Pencarian

Pertemuan Di Kotaraja 3

Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 3


kehebatan Ji Bun-lui, namun demi mempertahankan mangkuk
nasi sendiri, mereka tak berani membangkang perintah
majikannya. Pikirnya, "Biarpun tua bangka itu hebat, masa
sepasang kepalannya bisa menandingi empat pasang tangan
kami" Kenapa tidak dikeroyok saja?"
Mereka berempat pun sepakat untuk menyerang bersama.
Diiringi bentakan keras, mereka menyerang orang itu dari
empat penjuru. Baru saja keempat orang itu mendekat dan belum sempat
melancarkan serangan, sambil tertawa tergelak Ji Bun-lui
berseru kepada lelaki yang berada di sebelah timur, "Akan
kuhajar ubun-ubunmu!"
118 Baru saja lelaki itu tertegun, kepalan Ji Bun-lui sudah
menghajar telak ubun-ubunnya. Tak ampun lagi, tewaslah
seketika orang itu.
Kembali Ji Bun-lui memutar badan ke arah selatan, serunya
lagi, "Kuhajar Jit-tiong-hiatmu!"
Lelaki itu baru saja menyiapkan kepalan untuk menyerang.
Mendengar bawah hidungnya mau diserang, lekas ia tarik
tangannya 'berusaha menangkis. Tapi ... "Duk!" jalan darah
Jit-tiong-hiat di bawah hidungnya sudah terhajar telak. Darah
segar segera menyembur keluar dengan derasnya, tentu saja
selembar nyawanya ikut melaporkan diri ke langit barat.
Kini Ji Bun-lui sudah menoleh ke arah lelaki ketiga. Orang
itu ketakutan setengah mati, apalagi setelah melihat dua
rekannya dibunuh secara gampang. Belum sempat berbuat
sesuatu, Ji Bun-lui kembali menghardik, "Kuhajar dadamu!"
Cepat lelaki itu membendung dadanya sambil menyilangkan
tangan. Tapi sodokan tinju Ji Bun-lui tetap dilontarkan masuk.
"Kraaak, kraaak ..." pertahanan tangan lelaki itu seketika
jebol terhantam serangan musuh. Bukan cuma pertahanannya
terbuka, bahkan tulang tangannya ikut patah termakan
getaran pukulan lawan.
"Blaam!" dadanya seketika terhajar telak. Sambil
menyemburkan darah segar ia roboh terjengkang dan tewas
seketika. Melihat semua rekannya tewas, lelaki keempat semakin
ketakutan. Ia merasa tangan dan kakinya jadi lemas seketika.
Tanpa malu lagi dia putar badan dan melarikan diri terbiritbirit.
"Kuhajar lambungmu!" kembali Ji Bun-lui menghardik.
"Ampun Hohan teriak lelaki itu ketakutan. Tapi ... "Blukkk!"
sodokan tinju itu sudah bersarang di lambungnya. Begitu
keras pukulan itu, membuat badannya segera terlempar keluar
dari rumah makan, mencelat keluar dalam keadaan tak
bernyawa lagi. Secara beruntun Ji Bun-lui telah menghajar musuhnya
mulai dari atas kepala sampai ke perut. Dalam waktu singkat
119 empat nyawa melayang, namun mimik mukanya sama sekali
tak berubah. Dengan begini Siang Bu-thian sudah tak punya pengawai
lagi. Karena semua jagonya sudah melarikan diri, kini tinggal
dia seorang berdiri terkesima sambil menutupi bibir sendiri
yang berdarah. Tiba-tiba pemuda tampan itu berbangkit, katanya kepada
nona berbaju warna-warni itu, "Hawa napsu membunuh orang
ini kelewat besar. Biar kucegah perbuatannya lebih jauh."
Lekas gadis itu menarik ujung bajunya dan minta ia duduk
kembali, katanya dengan lembut, "Kongcu tidak usah terburu
napsu. Keempat orang itu memang sepantasnya mati. Mereka
sudah terlalu banyak membantu Siang Bu-thian melakukan
perbuatan bejad. Entah berapa banyak gadis dan wanita baikbaik
yang ternoda di tangan mereka. Jadi tak salah bila hari ini
mereka harus mampus di tangan Ji-toaya."
"Oh...?"
Pendengaran Ji Bun-lui amat tajam. Mendengar pemuda itu
ingin beradu kepandaian dengan dirinya, ia jadi kagum
dengan keberanian orang. Segera di tengoknya sepasang
muda-mudi itu sekali lagi, mendadak seperti teringat akan
sesuatu, segera ujarnya sambil tertawa, "Kukira siapa yang
begitu bernyali, rupanya Siau-cecu dari benteng Lam-ce, yang
disebut empat keluarga besar dunia persilatan In Seng-hong.
Kalau begitu nona ini tentulah Jay-in-hui (si awan pelangi
terbang) Lihiap."
"Tidak berani, tidak berani," segera pemuda itu menjura.
Begitu bangkit, terlihatlah perawakan tubuhnya yang tinggi
semampai, potongan tubuh yang atletis dan gagah. Diamdiam
semua orang bersorak kagum akan kegagahan orang ini.
Rupanya dalam dunia persilatan terdapat 'Thian-he-samtoa',
tiga paling besar di kolong langit. Ketiga besar itu adalah
Thian-he-te-it-pang, perkumpulan nomor wahid di kolong
langit Tiang-siau-pang (perkumpulan tertawa panjang), Thianhe-
te-it-ceng, perkampungan nomor wahid di kolong langit Sikiam-
ceng (perkampungan mencoba pedang), serta Thian-heTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
120 te-it-kiok, perusahaan ekspedisi nomor wahid di kolong langit
Hong-im-piaukiok (perusahaan ekspedisi angin dan awan).
Selama ini Tiang-siau-pang selalu berseberangan dengan
Si-kiam-ceng, hingga akhirnya sama-sama kehabisan jago dan
tumbang dengan sendirinya. Kini yang tersisa hanya Hong-impiaukiok.
Hong-im-piaukiok sebagai piauwkiok terbesar di kolong
langit, memiliki banyak jago andalan. Tapi kekuatan yang
paling utama justru datang dari Bu-lim-su-toa-ke, Empat
keluarga besar dunia persilatan yang terdiri dari Tang-po
(benteng timur), Lam-ce (benteng selatan), Se-tin (kota barat)
dan Pak-shia (kota utara).
In Seng-hong, meski baru berusia dua puluh satu tahun,
namun dia tak lain adalah Cecu yang baru diangkat dari Lamce.
Biar masih muda, In Seng-hong mempunyai julukan Ki-tiam
(si Sambaran kilat) yang melukiskan betapa cepatnya gerakan
tubuh, gerakan pedang serta jurus serangan yang dimiliki.
Sejak kecil ia sudah tekun belajar bun (sastra) maupun bu
(ilmu silat) tanpa mau memikirkan persoalan lain. Yang dia
tekuni selama ini hanya satu kata, 'kecepatan'.
Dengan bakatnya yang bagus, ditambah kemauan yang
besar untuk berlatih tekun, tak heran kalau ilmu silatnya
memperoleh kemajuan yang luar biasa.
Ketika Locecu benteng Lam-ce mati terbunuh secara tibatiba,
usia In Seng-hong baru mencapai dua puluh tahun.
Biarpun dia diangkat menjadi pengganti Cecu dalam usia yang
sangat muda, namun dengan kepandaian serta kecerdasan
otaknya, kemampuan yang dia tunjukkan sama sekali tidak di
bawah kehebatan Tang-po Pocu, Se-tin Tincu serta Pak-shia
Shiacu. Lantaran hanya memusatkan seluruh perhatiannya untuk
berlatih silat, otomatis sebelum menerima jabatan sebagai
ketua benteng, pengetahuannya tentang dunia persilatan
boleh dibilang amat cetek.
121 Namun hal inipun ada untung-ruginya. Yang
menguntungkan, dia jadi lebih tekun berlatih silat hingga
kemajuan yang dicapai pun luar biasa, tapi jeleknya, dia sama
sekali tak punya pengalaman. Pengetahuan tentang dunia
persilatan nol besar.
Untung sekali Cecu dari Lam-ce sebelumnya meninggalkan
seorang putri tunggal. Putrinya itu disebut orang sebagai Jayin-
siancu, sang bidadari pelangi. Ilmu silatnya diperoleh dari
warisan ayahnya. Meski tidak sehebat kungfu In Seng-hong,
namun tentang masalah dunia persilatan, ia memiliki
pengetahuan yang luas.
Hal ini dikarenakan semasa hidup ayahnya, banyak
berhubungan dengan jago-jago lihai di dalam benteng, sedang
gadis inipun suka membaca banyak buku hingga
pengetahuannya amat luas. Hampir semua partai, aliran dan
perguruan diketahui olehnya bagai melihat jari tangan sendiri.
In Seng-hong sendiri adalah anak angkat Cecu sebelumnya
yang bernama Ngo Kang-tiong. Dia dibesarkan bersama Ngo
Jay-in. Boleh dibilang mereka berdua tak pernah berpisah.
Apalagi setelah pemuda itu diangkat sebagai pengganti ketua
benteng, Ngo Jay-in selalu mendampinginya kemana pun
pemuda itu pergi.
Ngo Jay-in seorang gadis yang saleh. Dari ayahnya dia
mempelajari dua macam kepandaian, ilmu pedang dan ilmu
meringankan tubuh. Tapi lantaran dia seorang gadis yang baik
budi, selama ini tak pernah mau membunuh orang. Karena itu
dia selalu memperdalam ilmu meringankan tubuhnya hingga
mencapai puncak kesempurnaan. Itulah sebabnya orang
persilatan menjulukinya sebagai Bidadari Pelangi.
Begitu tahu sepasang muda-mudi itu adalah In Seng-hong
dan Ngo Jay-in, decak kagum segera bergema di ruangan.
Tiba-tiba terdengar Ji Bun-lui membentak gusar, "Anak
jadah, kenapa belum juga pergi" Kau sudah gatal dan ingin
dibantai oleh Toayamu?"
Siang Bu-thian ketakutan setengah mati hingga wajahnya
pucat bagai mayat. Apalagi setelah dihardik dengan suara
122 bagai geledek, sekujur badannya gemetar keras, sahutnya
tergagap, "Baik ... baik dengan sempoyongan dia kabur dari
rumah makan itu.
Sepeninggalan Siang Bu-thian, Ji Bun-lui masih berdiri
tegak di depan pintu sambil berkata lagi dengan lantang,
"Liatwi Eng-hiong, dengarkan baik-baik. Kedatanganku Ji Bunlui
kali ini ke Perkampungan Alam Baka, tujuannya tak lain
adalah untuk mendapatkan kitab pusaka Pekikan naga. Oleh
sebab itu bila ada di antara kalian yang datang dengan tujuan
sama, lebih baik kita segera berduel untuk menentukan siapa
yang lebih berhak untuk maju terus. Atau kalau tidak,
bergabunglah denganku setelah unjuk sedikit kebolehan. Bila
menolak kedua cara ini, lebih baik segera menggelinding pergi
dari sini!"
Dia mengulangi perkataan yang sama sampai tiga kali,
begitu keras dan nyaring suaranya membuat jantung semua
orang terasa berdebar keras dan sakit gendang telinganya.
Enam jagoan dunia persilatan yang duduk satu meja segera
menunjukkan reaksi. Salah seorang di antaranya adalah
seorang lelaki .kekar yang segera membanting cawan araknya
hingga hancur. Kemudian ia membentak sembari menggebrak
meja, "Setan tua sialan! Kedatangan kami pun untuk
mendapatkan kitab pusaka Pekikan naga. Kalau kami tak mau
mengalah, mau apa kau?"
Serentak kawanan jago itu melompat bangun sambil
melolos senjata.
Ji Bun-lui tertawa tergelak, "Hahaha ... tidak mau apa-apa!
Cuma ingin tunjukkan sedikit kebolehan untuk kalian!"
Tiba-tiba dia mencabut senjata kapaknya, lalu dilemparkan
ke udara. Semula orang mengira dia akan menyerang dari
jarak dekat, siapa tahu setelah melemparkan kapaknya, dia
tetap berdiri di tempat tanpa melakukan apa-apa.
Sementara keenam orang jago persilatan itu masih berdiri
termangu, tahu-tahu ... "Wes!" kapak itu melayang dari arah
belakang langsung menyambar tubuh mereka dengan
kecepatan tinggi.
123 Orang-orang itu berusaha berkelit, tapi sayang sudah
terlambat. Tampak cahaya kapak berkilauan lewat, tahu-tahu
ke enam orang jago itu merasakan kepala mereka sangat
dingin. Ketika diraba, segera ditemukan bahwa topi yang mereka
kenakan kini sudah terpapas separuh, tali pengikatnya sudah
putus, topinya hilang sementara rambut pun ikut terpangkas
setengahnya. Terlebih lelaki yang menggebrak meja itu, wajahnya tak
berbeda seperti wajah mayat. Bukan saja rambutnya sudah
terpapas gundul, malah kulitnya ikut tersayat sebagian tanpa
mengucurkan darah. Coba kalau ayunan kapak itu setengah
inci lebih ke bawah, mungkin jiwanya sudah melayang sejak
tadi. Tak heran kalau dia hanya berdiri mematung dengan
wajah keabu-abuan.
Jelek-jelek keenam orang jagoan itu termasuk kawakan
Kangouw yang sudah kenyang berkelana dalam dunia
persilatan. Biar kasar dan tak pakai aturan namun masih tahu untuk
mengakui kekalahan. Dengan wajah memucat mereka saling
berpandangan sekejap, kemudian tanpa mengucapkan
sepatah kata pun berlalu dari situ.
Kapak sakti yang menggetarkan Kwang-tong ini tertawa
keras. Tiba-tiba ia berpaling, kali ini dia pelototi empat orang
lelaki kekar berbaju emas. Dipandang dengan cara begitu,
keempat lelaki itu jadi gugup, lekas mereka menundukkan
kepala sambil pura-pura minum arak.
Sambil tertawa tergelak Ji Bun-lui berseru, "Hei, kenapa
berlagak bisu tuli" Kalau ingin disebut Hohan, coba sambut
dulu sebuah pukulan dari Toayamu!"
Dengan langkah lebar dia berjalan menghampiri, sebuah
pukulan dilontarkan dengan gerakan yang sangat lamban.
Sejak tadi keempat manusia berbaju emas itu sudah pecah
nyali. Keadaan mereka ibarat kawanan burung yang baru
ditimpuk batu. Baru melihat Ji Bun-lui berjalan mendekat,
124 mereka sudah berlompatan bangun seperti kucing diinjak
ekornya. Siapa tahu pukulan Ji Bun-lui yang semula nampak sangat
lamban itu tahu-tahu berubah jadi cepat sekali. "Blaaam!" dia
hantam permukaan meja keras-keras.
Keempat orang lelaki itu tidak menyangka kalau Ji Bun-lui
bakal menghantam permukaan meja di hadapan mereka.
Sementara mereka berempat masih tertegun, tahu-tahu
empat buah cawan berisi arak yang berada di hadapan
mereka sudah mencelat ke udara dan menyiramkan isinya ke
wajah mereka. Dengan gugup bercampur kaget keempat orang itu kabur
ke belakang sambil berusaha menghindar. Sayang wajah dan
tubuh mereka sudah terguyur arak. Bukan saja basah kuyup,
bahkan kulit muka mereka terasa panas dan sakitnya bukan
kepalang. Biar isi cawan sudah tumpah ke wajah orang-orang itu,
ternyata cawan maupun poci arak yang berada di meja sama


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tidak pecah. Jangan kan pecah, retak pun tidak. Cukup
ditinjau dari kemampuannya ini, bisa ditunjukkan bahwa
tenaga dalamnya sudah amat sempurna dan terkendali
sekehendak hati.
