Pencarian

Geger Dunia Persilatan 4

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 4


hukuman, sekarang lebih dulu aku hukum diriku sendiri,
apabila Kang-tayhiap sudi memberi ampun barulah aku
akan bicara, kalau tidak, terserahlah kepada Kangtayhiap
untuk melaksanakan hukuman apa padaku."
Tindakan tamunya ini benar-benar di luar dugaan
Kang Hay-thian, cepat ia menjawab, "Ah, setiap
pertarungan sudah tentu tidak terhindar dari terluka,
tentang kejadian itu, putriku juga telah membikin susah
nyonya Utti dan muridku pernah melukai Utti Thocu,
maka masing-masing tidak perlu salah menyalahkan.
Cara Utti Thocu menghukum diri sendiri ini membikin aku
merasa tidak enak. Bahkan aku ingin mengucapkan
terima kasih kepada nyonya Utti yang telah bermurah
hati kepada putriku yang sembrono itu."
Mestinya Ki Seng-in masih mendongkol karena
sebagian rambutnya telah terpapas oleh pedang Kang
Hiau-hu sehingga sekarang dia terpaksa memakai ikat
kepala. Demi mendengar kata-kata Kang Hay-thian itu,
mau tak mau ia membalas hormat dan berkata, "Kangtayhiap
benar-benar seorang besar dan berjiwa besar
pula." Tiba-tiba Kang Hay-thian mengeluarkan sebutir obat,
sekali pencet terus menjentik, obat pil itu terus melayang
dan menempel di atas luka lengan Utti Keng yang
mengalirkan darah itu, seketika darah lantas mampet.
Dengan pemberian obat ini, hal ini menandakan
persengketaan kedua pihak telah dapatlah diselesaikan.
Segera Utti Keng menghaturkan Cay-in-pokiam pula
dan berkata, "Banyak terima kasih atas kebijaksanaan
Kang-tayhiap yang telah sudi mengampuni kesalahanku.
Pedang dan kuda dengan ini kami pulangkan kembali.
Kedua ekor kuda itu berada di luar tanpa kurang sesuatu
apapun." "Hahaha, pedang dan kuda hanya benda-benda sepele
saja, betapapun nilainya juga tak dapat dibandingkan
manusianya," kata Kang Hay-thian dengan terbahakbahak.
"Utti Thocu, maafkan kalau aku bicara secara
blak-blakan saja. Yang aku ingin minta kembali adalah
manusianya." "Tentang urusan ini memangnya aku pun ingin bicara
dengan Kang-tayhiap, bagaimana kalau kita mencari
suatu tempat lain?" sampai di sini mendadak Utti Keng
memberi hormat kepada para hadirin, lalu menyambung,
"Aku pun tahu para hadirin di sini adalah sobat-sobat
baik semua dan bukanlah orang luar. Tapi karena urusan
ini terlalu ruwet serta menyangkut pribadi kami suamiistri,
maka terpaksa aku hanya ingin bicara empat mata
dengan Kang-tayhiap saja."
Utti Keng kenal watak kaum ksatria Kangouw,
daripada main sembunyi-sembunyi dan dicurigai, lebih
baik ia bicara secara terus terang saja.
"Baiklah, jika demikian harap Nyo-thocu sudi memberi
pinjam suatu tempat lain," kata Hay-thian kemudian.
Segera Nyo Pit-tay membawa Kang Hay-thian dan Utti
Keng suami-istri ke suatu kamar yang rapat, lalu ia
sendiri menyingkir pergi dan melarang anak murid Kaypang
mendekati kamar itu. Sesudah menutup pintu kamar, berkatalah Hay-thian
dengan tertawa, "Sekarang bolehlah Utti Thocu bicara,
tanggung takkan didengar oleh orang luar."
"Adik In, silakan kau bicara dulu," kata Utti Keng.
"Kang-tayhiap, kedatangan kami ini adalah untuk
menyatakan isi hati kami," demikian Ki Seng-in memulai.
"Meski suamiku biasanya melakukan pekerjaan-pekerjaan
tanpa modal (maksudnya membegal), tapi maksud
tujuan kami merampas anak kecil itu dari tangan Siau Ciwan
bukanlah karena menginginkan sesuatu keuntungan
"Untuk ini aku dapat mempercayai kalian," sela Haythian,
"cuma "Ya, mungkin Kang-tayhiap ingin tahu apa sebabnya,"
potong Ki Seng-in. "Biarlah kukatakan terus terang, Li
Bun-sing sebenarnya adalah aku punya Piauko (kakak
misan), dia mengalami nasib malang, maka aku ingin
memelihara putra yatimnya itu."
"Bukanlah maksudku hendak berebut anak itu dengan
kalian," ujar Hay-thian. "Soalnya pada saat ajalnya, Li
Bun-sing telah memberi pesan kepada Siau Ci-wan agar
anak itu dibawa kepadaku dan minta aku menerimanya
sebagai murid. Aku belum pernah kenal muka Li Bunsing,
tapi seorang laki-laki sejati harus pegang janji. Li
Bun-sing sedemikian mempercayai diriku dan
memasrahkan nasib putra yatimnya padaku, mana boleh
aku mengecewakan harapannya" Jika bocah itu sudah
berada di rumahku, terkadang kalian pun dapat
menjenguknya." "Kang-tayhiap sudi menerima bocah itu sebagai murid,
sudah tentu bocah itu sangat beruntung, cuma sayang
bocah itu mungkin tiada mempunyai rezeki demikian,"
kata Seng-in dengan tersenyum getir.
"Apa maksud ucapanmu ini?" tanya Hay-thian.
"Sungguh memalukan, kami tak dapat
mempertahankan bocah itu sehingga telah diculik oleh
musuh lagi," kata Seng-in.
"Ya, kekuatan musuh teramat besar, merasa tidak
sanggup merebutnya kembali, maka kami sengaja
datang kemari untuk minta bantuan kepada Kangtayhiap,"
demikian Utti Keng menambahkan.
"Baik, coba kalian ceritakan seluk-beluk persoalannya,"
sahut Hay-thian. "Tak peduli tokoh macam apakah pihak
lawan itu, sekali aku sudah ikut campur urusan ini, maka
sudah pasti aku tetap akan ikut campur."
Maka berceritalah Utti Keng dan Ki Seng-in suatu
kejadian yang mengejutkan, juga pada Kang Hay-thian.
Apa yang diceritakan ini akan diceritakan lebih lanjut di
bagian belakang. Sementara itu para ksatria sedang menunggu di luar
dan sampai sekian lamanya masih belum nampak Kang
Hay-thian keluar. Seketika ramailah mereka
membicarakannya. "Utti Thocu itu meminta maaf dengan mengalirkan
darahnya, perbuatannya itu sungguh harus dipuji, benarbenar
seorang ksatria sejati," ujar Kam Jin-liong.
"Dan Kang-tayhiap sendiri tidak kehilangan gaya
seorang pendekar besar," ujar Goan It-tiong.
"Tapi hati manusia susah diduga, kita belum kenal
asal-usul Utti Thocu itu dan jangan terburu
mempercayainya dahulu," ujar Lim Seng. "Aku justru
kuatir Kang-tayhiap terlalu baik hati sehingga gampang
ditipu orang." Yap Leng-hong sudah teramat benci kepada Utti Keng
dan Ki Seng-in, kesempatan ini segera digunakan
olehnya untuk membakar, "Benar, ilmu silat Suhu
teramat tinggi, musuh tidaklah mudah menjebaknya, aku
hanya kuatir beliau kena ditipu oleh kata-kata manis
penjahat. Aku mempunyai suatu akal, bilamana Suhu
melepaskan penjahat begitu saja, kita dapat
mencegatnya di tengah jalan sana dengan sedikit
permainan." "Tidak, kukira kurang baik," ujar Goan It-tiong.
"Terhadap kaum jantan kita harus pakai aturan, terhadap
kaum pengecut barulah kita boleh memakai tipu
muslihat. Sekarang kita belum kenal apakah Utti Keng itu
seorang jantan atau seorang pengecut, mana boleh kita
mendahului berbuat licik dengan tidak mengindahkan
kepada Kang-tayhiap?"
Dan baru saja Yap Leng-hong ingin menghasut lebih
jauh, tiba-tiba terdengar suara Utti Keng yang keras
sedang berkata, "Maaf, membikin susah saudara-saudara
menunggu terlalu lama!"
Ternyata Utti Keng suami-istri sudah keluar kembali
dengan diiringi Kang Hay-thian.
"Nyo-thocu harap kau menyumbangkan dua ekor kuda
kepada Utti Thocu sebagai tanda persahabatan," seru
Hay-thian. "Hahaha! Aku sudah mengatakan Utti Thocu adalah
sahabat sejati, nyatanya memang tidak salah," seru Kam
Jin-liong sambil bergelak tertawa. "Haha, tidak berkelahi
tidak saling kenal, kita sudah lebih dulu mengikat
persahabatan." "Ya, Kam-tayhiap punya Pek-poh-sin-kun (pukulan
sakti seratus lanekaru benar-benar sangat
mengagumkan," ujar Utti Keng dengan rendah hati
sambil memberi salam. "Utti Thocu punya Pik-khong-ciang (pukulan kosong
dari jauh) juga tidak kurang lihainya," demikian Kam Jin-
Iiong balas memuji. Lalu bergelak tertawalah kedua orang itu. Sementara
itu anggota Kay-pang sudah menyiapkan dua ekor kuda,
segera Utti Keng dan Ki Seng-in memberi hormat dan
mohon diri. Sesudah Utti Keng berdua berangkat, para ksatria
lantas merubungi Kang Hay-thian untuk minta
keterangannya. "Sekarang sudah selesai semuanya, tidak perlu kuatir
lagi," kata Hay-thian.
"Bagaimana dengan anak itu?" tanya Nyo Pit-tay.
"Dimana beradanya bocah itu sudah diketahui dan
tidak perlu mengerahkan orang banyak lagi," kata Haythian.
"Sekarang silakan Nyo-thocu menyampaikan berita
agar kawan-kawan kita jangan mempersukar lagi kepada
Utti Keng suami-istri. Atas bantuan kalian ini aku pun
merasa sangat berterima kasih, biarlah kelak akan
kubalas kebaikan saudara-saudara."
Mestinya Nyo Pit-tay dan lain-lain meminta Kang Haythian
tinggal beberapa hari lagi di situ, akan tetapi Kang
Hay-thian menjadi ragu-ragu.
Tiba-tiba Yap Leng-hong menyela, "Mungkin para
paman tidak tahu bahwa Sumoayku telah mengalami
sedikit luka ketika bertarung melawan penjahat itu tempo
hari, maka ..." "Ya, aku benar-benar sudah pikun sampai melupakan
luka keponakan perempuanku itu," ujar Nyo Pit-tay
sambil menepuk kening sendiri. "Jika demikian, sudah
tentu Kang-tayhiap ingin lekas-lekas pulang ke rumah."
Kang Hay-thian juga tidak menyangkal atau
membenarkan alasan Yap Leng-hong itu. Padahal Lenghong
sebenarnya cuma mencari alasan saja agar dirinya
bisa ikut gurunya lekas pulang ke rumah untuk
mendekati sang Sumoay. Begitulah Hay-thian lantas mohon diri kepada para
ksatria. Jik-liong-ki dan Pek-liong-ki yang sekarang telah
pulang kandang itu kebetulan dapat digunakan oleh
mereka guru dan murid. Maka dengan cepat mereka
sudah belasan li meninggalkan kota Tekciu.
"Suhu, mengapa jalan ini yang dituju, ini bukan jalan
untuk pulang ke rumah?" tanya Leng-hong tiba-tiba.
"Ya," jawab Hay-thian sambil menahan kudanya. "Aku
justru ingin mengatakan padamu, kita memang tidak
akan pulang ke rumah."
Leng-hong tercengang. "Tidak pulang" Habis akan
kemana?" tanyanya. "Kita harus selekasnya menuju ke Pakkhia," sahut
Hay-thian. "Untuk apa. Suhu?" tanya Leng-hong dengan bingung.
"Kau punya Samsute telah jatuh ke tangan antekantek
kerajaan, sekarang dia sedang digelandang ke
kotaraja," demikian Hay-thian menjelaskan. "Cuma kita
tidak tahu arah mana yang mereka ambil, bilamana di
tengah jalan dapat memergoki mereka, terpaksa kita
harus menyusul ke kotaraja untuk menolongnya!"
Kiranya Li Kong-he sebenarnya telah dibohongi oleh
orang yang melarikannya dan mengaku bernama Loklotoa
itu. Sesungguhnya Lok-lotoa itu sama sekali tidak
pernah bertemu dengan Li Bun-sing, apalagi
mengenalnya, lebih-lebih bicara tentang mengangkat
saudara apa segala. Habis untuk apakah Lok-lotoa itu membohongi Li
Kong-he" Hal ini memang ada maksud tujuan tertentu.
Nama asli Lok-lotoa itu sebenarnya ialah Lok Khik-si,
dia punya dua saudara angkat, masing-masing bernama
Yo Tun-hou dan Be Sing-liong, mereka bertiga adalah
kaum bandit yang biasa beroperasi di lereng gunung Kilian-
san. Orang-orang Lok-lim di daerah barat-laut
menyebut mereka sebagai 'Ki-lian-sam-siu' (tiga binatang
dari pegunungan Ki-lian), yaitu berhubungan dengan
nama mereka, Lok-Khok-si berarti menjangan
menjatuhkan badak, Yo Tun-hou berarti kambing
menelan harimau dan Be Sing-liong berarti kuda
menangkan naga. Akhir-akhir ini Ki-lian-sam-siu diam-diam telah kena
dipelet oleh kerajaan Boan-jing sehingga mereka telah
menjadi antek pemerintah dan langsung di bawah
perintah Tay-lwe-congkoan (komandan pasukan
pengawal istana) Bok Ting-ca.
Peristiwa penggrebegan organisasi rahasia Thian-lihwe
sekali ini adalah hasil kerja sama antara Bok Ting-ca
dengan komandan Ham-limkun (pasukan ibukota) Sat
Hok-khong. Karena Li Bun-sing telah mati, maka Bok Ting-ca telah
memberi perintah agar putra yatim Li Bun-sing harus
ditangkap. Maksud tujuannya bukanlah melulu ingin
"babat rumput seakar-akarnya', yang lebih penting lagi
adalah dari bocah ini diperoleh keterangan-keterangan
lebih lanjut untuk menangkap seorang pemimpin Thianli-
hwe yang lebih penting dari Li Bun-sing, yaitu Lim Jing,
wakil ketua Thian-li-hwe.
Hubungan Lim Jing dan Li Bun-sing melebihi saudara
sekandung, kali ini mereka telah meloloskan diri
bersama-sama, kemudian Li Bun-sing yang telah


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyaru sebagai Lim Jing serta putranya untuk
memancing pengejaran kerajaan. Jadi dengan jiwanya
sendiri Li Bung-sing telah berhasil menyelamatkan Lim
Jing. Menurut perhitungan Bok Ting-ca dan Sat Hokkhong,
hanya Li Bun-sing saja yang mengetahui tempat
persembunyian Lim Jing, sebelum mati, besar
kemungkinan pula Li Bun-sing telah menyerahkan
dokumen-dokumen Thian-li-hwe yang penting kepada
putranya. Sebab itulah bilamana ingin menangkap Lim
Jing dan memperoleh rahasia-rahasia Thian-li-hwe, maka
titik tolaknya harus dimulai atas diri putra Li Bun-sing,
yaitu Li Kong-he. Begitulah, maka sesudah menerima perintah Bok Tingca
itu, segera Ki-Iian-sam-siu mulai mencari jejak Li
Kong-he. Lok Khik-si tahu sejarah Ki Seng-in yang pernah
main asmara dengan Li Bun-sing dan diketahui pula
bahwa Ki Seng-in juga sedang mencari bocah ini. Maka
sepanjang jalan ia lantas menguntit Ki Seng-in dan
akhirnya dapat merebut Kong-he dari tangan Ki Seng-in.
Sesudah Ki Seng-in dan Utti Keng meninggalkan
lembah sunyi itu, makin dipikir mereka makin curiga,
sebab sama sekali tiada alasan Lok Khik-si berebut anak
Li Bun-sing dengan mereka.
