Pencarian

Geger Dunia Persilatan 14

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 14


tak menduga kalau ilmu pedang Ubun Hiong hebat
sekali. Ia memperhitungkan, ia bersama Ubun Hiong saja
dapat menanggulangi kawanan anjing alap-alap itu.
Ting Koh kenal pada Te Kun, ia terkejut, serunya,
"Lote, kau ... kau juga ..." Tetapi Te Kun mana mau
memberi kesempatan padanya untuk menyebut
namanya. Tinjunya tadi diarahkan kepada orang, Ting
Koh hendak menekuk tangannya, tetapi gelaran Te Kun
ialah Peh-pohsin-kun (tangan sakti seratus langkah).
"Krak", pergelangan tangan Ting Koh patah, "bluk", tinju
Te Kun itu masih mempunyai daya untuk menjotos dada
lawan. Seketika itu robohlah Ting Koh, Te Kun
menginjaknya, "krek". Amblaslah nyawa Ting Koh.
"Aku paling benci pada manusia yang menjual kawan!"
Ubun Hiong mainkan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam,
tubuhnya seolah-olah terbungkus oleh sinar pedang.
Ketiga Wi-su yang mengeroyoknya tak mampu berbuat
apa-apa, dalam beberapa kejap Te Kun sudah
membereskan kelima orang opas tadi. Kini jumlah
mereka berimbang, tiga lawan tiga. Kelemahan dari
Kong-he ditutup dengan kelihaian ilmu pukulan Peh-pohsin-
kun dari Te Kun. Berdua saja dengan Ubun Hiong, Te
Kun sudah unggul dari ketiga Wi-su, apalagi ditambah
seorang Kong-he. Kedudukan segera berubah, dari pihak
penjerang kini ketiga Wi-su itu menjadi pihak yang
diserang. Beberapa jurus kemudian, tinju Te Kun dapat
merobohkan seorang Wi-su, dan pedang Ubun Hiong pun
dapat melukai seorang musuh. Wi-su yang ketiga segera
melarikan diri. "Ubun-suheng, peristiwa ini besar juga. Kau
bersembunyi saja di tempat kami," kata Te Kun, ia tahu
bahwa Ubun Hiong adalah Suheng Kong-he, maka
dipersilakannya. "Tidak, aku hendak kembali ke tempatku saja," sahut
Ubun Hiong. "Kau hendak ke sana lagi?" Te Kun terkejut.
Tiba-tiba Kong-he mendapat pikiran, tanyanya,
"Jisuko, apakah adik To-kan juga di sana?"
"Justru karena To-kan ikut, maka aku harus ke sana?"
sahut Ubun Hiong. Mendengar itu kejut Te Kun bukan kepalang, karena ia
tahu bahwa To-kan adalah putra Kaucunya. "Apakah
tempatmu sudah diketahui musuh?" tanyanya kaget.
"Entah, sebenarnya aku berjanji bertemu di sini
dengan Sat-piauthau. Jika Sat-piauthau dan suratku
jatuh ke tangan mereka, tentulah mereka akan
menggeledah tempatku," jawab Ubun Hiong. Walaupun
pada surat itu Ubun Hiong tak menulis alamatnya, tetapi
dari bentuk suratnya dapatlah Ting Koh mencari tempat
tinggalnya. Atas pertanyaan Te Kun, Ubun Hiong menerangkan
kalau ia tinggal di pondok Thiat-mo-oh-tong. "Tempat itu
memang sepi, belum tentu musuh tahu. Ayo, kita lekas
ke sana, tetapi tak boleh berlaku buru-buru agar jangan
menimbulkan kecurigaan orang. Ikutlah aku!" kata Te
Kun. Te Kun ajak mereka mengambil jalan kecil kembali ke
dalam kota, setelah melalui beberapa gang, ternyata
masih ada tiga buah gang lagi yang menuju ke Thiat-mooh-
tong. Di situ mereka berjumpa dengan sebuah
pasukan besar, jalan yang menembus ke Thiat-mo-ohtong
sudah tertutup semua, tak boleh orang lewat.
Te Kun juga cemas kalau dirinya ketahuan, hal itu
akan membikin susah urusan besar dari Lim Jing.
Keadaannya juga tak kalah sulitnya dengan To-kan yang
sedang disergap kawanan serdadu. Untung di dekat situ
terdapat rumah seorang anak buah Thian-li-kau. Te Kun
mengajak rombongannya bersembunyi di situ, ia minta
kawan-kawannya mencari berita.
Setengah jam kemudian,' terdengar suara tambur dan
berisik teriakan orang. Dari jendela, mereka melongok ke
arah jalanan sebuah kereta pesakitan sedang lewat di
jalan itu, di dalam kereta terdapat seorang anak lelaki
berumur 15 - 16 tahun. Siapa lagi kalau bukan Lim Tokan"
Dan yang lain ialah yang punya rumah penginapan
serta keluarganya. Dada Kong-he berombak-ombak, segera ia hendak
mendorong jendela menerobos keluar. Te kun cepat
mencegahnya, "Jangan bergerak sembarangan!"
Kong-he menggigit gigi, "Apakah kita melihat saja adik
To-kan ditangkap mereka?"
"Tentu saja tidak! Tetapi sekarang belum saatnya
bergerak! Ketahuilah, bahwa Lim-kaucu sedang
menyiapkan suatu gerakan yang akan menggemparkan
dunia. Kita kehilangan beberapa jiwa sih tak apa, tetapi
jangan sampai membikin susah tugas yang diberikan
Kaucu," kata Te Kun.
Kong-he terbeliak, tetapi setelah itu menjadi tenang
lalu bertanya, "Habis bagaimana tindakan kita sekarang?"
"Mereka tentu hendak mengorek keterangan dari
mulut Sutemu, karena itu belum mau lekas menurunkan
tangan ganas. Setelah kita mendapat berita yang positif,
barulah kita lapor pada Kaucu," sahut Te Kun.
Lewatnya kereta pesakitan selalu membawa kepanikan
pada penduduk setempat. Menjelang sore, barulah ada
seorang anggota Thian-li-kau yang datang memberi
keterangan pada Te Kun, "Telah kudapat berita yang
boleh dipercaya. Anak itu dimasukkan dalam penjara
besar, sedang pemilik rumah penginapan, karena tak
punya kesalahan, setelah diperas uangnya lalu disuruh
pulang." "Bagaimana suasana di luar?" tanya Te Kun.
"Masih tegang, tetapi penjagaan di sebelah barat dan
utara sudah dibubarkan. Kalian boleh keluar dari Ciok-huma
sana," kata orang itu.
Te Kun sudah menyuruh Ubun Hiong dan Kong-he
berganti pakaian. Berbareng dengan hari gelap, mereka
diam-diam keluar. Te Kun cukup paham akan jalanan
dan pos-pos penjagaan, ia dapat tiba di markas tanpa
mendapat halangan suatu apa.
Saat itu sudah hampir tengah malam, Lim Jing belum
tidur. Setiba di markas, mereka dapatkan ruang yang
dibuat untuk berunding terang benderang. Lim Jing dan
beberapa tokoh penting dalam partai berada di situ.
Ceng-hoa pun berada di situ, tengah bicara dengan Lim
Jing. Hal itu mengejutkan Kong-he,. Ceng-hoa bukan
anggota Thian-li-kau, apalagi pada jam seperti itu
biasanya sudah tidur. Kong-he hendak menyapa, tetapi
dara itu sudah mendahului menegurnya, "Kong-he,
mengapa baru saat ini kau pulang" Bibi Ki sudah pergi!"
Kong-he kaget sekali, "Mengapa pergi?"
"Pada waktu kutunggu kedatanganmu, kulihat bibi Ki
berganti pakaian malam, ia mengatakan hendak
melakukan penyelidikan ke rumah penjara. Ia suruh aku
jangan ribut-ribut, tetapi akhirnya kupikir lebih baik
memberitahu pada Lim-kaucu saja," kata Ceng-hoa.
Kiranya setelah menunggu 10-an hari, Ki Seng-in tak
dapat bersabar lagi. Ia salah menduga Lim Jing tak mau
bertindak, maka malam itu ia menempuh bahaya.
"Celaka, celaka," Kong-he mengeluh, "tetapi hal itu
masih tak seberapa berat. Paman Lim, aku membawa
berita yang lebih penting bagimu
"Kabarnya di Thiat-mo-oh-tong telah terjadi peristiwa
kawanan kuku garuda mengadakan penangkapan. Aku
sudah tahu akan hal itu, siapa orang ini!"
Kong-he gugup, "Tetapi kau belum tahu siapa yang
ditangkap" Adik Kan!" Dengan terengah-engah ia
memperkenalkan Ubun Hiong pada Lim Jing, "Ini adalah
Jisukoku Ubun Hiong. Adik Kan datang bersamanya."
Kepala cabang Thian-li-kau di Pakkhia, Jui Cin,
berkata, "O, pantas musuh begitu sibuk. Berita yang
datang tadi mengatakan kalau besok pagi kotaraja akan
ditutup dan akan dilakukan penggeledahan besarbesaran.
Kaucu, dengan terjadinya hal itu, mungkin akan
mempengaruhi rencana kita besok malam, kita harus
bersiap-siap menghadapi. Harap Kaucu memberi
petunjuk." Kata Te Kun, "Kan-koji itu ditaruh di penjara besar.
Malam ini penjagaan penjara tentu jauh lebih kuat. Kilihiap
seorang diri, mungkin berbahaya." Te Kun hendak
mengusulkan supaya melakukan perampokan penjara
saja, tetapi ia tahu bagaimana watak Lim Jing. Jika
hanya untuk kepentingan putranya saja, tentulah Kaucu
itu tak mau bergerak, maka ia sengaja menonjolkan
tentang bahaya yang mengancam diri Ki Seng-in agar
Lim Jing tergerak hatinya.
"Apakah semua saudara sudah siap?" tanya Lim Jing.
"Ya, mereka sudah siap menunggu perintah," sahut Jui
Cin. "Apakah kau sudah berunding dengan saudara Giam
dan Lau tentang gerakan besok malam itu?" tanya Lim
Jing pula. "Aku sudah mengangkat saudara dengan mereka.
Mereka bersumpah akan menyambut dari dalam, tetapi
dengan gerakan razia besar-besaran besok pagi itu, lalu
bagaimana kita bisa Tiba-tiba Lim Jing menggebrak meja, "Karena urusan
sudah sampai begini, kita harus menempuh bahaya!
Gerakan besok malam diajukan malam ini juga! Juithocu,
lekas beritahukan kepada saudara Giam dan Lau
untuk mengadakan kontak. Aku segera akan memimpin
rombongan besar anak buah kita!"
"Baik!" sahut Jui Cin seraya berlari keluar.
"Te-hiangcu, kau bersama Kong-he yang menyambut
Ki Seng-in. Karena orang tak mencukupi, aku hanya
dapat memberi sekelompok anak buah untuk
membantumu. Asal kau dapat mengajak Ki Seng-in lolos
dari bahaya, jika Kan-ji tak dapat ditolong, tak perlu
harus diusahakan mati-matian," kata Lim Jing kepada Te
Kun. Ubun Hiong minta izin supaya diperbolehkan ikut pada
Kong-he, Lin Jing pun meluluskan.
"Aku juga!" teriak Ceng-hoa. "Kau juga mau ikut" Ini
berbahaya!" kata Lim Jing. "Aku Taci Kong-he, jangan
dianggap orang luar!" bantah si dara. Lim Jing
tersenyum, "Baiklah, kau boleh pergi!" Setelah memberi
tugas seperlunya, Lim Jing bergegas pergi. "Kaucu,
apakah kau bersama kita?" tanya Te Kun. Lim Jing
memutar matanya yang bundar, "Te Kun, kau tolol,
mana aku hanya mementingkan putraku saja?"
Te Kun tak berani membantah, segera ia mengajak
Ubun Hiong, Kong-he dan Ceng-hoa menuju ke penjara
besar. Kelompok anak buah Thian-li-kau yang
diperbantukan oleh Lim Jing segera mengikuti.
Karena tadi tak sempat mengajukan pertanyaan pada
Lim Jing, di tengah perjalanan Kong-he bertanya pada Te
Kun, "Mengapa paman Lim tak ikut kita" Kemanakah ia
hendak pergi" Apa yang dikatakan memajukan waktu
gerakan itu?" "Paman Lim akan memimpin rombongan besar untuk
menyerbu istana!" kata Te Kun.
Betapa besar nyali Kong-he, waktu mendengar hal itu,
ia pun terkejut sampai melonjak, "Apa" Hendak
menyerbu istana?" "Benar, selama setengah bulan ini boleh dikata Limkaucu
lupa makan lupa tidur karena merencanakan
penyerbuan itu, mestinya gerakan itu akan dilakukan
besok malam. Luar dan dalam akan ada kontak, tetapi
karena bantuan dari luar sudah terputus, terpaksa hanya
mengandalkan tenaga dari dalam istana saja. Ah,
semoga Thian memberkahi agar gerakan Kaucu itu
berhasil." Kiranya untuk menggelorakan semangat laskar
pejuang di daerah-daerah, Lim Jing hendak menyerbu
istana. Jika berhasil menawan kaisar Boan, sekalipun tak
dapat mengenyahkan pemerintahannya, tetapi sekurangkurangnya
akan mengguncangkan seluruh negeri. Di lain
pihak musuh tentu kuncup nyalinya, di lain pihak akan
menambah gelora semangat laskar pejuang di daerahdaerah.
Lim Jing bukan seorang yang sembrono, ia
merencanakan hal itu secermat-cermatnya. Di dalam
istana ada dua Thaykam, Giam Cin-hi dan Lau Ca-wan,
kedua Thaykam ini menjadi anggota Thian-li-kau. Agar
dapat menyelundup ke dalam istana, kedua orang itu tak
menghiraukan lagi pengorbanan yang besar, mereka rela
menjadi orang kebiri dan masuk istana. Sebelum
melancarkan gerakan itu, memang Lim Jing sudah
mengadakan kontak dengan kedua orang kebiri itu. Jika
saatnya tiba, merekalah yang akan bergerak menyambut
dari dalam. Dari luar, Lim Jing pun sudah meminta pada Tio Suliong
untuk menyerang kotaraja. Tio Su-liong adalah
kepala Cong-liong-poh di Bici, dia telah mengangkat
saudara dengan Lim Jing. Ketika markas besar Thian-likau
dihancurkan, Lim Jing lari bersembunyi di Bici.
Kemudian Cong-liong-poh pun dihancurkan tentara
pemerintah dan kedua orang itu melarikan diri. Tio Suliong
menuju ke Ciat-lin kabupaten Hoat-koan, sebuah
tempat yang terpisah 300 li dari Pakkhia, si situ terdapat
seribu orang anak murid Thian-li-kau. Lim Jing
menyerahkan mereka dalam pimpinan Tio Su-liong
dilengkapi pula dengan kuda dan senjata hingga
merupakan suatu laskar besar.
Setelah Lim Jing di kotaraja dan menetapkan tanggal
penyerbuan ke istana, ia segera mengutus orang
memberitahukan Tio Su-liong agar bergerak memimpin
laskar itu ke kotaraja. Perjanjian ditetapkan, besok
malam gerakan itu akan dimulai.
Tetapi di luar dugaan, sehari sebelum tanggal


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergerakan itu dimulai telah timbul peristiwa
penangkapan Lim To-kan. Kemudian besok paginya akan
dilakukan razia besar menutup kota. Hal itu bukan saja
membahayakan keselamatan kelompok Thian-li-kau yang
berada dalam kotaraja, juga akan merintangi datangnya
laskar Tio Su-liong. Untuk mengatasi hal itu, terpaksa
Lim Jing memutuskan untuk bergerak pada malam itu
juga. Penjagaan di istana sudah tentu berlipat ganda
beberapa ratus kali kuatnya dari penjagaan di penjara.
Te Kun seorang yang amat taat kepada Kaucunya, maka
di waktu menuturkan tentang rencana penyerbuan Lim
Jing itu kepada Kong-he, wajahnya gelisah bukan main.
Diam-diam ia hendak lekas menolong Ki Seng-in agar
selekasnya dapat membantu pergerakan Kaucunya.
Kong-he pun terperanjat, "Ya, benar. Mungkin pada
saat ini bibi Ki sudah bertempur melawan musuh, adik
Kan juga berada dalam penjara. Kita harus
menyerbunya!" Kalau dapat, Kong-he ingin tumbuh
sayap agar bisa terbang ke penjara.
