Pencarian

Gelang Kemala 1

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


" _________________________________________________________________
Jilid 1________ Bangsa Mancu merupakan bangsa yang gagah berani dan sepak terjang mereka ketika menaklukkan dan menguasai seluruh Cina sungguh menakjubkan. Sulit untuk dapat dipercaya bahwa bangsa yang dibandingkan dengan jumlah rakyat bangsa yang dijajahnya itu amat kecil dapat berkembang sedemikian cepatnya. Semua itu karena mereka memiliki pemimpin-pemimpin yang pandai.
Dimulai dari Raja Nurhacu yang dalam tahun 1616 mulai bangkit, dalam beberapa tahun saja menguasai seluruh Mancuria. Kemudian dalam tahun 1637, dengan bantuan bangsa Mongolia
merebut Korea. Penggantinya adalah Kaisar Abahai yang rnenggerakkan pasukannya ke selatan, menyerbu Shantung dan bahkan mendekati Peking. Dalam usaha ini, Kaisar Abahai meninggal dan karena puteranya masih amat muda, maka kekuasaan dipegang oleh saudaranya, Pangeran Dorgan. Kerajaan Beng waktu itu amat lemahnya dan biarpun ada beberapa orang panglimanya berusaha untuk menahan gelombang serangan bangsa Mancu, namun usaha itu sia-sia belaka. Peking diduduki dan bangsa Mancu mendirikan dinasti Ceng.
Ketika Kaisar Kang Hsi (1663-1722) bertahta, Kaisar Mancu ini mengeluarkan peraturan-peraturan yang amat bijaksana sekali. Bintang KeraJaan Ceng naik dengan pesat di bawah pemerintahannya.
Pemerintah Mancu berusaha keras untuk membaurkan diri dengan rakyat yang dijajahnya. Memang, pemerintah ini memaksa rakyat untuk memelihara ram-but mereka menjadi panjang dan menguncir rambut itu seperti kebiasaan bangsa Mancu, bahkan juga mengharuskan penduduk pribumi berpakaian seperti mereka. Akan tetapi di lain pihak mereka sendiri,mereka ipenyesuaikan diri dengan kebiasaan bangsa pribumi. Bahkan dalam banyak hal bangsa Mancu bersikap lebih Cina daripada bangsa pribumi Cina sendiri! Di rumah pun mereka berbahasa Cina, mendidik anak-anak mereka dengan kebudayaan Cina. Bukan itu saja, kaum cendekiawan, para cerdik pandai di seluruh Tiongkok diundang dan ditawari kedudukan di pemerintahan sehingga lima puluh persen dari para pejabat tingg. Dan menengah di Peking dan daerahnya terdiri dari bangsa pribumi. Di selatan, jumlah pejabat
pribumi ada dua puluh lima prosen dari jumlah seluruh pejabat. Kaum terpelajar ahli sastra dan ahli silat semua dipersilakan menduduki jabatan penting.
Banyak kaum cerdik pandai berbondong datang memenuhi undangan dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah itu. Hal ini tidaklah mengherankan. Sejak dipegang Kaisar Kang Hsi, pemerintah telah melakukan banyak hal yang menarik hati rakyat jelata yang dijajah. Para penjahat dan pemberontak dibasmi bersih sehingga negara menjadi aman dan ini menyenangkan hati rakyat. 3uga pemerintah Mancu pandai mengambil hati para bangsawan Beng, dan para tuan tanah dan pedagang. Tidak terjadi perampasan tanah. Milik mereka sama sekali tidak diganggu dan ini menumbuh-kan kepercayaan dari rakyat kepada pemerintahyang baru itu. Juga korupsi dan penyuapan, suatu kebiasaan buruk yang sudah dikenal rakyat selama kekuasaan Beng memegang pemerintahan, diberantas. Pemerintah menyusun pemerintahan yang sehat dan jujur di kota raja Peking, bebas dari pengaruh golongan-golongan yang suka mencari keuntungan sendiri dan saling berebutan pengaruh dan kekuasaan. Inilah yang dulu melemahkan pemerintah Beng.
Karena pandainya para pimpinan Mancu menyusun pemerintahan yang hebat dan jujur, juga memberantas kejahatan, mengundang dan memberi kedudukan kepada pribumi yang pandai-
pandai, maka sebentar saja rakyat mulai lupa bahwa mereka dijajah oleh bangsa Mancu! Apalagi kebudayaan rakyat diserap oleh bangsa Mancu, bahkan para bangsawan Mancu mulai menggunakan nama Cina! Semua ini mendapat sambutan hangat dan rakyat merasa puas.
Kaisar Kang Hsi berhasil menindas gerombolan-gerombolan bersenjata, mengembalikan keamanan. Memang benar bahwa di antara gerombolan ini terdapat patriot-patriot yang berjuang untuk mengusir penjajah, yang menentang pemerintah Mancu demi cintanya pada tanah air dan bangsa, akan tetapi sebagian besar dari gerombolan-gerombolan itu terdiri dari kaum perampok. Pada umurnnya mereka itu mengganggu keamanan dan merugikan kaum bangsawan, pedagang bahkan petani. Karena itu, mereka menyambut dengan gembira ketika pemerintah Mancu menghancurkan mereka, dan hal ini memperkuat pemerintah Man-cu karena kebencian rakyat kepada pen-jah Mancu menghilang dengan munculnya kepercayaan bahwa Pemerintah Ceng menguntungkan dan memakmurkan kehidupan mereka.
Kaisar sendiri yang menganjurkan agar para pejabat menyesuaikan diri dan membaur dengan rakyat jelata, mempergunakan kebudayaan Cina yang lebih tinggi itu ke dalam kehidupan mereka sehari-hari, Anak-anak mereka berbicara berbahasa pribuml sehingga dalam waktu beberapa puluh tahun saja, anak-anak Mancu sudah tidak pandai berbicara bahasa Mancu lagi!
Pemimpin negara yang baik selalu memberi contoh dengan perbuatan, bukan sekedar mengeluarkan perintah saja. Rakyat di manapun juga tidak mudah ditipu dengan slogan kosong, melainkan memperhatikan cara hidup para pemimpinnya. Kalau ingin rakyat bekerja keras, para pemimpin harus bekerja keras. Kalau ingin rakyat berhemat, para pemimpin harus lebih dulu berhemat. Pemimpin menjadi contoh dan selalu dicontoh rakyat karena itu kalau para pemimpinnya melakukan penyelewengan, berkorupsi, bagaimana dapat mengharapkan rakyat tertib dan jujur"
Para pimpinan Kerajaan Ceng melakukan hal ini, memberi contoh yang baik maka tldak mengherankan apabila pemerintah mereka berjalan baik dan rakyat pun taat kepada mereka.
Setelah pemerintah dipegang oleh Kaisar Kang Hsi selama lima puluh sembilan tahun, Kerajaan Ceng mengalami masa gemilang dan jaya. Walaupun para penggantlnya tidak secakap dia memegang pemerintahan, akan tetapi bintang Kerajaan Ceng naik kembali dengar cepatnya ketika pemerintah dikuasai oleh cucunya yang bernama Kian Liong (1736-1796). Kaisar Kian Liong ini sejak kanak-kanak telah hidup sebagai seorang pemuda pribumi. Pengetahuannya tentang sastra dan kebudayaan Cina amat mendalam dan sejak muda dia gemar berkeliling dan bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar. Maka tidak mengherankan setelah dia menjadi kaisar, para sastrawan dan para pendekar dengarn senang hati membantunya sehingga pemerintahannya menjadi semakin kuat.
Kisah ini terjadi ketika Kaisar Kian Liong berkuasa. Biarpun keadaan dalam negeri aman, namun jauh di perbatasan terjadi pergerakan-pergerakan. Daerah barat bergolak dan memberontak terhadap kekuasaan Mancu. Kaisar Kian Liong segera mengirim pasukan besar diperkuat oleh para panglimanya yang terdiri dari ahli silat dan ahli perang, dan daerah barat itu ditundukkan kembali, lalu diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru) yang langsung dimasukkan dalam wilayah kerajaan.
Di Tibet juga timbul kerusuhan dengan adanya serbuan bangsa Gurkha dari Nepal. Kaisar Kian Liong mengirim pasukan besar ke Tibet dan kerusuhan dapat dipadamkan. Bahkan pasukan Mancu melintasi Pegunungan Himalaya dan menyerbu Nepal! Bangsa Gurkha dapat ditundukkan dan dipaksa mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng. Bahkan ketika di Birma memasuki daerah Yunnan bagian barat-daya, Kaisar Kian Liong mengirim pasukan pula untuk menyerbu Birma.
Biarpun di perbatasari yang jauh terjadi pergolakan sehingga harus ditundukkan, namun di dalam negeri suasana aman dinikmati oleh rakyat jelata.