Empat manusia berbaju emas itu saling pandang sekejap
dengan wajah dan tubuh basah kuyup. Mereka sadar, kalau Ji
Bun-lui menghancurkan cawan-cawan itu dengan tenaga
dalamnya, kemudian disemburkan ke wajah mereka, sejak tadi
nyawa mereka berempat sudah melayang.
Maka setelah menghela napas panjang, salah satu dari
keempat lelaki berbaju emas itu maju ke hadapan Ji Bun-lui,
ujarnya sambil menjura, "Selama gunung masih menghijau,
air tetap mengalir, kami tetap akan mengingat terus ulah Ji-ya
yang telah menghalangi kami orang-orang partai baju emas.
Bila bertemu lagi di kemudian hari, kami tetap akan membuat
perhitungan denganmu."
Selesai berkata, tanpa, berpaling lagi dia berlalu dari rumah
makan itu. 125 Melihat kepergian orang-orang itu, Bidadari Pelangi segera
berbisik kepada In Seng-hong, "Keenam orang jago persilatan
tadi adalah jago-jago yang tergabung dalam Siang-pak-lakhau,
enam orang gagah dari Siang-pak. Meski kasar dan agak
liar, namun jarang mencelakai kaum lemah. Mereka termasuk
orang yang mau membantu kaum lemah, menindas yang kuat.
Tapi belum cukup untuk disebut 'manusia gagah'. Sedang
keempat orang berbaju emas itu cukup tersohor namanya di
sekitar Siang-kiang. Mereka adalah empat Tocu dari
perkumpulan baju emas. Kecuali sering merampok, selama
hidup mereka jarang melakukan perbuatan yang kelewat
jahat. Tampaknya Ji-toaya sangat bijaksana dalam
menjatuhkan hukumannya, tidak seperti apa yang disiarkan
selama ini. Katanya dia adalah iblis yang membunuh orang
tanpa berkedip Biarpun perkataan itu diucapkan setengah berbisik, namun
dengan kesempurnaan tenaga dalam Ji Bun-lui, semua
perkataannya dapat didengar amat jelas. Lagi-lagi dia tertawa
ke arah Jay-in-hui, ujarnya, "Nona cilik, tampaknya Toaya
mulai tertarik dengan kalian pasangan sejoli. Jangan kuatir,
aku selalu melakukan apa yang telah kujanjikan. Kalau tidak,
akan kutaruh dimana namaku Ji Bun-lui" Kamu harus
menerima sebuah pu-kulanku. Cuma ingat, jika tak kuat lebih
baik tak usah diterima dengan keras melawan keras."
Sejak Jay In-hui memuji kehebatan Ji Bun-lui, orang tua ini
sangat gembira dan menaruh rasa simpatik terhadap mereka
berdua. Tapi sebagai orang yang kolot dan selalu
beranggapan apa yang telah diucapkan harus dilaksanakan,
maka dia tetap nekad akan menjajal pukulan muda-mudi itu.
Hanya terdorong niat baiknya, maka ia membujuk muda-mudi
itu agar menghindar bila tak mampu.
Ucapan Ji Bun-lui segera membuat pipi Jay In-hui bersemu
merah lantaran jengah. Sudah lama nona itu menaruh rasa
cinta kepada In Seng-hong. Begitu juga pemuda itu mencintai
si nona, tapi hingga kini mereka berdua belum pernah bicara
126 soal pernikahan. Maka sebutan pasangan 'sejoli' dari kakek itu
kontan membuat mereka gembira bercampur jengah. Tapi
mendengar bujukan orang agar tidak menerima pukulan
dengan keras la-vv.in keras, mereka anggap kakek itu
mengejek kemampuan mereka yang cetek. Biar tak punya
rasa permusuhan, tak urung muncul juga niat untuk menjajal
kepandaian lawan.
Dengan suara lantang In Seng-hong segera berseru,
"Saudara Ji, silakan mulai menyerang."
Ji Bun-lui tertawa terbahak-bahak. Mendadak ia cabut
senjata kapaknya, tampak cahaya hitam berkelebat bagai
sambaran petir. Cuma sasarannya bukan In Seng-hong,
melainkan meja yang berada di sisinya.
Tenaga dalam dari Ji Bun-lui memang sangat menggiriskan
hati. Kuat dan keras bagai gulungan ombak samudra, lembut
dan lunak bagai gulungan angin topan. Tatkala kapak itu
membelah meja, orang mengira kayu akan beterbangan
karena hancur. Siapa tahu meja itu tetap utuh seperti sedia
kala, hanya saja isi meja seperti sumpit, mangkuk, piring,
cawan dan lainnya segera beterbangan bagaikan ada dua tiga
puluh jenis, senjata rahasia serentak menyergap ke tubuh In
Seng-hong dan Jay In-hui.
Menghadapi datangnya ancaman itu, In Seng-hong
maupun Jay In-hui sama sekali tak berkedip. Dengan cekatan
pemuda itu memutar lengannya, lalu menangkap semua
cawan, piring, sumpit dan mangkuk satu per satu dan
diletakkan kembali di atas meja, sementara Jay In-hui
menyambar sebuah poci arak, memenuhi empat cawan arak
yang masih berputar di udara, lalu satu per satu diletakkan di
atas meja persis sesaat setelah In Seng-hong meletakkan
kembali peralatan makan yang lain.
Sambil tersenyum, Jay In-hui mengebaskan ujung bajunya.
Keempat cawan arak yang sudah dipenuhi arak itu segera
meluncur ke depan, menerjang ke tubuh Ji Bun-lui.
127 "Jiya," serunya sambil tertawa merdu, "kami ingin
mengundang kau minum secawan ... ah, tidak cukup secawan.
Kami akan mengundangmu untuk minum empat cawan arak!"
Cawan arak pertama menyambar dengan kecepatan bagai
sambaran kilat, langsung mengancam wajah Ji Bun-lui.
Biarpun menyambar sangat cepat, ternyata isi cawan sama
sekali tidak tumpah.
Ji Bun-lui tertawa terbahak-bahak, serunya, "Baiklah,
kuterima suguhanmu ini!"
Tanpa berkelit dia pentang mulutnya dan menggigit ujung
cawan, lalu sambil menengadah dia tenggak habis isinya,
sementara senjata kapak didorong ke depan. Tiga cawan arak
yang lain segera berhenti tenang di atas permukaan
senjatanya itu.
Ketika selesai menenggak habis seluruh isi cawan arak itu,
Ji Bun-lui baru berkata sambil tertawa tergelak, "Hahaha ...
masih muda sudah memiliki kungfu hebat! Luar biasa, luar
biasa! Kelihatannya, biarpun aku enggan didampingi kalian
berdua, rasanya juga tak mampu untuk mencegah kalian tetap
ikut per-gi'" '
Selesai berkata, kembali dia tertawa tergelak seraya
membalik badan dan berlalu dari situ.
Padahal diam-diam ia sangat terkejut. Dia tak menyangka
kalau kepandaian silat kedua orang itu luar biasa hebatnya.
Sejak menghajar musuh-musuhnya tadi, baru In Seng-hong
seorang yang mampu mengimbangi kehebatan ilmu kapaknya.
Semisal harus bertarung satu lawan satu, mungkin menang
kalah susah ditentukan. Tapi jika In Seng-hong dibantu Jay Inhui,
jelas dia bakal menderita kekalahan.
Sambil menenteng kapaknya, Ji Bun-lui berjalan menuju ke
hadapan keempat orang Hwesio Siau-lim-si. Empat orang
padri itu segera merangkap tangan di depan dada, salah
seorang di antaranya, seorang padri tua dengan sorot mata
tajam, segera bangkit seraya berkata, "Jisicu, Lolap sekalian
datang kemari karena ingin mencari tahu jejak keempat murid
kami yang hilang di Perkampungan Hantu sejak tiga tahun
128 berselang. Jadi Lolap bukan datang untuk mencari kitab
pusaka Pekikan naga. Harap lisicu tak usah kuatir."
Para padri Siau-lim-pay ini bukannya jeri terhadap Ji Bunlui.
Sebagai orang yang beribadah, mereka segan mencari
kemenangan karena hal yang sepele. Oleh sebab itu sebelum
terjadi kerisuhan, mereka mengutarakan dulu tujuan
kedatangannya. Ji Bun-lui segera manggut-manggut, katanya, "Ya, benar.
Tiga tahun berselang memang ada empat Hwesio muda dari
Siau-lim-pay yang lenyap di dalam Perkampungan Hantu. Aku
percaya sebagai padri, kalian tak bakal berbohong. Asal bukan
lantaran kitab pusaka Pekikan naga, aku pun tak ada urusan
dengan kalian."
Selesai berkata dia ganti menghampiri kedua orang Tosu.
Sebetulnya kedua orang Tosu tua itu ingin sekali menjajal
kepandaian orang. Tapi melihat para padri Siau-lim-pay
berusaha menghindari pertarungan, maka mereka pun segera
bertukar pandang sekejap. Lalu salah seorang di antaranya
berkata, "Jisicu, Pinto berdua juga datang kemari lantaran Butong-
sam-cu yang lenyap di dalam Perkampungan Hantu tiga
tahun berselang. Pinto berdua tak ada sangkut-pautnya
dengan kitab pusaka Pekikan naga."
Ji Bun-lui memperhatikan sekejap kedua orang Tosu itu,
kemudian katanya, "Bu-tong-pay sebagai partai kaum lurus
tak nanti punya murid yang suka berbohong. Kalau toh tak
ada hubungannya dengan kitab pusaka Pekikan naga, tentu
saja Toaya akan melewati jalanan Yang-kwan-to sendiri.
Kalian hidung kerbau melewati jembatan Tok-bok-kiau kalian."
Mendengar ejekan yang tak sopan itu, salah seorang di
antara Tosu tua itu bangkit dan bersiap mengumbar amarah.
Tapi dengan cepat rekannya menahan sambil memberi kode.
Terpaksa Tosu itupun mengurungkan niatnya, sebab mereka
tahu Ji Bun-lui yang sepak terjangnya mirip orang gila ini
sesungguhnya memiliki ilmu silat yang luar biasa.
Sementara itu Jay In-hui telah berbisik kepada In Senghong
dengan suara lirih, "Keempat orang Hwesio tua itu
129 adalah para penilik ruang Tat-mo-wan yang amat termashur.
Konon Liong, Hau, Piau dan Pa, empat padri sakti Siau-lim-si
telah lenyap dalam Perkampungan Hantu. Keempat padri tua
itu tak lain adalah guru mereka. Ilmu silat mereka luar biasa.
Sedang kedua orang Totiang dari Bu-tong-pay itu adalah para
Suheng Bu-tong-sam-cu yang ikut lenyap dalam
Perkampungan Hantu. Yang seorang bernama Cing Siong-cu,
orangnya keras, bera-ngasan dan telengas, sedang yang
seorang lagi bernama Cing Leng-cu, orangnya tenang dan
pandai membawa diri
Dalam pada itu Ji Bun-lui sudah berjalan menuju ke
hadapan tujuh orang lelaki yang bagian dadanya bertato
tulisan "balas dendam."
Melihat kemunculan jago tangguh ini, diam-diam ketujuh
lelaki itu menggenggam senjata masing-masing.
Tiba di hadapan mereka, Ji Bun-lui segera berkata, "Apakah
kalian sudah mendengar perkataan Toayamu?"
Walaupun di hati kecilnya ketujuh orang lelaki itu agak jeri
terhadap kehebatan ilmu silat Ji Bun-lui, namun mereka
bertujuh termasuk orang yang enggan mengaku kalah di
hadapan orang lain. Biar tahu bukan tandingan lawan, mereka
enggan menyerah begitu saja.
Melihat orang-orang itu cuma membungkam, Ji Bun-lui
segera menegur lagi dengan suara dingin, "Apakah
kedatangan kalian dikarenakan kitab pusaka Pekikan naga?"
Baru saja akan turun tangan, mendadak terdengar Jay Inhui
berseru, "Tunggu sebentar!"
"Ada apa?"
Kepada kawanan jago itu si nona bertanya, "Apakah Toako
sekalian datang dari Soat-say?"
Tujuh orang lelaki kekar itu saling bertukar pandang, belum
sempat menjawab, terdengar Jay In-hui kembali bertanya
sambil tertawa, "Apakah guru kalian adalah Sip-coat-tui-hunjiu
si Tangan Pengejar Sukma Kok Ci-keng, Kok-cianpwe?"
130 "Benar, darimana nona tahu?" sahut ketujuh lelaki itu
hampir serentak, sikap hormat si nona terhadap guru mereka
menimbulkan perasaan simpatik orang-orang itu terhadapnya.
Kembali Jay In-hui tertawa.
"Dari senjata yang kalian gembol, aku sudah dapat
menduga siapa kalian semua. Senjata milik'kalian sangat
istimewa. Meski berbeda senjata, namun gerakan tubuhnya serupa.
Jelas berasal dari perguruan yang sama, padahal hanya guru
kalian yang menguasai berpuluh macam senjata sekaligus di
dunia saat ini. Bila ditinjau dari tato di dada kalian yang
bertuliskan 'balas dendam', bukankah kedatangan kalian untuk
membalaskan dendam kematian Kok-cianpwe" Ji-toaya, aku
rasa mereka bukan datang untuk mencari kitab pusaka
Pekikan naga."
"Benar," seorang lelaki yang menggunakan senjata gurdi
berantai menjawab sambil tertawa, "kedatangan kami
memang untuk membalaskan sakit hati guru kami."
Tiba-tiba ketujuh orang lelaki itu bersama-sama
merentangkan dada mereka dan memperlihatkan tato di
depan dada seraya berkata, "Kami bersepuluh dididik dan
dibesarkan Suhu sedari kecil. Tak disangka Lojit, Lopat dan
Lokiu melakukan perbuatan laknat sehingga merusak nama
baik perguruan. Gara-gara itu pula Suhu terpaksa harus
berangkat ke Perkampungan Hantu untuk melakukan
penyelidikan yang berakhir dengan lenyapnya jejak guru. Bisa
jadi beliau telah dicelakai ketiga binatang itu. Kalau guru kami
saja celaka, dengan kepandaian silat yang kami miliki, apa
pula yang bisa diperbuat" Tak mampu membalas dendam bagi
guru kami membuat kami malu hidup sebagai manusia. Maka
sejak tiga tahun berselang kami sayatkan tulisan 'balas
dendam' di dada kami dengan maksud agar kami selalu
teringat dendam ini. Tapi hari ini
Bicara sampai di sini, tiba-tiba ia berhenti dan menghela
napas panjang. 131 "Murid yang selalu teringat untuk membalaskan dendam
sakit hati guru adalah murid teladan yang patut dihormati!"
ujar Jay In-hui sedih. "Konon gara-gara ingin balas dendam,
kalian telah berlatih tekun hampir tiga tahun lamanya dan
sekarang kemampuan kalian sudah jauh di atas kemampuan
Kok-locianpwe. Kejadian semacam ini patut digirangkan
"Benar, sangat mengagumkan, sangat mengagumkan!"
sambung In Seng-hong. "Ji-toaya, silakan lancarkan serangan,
biar cayhe yang mewakili mereka bertujuh untuk menerima
pukulanmu itu."
Lelaki yang bersenjatakan peluru geledek segera tampil ke
muka seraya berteriak keras, "Biarpun sebagai murid si
Tangan Pengejar Sukma, kepandaian kami belum becus dan
bukan tandingan orang, bukan berarti kami adalah pengecut
yang takut mampus. Kami siap menerima pengajaran dari Jisianseng!"


