Pencarian

Prabarini 4

Prabarini Karya Putu Praba Darana Bagian 4


Guna!"VSambil berdiri ia menyembah.
"Ah, Sedah... Yang suci, Sedah. Ingatanmu masih tajam.
Sudah hampir lima belas tahun kita berpisah, tapi kau masih mengenaliku. Kenalkan ini teman-teman brahmana dari China.
Khun Chan Feh..." Orang yang disebut namanya membungkuk memberi hormat. Tinggi besar, kumisnya panjang dan
mengenakan topi persegi yang terbuat dari sutera kuning.
Jubahnya bertangan lebar, juga dari sutera kuning.
Mengenakan sepatu kulit. Pipinya terlalu montok, sehingga
membuat matanya tampak makin sipit.
"Dia adalah Chou Khu Fan..." Kini orang yang disebut namanya itu memberikan penghormatan. Kulit orang ini agak
kemerahan. Sungguh santun. Tingginya tak terlalu jauh dari
yang pertama. Demikian pula besar dan usianya. Hampir
setengah umur. "Dia adalah Chandra Brahmamukha, dari Jam-budwipa."
Orang ini pun menghormat. Tampan, dengan mata yang amat
tajam. Bulu matanya lentik dan lebat seperti bulu mata
kerbau. Berewoknya terpelihara rapi, hitam kelam. Sehitam itu pula warna rambutnya. Mungkin usianya baru sekitar tiga
puluh lima tahun. Sedah tersenyum membalas penghormatan
orang itu sambil meraba jenggotnya. Iri, karena masih licin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang satu ini satu negeri dengan Yang Suci Chandra,
namanya Mahendra Wisksu."
Wisksu pun menghormat. Sebaya dengan temannya.
Kemudian Mpu Samirana Guna memperkenal- " kan Sedah
pada mereka dalam bahasa Sansekerta. Setelahnya mereka
sama-sama duduk. Kini Sedah menjadi tamu pamannya.
Seorang Mpu yang bekerja sebagai pembantu Panuluh di
istana Raja. Setelah menanyakan tempat menginap Sedah,
dan mendapat jawaban, ia menawarkan agar Sedah tidur di
rumahnya. "Hamba suka di penginapan ini, Paman."
"Kita sudah sangat lama tidak berbincang. Aku ingin tahu keadaanmu. Berita tentang ayahmu. Dan berita tentang
kampung..."
"Hai, masih rindu kampung" Kukira panas hari lupa kacang akan kulitnya." Sedah tertawa. Pamannya juga. Yang lain ikut, karena Sedah bercakap dalam Sansekerta.
"Setelah menjadi Maha Rsi, kau jadi berani mengolok orang tua." Pipi pamannya sudah melipat kala tersenyum. Juga sudut-sudut imata-nya dihias gambar cakar rajawali. "Berani menolak tawaran untuk singgah. Apa kata-katamu tadi tidak
seharusnya terpulang untukmu sendiri?"
Kembali tawa riuh mereka menarik perhatian tamu-tamu
lain. Tapi mereka tidak mengerti apa yang dipercakapkan,
karena para brahmana itu lebih sering bercakap dengan
Sansekerta daripada bahasa Penjalu.
"Apa urusan para Yang Suci ini melancong ke Penjalu"
Melihat-lihat dunia?" Tiba-tiba Sedah bertanya.
"Kami dari Jambudwipa mendapat perintah dari Raja.
Dalam rangka persahabatan dua negeri kita, Maharaja
mempersembahkan naskah kakawin Mahabharata pada Sri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prabu Jayabhaya. Karena kami dengar beliau sangat tertarik
pada (karya sastra itu."
"Jadi dari istana?"
"Ya. Kami sudah menghadap beliau. Tapi sayang, rupanya beliau kurang dapat bercakap dalam Sansekerta..."
"Jadi?"
"Untung, Paramesywari yang masih belia dan jelita itu
mahir dalam Sansekerta, sehingga beliaulah yang bertindak
sebagai jurubahasa."
Sedah tersentak mendengarnya. Hem... katanya dalam
hati. Tak salah lagi berita dari Hariwangsa-nya Panuluh itu!
Tentu Prabarini adalah Dinar, kekasihnya. Debar jantungnya
memburu, tapi ia menahan diri.
"Sungguh luar biasa Paramesywari itu," Khun juga memuji.
Matanya yang sipit mengedip-ngedip tanpa makna. Alisnya
yang seperti golok sering terangkat-angkat pada ujungnya.
"Bukan saja wajahnya yang gilang-gemilang, tapi kepalanya juga luar biasa cerdas. Beliau begitu menguasai banyak
masalah tentang kehidupan. Dan rupanya amat tertarik kala
kami menghadiahkan buku karya Samsara Maha China."
"Memang semua orang yang melihatnya akan menjadi iri,"
Samirana Guna ikut memuji. "Hamba menggambarkannya
sebagai Prajnaparamita (bidadari tercantik di sorgaloka,
(gambaran patung Ken Dedes))."
Dan semua tertawa lagi. Hati Sedah berdegup. Kepalanya
mulai berdenyut-denyut. Akibatnya ia tak berani lagi bertanya tentang istana. Setiap kata yang menyinggung Prabarini
ternyata telah membuat hatinya berdesir. Lamunannya tiba-
tiba melayang jauh.
"Barangkali Yang Suci telah lelah. Mari kita istirahat,"
Pamannya mengejutkannya. Walau semua masih ingin
berbincang dengan Sedah yang dinilai punya pikiran tajam dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pandangan jauh, namun mereka setuju, karena memang tiba-
tiba semangat Sedah nampak hilang. Dan dengan naik kereta
milik kerajaan mereka mengantar tamu-tamu itu ke wisma
tamu negeri. Dalam hati Sedah berharap, dengan perantaraan
pamannya ia akan dapat melihat wajah Prabarini.
Lampu-lampu yang terbuat dari logam kuning berjajar rapi
di jalan-jalan ibukota Kerajaan Penjalu. Rapi dalam jarak yang sama. Rumah-rumah berjajar di pinggir jalan, juga dalam
jarak yang tertata menurut aturan yang ditentukan oleh
penata perumahan ibukota. Sedah memuji keindahan ibukota
di waktu malam. Apalagi ini bulan Manggasri (bulan
November"Desember, yang disebut sebagai bulan kelima). Di
malam purnama nanti akan ada pesta air. Tentu semua orang
akan datang untuk bersenang-senang di dermaga dengan naik
perahu yang berhias-hias. Bahkan tidak sedikit yang sengaja menjatuhkan dirinya ke air untuk menarik perhatian gadis-gadis yang juga sedang berperahu.
"Pernah kau melihat pesta air?"
"Ya, dulu waktu masih kecil, Yang Suci," jawab Sedah pada pamannya.
"Kau nampak bermendung setelah mendengar berita
tentang istana. Terutama setelah kau mendengar berita
tentang Prabarini. Kenapa?"
Sedah tersentak mendengar itu. Pamannya meraba tepat
sekali. Ia masih mencoba menguasai diri. Di bawah sinar
rembulan, pamannya berusaha menjajaki hatinya. Kereta
bergoyang-goyang. Sais yang duduk di belakang kuda tidak
berani menoleh. Menguping pembicaraan brahmana dengan
brahmana lainnya adalah tabu. Apalagi mata Sedah
menghunjam tajam ke punggungnya yang telanjang, seolah
memberi isyarat pada pamannya bahwa Sedah tak ingin
pembicaraan mereka didengar oleh sais itu. Beberapa saat
kemudian Mpu Samirana Guna berbicara dalam Sansekerta.
Mengulangi pertanyaannya. Dan Sedah menjawab sambil
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghela napas panjang. Naluri sais itu berkata bahwa Sedah menjawab dengan amat terpaksa.
"Paman, Yang Suci, pernah membaca Hari-wangsa?"
"Karya Mpu Panuluh itu?"
"Ya. Yang Tersuci Panuluh."
"Apa hubungannya dengan pertanyaanku tadi?"
"Jika Paman sudah membaca, tentu Paman sudah
menangkap apa yang sedang hamba pikirkan." Sedah berkali membetulkan duduknya karena guncangan kereta. Lampu-lampu tak menarik lagi baginya. Bahkan dermaga yang
sempat mereka lewati pun tak menarik. Walau juga dihias
dengan beraneka lampu, umbul-umbul dan janur-jemanur.
"Aku sudah membaca. Karena aku termasuk orang yang
ditunjuk ikut memeriksanya." "Memeriksa?"
"Ya. Memeriksa tiap karya sebelum diedarkan pada
pembacanya."
"Tugas dari mana itu?"
"Dari Menteri Mukha yang baru. Yang Mulia Kuda Amiraga."
"Jagad Dewa Pramudita! Apa hak menteri atas karya-karya para pujangga atau brahmana?"
"Demi keamanan negeri hal ini diberlakukan di Penjalu.
Sebab setiap tulisan yang tak sesuai dengan kehendak yang
Maha Mulia tidak boleh diedarkan di Penjalu. Apalagi yang
kemungkinan bisa merusak citra seseorang, harus dihentikan
peredarannya. Sebab, keresahan di Penjalu akan digunakan
oleh musuh-musuh Penjalu untuk menyerbu negeri yang
sudah dibangun dengan susah-payah oleh Yang Maha Mulia
Sri Jayabhaya. Bukankah itu baik" Bukankah kau pernah baca
prasasti Kalkuta yang ditulis oleh Bathara Erlangga sorga yang berbunyi: "Ri prahara. Haji Wurawari maso mijil sangka Lwaram." (Di waktu ada kekacauan, Haji Wurawari muncul
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari Lwaram (untuk menumpas Dharmawangsa dengan
seluruh keluarganya)) Nah, kita tidak ingin ini terjadi ulang."
"Hamba hampir tidak percaya jika negeri bisa diguncang cuma karena sebuah tulisan. Wurawari menjatuhkan Yang
Mulia Darmawangsa Anumerta tidak dengan menggunakan
lontar atau tulisan, tapi senjata. Brahmana tak pernah
membawa negeri ke dalam bahaya, tapi satria, yang tak
pernah berhenti haus kekuasaan dan kegilaan akan hormat!"
"Hyang Bathara! Yang Suci, pendapat itu benar. Tapi
jangan diutarakan di Penjalu, sebab kebenaran yang diakui
dunia belum menjamin akan diakui di Penjalu. Hati-hatilah
Yang Suci!"
"Jagad Dewa! Wajarlah jika demikian di Daha tidak pernah lahir pujangga besar. Karena ternyata di sini terlalu banyak yang di jangankan dan diharuskan!" Sedah tertawa mendadak.
Lepas saja suaranya.
Pamannya kaget. "Semakin banyak jangan, maka semakin
banyak kedunguan!"
"Begitu rata-rata pendapat brahmana di Widya Trisnapala?"
"Hamba kira itu pendapat bebas dari seluruh brahmana di muka bumi." Sedah tertawa lagi. Seperti tak terkendali. Mpu Samirana Guna terkesiap.
"Jangan kita teruskan percakapan tentang ini." Ia menoleh ke semua penjuru. Sedah yang melihat itu makin heran. Ada
brahmana demikian takutnya. Tapi ia mencoba
memakluminya. Diam beberapa saat.
"Apa hubungannya Hariwangsa dengan lamunanmu?"
"Bukankah sebagian isinya adalah yang tertulis dalam
Krsnayana karangan Mpu Triguna?"
"Pengamatanmu memang tajam."
"Tapi bukan itu yang dimaksud oleh Yang Tersuci Panuluh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu?"
"Beliau hendak menjelaskan pada dunia bahwa Sri
Jayabhaya adalah seorang raja yang memiliki kekuasaan
besar. Ingin menyamakan dirinya dengan Sri Krsna. Dan
tentang Paramesywari itu, di gambarkan seperti halnya Dewi
Rukmini yang diculik dari negerinya oleh Kresna" Prabarini
adalah seorang putri culikan!" "Hyang Bathara! Ja..."
"Sekalipun ia tidak datang dari negeri asing. Tapi,
setidaknya ia direnggut dari lingkungannya. Bahkan kastanya!
Seorang satria yang mabuk kekuasaan tidak mempedulikan
lagi bahwa/yang diculiknya adalah seorang brahmani!"
"Jangan teruskan! Yang Suci! Sedah!" Pamannya panik.
"Aku cuma mengutarakan Hariwangsa dan Krsnayana. Kan
kedua karya itu tidak dilarang di Penjalu?"
Derak kereta makin keras. Berkeriut-keriut. Rumah
Samirana Guna makin dekat. Ia tahu Sedah berbicara pada diri sendiri. Ah tentu ada sesuatu dengan anak kakaknya itu.
"Paman, terus-terang karena Hariwangsa-lzh hamba
melangkah kemari." 4
"Jadi..."
"Ingin bersua dengan Prabarini," tegas Sedah.
"Jagad Dewa!"
"Ya! Paman terkejut..."
"Hati-hatilah Sedah. Ini urusan kepala. Jika kau memfitnah Raja, maka kepalamu akan dipenggal."
"Paman, hamba akan buktikan, apakah Prabarini milik
hamba, ataukah Sri Jayabhaya!"
"Baik, nanti pada pesta air, kita bisa melihatnya dari jauh.
Tapi tahan hatimu! Jangan tergesa-gesa. Aku akan berusaha
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membuka jalan bagimu agar dapat bersemuka dengan
Paramesywari."
"Paman..."
"Berdoalah!"
"Terima kasih..."
Kereta berhenti.
0ooo0dw0ooo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAB IV MAHABHARATA Mentari baru saja menguak garba bumi. Kemudian
mengintip di balik mega-mega kelabu yang berbaris menutup
cakrawala. Namun ibukota Penjalu, Daha, sudah sibuk.
Terutama di dermaga serta di sepanjang pinggir sungai
Brantas. Bukan seperti biasa. Harini yang sibuk bukan kuli-kuli yang menaikkan hasil bumi Penjalu, untuk dijual ke luar
negeri. Juga bukan menurunkan barang-barang dari jung-jung
milik para saudagar. Bukan! Harini jung-jung para saudagar
tidak diperkenankan merapat ke dermaga. Mereka bersauh
jauh di bawah, karena harini dermaga dipakai untuk upacara
pesta air. Pesta yang diadakan sekali dalam setahun.
Perahu-perahu berhias aneka macam gambar dan kain
berwarna-warni sudah dipenuhi oleh para penumpang yang
akan memeriahkan pesta air. Juga ada sebuah panggung
besar yang terapung di hadapan dermaga. Sedang di atasnya
sudah siap para penari terpilih, yang terdiri dari enam gadis pilihan juga. Semua sudah siap.
Pandija istana, Mpu Panuluh, juga sudah membakar
kemenyan dan dupa. Asapnya membubung. Putih, menguak
kepadatan udara pagi, untuk kemudian terbang ke istana
dewa-dewa di balik awan sana.'
