Pencarian

Prabarini 6

Prabarini Karya Putu Praba Darana Bagian 6


salah seorang dari mereka yang muncul di permukaan. Masih
banyak lagi yang sependapat dengan hamba."
"Jadi..."
"Larangan terhadap karya-karya tulis para pujangga adalah salah satu bentuk pelanggaran hak. Dan itu kejahatan!"
"Jagad Dewa!"
"Dan inilah yang harus Yang Tersuci sadari! Yang Tersuci telah melakukannya atas karya-karya Mpu Brahma Dewa, juga
karya beberapa mpu lainnya, sementara Yang Tersuci
membiarkan karya-karya orang-orang yang dekat dengan
Yang Tersuci." Sedah .berdiri dan mulai menyemburkan
kegeramannya yang sudah sekian lama ditahan dalam hati.
"Ampunkan hamba, Yang Suci. Demi kerajaan, hamba
melakukannya."
"Atau demi kedudukan sebagai kepala Dewan Cerdik Pandai Penjalu?" Sedah tertawa ngakak.
Kini hati Kepala Dewan Cerdik Pandai itu meriup kecil.
Orang yang dulu diwisudhanya sendiri telah melontarkan
tuduhan itu. Dan meskipun terdengar kasar, jauh di lubuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hatinya ada pengakuan. Maka untuk sementara ia terdiam
sambil mengelus jenggotnya yang putih itu. Matanya tak lepas dari tiap gerak tipu Sedah.
"Hamba pernah membaca Gatotkaca Qraya. Memang
sebuah karya besar yang patut dihargai. Tapi jika Yang
Tersuci jujur, maka hamba percaya bahwa Yang Tersuci
mengerjakannya dengan hati berat. Kecuali jika Yang Tersuci adalah brahmana yang haus darah, Yang Tersuci tak perlu iba dengan penumpahan darah yang biadab di Jambi itu. Apakah
karena yang melakukannya Jayabhaya" Orang yang
membayar Yang Tersuci, sehingga Yang Tersuci perlu
menciptakan Gatotkaca Qraya untuk memperingati
kemenangannya?"
"Yang Suci...." Mpu Panuluh tersinggung, tapi kekuatannya tiada. Punah. Entah ke mana.
"Kehormatan bagi Jayabhaya adalah kehinaan bagi orang
lain! Kemenangan Penjalu, kekalahan bagi Jambi, Penjalu,
Lwaram dan negeri-negeri lainnya!"
"Ampunkan hamba, Yang Suci..." akhirnya Panuluh
menerima. "Hamba juga tidak suka menerjemahkan Mahabharata.
Bukan karena tidak bisa, tapi karena hamba tidak^suka
pertumpahan darah. Pembunuhan yang terus berlangsung
sepanjang zaman. Jadi, yang hamba lakukan sekarang dengan
satu tujuan tertentu."
"Apa itu?" dua mpu di hadapan Sedah itu terkejut. Dua pasang mata tua mereka seolah ingin terlompat keluar dari
kelopaknya. "Akan datang waktunya untuk mengetahui semua itu."
"Jagad Dewa!" Keduanya menarik napas panjang
berbareng. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ada bagian penting yang memang harus diterjemahkan."
Sedah tersenyum tipis. "Tapi sebahagian besar contoh buruk: berebut warisan." Sedah diam lagi. Beberapa bentar kemudian berkata lagi sambil mengarahkan wajahnya ke jendela. Bicara seperti pada diri sendiri. "Itu masih lebih baik dari kebanyakan pujangga kita sekarang. Apa yang mereka utarakan dalam
tulisan-tulisan mereka tak lebih dari masalah laki-laki dan perempuan. Membosankan! Pembunuhan yang dikarenakan
rebutan wanita cantik. Ah..."
"Yang Suci, tak selamanya kebenaran itu benar..." Panuluh ikut berdiri, demikian pula Mpu Samirana Guna. "Dan karena itu, tidak semua pendapat, bisa dinyatakan kepada semua
orang. Inilah kenyataannya, Yang Suci."
Sedah tercenung dalam-dalam.
"Memuakkan!" Sedah tetap tak menggubris tamunya.
Berdekap tangan memandang ke luar, kemudian tak berkata-
kata lagi. Tak tahu apa yang berkecamuk dalam hatinya.
Sampai setelah tamu-tamu itu pulang. Sedah masih melamun
sendiri. Jodeh dan Sontoh terpaksa menolak para tamu yang
datang, ketika Sedah sudah berhadapan dengan lontar-lontar
untuk menulis kembali. Sedah ingin secepatnya menyelesaikan beberapa parwa sebelum Salyaparwa itu. Terutama sekali
Karnaparwa. Ini tentu menarik, pikirnya.
Karnaparwa menceritakan bahwa Karna lahir dari hubungan
gelap antara Hyang Surya sebagai Dewa Matahari dengan
Dewi Kunthi, putri raja Mandura. Dan anak itu lahir lewat
telinga. Karena malu tak berayah, maka bayi tersebut dibuang di Sungai Gangga, dengan maksud diserahkan kembali pada
Hyang Surya. Dan untuk itu Kunthi memerintahkan kusirnya,
Adirata. Namun Adira-ta tak sampai hati membuang anak itu,
ia justru menyembunyikannya dan malah memelihara Karna.
Sampai masa mudanya Karna dipelihara oleh seorang kusir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tentu mengalami penderitaan lahir-batin. Walau harus
melewati perjuangan berat, penghinaan karena derajatnya
sebagai anak kusir, ia diterima sebagai salah seorang murid di Perguruan Tinggi Sokalima. Dan Hyang Drona tak pernah
memper-bedakan antara dia dengan murid-murid lainnya saat
itu. Ia menilai kepandaian Karna sejajar dengan Pandawa, dan lebih pintar dibanding para murid Kurawa. Dendam yang
bergelora di hati Karna diperhinakan sebagai anak sudra, telah melecut dirinya untuk belajar dan berjuang lebih keras. Dan berhasil, setelah ia memadamkan pemberontakan raja
bawahan Hastina dari Awangga. Atas kemenangan itu, Karna
diangkat menjadi raja bawahan Hastina. Karna melepaskan
diri dari kesudraannya. Ia kebaskan semua kehinaan yang
merundung dirinya.
Lebih hebat lagi, Karna mampu mempersunting salah
seorang anak Prabu Salya dengan istrinya Setyawati. Tanpa
rasa rendah diri sebagai anak sudra, ia mampu melompati
pagar taman sari Kerajaan Mandaraka dan memadu kasih
dengan anak raja itu. Cintanya pada Surtikanthi memang
tulus. Ia tak pernah berkhianat, karena itu ia tak pernah
memperduakan cintanya sampai ia gugur di tangan Harjuna
dalam perang Bharatayuddha.
Sedah memang sangat tertarik pada tokoh Karna. Seorang
miskin, sudra, tapi tidak pernah gagal meraih cita dan
cintanya. Ia bertekad mengabadikan tokoh itu dalam susunan
kata yang tepat. Sastra bukan sekadar rangkaian kata-kata
indah, tapi harus mengandung kebenaran yang mendasar,
yang kelak membuahkan tuntunan bagi jalan hidup
pembacanya. Bukan sekadar hiburan. Itu sebabnya Sedah tak
mau diganggu. Mendung kelabu menggantung tebal di seluruh ibukota
Daha. Bahkan mungkin saja sampai jauh ke luar ibukota.
Gerimis tipis mengiringi jatuhnya senja hari. Saat itulah
memang pilihan Prabarini yang melintas penjagaan para
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengawalnya dengan jalan kaki. Nyi Rumbi memayunginya
dengan payung sutera buatan China. Dan para pengawal tak
memperhatikannya lagi. Mereka terlalu sering menerima
hadiah. Apalagi kepergian Prabarini juga atas perkenan Sri
Prabu sendiri. Tak seorang pun keluar dari rumah. Mereka sibuk
memasukkan ternak ke kandang atau menghitung unggas
mereka masing-masing, sementara yang lain sibuk, memasang
lampu. Para petani baru saja membersihkan diri dari belepotan lumpur. Prabarini berjalan dengan hati berdebar. Titik-titik debu basah melompat ke tumitnya, satu-dua. Jarak serasa
amat jauh. Jauh! Seratus langkah, dua ratus langkah... lima ratus langkah. Sontoh menghentikan langkah dua wanita itu.
"Atas perintah Yang Maha Mulia aku memasuki pelataran
ini," kata Prabarini berang.
"Tapi...," Sontoh menggigil kedinginan, "hujan-hujan begini" Siapa..."
"Hei! Kamu lancang!" Nyi Rumbi memperdengarkan suara.
Sontoh melihat. Sementara Jodeh ikut mendekat.
"Hei! Cepat beri jalan!" Prabarini makin berdegup.
"Ampun, Yang Mulia... Mpu Sedah tak bersedia terima
tamu." "Drubiksa kamu! Lapor! Aku yang datang. Jika ditolak bisa kena hukuman!"
"Oh, jika demikian... masuk saja sendiri. Yang satu ini tidak boleh ikut! Kami tahan di rumah hamba saja. Nah, usai mohon Yang Mulia memberitahu."
"Begini saja, hamba pulang dulu ke taman. Di rumah
kunyuk ini bisa-bisa dilabrak istrinya!" Nyi Rumbi ketawa.
Semua juga. Dan Prabarini meneruskan perjalanannya
sendiri. Jodeh dan Sontoh yang takut melanggar perintah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah, buru-buru' pulang. Melarang takut salah, mengizinkan terang dimarahi oleh Sedah, yang akhir-akhir ini menjadi
pemarah. Dan di ambang tangga Prabarini sempat mencuci
kakinya sendiri. Titik-titik pasir basah pun jatuh oleh siraman air. Pelahan ia meniti tangga kayu. Dan debar jantungnya kian mengentak-entak. Di beranda berhenti sebentar. Pintu
tertutup. Prabarini memutar tubuh untuk melihat ke semua
arah. Keremarigan mulai turun- Mendung di mana-mana.
Sunyi. Dengan tangannya yang mungil dan halus ia mulai
mengetuk. Pelan-pelan. Dan ia kumpulkan semua keberanian
yang ada. Tak ada jawaban. Suara gemersak air jatuh
berintik-rintik lebih menguasai suasana. Mengetuk lagi. Sekali lagi. Tiada berjawab. Suara batuk-batuk kecil yang terdengar di dalam. Ia lebih mengeraskan ketukan.
"Ada apa, Jodeh?"
"Hamba..." bibir Prabarini gemetar. Udara makin dingin.
Tapi Sedah tak menyahut lagi. Suara lirih Prabarini ditelan rintik gerimis yang menimpa sirap rumah itu. Akhirnya habis sabar Prabarini. Jari-jemari runcingnya tampak gemetar ketika pelahan-lahan menguak daun pintu kayu yang berat itu. Ia
gerakkan lehernya untuk menjenguk-kan kepala. Ruangan
luas terhampar di depannya. Kini tubuhnya pun sudah masuk.
Pelan. Angin kencang yang disertai hawa dingin menyerbu masuk.
Sedah terkejut. Ia menoleh. Prabarini berdiri di ambang pintu.
Tak percaya. Ia gosok matanya. Belum beranjak. Tapi hati
berdebar keras. Ah, bukan hanya mimpi. Bukan! Pelahan ia
bangkit. Ia pandang Prabarini mulai ujung kaki sampai ujung rambut. Tidak seperti dulu. Kini rambutnya tersanggul di atas kepalanya. Rambut itu berhiaskan kondai emas bertatahkan
mutiara dan jamrut. Berkelip tertimpa sinar lampu. Sebagai
akibatnya, leher jenjang Prabarini semakin nampak jelas.
