Pencarian

Geger Dunia Persilatan 16

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 16


mengadakan kontak lagi dengan mereka. Tahukah kau,
gurumu dan rombongan Lim-kaucu sekarang berada
dimana?" Namun Ubun Hiong cukup waspada, walaupun cerita
Hong Jong-liong rada masuk akal, tapi ia pun tidak
gampang memberitahukan rahasia pasukan
pemberontak. Dengan samar-samar ia lantas menjawab,
"Tecu juga telah terpencar dan melarikan diri pada
malam itu sehingga tidak dapat bertemu lagi dengan
Suhu sampai sekarang."
Diam-diam Hong Jong-liong merasa geli, katanya
dalam hati, "Hm, kau bocah ingusan inipun berani
mendustai aku?" Tapi untuk memancing pengakuan
Ubun Hiong, ia pura-pura bertanya pula, "Sebagai
sahabat lama gurumu, sekarang kau tidak perlu takut
lagi dikejar pasukan kerajaan, tentu aku akan melindungi
kau. Sekarang kau hendak kemana?"
"Wanpwe tidak berani mengganggu dan membikin
repot Cianpwe," sahut Ubun Hiong. "Hanya tentang kuda
ini..." "Aku mencurinya dari kediaman Ho Lan-bing," sahut
Hong Jong-liong. "Malam itu kalian telah menyerbu
kotaraja dan membobol penjara, kejadian itu
mengakibatkan Ho Lan-bing terluka parah. Sayang
tujuanku hanya buru-buru ingin mencuri kuda saja
sehingga tiada pikiran buat membinasakan dia."
Sudah tentu Ubun Hiong bertambah sangsi, memang
bisa jadi si berewok ini adalah orang sendiri karena dia
cukup jelas tentang kejadian malam penyerbuan kotaraja
itu. Tapi meski Ho Lan-bing terluka, penjagaan di
rumahnya tentu cukup kuat, masakah Jik-liong-ki ini
dengan begitu gampang kena dicuri olehnya" Namun
begitu, karena ia ingin buru-buru melanjutkan
perjalanan, maka ia tidak mendesak lebih jauh, hanya
katanya, "Jika demikian sungguhlah sangat kebetulan,
silakan Cianpwe menyerahkan kuda ini kepadaku saja
agar kelak Cianpwe tidak perlu membuang tenaga
mencari guruku lagi untuk mengembalikan kuda ini.
Untuk itu Cianpwe bolehlah menggunakan kudaku yang
satu itu." "Haha, jangan buru-buru," sahut Hong Jong-liong
dengan tertawa. "Kuda ini sudah tentu akan
kukembalikan kepada gurumu, tapi bukan sekarang.
Sudahlah, kita bicara urusan saat ini saja. Ingin kutanya,
kau hendak kemana" Apakah kau ditugaskan sesuatu
oleh gurumu atau Lim-kaucu" Beberapa hari ini suasana
agak genting, sesungguhnya tidaklah menguntungkan
kau jika jalan sendirian. Bila perlu, sudah tentu aku akan
membantu kau sepenuh tenagaku."
"O, tidak, tidak ada tugas apa-apa," sahut Ubun Hiong
cepat. Sesudah lari keluar dari kotaraja, sampai sekarang
aku belum bertemu dengan Suhu, sebaliknya kuda itu
dapat diserahkan kepadaku saja. Untuk itu Wanpwe
mengucapkan terima kasih lebih dulu."
Tapi mendadak air muka Hong Jong-liong berubah
hebat, katanya dengan nada dingin, "Hm apakah kau
masih tidak mempercayai diriku" Aku adalah sahabat
gurumu dan Lim-kaucu, aku pun tahu kau hendak pergi
ke Siau-kim-jwan bukan?"
Kiranya Hong Jong-liong memang benar baru
berangkat dari kotaraja. Atas perintah Yap To-hu dia
telah menyampaikan laporan ke kotaraja dan di sana
juga pernah bertemu dengan Ho Lan-bing. Karena
gagalnya pemberontakan Thian-li-kau, pihak kerajaan
ingin menumpas sekalian sisa-sisa anak buah Lim Jing,
sebab itulah jejak Lim Jing dan Kang Hay-thian harus
dicari. Tentang wafatnya Lim Jing belum diketahui oleh
pihak kerajaan. Hal lain yang dikuatirkan pihak kerajaan adalah
hilangnya beberapa dokumen rahasia ketika istana
diserbu Than-li-kau. Di antaranya adalah dokumen yang
berisi laporan rahasia Yap To-hu tentang sudah
dipasangnya Yap Leng-hong sebagai mata-mata di dalam
pasukan pergerakan. Jika hal itu sampai diketahui, tentu
segala rencana akan berantakan. Sebab itulah pihak
kerajaan perlu mengirim orang mendahului ke Siau-kimjwan
sebelum tibanya kurir yang dikirim oleh Lim Jing,
dengan demikian Yap Leng-hong masih sempat bertindak
seperlunya menurut keadaan. Sudah tentu paling baik
kalau di tengah jalan kurir Lim Jing itu dapat dicegat dan
dibinasakan serta merebut kembali dokumen rahasia itu.
Datangnya Hong Jong-liong ke kotaraja itu menjadi
sangat kebetulan, terutama kuda Jik-liong-ki yang dia
pakai itu, maka dia yang lantas diberi tugas penting itu
dan diharuskan segera pulang kembali ke Sucwan.
Sepanjang jalan Hong Jong-liong telah memperhatikan
setiap orang yang pantas dicurigai, tapi sama sekali tak
diduganya bahwa kurir yang dikirim oleh pihak
pemberontak adalah Ubun Hiong.
Semula disangkanya Ubun Hiong adalah bocah yang
masih hijau dan gampang dikelabui, tapi meski sudah
dipancing toh pemuda itu tutup mulut rapat-rapat dan
sukar dikorek sesuatu keterangan yang penting.
Sebaliknya Ubun Hiong menjadi curiga, segera ia
mendekat hendak menuntun kuda Jik-liong-ki.
Sudah tentu Hong Jong-liong tidak tinggal diam,
terpaksa ia harus bertindak. Mendadak ia menubruk maju
sambil membentak, "Bocah yang tidak kenal kebaikan,
apa yang hendak kau lakukan?" Berbareng itu pundak
Ubun Hiong hendak dicengkeramnya.
Namun Ubun Hiong sudah bersiap-siap, sedikit
mendak ke bawah dan menggeser, dapatlah ia
mengelakkan cengkeraman itu, tapi tidak urung
pundaknya juga sudah terserempet jari lawan hingga
terasa panas pedas. Sekali mencengkeram tidak kena, dengan cepat Hong
Jong-liong menubruk maju lagi. Namun Ubun Hiong
sempat menjatuhkan diri dan menggelundung pergi, lalu
dengan gerakan 'ikan lele meletik', cepat ia melompat
bangun sambil melolos pedang.
"Dasar bocah yang tidak tahu maksud orang baik, aku
ingin membantu kau, sebaliknya kau malah berani
bersikap kasar padaku," jengek Hong Jong-liong dengan
geram. Sudah tentu sekarang Ubun Hiong tidak gampang
ditipu lagi, sahutnya, "Orang baik apa" Kau justru adalah
antek kerajaan." "Biarpun kau mengetahui sekarang juga sudah
terlambat," kata Hong Jong-liong. "Lebih baik serahkan
semua barangmu dan bertekuk lutut, mungkin jiwamu
masih dapat kuampuni."
"Baiklah, boleh coba kau ambil sendiri bila ingin
kutabas cakar anjingmu," teriak Hiong dengan gusar.
Di tengah suara geraman, dengan gerakan Hek-houthau-
sim (harimau kumbang mencuri hati), cepat sekali
Hong Jong-liong mendesak maju terus menghantam
dada Ubun Hiong. Namun pemuda itu telah melangkah
mundur sambil memulai pedangnya dengan kencang, bila
Hong Jong-liong tidak menarik kembali tangannya tentu
bisa tertabas kutung. "Tring", mendadak Hong Jong-liong menjentikkan
jarinya dengan tenaga yang kuat, seketika Ubun Hiong
merasa genggamannya kesakitan, hampir-hampir pedang
terlepas dan cekatan, Baru sekarang dia tahu ilmu silat
Hong Jong-liong bukanlah jago keroco dan masih di atas
dirinya. Sebaliknya Hong Jong-liong juga tidak berani
memandang ringan kepada Ubun Hiong lagi. Semula ia
mengira dengan mudah saja akan dapat membekuk
pemuda itu, tapi sekarang ia sadar, untuk bisa terlaksana
maksudnya itu paling tidak harus mendalami dulu suatu
pertarungan sengit. Begitulah mereka mulai bertempur di jalan
pegunungan itu sehingga makin lama makin menggeser
ke lereng bukit yang menanjak. Kedudukan Ubun Hiong
lebih untung karena berada di sebelah atas yang lebih
tinggi, serangannya bertubi-tubi dan sangat lihai.
Sebaliknya Hong Jong-liong lebih payah karena dari
bawah harus menahan serangan dari atas, untuk balas
menyerang juga kurang leluasa. Namun dia punya Kimna-
jiu-hoat (ilmu menangkap dan memegang) juga tidak
dapat dipandang enteng, dimana tangannya tiba selalu
membawa sambaran angin yang keras, jarinya seperti
belati, telapak tangannya bagai pedang, setiap ada
kesempatan tentu dia merangsek maju.
Sesudah lebih 30 jurus, pertarungan semakin sengit.
Ubun Hiong terdesak mundur terus, beberapa kali malah
pedangnya hampir-hampir kena dirampas lawan.
Melihat gelagat jelek, diam-diam Ubun Hiong
mengeluh. Ia pikir dapat bertahan lebih lama lagi
sehingga Yap-toako keburu menyusul tiba, tentu keadaan
akan berubah baik. Karena itu segera ia berganti siasat,
ia mainkan Si-mi-kiam-hoat yang ruwet dan bertahan
dengan rapat, Si-mi-kiam-hoat ini memang gunanya
untuk bertahan bila menghadapi lawan yang lebih kuat.
Biarpun tinggi kepandaian Hong
Jong-liong juga tidak kenal cara mematahkan ilmu
pedang ciptaan Hui-bing Siansu, yaitu cikal-bakal Thiansan-
pay. Karena seketika sukar membobol pertahanan Ubun
Hiong itu, sambil menyerang Hong Jong-liong mengejek,
"Hm, coba kau mampu bertahan sampai beberapa lama!"
Habis itu ia menyerang semakin gencar.
Waktu itu sang surya sudah mulai menggeser ke
barat, hari sudah lewat lohor. Ubun Hiong sudah mandi
keringat, tapi Yap Boh-hoa yang diharapkan masih belum
kelihatan bayangannya. Lambat-laun Ubun Hiong mulai putus asa, pikirnya,
"Tidak menjadi soal kematianku ini, yang penting
dokumen rahasia ini tidak boleh sampai jatuh di tangan
musuh." Akan tetapi dalam keadaan kepepet, cara
bagaimana ia dapat menyelamatkan dokumen berharga
itu. Karena kehabisan tenaga, permainan pedang Ubun
Hiong mulai lamban, keruan Hong Jong-liong sangat
senang, ia terbahak-bahak dan berkata, "Lekas
menyerah saja dan keluarkan barang yang kau bawa jika
ingin selamat!" Namun dengan mengertak gigi Ubun Hiong masih
terus bertempur dengan mati-matian, Hong Jong-liong
juga makin gencar menyerang. Tidak lama seluruh titik
Hiat-to berbahaya di tubuh Ubun Hiong sudah terkurung
di bawah telapak tangan lawan.
"Haha, kau bocah ini benar-benar kepala batu,", ejek
Hong Jong-liong. "Jika kau sudah nekat dan tidak
menginginkan jiwamu lagi, maka bolehlah kubereskan
kau." Setindak demi setindak Ubun Hiong terus mundur ke
arah tepi jurang, ia pikir dalam keadaan terpaksa biarlah
terjun ke dalam jurang saja, sekaligus melenyapkan
dokumen yang dibawanya daripada kena dirampas
musuh. Namun Hong Jong-liong memang licin, dia telah dapat
menerka pikiran Ubun Hiong, mendadak ia melompat ke
atas dan menghadang jalan mundur Ubun Hiong sambil
tertawa terkekeh-kekeh. Sesudah tertawa, pada saat dia hendak melontarkan
serangan mematikan, tiba-tiba terdengarlah suara
derapan kuda yang berdetak-detak. Nyata ada orang
sedang mendatangi dengan cepat.
Semangat Ubun Hiong terbangkit seketika, teriaknya
dengan girang, "Yap-toako! Aku berada di sini!"
Berbareng itu ia telah menghindarkan serangan maut
Hong Jong-liong, ia benar-benar sudah kehabisan
tenaga, tampaknya kalau Hong Jong-liong menubruk
maju lagi terpaksa ia hanya memejamkan mata
menunggu ajal saja. Tapi sebisanya ia menjatuhkan diri
dan menggelundung ke bawah, pikirnya, "Jika yang
datang itu bukan Yap-toako, maka pasti tamatlah
riwayatku!" Tapi untung baginya, yang datang itu ternyata Yap
Boh-hoa adanya. Dengan kudanya yang terluka itu, mestinya ia mengira
tak mampu menyusul Ubun Hiong lagi. Tak tersangka
setiba di lereng bukit situ mendadak didengarnya suara
teriakan pemuda itu, waktu menoleh bahkan dilihatnya
Ubun Hiong sedang menggelundung ke bawah bukit, di
atasnya berdiri seorang laki-laki tegap berewok.
Terkejut dan girang pula Yap Boh-hoa, tanpa pikir lagi
ia terus meloncat dari kudanya, secepatnya anak panah
ia menggunakan Ginkang yang tinggi memburu ke atas.
Hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah sampai di
dekat Ubun Hiong dan tepat pada waktunya dia dapat
menghadang pengejaran Hong Jong-liong.
Melihat pendatang baru ini juga cuma seorang
pemuda berusia sebaya dengan Ubun Hiong, maka Hong
Jong-liong tidak memandang berat padanya, bentaknya,
"Bocah yang cari mampus! Hendak apa kau ikut ke sini"
Lekas enyah jika ingin selamat!" Berbareng itu dengan
Kim-na-jiu-hoat yang ganas, kelima jarinya seperti kaitan
terus mencengkeram ke atas kepala Yap Boh-hoa.
"Kim-na-jiu-hoatmu ini masih kurang sempurna,"
jengek Yap Boh-hoa sambil menabokkan sebelah
tangannya ke depan. Hong Jong-liong kaget melihat cara orang yang aneh
itu, sebagai seorang jagoan berpengalaman, ia tahu
betapa lihainya. Lekas ia menarik kembali tangannya dan
tangan lain terus memotong ke bawah dengan gerakan
Cam-liong-jiu (tangan memotong naga).


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah kukatakan kepandaianmu ini kurang
sempurna, nyatanya betul atau tidak?" Yap Boh-hoa
menyindir pula sembari menggeser ke samping,
menyusul lantas balas menyerang dari arah yang tak
terduga. Meski terdesak, namun Hong Jong-liong tidak menjadi
bingung, sekuatnya ia menangkis. Maka terdengarlah
suara "blang" yang keras, Yap Boh-hoa tergentak mudur
dua tindak, sebaliknya tubuh Hong Jong-liong tergeliat,
tangannya panas seperti dibakar.
Kiranya kalau bicara tentang kekuatan, memang Hong
Jong-liong masih lebih ulet, makanya Yap Boh-hoa
tergetar mundur dua tindak. Tetapi Boh-hoa punya ilmu
pukulan Tay-seng-pan-yak-ciang itu merupakan perusak
urat nadi, biarpun Hong Jong-liong punya Kim-na-jiuhoat
sangat kuat juga ketemu batunya sekarang. Urat
nadi Siau-yang-hiat di tangannya telah tergetar hebat,
jalan darahnya sudah terasa seret.
Keruan Hong Jong-liong terperangkat, cepat ia
membentak, "Siapa Kau" Kenalkah kau siapa aku" Lebih
baik kau jangan ikut campur urusan ini. Bocah ini adalah
buronan kerajaan, kau tahu tidak?"
Sementara itu Ubun Hiong sudah berbangkit kembali,
serunya, "Yap-toako, bangsat tua ini adalah anjing alapalap
kerajaan, jangan kau lepaskan dia!"
