Pencarian

Geger Dunia Persilatan 6

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 6


membawa lari anak itu. Dia memerlukan tiga hari untuk
menyembuhkan lukanya, anak itupun memerlukan waktu
yang sama untuk sembuh. Tetapi bagaimana caranya
melewatkan tiga hari itu dengan selamat" Inilah yang
membuatnya prihatin sekali.
Rupanya si bujang tua mengetahui kesulitan Kang
Hay-thian, ujarnya, "Di dalam Cong-liong-poh sini tiada
seekor kuda pun. Kang-tayhiap, jika kau hendak
membawa pergi anak ini, kalau sampai kesamplok
tentara pemerintah tentu akan berbahaya sekali.
Rasanya lebih baik kau menyingkir dulu."
Bujang itu memikirkan bahayanya tapi tak mengerti
kalau Kang Hay-thian terluka berat, sahut Hay-thian,
"Aku justru hendak bertanya padamu, apakah di sekitar
tempat ini terdapat tempat sepi yang cocok untuk
persembunyianku?" "Tujuh-delapan li di belakang gunung ini, terdapat
sebuah gua karang yang dahulu secara tak sengaja telah
kutemukan. Penemuan itu tetap kupegang rahasianya.
Lebih baik Kang-tayhiap dan Lim-siauya bersembunyi di
situ untuk sementara waktu, setelah keadaan agak
longgar nanti kusediakan dua ekor kuda."
Kang Hay-thian setuju. Setelah Lim To-kan ganti
pakaian, si bujang tua memanggul sebuah buntalan
rangsum dan mengajak kedua orang itu menuju ke
belakang gunung. Kala itu matahari sudah condong di
balik gunung. Tiba-tiba kang Hay-thian mendengar suara
belasan napas dari dalam sebuah gubuk di tepi jalan.
"Siapa itu" Lekas keluar!" bentaknya.
Dari gubuk itu menongol kepala orang, "Aku orang
desa yang sedang mencari rumput."
Si bujang tua menggeram, "Hm, penduduk dusun ini
semua kukenal, tapi tak pernah aku melihatmu. Tentu
bangsa serdadu yang menyaru. Kang-tayhiap, bunuhlah
dia!" Orang itu menjatuhkan diri berlutut di tanah dan
meratap, "Kasihanilah aku. Aku masih mempunyai
seorang ibu yang sudah 80 tahun umurnya dan
mempunyai "Anak yang baru berumur tiga tahun, bukan?"
sambung si bujang tua. "Ucapan orang persilatan
semacam itu masakah dapat mengelabui Kang-tayhiap?"
Kang Hay-thian tahu juga bahwa jika orang itu
dibiarkan hidup tentu di kemudian akan menimbulkan
bahaya, tetapi ia mempunyai rasa kasihan juga. Orang
itu hanya ditotok jalan darahnya supaya pingsan,
ujarnya, "Tak usah pedulikan dia, mari kita lanjutkan
perjalanan lagi." "Mengapa Kang-tayhiap mengampuninya?" tanya
bujang tua. "Dia, hanya seorang biasa yang tak mengerti ilmu
Lwekang. Setelah kutotok jalan darahnya, tiga hari
kemudian dia baru dapat sadar, setelah tiga hari
andaikata tentara pemerintah mengetahui tempat
persembunyianku, mereka Juga takkan dapat berbuat
apa-apa." Tak berapa lama mereka melihat di atas karang
terdapat sebuah air terjun, air yang mencurah ke bawah
itu merupakan selembar tirai air. Kang Hay-thian menarik
anak itu untuk diajak mengikuti si bujang tua yang
merangkak ke atas lamping gunung dan melintasi air
terjun itu dari samping. Tiba di belakang air terjun, si
bujang tua memindahkan sebuah batu besar, ujarnya,
"Di sinilah, Kang-tayhiap, cocok tidak tempat ini?"
Ternyata di belakang batu itu terdapat sebuah gua,
mulut gua sempit tapi dalamnya cukup luas. Dinding gua
terdapat dua buah lubang angin sebesar tinju manusia.
"Bagus benar tempat ini. Orang luar tentu sukar
mengetahuinya," Hay-thian memuji.
"Karang ini berisi rangsum yang cukup untuk empat
hari. Semua penduduk desa ini waktu terjadi penyerbuan
tentara pemerintah sudah melarikan diri. Jika bukan aku
sendiri, kalau di luar ada orang memanggil tentulah
kawanan kaki tangan musuh, maka jangan sekali-kali
dijawab. Benar orang luar sukar mengetahui tempat ini,
tapi tiada jeleknya untuk berhati-hati," demikian si
bujang memberi pesan. Kang Hay-thian tertegun, "O, jadi kau tak tinggal
bersama kami disini!"
"Aku masih perlu pulang, siapa tahu Pohcu nanti diamdiam
pulang juga dan tentulah memerlukan orang untuk
menyampaikan berita kemari," sahut si bujang.
"Tentara pemerintah tentu akan datang ke Cong-
Liong-poh lagi, harap kau menyingkir saja. Kurasa Limkaucu
dan Pohcumu itu tentu takkan gegabah pulang,"
kata Hay-thian. Namun bujang itu masih berkeras hendak pulang, ia
mengatakan di dalam Cong-liong-poh harus ada orang
yang menjaga. Sekalipun tentara pemerintah datang, ia
dapat mencari tempat persembunyian yang rapat,
andaikata kepergok juga belum tentu tentara pemerintah
akan membunuhnya. Akhirnya Kang Hay-thian melepaskan juga di samping
memuji kesetiaan bujang itu, pesannya, "Kalau begitu
harap kau berhati-hati. Untuk menjaga bahaya, lebih baik
kau tak usah menjenguk kemari. Tiga hari kemudian, jika
tak terjadi apa-apa, aku dengan anak ini pada malam
harinya tentu akan masuk ke Cong-liong-poh untuk
menjumpaimu." Setelah bujang itu pergi, Kang Hay-thian segera
menyuruh To-kan tidur, sedang ia sendiri mengadakan
penyaluran Lwekang untuk mengobati lukanya. Keesokan
harinya, semangat To-kan sudah banyak pulih, hanya
tinggal lukanya yang belum sembuh. Kang Hay-thian
memberinya pelajaran yang praktis-praktis dan mudah
yang bisa segera digunakan, misalnya melepas senjata
rahasia pada jalan darah, merebut senjata lawan dengan
tangan kosong. Lim To-kan anak cerdas, apa yang
diajarkan cepat dapat diterimanya.
Kang Hay-thian membiarkan anak itu berlatih sendiri,
kemudian ia duduk semadi. Malamnya ia rasakan hawa
dalamnya mulai terpusat, sembuhnya agak lebih cepat
dari yang dikiranya semula. Dalam pada itu ilmu tangan
kosong Siau-kim-na-jiu-hoat yang dipelajari To-kan pun
sudah mahir. Hari kedua Kang Hay-thian memberinya pelajaran
Thian-lo-poh-hoat. Pelajaran langkah kaki ini memang
paling berguna untuk menghadapi lawan yang kuat, tapi
juga sulit dipelajari. Kang Hay-thian mengira paling tidak
dalam tiga hari anak itu baru bisa. Siapa tahu pada
malamnya ketika menyaksikan To-kan berlatih, ternyata
sudah boleh juga, yang masih kurang hanya dalam gerak
perubahan posisi dan latihan. Diam-diam Kang Hay-thian
bergirang hati, "Anak ini pintar sekali. Tampaknya dia tak
di bawah Leng-hong. Orang bu-lim mengatakan mencari
Suhu pandai sukar, memilih murid baik juga tak mudah,
tak terduga kedua muridku ini mempunyai bakat bagus
semua. Jauh lebih baik dari aku sewaktu kecil."
Hari ketiga merupakan saat-saat yang penting. Dia
hendak menjalankan penyaluran istimewa dari Toa-jiutho-
na-hoat untuk memasukkan hawa Cin-gi ke dalam
perut. Jika berhasil, racun dalam tubuhnya akan hilang
semua, tenaganya pun akan pulih seperti semula.
Pantangannya, di waktu menjalankan penyaluran tak
boleh berhenti setengah jalan, karena salah-salah bisa
menjurus ke dalam keadaan Cau-hwe-jip-mo, dimana
separuh tubuhnya akan mati. Luka To-kan sudah
sembilan bagian sembuh, untuk menjaga kemungkinan
yang tak diingini, ia berjaga di mulut gua.
Kira-kira tengah hari, tiba-tiba To-kan melihat cahaya
merah timbul dari gunung di sebelah muka. Tak lama
kemudian awan langit berubah merah membara. Angin
yang meniup membawa hawa panas.
"Suhu, celaka, Cong-liong-poh timbul kebakaran!
Paman Tio entah kemana?" teriak To-kan.
Kang Hay-thian juga merasakan angin panas itu.
Melihat dari arahnya, ia percaya tentulah terjadi
kebakaran di Cong-liong-poh. Yang membakar tentu
pihak tentara pemerintah.
"Tutup mulut gua. Malam nanti kita menyelidiki ke
sana," sahutnya. Penyaluran Lwekangnya tengah dalam
saat-saat yang genting. Jangankan lari, sedang
pikirannya terpencar saja tak boleh. Apa boleh buat, ia
menyerahkan diri pada nasib. Mudah-mudahan musuh
jangan mengetahui gua tempat persembunyiannya itu.
To-kan menutup pintu gua dengan sebuah batu besar.
Dia pun tahu bahwa keadaan Suhunya sedang genting.
Jika sampai ketahuan musuh, tentu celaka. Hatinya
berdebar-debar. Dalam kegelapan malam kedua Suhu
dan murid itu duduk berhadapan. Entah lewat berapa
lama, tiba-tiba terdengar suara gonggongan anjing, pada
lain saat terdengar suara orang berkata, "Apakah
bersembunyi di sini" Di sini kan tak ada suatu gua.
Masakah di dalam air terjun ada orang bersembunyi?"
Suara itu berasal dari Co Bong, wakil pemimpin
barisan Gi-lim-kun. "Apakah lusa malam kau benar-benar melihat tiga
orang" Bagaimana rupanya?" tanya seorang lain yang
ternyata Tun-hou. "Masakah hamba berani berbohong" Malam itu hamba
benar melihat tiga orang" Seorang anak laki-laki, seorang
laki pertengahan umur dan seorang tua. Pak tua itu
memanggil si lelaki pertengahan umur sebagai Kangtayhiap,"
sahut seseorang. Dia ialah orang yang menyaru
jadi orang desa dan ditotok jalan darahnya oleh Kang
Hay-thian kemarin lusa. Mestinya dalam waktu tiga hari
baru dia sadar, jadi masih kurang setengah hari. Tentu
karena ditolong Co bong atau Yo Tun-hou.
"Ya, tentu benar. Menilik bagaimana dahsyatnya racun
Ho-ting-hong dan Khong-jiok-tan, selihai-lihainya Kang
Hay-thian, juga harus memerlukan waktu paling sedikit
sepuluh hari sampai setengah bulan baru dapat sembuh.
Dia tentu bersembunyi di sini," kata Co Bong
"Apakah di belakane air teriun itu ada guanya?" tanya
Yo Tun-hou. Belum habis pertanyaan itu diucapkan, kedua anjing
pemburu sudah menyusur dari samping untuk mengitari
air terjun. Di situ mereka menyalak sambil memandang
pada karang curam. Co Bong menemukan jalan yang dilintasi anjing
pemburu itu terdapat bekas-bekas rumput terpijak rubuh,
segera ia tertawa, "Ai, tak salah lagi!"
Demikian rombongan itu segera mengikuti jejak anjing
mereka. Rumput berdiri dibabat, mereka tiba di tanah
lapang belakang air terjun, itulah jalanan yang dilalui
Kang Hay-thian. Selain Co Bong dan Yo Tun-hou, dalam
rombongan tentara pemerintah itu masih terdapat lima
orang perwira Gi-lim-kun. Mereka ialah regu cadangan
atau rombongan ketiga yang bertugas menangkap Lim
Jing, karena tempo hari terluka berat Lok Khik-si
terpaksa tak dapat ikut. "Aneh, anjing terus-terusan menyalak tetapi tak ada
suatu gua pun," Yo Tun-hou menggerutu.
"Kedua anjing pemburu itu adalah persembahan dari
negeri Secong, terlatih sekali. Jika membau hawa orang
barulah mereka menggonggong begitu. Coba pindahkan
batu itu," perintah Co Bong.
Kedua ekor anjing itu ternyata mendekam persis di
muka gua. Batu yang dimaksud Co Bong adalah batu
yang diangkat To-kan. Seorang perwira yang kuat segera
mendorong dan ternyata berhasil mengisar batu itu. Kini
terbukalah mulut gua, hanya saja ketika mereka
menjenguk ke dalam, ternyata hanya gelap pekat yang
kelihatan, tiada terdapat barang apa-apa lagi.
To-kan bersembunyi di balik batu, hatinya melonjaklonjak.
Co Bong menempelkan telinga ke tanah, sekonyongkonyong
ia tertawa, "He, sedikitpun tak meleset. Di
dalam memang ada orangnya!" Ternyata ia dapat
menangkap napas To-kan. Anak itu gemetar, bukan saja karena memikirkan
jiwanya, juga keselamatan Suhunya. Rasa ngeri
membuatnya menggigil, sebaliknya Yo Tun-hou dan Co
Bong pun kuatir, mereka ragu-ragu untuk masuk.
"Coba kalian dua orang, papas mulut gua dan
masuklah," kata Co Bong.
Kedua perwira bertenaga kuat itu memang sudah
mendengar nama Kang Hay-thian tapi belum pernah
melihat kepandaiannya. Mendengar bahwa jago she
Kang itu sudah terkena racun buatan istana, nyali
mereka pun bertambah besar. Apalagi atasannya yang
menyuruh, mereka buru-buru hendak mencari pahala,
mereka segera ayunkan sekop untuk memapas tanah
dan menghancurkan batu-batu, kemudian selangkah
demi selangkah berjalan masuk.
Tiba-tiba seorang menjerit dan rubuh, jalan darahnya
termakan batu yang ditimpukkan To-kan. Kawannya
yang di belakang sudah siap. Ketika To-kan menimpuk
lagi, perwira itu dapat menangkisnya dengan sekop. Batu
mencelat balik ke arah To-kan, dia melompat
menghindar dan ketahuanlah dirinya.
Perwira itu menggerung keras, segera melompat ke
muka dan menyodok dengan sekopnya. Kerucut batu
dimana To-kan bersembunyi tadi hancur seketika.
Untung To-kan sudah pergi, tetapi sekop pun
melengkung tak bisa digunakan lagi.
"Harus ditangkap hidup-hidup!" teriak Co Bong.
Semula perwira itu mengira yang membokong tadi
tentulah Kang Hay-thian, setelah mengetahui ternyata
hanya seorang bocah, diam-diam ia malu dalam hati. "Ah


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan seorang anak saja mengapa harus begini
ngotot!" pikirnya. Sekop dilempar, dengan mementang
kedua lengannya ia terus menubruk To-kan.
Karena sudah mempelajari Siau-kim-na-jiu, To-kan
membalikkan tangannya menyambar. Mimpi pun tak
nyana perwira itu kalau anak sekecil ini ternyata lihai
juga. Belum dapat menerkam To-kan, lengannya sudah
kena dicengkeram anak itu. Sekali memelintir, "krek", Tokan
dapat mematahkan tulang lengan perwira itu.
Perwira itu mengaum seperti harimau kelaparan, ia
ayunkan sebelah tangannya menghantam sekuatkuatnya.
Karena merapat dekat, To-kan sukar
menghindar, "Bluk", dia terlempar sampai setombak
lebih. Habis menghantam, perwira itupun roboh ke
tanah. Semula Co Bong terkejut, tapi pada lain saat ia girang
sekali. Kalau Kang Hay-thian sudah sembuh, tentu tak
nanti menyuruh seorang anak kecil menghadapi musuh.
Masakah rombongannya yang begitu banyak orangnya
tak mampu menghadapi seorang anak kecil saja"
Apa yang dipikir Co Bong serupa dengan Yo Tun-hou.
Nyali keduanya seketika menyala, mereka menyerbu
masuk. Ketiga perwira yang berada di luar juga ikut
masuk, lebih dulu mereka menolong kawannya yang
tertimpuk jalan darahnya tadi.