Kalung mutiara dan emas menghiasi leher itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kembali Sedah menggosok matanya. Bukan cuma bayang-
bayang. Lesung pipit di pipi montok Prabarini menjelaskan
pada Sedah bahwa kehadirannya bukan cuma dalam angan.
Tak melekat jubah sutera dalam tubuh wanita muda ini.
Susunya cuma berkutang emas berantai-rantai. Tegak
memamerkan pesona dengan putik yang tertutup kelopak
daun terbuat dari emas mulia. Pusarnya juga terbuka, karena pending emas yang melingkar di pinggang itu justru melorot di bawah pusarnya. Kain sutera ketat menutupi bagian bawah
tubuhnya sampai di bawah lutut sedikit. Namun bahagian
depannya terbelah, sehingga kadang tersingkap sedikit jika
angin bertiup: memamerkan ujung paha dan lutut kuning
bersih karena tak pernah berbelepotan lumpur seperti wanita kawula Penjalu atau para petani. Sedah berulang menghela
napas tanpa kata. Prabarini bukan lagi seperti yang dulu.
Bukan brahmani!
"Kanda..." Prabarini lebih dulu menyapa dengan suara bergetar, seperti sukmanya yang sedang bergetar. Seribu rasa menyatu tanpa tentu. Suara yang menyentakkan Sedah dari
semua khayalnya.
"Adinda..." Ia melangkah meninggalkan semua lontarnya.
Prabarini makin bergetar. Lututnya seperti tak mampu
menahan berat badannya. Dan sebelum Sedah berdiri tepat di
hadapannya kaki itu tertekuk tanpa sadar.
"Ampunkan hamba..." Air matanya tersembul pelahan, lalu mengalir membasahi pipinya. Bahkan mulai jatuh ke dadanya.
Sedah masih terpateri di hadapan Prabarini, sambil berdiri
tegak. "Kanda..." Kembali Prabarini mengiba.
"Prabarini..." Suara Sedah terdengar amat dalam.
Prabarini memeluk kedua lutut Sedah. Membenamkan
mukanya. Kini terisak. "Kenapa Kanda panggil dengan nama itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah aku tak boleh menerima kenyataan bahwa kau
sudah bukan kekasihku yang dulu" Kau telah menyamakan
dirimu" Apa aku salah jika aku memanggilmu dengan namamu
sekarang" . Atau aku harus menipu diriku sendiri dengan
meniadakan semua kenyataan yang aku lihat?"
Pundak Prabarini berguncang oleh isak yang makin
menyesakkan. "Tiada ampun..."
"Jangan kaukatakan itu, Prabarini! Aku Cuma mau jujur
pada diri sendiri! Tidak gampang itu! Kau mau menipu dirimu sendiri" Dengan berkata bahwa kau masih seperti dulu?"
"Setidaknya hati hamba..."
"Cuma Hyang Maha Dewa yang mampu menyelidiki hati!
Sudahlah! Aku mau belajar menerima semua ini!"
"Jika tiada pengampunan, bunuhlah hamba!"
Sedah mengerutkan dahi, lalu dengan jemari yang bergetar
ia menarik bahu Prabarini agar berdiri. Prabarini merasakan betapa dingin tangan yang menempel di kedua belah bahunya
ini. Keringat dingin telah keluar dari pori-pori di telapak tangan Sedah. Dan ia berdiri. Wajah mereka berhadap-hadapan.
Prabarini sedikit mendongak. Dekat sekali.
"Kau adalah Prabarini!" Sedah tiba-tiba saja melepaskan pelukannya. Ia sendiri tak tahu mengapa. Ia yang
merencanakan kehadiran Prabarini semacam ini, tapi
mendadak saja darahnya seperti menggelegak. Memang
seharusnya ia membunuhnya.
"Masihkah harus ada hakmu untuk membela diri" Kau telah berkhianat terhadap sumpahmu sendiri di hadapan Hyang
Maha Dewa! Apakah masih mengharap pengampunan?"
Dingin sekali suara Sedah dalam getaran jiwanya.
Prabarini tergagap. Seluruh persendiannya seperti dicopoti
satu-satu. Apalagi ia melihat Sedah berjalan
memunggunginya. Menuju tempat kerjanya kembali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Suci..." Prabarini mengikuti langkah Sedah.
"Seharusnyalah tanpa ampun bagi seorang seperti hamba.
Tapi tiada bolehkah hamba menjelaskan sedikit alasan kenapa semua ini bisa terjadi?"
Sedah menghentikan langkah di depan hamburan
lontarnya. Ada yang sudah diisi tulisan. Ada yang masih
kosong. "Tiap orang akan menyusun berjuta alasan untuk
mempertahankan kebenarannya sendiri. Masihkah aku harus
mendengarnya?"
"Oh..." Kembali tangis Prabarini terdengar. "Ternyata semua orang sama! Satria maupun brahmana! Mereka hanya
pandai memperdengarkan suaranya, tapi tak pandai
mendengar! Coba apakah yang diperbuat Yang Suci,
seandainya tempat kita berganti" Yang karena keinginan
mencari kekasihnya, pria pujaannya yang bernama Sedah,
kemudian jatuh ke tangan drubiksa. Dan, dihadapkan pada
dua pilihan: dilempar ke tengah-tengah para budak di
tambang emas untuk diperkosa beramai-ramai dan
bergantian, atau menerima menjadi Paramesywari! Apa
pendapat Yang Suci"! Berilah jawab!" raung Prabarini makin keras.
Sedah tercenung. Pandangnya menatap dinding yang
terbuat dari jajaran bambu kuning pilihan, tanpa makna. Apa pendapatmu Sedah" usik hatinya sendiri.
"Haruskah seorang brahmani menyerah begitu saja?"
terlompat tanya dari mulutnya.
"Tidak! Tapi Jayabhaya bukan orang yang terbiasa
mendengar pendapat. Harus terjadi semua yang dia maukan.
Hamba sudah bersemadi. Menyerahkan dan memohon
pertolongan Hyang Maha Dewa! Segala yoga, puasa, dan daya
sudah hamba kerahkan... Tapi, oh, Hyang Maha Dewa sendiri
tak pernah kunjung tiba... Tidak, Yang Suci! Pertolongan tiada.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jalan untuk berlari juga tertutup. Lalu apa salah jika hamba berbuat seperti Sinta dalam genggaman Rahwana, menunggu
dan menunggu datangnya..."
"Aku bukan Sri Rama, Prabarini! Aku adalah aku. Dan aku akan tetap ingin menjadi seperti diriku sendiri," Sedah menegaskan.
"Hyang Dewa Ratu! Jika demikian... sia-sia hidup hamba selama ini, Yang Suci" Juga, apa artinya Yang Suci datang?"
Prabarini berputus asa. Tiba-tiba saja suara gemerincing
logam jatuh di lantai kayu rumah Sedah. Sedah menoleh ke
arah suara itu. Dua logam uang emas dilempar oleh Prabarini.
"Apa pula artinya Yang Suci mengusik hamba dengan
logam itu" Nah, jika kedatangan Yang Suci bukan untuk
menghukum..." Prabarini terhenti lagi. Kerongkongannya seolah tersumbat.
"Kau sudutkan aku, Prabarini! Kau ingin menjadikan diri seperti Sinta?" Sedah menarik napas panjang.
Prabarini mengamati wajah kekasihnya itu. "Lihatlah Sinta yang mampu mempertahankan dirinya sebagai seorang istri
suci! Yang berani berkata dan menentang Rahwana akan
merobek kulitnya jika raksasa perkasa itu menjamah kulitnya.


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau" Mimpi-mimpi buruk memburuku setiap waktu."
Tubuh Sedah pun menjadi lunglai. Pikirannya seolah buntu.
Dasar anak bandit! Palagantara tak lebih dari bandit busuk!
Mengapa kau akan terima dia" Pergulatan muncul dengan
tiba-tiba dalam benak Sedah. Pantas!!! Pantas bersuamikan
bandit yang merampasi semua harta petani! Ya! Petani adalah makhluk mengibakan sepanjang segala abad! Karena haru$
selalu mempersembahkan dan terus mempersenv-bahkan.
Tanah memang subur! Padi memang menguning. Tapi sering
mereka cuma makan ubi. Apa sebab" Ulah orang-orang
semacam Jayabhaya telah menjadikan mereka makhluk
terhina sepanjang masa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan lemah Sedah terduduk.
"Yang Suci..." Prabarini menjatuhkan cundrik yang sudah dia persiapkan, yang terbungkus di balik kainnya.
"Hamba rela menerima hukuman. Mati sekalipun, asal di
tangan Yang Suci." Ia menghadapi Sedah sambil menyodorkan cundriknya. . Sedah memandangnya dengan pandangan
kosong. Dan beberapa saat mereka saling pandang-Sedah
seperti kehilangan keseimbangan.'
"Hamba- bersalah, Yang Suci... Hukumlah! Hukumlah
hamba! Bunuhlah!"
Benar-benar Sedah tak mampu berkata-kata. Kepalanya
pening. Makin pening. Mendadak muncul di hadapannya
beribu-ribu bintang. Seolah berputar di hadapannya. Dan
sebelum ia lupa akan semua dan segala, ia sempat
mengucapkan kalimatnya,
"Tinggalkan aku sendiri, Prabarini! Pergilah dengan damai!
Aku masih terlalu lelah!" Lalu matanya terpejam. Tubuhnya tergolek tanpa daya.
Prabarini terkejut. Tak tahu harus berbuat apa. Ia berlari
turun. Ke rumah Jodeh dan Sontoh...
0ooo0dw0ooo0 BAB VII NIRWIKANA (kesatuan antara atman (tubuh) dan brahman (sukma))
Tak pernah membosankan! Meski terus berulang. Bola bumi
bergulir tanpa henti di tengah antariksa. Melintas balantika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bintang-gemintang dan semesta alam. Menghasilkan
perubahan waktu dari hari ke hari. Menghasilkan perubahan
panorama di mana-mana, di tiap. sisir belahan bumi. Dan tiap hari melahirkan kekaguman tanpa tepi. Ada orang yang
mengatakan bahwa semua itu dikerjakan oleh seorang dewa:
Bathara Kala! Tak pernah ada yang bisa membayangkan
wajah dan perawakan Bathara Kala, kecuali para dalang
wayang purwa. Dewa perkasa yang mampu menyorong dan
menggelindingkan bola bumi. Lebih luar biasa, sang Kala
pulalah yang memusnahkan kekekalan!
Dengan menambahkan usia pada tiap makhluk, setiap hari
ia menggerogoti kekuatan, ketampanan, kecantikan, dan
keperkasaan. Pendek kata, menggerogoti semua dan segala!
Lahir, tumbuh, dewasa, dan akhirnya lapuk. Demikian pula
Jayabhaya! Ketuaan membuat ia makin sering jatuh gering.
Untung putranya, Rakai Holu Sirikan, sudah terlatih tampil di depan umum untuk mewakilinya di balairung sari. Tapi
rasanya Jayabhaya selalu ingin menguatkan diri. Apalagi jika pergi ke taman Prabarini. Rasanya ingin menjadi lebih muda
dari semua pemuda yang mana pun di muka bumi ini.
Begitulah pagi ini. Ia telah siap dengan pakaian
kebesarannya untuk tampil di balairung, setelannya akan
menjumpai Paramesywari di taman. Ia ingin menanyakan hasil
perjumpaannya dengan Sedah, walau sebenarnya ia belum
sembuh benar. Namun sebelum ia melangkah keluar, tampak
Prabarini bersimpuh di ambang pintu.
"Istrinda, dirgahayu!"