Utti Keng adalah bandit yang tersohor di daerah
Liautang dan mempunyai hubungan luas dengan sesama
golongannya. Tentang Ki-lian-sam-siu telah menjadi
antek kerajaan dengan sendirinya gampang diselidiki.
Keruan suami-istri itu sangat terkejut ketika mengetahui
seluk-beluk Lok-lotoa yang kini telah mengekor kepada
pemerintah kerajaan. "Bagaimana kita harus bertindak, Toako?" tanya Ki
Seng-in dengan kuatir kepada sang suami, walaupun dia
mempunyai perasaan cinta dan benci kepada ayah-bunda
Li Kong-he, namun apapun juga dia tidak dapat
membiarkan putra orang yang pernah dicintainya itu
jatuh ke dalam cengkeraman musuh.
Meski iri juga karena sang istri tidak pernah
melupakan kekasihnya yang dahulu, namun Utti Keng
toh seorang jantan, dengan ikhlas ia lantas menjawab,
"Biarpun jiwa Toakomu harus melayang juga pasti akan
menemukan kembali bocah itu."
Ki Seng-in sangat terharu, katanya, "Toako, kau ...
kau "Li bun-sing toh sudah mati, aku pun tahu kau
sesungguhnya juga cinta padaku, masakah aku mesti
cemburu padanya lagi?" sahut Utti Keng dengan tertawa.
"Bocah itu kau yang menghilangkan, kalau kita tak
menemukannya kembali tentu akan berdosa terhadap Li
Bun-sing. Sejak dulu juga sudah kukatakan padamu,
meski di hidupnya aku menaruh cemburu kepada Li Bunsing,
tapi dia memang benar-benar seorang ksatria, di
dalam lubuk hatiku sesungguhnya aku sangat
mengagumi dia." "Toako," kata Ki Seng-in dengan muka merah "Yang
kukuatirkan bukanlah persoalanmu, tapi adalah
keselamatan bocah itu. Ki-lian-sam-siu saja susah
dilayani, apalagi mereka sekarang berkomplot lagi
dengan jago-jago pengawal kerajaan."
Kiranya Lok Khik-si meski termasuk orang pertama
dari Ki-lian-sam-siu, tapi kepandaiannya masih kalah
daripada saudara angkatnya yang kedua, yaitu Yo Tunhou,
juga bagi Utti Keng akan merupakan seorang lawan
tangguh. Namun dengan ikhlas Utti Keng lantas berkata, "Siau
Ci-wan yang sebelumnya tidak pernah kenal pada Li Bunsing
juga rela membela putra yatimnya, masakah kita
malah kalah daripada dia" Pendek kata kita akan
bertindak sekuat tenaga, soal berhasil atau tidak biarlah
terserah pada nasib saja."
"Kau sungguh baik, Toako," kata Ki Seng-in dengan
tersenyum senang. "Jalan yang terbaik untuk menolong
bocah itu paling tepat kalau minta bantuan kepada Kangtayhiap,
cuma Toako sendiri yang terpaksa mesti
menanggung malu." "Kita sudah membunuh putrinya, masakah dia sudi
membantu kita?" ujar Utti Keng.
"Toako, sesungguhnya pada malam itu aku tidak
menuruti permintaanmu untuk membunuh anak dara itu,
kita hanya melukai putrinya, rasanya Kang-tayhiap masih
dapat memaafkan kita," kata Seng-in.
Menurut watak Utti Keng, selamanya dia tidak pernah
merendahkan diri dan memohon sesuatu kepada orang
lain. Tapi sekarang demi untuk memenuhi keinginan sang
istri, pula Kang Hay-thian sudah menyebarkan Enghiong-
tiap agar orang-orang Kangouw mengepung dan
menangkapnya, dimana-mana dia tentu akan ketemu
musuh, kalau persoalan ini tidak diselesaikan, tentu dia
akan sukar berkecimpung lagi di dunia Kangouw,
jangankan lagi hendak menolong putra yatim Li Bun-sing.
Lantaran itulah maka Utti Keng suami-istri akhirnya
datang menemui Kang Hay-thian.
Sesudah mengetahui duduknya perkara, Kang Haythian
sendiri menjadi pusing juga.
Maklumlah kedudukan Kang Hay-thian berbeda
daripada Utti Keng. Walaupun Kang Hay-thian juga anti
kerajaan Boan-jing, tapi resminya dia masih seorang
penduduk yang terang asal-usulnya, berbeda dengan Utti
Keng yang pekerjaannya memang merampok dan
membegal, selalu menjadi buronan pemerintah.
Tapi yang dipikirnya Kang Hay-thian bukanlah soal
kepentingannya sendiri, dia justru kuatir merembet
kawan-kawannya seperti orang-orang Bin-san-pay dan
Kay-pang yang bergerak di bawah tanah melawan
kerajaan. Padahal untuk menolong putra Li Bun-sing
boleh jadi Kang Hay-thian terpaksa harus bertempur
dengan jago-jago istana, apabila dalam urusan ini orangorang
Bin-san-pay dan Kay-pang ikut campur, tentu
akibatnya akan meluas dan mungkin akan merugikan
gerakan anti pemerintah Boan-jing itu.
Sebab itulah maka sesudah dipikir Hay-thian
mengambil keputusan akan memikul sendiri persoalan ini
dan tidak menerangkan kepada para ksatria di Kay-pang
itu. Yap Leng-hong adalah murid pewaris, ia pikir
kesempatan ini dapat digunakan untuk menggembleng
pemuda itu. Maka Leng-hong lantas diajaknya serta dan
persoalannya dengan sendirinya harus dijelaskan pula
kepadanya. Diam-diam Yap Leng-hong mengeluh setelah
mendapat keterangan dari sang guru.
"Bagaimana, apakah kau merasa takut?" tanya Haythian
ketika melihat air muka Yap Leng-hong mengunjuk
rasa ragu-ragu. Sudah tentu Yap Leng-hong bukannya lantaran takut,
tapi yang dipikirkan hanya mengenai Sumoaynya.
Kepergiannya ini entah akan makan tempo berapa lama,
kesempatan ini bukankah akan menguntungkan Ubun
Hiong yang setiap hari dapat berdekatan dengan sang
Sumoay" Pula Leng-hong juga kuatir kalau-kalau di
kotaraja akan ketemukan orang yang mengenalnya, di
waktu kecil dia pernah tinggal di sana, ayahnya juga
telah mengirim orang untuk mencarinya, seperti halnya
Cu Goan, apabila di kotaraja ketemu kenalan lagi, apakah
dirinya dapat membunuhnya seperti apa yang telah
dilakukannya atas diri Cu Goan itu"
Begitulah Yap Leng-hong terus memeras otak, tapi
segera ia membusungkan dada dan menjawab
pertanyaan Kang Hay-thian tadi, "Sebagai murid Suhu,
masakah aku mesti takut" Tempo hari di puncak Thaysan
juga aku telah membela Li Bun-sing dengan matimatian
dari kerubutan jago-jago istana. Tapi...."
"Tapi apa?" Hay-thian menegas.
"Tapi perjalanan jauh yang akan makan tempo cukup
lama ini apakah tidak perlu mengirim sesuatu berita dulu
kepada Subo (ibu guru)" Apalagi Sumoay dan Sute juga
terluka semua, apakah Suhu tidak perlu pulang dulu
untuk menjenguk mereka?" demikian Leng-hong
mengada-ada. Ia berharap sang guru akan mengirim dia
pulang untuk menyampaikan berita yang dimaksudkan,
dengan demikian dia ada kesempatan untuk bertemu
dengan Kang Hiau-hu. "Menolong orang laksana menolong kebakaran, mana
boleh kita tunda hanya untuk urusan tetek-bengek ini?"
sahut Hay-thian. "Tentang luka Sumoay dan Sute itu
sudah kuserahkan kepada ibu gurumu untuk
merawatnya, untuk ini kita boleh tidak perlu kuatir.
Sebaliknya aku malah menguatirkan dirimu."
Leng-hong menjadi terkejut, ia pikir apakah ada
sesuatu tanda-tanda mencurigakan yang telah diketahui
sang guru" Ia dengar Kang Hay-thian telah menyambung pula,
"Kepergian kita ini setiap saat ada kemungkinan
bergebrak dengan musuh. Padahal kau baru masuk
perguruan kita, kau belum lagi mulai belajar apa-apa,
dengan kepandaianmu sekarang ini rasanya masih jauh
daripada cukup bila ketemukan lawan tangguh."
Baru sekarang Leng-hong merasa lega karena bukan
maksud gurunya mencurigainya. Segera ia menanggapi,
"Berada bersama Suhu, apa yang kutakutkan lagi?"
"Bukan begitu soalnya," ujar Hay-thian. "Maksudku
pada kesempatan ini kau akan mendapat sedikit
gemblengan. Sekarang akan kuajarkan teori-teori
Lwekang dari perguruan kita, di waktu malam pada saat
mengaso bolehlah kau melatihnya sendiri. Berbareng
akan kubantu pula dengan kekuatanku agar kau bisa
cepat jadi. Untuk ini kau sendiri perlu belajar dengan
tekun, apakah kau sanggup?"
"Banyak terima kasih atas budi kebaikan Suhu,
betapapun juga Tecu berjanji akan belajar dengan
sungguh-sungguh," sahut Leng-hong dengan girang.
Baru sekarang ia benar-benar rela ikut sang guru dalam
perjalanan jauh ini, sampai-sampai Kang Hiau-hu juga
terlupa olehnya Kita kembali kepada Li Kong-he yang dibohongi dan
dilarikan Lok-lotoa itu. Walaupun Kong-he adalah anak yang cerdik, tapi
apapun juga ia baru berumur 11-12 tahun saja. Karena
Lok Khik-si telah menyelamatkan dia dari tangan Ki Sengin,
dengan sendirinya dianggapnya paman Lok ini
sebagai tuan penolong. Apalagi Lok Khik-si mengaku
pernah mengangkat saudara dengan ayahnya, keruan
Kong-he bertambah percaya dan menurut.
Setelah setengah harian Lok Khik-si membawanya
pergi, ketika melihat jalan yang diambil bukan jalan raya
umumnya, segera Kong-he bertanya, "Paman Lok,
mengapa kita mengambil jalan pegunungan begini"
Apakah kita tidak salah ambil jalan yang menuju ke
Tong-peng-koan" Penjahat wanita itu telah membawa
aku menuju ke barat, sekarang kita pun mengarah
jurusan matahari terbenam, apakah ini tidak salah,
bukankah seharusnya kita putar balik ke arah sana?"
Lok Khik-si terkesiap, diam-diam dia mengakui
kecerdikan bocah itu, segera ia menjawab dengan
tertawa, "Hiantit, apakah kau tetap ingin menjadi murid
Kang-tayhiap?" "Ayah yang berpesan agar aku melakukan hal
demikian," sahut Kong-he.
"Rupanya waktu itu ayahmu terluka parah sehingga
pikirannya seketika itu menjadi kurang sehat," ujar Lok
Khik-si. "Apakah maksud ucapanmu, paman Lok?" tanya Konghe
dengan mata membelalak lebar. "Apakah kau anggap
Kang-tayhiap bukan orang baik-baik?"
"Sudah tentu Kang-tayhiap adalah orang baik," sahut
Lok Khik-si. "Tapi dia bukan sanak bukan kadang dengan
ayahmu." "Siau-sioksiok yang berbudi yang telah
menyelamatkan jiwaku itu menyatakan bahwa Kangtayhiap
pasti akan menerima aku dengan suka hati," kata
Kong-he. Sebelumnya Lok Khik-si sudah bertanya jelas tentang
pengalaman-pengalaman Kong-he selama beberapa hari
ini, maka ia tahu nama-nama Siau Ci-wan, Yap Lenghong
dan lain-lain. Dengan tertawa ia menjawab,
"Walaupun Siau-sioksiok berbudi luhur, tapi ia pun baru
saja kenal ayahmu. Di dunia Kangouw ini segala
kepalsuan selalu dapat terjadi, biarpun kita percaya
penuh kepada Siau-sioksiok, tapi kita juga harus
senantiasa waspada. Pula ayahmu adalah buronan
pemerintah kerajaan, kau adalah putra buronan, Siausioksiok
bilang Kang-tayhiap pasti akan menerima kau,
ini kan cuma kata-katanya saja, diterima atau tidak juga
belum tahu dengan pasti. Apalagi kau masih banyak
sanak-kadang yang lain, buat apa mesti menumpang
kepada orang yang tak dikenal?"
Kong-he menjadi bingung atas uraian yang panjang
lebar itu, sahutnya, "Paman Lok, aku masih terlalu kecil
dan tidak tahu urusan, harap suka memberi petunjuk."
"Aku adalah saudara angkat ayahmu, meski
kepandaianku tidak tinggi, aku bersumpah akan
membalaskan sakit hatinya. Aku tahu cita-citamu yang
tinggi, cuma sayang kepandaianku tak dapat
dibandingkan dengan Kang-tayhiap dan tidak sesuai
untuk menjadi gurumu." Sampai di sini Lok Khik-si
sengaja menghela napas. Kong-he memang ingin ikut guru yang pandai agar
kelak dia dapat membalas sakit hati ayahnya. Tapi ia pun
berterima kasih kepada Lok Khik-si, maka tidak ingin
membikin kikuk padanya. Ia pikir jelek-jelek paman Lok
juga dapat mengalahkan Jian-jiu^koan-im, andaikan tak
dapat mengungguli Kang-tayhiap, namun kepandaiannya


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga sudah lumayan, apalagi dia adalah saudara angkat
ayah, sudah tentu lebih rapat hubungan kami daripada
Kang-tayhiap. Maka katanya kemudian, "Paman Lok, asal aku dapat
memiliki kepandaian seperti engkau, aku pun sudah
merasa puas. Jika paman Lok sekiranya tidak menolak
"Nanti dulu," potong Lok Khik-si. "Kau adalah putra
buronan pemerintah, untuk memberi bimbangan padamu
harus dicari di antara kawan-kawan sendiri yang
berkepandaian tinggi, orang yang demikian inilah yang
sekarang sukar dicari. Aku sendiri merasa tidak sesuai
untuk menjadi gurumu. Tapi aku menjadi teringat kepada
seorang, cuma sayang "Siapakah dia paman?" tanya Kong-he cepat.
Lok Khik-si menghela napas, lalu menjawab, "Dia juga
saudara angkat ayahmu, sekarang ia pun sedang diuberuber
yang berwajib, entah dia telah melarikan diri dan
bersembunyi dimana?"
"O, apakah yang kau maksudkan ialah ... ialah paman
Lim?" Kong-he menegas.
"Paman Lim" yang dimaksudkan tak lain tak bukan
adalah Lim Jing, pejabat ketua Thian-li-hwe yang buron
bersama Li Bun-sing itu. "Ya, benar, maksudku memang paman Lim," sahut
Khik-si. "Ilmu silatnya jauh lebih tinggi daripadaku, dia
juga saudara angkat ayahmu dalam pergerakan, jika kau
dapat mengangkat dia sebagai guru tentulah sangat baik.
Cuma sekarang dia sedang buron, tempat
persembunyiannya tentu sangat dirahasiakan, darimana
kita dapat mencarinya?"
Kong-he tidak tahu tipu muslihat orang, ia sangka
paman Lok ini toh orang sendiri, apa halangannya kalau
kukatakan padanya" Maka ia lantas berkata, "Lim-pepek
pernah berjanji pada ayahku, bahwa .... Eh, paman Lok,
jika sudah kukatakan padamu jangan sekali-kali kau
bocorkan pula kepada orang lain lho!"
"Paman kan orang lebih tua, masalah dapat
sembarangan membuka mulut kepada orang lain?" ujar
Lok Khik-si dengan tertawa
"Ya, kuanggap paman adalah saudara sendiri dengan
ayah dan paman Lim, makanya aku mau mengatakan
padamu," sahut Kong-he. "Paman Lim pernah berjanji
dengan ayah bilamana ayah dapat menyelamatkan diri,
maka boleh mencari kabar tentang jejaknya ke tempat
Thio-samsiok (paman Thio ketiga) di Cong-liong-poh,
Bici." Mata Lok Khik-si seketika bersinar, cepat ia bertanya
pula, "Siapakah Thio-samsiok itu?"
Kong-he menjadi heran. "Masakah Lok-pepek tidak
kenal Thio-samsiok?" ia menegas.