Malam itu rembulan gelap, angin kencang. Suatu
malam yang cocok bagi seorang Ya-heng-jin (orang yang
berbuat sesuatu pada waktu malam). Berkat Ginkangnya
yang tinggi dapatlah Ki Seng-in lepas dari pengawasan
para peronda, penjara besar itu merupakan sebuah
gedung yang berdiri sendiri, tiada berdekatan dengan
kantor pemerintah. Pagar temboknya setinggi tiga
tombak lebih, lebih tinggi dari tembok kota kabupaten, ia
mencabut sebatang Thiat-ting (paku) terus ditimpukkan
pada tembok setinggi satu tembok. Kemudian ia
mengapungkan tubuh, dengan ujung pian ia menggantol
paku itu. Sekali tubuhnya berayun, dapatlah ia melompat
melayang ke atas tembok tanpa diketahui oleh siapa pun
juga. Ia melongok ke bawah, dilihatnya keadaan sepi-sepi
saja, tiada seorang penjaga pun yang kelihatan, hal itu
malah mengejutkan Ki Seng-in. Masakah di penjara yang
menyimpan pesakitan penting tiada penjagaan sama
sekali, tetapi sebagai seorang Kangouw yang
berpengalaman, keadaan itu justru menimbulkan
kecurigaannya, pikirnya, "Jangan-jangan musuh
memasang jerat!" Tetapi semangat untuk menolong sang
suami mendorongnya berani menempuh segala bahaya
apapun. Setelah memperhatikan keadaan setempat, ia
segera melayang turun, baru kakinya menginjak bumi,
terdengarlah suara orang tertawa gelak-gelak, "Nyonya
Ki, apakah kau hendak memeriksa penjara" Sudah lama
kita menunggu kedatanganmu kemari!" Orang itu bukan
lain adalah Ho Lan-bing, wakil komandan pasukan Gi-limkun.
"Kau beruntung dapat lolos dari tabasan golok Lim
Jing, sekarang masih mau unjuk kegarangan lagi?"
damprat Ki Seng- in seraya mencambuk.
Sambil menangkis dengan Cui-bo-kong-pian, wakil
komandan Gi-lim-kun itu tertawa gelak-gelak, "Benar,
memang aku hendak bertanya padamu, mengapa Lim
Jing tak datang bersamamu" Tanpa bantuan Lim Jing,
jangan harap kau dapat meloloskan diri dari sini, tetapi
jika kau suka memberitahukan tempat persembunyian
Lim Jing, akan kuantar kau menjumpai suamimu. Kita
takkan merintangi kau menemui suamimu sampai berapa
lama pun. Bukankah kau suka menerima perjanjian ini?"
"Anjing buduk, kau mengharap aku menjual kawan"
Hm, hm, aku menginginkan jiwamu sebagai
penukarnya!" Ki Seng-in menyerang dengan cambuk pian
dan pedang pendek, sehingga Ho Lan-bing hanya
mampu bertahan saja. Sesosok bayangan lain sebat sekali datang dan
memaki, "Wanita busuk ini memang sukar dibaiki, lebih
baik dikubur di sungai Hongho saja, jangan diberi peti
mati. Ho-toako perlu apa banyak bicara dengannya"
Tangkap saja dan nanti suruh dia merasakan alat siksaan
36 macam itu. Masakah ia tak mau memberitahukan
tempat Lim Jing!" Orang itu juga wakil komandan Gi-lim-kun yang
bernama Li Tay-tian, ketika di Tang-peng-koan tempo
hari ia pernah dilukai Ki Seng-in, maka ia benci sekali
kepada nyonya itu. Li Tay-tiah dan Ho Lan-bing teman sejawat,
kepandaiannya lebih rendah sedikit dari Ho Lan-bing,
tetapi karena dapat menjabat wakil komandan pasukan
istana, sudah tentu kepandaiannya juga bukan olah-olah
hebatnya. Sebenarnya satu lawan satu dengan Ki Sengin,
Ho Lan-bing masih menang angin, apalagi dibantu Li
Tay-tian. Ki Seng-in menjadi kepayahan, di samping itu
segera muncul pula di halaman penjara situ ada belasan
Wi-su. Setelah memilih empat orang Wi-su yang lihai,
yang lainnya Ho Lan-bing suruh kembali ke posnya
masing-masing, ia suruh keempat Wi-su itu menjaga di
empat penjuru, menunggu kedatangan kawan-kawan
Seng-in. Lama kelamaan Ki Seng-in menjadi rancu
permainannya. "Wut", golok Li Tay-tian hampir memapas
rambut nyonya itu. "Li-tayjin, mengapa kau tak sayang pada seorang
wanita cantik" Ketahuilah bahwa nyonya Ki ini bergelar
Jian-jiu-koan-im. Kalau kau menggurat mukanya,
bukankah sayang?" Lan-bing tertawa mengolok.
"Sebenarnya aku bersedia menyanjung Koan-im ini,
tetapi ia yang tak mau," sahut Li Tay-tian.
Ho Lan-bing membuat sebuah lingkaran pian untuk
membungkus tubuh Ki Seng-in, serunya, "Nyonya Ki, kau
suka lepaskan senjatamu atau tidak" Nanti kuberi
kesempatan kalian suami istri bertemu."
Saat itu Ho Lan-bing dan Li Tay-tian sudah berada di
atas angin, tetapi mereka pun kuatir kalau nyonya gagah
itu akan kalap mengadu jiwa, memang maksud mereka
akan menawan Ki Seng-in hidup-hidup. Pertama, agar
dapat memaksa keterangan soal tempat persembunyian
Lim Jing. Kedua, untuk mengancam Utti Keng agar mau
memberitahu tempat persembunyian harta rampasannya.
Ini jauh lebih berguna daripada membunuh nyonya itu,
tetapi kepandaian Ki Seng-in itu bukan kepalang
hebatnya. Dengan mengeroyok berdua, memang mudah
untuk membunuhnya, namun kalau hendak menawan
hidup-hidup, itulah sukar. Oleh karena itu Ho Lan-bing
coba memikat dengan janji akan mempertemukan Ki
Seng-in pada suaminya. Ki Seng-in tahu juga maksud mereka, ia membulatkan
tekadnya, lebih baik mati daripada menerima hinaan,
serunya nyaring, "Toako, tahukah kau bahwa aku datang
hendak menjumpaimu" Tetapi biarlah sekiranya kau tak
tahu, pokoknya asal aku sudah memenuhi kewajiban
seorang istri, mati pun aku tak menyesal!"
Saat itu karena kehabisan tenaga, jurus permainan Ki
Seng-in pun mulai kacau, ia mengambil keputusan
hendak bertempur lagi sampai 20-an jurus. Jika tak
dapat melukai musuh, ia sendiri yang akan bunuh diri,
supaya jangan sampai jatuh ke tangan orang.
Di dalam penjara besar itu terdapat berpuluh-puluh
ruangan, tadi Ki Seng-in berseru kepada suaminya
dengan harapan akan didengarnya. Seruan itu hanya
sekedar untuk melampiaskan suara hatinya di saat ia
telah mengambil keputusan untuk bunuh diri. Di luar
dugaan, Utti Keng telah mendengarnya. Benar ia ditaruh
di ruangan yang terpisah berpuluh kamar dari tempat
pertempuran itu, tetapi Utti Keng adalah penyamun kuda
dari daerah Kwan-tang. Ia memiliki apa yang disebut
ilmu Hok-te-thing-seng atau menempelkan telinga ke
tanah untuk mendengar suara. Kala itu ia belum tidur,
baru berbaring di tanah saja. Teriakan keras dari Ki
Seng-in tadi, sepatah demi sepatah telah didengarnya
jelas sekali, kejutnya bukan kepalang. Kejut dan girang
telah membuatnya melompat bangun, tetapi ia tak
mampu melompat ke atas, tangannya diborgol kuat. Kaki
dibanduli dengan papan besi berat dan diborgol dengan
borgol kaki. Borgol itu dirantai pada tiang, mana ia
mampu lepas! Untuk menjaga Utti Keng, di ruang penjara telah
ditempatkan seorang penjaga, Utti Keng menduga sipir
penjara itu tentu belum mendengar teriakan Ki Seng-in.
Ia gabrukan borgol tangannya ke dinding untuk
membangunkan sipir itu, serunya, "Siau Ih, kemarilah!
Aku hendak bicara padamu. Eh, apakah kau tak ingin
kaya?" Sipir itu pernah menerima kebaikannya, tahu pula ia
bahwa Utti Keng mempunyai tempat simpanan harta
yang dirahasiakan. Dengan girang buru-buru ia
menghampiri, "Jika Utti-thocu memanggil, hamba tentu
bersedia." Sekonyong-konyong Utti Keng mengerahkan Lwekang.
"Krak", borgor tangannya digentak putus. Pergelangan
tangannya berdarah tetapi ia tak menghiraukan lagi, sipir
itu terus dicengkeramnya. Sudah tentu sipir itu terkejut
sekali. "Bluk", ia berlutut, "Utti-thocu, hamba tak berani
melanggar pada Thocu."
"Jika ingin hidup, lekas buka papan besi pembungkus
kakiku ini, nanti kujadikan kau orang kaya-raya!" kata
Utti Keng. Sipir' itu cepat melakukan perintahnya, kembali Utti
Keng minta supaya borgol kakinya juga cepat dibuka.
Sipir itu mengeluh, "Kunci borgol kaki ada pada kepala
penjara, bukan padaku."
Utti Keng gugup sekali, ia kerahkan tenaganya
menarik rantai, tetapi rantai borgol terlampau kuat.
Sampai dua kali ia ulangi tarikan sampai tangan
berdarah, juga tak berhasil.
Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah sesosok tubuh,
"Siau Ih, kau berbuat apa itu" Hai, huh!" Yang masuk itu
adalah seorang Wi-su. Mendengar suara gedubrakan,
cepat ia memeriksa, waktu melihat Utti Keng sedang
mengisar papan besi, segera ia membacok kepala sipir
itu, segera pula kepala sipir itu pecah berantakan.
"Pesakitan hendak melarikan diri?" kembali Wi-su itu
membacok Utti Keng. Meskipun kaki Utti Keng masih
belum lepas dari borgol, namun Wi-su itu merasa jeri
maka ia hendak melukainya saja, setelah itu akan diikat
lagi. "Bagus!" seru Utti Keng yang pura-pura gugup, ia
membalikkan tubuh ke belakang. Begitu golok si Wi-su
hampir tiba di dadanya, segera menjepit gigir golok
dengan kedua jarinya terus ditariknya, Wi-su itu terjorok
jatuh ke atas tubuh Utti Keng, cepat sekali Utti Keng
bergeliat menindihnya. Tanpa dapat berteriak, Wi-su itu
amblas jiwanya. Utti Keng memungut golok si Wi-su, didapatinya golok
itu berkilau-kilau seperti air bening, kiranya sebatang
golok Bian-to yang tajam sekali. "Terima kasih atas
pemberianmu!" Utti keng tertawa.
Utti Keng menabas borgolnya, namun tidak putus,
melainkan rantainya saja, tetapi dengan masih memakai
gelang borgol, dapat juga ia berjalan. Tak kepalang
tanggung, Utti Keng melucuti dan memakai pakaian Wisu
tadi, setelah itu berlarilah ia keluar. Karena masih ada
sisa rantai yang terikat pada kakinya, sewaktu berlari Utti
Keng merasa berat dan menerbitkan suara
bergemerincing. Mendengar suara itu, Wi-su penjaga penjara
berbondong-bondong keluar. Dua orang Wi-su yang
mencekal obor kesampuk dengan Utti Keng. Kejut
mereka bukan main, "Celaka, ada pesakitan lari!"
"Bertemu dengan aku sudah tentu takkan selamat!"
Utti Keng tertawa seraya membacok mereka. Golok dan
pedang mereka dilucuti, terus dibawa melompat ke atas
wuwungan. "Awas, awas, ada pesakitan lari!" teriak para penjaga
dari empat penjuru. "Ya, ada orang melompat penjara, ada orang
melompat penjara!" Utti Keng turut berteriak. Ia
lemparkan golok dan pedang kedua Wi-su tadi ke udara.
"Tring, tring", kedua senjata itu beradu di udara dan
menerbitkan suara seperti orang bertempur.
Dari bawah tanah tadi Utti Keng dapat mengetahui
arah tempat istrinya berada, ke sanalah ia berlari. Dalam
kegelapan malam, dengan memakai baju Wi-su, ada
sementara kuku garuda mengiranya sebagai kawan
sendiri. Walaupun banyak penjaga di penjara itu, tetapi
karena mereka diharuskan menjaga Lim To-kan, maka
Utti Keng tak banyak mendapat halangan. Di sepanjang
pelariannya itu, ia membunuh lagi tiga orang dan kini
tibalah ia di tempat pertempuran.
"In-moay, jangan takut, engkohmu datang!" serunya.
Saat itu sebenarnya tenaga Ki Seng-in sudah habis,
mendengar suara suaminya, serentak timbul lagi
semangatnya. "Tring", ia tangkis Kong-pian Ho Lan-bing
dan menahan golok Li Tay-tian.
Dua Wi-su yang di atas rumah segera menghadang,
mereka berdua adalah Ko-chiu dari istana,
kepandaiannya juga tinggi, namun mana mampu
merintangi Utti Keng. Cepat sekali gerakan sepasang
golok Utti Keng habis melancarkan dua buah tabasan, ia
sudah menyusuli pula dengan tabasan ketiga yang
mengarah muka. Kejut kedua Wi-su itu tak terkira, luput
menyerang mereka bergelundungan melompat turun ke
bawah. Wi-su kedua mainkan tombaknya, Utti Keng
menangkis tapi hanya dapat menahan, tak mampu
membuatnya jatuh. Memang pedangnya kalah berat
dibanding tombak lawan. Melihat kaki Utti Keng masih memakai borgolan, Wi-su
itu memperhitungkan tentulah tak dapat melompat
lincah. Ia menusuk ke arah kaki Utti Keng tetapi


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencondongkan tubuh ke belakang. Rantai pada borgol
kakinya malah melibat tombak lawan, dengan begitu
dapatlah si Wi-su ditariknya roboh. Dengan menggerung
keras, Utti Keng melayang turun ke halaman. Kini
sepasang suami istri berkumpul bertempur bahu
membahu. "Toako, ada kau di sampingku, apa yang kutakuti
lagi?" Ki Seng-in tersenyum girang.
Ho Lan-bing tertawa ejek, "Kalau begitu biarlah
kusempurnakan keinginanmu, agar kalian dapat menjadi
sepasang belibis!" Ia sapukan Kong-pian ke kaki Utti
Keng. Karena kaki masih diborgol, Utti Keng kurang
lincah gerakannya. Ho Lan-bing tahu kelemahan itu,
sengaja ia menyerang bagian kaki, berbareng Li Tay-tian
pun membacok kepala Utti Keng.
Kedua tokoh itu lihai dan pengalaman, serangan
mereka serasi dan indah, atas bawah berbareng
diserang. Utti Keng menggerung, ia angkat kakinya
menghindar dan secepat kilat menginjak pian Ho Lanbing
berbareng ia tabaskan Bian-tonya menangkis golok
Li Tay-tian. "Tring", golok orang she Li itu terpental ke
udara, tetapi Bian-to Utti Keng patah menjadi dua.
Golok Li Tay-tian adalah Gan-leng-to, sebuah golok
pusaka yang terbuat dari baja murni. Sebenarnya
kualitasnya lebih bagus daripada Bian-to Utti Keng tetapi
Lwekang Utti Keng jauh lebih tinggi dari lawan, maka
ketika sepasang golok itu beradu, tangan Li Tay-tian
berlumuran darah dan goloknya terpental, sedang Bianto
Utti Keng kutung. "Terima golok!" teriak Utti Keng seraya melontarkan
kuntungan goloknya kepada Ho Lan-bing dan Li Tay-tian.
Li Tay-tian melompat menghindar, kesempatan itu
digunakan Utti Keng untuk melompat menyambar Ganleng-
to lawan. Sementara Ho Lan-bing menggunakan
jurus Thiat-pian-kio untuk menotok tubuh bagian
belakang. Kurungan golok melayang lewat di depan
wajahnya. "Haha, dapat tukar sebuah golok, bagus!" Utti Keng
tertawa. Ho Lan-bing mencabut pian dan meneriaki anak
buahnya supaya menyerang Utti Keng.
Dua Wi-su juga bergelundungan dari wuwungan tadi,
saat itupun sudah hampir bangun, lalu berganti dengan
tongkat Hou-wi-kun dan kembali maju membantu Li Taytian.
Tongkat merupakan senjata berat dan panjang, tak
takut kena dibabat kutung. Ia tahu Utti Keng tak leluasa
bergerak, maka dapatlah ia menyerang dari jarak jauh.