Biarpun demikian, masih banyak terdapat pribumi yang menganggap diri mereka bangsa Han
dan Kerajaan Ceng adalah Kerajaan Mancu, kerajaan yang menjajah bangsa mereka. Mereka
ini diam-diam membenci Pemerintah Ceng.
Di dusun Teng-sia-bun terdapat seorang pendekar bernama Bu Cian. Bu Cian seorang murid
perguruan Bu-tong-pai, berusia tiga puluh tahun. Pekerjaannya sebagai pemburu binatang
hutan dan dia seorang yang berwatak keras, namun disegani oleh penduduk dusun karena dia
bersikap baik sekali kepada semua orang, bahkan suka menolong. Dan karena adanya
pendekar inilah maka keadaan dusun Teng-sia-bun terasa aman, tidak ada penjahat yang
berani sembarangan melakukan kejahatan di situ. Kepala dusun juga amat menghormati Bu
Cian. Bu Cian sudah hampir dua tahun menikah dengan seorang gadis yang menjadi kembang
dusun Teng-sia-bun. Setelah menikah dengan gadis itu, Bu Cian lalu menetap di dusun itu,
hidup berbahagia dengan isteri tercinta. Kebahagiaannya bertambah ketika isterinya
melahirkan seorang anak perempuan, tiga bulan yang lalu. Anak itu diberi nama Cin Lan, Bu
Cin Lan. Pada suatu pagi, datanglah seorang laki-laki yang berusia tiga puluh tahun lebih ke rumah
pendekar Bu Cian. Kebetulan pendekar itu berada di rumah dan melihat kedatangan pria itu,
dia melompat bangun dan dengan gembira menyambut. Pria itu adalah seorang sa-habat
baiknya, juga seorang pendekar murid Kun-lun-pai yang berdagang rempa-rempa di kota raja.
Dusun Teng-sia-bun juga terletak tidak jauh dari kota raja Peking. Sahabatnya itu pun tinggal
di dusun, yaitu dusun Tung-sin-bun yang letaknya di sebelah barat kota raja. Dari dusunlah
rempa-rempa itu dikumpulkan untuk dijual ke kota raja.
"Song-toako, apa kabar" Girang sekali engkau datang berkunjung!" kata Bu Cian setengah
berteriak. Mereka saling memberi hormat, ialu saling rangkul.
"Bu-te, lama kita tidak berjumpa, sejak engkau menikah! Sudah dua tahun lebih, betapa
cepatnya terbangnya waktu. Dan aku mendengar bahwa engkau mempunyai seorang anak
perempuan, karena itu aku sengaja datang hari ini untuk menengokmu dan keluargamu!" kata
Song Tek Kwi dengan girang.
Dengan gembira Bu Cian lalu meng-ajak isterl dan anak mereka keluar untuk menemui Song
Tek Kwi. Tek Kwi adalah seorang sahabat baik sekali dari Bu Cian, dan ketika mudanya
mereka berdua suka berburu bersama. Dan keduanya adalah orang-orang yang berjiwa patriot,
yang merasa tidak suka kepada pemerintah penjajah Mancu. 3uga dalam hal ilmu silat
keduanya memiliki tingkat yang se-imbang, oleh karena itu keduanya dapat menjadi sahabat
yang akrab. Melihat anak perempuan Bu Cian, Song Tek Kwi merasa kagum.
"Anakmu sehat, mungil dan manis sekaii!" katanya memujir
"Aih, engkau terlalu memuji. Dan aku mendengar engkau pun sudah mempunyai seorang
anak laki-laki. Berapa usianya sekarang dan mengapa tidak kauajak dia ke sini?"
"Anak kami sudah setahun usianya, terlalu kecil untuk diajak bepergian tanpa ibunya," jawab
Tek Kwi. Karena girangnya menerima kunjungan sahabat karibnya, Bu Cian lalu menyuruh isterinya
menyediakan masakan dan mengajak sahabatnya itu makan minum untuk merayakan
pertemuan itu hamba makan minum dengan gembira, dan setelah minum arak cukup banyak,
Song Tek Kwi tertawa gembira.
"Ha-ha-ha, pertemuan ini mengingatkan aku akan persahabatan kita yang lalu. Penuh
kegembiraan!" katanya.
"Engkau memang sahabatku yang baik, Song-toako," kata Bu Cian.
"Kalau begitu, mengapa klta tidak mengekalkan persahabatan ini menjadi pertalian keluarga"
Aku dan isteriku telah mengambil keputusan ketika kami nnendengar bahwa engkau
mernpuhyai seorang anak perempuan. Bu-te, bagaimana pendapatmu dan isterimu kalau kita
ikatkan tali perjodohan antara anak kita" Dengan demikian, persahabatan kita tidak akan
putus selamanya!" "Bagus sekali! Aku akan memanggil isteriku untuk mendengarkan usulmu yang amat baik
ini!" kata Bu Cian gembira dan dia segera inemanggll isterinya. Karena sudah lama
mendengar dari suaminya bahwa Song Tek Kwi adalah seorang sahabat yang amat baik, juga
seorang saudagar rempa-rempa yang berhasil? maka mendengar usul perjodohan anaknya itu,
isteri Bu Cian juga tidak merasa berkeberatan.
"Kalian setuju" Ha-ha-ha, bagus! Kedatanganku ternyata mendapat sambutan yang baik
sekali. Anakku bernama Song Thian Lee, dan siapakah nama anak kalian?"
"Anakku bernama Bu Cin Lan"
Song Tek Kwi lalu mengeluarkan sepasang gelang kemala dari saku bajunya. "Lihat, aku
memang sudah mempersiapkan segalanya. Gelang kemala ini adalah milik isteriku. la
menyuruh aku membawanya dengan pesan kalau kalian menyetujui usul perjodohan ini, agar
yang sebuah diberikan kepada anak kalian. Gelang ini serupa benar tidak mungkin ada gelang
lain di dunia ini yang serupa seperti sepasang gelang kemala ini. Nah, ini merupakan tanda
pengikat. Biarlah yang sebuah dipakai anakmu, yang sebuah lagi disimpan anakku sebagai
tanda bahwa mereka sudah terikat perjodohan."
"Bagus sekali, kami setuju!" kata Bu Cian yang segera menerima pemberian sebuah gelang
itu. Gelang kemala itu merupakan gelang kembar, yang persis sama ukirannya dan bahkan
warnanya yang hijau kecoklatan."
Bu Cian menyerahkan gelang itu kepa-da isterinya yang menerimanya sambU tersenyum
girang. Pada saat itu terdengar teriakan suara kanak-kanak di luar rumah, "Paman Bu,
toloonggg....!" Mendengar teriakan ini, Bu Cian dan isterinya berlari keluar, diikuti Song Tek Kwi. Dari luar,
seorang anak laki-laki berusia kurang lebih dua belas tahun menerobos masuk dan begitu
melihat Bu Cian dia segera menghamplri dan menangis. "Paman Bu, tolonglah enciku....!
Enci Kim dipaksa naik kereta, dibawa pergi orang... tolonglah Paman Bu....!"
Mendengar ini, Bu Cian lalu berlarl' keluar diikuti Song Tek Kwi. Bu Cian mengenal anak itu
dan mengenal pula encinya, seorang gadis manis puten te-tangga sebelah. Begltu dia lari ke
rumah $ebelah, dia melihat sebuah kereta dan dari dalam kereta itu jelas terdengar tangis
seorang wanlta. Cepat dia melompat dan membuka pintu kereta dengan paksa. Dia melihat
dua orang pengawal kereta hendak melarangnya, akan tetapi dua kali dia menggerakkan
tangannya, dua orang itu terlempar dan dia membuka pintu kereta. Di dalamnya duduk em-pat
orang gadis dusun yang cantik-cantik. Di antara mereka duduk Kim Hong yang menangis,
dihibur oleh tiga orang gadis yang lain.
"Kim Hong, hayo keluarlah kalau engkau tldak mau dibawa'" kata Bu Cian sambil membantu
gadis itu keluar dan turun dari kereta.
Pada saat itu muncul seorang yang berpakaian bangsawan. Usianya sudah empat puluhan
tahun dan bangsawan ini menudingkan telunjuknya kepada Bu Cian sambil membentak,
"Siapa engkau berani mencampuri urusanku" Hayo suruh naik kembali gadis itu!"
Pada dasarnya Bu Cian memang membenci bangsawan Mancu. Kini meli-hat bangsawan
Mancu bersikap demikian sombong, dia pun menghardik, "Siapapun juga tidak boleh
membawa paksa gadis ini'"
"Bangsat, tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan?"
"Tidak peduli siapa. Biar raja iblis sekalipun aku tidak takut dan tetap akan melarang
membawa pergi gadis ini de-ngan paksa!" jawab Bu Cian tegas.
Bangsawan itu menjadi marah sekali. Dia menoleh ke belakangnya di mana terdapat selosin
orang pengawalnya. "Tangkap dan hajar orang kurang ajar ini!" teriaknya.