"O, aku memang tahu ayahmu mempunyai beberapa
kawan she Thio, cuma tidak tahu yang mana yang nomor
tiga dan tinggal di Bici," cepat Lok Khik-si menutupi
kesalahannya. Lalu ia sengaja mengucapkan beberapa
nama, "Apakah Thio Hong-piau" Atau thio Tiong-gak"
Atau "Bukan," sahut Kong-he tanpa curiga apa-apa. "Thiosamsiok
adalah Thio Su-liong yang sering disebut-sebut
oleh ayah, aku sendiri belum pernah bertemu dengan
beliau." "Ai, aku memang sudah pikun, masakah Thio Su-liong
saja sampai terlupa," seru Lok Khik-si sambil menabok
kepala sendiri. "Benar, benar, memang dia, kenapa aku
tidak ingat padanya sedari tadi?"
"Sebenarnya aku pun ingin mencari Lim-pepek, tapi
ayah telah berpesan padaku agar jangan membikin susah
padanya, kelak kalau sudah dewasa dan tamat belajar
barulah boleh mencari beliau. Maka sekarang aku pun
tidak ingin berguru padanya."
"Ya, pertimbangan ayahmu memang betul juga," ujar
Lok Khik-si. "Lebih baik begini saja, kau ikut aku pulang
dahulu, kemudian aku sendiri akan pergi ke Bici untuk
mencari kabar tentang Lim-pepek, bila sudah mendapat
kabar pasti, barulah kita mengambil keputusan lagi.
Sementara itu kau boleh belajar dengan giat. Aku
mempunyai beberapa teman yang berkepandaian tinggi,
kita bersama-sama akan mengajar kau, tentu kau akan
mendapatkan kepandaian yang luas dan sempurna."
"Pertimbangan paman tentulah sangat baik, Titji
menurut saja," sahut Kong-he.
"Selain itu, sebelum mangkat apakah ayahmu tiada
pesan-pesan lain lagi atau meninggalkan apa-apa
kepadamu?" Khik-si bertanya pula.
Kong-he terkesiap atas pertanyaan ini, pikirnya,
"Menurut pesan ayah, 'Hay-to' (buku kode) Thian-li-kau
itu hanya dapat diserahkan kepada sesama anggota
perkumpulan, Lok-pepek toh bukan anggota."
Dalam pada itu Lok Khik-si telah meneruskan,
"Maksudku bila ayahmu meninggalkan apa-apa
kepadamu, mengingat usiamu masih terlalu kecil, maka
lebih baik aku saja yang menyimpannya bagimu. Bila
ayahmu ada pesan apa-apa tentang tugas Thian-li-kau,
aku pun dapat melakukan baginya. Walaupun aku belum
menjadi anggota, tapi aku adalah saudara angkat Limkaucu,
sesungguhnya aku pun bukan orang luar."
Akan tetapi Kong-he cukup cerdik, jawabnya, "Ayah
tiada meninggalkan apa-apa kepadaku. Beliau cuma
memberikan goloknya padaku, dan pesan yang
terpenting ialah Siau-sioksiok membawa aku serta
menyuruhku berguru kepada Kang-tayhiap."
Khik-si sangat kecewa karena tidak dapat mengorek
sesuatu dari bocah ini, katanya dalam hati, "Entah setan
cilik ini berdusta atau tidak. Biarlah kelak kalau sudah
sampai di kotaraja barulah akan kugeledah badannya."
Sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara derapan kuda
dari jauh. Segera Lok Khik-si bersuit panjang, lalu
membisiki Kong-he, "Yang datang ini adalah dua adik
angkatku. Tapi mereka tiada hubungan rapat dengan
ayahmu, maka jangan kau ceritakan tentang ayahmu dan
Lim-pepek kepada mereka."
Kong-he mengiakan, tapi diam-diam heran mengapa
sedemikian banyak saudara angkat paman Lok ini"
Dalam pada itu tertampaklah dua penunggang kuda
sedang mendatangi dengan cepat, di belakangnya
mengikut seekor kuda tanpa penunggang. Ketika melihat
Lok Khik-si bersama Li Kong-he, kedua penunggang kuda
itu kelihatan sangat senang, cepat mereka melompat
turun dari kuda mereka sambil berseru, "Selamat,
selamat! Lotoa, kau sudah berhasil!"
Kedua orang ini bukan lain daripada Yo Tun-hou, si
kambing mencaplok macan, dan Be Sing-liong, si kuda
mengalahkan naga, dua saudara angkat Lok Khik-si.
Rupanya mereka sudah berjanji untuk bertemu di
tempat ini. Melihat Lok Khik-si membawa serta Kong-he,
Yo Tun-hou dan Be Sing-liong menganggap Lotoa
mereka telah merampasnya dari tangan Ki Seng-in,
mereka tidak tahu bocah itu adalah hasil berbohong yang
dilakukan Lok-lotoa secara licik.
Meski mereka bertiga adalah saudara angkat, tapi
masing-masing mempunyai perhitungan dan kepentingan
sendiri-sendiri. Sebab itulah Lok Khik-si telah berpesan
kepada Kong-he agar tidak menceritakan rahasia tentang
Lim Jing. Maksud Lok Khik-si ingin melaporkan sendiri
rahasia itu kepada komandan jago pengawal, yaitu Bok
Ting-ca, lalu Lim Jing akan digrebek secara diam-diam.
Jika berhasil, maka jasanya tentu tidaklah kecil.
Begitulah, maka cepat Lok Khik-si mengedipi kedua
kawannya sambil berkata kepada Kong-he, "Ini dia kedua
pamanmu, lekas Hiantit memberi hormat kepada
mereka!" Lalu ia pura-pura menghela napas dan
menyambung pula, "Sungguh malang nasib Bun-sing,
syukurlah keponakanku ini dapat kuselamatkan sehingga
sekadar dapat memenuhi kewajibanku sebagai saudara
angkat Bun-sing. Selanjutnya masih diharapkan saudarasaudara
sekalian untuk membantu memberi bimbingan
kepada Kong-he agar dia dapat meneruskan cita-cita
ayahnya dan menjadi seorang ksatria yang gagah
perkasa, dengan demikian barulah harapanku benarbenar
terkabul." Yo Tun-hou dan Be Seng-liong lantas paham maksud
Lok Khik-si, cepat mereka tertawa dan berkata,
"Persahabatan kami dengan Li-toako juga cukup kuat,
keponakanmu ini berarti keponakan kami pula. Tanpa
diminta juga kami akan mengajarkan segenap
kepandaian kami yang tak berarti ini."
Biar usianya masih muda, tapi Kong-he sangat cerdik
dan dapat berpikir. Tadi begitu datang Yo Tun-hou dan
Be Seng-liong lantas mengucapkan selamat kepada Loklotoa
serta mengatakan dia telah "berhasil". Walaupun
Kong-he tidak tahu apa maksud mereka, tapi ia merasa
kata-kata itu sangat menusuk telinga. Pula ia merasa
heran mengapa kedua paman yang baru datang ini
menyatakan ada hubungan rapat dengan ayahnya,
padahal menurut Lok-pepek, katanya mereka kenalan
biasa ayahnya. Melihat Kong-he seperti sedang merenungkan sesuatu,
cepat Lok Khik-si berseru pula, "Kepandaian kedua
paman ini jauh lebih tinggi daripadaku, menurut
penilaianku tidaklah terlalu jauh kalau dibandingkan
dengan kepandaian Kang-tayhiap, asal Hiantit dapat
memperoleh kepandaian mereka, maka cukuplah dan
tidak perlu susah-susah mencari guru lain lagi."
Di antara Ki-lian-sam-siu, tiga binatang dari
pegunungan Ki-lian itu, ilmu silat Yo Tun-hou terhitung
yang paling tinggi. Untuk menarik hati anak kecil dan
agar dikagumi, segera Yo Tun-hou bergelak tertawa,
katanya, "Lotoa, saudara sendiri kenapa dipuji-puji" Ilmu
silat Kang-tayhiap tiada bandingannya di kolong langit
ini, kau membandingkan diri kami dengan beliau,
bukankah membikin malu kami saja" Hahahaha!"
Begitulah ia lantas terbahak-bahak, makin tertawa
makin keras, ia tertawa menghadap sebatang pohon
besar, setelah tertawa sekian lamanya, tiba-tiba
tertampak daun pohon itu rontok bertebaran. Ketika dia
berhenti tertawa, daun pohon itu sudah jarang-jarang,
hampir menjadi gundul seperti habis disapu angin puyuh.
Kong-he terkejut dan bergirang pula, pikirnya,
"Kepandaian Yo-sioksiok ini benar-benar sangat tinggi,
agaknya lebih tinggi daripada ayahku."
Dalam pada itu Be Seng-liong juga ingin pamer,
katanya, "Pohon ini sudah gundul, lebih baik ditebang
saja." Dia membawa golok, katanya "tebang", tapi toh
tidak melolos goloknya, sebaliknya ia menggunakan
telapak tangannya untuk menabas batang pohon,
berturut-turut ia memotong empat kali, mendadak ia
membentak, "Roboh!" Benar juga, pohon itu lantas roboh
menurut perintahnya. "Sungguh pukulan yang hebat!" seru Kong-he memuji.
Meski Kong-he masih kecil dan bukan ahli ilmu silat,
tapi untuk membedakan kepandaian yang tinggi atau
rendah tidaklah sukar baginya. Batang pohon itu cukup
besar, ditebang dengan senjata tajam saja makan
tempo, tapi sekarang Be Seng-liong menabas dengan
telapak tangan empat kali dan pohon itu terus tumbang,
kepandaian ini walaupun tidak selihai Lwekang Yo Tunhou
yang menggunakan suara tertawanya untuk
mengguncang dan merontokkan daun pohon itu, namun
Gwakang Be Seng-liong ini boleh juga dikatakan sudah
hampir mencapai puncaknya.
Betapapun Kong-he adalah anak kecil, ia menjadi
senang dan kagum oleh pertunjukan Lwekang dan
Gwakang itu, pikirnya, "Benar juga kata Lok-pepek, bila
aku dapat memperoleh kepandaian kedua paman ini
rasanya sudah cukuplah bagiku."
Di lain pihak Yo Tun-hou dan Be Sing-liong juga tidak
kurang terkejutnya. Pikir Yo Tun-hou, "Usia anak ini baru
belasan tahun, sama sekali dia tidak menutup telinga
ketika mendengar suara tertawaku, masakah sedemikian
kuat dasar Lwekangnya" Apa barangkali begitu dilahirkan
dia sudah berlatih Lwekang?"
Sudah tentu bukan begitu dilahirkan Li Kong-he lantas
belajar Lwekang, soalnya ayahnya mempunyai hubungan
yang luas, banyak kawan-kawannya tergolong tokoh
dunia persilatan yang terkemuka, sebab itulah Kong-he
sering mendapat petunjuk Lwekang dan Gwakang dari
paman-paman dan mamak-mamak yang sering
berkunjung ke rumahnya, dengan demikian Lwekangnya
sudah terpupuk sejak kecil.
Maka Yo Tun-hou berkata dengan tertawa, "Ayahmu
adalah ksatria yang gagah perkasa, putranya tentu juga
bukan anak sembarangan, tentu sedikit kepandaianku ini
tidak menarik perhatianmu."
Dasar masih anak-anak, karena dipuji, Kong-he
menjadi lupa untuk memikirkan tanda-tanda yang
mencurigakan dari kedua orang itu. Cepat ia berkata,
"Ah, kepandaian kedua paman sedemikian tingginya, aku
justru sangat kagum dan sangat berterima kasih
bilamana kedua paman mengajarkan padaku."
Sementara itu Lok Khik-si sudah mengajak berangkat.
Dia bersatu kuda dengan Kong-he dan sengaja sedikit
menjauh di belakang. Lalu membisiki Kong-he, "Kau
harus ingat kepada pesanku tadi. Betapapun juga jangan
kau katakan hal-hal yang penting kepada kedua paman
ini." Kong-he mengangguk. Dan baru saja Lok Khik-si
bermaksud memberi pesan apa-apa lagi, mendadak Yo
Tun-hou telah berpaling dan berseru kepadanya, "Lotoa,
apakah kudamu tak dapat berlari karena terlalu berat
dibebani dua orang?"
"Ah, tidak," cepat Khik-si menjawab. "Kalau terlalu


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat, aku kuatir Titji (keponakan) akan cepat lelah."
Habis berkata ia lantas pecut kudanya dan menyusul ke
depan. Diam-diam Kong-he merasa heran, "Lok-pepek
berpesan padaku agar jangan bicara tentang hal-hal
rahasia kepada mereka. Tapi mereka kan juga saudara
angkat Lok-pepek, mengapa di antara mereka diam-diam
saling bertengkar?" Begitulah mereka melanjutkan perjalanan secara
terburu-buru, mereka jarang berhenti, di tengah jalan
hanya makan rangsum kering sekadarnya, lalu kuda
dilarikan pula, yang ditempuh selalu jalan pegunungan.
Dekat maghrib, kuda mereka sudah terlampau lelah.
Tiba-tiba Yo Tun-hou menunjuk sebuah kelenteng rusak
di atas bukit di sebelah depan sana, katanya, "Kali ini
biarlah kita menginap di kelenteng itu. Mumpung
matahari belum terbenam, harap Lotoa pergi ke kota di
depan sana, belilah seekor kuda serta bawa sekalian dua
ekor ayam sebagai daharan malam nanti. Kudamu
mungkin sudah payah, bolehlah pakai kudaku ini."
Untuk sejenak Lok Khik-si ragu-ragu, katanya,
"Tidaklah lebih baik Losamsaja..."
"Tidak, lebih baik Lotoa sendiri saja," potong Yo Tunhou.
Habis ini mendadak ia mengucapkan beberapa kata
rahasia orang Kangouw. Sebagai putra seorang tokoh Kangouw, walaupun
Kong-he tidak paham kata-kata rahasia orang Kangouw,
tapi lapat-lapat ia pun dapat menangkap beberapa kata
di antaranya yang berarti "menyampaikan berita",
"pemimpin", "pengintai" dan sebagainya.
Karena itulah Khik-si buru-buru menjawab, "Baiklah,
Loji, biarlah aku lantas berangkat!"
Kiranya maksud Yo Tun-hou adalah meminta Lok-lotoa
menyampaikan berita tentang hasil usaha mereka kepada
pemerintah setempat yang berdekatan serta minta berita
penting ini diteruskan secara kilat ke kotaraja.
Selain itu mereka minta jago-jago pengawal yang
tersebar dimana-mana itu mengadakan pengintaian dan
menyambut kedatangan mereka di sepanjang jalan.
Sebagai kepala Ki-lian-sam-siu, Lok Khik-si yang
berkewajiban mengadakan hubungan dengan pihak
kerajaan. Kali ini jago-jago istana yang dikirim untuk
menangkap Li Bun-sing dipimpin oleh seorang komandan
seksi yang bernama Wi Hoan. Orang ini tinggal di
gubernuran Soatang, maka Lok Khik-si harus
mengadakan hubungan dengan dia bilamana usahanya
sudah berhasil. Dengan alasan inilah Yo Tun-hou
mendesak Lok Khik-si sendiri yang menyampaikan berita
hasil usaha mereka ini. Begitulah walaupun dengan rasa enggan, terpaksa
juga Lok Khik-si berangkat. Dengan tertawa ia berkata
kepada Tun-hou, "Loji, untuk selanjutnya kita tidak perlu
bicara memakai kode, toh Titji bukan orang luar, di
antara kita tiada apa-apa yang perlu dirahasiakan." Lalu
ia meninggalkan pesan pula kepada Kong-he, "Hiantit,
segera aku akan kembali dengan membawa daharan
yang enak, kau boleh tunggu di sini bersama kedua
paman ini." Sudah tentu Yo Tun-hou lantas sadar akan ucapan Lok
Khik-si tadi agar kata-kata rahasianya tidak menimbulkan
curiga Kong-he, maka cepat ia membenarkan teguran
sang Lotoa. Lalu ia pura-pura berkata kepada Kong-he,
"Walaupun kata-kata rahasia Kangouw jangan
sembarangan digunakan, tapi perlu juga dipelajari.
Apakah Hiantit pernah mempelajarinya" Jika belum,
kelak akan kuajarkan padamu sedikit demi sedikit."