"Sembah untuk Yang Maha Mulia." Prabarini masih
bersimpuh di tempatnya sambil mene-langkupkan kedua
telapak tangan lalu mengangkatnya ke depan hidung.
"Jagad Dewa! Tentu ada sesuatu yang penting, maka
Adinda menghadap tanpa dipanggil."
"Hamba, Yang Maha Mulia."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Marilah, Istrinda! Mari kita duduk!" Jayabhaya mendekati istrinya.
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Hamba cukup di sini.
Gembira sekali setelah melihat Yang Maha Mulia sehat
kembali." "Jagad Dewa!" Jayabhaya tertawa. Alisnya sebelah kanan terangkat naik. Ia merasa bahagia.
Ia datangi istrinya. Tiba-tiba semangatnya memuncak.
Seperti orang haus ia angkat tubuh istrinya, lalu diciuminya, namun Prabarini menampik dengan sopan. "Mengapa?"
"Yang Maha Mulia lupa" Beginilah harus terjadi pada tiap wanita pada setiap bulannya..."
"Oh!" Jayabhaya tampak kecewa. Namun Prabarini seolah tak peduli. Lalu berkata lagi,
"Hamba ingin mempersembahkan hasil kunjungan hamba
pada Mpu Sedah," suara Prabarini dingin.
"Kenapa dengan Sedah?"
"Yang Maha Mulia lupa?"
"Ya! Ya! Tak lupa. Ah, maafkan! Kemarin memang kepalaku masih pening. Sudah bersua Sedah?"
"Sudah."
"Apa katanya?"
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia! Sedah sedang sakit."
"Apa kata Istrinda?" Jayabhaya terhenyak.
Prabarini memandangnya tajam. Ingin ia men-jajagi
hatinya. "Sedah sedang tergolek karena sakit. Barangkali terlalu lelah. Atau kecewa karena tak menemukan apa yang
dicarinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagad Dewa!"
"Kala hamba masuk ia tergolek di ruang kerjanya. Tangan kirinya masih menggenggam lontar." Prabarini diam sebentar.
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia, karena tanpa seizin
siapa pun hamba mencoba membaca lontar-lontarnya yang
berserakan. Ternyata ia sedang menyelesaikan Karnaparwa"
"Mpu muda itu terlalu keras. Kemauannya tak terbendung.
Mengapa itu bisa terjadi...?" Jayabhaya berkata seperti pada diri sendiri. Kini ia tampak berdekap tangan. Menghela napas panjang.
Prabarini menyahut lagi. Pelan. Dan hati-hati.
"Rupanya kekerasannya telah membuat tubuhnya menjadi
makin rapuh. Tidakkah Yang Maha Mulia melihat bahwa ia
tampak kurus?"
"Ya!" Jayabhaya menghadap istrinya. Wajahnya nampak sungguh-sungguh.
"Yang Maha Mulia kurang memperhatikan kesehatannya.
Barangkali ia tidak pernah memperhatikan makannya. Tak
hamba lihat orang yang mengurusnya."
"Jagad Dewa! Jangan-jangan..." Jayabhaya seperti
menyesal. "Hemh... aku akan tengok dia! Mari, Istrinda!"
Kereta segera dipersiapkan. Dengan kawalan seperlunya
saja Jayabhaya menuju ke tempat Sedah. Sebentar-sebentar
mendung menutup sinar mentari pagi. Tiap orang yang
berpapasan jalan segera menjatuhkan diri. Menyembah sambil
berjongkok. Tak terampunkan debu menimpa tubuh mereka.
Tapi tak apa. Karena banyak orang mengajar, jika terkena
aniaya oleh karena Jayabhaya, tentu akan menerima pahala.
Lebih dari itu seandainya mati, asal di tangan Jayabhaya,
tentu akan langsung masuk ke alam nirwana.
"Bisa tertunda pekerjaannya." Jayabhaya bergumam di sela derak keretanya. Kusir di depannya tak berani menoleh. Sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti kuda penarik kereta itu: tak berani menoleh. " "Jika Yang Maha Mulia berkenan, hamba bisa membantu Mpu
Sedah menerjemahkan bahagian yang tidak terlalu rumit. Dan
yang lebih penting dari itu, kesehatan Sedah harus dipelihara.
Dijaga! Demi Hyang Maha Mulia, Demi Hyang Maha Dewa,
hamba akan kerjakan jika ada titah..."
Jayabhaya memandang wajah istrinya. Mulutnya terkatup
rapat. Prabarini berdebar. Seribu doa ia baca dengan suara tak kedengaran.
"Kau?"
"Tergantung titah Yang Maha Mulia."
"Sanggup mengerjakan pekerjaan berat itu?"
"Inilah hamba, Yang Maha Mulia."
Kembali Jayabhaya terdiam.
Prabarini sudah memberanikan diri. Kapan lagi" Sedah
sudah tiba sekarang. Jadi, ia harus membuktikan kepada
Sedah bahwa sebenarnyalah ia sangat mencintai pemuda itu.
Dan untuk itu perlu pengorbanan. Meski begitu ia kembali
berdoa. "Setidaknya selama ia sakit. Barangkali ia bisa
mengucapkan apa yang harus hamba tulis, sementara dia
berbaring saja."
"Begitu lemahkah keadaannya?"
"Sangat lemah. Antara sadar dan tidak."
Kereta sampai di depan rumah panggung Sedah. Jodeh
tergopoh-gopoh berlari ke gerbang. Llu menjatuhkan diri di
kaki Sri Jayabhaya.
"Bagaimana kabar tuanmu?" Jayabhaya bertanya.
Kemudian bergesa masuk ke halaman.
"Tadi pagi kembali tak sadar, Yang Maha Mulia."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudah panggil tabib" Hei?"
"Ampun, Yang Maha Mulia, belum."
Jayabhaya menaiki tangga dengan geram. Jodeh dan
Sontoh jadi sasaran makian. Prabarini mengikut di
belakangnya, sementara Jodeh dan Sontoh saling pandang.
Selamanya orang kecil tidak pernah benar. Hampir tak pernah mendapat pujian, tapi paling sering jadi sasaran makian.
Sedah masih tampak berbaring lemah di samping lontar-
lontar yang berserakan. Wajahnya pucat. Matanya terkatup
rapat. Pelahan Jayabhaya mendekati. Dada Sedah naik-turun:
tanda masih bernapas. Jayabhaya berjongkok. Ia raba. Kepala Sedah terasa panas. Sedah membuka matanya. Sesaat ia
pandang Jayabhaya. Tapi kemudian ia pejamkan matanya,
seakan tak ingin menyapa. Prabarini mengawasi Jayabhaya
dengan debar. "Ia tidak sakit, tapi sangat lelah, Yang Maha Mulia... Lelah tenaganya, pikirannya, juga hatinya," Prabarini menerangkan, dan kembali menyembah.
Kembali Jayabhaya memandang Sedah yang tergeletak
tanpa daya. Mungkin saja Sedah sangat terguncang jiwanya
karena tidak menemukan wanita yang bisa dia gambarkan
sebagai Setyawati. Itulah tanggung jawab.
"Istrinda, aku terlalu sibuk untuk memperhatikannya. Ia sangat kita butuhkan! Barangkali kau lebih pantas untuk
mengurusnya. Panggillah tabib jika itu memang perlu.
Ambillah kebijakan demi namaku."
"Mudah-mudahan hamba dapat melakukannya, karena
hamba cuma brahmani dungu."
Keduanya meninggalkan tempat itu. Pulang ke taman.
Sudah lama ia tidak makan pagi bersama Prabarini. Dan kini ia ingin merasakannya, walau tak mungkin memesrainya harini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perasaan Prabarini bertolak belakang dari Jayabhaya.
Walau sudah mendapat keleluasaan, tapi belum tentu ia dapat memulihkan hati Sedah. Dan jika usahanya gagal, tak ada lain yang dipikirkannya kecuali mengakhiri semua-mua. Tapi bagi
Prabarini, inilah memang saat yang tepat untuk
mempersembahkan segala dharmanya buat kekasihnya.
Membuktikan bahwa keinginan untuk memenuhi sumpahnya
tetap ada. Itulah yang mendorongnya segera kembali ke rumah
panggung Sedah setelah Jayabhaya meninggalkan wismanya.
Ia telah memerintahkan Nyi Rumbi untuk membuatkan air
kunyit yang dicampur dengan madu. Dengan membawa bekal
makanan ia naik ke rumah panggung Sedah. Pada Jodeh dan
Sontoh ia perintahkan supaya tubuh Sedah diangkat ke kamar
tidurnya. Cukup besar sebenarnya kamar itu. Ada dua jendela besar yang mengalirkan angin segar kapan saja dikehendaki.
Tapi kamar itu tak teratur. Bumbung tempat penyimpan lontar terserak di mana-mana. Permadani alas tempat tidur itu pun
sudah beberapa waktu tidak dibersihkan. Debu menempeli
semua benda yang ada. Prabarini geleng kepala. Betapa jauh
perbedaan rumah Sedah dengan taman sarinya. Lalu apa saja
kerja Jodeh dan Sontoh"
Ia mengambil kain lalu dibasahinya untuk kemudian
ditempelkan pada dahi Sedah. Sementara itu ia berusaha
membersihkan ruangan. Mengatur kembali bumbung-
bumbung. Sedah membuka mata: heran ada di kamar tidur.
Lebih heran ada kain basah di dahinya. Matanya menyapu isi
ruangan. Matanya beradu dengan Prabarini yang sedang
menata bumbung-bumbung.
"Sudah kubilang, pulanglah ke tamanmu! Kenapa masih di sini"'* Sedah memperdengarkan suaranya. Parau. Lemah.
"Itu kemarin, Yang Suci. Kini hamba kembali." Prabarini tidak menghentikan kegiatannya. Terus saja membenahi
semua benda yang semrawut.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kenapa kau kembali?"
Prabarini sudah usai. Sedah belum mampu bergerak. Cepat
wanita itu mendekati.
"Yang Suci masih sakit. Seorang yang sakit tubuhnya, sakit pula pikirannya. Nanti saja jika Yang Suci sembuh kita
selesaikan persoalan kita," katanya sambil mengambilkan air kunyit. Sedah tidak mau menerimanya. Namun Prabarini menyuapkannya lembut, sambil mengangkat kepala
Sedah dengan tangan kirinya. Cangkir tembikar menempel
di bibir Sedah. Cangkir buatan China. Tentu tak akan dimiliki oleh kawula buat selama hidupnya. Entah apa sebab, kini
Sedah meneguknya.
"Habiskan, Yang Suci. Jalan di depan kita masih jauh."
Ragu. Tapi menurut.
Dengan hati-hati Prabarini meletakkan kembali kepala
Sedah. Demi Hyang Maha Dewa, Prabarini merasa bahagia. Ia
merasa tak pernah melakukannya untuk orang lain. Senyum
kecil tersungging samar. Sedah tak menangkapnya. Tidak!
Kanda, hamba tak pernah melakukan buat Jayabhaya. Tidak
akan pernah! Prabarini meninggalkan ruangan itu diikuti
pandang Sedah. Tapi beberapa saat kemudian ia masuk
kembali sambil membawa sepiring nasi. Sedah meliriknya.
Kawula tak pernah punya piring sebagus ini. Tentu buatan
China. Betul! Mata Sedah masih bisa melihat itu. Kawula
makan beralas daun jati atau pisang, atau piring yang terbuat dari tanah liat yang dibakar, bukan dari keramik. Kini Prabarini duduk di pembaringannya kembali.
"Makan, Kanda. Hamba sendiri yang memasaknya."
"Tak pernah ada Paramesywari memasak sendiri."
