Pencarian

Dendam Empu Bharada 30

Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Bagian 30


"Tindakan tegas itu tak lain hanya membunuhnya," seru Sora.
"Membunuhnya" Siapa yang hendak engkau bunuh ?" Wijaya terkejut.
"Siapa lagi kalau bukan dedongkot yang mengacau kerajaan Singasari."
"Maksudmu" "
"Rakryan patih Aragani."
"Sora ...." "Raden," cepat Sora mendahului "kata orang, jika mau menangkap ular harus menggebug
kepalanya. Jika hendak menghancurkan gerombolan penjahat, harus membekuk pemimpinnya.
Rasanya kata-kata itu memang sesuai dengan keadaan yang kita hadapi saat ini. Jika hanya
bersusah payah mengerahkan anakbuah untuk menghadapi kekuatan mereka, jelas kita kalah
kuat." "Bagaimana maksudmu, Sora?"
"Hamba maksudkan," kata Sora "anakbuah itu yalah para kadehan raden, bukan anak pasukan
resmi dari kerajaan Singasari. Kecuali sudah terdapat buk bahwa pa h Aragani ber ndak hianat
atau melanggar undang-undang kerajaan, barulah raden dapat menangkapnya secara resmi dengan
kekuatan pasukan. Tetapi hal itu jelas tak mungkin. Betapa licin pa h Aragani meratakan se ap
jalan yang hendak dilangkahnya sehingga dia telah menutup segala lubang kecurigaan seri baginda,
bahkan telah dapat merebut kepercayaan baginda."
"Demikianlah yang hamba maksudkan bahwa kita kalah kuat, raden," lanjut Sora setelah
sejenak berhenti "maka hamba berpendapat bahwa satu-satunya jalan yang singkat dan tepat
adalah langsung melenyapkan jiwa patih Aragani ita. Patih Aragani lenyap, lenyap pula musuh
dalam selimut kerajaan Singasari."
Wijaya mengangguk. Diam-diam ia merasa heran karena apa yang dikatakan Sora itu bertepatan
benar dengan ar daripada ilham yang diterimanya di luar halaman tadi. Hampir ia tertarik oleh
kata-kata Sora namun sesaat terbayanglah ingatannya pada peris wa yang dialaminya di gedung
kepa han. Kepa han dijaga sedemikian kuat. Untuk melaksanakan rencana itu daklah semudah
yang diucapkan dengan kata.
"Dan menurut hemat hamba, raden," kata Sora pula sebelum Wijaya sempat menyatakan
sesuatu "musuh dari luar yang perlu kita tanggapi secara waspada tak lain adalah Daha."
"O, maksudmu hendak membunuh raja Jayakatwang?"
Sora tersenyum "Ha ingin memeluk gunung namun apa daya tangan tak sampai. Apabila
mungkin, memang hal itu merupakan jalan yang terbaik dan tepat pada sasarannya. Tetapi
banyaklah kesukaran yang harus kita hadapi. Pertama, siapakah yang mampu melaksanakan
ndakan itu " Kedua, apakah peris wa itu takkan menimbulkan akibat yang meluas, antara lain,
meledaknya amarah rakyat Daha yang mungkin akan mengangkat senjata memberontak kepada
Singasari" "Yang jelas," sambut Wijaya "untuk menyelidiki ke gedung kepa han, pa h Aragani saja sudah
sedemikian sukar, apa pula hendak mencidera raja Jayakatwang."
"Benar raden," Sora menanggapi "tetapi adakah kita harus mundur karena terhalang oleh
kesukaran ?" Wiyaya tertegun. Memang sering ia mengucapkan kata-kata semacam itu untuk memupuk
kebangkitan semangat para kadehannya. Bahwa perjuangan itu tak mungkin serata jalan lapang
yang menuju ke pura Singasari tetapi jalan yang penuh kerikil tajam dan curam. Tetapi kesukaran-
kesukaran itu sesungguhnya merupakan suatu batu ujian untuk mengetahui sampai berapa
beratkah bobot semangat kita "Ah, kini Sora telah menghidangkan kata-kata pembangkit semangat
itu kembali kepadaku," pikir Wijaya.
"Aku dak mengatakan bahwa kita harus mundur menghadapi segala rintangan dalam bentuk
apapun juga, kakang Sora," kata Wijaya "tetapi yang kita rundingkan ini bukan suatu masalah kecil
melainkan suatu masalah besar sekali. Salah langkah akan menggagalkan langkah kita bahkan akan
menghancur leburkan diri kita."
"Hambapun menyadari hal itu, raden."
"O. jika demikian," kata Wijaya sesaat dapat menyelami kandungan ha Sora "engkau tentu
sudah mempunyai suatu rencana yang tepat."
"Benar raden," jawab Sora "rencana hamba itu memang aneh kedengarannya bahkan mungkin
dinilai gila. Tetapi pada hemat hamba, rencana itu tentu mempunyai akibat yang mendeka
dengan tujuan kita untuk menyelamatkan Singasari."
"O, katakanlah, kakang Sora," Wijaya mulai makin tertarik.
"Diantara segala kemungkinan dari kemungkinan yang mungkin kita laksanakan, tak lain adalah
mengamankan pangeran Ardaraja."
"Apa maksudmu mengamankan itu" "
"Menculiknya." "Sora ..... !" teriak Wijaya tersengat kejut.
"Pangeran Ardaraja adalah putera mahkota kerajaan Daha. Putera tersayang dari raja
Jayakatwang. Dengan menguasai pangeran Ardaraja, kita dapat memberi tekanan kepada raja
Jayakatwang agar jangan coba-coba mempunyai angan-angan untuk mengganggu ketenteraman
Singasari." "Ah, itu suatu cara yang kurang baik, Sora."
"Raden," sahut Sora "marilah kita memberanikan diri untuk menanggalkan penilaian tentang
baik dan tidak baik. Yang penting kita nilai dari sudut kepentingan negara. Dan tujuan kita tak
lain adalah untuk menyelamatkan kerajaan Singasari."
Kembali Sora menghaturkan untaian kata yang sering ditanamkan Wijaya kepada para
kadehannya. Haruskah ia menolak persembahan kata itu, kata yang ia sendiri sering
mengucapkannya" Sesaat Wijaya tertegun.. Kurang bijaksana apabila ia menghadapi persoalan itu
hanya dengan penolakan yang tak disertai alasan. Ia harus menguji sampai dimana kebenaran
rencani Sora itu dapat dibuk kan "Hm, jika engkau seorang kawula mempunyai pemikiran
sedemikian terhadap kepen ngan negara, dakkah raja Jayakatwang akan lebih memiliki perasaan
seperti itu ?" "Benar, raden," jawab Sora "tetapi bagaimana dia akan bertindak?"
"Andaikata raja Jayakatwang lebih memen ngkan kepen ngan kerajaan dan tujuannya daripada
keselamatan puteranya"'' Wijaya menjajagi dengan sebuah pertanyaan.
"Raden, sebuas-buas harimau tentu tak sampai ha membiarkan anaknya ma . Raja
Jayakatwang hanya berputera seorang. Tentulah pangeran Ardaraja yang di mang- mang menjadi
penggan nya di tahta kerajaan Daha. Dengan demikian tak mungkin raja Daha itu rela
mengorbankan puteranya hanya karena ingin mengalahkan Singasari."
Belum Wijaya memberi tanggapan, Lembu Peteng sudah menyelutuk "Apabila raja Jayakatwang
benar-benar lebih mengutamakan cita-cita daripada jiwa puteranya, kita buk kan ancaman kita
dan kirimkan mayat pangeran Ardaraja kepada raja Daha itu."
"Ah, betapa kejam kaitan ini," teriak Wijaya.
"Seorang lelaki harus berani ber ndak kejam, apabila memang perlu harus berlaku kejam.
Terhadap musuh yang berbahaya dan mengancam keselamatan negara, kita wajib membuang rasa
ha . Bukan soal penilaian kejam, atau tak kejam, tetapi penilaian itu harus ber
k tolak pada kepen ngan perjuangan kita untuk menyelamatkan negara," bantah Sora "moyang paduka sendiri,
raden, seri baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi dulu juga seorang ksatrya yang berani ber ndak
kejam." Wijaya tertegun. Hampir ia tak percaya pada pendengarannya. Kata-kata Sora itu, ya, kata-
kata itu tepat sekali seperti ilham yang diterimanya ketika ia merenung cipta di halaman tadi. Ia
menghela napas. "Sora, Nambi dan Lembu Peteng" ujarnya sesaat kemudian "segala sesuatu harus disesuaikan
dengan tempat dan waktu. Baik, kuterima pendapat kalian. Tetapi adakah kalian menganggap
bahwa waktu dan keadaannya sudah tepat?"
"Bagaimana maksud raden ?"
"Adakah kalian sudah menganggap bahwa saat ini dan keadaan kita sekarang ini, sudah tepat
untuk melakukan tindakan seperti yang kalian usulkan itu?"
"Menilik gerak-gerik Daha dalam mempersiapkan kekuatan pasukannya, hamba rasa mereka
tentu mengadakan persiapan- persiapan ke arah yang tak menguntungkan kerajaan Singasari.
Hamba landaskan dugaan hamba itu atas dasar sejarah antar kedua kerajaan itu, sejak dahulu
hingga sekarang. Memang sejak baginda sri Rajasa sang Amurwabhumi menguasai Daha,
hingga sekarang mereka tetap taat kepada Singasari. Tetapi hal itu hanyalah disebabkan
karena keadaan bahwa mereka merasa kalah kuat. Bahwa mereka tak mempunyai ruang
gerak untuk mempersiapkan kekuatan. Tetapi dalam hati sanubari raja dan rakyat Daha,
mereka tentu tak pernah sekejabpun melupakan, bahwa mereka masih dikuasai oleh
Singasari." "Tetapi kakang Sora," tukas Wijaya "bukankah seri baginda Kertanagara telah mengambil
kebijaksanaan yang tepat. Mengambil pangeran Ardaraja putera menantu agar dendam
permusuhan dari kakek moyang kerajaan Singasari dan Daha itu lebur dalam tali kekeluargaan ?"
"Semoga demikian, semoga Hyang Batara Agung merestui kebijaksanaan seri baginda
Kertanagara," seru Sora "tetapi kenyaataan-kenyataan telah menyingkirkan harapan hamba akan
terlaksananya cita-cita luhur dari seri baginda itu."
"Mengapa engkau mengatakan begitu ?"
"Hamba mengua rkan, justeru i kad baik dari seri baginda itu akan disalah-gunakan oleh Daha.
Untuk menunjukkan kesungguhan dan kelapangan ha , seri baginda tentu akan bersikap longgar
dan lunak terhadap Daha. Justeru kelonggaran dan kelunakan itulah yang hamba cemaskan akan
memberi kesempatan kepada Daha untuk bergerak dengan leluasa dalam menyusun kekuatan."
Wijaya tertegun. Diam-diam dak menyalahkan tetapipun dak membenarkan kekua ran Sora
itu "Sora, persoalan ini amat gawat sekali karena menyangkut kepen ngan Singasari dan Daha.
Salah penilaian akan menerbitkan salah langkah. Salah langkah akan menimbulkan akibat yang tak
terperikan. Kurasa janganlah kita bernafsu diri untuk bertindak tergesa-gesa."
Sora diam. "Cobalah kalian bayangkan, kakang Sora, Nambi dan Lembu Peteng," kata Wijaya lebih lanjut
"andaikata aku menyetujui rencana kalian, adakah hal itu akan dapat berhasil dalam waktu yang
singkat sehingga aku belum berangkat ke negeri Malayu" Jika hal itu dak dapat terlaksana, apakah
aku dapat berangkat ke Malayu dengan membawa beban pemikiran seberat itu" Bagaimana
apabila aku sudah berangkat dan raja Daha karena murka atas hilangnya pangeran Ardaraja lalu
menggerakkan pasukan untuk meminta pertanggungan jawab seri baginda Kertanagara" Tidakkah
hal itu bahkan akan mempercepat ndakan Daha untuk menyerang Singasari karena mempunyai
alasan yang kuat" Tidakkah sudah kukatakan kepada kalian, bahwa selama kita masih sibuk
menyusun pasukan, hendaknya kita menghindari diri dari
ndakan- ndakan yang dapat
mengancam keselamatan Singasari?"
Sora, Nambi dan Lembu Peteng terkesiap. Pertanyaan-pertanyaan yang tercurah bagai hujan
deras dari mulut Wijaya, telah membasah-kuyupkan ha mereka yang panas. Bahkan basah kuyup
itu telah meningkat menjadi rasa menggigil manakala mereka membayangkan jawaban-jawaban
atas pertanyaan Wijaya itu. Mereka menyadari bahwa pertanyaan Wijaya itu memang kena sekali.
Ngeri rasa hati mereka membayangkan akibat-akibatnya.
"Raden, maa an kelancangan hamba yang tak dapat mengekang luapan ha terdorong atas
peristiwa rakryan mpu Raganata," dengan hati terbuka, Sora meminta maaf.
Wijaya mengangguk. Ia tahu akan perangai Sora yang jujur, se a dan selalu berterus terang "Tak
apa, Sora. Lebih baik salah tetapi berani menyatakan pendapat, daripada tak berani menyatakan
pendapat karena takut salah. Dalam memusyawarahkan persoalan yang menyangkut kepen ngan
negara, yang pen ng adalah mencari
k pertemuan yang dapat menyelamatkan negara. Bukan
mencari siapa yang benar dan yang salah."
Sora menghaturkan terima kasih dan bertanya bagaimana langkah selanjutnya yang harus
dilakukan. "Baiklah, kakang Sora, Nambi dan Lembu Peteng," kata Wijaya "kita tunggu dulu kedatangan
Lembu Mandira. Baru kemudian nanti kita tetapkan langkah lagi."
Demikian akhir dari pembicaraan antara Wijaya dengan para kadehannya. Memang demikianlah
cara Wijaya bergaul dengan para kadehannya. Ia tak menarik garis tajam antara 'gus dengan
kawula', antara yang memimpin dan yang dipimpin, atasan dengan bawahannya. Ia memberi
kebebasan kepada mereka untuk menyatakan pendapat. Dengan demikian mereka akan merasa
bahwa mereka pun kawula-kawula yang bertanggung jawab akan keselamatan negara. Bahwa
tanggung jawab untuk menjaga negara, menyejahterakan masyarakat, mengangkat derajat bangsa,
bukanlah hanya semata-mata tanggung jawab para mentri, senopa dan narapraja yang bertugas
dalam pemerintahan, pun juga menjadi milik tanggung jawab seluruh kawula.
Dua hari kemudian, belum juga Lembu Mandira dan Gajah Pagon kembali ke Singasari. Dan
belum sempat Wijaya mengambil keputusan, baik menyusul Lembu Mandira atau dak, pada hari
itu ia mererima tah dari keraton supaya menghadap seri baginda. Tergesa-gesa iapun menghadap
ke keraton. Hari itu hari lowong, bukan hari pasewakan. Namun di balairung tampak hadir beberapa mentri
antara lain pa h Aragani, pa h Kebo Anengah, demung Mapanji Wipaksa, mpu Nada
dharmadhyaksa ring Kasogatan, beberapa pamegat dan beberapa nayaka yang berkedudukan
penting. Pangeran Ardaraja pun tampak duduk di samping seri baginda.
Wijaya terkejut dan menduga tentulah terjadi suatu peris wa pen ng sehingga seri baginda
telah menitahkan sidang darurat seper saat itu. Namun ia tak dapat menduga, masalah pen ng
apakah yang akan dibicarakan sehingga seri baginda perlu menitahkan sidang itu.