Namun harini tidak seperti biasanya. Raja terlambat
datang. Tentu hal itu menggusur kesabaran sejumlah orang
yang datang dari luar kota. Juga tamu-tamu asing yang
memang ingin sekali menyaksikan dan jika perlu ikut dalam
pesta air itu. "Barangkali Baginda kesiangan. Kebanyakan semalam!
Maklum Paramesywari kita masih belia sih!" ujar seorang pemuda yang geregetan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yah, tenaga tua..." yang lain ikut tertawa.
"Hus! Tua-tua kelapa. Makin banyak santannya! Ha... ha...
ha..." Seorang lagi nimbrung.
"Sssttth! Jaga mulut kalian! Jika mereka mendengar..."
Seorang teman mereka menunjuk para penjaga yang berjaga
di tepi sungai, "bisa-bisa kita jadi budak kerja paksa..."
"Bergidik yang lain mendengar itu. Tapi dasar rombongan pemuda, mulut tetap saja usil, walau kini cuma dalam bisik.
Tapi memang beralasan ketidaksabaran mereka, karena
sebenarnyalah Prabarini enggan menghadiri upacara pesta air tahun ini. Kekuatannya belum pulih. Belum lama ini ia telah menggugurkan kandungannya.
Prabarini menjadi amat panik kala tabib wanita, Nyi
Lembini, memberitahu bahwa ia mengandung dua bulan.
Melewati pergumulan panjang ia sebelum memutuskan untuk
membunuh benih Jayabhaya yang tertanam dalam rahimnya.
Sekalipun tidak menghendaki, namun ia sadar bahwa kelak
benih itu akan tumbuh menjadi anaknya. Anaknya! Melalui doa yang panjang ia bertimbang. Jika dibiarkan hidup, toh kelak anak ini akan dibunuh oleh Rakai Holu Pikatan. Karena dia
adalah Putra Mahkota sah. Anaknya tentu juga akan
menuntut, dengan mengaku bahwa ia juga anak
Paramesywari yang sah. Dengan lahirnya anak ini tentu istri Rakai Holu Pikatan akan makin membencinya. Sekarang pun
sudah bersikap seperti itu. Maka tidak boleh tidak! Jika
anaknya hidup dan bertumbuh menjadi manusia perkasa, akan
menimbulkan bencana. Bencana yang lebih besar. Perang
saudara! Demi kemanusiaan, ia harus merelakan anaknya mati!
Daripada kelak membunuh ribuan manusia, maka
sebaiknyalah ia mati sekarang.
"Ini anak Jayabhaya!" putusnya.


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Mulia!" Nyi Lembini terkejut mendengar keputusan wanita muda itu.
"Wanita sekadar alat untuk melahirkan anak bagi lelaki!
Pada kenyataannya, kita tak pernah berhak apa pun atas anak kita sendiri."
"Sama sekali salah pandangan itu, Yang Mulia."
"Aku seorang brahmani yang telah kehilangan
kebrahmanian. Dan anakku tidak akan pernah disebut sebagai
brahmani. Dia akan menjadi seorang satria pembunuh! Aku
tidak akan melahirkan anak seorang pembunuh!"
"Hyang Dewa Ratu!" Nyi Lembini terkejut. Ternyata Prabarini seorang wanita keras. Namun Nyi Rumbi
memaklumi. Dan karenanya ia menerangkan pada Nyi
Lembini. "Meski begitu, meski Yang Mulia tidak suka pada bapak
anak ini, namun ini dalam rahim yang Mulia. Gumpalan darah
dan serpihan daging Yang Mulia sendiri..."
"Cukup!" Prabarini menutup wajahnya. Terisak ia di tempat tidurnya. "Aku tak ingin melahirkan calon pembunuh...,"
keluhnya. Dan tidak terlalu sukar baginya untuk melumatkan
janin yang baru berumur dua bulan itu. Nyi Rumbi meramu
buah durian dicampur arak Bali. Jika belum mau punah, maka
nenas muda bercampur arak hitam buatan China pun telah
siap. Dan tabib yang mendapat perintah untuk menjaga
kesehatan Prabarini itu melapor pada Baginda bahwa
Paramesywari sakit. Baginda tak diperkenankan menyusul ke
pagulingan (tempat tidur yang hanya cukup buat satu orang)
jika menghendaki Prabarini selamat.
Itu sebabnya Baginda sama sekali tidak mengerti akan sakit
istrinya. Ia tidak ingin kehilangan istrinya. Karenanya, ia tak berani melanggar pantangan tabib wanitanya. Baru setelah
lima hari diperkenankan menengok, tapi pantang menjamah.
Sepuluh hari kemudian Prabarini baru bisa berjalan pelan-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pelan. Harini adalah yang kedua puluh. Dan ia mengajak
Prabarini hadir pada pesta air.
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia," sembah Prabarini.
"Kawula menunggumu!"
Prabarini tersentak. Setengah tersinggung.
"Apakah hamba barang pameran?"
"Istrinda... jangan marah! Mereka mencintaimu. Karenanya ingin sering mendapat kesempatan bersemuka denganmu."
Jayabhaya menahan hati sambil tersenyum.
"Tapi hamba masih sakit..." Kini Prabarini menunduk, memberi kesan bahwa ia memang sakit.
"Kita pelan-pelan, Istrinda."
Hanya air mata menjawabnya.
Jayabhaya membujuk lagi.
"Kita tidak lama di sana, Istrinda. Segera pulang setelah pembukaan, dan kau menaburkan uang ke sungai,
menaburkan kembang. Setelahnya kita pulang. Barangkali
Istrinda bisa sedikit berhibur di sana. Nah, berdandanlah."
Sengaja memang ia berlama-lama dalam berdandan. Walau
dibantu oleh dayang istimewa, juru rias. Dan Jayabhaya
mondar-mandir menunggu. Jengkel. Berkali mengepal tangan.
Berkali menengok ke arah jalan yang akan dilewati Prabarini nanti. Bosan. Ingin menyusul, tapi ia harus memaklumi
istrinya sakit dan baru saja sembuh. Namun akhirnya muncul
juga. Kereta kebesaran dan para pengawal pun siap, setelah
kaki kuda berkali-kali terangkat sebelah. Entah karena
mengusir lalat atau karena tidak sabar. Kuda pun bisa tidak sabar.
Mentari merangkak pelan. Dua orang pemayung berkuda
pada kiri dan kanan kereta kehormatan. Ratusan pengawal
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berkuda di depan, muka, dan lebih banyak lagi yang di
belakang. Jayabhaya menebar senyum ke kiri dan kanan.
Senyum yang dibuat-buat, menurut Prabarini. Sebenarnyalah
dalam hati orang ini takut kalau-kalau di sela pepohonan yang berderet di tepi jalan raya yang mereka lewati itu akan
meluncur tombak lempar atau anak panah yang melesat
cepat. Mungkin ini pula yang menyebabkannya makin cepat
beruban. Makin merata saja warna putih di kepala Jayabhaya j padahal sejumlah tabib yang selalu menjaga kesehatan Sri
Prabu. Bukan cuma itu, Baginda sendiri selalu berlatih olah kanuragan pada tiap pagi.
"Kok diam saja?" Hanya Jayabhaya yang sejak tadi sibuk memikirkan istrinya.
Tetap membisu. "Masih sakit?"
Mengangguk. Tanpa menoleh. Menatap jauh ke depan. Ke
sela punggung-punggung para pengawal depan. Tubuh
bergoyang-goyang dalam kereta yang berderak-derak. Hati Sri Prabu berdesir.
"Sebenarnya sakit apa" Tampaknya sangat membahayakan
jiwa." "Ya. Sangat membahayakan." Prabarini berusaha menjajagi hati Raja.
"Jagad Dewa! Adakah penyakit yang lebih berbahaya dari wanita melahirkan?"
Prabarini sedikit berdesir. Sebenarnyalah Sri Prabu
menebak hampir tepat.
"Barangkali hamba terlalu muda untuk melahirkan." Ia mencoba.
"Kurasa tidak. Kau sudah layak. Ya! Sudah layak."
"Yang Maha Mulia..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mengapa selalu kau memanggilku Yang Maha Mulia"
Tidakkah seharusnya Suaminda?"
Prabarini terdiam. Menunduk lagi.
Jayabhaya mengerutkan keningnya.
"Kenapa" Pertanyaanku mengusik hatimu?"
Hati Prabarini berdebar. Keberanian, kebrah-manaan, dan
ketakutan bertarung dalam kalbu. Tapi ia memutuskan akan
mencoba nanti jika pulang dari pesta air.
"Ya. Mengusik." Tiba-tiba terlompat kaif-katanya. Prabarini sendiri terkejut. Karena selama ini ia selalu menahan diri.
Bahkan menjadikan diri sebagai boneka. Jika tidak ditanya
tidak menjawab. Jika tidak dipanggil tidak menghadap. Dan ia tidak pernah menyediakan apa-apa untuk Jayabhaya. Bahkan
mencuci kaki Jayabhaya dengan air kembang kala Raja ingin
naik ke tilamsarinya jfiga atas perintah dayang kepala. Kini Jayabhaya menatapnya tajam. Prabarini sedikit gemetar. Tapi ia berusaha menguatkan hatinya.
"Apa yang salah?"
"Ampunkan hamba, Yang Mulia, dermaga sudah dekat.
Lihat kawula tak sabar menanti."
Jayabhaya kini menatap ke depan. Benar! Dermaga sudah
dekat. Semua orang berjongkok.
Bahkan sujud dengan wajah mencium tanah. Jayabhaya
mengangkat tubuh istrinya yang semampai itu seolah
mengangkat boneka. Setelannya mereka berjalan lambat-
lambat menuju tempat yang telah disediakan: Panggung
kehormatan. Tapi tak satu orang pun yang ditoleh, oleh
Jayabhaya. Dengan senyum dan lambaian tangan ia
membalas penghormatan semua ponggawanya. Juga kepada
kawulanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun para penjaga tiba-tiba dikejutkan oleh seorang
pemuda yang sejak tadi tidak mau berjongkok. Sampai Sri
Prabu sudah lewat pun ia tidak mau berjongkok. Sekali pun
teman di sampingnya berkali menarik jubah hitamnya untuk
berjongkok, namun pemuda itu tetap saja berdiri sambil
menatap tajam pada penguasa yang agung binatara bersama
istrinya yang anggun dan jelita.
"Jongkok!" bentak seorang pengawal sambil mendelik pada Sedah. Tapi sebagai jawabnya Sedah cuma menatap perwira
itu dengan mata tajam. Mpu Samirana Guna melihat kejadian
itu dari panggung di mana ia duduk bersama para pembesar
negeri. Hatinya mendadak berdebar. Ia menyesal tidak
memperingatkan Sedah tadi sebelum berangkat: bahwa di sini
tidak berlaku peraturan seperti yang tertera di Weda secara mutlak. Karena ternyata satria jauh lebih berkuasa. Dan ingin menguasai semua-mua: bumi dan manusia! Semua harus
tunduk kepada satria. Barangsiapa mencoba tidak
menghormat Raja, berlaku hukuman berat baginya! Bisa
dilempar menjadi budak di tambang emas. Atau jika perlu:
hukuman mati! "Berani mati!" perwira itu merampas tombak seorang prajurit yang sedang berdiri di sebelahnya dan mendorong
Sedah dengan pangkal tombak itu.
"Jagad Dewa!" Sedah terdorong mundur, tapi di
belakangnya sedang bersujud seorang kawula. Akibatnya
Sedah terjengkang. Dengan susah-payah Sedah berusaha
bangkit. Ingin rasanya memukul kepala perwira yang
mendorongnya tadi dengan tongkatnya. Dan kala ia berhasil
bangkit, Jayabhaya sudah sangat dekat. Perwira yang tadi
mendorongnya kini berusaha menutup Sedah dari pandangan
Jayabhaya. Tapi terlambat. Sri Prabu sempat terhenyak
melihat brahmana muda yang berdiri tegak tanpa memberikan
penghormatan. Bahkan memandangnya tajam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Yang lebih terkejut adalah Prabarini. Hampir ia memekik.
Namun dengan sekuat tenaga ia bertahan. Berkali ia
menggosok matanya. Benar! Hatinya berdebar keras.
Wajahnya memucat. Tangannya yang berada dalam
bimbingan Jayabhaya mendadak gemetar. Keringat dingin
tersembul dari tiap lubang halus pada kulitnya. Beberapa saat kemudian jalannya menjadi gontai. Jayabhaya sangat terkejut.
Perhatiannya atas Sedah segera pudar. Cepat ia memegang
kuat-kuat lengan Prabarini.
"Ada apa?" bisiknya. Tapi tanpa jawab. Prabarini
menunduk. Makin erat Jayabhaya memapah. Untuk menjaga
agar Prabarini tetap berdiri.
Sebenarnyalah Prabarini tidak sakit. Tapi ia terkejut amat
sangat. Seperti melihat Hyang Kamajaya dalam kemuliaannya,
ketika ia bertatap pandang dengan Sedah. Dan ia mengerti
benar, bahwa Jayabhaya amat marah ketika brahmana muda
itu tidak memberikan penghormatan kepadanya. Jika tidak
oleh karena perhatiannya tertuju pada Prabarini, maka nasib Sedah sudah bisa ditentukan. Mati! Tapi bagi Prabarini sendiri, munculnya Sedah yang begitu mendadak...
Kini kala duduk di samping Jayabhaya, di kursi kehormatan,
pandangannya semakin nanar. Berkali ia melirik ke arah
Sedah. Pemuda itu bergerak pelan-pelan mendekati
panggung. Meli-pir lewat tepian sungai. Makin dekat saja di tengah khusuknya orang-orang lain berdoa, karena upacara
doa sudah dipimpin oleh Panuluh setelah Jayabhaya
mengizinkan p raj angkara memulai upacara dengan
anggukan. Doa selesai. Sedah sudah berdiri di dekat
panggung kehormatan. Untung orang-orang yang lain juga
sudah diperkenankan berdiri. Kendati mencuri-curi, Prabarini berulang beradu pandang. Dalam mata ia menyiratkan
permohonan ampun yang tersembul dari sukmanya. Dan kala
prajangkara mempersilakan Jayabhaya serta Paramesywari
untuk turun ke perahu yang sudah disediakan supaya pesta air
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera di mulai, Prabarini menggeleng. Jayabhaya
mengerutkan dahi sambil memandangnya tajam. Tapi ia
melihat bibir Prabarini gemetar, seperti sangat ketakutan.
"Sakit lagi?"
Tiada berjawab. Cuma air mata tersembul dari sela jajaran
bulu mata yang lentik. -
"Jika demikian, mari lemparkan saja kepingan uang emas dan perak itu, setelahnya kita pulang."
Jayabhaya memberi isyarat pada prajangkara agar
menghadap. Kemudian Raja berbisik-bisik, memberi petunjuk.
Beberapa saat. Dan itu membuat suasana jadi tegang. Dari
kejauhan mulai terdengar orang berbisik-bisik. Seperti suara lebah, sehingga tidak jelas apa saja kata-kata mereka, yang terang karena ketidaksabaran.
