Pencarian

Putri Ular Putih 1

Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Bagian 1


" PUTRI ULAR PUTIH Dituturkan kembali oleh Zhang Hen-shui
PENGANTAR Bahwa dua niat baik tidak selalu bisa sejalan,
bahkan bisa menimbulkan konflik, terlihat jelas
di dalam kisah ini. Bai Su-zhen, peri ular yang
menikah dengan manusia biasa, ingin selalu
membahagiakan suaminya. Ia rela melakukan apa
saja, termasuk mempertaruhkan nyawa, demi sang
suami, Xu Xian. Di pihak lain, pendeta Fa Hai yang
merasa mengemban tugas melindungi manusia dari
pengaruh buruk setan, berusaha memisahkan Xu
Xian dari istrinya yang dianggapnya sebagai ular
iblis. Pertarungan dua kemauan baik ini tersulut
karena adanya prasangka dan sikap menutup mata
salah satu pihak. Jalinan kisah yang indah, juga gaya yang halus
dan mengharukan dalam menyampaikan ajaran
kearifan, menjadikan buku ini sebuah karya yang
asyik dibaca. Putri Ular Putih adalah sebuah kisah legenda Cina
kuno yang telah beredar di seluruh Cina selama
ribuan tahun. Kisah ini diceritakan secara turuntemurun
oleh para pendongeng yang mencari nafkah
dengan mempesona para pendengarnya. Melalui
mereka, kisah ini menjelma ke dalam berbagai versi
yang berbeda. Buku berbahasa Cina yang
diterjemahkan di sini adalah salah satu versi yang
paling terkenal yang ditulis oleh Zhang Hen-shui.
Legenda ini menceritakan nasib Bai Su-zhen dan
Xiao Qing, yang datang ke bumi untuk hidup di
tengah-tengah manusia. Bai Su-zhen bertemu dengan
Xu Xian yang kemudian menikahinya. Mereka hidup
berbahagia, hingga akhirnya seorang pendeta
bernama Fa Hai merusakkan kebahagiaan mereka,
karena menyangka Bai Su-zhen adalah seorang peri
jahat. Bai dan Xu mengalami serangkaian kejadian
dan pengalaman supernatural. Akhirnya mereka
berdua dipisahkan secara tragis.
Di dalam buku ini dapat diamati berbagai sifat
manusia. Xiao Qing misalnya memiliki semangat
tinggi, pendendam, dan sangat setia; sedangkan Bai
Su-zhen bersifat tenang, penuh kasih sayang dan
pengorbanan. Sementara itu Fa Hai adalah manusia
yang menjengkelkan, keras kepala dan tak mau
mendengarkan pendapat orang lain. Sifat-sifat ini
bertentangan dengan sifat lemah yang dimiliki Xu
Xian dan keluarganya. Mereka jujur, rendah hati,
pekerja keras, dan selalu siap membantu orang yang
ditimpa kesusahan. BAB 1 Pada Perayaan Qing Ming, hujan sering turun di
bagian selatan daerah terendah sungai Chang
Jiang. Cuaca pada saat itu sering tidak menentu.
Kadang-kadang hari begitu cerah, tak segumpal awan
mengotori langit. Tetapi kemudian awan hitam datang
bergulung-gulung dari segala penjuru dan hujan pun
segera turun dengan derasnya. Jadi, siapa pun yang
bepergian, lama atau sebentar, tak akan lupa
membawa payung. Pada suatu pagi di hari Qing Ming, langit cerah tak
berawan; bumi bermandikan cahaya keemasan.
Matahari menyinari sebuah halaman dengan sederet
bangunan di depannya. Seorang pria muda
berpakaian biru dan bertopi hitam muncul. Ia
membawa keranjang bambu di tangan kanannya,
berisi kertas mantra berwarna kuning emas dan
seikat petasan kecil, serta lilin-lilin yang biasa dibawa
bila berkunjung ke makam keluarga. Di tangan
kirinya ia memegang payung yang disandangnya di
atas bahu. Ketika berjalan melintasi halaman, ia berteriak
lewat jendela, "Aku harus pergi sekarang. Kemarin
aku telah mendapatkan izin cuti dari kepala bagian
keuangan karena hari ini ada perayaan Qing Ming.
Aku akan pergi ke Gunung Selatan untuk
mengunjungi makam orang tuaku. Perjalananku
jauh, jadi aku tidak akan kembali sampai malam.
Bantulah aku menjaga toko."
Seseorang di dalam rumah menjawab, "Xu Xian,
Saudaraku. Karena engkau telah mendapat izin cuti
hari ini, pergilah dengan tenang. Kami akan
membantumu menjaga toko. Engkau tidak perlu
khawatir. Tetapi mengapa engkau membawa payung
di hari yang cerah ini?"
Xu Xian menjawab, "Kendati matahari cerah
bersinar; tanpa terduga cuaca mungkin saja berubah
sore ini. Jadi lebih baik aku membawa payung.
Bukankah cuaca akhir-akhir ini tak tertahankan
panasnya dan matahari serasa membakar kulit!
Karena itu payung ini kupakai untuk berlindung dari
sengatannya!" "Engkau benar. Pergilah dan jangan resah," jawab
orang yang berada di dalam rumah.
Xu Xian melanjutkan perjalanannya sementara
dua pegawai muda membantu menjaga barangbarang
di tokonya. Setelah berjalan beberapa waktu,
ia tiba di Gerbang Qing Bo, sebuah pelabuhan dengan
pemandangan Danau Barat. Di sana tertambat
beberapa perahu kecil dengan tali yang panjangnya
tidak lebih dari sepuluh meter. Di antara perahuperahu
itu, terdapat sebuah perahu beratap yang
ditumpangi banyak orang. Perahu ini adalah feri yang
digunakan untuk menyeberangi danau.
Xu Xian turun ke bawah, ikut dalam antrian dan
melangkah ke dalam perahu. Setelah menyelusup di
antara para penumpang, ia berhasil mendapatkan
tempat duduk di atas sebuah papan. Biasanya pada
waktu yang sama, ia sedang duduk memeriksa
setumpuk rekening di toko obat. Sungguh sukar
dibayangkan bahwa kini ia sedang duduk di sebuah
perahu memandang keindahan alam luar kota, tanpa
sejumlah hitungan di kepalanya. Ketika ia melihat
sekilas ke sekelilingnya, gunung-gunung yang
melingkungi Danau Barat pada tiga sisinya seakan
menghalangi hiruk pikuknya suasana Hangzhou. Su
Ti dan Bai Ti, dua jalur jalan dengan pohon-pohon di
kiri kanan, menjorok ke tengah danau. Barisan
pohon ini membentang bertingkat-tingkat ke arah
kaki gunung yang menjulang tinggi seperti kursi
bertangan, sejauh empat kilometer melingkari
Hangzhou. Air danau yang berwarna hijau seperti
batu giok, berpadu dengan bayangan puncak-puncak
gunung di atas permukaan air, menciptakan
pemandangan yang indah tiada tara.
"Pemandangan di sini sungguh memukau!" seru
Xu Xian. "Tetapi orang-orang di kota terlalu
disibukkan oleh tugas mereka sehari-hari sehingga
tidak sempat menikmati pemandangan alam seindah
ini. Sungguh sayang!"
Seseorang yang duduk di sebelahnya menjawab,
"Oh, tetapi Anda dapat mencuri waktu barang
beberapa menit setiap tiga atau lima hari untuk
menikmatinya, bukan?"
Xu Xian mengangguk membenarkan. Perahu kecil
itu mulai bergerak, begitu pula mata Xu Xian.
Perlahan ia mengalihkan pandangan dari pepohonan
ke beberapa rumah yang mengapung di tepian danau.
Betapa indahnya, pikir Xu Xian.
Apabila kunjungannya ke pemakaman selesai lebih
cepat dan hari masih siang, ia akan kembali untuk
menikmati pemandangan Danau Barat ini barang
sebentar, sebelum kembali ke kota. Niat semacam ini
masih memenuhi benaknya pada saat ia kembali dari
makam siang harinya sekitar pukul tiga atau empat.
Dan karena tidak ada yang dapat dikerjakan, Xu
Xian mencari kedai minum, dan memesan seteko teh
sambil menghilangkan penat di kakinya. Kemudian
sambil membawa payungnya, ia keluar dari kedai dan
berjalan menyusuri sebuah lorong yang sempit.
Pada musim bunga dan musim gugur Danau Barat
selalu ramai dikunjungi orang, begitu pula pada hari
libur Qing Ming. Sebagian dari para pengunjung
datang dengan menunggang kuda, sebagian naik
tandu, dan sebagian lagi berjalan kaki menyelusup di
antara orang-orang yang mengalir datang tak habishabisnya.
Xu Xian berjalan sepanjang jalan kecil yang
menuju ke arah Gunung Go dan tiba di bawah
sekumpulan pohon. Di sampingnya terdapat sebuah
jembatan batu yang terentang di atas kelokan danau.
Ketika ia baru saja akan menyeberang, angin datang
dari timur dan berhembus ke arah pepohonan. Di
bawah salah satu pohon, ia melihat dua wanita muda
berdiri bersebelahan. Yang seorang berusia sekitar
sembilan belas tahun, mengenakan baju biru dan rok
sutera panjang berwarna putih. Yang seorang lagi
berusia sekitar enam belas atau tujuh belas tahun,
mengenakan baju dan rok panjang berwarna hijau.
Kedua wanita itu menunjuk ke arah orang-orang
yang berlalu lalang. Sebagai seorang pria muda yang
mengenal sopan santun, Xu Xian menundukkan
mata dan kepalanya ketika berjalan melewati kedua
wanita itu. Tiba-tiba wanita yang berpakaian putih menunjuk
ke langit dua kali. Xu Xian, yang saat itu sedang
berada di atas jembatan, melihat awan hitam muncul
dengan tiba-tiba. Semakin lama semakin banyak,
menggantung di atas kepala. Langit pun menjadi
gelap. Xu Xian memandang berkeliling. Awan telah
bergumpal di atas puncak-puncak gunung dari utara
ke selatan. Daun-daun saling bergesekan dan baju
Xu Xian berkibar-kibar oleh tiupan angin. Dalam
sekejap mata, hujan turun dengan lebat sehingga Xu
Xian terpaksa berlari mencari tempat berteduh.
Xu Xian membuka payungnya dengan cepat dan
bergegas kembali ke arah pepohonan. Badai saat itu
benar-benar aneh. Hujan yang datang dari arah
belakang, bagaikan anjing penjaga mengejar mangsa.
Karena bingung, orang-orang pun berlarian tak
menentu. Begitu pula yang sedang berjalan-jalan di
lereng gunung dan bermain air. Semuanya kalangkabut.
Karena lebatnya hujan, pepohonan bergoyanggoyang
dan air Danau Barat menjadi bergelora.
Selapis kabut hijau timbul di atas permukaan danau.
Hujan yang bertambah lebat bagaikan lapisan mi
yang berlapis-lapis, membuat pemandangan menjadi
kabur. Para pengunjung berlarian mencari tempat
berteduh di bawah pepohonan atau berdesakdesakan
mencari perahu yang kosong. Xu Xian
memandang dengan takjub ke sekitarnya. Namun ia
tak dapat terus berdiri di situ di bawah siraman
hujan. Ia mulai berpikir untuk mencari perahu yang
akan mengangkutnya pulang, karena hujan
tampaknya tak akan segera reda. Pada saat itu
seorang pria berjas hujan muncul dengan tiba-tiba,
mengayuh sebuah perahu kecil.
Xu Xian sangat bergembira melihatnya. Ia
menaikkan payungnya dan berseru, "Hai Tukang
Perahu, Apakah perahumu disewakan?"
Sambil mendayung perlahan-lahan, tukang perahu
itu menjawab dari balik topinya, "Ya, tetapi bayaran
yang saya minta agak lebih mahal dari biasanya."
"Aku mengerti. Pada cuaca seperti ini, setiap orang
pasti lebih senang tinggal di rumah daripada
berbasah-basah disiram hujan dan badai. Kalau aku
menyewamu sampai ke Gerbang Qing Bo, berapa
ongkosnya?" "Ongkosnya seratus tail saja."
"Tidakkah itu terlalu mahal?" kata Xu Xian.
"Bagaimana kalau kurang sedikit, misalnya 70 tail?"
"Baiklah. Anda tampaknya orang jujur. Mari saya
antar hingga ke tujuan!"
Tukang perahu itu kemudian mendayung
perahunya hingga haluannya menyentuh tepian
sungai. Xu Xian segera melompat ke dalam perahu.
Setelah berada di atas haluan, Xu Xian menutup
payung dan mengibaskan bajunya. Kemudian ia
masuk ke bagian perahu yang beratap dan
meninggalkan payungnya di atas dek.
Bagian perahu yang beratap ini luasnya sekitar
dua tempat tidur. Dua papan diletakkan berjajar
sebagai tempat duduk. Sambil duduk di salah satu
papan, Xu Xian berkata, "Mari kita berangkat. Aku
sudah menyewa perahu ini, jadi kita tidak perlu
menunggu penumpang lain."
"Tentu saja," jawab tukang perahu. Ia merangkuh
dayung dan mulai mengayuh.
Tiba-tiba seseorang memanggil dari arah
pepohonan, "Perahu!"
Tukang perahu itu berpaling dan melihat dua
orang wanita, seorang berbaju putih dan lainnya
berbaju hijau basah kuyup disiram hujan. Keduanya
berteduh di bawah pohon yang tidak cukup luas
untuk berdua. Tukang perahu berteriak, "Maaf Nona-nona.
Perahu ini tidak disewakan!"
"Dalam cuaca seburuk ini, tidak ada sebuah
perahu pun yang kosong," keluh wanita yang


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggil perahu. "Dan sekarang setelah yang
ditunggu tiba, kami tak dapat menyewanya! Padahal
ketika tadi melihat perahumu datang, kami mengira
Tuhan mengirimkannya untuk kami. Lihatlah! Kami
telah basah kuyup. Apakah engkau benar-benar tidak
dapat menolong kami?"
