-mula dia mengira pandangannya kabur
lantaran racun di tubuhnya mulai bereaksi. Tapi setelah
dipandang lebih seksama, ia baru berteriak kaget,
"Buuu ... bukankah kau ... kau adalah saudara Yu-beng?"
218 "Betul!" jawab orang itu sambil tertawa. "Aku memang Sik
Yu-beng. Sudah empat tahun aku menunggu kedatanganmu:"
"Jadi kau pemilik Perkampungan Hantu, Sik Yu-beng?" seru
Ji Bun-lui tercengang.
"Sik-cengcu" sapa In Seng-hong, "apa yang telah terjadi
dalam perkampunganmu belakangan ini" Apa yang sedang
kau lakukan di sini?"
"Aku" Aku selalu berada di sini," jawab Sik Yu-beng sambil
tertawa. "Kitab pusaka Pekikan naga ada dimana"' tanya Sim Ciu
dingin. "Lebih baik katakan terus terang!" sambung Sim Sat. "Kitab
pusaka Pekikan naga" Oooh, kalian dengar dari Yu-bun Siu"
Padahal akulah yang menyuruh Selir Berdarah membuat gila
orang itu, kemudian sengaja menyuruh dia menguarkan isu
bohong itu. Hahaha ... padahal di sini tak ada kitab pusaka
yang bernama Pekikan naga".
Berubah hebat paras muka dua bersaudara Sim. Sebelum
mereka berang, si Pengejar Nyawa telah bertanya,
"Sik-cengcu, kenapa kau sengaja menyiarkan berita bohong
tentang kitab pusaka Pekikan naga" Sebenarnya apa
tujuanmu?"
Sim Yu-beng memperhatikan Pengejar nyawa sekejap,
kemudian baru menjawab sambil tertawa, "Tentu saja agar
orang-orang yang ingin mendapatkan kitab pusaka Pekikan
naga berdatangan kemari!"
"Hmmm, kalau cuma berita bohong, percuma kami
membuang banyak waktu di sini. Selamat tinggal!" seru dua
bersaudara Sim sambil membalikkan badan dan siap
meninggalkan tempat itu
Tiba-tiba terlihat bayangan putih berkelebat lewat, entah
sedari kapan tahu-tahu Sik Yu-beng sudah menghadang di
depan mereka dan mengawasi kedua orang itu sambil tertawa
licik. Bergidik perasaan hati dua bersaudara Sim, dengan gusar
Sim Ciu menegur, "Sik-cengcu, mau apa kamu?"
219 "Kami dua bersaudara panggaet nyawa tidak takut
menghadapimu!" sambung Sim Sat.
"Bagus, bagus sekali!" kata Sik Yu-beng sambil tertawa.
"Jangan dianggap tempat ini bisa didatangi secara mudah dan
ditinggal pergi semau hati. Sudah bersusah-payah menipu
kalian hingga datang kemari, memangnya aku bakal
melepaskanmu begitu saja?"
Si Pengejar Nyawa yang mengikuti jalannya peristiwa itu
dari sisi arena segera sadar, kepandaian silat dari Sik Yu-beng
memang sudah sempurna. Maka ia pura-pura tak mengerti
dan bertanya lagi, "Sik-cengcu, kami benar-benar tak habis
mengerti. Kenapa kau melakukan semua ini?"
"Tidak habis mengerti?" Sik Yu-beng tertawa keras.
"Padahal gampang sekali jawabannya. Si burung rajawali
gemar menyantap daging manusia, Sim-cap-sa-nio harus
mengisap darah manusia, karena jika tidak mengisap darah
dalam tiga belas hari, kepandaian bunglonnya akan mundur.
Si selir cantik pun butuh mengisap darah untuk menjaga
kecantikan wajahnya. Sedang aku" Aku sedang berlatih
semacam ilmu tenaga dalam, aku harus mengisap tenaga
dalam orang lain untuk memperkuat ilmuku. Dan kini aku
sudah mengisap tenaga dalam dari ratusan orang jago silat.
Kalau dihitung-hitung semestinya sudah hampir jadi tokoh
nomor wahid di kolong langit. Itulah sebabnya kami butuh
jago-jago silat macam kalian. Tentu saja harus pandai
mengarang cerita bohong agar kalian mau tertipu dan
berbondong-bondong datang kemari."