Ia tahu sekarang bahwa Kong-he adalah seorang anak
cerdas, tapi tidak menduga bahwa bocah itu jauh lebih
cerdik daripada sangkaannya. Saat itu Kong-he sedang
berpikir, "Aku hanya paham sedikit saja kata-kata rahasia
yang diucapkan Yo-sioksiok, tapi artinya berlainan
dengan penjelasan Lok-pepek tadi" Mereka hendak
menyampaikan berita apa sih" Pemimpin yang
dimaksudkan Yo-sioksiok itu siapa lagi?"
Betapapun Kong-he masih terlalu kecil, walaupun
sudah merasa curiga, tapi pikirannya belum mampu
menyelami kepalsuan orang Kangouw seperti ketiga
pamannya ini. Sesudah Yo Tun-hou dan Be Seng-liong membawa
Kong-he sampai di kelenteng rusak itu, segera Tun-hou
berkata, "Kelenteng yang terpencil ini sangat cocok untuk
kita. Eh, Losam, pergilah kau mengambil air!"
"Air" Bukankah persediaan air kita masih cukup/'
Seng-liong menegas dengan tercengang.
Tapi Yo Tun-hou lantas menarik muka. "Tidak cukup!"
sahutnya dengan nada dingin.
Biasanya Seng-liong memang jeri kepada sang Jiko,
walaupun tahu maksud Yo Tun-hou itu hanya untuk
menyingkirkan dirinya saja, terpaksa ia pun menurut.
Sesudah Be Seng-liong keluar, tiba-tiba Yo Tun-hou
menghela napas, katanya, "Hiantit, hatiku selalu
memikirkan suatu urusan sehingga rasanya tidak
tenteram." "Ada urusan apakah, paman?" tanya Kong-he.
"Tiada lain ialah urusan Lim-pepekmu itu!"
"Lim-pepek" Apa kau maksudkan Lim-kaucu?"
"Ya, siapa lagi kalau bukan dia?" sahut Tun-hou.
"Ayahmu dan Lim-kaucu laksana saudara sekandung
saja, aku dan Lim-kaucu juga mempunyai hubungan
persahabatan yang rapat. Walaupun aku belum masuk
menjadi anggota, tapi biasanya bila bertemu dengan
Lim-kaucu, beliau selalu suka membicarakan urusanurusan
penting perkumpulan dengan aku."
Kembali Kong-he sangat heran, pikirnya, "Lok-pepek
mengatakan kedua paman ini tidak kenal Lim-pepek,
mengapa sekarang dia mengaku mempunyai
persahabatan rapat dengan beliau" Ah, mustahil ini.
Salah satu di antara mereka tentu ada yang berdusta."
Yo Tun-hou mengira Kong-he adalah anak kecil yang
gampang dibohongi, tidak tahunya diam-diam bocah itu
sudah mencurigainya. Namun ia menghela napas dan
menyambung lagi, "Entah Lim-kaucu sekarang berada
dimana, sungguh aku sangat menguatirkan
keselamatannya. Ayahmu mengalami nasib malang,
berita ini juga perlu selekasnya disampaikan kepadanya.
Cuma sayang ... eh, Hiantit, apakah kau tahu ...?"
"Apa paman maksudkan tempat tinggal Lim-pepek,
tapi ayah ..." "Benar," sela Tun-hou. "Tentu ayahmu
mengetahui, sebelum wafat tentu beliau telah
memberitahukan kepadamu."
"Tidak, ayah tidak memberitahukan padaku," sahut
Kong-he. Tun-hou mengerut kening. "Apakah Lok-pepek
yang melarang kau mengatakan padaku?" ia coba
memancing. Karena teringat kepada pesan Lok Khik-si, pula dalam
hati kecilnya Lok Khik-si juga lebih rapat dengan dia,
maka ia lantas mengadakan pembelaan bagi paman Lok
itu, jawabnya, "Tidak, tidak, aku pun tidak pernah
mengatakan kepada Lok-pepek."
Yo Tun-hou merasa lega. "O, ya, memang soal ini
tidak boleh diberitahukan kepada Lok-pepek. Jadi kau
memang tahu dimana keberadaan Lim-pepek, masakah
kau tak mempercayai aku?"
Baru sekarang Kong-he merasa lubang kelemahan
ucapannya tadi. Syukurlah ia cukup cerdik, segera ia
menghindarkan pokok pembicaraan, ia pura-pura
mengunjuk rasa keheran-heranan dan balas bertanya,
"Mengapa tidak boleh memberitahukan kepada Lokpepek,
apakah kita tidak dapat mempercayai dia?"
"Dalam hal ini .... O, bukannya tidak mempercayai dia,
soalnya dia ... dia tidak terlalu kenal Lim-pepekmu, pula
dia mempunyai penyakit suka minum arak, bila mabuk
dia suka mengoceh tak keruan. Maka tentang rahasia
Lim-pepekmu itu sebaiknya jangan dikatakan padanya
agar tidak sampai bocor sehingga membikin celaka Limpepek."
Ocehan Yo Tun-hou yang sengaja dibuat-buat ini
sama sekali tidak cocok dengan apa yang dikatakan Loklotoa,
keruan semakin menambah rasa curiga Kong-he,
pikirnya, "Aneh, Lok-pepek mengaku pernah mengangkat
saudara dengan Lim-pepek, tapi Yo-sioksiok ini
mengatakan mereka tidak saling kenal. Aha, pasti di
antara mereka ada salah satu yang berdusta."
Dalam pada itu Yo Tun-hou telah membujuk, "Anak
yang baik, coba katakan padaku tentang keadaan Limpepek.
hatiku baru tenteram bilamana aku sudah
menemukan dia." 'Tapi aku ... aku benar-benar tidak tahu, ayah tidak
pernah memberitahukan padaku," jawab Kong-he.
"Ah, anak kecil janganlah berdusta," ujar Tun-hou.
"Bukankah tadi kau sudah menyatakan mengetahui
berita tentang Lim-pepekmu, mengapa tidak kau katakan
padaku" Anak baik, ceritakanlah, lekas! Besok juga akan
kuajarkan kepandaianku padamu."
Kepandaian Yo Tun-hou memang lebih tinggi daripada
Lok Khiksi, tapi tabiatnya lebih gopoh dan kurang sabar.
Semakin dia mendesak, semakin membikin curiga Konghe.
Apalagi dia memancing dengan ajaran
kepandaiannya, hal ini bukanlah perbuatan seorang
ksatria sejati. Pada waktu Kong-he merasa kagok untuk menjawab
pertanyaan Yo Tun-hou, saat itulah tiba-tiba Be Sengliong
sudah kembali dengan membawa sekantong besar
air jernih. Yo Tun-hou mengerut kening. "Mengapa sedemikian
cepat kau sudah kembali" Apakah itu air sumber yang
bersih?" tanyanya. "Ya, kebetulan tidak jauh dari sini ada sumber air, aku
kuatir Jiko menunggu terlalu lama, maka buru-buru aku
berlari kembali," sahut Seng-liong.
Walaupun mendongkol, terpaksa Tun-hou tidak
leluasa untuk menanyai Kong-he pula.
"Jiko, baru saja aku melihat dua bayangan orang yang
melayang lewat secepat terbang, jangan-jangan kita
dikuntit musuh," demikian kata Be Seng-liong. "Apakah
Jiko tidak perlu memeriksa keluar, biarlah aku yang
membuatkan teh bagimu."
"Mengapa kau sendiri tidak menyusul bayanganbayangan
orang itu?" tanya Tun-hou.
"Gerakan mereka teramat cepat, tampaknya
kepandaian mereka jauh di atasku, maka buru-buru aku
kembali untuk melapor padamu, rasanya cuma Jiko saja
yang mampu menandingi mereka."
"Tapi juga belum pasti apakah kawan atau lawan,
mengapa mesti geger?" ujar Tun-hou.
"Ya, toh tiada jeleknya kita berlaku waspada," sahut
Seng-liong. "Sebaiknya Jiko berjaga-jaga menghadapi
mereka, bila musuh yang datang, tentu mereka tak bisa
lolos di tangan Jiko."
Dasar watak Yo Tun-hou juga suka disanjung puji,
setelah diumpak, ia pikir kata-kata Be Seng-liong itupun
beralasan. Tapi ia pun tidak lantas pergi, katanya,
"Baiklah, aku akan meronda keluar. Anak He, tentu kau
sudah lelah, bolehlah kau tidur lebih dulu. Sebentar bila
Lok-pepek sudah pulang dan membawa daharan enak
tentu akan kubangunkan kau."
Memangnya Li Kong-he enggan melayani pembicaraan
mereka lagi. Sambil mengiakan segera ia merebah,
dalam waktu tidak lama ia pura-pura sudah terpulas.
Dengan demikian barulah Yo Tun-hou tidak ragu-ragu
lagi dan lantas keluar. Tapi begitu Yo Tun-hou sudah pergi, segera Be Sengliong
membangunkan Kong-he. Seperti juga Tun-hou,
sebelum bicara Be Seng-liong pura-pura menghela napas
dahulu. Diam-diam Kong-he merasa geli, tapi ia pura-pura
tidak tahu, sebaliknya dengan lagak sungguh-sungguh ia
bertanya, "Sebab apakah paman menghela napas?"
"Ai, berada bersama kau aku jadi teringat kepada
seorang sobat baik yang pernah menjadi saudara
angkatku itu," kata Seng-liong.
"Siapakah orang itu, paman?" tanya Kong-he.
"Ya, siapa lagi kalau bukan Lim-kaucu dari Thian-likau?"
sahut Seng-liong. "Kabarnya dia telah meloloskan
diri bersama dengan ayahmu. Cuma, ai, sayang...."
Geli-geli mendongkol Kong-he melihat permainan
sandiwara Ki-lian-sam-siu itu. Dengan tak sabar segera ia
memotong ucapan orang, "Paman Be, apakah kau
maksudkan sayang tidak tahu dimana beradanya Limpepek
bukan?" "Ah, memang benar, kau sungguh pintar, Hiantit,
sekali tebak lantas kena," sahut Be Seng-liong.
"Bukanlah aku pintar, soalnya tadi Yo-sioksiok juga
menghela napas dan mengajukan pertanyaan demikian
kepadaku." "O, lantas sudah kau katakan belum kepada Yosioksiok?"
Seng-liong menegas dengan terkejut.
Kong-he tidak menjawab langsung, tapi berkata, "Besioksiok,
jika kau benar-benar sangat ingin tahu keadaan
Lim-pepek, mengapa di tengah jalan siang tadi tidak kau
tanyakan padaku?" "Lim-pepekmu itu adalah buronan yang sedang dicaricari
pemerintah kerajaan, masakah beritanya boleh
sembarangan dibicarakan di hadapan orang?"
"Apakah Lok-pepek dan Yo-sioksiok juga orang luar?"
tanya Kong-he. "Meski mereka bukan orang luar tapi mereka tidak
kenal Lim-kaucu, buat apa mereka diberitahu mengenai
soal ini?" ujar Seng-liong.
"Harus diketahui bahwa urusan penting ini harus
dirahasiakan, apalagi menyangkut keselamatan Limpepek.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eh, apakah kau telah mengatakan kepada mereka
mengenai diri Lim-kaucu?"
"Aneh, mengapa ucapan Yo-sioksiok tadi sama sekali
berlainan dengan apa yang dikatakan paman Be
sekarang?" sahut Kong-he. "Dia menyatakan Lim-pepek
adalah saudara angkatnya, katanya kau dan Lim-pepek
selamanya tidak saling kenal."
Padahal Lok Khik-si juga berkata demikian, cuma
perasaan Kong-he lebih condong kepada Lok-lotoa itu,
maka dia hanya menyebut Yo Tun-hou saja.
Rupanya Be Seng-liong terpancing, ia menjadi marah.
"Huh, Yo-sioksiok telah membohongi kau," katanya
cepat. "Masakah demikian, mengapa Yo-sioksiok
membohongi aku?" "Kau tidak tahu bahwa pihak kerajaan telah
menjanjikan hadiah besar dalam usaha menangkap LimTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kaucu. Siapa yang mengetahui jejak Lim Jing dan
memberi laporan sehingga buronan itu dapat ditawan,
bila harta yang diinginkan akan diberi hadiah seribu tahil
emas murni, jika yang diharapkan adalah kedudukan,
maka orang itu akan diangkat menjadi Congpeng
(setingkat mayor). Ya, mungkin aku terlalu berlebihan
menguatirkan urusan ini, tapi watak Yo-sioksiokmu
biasanya paling tamak harta, penyakitnya ini cukup
kuketahui, betapapun kita harus berjaga-jaga."
"Jika demikian, lantas bagaimana dengan Lok-pepek"
Apakah Lok-pepek juga mempunyai penyakit tamak
harta?" "Lok-pepek sih tidak tamak harta, tapi aku pun kenal
tabiatnya yang kemaruk pada kedudukan dan pangkat.
Sebab itulah kita juga harus berjaga-jaga atas dirinya.
Nah, sebenarnya sudah kau katakan kepada mereka atau
belum" Wah, jika sudah, tentu urusan bisa runyam, kita
harus lekas mencari akal untuk memecahkan persoalan
ini." Kong-he sampai berkeringat dingin, pikirnya, "Ya,
benar, harus mencari akal untuk memecahkan persoalan
ini. Bukankah aku sudah memberitahukan tempat
persembunyian Lim-pepek kepada paman Lok" Wah, jika
ditilik dari pembicaraan mereka ini, boleh jadi Lok-pepek
sendiri juga bukan manusia baik-baik."
Dalam pada itu Be Seng-liong telah menggoyanggoyangkan
tangan Kong-he dan mendesak pula,
"Bagaimana" Apakah kau menjadi takut" Jangan takut,
lekas katakan terus terang padaku. Aku dapat mencari
jalan untuk mengirim kabar kepada Lim-pepekmu agar
dia lekas menyingkir dari tempat persembunyiannya
serta mengirim orang untuk memapak kau."
Kong-he coba menenangkan diri, lalu menjawab,
"Tidak, aku tidak tahu apa-apa, maka aku pun tidak
pernah mengatakan sesuatu kepada Lok-pepek maupun
Yo-sioksiok." Untuk sejenak Be Seng-liong tercengang atas jawaban
Kong-he. "Ai, bicara sekian lamanya, rupanya kau bocah
ini masih tetap tidak mau percaya padaku?" kata Sengliong
kemudian. "Sungguh, aku benar-benar saudara
angkat Lim-pepekmu, sungguh aku sangat menguatirkan
keselamatannya, juga aku benar-benar ingin
menyelamatkan dirimu Sampai di sini tiba-tiba terdengar
suara derapan kuda yang makin mendekat, air muka
Seng-liong tambah berubah, cepat ia membisiki Kong-he,
"Ingat, apa yang kita bicarakan barusan ini janganlah
kau katakan kepada siapa pun, awas, jika kau katakan
kepada mereka, tentu kau sendiri bisa celaka."
Kong-he diam saja. Seng-liong menjadi kuatir, ia
remas tangan bocah itu dan mengancam pula, "Nah,
ingat betul-betul. Jika mereka sampai mengetahui
pembicaraan kita ini, andaikan kau tidak dibunuh mereka
juga aku akan memuntir putus lehermu!"
Ternyata Be Seng-liong jauh lebih kasar daripada
kedua kawannya, bukan saja dia telah menjelek-jelekkan
kedua saudara angkatnya itu, bahkan dia telah
menggertak dan menakut-nakuti Kong-he. Dengan
demikian sama juga dia telah merobek kedoknya sendiri.
Dasar masih anak-anak, dengan sendirinya Kong-he
menjadi takut. Terpaksa ia menjawab, "Baiklah, takkan
kukatakan kepada mereka."
Dan belum lagi Be Seng-liong melepaskan tangan
Kong-he, terlihat Lok Khik-si sudah melangkah masuk.
"Eh, kau belum tidur, Kong-he" Apa yang sedang
kalian bicarakan?" demikian Lok-lotoa lantas menegur.
"O, dia ... dia kelaparan dan tidak bisa tidur. Aku
sedang membujuknya bahwa sebentar juga kau akan
kembali dengan membawa daharan enak. Haha, benar
juga sekarang kau sudah datang/' kata Seng-liong.
"Baiklah, segera akan kusembelih ayam yang kau bawa
ini." "Tidak perlu disembelih lagi, panggang saja biar
cepat!" ujar Lok-lotoa sambil melemparkan dua ekor
ayam gemuk yang dibelinya itu. "Eh, dimanakah Loji?"
