Pencarian

Geger Dunia Persilatan 7

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 7


begitulah karena kalah berdebat akhirnya ayah Lenghong
mengalah Tahu ia bercekcok dengan ayahnya, guru she Jui itu
malah menasehatinya supaya bersabar, supaya belajar
kepandaian yang tinggi dulu baru kelak melaksanakan
angan-angannya. Ilmu silat guru Jui itu tidak seberapa
tinggi, karena itu ia menganjurkan Leng-hong supaya
minta ajaran jago-jago pengawal pribadi ayahnya.
Memang kawanan jago-jago asalnya dari guru-guru silat
ternama dari beberapa daerah atau pejabat-pejabat
besar yang dijatuhi hukuman mati tapi secara diam-diam
dibebaskan oleh ayah Leng-hong untuk dijadikan
pengawalnya. Di antaranya Leng-hong pernah belajar
silat pada Chit-roh-tui-hun-chiu Cu Goan.
Adanya guru Jui menyuruh Leng-hong bersabar juga
ada kepentingan bagi dirinya, ialah supaya ayah Lenghong
jangan sampai mencurigai dirinya (guru Jui). Tetapi
di luar dugaan, memang ayah
Leng-hong sudah curiga padanya, maka ia segera
bertindak. Diam-diam ia menyuruh orang memata-matai
gerak-gerik guru itu, di lain pihak ia menanyai putranya,
apa saja yang diajarkan guru itu kepada Leng-hong. Cara
dan waktunya mengajukan pertanyaan sedemikian rupa
hingga Leng-hong tidak curiga.
Tetapi Leng-hong memang cerdas sekali, ia tak
membuka rahasia gurunya. Kemudian setelah bertemu
gurunya ia segera menceritakan pertanyaan-pertanyaan
ayahnya. Guru Jui tahu gelagat sudah tidak mengizinkan
untuk tinggal lebih lama di situ, buru-buru ia ambil
putusan untuk pergi. Leng-hong mendapat akal bagus
untuk membantu gurunya lolos, tetapi ia minta supaya
guru itu suka membawanya bersama-sama pergi, kalau
tidak, ia pun tak mau membantu.
Guru Jui sayang kepada Leng-hong, memikirkan juga
akan keselamatan sendiri, akhirnya ia meluluskan.
Begitulah pada suatu malam Leng-hong mengundang
beberapa pengawal yang berkepandaian tinggi untuk
minum arak, ia taburkan obat tidur dalam arak itu.
Sebenarnya cara begitu sering digunakan oleh kaum
persilatan picisan, seorang persilatan yang
berkepandaian tinggi tentu tak mudah dikelabui, tetapi
karena beberapa pengawal itu tak menyangka kalau
putra residen bakal menggunakan cara begitu rendah,
akhirnya mereka termakan tipu Leng-hong juga. Dan
sejak itulah Leng-hong mengikuti guru Jui berkelana di
dunia persilatan. Memang Leng-hong pada kala itu penuh dengan citacita
yang luhur, hendak berjuang mengusir penjajah,
membangun kerajaan baru. Tetapi dia dibesarkan di
dalam keluarga pembesar negeri, ayahnya seorang
menteri yang ternama, maka betapa besar indoktrinasi
yang diberikan gurunya, tetap belum dapat
menghilangkan dasar-dasar pendidikan rumah
tangganya. Itulah sebabnya di dalam cita-cita
perjuangannya untuk bangsa dan negara, ia tetap
mempunyai ambisi pribadi.
Tetapi bahwa pada saat itu Hong Jong-liong menyuruh
dia menjadi mata-mata gelap di dalam keluarga Kang,
sungguh dirasakan suatu penghinaan besar padanya.
Dalam gejolak amarahnya, darahnya meluap-luap dan
bersumpah biar mati tak sudi menerima. Inilah suatu hal
yang tak terduga-duga sama sekali oleh Hong Jong-liong!
Hong Jong-liong memicingkan mata memandangnya,
ia tertawa mengekek, "Yap-kongcu, tak perlu kuturun
tangan membunuhmu. Cukup kuberitahukan pada Kang
Hay-thian tentang perbuatanmu malam ini serta
kuterangkan siapa dirimu, hehe, kurasa Kang Hay-thian
tentu tak gampang mengampunimu, ha" Terhadapku,
mungkin kau akan mati secara perwira, tapi jika Suhumu
melenyapkan kepandaianmu dan mengusirmu, hehehe,
kau tentu akan menjadi orang cacad selamanya, di sanasini
akan dinista orang sebagai manusia rendah yang
menjual sahabat!" Tersirap darah Leng-hong, memang apa yang
dikatakan Hong Jong-liong itu bukan ancaman kosong.
Jika dia melakukan hal itu, Suhunya tentu bakal
menghukumnya. Kalau tidak dibunuh, paling tidak tentu
akan dibikin cacad seumur hidup, ini lebih meneerikan
daripada kematian. Kembali Hong Jong-liong tertawa dingin, "Yap-kongcu,
pikirlah dengan kepala dingin. Kurasa lebih baik kita
bekerja sama, aku berjanji takkan membuka rahasiamu
kepada Kang Hay-thian. Kau boleh terus belajar ilmu silat
sakti, di samping diam-diam dapat membantu pada
kerajaan. Dalam hal ini, kedua pihak akan mendapat
keuntungan yane memuaskan!"
Hati Leng-hong seperti dikili-kili, dengan susah payah
barulah ia dapat diterima menjadi murid Kang Hay-thian,
bagaimana dengan begitu saja ia merusak hari
depannya" Dan pula sang Sumoay yang jelita, mana ia
dapat melepaskannya" Beberapa kali ibu gurunya dalam
pembicaraan sudah memberi perlambang hendak
menjodohkan putrinya kepadanya, tetapi kalau ia
menolak permintaan Hong Jong-liong, tentu Hong Jongliong
akan menggagalkan perjodohan itu. Sekali ia diusir
oleh Suhunya, habislah segala-galanya.
"Untuk sementara ini baiklah kuterima, kukerjakan
atau tidak, akan kuputuskan belakangan. Setelah
menyelesaikan pelajaran silat, segera kucari kesempatan
untuk membunuhnya dan akan dapatlah aku bebas dari
ancamannya," Leng-hong menimang-nimang dalam hati.
Dalam tatapan mata dan senyum Hong Jong-liong
yang tajam, lunglailah semangat Leng-hong. Dia
bagaikan ayam sabung yang kalah, akhirnya ia
berkatalah dengan serta merta, "Hong-thongleng, kau
menang. Aku menurut padamu."
Namun agaknya Hong Jong-liong dapat membaca isi
hati Leng-hong, serunya, "Kita bekerja sama dengan
saling menguntungkan. Yap-kongcu, aku tak takut kau
akan menyiasati. Rahasiamu tak nanti kuberitahukan
pada Suhumu, tetapi kutulis sepucuk surat pada
komandan Gi-lim-kun sebagai kesaksian rahasia. Dengan
begitu percuma saja sekalipun kelak kau hendak
membunuh aku. Sejak sekarang kau harus mendengar
perintahku, mengerti?"
Wajah Leng-hong menggelap, dia yang biasanya
selalu cerdas kali ini benar-benar ketemu batunya.
Selanjutnya di hari-hari mendatang, mungkin sukar untuk
lolos dari cengkeraman mereka. Tetapi tak ada lain
pilihan lagi bagi Leng-hong, terpaksa ia tertawa pahit,
"Hong-thongleng, kau banyak curiga, bagaimana aku
dapat mempunyai pikiran mencelakaimu?" Ia memang
takut sekali dengan orang she Hong itu, lebih lekas pergi,
lebih baik. Tapi ternyata Hong Jong-liong masih belum mau
melepaskannya, waktu Leng-hong hendak minta diri,
buru-buru ia mencegah, "He, mengapa terburu-buru"
Aku masih ada omongan lagi."
Apa boleh buat, terpaksa Leng-hong duduk kembali,
Hong Jong-liong menepuk-nepuk bahunya, katanya,
"Yap-kongcu, kita bekerja sama. Untuk itu harus ada
kesungguhan hati baru bisa berhasil, jika kau tak mau
bicara jujur, bagaimana aku dapat mempercayai
kejujuranmu?" Yap Leng-hong menebalkan muka menyahut, "Bilakah
aku berbohong?" "Tentang Siau Ci-wan yang kau katakan tadi, dia
bersekongkol dengan Leng Thian-lok dan Leng Thiat-kian
di Siau-kim-jwan untuk memberontak, tapi kau tak
mengatakan padaku! Kutahu kalian berdua erat sekali
hubungannya, masakah kau berani mengatakan kalau
tak tahu?" Leng-hong tersengat kaget, pikirnya, "Mengapa dia
tahu urusan itu?" Akhirnya terpaksa ia membantah, "Kau
tadi tak menanyakan, aku pun tak ingat."
Hong Jong-liong tertawa dingin, "Baiklah, kita
lewatkan urusan itu. Sekarang hendak kuajukan
pertanyaan yang kedua. Oleh partai Thian-li-kau, Li Bunsing
telah ditugaskan untuk mengadakan hubungan
dengan partai-partai dan kaum pemberontak dari segala
tempat. Pada saat dia menutup mata, pernah dia
menyebutkan beberapa nama di hadapanmu dan Siau Ciwan.
Daftar nama-nama itu ialah orang-orang yang
sudah mempunyai kontak dengan dia, coba kau sebutkan
nama-nama dalam daftar itu!"
Sekali ini Leng-hong seperti disambar petir kagetnya,
batinnya, "Memang! Li Bun-sing pernah mengatakan
nama beberapa orang, orang yang telah setuju untuk
mengadakan kode kontak bersama. Li Bun-sing belum
sempat memberitahukan hal itu pada Cong-thocu, tapi
kalau aku tak menyebut nama barang satu atau dua
orang dalam daftar itu, tentulah Hong Jong-liong tak
percaya!" Hong Jong-liong tertawa gelak-gelak, "Yap-kongcu,
kau tentu kaget dan heran bagaimana aku tahu hal itu,
bukan" Terus terang kukatakan, Siau Ci-wan sudah jatuh
di tangan kami, karena tak kuat menahan siksaan,
akhirnya ia mengaku semua. Sekarang aku hanya akan
mencocokkan padamu, akan kulihat apakah kau berlaku
jujur atau tidak?" Leng-hong terombang-ambing dalam kegelisahan.
Semula ia berpendapat seorang lelaki seperti Siau Ci-wan
mana sudi mengaku, tapi pada lain saat ia beranggapan
lain, "Sedangkan semut saja rindu akan hidup, apalagi
manus.ia. Dikuatirkan dalam keadaan terjepit, Siau-toako
terpaksa mengaku juga. Tentang daftar nama itu, karena
tak kuat menahan siksaan, ia lantas menyebut saja
beberapa nama dengan sembarangan."
Mana dia tahu Hong Jong-liong hanya menggunakan
siasat menggertak saja, memang licin dan licik sekali
Hong Jong-liong itu. Sebenarnya ia hanya tahu tentang
gerakan Leng Thian-lok dan keponakannya di Jwan-pak
serta kedudukan Li Bun-sing di Thian-li-kau. Yang lainlain
hanya analisanya sendiri berdasarkan
pengalamannya. Sekalipun tak benar seluruhnya, tetapi
7-8 bagian memang mendekati kebenaran. Mengenai
tertangkapnya Siau Ci-wan, sama sekali hanya isapan
jempolnya saja. Yang menyedihkan adalah Leng-hong,
dia takut mati, maka dengan ukuran seorang rendah ia
telah mengukur seorang perwira atau mengukur baju
orang dengan baju sendiri. Dia menganggap, pribadi Siau
Ci-wan itu tentu sama dengan dirinya.
Mata Hong Jong-liong berkilat-kilat menatap Lenghong,
katanya dengan nada dingin sekali, "Siau Ci-wan
sudah mengaku tentang dirimu, sebaliknya kau masih
menutupi dirinya!" Leng-hong menggigit gigi kencang-kencang, sahutnya,
"Baik, akan kuterangkan apa yang kuketahui padamu!"
"Bagus, begitulah baru benar!" Hong Jong-liong
tertawa gelak-gelak. "Sewaktu hendak menutup mata Li Bun-sing memang
telah menyebutkan beberapa nama, tetapi tiada daftar
sama sekali. Aku tak berbohong."
"Sebutkan saja nama orang-orang itu," kata Hong
Jong-liong. "Ji Thian-tik dan Leng Thian-lok dari Jwan-pak, Thio
Su-liong dan Thio Han-tiau dari Siampak, Kwe Su-oh dari
Soatang, Khu Giok dari Kisi di Soasay. Itulah nama-nama
yang dikatakan Li Bun-sing," kata Leng-hong.
Mata Hong Jong-liong melotot, "Masakah hanya enam
orang?" "Keenam orang itulah yang sudah ada kontak dengan
Li Bun-sing, tapi belum lagi sempat diberitahukan pada
Cong-hocu (pemimpin). Yang lain-lain, karena Thian-likau
sudah banyak mengetahui maka tak perlu ia
mengatakan, kau terlalu banyak curiga, terlalu
kurangajar!" Leng-hong menutupi ketakutannya dengan
marah-marah. "Yap-kongcu, bukannya aku tak percaya padamu.
Melainkan aku kuatir kau lupa dan kelewatan menyebut
nama yang lain," Hong Jong-liong tertawa seraya
menepuk-nepuk bahu si anak muda.
"Kau suruh aku menyebut semua orang yang tiada
hubungannya" Perbuatan yang amoral itu, aku tak sudi
melakukan!" teriak Leng-hong sekuat-kuatnya.
"Sudah tentu, sudah tentu!" buru-buru Hong Jongliong
menyabarkan, "betapapun kau ini murid utama
Kang Hay-thian, seorang pendekar budiman. Mana aku
berani memaksamu mencelakai orang yang tak berdosa"
Di belakang hari kita masih harus banyak berhubungan.
Kesalahanku hari ini harap Yap-kongcu suka memberi
maaf!" Sebenarnya Leng-hong sudah mengucurkan keringat
dingin, tapi demi mendengar Hong Jong-liong rupanya
percaya padanya, barulah ia lega. Kiranya ia memang
menyembunyikan beberapa orang penting dan yang
mempunyai kepentingan dengan pertandaan sandi
(kode) itu. Keenam orang yang dikatakan tadi, misalnya
Thio Su-liong yang menjadi kepala dari Cong-liong-poh di
Bici, sudah diketahui rahasianya oleh pihak kerajaan
karena menyembunyikan Lim Jing. Ia rasa tiada halangan
menyebut orang she Thio itu. Thio Han-tiau adalah
saudara misan Thio Su-liong, karena Cong-liong-poh
sudah dirampas pemerintah, Thio Su-liong tentu akan
memberitahu saudara misannya itu supaya bersembunyi.
Tentang Leng Thian-lok dan Ji Thian-tik, karena memang
sudah mempersiapkan gerakan melawan pemerintah,
tentu saat itu sudah mulai bergerak. Jadi tak kuatir
diketahui pihak kerajaan. Sedang yang seorang lagi, Kwe


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Su-oh, kabarnya sudah lama tiada di desanya. Mengenai
Khu Giok, karena sudah masuk dalam Thian-li-kau, tentu
akan dilindungi oleh organisasi itu.
Begitulah setelah berpikir masak-masak barulah Lenghong
menyebut nama keenam orang itu. Karena terjepit,
Leng-hong terpaksa mengatakan keenam orang itu yang
menurut pertimbangannya tentu takkan membahayakan
keselamatan mereka. Meskipun dalam hati tidak enak
karena merasa berbuat khianat, namun ia merasa
terhibur juga. Jauh dari pikirannya bahwa dengan
menyebutkan nama keenam orang itu, bukan saja
merugikan perjuangan kaum pejuang kemerdekaan, juga
berarti dia sendiri masuk makin dalam ke jurang
perangkap yang curam! Setelah Hong-Jong-liong mengucapkan beberapa
perkataan dengan nada ramah, Leng-hong mengira kalau
sudah selesai. Siapa tahu Hong Jong-liong masih tertawa
menahannya, "Nanti dulu, Yap-kongcu. Masih ada suatu
hal yang penting." Tergetar perasaan Leng-hong karena mengira orang
tentu mengetahui kebohongannya, segera ia berseru
sengit, "Apa yang kuketahui telah kukatakan semua. Kau
masih mau bertanya apa lagi?"
"Memang bagianmu telah kau katakan, tetapi aku
masih belum menyelesaikan kata-kataku kepadamu.