Mendadak gemelan berbunyi keras. Para penari
diperkenankan mulai menunjukkan kebolehannya. Namun
cuma sebentar, karena Sri Prabu-segera berdiri dan
memotong tumpeng yang tersedia di sisi lain panggung
kehormatan. Tepat pada ujungnya. Lalu melemparkannya ke
dalam air. Beberapa saat kemudian Prabarini dipapah menuju
ke tempat uajig perak yang sudah disediakan untuk dilempar
ke dalam air. Ada seratus uang perak dan sepuluh uang emas.
Itu hadiah Raja kepada kawula. Tapi mereka harus berebut
terjun ke dalam air sungai yang jernih di musim kemarau itu.
Melihat itu, Sedah bersiap untuk melompat. Prabarini tak
memperhatikan. Ketika ia melempar, suara tepuk-tangan riuh
menyambut pelemparan oleh tangan-tangan mungil dan jari-
jari runcingnya. Makin lama makin menggemuruh seolah
tumpukan batu-bata yang roboh. Kelebat bayangan hitam
mengejutkannya. Debur air meninggalkan riak. Prabarini
mencoba menoleh. Sedah tak ada di tempat. Lemparan
berikut tenaganya makin lemah. Mendadak hatinya tersibak.
Sedah muncul tepat di hadapannya dari dalam air. Cuma
kepala dan tangan yang memegang dua keping emas. Lalu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangan Sedah terulur ke geladak. Uang emas diletakkannya
tepat di hadapan ujung jari kaki Prabarini. Dan kepalanya
kembali menghilang. Prabarini ingin memungut uang itu, tapi takut. Mata Jayabhaya seolah melekat di tubuhnya. Ia lirik.
Merah muka Jayabhaya. Juga semua pembesar negeri
memandangnya. Juga semua perwira, bahkan semua kawula,
yang tidak ikut menceburkan diri ke sungai.
Jayabhaya tahu, belum habis uang perak yang di bakul.
Tapi tampaknya Prabarini makin tak kuasa menahan diri.
Karena itu ia segera mendekati. Dan dayang-dayang melihat
betapa Para--mesywari tidak sabar lagi untuk melempar satu
demi satu. Sisa di- bakul semua dilempar bersamaan.
Kemudian menjatuhkan diri.
Jayabhaya memutuskan membawa pulang istrinya. Semua
terkejut. Peristiwa yang jarang terjadi. Nyi Rumbi dayang setia yang mengerti benar apa makna semua itu, segera memungut
dan menyembunyikan uang emas di balik kainnya. Suara-
suara seperti lebah bubar sarang kembali terdengar.
"Tampaknya lemah sekali," bisik seorang perempuan.
"Ah, barangkali Baginda keterlaluan. Mentang-mentang
wajahnya cantik. Lihat, sampai kehabisan darah"
"Hih! Kau!" sebelahnya lagi memperingatkan. Mesem-mesem.
"Tapi siapa pemuda, eh, brahmana tadi?" "Berani amat mendekati panggung kehormatan."
"Iya! Para pengawal tampaknya seperti terkena sirep. Jika lain orang tentu sudah dilempar tombak atau panah."
"Wajahnya" Kau lihat tadi?"
Berganti-ganti mereka yang ada di kerumunan lain
mengeluarkan kata-kata.
"Ah, sang Putri pingsan karena melihat wajahnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Masak istri raja agung binatara masih bisa kasmaran?"
"Bidadari dari kahyangan pun ada yang turun ke bumi
untuk mempersundalkan diri. Lihat cerita bidadari Wilutama, yang jadi sundal di tepi Sungai Gangga dan akhirnya diperistri Pandir Drona!"
"Ah, kau! Seperti brahmana saja tahu cerita dari negeri Jambudwipa!"
"Ya, cuma katanya."
"Lihat! Itu! Prajangkara diperintahkan melanjutkan pesta!
Biar saja! Paramesywari pingsan, kek. Kehabisan darah, kek!
Apalagi" Kasmaran! Bukan urusan kita! Kita ikuti pesta saja!"
Berebut orang menyerbu perahu-perahu yang masih
kosong. Riuh suara tawa gadis-gadis dan perjaka. Tua dan
muda. Laki-perempuan. Semua seolah melupakan jatuhnya
Prabarini. Tenggelam dalam sukacita. Dan melupakan Sedah
yang kini menjauh. Pulang ke rumah pamannya.
0ooo0dw0ooo0 Beberapa hari dan malam Prabarini tak suka makan.
Jayabhaya tak berani menjamah istrinya, yang kini
ditempatkannya di taman sari tersendiri. Ia khawatir sakitnya akan sukar disembuhkan. Dan yang menjadi sasaran
kepanikannya adalah tabib wanita, Nyi Lembini.
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia," Nyi Lembini
menyembah dengan muka mencium tanah. Para pengawal
taman yang terdiri dari pasukan wanita tampak berjaga-jaga
di beberapa jarak. Memang tiap taman milik raja Penjalu itu, -
selalu dijaga oleh laskar wanita yang terpilih. Bukan hanya karena mereka terampil dalam latihan berperang, tapi juga
terpilih karena mereka masih perawan dan wajah mereka


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cantik. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah benar ia kekurangan darah?" Jayabhaya mencoba.
"Hamba belum jelas, Yang Maha Mulia. Tapi sekarang
sudah mulai berjalan-jalan, walaupun belum suka bercakap-
cakap." "Hyang Bathara!"
"Hamba akan berusaha terus, Yang Maha Mulia!" '
Setelah Nyi Lembini pergi, Jayabhaya duduk dalam
wismanya di tamansari milik Prabarini itu. Ia mencoba
mengingat-ingat beberapa kejadian yang beruntun
mendatanginya. Sejak awal ia memerawaninya belum pernah
satu kali pun Prabarini menunjukkan bahwa ia membalas
cintanya. Dalam penilaiannya, semua yang dilakukan Prabarini selama ini adalah lebih dikarenakan takut. Mengapa takut"
Mengapa" Dan ia mendesak mengapa Prabarini selalu
memanggilnya Yang Maha Mulia" Bukankah itu tidak lazim
sebagai seorang Paramesywari"
"Bukankah begitu semua orang menyebut Baginda?" jawab istrinya.
"Tapi Istrinda adalah Paramesywari. Tidak seharusnya
menyebut seperti mereka. Itu merusak tatanan yang sudah
berlaku. Dan harus dipatuhi oleh siapa pun. Sampai kapan
pun." "Merusak tatanan?" kembali memerah wajah Prabarini.
Jauh di sudut hatinya ada gejolak yang mendidih.
"Ya!" tegas Jayabhaya.
"Hyang Dewa Ratu! Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia!
Sungguh-sungguh tertutupkah hati Yang Maha Mulia akan
kebenaran" Sehingga sendiri merusak tatanan, tapi menuding
orang?" "Jagad Bathara!" Jayabhaya terkejut. Inilah yang pertama dalam hidupnya ada orang yang berani menuduhnya merusak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tatanan. "Bagaimana mungkin" Prabarini, tidakkah kau tahu bahwa aku adalah pemegang purbawasesa atas semua roda
kehidupan di bumi Penjalu" Juga di semua negeri yang sujud
kepadaku?" mata Jayabhaya menyipit, sementara alisnya
terangkat sebelah.
Hati Prabarini sedikit berdesir. Namun tidak seperti biasa.
Rupanya kedatangan Sedah telah memberikan semangat baru.
Juga keberanian Sedah menolak berjongkok seperti katak.
"Bumi berisikan berlaksa-laksa kemungkinan. Semua yang dulunya hamba anggap tidak mungkin, ternyata bisa menjadi
suatu kenyataan. Sebuah impian yang teramat buruk, jika
seorang brahmani dilanggar kesuciannya oleh seorang satria.
Tapi bukankah ini kenyataan?"
"Jagad Dewa! Seorang Madhusudanawata tak berhak
menjamah brahmani" Tidakkah kau percaya bahwa segala
gama (peraturan) yang diciptakan oleh Hyang Maha Dewa
telah dipercayakannya kepada Madhusudanawata?"
"Andaikan Yang Maha Mulia tidak menjadi Raja di Penjalu, maka itu tidak akan terjadi. Karena Yang Maha Mulia
berkuasa, Raja, maka semua harus mengiakan kehendak Yang
Maha Mulia! Sekalipun salah! Lihat kebenaran ini, bahwasanya tak ada gama dan yama yang diciptakan oleh Hyang Maha
Dewa! Semuanya adalah bikinan manusia yang merasa dirinya
berbudi dan ingin mengatur yang kurang berbudi. Inilah
kebenaran! Tapi salah-kaprah telah berkembang luas di
seluruh muka bumi, suatu anggapan bahwa gama dan yama
adalah ciptaan Hyang Maha Dewa!"
"Jagad Bathara! Bagaimana dengan kitab-kitab?"
"Semua kitab juga ditulis oleh tangan manusia!"
"Lalu kenapa Mpu Panuluh tidak pernah
memberitahukannya padaku?" Jayabhaya mendekati istrinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi wanita muda itu cuma memandangnya tajam.
Menghunjam, seolah ingin merogoh semua pendalaman
Jayabhaya. "Yang Maha Mulia adalah seorang adiluhung menurut
anggapan banyak orang. Dan sebagai seorang brahmana,
Panuluh harus menjaganya. Menjaga kewibawaan Raja
junjungannya. Selebihnya adalah dikarenakan ketakutan."
"Jagad Dewa!" berhadap-hadapan mereka kini. Barangkali cuma selebar telapak tangan jarak mereka. "Tiadakah kau sudi membuka hatimu" Sehingga menyatu dengan kodratmu"
Menyatu dengan kehendak alam" Dalam hati yang menyatu
dengan alam tidak akan ada ketakutan, karena yang ada
adalah kedamaian. Yang ada adalah kasih. Sedang dari
caramu memanggil aku, semua orang tahu bahwa kau tidak
pernah mempersembahkan cintamu. Dan kau telah..."
"Betapa indahnya perkataan Yang Maha Mulia ini.
Menunjukkan betapa bijaknya Yang Maha Mulia. Tapi hal itu
akan lebih indah lagi jika Yang Maha Mulia bisa menerima
kembali andaikan dia
terpulang kepada Yang Maha Mulia sendiri. Karena menurut
hemat hamba, jika kita menyatu dengan alam, tak akan ada
kekerasan. Tak akan ada paksaan! Yang ada adalah
kedamaian atau kasih. Takkan ada peperangan! Takkan ada
pembunuhan! Takkan ada larangan untuk mengeluarkan
pendapat. Takkan..."
"Kau mulai bicara siasat kekuasaan! Kau menunjukkan
keaslianmu sebagai brahmana."
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Inilah kenyataan.
Siasat kekuasaan ada di mana-mana, di setiap segi kehidupan manusia. Itulah sebabnya manusia memburu anugerah yang
tertinggi dari Hyang Maha Dewa, yaitu anugerah untuk
menaklukkan, mempengaruhi, bahkan menguasai manusia
lainnya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jayabhaya terdiam. Baru sekarang ia melihat bibir tipis
Prabarini berkicau seperti kutilang. Merdu memang, tapi
mendebarkan hati.
"Larangan mengeluarkan pendapat bagi sudra di seluruh
bumi adalah siasat kaum yang lebih tinggi untuk menguasai
dan mempengaruhi mereka. Siasat kekuasaan! Pada mulanya
kasta brahmana mengungguli semua-mua. Karena
pengetahuan adalah kekuatan yang maha dahsyat. Tapi
setelah hamba pelajari, brahmana keenakan, sehingga lupa
bahwa roda kehidupan berkembang, dan terus merayap maju
meninggalkan hari-hari kemarin. Pengetahuan saja ternyata
tidak mampu membuat orang menerima anugerah tertinggi
dari Hyang Maha Dewa. Anugerah untuk menguasai dan
mempengaruhi makhluk lainnya. Pada perkembangannya,
manusia harus menyertakan senjata sebagai kekuatan untuk
mempengaruhi dan menguasai makhluk lainnya." .
"Jagad Bathara! Kau membenci aku" Membenci satria?"
"Hamba menyadari bahwa hamba adalah wayang
kehidupan. Mengapa harus ada benci" Tapi bukankah
sewajarnya bila hamba ini, karena pernah belajar sebagai
brahmani, mengeluarkan pendapat" Dan hamba masih
meramalkan, akan datang waktunya, dengan pengetahuan
dan senjata pun belum lengkap. Saatnya akan tiba, bahwa
semuanya tidak akan berarti tanpa uang. Uang adalah suatu
benda buatan manusia. Tapi ia kelak akan menjelma... yah...
menjelma menjadi benda yang mahasakti! Dia akan
mengalahkan semua dan segala!"
"Jagad Dewa!" Kini Jayabhaya terkejut. "Pengetahuan yang belum pernah aku ketahui." Tanpa sadar ia membimbing
istrinya ke sebuah tempat duduk. Lantai permadani merah
yang amat tua melambari kaki mereka. Tiang-tiang berukir
dari kayu timanga, berdiri kokoh menyangga sirap atap wisma Prabarini. Tempat duduknya berlapis emas dan bertatahkan
mutiara dan permata. Luar biasa pemanjaan terhadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prabarini ini. Tak ada benda murah yang menempel pada
tubuh Prabarini. Membuat wajahnya makin gilang-gemilang
kendati kesehatannya masih amat rapuh.
Jayabhaya mengangkat tubuh lunglai itu ke pangkuannya.
Itu merupakan petunjuk bahwa ia tidak marah, tapi justru
ingin lebih tahu pengetahuan yang ada di kepala istrinya.
"Katakan padaku! Bagaimana bisa uang menjelma
menjadi...?"
"Uang yang sekarang terbuat dari emas dan perak itu,
kelak akan mampu memerintah manusia yang
menciptakannya sendiri. Karena ia akan menjadi modal, dan
modal itu akan berkembang menjadi suatu kekuatan yang
dahsyat! Melebihi semua senjata yang ada di muka bumi.
Bahkan senjata dewa-dewa sekali pun akan takluk bersimpuh
di hadapannya."
"Jagad Dewa!"
"Hidup adalah timbal-balik. Dan kelak alat untuk
menghargai sesuatu adalah uang. Apa saja! Yama, gama,
kekuasaan, kenikmatan, kecantikan, pendek kata semua dan
segala akan dihargai dengan uang."
"Jagad Dewa!" Jayabhaya berulang menyebut.
"Zaman dahulu manusia bisa berperang cuma karena
wanita. Tapi sekarang, peperangan bukan soal kehormatan.
Uang! Kekayaan!"
"Aku berperang untuk mempersatukan kembali Kahuripan
dan membasmi kejahatan. Seperti halnya Pandawa yang
menghancurkan Kurawa dalam Mahabharata."
"Setiap orang di Jawa ini pasti melambangkan dirinya
sebagai Pandawa. Tak ada orang yang secara jujur
mengatakan diri sebagai Kurawa. Tapi hakikatnya, raja
menaklukkan raja lain ialah demi upeti! Harta! Uang! Dengan uang Yang Maha Mulia menerima kehormatan. Uang bisa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi mulia di tangan orang berbudi. Tapi barangsiapa cinta akan uang, ia akan menjadi penjahat!"