Ho Lan-bing dan Li Tay-tian belum banyak
menggunakan tenaga, keempat Wi-su termasuk jagojago
kelas satu dari istana, enam orang mengembut Utti
Keng dan istrinya. Padahal karena menghadapi dua
orang tadi (Ho Lan-bing dan Li Tay-tian) tenaga Ki Sengin
sudah hampir habis, maka walaupun suami istri maju,
tetapi pada hakikatnya Utti Kenglah yang menghadapi
lawan. Boleh dikata ia harus melawan enam musuh,
maka betapapun lihainya terpaksa ia kewalahan juga.
"Toako, aku tak berguna, silakan menerobos keluar
sendiri!" karena merasa dirinya menjadi beban sang
suami, Ki Seng-in berkata begitu.
Tetapi Utti Keng membesarkan hatinya, "Kita suami
istri tetap sehidup semati. Aku hendak membunuh
beberapa kawanan tikus lagi, jangan putus asa!"
Dengan menggerung laksana harimau kelaparan, Utti
keng bertempur mati-matian, mau tak mau keenam
pengeroyoknya itu tergetar juga nyalinya. Mendapat
anjuran sang suami, segar lagi semangat Ki Seng-in,
dengan menggigit gigi ia bertempur dengan gigih, tetapi
bagaimanapun ia hanya seorang manusia yang terdiri
dari darah dan daging. Napsu besar tapi tenaga kurang,
lama kelamaan tenaganya mulai habis lagi.
Li Tay-tian cerdik sekali, ia hanya melancarkan
serangan ke arah Ki Seng-in saja, hal itu membuat Utti
Keng sibuk sekali. Di bawah ancaman keenam
penyerang, ia tak dapat melindungi istrinya dengan
sempurna. Pada saat Seng-in terancam bahaya, tiba-tiba
terdengar gemuruh derap kaki berlarian datang, malah
sekonyong-konyong Ki Seng-in mendengar sebuah nada
orang yang dikenalnya berseru, "Bibi Ki di sini, paman
Te, lekas kemarilah!"
Kiranya yang berseru adalah Li kong-he dan
rombongan Te Kun, pada saat segenting itu, mereka
tepat datang dan segera turun tangan. Kong-he ngotot
sekali untuk menolong Ki Seng-in, tapi yang lebih ngotot
lagi adalah Ubun Hiong. Karena anak muda itu ingin
mendapat kesaksian untuk membersihkan diri dari
tuduhan orang. Saat itu Li Tay-tian tengah melancarkan jurus Ya-jatham-
hay, tongkatnya dihantamkan ke ubun-ubun kepala
Ki Seng-in. Karena tak dapat menghindar, terpaksa Ki
Seng-in menangkis dengan Jwan-pian melibat tongkat
Hou-wi-kun. Jika pada waktu biasa, tentulah ia dapat
menarik tongkat itu, tetapi dikarenakan ia sudah letih
sekali, tak dapat lagi ia mengerahkan Lwekangnya,
sekalipun dapat juga ia hanya bisa merintangi lawan
yang menyerang kaki, tetapi tongkat yang menyerang
kepalanya tetap mengancam jiwanya.
Mengimbangi Li Tay-tian, Ho Lan-bing pun mainkan
piannya dengan seindah-indahnya, yakni dalam jurus
Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru),
Pian-cu-mo-kang-pian digentakkan untuk menekan golok
Utti Keng. Bukan ia tak tahu bahwa Utti Keng tentu dapat
menangkis, tetapi biarlah, asal ia dapat mengganggu Utti
Keng beberapa saat, tentulah Li Tay-tian dapat
menyelesaikan Ki Seng-in.
Tetapi pada saat Ki Seng-in terancam bahaya, Ubun
Hiong menggerung keras menyerang Li Tay-tian.
Kepandaian anak muda itu dan Li Tay-tian sebenarnya
seimbang, tetapi Ubun Hiong saat itu menggunakan jurus
ilmu pedang Toa-si-mi-kiam yang melompat sambil
menabas. Tak pernah Li Tay-tian menyaksikan
permainan pedang semacam itu, dalam kagetnya ia
gugup dan buru-buru menangkis dengan Hou-wi-kun.
"Trang", benturan itu telah membuat tongkat Li Taytian
terkisar ke samping tepat pada saat Ki Seng-in
mencambuk dengan pian, muka Li Tay-tian berhias
dengan sebuah guratan darah. Sayang tenaganya
kurang, coba tidak, tentu Li Tay-tian sudah pecah
keningnya. Sekalipun begitu cukuplah membuat orang
she Li itu pecah nyalinya, buru-buru ia melompat keluar
gelanggang. Tiga kali memainkan golok, berhasillah Utti Keng
memecahkan serangan Pat-hong-hong-ih dari Ho Lanbing,
setelah itu ia putar tubuh merangkul istrinya
dengan sebelah tangan sambil melintangkan golok
menangkis serangan dari dua orang lawan.
Berturut-turut datanglah Te Kun, Kong-he dan Cenghoa.
Te kun kenal Ho Lan-bing adalah wakil komandan
Gim-lim-kun, menangkap penyamun harus membekuk
kepalanya dulu, cepat ia menyerang Ho Lan-bing. Te kun
adalah salah seorang dari kelima jago Thian-li-kau,
walaupun tak selihai Utti Keng, tapi ia pun tak kalah
dengan Ho Lan-bing. Belum komandan Gim-lim-kun itu
memperbaiki posisinya karena desakan Utti Keng tadi,
sekonyong-konyong ia sudah diserang Te Kun dengan
pukulan Peh-po-sin-kun. Terkena sambaran pukulan, Ho
Lan-bing terhuyung mundur, namun dia juga bukan jago
sembarangan. Dalam kekalahan ia masih dapat
mengeluarkan jurus Hwe-hong-soh-liu
Saat itu Te Kun menyerang maju dan terperangkap
dalam lingkar permainan pian Ho Lan-bing, tapi orang
she Te itu lihai sekali, ia condongkan tubuhnya
menyusup dalam lingkaran pian, kemudian menyelonong
maju memukul bahu Ho Lan-bing. Memang menghindar
dan memukul mengurangi tenaga Te Kun, tetapi
pukulannya cukup membuat Ho Lan-bing berkaok-kaok.
Dua orang Wi-su yang bergaman kapak dan rantai
bandringan buru-buru datang menolong. Te Kun
menggerung, sambil menggeliat ke kanan kiri ia
mencengkram bandringan terus dilontarkan pada kapak.
Karena tarikan itu, rubuh Wi-su yang membawa
bandringan terhuyung-huyung, sekali tabas dapatlah Utti
Keng membelah kepala Wi-su itu.
Dari enam orang kini Ho Lan-bing tinggal bertiga
orang, untung kawanan Wi-su yang mengejar Te kun
sudah tiba. Dalam jumlah memang masih menang, Ho
Lan-bing berteriak-teriak menyuruh anak buahnya
menyerang pengamuk-pengamuk itu.
Utti Keng tertawa mengejek, "Ho Lan-bing, lihat saja
siapa yang akan menghadap raja akhirat lebih dulu!"
Ho Lan-bing memberi komando supaya membentuk 6
lapisan mengepung, dalam tiga lapis luar juga tiga lapis.
Sekalipun jumlahny .< sedikit, tapi dalam rombongan Utti
Keng ada empat orang Ko-chiu (Utti Keng Ki Seng-in, Te
Kun dan Ubun Hiong), juga Kong-he dan Ceng-ho.i
bukan tenaga lemah. Gencar dan rapatnya serangan
tetap tak mampu mematahkan keenam orang itu,
mereka laksana karang di tengah damparan ombak
dahsyat. Setelah mendapat kesempatan, berkatalah Utti Keng
dengan bisik lemah lembut, "In-moay, kau tak kena apa"
Mengasolah sebentar biar aku yang menjagamu!"
"Tak apa-apa, Toako. Kita telah melukai hati Ubunsiauhiap,
seharusnya minta maaf padanya," sahut Ki
Seng-in. Utti Keng tertawa gelak-gelak, "Ubun-siauhiap, kita
sekarang sekawan sehaluan. Aku Utti Keng lelaki kasar,
tempo hari telah merampas barang antaran yang dikawal
ayahmu. Jika kali ini aku beruntung dapat keluar dari
penjara, aku tentu akan menghaturkan maaf di depan
makam ayahmu. Jika kantor Tin-wan-piau-kiok hendak
mengibarkan panji lagi (buka lagi), aku pun bersedia
membantu tenaga." "Tin-wan-piau-kiok sudah bubar, tak perlu dibicarakan
pula. Utti-hujin, aku hendak minta bantuanmu sedikit,"
sahut Ubun Hiong. Ki Seng-in merah mukanya, "Ubun-siauhiap, akulah
yang membuat kau menderita, aku sungguh menyesal
sekali. Jika aku beruntung masih hidup, tentu akan
kujelaskan duduk perkaranya pada Suhu dan Subomu."
Setelah ganjalan itu ditumpahkan, hati mereka
bahagia sekali, Ubun Hiong makin bersemangat dan Ki
Seng-in pun segar kembali.
"Utti-thocu, tahukah dimana Siau-kaucu kami" Aku
adalah orang Thian-li-kau," seru Te Kun.
Utti Keng terkejut, "O, kiranya Lim-kaucu yang
mengirim kalian kemari" Sudah lama aku mengagumi
kebesaran nama Lim-kaucu. Baik, mari kita menerobos
keluar dari neraka ini!"
Tetapi kepungan berlapis-lapis, kaki Utti Keng masih
memakai borgol, gerakannya tak leluasa. Memang kalau
untuk bertahan masih lebih dari cukup, tapi jika hendak
menerobos sukar sekali. "Eh, Utti-thocu apakah kau merasa kikuk dengan
borgol kakimu itu" Maukah kuhilangkan benda itu?" tibatiba
Ceng-hoa berseru. Borgol kaki itu membutuhkan senjata yang luar biasa
tajamnya dan tangan yang pandai. Sedikit saja kurang
hati-hati, tentulah kaki Utti Keng turut terpapas. Waktu di
penjara Utti Keng tidak berani menggunakan Bian-to
memapas karena ia merasa kurang aman.
Pedang yang dipakai Ceng-hoa adalah pedang pusaka
keluarga Tiok. Utti Keng tahu juga, tetapi bagaimana
kepandaian dara itu menggunakan pedang, ia belum
tahu. Lebih-lebih Ki Seng-in yang sayang pada suaminya,
ia cemas sekali. Lebih baik ia pinjam saja pedang dara itu
dan ia sendiri yang mengerjakan, tetapi baru ia hendak
membuka mulut, Utti Keng sudah mendahului, "Baik, Inmoay,
lindungilah aku. Nona Tiok, merepotkan kau saja,
silakan!" Utti Keng seorang lelaki yang lapang dada, walaupun
ia lebih mempercayai jika istrinya yang mengerjakan,
tetapi ia tak mau melukai perasaan seorang dara yang
baru dikenalnya. Ki Seng-in terkejut tapi si dara sudah bergerak
mengayunkan pedangnya. "Tring", seketika putuslah
rantai borgol yang melingkar pada kaki Utti Keng. Rantai
putus tapi selembar bulu roma orang she Utti itupun
tiada yang rontok, walaupun dirinya bergelar Pian-kiamsong-
ciat, namun mau tak mau tercengang juga Ki Sengin
menyaksikan ilmu pedang Ceng-hoa, diam-diam ia
malu dalam hati. "Ombak di sungai Tiangkang, yang di belakang
mendampar yang di muka, patah tumbuh hilang
berganti. Nona Tiok, hebat benar ilmu pedangmu!" Utti
Keng tertawa memuji. Dalam tawanya itu Utti Keng tetap kerjakan goloknya,
seorang Wi-su yang menyerang dengan tombak terpapas
kutung pinggangnya. Wi-su itu meyelonong hendak
menusuk Ceng-hoa. Hilangnya borgol di kaki telah membuat Utti Keng
bertambah gesit, dalam sekejap mata saja ia sudah
membinasakan lagi dua orang Wi-su, kemudian ia
berteriak, "Ho Lan-bing, sekarang giliranmu!"
Tubuh Utti Keng melambung ke udara, laksana seekor
burung elang menerobos awan, ia melayang turun
menerkam Ho Lan-bing. Kejut wakil komandan Gi-limkun
bukan kepalang, namun pada saat mati atau hidup
itu, ia pun keluarkan seluruh kepandaiannya. Ia putar
Cui-bo-kang-pian dalam jurus Hun-bwe-sam-wu, tiga


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buah lingkaran sinar seolah melibat kepalanya. Selama
masih melayang di udara Utti Keng tak mampu
membuyarkan ketiga lingkaran sinar pian, tak dapat ia
memukul lawan. Pertempuran itu menentukan kalah atau menang.
Tiba-tiba Ho Lan-bing menjerit ngeri dan melompat
sampai beberapa tombak keluar gelanggang. Di atas
tanah menggeletak sebuah lengan manusia, ternyata
jurus Hun-bwe-sam-wu tak mampu menahan tebasan
golok Utti Keng dalam jurus Lak-boh-san-kwan. Lengan
kirinya kena terpapas kutung, tetapi hal itu membuktikan
bahwa Ho Lan-bing lebih unggul dari kedua Wi-su yang
terbelah mati di ujung golok Utti Keng tadi. Karena
sebenarnya tabasan Utti Keng itu mengarah batok kepala
Ho Lan-bing dan ternyata hanya berhasil dapat sebuah
lengannya saja. Luka itu memaksa Ho Lan-bing harus mengobatinya.
Barisan tanpa pimpinan, tentu menyebabkan kawanan
Wi-su kalut, sebaliknya rombongan Utti keng menyerang
laksana gerombolan harimau, mereka berusaha
membuka suatu jalan darah untuk lolos dari penjara.
Sewaktu pertempuran seru tengah berlangsung,
sekonyong-koyong terdengar teriakan orang, "Bagus,
NyoToyacu datang!" "Cis, apa macam babi anjing golokku akan menumpas
mereka!" Utti Keng memaki.
Sekonyong-konyong pengepung di sebelah muka
tersiak ke kanan dan ke kiri, seorang lelaki berumur 50-
an tahun berpakaian biru muncul di tengah mereka, ia
mencekal sebatang tongkat bambu, sikapnya congkak.
Melihat orang itu kejut Ceng-hoa bukan kepalang
serunya dengan suara tertahan, "li ... Ji-ih-hu (paman
kedua), kau benar-benar menjadi antek kerajaan?"
Memang orang itu bukan lain adalah Nyo Ceng, ayah
Nyo Hoan. Sebenarnya ia bertugas menjaga To-kan,
maka walaupun pertempuran tadi berjalan seru, ia tetap
tak keluar, tetapi setelah Ho Lan-bing putus lengannya,
ia tak dapat diam lagi. "Ceng Hoa, kau amat berandal! Kau adalah orang
keluarga Nyo, tak dapat kubiarkan kau campur dengan
kawanan pemberontak itu!" seru Nyo Ceng dengan
wajah bengis, bahkan dalam berseru itu ia sudah
melayang menotok jalan darah Ceng-hoa.
Untung Te Kun berada di muka nona itu. "Lepas!"
serunya sembari menyambar ujung tongkat dengan
Khong-ciu-jip-peh-jim. "Huh, kiranya orang yang amat
congkak ini hanya boneka lilin saja," dengusnya ketika
dengan mudah ia dapat menangkap ujung tongkat,
tetapi sebelum ia dapat menarik, tiba-tiba tangannya
dirasakan linu sekali. Dan sebelum tahu apa yang terjadi,
ia sudah kena digentak dengan tongkat sampai jungkir
balik. Cepat sekali Utti Keng melompat membacok orang she
Nyo itu. "Berandal yang tak kenal selatan coba saja rasakan
kelihaianku!" seru Nyo Ceng sambil menangkiskan
tongkat dengan jurus Koay-bong-hoan-sim (ular besar
membalikkan tubuh) untuk menindih golok Utti Keng.
Tongkat yang begitu kecil ternyata mempunyai kekuatan
seperti ribuan golok, hampir saja golok Gan-leng-to Utti
Keng kena dipentalkan jatuh!
Utti Keng seorang berangasan, tak takut mati, makin
mendapat musuh kuat makin menggelora semangatnya.