Dua belas orang pengawal itu lalu mengepung Bu Cian dan segera serentak menyerangnya
dengan pukulan. Akan tetapi Bu Cian melawan dan dalan beberapa menit dia sudah
merobohkan empat orang pengawal. Para pengawal itu menjadi marah dan mereka semua
mencabut senjata golok mereka. Melihat Bu Cian dikeroyok dua belas orang yang sudah
mencabut senjata, Song Tek Kwi tidak tinggal diam. Dia pun meloncat dan membantu
sahabatnya mengamuk. Amukan dua orang pendekar ini membuat para pengawal kocar-kacir. Biarpun dua orang itu
tidak memegang senjata, namun dengan kaki tangan mereka yang ampuh, mereka dapat
membuat para pe-ngeroyok jatuh bangun dan sebagian golok mereka telempar!
Melihat ini bangsawan itu menjadi ketakutan dan hendak melarikan diri, Bu Cian
meninggalkan para pengeroyoknya dan sekali meloncat dia sudah dapat mengejar dan
mencengkeram tengkuk bangsawan itu. Sekali menampar dengan tangannya, bangsawan itu
terpelanting dan bibirnya berdarah. Bu Cian sudah akan memberi hajaran ketika seorang laki-
laki berusia lirpa puluh tahun menarik bajunya dari belakang. Dia membalik dan melihat
bahwa yang menarik bajunya adalah tetangganya, yaitu ayah dari gadis Kim Hong itu.
"Bu-sicu, jangan... jangan pukuli dia....!"
"Akan tetapi dia yang hendak memaksa anak perempuanmu untuk ikut, paman!" bantah Bu
Cian. "Tidak ada paksaan, Sicu. Kami telah menyetujui anak kami dibawa ke kota raja, menjadi
selir Pangeran." Bu Cian tertegun. "Paman sudah setuju....?"
"Tentu saja! Siapa tidak setuju anak perempuannya menjadi selir seorang pangeran" Martabat
kami akan terangkat. Hayo, Kim Hong! Cepat naik kembali ke kereta!" Orang itu membentak
kepada anaknya dan gadis itu dengan sesengguk-an berjalan menghampiri kereta lalu naik
tanpa mengeluarkan sepatah pun kata bantahan. Melihat ini, Bu Cian hanya tertegun dan tidak
dapat melarang lagi. Sementara itu, mendengar percakapan antara sahabatnya dan ayah gadis itu, Song Tek Kwi
juga menghentikan amukannya dan para pengawal yang babak belur itu pun mengundurkan
diri, merasa jerih terhadap dua orang pendekar yang tangguh itu. Sang bangsawan yang
ternyata adalah seorang pangeran dari kota raja itu mengusap bibirnya yang berdarah dengan
saputangan, nnemandang tajam kepada dua orang pendekar itu. Dla lalu naik pula ke dalam
kereta dan berkata kepada para pengawalnya, "Hayo cepat berangkat!"
Kereta pun bergerak pergi dikawal dua belas orang perajurit itu. Bu Cian dan Song Tek Kwi
tidak dapat berbuat apa-apa, hanya di dalam hati mereka menyesal mengapa ada orang tua
yang menjual anak gadisnya kepada pembesar Mancu!
"Paman, kenapa Paman menjual puteri Paman kepada bangsawan itu?" Bu Cian masih
penasaran bertanya kepada tetangganya.
Tetangga itu menghela napas. "Bukan menjual, Sicu, melainkan dengan sukarela kami
berikan ketika pangeran itu memilih anak kami sebagai satu di antara para gadis yang terpilih
untuk menjadi selir Pangeran. Orang tua mana yang tidak akan menyerahkan puterinya
menjadi selir Pangeran" Cucu kami kelak akan menjadi putera dan puteri Pangeran, menjadi
bangsawan! Hati siapa tidak akan senang" Sicu terburu nafsu memukuli para pengawal,
bahkan memukul sang Pangeran!"
Song Tek Kwi menggandeng tangan sahabatnya diajak pulang.
"Sungguh penasaran sekali!" Bu Cian mengomel. "Bangsa kita sudah tidak memiliki harga
diri lagi. Begitu saja menyerahkan anak gadisnya menjadi, selir seorang pangeran Mancu!"
"Aih, kenyataan ini memang pahit, akan tetapi apa yang dapat kita lakukan" Rakyat agaknya
sudah lupa bahwa bangsawan itu adalah bangsa Mancu yang menjajah kita. Akan tetapi aku
merasa khawatir, Bu-te. Kita telah melawan pasukan pengawal, bahkan engkau telah
memukuli seorang pangeran."
"Aku tidak takut, Song-toako. Para bangsawan Mancu itu memang sudah sepantasnya
dihajar!" "Aku juga tidak takut, Bu-te. Akan tetapi kita harus berhati-hati dan waspada. Siapa tahu
Pangeran itu tidak akan tinggal diam menyudahi urusan itu sampai di sini saja."
"Biarkan dia mau apa! Akan kulayani dia!" kata Bu Cian dengan nada suara penasaran.
Peristiwa itu mendatangkan suasana yang tidak enak dan Song Tek Kwi segera berpamit
kepada Bu Cian dan isterinya.
Apa yang dikhawatirkan Song Tek Kwi memang menjadi kenyataan. Bahkan kepala dusun
Teng-sia-bun yang mendengar akan peristiwa pemukulan terhadap seorang pangeran yang
dilakukan oleh Bu Cian, mendatangi pendekar itu dan menyatakan kekhawatirannya,
"Bu-sicu, sebaikhya kalau engkau membawa keluarga meninggalkan dusun ini sebelum
terjadi apa-apa. Kami merasa khawatir sekali kalau-kalau pangeran itu akan membalas
dendam kepadamu," bujuk Sang Kepala Dusun.
"Apa" Pergi melarikan diri dari anjing itu" Aku tidak akan lari, biar anjing itu menggonggong
keras. Kalau dia berani menggigit akan kutendang moncongnya!" jawab Bu Cian yang masih
merasa pena-saran dan marah kepada pangeran itu.
Kepala dusun itu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dan pergi. Hatinya
merasa tidak enak sekali, khawatir kalau-kalau terjadi keributan di dusunnya yang biasanya
tenteram dan aman. Gara-gara Pangeran yang mencari gadis-gadis dusun yang manis-manis
maka terjadilah keributan ini.
Dan tiga hari kemudian, seorang panglima dengan lima puluh orang perajuritnya, memasuki
dusun Teng-sia-bun. Pasukan itu mengepung rumah Bu Cian dan panglima itu, di depan pintu rumah berteriak,
lantang, "Atas perintah kejak-saan di kota raja, Bu Cian dinyatakan sebagai pemberontak dan
diminta untuk menyerah! Kalau tidak mau menyerah, kami terpaksa menggunakan
kekerasan!" Di dalam rumah terdengar tangis bayi. Bu Cian berdiri dengan pedang di tangan, dirangkul
isterinya yang mena"
"Jangan melawan....! Suamiku, menyerahlah saja dan mintalah ampun kepada Pangeran agar
engkau dibebaskan. Aku juga akan mintakan ampun untuku ....!" Sang isteri menangis dengan
gelisan sekali, tidak mempedulikan puterinya yang menjerit-jerit di atas pembaringan.
"Bwe Si, jangan bersikap pengecut! Engkau tahu, aku bukan seorang penakut. Lebih baik
engkau pondong anak kita itu, dan kaurawatlah baik-baik anak kita. Aku harus menghajar
pasukan itu!" Dia me-maksa diri lepas dari rangkulan isterinya lalu melompat keluar dari
pintu dan mengamuk dengan pedangnya!
Panglima itu terkena tendangan Bu Cian dan terlempar ke belakang. Dia menjadi marah
sekali. "Bunuh pemberontak'" Dan Bu Cian lalu dikeroyok, Pendekar ini memang gagah
perkasa. Dia mengamuk bagaikan seekor harima dan pedangnya sudah merobohkan beberapa
orang. Dengan ilmu pedang "Sin-Kiam-jip-pek-to" atau Pedang Sakti Menasuki Seratus
Golok dia mengamuk dan setelah melalui suatu pertempuran yang amat seru, sedikitnya dua
belas orang penge-royok telah roboh mandi darah disambar pedangnya! Akan tetapi pihak
musuh terlampau banyak. Apalagi, ilmu golok Panglima itu pun cukup lihai maka akhirnya
Bu Cian terkena sambaran golok dan tubuhnya sudah penuh dengan luka-luka. Akan tetapi
dia tetap mengamuk. Ketika golok Panglima itu menyambar dan tidak dapat dielakkan lagi,
terpaksa dia menangkis dengan tangan kirinya. Tangan kiri sebatas pergelangan menjadi
putus disambar golok, akan tetapi pada saat itu, dengan jurus Burung Walet Keluar Guha,
pedangnya sudah meluncur ke depan menembusi dada seorang pengeroyok dan kakinya
mencuat ke samping menendang dada Panglima itu sehingga untuk kedua kalinya Panglima
itu terjengkang. Akan tetapi pada saat itu, tiga batang golok menyambar mengenai tubuh
belakang Bu Cian dan robohlah pendekar gVtu dengan badan mandi darahnya sendiri.
