Pencarian

Prabarini 5

Prabarini Karya Putu Praba Darana Bagian 5


"Istri Yudhistira, putra tertua dari pihak Pandawa, yang bernama Drupadi sempat dipermalukan sebelum mereka
terusir dari istana mereka. Dursa-sana, putra kedua pihak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kurawa dengan kasar menjambak kondainya sampai
sanggulnya terlepas. Rambutnya terurai. Drupadi marah luar
biasa, tapi Pandawa diam saja. Masih kurang puas, Dursasana bahkan mempermalukannya dengan cara menelanjanginya di
depan mata Pandawa. Bima dan Harjuna cuma mampu
menggertakkan gigi. Kekalahan memang pahit. Dan itu
sebabnya Drupadi bersumpah, tak akan menyanggul kembali
rambutnya yang panjangnya sampai menyentuh tanah jika ia
berjalan, jika belum dikeramasi dengan darah Dursasana.
Setelah peristiwa itu Pandawa harus menjalani masa
pembuangan dalam hutan selama tiga belas tahun. Dan parwa
kedua selesai."
"Harini cukup!" Mpu Panuluh menghentikan ujian itu.
Karena hari telah siang benar. Bahkan mentari tampak
condong ke barat.
"Para Yang Suci, kita naik dahulu ke ruang bojana
andrawina (ruang makan kerajaan), terlebih dahulu., sebelum istirahat." Jayabhaya mengundang mereka. Itu tidak
dilakukannya terhadap para pengikut ujian sebelumnya. Ini
sudah menunjukkan bahwa Sedah dianggap lulus. Walau
orang tentu tahu bahwa ada sikap Sedah yang tidak disukai
oleh Maha Raja. Keheranan menelusupi hati para cerdik-
pandai istana itu. Sebelumnya mereka sudah khawatir bahwa
sikap Sedah yang melanggar tatakrama kerajaan itu akan
membuahkan pembalasan bagi semua kaum brahmana.
Mungkinkah karena usia Sri Prabu yang telah menua ini" Atau mungkin saja karena istrinya saat ini seorang brahmani,
sehingga mampu mengubah pendirian suaminya"
Sedah melangkah sambil memperhatikan setiap orang yang
dilewatinya. Luar biasa! Pilar-pilar yang menyangga atap
keraton adalah kayu hitam berpelipit emas. Tidak
mengherankan karena Jayabhaya menguasai tambang emas
di mata air Kali Brantas dan Kali Kanta. Belum lagi yang
berada di Jambi, atau daerah lain yang termasuk jajahan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Penjalu. Selirnya juga dari banyak bangsa. Ada Jawa,
Swarnadwipa, Jambudwipa, China. Tapi yang terbanyak
memang Jawa. Sedah melirik selir-selir yang bertugas
mempersiapkan makan buat mereka. Tak ada kekasihnya di
antara mereka. Ruangan bojana andrawina itu cukup besar. Dindingnya
dari kayu timanga berukir dengan aneka macam gambar. Ubin
ruangan berwarna kuning membuat ruangan selalu nampak
bersih. Pinggir meja besar itu juga berpelipit emas serta perak.
Rupa-rupanya di sini tamu-tamu negara mendapat jamuan
yang disebut gembul bojana andrawina itu (santap bersama).
Hiasan lambang garudha mukha serta narasingha menghias
empat dinding kayu. Yang lebih menarik bagi Sedah adalah
patung Erlangga naik garudha mukha yang terbuat dari emas.
Ini menunjukkan bahwa Jayabhaya sangat menghormati
Erlangga. Atau bisa juga dikatakan ia menyamakan diri
dengan Erlangga yang disebut sebagai titisan Wisnu.
Seusai makan Sedah langsung minta diri. Ia tidak merasa
perlu bersantai-santai menikmati keindahan istana. Ia merasa tidak selayaknya. Suatu kemegahan yang bersimbah darah.
Istana yang tentunya dibangun oleh kawula dalam jumlah
yang tidak sedikit. Mereka dipekerjakan siang dan malam. Dan tidak sedikit dari mereka mati karena sakit demam yang
disebabkan oleh gigitan nyamuk. Juga tak sedikit yang mati
karena mencret-mencret. Tidak! Aku. tak pernah merasa
damai di atas aniaya orang lain.
Ia tidak merasa perlu menunggu pamannya yang berpura-
pura tidak mengenalnya di hadapan Jayabhaya dan kawan-
kawannya itu. Ia juga tidak ingin memenangkan ujian ini
dengan pertolongan orang lain. Tapi dengan diizinkannya ia-
pulang, ia merasa kemenangan sudah ada di tangan. Jika
gagal tentu tali gantungan telah terlilit di lehernya.
Berbahagialah kau, Kekasih! desisnya dalam hati. Sebahagian besar langkahku ini hanya untukmu! Ya, Prabarini!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Para cendekiawan pun tak perlu berunding panjang. Karena
sebelum meninggalkan mereka untuk pergi ke taman
Prabarini, Sri Jayabhaya telah meninggalkan perintah kepada Panuluh,
"Bapa Yang Tersuci, suruh orang membuat prasasti
penganugerahan gelar Mpu pada Sedah. Sekalipun masih
muda, kita sudah melihat kebisa-annya. Besok seusai ujian
lanjutan, langsung kita adakan upacara wisudha. Bukankah ia telah menyelesaikan separdh mata ujian?"
"Hamba, Yang Termulia."
"Bahkan menurut pengamatanku, belum satu pun di antara brahmana-brahmana terdahulu yang mampu menceritakan
sebanyak itu. Tentu ia telah menguasai cerita seluruhnya."
"Hamba, Yang Termulia."
Mereka kemudian bubar tanpa melanjutkan perundingan.
Hasilnya sudah pasti. Ujian besok sekadar menyaksikan
pameran kepintaran Sedah dan upacara saja.
"Ini ajaib...," bisik seseorang pada lainnya.
"Keanehan."
"Perkecualian."
"Memang nasibnya baik."
Dan masih banyak lagi yang mereka perbincangkan sambil
menuju rumah masing-masing. Dan mereka tidak tahu bahwa
sebenarnya sepeninggal mereka Jayabhaya memanggil
Prajangkara. Ia perintahkan orang itu untuk memanggil
pelaksana tatakota untuk membangunkan rumah panggung
bagi Sedah. Rumah itu di tempatkan berhadapan dengan
taman sari milik Prabarini. Dalam satu minggu harus sudah
selesai, sebab Sedah harus segera bekerja. Mau tidak mau
orang itu mengerahkan sangat banyak tenaga ahli bangunan
untuk mengerjakannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Prabarini menahan hatinya yang melonjak-lonjak kala Sri
Jayabhaya menceritakan tentang Sedah.
"Luar biasa anak itu. Tapi dia harus diajar adat-istiadat. Dia rupanya tak sudi menyembah padaku."
"Kita wajib bersabar, Yang Maha Mulia. Barangkali ia
seorang yang kokoh berpijak dalam kepribadiannya sebagai
brahmana."
"Tapi ia nampak sombong. Congkak! Melebihi semua satria di Penjalu. Sama seperti Adinda yang congkak..."
"Yang Maha Mulia tidak pernah melihat seseorang dari
pendalamannya, karena itu yang tampil dalam angan Yang
Maha Mulia: kesan. Menurut hemat hamba, kesan sering-
sering salah."
"Salah?"
"Ya, salah. Dan kesalahan itu berbahaya, karena akan
membawa kita pada kesesatan yang tiada taranya."
Jayabhaya mengangguk-angguk. Alis matanya sebelah
kanan terangkat. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia
tidak tahu apa yang menyebabkan Prabarini tampak berbinar.
Pikirnya Prabrini sudah semakin berubah.
"Esok ujian terakhir bagi Sedah. Barangkali akan
menyenangkan jika istrinda menyaksikannya.
Prabarini tersentak. Jangan-jangan ini merupakan
pancingan dari Sri Jayabhaya yang telah curiga saat melihat Sedah muncul dari dalam air sambil menyerahkan dua keping
uang emas di kaki Prabarini waktu pesta air beberapa waktu
lalu. Ia pandang wajah Sri Prabu dalam-dalam, seakan ingin
mengoyak hatinya.
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Hamba kurang enak
badan, sehingga tidak mungkin bisa menghadiri..."
"Lho masih sakit?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan. Tapi sedang tidak suci..." Prabarini tersenyum-senyum. "Yah, beginilah kodratnya wanita..."
"Oh?" Dengan sedikit kecewa Jayabhaya meninggalkannya.
Tidak! Prabarini tidak sedang kotor. Dia mencari-cari alasan agar diperkenankan tidak menghadiri ujian yang tentunya
amat menarik untuk diamati. Ia tidak ingin Sedah terpancing menyatakan sikap di hadapan Jayabhaya. Ia rasa hal itu akan membahayakan. Palagantara tentu akan memperoleh
pekerjaan baru. Ia merasa bijak tidak menjumpai kekasihnya
saat seperti itu.
Namun malam itu ia tidak mampu memejamkan mata.
Bayangan Sedah menari-nari di pelupuk mata. Sesuatu yang
disadarinya takkan kembali dalam kekiniannya mengusiknya
untuk berandai-andai. Tak berguna semua ini. Yang harus
dikerjakannya adalah perencanaan untuk masa mendatang.
Ah, bagaimana mungkin Sedah mau menerimanya" Mau
memperistrikan seorang tercela oleh kerakusan orang lain" Itu sebabnya ia masuk ke pura dan berdoa semalam-malaman.
Berdoa bagi masa depannya. Dan berdoa bagi keselamatan
Sedah. Di dalam angan, di dalam doa, ia merasa Sedah duduk
di sampingnya. Ia tak melihat sendiri kala mentari telah mengusir kabut
dari bumi Daha, dan memancar membangunkan semua
dedaunan, semua burung, ternak, manusia, Sedali dengan
gagah menapaki jalan-jalan raya kota Daha menuju keraton.
Semua orang menyimpang memberinya jalan ketika
berpapasan dengannya. Petani maupun pedagang, wanita
maupun pria, semua memandangnya dengan kesan mereka
masing-masing. Brahmana muda yang mengagumkan.
Namun Sedah tidak menggubris semua itu. Ia tak merasa
memiliki hubungan dengan mereka. Yang dia pentingkan
sekarang adalah pemusatan semua pikiran dan perhatiannya
pada ujian pagi ini. Semua pengawal istana kini memberikan
penghormatan padanya. Seperti pada para pembesar negeri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang akan menghadap Raja. Tidak seperti kemarin, harus
menunggu berlama-lama untuk bisa menaiki titian pendapa
agung. Barisan pohon kenanga dan kantil putih serta kuning
merimbuni kiri-kanan jalan yang dia lalui, dari gerbang ke
pendapa. Kicau burung-burung kecil ikut menyejukkan
hatinya. Ia merasa makin mantap tiap kali melangkah.
Sepercik kekecewaan memuncrat dari sudut hatinya. Sri
Prabu masih sama seperti kemarin. Tidak disertai
Paramesywari. Ia mulai sibuk menebak-nebak. Kenapa
gerangan" Apakah malu" Atau takut" Semua hal bisa terjadi.
Baiklah! Aku akan buktikan, bahwa aku memenuhi permintaan
kekasihku. Dan aku mampu. Setelah itu akulah yang akan
menuntut. Benarkah dia masih milikku seperti Sintha yang
tetap milik Rama, kendati bertahun-tahun hidup dalam taman
sari milik Rahwana"
"Dirgahayu semua. Hormat kepada Sri Prabu," Sedah menutup kepahitan hatinya.
Semua membalas penghormatan itu dengan mengangguk.
Cukup mengangguk! Desis Sedah dalam hati sambil menatap
Jayabhaya. Tapi kawula kau suruh merangkak mencium ujung
jari kakimu! Mpu Panuluh segera bertanya, apakah Sedah sudah siap"
Ia mengangguk sambil tersenyum. Kembali Jayabhaya
berdesir melihat sikap itu. Semuda ini berani melecehkan
persoalan berat yang sedang dihadapinya. Persoalan
nyawanya. Atau dia sudah tahu bahwa ia pasti lulus" Seperti dia sendiri kala sudah yakin memenangkan suatu
pertempuran. "Apakah Yang Suci masih bisa melengkapi uraian tentang Mahabharata kemarin?"
"Sebenarnyalah Mahabharata sudah pernah diterjemahkan
ke dalam Jawa..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa kata Yang Suci?" Hampir semua anggota Dewan
Cerdik Pandai berseru. Jayabhaya pun tak kurang-kurang
terkejutnya. Sampai-sampai ia mencoba menggeser tempat
duduknya. Tapi terlalu berat. Karena itu ia cuma menggeser
pantatnya. Mengerutkan dahi dan menajamkan
pendengarannya.
"Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama-tunggadewa
anumerta telah pernah memerintahkan seorang brahmana
menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa. Hal ini bisa kita
temui dalam kitab Wirataparwa yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Jawa. Ada tertulis nama Sri Dharmawangsa
serta petunjuk tahun, yaitu tahun sembilan ratus delapan saka (tahun sembilan ratus semilan puluh enam). Hamba tidak tahu pasti berapa lama waktu yang telah dihabiskan untuk
menerjemahkan kitab itu. Juga tak tahu pasti siapa saja yang telah menerjemahkannya, karena memang tak ada perintah
untuk menuliskan nama Mpu penerjemahnya. Jika itu
merupakan larangan, maka kita sudah tahu apa tujuannya.
Ternyata yang sudah selesai baru sembilan parwa. Padahal
melihat tahun penerjemahan Wirataparwa, dan gugurnya Sri
Dharmawangsa, terpaut tiga puluh tahun. Kita semua bisa
mengi-ra-ira dengan cara kita dan pandangan kita masing-
masing, mengapa cuma sembilan parwa."
Sedah berhenti sebentar. Ia mengawasi semua
pendengarnya yang menjadi amat kagum. Mereka belum
pernah tahu sebelumnya. Jayabhaya juga termangu-mangu.
"Adakah Yang Suci pernah membaca semua terjemahan
itu?" "Hamba dilahirkan di timur. Hampir dekat dengan kota
Watan yang tua itu (ibukota kerajaan Medang di zaman
Dharmawangsa), sehingga hamba sudah membaca. Bahkan
tidaklah berlebihan jika hamba juga memiliki salinannya."
"Jagad Dewa!" Jayabhaya tidak dapat menahan rasa
girangnya. "Kitab apa saja yang sudah diterjemahkan?" Tak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sabar ia menunggu Dewan Cerdik Pandai mengajukan
pertanyaan. "Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Bhis-maparwa,
Udyogaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwciy
Mahaprasthanikaparwa, Swarga-rohanaparwa. Itulah
kesembilan parwa yang sudah diterjemahkan dalam Jawa."