Tampak Kang Hay-thian duduk bersila dengan anteng,
dia termenung bagai patung, sama sekali tak
menghiraukan kejadian di sekelilingnya. Penyaluran Toajiu-
thian-tho-na-hoat sedang mencapai titik yang
tergenting. Sekali tubuhnya berkisar, hawa dalamnya
menyungsang balik dan jadilah dia seorang cacad
selama-lamanya. Co Bong dan Yo Tun-hou pernah merasakan kelihaian
tangan Kang Hay-thian, walaupun tahu saat itu Kang
Hay-thian sedang tak berdaya, namun mereka masih
cemas juga. Kalau sampai hal yang di luar dugaan
terjadi, menyesal di kemudian pun tak berguna.
Lebih dulu Co Bong mencari tahu keadaan, dia
tertawa, "Kang-tayhiap, sekarang kau sudah ibarat kurakura
dalam perigi. Tiada gunanya melawan, kuhormati
kau sebagai seorang Hohan. Marilah kita menjadi
sahabat, suruhlah anak itu ikut kami, nanti kami takkan
mengganggu kau lagi."
Namun Kang Hay-thian tenang laksana sebuah
patung. Yo Tun-hou sebagai seorang ahli silat, segera berbisik,
"Menilik keadaannya, dia sedang mencapai klimaks
dalam mengobati lukanya dengan Lwekang. Tentu tak
dapat bertempur." Co Bong mengiakan, namun mereka tetap ragu-ragu.
Kepandaian jago she Kang itu memang sukar diduga,
mereka pernah jatuh ke dalam tangannya, maka tetap
merasa jeri. Sampai sekian saat mereka hanya kasakkusuk
tanpa mengambil keputusan.
Perwira yang paling kuat tenaganya, agaknya tak
sabar lagi, pikirnya, "Masakah seorang yang sudah
terkena racun saja masih begitu ditakuti?" Dia penasaran
dan maju menghampiri, begitu tiba terus mengulurkan
tangan mencengkeram tulang Pi-peh-kut di bahu Kang
Hay-thian. "Hai, jangan melukai Suhuku!" Lim To-kan
memaksakan diri merangkak bangun. Tapi baru mau
berdiri sudah dipersen sebuah Pik-khong-ciang oleh Yo
Tun-hou, hingga anak itu terpental mundur sampai tiga
langkah. Berbareng dengan jatuhnya To-kan, terdengarlah
sebuah jeritan keras. Yang roboh bukan Kang Hay-thian,
melainkan ... si perwira. Ternyata walaupun tak dapat
berbangkit melawan, tetapi Kang Hay-thian telah
menyalurkan Lwekang istimewa untuk menyelimuti
tubuh. Makin keras pukulan si perwira makin hebat reaksi
yang dideritanya, pukulan tadi telah menyebabkan kepala
si perwira mengucurkan darah.
Seorang perwira lain terkejut, serentak ia
mengayunkan tombak menusuk Kang Hay-thian. Ia telah
memperhitungkan, "Kalau tanganku tak menyentuh
tubuhnya, betapa tinggi kepandaiannya, tubuhnya itu
tetap terdiri dari darah dan daging. Coba saja apakah dia
tetap duduk diam menghadapi tombakku ini?"
Ternyata Kang Hay-thian tetap duduk mematung,
hanya telinganya yang bekerja untuk mendengarkan
kesiurnya sambaran angin. Ia agak mengisarkan tubuh,
"Cret", ujung tombak menembus bawah iga dan merobek
bajunya, tetapi dengan begitu tombak pun kerta
dikempitnya. Kang Hay-thian mempunyai suatu ilmu
yang dinamakan Kek-but-coan-kang (menyalurkan
Lwekang melintasi sebuah benda). Hawa murninya
segera menyalur di sepanjang batang tombak dan
merangsek balik. Seketika itu juga si perwira jungkir
balik, tetapi karena tenaga yang digunakan Kang Haythian
tak begitu keras, maka setelah terbanting jatuh,
perwira itupun hanya kesakitan saja tak sampai terluka
seperti kawannya tadi. Begitu ia mengendorkan kepitan,
tombak perwira itupun jatuh ke tanah.
Beberapa perwira lainnya saling berpandangan sendiri,
serunya, "Orang itu mempunyai ilmu sihir, jangan
diusik!" Salah seorang yang bernyali kecil serentak
memutar tubuh terus hendak ngacir.
Co Bong membentaknya, lalu dia tertawa gelak-gelak,
serunya, "Jangan kuatir, orang she Kang itu hanya
mempunyai tenaga untuk menangkis serangan saja,
tetapi tak mampu balas menyerang. Kalian tak usah
menyerangnya dan dia pun tak nanti mencelakai kalian.
Tangkap anak itu saja, kemudian bakar dia!"
Sebagai tokoh-tokoh silat kelas satu, Co Bong dan Yo
Tun-hou dapat melihat jelas bahwa ilmu Kek-but-coankang
yang digunakan Kang Hay-thian itu hanya separoh
kekuatannya. Artinya hanya dapat dibuat melindungi diri
tapi tak mampu dipakai menyerang. Hanya satu hal yang
tak dimengerti kedua orang itu ialah bahwa sekalipun
hanya berkisar sedikit tadi, seharusnya hawa murni Kang
Hay-thian itu tentu sudah buyar. Mengapa tidak apa-apa"
Justru karena kesangsian Itu, maka Kang Hay-thian
terlepas dari bahaya besar. Coba Co Bong dan Yo Tunhou
bersatu serempak menyerang, dengan tingkat
kepandaian mereka berdua, tentulah Kang Hay-thian
akan binasa. Sebenarnya Kang Hay-thian tadi juga harus berusaha
keras untuk mengendalikan agar hawa murni dalam
tubuhnya itu jangan membinal. Dalam keadaan begitu,
sudah tentu sama sekali ia tak dapat melindungi To-kan
lagi. "Bangsat kedi, apakah kau mau lari ke langit?" Yo
Tun-hou tertawa sinis. Selangkah demi selangkah ia
mendesak maju. To-kan memusatkan seluruh perhatian
dengan menatap orang itu.
Co Bong tertawa, "Heh, setan cilik ini besar sekali
nyalinya Baru ia mengucap begitu, sekonyong-konyong
To-kan menyerbunya. "Setan cilik, kau masih mau bertempur dengan aku?"
Yo Tun-hou tertawa gelak-gelak. Ia mengulur tangannya
yang besar hendak mencengkeram To-kan, ia yakin
dengan gerak Kim-na-jiu itu pasti akan dapat meringkus
si bocah. Di luar dugaan tumit To-kan berputar. Sebenarnya ia
menyerbu ke arah kiri, tapi tiba-tiba berputar ke arah
kanan. Tahu-tahu sebatang belati berkilat hijau menikam
ke lutut Yo Tun-hou. Tun-hou kaget sekali, tapi
bagaimanapun kepandaiannya jauh berlipat beberapa
ganda dari To-kan. Secepat kilat kakinya mengisar
beberapa centi, "Cret", tak urung bajunya termakan
belati juga. Yo Tun-hou mengayunkan tinjunya, tetapi
To-kan sudah melompat menyingkir.
Heran Co Bong dibuatnya. Mengapa baru dua hari ikut
Kang Hay-thian anak itu sudah mempunyai kepandaian
yang istimewa" Segera ia berkata, "Yo-heng, jagalah
supaya dia jangan sampai lolos. Biarlah aku yang
menangkapnya." Co Bong menggunakan kedua tangannya, yang satu
untuk melindungi diri, yang satu untuk menyerang. Tapi
setiap kali Co Bong hendak menangkapnya, selalu
menangkap angin saja. Lincah dan cepat sekali anak itu
menghindar, selalu menyelinap dari bawah ketiak. Bila
berada di belakang lantas menikam punggung lawan
dengan belati. Kalau sudah dalam keadaan begitu, barulah Co Bong
terpaksa berganti cara. Tangan yang Semula dibuat
melindungi diri tadi, kini diayunkan ke belakang untuk
menyambar belati. Suatu saat belatinya kena terampas
dan To-kan pun kehilangan imbangan badan, terhuyunghuyung
mau jatuh. Melihat itu Yo Tun-hou tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan bagus itu, ia melompat menubruk, tetapi
sekonyong-konyong To-kan berjumpalitan. Jari tangan
Yo Tun-hou yang sudah menyentuh punggung anak itu,
tahu-tahu mencekal angin kosong.
Co Bong tertawa gelak-gelak, "Setan cilik ini ternyata
sudah mempelajari suatu ilmu langkah kaki yang aneh.
Ayo, kita ramai-ramai menjalanya."
Di antara lima perwira yang ikut rombongan itu, ada
seorang yang patah tulang lengannya karena dipelintir
To-kan, perwira itu sedang mengobati lukanya. Tinggal
empat perwira, kini mereka menjaga di empat penjuru
dengan melintangkan senjata masing-masing. Co Bong
dan Yo Tun-hou berada di dalam lingkaran pagar senjata
itu. Yang satu di belakang, yang satu di muka. Dua tokoh
ternama kini berusaha menangkap seorang anak kecil.
Sebenarnya tadi sewaktu lingkaran pagar senjata itu
masih belum merapat, To-kan dapat meloloskan diri.
Tetapi ternyata anak itu tak sampai hati meninggalkan
Suhunya seorang diri. Karena sedikit ayal itu, kini dia
terkurung. Dengan menggunakan ilmu Thian-lo-poh-hoat yang
baru saja dipelajarinya dari Kang Hay-thian, To-kan
dengan lincah kian-kemari main udak dengan kedua
penyergapnya. Sampai sekian lama, Co Bong dan Yo
Tun-hou masih belum mampu menangkapnya.
"Pukul dulu sampai pingsan baru kita rundingkan lagi,"
akhirnya Yo Tun-hou hilang kesabarannya.
"Baik, tetapi harus hati-hati agar jangan
membahayakan jiwanya. Kalau dia tertangkap hidup,
lebih baik," sahut Co Bong.
Kedua jago itu sudah mengetahui sampai dimana
kepandaian To-kan. Segera mereka menggunakan
pukulan Lwekang Pik-khong-ciang untuk membuat kepala
To-kan puyeng. "Lihat, lihat, siapa yang berkelahi di sebelah bawah
itu?" sekonyong-konyong terdengar suara melengking
nyaring. Tekanan Lwekang Pik-khong-ciang telah membuat
kepala To-kan pusing dan mata berkunang-kunang. Ilmu
permainan Thian-Io-poh-hoatnya juga mulai rancu. Sekali
ulurkan jari, dapatlah Yo Tun-hou menotok jalan darah
To-kan, akhirnya To-kan menyerah juga. Habis itu
mereka putar tubuh hendak menjenguk siapakah orang
yang berseru di luar gua tadi.
Sepasang bocah laki dan perempuan yang umurnya
masing-masing baru 15-16 tahun melangkah masuk.
Yang laki memakai gelang emas dan rambutnya diikat.
Sedang yang perempuan parasnya berseri gemilang.
Mereka tak ubah sepasang Kim-tong-giok-li (dewa-dewi).
Si dara cilik mencibirkan bibir menyeringai, "Uh,
mengapa begini banyak lelaki tua menghina seorang
anak" Sungguh tak tahu malu!"
Perwira yang patah tulang lengannya sudah selesai
mengobati lukanya, dia merasa geram sekali tak sempat
menumpahkan kemarahannya. Kini melihat bocah laki
perempuan yang bermulut besar itu, dia lantas melompat
bangun dan mendamprat, "Hai, darimana saja kamu
berdua anak jadah ini" Ayo, enyah!"
"Plak", tahu-tahu sebuah tangan kecil menampar
mulut si perwira itu. Dan bocah lelaki berseru dingin,
"Lekas berlutut dan menyebut 'kakek kecil' sampai tiga
kali, baru nanti kuampuni!"
Perwira itu menggerung keras terus menyambar
tombak dan menyerang. Sebenarnya ia tahu bahwa
kedua anak itu tentu bukan anak sembarangan, tapi
karena ditampar di hadapan orang banyak, ia menjadi
mata gelap juga. Ternyata bocah laki itu bergerak luar biasa cepatnya.
Tombak si perwira menemui tempat kosong, tahu-tahu
bocah laki itu sudah tiba di sisinya dan mendengus, "Hm,
kau tak mendengar omonganku, ya" Karena tadi aku
sudah mengatakan lebih dulu, terpaksa sekarang tak
dapat mengampunimu!"
"Plak, plak", kedua lengan perwira itu seperti putus
rasanya, sakitnya jangan ditanya. Pemuda cilik itu
merampas tombaknya, disumbatkan ke tenggorokan si
perwira dan dipaku ke tanah. Seorang bocah yang baru
berumur belasan tahun ternyata begitu kejam sekali.
Keempat perwira lainnya kaget dan murka.
Tampak bocah itu bercekak pinggang, sikapnya
jumawa sekali. Tiba-tiba dia menjerit keras, perwira yang
pertama-tama dekat padanya menjerit kesakitan. Waktu
si bocah membuka tangannya, ternyata di dalam
genggamannya terdapat dua biji bola mata yang masih
berlumuran darah.... "Kau punya kelopak mata tapi tak ada bolanya, perlu
apa?" bocah itu tertawa dingin. Dan secepat ia sudah
melolohkan kedua biji bola mata itu ke mulut si perwira,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si perwira roboh tak sadarkan diri.
Betapa kejam perwira-perwira itu, tapi demi melihat
kejadian yang begitu mengerikan, menggigil juga nyali
mereka. Tanpa bersepakatan, mereka berhenti.
Karena kepandaiannya jauh lebih tinggi dari ketiga
perwira itu, Co Bong tak mudah digertak oleh si bocah.
Meskipun dia juga terkejut melihat kepandaian anak itu,
namun ia percaya tentu dapat mengatasinya. Kontan
saja ia hendak menggunakan pukulan Kim-kong-cianglat,
tiba-tiba dicegah Yo Tun-hou.
"Nanti dulu. anak siapakah kau ini?" tegur Yo Tun-hou
kepada anak itu. "Kau tak kenal padaku, sebaliknya aku kenal padamu.
Bukankah kau ini si 'kucing sakit' dari kawanan Ki-liansam-
siu?" bocah itu mengejek.
Kucing sakit benar-benar merupakan hinaan besar
bagi Yo Tun-hou. Dalam Ki-lian-sam-siu (tiga binatang
buas gunung Ki-lian-san), Yo Tun-houlah yang paling
tinggi kepandaiannya dan paling buas wataknya.
Co Bong mengira kawannya itu tentu akan murka
sekali, tapi di luar dugaan ternyata Yo Tun-hou diam saja
dengan muka merengut. Kiranya hal itu disebabkan karena tiba-tiba saja ia
teringat akan seseorang yang membuat gentar hatinya.
Buru-buru ia tahan kemarahannya dan bertanya,
"Apakah kau Siauya dari keluarga Nyo?"
Pemuda tanggung itu tertawa gelak-gelak, "Matamu
boleh juga, tahu siapa aku. Kau tahu dosamu?"
"Entah dalam hal apa aku menyalahi Nyo-siauya?"
tanya Yo Tun-hou. "Bukan kepadaku, tetapi kepada piaumoayku. Hehe,
bilanglah sendiri bagaimana hukumanmu?" sahut si anak
lelaki. "Piaumoaymu" Bagaimana urusannya?" Yo Tun-hou
terkejut. "Yang kau goda di biara tua itu ialah adik
misanku," balas anak Itu.
Yo Tun-hou terkejut sekali, mukanya berubah dan
nadanya gemetar, "Piaumoaymu, si gadis dari keluarga
Tiok itu?" "Benar, dan masih untung kau hanya jatuh ke
tanganku saja. Menurut peraturan keluarga pamanku,
musuh dari keluarga harus dia yang membunuhnya. Aku
tak dapat melanggar peraturannya itu, maka aku dapat
membebaskanmu dari kematian. Hanya saja kau harus
memotong kedua telingamu dan mengorek sebuah biji
matamu." Dara itu tertawa mengikik, "Engkoh Hoan, tak kuduga
kau dapat mencarikan buah tangan untuk Siau-hoa. Tapi
entah apakah ia suka dengan benda-benda yang
berlumuran darah itu. Hm, kau memang pandai
mengambil muka Siau-hoa!"
Pemuda tanggung yang dipanggil engkoh Hoan itu,
lengkapnya bernama Nyo Hoan. Dia tertawa juga, "Juga
kepadamu akan kuberi hadiah, kau suka tidak dengan
mainan Hoa-leng (bulu burung) yang dipasang di atas
kopiah pembesar itu" Nanti kupetikkan untukmu."
