Pencarian

Walet Besi 5

Walet Besi Karya Cu Yi Bagian 5


"Aku sudah berbicara sangat lama dengan Leng Taiya,
sepanjang kata-kataku itu dia hanya mengatakan tiga kalimat"
"Tiga kalimat itu adalah...."
"Kalimat pertama adalah seharusnya aku merasa bersalah
padamu....setelah itu adalah seharusnya aku merasa bersalah
pada nona Thiat-yan. Terakhir aku harusnya merasa bersalah
pada diriku sendiri"
"Apa artinya?" "Mana aku tahu" Setelah dia berkata seperti ini, apapun
pertanyaan yang kuajukan, bagaimanapun aku memaksanya,
dia hanya menutup mata dan tidak berkata apa-apa"
"Tu toako, aku sudah bicara banyak dengan Cu Taiya...."
Setelah itu Wie Kie-hong menceritakan kembali semua yang
sudah dialaminya. Ternyata menanggapi cerita ini, Tu Liong hanya berkata
dengan dingin "Wie Kie-hong, apakah kau percaya?"
"Kalau kau, apakah kau tidak mempercayai kata-kata Cu
Taiya?" "Aku tidak percaya"
"Mengapa?" "Ilmu silat ayahmu tidak lemah, namun dibandingkan
dengan ilmu silat Cu Siau-thian, perbedaannya masih sangat
jauh. Cu Taiya tidak mungkin takut pada ayahmu"
"Padahal kau belum tahu seperti apa ilmu silat yang dimiliki
ayahku" "Sekarang ini memang aku tidak tahu. Tapi Cu Taiya
pernah berbicara dengan ku sebelumnya, bahwa sebenarnya
dia tidak takut pada siapapun"
"Kalau memang dia tidak takut pada siapapun, dia tidak
perlu menutup-nutupi kebenaran seperti ini. ketika tadi Thiatyan
datang padanya untuk bertanya, melihat gelagatnya
sepertinya dia tampak sangat gugup"
"Itu mungkin ekspresi yang sudah dibuat-buat. Lagipula isi
kopor kulit itu tidak mungkin hanya mutiara berharga saja.
Rahasia ini tidak mungkin sesederhana itu"
"Tu toako, kau berkata seperti ini, apakah kau mempunyai
bukti?" "Menilai dari kedudukan Leng Taiya, jabatan dan harta
kekayaannya sangat berlimpah limpah. Apalagi pada waktu itu
dia masih berjaya. Dia tidak mungkin menganggap mutiara
yang hanya bernilai sepuluh ribu mata uang orang luar negeri
itu sebagai sesuatu yang sungguh berharga. Kalau
dibandingkan dengan resiko bekerja sama dengan seorang
pengem-bara dari dunia persilatan seperti Cu Siau-thian,
apakah tindakannya sepadan?"
"Benar juga! ini masuk akal !" Wie Kie-hong menyetujui
argumentasinya. "Masalah ini sebaiknya kita lihat dari sudut pandang yang
lain" "Katakanlah" "Seharusnya kita menanyakan semua hal ini dari sisi Boh
Tan-ping" "Maksudmu adalah..."
"Kita harus mencari cara untuk memaksanya mengatakan
hal yang sebenarnya"
Wie Kie-hong tentu mengerti arti yang terkandung didalam
kata 'memaksa' ini. Dia terdiam sangat lama, setelah itu dia bertanya, "Apakah
kita memiliki kemampuan untuk melakukannya?"
"Kalau satu lawan satu, kita berdua pasti tidak mungkin
bisa menang. Tapi kalau satu lawan dua, kita berdua masih
mungkin lebih unggul melawannya"
"Kalau begitu apa kita ada kesempatan?"
"Seharusnya ada. Ayo kita pergi....kita coba buktikan
sendiri" "Tu toako !" Wie Kie-hong berkata dengan sangat serius,
"sebelumnya kau harus mempertim-bangkan, apakah Boh
Tan-ping tahu kejadian yang sesungguhnya?"
"Seharusnya dia tahu"
"Ayo kita pergi. Setidaknya kita sudah mencoba" Tu Liong
segera menyuruh kusir kereta agar mengarahkan laju kereta
ke gang San-poa. Ditengah perjalanan, kedua orang ini
kembali merundingkan dengan lebih teliti tentang apa yang
akan mereka lakukan nanti.
Kereta kuda berhenti tepat didepan gang San-poa. Kedua
orang ini turun dari kereta, dan segera berjalan masuk
kedalam gang. Sepertinya karena mereka terlalu memikirkan
tentang Boh Tan-ping, mereka segera melupakan tentang Bu
Tiat-cui. Seharusnya dia juga orang yang memegang peranan
penting. Tapi dibalik pintu rumahnya yang tertutup rapat, Bu Tiatcui
diam-diam memperhatikan gerak-gerik kedua orang ini.
Tu Liong berjalan didepan, Wie Kie-hong membuntutinya
dari belakang.mereka berjalan sampai didepan kediaman
Thiat-yan. Tu Liong mengetuk-ngetuk pintu.
"Siapa?" Orang yang menjawab ketukan pintu adalah seorang
pelayan yang sudah tua. "Kami datang kemari untuk menjumpai Thiat-yan" jawab
Tu Liong. "Nona Thiat-yan tidak ditempat"
"kalau begitu apakah kami berdua bisa menemui Boh
Taiya?"" Memanggil Boh Tan-ping sebagai Boh Taiya, sebenarnya
rasanya sangat kelewatan. Hanya saja Tu Liong tidak tahu
bagaimana cara memanggilnya dengan hormat
"Kalian ingin menemui Boh Taiya" Kalau begitu tolong
tunggu disini" Setelah beberapa lama, Boh Tan-ping keluar. Dengan
dingin dia berkata: "Untuk apa kalian datang menemuiku" Apakah kalian ingin
mencari gara-gara?" Tu Liong menunjukkan sikap bermusuhan. Setelah Boh
Tan-ping keluar pintu, Tu Liong langsung mengulurkan
tangannya untuk menyerang. Sekali menyerang dia sudah
melancarkan jurus mematikan, kalau jurus ini mengena, kalau
tidak mati pasti cacat Boh Tan-ping sama sekali tidak menduga sekali bertemu
dia harus langsung melawan mereka berdua. Ketika dia
menyadari gelagat ini, selain menghindari serangan,
sepertinya tidak ada cara lain untuk menyelamatkan diri.
Dia menghindari serangan dengan sangat anggun,
bagaikan kupu-kupu yang meloncat dari bunga ke bunga.
Namun sekali lagi dia tidak menyangka kalau Wie Kie-hong
sudah bersiap-siap untuk mencegatnya. Sebentar saja sebuah
pisau kecil yang tajam sudah menempel di punggungnya.
Raut wajah Boh Tan-ping langsung berubah.
"Boh Tan-ping !" Wie Kie-hong berkata dengan dingin,
"Harap kau jawab dengan jujur"
"Aku sudah cukup jujur dengan kalian!"
"Kalau kau memang orang jujur, kau seharusnya berkata
jujur." Tu Liong berdiri dihadapan Boh Tan-ping. Mukanya tampak
sangat garang. "Apa yang kalian ingin aku katakan?"
"Pada waktu itu Tiat Liong-san mendapat celaka, dia
membawa sebuah kopor kulit berwarna kuning. Barang apa
yang ada didalam kopor itu?"
"Aku tidak tahu" Boh Tan-ping berkata dengan cepat.
"Apakah kau sungguh tidak tahu?" Tu Liong tertawa dingin.
Luka sayat pedang gigi gergaji belum sembuh benar, namun
api balas dendam sudah berkobar dengan hebat didalam
hatinya: "Ataukah kau tahu tapi tidak mau mengatakannya?"
"Aku tidak tahu"
Boh Tan-ping tetap mengatakan hal yang sama.
"Seharusnya kau tahu. Kau adalah adik dari Tiat Liong-san.
Dia sudah mati, kau pun merawat putrinya sendirian. Semua
hal yang berhubungan dengan Tiat Liong-san, kau pasti
mengetahui semuanya dengan jelas"
"Walaupun aku tahu, aku tidak akan memberitahukannya?"
"Ternyata seperti ini...."
Tu Liong mendadak berteriak dengan suara keras:
"Wie Kie-hong! dengarlah dengan jelas! aku sekarang ingin
bertanya tiga buah pertanyaan pada Boh Taiya. Aku berharap
dia bisa menjawab denganbaik. kalau dia tidak menjawab
pertanyaan yang kuajukan, kau tusukkan pisau kecilmu itu
sepuluh sentimeter kedalam. Kalau pisau itu menancap sampai
tiga puluh sentimeter, seharusnya pisau itu sudah bisa
mencapai jantungnya."
"Tu toako! Akut pasti akan melakukan sesuai dengan apa
yang kau suruh" Kedua orang ini sudah berimprovisasi dengan baik.
sepertinya kompromi yang sudah dibahas di dalam kereta
berjalan dengan mulus. Sekarang raut muka Boh Tan-ping
berubah lagi. kekerasan hatinya pun berubah.
"Kalian berdua tidak perlu berlaku seperti ini. kalau ada
masalah apakah tidak bisa dibicarakan secara baik-baik?"
"Dari awal aku sudah berharap membicarakan tentang hal
ini secara baik-baik denganmu. Selama ini kaulah yang tidak
pernah bekerja sama! sekarang aku akan mulai mengajukan
pertanyaan pertama....ada seseorang yang bernama Wie
Ceng. Sejauh pengetahuanmu, dimana dia berada sekarang?"
"Dia berada didalam kota" Boh Tan-ping menjawab dengan
sangat cepat. "Aku ingin mendengar jawaban yang lebih mendetail
mengenai tempatnya" "Kalau tentang itu aku juga tidak tahu secara pasti"
"Baiklah, pertanyaan pertama sudah kau jawab dengan
baik....sekarang pertanyaan nomor dua....
ketika kita bertemu di gang sempit, kau sudah
mengeluarkan pedang dan bertarung denganku. Siapa yang
sudah menyuruhmu?" Boh Tan-ping tampak menimbang-nimbang sebelum
menjawab pertanyaan. Tu Liong berteriak keras:
"Tusuk dia!" "Tunggu Y' Boh Tan-ping juga segera berteriak
keras "Kenapa" Apakah kau masih berpikir membelokan
jawabanmu?" "Apakah kalian akan mempercayai kata kataku?"
"Benar tidaknya aku akan mempertimbangkannya"
"Baiklah" Sepertinya Boh Tan-ping sudah mengum-pulkan semua
keberaniannya. "Kau dengarlah dengan baik. orang yang sudah
menyuruhku untuk menyerangmu adalah Cu Siau-thian"
Tu Liong merasa seperti seseorang sudah memukul
kepalanya dengan benda yang sangat keras. Dia mundur
beberapa langkah kebelakang. Dia terus memandang Boh
Tan-ping. Wie Kie-hong juga merasa sangat terkejut. Saat ini, dia pun
tidak berani bernafas terlalu keras.
Boh Tan-ping melihat raut muka Tu Liong seperti ini, dia
segera bertanya, "Tu Liong, kau tidak percaya padaku kan?"
"Tuan Boh, sebenarnya aku masih memiliki pertanyaan
berkenaan dengan kopor kulit yang kita bahas tadi"
Raut wajah Tu Liong sangat tidak enak dilihat. Namun katakatanya
masih terdengar sangat tenang.
"Sekarang aku ingin tahu tentang sebuah hal yang lain.
Karena itu aku terpaksa mengesampingkan
pertanyaan yang berkaitan dengan kopor kulit....Cu Taiya
sudah menyuruhmu untuk turun tangan menyerangku, apakah
dia menyuruhmu untuk langsung membunuhku, ataukah dia
hanya ingin memberiku sebuah pelajaran yang tidak
terlupakan?" "Dia berharap untuk membuatmu berbaring diranjang dan
merawat luka setidaknya selama satu dua bulan, dan tidak
bisa turun ranjang pergi kemana-mana."
"Baiklah, tuan Boh, ketiga pertanyaan ini sudah kau jawab
dengan baik. hanya saja masalah yang berkaitan dengan Cu
Taiya, kau harus mengatakan semuanya sekali lagi
dihadapannya. Ayo kita pergi ........kita selidiki kebenarannya"
"Tu toako, apakah kita akan pergi seperti ini?"
Pertanyaan ini membuat Tu Liong menge-rutkan keningnya
sampai kedua alisnya menempel. Boh Tan-ping adalah
seorang manusia yang masih hidup. Walaupun sudah diikat
dan ditarik pergi, ini hanya bisa dilakukan kalau dia bersedia
untuk ikut pergi. Selain itu dia pasti akan mencari cara untuk
memberontak dan melarikan diri. Orang seperti ini tidak bisa
dianggap remeh. "Tuan Boh" Tu Liong bertanya dengan dingin "Apakah kau
bersedia untuk membuktikan kata-katamu?"
"Bagaimana kalau kita pergi kesana?" ternyata Boh Tanping
pun menanyakan hal yang sama "Apakah kau ingin
pergi?" "Turunkan pisaumu, aku akan bersedia pergi dengan
kalian" "Kau sendiri yang mengatakannya."
"Iya" "Baiklah. Wie Kie-hong, turunkan pisaumu"
"Tu toako" Kata-kata Tu Liong tadi tidak hanya sebuah perintah, tapi
adalah sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Wie Kiehong
segera menyimpan pisaunya.
Boh Tan-ping menghirup nafas dalam dalam.
Sekarang dia pasti sedang memikirkan sebuah
masalah....Tu Liong jelas sekali tahu kalau dia adalah orang
yang sangat berbahaya, mengapa dia mengambil resiko"
Tu Liong membalikkan tubuh dan mulai berjalan pergi.
Pada waktu yang sama dia berkata:
"Harap tuan Boh ikut dengan kami"
Boh Tan-ping tampak menimbang-nimbang sesaat, setelah
itu dia ikut pergi. Tu Liong berjalan paling depan, Boh Tan-ping berada
ditengah. Wie Kie-hong mengekor dipaling belakang. Kalau
Boh Tan-ping bermaksud macam-macam, ini adalah
kesempatan yang paling bagus. Sekarang masalahnya adalah


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apakah dia berani melakukannya. Pada saat ini dia tampak
menaruh hormat pada Tu Liong.
Mereka berjalan sampai ke mulut gang, lalu menghentikan
sebuah kereta kuda, ketiga orang ini segera masuk
kedalamnya dan segera duduk.
Setelah ketiga orang duduk dengan baik, kereta kuda mulai
bergerak. Boh Tan-ping yang paling pertama membuka
pembicaraan. Dia bertanya, "Tu Liong, setelah kau
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana
perasaanmu?" "Sangat pedih" "Apakah sungguh sangat pedih?"
"Benar" "Kalau memang merasa sangat pedih, untuk apa kau
membuang-buang tenaga pergi mencari, mengoreknya sampai
tampil keluar dan menyakit-kanmu?"
"Pada dasarnya manusia selalu mencari masalah,
mereka selalu senang disakiti....tuan Boh, kau dulu pernah
menjadi adik angkat Cu Siau-thian. Sekarang ini kau sudah
membocorkan rahasianya. Bagaimana perasaanmu?"
"Aku terpaksa, kalau orang sudah dipaksa, banyak urusan
yang bisa dilakukannya tanpa memikirkan tanggung jawab."
Ketiga orang ini duduk dalam satu baris. Boh Tan-ping
duduk di tengah-tengah. Kedua tangannya ditaruh diatas
pangkuannya. Dia tampak sangat tenang.
Namun apa yang dikatakannya sepertinya mengandung arti
yang tersirat. Tu Liong berpikir sejenak, setelah itu dia bertanya, "Tuan
Boh, apakah kau ingin mengatakan sesuatu?"
"Tidak ada. Aku hanya ingin memberitahukan. Aku
memang dari dahulu seperti ini. aku tidak senang
mengkhianati orang lain."
"Aku juga tahu ........kau melakukan karena terpaksa.
Seperti sekarang ini kau duduk dengan baik disampingku,
bahkan kau tidak berniat melarikan diri."
Boh Tan-ping tertawa pahit:
"Tu Liong, aku yakin dari awal kau sudah membuat
pengaturan yang sangat baik, sebaiknya aku jujur padamu"
"Tuan Boh, mendadak aku mengerti siasat apa yang
sedang kau buat" Boh Tan-ping mendengus dengan keras.
"Kalian lebih muda dariku, sekarang kalian berdua
melawanku seorang diri. Bagaimanapun kalian pasti akan lebih
unggul. Mana mungkin aku berani bersiasat?"
"Kalau satu lawan satu?"
"Kalau satu lawan satu, aku pasti akan lebih unggul. Tu
Liong....kita berdua sudah pernah beradu kepandaian, untuk
apa kau bertanya seperti ini?"
"Kalau sudah berada didepan Cu Taiya, nanti kita akan
bertarung satu lawan satu. Pantas saja sekarang kau bersedia
mengikuti kami secara baik-baik. ternyata kau berpikir ingin
menggunakan tenaga Cu Taiya untuk menolongmu keluar dari
kesulitan ini. terlebih lagi kau nanti akan berusaha membunuh
kami. Benarkah ini?"