"Sanggupkah Yang Suci menerjemahkan sisanya?"
"Demi Hyang Maha Dewa, demi kemanusiaan, akan hamba
coba mengerjakannya."
"Bersumpahlah, demi kejayaan Sri Prabu dan negara. Yang Suci akan kami percaya menerjemahkannya. Yang Suci akan
lulus dari ujian kami." Mpu Panuluh melirik Sri Prabu, karena sudah menjadi kebiasaan di Penjalu, bahwa semua orang
harus menyerahkan karya dan dharmanya untuk negara dan
Raja. "Jika itu merupakan salah satu persyaratan dalam
mengikuti sayembara ini, mengapa tidak dicantumkan dalam
pengumuman?"
"Apakah Yang Suci keberatan?" Panuluh berdebar
mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya sendiri. Hal itu bisa membahayakan nyawa Sedah. Betapa besar dosanya
jika seorang brahmana dipancung karena pertanyaannya. Dan
ia menjadi lebih terperanjat demi mendengar ketegasan Sedah yang terlontar dengan cepatnya.
"Ya! Hamba keberatan."
Jawaban yang juga mengejutkan semua orang. Di hadapan
Jayabhaya, Raja Diraja Penjalu, ia berani berkata sepolos itu.
Jayabhaya tersentak. . Telinganya menjadi merah seketika.
Namun sebelum darahnya memuncak kekepala, Panuluh
memperdengarkan suaranya lagi.
"Kami sangat tidak mengerti terhadap sikap Yang Suci.
Adakah alasan yang layak kami pertimbangkan... ?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sekali lagi, Yang Tersuci! Bukanlah kesalahan hamba jika hamba harus meninggalkan pendapa agung ini dengan
bebas..." "Jangan main-main!" Jayabhaya terlonjak. "Berikan alasan, Yang Suci!"


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hamba tahu, tak ada yang memiliki nilai lebih baik dari hamba selama sayembara ini. Dengan kata lain hamba layak
menerima kepercayaan menerjemahkannya. Tapi jika
dianggap tidak lulus, maka kesalahan bukan pada hamba. Jika hamba tahu sebelumnya bahwa karya dan dharma ini
diperuntukkan bagi cuma negara dan Sri Prabu, maka hamba
tidak akan mengikuti sayembara ini. Tak seorang pun boleh
memaksa hamba. Yama dan gama harus kita hormati. Hamba
tidak tahu lagi jika kitab undang-undang Siwasasana sekarang ini cuma dijadikan penghias bibir supaya pemerintahan ini
tampak indah. Namun sebenarnya, undang-undang pun telah
dijadikan selubung untuk melanggengkan penindasan,
menutupi ke-sewenang-wenangan!"
"Hentikan itu! Yang Suci menuduh kami?" "Belum ada jawaban terhadap semua pertanyaan hamba. Jika Siwasasana
masih berlaku di bumi Penjalu, maka hamba terbebas dari
kematian, karena sebenarnya hamba telah lulus. Kegagalan
bukan dari pihak hamba. Hanya dari peraturan yang tidak
hamba ketahui sebelumnya. Hamba memang tak akan berbuat
sesuatu demi negara. Karena sudah banyak satria yang
melakukannya. Juga demi Raja. Karena hamba tidak akan
mem-perhambakan diri pada siapa pun. Hamba tidak suka
orang lain kembung karena karya dan dharma hamba.
Kembung karena mengisap keringat dari darah hamba. Ini
saja! Selamat tinggal dan ampunkan hamba."
Sedah memutar tubuhnya. Ia merasa sudah melakukan
semua permintaan kekasihnya mun kala ia akan melangkah
terdengar Sri Jayabhaya berkata keras.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tunggu! Yang Suci! Apakah selamanya Yang Suci tak
pernah menghargai pandangan orang lain" Tak pernah
menerima pendapat orang lain" Sehingga berkukuh dalam
keakuan yang sebenarnya rapuh?"
Sedah berbalik lagi untuk menghadapi Jayabhaya.
Tersenyum ramah, tapi matanya tajam.
"Menerima pandangan orang lain bukan berarti harus
mencampakkan sikap pribadi ke atas ong-gokan sampah!
Berbahagialah setiap orang yang kepalanya terbuka untuk
dapat menerima pandangan orang lain, tapi tetap memelihara
kepribadiannya sebagai suatu sikap."
"Jagad Bathara! memang baru kali ini daku melihat
brahmana seberani Yang Suci. Tapi baiklah. Yang Tersuci,
benarkah Yang Suci Sedah lulus dari ujian pengetahuan?"
Jayabhaya kini berpaling pada Dewan Cerdik Pandai.
-Dengan bisik mereka berunding. Tapi tidak lama kemudian
Panuluh bersembah,
"Hamba, Yang Maha Mulia. Dia lulus dengan nilai tertinggi.
Tapi tentang sikap hati yang seperti itu, segala purbawasesa terletak di tangan Yang Maha Mulia."
"Baiklah! Aku memerlukannya. Dan saat ini juga aku
menganugerahkannya gelar Mpu. Karena dia layak untuk itu!"
Seperti gelegar geledeg yang gemuruh rasanya keputusan
itu terdengar di telinga anggota Dewan
Cerdik Pandai. Sungguh suatu kejutan. Dalam kemarahan
Jayabhaya malah menganugerahkan gelar Mpu pada Sedah.
Dan seperti tak percaya saja mereka menyaksikan Sri Prabu
mengalungkan untaian bunga melati ke leher Sedah,
brahmana muda yang dianggap kurang ajar itu. Bukan cuma
itu, Jayabhaya bahkan memerintahkan para menteri, para
perwira tinggi, hadir menyaksikan wisudha pengangkatan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sedah menjadi Mpu. Mpu Panuluh menganggap ini suatu
mujizat. Yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Semua dilakukan begitu mendadak. Begitu cepat. Semua
terkesima. Dan pengumuman pengangkatan Sedah sebagai
salah seorang brahmana yang menerima gelar Mpu secara
istimewa, disebar ke seluruh pelosok Penjalu. Juga ke seluruh perguruan, termasuk Perguruan Tinggi Widya Trisnapala.
0ooo0dw0ooo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAB V RUMAH PANGGUNG Sri jayabhaya dan seluruh pembesar negeri Penjalu menjadi
amat terkejut, kala dua hari setelah wisudha yang menjadikan Sedah bergelar Mpu, mendadak keadaan ibukota menjadi
ceria. Tanpa perintah dari siapa pun tiap perguruan tinggi dan rendah memasang umbul-umbul kuning dan hijau, ungu dan
merah. Dan di gerbang mereka terdapat kain sutera putih
lebar dan kuning ditulisi dengan tinta buatan China: Dirgahayu Mpu Sedah! Selamatlah Mpu Sedah!
Mendadak Sedah menjadi amat terkenal. Itu sebabnya
Jayabhaya memerintahkan telik sandi untuk mengadakan
pengamatan. Laporan yang masuk pada Jayabhaya ternyata
mengatakan bahwa Sedah telah menjadi terkenal karena dia
banyak menolong orang sudra menghadapi kesulitan-
kesulitan. Bahkan Sri Jayabhaya kaget luar biasa kala telik juga melaporkan bahwa Sedah pernah membebaskan orang-orang dari pengaruh
Sigdha Gandarsigh. Tidak seorang pun berani mengusik
brahmana sakti itu. Namun Sedah telah meluluh-lantakkan
semua pengaruhnya. Bukan cuma itu, si Brahmana terusir dari Lembah Selong. Kini orang-orang yang merasa berutang budi
merasa bersyukur atas anugerah yang diterima Sedah, karena
mereka tidak bisa membalas apa-apa.
"Ya! Itu Sedah, brahmana muda yang menolong kita dulu!"
Demikian jawab beberapa orang yang ditanya oleh petugas
sandi dari kerajaan. Bahkan ada beberapa ratus laki-laki dan perempuan yang berbaris mengelilingi berseru-seru,
"Dirgahayu Mpu Sedah! Dirgahayu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepanjang perjalanan mereka menyanyikan pujian bagi
Sedah. Semua anggota Dewan Cerdik Pandai tidak pernah
menduga. Bahkan Sedah sendiri pun tak tahu apa sebabnya
semua itu terjadi. Ia tak merasa punya hubungan dengan
mereka selama tinggal di Daha ini. Ia tidak merasa kenal,
begitu ia menjawab semua pertanyaan dari kerajaan.
"Benarkah Yang Suci pernah mengusir Pandita
Gandarsigh?" Jayabhaya memeriksa sendiri setelah menerima laporan dari teliknya.
"Adalah tugas setiap pecinta kebenaran untuk menegakkan azas-azas kebenaran itu sendiri. Hyang Maha Dewa telah
memilih hamba dari sekian banyak brahmana untuk pergi ke
tempat orang-orang yang sedang tertindas karena
ketidaktahuan mereka. Kebahagiaan hamba adalah mengubah
rintihan menjadi semadi dan yoga, menyembah dan memohon
yang disertai ucapan syukur kepada Hyang Maha Pencipta.
Azas kebenaran telah dilanggar oleh sementara orang dengan
menggunakan pengetahuan untuk mem-perdungukan lainnya
demi kepentingan diri sendiri."
"Jagad Dewa! Di Penjalu tidak ada penindasan semacam
itu, karena semua orang melakukannya dengan sadar."
"Narapraja tak cukup banyak untuk dapat mengawasi
berjalannya keadilan. Barangkali juga Yang Termulia tidak
mendengar bahwa kadang keadilan berjalan iseng sendiri.
Iseng!" Jayabhaya tak melanjutkan, karena ia tiba-tiba teringat
pada Mahabharata yang harus diterjemahkan oleh Sedah.
Buru-buru ia mengajak Sedah ke tempat penyimpanan lontar
Mahabharata. "Hamba akan menyalin yang sembilan parwa itu dahulu,
Yang Termulia. Supaya lebih cepat."
"Baiklah, Yang Suci. Jika demikian aku mohon Yang Suci juga menuliskan satu karya lagi tentang kerajaan kita, supaya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kelak anak-cucu kita tahu tentang apa yang telah kita kerjakan dan apa yang telah kita capai."
Sedah tersenyum. Walau dengan hati berat Sedah
mengiakan. Luar biasa Jayabhaya ini, ia _ tahu persis karya tulis berarti karya bagi masa depan.
Sedah kemudian sibuk dalam ruangan yang disediakan bagi
Dewan Cerdik Pandai. Sedah menolak menerima tawaran
untuk diangkat secara resmi menjadi anggota Dewan.
"Yang Suci telah menerima gaji seperti kami. Mungkin Yang Suci akan makin kembang jika tidak kembali mengembara ke
mana-mana. Gaji yang cukup membuat kita tenang bekerja,"
Panuluh berusaha membujuk suatu ketika.
Mata Sedah menyapu isi ruangan besar. Banyak lontar
dalam gulungan-gulungan yang dimasukkan dalam bumbung.
Bahkan banyak lempengan tembaga yang berisi berbagai
prasasti. Sangat besar ruangan itu memang.JDi bahagian lain masih ada bilik-bilik tempat anggota Dewan Cerdik yang lain bekerja. Atap sirap membuat ruangan itu nampak rapi dan
bersih. Belum lagi halamannya yang luas. Namun penjagaan
oleh telik sandi yang amat ketat juga dirasakan oleh Sedah.
Maka tak mengherankan jika tak ada pencuri yang dapat
masuk ke gedung ini.
"Ampunkan hamba, Yang Tersuci...," Sedah menjawab.
"Sudah hamba katakan, bahwa hamba tidak sudi berhamba
pada siapa pun. Lihatlah orang-orang dungu yang bekerja
pada pemilik pertenunan! Betapa riangnya mereka. Tapi
bukankah hamba tidak seperti mereka" Karena hamba tahu
bahwa jiwa manusia tidak akan bisa berkembang karena gaji,
tapi karena karya yang menjadikannya memiliki hak untuk
menerima gaji."
"Suatu sikap yang tak ternilaikan. Yang Suci, hamba
menghargainya. Tapi dalam zaman seperti sekarang ini,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bukankah itu cuma merupakan khayalan indah dari seorang
pujangga?"
"Barangsiapa bertekun dalam pendiriannya, ia akan
memperoleh kekuatan untuk hidup. Dan kekuatan itu akan
mengatasi semua dan segala. Percayalah, Yang Tersuci,
bahwa semua itu bukan khayalan semata."
"Mengapa Yang Suci memenjarakan diri dalam cita-cita
semacam itu" Kedamaian akan hidup subur di hati yang
mengendap diam dalam kepasrahan."
Lama-lama Sedah makin sebal terhadap orang yang
dianggap tersuci di seluruh bumi Penjalu ini. Ingin ia
mengakhiri pembicaraan. Ia bangkit dari tempat duduk dan
meninggalkan pekerjaan di atas meja bundar yang besar.
Kemudian menghadap ke jendela seolah menghirup angin
segar, setelah setengah hari menulis.
"Penjara" Mengapa cita-cita jadi penjara?" tiba-tiba ia berkata seperti pada diri sendiri. Kedua tangannya
bersedakep. "Seorang yang tidak yakin akan diri sendiri menganggapnya penjara. Seorang akan berhasil jika ia telah
menempatkan cita-cita itu dalam diri sendiri. Ah, yang Tersuci sudah terlalu lama tinggal di istana ini, sehingga Yang Tersuci tidak ingat lagi bahwa sebenarnya petani di Daha dan hampir di seluruh wilayah Penjalu ini miskin! Jika Yang Tersuci melihat padi menguning, Yang Suci beranggapan bahwa kehidupan
kawula telah makmur sejahtera. Tidak!"
"Tidak?" Panuluh ikut berdiri di samping Sedah.
"Ya! Tidak!" Sedah mengambil napas, lalu, ' Sebab acap kali tuaian mereka habis dimakan oleh orang yang sama sekali tidak meneteskan keringat untuk itu. Orang yang cuma hidup
dari upeti dan persembahan. Yang Tersuci tidak jeli melihat kebohongan di negeri kita sendiri."
"Yang Suci!" Panuluh berbisik. "Jangan diteruskan ini!
Menyinggung Sri Prabu akan melahirkan kematian!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hidup ini adalah lorong yang panjang. Mati adalah
gerbang akhir lorong itu..." Lalu Sedah berkemas-kemas. Ia merasa perlu beristirahat.' Panuluh memandangnya dengan
penuh kekhawatiran. Anak ini amat liar!