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa sangka, Ji Bun-lui bukannya maju menyerang, dia
malah berkata dengan menghela napas panjang, "Kenapa aku
mesti turun tangan terhadap lelaki sejati macam kalian" Biar
berlutut sambil memohon pun belum tentu aku mau turun
tangan. Betapa senang hatiku bila muridku juga memiliki
semangat macam kalian. Baiklah, karena kalian tak punya
minat dengan kitab pusaka Pekikan naga, buat apa aku mesti
menyerang kalian?"
Selesai bicara, ia segera berjalan pergi dari situ.
Melihat kakek itu tidak merecoki mereka, diam-diam
ketujuh jagoan itu bersyukur dalarn hati, sedang Jay In-hui
pun berpendapat bahwa Ji Bun-lui bukan orang yang tidak
bisa membedakan mana yang benar mana salah.
Saat ini selain In Seng-hong dan Jay In-hui yang sudah
bertarung melawan Ji Bun-lui, empat padri Siau-lim dan dua
Tosu Bu-tong yang tidak usah bertarung karena tak berniat
dengan kitab pusaka Pekikan naga, kemudian tujuh jago
pencari balas dendam yang dianggap sebagai ksatria sejati,
dalam rumah makan itu tinggal si Tamu Berjubah Hitam, lelaki
132 berbaju sutera, empat orang Tauwto serta dua lelaki
berlengan buntung yang belum menunjukkan sikap.
Ketika melihat Ji Bun-lui berjalan mendekat, keempat orang
Tauwto itu segera merasa keder, meski dalam penampilan
berusaha tetap bersikap tenang. Sementara paras muka si
Tamu Berjubah Hitam sudah berubah hijau membesi, si lelaki
berbaju sutera bersikap acuh sambil menenggak minuman,
sedangkan manusia berlengan buntung itu menunjukkan sikap
yang dingin. Hawa membunuh telah menyelimuti wajahnya.
Ji Bun-lui tertawa terbahak-bahak, dengan langkah lebar
dia berjalan menghampiri keempat orang Tauwto itu.
Dengan wajah serius dan sikap siaga, keempat Tauwto itu
segera bangkit berdiri. Jelas mereka sudah meningkatkan
seluruh kewaspadaannya.
Terdengar Jay In-hui berbisik kepada In Seng-hong dengan
suara lirih, "Keempat orang Tauwto ini sebetulnya berasal dari
Juan-tiong. Ilmu silat mereka tinggi dan tersohor sebagai
empat perampok ulung. Yang pertama bernama Sam-ciat-kun
(si Tongkat Tiga Ruas) Si Tong, orang kedua bernama Pongpian-
jan (si Sekop kelancaran) Kongci Si, orang ketiga
bernama Toh-hun-leng (Kelentingan pencabut nyawa) Hoa
Pian dan orang keempat bernama Heng-jian-li (si Pejalan
ribuan li) Phang Ku-kian. Suatu kali mereka pernah merampok
sebuah kuda mestika di Juan-tiong, sehingga menggegerkan
empat opas yang tersohor itu. Karena dikejar terus hingga
terdesak, akhirnya mereka menyamar menjadi empat orang
Tauwto dan menyelinap ke wilayah Siang-kiang untuk
menghindar dari penangkapan."
Tak terlukiskan rasa kaget keempat orang Tauwto itu
setelah mendengar penjelasan si nona. Dengan perasaan
terkesiap mereka berpikir, "Darimana dia tahu sepak terjang
kami" Kalau seorang nona pun tak dapat dikelabui, mana
mungkin penyamaran kami bisa mengelabui empat opas yang
tersohor itu?"
133 Mimpi pun mereka tidak menyangka kalau gadis itu bisa
menebak asal-usulnya karena melihat dari senjata yang
mereka gunakan. Wajah boleh diubah, dandanan bisa
disamarkan. Tapi kalau sudah terbiasa menggunakan senjata
andalan, mau menyamar sebagai apapun, senjata yang
digunakan tetap sama saja.
Terdengar Ji Bun-lui tertawa tergelak sambil berseru,
"Hahaha ... bagus, bagus sekali. Rupanya kalian adalah
burung-burung yang lepas dari jaring para opas. Lihat kapak!"
Sambil menghardik keras, sebuah bacokan langsung
dilontarkan. Ketika Si Tong, Kongci Si dan kawan-kawan menyaksikan
sabetan kapak itu tidak langsung mengarah ke tubuh mereka,
diduganya Ji Bun-lui kembali akan-menggunakan taktik lama
dengan menggetarkan mangkuk sumpit di meja untuk ditimpukkan
ke arah mereka.
"Sret!" desingan tajam menderu di udara, di antara kilauan
cahaya kapak tiba-tiba permukaan meja ambles ke bawah.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak dan sama sekali di
luar dugaan siapa pun. Ternyata dalam sambaran kapak tadi
secara beruntun Ji Bun-lui telah menebaskan kapaknya
sebanyak empat kali dengan empat perubahan yang berbeda.
Namun lantaran kelewat cepat, suara yang ditimbulkan juga
seakan hanya satu kali.
Padahal pada saat itulah mata kapak telah memotong
kutung keempat kaki meja itu. Dengan amblasnya permukaan
meja, seketika semua piring, cawan dan teko arak pun
berhamburan keempat penjuru dan mengotori tubuh mereka
semua. Si Tong berempat bukan jagoan yang berilmu cetek. Sadar
gelagat tidak menguntungkan, mereka segera mendengus
dingin, senjata dalam genggaman langsung diputar dan
masing-masing menahan satu sudut meja sehingga
permukaan meja yang nyaris tumbang itu segera tertahan di
udara. 134 Ji Bun-lui tertawa nyaring, kembali kapaknya dilontarkan
secepat sambaran halilintar.
Di saat Si Tong berempat berhasil menahan permukaan
meja dengan senjata masing-masing, ayunan kapak Ji Bun-lui
kembali menyambar tiba.
Si Tong, Hoa Pian, Kongci Si serta Phang Ku-kian terkesiap.
Baru saja mereka hendak mengayunkan senjata untuk
menangkis, mendadak terdengar ... "Blum!" permukaan meja
tahu-tahu sudah terbelah jadi dua, terbelah persis di tengah
dan roboh ke lantai. Bersamaan itu pula cahaya hitam lenyap
dari pandangan.
Ternyata ayunan kapak Ji Bun-lui barusan adalah untuk
membelah permukaan meja. Dengan terpapas kutungnya
meja itu, otomatis guyuran arak dan sayur sekali lagi
menyiram tubuh keempat orang itu.
Ketepatan Ji Bun-lui memanfaatkan kesempatan,
ketepatannya menggunakan tenaga serta kecepatan gerak
serangan kapaknya benar-benar menggidikkan hati. Untuk
sesaat Si Tong berempat hanya bisa berdiri dengan wajah
keabu-abuan. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang mesti
diperbuat. Terdengar Ji Bun-lui tertawa terbahak-bahak sambil
berseru, "Hahaha ... bagus, bagus sekali! Kalian berempat
ternyata sanggup menahan sejurus seranganku. Biarpun
tujuan kedatangan kalian demi kitab pusaka Pekikan naga,
aku tetap akan mengizinkan kalian turut serta."
Rupanya keberhasilan keempat orang itu menahan
permukaan meja hingga tak jatuh pada serangan pertama
telah mengagumkan hati kakek ini. Meski kemudian ia berhasil
membelah meja itu jadi dua, namun serangan yang dipakai
adalah jurus serangan yang kedua.
Sebagai seorang yang pegang janji, tentu saja dia tak ingin
menjilat ludah sendiri. Maka dengan langkah lebar dia
mendekati dua jagoan berlengan kutung itu.
135 Dengan wajah amat serius kedua orang jagoan berlengan
kutung itu melompat bangun. Lelaki yang di sebelah kiri
segera berseru, "Kou-hun (si Penggaet sukma) Sim Ciu!"
Lelaki yang di sebelah kanan segera menyambung, "Pohhun
(si Pembetot nyawa) Sim Sat!"
"Kami datang untuk mendapatkan kitab pusaka Pekikan
naga," sambung yang kiri.
"Orang she Ji, kau boleh mulai menyerang," lelaki yang di
sebelah kanan menambahkan.
Kedua orang itu berbicara saling sambung-menyambung,
satu kerja sama yang amat rapi dan serasi sehingga membuat
semua yang hadir melengak dibuatnya.
Rupanya Kou-hun-poh-hun dua bersaudara sudah cacad
badan semenjak lahir. Karena selalu dipandang remeh orang
lain, mereka bertekad berlatih silat dengan tekun dan gigih
sehingga akhirnya berhasil meyakinkan ilmu silat yang hebat.
"Bagus, bagus sekali!" seru Ji Bun-lui sambil tertawa keras,
sebuah pukulan langsung dilontarkan.
Dia tahu kedua orang bersaudara ini tidak gampang
dihadapi, maka dalam melontarkan serangannya dia telah
menggunakan tenaganya hingga mencapai enam bagian.
Kou-hun Sim Ciu dan Poh-hun Sim Sat tertawa dingin,
secara beruntun mereka melancarkan sebuah pukulan!
Ketika ketiga gulung tenaga pukulan itu saling bentur di
udara, seharusnya terjadi suara benturan yang keras. Tapi
kenyataannya sama sekali tak ada suara. Ji Bun-lui merasa
tenaga pukulannya bagai kerbau lumpur yang kecebur di laut,
hilang lenyap tak berbekas. Kenyataan ini membuatnya
terkejut. Sejak terjun ke dunia persilatan, belum pernah ia
jumpai peristiwa semacam ini.
Pada saat yang bersamaan Sim Ciu dan Sim Sat
mengayunkan kutungan lengan mereka bersama-sama,
segulung tenaga pukulan yang sangat dahsyat langsung
menggulung ke tubuh Ji Bun-lui.
Sebagai seorang jago kawakan yang banyak pengalaman,
Ji Bun-lui segera sadar apa yang terjadi. Rupanya kedua orang
136 bersaudara itu telah menggunakan sejenis ilmu pukulan yang
istimewa untuk menggiring tenaga pukulan yang dilontarkan
itu ke samping, kemudian melalui lengan mereka yang disertai
tenaga pukulan, kedua orang itu membalikkan ke arah
tuannya. Dengan begitu berarti ada tiga gulung tenaga pukulan yang
sangat kuat langsung menerjang tubuh Ji Bun-lui.
Menghadapi ancaman seperti ini Ji Bun-lui membentak
keras, wajahnya memerah bagai pantat babi, cambangnya
berdiri bagaikan duri. Dengan mengerahkan dua belas bagian
tenaga dalamnya, ia songsong datangnya serangan itu dengan
keras lawan keras.
"Blaaam!" diiringi benturan keras yang menggetar sukma,
tubuh Ji Bun-lui bergetar keras. Pasir dan debu berguguran
dari atas atap rumah, sementara dua bersaudara Sim terdesak
mundur tiga langkah dengan sempoyongan. Walaupun telah
berusaha, menahan diri, tak urung mereka mundur lagi sejauh
tiga langkah dengan wajah pucat keabu-abuan.
"Hui-ji," terdengar In Seng-hong berbisik, "aneh benar
jurus serangan yang digunakan dua bersaudara ini. Dari aliran
mana ilmu silat mereka?"
"Jurus serangan itu bukan berasal dari aliran mana pun,
tapi hasil ciptaan mereka sendiri," "sahut Jay In-hui sambil
tertawa. "Dengan sebuah tangan memancing tenaga pukulan
lawan, lalu menggunakan lengan mereka yang sebelah,
berikut tenaga pukulan sendiri balik dilontarkan ke tubuh
lawan. Jarang ada yang mampu menghadapi serangan itu.
Mereka sebut ilmu itu sebaeai Toan-Dit-khi-kane (ilmu aneh
lengan kutung)."
Biarpun Ji Bun-lui berhasil memukul mundur dua
bersaudara Sim, namun yang digunakan adalah pukulan
kedua. Bukan cuma begitu, bahkan pihak lawan masih
sanggup melancarkan serangan balasan yang mesti dia hadapi
dengan menggunakan segenap kekuatan yang dimiliki.
Kenyataan ini kontan saja membuatnya amat kagum, serunya
tanpa terasa, "Kungfu hebat, kungfu hebat!"
137 Kali ini dia berbalik menuju ke hadapan si Tamu Berjubah
Hitam serta orang berbaju sutera itu.
Tamu Berjubah Hitam tak bisa menahan diri lagi. Tubuhnya
yang semula membelakangi Ji Bun-lui tiba-tiba berjumpalitan
berdiri dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan lawan.
Padahal jarak antara meja kursi itu cukup dekat. Tapi entah
dengan cara apa dia menggeser meja kursi itu, dalam waktu
singkat dia sudah berjumpalitan dan berganti arah, malah
berdiri sambil meneguk arak.
Tampaknya pertempuran sengit segera akan berkobar.
Di saat yang amat kritis itulah, tiba-tiba Jay In-hui berseru
lantang, "Pa-locianpwe!"
Tamu berjubah hitam itu nampak terkejut, tegurnya sambil
berpaling, "Kau kenal aku?"
"Barusan Locianpwe telah mendemonstrasikan kehebatan
Sip-ban-kang (ilmu isapan) dan Say-jian-li (melesat ribuan li).
Masa aku tidak mengenalnya" Di dunia persilatan saat ini, ada
siapa lagi yang mampu menggunakan ilmu mengisap
sesempurna kepandaian Pa-locianpwe?"
Setelah Jay In-hui berkata begitu, semua orang baru
paham apa yang telah terjadi.
Rupanya ilmu mengisap merupakan satu ilmu silat tingkat
atas yang amat susah dilatih. Di dalam dunia persilatan, hanya
Pa Thian-sik seorang yang dapat menggunakan ilmu itu
dengan sempurna.
Adik seperguruannya yang disebut orang si Senyuman
Pengejar Nyawa Yu-bun-siu tak pernah belajar ilmu
menghisap, sebab sebagai seorang Haksu, dia takut ilmu ini
akan mengganggu Citranya. Maka selama ini yang ditekuni
hanya ilmu meringankan tubuh Melesat Ribuan Li.
Kembali Jay In-hui berkata sambil tertawa, "Ji-toaya, aku
rasa kedatangan Pa-cianpwe pasti lantaran lenyapnya Yu-bun
Siu Locianpwe di perkampungan ini."
Pujian dari gadis itu meski mengurangi sifat bengis Pa
Thian-sik, namun dia enggan menerima jilatan pantat itu.
Kembali hardiknya, "Benar, sejak masuk ke Perkampungan
138 Alam Baka, Yu-bun Sute menjadi gila. Lohu memang sengaja
datang kemari untuk membasmi kawanan setan iblis yang
bercokol di situ."
Ji Bun-lui tahu kepandaian silat yang dimiliki Pa Thian-sik
sangat tangguh. Bila ingin mengunggulinya, paling tidak dia
mesti bertarung dengan mengeluarkan segenap kekuatan
yang dimilikinya.
Padahal bagi Pa Thian-sik, bukan satu pekerjaan yang
terlalu susah untuk menerima sebuah pukulannya.
Pada mulanya, Ji Bun-lui menyangka dengan mengusir
terlebih dulu kawanan jago yang sama-sama berniat mencari
kitab pusaka Pekikan naga, maka dia akan mengurangi banyak


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masalah nantinya. Siapa tahu bukan saja dia harus
menghadapi In Seng-hong, Jay In-hui, dua bersaudara Sim
dan Pa Thian-sik, bahkan kemampuan Si tong, Kongci Si, Hoa
Pian serta Phang Ku-kian pun sangat tangguh. Masih ditambah
empat padri Siau-lim-si dan dua Tosu Bu-tong. Maka bila dia
nekad ingin beradu tenaga dengan mereka, besar
kemungkinan justru dia sendiri yang bakal rugi.
Maka sambil tertawa tergelak ujarnya, "Baiklah Pa Thiansik,
jika kedatanganmu lantaran urusan si sastrawan gila,
rasanya Toaya juga tak perlu banyak urusan denganmu!"