Co Bong berpangkat Ji-bin-hu-koan (pembesar militer
tingkat dua), Raja telah menghadiahkan kopiah yang
memakai mainan Song-gan-hoa-leng. Itu suatu
kehormatan besar, bahwa sekarang seorang bocah
tanggung berani kurangajar hendak merampas benda
itu, sudah tentu membuat Co Bong berjingkrak seperti
orang kebakaran jenggot. "Budak busuk yang tak tahu mati, akan kubeset kulit
kepalamu!" teriaknya dengan penuh kemarahan.
"Co-tayjin.." Baru Yo Tun-hou hendak mencegah, Co Bong sudah
mendampratnya, "Yo Tun-hou, jangan takut terhadap
seorang bocah yang masih belum hilang bau pupuknya,
apakah kau tidak kuatir ditertawai orang gagah seluruh
dunia" Persetan dia itu anak siapa, masakah lebih
berkuasa dari baginda raja yang sekarang."
"Wut", dia lantas menghantam.
Nyo Hoan tertawa dingin, "Kau akan membeset kulit
kepalaku" Hm, hm, karena kau mengatakan begitu,
sekarang aku harus mengambil kantong otakmu. Rajamu
yang sekarang ini juga tak nanti mampu menolong kau."
Nyo Hoan mencabut sebatang belati, dia hanya
setinggi bahu Co Bong, maka ia harus meloncat ke atas
ketika hendak memotong kepala Co Bong.
Dengan tanpa mengeluarkan banyak tenaga tadi si
anak muda dapat membunuh dua orang perwira. Dia
mengira Co Bong tentu tak banyak bedanya, tak terlintas
dalam pikirannya bahwa sebagai wakil Demimoin Gi-limkun
sudah tentu Co Bong tak seperti anak buahnya tadi.
"Lepas!" teriak Co Bong sambil menggunakan jurus
Te-to-mo-sing. Kelima jarinya mencengkeram lengan Nyo
Hoan, ibu jari dan telunjuk memijat pergelangan
tangannya, "Tring", jatuhlah belati anak itu.
Tadi Nyo Hoan melompat untuk menusukkan
belatinya, karena tangan kanan kena dicengkeram, dia
menggerakkan tangan kirinya untuk menampar batok
kepala Co Bong. "Budak kejam, biar kau tahu kelihaianku! Kau tunduk
tidak?" bentak Co Bong sembari menangkis dengan
tangan kanan, "Plak", ketika tangan saling berbentur,
dengan sebarnya Co Bong sudah membalikkan tangan
dan mencengkeram pergelangan anak itu. Kini kepala
Nyo Hoan terjungkir di bawah kaki di atas, sedang kedua
tangannya kena dicekal Co Bong. Dia tak dapat berkutik
lagi. Co Bong tertawa lebar, tapi sesaat kemudian dia
terkejut karena tubuh Nyo Hoan makin lama makin
terasa berat. Seorang pemuda tanggung yang baru
berumur lima-enam belas tahun, paling banyak berat
badannya tentu hanya 100-an kati. Tapi Co Bong
merasakan tangannya seperti diganduli sebuah bukit.
Begitu berat hingga pinggang orang she Co itu sampai
melengkung. Dia tak lagi bisa tertawa.
Ia merasa heran sekali. Padahal pergelangan kedua
tangan anak itu sudah dicengkeramnya, bukan saja Nyo
Hoan tidak lemas, sebaliknya masih dapat mengeluarkan
kepandaian Jian-kin-tui yang sedemikian hebatnya.
Walaupun Co Bong masih dapat bertahan, tapi tak urung
ia bingung juga memikirkannya.
Beberapa perwira yang melihat Nyo Hoan dapat
diringkus sang pemimpin, serempak bersorak
kegirangan. Ada yang berseru supaya membeset uraturatnya,
mencungkil hatinya untuk dibuat sembahyang
kawannya yang binasa tadi. Ada juga yang mengusulkan
supaya menanyakan siapa orang tua anak itu, kemudian
dihukum pancung seluruh keluarganya.
Kalau perwira-perwira itu riang gembira, adalah Co
Bong yang terpaksa menahan kegelisahan. Hanya Yo
Tun-hou seorang yang tak buka suara melainkan
mengerutkan alis. Jelas dilihatnya bahwa Co Bong itu
hanya menahan tekanan tenaga dari Nyo Hoan, sama
sekali bukan karena sudah menang. Oleh karena dia tahu
jelas siapa pemuda tanggung itu, maka dia pun tak
merasa begitu heran. Kiranya ayah dari anak tanggung itu adalah seorang
momok durjana yang luar biasa ganasnya, Yo Tun-hou
sendiri tak begitu jelas tentang asal-usulnya. Tiga tahun
yang lalu, karena terpikat alam lembah Siau-lui-im di
gunung Ki-lian-san, durjana itu lalu berpindah tempat di
situ. Ki-lian-sam-siu sebenarnya bermarkas di gunung itu
juga, durjana itu hendak memaksa mereka jadi
budaknya, jika tak menurut akan diusir dari Ki-lian-san.
Jangankan terhadap durjana itu, sedang melawan
pengurus rumah tangganya saja Ki-lian-sam-siu tak bisa
menang. Karena tahu diri, terpaksa mereka pergi dari Kilian-
san. Mereka berhamba pada kerajaan, selain temaha
dengan pangkat dan kekayaan, juga sekalian hendak
menyingkir dari gangguan durjana itu.
Teringat pada peristiwa yang lampau, dengan
mengotak gigi Yo Tun-hou berpikir, "Durjana she Nyo itu
sudah sedemikian lihainya, kakak orang she Tiok itu jauh
lebih ganas lagi. Aku sudah membuat kesalahan pada
putrinya, tentu tak ada ampun lagi. Jika tak kubantu Co
Bong, bocah itu tentu akan mengiris daun telingaku dan
mengorek biji mataku. Hm, hm, lebih baik anak itu
dihabisi jiwanya saja, lalu ikut Co Bong berlindung pada
kerajaan, mungkin masih ada jalan hidup!"
Mata Tun-hou berapi-api, setelah mempersiapkan
Lwekangnya, dia lantas menghantam. Pukulan Bian-ciang
itu dapat menghancurkan batu, jika pukulan itu jatuh di
tubuh Nyo Hoan yang sedang tergantung itu, anak itu
tentu akan mati atau luka berat.
Belalang menerkam tonggoret, burung pipit sudah
menunggu di belakangnya. Dara kawan Nyo Hoan tadi
tahu kalau Yo Tun-hou musuh lamanya, maka ia selalu
memperhatikan gerak-geriknya. Pada saat Yo Tun-hou
mengangkat tinjunya, dara itupun sudah mencabut tusuk
kundainya, terus dijentikkan ke arah telapak tangan Yo
Tun-hou. Jalan darah Lo-kiong-hiat di telapak tangan
merupakan jalan darah yang berbahaya, jika sampai
kena tertusuk, kalau tidak mati tentu akan terluka parah.
Untung Yo Tun-hou cepat dapat memiringkan telapak
tangannya, tetapi dengan berbuat begitu, pukulannya
pun melenceng. Bukan Nyo Hoan yang kena, sebaliknya
menyasar pada tubuh Co Bong, untung tidak mengenai
dada, hanya bahunya saja. Namun sekalipun begitu,
pukulan itu cukup membuat Co Bong menjerit dan
terpaksa melepaskan cengkeramannya, Nyo Hoan
terlempar sampai satu tombak.
Dengan gerak Le-hi-ta-ting (ikan lehi meletik), Nyo
Hoan berjumpalitan dan kemudian berdiri tegak. Tapi
sebelum kakinya berdiri tegap, Yo Tun-hou sudah
menyusuli pula dengan sebuah hantaman. Terpaksa Nyo
Hoan mengacungkan tangannya untuk menangkis, tapi
dia kena terdorong oleh pukulan Yo Tun-hou hingga
terhuyung-huyung ke belakang sampai beberapa tindak
dan hampir jatuh. Si dara menjemput beberapa butir batu kecil untuk
dijentikkan ke arah Yo Tun-hou, tapi karena Yo Tun-hou
sudah berjaga-jaga, dengan mengebutkan lengan
bajunya dapatlah ia menghalau batu-batu itu. Kemudian
ia mengisar tubuh hingga batu-batu itu melayang ke arah
Nyo Hoan. Tapi Nyo Hoan sudah berdiri tegak, ia dapat
menyingkir. "Hai, apakah kalian ini orang mati semua" Mengapa
tak lekas meringkus anak perempuan itu!" Co Bong
mendamprat anak buahnya yang masih tinggal tiga
orang perwira. Mereka bukannya tak mau menangkap dara itu, hanya
tadi pikirannya tercurah pada Nyo Hoan, maka mereka
agak meremehkan dara itu. Dampratan pemimpinnya
tadi membuat mereka gelagapan, terus saja mereka
maju menerjang si dara. Si dara mencabut pedang,
sambil tertawa mengejek katanya, "Kawanan manusia
yang hanya berani menindas kaum lemah, bertemu aku
jangan harap kalian bisa hidup lagi!" Pedang berkelebat
dan seorang perwira dapat dilukai.
"Jangan menyerang tapi pertahankan diri. Pakai
senjata berat untuk menahan pedang budak itu.
Pertahankan sampai sepuluh jurus, nanti aku yang
menangkapnya!" teriak Co Bong. Ternyata dia sedang
memulangkan semangat, sebelum tenaganya pulih ia tak
mau turun tangan. Setelah mendapat petunjuk, ketiga perwira itu lalu
menggunakan tombak dan Khik panjang untuk
mengepung si dara. Mereka tak mau menyerang
melainkan bertahan, benar juga dara itu menjadi gugup
dan tak dapat mengalahkan mereka.
Kalau di sini si dara sibuk melayani ketiga perwira, di
sana Nyo Hoan pun repot menghadapi serangan Yo Tunhou.
Bagaimanapun Nyo Hoan adalah seorang anak
berumur belasan tahun, setelah habis bertempur seru
dengan Co Bong dia harus melayani seorang jago seperti
Yo Tun-hou yang kepandaiannya lebih tinggi setingkat
dari Co Bong. Lewat jurus yang kesepuluh, Nyo Hoan
kehabisan tenaga. Yo Tun-hou tertawa ejek, "Dengan membunuhmu
barulah penasaranku dapat terlampias!" Setelah
merangsek dengan kedua tangannya untuk menyergap,
ia lantas mengayunkan tinjunya mengemplang ubunubun
kepala Nyo Hoan. "Ayah, kau datang!" sekonyong-konyong Nyo Hoan
berteriak. Yo Tun-hou kaget tertegun, tahu-tahu Nyo Hoan
menyelusup ke bawah ketiaknya dan mencengkeram
jalan darah di punggungnya, Yo Tun-hou memiliki ilmu
kebal Kim-ciong-coh. Tapi dicengkeram Nyo Hoan, ia
merasakan separoh badan bagian bawah menjadi
kesemutan. Buru-buru ia balikkan tangan menghantam,
namun Nyo Hoan sudah menghindar ke samping.
Kini baru tahulah Yo Tun-hou telah kena diingusi.
"Bagus, budak! Sekalipun kau panggil ayahmu kemari,
aku tetap tak akan mengampuni kau lagi!" Ia melompat
menghadang dan menyerang Nyo Hoan lagi.
Kalau tadi datangnya dengan sikap jumawa, sekarang
diam-diam Nyo Hoan mengeluh, "Ayah hendak
menjadikan bangsat ini sebagai tukang kuda. Kalau aku
tidak dapat mengalahkannya, sungguh memalukan!"
Dia hanya memikirkan tentang malu, sedang Yo Tunhou
memikirkan hendak mengambil jiwanya.
Serangannya tak kunjung surut, Nyo Hoan kaget dan
marah, "Bangsat kau berani membunuh aku" Ayahku
tentu akan membeset kulitmu, mencincang dagingmu!"


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yo Tun-hou tertawa, "Suruh ayahmu datang kemari!
Hm, ayahmu ganas dan kejam, biarlah dia putus
turunan!" "Plak", kembali Yo Tun-hou menghantam, tapi kena
ditangkis Nyo Hoan. Dalam benturan itu Nyo Hoan
mengetahui tenaga lawan mulai berkurang, kini dia tak
begitu gelisah lagi. Ternyata karena cengkeraman jalan darahnya tadi,
meskipun Yo Tun-hou mempunyai ilmu Kim-cong-coh,
tapi urat-uratnya yang kaku itu tak segera dapat normal
kembali. Itulah sebabnya maka tenaganya tinggal
delapan bagian saja, tapi dengan tenaga itu sudah cukup
untuk mengatasi Nyo Hoan. Waktunya makin panjang,
tenaga Nyo Hoan pun makin lemah, sebaliknya urat-urat
Yo Tun-hou makin lancar dan tenaganya makin penuh.
Menghindar ke sana menyingkir kemari, akhirnya Nyo
Hoan terdesak dalam sebuah posisi yang berbahaya.
Melihat itu si dara menjadi gelisah, tiba-tiba ia menjadi
nekat dan menggunakan jurus yang berbahaya.
Tubuhnya mengendap ke bawah terus menyelinap di
bawah golok seorang perwira, gerakannya cepat sekali.
Pada saat si perwira menurunkan goloknya, si dara
sudah berada di hadapannya, "Ces", pedangnya segera
bersarang di tenggorokan perwira itu.
"Co-tayjin, lekaslah kemari!" dua orang perwira
lainnya ketakutan dan berteriak memanggil Co Bong.
Tadi Co Bong minta mereka supaya bertahan sampai
sepuluh jurus, sampai saat itu mereka sudah bertahan
lebih dari sepuluh jurus. Tetapi rupanya Co Bong kelewat
mementingkan diri sendiri, tenaganya baru pulih 7-8
bagian. Ia taksir belum dapat mengalahkan dara itu,
maka ia hendak membiarkan anak buahnya
menghabiskan tenaga dara itu lebih dulu, baru nanti
mudah menangkapnya. Apa anak buahnya itu nanti
celaka atau tidak, dia tidak mau tahu.
"Jangan takut, jangan takut! Aku segera datang!"
demikian sahutnya, tetapi sekalipun mulut mengatakan
begitu, dia tetap enggan maju.
Dengan dapat membunuh seorang perwira, rantai
kepungan dapat diterobos si dara. Kini kedua perwira itu
tak dapat saling memberi bantuan, sebaliknya si dara
dapat mengembangkan permainannya. Hanya dalam
beberapa jurus saja, ia dapat memberesi kedua perwira
itu. Sekarang barulah Co Bong melompat bangun, sambil
mencabut sepasang Ho-chiu-kau ia tertawa gelak-gelak,
"Budak perempuan, kau cantik sekali, ikut aku menjadi
pelayan kesayanganku saja. Beberapa tahun lagi tentu
akan kujadikan pengisi kamarku!"
Belum pernah si dara mendengar kata-kata sekotor
itu, ia mengerutkan alis dan memaki, "Bangsat jahanam,
jika tak kubunuh kau aku bersumpah takkan berhenti!"
Bagaikan rantai, pedangnya dimainkan dalam jurus Giokli-
tho-soh dan menusuk ke dada Co Bong.
"Haha, kau hendak membunuh aku" Tetapi aku
senang padamu," mulut Co Bong tertawa, tangannya
tetap bekerja. Serangan dara itu hebat sekali, benar Co
Bong dapat menangkis, tapi banyak menghabiskan
tenaganya. Akhirnya ia mengambil keputusan membunuh
dara itu dulu baru nanti membakar Kang Hay-thian.
Si dara buru-buru hendak menolong Nyo Hoan, untuk
itu ia harus membereskan Co Bong dulu. Karena
serangannya selalu kandas, ia menjadi bingung,
kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Co Bong
yang segera berganti dengan menyerang. Sepasang
kaitnya menari-nari melibat pedang si dara, memang
senjata itu gunanya khusus untuk menundukkan pedang.
Apalagi kepandaian Co Bong lebih tinggi dari si dara,
dalam sekejap saja dara itu menjadi kelabakan.
Untung ilmu pedang dara itu ajaran pusaka dari
keluarganya, menghadapi ancaman bahaya maut itu,
terpaksa ia curahkan seluruh perhatiannya, tak lagi ia
memikirkan menolong Nyo Hoan. Karena Co Bong tak
kenal sampai dimana kelihaian ilmu pedang si dara, ia
mempunyai kekuatiran juga, dengan begitu dia tidak
dapat lekas mengakhiri pertempuran.
Si dara dengan susah payah masih dapat bertahan,
tapi Nyo Hoan Hoan makin berbahaya keadaannya. Yo
Tun-hou sudah pulih tenaganya, pukulannya makin
keras, sebaliknya Nyo Hoan makin habis tenaganya,
bahkan untuk bertahan saja, sudah setengah mati
sukarnya. Kembali Yo Tun-hou dapat mengurung dan
mengayunkan tinju ke batok kepala Nyo Hoan, ini serupa
keadaannya yang tadi dimana dia kena ditipu Nyo Hoan.