Dari sekian banyak orang yang menyambut -keberhasilan
Sedah, satu di antaranya tentulah putri yang diam dalam puri taman di tengah kota Daha. Dia adalah Prabarini. Dalam
kesendiriannya ia menimang-nimang dua keping uang emas.
pemberian Sedah. Dan setelahnya berdoa lagi. Hanya itu yang dapat dilakukannya. Memang kadang ia dapat beriang lebih
saat menerima lontar Sedah. Tapi ia tidak mungkin
menyimpannya. Sebab jika ketahuan Jayabhaya, kendati'
Sedah selalu menulisnya dalam Sansekerta dan Jayabhaya
tidak bisa Sansekerta, akan membawanya ke malapetaka yang
mungkin tak tertanggungkan. Jadi ia harus membakarnya
setelah usai membaca. Namun ia akan selalu ingat baris demi baris kata-kata kekasihnya. Seperti tadi pagi Sedah menulis,
"Tambatan hatiku..."
Ah, tanpa sadar Prabarini menitikkan air mata. Dia masih
mencintaiku. Dan seluruh tubuhnya serasa naik ke awan-
awan. "Hyang Maha Dewa telah menuntunku ke istana penculik
kekasihku. Berbagai anugerah disediakannya untuk aku! Emas
permata dan uang sebagai imbalan dari pengetahuan di
kepalaku. Ya, pengetahuan lebih berharga dari permata! Tapi semua itu tidak menyiram rinduku padamu. Apalagi kau tak
muncul untuk menyaksikan wisudhaku menjadi salah satu Mpu
di Penjalu ini.
"Sebongkah tanya memenuhi dadaku. Ke mana kau" Dan
mengapa kau" Seperti pertanyaan yang memenuhi kepalaku
kala aku menjejakkan kakiku di ibukota ini, melihat permainya ibukota kerajaan ini. Apakah pertanyaan ini tak pernah timbul dari nuranimu. Manisku" Ya, mengapa di negeri yang
hamparan padinya menguning bagai lautan emas ini, si tole
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan si genduk menangis kelaparan" Ah, apa yang kaulakukan
di dalam purimu itu, sayang" Barangkali jerit tangis bayi,
karena susu ibunya yang tidak mengeluarkan cairan itu tidak sampai ke telingamu" Jika memang demikian alangkah
indahnya duniamu sekarang. Dunia yang tanpa keluh dan
tangis. "Meski begitu, Kekasihku, aku ingin mengingatkanmu! Di luar tembok yang memagari tamanmu yang tinggi itu, kawula
kebingungan. Setiap hari kepala mereka seperti ditempa palu godam dalam pertanyaan bagaimana menghilangkan rasa
lapar dari perut anak-anak mereka. Apa sebabnya" Gaji para
pekerja tenun tak dibayarkan sebagaimana mestinya. Apakah
Sri Jayabhaya pemegang purbawasesa, yang terkenal arif dan
bijak itu, pernah membicarakannya denganmu" Belum lagi
pekerja di tambang emas. Aku berbahagia memang mendapat
uang dari Sri Jayabhaya, karena dengan demikian aku dapat
menyalurkannya kepada yang lebih berhak.
"Bulan bersinar memancar. Mengalahkan sinar bintang-
bintang lainnya, yang juga ingin mempersembahkan sinarnya.
Rasanya hampir seperti itulah gambaran yang ada bagi
kehidupan di Penjalu saat ini. Sri Prabu semakin berkuasa,
semakin kaya, di atas kemiskinan orang lain.
"Kekasihku, semakin lama semakin aku sadari, bahwa
sebenarnyalah dalam ketidakpunyaan apa-apa, terdapat
kesempatan besar yang diberikan oleh Hyang Maha Dewa
untuk mengangkat diri bangkit dari semua ketidakpunyaan.
Namun jika kita terseret dan tenggelam dalam
ketidakberdayaan, maka kita akan melangkahkan kaki dalam
kejahatan. Inilah hikmah yang kuambil dari perjalanan hidup mencari di mana kau berada.
"Akhirnya aku tidak tahu sampai kapan aku harus bersabar dan mengalahkan semua cita-citaku sendiri, menunggu kau
menembusi kegelapan ini" Dan kita bersama mengangkat diri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan cara mengatasi ketidakpunyaan apa-apa di tengah
semua orang yang berseru kelaparan.33
Ini bukan lontar untuk bercinta! Prabarini makin tidak
mengerti mengapa Sedah tak pernah menghiburnya dalam
lontarnya. Namun ia masih boleh tersenyum karena dalam
akhir katanya Sedah menyatakan,
"Semua yang telah kukerjakan di Daha ini, sebenarnya
bukan untuk siapa-siapa, kecuali dikarenakan cintaku yang
makin hari makin menggunung padamu. Karenanya, marilah
kita sama-sama menundukkan kepala dalam doa, memohon
ke haribaan Hyang Maha Dewa agar segera diberikan jalan
keluar dari semua kesulitan ini... Harapanku siang malam tiada lain y alah cinta kita berpadu kembali."
Ini yang menyebabkan Prabarini sedikit punya
pengharapan. Apakah makna hidup tanpa pengharapan" Tapi
malam-malam berikutnya hatinya makin berbunga-bunga,
sebab ia diperkenankan membaca salinan Mahabharata yang
telah dipersembahkan oleh Sedah pada Jayabhaya sebelum
diteruskan pada Dewan Cerdik Pandai untuk diperbanyak dan
dipelajari. "Istrinda, mungkin belum pernah ada manusia seperti
Sedah itu. Dalam usia yang masih sangat muda telah memiliki kecerdasan yang luar biasa." Jayabhaya tak habis-habisnya memuji Sedah.
Hati Prabarini ikut berbunga. Serasa diri sendiri yang


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima pujian itu.
"Melihat caranya menulis dan susunan gaya bahasa
penggubahan ini, tidak bisa tidak tentu ia mempunyai
pengamatan tajam sekali."
"Ya!" Jayabhaya setuju.
"Wirataparwa adalah parwa keempat, Yang Maha Mulia..."
"Kau?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Hamba juga pernah membacanya."
"Jika demikian bacakanlah untukku!"
Jayabhaya tergolek di peraduan. Sementara Prabarini
membacakannya sloka demi sloka.
Isinya menceritakan keadaan Pandawa pada tahun ketiga
belas dari masa pembuangan mereka. Dengan cara
menyamar, kelima saudara itu memasuki wilayah negeri
Wirata. Drupadi lebih dahulu diterima menjadi seorang inang di istana Raja Wirata, Sri Matswapati. Sementara itu Yudhistira menyamar sebagai seorang ahli main dadu. Bima, adik
Yudhistira menyamar sebagai jagal dengan nama Bhilawa.
Arjuna menyamar sebagai seorang banci dan guru tari dengan
nama Khandi Wrihat-nala, yang artinya seorang banci yang
menarik hati. Sedang adiknya, Nakula, menyamar sebagai
tukang kuda dengan nama Kangseng. Sahadewa menjadi
seorang gembala dengan nama Preten.
Namun penyamaran mulai mengalami gangguan kala
Drupadi yang menyamar jadi inang itu diangkat menjadi juru
rias putri-putri serta selir Raja. Jadi ia sering mondar-mandir dari satu puri ke puri lainnya. Itu sebabnya suatu ketika ia berpapasan dengan patih Kerajaan Wirata yang terkenal amat
sakti. Dan sang Patih jatuh hati. Setelah berulang dilamar oleh si Patih, Drupadi berunding dengan para Pandawa di tempat
persembunyian mereka. Akhirnya diputuskan untuk menyiasati
si Patih. Drupadi ketika ditemui oleh Patih itu mengatakan
bahwa sebenarnya ia telah menikah. Ya, sudah punya suami.
Tapi suaminya adalah jin. Atau sebangsa Drubiksa. Ia takut.
Jika Patih bisa membunuh drubiksa itu, maka ia bersedia
menjadi istrinya.
Demikianlah, pada malam yang telah disepakati, sang Patih
mengikuti Drupadi menjumpai suaminya di tepi hutan, di batas kota. Patih yang gagah perkasa itu akhirnya menemui ajalnya dicekik oleh Bhilawa. Kegemparan segera terjadi pagi harinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sri Matswapati amat terkejut dan terpukul karena kematian
patihnya yang perkasa itu. Hampir tak bisa dipercaya. Maka
Sri Prabu memerintahkan anaknya agar menyelidiki kematian
Patih Wirata. Namun sebelum penyelidikan usai, Kurawa yang
sejak lama mengintai negeri itu, menyiapkan pasukan untuk
menyerbunya. Sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa, karena
Kurawa takut pada kesaktian sang Patih. Peperangan terjadi.
Wirata melawan sekuat daya mereka. Setelah peperangan
berjalan beberapa hari, Nakula yang menggantikan sais kereta Wratsangka, putra mahkota Wirata menawarkan bantuan.
Wratsangka menyamar jadi Khandi
Wrihatnala, sementara itu Wrihatnala yang sebenarnya
adalah Harjuna menyamar sebagai Wrat-sangka. Demikian
halnya dengan Sahadewa, menyamar sebagai Utara, juga
putra Wirata. Bhilawa juga turun dalam peperangan esok
harinya. Perimbangan kekuatan berubah. Wirata di atas angin.
Kesaktian Pandawa di medan laga tak terbendung. Dan,
akhirnya Kurawa undur.
Kala Prabarini hampir selesai membaca parwa keempat,
ternyata Jayabhaya telah mendengkur. Prabarini tersenyum.
Ia kemudian melanjutkan membaca parwa yang kelima. Ah,
begitu menarik penyalinan Sedah dengan dibumbui kata-
katanya sendiri untuk menyempurnakan penerjemahan yang
kurang sempurna. Ayam jantan mulai berkokok, pertanda pagi
mulai mengintip di balik ufuk, namun Prabarini masih
tenggelam dalam bacaannya.
Parwa kelima menceritakan Krsna yang menjadi duta para
Pandawa untuk memperundingkan tahun pembebasan bagi
Negeri Indraprastha dan pengembalian Hastina ke pangkuan
Pandawa. Namun kakak ipar Harjuna atau Raja Dwaraka itu
gagal mencapai persetujuan dengan Kurawa. Karena itu,
kedua belah pihak menyiapkan laskar masing-masing. Bala
bantuan dari negeri-negeai bawahan kedua pihak pun ikut
terlibat dalam peperangan ini.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam parwa inilah ada selingan sebuah kitab" yang
berjudul Bbagavad Gita. Kitab yang mengandung ajaran bagi
manusia. Ajaran tentang sikap hidup dan kehidupan. Prabarini terkantuk dan akhirnya tertidur di tempat duduknya dengan
kepala tertelungkup di atas meja. Mentari telah naik kala
Jayabhaya bangun dari tidurnya. Perasaan iba menelusuri
hatinya. Prabarini begitu patuh membaca kendati ia sudah
terlena. Sampai dia sendiri jatuh tertidur. Maka ia sendiri pergi ke kolam pemandian menikmati kicau burung di pagi hari dan
kesegaran air yang sejuk.
Setelannya Jayabhaya harus memeriksa sendiri rumah
panggung yang akan ia hadiahkan pada Sedah sebagai rumah
sekaligus tempat kerja. Sudah hampir jadi, karena tenaga
yang dikerahkan cukup banyak untuk mendirikan satu rumah
saja. Rumah panggung dengan tangga selebar hampir satu
depa. Dengan tiang lantai kurang lebih empat atau lima depa dari tanah. Tiang-tiangnya nampak sangat kokoh. Cukup besar ukuran rumah panggung itu. Lebarnya kurang lebih tujuh -
depa sedang panjangnya tidak kurang dari dua belas depa.
Atapnya terbuat dari sirap, sedang lantainya dari kayu ulin yang kuat. Ada beranda di depan pintu masuk. Bisa dijadikan tempat duduk-duduk waktu istirahat atau di senja hari. Ada
empat jendela di sebelah kiri dan empat di sebelah kanan.
Juga terdapat kebun dan taman di seputar rumah
panggung itu. Sri Jayabhaya memerintahkan beberapa orang
untuk merawatnya, karena ia tahu bahwa Sedah tidak
mungkin mengerjakannya. Sri Prabu nampak puas,
pembangunan tinggal memperhaus atau memperindah saja.
Maka ia kembali ke istana dan memanggil Sedah.
"Dirgahayu, Yang Suci. Kami sudah membaca keempat parwa yang telah Yang Suci salin. Kami puas."
"Ampunkan hamba, Yang Termulia. Hanya itulah
kemampuan..."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan terlalu merendah, Yang Suci." Jayabhaya tertawa melihat sikap Sedah agak berbeda, agaknya telah
menyesuaikan diri dengan teman-temannya.
"Tidak. Bagaimanapun juga hamba adalah manusia biasa."
Sedah menunduk untuk beberapa saat. Kemudian ia pandang
wajah Sri Prabu yang diapit oleh dua wanita pengipas. Lalu,
"Selalu saja ada kekurangan pada umat manusia, walau ia selalu akan berusaha mengatasi kekurangannya." Sedah
seperti tidak rela dengan kekurangan yang ada pada dirinya.
"Mengetahui kekurangan diri kemudian ber-daya-upaya
mengatasinya adalah hal yang amat baik. Hidup tanpa daya-
upaya tak akan berarti apa-apa."
Mereka diam beberapa jenak. Suasana lengang. Tapi
burung-burung kecil memperdengarkan suaranya di luar
pendapa. Jauh di jalanan sana orang-orang hilir-mudik dalam perniagaan. Pasar pun sedang ramai-ramainya.
"Apa judul kakawin yang kami minta pada Mpu?"
Sedah merenung, mengerutkan dahinya. Dua jenak
kemudian ia menjawab Bhramara Wila Sita."
"Bhramara Wila Sita?"
"Ya, sebab yang membangun Daha ini dahulu sebahagian
besar adalah kaum brahmana. Juga moyang raja-raja Penjalu
adalah brahmana. Mpu Sindok."
"Jagad Dewa! Apakah sudah mulai ditulis?"
"Sudah beberapa bahagian."
"Bisa kami membacanya?"
"Bisa. Kapan Yang Termulia berkenan membaca bahagian
awal dari karya tersebut?"
"Esoklah! Harini kami masih akan mengerjakan lainnya."
Mereka diam lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Suci saat ini tidur di mana?" Tiba-tiba Jayabhaya memecah kebekuan.
Hati Sedah memang beku. Kini ia berhadap-hadapan
dengan orang yang menculik calon istrinya. Bahkan dua tahun sudah ia menguasai, meniduri dan... Hati Sedah bergetar
hebat. Mungkin demikian perasaan Sri Rama waktu berhadap-
hadapan dengan Rahwana. Tapi ia bukan Sri Rama yang
datang dengan dukungan laskar yang berjuta-juta jumlahnya.
Ia tidak bisa merampas Prabarini begitu saja.
"Eh, sementara menginap di rumah Mpu Samirana Guna."
"Oh... Begini, Yang Suci. Kami telah menyediakan satu
rumah bagi Yang Suci. Mulai esok Yang Suci harus pindah ke
rumah tersebut!"
"Tetapi..."
