Pencarian

Putri Ular Putih 2

Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui Bagian 2


Bai Su-zhen memanggil Xiao Qing dan
menceritakan apa yang baru saja terjadi.
Diperintahkannya agar Xiao Qing pun berhati-hati.
"Apakah engkau membiarkan pendeta tua itu pergi
begitu saja?" tanya Xiao Qing.
"Oh, ia hanya pendeta biasa. Biarkan saja."
"Aku tidak setuju," bantah Xiao Qing. "Dengarkan
aku. Engkau sangat terkenal sekarang. Aku yakin ia
akan mencoba lagi. Tentunya hal itu akan
menimbulkan masalah. Ia harus tahu bahwa engkau
tidak takut pada jimat apa pun. Engkau juga harus
membuktikan kepada orang banyak bahwa ia penipu.
Aku akan menciptakan angin untuk
menerbangkannya ke Yunnan. Ia tidak boleh berada
di kota ini. Sungguh tidak aman bagi kita."
Bai Su-zhen berpikir sebentar. "Aku rasa engkau
benar," keluhnya. "Baiklah, tetapi jangan lukai dia."
"Tentu saja tidak," kata Xiao Qing tak sabar.
Bai Su-zhen menceritakan kepada Xu Xian apa
yang akan mereka lakukan. Namun ia tidak
menyebut rencana Xiao Qing menerbangkan pendeta
itu ke Yunnan. Xu Xian menyetujui sepenuhnya rencana mereka.
"Pendeta Guo benar-benar penipu. Jangan biarkan
ia tinggal di kota ini."
Kemudian Xu Xian menyewa dua tandu untuk
membawa dirinya bersama Bai Su-zhen ke tempat
pendeta Guo. Saat itu si pendeta tua sedang duduk
menanti Xu Xian. Ia melihat Xu Xian datang bersama
dua orang lainnya. Dari tempat duduknya ia dapat
melihat sinar putih memancar dari rambut Bai Suzhen
dan sinar hijau dari rambut Xiao Qing. Ia
berteriak ketakutan. "Roh jahat berani datang ke kuil. Gawat!"
"Lihat," kata Xu Xian, "Itu dia di sana."
Bai Su-zhen mendekati Guo Wei. Ia melihat
pendeta itu sedang memejamkan mata sambil
membaca mantra-mantra. "Iblis, berani benar engkau datang ke mari!" kata
Guo Wei. Tanpa merasa bersalah, Bai Su-zhen menatap
lurus ke matanya. "Mengapa engkau menyumpahnyumpah"
Kaubilang aku roh jahat. Suamiku telah
melakukan apa yang kauajarkan kepadanya, dan
ternyata tidak sesuatu pun terjadi. Itu sebabnya aku
sengaja datang ke sini, agar engkau dapat
mencobanya dan buktikan sendiri apakah aku benarbenar
roh jahat. Dan apa yang akan kaulakukan bila
dugaanmu keliru?" Orang-orang pun mulai berdatangan, "Ya, apa
yang akan kaulakukan, Pendeta?"
Guo Wei menjawab, "Ia adalah roh jahat.
Seandainya kata-kataku keliru, aku akan berhenti
menjadi pendeta, dan meninggalkan negeri ini."
"Kalau aku roh jahat," kata Bai Su-zhen, "Aku
akan mati. Kalau tidak, engkau harus segera pergi.
Adil, bukan?" Bai Su-zhen melihat ke sekitarnya. Orang-orang
berteriak, "Tidak, itu tidak adil!"
"Kaudengar sendiri," lanjutnya. "Itu tidak adil.
Tetapi karena aku tidak ingin menyulitkan dirimu,
jadi aku menyetujui persyaratan yang kauajukan."
"Aku akan menuliskan sebuah jimat yang harus
kautelan. Aku yakin engkau akan kembali ke
bentukmu sesungguhnya," kata Guo Wei.
"Baik. Silakan," kata Bai Su-zhen tenang.
Lalu ia mengambil jimat itu dan berkata, "Aku
akan menelan kertas ini. Tapi katakan dulu roh
macam apa aku ini." Pendeta itu tidak terlalu pandai. Ia tidak tahu
bahwa Bai Su-zhen secara diam-diam telah
mengubah bentuk aslinya menjadi seekor rubah.
Karena yang dilihatnya adalah bentuk seekor rubah,
maka ia berkata, "Engkau adalah seekor rubah,
bukan?" "Baiklah. Aku adalah seekor rubah. Tuan-tuan,
lihatlah. Aku akan segera memakan jimat ini." Bai
Su-zhen lalu menelan kertas itu, dan meneguk
secangkir air, dan meletakkan kembali cangkir itu.
Kemudian dengan tenang ia berjalan ke halaman.
Guo Wei menyadari kecerdikan Bai Su-zhen. Ia
mampu menyembunyikan bentuk aslinya. Tetapi
siapa yang akan mempercayai kata-katanya" Pendeta
itu menjadi kebingungan dan menyadari bahwa ia
tidak dapat melarikan diri.
"Nah! Aku telah menelan kertas jimatmu, dan
ternyata tidak sesuatu pun terjadi"
"Ini sungguh-sungguh aneh," kata si pendeta
tergagap-gagap. Sementara itu Xiao Qing yang telah menciptakan
lima roh berbentuk manusia, berdiri di antara orangorang
yang mengerumuni mereka. Kelima roh itu
berteriak, "Usir penipu tua ini!"
Guo Wei merasa keadaannya tidak aman. Ia segera
kabur, menyeruak di antara kerumunan orang, dan
berlari dari pintu kuil. Xiao Qing berdiri di halaman berkecak pinggang.
Matanya membelalak. Bai Su-zhen memanggilnya,
"Xiao Qing, engkau tidak melakukan apa yang
kuperintahkan. Tetapi orang-orang telah melihat
pendeta itu pergi. Mari kita segera pulang. Aku yakin
pendeta itu tidak akan mengganggu kita lagi."
Xiao Qing memahami maksud kakaknya. Ia segera
pergi meninggalkan kuil itu, lalu memanggil angin
hitam yang kemudian menerbangkannya ke tempat
Guo Wei yang saat itu sedang berlari menyusuri
lorong Xiao Qing mencegatnya.
"Hei pendeta! Mau ke mana engkau?" panggilnya.
Melihat Xiao Qing, Guo Wei berhenti berlari. Ia
tahu bahwa Xiao Qing telah menggunakan ilmu
sihirnya "Dari mana engkau tahu aku ada di sini?"
Xiao Qing tertawa. "Kepandaian sihirmu harus
kumusnahkan," katanya.
"Aku tidak ingin membicarakan hal itu sekarang.
Aku hanya ingin melarikan diri dari Suzhou. Aku
tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang
saudaramu," kata Guo Wei gugup.
"Aku tahu engkau sudah meninggalkan Suzhou.
Tetapi suatu saat engkau akan kembali lagi bersama
orang-orang yang jauh lebih pandai. Sekarang engkau
harus mengikuti perintahku," bentak Xiao Qing.
"Mengikuti perintahmu" Maksudmu, engkau akan
menyakiti diriku" Oh, betapa sengsaranya aku!"
tangis Guo Wei. "Menyakitimu" Tidak. Bila aku ingin
membunuhmu, aku dapat melakukannya kapan saja.
Untuk membuktikannya, akan kutunjukkan
sesuatu." Xiao Qing melihat ke sekelilingnya. Ia melihat
serpihan-serpihan batu besar yang tersebar di kaki
dinding. Xiao Qing menunjuk benda itu, dan berkata,
"Terbang dan bersatulah!"
Serpihan-serpihan itu menyatu menjadi sebuah
batu yang besar dan berat, dan terbang ke awangawang.
Guo Wei gelagapan. Xiao Qing berseru lagi,
"Kembalilah ke tempatmu semula!" Batu itu turun
kembali, dan menjadi serpihan-serpihan yang
menyebar di kaki dinding.
"Mari!" ajak Xiao Qing. "Sekalipun di sini sepi,
sewaktu-waktu akan ada orang lewat. Naiklah!"
Guo Wei mendapatkan dirinya terbang di langit. Ia
memejamkan matanya ketakutan. Xiao Qing
memegangnya erat-erat. Mereka melaju dengan cepat
berkat angin ciptaan Xiao Qing. Guo Wei tidak
berdaya dan terpaksa menaati perintah Xiao Qing. Ia
tidak tahu berapa lama mereka terbang, namun
bulan telah bersinar ketika mereka mendarat di
suatu jalan besar. "Engkau berada di Yunnan sekarang," kata Xiao
Qing. "Kota terdekat kira-kira 16 km jauhnya dari sini
Pergilah ke sana. Aku telah meminta kepada dewadewa
di bumi ini untuk mencegahmu pergi dari
Yunnan. Bertindaklah lebih hati-hati!"
Guo Wei tak dapat membantah. Xiao Qing
kemudian memasukkan tangan ke sakunya untuk
mengambil sejumlah uang dan memberikannya
kepada Guo Wei. "Ini untukmu, pakailah. Setiap kali
engkau membayar dengan uang ini, engkau akan
teringat pada kemurahan hatiku."
Guo Wei tidak menyangka bahwa Xiao Qing akan
memberinya uang. Ia membungkuk dalam-dalam dan
berkata, "Aku sangat berterima kasih kepadamu."
Xiao Qing menjawab, "Setidaknya, engkau telah
berhutang budi kepadaku. Pergilah sekarang juga!"
Kemudian dengan mengendarai angin Xiao Qing
terbang kembali ke rumahnya.
BAB 7 ai Su-zhen menggunakan kekuatannya untuk
menyibakkan jalan dari kerumunan orang. Ia
memberi isyarat kepada Xu Xian untuk
mengikutinya. Dalam perjalanan pulang, Xu Xian berkata,
"Sayangku, begitu marahnya aku tadi sehingga
hampir tidak sanggup berkata-kata. Aku bersyukur
kau berhasil menguasai keadaan. Aku yakin
orangtuamu telah mewariskan sifat-sifat yang baik
kepadamu." "Sekarang semuanya telah berlalu. Sebaiknya kita
lupakan saja kejadian hari ini," kata Bai Su-zhen.
"Ya! Bila tidak ada lagi yang harus kaukerjakan,
sebaiknya kita segera menyewa tandu untuk pulang."
"Jangan. Jalanan sudah sepi, lebih baik kita
berjalan kaki saja."
Lalu keduanya berjalan pulang. Tak seorang pun
di toko mengetahui kejadian di kuil Lu. Semua
bekerja seperti biasa. Dan Xu Xian pun tidak
mengatakan sesuatu. Meskipun Xiao Qing adalah orang pertama yang
keluar dari kuil, ia belum juga tiba di rumah, ketika
keduanya sampai. "Ke mana Xiao Qing?" tanya Xu Xian khawatir.
"Sedang mengunjungi seorang kawan. Ia tidak
akan salah jalan," jawab Bai Su-zhen. Xu Xian
merasa lega. Suatu malam, ketika Xu Xian sedang duduk
B seorang diri di kantornya memeriksa keuangan, Bai
Su-zhen melihat bulan bersinar di langit yang tak
berawan. Pemandangan sangat indah. Setelah
memanggil Xiao Qing, keduanya lalu naik ke loteng
dan memandang ke kota Suzhou. Bayang-bayang
hitam rumah penduduk terlihat bagai orang yang
sedang tidur nyenyak. Angin dingin berhembus. Karena melihat Bai Suzhen
mengenakan baju yang sangat tipis, Xiao Qing
pun berkata, "Kakak, hari semakin dingin. Mari kita
turun sekarang. Aku takut kau akan jatuh sakit"
"Jangan khawatir. Kita duduk sebentar di sini,"
jawab Bai Su-zhen. "Memandang bulan sungguh
membahagiakan hati."
"Xu Xian agak aneh beberapa waktu terakhir ini,"
kata Xiao Qing. "Ya! Tetapi ia jujur, tak pernah merahasiakan
sesuatu. Seperti kejadian Guo Wei, ia
menceritakannya secara terus terang kepadaku."
"Ia memang orang yang sangat baik."
Bai Su-zhen tertawa. "Sebagai seorang suami, ia
sangat terpuji. Ia tidak pernah berbohong kepadaku."
Ketika Xiao Qing akan mengatakan sesuatu, Xu
Xian berteriak memanggil.
Xiao Qing menjawab, "Kami di sini, memandang
bulan. Naiklah ke loteng!"
Xu Xian pergi ke halaman belakang. Sambil
menaiki tangga ia berkata, "Rupanya kalian sedang
bercengkerama. Sungguh menyenangkan."
Sambil memegang tangan Xu Xian, Bai Su-zhen
berkata, "Lihat! Walaupun bulan tidak penuh,
sinarnya cukup terang. Indah, bukan?"
Tiba-tiba Xu Xian berteriak, "Tanganmu dingin
sekali, sayang. Sebaiknya kita segera masuk."
"Jangan khawatir. Tinggallah di sini barang
sebentar. Semua orang yang tidur tak akan tahu
betapa indahnya bulan malam ini. Kesejukan seperti
ini sungguh menyenangkan!"
"Tapi angin bertiup kencang," bantah Xu Xian,
"Dan bajumu terlalu tipis. Masuklah!"
Bai Su-zhen menggigil kedinginan. Sambil
menggandeng Xu Xian, ia pun turun. Tiba-tiba ia
merasa kurang enak badan, tanpa tahu sebabnya.
Sekitar hari kelima bulan kelima, mereka benarbenar
sibuk. Xu Xian berjalan hilir-mudik di tokonya,
Bai Su-zhen dan Xiao Qing sibuk membuat nasi dan
kue apel. Tiba-tiba seorang pegawai masuk ke dalam
memanggil Xu Xian. Di luar ada seorang pendeta
Budha yang ingin menemuinya.
"Mengapa menggangguku" Beri saja ia uang dan
suruh ia pergi," kata Xu Xian tak sabar.
"Tidak! Ia ingin menemui Anda," kata pegawai itu.


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh." Xu Xian terpaksa menghentikan
pekerjaannya. "Mula-mula saya mengira ia ingin minta sedekah.
Tetapi ia menggelengkan kepalanya ketika saya
memberinya uang. Ia berkata bahwa ia ingin
menemui Anda. Ia tidak minta uang atau obat."