"Suamiku....!!" Lu Bwe Si, sambil menggendong anaknya, tanpa mempedulikan para
perajurit, lari dan menubruk tubuh suaminya yang mandi darah. la merintih dan menjerit
memanggil suaminya. Bu Cian membuka matanya. "Bwe Si... jaga... anak kita... baik-baik...." katanya dan tubuh itu
pun diam, matanya masih terbuka seolah pendekar itu mati dalam keadaan penasaran.
Lu Bwe Si menjerit dan terguling pingsan. Anak dalam gendongannya juga menjerit-jerit
dalam tangisnya. "Bawa perempuan dan anaknya itu. Keluarga pemberontak harus dihadapkan ke pengadilan!"
kata Sang Panglima dan tubuh Lu Bwe Si yang pingsan lalu diangkat dan dimasukkan dalam
gerobak tahanan yang sedianya diperuntukkan suaminya. Kepala dusun dipanggil dan oleh
panglima diperintahkan untuk me-ngurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Kemudian,
panglima itu membawa pasukannya yang mendorong gerobak tahanan meninggalkan dusun
Teng-sia-bun, kembali ke kota raja.
Setibanya di luar kota raja, rombongan pasukan itu bertemu dengan rombongan lain, yaitu
selosin pengawal yang mengiringkan sebuah kereta yang indah. Yang berada di dalam kereta
itu adalah Pangeran Tang Gi Su, yang hendak berburu binatang di luar kota raja. Ketika
Pangeran Tang Gi Su mendengar tangis wanita dari dalam gerobak tahanan yang dikawal
puluhan orang perajurit, dia ter-tarik sekali dan menyuruh pengawal menghentikan pasukan
itu. Panglima pasukan lalu menghampiri kereta dan ketika dia mengetahui siapa yang berada
dalam kereta, dia pun berdiri tegak menunggu dengan sikap hormat.
Seorang laki-laki yang jangkung kurus keluar dari dalam kereta. Laki-laki itu berusia kurang
lebih empat puluh tahun, wajahnya lembut dan tampan berwibawa, matanya bersinar tajam
menunjukkan kecerdikannya. Inilah Pangeran Tang Gi Su yang memegang jabatan sebagai
seorang pengawas terhadap para pejabat, pembantu Kaisar. Karena kedudukannya ini,
Pangeran Tang Gi Su disegani oleh para pejabat tinggi. Kalau ada pejabat tinggi, yang
menyeleweng melakukan penyelewengan dalam tugasnya, maka pangeran inilah yang akan
memeriksanya dan kalau bersalah, mengajukannya ke pengadilan di istana yang dipimpin
Kaisar sendiri.

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panglima pasukan ini cepat memberi hormat kepada Pangeran Tang Gi Su.
"Siapa dalam gerobak tahanan itu dan mengapa ia ditahan?" tanya Sang Pangeran, sambil
menghampiri gerobak itu. Dia melihat seorang wanita menggendong bayinya sedang
menangis dan hatinya tergerak oleh pemandangan ini.
"la isteri seorang pemberohtak, Pangeran. Pemberontaknya sendiri telah berhasil kami bunuh
dan kami menangkap isteri dan anaknya untuk dihadapkan ke pengadilan
"Di mana ada pemberontak?" "Di dusun Teng-sia-bun, Pangeran."
"Hemm, berapa banyak jumlah pemberontak?"
"Hanya satu orang, Pangeran."
"Apa" Hanya seorang dan kalian membawa pasukan sekian banyaknya?"
"Pemberontak itu lihai sekali dan kami kehilangan belasan orang perajurit, Pangeran."
"Bagaimana mungkin pemberontakan hanya dilakukan oleh seorang saja" Dalam hal apa dia
memberontak?" "Tiga hari yang lalu, ketika Pangeran Bian Kun mengambil beberapa orang gadis dusun itu
untuk dijadikan selir, Pangeran Ban Kun dipukul oleh pemberontak itu, Pangeran. Dia
melapor kepada jaksa dan kami diutus menangkap si pemberontak akan tetapi dia, melawan
sehingga terjadi pertempuran dan dia tewas."
Mendengar nama Pangeran Bian Kun, Pangeran Tang Gi Su mengangguk-angguk. Dia sudah
mengenal watak Pangeran yang mata keranjang itu.
"Hemm, pelanggaran itu belum dapat dinamakan pemberontakan. Dan ketika terjadi
pertempuran, apakah wanita ini pun ikut bertempur melawan pasukan?"
"Tidak, Pangeran."
"Kalau begitu, mengapa ia ditangkap" Apa kesalahannya" Suaminya itu hanya melawan
seorang pangeran, bukan pemberontak. Bebaskan wanita ini dan anaknya!"
"Tetapi, Pangeran...."
"Jangan membantah. Bebaskan dan aku yang bertanggung jawab!"
"Baik, Pangeran." Panglima itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuka gerobak
tahanan dan membiarkan Bwe Si keluar menggendong anaknya. Kemudian, atas perintah
Sang Pangeran, panglima itu melanjutkan perjalanannya bersama ke kota.
Demikian baikkah hati Pangeran Tang Gi Su" Memang pangeran ini terkenal sebagai seorang
yang memegang kedilan dan tegas, akan tetapi dalam hal ini ada sesuatu yang mendorongnya
menolong Lu Bwe Si. Ketika dia melongok ke dalam gerobak tahanan, dia melihat wajah
Bwee Si dan hatinya tergerak. Timbul perasaan iba dan juga suka sekali kepada wanita yang
menjadi ibu muda itu. Dalam panjang matanya, wajah itu demikian elita dan patut disayang
dan dikasihani; dan bentuk tubuh ibu muda itu dennikian menggairahkan hatinya sehingga dia
me-ngambil keputusan untuk melindungi dan menolong wanita ini!
Kita menganggap bahwa sudah semestinya pertolongan itu berpamrih. Akan tetapi, benarkah
itu dapat dinamakan pertolongan kalau berpamrih" Ataukah perbuatan yang dinamakan
pertolongan itu bukan sekedar cara untuk mendapatkan pamrih yang diinginkannya" Pada
mulanya, Pangeran Tang Gi Su memang tidak mempunyai keinginan apa-apa sebagai pamrih
atas perbuatannya. Dia hanya terdorong rasa iba dan ingin menegakkan keadilan belaka
seperti yang sering kali dilakukannya. Akan tetapi begitu dia melihat wajah dan bentuk tubuh
Lu Bwee Si timbul keinginan di hatinya untuk memilikl wanita itu dan keinginan itu menjadi
pamrih pertolongannya. "Nyonya, masuklah ke dalam keretaku. Jangan khawatir lagi, kalau ada aku di sampingmu,
tak seorang pun akan berani mengganggu selembar rambutmu!" kata pangeran itu sambil
menuntun Bwee Si memasuki keretanya. Setelah duduk di dalam kereta bersama pangeran itu,
Bwe Si baru teringat untuk menghaturkan terima kasih.
"Hamba menghaturkan terima kasih "atas pertolongan Paduka, akan tetapi suami hamba...
ahhh....!" Bwe Si lalu menangis sambil memeluk puterinya.
"Jangan menangis, Nyonya. Suamimu telah meninggal dunia ditangisi pun tidak ada gunanya
lagi. Engkau harus ingat kepada anakmu. Kalau sampai engkau tuh sakit, anakmu akan ikut
sakit pula. Sekarang engkau ikutlah tinggal d! ru-mahku...."
"Saya... hamba... ingin pulang, mengurus jenazah suami hamba dan ber-kabung...." Bwe Si
terisak. "Nyonya, kalau engkau kembali ke rumahmu, tentu engkau akan ditangkap lagi oleh perwira
itu. Suamimu dituduh pemberontak dan ketahuilah, keluarga pemberontak harus ditangkap
pula. Kalau tidak ada aku yang menanggung, apa kaukira dapat dibebaskan demikian
mudahnya" Satu-satunya jalan agar engkau tidak ditangkap hanya ikut aku pulang."
Bwe Si menjadi bingung sekali. "Akan tetapi... suamiku... rumahku...."
"Jangan khawatir, Nyonya. Aku akan mengutus orang-orangku untuk mengurus jenazah
suamimu, memakamkannya dengan baik-baik dan aku akan menyuruh ambil semua milikmu
dari rumahmu. Akan tetapi untuk sementara engkau harus tinggal di rumahku kalau engkau
tidak ihgin ditangkap lagi."