Bagaimana cara kita nanti mengadakan hubungan,
bukankah suatu hal yang penting dibicarakan juga"
Mengapa tak kau tanyakan sejelas-jelasnya" Mengapa
kau lantas buru-buru hendak pergi" Agaknya terhadap
persekutuan kita ini kau tak mempunyai kesungguhan
hati!" Bahwa ternyata lain hal yang dikemukakan Hong
Jong-liong, membuat Leng-hong lega dan tertawa. "Kau
tahu aku ini putra seorang gubernur, mana aku mengerti
tentang ilmu klenik dari golongan orang seperti kau.
Baiklah, anggap saja aku teledor tak berpikir sampai di
situ. Hong-tayjin, silakan memberi titah!"
Buru-buru Hong Jong-liong memberi hormat dengan
kedua tangannya, "Putra gubernur, tak berani aku
menerima sanjungan tuan yang begitu tinggi. Menurut
kedudukan, kau adalah majikan muda. Kata-kata 'titah'
itu rasanya lebih tepat untuk pihakmu, baiklah tuan
muda, karena kau menitahkan supaya kuterangkan
tentang caranya, harap dengarkanlah.
"Di kota Tang-ping, kami membuka sebuah rumah
arak, setiap kali ada berita dari rumah Suhumu, harap
kau pura-pura minum ke warung itu, pelayan-pelayan di
situ tentu akan menanyaimu. Tentang kata-kata sandi
yang kita pergunakan, baiklah kita atur begini. Jika
kusuruh seseorang mencarimu, tanda yang dipergunakan
ialah 'matahari rembulan tiada bersinar'. Hehehe,
kawanan pemberontak itu hendak 'melawan Jing
membangun Beng', maka hendak kusuruh mereka
'matahari rembulan tiada bersinar7. Apakah kau
mengerti" Apakah kau dapat mengingat?"
Leng-hong mengeluh dalam hati, namun ia menghias
mulut dengan senyuman. "Ya, aku ingat," sahutnya.
Hong Jong-liong tertawa lebar, kemudian naik ke atas
kudanya, ujarnya, "Yap-kongcu, kau sungguh seorang
cerdik. Bila nanti kulaporkan pada gubernur, beliau tentu
akan memujimu. Tahukah kau bahwa kesediaanmu
menjadi 'orang dalam' di rumah keluarga Kang itu, bukan
saja membantu padaku, juga membantu ayahmu!
Pemerintah mengeluarkan titah akan memindah ayahmu
menjabat gubernur di Sujwan. Tujuan utama ialah
hendak menghadapi Leng Thian-lok dan Siau Ci-wan
serta kawanan pemberontak itu. Pinjamkanlah kudamu
ini padaku, aku perlu buru-buru menghadapi ayahmu!"
Setelah Hong Jong-liong pergi, barulah Leng-hong
tersirap kaget, "Dia mengatakan ayah hendak
menggempur Leng Thian-lok dan Siau Ci-wan" Astaga,
kiranya Siau-toako tidak jatuh ke tangan mereka, aku
kena ditipunya." Leng-hong benar-benar gelisah, di atas kudanya ia
coba menghibur diri, "Untung aku tak memberitahu dua
patah sandi itu. Keenam orang yang kusebut itupun
belum tentu dapat mereka tangkap. Hanya saja sejak
saat ini aku mempunyai hutang moril kepada mereka, ah,
bagaimana baiknya ini?"
Dalam bayang-bayang kegelisahan itu tiba-tiba
terlintas dalam pikirannya bayangan si jelita Kang HiauTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
hu, batinnya, "Ah, urusan besok pikirkan besok saja.
Hiau-hu Sumoay tak nanti curiga padaku. Aku harus
buru-buru pulang dan berusaha sekuatnya untuk
mengambil muka pada Subo. Jadikan dulu urusan
pernikahan itu, baru nanti bicara lagi. Aku murid utama,
pula menjadi menantu keluarga Kang, sekalipun aku
mempunyai kesalahan, mengingat betapa sayang Suhu
terhadap keluarganya, rasanya tak nanti ia akan
menindak aku. Ya, benar, begitu sajalah!"
Kalau Leng-hong bergegas pulang untuk menjalankan
rencananya supaya lekas menjadi menantu keluarga
Kang, adalah Suhunya (Kang Hay-thian) cemas
memikirkan keselamatannya.
Karena membawa To-kan, terpaksa Hay-thian berjalan
hanya 100 li sehari, ia kuatir anak itu akan kecapaian.
Ketika tiba di hotel Leng-hong, total dari waktu berpisah
dengan Leng-hong dan datang lagi itu beriumlah 18 hari,
padahal ia berjanji pada Leng-hong akan kembali dalam
waktu 8 hari. Leng-hong sudah pergi dari hotel dan masih
meninggalkan sewa kamar beberapa hari yang belum
dibayar. Pemilik hotel yang masih ingat pada Kang Haythian,
begitu melihat dia datang, terus saja menariknya
dan meminta supaya melunasi hutang Leng-hong. Heran
Kang Hay-thian dibuatnya, ia meminta keterangan
mengapa sebelum membayar rekening Leng-hong sudah
pergi. Pada malam itu karena hendak meloloskan diri dari
kejaran Ho Lan-bing dan kawan-kawan, habis
mendorong jatuh Utti Keng, Leng-hong terus kembali ke
hotel dan cepat-cepat melarikan diri. Sudah tentu pemilik
hotel tak mengerti jelas persoalannya, tetapi tentang
peristiwa tentara pemerintah hendak mengadakan
penangkapan pada buronan, pemilik hotel itu tahu juga.
Malam itu mereka menutup hotel dan bersembunyi di
dalam kamar kasir untuk menunggu kedatangan tentara
pemerintah, karena itulah mereka tak mengetahui Lenghong
sudah lolos secara diam-diam. Hanya saja ketika
Leng-hong bertempur melawan Ho Lan-bing di depan
hotel, pemilik hotel itu mendengar juga. Walaupun bukan
seorang persilatan, tapi pemilik hotel itu sedikit banyak
mengerti tentang urusan kaum persilatan, ia menaruh
curiga Leng-hong itu seorang buronan negara.
Ia tak takut kepada Kang Hay-thian dan terus terang
menceritakan peristiwa malam itu, setelah itu ia lantas
membuka rekening Leng-hong dinaikkan tiga kali lipat.
Memang dia rakus uang, tapi tak sampai membikin susah
Kang Hay-thian, Kang Hay-thian pun segera melunasi
rekening muridnya itu. "Memilik kepandaian Leng-hong, kalau hanya kaum
keroco biasa saja tentu dapat dilawannya. Dikuatirkan dia
berhadapan dengan jago-jago istana dari tingkat
golongan seperti Co Bong. Pemilik hotel ini mengatakan
mendengar kedua ekor kudaku itu meringkik tapi tak
tahu Leng-hong dapat melarikan diri atau jatuh ke
tangan musuh," pikirnya.
Putra Li Bun-sing belum ketemu, kini Leng-hong juga
menghilang. Kang Hay-thian sungguh gelisah sekali, tapi
karena ia tak berhasil memperoleh keterangan siapasiapa
yang bertempur dengan Leng-hong, terpaksa ia
meninggalkan kota itu. Ia harap berkat pergaulannya
yang luas nantinya akan memperoleh keterangan dari
beberapa sahabatnya. Dan jika tetap tak mendapat
berita apa-apa, ia ambil keputusan akan pulang dulu
untuk mengatur tempat bagi To-kan.
Dalam perjalanan itu banyak sudah ia mengunjungi
beberapa tokoh-tokoh ternama, memang mereka
mengatakan telah mendengar berita tentang bakal
adanya gerakan jago-jago istana yang akan lewat di
daerah mereka, tapi para anak buah mereka menyatakan
tak pernah bertemu dengan Leng-hong dan kuda sakti
yang dinaikinya itu. Beberapa hari kemudian, Hay-thian tiba-tiba bertemu
di tengah jalan dengan dua orang, kala itu dia bersama
To-kan lewat di kaki gunung Lu-liang. sekonyongkonyong
dari atas gunung terdengar orang
memanggilnya, "Kang-tayhiap, Lo-siu (aku yang tua)
sudah menanti lama di sini. Naiklah kemari, sudikah?"
Kang Hay-thian merasa cukup kenal baik dengan nada
orang itu, tetapi ia tak ingat siapa, pikirnya, "Orang itu
menggunakan ilmu Lwekang Coan-im-jip-bit dan membahasakan dirinya
dengan sebutan 'Lo-siu'. Dia tentu seorang Lodanpwe
persilatan." Ia segera menyahut menyatakan
kesediaannya, sembari menjinjing To-kan, ia segera lari
ke atas gunung, ke tempat datangnya suara itu.
"Eh. dimana orang itu" Mengapa aku tak melihatnya?"
ujar To-kan. "Itu, lihatlah!" Kang Hay-thian tertawa. Karena ia
menggunakan ilmu Pat-poh-kan-sian, To-kan merasa
kakinya tak menginjak tanah seperti terbang.
"He, Cianpwe apa segala" Masakah kau tak kenal lagi
pada pengemis tua ini?" orang tadi tertawa gelak-gelak.
Ketika Kang Hay-thian menghentikan larinya, orang
itupun sudah muncul di hadapannya. Ah, kiranya Tiong
Tiang-thong, ketua Kay-pang.
Tiong Tiang-thong ini adalah sahabat baik ayah angkat
Kang Hay-thian yang bernama Hoa Thian-hong. Juga
bersahabat erat dengan Suhu Kang Hay-thian. Dahulu
Kang Hay-thian ikut adik angkatnya, Hoa Hun-pik,
memanggil ketua Kay-pang itu dengan sebutan 'paman'.
Paling akhir keluarga Hay-thian berjumpa dengan
pengemis itu di tempat keluarga In di desa In-keh-ceng.
Sampai sekarang pertemuan itu sudah dua puluh tahun
berselang. Tak kepalang girang Kang Hay-thian, serta merta ia
maju memberi hormat, "Paman Tiong, Pangcu, kiranya
kaulah!" Setelah Kay-pang sekte selatan dan utara bergabung,
Tiong-Tiang-thong menggantikan Ek Tiong-bo menjadi
ketua Kay-pang. Hubungan Kay-pang dengan Bin-sanpay
erat sekali, dalam perjumpaan itu, untuk sesaat Kang
Hay-thian bingung mencari panggilan yang sesuai, maka
setelah menyebut 'paman', lalu ia pun memanggil
'Pangcu' (ketua) pula. Tiong Tiang-thong tertawa, "Ah, sungguh cepat sekali
jalannya waktu. Kau yang dulu masih seorang bocah
ingusan sekarang sudah menjadi seorang Tayhiap.
Apakah bocah laki itu muridmu?"
"Paman ketua, kata sanjunganmu 'Tayhiap' itu
sungguh menyiksa hatiku. Anak ini bernama Lim To-kan,
putra Lim Jing, ketua Thian-li-kau. Kan-ji, lekas memberi
hormat kepada Siok-kong (paman kakek)."
Sambil mengusap-usap batok kepala To-kan, Tiangthong
tertawa, "Ayahnya seorang jantan dan gagah
perwira, muridmu sungguh tak mengecewakan. Muridku
yang pertama, apakah kau sudah pernah bertemu?"
Seorang pengemis muda, tepat pada saat itu lantas
muncul. Kang Hay-thian kenal dia, ialah Goan It-tiong,
murid kepala Tiong Tiang-thong. Beberapa bulan yang
lalu Kang Hay-thian pernah berjumpa dengannya di
markas cabang Kay-pang di Tek-ciu.
Pada wajah Goan It-tiong terdapat sebuah guratan
bekas luka. Ketika tempo hari bertemu dengannya. Kang
Hay-thian ingat kalau luka itu belum ada, terang adalah
luka baru. Kang Hay-thian merasa heran, batinnya, "Kaypang
adalah partai besar nomor satu. Di dalam cabang
Kay-pang, Goan It-tiong menduduki kursi ketiga.
Siapakah yang berani menggurat luka pada mukanya
itu?" "Hiantit, apakah pulangmu ini karena mendengar
sesuatu berita?" tanya Tiong Tiang-thong.
"Berita apa?" Hay-thian balas bertanya.
"Pada waktu belakangan ini dimana-mana mulai timbul
gerakan melawan pemerintah Cing. Untuk menjaga
jangan sampai partai-partai persilatan mengadakan
hubungan dengan gerakan itu, maka kawanan perwira
Gi-lim-kun dan jago-jago istana keluar untuk menyelidiki
gerak-gerik partai-partai persilatan. Kay-pang dan Binsan-
pay terutama menjadi incaran mereka. Istrimu
adalah ahli waris Bin-san-pay. Kukira kau sudah
mendengar berita ini, maka lantas buru-buru pulang
untuk membantu istrimu."
"Memang Bin-san-pay selamanya menjadi duri di mata
pemerintah Cing, hal itulah sudah kuduga. Aku memang
hendak lekas pulang, tetapi masih bisa ditunda satu-dua
hari lagi. Apakah yang terjadi pada Kay-pang?" tanya
Hay-thian. Tiong Tiang-thong berwatak blak-blakan, ujarnya,
"Kau dapat menebak jitu. Adanya kutunggu
kedatanganmu di sini, pertama, karena sudah lama tak
bertemu, kedua, memang ada sedikit kesulitan. Jika kau
tak ada urusan penting, akan kuminta kau menemani aku
untuk bertemu dengan seseorang."
"Apakah kawanan alap-alap kerajaan yang membikin
susah padamu?" tanya Kang Hay-thian. Dalam
pikirannya, kecuali pemerintah Cing, siapa lagi yang
berani menandingi Kay-pang yang besar pengaruhnya.


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa tahu kali ini dugaannya salah.
Tiong Tiang-thong tertawa dan menjawab, "Aku si
pengemis tua ini tiada tentu tempat tinggalku, antekantek
itu tak mudah mencari aku. Mereka hanya dapat
meluaskan jaringan untuk menyelidiki gerak-gerik Kaypang.
Tapi orang yang mengadu-biru, bertekad hendak
menantang aku berkelahi."
Kang Hay-thian terkejut, "Siapa orang yang bernyali
besar itu" Mengapa ia tak tahu diri berani menantang
berkelahi pada paman?"
Tiong Tiang-thong tertawa dingin, "Dia minta aku
supaya datang minta maaf padanya! Bukankah itu berarti
hendak menantang padaku!"
Kang Hay-thian makin kaget, "Sungguh tak tahu adat!
Tetapi bagaimanakah urusannya?"
Bukan saja Kay-pang itu merupakan organisasi
terbesar di dunia persilatan, juga Tiong Tiang-thong itu
juga seorang tokoh terkemuka dalam persilatan. Dua
puluh tahun berselang, ilmunya Khun-goan-it-khi-kang
telah menggegerkan dunia persilatan. Apalagi sekarang
tentu makin sempurna, entah berapa puluh kali lipat
dahsyatnya dibanding dulu.
Maka Tiong Tiang-thong mulai bercerita.
"Puncak Thian-pit-nia di gunung Lu-liang ada tumbuh
sejenis rumput obat, yakni sejenis ramuan obat luka
yang paling manjur. Tiga puluh tahun yang lalu ketika
aku berlalu di situ, kutemukan rumput itu. Kupetik sedikit
dan kuberikan pada ayah angkatmu Hoa Thian-hong
supaya ditanam di kebunnya. Tak lupa juga
kuberitahukan resep ramuannya. Sejak itu tak pernah
lagi kudatang ke Thian-pit-nia. Pertama, karena enggan
mendaki puncak yang berbahaya itu. Dan kedua, karena
luka kena senjata tajam atau api dapat kuobati dengan
obat biasa. Karena diliputi kesibukan terus menerus, aku
tak punya waktu juga dan enggan menyuruh anak murid
Kay-pang memetik rumput di Thian-pit-nia itu.