"Apakah ia mengetahui namaku?"
"Ya. Mungkin ia teman Anda?"
Xu Xian menggelengkan kepalanya, terkejut.
"Temanku" Siapa" Perayaan Naga baru akan
berlangsung esok hari. Mengapa ia ingin menemuiku
hari ini." Sambil menyiapkan makanan Bai Su-zhen berkata,
"Sebaiknya kautemui saja dia, Suamiku, barangkali
ia memerlukan bantuanmu."
Xu Xian keluar untuk menemui tamunya. Pendeta
itu sedang bersandar di pintu. Usianya sekitar enam
puluh tahun. Ia memakai topi jerami, baju kuning
dari bahan kasar dan sepasang sandal. Alis matanya
lebat, matanya memanjang, dan kepalanya botak
berkilat-kilat. Xu Xian mengangguk, "Tuan! Anda ingin menemui
saya?" Pendeta itu berkata, "Jadi engkaulah pemilik
Rumah Kasih ini?" "Ya, sayalah pemiliknya. Saya yakin kita belum
pernah berjumpa. Saya masih muda dan teman saya
tidak banyak." "Engkau tidak mengenalku, tapi aku mengenalmu
Xu Xian." "Benarkah" Berita apakah yang akan Anda
sampaikan kepadaku?"
Pendeta itu memandang ke seluruh ruangan dan
berkata sambil tersenyum kecil. "Aku ingin bicara
kepadamu. Apakah engkau mempunyai waktu?"
"Tentu saja. Anda dapat segera menyampaikannya
kepada saya." "Aku lebih suka bicara berdua saja. Ada tempat
yang agak sepi di halaman belakang. Kita dapat
berbicara di sana." Dalam hati Xu Xian berkata bahwa usul si pendeta
cukup aneh. Bila ia ingin berbicara, mengapa harus
mencari tempat sepi" "Tidak ada orang lain di toko,"
katanya. "Anda dapat berbicara bebas di sini."
"Aku ingin menceritakan suatu rahasia," kata
pendeta itu. Xu Xian memandang wajah si pendeta.
Karena toko sedang banyak pengunjung, pendeta itu
diajaknya pergi ke halaman belakang.
"Nah, ceritakanlah!" kata Xu Xian.
Pendeta itu mengibaskan tongkatnya dan berkata,
"Untuk sementara tidak akan ada yang dapat masuk
ke sini." Katanya setelah memerintahkan lima peri
menjaga pintu masuk. "Apakah engkau belum juga
mengenal diriku?" "Saya tidak tahu dari mana Tuan datang, dan
bagaimana saya harus memanggil Anda?" jawab Xu
Xian. "Aku seorang pendeta dari Gunung Emas. Namaku
Fa Hai." Xu Xian mengangguk, "Jadi Tuanlah pendeta yang
terkenal itu." Fa Hai berkata, "Engkau terkena penyakit, Tuan
Xu. Aku datang untuk menyembuhkanmu."
Xu Xian terkejut, "Tetapi, saya merasa sehat, dan
istri saya dapat mengobati bila saya jatuh sakit."
"Justru istrimulah penyebabnya," kata Fa Hai
hampir berbisik. "Jangan berkata yang bukan-bukan," kata Xu
Xian. "Kaukira ia adalah wanita yang paling cantik di
dunia. Engkau keliru. Karena sesungguhnya ia
adalah seekor ular putih."
Xu Xian semakin terkejut, "Ular putih?" Ia
menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin! Lagi
pula, ia tidak sendirian ketika kami berjumpa untuk
pertama kalinya. Ia bersama adiknya, Xiao Qing."
"Xiao Qing juga seekor ular; ular hijau," lanjut
pendeta itu. Xu Xian benar-benar dibuatnya kikuk, "Ah!... "Bai"
dan "Qing"4 memang warna-warna ular. Tetapi saya
tidak percaya. Saya orang miskin. Mengapa mereka
4 Dalam bahasa Cina, 'Bai' berarti putih, dan 'Qing' berarti hijau.
ingin mendekati saya" Setelah kami menikah, justru
merekalah yang memberi saya uang dan Bai juga
telah berbuat baik kepada banyak orang. Rakyat di
sini memanggilnya "Dewi Bai"."
"Ia menipumu. Hal seperti ini mudah saja
dilakukan roh jahat seperti dirinya. Ia dapat
mengubah bentuknya seperti manusia. Jika Engkau
tetap bersamanya, sesuatu yang mengerikan akan
terjadi padamu!" kata Fa Hai yang rupanya sudah
sangat mengenal Bai Su-zhen.
Xu Xian ketakutan. Dengan cemas ia mengetukkan
kakinya berkali-kali ke lantai.
Fa Hai meneruskan keterangannya, "Kira-kira
sebulan yang lalu, di kuil keluarga Lu, seorang
pendeta memberimu tiga jimat, bukan?"
"Ya," kata Xu Xian membenarkan. Ia gemetar
memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kekuatan pendeta ini kurang kuat. Ia tidak
mampu mengetahui bentuk asli istrimu. Jadi, jimat
yang diberikannya kepadamu tidak berpengaruh.
Kemudian istrimu menghinanya di kuil itu dan Xiao
Qing mengusirnya ke Yunnan."
"Benarkah itu?" tanya Xu Xian. Ia mulai
mempercayai pendeta itu. "Kejadian itu terjadi kurang dari sebulan yang lalu.
Semua orang mengetahuinya. Sekarang coba jawab
pertanyaanku. Dari mana istrimu mendapat uang
untuk pindah ke Suzhou dan membuka toko?"
"Itu uang keluarganya."
"Siapa yang membawa uang itu?"
"Dua pegawai almarhum ayahnya. Tetapi saya
sendiri belum pernah melihat uang itu. Mereka
langsung membawanya ke Suzhou untuk membuka
toko," kata Xu Xian membela diri.
Fa hai tertawa, "Kedua pegawai itu sebenarnya
adalah seekor kura-kura dan seekor kepiting. Aku
tidak tertarik kepada mereka, karena mereka tidak
mengganggu orang." "Tetapi toko obat ini berdiri berkat jasa mereka
berdua," kata Xu Xian. "Mereka berdua benar-benar
orang baik-baik." "Anda belum juga percaya kepadaku. "Xu Xian
menggeleng. "Sekalipun saya mempertimbangkannya,
tetapi saya tidak dapat mempercayai kata-kata Tuan.
Karena semenjak kami menikah, usaha saya maju
pesat. Istri saya berasal dari keluarga baik-baik.
Sejak kecil ia belajar ilmu silat dan sangat
berpendidikan dan saya mempercayainya. Bila saya
berbuat salah, ia segera memperbaikinya. Dan
bukankah ular adalah binatang yang menakutkan
manusia dan anak-anak" Padahal banyak orang
menyukai istri saya. Saya yakin Anda telah menuduh
orang yang tidak bersalah. Lebih baik kita tidak
membicarakan hal ini lebih lanjut."
Fa Hai melihat ke sekeliling. Tidak ada siapa-siapa
di sana. Ia mengangguk dan berkata, "Aku tidak
mempunyai cukup bukti untuk membuatmu percaya.
Tetapi besok ada perayaan Perahu Naga. Pada pukul
tiga sore, istrimu akan berubah ke bentuk aslinya.
Kalau engkau sudah melihatnya, baru engkau
percaya kepadaku. Sebut nama dewa-dewa tiga kali,
dan aku akan datang menyelamatkanmu. Apakah
engkau dapat melakukannya, Xu Xian?"
"Jika ia seekor ular, Aku pasti akan... ah... tetapi,
ia bukan ular, bukan!!" kata Xu Xian mencoba
meyakinkan dirinya. Fa Hai mengeluh, "Rupanya engkau benar-benar
tidak mau mempercayai kata-kataku. Apakah istrimu
dan adiknya akan ikut bersembahyang pada
perayaan Perahu Naga, besok?"
"Tentu saja." "Bagus! Siapkan anggur kuning, dan berikan
minuman itu kepada istrimu. Usahakan agar ia mau
meminumnya. Lihatlah apa yang akan terjadi."
"Kata-katamu membuat saya takut," kata Xu Xian.
"Tetapi saya yakin istri saya bukanlah ular yang
menyamar." "Aku hanya mengatakan yang kuketahui. Apa yang
kemudian akan terjadi akan membukakan matamu,"
jawab Fa Hai samar-samar.
Selesai berbicara, pendeta itu memanggil anak
buahnya, lalu meminta diri.
Perlahan-lahan Xu Xian kembali ke rumahnya,
sambil memikirkan kata-kata pendeta itu. Jika
istrinya benar-benar seekor ular, ia pasti sudah
menjadi korban. Mengapa pula ia bersusah payah
mendirikan toko" Ketika ia sedang memikirkan katakata
si pendeta, Bai Su-zhen datang mendekat.
Dipandangnya Bai Su-zhen lekat-lekat. Ia tetap saja
cantik, tidak membuatnya takut. Maka Xu Xian pun
memutuskan untuk tidak berterus terang kepada
istrinya. "Suamiku, apa yang diminta pendeta itu?"
Karena tidak tahu apa yang harus ia katakan, Xu
Xian menjawab sambil tertawa, "Sedekah! Untuk
perayaan Perahu Naga besok pagi."
"Sudah kuduga. Sebagian pendeta harus hidup
hanya dari hasil sedekah. Tetapi sebaiknya kau
pertimbangkan baik-baik sebelum memberi uang
kepada mereka." Xiao Qing datang membawa seteko teh dan
meletakkannya di depan Bai Su-zhen yang saat itu
duduk di atas bangku yang terbuat dari kayu.
Xu Xian memperhatikan tingkah laku Bai Su-zhen
dan Xiao Qing. Semua tampak wajar, tak ada yang
aneh. Ketika Bai Su-zhen minum, teh panas itu
menumpahi tangannya. Ia cepat-cepat meletakkan
cangkir dan mengambil sapu tangan untuk
mengeringkan kulitnya yang basah. Perbuatannya
wajar. Xu Xian semakin yakin, bahwa pendeta tadi
mengada-ada. Ia berniat menceritakan semuanya
kepada istrinya. "Apa yang sedang kauperhatikan?" tanya Bai Suzhen.
"Aku sedang melihatmu menyeka teh yang
tertumpah di tanganmu. Betapa rapi dan telitinya
engkau." Jawaban yang ia sampaikan benar-benar
menghilangkan kecurigaan Bai Su-zhen.
"Kebiasaan sejak aku masih kecil," jawabnya
sambil tersenyum. "Akan kuceritakan terus terang besok pagi," pikir
Xu Xian. "Bila ia mendengar ceritaku setelah minum
anggur, ia pasti tertawa."
Xu Xian tersenyum dan berkata, "Kebiasaanmu
benar-benar mengagumkan."
BAB 8 ari Perahu Naga selalu dirayakan dengan meriah.
Di kota-kota besar, orang-orang makan bakpau
di siang hari dan minum anggur di sore hari.
Pertandingan Perahu Naga yang disukai anak-anak
muda dilangsungkan di sungai-sungai. Pada hari
tersebut, semua orang bersenang-senang. Para
remaja biasanya mengenakan baju baru. Pegawai dan
anak sekolah diliburkan. Hari itu, Bai Su-zhen bangun pagi-pagi. Setelah
mencuci muka, ia meminum tehnya sambil
memandang uap panas yang keluar dari cangkirnya.
Xiao Qing datang dan berbisik kepadanya.
"Kakak, aku akan bersembunyi di gunung, agar
tidak berada di sini pada pukul tiga nanti. Kau
bagaimana?" Dengan tenang Bai Su-zhen meletakkan tehnya,
"Aku telah berpengalaman ribuan tahun. Kupikir
sebaiknya aku tinggal di sini saja. Pergilah
bersembunyi." "Walaupun telah berpengalaman, kau harus tetap
waspada. Sesuatu yang tidak terduga mungkin saja
terjadi. Sebaiknya kau ikut bersamaku."
"Tidak! Aku dapat menjaga diri," kata Bai Su-zhen
dengan penuh keyakinan. "Pergilah."
"Baiklah, aku pergi dulu."
Bai Su-zhen tinggal sendiri di dalam rumah. Xu
Xian datang dan berkata, "Karena hari libur, aku
ingin menonton lomba perahu. Tampaknya kau
H kurang sehat. Benarkah demikian?"
Bai Su-zhen tersenyum, "Apakah wajahku pucat?"
"Kau sakit?" tanya Xu Xian sambil menarik
kursinya ke dekat Bai Su-zhen dan memandangnya
dari dekat. "Bagaimana wajahku" Pucatkah?" tanya Bai Suzhen.
"Gurauanmu menunjukkan bahwa sesungguhnya
kau sehat-sehat saja," sahut Xu Xian.
"Aku memang merasa kurang enak badan," Bai
Su-zhen mengaku. "Kenapa?" tanya Xu Xian bersemangat.
Bai Su-zhen tertawa malu. "Tidak apa-apa. Hanya
aku sudah hamil beberapa bulan."


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Xu Xian menggenggam tangan istrinya dan tertawa
gembira. "Benarkah" Mengapa baru sekarang kauceritakan
kepadaku?" "Kalau kukatakan dari dulu, aku takut kau akan
khawatir. Karena hari ini kau akan pergi berjalanjalan,
aku memutuskan untuk berterus terang
kepadamu." "Engkau wanita yang tak ada duanya," kata Xu
Xian dengan hangat, "Selalu memikirkan orang lain,
bukan dirimu sendiri! Kau ingin makan sesuatu?"
katanya sambil berdiri. "Di mana Xiao Qing?"
"Nah, betul bukan, kataku?" goda Bai Su-zhen.
"Kau langsung panik. Aku tidak ingin makan.
Sebaiknya undanglah segera pegawai-pegawai kita
untuk makan bakpau. Setelah itu liburkan mereka,
agar mereka dapat menonton perlombaan perahu.
Dan kau pun harus berdoa di kuil. Toko tidak perlu
dijaga." "Aku sudah pergi bersembahyang. Di mana Xiao
Qing?" "Xiao Qing sudah melayaniku bertahun-tahun. Ia
sangat jarang bersenang-senang. Jadi hari ini
kusuruh ia menonton perlombaan perahu," kata Bai
Su-zhen dengan cepat. "Kau benar. Kalau begitu akan kusuruh pelayan
menghidangkan bakpau untukmu."