Pada saat serangan ulangan itu dilakukan, Yo Tun-hou
berseru mengejek, "Ayo coba panggil lagi ayahmu!"
"Mati aku sekarang!" diam-diam Nyo Hoan menjerit
dalam hari. tapi bagaimanapun ia tetap pantang ayal.
Walaupun tahu tiada berguna, ia tetap menangkis juga.
Pukulan yang dilancarkan Yo Tun-hou itu keras dan
cepat sekali, ketika hampir tiba di ubun-ubun kepala Nyo
Hoan, entah apa sebabnya tiba-tiba ia merasa menggigil
dan tinjunya pun berhenti. Justru pada saat itu, tangan
Nyo Hoan yang bergerak dalam jurus Thian-cut-tho-ta
tadi meluncur datang, "Bluk", Yo Tun-hou terlempar
jatuh jungkir balik. Nyo Hoan sendiri tercengang dengan kejadian itu.
Karena curiga jangan-jangan Yo Tun-hou hendak
menggunakan tipu, kembali ia susuli dengan sebuah
tendangan yang membuat Yo Tun-hou jungkir balik lagi.
Sepasang mata Yo Tun-hou mendelik, terang dia sudah
tak mampu berkutik lagi. Ternyata yang memberi bantuan secara diam-diam itu
ialah Kang Hay-thian, penyaluran Lwekang Ta-sengthian-
tho-na-hoat tadi sudah selesai. Hawa murni yang
terpencar dalam tubuhnya hanya kurang sedikit yang
masih belum terpusat ke perut. Tapi dikarenakan hendak
menolong Nyo Hoan, terpaksa ia coba-coba
menggunakan Kek-khong-tiam-hiat (menotok jalan darah
dari jauh). Yang ditotok jalan darah di bahu Yo Tun-hou,
karena terkena totokan itu, pukulan maut Yo Tun-hou
pun menjadi macet. Nyo Hoan tak tahu hal itu, ia mengira tenaganya
sendiri yang berhasil mengalahkan lawan, maka dengan
bangga ia lantas tertawa mengejek, "He, kiranya kau
juga tak punya guna!" Diambilnya belati yang jatuh di
tanah tadi, ia mengorek sebiji mata Yo Tun-hou dan
mengiris kedua daun telinganya, lalu bentaknya,
"Enyahlah, biarlah paman yang mengambil jiwamu
kelak!" Sakit Yo Tun-hou tiada taranya. Karena menahan sakit
yang hebat, jalan darahnya pun terbuka. Dia tahu
tentulah Kang Hay-thian yang mencelakainya tadi, kuatir
orang she Kang itu akan mengambil jiwanya, begitu
diperintah pergi oleh Nyo Hoan, ia lantas lari sipat kuping
sambil mendekap kedua telinganya. Begitu keluar gua
barulah ia menjerit sekuat-kuatnya untuk menumpahkan
rasa kesakitannya. Kang Hay-thian berhati welas asih, mendengar jeritan
Yo Tun-hou tadi, ia merasa kasihan, pikirnya, "Lebih baik
dibunuh saja daripada disiksa begitu. Anak itu memang
lihai, tetapi kelewat kejam!"
Penyaluran Lwekangnya belum selesai, karena
menggunakan Kek-khong-tiam-hiat tadi, sebagian hawa
murninya menyalur keluar dari perutnya lagi. Untung
saat itu tenaganya sudah pulih 8-9 bagian, jadi tak
begitu menjadi halangan. Dia tahu Nyo Hoan dan dara
itu dapat mengalahkan Co Bong, maka ia tak mau
memikirkan. Ia menundukkan kepala, memejamkan mata
dan menjalankan penyaluran lagi.
Co Bong ngeri mendengar jeritan Yo Tun-hou, buruburu
ia hendak melarikan diri, tapi sebelum dapat keluar
gua sudah diburu oleh Nyo Hoan.
"Kau menghina Taci misanku, apakah kau masih mau
hidup?" bentak Nyo Hoan yang melompat melampaui
kepala dan menusuknya. Sebenarnya kepandaian Co Bong lebih tinggi dari
pemuda tanggung itu, tapi karena mengira anak muda
itu yang mengalahkan Yo Tun-hou, maka nyali Co Bong
pun pecah. Dengan sepasang Siang-kau ia hendak
merebut belati Nyo Hoan, gerakannya tepat sekali,
sayang dia sudah gentar, maka tangannya pun agak
gemetar sehingga kurang sempurna. Nyo Hoan cepat
menerobos lewat lubang kelemahan lawan, belati
diguratkan pada lengan orang dan berbareng itu si dara
pun sudah tiba dengan sebuah tikaman ke punggung,
kontan Co Bong jatuh terkulai ke tanah.
"Pembesar anjing itu telah menghinamu, maukah
engkau membunuhnya sendiri?" tanya Nyo Hoan.
"Aku tak ingin membunuh orang, tulang punggungnya
sudah putus, dia akan menjadi cacad selamanya, rasanya
sudah cukup bagiku, biarkan dia pergi," sahut si dara.
"Enci Wan, hati nuranimu baik sekali. Baiklah, dengan
memandang mukamu, kubebaskan dia dari kematian.
Bulu ini boleh kau ambil sebagai mainan," kata Nyo Hoan
yang telah mencabut bulu burung di kopiah Co Bong,
terus melemparkannya keluar gua.
Dara itu melengking tawa, "Bagus juga ini, terima
kasih. Tapi lebih baik kau berikan pada Siau-hoa saja,
biar dia tahu bahwa engkau sudah membalaskan rasa
penasarannya." "Huh, apa kau kira aku hanya pandai mengambil hati
Siau-hoa saja" Umurnya masih kecil, biarpun kuberdaya
mengambil hatinya, dia toh takkan mengerti hatiku."
"Mengerti apa" Kau mempunyai hati apa?" tegur si
dara. "Kau sendiri yang berhati sempit, aku toh hanya
bergurau, kemana pikiranmu melayang" Baiklah,
sekarang mari kita bicara sungguh-sungguh. Tampaknya
anak itu pintar dan lincah, kau mau mengambilnya
pulang untuk dijadikan kacung tidak?"
"Aku tak mau meniru Siau-hoa, tak senang
mempunyai kacung laki-laki, tetapi kepandaian silat dan
nyali anak itu memang boleh. Coba bukalah jalan
darahnya yang tertotok dan tanya namanya. Masih
begitu kecil mengapa bermusuhan dengan Ki-lian-samsiu?"
"Aku enggan mengajukan begitu banyak pertanyaan
dan aku pun tak ingin bersahabat dengannya. Ah, hari
sudah sore, kita harus lekas pergi," sahut Nyo Hoan.
"Eh, menolong orang jangan kepalang tanggung, kan
hanya tambah sedikit pekerjaan saja," protes si dara.
"Aku bukan mengatakan takkan menolong dia. Baik,
akan kubuka jalan darahnya dan kita lantas pergi," sahut
Nyo Hoan. Dia mengira membuka jalan darah hanyalah sedikit
gerakan yang gampang, tiada disangkanya bahwa
totokan Yo Tun-hou itu istimewa sekali. Beberapa kali
dicobanya, tetap tak berhasil, Lim To-kan sampai
meringis kesakitan tapi tak dapat merintih.
"Eh, bagaimana" Tidak bisa dibuka" Anak itu rupanya
menderita kesakitan sekali," seru si dara.
Merah muka Nyo Hoan, ia menghampiri Kang Haythian,
dilihatnya Kang Hay-thian tak tertotok jalan
darahnya. Penasarannya tadi kini ditumpahkan pada
Kang Hay-thian, dengan kedua tangan ia mendorong
tubuh Kang Hay-thian dan membentak, "Aku yang
menolong kau mengusir orang jahat, sebaliknya kau
enak-enak saja duduk di sini! Hm, siapa kau" Mengapa
orang-orang jahat itu tak membunuhmu" Apakah kau
teman mereka?" Saat itu tepat tenaga Kang Hay-thian sudah selesai
menyalur, ia membelalakkan mata dan menyahut, "Ya,
aku menyesal tak dapat melindungi muridku sehingga
membikin repot padamu. Terima kasih, terima kasih!"
Sebagai jago nomor satu di dunia. Kang Hay-thian
lapang sekali dadanya, sekali-kali dia tak marah dengan
kelakuan Nyo Hoan yang kurangajar itu. Malah ia
memegang peraturan orang persilatan dengan
menganggap kedua muda-mudi itu sebagai penolongnya,
ia menjura kepada mereka.
Nyo Hoan tak tahu sebenarnya jiwanya tadi adalah
Kang Hay-thian yang menyelamatkan, rupanya dia
senang dihormati orang. Pemberian hormat Kang Haythian
itu tak dibalasnya. "O, kiranya kau Suhu dari anak ini" Kepandaian
muridmu itu bagus juga, mengapa kau sendiri tak
berguna sama sekali" Kalau kau Suhunya, mengapa
kawanan penjahat itu tidak mengapa-apakan kau, tetapi
mengganggu muridmu?" Nyo Hoan kelewat iseng,
sebelum mendapat keterangan, tak mau ia pergi.
"Tulangku keras, penjahat itu tak mampu
membunuhku," sahut Kang Hay-thian.
"Apa maksudmu" Aneh sekali omonganmu itu, kau
mau menipu aku" Apa susahnya membunuh orang?" Nyo
Hoan merasa penasaran. "Kawanan penjahat itu sudah mencobanya, tetapi
mereka sungguh-sungguh tak dapat membunuh aku. Aku
tak bohong." "Baik, biar kucobanya!" teriak Nyo Hoan yang
mengangkat belati terus hendak menikamnya.
"Adik Hoan, dia seperti tak beres ingatan, mengapa
kau bersungguh-sungguh" Bukankah tujuanmu hendak
menolongnya, mengapa sekarang mau membunuhnya?"
cepat si dara menariknya.
Muka Nyo Hoan merah, ujarnya, "Ya, aku lupa kalau
dia gila." Kang Hay-thian mendongkol dan geli, serunya, "Aku
tidak gila. Kalian berdua jangan pergi dulu, aku hendak
bicara." Nyo Hoan menyimpan belatinya, sahutnya, "Kau gila
atau waras, aku tetap tak mau mempedulikan muridmu


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Uruslah sendiri!"
Mendadak Kang Hay-thian menjulurkan jari telunjuk,
serangkum angin mendesis ke depan. Dari jarak tiga
tombak, ia membuka jalan darah To-kan, kemudian
serunya, "Kan-ji, kemarilah menghaturkan terima kasih
kepada kedua penolongmu ini."
Kejut sekali Nyo Hoan dibuatnya, pikirnya, "Eh,
ternyata dia lihai juga, mungkin dia tidak gila."
To-kan menghampiri dan menghaturkan terima kasih.
Karena darahnya masih belum normal, ia hanya dapat
mengucapkan separah terima kasih saja, padahal dalam
hati ia ingin mengajukan pertanyaan kepada Nyo Hoan
dan si dara. Karena tadi tak mampu membuka jalan darah To-kan,
Nyo Hoan merasa kikuk, segera ia mengajak si dara
berlalu, tapi segera dicegah Kang Hay-thian pula.
"Apa" Kau masih hendak minta tolong apa lagi?" seru
Nyo Hoan. "Tak dapat aku menerima pertolonganmu dengan
percuma, aku hendak membalas budimu. Kau minta apa"
Bukankah kalian gemar ilmu silat?" tanya Kang Haythian.
Nyo Hoan tak dapat menangkap maksudnya, ia
membelalakkan mata dan berseru, "Kalau ya, lalu
bagaimana?" Sebaliknya si dara lebih cerdas dan cepat mengetahui
maksud Kang Hay-thian. Ia tertawa, "Tentunya kau
hendak memberi beberapa pelajaran ilmu silat pada kami
selaku balas budi, bukan?"
Orang yang lebih tinggi angkatannya memberi
pelajaran beberapa macam ilmu silat kepada anak muda
selaku hadiah atau membalas budi dengan memberi
beberapa jurus ilmu silat adalah sudah jamak di kalangan
persilatan. Dalam hal ini tak perlu orang harus saling
mengangkat guru dan murid.
Sebenarnya Nyo Hoan tak kalah pintar dengan si dara,
tetapi dia memang berwatak sombong, jadi tak sampai
memikirkan hal itu. Setelah mendengar ucapan si dara, ia
tertawa keras. Dengan menatap Kang Hay-thian ia
berkata, "Benarkah kau bermaksud begitu" Hahaha, ini
sungguh membuat orang mati tertawa. Hari ini kalau tak
kebetulan berjumpa dengan aku, mungkin jiwamu sudah
hilang, masakah kau mau memberi pelajaran silat
padaku" Jangankan kepandaianmu yang tak kuanggap
sama sekali, sekalipun orang yang jauh berpuluh kali
lebih lihai dari kau, aku pun tak sudi menerima
pelajarannya! Hahaha, jadi kau benar mempunyai
maksud begitu?" Hay-thian membiarkan saja pemuda tanggung itu
mengoceh, setelah itu barulah ia tersenyum, "Baik,
kutarik usul itu dan anggaplah aku memang tak tahu
diri." Saat itu darah To-kan sudah menyalur normal, ia tak
tahan mendengar kecongkakan Nyo Hoan, serunya,
"Nyo-kongcu, jangan kau memandang rendah Suhuku.
Suhuku ini ialah Kang-tayhiap, semua orang kenal pada
Kang Hay-thian, Kang-tayhiap!"
"Kan-ji, jangan sembarangan bicara. Suhumu hanya
orang biasa," tegur Hay-thian.
Masih To-kan menandaskan, "Itu bukan aku yang
mengatakan, sahabat-sahabat ayahku apabila
membicarakan tentang dirimu tentu memuji begitu."
Dengan rasa heran Nyo Hoan menatap Kang Haythian,
lalu menegas, "Kang-tayhiap siapa" Katamu,
orang-orang tentu kenal, tetapi aku belum pernah
mendengarnya. Hm, memang dengan ilmu Kek-khongtiam-
hiat yang kau pertunjukkan tadi, mungkin dapat
menakuti bangsa keroco persilatan. Julukan Tayhiap atau
Siauhiap memang lazim di dunia persilatan, kau
mempunyai kepandaian begitu dan mengangkat diri
sebagai Tayhiap juga tak ada orang yang melarang."
Sebenarnya dalam hati Nyo Hoan memuji ilmu Kekkhong-
tiam-hiat dari Kang Hay-thian tadi, tetapi dia
belum tahu sampai dimana sesungguhnya kepandaian
Kang Hay-thian itu. Memang Kek-khong-tiam-hiat
bukanlah suatu kepandaian yang luar biasa sekali, yang
membuat mendongkol Nyo Hoan ialah ketika diketahui
Kang Hay-thian hendak memberi pelajaran silat
kepadanya tadi. Anak itu congkak dan menganggap ilmu
silat keluarganya yang paling tinggi, ucapan Kang Haythian
tadi dianggapnya suatu penghinaan. Maka dalam
kata-katanya terhadap Kang Hay-thian ia selalu
meremehkan dan menusuk hati.
"Ah, anak kecil memang tak tahu urusan apa-apa,
telah kukatakan, aku bukan Tayhiap, harap Nyo-kongcu
tak usah mengambil hati sungguh-sungguh. Nyo-kongcu,
kau tentu murid seorang tokoh ternama. Sukakah kau
memberitahu nama yang m'ulia ayahmu?"
Sedapat mungkin Kang Hay-thian bersikap merendah,
memang ia heran, kalau anak itu saja sudah sedemikian
lihainya, ayahnya tentu seorang tokoh ternama, tapi
mengapa tak kenal padanya"
"Apa kau berminat hendak bersahabat dengan
ayahku" Jangan melamun. Ayahku itu buruk sekali
perangainya, dia tak mau mempedulikan orang
sembarangan. Tak perlu kau tanya namanya!" Nyo Hoan
terus hendak mengajak si dara pergi.
"Tunggu dulu, Nyo-kongcu!" cegah Hay-thian pula.
Nyo Hoan berpaling, sahutnya dengan tidak sabar,
"Mengapa kau terus menerus hendak merepotkan aku"
Hendak bicara apa lagi?"
"Maaf, aku hendak bertanya tentang seseorang
padamu. Kau mempunyai adik misan bernama Siau-hoa
dan ia mengambil seorang kacung, bukan?"