Yap Boh-hoa juga lantas menjawab, "Hong Jong-liong,
kau tidak kenal aku, tapi aku sudah kenal kau. Kau tidak
menunggui Cukongmu di Sucwan, untuk apa kau datang
ke sini" Lekas mengaku terus terang bila jiwamu ingin
diampuni. Kalau tidak, hm, ketahuilah bahwa aku ini
adalah tukang sembelih anjing."
Sebenarnya Yap Boh-hoa hanya tahu sedikit tentang
diri Hong Jong-liong dan tidak tahu keseluruhannya.
Namun kaget Hong Jong-liong sudah bukan main demi
mendengar asal-usulnya sendiri telah diketahui orang.
Dari gebrakan tadi ia tahu kepandaian Yap Boh-hoa jauh
lebih tinggi daripada Ubun Hiong, sedangkan murid Kang
Hay-thian itu saja dari tadi sukar ditangkap, apalagi
sekarang datang pula seorang pemuda yang lebih lihai.
Maka ia menjadi ragu-ragu apakah mesti lekas lari atau
tidak. Kalau bertempur terang pula tidak menguntungkan
dirinya. Agaknya Yap Boh-hoa dapat menerka perasaan Hong
Jong-liong, dengan tertawa sesudah menjaga jalan lari
lawan, bentaknya, "Tuan besar jago pengawal, kau
kepergok padaku, apakah kau ingin kabur begini saja?"
"Kurangajar! Memangnya kau sangka aku jeri
padamu?" sahut Hong Jong-liong dengan gusar. "Aku
cuma sayang pada usiamu yang masih muda sudah
harus lapor kembali kepada raja akhirat. Siapakah kau
sebenarnya, siapa gurumu?"
Maksud Hong Jong-liong sebenarnya hendak mengulur
waktu untuk mencari selamat, sebab di lereng gunung
situ terdapat suatu keluarga terdiri dari suami-istri itu
yang berkepandaian sangat tinggi, dia mempunyai
hubungan baik dengan keluarga itu. Asal salah seorang
dari suami-istri itu mendengar suara pertempuran
mereka dan datang, maka yakinlah kemenangan pasti
akan berada di pihaknya. Namun Yap Boh-hoa tidak mau ayal lagi, jawabnya
ketus, "Bukan waktunya kau tanya diriku, sebentar lagi
akulah yang akan minta pengakuanmu!" Habis itu segera
ia menerjang maju lagi. Sekarang dengan hati-hati Hong Jong-liong bertahan
dengan sangat rapat, dengan Kim-na-jiu-hoat yang ulet
ia coba menghabiskan tenaga lawan, sekaligus untuk
mengulur tempo menantikan bala bantuan.
Tak terduga perhitungannya agak meleset, Kim-na-jiuhoat
hanya bermanfaat untuk menyerang, dengan
tenaganya yang lebih ulet, jika main serang mungkin
akan membikin Yap Boh-hoa harus waspada dan paling
sedikit dalam waktu cukup lama dapat sama kuatnya.
Tapi sekarang dia hanya bertahan saja tanpa menyerang,
hal ini berbalik tidak menguntungkan baginya.
Tenaga pukulan Yap Boh-hoa merupakan pukulan
maut memutus urat nadi, ilmu pukulannya juga jauh
lebih hebat. Meski Hong Jong-liong bertahan dengan
rapat, tidak urung terkadang harus mengadu tangan, dan
setiap kali tangan berbentur, selalu dia tergetar hingga
lama-lama terasa payah juga.
Dalam pada itu Ubun Hiong sedang mengumpulkan
tenaga di samping, diam-diam Hong Jong-liong merasa
kuatir. Seorang saja susah dilawan, jika murid Kang Haythian
itu sebentar ikut mengeroyok tentu celakalah
dirinya. Sedangkan bala bantuan yang diharapkan
tampaknya takkan datang, dan jalan satu-satunya adalah
mencari kesempatan untuk melarikan diri saja.
Untuk merebut kuda Jik-liong-ki, binatang itu kelihatan
berada di sebelah sana, sebelum mencapai kuda itu tentu
sudah akan disusul oleh Yap Boh-hoa. Tiba-tiba ia
mendapat akal licik, mendadak ia menyerang matimatian
tiga kali sehingga Yap Boh-hoa terdesak mundur.
Kesempatan itu segera digunakan olehnya untuk
menerjang ke arah Ubun Hiong, nyata maksud tujuannya
hendak membekuk pemuda itu sebagai sandera.
Tak terduga saat itu tenaga Ubun Hiong sudah pulih
sebagian, melihat musuh menubruk ke arahnya, cepat ia
mengacungkan pedangnya, dengan jurus Pek-hongkoan-
jit (pelangi menembus sinar matahari), kontan ia
menikam ke dada Hong Jong-liong.
Biarpun keadaannya rada payah, tapi tenaga Hong
Jong-long masih cukup kuat, "Cring", tahu-tahu pedang
Ubun Hiong kena diselentik dan jatuh terpental. Dengan
Kim-na-jiu-hoat tangan Hong Jong-liong masih terus
menyambar ke depan, kelima jarinya bagai cakar telah
dapat mencengkeram pergelangan tangan Ubun Hiong.
Sekuatnya Ubun Hiong meronta sehingga terjadilah
pergulatan dari dekat. Selagi Hong Jong-liong hendak membikin Ubun Hiong
tak berkutik, namun sudah kasip, tahu-tahu Yap Boh-hoa
sudah memburu tiba. Sekali totok Hiat-to di tubuh Hong
Jong-liong, seketika kedua tangannya menjadi kaku dan
tak bisa berkutik pula. Setelah Hong Jong-liong tertawan, Ubun Hiong
menjemput kembali pedangnya dan mengucapkan terima
kasih kepada Yap Boh-hoa. Ia pandang Hong Jong-liong
dengan benci, sungguh sekali tikam ingin dia binasakan.
"Kalau keparat ini dibinasakan begini saja, akan terlalu
enak baginya," kata Boh-hoa yang dapat menduga
perasaan Ubun Hiong. "Benar, marilah kita mencari suatu tempat untuk
memeriksa dia," ujar Ubun Hiong.
Segera Yap Boh-hoa menaikkan Hong Jong-liong yang
sudah tak bisa berkutik itu ke atas kuda hasil curiannya
dari Ban-keh-ceng kemarin, Ubun Hiong juga
mencemplak ke atas Jik-liong-ki, sisa dua ekor kuda yang
lain terpaksa ditinggalkan.
Mereka terus menanjak ke atas gunung, kata Boh-hoa
dengan tertawa, "Keparat ini bukanlah antek kerajaan
biasa, buang sedikit tempo baginya masih ada harganya
juga. Kita harus dapat mengorek pengakuannya yang
penting." Melihat dirinya dibawa ke atas gunung, dalam hati
diam-diam Hong Jong-liong merasa girang.
Setiba di suatu tempat yang rimbun dengan
pepohonan, Yap Boh-hoa lantas menurunkan Hong Jongliong.
"Tuan besar pengawal, memeriksa tawanan
bagimu adalah pekerjaan biasa, tapi hari ini biarlah kau
pun merasakan enak tidaknya diperiksa sebagai
pesakitan. Jika kau bisa melihat gelagat, hendaklah
mengaku terus terang saja, bila berdusta, hm, boleh
coba kau rasakan nanti. Sekarang coba katakan, apa
maksud tujuanmu pergi ke kotaraja?"
Karena Hiat-to tertotok, sedikitpun Hong Jong-liong
tak bertenaga lagi, tapi dia masih berlagak gagah dengan
membusungkan dada, lalu menjawab, "Seorang laki-laki
sejati sekalipun mati juga tidak takut. Bocah ingusan
macam kalian juga sesuai untuk memeriksa aku?"
Habis berkata ia bahkan bersitegang dan bergelak
tertawa keras-keras. Sebenarnya Hong Jong-liong tidak sungguh-sungguh
tak gentar mati, cuma dia tahu sebelum memperoleh
pengakuannya tentu lawan takkan membunuhnya, maka
dia sengaja berlagak kepala batu sambil bergelak
tertawa, maksudnya sengaja hendak memancing
kedatangan kawan penolong yang diharapkan bila
mendengar suaranya. "Hm, tertawa, boleh coba tertawa terus!" demikian
Yap Boh-hoa lantas menjengek. "Ingin kulihat berapa
lama kau bisa berlagak jantan?"
Habis berkata perlahan-lahan ia tabok sekali punggung
Hong Jong-liong, hanya sebentar dalam badan Hong
Jong-liong serasa digigit oleh beribu-ribu ekor semut dan
seperti diselusuri oleh beratus-ratus ular kecil, rasanya
sakit dan gatal tak terkatakan, penderitaan demikian
benar-benar sukar dilukiskan, biarpun otot kawat tulang
besi juga tak tahan, apalagi Hong Jong-liong, dengan
merintih ia berkata, "Kau ... kau boleh membunuh aku
saja!" "Bunuh kau" Hm, kan enak bagimu!" dengus Boh-hoa.
"Tadi kau berlagak gagah, tapi hanya sedikit siksaan saja
sudah tak tahan. Ini saja belum apa-apa, bila perlu aku
masih ada lagi berbagai macam rasa lain yang lebih enak
untukmu." Hong Jong-liong sampai berkelojotan saking tidak
tahan akan siksa sakit dan gatal itu, akhirnya terpaksa ia
minta ampun, "Baiklah, kakek kecil, hilangkan dulu
siksaan ini, aku akan mengaku ... akan mengaku!"
"Memangnya kau berani tidak mengaku?" ejek Yap
Boh-hoa sambil menepuk perlahan sekali di tubuh Hong
Jong-liong untuk mengurangi rasa sakitnya agar dia
dapat bicara dengan lancar, lalu mulailah dia
mengajukan pertanyaan, "Untuk apa kau ditugaskan ke
kotaraja kali ini, lekas katakan!"
Sesudah menghela napas lega, Hong Jong-liong
menjawab, "Aku ditugaskan oleh Yap-tayjin agar
memberi laporan situasi militer, pula mohon Sri Baginda
memberi tambahan pasukan."
Boh-hoa cukup cerdik, segera ia mendesak, "Situasi
militer bagaimana" Mengapa tidak pakai laporan tertulis,
tapi suruh kau menyampaikan secara lisan?" .
Untuk sejenak Hong Jong-liong tergagap dan raguragu
untuk bercerita. Segera Yap Boh-hoa
mengancamnya, "Apakah kau ingin merasakan siksaan
lebih keji lagi?" Berbareng sebelah tangannya lantas
diangkat dan siap menabok.
Dengan takut lekas Hong Jong-liong menjawab,
"Tentang ... tentang beberapa kali kekalahan pasukan
Yap-tayjin yang sebenarnya disengaja itu. Beliau suruh
aku melaporkan dan mohon Sri Baginda jangan kuatir."
"Sebab apa dia sengaja pura-pura?" desak Boh-hoa.
"Tentang ini ... tentang ini ..." kembali Hong Jongliong
merandek. "Ini ada hubungannya dengan putranya itu bukan?"
sela Yap Boh-hoa. "Hm, biar kukatakan terus terang
padamu, tentang asal-usul Yap Thing-cong sudah
kuketahui. Andaikan kau berdusta juga tak dapat
membohongi aku, sebaliknya akan membikin susah
dirimu sendiri." Berbareng jarinya menyelentik perlahan
di bagian siku Hong Jong-liong, tempat itu adalah urat
syaraf yang paling perasa, keruan Hong Jong-liong
dibikin meringis pula, saking tak tahan ia terus
bergelindingan di tanah dan menjerit seperti babi hendak
disembelih. "Siapakah Yap Thing-cong?" tanya Ubun Hiong heran.
"Siapa lagi" Dia adalah nama asli Toasuhengmu yang
mengaku bernama Yap Leng-hong itu, adalah majikan
muda tuan besar pengawal ini, putra gubernur Sucwan
Yap To-hu," tutur Boh-hoa dengan tertawa
Ubun Hiong terperanjat, pikirnya, "Aku sendiri tidak
berani memberitahukan tujuan perjalananku ini
kepadanya, tapi dia bahkan sudah mengetahui
Toasuheng adalah mata-mata musuh, malahan tentang
asal-usulnya juga jauh lebih mengetahui daripada kami."
Dalam pada itu air muka Hong Jong-liong tampak
pucat seperti mayat, butir keringat sebesar kedelai
memenuhi jidatnya. Rintihnya dengan suara parau,
"Baiklah, akan kukatakan segalanya, hilangkan siksaan
ini." Dengan caranya yang khas Yap Boh-hoa mengurangi
pula derita Hong Jong-liong untuk memberi kesempatan
bicara padanya. Karena sadar tak bisa membohongi lagi
tentang diri Yap Leng-hong, benar juga ia lantas
mengaku sebenarnya, "Sebabnya Yap-tayjin sengaja
pura-pura kalah adalah untuk menegakkan kepercayaan
pihak kalian kepada putranya, supaya pasukan
pergerakan benar-benar tunduk di bawah pimpinannya."
"Hm, enak saja impian kalian," jengek Boh-hoa. "Lalu
rencana keji apa yang telah diatur Yap To-hu dan
putranya untuk menumpas pasukan pemberontak" Lekas
katakan!" "Itu adalah rahasia militer yang maha penting, aku ...
aku hanya seorang pengawal saja, darimana bisa tahu?"
sahut Hong Jong-liong sambil merintih menahan sakit.
"Hanya seorang pengawal saja" Hm, kau kira
jabatanmu yang sebenarnya aku tak tahu?" demikian
Boh-hoa menggertak. "Kali ini kau ditugaskan memberi
laporan situasi militer dan minta raja anjing kalian jangan
kuatir, Yap To-hu berani tanggung kemenangan segera
akan diperolehnya dan pasukan pemberontak dapat


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditumpas. Dengan dasar apa dia berani menjamin pasti
akan menang" Mustahil dia tidak melaporkan pula
rencananya agar dipercaya oleh rajamu" Nah, apakah
kau merasa sulit untuk bicara" Baiklah, akan kuberi
hadiah pula padamu."
Yang diartikan "hadiah" sudah tentu adalah
kebalikannya, yaitu siksaan.
Padahal Yap Boh-hoa sebenarnya belum tahu
kedudukan Hong Jong-liong yang sesungguhnya, hanya
dari tugas berat yang diberikan
Yap To-hu kepadanya, dapatlah diduga dia pasti
bukan seorang jago pengawal biasa.
Karena menyangka asal-usul dirinya sudah diketahui
oleh Yap Boh-hoa, maka Hong Jong-liong tidak dapat
menyangkal lagi. Diam-diam ia merasa tiada jalan lain
kecuali mengaku sedikit kebenaran bila tidak ingin
tersiksa lagi. Dengan tergagap akhirnya ia bicara,
"Tentang tipu yang telah direncanakan Yap-tayjin dan
putranya ialah pada suatu ketika sesudah berulang-ulang
pasukan kerajaan pura-pura kalah, lalu Yap-kongcu akan
menghimpun laskar-laskar pemberontak untuk
melakukan serangan total kepada Siau-kim-jwan, pada
waktu itulah pasukan kerajaan akan mengadakan
perangkap untuk menjaring habis-habisan laskar
pemberontak sekaligus."
"Keji benar tipu muslihatnya," omel Ubun Hiong demi
mendengar keterangan itu.
Sebenarnya Kang Hay-thian dan lain-lain belum lagi
mengetahui hubungan gelap apa yang dilakukan Yap
Leng-hong dengan pihak kerajaan, walaupun sudah
diketahui pemuda itu adalah putra Yap To-hu. Baru
sekarang dari pengakuan Hong Jong-liong inilah segala
kejahatan Yap Leng-hong sama sekali terbongkar.
"Bilakah rencana keji itu akan dilaksanakan," tanya
Boh-hoa. "Pelaksanaannya harus melihat keadaan, maka kapan
waktunya yang tepat aku benar-benar tidak tahu," sahut
Hong Jong-liong. Padahal dia cukup mengetahui bahwa
rencana itu telah ditetapkan akan dilaksanakan dalam
bulan ini juga, walaupun harinya yang persis tak
diketahui. Jadi dia hanya mengaku setengah saja dan
tidak seluruhnya berterus terang.
Betapapun cerdiknya Yap Boh-hoa juga karena kurang
berpengalaman, maka dia tidak mendesak lebih jauh.
Sebaliknya ia terus bertanya mengenai tugas yang
dibawa kembali Hong Jong-liong dari kotaraja.