Pelayan segera datang menghidangkan bakpau di
atas meja makan, lengkap dengan mangkok, cangkir,
dan sumpitnya. Seguci anggur terdapat di sudut
meja. "Kemari dan duduklah," kata Xu Xian.
Bai Su-zhen duduk dengan susah payah. Xu Xian
menuangkan anggur untuknya, lalu mengisi gelasnya
sendiri. Kemudian ia mengangkat guci anggur sambil
tersenyum, "Kita harus minum untuk merayakan hari
ini." "Aku tidak boleh minum anggur lagi, karena
sedang hamil," kata Bai Su-zhen sambil meraih
bakpau dan melepaskan pembungkusnya. Xu Xian
meminum anggurnya. "Apakah engkau benar-benar tidak mau minum?"
tanyanya. "Ya! Untuk sementara waktu. Minumlah!
Dan cepatlah berangkat ke danau. Aku tidak dapat
pergi bersamamu," kata Bai Su-zhen.
Xu Xian berpikir, "Benar juga kata Fa Hai. Tetapi
karena hamil, ia mempunyai dalih untuk tidak
minum anggur. Fa Hai berkata bahwa aku harus
memaksanya. Aku akan mencoba membujuknya.
Lagipula minum anggur segelas, pada perayaan hari
ini konon dapat mengusir roh jahat."
Maka Xu Xian berdiri dan berkata, "Kalau kau
tidak mau makan lagi, sudahlah. Tetapi sekarang aku
mengajakmu minum anggur untuk merayakan hari
ini." Bai Su-zhen sama sekali tidak menaruh curiga
ketika Xu Xian mengambil sebuah botol, lalu
menuangkan isi gelas Bai Su-zhen ke dalam botol,
dan mengisi gelas Bai Su-zhen yang sudah kosong,
dengan anggur berwarna kuning.
"Apa ini?" kata Bai Su-zhen.
"Anggur kuning. Aku baru saja menelitinya. Kalau
engkau meminumnya sementara sedang
berfermentasi, perasaanmu akan menjadi lebih
segar." Bai Su-zhen mengernyitkan dahinya.
"Aku tidak dapat meminumnya."
"Mengapa tidak" Anggur ini akan menghilangkan
demam dan cacing dari tubuhmu."
"Apakah engkau lupa bahwa aku hamil" Kalau kau
memaksaku minum anggur ini, perutku akan mual,"
kata Bai Su-zhen berkeras menolak.
Namun Xu Xian mengambil gelas itu dan berkata,
"Anggur ini akan membuat tubuhmu lebih sehat.
Cacing dan demam juga akan musnah dari tubuh
janin yang kaukandung."
"Tidak," ulang Bai Su-zhen sambil berdiri.
"Biasanya kau tidak begini," bantah Xu Xian.
"Tetapi mengapa tiba-tiba kau jadi keras hati"
Minumlah! Betapa harum baunya."
Xu Xian terus memaksa. Dari kekuatan gaibnya,
Bai Su-zhen dapat merasakan bahwa anggur kuning
itu tidak akan berbahaya baginya.
"Baiklah," katanya. "Aku akan minum satu gelas
saja." Ia lalu mengambil gelas itu dan minum isinya
sampai habis. Mendadak sekujur tubuhnya terasa
sakit. Bai Su-zhen berdiri sambil berpegang pada
meja. Mukanya merah padam.
"Apakah engkau baik-baik saja?" tanya Xu Xian
khawatir. "Aku ingin merebahkan diri sebentar," kata Bai Suzhen.
Xu Xian bergegas memapahnya. Tapi Bai Su-zhen
menepis tangannya. "Tenanglah. Aku hanya ingin beristirahat
sebentar." Bai Su-zhen beranjak dari meja dan bergegas
menuju ke kamarnya. Di pintu ia berkata perlahan,
"Aku ingin beristirahat. Tinggalkan aku sendirian di
kamar! Jangan ganggu aku. Dalam beberapa jam,
aku akan sehat kembali," ujarnya sambil menutup
pintu, ia bergegas masuk kamar.
"Aku tidak dapat berdiri saja di sini, tanpa
melakukan sesuatu," cetus Xu Xian dalam hati.
"Tampaknya ia benar-benar sakit. Aku akan mencari
obat untuk menolongnya."
Ia menemukan sebotol kecil obat yang dikiranya
akan dapat menyembuhkan istrinya. Kemudian ia
mengisi cangkir dengan air hangat hingga setengah
penuh, lalu segera berlari ke kamar.
"Jangan khawatir, istriku. Minumlah ini, dan
engkau akan sehat kembali," kata Xu Xian. Karena
Bai Su-zhen tidak menjawab, Xu Xian berjalan
menghampiri tempat tidur yang seluruhnya tertutup
kelambu. "Mungkin anggur itu telah membuatnya sakit,"
pikir Xu Xian pula. "Sebaiknya kutanyakan mengapa
wanita hamil tidak boleh minum anggur."
Sambil memegang gelas berisi obat di tangan
kanan, Xu Xian menyibakkan kelambu dengan
tangan kirinya. Begitu melihat yang terbaring di atas
tempat tidur, ia menjerit, dan berlari ke luar kamar
seperti orang gila. Karena panik, gelas obatnya jatuh
ke lantai, pecah berkeping-keping. Xu Xian
terjerembab pingsan! Saat itu di dalam rumah, tidak ada siapa pun
kecuali Xu Xian dan Bai Su-zhen. Yang satu
tergeletak pingsan di lantai karena ketakutan.
Sedangkan yang lainnya, baru saja kembali ke
bentuk asalnya, terbaring tak sadarkan diri di atas
tempat tidur. Xiao Qing baru kembali dari tempat
persembunyian sore harinya.
"Xu Xian pasti sedang menonton lomba perahu
dan Bai Su-zhen pasti sendirian di rumah," pikirnya
sambil memasuki rumahnya. Di ruang makan, ia
melihat sisa-sisa makanan dan anggur yang belum
habis. Dengan cemas, ia memanggil Bai Su-zhen.
Namun karena tak ada jawaban, ia mengira Bai Suzhen
sedang ke luar rumah. Xiao Qing lalu berjalan ke ruang tengah. Di sana ia
menemukan Xu Xian yang menggeletak di lantai. Ia
segera memeriksa denyut nadinya, dan ternyata Xu
Xian tidak bernafas lagi.
Dengan ketakutan diangkatnya Xu Xian ke atas
kasur dan bergegas masuk ke kamar tidur sambil
menjerit-jerit membangunkan Bai Su-zhen, "Kakak,
cepat bangun!" Kelambu tersibak, Bai Su-zhen keluar dari balik
kelambu dalam bentuk manusia. "Jadi engkau sudah
pulang," katanya. "Mengapa kakak bertindak ceroboh" Kau telah
membuat Xu Xian mati ketakutan!" ,
Bai Su-zhen segera turun dari tempat tidur dan
menghampiri Xu Xian. Tetapi Xu Xian sudah tak
bernafas lagi dan tubuhnya pun telah dingin.
Melihat keadaan Xu Xian, Bai Su-zhen pun
menangis. "Aku telah membunuh suamiku. Aku rela
memberikan jiwaku untuk menghidupkannya
kembali!" Kemudian ia berdiri dan menyeka air matanya
dengan lengan baju, sambil berpikir ke mana ia harus
mencari obat. "Bagaimana mungkin kaudapat menghidupkan
orang yang telah mati?" tanya Xiao Qing.
"Menurutmu, dapatkah engkau menyelamatkannya?"
"Maksudmu, engkau pun tak sanggup
melakukannya?" tanya Bai Su-zhen dengan cemas.
"Kalau saja aku dapat memperoleh "Rumput Abadi"
dalam tiga hari ini, Xu Xian mungkin masih dapat
tertolong." "Bukankah rumput yang kaumaksudkan tumbuh
di Gunung Kun Lun" Dan engkau tahu sendiri
tempat itu dijaga ketat. Bagaimana caramu
mendapatkannya?" "Akan kukatakan bahwa aku akan mati kalau
tidak makan rumput itu," jawab Bai Su-zhen.
"Setelah aku pergi, baringkan Xu Xian di tempat
tidurnya, tutuplah tirai dan katakan kepada yang lain
bahwa Xu Xian sedang sakit, agar tak seorang pun
mengganggunya. Bila dalam waktu tiga hari aku tidak
kembali, umumkanlah bahwa Xu Xian telah
meninggal dunia. Baru setelah itu kita pikirkan lagi
rencana kita selanjutnya."
"Tetapi bila dalam waktu tiga hari engkau tidak
kembali, di manakah aku harus mencarimu?" tanya
Xiao Qing sambil menangis.
"Ke mana lagi, Adik" Kalau dalam tiga hari aku
tidak kembali berarti aku telah tertangkap atau
terbunuh oleh para penjaga rumput itu. Dengan kata
lain, aku telah mati."
Air mata meleleh di pipi Xiao Qing. Ia berdiri kaku
tak bergerak. "Jangan menangis, Adik," kata Bai Su-zhen.
"Sekarang ambilkan aku dua bilah pedang."
"Ya! Kau harus membawanya untuk melindungi
dirimu," kata Xiao Qing. "Berhati-hatilah, jumlah
mereka sangat banyak. Aku khawatir kau kehabisan
tenaga. Jadi sebaiknya hindari perkelahian dan
simpan tenagamu." "Aku tahu," kata Bai Su-zhen dengan tenang.
Setelah menyeka air matanya, Xiao Qing pergi
mengambil sepasang pedang mustika untuk
kakaknya. Bai Su-zhen menyisir rambutnya dengan cepat,
lalu mengikatnya dengan kain sutera putih. Untuk
melindungi dadanya, ia memakai kain putih
berkancing-kancing. Di pinggangnya ia melilitkan
sehelai selendang putih dan mengikat kedua pedang
itu di punggungnya. Setelah memeriksa segala
perlengkapan di depan cermin, ia berkata kepada
Xiao Qing. "Beres! Aku berangkat sekarang. Jaga rumah kita
dengan baik." "Hati-hati," kata Xiao Qing.
Bai Su-zhen memandang Xu Xian, dan berdoa
sejenak untuk kesembuhannya.
"Aku akan mengambil rumput itu untuk
menyembuhkanmu, Suamiku. Mungkin engkau
menyesal telah mengambil diriku sebagai istrimu
Tetapi, lihat apa yang masih dapat kita lakukan nanti
setelah rumput itu kuperoleh. Kau tak akan
menduganya." Ketika melangkah ke luar rumah, air mata Bai Suzhen
menetes lagi. "Cepatlah pergi," kata Xiao Qing. "Semakin cepat
pergi, akan semakin cepat pula kau kembali."
"Doakan aku," pesan Bai Su-zhen pula.
Dalam sekejap ia telah menghilang dari
pandangan. BAB 9 ersebutlah sebuah pegunungan yang sangat
terkenal, E Mei namanya. Pegunungan itu terletak
di bagian barat daya propinsi Sizhou. Puncakpuncaknya
saling berhimpitan, sementara di
lerengnya terdapat gua-gua besar yang dalam. Untuk
mendaki hingga ke puncaknya, dibutuhkan waktu
sekurang-kurangnya dua hari dua malam.
Suhu di puncak gunung sangat dingin. Di musim
panas pun, orang harus memakai baju tebal yang
hangat. Dan karena cuacanya itu, hanya pohon
pinus, cemara, dan beberapa jenis bunga saja yang
dapat tumbuh di sana. Di hutan hanya beberapa
jenis burung yang sanggup bertahan hidup. Tak
mengherankan bila tak seorang manusia pun sudi
menjejakkan kakinya di tempat itu. Pada hari-hari
paling dingin di musim salju, air hujan langsung
menjadi bongkahan-bongkahan es.
Dari pegunungan inilah Bai Su-zhen berasal. Di


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suatu tempat yang terpencil di daerah itu, terdapat
sebuah gua besar, yang dikenal dengan nama Gua
Awan Putih. Bai Su-zhen lahir dalam bentuk seekor
ular putih. Namun selama ribuan tahun, binatang ini
tak pernah mengganggu siapa pun. Di tempat ini pula
Bai Su-zhen mempelajari ilmu sihir. Setelah belajar
dengan tekun dalam waktu yang cukup lama,
akhirnya ia menjelma menjadi seorang wanita muda
yang sangat cantik. Pada suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan, Bai
T Su-zhen bertemu dengan Rui Zhi, peri yang memiliki
ilmu sihir yang sangat tinggi. Bai Su-zhen tahu
bahwa peri itu memiliki kesaktian yang tak
tertandingi. Karena itu ia bermaksud mendatanginya.
Setelah berkenalan, Rui Zhi menanyakan asalusulnya.
Cerita Bai Su-zhen membuat peri itu merasa
terkesan, sehingga Bai Su-zhen pun diterima menjadi
muridnya. Sejak saat itu Bai Su-zhen mempelajari berbagai
macam ilmu sihir, seperti cara menguasai hujan dan
angin; cara mengubah diri menjadi bermacam-macam
bentuk. Dari Rui Zhi, Bai Su-zhen juga mendengar
berbagai cerita tentang kehidupan manusia di dunia.
Ia merasa tertarik dan mulai berangan-angan untuk
meninggalkan gunung sepi yang telah menjadi tempat
tinggalnya selama ribuan tahun. Ia ingin pergi
melihat dunia ramai. Pada suatu malam, saat langit cerah diterangi
sinar bulan, hati Ular Putih sedih karena kesepian.
Karenanya ia memutuskan untuk berjalan ke luar
dari guanya. Di langit, tampak sebuah bola raksasa
yang memancarkan sinar kehijauan. Ia tahu bahwa
itu adalah adiknya, Ular Hijau, yang sedang asyik
berlatih Tari Pedang. Ketika dilihatnya Ular Putih
datang, Ular Hijau segera berhenti menari.
"Sudah larut malam!" kata Ular Putih kepada
adiknya. "Kau terlalu rajin berlatih. Tidakkah engkau
merasa lelah?" "Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya merasa
bosan tinggal di tempat ini. Terlampau sepi bagiku!
Dan karena tidak ada kesibukan apa pun, maka aku
berlatih menari," jawab Ular Hijau. "Kebetulan
sekali," kata sang kakak pula. "Tak tahu mengapa,
aku juga merasa bosan."