"Tidak ada tetapi, Yang Suci. Kami rasa kita tak perlu berbantah lagi. Milikilah rumah itu. Jadikan tempat tinggal dan tempat untuk bekerja."
Jayabhaya kemudian memanggil seorang caraka untuk
mengantar Sedah ke rumah panggungnya. Tanpa dapat
membantah, kali ini Sedah mengikuti caraka keluar dari
pendapa agung. Mereka berjalan kaki. Awan putih berarak-
arak di langit biru, membiaskan sinar mentari pagi. Seolah
mereka ikut beriang-riang menyambut anugerah yang
diberikan pada Sedah.
Buat sesaat Sedah tercenung melihat bangunan rumah
panggung itu. Belum pernah ia mimpi akan mendapatkannya.
Dengan hati berdebar ia meniti tangga untuk memasuki
rumah. Para pekerja menghormat.
"Dirgahayu, Yang Suci." Hormat mereka menyembah.
Sedah memerintahkan mereka berdiri dan kembali bekerja
sebagaimana biasa. Semua perabot sudah lengkap. Tempat
tidur kayu berukir dan alas tempat tidur yang terbuat dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sutera China. Lantai papan tebal dan perkasa dilapisi
permadani berbulu buatan Mesir di setiap ruangan, kecuali
tempat untuk memasak. Lampu-lampu gantung buatan
Jambudwipa dari logam kuning, serta pelita tempel di dinding-dinding ruangan kerja buatan Jenggala. Ah, besok aku
menempati tempat semewah ini...
Penjaga taman yang diperbantukan pada Sedah ternyata
adalah dua orang yang pernah ditolongnya di Lembah Selong.
"Yang Suci masih mengenal hamba?" Jodeh bertanya
sambil menyembah dengan muka sampai ke tanah. Demikian
pula temannya Sontoh.
"Bangkitlah! Siapa kalian ini?" Suara Sedah menyejukkan hati.
"Hamba Jodeh," kata yang brewok dan dadanya penuh bulu. Badannya tinggi besar, dengan gigi yang menonjol
keluar dan selalu berwarna merah karena sirih kinangan.
"Hamba Sontoh, Yang Suci," yang bertubuh pendek dan kurus memperkenalkan diri.
Lalu keduanya menceritakan pengalaman mereka saat
bersua Sedah di Lembah Selong waktu berhadapan dengan
Gandarsigh. "Ha... ha... ha... ha..." Sedah terbahak-bahak. "Aku tidak pernah ingat lagi. Maafkan aku. Karena berhadapan dengan
banyak orang dan banyak persoalan. Rupanya kalian yang
berbaris keliling kota?"
"Betul, Yang Suci. Kami sangat bergembira Yang Suci ada di sini juga. Karena itu kami berusaha melamar pekerjaan jadi tukang kebun di sini."
"Ah, terima kasih, Paman Jodeh dan Paman Sontoh. Di
mana kalian akan tinggal?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami akan tinggal di sana!" Jodeh menunjuk ke sudut kanan halaman atau kebun yang cukup luas. Sedah menghela
napas panjang. Sejenak dua jenak atau barangkali sepuluh
jenak ia tercenung. Anugerah yang cukup besar sebenarnya.
Tak ada alasan sebenarnya untuk menjelek-jelekkan atau
memusuhi raja sebaik Sri Jayabhaya. Tapi benarkah kebaikan
ini berlaku untuk semua orang" Atau aku saja" Karena dia
sedang membutuhkan aku" Ya! Selama aku dibutuhkan, aku
disanjung. Tapi ada ketikanya aku disingkirkan, jika
dianggapnya sudah tidak diperlukan lagi.
Buktinya ada berapa ribu orang yang sekarang ini
meringkuk di penjara-penjara" Ada berapa pula yang harus
bekerja paksa dengan tangan terbelenggu rantai besar"
"Aku tidak bisa membayar kalian. Karena aku juga manusia bayaran," Sedah berkata pahit.
"Oh, kami sudah dibayar oleh kerajaan demi Yang Suci."
"Jagad Dewa!"
Sedah berlalu. Esok harinya Jodeh dan Sontoh membantu
memindahkan barang-barang dan lontar-lontar milik Sedah.
Para anggota Dewan Cerdik Pandai sangat terheran-heran.
Sungguh tak pernah mereka duga sebelumnya, bahwa
seorang bengal akan menerima anugerah dari Sri Prabu.
"Sungguh anak dewata dia!" Panuluh berkata pada teman-temannya.
"Anak ajaib," yang lain berkata. Sementara itu paman Sedah tetap diam saja.
"Tapi jangan-jangan semua ini akan membuatnya besar
kepala, dan menganggap kita semua siput," salah seorang memperingatkan. "Kita yang lebih lama di sini disisihkannya."
"Tak perlu iri," Panuluh menasihati. "Justru seharusnya kita belajar dari keberhasilannya. Iri hati akan membuat kita sakit
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri. Kedengkian membawa malapetaka. Brahmana yang
baik adalah pembawa kesejahteraan."
Rumah panggung segera menjadi buah bibir yang makin
meluas. Bukan cuma para Cerdik Pandai yang
membicarakannya, tapi juga para pembesar negeri lainnya.
Para satria juga. Berita tentang rumah panggung pun
segera*menyebar ke mana-mana. Seperti menjalarnya wabah.
Suka dan tidak suka pun berkecamuk. Sedah segera mendapat
peringatan dari pamannya, agar berhati-hati.
Peringatan pamannya bukanlah kosong. Sebab suatu saat
ketika ia sedang mengerjakan kitab Bhramara Wila Sita yang
dijanjikannya pada Raja, beberapa buah batu dilemparkan dari arah jauh dan jatuh di atap beranda rumah panggungnya.
"Siapa yang melempar ini?" tanya Sedah pada Jodeh yang ada di kebun.
"Segerombolan orang yang tidak hamba kenal, Yang Suci.
Apa kita laporkan kepada Kepala Keamanan Kota?"
"Aku tak ingin melakukannya. Jika kau merasa perlu,
kerjakanlah pendapatmu itu!" Sedah kembali ke ruang
kerjanya. Jodeh pergi untuk mengerjakan perintah tuannya.
Pengalaman Sontoh lain lagi. Beberapa hari setelah
peristiwa pelemparan rumah, ia terpaksa berkelahi dengan
sejumlah orang yang berteriakteriak di luar pagar halaman.
Menyakitkan hati, menurutnya, sehingga ia menangkap
seorang lalu menghadapkannya kepada Sedah. "Ada apa
ribut-ribut?"
Sontoh melaporkan kejadiannya. Ia dikeroyok empat orang.
Untung ia menang dan dapat menangkap seorang. Yang lain
lari. Orang yang ditangkap itu tak berani memandang Sedah
yang menatapnya dengan tajam.
"Siapa namamu?" suara Sedah seperti palu godam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kin... ca... ka."
"Kincaka" Ah, nama yang bagus. Masih muda lagi. Mungkin usia kita sama. Lalu apa salahku padamu maka kau
mengusikku?"
"Ampun, Yang Suci..." Kincaka menyembah sampai ke lantai.
"Atas nama Hyang Maha Dewa aku mengampunimu! Tapi,
jawab dulu pertanyaanku. Jika tidak maka kau akan
kuserahkan kepada Sri Prabu yang memberikan rumah ini
kepadaku."
"Ampun... Hamba cuma disuruh. Dibayar..." "Cinta akan uang adalah akar kejahatan!" Sedah menghela napas panjang.
Kemudian bersi-dekap dan membelakangi Kincaka. "Dengarlah baik-baik, Sontoh. Beri tahukan ini pada anak-anak atau
istrimu!" Sedah kini menghadap kebun. Pohon-pohon
beraneka ragam tampak terurus rapi. "Jika kita ingin... yah, ingin menjadi kaya, maka pencobaan yang membawa kita
pada kejahatan telah siap di ambang pintu hati. Bisa saja
membawa kita pada kejahatan yang paling busuk sekali pun."
"Hamba, Yang Suci."
"Siapa yang menyuruhmu, Kincaka?"


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hamba tidak kenal, Yang Suci. Ampunkan hamba..."
"Hemh... tidak kenal" Dosamu makin bertambah-tambah.
Mengapa tak takut menipu seorang brahmana?"
"Ampun, Yang Suci! Hamba diajak oleh kawan-kawan.
Kemudian... katanya akan ada yang membayar..."
"Baik! Kau butuh uang?" Sedah masuk ke biliknya dan keluar lagi dengan cepat. Lima keping perak di tangannya.
"Terimalah ini. Dan Sontoh, ambilkan sebakul beras
persediaan! Berikan padanya agar dibawa pulang."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi..."
"Tak ada tetapi, Sontoh."
Sontoh segera mengerjakan perintah Sedah. Sementara itu
air mata Kincaka meleleh lamban di pipinya. Tak berani ia
bergerak, seolah berhadapan dengan seorang dewa.
"Nah, bawalah ini pulang. Jangan lakukan lagi apa yang tadi kaukerjakan. Beritahukan pada kawan-kawanmu: tak
seharusnya aku dimusuhi, karena aku memang bukan musuh
kalian." "Hamba, Yang Suci."
"Aku tidak mencari pujian dengan memberi ini padamu,
tapi karena kau memang memerlukannya."
"Hamba, yang Suci. Terima kasih."
"Sontoh, ingat ini! Jangan kau tanya mengapa ini bisa
diperbuat orang padaku. Aku sendiri tidak akan bertanya lagi.
Aku seorang seniman: orang yang harus menyatu dengan
pujian dan cacian."
"Hamba, Yang Suci."
"Setelah tahu akan hal ini, jika kau mau tinggal bersama aku tinggallah terus. Tapi jika mau pergi, pergilah! Dan
katakan ini pada Jodeh juga."
"Ampun, Yang Suci... apa pun keadaan Yang Suci, kami
berjanji akan tinggal."
"Baiklah!"
Sedah kembali ke ruang kerjanya. Kincaka dengan
perasaan berat meninggalkan rumah itu. Namun tak urung
apa yang terjadi atas Kincaka pun menjadi buah bibir. Di
warung-warung, di pasar-pasar, penjaja dagangan pun
mengambil kerja sambilan, yaitu membicarakan Sedah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Betapa bahagia menjadi istri orang macam itu..," bisik para gadis di sungai waktu sama-sama mandi atau mencuci
pakaian. Dan berita itu pun merambat ke mana-mana, sampai
menembus dinding taman sari milik Prabarini.
Memang sejak Sedah pindah ke rumah panggung, Nyi
Lembini sukar memperoleh hubungan. Ia takut pada Jodeh
dan Sontoh. Ia cuma dapat memantau apa yang terjadi atas
Sedah dari jauh. Karenanya Prabarini agak lama tidak lagi
membaca suratnya. Dan itu membuat Prabarini sering tidak
bisa tidur. Jiwanya makin terperosok dalam kesunyian yang
dalam. Ingin ia menemani Sedah di saat mengalami masa
sukar yang penuh dengan tantangan. Bukankah dalam
keadaan demikian ia memerlukan penolong atau penghibur"
Ingin ia melakukannya. Tapi ia bukan kupu-kupu yang bisa
terbang bebas melintasi barisan pengawal wanita di seputar
tamannya. Belum lagi pagar tembok batu bata yang tingginya
kurang lebih dua depa itu.
Semua memang tidak memungkinkannya untuk
berhubungan lagi dengan Sedah. Namun Prabarini
merenungkan, apa dayanya sekarang" Bukankah ia sendiri
bisa menulis" Dan bukankah tulisan juga merupakan anugerah
yang ajaib" Ya Ajaib! Karena sebenarnyalah tak ada apa pun
yang bisa membatasi tulisan itu sendiri. Tembok, penjaga,
prajurit wanita, bahkan kekuasaan takkan mampu membatasi
tulisan. Tapi bagaimana caranya mengeluarkan tulisan dari
tempat ini" Harus ada upaya.
Itu sebabnya ia memanggil Nyi Rumbi, orang yang paling
dipercayanya, untuk berhubungan dengan orang-orang di luar
istana. "Yang Mulia... itu pekerjaan berbahaya. Sungguh
berbahaya."
"Ketakutan tak menghasilkan apa-apa, Bibi. Aku sudah
jenuh tinggal di sini jika tidak bersabar menunggu Sedah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi?"
"Kau bisa pura-pura ke pasar, bukan" Nah, menurut
laporan Nyi Lembini, dia punya tukang kebun. Namanya
Jodeh. Dan, satu lagi adalah
Sontoh. Temui! Dan suap mereka! Atau.bagaima-na
caranya aku tidak tahu, pokoknya lontarku sampai."
"Baiklah, Yang Mulia. Hamba akan lakukan semua titah
Yang Mulia. Berdoalah."
"Cuma kau satu-satunya penolongku. Dan jika pulang dari pasar, jangan lupa membelikan hadiah untuk para pengawal
itu." "Hamba, Yang Mulia."
Dengan hati berdebar ia menatap kepergian Nyi Rumbi.
Lebih berdebar lagi ketika ia akan kembali ke biliknya,
ternyata Sri Jayabhaya sudah duduk di beranda. Darah serasa berhenti.
"Dirgahayu, Yang Maha Mulia..." Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum.
Dan Jayabhaya memang paling kasmaran melihat
senyumnya itu. Senyum memang selalu mengubah suasana.
Jayabhaya merasa hatinya semakin dekat dengan Prabarini.
"Istrinda, kau tentu akan makin suka membaca tulisan
pujangga muda itu. Lihat ini, Bbramara Wila Sita. Belum
selesai memang, namun amat bagus." Jayabhaya
menunjukkan beberapa gulung lontar.
"Bbramara Wila Sita?"
"Ya."
"Kota kaum brahmana?" Prabarini mendekat, walau hatinya ragu. Bukan untuk menyambut Sri Prabu, tapi tulisan Sedah.
"Bacalah ini! Aku ingin mendengar suaramu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keraguan dan ketakutan musnah seketika, sebagai
gantinya... kegembiraan yang tergambar pada mata yang
berbinar-binar. Prabarini kemudian mengambil tempat duduk
di samping kiri Sri Jayabhaya. Namun orang itu segera meraih pinggangnya dan meletakkan tubuh Prabarini ke
pangkuannya. Prabarini mengutuk dalam hati ketika
Jayabhaya mencium punggungnya.
"Ah, nanti tak terbaca..."
Wajah yang dihiasi mendung malah membuat Sri Prabu
tertawa. Sebahagian giginya sudah rontok. Bau busuk yang
disebabkan gigi berlobang ikut tersembur keluar bersama
suara tawanya. Buru-buru Prabarini bangkit sambil menyediakan sirih. Ia
ingin menghindari bau itu.
Tingkah Prabarini seolah selalu melegakan hatinya.
"Istrinda, baca saja. Aku akan mengambil sendiri sirih..." Ia ikut berdiri.