"Wijaya," ujar seri baginda setelah menerima persembahan hormat dari calon putera
menantunya itu "ada suatu hal yang ingin kutanyakan kepadamu."
"Mana-mana titah paduka, hamba junjung di atas kepala hamba."
"Benarkah parglima dari perutusan raja Kubilai Khan telah mengutus dua orang prajuritnya
mengunjungi engkau ?" ujar seri baginda.
Wijaya terkejut. Ia tak pernah menduga bahwa seri baginda akan mengajukan pertanyaan itu
kepadanya. Sesaat tak tahu ia bagaimana harus menjawab. Kalau menyangkal, mungkin seri
baginda sudah menerima laporan dari fihak yang memata-matai dirinya. Namun kalau mengakui,
kemungkinan urusan itu akan berlarut panjang. Tentulah apabila sudah menerima laporan, seri
baginda juga tahu bahwa prajurit yang diutus panglima Tartar itu telah mengirim piagam tanda
persahabatan kepadanya. "Apa katamu Wijaya .... "
"Benar, gus ," Wijaya terkejut dan gopoh menghaturkan sembah "hamba telah menerima
kedatangan dua orang prajurit utusan panglima Tartar."
"Apakah maksud panglima Tartar itu mengirim utusan kepadamu ?"
"Tak lain panglima Tartar hanya hendak menyampaikan rasa terima kasih atas ndakan hamba
yang telah menyelamatkan utusan raja Kubiiai Khan waktu menghadap paduka, gusti."
"O, dia berterima kasih kepadamu?" baginda menegas.
"Demikian maksudnya, gus . Hamba sendiri tak pernah mengharapkan hal itu namun karena dia
telah mengirim utusan, terpaksa hamba menerima kedatangannya."
"Wijaya, tak pernahkah engkau membayangkan bahwa ndakan panglima Tartar itu
mengandung maksud tertentu kepadamu ?"
"Hamba tak pernah membayangkan hal itu, gus . Apapun yang menjadi tujuannya namun
hamba telah bersumpah kepada Batara Agung, apabila sampai tergoyah kesetyaan hamba kepada
kerajaan Singasari, semoga Hyang Batara Agung menurunkan kutuk untuk menumpas jiwa hamba!"
"Tidakkah hal itu berar suatu pemikat agar engkau membantu tujuannya ke Singasari, misalnya
dengan cara menganjurkan agar aku mengalah terhadap permintaan raja Kubiiai Khan?" seri
baginda masih mendesak. Wijaya terkejut dan heran. Terkejut mengapa sampai sedemikian jauh pemikiran baginda
tentang peris wa itu. Heran karena tampaknya baginda masih belum puas dengan jawabannya
tadi. Rasa keheranan itu segera menebarkan bayang-bayang dugaan akan seseorang yang telah
mempersembahkan lidah beracun kepada baginda. Dia harus memberantasnya.
"Kemungkinan akan hal itu terkandung dalam ha panglima Tartar, dapat juga terjadi, gus .
Sumpah kesetyaan hamba kepada duli tuanku dan kerajaan Singasari, tak dapat ditawar lagi."
"Bagus, Wijaya," seru baginda "kesetyaanmu tak kusangsikan tetapi aku heran. Dalam sidang
untuk menerima utusan raja Kubiiai Khan, engkau mencegah aku supaya jangan ber ndak
menghina mereka. Dan karena kuanggap pernyataanmu itu benar, akupun menurut. Tetapi
mengapa engkau sendiri malah bertindak menghina mereka" Apa maksudmu, Wijaya?"
Wijaya terbeliak kaget. Ia benar benar bingung dan kacau pikiran menerima teguran baginda.
Sesaat dia dilenging kelongongan sehingga tak dapat menjawab.
"Bukankah engkau telah membunuh prajurit Tartar itu ?" seru baginda pula.
"Membunuh ?" karena disengat kejut serasa mendengar bunyi halilintar, Wijaya berteriak agak
keras " dak, gus , hamba tak membunuh mereka. Setelah menyerahkan surat piagam kepada
hamba, merekapun terus berlalu."
Baginda Kertanagara mengerling ke arah pa h Aragani dan mengangguk. Pa h Aragani segera
berkata, "Raden Wijaya, ke ka putera menantu paman si Kuda Panglulut sedang melaksanakan kewajiban
berkeliling pura untuk mengama tempat-tempat sekitar bangsal penginapan utusan raja Tartar, ia
menemukan dua orang prajurit Tartar menggeletak di semak-semak. Ke ka Kuda Panglulut
menghampiri, ternyata yang seorang mati berlumuran darah dan yang seorang terluka parah."
"O," Wijaya mendesuh kejut "siapakah yang membunuhnya, paman patih ?"
"Prajurit yang terluka parah itu setelah diberikan pertolongan seperlunya, memberi keterangan
bahwa mereka telah diserang oleh raden."
"Aku menyerang mereka?" kali ini Wijaya benar-benar seper mendengar halilintar berbunyi di
siang hari. Rakryan pa h Arag|ni mengangguk "Kuda Panglulut tak selekas itu mempercayai keterangan
mereka, ia mengira prajurit itu tentu masih belum sadar pikirannya. Maka disuruhnya beris rahat
untuk menenangkan diri beberapa saat. Tetapi dalam pertanyaan yang diajukan Kuda Panglulut
untuk yang kedua kalinya, masih prajurit Tartar itu tetap pada keterangannya semula."
"Aku yang membunuhnya ?" Wijaya menegas.
"Ya," jawab rakryan Aragani "atas pertanyaan Kuda Panglulut ia menerangkan dari awal. Katanya,
mereka habis diutus oleh panglimanya untuk berkunjung ke tempat kediaman raden guna
menyampaikan ucapan terima kasih dari panglimanya. Tetapi entah bagaimana dalam perjalanan
pulang, di tengah jalan raden menyerang mereka."
"Tidak, paman rakryan," sahut Wijaya serentak "aku tak mengejar mereka. Sehabis
menerima kedatangan mereka, aku masih bercakap-cakap dengan beberapa pengalasariku
antara lain Sora, Nambi dan Lembu Peteng hingga larut malam. Apabila perlu akan kubawa
mereka ke mari untuk memberi kesaksian."
"Ah, tak perlu," Aragani bersenyum "sukar bagi paman untuk tak mempercayai keterangan Kuda
Panglulut yang diiringi oleh dua orang prajurit ke ka menemukan kedua prajurit Tartar itu
menggeletak disemak tepi jalan. Kemudian Kuda Panglulut mengantarkan mayat prajurit itu ke
tempat penginapan utufan Tartar.
"Tetapi paman pa h aku benar-benar tak melakukan pembunuhan itu," seru Wijaya dengan


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nada keras. Peris wa itu besar sekali akibatnya. Pagi hari di balairung keraton, dia berkeras menganjurkan
seri baginda supaya jangan melakukan ndakan yang bersifat menghina utusan Tartar. Malam hari
dia sendiri dituduh membunuh seorang prajurit Tartar. Dua buah hal yang berlawanan arah tujuan
dan ar , telah terjadi. Peris wa itu seolah-olah telah diatur oleh tangan-tangan kotor yang
menggunakan siasat lempar batu sembunyi tangan.
Rakryan pa h Aragani tertawa datar "ingin aku mempercayai keterangan raden, tetapi aku pun
terpaksa tak dapat menolak kenyataan bahwa Kuda Panglulut memang benar-benar telah
menemukan mayat prajurit itu."
"Tetapi .... " "Pembunuhan itu tak menjadi matalah pen ng raden," cepat pa h Aragani menukas "karena hal
itu sejalan dengan ndakan yang hendak di tahkan seri baginda ke ka dalam sidang penerimaan
utusan Tartar. Hanya disayangkan mengapa raden harus ber ndak sendiri. Adakah raden
menganggap bahwa ndakan raden mencegah seri baginda menghina utusan Tartar itu dak tepat
dan raden menyesal?"
"Aku dak melakukan pembunuhan itu, paman pa h," Wijaya mulai tak sabar "aku sendiri
berusaha menghaturkan kata ke hadapan seri baginda agar jangan menghina utusan mereka,
mengapa aku harus membunuhnya sendiri ?"
"Sudahlah, Wijaya," ba2 baginda Kertanagara ber tah "aku tak murka bahkan kebalikannya aku
girang atas ndakanmu itu. Engkau ber ndak bijaksana. Pembunuhan itu dak terjadi dalam
keraton Singasari sehingga Kubiiai Khan tak dapat langsung marah dan menuduh kerajaan Singasari
menghina utusannya. Tetapi yang membunuh prajuritnya itu adalah rakyat yang tak puas atas
tindakan raja Kubilai Khan hendak mencampuri urusan kerajaan Singasari. Bagaimana pendapatmu,
patih Aragani"."
"Keluhuran sabda paduka, gusti junjungan yang hamba muliakan," sembah Aragani
"pembunuhan pada seorang prajurit musuh pada hakekatnya merupakan suatu hinaan kepada
musuh. Seharusnya Kubilai Khan marah tetapi dia tentu tak dapat menumpahkan kemarahan.
Bahkan dia akan mendapat kesan bahwa ternyata rakyat Singasari mempunyai rasa harga diri,
tak mau tunduk pada kekuasaan raja mancanagara. Kubilai Khan tentu seperti orang yang
menderita sakit gigi. Sakit sekali tetapi tak dapat menumpahkan kemarahan kepada siapapun
juga." Wijaya tak dapat mempersembahkan kata-kita lagi kecuali menghela napas dalam ha .
Walaupun baginda tak murka bahkan memujinya, namun pembunuhan itu tetap akan memberi
kesan yang buruk kepada raja Kubilai Khan "Adakah Kubilai Khan seorang raja yang naif sekali
sehingga menerima kenyataan itu menurut jalan pikiran seri baginda Kertanagara dan pa h
Aragani bahwa yang membunuh prajuritnya adalah rakyat Singasari tanpa mendapat dukungan
dari kerajaan Singasari" Apakah
dak mungkin raja Kubilai Khan akan menuduh bahwa
pembunuhan itu hanya semata-mata permainan halus dari fihak kerajaan Singasari yang hendak
meminjam tangan rakyat?" pikirnya.
Dan yang paling membuat Wijaya penasaran adalah, dia telah ditetapkan sebagai pelaku
pembunuhan dan dipuji-puji sebagai pembunuh yang berjasa. Bukan soal takut atau tak takut
untuk membunuh prajurit Tartar, tetapi haruslah di njau dari ar dan kepen ngan pembunuhan
itu. Jika misalnya, rombongan utusan Tartar itu sampai melakukan hal-hal yang membahayakan,
umpamanya mengamuk dan mengacau, tentulah dia sanggup untuk membunuh mereka.
"Adakah seri baginda lebih mempercayai pa h Aragani daripada raden ?" ba- ba Sora
bersuara. Nadanya keras sebagaimana perangainya.
Wijaya menghela napas "Sora, kita harus dapat berpikir secara dingin, jangan dipengaruhi oleh
luapan perasaan. Pertama, seri baginda pada dasarnya menyetujui peris wa pembunuhan itu.
Mungkin saja seri baginda masih mendenda kemurkaan atas ndakan raja Kubilai Khan. Kedua,
mungkin, seri baginda condong untuk membenarkan ucapan pa h Aragani yang jelasnya dapat
diar kan, bahwa semua penyangkalanku kalah dengan, buk mayat prajurit Tartar itu. Dan saksi-
saksi yang hendak kuhaturkan mungkin dianggap anakbuahku sehingga tentu akan membela aku."
Sora, Nambi dan Lembu Peteng terkesiap. Diam-diam mereka mengakui uraian Wijaya itu
memang tepat. Suasana hening beberapa saat. Mereka sibuk merenungkan dan mencari pikiran
untuk memecahkan peris wa yang menimpa raden Wijaya. Tiba- ba Medang Dangdipun datang.
Ke ka mendengar penuturan Sora tentang periss wa yang dialami raden Wijaya, dia juga terkejut
bukan kepalang "Itu suatu fitnah yang jahat." teriaknya.
Nambi menyabarkannya dan mengatakan "Memang penilaianmu benar, tetapi kita tak dapat
berbuat apa-apa untuk menyangkal. Cobalah engkau pikirkan daya apa sebaiknya yang dapat kita
haturkan ke hadapan raden Wijaya untuk menghadapi peristiwa itu ?"
Seperti halnya ketiga kawannya, Medang Dangdi pun diam tetapi pikirannya bekerja keras.
"Raden," ba- ba Sora buka suara "hamba rasa dalam peris wa ini, rakryan pa h Aragani tentu
tak lepas dari ikut campur, bahkan kemungkinan besar, dialah yang mengemudikan rencana itu."
Wijaya mengakui tetapi ingin ia mengetahui pendapat Sora lebih lanjut "Bagaimana engkau
dapat mengatakan begitu, kakang Sora " Apakah dasarnya" "
"Raden Kuda Panglulut, putera menantu rakryan pa h Aragani amat bernafsu untuk menanam
kekuasaan dalam pasukan kerajaan. Entah adakah hal itu memang atas perintah rakryan pa h
Aragani atau memang raden itu sendiri yang haus kekuasaan, tetapi yang jelas rakryan pa h
Aragani pernah mengusulkan putera menantunya kepada rakryan pa h Kebo Anengah supaya
ditempatkan sebagai kepala pasukan keamanan pura kerajaan."
"O, apakah rakryan patih Anengah menerima saja?" tanya Medang Dangdi.
"Tentu saja," sahut Sora "engkau tahu siapa rakryan pa h Aragani itu. Dia telah mendapat
kepercayaan besar dari seri baginda. Dengan ketajaman lidahnya dia tentu dapat mendesak pa h
Kebo Anengah supaya mau menerima usulnya."
"Tetapi nyatanya raden Kuda Panglulut bukan kepala pasukan keamanan pura kerajaan,"
Medang Dangdi memberi tanggapan.
"Kurasa rakryan patih Kebo Anengah tentu cukup bijaksana. Dia tahu apa dibalik permintaan
rakryan patih Aragani untuk mendudukkan putera menantunya dalam pasukan keamanan pura.
Namun dia-pun menyadari akan desakan patih Aragani yang tentu menggunakan pengaruh seri
baginda. Maka akhirnya, dengan cara yang cerdik, dapatlah rakryan patih Kebo Anengah
mengambil jalan tengah. Menempatkan raden Kuda Panglulut sebagai pembantunya dalam
bidang penjagaan keamanan pura."
"Eh, kakang Sora, bagaimana engkau dapat tahu hal itu begitu jelas ?" tegur Medang Dangdi.
Sora mengangkat bahu "Selama aku bermukim di pura Singasari hampir seluruh waktuku yang
senggang kugunakan untuk mencari keterangan ... tentang kedudukan dan kekuasaan se ap
mentri, senopa sampai pada nayaka yang menduduki tempat pen ng dalam pemerintahan.
Khusus tentang keluarga rakryan pa h Aragani dan segala sepak terjangnya di pura kerajaan.
Raden Kuda Panglulut angkuh, sombong dan suka mengandalkan pengaruh ayah men-tuanya."