"Bagaimana kalau kita turun gunung dan
bersenang-senang di sana?" usul Ular Hijau.
Dengan hati gembira Ular Putih menerima usul
adiknya. Lalu keduanya pergi ke Jiangnan, tempat Xu
Xian tinggal. Di sanalah awal mula cerita tentang Bai
Su-zhen dan Xiao Qing. Saat itu, ketika Bai Su-zhen sang jelmaan Ular
Putih tiba di puncak Gunung Kun Lun untuk mencari
obat untuk Xu Xian, ia teringat akan rumah lamanya.
Ingin rasanya ia menangkap awan lalu pergi
berkunjung ke tempat itu.
Namun hal itu tak mungkin dapat ia lakukan,
karena waktunya sangat terbatas. Ia melihat
gumpalan awan di kejauhan yang menutupi ceruk
bukit. Ia segera tahu bahwa di tempat itu tinggal Peri
Tua dari Kutub Selatan. Karena itu ia harus lebih
berhati-hati. Tetapi dari bunyi gesekan pohon dan
angin yang berhembus, ia segera tahu bahwa tidak
ada seorang pun di sana. Jejeran pohon pinus berdiri berhadap-hadapan,
menuju puncak dua buah gunung yang letaknya
berdampingan. Di puncaknya terdapat pohon-pohon
cemara dan bambu. Di sanalah tempat para peri
berdiam. Bai Su-zhen berjalan mendekati puncak gunung
lalu bersembunyi di bawah sebuah pohon pinus yang
tinggi. "Jadi di sinilah istana Peri Tua dari Kutub
Selatan," kata Bai Su-zhen di dalam hati. "Akan
segera kutemui dia, lalu kuceritakan semua
kesulitanku kepadanya. Aku akan memohon agar ia
berkenan memberi Rumput Abadi kepadaku. Kalau ia
merasa kasihan, ia pasti akan memberikan rumput
yang kuminta. Namun, bila ia sedang sibuk, atau
seandainya ia juga tak berani memberikan rumput
itu kepadaku tanpa izin dari para dewa yang lebih
tinggi, maka semua usahaku akan sia-sia," pikir Bai
Su-zhen. Akhirnya ia memutuskan untuk mencuri rumput
itu. "Bila di kemudian hari mereka menanyaiku, aku
akan mengaku bersalah. Tetapi setidaknya, pada saat
itu, Xu Xian sudah hidup kembali."
Bai Su-zhen mulai merayap ke arah gua. Ia harus
menemukan tempat rumput itu tumbuh. Pada saat ia
merayap ke arah depan istana, ia melihat tiga penjaga
sedang asyik bercakap-cakap.
Ia menduga rumput yang dicarinya tidak mungkin
tumbuh di sana. Ia tahu tak jauh dari air terjun
terdapat sebuah lubang yang sangat besar. Ia akan
masuk lewat lubang itu, dengan demikian penjaga
tidak akan melihatnya. Cucuran air dari air terjun jatuh ke dasar lubang
dan membentuk sebuah kolam kecil. Dinding
kolamnya yang tinggi ditumbuhi lumut yang tebal.
Bai Su-zhen bergerak perlahan-lahan, agar
kehadirannya tidak terdengar oleh peri penjaga awan.
Ia lalu memanjat ke tempat yang lebih tinggi dan
memandang ke sekitarnya. Dari tempat itu, ia melihat
sebuah istana bertingkat dua yang terletak di sebuah
dataran luas. Di sekelilingnya berdiri dua bukit dan
pohon-pohon pinus. Bai Su-zhen perlahan-lahan memanjat sebatang
pohon pinus yang besar agar dapat memandang lebih
jelas ke sekitarnya. Gedung istana terbagi dua,
berdiri berhadap-hadapan, dipisahkan oleh pelataran.
Di pelataran tumbuh berbagai bunga dan rumput
yang aneh. Di suatu bagian khusus, tumbuh sejenis
rumput berbentuk jamur. Rumput itu panjangnya
sekitar sepuluh hingga dua belas senti meter. Itulah
Rumput Abadi yang dicari Bai Su-zhen.
Bila dilihat dari tempat tumbuhnya, tampaknya
rumput itu tidak berbeda dengan rumput-rumput
lainnya. Namun, rumput ajaib itu memiliki bau tajam
yang khas. Jadi, siapa pun yang membawa atau
mencuri rumput itu, pasti akan segera tertangkap
basah. Ketika Bai Su-zhen sedang mengatur rencana
selanjutnya, ia mendengar seseorang berteriak.
"Hari sudah mulai gelap. Karena hari ini ada
perayaan Perahu Naga, para makhluk halus pasti
sedang bersembunyi dan tak mungkin datang kemari.
Aku ingin berjalan-jalan sebentar. Jadi, jagalah
tempat ini. Berhati-hatilah."
"Baiklah, jangan khawatir," yang lain menjawab.
Kemudian Bai Su-zhen melihat seorang peri muda
pergi mengendarai awan, sementara yang seorang lagi
datang menggantikan tugasnya menjaga istana.
Agaknya karena melihat situasi aman, sang penjaga
segera kembali ke belakang.
Bai Su-zhen mengenali mereka. Mereka adalah
Bangau Putih yang baru saja pergi dan Rusa Kuning.
Karena takut terlihat, Bai Su-zhen pun langsung
merapatkan tubuhnya ke batang pohon.
Ketika hari mulai gelap sebuah kristal tampak
melayang ke luar dari gua ke arah pelataran. Tepat di
atas Rumput Abadi bola kristal itu berhenti.
Bai Su-zhen memutuskan untuk secepat mungkin
mengambil Rumput Abadi, memanfaatkan longgarnya
penjagaan. "Seandainya Rusa Kuning muncul dengan tibatiba,
ia akan segera kubereskan agar tidak membuat
keributan," katanya dalam hati.
Bai Su-zhen melompat turun dari pohon. Ia
mencabut beberapa helai yang kemudian ia
sembunyikan di balik bajunya. Selama beberapa
detik, ia menenangkan diri untuk mengawasi situasi
di sekitarnya. Setelah yakin keadaan cukup aman, ia
pun segera berlari sekencang-kencangnya
menyeberangi pelataran. Tetapi begitu ia akan
meloncat terbang ke awan, terdengar bentakan di
belakangnya. "Ular tak tahu malu. Berani benar engkau datang
ke mari dan mencuri harta pusaka kami!"
Bai Su-zhen menghunus pedangnya. Ia melihat
Rusa Kuning datang mengejar dan serta merta
menusukkan pedangnya begitu mereka saling
berhadapan muka. Sambil menangkis tusukannya Bai Su-zhen
berseru, "Oh, Yang Abadi, tolonglah aku. Aku ingin
mengajukan suatu permintaan."
"Apa yang kauinginkan, pencuri?" sahut Rusa
Kuning dengan nada geram.
"Aku menikahi seorang manusia bernama Xu Xian
di Hangzhou dan sangat mencintainya. Kami
kemudian pindah ke Suzhou berjualan obat-obatan
dan hidup berbahagia. Tetapi hari ini, saya telah
minum anggur yang sangat keras. Akibatnya, saya
kehilangan kesadaran dan kembali ke bentuk semula.
Begitu melihat saya, Xu Xian sangat ketakutan
hingga tak bernafas lagi dan mati. Dalam keadaan
panik saya teringat akan Rumput Abadi. Saya tahu,
kalau saya berhasil mengambilnya dan
memberikannya kepada suami saya, ia akan hidup
kembali. Tolong, kasihanilah saya."
"Apakah engkau sudah mendapat izin?" kata Rusa
Kuning tetap bersikeras. "Saya...," Bai Su-zhen tergagap-gagap.
"Jadi, jelas sekarang. Engkau adalah pencuri!"
hardik Rusa Kuning. "Kesalahanmu sungguh tak
dapat dimaafkan. Oleh karenanya terimalah ini!" Ia
mengangkat pedangnya untuk menebas tubuh Bai
Su-zhen. Namun, Bai Su-zhen berhasil mengelak.
"Saya akan menanyakannya kepada Dewa
Tertinggi. Mudah-mudahan ia mau mengerti."
"Engkau telah mencuri rumput ajaib itu," jawab
Rusa Kuning. "Mengapa masih ingin menemui Dewa
Tertinggi" Kalau kau tidak ingin kulukai dengan
pedangku ini, segeralah lari dari tempat ini!" ancam
Rusa Kuning pula. Untuk yang ketiga kalinya, Rusa Kuning berusaha
menebas tubuh Bai Su-zhen. Tetapi Bai Su-zhen
berhasil melompat dan menghindar."Ini adalah
pukulanmu yang ketiga," ejek Bai Su-zhen dengan
nada marah. "Tetapi ternyata aku masih hidup, dan
tak akan membiarkan dirimu melakukan tebasan
yang selanjutnya." Rusa Kuning tidak menjawab. Ia segera
mengangkat pedangnya lagi. Dalam hati Bai Su-zhen
berkata, "Penjaga ini sebenarnya tidak bersalah.
Tetapi, aku terburu-buru dan tak dapat lagi
membuang-buang waktu. Aku terpaksa harus
membunuhnya." Lalu secepat kilat ia menusuk Rusa Kuning dengan
pedangnya, tepat menembus leher kanannya. Dengan
mengerang panjang, Rusa Kuning jatuh terpuruk.
Bai Su-zhen memandang ke atas. Ia melihat
seorang peri berpakaian putih turun dari langit
sambil menghunus pedang. Ia adalah Bangau Putih.
Bai Su-zhen segera menyambutnya dan berkata, "Oh,
Yang Abadi, bukan saya yang memulai perkelahian
ini." Bangau Putih tertawa dingin.
"Sejak tadi saya melihatmu, bahkan ketika engkau
tengah mengambil rumput. Perbuatanmu tidak dapat
dimaafkan. Bersiaplah untuk menghadapi ajalmu."
Bangau Putih mengangkat pedangnya, sementara
Bai Su-zhen bersiap-siap menghindar. Ia tahu bahwa
ilmu silat Bangau Putih yang telah dipelajari selama
lebih dari dua ribu tahun akan mendatangkan
kesulitan baginya. Apalagi menghadapi sapuan
pedangnya yang cepat laksana kilat.
Belum lama mereka bertempur, tiba-tiba Bangau
Putih terbang ke langit dan menjelma menjadi seekor
bangau raksasa, semakin lama semakin besar.
Kepala dan paruhnya yang besar dan panjang
berusaha mati-matian mematuk Bai Su-zhen.
Menyadari bahaya yang tengah ia hadapi, Bai Suzhen
segera bersiap-siap untuk berlindung.
Pada saat itu sebuah suara terdengar menggema
dari balik pepohonan. "Jangan bunuh ia. Biar aku mempertimbangkan
kesalahannya." Bangau itu segera menghentikan serangannya.
Kemudian tampak seorang tua melompat turun dari
sebuah pohon pinus. Rambutnya yang putih diikat ke
atas dengan pita biru. Bajunya berwarna kuning dari
bulu-bulu burung. Alis matanya sangat panjang
hingga hampir menutup kedua matanya. Jenggotnya
yang putih menjuntai panjang hingga ke dada. Ia
adalah Peri Tua dari Kutub Selatan. Setelah
mengambil pedang Bai Su-zhen dan
menyembunyikannya di belakang punggungnya ia
pun berkata, "Berlututlah!"
Bai Su-zhen berlutut memberi hormat, lalu
bergerak mendekati Peri Tua. Dengan telunjuk
terarah kepada Bai Su-zhen, Peri Tua berkata dengan


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara penuh wibawa, "Karena telah terbukti mencuri
Rumput Abadi, kau harus dihukum."
Dengan sedih Bai Su-zhen menundukkan
kepalanya. "Saya tak dapat lagi menahan diri begitu
melihatnya. Suami saya meninggal karena ia
ketakutan melihat bentuk saya yang sebenarnya,
sehingga mendorong saya untuk mencurinya. Dan
karena tidak dapat lagi membuang-buang waktu,
saya tidak lagi peduli bahwa rumput ini dijaga
sedemikian ketat. Itulah sebabnya saya tertangkap
oleh Bangau Putih dan Rusa Kuning. Kini hidup saya
sepenuhnya berada di tangan Yang Tertinggi, dan
saya menunggu keputusannya."
Begitu menyelesaikan kata-katanya, Bai Su-zhen
menangis tersedu-sedu. Badannya berguncang keras,
sehingga beberapa helai rumput terjatuh dari balik
bajunya. Peri Tua memandangnya iba.
"Mengapa engkau menangis?"
Pertanyaan ini membuat Bai Su-zhen semakin tak
mampu menahan tangisnya. "Tanpa sengaja saya telah membunuh Xu Xian.
Kalau saya berhasil memberikan rumput ini
kepadanya, ia akan hidup kembali. Itulah yang
mendorong saya untuk datang kemari. Saya
pertaruhkan nyawa untuk mendapatkannya. Asalkan
Xu Xian dapat hidup kembali, saya bersedia
mengakui kesalahan dan menerima hukuman. Tetapi
kini, karena saya pun tertangkap, berarti Xu Xian
tidak dapat pula diselamatkan. Semua usaha
ternyata sia-sia." Peri Tua mengibaskan tongkatnya dan berkata
dengan lembut. "Kau telah berkata jujur. Aku terharu dan bersedia
memaafkan semua kesalahanmu. Kau boleh memiliki
rumput yang telah kauambil."
Bai Su-zhen menyeka air matanya dan
mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Peri
Tua. Ia segera meninggalkan tempat itu dan pulang
mengendarai awan. Setiba di rumah, ia bergegas masuk ke dalam
kamar. Dilihatnya Xiao Qing duduk dan memandangi
tubuh Xu Xian. Bai Su-zhen segera meletakkan
rumput itu di atas meja. Ketika baunya tercium, Xiao
Qing segera tahu bahwa kakaknya telah tiba. Ia
langsung berdiri menyambutnya dengan gembira.
"Kakak telah kembali!" teriaknya. "Jadi kakak
berhasil mendapat rumput itu?"
"Lihat ini," jawab Bai Su-zhen sambil
memperlihatkan Rumput Abadi kepada Xiao Qing.