"Tak apa, Yang Maha Mulia."
Prabarini kembali mengambil tempat duduk. Kini berhadap-
hadapan dengan Sri Prabu. Dan ia mulai membaca.
Pada awal tulisannya Sedah menceritakan tentang asal-usul
ibukota Daha, dan ibukota sebelumnya. Itulah sebabnya
Sedah memberi judul kakawinnya Bhramara Wila Sita
(mungkin dari sinilah Cho K'u-Fei mengambil baban dalam
menulis kitab Ling-Wai-Tai-Ta (1178) juga Chau-ju-kua dalam bukunya Cho-fan-chi (1225)). Pada zaman Mpu Sindok,
moyang Sri Jayabhaya, ibukota kerajaan ada di Watu Galuh
(letaknya di sekitar Jombang). Namun setelah pemerintahan
Sri Dharmawangsa, ibukota kerajaan berpindah ke Watan,
yang letaknya di selatan kota Sidaarja, hampir di bawah kaki Gunung Penanggungan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia menceritakan kemakmuran Watan, yang meski sering
dilanda banjir namun tidak pernah separah kota Sidaarja. Sri Dharmawangsalah yang memerintahkan pertama kali
menerjemahkan Mahabharata, karangan Mpu Vyasa dari
Jambudwi-pa. Namun tidak selesai. Cuma sembilan parwa saja
yang diselesaikan. Mungkin dikarenakan negeri itu mendapat
serangan mendadak dari Raja Wurawari dari Lwaram.
Sedah menyebutkan bahwa hal ini pernah ditulis oleh
Erlangga sorga dalam prasasti Kalku-ta: "Ri prahara, Haji Wurawari maso mijil sangka Lwaram" Artinya kurang lebih: "Di tengah kekacauan atau pemberontakan itu, Raja Wurawari
muncul dari Lwaram."
Setelah Erlangga memenangkan peperangan dan
menaklukkan Wurawari, ia membangun ibukota baru yang
dinamakan Watan Mas, yang tempatnya masih di seputar kaki
Gunung Penanggungan. Namun Erlangga diserbu dan dikejar
oleh musuh, Watan Mas ditinggalkan dan ia menuju ke desa
Patakan (Prasasti Terep (Th 1032) dan Prasasti Kamalagyan
(1037))" Dan Erlangga tidak kembali lagi ke Watan Mas, tapi ia
mendirikan satu kota lagi di sebelah timur gunung
Penanggungan. Kota itu diberi nama Kahuripan. Tidak lama
setelah itu Erlangga memerintahkan penyudetan Kali Brantas
sehingga terpecahlah sungai itu menjadi dua. Erlangga melihat hanya itulah satu-satunya jalan untuk mengatasi banjir yang sering tidak berkeputusan. Ujung yang satu menuju ke utara
yang kelak disebut Ujung Galuh, sementara ujung yang lain
melewati Kemal Pandak. Itulah sebabnya Erlangga mengubah
nama negeri Medang menjadi Kahuripan, setelah penyudetan
berhasil. Dan ibukotanya bernama Daha.( Prasasti Pamwatan
(1042)) Sampai di sini Prabarini berhenti. Pembacaan sudah selesai.
Para dayang telah menyiapkan santap siang untuk keduanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jayabhaya makin kagum pada Sedah. Begitu teliti anak muda
itu. "Aku belum pernah mendengar kisah yang demikian itu,
Istrinda. Kendati aku adalah pewaris Wangsa Icana. Kita
pantas memberinya anugerah."
"Hamba, Yang Maha Mulia. Lalu, anugerah apakah yang
pantas untuk pujangga itu?"
"Aku belum tahu. Aku bingung. Ia menulis bagus. Tapi
sikapnya, sepak terjangnya, merusak wibawaku. Terkadang
aku pusing dibuatnya."
"Berkali hamba telah bersembah, Yang Maha Mulia.
Barangkali saja ia ingin meletakkan yama dan gama pada
tempat yang semestinya."
"Yang kutangkap dalam semua tulisannya, ternyata
menyiratkan suatu tuntutan.! Istrinda, adakah kau
menangkapnya?"
Kembali dada Prabarini naik-turun dengan mendadak.
Debar jantungnya mengencang. Dan menghadapi satria
seperti Jayabhaya, ia harus berhati-hati. Senyum di bibirnya bisa berarti lain. Ingatannya segera berlari pada Palagantara.
Bisa saja manusia macam itu membunuh sambil menangis.
"Apakah yang telah Yang Maha Mulia dapati?"
"Memang sangat halus, tapi ia menuntut kebebasan.
Persamaan derajat atau hak. Lalu, ia juga menyerukan
persaudaraan."
Prabarini tertunduk. Orang ini memang bernaluri amat
tajam. Tapi sayang dia hanya mau mendengar diri sendiri.
Atau... "Apa itu tidak menyalahi kodrat dewata?"
"Semua orang telah menyalahi kodrat!" Prabarini kembali pada dirinya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Juga aku?"
"Ya." .
"Kau...?"
"Tak ada manusia menjadi dewa! Tapi tiap penguasa
memperdewakan diri. Harus didengar apa maunya!"
"Jagad Dewa!" Jayabhaya kini berdegup. Kepalanya
mendadak pening. Ingin rasanya ia menempeleng Prabarini.
Ternyata wanita ini benar-benar belum menerima dirinya
sebagai seorang suami. Masih menganggapnya sebagai
penguasa. "Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Hamba adalah
brahmana. Hamba diajar berpendapat. Dan diajar menyatakan
pendapat. Tapi selama ini, hamba tak lebih dari boneka
semata." "Jadi kau juga menuntut kebebasan" Kurangkah yang
kuberikan pada Istrinda selama ini?"
"Kebebasan adalah hak hakiki seluruh umat manusia di
seluruh muka bumi ini. Ini adalah kodrati. Harus dilindungi dan dijaga, demi keseimbangan alam. Dan apabila keseimbangan
ini rusak, akan menimbulkan bencana bagi umat manusia."
"Jagad Dewa!"
Namun Jayabhaya masih berusaha menahan hatinya.
0ooo0dw0oo0 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAB VI SALYAPARWA "Keremangan senja makin hari makin melahirkan aniaya
dalam hidup hamba" Demikian kalimat pertama lontar
Prabarini yang baru saja diterima Sedah dari tangan Jodeh.
Ah, Prabarini makin berani menempuh bahaya, pikir Sedah.
Atau memang demikian kodratnya cinta" Kemudian Sedah
menghadirkan Prabarini sendiri dalam bayangnya. Seolah ia
sendiri yang bercakap.
"Dan bila purnama datang, kenangan masa lalu itu kembali menjemput. Namun itu semua membuatku luluh dalam
ketakutan." Untuk kesekian kalinya Prabarini mengeluh.
"Takut pada Yang Suci, yang tentunya akan menuntut
kesucian hamba. Sungguh, sesuatu yang tak mungkin lagi
dapat hamba persembahkan. Tapi semua telah terjadi di luar
mau hamba. Itu sebabnya, hamba makin hari serasa makin
diburu oleh keinginan untuk bersemuka dengan Yang Suci dan
berlutut di kaki Yang Suci. Andai Yang Suci tak sudi
mengampuni hamba, maka hidup ini tak perlu dilanjutkan lagi.
Karena Yang Suci-lah hamba sampai saat ini masih
mempunyai kekuatan hidup."
Kembali Sedah menghela napas. Memang Prabarini
memerlukan pengampunannya.
"Yang Suci, kapankah kita dapat menyatukan hati dan jiwa kita" Apakah di alam nirwana nanti kita akan bersua" Apakah benar pengetahuan tidak bisa mengatasi kekuasaan" Atau
Yang Suci sengaja akan membiarkan bunga yang kembang
menjadi layu, dan akhirnya kering, lalu runtuh ke bumi" Andai memang benar harus demikian jalan hidup ini, hamba
memohon pada Hyang Maha Dewa, kiranya diberi kesempatan
bersemuka tanpa halangan siapa pun. Berpandang mata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan mata, tanpa saksi seorang pun sebelum hayat ini
punah sama sekali. Hamba ingin dengar langsung dari bibir
Yang Suci sendiri, memaafkan atau tidak. Puas rasanya
menerima hukuman mati yang dijatuhkan oleh orang yang
hamba kasihi. Hamba cintai dalam hidup ini"
Sedah bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mondar-
mandir dalam ruangannya. Jika itu permintaan Prabarini, yah apa boleh buat. Maka harus menunda dulu Bhramara Wila
Sita. Yang terbaik adalah menyalin Mahabharata. Dan
memang dalam beberapa hari ini ia telah menyelesaikan dua
parwa lagi, yaitu Bhismaparwa dan Asramawasikaparwa. Yang
terdahulu menceritakan gugurnya Rsi Bhisma, seorang renta
yang masih perkasa, di tangan wanita yang wandu (Seorang
wanita lesbian, karena di bahagian ini diceritakan bahwa Sri Khandi pernah diambil menantu oleh raja Dharsana; dan
bahwa hampir terjadi pertempuran hebat antara negeri Sri
Khandi dengan negeri mertuanya, karena ketahuan ia seorang


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita. Namun istrinya enggan dipisahkan. Perang batal.)
bernama Sri Khandi, putri raja Drupada.
Sedang yang berikut menceritakan kehidupan Dhrtarastra
beserta istrinya, Gandhari, yang menjadi pertapa di tengah
hutan. Juga Kunthi, ibu para Pandawa dan bagaimana
kemudian ketiganya tewas karena hutan tempat mereka
bertapa itu terbakar.
Sedah berjanji dalam hati akan menyelesaikan ketiga parwa
berikutnya, baru kemudian ia akan menerjemahkan
Bharatayudha. Maka dari itu ia memohon bantuan Mpu
Panuluh untuk membantu menyalin parwa keenam belas yang
sudah pernah diterjemahkan di zaman Dharmawangsa, dan
parwa ketujuhbelas serta ke delapan belas. Panuluh
menyetujui setelah Sedah menyerahkan naskahnya.
"Suatu kehormatan jika kami boleh membantu Yang Suci,"
Panuluh menjawabnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika tidak demikian, waktunya akan sangat lama, Yang
tersuci. Penerjemahan yang berikutnya membutuhkan
penelitian lebih rumit dari yang terdahulu. Karenanya, tidak diterjemahkan waktu itu."
Panuluh mengangguk-angguk. Barangkali saja Sedah
benar. Terlalu sukar menerjemahkan bahagian-bahagian
Bharatayudha. Atau sang penerjemah tidak sampai hati
menerjemahkan perihal pembunuhan dan kematian.
Jadilah Panuluh menyalin atau menyunting Mausalaparwa.
Parwa yang menceritakan punahnya kerajaan Krsna atau
keluarga Yadawa dikarenakan perang saudara. Kakak Krsna,
Sri Baladewa, gugur karena matanya telah rabun dan pikun.
Sementara Sri Krsna mati terkena anak panah seorang
pemburu pada telapak kakinya, saat ia bertapa di tengah
hutan. Dalam hati, Panuluh memang iri terhadap keberhasilan
Sedah memperoleh salinan tersebut, sekaligus amat kagum.
Tentu anak itu telah berusaha keras untuk mendapatkannya.
Tidak bisa tidak. Dari mana" Tak ada anugerah tanpa usaha
apa-apa. Parwa ketujuh belas adalah Mahaphrasthanika-parwa.
Menceritakan pengunduran diri para Pandawa dari kekuasaan
di Hastina dan menyerahkan kekuasaan pada cucu Harjuna,
Pariksit. Dia adalah putra Abhimanyu yang gugur dalam
keroyokan para Kurawa. Suatu peperangan yang tidak jujur
dan membuat Harjuna marah. Setelah pengunduran diri itu,
Pandawa meninggalkan keraton, lalu mengembara di hutan
dengan diikuti oleh istri setia Yudhistira, Drupadi. Satu-satu mereka tewas. Cuma Yudhistira, raja suci tanpa dosa itu, yang terangkat naik ke nirwana.
Parwa berikutnya adalah Swargarobanaparwa, yang
mengisahkan perjalanan Yudhistira di nirwana. Ia diajak
berkeliling melihat Kurawa yang tinggal di Swarga
Pengrantungan (tempat swarga pencobaan sebagai penantian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hari pengadilan). Mereka bersenang-senang. Yudhistira
terhenyak melihat itu. Untuk sementara Mpu Panuluh
menghentikan bacaannya. Benarkah cerita ini" Atau ini
karangan Sedah sendiri" Setelah beberapa saat barulah ia
meneruskan pembacaannya. Sungguh tak masuk akal,
pikirnya. Yudhistira masih diajak berjalan lagi. Kini ia melihat neraka.
Banyak orang tersiksa di sana. Pertama ia melihat istrinya
yang tercinta. Dengan air mata meleleh ia bertanya pada
Hyang Dharma yang mengantarnya. Kenapa istrinya harus
menerima siksaan seperti itu" Padahal selama ini ia selalu
patuh mengikuti semua ajarannya.
"Memang benar ia seorang perempuan taat. Tak ada
bandingnya di dunia ini. Ia setia dalam suka dan duka. Namun jauh di sudut hatinya, sebenarnya ia mencintai Harjuna,
karena semula ia mengira bahwa Harjuna-Iah yang akan
menjadi suaminya."
Beberapa jarak lagi ia melihat Nakula dan Sahadewa yang
menerima hukuman yang sama. Dewa menerangkan bahwa
keduanya memiliki dosa yang sama: merasa diri paling tampan dan cerdas di antara umat manusia di muka bumi. Sedang
Harjuna dan Karna yang pernah menjadi panglima Kurawa
tapi anak Kunthi itu, memiliki dosa yang sama pula: merasa
diri sebagai orang paling sakti dan pintar di dunia. Sedang Bima merasa diri paling kuat, perkasa tanpa tandingan.
Setelah melihat semuanya, Yudhistira tidak mau
meninggalkan neraka. Ia ingin bersama mereka. Karenanyalah
mereka semua dipindahkan ke sorga, sebaliknya Kurawa yang
angkara menerima bahagian siksa kekal, yaitu lautan yang
menyala-nyala oleh api dan belerang.
Beruntunglah Sedah yang sudah membaca semua itu, pikir
Mpu Panuluh. Tentu aku bisa juga menerjemahkannya.
Meskipun tidak selengkap dia barangkali. Tapi bila aku
berkesempatan, aku pun akan mencobanya. Baik! Sekarang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
aku mulai menyunting ini saja. Pasti tidak cukup enam bulan untuk menyunting tiga parwa ini saja. Bukan saja karena ia
sudah tua dan penglihatannya kadang sudah kabur, tapi juga
ada tanda-tanda baca yang sukar dipahaminya. Lebih dari itu, harus dihindari kata-kata atau kalimat yang mungkin saja bisa menyinggung Sri Jayabhaya. Memang berbeda dengan Sedah
yang tak pernah menggubris segala tata cara. Tata bahasa
Sedah serba bebas dan lugas, tidak suka berhias-hias kata.