"Jagad Dewa!" Jayabhaya merapatkan tubuh Prabarini ke tubuhnya. Pelukannya makin erat. Bau harum rambut dan
tubuh wanita muda itu melunturkan semua kemarahannya.
"Cinta uang adalah sumber dari semua kejahatan!"
"Adinda... istriku, aku cinta kau!" bisik Jayabhaya. Ia cium istrinya pada ubun-ubun. Seperti anak kecil. Setelah itu
mengangkat tubuh itu ke pembaringan. Dengan mesra ia
membaringkan tubuh Prabarini. Sutera yang paling halus
menjadi alasnya. "Kau sakit, Istrinda?"
Kini mata Prabarini menjadi sayu. Dengan lemah ia
mengangguk. Dan Jayabhaya menjadi iba. Kembali ia cium
pipi istrinya. Prabarini merasa betapa dingin pipi Jayabhaya.
Semakin tua saja. i
"Istirahatlah dengan tenang, Istrinda!" Dan ia
meninggalkan Prabarini. Sampai harini ternyata Prabarini
belum sembuh. Padahal sudah lebih sepuluh hari.
Sebenarnyalah \a ingin bertanya tentang pemuda yang
meletakkan uang di hadapan kaki Prabarini saat pesta air
beberapa hari lalu. Tiba-tiba saja kecemburuan itu kini terkikis oleh kekaguman atas pengetahuan yang tinggal dalam kepala
wanita jelita itu.
"Semua akan bisa dibeli dengan uang," desis Prabarini pelahan setelah Jayabhaya selesai menciumnya. "Semua!"
Lagi, ia seperti bicara pada diri sendiri. Memandang langit-langit. Ada penyesalan yang dalam. Jayabhaya tidak tahu, apa yang sedang disesalinya.
Tidak! Sebenarnyalah ia sekarang sudah dijauhkan dari
segala penyesalan, kendati ia belum bisa membuka hati bagi
suaminya sendiri. Ia telah berusaha menyatukan diri dengan
alam di taman itu. Dengan burung-burung kecil yang didatangi kan dari pelbagai penjuru. Ada miri yang bulunya berwarna
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merah, ada betet yang berwarna hijau, kakaktua yang putih.
Ketiga macam ini memiliki "paruh yang hampir sama. Dan
untuk mereka tak diperlukan sangkar. Cukup dirantai kaki
mereka pada pijakan besi kecil. Tidak sama nasibnya dengan
kutilang yang suka berkicau. Walau bulunya cuma berwarna
hitam dan di dadanya ada sedikit putih bercampur kuning.
Besar badannya tak ada sekepal. Namun Prabarini sering
terhibur oleh kicaunya. Burung jalak juga mengisi keindahan taman pada sangkarnya yang besar bersama burung-burung
lain, sehingga ia bisa terbang kian-kemari walau sebatas
sangkar besar itu. Ah, warna hitam dan putih jalak itu sangat tegas. Cucakrawa. Aduh. Wajahnya tak indah seperti
kepodang yang kuning bersih. Tapi suaranya" Kicaunya"
Menggugah semua kerinduan. Walau tidak seperti beo di
sarang istimewa dekat pintu masuk wisma Prabarini. Burung
itu memberikan hiburan tersendiri karena bisa diajak
bercakap-cakap. Walau terbatas cuma beberapa'kata saja.
Yang paling bebas dari semua burung itu adalah merpati.
Cukup banyak jumlah mereka dalam taman Prabarini. Mereka
lepas terbang ke angkasa lalu kembali ke taman itu. Tidak
merasakan penjara seperti burung lainnya. Karena mereka
jinak dan tulus. Dan itu menjadi pelajaran tersendiri bagi
Prabarini. Barangsiapa yang dengan tulus menerima
keadaannya, ia akan menerima kedamaian. Dengan kata lain,
kedamaian hanya ada pada hati yang tulus. Prabarini tersipu malu.
Tapi aku manusia! Aku bukan merpati! Bantah sudut
hatinya yang lain.
Ya! Tapi kau sekarang juga berada dalam sangkar. Sangkar
emas! Lihat! Lihat! Apa bedanya kau dengan burung-burung
itu! Makin galak burung itu, makin kuat ia dirantai. Tapi makin jinak, makin bebaslah ia.
Tak ada yang galak! Mereka semua burung yang lemah. ,
Tapi lihat! Tak ada rajawali di sini!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prabarini berdebar jika ingat rajawali. Rajawali! Bukankah
seperti itu kekasihnya digambarkan" Bermata tajam.
Langkahnya bebas. Lepas! Enggan diikat oleh siapa pun. Ah,
rambut ikal serta kumis kecil yang mulai menerawang tumbuh.
Masihkah ia seperti itu"
Dan pertemuan singkat tanpa kata itu membuktikan bahwa
Sedah masih seperti dulu. Ia tidak sudi berjongkok seperti
brahmana lainnya yang sudah mengakui kewibawaan Raja.
Tidak! Brahmana hanya boleh menyembah Hyang Maha Dewa
saja! Tidak boleh menyembah manusia! Sedah juga tidak
menggubris pengawal yang siap dengan tombak-tombak
mereka. Ia tetap nekat, dengan caranya sendiri mendekati
dan mengamati wajah kekasihnya. Itulah yang menumbuhkan
gunung kekaguman di hati Prabarini. Ah, betapa aku tak layak baginya! Tentu pemuda itu tidak pernah ternoda oleh apa dan siapa pun. Pendiriannya begitu kokoh. Prabarini malu pada diri yang tiada berdaya. Bukankah ketidakberdayaan merupakan
aniaya" Ya! Aniaya bagi diri sendiri.
Masih bersyukur ia pada Hyang Maha Dewa, karena Nyi
Rumbi sempat memungut dua keping emas yang ditinggalkan
oleh Sedah di depan kakinya. Dalam kesendiriannya ia
pandang dan timang-timang dua keping emas itu. Bahkan
diciuminya, seolah Sedah sendiri. Berkali ia menyebut. Dan
berkali ia harus menghapus air mata yang melaju lamban di
permukaan pipinya.
Tak bisa tiada! Burung-burung, desiran angin,
bergoyangnya dedaunan, bahkan harum bunga-bunga tak lagi
menjadi penghibur hatinya, tapi lebih menjadi aniaya. Nyi
Rumbi sudah tahu akan itu. Ia mengerti benar pendalaman
Prabarini. Tapi Nyi Lembini, si tabib ahli wanita itu, kendati ia sangat iba pada Prabarini, namun tetap saja ia manusia
bayaran. Manusia bayaran yang harus mengabdi pada
pembayarnya. Harus! Tak ayal jika sering membujuk-bujuk
agar Prabarini mau menjaga kesehatannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rugi sendiri! Yang Mulia masih muda. Berapa lama lagi usia Sri Prabu" Percayalah, Yang Mulia masih akan belia pada saat Sri Prabu mangkat nanti."
"Hati-hatilah, Nyi! Kau sendiri berkata padaku, dinding ini bertelinga."
Gugup juga Nyi Lembini mendengar peringatan itu. Maka ia
memperlahan suaranya.
"Tapi... sungguh lho! Jaga dengan obat-obat kuat agar
tahan hidup sampai Yang Maha Mulia...!
Prabarini berpendapat, bahwa benar juga perkataan itu. Ia


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah sering mendengar nasihat ini dari Nyi Rumbi. Tapi
perjumpaan yang tak terduga ini amat mengguncangkan
hatinya. "Hamba sudah berkali-kali menipu Yang Maha Mulia dengan mengatakan bahwa Yang Mulia sakit. Padahal... Ah, apa sih
sebenarnya yang menyebabkan Yang Mulia jadi patah
semangat?"
Prabarini mengerutkan kening buat sesaat. Ia pandangi
orang itu. Mengibakan! Justru orang semacam inilah yang
membuat aku jadi lemah, pikirnya.
"Relakah Yang Mulia melihat hamba terhukum jika nantinya Sri Jayabhaya mendapati bahwa sebenarnya Yang Mulia tidak
sakit?" Masih tercenung. Bukankah kau yang memberikan
padaku ramuan perangsang supaya aku birahi jika Jayabhaya
datang" kutuknya dalam hati. Kau memang dibayar untuk itu!
Drubiksa kau! Biar dilempar ke tempat perbudakan!
"Atau hamba akan berterus-terang pada Yang Maha Mulia?"
tiba-tiba wanita itu mengancam.
Dan mendadak Prabarini gemetar seperti disambar geledek.
"Jadi?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lama-lama ketahuan, sakit Yang Mulia itu hanya sekadar kepura-puraan. Apalagi jika ketahuan karena Yang Mulia telah menggugurkan kandungan. Pembunuhan atas putra Baginda!"
"Nyi Lembini!"
"Apa yang bisa hamba kerjakan jika terpaksa?"
"Hyang Dewa Ratu!" Prabarini mengeluh. "Baiklah! Aku mau makan lagi. Tapi usahakanlah agar Sri Jayabhaya jangan
dekat-dekat padaku dulu. Hatiku masih gundah."
"Itu yang hamba ingin tahu."
"Berjanjilah bahwa kau tak akan menyampaikan ini pada
Jayabhaya."
"Demi Hyang Maha Dewa!"
"Aku telah bermimpi," Prabarini mengarang cerita.
"Mimpi bisa mengganggu Yang Mulia" Mengganggu
seorang brahmani" Tentu bukan sembarang mimpi."
"Ya. Bukan sembarang mimpi."
"Mimpi apa?" Nyi Lembini tertarik.
Bahkan Nyi Rumbi yang tahu bahwa itu cuma sandiwara,
tertarik untuk tahu. Cerita apa yang akan dikarang oleh
tuannya. "Seingatku dalam mimpi itu sedang dalam keadaan hujan.
Lebat sekali. Tiba-tiba ada seorang pemuda berteduh di
pinggir taman ini. Aku menjadi iba. Ia kedinginan. Lalu aku suruh masuk."
"Masuk ke rumah ini" Wisma ini?" Nyi Lembini menyela.
"Ya, karena aku iba."
"Bagaimana dengan penjaga-penjaga itu?"
"Ah, namanya dalam mimpi. Mereka tidak nampak."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Oh, iya. Lalu?"
"Karena basah-kuyup, aku minta dia mengganti kainnya.
Aku pinjami dia kainku. Tapi anehnya, dia menolak."
"Menolak?"
"Ya. Dia mau ganti jika dipinjami kain yang sedang
kupakai." "Drubiksa! Pemuda itu berani kurang ajar pada istri Raja.
Apakah wajahnya tampan?"
"Sangat tampan. Bahkan aku tak pernah melihatnya di
antara para perwira muda di seluruh Penjalu ini..."
"Lha, itu... bahaya."
"Cuma dalam mimpi, kan?"
"Lalu Yang Mulia juga menuruti kehendaknya?"
"Karena iba, seperti kena sihir saja, aku menurutinya."
"Benar-benar putri yang pengasih..." Nyi Lembini kini mesem.
"Lalu?"
"Karena kedinginan aku menawarinya kinang supaya
segera terbebas dari kedinginannya. Tapi ini pun ditolaknya.
Dia mau makan kinang asal aku mau menolongnya
mengunyahkan kinang itu."
"Yang Mulia juga mau?"
"Namanya saja dalam mimpi." Ketiganya cekikikan.
"Jadi mau?"
"Karena iba, aku rela mengunyahkan kinang buat dia. Tapi setelah aku berikan, dia masih tetap menolak juga. Aku
sempat jengkel."
"Menolak?" Kini Nyi Rumbi yang ikut jengkel.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Dia minta supaya jangan diberikan dengan tangan..."
"Lalu?" Kedua pendengarnya tersentak.
"Minta dengan bibir."
"Aih... dan Yang Mulia menurutinya?"
"Itulah, Nyi! Aku menurutinya. Lalu...?"
"Tentu... Ah, siapa nama pemuda itu" Kok berani kurang ajar?"
"Sedah. Aku ingat betul dia adalah Sedah! Karena itu aku suka pada perbuatannya itu. Nyi Lembini... tolonglah aku..."
Ketiganya mesem. Tapi tiba-tiba mata Prabarini berkaca-
kaca. "Jangan sedih, Yang Mulia. Hamba dengar dari Mpu
Samirana Guna bahwa dia sekarang ada di rumahnya."
"Apa katamu?" Prabarini tersentak seketika. Ia dekati wanita yang selalu menjadi tabib pribadinya itu, lalu
mengguncang-guncangkan tubuhnya.
"Ya. Dia menginap di rumah Mpu Samirana Guna. Hamba
sangat dekat dengan keluarga itu. Hamba berjanji, demi
Hyang Maha Dewa, pen-cipta segala umat manusia!
Selayaknyalah Yang Mulia menjadi istri Sedah. Namun
demikian, hendaknya bersabar terlebih dahulu. Jangan
melawan dengan kekerasan. Kekerasan tak akan
menghasilkan apa-apa kecuali aniaya. Hamba sanggup
menjadi pengantara, asal nasihat hamba didengar baik-baik."
Prabarini memeluk Nyi Lembini sampai-sampai hampir jatuh
ke belakang, sebagai ungkapan rasa terima kasih yang
mendalam. Meski begitu ia tidak cepat-cepat percaya, sebab
kehidupan istana ternyata penuh pancingan, penuh fitnah.
Saling menjatuhkan satu dengan lainnya, demi keenakan
pribadi. Saling cari muka di depan Raja, demi keenakan
pribadi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi setidaknya setelah itu hati Prabarini menjadi sedikit
berbunga. "Hamba pikir pendapat Nyi Lembini benar, Yang Mulia. Kita harus mengulur waktu sampai Sri Jayabhaya mangkat.
Sekarang juga sudah sering sakit," Nyi Rumbi kembali
menasihati. "Jika demikian, kita perlu membicarakannya dengan Kanda Sedah. Bukankah begitu, Bibi?"
"Harus dicari jalan agar dapat berhubungan dengan beliau dalam waktu singkat ini."
"Tolonglah aku..."
"Percayalah."
"Baiklah! Sekarang ini memang nilai kejujuran telah pudar.
Pudar! Dan manusia lebih banyak hidup dari
ketidakjujurannya." Prabarini berkata pada diri sendiri. Dan itu sebabnya ia merasa perlu mengebaskan semua kebodohan
hatinya. Jika aku terombang-ambing oleh perasaanku, maka
aku menjadi sedungu-dungunya orang. Dan kembali
kesehatannya menjadi pulih. Bahkan tubuhnya makin nampak
padat saja. Yang kumiliki sekarang hanyalah keperempuanan.
Ya! Ini saja modalku! Kecerdikan! Ah, mudah-mudahan Kanda
Sedah masih bersedia menerimaku!
. Bukan salahku jika semua ini terjadi, putusnya. Hidup
lebih utama. Dan untuk itu, hidup harus dipertahankan. Maka kini Jayabhaya melihat adanya perubahan dalam diri
Paramesyawari. Ada senyum jika menyambut kehadirannya di
taman. Apalagi taman itu tidak dihuni oleh istri-istri selir.