"Apakah para pegawai tidak mengatakan sesuatu
tentang Xu Xian?" "Kukatakan kepada mereka bahwa Xu Xian sedang
sakit. Semua percaya. Bagaimana Kakak berhasil
mendapat rumput itu?"
Bai Su-zhen tidak menjawab. Ia memandang tubuh
Xu Xian yang telah terbujur kaku dan kedua matanya
tertutup rapat. Kemudian sambil menarik napas dalam-dalam Bai
Su-zhen berkata, "Aku hampir saja tidak dapat
kembali. Nanti akan kuceritakan semuanya.
Sekarang tolong jaga dia. Aku harus lebih dulu
meramu obat ini." Bai Su-zhen menyerahkan pedangnya kepada Xiao
Qing, lalu bergegas membawa rumput ke dapur.
Sekitar setengah jam kemudian, ia kembali membawa
sebuah cangkir porselin dan sebuah sendok. Xiao
Qing menerangi wajah Xu Xian dengan lilin, agar Bai
Su-zhen dapat memasukkan obat itu ke dalam mulut
Xu Xian. Beberapa saat kemudian, Xu Xian mulai bernapas
lagi. Karena kegirangan Bai Su-zhen tak dapat
berkata-kata. Ia hanya berdiri di samping tempat
tidur sambil memandang Xu Xian yang perlahanlahan
tersadar kembali. "Kau benar-benar membuatku mati ketakutan,"
kata Xu Xian. "Suamiku, engkau pingsan. Apa yang terjadi?"
tanya Bai Su-zhen. Xu Xian memperhatikan Bai Su-zhen. Karena
ternyata istrinya tidak berubah sedikit pun, Xu Xian
pun berpikir, dari mana datangnya ular putih besar
itu. "Ketika aku membawakan obat untukmu, aku
melihat seekor ular besar berwarna putih melingkar
di atas tempat tidur. Sungguh menyeramkan."
"Ketika kau masuk membawa obat, aku sedang
pergi ke belakang. Ketika kudengar teriakanmu, aku
segera berlari ke luar dan melihat kau tergeletak di
lantai. Dan ketika tempat tidurnya kuperiksa,
ternyata di sana ada seekor ular yang amat besar.
Lalu kuambil pedang dan kubunuh ular itu.
Bangkainya dibuang oleh Xiao Qing. Kalau kau tak
percaya, sekarang benda itu tergantung di pohon
halaman belakang. Kaudapat melihatnya sekarang
juga," kata Bai Su-zhen.
Sambil berbicara kepada Xu Xian, secara diamdiam
Bai Su-zhen memberikan isyarat kepada Xiao
Qing. "Jadi, binatang itu telah kaubunuh?" sahut Xu
Xian dengan wajah penuh kelegaan. "Boleh aku
melihatnya" Di mana bangkai binatang keparat itu?"
"Engkau ingin melihatnya sekarang?" tanya Xiao
Qing agak terkejut. "Ya! Karena sudah sehat kembali, aku ingin
melihatnya agar pikiranku tenang. Kau tak perlu
memapahku. Aku sanggup berjalan sendiri." Xu Xian
berdiri dan memakai sepatunya. Sementara itu, Xiao
Qing mengambil sebuah lilin. Lalu diajaknya Xu Xian
menuju halaman belakang. Bai Su-zhen segera membuka jendela ruang
belakang. Kemudian ia menggantungkan sehelai
selendang putih di sebuah pohon. Setelah
mengucapkan beberapa mantra, ia menutup lagi
jendela itu. Tak lama kemudian, Xu Xian dengan wajah
terkejut kembali ke kamar bersama Xiao Qing.
"Ya, benar! Itulah ularnya," katanya. "Bagaimana
kaudapat membunuhnya sekali pukul?"
"Ketika ayahku masih hidup, ia mengajar kami
ilmu silat. Tentu saja kubunuh ular itu dengan ilmu
silat yang kumiliki," katanya menerangkan.
"Aku tak mau tinggal di rumah ini lagi," kata Xu
Xian dengan rasa jijik. "Mengapa?" tanya Bai Su-zhen.
Sambil mundur beberapa langkah, Xu Xian
menunjuk tempat tidur. "Aku takut. Tidakkah kau
merasa khawatir bila ada ular masuk ke tempat tidur
ini?" "Apa lagi yang ditakutkan?" tanya Xiao Qing.
"Bukankah ular itu sudah mati sekarang?"
"Ya. Tetapi, ular lain dapat saja datang ke sini,"
bantah Xu Xian. "Benar juga," kata Bai Su-zhen. "Sebaiknya kita
pindah saja ke lantai atas di gedung sebelah."
Sekalipun telah melihat sendiri bangkai ularnya,
Xu Xian masih saja memikirkan kata-kata Fa Hai.
Memang di atas tempat tidurnya benar-benar ada
seekor ular. Tetapi ular itu sudah mati. Berarti Bai
Su-zhen bukanlah ular itu. Tanpa disadarinya,
badannya bergetar. "Mengapa Engkau gemetar?" tanya Bai Su-zhen
khawatir. "Aku masih ngeri memikirkan kejadian sore tadi."
"Jangan takut. Bukankah kita selalu
menemanimu. Jika kau takut tidur di sini. Tidurlah
di tempat lain," kata Bai Su-zhen.
Xu Xian membiarkan Bai Su-zhen membantunya
berbaring Tetapi selama itu, ia tak berhenti
mengawasi semua perbuatan Bai Su-zhen dan Xiao
Qing. Sekalipun dari luar mereka seperti manusia
biasa, namun Xu Xian masih saja merasa takut.
Kata-kata pendeta itu senantiasa terngiang-ngiang di
telinganya. Ular itu ternyata benar-benar ada, tetapi
istrinya telah membunuh binatang itu! Fa Hai tidak
bohong. Di rumah itu benar-benar ada roh ular. Xu
Xian menjadi ngeri. "Agaknya ia belum pulih benar," kata Bai Su-zhen
kepada adiknya. "Xiao Qing, kita berdua harus
menjaganya. Apakah sebaiknya kuceritakan apa yang
terjadi ketika aku mengambil rumput ajaib?"
Bai Su-zhen duduk di samping Xiao Qing dan
menceritakan pengalamannya. Tentu saja ia tidak
menyinggung tentang teriakan peri-peri yang
memanggilnya "Roh Ular".
Karena ikut mendengarkan tiba-tiba Xu Xian
bangkit lalu duduk di tempat tidurnya, "Istriku, kau
benar-benar hebat. Kalau saja kau tidak menolongku,
aku pasti sudah tidak bernyawa lagi. Betapa
besarnya hutang budiku kepadamu. Terima kasih!"
Dan ketika kemudian ia akan berlutut memberikan
hormat, Bai Su-zhen segera menariknya kembali.
Melihat adegan itu, Xiao Qing tak dapat menahan
tawa. BAB 10 etelah mendengar cerita Bai Su-zhen, Xu Xian
merasa lega dan langsung tertidur. Keesokan
harinya, ia terbangun pagi sekali. Kegiatan di tokonya
berlangsung seperti biasa. Bai Su-zhen memindahkan
barang-barang mereka ke lantai atas. Walaupun toko
sibuk, Bai Su-zhen tetap sanggup mengatasinya.
Ketika Xu Xian sedang bekerja di kantornya tibatiba
ia mendengar seseorang berteriak di luar.
"Demi dewa-dewa, apakah majikanmu ada di
rumah?" Melihat Fa Hai yang datang, Xu Xian segera keluar
menyambutnya. Fa Hai memutar-mutar tongkatnya
dan berkata, "Kita tidak dapat berbicara di sini.
Sebaiknya kita berbicara di balik dinding itu."
Karena tak mau menyinggung perasaan Fa Hai, Xu
Xian menuruti saja usul Fa Hai.
"Apa yang akan Tuan bicarakan kepadaku?"
Fa Hai tersenyum, "Istrimu benar-benar telah
minum anggur itu?" "Ia mulanya menolak minum, namun akhirnya ia
minum juga segelas."
"Lalu?" tanya Fa Hai.
"Ia mengeluh kurang enak badan, dan menyuruh
saya meninggalkannya sendirian, karena ia ingin
berbaring-baring. Ketika saya lihat ia sakit, saya pergi
mengambil obat. Dan karena saya berpikir ia masih
berada di tempat tidur, jadi saya sibakkan kelambu.
Ternyata di atas tempat tidur melingkar seekor ular
S putih yang sangat besar. Saya menjerit dan jatuh
pingsan." Fa Hai berkata, "Aku tidak membohongimu,
bukan?" "Ya! Tetapi istri saya mengatakan bahwa ia telah
membunuh ular itu. Karena melihat saya terbujur tak
bernapas lagi, ia lalu pergi ke sebuah gunung yang
terpencil untuk mengambil sejenis rumput yang
dapat menghidupkan orang meninggal. Berkat
pertolongannya, saya dapat hidup kembali."
Fa Hai tertawa terbahak-bahak. "Cerita itu tidak
seluruhnya benar, karena ular yang kaulihat itu
sesungguhnya adalah bentuk asli istrimu. Tetapi
cerita bahwa ia membunuh ular itu hanyalah bohong
belaka." "Tak mungkin!" teriak Xu Xian. "Saya sudah
melihat sendiri bangkainya itu. Kepalanya terbelah."
"Itu adalah hasil ilmu sihir roh jahat itu. Benda
yang kaulihat sesungguhnya bukan ular, tetapi
hanya sehelai selendang. Bai Su-zhen-lah ular itu.
Suatu hari seseorang pasti akan membunuhnya,"
ramal Fa Hai. "Selendang?" kata Xu Xian tak percaya. "Jadi cerita
bahwa ia pergi ke gunung dan mencuri rumput itu
juga tidak benar?" "Mengenai hal itu ia tidak berdusta. Sebenarnya
maksudku datang ke mari untuk mengajakmu
menjadi pendeta. Karena istrimu adalah roh ular,
sebaiknya tinggalkan saja dia!"
"Tuan berbicara seakan-akan ia berbahaya bagi
orang banyak," protes Xu Xian. "Padahal ia tidak
pernah menyakiti siapa pun. Jadi, mengapa saya
harus meninggalkannya?"
Fa Hai tertawa mengejek, "Ternyata engkau
sungguh-sungguh bodoh. Manusia adalah manusia,
tetapi iblis berbeda. Tampaknya ia tidak
membahayakan sekarang, tetapi lain kali, ia akan
menyakitimu. Dengan demikian kalian tidak akan
saling menyakiti." Namun karena Xu Xian tidak pernah bercita-cita
menjadi pendeta, ia pun segera menjawab, "Biar saya
mempertimbangkannya terlebih dahulu."
"Aku tahu, kau pasti akan menolak," kata Fa Hai.
"Tetapi, setelah nanti kaulihat keahlian para pendeta
Budha..."

Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fa Hai melempar tongkatnya ke tanah. Tiba-tiba
tongkat itu berubah menjadi seekor naga besar
berwarna keemasan. Kemudian ia mengibaskan
jubahnya, dan segera meloncat ke atas punggung
naga itu sambil berkata, "Aku akan kembali dalam
sepuluh hari lagi untuk mendengar jawabanmu."
Dalam sekejap, pendeta dan naga itu terbang ke
langit dan hilang dari pandangan. Xu Xian berdiri
terpaku tak mampu berkata-kata. Kemudian ia
kembali ke tokonya tanpa mengatakan sesuatu.
Tiga hari kemudian, Xiao Qing mendatangi Xu Xian
dan berkata bahwa Bai Su-zhen memanggilnya.
"Katakan aku sedang sibuk," kata Xu Xian. "Aku
harus menyelesaikan hitungan ini dahulu. Aku akan
segera datang, setelah pekerjaan ini selesai."
"Mari kubantu menyelesaikannya," kata Ma Zihou.
"Jika Bai Su-zhen ingin membicarakan sesuatu
sebaiknya kau datang secepatnya."
Ketika Bai melihat Xu Xian datang, Bai Su-zhen
berseru, "Tampaknya kau sangat sibuk semenjak dua
hari terakhir ini!" Xu Xian menjawab, "Sejak perayaan kemarin,
neraca keuangan belum juga seimbang. Adakah
sesuatu yang ingin kaubicarakan?"
"Sejak perayaan hari itu, kita belum pernah makan
bersama. Bagaimana kalau malam ini kita makan
bersama" Aku sudah menyiapkan makanan."
"Saranmu baik sekali!" kata Xu Xian.
Xiao Qing tersenyum penuh arti. Bai Su-zhen lalu
mengajak Xu Xian ke ruang makan. Segala macam
makanan telah terhidang di atas meja.
"Mari kita makan! Mumpung makanannya masih
panas," kata Xu Xian.
Xiao Qing berkata, "Xu Xian, lihatlah betapa
baiknya istrimu. Ia mengajak dan menungguimu
makan. Jika kau tidak datang, ia pun tidak ingin
makan. Bukankah itu sia-sia?"
"Ya, betul," jawab Xu Xian. "Dan kau Xiao Qing,
kau tidak ingin makan bersama kami?"
Xiao Qing segera duduk berhadap-hadapan dengan
Bai Su-zhen, sedangkan Xu Xian duduk di ujung
meja. Ketika Bai Su-zhen menuangkan anggurnya ke
dalam gelas Xu Xian, dilihatnya Xu Xian hanya
meneguknya sedikit. Ia pun tak makan dengan lahap.
"Apakah engkau sakit, Suamiku?"
"Tidak," jawab Xu Xian.
"Biar kuterka. Kau masih mencurigaiku, bukan?"
tuduhnya "Tidak juga," kata Xu Xian.
"Kau bohong," sembur Xiao Qing. "Coba jawab
pertanyaanku. Apa yang dikatakan pendeta itu
kepadamu?" "Hm... Ia..." jawab Xu Xian terbata-bata.
"Apa katanya?" kata Bai Su-zhen tak sabar.
Xu Xian meletakkan sumpitnya dan menunduk
memandang meja. Xiao Qing meneruskan katakatanya.
"Ia pendeta dari Biara Gunung Emas,
namanya Fa Hai, bukan?"
Mendengar perkataan Xiao Qing, Xu Xian berhenti
menyuap. Dipandangnya Xiao Qing.
"Ya..." jawabnya perlahan.
"Aku yakin ada hal penting yang ingin
dibicarakannya kepadamu," lanjut Bai Su-zhen.