Raut wajah Boh Tan-ping sedikit berubah.
"Sekarang aku pikir untuk membuktikan kata-katamu, kita
tidak perlu lagi datang pada Cu Siau-thian."
"Oh..." Apakah kau sering ganti pendirian dengan cepat
seperti ini?" "Dengarkan dulu alasanku, kau tadi mengatakan ingin pergi
menemui Cu Taiya untuk membuktikan kata-katamu, maka
kita berdua akan masuk kedalam situasi yang tidak
menguntungkan, kalau kata-katamu tadi adalah kebohongan,
aku pasti akan melukai perasaan Cu Taiya. Karena itu aku
memutuskan sementara waktu tidak pergi menemui-nya"
"Kalau begitu bagaimana kalian akan melepaskanku?"
"Tuan Boh" Tu Liong dari awalpun berkata dengan sangat
teratur, "ada satu masalah yang ingin aku jelaskan, aku sudah
mengatakan hanya ada tiga buah pertanyaan, karena itu
setelah menjawab ketiga pertanyaan itu aku tidak bertanya
lebih jauh lagi. sebenarnya hari ini tujuan utamaku datang
mencarimu sudah dikesampingkan. Sekarang aku
menyerahkan dirimu pada Wie Kie-hong. Dia ingin bertanya
padamu tentang keberadaan ayah kandungnya.
"Aku sudah mengatakan padamu sebelumnya, aku tidak
tahu...." "Sampai pada kondisi tertentu, kau pasti akan mengatakan
kalau kau tahu...." Tu Liong segera memerintahkan kusir kereta kuda untuk
memutar kereta kuda keluar dari pintu barat. Tu Liong
bermaksud pergi ke Sie-san.
"Tu Liong !" Boh Tan-ping berkata dengan suara rendah.
"Karena Thiat-yan menganggap kalian sebagai pendekar
berumur muda, dia sudah menyuruhku untuk tidak melukai
kalian. Selama ini aku berulang kali harus bersabar dengan
kelakuan kalian, jangan pikir aku takut pada kalian"
"Aku tahu kau tidak takut pada kami. Kami juga sama
sepertimu, tidak takut siapapun"
"Wie Kie-hong !" Boh Tan-ping memutar kepalanya
memandang ke arah yang berlawanan. "Aku tidak tahu apa
yang akhirnya terjadi pada ayahmu, kalau kau berbuat
macam-macam terhadapku, nanti kita pun belum tentu bisa
berjumpa lagi" Wie Kie-hong hanya berkata dengan dingin:
"Aku hanya mendengar kata-kata Tu toako, dia
menyuruhku melakukan apapun aku pasti akan
melakukannya" "Apakah kau tidak memiliki pendirian dan pandangan
sendiri?" "Tentu saja aku punya pemikiran sendiri, pendirianku
adalah untuk mendengarkan semua perintah Tutoako"
"Tu Liong !" Boh Tan-ping mulai terdengar emosi, "kau
tidak boleh memaksa orang terlalu..."
"Tuan Boh....kata-katamu terlalu berlebihan, kalau aku
tidak memaksa, kau rupanya tidak akan bicara"
"Tu Liong, apakah kau akan memaksaku sampai
mempertaruhkan nyawa?"
"Sayangnya nyawamu hanya ada satu"
"Aku tidak percaya kau bisa tega membunuh orang"
"Kalau kau berani, mengapa aku tidak berani?"
Wie Kie-hong tidak pernah ikut campur mulut. Pisau kecil
yang dipegangnya pun selalu menempel dengan ketat pada
Boh Tan-ping. walaupun Boh Tan-ping emosi, dia tahu kalau
dia tidak bisa berbuat banyak, mempertaruhkan diri berarti
membuang nyawa. Dia tidak mungkin melepasnya dengan
mudah. "Wie Kie-hong" Boh Tan-ping mulai balas menyerang, "aku
berjanji akan membantumu mencari tahu tentang keberadaan
ayahmu sekarang, berilah aku satu atau dua hari untuk
mencarinya, boleh tidak?"
Wie Kie-hong tidak menjawab. Seolah olah dia tidak
mendengar kata katanya. "Tu Liong! anak kecil ini hanya mendengarkan kata-katamu
saja, kau katakan sesuatu"
Tu Liong hanya berkata dengan dingin:
"Apa gunanya aku berkata padanya" Kalau berkata
denganmu itu barulah ada gunanya.... aku tahu, pada
akhirnya kau pasti bicara"
"Kalau kau membunuh aku, aku masih tetap akan
mengatakan tiga kata tadi....aku tidak tahu"
Tidak lama kereta kuda berhenti. Mereka sudah sampai di
Sie-san. Tu Liong tampak muram.
"Tuan Boh, sebaiknya kau menurut, kalau kau berniat
untuk kabur, kami pasti akan membunuhmu."
Pada hari raya seperti ini, tamu yang datang dan pergi
tidak banyak. Tu Liong dan Wie Kie-hong memaksa Boh Tanping
mengikuti mereka. Pisau yang dipegang oleh Wie Kiehong
menempel dengan erat di pinggangnya. Kalau misalnya
secara tidak sengaja mereka berpapasan dengan orang yang
kebetulan lewat, pisau itu tidak akan terlihat dengan mudah.
Setiap musim gugur, daun-daunan diatas pohon berwarna
merah seperti api. Sekarang ini daun-daunan tampak hijau
segar. Wie Kie-hong dan Tu Liong sepakat membawa Boh
Tan-ping ketengah hutan agar tidak diganggu orang yang
lewat. Tu Liong sudah membuat perhitungan, dari kereta kuda,
dia sudah membawa seutas tali. Dia lalu mengikat Boh Tanping
pada batang sebuah pohon. Boh Tan-ping sama sekali
tidak melawan, mungkin juga dia sudah tidak memiliki
keberanian untuk melawan.
"Kie-hong, sekarang kau sudah bisa menanyakan
keberadaan ayah kandungmu"
Boh Tan-ping kembali berteriak: "Tidak tahu!"
"Tu toako, kau sudah mendengarnya sendiri, bertanya lagi
pun jawabannya selalu tiga kata itu"
"Betul" Boh Tan-ping menggeram dan mengatupkan
rahangnya kuat kuat "Kalau aku bilang tidak tahu, berarti aku benar-benar tidak
tahu" "Apakah pisau yang kau pegang itu hanya sebuah hiasan"
Kalau dia berkata tidak tahu, kau potong sedikit dagingnya.
Walaupun tubuhnya gagah perkasa, kalau kehilangan
beberapa potong daging, nanti kita lihat apakah dia masih
berkata tidak tahu. Kalau dia masih berkata begitu, berarti dia
memang tidak tahu" Wie Kie-hong memandang pisau yang sedang dipegangnya.
Entah apa yang harus diperbuatnya. Sangat jelas terlihat dia
tidak mungkin berlaku seperti itu.
"Wie Kie-hong, apakah kau ingin aku membantu
menanyakan padanya?"
"Tu Liong !" Boh Tan-ping tertawa dingin dan berkata,
"ekor musangmu akhirnya kelihatan. Aku sudah menggunakan
pedang gergajiku untuk melukai-mu, kau pasti merasa sakit
hati. karena itu kau memperalat Wie Kie-hong untuk
membalaskan dendam dan menggunakan alasan bertanya
tentang Wie Ceng, sedangkan niatmu sebenarnya adalah
untuk melukaiku. Benar?"
"Kie-hong, apakah kau percaya omongannya?" Tu Liong
bertanya dengan ringan "Tentu saja aku tidak percaya"
"Boh Tan-ping, taktik mu sekali lagi tidak berhasil. Kau
berniat mengadu domba aku dan Wie Kie-hong, tapi sayang
kau tidak tahu betapa akrabnya hubungan kami berdua....Boh
Tan-ping, sekarang kau sangat sial."
Tu Liong menyobekkan baju atas Boh Tan-ping dengan
kuat. berbarengan dengan itu dia mengambil pisau yang
dipegang oleh Wie Kie-hong.
Tepat pada saat ini tiba-tiba saja ada seseorang yang
masuk kedalam hutan. Perlahan tapi pasti, orang ini berjalan
menuju ke arah mereka bertiga.
Orang ini adalah Cu Siau-thian.
Cu Siau-thian melangkah sangat perlahan. Kalau dilihat
sekilas, dia seperti orang yang kebetulan lewat, karena dia
menemukan ada tiga orang ditengah hutan, jadi sekalian dia
berjalan mendekat melihat apa yang sedang terjadi.
"Kie-hong ........apakah kau melihatnya?" Tu Liong bertanya
setengah berbisik "Mmm...!" Wie Kie-hong tidak melepaskan tatapan matanya
pada Cu Siau-thian. "Dua lawan satu, kita tidak mungkin kalah melawannya"
"Mmmm..." "Yang harus ditakuti adalah kalau hati kita masih merasa
ragu-ragu. Harap ingat, jangan sampai ragu"
"Aku tahu" Pada saat ini Cu Siau-thian sudah berada dihadapan
mereka. Melihat Cu Siau-thian, Boh Tan-ping diam tidak berkata apa
apa... Wie Kie-hong dan Tu Liong juga sama-sama hanya
melihatnya tanpa bicara. "Mengapa terjadi seperti ini?" kata kata Cu Siau-thian
diucapkan seperti terhadap orang yang belum pernah
dikenalnya. "Kami sedang menyelesaikan urusan balas budi" Tu Liong
menjawab dingin "Ini bukan cara yang benar untuk menyelesaikan sebuah
masalah. Di tengah siang bolong seperti ini, mana boleh kau
menyiksa seseorang sampai mengaku?" tampaknya pendirian
Cu Siau-thian sudah mulai kelihatan.
"Jangan mendekat" Tu Liong juga tidak berbasa-basi.
Bukan dia tidak menghargai balas budi, hanya saja dia sudah
bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
baik dan buruk secara jelas.
"Apakah aku tidak berhak menjadi orang penengah kalian?"
"Tidak boleh" Tu Liong langsung menjawab.
"Kalau tidak boleh, berarti aku sudah sia-sia berlari sampai
ke Sie-san ini" Dari kata-kata Cu Siau-thian sudah jelas terlihat kalau dia
datang kemari bukan hanya kebetulan saja. Dia pasti sudah
mendapat kabar bahwa Boh Tan-ping digiring kemari.
"Cu Taiya!" Wie Kie-hong tidak ingin Tu Liong merasa serba
salah, karena itu dia maju untuk menyelesaikan masalah,
"urusan ini tidak ada jalan keluarnya"
"Di dunia ini tidak ada masalah yang tidak memiliki jalan
keluar. Asalkan kau bisa membedakan yang mana yang benar
dan yang mana yang salah, yang mana yang baik dan yang
mana yang buruk, ini sudah cukup"
"Sayang sekali selain urusan baik dan buruk, benar dan
salah, masih ada lagi urusan untung dan rugi. Kalau memiliki
pendirian untung dan rugi, keputusan yang dibuat seringkah
tidak dapat diandalkan, tidak dapat dipercaya"
Tu Liong tampak kaget mendengar pernyataan Wie Kiehong.
Dia tidak menyangka anak muda ini bisa mengatakan
sesuatu yang sangat tegas seperti ini.
Raut wajah Cu Siau-thian sedikit berubah. Dia berkata
dengan nada rendah: "Apakah kau pikir aku memiliki hubungan untung dan rugi
dengannya?" "Mungkin ada" "Kau menggunakan kata 'mungkin' menunjukkan kalau kau


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun tidak yakin" "Aku menggunakan kata 'mungkin' agar Cu Taiya tinggal
ditempat.. Harap Cu Taiya jangan mendekat!"
"Baiklah! aku tidak lagi menjadi orang penengah masalah."
Pada akhirnya Cu Siau-thian tampak mengalah, "kalau begitu
aku jadi pihak ketiga yang menonton saja, boleh kan?"
Wie Kie-hong memandang ke arah Tu Liong sepertinya dia
ingin meminta persetujuan Tu Liong terhadap usulan ini,
namun tampaknya Tu Liong tidak menunjukkan apa-apa.
Sepertinya dia menganggap Wie Kie-hong sudah bisa
membuat keputusan menghadapi masalah apapun, terlebih
lagi tadi dia sudah menyerahkan Boh Tan-ping ke dalam
tangan Wie Kie-hong. Cu Siau-thian berkata lagi:
"Ini adalah tempat umum yang dapat dikunjungi siapapun,
disisi kalian bisa melakukan apapun yang kalian inginkan, tidak
ada larangan bagi siapapun untuk melakukan apa yang
mereka inginkan, apakah aku juga tidak bisa melakukan
keinginanku untuk menonton kalian?"
Pada awalnya Wie Kie-hong kekurangan rasa keberanian,
sekarang sebaliknya dia di selimuti semangat. Dia tidak
menghiraukan Cu Siau-thian, dia membalikkan tubuh
menghadap Boh Tan-ping, dan berkata dengan dingin
padanya, "Kau tadi sudah mendengar apa yang Tu toako
katakan, karena itu aku tidak perlu mengulanginya lagi...
....jawablah, dimanakah ayahku?"
Boh Tan-ping tidak menjawab. Tapi tatapan matanya
beralih pada Cu Siau-thian. Sangat jelas terlihat kalau tatapan
mata ini adalah tatapan minta tolong.
Cu Siau-thian ternyata memang merespon terhadap
tatapan itu dan berkata: "Wie Kie-hong! kau sudah bertanya pada orang yang salah.
Kalau kau ingin bertanya tentang keberadaan ayahmu saat ini,
kau seharusnya pergi bertanya pada ayah angkatmu Leng
Souw-hiang barulah tepat."
"Cu Taiya!" Wie Kie-hong berkata dengan dingin, "aku tadi
sudah mengatakan padamu, kata katamu ini tidak akan
mendapat kepercayaan dariku."
"Bagaimana kalau aku sendiri yang pergi membawamu
bertanya pada Leng Souw-hiang?"
"Tidak perlu" "Kalau kau memang ingin membuang-buang waktu,
silahkan terus bertanya"
Ternyata sikap Cu Siau-thian terlihat sedikit melunak
Secara tidak disadari, Cu Siau-thian sudah diam-diam
memberikan petunjuk pada Boh Tan-ping.
"Kie-hong! kau sia-sia bertanya padaku. Kalau kau
membunuhku, kau pun membunuh tanpa mendapat hasil yang
sepadan" Boh Tan-ping mengatakan hal yang sejalan dengan apa
yang sudah Cu Siau-thian ucapkan.
"Aku sama sekali tidak tahu tentang keberadaan ayahmu
sekarang. Kalau kau ingin bertanya, sebaiknya kau bertanya
pada Leng Taiya saja."
Wie Kie-hong tidak banyak membuat pertim bangan lagi,
dia segera mengangkat tangan untuk menghujamkan pisau ke
arah dada Boh Tan-ping. Gerakannya lumayan cepat, tapi gerakan Cu Siau-thian
lebih cepat dari padanya. Terdengar suara "PLAAAKKK"
pergelangan tangan Wie Kie-hong sudah dipegangnya dengan
erat "Hari ini masih terang, bagaimana mungkin kau berniat
melakukan sesuatu yang biadab?" Cu Siau-thian memarahinya
dengan suara yang keras Wie Kie-hong mencoba menarik tangannya dari
cengkraman Cu Siau-thian, tapi setelah beberapa saat dia
menyadari kalau dia tidak bisa melakukannya.
Tu Liong segera mendekat, dia berkata dengan sangat
hormat: "Cu Taiya! aku sudah berhutang budi sangat banyak pada
anda karena anda sudah memelihara sampai aku bisa
mendapatkan hari ini."
Setelah berkata seperti ini, dia mendadak berlutut
dihadapan Cu Siau-thian, setelah itu dia menempelkan
kepalanya ditanah sebanyak tiga kali.
Cu Siau-thian tertegun melihat kelakuannya. Sepertinya dia
tidak mengerti apa yang dilakukan Tu Liong.
Setelah selesai berterimakasih, Tu Liong berdiri. Sepertinya
hampir pada waktu yang bersamaan, kaki kanannya
ditendangkan ke arah Cu Siau-thian.
Ternyata pertama-tama Tu Liong berterima kasih atas
semua budi yang sudah Cu Siau-thian berikan untuknya,
setelah itu dia bertindak.
Pertama-tama karena hal ini terjadi diluar dugaan, kedua
karena tangan kanannya sedang memegang erat tangan Wie
Kie-hong, gerak-gerik Cu Siau-thian jadi sangat terbatas.
Tendangan Tu Liong kali ini mengenai bahu kanannya dengan
telak Dengan otomatis genggaman tangan kanan Cu Siau-thian
menjadi longgar. Wie Kie-hong segera mengambil kesempatan untuk
melepaskan diri. Cu Siau-thian tertawa dingin dan berkata:
"Orang tidak mungkin melukai hati seekor macan, namun
seekor macan selalu bermaksud melukai orang, aku sungguh
tidak menyangka" Ternyata Tu Liong tetap menjawab Cu Siau-thian dengan
penuh rasa hormat "Cu Taiya! aku tidak berani melawan dirimu. Tapi kalau
situasi sudah tidak mengijinkan, aku terpaksa melakukannya"
"Apakah kalian pikir kalian berdua melawan aku sendiri
kalian akan menang?"