Bwe Si masih meragu dan pangeran itu berkata, "Ingat, Nyonya harus mengingat akan
keselamatan anakmu andaikata Nyonya tidak mempedulikan keselamatan sendiri. Bagaimana
nasib anakmi. kalau engkau dihukum" Alangkah sengsaranya, kasihan sekali...."
Bwe Si mendekap puterinya dan menangis. Tidak ada jalan lain lagi baginya kecuali menurut
saja diajak pergi ke rumah Pangeran Tang Gi Su. la tidak tahu bahwa ia bagaikan seekor
domba gemuk dan muda masuk ke dalam rumah Jagal! .
Song Tek Kwi pulang dengan hati yang tidak enak sekali. Dia mengkhawa-tirkan keselamatan
sahabatnya. Dan pada keesokan harinya baru dia mendengar berita menyedihkan itu, yaitu
tentang diserbunya rumah Bu Cian oleh pasukan yang mengakibatkan matinya sahabatnya itu.
"Celaka, sudah kukhawatirkan hal itu akan terjadi. Kita harus cepat meninggalkan dusun ini,
isteriku!" katanya kepada isterinya yang menggendong Song Thian Lee, putera mereka yang
baru berusia setahun. Isteri Song Tek Kwi bernama Kwa Siang dan wanita ini tidaklah lemah seperti Lu Bwe Si.
Kwa Siang sejak kecil mempelajari ilmu silat dan setelah menjadi isteri Song Tek Kwi,
kepandaiannya bertambah cepat karena ajaran suaminya. Kini ia merupakan seorang wanita
yang gagah perkasa dan tangguh ilmu silatnya.
"Suamiku, kenapa kita harus pergi" Siapa yang akan mengancam kita?" tanyanya dengan
tenang, sedikit pun tidak menjadi gugup.
"Kemarin Bu Cian menghajar para pengawal pangeran itu bersama aku. Sekarang Bu Cian
dibunuh, tentu mereka akan mencari aku pula. Mari kita berkemas dan pergi secepatnya dari
tempat ini!" Suami isteri itu berkemas membawa harta mereka yang ringkas, lalu keduanya, pergi dari
dusun itu. Kwa Siang menggendong anaknya, dan suaminya menggendong buntalan besar.
Akan tetapi, baru saja mereka tiba di luar dusun, mereka telah berhadapan dengan pasukan
yang mengepung mereka! Kiranya sejak tadi sudah ada pasukan datang ke dusun Tung-sin-
bun, jumlah mereka lima puluh orang dipimpin oleh dua orang perwira yang bertubuh tinggi
besar. Melihat ini, Song Tek Kwi mencabut pedangnya, juga isterinya, Kwa Siang telah mencabut
pedangnya dan memperkuat ikatan gendongan puteranya. Suami isteri ini sudah bertekad
untuk membela dirl. "Pemberontak Sdng Tek Kwi! Lebih baik engkau dan isterimu menyerah untuk kami tangkap
dan bawa ke kota raja daripada kami harus menggunakan kekerasan!" kata seorang di antara
dua orang perwira itu. "Aku bukan pemberontak, dan aku tidak akan menyerah!" kata Song Tek Kwi dengan suara
lantang. Akan tetapi diam-diam pendekar ini, mengkhawatirkan keadaan puteranya dalam
gendongan is-terinya, maka dia lalu berkata kepada isterinya, "Lari! Cepat, selamatkan anak
kita'" Kwa Siang tidak takut menghadapi pasukan itu untuk membela suaminya, akan tetapi ia pun
memikirkan keselamatan puteranya. Oleh karena itu, seruan suaminya membuat ia bimbang.
la tidak tega meninggalkan suaminya seorang diri menghadapi pasukan itu, akan tetapi kalau
ia tidak pergi, berarti ia mendatangkan bahaya maut bagi anaknya. Mementingkan suaminya,
atau anaknya" Setelah ditimbang-timbang, ia memilih menyelamatkan anaknya. Kalau ia
meninggalkan suaminya belum tentu suaminya akan celaka. Mungkin suaminya juga akan
dapat membebaskan diri. Akan tetapi kalau ia kukuh membantu suaminya, besar
kemungkinan anak dalam gendongan itu akan celaka terkena senjata lawan yang demikian
banyaknya. Sementara itu, mendengar suami yang menganjurkan iste inya untuk melarikan diri itu, dua or
ng perwira itu lalu memberi aba-aba agar anafe1 buahnya menyerang. Mulailah pengeroyokan
terjadi dan suami isteri itu menggerakkan pedangnya melawan mati-matian. Kwa Siang yang
berusaha melarikan diri, menyerang dengan dahsyat ke satu jurusan, membubarkan
pengepung di jurusan itu dan merobohkan empat orang. Suaminya juga mengamuk,
pedangnya berkelebat seperti angin topan dan enam orang berpelantingan disambar
pedangnya. Melihat kehebatan pendekar yang mereka pandang sebagai pemberontak itu, dua oraog
perwira lalu mencabut pedang mereka dan keduanya mengeroyok Song Tek Kwi, dibantu
pula oleh banyak anak buah. Song Tek Kwi melawan dengan nekat karena yang 'terutama
baginya adalah membiarkan isterinya lolos.
"Siang-mo, pergilah....!" teriaknya dan tiba-tiba dia meloncat dan menyerang mereka yang
mengepung isterinya sehlngga terbuka jalan bagi Kwa Siang.
"Kwi-ko, jaga dirimu baik-baik!" kata Kwa Siang, lalu wanita ini memutar pe-dangnya dan
ketika pengeroyoknya mundur, ia lalu meloncat jauh. Di depannya sudah ada beberapa orang
perajurit lagi dan ia mengamuk lagi. Setelah mendapatkan kesempatan ia nnelompat lagi dan
akhirnya ia berhasil lolos dari kepungan dan melarikan diri memasuki hutan.
Melihat ini, Song Tek Kwi menjadl lega sekali dan dia pun mengamuk lebih hebat lagi.
Namun, bagaimana mungkin satu orang melawan puluhar? orang pera-.jurit, apalagi di situ
terdapat dua'orang perwira yang cukup lihai ilmu pedang-nya" Setelah merobohkan belasan
orang pengeroyok, akhirnya Song Tek Kwi roboh juga dengan tubuh penuh luka. Dia tewas
sebagai seorang gagah perkasa, hal yang selalu diidamkan oleh para pendekar. Dua orang
perwira lalu mengerahkan para perajuritnya untuk melakukan pengejaran terhadap Kwa
Siang, akan tetapi ibu muda itu telah lenyap dan tidak berada lagi dalam hutan itu. Tepaksa
pasukan itu lalu kembali membawa teman-teman yang terluka dan menyuruh kepala dusun
Tung-sin-bun agar mengerahkan pendu-duknya untuk mengubur semua jenazah para
perajurit. Jauh dari dusun Tung-sin-bun, dl dalam sebuah hutan di lereng bukit, Kwa Siang duduk
memangku puteranya, dan ia menangis terisak-isak. Setelah tadi ber-hasil melarikan diri, ia
tidak segera pergi melainkan mengintai dari dalam hutan, melihat kalau-kalau suaminya akan
dapat melarikan diri pula. Akan tetapi apa yang dilihatnya" Suaminya merobohkan belasan
orang perajurit dan kemudian roboh dengan tubuh penuh luka dan tewas di bawah hujan
senjata. Terpaksa ia lalu melarikan diri dengan cepat. Yang terngiang dalam telinganya
hanyalah pesan terakhir suaminya agar ia menye-lamatkan anaknya.
Kini, setelah jauh dari tempat itu dan tidak ada lagi yang mengejarnya, wanita itu duduk di
atas akar pohon dan menangis dengan sedih, menangisi kematian suaminya. Baru saja ia
masih bersama suaminya, dalam keadaan sehat dan hidup. Dan kini, suaminya telah tewas
tanpa ia dapat menolongnya! Kaiau saja di situ tidak ada Thian Lee, tidak mungkin ia akan
melarikan-diri. la tentuakan membela suaminya dan kalau perlu mati bersama suaminya.
"Ohh, suamiku..., anakku....!" la mendekap Thian Lee dan anak itu seolah mengerti kedukaan
ibunya dan ikut menangis.
Khawatir kalau tangis puteranya yang nyaring itu akan terdengar orang, Kwa Siang
menghentikan tangisnya dan meng-Nbur puterinya sehingga anak itu berhen-ti menangis.
Hancur luluh rasa hati Kwa Siang. Mengapa nasib sedemikian buruknya menimpa dirinya"
Nasib berada di tangan Tuhan dan di-tentukan oleh kekuasaan Tuhan. Memang benar. Akan
tetapi baik buruknya nasib tergantung dari si manusia sendiri. Manusia diberi peralatan
selengkapnya untuk berusaha memperbaiki keadaan dirinya. Tidak mempergunakan segala
daya yang ada padanya berarti menyia-nyiakan pemberian anugerah dari Tuhan berupa
kehidupan sempurna itu. Nasib yang rnenimpa seseorang pasti ada sebabnya dan sebab itu
berada di tangan si manusia sendiri. Setiap orang akan memetik bunuh dari hasil tanamannya
sendiri. Karena itu, orang yang mengerti benar akan nikmat ini, selalu menanam bibit yang
baik, yaitu melakukan semua perbuatan yang baik sehingga buahnya kelak pun baik.