"Kalau tidak, tentunya ia tidak akan datang dua kali
ke sini." "Ia menyuruhku menjadi pendeta, sahut Xu Xian.
Tetapi kukatakan kepadanya bahwa aku tidak ingin
meninggalkanmu," aku Xu Xian. Mendengar kata Xu
Xian, Bai Su-zhen menangis.
Dan ketika dilihatnya kakaknya menangis, Xiao
Qing pun berdiri. Sambil menunjuk Bai Su-zhen ia
berkata, "Lihatlah kakakku! Cobalah berpikir
sebentar. Ketika kalian menikah, karena kau tak
punya uang sepeser pun, kakakku memberimu uang
agar kau dapat menikmati kehidupan yang lebih baik.
Karena engkau tak punya modal, kakakku
memberimu banyak uang sehingga kalian dapat
pindah ke Suzhou dan mendirikan sebuah toko yang
cukup megah. Tetapi semua kebaikannya itu
sungguh tidak sebanding dengan pengorbanannya
untuk menyembuhkanmu. Hanya untuk mencari
obat bagimu, ia rela mendaki gunung dan
mempertaruhkan nyawanya. Dan akhirnya ia
berhasil. Kau pasti juga tahu, tidak banyak istri yang
bersedia berkorban bagi suami seperti yang telah ia
lakukan. Aku yakin seluruh dunia, bahkan hantu
dan dewa-dewa pun akan menangis mendengar
kisahnya." Kata-kata Xiao Qing sungguh-sungguh mengena di
hati Xu Xian. Tetapi ketika ia ingin minta maaf, Bai
Su-zhen segera menarik tangannya dan berkata.
Kalau ada sesuatu yang harus kauceritakan
kepadaku, duduklah dan ceritakan semuanya. Tetapi
jangan merendahkan dirimu seperti ini.
Xu Xian membalikkan tubuhnya dan
membungkuk tiga kali kepada Xiao Qing.
"Kata-katamu membuat hatiku benar-benar
terharu. Aku malu! Aku berjanji tak akan pernah lagi
mendengarkan kata-kata pendeta itu."
Xiao Qing tertawa, "Sekarang ceritakan kepada
kami apa yang telah dikatakannya kepadamu!"
"Ia berkata bahwa kakakmu adalah seekor ular
putih yang menyamar. Dan kau..." kata Xu Xian
terbata-bata. "Ya...?" desak Xiao Qing
"Bahwa engkau sesungguhnya adalah seekor ular
hijau yang juga sedang menyamar."
Xiao Qing tak dapat menahan tawanya. Ia
memandang Bai Su-zhen dan berkata, "Kalau benar
demikian, berarti kami berdua adalah roh jahat. Jadi
apa pengaruhnya bagimu, Xu Xian?"
"Suamiku," lanjut Bai Su-zhen bersungguhsungguh.
"Akan kuceritakan hal yang sebenarnya
kepadamu. Kami adalah dua wanita yang
mempelajari ilmu gaib selama hampir lebih dari
seribu tahun. Dengan pernikahan kita, sesungguhnya
aku telah melanggar Hukum Kayangan. Itu sebabnya
Fa Hai ingin merusak kebahagiaan kita. Padahal aku
tidak berkeinginan lagi mematuhi aturan untuk para
peri, dan aku sangat menikmati kehangatan hidup
berkeluarga." "Aku mengerti sekarang," kata Xu Xian. "Tak
mengherankan Fa Hai marah karena melihat aku
menikahimu." Kemudian ia berpaling kepada Xiao Qing, "Karena
kau telah mendalami ilmu gaib selama ratusan
tahun, mudah saja bagimu untuk mengikuti
kakakmu. Tetapi, bagaimana dengan aku" Karena
aku manusia biasa, dan aku tidak ingin kalian
tinggalkan." "Tetapi berjanjilah untuk tidak bercerita kepada
siapa pun tentang apa yang telah kami katakan
kepadamu," kata Xiao Qirig.
"Tentu saja," Xu Xian berjanji.
"Kekuatan Fa Hai sebanding dengan kekuatan
kita," kata Bai Su-zhen. "Tetapi kau tak perlu
khawatir. Bersembunyilah di dalam rumah, kami
berdua akan melindungimu. Nanti setelah bayi kita
lahir, kita akan mencari tempat tinggal baru agar Fa
Hai tidak mengganggu kita lagi."
Xu Xian merasa yakin akan kebenaran kata-kata
Bai Su-zhen. Ia lalu berjanji tidak akan mempercayai
kata-kata pendeta Fa Hai. "Aku percaya," kata Bai
Su-zhen. "Sekarang mari kita makan sementara
makanan masih hangat."
Rasa curiga dan keragu-raguannya sudah hilang
sama sekali. Ketiganya makan dengan gembira.
Malam itu Xu Xian tidur di samping istrinya. Mereka
berdua tampak sibuk bercakap-cakap dan tak
berhenti tertawa-tawa. "Xu Xian telah berubah," kata Xiao Qing kepada
kakaknya. "Ya. Ia sekarang benar-benar mempercayaiku.
Mudah-mudahan kita tidak terlalu keras kepadanya!"
"Karena sikapnya kepada kakak semakin baik, aku
juga akan berlaku baik kepadanya. Tetapi, kalau
nanti pikirannya berubah lagi, aku pun tak sudi...."
Ketika berbicara, Xiao Qing tak dapat
menyembunyikan rasa marahnya. Dahinya berkerut
dan alis matanya menyatu.
"Jangan terlalu keras hati," kata Bai Su-zhen. Ia
mencoba menenangkan Xiao Qing. "Xu Xian sangat
baik bila ia sedang bersamaku."
"Oh, kau memang terlalu mudah terpengaruh!
Bagaimana kalau ia membuatmu celaka untuk kedua
kalinya?" tanya Xiao Qing. Tetapi kemudian, ia segera
tersenyum lagi. Xu Xian sudah melupakan keragu-raguannya
terhadap Bai Su-zhen. Beberapa minggu telah
berlalu. Tetapi Xu Xian masih saja khawatir Fa Hai
akan datang kembali. Ia tak berani menerima tamu.
Suatu sore, ketika sedang duduk di lantai atas,
seorang pegawai tokonya menghampiri Xu Xian.
"Tuan Xu, ada seorang pendeta di bawah. Ia ingin
bertemu dengan anda."
"Ia kembali lagi," kata Xu Xian. "Aku tak berani ke
luar." Bai Su-zhen pun pergi ke luar dan bertanya
kepada pegawai itu, apa sesungguhnya yang
diinginkan sang pendeta. "Ia tidak mengatakan apa-apa," kata pegawai itu.
"Saya hanya melaksanakan perintah Tuan Xu untuk
melapor setiap kali ada pendeta yang datang."
"Lebih baik aku yang keluar menemuinya," kata
Bai Su-zhen kepada suaminya. "Kautunggu saja di
sini. Aku akan mengusirnya."
"Aku ikut," kata Xiao Qing dengan marah.
"Ilmu sihir Fa Hai sangat tinggi," kata Bai Su-zhen.
"Bila engkau keluar dan mengejeknya dengan katakata
tajammu itu, kita sendirilah yang akan susah.
Lebih baik engkau di sini saja menjaga Xu Xian, biar
aku yang keluar menyambutnya."
Ternyata yang datang hanyalah seorang pendeta
biasa. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Ia sedang
minum teh yang diberikan oleh si penjaga toko.
Karena telah mendalami ilmu gaib selama ribuan
tahun, Bai Su-zhen segera dapat mengetahui apakah
pendeta yang ia hadapi bukan pendeta yang
menyamar. Ternyata ia hanya seorang pendeta
pengembara yang tak sepantasnya dicurigai.
"Apakah Tuan memerlukan sesuatu?" tanya Bai
Su-zhen dengan ramah. Pendeta itu menoleh ke arah Bai Su-zhen. Karena
menyangka Bai Su-zhen adalah pemilik toko. Ia
segera meletakkan cangkirnya untuk memberi
hormat kepada Bai Su-zhen.
"Aku pendeta miskin dari Hebei," katanya.
"Tujuanku kemari ialah untuk meminta bantuan
memperbaiki biara kami. Aku bermaksud meminta
sedekah." "Tidak ada keperluan lain?" tanya Bai Su-zhen.
"Tidak! Hanya itu saja," jawab pendeta itu.
Bai Su-zhen lalu meminta Ma zi-hou untuk
memberi uang kepada pendeta itu. Setelah pendeta
itu pergi, Bai Su-zhen masuk kembali ke dalam
rumah. "Apa lagi yang diinginkan Fa Hai?" tanya Xu Xian
dengan cemas. "Kau tak perlu takut. Hanya seorang pendeta yang
ingin minta sedekah. Jadi kusuruh pegawai toko
melayaninya," kata Bai Su-zhen sambil tertawa.
"Jadi, ia bukan Fa Hai," kata Xiao Qing dengan
lega. "Sekalipun demikian, kita harus selalu
waspada." Bai Su-zhen menganggukkan kepalanya.
BAB 11 ada bulan Juni, kota Jiangnan sangat panas.
Karena panasnya, banyak orang lebih suka tidur
di lantai. Demikian pula Xu Xian. Hari itu ia
mengambil sebuah kasur yang lebar lalu dudukduduk
di halaman belakang. "Panas sekali," keluhnya. "Seandainya saja hujan
turun." "Kau kepanasan?" tanya Bai Su-zhen, "Mudahmudahan
sebentar lagi akan turun hujan lebat. Dan
setelah hujan berhenti, kita dapat berjalan-jalan."
"Tetapi lihatlah ke langit! Bersih. Tak ada
segumpal awan pun. Hujan tak mungkin turun," kata
Xu Xian. "Mana engkau tahu?" jawab Bai Su-zhen perlahanlahan,
lalu berjalan ke dalam. Tak lama kemudian, ia muncul lagi sambil
tersenyum. Di langit awan gelap mulai tampak. Hari menjadi
lebih sejuk oleh angin yang bertiup kencang. Sesaat
kemudian badai pun tiba dan hujan turun dengan
lebatnya. Xu Xian berdiri di dekat Xiao Qing dan Bai
Su-zhen, asyik memandang hujan. Tak lama
kemudian, hujan berangsur-angsur mereda.
Xu Xian tertawa gembira. "Semuanya terasa sejuk


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang. Bukankah kau tadi ingin berjalan-jalan,
Istriku?" "Aku ingin menyewa sebuah perahu agar kita
dapat pergi ke daerah Huqiu," usul Bai Su-zhen. "Dan
P pulangnya sebaiknya kita naik tandu, agar kaki tidak
basah." Mereka mengenakan pakaian yang rapi dan baru.
Pegawai toko disuruh memanggil tiga buah tandu
untuk mengantar mereka ke tempat penyewaan
perahu di Gerbang Chang. Dari sana, mereka bertiga
menyewa perahu dan pergi ke Huqiu, sebuah gunung
yang sepi dan terpencil, lewat sungai. Di sekeliling
gunung itu terdapat ribuan rumah penduduk.
Sedangkan di dataran yang landai, barisan pohonpohon
pinus dan bambu berdiri berjajar mengelilingi
sebuah pemakaman. Matahari mulai terbenam ketika Bai Su-zhen dan
Xiao Qing berjalan-jalan di halaman tanah
pekuburan. Karena enggan, Xu Xian berjalan-jalan
seorang diri tanpa setahu istri dan adik iparnya.
Rupanya Bai Su-zhen tidak menciptakan mahluk
halusnya untuk menjaga Xu Xian.
Tiba-tiba dua orang berpakaian kuning muncul di
samping Xu Xian dan memberi salam kepadanya.
"Tuan Xu, Fu Wei mengundangmu untuk
menemuinya." "Saya tidak kenal seseorang yang bernama Fu
Wei," kata Xu Xian heran.
"Kalau kau nanti melihatnya, pasti kau akan
mengenalnya," kata kedua orang itu.
"Tunggu dulu! Biar kupanggil dulu istriku. Nanti ia
akan kebingungan mencariku."
"Tak usah khawatir. Mereka juga diundang dan
keduanya sudah berada di sana."
"Di mana Fu Wei sekarang" Ia berada jauh dari
sini?" tanya Xu Xian.
"Sama sekali tidak," kata orang itu. "Itu dia di
sana." Mereka menunjuk ke arah barat.
Tiba-tiba Xu Xian telah berada di atas awan.
Barulah ia sadar bahwa ia ditipu. Ia berteriak, namun
tidak seorang pun mendengarnya. Dan ketika ia
mencoba lari, tangan-tangan memeganginya. Karena
takut terjatuh, Xu Xian tak berani membuka mulut
hingga mereka tiba di tempat tujuan.
Salah seorang penculiknya berkata, "Kita sudah
tiba. Bukalah matamu!"
Ia menurut dan membuka matanya. Pada saat itu
ia telah berada di halaman sebuah biara yang luas. Di
depannya berdiri Fa Hai. Xu Xian sangat terkejut
hingga tidak mampu berkata-kata.
"Kami telah berhasil membawanya ke mari," kata
salah seorang penculiknya, "Apa lagi yang harus kami
kerjakan?" "Cukup sekarang. Pergilah!" jawab Fa Hai.
Kedua orang itu tiba-tiba menghilang.
"Xu Xian," kata Fa Hai. "Apa pendapatmu tentang
kekuatan gaibku?" "Tuan," Kata Xu Xian merendah, "Karena saya
hanya manusia biasa, saya tak akan mampu
memahaminya. Saya tidak menyadari bahwa kedua
orang yang menangkap saya adalah anak buah Tuan.
Mereka baru berbicara tentang Fu Wei, dan tiba-tiba
saja saya telah berada di sini."
"Ular Putih dan Xiao Qing tidak akan mengira
bahwa kau telah pergi. Aku terpaksa menipumu
karena takut kau akan berteriak dan menggagalkan
rencanaku. Sebenarnya orang-orangku dapat saja
meringkusmu, tapi aku ingin memperlihatkan betapa
besarnya kekuatan sihirku. Kalau Xiao Qing
menemanimu ke mana-mana, aku tak dapat berbuat
apa-apa. Sekarang kau sudah di sini bersamaku,
Xiao Qing tak akan dapat lagi mengawasimu," Kata
Fa Hai dengan gembira. "Kemampuan Tuan sungguh hebat," kata Xu Xian.