Betapa geram para jago itu setelah mendengar penjelasan
ini. Sambil mengertak gigi menahan emosi, si Pengejar Nyawa
berseru lantang, "Rupanya kaulah dalang semua kasus
pembunuhan yang terjadi selama ini. Aku harus
menangkapmu untuk mempertanggung-jawabkan
perbuatanmu ini!"
Sik Yu-beng mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak,
"Hahahaha... mempertanggung-jawabkan kasus
pembunuhan" Untuk melawan aku saja kalian tak mampu,
220 apalagi mau membekukku" Oh ya ... terima kasih banyak
kalian telah me-wakiliku membunuh si rajawali, Sim-cap-sa-nio
serta si Selir Berdarah. Jadi aku tak perlu repot-repot turun
tangan sendiri."
"Apa" Jadi kau pun berniat membunuh mereka semua?"
agak berubah paras muka si Pengejar Nyawa.
"Tentu saja!" Sik Yu-beng tertawa hambar. "Ketika
kepandaian silatku sudah menjadi nomor wahid di kolong
langit, tentu saja aku tak bisa berkelana dengan membawa
iblis-iblis wanita itu. Maka aku berniat membunuh mereka,
kemudian tampil di dunia persilatan dengan sebutan pendekar
besar. Orang akan beranggapan Sik Yu-beng yang membantai
para gembong iblis, membalaskan dendam kematian seluruh
penghuni Perkampungan Hantu. Coba bayangkan, betapa
kerennya aku dengan predikat seorang 'Tayhiap'" Hahaha ...
maka dari itu, aku harus membunuh kalian semua, agar
rahasiaku tidak diketahui masyarakat luas
Sebetulnya In Seng-hong sangat kagum dengan nama
besar pemilik Perkampungan Hantu Sik Yu-beng. Tapi setelah
mendengar sendiri bagaimana dia membeberkan semua
rencana busuknya, hawa amarahnya sontak memuncak.
Dengan penuh kegusaran dia berteriak, "Sik-cengcu,
perbuatanmu amat keji, busuk, rendah dan tak tahu malu.
Kau tak pantas disebut seorang Tayhiap!"
Sik Yu-beng sama sekali tidak gusar. Dipandangnya In
Seng-hong sekejap, lalu dengan nada agak tercengang
serunya, "Oh ya" Bila seorang persilatan tidak tegas, buas dan
telengas, mana mungkin ia dapat melakukan pekerjaan besar"
Padahal sebagian besar Tayhiap yang ada di dunia persilatan
berbuat begini. Tahukah kau" Lalu dengan cara apa kau
berkelana di dunia persilatan?"
In Seng-hong seketika bungkam, tak mampu berkata lagi.
Coa Giok-tan tidak menyangka sahabatnya sebejad itu.
Paras mukanya turut berubah hebat. Sambil menunding ke
arah Sik Yu-beng, teriaknya, "Kau ... kau ... selama empat
tahun aku selalu rindu kepadamu, selalu memikirkan
221 keselamatanmu. Bahkan aku tak segan meninggalkan toko
suteraku hanya untuk menyelidiki kasus kematianmu!
Sungguh tak kusangka, ternyata semua perbuatan bejad yang
terjadi selama ini adalah hasil karyamu seorang!"
"Aku sendiri pun sudah empat tahun menanti
kedatanganmu," balas Sim Yu-beng sambil tersenyum.
"Tenaga dalammu amat sempurna. Bila kuisap kekuatanmu,
maka besar sekali manfaatnya bagiku. Wahai sobat karibku,
sebagai seorang sobat sejati, sudah sepantasnya kau berikan
semua kekuatanmu untukku. Biar kuisap tenaga dalammu
sehingga kemampuanku bertambah sempurna!"
"Sik Yu-beng, kau memang bukan manusia!" maki Coa
Giok-tan gusar. Dia tak mengira sahabatnya itu hanya
bermaksud membohonginya, agar ia bisa mengisap tenaga
dalam miliknya. "Dengan susah payah aku datang kemari
untuk, membalaskan dendammu, siapa tahu kau justru begitu
keji... dua puluh lima orang anggota Perkampungan Hantu
tewas secara mengenaskan, apakah kau juga yang telah
membantainya, saudara dan anak buahmu itu ...".