Prabarini memiliki kekuasaan mutlak atas taman itu. Semua
menara yang sembilan buah itu sudah -berdiri megah. Dan
kolam renang dengan ubin berwarna hijau melengkapi
keindahan taman itu. Cuma yang tidak disukainya adalah
penjaga-penjaga wanita. Ada di antara mereka yang sikapnya
seperti lelaki. Kendati susunya juga menonjol seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kebanyakan wanita, namun matanya menatap lahap jika ia
sedang mandi di pemandian atau sedang berenang di kolam
renang yang dilengkapi pancuran itu. Senyumnya pun tampak
nakal seperti lelaki.
"Memang dia itu..."
"Dia bagaimana?" tanya Prabarini pada seorang dayang.
"Ampun, Yang Mulia. Dia memang seperti lelaki. Ia suka pada perempuan. Sering mencolek kami-kami ini."
"Drubiksa!" desis Prabarini.
"Namanya Gandini. Dulu waktu bertugas menjaga taman
selir-selir, banyak selir yang suka tidur dengannya."
"Ah, masa?"
"Sungguh!" Dayang itu tak ragu. "Maklum Sri fPrabu sudah tua. Tak mungkin bisa sebulan sekali menggilir mereka.
Apalagi sekarang ada Yang Mulia..." Dayang itu mesem.
Tak urung sebuah cubitan lirih mendarat di pahanya.
Sebenarnya hati Prabarini sebal mendengar gurauan itu.
Namun ada baiknya ia kadang bergurau dengan mereka,
untuk menumbuhkan kasih sayang. Sebab ia merasa perlu
berbuat demikian. Siapa tahu kelak membutuhkan bantuan
mereka dalam hubungannya dengan Sedah"
"Kau pernah tidur dengan Gandini?" tiba-tiba saja Prabarini menjajagi.
"Ah..." Dayang yang bernama Centil itu jadi kikuk.
"Pernah, kan" Tubuhmu sintal begini, tentu ia jadi gila"
"Ampunkan hamba... Yang Mulia. Habis dia memaksa. Di
tengah malam yang hujan."
"Kau suka?" Prabarini terus mengorek.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ah, sebenarnya tidak. Tapi jika sudah di tempat tidur...
ah... ia dahsyat melebihi lelaki biasa..."
"Jagad Dewa! Dengan kata lain kau tidak ingin kehilangan dia?"
"Maksud Yang Mulia?"
"Kau lihat matanya jika menatap aku, Centil. Itu mata
kurang ajar! Aku akan sampaikan ini pada Hyang Maha
Mulia..." "Yang Mulia memaksudkan supaya ia dihukum mati"
Menjadi umpan pedang Palagantara?"
"Palagantara?" Prabarini tersentak dari tempat duduknya.
Mendadak dadanya yang montok itu naik-turun. Gandini yang
memperhatikan darf kejauhan menelan air liur.
"Ia adalah kepala mertalulut (algojo) di Penjalu ini."
"Jagad Dewa! Kepala mertalulut?"
"Hamba tak tahu lagi, berapa jumlah orang mati di
tangannya, Yang Mulia. Biarkanlah Gandini hidup. Kasihanilah dia!"
"Hehmh..." Prabarini mendengus. Bukan karena jengkel pada permohonan Centil, tapi karena nama Palagantara
disebut-sebut. Ya, Palagantara. Bukankah itu nama bapaknya"
Nama yang disebut-sebut oleh ibu angkatnya, Nyi Dewaprana"
Ya, Palagantara.
"Tidak! Baiklah! Aku tidak akan mengapa-apakan dia. Tapi peringatkan dia, agar selalu menjauh dariku. Dan jangan
boleh memandangku dengan cara seperti itu."
"Hamba, Yang Mulia."
"Nah, jika ia masih mengulanginya, aku atau dia yang
punah." Untuk pertama kali Prabarini menggunakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wibawanya sebagai Paramesywari. "Ingat-ingat! Aku bukan seorang selir yang boleh dipermainkan dan dikurangajari."
"Hamba, Yang Mulia."
Diam beberapa saat. Suasana seolah beku. Tapi beberapa
saat kemudian Prabarini tersenyum kembali.
"Kau belum pergi untuk memperingatkannya?"
"Sekarang, Yang Mulia?"
"Eh, tidak bijak jika pergi padanya sekarang. Kau kenal Palagantara?"
"Ampun, Yang Mulia. Tidak. Tapi tahu rumahnya."
"Di mana?"
"Di sudut jalan yang akan menuju Jenggala."
Dua nama yang dicarinya kini ada sekota dengannya.
Sekarang saatnya mengatur siasat untuk mencari jalan agar
dapat bersua dengan mereka berdua. Dan sejak saat itu ia
lebih sering tampil di depan umum. Bahkan sering mengikuti
Sri Prabu beranjangkarya ke barak-barak laskar, ke tempat-
tempat kerja para menteri. Juga ikut dalam pertemuan
dengan tamu-tamu dari negeri asing maupun dari dalam
negeri; dengan pedagang-pedagang, baik orang-orang
Jambudwipa, China, maupun bangsa Moor. Kini Sri Prabu
melihat, betapa Prabarini sebenarnya juga cakap dalam
ketatanegaraan.
Tapi Prabarini tidak ingin menciptakan kecemburuan dalam
hati Putra Mahkota. Karena itu, ia berusaha mendekatinya.
Untuk itu ia mohon perkenan Sri Prabu agar diberi keleluasaan mengunjungi istana Putra Mahkota. Untuk mendekatkan diri
pada istri Putra Mahkota.
"Hamba berjanji, Yang Mulia Putri," kata Prabarini pada menantu tirinya, "jika Yang Maha Mulia mangkat, hamba akan keluar dari istana..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagad Dewa!" Rakai Holu Sirikan bersama istrinya menyebut berbareng.
"Jangan terkejut, Yang Mulia." Prabarini tersenyum.
"Hamba seorang brahmani. Tak ada kebahagiaan lain bagi seorang brahmani, kecuali mengabdikan diri kepada ilmu
pengetahuan dan kemanusiaan. Bukan haus kekuasaan di
istana." "Jagad Dewa..." Kembali keduanya kagum terhadap sikap ibu tiri mereka.
"Dirgahayu, Yang Mulia Rakai Holu! Dirgahayu Yang Mulia Putri, calon Paramesywari."
"Terima kasih, Yang Mulia..." Kini putri itu menyembah, dengan tulus. Air matanya tak terbendung. Bahkan Rakai
Sirikan pun terharu.
"Bagaimana dengan putra...?"
"Jangan kuatir. Sri Maha Prabu sudah terlalu tua untuk dapat menaburkan benih."
"Jagad Dewa!" Sirikan menelan ludahnya. Ah, ibu tirinya lebih muda dari istrinya sendiri. Lebih cantik. Lebih... Tapi ia terkejut atas pemberitaan bahwa ayahnya sudah terlalu tua
untuk menaburkan benih. Padahal dua hari lalu seorang selir ayahnya melahirkan anak. Lalu anak siapa" Jika bukan anak
beliau, tentu selir itu akan menerima hukuman. Mati! Tapi ia tidak. Atau... itu merupakan isyarat bahwa Prabarini tidak
ingin punya anak" Sirikan segera menanyakan pada Prabarini
tentang kecurigaan hatinya.
"Demi Yang Mulia Rakai Holu dan istri, hamba akan
menjaga agar tidak melahirkan anak. Hamba tak ingin menjadi bencana yang maha dahsyat kelak. Yang akan melibatkan
kawula tidak berdosa, mati seperti anjing kurap tanpa harga."
"Oh, Hyang Maha Dewa!" Suami-istri itu segera
menundukkan kepala. "Betapa mulia hati Yang Mulia
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibunda..." Akhirnya Rakai Holu Sirikan pun menyembah. Tak bisa tidak! Kekaguman merambati relung-relung sukmanya.
Bukan cuma jelita dan menggiurkan, tapi juga berbudi luhur.
Bertekad untuk tidak berputra demi kebahagiaan orang lain.
Dan Rakai Holu terdiam dengan hati mengandai-andai.
Sirnalah kecurigaan. Sirnalah iri. Sebagai gantinya, rasa iba dan kasih dalam hati kedua suami-istri itu.
Tekad Prabarini menemui Palagantara akhirnya tersampai
jua. Kala Sri Prabu terkena pilek dan sedikit batuk-batuk,
maka dia mewakilinya. Bersama Rakai Holu Sirikan ia tampil
memimpin kerajaan. Tapi ia beranjangkarya mengelilingi Daha sendiri. Tentu dalam kawalan prajurit wanita terpercaya. Dan sejak beberapa lama ia sudah memerintahkan Gandini pindah
ke taman para selir. Bergidik bulu Prabarini setiap kali
diawasinya. Kini semua prajurit wanita yang menyertainya
sudah bergaul akrab dengannya, dan selalu mengiakan apa
yang diperintahkannya.
Dari jarak yang agak jauh mereka mengawasi Prabarini
memasuki halaman rumah Palagantara. Cukup luas. Pohon
kelapa dan pisang, mangga dan jambu banyak tumbuh di
halamannya. Prabarini tak merasa perlu memperhatikan
tanaman lainnya. Dengan hati berdebar ia menaiki titian
pendapa. Agak lengang. Sampai beberapa kali beruluk salam
barulah ada langkah kaki seperti diseret. Seorang lelaki tinggi besar muncul. Alisnya jarang, matanya agak sipit. Otot-ototnya tampak kekar. Giginya merah karena kinang. Kulitnya sawomatang. Dengan suara parau ia menyapa,


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dirgahayu, Yang Mulia..." Lelaki setengah baya itu menyembah.
Seperti ada seleret hawa dingin menusuk dada Prabarini.
Palagantara melirik ke seputarnya. Para pengawal jauh di
belakang. Dalam jongkoknya Palagantara sedikit berdebar.
Kunjungan yang tidak terduga. Ada apa"
"Dirgahayu!" Prabarini memaksakan diri menjawab.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adakah perintah Baginda sehingga Yang Mulia berkenan
datang ke..."
"Tak ada, Palagantara," Prabarini mencoba. Benarkah ini manusia yang mengukir jiwa raganya"
"Mana istrimu?"
"Ada di sawah bersama anak-anak hamba, Yang Mulia."
"Jagad Dewa!" Prabarini terkejut. Istri di sawah berselimut lumpur, sementara dia sendiri tidur. Manusia macam apa
Palagantara ini" Bapaknya ini"
"Kebun di seputar rumahmu ini juga istrimu yang
mengerjakan?"
"Be... betul, Yang Mulia..."
"Lalu apa kerjamu?" Prabarini mengerutkan kening. Sayup bau tuak merambat dari dalam rumah Palagantara.
"Ampun, Yang Mulia... bukankah hamba adalah salah satu narapraja. Hamba takut jika ada panggilan sewaktu-waktu dari Baginda, hamba sedang tidak ada di tempat."
Mereka diam sesaat. Prabarini mengangguk-angguk. Dan
kala Palagantara mempersilakannya duduk di sebuah kayu
bundar, ia menolak. Rasa hatinya tak menentu. Apakah yang
sedang bekerja di sawah itu ibunya"
"Berapa istrimu, Palagantara?"
"Tiga, Yang Mulia. Anak hamba enam orang."
"Tiga" Hem... berapa anak perempuanmu?"
"Tidak ada, Yang Mulia..."
"Tidak ada" Ulang jawabmu itu!"
"I... ya... tidak ada..." Palagantara agak gugup. Kendati baru kali ini ia bersemuka dengan Paramesywari, tapi ia cukup
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mendapat banyak berita bahwa Paramesywari seorang cerdas.
Sebagai titisan Sri Lakhsmi, tentu punya syakti dari para dewa.
"Kau tidak salah ingat?" Prabarini mencoba menekan.
Bapaknya memang pantas menjadi seorang jagal. Tapi, ah...
jagal manusia! Walau demi apa pun ia tetap tidak suka
bapaknya menjadi jagal manusia. Ini pertemuan yang sulit.
Karena itu dia harus meyakinkan, apakah benar-benar
Palagantara adalah bapaknya.
"Kuberi waktu berpikir, sebelum menjawab. Hemh... hati-hatilah kau, Palagantara! Kau tahu siapa aku, bukan" Kau
akan bisa kehilangan pekerjaanmu sebagai mertalulut atau
salah seorang narapraja jika aku tahu kau menipu aku."
Palagantara menjadi gugup. Angin apa yang membawa
Paramesywari datang tiba-tiba. Dan membawa kesulitan. Ingin rasanya ia melompat dan mencekik sang Putri. Tapi... tak
berani. Cuma matanya nampak berkilat. Memantulkan nafsu
dalam dadanya. Nafsu membunuh. Cuma beberapa saat
memang, namun Prabarini mampu menangkap kilatan
matanya. "Ampunkan hamba, Yang Mulia... memang pernah punya
anak perempuan. Dulu. Hampir terlupakan..."
"Benihmu sendiri kaulupakan" Siapa nama istrimu"
Maksudku, ibu anakmu yang perempuan itu?" Prabarini
menahan gejolak dalam kalbunya sendiri. Juga menahan air
matanya. Mendadak wajah Palagantara tampak gelap. Seperti
diselimuti mendung tebal. Ingatannya melayang pada
beberapa tahun silam. Entah berapa lama dia sudah lupa. Dan berkali ia memandang wajah Prabarini. Berkali angannya
mengingatkannya pada seseorang. Hatinya bergetar.
Kekuatannya seolah pupus. Seperti Rsi Bisma yang sedang
berhadapan dengan Srikandhi dalam Bharathayuddha. Saat itu
Bisma gugup. Kekuatannya, keperkasaannya saat menghadapi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panglima-panglima Pandawa kemarin, punah. Karena setiap
kali ia memandang wajah Srikandhi, yang tampak adalah
wajah Dewi Ambikha yang dibunuhnya beberapa tahun silam.
Padahal Ambikha sangat mencintainya.
Berkali Palagantara menggosok matanya. Berkali wajah itu
tampak sangat jelas. Ni Ratrini.
"Ampunkan hamba, Yang Maha Dewi..." Palagantara
mengeluh. Kini ia menyembah dan mukanya ia benamkan di
bumi. "Kisahnya amat panjang. Nama istri hamba itu Ni
Ratrini." "Ni Ratrini?"
"Ya. Barangkali saja tidak ada bidadari Kahyangan yang'
kecantikannya mengungguli dia. Tidak ada! Suaranya begitu
lembut." "Ke mana dia sekarang?"
"Ampunkan hamba, Yang Mulia..." Palagantara makin sukar bicara. Suaranya makin parau.
"Di mana pula anak perempuanmu itu?"
"Oh, baiklah, Yang Mulia..." Dan mulailah ia bercerita.
Pertemuan dengan Ratrini yang pertama di Kemal Pandak.