Karena tadi sudah mengaku telah bertemu dengan Ho
Lan-bing, kini Hong Jong-liong tidak dapat membohongi
lagi, untuk mencari selamat terpaksa ia mengaku bahwa
dia buru-buru pulang untuk memberitahukan kepada Yap
Leng-hong bahwa tentang peranannya di dalam pasukan
pergerakan telah diketahui dan harus bertindak
seperlunya sebelum rahasianya terbongkar, bila perlu
penumpasan laskar pemberontak harus dipercepat
menurut rencana. Keruan Ubun Hiong terkejut mendengar keterangan
itu, untung mereka dapat memergoki Hong Jong-liong di
tengah jalan, kalau tidak, pasti celakalah laskar-laskar
pergerakan di daerah Sucwan itu.
"Sekarang aku sudah mengatakan semua yang aku
tahu, harap meringankan penderitaanku ini," mohon
Hong Jong-liong. "Nanti dulu, aku ingin tanya sesuatu lagi," kata Bohhoa.
"Tiga tahun yang lalu ada 13 jagoan istana telah
mengerebut seorang pemuda di atas pegunungan Masjit
di daerah Kamsiok. Pemuda itu adalah Yap Leng-hong
yang sekarang dipalsukan oleh tuan muda putra
gubernur kalian itu. Di antara ke-13 jagoan istana itu
tatkala itu ada tujuh orang yang bertugas di gubernuran
Siamsay dan Kamsiok. Sebagai pengawal gubernur tentu
peristiwa itu cukup kau ketahui bukan?"
Hong Jong-liong terperanjat, ia heran mengapa
pemuda ini mengetahui juga kejadian itu, cepat ia
menjawab, "Ya, aku tahu. Tapi waktu itu aku tidak ikut
pergi." "Aku tahu kau tidak ikut," kata Boh-hoa. "Aku hanya
ingin tanya darimana para jagoan istana itu mengetahui
bahwa pada hari itu Yap Leng-hong akan datang ke
sebuah kuil di atas gunung Masjit itu" Siapa yang
menyampaikan berita rahasia itu?"
Karena kuatir disiksa lagi, Hong Jong-liong pikir orangorang
yang bersangkutan itu sekarang toh sudah mati
semua, rasanya tak berhalangan bila dirinya mengaku
terus terang, maka katanya kemudian, "Berita itu
diperoleh dari keenam jagoan istana yang lain. Waktu itu
mereka ditugaskan mengawal Kheng-congpeng dari Ili
yang sedang pulang ke kotaraja. Adapun darimana
mereka memperoleh berita itu, aku sendiri tidak tahu."
Namun pengakuan Hong Jong-liong ini sudah cukup
bagi Yap Boh-hoa, diam-diam ia sudah tahu duduknya
perkara. Tentu waktu Kheng Siu-hong bicara dalam
kemah dengan ayahnya, di luar dugaan mereka, isi
pembicaraan itu telah didengar oleh mata-mata kerajaan
yang dipasang di sekitar panglima Ili itu. Keenam jago
istana itu resminya adalah mengawal, tapi tugas yang
sebenarnya adalah mengawasi gerak-gerik pembesar itu.
Sesudah terbukti Kheng Siu-hong tiada tersangkut
dalam kejadian itu, entah mengapa perasaan Yap Bohhoa
menjadi lega. Segera ia bertanya pula, "Sudah
terang kalian tahu Kheng-congpeng tiada hubungan apaapa
dengan pemuda she Yap itu, mengapa majikan
kalian, yaitu si jagal she Yap, sengaja memfitnah dan
membikin celaka Kheng-congpeng?"
Melihat Yap Boh-hoa serba tahu, Hong Jong-liong
tidak berani berdusta, ia mengaku pula, "Kepindahan
Kheng-congpeng pada waktu itu tampaknya ada maksud
hendak mengincar jabatan gubernur Siamsay dan
Kamsiok. Karena kuatir kedudukannya terdesak, setelah
menerima berita rahasia itu, segera ia turun tangan lebih
dulu dengan melenyapkan Kheng-congpeng."
Keterangan ini membikin Yap Boh-hoa sangat senang,
tanpa terasa ia hantam sepotong batu sehingga hancur,
serunya, "Kiranya demikian halnya. Sayang, sayang!"
"Sayang apa?" tanya Ubun Hiong heran.
"Tidak apa-apa, cuma sayang yang hadir di sini hanya
kita berdua saja," sahut Boh-hoa. Kiranya dia menjadi
teringat kepada Kheng Siu-hong dan sayang nona itu
tidak ikut mendengar pengakuan Hong Jong-liong tadi.
Sudah tentu Ubun Hiong merasa bingung, ia tidak
tahu siapakah yang diharapkan oleh Yap Boh-hoa itu.
Didengarnya Boh-hoa bertanya pula kepada Hong Jongliong,
"Baik, akhirnya aku ingin bertanya pula, sejak
kapan Yap Thing-cong mulai menjadi mata-mata
kerajaan" Apakah kau yang menjadi penghubungnya?"
Karena Hong Jong-liong memang sengaja mengulur
tempo dan berharap datangnya penolong, maka dia
lantas mengaku panjang lebar supaya terhindar dari
siksaan. Ubun Hiong menjadi ngeri sendiri sesudah mendengar
pegakuan Hong Jong-liong itu. Baru sekarang
diketahuinya bahwa Yap Leng-hong sudah sejak tahun
lalu sepulangnya di rumah telah didalangi Hong Jongliong
secara diam-diam. Itu restoran Thay-pek-lau yang
dibuka di kota Tong-peng adalah pos penghubung
mereka. Akhirnya Hong Jong-liong berkata, "Segala apa sudah
kukatakan, bilamana kedua tuan muda sudi mengampuni
aku, selanjutnya aku akan hidup prihatin mengasingkan
diri dan tak berani lagi menjadi anjing pemburu
kerajaan." "Apakah betul sudah kau katakan semua?" ujar Bohhoa.
"Coba Ubun-heng, geledahlah badannya."
Waktu Ubun Hiong membuka baju Hong Jong-liong,
dapatlah digeledah dua sampul surat. Sebuah adalah
titah raja untuk Yap To-hu yang menganugerahi gelar
pangkat 'menteri' dengan hak penuh untuk memerintah
semua pasukan kerajaan yang dikirim ke Sucwan.
Sampul yang lain berkas surat mandat bagi Yap Lenghong
untuk membuktikan dia adalah orang sendiri bila
pada suatu ketika dia berhubungan dan menggabungkan
diri dengan pasukan kerajaan yang belum saling kenal.
"Ubun-heng, kedua dokumen itu mungkin berguna
bagimu, boleh kau menyimpannya saja," kata Boh-hoa.
Diam-diam Ubun Hiong tahu bahwa tugasnya ke
Sucwan tentu sudah dapat diduga oleh Yap Boh-hoa,
maka kedua orang hanya tahu sama tahu secara diamdiam
saja. Segera Ubun Hiong menyimpan baik-baik
kedua sampul rampasan dan menjawab, "Lantas keparat
ini bagaimana membereskannya?"
"Orang ini sekali-kali tidak dapat dipercaya, bolehlah
berikan dia dengan cepat saja untuk mengurangi rasa
deritanya," kata Boh-hoa. Maksudnya sekali tusuk boleh
dibunuh saja Hong Jong-liong itu.
Keruan Hong Jong-liong ketakutan, teriaknya,
"Mengapa kalian tidak pegang janji?"
"Janji apa" Apakah aku pernah berjanji akan
mengampuni jiwamu?" sahut Boh-hoa.
"Sudah begitu banyak rahasia-rahasia yang kukatakan,
apakah belum cukup untuk menebus kesalahanku?" kata
Hong Jong-liong. Jiwa Ubun Hiong memang luhur, ia merasa tidak tega,
tanyanya, "Bagaimana Yap-toako?"
"Janganlah karena sedikit rasa kasihan hingga
membikin runyam urusan besar," ujar Boh-hoa.
Ubun Hiong lantas teringat juga kepada jiwa-jiwa para
pahlawan yang pernah menjadi korban keganasan Hong
Jong-liong, terhadap musuh tidak boleh bicara tentang
kasihan segala. Segera ia mencabut pedang dan
menusuk untuk menghabisi nyawa Hong Jong-liong.
Sekonyong-konyong Hong Jong-liong bergelak
tertawa, serunya, "Hahaha! Sekarang biarpun kau
hendak membunuh aku juga sudah terlambat!"
Pada saat yang hampir sama itulah tiba-tiba terdengar
suara "Cring" yang nyaring, entah darimana datangnya
sebuah senjata rahasia, tahu-tahu pedang Ubun Hiong
sampai terbentur lepas dari cekalan.
Dalam pada itu terdengar Yap Boh-hoa telah
membentak, "Darimana datangnya perempuan siluman,
berani main gila di sini?" Berbareng jarinya menjentik,
sebuah cincin kehitam-hitaman telah kena diselentik
jatuh. Dan pada saat itu juga Hong Jong-liong mendadak
menjatuhkan diri terus menggelinding ke bawah gunung.
Sesudah bergelindingan belasan meter jauhnya, cepat ia
meletik ke atas dan melompat bangun. Sebenarnya dia
tertotok oleh Yap Boh-hoa dan tak bisa berkutik, tapi
sekarang sudah dapat bergerak, keruan kejadian ini
membuat Yap Boh-hoa sangat terkejut.
Hampir pada saat yang sama tahu-tahu sudah muncul
juga seorang wanita tua berambut memutih perak
dengan dandanan yang aneh, sambil bergelak tertawa ia
berkata, "Aku berada di sini, siapakah yang mampu
membikin celaka padamu" Kau tidak perlu lari lagi Hong
Jong-liong!" Kiranya wanita tua ini tadi sekaligus telah
menyambitkan tiga buah cincin, sebuah membentur jatuh
pedang Ubun Hiong, sebuah lagi menyerang Hiat-to
penting di tubuh Yap Boh-hoa, dan cincin yang ketiga
telah menimpuk ke arah Hong Jong-liong untuk
membuka Hiat-to yang tertotok.
Sesudah menyelentik jatuh cincin yang menyerang ke
arahnya, tangan Yap Boh-hoa sendiri sampai pegal, kuat
sekali sambitan cincin itu. Maka tahulah dia telah
berhadapan dengan seorang lawan yang sangat lihai.
Meski nenek itu telah menyuruh Hong Jong-liong tak
perlu lari, tapi Hong Jong-liong masih terus berlari ke
arah Jik-liong-ki. Nyata tujuannya hendak merebut lagi
kuda itu dan melarikan diri.
Yap Boh-hoa tidak tinggal diam, segera ia mengejar
dengan Ginkangnya yang tinggi, tapi si nenek juga lantas
mengubernya dari belakang. Saat itu Ubun Hiong sudah
menjemput kembali pedangnya, ia pun mengudak dan
menyerang ke arah nenek itu, tapi sekali si nenek
mengebaskan lengan bajunya ke belakang, kontan Ubun
Hiong tergentak mundur beberapa tindak.
Menyusul si nenek lantas bersuit panjang, sekali
lompat tahu-tahu ia sudah mendahului dan mengadang
di depan Yap Boh-hoa. Walaupun rambut si nenek sudah beruban semua, tapi
mukanya masih merah bercahaya, sedikitpun tidak
kelihatan loyo, bahkan gerak-geriknya juga sangat gesit.
Ketika Yap-boh-hoa melontarkan pukulan, tanpa pikir
nenek itupun memapak dengan pukulannya.
"Plak", Boh-hoa sampai tergetar mundur dua tindak.
"Hahaha! Boleh juga kau punya Tay-seng-pan-yak-ciang,
tapi jangan harap dapat mencelakai aku," seru si nenek
sambil tertawa. "Eh, kau ini anak Yap Tiong-siau atau
muridnya?" Boh-hoa naik pitam juga mendengar jawaban yang
kaku itu, pikirnya tak peduli siapa dia, karena dia
berkawan dengan antek kerajaan, hal ini sudah
merupakan musuhku. Dalam pada itu dengan tertawa dingin si nenek telah
menubruk maju lagi, tahu pukulan Pan-yak-ciang tak bisa
melukai lawan, segera Boh-hoa melolos pedang, dengan
senjata dan telapak tangan sebelah ia sambut serangan
si nenek yang lihai. Agaknya nenek itupun tidak berani memandang
enteng terhadap Yap boh-hoa, ia lantas melepaskan ikat
pinggangnya dan kain sutera, digunakan sebagai ruyung


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lemas. Setelah bergebrak beberapa jurus pula, kembali si
nenek menjengek, "Hm, kiranya kau adalah putra Yap
Tiong-siau dan Auyang Wan. Perempuan hina dina
Auyang wan itu sampai mengajarkan ilmu pedang dari
keluarga ibunya kepadamu."
Sudah tentu Boh-hoa sangat gusar karena si nenek
memaki ibunya, tapi di tengah gusarnya ia pun merasa
heran. Ia tahu ayah-bundanya jarang bergaul dengan
orang-orang Kangouw, tapi nenek ini tidak saja tahu
tentang ayah ibunya, bahkan terhadap ilmu pedangnya
berasal dari keluarga ibunya juga kenal. Jika demikian,
seharusnya nenek ini mempunyai hubungan rapat
dengan ayah ibunya sendiri. Tapi mengapa si nenek tidak
tahu bahwa ayahnya tidak pernah menerima murid dan
mengapa memaki ibunya pula"
Begitulah segera Yap Boh-hoa main balas serang
dengan mati-matian, tapi si nenek dapat memutar ikat
pinggang suteranya dengan hidup, setiap serangan Yap
Boh-hoa selalu kena dipatahkan, seakan-akan sudah
terduga sebelumnya oleh si nenek. Yang menarik bagi
Yap Boh-hoa adalah gaya ilmu silat si nenek itu,
walaupun tak dikenal dari aliran mana, tapi lapat-lapat
seperti sama dengan gaya ilmu silat Kheng Siu-hong,
yaitu yang pernah diduga berasal dari perubahan ilmu
pedang keluarga Yap Boh-hoa sendiri. Hanya saja
kepandaian si nenek jauh lebih tinggi daripada Kheng
Siu-hong sehingga Boh-hoa tak berdaya
mengalahkannya, sebaliknya malah selalu terdesak.
"Hm, aku memaki ibumu lantas kau merasa marah?"
demikian jengek si nenek. "Huh, biarpun Auyang Wan si
perempuan hina itu bertemu dengan aku, juga mesti
menyembah padaku dan membiarkan aku memaki dia
sesuka hatiku." Melihat keadaan Yap Boh-hoa berbahaya, segera Ubun
Hiong ikut menerjang maju. Meski kepandaiannya masih
jauh di bawah Yap Boh-hoa, tapi Si-mi-kiam-hoat yang
dia mainkan adalah ilmu pedang kelas satu, inilah yang
tidak berani dipandang ringan oleh si nenek. Ia gunakan
lengan baju yang sebelah untuk mengebas, buat
menangkis serangan pedang Ubun Hiong.
Sekalipun lebih tinggi kepandaian si nenek daripada
Yap Boh-hoa, tapi selisihnya juga tidak terlalu jauh.
Sekarang si nenek harus membagi perhatiannya untuk
menjaga serangan Ubun hiong, dengan sendirinya ia tak
bisa memusatkan tenaganya ke ikat pinggangnya.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Yap Boh-hoa
untuk balas menggempur. "Bret", tiba-tiba sebagian ikat
pinggang sutera itu terkupas sobek, ketika si nenek
menarik kembali ikat pinggangnya terus menyabet pula,
lekas Boh-hoa menggeser ke samping.
Begitulah walaupun satu dikerubut dua, tapi si nenek
masih dapat menyerang dengan lincahnya, Boh-hoa
berdua toh lebih banyak bertahan daripada balas
menyerang. Untung Si-mi-kiam-hoat yang dimainkan
Ubun Hiong itu sangat rapat pertahanannya, sebaliknya
pukulan Pan-yak-ciang Yap Boh-hoa juga membuat si
nenek setiap kali harus menjaga diri dengan hati-hati.
Dengan demikian kelihatannya saja si nenek berada di
atas angin, tapi sesungguhnya kedua pihak sama-sama
sukar memperoleh kemenangan sehingga kedua pihak
hanya saling bertahan saja.
Dalam pada itu Hong Jong-liong yang berusaha
hendak merampas lagi kuda Jik-liong-ki sudah mendekati
binatang itu. Keruan Yap Boh-hoa menjadi gelisah, bila
Hong Jong-liong sampai lari, tentu akan banyak
menimbulkan kesukaran pula bagi perkembangan
pertempuran antara pasukan pemberontak melawan
pasukan kerajaan di Sucwan.
