Pencarian

Prabarini 3

Prabarini Karya Putu Praba Darana Bagian 3


yang dapat menampung dunia dengan segala isinya! Manusia
penuh keterbatasan, tapi Hyang maha Wisnu tidak pernah
terbatas."
"Bagaimana pendapat Yang Tersuci?"
"Tak dapat disangsikan lagi, Yang Maha Mulia, bahwa
Paramesywari adalah brahmani yang mumpuni," puji Panuluh yang ikut dalam rombongan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, tiap orang memiliki kekurangannya sendiri-sendiri, Yang Maha Mulia." Prabarini buru-buru menyembah, "Hamba pun tak luput dari kekurangan."
"Hyang Maha Wisnu menjodohkan kita, Istrinda,"
Jayabhaya kini membimbing istrinya, "untuk saling menutupi kekurangan yang kau maksudkan itu. Mari! Berbahagialah kau
di sampingku, Adinda!"
Prabarini hanya tersenyum. Ia tidak berani menjawab.
Memang senyum adalah lebih bijak dari pada menjawab
dengan kata-kata. Sebab untuk mengiakan tentu Prabarini
membutuhkan perjuangan melindas hati sendiri. Dan buru-
buru ia membuang pandang ke arah umbul-umbul yang
berkibar-kibar di pinggir jalan, seolah ikut beria-ria
menyapanya. Daun-daun nyiur juga daun-daun pisang nan
hijau bergoyang oleh hembusan angin lirih. Sawah yang mulai menghijau memberi harapan pada semua warga kota Daha.
Melegakan sang Baginda. Apalagi dengan pengumuman yang
dikeluarkan oleh Mpu Panuluh, bahwa Paramesywari anugerah
Hyang Maha Dewa akan membawa kesuburan bagi bumi
Penjalu seperti waktu zaman Bathara Erlangga sorga. Atau
mungkin sekali malah melebihinya. Karena ternyatalah bahwa
Prabarini adalah penjelmaan Sri Lakhsmi sendiri. Tapi banyak orang bijak yang sudah menangkap maknanya, bahwa
ternyatalah Prabarini masih perawan waktu Sri Jayabhaya
menidurinya pertama kali.
Sepulang dari perjalanan keliling kota Daha Jayabhaya
menasihati Prabarini untuk memanggil seorang dayang yang
bertugas sebagai tukang pijit agar terlepas dari keletihan.
Namun Prabarini menjawab dengan ramah.
"Cukuplah Nyi Rumbi, Yang Maha Mulia. Karena dialah yang merawat hamba sejak hamba kecil."
Raja kembali ke balai agung, karena masih ada sesuatu
yang hendak dibicarakan dengan para menteri. Kesempatan
itu dipergunakan oleh Prabarini untuk kembali berdoa. Ia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memohon pada Hyang Maha Dewa agar dirinya tidak
terpengaruh oleh lingkungannya yang serba gemerlap. Dan
setelannya ia kembali membaca Bhagawad Gita. Kini
percakapan kedua belas sloka kesepuluh:
abhyase py asamartho si
matkarma paramo bhava
madartham api karmani
karvan siddhim avapsyasi
Artinya: Jika engkau tak sanggup lagi melakukan yoga
Maka pusatkan semua pengabdian padaKu
Dan segala kegiatanmu demi untukKu
Engkau pasti akan mencapai kesempurnaan.
athai 'tad apy asakto "si
kartum madyogam saritah
sarva karma phala tyagam
tatah kuru yatatmavan
Artinya" Jika itu pun tak dapat kaulakukan,
Maka berlindunglah dalam keajaiban syaktiKu
Dan tanggalkan semua rasa berjasamu atas karyamu
Jiwamu akan teguh terkendalikan.
Prabarini seperti memperoleh kekuatan diri dalam
kepasrahan. Saatnya akan tiba, ia bersua dengan Sedah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu ia bertekad tidak akan melahirkan anak bagi
Jayabhaya. "Kau tahu caranya itu?" tanyanya pada Nyi Rumbi.
"Beri tahu pada hamba bila Yang Mulia datang bulan
terlambat. Sebab, itu salah satu tanda."
"Baiklah! Apa yang akan kaulakukan seandainya aku datang bulan terlambat?"
"Tidak sukar. Hamba akan meramukan jamu.
Dari nanas muda di campur dengan mrica serta arak hitam.
Jika gagal, maka hamba akan mencarikan buah durian
dicampur dengan ramuan lain. Pasti!"
"Pasti manjur?"
"Pengalaman hamba, pasti manjur. Tapi tidak tahu lagi jika benih seorang sakti titisan Dewa Wisnu..."
"Anak Dewa siapa pun, selain Sedah, harus aku gugurkan!"
"Baiklah! Nanti kita juga bisa berunding dengan Nyi
Lembini. Tentu dia lebih pintar. Bukankah ia seorang tabib?"
"Oh... iya!" Prabarini tersenyum lebar.
O000odw0ooo0 Musim penghujan belum berakhir kala Sedah menuruni
lereng Gunung Kawi dan kembali menuju Adiluwih. Tapi Sedah
tidak pernah peduli dengan hujan. Juga tidak pernah peduli
dengan udara gunung yang dingin. Dengan celana hitam,
jubah hitam, dan kalung emas panjang dengan medali
bergambar teratai tergantung di perutnya, Sedah tetap
meneruskan perjalanannya. Dalam hatinya ia mengukir
sebuah syair buat kekasihnya:
Dua puluh tiga tahun sudah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bumi menyanggaku
Mentari memanggang kulitku
Hujan dan badai menepis wajahku
Tapi kakiku tetap melangkah menuju esok
Tiba-tiba... Sebuah kidung usang menyentakkan daku
Dan membawa kakiku menyelusuri jalan-jalannya
Pengulangan! Ya, sebuah pengulangan!
Tapi aku terhanyut...
Dalam hempasan gelombang asmara
Jadilah aku berandai-andai dalam berjuta mimpi
Ah, benarkah ini"
Hidup cuma sebuah impian yang diulur"
Pohon-pohon Sonokembang dalam hutan tidak cukup untuk
meneduhinya dari hujan dan panas, tapi ia tidak peduli.
Sawah-sawah memberikan kedamaian. Tapi ia tidak
berhenti untuk berbincang dengan para petani yang
dijumpainya, kecuali untuk membetulkan tali kasutnya yang
terbuat dari pelepah daun pinang. Tongkat hitam dengan hulu terbuat dari emas berbentuk bulatan akan menolongnya jika ia gontai. Tapi tidak! Dalam usia dua puluh tiga tahun ia tidak pernah gontai. Dan semua orang, pedagang ataupun petani
yang berpapasan dengannya, pasti akan menjatuhkan diri dan
menyembah. Sedah heran. Sewaktu hendak memasuki perkampungan
Badas, ia bersua dengan seorang setengah umur, yang
rupanya baru saja mencari kayu di hutan. Dengan langkah
panjang orang itu memikul dua ikat kayu di kiri-kanan
tubuhnya. Ia amat terkejut kala hampir menubruk Sedah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagad Dewa Pramudita! Hati-hatilah, Paman..."
Dengan gugup orang itu memandang Sedah. Entah apa
sebabnya, tubuhnya tiba-tiba menggigil. Ia langsung
menjatuhkan diri sambil menyembah,
"Oh, ampunkan hamba, Yang Maha..."
"Jangan seperti itu, berdirilah! Kenapa kau ini?"
"Bukan mak... mak... sud ham..."
"Jangan gugup! Atau kau sudah terlalu lapar?" Sedah mengeluarkan bungkusan nasi yang tadi dibelinya di sebuah
kedai. "Tidak! Terima kasih..."
"Kenapa takut" Aku bukan hantu. Aku manusia biasa."
Tapi orang itu kembali menyembah dengan muka
terhunjam ke tanah. Sedah tidak ingin memberi aniaya lebih
lanjut pada orang tua itu, maka setelah meninggalkan nasi di samping orang itu, segera ia berlalu.
Dan orang itu menceritakan pada teman-teman
sekampungnya, bahwa ia telah bersua dengan Hyang
Kamajaya. "Ah, kau biasanya suka bohong! Cari apa Hyang Kamajaya pergi ke tepian hutan?"
Sebaliknya Sedah menjadi amat heran. Barangkali wajahku
menakutkan. Barangkali setelah berhari-hari menempuh
rimba, jurang dan gunung-gunung, wajahku jadi berubah"
Menakutkan" Maka Sedah segera mencari sebuah kali kecil di
pinggir hutan untuk bercermin sekaligus mandi. Siapa tahu
mereka betul. Wajahku telah berubah menjadi seperti
drubiksa. Jika demikian tentu Dinar juga akan berlari
ketakutan. Tapi begitu ia bercermin pada air jernih, ah, tidak!
Aku belum berubah. Lalu apa sebabnya"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah tetap tidak menyadari, bahwa busana brahmana
yang dikenakannya telah membuat setiap sudra yang
bersilang jalan dengannya selalu menjatuhkan diri. Apalagi
dengan tongkat berhulu emas di tangannya begitu, tentu
orang menganggapnya dewa yang turun dari Nirwana. Apalagi
ia membiarkan rambutnya yang hitam ikal itu terurai lepas di bawah pundaknya. Alisnya tebal, seolah gambar sepasang
golok hitam tertempel di atas matanya dengan pangkal
beradu. Bulu matanya lentik dan lebat, membuat matanya
bersinar seolah bintang kejora. Keberaniannya beradu
pandang merupakan petunjuk bahwa Sedah tidak pernah ragu
berhadapan dengan siapa pun.
Akhirnya Sedah tidak mau direpotkan dengan sikap orang
padanya. Selesai mandi ia segera melanjutkan perjalanan. Dan sebelum kembali masuk hutan ia mengganti kasutnya dengan
yang baru. Ternyata kasut pelepah pinang tidak sekuat yang
terbuat dari kulit. Tapi tak apa. Begitu pun ia tetap bersyukur.
Kelelahan selalu dikalahkannya dengan menikmati panorama
sepanjang perjalanan. Tak jarang ia berhenti beberapa saat
untuk memperhatikan akar-akaran yang menggantung dari
pohon-pohon besar. Luar biasa! Pohon besar dengan akar
demikian banyak. Akibatnya juga lebih luar biasa lagi: tak satu pun rumput bisa hidup di bawahnya. Ternyata pohon besar
bukanlah lambang pelindung. Tapi lambang keserakahan.
Lihat! Ia tak sudi berbagi rejeki dengan pohon-pohon kecil!
Lihat, betapa rakusnya akar-akarnya mengisap kandungan
perut bumi! Kurang puas" Masih mengeluarkan akar lagi dari
dahan dan rantingnya.
Kekaguman Sedah pada Hyang Maha Dewa makin
bertambah. Sekalipun rumput tak mampu tumbuh, atau pohon
jenis lain, ternyata setelah ia mengamati dan mendongak ke
atas, ada jenis pohon lain yang dengan wajah sinis mengejek pohon-pohon kecil yang tak mampu hidup. Daunnya tidak
sama dengan milik pohon raksasa yang berdiri tegar dan
angker itu. Kecil! Tapi sanggup memerintah raksasa itu untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mencarikan makan untuknya. Bukan main! Itulah benalu! Ya,
benalu namanya! Raksasa rakus itu. tak sanggup
mengebaskannya. Sedah tersenyum. Inilah hidup dan
kehidupan. Saling mengalahkan.
Beruntung memang Sedah. Di tengah perjalanan dalam
rimba ia mendengar harimau mengaum-ngaum. Cepat ia
memanjat pohon untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Matanya yang tajam dapat melihat dengan jelas, betapa
seekor harimau menjadi panik karena dikeroyok ribuan tawon.
Ternyata ada sebatang pohon yang roboh. Entah apa
sebabnya" Tapi tahu-tahu memang sudah roboh melintang di
jalan setapak yang akan dilewati Sedah. Ternyata di dahan
pohon tersebut terdapat sarang tawon madu. Nah, rupanya si
harimau bukan sekedar pemakan daging, tapi juga menyukai
madu. Kala mencoba mengisap madu dengan mulutnya,
marahlah si empunya sarang. Barangkali ada tiga puluh ribu
lebih. Lebah-lebah itu menggunakan senjatanya untuk
mengusir si raja hutan. Mau tak mau si raja rimba terbirit-birit.
Dan Sedah mendapat keuntungan. Kala pasukan lebah itu
mengejar musuhnya ia datang dengan membawa asap, lalu
memotong sarang yang menyimpan madu. Tidak semua
sarang diambil memang. Tapi Sedah yang berpengalaman
hanya mengambil bahagian yang bermadu. Disimpannya di
bumbung persediaan air yang dibawanya. Sebahagian lagi
disedot masuk perutnya. Kemudian Sedah melanjutkan
perjalanan, seiring dengan harimau yang berlari-lari kecil
sambil mencoba menepiskan kerumunan tawon dengan
cakarnya. Tanpa sesadar Sedah, harimau tadi memasuki perempatan
jalan di tengah rimba. Sedah menjadi amat terkejut. Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan, disusul dua orang lari
pontang-panting.
"Harimau! Harimau! Tolong!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si raja rimba yang mempunyai panjang badan tidak kurang
dari satu depa itu pun sempat heran.
Berhenti sejenak, dan telinganya mendadak menjadi tegak.
Matanya mengawasi orang yang sedang lari. Tapi empat lelaki bercawat dengan senjata pedang pendek jatuh gemetar di
bawah pandang si raja rimba. Tidak terkecuali seorang
perempuan. Mereka semua mengatupkan mata, pasrah untuk
dilahap sang macan. Tapi ternyata tidak! Seperti jengkel saja ulah si harimau, ia melompat masuk ke dalam semak belukar.
Dan tinggallah Sedah di tengah-tengah perempatan sambil
memandang sekelilingnya. Semua masih gemetar sambil
mengatupkan matanya. Bahkan ada di antara mereka yang
menggulung tubuhnya, menyatukan lutut serta tangannya
merapat ke dahi. Pasrah. Sedah tersenyum,
"Bukalah mata kalian! Jangan takut!"
"Aduh... ampun, Eyang (sebutan untuk harimau yang
dikeramatkan sebagai penguasa hutan (kakek)) jangan bunuh
kami... kami tidak akan mengganggu orang lagi di daerah
Eyang..." Suara mereka makin gemetar. Lelaki-lelaki yang cuma bercawat itu makin tak berdaya.
Sementara perempuan yang juga cuma mengenakan cawat
sebagai penutup kemaluannya itu berlutut sambil berdoa.
Mungkin merasa dilindungi oleh penguasa rimba itu. Betapa
mengibakan mereka ini. Hidup dalam ketidaktahuan. Karena
terpencil dari pergaulan, akibatnya sama sekali tak terjamah oleh pengetahuan.
"Bangunlah! Bukalah mata kalian!" suara Sedah mantap.