"Tidak untuk Jayabhaya. Tapi untuk Kanda... Tidak
percaya" Tanyakan pada Jodeh dan Sontoh! Mereka yang
menyediakan kayunya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tanpa menunggu jawab Sedah, ia menyuapkan nasi
dengan lauk pecel ikan lele. Sengaja Prabarini menyediakan
makanan seperti itu, karena demikianlah dulu makanan
mereka kala akan berpisah. Sedah pun menelan suap demi
suap yang dijejalkan Prabarini ke mulutnya. Bagai anak kecil yang disuapi ibunya. Diam-diam angannya mengembara pada
saat-saat lampau. Entah, sepuluh atau dua puluh suap, tapi
yang jelas nasi di piring itu tidak habis. Sedah menghentikan tangan Prabarini. Kembali Prabarini mengangkat kepalanya,
lalu meminumkan air kelapa muda. Selesai itu, Prabarini
sendiri menyuapkan nasi sisa makanan Sedah ke dalam
mulutnya. Sedah seperti tersentak memandang itu. Hampir tak percaya pada apa yang dilihatnya.
"Jagad Dewa!" ia berdesah. "Kanda... Lupakanlah dulu beban itu. Hamba cuma boleh di sini sampai mentari di batas cakrawala barat."
Sedah tak pernah menghalangi Prabarini kembali ke taman
sarinya. Tidak juga bisa menghalangi gadis itu membantunya
dalam banyak pekerjaan pada hari-hari berikut. Kesehatannya berangsur pulih. Wajahnya menjadi tidak pucat lagi. Jodeh
dan Sontoh pun ikut gembira. Ia segera memberitahukan
kepada kawan-kawannya bahwa Mpu Sedah sudah sembuh.
Dan semua orang yang menjadi sahabat Sedah gembira.
Kiriman datang mengalir. Ada yang mengirim setandan pisang, ada yang mengirim sekeranjang pepaya, jambu, mangga, dan
macam-macam lauk-pauk. Prabarini takjub menyaksikan
semua itu. "Dari mana saja semua ini, Yang Suci?" ia bertanya suatu pagi.


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dari kawula. Mereka mengira aku tidak ada yang memberi makan. Mereka pun takut aku kelaparan." Sedah tersenyum.
Hati Prabarini pun berbunga. Mungkin saja Sedah lupa
bahwa ia harus menyimpan senyumnya di depan Prabarini.
Tapi tidak, ia tidak pernah berpura-pura.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Begitu banyak orang mencintai Yang Suci. Lalu mengapa Yang Suci akan meninggalkan mereka?" Kini Prabarini duduk di samping Sedah. Bau harum tubuhnya merambat pelahan ke
hidung Sedah. Dada $edah berdesir.
"Hidup seperti lembah yang amat panjang. Kematian
adalah ujungnya, sedang kelahiran adalah awalnya." Sedah masih memperhatikan karyanya. Telah beberapa hari Prabarini yang menulisnya. Namun kini Sedah sudah duduk di lantai
bersama kumpulan lontar-lontar.
"Selama kita hidup, kita akan menjalaninya. Lembah
berbatu-batu atau berlumpur semua terhampar di depan kita,
bukan?" tanya Prabarini.
"Ya." Sedah belum menoleh. Tapi kini tangan Prabarini menumpang di punggungnya. Bahkan kepalanya bersandar di
bahu Sedah. "Jika ya, kenapa Kanda marah jika hamba tersandung?"
Diam sebentar. Sedah menoleh. Kini Prabarini menggunakan
tangan kirinya untuk membelai rambut Sedah yang terurai.
Mpu Sedah menembuskan pandang ke mata Prabarini yang
basah. "Karena kau brahmani!"
"Jadi brahmani tak boleh salah" Tak bisa salah?"
Sedah meletakkan alat tulisnya. Prabarini mendesak maju.
"Bisa. Bisa salah. Tapi harus berusaha agar tidak salah!"
Entah apa yang mendorongnya, Sedah tiba-tiba memeluk
tubuh Prabarini yang duduk di depannya. Prabarini pun. Makin lama makin erat. Rasanya enggan berpisah lagi. Beberapa
saat kemudian Sedah merenggangkan pelukannya. Ia hapus
air mata Prabarini. Tindakan Sedah itu memberikan arti lain.
Seolah memberikan damai yang melampaui segala akal dan
pikiran Prabarini. Ia tatap mata Sedah. Masih saja seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mata rajawali. Tak pudar oleh aniaya yang dialaminya.
Prabarini malu sendiri.
"Kanda telah salah melihat hamba. Hamba memang bukan
brahmani, bukan pula satria..."
"Ya! Kau adalah anak Palagantara!"
"Jagad Bathara!"
"Ibumu juga pernah diperistri oleh suamimu! Kendati cuma selir. Palagantara telah menjualnya kepada Jayabhaya."
"Hyang Dewa Ratu..." Prabarini merasa tak pantas lagi berhadapan dengan Sedah. Sedah ternyata telah mengetahui
semua-mua. "Lalu... apakah artinya lagi hamba ini bagi Yang Suci?"
"Kau adalah bidadariku, kau adalah napasku, kau adalah permata hatiku..."
"Oh, Yang Suci."
Kembali keduanya berpelukan.
"Kau tak tahu betapa lama aku menunggu supaya
Jayabhaya menyerahkan kau seperti ini. Prabarini, masihkah
kau takut?"
"Bersama Kanda ketakutan sirna... Kanda sudah siap?"
"Aku akan membayar harganya, Prabarini. Berapa pun!"
"Harga seorang Paramesywari adalah nyawa." Prabarini memeluk lagi. Seolah ia ragu mengatakannya, tapi telah
terloncat keluar.
"Ya! Di bumi ini kita akan mati. Tapi tidak di hati manusia yang mencintai keadilan. Mencintai hak-hak..."
"Kanda..." Prabarini merangkul lebih erat. Bahkan mencium pipi pemuda idamannya itu. Prabarini merasakan betapa
Sedah gemetar. Keringat dingin bermanik-manik tersembul di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pori dahinya. Prabarini menyekanya dengan telapak
tangannya. "Kanda... mentariku, dewa dan kehidupanku..."
Sedah membalasnya dengan ciuman.
"Masih ragu" Masih takut?" Prabarini merebahkan diri di paha Sedah.
Sedah mendengus mendengar pertanyaan itu. Hati menjadi
tidak menentu. "Kemarin aku mengirimkan lontar ke Widya Trisnapala. Aku beritahukan mereka tentang semua yang aku alami.
Seseorang menyediakan diri untuk menyampaikan lontarku
pada Mpu Dewaprana."
"Oh, Hyang Dewa Ratu." Prabarini makin mantap. Ia tarik jubah Sedah agar pemuda itu pun berbaring di sebelahnya.
Prabarini tak peduli lagi apakah ruangan itu masih belum
disapu. Gelora berkecamuk di dada dua muda-mudi, membuat
mereka melupakan semua dan segala.
"Hyang Dewa Ratu. Kanda, betapa pahitnya hati
memendam semua aniaya dan kerinduan. Kanda...." bisik
Prabarini. Hawa panas mengalir ke seluruh tubuh muda Sedah. Tak
disadarinya, pelan-pelan ia pun melepas jubahnya. Jubah
kebrahmanaan. Sebagai gantinya... Ah, ternyata pending
Prabarini sudah sejak tadi terlepas. Juga kainnya... juga
kutang emasnya...
0ooo0dw0ooo0 Prabarini telah mempersembahkan Karnaparwa kepada Sri
Prabu. Sedah sendiri tidak bisa menghadap karena sedang
mengerjakan Salyaparwa. Dan karena itu Prabarini harus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera ke rumah panggung Sedah, supaya Salyaparwa cepat
selesai. Sri Prabu membaca Karnaparwa dengan hati gembira.
Betapa tidak" Sedah telah menyusunnya begitu rupa,
sehingga Sri Prabu merasa seolah diri sendirilah Harjuna, atau mungkin Kresna yang selalu memberi nasihat agar Pandawa
selalu unggul dalam peperangan.
"Coba, Yang Tersuci! Baca ini! Belum pernah ada karya
seindah ini!" kata Sri Prabu pada Panuluh.
"Sedah telah mencurahkan sepenuh hatinya pada karya
tersebut, Yang Maha Mulia." Panuluh belum membaca, tapi ikut gembira dengan pujian yang dikeluarkan Sri Prabu
terhadap Sedah. Walau beberapa anak buahnya menilai Sedah
masih terlalu muda untuk menerima sanjungan dan pujian.
Mereka khawatir Sedah akan tersandung karena segala
sanjungan itu. Jayabhaya tidak mampu menyelesaikan bacaan
itu dalam sehari. Matanya sudah terlalu tua untuk dapat diajak membaca cepat, bahkan sering mengantuk kala membaca.
Prabarini sering tersenyum sendiri jika melihat Jayabhaya
sedang membaca dan mengantuk di wisma kaputrennya.
Membaca sambil mulutnya komat-kamit. Bukan mengeluarkan
kata-kata yang tersurat di lontar Sedah, tapi keletuk-keletuk suara gigi beradu. Pernah ia memperhatikan, ternyata dalam
usia lanjut, tanpa sadar .Jayabhaya menggerak-gerakkan
rahangnya seperti sapi memamah biak. Itu sebabnya
mengeluarkan suara keletuk-keletuk. Mungkin juga aku akan
seperti itu kelak.
Salyaparwa pun selesai setelah dua bulan Sedah bersama
Prabarini mengerjakannya sepanjang hari. Pendek kata hampir setiap hari Prabarini keluar taman.
"Yang Mulia, berhati-hatilah! Jangan lupa bahwa sebaik-baik para pengawal, mereka tetaplah manusia biasa. Mereka
juga bisa iri, bisa dengki. Hal ini akan semakin berbahaya jika
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampai ke telinga para selir," Nyi Rumbi berulang
memperingatkan tuannya.
Tapi Prabarini tak punya pilihan lain. Ia harus
mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya selagi ada.
Saatnya akan tiba, kesempatan itu tertutup sama sekali.
Tertutup! Maka ia tak menggubris peringatan Nyi Rumbi.
Dengan hati sedih wanita tua itu terus berdoa. Berdoa untuk keselamatan Prabarini. Karena keselamatan Prabarini, berarti keselamatannya juga. Hemh... orang tua itu berdesah. Cinta
memang gila! "Adinda...," kata Sedah suatu pagi, "saatnya telah tiba, bahwa semua yang kita lakukan selama ini harus berhenti."
"Kanda..." Prabarini memeluk Sedah. Keduanya berciuman.
"Bacalah! Periksalah! Barangkali masih ada yang harus
diperbaiki."
Keduanya kemudian duduk di tempat kerja Sedah. Prabarini
mulai mengoleskan Ijiibukan kapur pada lontar-lontar itu.
Gulung demi gulung. Kemudian ia menyandarkan kepalanya
pada paha Sedah sambil mulai membaca. Sementara Sedah
berulang membelai rambut kekasihnya, sambil sesekali
mencium keningnya. Sementara Jodeh dan Sontoh berjaga di
luar. Keduanya siap memberitahu jika sewaktu-waktu Sri
Jayabhaya berkunjung seperti yang terjadi lima belas hari
yang lalu. Kisah Salyaparwa diawali dari masa muda Salya, Raja
Negeri Mandaraka. Saat itu ia bernama Narasoma. Karena
akan dinobatkan menjadi raja, Narasoma harus kawin terlebih dulu. Tak pantas seorang raja tanpa paramesywari. Tapi
Narasoma enggan menerima pilihan ayahnya. Dan ia
melarikan diri dari rumah.