Maka dia pun berjalan menghampiri lelaki berbaju sutera
itu. Diam-diam dia salurkan tenaga dalamnya sampai sepuluh
bagian untuk bersiap melancarkan seranganmendadak.
Belum lagi dia mengucapkan sesuatu, lelaki berbaju sutera
itu sudah berdiri, menjura dalam-dalam seraya berkata,
"Saudara Ji, Cayhe bernama Coa Giok-tan, merupakan sahabat
karib pemilik Perkampungan Hantu Sik Yu-beng. Kini nasib
Sik-cengcu masih diliputi teka-teki, kedatanganku hanya ingin
menengok keadaan sahabatku itu."
Begitu Coa Giok-tan memperkenalkan namanya, kembali
semua orang yang hadir dibuat terperanjat, sebab orang ini
bergelar Jan-si Tayhiap, pendekar sutera. Bukan saja
merupakan seorang pedagang sutera yang kaya-raya, dia pun
139 suka membantu orang, luas pergaulannya" dan tinggi ilmu
silatnya. Pemilik Perkampungan Hantu Sik Yu-beng memang jarang
bergaul. Kalau dibilang punya sahabat karib, maka dia hanya
memiliki Coa Giok-tan seorang. Ketika Sik Yu-beng tertimpa
musibah, memang sudah sepantasnya bila Coa Giok-tan
datang menyelidiki kasus ini.
Namun dalam pemikiran Ji Bun-lui, dia tak ingin ketambahan
satu orang yang justru bakal menjadi beban baginya di
kemudian hari. Segera ujarnya, "Kedatangan Toayamu kali ini
adalah untuk mendapatkan kitab pusaka Pekikan naga. Konon
kitab itu tersimpan dalam perkampungan. Kau sebagai
sahabat karib Sik Yu-beng yang hingga kini nasibnya belum
ketahuan, mungkin saja bakal menghalangi niatku ini. Jadi ...
lebih baik sambut dulu sebuah pukulanku!"
Dia berniat mengalahkan Coa Giok-tan dalam satu
gebrakan, agar sedini mungkin dia bisa menyingkirkan
seorang musuh tangguh.
"Kalau memang begitu, Cayhe akan mencoba kehebatan
saudara Ji. Silakan menyerang!" sahut Coa Giok-tan sambil
tertawa. "Hahaha ... kalau begitu terimalah seranganku!".secepat
kilat Ji Bun-lui melemparkan kapaknya ke udara.
Kapak yang memancarkan sinar kehitam-hitaman itu tidak
langsung menyerang tubuh Coa Giok-tan. Setelah berputar
dulu satu lingkaran, senjata itu baru membabat ke belakang
kepala lawan. Gerak serangan yang ia gunakan saat ini berbeda sekali
dengan serangan yang digunakan untuk memukul mundur
enam jagoan dari Siang-pak tadi. Kekuatan serangan yang
terkandung dalam sambaran kapaknya ini mungkin sepuluh
kali lebih hebat, sepuluh kali lebih cepat dan sepuluh kali lebih
dahsyat. Para jago berseru tertahan, semua orang tidak mengira
kalau Ji Bun-lui bakal mengerahkan segenap kekuatan yang
dimilikinya untuk melancarkan serangan ini. Siapa pun tahu
140 kekuatan daya serangan ini mengerikan hati. Ditangkis dengan
senjata apapun tentu akan hancur duluan.
Coa Giok-tan cuma tersenyum tawar, tiba-tiba dia ia
lepaskan jubahnya, lalu dengan mengobat-abitkan jubah
suteranya itu dia gulung datangnya senjata kapak lawan.
Kembali para jago bersorak di dalam hati. Coa Giok-tan
memang luar biasa. Tak ada senjata lain yang lebih cocok
daripada jubah sutera itu untuk membendung datangnya
bacokan maut itu.
Tak terlukiskan rasa kaget Ji Bun-lui setelah dilihatnya
gulungan jubah lawan berhasil mengisap kapak terbangnya.
Dalam kagetnya, tangan kiri segera disodokkan ke depan.
"Wesss!" kapak itu langsung menerobos keluar dari lipatan
baju lawan. Hanya saja tenaga sambarannya langsung punah
hingga rontok ke tanah. Segera jago marga Ji ini menyambar
kembali senjatanya.
Sekalipun berhasil menangkap kembali senjatanya, tidak
urung keringat dingin sempat bercucuran membasahi jidat Ji
Bun-lui. Seandainya ia gagal menarik kembali senjatanya tadi,
berarti dia sudah keok di tangan Coa Giok-tan. Walau
sekarang senjatanya berhasil merobek baju lawan,
bagaimanapun dia tetap sudah kalah setengah jurus.
Tentu saja sebagai orang yang besar gengsinya, Ji Bun-lui
tak ingin melancarkan serangan berikut. Sementara dia masih
termangu, terdengar Coa Giok-tan sudah berkata sambil
tertawa, "Saudara Ji, tenaga dalammu sungguh hebat! Nyaris
Cayhe ter-luka di tanganmu. Untung baru jubahku saja yang
robek. Kalau sampai nyawa ikut melayang, itu baru sial
namanya Sambil meletakkan jubahnya di meja, dia kembali ke
tempat duduknya dan mulai meneguk arak lagi.
Belum sempat Ji Bun-lui berulah kembali, tiba-tiba
terdengar seruan tertahan bergema memecah keheningan.
Entah sejak kapan di atas sebuah meja kecil di sudut
ruangan telah bertambah dengan seorang lelaki berbaju kasar.
141 Orang itu sedang tertidur nyenyak di situ. Kapan dia masuk"
Ternyata tak seorang pun tahu.
Dengan mata mendelik Ji Bun-lui segera bertanya kepada
pemilik rumah makan, "Apakah dia pelayanmu?"
Kakek pemilik rumah makan mengawasinya sekejap,
kemudian sahutnya sambil menggeleng, "Hah" Bukan ...
bukan ... aku tidak kenal
"Aneh, sejak kapan orang ini masuk kemari?" seru A-hok
keheranan. "Lo ... Loya ..." kata A-pun agak tergagap, "orang itu sudah
menenggak tiga poci arak, aku ... dia minta kepadaku, tapi
aku ... aku belum memberinya ... dia ... dia mencuri arak kita
Mendengar perkataan itu, dengan membawa kapaknya, Ji
Bun-lui segera berjalan mendekatinya, lalu bentaknya nyaring,
"Hei, mau apa kau datang kemari?"
Dia mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali, suara yang
nyaring membuat seluruh ruangan rumah makan bergetar
keras. Tapi orang itu tidak menggubris, mendusin pun tidak. Ia
masih tidur dengan nyenyaknya.
Sambil tertawa dingin Ji Bun-lui mengayunkan kapaknya.
Serangan itu menggunakan tenaga tiga bagian. Bila orang itu
tidak menghindar, dapat dipastikan jiwanya bakal melayang.
Tapi orang itu masih saja tidur sambil mendengkur,
tampaknya dia segera akan tersambar oleh bacokan kapak itu.
"Ampuni jiwanya!" pekik Jay In-hui tak tahan.
"Tak usah kuatir," sahut Ji Bun-lui sambil tertawa nyaring,
"aku hanya ingin mengiris sebelah telinganya!"
Orang itu belum juga berkutik ... Mendadak, di saat mata
kapak hampir menempel telinganya, orang itu menggeliat
perlahan. Anehnya semua piring, mangkuk, cawan dan
hidangan yang berada di atas meja telah meluncur ke udara
dan langsung menyambar tubuh Ji Bun-lui.
Mimpi pun Ji Bun-lui tak mengira kalau lawan akan
menggunakan cara semacam itu untuk menghadapinya.
142 Cawan arak yang melayang tiba duluan langsung mengguyur
badannya. Ji Bun-lui meraung gusar, dia tahan kapaknya secara
mendadak, kemudian diayunkan untuk merontokkan semua
cawan, piring, mangkuk dan sayuran yang mengancam
tubuhnya. "Sialan!" umpat Ji Bun-lui lagi dengan penuh amarah.
"Tidak kusangka hebat juga kepandaian silatmu!"
Sekali lagi kapaknya dibacokkan ke depan, kali ini
menggunakan tenaga sepuluh bagian dan sama sekali tak ada
belas kasihan. Tahu kalau orang itu berkepandaian silat amat hebat, Jay
In-hui, In Seng-hong serta Coa Giok-tan tidak berniat memberi
bantuan. Mereka hanya menonton sambil berpeluk tangan.
Sungguh dahsyat datangnya bacokan kapak itu.
Tampaknya orang itu segera akan tertimpa nasib sial ...
Mendadak pandangan jadi kabur, orang itu sudah miringkan
badan, duduk ke samping bangku. Namun tetap dalam kondisi
tidur nyenyak. Dengan duduk di ujung bangku, otomatis
keseimbangan jadi berat sebelah, maka bacokan kapak Ji Bunlui
pun persis menghantam bangku itu.
Diam-diam Ji Bun-lui terkejut. Dia tahu, bila kapaknya
sampai membacok bangku, bila pada waktu yang bersamaan
orang itu melancarkan serangan balasan, mungkin terpaksa ia
harus mundur dengan meninggalkan senjatanya tetap di
bangku. Melihat pihak lawan masih tidur nyenyak, Ji Bun-lui segera
mengubah bacokan menjadi pukulan. Dia bermaksud
menghajar bangku itu hingga terbelah jadi dua.
"Akan kulihat apakah kau masih bisa tidur terus?" pikirnya
dalam hati. Siapa tahu kembali pandangan mata serasa kabur, tahutahu
orang itu sudah berpindah ke bangku yang lain, tetap
dalam keadaan tidur sambil mendengkur.
143 Di sekeliling meja itu terdapat empat buah bangku panjang.
Dengan terbelahnya sebuah, maka masih ada tiga buah
bangku utuh. Ji Bun-lui merasa terkejut bercampur gusar. Lagi-lagi dia
mengayun kapaknya, tapi untuk kesekian kalinya orang itu
sudah pindah lagi ke bangku yang lain.
Kejar-mengejar pun berlangsung dengan serunya. Tatkala
Ji Bun-lui berhasil membelah bangku keempat, orang itu
melejit ke atas meja dan lagi-lagi tidur mendengkur di situ.
Saking gusarnya, otot hijau di jidat Ji Bun-lui sampai
menonjol keluar. Teriaknya penuh amarah, "Akan kulihat kau
hendak kabur lagi kemana?"
Ayunan kapak membuat meja itu terbelah jadi dua bagian.
Karena sudah kehabisan tempat untuk berbaring, terpaksa
orang itu melompat berdiri, tapi matanya masih terpejam dan
ia tetap tidur sambil mendengkur.
Habis sudah kesabaran Ji Bun-lui. Dengan menggunakan
sebelas bagian tenaga dalamnya, dia lancarkan kembali
serangan dengan ilmu sakti kapak terbangnya.
Mendadak orang itu membuka mata lebar-lebar, sinar
tajam memancar keluar dari balik matanya. Jelas dia tak
berani memandang enteng datangnya serangan maut itu.
Coa Giok-tan cukup tahu betapa lihainya serangan kapak
itu, karena dia telah merasakannya sendiri tadi. Karena itu ia
berteriak keras, "Hati-hati teman!"
"Cepat gunakan bajumu untuk menahan serangan itu!" In
Seng-hong berteriak pula memperingatkan
Ketika kapak terbang itu hampir membacok tubuh orang
tersebut, mendadak ia menjatuhkan badan telentang ke
belakang. Tindakan yang ia lakukan sama sekali di luar dugaan orang
Tapi senjata kapak itu seperti bernyawa, tiba-tiba saja
gerakannya menukik ke bawah dan langsung membabat
lambung orang. Setelah menjatuhkan diri telentang, kembali orang itu
mengeluarkan jurus serangan aneh. Ketika kapak lawan
144 mengancam lambungnya, tiba-tiba dia angkat kedua kakinya
lalu menendang kuat-kuat ke arah senjata itu.
Padahal waktu itu kapak terbang sedang meluncur datang
dengan kecepatan tinggi, bahkan sambil berpusing kencang.
Dihadapi dengan tangan mungkin masih ada harapan.
Bagaimana mungkin dia bisa menghadapinya dengan
tendangan kaki"
Ketika menjejakkan kakinya, semua orang baru dapat
melihat bahwa dia tidak mengenakan sepatu. Dengan ibu jari
kedua kakinya dia sodok pelan punggung kapak yang sedang
meluncur tiba ... "Duuuk!" tahu-tahu kapak terbang itu
kehilangan .irah dan kini malah berbalik meluncur ke tubuh Ji
Bun-lui. Gerakan serangan yang digunakan orang itu memang
sangat berbahaya dan menyerempet maut. Bukan pekerjaan
gampang untuk mengalihkan sasaran dari sebuah benda yang
sedang berpusing, kecuali dia dapat menghantam titik inti
gerak .pusingan itu. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kungfu
yang dimiliki orang itu memang luar biasa.
Tampaknya Ji Bun-lui tahu kelihaian lawan. Dia mengayun
tangan menangkap kembali senjata kapaknya. Baru saja dia
akan melancarkan serangan susulan, orang itu sudah
berjumpalitan dan bangkit berdiri, berdiri persis di hadapan Ji
Bun-lui. Satu ingatan tiba-tiba melintas dalam benak Jay In-hui. Dia
seperti teringat seorang tokoh dunia persilatan yang sangat
lihai. Tiba-tiba orang itu membuka mulutnya, lalu ... "Uaaar ...!"
dia semburkan arak ke tubuh lawan.
Bagaikan hujan gerimis yang menyelimuti angkasa,
semburan arak itu meluncur ke tubuh Ji Bun-lui dengan
kecepatan bagaikan halilintar.
Ji Bun-lui tertegun. Masih untung dia bukan orang yang
gampang panik bila bertemu ancaman bahaya. Kapaknya
segera diputar sedemikian rupa membentuk satu lapis jaring
145 pertahanan yang segera membendung seluruh semburan arak
itu. Selesai menyemburkan araknya tadi, orang itu tidak
mendesak lebih jauh, sebaliknya Ji Bun-lui yang sadar kalau
pihak lawan bukan manusia sembarangan, segera menyimpan
kembali kapaknya. Saat itulah dia baru menjumpai pakaiannya
telah bertambah beberapa titik lubang kecil akibat semburan
arak tadi. Bisa dibayangkan apa jadinya bila semburan itu
menghajar tubuhnya"


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah," seru orang itu kemudian, "setelah tumpah, rasanya
aku jadi lebih sadar."
Kemudian sambil melototi Ji Bun-lui, lanjutnya, "Hei, siapa
kau" Kenapa suka membunuh orang sembarangan" Kau
mengerti hukum tidak?"
Ji Bun-lui tidak menyangka kalau orang itu menyebut soal
hukum. Mendadak seperti teringat akan seseorang, serunya,
"Jadi kau adalah...."
Mendadak keempat orang Tauwto itu, Hoa Pian, Phang Kukian,
Kongci Si dan Si Tong, bangkit berdiri secara diam-diam
lalu berusaha mengeluyur pergi dari pintu gerbang rumah
makan. "Ei, tunggu sebentar!" kembali orang itu berteriak, sebuah
tendangan pada sebuah guci arak membuat benda itu
langsung meluncur ke arah pintu gerbang. "Blaaam!" diiringi
suara keras, guci itu menghantam pintu, membuat pintu yang
semula sudah terbuka kini menutup kembali.
Pucat pias wajah Si Tong dan kawan-kawan saking
terkejutnya. Tapi Ji Bun-lui semakin yakin siapa gerangan
orang itu. Serunya sambil tertawa terbahak-bahak, "Hahaha ...
rupanya Tui-bing (si Pengejar Nyawa) yang telah datang" Tak
heran kalau kapak terbangku melempem di ujung kakimu!"