Sedah melangkah mendekati seseorang dan mengelus kepala
orang itu. Tapi orang itu malah makin ketakutan.
Membenamkan mukanya ke tanah sambil menjerit,
"Ampuuunn! Jangan hamba, Eyang!! Hamba cuma diajak
saja! Hamba tidak merampok perempuan ini!" Menangis! Dan mengiba-iba,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anak hamba ada lima... istri hamba tiga, Eyang... siapa kasih mereka makan jika hamba mati"!"
Sedah menarik napas panjang. Geleng kepala. Ia mencoba
mendekati yang lain. Ia jamah tangan orang itu,
"Bukalah matamu!"
Tapi orang in pun makin merapatkan tangan dan kaki ke
dahinya dengan amat gemetar.
"Jangan... Eyang! Ki Samir kepala kami yang lari itulah..."
Orang itu tak sanggup melanjutkan kata-katanya, karena
langsung tak sadarkan diri.
Sedah hampir kehabisan akal. Tapi ia segera mendekati
wanita yang sedang bersimpuh sambil berdoa itu,
"Bukalah matamu! Lihatlah siapa aku!" suaranya dibuat sedemikian sehingga terdengar lembut. Dan pelan-pelan,


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

walau masih takut, wanita itu membuka mata.
"Jagad Dewa!" wanita terkejut dan menyebut.
"Jangan terkejut! Aku adalah Sedah! Bukan Eyang seperti perkiraan kalian."
"Bukan penjelmaan Eyang...?"
Sedah tertawa mendengar itu. Membuat ketiga lelaki mulai
berani membuka mata. Tentu saja mereka pun tertegun. Sinar
mata Sedah setajam mata harimau tadi, pikir mereka. Tapi
mereka tak berani beringsut. Menunduk dan sesekali melirik
temannya yang masih pingsan.
"Kenapa kau bersama enam lelaki ini?"
"Hamba pedagang beras." Wanita itu menyembah. "Lalu orang-orang ini merampok hamba. Untung..."
"Baik." Sedah memandang ketiga lelaki yang kini sudah membuka matanya. "Apakah kalian tidak malu merampok
seorang wanita yang bekerja keras demi anak-anaknya?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun..." sahut mereka berbareng.
"Sudah berapa duitnya yang kamu rampok?"
"Kami baru mencegat."
"Benar keterangannya?" Sedah menoleh pada wanita itu.
"Benar."
"Bersyukurlah kau! Hyang Maha Dewa telah
menyelamatkanmu!'
Dan orang itu pun menyembah.
"Siapa namamu?"
"Sumi. Dari Watan Mas."
"Watan Mas" Baiklah! Pergilah kau dan hati-hatilah!
Selamatlah kau di perjalanan."
"Terima kasih!" Wanita itu mengangkat bakulnya yang telah kosong lalu undur sambil mengendap-endap. Berkali ia
menoleh. Belum pernah ia melihat pria setampan itu.
"Dan kalian, jika jiwa kalian ingin selamat, jangan
merampok lagi. Tapi carilah pekerjaan.
Jika kalian sukar mencari makan di desa kalian, carilah
kerja di Watan, sebelah utara Brantas. Atau ke Daha, menjadi pekerja di peternakan ulat sutera. Atau apa saja, asal jangan merampok." "Hamba..."
"Tunggulah kawanmu itu sampai sadarkan diri! Aku akan
jalan lebih dahulu. Sampai jumpa. Dirgahayulah kalian!"
ujarnya, kemudian melangkah pergi.
"Dirgahayu..." jawab mereka sambil mengawasi langkah Sedah menguak gerumbul semak yang menutupi jalan setapak
di depannya. "Tentu Bathara Indra, turun dari sorgaloka..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya... beruntunglah kita. Tentu Hyang Maha Dewa akan
melakukan sesuatu yang besar sehingga menurunkan Hyang
Bathara Indra ke atas bumi. Mungkin saja akan memulihkan
kerajaan Bathara Erlangga sorga, yang telah pecah dan
dirobek-robek oleh perang."
"Siapa namanya tadi" Sedah?"
"Ya. Sedah. Oh, matanya hihh... seperti Eyang..."
"Sudah jangan dibicarakan lagi si Eyang..."
Sedah terus melangkah. Menyinggahi desa-desa, kota-kota.
Tapi juga sawah dan hutan. Gunung dan jurang. Tapi di mana
pun Sedah singgah, namanya selalu menjadi buah bibir. Bukan cuma wajahnya yang membuat tiap gadis berdebar kala
bersua, tapi juga karena ia ringan tangan menolong siapa pun yang ia pandang memang harus ditolong. Hari keempat belas
perjalanan Sedah lewat di Lembah Selong. Sedah sudah
merasa bahwa ia tersesat, karena lembah ini diapit oleh dua gunung. Di barat laut tampak megah Gunung Watujuwadah,
sedang di tenggara Gunung Argowayang. Dari dua gunung ini
tersembul dua mata air, yang kemudian mengalir turun untuk
kemudian menyatu dengan sungai yang melingkar lewat
selatan Gunung Argowayang dan yang bermata air di Gunung
Anjas-mara. Brantas! Yang dulu pernah disebut orang sebagai pembatas Kerajaan Penjalu dan Jenggala. Sebelah utara
sungai itu adalah wilayah Jenggala, sedang di selatannya
adalah wilayah Penjalu. Jenggala beribukota Watan (letaknya di sekitar Jombang), sedang Penjalu di Watan Mas (letaknya di bawah kaki Gunung Penanggungan). Sekarang ibukota Penjalu
sudah pindah ke Daha. Artinya, bergeser ke barat untuk
menempatkan diri di tepi sungai raksasa ini. Penjalu
mendirikan dermaga di Daha demi kepentingan
perniagaannya. Kendati di tengah hutan, Lembah Selong tidak pernah sepi.
Di sini bermukim seorang guru yang berasal dari Jambudwipa.
Sigdha Gandarsigh, demikianlah nama yang sampai di telinga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah. Guru ini membawa ajaran aneh dari negerinya. Dan
menurut cerita dari mulut ke mulut, orang ini mempunyai
banyak pengikut. Bahkan secara sembunyi-sembunyi, orang-
orang istana pun sering datang. Apa pula kerja mereka" tanya Sedah dalam hati. Bahkan juga ada satu-dua brahmana yang
datang. Luar biasa jika brahmana yang sudah menyerap ilmu
pengetahuan tinggi masih pergi ke Sigdha Gandarsigh untuk
meminta petunjuk dan berkah bagaimana caranya supaya
selalu bisa selamat dan langgeng dalam mengabdikan diri
pada raja. Sama seperti para petani yang memohon berkah
agar mendapat kesuburan tanah, sehingga panen mereka
berhasil dengan baik. Demikian pula pedagang, yang
memohon berkah agar cepat menjadi kaya.
Kala Sedah memasuki gerbang perkampungan, ia melirot
dua patung singa di kiri-kanan gerbang.
"Jagad Dewa' Pramudita!" Sedah menyebut lirih. Matanya menangkap enam orang perempuan duduk melingkar sambil
meneteskan air mata. Tanpa suara. Ia mencoba mendekati
mereka. Dan para wanita itu terkejut.
"Oh, Hyang Bathara! Segala sembah kami persembahkan. "
"Kalian tampak berduka. Apa yang menyebabkan?"
Kelima orang itu saling pandang.
"Oh, Hyang Bathara! Tidakkah Hyang Bathara tahu bahwa
anak kami diambil untuk sesajen malam ini?"
"Anak kalian?"
"Ya, anak kami yang baru lahir!"
"Jagad Dewa Pramudita!" Sedah menyebut. Dadanya
berdegup. Orang-orang ini tentu menganggapnya sebagai
dewa. Sedah kemudian mengingat-ingat. Ini adalah tanggal
lima belas bulan Kasadha (tanggal 1 Juli).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa yang mengambil anak-anak bayi kalian?" Sedah bertanya lagi.
"Ampunkan kami... Bukankah utusan Hyang Bathara...?"
"Berhentilah kalian berkata seperti itu! Aku seorang
brahmana dari Widya Trisnapala. Sedah namaku. Dan aku
baru pertama kali datang ke tempat ini. Jadi utusan Sigdha
Gandarsigh yang mengambil anak kalian?"
Enam orang perempuan itu diam dan saling bertanya dalam
pandang. Tapi tanpa jawab.
"Kenapa kalian tidak menjawab?"
"Kami tidak boleh menyebut nama beliau dengan
sembarangan," jawab salah seorang. Masih duduk mereka itu.
"Kenapa?"
"Beliau Maha Suci. Maha Syakti!"
"Akan kuusahakan agar anak kalian tetap hidup! Demi
Hyang Maha Dewa!" Sedah melangkah pergi meninggalkan
mereka. Dan aneh, seperti terkena sihir. Pelan-pelan mereka bangkit, lalu mengikuti Sedah dari jarak yang agak jauh. Tapi tak biasa dilakukan orang-orang yang sebelumnya menjadi
korban. Belum seratus depa Sedah memasuki daerah kekuasaan
Sigdha, ia harus melewati hutan kecil lagi. Dalam hutan itu ternyata banyak berkerumun lelaki yang cuma mengenakan
cawat sebagai penutup kemaluan mereka. Memang ada di
antara mereka yang mengenakan kain sutera sebagai
pembungkus tubuh bahagian bawah mereka. Sedah
memperkirakan tentu ini orang kota. Tapi sebahagian lagi
kawula yang tinggal di daerah terpencil. Sedah bergesa
mendekati mereka. Ternyata jumlah mereka mungkin
mencapai tujuh puluhan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dirgahayu!" Sedah menyapa dari atas batu besar. Orang-orang yang berwajah muram itu menoleh ke arahnya. Dan
dalam kejut mereka bersujud sampai ke tanah.
"Apakah yang kalian tunggu di sini" Maka kalian berdiam diri seperti laiknya orang kaya yang lumbungnya penuh padi
sehingga tidak perlu bekerja?"
"Kami menunggu anak-anak kami," jawab salah seorang yang paling tua di antara mereka.
"Anak-anak kalian?" Sedah mengerutkan dahi.
"Bukankah anak-anak dara kami dibawa kemari untuk
dipersembahkan dalam upacara maithuna (upacara
persetubuhan massal untuk meminta kesuburan tanah) nanti
malam?" jawab mereka hampir bersamaan.
"Jadi anak kalian akan dijadikan nayake (wanita yang
dipakai untuk upacara maithuna itu)" mata Sedah melindas semua-mua. Tak seorang pun berani memandang wajahnya.
Dan tanpa jawab. Ketakutan merajai sukma mereka.
Kembali Sedah menjelaskan siapa dirinya. Dan pelan-pelan,
satu demi satu mereka mendongak setelah Sedah berkata,
"Tataplah wajahku! Aku bukan dewa seperti sangka kalian!
Aku seorang brahmana! Ayo jangan takut!"
Tapi bagaimanapun juga mereka harus mengakui. Dalam
mata pemuda ini seperti ada kuasa besar dari para dewa.
Mungkin saja anak ini memang titisan Hyang Kamajaya atau
Hyang Bathara Indra. Lalu apa maksud pemuda ini datang"
Merestui upacara nanti malam"
"Kalian merelakan anak kalian jadi nayake?"
"Demi Hyang Maha Dewa! Demi kesuburan bumi pertiwi!"
"Dengarkan aku!" Sedah bicara keras. Kakinya renggang di atas batu sebesar gajah itu. Tongkatnya berpindah ke tangan kiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hyang Maha Dewa tidak pernah merencanakan kerusakan
atas tanah dan negeri kalian, sebab Hyang Maha Dewa
mengasihi semua-mua. Lihat! Ia memberikan mentari pada
semua dan segala. Karena itu, sadarlah kalian: bahwa
kerusakan tidak pernah ditimbulkan oleh Hyang Maha Dewa."
Ia diam sebentar. Untuk menjajagi hati semua pendengarnya.
Dan mereka mengangguk-angguk.
"Lihatlah burung di udara! Mereka tidak pernah menanam, tapi mereka tidak berhenti menuai. Karena Hyang Maha Dewa
telah menyediakan makan untuk mereka. Lihat semua
binatang di rimba-raya, tak pernah mencangkul ataupun
membajak sawah! Tapi mereka mendapatkan makanannya!
Apalagi kita yang dianugerahi pikiran, sehingga berbudaya,
maka sewajarnyalah kita hidup dalam kelimpahan." Diam lagi.
Menelan ludah. Beberapa saat kemudian,
"Percayakah kalian akan ucapanku ini?"
"Percaya!" jawab mereka serentak.
"Tanpa diminta pun, Hyang Maha Dewa telah memberikan
kesuburan tanah itu pada kalian. Lihat! Apakah yang kalian
persembahkan pada Hyang Maha Dewa saat pertama kalian
membuka hutan bagi persawahan kalian" Apakah orang,
sudah mempersembahkan maithuna waktu sungai raksasa
yang membelah Kerajaan Kahuripan menjadi dua kerajaan,
Penjalu dan Jenggala, dialirkan dari lereng Gunung
Anjasmara" Dan apakah Sri Bathara Erlangga memerintahkan
maithuna wak^ tu beliau menyudet Kali Brantas sehingga
yang satu menjadi Kali Mas sedang satunya tetap Kali Brantas dengan muara di Kemal Pandak" Yang kemudian memberikan
kesuburan tanah bagi wilayah Kahuripan" Dengarkan dan
camkanlah baik-baik hal ini!"
Kala Sedah berhenti, mereka saling berunding satu dengan
lainnya. "Benar juga, ya!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Iya... yah."
"Lalu bagaimana?"
Suara mereka seperti lebah bubar dari sarangnya.
"Jadi, sebenarnyalah, upacara maithuna ini, persundalan terselubung. Apalagi jika para naya-kenya dipilih perawan-perawan! Aku berkata, bahwa sesungguhnyalah itu usaha
untuk memper-sundalkan anak-anak kalian! Memperbodoh
kita. Percayalah padaku! Tidak ada kesucian yang dicapai
dengan persundalan!"
"Tapi itu sudah menjadi adat-istiadat..."
"Warisan busuk dari pikiran busuk, kendati itu dari moyang sendiri, harus dicongkel keluar dari kehidupan kita! Dan
diganti dengan yang baru! Demi Hyang Maha Dewa! Demi
keluhuran akhlak! Aku peringatkan kalian, jika wanita telah kehilangan akhlaknya, maka kelak arwah-arwah kita akan
kehilangan sesajian. Karena tidak ada lagi wanita yang
mengajarkan pada anaknya untuk mempersembahkan sesaji
di pura-pura. Tapi yang ada dalam pikiran mereka adalah
nafsu persundalan semata-mata! Dengarkan aku!" .
"Bagaimana kami boleh melanggar yang diajarkan kaum
brahmana?" Yang tertua masih bertanya lagi.