"Benar, kakang Sora," seru Medang Dangdi "memang raden itu makin berkuasa tetapi makin
sewenang-wenang. Apa yang kudengar tentang kedudukannya, daklah sama dengan keterangan
kakang Sora. Kudengar setelah terjadi pemberontakan Mahisa Rangkah, maka seri baginda lalu
mengadakan perobahan besar dalam kalangan ketentaraan. Tumenggung Wirakre dak lagi
menjabat mentri dalam keraton tetapi dijadikan mentri angabhaya yang bertugas untuk menjaga
keamanan dan keselatan pura kerajaan. Rakryan patih Aragani menggunakan kesempatan itu untuk
menghaturkan permohonan kepada seri baginda, bahwa kemungkinan tumenggung Wirakre sakit
ha atas penglorotan kedudukannya itu maka baiklah didampingi oleh seorang wakil. Dan wakil itu
harus merupakan orang kepercayaan seri baginda agar dapat memata-matai gerak-gerik
tumenggung Wirakreti. Atas pertanyaan seri baginda siapa kiranya orang yang layak diangkat dalam
kedudukan maka patih Aragani lalu mengusulkan putera menantunya, raden Kuda Panglulut."
"Kurasa," Nambi menengahi "apapun jabatannya, hanyalah soal pangkat. Tetapi yang jelas
terdapat persamaan antara keterangan kakang Sora dengan Medang Dangdi bahwa raden Kuda
Panglulut memang menjadi pembantu kepala pasukan penjaga keamanan pura Singasari."
"Sejak memegang jabatan itu, ndakan raden Kuda Panglulut makin keras dan sewenang-
wenang. Barangsiapa yang dicurigai tentu ditangkap. Tampaknya rakyat bukan merasa aman
kebalikannya malah gelisah," kata Medang Dangdi pula.
"Kakang Sora," Wijaya menyela "apa hubungan raden Kuda Panglulut maupun rakryan pa h
Aragani dengan pembunuhan prajurit Tartar itu?"
Sora menjawab "Raden, Kuda Panglulut tentu kenal dengan raden, bukan ?"
"Ya." "Tentulah dia tahu pula akan kelungguhan raden di Singasari, bukan."
"Tentu." "Lalu mengapa dia dak menghubungi raden melainkan terus langsung mengantarkan mayat
prajurit itu ke markas penginapannya dan langsung mengadukan peristiwa itu kepada rakryan patih
Aragani ?" "Ya, memang aneh," gumam Wijaya "mengapa dia tak datang kepadaku untuk minta keterangan
tetapi lebih mempercayai keterangan prajurit Tartar yang terluka itu."
"Mungkin dia jeri terhadap raden, yang selain menjadi senopa kerajaan pun menjadi calon
menantu seri baginda," kata Nambi.
"Bukan jeri, kakang Nambi, tetapi iri hati," sambut Medang Dangdi.
"Tidak benar semua," sela Sora "kurasa memang ada sesuatu yang tak wajar. Tampaknya seolah-
olah dia hendak mengukuhkan peris wa pembunuhan itu sebagai ndakan raden Wijaya dengan
menghilangkan saksi prajurit Tartar yang terluka itu."
Wijaya mengangguk "Kemungkinan engkau benar, kakang Sora. Memang tampaknya ada sesuatu
yang tak wajar dibalik pembunuhan prajurit Tartar itu. Pokok persoalan itu berkisar pada diriku.
Mengapa rakryan pa h Aragani hendak menjadikan aku sebagai kambing hitam dari pembunuhan
itu ?" "Tentu ada tujuannya, raden," sambut Sora "seorang seper pa h Aragani tak mungkin
bertindak tanpa suatu sasaran tertentu."
"Lalu apa tujuannya?" tanya Wijaya.
Sora, Nambi, Lembu Peteng dan Medang Dangdi tak lekas memberi tanggapan. Mereka diam dan
merenungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diselami dalam tindakan patih Aragani itu.
Saat itu hari sudah malam dan Wijaya beserta empat kadehannya masih tenggelam dalam
renungan. Ruang pendapa gedung kediaman raden Wijaya sunyi senyap. Sesaat Lembu Peteng
mengangkat muka memandang ke luar, ia menjerit kaget "Hai siapa itu .... !" cepat ia loncat
bangun. Wijaya, Sora, Nambi dan Medang Dangdi pun serempak mengangkat muka dan serentak
melonjak berdiri melihat sesuatu yang mengejutkan.
Di ambang pintu, tanpa bersuara dan tanpa diketahui, entah bila munculnya, tampak tegak
sesosok tubuh manusia yang menyeramkan. Tubuhnya terbungkus jubah warna hitam yang
memanjang menutupi kedua kaki. Kepala dan mukanya bertutup kain hitam. Hanya pada bagian
mata diberi lubang. Dari lubang itu terpancar sinar matanya yang tajam tenang.
"Jangan kaget, aku seorang sahabat," seru orang itu sebelum tuan rumah menegur. Nadanya
tenang dan ramah. Sora maju beberapa langkah "Siapakah ki sanak dan apa maksudmu datang tanpa seijin kami?"
Sora tak lekas mempercayai jawaban orang. Ia lebih cenderung menduga bahwa pendatang itu
tentu bermaksud buruk. Dalam berkata-kata, iapun diam-diam bersiap diri.
Orang aneh itu tertawa kecil "Jangan memandangku sedemikian rupa, ki sanak. Telah kukatakan,
aku datang dengan maksud baik, percayalah. Tetapi maaf, aku tak dapat memberitahukan siapa
diriku." "Bermaksud baik tetapi tak dapat memberitahukan nama" Huh," dengus Sora "Lalu apa
tujuanmu ke sini ?" "Hendak bertemu raden Wijaya."
"Apa kcperluanmu ?" Sora makin curiga.
"Maaf, adakah ki sanak ini raden Wijaya?"
"Aku kadehan raden Wijaya. Katakan maksudmu !"
"Maaf, aku hanya ingin bicara empat mata dengan raden Wijaya. Jika ki sanak bukan raden
Wijaya, terpaksa aku akan tinggalkan tempat ini."
Habis berkata orang itu berputar diri terus ayunkan langkah.
"Berhen ," Sora loncat ke muka "gedung ini tempat kediaman raden Wijaya, senopa kerajaan
Singasari dan calon putera menantu seri baginda Kertanagara. Tak boleh sembarangan saja orang
masuk ke luar tanpa idin. Engkau lancang masuk tanpa idin, tetapi jangan engkau kira dapat berlalu
tanpa idin." Orang itu hentikan langkah " O, maksudmu ?"
"Engkau harus tinggal di sini dulu."
"Untuk apa ?" "Bukalah kain kerudung mukamu dan beritahukan namamu "
"O, adakah hal itu suatu keharusan?"
"Ya," sahut Sora "engkau berani lancang masuk ke mari tanpa idin. Apabila wajah, nama dan
keteranganmu kami mbang benar-benar dak mengandung maksud buruk, tentu kuidinkan
pergi." "O, apakah engkau hanya percaya pada raut muka, nama dan keterangan orang saja ?"
"Jangan banyak cakap !" bentak Sora "aku bukan anak kecil, tentu dapat menimbang
kesemuanya itu. Kalau engkau ternyata bohong dan bermaksud buruk terhadap raden Wijaya,
jangan engkau tanya dosa."
"Apa maksudmu?" orang itu menegas.
"Nyawamu boleh pergi tetapi ragamu harus tirggal di sini."
"Engkau hendak membunuh aku ?"
"Ya." Tiba -tiba orang aneh itu tertawa lebar.
"Setan ! Apa yang engkau tertawakan !" hardik Soa.
"Aku mentertawakan kebohongan orang. Orang menyohorkan raden Wijaya itu seorarg ksatrya
yang budiman, bijaksana dan perwira. Tetapi kenyataan berbicara lain."
"Jangan menghina junjunganku."
"Siapa yang menghina ?"
"Mulutmu !" Sora menuding ke arah orang itu. Orang aneh itu tertawa "Salah engkau, ki
sanak." "Bukan aku tetapi engkau sendiri yang menghina junjunganmu."
Sora terbeliak "Jangan makin meliar ! Kesabaran ada batasnya."
"Engkau takut aku mengatakan hal yang sebenarnya ?"
"Siapa bilang aku takut " Engkau harus mempertanggungjawabkan kata-katamu itu."
"Jika engkau menganggap bahwa raden Wijaya itu memang seorang ksatrya yang berbudi, bijak
dan perwira, mengapa engkau sebagai kadehannya main gertak hendak membunuh orang "
Tidakkah sikapmu itu mencemarkan keluhuran nama raden Wijaya" Salahkah kalau aku
mengatakan bahwa apa yang disohorkan orang tentang diri raden Wijaya itu tak sesuai dengan
kenyataannya ?" "Keparat," Sora tak dapat menahan kesabarannya lagi. Orang itu pandai bermain lidah. Dan
orang yang berlidah tajam tentulah orang licik, pandai ber pu muslihat. Serentak Sora loncat
menghunjamkan njunya ke dada orang itu. Tetapi alangkah kejutnya ke ka dengan suatu gerak
yang gemulai, tubuh orang itu berkisar ke samping sehingga tinju Sora menerpa angin.
Sora makin penasaran. Tanpa menarik nju yang menjulur ke muka, ia lanjutkan berputar ke
samping untuk menapas leher orang "Uh," kembali mulut Sora mendesuh geram ke ka otang aneh
itu mengendapkan diri ke bawah sehingga tangan Sora menghantam tempat kosong lagi. Bahkan
karena terlalu bernafsu, Sora goyoh keseimbangan badan dan terayun membelakangi orang itu.
"Ki sanak, masuklah," tiba-tiba orang itu mendorong punggung Sora.
Pelahan tampaknya tangan orang itu mendorong tetapi ternyata Sora seper anak kecil yang
mendengar kata. Ia terhuyung-huyung sampai beberapa langkah ke dalam ruang. Lembu Peteng
dan Nambi bergegas menyanggapinya. Dalam pada itu Medang Dangdipun loncat menerjang lawan.
"Engkau juga kadehan raden Wijaya, yang gemar membunuh orang?" kata orang aneh itu seraya
menghindar ke samping. "Ya, tulang belulangmu akan kupatahkan," sahut Medang Dangdi seraya kejarkan pukulannya.
Orang itu menyurut ke belakang. Saat pukulan Medang Dangdi melayang di mukanya, dengan suatu
gerak yang amat cepat, ia menyambar siku lengan Medang Dangdi terus disentakkan "Engkaupun
masuk juga." Medang Dangdi mengalami nasib serupa dengan Sora. Tubuhnya terdorong ke dalam ruang.
Untung disambut Nambi. "Ho, engkau juga hendak meremuk tulangku?" seru orang aneh itu ke ka Lembu Peteng
memburu maju dan menyerangnya.
"Tidak cukup meremuk tulang tetapi akan kucincang dagingmu," teriak Lembu Peteng seraya
melancarkan serangan yang gencar.
"Hm, rupanya engkau paling ganas," seru orang itu seraya
bergeliatan kian kemari untuk menghindar.
"Terhadap penjahat semacam engkau, memang Lembu Peteng tak memberikan ampun" seru
Lembu Peteng. Ia mempergencar serangannya makin cepat,
Tetapi orang aneh itupun makin gesit gerak penghindarannya. Pukulan Lembu Peteng tak ada
yang berhasil mengenai, walaupun hanya menyentuh jubah lawan saja. Bahkan masih sempat
orang itu mengejek "O, engkau bernama Lembu Peteng " Mengapa engkau dilahirkan secara gelap
sehingga pikiranmupun segelap ini ?"
Ejekan itu benar-benar membuat telinga Lembu Peteng merah seper terbakar. Pada umumnya,
ar kata-kata Lembu Peteng itu adalah anak hasil hubungan gelap antara seorang priagung dengan
wanita dari kalangan rakyat. Tetapi Lembu Peteng bukanlah seorang anak gelap. Adalah karena
waktu dilahirkan dia berkulit hitam maka ibu bapaknya memberinya nama Lembu Peteng. Nama-
nama Lembu, Mahesa, Kuda, Gajah dan beberapa jenis binatang, memang lazim digunakan pada
masa itu. Walaupun marah tetapi Lembu Peteng masih menyadari suatu hal. Bahwa orang aneh yang
menjadi lawannya itu, seorang yang berilmu sakti. Gemas akan mengalami nasib seperti Sora
dan Medang Dangdi maka Lembu Peteng segera mencabut bindi dan menghunjam kepala
orang itu dengan sekuat tenaga.
Darrr ... Saat itu karena harus menghindari serangan Lembu Peteng yang gencar tadi, tanpa disadari
orang aneh itu telah terdesak di dekat sebatang ang soko pendapa. Lembu Peteng mengetahui
kedudukan lawan yang lemah karena tak dapat menghindar ke belakang lagi. Maka ia
menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Bindi diayunkan sekuat tenaganya. Pecah kepala
orang itu dan benaknya pas akan berhamburan ke luar apabila terkena bindi maut yang
diayunkan Lembu Peteng. Pengamatan yang tajam dari Kernbu Peteng akan kemungkinan arah yang
akan diambil orang itu apabila hendak menghindar telah dijaga dengan persiapan kakinya. Apabila
orang itu akan menghindar, iapun akan mengirim tendangan.
Mengiku gerak layang bindinya, Lembu Peteng yakin akan menyaksikan pecahnya kepala orang
itu. Tetapi dia terkejut ke ka bindi menghantam ang pendapa. Terdengar letupan dahsyat,
disusul pula dengan tebaran keping-keping kayu kecil-kecil seper tatal, berhamburan memenuhi


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantai. Tiang yang sepemeluk tangan besarnya itu telah rompal terhantam bindi Lembu Peteng.
Getaran tiang itu kuasa mengguncangkan pendapa sehingga atapnya terdengar bcrdera derak.
"Ah, apabila engkau lanjutkan pengamukanmu, gedung ini tentu roboh," seru orang itu. Cepat ia
bergerak maju. Sebelum Lembu Peteng sempat berputar tubuh, bahunya terasa dicengkeram orang
dan sebelum ia sempat mengerahkan tenaga untuk memperkokoh diri, tubuhnya terasa melayang
ke belakang "Masuklah engkau!" seru orang aneh itu.
Bagaikan layang-layang putus tali, tubuh Lembu Peteng melayang-layang, jauh lebih deras dari
apa yang diderita Sora dan Medang Dangdi. Karena tangannya masih mencekal bindi, agak lambat
Nambi bergerak untuk menyanggapi tubuhnya, bluk .... laju tubuh Lembu Peteng terhen seke ka,
walaupun secara paksa, manakala terbentur pada dinding pendapa. Dalam keadaan biasa, dengan
menghimpun tenaga, Lembu Peteng mampu membentur roboh sebatang pohon. Apabila dia
membentur dinding tembok, walaupun tembok itu tak sampai roboh tetapi diapun tak sampai
terkulai. Tetapi saat itu keadaan Lembu Peteng dalam kehilangan keseimbangan. Sentakan tangan orang
itu amat kuat sekali sehingga tubuh Lembu Peteng melaju deras. Sebelum ia sempat menghimpun
tenaga, tubuhnya sudah terbentur dinding tembok, duk, sungguh sial sekali. Selain punggung pun
kepala bagian belakang juga terbentur sehingga ia rubuh terduduk di lantai, kepalanya berdenyut-
denyut, mata kabur. Wijaya terkejut menyaksikan peris wa itu. Sebenarnya ia mempunyai perasaan lain terhadap
orang aneh itu. Dan iapun hendak tampil menyambutnya. Tetapi Sora sudah mendahului
menyerang, kemudian Medang Dangdi dan terakhir Lembu Peteng. Ke ganya ber ndak dengan
cepat sekali sehingga tak menyempatkan Wijaya untuk mencegah. Tetapi ia sudah mempunyai
rencana, apabila orang itu dapat ditangkap, ia akan melarang kadehannya supaya jangan menyiksa.
Ia hendak memeriksa keterangan orang itu.