"Sekali ini adalah Kwe Su-oh dari kota Ih-sing yang
telah membentuk barisan pembebasan untuk mengusir
penjajahan. Dia minta kepadaku supaya membuatkan
obat Kim-jong-yok (obat luka) dalam jumlah besar dan
yang manjur, segera aku teringat akan rumput obat di
Thian-pit-nia itu. Setelah tiga puluh tahun, tentulah
rumput itu akan sudah tumbuh lebat, dan ini sungguh
memenuhi kebutuhan. "Kusuruh Goan It-tiong dengan empat orang murid
menuju ke Thian-pit-nia. Keempat murid itu aku sendiri
yang memilih, kepandaiannya tak mengecewakan. Kukira
memetik rumput di gunung yang tiada pemiliknya
tentulah mudah. Siapa tahu ternyata mereka mendapat
kesulitan. It-tiong, coba kau tuturkan pengalamanmu
pada Kang-tayhiap," ketua Kay-pang itu menyudahi
keterangannya. Maka berkatalah Goan It-tiong, "Baru saja kami
berlima naik ke Thian-pit-nia dan belum lagi menemukan
rumput yang dimaksud Suhu itu, kami bertemu dengan
sepasang muda-mudi. Mereka baru berumur 16-17
tahun, pemuda itu garang sekali, begitu melihat kami dia
terus mencaci-maki. Ia mengusir kami katanya tempat
itu terlarang bagi orang luar. Tahukah kami sekarang
bahwa Thian-pit-nia itu sekarang sudah di tempati orang.
Kami pun segera menuturkan maksud kami kepada
mereka. "Aneh, sekalipun mereka tinggal di situ, toh tak boleh
mengangkangi hak atas gunung itu dan menganggap diri
sebagai pemiliknya. Dan pula rumput itu bukan mereka
yang menanam, mengapa melarang orang dan tak boleh
mengambilnya," kata Kang Hay-thian.
"Aku pun mengatakan begitu kepadanya, tetapi anak
muda yang belum hilang pupuknya itu, tak mau
menerima alasan kami. Kami menggunakan lidah, dia
terus hendak menggunakan tangan," kata Goan It-tiong.
"Apakah perkelahian itu lantas menyebabkan
datangnya pemilik Thian-pit-nia?" tanya Hay-thian.
Goan It-tiong adalah jago nomor tiga dalam Kay-pang,
yang berkelahi dengan dia itu hanya seorang jejaka umur
16-an tahun. Kang Hay-thian mengira Goan It-tiang tentu
menang dan akan datang bantuan dari pihak Thian-pitTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
nia sehingga menyebabkan Goan It-tiong kalah dengan
membawa luka di mukanya itu.
Tetapi dugaannya ternyata salah. Dengan wajah
kemalu-maluan, Goan It-tiong berkata, "Tidak, anak yang
belum hilang pupuknya itu ternyata ganas sekali
kepandaiannya. Semula aku masih memaafkan
mengingat usianya yang semuda itu. Tetapi ternyata
begitu bergebrak ia sudah menggunakan ilmu Hunkin-
jo-jiu-hoat. Aku hampir saja menderita luka berat,
untung aku masih punya Khun-goan-it-khi-kang untuk
melindungi tubuh sehingga tak sampai konyol."
"Apakah kau tak tahu dari golongan mana anak itu?"
tanya Hay-thian. Goan It-tiong makin kikuk, ujarnya, "Wanpwe picik
pengalaman, jadi tak mengetahui golongannya!"
Kang Hay-thian minta dia supaya melanjutkan
penuturannya. Kata Goan It-tiong, "Setelah aku dapat memperbaiki
posisiku, aku bertempur lagi, kesudahannya hanya seri
saja. Tapi celakanya, Sute kami berempat itu dapat
ditotok jalan darahnya oleh si dara!"
Kejut Kang Hay-thian tak terkira. Tadi Tiong Tiangthong
mengatakan kalau keempat murid itu dia sendiri
juga memilih berdasarkan kepandaiannya. Kalau Tiong
Tiang-thong mengatakan 'kepandaian mereka tak
mengecewakan' itu, paling tidak tentu seimbang dengan
jago persilatan kelas dua. Tetapi masakah seorang dara
dalam waktu yang singkat saja sudah dapat membikin
mereka tak berdaya" Sungguh suatu kejadian yang
mengejutkan! Goan It-tiong melanjutkan pula, "Dalam keadaan
gugup, aku segera mengeluarkan seluruh kepandaianku
menyerang anak muda itu. Maksudku hendak lekas
menolong keempat Suteku itu, tetapi sudah terlambat.
Keempat Suteku sudah kena tertotok roboh, kemudian si
dara berlari datang mengeroyok aku.
"Anak muda itu kena pukulanku dan mungkin
menderita luka sedikit. Rupanya dia marah sekali, lalu
mencabut golok terus membacok punggungku. Aku
berputar tubuh hendak menangkis, tetapi kalah cepat,
mukaku kena dibacoknya. Si dara dengan gerakan cepat
segera merebut golok adik misannya itu, sedang
tangannya yang satu dipakai untuk menotok jalan
darahku." Kang Hay-thian cepat menyeletuk, "Mengapa kau tahu
mereka adalah saudara misan?"
"Setelah tertangkap barulah kutahu mereka saling
membahasakan Taci dan adik misan," sahut Goan Ittiong.
"Bukankah yang anak laki itu bernama Nyo Hoan dan
si dara Siangkoan Wan?" tiba-tiba To-kan berseru.
"Hiantit, kiranya kau tahu riwayat keluarga yang
berdiam di Thian-pit-nia itu," Tiong Tiang-thong berseru
girang. "Bulan yang lalu memang aku pernah berjumpa
dengan sepasang anak laki perempuan yang
berkepandaian tinggi. Mereka juga membahasakan Taci
dan adik misan. Menurut keterangan It-tiong tadi, umur,
kepandaian dan perangai kedua anak itu memang persis
seperti yang kujumpai itu. Tetapi aku belum tahu aliran
perguruan dan Suhu mereka," sahut Hay-thian.
"Menilik gelagatnya memang mereka itu seperti yang
dijumpai Kang-tayhiap. Mereka tak mau menyebut nama,
hanya saja penghuni Thian-pit-nia itu memang benar
memakai she ganda Siangkoan dan bernama Thay," kata
It-tiong. "Baik, coba tuturkan lagi pengalamanmu selama
ditawan dan bagaimana dilepaskan lagi," kata Hay-thian.
"Setelah merebut golok adik misannya, dara itu
berkata, 'Beberapa pengemis ini berkepandaian tinggi,
mereka dapat naik ke puncak sini tentulah mereka bukan
orang sembarangan. Tak boleh menjadi hakim sendiri,
serahkan pada ayahku saja!'. Si bocah laki menyahut,
'Memang hendak kuserahkan pada paman, tapi tadi
karena dia memukul aku, saking gemasku lantas kubacok
mukanya. Apakah kau mengira aku sungguh-sungguh
hendak membunuhnya"'. Si dara lantas mengikat kami
berlima dengan rotan dan membawa pulang," demikian
kata It-tiong. Karena Kang Hay-thian dianggap sebagai anggota
keluarga Kay-pang, maka Goan It-tiong tak malu untuk
menceritakan peristiwanya. Supaya Kang Hay-thian
mengetahui jelas, ia bercerita apa adanya. Hanya saja
ketika menceritakan dirinya diikat si dara, tak urung
mukanya tersipu-sipu merah juga.
"Orang pandai masih ada yang lebih pandai, di atas
langit masih ada langit. Orang yang berkecimpung di
dunia persilatan, siapakah yang belum pernah mengalami
cidera. Semasa muda, aku pun pernah beberapa kali
diringkus orang. Dalam hal itu janganlah Goan-sute
merasa malu, lalu bagaimana kelanjutannya?" kata Kang
Hay-thian. "Kemudian ayah dara itu memeriksa aku. Takut
membikin malu perguruan, aku tak mau bilang siapa
Suhuku. Tetapi dia licin benar, kami ditanya satu per satu
secara terpisah. Entah siapa di antara Sute kami yang
telanjur membocorkan, setelah mengetahui siapa diriku,
dia sendiri yang melepaskan aku dengan pesan supaya
menyampaikan pada Suhu bahwa dia bernama
Siangkoan Thay. Dia ... dia ... ah itu sungguh suatu
penghinaan besar." Tiong Tiang-thong segera menyambung, "Siangkoan
Thay menyuruhku meminta maaf kepadanya barulah dia
nanti mau melepaskan keempat murid Kay-pang itu.
Sepanjang sejarah belum pernah Kay-pang menerima
hinaan begitu rupa, nyata Siangkoan Thay itu hendak
menantang aku berkelahi, hendak menghina Kay-pang.
Namun sekalipun dia bersikap begitu, dia masih tetap
mematuhi peraturan dunia persilatan. Karenanya aku pun
sungkan untuk mengundang bantuan dari sahabatsahabat
persilatan. Dalam hal itu bukan berarti aku
mengabaikan dia dan tidak membuat persiapanpersiapan.
Hiantit, jika pergi bersamamu, hatiku sungguh
mantap sekali!" "Urusan ini sungguh aneh. Entah orang manakah
Siangkoan Thay itu hingga sengaja mencari perkara
padamu. Hanya saja, putrinya dan anak laki she Nyo itu
pernah melepas budi padaku," sahut Kang Hay-thian.
Tiong Tiang-thong tercengang heran.
Kang Hay-thian diakui kaum persilatan sebagai jago
nomor satu, pergaulannya luas sekali. Sukar sekali orang
hendak mencelakainya, tetapi mengapa dia menerima
budi seorang dara dan seorang anak muda" Sekalipun
mulut Kang Hay-thian sendiri yang mengatakan, hampir
saja Tiong Tiang-thong tak percaya, namun ia tahu Kang
Hay-thian seorang lelaki yang tegas jujur, apa yang
dikatakan tentu tak bohong.
Pada lain saat tertawalah Tiong Tiang-thong, "Jika
Hiantit merasa tak leluasa, baiklah tak usah turut pergi."
Kang Hay-thian tertawa, "Sekalipun tak ada urusan
paman ini, aku memang hendak mencari orang itu." Ia
lantas menuturkan tentang peristiwa yang dialaminya di
Bici. Kini baru tahulah Tiong Tiang-thong aoa yang
dikatakan Kang Hay-thian tentang menerima budi dari
kedua muda-mudi itu. "Sebenarnya meskipun kala itu Suhu tak dapat
bergerak, namun kawanan petugas itu tak dapat melukai
Suhu juga. Jika bicara tentang budi, hanya akulah yang
menerima budi mereka. Apalagi Suhu juga sudah diamdiam
menolong jiwa Nyo Hoan, sayang mereka tak tahu,"
demikian To-kan menyeletuk.
"Ah, itu bukan seperti orang jual beli, mana boleh aku
ngotot terhadap kaum muda dengan mengatakan aku
sudah membalas budinya" Betapapun kita sudah
menerima kebaikannya, tetapi budi yang kuterima
dengan hinaan yang ditujukan pada Tiong-pangcu adalah
dua hal yang berbeda. Hanya saja karena Siangkoan
Thay itu ayah dari Siangkoan Wan, kuharap Tiongpangcu
suka memberi sedikit muka padaku untuk
menjadi orang perantara. Asal Siangkoan Thay mau
melepaskan orang Kay-pang, kurasa kita pun juga harus
menganggap urusan sudah selesai sampai di situ saja,"
kata Hay-thian. "Baiklah," jawab Tiong Tiang-thong.
"Suhu, apakah kali ini kita dapat mencari tahu
keadaan engkoh Li," tanya To-kan
"Eh siapakah engkoh Li itu?" sela Tiong Tiang-thong.
Kang Hay-thian mengatakan kalau itu adalah putra
dari Li Bun-sing. Rupanya Tiong Tiang-thong juga sudah mengetahui
tentang Deristiwa Kone-he. tanyanya, "Apakah sampai
sekarang belum diketahui dia berada dimana?"
"Sudah ada sedikit jejaknya. Marilah kita bicara sambil
berjalan," kata Hay-thian. Setelah menceritakan
kelanjutan dari peristiwa Li Kong-he, berkatalah Kang
Hay-thian, "Kini dia jatuh ke tangan orang she Tiok,
dijadikan kacung oleh keluarga gadis Tiok. Yang dapat
diketahui sekarang ialah Siangkoan Thay, ayah dari Nyo
Hoan serta ayah gadis she Tiok itu, merupakan tiga
serangkai saudara ipar. Mereka bertiga memang aneh
sekali gerak-geriknya, tak kenal peri-kemanusiaan. Tapi
biar bagaimanapun aku tetap hendak menyelidiki sampai
jelas, hanya saja dalam urusan ini biarlah paman yang


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi peran utama. Setelah urusan kami selesai,
barulah aku hendak menanyakan hal itu pada Siangkoan
Thay." Mereka menggunakan ilmu Ginkang, sambil bercakapcakap
tanpa terasa mereka sudah tiba di bawah puncak
Thian-pit-nia. Dari jauh tampak sebuah rumah batu, dari
atas gunung ada orang yang melemparkan sebuah batu
kecil sambil berseru, "Hai, siapakah yang berani datang
ke gunung ini?" "Ai, jangan kau menakuti orang, biar aku yang bicara,"
terdengar suara lengking seorang anak perempuan,
kemudian serunya lebih lanjut, "Thian-pit-nia tak boleh
didatangi orang luar. Kalau mau mencari daun obat,
pergi ke lain tempat saja." Habis berkata ia pun
menimpukkan sebuah batu untuk mengejar batu orang
pertama tadi. Batu yang pertama kena terhantam hancur
oleh batu si dara, agaknya dara itu mempunyai maksud
baik agar orang yang di bawah puncak itu jangan sampai
kena lemparan batu, maka batu orang pertama tadi
menjadi melenceng jalannya.
Tiong Tiang-thong marah ia melontarkan Pik-khongciang
hingga batu sebesar mangkuk itu mencelat ke
udara dan meledak hancur berkeping-keping! Itu saja
Tiong Tiang-thong masih mengingat kebaikan si nona,
coba jika tidak, dia tentu akan mengirim balik batu itu
kepada pengirimnya. "Pangcu dari Kay-pang, Tiong Tiang-thong menepati
janji menghadap Siangkoan-siancu!" Tiong Tiang-thong
berseru lantang, suaranya segera berkumandang dan
menimbulkan gema di empat penjuru. Memang Tiong
Tiang-thong menggunakan Lwekang Coan-seng-jip-bit
untuk mencoba kepandaian Siangkoan Thay. Ia ingin
mengetahui bagaimana reaksinya. Seperti diketahui,
suara yang dilancarkan dari bawah ke atas lebih sukar
daripada atas ke bawah. Ia percaya seruannya tadi tentu
mengiang di telinga Siangkoan Thay. Kalau orang she
Siangkoan itu tak mampu mengimbangi kekuatannya,
berarti kalah "Ya, sudah tahu, suruh tetamu itu naik ke atas
gunung!" terdengar suara yang bernada congkak. Katakata
yang separuh di bagian muka itu untuk jawaban
Tiong Tiang-thong, sedang yang bagian belakang
perintah kepada putrinya. Jelas bagaimana jumawa tuan
rumah dapat dilihat dari kata-katanya yang
menggunakan ucapan 'silakan'.
Sekalipun congkak, tapi nyata kalau tuan rumah
berilmu tinggi, setiap patah katanya berat bagai batu
menindih telinga, jantung pun ikut bergetar. Kang Haythian,
Tiong Tiang-thong memang tak kena apa-apa, tapi
yang celaka adalah Goan It-tiong dan Lim To-kan. Buruburu
mereka menyumpal telinga masing-masing.
Diam-diam Kang Hay-thian membatin bahwa
kepandaian orang she Siangkoan itu ternyata tak di
bawah Tiong Tiang-thong. Seketika itu ia tersenyum,
ujarnya, "Dia menggunakan ilmu Say-cu-thong (auman
singa) dari perguruan agama. Dahulu Coan Bi Taysu dari
Secong (Tibet) juga memiliki ilmu semacam itu. Sekarang
sudah jarang yang bisa."
Tampaknya ia hanya bicara pada Tiong Tiang-thong,
tapi Siangkoan Thay yang berada di dalam rumah jelas
mendengarnya. Diam-diam dia terperanjat, "Eh, siapakah
orang itu" Hanya sepatah kata kuucapkan, dia lantas
mengetahui aliran kepandaianku" Terang kepandaiannya
di atasku!" Ketika rombongan Kang Hay-thian tiba di puncak,
mereka disambut oleh seorang dara berumur 16-an
tahun dan seorang lelaki. Si dara itu bukan lain ialah
Siangkoan Wan, sedang si lelaki tentu pengurus rumah
tangga ayah si dara. Rupanya Siangkoan Wan juga tak lupa pada Kang
Hay-thian dan To-kan, tegurnya, "Eh, kalian tahu aku
tinggal di sini?" Ia mengira kedua orang itu hendak
mencarinya untuk menghaturkan terima kasih.