Wie Kie-hong berkata dengan tegas: "Kenyataan selalu
lebih menang melawan peringatan yang keras. Kebaikan selalu
menang melawan kejahatan. Ini adalah sebuah aturan yang
selamanya pun tidak akan pernah berubah."
Mendadak Cu Siau-thian tertawa keras. Ditengah tengah
tawanya, dia mendadak mencabut sebuah pedang, dan segera
menyabetkannya ke arah tali yang mengikat tangan Boh Tanping.
Pedang yang digunakannya adalah pedang pendek yang
sangat tajam. Namun tebasan pedang ini sangat akurat. Cu
Siau-thian bahkan tidak memotong sehelai bulu pun dari
tangan Boh Tan-ping. kemahiran menggunakan pedang
seperti ini sungguh membuat kagum siapapun yang melihat.
Sekarang situasi kembali berubah. Sekarang mereka jadi
satu lawan satu. Kalau menimbang dari kemahiran ilmu silat yang dimiliki Cu
Siau-thian dan Boh Tan-ping, jelas tampak kalau Tu Liong dan
Wie Kie-hong pasti akan kalah.
Tapi setelah melepaskan Boh Tan-ping, Cu Siau-thian
tampaknya menunjukkan sifat aslinya.
Kalau Tu Liong dan Wie Kie-hong tidak bisa pergi keluar
dari hutan ini hidup-hidup, apa gunanya Cu Siau-thian berlaku
seperti ini bagi mereka"
"Tan-ping!" Dari panggilan Cu Siau-thian pada Boh Tan-ping sudah
jelas hubungan diantara mereka berdua. "Ya!"
Boh Tan-ping menjawab dengan sangat hormat
"Aku ingat saat itu di kalangan dunia persilatan,
kemampuanmu menggunakan pedang pendek sangat mahir
sampai tidak ada orang yang dapat menandingimu."
Kata-kata Cu Siau-thian diucapkan dengan ringan. Dia
terdengar seperti sedang mengobrol santai dengannya.
"Memang benar" "Hari ini kita memiliki kesempatan untuk melihat
kemampuanmu yang sebenarnya. Perlihat-kanlah padaku"
Cu Siau-thian lalu melemparkan pedang yang ada di
tangannya pada Boh Tan-ping.
Cu Siau-thian lalu berjalan kepinggir. Dia seperti merasa
Boh Tan-ping sendiri saja sudah cukup untuk merobohkan
kedua anak muda itu. dia sendiri tidak perlu ikut campur turun
tangan untuk bertarung. Dia memiliki rasa percaya diri, dari cara Boh Tan-ping
menerima pedang yang dilemparkan dapat dilihat dia juga
memiliki rasa percaya diri yang sama.
Tu Liong dan Wie Kie-hong juga percaya kalau Cu Siauthian
tidak melebih-lebihkan. Karena ini, Wie Kie-hong menggunakan kesempatan ini
untuk bertindak terlebih dahulu, sebelum Boh Tan-ping mulai
melancarkan serangannya. Wie Kie-hong melesat seperti panah yang terlepas dari
busurnya. Dia segera mengarahkan pisau kecil yang
dipegangnya ke arah leher Cu Siau-thian.
Cu Siau-thian tidak menyangka, bahkan Tu Liong sendiri
pun tidak menyangka. Cu Siau-thian tidak memegang senjata. Dia pun tidak
sempat menggunakan pukulan tangan kosong-nya untuk
membalas serangan. Dia hanya bisa melangkah kepinggir
untuk menghindar. Gerakan Wie Kie-hong yang gesit dengan pisau yang tajam
terus memburu Cu Siau-thian
Boh Tan-ping terpaksa menolong Cu Siau-thian untuk
melepaskan diri dari bahaya. Namun baru saja dia hendak
bergerak, Tu Liong sudah menghalangi jalannya.
Pada akhirnya tetap saja semua orang yang terlibat
pertarungan satu lawan satu.
Yang berbeda adalah pada mulanya Tu Liong dan Wie Kiehong
berada di bawah angin. Namun karena Wie Kie-hong
pertama turun tangan menyerang, sekarang keadaan berbalik.
Kedua pemuda ini sekarang mendapat kesempatan besar
untuk menang. Dalam situasi ini, taktik menyerang yang lebih kuat terbukti
sangat efektif. Pada kondisi normal, Cu Siau-thian mampu menghindar
serangan dengan gesit. Gerakannya secepat kilat yang
menyambar. Hanya saja karena sekarang dia sedang berada
ditengah hutan yang lebat, ketika sedang mundur menghindar
serangan, dia kesulitan melihat apakah ada batang pohon
yang menghalangi jalannya. Setiap saat pisau yang tajam bisa
saja menembus lehernya. Wie Kie-hong terus memburu Cu Siau-thian.
Tu Liong dan Boh Tan-ping kembali berdiri berhadaphadapan.
Kejadian pertarungan besar yang dialaminya didalam gang
sempit kembali diputar ulang dalam benaknya.
"Kita bertarung lagi" kata Tu Liong perlahan-lahan.
"MMmm...." Boh Tan-ping terus menatap tajam ke arah Tu
Liong. Kedua orang ini berdiri saling berhadapan.
Senjata mereka berdua sudah terhunus keluar di sisi tubuh
masing-masing. Angin hutan semilir berhembus menerbangkan daundaunan.
Tu Liong mengangkat tangan kanannya bermaksud untuk
menantang Boh Tan-ping untuk menyerangnya terlebih
dahulu. Boh Tan-ping tampak sedikit emosi.
"HIAAAATT!!" Teriakan Boh Tan-ping telah membuka pertarungan kali ini.
Dia segera berlari mendekat Tu Liong.
Kedua tangannya memegang pedang dengan erat
Setelah cukup dekat, Boh Tan-ping segera menebaskan
pedangnya ke arah kepala Tu Liong.
Tu Liong segera membungkuk menghindari serangan.
Berbarengan dengan itu dia meluncur kedepan ke arah Boh
Tan-ping dan menyabetkan pedangnya secara vertikal dari
bawah ke atas. Boh Tan-ping segera memutar tubuhnya, nyaris tidak
berhasil berkelit dari sabetan pedang Tu Liong.
Tu Liong yang berada sangat dekat dengan Boh Tan-ping.
dia bahkan bisa merasakan hangat nafas yang menghembus
pipinya. Namun yang dia rasakan tidak hanya nafasnya.
Boh Tan-ping sudah mengulurkan tangannya dan segera
menggenggam erat baju yang dikenakannya.
Tu Liong kembali mengunjukan kemampu-annya
menggunakan pukulannya. Dia segera menghentakkan kaki kanannya dengan keras,
dan telapak tangan kanannya segera menghantam dada Boh
Tan-ping sama kerasnya. Boh Tan-ping terhuyung huyung kebelakang.
Tu Liong segera mengejarnya kembali.
Dia segera menyabetkan pedangnya ke arah kepala Boh
Tan-ping. Boh Tan-ping segera menunduk menghindari serangan
Tu Liong hanya berhasil menyabet batang pohon, bukan
batang leher Boh Tan-ping.
Setelah menunduk, Boh Tan-ping segera bergerak ke sisi
kanan Tu Liong, dan dengan lebih cepat lagi mengayunkan
senjata andalannya, melintang persis seperti mengikuti jejak
tebasan pedang Tu Liong. Tu Liong sedang membelakangi pedang Boh Tan-ping.
Namun dia merasakan hembusan pedang Boh Tan-ping
mengarah ke lehernya. Dia ikut menunduk dengan cepat.
Pedang menancap dengan erat ke batang pohon. Serpihan
kayu kecil berterbangan kemana-mana.
Tu Liong segera melemparkan dirinya ke sebelah kiri untuk
menjauhi Boh Tan-ping. Boh Tan-ping hanya tersenyum sinis.
Dia menarik pedangnya dengan kuat meninggalkan bekas
goresan pedang yang mendalam di batang pohon.
Mereka berdua kembali berdiri saling bertukar pandang.
Tu Liong mengeluarkan pisau kecil dari balik bajunya.
Rupanya Boh Tan-ping pun tidak mau kalah, dengan
tangan kirinya, dia kembali mencabut pisau kecil yang
menyatu dengan pedangnya.
Kedua orang itu berdiri berhadap-hadapan.
Pisau di tangan kiri, pedang di tangan kanan.
Tiba tiba Cu Siau-thian lewat di antara mereka. Wie Kiehong
masih berusaha keras melukainya.
Setelah mereka lewat, Tu Liong langsung melancarkan


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan. Sekejap saja, Tu Liong sudah melancarkan kombinasi
serangan pisau dan pedang berulang ulang ke arah Boh Tanping.
Sambil menangkis serangan, Boh Tan-ping terus melangkah
mundur. Boh Tan-ping tidak mundur terlalu jauh.
Ada sebuah batu besar merintangi jejak jalan mundurnya.
Walaupun sedang menghindari serangan Tu Liong, Boh
Tan-ping tetap menyadari adanya batu.
Setelah hampir menabraknya, Boh Tan-ping segera
meloncat tinggi. Tu Liong tidak mau melepaskan Boh Tan-ping begitu saja.
Dia pun ikut meloncat tinggi dan terus menyabetkan
pedangnya padanya. Boh Tan-ping bersalto di udara.
Dia menginjak dahan sebuah pohon dan menggunakannya
sebagai pijakan untuk meloncat lebih tinggi dan menghindari
tebasan pedang Tu Liong. Boh Tan-ping mendarat dengan anggun di atas salah sahi
dahan pohon. Tu Liong berdiri diatas dahan pohon yang berseberangan
dengan Boh Tan-ping. Pertarungan babak kedua berhenti lagi.
Keringat mulai bercucuran.
Nafas mulai memburu. Tidak lama Wie Kie-hong dan Cu Siau-thian kembali lewat
diantara mereka. Mereka berdua pun sedang meloncat-loncat dari pohon ke
pohon terus kejar-kejaran seperti anjing mengejar kucing.
Setelah mereka lewat, pertarungan babak ke tiga dimulai.
Tu Liong meloncat menuju dahan yang diinjak Boh Tanping,
sementara pada waktu yang bersamaan, Boh Tan-ping
juga meloncat menuju dahan yang diinjak Tu Liong.
Mereka bertemu ditengah udara kosong diantara
rimbunnya daun-daunan. Pedang bertemu pedang, pisau bertemu pisau.
Sabetan sabetan kuat dan cepat hanya terjadi dalam waktu
yang sangat singkat. Kekuatan tebasan mereka menggugurkan daun daun
disekitarnya. Membuat daun-daunan turun ke bumi bagaikan
hujan. Boh Tan-ping mendarat dengan mantap di atas dahan
pohon. Namun ketika dia berbalik, dia terkejut karena Tu Liong
sudah kembali meluncur ke arahnya.
Rupanya Tu Liong hanya menggunakan dahan tempatnya
mendarat sebagai tolakan agar dia kembali meluncur ke arah
Boh Tan-ping. Tu Liong segera menebaskan pedangnya kuat-kuat.
Boh Tan-ping masih agak kaget. Namun dia segera
meloncat menjauh. Tebasan Tu Liong tidak mengenai sasaran.
Boh Tan-ping bersalto ketika dia melayang turun kebawah.
Tu Liong kembali menendang dahan pohon tempatnya
berpijak agar menjadi tolakan yang kuat untuk mengejar Boh
Tan-ping. Dari posisinya bersalto, mendadak pisau kecil yang
dipegang Boh Tan-ping melesat cepat bagaikan panah yang
terlepas dari busurnya menuju Tu Liong.
Tu Liong terkejut. Segera dia memiringkan kepala menghindari pisau. Tapi
pisau itu hanya berhasil menggores kulit pipinya.
Boh Tan-ping sudah mendarat. Sekarang dia mengayunkan
pedang untuk menyambut serangan Tu Liong dari atas. Kedua
pedang kembali beradu. "TRAAANGGGG"
Namun kali ini Boh Tan-ping mengalah dan langsung
meloncat mundur agak jauh.
Tu Liong tidak melewatkan kesempatan ini untuk melempar
pisau kecil yang masih dipegangnya.
Pisau kecil kembali melesat bagaikan panah menuju dada
Boh Tan-ping. Sekarang giliran Boh Tan-ping yang mengi-baskan
pedangnya untuk menepis pisau yang melun-cur ke arahnya.
"TRANGG" Pisau itu terus melesat ke arah yang berbeda, tidak
terhindarkan pisau menancap pada batang salah satu pohon.
Kedua orang ini kembali berdiri berhadapan. Sebatang
pohon melintang di antara mereka berdua.
Kali ini Cu Siau-thian dan Wie Kie-hong tidak lagi berkejarkejaran.
Cu Siau-thian terus melangkah mundur menghindari
tusukan pisau Wie Kie-hong.
Malang baginya, dia tidak memperhatikan batang pohon
yang melintang. Cu Siau-thian terperanjat ketika dia menabrak batang
pohon. Wie Kie-hong langsung menghujamkan pisau-nya ke leher
Cu Siau-thian. "HENTIKAN!" tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi
ditengah hutan Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan seseorang
terbang mendekat. Ternyata orang itu adalah Thiat-yan
Kalau orang yang memberi perintah berhenti adalah Tu
Liong, mungkin Wie Kie-hong akan mendengarkan perintah
dan menghentikan serangan. Namun sekarang Wie Kie-hong
menurun kan pisaunya. Sepertinya perintah Thiat-yan sudah
memberikan dampak yang besar baginya.
Saat ini Cu Siau-thian sedang berdiri membelakangi batang
sebuah pohon besar, kalau Thiat-yan tidak keluar
menghentikan pertarungan, mungkin dia tidak bisa
menghindari serangan Wie Kie-hong, pisau itu pasti sudah
menancap di lehernya. Apakah teriakan Thiat-yan memang bertujuan untuk
menolong Cu Siau-thian"
Kalau memang untuk menolong Cu Siau-thian, untuk apa
dia melakukannya" Jangankan orang lain, bahkan Cu Siau-thian sendiri merasa
bingung. Tentu saja Thiat-yan bisa melihat tanda tanya besar yang
tergambarkan didalam tatapan mata Wie Kie-hong. Tapi dia
tidak segera memberikan penjelas-an. Dia hanya membalikkan
tubuh pada Boh Tan-ping dan bertanya, "Paman Boh!
mengapa kau ada disini?"
"Mereka berdua menculikku kesini" Boh Tan-ping menunjuk
pada Wie Kie-hong dan Tu Liong.
"Mengapa?" "Mereka terus berpendapat kalau aku tahu tentang
keberadaan Wie Ceng"
"Apakah kau tahu?"
"Tentu saja aku tidak tahu"
"Baiklah! kalau begitu silahkan paman pulanglah dulu"
Boh Tan-ping hanya berdiri disana tidak bergerak.
"Paman Boh, apa lagi yang sedang kau tunggu?"
"Aku menunggu kau pulang bersamaku"
"Tidak perlu. Aku sudah besar, aku bukan anak kecil lagi."
Kata-kata Thiat-yan bermakna ganda. "Aku bisa mengurus
diriku sendiri...." "Baiklah! kalau begitu aku pergi dulu"
Cu Siau-thian tidak mencoba menghentikan Boh Tan-ping.
walaupun dia memiliki hubungan dengan Boh Tan-ping, tapi
tetap saja dia tidak merasa enak mencegahnya pergi.
Wie Kie-hong dan Tu Liong pun tidak menghalang halangi.
Sepertinya mereka semua mengerti apa maksud nona Thiatyan
berkata seperti itu. Boh Tan-ping berjalan pergi, langkahnya sangat perlahan.
Namun tidak masalah betapa pelannya dia berjalan, pada
akhirnya dia berjalan keluar dari hutan.
Thiat-yan memandang Boh Tan-ping sampai sosok
tubuhnya tidak terlihat lagi. setelah itu dia membalikkan tubuh
dan berkata dengan lembut pada Wie Kie-hong.
"Wie Siauya, apakah kau tahu mengapa aku mencoba
menghentikan serangan mu" Aku meng-hentikanmu karena
Cu Siau-thian tidak boleh mati"
"Oh...?" "Kali ini aku datang ke Pakhia untuk mencari barang
peninggalan milik ayahku. Kalau Cu Siau-thian mati, kemana
aku akan mencarinya lagi" kemana aku akan bertanya?"
Cu Siau-thian hanya berdiri disana tidak bergerak sama
sekali. Sekarang situasi sudah menjadi satu lawan tiga. Namun
dia tampak tenang-tenang saja.
"Cu Taiya !" Thiat-yan berjalan mendekat ke arah Cu Siauthian
"sekarang sebaiknya kau mulai menjelaskan padaku...."
