Pencarian

Dendam Empu Bharada 31

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 31


ber ndak menurut apa yang kuanggap dapat membawa kerajaan Singasari ke arah kejayaan dan
kebesaran. Batara Narasingamurti sudah wafat, tiada yang dapat menghalangi tindakanku lagi "
Aragani dapat melihat apa yang berkecamuk dalam pikiran seri baginda. Maka segera ia
menambah minyak kedalam api "Pandangan mereka sudah usang, sesuai rambutnya yang
sudah beruban. Pangeran Ardaraja, putera raja Daha, adalah putera menantu paduka,
masakan raja Daha akan mempunyai niat jahat terhadap paduka. Kerajaan-kerajaan Malayu
harus lekas ditangani sebelum tangan Kubilai Khan menjangkau ke sana. Singkirkanlah mentri-
mentri penganut Batara Narasingamurti yang berfaham kolot itu apabila paduka ingin Singasari
menjadi kerajaan besar dan jaya."
Lidah berbisa Aragani itu telah termakan seri baginda. Tiga orang mentri utama telah dilorot dan
dipindah ke luar pura. Maka sebagai pelaku dalam peris wa itu sudah wajar kalau rakryan pa h
Aragani mempunyai kecurigaan terhadap surat adipati Banyak Wide kepada raja Daha.
Tampak sepasang mata rakryan pa h Aragani mulai merentang dan makin membelalak ke ka
membaca isi surat adipa Banyak Wide. Keriput-keriput pada dahinya tampak menghilang diregang
urat-urat yang melingkar-lingkar kencang.
Sekonyong-konyong dia mengaum keras.
~dewi.kz^ismo^mch~ Jilid 27 Persembahan : Dewi KZ Tiraikasih Website http://kangzusi.com/ & http://dewi-kz.info/
Dengan Ismoyo Gagakseta 2 http://cersilindonesia.wordpress.com/
Editor : MCH I Brahala raksasa mahabesar dan maha mengerikan, tegak di alun-alun negara As na, meraung
sedahsyat letus sejuta halilintar "Hai, orang-orang As na yang angkara murka, jika kukehendaki,
saat ini juga kerajaan dan rakyat Astina dapat kumusnakan seketika .... "
Demikianlah amarah yang meletus dalam dada prabu Kresna yang berkunjung ke negeri
Astinapura sebagai duta perdamaian. Ia hendak merukunkan perselisihan kaum Korawa dengan
Pandawa agar jangan sampai terjadi perang besar. Tetapi bukan saja tujuan mendamaikan itu
tak berhasil, pun prabu Kresna tersinggung dengan sikap dan ucap fihak Korawa yang
sombong dan angkara. Murkalah sang prabu dan sekeluar dari keraton di alun-alun dia telah
ber-tiwikrama menjadi raksasa Brahala.
Demikianlah daya perbawa dari hawa amarah. Amarah yang bertolak pada kekecewaan karena
cita keinginannya tak tercapai dan berpangkal pada dendam kesumat yang kuasa menghancurkan
segala apa di dunia. Merukunkan Korawa dengan Pandawa pada hakekatnya merukunkan rasa Lahir dan Ba n yang
selalu berselisih, tak mudah disatukan. Lahir, yang selalu bergelimangan dengan nafsu dan
keinginan. Ba n yang menjadi sumber kesadaran dan kebijaksanaan. Lahir menuntut, sang ba n
menolak. Ba n menghendaki, sang Lahir enggan. Demikian apabila ada terdapat keseimbangan
antara Lahir dan Batin, tiada pemawasan antara Keinginan dan Kesadaran.
Walaupun dak ber-triwikrama menjadi raksasa Brahala seper prabu Kresna, tetapi ledakan
amarah yang terjadi dalam dada pa h Aragani ke ka membaca isi surat adipa Banyak Wide atau
Wiraraja kepada raja Jayakatwang, telah menjadikan pa h itu seper seorang Brahala. Dia
meraung seperti singa kelaparan.
"Bedebah ! Keparat Wiraraja, engkau berani bersekutu dengan Jayakatwang untuk membasmi
aku ... " "Rama!," Kuda Panglulut berteriak kaget ke ka menyaksikan rama mentuanya seper orang
kalap. "Anjing jahanam, rasakanlah pembalasanku . . . . . !" ba- ba pa h Aragani meninju meja
sehingga meja tumbang terbalik.
"Rama," makin kejut Kuda Panglulut melihat rama mentuanya mengamuk.
Patih Aragani meremas-remas surat itu lalu dibanting ke lantai "Bacalah !"
Dengan berdebar-debar Kuda Panglulutpun memungut kertas yang sudah kumal itu lalu diusap
supaya rata kembali. Setelah itu baru dia membaca. Seke ka pucatlah wajah Kuda Panglulut. Ia
termenung gemetar. Suasana hening nyenyap. "Panglulut," beberapa jenak kemudian baru patih Aragani membuka suara. Nadanya agak
mereda "Mengapa engkau gemetar ?"
Kuda Panglulut tersipu malu "Ah, tidak, rama. Hamba hanya gemas sekali kepada Wiraraja."
"O, engkau juga marah seperti aku ?"
"Wiraraja terlalu kurang ajar, rama."
"Benar," sahut patih Aragani "dan aku serta engkau lalu marah, bukan ?"
Kuda Panglulut terlongong heran mendengar ucap rama mentuanya "Tidakkah hal itu wajar,
rama?" "Wajar bahkan harus," kata patih Aragani "tetapi cukupkah kita hanya marah-marah saja?"
"Ah, tentu saja tidak, rama. Kita harus bertindak."
"Marah bukan jalan yang terbaik untuk mengatasi persoalan. Bahkan karena marah, pikiran
kita menjadi gelap sehingga tindakan yang kita lakukanpun mungkin kurang tepat."
Kini Kuda Panglulut baru menyadari apa sebab rama mentuanya ba- ba berubah sikap.
Memang benar. Kemarahan takkan menolong persoalan bahkan mengeruhkan pikiran. Diam-diam
ia memuji akan ketekunan peribadi rama mentuanya dalam menghadapi se ap persoalan, betapa
gawatpun persoalan itu. "Anakku," kata patih Aragani "pohon yang tertinggi tentu akan mudah selalu dilanda angin.
Demikian dengan kehidupan manusia. Sesuatu yang tinggi, pangkat maupun kekuasaan dan
harta kekayaan, pasti mudah menderita gangguan. Semisal dengan diri rama. Dalam meniti
puncak tangga kelungguhan seperti yang saat ini rama nikmati, rama telah mengarungi
berbagai badai prahara. Antara lain seperti yang engkau ketahui hari ini, bagaimana ulah si
Banyak Wide hendak menumbangkan kelungguhan rama ini."
Kuda Panglulut mengangguk -angguk.
"Maka anakku," kata pa h Aragani pula "jika engkau takut dilanggar angin topan, janganlah
engkau jadi pohon yang tinggi tetapi lebih aman jadi rumput saja."
"Tidak rama," seru Kuda Panglulut "hamba seorang ksatrya, masih muda dan masih banyak cita-
cita yang hamba inginkan. Sama-sama bercita-cita dan berjuang, mengapa dak ingin menjadi
pohon yang tinggi daripada menjadi rumput yang diinjak-injak ?"
"Bagus, puteraku," seru patih Aragani memuji "rama tak berputera laki-laki, kelak
kelungguhan dan segala kekayaan rama siapa lagi kalau tidak kuberikan kepadamu. Aku
gembira, Panglulut, karena engkau mempunyai pambek yang tinggi. Memang begitulah
seharusnya pendirian hidup seorang ksatrya muda. Mumpung gede rembulane, mumpung
jembar kalangane. Demikian kiasan yang tepat untukmu. Selagi usiamu sedang semegah-
megahnya laksana bulan purnama, selagi ruang gerak kesempatanmu luas, engkau Panglulut,
harus berjuang untuk mendaki ke puncak tangga kehidupan yang gemilang."
"Terima kasih rama. Restu rama akan menjadi azimat hamba dalam menempuh perjalanan cita-
cita hamba." "Baik, Panglulut, eh, sampai dimanakah pembicaraan kita tentang surat si Banyak Wide tadi ?"
"Rama mengingatkan kepada hamba, bahwa marah itu bukan cara yang terbaik untuk
memecahkan segala persoalan."
"Benar, Panglulut," seru pa h Aragani "dalam mengarungi perjalanan hidup yang penuh dengan
badai ujian itu, sebenarnya rama sudah membekal diri dengan pembentukan peribadi yang kuat.
Walaupun menghadapi peris wa apa saja, baik ancaman orang, kemarahan serta cemoh sindiran,
rama selalu bersikap tenang. Tak mudah rama cepat terangsang oleh gesa ucap, marah ha serta
lancang ulah. Dan ternyata rama telah membuk kan, dengan bekal pembentukan peribadi itu,
rama dapat nengatasi segala gangguan dan rintangan yang melintang dihadapan rama. Air yang
tenang tanda dalam. Orang terutama yang memusuhi tentu sukar dan bingung menghadapi
ketenangan rama." Kuda Panglulut mengangguk-angguk tetapi dalam ha dia mengeluh "Ah, lagi-lagi rama melantur
dari arah pokok pembicaraan."
"Terima kasih, rama," akhirnya ia terpaksa menyahut "segala petuah dan wejangan rama pas
akan hamba junjung sekhidmat khidmatnya."
"Tidak cakup begitu. Panglulut. Yang pen ng engkau harus dapat melaksanakannya dalam
kenyataan." "Baik, rama, pasti akan hamba amalkan dalam perbuatan hamba. Tetapi rama .... "
"Apakah ada yang tak sesuai dengan hatimu?" tukas patih Aragani.
"Tidak, rama, semua petuah rama itu benar-benar hamba rasakan sebagai azimat yang sakti."
"Lalu apa yang hendak engkau katakan ?" Kuda Panglulut menghela napas dalam ha , lalu
menjawab "Rama, dakkah rama menganggap bahwa surat dari adipa Wiraraja itu suatu masalah
gawat yang perlu kita tangani dengan segera?"
"Mengapa rama dak menganggap begitu?" balas pa h Aragani "memang demikianlah adat
kebiasaan rama, Panglulut. Mungkin engkau belum fabam sehingga terkejut. Se ap menghadapi
masalah yang pen ng, rama selalu tak mau langsung memecahkan melainkan lebih dulu rama
berusaha untuk menenangkan pikiran. Apalagi dalam persoalan si Banyak Wide ini, rama telah
mengumbar hawa kemarahan. Rama lebih tak berani memikirkan karena kua r pemikiran rama itu
akan dipengaruhi oleh hawa amarah. Oleh karena itu rama simpangkan pembicaraan itu ke arah
persoalan lain yang rama anggap dapat mengurangi ketegangan amarah. Terutama, eh, Panglulut,
masuklah ke dalam dan suruh dayang membawa hidangan yang rama senangi."
"Tuak?" "Apalagi, Panglulut, kalau bukan Tirta Amerta itu. Pikiran rama serasa tumpul apabila tak
diguyur dengan tuak"
Kuda Panglulut mengiakan dan terus menuju ke dalam ruangan. Tak berapa lama dia kembali
dengan diiring seorang dayang yang membawa penampan minuman tuak. Setelah menghidangkan
dihadapan junjungannya dan menuangkan pada sebuah cawan, dayang itupun segera memberi
sembah dan terus masuk ke dalam lagi.
"Dayang itu memang pandai menuju ha ku," kata pa h Aragani seorang diri. Kemudian sambil
mengangkat cawan yang sudah berisi tuak, ia berkata kepada Panglulut "tuak ini terbuat dari sari
nyiru yang telah kusuruh memeram selama beberapa tahun. Dan brem ini kiriman dari pa h
kerajaan Bali. Maukah engkau mencicipinya, Panglulut?"
"Terima kasih, rama. Hari ini hamba tiada selera minum. Silakan rama minum sendiri."
Setelah meneguk habis cawan tuak itu, pa h Aragani berkata "Hai, demikianlah sifat anakmuda
yang masih berdarah panas. Menghadapi sedikit persoalan saja, sudah bingung dan hilang selera
makan dan minum, ha, ha, ha."
Kuda Panglulut terpaksa ikut tertawa, walaupun hambar nadanya.
Setelah menghabiskan tiga cawan penuh, Aragani menjemput sepotong brem. Dan sambil
mengulum brem, mulailah dia bertanya "Baik, anakku, sekarang pikiran rama mulai terang.
Bagaimana pendapatmu mengenai surat si Banyak Wide itu ?"
"Kita harus lekas bertindak, rama."
"Bertindak bagaimana maksud kamu" "
"Menghancurkannya."
"Dengan cara ?" Aragani tertawa seraya menjemput seiris brem lagi.
Kuda Panglulut tertegun tak dapat menjawab.
"Begitulah, Panglulut, apabila kita terangsang oleh kemarahan. Pikiran keruh, ha panas,
keinginan berkobar tetapi tak dapat menemukan cara untuk mengatur rencana yang tepat," kata
pa h Aragani "aku tadipun ber adak demikian, marah dan terus meremas surat itu. Perasaanku
seper meremas si penulis surat itu sendiri. Untung aku segera menyadari kekhilafanku dan
mengetahui bahwa tindakanku meremas surat itu salah. Surat itu seharusnya kusimpan baik-baik."
"Untuk apa, rama?"
"Kita jadikan senjata untuk menghantam manusia-manusia busuk yang bersekutu itu."
"Maksud rama ?" Kuda Panglulut menegas.
"Rencanaku begini," kata pa h Aragani "kita jadikan surat Banyak Wide itu menjadi senjata yang
akan memakannya sendiri."
"O, lalu caranya ?"
"Kita teruskan surat itu kepada raja Jayakatwang," kata pa h Aragani "raja Daha itu tentu akan
mengirim balasan. Nah, kita akan memeriksa apa isi balasannya. Apabila perlu, kita robah isi surat
itu sedemikian rupa untuk menghantam bedebah Banyak Wide."
"Bagus rama," seru Kuda Panglulut memuji, "itu namanya senjata makan tuan. Dengan siasat itu
Wiraraja tentu akan kclabakan."
"Ya," patih Aragani mengangguk.
"Lalu siapakah yang akan menerimakan surat itu ke Daha ?"
"Ah, itu mudah. Kita cari orang Madura yang dapat dipercaya. Dengan memberi upah besar
dan janji akan diberi pangkat, dia tentu mau bekerja untuk kita."
Kuda Panglulut menyambut dengan gembira sekali. Tetapi beberapa saat kemudian ba- ba ia
berkata, "Tetapi rama, hamba mempunyai sedikit usul."
"O, katakanlah."
"Bagaimana pendapat rama apabila kita mengadakan perobahan pada isi surat Wiraraja itu ?"
"Maksudmu?" "Jika surat Wiraraja yang sekarang ini disetujui raja Jayakatwang, bukankah kedudukan rama
akan terancam oleh orang Daha ?"
"Ya," patih Aragani mengangguk "teruskan rencanamu."
"Kita robah saja bunyi surat itu berupa suatu ajakan dari Wiraraja kepada Daha untuk
menyerang baginda Kertanagara."
"Lho, mengapa begitu, Panglulut?"