"Apa hubungannya dengan kau?" Nyo Hoan balas
bertanya. "Bukankah kacung itu bernama Li Kong-he?" kembali
Hay-thian bertanya. "Benar, kenalkah kau?" kini si dara yang menyeletuk.
"Dia adalah putra seorang sahabatku. Aku sedang
mencarinya. Siapakah nama pamanmu dan dimanakah
tempat tinggalnya?" Nyo Hoan tertawa mencemooh, "Pamanku lebih ganas
dari ayah, dia membunuh orang tanpa berkedip. Orang
luar tak boleh datang ke tempatnya, jika kau ke sana, tak
usah dia turun tangan, bujangnya saja tentu akan
mencincangmu." Kang Hay-thian hanya tersenyum, "Walaupun tak
kukenal namanya, tapi kutahu pamanmu itu ingin
bertemu dengan aku."
"Bagaimana kau tahu" Bohong!" teriak Nyo Hoan.
"Aku pernah berjumpa dengan adik misanmu Siauhoa.
Dia yang mengatakan sendiri."
"Siau-hoa memang pernah mengatakan padaku bahwa
ada seorang jahat hendak mencari anak itu," sahut Nyo
Hoan. "Benar, tapi itu lain golongan lagi, bukan aku."
Nyo Hoan tertawa lebar, "Kutahu kau bukan orang
jahat, kau Kang-tayhiap. Sayang adik misanku tak
mengatakan tentang dirimu."
"Terus terang kuberitahukan, anak itu sebenarnya
muridku!" akhirnya Kang Hay-thian menerangkan.
"Sejak kecil aku sudah mengangkat saudara dengan
dia!" buru-buru To-kan turut menimbrung.
"Itu aku tak peduli. Tadi kau bilang pamanku hendak
berjumpa denganmu. Nah, tunggu saja sampai dia
datang mencarimu, jika tidak, silakan kau mencarinya
sendiri. Aku tak punya selera mendengarkan urusanmu,
aku hendak pergi!" "Jangan kuatir, adik misanku akan memperlakukan
anak itu baik-baik. Begitu baik sampai engkoh Hoan ini
merasa cemburu!" seru si dara sambil mencibirkan bibir.
"Nona baik, aku hendak minta pertolongan suatu hal
padamu, namaku Lim To-kan. Kalau bertemu adik
misanmu itu, tolong kasih tahu padanya bahwa aku
masih hidup di dunia ini!"
Kembali si dara mengikik tawa. "Kau masih hidup, apa
hubungannya dengan dia" Toh belum tentu kau kenal
padanya?" sahut si dara.
"Aku hendak minta tolong padanya menyampaikan hal
itu pada Kong-he, supaya dia jangan sedih memikirkan
diriku!" jawab To-kan. "Baik, akan kuperhatikan," sahut
si dara. "Siapa nama adik misanmu itu" Bolehkah aku tahu"
Kelak kalau ketemu padanya, biarlah aku menghaturkan
terima kasih," kata To-kan pula.
"Siau-hoa benar-benar menarik bagi setiap orang.
Baiklah, aku tak takut mengatakan namanya. Ia she Tiok,
namanya Ceng-hoa. Siapa nama pamanku, tak perlu kau
tanyakan." "Ya, tetapi siapa namamu sendiri nona" Aku pun
hendak mengucapkan terima kasih padamu."
Agaknya dara itu senang kepada To-kan, ia tertawa,
"Jarang aku bertemu seorang anak yang berani, lincah
dan ceriwis seperti kau! Ya, akan kuberitahu agar kau
jangan terus bertanya. Aku she Siangkoan dan bernama
Wan. Yang menolong kau tadi adalah engkoh Nyo Hoan.
Jangan berterima kasih kepadaku."
Nyo Hoan menyahut dingin, "Kau memang cerewet
sekali. Karena hendak membalas rasa penasaran adik
misanku barulah kubunuh orang-orang tadi. Sekali-kali
bukan untuk kepentinganmu, maka janganlah berterima
kasih kepadaku. Aku she Nyo bernama Hoan, biar
kukasih tahu agar kau jangan cerewet tanya lagi. Enci
Wan, jangan lama-lama di sini mari kita pergi!" Rupanya
Nyo Hoan sudah tak sabar lagi.
"Tunggu!" tiba-tiba Kang Hay-thian berseru pula.
"Omonganmu sudah habis atau belum" Aku tak punya
waktu untuk mengobrol dengan kalian," Nyo Hoan
marah-marah. "Maaf, mengganggu sebentar lagi. Aku hanya akan
mengucapkan beberapa patah kata untuk menyampaikan
isi hatiku," kata Kang Hay-thian.
"Apa yang hendak kau katakan, aku sudah tahu. Tak
perlu ribut-ribut lagi," tanpa berpaling Nyo Hoan keluar
gua. Ia menduga paling-paling Kang Hay-thian tentu
hanya berterima kasih saja.
Dengan tenang Kang Hay-thian berseru, "Nyo-kongcu,
nona Siangkoan, sekalipun kau sebenarnya bukan
menolong aku, tetapi aku merasa berhutang budi. Kelak
di kemudian hari jika kalian memerlukan bantuanku, asal
jangan pekerjaan jahat saja, aku tentu akan meluluskan.
Ingatlah!" Dia menggunakan Lwekang Thoan-im-jip-bit
(ilmu mengirim gelombang suara). Nyo Hoan dan si dara
yang sudah berjalan setengah li, masih mendengarnya
dengan jelas. "Manusia itu sungguh tak tahu diri, masakah aku Nyo
Hoan sudi minta tolong orang luar" Segala urusan besar
di dunia ini, dapat diselesaikan oleh ayah dan pamanku,"
demikian Nyo Hoan menggerutu.
Sebaliknya Siangkoan Wan yang berjalan di belakang
cepat menyahuti pernyataan Kang Hay-thian tadi,
"Terima kasih atas kebaikanmu. Kuingat dalam hati, lebih
dulu aku berterima kasih."
Ia menyusul Nyo Hoan, katanya, "Mengapa kau begitu
tak tahu aturan" Kukira orang she Kang itu bukan orang
sembarangan." "Persetan dia mempunyai riwayat hebat, tapi
kepandaiannya tetap tak bisa menangkan ayah dan
pamanku," sahut Nyo Hoan.
Apa yang dibicarakan kedua muda-mudi itu, Kang
Hay-thian tidak mendengar. Tapi sahutan si dara tadi ia
mendengarnya. Ia dapat menduga Nyo Hoan tentu
bersikap congkak. "Budak she Nyo itu sungguh kelewat memandang
rendah Suhu, dia hanya menganggap sudah menolong
kita, tapi dia tak tahu kalau Suhu juga menolongnya.
Suhu, mengapa tak kau beritahukan padanya?" tanya Tokan.
Kiranya gerakan Kek-khong-tiam-hiat yang*
dilancarkan Kang Hay-thian tadi dapat diketahui jelas
oleh To-kan. Ini bukan berarti bahwa kepandaiannya
lebih tinggi dari Nyo Hoan, sebabnya ialah karena ia
berada di sudut gua dan menumpahkan seluruh
perhatian pada pertempuran di situ. Dan lagi dalam
beberapa hari itu ia sudah berhasil mempelajari ilmu
Tiam-hiat dari Kang Hay-thian.
"Mengapa aku mengimbangi sikap seorang anak" Dan
lagi memang dia telah memberi pertolongan pada kita.
Seorang ksatria harus mengingat segi kebaikan orang
lain, jangan segi keburukannya, kecuali apabila orang itu
memang benar-benar orang dorna, itu lain halnya."
"Benar, terima kasih atas petuah Suhu," sahut To-kan.
Hay-thian tertawa lebar, "Kan-ji, aku bersyukur karena
kau lekas dapat menangkap sesuatu. Baiklah, kita juga
harus pergi!" To-kan mengikuti sang Suhu keluar gua, dirasakannya
langkah kakinya ringan sekali, lebih lincah dari beberapa
hari yang lalu. Diam-diam ia kagum atas kesaktian ilmu
Lwekang Suhunya dan sebaliknya menertawakan
kecongkakan Nyo Hoan yang sudah menyangka "emas
sebagai loyang". Mendaki ke atas gunung, dari arah Cong-liong-poh
tampak asap masih mengepul, bangunan-bangunan di
daerah itu sudah menjadi puing. Teringat akan bujang
Tio yang melindungi dirinya, To-kan melelehkan air mata,
katanya dengan suara tersekat, "Paman Tio tentu
mengalami bahaya. Kawanan penjahat yang melepas api
itu, ingin sekali aku membunuhnya."
Kang Hay-thian mengelus-elus kepala bocah itu,
"Bagus, nak, catatlah perhitungan itu. Tetapi kau harus
ingat bahwa yang jadi korban kaki-tangan musuh masih


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak orang lagi. Membalas dendam tidak hanya
mengandalkan keberanian dan jangan terburu nafsu.
Contohlah ayah dan pamanmu Li. Hanya setelah dapat
mengusir musuh negara, baru kita dapat berbakti kepada
negara." "Baik. Setelah mendapat ilmu pelajaran dari Suhu, aku
tentu akan mencari ayah. Sayang paman Li sudah
dibunuh musuh, engkoh Kong-he kini sudah dijadikan
kacung orang, entah sampai kapan baru kita dapat
berjumpa lagi?" sahut To-kan.
"Untung sekarang sudah menemukan sedikit jejaknya
bahwa dia berada dalam keluarga Tiok. Orang she Tiok
itu terang seorang tokoh persilatan yang lihai, perlahanlahan
kita tentu dapat menyelidikinya."
To-kan menanyakan kemana mereka hendak menuju.
Jawab Kang Hay-thian, "Lebih dulu hendak kuajak kau
menemui Toasuhengmu, kemudian baru kita berunding
lagi. Toasuhengmu itu bernama Yap Leng-hong, kusuruh
dia menunggu di kota Jiok-oh."
Dari Bici ke kota itu, berkuda pun harus memakan
waktu 5-6 hari. Tempo datang ke Bici, Kang Hay-thian
siang malam menggunakan ilmu berlari cepat, itupun
harus empat hari. Sekarang karena membawa To-kan,
sudah tentu ia tak dapat lari cepat, walaupun lari
keduanya jauh lebih pesat dari orang biasa, tapi waktu
tiba di Jiok-oh juga membutuhkan sebelas hari. Telah
dijanjikan kepada Leng-hong bahwa paling cepat delapan
hari paling lama sepuluh hari Kang Hay-thian tentu sudah
kembali ke Jiok-oh. Tetapi karena mendapat luka, total
jenderal 18 hari kemudian baru ia tiba di Jiok-oh. Jadi 8
hari lebih lama dari waktu yang dijanjikan.
Kang Hay-thian mengira toh Leng-hong senggang,
walaupun terlambat hampir seminggu, tentu masih tetap
menunggu di kota itu. Di luar dugaan, Leng-Hong telah
berbuat lain. Memang selama 8 sampai 10 hari, ia tetap menunggu
dengan tenang. Tiap hari ia giat berlatih pelajaranpelajaran
yang diberikan Suhunya selama dalam
perjalanan itu. Dan karena jarang keluar pintu,
pelajarannya pun maju pesat. Lewat hari yang ke-10, dia
telah mencapai tingkat tertentu, tapi berbareng itu dia
pun mulai gelisah memikirkan Suhunya.
"Meskipun kepandaian Suhu sakti sekali, tapi dia
hanya seorang diri. Kawanan Ko-chiu yang hendak
menangkap Lim Jing itu berjumlah banyak, mungkin dia
kesamplok rombongan Ko-chiu itu. Ah, gelagatnya lebih
banyak celakanya, jika tak meninggal tentu Suhu akan
terluka berat," pikirnya.
Makin memikirkan makin besar kegelisahannya, "Aku
ini murid kepala dari Kang-tayhiap, banyak sudah orang
persilatan yang tahu. Jika tahu sampai mengalami
kecelakaan, aku tentu terembet. Dahulu ketika bertemu
musuh di gunung Thay-san, untung ada Siau Ci-wan
yang membantu. Kali ini jika bersua lawan, bagaimana
aku dapat menghadapinya seorang diri" Lebih baik di
antara 36 siasat, lari adalah yang paling sempurna!"
"Tapi ah lari kemana" Pulang?" Terlintas dalam
pikirannya ketika hendak pergi, ia pernah bersumpah
takkan pulang lagi. Juga teringat akan cita-citanya yang
belum terlaksana, kalau pulang tentu akan kehilangan
muka. Tiba-tiba terbayang dalam benaknya bayangan
seorang dara yang cantik. Dara itu ialah sumoaynya atau
Kang Hiau-hu, putri Suhunya,
"Ya, mengapa aku tak pulang saja ke rumah Suhu"
Subo adalah pemimpin partai Bin-san-pay, ia tentu dapat
melindungi diriku. Ha, ini sekali dayung dua tepian
namanya, bukankah memang aku rindu pulang menemui
Sumoay" ... Tapi kalau Subo bertanya, bagaimana
jawabku" Suhu belum jelas beritanya. Apakah aku bisa
sembarangan mengatakan beliau sudah meninggal" Ah,
apakah lebih baik kukatakan saja kalau beliau tertangkap
oleh kawanan Tay-lwe Ko-chiu?"
Demikian rencana-rencana yang berlalu lalang dalam
pikiran Leng-hong. Kedua ekor kuda Jik-liong-ma dan
Pek-liong-ma, setelah dirawat selama sepuluhan hari
sudah sembuh sama sekali, kedua kuda itu dalam sehari
dapat menempuh seribu li. Sebenarnya Leng-hong dapat
berkuda mencari berita ke Bici, toh hanya makan waktu
dua hari saja, tetapi pertama, karena ia tak berani dan
kedua, karena ia hanya mementingkan diri sendiri. Jika
pergi ke Bici dan tak dapat berjumpa dengan Suhunya,
berarti terjerat bahaya pula, kalau berhasil menemui
Suhunya tak kurang suatu apa pun, ia tentu akan diajak
mencari Li Kong-he. Ah, entah kapan ia dapat berjumpa
lagi dengan Sumoaynya itu"
Tak apalah jika Sumoaynya hanya seorang diri dan
menunggu kedatangannya, tapi yang jelas di rumah
terdapat Sutenya, Ubun Hiong, yang sedang merawat
sakit. Teringat bagaimana sewaktu di dalam lembah, ia
dapatkan Sumoaynya begitu mesra terhadap Ubun
Hiong, bergolaklah rasa cemburu dalam hati Leng-hong,
pikirnya, "Jika sekarang aku tak lekas pulang, kalau
sampai di dahului budak Ubun Hiong itu, aku tentu gigit
jari nanti. Ya, akan kukatakan kepada Subo kalau Suhu
menuju ke Bici dan tiada beritanya lagi. Di tengah jalan
aku berjumpa musuh, karena jejaknya sudaTi ketahuan
musuh, terpaksa aku pulang memberi berita kepada
Subo. Kelak apabila Suhu tak mengalami sesuatu dan
pulang, karena waktu yang dijanjikan sudah lewat, dia
tentu takkan menyalahkan tindakanku pulang sendirian
itu. Aku pulang melapor Subo, juga termasuk memikirkan
kepentingan Suhu. Siapa tahu Suhu bahkan akan memuji
padaku karena dapat mengambil keputusan dalam waktu
yang genting." Pikiran bulat, putusan tetap. Saat itu sudah petang, ia
memutuskan besok pagi saja akan berangkat, maka ia
lantas keluar membeli rangsum dan lain-lain bekal
perjalanan, di antaranya dibeliny.i juga pelana baru
untuk kuda. Jiok-oh itu sebuah kota kabupaten yang
kecil, habis berputar-putar membeli barang, tibalah ia di
sebuah jakin yang sepi di dekat pintu kota, tiba-tiba dia
bertemu seseorang. Seorang lelaki yang alisnya tebal, mata besar dan
jenggotnya lurus kaku, tiba-tiba ia berhenti menghadang,
"Sungguh kebetulan sekali, mana Suhumu" Hai,
mengapa matamu membelalak, tidak kenal aku?"
Leng-hong tersentak kaget. Orang lelaki itu bukan lain
ialah penjahat besar Utti Keng yang pernah membuatnya
malu ketika di tempat partai Kaypang cabang Tek-ciu
memukul pedangnya hanya dengan gulungan tanah liat.
Karena rasa kejut itu, otomatis Leng-hong menyingkir
ke samping. Tapi sekali mengulurkan tangannya yang
segede kipas, Utti Keng dapat menyambarnya, dia
tertawa gelak-gelak, "Jangan takut, aku dan Suhumu
sudah menjadi kawan, masakah aku mau memukulmu.
