Pencarian

Geger Dunia Persilatan 12

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 12


rumah Kang Hay-thian, ia membawa sepucuk surat yang
ditulis sendiri oleh ibunya, Auyang Wan. Surat itu
bernadakan kata-kata Yap Tiong-siau dan ditanda
tangani juga olehnya. Yang penting ialah memberitahu
kepada Kang Hay-thian bahwa ia (Yap Tiong-siau) keluar
negeri, tetapi Leng-hong mengatakan bahwa surat itu
ditulis pada 5 tahun yang lalu, ini tak sesuai dengan
keterangan Tiok Siang-hu.
"Tentulah Yap Tiong-siau tahu bahwa adiknya masih
berusaha mencarinya, maka ia lantas menyingkir keluar
negeri," pikir Kang Hay-thian. Kemudian ia bertanya,
"Apakah Toako ingat betul bahwa waktu berjumpa
dengan Yap Tiong-siau itu pada 10 tahun yang lalu?"
Tiok Siang-hu menghitung-hitung jarinya, tertawa,
"Kira-kira begitu, tapi sebenarnya yang tepat ialah 11
tahun." Pikir Kang Hay-thian dengan agak ragu, "Apakah
setelah berjumpa dengan Tiok Siang-hu itu ia tunda
keberangkatannya keluar negeri sampai 5 tahun lagi?"
Dan Leng-hong setahun yang lalu baru datang ke
rumah Kang-Hay-thian, demikian Kang Hay-thian
menimang-nimang. Tiba-tiba Tiok Siang-hu berkata pula, "Bukankah murid
pewarismu itu tahun ini berumur 23 tahun" Kuingat
waktu berjumpa dengan mereka adalah pada bulan 8,
karena suka dengan putranya, kutanyakan juga tentang
umur anak itu. Kata Yap Tiong-siau, putranya berumur
12 tahun, rasanya daya ingatanku masih cukup kuat."
Kembali Kang Hay-thian menimang, pikirnya, "Entah
bilamana surat itu ditulis" Tetapi kutahu Yap Tiong-siau
itu seorang yang cekat bekerja, apa yang dikatakan tentu
segera dilakukan. Tak mungkin setelah berkata kepada
Tiok Siang-hu, ia menunda keberangkatannya sampai 5
tahun, tetapi mengapa Leng-hong mengatakan waktunya
sang ayah menulis surat itu lebih lambat 5 tahun?"
Juga Tiok Siang-hu tak luput dari keheranan, pikirnya,
"Mengapa Kang Hay-thian begitu berbelit menanyakan
tentang waktunya aku bertemu dengan Yap Tiong-siau,
mengapa ia meminta keterangan yang tepat?"
"Apakah selama 3 hari pesiar di gunung Kun-lun barat
itu Toako akrab sekali dengan anak itu?" kembali Kang
Hay-thian mengajukan pertanyaan.
Tiok Siang-hu tertawa, "Meskipun kala itu muridmu
baru berumur 12 tahun, tetapi ia pintar sekali. Bukan
saja menemani aku bermain, bahkan ia minta pelajaran
padaku." "Apa saja yang Tiok-heng ajarkan padanya?"
"Waktu tiga hari tak banyak. Aku hanya memberinya
pelajaran ilmu Siau-kim-na-jiu, tetapi pelajaran itu cukup
rumit, terdiri dari 27 jurus dan 81 perubahan. Sungguh
cerdik betul anak itu, dalam waktu tiga hari saja ia sudah
paham," sahut Tiok Siag-hu.
Setelah berhenti sejenak, Tiok Siang-hu melanjutkan
berkata, "Melihat kecerdikannya, kala itu aku bergurau
kepadanya, 'Begini cepat kau belajar silat, kelak kalau
besar tentu akan hebat sekali. Sepuluh tahun kemudian
mungkin kau dapat menantang aku.'. Eh, tak kukira 11
tahun kemudian, muridmu itu benar-benar menantang
aku berkelahi. Sayang aku tadi tak mengenalnya,
begitupun dia. Bukankah lucu, hahaha!"
Tetapi Kang Hay-thian tak tertawa. Mulailah ia
merasakan sesuatu yang tak beres, kecurigaannya mulai
menebal, tetapi ia belum berani memastikan kalau
keponakannya itu palsu. Sebaliknya karena mengira Kang
Hay-thian menyesali sikap muridnya, buru-buru Tiok
Siang-hu berseru, "Ah, mungkin memang benar-benar ia
lupa padaku atau mungkin karena sikapku itu hendak
menantang kau berkelahi, maka demi membela
perguruannya, ia memperlakukan aku sebagai seorang
musuh, tak mau mengingat peristiwa lama lagi, tetapi,
ah, hal itu hanyalah urusan kecil. Janganlah kau
memarahinya nanti." "Aku takkan memarahinya, melainkan hendak
bertanya saja," kata Kang Hay-thian.
Akhirnya Tiok Siang-hu minta diri, setelah saling
berjabatan tangan, Tiok Siang-hu mengajak anak
buahnya turun gunung. Sedang Kang Hay-thian masih
termenung-menung memikirkan peristiwa Leng-hong,
pikirnya, "Mengapa Hong-tit tak mengatakan hal itu
kepadaku?" Jika menyangkut orang biasa, itu sih tak mengapa,
tapi Tiok Siang-hu bukan tokoh sembarangan.
Perjumpaannya dengan suami istri Yap Tiong-siau
bukanlah suatu hal yang biasa, mengapa Leng-hong tak
pernah mengatakan hal itu" Hal inilah yang
membingungkan pikiran Kang Hay-thian.
Selama ini Kang Hay-thian hanya mempunyai
kesempatan setengah tahun berdampingan dengan
Leng-hong. Siang hari menempuh perjalanan, jika
senggang atau pada malam hari barulah Kang Hay-thian
memberi pelajaran pada murid-muridnya. Diam-diam
timbul pertanyaan pada hari jago itu, mungkin karena
giat belajar sehingga Leng-hong lupa mengatakan
peristiwa itu, tetapi ia bantah sendiri anggapan itu.
Karena Tiok Siang-hu seorang tokoh sakti, jika Lenghong
pernah menerima pelajaran ilmu Siau-kim-na-jiu
darinya, tentulah ia harus mengatakan hal itu kepada
gurunya, agar sang guru dapat mengerti keadaannya.
Makin memikirkan makin tebal kecurigaan Kang Haythian.
"Ya, peristiwa Hoa-san itu juga sebuah teka-teki.
Apakah asal-usul Leng-hong itu benar-benar
mencurigakan?" pikirnya.
Tengah ia terbenam dalam renungannya, tiba-tiba
terdengar derap kaki orang mendatangi. Ketika
mengangkat kepala, tahu-tahu istrinya, Kok Tiong-lian,
sudah berada di samping. Tertawalah nyonya itu,
"Apakah Tiok-locianpwe sudah pergi" Rupanya kau
tengah memikirkan sesuatu?"
Karena menunggu sang suami sampai sekian lama tak
kembali, Kok Tiong-lian segera mencarinya.
"Ah, tak apa-apa. Apakah para tetamu sudah menuju
ke biara Yok-ong-bio?" Kang Hay-thian balas bertanya.
"Sudah diatur beres semua. Kali ini untung kau datang
tepat pada waktunya sehingga dapat menolong
pertumpahan darah. Meskipun biara Hoan-li-koan hancur
beberapa ruangannya, tapi dengan gotong-royong, kini
sedang diperbaiki. Apakah sekarang kau sudah
senggang" Apakah kau tak ingin bercakap-cakap dengan
Leng-hong?" tanya Kok Tiong-lian.
"Nanti saja, mari kita omong-omong tentang urusan
rumah tangga dulu. Ah, tempo berjalan cepat sekali,
sudah setahun lamanya kita tak berjumpa. Apakah kau
mempunyai tempo untuk bercakap-cakap dengan aku?"
kata Kang Hay-thian. Berjumpa dengan sang suami sudah tentu Kok Tionglian
girang sekali, tetapi sedih juga, tanyanya, "Aku telah
menjanjikan untuk rapat dengan sekalian ketua-ketua
partai persilatan. Sekarang masih ada waktu luang untuk
makan malam bersama, bagaimana dengan keadaan
Hoa-san. Mengapa ayah angkatmu memanggilmu ke
Hoa-san?" Wajah Kang Hay-thian menampilkan kerut tebal,
seolah-olah menyimpan rahasia apa-apa, namun
terpaksa belum ditanyakan, katanya, "Lebih dulu aku
ingin mendengar tentang keadaan rumah tangga kita.
Hong-tit ada, Hu-ji pun ada, tetapi mengapa Hiong-ji tak
kelihatan" Apakah ia belum sembuh" Atau kau suruh ia
tinggal, di rumah menemani ayah?"
Kang Hay Thian memperlakukan sama terhadap
murid-muridnya, tak ada yang lebih disayangi. Dalam
kesibukan, tetap ia tidak lupa menanyakan tentang diri
Ubun Hiong. Kok Tiong-lian menghela napas, "Setahun sejak
kepergianmu, di dalam rumah telah terjadi peristiwa
yang tak menguntungkan ..."
"Peristiwa apa" Apakah Hiong-ji, dia ... dia..."
"Bukan, dia sudah lama sembuh dari penyakitnya,
tetapi sekarang kusuruhnya pergi!" cepat Kok Tiong-lian
menyahut. "Dia melanggar kesalahan apa hingga kau usir?" kejut
Kang Hay-Ihian tak kepalang.
Kok Tiong-lian segera menuturkan peristiwa Ubun
Hiong mencelakai Ki Seng-in.
Kang Hay-thian makin kaget, serunya, "Apa" Utti Keng
telah ditangkap kawanan anjing itu dan dibawa ke
kotaraja" Dan Ki Seng-in meninggal secara begitu
mengenaskan" Aku harus menyelidiki hal itu sampai
jelas!" "Kabarnya Utti Keng telah dimasukkan ke penjara.
Pembesar yang memeriksa perkaranya, atas perintah
menteri Taylwe-congkoan, memaksa Utti Keng
memberitahukan tentang hasil penggarongannya selama
beberapa tahun ini, karena di antaranya terdapat barang
berharga dari istana, menilik besarnya perkara itu, dalam
waktu singkat tentu belum putus. Memang Ki Seng-in
menderita luka parah, tapi belum ada bukti jelas kalau ia
sudah meninggal. Pada waktu itu, istri Gak Tinglah yang
membawa Ki Seng-in pergi, kemudian Gak Ting datang
kepadaku menceritakan peristiwa itu. Menurut
keterangannya, keadaan Ki Seng-in sedemikian payahnya
hingga kemungkinan besar tiada harapan hidup lagi,
tetapi belum meninggal, maka apakah ia benar mati atau
masih hidup, kita harus meminta keterangan pada suami
istri Gak Ting." Kang Hay-thian merenung sejenak, ujarnya, "Menurut
keteranganmu bahwa Ki Seng-in telah dicelakai orang,
kukira tentu benar. Tapi aku tak percaya kalau anak
Hiong yang berbuat!"
"Aku pun juga tak berani memastikan, hanya ketika
terluka parah itu, Ki Seng-in mengatakan kepada Gak
Ting kalau Hiong-ji yang mencelakainya. Banyak
prasangka yang menimpa diri anak itu. Misalnya, ia
memang mempunyai dendam permusuhan dengan Utti
Keng dan kuda itu juga dia yang memberinya makan
pada malam hari, bukti-bukti itu tak menguntungkan
dirinya. Untuk menjaga setiap kemungkinan, untuk
menjaga jangan sampai orang luar menuduh aku
melindungi murid, untuk menjaga jangan orang luar
menganggap aku membela orang bersalah, maka
terpaksa kusuruh ia pergi dari sini," Kok Tiong-lian
menerangkan. "Ya, kutahu kau tentu tak dapat berbuat lain daripada
begitu, aku tak menyesalimu, tetapi adakah terlintas
pada pikiranmu, siapa lagi kiranya orang yang kau curigai
melakukan perbuatan itu?"
Pertanyaan sang suami itu membuat mata Kok
Tiong-lian terbelalak, jawabnya kemudian, "Siapa lagi"
Dalam rumah kecuali aku dan Hu-ji, hanya Ubun Hiong
dan Leng-hong saja. Hu-ji tak pernah berpisah dari
sampingku, tak nanti ia mencelakai Ki Seng-in. Apakah
kau menaruh kecurigaan pada Hong-tit?"
"Mengapa tidak?" sahut Kang Hay-thian.
"Ia baik sekali kepada Ki Seng-in, obat yang kuberikan
kepada Ki Seng-in juga dialah yang membelikan
untuknya. Sedikitpun ia tak mempunyai dendam kepada
Ki Seng-in, perlu apa ia mencelakainya" Dan kuda yang
terkena racun itu juga Ubun Hiong yang memberi makan,
Ubun Hiong sendiri sudah mengakui, sedikitpun tak ada
sangkut-pautnya dengan Hong-tit. Mengapa kau
menjatuhkan dugaanmu kepada Hong-tit?"
Untuk sementara itu tak mau Kang Hay-thian memberi
penjelasan, ia hanya menjawab, "Baiklah, karena masih
ada jejak yang tak dapat kututurkan, biarlah setelah
dapat kubikin terang urusan ini baru nanti kuberitahukan
padamu. Utti Keng seorang tokoh yang berharga untuk
dijadikan sahabat, aku harus menolongnya. Setelah rapat
besar para orang gagah ini selesai, aku akan segera
menuju ke kotaraja untuk menolong kedua orang itu,
tetapi kita berdua suami istri ini hanya berkumpul
sejenak lalu harus berpisah pula
"Tetapi itu suatu pekerjaan mulia yang harus kau
kerjakan, aku sebagai seorang istri takkan menyesali.
Hay-ko, urusan dalam rumah tangga telah kuberitahukan
kepadamu, sekarang giliranmu yang bercerita, mengapa
ayah angkatmu memanggil?"
Dengan nada berat Kang Hay-thian menyahut, "Ayah
hendak mengambil selamat berpisah selama-selamanya
dengan aku." Kok Tiong-lian terkejut sekali, "Apa" Ayahmu, beliau ...
beliau telah.." "Telah meninggalkan dunia fana ini, dia memanggil
aku untuk diberi pesan-pesan. Tahun ini dia sudah
berusia 80 tahun, suatu karunia hidup yang sudah cukup,
aku tak menyesal dia dipanggil oleh Yang Kuasa, hanya
yang kuragukan tentang kematiannya itu."
"Kalau toh sudah sampai waktunya, apa lagi yang kau
curigai?" seru Kok Tiong-lian.
"Bukan kematiannya yang kuragukan, melainkan katakatanya
terakhir di kala ia hendak menutup mata itu
yang menjadi pemikiranku. Cobalah kau dengarkan
keteranganku sejelas-jelasnya," kata Kang Hay-thian
yang kemudian mulai bercerita.
Kiranya ayah angkat Kang Hay-thian, Hoa Thian-hong
itu seorang ahli ilmu pengobatan yang luar biasa.
Beberapa bulan di muka sebelum menutup mata, ia telah
melakukan pemeriksaan pada dirinya sendiri. Hasilnya ia
tahu bahwa ia takkan lama lagi hidup di dunia. Lahir, tua,
sakit dan mati adalah tingkat keadaan yang harus dijalani
oleh setiap manusia. Setiap manusia yang sudah hilang


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daya hidupnya, tentu akan meninggal, sekalipun diberi
obat yang bagaimana mujizatnya. Hoa Thian-hong
seorang yang tenang, walaupun sudah diketahui
datangnya sang ajal, dia tetap tenang dan
mempersiapkan pesan-pesannya yang terakhir.