"Aku adalah seorang brahmana! Untuk itu aku harus
menguasai Atharwaweda Karenanya aku berkata padamu,
janganlah terpengaruh oleh orang yang mengajar dengan
perkataan muluk-muluk dan menarik, tapi sebenarnya
munafik! Dia sebenarnya berusaha menikmati apa yang
tersurat dalam Weda, dan dia berkata, "tiada jalan lain atau
"harus!". Padahal sebenarnya nafsu pribadilah yang dimanjakan. Jadilah mereka mengajarkan beranekaragam
upacara, untuk memperoleh kenikmatan dan kekuasaan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi banyak orang yang telah menjadi pengikut dan
muridnya. Mereka akan marah jika kita mengambil anak-anak
yang sudah berada di tangan mereka."
"Aku tahu! Sebab, barangsiapa yang pikirannya dipengaruhi oleh keinginan memburu kenikmatan dan kekuasaan, akan
terjebak oleh ajaran-ajaran yang tak jelas. Dan orang
demikian tidak akan mampu melakukan yoga dan tidak pantas
melakukan semadi!"
"Jadi?"
"Kita harus menghentikan upacara ini! Jika kalian mau dan berani, maka anak kalian tidak akan ternoda."
"Setuju!" Seorang yang masih muda menyahut. Yang lain semula ragu, tapi kemudian menyahut juga.
"Siapa namamu?" tanya Sedah pada pemuda yang pertama menyetujuinya.
"Maliki, Yang Suci."
"Rumahmu jauh, Maliki" Kekasihmu bukan yang diculik?"
Sedah mencoba menebak. Dan ternyata betul.
"Betul, Yang Suci." Maliki heran. "Rumah hamba, tidak terlalu jauh. Paling seperempat perjalanan mentari, kami bisa pulang balik ke sini."
"Baik! Jika demikian, kau harus pulang, kemudian kembali ke sini dengan membawa temantemanmu. Bawa pemuda
kampungmu untuk membantuku meminta kekasihmu!"
"Hamba, Yang Suci!"
"Ingat-ingat! Jangan sampai purnama naik! Aku akan
mencoba mendatangi Sigdha Gandarsigh."
Rencana pun segera diatur. Sedah kemudian melanjutkan
niatnya untuk masuk ke pusat pemujaan. Setelah melampaui
beberapa ratus depa, dengan menerobos gerumbul semak dan
pohon-pohon besar, sampailah Sedah pada sebuah lapangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
luas yang dikelilingi barak-barak besar. Sepatutnyalah ini
asrama laskar, pikir Sedah. Tak ada pagar mengelilingi daerah ini kecuali hutan lebat di seputarnya. Cuma di penghujung
jalan setapak yang dilewatinya itu ada gapura besar dengan
ukiran gambar singa. Lambang penguasaan terhadap
sesamanya. Tepat di tengah lapangan besar itu berdiri sebuah kuil dengan patung Hyang Durga. Rupanya inilah tempat
pemujaan itu. Di depan gapura tersebut ada gardu penjagaan.
Sedah melangkahkan kaki ke sana.
Tujuh orang berada di gardu penjagaan itu. Salah seorang
menyapa, "Selamat siang, Yang Suci. Kami belum pernah
melihat atau bersua dengan Yang Suci."
Sedah menghentikan langkahnya. Dan begitu ia menoleh,
semua orang menjadi tertegun. Masih belia brahmana ini.
Dan... pandangannya begitu tajam. Senyumnya tentu akan
menggoyangkan iman para wanita.
"Ampunkan kami telah menghentikan langkah Yang
Suci...," kembali orang yang tertua itu berkata.
"Dirgahayulah kalian!" balas Sedah sambil mendekati mereka.


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, dirgahayu..." Mereka gugup. Langkah Sedah begitu pasti. Pangkal tongkatnya berkilau tertimpa sinar mentari.
Juga medali di perut yang tergantung pada kalungnya.
"Apakah Yang Suci akan mengikuti upacara nanti malam?"
"Aku akan bersua Sigdha Gandarsigh! Atas nama Hyang
Maha Dewa dan atas nama seluruh brahmana di muka bumi,
aku datang ke tempat ini."
"Oh, ampunkan kami...." Semua orang lalu berjongkok menyembah.
Ucapan Sedah begitu tegas. Membuat mereka bertanya
dalam hati, siapakah orang muda ini. Mungkin benar dia
utusan dewa-dewa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Di mana Sigdha berada?"
Apalagi Sedah memanggil nama Sigdha tanpa sebutan apa-
apa. Sigdha selama ini mereka anggap guru yang paling suci, penjelmaan dewa-dewa. Tapi Sedah memanggilnya tanpa
sebutan apa-apa. Sedang brahmana lainnya selalu menyebut
sebagai Dang Hyang Suci.
"Di barak yang besar. Paling besar di tengah-tengah itu.
Semua murid saat ini sedang berdoa bersama-sama untuk
persiapan upacara nanti malam. Sedang barak besar yang
beratap ilalang itu adalah barak para nayake."
"Lalu di mana tempat bayi-bayi yang akan dikorbankan
itu?" "Yang Maha Suci tentu lebih awas dari kami. Tapi baiklah.
Itu! Barak yang terkecil itu. Yang beratap sirap. Sama seperti barak yang ditempati Yang Maha Suci Sigdha dan para murid
untuk..." "Terima kasih!" Sedah melempar dua tail emas untuk mereka.
"Bagilah itu rata-dengan teman-temanmu!"
"Yang Maha..." Pemimpin penjaga itu gemetar. "Brahmana cuma membayar dua puluh keping perak. Satria dua puluh
lima..." "Terimalah itu!"
"Ini terlalu banyak jika ditukar dengan perak!"
"Itulah yang aku bisa lakukan," jawab Sedah. Ketika ia akan melangkah, tiba-tiba kepala penjaga itu membunyikan
genta tiga kali. Sedah mengernyitkan dahi sambil memandang
dengan tajam. "Bukan apa-apa, Yang Maha Suci." Kepala penjaga kembali ketakutan. "Ini cuma sebuah panggilan untuk penerima tamu.
Setiap tamu harus menerima penyambutan."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan sebelum Sedah menjawab kata-kata orang itu, seorang
perempuan muda muncul. Sedah memandangnya tajam.
Wajah gadis ini agak bundar. Matanya berkilau. Bulunya
lentik. Alisnya kecil seperti garis lengkung yang melindungi mata. Hidungnya tidak terlalu mancung tapi juga tidak pesek.
Lehernya jenjang, berhiaskan kalung yang terbuat dari untaian melati. Tentu saja baunya wangi dengan harum yang tidak
mencolok. Tubuhnya padat, dengan susu tegak tanpa
pelindung apa-apa. Tidak nampak sepercik pun daki
menempel pada kulit. Bahkan kulit perutnya tanpa garis.
Kecuali pusarnya yang merupakan hiasan tersendiri. Kain
sutera tipis melilit ketat menutup pinggulnya. Namun bahagian pahanya sering tersingkap jika sedang melangkah. Rambutnya
tebal hitam tersanggul rapi. Kembang mawar terpasang
sebagai kondai. Dengan ramah wanita itu tersenyum pada
Sedah. Rupanya ia pun tidak menduga bahwa brahmana ini
masih sangat muda.
"Dirgahayu!" wanita itu memberanikan diri.
Sudah terbiasa rupanya, pikir Sedah.
"Hamba bertugas mengantar Yang Suci. Apakah ingin
beristirahat atau langsung bergabung dengan Yang Maha Suci, Sang Guru?"
"Boleh berjalan-jalan?"
"Dengan senang hati hamba akan menemani."
Sedah melangkah. Tentu wanita ini akan lebih banyak
memberikan keterangan yang aku perlukan. Jika tidak satu
pun brahmana berani meluruskan jalan Sigdha Gandarsigh,
akulah yang akan melakukannya. Ini penyimpangan! Weda tak
pernah mengajar yang sedemikian ini! Wanita itu menyembah
terlebih dahulu sebelum kemudian melangkah ke sampingnya.
"Siapa namamu?"
"Kukilani."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Satu nama yang amat indah. Tentu ini bukan nama
sebenarnya. Karena nama ini berarti..."
"Berarti apa, Yang Suci?" Wanita itu makin berani.
"Kukila berarti burung. Ni berarti tempat. Jadi... yah...
hehm kau sudah mesem-mesem." Sedah pun tersenyum.
"Dari mana?"
"Maksudnya, asal hamba?"
"Ya." Sedah melangkah terus. Tapi pelan-pelan.
"Daha."
"Ah, kau kembali berdusta!" Sedah berseloroh cepat.
Dan wanita itu tersipu.
"Yang Suci mengada-ada." Tapi hati wanita itu berdebar keras.
Seolah Sedah sudah tahu pendalamannya.
"Setiap orang yang sudah berjalan dalam kegelapan,
membiasakan diri dalam penyesatan. Itulah sebabnya kau
cenderung berdusta. Sampai-sampai matamu tak melihat
dengan siapa sedang berhadapan. Padahal mulutmu
memanggilku Yang Suci."
Debur jantung Kukilani makin hebat. Mendadak ia rasakanN
gelombang mengguruh dalam sukmanya. Luar biasa pemuda
ini. Ia mencoba melirik. Ikal rambut pemuda ini. Diurai tanpa sanggul. Tongkat panjang di tangan kirinya. Kakinya berkasut.
Salah satu giginya yang sebelah kanan atas nampak melesek
ke dalam kala sedang tersenyum. Tapi matanya itu! Aduh,
tajamnya. Bagai dapat membelah dada.
"Dan lucunya lagi, tiap gadis yang mengalami seperti kau ini akan mengaku diri sebagai orang Daha. Mungkin saja ingin disebut keturunan Dewi Kilisuci. Ha... ha... ha... Begitu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tololnya aku ini, sehingga tiap wanita menipu aku!" Sedah berhenti lagi. Kemudian tertawa lagi.
"Wanita dari desa Padasan atau Padangan atau mungkin
sekali dari hutan Lodaya, jika sudah mengalami nasib seperti kau ini juga akan mengubah nama dan selalu mengatakan
bahwa ia lahir di Daha. Bayangkan! Anak penggembala itik,
karena malu mengaku diri sudra, mengganti nama dan asal-
muasal." "Yang Suci!" Kukilani tersentak. Mendadak tubuhnya lemas.
Sedah menghentikan langkahnya di tempat yang
terlindung. Sulit diawasi dari mana pun, karena terkepung oleh belukar yang lebat.
"Apa?"
"Dengan siapakah hamba sedang berhadapan?" Wanita itu menjatuhkan diri. Gemetar.
Sedah berdiam sesaat. Napas keluar satu-satu dengan
dalam sekali. "Aku adalah Sedah. Maha Rsi dari perguruan tinggi Widya Trisnapala, Adiluwih."
"Ampunkan hamba, Yang Suci. Dari manakah Yang Suci
mengetahui semua tentang pribadi hamba?"
"Jagad Dewa Bathara!" Sedah terkejut. Tapi ia menahan diri untuk tetap tenang. Sedah heran, mengapa ia selalu
berhadapan dengan kebetulan semacam ini" Atau memang
benar, brahmana adalah manusia berlidah dewa"
"Kukilani, berdirilah kau! Jangan berpura-pura seperti itu!
Karma Hyang Maha Dewa akan segera datang pada seorang
pendusta!"'
"Oh, ampunkan hamba, Yang Suci! Kali ini hamba mohon
pertolongan Yang Suci. Agar hamba keluar dari segala yang
sedang menghimpit ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kau tulus?"
"Demi Hyang Maha Dewa!"
"Baiklah! Aku bertanya, apakah kau salah satu istri guru saktimu?"
"Dulu benar. Tapi sekarang sudah ada yang baru. Sedang kami sekarang bertugas menerima tamu dan melayani para
satria yang datang dan bermalam di sini."
"Berapa orang yang mengalami nasib seperti kau ini?"
"Dua puluh tiga!"
"Tak adakah keinginan kalian keluar dari sini?"
"Kami sudah tidak tahan lagi di sini. Tapi mungkinkah kami bisa hidup di desa kami" Setiap wanita yang sudah masuk
tempat ini akan sukar keluar. Mereka punya banyak cara
untuk menahan kami. Nanti Yang Suci bisa lihat sendiri."
"Dijagakah tempat bayi-bayi itu?"
"Tentu, Yang Suci. Juga teman-teman kami yang menjaga."
"Bayi-bayi itu akan dibunuh. Orok merah! Bagaimana jika itu anak kalian sendiri?"
Kukilani tidak menjawab. Mokanya bermen-dung.
"Niat kalian akan keluar dari tempat ini adalah baik. Tapi sebelum itu, bantulah aku menghentikan pembunuhan dan
upacara..."
"Kami akan terkena hukuman dari dewa jika menentang
kehendak Maha Guru Yang Suci..."
"Aku datang atas nama Hyang Maha Dewa! Dan atas nama
semua brahmana yang mengabdi pada kemanusiaan di
seluruh muka bumi!"
"Ba... baik, Yang Suci."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tak ada hukuman bagi orang yang menolong orang
lemah. Kalian tidak melanggar Weda, sebab kalian hanya akan dihakimi menurut Weda."
"Hamba, Yang Suci."
"Beri tahu teman-temanmu!"
"Hamba, Yang Suci."
Keduanya pergi. Setelah mendapat petunjuk jalan-jalan
yang aman, Sedah mengintip ke barak gadis-gadis yang
disiapkan untuk upacara maithuna. Terdengar suara gendang
dan gambang serta gong ditabuh bertalu-talu. Asap kemenyan
dan dupa membumbung tinggi menembus sela-sela atap dan
dinding. Tak satu pria pun boleh masuk ke sini kecuali
penabuh gamelan itu. Dukun yang membakar kemenyan dan
membacakan mantera pun wanita. Sedah mengintip dari
dinding sebelah utara, yang menempel dengan semak belukar.
Dan, Sedah menyebut dalam hati.
Bukan karena semut dan nyamuk yang mengganggu kaki
dan tangannya, tapi melihat pemandangan di dalam ruangan
itu. Menurut Kukilani, yang dulu juga pernah menjadi nayake, para penabuh itu adalah orang-orang buta. Entah buta
bawaan atau diperbutakan ia tidak tahu. Nyatanya mereka tak pernah dapat melihat pemandangan di hadapannya. Luar
biasa cerdik Sigdha Gandarsigh! Sedah kembali menyebut.
Puluhan gadis, tak satu pun mengenakan selembar kain
untuk menutup tubuh mereka. Cuma untaian kembang melati,
kantil, kenanga saja yang berjajar menutup tubuh mereka
bahagian bawah. Selama beberapa hari mereka dilatih menari
oleh dukun yang sudah setengah tua. Tampaknya juga orang
asing, Sedah tidak tahu pasti. Setiap hari mereka diberi
minuman surga yang warnanya merah hampir seperti darah.