"Nona Tiat!" Cu Siau-thian berkata dengan dingin padanya,
"aku katakan bahwa kopor kulit itu mungkin sekarang sedang
berada ditangan Leng Souw-hiang. Kalau kau tidak percaya,
aku berjanji akan membantumu mencari tahu. Tapi aku tidak
mendapat hasil apapun kalau begini"
"Sepertinya kata-kata yang kau ucapkan tadi tidak pantas
diucapkan oleh seorang tuan besar, orang harus berani
berbuat dan berani bertanggung jawab, aku adalah generasi
muda, kalau tidak mencari tahu kejadian yang sebenarnya,
apakah aku masih berani mencarimu sampai kesini?"
"Nona Tiat, kau terlalu sungkan, begitu kau datang ke
Pakhia, kau langsung melukai banyak orang, apa yang tidak
berani kau lakukan?"
"Apakah kau sedang berusaha membuatku bimbang?"
"Tidak perlu seperti ini"
Thiat-yan berpaling pada Tu Liong dan Wie Kie-hong.
"Bisakah kalian meninggalkan kami berdua?"
Dari awal Tu Liong hanya terdiam. Sekarang dia ikut ambil
bicara. "Adik Yan! kau berlaku seperti ini, sepertinya sedikit
berlebihan. Adik Kie-hong sedang menanyakan tentang
keberadaan ayah kandungnya. Sekarang kau tiba-tiba muncul
dan berusaha menghentikan dia. setelah itu kau masih
menyuruh kami berdua pergi. Apakah kau pikir kami akan
setuju begitu saja?"
Kata-kata ini diucapkan dengan tegas. Thiat-yan juga pasti
berpikir, tidak tahu harus bagaimana menjawab
pertanyaannya. Namun tanpa disangka-sangka, Thiat-yan malah tertawa
keras. "Mengenai keberadaan ayah kandung Wie Kie-hong,
serahkan urusan ini padaku. Wie Siauya! apakah kau percaya
padaku?" "Nona Tiat! aku memang pernah mempercayai dirimu
sebelumnya, mohon nona beri aku batasan waktu agar aku
bisa bertanya padamu"
"Baiklah! hari ini sebelum lampu dinyalakan"
"Baik! Toako ayo kita pergi"
Melihat raut mukanya, Wie Kie-hong tahu Tu Liong tidak
setuju pergi begitu saja. Tapi dia sudah mengatakan kalau
Wie Kie-hong yang memegang kuasa atas masalah ini. mana
mungkin dia bisa mem-bantah permintaannya" karena itu dia
hanya memberi-tahu Wie Kie-hong tentang sebuah masalah.
"Tidak seharusnya Thiat-yan menentukan tempat kalian
bertemu?" "Temui aku di kediamanku"
"Baiklah! pada waktunya aku pasti akan menemani Wie Kiehong
datang kerumahmu" Kata-kata ini jelas memiliki arti yang tersirat. Walaupun ini
urusan Wie Kie-hong, tapi dia tetap merasa harus ikut campur
memberikan usulan. Kedua orang itu lalu berjalan keluar dari
hutan. 0-0-0 Setelah beberapa jauh keluar dari hutan, Mendadak Wie
Kie-hong menghentikan langkahnya. Dia bertanya dengan
sungguh sungguh: "Tu toako! coba kau tebak. Mengapa dia menyuruh kita
pergi?" "Mungkin dia memiliki rahasia yang tidak dapat
diceritakannya pada kita"
"Sepertinya tidak demikian"
"Oh..." Kau pikir....?"
"Kalau kita tinggal disana, mungkin dia ingin melakukan hal
yang agak kasar pada Cu Siau-thian, kita mungkin tidak bisa
banyak membantunya. Tiga lawan satu, kalau berita ini
tersebar keluar, sepertinya tidak akan enak di dengar, kalau
membantunya, kita akan kesulitan menjelaskan pada orang
lain. Mungkin dia ingin menghindari situasi yang canggung
dengan kita. Karena itu dia berpikir untuk sekalian menyuruh
kita berdua pergi." "Kie-hong, sepertinya kau sangat menyukai Thiat-yan"
"Apakah kau tidak memiliki perasaan yang baik
terhadapnya?" "Sangat sulit dikatakan"
Tu Liong lalu mengesampingkan masalah ini dengan
membuat sebuah pertanyaan baru.
"Mengenai masalah ayah kandungmu, kau percaya pada
siapa?" "Kata-kata siapapun bisa aku percaya, hanya kata-kata Cu
Siau-thian yang tidak dapat dipercaya"
"Mengapa" "Sangat sederhana, dia mengatakan kalau ayahku adalah
prajurit Leng Souw-hiang. Kalau kata-kata ini dapat
diandalkan, ayahku pasti diam diam memperhatikan gerakgerik
Cu Siau-thian. Tadi ketika dia muncul, aku sudah
membuat perkiraan, seharusnya ayah kandungku juga
menunjukkan diri. di dunia ini tidak ada ayah yang tidak
memperdulikan anaknya."
"Ugh.." "Karena itu aku membuat kesimpulan kalau gosip yang
mengatakan bahwa ayahku sedang berada dibawah tekanan
Cu Siau-thian adalah yang paling bisa dipercaya"
"Kalau tebakanmu tepat, kira-kira bagaimana Thiat-yan
akan menjawabmu nanti sore?"
"Kita tidak perlu menghabiskan tenaga untuk memikirkan
hal ini" "Kie-hong! Tiba-tiba saja aku mempunyai sebuah
pemikiran" "Pemikiran apa?"


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana menurutmu kalau kita kembali masuk ke dalam
hutan dan melihat-lihat?"
"Apakah kau mempunyai maksud khusus untuk melakukan
hal ini?" "Aku hanya merasa sekarang setelah kejadi-annya seperti
ini, kita tidak seharusnya sembarang an mempercayai orang
lain dengan mudah" "Kau mencurigai Thiat-yan?"
"Aku mencurigai semua orang"
"Kita harus menjadi lelaki jantan"
"Seorang jantan memang mendapatkan kekaguman orang
lain, tapi juga sering dipermainkan orang lain."
"Kalau kau ingin memaksa kembali melihat, aku akan
menemanimu" "Aku berani bertaruh. Sekarang ini Nona Thiat-yan dengan
Cu Siau-thian pasti sudah tidak ada didalam hutan itu lagi."
"Benarkah?" "Benar atau tidak kita akan segera tahu"
Kedua orang ini memutar tubuh dan kembali berjalan ke
dalam hutan. Tu Liong sungguh sangat pandai menebak
situasi. Ternyata memang benar ditengah hutan sudah tidak
terlihat siapapun juga, hanya terdengar desir daun ditiup
angin semilir. Pada saat ini, tiba-tiba pada wajah Tu Liong terukir sebuah
senyuman. "Tu toako" Wie Kie-hong bertanya "mengapa kau
tersenyum?" "Aku tersenyum karena ekor musang itu sementara waktu
belum hilang, malah belum menampakkan diri, namun pada
akhirnya pun pasti ketahuan"
"Apa arti kata-katamu?"
Wie Kie-hong memang lebih polos dibanding dengan Tu
Liong. Dia tidak mengerti arti tersirat dari kata-kata yang
sudah diucapkan Tu Liong.
"Kie-hong!" Tu Liong tetap tidak mengatakan dasar dari
misteri ini, "sekarang kau pulang, Temui Leng Taiya,
tanyakanlah padanya apakah dia bersedia mengikuti jejak Hui
Taiya" tanyakan apakah dia sudah siap untuk menemui
ajalnya ataukah dia lebih bersedia untuk menceritakan rahasia
besar yang disimpannya selama bertahun tahun ini"
"Mengapa begitu" Pertanyaannya sangat tidak masuk akal,
apakah kau tidak bisa menceritakannya dengan lebih jelas
lagi" "Tidak bisa" Tu Liong menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mengapa" Apakah kau tidak mempercayai ku?"
"Kie-hong, kita berdua memiliki perasaan yang sama, kita
pun sangat kompak. Mengapa kau berpikir seperti ini"
sebaliknya, aku ingin kau bisa percaya. Sekarang ini jangan
bertanya alasannya, turutilah kata-kataku dan lakukanlah"
"Baiklah! kalau begitu dimana kita akan bertemu lagi?"
Tu Liong berpikir-pikir, setelah itu dia berkata: "Kita
bertemu di kedai teh 'Kie Cui' di Ong Oey
Pho. Kita bertemu sebelum matahari tenggelam. Seperti
biasa, jangan pergi sebelum bertemu"
"Baiklah, aku pasti akan datang secepatnya"
Wie Kie-hong melangkah cepat keluar dari hutan.
Cukup sulit mencari kereta kuda untuk kembali ke kota.
Setelah bersusah payah, dia memerintahkan kusir kereta
segera pergi ke sepuluh gang kecil
Setelah kembali ke tempat Leng, Wie Kie-hong segera
datang ke kamar tidur ayah angkatnya. Dia segera membuka
pintu masuk kamar. Leng Souw-hiang terlihat sedang berbaring di atas
ranjangnya membelakangi Wie Kie-hong. Sepertinya dia
sedang tertidur lelap. Wie Kie-hong tidak ingin
membangunkannya. Dia berdiri didepan ranjangnya sangat
lama,, berharap ayah angkatnya sadar akan kehadirannya.
Setelah tidak sabar, dia berkata, "Gihu, bangunlah"
"Tidak ada jawaban. Wie Kie-hong terus memanggilnya sampai tiga kali. setiap
kali memanggil, dia menaikkan suaranya. Mendadak dia
merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Dia segera
mengulurkan tubuhnya untuk menggoyang tubuh ayahnya.
Ketika dia melihat wajah Leng Souw-hiang yang sudah
menjadi hijau, tanpa disadari dia menghela nafas dalam
dalam. Ternyata Leng Souw-hiang sudah mati.
Kedua matanya membelalak terbuka lebar. Dari sisi
mulutnya mengalir darah. Wajahnya sudah berubah warna
menjadi hijau. Tanpa diragukan lagi dia mati karena diracun.
Di atas meja ada sebuah poci air panas. Di dalam gelas
masih terisi air setengah penuh. Penutup pocinya sedikit
miring. Sepertinya Leng Souw-hiang sendiri yang menuangkan
air untuk diminum.... Apakah ada racun didalam airnya"
Ini tidak benar. Tangan Leng Souw-hiang sudah tidak ada.
Mana mungkin dia bisa menuang kan air minum?"
"Pelayan!" Wie Kie-hong memanggil dengan suara yang
ditekan rendah. Para penjaga pintu segera mendorong pintu kamar tidur
dan masuk ke dalam "Setelah aku pergi, siapa yang datang ke dalam kamar ini?"
"Selain orang yang bertugas merawat Leng Taiya, tidak ada
orang lain yang sudah masuk kemari"
"Dengarlah. Mulai sekarang jangan ijinkan siapapun masuk
ke dalam kamar ini. suruh beberapa orang untuk menahan
pelayan yang mengurus Leng Taiya. Jangan biarkan mereka
pergi. Apakah kau mengarti?"
"Siauya, apa yang terjadi dengan tuan besar?"
"Tidak ada apa-apa !" Wie Kie-hong berusaha menutupi
mayat Leng Souw-hiang dengan tubuhnya.
"Cepat kerjakan perintahku....ingatlah, selain
orang orang kepercayaan yang sudah kupilih, siapapun
tidakboleh tahu tentang hal ini..."
"Baiklah!" "Aku ingin pergi sebentar, semua urusan harus menunggu
keputusanku ketika kembali nanti."
"Baik" Para penjaga pergi keluar. Kepala Wie Kie-hong terasa
sangat berat. Siapa yang membunuh Leng Souw-hiang" Bagaimana
mungkin tindak tanduknya secepat ini"
Serentetan tanda tanya besar muncul didalam hati Wie Kiehong.
Dia sangat tidak sabar ingin segera bertemu Tu Liong
dan menanyakan sampai jelas, tapi...
Perlahan lahan dia membuka pintu dan berjalan keluar.
0-0-0 Kedai teh 'Kie-cui' yang berada di dalam distrik Ong-huangpo
adalah sebuah kedai teh kecil yang terletak di jalan yang
berkelok-kelok. Kedai teh ini adalah tempat orang-orang
berkumpul. Kalau ada tiga, lima orang sahabat yang sudah
berjanji pergi bersama menjumpai gadis, mereka selalu
berkumpul disini. Setelah bertemu mereka pergi bersamasama.
Karena itu orang yang datang kemari hanya duduk
duduk sebentar lalu pergi.
Walaupun Wie Kie-hong bukan orang yang senang
membuang waktu mengunjungi kedai teh ini, tapi dia sudah
lama tinggal di dalam kota. Tentu saja dia mengerti tentang
tempat ini sebelum datang mengunjunginya. Hanya ada satu
hal yang tidak dia mengerti. Mengapa Tu Liong meminta untuk
bertemu dengannya ditempat seperti ini" apakah dia sudah
menganggap kalau tempat biasa mereka bertemu sudah tidak
aman" Dia tidak memiliki harapan lain. Dia hanya berharap
sebelum lampu dinyalakan, dia bisa segera bertemu Tu Liong.
Ketika dia masuk kedalam kedai, pelayan yang bertugas
menyuguhkan teh langsung mendekatinya dan menyapa
dengan suara rendah. "Apakah anda Wie Taiya?"
"Betul" "Silahkan kemari"
Pelayan kedai teh membawanya masuk kedalam sebuah
ruang minum, tidak disangka ternyata Tu Liong sudah sampai
duluan dan sedang menung-gunya didalam.
"Tu toako....kau...."
Tu Liong mengibaskan tangannya, si pelayan kedai teh
segera pergi keluar. Selain itu dia juga menurunkan tirai
bambu. Sepertinya dia sudah kenal akrab dengan Tu Liong.
"Apakah kau sudah menemui ayahmu?"
"Sudah" "Apa yang dia katakan?"
"Dia tidak mengatakan apa apa"
"Oh...!" "Dia sudah mati diracun seseorang" Tu Liong merasa
seolah-olah ada jarum tajam menusuk kepalanya. Dia merasa
kaget, tapi dia tetap tampak tenang.
"Mnghadapi masalah apapun kau tidak boleh terlalu
berpandangan subyektif. Kematian Leng Taiya adalah
kenyataan. Tapi belum tentu dia mati diracun orang, mungkin
dia mati menyimpan dendam"
"Apakah maksudmu dia bunuh diri?"
"Mungkin juga. Dahulu pada jaman dynasti Ceng masih
berjaya, kalau majikan menyuruh anak buahnya mati, anak
buahnya tidak berani tidak mati. Karena itu kemanapun
mereka pergi, mereka selalu membawa racun bersama
mereka untuk digunakan pada waktu yang diperlukan. Leng
Taiya adalah pengurus kerajaan. Tidak mungkin dia tidak
menge-tahui hal ini."
"Tapi dia tidak memiliki alasan untuk bunuh diri"
"Mungkin juga dia ingin menghindari sesuatu"
"Tu toako, aku ingin bertanya tentang satu hal padamu,
darimana kau tahu kalau Leng Taiya mati menyimpan
dendam?" "Cu Siau-thian sudah melemparkan semua kesalahan pada
Leng Souw-hiang. Tentu saja dia harus membunuh Leng
Souw-hiang agar hatinya tenang."
"Kalau menurut kesimpulanmu, berarti Leng Taiya tidak
bunuh diri" "Coba kau pikir. Orang lain bisa mem-bunuhnya dengan
menancapkan pisau di leher, tapi tidak mungkin ada orang
yang memaksanya untuk meminum racun. Kalau ada orang
yang menumpahkan racun kedalam air minumnya diam-diam,
asumsi ini pun tidak dapat diandalkan., lagipula keadaannya
sangat mendesak. Kalau memang ada orang yang ingin
membunuh Leng Souw-hiang, tidak mungkin meng-gunakan
cara perlahan seperti ini."
"Kau mengatakan bahwa Cu Siau-thian yang ingin
membunuh Leng Souw-hiang adalah satu hal, sedangkan
kematian Leng Souw-hiang adalah hal yang lain. Apakah
menurutmu kedua hal ini tidak saling berhubungan ?"
"Betul" "Tu toako, aku selalu percaya padamu. Sekarang ini apa
yang harus kita lakukan?"
"Pergi menemui Thiat-yan"
"Apakah aku pergi menemuinya seorang diri?"
"Ya. Tapi kau harus mengingat satu hal"
"Katakanlah" "Kau jangan terlalu mempercayainya"
Wie Kie-hong membelalakkan kedua matanya.
Secara tidak sadar dia menghembuskan nafas panjang.
Dunia ini sungguh sangat menakutkan, sepertinya tidak ada
satu orangpun yang bisa dipercaya. "Kau kenapa?"
"Kata-katamu itu sungguh membuatku kaget"
"Mengapa?" "Thiat-yan" dia...."
"Kau jangan bertanya apapun" Mendadak Tu Liong berubah
sikap menjadi sangat misterius
"Semua orang selalu mendahulukan kepen-tingan
pribadinya. Setelah dia berhasil mendapatkan keuntungan,
barulah dia memikirkan kepentingan orang lain. Itu pun tidak
akan sebanyak memper-dulikan kepentingannya sendiri, orang
yang hanya memperdulikan kebaikan orang lain, bisa
dikatakan tidak ada....Wie Kie-hong, dengarlah nasihat
temanmu ini. setiap saat, kapanpun dan dimanapun kamu
jangan terlalu mempercayai orang, bahkan kamu pun tidak
boleh mempercayaiku"
"Tu toako! kalau memang seperti ini, bukan kah dunia ini
menjadi gila" dari kecil aku selalu meng- hormatimu,
mengagumimu. Aku sudah menganggap-mu sebagai kakakku
sendiri, sekarang bahkan kau pun tidak boleh aku percaya...."