Hoa Thian-hong hanya mempunyai seorang keluarga,
seorang anak perempuan, yaitu Hoa In-pik yang menjadi
permaisuri raja Mazar. Hoa Thian-hong seorang sakti
yang aneh, tak senang ia dengan segala kemewahan
hidup, maka tak mau ia tinggal dengan putri dan
menantunya, ia lebih suka hidup mengasingkan diri di
gunung Hoa-san, jarak Hoa-san dengan negeri Mazar
amat jauh sekali. Burung rajawali yang dipeliharanya,
dua tahun yang lalu telah mati, jadi tak dapat ia
menyampaikan berita kepada putrinya. Dan andaikata
ada orang yang bisa disuruhnya membawa surat,
putrinya itu tentu juga terlambat untuk mendampingi
detik-detik terakhir sang ayah._
Selain anak perempuannya itu, orang yang paling
dekat di hati adalah Kang Hay-thian, putra angkatnya itu,
maka ia segera minta tolong pada orang Kay-pang
supaya menyampaikan surat kepada Kang Hay-thian,
memintanya supaya lekas datang. Murid-murid Kay-pang
tersebar luas dimana-mana dan mempunyai juga dara
pos, maka mudahlah untuk melakukan permintaan Hoa
Thian-hong itu. "Begitu menerima surat itu dari orang Kay-pang,
bergegas aku menuju ke Hoa-san. Sayang terlambat
sedikit, setiba di Hoa-san, keadaan ayah sudah
sedemikian payahnya hingga tak dapat banyak bercakap
dengan aku, tetapi rupanya beliau sudah mempersiapkan
segalanya lebih dahulu. Begitu aku datang, segera ia
menyerahkan buku-buku resep obat yang disimpan
dalam peti kecil kepadaku, menyuruh apabila aku ada
tempo supaya mengantar peti itu kepada putrinya. Idamidamannya
semasa masih hidup ialah supaya kelak ada
ahli waris yang dapat meneruskan kepandaian ilmu
pengobatan itu, maka beliau berpesan wanti-wanti
kepada adik Pik, supaya sekalipun sudah jadi permaisuri
raja tapi janganlah terbenam dalam kesenangan saja,
melainkan harus melanjutkan warisan kepandaian
ayahnya," kata Kang Hay-thian.
"Waktu mau menutup mata, ayah teringat akan
putrinya itulah sudah jamak, apa yang mencurigakan
lagi?" celetuk Kok Tiong-lian.
"Selain kepada putrinya, paling akhir ia teringat juga
akan seseorang. Inilah yang tak kuduga-duga," kata
Kang Hay-thian. "Siapa?" "Leng-hong, keponakanmu itu!"
Kejut juga Kok Tiong-lian mendengar hal itu, serunya,
"Mengapa ayah angkatmu tiba-tiba teringat pada anak
itu?" "Itulah yang kuherankan," jawab Kang Hay-thian.
Kok Tiong-lian minta keterangan bagaimana ucapan
ayah angkat suaminya. Kang Hay-thian termenung sejenak, ujarnya, "Dalam
keadaan yang sadar tak sadar itu, rupanya ayah masih
mempunyai sesuatu urusan yang mengganjal hati. Tibatiba
ia membuka mulut dan mata, 'Kasih tahu pada
menantuku bahwa ia mempunyai seorang keponakan
yang bernama Yap Leng-hong. Anak itu baik dan
kepandaiannya tak tercela, dan yang penting ia
mempunyai cita-cita tinggi. Kini ia terlibat dalam
permusuhan dengan antek-antek kerajaan. Hay-ji,
kuharap kau dapat menemukan anak itu,Karena kulihat
ayah sudah sangat payah sekali, buru-buru
kuberitahukan kepadanya bahwa anak itu telah
kutemukan bahkan sudah menjadi muridku. Seketika
wajah ayah berseri girang, hanya beberapa patah kata
yang diucapkan, yaitu 'Bagus, legalah hatiku, setelah itu
beliau pun menghembuskan napas yang penghabisan."
Kata Kok Tiong-lian, "Ya, memang aneh juga.
Ucapannya tentang diri Leng-hong itu memang benar,
tapi mengapa ia dapat mengetahui hal itu?"
"Itulah! Hari pertama Leng-hong datang kemari,
bukankah kau pernah menanyainya! Jelas ia menjawab
bahwa ia belum pernah pergi ke Hoa-san berjumpa
dengan ayah angkatku!" seru Kang Hay-thian.
"Sebelum Hong-tit datang kemari, memang ia sudah
mendapat sedikit nama di luaran. Bahwa ayah angkatmu
tak menerangkan kalau ia pernah bertemu dengan anak
itu, mungkin ia hanya mendengar dari orang saja tentang
asal-usul anak itu."
Kang Hay-thian menggeleng, "Tidak, jika ayah tidak
bertemu sendiri, tak nanti ia mengetahui hal itu dengan
jelas. Kutahu beliau tak sembarangan memuji orang,
bahkan bagaimana perangai dan cita-cita Leng-hong, ia
dapat mengetahui sejelasnya, maka kuyakin beliau tentu
sudah beberapa hari berkumpul dengan anak itu."
Kok Tiong-lian terdiam beberapa jenak baru berkata
pula, "Dalam hal ini memang mencurigakan, tetapi surat
yang dibawanya itu tentulah bukan palsu. Jika memang
ada lain Yap Leng-hong lagi, mengapa hingga kini belum
datang kemari" Hong-tit pun tak nanti mempunyai nyali
sebesar itu, berani turut dalam rapat besar para orang
gagah!" Kata Kang Hay-thian, "Aku pun tak berani memastikan
kalau dia itu seorang palsu, oleh karena itu aku hendak
mencobanya." "Bagaimana cara mencobanya?"
"Dari Tiok Siang-hu aku mendapat keterangan
beberapa hal tentang diri anak itu. Dengan cara ujian
begini, tentulah dapat diketahui palsu tidaknya anak itu,"
kata Kang Hay-thian yang segera membisiki beberapa
cara pada istrinya. "Baik, bolehlah begitu. Jangan menggunakan nada
curiga kalau menanyainya, agar jangan menyinggung
perasaannya," kata Kok Tiong-lian.
Begitulah setelah kedua suami istri itu mendapat
kesepakatan, mereka segera mencari Leng-hong di biara
Yok-ong-bio, tetapi tak dapat berjumpa. Malah para
tokoh-tokoh persilatan yang menunggu hasil
pembicaraan Kang Hay-thian dengan Tiok Siang-hu.
Demi melihat sepasang suami istri itu datang, mereka
segera mengerumuninya. Di antaranya terdapat Tay-pi
Siansu, Hoat-hoa Siangjin, suami istri Ciong Tian dan
lain-lain, mereka tergolong angkatan lebih tua dari Kang
Hay-thian, terpaksa Hay-thian memberi laporan tentang
pembicaraannya dengan Tiok Siang-hu yang mengenai
urusan menentang pemerintah Cing. Mendengar bahwa
Tiok Siang-hu juga bersedia untuk ikut dalam gerakan
itu, girang mereka bukan kepalang.
Belum berapa lama bercakap-cakap, hari pun sudah
malam dan mereka lalu berkumpul untuk makan. Dalam
dunia persilatan, orang menjunjung tinggi pada
kedudukan tingkatan, Kang Hay-thian tak enak
memanggil Leng-hong untuk diajak makan bersama para
Cianpwe itu, maka walaupun dalam hati masih terlekat
rencana-rencana yang dirundingkan dengan sang istri,
namun terpaksa ia harus bersabar juga.
Barulah setelah perjamuan malam selesai dan diseling
dengan mengobrol. Kang Hay-thian mendapat
kesempatan menyuruh salah seorang memanggil Lenghong.
"Eh, apakah ada urusan penting, Kang-tayhiap?" tanya
Pek Ing-kiat "Ah, tidak. Hanya ingin omong-omong sebentar
dengan anak itu. Kapan rapat akan dibuka?" sahut Kang
Hay-thian. Pek Ing-kiat menerangkan bahwa rapat akan dibuka
sejam lagi. Kang Hay-thian menganggap waktu itu cukup
untuk melakukan penyelidikan, tetapi orang yang
disuruhnya tadi tak dapat menemukan dimana Lenghong
berada. Hal itu menggelisahkan Kang Hay-thian
sehingga dalam pembicaraan ia tak begitu bersemangat.
"Eh, Kang-tayhiap benar-benar sayang sekali kepada
murid pewarisnya itu hingga begitu pulang rumah, bukan
putrinya yang dicari melainkan sang murid," Ciong Tian
berolok-olok. Kang Hay-thian hanya menyahut dengan tertawa
tawar, "Ah, kemana saja anak itu?"
Setengah jam kemudian, barulah tampak Leng-hong
bergegas mendatangi. Pesuruh Kang Hay-thian tadi
menerangkan bahwa Leng-hong dan Bong-suhengnya
asyik berlatih silat di atas gunung. Setelah memberi
hormat kepada sang Suhu, berkatalah Leng-hong, "Aku
tak tahu sama sekali kalau Suhu memanggil, aku
bersama Bong-suheng tengah berlatih di atas gunung
sampai lupa waktu." Yang disebut Bong-suheng itu bukan lain adalah Bong
Ing-ping, murid partai Jing-sia-pay yang ditugaskan
untuk bekerja sama dengan Leng-hong merencanakan
pengacauan rapat. Kang Hay-thian tak sempat lagi menanyakan siapa
Bong-suheng itu, ujarnya, "Leng-hong, mari kita keluar,
aku hendak bicara padamu agar jangan mengganggu
para Cianpwe yang tengah mengobrol di sini."
Hati Leng-hong kebat-kebit, namun wajahnya tetap
tenang-tenang saja, serta-merta ia mengiakan perintah
Suhunya itu. Kang Hay-thian mengajaknya ke sebuah
tempat yang sunyi. "Kau sungguh giat sekali berlatih
silat!" katanya. "Selama perjalanan menerima pelajaran Suhu itu,
belum pernah kulatih, maka begitu pulang, asal ada
waktu luang tentu segera kulatih. Tadi kebetulan aku
berkenalan dengan seorang sahabat baru, anak murid
Jing-sia-pay, maka kita segera saling tukar pengalaman.
Dia adalah Sutit Sin-cianpwe, pewaris partai Jing-sia-pay.
Dia baik sekali terhadap sahabat."
Kang Hay-thian tak sabar mendengar keterangan
Leng-hong, katanya, "Bagus, sekarang hendak kuuji
sampai dimana kemajuanmu itu." Dengan menggunakan
ilmu Siau-kim-na-jiu, Kang Hay-thian segera
mencengkeram tulang bahu Leng-hong. Sudah tentu
Leng-hong terperanjat sekali, "Cret", tahu-tahu bahunya
tercengkeram tangan sang Suhu. Jika tulang bahu itu
sampai diremas remuk, akan hilang lenyaplah seluruh
kepandaiannya, tapi sebelum mengetahui persoalannya
yang jelas, sudah tentu Kang Hay-thian tak mau
melakukan hal itu. "Mengapa tak kau gunakan ilmu Siau-kim-na-jiu?"
tegurnya. Dengan tergagap-gagap Leng-hong menyahut, "Siaukim-
na-jiu" Suhu, kau belum pernah mengajarkan ilmu
itu padaku!" Kang Hay-thian melepaskan cengkeramannya, lalu
mendorong Leng-hong ke belakang, katanya dengan
nada bengis, "Sekalipun belum kuajarkan, tetapi
masakah kau tak dapat menggunakan ilmu yang sudah
kau pelajari dahulu" Awas, terimalah seranganku lagi!
Jika tak kau gunakan Siau-kim-na-jiu, jangan harap kau
dapat menghindar!" "Suhu, aku ... aku.."
Tetapi Kang Hay-thian tak mau menunggu kata-kata
muridnya, tangannya sudah dilayangkan untuk
mencengkeram. "Kali ini aku tak bergurau, lekas sambutlah atau kalau
tulang bahumu sampai remuk, janganlah menyalahkan
Suhumu!" Memang Kang Hay-thian sudah ambil putusan, jika
Leng-hong tidak mampu menggunakan Siau-kim-na-jiu,
terang adalah palsu. Cengkeramannya itu akan dilakukan sungguhan agar
tulang pemuda itu remuk, kepandaiannya lenyap.
Pada saat jari-jari Kang Hay-thian yang bagaikan lima
buah kaitan itu hampir mengenai bahu, sekonyongkonyong
Leng-hong mengendap ke bawah, tangan
kirinya membentur siku lengan Kang Hay-thian dan
tangan kanannya menabas pinggang Kang Hay-thian.
Sudah tentu Kang Hay-thian takkan terkena oleh
serangan itu, tetapi bahwa gerakan sekaligus 4 serangan
dalam sebuah jurus itu, memang benar-benar gerakan
Siau-kim-na-jiu. Dengan menggunakan sedikit tenaga, Kang Hay-thian
mendorong ke samping. Dalam hati ia agak ragu-ragu,
kiranya ilmu Siau-kim-na-jiu yang digunakan Leng-hong
itu serupa dengan Siau-kim-na-jiu dari partai Jing-siapay.
Gerakan dan gayanya sederhana sekali, maka
timbullah keraguan Kang Hay-thian, pikirnya, "Tiok
Siang-hu seorang tokoh yang memiliki kepandaian luar
biasa. Ia dapat disejajarkan sebagai guru besar pada
zaman ini. Kukira ia mempunyai ilmu Siau-kim-na-jiu
yang istimewa, siapa tahu hanya biasa saja!"
Dorongan Suhunya itu membuat Leng-hong
terhuyung-huyung beberapa langkah baru dapat berdiri
tegak, hatinya tak keruan rasanya. Entah apakah
permainannya tadi dapat meyakinkan sang Suhu.
"Siapa yang mengajarkan Siau-kim-na-jiu itu
padamu?" tegur Kang Hay-thian.
"Tiok-locianpwe yang tadi hendak mengacaukan rapat
ini," sahut Leng-hong.
"Kapan ia mengajarkan padamu?"
"Ketika aku masih kecil bersama ayah bundaku pesiar
ke gunung Kun-lun-san barat. Dia begitu gembira sekali
hingga memberi pelajaran ilmu itu," sahut Leng-hong
dengan tetap. Ia menghitung jarinya, "Itu terjadi kirakira
11 tahun berselang."
Bahwa keterangan Leng-hong itu sesuai dengan
ucapan Tiok Siang-hu membuat Kang Hay-thian
keheranan, pikirnya, "Apakah aku sendiri yang terlalu


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak curiga" Apakah dia bukan Leng-hong palsu?"
Memang Kang Hay-thian tak mengetahui apa yang
terjadi selama beberapa jam ini. Rencananya untuk
menguji sang murid sudah diketahui lebih dulu oleh
Leng-hong, tetapi bagaimana Leng-hong mengetahui hal
itu" Kiranya pembicaraan Kang Hay-thian dengan Tiok
Siang-hu tadi, telah didengar orang, orang itu bukan lain
ialah Bong Ing-ping. Dia seorang mata-mata yang
terlatih matang. Karena mengetahui dirinya tak.
sederajat dengan para cianpwe, ia hanya mengikuti
mereka dari kejauhan saja. Ketika dilihatnya Kang Haythian
berjalan keluar, telah diperhitungkan tentu akan
terjadi sesuatu, maka buru-buru ia mendahului
bersembunyi di balik sebuah hutan. Dan secara
kebetulan sekali, Kang Hay-thian berhenti di situ
bercakap-cakap dengan Tiok Siang-hu.
Rupanya karena terliput oleh rasa kegembiraan dapat
menyelesaikan persoalan Tiok Siang-hu dengan damai,
apalagi ketika menganggap tempat di situ tiada orang.
Kang Hay-thian tak mau menyelidiki ke sekitar hutan lagi,
terus saja bercakap-cakap dengan Tiok Siang-hu secara
lepas. Dengan menahan napas dalam semak, Bong Ingping
dapat mencuri dengar pembicaraan kedua jago itu.
Setelah kedua tokoh itu pergi, Bong Ing-ping pun
cepat kembali untuk mencari Leng-hong. Selagi Kang
Hay-thian terhambat dalam perjamuan malam di biara
Yok-ong-bio, Bong Ing-ping dan Leng-hong
merundingkan cara-cara untuk menghadapi tindakan
orang she Kang itu. Sebenarnya Leng-hong tak mengerti ilmu Siau-kim-najiu,
sebaliknya Bong Ing-ping dapat, bahkan bukan hanya
satu tetapi dua macam. Yang satu baru saja ia terima
dari Hong Jong-liong dan yang satu setelah ia berhasil
menyelundup menjadi murid partai Jing-sia-pay. Lenghong
berotak cerdas, dalam waktu singkat dapatlah ia
menerima ajaran Siau-kim-na-jiu dari Bong Ing-ping.
Walaupun belum sempurna, tapi berkat otaknya yang
tajam dapatlah ia menggabungkan kedua ilmu Siau-kimna-
jiu itu, ditambah pula dengan gerak perubahan
ciptaannya sendiri untuk menghadapi ujian dari Kang
Hay-thian. Sekalipun Kang Hay-thian agak heran, merasa bahwa
Siau-kim-na-jiu dari Tiok Siang-hu itu tak seharusnya
sedemikian sederhananya, tetapi dengan keterangan
yang diberikan oleh Leng-hong tadi, maka terpaksa
untuk sementara itu ia percaya kalau Leng-hong
memang Yap Leng-hong yang asli, bukan palsu.
"Mengapa kau tak pernah mengatakan kalau kau
pernah menerima ilmu pelajaran dari Tiok-cianpwe?"
tegurnya. "Jika bukan karena Suhu memaksa aku menggunakan
ilmu itu, sampai saat inipun aku tak berani mengatakan
hal itu kepada Suhu," sahut Leng-hong.