Sebaliknya, kalau tertimpa suatu peristiwa, menyenangkan atau menyusahkan, tidak akan
menyesal karena maklum bahwa semua itu adalah hasil tanaman-nya sendiri. Wajarlah kalau
yang bersalah menerima hukumannya. Mengapa menye-sal" Penyesalan yang perlu kita
.miltki adalah bertaubat atas kesalahannya dan tidak akan mengulang kembali. Tidak akan
menanam bibit yang buruk lagi, melainkan menanam bibit yang baik-baik saja tanpa pamrih,
yaitu pamrih untuk kesenangan diri sendiri. Pamrih adalah harapan mendapatkan sesuatu, dan
hanya orang yang mengharapkan mendapat sesuatu sajalah yang akan merasa kecewa.
Kecewa kalau yang diharapkan itu tidak tercapai, kemudian menjadi bosan dan tidak puas
kalau harapan itu terpenuhi, karena yang diharapkan itu kemudian setelah tercapai tidaklah
seindah seperti yang dibayangkan semula.
Duka datang bersama perasaan iba diri. Aku ditinggal, aku kehilangan, aku kesepian, aku
dirugikan dan semua kenangan mengenai aku yang dirugikan itulah yang mendatangkan rasa
iba diri dan menjurus kepada kedukaan. Duka ini dapat pula memperbesar rasa benci ter-
hadap sesuatu yang rnenjadi penyebab datangnya kerugian itu.
Demikian pula dengan Kwa Siang. Ibu muda ini akhirnya menggendong putera-nya dan
meninggalkan tempat itu, men-daki bukit dan hatinya penuh dengan duka, penuh dengan
dendam. Kalau bisa, ingin ia membunuh semua pangeran Man-cu yang ada! Bahkan
menghancurkan kekuasaan penjajah Mancu. "Kau yang kelak akan melakukannya, Thian Lee.
Kelak engkau yang akan membalaskan kcmatian ayahmu!" bisiknya kepada anak-pya sambil
memeluk anak itu dan nieT lanjutkan perjalanannya. Suaminya benar Kalau ia tidak lari, tentu
ia akan tewas pula bersama Thian Lee. Dan, kalau hal itu terjadi, siapa yang akan
membalaskan sakit hati ini" la harus merawat Thian Lee dan mendidiknya sampai dia kelak
menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi dan dapat melaksanakan pembalasan dendam
ini. Dengan pikiran itu, langkahnya semakin tegap dan kedukaannya pun terhibur oleh
harapan baru. Biarpun harapan akhirnya mendatangkan kekecewaan atau ketidak-puasan,
namun dalam keadaan hati direndam duka, harapan tu menjadi teramat penting. Harapan
bagaikan sepucuk obor yang menerangi batin yang sedang digelapkan duka. Dengan adanya
harapan, maka timbul semangat baru untuk meninggalkan duka dan menghadapi kehidupan
selanjutnya. Dalam pakaian wanita bangsawan, dengan dandanan rambut digelung ke atas dan dihias tusuk
rambut dari emas memang Lu Bwe Si nampak cantik sekali. Cantik lembut dan anggun, me-
mang wanita ini pantas menjadi seorang wanita bangsawan. la tidak dapat menolak semua
pemberian Pangeran Tang Gi Su kepadanya berupa pakaian dan perhiasan.
"Engkau telah tinggal dl sini, harus Tnenyesuaikan dandananmu agar jangan membikin malu
kepadaku, Bwe Si," kata pangeran itu yang kini tidak menyebut nyonya kepadanya,
melainkan nama kecilnya. "Akan tetapi saya bukanlah anggauta keluarga,. saya hanyalah seorang tamu yang sementara
tinggal di sini, Pangeran," bantah Lu Bwe Si.
"Bukan hanya tamu sementara, Bwe Si. Ingatlah baik-baik, engkau dapat pergi ke mana
kecuali tinggal di sini" Begitu engkau keluar darl perlindunganku, engkau akan ditangkap
sebagai seorang keluarga pemberontak."
"Aduh, kalau begitu bagaimana baiknya, Pangeran" Bagaimana dengan diri saya dan anak
saya" Apakah selamanya saya tidak dapat memperoleh kebebasan dan selalu menjadi buruan
pemerintah?" keluh Lu Bwe Si sambil mendekap anaknya, tidak dapat menangis lagi karena
air matanya telah habis ditumpahkan selama satu bulan berada di gedung pangeran itu.
"Tentu saja, selama engkau masih menjadi Nyonya Bu Cian, engkau akan selalu menjadi
orang buruan. Kebebasan hanya bisa kaudapatkan di sini, Bwe Si. Dan pemerintah akan
menghentikan buruan itu kalau engkau sudah menjadi selirku dan tinggal di sini, menjadi
keluargaku." Bwe Si terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa di balik pertolongan yang diberikan oleh
pangeran yang baik hati ini kepadanya tersembunyi niat untuk memperisterinya, untuk
mengambilnya sebagai selir!
"Akah tetapi, Pangeran. Saya isteri Bu Cian....!"
"Dia sudah mati, Bwe Si."
"Ya, saya adalah seorang janda dan mempunyai seorang anak lagi."
"Apa salahnya: Engkau akan menjadi istenku, dan anak ini akan menjadi anakku. Namanya
Cin Lan, bukan" la akan menjadi Tang Cin Lan, seorang isteri pangeran!"
"Tapi, Pangeran.... "Pikirkan baik-baik dan jangan ragu, Bwe Si. Aku cinta padamu. Sejak pertemuan pertama
kali aku sudah tertarik sekali kepadamu, kecantikanmu, sikap dan kelembutanmu. Aku ingin
engkau selamanya tinggal di sini bersama anakmu, engkau menjadi selirku dan Cin Lan
menjadi anakku. Sekarang, aku beri waktu semalann ini. Pikirkanlah baik-baik. Engkau lebih
suka keluar dari sini menjadi buruan pemerintah, kalau tertangkap menjadi orang hukuman,
mungkin dihu-kum mati bersama anakmu, atau tinggal di sini menjadi selirku dan anakmu itu
menjadi puteri pangeran. Nah, besok pagi-pagi engkau harus sudah mengambil keputusan,
mau tinggal di sini atau keluar dari rumah ini!" Setelah berkata demikian, Pangeran Tang Gi
Su meninggal-kan wanita itu yang mulai menangis sesenggukan sambil mendekap anaknya.
Malam itu teramat menyiksa bagi Bwe Si. Terjadi perang dalam otaknya, dalam hatinya. Baru
saja ia ditinggal suaminya, mati dalam keadaan demikian sengsara. Bahkan la tidak diberi
kesempatan untuk berkabung atas kematian suami yang dicintanya itu, dan malah dilamar
menjadi selir pangeran! Hatinya berontak. Tidak ingin la menjadi selir pangeran atau isteri
siapapun juga. Ia ingin bersetia kepada suaminya sampai matl. Akan tetapi, bagaimana
dengan anaknya. Suaminya, dalam saat terakhir pesan kepadanya agar ia menyelamatkan anak
mereka dan menjaganya baik-baik kalau ia nekat menolak lamaran llalu harus keluar dari
rumah itu, pasti ia ditangkap dan dihukum. Lalu bagaimana dengan anaknya".
Cin Lan aahh, Cin Lan, apa yang harus ibu lakukan, Nak....?" la memeluk, menciumi anaknya
sambil menangis. Ia meratapi suaminya seolah minta petunjuk, akan tetapi tiada jawaban. Dan
malam rasanya demikian cepat berlalu, tahu tahu sudah terdengar ayam jantan berkeruyuk
tanda bahwa pagi telah menJelang tiba.
Dan pagi yang menakutkan itu pun tiba. Dengan hati berdebar-debar Bwe Si menunggu,
masih belum dapat mengambil keputusan. Akan tetapi yang jelas, ia tidak ingm melihat
anaknya ikut terhukum dan mat. Tidak, ia sendiri tidak takut dihukum, tidak takut menyusul
suaminya mati. Akan tetapi, ia amat takut kalau membayangkan nasib Cin Lan puterinya. Ia
rela berbuat apa saja bahkan lebih dari kematian, demi menyelamatkan Cin Lan.