"Rama, dengan tindakan itu kita akan memperoleh dua buah keuntungan " kata Kuda
Panglulut mengulum senyum "pertama, kita akan mengetahui bagaimana sikap yang
sesungguhnya dari raja Daha terhadap Singasari. Kedua, surat balasan raja Jayakatwang itu
kita jadikan suatu alat untuk menguasainya. Jika dia menolak, surat itu dapat kita haturkan ke
hadapan seri baginda Kertanagara. Bukankah rama akan menerima jasa di atas kemurkaan
seri baginda terhadap raja Daha?"
"Tepat! Engkau benar-benar cerdik sekali puteraku," puji pa h Aragani "dengan memiliki surat
balasan raja Jayakatwang itu, Daha dapat kita tekan dan Banyak Wide juga dapat kita celakai. Ya,
aku setuju sekali dengan rencanamu itu."
"Jika demikian, perkenankanlah hamba membuat surat yang tulisannya akan hamba sesuaikan
dengan tulisan adipati Wiraraja dengan isi surat seperti yang kita rencanakan itu."
Setelah mendapat persetujuan pa h Aragani maka Kuda Panglulutpun mulai membuat sepucuk
surat. Memang Kuda Panglulut pandai menulis. Tulisannya indah dan rapi sekali. Diapun ahli dalam
meniru buah tulisan orang.
Waktu menerima surat yang telah ditulis Kuda Panglulut, pa h Aragani tertawa gembira "Wahai,
puteraku, engkau benar-benar seorang sasterawan yang hebat. Tulisanmu benar-benar menyerupai
buah tulisan si Banyak Wide."
"Ah, mohon paduka jangan terlalu memanjakan hamba dengan pujian, rama."
"Tidak, Panglulut. Tulisanmu ini memang indah, guratannya amat kuat. Andaikata engkau
kembangkan bakatmu dalam ilmu sastera, kelak engkau pasti akan menjadi seorang pujangga."
"Ah," Kuda Panglulut mengeluh walaupun dalam ha girang "tulisan indah bukan pertanda
berbakat pujangga, rama. Kepujanggaan itu suatu bakat seni yang nggi, memiliki suatu ketajaman
citarasa yang peka, ada kalanya suatu cipta yang sukar dicerna dan tak mudah dijangkau daya
pikiran orang." ~dewi.kz^ismo^mch~ Ketika pagi itu patih Aragani menghadap seri baginda di balairung, tampak wajah seri
baginda berseri cerah. Memang demikian sikap seri baginda apabila berhadapan dengan patih
Aragani. Tetapi patih itu sempat memperhatikan bahwa kecerahan wajah seri baginda saat itu,
agak berbeda warnanya dengan hari-hari biasa.
"Patih Aragani," ujar baginda ramah "ada sebuah berita yang menggirangkan."
Aragani terkesiap dalam ha namun sebagai seorang yang pandai mengambil ha junjungannya,
ia menguruskan diri untuk ikut gembira "Berita gembira, gus . O, hamba merasa bahagia sekali
apabila kerajaan paduka selalu dilimpahi berita-berita gembira oleh Hyang Kawi. Namun kiranya
paduka tentu berkenan untuk melimpahkan keterangan kepada diri hamba mengenai berita itu
agar sempurnalah kebahagiaan yang hamba rasakan itu."
"Cobalah engkau terka Aragani," tah baginda "hadiah is mewa akan kuberikan kepadamu
apabila engkau mampu menerkanya."
"Ah," Aragani mendesah dalam ha . Ia mengeluh mengapa gemar benar seri baginda bermain
terka. Apa guna seri baginda berbuat demikian" Bukanlah lebih bijaksana dan wibawa apabila
baginda langsung menurunkan tah " "Hm, rupanya seri baginda makin gemar bermanja pujian.
Bukankah main terka itu akan menjurus pada kemenangan baginda" Dan dakkah se ap
kemenangan itu tentu akan dirayakan dengan sanjung pujian yang menggembirakan hati ?"
"Ah," desah terlepas pula dalam ladang perburuan ha nya. Perburuan untuk mencari sebab dari
kebiasaan yang belum berapa lama ini menghinggapi baginda, yaitu kebiasaan melontarkan teka-
teki kepada para mentri. Hanya kali ini desah Aragani itu segera disusul pula dengan getar ha nya
yang keras "Seorang yang mabuk tentu gemar minuman keras. Sebelum orang itu gemar minum
tentu ada orang lain yang mengajarnya atau menganjurkannya minum. Uh .... . . " ia segera merasa
seper berdiri di depan cermin. Dan nuraninya segera menuding pada gambar lelaki yang
terpampang pada cermin itu "Engkaulah yang telah membius baginda dengan segala puji sanjung
sehingga baginda menjadi seorang raja yang gemar disanjung . . . . !"
"Uh," tanpa sadar mulut patih Aragani mendesuh dan tubuhnyapun ikut meregang kejang.
"Hai, mengapa engkau patih?" tiba-tiba seri baginda menegur.
Aragani terkejut seper orang yang dilemparkan dari puncak pagoda candi Bentar yang nggi
"Hamba ... . tidak apa-apa, gusti," tersipu-sipu dia menghaturkan sembah.
"Mengapa engkau diam saja dan tubuhmu berkelejot seperti orang kejang?"
"Ah, insan setua hamba ini memang sering terserang penyakit tulang pada punggung, pinggang
dan kaki." "Apakah saat ini penyakitmu kumat?"
"Hanya terasa sedikit linu pada punggung hamba sehingga hamba berkejang. Tetapi kini sudah
membaik pula, gusti," terpaksa patih Aragani mencari alasan yang dapat diterima akal.
"O, kebenaran sekali, pa h," seru seri baginda "hadiah yang akan kuberikan kepadamu nan ,
berupa tuak istimewa. Engkau tahu dari mana tuak itu ?"
"Mohon paduka berkenan melimpahkan petunjuk kepada Aragani yang bodoh ini, gusti "
"Engkau masih ingat akan rombongan utusan raja Tartar ?"
"Adakah utusan raja Kubilai Khan yang baru-baru ini menghaturkan pesan rajanya ke hadapan
paduka itu ?" "O, bukan itu. Bukan yang engkau usulkan supaya dibunuh itu. Tetapi utusan yang terdahulu,


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lima tahun yang lalu. Sudah dua kali ini, raja Tartar mengirim utusan. Utusan pertama hanya
membawa salam persahabatan dengan menghaturkan bermacam-macam barang berharga,
diantaranya seratus guci tuak."
"O, benar, sekarang hamba ingat. Bukankah paduka pernah ber tah kepada hamba mengenai
tuak itu. Waktu itu hamba mempersembahkan kata, hendaknya tuak itu paduka simpan saja
karena dikuatirkan mengandung ramuan yang mengganggu kesehatan paduka."
Baginda Kertanagara mengangguk "Benar, pa h. Memang ku tahkan tuak itu disingkirkan. Tetapi
beberapa waktu yang lalu. aku terkejut melihat suatu peristiwa."
Patih Aragani diam mendengarkan.
"Pada waktu permulaan musim hujan ini, banyak abdidhalam dan dayang-dayang yang sakit.
Kebanyakan terserang penyakit perut, kepala dan gemetar."
"Benar, gus ," pa h Araganipun berdatang sembah "memang hambapun mendapat laporan dari
beberapa kepala daerah bahwa daerah mereka terserang oleh suatu wabah prnyakit perut, muntah
dan berak-berak sehingga banyak yang tewas."
"Nah, malam itu aku bersantai melepaskan lelah bercengkerama di taman. Tiba- ba hujan turun
dan aku segera bergegas menuju ke sanggar pamujan dalam taman itu. Beberapa batang pohon
bunga roboh dilanda angin. Kulihat seorang lelaki tua, tanpa mengenakan baju, sibuk memperbaiki
kerusakan dalam taman itu. Dia bekerja seorang diri di malam yang hujan. Karera senang dengan
orang yang penuh bertanggung jawab atas pekerjaannya itu, keesokan harinya, dia kupanggil
menghadap." Aragani diam mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Dia adalah juru-taman Drana," ujar seri baginda pula "rambut dan janggutnya sudah pu h
tetapi wajahnya masih segar dan tubuhnya kekar. Atas pertanyaanku, dia menyatakan sudah
bekerja sebagai juru-taman di keraton Singasari selama gapuluh tahun, sejak rahyang ramuhun
ramanda Wisnuwardhana. Umurnya sudah tujuhpuluh tahun."
"Sebelumnya hamba memang sakit-sakitan, gus ," kata jurutaman Sadrana atas pertanyaan
baginda "bahkan dua tahun yang lalu hampir ma . Tetapi syukurlah ki bekel Wisata telah
memberikan hamba sebuah guci wasiat."
"Hai, apa maksudmu ?" tegur seri baginda.
"Ki bekel Wisata mengatakan bahwa guci itu berisi air obat yang berkhasiat menyembuhkan
segala penyakit. Hamba percaya dan ap malam minum hampir secawan. Ternyata penyakit hamba
sembuh dan bahkan tenaga hamba bertambah kuat, gus . Melihat itu ki bekel memberi lagi dua
guci kepada hamba." "Bekel Wisata kepala sentana dalam keraton itu?"
"Keluhuran sabda-paduka, gusti."
"Bagaimana rasanya air dalam guci itu?" baginda mulai teringat sesuatu.
"Sedap tetapi keras seperti tuak, gusti."
"Lalu engkau habiskan ketiga guci air itu semua" "
"Tidak gusti hamba hemat-hemat. meminumnya. Tiap malam hamba hanya minum separoh
cawan saja agar tidak lekas habis."
"Lalu bagaimana rasanya badanmu?"
"Hamba merasa bertambah kuat, semangat hambapun bertambah segar. Selama dua tahun
hamba tak pernah sakit, tak takut dingin dan tak kenal lelah bekerja."
Seri baginda menitahkan jurutaman itu mengambil guci pamberian bakel Wisata "Ah, benar,"
seru baginda waktu menerima guci itu. Baginda teringat pada suatu hari melibat bekel Wasita
duduk ter dur bersandar ang. Ternyata bekel itu habis bekerja berat membersihkan keraton
karena akan mengadakan perayaan.
Baginda teringat akan persembahan seratus guci tuak dari utusan raja Tartar dahulu. Menurut
keterangan utusan itu, tuak itu mengandung khasiat nggi untuk menghilangkan penyakit tulang,
perut dan lelah. Kuasa pula menambah semangat dan tenaga, memelihara umur panjang. Maka
seri bagindapun menitahkan bekel Wisata untuk minum guci tuak yang tempo hari disuruhnya
menyimpan "Jika engkau cocok dengan minuman itu, ambillah sesuka hatimu."
Kini seri baginda telah menyaksikan sendiri akan keadaan jurutaman Sadrana yang masih tetap
segar dan kuat "Titahkan bekel Wisata menghadap ke mari," titah baginda kepada jurutaman.
Tak berapa lama jurutaman kembali dengan mengiring kepala sentana keraton Singasari, bekel
Wisata. "Benarkah engkau telah memberi ga buah guci tuak dari utusan Tartar itu kepada jurutaman
ini?" diam-diam pula seri baginda memperha kan keadaan bekel Wisata. Juga bekel Wisata yang
sudah tua itu masih tampak segar gagah.
"Benar, gusti," sembah bekel keraton itu.
"Baik, bekel," titah baginda semakin percaya, "masih berapa banyak guci tuak itu " "
"Mohon paduka limpahkan ampun atas kelancangan hamba, gus . Hamba telah mengambil
limabelas guci." "Engkau minum sendiri semua?"
"Yang ga hamba berikan kepada ki jurutaman ini yang dua hamba berikan kepada bapak hamba
yang sudah tua dan sakit sakitan. Sedang yang sepuluh hamba minum bersama isteri hamba."
Baginda senang atas kejujuran kepala sentana keraton yang se a itu "Baik, bekel, kuganjarmu
lagi dengan lima guci dan lima guci yang lain berikan kepada jurutaman ini atas kesetyaan pada
pekerjaannya. Sisanya harus engkau jaga baik-baik. Aku hendak meminumnya sendiri."
Dan sejak minum tuak itu, seri baginda memang merasa semangat dan tenaganya bertambah
segar. Kali ini dia hendak mengganjar patih Aragani dengan seguci tuak itu apabila dapat menerka.
"Engkau tahu apa sebenarnya tuak persembahan dari utusan Tartar itu, pa h ?" ujar baginda
pula. "Mohon gusti melimpahkan titah kepada diri Aragani yang dungu ini."
"Sebenarnya guci itu bukan berisi tuak, pa h. Menurut kata utusan Tartar dahulu, guci itu berisi
arak, sejenis dengan tuak, yang terbuat dari ramuan Suatu tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat
nggi. Tanaman itu hanya terdapat di negeri mereka, namanya som. Kata utusan Tartar, tanaman
som itu berbentuk seper manusia. Makin tua umur som itu, makin hebat khasiatnya. Nah, itulah
yang akan kuganjarkan kepadamu apabila engkau dapat menerka apakah berita gembira yang
kukatakan itu?" Se ap mendengar nama tuak, semangat pa h Aragani tentu merekah. Terutama waktu
mendengar amanat baginda tentang guci arak yang mengandung khasiat menambahkan semangat
dan tenaga itu, pelapuk mata Aragani segera membayangkan betapa indah warna arak som itu dan
betapa nikmatlah rasanya. Tak terasa air liurnyapun meni k sehingga ia buru-buru melumatkan
lidahnya untuk menyapu air liur itu supaya jangan sampai menitik keluar.
Namun di kala membayangkan apa yang harus diucapkan untuk menerka berita gembira itu, dahi
Aragani segera berhias dengan jalur-jalur keriput yang melekuk dalam.
Tampaknya seri baginda tahu akan kesulitan Aragani. Baginda tertawa "Baiklah, akan kuberimu
jalan agar engkau mempunyai arah untuk menerka. Berita girang itu berasal dari Daha. Raja
Jayakatwang hendak mempersembahkan sesuatu kepadaku. Nah, cobalah engkau terka,
persembahan apakah dari Jayakatwang sehingga aku merasa gembira ?"
Pa h Aragani terkejut dan membelalak. Benar-benar tak pernah tercapai dalam pikirannya
bahwa Daha akan menghaturkan persembahan ke hadapan seri baginda Kertahagara. Apa maksud
raja Daha menghaturkan persembahan itu" "Ah, tak mungkin persembahan raja Daha itu bebas
dari suatu tujuan," ia menelusuri lorong-lorong penimangan namun tak bersua dengan jawaban
yang meyakinkan. Kemudian ia menilai bahwa suatu persembahan yang dapat menggembirakan
ha seorang raja seper sang prabu Kertanagara itu tentu suatu benda yang jarang terdapat dalam
arcapada. Harta, emas dan permata, tentu tak akan menggembirakan sang nata yang sudah
melimpah ruah harta benda semacam itu. Persembahan puteri can kpun bukan pada tempatnya
karena baginda tentu sungkan kepada puteri-puteri dan putera menantunya. Lalu apakah benda
yang kuasa menyentuh hati sang nata "
"Sebuah pusaka, gus , pusaka yang akan membawa kerajaan paduka ke arah kejayaan," akhirnya
karena harus memberi jawaban, Aragani pun menghaturkan jawaban. Ia berusaha untuk
mendekatkan penilaian dengan kenyataan yang ada pada seri baginda.
"Bukan," baginda gelengkan kepala " akan kuberimu waktu tiga kali untuk menjawab."
Tiba- ba pa h Aragani teringat bahwa seri baginda sekarang gemar akan sanjung pujian
"Mungkinkah begitu?" bertanya pa h Aragani dalam ha dan iapun memberanikan diri untuk
menghaturkan jawaban "Gelar kehormatan yang sesuai dengan keluhuran, keagungan dan
kewibawaan paduka, gusti."