Tetapi alangkah kejutnya ketika menghadapi kenyataan lain. Sora, Medang Dangdi dan
Lembu Peteng adalah prajurit-prajurit yang gagah perkasa dan sakti mandraguna. Namun
ketiganya, satu demi satu dapat dikalahkan orang aneh itu. Lepas dari semua kesan baik
kepada orang itu, tetapi ia merasa kurang senang juga atas perbuatan orang itu. Apa yang
dikatakan Sora memang benar. Orang itu berani lancang masuk kedalam gedung kediamannya
tanpa minta idin. Ini suatu larangan. Belum kesalahan itu diakui dengan suatu pernyataan maaf,
orang itu malah merobohkan tiga orang kadehannya. Tidakkah hal itu suatu penghinaan dan
tantangan kepadanya"
Wijaya serentak maju dan ayunkan tangan menampar "Jangan bertingkah liar disini!"
Orang aneh itu tertegun melihat tampilnya seorang muda yang cakap dan berwibawa. Dan
karena melihat Wijaya hanya menampar pelahan, orang itu tak mau menyingkir. Tetapi alangkah
kejutnya ke ka suatu arus tenaga yang keras melanda dadanya. Buru-buru ia mengangkat tangan
unuk melindungi diri tetapi terlambat "Uh ......." ia mendesis tertahan karena tubuhnya terdorong
mundur setengah langkah. Tetapi Wijaya sendiripun tak kalah besar rasa kejutnya. Tamparan itu dilambari dengan tenaga
sak yang mampu menghancurkan karang ke ka beberapa waktu yang lalu ia menguji kesak an
ilmu pukulan dengan Sora dan Nambi dijalan pegunungan. Walaupun dak dilambari dengan
tenaga penuh, tetapi cukuplah mengejutkan ha nya ke ka orang aneh itu hanya terdorong
mundur setengah langkah tanpa menderita luka.
"Ki bagus, hebat benar pukulanmu. Sayang ha mu dak sebagus wajahmu karena gemar
mencelakai orang," seru orang itu setelah menegakkan kedua kakinya.
"Jika aku benar berha kejam seper katamu, mungkin dadamu akan membengkah. Adalah
karena sayang akan kesak anmu dapat merobohkan ke ga orang kadehanku maka aku masih
bermurah hati kepadamu," sahut Wijaya.
Mendengar jawaban itu, orang aneh terbeliak "Engkau .... siapa?"
"Wijaya." "O, raden Wijaya," seru orang itu dalam nada tergetar "maa an raden. Aku hanya mendengar
nama raden tetapi belum pernah bertemu muka. Tetapi mengapa sejak tadi raden tak mau
mengatakan begitu" Bukankah akan dapat menghindarkan kesalahanku memperlakukan kasar
kepada ketiga kadehan raden?"
"Engkau harus dapat memaklumi ndakan kasar mereka," kata Wijaya "mereka ingin menjaga
keselamatanku. Bukankah peris wa tadi tak perlu terjadi apabila engkau mau memberitahu nama
dan maksud kedatanganmu hendak menemui aku ?"
"Ya, memang seharusnya aku bertindak begitu," kata orang aneh itu "tetapi kuminta
pengertian raden akan hal yang sedang kulakukan. Persoalan yang kubawa ini, hanya harus
kukatakan kepada raden seorang diri."
"Rahasia ?" "Ya." "O, tetapi mereka adalah orang kepercayaanku semua."
"Ya, bagi raden tetapi tidak bagi diriku."
"Ki sanak, siapakah sebenarnya engkau ini" "
"Maaf, raden, karena keadaan terpaksa soal namaku untuk sementara waktu ini harus
kurahasiakan. Kumohon penger an raden. Yang pen ng bukan siapa diriku ini tetapi persoalan
yang akan kuhaturkan kepada raden."
Wijaya tertegun. Ia tak puas atas sikap orang yang tak mau mengaku siapa dirinya. Tetapi
rasa tak puas itu agak terhapus setelah memperhatikan ucapannya. Bahwa tak mungkin orang
itu akan berani menempuh bahaya untuk menghadapnya apabila tak mempunyai persoalan
yang amat penting. "Bagaimana maksudmu?" tegurnya menegas.
"Maaf, raden, soal ini amat peribadi. Terpaksa tak dapat kukatakan di sini. Mari kita ke luar ke
halaman." Belum Wijaya menyatakan apa-apa, Sora sudah mendahului "Jangan raden, dia tentu bertujuan
buruk kepada raden."
"Raden tak percaya kepadaku ?" tanya orang itu.
"Hm," Wijaya hanya mendengus.
"Mengapa raden takut kuminta ke luar ke halaman " Di sana akan kukatakan persoalan yang
kubawa." "Bukan soal takut tetapi aku tak sampai ha untuk menyiksa perasaan para kadehanku yang
tentu gelisah apabila aku tak mendengar anjuran mereka,"
"O," desuh orang itu dalam alun nada kecewa "jika demikian raden tak bersedia meluluskan
permintaanku. Sayang .... "
"Mengapa engkau mengatakan begitu ?"
"Bukan karena aku menyesal telah menempuh segala jerih payah tetapi kusayangkan orang tak
mengerti akan sesuatu yang layak dimengerti."
"Jangan tergesa mengeluarkan penilaian, ki sanak."
"Lalu apa yang harus kukatakan" Baiklah, jika raden tak berkenan hanya karena berat hati
membuat gelisah para kadehan daripada lain persoalan yang lebih penting, akupun takkan
memaksa. Aku akan mohon diri tinggalkan tempat ini juga."
"Begini saja," cepat Wijaya berseru. Ia tahu orang itu tentu mempunyai persoalan penting.
Dari kata-kata yang dirangkainya, ia mempunyai kesan bahwa orang aneh yang dihadapinya
itu, tentu seorang berilmu. Tetapi diapun tak mau menyebabkan Sora dan kawan kawannya
gelisah. Sekalipun kepada orang bawahan apabila memang benar, ia menurut juga "akan
kuminta para kadehanku itu ke luar ke halaman dan kita yang bicara di sini berdua."
Sejenak berdiam, orang itu menyetujui. Wijaya lalu memberi isyarat agar Sora berempat ke luar
dulu. Mereka menurut dan menjaga di halaman.
"Nah, sekarang katakanlah," kata Wijaya.
Orang itu sejenak membenahi diri baju kemudian berkata "Pertama-tama, ingin kuminta
pengertian raden bahwa aku seorang kawan sehaluan dalam garis perjuangan dengan raden."
"Hm, mudah-mudahan," sambut Wijaya.
"Aku berjuang seorang diri, tanpa kawan. Kutempuh suatu cara perjuangan yang tersembunyi.
Oleh karena itu kuselubungi wajahku dalam selongsong pakaian yang aneh ini. Aku mempunyai
alasan sendiri mengapa aku harus berbuat sedemikian."
"Se ap orang bebas memilih cara hidup dan cara perjuangan menurut apa yang dikehendaki,
asal jangan melanggar undang-undang negara dan merugikan rakyat."
Orang aneh itu mengangguk "Benar, raden. Memang pada dasarnya, berjuang itu mengandung
makna memperjuangkan sesuatu yang baik. Hendaknya kita semua yang mengaku diri sebagai
pejuang, harus tetap menjunjung kesucian arti kata itu."
Wijaya mengangguk. Diam-diam ia memuji akan ketajaman bicara orang itu. Dan selama bertukar
pembicaraan dengan dia, Wijayapun makin mendapat kesan bahwa nada suara itu menunjukkan
seorang muda. "Raden, akupun berjuang untuk kerajaan Singasari, itulah sebabnya aku berani mengatakan tadi,
bahwa aku sehaluan dengan raden. Kuiku semua perkembangan yang terjadi di Singasari.
Bukankah raden akan diutus seri baginda untuk mengepalai rombongan perutusan Singasari yang
akan mengantar arca Amogapasa ke tanah Malayu ?"
"Ya, setiap orang tahu hal itu," sahut Wijaya.
"Bukankah raden telah menerima dua orang prajurit Tartar yang dutus oleh panglima mereka ?"
Wijaya terkesiap tetapi pada lain saat ia sudah menyahut "Ah, hal itu mudah diketahui."
"Bukankah kedua prajurit Tartar itu, yang satu ma terbunuh dan yang satu terluka dan
diketemukan Kuda Panglululut ?"
"Ya, itupun tidak mustahil diketahui," kata Wijaya.
"Bukankah raden mendapat pertanyaan dari baginda yang menganggap radenlah yang
membunuh prajurit Tartar itu?"
"Juga tak mengherankan kalau engkau tahu hal itu," rnasih Wsjaya tak terkejut.
"Raden," ba- ba orang aneh itu bergan dengan nada setengah berbisik "bukankah empu
Raganata sang adhyaksa Tumapel diculik orang?"
"Hai," kali ini Wijaya benar-benar seper disengat kala "bagaimana engkau tahu akan hal itu
juga?" Sekarang giliran orang aneh itu yang tenang-tenang menjawab "Telah kukatakan sebelumnya,
bahwa aku berjuang seorang diri dan secara diam-diam aku telah mengiku semua perkembangan
yang terjadi di kerajaan Singasari. Hampir semua peris wa yang telah terjadi tak lepas dari
pengawasanku. Raden merasa heran mengapa aku tahu segala apa di Singasari, bukan ?"
"Hm." "Tetapi apa yang telah kulakukan, mungkin tak ada orang yang tahu termasuk raden juga."
Wijaya mencurah pandang lekat-lekat meneliti wajah yang tersembunyi dibalik kain hitam dari
orang aneh yang tegak di hadapannya. Menilik sinar matanya yang tajam berkilat-kilat, orang
itu tentu memiliki ilmu tinggi. Menilik sekelumit kulit pada pelapuk mata dan nada suaranya, jelas
orang itu tentu masih muda, mungkin lebih muda dari dirinya. Tetapi heran, mengapa dia tahu
semua peristiwa di Singasari sampai seluas itu " Siapakah gerangan orang ini "
Namun keinginan itu segera ditekannya karena tadi orang itu telah memberi pernyataan bahwa
untuk sementara waktu ini dia tak dapat memberitahukan namanya. Dan Wijayapun menyetujui
walaupun tidak dengan kata-kata.
"Ki sanak, apakah yang telah engkau lakukan selama ini?" Wijaya lebih tertarik untuk mengetahui
ndakan orang itu daripada bertanya namanya. Ia mendapat kesan bahwa orang itu makin
menunjukkan sikap bersahabat.
"Ada dua hal raden," sahut orang aneh itu "yang telah kulakukan dan yang akan kulakukan."
"O." "Yang telah kulakukan," kata orang aneh itu pula "antara lain, aku telah menemui panglima
Tartar dan memberi keterangan kepadanya bahwa yang membunuh prajuritnya itu, bukan raden
Wijaya .... " "Hai ....... !" kembali Wijaya terbeliak kaget. Menemui panglima Tartar" Tidakkah hal itu suatu hal
yang berlebih-lebihan sifatnya" Mungkinkah orang itu takkan ditangkap oleh pengawal-pengawal
panglima Tartar " "ah, jangan engkau menjual petai kosong dihadapanku, ki sanak," akhirnya ia
berkata dalam nada menegur.
"Mengapa raden menuduh begitu ?"
"Coba jawab, dalam keadaan bagaimana engkau menemui panglima Tartar itu" Engkau tetap
memakai kain kerudung muka seperti sekarang atau tidak?"
"Mengapa harus kutanggalkan pakaian ini" Jika menghadap raden aku masih mengenakan
pakaian ini, mengapa menemui panglima Tartar aku harus bergan pakaian" Tidakkah hal itu
berarti aku lebih takut dan lebih menghargai dia daripada raden ?"
Wijaya terkesiap tetapi pada lain saat dia tertawa datar "Ah, tak mungkin! Tempat penginapan
rombongan utusan Tartar itu tenta dijaga ketat oleh prajurit-prajuritnya. Masakan mereka
membiarkan saja engkau masuk keluar menemui panglima mereka ?"
"Raden berkata benar," sahut orang itu "tetapi aku tak lewat para prajurit penjaganya."
"Lalu ?" Wijaya menegas.
"Aku langsung berhadapan dengan panglima Tartar dalam ruangnya."
"Dengan cara bagaimana engkau masuk kedalam tempat penginapan mereka?" ba- ba Wijaya
mulai curiga. "Dalam hal itu aku mempunyai cara tersendiri," jawab orang itu.
"Dari atap atau dengan aji penyirap atau mungkin dengan ilmu kesak an lain?" masih Wijaya
menegas. Tetapi orang itu mengelak "Kelak raden tentu akan mengetahui. Yang pen ng aku telah berhasil
menghadap panglima Tartar dan menjelaskan tentang kedua prajuritnya yang menderita musibah
itu." "Nan dulu," sela Wijaya "adakah begitu mudah panglima Tartar itu akan menerima
kedatanganmu" Apakah dia tak curiga dan menangkapmu?"
"Tidak, raden," kata orang itu "rupanya dia juga seorang berilmu."
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Sikapnya amat tenang sekali, mengunjuk suatu kepercayaan atas kekuatannya sendiri. Bahwa
apabila aku bermaksud buruk kepadanya, dia yakin tentu mampu mengatasi."
Wijaya dapat menerima keterangan itu. Lalu dia bertanya lebih lanjut "Apa yang engkau
bicarakan kepadanya " Bagaimana dan apa yang engkau jelaskan?"
"Bahwa yang membunuh dan melukai prajurit Tartar itu, bukanlah raden Wijaya tetapi fihak lain
yang hendak menjatuhkan nama baik raden."
"O," Wijaya mendesuh kejut "lalu bagaimana sambutannya?"
"Dia mengagumi keberanian dan kepandaianku menyusup penjagaan prajuritnya dan langsung
dapat menghadap kepadanya. Dia mengatakan bahwa orang Tartar itu berasal dari suku Mongol.
Orang Tartar senan asa menghargai seorang gagah berani dan seorang pahlawan. Raja mereka,
Kubilai Khan, juga keturunan dari Jengis Khan, seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dia tak
menyangka bahwa di bumi Singasari ternyata terdapat kaum ksatrya yang berilmu nggi. Oleh
karena itu dia percaya penuh kepadaku."
Wijaya terhempas dalam perasaan antara ragu dan percaya. Apabila orang aneh itu mau
membuka kain penutup mukanya dan menunjukkan wajah serta namanya, tentulah ia dapat lebih
cepat mempercayainya. Tetapi karena keterangan itu diucapkan oleh seorang yang
menyembunyikan wajah dalam selubung kain hitam yang aneh, betapapun Wijaya harus
mewajibkan diri untuk mempertajam kewaspadaan dan mengekang keinginan untuk dak lekas
memberi kepercayaan. Adakah orang itu benar-benar hendak membelanya ataukah hanya
melakukan siasat untuk mengambil hati, ia masih belum mendapat titik- titik penunjuk yang jelas.
"O, kalau menilik engkau berani memberi keterangan tentang peris wa pembunuhan, prajurit
Tartar kepada panglimanya, engkau tentu sudah mempunyai pengetahuan siapa-siapa sebenarnya
pembunuhnya?" Wijaya bertanya pula.
"Ya, benar. Aku sudah tahu."