Namun demikian orang senang membaca karyanya. Buktinya
pada waktu Wirataparwa diumumkan, semua orang
memujinya. Mereka merasa mendapat bacaan segar. Bebas
dan tidak tersirat jiwa budak dalam tulisannya. Tidak seperti para pujangga pendahulunya yang selalu membawa suara
kerajaan, selalu memuji sikap kerajaan.
Dan Sedah tetap tak peduli akan sikap orang padanya.
Seperti rajawali yang tidak pernah peduli pada burung lainnya.
Baginya, saat ini semua karya dan dharmanya hanya untuk
kekasihnya, Prabarini. Prabarini harus kembali menjadi
miliknya. Harus! Apa pun caranya. Prabarini, gadis atau
bukan! Itu bukan urusan. Yang terpenting, ia ingin
menunjukkan pada dunia, bahwa ia sanggup merebut kembali
Prabarini. Ia akan buktikan itu!
Sementara itu Prabarini resah karena Sedah tiada
membalas lontar-lontarnya.
"Apa tidak disampaikan padanya, ya?" tanyanya suatu ketika pada Nyi Rumbi.
"Tapi... lelaki itu sudah berjanji, kok."
"Lalu kenapa dia tidak membalasnya?" Kembali
bermendung. "Aduh, aduh, Yang Mulia. Jangan gelisah seperti itu. Pasti dia akan menjawab. Barangkali saja masih mencari jalan."
"Kalau begitu, kau tanyakan pada lelaki penjaga kebunnya itu. Siapa namanya" Jodeh" Satunya lagi Sontoh?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba, Yang Mulia. Tapi jangan tergesa seperti itu.
Bahaya jika ketahuan..."
"Aku sudah jenuh hidup dalam ketakutan, Bibi. Sudah
kudengar semua nasihatmu dan dayang lainnya. Apa hasilnya"
Aku harus menggugurkan kandungan. Dan terus dalam
kepura-puraan."
Nyi Rumbi terdiam. Tapi apakah ia juga akan ikut mati
konyol" Dan entah apa sebabnya, rasanya ia enggaq
meninggalkan istana ini. Di sini serba ada, serba mudah.
Bukankah lebih menyenangkan jika ia juga bisa menahan
Prabarini tinggal lebih lama di istana" Tapi... andaikan wanita muda ini nekat melarikan diri, mau tidak mau ia harus
dipenggal juga. Salah atau tidak! Yang penting harus ikut
mempertanggungjawabkan keberadaan Paramesywari di
dalam taman ini. Tapi pada siapa sebenarnya ia mengabdi" Ia telah bersumpah suka dan duka bersama Prabarini. Dan
karena itulah ia berkali berusaha menjumpai Jodeh maupun
Sontoh. Namun dua orang itu mengatakan bahwa Sedah
belum menjawab apa-apa.
"Belum menjawab?"
"Ya. Belum, Wong manis..." Jodeh berseloroh. Hati tua serasa muda kembali. Memberengut seolah gigi belum ada
yang copot. "Tanyakan, Kang. Tolong, ya!" Nyi Rumbi merajuk.
"Ah, surat dari siapa sih" Kok ngotot?"
"Lho kau ini" Yang Suci tidak cerita?"
"Tidak!"
"Kau tidak baca?"
"Menghina kau ini. Mana ada sudra bisa membaca lontar.
Apalagi ditulis dalam Sansekerta, katamu..."
"Ya, sudah! Pokoknya tanyakan lagi! Nanti dapat hadiah."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apa sih upahnya?"
"Uh! Upah melulu. Nih! Uang perak!"
"Tidak mau!"
"Sekarang tidak mau uang perak" Jual mahal?"
"Sudah banyak uang. Dari gaji sendiri maupun hadiah dari Mpu Sedah."
"Lalu?"
"Itu!" Tersenyum.
"Apa?"
"Tidak tahu?"
"Kau ini main-main. Sudah tua masih saja main-main." ,
"Apa salahnya" Tua-tua kelapa, makin tua makin
bersantan."
Dan Nyi Rumbi jengkel, lalu melangkah pergi. Pinggulnya
bergoyang-goyang. Mata Jodeh juga ikut bergoyang-goyang.
Prabarini sedih mendengar laporan itu. Nafsu makannya
segera menjadi surut. Semangatnya kembali punah. Apalah
artinya hidup ini tanpa pengampunan dari Sedah" Tangisnya
kembali hadir di kesunyian hatinya. Jayabhaya kembali melihat mendung dalam taman. Prabarini kembali sukar tersenyum,
walau ia sudah mengajak Paramesywari membaca karya-karya
Sedah yang baru, tampaknya ditanggapi dingin. Dan Prabarini tak bersedia menjawab ketika ia bertanya mengapa itu terjadi.
Sedah menghibur Sri Jayabhaya lagi dengan menyelesaikan
penerjemahan Wanaparwa yang dulu tak sempat
diterjemahkan oleh brahmana di zaman Dharmawangsa.
Dengan demikian parwa kesatu sampai parwa keenam sudah
tersusun urut. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tinggal parwa ketujuh sampai parwa keempat belas yang
harus diterjemahkan semua, agar seluruh Mahabharata
tersusun urut. "Hamba sudah memohon Mpu Panuluh menyalin
terjemahan parwa keenam belas sampai terakhir, Yang
Termulia, agar lebih cepat selesai."
"Oh, yang tiga parwa terakhir diselesaikan oleh Mpu
Panuluh?" "Ajas permohonan hamba. Bukankah bahagian hamba
sudah terlalu, banyak dengan ditambah oleh Bhramara Wila
Sita}" "Ya. Yang Suci benar. Kira-kira kapan semua selesai"
Rasanya lelah menunggu."
"Semua orang merasakan kejenuhan dalam menunggu.
Siapa saja! Itu menunjukkan keterbatasan manusia itu sendiri.
Karena memang keti-dakterbatasan adalah milik Hyang Maha
Dewa." "Jagad Dewa! Yang Suci merendahkan daku?"
"Ampunkan hamba, Yang Termulia. Bukankah ini
kebenaran" Manusia dapat menembus keterbatasannya jika ia
memiliki karya seperti Hyang Maha Dewa. Semua
keterbatasan dan ketidakke-kalan akan dikalahkan jika
manusia itu sendiri telah mengerjakan suatu karya raksasa
seperti Hyang Maha Dewa."
"Jagad Bathara! Mungkinkah ada manusia semacam itu?"
"Mpu Vyasa telah membuat karya raksasa yang belum
tertandingi sampai kini. Dia hidup pada ribuan tahun lampau.
Tapi siapa pun akan mengenal Mpu Vyasa dengan
Mahabharata-nysi.
Setiap kali kita membaca Mahabharata maka rasanya kita
akan terlibat dalam kehidupan yang tertera di dalamnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu hebatnya Mpu yang satu itu, mampu memindahkan
tokoh-tokohnya dalam pribadi tiap pembacanya. Di situlah
sebenarnya letak rahasia ketidakterbatasan Mpu Vya-sa:
menyatukan diri dengan kekekalan terbatas dari bumi yang
menghidupinya." "Jagad Dewa!"
"Dan hamba tentu tidak bisa diikat dengan waktu, karena Bathara Kala menyorong waktu dengan cepatnya, tanpa
tersadari oleh umat manusia. Tapi hamba, bekerja sambil
menghadapi berbagai macam kendala dan keterbatasan."
"Jagad Dewa. Apakah Yang Suci bisa menceritakannya
sehingga hamba bisa turun tangan untuk menyingkirkan
semua kendala serta keterbatasan itu?"
Sedah tersenyum mendengarnya. Demi suatu keinginan
untuk menempatkan diri pada keabadian, Jayabhaya telah
membuat banyak kelonggaran. Pertama, ia tidak mengusik
Sedah yang menginjak-injak tatakrama kerajaan. Kini malah
akan memberi kemudahan.
"Banyak kesukaran dalam menggambarkan keadaan dan
manusia yang terlibat dalam Mahabharata, Yang Termulia."
"Sekali lagi, Yang Suci, jika diperlukan maka kami bersedia memberikan apa saja demi sempurnanya penerjemahan itu,"
tegas Jayabhaya.
"Memang. Seperti waktu menerjemahkan Wanaparwa, kami
bisa menggambarkan keadaan hutan, rawa, dan beberapa
tokoh di dalamnya, karena hamba sendiri pernah masuk hutan
lebat, dan melihat dengan mata kepala sendiri kesukaran
orang dalam penyamaran dan pelarian. Tapi kini hamba
menghadapi kesulitan besar."
"Apa itu?"
"Hamba akan segera menerjemahkan Salyapar-wa. Karena
parwa itu yang tersukar dan terindah, banyak tokoh yang
sukar digambarkan. Seperti Rsi Bagaspati, seorang tinggi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
besar. Hampir bisa kita katakan raksasa. Tapi ia punya anak perempuan bernama Pujawati, yang kelak menjadi istri Salya.
Tapi hamba mengalami kesukaran dalam menggambarkan
kecantikan Pujawati atau Setya-wati itu, karena hamba belum pernah melihat wanita cantik secantik yang diceritakan Mpu
Vyasa itu."
"Jadi" Yang Suci ingin melihat wanita cantik?"
"Kalau ada yang tercantik di seluruh Penjalu. Nah, jika tiada kemungkinan, hamba akan mencoba mengembara ke luar
wilayah Penjalu. Karena menurut Mpu Vyasa dalam karyanya
itu, Setyawati adalah wanita tercantik dan tersetia tanpa
tandingan."
"Jagad Dewa!" Jayabhaya menghela napas sambil
menghempaskan diri ke sandaran singgasananya. Gadis
pengipas di samping kanan-kirinya gopoh-gopoh membetulkan
letak praba dipundak Jayabhaya yang tergeser karena
bersentuhan dengan kursi. Ia mengerutkan keningnya,
sehingga tampak lebih tua dari biasanya. Dan suasana
menjadi hening. Semua yang hadir memandangnya dengan
berbagai perasaan. Sebentar-sebentar mereka menyempatkan
diri melirik Sedah yang sedang menajamkan mata pada Sri
Jayabhaya. Pandangan Jayabhaya menatap tempat kosong.
Rakai Hino Dyah Pawagi dan Rakai Holu Sirikan, Putra
Mahkota, juga hadir saat Sedah menghadap.
"Baiklah," Sedah membuka suara terlebih dahulu. "Sambil menunggu atau melihat-lihat keadaan di Daha yang juga
sangat berguna bagi penulisan Bhramara Wila Sita, hamba
akan melanjutkan penerjemahan dua parwa sebelumnya:


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dronaparwa dan Karnaparwa. Tapi selama itu hamba ingin
benar-benar mendapatkan bantuan Sri Prabu, agar hamba
mendapat keleluasaan untuk meninjau semua tempat dan
segala segi kehidupan di Daha."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pendapat Yang Suci itu baik. Hamba perkenankan Yang
Suci pergi ke mana pun dengan pemberitahuan pada Rakai
Hino Pawai."
"Terima kasih, Yang Termulia." Sedah kemudian minta diri.
Ia tahu bahwa ia belum sampai pada apa yang
dimaksudkannya. Namun keleluasaan itu sudah merupakan
kemajuan penting bagi usahanya untuk menjumpai Prabarini.
Namun itu akan menjadikannya gila sendiri. Cuma menemui,
tidak bisa berkata-kata. Tentu merupakan aniaya.
"Tunggu, Yang Suci. Kita berunding dulu. Dan..."
Jayabhaya menoleh pada caraka yang berdiri di ujung
pendapa agung. Kemudian melambai sebagai tanda
memanggilnya. "Panggil Mpu Panuluh!" perintahnya setelah orang itu menyembah.
Dan tanpa banyak kata-kata orang itu menyembah lagi lalu
berangkat. "Apa yang terbaik, Rakai Hino?" tiba-tiba Jayabhaya mengajak pembantunya itu berunding.
"Jika hamba boleh bicara, kita kumpulkan saja seluruh
wanita dari segala penjuru Kerajaan Penjalu ini. Dan Yang
Tersuci Mpu Sedah memeriksa mereka satu-satu."
"Apa" Mengumpulkan semua wanita di Daha ini?"
"Apa boleh buat" Demi bagusnya karya Yang Suci Mpu
Sedah." Sri Jayabhaya mengangguk-angguk. Entah berapa
anggukan, baru berhenti. Rambutnya yang putih seperti kapas disanggul di belakang kepalanya. Cambang di depan
telinganya pun sudah memutih. Akhir-akhir ini memang
tampaknya ia menjadi makin cepat tua, kendati keamanan
negeri boleh dikatakan lebih aman dari saat ia pertama
memangku jabatan menjadi raja. Bersamaan dengan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhentinya anggukan itu, Mpu Panuluh muncul di titian
pendapa agung. "Dirgahayu." Orang tua itu bersembah.
Jayabhaya membalas, kemudian mempersilakannya duduk
di sebelah Sedah. Setelahnya Jayabhaya segera menceritakan
tentang keinginan Sedah.
"Betulkah harus begitu, Yang Tersuci?"
"Memang betul. Bahwa akan lebih baik jika dia melihat dan mengalami sendiri, lalu menulis," jawab Panuluh tanpa
tunggu-tunggu lagi. Padahal Sedah sudah berdebar. Andaikata Mpu Panuluh tidak membenarkan niatnya itu niscaya akan
gagal rencananya.
"Baik! Jika demikian, Rakai Hino perintahkan semua
ponggawa mengumpulkan setiap wanita. Mereka harus
berbaris, di hadapan Yang Suci Sedah, sambil berjalan lambat-lambat. Mereka dibariskan lewat depan rumah panggung Mpu
Sedah saja."
"Hamba, Yang Maha Mulia."
Setelah perundingan ditutup. Mpu Sedah pulang bersama
Mpu Panuluh. Berjalan berjajar. Dan semua orang yang
berpapasan jalan menjatuhkan diri sambil menyembah. Sedah
sebal diperlakukan seperti itu, maka ia berusaha mencegah
mereka. "Lho! Kenapa melarang mereka menyembah" Bukankah
mereka melakukannya dengan tulus?"
"Tulus?"
"Ya! Tulus," Panuluh menegaskan. "Kita tidak bersenjata.
Tak ada alasan untuk membuat mereka takut pada kita."
Sedah terbahak-bahak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu kita keenakan dengan perlakuan mereka" Jika itu
dasar kita menerima perlakuan mereka, maka sebenarnya kita
sudah bukan brahmana sejati. Karena jika mau belajar dari
sejarah, kita akan tahu bahwa bukan semaunya mereka
menyembah-nyembah seperti itu. Mereka melakukan karena
dibiasakan selama beratus-ratus tahun. Petani, sudra, adalah orang-orang -yang terus-menerus dikalahkan. Dan biasa kalah itulah membuat mereka selalu mengalah; Sebagai tanda
kekalahannya, mereka menyembah."