Dengan menggerung keras ia salurkan Lwekang ke
goloknya sehingga Nyo Ceng tak kuat menindihnya dan
kena diterbalikkan. "O, kiranya boleh juga, tetapi aku di sini, jangan harap
dapat unjuk kegarangan!" Nyo Ceng mengejeknya. Ia
putar tongkat dalam jurus Jay-hong-suan-oh dan Kunliong-
tiau-siu, tiga kali menyapu kaki, tiga kali berputar
tubuh dan tiga kali pula menyerang dahsyat ke bagian
kepala, perut dan kaki. Utti Keng sibuk sekali mempertahankan diri, tetapi
ternyata Lwekangnya masih kalah setingkat. Untuk tiga
kali serangan ia balas dengan empat kali putaran golok,
yang dituju selalu menguntungkan tongkat lawan saja,
tetapi setiap kali terjadi benturan, Nyo Ceng selalu
menyaluri tongkatnya dengan Lwekang, sehingga
tongkat itu sedikit pun tak menderita kerugian. Banyak
sekali variasi permainan tongkat Nyo Ceng, ada kalanya
menjadi tongkat, ada kalanya dipakai seperti pian dan
ada kalanya pula digunakan sebagai senjata Boan-koanpit.
Menghadapi permainan aneh lawan itu, betapapun
Utti Keng hendak bersikap tenang, namun goloknya
dapat dikuasai tongkat lawan.
Melihat itu, kaget sekali Ki Seng-in, cepat ia maju
membantu. Dalam pada itu setelah menggunakan gerak
Le-hi-ta-ting untuk berjumpalitan, Te Kun lantas maju
lagi menyerang Nyo Ceng. Nyo Ceng kebutkan lengan bajunya untuk menangkis
pian Ki Seng-in, kemudian melontarkan sebuah pukulan
Lwekang Pik-khong-ciang untuk menangkis serangan
Peh-poh-sin-kun dari Te Kun dan dalam pada itu masih
tetap menindih sekencang-kencangnya pada golok Utti
Keng. Gagah memang orang she Nyo itu, tetapi
menanggapi tiga orang Ko-chiu, dia pun hanya dapat
bertahan saja. Saat itu kawanan Wi-su menggempur ketiga anak
muda dengan hebatnya, di antara ketiga anak muda itu
hanya Ubun Hiong yang kepandaiannya paling tinggi dan
memakai senjata panjang. Hanya dialah yang mampu
menandingi kawanan Ko-chiu itu. Ceng-hoa masih kecil,
menghadapi sekian banyak pengepung, ia agak gugup.
Syukur Ubun Hiong dengan ilmu pedang Toa-si-mi-kiam
dapat membuat penjagaan rapat, kalau tidak, tentulah
dara itu sudah celaka. Melihat Ki Seng-in dan Te kun membantunya, Utti
Keng terkejut, serunya, "In-moay, lekas bantu mereka
saja!" Ki Seng-in tersadar, tetapi baru saja ia hendak
mengundurkan diri, Nyo Ceng sudah bergerak
menghalanginya. Tongkatnya secepat kilat ditotokkan
padanya, karena tak berani adu kekuatan, Ki Seng-in
miringkan tubuh menghindar, tetapi Nyo Ceng pun sudah
berganti menggempur Te Kun. Dalam sekejap mata saja,
Nyo Ceng sudah masuk ke dalam lingkaran pedang Ubun
Hiong. "Tring, tring", terjadilah benturan antara pedang
dan tongkat. Memang ilmu pedang Toa-si-mi-kiam itu
hebat sekali jika untuk mempertahanan diri, tetapi
kepandaian mereka berdua jauh sekali terpautnya. Lekas
Nyo Ceng menyalurkan Lwekang ke ujung tongkat yang
digeliat-balikkan, pergelangan tangan Ubun Hiong terasa
seperti pecah. Anak muda itu terhuyung-huyung mundur.
Tetapi bahwa Nyo Ceng tak mampu membuat pedang
Ubun Hiong jatuh, juga mengherankan sekali.
"Jangan melukai keponakanku!" bentak Ki Seng-in
seraya mati-matian melindungi Kong-he. Utti Keng tak
memberi kesempatan lagi pada Nyo Ceng ia meloncat
membacok punggungnya. Tanpa berpaling, Nyo Ceng membalikkan tangan
menangkis golok musuh dengan jurus Heng-hun-toanhong.
Habis itu, secara tak terduga-duga ia menyambar
tangan Ceng-hoa. "Tar", Jwan-pian Ki Seng-in menyabet kaki jago she
Nyo itu, tetapi kaget sekali nyonya itu, piannya seperti
mencambuk sebuah tiang besi. Sedikitpun kulit Nyo Ceng
tak lecet, sebaliknya pian milik Ki Seng-in terpental.
"Ayo, bacoklah!" Nyo Ceng tertawa gelak-gelak
mengejek Utti Keng seraya mengangsurkan tubuh Cenghoa.
Sudah tentu Utti Keng tak berani, namun ia tak
gugup karenanya. Waktu ia hendak ganti mengarah kaki
orang, Nyo Ceng tertawa dan berputar "Hoan-ji,
sambutlah! Baik-baiklah kau melayani istrimu!"
Dalam rombongan Wi-su, muncul seorang pemuda
yang dengan cepat menyambut tubuh Ceng-hoa terus
dibawa lari, ujarnya, "Adik Hoa, jangan takut, tak nanti
aku mengganggumu!" Pemuda itu ternyata adalah Nyo
Hoan. Tiba-tiba terdengar seseorang berseru lantang, "Nyo
Ceng, hari ini kau atau aku yang mati!" Nyaring benar
nada suara orang itu sehingga telinga kawanan Wi-su
terasa pekak. Dan menyusul dengan kegaduhan dari
tersiaknya kawanan Wi-su, muncul Siangkoan Thay
bersama putrinya. Setelah dapat membuyarkan
kepungan para Wi-su, ayah dan anak itu menerjang ke
arah Nyo Ceng. Siangkoan Thay telah ditahan di rumah Tiok Siang-hu,
setelah pak Lau disuruh Tiok Siang-hu memberi
penjelasan tentang kesalah pahaman itu, maka istri Tiok
Siang-hu segera membebaskan sang ipar (Siangkoan
Thay). Di tengah jalan Siangkoan Thay berpapasan
dengan putrinya, demikianlah kedua ayah dan gadisnya
itu segera menuju ke kotaraja untuk menolong Lim Tokan.
Sayang terlambat sedikit, siangnya To-kan
ditangkap, sore harinya baru ayah dan gadisnya itu tiba.
Mereka menduga To-kan tentu dimasukkan ke penjara
besar, ke sanalah segera mereka menuju.
Karena difitnah oleh Nyo Ceng, beberapa kali
Siangkoan Thay menderita kemalangan, kini hubungan
persaudaraan ipar sudah putus bahkan menjadi musuh.
Itulah sebabnya maka Siangkoan Thay merah matanya
demi melihat ipar durjana itu. Habis menendang roboh
dua orang Wi-su, segera ia menerjang dan menghantam
Nyo Ceng dengan pukulan khusus untuk melukai urat
nadi. Nyo Ceng tahu akan hal itu, ia pun mainkan
tongkat dalam jurus Tok-coa-tho-sim untuk menotok
telapak tangan Siangkoan Thay. Nyo Ceng mempunyai
ilmu totok khusus ciptaan keluarganya, sekali kena, tentu
akan hancur pusat Lwekang Siangkoan Thay. Sebenarnya
kepandaian kedua ipar itu berimbang. Siangkoan Thay
mengerahkan Lwekang ke tangan untuk menyampuk
tongkat Nyo Ceng. Tongkat Nyo Ceng terpental ke samping tapi dengan
cepat ia bergerak mengitar dalam jurus Poan-Iiong-yupoh
(naga melingkar tubuh) untuk berputar ke samping
Siangkoan Thay, lalu menotok rusuknya. Siangkoan Thay
mundur tiga langkah ke samping, lalu menggunakan
Kim-na-jiu (ilmu tangan kosong) untuk menyambar
tongkat. Demikianlah keduanya saling merapat dan
menghindar, keduanya tiada yang mendapat hasil.
Saat itu Siangkoan Wan pun sudah berhasil melalui
dua lapis penjagaan dan sebentar pula tentulah ia dapat
mengejar Nyo Hoan, tetapi ia dicegat oleh dua orang Wisu,
kedua Wi-su itu adalah Ko-chiu kelas satu dari istana.
Dalam waktu singkat permainan pedang Lian-hoan-chitkiam
dari si nona dapat diatasi oleh kedua Wi-su itu,
bahkan Siangkoan Wan hampir saja kena pukulan
tongkat mereka. "Yah, lekas kemarilah, tolong adik Hoa dan adik Kan
lebih penting!" Siangkoan Wan meneriaki ayahnya.
Karena peristiwa tempo hari, maka Siangkoan Wan
merasa menyesal sekali terhadap Ceng-hoa dan To-kan,
maka ia bertekad hendak menebus kekhilafan dengan
jasa menolong mereka. Siangkoan Thay mendendam
pada Nyo Ceng tetapi ia pun kuatir kalau putrinya sampai
kena apa-apa, segera ia mendesak mundur Nyo Ceng.
"Sebentar akan kubikin perhitungan padamu lagi!"
bentaknya. Nyo Ceng hendak mengejar, tapi Utti Keng dan Ki
Seng-in sudah menghadangnya. Kekuatan suami istri itu
dapat mengimbangi Nyo Ceng sehingga tak dapat orang
she Nyo itu lolos. Utti Keng, Ubun Hiong dan Te Kun belum kenal siapa
Siangkoan Thay, tetapi menyaksikan kepandaian orang
sedemikian hebatnya dan mendengar pula pembicaraan
mereka hendak menolong To-kan, Te Kun, dan kawankawan,
mereka lega sekali. Semangat mereka pun timbul
sehingga dapat memberi perlawanan lagi yang dahsyat,
tetapi sayang karena jumlah mereka lebih sedikit,
meskipun tak sampai terluka, namun tak dapat juga
mereka menerobos keluar dari kepungan.
Dalam pada itu dengan mudah Siangkoan Thay dapat
membuka jalan karena kawanan Wi-su sudah
menyaksikan kelihaiannya dan jeri kepadanya. Cepat
sekali orang she Siangkoan itu tiba dan menyerang
kedua Wi-su yang menghadang Siangkoan Wan,
sebenarnya kepandaian kedua Wi-su itu tak menang dari
Siangkoan Thay, namun karena mereka bertempur dua
orang, dapat juga mereka melayani sampai belasan
jurus. Sedang Nyo Hoan yang harus mendukung Ceng-hoa
tak dapat berlari cepat, ia meloncat turun dari genteng
dan maksudnya hendak bersembunyi dalam salah sebuah
kamar tahanan, tetapi ternyata setiap kamar dikunci
dengan rantai. Belum lagi ia sempat membuka,
Siangkoan Wan pun sudah menyusul tiba. "Lekas
lepaskan adik Hoa!" bentaknya.
Nyo Hoan mendapat akal, tertawalah ia tergelakgelak.
Dengan sedih dan marah, berserulah Siangkoan
Wan, "Nyo Hoan, tak kukira kau ternyata manusia
macam begitu. Kau menghina aku, kau rela menjadi
antek kerajaan. Kau gembirakah" Lekas lepaskan atau
aku tak sudi kenal padamu lagi. Dan pedangku ini juga
takkan kenal padamu!"
Nyo Hoan berputar seraya memasang tubuh Ceng-hoa
sebagai perisai, kemudian tertawa gelak-gelak, "Cici
Wan, tidakkah kau ingat akan hubungan kita" Jika kau
memang hendak membunuh, tusuklah! Paling banyak
aku akan mati bersama Ceng-hoa."


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saking marahnya, sepasang mata si nona terbalik,
dampratnya, "Nyo Hoan, kau sungguh manusia berhati
srigala!" "Kaulah yang memaksa aku, jika kau memperlakukan
aku seperti dahulu, perlu apa kau merancang siasat
begitu" Cici Wan, sebenarnya buat apa kau melindungi
Ceng-hoa" Tiada Ceng-hoa, bukankah akan lebih baik
bagi kita" Cici Wan, tidakkah lebih baik kita berdamai?"
Siangkoan Wan memaki diri sendiri mengapa dahulu ia
sampai begitu buta terhadap Nyo Hoan, adalah karena
luapan amarahnya, ia sampai tak dapat mengucap
sepatah kata juga, hal itu disalah artikan oleh Nyo Hoan
yang mengira tekanannya berhasil. Selagi ia kegirangan,
tiba-tiba iganya terasa kesemutan dan Ceng-hoa yang
dikempit di bawah ketiaknya itu terlepas juga. Bukan
kepalang kejut Nyo Hoan, buru-buru ia hendak
menjulurkan tangan meraihnya, tetapi saat itu Siangkoan
Wan sudah meloncat menotok jalan darah pelemasnya,
seketika lunglailah tubuh Nyo Hoan tak dapat berkutik
lagi. Kiranya kepandaian keluarga Tiok jauh lebih unggul
dari Nyo Hoan, bahkan Nyo Ceng sendiri juga tak
mengetahui bahwa kepandaian si nona sudah mencapai
titik yang sedemikian rupa hingga dapat membuka jalan
darah yang tertotok, Nyo Ceng hanya hendak membuat
Ceng-hoa sebagai barang tanggungan saja. Tak berani ia
mencelakai nona itu dengan totokan yang berat karena
takut pembalasan dari ayah nona itu.
Sewaktu ditawan Nyo Hoan, diam-diam Ceng-hoa
sudah berusaha membuka jalan darahnya yang tertotok
itu, kemudian ia balas menotok iga Nyo Hoan. Sayang
ilmu totoknya baru saja dipelajari, jadi belum cukup kuat
tenaganya, maka paling banter ia hanya dapat membuat
Nyo Hoan kesemutan, tetapi tak dapat menundukkan.
Baru setelah Siangkoan Wan memberi totokan, pemuda
itupun roboh. Dengan bercucuran air mata, berkatalah Siangkoan
Wan kepada Ceng-hoa, "Adik Hoa, tempo hari aku telah
membuat penasaran padamu, sehingga kau menderita.
Akulah yang bersalah karena telah tertipu oleh Nyo
Hoan. Adik Hoa, maukah kau memaafkan aku?"
Ceng-hoa tertawa, ditariknya tangan Siangkoan Wan,
"Kutahu kalau kau tertipu oleh bangsat itu, sudah tentu
aku tak menyesalimu, sudahlah jangan memikirkan hal
itu lagi. Bahwa sekarang kau sudah sadar dan dapat
membuka kedok Nyo Hoan, itulah suatu perbuatan yang
baik!" Demikian kedua saudara misan itu saling
berjabatan tangan dengan mesra, pertanda kembalinya
kerukunan mereka semula. Sambil mencengkeram leher Nyo Hoan, berkatalah
Siangkoan Wan, "Lekas antar kita ke tempat To-kan!"
Nyo Hoan meringis, "Aku ... aku tak tahu dimana ia
berada!" "Cici Wan, jangan percaya omongannya!" seru Cenghoa.
"Cret", perlahan saja Siangkoan Wan mengguratkan
ujung pedangnya ke pakaian Nyo Hoan.
"Cici Wan, aku ... aku.." Nyo Hoan merintih.
"Kau bagaimana" Mau mengantar atau tidak?" bentak
Siangkoan Wan seraya menambahi sedikit tenaga untuk
memasukkan ujung pedangnya ke daging Nyo Hoan.
"Ya, ya, mau, mau!" Nyo Hoan berkuik-kuik seperti
babi hendak disembelih. Siangkoan Wan menggusur Nyo Hoan supaya
menunjukkan jalan. Nyo Hoan menunjuk sebuah kamar
tahanan, "Lim To-kan ditaruh di situ. Cici Wan, maukah
kau melepaskan aku?"
Siangkoan Wan berseru keras, "Adik Kan, adik Kan,
kau dimana" Apakah kau dengar suaraku" Akulah Cici
Wan!" Tak berapa lama, benar terdengar suara gemerincing
rantai dan penyahutan To-kan, "Aku di sini, Cici Wan.
Mengapa kau datang ke sini, lekas pergilah!"
Mendengar suara To-kan, legalah hati Siangkoan Wan.
"Bukankah aku tak membohongimu" Lepaskanlah aku,
ya?" kata Nyo Hoan. Tetapi Ceng-hoa curiga, pikirnya, "To-kan adalah
seorang pesakitan penting, mengapa tiada yang jaga?"
Buru-buru ia menyerukan Siangkoan Wan supaya jangan
melepaskan Nyo Hoan dulu.
Tepat pada saat Ceng-hoa selesai berseru, sekonyongkonyong
terdengar orang berseru, "Hai, budak
perempuan darimana itu" Nyo Hoan, apakah kau juga
membawanya?" Nadanya seperti baru logam
dibenturkan, mengiang di telinga. Dalam penjara tiada
lampu, di bawah sinar rembulan remang, tertampaklah
seorang Lamma berjubah merah berdiri di muka ruang
penjara itu, entah darimana munculnya. Mungkin karena
keremangan cuaca, maka Lamma itu tak melihat jelas
bahwa Nyo Hoan digusur Siangkoan Wan.