Dengan pakaian pagi yang indah, sudah nampak segar habis mandi, Pangeran Tang Gi Su
memasuki kamar itu, seorang diri. Biasanya, kalau pangeran itu datang, Bwe Si pasti
menyambutnya dengan salam hormat. Akan tetapi sekali ini Bwe Si tidak dapat bergerak,
tidak pula dapat mengeluarkan sepatah pun kata. la terdiam dan memandang pangeran itu


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan telah berubah menjadi putung'
Pangeran Tang Gi Su memandangnya dan alisnya berkerut melihat wajah yang pucat, rambut
yang kusut dan mata yang agak bengkak kemerahan bekas tangis itu. Dia melangkah maju
menghampiri lalu berkata, "Bwe Si, kenapa engkau menyiksa dirimu sendiri begini rupa"
Agaknya semalam engkau tidak tidur! Begitu sulitkah menerimaku sebagai suamimu, Bwe
Si" Begitu burukkah rupaku atau kelakuanku bagimu sehingga engkau tidak sudi menjadi
isteriku" Engkau memilih dihukum mati daripada hidupseba-gai isteriku7"
Akhirnya Bwe Si dapat menghela napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Pangeran, saya
tidak takut mati, akan tetapi saya tidak ingin melihat anak saya ikut mati...."
"Jadi... lalu apa jawabanmu terhadap lamaranku" Maukah engkau menjadi isteriku?"
Kembali Bwe Si menghela riapas panjang. "Pangeran, demi keselamatan anakku, aku tidak
dapat menolak....." "Bapus! Untuk sementara engkau boleh menerimaku demi anakmu. Cinta datangnya
perlahan-lahan bagi wanita yang berkeadaan sepertimu. Akan tetapi kelak aku mengharapkan
cinta itu akan datang padamu terhadap diriku. Nah, mulai hari ini engkau adalah selirku dan
Cin Lan adalah anakku. Dalam keadaan seperti sekarang, air susumu tidak sehat bagi Cin Lan.
Aku tidak ingin melihat anakku menjadi sakit karena minum air susumu. Biarlah wanita
pengasuh yang akan menyusuinya dan merawatnya, seperti anak-anakku yang lain. Cin Lan
akan menjadi seorang anak yang sehat dan kuat."
Pangeran Tang Gi Su lalu bertepuk tangan memanggil pelayan, lalu mengutusnya memanggil
inang pengasuh yang segera datang. Pangeran berkata, "Rawat baik-baik anakku ini agar ia
sehat dan kuat seperti kakak-kakaknya. Ia adalah anakku, mengerti?"
Tergopoh-gopoh inang pengasuh mene-runa anak. itu dari tangan ibunya dan membawanya
pergi. Setelah mereka semua pergi, Pangeran Tang Gi Su lalu memegang kedua tangan Bwe
Si, mendekatkan mukanya dan mencium dahi yang putih halus terhias anak rambut itu, lalu
berkata, "Nah, sayang. Sekarang engkau tidurlah. Engkau harus mengaso karena semalam
engkau tidak tidur. jangan sampai engkau jatuh sakit." Pangeran itu menuntunnya ke
pembaringan, mendesaknya untuk rebah dan dia sendiri yang menutupi tubuh Bwe Si dengan
sehelai selimut, dengan sikap dan gerakan menyayang sekali.
"Tidurlah, Bwe Si dan senangkan hatimu. Cin Lan berada di tangan pengasuh yang ahli.
Engkau dan anakmu aman di sini dan kehidupan yang tenteram bahagia dan terhormat
menanti kalian berdua. Tidurlah." Pangeran itu lalu meninggalkan kamar dan menutupkan
daun pintunya dari luar. Bwe Si menangis. la merasa telah berkhianat terhadap almarhum suaminya. Ia telah
menyerahkan dirinya kepada pangeran itu. Akan tetapi ini demi Cin Lan, anak kita, suamiku,
demikian bisiknya berulang kali akhirnya ia lalu membayangkan kembal sikap pangeran itu
yang demikian rrunyayang dan lembut.
Setelah ia menerima pinangan, pangeran itu tidak segera melampiaskan berahinya kepadanya
melainkan bersikap baik dan sopan sekali, amat menyayangnya. Hal ini mengharukan hatlnya
dan sedikit menghiburnya. la merasa terhormat setelah tadi merasa terhina karena merasa
berkhianat terhadap suaminya. Tidak, ia tidak berkhianat. la melakukan demi keselamatan Cin
Lan. Dan pangeran itu pun bukan seorang yang kasar, tidak ingin mengambilnya sebagai selir
hanya karena nafsunya, melainkan nampaknya pangeran itu benar-benar cinta kepadanya.
Akhirnya, ia pun tertidur nyenyak dan sampai siang hari baru terbangun.
Mulai hari itu, Lu Bwe Si menjadi selir Pangeran Tang Gi Su. Tidak terlalu berat bagi Bwe Si
untuk melayani suami-nya yang baru karena Sang Pangeran , benar-benar bersikap lembut
dan penuh kaslh sayang kepadanya. Juga sikap suaminya terhadap Cin Lan nampak begitu
menyayang, tidak berbeda dengan anak-anaknya yang lain. Hal ini lebih-lebih
menggembirakan hati Bwe Si sehingga tak lama kemudian, ia sudah melupakan bahwa Cin
Lan adalah puteri suan inya yang dahulu. Bahkan sudah Jarangteringat kepada mendiang Bu
Cian. Perasaan hati memang condong untuk berubah setiap waktu. Karena itu, tidak mungkin hal itu
dalam satu keadaanfl terus menerus tanpa perubahan. Duka tidak dapat mengekang hati
terlalu lama, apalagi suka. Sebentar saja perasaan itu sudah terganti oleh perasaan lain.
Karena itu, tidak keliru kalau ada yang menga-takan bahwa pada saat suka menduduki hati,
duka sudah antri di belakangnya dan demikian sebaliknya. Suka dan duka lewat bagaikan
angin lalu, semua akan tei-lena oleh Sang Waktu.
Pangeran Tang Gi Su memang men-cinta Bwe Si dan lambat laun, belum genap setahun, telah
mulai tunnbuh perasaan cinta dalam hati Bwe Si terhadap suaminya yang baru itu. Kini ia
tidak lagi melayani suaminya karena terpaksa, demi keselamatan Cin Lan, melainkan dengan
gairah yang menggelora karena api cinta kasih mulai menyala dalam dadanya terhadap
pangeran yang menjadi suaminya dan yang memberinya segala-galanya itu. Ia menjadi
seorang wanita terhormat, bebas tidak diburu lagi, berkecukupan bahkan mewah. Juga Cin
Lan terawat dengan baik, sekarang nampak gemuk dan sehat dan sewaktu-waktu dapat saja
memerintahkan pengasuh membawa anaknya kepadanya. Bahagia, itulah yang dirasakan oleh
Bwe Si. Sa-lahkah sikap Bwe Si ini" Kalau ada yang menyalahkannya dan menganggapnya
rendah, anggapan seperti itu tidaklah adil. Tidakkah sebagai seorang manusia, Bwe Si juga
berhak untuk meraih kebahagiaannya" Kalau ia mendapatkan itu sebagai isteri muda
pangeran, apa salahnya" 5uarrunya sudah tiada, dan ia dapat pula membahagiakan puterinya,
di sampine membahagiakan diri sendiri. Roh suaminya tentu akan senang melihat orang-
orang yang dikasihinya ity dalam keadaan bahagia!
Biarpun merasa amat berterima kasih kepada suaminya yang baru, Bwe Si tidak melupakan
kenyataan bahwa puterinya itu adalah ariak seorang pendekar. Karena itu, setelah Cin Lan
berusia lima tahun, di samping memberi pelajaran baca tulis, ia pun memanggil seorang guru
silat untuk puterinya. Dan Pangeran Tang Gi Su juga tidak berkeberatan, apalagi ketika guru
silat menyatakan kekagumannya akan bakat ilmu silat yang ada pada diri anak itu. Pangeran
Tang Gi Su bahkar mendorong dengan mengundang guru silat yang lebih pandai untuk
mengajar puterinya. * * * * Kwa Siang, atau nyonya janda Song Tek Kwi, adalah seorang wanita yang penuh semangat
dan pemberani. Biarpun ketika melarikan diri ia tidak membawa banyak bekal karena bekal
itu kebanyakan berada daiam buntalan suaminya yang terpaksa ditinggalkan, namun ia tidak
takut. la mengembara sambil meiarikan diri. khawatir kalau-kalau akan dikejar oleh pasukan.
la berpindah-pindah dari satu ke lain dusun, terus menjauhkan diri dari kota raja sampai jauh
ke selatan. Akhirnya, setahun kemudian ia sudah tiba di tepi Sungai Kuning. la tinggal di
sebuah dusun kecil yang dihunU beberapa ratus kepala keluarga yang bekerja sebagai petani
dan nelayan. la pun bekerja sebagai nelayan mencari ikan untuk menghidupi dirinya dan
Thian Lee, puteranya. Setelah Thian Lee berusia lima tahun, mulailah ibu muda ini menggembleng puteranya
dengan ilmu silat dan betapa girang hatinya melihat bahwa Thian Lee memiliki bakat yang
baik sekali. Dalam hidupnya selama ini, banyak terjadi gangguan terhadap dirinya, dari para
pria hidung belang dan mata keranjang, namun berkat ilmu silatnya, ia menghajar setiap orang
laki-laki yang berani kurang ajar kepadanya. Demikian puJa di dusun tepi sungai itu, setelah
semua penduduk mengetahui bahwa janda muda beranak satu ini pandai ilmu silat, tidak ada
se-orang pun berani mengganggunya.