Sambil mengelus jenggot, Sik Yu-beng manggut-manggut.
"Tepat sekali! Memang akulah yang telah membunuh
mereka. Aku bahkan membunuh seorang tamuku, merusak
wajahnya dan kujadikan pengganti mayatku agar semua orang
mengira aku sudah mati. Di kemudian hari, bila kepandaianku
sudah menjadi jago nomor wahid di kolong langit, orangorang
itu malah akan sangat merepotkan diriku. Kenapa tidak
kubunuh saja mereka semua" Pertama, bisa kumanfaatkan
kekuatan mereka. Kedua, kejadian ini akan menarik perhatian
orang banyak sehingga merangsang mereka untuk
berdatangan kemari
"Tadi kau bilang aku lupa budi" Membalas air susu dengan
air tuba" Siapa bilang aku membunuh mereka" Yang
kulakukan tak lebih hanya mengisap habis tenaga dalamnya,
padahal yang mengisap darah mereka dan makan dagingnya
bukan aku, melainkan perbuatan Yan Bu-yu, Sim-cap-sa-nio
serta si burung rajawali... Bukankah tadi kalian telah
222 membunuh mereka semua" Dan bukankah aku pun sudah
turun tangan membantu kalian?"
Dengan penuh rasa benci dan muak Ji Bun-lui meludah ke
tanah, umpatnya penuh amarah, "Kalau memang tujuanmu
hendak mengisap tenaga dalam kami, kenapa kau harus
menyaru jadi setan untuk menakut-nakuti orang?"


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bodoh amat kau ini! Rasa ingin tahu orang persilatan amat
besar. Semakin rahasia tempat itu, semakin misterius tempat
itu, semakin besar rasa ingin tahu orang untuk melakukan
penyelidikan. Semakin banyak jago lihai yang berdatangan,
semakin gembira hatiku karena mereka akan menjadi
santapan lezatku. Seperti juga kalian, bukankah kalian datang
karena dorongan rasa ingin tahu?"
"Jadi kau adalah ... adalah Toasuheng yang mereka
maksud ...?" tanya Jay In-hui tiba-tiba.
"Hahaha ... tentu saja. Kecuali aku, ada siapa lagi dalam
perkampungan ini?"
Waktu itu Coa Giok-tan yang keracunan hebat sedang
merasa kesakitan luar biasa. Begitu tahu orang yang dimaksud
'Toasuheng' ternyata tak lain adalah manusia berhati iblis ini,
sadarlah dia bahwa kemungkinan untuk mendapatkan obat
penawar tak bisa diharapkan lagi. Maka dengan penuh amarah
serunya, "Sik Yu-beng, kau anggap ilmu silatmu sangat hebat"
Hmm, padahal tempo hari pun kepandaian kita hanya
seimbang" "Giok-tan Sute," tukas Sik Yu-beng cepat, "kenapa kau tak
tahu diri" Aku telah memancing kehadiran rombongan demi
rombongan jago tangguh dunia persilatan, tenaga dalam
mereka sudah kuisap satu per satu. Saat ini, untuk menahan
tiga jurus seranganku pun belum tentu kau mampu ... hehehe
... rupanya rekanmu yang ini adalah satu di antara empat
opas yang menggetarkan sungai telaga, si Pengejar Nyawa ...
orang yang meng-gembol kapak itu pastilah Ji Bun-lui dari
Kwang-tong ... Oooh, masih ada lagi para padri tangguh dari
Siau-lim-pay! Tenaga dalam mereka pasti hebat sekali ...
apalagi ditambah kau, Giok-tan Sute ... hahaha ... bagus,
223 bagus sekali ... ccttt, ccttt... setelah mengisap tenaga dalam
kalian semua, mungkin di kolong langit benar-benar sudah tak
ada yang mampu menandingi aku lagi ... Jika aku Sik Yu-beng
terjun kembali ke dalam dunia persilatan, gelar Thian-he-te-it
pasti akan jatuh ke tanganku ... hahaha ... Saat itu siapa akan
mengira kalau kesempurnaan tenaga dalamku tak lain adalah
hasil sumbangan kalian semua ... hahaha ... hebat, hebat,
hebat sekali!"