"O, Loji sedang pergi, pergi meronda belum habis
Seng-liong menjawab, tiba-tiba terdengar suara auman
harimau. "Meronda apa" Namanya saja 'kambing mencaplok
macan', masakah dia malah takut kepada macan?" ujar
Lok Khik-si. "Bukan macan, tapi mungkin sekali musuh" kata Sengliong.
"Tengah malam buta di pegunungan sunyi ini masakah
ada musuh segala?" semprot Lok-lotoa. "Biasanya dia
tidak sedemikian cermat kerjanya, tentu kau ... kau yang
Selagi Be Seng-liong kuatir rahasianya terbongkar,
tiba-tiba terdengar suara tindakan orang, kiranya Yo
Tun-hou. Air muka Yo Tun-hou tampak mengunjuk rasa kuatir,
begitu masuk lantas berseru, "Ya, memang terdapat
jejak orang yang mencurigakan di pegunungan ini!"
Diam-diam Seng-liong bergirang, katanya dalam hati,
"Ha, sebenarnya aku cuma membohongi, tak tersangka
dia benar-benar menemukan jejak musuh. Dengan
demikian kebohonganku menjadi tepat malah."
"Orang macam apa yang kau lihat?" Khik-si ikut
terperanjat. "Kulihat seekor harimau kumbang!" sahut Yo
tun-hou. "Katanya manusia?" Khik-si menukas.
"Begini, kulihat binatang itu terluka dan darah
berceceran, maka kuyakin itu tentu dilukai manusia. Lalu
kudengar pula derapan kuda> kuatir kedatangan musuh,
maka buru-buru aku kembali. Tak tahunya kaulah yang
telah pulang." Lok Khik-si saling pandang sekejap dengan Be Sengliong.
Mereka tahu harimau adalah binatang buas yang
paling ganas, jika binatang itu benar-benar dilukai
manusia, maka orang itu tentulah tidak rendah ilmu
silatnya. Maka Khik-si berkata, "Baiklah, malam ini kita harus
meronda secara bergilir. Losam, sekarang kau yang dinas
jaga lebih dulu." Seng-liong mengiakan dan segera hendak
meninggalkan api unggun yang telah dinyalakan itu.
Mendadak Yo Tun-hou bertanya, "Losam, sejak tadi
kau memasak teh, sudah sekian lamanya mana itu teh
yang kau buat?" "O, tadi, tidak lama sesudah kau pergi, He-ji lantas
terjaga bangun oleh suara harimau yang menakutkan,
maka aku telah mendampingi dia dan ... dan tidak
sempat membuat teh," demikian Seng-liong memberi
alasan. "Apa benar kau terjaga bangun oleh suara harimau
itu, He-ji?" tanya Khik-si karena ucapan Be Seng-liong itu
ternyata tidak cocok dengan apa yang dikatakannya tadi.
Kong-he menjadi serba susah, ia tidak tahu pasti
ketiga "paman" ini sesungguhnya orang baik atau orang
jahat, dengan sendirinya ia tidak berani menganggapnya
sebagai musuh. Pula dia masih ingat ancaman Be Sengliong
tadi, maka terpaksa ia menjawab, "Ya, memang
tadi aku kaget dan mendusin karena suara auman
harimau yang menakutkan itu."
Karena kuatir menimbulkan curiga Kong-he kalau
terlalu mendesak kepada Be Seng-liong, maka mereka
pun tidak menegur lagi. Segera Yo Tun-hou berkata,
"Baiklah, boleh kau potong setengah ekor ayam itu dan
jagalah di luar." Saat itu kedua ekor ayam panggang
sudah matang. Dan baru saja Seng-liong melolos golok hendak
memotong ayam panggang itu, tiba-tiba terdengar suara
tindakan orang. Lalu ada suara anak dara yang nyaring
sedang berseru, "O, alangkah sedapnya bau ini!"
"Siapa itu?" bentak Yo Tun-hou segera. Sungguh ia
sangat terkejut, mengapa seorang anak dara kecil
memiliki Ginkang setinggi ini, maka kepandaian
temannya itu tentu terlebih lihai lagi.
Hendaklah maklum bahwa kepandaian Yo Tun-hou,
bilamana yang datang tadi hanya dua orang biasa, tentu
sedari jauh suara tindakan mereka sudah didengar
olehnya. Tapi sekarang kedua orang itu sudah dekat
barulah diketahui, maka dapatlah diduga Ginkang kedua
pendatang ini tentu tidak rendah.
Di tengah bentakan Yo Tun-hou itu kedua pendatang
itupun sudah melangkah masuk. Ternyata seorang di
antaranya sudah berusia 50-an, perawakannya tinggi kurus, berbaju biru dan
berkopiah kecil, itulah dandanan yang mirip seorang
pengabdi rumah tangga. Seorang lagi adalah dara cilik
yang masih kekanak-kanakan, usianya paling-paling baru
sepuluhan tahun, sebaya dengan Kong-he. Rambutnya
dikepang menjadi dua kuncir kecil, pipinya lesung,
matanya hitam besar, lincah dan menyenangkan.
Lelaki tinggi kurus itu lantas memberi salam hormat
dan berkata, "Maaf, jika kami telah mengganggu tuantuan.
Perjalanan kami ini telah melampaui tempat
bermalam, terpaksa mesti mencari suatu tempat
mengaso dan kebetulan terdapat kelenteng ini."
Sebaliknya yang terus diincar oleh dara cilik itu
ternyata adalah ayam panggang yang mengeluarkan bau
sedap itu, tampaknya dia sangat kepingin, katanya,
"Wah, ayam panggang yang gemuk sekali. Apakah boleh
membagi sebuah pahanya untukku?"
Namun Yo Tun-hou telah menatap tajam kepada lelaki
jangkung itu, tanyanya, "Apakah saudara juga yang tadi
melukai harimau?" "Ah, sungguh memalukan," sahut lelaki itu.
"Kepandaianku terlalu rendah sehingga binatang itu tidak
dapat kubinasakan dengan timpukan Piau tadi, harap
Loheng (saudara) jangan menertawakan diriku."
"Haha, sama-sama orang Kangouw tidak perlu
merendahkan diri," seru Tun-hou dengan terbahak.
"Nona cilik ini tampaknya sudah lapar" Baiklah, ayam
panggang yang sudah masak ini boleh kalian makan lebih
dulu." Anak dara itu menjadi girang. "Engkau sangat baik
hati, terima kasih ya!" serunya dan segera hendak
menerima ayam panggang yang dikatakan itu.
Tapi si lelaki jangkung telah mengadang di depannya
dan berkata, "Ayam panggang ini masih sangat panas,
biar aku menyobeknya untukmu." Nyata lelaki ini seorang
kawakan Kangouw, dari sorot mata Yo Tun-hou tadi
segera ia menduga orang tak bermaksud baik.
"Ini, ambil!" mendadak Yo Tun-hou membentak, ayam
panggang itu terus dilemparkan ke muka si lelaki
jangkung, berbareng telapak tangannya lantas
memotong ke batok kepalanya pula.
Cepat lelaki jangkung itu menunduk kepala sehingga
ayam panggang itu melayang lewat ke belakang. Tapi
saat itu pukulan Yo Tun-hou juga sudah menyambar tiba.
Lelaki itu cuma mengangkat tangan kanan ke atas, jari
tengahnya menegak tepat mengarah Leng-yan-hiat di
telapak tangan Yo Tun-hou. Hiat-to yang diarah itu
adalah titik pangkal urat nadi Siau-yang-meh, kalau
sampai tertotok maka lengan Yo Tun-hou itu pasti akan
lumpuh untuk selamanya. Melihat ilmu totokan lihai lawannya itu, Tun-hou tidak
berani ayal, cepat ia merapatkan tangannya dan berbalik
menggantol, jika jari lawan tergantol dan terpegang,
segera ia dapat mematahkannya.
Akan tetapi lelaki jangkung itupun tidak kalah
gesitnya, sebelum jarinya terpegang, ia pun sudah ganti
serangan, tangan terbuka, dari menotok berubah
meniadi memukul, kontan ia memotong tangan Yo Tunhou.
Karena kedua tangan sudah berdekatan, untuk
mengelak juga tidak sempat lagi. Terpaksa Tun-hou
mengadu tenaga, tangannya juga cepat dibuka, "plak",
pukulan ketemu pukulan, Yo Tun-hou tergetar mundur
dua tindak, lelaki jangkung itupun tergeliat. Dari kejadian
itu nyatalah kekuatan lelaki jangkung itu masih sedikit di
atas Yo Tun-hou. Dalam pada itu ayam panggang yang ditimpukkan Yo
Tun-hou ke belakang tadi kebetulan melayang ke depan
si dara cilik. Segera ia sambut ayam panggang itu
dengan tangannya yang kecil itu, katanya, "Aku hanya
minta sebuah paha saja, mengapa kau memberi seekor
penuh kepadaku?" Karena melayangnya ayam panggang itu ke
hadapannya, maka pandangannya menjadi teralih, maka
nona cilik itu tidak melihat jelas pengiringnya yang tua itu
sudah mulai bergebrak dengan Yo Tun-hou.
"Lekas lari saja, Siocia!" seru si lelaki jangkung
berbaju biru kepada si dara.
Tapi Be Seng-liong lantas menanggapi, "Huh, jangan
harap budak cilik ini dapat melarikan diri lagi!" Berbareng


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia terus merintangi jalan keluar serta hendak menawan si
nona. Lelaki itu ingin menolong anak asuhannya itu, tapi
kena dirintangi Yo Tun-hou. Walaupun kekuatan lelaki
baju biru itu sedikit lebih lihai daripada Tun-hou, tapi
dalam waktu singkat ia pun tidak dapat berbuat apa-apa
atau mengalahkannya. Sementara itu Be Seng-liong telah mendesak maju
mendekati si nona cilik dengan menyeringai iblis.
"Kau berani mengganggu seujung rambutku saja,
tentu ayahku akan mampuskan kalian seluruhnya!"
bentak anak dara itu tanpa gentar.
"Hehehe! Siapa sih ayahmu?" tanya Be Seng-liong
dengan menyengir ejek. "Tidak perlu menyebut nama ayahmu Siocia!" seru si
lelaki jangkung tadi. "Ya," sahut si dara cilik. "Untuk membunuh beberapa
bangsat begini memangnya juga tidak perlu membikin
capai ayahku." Be Seng-liong menjadi gusar. "Kurangajar! Anak kecil
seperti kau juga berani membual" Sekalipun kau adalah
putri Kang Hay-thian juga tetap akan kusembelih kau!"
"Haha, putri Kang Hay-thian sudah dilukai oleh Jianjiu-
koan-im, darimana bisa muncul seorang putrinya
lagi," ujar Lok Khik-si dengan tertawa. "Bereskan saja,
Samte, tak perlu kau takut."
Rupanya Lok Khik-si hanya memperhatikan si lelaki
baju biru saja. Diam-diam ia telah mengambil keputusan
bila nanti lawan dan Yo Tun-hou sudah sama-sama
payah, barulah dia sendiri akan turun tangan, dengan
demikian dia .akan dapat menarik keuntungan tanpa
susah-susah. Perihal nona cilik itu hakikatnya tidak
diperhatikan olehnya. Tak tersangka, ketika Be Seng-liong mencaci-maki si
dara cilik tadi, sebelum mulutnya terkatup kembali,
sekonyong-konyong anak dara itu telah menimpukkan
ayam panggang yang dipegangnya itu ke arah Be Sengliong
sambil mendamprat, "Kalian ini memang bangsat
busuk semua, aku tidak sudi makan barangkalian ini!"
Bilamana lawan adalah orang dewasa, boleh jadi Be
Seng-liong akan berlaku hati-hati, tapi karena sekarang
yang dihadapinya cuma seorang anak kecil yang
dianggapnya masih ingusan, maka sedikitpun tidak
dipandang sebelah mata olehnya. Siapa tahu justru
kelengahannya ini telah mengakibatkan dia menelan pil
pahit. "Plok ... hauuuup tahu-tahu mukanya telah tertimpuk
ayam panggang, celakanya kepala ayam panggang yang
panjang itu persis menyelonong masuk ke dalam
mulutnya. Keruan ia tersedak dan kelabakan. Dalam
kalapnya ia bermaksud mencaci-maki namun tidak bisa
lagi. "Huuh, enak ya rasanya?" demikian si dara cilik itu
malah mengejek dengan mengikik geli.
"Lekas, lekas lari!" si lelaki jangkung meneriakinya
lagi. Setelah ayam panggangnya berhasil hinggap di muka
Be Seng-liong, mestinya kesempatan baik itu dapat
digunakan si nona untuk melarikan diri. Tapi dasar masih
anak-anak, karena geli melihat ayam panggang itu
tergantung di mulut Be Seng-liong yang menjadi
kelabakan dan lucu itu, ia menjadi lupa melarikan diri.
Ia baru sadar dan kaget ketika kemudian Be Sengliong
mendadak memelompat ke atas terus menubruk ke
arahnya. Melihat tubrukan yang beringas ini, cepat nona cilik itu
menyambar sebatang kayu berapi, katanya dengan
tertawa, "Ayam panggang itu belum lagi matang, ini, biar
kutambahi apinya!" Berbareng tangkai kayu itu terus
ditimpukkan ke depan. Akan tetapi sekali ini Be Seng-liong sudah berjagajaga,
sudah tentu tidak gampang kecundang lagi. "Krek",
mendadak kepala ayam telah dikertaknya hingga putus,
menyusul lantas disemburkan sehingga tangkai kayu
berapi itu dengan tepat terbentur jatuh.
Baru sekarang si nona cilik terkejut dan mengetahui
lawannya itu tidak empuk.
"Budak setan, kau berani mempermainkan Locu
(bapakmu) ini, rasakan kepalanku!" maki Be Seng-liong,
dengan murka ia terus menguber maju, kedua tangannya
yang lebar itu lantas mencengkeram.
Namun si nona cukup gesit, beberapa kali tubrukan Be
Seng-liong hanya mengenai tempat kosong sehingga dia
berkaok-kaok murka. Rupanya Lok Khik-si merasa geli juga melihat kelakuan
saudara angkatnya itu, katanya dengan tertawa, "Losam,
kenapa mesti gugup menghadapi seorang anak kecil"
Asal kau jaga pintu saja masakah dia mampu kabur?"
Perhatiannya masih tetap dipusatkan atas diri si lelaki
baju biru yang saat itu sudah bergebrak belasan jurus
dengan Yo Tun-hou dan masih tetap sama kuatnya,
walaupun Yo Tun-hou lebih asor sedikit, namun Lok Khiksi
tetap belum mau ikut turun tangan.
Di antara Ki-lian-sam-siu memang kepandaian Be
Seng-liong terhitung yang paling lemah, sekarang dia
tidak mampu menangkap seorang nona cilik, tentu saja
ia merasa malu dan penasaran. Dalam murkanya ia terus
mencabut golok dan main bacok.
Dengan demikian keadaan si nona menjadi berbahaya,
berulang-ulang ia harus menghindarkan bacokan dan
tabasan musuh, untunglah dia masih cukup gesit untuk
menyelamatkan diri. Melihat itu, timbul juga rasa keadilan Li Kong-he.
Mendadak ia melompat maju sambil berseru, "Hei, Besioksiok
mana boleh kau menggunakan golok
Baru sekian dia bersuara, tiba-tiba Be Seng-liong telah
memperingatkannya, "Awas, kau jangan maju, nanti kau
yang terkena golokku!" Berbareng senjatanya terus
menabas ke sana dan kemari dua kali. Ini adalah 'Hwehwe-
to-hoat', ilmu golok bolak-balik, yang terkenal dari
keluarga Be mereka. Di sebelah lain, si lelaki baju biru menjadi kautir juga,
bentaknya gusar, "Bangsat yang tidak kenal malu! Kalian
cuma berani menganiaya seorang anak kecil saja, dasar
pengecut!" Saking murkanya serentak ia mengerahkan segenap
tenaganya, kedua tangannya menghantam sekaligus ke
arah musuh. "Plak", terpaksa Yo Tun-hou menangkis serangan
dahsyat ini, namun ia sendiri tergetar mundur, dadanya
terasa sesak seperti digodam, pandangannya menjadi
gelap. Maksud si lelaki baju biru menghantam mundur Yo
Tun-hou adalah ingin menolong si nona cilik yang
terancam bahaya itu. Namun ketika dia sempat membalik
tubuh, keadaan sudah agak kasip, tertampak sinar golok
Be Seng-liong berkelebat dan sedang menabas ke arah
leher si nona. Syukurlah pada saat itu Kong-he yang berdiri lebih
dekat itu lantas melompat maju pula ke belakang Be
Seng-liong. Kontan ia depak belakang lutut 'kuda
mengalahkan naga' itu. Maka terdengarlah suara
gedebukan, tanpa ampun lagi tubuh Be Seng-liong yang
gede laksana kerbau itu terus roboh terjungkal.