"Juga bukan," kembali seri baginda gelengkan kepala "nah, masih ada sebuah kesempatan yang
terakhir kalinya, pa h. Ingat Aragani, sepuluh guci arak som dari negeri Tartar yang kuasa yang
menambah semangat tenagamu, akan menyongsong ke hadapanmu apabila engkau dapat menerka
hal itu. Pikirlah yang secermat-cermatnya, patih."
Aragani benar-benar bingung. Selain pusaka dan gelar kehormatan, adakah benda lain yang lebih
berharga bagi persembahan kepada raja" Ia benar-benar kehilangan faham "Ah, daripada dak
memberi jawaban, baiklah kuhaturkan saja sebuah jawaban. Salah atau benar, bukan soal,"
akhirnya ia mengambil keputusan.
Pa h Aragani menengok ke belakang, ke arah peribadi seri baginda Kertanagara. Sebelum
terkekang dalam kegemaran tuak, seri baginda seorang raja yang bijaksana, rajin menuntut ilmu.
Baginda putus dalam ilmu falsafah, tata bahasa dan sadguna atau enam macam ilmu kenegaraan.
Bagindapun melaksanakan pentahbisan sebagai seorang Jnana "Ya, benar, tentulah begitu. Kali ini
terkaanku tentu benar," diam-diam Aragani menghimpun kesimpulan.
"Gus , berkat restu paduka, mudah-mudahan jawaban hamba kali ini dapat berkenan di ha
paduka," kata patih Aragani.
"Katakanlah," baginda tersenyum.
"Raja Jayakatwang mempersembahkan sebuah kitab pusaka yang berisi ajaran agama, entah
ajaran Syiwa entah Buddha, gusti."
Aragani berdebar ke ka melihat baginda mengangguk-angguk kepala. Dan sesaat kemudian
bagindapun ber tah "Baik sekali pa h Aragani. Engkau telah melakukan pemikiran yang cermat
sekali ... " Makin mendebur keras ha Aragani mendengar ucapan seri baginda. Separoh lebih
kepercayaaannya sudah tercurah bahwa kali ini terkaannya tentu benar.
"Tetapi sayang," tiba-tiba baginda berujar "bahwa jawabanmu itu tetap salah. Memang tak
mudah untuk menjangkau hal seperti yang terwujut dalam persembahan raja Daha itu. Jika
engkau tak mampu menerka, memang bukan sesuatu yang tak wajar. Walaupun engkau takkan
menerima ganjaran, tetapi kamu tetap akan kuajak engkau menikmati arak istimewa itu."
"Terima kasih, gus ," kata pa h Aragani agak lesu. Memang ia sudah menduga, walaupun ia tak
berhasil mempersembahkan jawaban yang tepat, namun baginda tentu tetap akan mengajaknya
minum. Tetapi dalam ha kecilnya ia tetap merasa kecewa. Ia juga seorang pa h yang berha
nggi. Ia sudah biasa bermandi dalam pujian seri baginda. Agak tak sedap dalam perasaan bahwa
kali ini dia harus menggigit jari.
"Dengarkan, pa h," ujar baginda "raja Jayakatwang hendak menghaturkan persembahan
patung." "Patung, gusti ?" patih Aragani terkejut sekali.
"Ya, patung," ujar baginda pula "akuwu Daha itu telah mengutus puteranya, pangeran Ardaraja,
untuk mempersembahkan berita itu ke hadapanku."
"Tetapi gus , apa ar persembahan itu kepada duli tuanku sehingga paduka berkenan sekali
dengan gembira?" Aragani memberanikan diri untuk mohon keterangan.
"Patung itu bukan sembarangan patuh, pa h. Tetapi sebuah patung yang penuh ar , nggi
maknawinya." "Tetapi, gus , bukankah di pura kerajaan paduka sudah penuh dengan candi dan vihara.
Berlimpahan pula patung dan arca dewa-dewa sesembahan menghias kewibawaan rumah-rumah
pemujaan?" Seri baginda tertawa renyah "Benar katamu, Aragani. Memang untuk mengembangkan agama
tripaksi, telah ku tahkan untuk membangun candi, vihara dan rumah-rumah pemujaan suci.
Patung-patung dan arca-arca berlimpah ruah untuk mencukupi kebutuhan para kawula Singasari
yang hendak mempersembahkan bak sujudnya kepada dewa yang disembahnya menurut
kepercayaan masing-masing. Tetapi patung yang hendak dipersembahkan akuwu Daha itu, memang
lain dan belum pernah terdapat di pura Singasari."
"O," seru pa h Aragani makin heran "lalu patung apakah yang hendak di persembahkan raja
Jayakatwang itu ?" "Patung JOKO DOLOK."
"Patung Joko Dolok ?" pa h Aragani tercengang heran "berkenankah paduka melimpahkan tah
agar pikiran Aragani yang gelap akan mendapat penerangan, gusti."
"Engkau tentu tahu," sabda,baginda "bahwa dahulu sang prabu Airlangga pernah menitahkan
sang mahayogin Empu Bharada untuk membagi kerajaan Panjalu menjadi dua, Jenggala dan Daha.
Tetapi segala sesuatu itu memang sudah ditentukan oleh kodrat Prakitri. Waktu melaksanakan
amanat sang prabu, ke ka Empu Bharada melayang di udara sambil mencurah air kendi untuk
mengguris tanda watek-bhumi kedua kerajaan itu, empu telah tergoda oleh nafsu amarah karena
bajunya telah terkait pada pohon kamal. Seke ka empu melantangkan kutukan dan jadilah pohon
kamal yang nggi itu sebuah pohon kamal yang pandak. Untuk memperinga peris wa itu maka
tempat itu disebut Kamal Pandak."
Baginda berhen sejenak kemudian melanjutkan "Kutuk seorang maharesi sesak Empu
Bharada, bukan olah-olah hebatnya. Jika hanya pohon kamal itu yang menderita dan selanjutnya
menjadi pohon pandak selamanya, itu masih dapat dimaklumi. Karena jangankan hanya pohon
kamal, bahkan gunung dan lautan pun apabila ter mpah kutuk seorang sak , pas akan rubuh dan
kering." "Keluhuran sabda paduka, gusti," kata Aragani.
"Yang menyedihkan adalah akibatnya, pa h," ujar baginda "kutuk sang empu itu amat bertuah
sekali, sehingga pekerjaan besar yang dilakukannya dalam membagi kerajaan Panjalu itu, telah
gagal karena akibatnya hanya menimbulkan malapetaka saja."
"Maksud paduka, kerajaan Panjalu yang terbagi menjadi dua Jenggala dan Daha itu, selanjutnya
akan pecah dan senantiasa bermusuhan, gusti."
"Benar, patih," titah sang prabu "Jenggala yalah Tumapel atau Singasari, tak pernah hidup
rukun dengan Daha. Inilah akibat daripada DENDAM EMPU BHARADA yang tergoda oleh nafsu
amarah sehingga menjatuhkan kutuk bertuah itu. Seorang yang sedang melaksanakan suatu
tugas suci dan besar, pantang untuk marah dan mengeluarkan kutukan. Bahkan membatin saja,
juga tak dibenarkan. Setitik nila yang memercik maka rusaklah susu sebelanga. Setitik noda
mencemar dalam hati, walaupun selembut rambut dibelah tujuh, maka rusaklah kesucian batin
yang harus dipelihara dalam menunaikan tugas yang besar itu." Patih Aragani mengangguk-
angguk. "Kutuk seorang empu, wiku dan pertapa, memang bertuah. Tahukah engkau mengapa sebabnya
akuwu Tunggul Ametung terbunuh ?"
"Yang hamba ketahui," sembah pa h Aragani "hanyalah tentang sejarah Ken Arok atau Sri Rajasa
sang Amurwabhumi, rajakulakara Singasari. Baginda wafat akibat keris buatan Empu Gandring yang
karena dibunuh Ken Arok lalu mengeluarkan kutuk. Tentang sebab musabab dari meninggalnya
moyang paduka akuwu Tunggul Ametung, hamba kurang jelas, gusti."
"Eyang Tunggul Ametung juga meninggal akibat kutuk empu Parwa, ayah daripada eyang puteri
Ken Dedes. Dahulu eyang puteri Ken Dedes itu termasyhur kecan kannya, bagaikan kuntum bunga
yang mengharumkan laladan sebelah mur gunung Kawi. Kecan kan eyang puteri Ken Dedes
sampai ke Tumapel dan terdengar eyang Tunggul Ametung yang segera menuju ke desa Panawijen.
Kebetulan saat itu eyang sepuh Empu Purwa sedang bertapa di Tegal Panawijen. Ke ka melihat
kecan kan eyang puteri Ken Dedes, eyang Tunggul Ametung tak dapat menahan diri lagi. Tanpa
menunggu persetujuan Empu Parwa, eyang puteri Ken Dedes segera diboyong ke Tumapel."
"Ke ka Empu Parwa pulang dan tak mendapatkan puterinya di rumah," baginda Kertanagara
melanjutkan ceritanya "murkalah dia dan serentak menjatuhkan kutuk . . . 'semoga yang melarikan
puteriku, ma ter kam keris . . . . Sumur sumur di Panawijen supaya kering dan sumber-sumber tak
mengeluarkan air lagi sebagai hukuman pada rakyat yang tak memberi tahu penculikan itu
kepadaku . . . Semoga anakku yang telah mempelajari karma amamadangi, tetap selamat dan
mendapat bahagia ... "
"O, sedemikan ngeri Empu Parwa menjatuhkan kutuk, sengeri kutuk Empu Gandring kepada Ken
Arok, gusti." "Itulah Aragani, tuah atau sak dari kutuk seorang empu dan pandita linuwih. Demikian pula
kutuk yogiswara Empu Bharada yang bersenyawa dalam pembagian daerah kerajaan Panjalu.
Walaupun dendam kemarahan sang empu ditujukan kepada pohon kamal yang telah menyargkut
pakaiannya, tetapi tugas suci yang tengah dilaksanakan sang empu itupun terlumur tuah kutuknya.
Itulah sebabnya Aragani, maka sejak kerajaan Panjalu dibagi dua, Jenggala dan Daha dak pernah
damai." Pa h Aragani mengangguk-angguk dalam-dalam. Sekelumit sisa ha kecilnya yang masih murni
segera menebarkan warna-warna kengerian. Ngeri akan akibat dari suatu perbuatan yang salah
sehingga mendapat kutuk "Jika kutuk seorang empu sedemikian bertuah, tidakkah kutuk dewata itu
lebih mengerikan lagi ?"
"Ah. aku seorang narapraja. Aku ber ndak bukan atas diriku tetapi atas nama dan kepen ngan
kerajaan. Aku tak pernah berbuat kesalahan terhadap kaum empu dan para pandita, akupun tak
melakukan sesuatu yang layak menerima kutuk dewata," ia menghibur diri dalam ha . Tetapi
hanya sesaat saja karena pada lain saat betapa ia telah melakukan hal-hal yang mencelakai
beberapa mentri tua sehingga mereka dicopot dari kedudukannya. Betapa ia telah ber ndak
melakukan penindasan kepada kawula. Dan betapa dia telah meracuni seri baginda dengan bius
sanjung puji yang melelapkan sehingga baginda terbuai ke alam khayal yang gelap akan kenyataan
dan keadaan pemerintahannya.
"Kutuk Empu Parwa, kutuk Empu Gandring, kutuk Bharada sedemikian dahsyat akibatnya.
Mereka hanya segelin r manusia secara perorangan. Tidakkah kutuk para kawula yang berjumlah
beratus ribu itu akan lebih mengerikan lagi kepadamu, Aragani?" terderfgar kesiur angin lembut
,yang menepis telinga ha nya. Ingin ia menutup daun telinganya, menghapus bayang-bayang itu
dari lamunannya. Kemudian pikirannyapun mencari perlindungan dan bertemu dengan sebuah
karang tempat ia berteduh "Tidak, dak! Bukan salah Aragani jika baginda Kertanagara kini
menjadi raja yang gemar minum, senang sanjung pujian. Bukankah baginda itu seorang raja yang
pandai dan luas pengetahuan dari aku " Baginda bukan seorang anak kecil yang mudah terbujuk,
melainkan seorang raja besar yang memerintah sebuah kerajaan besar ! Benar, benar, bahkan
bagindalah yang sering menitahkan aku menghadap ke keraton untuk diajak minum. Kini bukan lagi
aku yang mengajarkan minum, kebalikannya bagindalah yang mengajarkan aku minum berbagai
jenis tuak dari mancanagara. Ya, engkau tak salah, Aragani, engkau tak salah ... "
Dalih telah ditemukan dan pembelaanpun telah diucapkan dalam ha namun dalam relung
batinnya tetap Aragani merasa seperti terdapat beratus serangga yang menggigitinya ....
"Aragani, mengapa engkau termenung diam ?" tiba-tiba sang nata menegur.
Aragani tergagap dari lamunan dan segera menyadari keadaan dirinya saat itu. Lamunan yang
mengerikan itupun bagaikan minyak terjilat api, hilang tak berbekas. Kini dia merasakan sebagai
Aragani, patih kesayangan seri baginda Kertanagara.
"O, hamba hanya tertegun, gusti."
"Tertegun " Mengapa ?"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak jua terjangkau dalam benak Aragani yang dungu ini tentang makna dari persembahan
patung Joko Dolok ke bawah duli tuanku."
"Jayakatwang itu juga berdarah pujangga, gemar menekuni ilmu falsafah, sastera dan gentur
bertapabra-ta." "O," seru Aragani terkejut dimulut, mendesuh dalam ha "Mengapa baginda memandang hal itu
sebagai sesuatu yang wajar, bahkan diiring dengan nada pujian " Tidakkah seharusnya baginda
menaruh syak wasangka, sekurangnya perhatian atas diri akuwu Daha itu ?"
"Menurut keterangan Ardaraja," ujar baginda pula "dalam persemedhian beberapa waktu yang
lalu, Jayakatwang telah mendapat ilham yang besar sekali ar nya bagi Singasari dan Daha. Bahwa
agar tuah daripada kutuk Empu Bharada yang masih terasa akibatnya sampai sekarang ini, diberi
tangkal penolak bala."
"O," pa h Aragani makin terkejut "lalu di-manakah sumber dari zat kesak an kutuk Empu
Bharada yang masih berkembang tuahnya itu, gusti " Dan bagaimanakah cara penangkalnya" "
"Zat sak kutuk Empu Bharada itu bersumber di pekuburan Wurare. Penangkalnya tak lain
adalah seorang manusia linuwih yang mempunyai sakti lebih unggul dari sakti Empu Bharada."
"O," kembali pa h Aragani terperanjat "lalu siapakah insan mahanusa yang sedemikian itu,
gusti?" "Menurut keterangan Jayakatwang yang diperolehnya dalam wawansabda dengan mahluk gaib
dalam alam semedhinya, bahwa di telatah Singasari hingga seluruh permukaan Nusantara, ada
insan yang memiliki sak yang lebih nggi daripada Kertanagara, raja Singasari. Bukankah engkau
sendiri pernah menghaturkan seuntai mutiara sanjung puji Seri Lokawijaya ke hadapanku, patih ?"
"Om nathaya namotsu, hong . . . Segala kemuliaan bagi Yang melindungi. Dirgahayu Seri
Lokawijaya," seru pa h Aragani serentak. Memang pa h itu selalu siap menghamburkan kata
sanjung pujian yang sudah tersedia dalam kandung lidahnya. Dan dia memang pandai sekali
menyembunyikan perasaan hatinya.