"Izinkan saya pergi untuk menceritakannya kepada
mereka." "Apa?" tanya Fa Hai dengan mata membelalak.
"Kau ingin kembali" Sadarkah kau bahwa anak
buahku telah menerbangkanmu ke sini. Dan tahukah
kau berapa jarak dari Zhenjiang ke Suzhou?"
"Kira-kira seratus kilometer," jawab Xu Xian.
Fa Hai benar-benar tak menduga Xu Xian masih
berkeinginan kembali ke rumah istrinya.
"Maksudku, kau tidak takut kepada Ular Putih dan
Ular Hijau?" "Tak seorang pun mengira bahwa mereka adalah
ular yang menyamar. Istri saya sangat baik. Saya
tidak takut kepadanya."
"Kau tidak takut kepadanya. Tetapi baru-baru ini
kau hampir saja mati ketakutan. Dan kedatanganku
ke sini sesungguhnya dengan maksud
menyelamatkanmu." Xu Xian tertawa dingin. "Mengapa, mengapa waktu itu Tuan tidak datang
menolong saya" Sebaliknya, istri sayalah yang pergi
menyabung nyawa demi mencari obat untuk
menyembuhkan saya." Fa Hai tak dapat segera menjawab kata-kata Xu
Xian. Namun, dengan tenang ia berkata, "Sekarang
kau sudah selamat, dan akan menjadi pendeta di
biara kami. Mereka tidak akan berani datang ke sini
dan tidak akan pernah menemukan dirimu."
Xu Xian segera berlutut di hadapan pendeta Fa Hai
sambil mengiba-iba, "Pendeta saya mohon... Biarkan
saya pergi! Karena saya tidak pernah berminat ingin
menjadi pendeta Budha. Tak ada gunanya menahan
saya di sini!" Fa Hai menolak tubuh Xu Xian dengan kasar, "Ah!
Aku tak ingin berbantah lagi. Fa Shan?"
Seorang pendeta setengah tua datang dan memberi
hormat kepadanya. Fa Hai berkata, "Ini Xu Xian. Aku
telah menyuruh anak buahku untuk menyelamatkan
dan membawanya ke sini. Sekarang kuserahkan
penjagaannya kepadamu. Jangan biarkan ia jauh
darimu. Waspadalah terhadap Ular Putih."
"Oh, saya mohon... Biarkan saya pergi," pinta Xu
Xian. "Saya tak ingin menjadi pendeta."
"Kau tak perlu menjadi pendeta," kata Fa Shan.
"Tetapi beristirahatlah di sini selama beberapa hari.
Ada kamar kepala biara di sini. Jangan takut, ikuti
aku." Xu Xian menyadari bahwa Fa Hai tidak akan
menyerah. Ia terpaksa mengikuti Fa Shan dengan
hati sedih. Sementara itu, Bai Su-zhen dan Xiao Qing bingung
mencari Xu Xian ke segala penjuru.
"Semenit yang lalu ia masih berada di sini," kata
Bai Su-zhen. "Ke mana ia pergi" Kukira ia telah
masuk perangkap." "Benar-benar tak masuk akal," kata Xiao Qing
bersungut-sungut. Bai Su-zhen menunduk dan memusatkan
pikirannya. Tiba-tiba ia berseru, "Gawat! Dua anak
buah Fa Hai bersorban kuning telah membawanya ke
Gunung Emas. Kita harus mengejar mereka."
Dengan mengendarai awan Bai Su-zhen dan Xiao
Qing terbang ke arah Barat, langsung menuju
Gunung Emas. Tetapi karena tak ada tanda-tanda
yang menunjukkan Xu Xian berada di sana, mereka
segera tahu bahwa mereka harus pergi ke biara Fa
Hai, yang terlindung oleh awan ajaib.
"Kalau Xu Xian ditangkap Fa Hai, apa yang harus
kita lakukan?" tanya Xiao Qing, sambil memandang
dengan bingung ke sekitarnya.
"Malam semakin larut," kata Bai Su-zhen sambil
menunjuk ke langit. "Fa Hai benar-benar pandai, Kita
tak dapat masuk ke biaranya. Besok saja kita
kembali." "Para pendeta sering kali tidak menggunakan
akalnya. Apa sesungguhnya salah kita sehingga ia
menculik Xu Xian?" tanya Xiao Qing.
"Hari sudah malam. Kita bicarakan lagi besok pagi.
Akan kutanyakan kepada Fa Hai apa yang ia
inginkan," kata Bai Su-zhen.
Keesokan harinya, mereka menceritakan kejadian
yang mereka alami kepada Ma Zi-hou yang
diperintahkan untuk menjaga toko sementara mereka
pergi ke Zhenjiang. Mereka tiba di Biara Gunung
Emas pada tengah hari. Namun pintu gerbang biara
dibiarkan terbuka lebar, sehingga tak ada sesuatu
pun yang menghalangi mereka.
Bai Su-zhen pun masuk ke dalam biara. Ketika
bertemu dengan seorang pendeta, ia cepat-cepat
membungkuk memberi hormat. Rupanya pendeta ini
telah diperintahkan oleh Fa Hai untuk waspada.
Sehingga ketika ia melihat Bai Su-zhen
kecurigaannya timbul. Sambil mundur beberapa langkah, ia membalas
salam hormat Bai Su-zhen, "Nona-nona, adakah yang
dapat kubantu?" "Kemarin Xu Xian suamiku diundang ke sini oleh
Fa Hai. Hingga hari ini ia belum juga pulang. Itu
sebabnya aku datang ke sini untuk menjemputnya,
agar kami dapat pulang bersama," jelas Bai Su-zhen.
Mendengar kata-kata Bai Su-zhen, pendeta itu
terkejut. Ia menjawab sambil tergagap-gagap. "Kalian
adalah... kalian kemari untuk menjemput Xu Xian,
dan ingin... pp... pulang bersamanya" Aku khawatir
permintaan kalian tak dapat kupenuhi."
"Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan Fa Hai,"
lanjut Bai Su-zhen. "Ya, ya," kata pendeta itu dengan lega. "Silakan
menunggu di sini." Tak lama kemudian Fa Hai tiba.
"Sungguh baik Tuan bersedia menemui saya," kata
Bai Su-zhen dengan hormat.
"Roh jahat," teriak Fa Hai. "Xu Xian memang
berada di sini. Berani benar kau menjemput ke sini.
Apakah kau tidak takut melanggar hukum Surga?"
"Kami saling mencintai sebagaimana pasangan
suami-istri. Bukankah hal itu tidak melanggar
hukum Surga?" sanggah Bai Su-zhen.
"Engkau Ular Putih!" kata Fa Hai, "Dan engkau
adalah Ular Hijau," teriaknya sambil menunjuk
marah kepada Xiao Qing dengan tongkatnya. "Aku
tak akan membiarkan kalian bergaul dengan manusia
biasa dan merusak peradaban mereka. Aku tahu
bahwa sampai saat ini kalian belum merugikan
manusia. Tetapi, aku bertekad menyelamatkan Xu
Xian agar tidak bergaul lagi dengan kalian. Perbuatan
kalian kuanggap telah melewati batas, berani
memasuki biara ini. Aku yakin kalian tahu
bagaimana kemampuanku."
Mendengar kata-kata Fa Hai, Xiao Qing menjadi
geram. Hampir saja ia menghunus pedangnya untuk
menantang pendeta itu berkelahi kalau saja Bai Suzhen
tidak menghalanginya. Dengan tenang Bai Suzhen
mendekapkan kedua tangannya di dada dan
berkata dengan nada sedih, "Tuan Yang Terhormat,
saya tahu betapa tangguhnya ilmu yang Tuan miliki.
Namun saya benar-benar mencintai Xu Xian. Oleh
karena itu saya memohon belas kasihan Tuan."
Fa Hai mengangkat kepalanya dengan angkuh,
"Kauharap aku mengasihani dirimu" Cepat pergi dari
sini. Carilah tempat yang sepi, dan berlatihlah lebih
giat lagi!" "Bagaimana dengan Xu Xian?" tanya Bai Su-zhen.
"Akan kupaksa ia menjadi pendeta."
Dengan berapi-api Bai Su-zhen menjawab, "Tuan
tidak mempunyai hak untuk memaksanya menjadi
pendeta. Bebaskan ia."
"Kalau kau ingin mencari gara-gara, aku pun
dapat berlaku kasar," ancam Fa Hai.
Dengan berurai air mata, Bai Su-zhen memohon.
"Oh Tuan yang terhormat dan baik hati, sekali lagi
saya mohon kepada Tuan. Kasihanilah saya," ujarnya
sambil berlutut di kaki Fa Hai.
Sementara Bai Su-zhen berbicara dengan Fa Hai,
Xiao Qing diam tak berkata-kata. Namun, ketika ia
melihat kakaknya berlutut dan menangis, ia tak
tahan lagi dan ikut menangis.
Fa Hai menepuk dadanya dan berteriak, "Aku tak
akan membiarkan Xu Xian celaka."
Xiao Qing tak kuasa lagi menahan marahnya.
Dengan telunjuknya ia menuding Fa Hai.
"Lihatlah, betapa kakakku telah merendahkan diri
meminta belas kasihanmu. Namun sebagai pendeta
ternyata kau tak punya belas kasihan sedikit pun.
Cepat bebaskan Xu Xian. Kupikir, sebaiknya
engkaulah yang harus belajar lagi, agar dapat
memahami hati seorang wanita."
Fa Hai hanya tertawa, "Ternyata kau jauh lebih
berbahaya dibandingkan dengan kakakmu. Ia tidak
berani kurang ajar kepadaku, apalagi menuding dan
memakiku! Kau harus diberi pelajaran, agar dapat
memahami arti sopan santun."
Bai Su-zhen segera bangkit dan memarahi Xiao
Qing.

Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jaga sikapmu, Xiao Qing. Mintalah maaf
kepadanya!" Tetapi Xiao Qing bersikeras tidak bersedia
mengindahkan kata-kata kakaknya. Ia malahan
memalingkan muka seolah tak sudi menatap Fa Hai.
Fa Hai lalu berkata, "Ular Putih, tak ada gunanya
kau berlutut dan memohon kepadaku. Engkau tahu,
aku mempunyai alasan untuk menahan Xu Xian di
sini. Sekarang cepatlah pergi dari sini!"
Mendengar kata-kata Fa Hai, sadarlah Bai Su-zhen
bahwa hati Fa Hai tak lagi dapat dilunakkan. Ia
berdiri dan berkata, "Jadi, kau tetap tak mau
membebaskannya" Bagaimana saya dapat hidup
tanpa Xu Xian di sampingku" Sebaiknya jangan
terlalu membanggakan ilmumu. Jangan pula
membuatku marah, kau takkan mungkin selamat.
Engkau tak akan selamat."
Fa Hai menggerakkan tongkatnya, sehingga
gelang-gelang yang melekat di tongkat itu
mengeluarkan bunyi gemerincing. Makhluk-makhluk
halus ciptaannya bermunculan memenuhi ruangan
dan mengambil sikap siap menyerang.
"Aku datang menemuimu dengan maksud baik.
Mengapa kini kau memanggil mereka dan
mengancamku seperti ini?" seru Bai Su-zhen.
Namun Fa Hai tetap tidak mengacuhkan kata-kata
Bai Su-zhen. "Jika kau masih menyayangi nyawamu, dengarlah
nasihatku. Pergilah cepat dari sini. Kalau tidak
mereka akan segera mematahkan semangatmu,
dengan demikian kau tak akan seenaknya
memamerkan kekuatan sihirmu."
Bai Su-zhen melihat Xiao Qing tak mau berbicara.
Akhirnya ia pun berkata, "Baiklah, kini kami akan
segera pergi. Tetapi, bila Xu Xian tidak juga
kaubebaskan, biara ini akan kugenangi air. Bahkan
bebek dan anjing pun akan mati."
"Cepat tunjukkan kebolehanmu," ejek Fa Hai.
Xiao Qing memandang sekitarnya, terutama ke
arah bala tentara Fa Hai. Ia lalu berkata, "Kami ke
sini untuk menjemput Xu Xian, bukan untuk
berkelahi. Tetapi kalau harus bertempur, kami tidak
gentar." Sambil berbicara ia menggulung lengan
bajunya dan bersiap-siap menyerang.
Dengan bingung Bai Su-zhen berteriak, "Xiao Qing!
Fa Hai telah mengatakan bahwa para makhluk halus
ini didatangkan untuk menjaga Xu Xian dan kita
dapat pergi dari sini. Sebaiknya kita segera
meninggalkan tempat ini. Dan kau Fa Hai, dengarkan
baik-baik kataku." "Bicaralah," jawab Fa Hai.
"Kami akan pergi sekarang. Kau kuberi waktu
hingga esok siang untuk membebaskan Xu Xian.
Tetapi bila setelah tengah hari kau tetap menahannya
di sini, kau pasti akan menyesal."
Selesai berbicara, Bai Su-zhen dan Xiao Qing
berjalan ke luar menuju pintu gerbang, dan
meninggalkan biara Gunung Emas.
BAB 12 i bawah langit berbintang, Bai Su-zhen dan Xiao
Qing tampak sibuk membicarakan kejadian yang
mereka alami dan menyusun rencana selanjutnya.
"Kejadian sore tadi sungguh memalukan.
Sebaiknya besok kita memanggil Manusia Air5 untuk
menghabisi nyawa semua pendeta di biara itu. Kita
baru akan berhenti kalau Xu Xian telah berhasil
ditemukan," kata Xiao Qing.
Bai Su-zhen tidak segera memberikan jawaban.
Beberapa saat kemudian barulah ia berkata, "Panggil
Ma Zi-hou dan Li Ben-liang ke sini. Aku ingin bicara
dengan mereka." Xiao Qing segera keluar melaksanakan perintah
kakaknya. Begitu berhadapan dengan Bai Su-zhen,
keduanya membungkuk hormat dan menanyakan
apa yang harus mereka lakukan.
Bai Su-zhen berdiri, dan dengan nada bersungguhsungguh
ia berkata, "Besok, pagi-pagi sekali,
tutuplah toko untuk sementara waktu. Cepatlah pergi
ke mulut sungai Chang Jiang dan kumpulkan
seluruh kekuatan yang telah berlatih selama enam
ratus tahun terakhir. Lalu kembalilah ke sini untuk
menerima perintahku. Xiao Qing tentu sudah
bercerita tentang perlakuan Fa Hai kepadaku.