Hai, budak, mengapa kau pukul aku?"
Waktu disambar tadi, kontan saja Leng-hong
mendorongnya. Utti Keng terhuyung-huyung, ujung
bibirnya mengucurkan darah. Tapi secepat itu juga ia
menyambar tubuh Leng-hong dengan kelima jarinya
yang sekeras jepitan baja, kini Leng-hong tak dapat
berkutik lagi. "Tadi aku tak sengaja memukulmu. Kau ... kau
mengapa menyeret aku?" tegurnya gugup.
Dengan napas terengah-engah Utti Keng membentak,
"Lekas bawa aku kepada Suhumu!"
Leng-hong heran ketika mengawasi dengan cermat,
barulah diketahuinya wajah orang she Utti itu pucat
seperti orang sakit. Pakaiannya terdapat noda darah,
menandakan orangnya tentu menderita luka.
"Perlu apa kau ingin bertemu Suhuku" Bilang dulu
yang jelas," sahut Leng-hong. Ia memperhitungkan Utti
Keng tentu terluka, maka rasa takutnya pun berkurang.
"Apakah kau tak melihat aku terluka" Di belakang ada
tiga orang kuku garuda yang mengejar aku! Jangan
banyak omong, lekas antarkan aku kepada Kangtayhiap."
Kuku garuda adalah istilah untuk orang-orang
persilatan yang berhamba pada penjajah.
Leng-hong membantah lagi, "Lepaskan dulu
tanganmu, nanti kukasih tahu."
Utti Keng tertawa, "Budak, bukankah belum tiga bulan
kau mengangkat Suhu" Kini kepandaianmu sudah
berlipat dari dulu. Hampir saja tadi aku kena kau dorong
jatuh." Ia lepaskan cekalannya. Leng-hong juga
terhuyung dulu sebelum dapat berdiri tegak.
"Orang ini menderita luka berat tapi masih begitu lihai.
Tubuhnya mengalirkan darah dan mulutnya muntah
darah, dia tentu terluka dalam yang parah. Ketiga kuku
garuda yang mengalahkannya itu tentu jago-jago yang
jempol. Ah, celaka, celaka. Lebih baik aku tak ikut
campur dalam urusan ini," pikir Leng-hong.
Sudah tentu Utti Keng tak tahu yang dipikirkan anak
muda itu. Karena Leng-hong itu murid Kang Hay-thian,
maka dianggapnya seperti orang sendiri. Sedikitpun ia
tak menaruh di hati akan urusan yang lampau, ia segera
mengajak Leng-hong lekas berjalan.
"O, kiranya kau hendak minta pertolongan pada
Suhuku?" tawar-tawar saja Leng-hong menyahut.
Utti Keng menyahut marah, "Kau hendak mengolok
aku" Ya, memang. Selama hidup aku tak pernah
meminta tolong orang kecuali Kang-tayhiap. Karena
menjunjung tinggi Suhumu, maka aku baru mau minta
tolong padanya. Apakah kau enggan mengantarkan
aku?" Leng-hong pernah merasakan pil pahit dari orang itu
dan tahu pula wataknya yang berangasan. Mungkin kalau
salah bicara, bogem mentah bisa melayang ke kepala,
tak berani lagi ia bicara dengan nada dingin. Ia
memberitahukan sungguh-sungguh bahwa Suhunya
berada di kota itu. "Celaka, mengapa tak lekas kau katakan?" Utti Keng
banting-banting kaki. Kiranya tadi dia hendak mencari
seorang sahabat Hek-to di kota itu, tapi sahabatnya itu
tak begitu erat padanya, kepandaiannya juga hanya
tergolong tokoh kelas dua saja. Satu-satunya yang
menjadi harapan Utti Keng bahwa sahabatnya itu
seorang tokoh yang menjunjung tinggi pribadi. Karena
dikejar musuh, terpaksa Utti Keng hendak lari ke tempat
sahabatnya itu, tapi waktu berjumpa dengan Leng-hong,
ia segera merubah rencananya semula.
Sampai sekian lama adu mulut, barulah diketahui
kalau Kang Hay-thian tak ada di kota situ. Coba tadi-tadi
Leng-hong mengatakan begitu, ia masih sempat lari
mencapai sahabatnya itu, kini segalanya sudah kasip.
"Maaf, Suhu tak di sini dan aku tak mampu
membantumu. Carilah dia sendiri saja, mudah-mudahan
kau selamat tak kurang suatu apa, semoga lain kali bisa
bertemu lagi," kata Leng-hong.
Utti Keng membelalakkan sepasang matanya dan
melangkah ke depan Leng-hong, "Tunggu dulu!"
"Mengapa?" "Tungganganmu Jik-liong-ma atau Pek-liong-ma"
Pinjamkan yang seekor padaku untuk sementara!" kata
Utti Keng. Ia pernah naik Pek-liong-ma dan tahu juga
kalau Jik-liong-ma itu tak kalah dengan Pek-liong-ma.
Asal ia naik kuda itu tentu dapat meloloskan diri dari
kejaran musuh. Leng-hong cerdik sekali, apa yang dipikirkan Utti Keng,
sebelumnya ia sudah dapat mengira. Dia mempunyai
pertimbangan sendiri, pikirnya, "Sebenarnya tak susah
aku menolongmu. Memang kedua kuda itu alat yang
paling tepat, tapi perlu apa aku harus menolong orang
yang pernah membikin malu padaku" Perlu apa aku
harus repot-repot melayani orang yang terluka" Apalagi
aku harus lekas pulang menemui Sumoay. Ini lebih tak
memungkinkan aku membawamu bersama-sama."
"Hai, mengapa kau terlongong saja" Bagaimana, mau
meminjami atau tidak?" teriak Utti Keng.
"Terus terang saja, aku hanya membawa seekor kuda.
Tapi bukan Pek-liong-ma juga bukan Jik-liong-ma. Pula
kudaku itu tengah sakit!" sahut Leng-hong.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman, dari
wajah si anak, Utti Keng tahu kalau dibohongi. "Budak,
mengecewakan saja kau menjadi murid Kang-tayhiap.
Sedikitpun kau tak punya nyali lelaki! Di hadapan orang
yang berpengalaman jangan suka berdusta. Kau tak mau
meminjami, bukan?" ia mengulurkan tangannya untuk
mencekal Leng-hong lagi. "Kalau mau minta pertolongan paling tidak
kau harus mengucapkan kata-kata yang baik, tetapi kau
terus selalu main pukul dan tendang saja. Kau menghina
aku sih tak apa, tetapi kau terlalu tak memandang muka
pada Suhuku!" Utti Keng terkesiap, ia menghela napas, "Naga yang
terdampar di air dangkal tentu dipermainkan udang.
Harimau yang berada di tanah datar akan dihina anjing.
Sudahlah, tak seharusnya aku minta tolong padamu!"
Dalam marahnya Utti Keng mendorong Leng-hong
sampai beberapa langkah. Diam-diam Leng-hong
bergirang dalam hati, ia putar tubuh terus lari.
Tiba-tiba pada lain saat terlintas sesuatu dalam pikiran
Utti Keng, "Ah salah, salah. Budak itu jangan-jangan
menipu aku!" Ia menghimpun tenaga dan menahan
sakitnya terus mengejar Leng-hong.
Kesangsian timbul dalam hati Utti Keng, masakah
Kang Hay-thian membawa muridnya berkelana di luaran
lantas meninggalkan dia begitu saja di sebuah kota kecil"
Tentu anak itu sendiri yang merintangi supaya dia jangan
sampai bertemu dengan Kang Hay-thian. "Kang Haythian


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang pendekar budiman, aku tak boleh
menilainya seperti anak itu," pikirnya, ia menduga Kang
Hay-thian tentu berada di kota itu.
Ketika berpaling dan mendapatkan Utti Keng
mengejar, kejut Leng-hong bukan kepalang, serunya,
"Mengapa kau tak lekas mencari tempat bersembunyi,
sebaliknya mati-matian mengikuti aku?"
"Aku ingin pergi ke tempat pondokmu menjumpai
Suhumu!" sahut Utti Keng.
"Suhu tak berada di sini. Kalau tak percaya, kau tentu
menyesal!" "Tahukah kau kalau aku ini seorang benggolan yang
membunuh orang seperti jiwa lalat" Suhumu di sini, kau
kuanggap sahabatku. Jika dia tak di sini, hehe, tak perlu
aku bersahabat denganmu lagi! Tetapi bukannya aku
hendak membunuhmu, melainkan hanya meminjam
kudamu saja. Jelasnya, bukannya aku minta pertolongan
padamu melainkan aku hendak merampas kudamu.
Terserah, kau suka atau tidak, kau rela atau tidak."
Leng-hong mengeluh dalam hati, diam-diam ia
mencari akal bagaimana menghindari momok ini. Tibatiba
terdengar derap kuda lari, tiga ekor kuda menerobos
masuk kota dengan pesat. Kejut Leng-hong bukan
kepalang, yang datang itu tiga perwira. Salah seorang
dikenalnya sebagai Lok Khik-si dari kawanan Ki-lian-samsiu.
Setelah terluka di Cong-liong-poh, orang she Lok itu
segera minta bantuan pada kedua perwira kawannya,
yakni Ho Lan-bing, wakil komandan Gi-lim-kun dan Li
Tay-cin seorang Si-wi. Pasukan Gi-lim-kun mempunyai
dua orang wakil komandan, yakni Ho Lan-bing dan Co
Bong. Kepandaian Ho Lan-bing lebih tinggi dari Co Bong,
Li Tay-cin juga termasuk jago pilihan dalam pasukan Siwi.
Sejak berpisah dengan istrinya, Utti Keng menuju ke
Soasay menjenguk sahabatnya dan sekalian mencari
putra Li Bun-sing. Meskipun dia sudah minta tolong pada
Kang Hay-thian, tapi masih merasa tak enak kalau tak
turut mencari atau sekurang-kurangnya membantu
mencari berita untuk disampaikan pada Kang Hay-thian.
Secara kebetulan ia berjumpa dengan rombongan Ho
Lan-bing, seorang Ho Lan-bing saja sudah cukup berat,
apalagi ditambah Li Tay-cin. Juga Lok Khik-si yang sudah
sembuh lukanya dapat melukai Li Tay-cin dan
membunuh kuda tunggangan lawan-lawannya. Setelah
mencari ganti kuda, barulah ketiga orang itu mengejar
lagi. "Lekas, sekarang kita harus sama-sama melawan
bahaya!" Utti Keng menarik Leng-hong dan
membisikinya. Bagaimanapun jeleknya, Leng-hong juga
murid Kang Hay-thian. Dalam keadaan begitu, Utti Keng
tetap menganggap sebagai orang pihaknya.
Mereka saat itu berada di sebuah jalanan kecil dekat
pintu kota yang tak jauh dari jalan besar. Kala itu hari
sudah petang. Gang-gang yang terdapat di kota itu yang
paling panjang hanya 10-an tombak jauhnya. Kuda sukar
berlari cepat di situ. Justru ini membantu Utti Keng.
Leng-hong bersangsi sejenak, lalu berkata, "Lebih baik
kita lari berpencar, supaya memecah perhatian mereka."
Sebenarnya ia enggan tersangkut dalam urusan Utti
Keng. Ia memperhitungkan jika cepat-cepat menyelinap
kembali ke hotel, ia hendak naik kuda untuk lari lebih
dulu. Dan dengan lari berpencar itu, ketiga kuku garuda
itu tentu akan mengejar Utti Keng saja.
Utti Keng marah, tapi tak leluasa mendamprat. Tepat
pada saat itu mata Ho Lan-bing yang jeli segera melihat
bayangan Utti Keng. Dia tertawa gelak-gelak, "Bangsat
terkutuk, masih mimpi ingin lari" Ha, dia hanya punya
seorang teman, tak perlu ditakuti. Ringkus saja mereka!"
"Apakah tidak diharuskan menangkap hidup?" tanya
Lok Khik-si. "Benar, tapi jika tak dapat menangkap hidup,
mati pun boleh," sahut Ho Lan-bing.
Lok Khik-si memijat alat Lok-kak-jat. "Serrr, serrr,
serr", tiga batang panah meluncur.
Mendengar dirinya dianggap sebagai komplotan Utti
Keng, Leng-hong lari sipat kuping. Tapi sekencangkencangnya
ia berlari, tetap tak dapat melampaui
kecepatan panah itu. Pada saat ia hampir celaka, Utti
Keng dengan sebarnya memukul jatuh dua batang
panah, kemudian melompat ke muka dan dengan
pukulan Pik-khong-ciang menghantam panah yang
mengarah Leng-hong. Ho Lan-bing dan kawan-kawannya melompat turun
dari kuda, terus menerjang.
"Kalau datang tak disambut itu kurang aturan
namanya, lihat pukulan besi ini!" bentak Utti Keng yang
melontarkan tiga batang Hui-jui. Karena terluka,
tenaganya menjadi berkurang. Ketiga Hui-jui itu dapat
dipukul jatuh oleh lawan, tapi sekurang-kurangnya pun
dapat merintangi mereka untuk beberapa jenak.
"Setan cilik, tenanglah sedikit! Dengarkan angin untuk
menentukan datangnya senjata, cabut pedangmu untuk
menjaga diri. Baik kau boleh di muka aku yang
melindungi di belakang," dengan bisik-bisik Utti Keng
mendamprat. Ia anggap sebagai murid Kang Hay-thian,
Leng-hong tentu sudah tahu apa yang disebut ilmu Pianhong-
thing-ki (mendengarkan angin menentukan
datangnya senjata) itu, siapa tahu Leng-hong tak banyak
mengetahui tentang ilmu silat yang tinggi. Dalam
gugupnya ia hanya memutar pedang dan lari membabi
buta, justru karena pedang bercahaya mengkilat, maka
musuh tahu arah larinya. "Hahaha, anak ayam yang baru keluar dari
sangkarnya," Ho Lan-bing tertawa gelak-gelak. Nyali
mereka bertiga makin besar, dengan Kim-ci-piau, Huihong-
ciok dan lain-lain, mereka menghujani orang
buruannya. Utti Keng tetap menggunakan Pik-khongciang
untuk menyapu serangan itu. Sekali-kali juga balas
melontarkan Hui-jui, tapi dengan berbuat begitu,
tenaganya makin habis. Pada malam hari, jalanan di kota Jiok-oh sepi dengan
orang, toko-toko sebagian besar sudah tutup. Bahwa
pada saat-saat seperti itu tiba-tiba muncul tiga perwira
mengejar dua orang buronan makin membuat orangorang
lari ketakutan. Toko-toko yang masih buka ribut
menutup pintu. Benar senjata-senjata rahasia itu tak
sampai mengenai orang, tapi suaranya yang mendesingdesing
di jalanan cukup membuat panik orang. Utti Keng
tiada tempat lagi untuk bersembunyi, satu-satunya
harapan adalah lekas tiba di hotel Leng-hong. Sekalipun
Kang Hay-thian benar tak ada, ia masih dapat naik kuda
meloloskan diri. Setelah melintasi beberapa jalan kecil, senjata Hui-jui
Utti Keng sudah habis. Tak lagi ia dapat balas
menyerang, sedang lawan tetap menyerang dengan
gencar. Tiba-tiba dilihatnya Leng-hong melompat ke atas
sebuah rumah penduduk, ia menduga hotel anak itu
tentu sudah dekat. Seketika semangatnya timbul lagi, ia
turut melompat. Ho Lan-bing menimpukkan tiga batang panah, karena
melompatnya kurang lincah, betis kanan Utti Keng
termakan sebuah panah. Utti Keng menekan payon
untuk berjumpalitan melompat ke atas genteng. Lukanya
membuat tubuhnya berguncang dan kaki terhuyunghuyung.
Sekonyong-konyong Leng-hong membalikkan badan,
bukannya menolong, sebaliknya menghantam Utti Keng.
Mimpi pun Utti Keng tidak nyana kalau ia bakal mendapat
perlakuan begitu rupa, sudah jatuh tertindih tangga pula.
Betapa lihainya, sukar juga ia menghindar, pukulan itu
tepat sekali mengenainya. Utti Keng terpelanting jungkir
balik. Rupanya Leng-hong tahu Utti Keng terluka berat dan
segera mengatur rencana. Ia sengaja melompat ke
sebuah rumah, ketika Utti Keng mengikutinya, segera ia
turun tangan ganas. Saking marahnya Utti Keng sampai pusing kepala, ia
mencaci-maki, "Bangsat cilik, kau ini bukan manusia!"