"Ini hanya sebuah perumpamaan....baiklah ! kau cepatlah
pergi. Sekarang ini aku bisa memberitahumu sebuah hal.
Kemunculan nona Thiat-yan di hutan tadi adalah untuk
menolong Cu Taiya" "Oh...!" "Dengan adanya kesimpulan ini, kau bisa mengambil sikap
ketika bertanya padanya....hanya saja ada satu hal yang bisa
membuatmu tenang. Dia tidak mungkin semudah itu
menyuruh Boh Tan-ping melukaimu"
Wie Kie-hong tidak berkata apa-apa. dia bergegas pergi.
Dia melangkahkan kakinya segera. Langkahnya
menggambarkan pikirannya yang tidak tenang.
0-0-0 Matahari mulai terbenam. Ketika Wie Kie-hong sampai di gang San-poa, sudah ada
beberapa rumah yang mulai menyalakan lampu.
Ini adalah waktu lampu mulai dinyalakan.
Nona Thiat-yan sudah berjanji akan memberi-tahu Wie Kiehong
ketika lampu mulai dinyalakan. Kalau begitu ini adalah
waktu yang sangat tepat. Pintu kediaman Boh Tan-ping terbuka. Ada orang yang
keluar menyambutnya, sekali melihat Wie Kie-hong, mereka
langsung berkata: "Wie Siauya, nona Thiat-yan sedang menunggumu"
Wie Kie-hong mengikuti para pelayan ini kedalam rumah.
Dia digiring kedalam sebuah ruangan
Thiat-yan sedang duduk didepan sebuah meja, bahkan
dupa pengharum ruangan pun sudah dipersiapkannya.
"Nona Tiat!" Wie Kie-hong berkata dengan dingin, "melihat


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan ini, sepertinya kau sudah mendapatkan informasi
yang ingin aku dengar"
"Duduklah!" Thiat-yan hanya mengatakan satu patah kata
saja... Wie Kie-hong duduk berhadap-hadapan dengan Thiat-yan.
Dia memandangnya dengan tatapan curiga. Namun tatapan
mata nona Thiat-yan sangat jernih. Nona yang baik seperti ini
pun bisa mem-bohonginya. Bukankah dunia ini sudah gila"
"Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan" Thiat-yan berkata
dengan lembut "Aku hanya sedang memikirkan satu hal"
"Kau sedang menebak kebohongan apa yang akan aku
katakan untuk mengelabuimu"
"Tidak! kau bukan orang semacam itu"
"Apakah kau sungguh mempercayai setiap kata yang aku
ucapkan?" "Iya" Sekarang Wie Kie-hong yang berbohong. Yang
diucapkannya tidak sama dengan kata hatinya, dunia memang
bisa merubah sifat dan karakter seseorang.
"Aku sangat senang....kalau begitu aku bisa langsung
mengatakan yang sejujurnya padamu....
kira-kira ketika aku berumur sepuluh tahun, aku berkenalan
dengan ayahmu....karena dia masih lebih kecil beberapa tahun
dibandingkan ayahku, karena itu aku memanggilnya paman
Wie. Dalam sepuluh tahun ini, kami terus saling
berkomunikasi, bahkan dalam beberapa hari terakhir ini, kami
selalu bertemu..." "Benarkah?" Mendengar kata-kata Thiat-yan, nafas Wie Kiehongmenjadi
berat... "Lihat dirimu. Kau sudah tidak memper-cayaiku"
"Aku percaya., aku percaya., aku percaya..."
"Tadi sebelum kau datang kemari, aku bahkan sudah
menemui paman Wie" Wie Kie-hong menahan nafas. Dia tidak berani
mengeluarkan suara. Thiat-yan melanjutkan kata katanya, "Paman Wie sudah
menyuruhku memberitahukan, sekarang dia belum bisa
menjumpaimu" "Sampai kapan aku harus menunggu?"
"Sebentar lagi"
"Tidak bisa, aku harus segera menemui ayahku.
Secepatnya! Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
walaupun waktunya hanya sebentar"
"Kau dengarkan dulu semua kata-kataku. Walau pun kau
tidak bisa menunggu, kau pun tetap harus menunggu. Paman
Wie masih menyuruhku menyampaikan dua masalah lagi
padamu" "Oh..." Masalah apa?"
"Pertama, di dalam kediaman Leng Taiya ada sebuah
gudang barang-barang. Didalam gudang itu ada sebuah
payung kertas. Payung ini tersimpan dalam sebuah kotak yang
panjang. Payung ini adalah payung terkenal buatan daerah Ho
Lam. Pada pegangan payung terdapat sebuah ukiran tulisan
"Yap-yang-tiang-tai-san-ceng" (payung merk Yap-yang buatan
Tiang-tai) yang dicap oleh sebuah besi panas. Kau bawalah
payung ini padaku, nanti paman Wie pasti akan datang kemari
untuk mengambilnya...."
Mendadak nona Thiat-yan berhenti berbicara Wie Kie-hong
terdiam menunggu lanjutan kata-katanya, "Kedua, sementara
waktu dia ingin kau menjauhi Tu Liong...."
"Mengapa?" Wie Kie-hong terlonjak kaget, kelihatannya
seolah-olah dia meloncat dari tempat duduknya.
"Kau tidak usah bertanya. Ayahmu sudah memerintahkan
begini. Apakah kau harus bertanya alasannya?"
"Bagaimana aku tahu kalau ayahku yang sudah
mengatakan hal ini padamu?"
"Pertama kau pergilah mencari payung itu. kalau sudah
ketemu, itu akan membuktikan kalau aku tidak sedang
berbohong" Kata katanya masuk akal Sekarang emosi Wie Kie-hong kembali mereda, dia berkata
dengan lembut padanya: "Nona Tiat, bukannya aku tidak percaya. Hanya saja kau
sudah melakukan banyak hal yang menimbulkan kecurigaan
orang lain. Sebagai contoh, tadi didalam hutan...."
"Terlalu kebetulan., benar tidak?"
"Kau diam-diam menolong Cu Siau-thian"
"Aku menyangkal"
"Kau tidak perlu menyangkal. Ini adalah kenyataan"
"Aku menyangkal kalau aku diam-diam menolong Cu Siauthian.
Aku hanya mengaku tadi di hutan aku memang
menyelamatkan nyawanya"
"Memang apa bedanya?"
"Menyelamatkan jiwa Cu Siau-thian bukan berarti aku
sedang menolong dirinya, tapi karena saat ini dia belum boleh
mati. Kalau aku tidak menampak-kan diriku, mungkin kau
sudah berhasil membunuh-nya tadi."
"Tapi kau tidak seharusnya melepaskan dia"
"Sebenarnya memang aku ingin menangkap nya, tapi aku
menggunakan taktik dan pura-pura melepasnya. apa kau tidak
mengerti?" "Aku tidak mengerti"
"Sekarang ini tidak perlu mendebatkan hal ini, pergilah
mencari payung kertas yang tadi kuceritakan. Hanya payung
itulah yang bisa membuktikan apakah kata-kataku selama ini
bisa dipercaya atau tidak..."
"Baiklah! Apa kau akan menungguku disini?"
"Tentu saja, kalau kau bisa membawa payung itu padaku,
kau bisa membuktikan kalau aku tidak berbohong padamu.
Setelah itu masih banyak hal yang perlu kita bicarakan."
Wie Kie-hong segera pergi, dia bertekat untuk cepat
pulang, agar cepat kembali. Dia ingin segera menyelesaikan
semua masalah dalam hati.
0-0-0 Ternyata kediaman Leng masih dijaga dengan ketat. Berita
kematian Leng Taiya karena diracun tidak diketahui oleh
sembarang orang, para pelayan yang mengurus Leng Taiya,
dalam pengawasan orang-orang Wie Kie-hong tidak
menunjukkan gerak-gerik yang mencurigakan.
Wie Kie-hong segera pergi ke gudang penyimpanan
barang-barang. Gudang ini sangat besar, dia segera
membongkar barang-barang disana, berusaha menemukan
kotak payung. Sepertinya pencarian ini akan sangat sulit,
namun setelah sekian lama mencari kesana-kemari, akhirnya
Wie Kie-hong berhasil menemukannya.
Dia membuka kotak pembungkus kertas. Didalamnya bau
minyak menusuk hidung, setelah bertahun tahun ini, payung
kertas ini masih tampak baru.
Dia lalu memeriksa pegangan payungnya, disana memang
terukir kata-kata seperti yang diucap-kan Thiat-yan. Kata-kata
ini terukir oleh besi panas.
Nona Thiat-yan tidak sedang berbohong. Dia tidak mungkin
tahu ada barang seperti ini didalam gudang barang-barang
Leng Souw-hiang. Dia sendiri pun tidak tahu.
Dia segera kembali ke gang San-poa. perasaan Wie Kiehong
kembali berubah. Sekarang ini dia sama sekali tidak
menaruh curiga pada Thiat-yan. tapi....
Mendadak Wie Kie-hong tertegun
Kalau kata-kata Thiat-yan bisa dipercaya, berarti Tu Liong
sudah berbohong padanya. Apakah dia sudah salah membuat
tebakan" Ataukah dia sedang berusaha membelokkan
kenyataan" Terlebih lagi menurut Thiat-yan, ayahnya juga
sudah menyuruhnya sementara waktu ini tidak menjumpai Tu
Liong. Mengapa dia harus menyuruhnya seperti ini"
Di sebelah kiri sebuah pertanyaan, di sebelah kanan sebuah
tanda tanya yang lain. Keduanya menjepit dirinya dengan
kuat. Dia hampir tidak bisa melanjutkan langkahnya.
Mendadak dibelakangnya terdengar suara seseorang
menyapanya... 'Apakah anda tuan muda dari kediaman keluarga Leng?"
"Siapa?" Segera Wie Kie-hong membalikkan tubuh dan melihat
kebelakang. Gerakan orang ini pun tidak kalah cepat. Seolah-olah dia
selalu berada dibelakang Wie Kie-hong, kemanapun dia
menghadap. "Wie Siauya tolong jangan membalikkan tubuhmu."
"Kau siapa?" "Jangan perdulikan siapa diriku. Aku hanya punya tiga
pertanyaan untukmu. Pertanyaan pertama, apakah ayah
angkatmu Leng Souw-hiang sudah mati?"
"Tidak salah" "Dimana Cu Taiya?"
"Tidak tahu" "Apakah kau sekarang mau bertemu Thiat-yan?"
"Betul" "Untuk menunjukkan rasa terimakasih ku, aku ingin
memberimu sebuah peringatan. Jangan pergi ke gang Sanpoa"
"Kenapa?" Tidak ada jawaban "Tolong beritahu kenapa aku sebaiknya tidak pergi ke gang
San-poa" Tetap tidak ada jawaban. Dia hanya bisa mengira-ngira orang yang sudah
menyapanya dari kesan suaranya. Orang tadi berumur sekitar
empat sampai lima puluh tahun. Suaranya terdengar tua dan
serak. Itu adalah suara yang unik. Sepertinya dia sudah
pernah mendengar suara ini sebelumnya. Kalau ada
kesempatan bertemu dengannya lagi, dan berbicara, dia pasti
akan mengenali suaranya. Sekali lagi pendirian Wie Kie-hong menjadi goyah.
Sebenarnya apakah dia harus pergi ke gang San-poa
menemui nona Thiat-yan"
Dia membuat keputusan. Dia tidak memiliki alasan apapun
untuk mempercayai seseorang yang tidak dikenalnya. Lagipula
ayahnya menginginkan payung ini. bagaimanapun dia harus
mengantarnya pada nona Thiat-yan
Thiat-yan sedang menunggunya. Setelah melihatnya dia
membawa kotak kertas berisi payung, dia langsung
menyambutnya dengan girang.
"Kau sudah menemukannya"
Wie Kie-hong menyerahkan kotak payung ini pada Thiatyan.
Thiat-yan menerima kotak kertas ini, dan mengeluarkan
payung dari dalamnya. Setelah itu dia membuka payung, lalu
dia meneliti pegangan payung dengan seksama. Seolah-olah
pada gagang payung itu sudah terukir lukisan cantik
Terakhir dia mulai mempreteli pegangan payung. Sebentar
saja pegangan payung sudah terbelah menjadi dua bagian.
Pegangan payung terbuat dari bambu. Didalam pegangan
itu kosong. Thiat-yan menggunakan kelingkingnya mengorek
ngorek kedalam lubang. Ternyata dia berhasil mengeluarkan
sebuah gulungan kertas. Dia berteriak kegirangan seperti orang gila. Dia segera
membuka gulungan kertas. Setelah itu dia segera
menggulungnya kembali, seolah-olah dia takut Wie Kie-hong
melihat rahasia yang tertulis didalamnya.
Wie Kie-hong terus memperhatikan gerak gerik nya. Dia
ingin tahu sebenarnya apa yang sedang terjadi, tapi dia tidak
mampu melihat rahasia apa yang tertulis didalam gulungan
kertas yang sudah dibaca Thiat-yan.
"tidak salah... memang payung yang ini.... memang payung
yang ini...." "Nona Tiat! bagaimana kau bisa tahu kalau payung ini
adalah payung yang diinginkan oleh ayahku?"
"Paman Wie sudah memberitahuku rahasia payung ini"
"Tapi kau tidak memberitahuku"
Dari mata Thiat-yan yang terbelalak besar, perlahan-lahan
tatapan matanya berubah menjadi lembut. Kata-katanya pun
berubah menjadi lembut. "Wie Kie-hong, kau adalah seorang pemuda yang sangat
menjunjung harga diri, karena itu aku tidak menceritakan
semua yang sudah diberitahukan oleh paman Wie padaku. Dia
tidak berani memastikan bahwa kau akan bisa memutuskan
hubunganmu dengan Tu Liong. Karena itu untuk sementara
waktu banyak hal yang tidak bisa diceritakan padamu."
"Aku akan bertanya sekali lagi padamu. Apakah semua ini
memang dikatakan oleh ayahku padamu?"
"Tidak salah. Aku tidak mungkin membo-hongimu"
"Baiklah. Asal semua itu memang sungguh dikatakan oleh
ayahku, aku pasti akan menghormatinya. Sekarang aku
berusaha menghindari Tu Liong, hanya saja ada satu hal yang
ingin kujelaskan. Kalati suatu saat nanti aku menemukan
bahwa kau sedang menggunakan nama ayahku untuk
memper-alatku, aku tidak akan melepaskanmu dengan
mudah. "Kie-hong, aku tidak menyalahkanmu mengata kan hal ini.
kalau keadaannya dibalik aku yang mengalaminya, aku juga
pasti akan merasa hal yang sama dengan dirimu. Baiklah.
Sekarang pulanglah dan kerjakan hal yang seharusnya kau
kerjakan" "Mengerjakan apa?"
"Mengabarkan berita duka"
"Mengabarkan berita duka?"
"Betul" "Apakah ini juga perintah ayahku?"
"Betul" Wie Kie-hong mendengarkan semua kata kata ini dan
melakukannya sesuai petunjuk. Dia segera pulang ke
kediaman Leng Taiya, dan segera menyuruh orang
mempersiapkan upacara duka cita.
0-0-0 Menurut cerita yang beredar, setelah Tu Liong
meninggalkan Wie Kie-hong, dia merasa kehilangan
pegangan. Dia tidak tahu harus berbuat apa. karena itu dia
pergi ke daerah Tian Jiao dan menginap di sebuah losmen
kecil. Dia hanya sempat beristirahat sebentar. Tidak lama sudah
tiba jam makan malam. Dia lalu membeli makanan yang


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dijumpainya untuk mengganjal perutnya. Setelah itu dia
segera pergi kembali ke sepuluh gang kecil empat komplek
rumah mewah tempat kediaman Leng Taiya. Dia selalu mengkhawatirkan
keadaan Wie Kie-hong. Dia selalu memikirkan
bagaimana hasil Wie Kie-hong menemui Thiat-yan untuk
berbincang bincang. Dari kejauhan dia melihat sebuah spanduk besar
bertuliskan "turut berduka cita"
Tu Liong langsung merasa kaget. Hal ini diluar dugaannya.
Wie Kie-hong memutuskan sementara waktu tidak akan
mengabarkan kematian Leng Souw-hiang pada khalayak
umum, mengapa sekarang tiba-tiba dia berubah pikiran"
Dia harus segera bertanya padanya.
Tu Liong mempercepat langkahnya. Orang-orang yang
menyambut tamu didepan pintu langsung mengenalinya.
Segera ada orang yang menyambutnya.
"Tu Siauya" "Apakah Wie Siauya ada dirumah?"
"Ada" Tu Liong adalah tamu yang sudah sering datang
berkunjung, otomatis dia segera berjalan masuk kedalam.