Pada saat itu juga mendadak Ubun Hiong bersuit, Jikliong-
ki sudah kenal suara Ubun Hiong, tiba-tiba binatang
itu meringkik sambil berjingkrak dan menyepak, lalu lari
menanjak ke atas. Keruan Hong Jong-liong sangat
mendongkol, hampir saja ia kena didepak oleh kuda itu.
Padahal sudah cukup lama ia menunggangi kuda itu, tapi
akhirnya lebih setia kepada tuannya yang lama daripada
majikan baru. Luput merampas Jik-liong-ki, tiba-tiba Jong-liong
mengincar kuda kelabu hasil curian Yap Boh-hoa dari
Ban-keh-ceng, kuda itu cukup bagus meski tidak dapat
dibandingkan Jik-liong-ki. Segera ia mendekati kuda itu
dan binatang itu ternyata diam saja.
Dan baru saja Hong Jong-liong hendak mencemplak
ke atas kuda, sekonyong-konyong terdengar si nenek
berkaok, "Awas, Hong-lotoa!"
Belum lenyap suaranya, terdengarlah suara mendesing
keras, sebilah belati telah menyambar tiba. Lekas Hong
Jong-liong mengegos, namun tidak urung bahunya juga
terserempet oleh belati itu, darah lantas mengucur
keluar. Untunglah si nenek keburu memperingatkan,
kalau tidak, tentu lehernya sudah ditembus belati itu.
Pada saat lain dari semak-semak di balik gundukan
batu karang sana telah muncul tiga orang laki-laki, dua di
antaranya berdandan bagai setan jangkung hitam-putih,
seorang lagi lebih mengerikan, rambutnya kusut-masai,
terang seorang laki-laki, tapi memakai baju wanita, baju
itupun sudah robek sehingga kelihatan bulu dadanya
yang hitam lebat. Kiranya ketiga orang ini adalah kedua saudara Cu
serta laki-laki yang menyaru sebagai setan perempuan
yang ikut mengacau Kui-tek-po semalam itu. Dalam
pertempuran sengit itu mereka telah terluka, cuma tidak
parah, mereka masih sempat melarikan diri. Setiba di
lereng gunung sini mereka telah berhenti mengaso, di
luar dugaan mereka memergoki pertarungan Yap Bohhoa
dan Hong Jong-liong tadi, serta mendengar
percakapan mereka. Demi mengetahui siapa Hong Jong-liong, diam-diam
mereka bertiga ikut prihatin. Ketika Hong Jong-liong
hendak lari, segera mereka bertindak, orang yang
menyaru sebagai setan wanita itu lantas menyambitkan
sebilah belati dengan sekuatnya. Walaupun berhasil
melukai Hong Jong-liong, tapi karena dia sendiri terluka,
sekarang mengerahkan tenaga pula, saking sakitnya ia
jatuh pingsan sendiri. Sedangkan kedua saudara Cu
lantas melompat maju menerjang ke arah Hong Jongliong.
Lantaran terkejut, kuda kelabu itu sampai berjingkrak
terus lari menyingkir, dalam pada itu kedua saudara Cu
sudah menerjang tiba dengan sepasang tongkat dan
sepasang gaetan sehingga Hong Jong-liong tidak sempat
kabur. Dalam keadaan biasa, kedua saudara Cu pasti bukan
tandingan Hong Jong-liong, tapi sekarang tenaga Hong
Jong-liong sudah banyak berkurang, walaupun kedua
saudara Cu juga terluka ringan, tapi dua lawan satu
masih tetap menguntungkan mereka, hanya beberapa
kali gebrakan saja berulang-ulang Hong Jong-liong sudah
hampir dibinasakan oleh kedua lawannya.
"Hm, aku berada di sini, siapa yang berani
mengganggu seujung rambut Hong Jong-liong tentu
jiwanya yang akan kucabut!" jengek si nenek.
Pada saat itu juga sebuah tongkat Cu-loji sudah
melayang ke atas kepala Hong Jong-liong. Untuk
mengelak sudah tidak keburu lagi karena harus
menangkis gaetan Cu-lotoa yang telah mendahului
menyambar datang. Terpaksa Hong Jong-liong berteriak,
"Tolong Auyang-toanio!"
"Tring", pada detik terakhir tahu-tahu sebuah senjata
rahasia kecil menyambar tiba sehingga tongkat Cu-loji
kena dibentur melenceng ke samping, berbareng itu
sebuah cincin si nenek yang lain juga telah mengenai
Hiat-to di bawah iganya, kontan ia roboh sendiri.
Ibu Yap Boh-hoa mempunyai she Auyang dan berasal
dari Cong-lam-san, sekarang demi mendengar Hong
Jong-liong berseru memanggil "Auyang-toanio", tiba-tiba
Boh-hoa ingat bahwa pegunungan ini memang Conglam-
san adanya. Ia terkejut dan ragu-ragu, "Janganjangan
nenek ini adalah angkatan tua dari keluarga ibu?"
Kesepuluh jari nenek itu memakai sepuluh buah cincin,
bersama tiga buah yang tadi seluruhnya dia sudah
menyambitkan lima buah, kini tinggal lima buah lagi.
Baru saja Yah Boh-hoa merenung, "tring", kembali si
nenek melontarkan sebuah cincin pula ke arah Cu-lotoa.
Tanpa pikir panjang lagi Yap Boh-hoa terus menerjang
nenek itu, begitu pula Ubun Hiong lantas ikut
mengembut dengan Tui-hong-kiam-hoat yang hebat,
maka si nenek menjadi tidak sempat menarik diri untuk
membantu Hong Jong-liong lagi.
Namun serangan cincin tadi juga telah mengenai Culotoa,
cuma jaraknya agak jauh, maka Cu-lotoa hanya
terhuyung-huyung saja dan tidak sampai roboh, tapi
sebelah lengannya sudah terasa kaku dan sukar bergerak
lagi. Keruan Hong Jong-liong lantas balas menyerang
sehingga Cu-lotoa kewalahan karena harus bertahan
sendirian. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keliningan
kuda yang riuh nyaring, seorang gadis baju merah
tampak muncul dengan cepat. Nona baju merah ini
bukan lain adalah Kheng Siu-hong, kuda yang dia
gunakan adalah kuda merah yang ditinggalkan oleh Ubun
Hiong di kaki gunung itu.
"Berhenti dulu. Suhu!" tiba-tiba Siu-hong berseru
kepada si nenek. "Semuanya kawan sendiri, jangan
bertempur lagi." "Kheng-lihiap, jahanam ini adalah antek kerajaan,
lekas kau bantu membinasakan dia!" Cu-lotoa juga
berteriak. Tapi demi mengetahui yang dipanggil sebagai
"Suhu" oleh Kheng Siu-hong kiranya adalah si nenek,
keruan ia terperanjat. Kheng Siu-hong juga terkejut ketika mendengar
teriakan Cu-lotoa yang mengatakan Hong Jong-liong
adalah anjing pemburu kerajaan. Baru saja dia akan
melabraknya, tiba-tiba si nenek telah membentaknya,
"Siu-hong, jangan! Orang she Hong itu yang harus
dibela, siapa pun tidak boleh mengganggunya!"
Perintah guru terpaksa harus diturut, Siu-hong
merandek. Dalam pada itu Hong Jong-liong sudah
sempat mencapai kuda kelabu dan sudah mencemplak ke
atasnya, terus dilarikan secepat terbang ke bawah
gunung. Yap Boh-hoa berteriak, "Nona Kheng, orang she Hong
itu adalah jago pengawal Yap To-hu dan orang she Yap
itulah yang telah membikin celaka ayahmu. Kenapa kau
melepaskan dia, kelak tentu akan banyak menimbulkan
bencana pula. Lekas kau mengejarnya jangan sampai
terlepas!" Tapi si nenek juga lantas berseru, "Siu-hong ke sini!
Bocah she Yap inilah musuhmu, boleh kau binasakan
dengan tanganmu sendiri."
Keruan Siu-hong menjadi bingung, ia tidak tahu sebab
apa gurunya bertempur dengan Yap Boh-hoa, juga tidak
tahu mengapa sang guru membela orang she Hong juga
yang dikatakan sebagai antek kerajaan oleh Cu-lotoa
tadi" Tadi Hong Jong-liong baru saja melarikan kudanya,
jika Kheng Siu-hong mau mengejarnya dengan segera,
dalam keadaan masih payah tentu Hong Jong-liong akan
dapat disusul oleh Siu-hong, tapi sekarang Hong Jongliong
sudah pergi jauh. Melihat si nona tertegun di tempatnya, Boh-hoa
menghela napas, sambil melawan si nenek ia berseru,
"Nona Kheng, sudah salah satu kali jangan salah pula
untuk kedua kalinya. Aku bukanlah musuhmu, kesalah
pahaman kita adalah karena tipu muslihat Yap To-hu.
Kalau tidak percaya boleh kau tanya kedua saudara Cu,
seumpama kita bukan kawan seperjuangan, paling
sedikit juga bukan musuh."
Di kala Yap Boh-hoa bicara, berulang-ulang si nenek
mendesak pula agar Siu-hong mau memihak padanya.
Sementara itu Cu-lotoa lantas berkata, "Memang
benar apa yang dikatakan Yap-siauhiap itu, Kheng-cecu.
Tadi aku mendengar dengan telingaku sendiri pengakuan
anjing she Hong itu." Lalu ia pun menceritakan apa yang
didengarnya secara tidak sengaja tadi.
Di sebelah sana Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong telah
mengembut mati-matian sehingga si nenek tidak sampai
menyerang dengan senjata rahasianya lagi. Dengan
gusar ia hanya berkaok-kaok, "Hong-koh apakah kau
tidak mau menurut kepada perintah gurumu lagi" Soal
orang she Hong itu adalah petugas kerajaan apa sih
halangannya" Ayahmu sendiri bukankah pernah
menjabat Congpeng" Tentang pengakuan orang she
Hong itu jangan mudah percaya begitu saja, yang
penting bekuk dan bikin perhitungan dulu dengan bocah
she Yap ini." Saat itu si nenek dapat mengimbangi keroyokan Bohhoa
dan Ubun Hiong, tapi kalau Kheng Siu-hong ikut
membantunya tentu dengan gampang Boh-hoa berdua
dapat dikalahkan. Tapi Siu-hong anggap tidak mendengar seruan
gurunya, sebaliknya cerita Cu-lotoa sangat menarik
perhatiannya, ia yakin Cu-lotoa pasti tidak berdusta
padanya. Jadi jelas sekarang pemuda she Yap ini
sesungguhnya bukan musuh pembunuh ayahnya, bahkan
adalah tuan penolongnya. Lantaran itu tidak mungkin ia
membalas susu dengan air tuba dengan menuruti
perintah gurunya itu. Seketika hati Siu-hong berduka dan bimbang pula,
kedatangannya ke Cong-lam-san ini sebenarnya hendak
menjenguk sang guru, tak terduga gurunya ternyata ada
hubungan baik dengan musuh yang sesungguhnya


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malah, bahkan memerintahkan dia ikut membekuk Yap
Boh-hoa yang pernah menolongnya. Sebagai gadis yang
tahu budi, ia lebih suka menerima hukuman dari gurunya
daripada berbuat sesuatu yang berlawanan dengan hati
nuraninya. Dengan mengembeng air mata terpaksa ia
menjawab, "Suhu, boleh engkau anggap saja tidak
mempunyai muridmu ini!"
Segera ia putar tubuh hendak mencemplak ke atas
kuda, tiba-tiba dilihatnya laki-laki yang menyamar
sebagai setan perempuan dan Cu-loji masih menggeletak
di situ, segera ia memberi pertolongan untuk
menyadarkan mereka dan menyuruh mereka lekas
berangkat saja, lalu ia sendiri lantas meninggalkan
tempat itu dengan berlinang air mata.
Si nenek menjadi gusar, teriaknya, "Bagus, Siu-hong!
Kau sudah gemuk dan sudah bersayap sekarang, lalu
ingin terbang sendiri ya" Hm, jangan kau kira bisa lepas
dari genggamanku, sesudah kubereskan kedua bangsat
cilik ini, segera aku akan membekuk kau dan membikin
perhitungan denganmu."
Tapi Yap Boh-hoa segera melancarkan serangan lebih
gencar sehingga si nenek tidak sempat mengurus Siuhong
lagi. Di tengah pertarungan sengit itu, tiba-tiba
terdengar suara "bret-bret" dua kali, ikat pinggang sutera
si nenek telah kena terpapas putus kedua ujungnya oleh
pedang Yap Boh-hoa dan Ubun Hiong, yang tertinggal di
tangan si nenek hanya tinggal satu bagian yang pendek
saja. Sekalian si nenek buang sisa ikat pinggangnya, kedua
tangannya digosok-gosokkan, mendadak ia bersuit
panjang. Tahu-tahu kedua telapan tangannya kelihatan
merah membara seperti terbakar.
Boh-hoa terkesiap, ia tahu ini tentu sejenis ilmu jahat
yang lihai, lekas ia memperingati kawannya, "Hati-hati
Ubun-heng!" Benar juga, dengan dahsyat kedua tangan si nenek
sudah mulai menghantam sekaligus. Dari angin
pukulannya yang menyambar tiba lebih dulu itu terasa
panas sekali. Cepat Boh-hoa mendahului menyambut pukulan itu
dengan sebelah tangan. Dari dua tiga kali gebrakan tadi,
agaknya si nenek agak jeri terhadap Pan-yak-ciang,
makanya Yap Boh-hoa berani menandangi pula pukulan
dahsyat yang membakar ini.
Tak terduga, sekali ini telah berbeda jauh daripada
tadi. Begitu tangan berbenturan, seketika Boh-hoa
merasa telapak tangannya seperti kena dibakar oleh besi
panas yang baru diangkat dari anglo. Seketika dadanya
sesak, isi perut serasa berjungkir balik.
Kiranya yang digunakan si nenek adalah ilmu pukulan
Lui-sin-ciang yang merupakan kepandaian andalan
suaminya, cuma dia belum sempurna mempelajari ilmu
pukulan itu dari suaminya dan belum leluasa untuk
digunakan. Sekarang karena dia ingin mencapai
kemenangan secepatnya, maka dengan nekat ia
mengeluarkan pukulan itu sehingga Yap Boh-hoa
tergentak mundur beberapa tindak.
"Sekarang kau tahu kelihaianku belum?" seru si nenek
sambil tertawa. "Mengingat ibumu, biarpun dia pernah
berdosa padaku, tapi apapun juga dia adalah orang dari
keluarga Auyang, maka bolehlah kau berlutut dan
menyembah padaku, segera aku dapat mengampuni
jiwamu." Waktu Boh-hoa tergetar mundur tadi, segera Ubun
Hiong memutar pedangnya dan mengadang di depan
untuk melindunginya. Meski kepandaian Ubun Hiong
lebih rendah, tapi Si-mi-kiam-hoat adalah ilmu pedang
menjaga diri yang hebat sehingga dalam waktu singkat si
nenek tak mampu menembus pertahanannya.
"Baik, biar kumampuskan dulu kau bangsat cilik ini!"
bentak si nenek dengan gemas.
Boh-hoa menjadi kuatir. "Ubun-heng, kau mempunyai
urusan penting, silakan kau lekas berangkat saja!"
serunya, lalu katanya juga kepada si nenek, "Auyangtoanio,
aku tidak tahu kau terhitung apa di dalam
keluarga ibuku. Jika kau benci kepada ibuku, bolehlah
aku bertanggung jawab bagi beliau, silakan kau mau
berbuat apa" Tapi suruh aku menyembah padamu
janganlah harap. Segala urusan tentu ada yang benar
dan yang salah, yang jelas urusan sekarang ini kaulah
yang salah." "Kurangajar, setelah kau dapat menduga siapa aku ini,
kau masih berani berlagak di hadapanku?" teriak si
nenek alias Auyang-toanio dengan murka. "Baik, kalian
berdua bangsat cilik ini jangan harap bisa lolos seorang
pun." Habis berkata ia gosok-gosok pula kedua telapak
tangannya dan segera akan melancarkan pukulan
dahsyat pula. Ternyata Ubun Hiong tidak mau pergi meski sudah
disuruh lekas berangkat oleh Yap Boh-hoa, sebaliknya ia
malah putar pedang dan siap menghadapi Auyangtoanio.
Keruan Boh-hoa merasa kuatir dan cemas, baru saja ia
hendak menarik mundur Ubun Hiong dan dirinya akan
menyambut serangan Auyang-toanio. Pada saat itulah
tiba-tiba terdengar seruan Cu-lotoa yang kejut-kejut
girang, "Kebetulan sekali kedatanganmu, Tiong-pangcu!
Lekas engkau menolong kedua ksatria muda itu!"