"Tetapi bagaimana bila kalian tidak searah?" tanya
tukang perahu. "Kami akan ke Gerbang Qing Bo. Ke
mana tujuan kalian berdua?"
"Kami juga ke Qing Bo."
Dari bawah atap perahu yang tidak berdinding, Xu
Xian dapat melihat dengan jelas kedua wanita itu,
yang sebelumnya ia jumpai di jembatan Xi Leng. Ia
lalu berkata kepada tukang perahu, "Pak, menepilah.
Biarkan mereka menumpang. Aku kasihan melihat
mereka." Si tukang perahu segera berteriak untuk
memberitahukan bahwa mereka dapat menumpang.
Kemudian ia mendayung perahunya ke tepi.
Xu Xian berkata, "Pinjamkan payungku ini agar
baju mereka tidak basah, bila mereka harus berjalan
dari pohon ke perahu."
Wanita yang berbaju hijau mendengarnya dan
mengerling ke arah yang berbaju putih. Kemudian
yang berbaju putih menjawab, "Terima kasih banyak.
Tetapi biar sajalah."
Keduanya segera masuk ke dalam perahu. Air
hujan mengucur membasahi tubuh mereka. Di depan
ruangan perahu yang beratap rendah, keduanya
terpaksa duduk meringkuk. Namun bila mereka tetap
berdiri di atas dek, tubuh mereka pasti basah kuyup.
Karena kebingungan, mereka tak dapat segera
menentukan pilihan! Melihat kesulitan dua gadis itu, Xu Xian berkata
dengan ramah. "Nona-nona, mendekatlah kemari Ada
dua bangku di sini. Silakan duduk. Dan karena aku
membawa payung, lebih baik akulah yang berdiri di
luar. Marilah masuk!"
Salah seorang dari kedua nona itu menjawab, "Oh,
jangan!" Yang seorang lagi menyambung, "Biarlah
kami berdua duduk di papan ini, agar Tuan dapat
duduk di papan lainnya." Kemudian mereka masuk
ke ruangan beratap itu. Xu Xian segera bangkit. Dengan sopan ia berkata,
"Tempat duduk ini terlalu sempit bagi kalian berdua.
Saya khawatir badan kalian akan pegal-pegal dan
tidak dapat duduk dengan santai."
"Saya sudah pernah mengalami sesuatu yang lebih
buruk. Biar sajalah! Jangan pedulikan kami."
"Ya, begitu pula bagi saya. Berteduh di bawah
pohon sungguh tidak menyenangkan! Dan kami
tentunya masih tetap akan berada di sana, kalau saja
perahu ini tidak lewat. Maka bila Tuan berkeras
berdiri di atas dek, berarti kami berdua telah
menyusahkan Tuan!" "Baik, terserah kalian," kata Xu Xian sambil
membungkuk dengan hormat. Kedua wanita itu balas
mengangguk, melangkah ke bangku lalu duduk
berdampingan, menghadap ke arah Xu Xian. Dengan
mata memandang ke lantai perahu, Xu Xian berpikir
apakah kedua wanita ini bermaksud menghormati
dirinya. Sebab, keduanya duduk menghadap ke
arahnya, bukan memunggunginya. Ia duduk dengan
tenang, tak berani berkata-kata.
Tak lama kemudian, hujan mulai mereda dan
tukang perahu tetap mendayung perlahan. Kedua
wanita itu melihat bahwa Xu Xian selalu
menundukkan kepalanya. Wanita yang berbaju putih
berbisik, "Xiao Qing, pria ini benar-benar sopan. Kita
beruntung dapat menumpang di kapal ini, tetapi
rasanya tidak sopan bila kita tidak mengetahui
namanya." Xiao Qing mengangguk, dan berkata. "Aku akan
menanyakannya." Ia lalu berpaling ke arah Xu Xian.
"Maaf, kami belum mengetahui nama Tuan. Sungguh
tidak pantas bila kami tidak mengetahuinya, padahal
Tuan telah menyelamatkan kami di saat badai."
Barulah kemudian Xu Xian berani mengangkat
kepalanya dan menjawab sambil tersenyum, "Oh,
jangan hendaknya saya dikenang sebagai "Penyelamat
di Saat Badai". Nama saya Xu Xian."
"Ah, Xu Xian. Apakah Tuan berasal dari daerah
ini?" "Ya, saya berasal dari Qian Tang."
"Apakah orangtua Tuan masih hidup?"
"Tidak, saya yatim piatu. Sesungguhnya saya baru
pulang dari mengunjungi makam mereka."
"Apakah Tuan memiliki saudara laki-laki?"
"Tidak, saya hanya memiliki seorang kakak
wanita." Ketika mereka berbicara, Xu Xian melihat ke arah
wanita yang satunya, yang berbaju putih. Ia memiliki
bentuk tubuh yang sangat indah dan sepasang mata
elok yang bersinar tajam. Rambutnya yang berhias
bulu burung digelung berbentuk sanggul, tidak
dibiarkan tergerai, sehingga terlindung dari air hujan.
Adapun Xiao Qing, walaupun berpenampilan seperti
petani, ia tampak terpelajar. Berbeda dengan teman
seperjalanannya, gadis itu memiliki wajah bulat telur
dan murah senyum. Ia juga lebih banyak berbicara
dan tidak henti-hentinya mengajukan pertanyaan
kepada Xu Xian. "Apa pekerjaan Tuan?"
"Saya bekerja di bagian keuangan di sebuah toko
obat." "Berapa usia Tuan?"
"Dua puluh tahun," jawab Xu Xian tanpa merasa
terganggu dengan pertanyaan Xiao Qing yang bertubitubi.
Mendengar jawaban ini, Xiao Qing menjawab,
"Kalau begitu usia Tuan kira-kira sama dengan usia
kakak1 saya ini. Usia Tuan dua puluh tahun. Pasti
Tuan sudah menikah. Berapa usia istri Tuan?"
"Sekalipun usia saya sudah dua puluh tahun,
hidup saya masih tergantung pada kakak dan
suaminya, bahkan tinggal serumah dengan mereka.
Jadi bagaimana mungkin saya menikah!" jawab Xu
Xian dengan mata bersinar.
Xiao Qing berpaling ke arah saudaranya yang
menunduk malu, memandang pakaiannya yang
basah. "Kakak saya tidak tahu apa yang harus ia
katakan. Apakah Tuan ingin menanyakan sesuatu
kepadanya?" "Ya," jawab Xu Xian. "Siapa namanya?" tanyanya
tanpa berpikir panjang, tak tahu apa yang harus ia
tanyakan. Yang ditanya melirik dan tersenyum.
Namun Xiao Qing tidak memberi kesempatan
kepada saudaranya untuk menjawab.
"Namanya Bai Shu-zhen. Kami berasal dari Sizhou
dan majikan kami adalah pemimpin Chuzhou.
1 Penggunaan kata 'kakak' atau 'adik' antara Bai Su-zhen dan Xiao Qing
menunjukkan bahwa hubungan keduanya sangat akrab, walaupun
mereka tidak benar-benar bersaudara kandung. Di Cina orang sering
saling mengangkat saudara dan menyayangi kawan seperti layaknya
orang bersaudara. Sayangnya, majikan dan istrinya sudah meninggal,
jadi tidak ada lagi yang menjaga kami. Semasa
hidupnya, majikan kami tinggal di sebuah rumah di
Hangzhou, dan mengajak kami tinggal bersamanya.
Di sana kami membantu mengurus rumah tangga
majikan. Kami tidak mempunyai saudara lain di
sana. Nah! Kami telah menceritakan semuanya
kepada Tuan. Apakah Tuan masih ingin bertanya?"
Dengan rendah hati Xu Xian menjawab, "Kalian
adalah keluarga bangsawan. Maafkan kebodohan
saya." Ia berdiri dan membungkukkan badannya. Bai
Shu-zhen membalas penghormatan itu. "Jika kalian
berdua tidak mempunyai saudara dan kenalan,
tentunya kalian merasa kesepian di Hangzhou,"
lanjut Xu Xian sungguh-sungguh.
Bai Su-zhen menarik napas panjang.
Xiao Qing berkata sambil menggoda, "Tuan Xu,
Anda dan kakak saya sama-sama bernasib malang."
"Ya," kata Xu Xian sambil mengangguk, "Saya
memang kurang beruntung."
Hujan semakin reda dan berganti dengan gerimis.
Kumpulan pepohonan di tepi pematang Su Bo mulai
terlihat, karena uap kabut mulai menghilang dari
Danau Barat. San Tan Yin Yue dan Ruan Gong Dun
pun tampak di cakrawala. Rintik gerimis masih
menetes di atas perahu. Selapis kabut yang indah
menebar di atas air danau.
Xiao Qing berseru, "Danau Barat memang luar
biasa! Pemandangan sebelum dan sesudah hujan
sangat berbeda. Tuan Xu, maukah Anda duduk di
sini sebentar bersama kami untuk menikmati
pemandangan yang indah ini?"
"Kabut masih tebal. Sebaiknya kita pulang saja.
Hari ini saya mendapat cuti sehari penuh. Saya
berpikir sebaiknya saya segera pulang untuk
menghindari teguran majikan."
Bai Su-zhen mengangguk tanda setuju. Sementara
mereka berbicara, perahu telah tiba di Gerbang Qing
Bo. Ketika kemudian tukang perahu menepikan
perahunya, Bai Su-zhen mengambil uang dari
sakunya dan memberikannya kepada Xiao Qing.
Sambil mengulurkannya kepada tukang perahu, Xiao
Qing berkata, "Karena Tuan Xu menyewa perahu
sebanyak 70 tail, kami berdua ingin menambahnya
30 tail. Jadi jumlah seluruhnya 100 tail untuk kami
bertiga. Hitung, Pak!"
Mendengar kata-kata Xiao Qing, Xu Xian
berpaling. "Hai!" serunya. "Jangan terima uangnya,
Pak! Aku tidak ingin mereka membayar ongkos
sewanya." Bai Su-zhen berusaha meyakinkan Xu Xian, "Tidak
apa-apa Tuan, jangan khawatir."
Tukang perahu memeriksa uangnya dan berkata,
"Saya tidak perduli siapa yang akan membayar. Yang
penting uangnya cukup."
"Kalau begitu baiklah. Terima kasih banyak!" kata
Xu Xian. Tukang perahu menambatkan perahunya pada
sebatang pohon di tepian danau. "Kita telah sampai.
Silakan turun." Xu Xian melirik ke arah Bai Su-zhen yang sedang
menunjuk kembali ke arah langit sebanyak dua kali.
Sekalipun Xu Xian tidak memahami maknanya, ia
diam saja. "Kakak, hari masih hujan. Apa yang akan kita
lakukan sekarang?" tanya Xiao Qing kepada Bai Suzhen.
"Ambillah payung saya ini. Pasti cukup besar
untuk kalian berdua," kata Xu Xian.
"Tapi bagaimana dengan Anda?" tanya Bai Suzhen.
"Jangan khawatir. Tempat tinggal saya sudah
dekat." Setelah mengucapkan terima kasih, Xiao Qing
mengambil payung itu dari tangan Xu Xian, lalu
berjalan ke luar dari ruang perahu yang beratap itu
diikuti oleh Bai Su-zhen. Tiba-tiba Bai Su-zhen
menoleh kepada Xu Xian dan berkata, "Di mana toko
Anda, Tuan Xu, agar kami dapat mengantarkan
payung Anda besok pagi?"
"Jangan khawatir. Kalau tidak berhalangan, biar
saya yang mengambilnya. Di mana Anda tinggal?"
"Di luar Gerbang Qing Bo, di samping Qian Wang
Ci. Di sana ada sebuah pintu merah dengan secarik
kertas putih di atasnya. Itu rumah kami. Kami akan
menanti Anda, Tuan."
Xu Xian berkata penuh semangat, "Baik!
Walaupun hari hujan, saya akan ke sana."
Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya, kemudian
berjalan ke atas dek sementara Xiao Qing
memayunginya. Sejenak mereka berdiri tak bergerak
di atas dek perahu. Tetesan hujan belum juga
berhenti, airnya bergulir di atas payung dan turun ke
tanah. "Pukul berapa Anda akan datang, Tuan Xu?" kata
Xiao Qing. "Besok sore" "Jadi, besok sore, hujan ataupun panas Anda akan
datang. Kami akan menanti Anda." Bai Su-zhen
tersenyum sambil memandang ke dalam perahu.
"Saya pasti datang," kata Xu Xian seraya bangkit
dari tempat duduknya. Kedua wanita itu melompat ke darat. Sambil
berjalan berdekatan, mereka segera pergi di bawah
rintik air hujan dan hembusan angin.
Xu Xian juga segera meninggalkan tempat itu. Di
bawah siraman hujan gerimis, ia tiba di bawah
Gerbang Qing Bo dan berlari pulang. Badannya basah
kuyup. Walaupun baju barunya basah dan kusut,
hati Xu Xian sangat gembira karena akan bertemu
kembali dengan kedua wanita itu esok harinya.
Sebenarnya ia ingin menceritakan pengalamannya
kepada kakak dan iparnya, namun karena takut
mereka akan menghujaninya dengan pertanyaan,
akhirnya Xu Xian memutuskan untuk
menyimpannya. Semalaman ia tidak dapat
memicingkan mata, memikirkan kedua wanita itu.
BAB 2

Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

eesokan harinya, matahari bersinar cerah. Bai
Su-zhen duduk seorang diri. Ia sedang memasang
sebatang bambu pada serumpun bunga mawar di
dalam pot di halaman rumahnya. Karena asyiknya, ia
tidak memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Xiao
Qing diam-diam datang membawa secangkir teh.
Minuman itu kemudian diletakkannya di atas meja di
hadapan Bai Su-zhen. "Kau pasti sedang berpikir, apakah ia benar-benar
akan menepati janjinya, bukan?" tanya Xiao Qing
lembut. Sambil menatap Xiao Qing, Bai Su-zhen menjawab.