Kiranya dengan tepat depakan Kong-he itu telah
mengenai Hiat-to di belakang lutut sasarannya. Cara
mendepak Hiat-to ini adalah ajaran ayahnya, tenaga
Kong-he meski kecil toh Be Seng-liong juga tidak tahan,
seketika terkulai dan tak bisa berkutik.
Perubahan kejadian ini benar-benar sangat di luar
dugaan dan mendadak. Ketika Lok Khik-si sempat
memburu maju, sementara itu si . lelaki baju biru sudah
lantas menyeret si nona cilik dan dibawa lari keluar
kelenteng. Sebenarnya dengan mengerahkan segenap tenaga
pukulannya dan membikin mundur Yo Tun-hou, maka si
lelaki baju biru itupun sudah sedikit terluka dalam, cuma
Lok Khik-si tidak tahu hal ini, maka dia tidak berani
mengejarnya. Ketika ditarik lari keluar kelenteng, si dara cilik itu
masih sempat menoleh sambil tertawa manis sehingga
dua lekuk kecil di pipinya kelihatan, dia berkata kepada
Kong-he, "Terima kasih ya atas pertolonganmu!"
Baru sekarang Kong-he merasa perbuatannya tadi
tentu akan membawa akibat celaka. Benar juga, selagi
dia bingung tindakan apa yang harus dilakukan
selanjutnya, saat itu Hiat-to Be Seng-liong yang terdepak
tadi sudah lancar kembali, sambil menggerung gusar ia
lantas melompat bangun terus mencengkeram ke atas
kepala Kong-he dan memaki, "Kau anak jadah
Belum sempat dia menjamah bocah itu, tahu-tahu Lok
Khik-si sudah menghadang di depannya untuk
melindungi Kong-he, serunya, "Sabar dulu, Losam,
hendaklah kau memaafkan maksud baik He-ji tadi."
"Maksud baik" Dia membela orang lain masakah
bermaksud baik?" Seng-liong menegas dengan marahmarah.
Dalam pada itu Yo Tun-hou sedang berdiri
membelakangi ke sana dan memuntahkan sekumur
darah segar. Dengan keras lawan keras ia telah
menyambut pukulan si lelaki baju biru tadi sehingga
terluka dalam. Sudah tentu diam-diam ia dendam kepada
Lok Khik-si yang sejak tadi hanya menonton saja dan
tidak mau membantu. Lalu ia mendekati mereka dan ikut menegur, "Ya,
Losam, buat apa kau mesti marah kepada seorang anak
kecil?" Biasanya Be Seng-liong paling takut kepada saudara
angkat kedua itu. Sebenarnya ia pun tahu apa sebabnya
kedua kawannya itu membela Kong-he, maka dengan
menyengir segera ia menjawab, "Masakah aku marah
kepada anak kecil" Hehe, aku justru sangat sayang
padanya!" Dan untuk memperlihatkan kesungguhannya
itu ia pura-pura menepuk-nepuk pundak Kong-he.
Sudah tentu bukannya senang, sebaliknya Kong-he
mengkirik mendengar suara tertawa iblis Be Seng-liong.
Dalam pada itu Yo Tun-hou telah berkata, "Jejak kita
telah diketahui orang luar, besok pagi-pagi kita harus
lekas berangkat. Eh. Lotoa, apakah urusanmu sudah
beres?" "Sudah, aku sudah berjanji untuk bertemu kawankawan
kita di tengah jalan, rasanya tidak perlu takut
apa-apa lagi," sahut Lok-lotoa.
Kawan yang dia maksudkan adalah jago istana yang
telah dihubunginya itu. Yo Tun-hou dan Be Seng-liong
lantas paham maksudnya. "Bangsat tadi telah melarikan diri, rasanya dia takkan
berani datang lagi," kata Tun-hou. "Cuma kita masih
perlu waspada, malam ini kita harus berjaga secara
bergiliran. Hiantit, kau pun perlu lekas tidur supaya besok
pagi-pagi dapat berangkat."
Akan tetapi mana Kong-he dapat pulas" Dalam
benaknya selalu timbul suatu pertanyaan, "Lok-pepek
dan kedua paman ini apakah benar-benar orang baik?"
Adegan Be Seng-liong mengayun goloknya hendak
membunuh si nona cilik tadi lantas terbayang olehnya,
dampratan si lelaki baju biru atas perbuatan keji Yosioksiok
dan Be-sioksiok itupun mengiang pula di tepi
telinganya. Pikir Kong-he, "Ya, Yo-sioksiok dan BeTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sioksiok pastilah bukan manusia baik-baik, caci-maki
lelaki itu memang benar."
Hanya saja apakah Lok-pepek orang baik atau jahat,
untuk ini dia masih belum yakin betul. Namun Lok-pepek
telah bersaudara dengan dua orang manusia busuk,
betapapun baiknya Lok-pepek rasanya juga terbatas.
Begitulah makin dipikir makin takut hati Kong-he,
akhirnya timbul juga keinginannya untuk melarikan diri.
Akan tetapi ia dijaga oleh tiga orang dewasa yang
berkepandaian tinggi, apakah mudah baginya untuk
kabur" Begitulah karena pikirannya yang kacau itu, tanpa
terasa fajar sudah menyingsing.
Sebenarnya luka dalam Yo Tun-hou tidaklah ringan,
dia telah makan obat yang dibawanya sendiri serta sudah
mengaso semalam, tapi dadanya masih terasa sakit.
Namun wataknya yang tidak mau kalah itu membuatnya
berlagak gagah, dia tetap berangkat pagi-pagi menurut
rencana. "Kau tetap bersatu kuda dengan aku, Hiantit," kata
Lok-lotoa kepada Kong-he.
Baru sekarang Yo Tun-hou ingat bahwa Lok-lotoa
ternyata tidak membeli kuda baru sebagaimana
pesannya kemarin. Baru saja dia hendak menegur, tibatiba
Lok Khik-si sudah memberi penjelasan, "Kemarin
sudah terlalu malam, setiba di kota keadaan sudah sunyi,
semua pedagang sudah tutup pintu, terpaksa aku tak
dapat membeli kuda baru."
Mestinya Yo Tun-hou hendak mengomel, tapi demi
teringat Kong-he sedang memperhatikan percakapan
mereka, agar tidak menimbulkan curiga, terpaksa TunTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hou urung membuka suara lagi. Segera ia memegang
pelana dan memanjat ke atas kudanya. Walaupun dia
sudah bertahan, namun tidak urung dia meringis
kesakitan. Lok Khik-si lantas mengetahui bahwa kawannya
terluka dalam yang tidak ringan, ia pura-pura menghela
napas dan berkata, "Aku menjadi teringat kepada suatu
hal yang agak berbahaya, betapapun juga kita harus
berhati-hati." "Bahaya apa?" tanya Yo Tun-hou melengak.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Loji, lelaki yang bergebrak dengan kau kemarin itu,
kepandaiannya tidak rendah bukan?" tanya Khik-si.
Tun-hou pura-pura berlagak tidak menghargai
kepandaian orang, sahurnya, "Ya, tapi untuk bisa
menangkan aku paling sedikit dia harus berlatih sepuluh
tahun lagi. Untung dia dapat melarikan diri, tapi tidak
urung dia juga sudah terluka kena pukulanku."
Diam-diam Khik-si menertawai kawannya yang punya
bacot besar itu, namun ia berkata pula, "Loji,
memangnya siapa yang tidak kagum kepada
kepandaianmu. Tapi lelaki itu mampu bergebrak sampai
puluhan jurus dengan kau, mau tak mau harus diakui
kepandaiannya bukanlah kaum keroco."
Yo Tun-hou menjadi senang, katanya dengan tertawa,
"Ya, memang demikian!"
"Tapi, Loji, kau jangan lupa, menurut pembicaraan
orang itu dengan si dara cilik, bukankah dia hanya
seorang hamba saja?" ujar Khik-si.
"Hamba atau majikan, apa soalnya?" tanya Yo Tunhou.
"Kepandaian hambanya saja begitu lihai, maka
dapatlah dibayangkan bagaimana kepandaian
majikannya," sahut Khik-si. "Bukankah budak cilik itu
pernah menggertak kita, katanya kita akan dibinasakan
semua oleh ayahnya?"
"Lantas kau takut, Lotoa?" Tun-hou mendengus. Dia
pura-pura tenang, padahal ia sendiri pun agak kuatir.
"Takut sih tidak, tapi tiada jeleknya kalau kita berjagajaga,"
ujar Khik-si. "Maksudku adalah paling baik kalau
kita membikin dia tidak mampu pulang untuk melapor ke
majikannya. Sekarang fajar baru saja menyingsing, dia
pun terluka, rasanya takkan lari terlalu jauh dan boleh
jadi masih berada di lereng bukit ini. Maka lekas kita
mengejarnya, mungkin kita masih dapat membabat
rumput sampai akar-akarnya."
Kong-he terkejut, "Ha, kiranya Lok-pepek juga bukan
manusia baik-baik. Dia mau babat rumput sampai akarakarnya,
bukankah ia pun bermaksud membunuh si nona
cilik pula?" Rupanya Khik-si juga kuatir dicurigai Kong-he, maka ia
lantas memberi penjelasan, "Hiantit, apa yang kami
lakukan ini adalah untuk kepentinganmu, yaitu agar
berita tentang dirimu tidak sampai bocor."
"Aku lebih suka ditangkap daripada membikin celaka
nona cilik itu," kata Kong-he. "Lok-pepek, harap kau
mengampuni saja nona itu."
"Hatimu memang baik, tapi apakah terpikir olehmu
bilamana kau tertangkap, maka kami bertiga juga akan
ikut celaka?" "Toh nona cilik dan pengiringnya itu belum pasti
adalah orang-orang pemerintahan?" ujar Kong-he.
"Betapapun juga, yang pasti permusuhan kita dengan
mereka sudah terjadi," kata Lok Khik-si. "Jika sekarang
membiarkan mereka melarikan diri, kelak kalau ayahnya
mencari balas, tentulah aku dan kedua pamanmu yang
akan dicarinya. Maka daripada meninggalkan penyakit di
kemudian hari, ada lebih baik sekarang juga kita
dianggap kejam. Sebagai orang Kangouw, kau masih
harus belajar lebih banyak."
Kong-he tahu tiada gunanya banyak bicara lagi, ia
menjadi nekat. katanya, "Jika kalian bersikeras mau
membunuh nona cilik itu, bolehlah kalian pergi, aku tak
mau ikut." Melihat kebandelan Kong-he, mau tak mau Yo Tunhou
bertiga menjadi ragu-ragu.
"Eh, Loji," tiba-tiba Lok Khik-si membuka suara pula.
"Mengapa kita menjadi pikun. Untuk membunuh lelaki itu
kan tidak perlu kita sendiri yang turun tangan. Bukankah
kita masih banyak kawan-kawan yang berjanji akan
bertemu dengan kita di tengah jalan sana?"
"O. ya betul!" seru Tun-hou. "Lotoa. silakan kau
memapak mereka lebih dulu."
"Kukira Titii Derlu perlindunganku, rasanya lebih baik
Loji sendiri...." Belum lanjut ucapan Khik-si, cepat Yo Tun-hou lantas
memotong, "Sudahlah, kau saja yang pergi dulu, Losam!"
"Aku!" Be Seng-liong terkejut. "Tapi aku..."
"Sudahlah jangan rewel lagi," bentak Tun-hou. "Lelaki
itupun sudah terluka, masakah kau takut?"
Biasanya Seng-liong paling jeri kepada Yo Tun-hou,
terpaksa ia menjawab, "Baiklah, aku yang berangkat!"
Diam-diam Kong-he mengeluh, terpaksa ia hanya
berdoa saja agar dara cilik itu tak mengalami cidera apaapa
di tengah jalan. Lalu ia ikut berangkat bersama Lok
Khik-si dan Yo Tun-hou. Jika di sini Kong-he berkuatir bagi si nona cilik, maka
saat itu si nona cilik juga lagi berkuatir bagi keselamatan
Kong-he. Semalam sesudah lelaki itu menyeret lari si nona cilik,
sekeluarnya dari kelenteng segera ia gendong anak dara
itu terus dibawa lari secepat terbang dan sekuat mungkin
walaupun dengan menahan luka.
"Lau-taysiok, kita kan tidak boleh terus melarikan diri
dengan begini saja?" demikian si nona cilik berseru
kepada pengiringnya itu. "Sebab apa?" tanya si lelaki baju biru.
"Orang lain telah menyelamatkan jiwaku, mana boleh
aku membiarkan dia jatuh di tangan orang-orang jahat
itu?" kata si nona. "Apakah kau maksudkan anak laki-laki
itu?" "Benar, apakah kau tidak tahu bocah itu tadi telah
menyelamatkan jiwaku" Tapi siapa namanya aku pun
lupa bertanya padanya."
"Kita sendiri hampir-hampir celaka, masakah masih
memikirkan orang lain" Bocah itu memanggil mereka
sebagai paman, betapapun dia adalah begundal mereka."
"Tidak, aku yakin bocah itu pasti bukan sanak
keluarga orang-orang jahat itu. Aku menyaksikan sendiri
seorang penjahat itu melotot dan mendampratnya. Jika
benar paman sekeluarga, tentu bocah itu takkan
diperlakukan secara begitu galak."
"Ah, sudahlah," ujar si lelaki baju biru. "Apakah dia
sanak keluarganya atau bukan, mau tak mau kita tak
dapat mengurusnya lagi. Terus terang kukatakan, aku
telah terluka dalam pertarungan tadi. Kita harus lekas
meninggalkan tempat ini."
"Ha, kau terluka?" si nona cilik menegas dengan
kuatir. "Ya, memangnya kau anggap Lau-taysiokmu ini
tiada tandingannya di dunia ini" Yang benar-benar tiada
tandingannya di kolong langit ini hanyalah ayahmu
seorang. Maka sesudah kita pulang bolehlah kau minta
ayahmu yang mencari tahu asal-usul bocah lelaki itu.
Sekarang jangan banyak bicara, aku akan berlari lebih
cepat lagi." Segera anak dara itu mendekam di punggung Lautaysiok
(paman Lau) itu, terdengarlah suara angin
mendesir-desir, pohon dan tumbuh-tumbuhan di kedua
samping secepat kilat berkelebat ke belakang. Diam-diam
dara cilik itu membatin, "Ginkang Lau-taysiok masih
begini hebat, rasanya luka yang dideritanya tidaklah
terlalu parah." Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya luka dalam abdi
pengiringnya itu tidaklah enteng, soalnya Lau-taysiok itu
ingin cepat-cepat membawa anak dara itu meninggalkan
tempat yang berbahaya itu sejauh mungkin, maka ia
telah mengerahkan segenap sisa tenaganya.
Selagi mereka kabur ke depan secepat terbang,
sekonyong-konyong di depan sana berjangkit angin, dari
dalam hutan mendadak melompat dua ekor harimau
kumbang. Seekor di antaranya adalah binatang yang
terkena Piau si baju biru tadi, hal ini tampak pada
pinggulnya yang masih berdarah.
Kiranya kedua ekor harimau kumbang itu adalah
jantan dan betina. Yang jantan terluka oleh Piau yang
ditimpukkan lelaki baju biru tadi, maka dia telah
mengundang yang betina untuk membalas dendam.
Harimau adalah rajanya binatang, daya ciumnya sangat
tajam, maka ia dapat mengenali musuhnya.
Melihat ada harimau menghadang, kontan si baju biru
menyambitkan sebuah Piau lagi. Rupanya harimau jantan
itu sudah kapok, cepat ia mendak ke tanah sehingga
terhindar dari serangan Piau. Dalam pada itu dengan
cepat luar biasa harimau betina itu sudah menggerung
sambil menubruk dari atas.
Tapi sedikit mengegos, bersamaan telapak tangan si
lelaki baju biru lantas menghantam dan tepat mengenai
kepala raja hutan itu. Harimau betina itu terguling ke
samping, tapi cakarnya sempat menggaruk sehingga kulit
lengan Lau-taysiok terbeset dan berlumuran darah.