Kukilani tidak tahu apa nama minuman itu. Ia hanya
menyebut sebagai minuman surga. Awalnya memang agak
pusing dan tubuh seperti terbakar. Tapi lama-kelamaan jadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nikmat. Demikian pula makanan yang diberikan untuk mereka,
jauh lebih nikmat daripada makanan di rumah-rumah mereka
yang harus mereka dapatkan dengan bekerja keras.
Sementara beberapa wanita menyanyi dengan suara
melengking tinggi, para nayake itu menggerakkan pinggul
mereka ke kiri dan kanan sambil merentangkan tangan seperti burung yang sedang mengepak-ngepakkan sayapnya. Kadang
juga I mengangkat kaki laksana burung kuntul yang sedang
melangkah di atas air dalam mengejar mangsa. Kadang
dengan sebelah kaki di depan, sebelah di belakang, tangan
direntang, merebahkan diri pelan-pelan ke belakang. Dadanya bergoyang-goyang, seolah merak yang merontokkan debu dari
bulu-bulunya. Kemudian tubuh mereka membentuk
lengkungan seperti busur, sampai rambut mereka, bahkan
kepala mereka, hampir menyentuh tanah. Luar biasa! Pikir
Sedah. Baru beberapa hari mereka berlatih, sudah mampu
membuat gerakan yang sedemikian. Tentu bukan cuma
karena latihan itu sendiri yang membuat mereka bisa seperti ini. Perlu diselidiki, apa saja yang mereka makan dan minum itu. Tentu ada ramuan yang menolong mempercepat
kematangan mereka. Dan mereka bergerak terus berputar-
putar selama gamelan berbunyi.
Sedah segera mengundurkan diri dari tempat itu. Sedah
harus kembali menjumpai orang-orang yang sedang menanti-
nantikan anak-anak mereka itu. Dan kembali berhubungan
dengan Kukilani untuk mencari jalan rahasia melewati semak-
semak. Dan menurut Kukilani, latihan nanti akan berhenti kala mentari mulai condong ke barat. Semua akan diberi
kesempatan tidur. Menjelang senja mereka dibangunkan
untuk mandi, setelannya diberi minuman dan makanan.
"Aku harus bertindak cepat!" Sedah berkata.
Kukilani dengan beberapa temannya bersedia membantu.
Sedah kembali menjumpai para orangtua dan kekasih para
calon nayake itu. Sementara itu Kukilani bersama beberapa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
temannya mengirim makanan dan minuman kepada para
penjaga, yang o,leh Sedah dianjurkan supaya dicampur air
pala. Sementara itu Sigdha bersama para pengikutnya masih
khusyuk berdoa. Ia tenggelam dalam asap dupa dan
kemenyan. Dan dengan suara yang sudah serak ia terus
meneriakkan mantera-mante-ra yang bahasanya tidak
dimengerti oleh semua pengikutnya. Sementara itu
pengikutnya juga berteriak-teriak dengan keras dan penuh
semangat. Tapi tak satu pun yang mengetahui makna kata-
kata yang keluar dari mulut mereka sendiri. Apalagi orang lain, sebab- Sigdha Gandarsigh memang mengajarkan,
"Jangan berdoa dengan akal budimu! Sebab itu merupakan kulit dari jiwa kita. Juga jangan berdoa dengan jiwamu!
Karena andai telor, jiwa itu putihnya! Tapi berdoalah dengan inti sukmamu! Lepaskan dirimu dari akal, pikiran, dan hatimu!
Sebab di dalamnya ada keinginan, rasa malu, dan macam-
macam. Masuklah ke alam !naluri terdalam, inti dari sukma.
Ucapkan apa saja yang keluar dari sukma terdalam itu!
Supaya engkau memperoleh nirwana sekarang juga!"
Hasilnya memang hebat. Semua yang menuruti1 nya
berteriak-teriak seolah tidak mengenal siapa diri sendiri.
Lelaki-perempuan, segala kasta berbaur.
"Bebaslah kalian dari segala kasta! Bebaslah semutlak-
mutlaknya!" Sigdha berpesan lagi. "Ke-baskan pengetahuan di kepalamu! Sebab pengetahuan akan menghalangi kita masuk
ke dalam inti sukma kita!"
Di bawah sinar yang cuma remang-remang, mereka
berulang disodori minuman merah. Hampir tak ada celah yang
membuat sinar masuk ke dalam ruangan barak besar itu.
Cuma ada satu pintu selebar setengah depa untuk keluar-
masuk. Itu pun harus selalu ditutup. Tidak sedikit mereka
yang berjatuhan karena lelah saat mentari telah condong ke
barat. Mereka lalu digotong minggir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu asyiknya, sehingga Sigdha Gandarsigh tidak tahu
bahwa semua pengawalnya tertidur karena makan dan minum
air pala. Juga tidak tahu bahwa bayi-bayi yang akan
dipersembahkan kepada Hyang Durga telah lenyap, telah
dibawa menyusup semak belukar.
"Berpindahlah kalian ke kota Daha. Di sana mungkin saja anak buah Sigdha Gandarsigh tidak akan mengusik kalian
lagi!" pesan Sedah kepada para orangtua bayi-bayi itu.
Demikian pula pada para nayake yang telah dibebaskan,
melewati jalan rahasia, atas petunjuk Kukilani.
"Kejahatan ada di mana-mana. Tapi di kota besar yang
peradabannya lebih tinggi, kalian akan lebih aman. Pergilah kalian dengan selamat! Jangan pulang ke rumah kalian!"
Semua orang yang sudah terkena sidhi (syakti daripada
dewa) yang memancar dari mata Sedah, langsung
menyembah sampai ke tanah. Namun Maliki serta beberapa
temannya tidak ikut orang-orang yang melarikan diri. Setelah kembali, bersama teman-temannya ia mengikuti Sedah yang
menyelundup masuk ke barak besar.
"Sebisa mungkin aku akan bicara pada Sigdha Gandarsigh,"


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujar Sedah pada mereka.
Mereka tidak tega Sedah mengalami kecelakaan. Karena
bukan tidak mungkin Sigdha menggunakan kekerasan
menghadapi Sedah. Dan memang kala purnama mulai naik,
anjing-anjing hutan menyalak di seputar lembah itu. Sigdha
mulai memerintahkan mereka bersiap ke lapangan tengah,
menghadap patung Hyang Durga. Patung yang telah
berulang-ulang mandi darah bayi.
Kini Sigdha tidak tampil dengan jubah kuning keemasan
seperti waktu dalam barak tadi. Tapi jubah putih. Serba putih.
Namun menurut Sedah, jubah itu terlalu besar. Sekalipun
tubuh orang itu gemuk, namun tidak terlalu tinggi. Mungkin
saja aku lebih tinggi dari orang ini, pikir Sedah. Api unggun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terpasang di empat sudut lapangan. Ditambah purnama yang
makin naik, maka semua-mua nampak jelas. Di tangan kanan
pandi-ta itu terdapat tongkat hitam yang berukir gambar ular kobra. Melengkung seperti hidung Sigdha Gandarsigh. Pipinya mulai nampak peot, dan jenggotnya sudah putih. Kumisnya
tidak tampak tebal. Barangkali sudah banyak yang rontok
seperti rambutnya. Itu sebabnya ia selalu mengenakan
penutup kepala. Tak seperti laiknya brahmana Ciwa. Ternyata tongkatnya bergiring-giring.
Orang-orang berdiri agak jauh, kala Sigdha maju
menyembah patung. Dengan suara serak dan keras ia berdoa
dengan bahasa aneh. Sansekerta bukan, Jawa kuno pun
bukan, apalagi bahasa Penjalu ataupun Jenggala.
"Bahasa apa ini?" Sedah bertanya dalam bisik pada seorang brahmana yang duduk di sampingnya.
"Rupanya Yang Suci baru di sini?"
"Ya."
"Bahasa inti sukma terdalam. Tidak dapat dimengerti oleh akal pikiran kita. Tak bisa juga dipecahkan oleh pengetahuan.
Cuma dapat dirasakan oleh sukma terdalam. Inti dari semua
sukma!" "Jagad Dewa! Ini pelajaran baru!" Sedah bergumam. Orang itu tidak mendengar. Terus tertunduk dan berdoa dengan
bahasa inti sukma terdalam,
Kini tampak Sigdha mengangkat kedua tangannya tinggi-
tinggi sambil berseru,
"Terima kasih, Bathara Agung, Hyang Maha Dewa! Durga
yang punya kuasa atas kehidupan dan kematian! Maithuna
akan dimulai. Kiranya benihmu yang tertumpah dari lingga
(kemaluan lelaki) dan yoni (kemaluan perempuan Lambang
agama Ciwa adalah lingga yoni) ciptaanMu sendiri, akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyuburkan tanah negeri ini. Dan engkau akan memberkati
orang yang diam di dalamnya dengan amat limpahnya!"
Sigdha membunyikan giring-giring dengan cara
menggoyangkan tongkatnya keras-keras. Dan sesaat
kemudian terdengar bunyi gamelan ditabuh keras-keras.
Kedengaran lebih semarak karena sekarang ditambah dengan
bunyi kencreng: dua buah benda yang mirip piring dan terbuat dari kuningan. Semakin cepat irama gendang, semakin cepat
pula kencreng itu berbunyi.
Mata Sigdha sudah berkali-kali tertuju pada barak para
nayake. Karena bunyi gamelan sudah semakin menggemuruh.
Tapi mereka belum keluar juga. Semua orang menunggu
walau mereka tetap mengarahkan pandang ke arah patung
Durga itu. Sesaat dua saat Sigdha menanti. Tapi tetap tak
muncul. Bahkan si dukun wanita itu pun tidak muncul.
Jengkel. Beranjak dari tempatnya, ke tempat genta besar yang tergantung di samping patung. Ia tarik tali genta tiga kali untuk kemudian menunggu barang sepuluh saat. Tidak satu
orang pun muncul. Padahal itu panggilan untuk para penjaga.
Setelah lebih dari seratus saat ia menunggu, kesabarannya
punah. Kelelawar dan kalong seolah mengejeknya. Mereka
terbang bolak-balik melintasi puncak arca. Kala ia akan
melangkah menengok sendiri ke barak nayake, Sedah berjalan
mendekatinya. "Dirgahayu, Sigdha Gandarsigh!" sapanya.
Terkejut. Seorang muda menyapa tanpa sebutan apa pun.
"Siapa kau?" suaranya parau.
"Tentu kau tak mengenal aku, sebab matamu bukan untuk
melihat ke kejauhan seperti laiknya brahmana. Juga telinga
cuma disumpal oleh desah napas wanita muda yang terpuasi
di pembaringanmu. Aku adalah Sedah..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh... ho... ho... ho... Yang Suci. Siapa yang tak pernah dengar nama besar Yang Suci. Seorang Maha Rsi yang
kepintarannya menggapai nirwana. Bahkan membuat para
bidadari menengok ke bawah. Ho... ho... ho... Ampunkan,
hamba. Berbahagia sekali menerima kunjungan Yang Suci."
"Apa yang kaucari sehingga kau turun dari altar
penyembahanmu" Tak ada lagikah pelayan padamu, sehingga
seorang brahmana harus mengambil sendiri sesajian?"
Merah muka Sigdha Gandarsigh mendengarnya. Dua kali
pemuda ini mengejek. Tapi ia masih menahan hati. Ia dengar
anak ini mendapat penghargaan dari Jambudwipa dan
Swarnadwipa. Semua orang menjadi terbengong melihat
orang berwajah seperti dewa itu berdiri di hadapan Guru Suci mereka. Tapi mereka tak berani berkutik tanpa perkenan sang Guru Suci. Maka jadilah mereka pendengar yang baik.
Sementara itu suara kayu gemertak karena terbakar.
Tiba-tiba saja muncul sang dukun saat suara gamelan
berhenti. Wanita tua itu gemetar dan menyembah sang Guru
Suci. "Ampunkan hamba, Yang Suci... para nayake dan korban
persembahan semua lenyap," lapornya.
"Apa katamu?" teriaknya meledak. "Para nayake tidak ada?"
"Be... betul...."
"Apa kerjamu?" Tongkat berkepala ular melayang. Namun tongkat Sedah segera menyusul dan membentur tongkat itu.
"Tongkat ini adalah tanda kebrahmanaan. Bukan senjata, Tuan. Aku tak tahu lagi jika tongkat ini cuma milik tukang
sihir." "Yang Suci, bukankah Yang Suci datang untuk merestui
maithuna" Tapi kini para nayake tidak ada. Mendadak lenyap.
Juga korban persembahan. Lalu apa artinya kita berkumpul"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memalukan!" Mata Sigdha melotot. Rahangnya menegang.
Giginya gemertak.
Tapi Sedah justru mentertawakannya.
"Merestui" Penyesatan memang selalu ada sepanjang
segala abad. Tapi terkutuklah orang yang melakukannya!
Terkutuk pula orang yang dengan sengaja merestuinya!"
"Yang Suci memaksudkan ajaran kami sebagai
penyesatan?" Wajah Sigdha makin membara.
"Yang kaulakukan adalah mendorong orang ke tebing
jurang keruntuhan susila. Bahkan lebih dari itu, mendorong
mereka untuk terjerumus kedalam lumpur ketiadaansusila!
Padahal sebagai brahmana kau seharusnya tahu yang tertulis
dalam Weda dan Bhagawaditay bahwa keruntuhan susila akan
menyeret keluarga-keluarga ke alam hitam kelam tanpa batas.
Bahkan lebih dari itu, arwah para leluhur akan jatuh ke dalam kenistaan karena tiada lagi orang yang berpikir untuk
memasang sesajen. Semua orang telah disibuki oleh kehendak
hatinya, memenuhi hasrat birahi mereka. Para lelaki akan
menjadi jalang, wanita akan menjadi binal!"
"Hai, Brahmana muda! Begitu nista pikiranmu! Kau akan
menginjak-injak adat leluhur" Menghapus maithuna
maksudmu?"
"Hyang Bathara Kala mendorong bola bumi bergulir terus.
Dan siapa pun yang menentangnya akan digilas punah tanpa
ampun!" "Jadi..."
"Engkau telah menjejali orang-orang itu dengan ajaran
sesat. Tak pernah disebutkan bahwa kepada Hyang Maha
Dewa harus dipersembahkan darah bayi. Itu kaulakukan
karena engkau memerlukan anugerah dari kekuatan gaib yang
amat mengerikan. Anugerah untuk menguasai manusia
lainnya! Dan kau tahu?" Sedah berkata sambil menunjuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ratusan orang yang masih bersila di lapangan. "Bahwa
penguasaan manusia untuk kepentingan pemuasan nafsu
pribadi adalah kejahatan yang paling jahat."