"Tuan Xu pasti datang. Ia tidak seperti yang lain. Aku
yakin ia dapat memegang janji."
"Hujan yang kauciptakan kemarin benar-benar
membantumu untuk meminjam payungnya."
"Ya! Itu harus kulakukan. Anggur minuman sudah
kausiapkan?" "Tidak perlu engkau risaukan. Apakah engkau
takut ia tak datang hari ini?"
"Ia pasti datang."
"Kakak, ingatlah. Walaupun kaukatakan Xu Xian
orang baik-baik, kau harus sanggup menguasai
perasaanmu." "Xiao Qing, Aku tahu! Bukankah telah kukatakan
bahwa ia adalah orang baik-baik. Ia tidak berani
memandang wajah kita dan selalu menundukkan
kepalanya. Ia selalu menjawab segala pertanyaan kita
K dengan jujur. Ketika kutanyakan berapa saudaranya,
ia menjawab bahwa ia hanya mempunyai seorang
kakak perempuan. Ia juga tidak berdusta, ketika
kautanyakan apakah ia sudah menikah. Dengan
terus terang ia berkata bahwa ia belum sanggup
berdiri sendiri apalagi menghidupi keluarga.
Tidakkah itu jawaban yang jujur" Dan ketika ia
meminjamkan payungnya kepada kita ia tidak
mengatakan akan mengambilnya kembali; apalagi
menanyakan alamat kita. Setelah kukatakan bahwa
kita akan mengembalikan payung itu ke rumahnya,
baru ia berani menanyakan alamat kita agar dapat
mengambil kembali payungnya. Xu Xian berkata
jujur. Ia bukan pula seorang yang pandai menjual
kata-kata. Jadi aku benar-benar mempunyai alasan
cukup untuk mempercayainya."
Setelah mendengar kata-kata Bai Su-zhen, Xiao
Qing menyadari bahwa kakaknya tidak lagi raguragu.
"Bila sebesar itu keyakinanmu, tak ada
gunanya aku berbicara lebih banyak lagi."
"Jalan masuk sudah disapu bersih?"
"Sudah, sudah kubersihkan tadi," jawab Xiao Qing
meyakinkan saudaranya. "Sayur-sayuran segar sudah kaubeli?"
"Semua perintahmu telah kukerjakan! Masihkah
ada yang harus kukerjakan" Katakan segera."
Bai Su-zhen meneguk teh yang disiapkan oleh Xiao
Qing untuknya, sambil memandang daun teh yang
mengambang di dalam cangkir. Xiao Qing tahu
bahwa saudaranya sedang berpikir. Ia berdiri diam di
samping tanpa berbicara. "Apa lagi yang kautunggu?" tanya Bai Su-zhen
sambil mengangkat kepalanya.
"Tidakkah baru saja kukatakan bahwa aku
menunggu perintahmu?" jawab Xiao Qing dengan
sabar. "Kau telah mempersiapkan segalanya dengan
sempurna. Aku tak menemukan kekurangan sekecil
apa pun," kata Bai Su-zhen dengan lembut. Matanya
berpendar-pendar. "Buatlah agar kehadirannya di
rumah ini benar-benar menyenangkan hatinya."
Xiao Qing menghela napas lalu meninggalkan
halaman. Sambil melirik dari balik bahunya, ia
meringis dan bergumam, "Siapa sebenarnya laki-laki
itu, Kakak?" Bai Su-zhen kembali menundukkan kepalanya. Ia
tersenyum kecil. "Aku akan melihat ke luar," kata Xiao Qing. "Kalau
Xu Xian tiba, akan kubawa ia ke sini."
Setelah Xiao Qing ke luar, Bai Su-zhen meletakkan
cangkirnya. Ia berjalan mengelilingi ruangan sambil
terus berpikir. "Aneh! Mengapa aku tak henti
memikirkan Xu Xian sejak melihatnya untuk pertama
kali" Ia benar-benar cocok bagiku. Umurnya dua
puluh, dan di atas segala-galanya, kejujurannya
sungguh mengesankan. Jika nanti aku dapat
menyambutnya dengan baik, ia pasti bersedia
menikahiku." Ketika Bai Su-zhen sedang berkhayal bagaimana
memikat hati pria idamannya, matanya terpaku pada
sebuah jambangan bunga yang berisi bunga mawar
berwarna merah tua. Harumnya semerbak
memabukkan. "Seandainya saja ia mau memetik
sekuntum bunga ini, dan menyematkannya di
rambutku, bunga ini pasti akan menjadi lebih indah!"
lamunnya. Tiba-tiba ia merasa khawatir, seseorang akan
menganggapnya aneh karena melihatnya berputarputar
dalam ruangan. Bai Su-zhen pun
menghentikan langkahnya. Ia lalu memandang ke
luar jendela. Matahari yang saat itu hampir terbenam
bersinar ke arah timur. Debu-debu beterbangan.
"Seharusnya ia sudah datang sekarang," pikirnya
dengan tak sabar. Di tokonya, sementara bekerja pun Xu Xian tidak
dapat melupakan Bai Su-zhen. Ia tak sabar
menunggu datangnya petang. Setelah toko tutup, ia
bergegas pulang dan berganti baju. Kepada
kakaknya, Xu Xian berkata bahwa ia akan
berkunjung ke rumah sahabatnya.
Xu Xian tiba di Gerbang Qing Bo. Tepat seperti
yang telah dikatakan oleh Bai Su-zhen, ia melihat
sebuah pintu merah yang masih baru dan di atasnya
melekat secarik kertas putih. Sejenak Xu Xian berdiri
dengan ragu-ragu di luar bangunan itu. Belum
pernah ia berkunjung ke rumah sebesar ini.
"Jadi di sinilah mereka tinggal! Penghuninya pasti
kaya raya. Aku tak akan berani masuk." Ia pun
menjadi ragu untuk mengetuk pintu. Namun, tibatiba
pintu itu terbuka. Xu Xian berdiri terpaku
karena merasa takut. Hampir saja ia melangkah
pergi. "Xu Xian, apakah Anda baru saja tiba?" kata Xiao
Qing menyambut dengan gembira. Xu Xian berhenti
melangkah dan mengatur sikapnya.
"Kakak saya khawatir Anda tidak dapat
menemukan rumah ini," kata Xiao Qing sambil tetap
berdiri di pintu. "Itu sebabnya ia memintaku untuk
melihat ke luar, jangan-jangan Anda sudah tiba. Mari
silakan masuk! Ia sudah lama menunggu kedatangan
Anda!" Xiao Qing menarik Xu Xian ke dalam sebuah
lorong. Di ujung lorong itu, ia melihat sebuah
jambangan besar penuh bunga. Di belakangnya,
terhampar halaman yang luas, sarat dengan
pepohonan dan tanaman bunga. Dua buah pohon
yang rindang berdiri tegar mengapit pintu masuk.
Di sebelah kiri terdapat serumpun bambu yang
berbentuk seperti jendela. Tempat itu sangat bersih.
Tidak ada sehelai daun pun tergeletak di lantai. "Xu
Xian telah datang," kata Xiao Qing sambil menyibak
kain pintu. Xu Xian berdiri di sebuah ruang tamu yang luas.
Ruangan itu berisi sebuah tempat tidur kayu berukir.
Di atasnya terdapat sebuah kasur bersulam. Di
samping tempat tidur, terdapat sebuah meja yang
juga berukir. Di dekat meja, terdapat enam kursi
besar yang mengelilingi empat meja teh. Semuanya
berukir indah. Di sebelah kanan, terdapat sebuah
meja kecil dari kayu cendana. Meja ini dikelilingi oleh
empat buah kursi dengan tempat duduk bersulam
yang empuk. Di sebelah kiri, terdapat sebuah harpa
yang besar dan sebuah meja kecil.
Di atas meja kecil itu, ada jambangan yang berisi
bunga-bunga yang sangat indah. Di tengah ruangan
terdapat sebuah meja kecil panjang. Meja itu
dipenuhi dengan pot-pot dan jambangan-jambangan
bunga dari batu koral dan akik. Sebuah lukisan
kaligrafi tergantung di dinding. Xu Xian berdiri
terpaku. "Melihat pajangan rumahnya, aku yakin
Keluarga Bai ini benar-benar hartawan," katanya
pada dirinya sendiri. Bai Su-zhen masuk ke dalam ruangan dengan
anggun. Lamunan Xu Xian pun terputus. "Selamat
datang! Sudah lama saya menanti kedatangan Anda."
"Maafkan saya. Hari ini banyak langganan yang
datang ke toko. Saya tidak dapat pulang lebih awal.
Saya harap Anda mau mengerti, karena toko itu
bukanlah milik saya."
"Anda pasti lelah. Silakan duduk," kata Bai Suzhen
dengan ramah. Xu Xian duduk di salah satu kursi yang besar, Bai
Su-zhen di hadapannya. Xiao Qing masuk membawa
dua cangkir teh di atas sebuah baki dan
meletakkannya di atas meja.
"Karena tidak mempunyai keluarga di sini," kata
Bai Su-zhen menjelaskan, "Kami harus cepat-cepat
mencari tempat tinggal. Itu sebabnya rumah ini
belum benar-benar rapi dan hiasannya pun sangat
bersahaja." "Oh, tetapi ini pun sudah sangat indah," kata Xu
Xian. "Seumur hidup, belum pernah saya melihat
rumah seindah ini." "Anda pasti belum makan. Saya harap Anda tidak
berkeberatan untuk mencicipi masakan yang telah
saya siapkan." "Oh, jangan terlalu merepotkan diri."
"Tuan Xu," kata Bai Su-zhen dengan rendah hati,
"Karena tidak ada seorang pria pun di sini, maka
saya sendirilah yang harus mengatur segalanya.
Tetapi kadangkala hasilnya kurang memuaskan,
seperti masakan yang saya siapkan khusus bagi
Anda. Bila nanti hidangannya kurang memenuhi
selera, jangan hendaknya ditertawakan."
"Saya tidak akan melakukannya."
Kemudian Xu Xian diajak ke bagian timur rumah
itu. Di ruangan ini, lilin sudah dinyalakan dalam dua
buah tempat lilin yang besar. Meja makan diatur
untuk tiga orang. Ada sebuah kursi besar
bersandaran di ujung meja.
"Tuan Xu, silakan duduk di ujung meja," kata Bai
Su-zhen. "Adik saya akan duduk di sebelah
kananmu, dan saya di sebelah kirimu."
Setelah mereka duduk, seorang pelayan wanita
datang. Xu Xian sekilas memperhatikan peralatan
makan, seluruhnya terbuat dari bahan porselin
pilihan. Namun, ia tidak dapat melihat piring makan.
Xiao Qing menuangkan anggur dari sebuah tempat
anggur yang sangat indah.
"Cangkir ini terlalu besar. Saya hanya minum
sedikit," kata Xu Xian cepat-cepat.
Sambil memandang Bai Su-zhen penuh arti, Xiao
Qing menjawab, "Anda harus minum lebih banyak.
Kami sengaja membuatnya kemarin untuk
menyambut kedatangan Anda, yang sepantasnya
kami rayakan." "Tetapi, saya harus bangun pagi-pagi sekali. Kalau
saya mabuk, saya akan terlambat datang di tempat
kerja. Apa yang harus saya katakan kepada
majikan?" sanggah Xu Xian.
"Tuan Xu benar," kata Bai Su-zhen. "Minumlah
sebanyak Anda suka." Kemudian ia mengangkat
gelasnya ke arah Xu Xian. "Untuk kesehatan Anda,
Tuan Xu. Dan terima kasih untuk segala kebaikan
dan bantuan Anda kemarin. Tanpa payung, mudahmudahan
Anda tidak demam." Xu Xian meneguk anggurnya dan tersenyum,
"Sama sekali tidak."
"Apakah toko Anda masih sibuk sekarang ini?"
"Ya, Kami tidak mempunyai cukup banyak waktu
untuk beristirahat."
"Pasti gaji Anda besar," kata Bai Su-zhen ingin
tahu. "Sebaliknya. Gaji saya sedang-sedang saja."
"Kalau begitu, sebaiknya Anda membuka toko
sendiri." "Tampaknya Anda kurang dapat memahami betapa
sulitnya mencari uang saat ini!" keluh Xu Xian. "Saya
telah bekerja dengan baik, dan tidak pernah
membuat gusar majikan. Namun, dari mana saya
dapat memperoleh uang cukup sebagai modal?"
"Yah! Siapa tahu ada seseorang yang bersedia
membantu." Xiao Qing menoleh kepada Bai Su-zhen, dan
berkata, "Tuan Xu, silakan ambil sendiri makanan
dan minumannya. Masih banyak waktu untuk
berpikir, dari mana Anda dapat memperoleh uang
itu." "Mudah-mudahan," jawab Xu Xian.
"Pertolongan Anda kemarin sungguh sangat..."
kata Bai Su-zhen dengan bimbang.


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"...sangat kebetulan" sambung Xiao Qing.
Xu Xian tak berani menafsirkan kata-kata mereka.
Ia memusatkan perhatiannya kepada minumannya.
Sekilas dipandangnya wajah kedua wanita itu,
namun ia belum juga menemukan jawaban yang
dicarinya. Bai Su-zhen berkata, "Tuan Xu, apa yang paling
membahagiakan Anda?"
"Menurut pendapat saya, tidak ada yang paling
menyenangkan selain bercakap-cakap dengan kawankawan.
Bagaimana dengan Anda?"
Bai Su-zhen ragu-ragu sebentar. Sambil
memainkan sumpitnya, ia tersenyum sedikit. "Teh
sudah menjadi dingin," katanya. "Biar saya buatkan
seteko lagi yang hangat. Xiao Qing akan menemani
Anda berbincang-bincang."