Tapi panca indra Auyang-toanio cukup tajam, saat itu
ia pun merasa datangnya tokoh luar biasa yang
dimaksudkan Cu-lotoa itu. la terkejut dan membatin,
"Mengapa begini kebetulan si pengemis tua itu datang
pada saat demikian ini?" Karena itu pukulannya lantas
tertunda. Dalam pada itu mendadak telah muncul seorang
pengemis tua yang berbaju compang-camping dengan
menggendong karung. Segera Ubun Hiong mengenali
pengemis tua itu tak lain tak bukan adalah liong TiangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
thong, ketua Kay-pang yang mempunyai hubungan akrab
dengan Kang Hay-thian. Terdengar Tiong Tiang-thong tertawa terbahak-bahak,
serunya, "Selamanya pengemis tua paling suka ikut
campur urusan orang lain. He, Auyang-toanio, ada
urusan apa kau merecoki dua anak kecil itu?"
"Dia membantu antek kerajaan, dia hendak
membunuh kami," sela Ubun Hiong sebelum si nenek
menjawab. Dengan nada dingin Auyang-toanio juga lantas
menjawab, "Hm, apakah kau tahu siapa bocah she Yap
ini" Dia adalah anak keturunan keluarga kami, aku
mengajar orang sendiri, berdasarkan apa sebagai orang
luar kau mau ikut campur" Kau boleh bawa pergi saja
murid Kang Hay-thian itu!"
Nyata dengan licik Auyang-toanio mengelakkan
persoalan pokok, ia kesampingkan soal membantu antek
kerajaan segala, tapi dikatakannya sebagai urusan
kekeluargaan. Rupanya dari jauh Tiong Tiang-thong telah mendengar
juga caci-maki Auyang-toanio kepada Yap Boh-hoa dan
sudah tahu siapa dia, maka dengan tertawa dingin ia
berkata, "Bukankah kau sudah tidak mengakui lagi famili
keluargamu itu. Hehe, aku justru ingin campur urusan,
selama aku berada di sini kau tidak boleh sembarangan
bertingkah." Auyang-toanio menjadi gusar, dampratnya, "Tiong
Tiang-thong, lebih tepat kau urus kaum pengemis saja,
mengapa urusan keluarga Auyang kami juga kau akan
ikut campur?" "Buat apa kau marah, jika kau tidak terima boleh coba
melabrak padaku, apa gunanya memusuhi anak kecil?"
sahut Tiang-thong sambil menarik mundur Ubun Hiong,
menyusul setelah tangannya lantas menabok ke depan
untuk menyambut Lui-sin-ciang (pukulan geledek) si
nenek. Maka terdengarlah suara gemuruh benturan kedua
tangan, di tengah guncangan angin pukulan, tertampak
air muka Auyang-toanio berubah menjadi pucat-pasi,
badannya sempoyongan dan mundur beberapa tindak,
menyusul darah segar terus menyembur keluar dari
mulutnya, masih mending baginya tidak sampai
terjungkal. Kiranya ilmu Kun-goan-it-khi-kang yang dilatih Tiong
Tiang-thong sudah cukup sempurna, betapa hebat
tenaga dalamnya sudah jauh di atas Auyang-toanio.
Kalau Tiong Tiang-thong tidak menyerangnya dengan
sepenuh tenaga sudah terhitung bermurah hati.
"Terang kau punya Lui-sin-ciang belum cukup
sempurna, boleh kau pulang untuk belajar kepada
suamimu!" ujar Tiang-thong dengan adem-ayem.
"Pengemis busuk, permusuhan kita ini sudah pasti,
kelak aku pasti akan menyuruh lakiku mengukur
kepandaianmu lagi, boleh kau tetapkan harinya,"
damprat Auyang-toanio. Untuk mengurangi malunya
terpaksa ia tampilkan nama suaminya.
Tapi Tiang-thong lantas menjawab, "Aku tiada tempat
kediaman yang tetap, biarlah kelak bila aku lewat di sini
lagi tentu aku akan mampir untuk minta petunjuk kepada
suamimu. Aku tahu saat ini dia tidak berada di rumah."
Auyang-toanio terkesiap, diam-diam ia mengakui
tajam sekali berita kaum Kay-pang, sampai-sampai
suaminya tidak berada di rumah juga diketahui olehnya.
Terpaksa ia tidak berani menonjolkan sang suami lagi,
sesudah mengucapkan beberapa kata-kata lagi, ia lantas
kabur dengan lesu. Segera Ubun Hiong dan Yap Boh-hoa mengucapkan
terima kasih kepada Tiong Tiang-thong.
"Untung Auyang Pek-ho tidak di rumah, kalau tidak,
tentu hari ini kalian akan banyak menelan pil pahit," ujar
Tiang-thong dengan tertawa. "Eh, kau ini tentunya putra
Yap Tiong-siau bukan" Tampaknya Lwekang ayahmu
juga telah diajarkan padamu."
Boh-hoa tidak paham mengapa datang-datang ketua
Kay-pang itu sudah lantas menilai Lwekangnya, segera ia
mengucapkan kata-kata merendah hati.
"Tidak perlu sungkan-sungkan," ujar Tiang-thong.
"Menurut Lwekangmu sekarang, agaknya jauh lebih kuat
daripada ayahmu ketika dia berusia sebaya dengan kau
dahulu." "Jika demikian tentunya Tiong-pangcu adalah kenalan
lama ayah-ibu?" tanya Boh-hoa.
"Bukan cuma kenalan lama saja, bahkan perjodohan
ayah-ibumu dahulu si pengemis tua ini yang
menghubungkannya," kata Tiong-thong dengan bergelak
tertawa. "Dan pernah apakah Auyang-toanio itu dengan nenek
luarku" Siapa pula Auyang Pek-ho yang disinggung
Tiong-pangcu tadi?" tanya Boh-hoa.
"O, kiranya ibumu belum pernah bercerita padamu
tentang keluarga ayahnya?" kata Tiang-thong. "Auyang
Pek-ho yang kusebut tadi adalah saudara tua kakekluarmu,
selain itu mereka masih mempunyai seorang adik
laki-laki bernama Auyang Ki-ho, kakekmu sendiri
bernama Auyang Tiong-ho. Auyang-toanio tadi adalah
istri Auyang Pek-ho, yaitu bibi besar ibumu. Mereka telah
berselisih paham dengan ayah-ibumu, maka sudah lama
putus hubungan. Tentang ini kelak bila ada tempo tentu
dapat kuceritakan padamu."
Kiranya Auyang Pek-ho bertiga saudara dahulu pernah
juga menjagoi dunia persilatan. Ibu Yap Boh-hoa, yaitu
Auyang Wan sebenarnya telah dijodohkan dengan Bun
To-ceng, keponakan Bun Ting-bik yang terkenal pada
masa itu. Tapi berkat Kang Hay-thian dan bantuan
seorang Suhengnya, pada hari perkawinannya, Bun Toceng
telah dilukai dan Auyang Wan melarikan diri, sejak
itu lantas putus hubungan dengan keluarganya.
Kemudian Auyang Wan telah menjadi istri Yap Tiongsiau,
perjodohan ini akhirnya disetujui juga oleh Auyang
Pek-ho dan saudaranya, karena Yap Tiong-siau diketahui
adalah putra mahkota sebuah kerajaan kecil. Tak terduga
kemudian Yap Tiong-siau sengaja melepas haknya
sebagai putra mahkota kepada saudaranya, yaitu Danu
Cu-mu. Sebaliknya Tiong-siau juga tidak suka terhadap
tingkah laku keluarga Auyang yang plin-plan, suka
berkomplot dengan kerajaan Boan-jing dan orang-orang
Kangouw yang tak beres. Semuanya ini sangat
mengecewakan harapan Auyang Pek-ho, maka hubungan
kekeluargaan mereka kembali putus lagi.
Begitulah setelah mengetahui sekedar duduknya
perkara, maka Boh-hoa tidak bertanya lebih lanjut.
Dalam pada itu kedua saudara Cu dan kawannya telah
maju pula untuk beramah-tamah dengan semua orang.
Mereka pun gelisah seperti Yap Boh-hoa mengenai
larinya Hong Jong-liong yang sudah sekian lamanya itu.
Bila Yap Leng-hong dapat menerima berita' lebih dulu
dari Hong Jong-liong, tentu akan menimbulkan bencana
bagi laskar pemberontak di Sucwan.
Mendengar percakapan mereka, Tiong Tiang-thong
bertanya, "Apakah orang she Hong yang dapat lolos itu
berumur 50-an dan bermuka berewok?"
"Betul, darimana Tiong-pangcu mengetahui?" tanya
Boh-hoa. "Tadi waktu aku naik ke sini, dia sedang melarikan
kudanya ke bawah," tutur Tiang-thong. "Aku tidak kenal
dia, dari kudanya itu aku tahu binatang itu adalah milik
Ban-keh-ceng yang terkenal sebagai sarang gembong
penindas rakyat, murid Kay-pang sendiri pernah dihina
mereka. Jika orang Ban-keh-ceng berada di Cong-lamsan
sini tentu tiada melakukan sesuatu yang baik, maka
dengan sengaja aku lantas menghantamnya dari jauh
dengan maksud menjatuhkan dia dari kuda untuk ditanya


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih jauh. Tapi karena tenaga yang kupakai hanya
sebagian kecil saja, keparat itu hanya bersuara tertahan
dan tidak sampai jatuh dari kudanya. Sayang, bilamana
mengetahui dia adalah antek kerajaan, tentu tenaga
pukulan yang kulancarkan sedikitnya akan membikin dia
terluka parah." "Biarpun tidak keras, sedikitnya keparat itu juga sudah
terluka, maka untuk mengejarnya rasanya tidaklah sukar
dan masih keburu," ujar Cu-lotoa.
"Jika demikian, bolehlah lekas Ubun-heng
menyusulnya dengan Jik-liong-ki, meski keparat itu
sudah lari sekian lamanya, mungkin kudamu itu masih
sanggup menyusulnya," kata Boh-hoa.
"Kemudian cara bagaimana kita akan bergabung
kembali?" tanya Ubun Hiong.
"Setiap jarak tertentu boleh kau meninggalkan tanda
agar aku dapat mencari jejakmu," kata Boh-hoa.
Sesudah menentukan tanda pengenal, lalu Ubun Hiong
mencemplak ke atas Jik-liong-ki dan menyusul ke arah
Hong Jong-liong. Yap Boh-hoa juga lantas menceritakan
pengalamannya dan tentang tipu muslihat keji kepergian
Hong Jong-liong ke Sucwan itu.
"Kabarnya semalam Kui-tek-po telah terjadi geger,
apakah perbuatan kalian" Sudahkah kalian membalas
dendam?" tanya Tiang-thong kepada kedua saudara Cu.
"Kejadian semalam dilakukan oleh laskar Kheng Siuhong,
kami hanya membantunya dari dalam saja," tutur
Cu-lotoa. "Bangsat tua she Kui itu bahkan telah melukai
saudaraku, jadi dendam lama belum terbalas sudah
bertambah sakit hati baru lagi."
Begitulah sembari berjalan sambil bicara, dari situ baru
Boh-hoa mengetahui bahwa keluarga Cu sebenarnya
adalah petani di Kui-tek-po, karena musim paceklik dan
tak mampu membayar sewa, akhirnya ayah-ibu
persaudaraan Cu telah mati merana atas pemerasan Kui
Koh-ku. Waktu itu persaudaraan Cu baru 7-8 tahun
umurnya, mereka telah mengungsi ke daerah lain ikut
sanak-famili miskin yang lain, kemudian mengembara
lebih jauh lagi sambil mengemis, akhirnya masuk menjadi
anggota Kay-pang. Mereka baru pulang ke Kui-tek-po
beberapa tahun yang lalu sebagai pendatang baru.
Dari bocah ingusan telah berubah menjadi laki-laki
pertengahan umur yang tegap sudah tentu mereka tidak
dikenal lagi oleh penduduk setempat, apalagi logat
mereka sudah mirip dengan orang dari daerah lain.
Mereka pura-pura minta pekerjaan dan mau menerima
syarat mencekik dari keluarga Kui, hasil cocok tanam
mereka harus dibagi dua, hewan piaraan harus
disetorkan tiga ekor dari tiap-tiap sepuluh ekor, selain itu
setiap tahun harus kerja bakti bagi keluarga Kui selama
dua bulan tanpa upah. Sebabnya mereka mau menerima syarat-syarat pelik
itu tujuannya asalkan dibolehkan menetap di Kui-tek-po,
agar mereka ada kesempatan menuntut balas. Akan
tetapi kemudian mereka baru tahu untuk menuntut balas
tidaklah gampang. Bukan saja keluarga Kui menyewa
beberapa jago pengawal, bahkan kepandaian Kui Koh-ku
sendiri juga lebih tinggi daripada mereka. Sudah sekian
tahun mereka menetap di Kui-tek-po dan tetap belum
berhasil menuntut balas. Perkenalan persaudaraan Cu dengan Kheng Siu-hong
dimulai dengan seorang kawannya yang ikut menjadi
anak buah nona itu. Karena maksud Siu-hong hendak
menggempur Kui-tek-po, mereka lantas mengadakan
hubungan dengan persaudaraan Cu agar membantu dari
dalam, mereka pikir bila Kui-tek-po berhasil diruntuhkan,
untuk membunuh Kui Koh-ku dan menuntut balas
tentulah tidak sukar. Tak terduga sakit hati lama belum
terbalas, sebaliknya persaudaraan Cu malah terluka.
Boh-hoa menghibur persaudaraan Cu dan berjanji bila
kelak dirinya pulang dari Sucwan tentu akan membantu
mereka menuntut balas. Cu-lotoa mengucapkan terima kasih, katanya, "Kami
akan pergi menggabungkan diri dengan Kheng-cecu,
kuyakin kegagalan Kheng-cecu ini tentu takkan
mematahkan semangatnya."
"Aku juga pernah mendengar bahwa Auyang Pek-ho
suami-istri telah menerima seorang putri Congpeng
sebagai murid, kiranya dia adalah Kheng-cecu kalian itu,"
kata Tiang-thong. "Di antara angkatan baru kalangan
Lok-lim akhir-akhir ini, Kheng-cecu kalian juga terhitung
satu di antaranya yang paling menonjol. Cuma aku tidak
paham, mengapa dari putri Congpeng dia terus menjadi
kepala bandit?" Segera Boh-hoa menceritakan sebab-musababnya,
tentang diri Kheng Siu-hong hanya urusan pribadinya
dengan nona itulah yang tak diceritakan.
Karena tadi Cu-lotoa sudah mencuri dengar tanya
jawab antara Yap Boh-hoa dan Hong Jong-liong, maka ia
sudah tahu hubungan antara Boh-hoa dan Siu-hong,
katanya kemudian, "Yap-tayhiap, banyak terima kasih
atas bantuanmu semalam. Banyak di antara anak buah
Hui-hong-san yang terluka, rasanya rombongan mereka
belum terlalu jauh perginya. Apakah Yap-tayhiap tidak
ingin tinggal satu-dua hari lagi, marilah bersama kami
berkunjung kepada Kheng-cecu."
Watak Tiong Tiang-thong paling suka menjodohkan
anak muda, meski tidak tahu bagaimana hubungan
antara Boh-hoa dan Siu-hong, tapi diam-diam ia sudah
dapat menduga beberapa bagian dari percakapan
mereka tadi, maka dengan tertawa ia berkata, "Jika
kenalan baik sudah seharusnya kau pergi menjenguknya.
Mestinya aku hendak pergi menyambangi Hay-thian, tapi
sekarang aku telah berubah pikiran dan akan pergi ke
Siau-kim-jwan. Tentang keamanan Ubun Hiong boleh
serahkan padaku saja."
"Tidak, tidak," sahut Boh-hoa dengan wajah merah,
"aku sudah bertemu dengan Cecu kalian, tiada sesuatu
yang perlu dibicarakan lagi."
Tengah bicara, mereka telah sampai di kaki gunung.
Tiba-tiba dua wanita muda penunggang kuda sedang
mendatangi dengan cepat, di belakangnya mengikut pula
beberapa ekor kuda tanpa penunggang. Kiranya adalah
kedua dayang Kheng Siu-hong yang disuruh membawa
kuda untuk memapak persaudaraan Cu, di antaranya
terdapat pula kuda milik Ubun Hiong yang dilarikan
Kheng Siu-hong itu. "Wah, kebetulan sekali, kiranya Yap-kongcu juga
berada di sini," kata dayang yang satu dengan tertawa.