To-kan tertawa, "Suhuku mempunyai keahlian untuk
meramal, dia meramal dan tahu kau tinggal di sini, maka
sengaja datang hendak menghaturkan terima kasih."
Siangkoan Wan tertawa mengikik, tukasnya, "Ai, kau
setan cilik ini memang pandai melucu."
Kata Kang Hay-thian, "Tiong-pangcu adalah
sahabatku. Kami tak menduga akan bertemu di jalan,
katanya Siangkoan-siancu telah mengundangnya. Karena
ingin berjumpa dengan Ko-jin (orang sakti) di zaman ini,
maka aku pun ikut menyertainya. Tak terkira kalau
Siangkoan-siancu itu ayahmu, sungguh kebetulan sekali.
Tapi takkan kulupakan untuk menghaturkan terima kasih
padamu." Pengurus rumah tangga itu berkata dengan nada
dingin, "Kalau begitu, kalian ini bukan kaum Kay-pang"
Hehe, karena sudah tahu majikanku itu Ko-jin pada
zaman ini, seharusnya kau tahu, tak nanti dia mau
menemui orang yang bukan golongan Ko-jin. Yang
diundang majikanku ialah Tiong-pangcu, bukan kau.
Lekas kau turun gunung agar jangan mendapat
kesulitan." Tiong Tiang-thong membeliakkan mata, "Kau punya
mata tapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Kau tahu
siapa dia" Dia "Aku hanya seorang keroco, tapi adalah sahabat
Tiong-pangcu. Mungkin dengan memandang muka
Tiong-pangcu, majikanmu itu suka menemui aku juga.
Jika memang majikanmu yang menyuruh aku pergi,
sudah tentu aku akan menurut," buru-buru Hay-thian
menanggapi. Tiong Tiang-thong mendengus, "Hm, mulutmu selalu
tergila-gila menyebut Ko-jin. Tapi berapa orang Ko-jinkah
yang kau kenal" Sudahlah, aku tak mau melayani kau,
jangan banyak bicara, lekas bawa kami pada
majikanmu!" Memang setelah mendengar betapa dahsyat ilmu
Khun-goan-it-khi-kang yang digerungkan Tiong Tiangthong
tadi, pengurus rumah itu sudah jeri terhadap ketua
Kay-pang itu. Dibentak oleh ketua pengemis, ia tersipusipu
menyahut, "Tiong-pangcu, jangan marah. Kami
orang bawahan ini hanya menurutkan aturan yang
ditetapkan majikan saja. Jika sahabatmu menyertai kau,
mari silakan." Dalam batin pengurus rumah itu
menyumpahi Kang Hay-thian yang tak tahu diri, maka
biar dia nanti tahu rasa. Memang dia tak tahu siapa Kang
Hay-thian, jago nomor satu yang lebih unggul dari
majikannya. Siangkoan Wan mempunyai kesan baik terhadap Tokan,
ujarnya, "Jangan takut, jika ayah hendak membikin
susah padamu, nanti aku yang mintakan kebebasan,
tetapi kau harus ingat suatu hal."
"Hal apa?" tanya To-kan.
Siangkoan Wan membisiki, "Di hadapan ayahku
jangan sekali-kali kau menyanjung Suhumu sebagai
Tayhiap. Kepada aku sih tak apa kau bicara begitu, tetapi
di hadapan ayahku, sekali kau menyebut kata-kata itu,
ayah tentu akan menantang berkelahi pada Suhumu dan
aku pun tak berdaya menolong Suhumu lagi."
To-kan lantas membantah, "Tapi Suhuku itu memang
"Benar, memang aku tak sembabat disebut Tayhiap.
Kan-ji mengapa kau tak membilang terima kasih kepada
nona yang memberi peringatan baik padamu?" tukas
Kang Hay-thian. "Ya, terima kasih nona," kata To-kan, yang segera
tertawa mengikik. Tiong Tiang-thong pun turut tertawa
geli. Kerlinean mata Sianckoan Wan berkeliaran, teeurnya,
"Apa yang kalian tertawakan?"
"Tak apa-apa, kami hanya merasa geli saja," sahut
Tiang-thong. "Hm, apakah kau juga geli karena adik kecil itu
menyanjung Suhunya setinggi langit?" tanya Siangkoan
Wan. Tiong Tiang-thong mengiyakan saja, tapi ia kembali
tertawa. Sudah tentu Siangkoan Wan tak mengetahui
yang ditertawakan itu bukan To-kan, melainkan dirinya
yang tak kenal siapa Kang Hay-thian sebenarnya itu.
"Eh, mana Nyo-kongcu itu?" tanya Kang Hay-thian.
"Adik misanku itu" Ah, sayang, kemarin baru saja dia
pulang," sahut Siangkoan Wan. Setelah merenung
sejenak, ia tertawa, "Tetapi juga kebetulan sekali. Ketika
kau bilang hendak memberi pelajaran silat padanya, dia
marah-marah dan mengatakan kau tak tahu diri, dia
merasa terhina. Untung sekarang dia sudah pulang, coba
jika tidak, tentu dia akan minta ayahku memberi hajaran
padamu." "Ya, aku salah bicara, aku menyesal sekali. Harap
nona maafkan," kata Kang Hay-thian.
Pada waktu bicara itu, mereka sudah tiba di muka
rumah. Dua buah tembok melingkari rumah itu seperti
bentuk gendewa. Bangunannya kokoh, mirip benteng.
"Ketua Kay-pang sudah tiba!" teriak si pengurus
rumah. Berada di kandang sendiri pengurus rumah itu
menjadi garang dan kurangajar, ketua Kay-pang
dianggapnya sebagai seorang pesakitan saja.
Tiong Tiang-thong menahan kemarahannya.
Tiba-tiba terdengar suara tuan rumah Siangkoan Thay
berseru nyaring, "Budak goblok, ketua Kay-pang sudah
berkunjung mengapa tak lekas mempersilakan masuk"
Mengapa perlu melapor lagi?" Setelah mendengar
Lwekang suara Tiong Tiang-thong dan Kang Hay-thian
tadi, kini orang she Siangkoan itu berubah menghormat
sikapnya. Bisik Siangkoan Wan, "Agaknya ayah sudah
memandang lain pada kalian, sungguh suatu hal yang
jarang terjadi. Agaknya dia takkan membikin susah pada
kalian." Dengan murung si pengurus rumah segera
mempersilakan para tetamunya masuk. Maka
tertampaklah seorang lelaki berumur 50-an tahun
bertubuh kekar duduk di tengah ruangan. Begitu
rombongan tamu masuk, dia pun lantas berbangkit
memberi hormat, ujarnya, "Apakah tuan ini Tiongpangcu?"
Tiong Tiang-thong tersipu-sipu balas memberi hormat
dan. mengiakan. Sorot mata tuan rumah menyapa pada
rombongan tetamu dan berhenti menatap Kang Haythian,
ia agak terkesiap, pikirnya, "Orang ini gagah
perkasa. Yang mengatakan asal-usulku tadi tentulah
orang ini." Setelah mengawasi tajam beberapa jenak, bertanyalah
Siangkoan Thay, "Apakah sahabat ini
"Aku yang rendah adalah Kang Hay-thian dari Tangping
di Soatang," buru-buru Kang Hay-thian menanggapi.
Ia tak mau plintat-plintut di hadapan Siangkoan Thay. Ia
menyatakan terus terang siapa dirinya.
Tiong Tiang-thong dan Goan It-tiong mengawasi
bagaimana reaksi tuan rumah ketika mendengar nama
Kang Hay-thian yang termasyhur di dunia persilatan itu.
Mereka yakin tuan rumah tentu akan terkejut, siapa tahu
Siangkoan Thay hanya mengerutkan alis dan dengan
nada heran menggumam sendiri, "Kang Hay-thian" Nama
ini agaknya aku pernah dengar dari orang" O, benar,
benar! Wan-ji, tuan Kang ini adalah orang yang kau dan
adik misanmu jumpai ketika di Bici itu, bukan?"
Tanggapan itu sungguh di luar dugaan Tiong Tiangthong,
bahwasanya Siangkoan Thay mendengar nama
Kang Hay-thian itu karena diberitahu oleh Nyo Hoan.
Nyata dari nadanya, Siangkoan Thay sendiri belum kenal
siapa Kang Hay-thian itu. Diam-diam Tiang-thong heran,
"Eh, apakah Siangkoan Thay itu sejak dua puluh tahun
sudah tinggal di Thian-pit-nia sini dan tak pernah turun
ke masyarakat ramai" Apakah selamanya dia tak pernah
punya sahabat" Masakah tokoh seperti Kang Hay-thian
tidak dia ketahui sama sekali!"
Siangkoan Wan menjadi kuatir malah, pikirnya,
"Celaka, celaka. Tadi aku lupa memesan supaya dia pakai
nama palsu saja. Adik misanku telah menceritakan
kejadian tempo hari, ayah tentu akan mencoba
kepandaiannya." Terpaksa ia mengiakan dan mengatakan kalau Kang
Hay-thian itu datang karena hendak menghaturkan
terima kasih kepada Nyo Hoan.
Nyata ia hendak melindungi Kang Hay-thian.
Siangkoan Thay tertawa, "Hm, dengan sedikit
kepandaian kalian begitu saja mampu menolong tuan
Kang" Janggal benar!"
"Memang benar putri dan keponakanmu itu telah
menolong aku. Jika tiada bantuan mereka, aku dengan
muridku tentu sudah jatuh ke tangan kawanan alap-alap
kerajaan!" kata Kang Hay-thian bersungguh-sungguh.
Siangkoan Thay agak tak percaya, ujarnya, "Kalau
begitu adanya, kau hendak memberi pelajaran silat pada
Nyo Hoan karena hendak membalas budi" Atau karena
kau tahu aliran perguruannya, lantas kau mempunyai
rencana akan menerimanya sebagai murid?"
Tak tahu Kang Hay-thian apa yang dimaksudkan itu,
tetapi dari nadanya dia curiga kalau orang mempunyai
rencana busuk, sahutnya, "Aku memang tak tahu diri,
maksudku itu hanya membuat orang tertawa saja, tetapi
sesekali aku tak mempunyai itikad buruk?"
"Yah, memang dia tak tahu asal-usul kita. Tadi dia pun
sudah meminta maaf padaku atas kesalahan omong
tempo hari," kata Siangkoan Thay.
"Tuan Kang, keponakanku itu masih kecil, tak
mengerti apa-apa. Dia benar-benar mengecewakan
maksudmu yang baik," kata Siangkoan Thay, "tetapi
sekalipun dia tak punya rezeki menerima pelajaranmu,


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap akan kusuruh dia menghaturkan terima kasih
kepadamu." Ia angsurkan tangan untuk berjabatan dengan Kang
Hay-thian. Memang hal itu sudah lazim, tapi di samping
itupun dapat juga untuk menguji tenaga orang. Terpaksa
Kang Hay-thian mengangsurkan tangannya juga.
Siangkoan Thay memiliki ilmu Toa-hoan-ciu-in-kang
dari aliran Bit-cong di Secong. Gunanya khusus untuk
melukai urat dan jalan darah orang. Sekali tenaga
dilancarkan, akan mendampar seperti gelombang yang
tak putus-putus. Kang Hay-thian terperanjat, pikirnya,
"Kepandaian orang ini lebih unggul dari ilmu Tay-sengpoan-
yak-ciang Yap Tiong-siau tempo dulu. Jika aku tak
meyakinkan Lwekang dua aliran Cing dan Sia (baik dan
jahat) tentu tak mampu menghadapinya!"
Begitulah gelombang demi gelombang Lwekang
Siangkoang Thay melancar sampai sembilan kali, yang
satu lebih dahsyat dari yang lain. tetapi setiap kali arus
Lwekang mendampar, dirasakan seperti mengalir ke
dalam lautan. Tanpa bersuara tenaga itu lenyap sirna
dan tak dapat mengembangkan kedahsyatannya.
Sekarang baru untuk pertama kali itu Siangkoan Thay
mengerti apa yang disebut 'dalamnya sukar diukur".
Lwekangnya tak dapat mengapa-apakan lawan. Tapi
lawan pun tak mau balas mendamparkan tenaganya.
Sampai dimana kesempurnaan ilmu Kang Hay-thian, dia
sungguh tak dapat menjajakinya. Tapi jelas sudah bahwa
kepandaian orang she Kang itu lebih tinggi dari dirinya.
Adalah karena mempunyai itikad baik untuk menjadi
orang penengah, maka Kang Hay-thian tak mau
membikin malu tuan rumah. Coba dia berlaku kejam, asal
mendampar balikkan Lwekangnya, hanya dua kesudahan
bagi orang she Siangkoan itu, mati atau luka parah.
Setelah sembilan kali melancarkan Lwekang tanpa
berhasil, akhirnya Siangkoan Thay sendiri yang
tercengang. Kang Hay-thian tertawa dan melepaskan
tangannya, katanya, "Siangkoan-siancu, kau sungguh
hebat!" Betapapun orang she Siangkoan itu jumawa, namun
setelah merasakan pengalaman itu, mau tak mau ia
mengkeret juga nyalinya. Ia pun tertawa juga, "Kangtayhiap
barulah benar-benar orang sakti yang tak mau
menunjukkan muka. Wan-ji, kau dan Nyo Hoan sungguh
punya mata tapi tak lihat gunung Thay-san." Demikianlah
secara lapang dada ia memuji Kang Hay-thian, nadanya
ia tetap tak menyatakan tunduk. Ini dapat dibuktikan dari
perkataannya "tak melihat gunung Thay-san" itu adalah
putri dan keponakannya, bukan dia.
Mendengar itu diam-diam Tiong Tiang-thong heran
dan menyangsikan kalau-kalau percobaan adu Lwekang
tadi berakhir dengan seimbang kekuatannya.
Sebaliknya Siangkoan Wan dan si pengurus rumah
tangga menjadi pucat karena mendengar ayahnya
menyebut Kang Hay-thian dengan kata-kata "Tayhiap",
katanya, "Yah, kukira kalau gelarannya Tayhiap itu hanya
pepesan kosong belaka!"
"Kalian memang punya mata tapi tak bisa melihat.
Kang-tayhiap tak mau cupet pikiran seperti kalian, maka
tempo hari membiarkan kalian membanggakan diri. Apa
kau kira Kang-tayhiap tempo hari sungguh-sungguh
menerima pertolonganmu?" Meski ia memang tak tahu
kejadian yang sesungguhnya, tapi ia dapat menerka
dengan jitu. Sebaliknya dengan jujur Kang Hay-thian mengaku
kalau tempo hari memang menerima bantuan yang
berharga dari Siangkoan Wan dan Nyo Hoan.
"Lalu kedatangan Kang-tayhiap kemari ini dalam
kedudukan sebagai apa?" Siangkoan Thay hendak
meminta penjelasan apakah Kang Hay-thian datang
sebagai kawan Kay-pang atau sebagai tetamu Siangkoan
Thay sendiri. "Ketua Kay-pang Tiong-pangcu adalah pamanku
"Hm, kiranya kau diundang oleh Kay-pang?" serentak
Siangkoan Thay mendengus.
Kang Hay-thian tertawa, "Aku tidak diundang oleh
siapa pun. Kay-pang adalah salah satu organisasi
persilatan terbesar di dunia, rasanya tak perlu mencari
bantuan orang luar. Siangkoan-siancu, kuminta jangan
memutus omonganku dulu."
Tegas sekali ucapan Kang Hay-thian itu dan tepat
pula. Jika Kay-pang tak mau menuruti peraturan dunia
persilatan, asal mengerahkan seluruh anak buahnya,
sekalipun Siangkoan Thay mempunyai kepandaian
menembus langit, tak nanti dia mampu lolos. Memang
maksud permintaan Tiong Tiang-thong supaya Kang Haythian
suka menyertainya itu juga untuk kepentingannya.
Dia hanya minta Kang Hay-thian menjaga jangan sampai
pihak Siangkoan Thay main curang. Jika Siangkoan Thay
tak menghiraukan lagi peraturan persilatan dan main
keroyok, barulah Kang Hay-thian ikut campur. Sayang
Kang Hay-thian sudah dikenal oleh Siangkoan Wan, jadi
tak bisa menyembunyikan dirinya lagi.