Kemudian ia bangkit dari kursinya dan berjalan ke
pintu keluar sambil tersenyum penuh arti kepada
Xiao Qing. Melihat isyarat Bai Su-zhen, Xiao Qing lalu
berkata, "Anggurnya hampir habis. Saya akan
mengambilnya lagi." "Sudahlah. Di sini pun masih banyak," kata Xu
Xian. Xiao Qing mengambil guci anggur, tertawa dan
berjalan ke luar. "Jangan khawatir, Anda tidak akan
mabuk," katanya. Di luar ruangan, Xiao Qing bertemu dengan Bai
Su-zhen yang memang sedang menunggunya. Ia
menyapa Bai Su-zhen dengan wajah menggoda,
"Apakah Tuan Xu harus segera diusir?" Bai Su-zhen
merapatkan bibirnya. Ia merasa malu.
Xiao Qing terus menggoda, "Apakah kau tidak
ingin ia tinggal di sini?"
Pipi Bai Su-zhen me.nerah, "Adik, jangan goda
aku. Kau tahu benar bagaimana perasaanku. Aku
mengharapkan bantuanmu."
Xiao Qing mencibir dan berkata, "O, jadi aku harus
menjadi Mak Comblang bagi kalian berdua" Baiklah,
berapa bayaranku?" Sambil menarik Xiao Qing ke dekatnya, Bai Suzhen
membisikkan rencananya di telinga Xiao Qing.
Xu Xian mulai merasa bosan ketika Xiao Qing
kembali ke ruangan. Ia bergegas mengisi gelas Xu
Xian yang hampir kosong. Tetapi Xu Xian bangkit.
"Terima kasih, tetapi saya harus segera pergi. Rumah
saya jauh. Hari sudah larut malam."
Tanpa mendengar jawaban Xu Xian, Xiao Qing
tetap mengisi gelas Xu Xian dan menyuruhnya duduk
kembali. "Jangan terburu-buru. Kami dapat
meminjamkan lentera kepada Anda. Ada yang ingin
saya bicarakan dengan Anda."
"Baiklah," kata Xu Xian dengan sopan.
"Tuan Xu, usia Anda sudah 20 tahun, tetapi
mengapa Anda belum menikah?" tanya Xiao Qing
sambil meneguk anggur dan memperhatikan wajah
Xu Xian. "Saya orang miskin. Wanita manakah yang mau
menikah dengan orang seperti saya!" jawab Xu Xian.
"Saya dapat mencarikan seorang calon istri untuk
Anda," kata Xiao Qing.
"Jangan bergurau. Bagaimana mungkin, orang
semiskin saya dapat memperoleh seorang istri?"
"Ikuti saja saran saya. Masalah uang tidak perlu
Anda risaukan." "Mana mungkin"," kata Xu Xian tidak percaya.
"Mengapa tidak" Kakak saya Bai Su-zhen juga
berumur 20 tahun, dan ia masih seorang diri. Ia
mendambakan pria jujur yang taat kepada hukum. Ia
juga menyukai pria yang tidak gemar berbicara.
Kemarin, ketika kita bertemu, ia langsung jatuh cinta
kepada Anda." Xu Xian menjadi bingung, "Bagaimana mungkin
kami menikah?" "Tuan Xu, duduklah dan dengarkan saya. Apakah
Anda bersedia menikahinya?"
"Tentu saja saya ingin menikahinya. Tapi saya
sangat miskin. Untuk menikah, paling tidak saya
butuh uang sebanyak dua ratus tail. Dari mana dapat
saya peroleh uang sebanyak itu?" Kata Xu Xian
dengan sedih. "Bukankah sudah saya katakan bahwa hal itu
tidak perlu Anda risaukan" Jika Anda setuju, saya
akan menyediakan uang itu dan mengatur
perkawinan Anda. Tenang-tenang sajalah."
Xu Xian menggelengkan kepalanya dengan rasa
tidak percaya. "Saya pasti sedang bermimpi,"
gumamnya. "Anda tidak bermimpi. Semua yang saya katakan
benar adanya," kata Xiao Qing, tidak sabar.
Xu Xian berdiri dan mengangguk hormat. "Terima
kasih. Tetapi aku sedang berpikir, apa yang dapat
kuberikan kepada calon istri saya nanti?"
Xiao Qing menjawab, "Itu pun sudah saya
pikirkan." "Anda sungguh baik hati. Saya hanya mampu
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada Anda. Tetapi terlebih dahulu saya harus
memberi tahu kakak dan suaminya mengenai berita
gembira ini. Baru setelah itu kita dapat menetapkan
hari perkawinan." "Oh, itu tidak perlu," tukas Xiao Qing. "Saya akan
mengatur ruangan ini dan Anda dapat menikah di
sini. Bagaimana?" Xu Xian memandang ke sekitarnya. "Kalau benar
demikian, saya setuju," katanya.
"Karena kita tidak perlu lagi meminta izin kepada
siapa pun, Bai Su-zhen akan segera saya panggil agar
pernikahan kalian dapat segera dilangsungkan."
Xiao Qing memanggil kakaknya yang kemudian
datang dengan kepala tertunduk, lalu duduk di depan
mereka. Xu Xian berdiri, sambil mengetuk-ngetuk meja ia
berkata dengan terbata-bata, "Begini adik, Anda
mengatakan...ia mengusulkan...dan saya
berpendapat, gagasannya benar-benar cemerlang!"
"Kakak," kata Xiao Qing dengan suara tegas, "Kami
telah mengatur pernikahanmu. Tuan Xu menyangka
ia sedang bermimpi. Kau masih ingin menyatakan
sesuatu?" Bai Su-zhen berdiri dan berkata dengan lembut,
"Tuan Xu, saya sangat berterima kasih Anda bersedia
menjadi suami saya. Anda pasti bertanya-tanya
mengapa saya memilih Anda dan bukan pria lain
yang lebih kaya dan berpangkat. Karena mempunyai
cukup uang, saya tidak membutuhkan pria kaya
yang berkedudukan. Saya hanya menginginkan pria
yang memiliki kejujuran. Namun karena semuanya
hanya pandai bermanis-manis di muka dan
berkhianat di belakang punggung, saya tidak
berminat menerima lamaran mereka. Yang saya
inginkan adalah pria yang jujur dan berkata apa
adanya seperti Anda."
"Tetapi dengan keadaan saya yang seperti ini, saya
takut Anda nanti akan malu karenanya," kata Xu
Xian sambil menundukkan kepala.
"Asal Anda berlaku baik. Itulah yang terpenting
bagi saya. Menurut Xiao Qing..." Bai Su-zhen
menoleh ke arah saudaranya sambil menunduk
malu. "Malam ini indah sekali. Mari kita segera
laksanakan upacara perkawinan kalian," kata Xiao
Qing dengan tegas. Xiao Qing mengajak keduanya untuk berdoa
kepada dewa-dewa dan memulai upacara
perkawinan. Ditanggalkannya sebuah selendang
merah dari pinggangnya, lalu diberikannya kepada
Bai Su-zhen dan Xu Xian. Dimintanya mereka
memegang selendang itu, masing-masing di salah
satu ujungnya. Dengan dipimpin oleh Xiao Qing,
mereka membaca mantra-mantra perkawinan, dan
berjalan ke kamar pengantin.
Xiao Qing segera meninggalkan ruangan setelah
sejenak menggoda kakaknya. Bai Su-zhen
mengejarnya ke luar, lalu berbisik. "Terima kasih
banyak, engkau telah menikahkan kami. Tetapi
masih ada sesuatu yang kubutuhkan. Bersediakah
engkau membantuku?" "Ya, katakan segera."
Karena takut terdengar oleh Xu Xian, Bai Su-zhen
mengajak Xiao Qing menjauh.
"Sekarang aku sudah menikah. Kita tidak akan
kembali lagi ke E Mei. Namun, kami berdua
memerlukan uang untuk membiayai rumah tangga
dan membuka usaha. Padahal Xu Xian tidak
mempunyai tabungan. Bagaimana caranya
mendapatkan uang?" "Kau pasti sudah gila!" jawab Xiao Qing sambil
tertawa. "Aku juga orang baru di sini dan tidak punya
kenalan seorang pun. Bagaimana aku dapat mencari
uang. Jika kau membutuhkan uang, aku terpaksa
mempergunakan ilmu sihir."
Setelah berpikir sejenak, Bai Su-zhen menjawab.
"Aku tahu. Tapi kalau kita menciptakan uang palsu
dan akhirnya ketahuan, kita sendirilah yang celaka.
Lebih baik kita pinjam saja dari Bendahara Kota. Di
sana tak seorang pegawai pun bekerja jujur. Mereka
senang memeras rakyat. Lebih baik kita mengambil
uang mereka." Kemudian Xiao Qing pergi, dan Bai Su-zhen
kembali ke kamar pengantin.
Xiao Qing lalu terbang ke kantor Bendahara Kota
dan masuk menembus dinding gedung tempat
penyimpanan uang. Ia memandang ke sekitarnya.
Keadaan sangat sunyi, tidak ada seorang pun di
sana. Xiao Qing melihat sebuah ruangan yang kokoh
dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat.
Dengan perlahan ia mengetuk dinding ruangan itu.
Tiba-tiba tampak sebuah lubang. Xiao Qing segera
memasukkan tangannya ke dalam ruangan lewat
lubang itu, dan diambilnya segenggam penuh emas
batangan. Kemudian, Xiao Qing mengarahkan
telunjuknya kembali kepada lubang itu. Lubang itu
menghilang, dan dindingnya kembali seperti sedia
kala. Esok harinya Xiao Qing menyerahkan emas-emas
itu kepada Bai Su-zhen. Semuanya ada 60 batang
emas. Bai Su-zhen tertawa gembira. "Untuk
mengangkat emas sebanyak ini, paling tidak
dibutuhkan dua orang kuli."
Pada saat yang sama, di kantor kas kota,
Bendahara, dikejutkan oleh hilangnya uang sebanyak
tiga ribu tail emas. Ia lalu sibuk mencari dalih
hilangnya uang itu. BAB 3 ada hari setelah pernikahan, matahari bersinar
cerah. Xu Xian terbangun. Dari tempat tidur ia
melihat Bai Su-zhen sedang duduk di depan meja
hias menyisir rambut. Pada saat itu, matahari
menyinari dinding putih bagian barat. Di sebelah
dinding terdapat bunga-bunga indah dan dedaunan
yang hijau segar. Betapa indah pemandangan yang
dilihatnya. "Pemandangan sangat indah, bukan?"
kata Bai Su-zhen sambil memandang ke luar jendela.
"Aku tidak melihatnya. Aku sedang asyik
memperhatikanmu menyisir rambut. Dan itu jauh
lebih indah dari pemandangan di luar."
"Selama ribuan tahun, tak terhitung banyaknya
pujangga menulis puisi tentang wanita yang menyisir
rambutnya." "Aku tidak bicara soal puisi dan pujangga. Aku
hanya senang melihatmu menyisir rambut."
"Benarkah" Jika kau mau, aku akan mengubah
tata rambutku. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku suka semua tata rambut yang kaupilih."
"Ini adalah kata-kata suami yang mencintai
istrinya. Mudah-mudahan kau selalu demikian
kepadaku." "Aku bersumpah akan selalu menyayangimu," kata
Xu Xian bersungguh-sungguh.
"Tak perlu bersumpah. Aku percaya. Bagaimana
kalau rambutku disanggul saja?"
"Bagus. Aku ingin melihat bagaimana kau
P mengatur rambut," kata Xu Xian sambil bangkit dari
tempat tidur. "Nah, lihatlah kemari...begini caranya." Bai Suzhen
lalu mengangkat dan menekuk rambutnya ke
atas dengan rapi. Xu Xian yang berdiri di sebelahnya berkata. "Indah
sekali." Keduanya lalu tertawa gembira.
"Ya, memang indah. Tetapi pada musim panas
seperti ini, biasanya orang tidak memakai tusuk
konde dari tulang. Aku akan mencari bunga-bunga
berwarna merah untuk hiasan rambutku," kata Bai
Su-zhen. "Bagaimana kalau aku yang memetiknya
untukmu?" usul Xu Xian.
"Baiklah. Aku akan menemanimu memetik bunga."
Xu Xian berjalan ke luar, lalu memetik tiga
kuntum bunga dan memberikannya kepada Bai Suzhen.


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah bunga-bunga ini cocok untuk
rambutmu?" "Ya. Tetapi masih ada tugas lain untukmu. Tolong
atur bunga ini di sanggulku."
Xu Xian memandang rambut istrinya dan
tersenyum. "Inilah tugas yang sangat kusukai.
Tunggu Aku harus tahu di mana sebaiknya bungabunga
ini kutancapkan. Aku tidak ingin merusak
rambutmu." Bai Su-zhen tersenyum lembut dan membiarkan
Xu Xian berjalan mengitarinya. Setelah berpikir
sejenak, Xu Xian lalu memasang sekuntum pada sisi
kiri sanggul Bai Su-zhen, sekuntum lagi pada sisi
kanannya, sedangkan kuntum bunga ketiga tepat di
tengah-tengah sanggul. Lalu ia berdiri di belakang
istrinya untuk menilai hasilnya.
Pada waktu yang sama Xiao Qing datang membawa
teh. Ia tersenyum gembira melihat pemandangan
yang mengasyikkan itu. Setelah meletakkan teh di
atas meja, ia berjalan ke luar.
"Adik Xiao Qing," kata Xu Xian. "Jangan pergi.
Bagaimana pendapatmu tentang bunga-bunga ini?"
"Maksudmu bunga di rambut Bai Su-zhen?" tanya
Xiao Qing. "Tentu saja sangat indah."
Lalu ia pergi meninggalkan mereka berdua
kembali, duduk berdampingan sambil menikmati teh.
Bai Su-zhen tiba-tiba tersenyum.
"Mengapa engkau tersenyum?" tanya Xu Xian.
"Aku geli melihat caramu memandangku!"
"Karena engkau sangat cantik. Hari pertama
cutiku telah kita lewatkan dalam kesibukan. Hanya
tinggal hari ini dan esok sajalah aku dapat menikmati
kehadiranmu di sampingku."