"Mengapa?" "Setelah berpisah dengan Tiok-cianpwe di gunung
Kun-lun-san, ayah berpesan wanti-wanti padaku supaya
sejak itu jangan menyebut-nyebut nama Tiok Siang-hu
lagi. Kala itu aku pun merasa heran dan menanyakan
sebabnya, ayah mengatakan bahwa setiap orang
mempunyai pendirian sendiri. Bagi ayah, ia tak suka
orang luar mengetahui asal-usul dirinya, katanya Tiokcianpwe
itu juga seperti ayah, tak mau dirinya diketahui
orang. Malah saat itu ayah mendamprat aku sebagai
anak kecil yang tak tahu urusan apa-apa, kemudian ayah
memperingatkan aku, jika aku membocorkan rahasia
Tiok-cianpwe, berarti aku mencelakai Tiok-cianpwe.
Memang kala itu ayah tak mempunyai pikiran menyuruh
aku berguru pada Suhu, maka beliau pun tak berpesan
kalau aku boleh mengatakan rahasia itu kepada paman,"
Leng-hong memberi keterangan panjang lebar.
Keterangan itu membuat Kang Hay-thian mau tak mau
menaruh kepercayaan juga, memang sebagai anak raja
suatu negeri kecil yang hendak membangun
kemerdekaan negerinya, Tiok Siang-hu tak ingin
diketahui orang. Bahkan pengurus rumah tangga
keluarga Tiok dan iparnya (Siangkoan Thay) pun tak
berani mengatakan asal-usul orang she Tiok itu. Adalah
karena kali ini Kang Hay-thian telah menyelamatkan
jiwanya, maka Tiok Siang-hu baru mau membuka rahasia
dirinya. "Murid dan Suhu tak beda seperti ayah dan putra,
memang tak seharusnya aku merahasiakan hal itu
kepada Suhu, tetapi karena ayah telah berpesan wantiwanti,
terpaksa aku berbuat demikian. Jika Suhu tadi
tidak menanyakan, aku pun tak ingat lagi untuk
memberitahukan hal itu. Mohon Suhu suka memaafkan,
sekali-kali bukan aku bermaksud hendak menutupi
rahasia itu," kata Leng-hong pula.
Kang Hay-thian tak enak hati, ujarnya, "Adalah karena
Tiok Sianghu sendiri mengatakan hal itu, maka aku ingin
mengetahui bagaimana ilmu Siau-kim-na-jiu itu dan
mencobamu." Mendengar nada kata-kata Suhunya sudah mulai
lunak, legalah perasaan Leng-hong, namun masih purapura
ia ketakutan, "Sayang sejak mempelajari ilmu itu,
hampir 10 tahun lamanya aku tak berlatih hingga
hampir-hampir lupa."
"Sebab apa!" "Ayah tak senang aku belajar ilmu kepandaian dari
partai-partai lainnya, waktu itu Tiok-cianpwe sendiri yang
mau memberi pelajaran, karena sungkan atas kebaikan
orang, terpaksa ayah mengunjuk kegirangan, tetapi
sebenarnya ayah tak begitu senang dengan ilmu ajaran
Tiok-cianpwe jang dianggapnya berbau Sia-pay (aliran
jahat)." Perangai Leng-hong itu congkak, dalam membawakan
keterangan itu, dapatlah ia melakukan dengan tepat
sekali. Pikir Kang Hay-thian, "O, kiranya begitu. Tak
heran kalau gerakan Siau-kim-na-jiunya tadi begitu
sederhana sekali, kiranya dia memang belum
mempelajari dengan sempurna."
"Ayah mengatakan Tiok-cianpwe itu tergolong aliran
Sia-pay, maka dalam anggapanku dia kupandang sebagai
tokoh Sia-pay. Tadi ketika Tiok-locianpwe datang
menantang dalam rapat, sekalian tetamu merasa kurang
puas terhadap dirinya. Itulah sebabnya tadi murid
terpaksa memperlakukan Tiok-locianpwe sebagai seorang
musuh dan tak berani menganggapnya sebagai kenalan
lama." Kang Hay-thian merenung sejenak, lalu tiba-tiba
bertanya, "Lenghong, berapakah umurmu tahun ini?"
Tadi Bong Ing-ping telah memberitahukan semua
pembicaraan Kang Hay-thian dan Tiok Siang-hu pada
Leng-hong, untuk setiap pertanyaan yang berisi
kecurigaan, Leng-hong sudah siap dengan jawabannya,
maka dengan serentak menyahutlah ia, "Murid tahun ini
baru berumur 24 tahun, tetapi aku dilahirkan pada bulan
delapan, jadi menurut perhitungan yang sebenarnya
umurku baru 23 tahun."
Pada waktu datang ke rumah keluarga Kang, Lenghong
sudah memberitahukan umurnya, maka tak
dapatlah ia merubahnya. Satu-satunya hanyalah dengan
keterangan tentang 'makan' tahun.
Leng-hong yang dijumpai di gunung Kun-lun oleh Tiok
Siang-hu tahun ini berusia 23 tahun, memang dia lebih
muda setahun dari Leng-hong yang palsu ini, tetapi
rakyat dari wilayah barat menggunakan perhitungan
tahun yang sebenarnya dan tahun yang 'makan' tahun.
Dan jawaban itu ternyata termakan oleh Kang Hay-thian,
ia pun tak menaruh perhatian serius terhadap masalah
sekecil itu. Sambil menengadah ke atas, Kang Hay-thian
menampak sang rembulan sudah berada di atas dahan
pohon, sebenarnya sudah waktunya ia harus kembali ke
dalam biara, tetapi rupanya benaknya masih terbungkus
oleh lapisan kesangsian. Setelah merenung beberapa
jenak, bertanyalah ia, "Apa yang menyangkut diri Tiok
Siang-hu tak perlu kita bicarakan lagi, sekarang aku
hendak bertanya padamu tentang sebuah hal lagi.
Kenalkah kau pada Hoa Thian-hong Locianpwe?"
Leng-hong terkesiap kaget, "Kuingat setahun yang lalu
Suhu pernah menanyakan hal itu kepadaku."
"Benarkah" Ah, ingatanku memang kurang baik, maka
kutanyakan lagi hal itu," sahut Kang Hay-thian.
"Putri Hoa-locianpwe adalah bibiku yang belum pernah
kujumpai, sebenarnya sebagai seorang angkatan muda
aku harus menemuinya. Tapi dikuatirkan berita tentang
diriku itu akan tersiar sampai di negeriku hingga paman
(raja Mazar) nanti mencari aku untuk dijadikan raja,
suatu hal yang bertentangan dengan pesan mendiang
ayah, maka terpaksa aku tak berani berkunjung
menghadap Hoa-locianpwe di Hoa-san," jawab Lenghong.
Untuk mengulur waktu,. Leng-hong sengaja
memperpanjang penuturannya, tetapi agar
keterangannya itu 'kepalanya' sesuai dengan 'ekornya',
terpaksa ia kukuh dengan keterangannya semula bahwa
ia belum pernah bertemu muka dengan Hoa Thian-hong.
"Sebelum engkau datang ke rumahku ini, pernahkah
kau memberitahukan riwayatmu kepada lain orang?"
tanya Kang Hay-thian. Memang Leng-hong memancing supaya Kang Haythian
mengajukan pertanyaan begitu agar ia dapat
berkesempatan untuk 'membersihkan' diri. Pura-pura ia
berpikir beberapa jenak, kemudian baru berkata, "Hanya
kepada satu orang," "Siapa?" tanya Kang Hay-thian.
"Saudara angkatku Siau Ci-wan Toako. Rahasia
pribadiku, sebenarnya enggan kuberitahukan kepada
orang, tetapi Siau-toako kuanggap bukan orang luar.
Dengan mengangkat saudara sehidup semati, kukira tak
seharusnya menyembunyikan asal-usulku lagi. Kuyakin
Siau-toako seorang satria jujur, tentulah dapat
menyimpan rahasiaku itu. Entah bagaimana pendapat
Suhu tentang tindakanku itu?"
Sebagai seorang yang menjunjung tinggi keutamaan,
segeralah Kang Hay-thian memberi pernyataan, "Siau Ciwan"
Boleh, bolehlah kau memberitahu padanya."
"Suhu, apakah kepergian Suhu ke Hoa-san kali ini tak
mendengar Hoa-locianpwe mengatakan sesuatu tentang
diri Siau-toako?" tanya Leng-hong pula.
"Eh, bukankah Siau Ci-wan sudah kembali ke gunung
Siau-kim-san." "Ketika berpisah dengan aku, atas peringatanku ia
bermaksud hendak ke Hoa-san untuk meminta obat pada
Hoa-locianpwe. Setelah itu baru kembali ke Siau-kimjwan,
entah apakah ia sudah pergi ke sana atau belum?"
Memang ayah Siau Ci-wan yakni Siau Jing-hong
adalah sahabat baik Hoa Thian-hong. Bahwa Siau Jinghong
hendak minta obat kepada Hoa Thian-hong untuk
persediaan gerakan laskarnya di kemudian hari, adalah
suatu hal yang masuk akal. Lagi-lagi kepercayaan Kang
Hay-thian makin tebal, pikirnya, "O, makanya ayah
angkatku begitu paham tentang diri Leng-hong, tentu
Siau Ci-wan yang telah memberitahukan."
Tetapi bagaimanapun tetap masih belum hilang sama
sekali kecurigaan Kang Hay-thian terhadap Leng-hong.
Tengah ia mencari jalan untuk mengajukan beberapa
pertanyaan lagi kepada muridnya itu, tiba-tiba seseorang
bergegas lari mendatangi. Masih jauh orang itu berteriakteriak,
"Kang-tayhiap, Kang-tayhiap!" Kiranya orang itu
bukan lain ialah Loh Ing-ho, tokoh Bin-san-pay yang
hendak mengundang Kang Hay-thian karena rapat
segera akan dimulai. "Sebenarnya tak usah kalian tunggu aku, sehingga
seolah-olah akulah yang memperlambat pembukaan
rapat itu," ujar Kang Hay-thian dengan perasaan tak
enak. Loh Ing-ho tertawa, "Rapat rahasia malam ini sekalian
orang meminta Kang-tayhiap harus hadir, maka terpaksa
aku mendesak Kangtayhiap untuk segera menghadiri
rapat itu." Kang Hay-thian tak mau urusan pribadinya akan
menelantarkan kepentingan orang banyak, terpaksa ia
tunda penyelidikannya kepada Leng-hong sampai lain
waktu dan buru-buru ikut Loh Ing-ho.
Setelah dibuka jalan darah bagian Yang-keng, tenaga
Leng-hong bertambah besar, sekarang kekuatannya tak
kalah dengan Loh Ing-ho. Untuk menghormati orang tua
ini, terpaksa Kang Hay-thian memperlambat larinya agar
dapat berendeng dengan Loh Ing-ho. Leng-hong
mengikutinya dari belakang. Dengan menggunakan
Ginkang, ketiganya cepat sudah tiba di biara Yok-ongbio.
Kang Hay-thian tiba-tiba melarang Leng-hong ikut
masuk dan menyuruh dia kembali ke tempatnya tadi.
"Tetapi Yap-siauhiap adalah murid pewarismu, pikirku
hendak mengundangnya hadir juga," Loh Ing-ho tertawa.
"Tak usah. Telah ditetapkan bahwa rapat ini hanya
dihadiri oleh pimpinan saja, kita jangan mengacaukan
peraturan," sahut Kang Hay-thian.
Masih Loh Ing-ho membujuk, "Ah, kau terlalu keras
Kang-tayhiap. Apa halangannya tambah seorang saja"
Kau mendirikan partai baru, murid pewarismu juga
tergolong tokoh utama dari suatu cabang."
Namun Kang Hay-thian tetap pada pendiriannya,
"Sudah ada aku, tak perlu ia juga hadir. Mana boleh
karena ada hubungan dengan aku, seorang angkatan
muda boleh hadir" Ini melanggar peraturan!"
Merah wajah Leng-hong dibuatnya, sebenarnya ia
ingin sekali hadir, tapi karena ditolak mentah-mentah


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Suhunya, terpaksa ia mengiakan dan lantas
mengeluyur pergi. Waktu Kang Hay-thian masuk, semua tokoh penting
dari partai-partai persilatan dan beberapa tokoh
persilatan yang mempunyai derajat untuk hadir dalam
rapat rahasia itu, sudah tampak hadir. Hanya menunggu
kedatangan Kang Hay-thian, rapat segera dapat dimulai.
Kok Tiong-lian menyambut kedatangan sang suami
dengan isyarat bertanya. Kang Hay-thian menyambut
dengan wajah berseri dan gelengan kepala, menandakan
bahwa hasil penyelidikan terhadap Leng-hong itu tiada
tanda-tanda yang mencurigakan, begitulah kebiasaan
kedua suami istri itu jika saling bertanya. Kok Tiong-lian
segera dapat menanggapi pernyataan suaminya itu,
diam-diam legalah hatinya. Padahal walaupun tak
mendapat titik-titik yang mencurigakan, namun Kang
Hay-thian masih belum seratus persen percaya pada
Leng-hong, hanya karena di hadapan umum maka tak
enaklah berbicara panjang lebar dengan sang istri.
Rapat telah berlangsung sesuai dengan acara yang
telah direncanakan. Pertama, merundingkan tentang
cara-cara untuk menghubungi satuan-satuan dan daerahdaerah
yang bertujuan menentang pemerintah Cing.
Kedua, tentang cara memberi bantuan pada laskar
pejuang dari berbagai daerah.
Dewasa itu sudah ada tiga tempat yang bergerak
memberontak, yakni gunung Siau-kim-san, Bin-lam dan
Lou-se. Di antaranya yang paling berbahaya
kedudukannya ialah Siau-kim-jwan. Sin ln-long, ketua
Jing-sia-pay telah mendapat tugas dari pemimpin laskar
Siau-kim-jwan yakni Leng Thian-lok untuk menyerukan
kepada kaum gagah supaya mengirim bantuan tenaga ke
sana. Dalam hal itu, pertama-tama Sin In-long menyebut
nama Yap Leng-hong. "Kang-tayhiap, tentulah muridmu telah
memberitahukan hal itu kepadamu, bukan?" tanya Sin
In-long. Kang Hay-thian mengerutkan alis, "Memberitahukan
hal apa?" "Yap-siauhiap telah menyanggupi untuk pergi ke Siaukim-
jwan!" kata Sin In-long.
"Apa" Aku belum tahu sama sekali!" seru Kang Haythian.
Menilik bahwa Suhu dan murid tadi bicara sekian
lama, Sin In-long mengira kalau Kang Hay-thian dan
Leng-hong tentu merundingkan persoalan itu, maka
betapa kejutnya demi mendengar sahutan Kang Haythian,
kontan air mukanya berubah tak begitu senang.
"Urusan itu begini," akhirnya Tiong Tiang-thong
menyela. "Pihak Siau-kim-jwan dan Siau Ci-wan sangat
mengharap supaya muridmu dapat menyumbangkan
tenaga ke sana, mereka minta tolong pada Sin-ciangbun
untuk menyampaikan hal itu. Karena waktu itu kau
belum datang, maka muridmu tak berani mengambil
putusan sendiri. Adalah aku yang memberi jaminan
bahwa kau tentu dapat menyetujui, barulah muridmu
meluluskan. Kau jangan menyalahkan muridmu, karena
akulah yang bertanggung jawab!"
Sin In-long tertawa, "Kemudian dalam kedudukan
sebagai Subo, istrimu pun meluluskan. Tentunya kau pun
takkan menaruh keberatan apa-apa bukan?"
Diam-diam Kok Tiong-lian berdebar, ia cukup kenal
perangai suaminya itu. Biasanya Kang Hay-thian itu
seorang yang tak kenal takut dalam membantu
kebenaran. Tak usah diminta, dia tentu akan menyuruh
muridnya turut dalam pergerakan itu. Tetapi saat itu
Kang Hay-thian berbeda sikapnya, hal itu menimbulkan
keraguan Kok Tiong-lian apakah suaminya itu masih
belum mau menerima keterangan Leng-hong dan masih
mencurigai anak itu. Karena Sin In-long sudah mengatakan, terpaksa Kok
Tiong-lian harus mengakui, ujarnya, "Walaupun Hong-tit
belum lama masuk dalam perguruan kita dan ilmu
silatnya masih dangkal, tapi mengingat kesempatan
begitu jarang terdapat, maka biarlah ia turut dalam
pergerakan itu untuk menambah pengalaman."