Siangkoan Thay meneguk tehnya untuk menenangkan
rangsangan syarafnya, kemudian katanya perlahan, "Lalu
apa maksud kedatangan Kang-tayhiap yang
sebenarnya?" "Dengan kalian berdua aku mempunyai ikatan. Tiongpangcu
adalah pamanku, tetapi putrimu telah melepas
budi padaku. Maka kuminta kalian menutup urusan ini
sampai di sini saja, janganlah hanya karena urusan kecil
sampai merusak hubungan. Entah bagaimana pendapat
Siangkoan-siancu?" Siangkoan Thay tertawa gelak-gelak, "Dengan
memandang muka kalian berdua, sudah tentu aku sedih
untuk lepas tangan. Aku hanya ingin tahu sedikit tentang
keempat murid Kay-pang itu, mereka datang sendiri atau
atas perintah Tiong-pangcu?"
"Akulah yang menyuruh mereka kemari untuk
memetik rumput obat," sahut Tiong Tiang-thong.
Siangkoan Thay mengerutkan kening, "Adanya aku
menetap di Thian-pit-nia sini adalah untuk mencari
ketenangan. Aku tak suka diganggu orang luar, itulah
sebabnya maka aku melarang setiap pengunjung yang
datang kemari. Tapi untuk keempat orang itu, karena
mereka adalah anak murid Kay-pang dan Kang-tayhiap
juga memintanya, maka aku pun takkan menahannya
lagi. Silakan Tiong-pangcu mengambilnya."
Diam-diam ketua Kay-pang geram dalam hati, ia
anggap peraturan Siangkoan Thay melarang orang
datang ke Thian-pit-nia itu sungguh keterlaluan, tapi kini
orang malah mengatakan dia yang mohon pertolongan.
Hanya saja karena tuan rumah sudah sedia melepaskan
muridnya, dengan memandang muka Kang Hay-thian, ia
tak mau menarik panjang urusan itu.
"Bahwa Siangkoan-siancu tak menghukum muridku
lagi, menandakan kemurahan hati yang besar. Tetapi
bagaimanakah soal memetik daun obat itu, harap Siancu
meluluskan," katanya kemudian.
Karena masih hendak mengambil tanaman obat di
gunung situ, ia menggunakan bahasa yang halus. Hanya
ucapan kemurahan hati yang besar kedengarannya
sangat menusuk telinga. Siangkoan Thay ternyata masih mempunyai acara lagi,
ia mengambil selembar kertas yang sudah ditulisi,
ujarnya, "Dengan memandang muka kalian berdua,
murid-muridmu itu tak kuberi hukuman lagi, tapi hanya
untuk sekali ini, lain kali lain soal. Karena mereka itu
menjalankan tugas suruhan Tiong-pangcu, maka
haraplah Tiong-pangcu suka membubuhkan tanda
tangan selaku pernyataan bahwa urusan ini selesai
sampai di sini." Ia menyodorkan surat itu kepada Tiong
Tiang-thong. Waktu ketua Kay-pang itu mengawasinya, seketika
meledaklah amarahnya. Ternyata surat yang disiapkan Siangkoan Thay itu
merupakan surat pengakuan salah, menyatakan bahwa
Kay-pang mengakui tindakannya itu tidak benar dan
selanjutnya berjanji akan mengambil tindakan tegas
terhadap anak muridnya yang berani datang di daerah
seluas sepuluh li dari Thian-pit-nia. Tanpa disebut lagi,
otomatis, pengambilan rumput obat itu sudah tak
mungkin dilakukan pula jika surat itu sudah ditanda
tangani. Dengan muka merah padam segera Tiong Tiang-thong
mengambil pena pit dan merubah kata-kata 'Kaypang'
menjadi 'Siangkoan Thay' dan kata-kata 'murid Kaypang*
menjadi 'anak-anak keluarga'. Sementara baris
kata-kata yang terakhir pun diganti dengan 'tak boleh
mencampuri urusan orang yang naik gunung'.
Surat pernyataan bersalah yang terdiri dari beberapa
puluh huruf itu, setelah diganti oleh Tiong Tiang-thong
berubah menjadi 'Surat pernyataan bersalah dari pihak
Siangkoan Thay'. Kang Hay-thian semula tak tahu apa yang dicoratcoret
mereka itu, ia pun sungkan untuk melihatnya,
tetapi ketika melihat wajah kedua tokoh itu berubah,
barulah ia tampil ke muka melihatnya. Kejutnya bukan
kepalang, Siangkoan Thay memang sombong tak tahu
adat, tapi Tiong Tiang-thong juga kelewat berangasan.
Kang Hay-thian terlambat, kedua tokoh itu sudah samasama
kencang uratnya. "Siangkoan-siancu, kurasa surat itu kaulah yang
selayaknya menanda tangani selaku pernyataan kalau
urusan itu selesai sampai di sini," demikian kata Tiong-
Tiang-thong. Siangkoan Thay menyahut, begitu menerima kembali
surat itu terus dirobek-robeknya.
"Siangkoan-siancu, Tiong-pangcu, harap kalian
menimbang lagi masak-masak cepat Hay-thian
menengahi. "Tiada yang perlu ditimbang lagi," tukas Siangkoan
Thay atas bujukan Kang Hay-thian yang hendak
mendamaikan urusan itu. "Kita selesaikan urusan ini
menurut peraturan persilatan, yang menang itu yang
benar. Jika aku kalah, akan kutanda-tangani surat ini.
Tetapi jika aku beruntung dan Tiong-pangcu suka
mengalah "Aku yang menanda-tangani," sahut Tiong Tiangthong.
"Baik, begitulah! Ucapan seorang lelaki, laksana
kuda dicambuk. Tidak ada yang perlu disesalkan lagi!"
Kang Hay-thian masih berusaha untuk mencegah, ia
minta kedua orang itu berunding lagi dengan tenang,
tetapi keadaan sudah telanjur begitu.
Tiong Tiang-thong terpaksa menyatakan, "Hiantit,
kalau orang lain tentu perlu kujelaskan, tapi kau tentunya
sudah mengetahui jelas seluk-beluk Kay-pang. Sejak
berdiri, kapan pernah mandah menerima hinaan orang"
Jika urusan pribadi Tiong Tiang-thong, tentu aku suka
mengalah. Tetapi aku datang kemari sebagai ketua Kaypang,
kalau aku mengalah, bagaimana pertanggungjawabanku
kepada leluhur-leluhur pendiri Kay-pang
nanti?" Siangkoan Thay lebih congkak lagi, tak banyak bicara,
ia malah menyentil Hay-thian, "Kang-tayhiap kau minggir
dan menyaksikan saja atau hendak sekalian memberi
pelajaran padaku!" "Urusan ini harus aku dan kau yang menyelesaikan.
Kau tak mengundang bantuan orang lain, aku pun akan
melayanimu seorang diri. Jangan merembet orang
ketiga!" bentak Tiong Tiang-thong dengan marahnya.
Siangkoan Thay tergelak-gelak, "Tiong-pangcu benarbenar
gagah perwira, aku sungguh kagum sekali. Kalau
begitu, harap Kang-tayhiap menjadi saksi saja!"
Sebenarnya ia juga jeri terhadap Kang Hay-thian,
sengaja ia ucapkan kata-kata tadi supaya Tiong Tiangthong
panas dan mau mengeluarkan pernyataannya.
Kang Hay-thian tak puas dengan sikap tuan rumah
yang begitu congkak, ia anggap belum tentu Tiong
Tiang-thong kalah dengan orang itu, maka ia
memutuskan akan membiarkan mereka bertempur dulu,
melihat gelagat bagaimana nanti barulah ia turun tangan.
Siangkoan Thay mempersilakan tamunya menuju ke
sebuah tanah lapang, ternyata lapangan itu memang
biasa digunakan untuk berlatih silat. Mendengar
majikannya hendak bertanding dengan ketua Kay-pang,
semua bujang sudah berbondong-bondong keluar
mengelilingi lapangan, mereka hendak memberi bantuan
moril kepada sang majikan.
Setelah berdiri di tengah lapangan, Siangkoan Thay
memberi hormat dan mempersilakan sang tamu mulai
menyerang. Meskipun dia congkak, tapi dia tak mau
meninggalkan peraturan dunia persilatan. selamanya
tuan rumah harus mengalah lebih dulu kepada sang
tetamu. "Apakah pertandingan ini dilakukan sampai ada yang
roboh?" tanya Tiong Tiang-thong.
Siangkoan Thay tertawa lebar, serunya, "Lama telah
kudengar Khun-goan-it-khi-kang dari Tiong-pangcu
menggetarkan seluruh dunia persilatan. Aku seorang
gunung yang beruntung hari ini dapat bertemu dengan
seorang kosen, harap Pangcu jangan sungkan-sungkan,
silakan memberi pelajaran sepuas-puasnya, agar aku
tambah pengalaman." Terang orang she Siangkoan itu
hendak mengadu kepandaian secara sungguh-sungguh
dan habis-habisan dengan ketua Kay-pang.
"Ah, mana aku berani. Karena Siancu tetap
menghendaki begitu, terpaksa pengemis tua ini
merelakan jiwanya untuk menemani Siancu," sahut Tiong
Tiang-thong. Karena masing-masing sudah menunjukkan gengsi


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai tokoh persilatan, maka Tiong Tiang-thong
menganggap sudah cukup. Setelah selesai saling bicara,
ia segera merangkapkan sepasang tangan lalu dijulurkan
ke arah Siangkoan Thay seperti orang memberi hormat.
Padahal sebenarnya gerakan itu disebut Tong-cu-paykoan-
im atau anak kecil memberi hormat kepada dewi
Koan Im. Jurus itu merupakan jurus pembukaan, biasanya
dilakukan oleh seorang tetamu apabila berhadapan
dengan tuan rumah. Namun sekalipun gerakannya
sederhana, karena Tiong Tiang-thong yang memainkan
jurus itu berubah lain daripada yang lain. Waktu dia
merangkap sepasang tangan tadi, bujang-bujang
keluarga Siangkoan yang berdiri mengelilingi lapangan
itu seperti tersambar oleh angin yang kuat, mereka kaget
dan buru-buru mundur. "Tak usah banyak peradatan!" seru Siangkoan Thay
seraya mengebaskan sebelah tangannya ke muka selaku
orang yang menolak pemberian selamat. Tetapi gerakan
tangan itu ternyata dalam jurus permainan pedang, jika
tangan Tiong Tiang-thong kena tertabas, uratnya tentu
putus. "Hm, ilmu orang ini dari aliran Sia (jahat)," Tiong
Tiang-thong membatin. Ia pencarkan kedua tangannya
dari Tong-cu-pay-koan-im berubah menjadi Im-yangsong-
cong-ciang (sepasang Im dan Yang saling bentur).
Gerakan itu menerbitkan suara macam kilat menyambar.
yang diarah adalah lambung Siangkoan Thay.
"Bagus!" teriak Siangkoan Thay seraya berputar
tubuh. Sebuah jari tengahnya ditotokkan ke jalan darah
Jiok-ti-hiat di lekuk lengan orang, sedang tangan yang
lain memainkan Toa-jiu-in untuk menggempur tangan
lawan, "Bluk", terdengar suara benturan yang dahsyat.
Begitu tangan mereka berbenturan, lalu sama-sama
ditarik pulang. Tiong-Tiang-thong tersurut dua langkah,
tubuhnya terhuyung-huyung, Siangkoan Thay berdiri
tegak laksana gunung. Hanya saja ubun-ubun kepalanya
mengeluarkan asap. Memang kalau tak dilihat dengan
seksama, tentu sukar mengetahui asap itu.
Bujang-bujang Siangkoan Thay bersorak, memang
sepintas Tiong Tiang-thonglah yang kalah. Malah Goan
It-tiong juga gelisah, pikirnya, "Siangkoan Thay ternyata
begitu hebat, mungkin Suhu yang sudah lanjut usia tak
dapat menghadapinya!" Tetapi ketika ia melirik ke
samping, dilihatnya Kang Hay-thian tenang-tenang saja
seperti biasa. Tadi Tiong Tiang-thong menyalurkan Lwekang Khungoan-
it-khi-kang ke tangannya, sebaliknya Siangkoan
Thay dengan tangan sebelah melancarkan Toa-jui-inkang
dengan tujuh bagian Lwekangnya. Dan yang kena
dibentur hanya sebelah tangan Tiong Tiang-thong.
Berarti Lwekang yang diadu ialah Tiong Tiang-thong 5
bagian lawan Siangkoan Thay 7 bagian. Itulah sebabnya
maka dalam benturan itu, nampaknya seolah-olah Tiong
Tiang-thong yang menderita kekalahan.
Sementara totokan jari Siangkoan Thay yang
menggunakan tiga bagian tenaga Lwekangnya yang lain
ternyata tak mampu menotok jalan darah Tiong Tiangthong.
Sebaliknya Tiong Thian-thong malah
menggunakan Lwekangnya untuk mendampar balik
serangan Lwekang lawan. Sedemikian hebat tenaga
Lwekang Tiong Tiang-thong yang mengirim kembali
totokan itu hingga dada Siangkoan Thay terasa sesak
dibuatnya, la buru-buru menyalurkan tenaga dalam
untuk mengatur kembali pernapasannya. Uap yang
mengepul dari ubun-ubun kepalanya itu ialah akibat dari
pengerahan tenaga murni itu.
Sebagai seorang ahli, tahulah Kang Hay-thian siapa
sebenarnya yang unggul. Dalam hal Lwekang terang
Tiong Tiang-thong lebih tinggi setingkat, tapi dalam hal
ilmu kepandaian dari aliran Sia-pay, terang Siangkoan
Thay lebih atas. Yang satu putih (baik) yang satu hitam
(jahat), yang sana murni dan yang sini aneka warna.
Masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan
sendiri-sendiri dan sukar untuk menentukan siapa yang
akan menang dan kalah nanti.
"Kalau Tiong-pangcu dapat mempertahankan gaya
serangannya, akhirnya tentu dialah yang akan menang,"
Kang Hay-thian diam-diam membuat penilaian. Kalau
mau, sebenarnya ia dapat menggunakan ilmu Thian-tuncoan-
im untuk secara diam-diam membisikkan suaranya
memberi petunjuk pada Tiong Tiang-thong, tapi itu suatu
perbuatan yang kurang baik, hal itu jauh dari pikirannya.
Setelah dua kali serangan tadi berlangsung, kini
masing-masing pihak tak berani memandang enteng
lawannya. Siangkoan Thay mendapat akal, ia hendak
menggunakan siasat mengacaukan hati lawan. Caranya
ialah dengan bertempur sambil berteriak-teriak keras,
menyerang kalang-kabut dengan sedahsyat-dahsyatnya
dan setiap serangan memakai jurus-jurus yang ganas.
Sepasang kepalan tangannya merupakan dua macam
senjata dengan ilmu Toan-meh-pi-khi-kang (memutuskan
urat dan menutup hawa) yang khas dari perguruannya.
Sekali-kali tangannya digerakkan dalam ilmu permainan
pedang Ngo-heng-kiam, dan kalau sudah mencapai
detik-detik yang menentukan ia lantas merubah
permainannya dalam ilmu Toa-jiu yang khusus untuk
menghancurkan urat nadi lawan. Toa-jiu-in itu paling
banyak menggunakan tenaga dalam, maka tak dapat
terus menerus digunakan dan memerlukan istirahat.
Tokoh seperti Tiong Tiang-thong seharusnya tahu
tentang hal itu dan dapat mengambil kelemahan orang.
Tapi sayang, orang yang menonton lebih jelas dari yang
menjalankan, beberapa kali ia main mundur dalam
menghadapi serangan musuh. Untuk itu bujang-bujang
keluarga Siangkoan selalu memberi sorakan, memuji
majikannya dan mengejek sang tetamu. Sebagai seorang
ketua Kay-pang, sudah tentu Tiang-thong malu juga.
Dan ini justru yang dikehendaki Siangkoan Thay, tapi
Tiong Thiang-thong segera merubah permainannya, ia
balas melancarkan serangan Khun-goan-it-khi-kang,
cepat dan dahsyat. Untung dia banyak pengalaman, walaupun menyerang
tak diburu nafsu. Posisi kaki Ngo-bun-pat-kwa dan gerak
pukulannya selalu menurut arah gerak lawannya, dia tak
mau terburu-buru adu kekerasan.
Di lain pihak, Siangkoan Thay juga berhati-hati, setiap
ada kesempatan ia mendesak maju, tapi selekas itu
mundur lagi. Dengan begitu keduanya seperti bertempur
dengan menggunakan Pik-khong-ciang tapi agak
berbeda. Jarak keduanya dekat sekali, setiap saat
gerakan kosong bisa berubah menjadi serangan
sungguh. Walaupun tangan tak pernah saling
berbenturan, tapi serangan-serangan yang dilancarkan
dengan Pik-khong-ciang itu jauh lebih menyeramkan.