Belum selesai ia memaki, Ho Lan-bing dan lain-lain
sudah datang dengan tertawa lebar dan berseru,
"Sungguh seorang anak yang pandai. Bagus sekali
tindakanmu, kau berjasa. Tak perlu lari, turun dan
terimalah hadiahmu!"
Li Tay-cin yang telah menelan pil pahit dari Utti Keng,
saat itupun datang untuk membalas sakit hati dan
mencari jasa. la keprak kudanya terus hendak
menangkap Utti Keng hidup-hidup.
Utti Keng ambil keputusan untuk menghadapi musuh
dulu, baru kelak membikin perhitungan lagi pada Lenghong.
Ia menggerung keras, sambil melompat ia
melontarkan sebuah pukulan.
Li Tay-cin tak menyangka sama sekali bahwa dalam
keadaan terluka Utti Keng masih sedemikian dahsyatnya.
Pukulan itu membuatnya muntah darah dan terjungkal
jatuh. "Bangsat, sudah mau mati masih tak mau menyerah?"
bentak Ho Lan-bing dengan gusar dan menyabetkan
pian, sedang Lok Khik-si pun lantas membantunya
melepaskan senjata rahasia.
Tepat seperti yang diduga Leng-hong, yang dikejar
adalah Utti Keng dan bukan dirinya.
Segagah-gagahnya Utti Keng, karena menderita luka
parah dan seorang diri menghadapi musuh-musuh yang
tangguh, setelah memberi perlawanan gigih sampai
berpuluh-puluh jurus, akhirnya kena ditangkap Ho Lanbing
juga. Leng-hong lari terbirit-birit. Sayup-sayup masih
didengarnya Utti Keng bertempur dengan berteriakteriak,
makin lama makin lemah untuk kemudian
berhenti. Ia menduga Utti Keng tentu sudah tertangkap.
Ketika tiba di hotel, Leng-hong menghembuskan
napas longgar, pikirnya, "Untung kawanan alap-alap itu
tak tahu diriku. Utti Keng seorang lelaki keras, sebencibencinya
kepadaku, dengan memandang muka Suhu, tak
nanti dia akan merembet pada diriku."
Berpikir sampai di situ, merahlah mukanya,
bagaimanapun nuraninya belum hilang. Saat itu
kesadarannya timbul dan gelisahlah hatinya. Utti Keng
seorang laki-laki jantan, tapi bagaimana dengan dirinya
sendiri" Leng-hong tertawa rawan, "Kawanan kuku garuda itu
menyuruh aku menerima hadiah, hehe, mana mereka
tahu pikiranku" Aku dikiranya seorang manusia rendah
yang suka menjual kawan!"
Ia mengejek, tertawa sendiri. Ia mencari dalih
membersihkan diri tapi kebingungan sendiri. Pikirnya
pula, "Seorang lelaki harus dapat menyesuaikan
keadaan, Utti Keng bukan sahabatku dan aku pun tak
berdaya membantunya. Masa depan seorang penjahat
yang ganas serta pernah menghina padaku, kuberi dia
sebuah pukulan, itu sudah jamak. Ah, sudahlah, tak perlu
memikirkannya lagi. Yang penting, setelah mereka
menangkap Utti Keng, jangan-jangan masih akan
mengejar aku lagi. Aku harus lekas berkuda melarikan
diri!" Dia mencari-cari dalih membela diri dan ia
menganggap dirinya tak bersalah.
Tetamu-tetamu di hotel situ telah mendengar berita
tentang tentara pemerintah melakukan penangkapan
pada buronan. Mereka bersembunyi di dalam kamar
masing-masing, pemilik dan jongos hotel berkumpul di
ruangan kasir, mereka siap menunggu apabila hotel itu
digrebeg. Kedatangan Leng-hong dengan melalui jendela
itu tiada diketahui orang sama sekali.
Bergegas ia mengemasi perbekalannya, ia tinggalkan
sekeping perak selaku pembayaran sewa kamar dan
diam-diam lantas menyelinap keluar. Istal kuda terletak
di pinggir hotel, memang perlengkapan istal kuda di kota
kecil situ amat sederhana sekali. Tiada petugas yang
mengurusnya, di dalam Istal pun hanya terdapat kedua
ekor kuda milik Leng-hong itu.
Leng-hong mempercepat langkahnya, ketika hendak
membuka tali pengikat kuda, dalam kegelapan terdengar
suara tertawa mengekeh, nadanya seperti burung hantu.
"Siapa?" Leng-hong terkejut.
"Yap-kongcu, bagus sekali perbuatanmu!" sebuah
sahutan yang bernada ejek terdengar.
Leng-hong mencabut pedang terus ditusukkan ke arah
suara itu, tapi cekatan sekali orang itu, "Cret", pedang
Leng-hong hanya menusuk tiang pengikat tali. Orang itu
tak membalas melainkan berseru, "Ho Lan-bing dan Tokkak-
lok segera akan mengejar kemari. Di saat begini kau
masih hendak berkelahi dengan aku" Apakah kau ingin
menunggu mereka datang menangkapmu?"
Nada orang itu seperti tak mengandung maksud
buruk, Leng-hong buru-buru mencabut pedangnya untuk
memapas tali pengikat kuda, kembali orang aneh itu
memperdengarkan ketawanya yang seram. Untuk
meniaga serangan gelap, Leng-hong melintangkan
pedangnya di dada. "Perlu apa kau seorang diri menggunakan dua ekor
kuda" Yang seekor ini berikan padakulah/' terdengar
suara orang itu lagi. Rupanya di tempat yang gelap itu ia
dapat melihat jelas tindakan Leng-hong. Sebelum Lenghong
menjambret kudanya yang kedua, orang itu sudah
mendahului berseru. Sementara itu suara teriakan Ho Lan-bing dan kawankawannya
sudah terdengar. Leng-hong tak berani ribut
mulut dengan orang aneh itu, setelah menerobos keluar
istal, segera ia melompat ke atas Pek-Iiong-ma dan
mencongklangnya. Saat itu Ho Lang-bing dan Lok Khik-si
sudah tiba di sebuah gang, begitu melihat Leng-hong,
berserulah Ho Lan-bing, "Anak baik, hebat benar kudamu
itu! Hai, mengapa kau lari" Kau sudah berjasa, apa tak


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin menerima pangkat dan kekayaan?"
Leng-hong menyempatkan diri untuk berpaling
sejenak, tampak Utti Keng telah diborgol, tali rantainya
dipegang Ho Lang bing. Mata Utti Keng berapi-api
menatap Leng-hong, tak berani Leng-hong beradu
pandang, ia mengeprak kudanya berlari ke arah yang
berlawanan. "Hm, budak itu tak mau ikut kita," gerutu Lok Khik-si.
Segera ia memijat Lok-kak-jat. Sebatang panah meluncur
pesat ke depan, Leng-hong cepat mengibaskan
pedangnya untuk menangkis panah itu.
"Ya, bunuh saja budak itu ada lebih baik bagi kita," Ho
Lan-bing mengayunkan tangan, sebatang Hui-piau
melayang menyusul panah Lok Khik-si, ia hendak
membunuh Leng-hong karena ingin merampas kudanya.
Kepandaian Ho Lan-bing lebih tinggi dari Lok Khik-si,
Hui-piaunya yang dilepaskan itu ternyata jauh lebih dulu
datangnya dari panah Lok Khik-si. Karena tiba di
tikungan jalan, Pek Long-ma tak dapat berlari cepat, Huipiau
pun cepat sekali sudah tiba di belakang punggung.
Tergetarlah hati Leng-hong, ia meragukan kekuatannya,
apa mampu menangkis kekuatan Hui-piau yang
sedemikian dahsyatnya itu, "Tring", tiba-tiba terdengar
suara gemerincingan seperti dua buah Piau beradu di
udara, menyusul dua benda jatuh di tanah.
"Bagus, budak itu masih punya konco," teriak Ho Lanbing.
Berbareng itu kuda Jik-liong-ma menerobos keluar dari
istal. Ho Lan-bing cepat mengayunkan tiga buah senjata
gelap. Sebatang paku Tau-kut-ting ditujukan pada Lenghong
dan dua buah Hui-piau pada penunggang Jik-liongma
itu. Kuda Leng-hong sudah membelok di tikungan dan tiba
di gang kedua. Secepat angin, Pek-liong-ma sudah
melesat tiba di ujung gang, jarak yang tak mungkin
dicapai oleh timpukan Tau-kut-ting. Leng-hong pun
mendengar gelak tertawa orang aneh tadi, rupanya dia
pun terlepas dari serangan, tapi Leng-hong tak sempat
memperhatikan orang lagi, dia keprak kudanya
sekencang-kencangnya. Pintu kota hanya dijaga oleh petugas yang sudah tua,
sudah tentu dia tak berani menghalangi. Sekali tabas
Leng-hong mengurungi gembok pintu, terus menerobos
keluar, hanya dalam beberapa kejap saja ia sudah jauh
dari kota itu. Di situ barulah longgar perasaan Lenghong,
dia tak kuatir dapat dikejar Ho Lan-bing lagi.
Memang Ho Lan-bing tak mampu mengejarnya, tapi si
orang aneh tadi dapat. Belum lama, kembali didengarnya
suara tertawa orang itu, memang Jik-liong-ma seimbang
kecepatannya dengan Pek-liong-ma.
"Gerak-gerik orang itu aneh, asal-usulnya tak jelas.
Walaupun dia tak bermaksud buruk tapi lebih baik
kuhindari saja," Leng-hong menimang dalam hati, tetapi
betapapun Leng-hong mengeprak kudanya, orang tak
dikenal itu tetap berada di belakangnya.
"Yap-kongcu, beristirahat dululah!" orang itu tertawa
mengejek. "Siapa kau" Mengapa membuntuti aku?" tegur
Leng-hong. "Malam ini boleh dikata aku telah
membantumu, mengapa kau hendak menyingkir dari
aku" Marilah kita omong-omong, siapa diriku, nanti tentu
kuberitahukan," sahut orang itu.
Sebenarnya Leng-hong agak jeri terhadap orang itu,
setelah berpikir sejenak, ia berseru, "Atas bantuanmu
tadi, kuberikan kuda itu kepadamu. Kita tak saling kenal,
apa yang perlu diomongkan lagi?"
"Banyak sekali, misalnya tindakanmu yang bagus tadi.
Bukankah itu cukup menjadi bahan pembicaraan kita?"
Leng-hong terjebak, ujarnya, "Apa katamu" Aku tak
mengerti, perbuatan bagus apa yang kulakukan?"
Orang itu tertawa gelak-gelak, "Di hadapan orang
yang jelas, perlu apa berbohong. Yap-kongcu, apa yang
kau lakukan tadi, kuketahui semua. Hehehe! Kau tak
ingin mendengar kata-kataku, kau merasa takut, bukan"
Namun, jika kau enggan mendengar pembicaraanku,
terpaksa aku akan mengatakan pada Suhumu. Hehehe!
Apabila Kang-tayhiap mengetahui kau yang
menyebabkan Utti Keng tertawan kawanan alap-alap itu,
coba terka, apa tindakan Suhumu nanti" Apakah kau
masih mimpi tetap jadi murid pewarisnya?"
Tergetar hati Leng-hong, seketika teringatlah ia akan
pantangan-pantangan yang keras ketika ia melakukan
upacara pengangkatan Suhu. Apabila tindakannya tadi
diketahui Suhunya, mungkin dia akan dicopot sebagai
pewaris olehnya, bahkan mungkin akan dibunuh.
"Maksudmu bagaimana?" Leng-hong menahan
kudanya, nadanya agak gemetar.
Orang itu melompat turun dari kuda, ujarnya, "Naik
kuda tak leluasa bicara, turunlah. Tempat ini tepat sekali
buat omong-omong." Saat itu hari masih diselubungi gelap-gelap remang.
Tiada orang yang tampak berjalan di jalanan, jalanan di
situ adalah sebuah jalan kecil di tepi gunung, diapit dua
lereng gunung dan di bawahnya terbentang sebuah
sungai. Kiranya mereka tiba di sebuah tikungan gunung,
keadaannya berbahaya. Seketika timbullah nafsu membunuh di hati Lenghong,
pikirnya. "Orang ini tahu rahasiaku, jika dibiarkan
hidup tentu membahayakan diriku." Ia turun dari
kudanya, pura-pura mengulur tangan hendak
bersalaman, tapi sekonyong-konyong ia melepaskan
sebuah hantaman dahsyat. Karena dapat memukul jatuh
senjata rahasia Ho Lan-bing, ia tahu orang itu tentu
hebat kepandaiannya. Pukulannya tadi dilancarkan
dengan sepenuh tenaga dan menggunakan pukulan maut
Si-mi-ciang-hoat, ia harap sekali pukul dapat
membuatnya mampus!. "Wah, wah, celaka! Kau sungguh kejam. Yap-kongcu!"
teriak orang itu sembari menggeliatkan tubuhnya
menghindar dengan indah, tetapi pukulan" ajaran Kang
Hay-thian itu lain dari yang lain, "Bluk", orang itu
menjerit dan jatuh terguling.
Tak mengira semudah itu ia dapat membereskan
orang, girang Leng-hong tak kepalang, ia menghampiri
untuk memeriksa apakah orang itu sungguh sudah mati.
Waktu melangkah maju dua langkah, ia segera hendak
mengayunkan kakinya menendang supaya tubuh orang
itu terbalik agar diketahui mati tidaknya, tapi tiba-tiba
terlintas sesuatu dalam pikirannya, lebih baik ia kebut
dengan lengan bajunya saja.
"Bret", tiba-tiba orang itu melompat menarik lengan
baju Lenghong. Secabik kain pindah ke tangannya,
ternyata orang itu tadi hanya pura-pura mati. Untung
Leng-hong merubah rencananya, coba dia jadi
menendang, kakinya tentu kena dicengkeram orang.
Sekalipun tadi ia menggunakan pedang, dalam keadaan
seperti itu juga sukar untuk terhindar dari rampasan.
Pada saat Leng-hong gelagapan, orang aneh itu sudah
menyerbu dan membentak. "Ha, bocah yang licik!" Tiga
kali serangan ilmu Hun-kin-jo-kut (memelintir tulang dan
urat) segera dilancarkan, tetapi semuanya dapat
dihindari Leng-hong. "Heh," si orang aneh menggumam heran, sedang
Leng-hong sudah mencabut pedangnnya, terus menikam.
Memang pada waktu maju menjenguk tadi ia sudah
berjaga kemungkinan yang tak diinginkan. Ilmu langkah
Thian-lo-poh-hoat yang baru saja dipelajari dari Suhunya
telah membuat orang aneh itu menubruk tempat kosong.
Nyali Leng-hong menjadi besar, pikirnya, "Hebat benar
kepandaian Suhu." Kemudian ia gunakan ilmu pedang
Tui-hong-kiam-hoat untuk merangsek orang.
"Ilmu pedang hebat!" teriak orang itu sembari
melontarkan pukulan Pik-khong-dang. Setelah dapat
mengisarkan pedang Leng-hong, ia sendiri pun lalu
mencabut golok dan tertawa, "Meskipun ilmu pedang
Suhumu itu sakti, tapi bdum sempurna latihanmu. Untuk
membunuh aku, itu masih jauh!"
Memang benar penilaian orang itu, baru dua bulan
Leng-hong ikut Kang Hay-thian. Memang banyak sudah
yang dipelajari, tetapi semua itu hanya secara lisan
ketika dalam perjalanan. Ada kalanya kalau beristirahat,
barulah Kang Hay-thian memberinya sedikit pelajaran
praktek, tapi karena Hay-thian selalu sibuk, waktu
beristirahat pun sedikit sekali. Paling-paling ia hanya
melakukan contoh gerakan satu kali saja sehingga Lenghong
pun tak mempunyai banyak kesempatan untuk
berlatih, latihan secara serius yang dilakukan Leng-hong
hanyalah selama sepuluh hari tinggal di hotel itu saja.
Betapa cerdasnya, paling-paling ia hanya mencapai
tingkat tertentu saja. Untuk menggunakan menurut
sekehendak hati di dalam menghadapi setiap perubahan
gerak lawan masih tak bisa.
Benarlah, tiga atau lima puluh jurus kemudian, orang
aneh itu sudah dapat memahami gerakan-gerakan Lenghong,
kelemahan Leng-hong makin menonjol. Saat itu
Leng-hong menduduki posisi kaki Pat-kwa-wi untuk maju
menyerang dengan pedangnya, gerak kaki Thian-lo-pohhoat
itu memang sesuai dengan ilmu pedang Tui-hongkiam.