Sementara itu di suatu pertapaan, ada seorang rsi atau
pendeta yang diam bersama anak perempuannya. Pujawati
nama anak pendeta itu, sedang ayahnya adalah Rsi Bagaspati.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sungguh anak anugerah Hyang Maha Dewa sendiri. Lahir
tanpa ibu. Ia hasil daya cipta Bagaspati sendiri yang meminta anugerah dari Hyang Maha Dewa. Sungguh luar biasa! Putri
yang tiada duanya di muka bumi ini.
Prabarini berhenti sebentar kala membaca tentang
Pujawati. Ia tahu bahwa dialah yang digambarkan oleh Sedah
sebagai Pujawati. Hatinya tersibak oleh kebahagiaan. Tapi
juga berdebar. Setitik ketakutan mencuat di sudut hati
lainnya. Sedah tersenyum kala memperhatikan kegelisahan
kekasihnya. "Perlu aku hapus?"
Prabarini tersenyum lalu melanjutkan pembacaannya.
Saat itu Pujawati sedang dirundung sedih. Ia jatuh hati
pada seorang pemuda bernama Narasoma, yang dilihatnya
dalam mimpi. Ia menangis dan meminta agar ayahnya
berangkat mencari pemuda idaman hatinya itu.:
"Beruntung Pujawati, punya ayah yang mengasihinya."
Prabarini memandang mata Sedah. "Berbeda dengan Prabarini yang tak punya siapa-siapa, sehingga terjerumus ke tangan
orang yang tak pernah dicintainya."
"Sekarang kan sudah bersama..." Sedah memijit hidungnya beberapa saat.
"Aih, Kanda..." Prabarini mencubit paha Sedah. Dan Sedah melepas pijitannya sambil meringis. Membaca lagi.
Bagaspati mencari Narasoma. Bersua di tengah rimba.
Narasoma menjelaskan bahwa ia akan pergi ke Mandura untuk
melamar Kunthi, yang konon kabarnya mengadakan
sayembara: barangsiapa jadi pemenang akan dipersandingkan
dengan Kunthi. Tapi Bagaspati saat itu memaksa Narasoma
untuk datang ke pertapaannya. Bukan main terkejutnya
Narasoma setelah sampai di pertapa" an, ternyata anak
Bagaspati wajahnya amat bertolak belakang dengan ayahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagaspati berwajah jelek karena memang digambarkan
sebagai raksasa, sedang anaknya bak bidadari.
"Laki-laki senangnya yang cantik saja! Lalu yang jelek ikut siapa?" Prabarini menggoda lagi.
"Ah, biar ikut ibu-bapaknya sendiri!"
"Kalau ibu-bapaknya tidak mau seperti hamba ini,
bagaimana?"
"Aku tak tahu ayah macam apa seperti itu!"
Segera bayangan Palagantara muncul di benak Prabarini
maupun Sedah. "Kau suka memindahkan cerita dalam bayangmu sendiri."
Sedah berbisik. "Jadi ingat ayahmu..."
"Kanda..." Prabarini meletakkan lontar itu. Lalu memeluk paha Sedah yang satu lagi. "Cuma Kanda milikku satu-satunya." Prabarini terisak lagi. "Jangan tinggalkan hamba, Kanda..."
"Kita telah bersatu. Seperti nirwikana. Bersatunya brahman dengan atman. Sukma dan badan wa-dag! Cuma kematian
yang bisa memisahkan kita."
"Tidak! Kanda... kematian pun tidak!"
"Adinda..."
Keduanya menyatu dalam pelukan. Seakan tak ingin
dipisahkan lagi. "Hamba sudah..."
"Sudah apa?" Sedah bertanya dalam bisik.
Mengandung..." Mata Prabarini basah.
"Anak satria itu?"
"Hamba bunuh benih bandit itu tiap kali akan tumbuh
dalam rahim ini. Hampir empat bulan ini tak ada waktu
baginya untuk meniduri hamba."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagad Dewa! Sudah berapa..."
"Baru satu bulan, Kanda."
"Oh, anakku?"
"Ya! Anak kita!"
Suasana menjadi hening sesaat. Keduanya tercenung,
sekalipun masih saling berpelukan. Jika anakku, ia tidak boleh lahir di istana. Tidak! Sebab kelak akan menimbulkan hal yang tidak menyenangkan.
"Saatnya memang telah tiba, Dinda. Kita harus
memperjuangkan pembebasan kita sendiri." "Caranya?"
"Pulanglah ke taman. Dan jangan kemari lagi" Aku akan
menghadap Jayabhaya. Dan akan menyerahkan Salyaparwa
ini. Jika ia mengerti maka ia akan tahu tentang kita."
"Kanda... kita menghadap bersama." Prabarini mempererat pelukannya. "Ke ujung dunia pun aku ikut." Manja.
"Ah..." Sedah tak berkutik. "Jika demikian... mari!"
Keduanya bangkit. Bergandengan mereka menuruni
tangga. Di bawah Sontoh terkejut melihat tuannya
bergandengan dengan Paramesywari. Berjalan berjajar seperti Kamajaya dan Ratih. Ia menyembah. Sementara Jodeh jauh di
depan gerbang. Kiri-kanan jalan menuju gerbang tumbuh
rimbun bunga melati. Tiba-tiba Sedah menghentikan
langkahnya. Ia teringat Salya pada saat akan mancal
bertempur mengenakan pakaian serba putih dan untaian
melati. "Kita memetik kembang-kembang itu!" Tanpa menunggu jawaban Prabarini, ia telah melangkah untuk memetik
kembang melati itu. Tidak sedikit.
"Untuk apa, Kanda?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan mengenakan untaian melati sebagai kalung.
Melati lambang kasih suci kita. Lambang keharuman cinta dan citaku!"
"Jagad Bathara!" Prabarini makin berdebar. Namun ia juga ikut memetik sebanyak-banyaknya. Sontoh terheran-heran.
Tidak biasanya Sedah memperhatikan bunga-bunga, apalagi
memetiknya. Dan sepasang muda-mudi itu kembali meniti
tangga naik ke rumah panggung.
"Tak ada pekerjaan lagi!" Sedah tersenyum. "Aku akan meronce bunga ini."
"Hamba yang meronce buat Kanda..."
"Jika demikian aku buat untuk kau, Adinda..."
"Aku akan menghadap dengan mengenakan jubah putih.
Karena demikianlah, Salya ketika mancal berperang, Adinda."
"Jika demikian, izinkanlah hamba mengambil kain putih
hamba..." "Pergilah, Adinda..."
Prabarini bergesa menuju taman. Ia sama sekali tidak tahu,
bahwa sepeninggalnya Sedah pun bergegas menuju istana.
Kebetulan sekali Sri Prabu sudah akan beranjak ke taman
Prabarini. Ia sudah lama tidak bermesra dengan
Paramesywari. Ia amat terkejut melihat Sedah tidak seperti
biasa. Jubahnya tidak hitam, namun putih bersih. Kalungnya
bukan medali bergambar teratai, tapi untaian melati. Maka
bau harum segera menusuk hidungnya.
"Salyaparwa usai, Yang Termulia. Karena ini bahagian
kudus, maka hamba mengenakan demikian. Jangan heran."
Sedah terus minta diri. Makin heran Jayabhaya. Sedah tidak
memerlukan berbincang atau mendengar pujian. Dalam
keheranannya itu Sri Prabu memutuskan akan membaca
Salyaparwa di wisma taman sari Prabarini. Tapi apa yang
didapatinya di taman" Prabarini baru saja naik dari kolam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pemandiannya. Mandi jamas seperti layaknya para wanita


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang usai bersetubuh dengan suaminya. Dan nampak sangat
terkejut waktu melihat Jayabhaya masuk.
Wanita muda itu berlari kecil menuju wismanya, kemudian
menutup pintu rapat-rapat. Jayabhaya tersenyum. Istrinya
kembali seperti seorang gadis kecil yang malu dilihat pria kala usai mandi. Hal yang demikian tentu makin mengundang
birahi lelaki. Tapi ia tidak masuk ke wisma. Ia duduk di tengah taman sambil mulai membaca-baca sambil terkantuk-kantuk.
Prabarini terhenyak di sudut kamar. Hatinya tak menentu.
Tentu Jayabhaya yang arif itu tahu bahwa aku baru saja
berenang di samodra asmara dengan Sedah. Tubuhnya
gemetar. Sesudah mengenakan kain sutera putih sebagai
pembalut tubuh bahagian bawah ia mengenakan pending
emasnya. Lalu lain-lain perhiasan. Dan matanya kini menatap untaian melati yang tergantung di dinding kayu. Ia bangkit
dan meraba. Tangannya gemetar. Kau takut" Bukankah kau
sendiri yang mengajari Sedah untuk tidak takut menciummu"
Bermesra denganmu" Dan hidup adalah timbal-balik. Setiap
kenikmatan yang kau terima dari Sedah harus juga kaubayar.
Bukan cuma Sedah yang harus membayar.
Tapi sudut hati yang lain memerintahkan agar ia menunda
niatnya. Toh sebentar lagi Jayabhaya yang tua itu akan mati.
Kenapa tidak bisa bersabar barang sedikit pun. Dan Prabarini kembali terduduk. Tapi agak lama pintu tak diketuk.
"Ke mana dia?" bisiknya dalam tanya kepada Nyi Rumbi.
"Duduk di tengah taman. Rupanya membaca sambil
terkantuk-kantuk."
"Ah... ada tugas untukmu. Menyelinaplah ke rumah Sedah dan katakan padanya, aku akan naik ke pura di tengah taman
dulu, karena Jayabhaya sedang di taman."
"Yang Mulia..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sudahlah, Bibi! Biarkan aku sekarang memilih jalanku."
Wanita tua itu menyelinap pergi. Kini Prabarini
memberanikan diri meraih untaian bunga melati di dinding
kayu dekat tempat tidurnya. Susunya naik turun, seirama
tarikan napasnya yang dalam. Lalu pelan-pelan ia keluar dari wismanya, menuju pura. Seperti kucing yang sedang
mengendap-endap karena memburu tikus, Prabarini berjalan
hati-hati. Setiap kali Jayabhaya bergerak ia berhenti.
Selendang sutera putih yang panjangnya dua setengah kali
panjang tubuhnya itu bahagian tengahnya melilit leher
jenjangnya. Sedangkan kedua ujungnya meluncur ke bawah
melewati belakang punggungnya sampai ke tanah. Jika
Prabarini berjalan, tak ayal ujungnya akan menyapu jalan.
Sri Prabu benar-benar jatuh dalam kantuk. Dia bergerak
hanya kalau ada lalat yang mencoba memasuki mulutnya atau
merubung air liur di sudut-sudut bibirnya. Prabarini memang perlu naik ke pura. Perlu menenangkan jiwa. Perlu
mengumpulkan keberanian untuk dapat menyatakan sikapnya
kepada Jayabhaya. Bau kemenyan mulai memenuhi taman.
Prabarini telah memasuki yoga semadinya. Memasuki alam
lain. Bau yang juga merambat ke hidung Sri Prabu dan
membuatnya bersin Berkali. Untuk kemudian terbangun.
Bingung. Mencari sesuatu dengan memeriksa sekelilingnya.
Bangkit. Rupanya sudah lama aku tertidur. Mentari telah
condong ke barat. Bau kemenyan dan dupa makin menyengat.
Tersaruk ia menuju wisma Prabarini. Tak ada air kembang di
depan pintu. Hatinya tersibak. Pintu tertutup. Emban tua
bersimpuh di dekat pintu mematung setelah menyembah.
"Ke mana Paramesywari?"
"Beliau takut membangunkan Sri Prabu. Beliau sedang ada di pura."
Jayabhaya mengangguk-angguk. Bibirnya mengatup.