Wijaya terdiam sejenak lalu bertanya "Tahu dan tahu ada dua. Tahu karena mendengar cerita
orang. Dan tahu karena telah membuk kannya sendiri. Mana diantara dua jenis tahu itu yang
engkau miliki?" "Raden," kata orang itu dengan nada mantap "dalam peristiwa itu, kuanggap menyangkut
suatu peristiwa yang penting dimana apabila tak diselesaikan dengan tepat, mungkin dapat
menimbulkan akibat yang luas. Pembunuhan atas prajurit Tartar dapat dianggap suatu sikap tak
bersahabat atau mungkin suatu hinaan bagi mereka. Raja Kubilai Khan mungkin akan marah
dan mengirim pasukan untuk meminta pertanggungan jawab kepada Singasari."
"Tetapi jelas pembunuhan itu dak terjadi di keraton. Jadi bukan tanggung jawab kerajaan
melainkan hanya perbuatan dari rakyat Singasari yang marah. Bagaimana mungkin raja Kubilai
Khan akan marah dan hendak menuntut pertanggungan jawab?"
Orang aneh itu mengangguk "Memang benar apa yang raden katakan itu. Tetapi dak seluruhnya
benar. Pembunuhan itu terjadi dalam pura Singasari. Walaupun yang membunuh adalah rakyat
Singasari, tetapi fihak raja Tartar tetap dapat menuntut pertanggungan jawab dengan dasar karena
baginda Kertanagara dan para mentri senopa yang berkuasa, tak mampu melindungi keselamatan
utusan Tartar." "Tetapi Singasari tak mengundang mereka?" bantah Wijaya.
"Benar," sahut orang itu "memang Singasari tak mengundang tetapi karena secara resmi
telah menerima kunjungan mereka maka menurut peraturan, mereka adalah tetamu yang harus
diperlakukan dengan baik, termasuk melindungi keselamatan jiwa mereka. Lepas dari suka atau
tak suka akan maksud kedatangan mereka, tetapi mereka hanyalah sebagai utusan. Maka
wajarlah kalau diperlakukan sebagai tetamu. Dan seorang tuan rumah yang baik, tentu wajib
melindungi keselamatan tetamu selama mereka masih berada dilingkungan kekuasaan kita."
"Hm," Wijaya; mendesuh.
"Dengan dasar alasan bahwa raja Singasari tak mampu melindungi jiwa rombongan utusannya.
Bahwa ternyata kerajaan Singasari tak mampu mengurus kawula supaya jangan ber ndak
scmbarangan, dapatlah raja Kubilai Khan mengirim pasukan untuk meminta pertanggungan jawab
kepada Singasari." "Apa yang akan dituntut?"
"Ada beberapa kemungkinan," kata orang aneh itu "pertama, menuntut supaya kerajaan
Singasari menangkap dan menyerahkan pembunuh itu kepada pasukan Tartar. Atau yang agak
lunak, kerajaan Singasari supaya menangkap dan menghukum pembunuh itu. Kedua, menuntut
supaya Singasari meminta maaf atas peris wa itu, mungkin mungdkin pula dengan disertai
tuntutan supaya Singasari menggan kerugian juga. Ke ga, mungkin Tartar akan menggunakan
peris wa itu sebagai alasan untuk memaksa Singasari menerima permintaan kerajaan Tartar
seperti yang telah dibawa oleh rombongan utusan mereka itu."
"Hm, orang Tartar boleh menuntut apa saja," dengus Wijaya "tetapi Singasari bukan kerajaan
yang mudah digertak."
"Maksud raden kerajaan Singasari tentu akan menolak ?"
"Singasari adalah sebuah kerajaan besar yang berdaulat dan berwibawa. Hak bagi Singasari
sepenuhnya untuk menolak segala tuntutan yang akan merendahkan martabat dan kewibawaan
kerajaan." "Benar, raden," seru orang aneh itu "akupun setuju sekali dengan pernyataan itu, kalau aku
menuru luap perasaan harga diriku sebagai putera negara Singasari yang besar. Tetapi pikiranku
yang melihat keryataan, mencegah aku supaya jangan hanya menuru luap perasaanku saja.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kurasa radenpun tentu demikian juga. Namun apabila raden dak berpendirian demikian maka
raden tentu terjebak dalam perangkap pa h Aragani yang hendak menjerumuskan Singasari
kedalam kancah peperangan. Adakah raden mengingkari apa yang raden lantangkan dalam sidang
penerimaan utusan Tartar yang berlangsung dalam balairung keraton kemarin" Jika demikian, maka
penilaian seri baginda dan pa h Aragani ke ka raden menghadap ke keraton siang tadi, adalah
tepat. Bahwa raden sesungguhnya mendukung kehendak seri baginda yang bermaksud hendak
menghina utusan Tartar itu."
Wijaya tertegun mendengar hamburan kata-kata yang tajam dan tepat kena pada sasaran dari
orang aneh itu. Ia menunduk "Ya, engkau benar," pada lain saat dia mengangkat muka, menatap
orang itu. "Terima kasih raden dan maaf apabila kata-kataku terlalu tajam kepada raden," kata orang itu
"tetapi dengan sungguh hati aku memang berjuang demi membela keluhuran nama raden."
"Baik, mudah-mudahan dewata merestui cita-citamu yang baik," kata Wijaya "kembali pada
pertanyaanku tadi, rasanya engkau telah membuktikan sendiri siapa pembunuhnya itu, bukan?"
"Ya." "Siapakah dia?"
"Anakbuah Kuda Panglulut sendiri."
"O," Wijaya kejut-kejut ditahan "tetapi adakah suatu buk yang dapat engkau tunjukkan tentang
pembunuh itu?" "Ada," sahut orang itu " tetapi .... "
"Tetapi bagaimana" "
"Aku biasa keluar malam untuk meninjau keadaan," orang itu bercerita "kebetulan pada
malam itu kulihat seorang rumah penduduk sedang mengadakan pesta selamatan. Tetamu-
tetamu bersuka ria minum tuak sampai jauh malam. Menurut keterangan dari seorang penduduk
daerah itu, kuperoleh kabar bahwa pesta selamatan itu diadakan salah seorang yang puteranya
bekerja sebagai prajurit. Aku tertarik dan menanyakan lebih lanjut. Ternyata putera penduduk
yang mengadakan pesta selamatan itu bekerja pada pasukan keamanan pura dibawah
pimpinan Kuda Panglulut. Baru-baru ini puteranya telah dinaikkan pangkat dan mendapat
ganjaran uang dari Kuda Panglulut. "
"Kuanggap hal itu biasa," kata orang aneh melanjutkan ceritanya "akupun segera hendak
meninggalkan tempat itu. Tetapi di tengah jalan aku berjumpa dengan dua orang laki. Aku
segera bersembunyi di balik gerumbul semak. Kedua orang itu tengah bercakap-cakap "Si
Barat memang keparat. Masakan mendapat ganjaran uang dari raden Panglulut, dimakan
sendiri. Kita tak diberi bagian," kata salah seorang dari kedua lelaki itu.
"Memang dia sombong sekali sekarang. Dia tak ingat budi kita yang dulu telah memasukkan dia
menjadi prajurit," sahut kawannya.
"Bagaimana kata si Barat kepadamu tadi kakang," tanya orang yang pertama.
"Karena muak melihat sikapnya yang congkak, tadi aku mengancamnya, akan kusiarkan tentang
perbuatannya membunuh prajurit Tartar itu."
"Lalu dia bagaimana ?"
"Dia ketakutan dan minta maaf. Dia berjanji hendak memberi bagian kepada kita."
"Kuikuti perjalanan arang itu sampsi ke rumahnya," kata orang aneh itu melanjutkan ceritanya
"rencanaku besok malam, orang itu akan kuambil dan kubawa kehadapan panglima Tartar
untuk memberi kesaksian tentang peristiwa pembunuhan itu. Agar panglima Tartar percaya
bahwa yang membunuh prajuritnya bukan raden."
"O," desuh Wijaya "dan apakah engkau bawa itu ketika menghadap panglima Tartar?"
"Besok malam ke ka aku berkunjung ke rumah orang itu, ternyata dia sudah ma dibunuh
orang." "Hm, aneh," gumam Wijaya.
"Kurasa dak aneh, raden," sahut orang aneh itu "tentulah perbuatan si Barat untuk
menghilangkan jejaknya."
"Mengapa engkau tak membawa si Barat saja?" tanya Wijaya.
"Memang demikian," kata orang aneh "tetapi ternyata dia sudah melarikan diri. Mungkin saja
bersembunyi dibawah lindungan Kuda Panglulut. Kelak aku pasti akan mencarinya lagi."
Wijaya gelengkan kepala "Mungkin sukar."
"Mengapa sukar?" balas orang aneh itu "walaupun aku belum kenal wajahnya tetapi aku dapat
menyelidiki pada kawan-kawannya yang menjadi prajurit anakbuah Kuda Panglulut."
"Jika dugaanku tak salah, kemungkinan orang itu tentu sudah dilenyapkan."
Orang aneh itu terkesiap "Ah, benar," desuhnya "Kuda Panglulut tentu sudah mencium gelagat
yang tak baik apabila si Barat masih hidup."
"Baiklah," akhirnya Wijaya berkata "lalu dengan tujuan apakah Kuda Panglulut memerintahkan
anakbuahnya membunuh prajurit Tartar itu?"
"Sudah tentu atas perintah ayah mentuanya, pa h Aragani. Dan mengapa pa h Aragani
merencanakan hal itu, tentulah raden dapat menduga sendiri."
"Ya, dia tentu hendak menjatuhkan namaku."
"Bukan," bantah orang aneh itu "menjatuhkan nama raden hanya suatu langkah penyamaran
untuk menyembunyikan tujuannya yang sesungguhnya. Tujuan patih Aragani jtak lain hanya agar
hubungan kerajaan Tartar dengan Singasari menjadi buruk. Agar raja Kubilai Khan murka dan
mengirim pasukan ke Singasari untuk menindak baginda Kertanagara .... "
"Hm, jangan .... "
"Mari kita buk kan saja, raden. Kelak apabila Kubilai Khan mengirim utusan lagi ke Singasari,
pa h Aragani tentu akan menghasut seri baginda untuk menindak utusan itu dengan ndakan
yang lebih kejam lagi."
Wijaya merenung, mengunyah dan merasakan kata-kata orang aneh itu. Dirangkainya dengan
sikap Aragani ke ka baginda menerima utusan Tartar. Pa h itu jelas menganjurkan supaya utusan
itu dibunuh, atau paling dak supaya didamprat keras. Kemungkinan pernyataan orang aneh itu,
memang benar. "Lalu apa tujuan pa h Aragani mengharap Kubilai Khan supaya mengirim pasukan menyerang
Singasari?" ke ka ba pada renungan itu, macetlah pikiran Wijaya. Ia tak dapat menemukan alasan
yang tepat apabila benar-benar pa h Aragani mempunyai tujuan begitu. Iapun bertanya kepada
orang aneh itu. "Tentu saja agar kerajaan Singasari hancur."
"Ah, mengapa harus begitu?"
"Agar Aragani dapat diangkat menjadi akuwu Singasari."
Mendengar jawaban yang begitu mudah, mbullah dugaan Wijaya bahwa orang aneh itu
kemungkinan besar tentu mempunyai pengetahuan yang luas tentang diri pa h Aragani dan gerak-
gerik patih itu. "Ki sanak, bagaimana engkau mempunyai penilaian semacam itu" Bukankah sekarang pa h
Aragani sudah menjabat kedudukan nggi dan memperoleh kepercayaan besar dari seri baginda "
Mengapa dia masih menghendaki kehancuran Singasari?"
"Dari hasil penyelidikan dan penilaian," sahut orang aneh itu "raden Wijaya, sudahkah raden
bertemu jawaban akan sikap patih Aragani yang begitu bernafsu membela Sriwijaya?"
Wijaya terbeliak pula. Ia gelengkan kepala.
"Tiap gerak tentu mempunyai tujuan," kata o-rang aneh itu "gerak pa h Araganipun tak mungkin
tanpa tujuan pula. Tujuan yang berlandaskan Keinginan untuk mencapai kenikmatan hidup."
"Bukankah dia sudah diangkat sebagai pa h" Bukankah dia menjadi mentri kepercayaan seri
baginda?" tukas Wijaya.
"Ha, ha, tetapi belum menjadi raja, bukan?" sambut orang aneh itu "demikianlah kodrat
manusia. Tak pernah puas berhamba pada Nafsu keinginan yang ada kenal batas. Jelas pa h
Aragani haus dengan kekuasaan sebagaimana dia selalu haus dengan tuak. Dan untuk mencapai
tujuan, rupanya tak segan-segan dia menjual negara .... "
"Ah, terlalu kejam engkau langkahkan penilaianmu terhadap pa h Aragani, ki sanak," seru
Wijaya "ingat, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan."
"Tetapi penghianatan itu jauh lebih kejam dari fitnah," cepat orang aneh itu membela dirinya
"kalau aku memfitnah, hanya seorang Aragani yang menderita. Tetapi kalau Aragani yang
berhianat, berpuluh juta kawula Singasari akan mati tersiksa batinnya!"
"Ah," Wijaya mendesah. Ditatapnya pula wajah orang aneh itu seolah hendak menembus kain
penutup yang menyelubungi muka orang itu.
Orang itupun balas menyambut tatapan Wijaya.
Wijaya menghela napas "Andaikata engkau mau menunjukkan wajahmu, kepercayaanku tentu
kutumpahkan kepadamu .... "
"Kutahu," sahut orang aneh itu "tetapi janganlah raden tergesa memberi pernyataan dan
kepercayaan karena akupun tak memaksakan hal itu. Biarlah kepercayaan itu tumbuh dengan wajar
dalam ha raden setelah raden renung dan kaitkan rangkaian peris wa-peris wa yang telah raden
alami pada waktu yang lampau, sekarang dan yang akan datang. Jika raden bertemu pada
k kesimpulan dari apa yang raden haya , kepercayaan itu tanpa dicari dan dipaksa, tentu mbul
sendiri." Wijaya mengangguk. Diam-diam ia memuji akan ketajaman orang itu bicara dan luasnya
pengetahuan yang dimilikinya.
"Lalu apakah engkau hendak mengatakan bahwa pa h Aragani itu bersekutu dengan Sriwijaya?"
tanyanya pula. "Keras sekali dugaanku menumpah kesitu, raden," kata orang aneh itu "tetapi se ap dugaan
harus diuji dulu dengan kenyataan. Dan pengujian itu hanyalah dengan pengamatan dan
penyelidikan yang cermat dan kemudian penilaian yang seksama. Oleh karena itulah maka
kuperlukan menemui raden untuk mempersembahkan segala sesuatu yang kuketahui selama ini.
Kuserahkan kesemuanya itu atas penilaian raden."
"Baiklah, ki sanak. Aku berterima kasih atas keteranganmu itu. Semoga dengan bekal keterangan
yang berguna itu aku dapat melangkahkan tindakanku kearah yang benar."
"Semoga restu Hyang Batara Agung selalu melimpah kepada raden."
"Apakah engkau masih ada lain soal yang perlu engkau katakan kepadaku lagi?"
"Ya," sahut orang aneh itu "apabila raden kelak ba di Sriwijaya, baiklah raden menajamkan
pengamatan raden kepada pa h Demang Lebar Daun. Usahakanlah sekuat kemampuan agar raden
memperoleh atau sekurang-kurangnya mendengar tentang hubungan pa h Demang Lebar Daun
dengan patih Aragani."
"O, baiklah," sahut Wijaya. Kemudian ia memandang orang aneh itu pula.
Tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, orang itu sudah mendahului "Lepaskanlah pemikiran
raden akan keadaan Singasari yang raden nggalkan. Akulah yang akan membantu raden untuk
mengama , menjaga bahkan apabila perlu memberantas ndakan pa h Aragani atau siapapun
yang hendak mengganggu ketenteraman Singasari!"