Baginda tertawa gembira. "Gus , maa an hamba si lapuk Aragani yang dungu. Tetapi hamba benar-benar belum menger
jelas maknawi dari ilham gaib yang diterima raja Jayakatwang. Adakah paduka yang harus
menangkal bala pada tuah sakti kutuk Empu Bharada itu ?"
Baginda gelengkan kepala "Bukan, pa h, bukan aku sendiri. Tetapi cukup dengan lambang
peribadiku yang akan diwujutkan dalam bentuk sebuah patung. Yaitu patung Joko Dolok."
"Joko Dolok ?" pa h Aragani kerutkan dahi "mengapa lambang peribadi paduka disebut Joko
Dolok, gusti ?" "Itupun termaksud dalam dawuh gaib yang diterima Jayakatwang dalam semedinya. Engkau
seorang ahli sastera, patih, apakah kiranya maksud daripada Dolok itu ?" titah baginda.
Sejenak berdiam, pa h Aragani lalu menghaturkan sembah "Jika hamba tak salah, gus , ar
daripada kata Dolok itu adalah Menung. Mungkin, dikiaskan sebagai termenung dalam cipta-
semedhi, sesuai dengan martabat paduka sebagai seorang Jnana."
"O, benar-benar. Ya, tentulah demikian yang dimaksudkan dalam dawuh gaib itu," baginda
gembira sekali. "Adakah patung Joko Dolok itu yang akan. dijadikan sebagai penangkal bala sak kutuk Empu
Bharada, gusti ?" "Benar, pa h," ujar baginda "patung itu akan disemayamkan di kuburan Wurare yang menjadi
sumber zat sak yang memancar dalam kutuk sang empu. Dengan kemenungan Joko Dolok dalam
cipta-semedhi sebagai Jnana, zat sak kutuk itu akan lenyap. Dan dengan demikian Singasari - Daha
akan hidup rukun dan bersatu dengan damai."
Diam-diam pa h Aragani terkejut. Menilik gelagat, rupanya baginda Kertanagara sudah terbius
dengan persembahan patung itu. Berbahaya, pikir pa h Aragani. Karena dengan begitu baginda
tentu akan melepaskan semua rasa curiga terhadap gerak gerik Daha.
"Ma aku," diam-diam pa h Aragani mengeluh dalam ha "jarum-jarum berbisa makin membius
seri baginda. Putera Jayakatwang, direlakan menjadi putera menantu baginda. Masih belum cukup,
kini raja Duha sendiri akan mempersembahkan patung Joko Dolok. Pintar benar Jayakatwang. Aku
harus memberi peringatan kepada seri baginda ....," ba- ba pa h Aragani terkesiap "ah, dalam
keadaan seper saat ini kiranya seri baginda tentu takkan berkenan menerima peringatanku,
bahkan kemungkinan baginda tentu akan murka kepadaku."
Hampir pa h Aragani hendak melepaskan pemikiran tentang masalah ndakan raja Jayakatwang.
Pikirnya, dia akan mencari kesempatan di lain waktu untuk menghaturkan peringatan ke hadapan
seri baginda. Tetapi ba- ba dia terlintas oleh suatu bayang-bayang yang mengerikan "Uh, apabila
Daha berhasil menghancurkan Singasari, aku pasti akan digantung !"
Rasa ngeri membangunkan ingatan pa h Aragani akan surat adipa . Wiraraja kepada raja
Jayakatwang itu "Hm, akan kuhaturkan surat itu ke hadapan baginda. Baginda tentu terkejut dan
pada saat itu aku akan menghaturkan peringatan agar baginda berha -ha dan jangan lengah
terhadap Daha walaupun rajanya mempersembahkan patung Joko Dolok."
Hampir mulut Aragani meluncurkan kata-kata yang sudah siap berada diujung lidah, namun pada
lain kilas dia teringat apa yang pernah ia nasehatkan kepada putera menantunya Kuda Panglulut
"Rama dapat meni ke puncak tangga kedudukan seper hari ini adalah karena rama pandai
menguasai perasaan, ucap dan ulah. Rama selalu tenang menghadapi segala keadaan betapapun
buruknya." "Ah," teringat hal itu Araganipun tersipu-sipu dalam ha . Cepat dia segera menguasai
keguncangan hatinya. "Bagaimana pendapatmu, pa h?" ba- ba baginda menegur karena sampai beberapa saat
belum juga pa h itu membuka suara. Hal itu agak mengherankan baginda karena biasanya Aragani
lincah bicara. "Suatu persembahan yang tepat dan layak diterima, gus ," Aragani serentak menghaturkan
sembah walaupun sesungguhnya tanpa patung itupun paduka tentu kuasa menangkal tulah
dendam Empu Bharada itu. Namun agar jangan mengecewakan ha akuwu Jayakatwang, kiranya
bukan apa-apa apabila paduka ber-kenan menerimanya."
Baginda Kertanagara kerutkan dahi "Bagaimana engkau dapat mengatakan demikian, patih ?"
Patih Aragani yang julig dan licin dalam waktu yang singkat telah menemukan akal bagaimana dia
harus menghadapi baginda saat itu. Maka dengan mengiring senyum tawa pada sembahnya, dia
berkata "Betapa dak, gus " Adakah tanpa patung itu paduka tak mampu mengatasi tulah
dendam kutuk Empu Bharada itu " Tidak, gus sesembahan seluruh kawula Singasari. Hamba
mohon mempersembahkan seuntai kata, kata tak bermadu puji tetapi kata yang bercermin pada
kenyataan." "Katakanlah, Aragani."
"Paduka telah berkenan menitahkan upacara pentahbisan sebagai Janabajra di makam Wurare
beberapa waktu yang lalu. Abiseka pentahbisan paduka adalah Sri Jejanabadreswara, Jina batara
Syiwa-Buddha yang telah mengejawantah di arcapada ini. Jina yang dak hanya menguasai
kekuatan gaib di alam semesta, pun juga menguasai kerajaan besar dan jaya di nusantara. Adakah
martabat agung paduka sebagai Jina itu, harus direndahkan dengan kekuatan daya sak sebuah
patung belaka " Tidak, gus . Bila terjadi hal itu maka Araganilah manusia pertama yang akan
tampil untuk menghancur leburkan musuh sehina itu. Demi dewa dan demi batara, demi segala
mahluk di mayapada maupun di arcapada, baik yang tampak maupun yang tak tampak, Aragani
bersumpah akan mempertaruhkan jiwa raga demi menjaga keagungan Sri Jejanabadreswara, Jina
yang kami agungkan dalam kemuliaan sembah puji."
"Duhai pa h Aragani, betapa nggi andika menjunjung rajamu," seru baginda dengan nada ceria
"semoga kerajaan Singasari akan selalu jaya dan sejahtera di bawah pimpinan pa h Aragani yang
bijaksana." Patih Aragani tersipu-sipu menghaturkan sembah.
"Tetapi pa h," ujar baginda "patung Joko Dolok itu adalah lambang dari kebesaran peribadiku.
Biarlah mereka percaya bahwa patung yang memperlambangkan kebesaran peribadiku itu, pun
mempunyai sakti yang kuasa untuk menangkal bala kutuk empu Bharada."
"Benar, gus ," cepat Aragani menanggapi "hambapun telah menghaturkan kata, bahwa ada
halangan apabila paduka berkenan menerima persembahan itu. Apa yang hamba haturkan ini,
hanyalah sekedar curahan isi kalbu hamba, agar segenap kawula Singasari dan terutama hamba
sendiri, jangan sampai terhanyut dalam perasaan lain, jangan sampai tergoda pada persembahan
patung itu, serta tetap harus percaya dan yakin bahwa hanya paduka Sri Jnanaba-dreswara, Jina
batara Syiwa Buddha, nata binatara dari kerajaan Singasari yang sesungguhnya memiliki sak lebih
dari segala patung dan bahkan lebih unggul dari sak kutuk Enpu Bharada. Berbahagialah Singasari
karena mempunyai seorang raja besar sebagai paduka. Berbahagialah seluruh kawula Singasari
karena bernaung di bawah duli junjungannya yang mulia."
"Ah, pa h Aragani, di kala mendengar persembahan kata-katamu itu, serasa aku melayang di
awang-awang langit ke tujuh," baginda Kertanagara makin terbuai "malam ini akan kuajak engkau
bersama menikmati arak som sampai sepuas-puasnya."
"Ah." Aragani menghaturkan sembah.
"Mengapa ?" "Ampun beribu ampun hamba mohonkan ke bawah duli paduka," kata pa h Aragani "sungguh
suatu kebahagiaan yang ada ranya bahwa paduka berkenan menitahkan hamba untuk
mengiringkan paduka menikmati arak itu. Tetapi hamba mohon ampun, gusti, badan hamba malam
ini benar-benar kurang sehat."
"O, baiklah, engkau boleh pulang beristirahat. Nanti akan kutitahkan sentana untuk mengirim
dua guci arak som itu kepadamu."
~dewi.kz^ismo^mch~ II Dengan lidahnya yang tajam, pa h Aragani berhasil menikamkan senjata 'sanjung pujian' kepada
baginda Kertanagara sehingga mengaburkan penghargaan baginda terhadap persembahan patung
Joko Dolok dari Jayakatwang. Aragani dapat menanamkan suatu kesadaran dalam sanubari seri
baginda, bahwa martabat seri baginda itu jauh lebih nggi dari segala insan dan mahluk yang
berada di nusantara. Bahwa patung Joko Dolok itu hanya kecil sekali artinya.
Namun Aragani yang licin juga pandai melihat gelagat. Agar jangan semata-mata dianggap
tidak menyetujui persembahan patung itu, diapun menganjurkan agar baginda menerima. Hanya
saja sifat penerimaan itu bukanlah seperti yang dikehendaki Jayakatwang untuk melengahkan
perhatian baginda terhadap Daha, melainkan bersifat sekedar basa-basi agar tidak merusak
hubungan Daha dengan Singasari.
Entah berapa lama Jayakatwang mencari upaya rnenciptakan suatu siasat untuk melenyapkan
perha an bahkan kecurigaan baginda Kertanagara terhadap Daha yang saat itu sedang giat
menyusun kekuatan pasukannya. Dan entah berapa lama juru pahat harus menyelesaikan karyanya
membuat sebuah patung sesuai yang di tahkan raja Jayakatwang. Tetapi, kesemuanya itu ba'
panas setahun dihapus hujan sehari. Dalam sekejab saja, pa h Aragani telah dapat menyapu
lenyap tujuan siasat Jayakatwang.
Malam itu pa h Aragani masih duduk termenung-menung. Walaupun sudah berhasil
menegakkan kepercayaan baginda atas diri peribadinya, namun Aragani masih gelisah memikirkan
peristiwa patung itu. "Aku hanya seorang pa h dan nggal di luar keraton," ia menimang-nimang dalam pemikirannya
"sedang pangeran Ardaraja adalah putera menantu baginda dan nggal dalam keraton. Pangeran
itulah yang telah menjadi penghubung dalam persoalan patung itu. Tentu Jayakatwang menitahkan
puteranya agar baginda terbujuk untuk menerima persembahan patung Joko Dolok dan makin
berkurang kecurigaan baginda terhadap Daha. Tak mungkin tidak begitu."
Aragani menilai ndakan Jayakatwang terhadap Ardaraja, seper halnya kalau dia mengatur
siasat bersama menantunya, Kuda Panglulut. Serta membayangkan bagaimana pertalian antara
baginda dengan pangeran Ardaraja dan bagaimana pula dekatnya hubungan pangeran itu dengan
baginda, menggigillah hati Aragani "Berat, benar-benar berat," ia mengeluh dalam hati.
Sejak seri baginda memungut pangeran Ardaraja sebagai putera menantu, ha Aragani sudah
limbung. Ia kua r pengaruhnya akan terdesak oleh pangeran itu. Maka dengan jerih payah dia
berusaha keras untuk mempertahankan kedudukannya. Syukur akhirnya ia berhasil
mempertahankan kepercayaan seri baginda melalui hidangan tuak yang dengan berbagai cara,
dapatlah ia mengajarkan baginda untuk menggemarinya. Dengan tuak, bukan saja ia dapat
mempertahankan kepercayaan baginda, pun bahkan lebih dari itu, dia telah dianggap sebagai
kawan minum baginda yang paling menyenangkan.
Namun sekalipun sudah berhasil memperkokoh kedudukannya, diam-diam dia tetap memata-
matai gerak-gerik Daha. Dia mulai cemas lagi ke ka mendapat laporan tentang kegiatan Daha
membentuk kekuatan pasukannya. Berulang kali dalam kesempatan minum tuak berdua dengan
baginda, dia menyinggung-nyinggung hal itu, namun baginda tetap tak acuh bahkan
mentertawakannya "Ah, mana mungkin, pa h, bukankah sekarang Jayakatwang itu sudah terikat
keluarga sebagai besanku" Ardaraja pun sudah menghaturkan laporan tentang kegiatan ramanya di
Daha. Bahwa Daha membangun kekuatan pasukan itu tak lain untuk membantu Singasari apabila
setiap saat kedatangan musuh dari luar."
Namun Aragani tetap membicarakan peris wa itu kepada pa h Mahesa Anengah yang
menguasai pasukan Singasari, agar tetap waspada terhadap gerak gerik Daha.
Kini Daha melancarkan 'serangan' baru lagi, serangan yang berupa suatu siasat halus untuk
membuai perha an baginda Kertanagara. Untunglah dia dapat menggagalkan siasat Jayakatwang
itu. Namun ia masih belum lepas pikiran sama sekali. Ia faham akan perangai baginda yang mudah
tergoyah oleh buaian sanjung puji. Walaupun di keraton tadi dia dapat mengingatkan baginda agar
dak terlalu terbuai oleh persembahan patung yang tak berar itu tetapi mana ia dapat menjamin
bahwa baginda takkan berobah pendirian manakala nan berhadapan dengan putera
menantunya, pargeran Ardaraja"
"Bagaimanapun aku harus mencari upaya untuk menggagalkan
rencana akuwu Daha itu," akhirnya ia menyimak kesimpulan. Seketika terbayanglah dia akan
seseorang yang dapat membantu melaksanakan rencananya.
Malam itu juga ia segera menuju ke candi Bentar, menemui maharsi Dewadanda yang menjadi
sahabat karibnya. Maharsi Dewadanda terkejut dan gopoh menyambut "Wahai, ki pa h, angin apakah gerangan
yang menerbangkan tuan berkunjung kemari pada hari semalam ini ?" tegur kepala candi Bentar
itu. Sempat pula Aragani menyambut dengan seloroh juga "Angin takkan berhembus apabila ada
goncangan di dirgantara, maharsi."
"O," desus sang maharsi Dewadanda "mengapa dirgantara goncang" Adakah para dewa sedang
bermusyawarah di kahyangan ?"
Pa h Aragani tertawa karena selorohnya disambut dengan seloroh juga oleh maharsi tua itu
"Benar, maharsi, rupanya para dewa sedang bermusyawarah dan menitahkan angin supaya
menyampaikan kepadaku."
"Wahai, tuan patih yang mulia," seru maharsi Dewadanda "rupanya tuan seorang kekasih dewa."
"Ah, bagaimana maharsi memberi puji setinggi itu?"
"Bukankah tuan dipercayakan untuk mendampingi sang Syiwa-Buddha yang mengejawantah
menjadi yang dipertuan di kerajaan Singasari ?"