Kok Tiong-lian mengatur kata-katanya sedemikian
rupa agar sekalian orang jangan salah duga kepada Kang
Hay-thian, rupanya Kang Hay-thian merasa juga. Ia pikir,
walaupun Leng-hong mencurigakan, tetapi tak nanti
sampai berkhianat. Sambil menatap Tiong Tiang-thong, tertawalah jago
nomor satu itu, "Ah, Tiong-pangcu kelewat sungkan, aku
hanya menguatirkan kepandaian muridku itu tak becus
untuk memikul tugas sepenting itu. Karena Tiong-pangcu
memberi jaminan kepadanya, aku pun sudah tentu
takkan menaruh keberatan apa-apa lagi!"
"Ai, kau terlalu sungkan Kang-tayhiap, serendahrendahnya
kepandaian muridmu tentulah masih hebat
juga. Aku hendak berunding denganmu, Kok-ciangbun
tadi mengatakan agar muridmu ikut dalam pergerakan
itu. Ini berlainan dengan maksudku, aku menghendaki
supaya jangan hanya ikut saja, tetapi memimpinnya!"
"Hai, mana bisa?" Kang Hay-thian terkejut.
"Ah, jangan buru-buru menolak dulu, dengarkan
keteranganku. Tenaga yang hendak kita kirim membantu
laskar Siau-kim-jwan itu haruslah benar-benar orang
yang dapat dipercaya sepenuhnya, benar tidak?" kata Sin
In-long. "Benar!" Kang Hay-thian mengiakan, "terutama
setelah kita ketahui sekarang bahwa dalam tubuh kita ini
kemasukan mata-mata, kita harus lebih hati-hati."
"Nah, kalau begitu, tiada yang lebih sesuai lagi
daripada Yap-siauhiap. Pertama, dia telah dipercaya
orang banyak. Kedua, dia menjadi saudara angkat Siau
Ci-wan, juga bersahabat dengan keponakan Leng Thianlok,
yaitu Leng Tiat-jiau. Kelak apabila dipersatukan
dengan laskar Siau-kim-jwan, di bawah pimpinan Yapsiauhiap,
tentulah semua gerakan dapat berjalan lancar."
Kang Hay-thian tak dapat mendebat lagi, terpaksa ia
meluluskan. "Menolong tentara ibarat menolong kebakaran, bala
bantuan ini besok pagi harus juga sudah berangkat.
Maksudku, kita harus mengutamakan kualitas daripada
jumlah orang, maka kuharap sekalian Ciangbunjin segera
memilih anak muridnya masing-masing yang dipercaya,
agar dapat dibentuk sebuah laskar bala bantuan," kata
Sin In-long pula. Dalam dunia persilatan, kedudukan seorang guru
sederajat dengan seorang ayah, dia dapat menentukan
pilihan tanpa meminta persetujuan murid yang
bersangkutan. Sudah tentu para Ciangbunjin (ketua) itu
takkan memilih dengan sembarangan. Kecuali yang
benar-benar dapat dipercaya, barulah mereka mau
memilihnya. Di samping itu juga ada pertimbanganpertimbangan
lain mengenai cocok tidaknya murid itu
melakukan tugas itu. Pada saat para Ciangbunjin menyodorkan daftar nama
murid-muridnya, hari pun sudah menunjukkan jam satu
malam. Yang hadir dalam rapat orang gagah itu tak
kurang dari 1000 orang lebih, regu bantuan yang
dibentuk itu hanya terdiri dari 100 orang. Ciong Tian juga
mengajukan kedua putra-putrinya untuk ikut.
"Seratus orang rasanya sudah cukup," kata Sin In-long
dengan gembira, "Siau-kim-jwan bukan kekurangan
tenaga laskar, tetapi tenaga-tenaga pimpinan yang
cakap. Rakyat hendak menentang pemerintah Cing,
menurut apa yang kuketahui, berpuluh daerah yang
terletak di sekitar Siau-kim-jwan diam-diam sudah
membentuk barisan sukarela. Begitu kita mengirim 100
jago-jago ini, berarti akan menyulut 100 obor yang akan
memimpin rakyat untuk membebaskan Siau-kim-jwan
dari kepungan musuh."
Mendengar tugas regu bala bantuan itu sedemikian
beratnya, Kang Hay-thiap makin cemas, pikirnya,
"Mungkin Leng-hong tak sampai menjadi pengkhianat,
tetapi pada dirinya terdapat sebuah titik jejak yang
menyebabkan aku harus menaruh kecurigaan
kepadanya. Apalagi dia masih hijau, jika sampai
bertindak salah, bagaimana pertanggung jawabannya
kepada orang banyak?"
Tetapi tugas Leng-hong sudah ditentukan. Kang Haythian
tak dapat merubahnya. Terpaksa ia mengusulkan
supaya Ciong Leng diangkat sebagai wakil, usul itu
mendapat persetujuan juga.
Setelah perundingan selesai, kemudian acara
meningkat pada lain-lain persoalan, setelah itu barulah
rapat ditutup. Saat itu sudah hampir terang tanah. Kok
Tiong-lian tidur sekamar dengan putrinya, tetapi ketika
Kang Hay-thian bersama istrinya masuk kamar, ternyata
Hiau-hu tak ada. "Eh, kemana saja anak itu, perlu "kita mencarinya
atau tidak?" kata Kang Hay-thian.
"Tak nanti ia hilang. Memang selama dua hari ini ia
bergaul rapat sekali dengan Ciong Siu. Atau mungkin ia
sengaja memberi kesempatan ayah ibunya berduaan saja
maka dia lantas lari ke kamar Ciong Siu, ai, apakah
sekarang kau dapat memberitahukan tentang hasil
pembicaraanmu dengan Hong-tit?"
Setelah mendengar penuturan suaminya, berkatalah
Kok Tiong-lian, "Keterangannya masuk akal, tak perlu
kau mencurigainya lagi."
"Tetapi mengapa harus kutanya dulu baru ia mau
menerangkan" Urusan dengan Tiok Siang-hu mungkin
karena mematuhi pesan ayahnya maka ia tak mau
mengatakan. Ini dapat dimengerti, tetapi bahwa Siau Ciwan
hendak ke gunung Hoa-san, mengapa ia tak mau
bilang?" bantah Kang Hay-thian.
Kok Tiong-lian tertawa, "Terhadap murid kau kelewat
bengis, jarang bercakap-cakap dengan mereka. Mungkin
ia menganggap hal itu tak penting, kau tak bertanya, ia
pun tak mau banyak omong lagi."
Kang Hay-thian menghela napas, "Leng-hong masih
muda tapi pikirannya sudah masak, selama ini aku pun
percaya padanya, tetapi banyak hal-hal mencurigakan
yang menyangkut dirinya. Karenanya tak dapat tidak aku
harus menaruh kecurigaan padanya."
"Mengingat kedudukanmu, memang haruslah kau
berlaku hati-hati, tetapi tentang urusan Tiok Siang-hu
dan pesan ayah angkatmu itu, Leng-hong sudah
memberi keterangan yang jelas. Apakah kau merasa
masih ada hal-hal yang perlu kau tanyakan pula" Berlaku
hati-hati memang perlu, tetapi janganlah kelewat curiga
agar jangan sampai merenggangkan hubungan kalian
Suhu dan murid." Sahut Kang Hay-thian, "Benar sekali ucapanmu itu.
Tentang dua hal itu aku pun takkan bertanya lagi, tetapi
masih ada sebuah hal yang tetap hendak kucari
penjelasannya." "Maksudmu tentang dicelakainya suami istri Utti
Keng?" tanya Kok Tiong-lian.
"Benar, dalam hal itu aku merasakan sesuatu yang
berbelit-belit. Pada saat Utti Keng tertangkap kawanan
kuku garuda, kebetulan Leng-hong juga sedang tak
berada di rumah. Leng-hong mengatakan bahwa ia tak
pernah melihat Utti Keng, tetapi benarkah begitu, tak
dapat kupercaya keterangan dari sepihak saja," kata
Kang Hay-thian. "Karena sekarang Utti Keng sedang
meringkuk dalam penjara, tak dapatlah ditanya,
menanyai Leng-hong pun tiada gunanya. Mudahmudahan
kepergianku ke kotaraja nanti berhasil
membebaskan Utti Keng dari penjara."
"Benar. Asal dapat mengeluarkan Utti Keng dan
menanyainya, tentulah hal itu dapat dibikin terang, maka
segala kesimpulan baiklah ditangguhkan setelah kau
pulang dari kotaraja lagi," ujar Kok Tiong-lian.
Kembali Kang Hay-thian menyatakan kecemasan
hatinya berhubungan dipilihnya Leng-hong menjadi
pimpinan laskar orang gagah yang dikirim ke Siau-kimjwan.
"Dia toh bukan seorang pengkhianat?" seru Kok Tianglian.
"Aku percaya memang bukan, tetapi selama asal-usul
anak itu belum terang, segala kemungkinan yang tak
diharap bisa terjadi!"
Selagi kedua suami istri itu asyik bercakap-cakap, tibatiba
Kang Hiau-hu muncul. "Yah, mah, kamu berdua di
situ, bagus! Aku justru hendak minta persetujuanmu,
bolehkah aku pergi?" seru dara itu dengan girang.
"Kemana" Mengapa begitu bernapsu?" sahut Kang
Hay-thian. Dara itu menghela napas, ujarnya, "Kalau tak ke Siaukim-
jwan, kemana lagi" Yah, aku telah bicara dengan
bibi Ciong, ia ingin sekali mengajak aku bersama-sama
pergi. Memang tepatlah kalau kita mempunyai kawan
sekaum dalam perjalanan. Yah, janganlah
mengecewakan harapan bibi Ciong, yah, izinkanlah aku
pergi!" "Eh, jangan begitu tergopoh-gopoh kau! Jawab dulu
beberapa pertanyaanku," Kang Hay-thian tertawa melihat
tingkah putrinya itu. "Baik, asal kau izinkan aku pergi, mau tanya silakan
tanya apa saja," sahut Hiau-hu.
"Kau suka pada Toasukomu atau tidak?"
Pertanyaan ayahnya membuat Hiau-hu merah
mukanya, dengan kurang senang ia menjawab, "Yah,
perlu apa kau tanyakan hal itu" Apa hubungannya
dengan kepergianku ke Siau-kim-jwan?"
Kang Hay-thian tak mau tertawa, melainkan menarik
muka bersungguh-sungguh, "Sudah tentu ada
hubungannya maka baru kuajukan. Di hadapan ayah
bundamu, janganlah kau aleman. Nah, katakanlah
sejujurnya, kau suka pada Toasukomu atau tidak?"


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kang Hiau-hu paling mengindahkan terhadap
ayahnya," ia tahu bahwa ayahnya itu tak bergurau.
Meskipun ia tak tahu maksud sang ayah, tetapi ia anggap
hal itu memang penting, maka dengan bersungguhsungguh
menyahutlah ia dengan tegas, "Tidak suka!"
"Mengapa?" tanya Kang Hay-thian.
"Tidak kenapa. Menurut perasaanku, aku tak cocok
dengannya. Satu waktu kalau ia kelewat merapat sekali
padaku, aku malah merasa jemu!" sahut Hiau-hu.
Kang Hay-thian menghela napas, sementara Kok
Tiong-lian mengerutkan alis. Melihat mamahnya,
berkatalah Hiau-hu, "Sudah tentu dia tetap Toasuhengku
yang harus kuhormati. Mah, kutahu kau memang berat
sebelah, kau lebih menyukai Toasuko daripada Jisuko!"
Kok Tiong-lian tak enak perasaannya, ujarnya, "Eh,
Hu-ji, jadi kau masih penasaran karena Jisukomu
kuusir?" Hiau-hu mencibirkan bibir, "Dalam hal itu terang
Jisuko menderita fitnah."
"Hu-ji, tak boleh kau berkata begitu terhadap ibumu!"
tukas Kang Hay-thian, "Toasuko adalah keponakan
ibumu. Kalau ia lebih memperhatikan keponakannya,
itulah sudah wajar, tetapi kutahu ibumu itu selalu berlaku
adil dalam setiap persoalan. Kalau menuduh ia berat
sebelah, itulah tak benar. Tentang Jisukomu diusir dari
rumah ini, telah kuketahui. Jika aku yang kebetulan
berada di rumah, memang juga harus bertindak begitu,
tetapi jangan kuatir, yang asli tentu takkan dikata palsu,
yang palsu tentu kelihatan dari yang asli. Jika Jisukomu
memang menderita fitnah, aku tentu dapat
mengurusnya. Dengarlah, setelah rapat ini selesai, aku
segera akan berangkat ke kotaraja menolong Utti Keng,
berbareng untuk menyelidiki kejadian yang menimpa diri
Jisukomu. Jika memang ia tak bersalah, tentu akan
kubawanya pulang lagi."
"Yah, kau sungguh baik sekali," seru si dara dengan
kegirangan. "Ya, memang ibu tidak baik!" Kok Tiong-lian uringuringan.
Hiau-hu biasa manja pada ibunya, segera ia menubruk
ke haribaan sang ibu. "Mah, aku kelepasan omong,
maafkanlah. Kutahu kau cinta padaku, kau pun seorang
ibu yang baik, tetapi aku sudah bukan seorang anak kecil
lagi, janganlah memperlakukan" aku seperti ketika aku
masih kecil. Apa yang tak suka kumakan, sekalipun kau
katakan makanan itu amat bermanfaat, aku pun tak
mau. Jangan memaksalah."
Walaupun kata-kata Hiau-hu bernada seperti kekanakkanakan,
tapi memberi kesan yang dalam kepada Kok
Tiong-lian, diam-diam ia mengakui kebenarannya.
Dibelainya rambut putri tunggalnya itu dan tertawalah ia
dengan rawan, "Hu-ji, kata-katamu itu benar. Aku tak
menyadari bahwa sekarang kau sudah dewasa. Kau suka
pada siapa, terserah pada pertimbanganmu sendiri,
selanjutnya aku tak memaksamu lagi. Puaskah kau?"
Kata-kata ibunya itu laksana angin segar yang
menyejukkan kepanasan hati Hiau-hu. "Mah, lagi-lagi kau
mengatakan hal itu. Aku toh tak mengatakan suka pada
siapa-siapa?" katanya dengan wajah kemerah-merahan
walaupun dalam hati dara itu girang.
Kang Hay-thian batuk-batuk untuk melonggarkan
kerongkongan, "Hu-ji, sekarang marilah kita
membicarakan urusanmu."
"Bagaimana, yah, apakah kau izinkan aku pergi?"
tanya si dara. Kang Hay-thian mengangguk, "Semula aku memang
cemas, tetapi setelah mendengar keteranganmu tadi,
kutahu kau tidak sekali-kali mengandung maksud pribadi.
Baiklah, besok pagi kau boleh berangkat bersama bibi
Ciong." Memang semula Kang Hay-thian kuatir putrinya
terpengaruh oleh dorongan asmara kepada Leng-hong
hingga mau mengikutinya ke Siau-kim-jwan, maka ia
meminta penjelasan lebih dulu.
Setelah mengetahui maksud pertanyaan ayahnya itu,
diam-diam Hiau-hu mendongkol dan geli, pikirnya, "Eh,
mengapa ayah mengira aku suka pada Toasuko?"
Memang dara itu tak mengerti bagaimana perasaan
sang ayah, karena masih mendendam kecurigaan kepada
Leng-hong, sudah tentu Kang Hay-thian memikirkan
kepentingan putrinya juga. Ia harus menjaga jangan
sampai sang putri terjerumus dalam jerat, di samping itu
sebagai seorang yang menjunjung kepentingan umum,
Kang Hay-thian tak mau putrinya turut dalam pergerakan
itu hanya karena pengaruh asmara.
"Mah, bantulah aku mengemasi perlengkapanku. Yah,
kau salah, bukan besok pagi tetapi hari ini!" Hiau-hu
berseru girang. Saat itu langit sudah mulai terang. Menurut rencana,
setelah terang tanah, laskar bantuan itu segera akan
berangkat. "Lihatlah itu, kau kegirangan sekali! Biarlah ibumu
yang mengemasi barang-barangmu, kau kemari, aku
hendak menyampaikan pesan. Jangan gugup, sekarang
masih ada waktu setengah jam lagi," kata Kang Haythian.
Dengan tertawa-tawa si dara menghampiri ke dekat
ayahnya. "Hu-ji tahun ini kau sudah berumur 18 tahun,
kuperlakukan kau sebagai orang dewasa yang mengerti
urusan dunia. Dengarlah baik-baik, kau harus dapat
menangkap maksudku ini."
Hiau-hu paling senang kalau dirinya dianggap sudah
dewasa, maka dengan menirukan gerak tingkah-laku
sang ayah, ia kerutkan wajahnya dengan mimik
bersungguh-sungguh, "Anak mengerti, anak siap
mendengarkan!" "Kali ini Toasukomu memimpin bala bantuan ke Siaukim-
jwan, aku agak cemas. Pertama, karena dia masih
hijau, tak punya pengalaman untuk menjabat tugas itu.