"Tadi Cecu kami telah meminjam kuda ini, sekarang
hamba disuruh mengembalikannya kepada Yap-kongcu,
Siocia kami pun minta maaf tentang kejadian semalam.
Apakah Yap-kongtu sendiri ada pesan apa-apa yang
minta kami sampaikan kepada Siocia?"
Sebenarnya Siu-hong cuma menyuruh mereka
mengembalikan kuda saja, permintaan maaf itu adalah
mereka sendiri yang mengemukakan. Sebagai pelayan
pribadi mereka cukup tahu perasaan Siu-hong.
Maka Boh-hoa menjawab, "Aku mestinya hendak
mengembalikan sesuatu kepada Siocia kalian, tapi ...
sudahlah, biar kelak bila aku lewat lagi di sini, tentu akan
mampir untuk mengembalikan barangnya ini. Harap
kalian sampaikan demikian saja."
"O, jika demikian memang seharusnya kau
mengembalikannya sendiri," sahut dayang tadi dengan
tertawa. "Ya, betul juga jika kau mengutamakan kepentingan
umum daripada pribadi," kata Tiong Tiang-thong.
"Sekarang bolehlah kau berangkat saja lebih dulu, segera
aku akan menyusul. Tambah teman tentunya tambah
baik." Maka Yap Boh-hoa lantas mohon diri dan berangkat
lebih dulu. Meski kuda merah yang dikembalikan Kheng
Siu-hong tak dapat dibandingkan Jik-liong-ki, tapi juga
terhitung seekor kuda pilihan. Perasaannya yang tertekan
mengenai diri Siu-hong sekarang sudah buyar, satusatunya
hal yang dipikirnya sekarang adalah dapatkah
Ubun Hiong menyusul Hong Jong-liong.
Sepanjang jalan Boh-hoa melihat ada tanda-tanda
yang ditinggalkan Ubun Hiong, menurut ketentuan,
bilamana Hong Jong-liong dapat dibekuk akan diberi
tanda silang tambahan. Tapi sampai hari kedua Boh-hoa
masih belum menemukan tanda tambahan itu, ia
menjadi sangsi dan kuatir. Apa barangkali Hong Jongliong
berhasil meloloskan diri, padahal menurut
perhitungan, dengan kuda Jik-liong-ki seharusnya pada
hari kedua Ubun Hiong sudah dapat menyandak
buronannya. Sampai hari ketiga Boh-hoa semakin kuatir, sepanjang
30 li ia tidak lagi menemukan tanda-tanda yang
ditinggalkan Ubun Hiong. Ia coba putar kembali untuk
menyelidiki hutan di sekitar tempat yang dilaluinya,
namun tetap tidak diketemukan jejak Ubun Hiong. Tanda
yang ditinggalkan pemuda itu putus mendadak, hal ini
menimbulkan dugaan pasti terjadi apa-apa sesudah
tempat yang terdapat tanda terakhir itu. Cuma di sekitar
situ hanya lereng bukit belaka, sama sekali tiada rumah
penduduk sehingga sukar bagi Yap Boh-hoa untuk
mencari keterangan. Sebab apakah mendadak jejak Ubun Hiong bisa
menghilang. Untuk itu marilah kita mengikutinya dari
semula. Hari itu Ubun Hiong telah menguber sampai di jalan
pegunungan yang curam itu, sekonyong-konyong sebutir
batu mengambar dari atas dan dengan tepat mengenai
kaki depan Jik-liong-ki. Padahal saat itu Jik-liong-ki
sedang mecongklang dengan cepat, tapi batu itu dengan
tepat dapat mengenai kakinya, kepandaian menyambit
senjata rahasia orang itu tentu sangat tinggi.
Karena ruas kaki depan tertimpuk batu, kontan Jikliong-
ki meringkik kaget dan terguling. Dalam keadaan
sedang lari cepat dan mendadak roboh, keruan Ubun
Hiong juga ikut terjungkal.
Dan sebelum Ubun Hiong melompat bangun, tiba-tiba
di atas bukit terdengar suara tertawa orang dan berkata,
"Ayah, perhitunganmu benar-benar sangat tepat. Kurir
yang mereka kirim benar-benar lewat di sini. Aha, aku
kenal bocah ini, dia adalah Ubun Hiong, murid Kang Haythian
yang kedua." Waktu Ubun Hiong mendongak, dilihatnya di atas
bukit berdiri tiga orang yang dikenalnya semua. Yaitu
Nyo Ceng, Nyo Hoan dan seorang lagi adalah Bong Ingping
dari Jing-sia-pay. Kiranya pada malam penyerbuan penjara kerajaan
tempo hari Nyo Ceng dan putranya beruntung dapat
meloloskan diri. Sebagai orang yang berpengalaman dan
licin, ketika melihat Kang Hay-thian berjumpa kembali
dengan Utti Keng dan istrinya serta Ubun Hiong, diamdiam
Nyo Ceng menduga rahasia Yap Leng-hong palsu
pasti akan terbongkar, maka malam itu juga dia lantas
berangkat ke Sucwan. Bong Ing-ping adalah mata-mata kerajaan yang
diselundupkan ke dalam Jing-sia-pay, dia juga mendapat
tugas ikut di dalam pasukan pemberontak dan
mengadakan hubungan langsung dengan Yap Lenghong.
Waktu ditugaskan mencari berita di luar, secara
kebetulan bertemu dengan Nyo Ceng dan Nyo Hoan di
tengah jalan. Karena tidak leluasa bertemu sendiri dengan Yap
Leng-hong, maka Nyo Ceng telah minta Bong Ing-ping
menyampaikan berita tentang kemungkinan akan
terbongkarnya rahasia Leng-hong. Ia pun menduga
bahwa dari pihak Kang Hay-thian pasti akan dikirim kurir
ke Sucwan, maka mereka sengaja bicara di atas bukit,
dimana jalan yang menuju ke Sucwan itu dapat diawasi
bilamana ada orang lewat.
Benar juga dugaan Nyo Ceng, di situlah Ubun Hiong
kena dicegat mereka dan terguling dari kudanya. Nyo
Ceng menjadi senang sesudah mendengar dari putranya
tentang siapa Ubun Hiong. Dengan tertawa ia berkata,
"Bagus, kita tangkap dulu murid Kang Hay-thian ini untuk
melampiaskan rasa dongkol kita. Kudanya itu juga bagus,
jangan-jangan adalah Jik-liong-ki milik Kang Hay-thian.
Hoan-ji, boleh kau bekuk bocah itu, biar kutangkap
kudanya." Rupanya Jik-liong-ki hanya terluka ringan saja dan
masih bisa meronta bangun, walaupun dengan sebelah
kaki sedikit pincang, tapi kuda itu masih dapat berlari
dengan cepat kian kemari di lereng bukit itu sehingga
sukar didekati meski Nyo Ceng telah mengudaknya.
Sebaliknya Ubun Hiong terbanting jatuh agak keras,
saat itu dia baru saja merangkak bangun dan tahu-tahu
Nyo Hoan sudah memburu tiba, tongkat bambunya terus
saja menotok ke dada Ubun Hiong, sambil menyeringai
bentaknya, "Bocah keparat, sekali ini masakah kau
mampu lolos lagi!" Tampaknya segera Ubun Hiong akan tertotok oleh
tongkat bambu musuh, tapi secara cepat sekali pemuda
itu sempat mengegos ke samping, berbareng itu pedang
juga sudah diloloskan dan menyampuk pergi serangan
Nyo Hoan yang kedua. Gerakan Ubun Hiong yang
pertama adalah langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat dan
jurus kedua adalah ilmu pedang Si-mi-kiam-hoat,
perpaduan kedua macam kepandaian itu dapat
dimainkan dengan amat bagus, maka walaupun habis
jatuh terbanting ia masih mampu melawan Nyo Hoan
dengan sengit. Dalam sekejap saja Nyo Hoan telah menyerang 20-30
jurus secara membadai, tapi Ubun Hiong telah putar
pedangnya sehingga berwujud suatu lingkaran cahaya


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tak tertembus siraman air. Hanya terdengar "Cringcring"
berulang-ulang, betapapun tongkat bambu Nyo
Hoan tidak mampu menembus pertahanan lawan. Diamdiam
ia terkesiap, sungguh tidak nyana baru berpisah
beberapa bulan saja kepandaian Ubun Hiong sudah maju
begini pesat. "Jangan kuatir Nyo-heng, biar kubekuk dia!" seru Bong
Ing-ping yang telah menyusul tiba, segera ia menubruk
maju dengan senjata gaetan.
Langkah ajaib Thian-lo-poh-hoat berasal dari Jing-siapay,
walaupun telah banyak ditambah dan diubah oleh
Kim Si-ih, lalu diajarkan kepada Hay-thian, namun
betapapun Ubun Hiong juga belum sempurna dan tidak
lebih pandai daripada Bong Ing-ping yari^, merupakan
murid Jing-sia-pay terpilih, sebab itulah dalam hal ger.ik
geriknya ia selalu kena dihalangi.
Akan tetapi Bong Ing-ping juga salah hitung, ia sangka
dengan senjata gaetnya akan dapat merampas pedang
Ubun Hiong, karena gaetan demikian memang biasanya
sangat baik buat merebut senjata lawan seperti golok
dan pedang. Tak terduga mendadak terdengar "cret"
satu kali, ujung pedang Ubun Hiong tergaet, sebaliknya
lengan kanan Bong Ing-ping malah kena tergores luka.
Nyata dia dapat mengatasi langkah Thian-lo-poh-hoat,
tapi tidak dapat menahan Si-mi-kiam-ho.it yang lihai.
Namun Nyo Hoan juga tidak tinggal diam, pada waktu
Bong Ing-ping dapat menembus pertahanan Ubun Hiong,
berbareng tongk.il bambunya juga lantas menikam pula
pada saat yang sama ketika Ubun Hiong melukai Bong
Ing-ping sehingga tepat kena sasarannya.
Setelah terkena totokan tongkat, Ubun Hiong merasa
lemas. Bung Ing-ping yang terluka menjadi murka,
menyusul sebelah tangannya lantas menghantam.
"Jangan membunuh dia, kita perlu tanya
keterangannya'" seru Nyo Hoan.
Cepat Bong Ing-ping menahan sebagian tenaganya,
tapi tidak urung pukulan yang cukup keras itupun sudah
mengenai tubuh Ubun Hiong.
Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara bentakan
orang "He, siapa itu berani mengganas di sini?"
Karena pukulan Bong Ing-ping itu, kepala Ubun Hiong
serasa sakit hendak pecah, matanya berkunang-kunang,
tapi samar-samar ia masih mendengar seruan Nyo Ceng,
"Lekas lari, anak Hoan.'" Hanya ucapan demikian itulah
yang masih terdengar, habis itu ia lantas jatuh pingsan
tanpa mengetahui siapakah yang datang itu.
Entah sudah selang berapa lama, perlahan-lahan Ubun
Hiong mulai sadar. Sebelum membuka mata sudah
terdengar suara orang sedang bicara di sampingnya,
lebih dulu suara seorang wanita berkata, "Sayang
keparat Nyo Ceng itu sempat lari!"
"Tapi dia sudah merasakan pukulanku, walaupun
selamat juga pasti terluka parah, sedikitnya kita sudah
melampiaskan dendam anak Ling yang dipukulnya di Binsan
tempo hari," demikian suara seorang laki-laki tua
menjawab. Ia merasa suara itu seperti sudah dikenalnya, lambatlaun
teringatlah olehnya. Ya, suara inilah yang
membentak Nyo Ceng pada saat dia akan jatuh pingsan
tadi, karena kedatangan orang ini maka Nyo Ceng telah
berseru kepada Nyo Hoan agar lari.
"Tentu orang inilah yang telah menolong diriku,"
demikian Ubun Hiong membatin.
Dalam pada itu terdengar suara wanita tadi sedang
berkata pula, "Nah, dia sudah mulai dapat bergerak,
tentu akan segera siuman. Eh, Lau Han, boleh bawa
kemari bubur encer itu!"
Waktu perlahan-lahan Ubun Hiong membuka mata, ia
merasa dirinya berada di dalam sebuah rumah gubuk
dan terbaring di atas balai-balai batu. Di sebelah berdiri
seorang laki-laki dan seorang wanita berumur kira-kira
setengah abad, yang laki-laki berjenggot cabang tiga,
wajahnya kereng. Yang perempuan selalu tersenyum
simpul, sikapnya ramah dan sedang merawatnya seperti
kasih seorang ibu. Hampir Ubun Hiong mengira dirinya berada dalam
mimpi, selagi hendak bicara, tiba-tiba orang tua itu
sudah bertanya lebih dulu, "Apakah kau murid Kang Haythian"
Siapa namamu?" "Tecu bernama Ubun Hiong dan baru masuk
perguruan tahun yang lalu. Banyak terima kasih atas
pertolongan Locianpwe," jawab Ubun Hiong. Diam-diam
ia heran, siapakah kedua orang tua ini dan darimana
kenal nama Suhunya. Terdengar kakek itu telah berkata pula sambil tertawa,
"Aku adalah Ciong Tian dari Thian-san. Dari permainan
ilmu pedangmu memang sudah kuduga kau adalah murid
Kang Hay-thian, nyatanya memang benar."
Tempo hari waktu Ciong Tian hadir dalam pertemuan
di Bin-san, waktu itu Ubun Hiong tidak berada di sana,
maka sekarang adalah pertemuan mereka yang pertama.
Namun sebelumnya Ubun Hiong sudah sering mendengar
cerita sang guru tentang Ciong Tian dan tokoh-tokoh
Thian-san-pay yang lain, keruan ia terkejut dan bergirang
pula, pantas orang kenal ilmu pedangnya dan tahu nama
gurunya. Sementara itu wanita tua itupun ikut bertanya, "Jika
demikian, jadi kau adalah Sute Yap Leng-hong, putraputriku
sekarang juga ikut berjuang dalam pasukan
Toasuhengmu sana. Kabarnya pasukan pemberontak di
Sucwan telah memperoleh kemenangan yang gilang
gemilang di bawah pimpinan Toasuhengmu, sekarang
kabarnya sudah mulai akan menyerang Siau-kim-jwan.
Apakah kau sedang menuju ke sana buat membantu
Toasuhengmu?" Wanita tua ini adalah istri Ciong Tian yakni Li Simbwe.
Putra putrinya yang dimaksud adalah Ciong Leng
dan Ciong Siu yang tempo hari juga ikut hadir di Bin-san.
Mendengar mereka memuji Leng-hong, seketika Ubun
Hiong menjadi bingung, entah apa yang harus dikatakan.
Dalam pada itu seorang laki-laki dengan dandanan
sebagai pemburu, tampak masuk dengan membawa
semangkuk bubur dan beberapa piring kecil lauk-pauk.
"Ya, tentu badanmu masih lemas sesudah berbaring
sekian lamanya, silakan dahar dulu, nanti kita bicara
lagi," kata Li Sim-bwe dengan tertawa.
Ubun Hiong memang sudah merasa lapar, ia
mengucapkan terima kasih dan tanpa sungkan-sungkan
lagi ia lantas menghabiskan semangkuk bubur itu.
Lalu Cong Tian memeriksa urat nadi Ubun Hiong,
sedang Li Sini bwe berkata pula dengan tertawa,
"Sampai sekian lamanya kau tak sadarkan diri, sungguh
kami ikut cemas sekali. Tapi dasar Lwekangmu cukup
kuat, asal mengaso lagi dua hari sudah boleh
melanjutkan perjalanan."
Ubun Hiong terperanjat, cepat ia bertanya, "Sudah
beberapa lama aku tak sadar?"
"Sehari semalam," sahut Li Sim-bwe.
"Wah, celaka, celaka! Mengapa terhalang sampai
sekian lamanya'" seru Ubun Hiong.
"Belakang kepalamu tergetar sehingga darah mati
mengumpul di situ, tapi sekarang sudah kami urut dan
darah sudah jalan lancar kembali," tutur Sim-bwe.
"Rumah ini adalah milik pemburu yang kami kenal, kau
boleh mengaso di sini dengan tenang, urusan apa
hendaklah dikesampingkan dulu. Paling-paling hanya dua
hari saja kau sudah bisa berangkat".
"Tapi aku akan pergi ke Siau-kim-jwan," seru Ubun
Hiong. "Jangan kuatir, kami juga akan pergi ke sana untuk
menjenguk putra-putri kami," ujar Sim-bwe. "Selang dua
hari lagi bila tenagamu sudah pulih boleh kita berangkat
bersama ke tempat Toasuhengmu itu."