"Ah," patih Aragani tertawa riang dan riuh. Maharsi tua itupun ikut tertawa. Rupanya
keduanya amat gembira dengan seloroh mereka itu.
"Tetapi maharsi yang bijaksana," sesaat kemudian patih Araganipun berkata "tuan lupa."
"O, apa yang kulupakan ?"
"Bahwa angin itu tentu akan berhembus pergi apabila tidak tuan pelihara."
"O, ha, ha, ha," maharsi Dewadanda tertawa gelak-gelak "benar, benar, maa an aku, ki pa h.
Mari silakan masuk dan bicara dalam ruangku."
Setelah berada dalam ruang peribadi maharsi, maka mulailah maharsi itu bertanya "Ki pa h, jika
dak berada-ada, masakan burung tempua bersarang rendah. Jika ada masalah pen ng, masakan
tuan akan memerlukan berkunjung ke mari pada hari semalam ini."
"Benar, maharsi," jawab Aragani "tuanlah tempat hamba menimba nasehat, meneguk buah
pikiran untuk membahas masalah yang kuhadapi dewasa ini."
"O, mengapa ki pa h sedemikian sungkan sebagai sikap seorang asing kepadaku" Bukankah tuan
telah banyak memberi bantuan kepada candi Bentar ini. Tak ada yang dapat kami persembahkan
untuk membalas jasa tuan kecuali tenaga dan pikiran resi tua seperti diri kami ini."
"Ah, terima kasih maharsi. Apa yang kulakukan hanya sekedar melaksanakan dharma bak ku
kepada Hyang Syiwa yang melalui pengabdian maharsi dalam mengembangkan ajaran-ajarannya
yarg luhur telah memberi sinar penerangan kepada seluruh kawula Singasari."
"Kamipun hanya menetapi dharma kewajiban kami sebagai sebagai resi, ki pa h," balas maharsi
Dewadanda. Berhen sejenak, pa h Aragani melantang pula "Maharsi Dewadanda, sebelum menapak lanjut
pada masalah yang akan kumohonkan pendapat tuan, maaf, terlebih dahulu idinkan Aragani untuk
menghaturkan sebuah pertanyaan kepada tuan."
"O, silakan, ki patih."
"Maharsi, bagaimanakah pandangan dan anggapan tuan sebagai guru besar agama Syiwa-
Buddha terhadap kerajaan Daha ?"
"Daha yang dahulu ataukah Daha yang sekarang, ki patih?"
"Dahulu dan sekarang jua."
"Prabu Dandang Gendis atau. Kertajaya dari kerajaan Daha dahulu, seorang junjungan yang suka
menonjolkan sikap hadigang hadigung. Baginda memaksa supaya kaum pandita dan resi
menyembah kebawah duli baginda. Baginda merasa lebih nggi martabatnya dari kaum pandita.
Karena hal itu tak sesuai dengan ajaran dalam agama maka para pandita itupun menolak. Menu!ut
urut-urutan dalam ajaran mereka, pandita mempunyai kedudukan martabat yang lebih nggi dari
raja dan ksatrya. Prabu Dandang Gendis murka dan menindak kaum pandita itu dengan semena-
mena. Karena tak tahan atas perlakuan sang prabu, banyaklah kaum pandita dan brahmana yang
mengungsi mencari pengayoman ke Singasari."
"Dengan demikian jelas bahwa Daha hendak menindas kaum pandita brahmana, bukan ?" tanya
Aragani. "Demikianlah sejarah Daha yang lalu, ki patih."
"Dan adakah suatu perobahan yang tampak pada kerajaan Daha dibawah pimpinan raja
Jayakatwang yang sekarang ini, maharsi ?"
Maharsi tua itu terdiam tak lekas menyahut.
"Maksudku, adakah sikap raja Jayakatwang terhadap kaum pandita dan brahmana sudah
berobah baik ?" Aragani menyusuli penjelasan.
Dengan ha -ha maharsi Dewadanda memberi jawaban "Masa beredar, jeman berobah. Sikap
dan pandangan manusiapun ikut terhanyut dalam keadaan. Apa yang kami dengar dari laporan-
laporan selama ini, memang sudah banyak perobahan di Daha terhadap kaum pandita dan
brahmana. Mungkin hal itu disebabkan karena Daha sudah insyaf akan kekhilafan yang telah
dilakukan oleh rajanya yang terdahulu. Atau mungkin pula karena terkesan akan kewibawaan
baginda Kertanagara yang menaruh perindahan besar kepada kaum pandita. Segala kemungkinan
dapat terjadi sesuai dengan perkembangan keadaan. Namun sekalipun demikian, kami para
pandita Syiwa-Budha. tak pernah melupakan pengalaman- pengalaman pahit dalam sejarah yang
lampau itu."

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aragani tersenyum "Berprasangka," katanya "tak dibenarkan dalam ajaran agama, maharsi."
Maharsi Dewadanda balas tertawa "Bukan berprasangka, ki pa h, melainkan kesan-kesan lama
yang masih menggores dalam ha mereka. Kesan itu makin terasa setelah mereka menemukan
pengayoman yang benar-benar menenangkan ba n mereka dalam bumi Singasari. Bumi yang
dipimpin oleh seorang raja binatara yang patuh melaksanakan segala ajaran Hyang Syiwa-Buddha."
"Dengan demikian tentulah para pandita brahmana takkan merelakan apabila bumi pengayoman
mereka itu sampai terganggu ketenangannya," makin
balah pa h Aragani pada sasaran
pembicaraannya. "Ya, tentulah demikian."
"Terima kasih, maharsi," kata patih Aragani. Menganggap telah tiba saatnya maka dia lalu
menuturkan semua pembicaraan waktu menghadap baginda malam tadi. Maharsi Dewadanda
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Bagaimana pendapat maharsi akan hal itu?"
"Apa yang ki pa h haturkan ke hadapan paduka, sungguh tepat sekali," kata maharsi Dewadanda
"memang hendaknya janganlah mudah seri baginda terpikat oleh persembahan yang mengandung
maksud tertentu." "Artinya maharsi mendukung pernyataanku itu?"
"Demikianlah, ki patih."
"Terima kasih, maharsi," kata pa h Aragani "aku merasa gembira sekali karena ternyata kjta
telah seiring dan sejalan dalam menilai sikap Daha terhadap Singasari."
"Yang pen ng kita harus berha -ha menanggapi se ap ndakan Daha terhadap Singasari. Kami
kaum pandita dan brahmana ada menghendaki suatu apa kecuali hanya ketenangan dan
kedamaian hidup yang sejahtera."
"Benar, maharsi," kata pa h Aragani "bukan maksudku hendak mengusik ketenangan ha tuan.
Tetapi keadaan telah mengusik kita."
"Apa maksud, ki patih?" maharsi tua itu terkejut.
"Berkenankah maharsi mendengarkan sebuah berita yang mungkin saja akan mengejutkan
tuan?" "Berita apakah itu, ki patih," maharsi Dewadanda terkejut.
"Sembah puji ke hadirat Batara Syiwa-Buddha yang agung, karena telah melimpahkan berkahNYA
melindungi Singasari dari malapetaka." Aragani memulai penuturannya dengan mengucapkan
sembah puji "secara tak terduga-duga putera menantuku si Kuda Panglulut telah berhasil
membongkar suatu persekutuan besar untuk merobohkan kerajaan Singasari."
"O," mahursi tua itu mendesuh kejut "bagaimana peristiwa itu" "
Setelah dapat menggugah semangat maharsi, Aragani baru mulai bercerita. Ibarat orang
menggoreng ikan, minyak harus dipanaskan dulu, baru ikan dimasukkan. Demikian cara Aragani
hendak melontarkan persoalan yang dibawanya itu kepada maharsi. Ia menghendaki agar
semangat maharsi terhentak baru dia menceritakan tentang surat dari adipati Wiraraja kepada
raja Daha. Isi surat itu ditekankan kepada ajakan Wiraraja kepada raja Jayakatwang untuk bersiap-siap
menunggu ketempatan yaag baik untuk mencetuskan pemberontakan bersenjata terhadap
Singasari. Dengan licin dan pandai, Aragani menyembunyikan tujuan isi surat Wiraraja yang menganjurkan
Jayakatwang untuk melenyapkan dirinya. Dia hanya menekankan bahwa tujuan Wiraraja bersekutu
dengan Jayakatwang itu adalah untuk menumbangkan kekuasaan baginda Kertanagara. Sekali
merangkai cerita, Aragani tak mau kepalang tanggung. Ditambahkannya pula bahwa dalam
suratnya itu, Wiraraja juga menganjurkan kepada Jayakatwang, agar apabila berhasil
menumbangkan kekuasaan baginda Kertanagara maka kaum pandita dan brahmana juga harus
dibasmi. Pengaruh kaum pandita dan brahmana Syiwa Buddha makin bertumbuh besar. Mereka
dak terbatas dalam mengembangkan ajaran agama, pun telah ber ndak lebih jauh untuk
menyusupkan pengaruhnya dalam pemerintahan. Demikian surat Wiraraja.
"Keadaan ini sesuai dengan kekua ran kaum pandita dan brahmana sebagaimana tuan
ungkapkan tadi. Bukankah persekutuan jahat itu merupakan suatu ancaman bagi kaum pandita
dan brahmana yang selama ini telah mengenyam kehidupan yang tenang dan damai di Singasari ?"
Aragani menutup penuturannya dengan suatu peringatan untuk membangkitkan kegelisahan
maharsi Dewadanda. Maharsi mendengarkan penuturan itu dengan penuh perha an. Berulang kali tampak dahinya
mengeriput. "Memang hal itu layak mendapat perha an, ki pa h," jawab maharsi dengan sikap ha -ha
"namun ada sesuatu yang kupikirkan."
"Baginda Kertanagafa adalah seorang Jina yang melindungi agama Syiwa-Buddha. Wiraraja dan
Daha tak mungkin dapat meniru jejak mendiang prabu Dandang Gendis."
"Ha, ha," pa h Aragani tertawa lepas "barangsiapa merasa kuat, dia lengah. Yang merasa puas,
dia lena. Dalih ini telah diresapi oleh Wiraraja dan dihaturkan kepada Daha untuk
mempergunakannya sebagai senjata kepada Singasari. Rupanya raja Daha setuju untuk
melaksanakannya. Raja Jayakatwang tahu bahwa baginda Kertanagara itu senang disanjung suka
didamba dambakan," agak tergetar nada suara Aragani waktu mengucapkan kata-kata yang
terakhir itu. Dia dibayangi oleh bayang- bayang hitam dari perbuatannya membuai baginda.
"Hm," maharsi Dewadanda hanya mendesah.
"Bertolak pada landasan itulah maka raja Jayakatwang akan menciptakan suatu iklim yang penuh
pesona bagi kegemaran baginda. Daha akan menghaturkan sebuah patung "
"Patung?" maharsi tua itu mengulang heran "patung apakah gerangan yang membuat baginda
terpesona ?" "Patung Joko Dolok, maharsi," sahut Aragani.
"Patung Joko Dolok " Apakah patung itu " Dan apa kaitannya dengan seri baginda ?"
"Lambang sakti peribadi seri baginda."
"O," desuh maharsi "bagaimana keterangannya maka sak seri baginda dilambangkan sebagai
Joko Dolok, ki patih ?"
"Joko Dolok ar nya pemuda yang termenung. Menung diar kan sebagai menung cipta-semedhi
yang dalam. Itu kata orang Daha."
Sejenak maharsi Dewadanda kerutkan dahi, kemudian berkata "Tetapi, ki pa h, dakkah ar
kata Dolok itu juga dapat ditatarkan sebagai termenung-menung " Dan termenung-menung
biasanya orang yang melamun atau berkhayal sehingga mengabaikan kenyataan disekelilingnya ?"
"Ah, benar," sambut pa h Aragani "tetapi seri baginda lebih mempercayai akan tafiiran ar
'termenung'." "Tetapi ki pa h," sanggah maharsi "seri baginda seorang Jnana yang putus akan sad-paramita
dan segala ilmu falsafah agama. Tak mungkin seri baginda akan puas apabila Daha yang
menghaturkan tafsiran ar dari patung Joko Dolok itu sebadai 'termenung2". Tentulah ada ar yang
lebih mendalam pula."
Sejenak pa h Aragani memejamkan mata, mengerut dahi seper tengah menggali ingatan "O,
benar, maharsi," serunya beberapa saat kemudian "memang terdapat suatu iringan tafsiran yang
mempermegah tafsiran patung itu. Kata raja Daha, patung Joko Dolok itu harus ditafsirkan dari
ajaran Tri-parartha. Berkenankah maharsi memberi uraian kepada hamba tentang tafsiran itu"."
Maharsi Dewadanda mengangguk "O, tri-parartha ?"
"Ya." "Tri-parartha juga disebut Tri-para martha, yaitu ga tujuan utama dalam ajaran Buddha, yalah
Asih, Punya dan Bhak . Asih yalah Kasih sayang, Punya berar dermawan dan Bhak adalah taat
mengabdi atau sujud kepada Hyang Maha Agung. Ke ga- ganya itu diwujutkan dengan sifat
hakekat Bodhisatwa dengan nama tersendiri. Bhatara Wairocana adalah Asih. Bhatara Amithaba
adalah Punya. Dan Bhatara Aksobhya adalah Bhakti."
"O, benar, benar, maharsi," seru pa h Aragani "raja Daha mengatakan bahwa patung itu adalah
lambang dari Bhatara Aksobhya."
"Jika demikian," kata maharsi Dewadanda "Joko Dalok itu ditafsirkan sebagai termenung dalam
cipta-semedhi sebagai hakekat Bhak , yaitu yang selalu berbuat sesuai dengan ajaran agama.
Teguh memegang tapa-brata. ibadah dan ketentuan-ketentuan agama, tak pernah jemu mendalami
ajaran Dharma." Aragani mengangguk-angguk.
"Ki pa h," kata maharsi Dewadanda "lalu apakah tujuan raja Jayakatwang mempersembahkan
patung Joko Dolok itu kepada seri baginda?"
"Untuk penangkal tulah kutuk Empu Bharada."
"O," maharsi Dewadanda terkejut "untuk penangkal tulah kutuk Empu Bharada" Apakah yang
dimaksudkan raja Daha ?"
Patih Aragani menuturkan tentang sejarah kerajaan Singasari dengan Daha yang sejak dahulu
selalu tak pernah rukun. Hal itu diakibatkan pada waktu empu Bharada mengguriskan air kendi
sakti dari udara untuk membagi kerajaan Panjalu, bajunya telah tersangkut batang pohon
kamal. Empu murka dan seketika itu mengeluarkan kutuk sehingga pohon kamal itu berobah
menjadi pandak selama-lamanya. Kutuk itu memberi pengaruh pada tugas empu yang sedang
melaksanakan amanat baginda untuk membagi atau memecah kerajaan Panjalu. Dan
selanjutnya kedua kerajaan Daha dan Jenggala itu menjadi pecah.
"Itulah yang dimaksud oleh raja Daha dengan persembahan patung Joko Dolok itu. Patung itu
akan diletakkan di makam Wurare, tempat dahulu empu Bharada menghimpun sak ," pa h
Aragani mengakhiri penuturannya.
"Hm," desuh maharsi Dewadanda "itu suatu ulasan pada persembahannya tetapi adakah maksud
lain yang tersembunyi dalam persembunyian itu, ki patih ?"