Kedua, usianya masih muda, laskar bantuan ini tentu
akan menghadapi kesukaran-kesukaran yang tak
terduga-duga. Bilamana Toasukomu kurang bijaksana
dan salah mengurus, merugikan namaku sih tak
mengapa, tetapi dengan mengakibatkan kekalahan pihak
kita, tentu besar sekali akibatnya. Ini bukannya aku tak
percaya padanya, hanya maksudku haruslah selalu
meningkatkan kewaspadaan. Mengertikah kau akan
maksudku?" "Ya, anak mengerti, yah. Bukankah kau suruh aku
membantunya" Tetapi aku sendiri juga tak tahu cara
bagaimana harus menjaga jangan sampai ia melakukan
kekeliruan itu?" sahut Hiau-hu. Keinginannya ke Siaukim-
jwan itu hanya didorong oleh semangatnya yang
menggelora, sama sekali ia tak memikirkan kesulitankesulitan
yang disebutkan ayahnya itu, maka setelah
mendengar ucapan sang ayah, barulah ia merasa
beratnya tugas itu, diam-diam ia merasa cemas juga.
"Kebetulan Ciong Leng menjadi wakil pimpinannya, dia
lebih tua, ilmu silatnya pun boleh juga, pengalamannya
cukup. Nanti biar kupesan pada Toasukomu supaya
dalam setiap hal harus berunding dengan Ciong Leng,"
kata Kang Hay-thian. Hiau-hu serasa terlepas dari himpitan beban berat,
"Benar dengan dibantu oleh paman Ciong, yang juga
merangkap tugas sebagai penilik, aku boleh bebas dari
kewajiban tadi." Memang ia jemu pada Leng-hong, ia tak
senang kalau terlalu rapat dengan Toasukonya itu.
Kang Hay-thian tertawa, "Tidak, kau masih terikat
kewajiban. Ada beberapa perkataan yang tak enak
kukatakan pada Ciong Leng di hadapan orang banyak,
apalagi nanti saat mengantar keberangkatannya aku tak
dapat bicara jelas dengannya, maka sekarang aku
hendak menyampaikan pesanku yang jelas agar kau
sampaikan pada mereka berdua saudara."
"Oh, kiranya begitu, bolehlah," sahut si dara.
"Tapi ingat, walaupun hanya menyampaikan pesan
saja, kau harus menggunakan otak untuk mengaturnya.
Sekarang dengarkanlah pesanku," kata Kang Hay-thian
memperingatkan putrinya. "Tadi telah kukatakan, bahwa dalam setiap urusan
Toasukomu harus berunding dengan Ciong Leng. Jika ia
sampai melanggar pesanku itu dan diam-diam
merahasiakan sesuatu terhadap Ciong Leng, kalian harus
berlaku hati-hati. Ajaklah beberapa saudara berunding,
minta pendapat mereka, apakah hal itu berguna untuk
kepentingan orang banyak. Jika tiada gunanya, hapuskan
saja," kata Kang Hay-thian
Hiau-hu tertegun sejenak, tanyanya, "Toasuko
menjadi pimpinan, sudah tentu setiap hari harus
menghadapi banyak urusan. Jika paman Ciong kebetulan
tak berada di sampingnya" Dan andaikata Toasuko
memang bermaksud hendak mengelabuinya, bagaimana
kita dapat mengetahui?"
Kembali Kang Hay-thian tertawa, "Hu-ji, ternyata kau
juga bisa menggunakan pikiranmu. Bagus, bagus, tetapi
yang penting kau harus dapat menyelami kata-kataku
itu. Bangunkanlah kesadaranmu dan pendirian kalian
semua, jangan karena Toasuko itu termasuk orang
sendiri kalian lantas lengah menjaganya. Asal kau ingat
hal ini, tentu bereslah! Tetapi dalam urusan sehari-hari
yang tak penting, janganlah Ciong Leng kelewat
bersitegang leher, kupercaya kau tentu dapat
menyampaikan kata-kataku itu kepada Ciong Leng, dia
tentu mengerti sendiri nanti. Tentang cara bagaimana
dapat mengetahui kalau Toasukomu merahasiakan
sesuatu hal kepada kalian, ini tergantung asal kau selalu
memperhatikan gerak-geriknya. Ingat, apakah hal itu
menguntungkan orang banyak atau merugikan, jika hal
itu merugikan, kalian harus lekas bertindak. Dan yang
terakhir, dan ini yang paling penting, jika Toasukomu
sampai bertindak salah, membuat kesalahan yang berat,
kuizinkan Ciong Leng bertindak untuk membikin cacad
padanya! Tak usah takut padaku!"
"Eh, mengapa begitu hebat, yah?" tanya Hiau-hu
terkejut. "Aku hanya menjaga segala kemungkinan yang
tak diinginkan, sekali-kali bukan memastikan bahwa
Toasukomu tentu berbuat begitu. Apa yang kukatakan
kepadamu ini hanya boleh kau katakan pada kedua
kakak beradik Ciong itu sendiri saja, jangan pada lain
orang agar jangan menimbulkan kesalahan paham yang
dapat mengganggu suasana anak-anak laskar. Dan
terhadap Toasukomu harus tetap menghormatinya,
kecuali jika dia benar-benar berbuat salah, apakah kau
dapat menangkap maksudku?" tanya Kang Hay-thian.
Hiau-hu mengusap dahinya yang berkeringat, ujarnya,
"Ya, anak mengerti yah." Sebenarnya ia sendiri belum
jelas betul kata-kata ayahnya itu.
Matahari memancarkan sinarnya ke dalam jendela.
Tanpa terasa, waktu keberangkatan laskar sudah tiba,
kata Kang hay-thian, "Baik, bolehlah sekarang kau pergi.
Nanti aku dan ibumu segera akan datang."
Kok Tiong-lian yang sudah mengemasi bekal putrinya,
bertanya dengan berat hati, "Hu-ji, semalam kau tak
tidur, mungkin kau tentu lelah. Kubawakan kau
sebungkus obat dan sebatang jinsom yang berumur
seribu tahun, obat penambah semangat yang paling
mujarab." . Hiau-hu tertawa, "Ah, sebaliknya semangatku lebih
baik dari biasanya."
Setelah memberi pesan supaya sang putri menjaga diri
baik-baik di perjalanan, maka Hiau-hu pun segera
memberi hormat meminta diri pada kedua ayah
bundanya yang tercinta itu.
"Eh, anak itu seperti kita semasa masih muda," Kok
Tiong-lian menggelengkan kepala melihat kelakuan sang
putri yang masih seperti anak-anak itu.
"Rasanya kau tak menyesal dengan apa yang
kukatakan kepada Hu-ji tadi, bukan?" tanya Kang Haythian.
"Itu kan untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan,
sudah tentu aku tak menyesalimu. Tapi kuharap kau
dapat lekas membikin terang urusan itu, agar Leng-hong
dapat bebas dari kecurigaan. Dan kuharap pula agar kali
ini dia dapat memperoleh hasil gemilang hingga nama
perguruan kita semakin harum," sahut Kok Tiong-lian.
Terang bahwa nyonya itu masih berkesan baik terhadap
Leng-hong, sampai saat itupun ia masih tak percaya
bahwa Leng-hong itu jahat.
Kang Hay-thian dapat memaklumi perasaan istrinya, ia
pun tak mau berbantah tentang Leng-hong. Kedua suami
istri itu segera keluar mengantar keberangkatan laskar
taruna gagah. Laskar bantuan yang terdiri dari para taruna gagah
perkasa itu sudah berkumpul siap hendak berangkat.
Para Ciangbunjin, para guru dan sahabat-sahabat
berdatangan untuk mengantar keberangkatan mereka.
Kang Hay-thian mencari Leng-hong dan Ciong Leng yang
diajaknya ke samping, di situ ia memberi pesan wantiwanti
kepada Leng-hong supaya sewaktu-waktu
menghadapi kesulitan harus berunding dengan Ciong
Leng. Dalam usia Ciong Leng tak selisih banyak dengan
Leng-hong, tapi dalam dunia persilatan ia lebih tinggi
kedudukannya daripada Leng-hong. Bahwa ia hanya
diangkat sebagai pembantu pimpinan saja membuat
Ciong Leng mempunyai perasaan bahwa apa yang
dikatakan Kang Hay-thian itu hanyalah sekedar ucapan
merendah saja. Sebaliknya Leng-hong dapat menilai bahwa Suhunya
itu masih mempunyai rasa curiga kepadanya, pikirnya,
"Boleh, kau suruh Ciong Leng mengawasi gerak-gerikku,
sebaliknya justru nanti aku akan merapat pada anak itu
seerat-eratnya." Setelah Kang Hay-thian cukup memberi pesan, ayah


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunda Ciong Leng pun datang mencari putra-putrinya. Li
Sim-bwe menggandeng putrinya (Ciong Siu) dan Kang
Hiau-hu, sambil tertawa berkata, "Kalian berempat harus
berlaku seperti saudara sekandung. Karena umur kalian
terpaut tak seberapa, baiklah selanjutnya jangan
memakai bahasa panggilan yang sungkan."
Ciong Tian pun memberi pesan pada putranya agar
selalu mematuhi peraturan ketentaraan dan bekerja
sama dengan Leng-hong. Ucapan suami istri Ciong itu
seolah-olah telah menghapus makna dari pesan Kang
Hay-thian, maka Kang Hay-thian buru-buru akan bicara
lagi, tapi kala itu Sin In-long, Tay-hui Siansu dan
beberapa orang lainnya, berdatangan. Sin In-long
hendak menyerahkan keterangan penting tentang
keadaan di Siau-kim-jwan kepada Leng-hong, sudah
tentu Kang Hay-thian tak mempunyai kesempatan
berbicara lagi. "Ah, asal Hu-ji menyampaikan pesanku tadi kepada
kedua saudara Ciong, tentulah Ciong Leng mengerti
sendiri," pikirnya. Setelah barisan berangkat, di tengah jalan Kang Haythian
berkata kepada istrinya, "Suami istri Ciong-tayhiap
itu rupanya suka benar kepada Hu-ji dan Hong-tit!"
Kok Tiong-lian menerangkan bahwa jalan darah Samyang-
keng-meh di tubuh Leng-hong adalah Ciong Tian
yang membukanya pada saat bertemu kemarin dulu.
"Oh, makanya kemarin sewaktu kucoba, kepandaian
Hong-tit jauh lebih maju dari dahulu, kiranya Ciongtayhiap
telah memberi bantuan yang sedemikian
besarnya," kata Kang Hay-thian. Dalam anggapan Kang
Hay-thian tentulah Ciong Tian itu suka pada Leng-hong
karena anak itu mempunyai bakat tulang yang bagus.
Setitik pun ia tak menduga bahwa orang she Ciong itu
sebenarnya mempunyai lain maksud tertentu.
Maksud dari Ciong Tian suami istri tak lain adalah
mereka merasa penujui kalau memungut mantu Lenghong.
Leng-hong, murid pewaris dari Kang Hay-thian,
orangnya cakap, sikapnya sopan. Sekali lihat, sukalah
kedua suami istri itu, di samping itu mereka pun ingin
juga agar Hiau-hu dapat berjodoh dengan Ciong Leng.
Hanya saja kalau Hiau-hu masih belum sampai umurnya,
adalah Ciong Siu dan Leng-hong itu sudah cukup
dewasa, maka perhatian mereka terhadap Leng-hong
lebih didahulukan agar perjodohan Ciong Siu lekas dapat
diselesaikan. Sekalipun demikian, mereka itu bukan
orang tua kolot, tetapi dapat mengikuti aliran zaman.
Mereka memberi kekebasan kepada putra-putrinya untuk
menentukan pilihannya sendiri, Ciong Siu baru saja kenal
dengan Leng-hong, pergaulan mereka masih belum
mendalam, maka Ciong Tian tak berani segera
mengatakan soal perjodohan mereka kepada Kang Haythian.
Bahwa diizinkannya Ciong Siu ikut dalam gerakan
laskar pejuang itu, memang suatu kesempatan yang
baik. Pertama untuk menyumbangkan tenaga kepada
pejuang, di samping itu agar putrinya dapat kesempatan
bergaul lebih banyak dengan Leng-hong. Rupanya
maksud kedua orang tuanya itu diketahui juga oleh Ciong
Siu, nona itu memang terpikat dengan kecakapan wajah
Leng-hong, diam-diam ia sudah menaruh hati pada
pemuda itu. Sebaliknya tujuan Kang Hay-thian adalah supaya
putrinya itu bekerja sama dengan kedua saudara Ciong
untuk mengawasi gerak-gerik Leng-hong. Sedikitpun ia
tak memikirkan tentang urusan asmara anak-anak muda
itu, inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitankesulitan
di kelak kemudian hari. Setelah barisan laskar tunas-tunas muda itu
berangkat, rapat para orang gagah pun segera bubar.
Kang Hay-thian hendak lekas-lekas menuju ke kotaraja
untuk menolong Utti Keng. Ia berpesan kepada sang istri
supaya menyampaikan kepada ayahnya kalau ia tak
pulang melainkan hendak terus pergi ke kotaraja.
Kok Tiong-lian tertawa, "Masakah ayah tidak tahu
akan perangaimu" Asal ia tahu kalau kau sehat walafiat
saja, tentulah sudah lega hatinya. Sekarang ayah sudah
punya teman main catur, tentu takkan kesepian. Setelah
pulang menjumpainya, aku pun juga segera akan pergi."
"Eh, hendak pergi kemana kau?" Kang Hay-thian
terkesiap. "Untuk membantu tugasmu! Bukankah ayah angkatmu
menyuruh kau ke negeri Mazar! Dan buku obat-obatan
itupun harus lekas diserahkan pada Cici Pik," kata Kok
Tiong-lian. "Ya, ya, sudah hampir 20-an tahun kau tak menjenguk
rumah, bolehlah kau menggunakan kesempatan ini untuk
menyambangi keluarga. Dan tentang urusan Hong-tit,
bilanglah juga pada Jikomu," kata Kang Hay-thian yang
lalu menyerahkan kotak isi buku obat-obatan itu kepada
Kok Tiong-lian. Hanya sesingkat waktu suami istri gagah itu
berkumpul, setelah itu mereka berpisah pula.
Tempat dimana kedua suami istri Kang Hay-thian dan
Kok Tiong-lian berpisah, adalah justru tempat ketika
Kang Hay-thian berjumpa dengan Nyo Hoan. Teringat
akan peristiwa itu, diam-diam Kang Hay-thian menyesal,
"Ah, sungguh tak nyana kalau karung yang dibawa Nyo
Hoan itu berisi Kan-ji, aku membiarkannya begitu saja."
Memang terhadap muridnya. Kang Hay-thian tak pilih
kasih. Adalah karena Lim To-kan itu umurnya paling kecil
dan berkumpulnya paling lama, ditambah pula putra dari
seorang Kaucu Thian-li-kau, Kang Hay-thian mempunyai
rasa tanggung jawab yang lebih besar, ia tak punya
putra maka ia menganggap To-kan itu sebagai putranya
sendiri. "Ah, dengan calon murid Li Kong-he, aku telah
menerima empat orang murid tahun ini, tetapi yang
kelihatan hanyalah tinggal Leng-hong seorang, tetapi ah,
anak itu tak dapat dipercaya," Kang Hay-thian menghela
napas. Orang persilatan paling mengutamakan pewaris,
bahwa keempat muridnya itu masing-masing mengalami
nasib yang berbeda-beda, mau tak mau membuatnya
rawan juga. "Walaupun Tiok Siang-hu telah berjanji hendak
mendapatkan Kan-ji, tetapi setelah ketahuan rahasianya,
sudah tentu Nyo Ceng tak berani bertemu dengan Tiok
Siang-hu lagi. Dan orang she Nyo itu licin sekali, belum
tentu Tiok Siang-hu dapat menghadapinya. Ah, tak dapat
kuserahkan hal itu semata-mata kepada Tiok Siang-hu
seorang, aku juga harus berusaha mencari juga,"
pikirnya lebih jauh. Tiga hari yang lalu Kang Hay-thian berjumpa di tempat
itu dengan Nyo Hoan. Untung selama tiga hari itu hawa
udara terang. Setelah berusaha mencari-cari, akhirnya
dapat juga ia menemukan jejak yang dapat menentukan
arah larinya Nyo Hoan, ialah ke jurusan utara. Ia duga
tentulah Nyo Ceng dan Nyo Hoan hendak menyerahkan
To-kan ke kotaraja untuk mencari pahala. Segeralah ia
pun berangkat memulai pengejarannya.