Sementara itu Jay In-hui telah berkata pula sambil tertawa,
"Konon empat opas dunia persilatan masing-masing memiliki
kepandaian andalan yang berbeda, tapi hampir semuanya
tangguh dan hebat. Tui-bing Cianpwe sangat mahir dalam
146 semburan arak, ilmu meringankan tubuh serta ilmu kaki.
Konon kehebatannya tiada duanya di kolong langit!" -
"Oh rupanya Cianpwe Pengejar Nyawa," sahut In Senghong
girang. "Berkat bantuan Cianpwe yang berulang-kali
tahun lalu, aku Seng-hong belum sempat mengucapkan terima
kasih kepadamu!"
Ternyata orang ini adalah satu di antara empat opas yang
amat termashur dalam dunia persilatan, Tui-bing.
Empat opas terdiri dari Leng-hiat (si Darah dingin), Tui-bing
(si Pengejar Nyawa), Tiat-jiu (si Tangan Besi) serta Put-cing
(si Tanpa Perasaan).
Dari keempat orang opas ini, usia si Darah dingin paling
muda. Pengenalan tentang jago yang satu ini telah diceritakan
pada bab pertama.
Si Pengejar Nyawa sangat mahir dalam ilmu permainan
kaki. Lantaran sepasang kakinya hebat, otomatis ilmu
meringan kan tubuhnya juga luar biasa. Kegemarannya yang
paling utama adalah minum arak, tapi arak justru telah
menyelamatkan jiwanya beberapa kali.
Si Pengejar Nyawa pernah menyelamatkan putri
kesayangan dari Pak-shia si benteng utama Ciu Pak-cu yang
dijuluki Sian-cu-lihiap (Pendekar Bidadari) Pek Sin-ji. Cukup
dengan satu jurus dia telah merobohkan It-kiam-toh-mia
(pedang sakti pencabut nyawa) Si Kok-ching, membunuh Buwi
Sianseng serta membantai Bu-tek Kongcu yang namanya
sempat menggetarkan sungai telaga.
Ketika berusaha membunuh Bu-tek Kongcu yang lihai,
berkat semburan arak yang memecahkan perhatian lawannya
itulah dia berhasil mengatasi kehebatan lawan. Maka tak
heran kalau dikatakan bahwa arak telah sering
menyelamatkan jiwanya.
Dalam mengungkap berbagai kasus pembunuhan, si
Pengejar Nyawa tak pernah gagal. Betapa ganasnya perampok
atau pembunuh, akhirnya mereka tetap keok di tangannya.
Lantaran itu orang memanggilnya si Pengejar Nyawa. Tapi
karena ilmu kakinya sangat hebat, ada juga yang
147 memanggilnya Sin-tui-Tui-bing (Kaki sakti pengejar nyawa).
Mengenai siapa nama aslinya, tak seorang pun yang tahu
jelas. Terdengar si Pengejar Nyawa menyahut sambil tertawa,
"Ya, aku memang si Pengejar Nyawa. Apa Ciu Shia-cu baikbaik
saja?" "Dia sangat baik, terima kasih atas perhatian Cianpwe,"
sahut In Seng-hong dengan sangat hormat. "Boanpwe Senghong
bersama adik misan Jay In-hui menyampaikan salam
kepada Cianpwe."
"Aaah, Cianpwe apaan?" si Pengejar Nyawa tertawa
tergelak. "Usiaku hanya sedikit lebih tua darimu. Lebih baik
panggil Toako saja...."
"Tapi... tapi... mana boleh begitu
Sementara itu Phang Ku-kian, Hoa Pian, Kongci Si serta Si
Tong hanya berdiri dengan wajah pucat pasi. Untuk sesaat
mereka tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Kepada orang-orang itu si Pengejar Nyawa segera berkata
sambil tertawa, "Sebetulnya orang yang sedang mengejar
kalian bukan aku, tetapi si Tangan Besi. Aku tak ingin
mencampuri urusan orang lain, karena bila aku membantu
menangkap kalian, dia malah tak senang hati. Bila aku
beritahu kepadanya pun belum tentu dia akan terima kabarku
dengan senang. Maka kalian tak usah kuatir, aku tak bakal
menangkap kalian. Tapi ingat, cepat atau lambat kalian pasti
bakal ditangkap olehnya. Oh ya, bukankah kamu semua mau
berkunjung ke Perkampungan Hantu" Kedatanganku pun
untuk mengusut kasus pembunuhan di perkampungan itu.
Jadi sebetulnya tak ada sangkut-pautnya dengan kalian.
Jangan kuatir, aku selalu pegang janji dan kalian boleh
berlega hati."
Jantung yang semula sudah mau copot rasanya, kontan
jadi amat lega sehabis mendengar janji itu. Si Tong berempat
langsung menghembuskan napas lega.
Dalam pada itu semangat Ji Bun-lui sudah surut
setengahnya. Sehabis melihat situasi di depan mata, ia sadar
148 kepandaian silat yang dimiliki si Pengejar Nyawa masih jauh di
atasnya, sedang kepandaian yang dimiliki In Seng-hong serta
Coa Giok-tan tidak gampang dikalahkan secara mudah.
Apalagi masih ada Pa Thian-sik, dua bersaudara tangan
buntung serta Jay In-hui. Belum lagi empat paderi dari Siaulim
ditambah dua Tosu dari Bu-tong, jelas semua jago itu
bukan jagoan sembarangan. Maka untuk sesaat dia pun tidak
banyak bicara. Terdengar si Pengejar Nyawa menegur In Seng-hong
sambil tertawa, "Hei, mau apa kalian sepasang sejoli
mendatangi Perkampungan Hantu?"
"Membekuk setan!" sahut In Seng-hong sambil tertawa.
"Membekuk setan?" kening si Pengejar Nyawa berkerut
kencang. Jay In-hui turut tertawa, selanya, "Sejak Piauko diangkat
menjadi Lam-ce Cecu, lantaran pengetahuan dan
pengalamannya di dunia persilatan masih cetek, maka kami
sengaja berkelana untuk menambah pengalaman."
"Benar," sambung In Seng-hong pula, "suatu hari kami
dengar di Perkampungan Hantu terdapat banyak setan
gentayangan. Aku pun berpikir, 'Mana mungkin ada setan
gentayangan" Paling orang yang menyaru jadi setan/ maka
aku datang kemari dan ingin membekuknya. Toako, kau mesti
memberi petunjuk!"
"Biar cuma setan gadungan, tidak gampang untuk
membekuk setan macam begini," kata si Pengejar Nyawa
sambil tertawa.
Kemudian sambil berpaling ke arah para jago, lanjutnya
dengan lantang, "Tiga tahun berselang, semua penghuni
Perkampungan Hantu mati dibantai orang. Konon wajah ketua
perkampungan hancur membusuk karena keracunan hingga
tak dikenali lagi. Katanya dia tewas dibunuh musuh tangguh.
Menurut laporan orang-orang yang menggotong jenazahnya,
harta kekayaan perkampungan masih utuh, maka para
perampok dan pencoleng berbondong-bondong datang
149 menyatroni. Sayang satu per satu mereka mati secara
mengerikan. Bahkan konon Soat-say-sam-ok ikut jadi korban
Ketika mendengar sampai di sini, tujuh jagcan penuntut
balas merasa badannya gemetar keras, sebab bagaimana pun
juga Soat-say-sam-ok adalah bekas saudara seperguruan
mereka. Tampak si Pengejar Nyawa memandang sekejap sekeliling
ruangan, kemudian lanjutnya, "Sejak peristiwa itu, para
pencari harta berubah jadi orang yang hilang kabar beritanya.
Semakin banyak yang datang semakin banyak pula yang
hilang, sampai akhirnya Sip-coat-tui-hun-jiu Kok Ci-keng Kok
Sianseng datang kemari untuk mengusut hilangnya Soat-saysam-
ok. Bersama si Tongkat besi Ang Su Sianseng empat
paderi dari Siau-lim-si dan tiga Tosu dari Bu-tong-pay, mereka
datang menyatroni Perkampungan Hantu. Sayang dari sekian
banyak jago yang masuk ke dalam perkampungan, hanya
Senyuman Pengejar Sukma Yu bun Siu seorang yang berhasil
meloloskan diri dalam keadaan terluka parah. Sepuluh jari
tangannya dipapas orang, otaknya juga jadi sinting. Tiap hari
kerjanya hanya berteriak-teriak, tapi semua ucapannya hanya
berkisar soal setan dan hantu
Ketika berbicara sampai di sini, semua tokoh yang merasa
ada sangkut-pautnya dengan peristiwa ini, seperti tujuh
jagoan penutut balas, Pa Thian-sik, empat paderi dari Siaulim-
si, dua Tosu dari Bu-tong, Coa Giok-tan sebagai sahabat
karib Sik Yu-beng dan In Seng-hong serta Jay In-hui. yang
datang karena rasa ingin tahunya, sama-sama memusatkan
perhatiannya buat mendengarkan penjelasan lebih jauh.
Badai salju .masih turun dengan derasnya di luar rumah
makan, angin kencang yang menderu-deru seakan
mendemonstrasikan kekuatan, berusaha mencegah si
Pengejar Nyawa bertutur lebih jauh.
Sesudah berhenti sejenak untuk tarik napas, kembali si
Pengejar Nyawa berkata lebih jauh, "Dalam gilanya, Yu-bun
Siu Sianseng sering mengoceh tentang sebuah kitab pusaka
ilmu silat yang disebut sebagai kitab pusaka Pekikan naga.
150 Konon di dalam kitab pusaka itu tercakup ilmu tenaga dalam,
ilmu pedang, ilmu jari, ilmu golok, ilmu meringankan tubuh,
ilmu am-gi dan ilmu seruling. Tujuh macam kepandaian hebat
Menyinggung soal kitab pusaka itu, Hoa Pian, Phang Kukian,
Kongci Si dan Si Tong segera memusatkan perhatian
untuk mendengarkan. Bahkan Ji Bun-lui serta dua bersaudara
Penggaet dan Pencabut nyawa pun turut pasang telinga baikbaik.
"Kitab pusaka Pekikan naga merupakan hasil karya seorang
tokoh sakti dunia persilatan pada lima ratus tahun lalu. Siapa
yang bisa memperoleh kitab itu, dialah yang akan menjadi
jagoan tanpa tandingan. Aku dengar sudah hampir tiga ratus
tahun lamanya kitab pusaka itu tak pernah muncul lagi dalam
dunia persilatan. Entah bagaimana bisa muncul di
Perkampungan Hantu. Ketika berita ini tersiar luas, maka
gemparlah seluruh sungai telaga. Yang percaya dengan kabar
ini segera berbondong-bondong datang kemari untuk mencari
pusaka itu. Kasus pembunuhan banyak terjadi 'di sepanjang
perjalanan ke sini. Rupanya banyak orang takut kedahuluan
sehingga berusaha membungkam saingannya secepat
mungkin. Sayang semua orang yang masuk ke dalam
Perkampungan Hantu ternyata tak satu pun yang muncul
kembali. Konon sudah hampir lima enam ratus orang yang
hilang di perkampungan itu. Tokoh kenamaan pun sudah ada
tiga ratusan orang, tapi semuanya bagaikan ditelan bumi.
Gara-gara kasus inilah aku, si Pengejar Nyawa mendapat
perintah untuk melakukan penyelidikan. Semisal penghuni
Perkampungan Hantu benar-benar adalah sekawanan setan
iblis, kawanan setan itu sudah keterlaluan. Sudah waktunya
bagi kita untuk mengatasi semua kejadian berdarah ini!"
"Jauh-jauh dari wilayah Kwang-tong tujuanku kemari pun
demi kitab pusaka itu," kata Ji Bun-lui dengan suara dalam
"Saudara Pengejar nyawa, silakan kau usut pembunuhan
berdarah itu, sementara aku tetap akan mencari kitab pusaka
itu dan tetap akan membunuh orang itu."
151 Bicara sampai di sini dia melotot sekejap ke arah dua
bersaudara Sim dan Hoa Pian berempat.
Sim Ciu tertawa dingin.
"Memangnya gampang membunuh orang?" ejeknya.
"Ya, jangan-jangan kau tak mampu untuk melakukannya,"
Sim Sat menimpali.
"Aku lihat orang ini cuma pandai omong besar," kembali
Sim Ciu berkata.
"Padahal belum tentu kungfunya hebat!" lanjut Sim Sat.
Sebenarnya maksud kedatangan Phang Ku-kian berempat
ke wilayah Siang-kiang ini tak lain untuk mendapatkan kitab
pusaka Pekikan naga. Pikir mereka, asal bisa melatih sejenis
kungfu yang hebat, maka mereka tak usah kuatir lagi dengan
empat opas. Dan kini, setelah melihat tujuan kedatangan Ji
Bun-lui maupun dua bersaudara Sim juga demi kitab pusaka
itu, dalam hati mereka sangat berharap agar orang-orang itu
bertarung duluan, dengan begitu mereka baru mendapat
kesempatan untuk memperoleh kitab itu.
Siapa sangka pada saat itulah Coa Giok-tan telah bangkit
dan ujarnya sambil tertawa, "Saudara Pengejar Nyawa,
saudara Ji, dua bersaudara Sim. Kalau memang begitu,
mengapa kita tidak bersepakat untuk bekerja sama dan
berbarengan masuk ke Perkampungan Hantu untuk
melakukan penyelidikan?"
In Seng-hong turut berdiri, katanya pula sambil tertawa,
"Perkataan Coa-sianseng sangat tepat. Lebih baik kita masuk
ke Perkampungan Hantu bersama-sama. Mari kita buktikan,
apa benar ada kitab pusaka Pekikan naga di situ. Sekarang
kita tak perlu gontok-gontokan dulu!"
Jelas tujuan pemuda itu adalah untuk mengingatkan semua
orang bahwa kabar tentang Kitab pusaka Pekikan naga belum
tentu benar. Jadi tidak seharusnya mereka ribut duluan
sebelum membuktikan kalau benda mestika itu benar-benar
berwujud dan ada.
Ji Bun-lui saling tukar pandang sekejap dengan dua
bersaudara Sim. Mereka anggap perkataan itu sangat masuk
152 akal, maka masing-masing saling menahan amarah. Tinggal
Kongci Si berempat yang diam-diam kecewa, kecewa karena
gagal mengadu domba saingannya.
"Bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat ke


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perkampungan Hantu?" usul si Pengejar Nyawa sambil tertawa
getir. "Baik!" serentak para jago menyatakan setuju.
Lotia si pemilik rumah makan segera berkata, "Toaya
sekalian, semua perahu penyeberang di dermaga Hong-lim
telah pergi, sementara lapisan salju di Siau-lian-huan-wu
belum mengeras. Kalau ingin menyeberangi sungai, lebih baik
tunggulah sampai lapisan salju mengeras."
"Lotia tak usah kuatir," sela si Pengejar Nyawa sambil
lertawa, "kalau menyeberangi sungai yang begitu kecil saja
tak sanggup, buat apa kami mendatangi Perkampungan
Hantu?" Ji Bun-lui turut tertawa terbahak-bahak, serunya pula, "Lo
tia, semua barang yang pecah dan rusak dalam kedaimu
termasuk semua hidangan dan arak, biar aku yang bayar. Ini,
cukup tidak?"
Sambil berkata dia ambil keluar segebung goanpo dan
dilemparkan ke hadapan Lotia. Kontan saja pemilik rumah
makan itu berseri kegirangan, serunya berulang kali, "Cukup
... cukup ... malah lebih
Mendadak paras mukanya berubah hebat. Ternyata ada
orang menggedor pintu dengan kerasnya dari luar rumah
makan. Dengusan napas yang terdengar di luar sana
terdengar jauh lebih menyeramkan dan mengerikan
ketimbang terpaan badai salju, bahkan seperti suara rintihan
seseorang menjelang ajalnya.