"Tentu, maharsi," sahut pa h Aragani dengan nada yakin "seper kata tuan tadi 'burung tempua
takkan terbang rendah apabila tak berada ada'. Demikian dengan peris wa itu. Tak mungkin raja
Jayakatwang akan mempersembahkan patung yang berhiaskan ulasan kata sedendkian luhur,
apabila tiada mempunyai maksud tertentu."
"Maksud ki patih, raja Daha bermaksud melelapkan perhatian seri baginda ?"
"Apa pula kalau dak begitu, maharsi," seru Aragani "dengan persembahan itu, diharapkan agar
hilanglah kecurigaan baginda terhadap maksud terselubung dari Daha. Yang jelas, aku telah
menerima laporan dari orang-orangku bahwa secara diam-diam Daha membangun pasukan."
Dewadanda terkesiap. Sekilas pikirannya membangun ingatan akan peris wa kerajaan Daha
semasa diperintah prabu Dandang Gendis dahulu "Tetapi berkenankah baginda menerima
persembahan patung itu?" beberapa saat kemudian ia bertanya.
"Telah kukatakan," sahut pa h Aragani "bahwa baginda terlalu yakin akan kekuasaan, kekuatan
dan kesak annya. Pun baginda tak pernah mau percaya bahwa kebaikan yang dilimpahkan kepada
Jayakatwang dengan mengangkatnya sebagai raja Daha dan puteranyapun dipungut sebagai
menantu, akan dibalas dengan air tuba oleh raja Daha itu."
Maharsi Dewadanda menghela napas kecil "Tetapi ki pa h, dakkah andika seorang kepercayaan
baginda" Apakah andika tak pernah berusaha untuk menyadarkan pikiran baginda?"
Aragani tertawa hambar "Kiranya tak kurang-kurang usahaku untuk menyadarkan seri baginda.
Baik secara bertalaran maupun berterus terang, telah kuusahakan untuk menyinggung ancaman-
ancaman yang tak pernah padam di ha orang Daha terhadap Singasari, Namun baginda selalu
mentertawakan dan mengatakan aku seorang yang banyak berprasangka."
Maharsi diam merenung. Sampai beberapa saat baru dia bicara pula "Ki pa h, menarik dari
kecemasan tuan, tentulah tuan sudah dapat membayangkan betapa akibat daripada ndakan raja
Daha itu terhadap Singasari."
"Hal itu sudah jelas, maharsi," jawab Aragani "apabila Daha sampai dapat menguasai
Singasari, sejarah akan terulang pula. Sejarah dari prabu Dandang Gendis terhadap para
pandita dan brahmana khususnya. Karena jika Daha tak pernah mau melupakan dendam
terhadap Singasari, tentulah tak mungkin mereka akan melupakan kaum pandita dan brahmana
yang melarikan diri mencari pengayoman ke Singasari kemudian dengan setya ikut serta
membangun dan menyejahterakan kerajaan Singasari dalam bidang keagamaan. Tidakkah
demikian pendapat, andika maharsi ?"
"Harimau walaupun berselimut bulu domba, akhirnya dapat diketahui juga karena bunyinya,"
kata resi Dewadanda "demikian pula dengan setiap perbuatan yang berselubung kebaikan."
"Tuan telah memberi tamsil yang tepat sekali," sambut pa h Aragani "dan siapa yang
mengetahui bahwa dalam selubung kulit domba itu bersembunyi harimau tetapi dak lekas
bertindak untuk membasminya, dia akan ditelan oleh harimau itu."
Maharsi Dewadanda terhentak mendengar ucapan pa h itu. Ia mencurah pandang kepada
tetamunya. "Maharsi," cepat pula patih Aragani berkata "membasmi musuh Singasari sama halnya
dengan membasmi musuh agama Syiwa-Buddha. Karena Singasari dipimpin oleh seorang Jina
yang menaungi kesejateraan agama Tripaksi. Soal perbedaan aliran dalam agama itu, hanyalah
soal falsafahnya saja. Beda sekali dengan kebebasan perkembangan agama di Singasari
dengan dibawah kekuasaan Daha. Di Singasari kaum pandita dan brahmana menjunjung
baginda Kertanagara sebagai Jina, pelindung Syiwa-Buddha. Di Daha, rajanya hendak
memaksa para pandita dan brahmana menyembah dibawah kekuasaan raja."
"Sudah jelas sekali, bagai burung dara terbang di siang hari," sambut maharsi Dewadanda "lalu
apakah yang harus kita lakukan" Kurasa ki patih tentu sudah membawa rencana."
Pa h Aragani mengangguk girang "Benar, maharsi. Namun rencana itu wajib kumintakan
pertimbangan tuan karena hal itu menyangkut kepentingan kita bersama."
"Baiklah. Silakan ki patih menguraikan."
"Satu-satunya jalan yang terbaik untuk menggagalkan siasat raja Daha itu tak lain hanyalah
mencuri patung Joko Dolok itu dari tempat pembuatnya."
"Mencuri?" ulang resi Dewadanda. Rupanya pa h Aragani cepat dapat menyadari kelepasan kata
yang diucapkannya itu. Mencuri, suatu perbuatan yarg dilarang dan pantang dilakukan oleh kaum
pandita dan brahmana "Maharsi, - maksudku kita hancurkan saja patung itu," cepat ia menyusuli
penjelasan. "Hm." maharsi Dewadanda mendesuh dalam-dalam.
"Dengan hancurnya patung itu, baginda Kertanagara tentu akan murka dan menganggap bahwa
raja Daha hanya berolok-olok. Meningkat lebih berat lagi, baginda tentu akan berkesan bahwa raja
Daha hendak menghinanya. Menghina raja, berat hukumannya."
"Tidakkah raja Daha akan memberi keterangan bahwa patung itu telah diambil atau dirusak
orang?" tanya maharsi Dewadanda.
"Itu urusan raja Daha sendiri. Baginda Kertanagara tentu takkan mempedulikan hal itu. Yang
pen ng bagi baginda yalah patung itu sebagai buk dari pernyataan raja Daha hendak
mempersembahkan suatu tanda bulubekti kepada baginda."
"Ya," maharsi Dewadanda mengangguk. Legalah ha pa h Aragani mendengar pernyataan
maharsi tua itu "Peris wa itu dapat kita pertajam pula dengan penjelasan-penjelasan kepada
baginda bahwa Daha harus dihukum. Sekurang-kurangnya akan kutanam kesan kepada baginda
bahwa Daha jangan terlalu dimanja dengan kepercayaan."
Maharsi Dewadanda mengangguk-angguk. Ia tahu akan ketajaman lidah Aragani. Tahu pula akan
kepercayaan baginda terhadap pa h itu. Ia dapat menerima saran pa h itu. Kemudian ia
menanyakan bagaimana langkah selanjutnya.
"Empu Paramita nggal di desa Panawijen, lereng gunung Kawi. Menurut kata orang, empu itu
cucu keturunan dari empu Parwa, ayah Ken Dedes. Empu Paramita ahli dalam seni pahat membuat
patung. Patung yang dibuatnya, juga mempunyai tuah sebagaimana keris pusaka. Nah, pelaksanaan
dari rencana kita untuk menghancurkan patung itu, kuserahkan kepada maharsi." Aragani menutup
kata-katanya. Maharsi Dewadanda merenung diam. Ada beberapa pertimbangan yang terpaksa ia harus
menerima. Pertama, uraian patih Aragani tentang akibat dari persembahan patung kepada seri
baginda, memang memberi gambaran yang suram pada kewaspadaan baginda terhadap Daha.
Kedua, apabila Daha sampai dapat merobohkan Singasari, betapapun raja Jayakatwang itu
tidak sekejam prabu Dandang Gendis terhadap kaum pandita dan brahmana, tetapi tentu
takkan lebih baik dari perlakuan yang diberikan seri baginda Kertanagara terhadap kaum
pandita dan brahmana. Dan ketiga, candi Bentar memang telah menerima banyak sekali
bantuan dari patih Aragani.
"Baiklah ki pa h," akhirnya maharsi candi Bentar itu menerima "akan kuusahakan perintah
tuan." "Terima kasih, maharsi "
Demikian setelah tercapai sepakat antara kedua orang itu maka Araganipun segera pamit.
Sedang maharsi Dewadandapun segera memanggil dua orang muridnya, pandita Lowara dan
Uttungka. Lowara dan U ungka, murid tertua dari maharsi Dewadanda. Kedua pandita itu memiliki ilmu
kesak an yang nggi disamping ajaran-ajaran agama. Terutama Lowara, sebagai murid yang tertua
sendiri, dialah calon pengganti maharsi Dewadanda apabila kelak maharsi itu sudah muksha.
Kedua pandita itu terkejut dan bergegas menghadap gurunya "Guru, ada peris wa apakah yang
penting sehingga guru menitahkan kami pada tengah malam ini ?"
"Benar," sahut maharsi Dewadanda "kita menghadapi suatu peris wa yang memperiha nkan
sekali." "O, sudilah kiranya guru memberi petunjuk kepada kami," kata Lowara.
"Tadi aku habis menerima kunjungan ki patih Aragani," kata maharsi Dewadanda.
"O, tentulah suatu berita yang amat pen ng sekali mengapa sampai ki pa h memerlukan
berkunjung pada hari semalam ini, guru."
"Ya," sahut maharsi Dewadanda "ki pa h membawa berita tentang peris wa raja Jayakatwang
hendak mempersembahkan sebuah patung kepada seri baginda Kertanagara."
"Sebuah patung?" Lowara terkejut.
"Ya," maharsi Dewadanda lalu menuturkan tentang patung Joko Dolok seper yang diberitakan
pa h Aragani tadi "sayang persembahan itu mengandung maksud tertentu. Kemungkinan dengan
tujuan untuk mengambil ha dan melengahkan perha an baginda sehingga Daha leluasa bergerak
menyusun kekuatan." "O," Lowara dan U ungka mendesah kejut "jika memang demikian, memang suatu persembahan
yang berselubung maksud buruk. Lalu bagaimana titah guru kepada kami berdua?"
"Telah kurenungkan hal itu," kata maharsi Dewadanda "bahwa betapapun halnya, kita kaum
pandita dan brahmana, merasa lebih sejahtera dan tenang hidup dibawah naungan seri baginda
Kertanagara daripada Daha. Ingat betapa tindakan prabu Dandang-Gendis dahulu, terhadap
kaum pandita." "Guru," ba ba U ungka berkata "tetapi itu peris wa dulu. Mungkinkah raja Jayakatwang yang
sekarang juga akan bertindak seperti prabu Dandang Gendis dahulu, guru ?"
"Benar, memang mungkin dak," kata maharsi Dewadanda "tetapi betapapun indahnya, sesuatu
yang baru dalam taraf mungkin itu, masih indah jua kenyataan yang sudah nyata sekarang."
"Guru maksudkan bahwa .... "
"Sebaik-baik kemungkinan dari raja Jayakatwang terhadap kaum pandita dan brahmana, masih
lebih baik perlakuan baginda Kertanagara terhadap kaum pandita, dan brahmana seper yang kita
alami sekarang ini. Bukankah demikian Uttungka ?"
"Benar, guru," jawab U ungka. Kemudian dia mohon petunjuk apa yang akan di tahkan
kepadanya.

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku telah berunding dengan ki pa h Aragani," kata maharsi Dewadanda "dan mencapai suatu
kesepakatan langkah, bahwa satu-satunya jalan untuk meniadakan kemungkinan, haruslah
membasmi kemungkinan itu. Agar maksud raja Jayakatwang jangan sampai terlaksana, haruslah
patung Joko Dolok itu dihancurkan."
Resi Lowara mengiakan "Benar, guru. Lebih baik kita menjaga penyakit daripada mengoba nya.
Lalu bagaimana langkah selanjutnya, guru."
"Patung Joko Dolok itu dibuat oleh empu Paramita di desa Panawijen. Kalian berdua kuserahi
tugas untuk melaksanakan rencana itu. Usahakanlah mengambil patung itu dan kemudian
hancurkanlah agar gagal rencana raja Daha," kata maharsi Dewadanda.
"Baik guru," resi Lowara dan resi U ungka menyatakan kesediaannya. Kemudian merekapun
mohon diri. "Kakang Lowara," kata Uttungka setiba di asrama "mengapa rakryan patih Aragani membebankan
tugas ini kepada kita?"
"Ada beberapa sebab," jawab Lowara "pertama, rakryan pa h gagal untuk membujuk seri
baginda supaya jangan menerima persembahan patung itu. Kedua, jika dia yang ber ndak untuk
menggagalkan rencana Daha, tentu mudah diketahui dan akibatnya membahayakan kedudukan
rakryan pa h. Ke ga, guru bersahabat baik dengan rakryan pa h. Dan candi kita banyak sekali
menerima bantuan dari rakryan Aragani. Guru sukar untuk menolak. Keempat, memang kalau di
pikir lebih lanjut, kepen ngan ini menyangkut juga peri-kehidupan kita kaum pandita dan
brahmana di Singasari. Kita tentu akan mengalami perobahan apabila Daha berhasil menguasai
Singasari. Dan kelima, ini suatu kepercayaan dari rakryan pa h kepada kita, disamping suatu
kesempatan bagi kita para pandita candi Bentar untuk membangun suatu pahala yang naninya
akan membawa pengaruh besar bagi candi kita."
"Tetapi kakang Lowara," masih U ungka berkata " dakkah dengan demikian kita ini merupakan
alat dari rakryan patih, paling tidak sebagai sekutu yang berfihak kepadanya?"
"U ungka," kata Lowara "ketahuilah, bahwa dalam kehidupan ini tak dapat kita memisahkan diri
dari alam sekeliling kita. Pun tak ada sesuatu langkah yang tak punya kaitan dengan kehidupan
kita, yaitu orang maupun keadaan di sekeliling kita. Kita mengembangkan ajaran ajaran agama
dengan membangun candi dan vihara, memberi uraian tentang ayat- ayat dan kitab kepada
penganut-penganut agama kita, mengapa kita dak berusaha untuk mengamankan kehidupan
beragama itu" Kita kaum pandita dan brahmana menghendaki kehidupan yang tenang dan damai,
mengapa kita tak berusaha untuk menyejahterakan kehidupan itu. Misalnya, apabila candi atau
vihara kita mbul kebakaran, kita berusaha untuk memadamkan. Kalau rusak, kitapun berusaha
untuk memperbaiki. Mengapa kalau mbul gangguan baik yang berasal dari kecelakaan alam
maupun dari ndakan ndakan manusia yang tak bertanggung jawab, kita tak berusaha untuk
melenyapkannya?" "Kita tak ingin apa yang telah kita tanam, bina dan kembangkan selama ini, akan rusak binasa
apabila terjadi suatu perobahan dalam pemerintahan Singasari," kata Lowara pula "oleh karena
itu, U ungka, kurasa ada yang harus kita ragukan lagi dalam ndakan kita ini, demi menunaikan
kewajiban kita terhadap kesejahteraan agama dan sebagai seorang kawula Singasari."
Uttungka mengangguk "Baik, kakang. Lalu bagaimana rencana kita ini?"
"Besok kita berangkat ke Panawjen. Kita selidiki dahulu tempat kediaman empu Paramita."
"Siapakah empu Paramita itu, kakang?"
"Cucu keturunan dari empu Parwa."
"O, empu Parwa ayah Ken Dedes yang termasyhur itu?" Uttungka terkejut.
"Ya. Dia seorang ahli pahat yang pandai."