Berbulan Prabarini tidak dijamahnya. Kini pun tidak mungkin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dapat diganggunya. Ia tahu persis, Prabarini betah berdoa.
Pernah ia menyertai istrinya berdoa semacam itu. Dua hari
dua malam Prabarini bisa tidak turun dari pura. Entah apa saja yang dia doakan. Menyanyikan kidung, menyembah,
menangis. Dan ia menjadi tidak tahan. Ia tidak terlatih berdoa seperti itu. Memang ia bukan brahmana. Maka Jayabhaya
mencoba menengok ke pura. Hatinya berdesir.
Dari kejauhan ia melihat, Nyi Rumbi menyalakan lampu-
lampu kecil. Dan Prabarini diam mematung dengan dua
tangan berada di depan susunya. Ia memutuskan akan
membaca Salyaparwa lebih dulu, setelah itu akan menjumpai
Prabarini. Malam kian larut. Semua orang telah jatuh dalam
kantuknya, namun Sedah tetap tak mampu memejamkan
matanya. Apa pun, Prabarini adalah miliknya! Brahmana muda
itu berkali terusik oleh bayang-bayang Prabarini, maka sering terjaga dan menengok keluar. Tiada bintang. Angin bertiup
menawarkan hawa dingin mencekam buat semua orang.
Lidah-lidah api nampak sesekali di langit kelam. Hiasan alam yang mengerikan. Gelegar suara guruh seolah mampu
membelah bumi. Keresahan Sedah makin tiada tertahan.
Barangkali saja kekasihnya telah terkulai mati oleh tangan
Jayabhaya. Gila!
Tiba-tiba seperti ada kekuatan gaib yang menyorongnya, ia
turun dari beranda. Satu demi satu anak tangga ia turuni. Dan kakinya melangkah. Melewati gerbang. Menoleh kiri dan
kanan. Gulita! Menyeberang jalan. Mengendap. Menoleh kiri
dan kanan lagi. Menajamkan telinga. Lolong anjing hutan di
kejauhan. Katak dan jengkerik tidak berani bersuara. Angin
kencang menawarkan hujan. Mencoba menaiki pagar batu
bata, melewati pohon kenanga. Semut merah terusik dan
marah. Menyerbu. Sedah mengumpat dalam hati. Memeriksa
keadaan lagi. Laskar wanita yang berjaga di gardu sana pada tertidur. Ia melompat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jatuh di rerumputan. Mencari dari mana datangnya bau
kemenyan. Merangkak ke sana. Sesekali berlindung di balik
pohon. Nyi Rumbi tak dapat menahan kantuknya. Tertidur di lantai
pura. Sedah merangkak dan akhirnya sampai di dekat
kekasihnya. Ia meniup semua lampu-lampu kecil yang ada.
Menyapa kekasihnya dalam bisik setelah ia duduk di
sampingnya. Hampir saja Prabarini terpekik ketika Sedah
menyentuh bahunya. Tapi Sedah cepat mendekatkan
mukanya. "Sssts! Jangan berteriak!" bisiknya.
"Hyang Dewa Ratu! Kanda?" Prabarini heran luar biasa.
"Kita berdoa bersama dulu!" Sedah menahan diri. Kembali ia mengatur napasnya yang tak teratur lagi. Setelahnya
mereka berdua menyelinap ke dalam wisma Prabarini. Nyi
Rumbi mereka tinggalkan. Walau rintik hujan mulai turun,
gelegar geledek yang disusul oleh guruh berkepanjangan
makin membuat tiap orang tenggelam dalam selimutnya.
0ooo0dw0ooo0 Keindahan tulisan Sedah makin mempesona, apalagi waktu
Jayabhaya membaca bahagian terakhir Salyaparwa. Suatu
kisah cinta yang tak ternilai indahnya. Berulang dan berulang Jayabhaya tenggelam dalam bacaan itu. Dan membawa dia
pada alam andai-andai. Ya, andaikan istriku adalah Pujawati...
Pujawati telah bertekad! kata Sedah dalam tulisan itu.
Seluruh kesetiaan hanya untuk Narasoma.
"Sungguh?" Narasoma mengais lebih dalam.
"Ya, Kakang."
"Jika demikian, mau kau menolong aku?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa?"
"Aku punya teka-teki yang tak terjawab. Barangkali cuma ayahmu yang bisa."
"Katakan, Kakang." Pujawati menyandarkan kepalanya pada bahu Narasoma.
Jayabhaya membayangkan Prabarini. Tapi Prabarini tak
pernah bermanja macam ini. Ia cuma melihat ketakutan pada
wajah Prabarini. Ah... Jayabhaya mengeluh sendiri.
"Di suatu taman ada bunga yang luar biasa indahnya. Lalu seorang putra raja datang, ingin memetik bunga tersebut.
Tapi sayang, bunga tersebut dijaga oleh seekor buaya yang
amat galak dan busuk baunya." Narasoma terdiam.
Pujawati juga terdiam. Hatinya gundah setelah melihat
suaminya bermendung. Maka ia bergesa ke tempat ayahnya
bersemadi. Ia menangis sambil menjelaskan teka-teki
Narasoma. Mendadak ayahnya terkejut. Mukanya berubah.
Gelap. Lalu bertanya setelah mengambil napas panjang,
"Pujawati, Anakku... apakah kau mencintai suamimu?"
"Dengan sepenuh hatiku, Bapa."
"Bagus." Kinipandita raksasa itu tersenyum. Ia angkat anaknya tinggi-tinggi. "Seorang istri memang harus sungguh-sungguh mencintai suaminya. Sepenuh hati. Dan orang..."
Bagaspati berhenti sebentar.
"Kenapa, Bapa?" Pujawati tidak mengerti.
"Barangsiapa sudah terikat jadi suami-istri, ia harus
meninggalkan ibu-bapanya, untuk menyatu..."
"Bapa!" Pujawati terpekik.
"Jangan terkejut! Kau mencintainya sepenuh hati. Dan hati itu tak bisa dibelah-belah. Engkau harus memilih mana yang
harus menjadi panutanmu: ayahmu, atau suamimu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jagad Dewa!"
"Inilah kehidupan. Nah, kau akan setia pada suamimu?"
"Sepanjang hidup aku akan setia."
"Walau suatu ketika suamimu kawin dengan orang lain"
Karena memang sebelum mengawini-mu Narasoma berniat ke
Mandura untuk melamar Kunthi."
"Hamba akan tetap setia."
"Jagad Dewa! Begitu mulia hatimu, Anakku! Karena itu,
sejak sekarang kau akan bernama Setyawati seperti sikapmu
dan pendirianmu yang setiawan itu."
"Setyawati?"
"Ya, Setyawati. Nah, sekarang panggil suamimu kemari.
Dan kau tinggal di luar."
Setyawati keluar. Sebagai gantinya Narasoma masuk.
Bagaspati menceritakan semua permintaan Pujawati. Juga ia
ceritakan bahwa nama Pujawati sudah diubah menjadi
Setyawati. "Karena itu, jangan sia-siakan dia, Yang Mulia."
"Hamba, Yang Suci," janji Narasoma.
"Sebelumnya, aku akan memberimu seorang teman, selain
Setyawati. Dia bernama Candra-bhirawa! Ia tak nampak di
mata. Ia akan masuk ke dalam tubuhmu, dan kau akan bisa
memanggilnya saat kau memerlukannya. Mari kita bersemadi!"
Keduanya bersemadi. Dan Candrabhirawa segera berpindah
dari tubuh Bagaspati ke dalam tubuh Narasoma. Makhluk yang
bisa memecah dirinya menjadi banyak seperti jamur. Itulah
Candrabhirawa. Raksasa kecil, tapi bisa menjadi banyak sekali.
"Sekarang, aku tebak teka-tekimu itu. Kembang yang
kaumaksudkan tak lain adalah Setyawati sendiri, sedang
buaya itu adalah aku. Kau malu punya mertua sejelek aku,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tapi kau suka pada anakku karena cantik. Nah, memang
keindahan menyenangkan buat selamanya." Berhenti sebentar sambil menelan ludah. Lalu bangkit mengambil sebilah
pedang. Dan melemparkannya ke kaki Narasoma. Sambil
tersenyum ia berkata, "Raja Mandaraka yang bijak,
singkirkanlah buaya itu!"
Gemetarlah tangan dan seluruh tubuh Narasoma. Namun ia
calon raja besar di Mandaraka. Tak boleh malu. Juga tak boleh dipermalukan oleh siapa pun, kendati oleh mertua sendiri.
Maka dengan sekali gerakan pandita itu rubuh dengan darah
membasahi bumi.
Jayabhaya berhenti sebentar membaca kisah itu. Betapa
kejamnya Salya! Cinta Setyawati harus dibayar dengan nyawa
ayahnya. Walau kemudian Salya disumpahi, akan terbunuh
oleh seorang yang berdarah putih, yang selama hidupnya tak
pernah berperang. Sedang di akhir kakawin itu Sedah
menceritakan betapa besarnya cinta Setyawati. Wanita yang
tetap awet muda karena memang tidak pernah lahir dari rahim perempuan itu tertidur setelah bersenggama dengan
suaminya. Kemudian ia terbangun. Suaminya tak ada di
sampingnya, la tahu bahwa suaminya sengaja menipunya. Ia
buat supaya Setyawati pulas dan kemudian ia sendiri
berangkat ke medan tempur Kurusetra. Bergesa Setyawati
menyusul, namun terlambat. Langkahnya tidak secepat lari
rata (kereta perang) suaminya yang ditarik oleh dua ekor kuda terpilih.
Senja menyambutnya di Kurusetra. Semua orang sudah
lelah berperang. Hatinya tak menentu. Suara burung hantu
mendorongnya untuk mencari ke tengah padang Kurusetra.
Terdengar suara rintih kesakitan di sana-sini, dari prajurit atau satria yang belum mati. Keringat Setyawati mengucur dari
setiap pori tubuhnya. Bangkai demi bangkai ia langkahi. Ia
periksa satu-satu. Air matanya meleleh. Darah membanjir.
Kakinya basah oleh cairan merah berbau anyit itu. Tapi tetap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
saja ia cari dan cari. Tanpa sadar ia menerjang pedang
ternganga karena jepitan mayat satu dengan lainnya. Kainnya terkoyak. Tapi Setyawati tak menggubrisnya. Makin berge-sa.
makin terkoyak. Paha mulus makin terbuka. Andaikata mayat-
mayat itu bisa hidup kembali, mereka akan dapat melihat,
betapa seluruh tubuh Setyawati memang tanpa cela, kecuali
tahi lalat hitam pada pangkal pahanya. Justru tahi lalat itulah yang sering dipermain-mainkan oleh Salya setiap kali...
"Jagad Dewa!" Jayabhaya tersentak. Dadanya berdegup keras. "Apa aku salah baca?" Maka ia mengulang. Tetap sama... kecuali tahi lalat hitam pada pangkal pahanya.
Justru... "Drubiksa! Caraka! Panggil Mpu Panuluh!" Jayabhaya segera mengenakan pakaian kebesarannya. Segera ia ke
balairung sari. Mendung kelabu menaungi sebahagian kota
siang itu, namun masih saja mentari menerobos membuat
kegerahan luar biasa. Semua orang berkeringat. Panuluh
berdebar karena panggilan yang amat mendadak itu.
"Baca ini!" perintah Jayabhaya tanpa senyum seperti biasanya.
"Yang mana, Yang Maha Mulia?" Panuluh gugup.
"Yang itu!" Jayabhaya menggunakan telunjuknya.
Panuluh menajamkan matanya. "Baca keras-keras!"
"Makin terkoyak. Paha mulus makin terbuka. Andaikata
mayat-mayat itu bisa hidup kembali, mereka akan dapat
melihat, betapa seluruh tubuh Setyawati memang tanpa cela,
kecuali tahi lalat hitam di pangkal pahanya. Justru..."