"Jadi, setelah tiga hari, engkau harus kembali
bekerja?" "Tentu saja." Bai Su-zhen berpikir sebentar dan berkata. "Dalam
setahun paling banyak engkau mendapatkan dua
ribu tail. Dengan gaji sekecil itu, tidak seharusnya
kau merasa terikat pada pekerjaanmu. Ayahku
banyak menabung selama hidupnya. Peninggalannya
cukup banyak untuk kita berdua selama delapan
hingga sepuluh tahun. Engkau sebaiknya berhenti
bekerja dari toko itu."
"Engkau sangat baik hati, Sayangku," kata Xu
Xian. "Tetapi seorang pria tidak bisa duduk bermalasmalasan
sepanjang tahun tanpa bekerja."
"Ya, aku tahu. Tetapi, tidaklah bijaksana bila
engkau terus bekerja di toko dengan gaji sekecil itu.
Kita masih mempunyai dua hari untuk
memikirkannya. Jadi kau tidak perlu khawatir."
Pada saat itu dari luar terdengar suara genderang
dan gong yang dibunyikan dengan keras.
"Saat ini ibu kota dipindahkan ke Hangzhou. Para
pegawai kotapraja sedang bergembira. Mereka
merayakannya di danau pada pagi ini," Xu Xian
menjelaskan. "Nanti malam bulan purnama. Danau Barat pasti
sangat indah. Kita harus menyewa perahu dan
bermain-main di sana. Kita beruntung tinggal di tepi
danau. Jadi kita dapat bersenang-senang hingga
larut malam. Bagaimana pendapatmu?" tanya Bai Suzhen
dengan bersemangat. "Betul! Semakin larut, semakin sedikit orang di
sana. Itu lebih baik bagi kita berdua."
"Apa maksudmu dengan semakin sedikit orang di
sana?" "Artinya, kita bisa berdua saja di sana."
"Kakak, jadi aku tidak boleh ikut bersama kalian
malam ini?" kata Xiao Qing yang muncul dengan tibatiba
dari ruang sebelah. "Tentu saja engkau boleh ikut. Aku tidak
bersungguh-sungguh tadi," kata Xu Xian
menenangkannya. Dengan menahan tawa, Bai Su-zhen berkata
kepada Xiao Qing, "Setelah makan siang, pergilah
menyewa sebuah perahu kecil dan bersih untuk nanti
malam. Sesudah makan malam kita berangkat dan
bersenang-senang di danau."
"Jadi, aku boleh ikut juga, bukan?" tanya Xiao
Qing. Xu Xian bangkit dan membungkukkan badannya.
"Maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak bersungguhsungguh."
Mereka bertiga tertawa berderai-derai.
Malam itu bulan bersinar penuh di timur langit.
Indahnya bayangan bulan, puncak gunung dan
pepohonan di atas air sungguh tak terlukiskan.
Demikian pula pantulan Gunung Gu dan Ge yang
berpadu dengan cahaya dari kota Hangzhou. Perahuperahu
yang berlayar menyebabkan air bergoyanggoyang.
Gerakan airnya membuat lukisan yang
terpantul di permukaan air berpendar-pendar
memukau mata. Perahu yang disewa Xiao Qing, mempunyai sebuah
ruangan, bertirai hijau. Atapnya berwarna biru. Di
dalamnya terdapat sebuah meja dengan 2 buah kursi.
Pada atap ruangan itu tergantung dua buah lentera.
Di atas meja terdapat teh satu teko dan empat buah
mangkok berisi buah delima, kacang, biji buah
melon, dan gula-gula. Xu Xian berseru. "Xiao Qing, pandai sekali engkau
memilih perahu. Kalian berdua duduk di kursi ini,
dan aku di atas papan."
Xiao Qing menjawab, "Jangan berbasa-basi. Kursikursi
itu khusus untuk pengantin baru. Aku dapat
duduk di tempat lain."
"Oh,...tetapi itu tidak..." kata Xu Xian.
Dengan berbisik Bai Su-zhen berkata, "Ayo
duduklah. Orang-orang di perahu lain akan
mendengar suara kita." Xu Xian menurut.
Perahu mulai bergerak. Xu Xian melihat sebarisan
perahu berlayar ke tengah danau. Perahu berukuran
besar berlayar di barisan depan, masing-masing
memasang lampu yang terang benderang seperti mata
naga. Penumpangnya membunyikan genderang dan
gong. Perahu-perahu yang lebih kecil mengikuti dari
belakang. "Lebih baik menjauh saja," usul Bai Su-zhen. "Kita
cari tempat yang lebih tenang."
"Usul yang bagus. Bukankah sudah kukatakan
kemarin..." suara Xu Xian tertahan ketika dilihatnya
Xiao Qing memandang ke arahnya, "Semakin sepi
semakin asyik." Xiao Qing tersenyum, "Ya, lebih sunyi lebih baik."
Perahu mereka menjauh dari perahu-perahu yang
lain. "Sungguh menyenangkan. Semua bergerak-gerak
menurut aliran air," seru Xu Xian.
"Lihat puncak-puncak gunung itu," kata Bai Suzhen.
"Seperti dua buah tangan yang menaungi
danau ini seisinya, termasuk kita bertiga."
Mereka berlayar di antara bunga-bunga lili yang
menari-nari membentur dinding perahu.
"Mereka tidak mengerti betapa indahnya
ketenangan," kata Bai Su-zhen. "Mereka pasti
berpikir kita ini gila!"
Sebuah ranting jatuh ke dalam air, berdesir di
antara celah-celah sinar purnama, "Seandainya saja
kita bisa menghilangkan seluruh kebisingan ini," kata
Xu Xian. "Kita beruntung dapat menemukan tempat yang
agak tenang," goda Xiao Qing.
Perlahan mereka mendekati jalan kecil Su Ti.
Bulan mengintip dari balik pepohonan. Pemandangan
sangat memukau. Selapis kabut mengambang di atas
air danau, dilatarbelakangi puncak-puncak gunung
yang kehijauan bagai batu zamrud. Tukang perahu
membiarkan perahu terombang-ambing sebentar di
pinggir sungai. "Ah! Tempat ini sungguh sangat indah. Air,
gunung, sinar bulan, perahu, dan kita bertiga!
Semoga kebahagiaan dan keindahan selalu bersama
kita," kata Bai Su-zhen. Suaranya mengisyaratkan
kekhawatiran. "Tetapi, bila aku hanya menggantungkan seluruh
kehidupanku kepadamu dan tidak bekerja, hidup kita
tidak akan berkecukupan," ujar Xu Xian sambil
mengernyitkan dahinya. "Mengapa engkau masih saja khawatir" Bukankah
sudah kukatakan, besok akan kuputuskan pekerjaan
manakah yang sesuai untukmu?"
"Ya, tentu saja. Dan aku akan mengikutimu hingga
akhir dunia." Xiao Qing menggoda, "Tuan Xu! Jangan berdusta."
"Aku tidak berdusta," sanggah Xu Xian.
"Xiao Qing, ia tidak berdusta. Tidak ada sesuatu
pun yang pantas dicurigai," kata Bai Su-zhen
membela suaminya. "Ya. Tetapi ia berkata bahwa ia akan mengikutimu
ke ujung dunia!" sergah Xiao Qing.
"Aku mengatakan yang sebenarnya," tandas Xu
Xian sekali lagi. "Sudahlah. Kita harus pulang sekarang. Hari
semakin gelap," ujar Bai Su-zhen menenangkan
mereka. Danau mulai sepi. Hanya tinggal beberapa lampu
yang masih menyala. Ketika melewati jalan Bai Ti,
bayangan pohon-pohon di tepian terlihat seperti
lukisan. Di kejauhan terlihat jembatan batu dengan
sebuah rumah di atasnya. "Itulah jembatan pertama di atas Bai Ti. Apa nama
jembatan itu?" tanya Xiao Qing.
"Jembatan Patah," jelas Xu Xian.
"Aku tidak menyukai nama itu," kata Bai Su-zhen.
"Jembatan itu kokoh dan meyakinkan. Nama
"Jembatan Patah" sungguh tidak sesuai."
"Ya, tetapi nama itu sudah sedemikian akrab, dan
aku pun selalu menyebutnya tanpa memikirkan
artinya." "Kurasa, orang menyeberangi jembatan itu
menggapai masa depan yang cerah, sesuatu yang
baik dan membahagiakan. Menurut pendapatku,
sebaiknya nama itu diubah. Misalnya menjadi
"Jembatan Penolong", "Jembatan Keberuntungan" atau
"Jembatan Harapan"."
"Kalau begitu, mari kita ganti saja namanya," kata
Xu Xian. "Jangan berbuat bodoh," kata Bai Su-zhen tertawa.
"Nama jembatan itu "Jembatan Patah". Kita tidak
boleh seenaknya menggantinya. Selama kita tidak
memulai masa depan kita di atas jembatan itu, apa
yang harus dikhawatirkan."
"Tentu saja tidak ada," kata Xu Xian dengan
gugup. "Bukankah kita hanya bergurau."
BAB 4 alam itu, mereka bercakap-cakap hingga pagi.
Karena sangat lelah, mereka jatuh tertidur.
Xiao Qing berdiri di samping tempat tidur Xu Xian.
Ia berbisik di telinga Xu Xian, "Tuan Xu, ada tamu di
luar. Mereka sudah lama menunggumu. Bangunlah."
Xu Xian melompat bangun. "Cepat sekali engkau
bangun! Pukul berapa sekarang?"
"Pukul 12 siang. Istrimu telah bangun semenjak
fajar. Kini ia duduk menemani para tamu. Ia
menyuruhku memanggilmu."
"Apakah tamu-tamu itu ingin menemuiku?" tanya
Xu Xian. "Mereka adalah bekas pegawai-pegawai kami,"
jawab Xiao Qing. "Yang seorang bernama Ma Zi-hou
dan yang seorang lagi bernama Li Ben-liang. Mereka
ingin berbicara kepadamu."
Xu Xian pun mandi dan bergegas mengenakan
pakaiannya, kemudian pergi menemui tamunya.
Mereka mengangguk tiga kali kepada Xu Xian. Ma Zihou
memakai topi persegi. Jubahnya yang panjang
berwarna abu-abu terbuat dari bahan sutera dan
satin, jenggotnya panjang dan usianya sekitar lima
puluh tahun. Li Ben-liang memakai topi cekung dan
berbaju ungu. Usianya kira-kira empat puluh tahun.
Xu Xian membuka percakapan dengan meminta
maaf. "Maaf, aku baru saja bangun. Kami berperahu
semalaman." Bai Su-zhen memberi isyarat kepada Xu Xian agar
M ia segera duduk. Kemudian ia berkata, "Tuan-tuan ini
adalah pegawai ayahku. Tuan Ma adalah kepala
pegawai di toko obat kami. Ia sangat ahli di
bidangnya. Sedangkan Tuan Li, walaupun bukan
ahli, ia sangat mengenal seluk-beluk perdagangan.
Aku meminta kedua Tuan ini untuk datang dan
membicarakan kemungkinan membuka toko obat
kita. Tuan Li menyatakan bahwa ia akan
mengalihkan toko obatnya kepada kita, karena ia
tidak mempunyai keluarga lagi di sini. Agar rencana
ini terlaksana, terlebih dahulu kita harus
membereskan beberapa hal. Tuan Li akan membantu
mengatur segalanya. Dan aku merencanakan pindah
ke Suzhou. Tuan Ma telah menyetujui rencanaku.
Jadi tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.
Bagaimana menurutmu, Suamiku?"


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bai Su-zhen mempunyai tiga alasan mengapa ia
ingin pindah dari Hangzhou. Sebab, Xu Xian cukup
dikenal di kota itu. Jika ia tiba-tiba menjadi kaya,
orang akan mempergunjingkannya. Kedua, semua
teman Xu Xian bekerja di toko obat itu. Apabila ia
membuka sebuah toko obat baru, maka temantemannya
akan menjadi iri. Ketiga, Suzhou tidak
begitu jauh dari Sungai Chang Jiang. Jika Xu Xian
pindah ke Suzhou, ia masih dapat mengunjungi
keluarganya di Hangzhou. Xu Xian tidak mengetahui alasan-alasan ini. Jadi
ia menyetujui saja kata-kata istrinya. Katanya,
"Istriku benar. Tetapi aku...."
Namun Bai Su-zhen memotong, "Mengenai modal
awal, Tuan Li sudah mengumpulkan sisa-sisa
peninggalan almarhum ayahku. Jumlahnya sudah
lebih dari cukup untuk membuka sebuah toko obat
baru." Xu Xian berpikir dalam-dalam. "Aku orang bebas
dan dapat pergi ke mana saja. Yang menjadi
pikiranku hanyalah masalah uang. Jadi apa lagi yang
harus kukhawatirkan" Istriku telah mengurus
segalanya. Kami telah siap untuk membuka toko obat
yang cukup pantas." Xu Xian memandang istrinya yang segera
memahami maksud suaminya. "Semua telah
dibereskan dan dipersiapkan untukmu. Aku hanya
minta persetujuanmu. Apakah engkau bersedia
pindah ke Suzhou?" "Aku bersedia, bila modal sudah ada."
Ma Zi-hou meyakinkannya, "Asalkan Anda
bersedia pindah ke Suzhou, tidak ada hal lain yang
perlu dikhawatirkan."
"Ya," Li Ben-liang menambahkan. "Serahkan segala
urusan persiapan kepada kami. Anda tidak perlu
cemas." Bai Su-zhen tertawa. "Nah! Apa lagi yang kita
khawatirkan" Kau boleh bergembira sekarang!"
Xu Xian tidak pernah menyangka betapa
mudahnya membuka sebuah toko obat. Modal telah
tersedia, begitu pula pegawai yang akan mengurus
pengelolaannya. Benar-benar di luar dugaannya!