Untuk meringankan beban abdi pengiringnya itu, cepat si
nona melompat ke atas pohon.
Pada saat itulah harimau jantan juga sudah menubruk
tiba. Sebenarnya luka cakaran itu tidak terlalu parah,
namun si lelaki baju biru menjadi kaget juga. Sebab
tenaga pukulannya biasanya dapat menghancurkan pilar
batu, tapi sekarang batok kepala harimau betina itu toh
tidak sampai pecah, bahkan tidak dapat
membinasakannya, hal ini mempelihatkan bahwa tenaga
dalamnya sudah sangat lemah.
Untunglah pada saat yang berbahaya itu, si nona yang
berada di atas pohon sempat mematahkan setangkai
ranting pohon, segera ia menimpukkannya sebagai anak
panah. Walaupun tenaganya kecil, namun timpukannya
cukup jitu. Saat itu harimau jantan itu sedang menubruk
ke arah si lelaki baju biru, maka sebelah matanya dengan
cepat tertimpuk ranting kayu itu sehingga buta seketika.
Sesudah tidak menggendong si nona lagi, gerak-gerik
si lelaki baju biru menjadi lebih enteng dan gesit, cepat ia
pun mengegos ke samping dan jarinya secepat kilat
lantas digunakan mencolok sebelah mata harimau yang
lain, kontan biji mata binatang itu kena dikoreknya keluar
sehingga buta semua. Habis itu cepat Lau-taysiok
melompat ke belakang pohon.
Karena kedua matnya sudah buta, harimau jantan itu
lantas mengamuk, sambil menggerung kalap ia terus
menyeruduk maju sehingga kepalanya tepat menumbuk
batang pohon, kontan kepalanya pecah dan menggeletak
tak berkutik lagi. Dalam pada itu harimau betina juga ikut menyerang
lagi, ekornya menegak, mulutnya menyeringai buas,
terpaksa lelaki baju biru mengitari pohon untuk
menghindari tubrukan harimau itu sehingga binatang itu
menjadi pusing. Pada suatu kesempatan, lelaki baju biru itu cepat
mencengkeram kulit tengkuk raja hutan itu terus ditekan
ke bawah sehingga mencium tanah, bersamaan sebelah
kepelan cepat menghujani binatang itu dengan pukulanpukulan.
Setelah beberapa puluh kali gebukan barulah
harimau betina itu menggeletak tak berkutik, sementara
itu si lelaki baju biru sendiri juga sudah kembang-kempis
napasnya. Melihat kedua ekor harimau itu sudah binasa, cepat si
dara cilik melompat turun dari pohon dan segera si lelaki
baju biru menggendongnya berlari pula.
"Lau-taysiok, engkau tentu sudah lelah, biarlah aku
berlari sendiri saja," kata dara cilik itu.
"Tidak, kita sudah terhalang sekian lamanya, maka
kita harus berlari lebih cepat," jawab lelaki baju biru.
"Pula hari sudah gelap dan jalanan licin, tentu kau tidak
dapat mengikuti aku. Aku tidak lelah, tenagaku masih
cukup." Walaupun begitu, namun si dara mendengar napasnya
sudah terengah-engah. Sampai di sini lelaki itu tidak
tahan lagi, langkahnya mulai sempoyongan dan hampirhampir
jatuh. Cepat si nona cilik meronta turun, katanya, "Lautaysiok,
kau tidak kuat berjalan lagi. Marilah aku
memajang engkau saja."
"'Tidak perlu," sahut si lelaki sambil duduk di atas batu
di tengah jalan, "kita boleh mengaso sebentar di sini, jika
hari sudah terang, tentu kawan-kawan kita sendiri sudah
keluar pula dan aku akan memberikan tanda minta
pertolongan kepada mereka."
"Apakah ayah menyebarkan banyak orang untuk
mencari aku?" tanya si nona cilik.
"Sudah tentu, karena kau pergi tanpa omong sehingga
ayahmu sangat kuatir."
"Ya, akulah yang salah sehingga membikin susah Lautaysiok
pula." "Selanjutnya kau jangan nakal lagi. Jika mau mainmain
ke Cong-lam-san juga mesti minta izin dulu kepada
ayahmu." "Aku telah berjanji akan main-main ke rumah Nyokoko,
jika ayah tahu tentu akan melarang diriku."
"Ai, sungguh nakal kau ini. Keluarga Nyo itu
tampaknya lelaki baju biru itu ingin mengatakan apa-apa,
tapi napasnya sudah memburu. Dan sebelum dia
melanjutkan ucapannya, tiba-tiba terdengar suara
derapan kaki binatang, dua ekor kuda secepat terbang
sedang mendatangi. Lelaki itu terkejut, ia pikir, "Hebat sekali kedua ekor
kuda ini, penunggangnya tentu juga bukan orang
sembarangan. Celakalah jika mereka adalah sekomplotan
dengan ketiga bandit semalam itu." Mestinya ia inein
berbangkit. taDi badan terlalu lemas dan terpaksa duduk
kembali. Dalam sekejap saja kedua penunggang kuda itu sudah
sampai di depan mereka. Penunggang-penunggang itu
terdiri dari seorang laki-laki setengah umur berwajah
kereng dan seorang pemuda tampan. Begitu sampai di
depan mereka segera melompat turun.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa kalian?" segera si nona cantik menegur.
"Jangan kuatir nona cilik, kami adalah orang baikbaik,"
sahut pemuda dengan tertawa.
Mendadak si lelaki setengah umur itu bersuara kaget,
segera ia mendekati si lelaki baju biru dan bertanya,
"Siapakah saudara ini" Mengapa terluka dalam?"
Hanya sekali pandang saja orang lantas tahu dirinya
terluka dalam, terang sekali orang ini adalah tokoh yang
memiliki kepandaian tinggi, keruan si lelaki baju biru
terkejut. Karena tidak tahu asal-usul penanya itu, ia
menjadi ragu-ragu untuk menjawab.
Tapi si nona cilik sudah lantas mewakilkan menjawab.
"Dia adalah Lau-taysiok, dia adalah pengiringku. Kau
mengetahui dia terluka, tentunya kau pun bisa
mengobati?" Lelaki setengah umur itupun terheran-heran,
dilihatnya lelaki baju biru itu terang memiliki Lwekang
yang lumayan, tak dinyana hanya seorang pengiring,
seorang hamba saja. Lalu siapakah majikannya yang
pasti jauh lebih hebat itu" Segera ia pun menjawab, "Ya,
jika kalian sudi, Cayhe suka saja melakukan sebisanya."
"Terima kasih," ujar si lelaki baju biru. "Tampaknya
kalian buruburu dalam perjalanan ini, kita selamanya
juga belum kenal, tak perlulah membikin susah padamu."
"Ah, sama-sama orang pengembaraan sudah
seharusnya saling membantu dan tidak perlu mesti saling
kenal," ujar si lelaki setengah umur dengan tertawa. "Ini
adalah Siau-hoan-tan..."
"O, Siau-hoan-tan?" si nona cilik menegas. "Ayahku
bilang..." "Tidak perlu banyak omong, Siau Hoa!" bentak si lelaki
baju biru. Lalu ia memberi hormat kepada lelaki setengah
umur, katanya, "Maksud baikmu biarlah kuterima di
dalam hati. Silakan engkau melanjutkan perjalanan saja."
Si pemuda menjadi kurang senang, serunya, "Suhu,
orang tidak mau terima maksud baik kita, buat apa kita
mesti memaksa. Hm, benar-benar tidak tahu diri."
"Apa katamu?" rupanya si lelaki baju biru menjadi
aseran juga. "Mati atau hidup adalah urusanku sendiri,
buat apa kau ikut pusing" Aku tidak mau terima obat
kalian, lantas kalian memaki orang sesukanya?"
"Diam, Leng-hong!" bentak si lelaki setengah umur
sebelum si pemuda buka suara pula. Lalu katanya
kepada si lelaki baju biru, "Ucapan muridku ini mungkin
menyinggung perasaanmu, harap dimaafkan. Kau tidakkenal
asal-usulku, tidaklah heran kalau engkau merasa
sangsi. Aku adalah..."
"Suhuku adalah Kang-tayhiap, tentu kau pun pernah
mendengar nama beliau!" sela si pemuda. "Dia memberi
obat padamu, masakah kau kuatir malah?"
Kiranya kedua orang ini memang Kang Hay-thian dan
Yap Leng-hong adanya. "O, engkau adalah Kang Hay-thian Kang-tayhiap!" si
lelaki baju biru menegas walaupun kelihatannya di luar
dugaan, tapi juga tidak begitu terkejut atau heran.
"Sebutan Tayhiap sesungguhnya aku tak berani
terima," sahut Hay-thian dengan rendah hati. "Selama
hidup aku hanya suka bersahabat, maka Siau-hoan-tan
ini bolehlah kau terima saja."
Dengan memperkenalkan namanya. Kang Hay-thian
mengira orang tentu takkan curiga lagi padanya. Di luar
dugaan lelaki itu tetap menjawab, "Terima kasih. Obat itu
silakan Kang-tayhiap simpan kembali. Aku menerimanya
di dalam hati saja."
Diam-diam Kang Hay-thian merasa heran dan
menganggap lelaki itu terlalu tidak kenal kebaikan orang.
"Lau-taysiok, obat itu ..." demikian si nona cilik
tampaknya hendak menganjurkan lelaki itu menerima
obat pemberiannya. Tapi si lelaki baju biru sudah lantas memutus
ucapannya, "Siau Hoa, apakah kau sudah melupakan
peraturan rumah?" Kang Hay-thian menjadi heran, tapi mengingat
pantangan orang Kangouw, tidaklah enak untuk bertanya
kepada mereka. Agaknya lelaki itupun merasa sikapnya itu terlalu kaku,
segera ia berkata pula dengan menyesal, "Kang-tayhiap,
maafkan aku telah mengecewakan maksud baikmu,
sesungguhnya ini adalah peraturan majikan yang harus
kupatuhi. Dendam dan budi selamanya dipisah-pisahkan
secara tegas oleh Cujin (majikan) kami, beliau melarang
bawahannya bermusuhan dengan orang, tapi juga
melarang anak buahnya sembarangan menerima budi
kebaikan orang. Lebih-lebih engkau adalah Kang-tayhiap,
jika aku sudah menerima budi pertolonganmu, maka
entah cara bagaimana Cujin harus membalas
kabaikanmu, bukankah aku akan menambah susah
kepada Cujin?" "Tapi lukamu tidaklah ringan, kalau tidak lekas
disembuhkan mungkin tidak tahan sampai besok," ujar
Hay-thian. "Memang, yang kukuatirkan hanya di dalam beberapa
jam ini saja, jika di dalam beberapa jam ini aku dapat
bertahan, tentu juga kawanku sudah datang."
"O, kiranya demikian. Siapakah nama majikanmu yang
terhormat itu, dapatkah kau menerangkannya?"
"Maafkan, Cujin sudah lama mengasingkan diri dan
tiada hubungan dengan orang Kangouw. Sudah tentu
Kang-tayhiap tak dapat disamakan dengan orang
Kangouw biasa, tapi untuk memberitahukan nama Cujin,
sebelumnya Cayhe harus minta izin dahulu kepada
beliau." Melihat lelaki baju biru ini semakin gagah dan tegas
tutur katanya, namun dia hanya seorang pengabdi saja,
maka Kang Hay-thian menjadi tambah mengindahkan
majikan yang belum dikenalnya itu. Segera ia berkata,
"Jika demikian, terpaksa aku harus menyesalkan diriku
sendiri yang tiada kesempatan untuk berkenalan dengan
Cujinmu." Dan baru saja ia hendak tinggal pergi, tiba-tiba si nona
cilik membuka suara, "Kang-tayhiap, menurut ayahku,
katanya ilmu silatmu terhitung nomor satu di dunia ini,
maka ayah juga sangat ingin berkenalan dengan kau."
"Hah, bagus," sahut Hay-thian dengan girang.
"Dimanakah tempat kediamanmu, bolehkah kau
menerangkan" Sesudah urusanku selesai tentu aku akan
berkunjung kepada ayahmu."
"Biasanya ayahku yang berkunjung kepada tamunya,
beliau tidak suka kalau dikunjungi tamu," sahut si dara
cilik. "Jika engkau ingin bertemu dengan ayah, biarlah
sesudah pulang nanti akan kuberitahukan beliau, engkau
boleh tunggu akan kunjungannya kelak."
Hay-thian agak kecewa dan merasa aneh benar
perangai ayah si nona itu, katanya kemudian, "Rumahku
berada di Nyo-keh-ceng, kabupaten Tong-peng-koan di
Soatang, harap disampaikan kepada ayahmu bahwa tiga
bulan kemudian tentu aku akan menantikan
kunjungannya di rumah."
"Apakah ayah akan mencari engkau atau tidak,
sekarang aku belum tahu pasti," kata dara cilik. "Tapi
ada sesuatu permohonanku, entah Kang-tayhiap suka
meluluskan atau tidak?"
"Silakan bicara, .nona cilik, asal dapat kulakukan tentu
akan kuhaluskan," sahut Hay-thian. Diam-diam ia pun
heran, menurut si lelaki baju biru tadi, katanya mereka
dilarang mohon bantuan kepada orang luar, mengapa
sekarang nona cilik ini berani melanggar peraturan
ayahnya" Benar juga terlihat si lelaki baju biru sedang mengerut
kening dan melotot kepada si nona jelita. Tapi nona itu
lantas berkata, "Jangan marah dulu, Lau-taysiok.
Permohonanku ini adalah demi orang lain, mana dapat
dianggap pelanggaran atas larangan ayah."
"Orang lain siapa?" tanya Hay-thian dengan
tersenyum. "Dia adalah seorang anak laki yang baik hati," tutur si
nona. "Cuma sayang dia berada di dalam cengkeraman
orang jahat. Apakah Kang-tayhiap suka menolongnya?"
Semangat Kang Hay-thian seketika terbangkit, cepat ia
bertanya, "Bukankah anak itu she Li?"
"Entah aku tidak tahu," sahut si nona cilik. "Yang
kutahu adalah di antaranya namanya terdapat huruf He,
sebab di antara penjahat-penjahat itu ada yang
memanggil dia anak He."
"Aha, benar, dia pasti Li Kong-he adanya," seru Haythian
dengan girang. "Lekas ceritakan, nona cilik,
dimanakah penjahat-penjahat itu sekarang?"
"Jangan bilang, Siau Hoa!" tiba-tiba si lelaki baju biru
berseru pula. Tapi si nona cilik menjawab, "Lay-taysiok, kau telah
dilukai penjahat-penjahat itu, masakah kau malah ingin
melindungi mereka." "Apakah kau sudah melupakan peraturan rumah?"
kata lelaki itu, "Dengan tegas ayahmu membedakan
antara dendam dan budi. Kalau hutang budi membalas
budi, kalau dendam harus balas dendam, selamanya
beliau tak pernah pinjam tenaga orang lain. Sekarang
kita telah dilukai orang, berarti mereka adalah musuh
ayahmu. Sakit hati ini harus kita sendiri yang menuntut
balas." Hay-thian menjadi dongkol dan geli pula oleh
peraturan-peraturan tengik yang dikatakan itu,
majikannya benar-benar seorang yang tinggi hati, segera
ia berkata, "Aku hanya ingin menyelamatkan laki-laki itu,
tentang penjahat-penjahat itu boleh dibiarkan tetap
hidup supaya kelak kalian dapat menuntut balas
padanya. Dengan demikian tentu bolehlah?"
"Tidak bisa," sahut lelaki baju biru. "Penjahat-penjahat
itu takkan tunduk begitu saja padamu, tentu mereka
akan melawan. Dan sekali sudah bergebrak mustahil
takkan terluka atau binasa."
"Tapi anak laki-laki itu adalah putra seorang sahabatku
yang harus kurebut kembali," kata Hay-thian.
"Kau jangan kuatir. Kudengar bocah itu memanggil
mereka sebagai paman, rasanya mereka takkan
membikin susah anak itu. Kelak kalau kami menuntut
balas kepada mereka, tentu bocah itu akan jatuh juga di
tangan kami. Tatkala itu tentu kami akan minta kepada
majikan agar berkenan menyerahkan kembali bocah itu
kepadamu." Karena lelaki itu tetap ngotot tentang peraturan
majikannya. Kang Hay-thian menjadi kewalahan.