"Berhenti!" Jayabhaya geram. "Apa pendapat-mu"
Bahagian depan ia tak menceritakan seperti ini. Coba lihat
waktu ia menceritakan kecantikan Setyawati itu!"
Panuluh yang belum mengerti apa-apa itu membaca,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rambutnya hitam dan tebal, ikal. Jika tak berkondai atau tidak disanggul, maka rambut itu akan menggapai tanah.
Mukanya bulat telur dengan alis seperti bulan tanggal satu
yang dipotong pada sebelah ujungnya. Matanya lebih mirip
bintang timur saat mengerjap, dan membuat Narasoma
terpesona. Hidungnya lancip dan bibirnya mungil tipis, bila tersenyum menciptakan lesung pipit pada pipi montok tanpa
cela. Lehernya bergaris-garis samar dalam bentuk jenjang..."
"Yang Tersuci! Yang dia gambarkan di situ adalah istriku, Prabarini! Ya, aku tak keberatan karena aku memang
memperkenankannya. Tapi... dengan ia telah melihat
bahagian terlarang itu, apa artinya?"
Panuluh tertunduk. Hatinya berdebar. Jayabhaya diamuk
cemburu. Matanya kini merali padam. Seperti mata kerbau
gila. "Kau jadi saksi! Jadi saksi! Sedah harus diadili! Karena itu panggil semua anggota Dewan Cerdik Pandai. Kita adili dia
besok!" "Hamba, Yang Maha Mulia!"
"Caraka! Kerahkan laskar! Tangkap Sedah! Masukkan dia
dalam kurungan!"
Jayabhaya kemudian memanggil pemimpin laskar wanita
supaya membawa Prabarini masuk ke istana. Kendati sudah
tua, namun mukanya masih*, merah padam. Hatinya berdebar
keras. Kemarahan makin memuncak kala Prabarini masuk ke
gedong kuning dengan kain putih serta selendang putih, dan
untaian melati sebagai kalungnya. Ia melambaikan tangan


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada pengawal wanita itu, mengisyaratkan agar pergi
meninggalkan mereka berdua saja. Prabarini menatapnya
tajam, tanpa menyembah lagi.
"Bagus! Tak perlu kutanya pun kau sudah menunjukkan."
Jayabhaya bangkit berdiri dan mendekati Prabarini. Berdebar.
Tapi matanya tak bergeming.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sundal!" geramnya.
"Aku tidak pernah bersundal! Tapi kau sendiri telah
menciptakan persundalan di seluruh negeri ini!" Prabarini menyemburkan dendamnya.
"Kaupamerkan pahamu pada Sedah..."
"Aku sudah mencintainya sebelum kau menculikku! Apa
salahnya kami saling melimpahkan kasih kami" Dan Kau" Tak
pernah merasa berdosa dengan menjadikan istri ibu dan anak
sekaligus! Di mana letak peradabanmu?"
"Aku tak pernah melakukannya!" Jayabhaya kini terkejut, seperti ditampar geledek.
"Kau ingat pada Ratrini" Istri Palagantara" Beliau adalah ibuku! Kauperistrikan dia. Heh, tidak malu kau...?"
Jayabhaya terdiam. Tapi hatinya bergelora. Tanpa tertahan
tangannya melayang. Pipi montok Prabarini tertampar.
Tubuhnya terhuyung ke belakang. Jayabhaya sendiri kaget.
Tapi Prabarini tegak kembali. Hatinya malah meluap.
"Genaplah sudah kejahatanmu. Mengancam, menakut-
nakuti dan menyiksa. Kalau perlu membunuh!" Mata Prabarini menyala. Air matanya sudah kering. Sepanjang pagi ia
menangis di pura. Memang tubuhnya lunglai, karena
sepanjang malam waktunya dihabiskan bersama kekasihnya,
Sedah. "Ya! Memang Sedah akan mati!"
"Memang Sedah akan mati. Mati di bumi ini, tapi tidak di hatiku!"
"Drubiksa!" Jayabhaya maju lagi. Dengan sekali sentak saja untaian melati itu putus. Kemudian melatinya berhamburan di lantai. Diseretnya Prabarini masuk ke bilik agung, lalu
didorongnya dengan kasar ke pembaringan. Napas Jayabhaya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
makin memburu. Ia banting pintu. Maju lagi. Ditariknya kain Prabarini keras-keras. Pendingnya putus terpental. Bugil!
"Setelah ini, kau akan jadi umpan budak-budak!"
geramnya. "Sekarang saja!" Prabarini bangkit. "Biar kandungan dalam rahim ini ikut punah! Sekarang! Biarlah dunia makin tahu,
bahwa Raja Besar Yang Maha Mulia itu ternyata cuma pandai
membunuh orang-orang tak berdaya yang tidak pernah
melawan. Juga bayi-bayi yang belum pernah menangis!"
"Jagad Dewa! Kau mengandung?"
"Ya! Ibuku juga mati waktu mengandung! Mengandungkan
benihmu! Ayo! Kenapa diam"! Seret aku ke tengah budak
buas sebuas binatang sekalipun."
Jayabhaya bergetar. Persendiannya loyo. Ia pandangi perut
halus Prabarini. Agak membuncit memang. Mungkin karena
pandai merawat diri, jadi tak tampak ia mengandung.
Kemudian menunduk. Anak siapa itu" Sedah... atau anakku '
yang kuharapkan akan lahir perempuan" Kembali kepalanya
menjadi pening. Ia sama sekali tak mengerti, kenapa Prabarini menjadi demikian berani. Dari mana datangnya keberaniannya
ini" Pelan-pelan ia keluar. Ditutupnya bilik itu dari luar. Dan
pelan-pelan Prabarini menghampiri kainnya. Ia kenakan.
Selanjutnya ia tak tahu apa-apa lagi". Tak ada yang
mengiriminya makanan. Malam tiba, bilik itu pun dibiarkan
gelap. Berjuta tanya ia bawa dalam semadi.
Sementara itu, di balai persidangan Dewan Cerdik Pandai
terjadi perdebatan yang amat sengit. Beberapa mpu bertekad
membela Sedah. Sedah telah berbuat segala-galanya demi
seni. Demi masa depan. Demi keabadian dan kemanusiaan. Jika
terjadi perzinahan, itu bukan salah Sedah. Bukan! Dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Panuluh memang mengetahui bahwa Sedah dan Prabarini
sama-sama pernah berguru di Widya Trisnapala.
"Titah Raja di atas segala-galanya. Seni bukan untuk seni itu sendiri, tapi harus mengabdi pada kepentingan negara.
Karena itu kita harus mengusut Sedah di bawah kuasa
Baginda." "Tidak bisa!" Mpu Sakramara membantah keras. "Seni sepenuhnya mempunyai hak untuk menentukan pilihan pada
siapa ia mengabdi. Ia punya tujuan sendiri. Dan pembelokan
dengan memaksa adalah pemerkosaan. Itu berarti kita
menciptakan persundalan dalam seni."
Perdebatan tidak mencapai kata sepakat, namun keputusan
Jayabhaya harus dilaksanakan. Demikianlah keesokan harinya
Sedah dibawa ke hadapan sidang Dewan Cerdik Pandai. Dyah
Pawac,i, Sri Jayabhaya, dan para adyaksa ikut hadir. Panuluh menyerahkan tuduhan pada adyaksa yang berwenang. Dan
orang tinggi besar berkumis bapang itu mulai mengajukan
beberapa pertanyaan kepada Sedah.
"Apa sangkamu aku ini penyamun maka aku harus dituntut, diperiksa, bahkan ditangkap beramai-ramai oleh laskar
bersenjata?" Sedah membetulkan letak roncean kembang
melatinya. Jubah sutera putihnya tampak kusut-masai.
Para adyaksa saling pandang.
"Kami mendapat perintah untuk memeriksa Yang Suci,
karena Yang Suci dituduh merusak nama baik Sri Prabu."
"Nama baik" Ha... ha... ha..." Sedah memperdengarkan tawa berkepanjangan.
Sampai adyaksa terpaksa menggebrak meja. Jayabhaya
menjadi amat tersinggung. Sementara itu, di luar balai
persidangan kawula berkumpul mengepung balai. Hiruk-pikuk
suara mereka membuat Dyah Pawagi memerintahkan Kuda
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Amiraga agar mengerahkan laskar untuk menenangkan
mereka. "Apa yang kalian maksudkan mencemarkan nama baik"
Apa kalian belum pernah mendengar aku menerjemahkan
Mahabharata demi Sri Prabu?" Sedah kini memandang
adyaksa tajam-tajam. "Apakah selama aku diambil tenaga dan pikiranku, maka aku-dibebaskan berbuat semau-mau" Tapi
jika saatnya telah dianggap habis dan tidak diperlukan lagi, maka aku harus disingkirkan seperti sampah tanpa arti" Jika demikian, maka hal sama akan terjadi pada semua pembesar
negeri. Selama ia masih diperlukan oleh Raja, menjadi
menteri, atau apa saja, ia disanjung. Tapi pada ketikanya akan dilempar seperti sampah,"
"Melingkar!"
Tiba-tiba Sedah mendengar Jayabhaya membentak. Semua
orang terdiam. Menunduk. Kecuali Sedah.
"Kau telah memaksa istriku membuka kainnya di
hadapanmu. Itu penghinaan!"
"Jika demikian maka Prabarini perlu didatangkan sebagai saksi. Harus kalian ketahui, bahwa sebelum menjadi
Paramesywari, Prabarini adalah calon istriku. Kami sudah
bersumpah di hadapan Hyang Maha Dewa dan orangtua
kami." "Bohong!"
"Bukan kebiasaan brahmana berbohong, karena kami tak
pernah punya kepentingan untuk berbohong. Kami tidak
pernah menginginkan orang lain takluk dan menyembah pada
kami. Kami tidak memerlukan kekayaan untuk dapat
mempengaruhi orang lain seperti halnya pedagang. Tidak!
Yang kami kerjakan tiada lain ialah membuka mata manusia
untuk memperoleh peradaban yang lebih maju dari sekarang.
Dan berbicara soal Prabarini, jika Sri Prabu mau jujur,
siapakah yang lebih berhak" Tentu Prabarini yang lebih tahu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena selamanya ia tak pernah mencintai Sri Prabu. Salahkah orang yang datang mengambil kembali haknya" Salahkah pula
Hyang Maha Dewa yang telah menganugerahkan kasih di hati,
sehingga membuat cinta bersemi di hati manusia" Jika
demikian, beranak-pinaklah drubiksa dengan semua
pengikutnya!"
Semua orang terdiam. Jayabhaya juga. Lidah Sedah
setajam pedang. Hiruk-pikuk di luar balai persidangan makin ramai. Sayup-sayup terdengar orang-orang berteriak,
"Dirgahayu Mpu Sedah! Dirgahayu!"
Bahkan terdengar pula ratap memilukan kaum wanita
sambil memanggil-manggil nama Sedah di sela bentakan-
bentakan beringas laskar Penjalu.
"Kami akan mengambil keputusan untuk menghukum Yang
Suci, demi keadilan, demi hukum, demi yama dan gama!"
Adyaksa makin berkeringat, sebab ia sendiri merasa terjepit antara ketakutan dan kebenaran.