Tuan Ma dan Tuan Li adalah bekas pegawai. Namun
karena mereka sudah lama tidak bekerja, Xu Xian
merasa perlu membicarakan masalah keuangan
dengan mereka. "Tuan-tuan, karena kalian bersedia membantuku,
kita harus bicara." Bai Su-zhen kemudian meminta diri untuk
menyiapkan makan siang. "Aku akan menyiapkan
makanan. Tanyakan segala sesuatunya kepada
mereka mengenai toko obat. Buktikan sendiri apakah
mereka benar-benar ahli."
Mula-mula Xu Xian tidak tahu apa yang harus ia
tanyakan. Namun Ma Zi-hou segera mengajukan
pertanyaan tentang pengalaman kerja Xu Xian di toko
obat. Ternyata masih banyak hal yang belum ia
ketahui. Dari percakapannya dengan Tuan Li, Xu
Xian segera menyadari bahwa ia pun tak memiliki
pengalaman dalam bidang keuangan. Mereka terus
saja bercakap-cakap selama makan siang, lalu kedua
tamu itu pulang. "Suamiku, bagaimana pendapatmu tentang dua
pegawai almarhum ayahku ini?" tanya Bai Su-zhen
kemudian. "Mereka sepuluh kali lipat lebih pandai
dibandingkan diriku."
Bai Su-zhen menjawab, "Mungkin saja. Tetapi
engkau adalah suamiku dan engkau tidak bisa
dibandingkan dengan siapa pun. Kita harus
membicarakan beberapa hal lagi dengan mereka.
Setelah itu mereka harus segera berangkat ke
Suzhou." "Aku menyetujui semua rencanamu."
"Sekalipun aku yang memanggil kedua orang itu
ke sini, tetapi engkaulah kelak yang akan menjadi
majikan. Besok pagi mintalah izin berhenti bekerja
kepada majikanmu." "Secepat itu?" kata Xu Xian. "Tidakkah lebih baik
memberinya waktu barang tiga hari?"
"Berapa jumlah gaji yang belum ia berikan
kepadamu?" tanya Bai Su-zhen.
"Dua bulan gaji," kata Xu Xian.
"Bagi seorang pemilik toko, uang adalah segalanya.
Besok pagi bila kau meminta izin kepada majikanmu,
katakan kepadanya bahwa ia tidak perlu membayar
lagi sisa gajimu." Xu Xian menyadari bahwa semakin cepat ia dapat
membereskan urusannya di kota itu semakin baik
pula hasilnya. Keesokan hari sesudah makan siang,
ia pergi ke toko obat tempat ia biasa bekerja. Keempat
pegawai keuangan di sana terkejut melihat
kedatangan Xu Xian yang saat itu mengenakan topi
persegi abu-abu dan baju baru dari kain satin. Salah
seorang dari mereka berteriak, "Hei! Lihat Xu Xian
datang, kelihatannya, ia tidak datang untuk bekerja."
Xu Xian menyalami teman-temannya sambil
tersenyum. "Ya, memang demikian," katanya.
Semua orang menjabat tangannya. Seorang
temannya yang bernama Wu berkata, "Kudengar
istrimu kaya. Engkau beruntung. Majikan baru saja
mengetahui bahwa engkau belum masuk kerja dan ia
agak marah. Kukatakan kepadanya bahwa engkau
baru saja menikah, sehingga terlambat masuk.
Bukankah istri lebih penting daripada pekerjaan" Ha,
ha, ha!" "Terima kasih. Engkau sudah membelaku," kata
Xu Xian. "Tetapi sejak pernikahanku aku
menemukan tempat kerja baru. Jadi, aku datang
kemari untuk memberitahukan bahwa aku tidak
akan bekerja lagi di sini."
"Berhenti?" tanya Wu dengan terkejut.
"Ya, itulah sebabnya aku datang sekarang," jawab
Xu Xian dengan tenang. "Majikan ada?"
"Ya, ia berada di ruang bendahara," jelas Wu. Xu
Xian mengangguk lalu pergi menemui majikannya,
yang saat itu sedang memeriksa buku laporan
keuangan bersama salah seorang pegawainya. Xu
Xian masuk dan mengangguk.
"Ini dia pengantin baru dengan baju barunya!"
hardiknya sambil meletakkan buku laporan. Ia
menatap Xu Xian dengan tajam. "Dalih apa lagi yang
akan kau sampaikan, Anak muda" Kau sudah kuberi
cuti selama tiga hari. Namun hari ini kau masih saja
datang terlambat" Begitukah sikapmu terhadap
rekan-rekanmu?" Xu Xian menjawab dengan ragu-ragu. "Bukan
begitu, Tuan." Sang bendahara mencoba menenangkan suasana.
"Xu Xian memang lalai. Tetapi ia pegawai yang baik,
dan baru saja menikah. Maafkanlah
keterlambatannya. Dengan syarat ia tak
mengulanginya sekali lagi."
Majikannya berkata, "Lihatlah, ia membelamu, Xu
Xian. Engkau harus berterima kasih kepadanya."
"Tidak," kata Xu Xian dengan sopan. "Saya tidak
datang untuk bekerja, melainkan untuk berpamitan.
Saya akan keluar dan tidak lagi bekerja di sini."
Majikannya berdiri sambil berpegangan pada meja.
Ia terkejut. "Apa" Kau mau berhenti?"
"Ya. Itulah sebabnya saya datang," kata Xu Xian
sekali lagi. "Maafkan saya karena tidak menunggu
hingga akhir tahun."
"Temanku, Xu Xian," kata temannya. "Kau masih
muda. Jangan bertindak semata-mata karena
dorongan hati saja. Mengapa engkau ingin berhenti"
Majikan sudah memaafkanmu."
"Aku ingin berhenti bukan karena majikan
memarahiku. Aku akan meninggalkan kota
Hangzhou. Itu sebabnya aku ingin mohon diri."
Bendaharawan itu berdiri dan memandang Xu
Xian. Baju Xu Xian memang bukan baju untuk
bekerja. "Kau akan ke mana?"
"Ke Suzhou. Tetapi aku belum tahu di mana
tempatnya," jawab Xu Xian.
"Kau sudah memutuskan untuk pergi ke sana,
tetapi belum juga tahu di mana tempat tinggal
barumu?" kata temannya dengan heran. "Sebaiknya
kau pertimbangkan lagi keputusanmu. Jangan
terburu nafsu." "Terima kasih atas perhatianmu. Aku belum
menerima dua bulan gaji. Namun karena aku tibatiba
berhenti, kau tidak perlu membayarku lagi.
Menurut pendapatku tidak pantas aku
menerimanya." Majikan Xu Xian belum juga dapat mempercayai
kata-kata Xu Xian. Ia terheran-heran mendengar niat
Xu Xian dan berpikir Xu Xian pasti mempunyai
alasan yang kuat mengapa secara mendadak
mengajukan permohonan berhenti. Lalu ia berkata,
"Kudengar istrimu keturunan orang terpandang.
Barangkali ia mempunyai banyak uang. Jadi..." Ia tak
melanjutkan kata-katanya, dipandangnya Xu Xian
untuk melihat reaksinya. Dengan berpura-pura tidak mendengar
sindirannya, Xu Xian berkata, "Tuan, saya
bersungguh-sungguh. Saya tidak ingin dibayar."
"Kalau kau benar-benar mau pergi, aku tidak
dapat menahanmu," kata majikannya. "Mengenai
gajimu, akan kusimpan saja. Siapa tahu akan
berguna nantinya. Apakah kau akan berangkat hari
ini?" "Begitulah," kata Xu Xian sambil mengangguk
penuh hormat kepada majikannya dan sang
bendahara, "Saya benar-benar ingin mengundurkan
diri." Sesungguhnya majikan merasa sangat berat hati
melepaskan Xu Xian. Karena Xu Xian seorang
pegawai yang amat patuh dan tidak pernah
bertingkah. Ia meminta Xu Xian untuk mampir,
seandainya ia kebetulan berkunjung ke Hangzhou.
Xu Xian lalu berpamitan kepada seluruh teman
sekerjanya. "Majikan sudah menyetujui kepergianku.
Aku harus pergi sekarang."
Lin membawa seteko teh dan menawarkannya
kepada Xu Xian. Ia berkata, "Sekarang kau menjadi
tamu kami. Mari kita minum teh bersama untuk
mengantar kepergianmu."
Xu Xian sangat terharu melihat keramahtamahan
teman-temannya. "Karena sekarang aku telah
menikah, kalian boleh datang ke rumah, bila ada
waktu senggang." Seseorang bertanya, "Bagaimana dengan barangbarangmu"
Semuanya akan kaubawa" Atau kau
akan mengirim seseorang untuk mengambilnya besok
pagi?" "Akan kubawa hari ini juga. Jumlahnya tidak
seberapa. Kalau tidak terbawa, biar saja di sini."
Xu Xian meminum tehnya, lalu masuk ke dalam
untuk membereskan barang-barangnya. Ia menyewa
seorang kuli untuk mengambil bungkusannya dan
membawanya pulang. Xu Xian mendatangi kakaknya,
Fu Yun, dan kakak iparnya, Li Ren. Ketika melihat
penampilan dan baju Xu Xian, Fu Yun ternganga
Hampir-hampir ia tidak mengenali adiknya!
Kemudian Xu Xian menceritakan seluruh kejadian
dari awal pertemuan hingga perkawinannya dengan
Bai Su-zhen. Fu Yun mengangguk berkali-kali. Ia
kagum akan keberuntungan adiknya. Betapa
mudahnya perkawinan Xu Xian, pikirnya.
"Istriku keturunan bangsawan," kata Xu Xian.
"Tabungannya cukup banyak. Hari ini aku telah
mengundurkan diri dari toko obat tempatku bekerja,
karena bermaksud membuka toko obat milik kami
sendiri." Wajah Fu Yun berseri. "Tetaplah berhati-hati,"
katanya memperingatkan Xu Xian. "Karena kau baru
akan melakukannya untuk yang pertama kali.
Pertimbangkan langkahmu masak-masak."
Karena Xu Xian yatim piatu sejak masa kanakkanak,
kakaknyalah yarig merawatnya dengan penuh
kasih sayang. Xu Xian lalu mengeluarkan uang 20
tail dari saku bajunya dan memberikannya kepada
kakaknya. Fu Yun hampir tidak dapat berkata-kata.
Kemudian Xu Xian kembali ke rumah Bai Su-zhen.
Ia dibanjiri pertanyaan tentang pengalamannya hari
itu. Dengan terkikik Bai Su-zhen berkata, "Jadi
majikanmu tidak percaya engkau benar-benar akan
berhenti bekerja. Syukurlah engkau tidak meminta
gajimu. Dengan demikian mereka tidak akan
memburuk-burukkan namamu. Sekarang
beristirahatlah selama beberapa hari. Kita pasti akan
sibuk bila nanti toko kita benar-benar telah dibuka.
Kakakmu pasti akan merasa kehilangan engkau.
Sebaiknya kau sering mengirimkan hadiah
kepadanya." Tuan Ma dan Tuan Li berkali-kali datang untuk
melaporkan semua perkembangan kepada Bai Suzhen.
Persiapan sudah hampir selesai. Perjanjian


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerja akan segera ditandatangani. Karena ingin
mengetahui semua permasalahannya, Xu Xian pun
tak henti mengajukan berbagai pertanyaan kepada
Tuan Ma dan Tuan Li. Akhirnya ia merasa puas dan
yakin bahwa keduanya benar-benar ahli yang dapat
diandalkan. Beberapa hari kemudian, pada awal bulan April,
Bai Su-zhen dan Xu Xian mengirim Tuan Ma dan
Tuan Li ke Suzhou. Suatu sore Xiao Qing berkata kepada Xu Xian,
"Akhir-akhir ini, pemandangan di danau sangat
indah. Sekarang, karena telah bebas dari majikan
dan tokomu, kau harus menikmati keindahannya."
"Engkau benar. Tetapi, karena aku biasa bekerja,
aku takut bila terlalu lama bersantai-santai, aku
akan menjadi malas. Sekalipun belum ada yang
harus kukerjakan, aku tidak ingin membuang-buang
waktu. Kuharap kau mau mengerti, Xiao Qing."
"Memang benar. Tetapi jangan khawatir. Dalam
waktu setengah bulan, kita akan mendengar kabar
dari Suzhou. Kakakku sedang sibuk mempelajari
buku obat-obatan di ruang belakang sebagai pengisi
waktu. Kau harus menirunya."
"Jadi, ia juga mengerti tentang obat-obatan?"
"Kurasa ia lebih pandai daripada tabib."
"Tentunya buku obat-obatan itu berasal dari
keluarganya. Aku harus belajar dari istriku."
Ketika mereka sedang berbicara, Bai Su-zhen
datang dan mendengar percakapan mereka.
"Suamiku! Kau ingin belajar obat-obatan?"
"Aku baru tahu hari ini bahwa engkau adalah
seorang ahli obat. Aku siap menjadi muridmu."
"Kelak kita akan mempunyai banyak waktu untuk
bersama-sama. Dan engkau pun akan sempat
mempelajari banyak hal."
"Sekarang adalah waktu yang tepat untuk belajar,
karena aku tidak mempunyai kesibukan."
"Kalau demikian, baiklah. Xiao Qing akan
menyapu ruang belakang. Kita dapat belajar di
ruangan itu. Namun, seni menyembuhkan orang
tidak semata-mata dipelajari dari buku saja.
Pengalaman juga penting. Setelah membuka toko
obat nanti, aku akan memberikan pelayanan gratis
kepada siapa saja yang hendak menanyakan
penyakitnya. Bagaimana pendapatmu?"
"Aku setuju sepenuhnya," jawab Xu Xian.
Pada saat mereka berbicara, matahari mulai
bergulir ke barat. "Sekarang, mari kita berjalan-jalan," kata Bai Suzhen
kepada Xu Xian. Xiao Qing berdiri di samping meja berbunga. Ia
mengernyitkan keningnya. "Saat ini mereka sangat
berbahagia. Apakah kebahagiaan ini akan berlanjut
di hari-hari mendatang?"