"Jagad Dewa!" Panuluh menyebut. Diam beberapa saat.
"Tapi kami mengakui, Yang Suci telah mampu
mengguncang bumi Penjalu, kendati karya Yang Suci belum
semua diedarkan."
"Ah, Yang Tersuci, hamba cuma menyalin. Menyunting. Apa beratnya" Apa hebatnya?"
"Dalam Bhramara Wila Sita itu. Andaikata bukan Yang Suci, tentu sudah dilarang untuk diedarkan. Bayangkan, Yang Suci
berani menceritakan bagaimana asal-mula pecahnya Kali
Brantas! Sedang semua orang percaya bahwa Brantas tercipta
dari air kendi yang dibawa terbang oleh Mpu Bharadah untuk
memisahkan Penjalu dan Jenggala, sebagai hasil pembagian
dua Kerajaan Kahuripan."
"Ha... ha... ha..." Sedah kembali tertawa lepas. "Itulah busuknya brahmana dan orang-orang yang ingin diagungkan
serta disembah. Bagaimana mungkin air kendi bisa berubah
menjadi kali" Itu memperdewakan diri namanya. Dengan cara
menjejali kawula atau semua anak-cucu dengan dongengan.
Supaya kita dianggap orang hebat" Kita juga mau ikut-ikutan menutupi kenyataan bahwa pembuatan sudetan untuk
menanggulangi banjir itu memakan korban ribuan nyawa.
Belum lagi harta benda. Sementara Erlangga mendapat
keuntungan ganda. Namanya menjadi harum karena banjir
bisa ditanggulangi. Sementara itu ia makin menjadi kaya
karena menjuali kayu-kayu yang dibabat sepanjang hutan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang dijadikan kali baru itu. Belum ditambah dengan makin
menjadi lancarnya perniagaan... Ahai, cukai dermaga makin
banyak yang disedot."
"Jagad Dewa. Hamba tak pernah menghitungnya."
"Yang kaya akan menjadi makin kaya, karena mereka
memang makin pintar membodohi semua orang. Yang tidak
bisa dibodohi, dipaksa untuk bungkam dan menjadi bodoh." *
"Ah... Sudahlah, Yang Suci. Itu kan urusan mereka."
"Sebenarnya urusan semua orang yang hidup, yang
diperas! Juga yang memeras. Tapi, yah... sekudus-kudusnya
manusia, di bawah perintah penjahat, akan jadi penjahat
pula!" "Jagad Dewa!"
0ooo0dw0ooo0 Kesibukan di Daha meningkat. Bukan cuma karena
perniagaan yang makin maju saja, tapi juga karena kesibukan para ponggawa menyebarkan pengumuman ke seluruh negeri
bahwa seluruh wanita harus berkumpul di alun-alun. Semua
wanita kecuali yang sudah nenek-nenek. Dan tentu saja itu
menimbulkan berbagai dugaan serta prasangka. Dari mulut ke
mulut terdengar bisik. Apalagi yang dikehendaki Sri Prabu"
Selirnya sudah banyak. Istrinya seperti bidadari dan masih
muda. Kurang apa"
Apa pun ketidaksetujuan kawula, tak akan sampai ke hati
Sri Prabu. Ia hanya mau Mahabharata selesai dan berhasil
baik. Dari kampung ke kampung kegiatan menjalar. Juga
perkataan-perkataan, baik yang sumbang maupun yang
menyenangkan. Dan ulah para wanita menjadi macam-
macam. Ada yang berangkat dengan bersolek lebih dahulu.
Ada yang malah berusaha menutupi kecantikan yang
dimilikinya. Sedangkan beribu cemburu bergayut di hati tiap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
suami. Tapi mereka tidak berani menyembunyikan istri
mereka, sebab tiap rumah akan digeledah. Dan jika ketahuan
menyimpan wanita muda di rumah, tentu akan menerima
hukuman. Tentu Sedah membentuk sebuah dewan juri yang akan
memilih para wanita yang diperkenankan melintas di
hadapannya untuk ia pilih sebagai contoh Setyawati. Karena
itulah banyak yang menjadi kecewa. Sebelum mereka
memasuki alun-alun untuk kemudian digiring satu per satu ke halaman rumah Sedah, sudah banyak yang diperintahkan
pulang. Mereka yang pincang, mereka yang sumbing, mereka
yang hidungnya hilang separoh, mereka yang jari tangannya
lebih dari lima, yang matanya juling, dan macam-macam cacat lainnya. Apalagi yang menderita kusta. "Ah... sombong!
Mentang-mentang raja agung, melihat orang cacat tidak
mau!" kutuk mereka jatuh pada alamat yang salah.
"Nasib, nasib! Mengapa Hyang Maha Dewa menciptakan
kita sebagai orang bercacat! Dosa apa yang kita perbuat
sampai dihukum seperti ini?" Lebih jauh gerutuan mereka.
Sambil pulang mereka bersungut-sungut.
Yang pertama terjadi di Daha. Kerumunan wanita berjejal
di jalan-jalan raya. Jayabhaya dan para pembesar negeri
lainnya duduk di panggung kehormatan di seberang jalan
rumah panggung milik Sedah. Mereka semua ingin
menyaksikan apa yang dilakukan Sedah dalam memilih
wanita-wanita itu. Sementara Sedah berdiri di panggung kecil di seberang panggung kehormatan, diapit beberapa anggota
Dewan Cerdik Pandai Penjalu. Satu per satu para wanita itu
oleh para ponggawa yang bertugas mengatur diperintahkan
jalan pelan-pelan lewat di depan Sedah.
Luar biasa gaya mereka. Sedah tersenyum dalam hati. Ada
yang berdandan meniru orang-orang Jambudwipa. Tepat di
atas hidungnya diberi tanda bundar kecil merah. Ada yang
mengenakan perhiasan secara berlebihan. Cara mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berlenggang pun macam-macam. Ada yang seperti blarak
sempal (daun kelapa yang patah dari tangkainya), ada yang
seperti harimau lapar, ada yang seperti hewan bersua jodoh.
Sedah juga memaklumi beberapa wanita yang tingkahnya
agak aneh. Misalnya mereka yang sengaja tidak bersolek,
bahkan ada yang tidak mandi dan sengaja mengenakan kain
kumal. Namun ulahnya yang demikian justru membuat
jantungnya serasa akan copot, karena Sedah mendadak
memerintahkannya berhenti. Sedah melambaikan tangan
sebagai isyarat supaya wanita muda itu mendekat. Tentu saja wajahnya, menjadi pucat-pasi, karena suaminya ada di antara penonton di pinggir jalan. Sedah melihat jelas betapa
langkahnya makin gemetar. "Siapa namamu?" tanyanya.
Wanita itu tak berani menatap Sedah. Melirik pun tidak.
Tunduk. Sementara Jayabhaya dan para pembesar negeri
heran bukan kepalang. Yang lebih cantik tidak dihentikan tapi kini yang kumal malah mendapat perhatian. Maka semua mata
tertuju pada Sedah. Pujangga gila barangkali!
"Ham... hamba... Tirah..." jawabnya takut-takut. Hampir-hampir tak kuat berdiri di atas lututnya.
Kembali Sedah tersenyum. Angannya membayangkan
betapa bahagia suami wanita ini. Demi cintanya ia merelakan diri menutupi kecantikannya. Langka.
"Namamu bukan Tirah! Kau menipu seorang brahmana!"
Kini wanita itu jatuh berlutut dan menyembah. "Ampunkan hamba!"
"Cintamu begitu besar pada suamimu! Pergilah!"
Pelan-pelan wanita itu beranjak, seolah tak percaya pada
keputusan Sedah.
"Ya! Pergilah! Bukan kau yang kucari. Berbahagialah kau dengan suamimu!"
"Terima kasih, Yang Suci!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Semua orang bergeleng tidak mengerti. Hanya Sedah
seorang yang mengerti. Dan itu merupakan bahan tersendiri
dalam karya-karyanya mendatang. Di zaman segala-gala
dijual, masih ada perempuan yang tak sudi menjual
keperempuanannya. Ia menutup semua keindahan yang ada
pada dirinya dengan segala keburukan. Tapi siapa yang tidak melihat susu kenyal menjajakan kehangatan dan kesuburan
itu" Bibir mungil dan leher jenjang yang diselimuti debu,
seolah daki cuma penyamaran yang kurang sempurna di mata
Sedah. Kembali satu-satu gadis, wanita muda yang jaijda maupun
yang masih bersuami, semua melintas di hadapannya. Ada
memang yang sempat mengejutkan hatinya. Sungguh mirip
Prabarini. Namun setelah ia menajamkan mata, ia yakin betul bahwa itu bukan! Bukan Prabarini. Hampir sehari penuh ia
meneliti tiap wanita, tapi tiada satu pun yang diterimanya.
Kala mentari mulai condong ke barat Sedah menghentikan
pemeriksaannya. Dan ia melapor ke hadapan Sri Jayabhaya
yang dengan tekun ikut melihat dari panggung kehormatan.
"Ampunkan hamba, Yang Termulia. Sampai sekarang
belum bersua dengan orang yang cocok untuk tokoh yang
hamba maksud. Maka pemeriksaan ditunda dahulu. Biar
mereka pulang."
"Ya." Jayabhaya sedikit kecewa. Tapi ia sadar bahwa Sedah bukan macam orang yang suka dipaksa-paksa. Demi apa pun
Sedah tak akan mau mengerjakannya. Dia hanya mau
mengerjakan apa maunya sendiri.
Esok harinya merupakan ulangan dari harini. Begitu pula
hari-hari berikutnya. Empat hari berlangsung membosankan.
Jayabhaya mulai tidak ikut hadir dalam pemilihan itu. Karena ternyata usia tidak mendukungnya untuk bertahan dalam debu
yang sering naik karena tertiup angin atau karena kaki orapg yang berbaris di jalan-jalan. raya. Hidungnya terasa pengar dan ingus terkadang mengganggu pernapasannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hari kelima Sedah menghadap lagi bersama para cerdik
pandai. "Yang Suci telah menemukan?" tanya Jayabhaya sambil duduk di singgasana dengan kepala bersandar.
"Ampun, Yang Termulia..."
"Jadi?"
"Ya. Belum ada yang pas."
Makin lemaslah tubuh Jayabhaya.
"Seluruh Daha sudah keluar?"
"Ya. Menurut Yang Mulia Dyah Pawagi semua perempuan
sudah ikut berbaris di hadapan hamba."
Sri Prabu menoleh pada Rakai Hino Dyah Pawagi. Yang
ditoleh menjadi berdebar. Kendati
Jayabhaya sudah tua dan lebih bijak dari waktu-waktu lalu,
namun jika marahnya kehiar, tidak satu orang pun bisa
bertahan. "Benar, Yang Maha Mulia..." ia buru-buru menyembah.
Kepala Jayabhaya makin berdenyut-denyut. Kecewa,
marah, sakit, menyatu dalam tubuhnya. Namun ia masih
berusaha berpikir jernih.
"Juga putri-putri narapraja sendiri" Kaum satria?"
Dyah Pawagi menjadi pucat. Sampai-sampai anak istri para
narapraja pun harus berbaris di hadapan Sedah"! Tapi ini
bukan kehendak Sedah. Ini titah Sri Prabu!
"Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia!"
"Kerahkan mereka semua! Ini perintahku! Jangan satu pun tertinggal."
"Hamba, Yang Maha Mulia."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jayabhaya segera berdiri. Mukanya merah padam.
Mendadak ia meninggalkan ruangan dan masuk ke gedong
kuning, atau tempat peraduannya. Kepalanya makin berat.
Sementara itu di luar istana kesibukan meningkat lagi. Kembali para cendekiawan memberikan pendapatnya mengenai Sedah.
Satu orang telah mengguncangkan satu negeri. Dan Sedah
tersenyum-senyum kecil. Tak seorang pun dapat membantah.
Istri para narapraja dan brahmana pun harus berbaris di
hadapan Sedah. Kini kawula menonton di pinggir-pinggir jalan.
Pameran kecantikan seperti barisan bidadari turun dari
kahyangan. Putri-putri yang hampir tak pernah disentuh
mentari. Para kawula mengagumi kulit mereka yang mulus.
Suara binggal gemerincing beradu setiap kali melangkah.
Kalung dan praba serta pending yang menghiasi mereka
berkilau tertimpa sinar. Juga kutang emas dengan hiasan


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beraneka macam untuk menutup putik susu mereka.
Tidak seperti istri atau anak-anak dari kampung-kampung,
umumnya mereka sudah mengerti bahwa Sedah mencari
contoh wanita yang tercantik. Mereka semua akan bahagia
jika dipilih oleh Sedah. Dengan kata lain, itu berarti mereka adalah wanita tercantik di seluruh bumi. Mereka adalah
wanita-wanita puri yang telah terlatih dalam bersolek. Berjalan pun mereka sudah terlatih. Langkah mereka pendek-pendek
dan membentuk satu garis lurus tiap kali telapak kaki mereka menapak. Entah takut buminya retak atau apa, cara mereka
berjalan seolah meniti pelangi pagi hari.
Kendati begitu tak satu pun yang dipilih Sedah.
Keesokan harinya kala Jayabhaya terjaga, ia
memerintahkan seorang caraka untuk memanggil Dyah
Pawaqi. Orang tersebut diperkenankan menghadap ke gedong
kuning. "Bagaimana, Yang Mulia?" Ia langsung menanyakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sedah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun, Yang Maha Mulia. Mpu Sedah belum menjatuhkan
pilihannya/"
"Jagad Dewa!" Sri Prabu kembali menggolek-kan diri.
Matanya menatap langit-langit. Mendadak saja bayang-bayang
semua selirnya berpindah di angannya. Dan jatuhlah
perintahnya, "Perintahkan semua selir dan anak-anaknya yang
perempuan berbaris di depan Sedah."
Dyah Pawagi terperanjat mendengar itu. Ia pandang Sri
Jayabhaya dengan mata keheran-heranan.
"Mengapa kau tak segera beranjak?" Jayabhaya
menekannya. "Ampunkan hamba, Yang Maha Mulia. Ini keterlaluan."
"Tidak! Aku yang memerintahkannya. Kerjakan!"
"Belum pernah ada kejadian macam ini di jagad mana
pun," Rakai Hino Dyah Pawagi berusaha lagi. "Ini mencoreng kewibawaan Yang Maha Mulia. Hamba keberatan."
"Keberatan" Kau tidak tahu, tiap karya besar pasti
membutuhkan pengorbanan besar juga. Atas namaku,
pergilah! Ini perintahku! Kerjakan!"