"Demi keadilan?" Sedah bertanya. Lalu, "Jika benar atau jujur kalian mengatasnamakan diri demi keadilan, maka
seharusnya bukan aku yang diadili. Sri Jayabhaya telah
menerima persembahan dari Kuda Amiraga yang membunuh
keponakannya sendiri, demi mendapatkan kedudukan sebagai
menteri mukha, sebagai pemimpin laskar Penjalu. Bukankah
dia dulunya pemimpin laskar berkuda yang ditempatkan di
Ngantang" Anak buahnya pun menculik dan
mempersembahkan Prabarini padanya untuk mencari muka
padanya. Nah, siapa yang harus diadili" Tentu mulai dari
prajurit, Kuda Amiraga, sampai Sri Prabu sendiri. Semua harus diadili dengan tuduhan bersekongkol melakukan penculikan
wanita!" "Jagad Dewa!" Jayabhaya untuk sekian kalinya terhenyak.
Tersudut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Suci tidak hati-hati dalam berkata-kata!" adyaksa menegur.
"Selama tirani bandit berkuasa, cepat atau lambat semua putra-putra terbaik Penjalu akan dibantai, dengan segala
macam alasan. Tapi penculikan kaum lemah yang dikirim
sebagai budak ke luar negeri, sebagai budak di tambang-
tambang emas, di taman-taman para pembesar negeri sebagai
pemuas..."
"Drubiksa!" Jayabhaya berteriak, tidak tahan
mendengarnya. "Yang Termulia tidak pernah belajar mendengar. Itu
sebabnya tidak bersedia mendengar hamba!"
"Adyaksa! Hukuman mati bagi Sedah!" putusnya dengan hati membara. Badannya gemetar menahan marah. Tapi di
luar dugaan, beberapa anggota Dewan Cerdik Pandai berdiri.
Sekitar empat belas orang. Dan Samirana Guna mewakili
mereka menyatakan pendapat:
"Ampunkan kami, Yang Maha Mulia. Kami tidak setuju pada keputusan ini. Sedah berjasa begitu banyak buat peradaban
dan kebudayaan umat manusia. Dan jika keputusan itu tidak
dicabut, kami sekarang juga mohon diri. Kami akan
mengundurkan diri dari Dewan Cerdik Pandai."
"Jagad Dewa!"
Belum pernah Jayabhaya dihadapkan pada penentangan
terhadap keputusannya. Ia terdiam. Semua orang menantikan
keputusannya. Dan, satu-satu, anggota Dewan Cerdik Pandai
meninggalkan tempat. Ternyata bukan empat belas. Malah
sekarang tinggal tiga orang saja. Panuluh tetap tinggal. Ia segera berdiri. Dengan kaki berat ia meninggalkan
persidangan. Maka dengan kata lain, keputusannya tetap.
Sedah tetap tersenyum. Tak seorang pun tahu apa makna
senyumnya itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kala digiring ke bilik penahanan, barisan orang-orang di
luar gedung itu makin ramai.
"Dirgahayu Mpu Sedah!" Dan Sedah membalas dengan
lambaian tangan. Makin rarrtai. Tangis kaum wanita makin
melengking. Sekilas Sedah melihat ratusan orang dari Widya
Trisnapala dan para siswa Perguruan Tinggi Daha sendiri. Para pengawal dengan ketat menggiring Sedah, walau sudah mulai
ada yang melempar batu pada mereka. Dan sepanjang siang
serta sore, bahkan malam hari pun, mereka berkumpul di
alun-alun tanpa menggubris lagi larangan menginjak rumput
alun-alun. Teriakan-teriakan mereka sampai juga ke telinga
Jayabhaya. Dan itu membuatnya tidak bisa tidur. Apalagi
ketika ia masuk ke bilik agung, Prabarini telah mengenakan
kembali kain putihnya. Tampak lebih anggun dalam busana
seperti itu. Matanya makin menusuk hatinya. Baik! Tapi lihat besok! Semua orang akan tahu, Sedah akan menjadi contoh
bagi semua orang yang menentangku. Aku harus didengar
oleh semua-mua! Aku raja!
Tidak seperti biasa, pagi ini dada Palagantara berdebar
hebat. Kala menerima perintah bahwa ia harus memenggal
kepala Sedah hatinya gundah luar biasa. Apalagi persoalannya menyangkut Prabarini, wanita yang wajahnya mirip sekali
dengan istrinya yang tua. Ah, Ratrini. Mungkin... Ya, pasti anakku. Ia menangis malam itu. Kapan aku pernah
membahagiakan anakku itu" Kini ia harus menghadapi
kekecewaan lagi. Kekasihnya akan mati di tanganku...
Ia sudah bersiap menenteng pedang sebesar paha,
mengkilap 'memantulkan mentari pagi. Tinggi besar, kumis
bapang dengan rambut disanggul. Beberapa temannya juga
mengenakan busana sama. Cuma kain yang lebar dengan cara
mengenakan seperti cawat. Pahanya juga memamerkan otot
perkasa. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, di panggung kehormatan semua pembesar
sudah duduk. Debu mengepul di seputar lapangan tak
berumput itu karena kawula yang berdesak di pinggir-pinggir lapangan itu. Semua orang Daha diharuskan hadir. Mereka
harus melihat! Supaya jadi peringatan, bahwa Raja di atas
segala-galanya. Siapa pun yang berani menentang, akan mati!
Yang membuat degup jantung Palagantara lebih keras justru
sikap para penonton. Mereka dengan berani mencacinya.
"Kau juga harus mati Palagantara! Haus darah! Pembunuh istri sendiri! Pembunuh menantu! Biadab!"
Para prajurit makin banyak saja yang mengawal tempat itu.
Penonton menjadi lebih hiruk kala Sri. Jayabhaya tiba. Tangan kirinya menggenggam lengan Prabarini erat-erat. Dan nampak
sering menyeret-nyeret lengan itu. Lalu duduk di kursi
terdepan. Prabarini dipaksa duduk di sampingnya.
Kembali penonton ribut berdesak maju. Prajurit pengawal
mendorong mereka mundur. Beberapa orang terjengkang.
Makian kotor terlontar! Anak petani yang jadi lintah bagi
petani sendiri!
Lalu batu-batu melayang ke arah mereka. Segera pasukan
berkuda dan barisan pemanah jitu dihadirkan untuk mengatasi pembangkangan itu. Dan benar: penonton pun diam. Yang
bercawat, maupun yang berjubah.
Beberapa saat kemudian Sedah digiring keluar dari bilik
penahanan. Doa lokananta dan mantra pelebur bala dibaca
oleh para brahmana yang menonton. Dada Prabarini berdegup
keras. Dalam hati ia berdoa. "Berani! Beranikanlah dirimu, Kanda!"
Tampak sekali ketenangan pemuda yang masih berusia dua
puluh tiga tahun itu. Senyumnya tersungging. Taburan
kembang mawar, melati, kenanga, kantil berhamburan di
depannya. Sempat ia berhenti untuk memperhatikan para
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
wanita yang menangis dan menjatuhkan diri di pelataran
berdebu itu. "Mengapa kalian bersedih karenaku" Tidakkah kalian harus bersedih karena ketidakadilan" Dan akan terus bersedih
sebelum berhasil merebut kebebasan kalian! Pertahankan
anak-anak kalian, yang akan dijual untuk menjadi budak!
Menjadi pemuas nafsu binatang para satria!"
Pengawal di belakangnya langsung mendorongnya dengan
kasar. Sedah terhuyung lalu jatuh tersungkur. Namun
pelahan-lahan ia bangkit lagi. Hidungnya berdarah. Menetes di jubahnya yang putih. Debu membedaki wajahnya, namun
bibirnya tersenyum. Kumisnya yang hitam menjelma merah.
Dan senyumnya seolah menyapa Palagantara. Mata
Palagantara meredup. Pelahan ia balik kanan. Kemudian maju
beberapa langkah, menyembah Sri Prabu yang tampak
termangu. Belum pernah ia menyaksikan seorang terhukum
setenang itu. Menolak diikat. Menolak ditutup matanya.
Bahkan menghadapi kematiannya dengan senyum.
"Suruh dia menghadap!" Jayabhaya ragu. "Aku akan memberikan pengampunan jika ia memohonnya." Tampak ia
bergetar. Semua orang heran. Terutama para pembesar. Bahkan


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putra Mahkota sendiri. Dan Palagantara juga. Tapi ia
sampaikan juga.
Hati Prabarini tersibak ketika ternyata Sedah maju. Mata
Sedah menatapnya tajam. Berganti-ganti pada Jayabhaya.
Senyum. Prabarini membalas dengan senyum. Dan Jayabhaya
makin berdebar. Lama Sedah menatap Jayabhaya. Tajam.
Keringat dingin membasahi tangan Jayabhaya. Prabarini
merasa genggaman Jayabhaya menjadi kendor. Tentu orang
ini gundah. Namun Sedah tetap tak berkata-kata. Beberapa
saat. Tegang. Sampai Jayabhaya bersabda, "Bicaralah!" Ia memaksudkan supaya Sedah menyembah dan memohon
pengampunan. Namun yang didengarnya sungguh
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyentakkan hatinya. Karena tiap brahmana yang ikut hadir
di situ, kecuali yang tersisa dalam Dewan Cerdik Pandai
bertepuk meriah.
"Buat selama-lamanya, Prabarini adalah milikku! Hanya
karena aku bukan seorang raja, bukan seorang penguasa,
maka tidak dapat mempertahankannya..."
Bersahut-sahutan mereka yang mendengar, "Dirgahayu
Sedah! Bebaskan Mpu Sedah! Kembalikan Prabarini!"
Jayabhaya gemetar. Menahan marah. Menahan takut. Hati
Prabarini berbunga mendengarnya. Semangatnya bagai
disulut. Tapi kala Sedah balik kanan dan membelakangi Raja, Palagantara mendengar perintah untuk memenggal kepala
Sedah. Tapi ia sendiri tidak menyadari, entah bagaimana
awalnya, mendadak ia mengayunkan pedangnya. Tanpa
ampun kepala Sedah terpental dan menggelinding di bumi.
Namun tubuhnya masih melangkah sampai lima langkah.
Kemudian terjungkal seperti batang pisang yang roboh. Jerit memilukan terdengar dari semua arah. Para pemuda
mendorong maju. Pasukan pemanah tidak memberi ampun.
Panah datang bagai hujan. Puluhan ikut roboh.
Jayabhaya seperti tidak sadar. Dan ia tergagap kala
Prabarini terlepas dari genggamannya. Menjerit sambil
melompat. Mendekati tubuh Sedah yang terbujur. Mata
Palagantara nanar. Ia tak melihat bahwa yang melintas di
sampingnya adalah Prabarini. Ia mengira bahwa seorang dari
kaum brahmana yang datang menyerangnya. Dan... brett...
suatu gerakan kilat membuat Prabarini terbanting. Jatuh tepat di atas tubuh Sedah. Perutnya robek. Ia rangkul erat-erat
tubuh Sedah. Kemudian ia pandang Palagantara.
"Pembunuh!" Suaranya tersendat. "Kau bunuh ibuku! Kini anak dan menantumu! Manusia macam apa kau"!" Makin
lemah. Punah tenaga Prabarini. Darahnya habis. Palagantara
terhuyung mendekatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Anakku..." Parau. Di antara tangis dan penyesalan. "Oh, anakku."
"Kau bunuh pula cucumu..." Suara penghabisan Prabarini.
"Cucuku?" Mata Palagantara kemudian menatap
seputarnya. Debu mengampak-ampak. Jerit tak terkendali. Di
panggung kehormatan Jayabhaya tampak lunglai. Palagantara
bangkit, mengambil pedangnya. Matanya jadi beringas.
Mengumpat Jayabhaya. Melangkah mendekati. Tapi puluhan
anak panah membuatnya terjerembab...
0ooo0dw0ooo0 Terima Kasih untuk BBSC atas DJVU nya
Dewi KZ Pukulan Naga Sakti 12 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Pusaka Rimba Hijau 3
^