BAB 5 iao Qing menyapu ruangan belakang seperti yang
diperintahkan Bai Su-zhen. Di sana berjejer dua
rak buku. Di sampingnya terdapat sebuah meja
panjang dengan alat tulis-menulis, buku, dan dua
jambangan bunga di atasnya. Di luar ruangan,
tampak sebidang halaman kecil yang ditumbuhi
bunga-bunga mawar Cina dan serumpun bambu. Bai
Su-zhen menginginkan supaya ruangan itu selalu
diatur rapi, agar ia dapat memusatkan pikiran dan
perhatiannya. Bai Su-zhen dan Xu Xian duduk
berjam-jam di ruangan ini. Mereka mempelajari
berbagai buku tentang obat-obatan. Bai Su-zhen
menjelaskan beberapa prinsip dasar obat-obatan
kepada suaminya. Suatu pagi ketika mereka sedang
asyik belajar, Xiao Qing datang. "Ada tamu di luar."
Bai Su-zhen segera keluar menemuinya. Tak lama
kemudian, ia kembali dengan wajah sukacita. "Kabar
baik, Suamiku! Tuan Ma dan Tuan Li telah mengirim
surat. Mereka memberitahukan bahwa toko kita
terletak di tepi jalan besar dan siap dibuka. Semua
telah lengkap. Mereka ingin tahu kapan kita datang."
"Baik betul mereka! Aku tidak perlu bersusahsusah
dan semuanya telah siap. Aku siap berangkat
sewaktu-waktu." "Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat
pertengahan bulan depan," kata Bai Su-zhen
memutuskan. Xu Xian lalu mengunjungi keluarga dan
X kerabatnya. Pada suatu hari yang cerah, ia berlarilari
masuk ke rumah, "Istriku, kakakku datang!
Untuk menjengukmu!" Kakak Xu Xian berjalan mengikutinya dari
belakang. Itu adalah kunjungannya yang kedua, dan
ia mulai mengenal baik adik iparnya. Menurut Fu
Yun, Bai Su-zhen adalah wanita dan istri yang cocok
bagi adiknya. Bai Su-zhen menyambut Fu Yun dan berkata,
"Hari ini, karena libur, kau punya waktu untuk
berbincang-bincang bersama kami?"
"Aku tidak pernah libur! Tetapi karena adikku
bercerita bahwa kalian segera pindah ke Suzhou
untuk meresmikan toko obat kalian, jadi aku
menyempatkan diri untuk datang kemari."
Bai Su-zhen mengajak Fu Yun ke ruang tamu
untuk minum teh. Tak lama kemudian Xu Xian
datang, dan ikut berbincang-bincang.
Bai Su-zhen membuka percakapan. "Di toko
obatnya dahulu, gaji Xu Xian hanya dua ribu tail
setahun. Ini jauh dari memadai. Itu sebabnya ia
berhenti bekerja beberapa hari setelah kami menikah.
Karena cukup mengenal seluk-beluk bidang obatobatan,
kami pun berminat membuka toko obat. Dan
karena kabarnya di Suzhou banyak penyakit, maka
kukirimkan dua orang bekas pegawai ayahku ke
sana. Mereka kusuruh mencari tempat dan mengatur
segala persiapannya. Kemarin, kami menerima surat.
Semua telah siap. Sesungguhnya kami bermaksud
mengunjungimu dalam waktu dekat untuk
berpamitan. Tetapi ternyata engkau sudah
mendahului datang." "Jadi, kalian benar-benar akan pergi dalam
beberapa hari ini," kata Fu Yun. Raut mukanya
menyiratkan keharuan. Suaranya terdengar sedih.
"Begitulah." Fu Yun memandang Xu Xian dan tersenyum
lembut, "Engkau akan membuka tokomu sendiri, dan
istrimu telah menyiapkan segalanya untukmu."
Kemudian ia berpaling kepada Bai Su-zhen, "Adikku
tidak berpengalaman, jadi kuharap kau bersedia
membantunya. Ia terlalu jujur dan lugu."
"Engkau benar," kata Xu Xian membenarkan
ucapan kakaknya. "Istrikulah yang mengusulkan
untuk membuka usaha ini. Aku setuju, asal ia mau
membantuku. Karena tidak berpengalaman, aku
takut gagal." Xiao Qing yang berdiri di pintu berkata kepada Fu
Yun, "Kedua pegawai yang disewa kakakku adalah
ahli-ahli yang berpengalaman. Kakakku sendiri ahli
obat-obatan. Usaha ini memerlukan kerja sama."
"Oh," kata Fu Yun setengah berteriak. "Engkau
pun ahli obat rupanya. Hebat sekali."
"Istriku pandai sekali di bidang ini. Separuh rumah
ini berisi buku obat-obatan," kata Xu Xian bangga.
"Jadi, engkau akan membantunya," kata Fu Yun.
"Tidak, suamikulah yang akan menjadi majikan
usaha ini. Dan karena saudaraku juga akan
membantu, pekerjaan sehari-hari di toko tidak akan
mendatangkan masalah."
"Engkau benar-benar rendah hati," kata Fu Yun.
"Setelah kalian berangkat, aku siap membantu bila
sewaktu-waktu diperlukan."
"Kuharap hal itu tidak akan pernah terjadi," kata
Xu Xian. "Kalau pun ada, aku akan menulis surat."
Fu Yun menjawab dengan mata berbinar-binar,
"Nanti bila kalian kembali ke sini, kuharap kalian
sudah mempunyai anak. Mereka pasti memerlukan
perawat." Xiao Qing menukas, "Sebaiknya kita makan
sekarang. Entah kapan kita akan dapat bertemu
lagi." Bai Su-zhen mengulangi undangan itu dan
memaksa Fu Yun untuk tidak cepat-cepat pergi.
Selesai makan, mereka masih bercakap-cakap. Baru
sesudahnya, Fu Yun mohon diri, diantar Xu Xian
sampai ke rumahnya. "Adikku, istrimu sangat baik. Karenanya kau
harus memperlakukannya dengan baik pula. Dan
ingatlah! Bila nanti uangmu sudah menumpuk,
berhati-hatilah terhadap kawan-kawanmu. Karena
mereka akan dapat mendatangkan kesulitan.
Sungguh tidak adil bagi Bai Su-zhen."
"Ya, aku harus berlaku baik kepada istriku."
Setiba di rumah Fu Yun, Xu Xian segera
berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal.
Malam harinya Bai Su-zhen bertanya, "Bagaimana
keadaan kota Hangzhou dalam beberapa waktu
terakhir?" Xu Xian menjawab, "Kudengar kantor Bendahara
Kota kecurian uang sebanyak tiga ribu tail emas."
Bai Su-zhen menanggapi dengan hati-hati,
"Bukankah kantornya selalu dikunci rapat. Siapa
yang berani mendobrak dan mencuri isi lemari?"
"Itulah anehnya, "jawab Xu Xian. "Kabarnya
kuncinya tetap dalam keadaan baik dan dindingnya
tidak dirusak. Uang menghilang begitu saja, seperti
menguap di udara." Bai Su-zhen menjawab, "Wah! Para pegawai yang
tak jujur itu pasti akan memeras rakyat untuk
mengganti uang yang hilang. Mudah-mudahan
mereka tidak menangkap rakyat yang tidak bersalah."
Beberapa hari kemudian, Xu Xian menyewa
sebuah perahu dan tiga pegawai untuk mengangkut
barang-barangnya. Ia juga mengajak serta tiga orang
pembantu. Mereka lalu berangkat ke Sizhou.
Biasanya dengan perahu sebesar itu, perjalanan akan
memakan waktu sekurangnya sepuluh hari. Namun,
begitu Bai Su-zhen naik ke atas perahu, angin
berhembus kencang. Perahu berlayar kira-kira 15
kilometer dalam sehari. Setiap kali mereka berhenti,
angin pun berhenti berhembus.
Para penumpang lainnya di perahu menduga
bahwa mereka beruntung. Mereka tidak mencurigai
hal-hal lain. Tetapi keesokan harinya, Bai Su-zhen
sudah terjaga semenjak fajar. Sesaat setelah ia
mengacungkan telunjuknya beberapa kali ke langit,
angin datang, dan perahu pun mulai berlayar lagi. Ia
tidak menyadari bahwa Xu Xian memperhatikan
dirinya dan terheran-heran istrinya dapat mengatur
hujan dan angin. Namun ia diam saja dan baru
ketika makan siang ia memberanikan diri untuk
bertanya. "Istriku, pagi ini kulihat engkau menunjuk ke
langit, dan sesudahnya angin mulai berhembus.
Apakah engkau dapat mengatur angin dan hujan?"
Bai Su-zhen memandang lagi ke langit dan
tersenyum. "Bagaimana mungkin aku dapat
melakukan hal itu" Aku hanya menunjuk bintang!"
Karena mengira bahwa dirinya bermimpi, Xu Xian
tidak lagi bertanya. Hingga mereka tiba di Suzhou,
angin selalu berhembus kencang dan perahu berlayar
tanpa gangguan. Akhirnya mereka pun tiba di Gerbang Surga, kota
Suzhou. Xu Xian melihat tokonya berdiri dengan
megah di tepi jalan utama di kota itu. Dipimpin oleh
Tuan Ma dan Tuan Li, para pegawai datang
menyambut dan menyalaminya.
Xu Xian benar-benar kagum melihat toko barunya.
"Setidaknya kuperlukan waktu enam bulan untuk
membangun toko sebesar ini," pikirnya. "Semua botol
dan guci tersusun rapi. Tiga bangunan yang terdiri
dari tempat tinggal, toko, dan apotik, semuanya
dalam keadaan sempurna. Bai Su-zhen mengatakan
bahwa dengan bantuan Tuan Li dan Tuan Ma, aku
tidak perlu khawatir. Kupikir ia hanya ingin
menenangkan hatiku. Ternyata ia tidak berbohong.
Betapa beruntungnya kau ini, Xu Xian."
Setelah menyalami Tuan Ma dan Tuan Li, Xu Xian
segera menurunkan barang-barang dari perahu dan
membawanya masuk ke dalam toko.
Ia mengusulkan agar bangunan yang terletak di
tengah, dijadikan tempat tinggal, agar ia dapat
mengawasi bangunan toko di kiri kanannya.
Bangunan itu sangat luas, terang dan mempunyai
banyak jendela. Ruang keluarga pun lebar. Xu Xian
meletakkan meja kursi yang ia bawa dari rumah
mereka di Hangzhou. Kamar itu berada di depan. Di
dalamnya terdapat meja hias dari kayu cendana. Di
sampingnya ada lemari pajangan yang berisi barangbarang
antik. Di sebelah kirinya terlihat dua lemari
pakaian, dua kursi yang terbuat dari kayu pohon pir,
dan sebuah tempat tidur berukir. Sebuah kaca besar
terletak di sebelah meja hias.
Dari pintu Xiao Qing memanggil, "Semua peti
pakaian dan lemari di ruang belakang. Tetapi di sana


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada tempat tidur anak-anak. Aku tidak tahu di mana
sebaiknya tempat tidur itu diletakkan."
"Bukankah kami belum mempunyai anak," kata
Xu Xian. "Cepat atau lambat, kalian akan memilikinya!"
"Xiao Qing sedang menggoda kita," kata Bai Suzhen.
"Aku tidak menggoda. Apakah kalian benar-benar
tidak ingin mempunyai anak?" tanya Xiao Qing.
Xu Xian berusaha menyembunyikan senyumnya
dan berpura-pura melanjutkan mengatur ruangan.
Kemudian ia bertanya kepada istrinya, "Di mana
engkau akan memeriksa pasien-pasienmu?"
"Bangunan paling depan mempunyai tiga ruangan.
Cocok untuk dijadikan tempat menerima pasien.
Kalau nantinya terlalu kecil, kita cari ruangan lain."
"Dengan pemeriksaan gratis, aku yakin orang akan
berduyun-duyun ke sini. Dengan adanya tiga ruang
berderetan, kurasa kaudapat memeriksa banyak
orang, dan tidak akan memerlukan tambahan
ruangan." "Kita lihat saja nanti."
Karena pengetahuan istrinya tentang obat-obatan
cukup mendalam, Xu Xian tidak berani membantah,
sekalipun di dalam hati ia merasa ragu.
Atas usul Bai Su-zhen, toko itu dinamakan
"Rumah Kasih". Ia ingin tokonya terkenal sebagai
tempat menolong orang dan bukan sekedar tempat
mencari untung. Dari pagi hingga waktu makan
siang, Bai Su-zhen memeriksa pasien. Setiap pasien
menerima nomor. Siapa datang lebih cepat akan
dipanggil lebih awal. Tetapi bila suatu kali datang
seorang pasien yang sakit parah, ia akan mendapat
pelayanan tanpa harus menunggu giliran. Resep obat
pun segera diberikan. Orang miskin boleh tidak
membayar. Mula-mula hanya sedikit orang yang datang,
karena mereka menyangsikan kemampuan "tabib
wanita". Tetapi kemudian tempat itu segera ramai
dipadati pasien yang hendak berobat.
Suatu hari setelah makan malam, Xu Xian berkata
kepada Bai Su-zhen, "Setiap hari kau memeriksa tiga
puluh orang tanpa istirahat. Sebaiknya mulai hari ini
kaubatasi jumlah pasienmu."
Bai Su-zhen tersenyum. "Benar katamu. Tetapi
ingat! Mereka yang datang adalah orang-orang
miskin. Aku tidak sampai hati menolak mereka."
"Engkau benar-benar wanita yang baik. Namun,
bila terus berlanjut, engkau pasti kelelahan. Apalagi
kau bekerja tanpa makan dan minum," ungkap Xu
Xian pula. Sebelum Bai Su-zhen menjawab, Xiao Qing
menyela, "Xu Xian benar. Aku yang hanya bertugas
menulis resep bergantian dengan Xu Xian, tak
sempat beristirahat. Kurasa lebih baik bila jumlah
pasien kita batasi."
Bai Su-zhen akhirnya setuju. Ia berjanji untuk
menerima paling banyak tujuh belas pasien sehari.