Dyah Pawagi kembali bergelut dalam keheranan dan
ketidakmengertian. Namun perintah tetaplah perintah. Kendati hati panas, tetap juga ia laksanakan. Dan ia makin tidak
mengerti, karena tampaknya para selir pun menyambut
gembira perintah itu. Ternyata mereka semua sudah
mendengar tentang Sedah yang tampan dan pandai. Dayang-
dayang dan gadis-gadis, anak-anak mereka pun ikut gembira.
Setidaknya mereka ingin melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana wajah Sedah yang menjadi buah bibir di antara
para dayang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sudah barang tentu mereka berhias sebaik-baiknya.
Seelok-eloknya. Tak bisa tidak penjagaan diperketat. Tapi Sri Prabu sendiri tidak nampak di panggung kehormatan. Kawula
makin # memadati pinggir-pinggir jalan yang akan dilewati
para selir. Tak kurang-kurang yang menjadi pingsan karena
berdesak-desakan. Semua orang ingin melihat wajah-wajah
putri-putri simpanan Raja.
Kesempatan itu bukan cuma digunakan putri-putri jelita itu
untuk melirik Sedah saja, tapi juga melirik pemuda-pemuda
atau satria-satria muda yang kebetulan sedang berjaga. Mata mereka nampak lebih berbinar dari putri-putri yang kemarin.
Tak mengherankan jika mereka menjadi " pilihan Raja. Satu
dengan lainnya saling memiliki kelebihan.
"Kau pilih yang mana?" bisik salah seorang pemuda pada temannya.
"Bingung."
"Bingung?"
"Habis semua cantik. Yang satu manis. Yang lain menarik."
"Ceck, cek, cek..." decak kagum bergumam dibibir
seseorang, tanpa sadar. "Ini yang namanya cuci mata."
Tidak kurang dari seratus lima puluh orang. Satu-satu
melirik kala sudah dekat dengan Sedah.
Sementara Sedah meneliti. Hatinya berdebar. Hati-hati
sekali ia memilih. Kalau-kalau ada Prabarini di.antara mereka.
Betul-betul ia menajamkan mata. Tapi yang dicarinya tiada!
Maka ia memberi tahu Dyah Pawagi,
"Hamba telah banyak merepotkan Yang Mulia. Ampunkan
hamba karena yang seperti Setyawati ternyata tak ada."
"Tak ada?"
"Tak seorang pun."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dyah Pawagi ingin rasanya memutar batang leher pemuda
brahmana yang berdiri di hadapannya itu. Bukan kepalang,
wanita istana pun tak ada yang cocok. Mau cari yang seperti apa"
"Hamba putus asa. Sebaiknya semua panggung dibongkar
saja. Hamba akan mencarinya sendiri."
"Baiklah! Aku akan mempersembahkan semua ini ke bawah
duli Sri Prabu."
Sedah segera memunggunginya tanpa penghormatan,
kecuali ucapan dirgahayu! Tanpa menyembah. Seorang Rakai
Hino dianggap apa oleh anak ini" Tapi ia harus menahan hati.
Pemuda ini sedang dibutuhkan oleh Sri Prabu! Awas kau! Jika saatnya tiba, kau harus menyembah di telapak kakiku!
Hampir melonjak Jayabhaya ketika mendengar laporan
bahwa para selir tiada satu pun yang terpilih. Matanya
nampak menyala. Lubuk hatinya tersinggung.
"Panggil Sedah!" teriaknya dari tempat tidur. "Ingin mampus anak itu!"
Dyah Pawagi pergi lagi. Kakinya sudah penat berjalan ke
sana kemari, tapi ia tetap mengerjakan semua perintah Raja.
Lebih jengkel lagi karena kala ia bersua Sedah, pemuda itu
tampak tenang-tenang saja, bahkan menyambutnya dengan
senyuman. "Sri Prabu marah. Dan Yang Suci diperintahkan
menghadap."
"Sekarang?"
"Ya. Sekarang juga!"
Senyum lagi. Dan langkahnya begitu ringan menuruni anak
tangga rumah panggungnya, lalu berjajar dengan Dyah
PawacL Tak menunjukkan kesan bersalah sama sekali. Juga
tidak ada ketakutan. Keduanya berkuda, walau Sedah tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terbiasa naik kuda. Setelah melewati beberapa belokan,
sampailah mereka di alun-alun. Kenangan Sedah tergugah.
Waktu pertama datang di Daha ia sering mengintip-intip istana dari seberang alun-alun sana.
"Dirgahayu, Yang Termulia..." Sedah dibawa masuk ke gedong kuning.
Sri Prabu terbangun oleh suaranya.
"Kau menghina aku?" langsung Sri Prabu menuduh.
"Yang Termulia sendiri yang memerintahkan kami untuk
melakukan semua ini. Lalu sekarang menuduh hamba
menghina. Mengherankan! Atau memang demikian kehidupan
istana" Setiap kesalahan yang timbul selalu dari luar istana?"
"Jagad Dewa! Kau mempersalahkan daku?"
"Salah bisa terjadi pada siapa saja. Jadi, siapa pun bisa bersalah."
"Yang Suci!" Jayabhaya gemetar. Tak ada orang berani bicara semacam itu sebelumnya.
"Ampunkan, hamba. Inilah kebenaran itu. Yang sering
hamba lihat, istana pun bisa melakukan kesalahan atau
kekeliruan. Tapi tudingan tidak pernah dialamatkan kepada
istana. Setiap telunjuk yang akan menuding istana akan
berbias ke arah lain. Nah, ampunkan hamba. Jika tak ada lagi wanita cantik di Daha ini, maka hamba akan segera pergi.
Izinkan hamba mundur." Setelah menghormat, Sedah segera memunggungi Jayabhaya. Kepala Jayabhaya makin
berdenyut-denyut.
"Sedah!" panggilannya menghentikan langkah pemuda itu.
"Hamba akan segera menyelesaikan parwa lainnya, karena itu hamba mohon diberi kesempatan. Jangan seorang pun
boleh mengusik hamba lagi." Sedah makin mengejutkannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dyah Pawagi pun kaget luar biasa. Mpu Panuluh pun
takkan berani mengajukan permohonan seperti itu. Karenanya
kedua pembesar Penjalu itu terdiam. Cuma memandangi saja
kala Sedah meninggalkan mereka. Tenang sekali anak itu. .
Jayabhaya terpojok tanpa daya. Dyah Pawagi pun menjadi
makin penasaran. Jelas Sedah merongrong kewibawaan Sri
Prabu dan meniadakan kewibawaannya sebagai Rakai Hino.
Harus! Harus digantung! Putusnya dalam hati. Tapi ia tidak
berani mengutarakannya. Tidak! Bisa-bisa malah menjadi
umpan-balik, karena Sri Prabu sendiri tidak berani mengambil tindakan apa pun.
Keputusan berikutnya semakin tak dapat dimengerti oleh
siapa pun. Kepala pengawal istana diperintahkan memanggil
Prabarini. Tinggal dialah satu-satunya yang belum dilihat oleh Sedah. Hatinya berdebar keras setelah kepala pengawal pergi.
Ah, pemuda itu bermata dewa! Berani benar dia berkata
bahwa jika di puri taman sari sudah tiada wanita lagi, maka dia akan pergi meninggalkan Daha. Dan lagi kesalahan!
Kesalahan kadang bisa lahir di istana. Dari dalam daku sendiri.
Ah, benar! Benar! Tapi aku tidak pernah memperhitungkannya
sebagai kesalahan selama ini.
Prabarini tampak pucat dan kurus. Jayabhaya amat terkejut
melihat ini. "Jagad Dewa! Istrinda" Sakitkah kau?"
Prabarini menunduk. Sri Prabu sendiri sedang gering. Sri
Prabu melambaikan tangan agar Prabarini mendekat.
"Hamba juga sedang sakit..." Prabarini maju sambil berkata pelan.
"Jagad Dewa!" Jayabhaya sedikit kecewa. Tergambar di wajahnya yang memamerkan mendung. Dia sendiri makin
pusing. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baiklah! Tapi aku ingin supaya Istrinda bersolek. Setelah itu datangilah Sedah di rumah panggung seberang jalan yang
berhadapan dengan taman sari Istrinda. Karena dia mendapat
kesulitan dalam menggambarkan tokoh Setyawati."
"Yang Maha Mulia menjadikan hamba boneka?" Prabarini pura-pura tersinggung. Namun demikian, sebenarnya ia
terhenyak dalam keheranan. Terbukti buat beberapa saat ia
tidak menjawab, hanya memandangi mata Sri Prabu.
"Jangan tersinggung, Istrinda. Demi anak-cucu kita, aku merelakan kau dijadikan contoh. Kau brahmani, bukan" Kau
suka pengetahuan, bukan" Nah, demi pengetahuan dan karya
abadi itu sendiri aku memerintahkanmu menghadap Sedah."
"Yang Maha Mulia telah mencampakkan hamba menjadi
satria. Mengapa kini akan mengembalikan hamba menjadi
brahmani?"
"Kilisuci Bathara Istri adalah satria sejati. Tapi beliau juga brahmanr sejati. Jangan berbantah! Aku sedang pening."
Prabarini menahan senyum di bibirnya. Mukanya masih
muram ketika ia berbalik memunggungi Sri Jayabhaya. Sudah
lama dia berlatih untuk berbuat seperti itu. Menangis tapi
terpaksa harus bermuka^ manis. Kini sebaliknya! Hati
melonjak-lonjak tapi harus mengumpulkan mendung dan
memindahkannya ke wajahnya. Inikah . kehidupan" Prabarini
tak mampu menjawab pertanyaannya sendiri. Dan memang
tak perlu dijawab, karena kehidupan adalah kenyataan, yang
harus berlangsung terus. Terus! Tanpa henti.
0ooo0dw0ooo0 Sedah sudah memerintahkan kedua penjaga kebun dan
rumahnya agar ia tidak diganggu. Sedah memang ingin
menyelesaikan karya-karyanya. Makin lama ia melangkah ia
makin merasay bahwa perjumpaannya dengan Prabarini makin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menemui jalan buntu. Baru-baru ini Mpu Panuluh dan
pamannya sendiri, Mpu Samirana Guna, datang memberikan
peringatan, bahwa langkah Sedah itu dianggap keterluan.
"Keterlaluan?"
"Ya! Itu penghinaan terhadap martabat Raja. Junjungan
semua kawula..." Mpu Samirana Guna menandaskan.
"Tapi segera dipotong oleh Sedah.
"Hamba tak tahu, apakah paman sudah mempelajari Weda
atau cuma membacanya secara ambil lalu. Atau memang
sudah melupakannya sama sekali karena tinggal di istana
megah?" "Jagad Dewa! Apa maksud Yang Suci?" Mpu Panuluh juga terbeliak.
"Jayabhaya melakukan penghinaan lebih dari apa yang
hamba lakukan. Dia menghina semua brahmana dengan
menganggap diri titisan Bathara Wisnu. Dan karena itu berhak memerintah semua brahmana semau-mau. Maka lihat! Banyak
brahmana yang lari ke hutan-hutan. Mendirikan perguruan-
perguruan di sana." Sedah diam sebentar untuk melihat wajah dua mpu itu. Lalu,
"Berhak memperisterikan seorang brahmani" Belum lagi
dengan penghapusan papan-papan pendapat di gubuk-gubuk
peristirahatan di hutanhutan!* Penghinaan terhadap kawula!
Walau sudra, mereka juga punya mulut yang bisa bicara dan
tangan yang bisa menulis untuk menyatakan pendapat.
Kenapa itu dihapuskan" Pendapat mereka tak perlu didengar
lagi" Semua harus selalu patuh dan mendengar pendapat
istana?" "Yang Suci... Ada apa sebenarnya...?"
"Ingin mengembalikan manusia kepada kemanusiaannya.
Bukan sebagai dewa, juga bukan sebagai hewan yang bisa
diperlakukan semau-mau oleh orang lain. Anjing masih
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berharga memasuki nirwana, kala Mpu Vyasa menceritakan
bagaimana Yudhistira naik ke nirwana bersama anjingnya."
"Jagad Dewa!" ,
Pembicaraan itu terhenti, karena datang lagi beberapa
orang brahmana yang berasal dari luar kota. Mpu Panuluh tak begitu dapat menangkap pembicaraan mereka, karena Sedah
menemui mereka secara terpisah. Beberapa saat kemudian
Sedah masuk ke biliknya dan keluar lagi sambil menyerahkan
beberapa lontar. Dan inilah kata-kata yang sempat didengar
oleh Mpu Panuluh dan Mpu Samirana Guna:
"Naskah ini tidak akan diizinkan beredar di Penjalu ini.
Meskipun begitu, bukan berarti tak akan terbaca. Hamba
masih yakin bahwa tulisan tak akan bisa dibendung.
Katakanlah jika saatnya tiba hamba harus dibunuh, tapi tulisan itu tetap merayap ke setiap meja kaum brahmana dan dibaca
oleh siapa pun yang mencintai kemanusiaan."
"Baik, Yang Suci."
"Terima kasih atas bantuan para Yang Suci dalam memberi keterangan atas semua yang hamba perlukan. Dan jika
sempat bersua dengan Mpu Dewaprana serta Mpu Brahma
Dewa, tolong katakan kepada mereka bahwa hamba telah
bersua dengan yang hamba cari. Salam hormat hamba buat
mereka." "Baiklah, Yang Suci. Hamba mohon diri."
Tamu-tamu itu pergi sambil memberi hormat kepada
Panuluh dari kejauhan. Panuluh membalas dengan senyum.
Tapi ia menyesalkan sikap Sedah yang tidak memperkenalkan
mereka. "Tak ada gunanya, Yang Tersuci. Mereka bukanlah
brahmana yang bisa condong ke arah angin bertiup. Mereka
manusia yang ingin menikmati keberadaannya sebagai
manusia. Mereka adalah orang-orang yang jijik terhadap
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semua orang yang melanggar hak manusia lainnya. Jadi
apakah bisa ada kecocokan dengan Yang Tersuci?"
"Jagad Dewa!" kedua mpu itu menyebut berbareng. Saling pandang untuk beberapa saat. Panuluh dan Samirana Guna
seakan disentakkan dari mimpi.
"Beberapa ratus brahmana tinggal di hutan-hutan, Yang
Tersuci. Bukan karena '. memang begitu keharusan kaum
brahmana, tapi lebih karena mereka tidak mau menyembah
orang yang memperdewakan diri."
"Jagad Dewa."
"Mereka tak memerlukan jabatan seperti kita. Mereka tak rakus terhadap emas dan perak dan wanita. Dan hamba cuma


Prabarini Karya Putu Praba Darana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peristiwa Merah Salju 2 Misteri Elang Hitam Karya Aryani W Memanah Burung Rajawali 34
^