"Hmmm, kau anggap kepandaian silatmu sudah sangat
hebat?" teriak In Seng-hong marah. "Kau yakin bisa
mengalahkan Kiu-toa-kwan-to (sembilan golok kwan-to) Liong
Pang-siau, Liong-loenghiong?"
"Saat ini mungkin belum mampu. Tapi setelah kuisap
tenaga dalam kalian semua hari ini, belum tentu
kemampuanku bisa dikalahkan Liong Pang-siau atau Suto Capji
bahkan Can Pek-sui sekalipun! Apalagi masih banyak jagoan
tangguh yang akan berdatangan kemari!"
"Kau benar-benar bibit bencana yang paling berbahaya di
dunia! Manusia macam kau tak boleh dibiarkan hidup!" maki
In Seng-hong sambil melolos pedang mestikanya.
"Sik Yu-beng" tiba-tiba lelaki bersenjata peluru geledek
berseru, "aku ingin tanya kepadamu, benarkah kau yang telah
membunuh guru kami?"
"Siapa gurumu?"
"Si tangan pengejar nyawa Kok Ci-keng."
Sik Yu-beng berpikir sejenak, kemudian sahutnya sambil
tertawa, "Ooh, Kok Ci-keng" Betul, akulah yang telah
mengisap tenaga dalamnya pada tiga tahun berselang,
ehmmm.... hebat juga tenaga dalam yang dia miliki. Mau apa
kau?" Dengan perasaan amat pedih lelaki bersenjata gurdi besi
itu berkata, "Guruku berkunjung ke perkampungan bersama
Ang Su Sianseng, padahal Ang Su Sianseng khusus kemari
karena dia sangat menguatirkan keselamatan jiwamu, kenapa
kau pun membunuh guru kami?"
224 Sik Yu-beng tertawa seram, katanya sambil menggeleng
kepala, "Barang siapa berani memasuki perkampungan ini, dia
harus mati, kenapa aku mesti membuat pengecualian" Tenaga
dalam milik Ang Su Sianseng juga telah kuisap sampai habis,
jadi bukan tenaga dalam milik gurumu saja, kau jangan
kelewat memandang hebat orang itu, padahal aku tak pernah
menganggapnya sebagai teman!"
"Aaah..... berarti dialah pembunuh Suhu........ dialah
pembunuh Suhu......." gumam lelaki bersenjata peluru geledek
itu. "Aku akan membalas dendam bagi kematian guruku!"
teriak lelaki bersenjata gurdi pula dengan suara keras, sambil
mengayun senjata dia menerjang ke muka.
Tiba-tiba si Pengejar nyawa menghalangi niatnya, sambil
memandang Sik Yu-beng, katanya dingin, "Kenapa kau
beritahu semua masalah itu kepada kami?"
"Karena kalian tak bakal hidup terlalu lama lagi."
"Jadi kau hendak membunuh kami?"
"Sudah pasti!"
"Jadi kau mengira dengan kemampuanmu seorang sudah
cukup untuk menghabisi kami semua?" sela In Seng-hong pula
sambil tertawa dingin.
"Tentu saja," jawab Sik Yu-beng seperti orang tercengang,
"memangnya aku bakal memberi kesempatan kepada kalian
untuk hidup" Untuk menyiarkan berita ini keluar?"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Mungkin kalian
semua belum tahu, aku punya kebiasaan sebelum membunuh
korbanku, aku senang menjelaskan semua masalah secara
jelas dan gamblang, aaah, aku rasa saudara Giok-tan pasti
masih ingat dengan kebiasaanku ini bukan?"
"Ingat kentutmu!" umpat Coa Giok-tan sambil menahan
rasa sakit yang semakin parah, "aku Coa Giok-tan hanya
menyesal kenapa punya mata tak berbiji sehingga kenal
dengan binatang macam kau!"
Sik Yu-beng melirik ke arah Coa Giok-tan dan
mengamatinya beberapa saat, lalu ejeknya sambil tertawa,
225 "Ooh ... rupanya kau terluka" Jangan keburu mati dulu,
sumbangkan dulu tenaga dalammu padaku."
"Aku lebih rela mati daripada membiarkan kau mengisap
tenaga dalamku!" umpat Coa Giok-tan semakin gusar.