Hanya dua orang yang bertempur, tapi lapangan itu
seolah-olah menjadi gelanggang pertempuran ribuan
tentara. Debu dan batu beterbangan, bayangan
berseliweran. Tiong Tiang-thong dan Siangkoan Thay
menjadi berpuluh-puluh bayangan yang memenuhi
empat penjuru, kecuali Kang Hay-thian, tiada seorang
pun yang dapat membedakan mana ketua Kay-pang dan
mana tuan rumah. Karena tercengang menyaksikan
pertempuran dahsyat yang belum pernah dilihatnya itu,
lupalah kawanan bujang itu untuk bersorak.
Kang Hay-thian mulai gelisah, pikirnya, "Sayang,
Tiong-pangcu tak mengerti rahasia dengan ketenangan
merebut kemenangan. Jika terus-terusan begini, mereka
berdua tentu sama-sama terluka." Tapi sebagai saksi, dia
tak berhak menghentikan pertandingan itu.
Lewat beberapa saat kemudian, uap di atas ubunubun
kepala Siangkoan Thay makin tebal, Tiong Tiangthong
juga mandi keringat, napasnya mulai memburu.
Kang Hay-thian dapat mendengarnya jelas, tapi dia
cukup kenal perangai ketua partai pengemis itu. Jika
belum ada yang kalah atau yang menang, bila ia maju
menengahi, tentu dianggap mengacau oleh kedua pihak.
Tiong Tiang-thong tidak puas, Siangkoan Thay pun akan
menuduhnya membantu Kay-pang. Karena kuatir orang
salah faham, terpaksa Kang Hay-thian tak berani turun
tangan, namun ia gelisah sekali karena keduanya tentu
akan menderita luka parah.
"Breet", tiba-tiba terdengar suara kain robek,
sekonyong-konyong Siangkoan Thay berputar tubuh,
selagi Tiong Tiang-thong tertegun, kelima jarinya lantas
mencakar robek lengan baju Tiong Tiang-thong, kukunya
dapat menggurat pergelangan tangan lawan.
Tenaga guratan itu tak seberapa besar dan Lwekang
Tiong Tiang-thong terlampau tangguh. Namun sekalipun
demikian, pergelangan tangan adalah jalan darah yital di
tubuh manusia, sedikit saja bagian itu terluka, separoh
tubuh segera dirasakan agak kesemutan.
Tiong Tiang-thong marah dalam hati, "Mengingat
kesopanan, aku tak mau menyerang dari belakang, tetapi
bangsat itu nyata-nyata tak malu berbuat curang." Ia
menyedot napas, sekali menerjang maju, ia pentang
kedua lengannya untuk melingkupi lawan. Seluruh
Lwekang dipusatkan untuk melancarkan Khun-goan-itkhi-
kang. Sebenarnya Siangkoan Thay bukannya hendak main
curang untuk merebut kemenangan, jurus serangannya
yang aneh itu disebut Hoan-ngo-heng-poh-hoat (ilmu
anti langkah Ngo-heng). Maksudnya untuk memecah
kubu-kubu pertahanan Ngoheng-poh-hoat lawan,
kemudian mengajaknya adu kekerasan. Ia tak sabar
untuk bertempur terlalu lama, maka ia keluarkan seluruh
kemampuannya untuk menentukan siapa jantan dan
siapa betina dengan ketua Kay-pang.
Sama sekali ia tak mengira bahwa setelah terluka tadi,
Tiong Tiang-thong malah menyerang dengan dahsyat.
Dalam sibuknya ia tak dapat menghindar lagi dan
terpaksa mengadu Lwekang. Ia kerahkan sepasang
tangan dengan Toa-jiu-in, belum telapak tangan kedua
orang itu berbenturan, keduanya sudah merasakan
dadanya seperti ditindih batu ribuan kati beratnya
sehingga sesak napas. Keduanya terkejut dan menyesal.
Siangkoan Thay sebenarnya hendak mengakhiri
pertempuran dengan cara kilat, tapi dengan saling
melontarkan gempuran Lwekang itu, sifat pertempuran
menjadi berubah, bukan lagi menentukan siapa jantan
dan siapa betina lagi, melainkan pertempuran
menentukan mati dan hidup.
Siangkoan Thay terkejut, Tiong Tiang-thong pun
menyesal. Di bawah tekanan tenaga dahsyat dari lawan,
ia merasa berbuat kesalahan karena terlalu menuruti
kemarahan hati, Toa-jiu-in khusus untuk meremukkan
urat dan jalan darah. Adu kekuatan itu akan membawa
akibat, kalau tidak mati tentu akan luka berat.
Keduanya terkejut dan menyesal dalam hati, tetapi
pukulan sudah dilancarkan. Tiada yang berani menarik
pulang pukulannya karena hal itu berarti kematian,
apalagi tenaga yang dilancarkan juga sudah sepenuhnya.
Taruh kata mereka mau menarik pulang juga tak dapat
lagi. Pada saat kedua tokoh itu akan mengalami bencana
kematian berbareng, sekonyong-konyong sesosok tubuh
memlompat ke tengah-tengah mereka. Sekali orang itu
pentang kedua tangannya ke kanan kiri "Plak-plok",
pukulan Siangkoan Thay dan Tiong Tiang-thong samasama
mengenai tubuh orang itu.
Orang yang menerjang bahaya itu adalah Kang Haythian.
Melihat kedua orang itu terancam kehancuran, ia
tak banyak pertimbangan lagi. Ia mandah menerima
caci-maki mereka yang salah paham daripada
membiarkan mereka hancur binasa.
Kang Hay-thian menggunakan tenaga kesaktiannya,
tangan kiri menerima pukulan Lwekang Khun-goan-it-khikang
dari Tiong Tiang-thong dan tangan kanan
menyambut pukulan Toa-jiu-in dari Siangkoan Thay.
Tenaga pukulan dari kedua tokoh itu sedahsyat
gelombang mendampar samudera. Jika Kang Hay-thian
menggunakan tenaga untuk menangkisnya, pukulan
mereka tentu akan membal balik dan melukai mereka
sendiri, karena itu Kang Hay-thian hanya menggunakan
tenaga untuk mengurangi tenaga pukulan mereka. Ia
membiarkan dirinya menerima pukulan yang bagai
godam kerasnya. Khan-goan-it-khi-kang dan Toa-jiu-in adalah ilmu
pukulan yang luar biasa. Betapa sakti kepandaian Kang
Hay-thian, karena serta merta menerima pukulan
dahsyat itu, malah sekaligus dua, seketika itu dadanya
sesak, mata berkunang-kunang dan kepala puyeng.
Hanya saja penderitanya itu telah berhasil melerai dua
gembong harimau yang sedang mengadu jiwa.
Setelah terpisah, mereka rasakan tubuhnya lemah
lunglai, napasnya terengah-engah. Mereka tahu bahwa
karena pengorbanan Kang Hay-thian menerjang bahaya,
barulah mereka dapat diselamatkan. Dan jelas sudah,
Kang Hay-thian berdiri di tengah-tengah, tidak
membantu pihak mana pun juga.
Mereka ingin menyatakan sesuatu terhadap Kang Haythian,
tapi tak dapat karena napasnya sedang kembangkempis
menyesakkan dada. Lebih-lebih Siangkoan Thay,
pukulan Toa-jiu-in paling menghabiskan hawa murni
dalam tubuh. Pukulannya disambut dengan tenaga sakti
Kang Hay-thian, walaupun tak sampai terluka, tapi saat
itu dia seperti orang sakit, mukanya pucat seperti kertas,
tubuhnya lemas lunglai seperti tak bertulang.
Mengira majikannya dilukai Kang Hay-thian, maka
para bujang keluarga Siangkoan menjadi geger dan


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panik, tetapi hanya mulutnya saja yang berteriak, karena
tiada seorang pun yang berani maju ke tengah-tengah
gelanggang untuk menyerang Kang Hay-thian.
Setelah menghembuskan napas longgar. Kang Haythian
hendak memberi penjelasan, tiba-tiba terdengar
sebuah suitan panjang dan sesosok tubuh melayang ke
gelanggang melampaui kepala orang-orang yang
menonton. "Kepandaian hebat! Tindakan yang ganas! Aku hendak
minta pelajaran ilmu saudara yang hebat itu!" seorang
tua berjenggot cabang tiga, umurnya kira-kira 50-an
tahun, kakinya pincang dan mencekal sebatang tongkat
bambu, tiba-tiba muncul dengan gerakan yang secepat
kilat. Kang Hay-thian terkesiap juga melihat ketangkasan
orang, ia merenung, "Tak nyana di puncak Thian-pit-nia
masih terdapat seorang tokoh yang begini sakti. Rupanya
dia lebih lihai dari Siangkoan Thay. Masih banyak sekali
orang-orang kosen di dunia ini, yang belum kukenal
entah masih berapa banyak!"
Kang Hay-thian mestinya hendak memberi penjelasan,
tapi datangnya orang itu cepat bagai kilat. Tahu-tahu ia
sudah berada di hadapannya dan terus menyerang
dengan tongkat, tongkat bambu segera berubah menjadi
bayangan hijau persis seperti sinar kebiru-biruan hijau
dari pedang. Dia telah menggunakan jurus ilmu pedang
untuk menusuk ketiga belas jalan darah di tubuh Kang
Hay-thian. Menotok jalan darah dengan ujung pedang sudah
termasuk ilmu kepandaian yang luar biasa, apalagi orang
itu hanya menggunakan "tongkat bambu sebagai ganti
pedang. Dalam sejurus saja, ia sudah mengancam tiga
belas jalan darah, bagaimana kecepatannya, sungguh tak
terperikan. Bahkan Kang Hay-thian sendiri yang mengerti
ilmu silat segala cabang aliran belum pernah
menyaksikan permainan yang begitu hebat.
Tetapi kepandaian Kang Hay-thian sudah mencapai
titik yang tertinggi, sekalipun orang melancarkan
serangan kilat, tetapi tak dapat lepas dari pandangan
matanya. "Bagus!" serunya memuji sambil menjentik dengan jari
tengah. Selentikan itu tepat mengenai ujung bambu orang.
Sinar hijau buyar, beberapa saat kemudian baru berpadu
lagi, bersamaan dengan lenyapnya sinar itu, jadilah
sebatang tongkat bambu lagi.
Orang itu mundur selangkah, sebaliknya pergelangan
tangan Kang Hay-thian terasa sedikit panas. Orang itu
berseru memuji kepandaian Kang Hay-thian, kemudian
menekan tongkatnya ke tanah dan tubuhnya segera
melambung ke udara. Kali ini ia menggunakan jurus
Pheng-pok-kiu-siau, memutar tongkat di udara dan
melayang turun menyerang.
"Rupanya dia hendak menguji tenaga lagi. Baik, akan
kuturuti kemauannya," kata Kang Hay-thian dalam hati.
Dia tegak berdiri bagai gunung dan menghantamkan
pukulannya. "Blak", terdengar benturan dua buah pukulan yang
dahsyat. Orang itu berjumpalitan dan melayang turun, ia
menginjak tanah dengan sebelah kaki dalam jurus Kimkhe-
tok-lip (ayam emas berdiri dengan sebelah kaki),
tongkatnya segera disodokkan ke muka lawan lagi.
Dalam benturan tangan tadi. Kang Hay-thian hanya
tergoyang tubuhnya tapi tak sampai menyurut mundur.
Memang dalam adu pukulan itu tampaknya
berimbang, tiada yang menderita kekalahan, tapi sehabis
Kang Hay-thian menyambut dua pukulan sakti Siangkoan
Thay dan Tiong Tiang-thong, walaupun tak sampai
terluka, tapi tenaga dalam Kang Hay-thian juga
berkurang banyak, jelas orang bertongkat itu mendapat
kemurahan. Sekalipun begitu, karena dapat
mengimbangi tenaga Kang Hay-thian, orang itu sudah
tergolong jago yang jarang terdapat di dunia persilatan.
Kini tongkat orang itu memapas dengan tenaga berat.
Kang Hay-thian tak mau menggunakan Tan-ci-sin-thong
(selentikan jari tunggal). Ia kuatir tak dapat
mementalkan tongkat, maka ia gunakan saja apa yang
disebut 'empat tahil menolak seribu kati'. Begitu ia
kebutkan lengan bajunya, tongkat orang menyisih ke
samping, tetapi sebelum lengan baju Kang Hay-thian
menampar, orang itupun cepat-cepat menarik pulang
tongkatnya dan terus diganti dengan permainan Hok-mopang-
hoat (ilmu tongkat menundukkan iblis), ia menyapu
kaki Kang Hay-thian. Hok-mo-pang-hoat sumbernya berasal dari aliran Siaulim,
semacam ilmu tongkat yang dahsyat sekali. Orang
itupun tenaganya besar, sebatang tongkat yang enteng
bisa berubah menjadi sebuah tongkat besi yang berat,
anginnya menderu-deru. "flmu kepandaian orang ini luas sekali. Dia berharga
menjadi sahabat, tapi entah bagaimana asal-usulnya?"
pikir Kang Hay-thian. Diam-diam ia mengerahkan Lwekang, sepasang
tangannya dilingkarkan. Aneh benar, serangan tongkat
yang begitu dahsyat ternyata tak mampu menerobos
lingkaran yang dijangkau tangan Kang Hay-thian,
rupanya Kang Hay-thian telah memainkan ilmu Toa-simi-
ciang dari Thian-san-pay. Ilmu pukulan itu memang
berguna untuk mempertahankan diri dan ini justru sesuai
dengan Lwekang Kang Hay-thian yang tinggi. Betapapun
lihainya orang itu, tetap tak dapat mengunjuk
keunggulan. Sayang tenaga dalam Kang Hay-thian masih belum
pulih, untuk menundukkan orang itu dalam waktu singkat
memang tak mungkin. Apakah ia mempunyai rencana
untuk mengikat persahabatan dengan orang itu, maka
tak mau ia mengeluarkan jurus permainan yang ganas.
Lima enam puluh gebrak, ternyata pertempuran masih
berimbang. Karena Kang Hay-thian tetap hanya bertahan
dengan Toa-si-mi-ciangnya, maka sepintas tampaknya
orang itu yang menang angin.
Semula Tiong Tiang-thong tak menaruh perhatian, ia
mengira sebagai jago nomor satu tak mungkin orang itu
bisa mengalahkan Kang Hay-thian. Tapi pada saat itu,
mau tak mau ia terkejut juga. Sebagai seorang tokoh
persilatan, jelas diketahuinya kalau pertandingan itu
berimbang. Ia tak tahu kalau sebenarnya Kang Hay-thian
masih belum mau bertempur sungguh-sungguh, jadi
pada hakikatnya Kang Hay-thian yang lebih unggul.
"Celaka, siapakah orang tua yang hebat
kepandaiannya ini" Tadi karena menolong aku, tenaga
murni Kang-hiantit masih belum pulih. Kalau bertempur
lebih lama lagi, dikuatirkan ia akan menderita, tetapi saat
ini aku tak dapat membantunya. Ah, bagaimana ini!"
Diam-diam ketua Kay-pang itu sibuk sendiri, saat itu
napasnya sudah tak terengah-engah lagi, tapi tenaganya
masih belum pulih. Selagi gelisah, tiba-tiba tertampak Siangkoan Thay
berbangkit dan tertawa gelak-gelak sambil berkata, "Nyoheng,
kau salah faham! Kang-tayhiap ini tak memusuhi
aku, malah menolong jiwaku. Jika tadi dia tak turun
tanean, mungkin diriku dan Tiong-pangcu sudah samasama
binasa!" Meskipun jumawa dan sombong, namun Siangkoan
Thay itu seorang gembong persilatart, terhadap Kang
Hay-thian yang telah menolong jiwanya, ia merasa
berterima kasih sekali. Tak mau ia membalas budi
dengan permusuhan, maka setelah napasnya tenang dan
dapat bicara, segera ia memberi penjelasan.
Orang itu tergelak-gelak seraya melompat keluar
gelanggang, ia tancapkan tongkatnya dan berseru, "Aku
sudah tahu, apakah kau kira aku tak mengetahui" Aku
memang sengaja mencoba kepandaian Kang-tayhiap.
Heh, ternyata memang tak bernama kosong!"
Dari ucapannya, rupanya ia sudah mendengar
kemasyhuran nama Kang Hay-thian.