"Dan dengarlah semua orang yang duduk bersila di
lapangan ini! Aku datang demi Hyang Maha Dewa dan atas
nama semua brahmana yang mengabdi kemanusiaan!
Dengarkan daku! Menyingkirlah dari tempat terkutuk ini!
Sebelum hukuman Hyang Maha Dewa jatuh di atas kepala
kalian!" Semua orang tertegun mendengar itu. Terutama kaum
brahmana yang juga hadir. Tapi suara parau Sigdha
Gandarsigh kembali meraung, "ika kau tahu, apa yang bakal
terjadi pada masa mendatang, dan bagaimana nasib semua
orang, maka mereka akan dengar kau! Tapi jika tidak, maka
kami akan membunuhmu beramai-ramai. Setuju, Saudara?"
Sigdha tertawa sambil menujukan pandangnya pada murid-
muridnya. Tapi sebelum mereka menjawab, Sedah sudah lebih dulu
melindas dengan suara keras,
"Tapi jika ternyata kata-kataku benar, maka kalian harus mengusir Sigdha dari tempat ini! Setuju?" Sedah menantang.
Semua orang menjadi diam. Tapi Maliki dan kawan-
kawannya menyetujui. Karenanya berteriak berbareng,
"Setuju! Setuju!"
Sigdha terkejut. Ternyata ada juga yang berada di bawah
pengaruh Sedah.
"Dengar!" Sedah berkata lagi. Suasana menjadi hening.
Semua terkena sidhinya. "Masa mendatang akan semakin
buruk jika semua orang mendengar ajaran sesat semacam ini.
Akan datang saatnya di mana banyak orang yang tidak lagi
bisa menerima ajaran sehat. Mereka akan mencari dan
mengundang guru-guru yang dapat memuaskan telinga
mereka. Jiwa mereka cuma dapat disegarkan dengan ajaran
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang dapat meniup hasrat mereka dalam memuaskan nafsu
mereka." Sedah diam sebentar. Sambil berjalan mendekati orang-orang yang bersila itu, ia mengawasi mereka tajam-tajam. Lalu lanjutnya,
"Itulah, keadaan akan menjadi makin sulit, karena orang akan mementingkan diri sendiri. Mereka telah kehilangan
anugerah terindah dalam hidup yang diberikan oleh Hyang
Maha Dewa, yaitu kasih! Setiap orang akan menjadi garang
karena mereka akan cinta uang. Karena manusia akan
dinilaikan dari harta dan kekayaannya! Persundalan akan
muncul di setiap sudut kota, di lorong-lorong, di tengah kota sekali pun, karena rasa malu makin terkikis dari hati anak
manusia. Sebagai akibat dan kelanjutannya, para penyesat
dan penjerat akan masuk ke rumah-rumah untuk menjebak
kaum wanita yang lemah. Pikiran mereka sarat oleh
kemesuman dan berbagai macam nafsu. Sekalipun mereka
haus akan pengajaran, dan selalu ingin diajar, tapi mereka tak akan pernah mengenal kebenaran. Sebab, kebobrokan susila
sudah mengendap dalam akal mereka." Sedah menelan
ludahnya. Semua orang kagum mendengar itu.
"Bagaimana dengan nasib manusia?" Sigdha masih
berusaha. "Sudah kukatakan! Itulah keadaan masa depan manusia.
Meskipun begitu, nasib manusia sangat ditentukan oleh karya dan dharma manusia itu sendiri. Di tangannya sendirilah
tergantung nasib seseorang."
"Itu menyalahi ajaran!" teriak Sigdha.
Namun Sedah memperdengarkan tawanya.
"Kenapa kau panik, Pandita" Kalau kau menuding aku
dengan telunjukmu, maka tiga jarimu menuding dirimu
sendiri, sedang satu jarimu, menunjuk ke atas atau ke bawah.
Ahai, kau akan salahkan juga langit dan bumi" Tapi lihatlah, yang tiga itu! Bukankah kebusukan datangnya lebih banyak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari dalam dirimu sendiri" Karena kau telah memilih kshara
(termusnahkan (menuju ke kebinasaan)) dan bukan akshara
(jalan kekal (tak termusnahkan)). Brahmana bijak
bermahkotakan pengetahuan..."
"Ah, kalian akan diajari untuk menjadi brah-macbarin
(orang yang tak ternoda oleh hubungan sex). Dibawa dalam
kehidupan tanpa kenikmatan! Bunuh saja dia beramai-ramai!"
"Tidak!" Maliki bersama kawan-kawannya menjawab
serentak. Membuat semua murid Sig-dha ragu pada ajaran
gurunya sendiri.
"Kau yang harus dicincang! Kau menjerumuskan kami!"
teriak Maliki bersama kawan-kawannya bersahut-sahutan.
Sampai Sedah mengangkat tangan untuk menenangkan
mereka lagi. Dan mereka patuh.
"Tunggu! Aku belum selesai bicara!"
Kini Sigdha Gandarsigh jadi gelisah. Ia menoleh kiri kanan, seolah mencari jalan keluar untuk melarikan diri. Seperti ayam dalam kepungan.
"Hai kalian kaum brahmana yang saat ini berkumpul di
tempat ini! Tidakkah kalian pernah baca Bhagawad Gita
percakapan keempat sloka kedua puluh delapan yang
berbunyi: dravyayajnas tapoyajna
yogayajnas tatha 'pare
svadhydya jnanayajnas cha
yatayah samsitavratah
Artinya: Ada yang mempersembahkan harta, ada tapa ada yoga,
ada yang lain pula Pikiran terpusat pada sumpah berat
mempersembahkan ilmu dan pendidikan budi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dan selanjutnya bila kita simak dalam sloka ketiga puluh
tiga dari percakapan ini, maka kita akan tahu bahwa di antara semua persembahan, ilmu pengetahuan menempati tempat
tertinggi. Sebab, dengan ilmu pengetahuan seorang brahmana
bisa menyesatkan banyak orang. Tapi dengan pengetahuan
pula brahmana yang berbudi suci, mampu membawa umat
manusia ke alam yang damai sejahtera. Lalu, kita tinggal pilih sekarang! Jadi brahmana berbudi ataukah drubiksa berbaju
brahmana?" Diam sebentar. "Pilihan sekarang menentukan masa depan kita!" lanjutnya.
Keadaan menjadi senyap. Namun, satu demi satu, mereka
yang berjubah brahmana berdiri lalu pelan-pelan
meninggalkan tempat.
"Dirgahayu, Yang Suci!" teriak mereka dari kejauhan.
"Terima kasih!"
Sedah tersenyum. Lalu teriaknya lagi pada semua orang,
"Selama tinggal semua-mua! Aku bukan hakim! Di tangan
kalian sendirilah terletak nasib kalian! Menjadi pendurhaka"
Atau menjadi manusia sebenarnya! Nah, selamat tinggalff'
"Bagaimana dengan pandita ini?" Maliki dan kawan-
kawannya tidak puas, sesaat setelah Sedah melangkah.
Tanpa menoleh lagi Sedah menjawab,
"Aku sudah membebaskan para nayake! Aku sudah
membebaskan anak-anak kalian yang akan disembelih. Maka,
urusan kalian sendirilah berhadapan dengan Sigdha
Gandarsigh!"
Selesai mengucapkan itu ia meneruskan langkahnya. Suara
hiruk-pikuk di belakangnya tak ia perhatikan. Ia tak merasa perlu melihat apa yang sedang terjadi di belakangnya. Apa
yang dipikirkannya sekarang adalah Adiluwih! Sebab
kerinduannya pada kembang desa itu makin menghentak-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hentak. Di pandangnya tampak jemari runcing bagai duri
pohon salak melambai-lambai.
Berkali ia harus mengganti kasutnya karena aus oleh batu-
batu padas, atau air paya dan kali yang ia seberangi. Tanpa mengtytung hari dan malam, ia terus melintas. Dan terus
melintas. Sampai akhirnya desa kenangan itu tampak di depan matanya. Buat sesaat ia berhenti di bawah pohon asam di


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggir jalan menuju ke desa itu. Pagi baru saja merekah.
Suasana Adiluwih tentu ceria. Kupu beterbangan mencari
kembang. Para wanita masih ada di pasar. Siswa Widya
Trisnapala tentu masih duduk di ruang belajar menerima
pelajaran dari para dang hyang.
Sedah membersihkan diri di kali yang mengalir di tepi
hutan. Dalam hati Sedah berharap agar angin yang
berhembus menyentuh kekasihnya dan membisikkan
kepadanya bahwa Sedah telah tiba. Dan setelah mengenakan
semua pakaiannya, Sedah duduk sebentar untuk makan ubi
bakar yang menjadi bekalnya sejak kemarin. Untung masih
banyak sisa madu yang dibawanya dari hutan, peninggalan si
harimau beberapa waktu lalu. Sedikit saja madu itu mampu
menyegarkan Sedah dari kelelahan dalam perjalanan yang
amat jauh. Setelah bertimbang untuk beberapa saat, tanpa
ragu ia melangkah memasuki desa Adiluwih. Tapal batasnya
masih seperti dulu. Perkebunan murbei sebagai tempat
berbiaknya ulat sutera itupun masih belum berubah. Memang
pohon-pohonnya tampak lebih besar dan tinggi. Buahnya
makin lebat saja. Kadang pohon-pohon itu bergoyang tanpa
makna karena tiupan angin. Seperti halnya pohon kelapa dan
daun-daun pisang. Seperti tangan melambai yang
mempersilakannya memasuki desa kenangan.
Anak-anak kecil memandangnya dengan mata tertegun.
Mereka yang sedang bermain-main di halaman rumah berhenti
dan memandangnya dengan heran. Entah apa sebabnya, hati
sedah berdebar menerima pandangan anak-anak yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berselimut debu itu. Ia sempat memperhatikan anak-anak
yang kumuh dan ingusan itu.
Tak sedikit dari mereka yang perutnya buncit penuh
dengan cacing. Dan Sedah jadi teringat akan masa kecilnya,
kala menerima aniaya, dicekoki (dijejali dengan parutan temu-ireng yang dibungkus kain, dan setelah dalam mulut, kain itu diperas) dengan air temu ireng (sebangsa kunyit atau
lempuyang) dan lempuyang. Ia menangis sejadi-jadinya. Tapi
ibunya tak peduli. Aniaya tidak berhenti sampai di situ. Kala paginya buang air, cacing berkeriapan lari dari duburnya.
Sebagian telah mati. Tapi tak pernah ada yang tahu apa sebab cacing begitu besar dan banyak ?bisa hidup dalam perutnya.
Ibunya pula yang selalu menetesi matanya dengan air kencing atau air sirih. Katanya untuk menjaga agar matanya tidak
sakit. Jika tidak cacing besar semacam gelang dan pita, tentu
banyak di antara mereka yang dijangkiti kremi. Huh! Kembali Sedah mesem. Ingat kremi yang selalu mengganggu.
Membuat permukaan dubur atau bokongnya gatal-gatal. Gila!
Jika sudah begitu maka ibunya tidak memberi ampun! Temu
ireng kembali menganiayanya. Lagi-lagi temu ireng! Teriaknya jengkel. Tapi biasanya para ibu tidak peduli. Tangan dan kaki anaknya diikat erat-erat. Dicekok lagi.
Lebih heran lagi kala ia berpapasan dengan gadis-gadis
yang akan berangkat mencuci di kali. Mereka menyembah dari
kejauhan, lalu memandangnya seperti keheran-heranan.
Sempat tertangkap di telinganya sedikit pembicaraan mereka, kok datang sendiri" Sedah sempat kagefe, Memangnya harus
dengan siapa, pikirnya. Apakah seorang brahmana harus
berpengawal seperti satria kerajaan" Atau seperti anak kecil yang takut pada momok dan harus diantar oleh bapaknya"
Kala Sedah hendak bertanya, bergesa mereka menjauh.
Orang yang dulu dikenalnya pun menyapa dengan hangat,
tapi Sedah dapat menangkap, ada sebuah tanya dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pandang mereka. Tak apa, nanti akan jelas juga. Maka ia
melangkahkan kakinya menuju rumah Mpu Dewaprana. Tentu
di sana akan berubah. Semua akan menjadi jelas. Namun kala
memasuki rumah itu pun keheranannya tidak berkurang.
Halaman nampak tidak terurus. Kembang dan. rumput
berebut tinggi. Tidak terdengar dendang orang yang sedang
menumbuk padi. Bahkan pendapa pun lengang.
Nyi Dewaprana terkejut ketika melihatnya di ambang
pendapa. Sedah tak kurang terkejutnya. Wanita itu cepat
sekali menjadi tua. Kurus. Nampak gugup.
"Dirgahayu!" Sedah menyapa lebih dulu. Dalam berdiri ia menyembah sambil menyandarkan tongkatnya ke bahu.
"Oh, Dirgahayu, Yang Suci. Aduhh... pangling. Sekarang kumisnya tampak hitam. Aduh... masih belia memelihara
kumis..." gopah-gopoh. "Mari... mari, naiklah... Yang Suci."
"Terima kasih." Sedah naik pelan-pelan. Namun matanya cepat menyapu ruangan. Banyak debu. Lalu apa kerja Dinar di rumah" Apa terlalu sibuk dengan pelajaran sehingga tak.
sempat membantu membersihkan rumah"
"Silakan duduk lebih dulu, Yang Suci. Hamba panggilkan Mpu Dewaprana..."
"Jangan mengganggu beliau! Biarlah beliau mengajar lebih dulu!"
"Mentari sudah tinggi. Tentu beliau sedang istirahat."
Wanita itu tampak ingin segera pergi. Enggan bersemuka
dengannya. Apa gerangan sebabnya"
"Jika demikian, ada baiknya hamba pergi ke sana sendiri."
"Bukankah kali ini menjadi tamu Mpu Dewaprana?"
"Ya. Tapi bukankah dulu hamba juga berjanji akan
mengajar di Widya Trisnapala?" "Mengajar?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dang Hyang Brahma Dewa sendiri yang meminta hamba,
bukan" Lupa, Yang Suci?"
"Oh... ampunkan hamba, Yang Suci... usia merangkak
terus. Mendekati keberakhiran! Ho... ho... ho... Ingatan pun tidak bekerja baik."
"Nah, dirgahayulah, Yang Suci. Lebih baik hamba sendiri ke sana."
Tanpa menunggu jawaban lagi Sedah berbalik.
Ditinggalkannya beban bekalnya di pendapa, setelah lebih
dahulu menitipkannya pada Nyi Dewaprana. Sementara Nyi
Dewaprana terpana memandang punggung pemuda yang
semampai itu. Hatinya berdesir. Bukan karena pesona.