"Tentu bukan sembarang ahli pahat saja, pun tentu memiliki ilmu kesak an sebagaimana empu
Parwa dahulu." Lowara mengangguk "Se ap empu, tentu mempunyai ilmu yang nggi. Menurut keterangan guru,
Paramita juga memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Oleh karena itu kita harus hati-hati bertindak."
"O, jika begitu tugas kita ini berat sekali." Lowara tersenyum "Seharusnya engkau dapat menduga
apa sebab guru memilih kita berdua untuk melaksanakan hal itu. Kalau guru menganggap hal itu
mudah tentulah guru akan menitahkan lain saudara kita."
U ungka mengangguk. Memang dalam kalangan anak murid candi Bentar yang berjumlah ribuan
itu, Lowara dan Uttungka adalah yang tertinggi. Lowara murid pertama dan Uttungka yang kedua.
"Malam hari baru kita bertindak," kata Lowara dengan setengah berbisik "aku akan
memasuki rumah empu Paramita sebagai seorang pencuri. Tetapi akan kuatur sedemikian
agar, empu mengetahui dan mengejar aku. Nah, pada saat itulah engkau harus cepat masuk
kcdalam rumahnya dan mengambil patung Joko Dolok itu."
"O, kakang hendak menggunakan siasat untuk memancing harimau tinggalkan sarangnya?"
"Ya," sahut Lowara "jika harimau itu tetap berada di sarangnya, bagaimana mungkin kita dapat
menangkap anaknya " Maka harimau itu harus dipikat supaya keluar dan mengajar aku."
"Tetapi kakang," Uttungka meragu "tidakkah empu Paramita itu seorang sakti " "
"Engkau mengua rkan dia dapat menangkapku ?" balas Lowara "ah, dak, U ungka. Akan
kupikat dia kearah lembah gunung Kawi. Aku kenal baik tempat itu, tak mungkin dia dapat
mengejarku." "Baik. kakang, tetapi kuharap kakang bertindak hati-hati," kata Uttungka.
Keesokan harinya mereka segera berangkat.
~dewi.kz^ismo^mch~ III Malam itu ada rembulan. Cakrawala hanya dimeriahkan beribu bintang. Angin berhembus
menimbulkan suara rin h pada ran ng dan daun. Menjelang tengah malam, sayup-sayup
terdengar suara burung kulik bersahut-sahutan.
Ada sesuatu yang berbeda dengan malam-malam biasanya. Demikian apabila orang
menyempatkan diri untuk merasakan suasana malam itu. Tetapi pada umumnya rakyat di desa
pegunungan seperti desa Panawijen yang terletak di lereng gunung Kawi, lebih senang
melepaskan diri dalam kelelapan tidur yang berhias impian. Sehari memeras tenaga di ladang
dan kebun, cukup meletihkan badan. Hanya tidurlah tempat pelepasan lelah, keluhan, pikiran
dan segala sesuatu derita maupun gembira dan peristiwa yang dialaminya hari itu. Tidurpun
merupakan suatu sarana untuk memulihkan tenaga dan semangat yang telah lapuk diperas
pekerjaan. Mungkin ada seorang dua orang dari rakyat desa Panawijen yang masih terjaga. Entah karena
resah pikiran, entah karena terjaga dari mimpi yang buruk. Dan mereka yang bangun pada malam
itu tentulah mendengar suara burung kulik menyeruak kelelapan malam. Namun mereka terus
dur lagi. Bukan karena tak tahu bahwa burung kulik itu pada galibnya, seper yang diterimanya
dari cerita-cerita orang-orang tua, burung peronda malam yang tajam selera. Karena dia selalu
memberi tanda kepada manusia apabila malam itu penjahat akan datang menggerayang
rumahnya. Bagi rakyat desa, burung kulik selalu menjadi perhatian. Sayang perhatian itu tidak disalurkan
kearah rasa syukur ataupun suatu rasa kesayangan atas jasa burung itu memberi tanda
kepada mereka. Karena kenyataannya, setiap kemunculan burung kulik, hanya menimbulkan
rasa perihatin yang cenderung pada rasa takut-takut seram. Bahkan terpercik juga suatu rasa
enggan mendengar suara burung itu. Tetapi untunglah burung itu tak mengerti perasaan
manusia terhadap dirinya. Dia tak mengharap balas jasa dari manusia. Apapun tanggapan
manusia, suka atau benci, burung itu tetap melakukan tugasnya, membahanakan suaranya
yang menukik- nukik hati, mengabarkan tentang datangnya orang atau gerombolan penjahat.
Beberapa penduduk yang "kebetulan pada tengah malam itu belum dur atau terjaga dari
mimpinya, mendengar juga suara burung kulik itu dan menger akan maknanya. Tetapi mengapa
mereka bersikap tak acuh dan dur lagi untuk melanjutkan mimpinya" Hal itu tak lain karena
mereka merasa mempunyai ang andalan yani sesepuh desa yang amat dihorma dan ditaa .
Sesepuh itu bukan lain adalah empu Paramita. Seluruh rakyat desa Panawijen taat dan patuh
kepada empu Paramita. Menurut cerita dari kakek mereka dan orang-orang tua di desa Panawijen, dahulu desa itu
pernah dilanda malapetaka yang hebat. Sumur-sumur dan sumber-sumber air di laladan Panawijen
telah kering. Panen gagal, sawah dan ladang menjadi tanah lapang yang bongkah, paceklik
mengamuk, rakyat dicekik kelaparan. Malapetaka itu tak lain akibat dari kutuk empu Parwa yang
marah karena rakyat desa Panawijen tak memberitahu kepadanya tentang peris wa puteri-nya,
Ken Dedes, dilarikan Tunggul Ametung, akuwu Tumapel.
Bencana itu baru berakhir setelah rakyat menyadari kesalahannya. Mereka memohon ampun
kepada empu Parwa. Tetapi empu Parwa tak dapat berbuat apa- apa kecuali menganjurkan mereka
mengadakan sembahyang dan sesaji memohon pengampunan kepada Hyang Widdhi. Namun masih
bertahun-tahun desa itu tetap tandus. Baru setelah Tunggul Ametung binasa dan empu Parwa
meninggal, mulailah sumur dan sumber air di desa itu mengeluarkan air lagi.
Sejak peris wa itu, keturunan empu Parwa sangat disegani dan ditaa rakyat. Sampai pada
empu Paramita yang sekarang ini, rakyat tetap menganggapnya sebagai sesepuh desa. Tetapi empu
Paramita bukan seorang yang gila hormat. Dia seorang empu yang bijaksana dan berilmu. Dia
seorang ahli pahat yang pandai. Dibawah pimpinannya, desa Panawijen makin makmur. Selain
bercocok tanam, pun mereka menghasilkan kerajinan patung, baik dari batu maupun kayu. Mereka
merasa beruntung mempunyai seorang pengayom seperti empu Paramita.
Selain makmur, pun rakyat Panawijen hidup sejahtera. Selama bertahun-tahun keamanan
berjalan amat tertib. Tak pernah terjadi pencurian, pembunuhan dan kejahatan. Memang agak
ganjil bahwa dalam sebuah desa tak pernah terjadi peristiwa pencurian. Rakyat percaya bahwa
hal itu disebabkan kesaktian empu Paramita sehingga kaum penjabat tak berani mengganggu
desa itu. Dengan kepercayaan itulah mereka menyerahkan keamanan desa kepada empu
Paramita. Itulah sebabnya walaupun mereka mendengar suara burung kulik, mereka tidur lagi.
Diantara dua kepercayaan yani terhadap burung kulik sebagai pewarta datangnya pencuri
dengan kepercayaan akan kesaktian empu Paramita, mereka memilih kepercayaan terhadap
empu Paramita. Saat itu empu Paramita sedang bersemedhi. Memang menjadi kebiasaannya, dia belum dur
sebelum lewat tengah malam. Dan pada waktu menjelang dur dia akan bersemedhi dahulu. Dia
mendengar juga suara burung kulik melengking- lengking di kesunyian malam itu. Segenap
indriyanya segera dipertajam. Tak lama kemudian ia berhasil menangkap suara benda mendebur
tanah. Suara debur itu terdengar ringan sekali, seringan daun gugur ke tanah. Empu Paramita
terkesiap. "Mengapa sedemikian ringan debur itu ?" pikirnya "daun berguguran ke tanah" Ah, jika daun
gugur, tentu segera lenyap dan dak sederas seper ini. Dan lagi, angin ada keras saat ini. Apakah
debur langkah orang" Ah, mustahil seringan itu."
Penolakan empu Paramita bahwa debur itu langkah kaki orang, diperkokoh pula akan
keyakinannya selama ini. Bahwa selama belasan tahun, tak pernah terdapat bangsa pencuri yang
berani datang ke desa situ. Tiba- ba terkilas sesuatu dalam alam pikiran empu Paramita
"Mungkinkah binatang buas?" ia menimang-nimang lebih lanjut. Dibayangkannya jenis binatang
buas yang sering berkeliaran pada malam hari "Ah, apabila harimau, tentu akan mengaum dan
menimbulkan suara berisik ke ka berjalan menerjang semak pohon. Dan dari kesiur angin yang
berhembus, rasanya tiada terdapat bau yang anyir."
Kemudian pikirannya beranjak pada babi hutan yang memang banyak terdapat di laladan
gunung Kawi "Ah, babi hutan dak selambat itu jalannya. Dan pula biasanya babi hutan jarang
mengganggu rumah orang."
Setelah membayangkan beberapa jenis binatang yang lain akhirnya ia ba pada suatu kesan
bahwa kemungkinan tentu bangsa ular yang suka berkeliaran pada malam hari untuk mencari
mangsa binatang ternak. Tetapi diapun masih meragu "Ular dak berjalan tetapi menjalar. Debur
suara itu seperti langkah kaki orang atau binatang berkaki empat."
Debur suara itu makin lama makin dekat dan empu Paramitapun tak mau menduga-duga lagi.
Yang pen ng ia harus meningkatkan kewaspadaan dan bersiap-siap menghadapi se ap
kemungkinan. Karena jelas pendatang itu, entah manusia entah binatang buas, tentu dak
bermaksud baik. Empu Paramita bersiap-siap.
Suara itu makin lama makin dekat dan suara debur itu dari ringan makin berat "Hm, kurang ajar,
kiranya langkah manusia," ba n empu Paramita. Namun dia tak lekas beranjak melainkan tetap
duduk bersemedhi. Memang ia hendak membiarkan pencuri itu masuk baru ditangkapnya.
Beberapa saat kemudian terdengar bunyi berkeri kan dari batu kerikil yang menggelinding
diatap. "Hm, dia hendak menyelidiki apakah aku sudah tidur pulas," pikir empu Paramita pula.
Beberapa saat kemudian mulai terdengar gerendel jendela diguris dengan senjata tajam dan
pada lain saat jendelapun terbuka lalu sesosok tubuh berpakaian warna hitam dan mukanya
ditutup dengan kain hitam masuk.
Melihat itu empu Paramita segera turun dari balai-balai "Hm, besar sekali nyalimu pencuri,
berani masuk kedalam rumahku," serunya seraya loncat menerjang.
Tetapi orang itu ternyata amat gesit. Pada saat empu Paramita beranjak dari tempat durnya,
dia sudah loncat keluar dari jendela dan berseru menantang,
"Empu Paramita, kalau engkau memang sakti, hayo, kejarlah aku ! "
Dan segera pada larut malam yang hanya diterangi bintang kemintang itu, tampak dua sosok
tubuh berkejaran seperti orang yang tengah berlomba lari. Tak lama kemudian merekapun
lenyap di telan hutan yang gelap.
Tetapi pada saat itu pula, sesosok bayangan muncul dari balik gerumbul pohon di
pekarangan rumah empu Paramita. Dengan gerak yang gesit, orang itupun segera masuk
kedalam rumah. Tak lama kemudian dia keluar lagi dengan memanggul sebuah benda sebesar
manusia. Benda itu ditutup dengan kain selubung hitam sehingga tak diketahui macamnya.
Orang itupun cepat meninggalkan tempat kediaman empu Paramita dan masuk kedalam hutan.
Sementara dalam pengejaran itu, diam-diam empu Paramita terkejut heran. Sejak berpuluh-
puluh tahun nggal di desa Panawijen, belum pernah desa itu didatangi pencuri bahkan berani
masuk kedalam rumahnya. Ia sudah mempunyai dugaan bahwa penjahat itu tentu bukan
sembarang penjahat dan tentu mempunyai tujuan tertentu. Oleh karena itu empu sangat bernafsu
untuk menangkap agar dapat diketahui siapa dan apa gerangan tujuannya.
Namun betapa ia menggunakan aji Tapak-angin untuk mempercepat larinya, tetap ia tak mampu
memperpendek jaraknya dengan pencuri itu "Hai, ki sanak, apabila engkau benar seorang jantan,
berhentilah," karena kesal hatinya, empu Paramita berseru.
"Iku lah aku, empu, apabila sudah mendapat tempat yang sesuai, baru aku berhen untuk
mengadu kesaktian dengan engkau," sahut orang itu dengan nada mencemoh.
Empu Paramita makin panas. Namun adakah sang kaki yang menolak kehendak ha nya ataukah
memang penjahat itu yang sak , tetapi yang jelas jarak mereka tetap terpisah beberapa tombak.
Ternyata penjahat itu lari menuruni lembah Kawi dan menuju kearah bengawan Brantas dan pada
waktu tiba disebuah tikung jalan, mendadak penjahat itu hilang.
Memang sukar bagi empu. Paramita untuk mencari penjahat ditempat yang penuh dengan batu
dan pohon seper tempat itu. Apalagi saat itu bintang pun mulai memudar sehingga cuaca makin
kelam. Setelah menimang beberapa jenak, terpaksa ia harus pulang dengan membawa kekecewaan
hati. Se ba di rumah, diperha kan bahwa keadaan dalam ruang masih seper biasa. Tak tampak
sesuatu yang hilang. Dilihatnya di sudut ruang dekat jendela, patung Joko Dolok yang diselubungi
dengan kain hitam masih berada ditempatnya. Patung itu belum seluruhnya jadi tetapi sudah
mendeka selesai. Karena kua r penjahat itu akan datang kembali maka empu Paramitapun tak
tidur melainkan duduk bersemedhi sampai pagi.
Siapa gerangan pencuri sak itu dan siapa pula orang yang mengambil benda sebesar orang dan
bertutup selubung hitam itu "
Mereka tak lain adalah resi Lowara dan resi U ungka dari candi Bentar. Sesuai dengan rencana
mereka maka resi Lowara yang pura-pura menjadi pencuri untuk memikat agar empu Paramita
keluar meninggalkan rumah untuk mengejarnya. Kemudian resi U ungka yang masak untuk
mengangkut patung Joko Dolok. Ternyata rencana mereka telah berhasil. Resi Lowara berhasil
memikat empu Paramita mengejarnya sampai jauh kebawah lembah. Dan resi U ungkapun
berhasil mengangkut patung Joko Dolok.
Dalam bekerja untuk mengangkut patung Joko Dolok itu, U ungka mempunyai akal yang cerdik.
Di rumah empu Paramita terdapat batu-batu untuk bahan pembuatan patung. Ia melihat batu
yang bentuk dan ngginya sama dengan patung Joko Dolok, lalu ditempatkan di tempat patung
Joko Dolok dan diselubungi dengan selubung kain hitam yang digunakan untuk menutup patung
Joko Dolok. Sedang patung itu sendiri, diselubungi dengan kain hitam yang sudah disiapkannya.