Namun ternyata para pelayan menghalangi jalannya.
"Harap Tu Siauya berhenti"
"Ada apa?" "Leng Taiya sudah meninggal. Wie Siauya merasa sangat
bersedih. Dia sudah memberi perintah pada kami kalau
sementara waktu ini dia tidak menerima tamu"
"Oh..." Apakah aku bisa dikecualikan?"
"Wie Siauya sudah berpesan dia tidak ingin bertemu siapa
pun" "Begini saja. Kau pergi kedalam beritahukan kedatanganku
padanya. Nanti kita lihat apa yang akan dikatakan oleh Wie
Siauya padamu" Orang yang menunggu didepan pintu tampak menimbangnimbang.
Pada akhirnya dia mengutus seseorang untuk
memberitahukan kedatangan Tu Liong.
Orang itu segera pergi, namun sebentar saja dia sudah
kembali lagi. dia berkata dengan sopan
"Mohon maaf Tu Siauya, Wie Siauya sudah tidur, aku tidak
berani membangunkannya"
"Kalau begitu biarkan dia tidur, besok pagi aku akan
kembali menemuinya" Tu Liong segera membalikkan tubuh dan berjalan keluar
dari gang. Kepalanya mulai berputar, pastilah ada alasan yang
membuat Wie Kie-hong tidak mau menemuinya. Setelah
berpikir lama, Tu Liong menemukan bahwa masalah semakin
lama semakin tajam, keadaan semakin lama semakin rumit.
Langit sudah semakin gelap. Di mulut gang samar-samar
terlihat dua tiga orang yang sedang berdiri santai. Tu Liong
tidak terlalu memperhatikan mereka. Tapi ketika Tu Liong
melewati mereka, mendadak ketiga orang ini menghalangi
jalan Tu Liong. Wajah mereka hanya terlihat samar samar.
Tu Liong tidak hanya tidak merasa was was, malah
sebaliknya dia merasa senang. Dia sudah menyimpan
kekesalan didalam hatinya sangat lama. Ini adalah
kesempatan untuk melampiaskannya. Tangan-nya segera
menggengam erat menjadi kepalan. Dia menunggu seseorang
menyerangnya. "Apakah tuan orang she Tu yang selalu berada disamping
Cu Taiya?" Salah seorang diantara mereka menyapanya. "Tidak salah"
"Ada seseorang yang ingin menjumpai tuan. Sudilah
sekarang tuan pergi bersama kami menemui-nya" kata kata
orang itu terdengar sopan.
Tu Liong sudah bersiap siap menghadapi pertempuran,
malah dia mengharapkan terjadinya perkelahian. Dia tidak
menyangka ternyata akhirnya seperti ini. dia terpaksa
mengendurkan genggaman tangannya, dengan malas dia
bertanya, "Siapa dia?"
"Tuan Wie" "Tuan Wie yang mana?" genggaman tangan Tu Liong
kembali mengeras. "Tuan Wie yang bernama Wie Ceng, ayah sahabat baik Tu
Siauya" "Dimana dia?" "Silahkan anda ikut dengan kami dan anda akan segera
mengetahuinya" Mengutus empat orang yang berperawakan tinggi besar
mencari dirinya. Sepertinya ini bukan sebuah gelagat yang
bagus. Tu Liong tidak bertanya lebih jauh. Dia juga tidak ingin
berpikir banyak. Wie Ceng akan menampakkan diri. ini adalah
sebuah kabar yang sangat baik yang membuatnya senang.
Tidak jauh didepan gang, sebuah kereta kuda sudah
menunggunya. Mereka berlima masuk kedalam kereta. Ketika
menaiki kereta kuda, Tu Liong menjadi waswas. Dari posisi
semua orang, dia jelas melihat kalau keempat orang
didepannya sudah bermaksud untuk mencegahnya melarikan
diri. Walaupun Tu Liong sudah merasa seperti ini, dia tidak
mengatakan apa yang dipikirkannya.
Kereta kuda mulai berangkat menuju kota di sebelah barat.
Tidak lama kereta ini berhenti didepan sebuah gang. Setelah
turun dari kereta, keempat orang yang besar-besar ini
berbaris, dua orang didepan, dua orang dibelakangnya.
Dia terus digiring memasuki sebuah rumah yang terdiri dari
empat gedung. Dua orang pengawal yang ada di belakang tidak ikut masuk
kedalam rumah. Mereka menunggu di depan pintu masuk.
Dua orang yang di depan mempersilahkannya masuk kedalam.
Semuanya dilaku kan dengan sangat sopan.
Tu Liong duduk bersila didepan sebuah meja rendah.
Kedua pengawal berbadan besar menunggu diluar pintu.
Saat ini seorang pria yang sudah tua berumur sekitar lima
puluh tahun membawakan secangkir teh panas. Setelah
menuangkan teh dengan baik, dia kembali pergi keluar. Dia
tidak berkata apa-apa. dia juga tidak menunjukkan perasaan
apa-apa. Tu Liong menunggu dengan sangat sabar, kedua orang
pengawal pun menemaninya dengan sabar. Waktu merangkak
sangat perlahan. Tu Liong sudah beberapa kali berganti posisi
duduk karena kesemutan. Dia terus menunggu sampai teh
panas yang dituangkan sudah cukup dingin untuk diminum.
Pada akhirnya kesabarannya sudah habis, dia segera berdiri
dan berjalan keluar untuk bertanya "Tolong tanya, dimana
tuan Wie?" "Segera datang"
Pengawal yang berdiri diluar menjawab sangat singkat. Tu
Liong merasa sedikit dongkol.
"Segera datang" Apa artinya itu" apakah dia tidak tinggal
disini?" "Tuan Wie tidak memiliki rumah di kota Pakhia. Beliau pun
merasa tidak nyaman kalau harus menemui tuan di kamar
penginapan, karena itu dia meminjam tempat ini untuk
bertemu dengan tuan"
"Tuan Wie sudah mengundangku datang kemari. Dia sudah
bisa terhitung sebagai setengah tuan rumah. Tuan rumah
belum datang, tamunya sudah sampai duluan. Ini....?"
"Usia Tu Siauya masih sangat kecil. Anda adalah generasi
muda. Apakah hal ini pun harus dipermasalahkan?" mulut
pengawal ini lumayan tajam
"Tentu saja aku memang generasi muda, karena itu harus
datang lebih pagi. Tapi aku masih punya urusan lain yang
harus ku kerjakan...."
Berkata sampai sini, Tu Liong bermaksud segera pergi.
"Aku akan pergi sebentar. Nanti aku akan kembali lagi"
"Tu Siauya jauh-jauh datang kemari, mengapa tidak sabar
menunggu sebentar lagi?"
"Tidak perlu menunggu lagi. menunggu sampai besok pun
tuan Wie tidak mungkin datang"
"Apa arti kata-kata tuan?"
"Tuan Wie tidak mungkin datang" Tu Liong berkata tegas.
Dia sungguh merasa dongkol, tanpa memperdulikan mereka
berdua, dia terus melangkah keluar.
Kedua pengawal itu tidak tampak mengha-langi jalannya.
Namun setelah sampai keluar, ternyata sudah ada banyak
orang yang menunggu. Sekilas melihat, mereka tampak
seperti dinding penghalang. Tu Liong tidak tahu ada berapa
banyak orang yang berbaris rapi dihadapannya.
Tu Liong memiliki tinju sekeras baja. Dia dapat
mengalahkan orang kuat manapun yang datang
menantangnya, asalkan orang itu menantangnya satu lawan
satu. Kalau dia harus melawan tembok pengawal seperti ini,
dia tidak yakin bisa menang.
Dia tertawa. Sebuah tawa dingin
"Saudara-saudara sekalian, sebenarnya apa yang terjadi"
Sudikah kalian memberitahu aku"
"Tu Siauya, kami tidak ada maksud lain. Tuan Wie hanya
berharap anda bisa tinggal disini selama beberapa hari"
"Beberapa hari" Mengapa kau tidak sekalian mengatakan
ingin menahanku disini?"
"Ini hanya apa yang dirasakan oleh Tu Siauya, tapi bukan
yang dimaksud oleh tuan Wie"
"Baiklah. Aku mungkin bersedia menjadi tamu dan
menginap disini selama beberapa hari, tapi aku harus
menjumpai dulu tuan Wie sebagai tuan rumah bukan" Tolong
kalian panggil tuan Wie untuk bertemu denganku"
"Tuan muda tidak perlu terburu-buru. tuan muda akan
menemui tuan Wei besok pagi."
"Aku juga bisa menemui dewa kematian besok pagi"
langsung muka Tu Liong menjadi muram
"Tuan muda, kata-katamu ini sangat tidak enak didengar"
Tu Liong tidak berkata apa-apa lagi. dia kembali membuat
sebuah dugaan........semua orang didalam
rumah ini sudah meminjam nama besar tuan Wie untuk
menjebaknya. Sebenarnya mereka semua tidak ada
hubungannya dengan Wie Ceng.
Sedangkan menghadapi para pengawal bertubuh besar ini,
apakah dia memiliki kepercayaan untuk melawan mereka
semua sekaligus" Tu Liong segera membuat kesimpulan kalau
dia tidak mungkin bisa menang.
Karena itu dia terpaksa kembali masuk dalam ruang tunggu
dan duduk bersila didepan meja. sementara waktu dia hanya
bisa cemberut menunggu. Dinding pengawal bubar. Dia kembali ditemani dua orang
pengawal yang setia menemaninya, sekarang mereka berdua
menunggu didalam pintu. Dalam hatinya Tu Liong berpikir, kalau dia bisa
menjatuhkan kedua orang pengawal ini diam diam tanpa
mengeluarkan suara, mungkin juga dia bisa meloloskan diri.
Tapi sepertinya peluang melakukan hal ini juga sangat
kecil. Karena kedua orang pengawal ini berdiri saling
bersebelahan. Satu disebelah kiri satu di sebelah kanan.
Mereka tidak berdiri bersama-sama. Kalau Tu Liong
menyerang mendadak, pengawal yang satunya pasti akan
segera menolong. Lagipula saat ini mereka berdua
memandangi Tu Liong dengan tajam. Bagaimana mungkin dia
bisa melancarkan serangan dadakan?"
"Kapan tuan Wie datang?" Tu Liong mulai mencoba
membuat percakapan "Tidak lama" Yang menjawab lagi-lagi pengawal yang sebelumnya sudah
berkata padanya. Sebenarnya jawaban yang diberikan sama
sekali tidak menjawab. Tu Liong merasa tidak bisa berbuat banyak, karena itu dia
berusaha santai bercakap cakap.
"Dulu pernah beredar gosip kalau tuan Wie sudah
meninggal diluar sana"
"Itu hanya gosip tidak beralasan"
"Oh..." Tapi ada satu hal yang membuat orang curiga.
Kalau tuan Wie memang masih hidup, mengapa dia tidak
menunjukkan batang hidungnya untuk menemuiku?"
Pengawal berbadan besar itu tidak menjawab. Mungkin
juga dia tidak menemukan jawaban yang cocok
"Aku dan Wie Kie-hong bersahabat baik"
"Karena hal itu, tuan Wie memperhatikan Tu Siauya dari
jauh." "Oh..." Tuan Wei sudah memperhatikanku dari jauh?"
"Mengundang tuan untuk tinggal disini beberapa hari
adalah caranya memberikan perhatian pada anda"
"Aku tidak mengerti"
"Tu Siauya pasti akan mengerti suatu saat nanti"
"Mendengar kata-katamu tadi, sepertinya aku akan
menginap selama beberapa hari disini. Apakah kalian sudah
menyiapkan kamar tidur untukku?"
"Sudah kami persiapkan. Apakah Tu Siauya sudah merasa
letih ?" Tu Liong kembali menggerakkan tubuhnya. Kakinya sudah
kesemutan lagi. "Berbaring jauh lebih nyaman dibandingkan duduk disini"
Pengawal berbadan besar itu berusaha mena-han senyum.
Dia lalu berjalan mendekat
"Tu Siauya, silahkan"
Tu Liong sudah menyadari kalau didalam ruang tunggu, dia
tidak bisa berbuat banyak untuk melarikan diri. mungkin
dengan berganti tempat, dia bisa mendapatkan kesempatan
yang lebih baik. dia lalu pergi mengikuti pengawal berjalan
keluar menuju ruang tidur
Ketika berjalan diluar, dia menyadari kalaupun dia berhasil
kabur dari ruang tunggu, dia tidak mungkin mempunyai
kesempatan lari keluar tempat ini. disekeliling taman di empat
penjuru dipenuhi pengawal yang sedang berjaga.
Didepan pintu masuk utama juga ada pengawal yang
berjaga. Tu Liong masuk kedalam ruang tidur. Ternyata jendela
satu-satunya yang ada disana pun sudah dipalang sebuah
kayu besar, jendela itu tidak dapat dibuka. Satu-satunya jalan
untuk keluar masuk adalah pintu kamar tidur.
Tu Liong tertawa dingin "Ini bukan kamar tidur tamu"
"Siauya sekarang sedang bertamu. Kamar ini dipersiapkan
untuk menjamu Siauya. Mungkin kurang pantas bagi tuan.


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mohon maaf" "Ini bukan kamar tidur, ini sebuah penjara!"
"Harap Siauya jangan menyimpan pemikiran seperti ini.
kalau tuan menyimpan pemikiran seperti ini, tuan akan
menyakiti perasaan tuan rumah"
"Siapa tuan rumahnya?"
"Tuan Wie" "Rasanya bukan Tuan Wie"
"Kalau begitu siapa tuan rumah yang tuan muda pikirkan?"
"Tidak masalah siapapun orangnya, dia tetap harus
memperlihatkan diri. kalau tidak aku tidak akan tinggal disini
dengan tenang" Pengawal itu berkata dengan dingin:
"Sebaiknya Tu Siauya mencobanya"
Setelah berkata seperti itu, para pengawal
meninggalkannya sendirian.
Tu Liong menyadari kalau dia sudah bertindak gegabah.
Pemikiran apapun untuk sementara waktu bisa disimpannya
didalam hati. mengapa dia harus mengatakannya"
Dia berbaring diatas ranjang. Dia berusaha menenangkan
hatinya, hati yang tidak tenang tidak akan bisa membuat
keimpulan yang baik dalam situasi apapun. Pastilah akan
membuat kesalahan. Sekarang ini, Tu Liong tidak bisa
mengambil resiko membuat kesalahan.
Pertama-tama dia bisa memastikan kalau orang yang ingin
menemuinya bukanlah Wie Ceng. Mengapa dia berani
memastikan hal ini" ada dua alasan: kalau Wie Ceng adalah
pembunuh yang dikekang oleh Leng Souw-hiang, sekarang ini
dia bisa berkeliaran dengan bebas diluar. Dia adalah ayah
sahabatnya, tidak mungkin mencelakainya atau membuatnya
susah seperti ini. Kalau Wie Ceng sedang dibawah tekanan Cu Taiya, dia
semakin tidak punya kekuasan apapun. Walaupun memang
Wie Ceng yang sudah mengundangnya kemari, itu juga pasti
dibawah perintah Cu Taiya. Ini pun tidak mungkin.
Karena itu dia berpikir kesana-kemari. Orang yang paling
mungkin menahannya di tempat seperti ini adalah Cu Siauthian.
Kalau memang begitu apa tujuan utama Cu Siau-thian
menahannya ditempat seperti ini"
Apakah dia sudah mempersulit gerak gerik Cu Siau-thian"
Selama ini dia hanya melakukan satu hal. Membantu Wie
Kie-hong mencari Wie Ceng. Hanya itu saja. Kalau begitu
apakah tujuan Cu Siau-thian menyekapnya disini karena takut
dia berhasil membongkar identitas Wie Ceng"
Semakin berpikir, Tu Liong merasa semakin yakin.
Menggunakan nama Wie Ceng untuk menjebaknya disini
adalah taktik kuno yang disebut "disini tidak ada uang tiga
ratus tail emas"' 1 Disini tidak ada uang tiga ratus tail emas:
alkisah ada seseorang yang ingin menyembunyikan uang
emas sebanyak tiga ratus tael miliknya. Dia menggali sebuah
lubang di tempat rahasia dan mengubur semua emasnya
disana. Setelah selesai ditimbun kembali, dia khawatir lupa
tempat menguburnya, sehingga dia memasang tanda. Karena
takut dicurigai orang, pada tanda dia menulis kata kata :
"Disini tidak ada uang sebanyak tiga ratus tael"
Sekarang Tu Liong bisa memutuskan kalau sebenarnya
kejadian yang sedang terjadi adalah seperti itu. apakah dia
masih perlu membuktikannya lebih lanjut lagi" Tu Liong
segera terpikirkan bermacam-macam cara untuk membuk
tikan perkiraannya. Hanya saja dia juga sedikit ragu ragu.
Kalau dugaan dia tepat, rasa kesal Cu Siau-thian pasti akan
berubah menjadi kemarahan. Bukankah ini namanya
mendapatkan masalah besar"
Berpikir sampai disini, dia membuat sebuah keputusan. Dia
harus secepatnya pergi dari tempat ini.