Seketika gemetarlah tubuh Nyo Hoan, serunya dengan
tergagap, "Ya, ya ... eh, tidak, tidak Hud-ya, jangan
turun tangan!" Lamma itu mendengus, lalu membentak, "Nyo Hoan,
kau berani membawa orang luar kemari" Akan kubunuh
kau lebih dulu!" Sekali tangan menimpuk, tiga batang
Hui-piau melayang. Ceng-hoa dan Siangkoan Wan dapat
memukul jatuh masing-masing sebatang. Dan yang
sebatang melayang di pelipis Nyo Hoan, hampir saja
menyentuh kulitnya. "Cici Wan, jika kalian bertempur, aku tentu akan
binasa. Maukah kau berbuat sedikit kebaikan dengan
melepaskan aku?" Jika lain orang dalam kedudukan sebagai Siangkoan
Wan, tentu Nyo Hoan akan dijadikan barang tanggungan,
tetapi Siangkoan Wan masih teringat akan hubungan
asmara tempo hari. Lemaslah hatinya, pikirnya, "Lamma
itu ganas benar, tetapi aku dapat memukul jatuh Huipiaunya,
kepandaiannya tentulah tidak luar biasa.
Bersama Ceng-hoa, aku tentu dapat mengalahkannya.
Dengan menggusur Nyo Hoan sebaliknya aku malah tak
leluasa, perlu apa harus membinasakannya?"
Segera ia lepaskan anak muda itu, bentaknya, "Hari ini
kuberi ampun padamu, tetapi kuharap kau dapat
merubah kelakuanmu, enyahlah!
Nyo Hoan bergulingan di tanah, tiba-tiba ia berseru,
"Hud-ya, tangkaplah kedua budak perempuan itu, tetapi
jangan dibunuh!" "Bagus, setelah dilepas kau hendak berbuat kejahatan
lagi! Cici Wan suka mengampunimu, tetapi aku tidak!"
Ceng-hoa murka sekali, ia hendak menerkam Nyo Hoan,
tapi kepalanya ditelingkup oleh segulung awan merah.
Kiranya Lamma jubah merah itu sudah meloncat turun
dari atas rumah. "Cret", Ceng-hoa menusukkan pedangnya, tetapi
pedangnya kena dirangkup oleh jubah Lamma. "Hai,
sungguh budak perempuan yang galak. Kau hendak
menangkap Nyo Hoan, aku hendak menangkapmu!"
Lamma itu tertawa gelak-gelak. Tangannya digerakkan,
sebelum menyentuh tubuh Ceng-hoa, dara itu sudah
merasakan dirinya seperti diseret oleh suatu tenaga kuat.
Kejut nona itu bukan kepalang, cepat ia keluarkan ilmu
Ginkang pusaka keluarganya, ia miringkan tubuh
menggelincir ke samping. Setelah tenaga tarikan tadi
terasa berkurang, ia segera gunakan gerak Yan-cu-joanlian
untuk melompat pergi. Si Lamma juga tercengang karena tak berhasil
menangkap Ceng-hoa, dengan penasaran ia memburu,
mengganti cengkeraman dengan dorongan tenaga kuat
ke arah Ceng-hoa, dari belakang Ceng-hoa sudah
menyingkir tiga tombak jauhnya, tetapi toh tetap
terguncang sehingga rebah ke tanah. Pedangnya pun
kena dilibat jubah si Lamma.
Siangkoan Wan terkejut sekali, tetapi si Lamma pun
sudah menyerbunya. Kepandaian Siangkoan Wan lebih
tinggi dari Ceng-hoa, ia hanya terputar-putar tubuhnya
tapi tak sampai jatuh. Hanya saja Ginkang nona itu kalah
dari Ceng-hoa, ia dapat bertahan diri tapi tak mampu
melompat menerobos keluar seperti Ceng-hoa tadi.
Hanya dalam beberapa jurus saja, si Lamma sudah
membentak, "Lepas!" Berbareng dengan gerakan
jubahnya, pedang Siangkoan Wan pun terlepas dari
tangan. Ternyata Lamma itu adalah jago nomor satu atau dua
golongan Ang-kau di Secong (Tibet), namanya
Songpupa. Kepandaiannya lebih tinggi sedikit dari Nyo
Ceng. Bersama Nyo Ceng ia mendapat tugas menjaga
To-kan. Tadi ketika Nyo Hoan digusur Siangkoan Wan,
Lamma itu sengaja tak mau mengeluarkan
kepandaiannya yang sebenarnya. Dia hanya
menggunakan tiga bagian tenaganya untuk menimpuk
senjata rahasia, agar Siangkoan Wan mengira kalau dia
mudah dihadapi dan kemudian mau melepaskan Nyo
Hoan. Apa yang direncanakan itu ternyata berhasil.
Setelah dapat merebut pedang pusaka Siangkoan
Wan, Songpupa tertawa gelak-gelak, "Nyo Hoan,
bukankah kau menghendaki nona ini" Baik, terimalah
nonamu itu!" Waktu ia hendak maju menangkap
Siangkoan Wan, tiba-tiba Siangkoan Thay datang.
Melihat putrinya terancam bahaya, sebelum orangnya
tiba, Siangkoan Thay lebih dulu melontarkan sebuah
hantaman. Gentarlah hati Songpupa menyaksikan
kepandaian Siangkoan Thay itu, tanpa menghiraukan
Siangkoan Wan lagi, ia terus melontarkan pedang
Siangkoan Wan tadi ke arah Siangkoan Thay. Jago she
Siangkoan itu menghindar sambil menyambar tangkai
pedang dengan jarinya, kemudian pedang itu diberikan
lagi pada putrinya. Serunya, "Lekas tolong orang, biar
kubereskan si ganas ini!"
Siangkoan Wan hendak bergerak, tapi ayahnya segera
melindungi di depan. Benar juga saat itu Songpupa
melontarkan sebuah hantaman dahsyat. Siangkoan Thay
menangkisnya, ketika dua buah pukulan berhantam,
terdengarlah suara tamparan yang keras sekali.
Songpupa terhuyung-huyung, Siangkoan Thay tersurut
mundur dua langkah. Tampaknya Songpupa yang lebih
unggul tapi sebenarnya dialah yang menderita, telapak
tangannya seperti terbakar oleh besi panas. Sekalipun
dia memiliki ilmu kebal, namun sakit juga. Ternyata yang
dilancarkan Siangkoan Thay itu adalah pukulan Toa-jiuin,
sebuah pukulan Lwekang yang khusus untuk
menghancurkan urat nadi. Pukulan ini sumbernya berasal
dari daerah Secong, sebagai seorang Secong sudah tentu
Songpupa kenal akan ilmu pukulan itu. Maka serunya
dengan kaget, "Kau toh bukan bangsa Han mengapa
membantu gerombolan pemberontak itu?"
"Aku hanya kenal jahat dan baik, kau membantu
kejahatan, sudah seharusnya menerima pukulanku!"
sambil berkata ia menghantam lagi dengan kedua
tangannya. Gerakan itu semula dalam jurus Wan-kiongshia-
hou, kemudian diubah menjadi No-hay-kin-liong
(laut marah menangkap naga). Sayup-sayup sambaran
pukulannya itu mengandung gemuruh deru badai, jauh
lebih dahsyat dari yang tadi.
"Eh, kau kira aku takut padamu!" teriak Songpupa
dengan marah, ia menyongsongkan sebelah tangannya.
Tiba-tiba ia gunakan dua buah jarinya untuk menusuk,
kalau kena, urat nadi lengan Siangkoan Thay tentu putus
juga. "Bagus!" Siangkoan Thay membalikkan lengan,
dengan punggung tangan ia menampar jari lawan,
sedang tangan kirinya masih tetap menggunakan Toajiu-
in untuk mengarah dada, jurus itu mengajak lawan
sama-sama terluka. Songpupa tak berani, terpaksa ia
menarik pulang tangannya untuk kemudian memukul
dengan jurus Ngo-ting-gui-san. Benturan kali itu
membuatlah Siangkoan Thay mundur selangkah,
Songpupa benar tetap tegak tapi ubun-ubun kepalanya
mengeluarkan segulung asap tipis.
Dalam hal Lwekang, Songpupa lebih dalam sedikit,
tetapi karena pukulan Siangkoan Thay khusus
diperuntukkan menghancurkan urat nadi, maka dapatlah
menutup kelemahannya itu. Demikianlah kedua jago itu
saling mengukur kepandaian dengan seru.
Sementara Siangkoan Wan setelah menghampiri
kamar tahanan, lalu segera menabas rantai kunci dengan
pedang pusakanya. Ia menyulut api untuk menyuluhi,
ternyata To-kan dikurung dalam sebuah sangkar
(kurungan) besi dan dirantai dengan papan besi.
"Adik Kan, akulah yang bersalah. Tempo hari karena
percaya omongan Nyo Hoan, aku tak mau menolongmu.
Kalau tidak, tentulah saat ini kau takkan menderita
seperti ini!" Siangkoan Wan menyesal sekali.
To-kan gembira sekali, ujarnya, "Cici Wan, telah
kudengar bagaimana tadi kau memaki Nyo Hoan. Kau
telah bertengkar padanya, bukan?"
Merah pipi Siangkoan Wan, sahutnya, "Bukan saja
bertengkar, tetapi karena dia ternyata yang mencelakai
ayahku, maka sejak kini kalau berjumpa dengannya
tentu tak akan kuberi ampun lagi. Kali ini aku pun telah
memaksanya supaya mengantar kemari."
"Cici Wan, begitulah selayaknya! Tahukah kau apa
yang kucemaskan tempo hari" Tiada lain ialah kalau kau
sampai terpikat oleh Nyo Hoan. Terus terang, sebelum
ketahuan belangnya, aku pun sudah tak senang
padanya. Hanya kala itu tak berani kubilang padamu,"
kata To-kan. Mungkin dia tak mengerti bagaimana
perasaan antara gadis dan jejaka, tetapi yang
dikatakannya itu adalah suara hatinya, hati yang masih
kekanak-kanakan. Siangkoan Wan tergerak hatinya, "Adik Kan, tak nyana


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau begitu memperhatikan diriku. Ah, sayang kau bukan
adik kandungku." To-kan memakai papan besi, setelah Siangkoan Wan
membuka sangkar besi, To-kan masih belum dapat
bergerak. Waktu Siangkoan Wan menariknya keluar,
hampir saja To-kan jatuh ke tubuh si nona. Siangkoan
Wan mengangkatnya, didapatinya anak itu sudah jauh
lebih besar dari dua tahun yang lalu. Walaupun baru
berusia 15 tahun, tapi tingginya sudah sama dengan si
nona yang sudah berumur 18 tahun. Ketika mengangkat
bahu anak itu, Siangkoan Wan menyentuh sebuah bahu
yang kokoh kekar. Suatu perasaan timbul dalam hati si
nona bahwa itulah bahu yang diandalkan, jauh berlainan
dengan Nyo Hoan. Entah bagaimana, seperti ada suatu
perasaan yang membangkitkan keinginan Siangkoan Wan
untuk menyandarkan diri pada bahu itu. Keinginan itu
hanya terlintas sekejap saja dan merahlah wajah si nona.
Papan besi yang merangkap kaki To-kan itu terdiri dari
dua bilah besi, pedang pusaka Siangkoan Wan hanya
dapat membelah borgol tangan tetapi tak dapat
memecahkan papan besi di kaki.
"Akan kuminta ayah membuka papan besi ini," kata
Siangkoan Wan. Ia yakin ayahnya tentu sudah dapat
memberesi Lamma jubah merah tadi, tetapi kejutnya
bukan kepalang ketika melongok keluar, dilihatnya sang
ayah masih bertempur mati-matian dengan Lamma itu,
bahkan ayahnya tidak tampak unggul dalam
pertempuran. Kiranya ilmu pukulan Toa-jiu-in dari Siangkoan Thay
itu paling memeras tenaga Lwekang. Keunggulan
Songpupa terletak pada Lwekangnya yang tinggi,
memang dalam babak pertama ia hanya dapat bertahan.
Dua puluh jurus kemudian setelah tenaga Siangkoan
Thay mulai berkurang, barulah kekuatan kedua pihak
berimbang. Selagi Siangkoan Wan cemas, tiba-tiba dari kejauhan
terdengar pula dering senjata beradu. Siangkoan Wan
menatap ke keremangan bulan, dilihatnya di atas
wuwungan terdapat empat orang lelaki tengah
mengepung seorang dara. Astaga, kiranya Tiok Cenghoa!
Ternyata pada waktu Siangkoan Wan dan kawankawan
menggusur Nyo Hoan, di sekeliling tempat itu
sudah penuh dengan kawanan Wi-su istana. Mereka pun
tahu perbuatan ketiga anak muda itu, tetapi oleh karena
anak-anak muda itu masuk ke dalam perangkap, mereka
tak mau keluar, kemudian setelah Nyo Hoan bebas,
barulah kawanan Wi-su itu keluar. Untung keempat Wisu
yang mengepung Ceng-hoa itu bukan termasuk
golongan kelas satu, dengan Ginkangnya yang lihai
dapatlah Ceng-hoa melayani mereka.
"Cici Wan, bantulah Cici Tiok, jangan hiraukan aku!"
To-kan menyuruh si nona. "Tetapi kau belum dapat berjalan sendiri," sahut
Siangkoan Wan. To-kan tertawa, "Setelah tanganku
bebas, aku toh sudah dapat membela diri. Jangan kuatir,
jika hendak membunuh aku, tentu siang-siang mereka
sudah membunuhku." Siangkoan Wan masih tak tega, namun karena Cenghoa
terancam, terpaksa ia pergi juga. Saat itu Siangkoan
Thay tengah bertempur seru dengan Songpupa, dalam
lingkaran setombak luasnya, angin pukulan mereka
masih menderu. Jago biasa saja, kalau masuk dalam
lingkaran itu tentu akan terpental.
"Yah, perhatikan adik Kan, jangan sampai ada orang
masuk ke dalam kamarnya," kata Siangkoan Wan.
"Ya, kau teruskan membantu Ceng-hoa dan ajak ia
kemari," sahut ayahnya. Ia mengisar ke belakang dan
berdiri membelakangi kamar tahanan To-kan dan
menjaga pintunya, dia memang tidak dapat
mengenyahkan Songpupa, tapi Lamma itupun tak
mampu menerobos. Kedua jago itu mengeluarkan
seluruh kepandaiannya, lebih-lebih kawanan Wi-su itu,
sama sekali mereka tak dapat menghampiri ke dekat
kedua orang itu. Siangkoan Wan meloncat ke atas genteng dan
membantu Ceng-hoa, ia tidak dapat mengajak Ceng-hoa
supaya bergabung dengan Siangkoan Thay. BerturutTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
turut muncullah kawanan Wi-su untuk mengepung rapat
kedua dara itu. Tiga puluh jurus kemudian, tenaga Siangkoan Thay
makin banyak keluar, meskipun tak sampai kalah namun
Songpupa sudah lebih menang angin. Demikianlah terjadi
dua partai pertempuran, ayahnya bertempur di bawah,
putrinya di atas rumah, sementara di luar halaman
penjara, Utti Keng dan kawan-kawan tengah bertempur
seru juga. Setelah Siangkoan Thay masuk ke dalam,
maka Nyo Ceng mendapat angin lagi, Utti Keng dan
istrinya sudah kelewat lama bertempur, mereka hanya
dapat bertahan saja. Di pihak Nyo Ceng masih ada 7-8
orang Ko-chiu kelas satu. Te Kun, Ubun Hiong dan Konghe
bahu membahu memberikan perlawanan, mereka
juga masih merasa kepayahan.
Ada salah seorang Wi-su yang mengetahui riwayat
Kong-he, serunya, "Bangsat kecil ini juga yang
diperintahkan supaya ditangkap. Ayo, kita ringkus dulu!"
Dengan beberapa orang, Wi-su itu menyusup ke arah
Kong-he, terpaksa Ubun Hiong memainkan Toa-si-mikiam
untuk menahan mereka. Utti Keng dan istri juga ingin membagi tenaga untuk
melindungi Kong-he, tetapi mereka ditekan oleh tongkat
Nyo Ceng sehingga tak mempunyai kesempatan lagi.