Sekarang marilah kita ikuti keadaan Lim To-kan, murid
Kang Hay-thian yang diculik musuh itu. Pada waktu
ditangkap Nyo Hoan, ia ditotok jalan darahnya hingga
pingsan, ketika sadarkan diri, lapat-lapat seperti
didengarnya suara gurunya (Kang Hay-thian). Ia
membuka mata tapi hanya kegelapan yang
melingkupinya, tak tahu ia berada dimana saat itu dan
suara gurunya pun tak kedengaran lagi. Dalam
kegelapan itu ia hanya mendengar desus angin menderuderu,
hendak menjerit tak dapat keluar suaranya, hendak
menggerakkan tangan juga tak mampu.
"Eh, apakah aku sedang bermimpi?" pikirnya. Dengan
susah payah barulah ia dapat mengingat peristiwa yang
dialaminya semalam. Dan tersadarlah ia saat itu bahwa
dirinya sedang dalam cengkeraman Nyo Hoan.
Memang ilmu totokan Nyo Hoan itu istimewa sekali,
sebenarnya setelah 12 jam nanti barulah To-kan dapat
tersadar, tapi karena To-kan telah memiliki latihan ilmu
Lwekang tinggi, sekalipun masih belum sempurna,
namun dapat juga ia menyalurkan pernapasannya, maka
hanya dalam waktu 4 jam saja dapatlah ia tersadar,
tetapi belum dapat berkutik.
Ketika Kang Hay-thian dapat meringkus seorang
kawannya, kejut Nyo Hoan bukan kepalang. Kuatir kalau
jago sakti itu akan mengejarnya, Nyo Hoan
mencongklang kuda sekencang-kencangnya. Kudanya itu
adalah kuda istana yang diperoleh dari persembahan
daerah Jing-hay, sehari dapat menempuh seribu li
jauhnya. Apa yang dirasakan To-kan tentang desus angin
menderu-deru itu, ialah karena dirinya seperti dibawa
terbang oleh kuda itu. Setelah mencapai beberapa puluh li, Nyo Hoan
berpaling dan legalah hatinya ketika tak melihat barang
seorang pun pengejar, tetapi kawannya kena tertangkap,
tak tahu ia bagaimana harus bertindak saat itu.
Kawannya itu seorang perwira dari pasukan Gi-lim-kun
yang mendapat tugas untuk membantunya.
Nyo Ceng karena harus menghadapi musuh yang
hendak mengejarnya (Nyo Hoan), dan setelah penculikan
itu berhasil, Nyo Ceng masih akan pergi ke lain tempat
lagi, maka tak dapatlah ayah itu menemani putranya lagi,
maka Nyo Ceng hanya menyuruh putranya supaya
bersama opsir Gi-lim-kun itu ke kotaraja untuk
menyerahkan Lim To-kan. Memang Nyo Hoan itu juga seorang anak yang cerdik
dan suka mengagulkan diri. Setelah ancaman dari Kang
Hay-thian itu lewat, kembali timbul nyalinya pula,
pikirnya, "Boleh dikata segenap jago-jago persilatan kelas
satu sudah berkumpul di Bin-san. Yang ada di luaran
hanyalah tinggal jago-jago kelas dua saja, masakah aku
jeri menghadapi mereka" Biarlah anak ini secara terangterangan
kubawa ke kotaraja, tak perlu aku takut-takut
dan main sembunyi. Setiba di kotaraja tentulah aku
dapat mencari komandan Gi-lim-kun!"
Tetapi sekalipun dibesar-besarkan nyalinya, tak urung
ia masih mempunyai rasa cemas juga kalau-kalau orang
Bin-san melakukan pengejaran, maka ia melakukan
perjalanan secara terus menerus, 'non-stop', palingpaling
hanya berhenti memberi makan kudanya. Di desa
maupun kota, tak berani ia berhenti.
Setelah diperkirakan mencapai jarak empat lima ratus
li jauhnya, barulah ia anggap ancaman pengejaran sudah
lewat. Kala itu hari sudah petang, ia merasa lelah sekali
dan terpaksa berhenti di sebuah kedai di tepi jalan.
Sambil meletakkan karung di sisi tempat duduknya, ia
mulai memperhitungkan. "Ah, bocah ini 4 jam lagi baru
dapat tersadar. Kurasa tentu takkan terjadi sesuatu,
tetapi aku pun harus menyediakan makanan untuknya
apabila ia nanti tersadar, agar jangan sampai kelaparan,"
pikirnya. Melihat seorang Kongcu membawa sebuah karung
beras, pelayan kedai agak melongo, memandang tak
berkedip. "Hai, mengapa kau memandang aku" Apakah kuatir
aku tak punya uang" Nih, perak, ambillah. Kasih aku air
teh panas dan beberapa macam makanan," bentak Nyo
Hoan. Si pelayan terkejut, buru-buru ia mengiakan dan
menyediakan pesanan. Waktu menuangkan teh di meja
Nyo Hoan, mata pelayan itu tak lepas melirik karung
beras di samping. Nyo Hoan marah-marah dan
membentaknya supaya lekas pergi. "Tak perlu kau layani,
ayo pergi!" serunya seraya hendak mendorongnya.
Saking ketakutan, pelayan itu melonjak. Cawan yang
berisi teh panas menumpah ke arah karung kain.
Hampir setengah harian To-kan berusaha untuk
memusatkan hawa murninya, sekalipun jalan darahnya
masih belum terbuka, tapi ia sudah mulai dapat
bergerak. Tersiram air panas, ia meronta-ronta. Melihat
karung dapat bergerak-gerak, pelayan itu menjamahnya
dan astaga ... tangannya menyentuh daging yang
empuk. Tak tahu ia apakah manusia atau binatang.
Kejutnya tak terhingga. Nyo Hoan murka sekali, bentaknya, "Kau berani
menyentuh barangku, kubunuh kau!" Waktu ia hendak
melontarkan sebuah hantaman, tiba-tiba terdengar suara
seorang dara melengking, "Eh, engkoh Hoan, mengapa
kau di sini" Ada apa kau marah-marah begitu rupa"
Nyo Hoan buru-buru menarik tangannya dan si
pelayan itupun cepat-cepat menyingkir. Tepat pada saat
itu masuklah seorang anak perempuan beserta seorang
anak lelaki, mereka berusia di antara 15 - 16 tahun.
Melihat mereka, diam-diam Nyo Hoan mengeluh,
"Celaka!" Ternyata dara yang datang itu adalah Tiok Ceng-hoa,
putri Tiok Siang-hu, yang mengikut di belakangnya
adalah Li Kong-he, putra Li Bun-sing. Sebenarnya Nyo
Hoan dan ayahnya telah merundingkan suatu siasat yang
keji, Nyo Ceng akan datang ke rumah Tiok Siang-hu dan
memikat supaya Tiok Ceng-hoa dan Li Kong-he dapat
diajak keluar rumah. Asal sudah meninggalkan rumah,
dapatlah Nyo Ceng menyelesaikan mereka, Nyo Ceng
hendak memaksa agar pernikahan putranya dengan Tiok
Ceng-hoa lekas dapat diselesaikan, sedangkan Li Konghe
segera akan diserahkan ke kotaraja.
Siasat yang diatur Nyo Ceng itu disebut 'sekali tepuk
dua lalat', asal Nyo Hoan sudah menikah dengan Tiok
Ceng-hoa. Tiok Siang-hu tentu tak akan memusuhinya.
Di samping itu dengan berhasil menyerahkan anak-anak
dari tokoh-tokoh Thian-li-kau ke kotaraja, tentulah ia
akan mendapat pahala besar. Ia mengharapkan
menduduki jabatan komandan pasukan Gi-lim-kun atau


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gubernur istana. Dengan pahala itu, kemungkinan besar
cita-citanya itu tentu akan terkabul.
Sebenarnya Nyo Hoan lebih suka pada Siangkoan
Wan, putri Siangkoan Thay yang usianya sebaya
dengannya, sekalipun belum pernah mengikrarkan janji
sehidup semati, namun kedua anak muda itu dalam hati
masing-masing sudah saling bersambut.
Tiok Ceng-hoa tahun ini baru berumur 16 tahun, tiga
tahun lebih muda dari Nyo Hoan. Nyo Hoan anggap
pergaulannya dengan dara she Tiok itu hanya sebagai
kawan saja, Ceng-hoa masih kekanak-kanakan, maka
Nyo Hoan pun tak mau mengemukakan soal asmara,
tetapi Nyo Hoan seorang anak yang mendengar kata dan
patuh kepada ayahnya. Di samping itu ia pun ingin sekali
mendapatkan kepandaian pamannya (Tiok Siang-hu)
yang sakti itu, maka terpaksa ia setuju dengan rencana
ayahnya. Adanya Nyo Ceng tak dapat menemani
putranya ke kotaraja adalah karena hendak menuju ke
rumah Tiok Siang-hu untuk membujuk Ceng-hoa.
Memang rencana ayah dan anak itu bagus sekali,
tetapi di luar dugaan ternyata Ceng-hoa tak berada di
rumah, diam-diam ia melancong keluar dengan mengajak
Li Kong-he. Dan secara kebetulan juga saat itu mereka
berjumpa dengan Nyo Hoan, bukan saja rencananya
semula berantakan, juga Nyo Hoan harus merasa
gelisah, kuatir kalau-kalau rahasia karungnya itu akan
diketahui Ceng-hoa. Buru-buru Nyo Hoan menarik karung ke sampingnya,
kemudian memalingkan tubuhnya supaya jangan
kelihatan, ujarnya, "Ah, tak apa-apa. Pelayan itu tak hatihati
hingga menumpahi aku teh panas. Tadi aku sudah
memakinya. Eh, adik Tiok, mengapa kau diam-diam pergi
dari rumah?" "Memang sebenarnya ayah melarang aku turun
gunung, mungkin ia takut aku membuat gara-gara di
luaran, sehingga ayah tak mau memberitahukan aku
kemana kali ini ia pergi, tetapi biarpun ia tidak
memberitahu, aku sendiri pun dapat menyelidiki. Pada
hari kedua dari kepergiannya, aku sudah tahu, ternyata
ia pergi ke Bin-san untuk menghadiri rapat besar orang
gagah. Di sana dia tentu bakal berjumpa dengan Kangtayhiap.
Coba pikir sendiri, kesempatan sebagus itu
masakah aku betah tinggal di rumah saja tak ikut
menyaksikan?" "Oh, tentulah bibi yang memberitahukan padamu,"
Nyo Hoan tertawa. "Benar, mamah sayang sekali padaku. Terpaksa ia
mengizinkan aku pergi juga. Eh, bukankah kau akan ikut
ayahmu pergi ke Bin-san juga" Mengapa sekarang kau
berada di sini marah-marah pada pelayan?" si dara balas
bertanya. "Tentang urusan itu nanti kuterangkan, tetapi adik
Tiok, kau memang berani benar. Kalau seorang diri itu
sih tak apa-apa, mengapa kau ajak kacungmu bersamasama
pergi" Tak tahukah kau akan peraturan bengis dari
ayahmu yang melarang seorang bujangan turun gunung
secara diam-diam" Lebih baik suruh kacungmu itu ikut
aku saja, nanti kuakui, akulah yang membawanya," sahut
Nyo Hoan. Ia tahu bagaimana perangai si dara yang
berhati keras itu. Percuma saja ia hendak mencegah dara
itu ke Bin-san, lebih baik ia berusaha membujuk supaya
dara itu mengizinkan kacungnya ikut padanya.
Tak senang Ceng-hoa mendengar kata-kata Nyo Hoan,
sahutnya, "Tahukah kau siapa Li Kong-he ini" Dia adalah
calon murid dari Kang-tayhiap. Tak pernah ayahku
menaruh hormat pada orang kecuali terhadap Kangtayhiap,
maka setelah mengetahui siapa diri Li Kong-he
itu, ayah pun memperlakukan lain. Meskipun sekarang ini
ia menemani aku belajar, berlatih silat dan main-main,
tapi sekali-kali ia bukan kacungku. Kita sekarang menjadi
seperti kakak adik, ia adalah adikku, jangan kau
menghinanya!" Sejak peristiwa dalam biara dimana Ceng-hoa hampir
mengalami peristiwa tak enak karena dikeroyok Ki-liansam-
siu, tapi untung Kong-he menolongnya itu, Cenghoa
merasa berterima kasih sekali kepada Kong-he. Dan
setelah Kong-he berada di rumah keluarga Tiok, makin
rapatlah pergaulannya dengan dara itu. Usia 16 tahun itu
merupakan berkembangnya perasaan hati seorang dara,
maka sekalipun hanya bergaul setahun, namun bayangan
Kong-he membekas lebih dalam di hati si dara daripada
bayangan Nyo Hoan. Pikiran seorang anak perempuan
memang lebih cepat masak, perangainya suka
melindungi yang lemah, maka Ceng-hoa senang sekali
menyebut dirinya sebagai seorang Taci kepada Kong-he.
Walau sebenarnya dalam pertumbuhan jasmaniah Konghe
jauh lebih besar dan tinggi badannya daripada Cenghoa.
Makin tak enak hati Nyo Hoan mendengar keterangan
Ceng-hoa itu, katanya dengan dingin, "O, kau senang
menjadi kakak beradik dengan orang yang lebih rendah
derajatnya" Itu terserah padamu! Tetapi kunasehati,
sebaiknya janganlah kau pergi ke Bin-san. Kalau berkeras
hendak ke sana juga, janganlah kau mengajak Li Konghe
itu." "Mengapa?" tanya si dara.
"Kemarin ayahmu di Bin-san telah adu kepandaian
dengan Kang Hay-thian, keduanya sama-sama terluka.
Mereka berjanji, tiga hari lagi akan bertempur pula, pada
saat-saat dimana ayahmu sedang marah terhadap Kang
Hay-thian, masakah kau hendak mengajak murid Kang
Hay-thian menemuinya?"
Ceng-hoa terbeliak mendengar ucapan Nyo Hoan,
serunya, "Benarkah itu" Ayah mengatakan kalau ia hanya
ingin mengukur kepandaian saja dengan Kang-tayhiap."
Nyo Hoan menjawab dengan sikap bersungguhsungguh,
"Aku melihat dengan mata kepala sendiri, masa
aku berbohong" Memang ayahmu hanya hendak
mengukur kepandaian saja, tetapi belum tentu Kang
Hay-thian dapat menerimanya. Apalagi kalau Ko-chiu
bertempur, tentu tak lepas dari keinginan untuk menang.
Kang Hay-thianlah yang lebih dulu melancarkan serangan
ganas kepada ayahmu sehingga ayahmu marah dan
balas melukainya." "Kau tentu paham akan perangai ayahmu, seumur
hidup ia belum pernah menerima hinaan orang. Bahwa
kali ini ia sampai kena dilukai Kang Hay-thian, sekalipun
untuk itu ia dapat juga membalas, tetapi ia merasa malu
dan marah sekali. Ia sedang marah, kalau kau membawa
Li Kong-he menjenguknya, bukanlah seperti hendak
mencelakai ayahmu sendiri?" Nyo Hoan melanjutkan
rangkaian ceritanya. "Adik He ini hanya seorang anak, tidak nanti ayah
akan membunuhnya," bantah Ceng-hoa.
"Mungkin ayahmu tak membunuhnya, tetapi tak nanti
ia mau menyerahkan anak itu kembali pada Kang Haythian.
Ayahmu itu sukar dijajaki hatinya, bukan mustahil
ia akan membikin cacad anak itu," Nyo Hoan memainkan
lidahnya yang beracun. Ceng-hoa bersangsi, setengah percaya akan cerita Nyo
Hoan itu. "Engkoh Hoan, lalu bagaimana baiknya
menurut pendapatmu?" tanyanya.
"Ayahmu menyuruh aku lekas pulang mengabarkan
kepada mamahmu. Lebih baik kalian ikut aku kembali
pulang sajalah," kata Nyo. Hoan.
"Tidak, ayah terluka aku harus merawatnya," bantah
Ceng-hoa. "Baiklah, tetapi biar Kong-he ikut aku saja.
Sekarang memang ada beberapa tokoh yang berusaha
untuk melerai bentrokan ayahmu dengan Kang Haythian.
Mudah-mudahan berhasil, jika kedua pihak sudah
berbaikan kembali, kau boleh minta pada pamanku
supaya diantarkan kembali kepada Suhumu," kata Nyo
Hoan kepada Kong-he. Kong-he menolak, "Tidak, aku tak mau ikut padamu.