Ia masih belia. Ratrini sedang menyusur Kali Brantas dengan suaminya, seorang brahmana dari Jambudwipa. Palagantara
sebagai seorang pemimpin perampok, saat itu juga membajak
banyak perahu yang berlayar di Kali Brantas. Demikianlah ia bersama anak buahnya membajak perahu yang ditumpangi
Ratrini dengan suaminya. Tanpa ampun semua penumpang
ditumpas, kecuali Ratrini. Palagantara kemudian membawa
Ratrini yang saat itu dalam keadaan tak sadar ke rumahnya di tengah hutan dekat Adilu-wih. Sangat jauh memang.
Memakan waktu berhari-hari. Setiap kali Ratrini sadar, setiap kali melihat wajah Palagantara, langsung pingsan lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sesampai di rumah, Palagantara merawat Ratrini baik-baik.
Emas dan perak ia berikan. Dan semua kekayaan hasil
rampokan bertahun-tahun dipersembahkannya buat Ratrini. Ia
bersumpah akan bertobat jika Ratrini mau menjadi istrinya.
Namun Ratrini menolak. Berhari-hari ia perlakukan Ratrini
baik-baik, tapi tetap saja Ratrini berkukuh. Sampai hilang
sabar Palagantara.
Pemerkosaan demi pemerkosaan terjadi. Semula Ratrini
berniat bunuh diri, namun Palagantara selalu menjaganya.
Dengan kasar ia menjejalkan makanan ke mulut Ratrini.
Termasuk di antaranya ramuan-ramuan perangsang. Sampai
hamillah Ratrini. Menyadari kehamilannya itu, Ratrini berhenti da'ri niatnya untuk bunuh diri. Ia bertekad menghidupi anak dalam kandungannya itu. Dan lahirlah seorang anak gadis
mungil. Semua tak ada yang tidak sama dengan Ratrini. Hampir tak
ada setitik pun wajah Palagantara melekat pada dirinya.
"Tak layak anak ini menjadi anakku. Dia akan menjadi
bidadari yang mulia," kata Palagantara pada Ratrini. "Ia harus dididik dengan baik. Harus mengerti Weda. Harus.
Sepantasnyalah ia menjadi seorang brahmani."
"Jagad Dewa! Aku sanggup mendidiknya sendiri. Aku bisa membaca lontar."
"Ratrini, kau tidak akan punya banyak waktu untuk
mendidiknya, karena aku harus bekerja supaya persediaan
kita tidak habis."
"Kau akan merampok lagi?" Ratrini mendelik.
"Aku tak bisa bekerja lainnya. Bercocok tanam bukan
pekerjaanku." "
"Jagad Dewa! Berangkatlah jika begitu! Biar aku mendidik dan membesarkan anakku." Ratrini sebal. Tapi jawaban
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Palagantara sangat mengejutkannya. Direbutnya anak bayi
kecil itu dari tangan Ratrini. Lalu dibawanya berlari.
Sambil mengumpat dan menangis serta mengutuk, Ratrini
mengejar Palagantara, walau rasa sakit di seluruh tubuhnya
karena melahirkan belum lagi sembuh.
Anak mereka kemudian diserahkan pada Mpu Dewaprana.
Setelah itu Palagantara menyeret Ratrini pergi dari hadapan Mpu Dewaprana, yang tak kuasa menolak di bawah ancaman
pedang Palagantara. Mereka berjalan ke Daha. Saat itu Daha
baru saja dibangun, dan dermaganya berkembang pesat.
Palagantara berniat melakukan perampokan di sana. Namun
akhirnya Ratrini tak tahan. Ia jatuh sakit.
Sebelum memasuki Daha, Palagantara membawa Ratrini ke
rumah seorang tabib bernama Tanumaya. Tapi tanpa terduga
begitu memasuki halaman rumah Tanumaya, Palagantara
dikepung 'oleh laskar Sri Jayabhaya. Palagantara tak kuasa
melawan. Lari pun tidak. Tapi Sri Jayabhaya yang saat itu baru saja marak menjadi Sri Maha Prabu, berkenan
mengampuninya, asal Palagantara rela menyerahkan Ratrini.
Bukan cuma diampuni, tapi Palagantara juga diangkat menjadi salah seorang anggota laskar Penjalu.
"Jadi, istrimu kemudian diperistri oleh Sri Maha Prabu?"
"Benar, Yang Mulia. Namun sayang, barangkali cuma tiga bulan saja ia menjadi salah seorang selir. Karena setelah itu ia kedapatan..."
"Kenapa" Tidak setia" Atau..."
"Tidak. Entahlah apa sebabnya" Tapi hamba dengar ia
mati." "Hyang Dewa Ratu! Ibunda!" Prabarini tak sadar. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Palagantara terkejut. Ibunda" ulangnya dalam hati. Jadi ini anakku" Anakku dari Ratrini" Perlahan ia bangkit berdiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prabarini terisak. Dadanya sesak.
"Anakku?" desis Palagantara pelahan.
Prabarini tersentak mendengar itu. Segera ia menghapus
air matanya. Dan ia mundur beberapa langkah.
"Berdiri kau di tempatmu!" perintah tegas dari bibir mungilnya. Ia pandang tajam-tajam Palagantara.
"Pembunuh!" geram Prabarini menyembur dari mulutnya.
"Ampun..."
"Pada telormu sendiri engkau tak tahu namanya! Masihkah kau merasa patut minta ampun" Kau telah ambil kebahagiaan
ibuku dengan paksa! Kemudian membunuhnya. Huh!"
Prabarini membalikkan badan.
"Anakku..."
"Kau menculik! Sekarang aku diculik!" Prabarini
menghentikan langkahnya buat sesaat. "Hukum karma telah menimpa diriku. Sekarang kau jadi mertalulut! Masih berapa
lagi nyawa akan musnah di tanganmu" Jangan sentuh aku!
Tak layak tangan berbau anyir begitu ..." Prabarini tak sanggup melanjutkan.
Dalam keretanya ia terus termenung. Mengapa aku harus
menerima karma karena ayahku" Ayahku merampas. Aku juga
dirampas! Hyang Dewa Ratu! Ampuni hamba! Para pengawal
membisu. Tak berani mereka bertanya. Siapa tahu Paramesy-
wari sedang memerintahkan sesuatu pada Palagantara" Walau
rahasia, tapi para prajurit pasti tahu bahwa sebenarnyalah
Palagantara kepala mertalulut. Memang anggotanya berganti-
ganti, karena tidak ada yang tahan lama menjadi mertalulut.
Sampai di taman ia menyempatkan diri menengok Sri
Prabu. Masih mendusin di biliknya. Makin nampak tua.
Rambutnya semua sudah putih. Walau masih tebal, pipinya
sudah nampak menggelandot ke bawah. Ia tak masuk bilik.
Cuma melihatnya dari jarak yang agak jauh. Para biti perwara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
istana menjaga di luar bilik. Mereka menjelaskan bahwa napas Sri Prabu sudah baik.
Senyum tipis tersungging di bibirnya sebagai jawaban pada
para biti perwara itu. Itu pun sudah membuat mereka sejuk.
Seolah mereka dapat melupakan kesesakan di rumah tangga
mereka masing-masing. Seperti tersiram air yang tersimpan
selama sewindu saja. Dan kain merah tua yang melilit ketat
pada tubuh bahagian bawah Prabarini meninggalkan suara
yang mendebarkan jantung, sehingga dagu mereka tertarik
untuk memperhatikan lenggang tubuh padat berisi yang makin
menjauh untuk memasuki wismanya. Warna kulit
punggungnya yang kuning langsat tak mudah menghilang dari
impian tiap pria. Ah, wanginya masih juga tinggal kendati
tubuh Prabarini sudah hilang ditelan belokan.
Nyi Rumbi dan Nyi Lembini menyambutnya.
"Ah, lama amat, Yang Mulia. Dari mana saja" Kami resah."
"Apa yang kalian resahkan?" Prabarini melepas perhiasan di kepala dan dahi serta lengannya. Gemerincing emas beradu
saat benda-benda itu berjatuhan di tempat tidur.
"Eh, hamba membawa lontar..." Nyi Lembini mendekatkan mulut ke telinga Prabarini untuk " berbisik. Dan Prabarini
mengawasinya tajam-tajam. Curiga.
"Tidak percaya, Yang Mulia" Bukankah Hyang Maha
Dewa..." "Lontar apa?" Prabarini duduk di tempat tidurnya.
"Dari Yang Suci Sedah."
"Ha?"
"Mengapa terkejut?" Nyi Lembini kemudian menoleh pada Nyi Rumbi, menyuruhnya berjaga-jaga di pintu. Setelahnya ia mengeluarkan segu-lung lontar dari balik jubahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bergesa Prabarini menaburkan bubukan kapur kinangan
pada lontar yang kini sudah dibukanya. Kemudian
mengoleskan jari-jarinya yang runcing. Benar! Sebuah surat.
Sedah yang menulisnya. Nyi Rumbi dan Nyi Lembini segera
berjaga-jaga di luar bilik. Sementara Prabarini membacanya.
"Dirgahayu! Prabarini!'3 Prabarini berdebar. Ia sudah tahu namaku. Ah, tidak menggunakan sebutan Yang Mulia. Inilah
ciri Sedah yang mengagumkan. Tak suka menggubris tatacara
umum. "Tersaruk aku mencari. Terbang menjelajah bumi, setelah aku mendengar pengakuan Nyi Dewaprana. Tapi aku tak
mampu menelusuri jejakmu. Ternyata engkau sekarang ini
berada di istana dewata! Tentu sukar menjamahmu. Jangan
menjamahmu. Hanya seorang yang memiliki sayap kuat, hati
herani dan cakar perkasa yang mampu merampasmu dari
tangan Sri Jayabhaya. Aku jadi mengandai-andai.
Berbahagialah seekor rajawali yang mampu terbang tinggi
menembusi awan-awan dan membawamu meniti pelangi. Tapi
aku" "Itulah sebabnya aku akan segera meninggalkan Daha,
seandainya aku tak mungkin bersatu kembali denganmu. Tak
perlu tahu ke mana. Yang penting saat ini aku menunggu
jawabmu. Aku ingin, sebelum dua pekan ini kau memberikan
ketegasan. Sehingga aku bisa tahu, milik siapakah Prabarini sebenarnya. Milikku" Atau memang benar-benar milik Sri
Jayabhaya, junjungan setiap umat di Penjalu dan bumi
jajahannya"
. "Akhirnya, aku sampaikan sejahtera dan dirgahayulah
kau!" Sedah tidak menceritakan pengalamannya. Tidak
menceritakan bagaimana kecewa waktu datang ke Adiluwih
dan dia tiada. Tiada keindahan dalam surat itu, bahkan boleh dikata kasar. Tapi tersirat sebuah tuntutan yang tegas.
Maka'segera ia menulis balasannya. Tidak mungkin tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dibalas. Sebab jika tidak, punahlah harapan untuk bersua
kembali dengan Sedah. Air matanya tak berhenti mengalir
waktu menulis jawaban. Ia tidak menggunakan lontar, sebab
tak punya lontar. Maka ia menggunakan kain sutera putih
sebagai lambang kesucian hatinya. Namun sengaja ia
menggores ujung jari kakinya untuk mengeluarkan percikan
darah, dan dipercikkannya pada sutera itu, untuk menyatakan sikap hatinya. Dengan hati-hati ia menulis:
"Mentari bergulir lambat ke arah barat kala hamba menulis ini, Kanda. Sungguh pun amat singkat, namun surat Kanda tak ubahnya air hujan yang jatuh di kemarau panjang.
"Ampuni hamba, yang tetap memberanikan diri menyebut
seorang Maha Rsi Suci dengan sebutan Kanda. Barangkali tak
layak, karena hamba seorang yang ternoda oleh ketidakkokoh-
an hati sendiri. Kerapuhan. Atau memang kodrat hamba
adalah rapuh" Hamba tidak tahu. Lagi, sebesar-besar
permohonan ampun hamba sertakan di sutera ini. Percikan
darah di sela tinta China ini sebagai bukti ketulusan
permohonan hamba. Seandainya ampun itu tak datang jua,
maka itulah hukuman mati bagi Prabarini yang hina dina ini.
"Kakanda, "Tak ubahnya burung gelatik kecil, atau pipit yang tiada daya, hamba sekarang ini ditangkap dan dimasukkan sangkar.
Apa yang bisa hamba kerjakan selain tekun dalam doa, dan
bersabar menunggu uluran tangan Hyang Maha Dewa" Hari
kemarin berlalu dan akan terus pergi, tanpa % kembali.
Sementara esok hamba nanti dengan penuh pengharapan.


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Barangkali seperti inilah Sinta yang sedang berada dalam
cengkeraman Rahwana. Tapi apalah artinya mengandai-andai" Namun
demikian, bukankah Sinta tetap jadi milik Sri Rama setelah
kekuasaan Rahwana ditumbangkan "
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba menyadari bahwa kita bukan Sinta dan Rama.
Meskipun begitu, keinginan hati tetaplah menjadi milik
seorang kekasih tercinta. Kebahagiaan hamba bukan terletak
pada padatnya taman dengan beraneka bunga dan burung,
bukan pula pada gemerlapnya emas permata yang bertimbun
di seputar hamba, tapi terletak pada kerelaan Kanda untuk
membuka hati kembali menerima hamba dalam keadaan
sekarang ini. Keadaan yang tidak suci lagi karena ternoda oleh kerakusan manusia yang ingin memanjakan nafsu pribadi.
Sebagai penghujungnya, tak mau mendengar jerit tangis batin yang teraniaya.
"Kanda, "Pada akhirnya, gunung-gemunung harapan hamba
pendam dalam kalbu, agar Kanda rela bersabar menanti
kesudahan. Hamba percaya bahwa jika kita bersabar dan
tekun berdoa, waktunya akan segera tiba." ~
Kembali cap jari dengan darah sebagai penutup kalimat.
Dan setelah menyerahkan jawaban itu pada Nyi Lembini,
maka ia bangkit untuk masuk pura. Di sanalah, pada kekuatan gaib, kekuatan yang tak pernah dikenalnya, bahkan tak
pernah dilihatnya, Prabarini menggayutkan semua
harapannya. Kemenyan dibakar bersama dupa. Asap putih
memenuhi ruangan pura. Bahkan menerobos keluar sampai ke
awan. Bau kemenyan itu merangsang ke mana-mana. Tidak
luput masuk ke ruangan Jayabhaya yang sudah mendusin.
Prabarini tidak menyangka bahwa Jayabhaya akan bangun
dan kemudian melangkahkan kaki ke wismanya. Namun
dengan sabar Sri Prabu menunggu di depan puri. Ia merasa
bahwa istrinya sedang berdoa untuk keselamatannya.
Perkiraan yang menggunakan perasaan sering tidak benar.
Prabarini benar-benar terkejut kala turun dari semadinya
Sri Prabu sudah duduk di depan wismanya.
"Sembah untuk Yang Maha Mulia," sapanya untuk
menutupi kegugupannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Istrinda. Kau telah berdoa untuk aku. Dan Hyang Maha Dewa mendengar doamu itu. Aku merasa sehat."
Makin berdebar.