Usianya sudah terlalu tua untuk terpesona. Tapi ia tiba-tiba diradang oleh ketakutan. Sedah datang tanpa Dinar. Padahal
Dinar pergi hampir satu setengah tahun lalu untuk menyusul
Sedah. Mungkinkah Dinar tersesat" Atau dia sudah
menemukan ayahnya Palagantara" Kalau betul begitu, di
manakah, dia sekarang" Tapi setelah kepergian Dinar, Candala Raka juga menghilang. Apakah mereka sudah saling berjanji"
Dan Dinar berkhianat" Ah,...
Perasaan bersalah menghantuinya. Diam-diam ia dekati
bungkusan bekal milik Sedah. Ada dua bumbung. Satu berisi
madu. Satu lagi berisi air. Bungkusannya juga dua. Satu berisi umbi-umbian yang sudah matang karena dibakar, sedang
satunya berisi pakaian. Bayangan Dinar yang bersumpah
bahwa ia tidak berbuat serong dengan Candala Raka tiba-tiba saja muncul di pelupuk matanya. Nyi Dewaprana terisak-isak.
Jadi, ke mana kau sekarang" Nyi Dewaprana bergumam
sendiri. Oh, diculik penjahat" Aduh, lalu ke mana" Dijual" Nyi Dewaprana menutup wajahnya. Kengerian menghantui
pikirannya. Sejuta penyesalan menyumpal pikirannya. Dan
Sedah tentu akan melampiaskan kemarahannya.
Mengumpatnya. Uh, wanita tua tak tahu diri! Tidak bijak! Tak ubahnya kerbau dungu!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah! Sudah! Nyi Dewaprana menggeragap. Keringat
dingin menyembul dari tiap lubang porinya. Meleleh lewat
lipatan-lipatan keriputnya. Napasnya tersengal. Menoleh kiri-kanan. Tak ada orang yang melihat. Kejadian yang demikian
sudah sering kali dialaminya. Ijcu sebabnya para pembantu
disuruhnya pulang. Hanya jika diperlukan saja mereka
dipanggil. Ia merasa malu karena sering bercakap-cakap
sendiri. Seperti halnya kala masih kanak-kanak. Bagaimana
jika Sedah benar-benar marah" Sebaiknya sekarang Sedah
aku bunuh saja.
Ya! Dibunuh saja! Dibunuh saja! Caranya" Sedah seorang
muda dan terlatih berjalan jauh. Ia tak mungkin melawan
Sedah dengan tenaga maupun dengan kata-kata. Ia tentu
telah berlidah dewa. Diracun saja makanannya. Atau
minumannya. Ya! Tentu ia akan tewas. Dan racun apa" Ah,
warangan! Warangan tentu akan membuatnya mati kaku.
Namun kala kakinya melangkah mencari warangan atau racun
untuk senjata, sudut hatinya memperingatkannya. Kau,
seorang brah-mani, mau membunuh" Betapa liciknya hatimu!
Pengecut kau! Urung. Ternyata hatinya tak cukup berani melakukannya.
Pembunuhan memang bukan pekerjaan seorang brahmana.
Cuma bandit! Ya, bandit saja yang sanggup melakukannya.
Dan kini niat itu gugur. Sebagai gantinya, dengan tangan
gemetar ia meraup semua perbekalan itu untuk diamankan
dari gangguan lalat. Sementara itu Sedah sudah memasuki
gerbang Widya Trisnapala. Semua siswa sedang belajar. Tak
satu pun yang berkeliaran di halaman. Maka ia langsung ke
ruangan dang hyang. Bukan main terkejut Mpu Brahma Dewa
dan Mpu Dewaprana melihat Sedah berdiri di ambang pintu.
"Dirgahayu!" Sedah menyapa terlebih dulu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh, Yang Suci..." seru mereka berbareng. Brahma Dewa cepat berdiri dan langsung memeluk Sedah.
"Sudah rindu rasanya," kata orang tua itu.
Wajah Sedah memerah. Ia merasa tersindir. Kok Dinar
belum selesai belajar sudah disusul. -Tapi ia segera-
meredakan gejolak dalam kalbunya.
Lain halnya dengan Dewaprana. Mendadak jantungnya
berdebar keras. Segera ia teringat pada Dinar. Tapi tak segera ia bertanya tentang Dinar. Berbasa-basi sebentar. Namun
debar jantungnya jftetul-betul makin mengeras setelah Sedah bercerita tentang pengalamannya ketika membantu mengajar
di lereng Gunung Kawi. Sama sekali tidak menyinggung Dinar.
Tapi karena di hadap-" an Brahma Dewa, maka ia menahan diri.
"Hebat. Suatu pengalaman yang luar biasa. Apalagi
pengalaman di Lembah Selong itu! Seha-rusnyalah setiap
brahmana mengamalkan pengetahuan yang dimilikinya seperti
itu. Tentu kemanusiaan tak akan terkotori oleh tangan busuk yang menamakan diri brahmana."
"Tak ada yang hebat dari hamba, karena semua adalah
anugerah Hyang Maha Dewa sendiri."
"Ha... ha... ha... Masih saja rendah hati seperti dulu...," ujar Bhrama Dewa gembira. "Tentu Yang Suci sudah siap
membantu kami, bukan" Nah, sebelum Yang Suci
melaksanakan tugashamba harap Yaog Suci membaca dulu
sebuah kakawin baru, karya Mpu Panuluh."
"Karya Mpu Panuluh?"
"Ya. Mpu Panuluh."
"Hamba tak suka karya beliau." Sedah tidak bersemangat.
"Lho kenapa" Beliau adalah pandita istana. Pujangga yang tiada tandingannya di seluruh Penjalu ini."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Barangkali benar. Tapi lihatlah semua karya beliau!
Gatotkacagraya, misalnya! Bukankah kakawin itu intinya cuma memuliakan Sri Prabu Jayabhaya"! Membenarkan semua
siasat kekuasaan Sri Prabu. Juga cerita tentang kemenangan
perang dengan Jambi yang pada hakikatnya tidak lebih dari
penjarahan tambang-tambang emas..."
"Hus! Jangan diteruskan! Demi kepentingan, keselarasan dan kedamaian Kerajaan Penjalu ini, hendaknya Yang Suci
berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat!" Mpu Brahma
Dewa memotong. Sedah menjadi sedikit heran. Maka ia mengernyitkan dahi
seraya menajamkan matanya.
"Sejak kapan kita mulai membenarkan tindakan penjarahan dan pembunuhan semena-mena itu?" ia bertanya.
"Sekali lagi, Yang Suci. Jika kita melihat penjarahan dan pembunuhan, itu sudah kami tanyakan. Dan dijawab oleh
pihak Kerajaan bahwa itu terjadi di masa perang. Tidak
sekarang. Dan ketika hamba menghadap ke Daha, maka pada
perguruan tinggi kita ini, pihak Kerajaan memperingatkan agar tidak terlalu campur tangan dalam soal-soal siasat kekuasaan.
Yang kita kerjakan adalah mengajar tiap orang agar kelak bisa menjadi abdi negara yang baik. Nah karena itu pula semua
karya dan dharma harus dipersembahkan pada negara dan
kerajaan!"
Sedah tertawa terbahak-bahak mendengar itu.
"Jadi semua cendekiawan akan dijadikan abdi! Abdi yang tak punya wewenang mengeluarkan pendapat" Ha... ha...
ha... Hanya dewa yang punya abdi seorang brahmana!"
Ketiganya juga tertawa. Bahkan sampai berguncang tubuh
mereka. "Lalu apa gunanya kita belajar untuk menjadi pintar jika cuma untuk menjadi abdi" Hamba kira untuk menjadi abdi tidak perlu harus belajar di Perguruan Tinggi Widya
Trisnapala..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi..." Mereka sama-sama duduk di bangku panjang.
Kemudian Brahma Dewa meneruskan lagi. "Baik sudra, satria, brahmana, ataupun kasta lain, tidak pernah punya kebenaran.
Sebab, kebenaran pada hakikatnya adalah milik yang punya
kekuasaan, punya uang, punya senjata. Nah, di luar itu
kebenaran cuma tinggal angan-angan. Ya! Omongan kosong
yang sia-sia."
"Jagad Dewa Pramudita!"
"Demikian pula pujangga! Jika ia berpegang teguh pada
kebenaran yang diyakininya, maka ia akan kehilangan hak
untuk dibaca. Boleh saja ia menulis. Tapi tidak akan dibaca oleh orang di seluruh Penjalu. Bahkan mungkin saja. di
seluruh wilayah Kahuripan." Brahma Dewa berhenti sebentar.
Sementara itu Sedah mengangguk-angguk. Entah berapa saat
kemudian Brahma Dewa melanjutkan,
"Karena kita bukan hidup pada zaman Mpu Sindok. Beliau seorang pemimpin yang suka pada karya-karya tulis, tanpa
memandang siapa penulisnya. Beliau menghargai. Juga tidak
peduli bagaimana isinya. Karena beliau mengerti benar,
sebagai seorang yang pernah menyerap ilmu pengetahuan
tinggi dan bergelar Mpu, maka hatinya terbuka untuk
kebenaran yang hakiki. Tapi..."
"Baiklah! Hamba mengerti," potong Sedah.
"Apa judul kakawin itu?"
"Hariw angsa."
"Hariwangsa Bercerita tentang apa pula Mpu Panuluh?"
"Yang Suci akan dapat menyimpulkannya jika sudah
membacanya sendiri. Nah, jika setuju, sebaiknya Yang Suci
membacanya di tempat hamba. Barangkali dua-tiga hari. Baru
setelah itu Yang Suci tidur di rumah Yang Suci Dewaprana."
Sedah mengerutkan dahi sebentar. Orang ini tak mengerti
urusan muda-mudi rupanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa pun pendapat Yang Suci, Mpu Panuluh telah mampu
mengukir namanya di langit. Dengan Gatotkacagraya dan
Hariwangsa itu, serta barangkali karya-karya lainnya yang
belum diedarkan, orang itu telah menjejakkan kakinya ke alam kekekalan. Sebuah penulisan kakawin yang menceritakan
tentang hidup dan kehidupan merupakan karya kekekalan."
"Bagaimana jika kita menuliskan sesuatu yang salah?"
"Mengapa Yang Suci menghakimi" Kebiasaan banyak orang
cenderung menghakimi suatu karya, tapi tidak menghargai
jerih lelah orang yang berkarya tersebut. Yang dengan segala kesungguhan hati ingin mempersembahkan dharma dan karya
itu demi manusia dan kemanusiaan. Memang ~suatu
kesalahan dalam karya tulis juga merupakan kesalahan kekal.
Dan tiap penulis akan menyesal seumur hidupnya atas
kesalahan itu sendiri, karena zaman dan sejarah akan
memberikan penghakimannya." Brahma Dewa berhenti
sebentar. Lalu bangkit berdiri dan meletakkan kedua
tangannya di belakang tubuhnya. Berjalan ke jendela besar
sambil menghadap ke halaman.
"Tapi hamba percaya, banyak manfaat yang kita peroleh
dari membacanya. Tidak terlalu jelek, karena memang
penyusunan pupuh-pupuhnya. amat bagus."
"Baiklah! Hamba setuju." Sedah akhirnya menerima. Dan untuk itu ia harus menyabarkan hatinya ketika diajak langsung pulang ke rumah Brahma Dewa. Dua tahun aku bersabar.
Kenapa dua hari tidak"
Rumah Brahma Dewa tidak terlalu jauh dari Perguruan
Tinggi Widya Trisnapala. Sebuah rumah besar, dengan bilik-
bilik yang besar pula. Paling tidak satu bilik berukuran enam kali sepuluh depa. Bilik yang memberikan kelegaan, karena
penerangannya cukup. Banyak lontar yang tersimpan rapi
dalam bumbung-bumbung sepanjang satu ruas. Ada tempat
duduk yang terbuat dari kayu hitam. Ada pula tempat pelita
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar untuk menerangi ruangan kala kegelapan menghampiri
bumi. Nyi Brahma Dewa amat ramah. Sekalipun keriput mewarnai
wajahnya, namun sisa-sisa kecantikan masih saja


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membayang. Rupanya suka bersolek pada masa mudanya.
Sanggulnya masih rapi. Bibirnya selalu berhiaskan senyum,
kendati ia kurang suka bicara dengan orang yang bukan
suaminya. Sedah tidak pedulikan sikap itu. Dia bertekad akan menyelesaikan Hariwangsa dengan cepat. Makin lama makin
tertarik ia membacanya. Dalam hati Sedah mengakui,
sebenarnyalah susunan kata demi kata pada tiap sloka atau
pupuh mampu menarik hati pembacanya.
Sebagai seorang brahmana, yang bukan cuma karena
keturunan, ia segera dapat menangkap makna kakawin
Hariwangsa itu. Pada pupuh-pupuh permulaan, Mpu Panuluh
menceritakan perkawinan antara Narayana dengan Dewi Ruk-
mini. Narayana atau Sri Kresna telah menculik Rukmini dari
tengah-tengah keluarganya. Tapi pada bahagian belakang dari sloka-sloka terakhir, Sedah mampu menangkap bahwa Mpu
Panuluh menyiratkan, tindakan Jayabhaya sehingga ia dapat
mempersunting paramesywarinya yang baru. Bukankah
Rukmini bukan satu-satunya istri Kresna" Juga bukan istri
pertama, karena sebelum itu Kresna sudah kawin dengan
wanita lain. Siapa yang tidak pernah mendengar bahwa Jayabhaya
mempunyai puluhan selir" Tapi untuk paramesywari baru ini,
tentu Mpu Panuluh ingin memberitakan pada dunia bahwa
sebenarnyalah Jayabhaya seorang penculik. Luar biasa pintar orang ini, puji Sedah. Tampaknya ia selalu memuji kebesaran Sri Prabu, tapi sebenarnyalah, secara tersirat ia
menelanjanginya.
,5Tidak!" Brahma Dewa berkeberatan. "Hamba menilai tidak seperti Yang Suci. Mpu Panuluh sekadar menceritakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
apa yang terjadi di Penjalu saat ini. Itu pun secara halus. Tak ada maksudnya untuk mempermalukan Raja."
Sedah ternyata menyelesaikan bacaannya cuma dalam dua
hari dua malam. Tapi ia sedikit heran, gurunya itu
berkeberatan terhadap pendapatnya.
"Mengapa?" tanyanya.
"Pujangga yang baik bukan hakim. Kita harus meletakkan diri di tempat masing-masing. Pujangga bukan adhyaksal
Tugas pujangga adalah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan
tanpa rasa benci dalam dadanya, apalagi dendam. Banyak
orang menulis hanya sekadar ingin memuntahkan apa yang
menyesaki kepala dan hatinya."
"Baiklah, lalu apa yang kita kerjakan dalam tulisan"
Artinya..."
"Menulis artinya bercakap-cakap. Memberikan berita.
Memberi nasihat, atau wejangan agar manusia meninggalkan
nilai-nilai kurang dalam hidup ini. Meninggalkan semua
kebusukan dan kebobrokan. Meninggalkan ketidakadilan!