Wijaya termangu. Tak tahu ia bagaimana hendak merangkai kata-kata penumpah kesyukuran
ha nya kepada orang aneh itu. Tiba ba ia menjabat tangan orang itu "Andai kelak aku yang
berkuasa di Singasari, tentu akan kuumumkan kepada para kawula, bahwa engkaulah yang
menyelamatkan Singasari dari bahaya kehancuran."
"Ah, berat nian pujian raden itu," kata orang aneh seraya mengepal tangan Wijaya dengan erat
"sesungguhnya membela negara itu adalah Kewajiban bagi se ap rakyat. Bukan hanya kewajiban
para pembesar saja."
"Ki sanak," kata Wijaya dengan nada agak tergetar "banyak nian masalah yang mbul dalam pura
Singasari. Sebenarnya akulah yang harus menangani. Tetapi sayang, baginda telah menitahkan aku
berangkat ke Sriwijaya."
Orang aneh ba- ba menyela tertawa. "Bukan baginda tetapi pa h Araganilah, yang hendak
menyingkirkan raden ke tanah seberang. Karena dia menganggap raden satu-satunya duri dalam
mata, penghalang besar dalam usahanya menggerogoti kerajaan Singasari."
"Oleh karena itu kalau ki sanak memang bersungguh ha hendak membantu aku," kata Wijaya,
"banyaklah pekerjaan yang kuminta ki sanak mengerjakan. Mendapatkan kembalinya mpu
Raganata yang diculik, menjaga gerak-gerik pa h Aragani dan Kuda Panglulut dan menegakkan
keamanan pura Singasari."
"Terima kasih raden, atas kepercayaan yang raden limpahkan kepadaku," kata orang aneh itu
berentak, "tetapi kiranya raden masih lupa untuk menyebutkan dua hal yang tak kurang
pentingnya." "Apakah itu?" "Gerak gerik raja Daha dan kemungkinan datangnya utusan dari Tartar pula."
Wijaya segera teringat akan peris wa dua orang yang hendak membunuhnya di tengah jalan
tempo hari. Orang itu mengatakan kalau diperintah oleh Ardaraja. Hampir ia hendak menanyakan
perihal diri Ardaraja kepada orang aneh itu tetapi pada lain kilas, ia endapkan keinginan itu. Ia
masih meragukan keterangan kedua orang itu, menilik Ardaraja bersikap baik sekali kepadanya.
"Baiklah, ki sanak," akhirnya ia mempersingkat pembicaraan "kuserahkan saja kesemuanya itu
kepadamu. Tetapi dakkah ki sanak memerlukan bantuan tenaga orang-orangku" Bukankah ki
sanak akan lebih dapat bergerak dengan leluasa daripada ki sanak bekerja seorang diri?"
Sejenak merenung, orang aneh itu mengatakan "Ah, untuk sementara ini kurasa belum perlu.
Biarlah aku bekerja seorang diri."
~dewi.kz~ismo~mch~ II Sang Hyang Baskara mulai berkemas dalam ratha kencana, hendak memulaikan tugas sehari-
hari. Melanglang jagad, menaburkan sinar yang gemilang cemerlang keseluruh buana raya.
Sinar keemasan dari ratha kencana sang Dewa Hari, makin menyemarakkan suasana pagi di
taman-sari keraton Daha. Bunga-bunga warna warni beilomba-lomba merekahkan kecantikannya.
Dalam keindahan pagi yang lembut itu, tampak raden Ardaraja tengah mengayunkan langkah
ringan, berjalan perlahan-lahan untuk menyejukkan pikirannya yang rusuh.
Saat itu hampir menginjak dua purnama lamanya, rombongan raden Wijaya yang di tahkan
baginda untuk mengirim arca Amogapasa ke Sriwijaya dan rombongan pa h Kebo Anengah yang
diutus baginda membawa puteri Tapasi kepada raja Gempa, telah berangkat.
Pembentukan calon-calon prajurit untuk menggan kan kekuatan Singasari yang hampir kosong
itu, telah diserahkan kepada raden Ardaraja. Tetapi rupanya pangeran dari Daha itu tak menaruh
perha an besar atau memang sengaja melengahkan tugas itu. Ia lebih banyak menyelimpatkan
waktu untuk pulang ke Daha.
Demikian pula hari itu, hari yang kesepuluh sejak ia berada di keraton Daha, kerajaan
ayahandanya raja Jayakatwang. Kepulangan pangeran itu ke Daha kali ini, benar-benar harus
menderita ujian batin yang berat. Betapa tidak. Tiga hari yang lalu, ia dipanggil menghadap
ayahandanya, diminta kesediaannya untuk mendurhaka pada baginda Kertanagara. Oleh
ayahandanya, raja Jayakatwang, ia diberi waktu tiga hari untuk merenungkan dan memberi
jawaban. Dan hari itu adalah hari yang ke tiga. Ia harus menentukan keputusan.
Atas kemurahan baginda Kertanagara maka Jayakatwang telah dilan k menjadi akuwu atau raja
di Daha. Demikian pula, baginda Kertanagarapun berkenan memungut pangeran Ardaraja menjadi
menantunya. Maksud raja Kertanagara yalah supaya dengan ikatan perkawinan itu, Daha akan
menghapus dendam bebuyutan terhadap Singasari dan selanjutnya akan tunduk pada kekuasaan
baginda Singasari. "Moyang paduka, prabu Dangdang Gendis binasa karena pemberontakan anak petani dari
Pangkur, anak nyi, Endok yang bernama Ken Arok. Itulah raja Singasari yang pertama dan
bergelar raja Sri Rajasa sang Amurwabumi. Bala tentara Kediri sirna seperti gunung disambar
halilintar. Prabu Dangdang Gendis beserta balatentara Kediri dimusnahkan Ken Arok dan sejak
itu Daha dijajah Singasari. Padukalah, gusti, yang mempunyai kewajiban untuk membangun
kerajaan Daha dan membalas kekalahan moyang paduka prabu Dangdang Gendis."
Demikian anjuran pa h Kebo Mundarang ke ka diajak musyawarah oleh prabu Jayakatwang.
Kata-kata ki pa h Daha itu termakan dalam ha sang prabu. Dan kini ia minta kepada puteranya;
pangeran Ardaraja, untuk menjalankan peran sebagai musuh dalam selimut terhadap baginda
Kertanagara. Hari itu pagi-pagi sekali raden Ardaraja menghibur diri di tamansari. Hatinya risau, pikiran resah.
Suatu keputusan yang meminta pertimbangan seluruh akal budinya.
Prabu Jayakatwang adalah ayahandanya. Ayahandanya menjanjikan akan mengangkatnya
menjadi yuwa-raja atau putera mahkota yang akan mewarisi kerajaan Daha apabila ia mau
menuru kehendak ayahandanya. Namun tanpa janji itu, rasanya tahta kerajaan Daha tetap akan
jatuh di tangannya karena ia adalah satu-satunya putera dari prabu Jayakatwang. Saudara-
saudaranya yang lain puteri semua.
Baginda Kertanagara adalah ayah mentuanya. Tetapi karena baginda tak mempunyai putera,
sudah tentu tahta kerajaan akan diwariskan juga kepadanya. Tanpa ia harus memberontak,
baginda Kertanagarapun tentu akan mengangkatnya menjadi ahliwaris kerajaan.
Tetapi wahai! Bukankah putera menantu baginda Singasari itu bukan hanya dia seorang"
Bukankah masih ada seorang lain yani raden Wijaya" Bahkan, bukankah sekaligus raden Wijaya itu
dijodohkan dengan dua orang puteri baginda " Itu berar kerajaan Singasari takkan jatuh
seluruhnya ke tangan Ardaraja tetapi harus dibagi pula dengan Wijaya. Dan dari cara baginda
Kertanagara memberikan dua orang puterinya kepada Wijaya itu, memberi kecenderungan kesan
bahwa kelak dalam pembagian warisan kerajaan Singasari Wijayalah yang akan memperoleh bagian
yang lebih besar! Apabila rasa iri dan dengki mulai merayapi ha seseorang maka mbullah berbagai reka yang
makin menguasai ba n orang itu. Demikian pula dengan Ardaraja. Setelah membayangkan
kemungkinan tentang pembagian kerajaan Singasari dari sudut perkawinan puteri-puteri baginda
maka makin meluaslah alam pikiran iri, curiga dan kecemasan yang menghuni di benak Ardaraja.
"Moyangku adalah prabu Dangdang Gendis, musuh dari sang prabu Rajasa. Sedang baginda
Kertanagara itu adalah cucu dari Anusapa . Dan Wijaya itu cicit dari Mahisa Wonga Teleng.
Anusapa dan Mahisa Wonga Teleng itu saudara seibu lain ayah. Betapapun ikatan keluarga
antara baginda Kertanagara dengan Wijaya lebih dekat dari pada aku, keturunan dari musuh
Singasari. Bukan mustahil apabila baginda Kertanagara akan ber ndak pilih-kasih dalam soal
pembagian warisan kerajaan Singasari nanti." Ardaraja menimang-nimang.
Tiba-tiba ia terkesiap. Ternyata langkahnya telah membawanya tiba di sebuah kolam pemandian.
Kolam itu masih termasuk lingkungan tamansari. Berciptakan alam pegunungan yang dikelilingi
pohon-pohon hutan dan padas-padas gunung. Apakah yang menyebabkan pangeran itu terhen
langkah, tertegun pandang"
Kiranya pada pagi itu, para dayang dan bi perwara, sedang mandi berkecimpung dalam kolam
itu, tanpa secarik busanapun jua,
Ardaraja cepat menyelinap kebalik pohon nagasari yang tegak menggagah pada gerumbul
pepohonan merambat. Dari celah-celah gerumbul itu dapatlah ia menikma keriangan bi -bi dan
dayang-dayang yang kebanyakan masih muda belia itu berkecimpung dalam air. Bermain
menepukkan kumandang air, kejar mengejar dan siram menyiram.....
Darah Ardaraja tersirap, jantung berdebar keras dan pikiranpun terangsang. Semangatnya
melayang jauh membubung nggi. Dan terbuailah ia dalam lamunan kakawin Arjuna Wiwaha karya
Empu Kanwa, puji-sastra untuk memuliakan perjuangan sang Prabu Airlangga. Dalam kakawin itu
dilukiskan betapa kenikmatan sang Arjuna setelah dapat membinasakan raja raksasa Prabu
Nirwatakawaca, lalu dinobatkan sebagai raja di Tejamaya tempat para Dewi, bergelar Prabu Kari
dan dianugerahi puteri bidadari Dewi Supraba.


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, sang Arjuna mendapat kenikmatan yang ada taranya karena ia berani berperang melawan
raja raksasa. Bidadari hanya layak diberikan kepada seorang ksatrya yang gagah berani. Jer basuki
mawa beya....." Serentak tergugahlah semangat Ardaraja. Apabila ia dapat menguasai Daha dan Singasari,
bukankah ia akan dapat menikma kesenangan hidup sebagai sang Arjuna" Raja-raja tunduk
dibawah kekuasaannya, rakyat seluruh nusantara akan menyembah dan puteri-puteri secan k
bidadari akan bersimpuh di bawah duli kakinya .....
"Benar!" ba- ba ia kepalkan nju "seorang ksatrya harus berani ber ndak, harus menciptakan
pahala besar. Aku harus lebih besar dari rama prabu. Bukan hanya sebagai raja Daha tetapi raja
Daha-Singasari, bahkan raja-di-raja dari seluruh nusantara .... "
"Saat ini Wijaya sedang berada di tanah Malayu. Singasari makin kosong dan lemah. Apabila
aku menuruti permintaan rama prabu untuk menggunting dalam lipatan, pasti dengan mudah
Singasari dapat direbut .... "
"Apakah tujuan hidup di arcapada ini kecuali kemuliaan dan kenikmatan hidup" Dan untuk
mencapai hal itu ada lain jalan kecuali dengan keberanian, kegagahan. Siapa kuat dia di atas,
siapa lemah dia di bawah. Kebesaran Daha harus bangkit. Bukan lagi Daha yang menjadi taklukan
Singasari, tetapi Singasari yang harus tunduk pada kekuasaan Daha. Rawe-rawe rantas, malang-
malang putung .... " Ardaraja mengacungkan kepal njunya keatas "barang siapa yang merintangi
tujuanku, tentu akan kuhancur-leburkan, walau Wijaya sekalipun juga!"
Pada puncak rangsang semangatnya yang berkobar-kobar itu, ba- ba ia dikejutkan oleh sebuah
tangan yang menggamit bahunya "Adimas .... "
Dalam saat-saat semangat Ardaraja sedang meluap-luap bagai air bengawan Brantas dimasa
banjir, sentuhan yang bagaimanapun halusnya, cukup menimbulkan pantulan-gerak yang serentak.
Tinju yang diacungkan ke atas, secepat kilat di balikkan menghantam ke belakang, wut.....
Untunglah pendatang dibelakang tubuhnya cukup waspada. Dengan cepat ia menyurut
mundur dua langkah. Namun tinju Ardaraja yang meluncur bagai halilintar menyambar itu
amatlah dahsyatnya. Walaupun tak mengenai sasarannya namun angin dari pukulan itu
membuat ikat kepala orang itu tergelincir ke samping telinga dan mukanyapun terasa panas.
"O, kangmas Miluhung, maa an kekhilafan adinda ....... ," serta mengetahui siapa pendatang itu,
tersipu-sipu Ardaraja meminta maaf.
Kiranya yang datang dan menjamah bahunya itu bukan lain yalah raden Lembu Miluhung, kakak
ipar Ardaraja atau menantu Jayakatwang.
Lembu Miluhung tertawa "Engkau tak salah dimas. Akulah yang mengejutkan lamunanmu. Eh,
dimas Ardaraja, ilmu pukulanmu kini bertambah hebat sekali."
"Ah, kakangmas terlalu memuji," Ardaraja tersenyum malu.
"Sepagi ini engkau sudah berada di taman-sari. Dan mengapa tadi kulihat dimas sedemikian
tegang ?" kata Lembu Miluhung pula.
Untuk mengikis kabut keraguan yang rupanya masih bertebaran diwajah Ardaraja, maka
Lembu Miluhung menyusuli pula kata-kata "Adimas, hendaknya kita dapat membedakan
kepentingan negara dengan kepentingan peribadi. Daha adalah negara tumpah darah adimas,
kerajaan yang menanti pimpinan adimas Ardaraja. Rakyat Dahapun menggantungkan nasib dan
kepercayaan sepenuhnya kepada adimas. Sebaliknya Singasari hanyalah negara-sambungan
sebagaimana halnya adimas itu putera menantu atau putera sambungan dari raja Kertanagara.
Apabila isteri adimas yalah puteri raja Kertanagara itu sudah bukan menjadi isteri adimas,
maaf, tentulah adimaspun bukan pula putera menantu dari baginda Kertanagara. Lain halnya
adimas dengan rama prabu Jayakatwang. Dalam keadaan bagaimanapun, adimas itu tetap
putera rama prabu Jayakatwang. Isteri ibarat pakaian, dapat kita cari gantinya. Tetapi
orangtua adalah sesembahan kita. Tak mungkin kita cari penggantinya."
Ardaraja memandang tajam-tajam kepada Lembu Miluhung. Pandang matanya seolah hendak
menembus hati kakak iparnya itu. Rupanya pandang mata Ardaraja itu dapat terasakan
bagaimana artinya oleh Lembu Miluhung. Cepat menantu raja itu menyusuli kata-kata "Dalam
persoalan ini, aku sendiri tidak menginginkan suatu apa kecuali hendak membantu dimas
Ardaraja membangun kejayaan Daha. Aku tahu diri dan tempatku di kerajaan Daha, dimas."