Jelaskan kejadian ini kepada Manusia Air."
5 Manusia Air adalah makhluk halus yang tinggal di dalam air dan
bertugas menjaga bumi. D "Kami telah mendengar tentang keangkuhan Fa
Hai," kata Ma Zi-hou. "Satu-satunya cara untuk
menghadapi orang seperti dia ialah dengan
menghancurkan biaranya, dan membuatnya
memohon ampun kepada kita."
Li Ben-liang menambahkan, "Bila seluruh tentara
telah dikerahkan, saya yakin kita dapat mengalahkan
musuh-musuh kita agar mereka dapat merasakan
pembalasan kita." "Engkau sangat berani, dan terima kasih atas
bantuanmu," kata Bai Su-zhen hangat. "Namun,
sebaiknya kalian jangan bertindak kejam, dan jangan
lupa untuk senantiasa menaati perintahku. Tetapi
kalian juga harus segera beristirahat. Karena pada
waktu matahari terbit esok pagi, kalian sudah harus
berada di sungai Chang Jiang. Temui aku tengah
hari." Bai Su-zhen dan Xiao Qing kemudian berganti baju
dengan warna putih dan hijau. Dengan menyandang
dua bilah pedang, mereka mulai menyelidiki sungai
Chang Jiang. Di bagian timur, mereka melihat secercah cahaya
putih yang berkilauan. Bai Su-zhen mengucapkan
mantra-mantra untuk mencari tempat Roh Bumi.
Tiba-tiba muncul sekitar tiga puluh orang tua. Bai
Su-zhen segera menyambutnya.
"Besok sore, sungai Chang Jiang akan membanjiri
biara Gunung Emas. Namun, rakyat di sini tidak
bersalah. Karena itu, kumpulkan makhluk-makhluk
halus untuk membuat dua jalan agar penduduk yang
tinggal di dekat sungai dapat menyelamatkan diri."
Para makhluk halus itu mengetahui besarnya
kekuatan sihir Bai Su-zhen. Mereka tidak berani
membantah ataupun bertanya. Semuanya menyetujui
siasat yang diambil oleh Bai Su-zhen.
"Sebelum banjir datang, aku akan berteriak
"Bangun" dari bawah biara. Begitu mendengar abaabaku,
Kalian harus bekerja. Jangan ceritakan
rencana ini kepada siapa pun. Sekarang kalian boleh
pergi." Esoknya, tepat pada tengah hari Bai Su-zhen dan
Xiao Qing tiba di gerbang Biara Gunung Emas, untuk
mendengar jawaban Fa Hai. Mereka melihat pintu
biara sudah rusak. Tidak ada seorang pun di sana.
Halaman biara benar-benar kosong. Patung tanah liat
yang terletak di pintu gerbang seakan-akan meringis
mengejek mereka, sementara empat serdadu Budha
di sekitar gerbang memandang mereka dengan
bengis. "Di mana Fa Hai?" tanya Bai Su-zhen.
Seorang pendeta berlari menghampiri mereka dan
berkata, "Telah kami katakan bahwa Xu Xian tak
akan pernah kami serahkan kembali kepadamu. Tak
ada gunanya kalian datang dan menanyakannya
lagi." "Siapa pun boleh masuk ke dalam biara. Jadi
mengapa kau melarangku?" tanya Bai Su-zhen
sambil melangkah ke dalam biara.
Saat itu Fa Hai berada di dalam biara bersama
empat pendeta pengawalnya, masing-masing dua
orang di sisi kiri dan kanannya. Tangannya
menunjuk kepada Bai Su-zhen dan Xiao Qing, ketika
dilihatnya kedua wanita itu terus saja berjalan.
Maksudnya ialah agar keduanya tidak dapat maju
lebih jauh. "Tuan," kata Bai Su-zhen sambil mengangguk
memberi hormat kepada Fa Hai. "Waktunya telah
tiba. Apakah engkau akan membebaskan Xu Xian
atau tidak?" "Seperti kukatakan kemarin, Xu Xian akan
menjadi pendeta. Jadi ia tidak boleh meninggalkan
tempat ini. Pergilah," jawab Fa Hai dengan tegas.
"Ini akan berakibat buruk bagimu," kata Bai Suzhen
memperingatkan. Fa Hai menyeringai. "Kau sudah selesai berbicara"
Tinggalkan tempat ini. Aku sudah tidak sabar lagi."
Bai Su-zhen tertawa menghina sambil menghunus
pedangnya. Xiao Qing berdiri memandang Fa Hai
yang sedang bersiap-siap melemparkan tongkatnya
ke tanah. Dalam sekejap, tongkat itu menggeliat dan
berubah menjadi seekor naga emas.
Melihat Bai Su-zhen dan Xiao Qing menghunus
pedang, naga itu segera menyerang. Cakar, sisik,
rambut, dan giginya yang berwarna keperakan
bersinar menyilaukan. Dengan lincahnya, naga itu
menggeliat mengurung Bai Su-zhen.
Tetapi dengan tegar Bai Su-zhen menghadangnya
dengan acungan pedang sambil berteriak, "Kembali
ke bentuk aslimu!" Seketika itu juga, lenyaplah sang naga emas dan
menjelma kembali menjadi sebatang tongkat, yang
menggeletak di tanah. "Apa lagi yang akan kaupamerkan?" tantang Bai
Su-zhen dengan nada angkuh.
"Ini! Mana angin dan api?" teriak Fa Hai.
Kemudian, tampak sebuah kasur terbang dari
bawah kakinya. Dalam sekejap, angin kencang
berhembus dan dari dalamnya ke luar lidah-lidah api
yang panjangnya lima atau enam sentimeter.
Angin dan api segera menyerang Xiao Qing. Namun
Xiao Qing secepat kilat mengacungkan pedangnya
untuk menangkis serangan. Gabungan serangan
angin dan api membuat Xiao Qing kalang-kabut.
Bai Su-zhen segera melompat ke depan dengan
pedang teracung sambil mengucapkan mantranya.
Tiba-tiba angin dan api buatan menghilang dan kasur
yang semula terbang melayang-layang jatuh kembali
ke kaki Fa Hai. Bai Su-zhen menyilangkan pedang di dadanya.
"Kutunggu yang lain, Fa Hai!" tantangnya.
"Ini!" raung Fa Hai sambil menggumamkan sebuah
mantra. "Mana Jia Lian" Kerahkan Serdadu Surga
dan kalahkan kedua ular ini."
Bai Su-zhen dan Xiao Qing menyadari bahwa
serangan yang berikut akan mendatangkan kesulitan
bagi mereka. Dengan segera keduanya terbang ke
Sungai Changjiang. "Bila Fa Hai tetap bersikeras, sebaiknya kita segera
mengirimkan Manusia Air untuk membanjiri Gunung
Emas," kata Xiao Qing.
"Mana Manusia Air?" teriak Bai Su-zhen seketika
itu juga. Maka terdengarlah bunyi gelembunggelembung
air, dan langit pun menjadi gelap. Angin
yang bertiup kencang menyebabkan timbulnya
ombak besar di sungai-sungai. Permukaan air
semakin lama semakin tinggi.
Bai Su-zhen dan Xiao Qing melompat ke sebuah
perahu. Dengan suatu teriakan dari Xiao Qing,
perahu melesat ke tengah sungai. Di sana Bai Suzhen
melihat ribuan manusia berbentuk gelembung
muncul dari balik ombak. "Kami menunggu perintahmu, Putri!"
Bai Su-zhen berkata, "Kuharap kalian segera
membanjiri Gunung Emas sekarang dengan ombak
dan gelombang. Berhentilah setelah kuberi tanda."
Manusia Air serempak menyambut kata-kata Bai
Su-zhen. Mereka melompat kembali ke dalam air.
Sesaat kemudian terdengar teriakan.
"Peri-peri Sungai, mulailah bekerja."
Maka langit pun bertambah kelam dan angin
tenggara mulai menyapu sungai Chang Jiang.
Sedemikian kuatnya tiupan angin sehingga tak
seorang pun bisa bertahan. Tetesan air hujan sebesar
biji kacang pun berjatuhan menghantam tanah dan
menggenangi daratan. Tebalnya kabut yang menyelimuti tepi sungai,
menghalangi pemandangan. Tetapi dengan tiba-tiba
muncullah sebentuk jalan di dekat sungai.
Sementara itu, dari biara Gunung Emas, Fa Hai
melihat langit semakin gelap. Tiupan angin dan hujan
pun semakin menggila. "Angin dan hujan ini pastilah hasil perbuatan
kedua ular itu. Pergi dan selidikilah keadaan badai di
atas sungai!" Dua pendeta bergegas turun ke tepi sungai.
Sebentar kemudian mereka kembali ke kuil.
"Permukaan air semakin tinggi dan tampaknya
akan segera menggenangi biara."
Fa Hai menggelengkan kepalanya.
"Jangan takut. Ambilkan jubahku yang bertambal
seribu, dan letakkan separuhnya di tepi sungai dan
separuh lagi di atas air. Berapa pun tingginya air, ia
tidak akan dapat mencapai biara ini."


Putri Ular Putih Karya Zhang Hen Shui di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua pendeta itu segera menjalankan perintah Fa
Hai. Air pun mulai mereda, walaupun hujan belum
juga berhenti. Dengan hati gembira kedua pendeta itu
bergegas menghadap Fa Hai.
"Aku yakin Ular Putih pasti akan putus asa.
Duduklah kalian semua di sini, dan tunggulah apa
yang akan terjadi selanjutnya," kata Fa Hai.
Para pendeta menaati perintahnya. Beberapa di
antara mereka segera duduk, sementara yang lain
berdiri atau berjalan ke sana-kemari. Jia Lian
menunggu perintah dari Fa Hai untuk menyerang
musuhnya bersama lima ratus prajuritnya. Mereka
menunggu di balik awan. Rupanya Bai Su-zhen tidak menyadari keadaan
ini. Ketika waktu menunjukkan pukul tiga, air masih
bertahan di lereng gunung. Bersama Xiao Qing, ia
menaiki sebuah perahu untuk melihat apa yang
sedang terjadi. Karena putus asa, ia segera mendayung perahunya
ke samping gunung. Di sana ia berteriak, "Bebaskan
Xu Xian, dan semua ini akan kuhentikan. Kalau
kalian menolak, akan kuperintahkan Manusia Air
untuk membunuh semua penghuni biara."
Tetapi berapa pun kerasnya ia berteriak, Fa Hai
tak juga menjawab. "Rupanya mereka belum juga menyadari akibat
banjir ini bagi mereka?" kata Xiao Qing. "Kita dibantu
oleh ribuan Manusia Air. Tidakkah lebih baik
sekarang kita suruh mereka membanjiri biara itu"
Lihat saja apakah Fa Hai masih akan sanggup
bertahan." Bai Su-zhen segera berdiri di atas perahu.
"Baiklah," katanya. "Kalau aku tidak
membunuhnya sekarang juga, aku yang akan
menjadi korban tongkat ajaibnya."
"Tidak!" teriak Xiao Qing dengan berapi-api. "Nenek
moyang kita berkata bahwa kemenangan selalu
berada di pihak yang benar. Dan kita berada di pihak
yang benar." "Aku akan segera memberi aba-aba. Bersiapsiaplah!"
seru Bai Su-zhen. Kemudian mereka meneriakkan aba-aba dan
ribuan Manusia Air keluar dari luapan air sungai
menunggu perintah Bai Su-zhen.
"Manusia Fa Hai adalah orang yang menjijikkan.
Betapa pun alasan yang kita ajukan, ia tidak akan
mau mendengarkan. Apakah kalian siap menyerang"
Selamatkan Xu Xian bila di antara kalian ada yang
melihatnya. Tetapi ingat, kalian hanya boleh
menyerang Fa Hai. Karena pendeta yang tidak
bersalah tidak boleh disakiti, kecuali jika mereka
mendahului menyerang."
Pada saat itulah semua Manusia Air berubah
bentuk menjadi manusia, masing-masing membawa
pedang. Dengan jeritan yang memekakkan telinga,
mereka mulai menyerang biara. Bai Su-zhen dan Xiao
Qing berjalan di depan, memimpin pasukan.
Rupanya Fa Hai telah menunggu kedatangan
mereka. Ketika mendengar Bai Su-zhen memberi abaaba,
ia pun segera berteriak. "Jia Lian, siapkan
prajuritmu dan bersiagalah!"
Pasukan Fa Hai segera berdiri di tepi jalan yang
menuju ke gunung, dipimpin oleh Jia Lian yang
berbaju besi berwarna emas. Di antara para prajurit,
Bangau Putih melangkah dengan gagahnya.
Kehadirannya di dalam barisan, pasti akan
mendatangkan kesulitan bagi Bai Su-zhen.
Saat itu Bai Su-zhen mengangkat tombaknya dua
kali. Ia memberi tanda kepada pasukannya untuk
berhenti. Begitu berhadapan dengan musuh, Bai Suzhen
memberi salam. "Kalau ada yang hendak kaukatakan, cepat
ucapkan sekarang juga," kata Jia Lian.
"Aku hanya menginginkan pembebasan Xu Xian.
Tak ada gunanya memanggil semua pasukan," kata
Bai Su-zhen. "Lalu apa artinya awan hitam serta ombak yang
setinggi langit itu" Bukankah itu pasukanmu?" jawab
Jia Lian. "Sebaiknya kau mundur saja. kalau tidak,
kau sendirilah yang akan menderita."
Dewa-dewa Angin, Hujan, Awan, dan Petir
menyaksikan semua kejadian ini dari langit. Ketika
Jia Lian berbicara, petir berkelebat.
Bai Su-zhen tidak merasa gentar. "Jika Xu Xian
tidak segera dibebaskan, aku terpaksa mengambil
alih biara ini." Jia Lian segera memberi aba-aba kepada
pasukannya untuk menyerang. Hujan pun berhenti
dan mereka bertempur di bawah sinar bulan yang
tertutup kabut. Angin berubah arah dan bertiup
dengan kencang menyerang Manusia Air, sehingga
Memanah Burung Rajawali 36 Tokoh Besar Karya Khu Lung Jago Kelana 11
^