Untung atau celaka aku tetap hendak menemui Suhuku
di Bin-san." Nyo Hoan merasa waktu bicara itu mata Kong-he
selalu " memperhatikan karung saja, memang sekalipun
masih anak-anak, tetapi Kong-he sudah banyak
pengalaman dalam dunia persilatan. Begitu melihat
karung Nyo Hoan, seketika timbullah kecurigaannya,
pikirnya, "Apa yang dibekal orang persilatan itu paling
banyak hanyalah pakaian untuk ganti, masakah
membawa sebuah karung yang begitu besar" Apalagi
Nyo Hoan menyatakan kalau mau cepat-cepat
menempuh perjalanan karena ada urusan penting. Tak
seharusnya ia membawa beban yang begitu berat."
Selain itu Kong-he pun tak puas melihat lagak Nyohoan
yang seolah-olah seperti tuan besar, maka ia tak
sudi ikut pada anak muda itu.
Malu perintahnya ditolak, marahlah Nyo Hoan, "Adalah
karena memandang dirimu supaya dihormati orang, aku
mau mengajakmu. Hm, sebaliknya kau mau jual tingkah!
Jangan bertepuk dada sebagai calon murid Kang Haythian,
yang nyata kau sekarang ini masih dalam
kedudukan sebagai kacung keluarga Tiok!"
Berubahlah air muka Kong-he seketika, sahutnya
mengejek, "Tuan besar Nyo, aku tak suka ikut padamu,
kau mau apa?" "Maukah kalian jangan ribut mulut?" buru-buru Cenghoa
melerai. Kemudian ia menegur Nyo Hoan, "Engkoh
Hoan, tadi telah kukatakan padamu bahwa Kong-he ini
bukan kacungku, ia adalah adikku, mengapa kau masih
menghinanya?" Nyo Hoan tertawa menyengir, "Jangan marah adik
Tiok, aku kelepasan omong saja. Sebenarnya aku
memikirkan untuk kebaikannya." Ia takut kalau Ceng-hoa
sampai marah, seluruh rencananya tentu akan
berantakan. "Engkoh Hoan, bukan aku hendak mendampratmu,
tetapi sebenarnya gayamu sebagai seorang Siauya itu
memang agak kelewatan. Ah, sudahlah, mari kita bicara
secara baik-baik saja," kata Ceng-hoa.
Waktu Nyo Hoan dan Ceng-hoa duduk, Kong-he tetap
tak mau duduk, ujarnya, "Silakan kalian berunding
urusan kalian, aku punya pendirian sendiri.
Bagaimanapun aku tetap akan pergi ke Bin-san."
"Eh, adik He, jangan terlalu keras kepala. Hai, adik He,
hendak kemana kau ini?" teriak si dara.
"Suruh pelayan menuangkan teh untuk kalian," sahut
Kong-he. Memang sejak kaget hendak dipukul Nyo Hoan
tadi, si pelayan masih terlongong-longong di samping
sambil memandang ke arah karung, sampai-sampai ia
lupa menghidangkan minuman teh.
"Eh, apa yang kau pandang begitu rupa?" tegur Konghe
sambil menghampiri si pelayan. Pelayan itu tersentak
kaget, sekonyong-konyong ia menuding Nyo Hoan dan
berseru, "Tuan, apa isi karung itu?"
Setelah melihat karung yang mencurigakan dan
mendengar anak-anak muda itu berbicara tentang adu
kepandaian, timbullah dugaan si pelayan, jangan-jangan
tetamunya itu kawanan penyamun dan karung itu berisi
anak yang diculiknya untuk meminta uang tebusan.
Pelayan itu teringat kalau di dapur masih terdapat dua
orang kawannya, kalau sampai terjadi perkelahian, ia tak
perlu takut tak punya kawan, maka dengan berani ia
menegur Nyo Hoan. "Jangan kelewat iseng! Perlu apa kau mengurusi
karungku?" bentak Nyo Hoan dengan marah sekali.
Perhatian Ceng-hoa tertarik juga pada karung itu,
ujarnya, "Engkoh Hoan, mengapa kau membawa karung
sebesar itu" Mengapa pelayan itu terus menerus
menanyakan" Ya, aku sendiri juga merasa heran. Apakah
isinya" Kasih tahulah padaku, engkoh Hoan!"
"Ah, tak apa-apa, tak apa-apa, nanti di jalanan kukasih
tahu padamu," Nyo Hoan tersipu-sipu memberi jawaban.
"Aku seorang kacung, biarlah aku yang membawa
karung itu nanti," tiba-tiba Kong-he berseru.
"Jangan menyentuh!" Nyo Hoan membentak pula
dengan bengis. Sekonyong-koyong karung itu jatuh
sendiri ke lantai dan dari dalam terdengar lengking
teriakan seorang anak, "Engkoh He, tolonglah aku!"
Kiranya waktu mendengar suara Kong-he, darah Lim
To-kan bergolak keras dan terbukalah jalan darahnya
yang tertutup itu. Berbareng tubuhnya dapat bergerak,
berteriaklah ia memanggil Kong-he, sudah tentu Kong-he
kaget sekali. Cepat ia hendak merampas karung, tapi
Nyo Hoan melompat melalui atas meja sembari mengirim
sebuah pukulan. Pukulan itu merupakan jurus yang
ganas dari ilmu pukulan keluarga Nyo, dalam gugupnya
hendak menolong Kong-he, tanpa banyak pikir Ceng-hoa
menjulurkan dua buah jarinya menotok lambung Nyo
Hoan. Muda sekalipun usia dara itu, tapi ilmunya
menotok sudah sempurna. Tahu bahaya tengah mengancam, Nyo Hoan dengan
terpaksa menghindarkan diri dari totokan Ceng-hoa. Saat
itu Kong-he pun maju hendak merebut karung lagi,
sudah tentu Nyo Hoan tak tinggal diam. Dengan jurus
Soh-Iiong-jiu ia mendesak mundur Ceng-hoa, kemudian
melayangkan tubuh menghadang Kong-he dengan
sebuah hantaman keras. Begitu tubuhnya melayang ke
dekat Kong-he, ia gunakan ilmu Kim-na-jiu untuk
mencengkeram tulang Pi-peh di bahu Kong-he.
"Engkoh Hoan, kau memang tidak tahu aturan, masih
mau menghinanya?" teriak si dara yang dengan sebuah
gerakan kilat sudah membayangi Nyo Hoan sambil
menggunakan Kim-na-jiu juga untuk mengancam bahu
anak muda itu. Hanya saja ia tak bermaksud untuk
meremukkan tulang bahu Nyo Hoan dengan sungguhsungguh,
melainkan hendak membebaskan Kong-he dari
ancaman Nyo Hoan.

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nyo Hoan condongkan tubuh ke samping, merubah
terkamannya menjadi gerak mendorong, kedua
tangannya dibuka untuk mendorong kedua orang itu.
Dalam hal permainan memang Ceng-hoa lebih lihai, tapi
dalam hal tenaga ia kalah dengan Nyo Hoan. Kena
didorong Nyo Hoan, dara itu terhuyung-huyung beberapa
langkah baru dapat berdiri tegak lagi.
Sementara Kong-he menangkis pukulan Nyo Hoan
dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Meskipun
tubuhnya berguncang, tapi ia masih tetap dapat berdiri
tegak, ilmu silatnya diperoleh dari gemblengan ayahnya
sejak ia masih kecil, pengalamannya bertempur pun tak
kalah dengan Nyo Hoan. Memang kepandaian Nyo Hoan
lebih tinggi, tapi untuk menjatuhkan Kong-he dalam dua
tiga gebrak, sungguh tak mudah.
Selama ini Ceng-hoa selalu mendapat perlakuan
sungkan dan mengalah dari Nyo Hoan, maka setitik pun
ia tak menyangka kalau saat itu Nyo Hoan benar-benar
memberinya pukulan sungguh-sungguh, "Tring",
serempak dicabutnyalah pedang dan menuding Nyo
Hoan, "Baik, sampai diriku kau juga berani menghina,
ya" Ayo, berhenti atau tidak!"
Nyo Hoan sudah bulat keputusannya, ia pun mencabut
tongkat bambunya, ia menyahut, "Adik Tiok, sekali-kali
aku bukan ingin menghinamu, melainkan hendak
meminta kau jangan mengurusi urusanku. Kita adalah
saudara misan, jika kau menganggap Piauko (kakak
misan) kalah berharga dengan budak itu, aku pun tak
dapat berbuat apa-apa dan terserah padamu!"
Dalam berkata-kata itu Nyo Hoan tak tinggal diam,
tongkat dimainkan untuk menotok jalan darah yang
berbahaya di tubuh Kong-he. Untung Kong-he pun sudah
mencabut goloknya dan memainkan ilmu golok Pat-kwato
warisan keluarganya. Ilmu golok Pat-kwa-to itu rapat
sekali sehingga sukar diterobos, namun kepandaiannya
terpaut jauh dengan Nyo Hoan. Dalam belasan jurus
kemudian, ia sudah kalang-kabut.
"Baik, karena kau kelewat menghina kami berdua,
terpaksa aku hendak meminta pelajaran ilmu tongkat
Thian-mo-ciang-hoat dari keluarga Nyo!" akhirnya Cenghoa
bertindak juga. Karena dikeroyok dua orang, Nyo Hoan tak dapat lolos
lagi, tetapi Kong-he pun tetap tak dapat berkutik di
bawah tekanan tongkat Nyo Hoan. Sebenarnya Ceng-hoa
dapat keluar dari pertempuran itu, tetapi ia kuatir kalau
Kong-he terluka, maka ia tetap melancarkan
serangannya. Karung itu terbuat daripada semacam bahan kain yang
ulet sekali, beberapa kali To-kan berusaha untuk
merobek, tapi sia-sia saja. Ia meronta-ronta sekuatnya
hingga karung itu berguling-guling ke arah si pelayan.
Pelayan hendak menolong To-kan, tapi sebelum
tangannya dapat menjamah karung, sekonyong-konyong
Nyo Hoan menyambar sebatang sumpit terus
ditimpukkan. "Cret", sumpit itu telah menusuk kena
pelipis si pelayan yang tak ampun lagi roboh binasa
seketika itu juga. "Nyo Hoan, tak nyana kau seorang manusia yang
seganas itu! Mengapa kau bunuh seorang pelayan yang
tak berdosa?" damprat Ceng-hoa makin murka.
Nyo Hoan tertawa dingin, "Pelayan yang tak berdosa"
Jika dia tak berani menyentuh karungku, masakah
kubunuhnya" Isi karung itu tak kuperbolehkan diambil
orang lain. Adik Tiok, kunasehati jangan kau mengurusi
karung itu, atau hehe ..."
"Hehe, bagaimana" Apakah kau juga hendak
membunuhku?" teriak si dara. "Di dalam karung itu berisi sahabatku yang paling
kusayang. Ya isinya orang, bukan barang! Kau boleh
mempertahankan culikanmu itu, tetapi aku pun tetap
hendak menolongnya!" teriak Kong-he turut memaki.
Jadi bukan saja kaki tangan yang bertempur, mulut
mereka pun ikut perang tanding. Saat itu para bujang
kedai situ keluar membawa supit api, pisau dapur.
Rupanya Nyo Hoan tak mau kepalang tanggung,
pegawai-pegawai kedai itu dibunuhnya semua.
Melihat keganasan itu, tak tertahan pula kemarahan
Ceng-hoa, "Bagus, kalau kau memang sakti, ayo
bunuhlah aku sekaligus. Kau tak mampu membunuh aku,
tentu akan kubikin cacad tubuhmu supaya hilang
kepandaian silatmu!" Ia mainkan pedangnya lebih gencar
dan menggunakan gerak cepat untuk berputar-putar
menyerang dari semua jurusan. Setiap tusukan tentu
mengarah jalan darah yang berbahaya di tubuh Nyo
Hoan. Telah diterangkan di atas, bahwa dalam permainan
Ceng-hoa itu lebih unggul dari Nyo Hoan. Sayang dalam
hal tenaga ia masih kalah. Tadi karena mengingat Nyo
Hoan adalah putra bibinya, ia masih sungkan, tetapi demi
menyaksikan keganasan anak muda itu sedemikian rupa,
sampai-sampai ia sendiri juga mau dibunuhnya, tak mau
lagi si dara memberi hati, pertempuran berjalan dengan
sesungguhnya. Jika bertanding satu lawan satu, memang
Nyo Hoan banyak kemungkinan dapat mengalahkan
Ceng-hoa, tetapi ditambah dengan Li Kong-he yang tak
lemah kepandaiannya itu, akhirnya Nyo Hoan terdesak
juga. Karena sedang menumpahkan perhatian pada
pertempuran, siapa pun di antara ketiga anak muda itu
tak sempat mengurusi karung lagi. To-kan meronta
sekuat-kuatnya dan bergelundunganlah karung itu keluar
pintu, terus sampai ke jalan.
Pada saat Nyo Hoan tak kuat melawan lagi,
sekonyong-konyong munculan seorang penunggang kuda
yang segera melompat turun terus menerobos masuk ke
dalam kedai. "Nyo-kongcu, jangan takut, aku datang
membantumu. Sekarang kita menjadi orang sendiri,"
seru pendatang itu. Orang itu bukan lain adalah Lok Khisi
si Tok-kak-lok (rusa tanduk satu) itu.
Tiga serangkai Ki-lian-sam-siu telah ditundukkan Nyo
Ceng dan dijadikan bujangnya, kemudian mereka dapat
meloloskan diri dan masuk menjadi Wi-su (pengawal)
dari Congkoan atau gubernur istana. Tapi bukan Wi-su
dalam istana, melainkan bertugas luar yakni untuk
menyelidiki orang-orang persilatan yang hendak
menentang pemerintah Cing. Bahkan kemudian adanya
Nyo Ceng bisa masuk ke dalam lingkungan hamba
kerajaan adalah karena bujukan kawanan Ki-lian-sam-siu
itu. Nyo Hoan tak tahu hal itu, maka terjadilah salah
paham dengan Ki-lian-sam-siu. Yakni ketika Kang Haythian
terkepung oleh Yo Tun-hou dan beberapa opsir
kerajaan dalam sebuah gua, Nyo Hoan dan Siangkoan
Wan yang kebetulan berlalu di situ, tahu bekas
bujangnya (Ki-lian-sam-siu) yang minggat berada di situ,
lantas memberi hajaran pada Yo Tun-hou, secara tak
sadar ia telah menolong Kang Hay-thian.
Karena sudah mendapat keterangan dari sang ayah,
kini Nyo Hoan tahu hal itu, maka demi melihat
kedatangan Lok Khik-si, girangnya bukan kepalang.
Sebaliknya Lok Khik-si pun girang sekali juga, karena
sebenarnya ia mendapat tugas untuk menyambut Nyo
Hoan. Orang she Lok itu tak tahu apa sebabnya Nyo Hoan
bertengkar dengan Tiok Ceng-hoa, tapi ia tahu kalau
dara itu adalah si nona yang dua tahun berselang
merampas Li Kong-he dari tangan mereka. Bahwa di
samping bertemu Nyo Hoan, terdapat juga si dara dan
Kong-he, girang Lok Khik-si sukar dilukiskan.
"Sungguh suatu kesempatan yang jarang terdapat!
Biar kuringkus dara itu terlebih dulu. Di samping untuk
mengambil hati Nyo Hoan, juga untuk membalaskan sakit
hatiku dua tahun yang lalu dan yang penting pula dapat
merampas anak Li Bun-sing itu lagi," pikirnya.
Lok Khik-si boleh merangkai keinginan, tapi Nyo Hoan
tak membiarkan dia cepat-cepat memberi bantuan.
"Budak itu nanti saja kita ringkus, yang penting ambil
kembali karung itu lebih dulu!" bentak Nyo Hoan pada
saat Lok Khik-si mencabut senjata hendak menerjang
Kong-he. Nyo Hoan tetap mempertahankan keangkuhannya,
sekalipun ia terdesak, namun ia yakin tentu dapat
merebut kemenangan. Sekurang-kurangnya ia masih
dapat bertahan sampai setengah jam lamanya. Ia kuatir
kalau-kalau To-kan dapat melarikan diri, maka
disuruhnya Lok Khik-si mencari karung itu saja.
Memang ketika turun di muka kedai tadi, sepertinya
Lok Khik-si melihat di tengah jalan terdapat sebuah
karung, tetapi hal itu tak diperhatikannya. Barulah
setelah mendengar perintah Nyo Hoan, ia agak tertegun,
ia anggap Nyo Hoan takut kalau dia yang akan mendapat
pahala, maka ia tak mau keluar, sebaliknya bertanya lagi,
"Apa perlunya dengan karung itu" Budak ini adalah putra
Li Bun-sing, salah seorang tokoh Thian-li-kau yang
penting, jauh lebih berharga dari emas berlian!" Ternyata
Lok Khik-si mengira karung itu paling banyak hanya
berisi harta benda saja. "Budak tolol!" bentak Nyo Hoan dengan marah sekali.