"Bukan, aku memang hendak pergi mencari Yap Lenghong,
tapi ... tapi dia bukan ..."
"Bukan apa" Yap Leng-hong bukan Suhengmu?" sela
Li Sim-bwe dengan heran. "Dahulu Suhengku, tapi sekarang bukan," sahut Ubunhiong.
"Apa maksudmu?" kata Ciong Tian dengan mengerut
kening. Segera Ubun Hiong mengeluarkan sampul yang berisi
laporan rahasia gubernur Sucwan si jagal she Yap itu,
katanya, "Silakan Ciong-locianpwe membacanya dan
tentu akan paham duduknya perkara."
Ciong Tian coba membacanya, tapi baru membaca
beberapa baris saja air mukanya sudah berubah hebat.
Waktu Sim-bwe ikut membaca, ia menjadi lebih kaget
pula, serunya kurang percaya, "Apa ... apa betul! Yap
Leng-hong adalah mata-mata musuh" Ini tidak
mungkin." Tapi Ubun Hiong lantas menceritakan seluk-beluk diri
Yap Leng-hong serta pesan gurunya agar setiba di Siaukim-
jwan meminta bantuan pula kepada Ciong Leng dan
Ciong Siu untuk bersama-sama membereskan
pengkhianat itu, maka mau tak mau Li Sim-bwe percaya
juga. Sesungguhnya Lim Sim-bwe rada penujui Yap Lenghong
yang memang ganteng itu, maka ada maksud
hendak menjodohkan putrinya kepada pemuda itu.
Sebabnya dia mengizinkan putra-putrinya ikut ke Sucwan
justru ingin Ciong Siu bisa lebih rapat bergaul dengan
Yap Leng-hong, siapa duga pemuda itu justru adalah
pengkhianat, tentu saja ia cemas dan kuatir.
Akhirnya Ciong Tian berkata, "Pantas kau buru-buru
ingin berangkat, kiranya ada urusan begini penting. Baik,
aku akan membantu kau agar segera dapat berangkat."
Habis itu ia lantas menghimpun Lwekangnya, diam-diam
ia mengerahkan tenaga jari, dalam sekejap saja ia telah
menotok berbagai Hiat-to penting di tubuh Ubun Hiong.
Dimana jarinya menyentuh, Ubun Hiong lantas
merasakan suatu arus hawa hangat menyusup masuk ke
titik jalan darah itu, rasanya nikmat dan segar.
Dengan cara totokan Gong Tian untuk menembus
saluran urat-urat nadi yang penting di tubuh Ubun Hiong
itu, sebenarnya Gong Tian harus mengorbankan
pemupukan tenaga dalam yang dihimpunnya paling
sedikit tiga tahun lamanya, tapi demi untuk kepentingan
pergerakan, ia tidak memikirkan untung ruginya lagi. Ia
terus menotok dengan cepat sehingga jidatnya penuh
butir-butir keringat, ketika ia berhenti menotok, Ubun
Hiong merasa sekujur badannya lantas panas seperti
terbakar. Tapi Ciong Tian lantas mengeluarkan sebutir
obat pil warna hijau muda dan menyuruh Ubun Hiong
meminumnya. Hanya sebentar saja pemuda itu merasa
badannya sudah segar kembali, balikan semangatnya
bertambah kuat. Pil itu adalah Pik-ling-tan yang dibuat dari teratai salju
yang tumbuh di puncak Thian-san, khasiatnya
menghilangkan panas, memunahkan racun, menguatkan
tenaga dan lain-lain lagi. Maka dalam waktu singkat saja
kekuatan Ubun Hiong akibat pukulan Bong Ing ping itu
telah dapat dipulihkan kembali. Selagi Ubun Hiong ragu
ragu dengan cara bagaimana dirinya harus lekas
berangkat karena Jik liong ki telah hilang, pada saat
itulah mendadak terdengar suara ringkikan kuda, itulah
suara Jik-liong-ki. Keruan Ubun Hiong sangat girang. "He, Jik-liong-ki
tidak dibawa lari!" serunya.
"Kuda itu sangat cerdik, sesudah Nyo Ceng kabur,
dengan jinak ia lantas mengikuti kita, sekarang sedang
makan rumput di luar sana."
"Dengan bantuan Jik-liong-ki, kurasa masih keburu
mendahului Hong Jong-liong sampai di Sucwan walaupun
aku sudah terhalang sehari semalam," kata Ubun Hiong.
"Cuma ada sesuatu yang perlu minta bantuan Cionglocianpwe
pula." "Tentang apa, coba katakan," tanya Ciong Tian.
"Perjalanan Tecu ini sebenarnya bersama seorang
kawan," tutur Ubun Hiong. Lalu ia pun menceritakan
janjinya dengan Yap Boh-hoa untuk meninggalkan tandatanda
rahasia di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tapi
kemarin tanda-tanda rahasia itu putus mendadak karena
terjadinya serangan Nyo Ceng, hal ini tentu akan
membikin bingung dan kuatirnya teman itu. Jika bertemu
diharap Ciong-locianpwe suka menyampaikan apa yang
sudah terjadi itu. Akhirnya ia pun melukiskan wajah dan
memberitahukan nama Yap Boh-hoa.
Ciong Tian kelihatan tertegun mendengar nama Yap
Boh-hoa, tiba-tiba ia berkata kepada istrinya, "Sim-bwe,
ingatkah kau pada kepala suku Kazak yang kita kenal
pada dua tahun yang lalu, dia menceritakan ada dua
orang ayah dan anak she Yap beberapa tahun yang lalu
pernah bantu mereka berperang di padang rumput.
Katanya mereka memakai she dari bangsa Han, tapi
menggunakan nama suku bangsa di daerah sana. Namun
dilihat dari wajah mereka memang lebih mirip dengan
bangsa Han." "Betul, aku masih ingat," sahut Li Sim-bwe. "Tatkala
itu kau malah menyangsikan orang itu adalah Yap Tiongsiau,
cuma kita tidak sempat mencari tahu lebih lanjut.
Jika betul mereka adalah ayah dan anak, maka putranya
itu bernama Yap Leng-hong. Putra gubernur Sucwan itu
telah memalsukan nama Yap Leng-hong, makanya Kang
Hay-thian percaya penuh pemuda itu adalah
keponakannya." Ubun Hiong termenung mendengar percakapan itu,
mendadak ia mendusin, serunya, "Ya, tentu demikian
adanya, Yap Boh-hoa itu pasti Yap Leng-hong yang
tulen. Pantas saja dia begitu jelas tentang seluk-beluk
diri Yap Leng-hong palsu, justru dia yang pertama-tama


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membongkar tipu muslihat keparat yang memalsukan dia
itu." Ciong Tian sangat senang, katanya, "Ya, pasti
demikian halnya. Aha, Kang Hay-thian salah terima famili
palsu, tapi kita yang telah menemukan keponakannya
yang tulen, boleh jadi kelak akan ada sidang konfrontasi
antara Yap Leng-hong tulen dan palsu. Haha, tentu akan
sangat menarik." "Huh, masih bilang menarik apa?" omel Li Sim-bwe.
"Jika sampai anak Siu tertipu olehnya, kukira kau ingin
menangis saja tidak bisa."
Maka cepat Cong Tian berkata, "Baiklah, urusanmu
memang penting, bolehlah kau lekas berangkat saja. Aku
akan bantu memperhatikan Yap Boh-hoa nanti."
Lim Sim-bwe juga memberi pesan seperlunya untuk
disampaikan kepada Ciong Leng dan Ciong Siu bahwa
selekasnya mereka juga akan menyusul ke Sucwan.
Habis itu Ubun Hiong lantas berangkat dengan Jik-liongki.
Sepanjang jalan ia tidak menemukan jejak Hong Jongliong
lagi, entah sudah mendahului di depan atau masih
ketinggalan di belakang. Kalau Hong Jong-liong lebih
dulu sampai di Sucwan tentu urusan bisa runyam,
terutama keselamatan sang Sumoay, yakni Kang Hiauhu.
Terkenang kepada sang Sumoay, sambil melarikan
kudanya terbayanglah olehnya masa lampau ketika
mereka bersama-sama belajar silat di rumah, setiap hari
berkumpul di tepi danau Tong-peng yang indah.
Walaupun mereka berdua tidak pernah bersumpah setia,
tapi dalam hati sanubari masing-masing sudah lama
bersemi asmara. Diam-diam ia berpikir, "Meski Sumoay masih kekanakkanakan,
tapi ia cukup tegas membedakan antara yang
baik dan buruk. Dia tidak tahu Yap Leng-hong itu adalah
palsu, tapi sudah lama dia tidak menyukainya, maka
Sumoay juga pasti takkan tertipu olehnya."
Walaupun demikian ia belum lega sebelum bertemu
dengan sang Sumoay, maka ia mengeprak kuda dengan
lebih cepat. Jik-liong-ki itu dapat menempuh beberapa
ratus li dalam sehari, tapi ia masih merasa kurang cepat.
-ooo0dw0oooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jika Ubun Hiong sedang mengenangkan sang Sumoay,
maka Kang Hiau-hu sendiri juga sedang merindukan
Ubun Hiong. Sesudah Kang Hiau-hu ikut pasukan pergerakan yang
dipimpin Yap Leng-hong masuk wilayah Sucwan, Yap
Leng-hong telah membagi tugas dengan mengirimkan
para murid berbagai golongan dan aliran itu untuk
membantu pemimpin-pemimpin laskar pemberontak di
berbagai tempat. Ciong Leng, Ciong Siu, Kang Hiau-hu
dan lain-lain tetap tinggal bersama di markas besarnya.
Pasukan pergerakan yang dipimpin Yap Leng-hong ini
tidak banyak jumlahnya, tapi kebanyakan terdiri dari
jago-jago silat yang tangkas, maka dengan mudah saja
setiap orang yang dikirim ke berbagai pos itu lantas
menjadi pimpinan pasukan setempat. Sebab itulah Yap
Leng-hong menjadi komando tertinggi dari seluruh
pasukan pemberontak dan ada hak buat menggerakkan
pasukan di berbagai tempat yang jumlahnya mendekati
seratus ribu orang. Tapi diam-diam Kang Hiau-hu selalu mengawasi
gerak-gerik Toasuhengnya itu, sikapnya terhadap Yap
Leng-hong boleh dikatakan menghormat tapi tidak suka.
Karena Yap Leng-hong sangat licin, maka tiada sesuatu
tanda-tanda mencurigakan yang dapat diketemukan
Hiau-hu. Sudah tentu Leng-hong masih tetap mengincar
Kang Hiau-hu, tapi setiap kali ia memperlihatkan
hasratnya, selalu ia tak digubris oleh si nona sehingga dia
hanya bertepuk sebelah tangan belaka.
Kalau Yap Leng-hong tidak diladeni oleh Kang Hiauhu,
sebaliknya Ciong Siu memperhatikan dan mendekati
Yap Leng-hong. Meskipun Ciong Siu lebih tua dua-tiga
tahun daripada Hiau-hu, tapi selamanya dia tinggal di
pegunungan Thian-san dan jarang bergaul dengan
khalayak ramai, maka dalam soal kehidupan manusia dia
lebih polos daripada Hiau-hu, hakikatnya ia tidak tahu
kepalsuan hati manusia dan rintangan orang hidup. Yang
dilihat Ciong Siu hanya kebaikan-kebaikan Yap Lenghong,
gantengnya, ramahnya, tangkasnya, mahir silat
pintar tulis pula. Bicara tentang perguruan, dia adalah
murid pewaris dari tokoh nomor satu di dunia ini. Bicara
tentang kedudukan, dalam usia semuda itu dia sudah
menjadi pucuk pimpinan pasukan pergerakan. Pendek
kata dalam pandangan Ciong Siu, benar-benar Yap Lenghong
adalah mirip sepotong batu kemala yang putih
bersih tanpa cacad. Sebaliknya alangkah cerdiknya Yap Leng-hong, tanpa
si nona mengutarakan perasaannya juga dia sudah tahu
Ciong Siu diam-diam jatuh hati padanya. Maka diamdiam
Leng-hong telah pasang perangkap, dia telah
memakai perhitungan "hilang yang satu, bolehlah dapat
yang lain". Jika tidak bisa mempersunting Hiau-hu biarlah
Ciong Siu juga boleh. Sudah tentu Leng-hong masih mempunyai tipu
muslihat lain, sebab Ciong Leng adalah wakil pimpinan.
Menurut keputusan rapat besar para ksatria di Bin-san
dulu. Kang Hay-thian telah mengemukakan syarat bahwa
setiap perintah komandan pasukan harus mendapat
persetujuan dulu dari wakil komandan. Tatkala itu para
ksatria mengira Kang hay-thian sengaja berendah hati
karena Ciong Leng dalam perhitungan angkatan
persilatan masih sejajar dengan Kang Hay-thi.m sendiri,
jadi lebih tua satu angkatan daripada Yap Leng-hong,
maka adalah pantas kalau setiap kebijaksanaan Yap
Leng-hong ada baiknya minta persetujuan Ciong Leng.
Usul itu telah diterima sehingga Ciong Leng yang
menjabat wakil komandan seakan-akan merangkap
menjadi pengawas. Sebagai orang berdosa, memangnya Leng-hong sudah
menerka gurunya sengaja memasang Ciong Leng untuk
mengawasi gerak-geriknya. Apalagi pada waktu akan
berangkat Kang Hay-thian telah memberi pesan pula
kepada Leng-hong agar segala sesuatu urusan harus
dirundingkan dengan Ciong Leng. Ini lebih membuktikan
pula kebenaran dugaan Leng-hong.
Sekarang Leng-hong dapat mengetahui perasaan cinta
Ciong Siu padanya, ia merasa ini adalah suatu syarat
bagus untuk memperalatnya, maka terkadang ia pun
suka melayani Ciong Siu dengan mesra untuk lebih
menjinakkan nona itu. Adapun Ciong Leng sendiri memangnya tiada menaruh
curiga kepada Yap Leng-hong, maka terhadap setiap
tindak-tanduk dan kebijaksanaan Yap Leng-hong sama
sekali tidak membantah. Jadi di luarnya Yap Leng-hong
pura-pura menghormati Ciong Leng, tapi sebenarnya
main kuasa dan melakukan segala sesuatu dengan
sesuka hatinya. Malam itu justru Yap Leng-hong telah memberi
perintah siap siaga sebab besok akan mulai dilakukan
penyerangan ke Siau-kim-jwan, pasukan-pasukan
pergerakan dari berbagai jurusan sudah terhimpun,
markas besar induk pasukan Yap Leng-hong berada di
bawah gunung. Prajurit-prajurit telah diperintahkan
istirahat agar besok pagi-pagi bisa bergerak.
Waktu itu adalah permulaan musim semi, di pucuk
gunung masih diliputi oleh salju, namun di lereng gunung
tetumbuhan sudah tumbuh dengan suburnya dan bunga
mekar mewangi. Suasana malam di bawah sinar bulan
yang terang itu sangat indah.
Saat itu Kang Hiau-hu sedang bersama Ciong Siu, tibatiba
Kang Hiau-hu memuji malam yang menarik itu. Tapi
Ciong Siu telah berkata, "Masakah kau masih iseng
menikmati keindahan malam bulan purnama ini, aku
sendiri sedang memikirkan pertempuran yang akan
terjadi besok pagi."
"Ya, aku pun rada kuatir," ujar Hiau-hu.
"Kuatir" Kuatir apa?" tanya Ciong Siu heran. Ia sangka
Hiau-hu menguatirkan kekalahan bagi pasukan
pergerakan. Jika demikian itu ia sendiri tidak sependapat.
"Kuatir tentang apa aku sendiri tak bisa menjelaskan,"
sahut Hiau-hu. "Hanya lapat-lapat aku merasa ada
sesuatu yang tidak beres. Aku tidak paham sebab apa
Yap-suko menghimpun semua pasukan pergerakan ke
sini." "Sudah tentu untuk melepaskan kawan kita yang
terkurung di Siau-kim-jwan," kata Ciong Siu. "Pasukan
kerajaan dipusatkan di sini, sudah tentu kita juga harus
menghadapinya dengan kekuatan besar. Ini kan mudah
dipahami?" "Aku bukan ahli militer, tapi aku merasa cara
pemusatan pasukan Yap-suko ini rada ganjil dan tidak
menguntungkan kita," kata Hiau-hu.
"Sejak kita berada di sini, hampir setiap pertempuran
selalu menang. Kukira Yap-suko sudah mempunyai
perhitungan yang meyakinkan, maka aku bahkan penuh
semangat dan tidak merasa kuatir."