Ardaraja cepat menjabat tangan kakak iparnya "Ah, janganlah kakangmas Miluhung
mengucapkan kata-kata itu. Ardaraja jaya kakangmas tentu kuangkat menjadi pa h amangkubumi.
Karena masih banyaklah kiranya pengalaman dan pengetahuan yang dinda perlukan bimbingan
kakangmas." Lembu Miluhung tertawa riang. Bukan karena janji yang diucapkan Ardaraja itu melainkan karena
dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kata-kata itu, jelas bahwa Ardaraja telah memberi kesan
kepadanya, akan menerima kehendak ayahandanya raja Jayakatwang. Namun ia cukup cerdik untuk
dak mendesakkan hal itu sesaat itu juga "Terima kasih dimas Ardaraja. Dapatkah aku
mengirimkan dimas menghadap rama prabu sekarang ini?"
"Ah, kakangmas masih selalu memanjakan dinda," kata Ardaraja lalu memimpin tangan Lembu
Miluhung menuju ke dalam istana.
"Puteraku," sambut raja Jayakatwang setelah menitahkan kedua pemuda itu duduk di
hadapannya "kiranya rama tentu sudah dapat mendengarkan ke-putusanmu, Ardaraja."
"Kaluhuran titah paduka, rama," sembah Ardaraja "pertama-tama hamba adalah rakyat Daha,
wajib harus membela kepentingan Daha, menjalankan titah raja. Kedua, hamba adalah putera
paduka. Wajiblah seorang putera patuh kepada orangtua. Ibarat diperintah terjun ke dalam
lautan api, pun putera paduka akan melakukannya. Dan ketiga kalinya, sebagai putera raja
wajiblah hamba menegakkan dan memimpin kerajaan paduka kearah kejayaan. Tri-dharma
itulah yang menjadi pendirian hidup hamba."
"Bagus Ardaraja, puteraku!" seru raja Jayakatwang diluap suka cita "putera rama hanyalah dikau
seorang. Dan engkaulah Ardaraja yang kelak akan menggan kan rama memerintah kerajaan Daha.
Jaya atau hancurnya Daha terletak di tanganmu, Ardaraja!"
Kemudian raja beralih pandang kearah putera menantunya, Lembu Miluhung. "Puteraku
Miluhung, adindamu sudah menyatakan kesediaannya. Sekarang engkau uraikan rencana yang
engkau rancang itu."
Lembu Miluhung mengiring kata-katanya dengan sebuah sembah "Rencana itu hamba siapkan
serempak dalam ga arah. Pertama, pengamatan. Kedua, pembiusan. Ke ga, penyusutan. Terakhir,
penghancuran !" "Wah, hebat nian rencanamu itu, Miluhung," raja memuji.
"Rencana pengamatan yalah kita harus menaruh orang di dalam keraton Singasari untuk
mengama se ap gerak gerik yang terjadi di Singasari termasuk kekuatan tentaranya. Pembiusan
atau pengaburan, yalah suatu siasat untuk membius perha an raja Singasari agar lengah dan
jangan menaruh kecurigaan terhadap Daha. Dalam hal ini, menurut hemat hamba, kiranya ada
suatu hal yang lebih termakan dalam ha raja Kertanagara, dari pada sesuatu usaha untuk
menyanjung puji kepadanya. Dan sanjung puji itu harus berupa suatu persembahan is mewa yang
benar-benar dapat menjatuhkan hati raja yang gila pujian itu."
"Benar, puteraku Miluhung," sambut raja Jayakatwang "lalu apakah kiranya persembahan yang
tepat kita haturkan kepadanya?"
"Sebuah patung yang mengabdikan peribadi baginda Singasari itu."
"O," desuh raja Jayakatwang "hebat benar angan-anganmu, puteraku. Tetapi apakah kiranya
bentuk daripada patung itu?"
"Patung Joko Dolok, gusti,"
"Lalu maksudmu bagaimana?"
"Dengan persembahan itu tentulah raja Kertanagara akan terhibur suatu kepercayaan bahwa
Daha patuh dan setia kepada Singasari. Dengan demikian kita bebas dari pengamatan mereka.
Kemudian siasat yang ketiga, kita timbulkan kekacauan, ciptakan pemberontakan agar sisa
pasukan Singasari yang tinggal sedikit itu makin terhisap habis kekuatannya. Setelah itu apabila
keadaan sudah mengidinkan. kita serang dan hancurkan pura Singasari. Dengan empat lapis
siasat itu, hamba kira Singasari tentu dapat kita tundukkan."
Bila raja Jayakatwang mengangguk-angguk setuju adalah diam-diam Ardaraja terkejut dalam ha .
Ia tak sangka bahwa Lembu Miluhung seorang ahli perancang siasat yang pandai. Seiring dengan itu
diam-diam timbullah suatu penilaian terhadap kakak iparnya itu.
"Puteraku Miluhung," seru raja Jayakatwang "rama setuju dengan rencanamu itu dan kuserahkan
pelaksanaannya kepadamu juga."
Lembu Miluhung menyatakan kesediaannya "Baik, rama. Hambapun telah menyusun orang-
orang yang hendak hamba serahi untuk menjalankan rencana itu. Untuk mengawasi keadaan
dalam keraton Singasari, hamba akan mohon bantuan dimas Ardaraja. Adakan rama merestuinya?"
"Ya," seru Jayakatwang lalu berpaling kearah Ardaraja "bukankah engkau sanggup untuk
melakukan tugas itu, puteraku?"
"Demi Daha, akan hamba lakukan," sembah Ardaraja "tetapi hamba hendak mohon rama
berkenan meluluskan sebuah permohonan."
"O, katakanlah puteraku," seru raja Jayakatwang.
"Begini rama," kata Ardaraja "hamba mohon kelak apabila penyerangan ke Singasari itu benar-
benar terlaksana, dan bilamana Dewata merestui kemenangan bagi Daha, hendaknya janganlah
anak prajurit kita mengganggu keselamatan jiwa baginda Kertanagara."
"O .......," raja Jayakatwang berhen sejenak karena ba- ba melihat kicupan mata Lembu
Miluhung "baiklah, Ardaraja. Akan kutitahkan agar permintaanmu terlaksana."
Setelah itu rajapun beralih pandang kearah Lembu Miluhung pula "Puteraku Miluhung, ingin
kiranya rama mendengar keterangan-keterangan dari rencana yang engkau persiapkan itu."
Lembu Miluhung mengiakan "Untuk pembuatan patung Joko Dolok akan hamba serahkan kepada
empu Paramita, seorang ahli pahat yang pandai. Kemudian untuk menyerap kekuatan pasukan
Singasari, hamba akan menghubungi sisa-sisa anak buah Mahisa Rangkah yang bersembunyi di
gunung Batok ....." "O, Mahisa Rangkah yang pernah memberontak tetapi dapat dihancurkan oleh baginda
Kertanagara itu ?" seru raja Jayakatwang.
"Benar, rama," sahut Lembu Miluhung "sisa-sisa anakbuahnya tercerai berai dan kini terkumpul
di gunung Batok dipimpin oleh Gajah Lembura, seorang saudara seperguruan dan Mahisa Rangkah.
Dia telah berjanji kepada hamba bersedia melanjutkan perjuangan Mahisa Rangkah, apabila
hamba dapat membantu dengan peralatan senjata dan perlengkapan-perlengkapaa yang
diperlukan. Dengan mbulnya gerakan sisa-sisa Mahisa Rangkah, Singasari pas akan mengirim sisa
pasukannya untuk menumpas. Dan pada saat itu, Singasari tentu kosong. Langkah terakhir hamba
serahkan kepada rama untuk menitahkan senopa pilihan, memimpin pasukan Daha menyerang
Singasari." "Bagus, Miluhung," seru Jayakatwang "rama setuju dan menyerahkan pelaksanaan rencana itu
kepadamu. Kerjakanlah, puteraku, mana-mana yang engkau anggap bagus demi, kepen ngan
Daha." Demikian rencana yang telah dimusyawarahkan antara raja Jayakatwang dengan putera dan
putera menantunya. Pembicaraan itu hanya dihadiri oleh mereka ber ga sehingga tak mungkin
bocor keluar. Apabila Lembu Miluhung berkemas melaksanakan rencana, menemui Empu Paramita dan
menuju ke gunung Batok mendapatkan Gajah Lembura, adalah raden Ardarajapun berkemas
mohon diri kepada ramanya untuk kembali ke Singasari.
Raja Jayakatwang telah memberikan duapuluh pengiring kepada puteranya. Duapuluh prajurit
pilihan yang tangkas dan setia. Keduapuluh prajurit itu akan membantu Ardaraja untuk
mengamati keadaan Singasari, menyebarkan fitnah perpecahan dan mengadu domba, di
kalangan mentri, narapraja dan pimpinan tentara Singasari. Dan keduapuluh prajurit pilihan dari
Daha itulah yang kelak akan menjadi alat untuk menggunting dalam lipatan. Merekalah yang
akan bergerak menyambut kedatangan pasukan Daha apabila menyerang pura Singasari.
Keberangkatan raden Ardaraja dengan kedua puluh pengiringnya itu dilakukan pada malam hari.
Mereka merupakan pasukan rahasia dengan tugas rahasia pula, maka harus dihindarkan perha an
orang. Pun mereka dak mengenakan pakaian keprajuritan melainkan berdandan seper rakyat
biasa. Merekapun merencanakan akan masuk ke pura Singasari pada malam hari agar jangan
menimbulkan kecurigaan orang Singasari.
Pasukan berkuda yang mengiring Ardaraja itu menempuh perjalanan dengan pesat. Saat itu
lewat tengah malam, ke ka melintasi sebuah hutan. Tiba- ba kuda pu h yang dinaiki Ardaraja
melonjak-lonjak keatas dan meringkik sekuat-kuatnya lalu rubuh ke tanah. Ardaraja terlempar
jatuh, untunglah ia cukup tangkas, loncat berjumpalitan dan tegak beberapa langkah dari kuda
yang rebah tak berkutik. Prajurit pengiringnyapun serentak berhen . Mereka terkejut ke ka melihat apa yang telah
terjadi. Ternyata kaki kuda putih pangeran Ardaraja telah dililit oleh seekor ular sanca.
"Amboi, alamat buruk!" teriak Sargula, salah seorang prajurit yang bertubuh kekar, "rupanya
tugas kita ke Singasari ini akan mengalami kegagalan."
"Keparat!" hardik Ardaraja "jangan bicara tak keruan. Engkau mematahkan semangat kawan-
kawanmu !" "Tidak raden," kata prajurit itu "hamba hanya menyatakan apa yang hamba dengar dari
ucapan para pandita, bahwa ular itu suatu alamat yang buruk. Orang yang melakukan
perjalanan apabila bersua dengan ular, tandanya akan menemui rintangan .... "
Meluaplah amarah raden Ardaraja. Serentak ia mencabut pedang terus hendak ditabaskan ke
leher Sargula. "Jangan, raden!" Suramenggala, lurah rombongan prajurit pengiring Ardaraja, cepat menangkap
lengan pangeran itu "mengapa raden hendak membunuh pengiring raden sendiri?"
Namun Ardaraja bertambah marah pula. Sambil meronta lepaskan lengannya ia mendamprat
"Hai, Suramenggala, berani benar engkau menangkap lenganku! Adakah engkau mengadakan
persekutuan melawan aku?"
Bahkan dak hanya membentak, pun Ardaraja telah ayunkan pedangnya menabas dada
Suramenggala. Untunglah lurah prajurit itu amat tangkas. Dia loncat menghindar ke belakang.
"Raden, jangan salah faham. Kalau raden menganggap Suramenggala salah, bunuhlah diri
hamba," serta merta lurah prajurit itu berlutut dalam sikap paserah, "sekali-kali hamba tak
bermaksud hendak melawan raden."
Melihat sikap Suramenggala, mengendaplah kemarahan Ardaraja "Ketahuilah hai, Suramenggala.
Prajurit itu layak menerima hukuman karena kata-katanya tadi dapat melemahkan semangat
pasukan ini." "Benar, raden," sahut Suramenggala "memang Sargula layak dihukum, tetapi hendaknya raden
bermurah hati untuk tidak menjatuhkan hukuman mati."
"Supaya menjadi contoh pada prajurit-prajurit yang lain agar jangan lemah semangat
menghadapi suatu rintangan. Apalagi hanya alamat dari ular!"
"Benar, raden," sahut Suramenggala pula "tetapi tugas yang kita hadapi masih banyak dan berat.
Hendaknya kita memelihara kekuatan anak buah kita. Sargula yang lancang ucap, wajib kita
peringatkan. Apabila dia melakukan pernyataan semacam itu lagi, akan dipenggal kepalanya."
Dan tanpa menunggu jawaban Ardaraja, Suramenggala berpaling kearah anakbuahnya itu "Hai,
"Sargula, lekas engkau menghaturkan maaf kepada raden Ardaraja. Dan ingat, bila engkau
lancang ucap lagi, kepalamu taruhannya!"
Serta merta Sargula menyembah, meminta maaf kepada pangeran Daha itu. Ardaraja berdiam
diri. Untuk menumpahkan kemarahannya yang terhalang itu, ia loncat ke tempat kuda pu h dan
terus menahas ular sehingga kutung menjadi dua ....
Setelah membunuh ular, redalah kemarahan Ardaraja. Kini pikirannya pun jernih kembali "Mari
kita lanjutkan perjalanan lagi, Suramenggala."
"Kuda raden telah mati, harap raden suka memakai kuda hamba," lurah prajurit itu
menyerahkan kudanya. Sedangkan iapun meminta kuda dari seorang anakbuahnya.
Tak berapa lama berkuda, mereka ba di simpang jalan. Ke mur menuju ke Singasari dan yang
ke utara menuju Tuban. Tiba- ba rombongan Ardaraja itu melihat ga orang penunggang kuda
tengah mencongklang kearah utara. Timbullah seketika kecurigaan Suramenggala.
"Raden," ia menghadap Ardaraja "idinkan-lah hamba mengejar ke ga penunggang kuda itu.
Mencurigakan apabila pada waktu malam selarut ini ada penunggang kuda yang menempuh
perjalanan." Ardaraja mengangguk. Suramenggala mengajak dua orang prajurit untuk mengejar ke utara. Setelah dekat, lurah prajurit
itu berteriak "Hai, berhentilah kamu !"
Ketiga penunggang kuda itu hentikan kudanya. Dari pakaian yang dikenakan, jelas mereka
bukan orang Daha maupun Singasari. Sambil menunggu mereka pun mencabut golok.
"Ki sanak, siapakah kalian?" tegur Suramenggala seraya hentikan kudanya dihadapan ketiga
orang itu. Pandang matanya lekat-lekat tertumpah pada mereka.
Ke ga orang itu tak menyahut melainkan memandang Suramenggala dan kedua prajurit dengan
tajam. "Engkau dengar dak, siapakah kalian ini?" Suramenggala mengulang pertanyaan. Ia makin
mencurigai gerak gerik dan sikap ketiga orang itu.
Karena Suramenggala dan kedua prajurit itu mengenakan pakaian orang biasa dan membekal
pedang, mbullah kesan pada ke ga orang itu bahwa mereka berhadapan dengan bangsa begal.