Tiba-tiba Nyo Ceng mainkan tongkatnya dengan gencar,
setelah berhasil mendesak Utti Keng dan istri mundur
tiga langkah, ia memutar tubuh menyampuk pedang
Ubun Hiong. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh
seorang Wi-su yang segera menggunakan ilmu Kim-najiu
untuk menangkap Kong-he. Utti Keng menggerung keras, menyabet tengkuk Nyo
Ceng. Nyo Ceng membalikkan tangan menangkis, sedang
Ki Seng-in meloncat mengejar si Wi-su tadi seraya
menyabetkan piannya. "Lepaskan!"
Wi-su itu sudah berhasil menangkap Kong-he, ia
angkat tubuh anak itu ke atas dan berseru, "Nah,
pukullah!" Maksudnya hendak menjadikan Kong-he
sebagai perisai, tetapi di luar dugaan, permainan pian Ki
Seng-in luar biasa sekali. Belum selesai mulut si Wi-su
mengucap, dahinya sudah kena tersabet pian, darah
bercucuran keluar. Pian Ki Seng-in dapat mengitari tubuh Kong-he tanpa
melukainya untuk kemudian menyabet dahi si Wi-su,
sungguh suatu permainan yang luar biasa.
Wi-su itu terkejut dan marah, diangkatnya Kong-he
tinggi-tinggi terus diputar-putar seraya berseru, "Bangsat
perempuan, ayo hantam lagi sepuas-puasmu agar
bangsat cilik ini menjadi hancur-lebur!"
Sebenarnya mengingat betapa penting diri Li Kong-he
bagi pemerintah Cing, si Wi-su tentu tak berani
mencelakainya, tetapi Ki Seng-in kuatir juga, dalam
kemarahannya Wi-su itu akan kalap dan berbuat sesuatu
yang merugikan Kong-he. Di sini Ki Seng-in terbenam dalam kesangsian, di sana
Utti Keng pun terdesak oleh Nyo Ceng. Meskipun ia
gagah, tapi karena sudah kelewat lama bertempur, maka
tak dapat lagi sisa tenaga memenuhi kehendaknya.
Nyo Ceng memainkan tongkatnya dengan gencar,
menyerang ke kanan menotok ke kiri, setiap jurus
serangannya selalu mengarah jalan darah orang yang
berbahaya. Sedikit saja Utti Keng lengah, tentu akan
termakan. Ki Seng-in makin bingung, ia tak mau membiarkan
Kong-he celaka, tapi juga kuatir suaminya menderita.
Selagi dalam kebingungan, sekonyong-konyong
terdengar sebuah suitan panjang memecah angkasa.
Cepat sekali suitan itu sudah tiba. Ki Seng-in terperanjat
menyaksikan kepandaian pendatang baru itu, belum
habis ia meraba-raba siapa yang datang itu, kawanan
Wi-su yang berada di atas wuwungan rumah sudah
kacau-balau berjatuhan ke bawah.
"Suhu, Suhu!" serentak menjeritlah Ubun Hiong
dengan girang demi mengetahui siapa yang datang.
Kiranya pendatang itu adalah Kang Hay-thian, tokoh
yang dipandang oleh kaum persilatan sebagai jago
nomor satu di masa itu. Sebenarnya Kang Hay-thian tak
menyerang kawanan Wi-su tadi, adalah mereka sendiri
yang tak tahu siapa Kang Hay-thian, lalu coba-coba
hendak menghadangnya. Akibatnya mereka terpental
kena ilmu Can-ih-cap-pek-tiap (menyentuh pakaian jatuh
18 kali) dari Kang Hay-thian.
Melihat Kang Hay-thian, pecahlah nyali Nyo Ceng.
Tanpa berpikir lama ia segera meninggalkan
pertempuran dan lari tunggang-langgang. "Kang-tayhiap,
kawanan kuku garuda telah menangkap muridmu Li
Kong-he!" seru Ki Seng-in.
Maksud kedatangan Kang Hay-thian sebenarnya hanya
untuk menolong To-kan. Siapa tahu ternyata di situ ia
berjumpa pula dengan dua orang muridnya yang lain.
Terutama Li Kong-he, murid yang pernah dicari kemanamana
tanpa berhasil itu ternyata juga berada di situ.
Mendengar nama Kang Hay-thian, terbanglah
semangat para Wi-su, tetapi mereka berkeras kepala
karena merasa masih mempunyai barang tanggungan
(Kong-he). "Oh" dalam menyahuti seruan Ki Seng-in tadi, Kang
Hay-thian pun sudah tiba dihadapan Wi-su itu,
bentaknya, "Lepaskan anak itu, nanti kuampuni
nyawamu!" Si Wi-su mencengkeram tenggorokan Kong-he makin
kencang, serunya, "Selangkah saja kau berani maju,
muridmu tentu kumatikan!"
Kang Hay-thian tertawa gelak-gelak, "Memang tak
berani?" Sekali mengulurkan kedua tangannya, tahu-tahu
Kong-he sudah berada di pelukannya. Tampaknya
seolah-olah Wi-su itu rela menyerahkan sendiri tanpa
dipaksa. Utti Keng dan istrinya heran sekali, pikir mereka,
"Mengapa kawanan kuku garuda begitu taat padanya?"
Habis 'menyerahkan' Kong-he, si Wi-su terhuyunghuyung
dan roboh ke tanah. Kedua kakinya dijulurkan
dan mulutnya muntah darah, jiwanya amblas. Ternyata
waktu 'meminta' Kong-he tadi. Kang Hay-thian telah
menggunakan Lwekang Kek-bu-joan-kang, meremukkan
tulang tangan si Wi-su supaya melepaskan Kong-he.
Kepandaian Kang Hay-thian telah mencapai
kesempurnaan, bukan saja tulang tangan remuk, juga
jeroan Wi-su itu hancur berantakan ....
Kong-he seperti bermimpi bahwa dalam keadaan dan
tempat seperti saat itu, ia dapat berjumpa dengan
Suhunya. Ki Seng-in menyuruh ia lekas memberi hormat
kepada Kang Hay-thian, tetapi Kang Hay-thian tertawa,
"Nanti kalau sudah pulang saja, sekarang kita perlu
menolong Lim-sutemu dulu."
Namun Kong-he masih tetap menganggukkan kepala
selaku memberi hormat kepada sang Suhu, ujarnya,
"Suhu, tadi kulihat Nyo Hoan lari ke sana, Lim-sute besar
kemungkinan ditahan di sana juga. Nyo Hoan juga
membawa lari putri Tiok Siang-hu!"
Tiba-tiba dari arah yang dikatakan Kong-he tadi,
terdengar suara suitan panjang. Kang Hay-thian terkejut,
katanya, "Itulah suitan Siangkoan Thay, agaknya ia
menderita sedikit luka." Tak sempat lagi ia bercerita,
dengan menggunakan ilmu Pat-poh-kam-sian, cepatcepat
ia menuju ke sana. Ternyata setelah lari dari tempat pertempuran, Nyo
Ceng masih penasaran, ia mempunyai rencana hendak
melarikan To-kan, ia tahu bahwa di dalam penjara situ
terdapat sebuah jalan rahasia yang tembus keluar. Jika
dapat melarikan To-kan, berarti sebuah pahala juga,
tetapi Siangkoan Thay menjaga dengan gigih, harus
diganyang dulu baru ia dapat melaksanakan rencananya.
Begitu tiba, ia segera mainkan tongkat menyerang
Siangkoan Thay yang tengah sibuk menghadapi
Songpupa. Siangkoan Thay mati-matian melawan sambil
bersuit keras. Akhirnya Siangkoan Thay kena ditotok jalan darahnya
oleh Nyo Ceng, namun orang she Siangkoan itu
mempunyai ilmu menutup jalan darah. Sekalipun totokan
itu mengakibatkan tenaga dalam merembes keluar,
namun ia masih dapat bertahan tak sampai roboh. Nyo
Ceng hendak menerjangnya lagi, tiba-tiba terdengar
hiruk-pikuk kawanan Wi-su menjerit kaget. Kang Haythian
sudah tiba di atas wuwungan rumah, melihat
Siangkoan Thay dan Ceng-hoa tengah dikeroyok para Wisu,
Kang Hay-thian gunakan ilmu Toa-soay-pay-chiu
untuk merobohkan beberapa Wi-su yang tampak paling
ganas. Melihat Kang Hay-thian muncul di atas rumah, Nyo
Ceng insyaf bahwa ia tak punya kesempatan lagi untuk
mencelakai Siangkoan Thay, segera berserulah ia kepada
kawan-kawannya, "Angin kencang, berhenti teriak!"
Dengan peringatan itu ia anggap sudah memenuhi
kewajiban kawan terhadap Songpupa, tanpa
menghiraukan dia lagi, segera ia melarikan diri.
Songpupa tak tahu siapa Kang Hay-thian itu, ia
tertawa dingin, "Nyo Ceng, nyalimu sungguh kecil
benar!" Kembali ia melontarkan sebuah pukulan ke arah
Siangkoan Thay. Saat itu Kang Hay-thian pun sudah tiba,
dari atas rumah meloncat turun.
Setelah menderita sedikit luka dan melihat kedatangan
Kang Hay-thian, Siangkoan Thay pun tak mau bertempur


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Ia menghindar ke samping dan berseru, "Kangtayhiap,
lekas, Lim To-kan ditahan dalam ruang ini!"
Di luar dugaannya, peringatan itu menggugah pikiran
Songpupa juga, pikirnya, "Begitu takut Nyo Ceng kepada
orang ini, tentulah seorang yang lihai. Lebih baik
kutawan dulu bangsat cilik itu agar jangan sampai
dirampas musuh dan sekaligus dapat digunakan bila
perlu." Ia menyiak Siangkoan Thay dengan sebuah
pukulan, kemudian terus hendak menerobos ke dalam
ruangan. Kang Hay-thian mencengkeramkan tangannya ke
udara dan membentak dahsyat, "Kembali!" Bentakan itu
disebut ilmu Say-cu-khong-kang atau singa mengaum.
Dahulu ketika tukar-menukar kepandaian dengan Thongsian
Siangjin dari Sian-lim-si, Kim Si-ih telah mendapat
pelajaran ilmu itu, kemudian ia menurunkan pada Kang
Hay-thian. Hebat sekalipun Lwekang Songpupa, namun
menghadapi gemboran Say-cu-khong-kang itu,
jantungnya pun tergetar keras, bahkan tidak hanya
begitu saja, tubuhnya pun di luar kesadarannya telah
terseret mundur beberapa langkah.
Kang Hay-thian. telah menggunakan pukulan Pikkhong-
ciang digabung dengan Say-cu-khong-kang,
hasilnya membuat Lamma lihai dari Secong itu terpental
mundur, tetapi ia tak jatuh, suatu hal yang membuat
Kang Hay-thian kagum juga. Cepat sekali Kang Hay-thian
mencelat ke muka si Lamma dan membentaknya,
"Mengingat kau seorang agama, maka enyahlah saja!"
Kang Hay-thian seorang yang lapang dada dan murah
hati, sebaliknya Songpupa tak percaya kalau ia bakal
dilepas begitu saja. Ia kuatir begitu berputar tubuh. Kang
Hay-thian akan memukulnya dari belakang. Dilihatnya
Siangkoan Thay sudah terluka dan menyingkir ke
samping, pikirnya, "Ho Lan-bing dan beberapa Ko-chiu
masih berada di sini, asal aku dapat melayaninya barang
10-an jurus saja, tentulah bala bantuan akan datang.
Daripada mundur dan ditertawai orang, lebih baik
kutempurnya mati-matian!" Lamma itu tidak tahu bahwa
Ho Lan-bing, Li Tay-tian dan kawannya yang lain sudah
terluka semua. Diam-diam ia mengerahkan seluruh Lwekang ke arah
lengan, ia pura-pura hendak lari sambil mendamprat
Kang Hay-thian, "Siapa kau, berani begitu sewenangwenang?"
"Kalian menangkap juga seorang anak, mengapa
menuduh aku sewenang-wenang" Seorang lelaki tak mau
menyembunyikan diri, akulah Kang Hay-thian dari
Soatang!" sahut Kang Hay-thian.
"O, kiranya Kang-tayhiap" Sudah lama sekali aku
mengagumi namamu!" sekonyong-konyong Lamma itu
bersuit keras, kemudian menghantam sekuat-kuatnya
dengan sepasang tinjunya. Suitan itu tanda meminta bala
bantuan. "Bum", karena tak bersiaga. Kang Hay-thian terkena
hantaman itu. Marahlah ia, "Kurangajar! Telah kuampuni
kau, sebaliknya kau malah membokong aku!" Ia balas
memukul dengan jurus Wan-kong-shia-tiau, setelah
tangan kiri ditarik, secepat kilat ia menggerakkan tangan
kanan menghantam. Songpupa mengepalkan kedua tinju yang dibuat
memukul orang itu untuk menyambut telapak tangan
lawan. Sementara kuda-kuda kakinya tetap tegak laksana
karang, pukulan tangan kiri Kang Hay-thian tadi
menggunakan lima bagian Lwekang, kemudian pukulan
dengan tangan kanan menggunakan tujuh bagian
tenaganya. Bahwa si Lamma dapat bertahan diri
sedemikian rupa, membuatnya benar-benar heran. Ia
hendak menyusuli lagi dengan pukulan ketiga, tapi tibatiba
terlintas sesuatu dalam pikirannya. Didengarnya
Songpupa berdehem perlahan, dari tujuh lubang indera
tubuhnya memancarkan darah dan disusul dengan
robohnya sang tubuh ... ternyata Lamma itu tak kuat
menerima pukulan Kang Hay-thian, tetapi memaksakan
diri dan menggunakan Jian-kin-tui untuk
mempertahankan tubuhnya. Itulah sebabnya setelah
bagian dalam tubuhnya hancur, barulah Lamma itu
terjungkal roboh. Kemudian Kang Hay-thian menanyakan tentang
keadaan Siangkoan Thay. Sahut Siangkoan Thay, "Hanya terluka sedikit, tak jadi
soal." Kemudian kedua jago itu masuk ke dalam ruang
sel, dengan tenaganya yang maha dahsyat dapatlah
Kang Hay-thian memutuskan papan besi pengalung kaki
To-kan. Saat itu Utti Keng suami istri dan kawan-kawannya
tiba juga. kawanan Wi-su yang mengeroyok Ceng-hoa
dan Siangkoan Wan pun sudah lari. Dalam girangnya,
To-kan mencekal tangan Kong-he dan berkata dengan
penuh keharuan, "Apakah aku sedang bermimpi" Suhu,
kau datang. Engkoh Kong-he, kau pun juga datang!"
Kong-he tertawa, "Masih ada lagi hal yang lebih
menggirangkan hatimu, adik Kan. Ayahmu pun berada di
kotaraja sini, aku bersama paman Te memang mendapat
perintah dari beliau untuk menolongmu!"
Hampir tak dapat To-kan mempercayai telinganya.
"Benarkah" Mengapa ayah tak kemari?"
"Dia memimpin anak buah menyerang istana," kata
Kong-he. Mendengar ucapan itu sampai Kang Hay-thian juga
terkejut sekali, ternyata ia hanya mendengar berita
tentang ditangkapnya Lim To-kan, sama sekali tak tahu
tentang Lim Jing menyerang istana.
"Kita tak boleh terlambat, segera saja kita sambut
Kaucu," kata Te Kun.
Dengan semangat bergelora, berserulah Kang Haythian,
"Inilah suatu gerakan yang benar-benar
menggemparkan dunia. Hiong-ji, He-ji, Kan-ji, sungguh
berbahagia sekali kita guru dan murid-murid bertemu di
sini, kita harus segera membantu Lim-kaucu." Ditariknya
tangan Ubun Hiong untuk menghiburnya, "Hiong-ji, kau
adalah muridku yang baik. Apa yang telah kau alami,
kuketahui semua. Soal itu tak lama tentu akan ketahuan,
janganlah kuatir!" Ucapan itu berarti suatu pernyataan menerima Ubun
Hiong sebagai murid lagi, girang anak muda itu bukan
buatan. Berbareng pada saat itu terdengarlah derap pasukan
besar mendatangi. Segera kata Te Kun, "Eh, apakah musuh telah
mengetahui kita menyerang penjara sehingga mengirim
pasukan kemari?" "Jika mereka mengirim pasukan kemari, itulah
kebetulan sekali. Dengan begitu tenaga perlawanan yang
dihadapi Lim-kaucu menjadi berkurang," seru Ki Seng-in
pula. Kini tersadarlah ia mengapa Lim Jing tempo hari tak
mau lekas menyerang penjara, ternyata Lim Jing telah
mengatur rencana yang sedemikian cermatnya,
menyerang istana serta mengirim tenaga untuk
membantunya (Ki Seng-in) ke penjara, membuat nyonya
itu terkagum-kagum. Sudah setahun Utti Keng menganggur, malam itu ia
benar-benar gembira karena dapat menumpahkan
kekesalan hatinya. "Bagus, kita berpesta-pora malam
ini!" Para penjaga penjara sudah melarikan diri, mereka
panik diterjang si berangasan Utti Keng. Selesai
menembus keluar, Utti Keng selalu membuka kunci tiaptiap
ruang tahanan. Para narapidana dan pesakitan
penting berbondong-bondong keluar....