"... Buu ... ka ... pintu ... buka ... pintu...."
"Setannya datang lagi... setannya datang lagi..." pekik Lotia
si pemilik rumah makan dengan napas tersengal.
Sementara semua orang bersiap menghadapi hal yang tak
diinginkan, si Pengejar Nyawa sudah melesat ke depan,
menjejak pintu ruangan hingga terbuka dan melejit keluar.
153 Begitu pintu terbuka lebar, salju dan angin pun menerpa
masuk ke ruangan dengan hebatnya. Selembar kain putih
besar ternyata sudah terpancang di muka pintu, di atas kain
terpampang beberapa huruf yang berbunyi:
"Bila memasuki Perkampungan Hantu. Selamanya tak akan
balik ke rumah!'
Selain kain putih dengan beberapa tulisan darah itu,
tampak sesosok tubuh manusia tergantung pula di depan
pintu. Orang itu digantung dengan seutas tali. Kematiannya
amat mengenaskan, lidahnya tampak menjulur keluar,
sepasang matanya melotot besar, mulutnya penuh berlepotan
darah. Tidak nampak bekas luka di sekujur badannya. Orang
itu mati lantaran digantung.
Si Pengejar Nyawa segera melejit ke udara, dengan dua jari
tangannya pengganti gunting, dia potong tali gantungan itu
hingga putus. Ketika tubuh orang itu direbahkan di lantai,
semua orang pun merasa terkesiap. Ternyata orang itu tak
lain adalah Siang Bu-thian.
Mengapa Siang Bu-thian balik lagi setelah berlalu tadi"
Kenapa ia bisa mati tergantung di sini"
Kenapa kehadiran Siang Bu-thian di depan pintu sama
sekali tak dirasakan para jago yang ada di dalam ruangan"
Andaikata tubuh Siang Bu-thian tidak membentur pintu
karena hembusan badai salju, mungkin hingga sekarang pun
tak ada yang sadar akan kehadirannya. Lalu siapa pula yang
berteriak "buka pintu" dengan suaranya yang aneh"
Lidah Siang Bu-thian menjulur keluar panjang sekali,
matanya memancarkan rasa ketakutan yang luar biasa seakan
dia ingin memberitahu kepada semua orang tentang sesuatu.
Tapi kini dia sudah mati. Tentu saja orang hidup tak akan bisa
menangkap suara perkataan orang mati.
Siapa pula yang menulis surat peringatan di kain putih itu"
Siapa yang mengikat kain putih itu di depan pintu" Padahal
dalam ruangan rumah makan itu hadir begitu banyak jago
tangguh, mengapa tak seorang pun di antara mereka yang
merasakan atau mengetahui hal ini"
154 Perbuatan manusiakah" Atau jangan-jangan memang hasil
karya setan"
"Ada setan, ada setan!" pekik A-pun dengan nada
ketakutan setengah mati.
Selapis bayangan hitam serasa menyelimuti raut muka
setiap orang. Sambil tertawa kaku Coa Giok-tan berkata
kembali, "Jangan bicara ngawur! Mana ada setan di dunia ini?"
"Biarpun benar-benar ada setan, aku pun tetap akan ke
situ!" mendadak Pa Thian-sik berseru dengan wajah serius.
Belum selesai bicara ia sudah menerjang keluar dari ruangan
dengan kecepatan bagaikan petir. Dalam sekejap mata tinggal
sebuah titik hitam yang nampak di kejauhan sana.
"Jangan gegabah!" pekik si Pengejar Nyawa dengan kening
berkerut. "Cianpwe Pengejar Nyawa!" seru In Seng-hong sambil berbangkit,
"... aah, bukan. Toako, jangan biarkan Pa-sianseng
pergi seorang diri. Ayo kita segera menyusulnya beramairamai!"
"Bagus, tepat seperti yang kuharapkan!" sambung Ji Bunlui
lantang. Dia kuatir kitab pusaka Pekikan naga jatuh ke
tangan orang lain. Siapa tahu tiba-tiba ... "Wes, wees!" dua
kali desingan angin tajam berkelebat lewat dari sisi tubuhnya,
dua bersaudara Sim sudah menyusul keluar duluan.
Tentu saja Ji Bun-lui tidak tinggal diam. Segera dia
menyusul dari belakang. Maka semua jago yang lain pun ikut
membuntuti di belakangnya. Melihat itu si Pengejar Nyawa
hanya bisa menghela napas panjang.
Kawanan jago silat itu berjumlah dua puluh lima orang.
Mereka bergerak cepat menuju ke Perkampungan Hantu
dengan menelusuri permukaan salju yang putih. Pa Thian-sik
bergerak memimpin paling depan, dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang tangguh dia hanya nampak seperti titik hitam
di kejauhan sana.
Dua bersaudara Sim berangkat selangkah duluan, namun Ji
Bun-lui yang mengejar dengan mengerahkan tenaga dalamnya
hanya ketinggalan lima langkah di belakang kedua orang itu.
155 In Seng-hong dan Jay In-hui menyusul di belakang Ji Bunlui,
sedang Coa Giok-tan mengintil di belakang In Seng-hong.
Empat padri dari Siau-lim-pay dan dua orang Tosu dari Butong-
pay menyusul di belakang Coa Giok-tan.
Tujuh jagoan penuntut balas berada di belakang empat
padri, sementara Si Tong Hoa Pian, Phang Ku-kian dan Kongci
Si berada di belakang sendiri dikuntit ketat oleh si Pengejar
Nyawa. Biarpun saat itu badai salju sedang turun dengan hebatnya,
kekuatan alam ini sama sekali tidak mempengaruhi kawanan
jago itu untuk bergerak cepat.
Di tengah terpaan bunga salju yang deras, mendadak si
Pengejar Nyawa tertawa terbahak-bahak. Dengan satu
kecepatan yang iuar biasa ia menerjang terpaan angin utara
dan melampaui Hoa Pian berempat, kemudian dia melewati
juga tujuh jagoan penuntut balas, empat padri dari Siau-lim
dan dua Tosu dari Bu-tong.
Ketika Coa Giok-tan melihat dirinya bakal tersusul, segera
dia tarik napas dan lari dengan terlebih kencang lagi.
Dalam sekejap mata mereka berdua sudah berhasil
melewati In Seng-hong dan Jay In-hui. Dasar anak muda yang
berdarah panas, melihat diri mereka dilampaui orang, lekas
mereka menghimpun tenaga dalam dan melesat lebih cepat.
Tak lama kemudian kedua orang anak muda inipun berhasil
lari bersanding dengan Coa Giok-tan.
Sementara itu Ji Bun-lui juga telah menghimpun tenaga
murninya. Walaupun ilmu meringankan tubuhnya tidak
seberapa hebat, namun karena tenaga dalamnya sempurna
maka makin lama berlari semakin menguntungkan bagi
posisinya. Tiba-tiba ia melepas jubah panjangnya dan
diikatkan di pinggang, kemudian sambil berteriak nyaring ia
melesat lebih cepat ke depan. Akhirnya dia berhasil menyusul
Sim bersaudara.
Baru saja Ji Bun-lui merasa gembira, mendadak desingan
angin bergema datang, tahu-tahu seseorang sudah melewati
atas kepalanya dan melesat beberapa kaki di depannya. Ia
156 tertegun. Ternyata si Pengejar Nyawa telah meninggalkan
dirinya dua kaki di belakang.
Tak terlukiskan rasa mendongkol Ji Bun-lui. Baru saja akan
menyusul, kembali terdengar suara langkah kaki bergema dari
belakang, ternyata In Seng-hong sudah menyusul dari sisi kiri
dan Jay In-hui menyusul dari sisi kanan. Selangkah di
belakang mereka kelihatan Coa Giok-tan menyusul sembari
tersenyum, sedang dua bersaudara Sim ada di belakang Coa
Giok-tan. Diam-diam Ji Bun-lui terkesiap, pikirnya, "Aaah, tak
disangka jagoan hebat bukan hanya aku seorang!"
Segera pula dia mengerahkan tenaga dalam dan lari
bersanding In Seng-hong dan Jay In-hui.
Perlombaan lari pun berlangsung semakin seru. In Seng
hong yang hebat dalam hal ilmu pedang dan ilmu
meringankan tubuh, Ji Bun-lui yang hebat dalam tenaga murni
serta Jay In-hui yang unggul dalam ilmu meringankan tubuh,
ternyata lari berjajar secara seimbang.
Coa Giok-tan meski hebat ilmu silatnya dan sempurna
tenaga dalamnya, ternyata dia masih setingkat di bawah Ji
Bun-lui. Karenanya dia ketinggalan satu langkah di belakang.
Ilmu meringankan tubuh Sim bersaudara masih kalah dari
In Seng-hong. Bicara soal tenaga dalam, mereka pun belum
mampu mengungguli Ji Bun-lui serta Coa Giok-tan. Maka
mereka selangkah tertinggal di belakang.
Begitu si Pengejar Nyawa mengerahkan kepandaiannya
untuk meluncur, tampak salju putih beterbangan kian kemari.
Bagaikan awan yang berkejaran di angkasa dia tinggalkan
kawanan jago lain jauh di belakang. Tapi ilmu gerakan tubuh
yang dimiliki Pa Thian-sik memang hebat. Lagipula dia pun
bergerak duluan. Maka selisih jaraknya dengan si Pengejar
Nyawa hampir mencapai puluhan kaki.
Baru saja Pengejar Nyawa hendak menghimpun hawa
murninya untuk menyusul ke depan, tiba-tiba terasa badai
salju turun semakin kencang. Di balik salju lebat terasa pula
hembusan angin utara yang dahsyat, membuat pemandangan
157 dalam radius satu dua kaki segera terselubung oleh lapisan
salju hingga tak dapat melihat apapun.
Pada saat itulah dari arah depan bergema suara bentakan
gusar disusul suara dengusan tertahan.
Si Pengejar Nyawa terkesiap. Ia sadar mereka telah
melakukan kesalahan fatal. Dengan melakukan kejar-mengejar
semacam ini, sama artinya mereka telah mengendorkan
pertahanan di bagian depan dan belakang. Padahal bila
ditinjau dari kematian Siang Bu-thian yang tergantung di
depan pintu tadi, jelas ada orang ingin mencari keuntungan di
air keruh. Dengan berpencar, bukankah sama artinya mereka
sudah terjebak oleh siasat lawan"
Segera teriaknya dengan suara lantang "Cuwi sekalian,
harap hati-hati! Perlambat gerak lari, musuh yang mulai
menyerang!"
Sembari berteriak, diam-diam dia membuat persiapan
sambil melesat ke depan. Mendadak kakinya seperti
menginjak seseorang.
Terdengar orang itu merintih pelan sambil mencengkeram
kakinya. Si Pengejar Nyawa segera mengenali suara rintihan
itu berasal dari Pa thian-sik. Kembali teriaknya, "Ini aku,
bagaimana keadaanmu?"
Di tengah hembusan angin utara yang kencang, tampak Pa
Thian-sik tergeletak di atas permukaan salju. Darah segar
telah menggenang di atas tanah, membuat salju yang semula
putih kini berubah jadi merah.
Menyusul kemudian tampak Pa Thian-sik berusaha meronta
bangun sambil serunya terbata-bata, "Pung ... punggungku ...
ada orang menyerang dengan senjata rahasia
Cepat si Pengejar Nyawa membalikkan badannya. Benar
juga, di atas punggungnya terdapat tiga buah lubang kecil.
Darah segar mengucur dari luka itu, tapi tak nampak ada
senjata rahasia yang menancap di situ.
Waktu itu Ji Bun-lui, In Seng-hong dan Jay In-hui telah
menyusul tiba. Mereka bertiga mencoba memeriksa sekeliling
tempat itu, namun selain lapisan salju yang membentang
158 hingga ujung langit, tak sesosok bayangan manusia pun yang
nampak. "Maknya!" umpat Ji Bun-lui sambil berkoar-koar. "Kalau
berani jangan berlagak macam setan! Lekas menggelinding
keluar, Toaya akan memberi hajaran yang setimpal untukmu!"
Suaranya keras hingga mendengung sampai di kejauhan,
namun tiada tanggapan.
Si Pengejar Nyawa melihat darah yang mengucur keluar
dari luka Pa Thian-sik masih mengalir sangat deras, bahkan
darah yang berceceran makin lama warnanya makin hitam.
Diam-diam ia terkesiap, segera tegurnya, "Saudara Thian-sik,
kau sudah mencabut keluar senjata rahasianya?"
Kondisi badan Pa Thian-sik makin lama semakin melemah,
sorot matanya mulai buram tak bersinar.
"Dicabut" ... Be ... belum ... aku dapat merasakan ... benda
itu seperti berada di... di dalam tubuhku
Lekas Jay In-hui mengeluarkan obat luka, kemudian
dibubuhkan ke luka di punggung Pa Thian-sik. Sementara itu
Coa Giok-tan yang menyusul tiba dan melihat luka telah
berubah semu hijau, ia sadar bahwa gelagat tidak
menguntungkan. Maka tanyanya, "Saudara Thian-sik, kau
terkena senjata rahasia apa" Apakah senjata rahasianya sudah
dicabut orang" Siapa yang melukaimu?"
Paras muka Pa Thian-sik makin lama semakin bertambah
pucat, sahutnya lirih, "Aku ... aku tidak tahu ... ketika angin
berhembus kencang, aku ... aku merasa ada orang meniupkan
udara dingin di ... di belakang tengkukku ... aku ... aku
membalikkan badan ingin me ... menawan orang itu ... tapi ...
tapi tak ada siapa-siapa ... Kemudian aku ... aku merasa
punggungku kaku dan ... aku pun roboh. Senjata rahasia itu
... tak ada yang mencabutnya ... aku ... aku hanya merasa
benda itu se ... seakan sudah menyusup ke dalam tu ...
tubuhku...."


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suaranya makin lama semakin perlahan, makin lirih. Makin
lemah.... 159 Dua bersaudara Sim yang kebetulan baru tiba kontan
berubah hebat paras mukanya, sebab mereka masih dapat
membayangkan betapa hebatnya ilmu silat yang dimiliki Pa
Thian-sik, ketika membunuh si naga pertama dari lima naga
dengan ilmu mengisapnya. Tapi sekarang siapa sangka dia
sudah roboh terkapar dalam keadaan luka parah tanpa tahu
siapa yang membokongnya.
Ketika mencoba untuk memeriksa luka, mereka sadar
benda yang melukai Pa Thian-sik sudah pasti bukan benda
sebangsa jarum. Ada sejenis senjata rahasia yang bisa masuk
ke tubuh manusia dengan mengikuti aliran darah. Benda
semacam itukah yang telah bersarang di tubuhnya"
Mendadak dari pucat-pias paras Pa Thian-sik berubah jadi
hijau gelap. Sambil melompat bangun dia mulai merobek
jubah hitam yang dikenakannya hingga robek berkepingkeping.
Hancuran kain beterbangan diterpa badai salju. Satu
putih satu hitam, sebuah perpaduan warna yang amat
memilukan hati.
Dengan suara parau menyeramkan Pa Thian-sik berteriak
keras, serunya sambil menuding kawanan jago itu, "Setan!
Setan! Kalian akan pergi bersamaku ... hehehe ... hee ...
setan! Setan!" rambutnya sudah awut-awutan, terurai ke
belakang punggung, matanya merah berapi, darah segar
belepotan di ujung mulutnya. Mimik mukanya saat ini memang
sangat menyeramkan, tak ubahnya seperti setan iblis.
Untuk sesaat tak seorang pun berani maju mendekat.
Ketika selesai mengucapkan kata terakhir, mendadak Pa
Thian-sik menjerit melengking, darah kental bercucuran dari
ujung mulutnya. Bukan darah berwarna merah, tapi darah
kental berwarna hitam pekat.