Dan rupanya mereka-pun melihat juga rombongan Ardaraja yang tengah mendatangi. Diam diam
tergetar ha mereka, mencemaskan akan terjadi sesuatu yang tak dinginkan. Merekapun cepat
cepat berkemas diri. Ke ga penunggang kuda itu bertukar pandang. Tiba- ba mereka menyerang Suramenggala dan
kedua prajurit. Suramenggala marah. Ia mendesak lawan dengan serangan pedang yang gencar.
Demikian pula dengan kedua prajurit. Seke ka pecahlah pertempuran yang seru. Hardik dan ringkik
kuda, makin memeriahkan suasana pertempuran.
Sesaat kemudian balah Ardaraja beserta pengiringnya. Pengiring-pengiring Ardaraja itupun
segera mengepung ke ga orang itu. Sekalipun demikian mereka ber ga tak gentar dan dapat
memberi perlawanan yang seru. Untuk beberapa saat, Suramenggala dan kedua prajurit tak
berhasil mendekati lawan. Ketiga orang itu memang gagah perkasa.
Diam-diam Ardaraja memperha kan bahwa ke ga orang itu mengenakan pakaian orang daerah
Madura "Berhen !" serentak ia berteriak memberi perintah karena ada sesuatu yang menimbulkan
kecurigaannya. Suramenggala dan kedua prajurit loncat mundur, menghentikan serangannya.
"Siapakah kalian ini?" Ardaraja tampil menghampiri. Prajurit-prajurit pengiringnya bersiap-siap
melindungi pangeran itu. Demi melihat Ardaraja, ketiga orang itu terbeliak "Hai, raden Ardaraja . , ... !"
Ardarajapun terkejut. Mengapa orang itu kenal padanya " Pada hal ia merasa tak pernah kenal
dengan mereka "Ya. aku Ardaraja, siapa engkau!"
"O, dak! Engkau tentu bukan raden Ardaraja!" teriak salah seorang dari ke ga penunggang
kuda yang berkumis lebat.
"Keparat, berani benar engkau menghina pangeran Ardaraja!" Suramenggala pun terus ajukan
kudanya hendak menghajar. Tetapi Ardaraja mencegah dengan isyarat tangan "Ki sanak, apa sebab
engkau terkejut melihat aku" Apakah engkau pernah berjumpa dengan aku sebelumya" Tetapi
kurasa, baru sekarang ini aku melihat kamu," kata raden itu kepada ketiga penunggang kuda pula.
Penunggang kuda berkumis lebat dan kedua kawannya memandang Ardaraja dari ujung kaki
sampai ke atas kepala "Ah, memang benar raden yang kami jumpai di tengah jalan tadi. Tadi raden
hanya membawa dua orang pengiring tetapi sekarang sekian banyak."


Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ardaraja makin terkejut dan makin heran. Cepat mencium sesuatu yang tak wajar "Ki sanak,
tuturkanlah dirimu dan pengalaman yang engkau alami tadi."
Rupanya ketiga penunggung kuda itupun juga mempunyai kecurigaan "Kami adalah utusan
gusti Adipati Wiraraja dari Sumenep, untuk menghaturkan surat kepada baginda Jayakatwang.
Di tengah jalan kami berjumpa dengan raden Ardaraja yang hendak pulang ke Daha. Surat itu
dimintanya dan kami disuruh kembali ke Madura."
"Hai!" karena terkejut Ardaraja loncat dari kuda dan menuding orang berkumis lebat "mengapa
engkau berikan surat itu kepadanya" Bukankah surat itu untuk rama prabu Jayakatwang! "
"Gus Wiraraja menitahkan, surat itu hanya boleh diterima oleh baginda Jayakatwang atau
pangeran Ardaraja .... "
"Mengapa engkau tak ikut raden itu ke Daha!" Ardaraja mendesak pertanyaan pula.
"Raden Ardaraja menyuruh hamba kembali ke Madura dan mengatakan bahwa nan raja
Jayakatwang akan mengirim utusan menghadap gus Adipa Wiraraja," jawab orang berkumis
lebat, Mendengar itu tak terkuasa lagi Ardaraja menahan kemarahannya. Melangkah maju ia menabas
kuda dan mendamprat "Keparat! Engkau wajib kubunuh!"
Cret .... karena tak menyangka dan jarak amat dekat, kuda orang berkumis lebat itu rubuh dan
orangnyapun terlempar ke tanah. Ardaraja terus hendak menyusuli bacokan tetapi kembali lurah
Suramenggala loncat mencegah "Jangan raden ! Pembunuhan ini takkan menolong keadaan,
kebalikannya malah mungkin menimbulkan salah faham Adipa Wiraraja. Dia adalah utusan sang
adipa , serahkan persoalannya kepada adipa itu untuk menghukumnya. Apabila raden yang
menindak, kemungkinan sang adipati tersinggung perasaannya!"
"Hm," Ardaraja menggeram namun diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata Suramenggala.
Ia termenung. Beberapa saat kemundian baru berkata pula "Suramenggala, kurasa langkahku ke
Singasari ini telah dibayangi oleh seseorang yang memusuhi kita. Entah siapa tetapi orang itu tentu
seorang muda yang menyerupai wajahku. Surat dari paman Wiraraja itu tentu pen ng. Jika hal itu
menyangkut kepen ngan rama prabu dan paman Wiraraja, tentu berbahaya sekali. Untuk
mengejar jejak orang itu, memang sukar dan memerlukan waktu cukup lama. Maka hendak ku tah-
kan dua orang prajurit ikut bersama ke ga orang itu menghadap paman VViraraja, memberi
laporan meminta petunjuk lebih lanjut."
Suramenggala memilih dua orang prajurit. Setelah Ardaraja memberi pesan seperlunya, maka
kedua prajurit dan ketiga utusan Wiraraja itupun segera pulang ke Sumenep.
Tetapi ternyata ke ga utusan Wiraraja itu tak kembali ke Madura. Mereka menyadari
kesalahannya dan membayangkan tentu hukuman ma yang akan mereka terima dari adipa
Wiraraja. Maka di tengah jalan mereka membunuh kedua prajurit Daha itu kemudian mereka
melarikan diri ke lain daerah. Sudah tentu hal itu tak diketahui Ardaraja.
Diam-diam Ardaraja mengakui kata-kata Sargula tentang firasat buruk dari kemunculan ular
tadi. Namun pangeran dari Daha itu tetap keras hati. Perjuangan tak boleh berhenti karena
seekor ular. Ia tetap melanjutkan perjalanan ke Singasari.
Keadaan dalam pura Singasari makin payah. Kerja baginda Kertanagara setiap hari hanya
minum tuak dan menggubah syair bersama Aragani. Baginda tak mau mengurus soal-soal
pemerintahan. Baginda dipagari dengan sanjung pujian dan dihidangi laporan-laporan yang
indah-indah tentang keadaan negara Singasari oleh putih Aragani. Dan baginda percaya penuh
pada patih itu. Pembentukan calon prajurit baru hampir terbengkalai karena di nggal Ardaraja pulang ke Daha.
Untunglah masih ada Nambi dan Sora yang mengambil alih tugas, itu. Kedua pemuda itu patuh
melaksanakan pesan raden Wijaya yang saat itu berada di tanah Malayu.
Seiring dengan banya Ardaraja di pura Singasari, malam itu Kuda Panglulut menghadap ayah
mentua-nya, patih Aragani.
"Mengapa engkau tampak tegang sekali, Panglulut?" tegur pa h Aragani kepada putera
mentuanya. "Hamba membawa berita pen ng sekali, rama," kata Kuda Panglulut "ke ka hamba menyelidiki
gerak gerik Ardaraja di Daha, sepulang dalam perjalanan hamba telah bersua dengan ga orang
utusan adipa Wiraraja. Entah bagaimana salah seorang itu menyangka hamba adalah Ardaraja
dan hambapun mengaku sebagai Ardaraja."
"O, untuk keperluan apakah mereka ke Daha?" tanya patih Aragani.
"Menyerahkan surat adipa Wiraraja kepada raja Jayakatwang," jawab Kuda Panglulut "segera
hamba minta surat itu, rama."
"Dan mereka memberikan?"
"Ya, karena mereka menyangka hamba ini Ardaraja."
"O, benar, benar," seru pa h Aragani "memang wajahmu sepintas pandang menyerupai
pangeran Ardaraja. Manakah surat itu, puteraku?"
Memang antara mentua dan putera menantu itu, erat sekali hubungannya sehingga sukar
membedakan apakah Kuda Panglulut itu putera menantu ataukah putera rakryan pa h Aragani
sendiri. Ikatan ba n itu terjalin karena terdapat persamaan watak diantara keduanya, yani amat
bernafsu untuk mencapai kelungguhan yang nggi. Keduanyapun berha nggi dan angkuh. Hanya
apabila ada perbedaan hanyalah terletak pada keahlian merangkai kata-kata untuk menyanjung
orang atasannya yani seri baginda Kertanagara. Dalam hal itu rakryan pa h Aragani memang ada
keduanya di pura kerajaan Singasari.
Kuda Panglulut segera menghaturkan sebuah sampul kepada rama mentuanya. Melihat sampul
itu masih tertutup rapat, pa h Aragani menarik kesimpulan bahwa putera menantunya belum
membukanya. Diam-diam ia memuji akan ketaatan Kuda Panglulut sebagai seorang putera
menantu yang penuh sembah bhakti kepada rama mentua.
Agak berdebar ha rakryan pa h Aragani ke ka tangannya mulai menyingkap tutup sampul.
Sampul itu terbuat daripada kain sutera, sedang isinya adalah sehelai kain pu h, bertuliskan huruf-
huruf Kawi. Sebelum membaca, lebih dulu rakryan pa h Aragani mengama huruf huruf itu. Pa h
Aragani memang seorang ahli sastra yang pandai. Itulah sebabnya maka ia mahir mengikat sanjak,
pandai merangkai kata-kata yang indah dan sedap didengar. Kepandaian yang luas tentang
berbagai veda, terutama ditujukan pada seni sastranya yang nggi daripada hikmah ajaran-ajaran
dalam veda itu. Dan kepandaian itu merupakan modal utama dalam perjalanannya meni tangga
pemerintahan hingga dapat mencapai puncak kedudukan yang teratas.
Sepintas meni , ia segera dapat mengenali bahwa huruf-huruf pada kain pu h itu memang buah
tulisan adipa Banyak Wide atau Wiraraja dari Sumenep. Sebagai sesama rekan mentri kerajaan,
sudah barang tentu dia tahu se ap buah tulisan dari se ap mentri. Memang dalam hal itu, pa h
Aragani ahli benar. Dia tak ragu lagi bahwa huruf huruf diatas kain pu h itu adalah tulisan adipa
Wiraraja. Sepintas sempat pula ia melayangkan pikirannya untuk menduga-duga, apa kiranya surat dari
adipa Wiraraja yang ditujukan kepada raja Jayakatwang itu. Serentak kesan pertama yang mbul
dalam benaknya adalah, bahwa tentu ada sesuatu yang dirahasiakan dalam surat itu. Sejauh
ingatannya, tatkala Wiraraja masih menjabat sebagai demung di pura Singasari, rasanya dia jarang
sekali atau hampir tak pernah berhubungan dengan raja Daha. Kini setelah dipindah di Sumenep
mengapa tiba-tiba saja Wiraraja mengirim surat kepada Jayakatwang"
Sebagai seorang pelaku, sudah tentu pa h Aragani masih teringat peris wa tentang ga orang
mentri Singasari, yani pa h mangkubumi Raganata dilorot menjadi adhyaksa di Tumapel. Demung
Wiraraja dipindah ke Sumenep dan tumenggung Wirakre dijadikan mentri angabaya. Dialah
pelaku utama yang mengatur pelorotan dan perpindahan ketiga mentri kerajaan itu.
"Seri baginda yang hamba muliakan. Apabila paduka berkenan hendak mengetahui mengapa
rakryan pa h mpu Raganata, demung Wiraraja dan tumenggung Wirakre berkeras menentang
tah, paduka untuk mengirim pasukan Singasari ke Malayu, tak lain karena mereka sesungguhnya
adalah pengikut-pengikut yang setya dari sang Batara Narasingamur . Walaupun yang menjadi raja
di tahta kerajaan Singasari itu adalah rama paduka rahyang ramuhun Wisnuwardhana, tetapi
sesungguhnya Batara Narasingamur tetap menggenggam kekeuasaan. Dengan cerdik Batara
Narasingamur telah mendudukkan pengikut-pengikutnya yang setya itu di pucuk pemerintahan
Singasari." "Hm," saat itu baginda Kertanagara termenung.
"Menurut hemat pa k yang hina dina ini, gus ," kata Aragani yang saat itu masih belum menjadi
pa h melainkan sebagai mentri dengan gelar Panji Aragani "selama dalam tubuh pemerintahan
paduka belum bersih dari pengaruh mentri-mentri tua yang berkiblat kesetyaannya kepada
rahyang Batara Narasingamur , hamba sangat periha n bahwa segala langkah dan cita-cita paduka
untuk membawa kerajaan Singasari ke arah kejayaan, akan terhambat di tengah jalan, gusti."
Saat itu seri baginda Kertanagara yang sudah makin besar kepercayaan kepada Aragani,
berkenan merenungkan persembahan kata-kata Aragani yang penuh bisa itu. Bagindapun
membayangkan akan sejarah berdirinya kerajaaan Singasari yang sekarang. Kerajaan yang semula
didirikan oleh rajakulakara Ken Arok bergelar Sri Rajasa sang Amurwabhumi, telah mengalami
kekacauan akibat saling balas dendam diantara putera-putera keturunan Ken Arok dan putera-
putera keturunan Tunggul Ametung.
Terakhir berhasillah Rangga Wuni dan Mahisa Campaka merebut tahta dari tangan Tohjaya.
Rangga Wuni kemudian dinobatkan sebagai raja Singasari dengan abhiseka Wisnuwardhana.
Sedangkan Mahisa Campaka diangkat sebagai Ratu Angabaya. Dua ular dalam satu liang, demikian
tamsil yang dipersembahkan para pujangga atas kerajaan Singasari yang diperintah oleh dua orang
raja. Rangga Wuni adalah putera Anusapa , keturunan dari Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Ken
Arok. Sedang Mahisa Campaka adalah putera Mahisa Wonga Teleng, putera keturunan Ken Arok
dengan Ken Dedes. "Dikiaskan sebagai ular, dakkah hanya lahiriyah saja damai tetapi dalam ha masing-masing
mengandung bisa?" demikian baginda Kertanagara dalam kesempatan-kesempatan yang luang,
sering mengenangkan bentuk pemerintahan kerajaan Singasari yang ganjil itu.
Dan apabila baginda ba pada perenungan itu, tampaklah warna-warna yang menyelubungi
suasana pemerintahan jeman ayahandanya.
Kerajaan Singasari memang tenang tenteram tetapi tiada kemajuan suatu apa. Batara
Narasingamurti hanya selalu menitikkan pada pemupukan kekuatan dalam negeri, terutama
memperketat pengawasannya terhadap Daha. Mereka tetap menganggap bahwa Daha belum
tunduk seluruhnnya. Adalah karena bebijaksanaan yang tidak bijaksana itu maka Singasari tak
dapat berkembang pesat. "Hm," dengus baginda Kertanagara "itulah sebabnya mengapa Raganata, Banyak Wide dan
Wirakre tak menyetujui ndakanku mengirim pasukan Singasari untuk mengamankan kerajaan
Malayu. Alasan mereka tetap itu saja, bahwa keadaan dalam negeri Singasari masih belum aman.
Tidak, aku tak mau mencontoh ramanda Wisnuwardhana. Aku seorang raja besar yang bebas
Kisah Pedang Bersatu Padu 10 Kasih Diantara Remaja Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit 13
^