"Ah, mana" Adalah atas kemurahan hati Nyolocianpwe,
aku beruntung dapat mengimbangi
pertandingan tadi," buru-buru Kang Hay-thian
mengucapkan kata-kata merendah.
Saat itu si dara Siangkoan Wan berdiri di samping si
cilik To-kan, rupanya ia tahu kalau Kang Hay-thian
merendah diri. Ia melelerkan lidah lalu berbisik kepada
To-kan, "Pamanku itu lebih lihai dari ayahku. Dengan
dapat bertanding seimbang dengan pamanku, bolehlah
Suhumu memakai gelar Tayhiap!"
Siangkoan Thay menghaturkan terima kasih kepada
Kang Hay-thian, sahut Kang Hay-thian, "Bahwa aku
lancang melerai tadi, sebenarnya sudah menyalahi
kedudukan sebagai seorang saksi. Siangkoan-siancu tak
menghukum diriku itu saja, aku sudah berterima kasih,
mengapa Siangkoan-siancu masih perlu mengucap
terima kasih padaku lagi!"
Melihat sikap orang yang sedemikian rendah hati itu,
diam-diam Siangkoan Thay menyesal dalam hati,
sebaliknya Tiong Tiang-thong masih penasaran. Ia
melompat dan berseru, "Dia menolongmu juga
menolongku. Pertempuran kita masih belum selesai.
Siangkoan-siancu, bersediakah kau menetapkan hari
tantangan lagi?" Siangkoan Thay tertegun, kemudian tertawa lebar,
serunya, "Khun-goan-it-khi-kang milik Tiong-pangcu jauh
lebih sakti dari kepandaianku. Aku sungguh merasa
kagum sekali! Kalau bertempur lagi, terang aku bukan
tandinganmu. Tadi aku telah berjanji, karena sekarang
aku kalah, maka akan kubebaskan murid-muridmu itu. Di
samping itu aku hendak minta kepada Kang-tayhiap dan
Tiong-pangcu sudi meminum hidangan arak selaku
pernyataan kesalahan."
"Minum arak atau tidak, nanti .kita bicarakan lagi.
Bagaimana dengan urusan daun obat itu?" kata Tiong
Tiang-thong. Kembali Siangkoan Thay tertawa, "Harap Tiongpangcu
jangan kuatir. Sekarang sudah malam, besok
pagi saja akan kusuruh orang-orangku untuk
melayanimu. Daun obat apa yang kau kehendaki, silakan
katakan saja!" Tiong Tiang-thong hanya mengejar penasaran saja,
demi mendengar orang sudah mengaku kalah, lenyaplah
kemarahannya. Ia mengganti nadanya yang kaku dengan
ucapan ramah, "Ilmu silat Siangkoan-siancu sungguh luar
biasa. Dalam sepuluh jurus, ada delapan yang pengemis
tua ini belum pernah menyaksikan. Pengemis tua juga
merasa kagum sekali?"
Ucapan itu bersifat merendah, tapi memang begitu
kenyataannya. Mendapat sanjung puji, makin lapanglah
dada Siangkoan Thay, ujarnya, "Kalau begitu, jika tak
bertempur kita tentu tak saling kenal."
Ia menjabat tangan ketua Kay-pang selaku tanda
persahabatan, keduanya saling mengindahkan dan samasama
letih. Jabatan tangan kali ini sungguh-sungguh
dalam suasana persahabatan, sekali-kali bukan menguji
kepandaian. Siangkoan Thay segera memerintahkan orangorangnya
untuk membebaskan murid-murid Kay-pang,
setelah itu ia memperkenalkan Kang Hay-thian dan Tiong
Tiang-thong pada si orang tua pincang tadi.
"Inilah saudara iparku Nyo Ceng dan ini adalah Tiongpangcu
dari Kay-pang, sedang Kang-tayhiap ini tak perlu
kuperkenalkan. Nyo-heng, kedatanganmu itu sungguh
kebetulan sekali!" kata tuan rumah.
"Aku datang mencari si Hoan, sudah beberapa bulan ia
pergi belum pulang, kukuatir di luaran dia menemui
bahaya. Lebih dulu aku datang pada Tiok-toako sana,
Tiok-toako mengatakan anak itu pergi bersama putrimu.
Beruntung hari ini aku tiba di sini, coba jika tidak, tentu
tak mempunyai rezeki berkenalan dengan Kang-tayhiap,"
jawab Nyo Ceng. "Oh, kiranya kau sudah pergi ke tempat Tiok-heng
sana?" Siangkoan Thay menegas.
"Nama besar Kang-tayhiap ini Tiok-heng yang
memberitahukan padaku. Dalam hal urusan dunia
persilatan, Tiok-heng lebih banyak menaruh perhatian,
tidak seperti kita yang selalu menutup diri saja," sahut
Nyo Ceng. "Tiok-cianpweitu adalah..."
"Ipar kami yang paling besar," lekas saja Siangkoan
Thay menerangkan. "Bukankah dia mempunyai seorang putri yang
bernama Tiok Ceng-hoa?" tanya Kang Hay-thian.
"Eh, mengapa kau tahu?" Siangkoan Thay heran.
"Aku mempunyai seorang calon murid, ayah-ibunya
sudah meninggal, ia berkelana di dunia persilatan.
Mendiang ayahnya meninggalkan pesan, suruh aku yang
mendidiknya. Kabarnya anak itu sekarang berada di
rumah keluarga Tiok dan dijadikan kacung oleh nona
Tiok," sahut Kang Hay-thian.
"Paman, aku dan adik Tiok sudah pernah berjumpa
dengan Kang-tayhiap. Tentang diri adik Ceng-hoa, akulah
yang mengatakan," seru Siangkoan Wan.
"Oh, kiranya begitu. Kang-tayhiap, apakah calon
muridmu itu bernama Li Kong-he?" ujar Nyo Ceng.
Waktu Kang Hay-thian mengiakan, Nyo Ceng memberi
komentar, "Oh, makanya tak mengherankan."
"Tak mengherankan bagaimana?" tanya Kang Haythian.
"Tak mengherankan kalau anak itu tak mau jadi murid
Tiok-toako, kiranya dia sudah punya seorang guru
kenamaan. Tetapi jangan kuatir Kang-tayhiap, keluarga
Tiok ayah dan putri rupanya sayang pada anak itu.
Watak Tiok-toako memang aneh, tetapi dia tak marah


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

biarpun ditolak Li Kong-he, dia tetap memperlakukannya
dengan baik. Namanya saja sebagai kacung, tapi
kenyataannya tak ubahnya seperti keponakan," kata Nyo
Ceng. "Sekalipun begitu, karena sudah menerima pesan
almarhum ayahnya, terpaksa akan kubawa pulang. Entah
Tiok-cianpwe itu akan sudi menerima kunjunganku atau
tidak?" ujar Hay-thian.
"Watak Tiok-toako itu aneh sekali. Jika dia ingin
menemui seseorang, dia tentu akan datang sendiri, tapi
kalau orang mencarinya, dia tentu tak mau keluar
menemui." Siangkoan Wan tertawa, "Ayah dan pamanku yang
kedua itu agak jeri kepada paman pertama. Jika paman
pertama tak memberi pernyataan apa-apa, mereka tentu
tak berani memberitahukan alamatnya kepadamu."
Diam-diam Kang Hay-thian membatin bahwa watak
dari orang she Tiok itu tak jauh bedanya dengan
mendiang Suhunya. Dia mau menemui orang tapi tak
mau ditemui orang, tentunya dia lebih lihai dari
Siangkoan Thay dan Nyo Ceng.
Nyo Ceng mengomel, "Jangan bermulut usil, budak.
Masakah aku dan ayahmu takut pada paman Tiok?"
Mulutnya mengatakan begitu, tapi dia tetap tak mau
memberitahukan alamat keluarga Tiok, jadi betul juga
ucapan Siangkoan Wan. Nyo Ceng tersipu-sipu, katanya pula, "Tiok-toako
pernah bilang padaku bahwa dia sudah lama mengagumi
nama Kang-tayhiap dan ingin berkenalan. Bahwa
sekarang kebetulan ada urusan ini, siapa tahu bila Kangtayhiap
tiba di sana, Tiok-toako sudah menunggunya."
Sengaja ia tambahkan keterangan itu agar Kang Haythian
lebih tenang, di samping itu untuk menutupi dirinya
yang sebenarnya tak berani mengatakan alamat orang
she Tiok itu. Kang Hay-thian lebih mementingkan masalah yang
sedang dihadapi Bin-san-pay daripada berkunjung ke
tempat orang she Tiok. Maka katanya, "Kalau begitu
biarlah kutunggu kedatangan Tiok-cianpwe ke pondokku
saja. Hanya apabila saudara berdua bertemu padanya,
tolong sampaikan terima kasih atas perawatannya
kepada muridku itu."
Si dara Siangkoan Wan kembali mengikik tawa,
katanya, "Ayah dan paman kedua ini mengatakan bahwa
kepandaian paman Tiok itu tiada bandingan di dunia ini.
Bahwa mereka amat mengagumi kepandaianmu,
gelagatnya kau ini juga jago nomor satu di dunia. Kangtayhiap,
jika kau berjumpa dengan paman Tiok dan
mengadu kepandaian, wah, tentu menarik sekali."
Kang Hay-thian hanya berganda tertawa, "Adalah
karena aku tetamu maka ayah dan pamanmu ini sangat
sungkan sekali. Padahal kepandaianku masih jauh dari
sempurna, mana dapat menandingi pamanmu Tiok?"
"Salah, salah. .Ayahku selamanya tak pernah sungkan
terhadap orang lain. Kecuali kepada paman Tiok, tak
pernah ia memuji kepandaian orang lain. Sedang
pamanku yang kedua itu, dia lebih congkak lagi dari
ayah. Sampaipun terhadap pamanku pertama, lahirnya
dia tak begitu mengindahkan, tetapi kutahu kalau dalam
hati dia tunduk, maka kalau mereka sampai memuji
kepandaianmu, tentulah bukan karena sungkan."
Nyo Ceng tertawa, "Kau ini memang budak yang
gemar melihat ramai-ramai. Tetapi kembali pada
persoalannya, memang Tiok-toako itu mempunyai minat
untuk mengukur kepandaian dengan Kang-tayhiap.
Bukan aku hendak menyanjung, tetapi menurut
penglihatanku, kepandaian Kang-tay-hiap ini lebih tinggi
dari Tiok-toako. Adalah karena itu maka dikuatirkan ..."
"Dikuatirkan apa?" tukas Siangkoan Thay.
"Eh, apakah kau belum tahu" Paling akhir ini Tioktoako
telah berlatih ilmu Liok-yang-jiu, dapat
menggunakan tenaga Im memutuskan urat nadi orang.
Jika dia sampai kalah dengan Kang-tayhiap, dikuatirkan
dia lantas menggunakan ilmu itu. Sekalipun aku baru
kenal dengan Kang-tayhiap, tapi aku mengindahkan
sekali atas sikapnya yang suka bersahabat dengan orang.
Sekali lengah, jika sampai kena dilukai Tiok-toako, aku
sungguh tak rela. Liok-yang-jiu itu lihai sekali, aku sendiri
tak dapat menemukan jalan untuk melawannya, tetapi
jika orang berhasil meyakinkan ilmu Kim-kong-put-hoaysin-
hoat (ilmu kebal), di waktu bertempur dengan dia
harus lebih dulu menutup jalan darahnya sendiri,
tentulah dia tak mampu mengembangkan Liok-yangjiunya."
Keterangan Nyo Ceng itu membuat Kang Hay-thian
heran, pikirnya, "Nyo Ceng masih ipar orang she Tiok,
mengapa dia memberitahukan rahasia kepandaian orang
she Tiok kepadaku" Ini merupakan pantangan yang
paling besar dari kaum persilatan. Apakah dia benarbenar
tulus hati memberi petunjuk padaku karena tak
rela aku terluka" Dia bilang orang she Tiok itu hendak
mengadu kepandaian dengan aku, entah benar entah
tidak, tapi bagaimanapun aku ini orang luar. Jika
memang ia tak ingin iparnya sampai terluka, seharusnya
dia berdaya untuk melerai, tetapi mengapa dia
memberitahukan rahasia kepandaian iparnya itu" Apakah
dia tak kuatir"aku mengerti cara memecahkan Liok-yangjiu
dan kemudian akan dapat melukai iparnya?"
Diam-diam Kang Hay-thian merasa curiga, namun
lahirnya ia menghaturkan terima kasih atas keterangan
Nyo Ceng itu. Ujarnya dengan tertawa, "Dengan
kepandaianku yang serendah ini, mana aku berani
melayani Tiok-cianpwe. Harap saudara berdua jangan
kuatir, jika nanti Tiok-cianpwe minta bertanding, aku
tentu akan segera menyatakan menyerah saja."
Siangkoan Thay tertawa gelak-gelak, "Budi pekerti
Kang-tayhiap sungguh jarang terdapat, aku kagum
sekali. Memang seorang yang sudah mencapai
kesempurnaan, tentu tak mau sembarangan berkelahi,
sekalipun Tiok-toako pernah mengatakan begitu, tapi
pada hakikatnya ia hanya akan adu kepandaian secara
saling tukar pengetahuan saja, tak nanti sampai matimatian."
Rupanya Nyo Ceng tak senang, serunya dingin,
"Masakah kau tak tahu watak Tiok-toako Dia
mengagungkan dirinya sebagai jago nomor satu di dunia.
Terhadap orang biasa, tentu ia tak mau sembarangan
turun tangan, tetapi oleh kaum persilatan Kang-tayhiap
juga dipandang sebagai jago nomor satu. Menilik ambisi
Tiok-toako yang suka menang sendiri, mana dia mau
berjajar setingkat dengan Kang-tayhiap" Dia bilang
selekas dia akan menyelesaikan urusan ini, dia akan
datang mencari Kang-tayhiap. Sudah tentu maksudnya
akan mengadu kepandaian dengan Kang-tayhiap."
Tapi Kang Hay-thian tetap tertawa, "Aku hanya
bernama kosong, mana dapat menandingi seorang sakti.
Jika berhadapan dengan Tiok-cianpwe, aku akan
mengunjuk hormat selaku seorang Wanpwe. Kata
pepatah, mundur selangkah angin reda gelombang
tenang. Sikap mengalah akan dapat mengosongkan
lautan. Percayalah, tak nanti aku mau bertempur dengan
Tiok-cianpwe dan merusak persahabatan kita. Sudah
jangan membicarakan hal itu lagi Nyo-locianpwe, dengan
sejujurnya aku harus berterima kasih pada putramu.
Tempo hari ketika dikurung dari kawanan antek-antek
kerajaan, berkat pertolongannya barulah aku dan
muridku terhindar dari bahaya," Kang Hay-thian sengaja
mengalihkan pembicaraan, namun dalam hati ia tetap
memikirkan kata-kata orang she Nyo tadi. Ia menduga
jangan-jangan di antara kedua ipar itu mempunyai
ganjalan hati. Memang benar Nyo Ceng mempunyai maksud untuk
mengadu domba Kang Hay-thian dengan iparnya yang
she Tiok itu, tapi karena Kang Hay-thian bersikap
merendah, ia pun sungkan untuk kelewat mendesak,
katanya, "Aku pun ingin menanyakan persoalan anak
Wan, dimanakah kau dan anak Hoan itu bertemu dengan
Kang-tayhiap?" Walaupun si dara itu lebih tua usianya dari Nyo Hoan,
tapi ia juga masih kekanak-kanakan. Waktu mengetahui
bahwa ternyata Kang Hay-thian itu benar-benar seorang
Tayhiap (pendekar besar) dan berulang kali menyatakan
terima kasih kepadanya, girang sekali dara itu, maka ia
segera menuturkan peristiwa tempo hari kepada sang
paman. "Oh, kiranya begitu," Nyo Ceng tertawa. "Memang aku
hendak menjadikan Ki-lian-sam-siu itu sebagai budak,
tetapi mereka meloloskan diri. Tak kukira dia
menghambakan diri pada kerajaan dan berani
mencelakai Kang-tayhiap. Walaupun anakku itu pernah
memberi sedikit bantuan pada Kang-tayhiap, tetapi
masih belum berarti dapat menggantikan kesalahanku.