"Sayang kau tak bisa menentukan pilihanmu sendiri
"Sik Yu-beng!" teriak lelaki bersenjata peluru geledek
dengan gusar, "kau jangan anggap dunia sudah menjadi
milikmu hari ini kalau bukan kau yang mampus, biar akulah
yang mati "
Sik Yu-beng mendongakkan kepala memandang orang itu
sekejap, kemudian sahutnya sambil tertawa, "Kalau begitu
biar kau saja yang mati duluan!"
Mendadak dia melejit ke udara, dengan gerakan tubuh
yang enteng tapi cepat, tahu-tahu dia sudah berada di
hadapan lelaki itu.
Sejak awal si Pengejar nyawa maupun Ji Bun-lui sudah
bersiap menghadapi segala perubahan, begitu melihat Sik Yubeng
bergerak, serentak mereka berdua melancarkan
serangan. Ji Bun-lui mengayunkan kapaknya membacok batok kepala
musuh, sementara si Pengejar nyawa melancarkan
serangkaian tendangan berantai.
Sayang gerak tubuh Sik Yu-beng benar-benar cepat luar
biasa, hanya sedikit menggerakkan tubuh, tahu-tahu dia
sudah melewati semua orang dan tiba di hadapan lelaki
bersenjata peluru geledek itu, otomatis bacokan kapak Ji Bunlui
mengenai sasaran kosong, begitu juga dengan tendangan
berantai si Pengejar nyawa.
Sadar serangannya mengenai tempat kosong, Pengejar
nyawa tahu gelagat tidak menguntungkan, segera dia
meminjam kekuatan tendangan itu untuk berjumpalitan dan
sekali lagi berusaha menghadang jalan pergi lawan.
Betapa terkejutnya lelaki bersenjata peluru geledek ketika
mengetahui Sik Yu-beng sudah muncul di depan mata, setelah
tertegun sejenak, lekas dia ayunkan senjatanya berusaha
menghajar tubuh lawan.
226 Sik Yu-beng mendengus dingin, dia cengkeram tangan
lelaki itu dengan kuat lalu tersenyum kepadanya, Lelaki
bersenjata gurdi sadar keadaan gawat, "Weess!" senjatanya
langsung disodokkan ke punggung pemilik perkampungan
hantu itu. Tanpa berpaling Sik Yu-beng menangkap senjata gurdi itu,
kemudian sambil didorong mundur serunya, "Kau tak perlu
terburu napsu, belum sampai giliranmu!"
Sungguh dahsyat tenaga dorongan itu, tubuh lelaki
bersenjata gurdi segera terlempar sejauh beberapa kaki
hingga kepala membentur dinding ruangan, untuk beberapa
saat dia tak mampu merangkak bangun.
Sementara itu si Pengejar nyawa sudah tiba di belakang Sik
Yu-beng, ia melihat dengan jelas bagaimana paras muka lelaki
bersenjata peluru geledek, dari merah berubah jadi putih
memucat, bahkan rontaannya kian lama kian bertambah
lemah, ia sadar keadaan sangat gawat, rupanya Sik Yu-beng
sedang mengisap tenaga dalam lelaki itu.
Maka sambil membentak nyaring, sekali lagi dia lancarkan
sebuah tendangan ke punggung musuh.
Sasaran yang dituju tendangan itu adalah punggung Sik
Yu-beng, tapi dia sadar musuh pasti dapat menangkis, maka
di tengah jalan, sasaran tendangan itu diubah, kini dia
menendang Tiau-huan-hiat di betis musuh.
Tapi begitu hampir mengenai sasarannya, kembali arah
tendangan diubah, kini dia mengancam kepala lawan.
Dalam waktu relatif singkat, dia telah tiga kali mengubah
sasarannya, sehebat apapun ilmu silat yang dimiliki Sik Yubeng,
dia harus melepaskan tangan untuk menghadapi
serangan lawan.
Siapa tahu Sik Yu-beng sama sekali tidak berpaling, tangan
kirinya masih tetap mencengkeram tangan lelaki bersenjata
peluru geledek, sementara tangan kanan diayun ke belakang,
menangkis tendangan si Pengejar nyawa yang sedang
mengancam tengkuknya, menggunakan kesempatan itu dia
membalik telapak tangannya sambil melepaskan satu pukulan,
227 dorongan tenaga dalam yang amat kuat kontan membuat
tubuh pengejar nyawa terpental hingga empat lima depa.