"Tampaknya kau sangat percaya kepada kemampuan
Yap-suko," kata Hiau-hu.
Ciong Siu seperti berpikir sesuatu, sejenak kemudian
barulah berkata, "Adik Hu, aku ingin bertanya padamu,
tapi janganlah kau menyesal."
"Silakan bicara saja, mengapa mendadak enci Siu
sungkan-sungkan padaku?"
Wajah Ciong Siu tiba-tiba bersemu merah, lalu
katanya dengan suara perlahan, "Aku ingin bertanya
padamu, agaknya kau tidak begitu suka kepada Yapsukomu
bukan?" "O, jadi kau pun sudah merasakan hal ini?"
"Ya, makanya aku merasa heran. Kalian adalah
saudara seperguruan, dia adalah saudara misanmu pula,
kalian seharusnya bergaul dengan sangat rapat. Tapi
mengapa kau tidak suka padanya dan menganggapnya
seakan-akan orang luar saja."
Hiau-hu tidak langsung menjawab pertanyaan Ciong
Siu itu, ia pun merenung sejenak, lalu balas bertanya,
"Enci Siu, jika demikian agaknya engkau sangat
menyukai Yap-suko bukan?"
"Bukan, setan," omel Gong Siu dengan paras merah
"Aku tanya kau sebaliknya malah tanya padaku." Dia
tidak menjawab pertanyaan Hiau-hu, ini sama dengan
mengiakan secara diam-diam.
"Maafkan, enci Siu, aku pun ingin bertanya sesuatu
pulamu yang mestinya tidak pantas kukemukakan,
hendaklah kaupun jangan menyesal."
"Katakan saja, kita adalah saudara sendiri, mengapa
sungkan?" "Tampaknya Yap-suko akhir-akhir ini suka mencari
kesempatan mendekati kau, bukan?"
"Setan, kukira urusan yang benar, tak tahunya kau
hendak mengolok-olok aku saja."
"Tidak, yang kutanya ini justru urusan sesungguhnya."
Ciong Siu terkesiap, sahutnya kemudian, "Ya, akhirakhir
ini aku memang lebih sering bertemu dengan Yapsukomu,
tapi juga sekedar tukar pikiran tentang ilmu silat
saja. Bukankah aku pun sering berbuat demikian dengan
kau?" "Rupanya kau tidak mau menyatakan isi hatimu yang
sesungguhnya. Bukankah kau menyukai Yap-suko"
Tentunya tidak melulu tukar pikiran tentang ilmu silat
saja?" "Aku hanya kagum terhadap Yap-suko yang cerdik
pandai. Kau selalu mempunyai pandangan sepihak
terhadap dia, itulah yang membuat aku heran."
"Apakah kau pernah mengutarakan isi hatimu
kepadanya?" tanya Hiau-hu pula.
Muka Ciong Siu menjadi merah pula, sahutnya,
"Setan, memangnya kau anggap aku sebagai seorang
gadis yang tidak kenal malu?" Di balik kata-katanya itu
sebenarnya secara tidak langsung dia sudah mengakui
suka kepada Yap Leng-hong, hanya tidak menjawab
secara terus terang. "Jika demikian, apakah Yap-suko sendiri pernah
menyatakan perasaannya padamu?"
"Dia sibuk dengan tugasnya yang berat, mana dia
mau membicarakan urusan pribadinya padaku" sahut
Ciong Siu pula dengan kepala menunduk malu-malu.
Jawaban Ciong Siu ada sebagian memang benar.
Maklumlah, terhadap Ciong Siu memang Yap Leng-hong
hanya ingin memperalat buat sementara saja, biarpun
dia selalu menghadapi sikap dingin dari Kang Hiau-hu,
tapi dia masih belum putus asa untuk menjadi menantu
Kang Hay-thian. Sebab itulah terhadap Ciong Siu dia
sengaja main 'bajing Ioncaf, kadang-kadang mendekati,
lain saat menjauhi untuk menggoda hati si nona yang
belum berpengalaman itu. Sebab itulah di antara mereka
memang belum ada yang saling menyatakan cinta
masing-masing. Mendengar jawaban tadi, tiba-tiba Hiau-hu menghela
napas lega dan berkata, "Baik, masih mendingan jika
demikian." Kembali Ciong Siu tercengang. "Apa artinya masih
mendingan?" tanyanya heran.
"Enci Siu," sahut Hiau-hu dengan terus terang. "Aku
ingin bicara dari hati ke hati padamu, untuk ini hendaklah
kau jangan marah. Tentang diri Yap-suko, kukira ada
lebih baik kau menjauhi saja, dia bukanlah orang yang
dapat dipercaya." "Yap-sukomu tak dapat dipercaya?" Ciong Siu
menegas dengan bingung. "Apa ... apa maksudmu"
Dalam hal apa dia tidak dapat dipercaya?"


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kau masih belum paham" Ayahku
mengharuskan Yap-suko berunding dulu dengan
kakakmu sebelum mengambil sesuatu kebijaksanaan,
soalnya justru karena dia tak bisa dipercaya," sahut Hiauhu.
Kejut Ciong Siu tak terkatakan, hampir-hampir ia tidak
percaya kepada telinganya sendiri, sesudah tertegun
sejenak barulah ia bertanya pula, "Adik Hu, apa yang kau
katakan" Apakah kau maksudkan dia tidak dapat
dipercayai dalam hal perlawanan tehadap musuh?"
Hiau-hu mengangguk perlahan.
Keruan Ciong Siu bertambah kaget, katanya, "Apakah
benar-benar demikian halnya" Jika begitu mengapa
ayahmu mengangkatnya sebagai pewarisnya dan
membiarkan dia memimpin pasukan pergerakan ini?"
"Ayah baru mengetahui kepalsuannya pada malam
sebelum pasukan pergerakan ini terbentuk," sahut Hiauhu
"Cuma bukti nyata belum diketemukan. Sebab itulah
ayah menghendaki kakakmu diangkat sebagai pengawas,
maksudnya adalah menjaga segala kemungkinan."
"Jadi bukti nyata belum diketemukan, apakahh bukan
ayahmu yang salah mencurigainya?"
"Bukti memang belum ada, tapi sudah ada petunjukpetunjuk
yang jelas." "Petunjuk jelas apa?" tanya Ciong Siu kembali tegang
lagi "Kau tentu tahu di dunia Kangouw ada seorang Jianjiu
koan-im Ki Seng-in" Suaminya adalah begal terkenal
dari kwantung yang bernama Utti Keng?"
"Pernah aku mendengar cerita tentang mereka,
kabarnya jejak mereka telah menghilang. Ada yang
mengatakan mereka telah ditangkap pihak kerajaan. Apa
hubungan kedua orang itu dengan Yap-sukomu?"
Segera Hiau-hu menceritakan pengalaman Utti Keng
dan isterinya, lebih-lebih peristiwa yang terjadi di
rumahnya ketika Ki Seng in bermalam di sana, katanya
kemudian, "Besok paginya ketika Ki Seng in berangkat
dari rumah kami, di tengah jalan dia lantas mengalami
bencana sehingga tak diketahui mati-hidupnya.
Kawannya yang bernama Gak Ting telah datang ke
rumahku dan memberi kesaksian bahwa ada orang telah
melaporkan kepada anjing kaki-tangan kerajaan jejak Ki
Seng-in itu. Katanya kuda yang ditunggangi Ki Seng-in
diketahui keracunan pula, sebab itu Gak Ting telah
membikin rusuh di rumahku."
"Jadi dia anggap di rumahmu tentu ada bersembunyi
mara mata musuh," kata Ciong Siu terkesiap.
"Memang begitulah," sahut Hiau-hu. "Padahal malam
itu di rumah kami hanya ada empat orang, ibu dan aku
sudah tentu bukan, tinggal dua orang lagi adalah
Toasuko Yap Leng-hong serta Jisuko Ubun Hiong."
"Bukan mustahil Ubun Hiong itulah orangnya," ujar
Ciong Siu "Dari ceritamu tadi agaknya yang patut
dicurigai adalah Ubun Hiong."
"Tidak, aku yakin pasti bukan Jisuko," kata Hiau-hu.
"Darimana kau mengetahui dan apa dasar
keyakinanmu itu?" "Aku dapat mempercayai sepenuhnya."
"Tapi Toasukomu adalah murid pewaris ayahmu, juga
keponakan ibumu sendiri, bukankah dia harus lebih
dipercayai?" "Itulah sebabnya," kata Hiau-hu sambil menghela
napas. "Justru karena itulah maka ibu hanya mencurigai
Jisuko dan percaya kepada Toasuko. Akibatnya Jisuko
telah diusir pergi. Akan tetapi, aku tetap mempercayai
Jisuko." Tiba-tiba Ciong Siu merasa paham, ia membatin, "Ah,
kiranya anak dara ini telah jatuh cinta kepada Jisukonya,
pantas dia tidak menyukai Toasukonya."
Karena merasa sudah menemukan duduk perkaranya,
dengan tersenyum Ciong Siu lantas berkata, "Adik Hu,
agaknya kau memang mempunyai pandangan sepihak
atas diri Toasukomu. Bukankah sejak dia memimpin
pasukan pergerakan kita ini sudah sekian banyak
kemenangan yang telah diperolehnya dalam
pertempuran, andaikata dahulu kau mencurigainya, tentu
sekarang harus percaya padanya. Boleh jadi kedua
Suhengmu bukanlah mata-mata musuh semua, tapi
masih ada orang lain yang belum kita ketahui."
Ciong Siu tidak mengenal pribadi Ubun Hiong, karena
dia tidak ingin berdebat dengan Hiau-hu, maka ia coba
mengelakkan tuduhan untuk keduanya. Sudah tentu
yang dia utamakan adalah Yap Leng-hong, Ubun Hiong
hanya sebagai ikutan saja.
Kemenangan di medan pertempuran adalah bukti
nyata, hal ini tak bisa dibantah Kang Hiau-hu. Tapi
terhadap kenyataan ini terkadang ia pun merasa bingung
dan meragukan dirinya sendiri yang salah mencurigai
Yap Leng-hong. Namun dia tetap berkata, "Enci Siu,
kutahu kau mengira aku membela Jisuko. Pendek kata,
segala sesuatunya ayah sependapat dengan aku, yaitu
Toasuko yang lebih mencurigakan daripada Jisuko."
"Sebab apa?" tanya Ciong Siu.
"Ayah buru-buru berangkat lagi sehingga tidak sempat
bicara lebih jelas dengan aku," kata Hiau-hu. "Namun
beliau sudah pasti akan menyelidiki persoalan ini
sehingga jelas. Ayah telah berangkat ke kotaraja dengan
maksud menolong keluar Utti Keng dari penjara. Selain
itu beliau akan mencari Ki Seng-in dan Jisuko pula.
Asalkan satu di antara ketiga orang itu dapat
diketemukan ayah, tentu segala urusan akan menjadi
jelas pula." "Betul juga. Bila ayahmu sudah pulang, tentu
duduknya perkara akan menjadi terang. Sementara ini
kita jangan buru-buru mencurigai Yap-suko."
"Umpama kali ini Yap-suko memberi perintah akan
menyerang Siau-kim-jwan, apakah sebelumnya telah
berunding dengan kakakmu."
"Hal ini aku tidak tahu," sahut Ciong Siu, padahal dia
sudah mengetahui. Konsep perintah Yap Leng-hong itu
selesai dibuat barulah disodorkan kepada Ciong Leng,
sebelumnya Ciong Siu memang tidak tahu, tapi untuk
menghindarkan curiga Kang Hiau-hu, maka sengaja
ditutupinya. "Enci Siu," kata Hiau-hu pula, "aku kuatir kau tertipu,
maka malam ini aku bicara padamu tentang urusan ini.
Hendaklah kau jangan menyesal."
"Tidak, aku tahu maksud baikmu. Aku sendiri dapat
menjaga diri," sahut Ciong Siu dengan tertawa.
"Kumohon pembicaraan tadi janganlah enci Siu
katakan kepada orang lain termasuk Yap baru sampai di
sini ucapan Kang Hiau-hu, tiba-tiba tertampak muncul
seseorang ke arahnya sini. Kiranya adalah Yap Lenghong.
Diam-diam Hiau-hu terkejut, pemuda itu datang dari
bawah gunung, jangan-jangan sengaja mengintip
pembicaraannya, demikian Hiau-hu ragu-ragu.
Dalam pada itu Yap Leng-hong sudah mendekati
mereka, ia menegur dengan tertawa, "Wah, sudah
malam begini kalian masih cari angin di sini" Apa yang
kalian bicarakan" Asyik benar tampaknya."
"Ah, obrolan biasa saja sampai lupa waktu, tentu
sekarang sudah jauh malam," sahut Ciong Siu.
"Malam dengan sinar purnama yang indah begini
memang membikin orang lupa kantuk, biarlah aku pun
ikut dalam obrolan kalian," kata Leng-hong menyengir.
Namun Hiau-hu pura-pura menguap, katanya, "Aku
menjadi mengantuk sekarang. Enci Siu, marilah kita
pulang tidur saja." "Saking repotnya oleh urusan-urusan tugas sampai
kita jarang bertemu. Eh, ya, ada sesuatu dalam hal
latihan Lwekang yang ingin kuminta petunjuk nona
Ciong. Tapi bila besok sudah mulai peperangan lagi,
entah kapan baru bisa bertukar pikiran tentang ilmu silat
pula." Sambil berkata Yap Leng-hong melirik pula ke arah
Ciong Siu dengan harapan si nona tetap tinggal di situ.
Dasar sudah mabuk asmara, dengan agak malu-malu
Ciong Siu berkata, "Adik Hu, bolehlah kau tinggal
sebentar lagi di sini."
Diam-diam Hiau-hu mendongkol, katanya dengan
ketus, "Jika kau ingin bicara dengan Yap-suko, boleh kau
tinggal lagi di sini. Biarlah aku pulang saja dulu."
Watak Hiau-hu memang masih kekanak-kanakan,
sama sekali tak terpikir olehnya apa kemungkinannya bila
Ciong Siu ditinggalkan sendirian di situ. Begitu habis
berkata segera ia melangkah pergi tanpa menoleh.
Sudah tentu Ciong Siu juga mendongkol karena
tersinggung, maka ia pun tidak menghiraukan lagi
kepergian Hiau-hu. Sesudah Hiau-hu pergi, dengan tertawa Leng-hong
berkata, "Perangai Sumoayku ini memang kurang baik,
hendaklah kau suka maklum, mengingat diriku harap kau
jangan marah padanya." Dasar licik, ucapannya ini
seakan menunjukkan rasa sayangnya kepada sang
Sumoay, berbareng juga untuk mengambil hati Ciong Siu
seakan dia lebih condong ke pihak nona ini.
"Masakah aku bisa marah pada Hiau-hu?" sahut Ciong
Siu tertawa. "Selamanya juga aku menganggap dia
sebagai adikku sendiri. Sebenarnya perangainya juga
tiada yang aneh, hanya wataknya agak kepala batu.
Kukira kau yang harus lebih mendekati dia agar di antara
sesama saudara seperguruan tidak menjadi renggang."
"Ya, cuma aku ... aku kuatir kau salah paham," Lenghong
sengaja berbisik dengan tersenyum.
Muka Ciong Siu menjadi merah, katanya dengan malumalu,
"Ah, aku salah paham apa?"
"Aku hanya bergurau saja padamu," ujar Leng-hong.
"Ilmu silatmu tinggi, perangaimu halus dan.."
"Terima kasih, janganlah kau memuji padaku saja,
mari kita bicara urusan yang benar," kata Ciong Siu.
"Bicara urusan yang benar, ya, aku tahu kau adalah
seorang yang simpatik dan berpikiran luas, kau ingin aku
dan Sumoayku akur satu sama lain. Akan tetapi, ai
sayang ..." sampai di sini Leng-hong telah menghela
napas panjang. "Sayang apa?" Ciong Siu menegas.
"Sayang Hiau-hu sudah terlalu salah paham padaku,"
sahut Leng-hong. "Lantaran suatu hal dia telah
sedemikian benci padaku. Padahal dia yang telah salah
paham." "Jika demikian mengapa tidak kau terangkan
persoalannya kepadanya?"
"Soal ini aku tidak leluasa menjelaskan sendiri
padanya, andaikan kukatakan juga dia takkan percaya."
"Urusan apakah?" tanya Ciong Siu pula. Padahal diamdiam
ia sudah tahu tentu urusan yang menyangkut Ubun
Hiong itu, cuma dia masih belum jelas apa maksud yang
terkandung dalam ucapan Yap Leng-hong itu.
Istana Pulau Es 22 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 12
^