Ketika si Pengejar Nyawa maju mendekat sambil
memeriksa dengus napasnya, segera diketahui Pa thian-sik
sudah putus nyawa. Tewas dalam keadaan yang sangat
mengenaskan. Sementara itu para jago sudah berkumpul di sana.
Menyaksikan kematian Pa Thian-sik yang mengerikan itu,
160 diam-diam semua orang merasa bergidik. Mereka tak tahu
kapan giliran mereka akan tiba.
Malam semakin kelam, kegelapan sudah mulai mencekam
seluruh jagad. Pengejar nyawa mengawasi mayat Pa Thian-sik sambil
menundukkan kepala dan termenung. Coa Giok-tan tidak
banyak bicara, sementara Jay In-hui yang ketakutan sedang
dihibur oleh In Seng-hong....
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar lagi jeritan ngeri yang
memilukan berkumandang datang dari arah belakang sana.
"Aduh celaka!" pekik si Pengejar Nyawa dengan wajah
berubah. Keempat padri dari Siau-lim-pay dan dua Tosu dari Butong-
pay segera melesat ke udara dan meluncur ke arah
sumber jeritan itu, sedang si Pengejar Nyawa segera melintas
di atas kepala para jago bagai anak panah terlepas dari
busurnya. Sambil berlari ia berteriak, "Saudara Ji, saudara
Coa, In-lote", kita tak boleh berpencar! Segera berangkat
dalam satu rombongan!"
In Seng-hong beramai tentu saja tak berani berjalan
kelewat cepat lagi. Setiap orang selisih jarak tak sampai tiga
depa, dengan In Seng-hong berada paling depan dan Coa
Giok-tan paling belakang.
Lebih dua puluh kaki perjalanan ditempuh, satu
pemandangan mengerikan kembali terbentang di depan mata.
Gumpalan darah bercampur salju berceceran dimana-mana.
Tampak tujuh jagoan penuntut balas dengan senjata
terhunus membuat satu lingkaran mengelilingi si Pengejar
Nyawa. Waktu itu si Pengejar Nyawa sedang berjongkok
memeriksa tubuh seseorang yang terkapar di tanah, gumpalan
darah ternyata berasal dari tubuh orang itu.
Orang yang terkapar di atas permukaan salju itu masih
menggenggam senjata ruyung tiga ruasnya. Dia tak lain
adalah Si Tong.
Tapi apa yang menyebabkan kematiannya" Dan kemana
perginya Kongci Si, Phang Ku-kian serta Hoa Pian"
161 Terdengar salah satu di antara tujuh jagoan penuntut balas
yang bersenjata gurdi besi berkata, "Kepandaian silat kami
cetek, tak mampu menyusul kalian. Sementara keempat orang
Tauwto ini jauh ketinggalan di belakang kami, kemudian kami
pun tiba-tiba mendengar jeritan ngeri. Ketika balik kemari
"Ketika tiba di sini, kami telah menyaksikan pemandangan
seperti ini," sambung lelaki yang bersenjatakan tombak emas.
"Sementara ketiga orang Tauwto yang lain tak nampak batang
hidungnya, kemudian kalian pun tiba di sini."
"Seharusnya kendati ketiga orang Tauwto itu takut setan,
mustahil mereka akan meninggalkan jenazah rekannya begitu
saja. Apalagi kami balik ke sini dengan kecepatan tinggi.
Seharusnya kami masih sempat melihat mereka semua,"
sambung pula rekan yang lain.
"Ya, tapi mereka seakan lenyap begitu saja. Menguap ke
udara lelaki bersenjata palu berantai menambahkan.
Badai salju masih meraung-raung menerpa permukaan
tanah. Di tengah kegelapan malam, suara itu seakan rintihan
dan jeritan beribu sosok sukma gentayangan yang berasal dari
neraka, membuat paras muka semua orang jadi pucat
kehijauan. Mereka bergidik dengan suasana itu.
Terdengar lelaki yang bersenjata Boan-koan-pit berkata
dengan suara gemetar, "Benar, ketika kami balik kemari,
lamat-lamat seperti mendengar ketiga ... ketiga orang saudara
itu menjerit ngeri... suara mereka seakan ... datang dari
angkasa!" "Apa?" seru Pengejar Nyawa sambil berkerut kening.
"Maknya! Kau tidak usah menakut-nakuti orang!" umpat Ji
Bun-lui pula dengan gusar.
Sambil membusungkan dada, lelaki yang bersenjata Boankoan-
pit berkata, "Locu adalah orang yang tidak takut langit
tidak takut bumi. Kenapa mesti menakut-nakutimu" Aku
memang mendengar jeratan itu-seolah berasal dari tengah
langit. Mulut ini mulutku sendiri, kau toh boleh tidak percaya!"
Pengejar Nyawa mendongakkan kepala memandang ke
angkasa. Kegelapan malam telah mencekam seluruh jagad. Ia
162 tidak melihat apapun, bahkan bintang tak satu pun yang
kelihatan. Akhirnya Pengejar Nyawa menghela napas panjang,
tanyanya kemudian, "Kalian pernah mendengar ilmu silat yang
dinamakan Auman singa?"
"Tidak. Kecuali jerit kesakitan, kami hanya mendengar ada
suara yang lamat-lamat datang dari tengah udara, namun
tidak melihat apapun."
"Ya," sambung lelaki bersenjata tali lemas, "semisal ada
orang menggunakan ilmu Auman singa, seharusnya kami pun
ikut mendengar."
"Ehm, betul juga perkataanmu," kata si Pengejar Nyawa
setelah termenung sejenak.
Lalu setelah mengawasi para jago sekejap, ia tertawa getir
dan berkata lagi, "Aku tidak menemukan bekas luka di tubuh
Si Tong. Jangankan luka menganga, lubang kecil pun tak
ada.^Tapi kendang telinganya pecah, otak dan isi perutnya
juga hancur. Itulah sebabnya dia memuntahkan darah segar
dalam jumlah banyak. ARu rasa penyebab kematian Si Tong
akibat tergetar oleh ilmu sebangsa Auman singa. Tapi ... jika
dibilang ia mati lantaran ilmu Auman singa, seharusnya semua
orang yang berada di radius lima li ikut mendengar dengan
jelas. Kenyataannya kita tak mendengar apa-apa
Setelah tertawa getir, kembali ujarnya sambil menuding
bekas kaki yang tampak kacau di atas permukaan salju:
"Bekas kaki pun tampak tak masuk di akal. Yang ada hanya
tapak kaki sewaktu datang, dan tidak ada bekas kaki sewaktu
balik. Juga tak nampak bekas kaki menuju ke arah lain.
Padahal di sini tak ada alat rahasia apa-apa. Lalu kemana
perginya Hoa Pian, Phang Ku-kian serta Kongci Si bertiga ...
tak mungkin mereka lenyap begitu saja seakan menguap
Kembali semua orang merasa-hatinya tercekam. Hoa Pian
berempat memiliki kungfu yang cukup hebat, namun dapat
dibunuh orang dalam sekejap. Ini berarti jiwa mereka pun
terancam setiap saat....
163 Di tengah kegelapan malam yang semakin mencekam, di
tengah badai salju yang menderu-deru, tiba-tiba
berkumandang suara tangisan dan nyanyian seorang wanita
yang memilukan hati:
"... cahaya rembulan mulai redup, malam semakin kelam ...
dalam alam baka yang gelap, tiada cahaya sang surya, tiada
sinar rembulan ... hanya roh-roh halus yang gentayangan
Jagoan yang bersenjata Boan-koan-pit bergidik hingga bulu
kuduk berdiri. Tiba-tiba ujarnya agak gemetar, "Aku ... aku ...
aku ... tak ... tak ingin pergi...."
Tiba-tiba terdengar Ji Bun-lui membentak nyaring,
"Menggelinding keluar kau!"
"Wees!" kapak terbangnya segera meluncur ke udara
dengan kecepatan tinggi, kemudian berputar ke tempat
kegelapan di sisi timur-laut hutan.
Suara nyanyian berhenti seketika!
Cahaya berkilauan tampak berputar membelah kegelapan
malam. Setelah membuat pusingan satu lingkaran, senjata itu
terbang kembali ke tangan Ji Bun-lui.
Mata kapak itu tampak ada noda darah. Bukan darah
manusia, tapi darah kepala sekor burung.
Melihat hal ini Ji Bun-lui tertawa getir. Dia tak mengira
kapak terbangnya hanya mampu memenggal kepala sekor
burung. Sekujur badan lelaki bersenjata rantai terbang gemetar
semakin keras. Dia mulai mundur sempoyongan sambil
berbisik, "Ki ... kita adalah manusia, lebih baik ... lebih baik
jangan mengusik makhluk halus seperti mereka
Ji Bun-lui memandang lelaki itu sekejap dengan penuh
gusar, teriaknya, "Aku dengar ilmu silat kalian sudah dilatih
melampaui guru kalian. Guru kalian adalah si Tangan Sakti
Pengejar Sukma, sementara kalian tak lebih hanya gentong
nasi "Benar!" sambung lelaki bersenjata peluru geledek sambil
memandang gusar rekannya. "Kita tak boleh merusak nama
baik Suhu!"
164 "Demi membalaskan dendam sakit hati Suhu, kita sudah
berlatih tekun selama tiga tahun. Kau begitu ketakutan, lalu
buat apa ikut latihan selama ini?" seru lelaki bersenjata
tombak emas pula.
"Ya, kita seorang satu nyawa, tujuh orang tujuh nyawa.
Ayo kita luruk Perkampungan Hantu!" sambung lelaki
bersenjata gurdi.
Tiba-tiba dari tengah udara berkumandang lagi suara
nyanyian perempuan, hanya kali ini suaranya jauh lebih
mengerikan ketimbang yang pertama kali tadi.
"... cahaya rembulan mulai redup, malam semakin kelam ...
dalam alam baka yang gelap, tiada cahaya sang surya, tiada
sinar rembulan... hanya roh-roh halus yang gentayangan ...."
Mendadak Ji Bun-lui membentak nyaring "Kena!" kembali
kapak terbangnya melesat ke udara, kali ini senjata ini
meluncur dengan kecepatan satu kali lipat lebih cepat.
Coa Giok-tan tidak tinggal diam, ia getarkan juga tangan
kanannya sembari menyambit ke depan. Sebuah serat yang
terbuat dari emas segera tergetar hingga tegak bagaikan
sebatang tombak, kemudian langsung menusuk ke balik
kegelapan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Menyusul serangan itu, si Pengejar Nyawa melesat ke arah
datangnya suara tadi. Dalam waktu singkat tiga orang jago
tangguh telah turun tangan bersama.
Terdengar jeritan ngeri yang memilukan hati bergema di
angkasa, kemudian suasana kembali hening.
Ji Bun-lui menyambut kembali kapak terbangnya yang telah
meluncur balik. Dia lihat mata kapak sudah dibasahi darah
segar. Coa Giok-tan juga telah menarik kembali serat
emasnya, sementara si Pengejar Nyawa muncul dari balik
kegelapan sambil membopong tubuh seseorang.
Begitu tiba di tengah rombongan, ia langsung menjerit
keras, "Kalian telah salah membunuh!"
Ketika sorot mata semua orang ditujukan pada orang dalam
bopongan si Pengejar Nyawa, terlihatlah orang itu tak lain tak
bukan adalah Phang Ku-kian.
165 Tengkuk Phang Ku-kian telah terhajar kapak terbang Ji
Bun-lui hingga nyaris putus, sementara jalan darah Ki-hay-hiat
di badannya tertusuk pula oleh serat emas yang dilancarkan
Coa Giok-tan. Darah masih mengucur keluar dari lukanya itu.
"Sebelum terbunuh, jalan darah bisu dan jalan darah
lemasnya telah ditotok orang," kata si Pengejar Nyawa dengan
nada dingin. "Tampaknya dia memang sengaja diletakkan di
sana untuk menjebak kita. Mana ada setan yang bisa menotok
jalan darah" Sudah jelas pembunuh itu bukan setan!"
Penjelasan ini kontan membuat perasaan semua orang
sedikit rada lega. Siapa tahu lelaki yang bersenjata Boankoan-
pit kembali berkata dengan suara gemetar, "Setan
adalah makhluk yang serba bisa. Tentu saja dia pun dapat
menotok jalan darah!"
Ji Bun-lui tidak menggubris perkataan orang, dia melirik
sekejap ke arah Coa Giok-tan dengan mata melotot. Perasaan
hatinya benar-benar diliputi rasa tercengang bercampur kaget.
Dia tak menduga kalau ilmu silat orang jauh lebih hebat
ketimbang apa yang dibayangkan semula.
Ternyata serangan yang dilancarkan oleh Coa Giok-tan dan
Ji Bun-lui tadi, meski dilancarkan hampir bersamaan,
kecepatan serangan Coa Giok-tan setengah langkah lebih
cepat. Senjata serat emasnya menusuk jalan darah Ki-hay-hiat
Phang Ku-kian duluan. Justru karena tusukan itu, maka jalan
darah bisunya yang sudah tertotok terbebaskan. Itulah
sebabnya ketika tengkuknya dibabat kapak terbang, sang


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

korban sempat menjerit kesakitan.
Dalam pada itu Coa Giok-tan sangat bersedih. Dia tak
menyangka telah salah membunuh rekan sendiri.
Melihat itu, dengan suara dalam si Pengejar Nyawa
berkata, "Mulai sekarang kita harus tingkatkan kewaspadaan,
bersiap dengan kekuatan penuh dan jangan bubar dari
rombongan. Kita semua tak perlu bergerak terlalu cepat.
Saudara Ji, kau bersama aku sebagai pembuka jalan, saudara
Coa dan In-lote berada di barisan paling belakang, sementara
dua bersaudara Sim menjaga bagian tengah barisan."
166 Berbicara soal ilmu silat, kepandaian silat yang dimiliki
Pengejar Nyawa terhitung paling hebat. Kemudian disusul
kepandaian Ji Bun-lui, In Seng-hong, Coa Giok-tan dan Jay Inhui
berempat. Setelah itu baru disusul dua bersaudara Sim.
Karena itulah beberapa orang ini telah diletakkan si Pengejar
Nyawa pada posisi yang strategis.
Kini sisa rombongan tinggal dua puluh saja. Perlahan-lahan
mereka mulai bergerak menuju ke Perkampungan Hantu. Tak
ada orang yang berlari cepat lagi.
Dalam waktu singkat tiga puluh li sudah dilampaui, tiba-tiba
terdengar suara ringkik kuda berkumandang datang dari
kejauhan. Pengejar Nyawa segera memberi tanda, rombongan
pun menghentikan langkah sambil bersiaga.
Terlihat belasan ekor kuda bergerak mendekat dengan
langkah perlahan. Di setiap punggung kuda itu tampak
seseorang mendekam di sana, sementara belasan ekor kuda
yang lain diikat bergandengan dengan menggunakan seutas
tali panjang. Karena terikat jadi satu, maka kuda-kuda itu tak
dapat memencarkan diri.
Melihat keadaan sangat mencurigakan, dengan lantang si
Pengejar Nyawa segera menegur, "Siapa yang datang" Harap
laporkan namamu daripada terjadi kesalah pahaman!"
Teguran itu diulangi sampai tiga kali, namun orang itu
belum juga bergerak. Bahkan rombongan kuda itu masih
bergerak maju perlahan-lahan.
Si Pengejar Nyawa segera memberi tanda. Bersama Ji Bunlui
mereka melesat mendekati orang itu dengan kecepatan
tinggi. Dengan satu cengkeraman maut, Ji Bun-lui menyambar
orang yang mendekam di punggung kuda pertama, kemudian
membetotnya ke bawah.