Waktu itu dua bersaudara Sim sadar bahwa Sik Yu-beng
tidak mudah dihadapi, setelah tahu kabar tentang kitab
pusaka Pekikan naga hanya kabar bohong, tanpa
mempedulikan keselamatan rekan lainnya, mereka
manfaatkan peluang itu untuk kabur dari perkampungan.
Siapa sangka belum tiba di muka pintu, punggung Sik Yubeng
seperti punya mata saja, ternyata ia dapat mengikuti
semua tindak-tanduknya dengan sangat jelas, mendadak
jengeknya, "Kalian anggap bisa kabur dari sini?"
Sambil menghardik, dia sentil jari telunjuk dan ibu jari
tangan kanannya ke belakang, senjata peluru geledek segera
mencelat ke angkasa dan meluncur ke belakang dengan
kecepatan tinggi.
Senjata peluru geledek itu sendiri bobotnya tujuh delapan
belas kati, begitu disentil Sik Yu-beng, daya luncurnya jadi luar
biasa. Dalam keadaan begitu, sulit bagi dua bersaudara Sim
menghindarkan diri, terpaksa mereka melepaskan pukulan.
"Blaamm!" diiringi benturan nyaring, senjata peluru geledek
mencelat ke samping dan menancap di dinding ruangan,
sementara dua bersaudara Sim juga tergetar hingga terpaksa
mundur balik ke tengah ruangan.
Melihat itu, si Pengejar nyawa segera berseru dengan
keras, "Bila kalian ingin tetap hidup, mari kita bekerja sama,
kita lawan bersama gembong iblis ini!"
Mendadak Sik Yu-beng melepas tangan kirinya, dengan
tangan kanan dia memayang tubuh lelaki bersenjata peluru
geledek yang lemas itu, kemudian berpaling, katanya dengan
tertawa, "Tepat sekali perkataan itu, kalian mesti mengadu
jiwa!" kemudian sambil memperlihatkan tubuh lelaki yang
lemas itu, lanjutnya, "sayang tenaga dalam yang dia miliki
sangat terbatas."
Mendadak dia lemparkan tubuh lelaki itu ke arah dua
bersaudara Sim, cepat kedua orang itu mengegos ke samping.
228 "Blaaammm!" tubuh lelaki bersenjata peluru geledek segera
menumbuk dinding ruangan hingga hancur berkeping, darah
segar berhamburan kemana mana, tewaslah lelaki itu dalam
keadaan mengenaskan.
Menyaksikan darah yang berhamburan, tiba-tiba Sik Yubeng
menghela napas panjang, katanya, "Sayang si Selir
darah tidak berada di sini, sayang benar dengan darah itu."
Jay In-hui memperhatikan sekejap sepasang tangan Sik Yubeng
yang merah padam bagaikan darah, kemudian jeritnya
kaget, "Kau melatih ilmu iblis tangan berdarah?"
"Konon orang yang berlatih ilmu iblis tangan berdarah
biasanya mati dalam keadaan yang mengerikan, kau In Senghong
kelihatan tercengang juga.
Sik Yu-beng tertawa dingin, katanya, "Biarpun aku batal
mati dalam keadaan mengenaskan, namun saat itu aku sudah
menjadi seorang pendekar kenamaan di kolong langit, semua
orang hormat, tunduk dan takluk kepadaku, biar tersiksa
sedikit apa salahnya?"
"Hormat kepadamu" Hormat tahi makmu!" umpat Ji Bun-lui
sambil menyerang dengan kapak terbangnya.
In Seng-hong dan Jay In-hui segera mengimbangi
serangan ini dengan melepaskan dua tusukan pedang dari kiri
dan kanan, semuanya ditujukan ke dada Sik Yu-beng.
Pemilik perkampungan hantu itu tertawa panjang, tiba-tiba
dia maju selangkah, tangan berdarahnya yang semula
mencengkeram pergelangan tangan lelaki bersenjata gurdi,
tiba-tiba ditarik lepas lalu mencengkeram kapak terbang yang
disambitkan ke arahnya, sambil menarik napas dia bendung
datangnya tusukan pedang In Seng-hong dan Jay In-hui.