Ini hanyalah sebuah pemikiran. Pelaksana-annya pastilah
sangat sulit. Dia berbaring diatas ranjang. Sambil berbaring dia dapat
melihat atap kamar dengan jelas, sepertinya itu adalah jalan
keluar satu-satunya. Tapi kalau dia bisa berpikir seperti itu,
orang lain pun pasti sudah berpikir kesana. Penjagaan diatas
genting pasti sama ketatnya dengan penjagaan dibawah.
Sepertinya Tu Liong sudah kehabisan akal.
Tiba-tiba dia merasa haus. Sepertinya tadi dia sudah
banyak bicara, dan selama ini hanya disuguhkan secangkir teh
yang bahkan tidak diminumnya.
Dia segera turun ranjang dan berjalan keluar. Setelah
membuka pintu, dua orang pengawal segera menghampirinya.
Dia bertanya dengan sangat sopan
"adda yang bisa kamibantu?"
"Teh!" Tu Liong masih merasa dongkol. Dia menjawab
pertanyaannya dengan kasar.
Pengawal itu masih sopan padanya "Teh nya segera
datang" Sepoci teh panas kembali disuguhkan dengan sangat cepat.
Orang yang membawa teh ini adalah pria tua berumur lima
puluh tahun lebih yang tadi sudah menuangkan teh padanya.
"Teh apa ini?" Sebenarnya Tu Liong tidak ada tema khusus untuk
dibicarakan, tapi dia mencoba membuka percakapan.
"TehKoan-in" "Aku hanya minum teh Liong-kim"
"Kalau begitu aku akan segera mempersiapkan sepoci teh
yang baru" Mendadak Tu Liong menurunkan nada suara-nya. Setengah
berbisik dia berkata, "Apakah kau ingin mendapatkan seratus
uang orang asing?" Pria tua ini memandangnya dengan tatapan curiga.
"Kau tidak usah terburu-buru untuk menjawab. Kau boleh
berpikir dengan baik. kau masih sempat menjawab ketika kau
mengantarkan teh nanti"
Pria tua ini lalu membawa poci tehnya pergi. Tu Liong
menaruh harapan besar padanya. Para pengawal diluar
sepertinya tidak mengetahui kalau dia sudah bekerja sama
dengan pria penuang teh. Mereka terus berjaga tanpa curiga.
Setelah beberapa lama, pria tua itu kembali mengantarkan
teh yang diminta. "Tu Siauya, ini adalah teh Liong-kim lokal yang sangat
terkenal" "Mmm.. sungguh harum...." jawab Tu Liong dengan suara
keras. Mendadak dia membungkukkan badan dan kembali berbisik
pada pria tua itu: "Apakah kau sudah berpikir baik-baik?"
Pria tua itu ikut-ikutan mencondongkan kepalanya ke dekat
Tu Liong dan berkata: "Tadi kau mengatakan akan memberiku seratus uang luar
negeri. Apa yang harus kukerjakan?"
Ternyata pria tua ini sudah memakan umpannya.
"Kau hanya perlu pergi mengantarkan pesan. Setelah itu
kau bisa mengambil seratus uang orang asing"
"Apakah semudah itu?"
"Kau sudah sangat tua. Aku tidak mungkin mempermainkan
dirimu." "Baiklah, kalau begitu aku akan menyam-paikan pesanmu."
"Apakah kau bisa keluar masuk tempat ini dengan mudah?"
"Tentu saja bisa. Aku adalah pesuruh yang bertugas
mengatur persediaan barang barang didalam rumah ini.
mereka tidak mungkin membatasi kebebasanku pulang pergi"
"baiklah. Dengarkan baik-baik, aku she Tu. Kau pergilah ke
sebelah timur, empat blok rumah bertingkat, komplek
perumahan mewah didekat sepuluh gang kecil. Di kediaman
keluarga besar Leng, carilah Wie Siauya dan ceritakan tentang
keadaanku disini. Ini sudah cukup."
Pria tua itu berpikir sejenak. Dia lalu bertanya:
"Siapa yang akan memberikan uangnya padaku?"
Tu Liong juga ikut diam sejenak. Ternyata pria tua ini lihai
juga... "Kau ambillah uangnya dari Wie Siauya. Kalau dia tidak
memberikannya, kau jangan katakan apapun padanya. Kalau
kau pergi, aku berani menjamin kau tidak akan dirugikan."
Pria tua ini memandang Tu Liong dengan tatapan percaya
tidak percaya. Setelah itu dia segera berjalan keluar.
Percakapan bisik bisik antara Tu Liong dengan orang tua
tadi lumayan lama. Tu Liong hanya berharap para pengawal
yang berjaga diluar tidak curiga.
Tu Liong sudah memeriksa semuanya dengan seksama.
Para penjaga semuanya adalah pria kasar. Mereka semua
memiliki otak yang sangat sederhana dan hanya patuh
mendengarkan perintah. Selain masalah itu mungkin mereka
tidak memperdulikan apa-apa lagi. kalau mereka memang
merasa curiga, dari awalpun mereka pasti akan masuk
kedalam dan mengusir pria tua.
Sekarang Tu Liong terpaksa menunggu sambil merasa
khawatir, Tidak ada lagi yang bisa dilakukan-nya selain
menunggu... menunggu... dan menunggu... tak terasa dia
menunggu sangat lama., dia bahkan sampai tertidur.
Pada saat dia terbangun, di sekelilingnya terasa sangat
sunyi. Dia tidak dapat memastikan berapa lama dia sudah
tertidur disana. tapi dia berani memastikan kalau Wie Kie-hong
tidak mungkin datang. Alasannya ada dua.
Pertama: orang tua itu tidak menyampaikan berita sesuai
dengan apa yang diharapkannya.
Kedua: walaupun Wie Kie-hong sudah mendapatkan berita,
dia tidak berani datang. Tu Liong sungguh berharap bahwa kemungkinan pertama
lah yang terjadi. Ketika seseorang menaruh harapan besar pada diri orang
lain, dan orang itu membuat dirinya kecewa, ini adalah sebuah
hal yang sangat menyakitkan hati.
Lampu lilin dalam kamar nyaris kehabisan minyak. Karena
itu nyala apinya sangat redup. Suasana dalam kamar terlihat
remang-remang. Tu Liong duduk dari posisi berbaring. Dia
mendadak terlonjak kaget. Ternyata ada seseorang yang
sedang duduk di bangku didepan meja. Orang ini sedang
tertidur. Walaupun orang ini sedang tertidur dan menundukkan
kepala, Tu Liong masih mengenali kalau orang ini adalah Wie
Kie-hong. Ternyata Wie Kie-hong belum mengecewakan dirinya,
hanya saja dia tidak bisa membantunya kabur dari sini.
Jangankan kabur... dia sendiri juga akhirnya sama sama
terperangkap dalam kamar ini.
Mengapa Wie Ceng mau mempersulit anaknya sendiri"
Tu Liong berjalan mendekat. Perlahan lahan dia menggerak
gerakan bahu Wie Kie-hong untuk membangunkannya. Wie
Kie-hong segera sadar. "Tu toako, kau..."
"Kie-hong, mengapa bisa terjadi seperti ini?"
"Bukankah kau sudah mengutus seorang tua untuk
memberi kabar padaku?"
"Betul. Kau juga pasti sudah memberinya mata uang orang
luar negeri kan" "Iya! bukankah kau yang sudah menyuruh-nya mengambil
uang itu dariku?" "Belakangan dia membawamu kemari" mendadak Tu Liong
merasa kecewa. "Hmm...!" Wie Kie-hong mengangguk dengan semangat.
"Lalu mengapa kau menunggu disini?"
"Itu perintah ayahku. Dia menyuruhku untuk menemanimu"
"Ayahmu! apakah kau melihat ayahmu?" Tu Liong buruburu
bertanya dengan semangat "Tidak. Ada orang yang datang memberitahukannya
padaku" "KIE-HONG!! Apakah kau percaya?"
"Mengapa aku harus tidak percaya" Ayahku berkata kalau
besok pagi dia pasti akan menjumpaiku"
Tu Liong hanya menunduk diam dan menggelenggelengkan
kepala. Mendadak dia mengangkat kepalanya dan
berseru pada Wie Kie-hong.
"Kie-hong! Ada orang yang meminjam nama ayahmu untuk
menipu kita. Kita berdua sudah masuk perangkap. Semua hal
ini tidak ada hubungannya dengan ayahmu....Kie-hong, pada
waktu kau datang kemari, apakah kau memperhatikan
keadaan diluar?" "Aku sudah memeriksanya. Diluar dijaga sangat ketat"
"Ugh...! kalau begitu kita tidak mungkin melarikan diri. Kiehong
! aku sungguh merasa sangat menyesal. Aku sudah
terjebak disini, ya sudahlah. Mengapa aku harus
mengundangmu masuk dalam perangkap yang sama."
"Tu toako! tiba-tiba aku mengerti tentang sebuah masalah.
Sepertinya ada orang yang mengingin-kan kita menghilang
dari peredaran. Sepertinya kalau kita sedang bersama-sama,
ada orang yang merasa dirugikan."
"Karena itu kau datang kemari?"
"Betul sekali! kau sudah berusaha sekuat tenaga untuk
mencari tahu tentang keberadaan ayah kandungku. Aku hanya
bisa bersembunyi di rumah bersenang senang. Ini........aku
tidak bisa berkata apa apa. Aku seharusnya malu"
"Wie Kie-hong, mempunyai seorang sahabat seperti dirimu,
mati pun aku rela, dan tidak menyesal"
"Tu toako jangan berkata seperti ini"
Mereka berdua lalu sama sama diam
Mendadak Wie Kie-hong menurunkan nada bicaranya.
Setengah berbisik dia memanggil Tu Liong.
"Ketika aku datang kemari, aku memperhati kan semua
penjaga dengan sangat teliti. Tidak ada satu mukapun yang
aku kenali. Sepertinya mereka semua datang dari luar kota"
"Wie Kie-hong. Apakah ada manfaatnya kamu membuat
kesimpulan itu?" "aku menebak, keadaan disini tidak ada hubungannya sama
sekali dengan Leng Souw-hiang. Dengan Cu Taiya pun tidak
ada hubungannya." "Oh...! Mengapa kau membuat dugaan seperti ini?"
"Kalau kejadian disini masih memiliki hubungan dengan
salah seorang diantara mereka, mereka pasti akan menaruh
seseorang yang dapat dipercaya disini. Mereka tidak
mungkin menggunakan pengawal yang semuanya belum


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka kenal. Betul tidak?"
"Wie Kie-hong ! sebenarnya aku sendiri merasa tidak
percaya kalau hal ini ada hubungannya dengan ayah mu."
"Tu toako! apakah kau bisa memastikannya?"
"Tentu saja bisa"
"Kalau memang tidak ada hubungannya dengan ayahku,
untuk apa menunggu sampai langit terang" Lagipula kita
berdua tidak bisa kabur dari sini"
"Wie Kie-hong, apakah kau mau mencoba-nya?"
"Sebaiknya sekarang kita langsung mencoba-nya"
"Aku masih sedikit ragu"
"Ragu apa?" "Aku khawatir ternyata dugaanku salah. Kalau ternyata hal
ini ada hubungannya dengan ayahmu, ayahmu pasti akan
merasa kecewa. Ketika kau menemui ayahmu nanti,
bagaimana kau akan menerangkan padanya?"
Wie Kie-hong hanya menunduk tidak berkata kata.
Pada waktu ini, pria tua pembawa teh kembali masuk
kedalam kamar. "Tu Siauya! Aku datang membawakan teh untukmu"
sambil menuangkan teh, dia melirik ke arah Tu Liong. Tu
Liong langsung mencondongkan tubuhnya mendekat, dengan
suara yang nyaris tidak terdengar dia bertanya:
"Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan?"
"Terimakasih untuk seratus uang orang asingnya. Apakah
Tu Siauya masih ingin aku menjalankan tugas yang lain?"
ternyata orang tua ini masih berharap bisa mendapatkan
uang seratus mata uang orang luar negeri kedua.
"Aku ingin bertanya tiga pertanyaan padamu. Nanti aku
akan memberikan seratus lagi. tapi sekarang aku tidak
membawa uang. Tapi nanti aku pasti akan memberitahumu
dimana kau bisa mengambilnya"
"Baiklah! silahkan bertanya"
"Siapa pemilik bangunan ini?"
"Siapa pemiliknya, aku juga tidak jelas, yang pasti Bu Tiatcui
yang tinggal di gang San-poa datang kemari mengobrol
dengan majikanku. Katanya dia mendapat perintah dari
majikannya" Tu Liong dan Wie Kie-hong saling bertukar pandang.
Mereka tidak menunjukkan maksud apa apa. Tu Liong juga
tidak bertanya lebih jauh tentang masalah ini.
"Para pengawal yang tinggal disini ada berapa orang"
apakah mereka mempunyai senjata?"
"Disini semuanya ada empat belas orang penjaga.
Sepertinya ada tiga orang yang membawa senjata. Dua orang
membawa aneh....Tu Siauya! Ketiga pertanyaan ini sudah
semuanya aku jawab! tapi pertanyaanmu sangat mudah,
rasanya aku tidak sampai hati menerima uangmu begitu saja."
Tu Liong melanjutkan pertanyaannya.
"Apakah kau pernah mendengar orang yang bernama tuan
Wie ?" Orang tua ini mengangguk-angguk. Tu Liong dan Wie Kiehong
segera menyimaknya. Orang tua itu lalu menunjuk ke
arah Wie Kie-hong. Semangat yang berkobar langsung sirna.
"Sepertinya dia tidak pernah mendengar tentang ayahmu"
Tu Liong lalu berpaling pada orang tua itu dan melanjutkan
pertanyaannya. "Ketika kau berbicara dengan Bu Tiat-cui, apakah kau
mendengar nama Leng Souw-hiang ataupun Cu Siau-thian?"
Orang tua ini tampak berusaha keras meng-ingat-ingat.
Setelah beberapa lama dia berkata:
"Aku tidak pernah mendengarnya. Aku hanya mendengar
nama Bu Tiat-cui. Tapi majikanku memanggilnya dengan
sebutan Bu Taiya. Dia selalu berkata-kata dengan sangat
sopan. Aku tidak pernah mendengarnya seperti itu."
Orang yang menahan Tu Liong dan Wie Kie-hong ternyata
adalah Bu Tiat-cui. Ini sungguh diluar dugaan.
Demi mencari kebenaran, Tu Liong bertanya lagi.
"Pak tua! Apakah yang kau omongkan adalah yang
sebenarnya?" "Tu Siauya, aku juga pernah mendengar kalau anda berdua
adalah orang yang sangat terkenal di kota Pakhia ini. mana
berani aku menipu kalian" Apalagi kalian berjanji akan
memberiku uang orang asing. Mana berani aku mengarang
cerita?" "Baiklah! Aku pasti memberimu seratus mata uang orang
luar negeri." "Tu Siauya! Kau harus ingat kalau kau berhutang padaku
seratus mata uang asing."
"Tidak salah. Aku tidak akan lupa janjiku."
"Aku percaya padamu....baiklah ! kalau begitu sebaiknya
kita memulai transaksi jual beli yang lain"
Ternyata pak tua ini matanya hijau kalau berdiskusi tentang
mendapatkan uang. "Eeee... !" tentu saja Tu Liong merasa sangat terkejut
mendengar kata kata pak tua. "transaksi jual beli apa lagi?"
"Kedua tuan muda pastilah berpikir ingin melarikan diri dari
tempat ini tanpa membuat masalah"
Tu Liong dan Wie Kie-hong saling berpan-dangan. "Pak tua
ada ide?"" "Tentu saja ada" pak tua menyeringai lebar. Matanya
berbinar-binar. "Tidak perlu menggunakan senjata, tidak perlu bertarung
menggunakan tinju ataupun tendangan maut. Aku bisa
membawa kedua tuan muda ini keluar dari sini"
"Coba katakan apa yang sedang pak tua pikirkan. Akal
cemerlang semacam apa yang pak tua pikirkan?"
"Tu Siauya! tidak perlu kau tanyakan! aku sudah
mempersiapkan semuanya. Tapi pertama-tama aku ingin
bertanya... anda berani membayarku berapa banyak?"
Dari kejauhan Wie Kie-hong tampak meng-garuk-garuk
kepalanya. Tu Liong sebaliknya tampak bersemangat.
"Baiklah! bersama dengan seratus uang asing yang tadi
sudah kujanjikan, total aku akan memberi-kanmu lima ratus."
"Lima ratus?" pak tua itu kegirangan. Pertama-tama dia
pikir dia sudah salah dengar.
"Lima ratus!" Tu Liong berkata sekuat tenaga.
Pak tua menyeringai lebar memperlihatkan giginya yang
mulai menghitam "Kapan kau akan memberikannya padaku?"
"Kalau kita berdua bisa pergi sekarang juga, kami akan
segera memberikan uangmu besok pagi"
"Baiklah! kalau begitu kita bertiga bertemu di kedai makan
besok tengah hari. Sekarang ini...."
Pak tua segera berdiri dan membuka pintu
"Silahkan...." Tu Liong dan Wie Kie-hong melotot bersama sama.