Sekali lagi, bukan memuntahkan endapan lahar dari kepundan
kebencian..." .
"Baik. Tapi bisakah kita berdiam diri melihat ketidakadilan"
Keserakahan" Sementara manusia lain di bumi yang sama ini
menderita kelaparan dan aniaya?"
"Pujangga seperti Mpu Panuluh, atau siapa pun saja, pasti akan terusik. Tapi kita tidak pernah melawan semua itu
dengan kemarahan. Kita akan melawan semua ketidakadilan
cuma dengan rangkaian kata-kata yang tersusun indah."
"Hyang Bathara!'! .
"Sebab kita tidak diperkenankan menggunakan pedang. Itu akan melangkahi Yajur Weda jika kita langgar. Dan menurut
pendengaran hamba, bukankah Yang Suci telah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengajarkannya di Lembah Selong, bahwa di muka bumi tak
ada yang lebih baik kecuali kasih?"
"Be... betul, Yang Suci." Sedah menghela napas panjang.
Kembali ia mengagumi gurunya.
"Apa sebab?" Gurunya kini memandangnya tajam-tajam.
Sedah diam buat sesaat. Meneguk minuman yang baru saja
disuguhkan oleh "Nyi Brahma Dewa. Sementara itu sinar
mentari pagi jatuh menimpa pohon-pohon dan tiang-tiang
pendapa rumah itu. Memberikan bayang-bayang dan
membuat sudut-sudut tajam pada pangkal bayang-bayang.
Beberapa saat kemudian Mpu Brahma Dewa menjawab sendiri
pertanyaan yang diajukannya tadi.
"Sebab kasih itu sebenarnya adalah keselarasan dalam
ketidaksamaan. Itulah sebabnya kasih adalah sesuatu yang
terindah!"
Dan Sedah mesem mendengarnya.
"Jika dibalik, maka kalimat itu akan bermakna lain,
ketidaksamaan dalam keselarasan." Berhenti lagi.
Sedah mengerutkan dahi.
"Tapi yang ini... kemunafikan. Dan itu selalu ada di muka bumi. Selama ada orang yang memperdewakan diri dan
berkuasa untuk menghidupi atau menghentikan hidup
manusia lain, maka kemunafikan akan tetap ada."
"Jagad Bathara! Bukankah kemunafikan adalah kejahatan?"
"Dilihat dari satu sisi memang begitu. Tapi jika kita
melihatnya dari sisi lain, maka kadang kemunafikan itu -
diperlukan."
"Jagad Dewa! Ya, Jagad Pramudita! Diperlukan?" Sedah terhentak dalam kejutnya. Dengan mata tajam ia menuntut
pengertian dari gurunya, kendati tidak berkata-kata.
Pandangan mata memang memiliki seribu makna berbeda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dalam kuasa tirani yang memaksakan pendapat sehingga
menyatukan pandangan hidup, maka di dalamnya pasti
terpendam ketidaksamaan dalam permukaan yang selaras.
Sebagai contoh, di Penjalu ini Sri Jayabhaya tetap memasang lamr bang garuda mukha, demi kesatuan kawula Penjalu dan
sebagai satu alasan untuk menundukkan Jenggala, karena
Jenggala juga berlambang garu-dha mukha. Tapi ia juga
memasang simbol narasingha sebagai gambaran pribadi.
Siapa yang boleh menentangnya" Tak seorang pun! Dengan-
bermacam-macam gelar dia telah menaklukkan semua orang
di Penjalu. Dengan memasang nama Anindita dia ingin
menyatakan pada dunia bahwa Jayabhaya berdiri di atas
semua brahmana dan cendekiawan. Yang melebihi semua itu,
dengan nama Madhusudanawata, ia berharap bahwa semua
makhluk di muka bumi tunduk bersujud, kepadanya."
Kini Sedah mengangguk-angguk.
Jika brahmana yang berpengetahuan tinggi seperti Panuluh
dikuasainya, apalagi yang dungu" Jayabhaya benar-benar
telah memanfaatkan anugerah tertinggi yang diberikan Hyang
Maha Dewa .pada manusia, yaitu kekuasaan untuk
menaklukkan orang lain. Setidaknya untuk mempengaruhi
orang lain. Benar. Jika orang menentang, atau menyalahkan
pada Sri Prabu, jangan-jangan malah dicabut haknya untuk
tinggal di bumi Penjalu. Untuk mengatasinya, semua harus
mengiakan apa saja yang dikatakan Jayabhaya. Baik atau
buruk yang diucapkan Raja harus dianggap tetap baik.
Bukankah itu kemunafikan" Hah, jika demikian dunia penuh
dengan kemunafikan.
"Yang Suci jangan salahkan itu. Pada hakikatnya tak ada keselarasan dalam pasangan hidup. Yang ada mengalah.
Mengalah! Ya! Itu! Mengalahkan diri sendiri demi keselarasan.
Keterpaduan. Dan yang katanya mengalah itu pasti sakit.
Sakit!" Brahma Dewa menutup penjelasannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan kesan yang tersendiri. Sedah minta permisi untuk
segera berbicara dengan keluarga Dewaprana. Betapapun dia
sangat berterima kasih.
"Kebetulan harini semua libur. Dewaprana tentu sudah
rindu." Langkahnya mantap. Tidak terlalu bergesa. Untuk
mengembalikan kenangan, Sedah menyimpang sedikit ke kiri
untuk melintas lewat kebun murbei. Sedah tidak tahu, dari
mana mulanya mereka bisa mendapat bibit pohon murbei itu.
Tapi sekarang ini orang Penjalu bukan cuma mengembangkan
tanaman murbei, kapas juga semakin banyak. Orang menjadi
semakin pintar saja. Dan siswa Widya Trisnapala, menurut
Brahma Dewa, sekarang juga diajari memintal kapas untuk
menjadi benang. Dengan tujuan jika kelak mereka telah
mandiri, bisa menjadi seorang brahmana yang bukan omong-
kosong semata. Semula orang memang melihat kapas sebagai kembang
hias. Tapi ilmu pengetahuan telah membuat kapas sebagai
pohon berdayaguna. Sungguh luar biasa manfaat
pengetahuan! Setiap hari memamerkan keajaiban baru. Orang
tidak cuma sekadar mengolah batu. Tidak!!! Bukan cuma
membikin patung. Sekarang senjata dari besi dan baja pun
sudah ada. Siapa penemunya mula-mula" Sedah juga tak
tahu. Tapi secara jujur ia mengakui, kemajuan budaya yang
dimiliki manusia Jawa ini tentunya hasil persinggungan dua
budaya yang hebat dan amat tinggi, yaitu China di utara-timur dan Jambudwipa di utara-barat. Itu sebabnya banyak
pengetahuan yang ditulis dalam Sansekerta. Walau ada juga
yang ditulis dalam Jawa seperti karya-karya Mpu Sindok,
bahka? karya Sri Prabu Darmawangsa. Tapi itu masih amat
muda jika dibanding karya-karya dalam Sansekerta.
"Sedah! Oooii! Yang Suci Sedah! Tunggu!" sebuah
panggilan menghentikan langkahnya lagi. Sebenarnyalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah kurang suka. Keinginannya untuk bersua dengan Dinar
sudah mengentak-entak.
Langkah berat orang berlari terdengar seolah
mengguncang bumi, mendekatinya. Napasnya juga terdengar
kasar, seperti napas kuda. Sedah menoleh.
"Oh, kau" Detya Butha Wreku?"
"Ya. Dirgahayu, Yang Suci..." Orang tinggi besar itu masih terengah-engah.
"Aha, dirgahayu! Rupanya kau yang mengajar teman-
teman memintal kapas menjadi benang?"
"Bukan! Tentu bukan hamba. Tapi kenapa Yang Suci
datang sendiri" Apa kabar istri Yang Suci?"
Dua pertanyaan yang disambung itu amat mengejutkan
Sedah. Ia mengerutkan dahi dan memandang wajah
temannya tajam-tajam.
"Kenapa Yang Suci memandang hamba sedemikian?" Butha Wreku berbicara dalam Sansekerta.
"Jagad Dewa Bathara! Apa artinya ini, Detya" Kau tidak bergurau?" Senyum Sedah punah segera.
"Apa bukan hamba yang berhak mengajukan pertanyaan
seperti ini?"
Sedah segera menghentikan langkahnya di bawah sebuah
pohon murbei. Hatinya kini berdebar. Tentu Detya Butha
Wreku tidak main-main. Dengan menarik panas panjang,
kemudian ia menceritakan pengalamannya selama dua tahun
ini, sambil melanjutkan langkahnya pelan-pelan.
"Jika demikian, Yang Suci akan sangat terkejut jika masuk ke rumah Mpu Dewaprana. Sungguh, Yang Suci tidak akan
bersua lagi dengan kekasih Yang Suci..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa?" Kembali Sedah menghentikan langkahnya dalam kejut. Ia tangkap kedua lengan teman yang kini berdiri di
hadapannya, kemudian mengguncangnya.
Butha Wreku menyesal amat sangat memberikan berita
yang mengejutkan itu. Tentu seperti itu pulalah
terguncangnya hati Sedah saat ini.
"Ampunkan hamba, Yang Suci..." kata Detya Butha Wreku sambil menghapus keringat yang tiba-tiba saja muncul di
kepala dan dahi Sedah. Sebesar-besar biji jagung, gelembung keringat yang bertempelan itu. Kendati begitu, Sedah
mencoba menguasai dirinya.
"Apa yang sudah terjadi di sini, Detya?"
"Biarlah kita bersama-sama menghadap Mpu Dewaprana.
Setelah beliau memberikan keterangan, hamba juga akan
memberikan sedikit berita yang mungkin saja dapat
menjelaskan di mana Dinar berada."
Keduanya kini bergesa.
Tak peduli lagi pada rombongan gadis-gadis yang sedang
bergotong-royong menyirami kembang dan tanaman lain di
kebun milik Widya Trisnapala. Tak peduli pada kambing-
domba milik perguruan tinggi itu yang sedang berkeliaran
tanpa gembala. Tidak peduli pada ayam-ayam yang juga
sedang mencari makan di sana-sini. Dan bahkan mereka
hampir lupa memberikan penghormatan kala meniti pendapa
rumah Dewaprana; Tapi dengan suaranya yang besar Butha
Wreku mengejutkan pemilik rumah yang sedang berunding di
dalam. "Dirgahayu!" Balas Dewaprana segera menyongsong.
Namun kala melihat Sedah bersama Butha Wreku, ia menjadi
amat terkejut. Wajahnya mendadak kaku.
"Silakan duduk, Yang Suci..." Hatinya berdebar. "Mari kita berbincang di dalam. Hamba tahu hati kita sedang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membuncah seperti gelombang. Tapi tidak patut brahmana
berbicara dengan hati atau kepala yang panas."
"Hemh..." Sedah menghela napas. Bertiga mereka
melangkah masuk. Sementara itu Nyi Dewaprana berbaring di
kamar tidurnva. Ia tidak tahan lagi. Justru hari-hari inilah yang ditakutkan nya. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin terus
mengalir. Tanpa ada yang ditutupi lagi, Mpu Dewaprana
menerangkan semua yang terjadi atas keluarganya, sehingga
mengakibatkan Dinar bertekad mencari Sedah untuk
menjelaskan keberadaan dirinya. Dinar ingin tahu, apakah
kalau ternyata dia tak berdarah brahmana Sedah masih mau
mencintainya. "Semua telah terjadi..." Akhirnya Sedah menarik napas panjang. "Namun demikian Dinar tak dapat diganti. Demi Hyang Maha Dewa, aku akan mencarinya."
"Hyang Bathara! Ke rnjana" Bukankah Yang Suci akan
menjadi pengajar di Widya Trisnapala?"
"Aku datang bukan untuk- Widya Trisnapala. Aku datang
untuk cintaku pada Dinar. Berlaksa-laksa tombak jauljjiya dari timur ke barat aku menjelajah hutan, hanya untuk satu
orang... Dinar!" Sedah memutar tubuhnya. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Dewaprana. Tapi berkata pada diri
sendiri. Ia mengambil perbekalan miliknya. Diperiksanya
dengan cermat. Tak ada yang kurang. Juga gulungan lontar,
baik yang ada tulisannya maupun yang kosong. Semua masih
ada. "Barangkali ia sekarang di tangan Candala Raka?" Butha Wreku bertanya kala mereka sudah ? meninggalkan rumah
Dewaprana. Kemudian ia menceritakan bagaimana Candala
Raka meninggalkan Widya Trisnapala kala senja hari. Tapi
menurut cerita siswa-siswa yang sempat mengintip, sebelum
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu lamarannya melalui kembang mawar ditolak oleh Dinar.
Mungkin malu. "Hamba tidak percaya hati Dinar bisa diluluhkan oleh sikap Candala Raka. Tidak! Dia tidak punya modal apa-apa untuk
bisa memikat hati Dinar. Sekalipun ia punya sejuta akal yang licik."
"Lalu ke mana Yang Suci akan mencari?"
Sebenarnya sebal rasa hati Sedah dengan berbagai
pertanyaan itu. Ia belum tahu akan ke mana. Pikirannya
berlarian ke sana kemari. Itu sebabnya ia ingin berjalan
sendiri. Sebab di dalam kesendirian terdapat kemajemukan.
Kemajemukan yang berpencar-pencar dan akhirnya hinggap di
tempat-tempat yang tak terketahui.
"Lebih baik kau kembali ke barakmu, Detya! Biarkan aku sendiri yang mencarinya."
"Yang Suci... hamba sangat benci terhadap cara yang
dilakukan Candala Raka sehingga kekasih Yang Suci terusir
dari rumahnya. Aku ingin bersua dengannya, karena ternyata
ia berkhianat terhadap sesama brahmana..."
"Kebencian yang mencapai titik tertinggi akan melahirkan cinta. Dari ketidaksamaan muncul keselarasan. Dari
kelemahan akan muncul kekuatan yang maha dahsyat! Itulah
kehidupan. Candala punya hak untuk melakukannya. Tapi aku
pun punya hak untuk menepati sumpahku kepada Hyang


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maha Dewa. Nah, selamat belajar! Kau datang ke sini bukan
untuk menumpahkan kebencian, tapi untuk mencari ilmu."
"Tapi..."
"Dapatkan dulu apa yang kaucari!" Sedah tetap pada pendiriannya. Dan ia makin bergesa. Tapal batas Adiluwih
sudah di depan mata. Ia tidak perlu berpamitan pada
Brahmana Dewa, karena ia sendiri belum menentukan ke
mana akan pergi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dalam tiap perjalanan kita menjumpai banyak
persimpangan. Tapi barangsiapa bimbang di tiap
persimpangan, maka ia tidak akan sampai ke tempat
tujuannya."
"Hyang Bathara!"
"Jangan menyimpang ke kiri ataupun ke kanan, supaya
engkau berhasil."