Sedemikian rupa ia merancang penggan patung itu sehingga apabila dak membuka kain
selubungnya, orang tentu mengira kalau patung Joko Dolok.
Resi U ungka bergegas menuju ke sebuah hutan di kaki gunug Kawi. Dia sudah bersepakat
dengan resi Lowara untuk bertemu di tempat itu. Ke ka resi U ungka ba, ternyata resi Lowara
sudah menunggu di situ. "Bagaimana Uttungka ?" tegur Lowara.
"Berhasil, kakang," sahut U ungka seraya meletakkan benda berselubung kain yang
dipanggulnya "inilah patung Joko Dolok itu."
"Bagus, U ungka," seru resi Lowara "guru menitahkan, untuk sementara waktu patung itu
supaya disembunyikan dulu. Bila keadaan memaksa, barulah boleh dihancurkan."
"Baik, kakang," sahut Uttungka "tetapi di mana kita akan menyembunyikan patung itu" "
"Tempat persembunyian yang paling aman adalah didalam tanah."
"O, ditanam, maksud kakang ?"
Resi Lowara mengiakan. Segera keduanya mencari tempat yang sesuai untuk menanam
patung itu. Diatas tempat itu diberi segunduk batu untuk tanda pengenal. Setelah selesai,
merekapun melanjutkan perjalanan pula.
"U ungka," ba- ba resi Lowara berkata "pulanglah engkau dahulu ke Singasari untuk
menghadap guru dan melaporkan hasil pekerjaan kita."
"Aku seorang diri?" Uttungka heran.
"Ya." "Lalu kakang resi" "
"Tiba- ba saja aku mendapat pikiran," sahut resi Lowara "bahwa empu Paramita tentu akan
marah, gelisah dan berusaha untuk mencari jejak kita. Aku akan menyaru sebagai seorang pandita
yang sedang menjalankan tapabrata berkelana. Aku hendak menemui empu Paramita."
Resi Uttungka heran "untuk apa kakang resi hendak menemuinya?"
"Akan kuhapus peristiwa hilangnya patung itu dari isi hatinya .... "
"O, bagaimana caranya ?" tukas resi Uttungka.
"Akan kubisikkan kepadanya ilham yang kuterima dari renungan persemedhianku. Bahwa
pemujaan baginda Kertanagara yang akan diujutkan dalam bentuk patung Joko Dolok itu, tak
direstui dewata." "Ah, apakah empu Paramita akan mudah percaya?"
"Tentu," sahut resi Lowara "empu Paramita tentu tak mau menerima begitu saja keterangan itu.
Tetapi akupun sudah siap mengunjukkan beberapa ilmu kesaktian kepadanya."
"Maksud kakang hendak adu kesaktian dengan empu Paramita?"
"Bila perlu, U ungka," sahut resi Lowara "tetapi kurasa cukup memberi penger an kepadanya
akan ilmu kesaktian yang kumiliki."
"Lalu apa tindakan kakang resi selanjutnya?"


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan kupersilakan dia untuk memilih salah satu dari jalan yang kutunjukkan kepadanya. Yani,
menghadap raja Jayakatwang dan melaporkan kehilangan patung itu. Atau menyingkir dari desa
Panawijen agar tidak menderita murka raja Daha."
"Itu berarti suatu paksaan halus."
Lowara mengangkat bahu "Terserah bagaimana penilaiannya. Yang pen ng aku melaksanakan
apa yang telah menjadi rencanaku."
"Bagaimana kalau dia menolak, kakang?"
"Dia harus sanggup adu kesaktian dengan aku."
"Apabila dia yang menang ?"
"Masih ada lain jalan yang dapat memaksanya harus menurut anjuranku tadi. Yalah, aku akan
menghadap raja Jayakatwang dan memberitahukan peristiwa hilangnya patung itu."
"Hai, benarkah kakang hendak menghadap raja Jayakatwang" Tidakkah hal itu
membahayakan kita juga?"
Lowara geleng geleng kepala "Ah, Uttungka, masakan aku tak memaklumi hal itu. Sudah tentu hal
itu hanya akan kukatakan dihadapan empu Paramita untuk mengancamnya. Itu jalan yang terakhir
apabila sampai adu kesaktian dan aku kalah."
U ungka tertegun sejenak "Apakah maksud kakang dengan menganjurkan empu Paramita salah
sebuah jalan yang kakang tunjukkan itu ?"
"Jalan berbeda tetapi tujuan sama," sahut resi Lowara yang mengenakan kerudung muka warna
hitam "Menghadap raja Jayakatwang dan melaporkan peris wa hilangnya patung itu, empu
Paramita tentu akan mendapat murka raja Daha. Mungkin dia akan dihukum atau diperintah untuk
membuat patung Joko Dolok lagi."
"Kurasa empu Paramita tentu malu untuk menghadap raja Daha," kata Uttungka.
"Ya," sambut resi Lowara "dia tentu merasa tersinggung perasaannya karena dianggap tak dapat
menjaga patung buatannya. Dan menurut penyelidikan yang telah kulakukan, selama berpuluh-
puluh tahun desa Panawijen tak pernah terganggu keamanannya. Apabila rakyat desa itu
mendengar, empu Paramita tentu malu."
"Jika demikian," kata resi U ungka "kemungkinan besar empu Paramita tentu memilih jalan
kedua, tinggalkan Panawijen dan mengembara."
"Benar," sahut resi Lowara.
"Tetapi kakang resi," masih resi U ungka meragu "bagaimana andaikata empu Paramita diam-
diam lalu membuat patung lagi" "
Resi Lowara gelengkan kepala "Lucu."
Resi Uttungka kerutkan dahi "Mengapa lucu" "
"Telah kukatakan tadi," kata resi Lowara "bahwa apabila dia tak mau menerima anjuranku maka
aku dapat memberi ancaman, bahwa peris wa hilangnya patung di rumahnya itu akan kulaporkan
kepada raja Daha. Dan kedua, kita dapat memohon kepada guru agar memberitahu kepada rakryan
pa h Aragani. Supaya rakryan pa h menganjurkan baginda mendesak raja Daha segera
menghaturkan patung itu. Dengan demikian raja Dahapun tentu akan mendesak empu Paramita
agar lekas menyelesaikan patung itu dalam waktu yang singkat. Sudah tentu empu Paramita tak
sanggup." "Bagaimana andaikata empu Paramita mengerahkan orang-orangnya untuk beramai ramai
mengerjakan pembuatan patung itu secara serempak?"
"Jangan lupa, U ungka," resi Lowara tersenyum "engkau dan aku masih mampu mengganggunya
dengan mengambil atau menghancurkan patung itu lagi "
Uttungka mengangguk-angguk.
"Apabila empu Paramita memilih jalan kedua, nggalkan desanya dan mengembara, tentulah
Daha akan kehilangan seorang ahli pahat yang pandai. Pembuatan patung Joko Dolok akan
terbengkalai. Raja Daha pasti gelisah dan takut murka baginda."
U ungka mengangguk-angguk dalam rasa heran dan kagum. Tak pernah disangkanya bahwa resi
Lowara yang biasanya seorang pendiam ternyata dapat menguraikan suatu siasat yaog begitu
hebat. Diam-diam ia merasa malu dalam hati.
Sebenarnya hal itu tak perlu harus dirasakan U ungka. Orang tak perlu harus malu karena kalah
pandai dalam mengatur siasat untuk mencelakai orang lain. Tetapi karena U ungka memandang
hal itu sebagai suatu tugas yang diberikan oleh gurunya, diapun terhanyut dalam kepudaran
pikiran. "Dan engkau U ungka," kata resi Lowara pula "mohonlah petunjuk kepada guru. Bagaimana
langkah yang baik untuk mengembangkan peris wa hilangnya patung Joko Dol'ok sedemikian rupa,
agar dapat membangkitkan kemurkaan seri baginda kepada fihak Daha."
"Baik, kakang," kita U ungka seper kerbau tercocok hidung. Segera ia minta diri dan berangkat
ke Singasau, Tiba di kaki gunung, ia masih terkesan akan kelincahan bicara dari resi Lowara "Benar-
benar tak pernah kusangka bahwa dalam menghadapi tugas pen ng, kakang Lowara ba- ba
pandai bicara dan tepat sekali mengatur rencana "
Diam-diam ia merasa malu ha lagi. Dalam kehidupan sehari hari di candi, dia lebih banyak dan
lebih tangkas bicara dari pada resi Lowara. Tetapi dalam menghadapi de k-de k melaksanakan
tugas yang pen ng, mengapa dia kalah bicara bahkan hampir tak dapat bicara lagi "Tetapi .... "
sekonyong konyong ia terhenyak dan hen kan langkah "ya, benar, baru saat ini aku dapat
merasakan bahwa nada suara kakang Lowara itu lain dengan biasanya. Walaupun dia berusaha
untuk bicara dengan pelahan, tetapi nadanya beda dengan nada suara kakang Lowara," ia kerutkan
dahi, merenung. "Mungkinkah .... ah, tetapi perawakan dan pakaiannya sama dengan kakang resi," ia tersendat
dalam keraguan "tetapi bagaimana dengan nada suaranya yang kedengaran renyah seper anak
muda itu" Nada suara kakang resi tidak begitu."
Terlintas dalam benaknya untuk naik ke gunung lagi menemui resi Lowara. Ia hendak bertanya
mengapa resi Lowara ba- ba saja nada suaranya berobah. Tetapi baru beberapa langkah ia
berhen lagi "Ah, andaikata kakang resi mengatakan kalau dia sedang gembira karena berhasil
dalam melaksanakan tugas atau karena agak terganggu kesehatannya berkeliaran sepanjang malam
di tengah udara terbuka yang dingin, dakkah dia akan mencemoh atau mungkin bahkan akan
marah kepadaku karena membuang waktu yang tak berguna dalam kecurigaan yang tak berdasar
sama sekali" Ah" ia menghela napas "jika sampai demikian, dakkah aku harus lebih makin malu
lagi kepada kakang resi " Dia dengan tangkas dan tepat telah menyelesaikan tugas, sedang aku
hanya membuang-buang waktu tak berguna untuk mencurigainya."
Resi U ungka menampar mukanya sendiri "U ungka, U unggka ! Kemanakah kecerdikanmu
selama ini" Mengapa engkau sampai pada kecurigaan yang sedemikian menggelikan itu " Bukankah
resi Lowara itu memiliki ilmu kesak an yang hebat" Adakah ergkau kira resi Lowara itu bukan resi
Lowara " Siapakah yang mampu mencelakainya lalu mengenakan jubahnya dan menyaru sebagai
dirinya" Uh, uh ... . "
Didera oleh suara dalam ba n yang mencemoh pikirannya tadi, resi U ungka segera ayunkan
langkah dan berjalan pesat menuju ke Singasari. la hendak menebus dosa dan berjanji akan
melakukan perintah resi Lowara secepat mungkin.
Pikiran orang memang sering terpengaruh oleh kepercayaan, adat kebiasaan dan sesuatu yang
dialami dalam kehidupan sehari-hari. Demikian halnya resi U ungka. Ia mendapatkan bahwa nada
suara resi Lowara itu berbeda dengan hari-hari biasa. Tetapi pikiran itu cepat terhapus oleh kesan,
kepercayaan dan adat kebiasaan yang didapatinya dari resi Lowara dalam kehidupan sehari-hari.
Andaikata dalam menilai masalah nada aneh dari resi Lowara itu, U ungka membebaskan diri
dari kesan dan pengaruh pergaulan sehari-hari dengan resi Lowara, andaikata pula ia tak takut
akan ditertawakan dan dimarahi resi Lowara apabila ia menemuinya lagi untuk membuk kan
kecurigaannya. Kemungkinan dia tentu akan mendapat suatu peris wa yang akan menggoncangkan
hatinya. Karena setelah resi U ungka turun gunung, resi Lowara telah ber ndak aneh. Ia mengatakan
kepada resi U ungka untuk menekan empu Paramita tetapi ternyata saat itu dia dak menuju ke
desa Panawijen melainkan kembali lagi ke tempat penanaman patung Joko Dolok dalam hutan tadi.
Setelah menemukan batu pertandaan itu, iapun segera menggali. Cukup dalam juga liang itu
sehingga ia harus terjun ke dalamnya untuk mengambil patung. Setelah bekerja keras membuang
bongkah-bongkah tanah ke atas, akhirnya ia menemukan patung itu. Untuk meringankan beban, ia
lemparkan patung itu keatas tepi liang, setelah itu ia baru loncat keluar.
"Hai . . . . ! " ba- ba ia menjerit kaget sekali, lebih terkejut dari orang disambar halilintar
"patung .... patung itu ke mana! "
Memang tak mengherankan kalau ia terkejut setengah ma itu. Patung Joko Dolok yang
dilemparkan ke atas tepi liang itu, telah lenyap. Ia mengeliarkan mata memandang ke sekeliling.
Mungkin saja tadi ia terlampau keras melemparkan patung itu sehingga sampai melayang jatuh
jauh dari liang itu. Tetapi ternyata ia tak melihat barang sesuatu. Sesaat ia terlongong longong
seperti patung .... "Ah, dak, dak mungkin!" sesaat kemudian ia menggeram "tak mungkin patung itu akan hilang
begitu saja. Tentu ada orang jahil yang mengambilnya."
Serentak ia pusatkan segenap indriya, mempertajam kewaspadaan untuk mengama keadaan di
sekeliling tempat itu. Dan cepat ia dapat mendengar sesuatu yang tak wajar.
Setelah menghimpun semangat, sekonyong-konyong ia melompat kearah sebuah gerumbul
pohon, krak, krak . . . . baberapa batang pohon sebesar lengan orang, berderak-derak tumbang,
roboh menimpa lain pohon sehingga menimbulkan bunyi yang bergemuruh dan hamburan debu
yang tebal. Apa yang telah terjadi " Ternyata Lowara telah mendengar segerumbul semak bergetar-getar tak
wajar. Pada hal daun-daun pohon yang berada di sekelilingnya diam tak bergerak. Angin ada
berhembus. Maka cepatlah ia melimpat kearah gerumbul pohon itu untuk menyergap penyebab
semak bergetar, yang diperkirakannya tentulah orang.
Tetapi ia hanya menyergap angin. Dlbalik gerumbul pohon itu ada terdapat barang seseorang
maupun sesuatu benda kecuali batang-batang pohon jua.
"Hi, hi, hi, hik .... " keheranan Lowara bergan rasa kejut yang hebat ke ka ia mendengar suara
orang tertawa. Nada tawanya seperti berasal dari suara anak perempuan.
"Hai, siapa engkau! " resi Lowara cepat berbalik tubuh dan terus loncat kearah segunduk batu
besar yang diduganya sebagai asal dari suara tawa itu.
"Hi, hi, hi, hik .... " terdengar pula suara tawa itu seperti menggelitik telinga Lowara.
Dua kali gagal menyergap, segera Lowara menyadari kesalahannya. Ia terlalu dirangsang
kemarahan sehingga gerakannya selalu dikuasai oleh pikiran yang diburu nafsu. Nafsu amarah
berkuasa, pikiranpun gelap. Kini ia mengendapkan kemarahannya dan tenangkan diri, hampakan
pikiran, mempertajam indriya pendengarannya. Segera ia dapat menyadari apa yang telah terjadi.
Ternyata orang yang tertawa mencemoh dengan nada mengikik itu telah menggunakan ilmu aji
Golok Halilintar 14 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Kitab Pusaka 16
^