Bila yang datang lebih dari jumlah yang ditentukan,
mereka akan dilayani keesokan harinya. Xu Xian
menempel pengumuman mengenai hal ini di pintu
luar. Semakin hari pasien Bai Su-zhen semakin
bertambah banyak. Ia berhasil menyembuhkan
wanita lumpuh yang hampir buta, wanita lanjut usia
yang terkena disentri, seorang pria muda yang
terserang demam dan hampir saja meninggal, seorang
wanita yang menderita sakit dada sehingga tidak
dapat menelan. Orang-orang mulai memuji keberhasilannya.
Seseorang mengusulkan untuk mengirim upeti
kepada Bai Su-zhen. "Ia benar-benar orang suci. Kita
tidak perlu membayar ongkos pemeriksaan dan obat.
Kita harus mengumpulkan uang dan
menandatangani surat ucapan terima kasih, yang
akan kita gantungkan di pintu rumahnya. Dengan
demikian, kebaikannya tak akan terlupakan."
Semuanya setuju. Surat pernyataan terima kasih
itu segera dibuat. "Ibu Tabib Bai Su-zhen, pemilik Rumah Kasih.
Anda kami anggap Dewi Bai. Dengan ini kami
beritahukan bahwa kami telah sembuh berkat
perawatan yang Anda berikan. Tuan Xu dan Nona
Xiao Qing juga telah membantu kami dengan tulus
ikhlas. Kebaikan Anda bertiga tidak akan pernah
kami lupakan." Di bawah tulisan ini, lima puluh orang
membubuhkan tanda tangannya. Dengan genderang
dan gong, mereka membawa surat pernyataan ini
dengan khidmat ke toko Xu Xian. Bai Su-zhen
merasa terharu atas perbuatan mereka ini. Begitu
pula Xu Xian dan Xiao Qing.
BAB 6 ejak Surat Pernyataan itu digantungkan di pintu
toko, rumah pengobatan mereka semakin ramai
dikunjungi orang. Bai Su-zhen pun lebih giat bekerja
tanpa mengenal lelah. Namanya semakin dikenal di
segala penjuru. Pada suatu saat, Suzhou terjangkit wabah suatu
penyakit. Toko obat Bai Su-zhen menjual pil
penyembuh dan pencegah penyakit itu.
Pada tanggal 14 April, Lu Dong Bin berulang
tahun. Ia merayakannya secara besar-besaran di kuil
keluarga Lu, yang dikenal sebagai tabib terkemuka.
Xu Xian berdiri di luar memandang beratus-ratus
orang yang lalu-lalang di muka tokonya. Sebagian
akan pergi ke kuil Lu, sebagian yang lain kembali dari
sana. Xu Xian kemudian pergi menemui istrinya.
"Hari ini keluarga Lu sedang merayakan ulang
tahun," katanya. "Karena kita juga punya toko obat,
aku bermaksud pergi ke kuil untuk membakar
kemenyan. Apakah engkau mau ikut?"
"Aku sangat lelah. Pergilah seorang diri, karena
aku tidak dapat pergi bersamamu. Tetapi cepatcepatlah
kembali. Masih banyak pekerjaan menunggu
di toko." "Baiklah. Aku tidak akan lama."
Xu Xian lalu berangkat ke kuil Lu, dengan
membawa beberapa batang hio. Saat itu kuil keluarga
Lu telah dipenuhi pengunjung. Mereka berdoa sambil
membakar kemenyan. Di luar, para pedagang ramai
S berjualan. Para pendeta pun memanfaatkan
kesempatan dengan menjual mantra-mantra sakti
yang ditulis pada kertas-kertas khusus.
Xu Xian memandang ke sekelilingnya. Ia
membakar kemenyan dan berdoa. Pada saat ia
bermaksud pulang ke rumahnya, dilihatnya orangorang
bergerak ke sudut kanan kuil. Seseorang
berkata, "Mari kita ke sana." Karena ingin tahu Xu
Xian ikut berjalan mengikuti pengunjung yang lain.
Di luar ruang utama, ia melihat sebuah
pengumuman yang digantungkan di dinding:
"Aku diperintahkan guru-guruku untuk berdoa dan
memelihara hubungan baik dengan para dewa. Apa
pun penyakitmu, datanglah kepadaku. Sekarang aku
di sini. Jika Anda menempelkan tulisan keramat2 ini di
rumah Anda, kujamin semua setan dan penyakit akan
hilang. Namaku Guo Wei dan aku mempunyai
kemampuan menguasai elemen3 kehidupan dan
mengusir roh jahat. Siapa pun yang datang
menyembah Yang Abadi, ia tidak akan salah jalan."
Xu Xian mengenalinya sebagai pendeta penjual
obat-obatan. Ia datang mendekat. Pendeta itu
memakai topi berwarna keemasan, dengan lambang
swastika, lambang keberuntungan di atasnya, dan
mengenakan baju penganut agama Tao dari bahan
linen dan sepasang sandal. Alis matanya tebal dan
mulutnya lebar. Di hadapannya, terdapat sebuah
meja berisi kertas, tinta dan alat tulis, bendera
2 Tulisan keramat adalah huruf-huruf Cina yang ditulis dengan tinta
hitam pada sehelai kertas merah, dan dipakai sebagai jimat. Orang
percaya bahwa ini adalah mantra dari para dewa yang mempunyai
kekuatan untuk mengusir roh jahat, dan melindungi kebaikan.
3 Lima Elemen kehidupan yang diyakini orang Cina adalah lima kekuatan
alam, yaitu: Emas atau Metal, Kayu, Air, Api, dan Bumi atau Tanah.
berbintang tujuh, pedang bermata ganda, dan alatalat
lain untuk keperluan upacara.
Karena tidak tertarik, Xu Xian bersiap-siap untuk
pergi. Tiba-tiba pendeta itu berseru. "Wo! Wo! Ada roh
jahat di sini." Xu Xian berhenti. Ia melihat pendeta itu sedang
menunjuk dirinya, sambil berseru, "Roh jahat
mendekam dalam tubuh orang ini."
Beberapa orang yang mengenal Xu Xian tertawa.
"Ia keliru. Bukankah kita semua tahu bahwa Xu Xian
adalah suami Nona Bai, penyelamat kita. Tidak ada
roh jahat di dalam dirinya."
Xu Xian pun ikut tersenyum. Namun tampaknya
pendeta itu tak tergoyahkan. "Namaku Guo Wei. Aku
sangat berpengalaman dalam mengusir roh jahat.
Orang ini dikuasai dua roh jahat. Istrinya adalah roh
jahat itu." Xu Xian berpikir, "Bagaimana mungkin istriku
yang tidak bersalah dikatakan roh jahat. Memang
benar ia mendapat uang dengan mudah. Tetapi ia
baik hati." Dengan suara keras Xu Xian berkata, "Ada tiga
orang di dalam rumah saya. Semuanya orang baikbaik.
Bukan roh jahat." Guo Wei menjawab, "Aku yakin ada roh jahat di
sana. Di mana keluarga istrimu tinggal?"
"Ia tidak punya keluarga. Mereka semua telah
meninggal." "Dari mana istrimu berasal?"
"Dari Sizhou. Ia membawa dua pembantu dari
sana. Karena saya belum pernah ke Sizhou, saya
tidak dapat berbicara banyak mengenai kota itu."
Guo Wei lalu memejamkan matanya, dan
membukanya kembali. "Kekuatan gaibku mengatakan
bahwa istrimu adalah seorang peri yang jahat."
"Apa maksud Tuan?"
"Aku tidak tahu. Yang jelas, bila roh jahat ini tidak
segera dibinasakan, akibatnya akan sangat buruk
untukmu!" kata pendeta itu mengingatkan.
Xu Xian menggelengkan kepala tak percaya, "Saya
yakin Tuan hanya membual."
"Ambil saja jimatku ini tanpa harus membayar,"
kata Guo Wei. "Karena bila aku meminta ongkosnya,
kaupikir aku ingin menipumu. Dengan ketiga jimat
ajaib ini, engkau dapat menangkap roh jahat itu dan
berterima kasih kepadaku. Bila tidak terjadi sesuatu,
aku takkan mengganggumu lagi."
"Baiklah! Berikan ketiga jimat itu kepada saya,"
kata Xu Xian. Guo Wei memandang pengunjung yang
berkerumun di sekelilingnya. "Tuan Xu setuju untuk
memusnahkan roh jahat itu. Aku sekarang akan
memberinya tiga jimat ajaib." Ia menoleh ke arah Xu
Xian dan mengajarkan cara menggunakan ketiga
jimat itu. "Jimat yang pertama akan melindungimu.
Engkau harus menyembunyikannya di balik kursimu.
Yang kedua harus kautempelkan di pintu agar roh
jahat itu tidak dapat melarikan diri. Yang ketiga
adalah jimat untuk menangkap roh itu. Jika engkau
melihatnya bersembunyi, peganglah jimat ini. Roh
jahat itu akan kembali ke bentuk aslinya, dan setelah
itu engkau akan dapat menangkapnya."
"Kata-katamu benar-benar keterlaluan," kata Xu
Xian. Ia ragu-ragu untuk menerima ketiga jimat itu.
"Ia tidak minta bayaran," teriak seseorang. "Jadi,
tidak ada ruginya mencoba."
Xu Xian mengangguk, "Baiklah, akan kucoba."
Pendeta itu lalu menulis tiga tulisan keramat.
Jimat yang pertama disembunyikannya pada topi Xu
Xian. Jimat yang kedua dan ketiga ia letakkan pada
tangan kiri dan kanan Xu Xian.
"Tulisan yang ketiga ini adalah yang paling
penting," katanya mengingatkan. "Jagalah agar
mereka tidak melihatnya. Lakukan seperti yang
kukatakan, maka roh jahat itu akan kalah."
"Masih ada hal lain yang saya perlukan?"
"Tidak. Aku tahu kau tinggal di Rumah Kasih. Aku
akan datang ke rumahmu nanti dan melihat apa yang
terjadi." "Kalau kukatakan hal ini kepada Bai Su-zhen,
pasti ia tertawa," kata Xu Xian kepada dirinya sendiri.
Ia bergegas pulang. Setibanya di rumah ia berteriak
memanggil istrinya sambil melambai-lambaikan jimat
itu. "Istriku, aku bertemu seorang pendeta aneh di
kuil Lu. Ia mengatakan bahwa ada roh jahat di
rumah kita. Lalu ia memberiku tiga tulisan keramat
untuk menangkap roh jahat itu. Lucu sekali!"
Bai Su-zhen menahan napasnya. Karena tidak juga
menjawab, Xu Xian tiba-tiba merasa takut dan
menahan langkahnya. "Aku mendengar apa yang kaukatakan," teriak Bai
Su-zhen dari dalam. "Mengapa engkau tidak segera
masuk?" Bai Su-zhen tertawa, "Kalau aku benar-benar roh
jahat, apakah engkau akan menangkapku" Kalau


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan, orang-orang akan tahu bahwa pendeta itu
penipu, "kan?" Xu Xian masuk ke dalam dan menceritakan di
mana ia menyimpan ketiga jimatnya.
"Lakukanlah apa yang diajarkannya kepadamu,"
kata Bai Su-zhen dengan tenang. "Kalau tidak terjadi
sesuatu, engkau akan merasa lega."
Xu Xian membenarkan kata-kata istrinya. Setelah
menempelkan jimat yang kedua di pintu, Xu Xian
memandang istrinya. Namun dilihatnya istrinya
tenang-tenang saja. "Bagaimana dengan jimat yang ketiga?" tanyanya.
Xu Xian bersandar di ambang pintu. "Aku takut
menggunakannya." "Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" tanya
Bai Su-zhen menantang. "Bukan demikian. Akan kulakukan sekarang juga."
Ia segera menghadapkan jimat itu ke arah Bai Suzhen.
Namun ternyata tidak sesuatu pun terjadi. Xu
Xian membiarkan jimat itu jatuh ke lantai. Bai Suzhen
tetap tidak bergerak. "Engkau tahu, dari tadi sudah kukatakan bahwa
pendeta itu berbohong," kata Xu Xian. "Tetapi
mengapa ia menuduh orang yang tidak bersalah?"
"Tidakkah engkau mengerti, Semua orang di sini
mengenalku. Ia telah mempengaruhimu dengan
bualannya, dan memberimu jimat ini untuk
menangkap roh jahat. Engkau telah membuktikan
sendiri, tidak sesuatu pun terjadi. Maka engkau pun
berpikir bahwa pendeta itu menipumu. Namun
ingatlah, ia tidak minta dibayar dan engkau tidak
memberinya uang. Tetapi engkau telah memberinya
sesuatu yang lebih besar kepercayaanmu. Setelah
engkau pergi, ia akan mengatakan kepada semua
orang bahwa Xu Xian, suami Nona Bai, percaya
kepadanya, dan dalam waktu dekat engkau akan
kembali dan memberinya uang. Dengan demikian
mereka akan membeli dagangannya. Dan karena ia
mengatakan bahwa ia akan segera pergi dari kota ini,
maka orang-orang akan bergegas membeli
dagangannya. Bukankah begitu?"
"Benar juga. Akan kudatangi ia sekarang," kata Xu
Xian dengan marah. Bai Su-zhen memberinya secangkir teh, dan
tersenyum lembut. "Apa maksudmu" Jika engkau
datangi ia kembali untuk mengatakan bahwa
jimatnya palsu, ia pasti akan menjawab, "Tuan Xu,
ternyata aku keliru. Syukurlah engkau belum
memberiku uang. Dengan demikian, tidak ada
masalah, bukan?" Kali ini engkau telah tertipu.
Kuharap lain kali engkau lebih berhati-hati. Apa
gunanya berpayah-payah mendatanginya kembali?"
Xu Xian menangkap maksud Bai Su-zhen dan
dengan geram melempar ketiga jimat itu ke tempat
sampah. "Pendeta tua itu penipu. Mengapa semudah
itu aku dipengaruhi?"
Memanah Burung Rajawali 38 Bara Naga Karya Yin Yong Romantika Sebilah Pedang 9
^