Detya Butha Wreku tidak bisa memaksakan kehendaknya.
Sedah memang punya pendirian yang baginya mengagumkan.
Dan ia kembali. Kembali ke Widya Trisnapala untuk
menghadap Brahma Dewa. Ia menceritakan semua yang .
terjadi atas Sedah. Dan ia minta izin untuk tidak mengikuti pelajaran, tapi akan datang kelak waktu ujian.* Karena ia
berniat mengikuti perjalanan Sedah dari jauh, guna
memberikan bantuan jika Sedah sangat memerlukan. :
"Baiklah, Wreku. Kau memang mengulang. Tapi jangan kau menampakkan dirimu pada Sedah, karena ia akan menjadi
amat marah. Dan mungkin saja akan membuat jiwanya makin
terguncang."
Dengan pesan itu, Butha Wreku pun meninggalkan Widya
Trisnapala. Ia ikuti dan terus ikuti perjalanan Sedah. Kemudian ia mencatat dan mencatat. Catatan lontarnya inilah kelak yang menolongnya dan membuat ia lulus dari Widya Trisnapala.
Sedah sendiri membuat catatan atas perjalanan hidupnya
itu. Pencarian Sedah yang pertama ialah ke pasar-pasar,
sebab di sanalah berkerumun kaum wanita. Setiap hari ia
berpindah dari satu pasar ke pasar lainnya. Ia mencari
keterangan pada ponggawa yang mengurusi di mana ada
pasaran keesokan harinya. Dan karena kecerdikannya, ia
berhasil memperoleh keterangan tentang hari-hari pasar di
seluruh Penjalu.
Misalnya hari Soma Petakan (Hari Senin Legi) pasaran jatuh
di desa Badas. Maka berangkatlah Sedah ke desa itu. Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sejak pagi-pagi buta dia sudah duduk di tempat yang paling
cocok untuk mengawasi orang-orang yang keluar-masuk pasar
itu. Demikianlah, esok harinya hari Angguna Abritan (Hari
Selasa Pahing), ia sudah pindah ke desa Dadapan. Sedang
hari berikutnya, yaitu Budha Jenean (Hari Rabu Pon) ia pindah ke pasar desa Watangan. Demikianlah dari satu pasar ke
pasar lain. Namun belum pernah ia jumpai seorang pun yang
mirip Dinar. Sekalipun begitu, ia tetap tidak putus asa.
Siapa tahu Dinar diculik orang kemudian dijual ke pasar
budak perempuan" Tentu seorang gadis seperti Dinar akan
laku sangat mahal. Pembelinya tentu orang-orang asing, yang akan menjadikan Dinar pemuas nafsu mereka. Atau Dinar
dijual pada raja-raja, setidaknya raja-raja uang, atau
penjahat-penjahat dan bajak-bajak laut. Memang wajah cantik tidak menjamin apakah seorang akan bahagia, karena kadang-kadang penjahat pun merasa berhak memiliki wanita cantik.
Atas pertimbangan itu, maka Sedah kini mulai mengintai
dermaga. Sebab ia tahu persis di sanalah tempat penjualan
budak-budak secara gelap.
Sampai suatu hari ia mengenal salah seorang penadah
gelap budak-budak wanita. Seorang lelaki berkulit kuning dan bermata sipit, dengan kumis jarang-jarang yang ujung-ujungnya melengkung ke bawah. Badannya tinggi besar,
bahkan boleh dikatakan gempal. Giginya berlapis warna
kuning. Bukan karena emas, tapi karena malas menggosoknya
dengan arang ataupun abu. Tanujayamerta! Begitu orang itu
menyebut namanya. Sedah tahu persis bahwa ini pasti bukan
nama asli. "Rupanya sedang cari-cari, Yang Suci?" sapa
Tanujayamerta suatu hari, setelah Sedah berkali-kali
mengintip rumahnya.
"Ya. Aku sedang mencari seorang gadis yang cocok untuk membantu aku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ahha... ha... ha... Yang Suci ini main-main."
Tanujayamerta ternyata kurang bisa mengucapkan "er".
"Tidak. Aku tidak main-main. Orang-orang memberi tahu
supaya aku minta tolong pada Tanujayamerta. Bukankah
kau?" "Betul... betul. Tapi ini... Baiklah, Yang Suci, silakan masuk saja."
Rumah Tanujayamerta amat besar!. Banyak hiasan keramik
bergambar naga, atau perempuan berjubah dengan kipas di
tangan. Pilar-pilar rumahnya kokoh seperti istana raja-raja.
Gila! Keramik dan tembikar buatan China. Tentu amat mahal.
Permadani terbentang hampir memenuhi lantai ruangan.
Beberapa gadis menyambut mereka dengan sembah.
Tanujayamerta memperkenalkan mereka sebagai istri-istri.
Satu orang beristri sembilan" Sedah bergumam dalam hati.
Beberapa pengawal mengenakan baju dan celana sutera
hitam, bersenjata pedang yang menempel di punggung
mereka. Semua mengenakan pembungkus kaki terbuat dari
kulit. Gerakan mereka amat lincah.
Seorang wanita yang sudah terjebak masuk ke tempat ini
tentu akan sukar keluar. Setelah ia dipersilakan duduk di atas sebuah kursi yang terbuat dari kayu ulin, seorang gadis lain keluar mempersembahkan minuman. Cara
mempersembahkannya sambil berjongkok. Sedah melirik gadis
itu. Masih belasan tahun. Susunya dibiarkan terbuka. Bahkan pusarnya pun tak tertutup seperti para istri Tanujayamerta.
Sedang bahagian bawah tubuhnya terbungkus kain sutera
yang paling tipis, yang membungkus ketat dan bahagian
depannya terbelah sampai hampir separoh pahanya. Tentu
akan berkali tersingkap jika melangkah. Sehati-hati
bagaimanapun cara melangkahnya, tidak akan tidak pasti
terkuak. Dan paha mulus itu akan mengundang pesona
tersendiri. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Para istri memang berbinggal emas di perge-langan kaki
mereka, tapi para budak berbinggal perak.
"Yang Suci, gadis-gadis yang ada di sini dibiarkan aman.
Para pengawal itu adalah orang-orang yang sudah dikebiri.
Dan mereka adalah orang-orang yang patuh pada hamba,
sebab mereka sadar tidak akan dapat hidup tanpa hamba."
Tengkuk Sedah bergidik dan merinding mendengarnya.
Dikebiri dan patuh" Luar biasa orang ini. Bahaya jika demikian.
Para pendekar dari negeri utara yang amat termasyhur itu bisa dijadikannya tolol seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
Dengan apa" Tentu dengan... candu! Sedah berusaha
menebak. Manusia akan menjadi semakin garang karena
candu. Tapi lelaki akan menjadi wanita juga karena candu.
"Yang gadis pasti terjamin kegadisannya..."
Sedah menolak minuman yang diberikan. Dan
Tanujayamerta kaget melihat itu. Tidak biasa tamu menolak
minumannya. Maka Tanujayamerta segera mengerti bahwa
tamunya orang istimewa. Muda belia tapi badannya tampak
kurus, sedang matanya bersinar.
"Oh... ini minuman biasa, Yang Suci."
"Tak perlu gopah-gopoh itu! Aku ingin segera tahu
simpananmu. Barangkali ada yang cocok, aku akan beli.
Berapa pun harganya."
"Baik. Baik, Yang Suci..," Tanujayamerta menerka-nerka, siapa sebenarnya Sedah ini. Di negeri utara sana, seorang
brahmana biasanya selalu pandai bersilat. Apalagi ia melihat tongkat di tangan kiri Sedah. Sepanjang tubuhnya. Bukankah
itu toyai Aku harus berhati-hati. Maka ia bangkit dan Sedah mengekor bagai bayangan.
Melewati beberapa ruangan, mereka menuju ke bahagian
belakang rumah. Ada sebuah barak panjang. Juga dikawal
oleh orang-orang berbaju dan bercelana sutera hitam, dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pedang pada punggung mereka. Gagah-gagah. Antara satu
bilik dan bilik lain cuma dibatasi oleh kain mori putih yang tebal. Mungkin moriJ?uatan Penjalu sendiri. Mungkin saja satu barak dibagi menjadi dua puluh lima bilik.'
Hampir semua berwajah pucat. Ketakutan. Tapi apa dayaku
menolong orang-orang ini" Uangku tentu tak cukup untuk
membebaskan mereka semua. Padahal semua memandang
penuh harap. Memang pembebasan adalah impian semua
orang. Karena, sesungguhnyalah kebebasan adalah hak yang
paling hakiki dari semua o tang. Sedah meneliti satu demi satu wanita di bilik-bilik itu. Dua puluh empat jumlah mereka.
"Tak ada," desahnya kala melihat wanita terakhir.
"Hanya ini?" Sedah memancing.
"Baru saja diberangkatkan sembilan belas orang kemarin."
"Ya. Aku telah melihatnya di dermaga." Sedah menjawab dingin. Dan itu membuat hati Tanujayamerta terkesiap.
"Ampunkan hamba, Yang Suci, tak ada lagi. Yang
bagaimanakah yang dicari?"
Sedah kemudian menjelaskan ciri-ciri yang dimiliki Dinar.
Dan Tanujayamerta mendengar sambil meletakkan kedua
tangannya di depan tubuhnya, ngapurancang. Dahinya
berkali-kali tampak berkerut seperti orang yang sedang
mengingat-ingat. Demikian Sedah selesai menjelaskan,
keduanya terdiam. Alis Tanujayamerta berulang terangkat
naik, sementara matanya memandangi tempat kosong.
"Mana ada wanita seperti itu" Kira-kira... y ah... hamba...
pernah melihatnya."
"Pernah?"
"Waktu hamba menyaksikan pernikahan Sri Jayabhaya.
Haiyah! Benar! Itu Paramesywari! Tak salah jika seperti cerita Yang Suci, pastilah cuma Paramesywari saja. Hampir dua
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahun lalu hamba melihatnya waktu kirab. Dan seluruh kawula juga pernah melihatnya. Lalu beberapa bulan lalu, ketika
hamba menghadap untuk permohonan izin usaha."
"Jadi usahamu ini mendapat izin resmi dari istana?"
"Ya, Yang- Suci. Selama ada uang baik perak maupun
emas, tidak ada kesulitan dalam urusan perizinan."
"Jagad Dewa Pramudita!"
Tanujayamerta terkekeh-kekeh. Sementara Sedah
tenggelam dalam pertimbangannya. Namun ia cepat
mengingat: Hariwangsa karya Mpu Panuluh. Bukankah dengan
karya itu Panuluh ingin memberitahu dunia bahwa sebenarnya
Jayabhaya yang diagungkan oleh seluruh kawula Penjalu
sebagai raja bijak titisan Hyang Maha Wisnu itu, ternyata tak lebih dari seorang penculik wanita. Baik! Aku akan mencoba
memasulfi istanamu! Barangsiapa mengambil, daripadanya
akan diambil, seperti barangsiapa memberi kepadanya akan
diberi. Setelah berpamitan, Sedah bergesa menuju istana. Tapi,
apa perlunya itu" Sedah tidak akan dapat mendekati istana,
karena di hadapan istana terbentang sebuah lapangan yang
amat luas. Rumputnya terpangkas rapi, sehingga dari jauh tak ubahnya bentangan permadani hijau. Tepat di tengah-tengahnya tumbuh dua pohon beringin raksasa. Sungguh
dalam keremangan malam pastilah orang akan menyangka
bahwa itu dua raksasa kembar penjaga istana Sri Prabu
Jayabhaya. Untuk kesekian kali Sedah memperhatikan akar
tumbuhan raksasa itu. Dan setiap kali hati Sedah meleGehkan.
. Bukankah pohon ini dikabarkan sebagai lambang bahwa
Raja adalah tempat berlindung. Karena siapa pun yang
berlindung di bawah pohon raksasa itu akan terlindung dari
sengatan terik mentari. Ahai, tapi bagaimana orang dapat
berlindung di bawahnya, sedang di pinggir-pinggir lapangan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ini terdapat belahan kayu yang terukirkan tulisan: "Dilarang melintasi alun-alun agar tidak merusak rumput."
Bagaimana Raja bisa menjadi pelindung kawula" Beringin
itu tak pernah beranjak dari tempatnya. Sementara orang
yang mencoba mendekati dengan melintas lapangan rumput
ini akan menerima hukuman berat. Dan mungkin begitulah
gambaran nasib orang yang akan menghadap Sri Jayabhaya.
Apa yang bisa sampai" Keluhan kawula" Dia duduk di tempat
yang amat tinggi. Terlalu tinggi untuk bisa mendengar desah kawulanya. Ah, rumput saja tak boleh diinjak. Berbahagialah kau rumput! Karena kau sempat menjadi rumput milik Raja di
raja. Tubuh Sedah makin kurus saja. Kumisnya yang mulai
membayang hitam itu pun menjadi panjang, dan ujung-
ujungnya turun ke bawah seolah enggan berdiri. Tapi Sedah
tak mempedulikan keadaan tubuhnya. Ingin rasanya ia melihat wajah Paramesywari. Kendati dari kejauhan. Namun
harapannya tinggal sia-sia. Yang berlalu-lalang di pendapa
cuma para pengawal. Kadang ada beberapa menteri yang
menghadap. Wajah Sri Prabu pun tak pernah nampak.
Sungguh seperti ingin bersua dewa-dewi. Beberapa hari
berlalu begitu. Aniaya sangat terasa benar oleh Sedah jika
kegelapan malam turun. Bayang-bayang kekasihnya seperti
melintas di pelupuk mata. Kadang berhenti mengajak
berbincang. Kadang ia lihat sedang menangis. Tapi malam ini lebih menyakitkan: kekasihnya muncul dengan perut buncit!
"Kau mengandung" Mengandung anak seorang satria?"
"Ampunkan hamba, Yang Suci..."
"Oh..."
Dan Sedah terbangun dengan napas terengah-engah.
Ternyata ia mimpi di pembaringan penginapan. Sedah segera
berdoa. Bersemedi. Untuk mengatasi semua kesulitan
angannya sendiri Kemudian mencoba keluar. Perutnya lapar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berhari-hari ia tak makan. Ternyata kedai penuh dengan
orang makan. Padahal cukup besar kedai makan milik
penginapan ini. Dan ketika ia akan duduk di sudut ruangan,
seseorang menepuk bahunya dari belakang. Ia sedikit
terkejut. Seorang berpakaian brahmana tersenyum. Sedah
mengingat-ingat. Orang itu masih tersenyum. Bersama
dengannya ada empat orang asing. Dua dari China dan dua
dari Jambudwipa. Orang itu masih menunggu, seperti mau
menggugah ingatan Sedah.
"Oh..." Sedah pun tersenyum setelah beberapa saat mengerutkan dahinya. "Paman! Paman Sami-rana
Keris Pusaka Sang Megatantra 12 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 3
^