Sesudah menerjang keluar penjara kerajaan,
tertampaklah di sebelah sana cahaya api merah
membara menjulang tinggi ke langit. Te Kun menyatakan
kegirangannya, disangkanya sang Kaucu sudah berhasil
menyerbu ke dalam istana.
Akan tetapi mendadak satu pasukan tentara berlari-lari
ke jalanan ini. Yang berlari-lari di depan sambil
bertempur adalah anggota-anggota Thian-li-kau dan
yang mengejar di belakang adalah pasukan kerajaan
yang berseragam dengan membawa obor, maka suasana
menjadi terang benderang seperti siang hari.
"Itu dia, yang di depan sana tentu adalah komplotan
bandit Thian-li-kau yang menyerbu penjara. Mereka
harus diringkus semuanya, satu pun tidak boleh lolos!"
demikian teriak seorang perwira.
Te Kun menjadi ragu-ragu dan merasa gelagat jelek,
pasukan kerajaan ini bukan pergi membantu
mempertahankan istana, sebaliknya malah menguber ke
sini, agaknya di sebelah istana sana telah terjadi
perubahan. Dalam pada itu pasukan kerajaan yang berkuda itu
sudah menerjang tiba, anggota-anggota Thian-li-kau
yang bersenjata itu masih sanggup melawan sehingga
tidak banyak jatuh korban, tapi kawanan pelarian dari
penjara itulah yang telah terbunuh tidak sedikit.
Mendadak Utti Keng menggerung keras, bukannya
melarikan diri, sebaliknya ia memapak ke arah pasukan
musuh. Bentaknya murka, "Ini dia, boleh kita coba siapa
yang akan lapor dulu kehadapan raja akhirat!"
Ketika beberapa penunggang kuda dari pasukan
kerajaan yang paling depan menerjang tiba, sekonyongkonyong
Utti Keng menjatuhkan diri ke atas tanah, sinar
goloknya berkelebat, yang dia incar adalah kaki kuda
melulu. Kepandaian Utti Keng menggelinding di atas tanah
sambil main golok memang sangat lihai, begitu rebah
terus saja dia bergulingan sebagai bola dan setiap saat
dapat pula membal ke atas bilamana ada kesempatan
untuk membunuh musuh. Pasukan musuh yang
bermaksud menginjak tubuh Utti Keng tahu-tahu berbalik
roboh semua karena kaki kuda mereka tertabas kutung.
Dalam sekejap saja lima penunggang kuda paling depan
sudah dibinasakan olehnya. Dan karena itu pula jalanan
kota menjadi terhalang oleh bangkai kuda dan mayat
manusia. Sesuai dengan julukan 'Koan-im bertangan seribu',
saat itu Ki Seng-in juga telah memperlihatkan kemahiran
dalam menghamburkan senjata rahasia. Begitu dia
menangkap anak panah yang dibidikkan dari prajuritprajurit
kerajaan itu, kontan ia sambitkan kembali bagai
hujan, dalam sekejap saja belasan prajurit musuh juga
sudah roboh binasa. "Terjang terus, injak kawanan bangsat ini sampai
hancur-Iebur!" demikian perwira tadi memberi komando.
Karena didesak oleh komandannya, walaupun enggan,
terpaksa kawanan prajurit itu membanjir maju lagi, selain
panah, sekarang mereka pun menghujani lembing
sehingga mau tak mau di pihak Thian-li-kau telah jatuh
korban lebih banyak. Kang Hay-thian tidak mau tinggal diam lagi, mendadak
ia melompat maju sambil membentak "Roboh!" Dua
batang lembing yang ditangkapnya kontan- ditimpukkan
kembali. Perwira garang tadi tertembus oleh sebatang
lembing, lembing yang lain menyelonong ke arah
seorang perwira yang lain lagi, "cret", tahu-tahu kopiah
perwira itupun telah disambar lembing itu dan jatuh ke
tanah, rambut si perwira itupun terkupas secomot, hanya
selisih sedikit saja kepalanya tentu bisa pecah.
Keruan kejut perwira itu tidak kepalang, sambil
meraba kepalanya cepat ia memutar kuda terus
melarikan diri. Melihat komandan dan wakil komandan mereka telah
binasa dan lari, tentu saja prajurit-prajuritnya ikut
ketakutan. Sambil berteriak panik mereka terus saja
putar haluan dan kabur mencari selamat sendiri-sendiri.
Diam-diam Kang Hay-thian merasa lega, untunglah
pasukan musuh itu sudah lari ketakutan, padahal kalau
mereka mau menerjang maju, biarpun kepandaian
Kang Hay-thian dan kawan-kawannya setinggi langit juga
sukar meloloskan diri dari terjangan lautan manusia
musuh itu. Sesudah suasana tenang kembali, segera seorang
Thaubak dari Thian-li-kau maju memberi hormat kepada
Te Kun serta menyampaikan berita, "Atas perintah
Kaucu, para saudara kita diharuskan lekas menuju ke Wijun
melalui pintu gerbang utara."
Wi-jun adalah sebuah kampung kecil kira-kira ratusan
li di luar kotaraja, beberapa ribu bala bantuan anak buah
Tio Su-liong sementara itu berpangkalan di sana.
Keruan Te Kun terkejut sekali menerima berita itu.
"Apakah pertempuran di istana telah mengalami
kegagalan?" tanyanya.
"Giam Cin-hi telah berkhianat pada saat terakhir, di
dalam istana ada pasukan bedil pula, sebaliknya bala
bantuan kita terlambat datang, terpaksa kita
diperintahkan mundur dahulu," tutur Thaubak itu.
"Dan Kaucu sendiri apakah baik-baik saja?" tanya Te
Kun "En ... entah, aku sendiri tidak tahu," sahut si Thaubak
dengan ragu-ragu dan tidak berani menerangkan, karena
saat itu Lim To-kan telah mendekati mereka.
Kiranya Lim Jing sudah bersekongkol dengan dua
Thaykam di dalam istana, yaitu Lau Kim dan Giam Cin-hi.
Di luar dugaan Giam Cin-hi telah mengetahui terputusnya
bala bantuan dari Tio Su-liong, melihat gelagatnya tentu
pergerakan mereka akan gagal, ia menjadi takut
akibatnya, diam-diam ia malah melaporkan sendiri
kepada raja. Karena itu pihak kerajaan di bawah
pimpinan putra mahkota Bun Ling sempat mengadakan
penjagaan dan Lau Kim tertangkap serta binasa.
Di antara pasukan pengawal istana itu ada satu
pasukan bedil yang lihai pada zaman itu. Betapapun


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gagah beraninya anggota-anggota Thian-li-kau juga
sukar melawan senjata api itu, apalagi musuh sudah
mengetahui pergerakan mereka, bahkan bala bantuan
pasukan kerajaan segera dapat didatangkan juga. Dalam
keadaan terjepit, demi untuk menyelamatkan sebagian
kekuatannya, terpaksa Lim Jing memberi perintah
menerjang keluar dari kotaraja.
Begitulah setelah mendapat laporan dari Thaubak itu,
semua orang menjadi kuatir dan ingin lekas pergi
membantu Lim Jing, segera rombongan mereka
menyerbu ke pintu gerbang utara. Sampai di sana. pintu
gerbang sudah terpentang lebar, mayat-mayat
bergelimpangan memenuhi bumi. Ada satu regu
anggota-anggota Thian-li-kau sedang terkepung dan
bertempur dengan mati-matian, rupanya regu Thian-likau
itu keburu disusul oleh pasukan musuh sehingga
terpaksa mereka mempertahankan diri.
Walaupun jumlah pasukan kerajaan itu cukup banyak,
tapi rombongan Utti Keng terdiri dari jago-jago silat yang
tangkas, sekali terjang segera prajurit-prajurit musuh
dibikin kocar-kacir dan lewatlah mereka keluar pintu
gerbang. Karena tidak tahu apakah pihak Thian-li-kau
menyembunyikan pasukan bala bantuan atau tidak, maka
pasukan kerajaan itu tidak berani mengejar keluar kota.
Karena menguatirkan diri sang ayah, segera To-kan
menanyakan keadaan ayahnya kepada seorang Hiangcu
yang dikenalnya. Keterangan yang diperoleh ternyata
cocok dengan laporan Thaubak semula. Ayahnya sudah
mengundurkan diri lebih dulu ke Wi-jun.
To-kan menjadi sangsi, ia kenal watak sang ayah yang
lebih memikirkan orang lain daripada keselamatan diri
sendiri. Mustahil ayahnya mau kabur lebih dulu dengan
meninggalkan anak buahnya dalam keadaan terkepung,
kecuali kalau sudah terjadi sesuatu atas diri ayahnya.
Namun percaya atau tidak, terpaksa ia ikut di samping
Suhunya dan kabur ke depan bersama rombongan. Utti
Keng dan Ki Seng-in juga bersama mereka, di belakang
menyusul Ubun Hiong dengan kencang. Utti Keng tahu
dimana letak kampung Wi-jun itu, mereka melarikan
kuda sekencangnya sehingga tidak lama kemudian
rombongan telah mereka tinggalkan jauh di belakang.
Melihat di belakang tiada orang lain lagi, Utti Keng
tidak tahan lagi, segera ia berkata, "Kang-tayhiap, aku
sangat berterima kasih atas pertolonganmu padaku ini,
tapi mau tak mau aku mesti mencaci-maki muridmu yang
tertua itu, keparat benar, bocah itu benar-benar bukan
manusia." Kang Hay-thian terkejut, tanyanya cepat, "Apakah
Leng-hong berbuat sesuatu kesalahan padamu?"
"Tidak cuma salah saja, bahkan jiwaku ini hampir
melayang karena perbuatannya," kata Utti Keng dengan
gemas. "Waktu di Kik-yau tempo hari, dalam keadaan
terluka aku telah berjumpa dengan dia. Bukannya dia
membantu aku, sebaliknya dia malah mendorong aku
sehingga terjungkal dari atas rumah, sebab itulah aku
kena ditangkap oleh Ho Lan-bing."
"Jika begitu soalnya menjadi makin jelas sekarang,"
tiba-tiba Ki Seng-in menimbrung.
"Makin jelas bagaimana?" tanya Utti Keng.
"Toako," sahut Ki Seng-in, "bukan saja jiwamu hampir
dibikin melayang, bahkan jiwaku juga hampir melayang
lantaran bocah itu. Kang-tayhiap, kami tahu Yap LengTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hong adalah keponakan dan juga murid ahli warismu,
tapi dalam urusan ini, terpaksa kami harus bicara terus
terang kepadamu." "Kedatanganku ke kotaraja ini justru hendak
menyelidiki dan bertanya kepada kalian urusan tentang
Leng-hong, maka silakan bicara saja," sahut Hay-thian
tegas. "Kang-tayhiap, tahukah kau ketika aku menumpang
bermalam di kediamanmu, besok paginya ketika aku
berangkat, segera dicegat oleh kawanan alap-alap
kerajaan dan hampir-hampir tewas?" tanya Ki Seng-in.
"Aku sudah mendapat tahu kejadian itu, kabarnya kau
mencurigai anak Hiong, sebenarnya bagaimana
persoalannya?" tanya Hay-thian.
Lebih dulu Ki Seng-in minta maaf lagi kepada Ubun
Hiong, kemudian baru berkata, "Sesudahnya barulah aku
tahu telah salah memfitnah muridmu yang kedua ini,
sebab mata-mata musuh yang sebenarnya adalah
muridmu yang pertama, yaitu Leng-hong."
"Hah, Toasuheng katamu" Dari ... darimana kau
mengetahui, Ki-lihiap?" tanya Ubun Hiong terkejut dan
girang. Dia bergirang karena dirinya sekarang sudah
bebas dari tuduhan yang tak berdasar itu. Tapi
Toasuhengnya adalah mata-mata musuh, hal ini sama
sekali tak tersangka olehnya.
"Yap Leng-hong memang pintar menjalankan
perannya, tapi tidak urung ketahuan juga tandatandanya
yang mencurigakan," kata Ki Seng-in. "Ubunsiauhiap,
waktu kau dan Toasuhengmu hendak
berangkat ke Tong-peng-koan untuk membeli obat,
bukankah aku pernah berpesan agar suka mencarikan
seorang kawanku yang berjanji akan bertemu dengan
aku di kota itu?" "Betul," sahut Ubun Hiong.
"Kawanku itu pada besok paginya juga keburu tiba,
dia bukan lain adalah Gak-thocu yang telah menolong
jiwaku itu," kata Seng-in. "Dia bernama Gak Ting, adalah
saudara angkat suamiku. Malahan aku harus minta maaf
kepada Kang-tayhiap karena kesalah pahaman Gak Ting
pernah merecoki rumahnya."
"Hal-hal yang sudah lalu itu tak perlu dibicarakan lagi,"
ujar Hay-thian. "Harap lekas kau ceritakan duduk perkara
sebenarnya saja." "Malam itu juga sebenarnya Gak Ting sudah sampai di
Tong-peng," demikian tutur Ki Seng-in "Kota itu hanya
ada dua buah hotel, dia bermalam pada hotel yang agak
besaran. Sebagaimana menurut perjanjian kami, dia
telah menggores tanda di dinding pagar belakang hotel
untuk memudahkan aku mencarinya. Mestinya dengan
gampang saja dia dapat diketemukan, akan tetapi Yap
Leng-hong yang kumintai tolong mencarinya mengatakan
tidak menemukan sesuatu tanda apa-apa. Bukankah dia
jelas berdusta?" "Sebab ... sebab apakah Toasuheng sampai berbuat
begitu?" ujar Ubun Hiong dengan ragu-ragu.
"Ya, sudah tentu karena dia mempunyai urusan
penting sendiri di dalam kota," kata Ki Seng-in. "Pertama
dia harus menyelesaikan urusannya pada waktu sebelum
kau kembali meminjam kuda, makanya dia sama sekali
tidak mencari tahu keberadaan Gak Ting, selain itu dia
ingin menjebak aku pada esok paginya."
Ubun Hiong tambah terkejut, tanyanya, "Urusan
apakah yang dikerjakan Toasuheng ketika datang ke
kota" Siapakah yang dia hubungi" Darimana kau
mengetahui Toasuheng yang telah menjebak kau?"
"Hotel yang dipakai Gak Ting itu tepat berhadapan
dengan restoran Thay-pek-lau yang baru saja dibuka,"
tutur Ki Seng-in. "Antara tengah malam, dari jendela
kamar Gak Ting kebetulan melihat suatu bayangan
pemuda menyelinap ke dalam hotel secara sembunyisembunyi.
Lapat-lapat di dalam restoran itu kelihatan
pula ada beberapa orang lagi, sebelumnya pemuda itu
seperti dipapak seorang dan mengadakan pembicaraan
sejenak, kemudian barulah masuk. Bagi orang yang
berpengalaman, gerak-gerik pemuda itu dapat diduga
pasti tidak beres dan ada hubungan rahasia dengan
orang-orang di dalam restoran.
"Sudah tentu Gak Ting tidak kenal apakah dia Yap
Leng-hong atau siapa, maka dia percaya saja padaku dan
besoknya telah berkunjung ke rumah Kang-tayhiap dan
memfitnah Ubun-siauhiap. Kalau dipikir, sekarang
memang banyak tanda-tanda yang mencurigakan,
misalnya waktunya, menjelang tengah malam tatkala itu
Ubun-siauhiap sendiri berada dimana?"
"Aku berada di rumah si kakek Ong untuk meminjam
kuda," sahut Ubun Hiong. "Kemudian aku berkumpul lagi
dengan Yap-suheng di luar kota, sementara itu sudah
lewat tengah malam."
"Itulah dia, makanya bayangan pemuda itu pastilah
dia adanya," seru Ki Seng-in. "Aku yakin dugaanku ini
tidaklah meleset." "Apa kerja restoran baru itu dan orang macam apakah
penghuninya" Apakah sesudahnya kalian menyelidiki?"
tanya Hay-thian dengan suara parau, hilanglah
ketenangannya waktu menghadapi persoalan pelik ini.
"Restoran itu dibuka oleh alap-alap kerajaan," tutur
Seng-in. "Malam itu wakil komandan pasukan pengawal
Li Tay-tian dan jago-jago istana lainnya justru
bersembunyi di rumah makan itu. Hal itu esok paginya
juga sudah kupergoki mereka."