Pada waktu yang sama, si Pengejar Nyawa menyambar
pula punggung orang kedua yang berada di kuda nomor dua.
"Hah, mayat!" mendadak kedua orang jago itu menjerit
berbareng. 167 Berhubung kuda yang paling depan berhenti, seketika
rombongan kuda yang berada di belakangnya ikut berhenti
pula. Tampak orang-orang yang berada di atas punggung
kuda-kuda itu mendekam dengan wajah pucat-pias. Ternyata
semuanya sudah menjadi mayat!
Kematian orang-orang ini sangat aneh. Sepasang mata
mereka melotot besar, tubuh lemas bagaikan kapas seakan
tenaga dalam mereka telah punah sama sekali. Bahkan darah
di tubuh mereka pun seakan telah diisap habis jadi mayat
yang kering. "Setan pengisap darah!" pekik lelaki bersenjata tali lemas
dengan nada kaget.
Semua orang cukup mengenal siapakah mayat-mayat itu,
sebab mereka tidak lain adalah rombongan yang datang
bersama Siang Bu-thian, yaitu para begundal dan tukang
pukul pemuda bejad itu. Tak disangka kini mereka semua
telah menjadi mayat kering.
Pada saat itulah suara nyanyian yang memilukan hati
kembali bergema dari balik kegelapan. Baru saja Ji Bun-lui
berkerut kening dan siap melancarkan serangan, dengan
wajah serius Pengejar Nyawa segera berbisik, "Jangan turun
tangan secara gegabah. Pancing keluar dulu orang itu,
kemudian baru digebuk bersama!"
Suara aneh itu kembali lenyap tak berbekas setelah
bernyanyi dan tertawa aneh berulang-kali.
Dengan serius si Pengejar Nyawa pasang telinga dan
mendengarkan beberapa saat. Tiba-tiba bisiknya kepada Ji
Bun-lui, "Saudara Ji, boleh aku pinjam kapakmu sebentar?"
Ji Bun-lui tak paham apa yang hendak dia lakukan. Tapi ia
percaya si Pengejar Nyawa pasti tak bermaksud jahat. Maka
tanpa ragu dia sodorkan kapaknya.
Seperti sedang memikirkan sesuatu, tiba-tiba si Pengejar
Nyawa membalikkan mata kapak hinga menyorot ke atas
permukaan salju. Pantulan sinar yang menusuk pandangan
segera memancar dari mata kapak itu. Dalam detik yang amat
singkat inilah dari atas mata kapak secara lamat-lamat terlihat
168 ada sesosok bayangan hitam berkelebat lewat kemudian
lenyap tak berbekas.
Dalam hati kecilnya, si Pengejar Nyawa segera mengerti
.ipa yang telah terjadi. Mendadak ia bertanya kepada In Sengbong,
"In-lote, sebelum aku membantu Pek Shia-cu
menghadapi Bu-tek Kong-cu di gurun pasir tempo hari, jagoan
di pihak kita sudah mati duluan beberapa orang dengan cara
yang misterius. Konon mereka tewas karena disergap dan
dibokong dalam keadaan yang luar biasa. Waktu itu kita tidak
melihat jejak musuh di padang pasir yang luas, tapi setiap kali
ada anggota rombongan yang tertinggal, mereka selalu tewas
dibunuh secara kejam. Tahukah kau benda apa yang telah
digunakan musuh untuk merobohkan anggota rombongan
waktu itu"
Mula-mula In Seng-hong agak tertegun, tapi setelah
berpikir sebentar ia segera sadar apa yang dimaksud.
Serunya, "Aaah, aku sudah paham. Saudara Pek-i pernah
menceritakan pengalamannya kepadaku
"Asal sudah paham ya sudah," tukas si Pengejar Nyawa
sambil tersenyum.
"Apakah perlu bantuanku?" tanya Ji Bun-lui.
"Ya, apa perlu bantuan kami?" sambung Coa Giok-tan pula.
"Kehebatan saudara Pengejar Nyawa dalam menaklukkan
Butek Kongcu sudah tersohor di seantero jagad. Bila
membutuhkan tenaga kami, Cayhe siap membantu dengan
sepenuh tenaga!"
"Terima kasih banyak," si Pengejar Nyawa tersenyum.
"Sekarang aku, saudara Coa dan In-lote bekerja sama
melemparkan tubuh saudara Ji ke udara. Kemudian dari situ
saudara Ji melemparkan kapak terbangnya ke posisi musuh.
Coba kita lihat apakah dengan cara begini kita dapat
melukainya."
"Baik, tak jadi masalah," Ji Bun-lui menanggapi sambil
tertawa keras. "Sekarang dia terbang rendah, ayo naik!" bisik si Pengejar
Nyawa tiba-tiba dengan suara lirih.
169 Coa Giok-tan segera menggetarkan pecut serat emasnya.
Senjata yang panjangnya mencapai dua puluhan depa itu
segera melilit pinggang In Seng-hong dan Ji Bun-lui.
Empat padri dari Siau-lim, dua Tosu dari Bu-tong, tujuh
jagoan penuntut balas serta dua bersaudara Sim kontan
melengak melihat kejadian ini. Semula mereka mengira Coa
Giok-tan hendak membokong kedua orang jago itu.
Belum sempat mereka berpikir jauh, Coa Giok-tan telah
mengayunkan pecut serat emasnya ke udara. Tubuh Ji Bun-lui
dan In Seng-hong segera terlempar ke udara setinggi empat
lima kaki lebih.
Sewaktu badannya dilemparkan ke tengah udara, baik In
Seng-hong maupun Ji Bun-lui sama-sama tidak mengerahkan
tenaga. Tapi begitu badan mereka mulai meluncur ke bawah,
In Seng-hong segera menyambar sepasang kaki Ji Bun-lui, lalu
sambil menarik napas dan mengerahkan ilmu meringankan
tubuhnya yang hebat, ia melambung lagi dua kaki ke udara.
Dengan menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya, dia
dorong sepasang tangannya kuat-kuat, melemparkan tubuh Ji
Bun-lui hingga melambung berapa kaki lagi ke atas.
Selama ini Ji Bun-lui sama sekali tidak mengerahkan
tenaga. Menunggu sampai tenaga dorongan In Seng-hong
melemah, dia baru menghimpun tenaga dalamnya kemudian
melejit satu kaki lebih tinggi. Sambil membentak keras, kapak
terbangnya langsung diayunkan ke depan.
Lemparan kapak terbangnya kali ini dilakukan Ji Bun-lui
dengan sekuat tenaga. "Wesss!" diiringi desingan angin tajam,
kapak itu langsung membacok di atas tubuh suatu makhluk
yang sedang terbang di angkasa. "Buuuk!" diikuti pekikan
panjang, darah bercampur rontokan bulu sayap segera
berguguran ke tanah.
Semua kejadian ini berlangsung dalam waktu yang amat
singkat. Di bawah kerja sama yang erat antara Coa Giok-tan,
In Seng-hong dan Ji Bun-lui, kapak terbang itu berhasil
melayang lima kaki lebih di atas permukaan tanah. Serangan
ini berhasil menghajar seekor burung rajawali raksasa.
170 Kini keempat padri dari Siau-lim, dua orang Tosu dari Butong
dan jago lainnya baru mengerti apa yang telah terjadi.
Tak kuasa lagi mereka berseru tertahan.
Berhasil dengan serangan mautnya, kapak terbang itu
berpusing balik ke tangan Ji Bun-lui.
Ketika itu In Seng-hong sudah melayang turun ke
permukaan tanah. Namun lantaran jaraknya kelewat tinggi,
tak urung badannya sempoyongan juga tatkala menginjak ke
permukaan salju.
Ilmu meringankan tubuh Ji Bun-lui jauh di bawah
kemampuan In Seng-hong. Apalagi dia harus menerima
kembali kapaknya yang berpusing, tekanan itu membuat
badannya meluncur ke bawah jauh lebih cepat.
Melihat itu Coa Giok-tan kembali meluncurkan serat
emasnya untuk menggaet badan Ji Bun-lui, kemudian dengan
satu sentakan, dia membawa tubuh jagoan itu mendarat
dengan tenang di tanah.
Kerja sama ketiga orang jago lihai ini memang cepat
bagaikan kilat, rapat bagai jaring langit. Sungguh
mengagumkan. Bagaimana dengan si Pengejar Nyawa"
Begitu kapak terbang Ji Bun-lui berhasil menghajar tubuh
makhluk terbang itu, si Pengejar Nyawa segera bergerak cepat
m mengejar ke arah rajawali yang terpapas sayapnya itu.
Diiringi tetesan darah yang deras, burung itu terbang lagi
sejauh belasan kaki, kemudian terjatuh ke tanah dan tak
mampu berkutik lagi.
Baru saja tubuh si burung menempel di permukaan salju,-si
Pengejar Nyawa telah menyusul tiba.
Ternyata sayap kiri burung itu nyaris terpapas kutung
setengah. Suara pekikannya amat memilukan hati. Namun
begitu melihat si Pengejar Nyawa menghampiri, dia segera
pentang sayap kanannya dan melakukan sebuah sapuan ke
tubuh lawan Sungguh dahsyat tenaga sapuan itu! Kekuatannya mungkin
mencapai beribu kati. Diam-diam Pengejar Nyawa terperanjat.
171 Pikirnya, "Untung saja serangan gabungan In Seng-hong, Ji
Bun-lui dan Coa Giok-tan berhasil melukai sayap kirinya. Kalau
tidak, mungkin sulit bagiku untuk menghampiri makhluk ini."
Sambil berpikir, ia segera melancarkan serangan dahsyat.
Tapi burung itu berhasil menghindari datangnya ancaman.
Hanya sayang, lantaran sayapnya terluka parah, dia tak
sanggup terbang kembali ke angkasa.
Pengejar Nyawa tak berani bertindak gegabah, sebab dia
tahu sehebat-hebatnya burung rajawali itu, lebih hebat lagi
orang yang berada di punggungnya. Dia harus mewaspadai
serangan mematikan dari orang itu.
Maka dengan sangat berhati-hati dia menghindarkan diri
dari sapuan sayap itu, begitu mendekat, sebuah tendangan
kilat dilontarkan ke punggung orang yang berada di punggung
rajawali itu. "Duuuk!" ternyata punggung orang itu terhajar telak oleh
tendangan maut itu. Pengejar Nyawa tidak menyangka kalau
serangannya berhasil menghajar lawan dengan begitu mudah.
Sementara ia masih tertegun, kembali burung rajawali itu
menyerang dengan menggunakan sayapnya.
Sungguh dahsyat sapuan sayap itu, tapi si Pengejar Nyawa
tidak menghindar maupun berkelit. Dengan kaki kiri terpantek
di tanah, kaki kanannya langsung menendang sayap burung
itu. Begitu sayap terhajar tendangan, burung rajawali itu
tergetar keras dan mencelat ke belakang. Sementara itu,
tubuh si Pengejar Nyawa terpantek di tanah tanpa bergeser
sedikit pun. Pada saat itulah dua bersaudara Sim telah menyusul
datang. Secepat kilat mereka melancarkan sodokan maut ke
mata burung rajawali itu. Diiringi pekikan ngeri, matilah
burung rajawali itu.
"Hah, rupanya dia!" mendadak Jay In-hui menjerit.
Rupanya orang yang termakan tendangan hingga terjatuh
dari punggung rajawali itu, kini sudah rebah telentang di atas
permukaan salju. Dan orang itu tak lain adalah Kongci Si.
172 Pengejar Nyawa segera maju mendekat. Ia jumpai tulang
rusuk Kongci Si sudah hancur remuk karena termakan
tendangannya tadi. Kini orang itu sudah tewas.
0o4o0 6. Menjebol Barisan.
Menyaksikan kejadian ini, si Pengejar Nyawa tertawa getir.
Dia segera melakukan pemeriksaan lebih teliti.
Ternyata sekujur badan Kongci Si pucat pias, sama sekali
tak ada tanda darah. Dua bekas gigitan tertera jelas di
tengkuknya, cairan darah dalam tubuhnya juga telah diisap
seseorang hingga habis. Jelas dia sudah tewas jauh sebelum
termakan tendangan maut itu.
Pengejar Nyawa tertawa dingin, katanya, "Rupanya setan
penghuni Perkampungan Hantu menguntit kita dengan
menggunakan burung rajawali itu. Karena dia terbang di
angkasa dalam cuaca gelap begini, sudah pasti jejaknya sukar
diketahui kita semua. Lantaran kejadiannya mirip sekali
dengan peristiwa di masa lalu, ketika aku melawan Bu-tek


Pertemuan Di Kotaraja Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kongcu, maka aku lantas menduga kalau pihak lawan tentu
menggunakan burung rajawali untuk mengintai dari udara,
kemudian mencari kesempatan untuk membunuh kita. Itulah
sebabnya tadi aku meminjam kapak
milik Ji Bun-lui untuk memeriksa bayangan tubuhnya dari
pantulan sinar di mata kapak. Tapi aku percaya burung
rajawali ini bukan bertugas membunuh orang. Yang
melakukan pembantaian pasti orang lain. Kalau tidak, dengan
kemampuan burung ini rasanya mustahil bisa membunuh Pa
Thian-sik. Untuk membunuh Kongci Si berempat pun belum
tentu bisa, paling tidak mereka dapat berteriak minta
pertolongan sebelumnya. Maka menurut dugaanku, tugas dari
rajawali ini adalah mengangkut mayat-mayat yang telah
terbunuh menuju ke tempat yang tidak pernah diduga oleh
173 kita semua, agar kekuatan kita tercerai-berai, agar kita
ketakutan terlebih dulu sehingga akhirnya tak berani
melanjutkan perjalanan menuju ke Perkampungan Hantu.
Jelas sudah semuanya ini adalah hasil karya manusia. Mana
mungkin ada setan memiliki kemampuan seperti ini?"
Kemudian sambil menunding bangkai burung rajawali itu,
lanjutnya lagi, "Sekalipun memang benar ada setan macam
burung itu, kita toh bisa memaksa mereka untuk mati sekali
lagi." Dengan nada sangat hati-hati, lelaki bersenjata pecut
lembek itu bertanya, "Kalau memang begitu, mengapa
sewaktu tersesat. Si Tong berempat tidak sempat berteriak
minta tolong?"
"Dan mengapa kita selalu mendengar suara tangisan dan
nyanyian wanita yang tak nampak wujudnya?" ujar lelaki
bersenjata Boan-koan-pit dengan tubuh gemetar, lalu
sambungnya, "Kenapa suara itu bisa gentayangan seperti
setan iblis?"
"Ya benar," sambung lelaki bersenjata rantai terbang
dengan nada tak habis mengerti, "kenapa Pa-sianseng mati
dalam keadaan tak jelas" Kenapa setiap korbannya selalu
mempunyai bekas gigitan di tengkuknya" Masa ... masa
musuh kita benar-benar adalah setan pengisap darah?"
"Aku sendiri pun kurang mengerti, dan tak bisa
menjelaskan," sahut si Pengejar Nyawa sambil tertawa. "Bila
ingin mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, hanya satu
jalan yang bisa kita tempuh, yaitu mengunjungi
Perkampungan Hantu!"
Mendadak dari balik badai salju, entah dari arah mana,
terdengar seorang berteriak dengan suara memilukan:
"Su-site ... Sute keempat... kalian ... kalian telah membunuh
Su-siteku"
"Akulah yang telah membunuh Su-sitemu," bentak Ji Bunlui
gusar. "Kalau memang bernyali, ayo cepat menggelinding
keluar, sekalian akan kubunuh dirimu!"
174 Baru selesai ia berteriak, tiba-tiba dari belakang pohon
kering sana meluncur keluar segumpal makhluk besar.
Diiringi deru angin tajam, makhluk itu langsung menumbuk ke
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 10 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Kampung Setan 12
^