Terpaksa ia bertanya, "Kawanan penjahat itu terdiri dari
berapa orang" Dapatkah kau menjelaskan?"
"Tentang ini tidaklah menjadi halangan untuk
dikatakan," ujar lelaki itu sesudah merenung sejenak.
"Mereka bertiga orang."
"Apakah seorang di antaranya pada jidatnya terdapat
sebuah daging menonjol?" tanya Hay-thian.
"Betul," sela si nona cilik. "Rupanya kau juga kenal
kawanan penjahat itu?"
Karena Hay-thian pernah mendengar cerita Utti Keng
tentang ciri-ciri Lok Khik-si yang berjuluk Tok-kak-lok
atau menjangan tanduk satu, maka yakinlah dia
sekarang bahwa ketiga penjahat itu tentu Ki-lian-sam-siu
adanya. Sementara itu sang surya sudah memancarkan
sinarnya yang terang cemerlang. Sayup-sayup terdengar
suara kaki kuda dari jauh. Mendadak lelaki baju biru itu
mengeluarkan beberapa buah 'Liu-sing-bau' (sebangsa
petasan kembang api) dan dilepaskan ke udara sehingga
menimbulkan cahaya kemilauan. Tidak lama kemudian
ada tujuh atau delapan penunggang kuda secepat
terbang berlari mendatangi.
"Kawan-kawanku telah datang, Kang-tayhiap, banyak
terima kasih atas perhatianmu tadi, sekarang kau tidak
perlu kuatir lagi bagiku," kata si lelaki baju biru.
Tapi rombongan pendatang-pendatang itu tidak kenal
siapakah Kang Hay-thian. Mereka menyangka si lelaki
baju biru dilukai olehnya, maka begitu melompat turun
dari kuda mereka lantas mengadakan pengepungan dan
siap bertempur. "Ini adalah Kang-tayhiap yang bermaksud menolong
aku, kalian jangan sembrono!" cepat si lelaki baju* biru
menerangkan. Hay-thian hanya tersenyum saja, katanya, "Kami akan
berangkat saja. Harap sampaikan salamku kepada
majikan kalian!" Habis itu bersama Yap Leng-hong
mereka lantas mencemplak ke a'tas kuda masing-masing
dan dilarikan ke depan. "Orang itu benar-benar tidak kenal kebaikan orang,
Suhu juga terlalu sabar kepadanya," demikian Leng-hong
mengomel di tengah jalan.
"Dia sangat setia kepada majikannya, pula terluka,
masakah aku mesti memaksa pula pengakuannya?" ujar
Hay-thian. "Tapi kita pun sudah mendapat berita yang
cukup dari mereka. Lelaki baju biru itu baru terluka
semalam, boleh jadi Ki-lian-sam-siu itu masih berada di
dalam lingkungan seratus li dari sini. Marilah kita mencari
mereka ke jurusan datangnya tadi, jika tidak ketemu
barulah kita ganti haluan. Kuda kita menang bagus,
rasanya tidak susah untuk menyusul mereka."
Nyata Kang Hay-thian telah salah hitung. Lelaki baju
biru itu berpapasan dengan Ki-lian-sam-siu di atas
gunung semalam, sekarang dia mencari mereka ke
jurusan datangnya tadi, dengan sendirinya menjadi
berlawanan arah dan dengan sendirinya dia takkan
ketemukan Ki-lian-sam-siu atau tiga binatang dari
pegunungan Ki-lian.... Dalam pada itu Lok Khik-si dan Yo Tun-hou sudah


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai di bawah gunung dengan membawa Li Kong-he.
Cuma si lelaki baju biru berada di selatan gunung,
sebaliknya mereka turun ke sebelah utara, dengan
sendirinya kedua pihak takkan kepergok lagi.
Lok Khik-si bersatu kuda dengan Li Kong-he. Dasar
orang licik, ia sudah tahu bocah itu telah menaruh curiga,
maka diam-diam ia telah mengambil keputusan, jika dari
mulut Kong-he sukar dikorek keterangan-keterangan dan
rahasia-rahasia tentang Thian-li-kau, maka akan
digunakan cara kekerasan untuk menggeledah badan
bocah itu atau bila perlu akan disiksanya supaya
mengaku, jika tetap tidak berhasil, sedikitnya dia toh
sudah tahu dimana jejak Lim Jing, laporan ini saja sudah
merupakan jasa yang tidak kecil baginya bila sampai di
kotaraja. Yo Tun-hou sudah terluka, tentu akan
ketinggalan atau mungkin sekali akan jatuh sakit di
tengah jalan, Be Seng-liong sudah dienyahkan pula,
maka jasanya itu dapatlah dimakannya sendiri.
Yang masih dikuatirkan adalah kemungkinan dicegat
musuh di tengah jalan. Tapi dia sudah berjanji dengan
jago-jago pengawal istana yang akan memapaknya di
tengah jalan, rasanya takkan terjadi apa-apa.
Begitulah Lok Khik-si terbenam dalam pikirannya
sendiri yang membuatnya sebentar kuatir dan sebentar
senang itu. Di lain pihak ' sepanjang jalan Li Hong-he
juga terus berusaha mencari jalan untuk meloloskan diri
dari cengkeraman iblis mereka.
Keadaan Yo Tun-hou memang benar cukup payah.
Sesudah sekian jauhnya mengaburkan kudanya mengintil
di belakang Lok Khik-si, akhirnya ia benar-benar tidak
tahan, napasnya mulai terengah-engah. Segera ia
berkata, "Di depan ada sebuah warung minum, marilah
kita mengaso dahulu dan makan sekadarnya."
Diam-diam Khik-si menertawakan kawannya itu,
sahutnya, "Baru saja belasan li jauhnya, kenapa kita
tidak mengaso di kota kecil di depan sana."
"Tapi... tapi aku sudah lapar," demikian kata Yo Tunhou
dengan menahan gusarnya. Khik-si pikir paling-paling kau hanya tahan sampai
besok saja, maka ia pun tidak mau mempermainkannya.
Setiba di warung minum, segera mereka menambat kuda
dan mengaso ke dalam warung.
Rupanya tempat itu sangat terpencil, maka warung itu
tidak banyak tamunya, hanya dua orang tua tampak
sedang minum secara adem-ayem sambil mengobrol ke
timur dan ke barat. Tiba-tiba Kong-he terkejut ketika tanpa sengaja dari
percakapan kedua orang tua itu diketahui bahwa letak
warung itu adalah di wilayah Bu-pok yang berbatasan
dengan kota Tit-lik dan sama-sama termasuk di dalam
propinsi Soatang. Tempat kelahiran Thian-li-kau memangnya berada di
Tit-lik, markas besarnya berada di kota Bu-ting. Di Bupok
juga terdapat cabang rahasia yang dipimpin oleh
seorang tokoh bernama Thia Pek-gak. Dari ayahnya,
Kong-he pernah mendengar tentang paman Thia ini, tapi
belum pernah bertemu. Dalam pada itu. Lok Khik-si telah memesan arak dan
daging, ia makan sekenyang-kenyangnya. Sebaliknya Yo
Tun-hou tidak berani minum arak, daging pun hanya
mencicipi sekadarnya saja. Kuatir kalau keadaannya yang
payah itu diketahui Lok Khik-si, segera ia mengajaknya
berangkat lagi. "Katanya kau lapar, mengapa hanya makan sedikit?"
tanya Khik-si sengaja. "Sudah cukup, masakan ini tidak cocok dengan
seleraku, biarlah kita makan lagi di kota depan sana,"
sahut Tan-hou. "Haha, aku justru cocok makan dengan daging masak
ini," kata Khik-si dengan tertawa sambil melalap habis
daharannya. "Tapi baiklah, mari kita berangkat." Diamdiam
ia menertawai Yo Tun-hou, dengan perut kosong
tentu kau akan lebih payah dalam perjalanan jauh ini.
Karena sudah makan kenyang, semangat Lok Khik-si
menjadi bertambah kuat, segera ia larikan kudanya
terlebih kencang. Sekuat mungkin Yo Tun-hou menyusul
dari belakang, walaupun kepala pusing tujuh keliling dan
pandangan kabur, terpaksa ia pertahanan sebisanya,
namun lambat-laun ia menjadi ketinggalan agak jauh.
"Lok-pepek semalam aku tidak bicara dengan
sesungguhnya padamu," tiba-tiba Kong-he bisik-bisik
kepada Lok Khik-si. "Tentang apa?" tanya Khik-si.
"Yo-sioksiok dan Be-sioksiok pernah bertanya padaku
tentang keadaan Lim-kaucu," tutur Kong-he. "Tapi
mereka minta aku membohongi kau, kalau tidak, aku
akan dibunuh oleh mereka. Sebab itulah aku tidak berani
mengatakan padamu." "Dan apakah kau sudah memberitahukan kepada
mereka?" "Mana bisa kukatakan kepada mereka" Ya, baru
sekarang aku tahu paman Yo dan paman Be itu bukan
orang baik, hanya engkau Lok-pepek sendiri adalah
orang baik." "Asal kau tahu saja," ujar Khik-si dengan senang.
Dan baru saja kesempatan itu akan digunakan olehnya
untuk membohongi Kong-he agar mau menceritakan
rahasia Thian-li-kau, mendadak Kong-he berkata pula,
"Lok-pepek, kau sedemikian baiknya padaku, sungguh
aku sangat malu, aku ... aku berdosa padamu."
Khik-si mengira bocah ini benar-benar terharu atas
sikap baik dirinya selama beberapa hari, maka dengan
suara ramah ia menghiburnya, "Ada urusan apakah,
boleh katakan saja. Tidak nanti aku marah padamu."
"Sebab sesungguhnya aku pun tidak ... tidak bicara
sejujurnya padamu," kata Kong-he.
"Apa katamu?" Khik-si menegas dengan terperanjat.
"Ya, sebab berita tentang Lim-pepek yang kukatakan
kemarin dulu itu sesungguhnya hanya omong kosong
belaka," sahut Kong-he. '
Khik-si terkejut, cepat ia bertanya, "Habis bagaimana
berita yang sesungguhnya" Dimana tempat
persembunyian Lim-pepek sekarang?"
"Lim-pepek tidak bersembunyi di Cong-liong-poh, Bici,
tapi dia berada di rumah Thia-pepek di Bu-pok," kata
Kong-he. Khik-si tambah kaget. "Jika begitu, kan berada di
sekitar sini?" ia menegas.
"Benar," sahut Kong-he sambil menganguk. "Apa yang
kukatakan sebelumnya juga tidak bohong seluruhnya.
Sebab ketika Lim-pepek berpisah dengan ayahku, beliau
mengatakan lebih baik bersembunyi di tempat yang
dekat daripada di tempat jauh, hal ini tentu di luar
dugaan pihak kerajaan yang menyangkanya telah lari
sejauh mungkin. Beliau berjanji pula dengan ayah
bilamana dalam setengah bulan tidak terjadi apa-apa,
maka ayah diminta datang ke rumah Thia-pepek untuk
menemuinya. Lebih dari setengah bulan barulah Limpepek
akan berpisah tempat persembunyian dan
mungkin pergi ke Bici."
Karena uraian Kong-he itu cukup masuk akal, maka
Khik-si percaya tanpa sangsi, segera ia bertanya pula,
"Siapakah nama Thia-pepekmu itu" Dimana tempat
tinggalnya" Apakah kau masih ingat sejak kapan Limpepek
berpisah dengan kalian?"
Kong-he pura-pura bingung dan lupa, kemudian ia
menjawab, "Kalau ... kalau tidak salah tangal 23 bulan
yang lalu." Waktu Khik-si menghitung-hitung, ternyata tepat baru
14 hari. "Apakah kau tidak kenal Thia-pepek?" Kong-he
sengaja bertanya. "Dia tinggal di tempat kecil ini, aku
hanya pernah mendengar cerita ayahmu, tapi ... tapi
belum pernah bertemu," sahut Khik-si. Ia ingin
memancing Li Kong-he membawanya ke Bu-pok untuk
menangkap Lim Jing, maka dia tidak berani mengaku
sudah kenal, sebab setiba di Bu-pok tentu harus bertemu
dulu dengan Thia Pek-gak.
"Lok-pepek," kata Kong-he, "kemarin dulu aku belum
penuh mempercayai kau karena mengingat pesan
ayahku. Tapi semalam kau telah melarang paman-paman
Yo dan Be memaki dan memukul aku, nyatalah engkau
adalah orang baik, maka aku mau mengatakan terus
terang padamu. Sekarang kita kebetulan lewat di Bu-pok
sini, aku ingin bertemu dulu dengan Lim-pepek, apakah
engkau suka*mengantar aku ke sana?"
Diam-diam Khik-si menimang-nimang, bahwasanya
Lim Jing adalah Kaucu Thian-li-kau, tentu ilmu silatnya
tidak lemah, kalau pergi seorang diri mungkin tidak
sanggup melawannya. Tapi kalau tidak berani
menyerempet bahaya, kuatirnya besok juga gembong
Thian-li-kau itu sudah akan berpindah tempat
persembunyian dan tentu akan susah dicari lagi, berarti
akan kehilangan suatu jasa besar.
Akhirnya rasa ambisi menangkan pertimbangan yang
lain, ia memutuskan akan mengambil resiko itu dan
berangkat. Segera ia berkata, "Baiklah, kalau Lim-pepek
berada di sana, sudah seharusnya aku pergi ke sana
menemuinya. Dan selanjutnya apakah kau ingin ikut dia
atau tetap ikut padaku boleh terserah kepada dirimu."
Kuatir dicurigai, lalu Kong-he pura-pura menjawab,
"Untuk seterusnya Lim-pepek masih harus berlari kiankemari,
aku tidak ingin menambah kesukarannya, sudah
tentu lebih baik ikut Lok-pepek saja."
"O, anak baik, kau memang pintar," puji Khik-si.
"Sesudah sampai di rumah Thia-pepek, ada dua hal yang
harus kau ingat baik-baik, kau harus menurut kepada
pesanku ini." "Urusan apa, silakan paman katakan," tanya Kong-he.
"Karena aku belum kenal Thia-pepek itu, setibanya di
sana dia tentu tak mau segera mengundang Lim-pepek
untuk menemui kita, boleh jadi asal-usulku akan
ditanyakan lebih dulu. Maka hal pertama harus kau ingatingat
dengan baik ialah jangan mengatakan namaku
yang sebenarnya. Biarlah kita mengarang suatu kisah,
katakan saja dua-tiga hari yang lalu secara kebetulan aku
telah menyelamatkan dirimu dari tawanan antek-antek
kerajaan." Dasar Kong-he memang sangat cerdik, dari ucapan
Lok Khik-si ini segera ia tambah yakin bahwa apa yang
dikatakan Khik-si sebelumnya itu semuanya adalah
bohong belaka. Karena itu Lok Khik-si merasa perlu
mengarang cerita lain untuk menipu lagi dan tidak berani
mengaku sebagai saudara angkat ayahnya pula.
"Buat apa kita harus berdusta kepada Thia-pepek,
paman Lok?" demikian Kong-he pura-pura tidak paham.
"Ai, kau tidak tahu bahwa hati manusia susah diduga,
tiada jeleknya kita berjaga-jaga sebelumnya," ujar Khiksi,
"Kita juga belum tahu pasti apakah Lim-pepek betulbetul
berada di sana, pula belum pasti Thia-pepekmu
akan tetap setia kepada kawan sendiri, bukan mustahil
dia telah terpancing dan akan menjual Lim-pepek kepada
pihak kerajaan. Dan bila datang-datang kita lantas
memberitahukan asal-usulku, bukankah kita akan cari
penyakit sendiri" Maka kita harus bertemu muka dengan
Lim-pepek dulu baru boleh bicara yang sebenarnya.
Paham tidak sekarang?"
"Ya, paham," sahut Kong-he pura-pura. "Dan hal yang
kedua?" "Setiba di rumah Thia-pepek, sekali-kali kau jangan
meninggalkan sampingku, jangan mau jika kau diminta
bertemu sendirian dengan Lim-pepek. Maklumlah, aku
kuatir kau akan tertipu. Tapi jika kau berada di
sampingku, setiap saat aku dapat melindungi kau."
Rupanya Lok Khik-si akan menggunakan Kong-he
Suling Emas Dan Naga Siluman 12 Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 4
^