Biarlah sekarang aku si tua ini menghaturkan maaf
kepada Kang-tayhiap." Dalam berkata-kata itu ia
menyertakan muka ramah tertawa, tetapi mimiknya jelas
sangat dipaksakan. Sebagai seorang jujur, Kang Hay-thian tak
memperhatikan hal itu. Tetapi Tiong Tiang-thong diamdiam
mengetahui hal itu, pikirnya, "Meskipun Siangkoan
Thay berwatak mengagulkan diri, tetapi dia jujur,
sebaliknya orang she Nyo ini rupanya lebih licik dan
banyak muslihat. Hm, ketika mendengar anaknya
membunuh kaki tangan kerajaan, ia mengerutkan dahi.
Apakah diam-diam ia mempunyai hubungan dengan
kerajaan" Ah, hal ini perlu diperhatikan juga."
Kang Hay-thian buru-buru membalas hormat, ujarnya,
"Ah, Nyo-locianpwe terlalu merendah. Sedang aku belum
sempat menghaturkan terima kasih kepada putramu,
mana aku berani menyalahkan Locianpwe mengenal
ketiga Ki-lian-sam-siu, mereka itu bekas budak
Locianpwe yang melarikan diri?"
Dalam pada itu bujang keluarga Siangkoan sudah
membawa keluar keempat murid Kay-pang. Karena
kepala bujang itu tak mengatakan apa-apa, maka ketika
keempat murid Kay-pang itu melihat Pangcu mereka,
tentu saja mereka terkejut dan girang, mereka lantas
menyapa, "Pangcu, sungguh kebetulan sekali Pangcu
sendiri datang Tetapi mereka tertegun demi melihat sang Pangcu
berdiri sejajar dengan Siangkoan Thay dan tampaknya
akrab. Kata-kata mereka yang ingin meminta sang
Pangcu menuntut balas tak jadi diucapkan.
Ketika melihat keempat muridnya, bahkan agak
gemuk, diam-diam Tiong Tiang-thong membatin,
"Ternyata Siangkoan tua ini tak menganiaya muridku,
hanya It-tiong yang menderita paling besar. Tetapi cacad
di wajahnya itu adalah si budak Nyo Hoan yang
melakukan, jadi tak dapat menyalahkan Siangkoan tua."
Setelah melalui pertempuran yang berbahaya, ia
benar-benar menyambut dengan bersungguh hati akan
uluran tangan bersahabat dari tuan rumah. Kuatir
muridnya mengatakan hal-hal yang menyinggung
perasaan, Tiong Tiang-thong segera berseru, "Aku dan
Siangkoan-siancu sudah menjadi sahabat. Daun obat di
gunung ini kamu boleh memetiknya. Haturkan terima
kasih kepada Siangkoan-siancu dan segera ikut aku
pergi." "Eh, telah kukatakan supaya kalian sukalah tinggal
sehari lagi agar aku dapat menjamu. Tentang daun obat,
asal kalian katakan namanya, tentu orangku akan
mengambilkannya. Jika hal ini kalian tak mau memberi
muka padaku, berarti kalian masih mendendam padaku,"
demikian Siangkoan Thay berkata.
"Kami sungguh tak ingin merepotkan Siancu lagi,"
sahut ketua Kay-pang itu.
"Lucu, lucu! Ucapanmu itu berarti mendamprat aku.
Aku telah menghina muridmu, sekarang aku hendak
menghaturkan maaf, kau mau apa lagi" Apalagi sekarang
sudah malam, masakah kalian tak mau menginap" Kalian
mau berbuat begitu, tetapi aku pun tidak dapat
mengizinkan, karena kalian ternyata tak menganggap
aku sebagai sahabat?"
Kang Hay-thian tertawa, "Siangkoan-cianpwe dengan
bersungguh hati hendak meminta kami bermalam, Tiongpangcu,
baiklah kita mengganggunya semalam lagi."
Tiong Tiang-thong berwatak terus terang, sekarang ia
sudah tak mempunyai prasangka jelek terhadap tuan
rumah. Hanya ia agak tidak senang terhadap Nyo Ceng,
maka tadi ia hendak minta diri. Bahwa ternyata tuan.
rumah bersungguh-sungguh dan Kang Hay-thian juga
menganjurkan, sekalipun orang she Nyo itu mempunyai
maksud tak baik, tapi dengan adanya Kang Hay-thian,
tak perlu ditakutkan lagi. "Ah, untuk menerima
pemintaan maaf itu sungguh terlampau berat. Anggap
sajalah perjamuan itu selaku tanda persahabatan kita,"
katanya kemudian. Siangkoan Thay bergirang dan segera menyuruh
orangnya menyiapkan perjamuan. Untuk melenyapkan
kecurigaan sang tamu, setiap hidangan Siangkoan Thay
tentu minum dan makan lebih dulu, kemudian baru
mempersilakan tetamunya. Dalam perjamuan itu banyak dibicarakan tentang ilmu
silat, satu sama lain saling mendapat kecocokan. Hanya
tampak Nyo Ceng yang tak begitu wajar sikapnya, dia tak
mau menuturkan tentang riwayat dirinya dan keluarga
Siangkoan. Selesai perjamuan, Siangkoan Thay telah mengatur
tempat tidur untuk tetamunya, Tiong Tiang-thong diberi
sebuah kamar besar tersendiri, sedang Kang Hay-thian
dan muridnya sekamar. Kamarnya lebih kecil tapi indah
perlengkapannya, yakni kamar baca.
"Rupanya Siangkoan Thay sengaja, supaya aku dapat


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meminta keterangan pada keempat muridku itu," pikir
Tiong Tiang-thong. Memang sejak dibebaskan, keempat murid Kay-pang
itu belum sempat bicara dengan ketuanya. Kasar
sekalipun Siangkoan Thay itu, tapi dia punya pikiran
juga, ia mengukur pikiran orang dengan pikirannya
sendiri. Andaikata dia, tentulah juga ingin bicara dengan
muridnya, menanyakan bagimana keadaan mereka
selama ditawan. Siangkoan Thay merasa memperlakukan
murid-murid Kay-pang itu dengan cukup baik, maka ia
tak takut memberi kesempatan kepada mereka untuk
melapor pada ketuanya, itulah sebabnya maka ia
memberi Tiong Tiang-thong dengan muridnya sebuah
kamar besar. Satu kamar diisi dengan enam orang, sungguh tak
pantas tuan rumah memberi pelayanan begitu. Tapi
dipikir lebih jauh, tentulah tuan rumah mempunyai
maksud supaya sang tetamu dapat kesempatan bicara
dengan muridnya, Tiong Tiang-thong mengerti kehendak
tuan rumah dan dia pun tak merasa keberatan.
"Terhadap Siangkoan Thay, aku tak menaruh
prasangka apa-apa. Sekalipun muridku menderita sedikit
siksaan, biarlah. Tetapi terhadap Nyo Ceng, aku harus
waspada, mulut manis hatinya berbisa, agaknya dia
bukan orang baik-baik. Malam ini kamarku terpisah
dengan kamar Kang Hay-thian, Kang-hiantit berilmu
tinggi, tapi orangnya kelewat jujur. Aku harus
memperingatkannya supaya menaruh kewaspadaan,"
pikir ketua Kay-pang itu.
Kamar Tiong Tiang-thong hanya terpisah satu gang
kecil dengan kamar Kang Hay-thian. Ketua Kay-pang itu
merasa lega juga perasaannya, namun ia tetap hendak
memberi bisikan kepada Kang Hay-thian, maka waktu
menuju ke kamar, sengaja ia memperlambat jalannya
dan memberi bisikan kepada Kang Hay-thian, "Malam ini
jangan kepulasan tidur, hati-hati sedikitlah!"
Kang Hay-thian agak heran, masuk ke kamar ia
mengancing pintu dan merenung, "Tuan rumah baik
sekali terhadap tetamu, orang she Nyo itu juga bukan
tokoh sembarangan. Terhadap pihak kita, boleh dikata
mereka baik, entak mengapa paman Tiong menaruh
curiga" Tapi aku tak boleh mengabaikan peringatan
paman Tiong itu." Ia tidak lantas tidur melainkan duduk
bersemadi. Tak lama kemudian Lim To-kan sudah tidur
pulas. Kira-kira pukul satu tengah malam, tiba-tiba ia
mendengar kesiur angin berlalu di atas wuwungan
rumah. Tergetar perasaan Kang hay-thian, "Sungguh
lihai kedua orang ini!"
Pada malam sesunyi itu jelas didengarnya yang
muncul itu dua orang tetamu malam, datangnya dari
tempat yang terpisah beberapa kamar.
"Apakah sesungguhnya ada orang yang diam-diam
hendak mencelakai aku?" batinnya demi teringat
peringatan Tiong Tiang-thong tadi. Cepat sekali orang itu
sudah melesat pergi, terang mereka menuju keluar,
sekali-kali bukan menghampiri kamar Kang Hay-thian.
Legalah hati Kang Hay-thian, ia tertawa dalam hati, "Di
tempat asing harus berlaku hati-hati, itulah sudah
seharusnya. Tapi juga tak perlu kelewatan sekali."
Tetapi pada lain kilas timbullah pertanyaan dalam
hatinya, siapakah orang itu" Menilik kepandaiannya,
tentu bukan tokoh sembarangan. Jika musuh dari
Siangkoan-siancu, sebagai tetamu aku harus membantu
tuan rumah mengusirnya, namun jika yang datang itu
kawan Siangkoan-siancu, aku keluar menemui pun tiada
halangannya." Kang Hay-thian mengambil putusan untuk menjenguk,
setelah mendorong jendela perlahan-lahan ia melompat
ke atas genteng. Malam itu rembulan remang-remang,
bayangan kedua orang itu sudah tak kelihatan lagi.
Tiong Tiang-thong pun tak muncul, rupanya dia tak
mengetahui kedua tetamu malam itu. Kang Hay-thian
hendak memberitahukan, tapi sekilas ia ubah pikirannya,
lebih baik melihat sendiri saja dulu. Jika tak ada hal yang
lebih penting, tak baik membikin kaget tuan rumah. Dan
dengan masih adanya Tiong Tiang-thong di dalam
rumah, rasanya lebih tak menguatirkan, dia cukup tahu
sampai dimana kepandaian ketua Kay-pang itu. Suara
kesiur angin di atas genteng tadi, mungkin Tiong Tiangthong
tak dapat mendengarkan. Walaupun tetamu malam tadi sudah lenyap, tapi
telinga Kang Hay-thian yang tajam dapat mengetahui
arah perginya. Ia segera menggunakan Ginkang istimewa
Tha-soat-bu-heng (menginjak salju tanpa bekas). Cepat
dan tanpa suara, ia meluncur mengejar orang itu.
Melintasi beberapa buah kamar dan mengitar pagar
tembok, namun ia belum melihat bayangan orang itu.
Kang Hay-thian merasa aneh, pikirnya, "Kalau bukan
musuh Siangkoan Thay, mengapa dia masuk keluar di
sini" Jika anggota rumah ini tentu tak nanti tengah
malam buta begini gentayangan keluar."
Karena rasa ingin tahunya makin besar, ia pun
meneruskan pengejarannya.
Adalah berkat Ginkang yang sakti, beberapa jurus
kemudian dapatlah ia menampak dua bayangan hitam di
sebelah depan, rupanya kedua orang itu belum
mengetahui kalau dikejar. Ketika lebih dekat dan
mengawasi dengan seksama, kejut Kang Hay-thian
bukan kepalang. Kiranya kedua orang itu bukan lain
adalah Siangkoan Thay sendiri bersama Nyo Ceng!
"Seharusnya aku dapat menduga kalau mereka, siapa
lagi orang yang keluar dari dalam rumah kalau bukan
mereka. Dan siapa lagi yang memiliki kepandaian begitu
lihai" Tetapi mengapa mereka tengah malam begini
keluar rumah" Apakah mereka mengetahui ada musuh
datang?" demikian Kang Hay-thian bertanya dalam hati.
Saat itu terdengar Siangkoan Thay berkata, "Apakah
boleh di sini" Dari sini ke rumahku sudah 10-an li
jauhnya." Nyo Ceng tertawa, ujarnya, "Betulkah" Kalau begitu
biarpun Kang Hay-thian mempunyai telinga yang
bagaimana panjangnya tentu tak mungkin
mendengarnya. Baiklah, di sini saja." Sekonyongkonyong
ia putar tubuh dan memandang ke belakang, ia
kuatir ada orang mengikutinya.
Baru sekarang Kang Hay-thian paham, "Kiranya
mereka takut didengar orang, kalau bicara di dalam
kamar, kuatir terdengar olehku. Kurangajar, mereka
anggap aku ini manusia macam apa?"
Kepandaian Kang Hay-thian sudah mencapai tingkat
tertinggi, maka begitu bahu Nyo Ceng bergoyang,
tahulah ia kalau orang hendak berbalik tubuh. Buru-buru
ia menyelinap ke balik pohon, gerakannya cepat sekali,
jangankan pada malam gelap, sekalipun di siang hari,
sukar bagi Nyo Ceng untuk mengetahuinya.
"Jiko, sebetulnya kau mempunyai rahasia apa sampai
perlu mengajak aku bicara di luar" Dan mengapa harus
mengelabui tetamu" Si pengemis tua itu seorang ketua
Kay-pang dan orang she Kang itu, menurut katamu
sendiri, seorang tokoh menonjol di dunia persilatan,
masakah mereka mau mencuri dengar pembicaraan
kita?" kata Siangkoan Thay.
Sebenarnya Kang Hay-thian hendak berlalu, tapi demi
mendengar kata-kata itu, tergeraklah hatinya. "Ya,
mengapa mereka hendak mengelabui aku" Tentu ada hal
yang menyangkut diriku, memang tak boleh mencurigai
orang, tapi juga jangan meninggalkan kewaspadaan.
Mereka hendak membelakangi aku, aku justru ingin
mendengar pembicaraan mereka. Paman Tiong itu
bagaimanapun seorang kawakan persilatan, siang-siang
ia menaruh kecurigaan. Hm, tadi orang she Nyo itu
tampaknya begitu bersungguh-sungguh terhadap aku,
tak nyana di belakangku dia berlaku plin-plan."
Kang Hay-thian memutuskan untuk menyingkap tabir
mereka. Dengan gerakan yang tak diketahui, ia bersembunyi di
atas pucuk sebatang pohon yang tepat di atas kepala
kedua orang itu. Terdengar Nyo Ceng jedang berkata, "Sudah tentu
aku percaya kepada kedua tetamu itu, tapi urusan ini
menyangkut jiwa keluarga kita. Tembok mempunyai
telinga, jika hal ini sampai bocor, sungguh besar
bahayanya!" "Jika, kita tinggal mengasingkan diri di daerah
pegunungan sepi, dengan dunia luar tiada hubungan, tak
punya dendam permusuhan kepada siapa-siapa,
darimana datangnya ancaman bahaya yang kau katakan
begitu serius itu?" tanya Siangkoan Thay bingung.
"Urusan ini bisa dianggap kecil, juga bisa dianggap
besar. Bisa mendatangkan naas bisa mendatangkan
keberuntungan, tergantung bagaimana kau hendak
menyelesaikannya. Jangan bingung dulu, dengarlah aku
bercerita perlahan-lahan," kata Nyo Ceng. "Nah,
sekarang hendak kumulai dari peristiwa anak-anak kita.
Aku hendak bertanya dulu padamu, anak Wan putrimu
itu dengan anakku tahun ini berumur 15 tahun, dari
pergaulan mereka sehari-hari yang begitu akrab, apakah
kau tak merasa bahwa dalam hati kedua bocah itu
mempunyai perasaan sesuatu?"
Siangkoan Thay menganggukkan kepala, sahurnya,
"Aku seorang polos, memang sebenarnya aku hendak
mengatakan hal itu kepadamu, tapi kukuatir putramu si
Hoan itu menampik anak perempuanku." Terhadap
Siangkoan Wan, putri tunggalnya itu, Siangkoan Thay
mencintai bagai mestika. Memang dara itu menaruh hati
terhadap Nyo Hoan, waktu ibunya menanyainya, ia
hanya diam saja dan tersipu-sipu malu. Hanya sikap Nyo
Hoan itu memang agak sukar diraba, Siangkoan Wan tak
dapat mengetahui apakah anak muda itu juga membalas
cintanya atau tidak. Nyo Ceng tertawa, "Anak Wan itu cantik laksana dewi
rembulan, aku yang kuatir kalau-kalau anakku itu tak
sepadan dengan putrimu!"
Jodoh Rajawali 22 Durjana Dan Ksatria Seri Thiansan Karya Liang Ie Shen Pahlawan Dan Kaisar 25
^