"Kusuruh kau pergi, mengapa membantah! Karung itu
berisi putra Lim Jing, ketua Thian-li kau! Jauh lebih
berharga dari budak ini, tahu!"
"Astaga ..." demikian mulut Lok Khik-si menjerit kaget,
terus ia melompat lari keluar.
"Tok-kak-lok, bukankah kau pernah merasakan
kelihaian Suhuku" Kalau kau berani mencelakai aku,
awas. Suhu tentu akan mengejarmu lagi!" To-kan
memaki-maki dalam karung.
Lok Khik-si tertawa gelak-gelak, "Justru hutang Kang
Hay-thian padaku itu hendak kutagih padamu! Hehe,
pada waktu Kang Hay-thian tahu, kau tentu sudah
berada di kotaraja!"
Lok Khik-si terus berlari hendak menerkam karung itu,
tapi sekonyong-konyong seorang lelaki berjalan secepat
orang lari dan mendahului mengambil karung itu. Ia
seorang pemuda, umurnya di antara 20-an tahun dan
ternyata adalah Ubun Hiong, murid kedua Kang Haythian.
Setelah pergi dari rumah keluarga Kang, dengan
menahan malu dan sedih, Ubun Hiong sebenarnya
hendak pergi jauh. Di tengah jalan ia berjumpa dengan
beberapa sahabat kenalannya yang menanyakan
mengapa ia tak pergi ke Bin-san menghadiri rapat orang
gagah. Sahabatnya itu mengira kalau Ubun Hiong tentu
mendapat perintah dari Suhunya untuk mengundang
orang. Ubun Hiong memberi jawaban sekenanya saja,
setelah orang itu pergi, timbullah pikiran Ubun Hiong,
"Ya, mengapa aku tak pergi ke Bin-san saja" Mungkin
Suhu hadir di situ. Dapatlah aku meminta
pertimbangannya." Demikianlah Ubun Hiong segera berganti arah menuju
ke Bin-san, tak terduga-duga ia bertemu dengan Nyo
Hoan. Sebenarnya Ubun Hiong belum kenal siapa Lim
To-kan itu, karena bocah itu baru datang pada Kang
Hay-thian setelah Ubun Hiong pergi diusir Kok Tiong-lian,
tetapi ketika ia mendengar To-kan memaki-maki Lok
Khik-si tadi, tahulah ia kalau anak yang berada dalam
karung itu juga murid Kang Hay-thian, putra ketua Thianli-
kau. Sudah tentu ia terkejut sekali dan cepat-cepat
menolongnya. Ubun Hiong kenal pada Lok Khik-si, tapi
orang she Lok itu tak kenal pada Ubun Hiong. Melihat
Ubun Hiong hanya seorang anak muda yang baru 20-an
umurnya, ia tak memandang mata sama sekali,
digentakkannya senjata Lok-kak-jat, ia segera
menyerang si anak muda. Ubun Hiong pun menyambutnya dengan memainkan
ilmu pedang Toa-si-mi-kiam-hoat, sekalipun belum
mencapai kesempurnaan, namun gerakan Ubun Hiong itu
cukup mengagumkan. Lok Khik-si terkejut sekali, ia
heran melihat permainan pedang si anak muda yang
sukar diduga perubahannya itu. Dengan menggunakan
gerak Kek-cu-hoan-sim atau burung merpati
membalikkan tubuh, ia buang tubuhnya dan melompat
tiga tombak jauhnya ke belakang.
"Huh, siapa anak itu" Mengapa ilmu pedangnya
sedemikian hebat?" ia menggumam seorang diri.
Memang ia tak kenal apa yang disebut ilmu pedang Toasi-
mi itu, inilah yang membuatnya terkejut sekali hingga
sampai beberapa saat ia tak berani maju lagi.
Setelah sembuh dari luka, barulah Ubun Hiong mulai
mendapat pelajaran ilmu pedang itu dari Kok Tiong-lian.
Sejak itu, baru sekarang ini ia menggunakannya
terhadap musuh. Ia sendiri tak tahu sampai dimana
kemajuan yang telah diperolehnya selama ini. Apakah
ilmu pedang itu benar-benar sakti, masih diragukannya.
Ketika pedangnya tertumbuk dengan Lok-kak-jat lawan
tadi, sebenarnya tangannya terasa kesemutan, maka
meskipun Lok Khik-si terkejut, Ubun Hiong sendiri juga
tak berani menyusuli lain serangan lagi.
Ubun Hiong mempunyai beberapa pertimbangan.
Pertama, ia tak yakin dapat mengalahkan Lok Khik-si.
Kedua, ia kuatir konco Lok Khik-si yang berada dalam
kedai itu (Nyo Hoan) keburu keluar membantu, ini tentu
akan membahayakan. Karena toh sudah dapat
mengambil karung, maka lebih baik ia lekas
meninggalkan tempat itu saja. Kebetulan sekali kuda Nyo
Hoan tertambat pada pohon yang berada di sebelahnya.
Tanpa sempat membuka tutup karung lagi, Ubun Hiong
segera melompat ke atas kuda sambil menjinjing karung
itu, sekali sabet dengan pedang, putuslah tali pengikat
kuda dan larilah binatang itu sekencang-kencangnya.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

To-kan yang berada di dalam karung sudah tentu tak
mengetahui siapakah yang membawanya saat itu, maka
ia pun diam saja. Sedang Ubun Hiong tak tahu sama
sekali bahwa di dalam kedai itu masih terdapat seorang
Sutenya lagi, yakni Li Kong-he. Dengan begitu, hilanglah
kesempatan untuk bertemu.
"Ser, ser, ser", Lok Khik-si melepaskan tiga batang
panah pendek, tapi semuanya dapat ditangkis jatuh oleh
Ubun Hiong. Lok Khik-si putus asa karena tahu bahwa
kuda yang dinaiki anak muda tak dikenal itu kuda istana
yang dapat lari seribu li sehari. Selagi ia menghela napas,
tiba-tiba terdengar Nyo Hoan menjerit kesakitan, sudah
tentu ia kaget dan buru-buru lari kembali ke arah kedai.
Memang pada saat Lok Khi-si keluar tadi, di dalam
kedai telah berlangsung suatu adegan pertempuran yang
seru, karena hendak menolong To-kan, Li Kong-he telah
mengadakan serangan mati-matian untuk menerobos
keluar, Nyo Hoan merintangi di ambang pintu. Kong-he
nekat menerjangnya. "Hai, kau minta mati!" teriak Nyo Hoan seraya
menghantamkan tongkatnya ke arah pelipis Kong-he.
Sebenarnya ia hendak menangkap Kong-he hidup-hidup,
tetapi setelah pertempuran meningkat dengan senjata, ia
merasa tak ada harapan. Lebih dulu ia mengharap dapat
menjatuhkan Kong-he yang agak lemah, baru kemudian
Tiok Ceng-hoa yang lebih tangguh.
Melihat serangan Nyo Hoan makin lama makin gencar,
si dara pun makin marah, tanpa sadar ia serentak
mengeluarkan ilmu kepandaian dari keluarganya. Sesaat
Nyo Hoan mengayunkan tongkat ke arah Kong-he, ujung
pedang sudah tiba di punggung Nyo Hoan. Nyo Hoan tak
gugup, dengan membusungkan dada ia mengacungkan
tongkatnya ke atas, tangkainya untuk menangkis pedang
si dara, ujungnya masih tetap mengancam jalan darah
Kong-he. Sebenarnya Lwekang Nyo Hoan itu lebih unggul dari si
dara dan Kong-he, tapi dikarenakan ia membagi dua
untuk melayani mereka, kekuatannya pun berkurang,
"Tring", pedang si dara kena dipentalkan. Cepat-cepat
dara itu menggunakan Lwekang untuk menempel
tongkat lawan, terus digelincirkan ke bawah menggurat
kaki Nyo Hoan. Sedang Kong-he menangkis dengan
seluruh tenaganya, setelah dapat menahan tongkat,
secepat kilat ia mengirim sebuah bacokan. Ia gunakan
jurus Lian-hoan-sam-to (golok berantai). Bacokan
pertama berhasil mendapat sasaran, bacokan kedua pun
segera menyusul datang. Ceng-hoa terkejut,
bagaimanapun ia masih ingat akan hubungan
persaudaraan dengan Nyo Hoan, buru-buru ia menangkis
golok Kong-he, "Dia sudah terluka, ampunilah jiwanya!"
Karena memandang muka si dara, terpaksa Kong-he
batalkan serangannya. "Tuan besar, maafkan!" katanya
seraya terus berlari keluar.
Pada saat ia melangkah ke pintu, justru Lok Khik-si
datang. Girang orang she Lok itu tak kepalang, pikirnya,
"Tidak mendapat anak Lim Jing, asal dapat menawan
anak Li Bun-sing inipun lumayan. Budak Nyo Hoan itu
entah mati entah terluka, untuk sementara ini tak perlu
kuhiraukan lagi." Kong-he pernah ditipu Lok Khik-si, ia dendam sekali
kepada orang itu. Tanpa memperhitungkan bagaimana
jadinya, begitu melihat Lok Khik-si coba menghadang
jalan, terus saja diserangnya.
Lok Khik-si tertawa gelak-gelak, "Ai, keponakan yang
manis, lebih baik kau ikut pada paman. Perlu apa kau
unjuk kekerasan, kan hanya, merusak hubungan kita
saja?" "Bedebah hina, siapa keponakanmu itu?" damprat
Kong-he. Lok Khik-si menggunakan ilmu Toa-kim-na-jiu untuk
menangkap, tapi Kong-he menggunakan jurus Pek-holiang-
ih (burung ho pentang sayap) membacok siku
lengan orang. "Huh, berbahaya sekali!" teriak Lok Khik-si yang
dengan cepat merubah gerakannya untuk menangkap
tangan Kong-he, tetapi Kong-he pun sudah merubah
jurusnya dengan lain gerakan membabat tangan Lok
Khik-si. Lok Khik-si terkejut melihat kemajuan si anak
muda, berpisah hanya setahun ternyata kepandaian
Kong-he maju pesat sekali. Cepat ia tarik pulang
tangannya, merubah cengkeramannya dengan sebuah
tebasan, dua buah jarinya menotok jalan darah di paha
Kong-he. Kong-he berputar ke samping, membabat
pinggang lawan. Terpaksa Lok Khik-si mencondongkan
tubuh menghindar. Kalau semula Lok Khik-si hendak menangkap anak itu
hidup-hidup, kini setelah dua tiga gebrak, ia tersadar
Kong-he yang sekarang jauh berbeda dengan setahun
yang lalu. Kalau ia hanya menggunakan ilmu tangan
kosong, terang tak dapat menghadapinya.
"Bagus, kau berani menantang pamanmu berkelahi
dengan senjata" Ya, kalau tak diberi pengajaran, kau
tentu belum kapok!" Lok Khik-si berubah begis dan
mencabut senjata Lok-kak-jat.
Kong-he kalah tenaga, waktu berbenturan senjata,
tangannya dirasakan sakit sekali. Namun anak itu
mengertak gigi menahan sakit sehingga Lok Khik-si tak
berhasil memukul jatuh goloknya.
Nyo Hoan yang termakan golok Kong-he jatuh
terkapar di lantai, mulutnya mengerang kesakitan, darah
mengalir deras. Mendengar suara pertempuran di luar, ia
kuatkan tenaganya merangkak dan berteriak, "Bagus,
Lok-lojin, bunuh saja budak itu, jangan takut!"
Saat itu sebenarnya Ceng-hoa hendak memberi obat
pada Nyo Hoan, tapi demi mendengar mulut anak muda
itu sedemikian kejamnya. marahlah dara itu, "Nyo Hoan,
rupanya sampai mati kau tetap tak mau insyaf, tetap
hendak membunuh kami! Dengan memandang muka
bibi, aku takkan membunuhmu, tetapi jangan harap kau
pun akan mendapat pertolonganku. Sejak saat ini,
putuslah hubungan kita sebagai saudara misan. Mati atau
hidup, kita tempuh jalan sendiri-sendiri!"
Setelah itu si dara berlari keluar untuk membantu
Kong-he, dan memang kedatangannya itu tepat sekali
waktunya. Ujung Lok-kak-jat orang she Lok itu tengah
mengancam pergelangan tangan Kong-he. Ceng-hoa
cepat memainkan jurus Giok-li-tho-soh untuk menusuk
tenggorokan orang itu. Terpaksa Lok Khik-si melepaskan
golok Kong-he, untuk menangkis serangan si dara itu.
Ilmu pedang Ceng-hoa luar biasa, sayang Lwekangnya
masih lemah. Maju berdua dengan Kong-he, palingpaling
hanya dapat berimbang dengan Lok Khik-si.
Setelah mendapat kelonggaran, barulah Kong-he
sempat melihat ke sekelilingnya, ia kaget sekali demi tak
melihat karung maupun bayangan To-kan. "Tok-kak-lok,
kau apakan Lim-hengte itu?" bentaknya dengan marah.
Lok Khik-si tertawa mengejek, "Bangsat kecil she Lim
itu" Sudah tentu telah jatuh ke tangan kami. Kau
menghendaki dia hidup atau mati" Lekas buang golokmu
dan panggil aku dengan sebutan paman lagi, nanti
kuantar menjumpainya. Kalau tidak, hehehe, biar
kubunuh dirimu dulu baru nanti kuhabisi jiwa anak itu!"
Lok Khik-si memperlakukan Kong-he sebagai seorang
anak kecil, membujuk dengan omongan manis agar anak
itu luluh hatinya. Sudah tentu Kong-he tak nanti kena terpikat bujukan
orang, tetapi ia pun mengakui bahwa Lim To-kan tentu
sudah jatuh ke tangan musuh. "Bangsat tua, aku
mengadu jiwa padamu!" teriaknya sambil menyerang
dengan kalap, kekalapan itu menyebabkan permainannya
menjadi ngawur. Dalam sebuah kesempatan, Lok Khik-si
dapat memukul jatuh goloknya dan menusukkan ujung
Lok-kak-jat ke dada Kong-he. Untung Ceng-hoa
bertindak cepat, ia dorong Kong-he ke samping sambil
menusuk lambung Lok Khik-si. Jurus ini untuk menolong
apabila terdesak dalam ancaman maut.
Lok Khik-si dengan terpaksa membatalkan
serangannya kepada Kong-he.
"Adik He, tenangkan pikiranmu, jangan percaya
bujukan bangsat ini!" seru Ceng-hoa.
Kong-he memungut goloknya yang jatuh di tanah,
diam-diam ia sesali dirinya yang kelewat tak dapat
menahan kemarahan. Setelah itu ia maju menyerang
lagi, kali ini ia bertempur dengan tenang.
Lok Khik-si masih mencoba untuk mengalihkan
perhatian Kong-he, tapi gagal. Kini ia harus bertahan
mati-matian diserang oleh kedua anak muda itu.
Makin lama permainan pedang Ceng-hoa makin
tenang dan makin indah, Lok Khik-si yang mahir menotok
jalan darah dengan senjata Lok-kak-jat, terpaksa harus
menyerah terhadap ilmu menotok jalan darah dengan
pedang dari si dara. Lok Khik-si kalah gesit dibanding
Ceng-hoa, beberapa kali hampir saja ia kena ditusuk.
Tanpa terasa pertempuran itu telah berjalan hampir
seratusan jurus, tiba-tiba Nyo Hoan terdengar berteriak,
"Lok-lojin, mengapa tak lekas memberi aku obat!"
Nadanya rawan dan parau, terang ia tak tahan lagi dan
takut mati. Memang semula ia mengira tentu dalam waktu singkat
Lok Khik-si dapat menyelesaikan pertempurannya
melawan Ceng-hoa dan Kong-he, tetapi ternyata
ditunggu sampai sekian lama belum juga orang she Lok
itu muncul ke dalam kedai. Walaupun Nyo Hoan juga
membawa obat luka, tapi karena ia lemas, darahnya
terus mengalir, maka tak dapatlah ia mengambil obat itu.
Akhirnya ia terpaksa meneriaki Lok Khik-si supaya
memberikan obat. Teriakan Nyo Hoan itu memberi alasan bagi Lok Khiksi
untuk ngacir dari gelanggang. "Ya, aku segera
datang!" serunya seraya melompat dari kepungan kedua
anak muda itu, terus berlari ke dalam kedai.
Kong-he lebih mengutamakan mencari To-kan. Apalagi
ia merasa, sekalipun maju berdua dengan Ceng-hoa juga
tak dapat mengalahkan Lok Khik-si, maka ketika Lok
Badai Awan Angin 25 Sepasang Pendekar Kembar Ouw Yang Heng-te Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis 2
^