"Sekarang...?" Wie Kie-hong yang selama ini diam, secara
reflek bertanya, "Pergi begitu saja?"
"Betul" Tu Liong juga keheranan. Dia ikut bertanya "Pak tua!
bukankah kau mengatakan kalau disini ada empat belas orang
pengawal yang berjaga jaga?"
"Tidak salah. Tapi sekarang tidak seorang pun yang bisa
menghalangi kalian untuk melarikan diri."
"Kenapa?" "Tu Siauya! tadi kau pasti sudah tertidur lelap. Benar
tidak?" "Mmm...." "Ini karena aku sudah mencampurkan sedikit serbuk obat
tidur kedalam tehmu"
"Obat tidur?" "Iya, obat tidur!" pak tua itu kembali menyeringai misterius,
"itu adalah siasat bulus yang biasa digunakan para pendekar
dunia persilatan. Aku sebenarnya tidak mengerti tentang obat
ini....aku ada sebuah penyakit menahun, aku sulit tidur
dimalam hari. Seorang tabib sudah memberiku serbuk
tanaman ini....sepertinya tanaman obat itu disebut "rumput
dewi tidur" atau apalah. Menaruh dua tiga batang dan direbus
bersama dengan teh, sungguh berkhasiat....hehehe ! sekarang
semua orang itu sudah tertidur dengan pulas. Siapa yang bisa
menghalangi jalan kalian?"
Wie Kie-hong dan Tu Liong kembali saling bertukar
pandang. Akhirnya mereka berdua berjalan keluar. Tu Liong
berjalan didepan, Wie Kie-hong dibelakang.
"Tu Siauya!" pak tua itu mengingatkan untuk ketiga
kalinya, "jangan lupa! besok tengah hari di rumah makan "Cilai-
sun". Lima ratus mata uang asing"
Setelah kedua orang tuan muda itu berjalan keluar dari
kamar, mereka melihat kalau semua penjaga sedang
bergelimpangan disana-sini tertidur pulas, dalam hati mereka
berdua berkata bersamaan:
"Ternyata pak tua memang tidak berbohong."
Mereka terus berjalan keluar taman. Mereka membuka
pintu besar dan melangkah keluar. Pak tua menutup pintu
dibelakang mereka setelah mengucap-kan salam perpisahan.
Ditengah jalan yang sepi, Tu Liong dan Wie Kie-hong masih
tampak sedikit bingung. Seolah olah semua kejadian tadi
hanya terjadi dalam mimpi.
"Tu toako! keadaan sudah berubah sampai seperti ini.
perubahannya sangat tiba-tiba"
"Mmm... memang sangat mendadak. Aku curiga pak tua itu
bukan sembarangan orang tua."
"Aku juga merasa seperti itu. tapi aku ada cara untuk
membuktikannya" "Apa akalmu untuk membuktikannya?"
"Kita sekarang pergi ke gang San-poa"
"Mencari Bu Tiat-cui?"
"Mmm!" Tu Liong terdiam sesaat, dia kembali berkata: "Kurasa
terlalu gamblang kalau kita berdua pergi kesana sekarang.
Mirip seperti polisi yang sedang mengejar penjahat, sambil
berlari sambil teriak 'maling'. Sebaiknya kita memikirkan cara
lain yang lebih diam-diam"
"Apakah maksudmu kita menerobos masuk rumahnya
diam-diam?" "Betul. Karena itu kita tidak perlu segera pergi"
"Diam-diam masuk kerumahnya, aku tidak keberatan.
Hanya saja kita berdua malam ini harus pergi melihat Bu Tiatcui"
"Apakah ada alasannya?"
"Bu Tiat-cui adalah seorang peramal. Siang hari dia
menjalankan usaha meramal. Malam hari dia mengerjakan hal
yang lain" "Masuk akal. Ayo kita pergi"
0-0-0 Kedua orang itu segera berjalan menuju gang San-poa ke
depan rumah Bu Tiat-cui. Mereka tidak mengetuk daun pintu.
Mereka hanya meneliti dinding pembatas rumahnya. Tidak
terlalu tinggi... dengan kemampuan ilmu silat mereka, mereka
berdua bisa melompatinya dengan mudah.
Kedua pemuda ini mendarat dengan indah kedalam taman.
Dari dalam kamar samping segera terdengar suara orang
bercakap-cakap. "Bu Tiat-cui! kau sungguh orang yang sangat lihai! HUH!
Seorang peramal namun memiliki kekuasaan sangat besar
seperti ini. katakanlah ! mengapa bisa begini?"
Orang yang sedang berkata itu adalah Cu Siau-thian.
Mereka berdua lalu mengendap-endap mendekat. Jendela
kamar tertutup rapat. "Cu Taiya !" terdengar jawaban Bu Tiat-cui yang berkata
pada Cu Siau-thian dengan sopan, "kamu sudah menanyakan
padaku setengah harian ini. aku betul-betul tidak memiliki
kekuasaan apa apa...."
"Bu Tiat-cui, kalau kau tetap berbelit-belit seperti ini, aku
tidak akan sungkan lagi padamu. Apakah kau pikir aku datang
tengah malam seperti ini hanya untuk mendengarkan
bualanmu ?" "Cu Taiya! Tolong dengar penjelasanku."
"Aku hanya ingin mendengar apa yang ingin ku ketahui.
Aku tidak ingin mendengar omong kosongmu"
"Baiklah... baiklah ...baiklah..."
"Aku bertanya satu kalimat, kau menjawab satu kalimat.
Kau sudah mengetahui banyak hal, kau juga pasti tahu kalau
aku Cu Siau-thian ini tidak gampang ditipu. Jangan sampai
berbohong didepanku."
"Baiklah ...baiklah ...baiklah..."
"Pertanyaan pertama:
"Dimana kau menyekap Tu Liong dan Wie Kie-hong" Bu
Tiat-cui... kalau kau tidak menjawab satu pertanyaan ini
dengan jujur, kau tidak perlu menjawab pertanyaan yang lain,
karena kau tidak akan punya kesempatan untuk menjawab
pertanyaan yang lain..."
Setelah ini suasana kembali sunyi sangat lama. Tampaknya
Bu Tiat-cui sedang menimbang-nimbang keadaan
Cu Siau-thian sepertinya tidak memaksanya untuk segera
menjawab. Setelah sangat lama terdengar kata-kata Bu Tiat-cui:
"Cu Taiya... aku tidak berani menutupmu. Mereka berdua
sekarang sedang disekap dalam sebuah rumah di gang
Sakura." "Siapa yang sudah menyuruhmu menyekap mereka?"
"Leng Souw-hiang"
"Bohong!" "Cu Taiya! Aku tidak berbohong padamu"
"Leng Taiya sudah mati"
"Apa" tadi pagi dia masih mengutus orang datang
kemari..." "Mengutus siapa?"
"Aku tidak mengenalinya"
"Kalau tidak kenal, bagaimana kau bisa tahu dia sudah
diutus Leng Taiya untuk mengabarkanmu?"
"Aku tidak ingin menutupimu. Antara aku dengan Leng
Taiya ada sebuah rahasia"
"HUH! kau tidak usah berpura-pura. Kau sudah tahu kalau
Leng Taiya sudah mati, karena itu kau berusaha melempar
kesalahan padanya." "Cu Taiya, yang aku katakan adalah yang sebenarnya"
"Aku akan bertanya lagi. kau sudah berapa lama kenal
dengan Leng Taiya?" Tidak ada jawaban lagi. tampaknya Bu Tiat-cui sedang


Walet Besi Karya Cu Yi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha menghitung dengan cermat
Wie Kie-hong menarik Tu Liong, sepertinya dia ingin
mengatakan sesuatu padanya, tapi dia takut gerak-geriknya
diketahui oleh kedua orang didalam.
Tu Liong menempelkan telunjuknya ke bibir-nya yang
monyong. Dia mengisyaratkan agar Wie Kie-hong tidak
berbicara dulu. "Aku sudah kenal Leng Taiya selama sepuluh tahun"
"Mengingat kedudukan Leng Taiya yang tinggi, mengapa
dia bisa menjalin hubungan denganmu?"
"Sebenarnya aku juga salah seorang pendekar kalangan
dunia persilatan. Aku sudah lama membantunya mengurus
banyak hal. Aku sudah menjadi anak buah kepercayaannya.
Aku membuka usaha meramal disini sebenarnya adalah kedok
saja. Diam-diam aku membantunya mencari informasi"
"Mencari informasi apa?"
"Ketika dynasti hampir runtuh, pemerintahan bergejolak
tidak menentu. Leng Taiya sangat memperhatikan
kesejahteraan rakyatnya. Dia menggunakan aku untuk
mencari informasi dari rakyat tentang apa tanggapan mereka
pada pemerintahan. Dia menyensor berita ini agar tidak
terdengar oleh raja Su-cen."
"Apakah kau mengetahui bagaimana kejadian
sesungguhnya ketika TiatLiong-san dicelakai?"
"Cu Taiya! sebenarnya aku tidak ingin menceritakan
tentang rahasia ini pada siapapun. Tapi sekarang Leng Taiya
sudah meninggal, sepertinya aku tidak perlu menutupinya lagi!
sebenarnya kabar tentang gerak-gerik Tiat Liong-san pada
waktu itu aku yang siidah mencari tahu"
"HUH! Lalu apa maksud Leng Taiya men-celakai TiatLiongsan?"
"Demi harta" "Bohong! Leng Taiya sangat kaya. Memangnya Tiat Liongsan
punya berapa banyak harta sampai harus dicelakainya"
Apa untungnya bagi Leng Taiya mencelakainya?"
"Aku berkata yang sebenarnya"
"Kalau begitu jelaskan padaku"
"Baiklah....Tiat Liong-san memiliki sebuah berlian berwarna
merah darah yang sangat besar, menurut kabar yang beredar,
dia mendapatkan berlian tersebut dari seorang ratu yang
sedang berkelana, dia membawa berlian itu kedalam kota.
Orang yang pertama dicarinya adalah Hui Taiya. Hui Taiya
memiliki sebuah bank. Bawahannya yang bekerja di bank
adalah para ahli menebak harga sebuah barang. Setelah
diteliti, akhirnya diputuskan kalau harga berlian itu diatas
seratus ribu uang asing. Tentu saja Hui Taiya tidak rela
membayar uang sebanyak itu untuk mendapatkan berlian
merah darah. Karena itu dia memotong harga jual sampai lima
puluh ribu uang asing. Tiat Liong-san juga bukan orang yang
tidak mengerti harga sebuah barang. Ketika mengetahui
kalau perjanjian jual belinya sudah dicurangi, dia segera pergi
dengan marah" "Mmm.. teruskan ceritamu"
"Belakangan berita ini sampai ke telinga Leng Taiya. Dia
memarahi Hui Taiya mengapa dia tidak segera
memberitahukan tentang masalah itu padanya. Pada waktu
yang bersamaan, Leng Taiya sudah memberi perintah padaku
untuk memperhatikan semua gerak-gerik Tiat Liong-san.
Setelah berapa lama, Tiat Liong-san kembali datang ke kota
Pakhia..." "Apakah dia masih berminat menjual berlian itu?"
"Betul. Tapi kali ini dia tidak membawanya ke Hui Taiya.
Hui Taiya adalah saudagar yang mahir jual beli. Dia pasti akan
membeli dengan harga sangat murah dan menjual dengan
harga yang sangat mahal. Sistem jual beli seperti ini sudah
tertulis dalam kitab suci para pedagang"
"Memangnya ada orang lain yang memiliki uang banyak
yang ingin membelinya?"
"Ada ! sepertinya orang itu adalah seorang kolektor kaya.
Dia bermaksud memberikan berlian itu untuk istri
simpanannya. Setelah Tiat Liong-san sampai ke kota Pakhia,
aku segera memberitahukan Leng Taiya. Gerak-gerik Leng
Taiya juga sangat cepat. Sebelum Tiat Liong-san sempat
bertemu dengan kolektor kaya ini, dia sudah ditangkap oleh
Oey Souw. Pada hari kedua, Tiat Liong-san sudah kehilangan
kepalanya." "Lalu berlian merah darah itu?"
"Ditaruh didalam kopor kulit kuning yang selalu dibawanya"
"Lalu kopor itu?"
"Disimpan didalam gudang penyimpanan barang sitaan
pemerintah. Ketika Tiat Liong-san ditangkap oleh Oey Souw,
kopor ini disita. Leng Taiya segera menyuruh seseorang untuk
mengambil kopor dari gudang"
"Aku dengar kopor itu sudah dititipkan oleh Leng Souwhiang
untuk dijaga olehmu"
"Tidak! kopor yang diberikan Leng Souw-hiang padaku
adalah sebuah kopor kosong"
"Aku tidak kaget mendengar kata-katamu. Leng Souwhiang
tidak mungkin menyerahkan berlian besar merah darah
semudah itu padamu........apakah kau mengenali Wie Ceng?"
"Tentu saja mengenalnya. Dia tiap hari selalu datang
kemari. Dia mengatakan kalau dia ingin menanyakan
peruntungannya, sebenarnya dia sedang mendengar kabar"
"Apakah kau tahu tentang dia pergi keluar kota?"
"Tahu" "Untuk apa dia pergi keluar kota?"
"Pergi menyelidiki barang berharga milik Tiat Liong-san"
"Untuk apa menyelidikinya?"
"Cu Taiya! kau tidak perlu bertanya tentang hal ini! Leng
Taiya takut kehilangan berlian itu"
"Hasilnya?" "Apa yang terjadi pada Wie Ceng dan Leng Souw-hiang aku
tidak tahu. Tapi aku tahu satu rahasia lagi."
"Oh?" "Wie Ceng diam-diam sedang membantu Thiat-yan. Nona
Thiat-yan adalah anak tunggal Tiat Liong-san"
"Oh" Apakah berita ini benar?"
"Kalau tidak benar, kau boleh memotong kepalaku"
"Apakah sekarang Wie Ceng ada didalam kota?"
"Tidak tahu" "Menurut kabar yang beredar, Wie Ceng adalah pembunuh
kepercayaan Leng Taiya. Apakah ini benar?"
"Tidak salah. Hui Taiya sudah dibunuh olehnya. Leng Taiya
sudah berulangkah menyuruh nya membunuh Thiat-yan, tapi
dia tidak pernah melaku-kannya"
"Kalau begitu siapa yang sudah membunuh Leng Taiya?"
"Kalau itu aku tidak tahu. Aku bahkan baru saja mendengar
berita kematiannya dari mulutmu."
"Lalu sekarang dimanakah berlian merah darah itu?"
"Tidak tahu. Dugaanku berlian itu mungkin sudah dijual
oleh Hui Taiya" "Bertahun-tahun ini, aku selalu diperalat oleh Leng Taiya.
Bahkan ada orang yang sudah menuduhku sebagai dalang
yang mencelakai Tiat Liong-san. Aku sudah menjadi kambing
hitam selama bertahun-tahun, apakah kau tahu?"
"Aku hanya pernah mendengarnya"
"Terhadap masalah ini, apakah kau punya pandangan yang
lain?" "Aku....aku tidak tahu harus berkata apa."
"Baiklah! kau cepat lah bebaskan Tu Liong dan Wie Kiehong.
Kau jangan katakan apapun tentang diriku. Aku sudah
menjadi kambing hitam selama ini, sebaiknya aku
menanggung menjadi kambing hitam sampai aku mati"
"Baiklah., baiklah... aku segera pergi"
"Bu Tiat-cui! Kalau aku menemukan bahwa kau berbohong
sedikit saja, atau kau melukai Tu Liong atau Wie Kie-hong,
aku pasti tidak akan mengampunimu"
"Mana aku berani"
"Cepat pergi!" " Tiba-tiba didalam kamar terdengar suara keras. Setelah
itu suara jeritan kesakitan.
Terakhir hanya terdengar suara Cu Siau-thian yang berkata
dengan keras: "Bu Tiat-cui! orang tidak mungkin melukai hati seekor
macan, namun seekor macan selalu bermaksud melukai
orang, aku sungguh tidak menyangka"
Tu Liong segera menarik tangan Wie Kie-hong. Dua orang
ini segera menghancurkan jendela yang tertutup dan segera
menerobos masuk kedalam ruangan.
Mereka melihat Bu Tiat-cui sedang menggenggam sebilah
pedang, sedangkan pisau kecil di tangan Cu Siau-thian sudah
menembus jantung Bu Tiat-cui. Kelihatannya situasinya sangat
sederhana. Bu Tiat-cui berpikir menyerang Cu Siau-thian
secara mendadak. Tapi Cu Siau-thian membunuhnya untuk
membela diri. "Cu Taiya!" dua orang itu berteriak bersamaan karena
merasa kaget. "Eh..?" Cu Siau-thian tampak terkejut melihat mereka
berdua disana. "Wie Kie-hong, Tu Liong....apakah kalian tidak apa-apa?"
"Cu Taiya, kita berdua sudah datang dari tadi."
"Cu Siau-thian melepaskan genggaman pisaunya. Pisau itu
masih menancap di dada Bu Tiat-cui. Tubuh Bu Tiat-cui jatuh
Pedang Berkarat Pena Beraksara 13 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 15
^