Jayabhaya bangkit berdiri menyongsong, kemudian
membimbing istrinya. Bahkan dengan mesra, seperti masih
remaja Jayabhaya meletakkan tangan ke pundak Prabarini
sambil berjalan menuju bilik Prabarini. Ah, aku ingin jadi
merpati. Jinak tapi berkesempatan terbang ke mana pun ia
berkehendak. Sekarang ada pohon di mana merpati itu boleh
hinggap. Mengapa harus tolol" Toh dia cuma mendapat
tubuhku" Tidak hatiku"
"Tampaknya ada kekuatan gaib yang membangunkan Yang
Mulia..." "Ya. Barangkali saja karena doamu itu. Tapi ada yang lebih penting dari itu, karena aku diganggu oleh mimpi buruk."
Lagi, Prabarini berdebar. Keningnya mengkerut. Alisnya
hampir beradu. Membuat wajahnya makin manis. Justru wajah
ini yang membuat hampir setiap lelaki tergila-gila.
"Mimpi apa?"
"Di antara dua puluh tiga cerdik-pandai istana di bawah Pandita istana Mpu Panuluh, ternyata tidak satu pun yang
berani menerjemahkan Ma-habharata ke dalam Jawa. Padahal
aku sudah memerintahkan sejak tiga bulan lalu, supaya
menjadi peringatan atas Penjalu Jayanti (kemenangan
Panjalu) waktu perang melawan Kanda Hemabhupati."
Lega Prabarini. Ternyata tidak ada sangkut-pautnya dengan
persoalan yang dihadapinya sendiri. Dan ingatannya segera
melayang kepada Sedah. Tentu cuma dia yang mampu
menerjemahkan dengan baik. Gaya bahasanya lugas dan
mudah dimengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Memang banyak orang bisa bercakap dalam Sansekerta,
Yang Maha Mulia, namun jarang yang bisa menyusun kata-
kata bagus untuk menerjemahkan sebuah kakawin," katanya.
"Istrinda sendiri bagaimana?"
"Bahasa Sansekerta adalah bahasa dewa-dewa!" Dalam hati Prabarini ingin mengejek Sri Prabu. Ternyata walau kau raja bijak yang terkenal di seluruh muka bumi sebagai seorang luar biasa karena bisa mempersatukan kembali Kahuripan,
sebenarnya jika tanpa rombongan cerdik-pandai yang
berjumlah dua puluh tiga orang brahmana itu, kau adalah
sedungu-dungunya orang. "Karena itu, hamba cuma sanggup membaca, berkata-kata, tapi tak sanggup menuangkan dalam
tulftan. Apalagi sekarang. Sebagai seorang Paramesywari yang harus sering tampil di balai agung atau ikut Sri Prabu
menemui tamu-tamu negeri, kapan akan selesai" Syair yang
berjumlah dua puluh empati ribu sloka tidaklah sedikit, Yang Maha Mulia. Ampunkan hamba..."
"Istrinda pernah membaca?"
"Mungkin setiap brahmana sudah pernah membacanya."
Jayabhaya berbinar. Ia cium istrinya. Ada harapan. Jika
terpaksa ia akan membebaskan Prabarini dari tugas-tugas
kenegaraan untuk menerjemahkan kakawin Mahabharata itu.
Tapi ia ingin tahu pendapat istrinya, bagaimana caranya agar kitab Mahabharata ini digubah dalam Jawa.
"Jika memang harus diterjemahkan..." Prabarini kini melepaskan diri dari pelukan, dan mondar-mandir di depan
Jayabhaya sambil seolah mengingat-ingat. Jayabhaya
memperhatikannya. Ah, 'susu istrinya belum juga nampak
melorot. Terjaga rapi. Rupanya Prabarini memang telah
menyadari keadaan. Bahwa bukan kecendekiawanannya yang
dibutuhkan, tapi keperempuanannya. Dan itu sebabnya ia
harus menjaga diri agar tetapi mempesona.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suara binggalnya bergemerincing. Disertai gerakan pinggul
yang naik-turun sebelah-me-nyebelah, setiap kali melangkah.
Rambut tersanggul ke atas sehingga leher dan tengkuknya
sering mengundang lamunan tersendiri. Belum lagi bau harum
melati sebagai aroma yang dikeluarkan tiap pori di kulit kuning langsat yang selalu dicuci dengan air bunga itu.
"Barangkali ada baiknya jika kita mengadakan sayembara."
Tiba-tiba Prabarini mengeluarkan pendapat.
Jayabhaya tersentak.
"Sayembara?"
"Ya. Sayembara. Barangkali masih banyak brahmana yang
lebih pandai dari kedua puluh tiga rombongan brahmana
istana itu."
"Lebih pandai dari kaum brahmana di istana" Bagaimana
bisa?" "Mengapa tidak" Brahmana istana hidup di batasi oleh
dinding-dinding berkubu. Tembok-tembok benteng. Karena
itu, pengetahuan mereka tidak pernah bertambah. Dan kerja
mereka" Tidak lebih dari melaksanakan kebijakan istana.
Padahal pengetahuan itu laksana samodra luas tanpa batas.
Dan dia akan berkembang terus sampai mampu menjala
bintang-gemintang, atau mengorek dasar laut dan mengaduk-
aduk perut bumi..."
"Istrinda! Kau melecehkan kebijakanku?" Jayabhaya tersinggung.
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia." Prabarini
memperbaiki suasana. "Bukan maksud hamba demikian. Tapi inilah kebenaran. Barangkali saja Yang Maha Mulia tak
menyadari atau melihat. Mereka ternina bobok oleh rumah-
rumah mewah, kereta-kereta indah yang tak pernah dimiliki
oleh kawula atau brahmana yang tinggal jauh dari istana. Otak mereka tersumpal oleh uang dan wanita molek. Yang Maha
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mulia, lihatlah, menerjemahkan Mahabharata saja mereka tak
sanggup! Jika Yang Maha Mulia mencintai hamba,' tentunya
akan mengerti mengapa hamba menyayangkan semua
tindakan mereka. Mereka selama ini tak pernah bisa
melahirkan karya yang bermanfaat bagi kemanusiaan, karena
karya yang mereka lahirkan hanyalah sanjungan terhadap
semua kebijakan Yang Maha Mulia. Tak pernah
menggambarkan kenyataan." "Jagad Dewa!"
"Demi Yang Maha Mulia sendiri hamba katakan ini."
Prabarini maju sambil berbisik. Kemudian mencium pipi
Jayabhaya. Ini tak pernah dilakukan sebelumnya. Setelahnya
mengalungkan kedua tangannya pada leher Jayabhaya. Punah
api murka di dada Jayabhaya yang disulut oleh ucapan
Prabarini itu. Seolah tersiram air surgawi yang amat sejuk.
"Dengan kata lain..."
"Ya, ini sekadar pendapat, Yang Maha Mulia. Boleh kan
sesekali mengeluarkan pendapat. Ah, sesekali memohon
kebebasan untuk berpendapat?"
Jayabhaya menggeragap. Hangatnya susu Prabarini yang
tertempel di bahagian bawah dadanya terasa berbeda dengan
biasanya. Memberikan gairah seperti masa mudanya.
"Ya. Iya..."
"Tanpa kebebasan berpendapat kaum brahmana tak
ubahnya pemakan gaji dan persembahan tanpa karya apa-apa
yang harus dipersembahkan kepada kehidupan dan
kemanusiaan. Itu merupakan kejahatan. Brahmana tanpa
karya bagi kehidupan dan kemanusiaan adalah penjahat!"
"Jagad Bathara! Baiklah besok aku umumkan sayembara..."
Jayabhaya tidak tahan lagi. Napasnya memburu. Ia angkat
tubuh Prabarini dan dibopongnya ke peraduan. Tapi tubuhnya
masih amat lemah. Dan keduanya jatuh bergulingan di
permadani. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prabarini mengeluh lirih. Jayabhaya minta maaf. Ketika
akan bangkit kepalanya masih berat, bahkan pandangannya
seolah dikelilingi seribu bintang. Prabarini berbisik lirih di telinganya, "Lain kali saja jika sudah sembuh benar..."
0ooo0dw0ooo0 Ratusan Brahmana dari seluruh Penjalu sudah maju untuk
diuji oleh Dewan Cerdik Pandai Penjalu yang dipimpin oleh
Mpu Panuluh. Namun semua mengecewakan Jayabhaya,
karena belum satu pun yang lulus. Jayabhaya hampir putus
asa, dan hampir saja menurunkan perintah agar Mpu Panuluh
sendiri yang menerjemahkannya. Walau kurang bagus
mungkin, tapi itu lebih baik daripada tak dapat dibaca sama sekali.
"Masih banyak brahmana pintar yang belum muncul, Yang
Maha Mulia. Tentu dengan pertimbangan-pertimbangan
tersendiri." Prabarini masih berusaha. Sebenarnyalah ia ingin memancing Sedah. Namun ia sendiri menjadi jengkel, karena
setelah beberapa hari dari ujian yang diselenggarakan oleh
Dewan Cerdik Pandai Sedah tidak juga muncul. Maka segera
ia menulis lagi kepada Sedah agar kekasihnya ikut sayembara.
Namun dengan tegas Sedah menolak.
"Kebrahmanaanku bukan untuk diperdagangkan. Bukan
untuk diabdikan pada Raja!"
"Tapi..."
"Aku tidak bisa!"
Nyi Lembini membawa berita yang menyedihkan ini pada
Prabarini. Namun Prabarini tidak nampak terkejut. Ia sudah
menduga sebelumnya. Namun tanpa rasa putus asa, ia
menjatuhkan lontar lagi. .
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kanda, hamba tahu, bahwa Kanda tidak akan menyetujui
usul hamba itu" katanya dalam lontar, "tapi, tidakkah kita dapat menggunakan pikiran yang jernih" Bahwa untuk
mencapai tujuan tidak selalu harus menggunakan kekerasan"
Juga tidak selalu dengan kejujuran" Semakin tua usia zaman, semakin punah nilai kejujuran itu. Ingatlah bahwa Jayabhaya memiliki segala dan semua. Kekuasaan, uang, dan laskar. Kita cuma memiliki akal! Dan Jayabhaya sanggup membayar
banyak brahmana untuk melawan akal kita. Jadi saat ini,
pengetahuan pun dibayar dengan uang untuk melawan
pengetahuan lainnya. Karena itu, jika Kanda ingin dan masih mencintai hamba, seharusnyalah Kanda memasuki sayembara
ini. Hamba tahu Kanda tidak akan gagal. Siapa tahu, Hyang
Maha Dewa membuka jalan untuk perjumpaan kita di hari
mendatang" Nah, dirgahayulah Kanda. Selamat menapaki
jalan baru di tangga istana..."
Berdebar Sedah membacanya. Dengan kata lain, Prabarini
memintanya masuk dalam alam ketidakjujuran: Memasuki nilai
lain dari kehidupan yang semestinya harus dilakukan oleh
seorang brahmana. Tapi pertanyaan itu terjawab oleh baris-
baris berikutnya dalam lontar Prabarini,
"Mengapa itu tak boleh kita lakukan" Lihat Jayabhaya,
dalam menjangkau puncak keemasannya, tangannya
bermandi darah l Barangkali Kanda belum pernah dengar
bahwa banyak satria tertumpah darahnya untuk menjadi
rabuk " Atau Kanda tidak tahu bahwa penjara-penjara di
Penjalu ini penuh sesak dengan tawanan perang atau orang-
orang yang dicurigai melawan kebijakan Jayabhaya" Lalu
mengapa kita berdiam dalam keterpatrian pada yama dan
gama yang sebenarnya sudah diinjak-injak oleh penguasanya
sendiri" Mungkin Kanda masih ingat akan Bathar a Erlangga
sorga" Bukankah untuk mencapai gelar Bathara ia harus
menipu kawula, seolah ia melakukan karya besar menyudet
Kali Brantas. Tapi siapakah sebenarnya yang menjadi
pemiliknya" Tentu Mpu Bharadah. Dan siapa yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengerjakannya" Siapa yang mayatnya bergelimpangan
dimakan binatang-binatang buas dalam belantara" Tidak lain
dari tawanan perang dari Sriwijaya dan Lwaram! Selebihnya
adalah kawula yang tanpa daya, yang tak mampu membayar
pajak, dan siapa saja yang dianggap menentang kebijakan
Sang Agung Erlangga. Isi dunia adalah menguasai dan
dikuasai. Sekarang kita dalam kekuasaan Jayabhaya. Kanda,
relakah membiarkan hamba tetap dalam genggamannya"
Hamba percaya, Kanda pasti bisa menerjemahkan kehendak
hamba ini."
Lagi! Sedah berayun-ayun dalam pertimbangan. Aku harus
menerjemahkan Mahabharata bagi Jayabhaya" Orang yang
merampas kekasihku" Yang melindas saudaranya sendiri, Raja
Jenggala demi kebesaran pribadinya sendiri" Ah... Prabarini takut pada lembing prajurit Penjalu, sehingga tak berani
melarikan diri.
"Tidak! Bukan itu." Nyi Lembini menegaskan. "Tapi ada hukuman yang lebih mengerikan bagi tiap wanita yang berani
menolak atau menghina Sri Prabu."
"Apa itu" Hukuman yang lebih mengerikan dari hukuman
mati?" Sedah heran.
"Ya. Dilempar ke tengah budak-budak penambang emas
milik Sri Prabu. Budak-budak yang sudah begitu lama tidak
bersua perempuan itu mendapat perkenan memperkosa
mereka berganti-ganti."
"Jagad Dewa Pramudita!" gigi Sedah berkerut. Ia menarik napas dalam-dalam. Agak lama berdiam diri. Lalu
memerintahkan Nyi Lembini meninggalkannya. Tanpa jawab
apa pun. Namun keesokan harinya, Jayabhaya yang baru bangun
dikejutkan oleh menghadapnya seorang caraka. Ia tidur di
istananya sendiri.
"Ada apa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu menyembah. Bahkan mukanya mencium ubin
berwarna kuning di hadapannya. (Dari kitab Ling Wai Tai Ta
karya Chou K'u Fei (1178) kita tahu bahwa rumah-rumah di
Daha bersih dan rapi, lantainya dari ubin hijau dan kuning.
Penduduk memelihara ulat sutera dan para wanitanya
mengenakan kain sampai di bawah lutut. Rambutnya terurai.
Di samping itu buku itu juga menceritakan keadaan
pemerintahan)

Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia, para anggota
Dewan Cerdik Pandai telah siap di Pendapa agung untuk
menguji seorang brahmana muda..."
"Apa katamu" Brahmana muda" Yang tua-tua saja gagal,
apalagi yang masih ingusan!" Jayabhaya bangkit dan mandi.
Caraka itu pergi setelah Sri Jayabhaya hilang di balik
dinding batu. Mungkin saja sudah tenggelam dalam pelukan
para selir. Mengapa bukan aku yang jadi raja, pikirnya.
Mpu Panuluh terkejut mendengar laporan caraka itu. Buat
sesaat ia tak mengertiapa yang dikehendaki Sri Prabu. Namun ia bersabar. Kemudian meminta prajangkara agar ia diizinkan menghadap.