"Hah, jika demikian, jadi Toasuheng yang telah
bersekongkol dengan kawanan anjing kerajaan itu untuk
menangkap kau dan kudamu itupun Toasuheng yang
meracuninya?" Ubun Hiong menegas dengan tidak habis
mengerti. "Benar," sahut Ki Seng-in. "Besok paginya aku pergi
mengambil kuda, kebetulan kupergoki dia baru keluar
dari kandang kuda. Dia bilang kuda itu sudah diberi
makan olehmu, dia hanya mengontrol lagi sekadarnya.
Tatkala itu aku tidak menaruh curiga apa-apa kepadanya,
yang kucurigai adalah kau. Namun sekarang duduknya
perkara sudah jelas. Justru dia yang telah berbuat jahat
dengan memfitnah kau, maka bagi Kang-tayhiap, murid
murtad yang sesungguhnya adalah kau punya murid ahli
waris itu." Sungguh menyesal sekali Kang Hay-thian, katanya
dengan sedih, "Utti-thocu dan Ki-lihiap, banyak terima
kasih atas bantuan kalian yang telah ikut membongkar
rahasia muridku yang murtad ini. Ehm, binatang kecil itu,
biarpun kubunuh dia juga belum terlampias rasa
benciku." Waktu itu Kang Hay-thian berjalan dengan
menggandeng tangan Lim To-kan dan Li Kong-he,
sekarang kedua anak itu sama-sama merasakan tangan
sang guru berkeringat dingin dan agak gemetar. Keruan
mereka terkejut dan sama-sama bertanya, "Suhu, ada
apakah" Apakah engkau tidak perlu mengaso dulu?"
Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, sudah
remang-remang. Sebagai seorang Kangouw kawakan,
Utti Keng menjadi terkejut ketika melihat air muka Kang
Hay-thian agak pucat, napasnya rada tersengal dan
jidatnya berkeringat. Tanda-tanda ini biasanya tidak
mungkin terjadi bagi orang kuat seperti Kang Hay-thian,
maka dapatlah dibayangkan betapa hebat guncangan
perasaan Kang Hay-thian terhadap peristiwa luar biasa
mengenai diri Yap leng-hong itu, maka cepat ia pun
mengusulkan agar Kang Hay-thian berhenti mengaso
dulu. Namun Kang Hay-thian menjawab, "Tidak perlu, aku
harus lekas menemui Lim-kaucu, habis itu segera aku
akan mencari murid murtad itu untuk membikin
perhitungan padanya."
"Kang-tayhiap," kata Ki Seng-in dengan menyesal,
"tahu begini, tentu aku takkan buru-buru
memberitahukan padamu duduknya perkara. Tentang
muridmu itu memang harus dihajar, tapi juga tidak perlu
tergesa-gesa." "Kenapa tidak tergesa-gesa" Ai, kau tidak tahu ... ya,
pendek kata aku malu terhadap para ksatria di jagat ini,"
kata Kang Hay-thian. "Sudahlah, mari kita maju terus. Hayo Utti-thocu,
marilah kita berlomba Ginkang, coba tenaga lari siapa
lebih cepat?" Mendengar suara Kang Hay-thian yang sedih
memilukan itu, diam-diam Utti Keng ikut terharu. Dalam
pada itu Kang Hay-thian sudah mendahului mempercepat
langkahnya ke depan, terpaksa Utti Keng dan Ki Seng-in
menyusul sekuatnya, namun begitu mereka tetap
ketinggalan. Menurut dugaan Utti Keng, sebabnya Kang Hay-thian
berduka dan menyesal adalah lantaran mempunyai
seorang murid pengkhianat. Tak diketahuinya bahwa
penyesalan Kang Hay-thian itu tidak melulu urusan
pribadi saja, tapi adalah mengenai soal pergerakan
melawan kerajaan Boan-jing serta jiwa para pahlawan
yang banyak, boleh jadi karena kesalahannya, jiwa para
pahlawan itu bisa melayang di tangan Yap Leng-hong.
Seperti diketahui Yap Leng-hong diangkat menjadi
suatu pemimpin pasukan bala bantuan yang berangkat
ke Sucwan. Pengangkatannya adalah karena para
pahlawan menaruh kepercayaan penuh atas nama Kang
Hay-thian, tapi jika lantaran pengkhianatan Yap Lenghong
sehingga terjadi apa-apa atas diri para pahlawan,
hal ini benar-benar suatu pukulan yang hebat bagi Kang
Hay-thian. Begitulah, jarak ratusan li itu telah ditempuh dalam
waktu singkat dengan Ginkang Kang Hay-thian yang
tinggi. Setiba di depan markas pasukan pergerakan di
dusun Wi-jun, terasalah dada Kang Hay-thian agak
sesak, keringat dingin membasahi bajunya. Kalau bukan
Lwekangnya teramat tinggi dan bertahan sekuatnya,
mungkin dia telah jatuh pingsan seketika.
Ada di antara anak buah Thian-li-kau yang kenal Kang
Hay-thian dan Lim To-kan, maka mereka lantas
menyambut kedatangan para ksatria itu dan
mempersilakan masuk. Dalam pada itu Thio Su-liong telah memapak keluar,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya, "Kaucu sedang menantikan kedatangan Kangtayhiap
dan anak Kan, silakan masuk saja."
To kan merasa lega demi mendengar ayahnya berada
di situ, tapi merasa heran mengapa ayahnya tidak
menyambut kedatangan sang guru.
Ketika Thio Su-liong membawa mereka ke suatu
kamar, tiba-tiba To-kan melihat ayahnya berbaring di
atas ranjang dengan wajah pucat, selimutnya juga
berlepotan darah, la menjerit dengan terkejut, "Ayah,
kenapakah kau?" Mendadak Lim Jing bangkit berduduk dan menyapa,
"Kang-tayhiap, sungguh tidak nyana hari ini barulah aku
dapat berkenalan dengan engkau. Walaupun agak
terlambat, tapi kedatanganmu ini tepat pada waktunya,
engkau telah sudi menerima anakku sebagai murid,
untuk itu aku dapatlah merasa lega dan berterima kasih.
Mengenai situasi pergerakan, soal menang atau kalah
adalah jamak, tentu pula ada yang binasa dan terluka, ini
bukan apa-apa. Asalkan saja tenaga baru terus menerus
dapat dibangkitkan."
Kiranya Lim Jing telah terluka parah dalam usahanya
melindungi anak buahnya dan menerjang keluar dari
kepungan musuh, darahnya terlalu banyak mengalir
keluar, jiwanya sudah tinggal soal waktu saja.
Semangatnya itu hanya terbangkit secara serentak saja
ketika melihat kedatangan putrinya bersama Kang Haythian.
"Kaucu, silakan mengaso dan merawat lukamu dengan
tenang, janganlah banyak bicara lebih dulu," kata Kang
Hay-thian. "Tidak, ada suatu urusan penting yang tidak boleh
tidak harus kubicarakan denganmu saat ini juga," ujar
Lim Jing. Kang Hay-thian paham ilmu pertabiban, dari luka Lim
Jing yang parah serta denyut nadinya yang lemah itu, ia
tahu ketua Thian-li-kau itu sudah sangat payah, lebih
banyak matinya daripada hidup, maka sebisanya ia
menahan rasa sedihnya sendiri, ia pegang kencang
tangan Lim Jing dan menyalurkan tenaga sendiri untuk
membantu Lim Jing agar kuat bicara.
"Kang-tayhiap," kata Lim Jing, "soal ini tentu akan
membikin kau berduka, tapi terpaksa harus kukatakan
padamu. Bukankah engkau mempunyai seorang murid
pewaris yang bernama Yap Leng-hong?"
Hati Kang Hay-thian tergetar. "Benar, kenapakah dia?"
"Apakah engkau mengetahui orang macam apakah dia
itu?" tanya pula Lim Jing.
"Seorang murid khianat!" sahut Hay-thian tegas.
"O, jadi engkau sudah tahu, jika demikian akan
banyak menghemat pembicaraanku," ujar Lim Jing. "Tapi
mungkin engkau belum lagi mengetahui asal-usulnya
bukan?" Ini memang soal pokok yang sangat ingin diketahui
oleh Kang Hay-thian, berbareng juga soal yang
membuatnya sangsi selama ini. Sebab ia masih mengira
Yap Leng-hong adalah keponakannya dan tidak mengerti
mengapa pemuda itu rela menjadi mata-mata musuh.
Maka dengan bingung Kang Hay-thian menjawab,
"Bagaimana asal-usulnya?"
"Dia adalah putra Yap To-hu, si tukang jagal gubernur
Sucwan sekarang," tutur Lim Jing dengan mengertak
gigi. Keterangan ini benar-benar membuat Kang Hay-thian
terperanjat meskipun sebelumnya sudah mengetahui Yap
Leng-hong adalah muridnya yang murtad. Memangnya
sudah cukup berat pukulan batin yang dia terima,
sekarang dia benar-benar ditusuk lagi sekali. Seketika
pandangannya serasa gelap dan hampir-hampir pingsan,
sekuatnya ia bertahan dan bertanya lagi dengan suara
gemetar, "Darimana kau mengetahui Lim-kaucu?"
"Waktu kami menyerbu ke dalam istana, dari dokumen
yang kami berhasil rampas, antara lain adalah suatu
laporan rahasia dari Yap To-hu kepada Bok Ting-ca agar
disampaikan kepada kaisar, tentang putranya yang telah
berhasil menyelundup ke dalam pasukan pemberontak
sehingga untuk menumpas pergerakan di Sucwan adalah
tidak sukar. Bahkan untuk sementara ini dengan bantuan
kedudukan putranya di dalam pasukan pemberontak itu,
kelak ada harapan besar dapat menjaring sekaligus para
pemimpin pemberontak. Dokumen itu berhasil dicuri oleh
seorang Thaykam anggota Thian-li-kau di bawah
pimpinan Lau Kim, yang gagal dalam pergerakan kali ini."
Sesudah membaca dokumen itu, maka jelaslah
segalanya bagi Kang Hay-thian, namun urusan juga
sudah telanjur. Dalam keadaan gugup dan bingung, Kang Hay-thian
mendengar Lim Jing berkata, "Dengan segala daya
upaya, musuh tentu akan memukul kita, soal
pengkhianatan juga sukar dihindarkan. Walaupun agak
terlambat, namun akhirnya soal ini dapat kita ketahui
juga. Syukurlah kita telah dapat bertemu tepat pada
waktunya. Kang-tayhiap, tentang murid murtad ini
dapatlah aku merasa lega karena akan kau bereskan
sendiri." Sampai di sini mendadak napas Lim Jing berubah
menjadi lemah, badannya menjadi lemas. Kang Haythian
terkejut, ia merasa tenaga dalam sendiri sudah
tidak mau dikerahkan menurut keinginannya lagi untuk
membantu Lim Jing. Thio Su-liong yang berdiri di belakang lekas maju
untuk memayang Lim Jing dan membaringkannya,
katanya dengan suara pilu, "Lim-kaucu, adakah pesan
apa-apa darimu?" "Thio-hiante," kata Lim Jing dengan tersenyum,
"tanggung jawab Thian-liu-kau kita ini biarlah kuserahkan
padamu. Meski sekali ini kita gagal, tapi janganlah kau
patah semangat." "Tidak, tidak! Kita tidak gagal," seru Thio Su-liong.
"Kaucu, engkau harus tetap bersama kami!"
Wajah Lim Jing menampilkan pujian terhadap
kegagahan bawahannya itu, seperti halnya orang yang
tidur nyenyak dengan penuh pengharapan, dia telah
menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Ketika mendengar sang Kaucu telah wafat, para
anggota Thian-li-kau menyatakan bela sungkawa
mereka. Lim To-kan menangis sedih sambil mendekap di
atas jenazah ayahnya. Di tengah suasana duka cita itu, tiba-tiba Kang Haythian
berseru, "Bagus, Lim-kaucu, kematianmu benarbenar
menggegerkan dunia dan mengguncangkan langit,
kematianmu membuat musuh merasa ngeri dan
membuat semangat kawan terjaga! Engkau tidak gagal,
hidupmu adalah ksatria, mati pun tetap gagah! Tidak,
hakikatnya engkau tidak mati, jiwamu tetap hidup! Aku
Kang Hay-thian percuma saja hidup di dunia ini, sungguh
aku malu terhadapmu, malu terhadap para pahlawan
seluruh jagat!" Belum habis dia bersambat, mendadak darah segar
menyembur dari mulutnya. Perasaannya teramat berat
mengalami pukulan, dia benar-benar sudah terlalu letih
dan baru sekarang dia mengumbarnya, maka darah pun
tersembur keluar. Utti Keng sangat terkejut, cepat ia maju
memayangnya, katanya, "Kang-tayhiap, ini kan bukan
kesalahanmu, Lim-kaucu sudah wafat, engkau harus
lebih menjaga dirimu sendiri. Misalnya tentang muridmu
yang murtad itu, hal ini masih menunggu
penyelesaianmu." "Betul," sahut Kang Hay-thian, "mana boleh aku
melupakan pesan Lim-kaucu" Aku harus segera
berangkat." Namun demikian dia benar-benar sudah
sangat lemas, tubuhnya sudah tak mau menurut perintah
lagi. Ki Seng-in membisiki sang suami, "Jangan kau
menyebut soal Yap Leng-hong lagi?"
Namun ucapan yang perlahan itu tak didengar juga
oleh Kang Hay-thian, katanya, "Soal itu mana boleh
dihindari untuk tidak dibicarakan" Sehari murid murtad
itu belum lenyap, sehari pula aku tidak bisa tidur
nyenyak." "Kang-tayhiap, bagaimana kalau aku mewakilkan kau
berangkat ke sana," ujar Utti Keng. "Cuma Yap Lenghong
adalah murid pewarismu, adalah di luar batas
bilamana aku mewakilkan kau mengadakan
pembersihan." Kaucu baru dari Thian-li-kau, yaitu Thio Su-liong telah
mengikuti pembicaraan mereka. Dia merasa serba susah,
mestinya dia ingin bicara sesuatu, tetapi urung.
"Murid murtad dan kaum pengkhianat setiap orang
juga boleh membunuhnya, soal ini bukan soal di luar
batas segala," kata Kang Hay-thian. "Cuma saja Limkaucu
baru saja wafat, boleh jadi musuh akan
menggunakan kesempatan baik ini untuk menyerang
kita, maka gerakan pemberontakan di sini juga sangat
penting. Kukira kalian suami istri lebih baik tinggal di sini
untuk membantu Thio-kaucu."
Dalam keadaan demikian Kang Hay-thian lebih
mementingkan urusan pergerakan daripada kepentingan
pribadi, sudah tentu para ksatria merasa sangat kagum,
maka Utti Keng juga tidak membuka suara pula.
Thio Su-liong minta agar Kang Hay-thian istirahat saja
dahulu dan merawat lukanya, tentang urusan lain boleh
diselesaikan kelak. Namun Kang Hay-thian telah berkata, "Urusan ini tidak
boleh ditunda. Biarlah kupikirkan dulu cara
penyelesaiannya yang baik." Lalu ia pejamkan mata
untuk merenung. Sejenak kemudian, mendadak ia
membuka mata dan memanggil, "Anak Hiong, coba maju
sini." "Ada pesan apakah, Suhu?" tanya Ubun Hiong sambil
mendekati sang guru. "Sejak hari ini kau adalah murid pewarisku yang baru,
aku memerintahkan kau supaya memegang teguh
peraturan kita, soal upacara boleh diabaikan, biarlah para
ksatria yang hadir di sini sebagai saksi," demikian kata
Kang Hay-thian. Ubun Hiong terkejut, katanya pula dengan gugup, "Hal
ini mungkin ... mungkin Tecu tidak sanggup melakukan
kewajiban dengan baik."
"Tidak bisa melakukan kewajiban dengan baik apa?"
omel Hay-thian. "Semakin berat tanggung jawabmu,
semakin besar pula tugasmu. Seorang ksatria sejati
harus berani menghadapi kesukaran, seorang laki-laki
sejati harus memilih tugas yang berat. Jika kau tidak
menjadi ahli waris, apakah mesti Yap Leng-hong saja
yang tetap menjadi ahli warisku?"
Ucapan sang guru itu membangkitkan semangat
jantan Ubun Hiong, segera ia menjawab, "Baiklah,
segalanya murid tunduk kepada pesan Suhu, biar masuk
ke lautan api atau terjun ke dalam air mendidih juga
Nurseta Satria Karang Tirta 8 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala 3
^