Dan sudah dua kali ia menyerang secara begitu,
untuk yang ketiga kalinya, si orang aneh sudah
mendahului posisi yang bakal ditempati Leng-hong,
bentaknya keras, "Lepas pedang!" Sekali gigir golok
dibenturkan, jatuhlah pedang Leng-hong.
Orang itu tertawa gelak-gelak, ia putar goloknya buat
mengurung Leng-hong, serunya, "Yap-kongcu, kau
menyerah tidak?" Leng-hong mendengus, "Apa sih kepandaianmu itu"
Kalau kau berani melepaskan aku pulang, tiga bulan lagi
kau tentu bukan tandinganku!" Ia menduga orang itu
tentu kaum persilatan seperti Utti Keng. Orang-orang
begitu paling menjunjung muka, oleh karena itu ia
hendak coba-coba menyiasatinya.
Di luar dugaan orang itu tak kena dipancing, bahkan
sebaliknya mengangguk, "Tepat sekali ucapanmu itu.
Kepandaian Kang Hay-thian tiada yang dapat melawan di
dunia ini, kau sudah diluluskan menjadi ahli warisnya,
otakmu tajam, tiga bulan kemudian aku kuatir tak
mampu mengalahkanmu. Hehehe, tetapi sekarang kau
masih tak menang melawanku. Bagaimana kalau
sekarang kita bicara secara baik-baik?"
"Apa yang hendak kau bicarakan?" tanya Leng-hong.
Tertawalah orang aneh itu, "Yap-kongcu, lebih dulu
aku hendak bertanya suatu hal. Malam ini baru kuketahui
betapa ganasnya dirimu. Kukira, Chit-poh-tui-hun-chiu Cu
Goan tentu binasa di tanganmu?"
"Benar, akulah yang membunuhnya! Tahukah kau
bahwa Cu Goan itu sudah menghamba pada kerajaan
dan menjadi orang Lok-lim yang murtad" ..." Leng-hong
tak tahu siapa orang aneh itu, tetapi ia tahu bahwa
karena menentang Ho Lan-bing dan kawan-kawan, kalau
bukan bangsa Hiap-khek (pendekar) tentulah bangsa
penjahat. Kedua golongan orang gagah itu sama-sama
membenci orang Lok-lim yang murtad.
"Cu Goan itu siapa, tak perlu kau beritahukan padaku.
Dia adalah sahabatku!" tukas orang itu.
Leng-hong tersentak kaget dan berseru tertahan, "Kau
... kau...." "Bukan, melainkan menjadi sahabat baik Cu Goan Ittiong
saja, juga aku ini Suheng Ho Lan-bing, wakil
komandan pasukan Gi-lim-kun, namaku Hong Jong-liong.
Bukankah kau pernah mendengar Cu Goan mengatakan
tentang diriku?" Leng-hong membusungkan dada menantang,
"Seorang lelaki boleh dibunuh tak boleh dihina, karena
aku sudah jatuh ke tanganmu, silakan bunuh aku untuk
membalaskan sakit hati Cu Goan!"
Karena mengira sudah tak dapat meloloskan diri lagi,
mengingat dirinya murid Kang Hay-thian, ia tak mau
minta belas kasihan, maka meskipun sebenarnya hatinya
kebat-kebit, ia memberanikan diri untuk bersikap sebagai
seorang gagah. Hong Jong-liong tergelak-gelak, ia menyarungkan
golok dan berseru, "Jika kubermaksud membunuhmu,
perlu apa kupukul jatuh Am-gi Ho Lan-bing tadi" Kau
cerdik dan licik, kejam dan ganas, itulah jenis orang yang
kusukai. Untung malam ini kau ketemu padaku, jika
Suteku sampai membunuhmu, itu kan sayang sekali!"
Dengan masih diliputi rasa kejut, Leng-hong berseru,
"Kau ... kau ini pembesar kerajaan"!" Sebenarnya ia
hendak mengatakan "antek kerajaan", tapi diganti
dengan "pembesar".
"Yap-kongcu, di hadapanmu mana aku berani
menyebut diri sebagai pembesar" Kau adalah aku punya
majikan muda, orang she Hong hendak naik pangkat
mencari kekayaan. Untuk itu hanya mengandal
bantuanmu, Yap-kongcu," sahut Hong Jong-liong. Makin
lama makin aneh kata-kata Hong Jong-liong itu.
Leng-hong terperanjat, tegurnya, "Siapakah kau ini"
Mengapa mengaku diriku sebagai majikan muda?"
"Telah kukatakan sejelasnya, masakah kau belum
mengetahui siapa diriku" Hehehe, kau tak tahu aku,
sebaliknya aku tahu siapa kau. Yap-kongcu, kau sudah
sampai di Jiok-bo, mengapa tak menyambangi ayahmu"
Dengan naik kuda sakti itu, tak sampai tiga hari saja kau
tentu sudah tiba di Se-an!"
"Kau ... kau ini orang bawahan ayahku!" teriak Lenghong
dengan nada gemetar. Hong Jong-liong terbahak-bahak, "Kau dapat menebak
dengan tepat, aku adalah komandan pengawal Yaptayjih,
gubernur Siam-say. Ayahmu telah mengutus Cu
Goan untuk mencarimu, tetapi dia pergi tanpa kembali
lagi, terpaksa aku keluar sendiri. Tentang pembunuhan


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu Goan itu, aku berjanji menyimpan rahasia, marilah
ikut aku pulang!" Leng-hong tersentak kaget, tapi diam-diam juga lega,
pikirnya, "Dia orang bawahan ayahku, tentu tak berani
membunuh aku." Segera ia menyahut. "Aku tak ingin
pulang, bilang saja kalau kau tak dapat menemukan
aku." Hong Jong-liong tertawa dingin, "Yap-kongcu, kau
lepaskan kedudukan sebagai seorang Siauya (tuan
muda) putra gubernur, sebaliknya keluyuran ikut kaum
persilatan yang tak keruan, heran aku akan jalan
pikiranmu itu. Adanya Kang Hay-thian mau menerimamu
menjadi murid, tentu karena kau tak bilang sejujurnya
siapa dirimu itu. Kau tentu mengaku putra lain orang."
Muka Leng-hong sebentar pucat sebentar merah,
dampratnya, "Budak bernyali besar, kau sungguh
kurangajar!" Hong Jong-liong tertawa mengejek, "Yap-kongcu,
sekalipun ayahmu sendiri tak berani memaki aku dengan
kata-kata 'budak'. Memang aku menjadi komandan
pengawal ayahmu, tapi aku mendapat pengangkatan dari
kepala istana. Aku hanya disebut 'budak' oleh baginda
saja. Ayahmu pun jeri terhadap aku, mengerti?"
Sebagai anak yang cerdas, sudah tentu Leng-hong
mengerti persoalan itu. Dengan membawa surat
pengangkatan dari kepala istana itu, walaupun menjadi
komandan pengawal gubernur Siamsay, tapi pada
hakikatnya Hong Jong-liong itu bertugas untuk mematamatai
gerak-gerik ayah Leng-hong. Memang soal itu tak
mengherankan, orang yang menjadi kaisar selamanya
menaruh kecurigaan, pada diri pembesar-pembesar
tinggi ia selalu menaruh mata-mata. Jadi tidak sematamata
terhadap ayah Leng-hong saja.
Jelas akan kedudukan rangkap Hong Jong-liong itu,
tahulah Leng-hong kalau ia tak dapat mengagulkan
sebutannya sebagai 'majikan muda', namun ia pun tak
mau pulang. "Tiap orang mempunyai cita-cita sendiri, mengapa aku
tak sudi pulang menjadi putra gubernur, itu urusanku
sendiri. Kau mau menyimpan rahasia untukku, aku tentu
akan mengingat selamanya," jawabnya kemudian.
"Terima kasih. Asal jangan coba menggunakan siasat
terhadap Cu Goan itu kepadaku untuk itu aku sudah
merasa berterima kasih. Yap-kongcu aku cukup
mengetahui isi hatimu, kau tentu sayang urung menjadi
murid Kang Hay-thian, bukan" Setelah mendapat seluruh
kepandaiannya, kau akan bisa menjagoi dunia persilatan.
Hehehe, memang itu lebih gagah daripada menjadi putra
gubernur. Baik, karena kau sudah mengambil ketetapan
begitu, akan kusempurnakan maksudmu!"
Leng-hong kaget, biasanya kalau orang persilatan
mengatakan "menyempurnakan" itu artinya malah
berlawanan. Ia mengira Hong Jong-liong tentu akan
menurunkan tangan ganas, seketika pucatlah wajahnya.
Hong Jong-liong tertawa gelak-gelak, "Jangan
menaruh prasangka apa-apa Yap-kongcu, kita bicara
dengan baik-baik saja, asal saling menguntungkan
jadilah. Kau tak halangan menjadi murid kesayangan
Kang Hay-thian, aku takkan membuka rahasia dirimu,
biarlah kau belajar padanya dengan hati tenteram.
Setuju"!" "Apakah yang kau artikan dengan saling
menguntungkan itu?" Leng-hong bersangsi.
Jawab Hong Jong-liong, "Lebih dulu kau ikut aku
pulang menemui ayahmu, kita nanti berunding lagi, toh
kudamu dapat berlari sehari seribu li, jadi hanya perlu
waktu beberapa hari saja. Setelah berjumpa dengan
ayahmu, setiap saat kau bebas pergi lagi. Hal itu
serahkan padaku, jangan kuatir ayahmu akan
menahanmu." Leng-hong merenung sejenak, ujarnya, "Tidak, aku
tak dapat pulang." Hong Jong-liong mengerutkan jidat, "Yap-siauya,
apakah kau benar-benar tak mau memberi sedikit muka
padaku?" "Bukan karena aku tak mau memberi muka padamu,
tetapi aku takut..."
"Takut apa?" tukas Hong Jong-liong. "Takut di tengah
jalan bersua dengan Suhuku!" Hong Jong-liong tertegun,
katanya, "Apakah Suhumu pergi ke Siamsay"
"Ya, benar, dia menuju ke Bici. Dalam beberapa hari
ini akan kembali." "Mengapa ke Bici?"
Karena tak dapat mengelabui, terpaksa Leng-hong
menerangkan bahwa Suhunya hendak menyelidiki berita
Lim Jing di Bici. Hong Jong-liong tertawa meringis, "Kau mungkin
jujur, tapi apakah dia benar-benar mencari berita tentang
Lim Jing" Untuk apa"
Hayo, bilang lekas!"
Pikir Leng-hong, karena Hong Jong-liong ini sudah
bertemu dengan Ho Lan-bing dan Lok Khik-si, ia percaya
tentu sudah mendengar tentang rahasia Li Bun-sing,
maka jawabnya, "Hendak menyampaikan berita pada Lim
Jing, memberitahukan tentang peristiwa Li Bun-sing."
"Siapakah yang membantu Li Bun-sing membunuh
empat orang jago istana di gunung Thay-san tempo
hari?" tanya Hong Jong-liong pula.
Leng-hong tergagap menyahut, "Ini... ini.."
"Jangan gelagapan. Aku sudah tahu kau termasuk di
antaranya, dan siapa lagi yang seorang" Jika kau tak
mau mengatakan, aku pun akan dapat mengetahui. Pada
saat itu janganlah kau mengatakan aku kelewat ganas
terhadapmu," tukas Hong Jong-liong.
Diam-diam Leng-hong membatin, "Siau-toako sudah
pulang ke Jwan-pak. Toh dia akan bergerak juga. Karena
dia sudah berani melawan kerajaan, rasanya tiada
halangan kukatakan hal itu."
"Siau Ci-wan, cucu dari Siau Ceng-hong!" sahutnya
kemudian. "Bagus! Aku hendak bertanya lagi, ketika menutup
mata, apa pesan Li Bun-sing kepadamu?"
Sudah tentu pesan itu ada, ialah tentang kode-kode
untuk mencari hubungan, Li Bun-sing sudah mengadakan
persetujuan dengan pemimpin-pemimpin gerakan
melawan pemerintah Cing di beberapa tempat. Di
kemudian hari jika bukan dia sendiri yang datang, orang
lain harus menggunakan kode pengenal diri itu. Lenghong
insyaf betapa pentingnya kode itu. Betapa dia takut
mati, tapi untuk saat itu dia tetap tak berani
mengatakannya. Tetapi dia seorang licin, hatinya takut namun sikapnya
pura-pura tenang sekali, sahutnya, "Li Bun-sing seorang
persilatan kawakan, meskipun aku melepaskan budi
membantunya, tapi aku baru saja kenal dia, masakah dia
percaya begitu saja memberitahukan rahasianya."
"Masakah dia sama sekali tak mengadakan
penyerahan pada angkatan muda?" tanya Hong Jongliong.
"Ada sih ada, dia hanya memasrahkan putranya
kepada kami supaya bisa diterima menjadi murid
Suhuku," jawab Leng-hong.
Hong Jong-liong sudah kenyang pengalaman, mana
ucapan Leng-hong yang sungguh-sungguh dan mana
yang dusta, ia dapat mengetahui, pikirnya, "Anak ini
sungguh licin sekali, tetapi tak baik kalau kelewat
kudesak. Biarlah lebih dulu lunak kemudian keras, supaya
dia tahu kelihaianku."
"Yap-kongcu, apakah kau sungguh-sungguh tak mau
pulang," tanyanya pula.
"Setelah selesai pelajaranku, dengan sendirinya aku
akan pulang." "Kau takut Kang Hay-thian mengetahui rahasiamu dan
akan mengusirmu?" tanya Hong Jong-liong pula.
"Benar, memang begitu. Karena itu aku takut pulang
sekarang, kuatir kalau bersua Suhu di tengah jalan. Jika
tahu aku berjalan bersamamu, dia tentu akan bertanya
dan itu berbahaya. Hong-thongleng, kelak di kemudian
hari aku tak nanti melupakan kebaikanmu, akan kuberi
sebuah pelajaran ilmu silat yang sakti padamu!"
Hong Jong-liong menyahut dengan dingin saja,
"Sekarang aku sudah berumur 52 tahun. Untuk belajar
ilmu silat baru, rasanya sukar berhasil, aku tak
mengharapkan kebaikanmu itu."
Leng-hong bingung, serunya, "Habis apa yang kau
minta" Asal tenagaku dapat mengerjakan____"
Hong Jong-liong tertawa gelak-gelak, "Yap-kongcu,
kalau ingin bebas itu mudah saja. Sejak saat ini setiap
waktu aku akan mengirim orang untuk menghubungimu.
Konco-konco yang dikenal Kang Hay-thian itu semua
gembong-gembong pemberontak, berita apa yang kau
ketahui, sampaikanlah padaku. Begitu kau meluluskan,
segera akan kuberitahu tentang cara-cara kita
berhubungan." Kejut Leng-hong bukan kepalang, serunya, "Ini ... ini
berarti kau hendak memperalat diriku menjadi matamata?"
"Benar, aku memang menghendaki kau bersembunyi
di rumah keluarga Kang. Jika tidak, masa kubiarkan kau
tetap menjadi muridnya?"
Merah selebar muka Leng-hong, ia merasa
tersinggung sekali. "Kau kelewat menghina aku, lebih
baik bunuh saja aku!" teriaknya. Memang sewaktu Lenghong
minggat dari rumahnya, ia mempunyai anganangan
yang luhur. Dia dilahirkan di keluarga pembesar
negeri, sejak kecil cerdas dan tangkas sehingga disayang
oleh ayah-bundanya. Selama ini ia belum tahu
bagaimana penderitaan rakyat jelata, bagaimana tujuan
perjuangan untuk negara dan bangsa. Kemudian ia
mendapat didikan dari seorang guru, guru itu pandai
dalam ilmu sastra dan silat, seorang pejuang
kemerdekaan. Karena menghindari kejaran pemerintah
Cing, ia ganti nama dan menyelundup ke dalam keluarga
pembesar dan menjadi guru. Kala itu ayah Leng-hong
menjabat sebagai residen Siang-yang.
Adalah atas pembinaan guru itu, Leng-hong mulai
mengerti keadilan, mengerti juga tentang kenegaraan. Di
dalam kantor residen, jika orang mau memperhatikan
sedikit saja, tentu akan segera mengerti bagaimana
tindakan sewenang-wenang dari pemerintah yang
menindas rakyatnya. Pernah untuk hal-hal yang tak adil
itu Leng-hong cekcok mulut dengan ayahnya.
"Anak kecil tahu apa" Ayahmu menjadi pengawal
kerajaan, setiap rakyat yang tak tunduk pada undangundang
raja, tentu akan kutindak. Asal raja memuji
kebijaksanaanku, peduli apa rakyat tak puas padaku?"
Pendekar Sakti 2 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Si Dungu 1
^