Segera sepasang muda-mudi itu melompat mundur dari
posisi semula, tampak pedang mereka sudah gumpil sebagian
kena sampukan lawan.
Pengejar nyawa membentak nyaring, melihat lelaki
bersenjata gurdi sudah dicelakai lawan, ia menyerbu ke muka
dan melepaskan sebuah tendangan kilat mengancam tubuh
lawan.

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

229 Ji Bun-lui tidak ambil diam, dia ikut membentak nyaring,
bagai harimau kelaparan dia tubruk Sik Yu-beng dengan
garangnya. Melihat datangnya serangan yang begitu garang dan buas,
Sik Yu-leng tak berani bertindak gegabah, lekas dia ayun
tangannya, kali ini kapak terbang yang berhasil direbutnya itu
diarahkan ke tubuh Ji Bun-lui, kemudian tangan kanan
mendorong ke muka, sebuah pukulan sangat kuat dilontarkan
ke badan Pengejar nyawa.
Dalam keadaan begini, seandainya Ji Bun-lui nekad
menerjang maju maka dia akan memapaki datangnya kapak
terbang itu, sungguh hebat jagoan dari Kwang-tong ini, dalam
keadaan kepepet ia sambar gagang kapak dan digenggamnya
erat-erat. Walau berhasil menangkap kembali senjatanya, namun
tenaga dorong pada senjata itu sungguh dahsyat, badannya
terseret mundur sampai empat lima depa, nyaris tubuhnya
jatuh telentang.
Si Pengejar nyawa yang tubuhnya masih berada di udara
segera diterjang pukulan dahsyat musuh, opas ini tahu musuh
sangat hebat, ia tak berani menyambut dengan keras lawan
keras, maka sampai menarik napas, tubuhnya bagai selembar
daun pohon mengikuti hembusan angin pukulan itu, melayang
beberapa kaki jauhnya dari posisi semula kemudian baru
melayang turun ke tanah.
Dalam pada itu paras muka lelaki bersenjata gurdi semakin
putih memucat, sementara telapak tangan Sik Yu-beng justru
semakin merah menyala.
Dua bersaudara Sim saling bertukar pandang sekejap,
mendadak mereka melejit ke udara dan melarikan diri lewat
dinding ruangan yang jebol.
Sik Yu-beng mendengus dingin, dengan senjata gurdi hasil
rampasannya dia timpuk kedua orang itu.
Senjata itu mendesir di udara sambil membelah diri jadi
dua, kemudian secara terpisah mengancam tubuh dua
bersaudara Sim.
230 Melihat serangan itu datangnya sangat cepat dan tidak
sempat lagi menghindarkan diri, terpaksa Sim Ciu dan Sim Sat
menyambut datangnya ancaman dengan kekerasan, tapi
begitu terjadi benturan, mereka berdua mencelat sejauh
beberapa kaki, pergelangan tangan terasa kaku dan
kesemutan. Tenaga dalam Sik Yu-beng memang luar biasa hebatnya,
bukan saja dia berhasil mematahkan senjata gurdi lawan jadi
dua, bahkan berhasil memaksa kedua orang itu mundur
kembali, malah sekaligus nyaris mencabut nyawanya,
kehebatan ini memang sangat mengejutkan.
Pengejar nyawa tahu keadaan tidak menguntungkan, dia
sadar, sedikit kurang berhati-hati maka semua bakal mampus
di tangan Sik Yu-beng.
Setelah usahanya melarikan diri gagal untuk kedua kalinya,
bahkan mereka harus menderita luka dalam yang cukup
parah, dua bersaudara Sim kontan naik pitam, sambil menjerit
keras mereka lepaskan sebuah pukulan.
Menghadapi datangnya ancaman itu, Sik Yu-beng
tersenyum, dia lepaskan juga sebuah pukulan ke depan, siapa
sangka tenaga pukulannya seolah lenyap di telan bumi.
Melihat itu pemilik perkampungan hantu segera berseru,
"Ooh, rupanya ilmu sakti lengan buntung juga luar biasa
hebatnya!"
Sebuah pukulan sekali lagi dilancarkan.
Kemelut Blambangan 9 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Panji Wulung 9
^