Prajangkara terpaksa menghadap dan memohonkan izin
bagi Mpu Panuluh.
"Tunggu! Aku masih makan pagi!"
Sebenarnyalah jawaban itu tidak menyenangkan Panuluh.
Namun ia harus menyadari dan bersabar. Memang dengan
cara itulah orang-orang yang merasa derajatnya lebih tinggi menanamkan kewibawaan. Seolah dirinya adalah dewa-dewa
yang sulit dijamah oleh siapa pun dan sukar dipandang oleh
semua makhluk. Yang lebih jengkel sebenarnya adalah Sedah, yang
terpaksa harus menunggu di gardu penjagaan. Itu masih
untung karena ia menolak disuruh menunggu di bawah pohon
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beringin kembar di tengah alun-alun itu. Sedah berjalan
mondar-mandir di depan gardu penjagaan. Para penjaga tak
berani menegurnya, karena tadi waktu disuruh menunggu, di
tengah alun-alun, Sedah menjawab dengan hardikan.
"Kebiasaan di sini memang demikian. Kendati brahmana
harus..." "Pintar kalian ngomong harus! Harus! Memang itu yang
dijejalkan di kepala kalian! Selebihnya melarang dan
melarang! Tapi jangan itu dikenakan padaku!"
Semula kepala regu penjagaan yang perwira itu jadi
tersinggung, tapi pandangan mata Sedah melindasnya. Seperti sepasang mata dewa. Perwira itu mengerti benar bahwa orang
demikian tak pernah gentar pada apa dan siapa pun, walau
usianya masih amat belia.
Setelah hampir habis kesabaran Sedah, barulah ia
mendapat perkenan menghadap ke istana. Di mana para
anggota Dewan cerdik Pandai sudah siap menantinya. Juga Sri Jayabhaya duduk di singgasana yang disediakan untuk
menyaksikan ujian itu. Sedah segera menyapu isi ruangan
pendapa itu dengan pandangnya. Tak ia lihat Prabarini. Cuma dua selir yang membawa kipas besar di samping kiri dan
kanan Jayabhaya. Agak berbeda dengan raja-raja ?iwa, maka
api kehidupan tidak di sebelah kanan singgasana, tapi di
sebelah kirinya.
Para anggota Dewan Cerdik Pandai berbaris di kiri kanan
Raja, dengan tempat duduk yang lebih rendah, sehingga
membentuk gambar telapak kuda memanjang. Singgasana
Raja sebagai ujung lengkungnya. Sehingga dengan demikian
Sri Jayabhaya bisa melihat jelas, mulai saat Sedah menaiki
titian pendapa agung. Jayabhaya mengernyitkan keningnya.
Siapa pemuda ini" seperti telah pernah melihatnya. Agak lupa.
Tapi ia melihat, betapa tenangnya brahmana muda ini.
Matanya menatap tajam ke arah Raja tanpa senyum ataupun
penghormatan. Hati Jayabhaya berdesir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tongkat di tangan kirinya sepanjang tombak dengan
pangkal terbuat dari emas, demikian pula ujungnya. Tubuh
tongkat itu sendiri terbuat dari kayu timanga hitam. Kalung emas panjang tergantung dengan medali sebesar telapak
tangan tepat di pusarnya. Gambarnya teratai. Berjubah hitam menambah keanggunannya, karena kulitnya kuning langsat.
Tubuhnya boleh dikatakan kurus. Kumisnya menerawang
hitam, dengan ujung-ujung jatuh ke samping kiri kanan mulut yang mengatup rapat. Bibirnya tipis, mirip bibir wanita.
Rahangnya agak menonjol ke samping sehingga memberi
kesan kaku dan wajahnya tidak bulat telor. Namun hidungnya
mancung kendati tidak lancip. Alis matanya tebal. Hampir
seperti gambar sepasang golok hitam. Lehernya jenjang.
Kakinya terbungkus kasut yang terbuat dari pelepah nipah,
sementara kaum brahmana lainnya mengenakan sepatu kulit
kambing, bahkan ada juga yang membelinya dari daratan
Cina. Namun Sedah tidak nampak seperti siput. Dan... Gila!
Menaiki titian pendapa tanpa menyembah! Matanya! Menatap!
Jayabhaya berdebar.
"Dirgahayu semua!" Anak muda itu menyapa. Lagi! Tidak menyembah.
Mpu Samirana Guna terkejut melihat kehadiran Sedah yang
tidak memberitahukan rencananya ikut sayembara. Padahal
sudah beberapa lama ia menawari, tapi selalu menolak. Angin apa yang membawa keponakannya itu kemari"
"Hamba menghadap Dewan Cerdik Pandai sebagai penguji
brahmana yang mengikuti sayembara." Sedah berbicara lagi.
"Hormat bagi semuanya."
Mpu Panuluh bisa mengerti sikap Sedah sebagai seorang
Maha Rsi. Dia tidak akan menyembah siapa pun kecuali Hyang
Maha Dewa sendiri. Jayabhaya sendiri tampaknya menahan
hati. Kendati demikian, rahangnya nampak menegang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mungkin saja menggeretakkan giginya. Panuluh maju dan
menyembah sambil berdiri.
"Apakah brahmana ini mendapat perkenan Baginda?"
alisnya sudah seputih jenggotnya. Maka wajahnya nampak
pucat laksana kapas.
"Siapa dia?" bibir Jayabhaya terbuka cuma sedikit.
Dan Panuluh mundur satu langkah. Sedah mulai sebal
melihat sikap Panuluh. Juga melihat sikap dua puluh tiga
brahmana yang berhamba-hamba, bahkan bergerak pun
seakan tidak berani. Ah, brahmana berjiwa budak! Apa saja
yang disumpalkan ke mulut mereka sehingga mereka tak lebih
dari siput-siput raksasa" Sedah terus bicara sendiri dalam hati.
Juga sempat ia melirik pamannya. Orang itu buru-buru
menunduk. Apa artinya mereka belajar bertahun-tahun selama
ini" Cuma menjadikan kepala mereka gudang" Dan
pengetahuan yang ada di kepala mereka menjadi barang
rongsokan"
"Atas nama Bathara Jayabhaya, penguasa bumi Penjalu,
aku diperkenankan menanyakan namamu, Anak muda..."
"Hyang Bathara! Jagad Pramudita!" Sedah menyebut.
"Yang Tersuci sudah melupakan hamba" Seorang yang pernah dilantiknya sendiri bisa dilupakan" Belum lama, bukan" Dua
tahun lalu..."
"Jagad Dewa! Ini tatacara kerajaan, Yang Suci!" Panuluh sedikit bergetar mendengar jawaban Sedah.
"Jawablah apa yang telah pernah Yang Tersuci ketahui
tentang hamba." Sedah menatap langsung pada Jayabhaya.
Semua orang menjadi takut. Tak ada izin dari siapa pun
menatap wajah penguasa tertinggi bumi Penjalu itu dengan
cara sedemikian.
Dan Jayabhaya memang tersentak melihat sikap Sedah.
Ingin ia mengangkat telunjuknya pada para penjaga. Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan tamatlah riwayat Sedah. Ia melihat Panuluh dalam
kesulitan. Tatakrama yang berlaku di kerajaan ini telah diinjak-injak oleh Sedah. Sambil menahan marah Jayabhaya bangkit
berdiri, namun mata Sedah tetap menatapnya tajam. Mau
tidak mau Jayabhaya mengakui ada wibawa dalam rmata itu.
Sebenarnyalah ia lebih layak menjadi pandita istana dari pada Panuluh, katanya dalam hati. Namun ia tersinggung oleh
sikapnya yang menolak menyembah itu. Kini semua anggota
Dewan Cerdik Pandai tertunduk takut. Sementara Sedah tetap
berdiri di tempatnya. Barangkali saja hatinya berdebar keras.
Tapi itu tidak nampak dalam penampilannya.
"Siapkah yang telah berani menyejajarkan diri denganku ini?" Suara Jayabhaya bergetar. Dengan begitu makin jelas bahwa ia kurang bisa mengucapkan kata er...
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia! Sedah yang berdiri
di sini bukan untuk menyejajari Yang Maha Mulia sebagai
penguasa Penjalu. Hanya memenuhi panggilan kemanusiaan,
untuk menerjemahkan Mahabharata ke dalam Jawa."
"Yang Suci tidak menyembah..."
"Itu bukan berarti tidak menghormati Raja, tapi
mendudukkan gama yang tertulis dalam Rg Weda, Attarwa
Weda, Samma Weda, serta Yajur Weda di tempat yang
semestinya."
"Tidakkah Yang Suci tahu bahwa Raja adalah wakil Hyang Maha Dewa di bumi?"
"Jagad Dewa! Siapa yang telah menjejalkan ajaran itu pada Yang Maha Mulia?" Sedah kini tersenyum. Ternyata giginya tidak rata. "Brahmana sesat yang mengajar seperti itu! Mereka hanya ingin uang dan kehormatan dan karena itu meninabo-bokkan Yang Maha Mulia dengan berbagai gelar."
"Hyang Bathara!" Kini Jayabhaya menyebut. Sementara itu para anggota Dewan Cerdik Pandai makin menciut. Sedah
telah bermulut lancang. Jayabhaya samar-samar ingat,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mungkin anak muda inilah yang enggan berjongkok waktu
rombongannya melewati jalan dekat dermaga itu.
"Baiklah!" Jayabhaya kemudian memerintahkan Panuluh meneruskan pertanyaannya. Dan ia duduk kembali. Lega, para
anggota Dewan Cerdik Pandai. Jayabhaya tidak memarahi
mereka. "Umur berapa?"
"Dua puluh tiga."
"Baik. Sudah siap?"
"Sudah."
"Jika Yang Suci gagal dalam ujian ini, maka Yang Suci
pulang tanpa raga!" Tiba-tiba Jayabhaya menyahut dari
tempat duduknya. "Karena Yang Suci telah melanggar semua peraturan di Keraton Daha ini."
"Mati adalah keberuntungan bagiku! Sebab, dengan
demikian aku telah sampai pada kewajiban terakhirku!" Sedah tersenyum.
Kekaguman kembali mekar di hati Jayabhaya. Walaupun
munculnya bersamaan dengan kebencian. Dan kini ia
mendengarkan dengan baik dan teliti. Ah, sayang dalam
keadaan begini ia tak sempat mampir di taman Prabarini. Jika istrinya itu ikut menyaksikan ujian atas pemuda ini, tentu ia akan bersukacita.
"Pernahkah Yang Suci membaca Mahabharata?" Mpu
Panuluh memulai.
"Ya. Pernah." Sedah tetap berdiri di antara tempat duduk para Dewan Cerdik Pandai yang berbentuk tapal kuda itu.
"Berapa parwa...?"
"Ada delapan belas parwa dalam kitab Mahabharata."
Sedah tidak memberi kesempatan pada Panuluh untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyelesaikan pertanyaannya. "Parwa-parwa ini digubah
dalam bentuk syair. Jumlahnya seratus ribu sloka. Sebenarnya cerita pokoknya cuma terdiri dari dua puluh empat ribu sloka.
Karena banyaknya cerita selingan, maka jumlah sloka-sloka itu membengkak menjadi seratus ribu sloka."
Jayabhaya berdecak kagum. Luar biasa pengetahuan
pemuda ini. Demikian pula para anggota Dewan Cerdik
Pandai. Bahkan pamannya sendiri pun berdecak kagum.
"Baik!" Mpu Panuluh mengangguk-angguk. Dia pun
bangkit. Kemudian berjalan kian-kemari sambil meletakkan
kedua tangannya di belakang tubuhnya. Kadang-kadang ia
mengelus jenggot.
"Apa inti isi kitab Mahabharata?" tanyanya.
"Cerita inti Mahabharata adalah perang saudara selama
delapan belas hari antara dua keluarga besar yang masih
sedarah. Yaitu berdarah Bharata. Pihak yang satu terdiri dari lima bersaudara yang dinamakan kelompok Pandawa.
Keturunan Bharata lainnya adalah Kurawa yang terdiri dari
seratus orang. Itu sebabnya Sri Jayabhaya memerintahkan
Dewan Cerdik Pandai menerjemahkannya untuk memperingati
kemenangan Penjalu atas Jenggala."
Jayabhaya terlonjak dalam duduknya. Anak muda ini bisa
menebak secara tepat. Bahkan langsung berani
menyatakannya. Tapi Sedah melanjutkan lagi, tanpa mau tahu
apa yang bergejolak di hati Jayabhaya,
"Perang itu sendiri dinamakan Bharatayudha! Perang
delapan belas hari namun memakan korban sembilan juta lima
ratus tiga puluh sembilan ribu lima puluh jiwa di pihak Kurawa saja! Belum ditambah dari pihak Pandawa! Kita bisa
membayangkan betapa kejamnya perang! Apa pun namanya!
Perang tetaplah kejam. Pembunuhan atas manusia yang tak
berdosa! Kawula yang tiada pernah merasakan keenakan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pandawa maupun Kurawa, digiring ke medan laga Kurusetra
untuk ditumpas seperti ayam."
"Jagad Dewa!" Jayabhaya tak mampu membendung
kekagumannya. Tidak saja anak muda ini mampu
menerjemahkan, bahkan mampu menunjukkan sikap.
"Baik! Apakah Yang Suci bisa menceritakan secara ringkas tiap-tiap parwa yang ada?" Panuluh masih mengajukan
pertanyaan untuk mewakili anggota lainnya setelah mereka
berunding sebentar.
"Parwa pertama diberi judul Adiparwa oleh pengarangnya, Mpu Vyasa Krsna Dvipayana. Mpu Vyasa menceritakan tentang
asal-usul Pandawa dan Kurawa, dan masa kecil mereka.
Begitu hebatnya sang Maha Mpu ini, sehingga setiap pembaca
akan merasa dirinya terlibat dalam cerita ini. Dan tentu tiap orang akan memihak Pandawa. Bahkan tidak jarang orang
Jawa yang selalu merasa diri sebagai pihak Pandawa. Luar
Biasa indahnya. Sedah menarik napas sebentar. Lalu melihat
pada Sri Prabu. Tampaknya orang itu makin tertarik.
Hari merangkak makin siang kala Sedah menceritakan
parwa kedua, yaitu Sabhaparwa.
"Bahagian ini menceritakan Kurawa dan Pandawa sudah
meningkat dewasa. Mereka membangun Negeri Amarta
dengan istana yang luar biasa indahnya, menyamai istana
dewa-dewa, yang mereka beri nama Istana Indraprastha. Hal
ini membuat para Kurawa iri. Karena itu mereka
merencanakan suatu tipu muslihat untuk menyingkirkan
Pandawa dari istananya. Lebih dari itu supaya Pandawa tidak menuntut haknya atas tahta Hastina yang sekarang ini mereka duduki. Lalu diajaklah mereka berjudi. Karena Pandawa kalah, maka Pandawa dipermalukan.
Pendekar Bayangan Setan 1 Panggung Penghukum Dewa Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Pendekar Bayangan Setan 4
^