Ketika Thian Lee berusia sepuluh tahun, terpaksa Kwa Siang rriengajak anaknya
menyeberangi sungai dan melarikan diri ke selatan. Pada suatu hari ia melihat serombongan
pasukan lewat di dusun itu dan ia menjadi curiga. Jangan-jangan mereka itu sudah mendengar
bahwa ia tinggal di dusun itu! Maka sebelum terjadi sesuatu, diam-diam ia lalu naik perahu
menyeberangi sungai dan melarikan diri, membawa segala miliknya berupa pakaian dan
sedikit uang yang berhasil ia kumpulkan selama bekerja sebagai nelayan di tepi sungai itu.
Akhirnya ia merasa suka dengan dusun Nan-kiang-jung, sebuah dusun yang makmur karena
tanahnya subur dan berada di sebelah selatan Sungai Kuning, di luar kota Lok-yang.
Dengan uangnya, Kwa Sing membeli sebidang tanah dan mendirikan sebuah pondok
sederhana, lalu mulai hidup bagai petani.
Thian Lee sudah berusia sepuluh tahun menjadi seorang anak yang tinggi tegap dan cerdas.
Pada suatu malam, Thian Lee bertanya kepada ibunya, "Ibu, sejak dulu kalau aku bertanya
kepada Ibu tentang Ayah, Ibu mengatakan bahwa Ayah telah meninggal dunia. Ha-tiku
merasa penasaran sekali, Ibu. Ibu masih muda, tentu Ayah masih muda pula. Kenapa Ayah
telah meninggal dunia di waktu masih muda" Penyakit apakah yang membuat Ayah
meninggal dunia di dalam usia muda, Ibu?"
Ditanya demikian Kwa Siang menghela napas panjang, dan ia menarik tangan puteranya, lalu
mengelus kepalanya dengan pehuh kasih sayang. "Thian Lee, engkau sekarang sudah berusia
sepuluh tahun, agaknya sudah pantas untuk me-ngetahui segalanya. Duduklah di sini,
Anakku, dan dengarkan penuturanku tentang ayahmu."
Thian Lee dtiduk di depan ibunya, wajahnya diangkat dan sepasang mata yang jernih tajam
itu friengannati wajah ibunya penuh perhatian.
"Ayahmu Song Tek Kwi, adalah seorang pendekar yang masih muda ketika dia meninggal
dunia. Dia seorang pendekar, seorang patriot sejati yang tidak dapat tinggal diam kalau terjadi
perbuat-ian sewenang-wenang dari pembesar atau siapapun juga. Ketika engkau berusia
kurang lebih setahun, pada suatu hari ayahmu pergi berkunjung ke rumah sahabatnya yang
bernama Bu Cian di dusun Teng-sia-bun dekat kota raja. Di sana ayahmu bersama Bu Cian
telah menghajar seorang pangeran yang melakukan pe-maksaan terhadap seorang gadi" yang
hendak dijadikan selir. Melihat ini, ayahmu dan sahabatnya itu tidak dapat tinggal diam dan
menghajar pangeran itu dan para pengawalnya. Peristiwa itu berakibat panjang. Pada
keesokan harinya, sejumlah pasukan menyerbu Teng-sia-bun dan membunuh Bu Cian sebagai
pemberontak," ibu muda itu berhenti dan menghela napas panjang.
"Lalu bagaimana Ibu" Apa yang terjadi kepada Ayah?"
"Mendengar akan hal itu, ayahmu mengajakku untuk melarikan diri. Aku menggendongmu
dan kita melarikan diri dari dusun Tung-si-bun. Akan tetapi di luar dusun itu, kita bertemu
rombongan perajurit. Aku dan ayahmu dikeroyok, ayahmu minta agar aku menyelamatkanmu,
maka aku lalu melarikan diri sambil menggendongmu. Aku sempat mengintai bagaimana
keadaan ayahmu." Dia mengamuk, merobohkan belasan orang akan tetapi dia sendiri roboh di
bawah hujan senjata para pengeroyok dan tewas dengan gagah perkasa, Demikianlah, Thian-
lee, ayahmu tewas sebagai seorang pendekar sejati."
Jilid 2________ Thian Lee mengerutkan alisnya dan mengepal tinju yang kecil.
"Akan tetapi, Ibu. Kenapa mereka mengeroyok Ibu dan Ayah" Kenapa mereka membunuh
Ayah?" "Karena ayahmu membantu Bu Cian ketika menghajar pangeran dan para pengawalnya.
Seperti juga Bu Cian, ayahmu dituduh sebagai pemberontak."
"Ah, akan tetapi Ayah tidak memberontak. Ayah hanya memberi hajaran kepada orang yang
memaksa seorang gadis!"
"Benar, akan tetapi sungguh tidak kebetulan sekali, orang itu adalah seorang pangeran. Jadi,
ayahmu dituduh memukul seorang pangeran, dianggap melawan pemerintah dan
memberontak." "Ayah mati penasaran, Ibu!"
"Memang penasaran sekali, dan engkau belajarlah baik-baik agar kelak menjadi seorang
pendekar yang lihai untuk membalas dendam kematian ayahmu. Kalau bisa, basmi semua
pangeran yang ada!" Thian Lee mengerutkan alisnya. Sekecil itu dia sudah pandai membaca dan ibunya sudah
banyak memberi dia bacaan kitab sejarah orang-orang gagah, maka dia dapat
mempertimbangkan bahwa pesan ibunya itu tidak adil.
"Akan tetapi, Ibu. Yang menjadi sebab kematian Ayah hanyalah satu orang pangeran.
Pangeran yang memaksa gadis itulah yang bersalah, dan dia yang akan kucari, bukan semua
pangeran." "Semua pangeran adalah bangsawan Mancu, penjajah tanah air dan bangsa kita, Thian Lee.
Semua pangeran harus dibasmi dan pemerintah penjajah Mancu harus dibasmi!" kata ibunya
penuh semangat sehingga Thian Lee tidak membantah lagi.
Thian Lee meraba gelang kemala yang diikatkan di lehernya dengan tali, yang sejak dia masih
kecil selalu tergantung di lehernya. "Dan gelang ini, Ibu. Kenapa aku harus selalu
memakainya sebagai kalung" Ibu selalu hanya mengatakan bahwa ini merupakan pesan Ayah
dan aku harus selalu memakainya. Akan tetapi mengapa seorang anak laki-laki diberi gelang
kemala?" "Hal itu pun engkau boleh mengetahui sekarang, Thian Lee. Biarpun usiamu baru sepuluh
tahun, akan tetapi aku percaya bahwa engkau telah dapat memaklumi kehendak ayahmu.
Ketahuilah bahwa gelang kemala ini adalah tanda ikatan perjodohanmu."
"Ehh" Bodoh, Ibu" Perjodohanku bagaimana maksud Ibu?"
"Thian Lee, sejak berusia satu tahuh engkau telah diikat dengan perjodohan oleh ayahmu dan
sahabatnya, yaitu mendiang Bu Cian yang mempunyai seorang anak perempuan, ketika itu
baru berusia tiga bulan. Atas persetujuan ayahmu dan Bu Cian, engkau dijodohkan dengan
anak perempuan itu, namanya Bu Cin Lan. Aku rnemiliki sepasang gelang kemala
peninggalan ibuku, sepasang gelang kemala yang serupa benar. Nah, sebuah di antara
sepasang gelang itu oleh ayahmu diberikan kepada anak Bu Cian itu sebagai pengikatan
perjodohan. Yang sebelah lagi adalah yang kaupakai itu, Thian Lee. Kelak, engkau harus
mencari tunanganmu itu. Gadis yang mempunyai gelang kemala yang persis dengan gelang
yang kaupakai sebagai kalung itulah tunanganmu."
Thian Lee tertegun. "Aihh, baru berusia setahun sudah dijodohkan?" Dia berkata lirih dan
perlahan, seperti orang tidak percaya.
"Itu adalah kehendak ayahmu, Thian Lee. Dan sudah selayaknya engkau taat kepada pesan
mendiang ayahmu kalau engkau ingin menjadi seorang anak yang berbakti. Karena itu gelang
ini kuberi tali agar dapat engkau kalungkan di lehermu sampai tiba saatnya engkau bertemu
dengan tunanganmu itu kelak setelah engkau dewasa."
Thian Lee tidak berani membantah biarpun di dalam hatinya dia merasa penasaran sekali.
Memang sudah semestinya dia mentaati pesan ayah ibunya, akan tetapi dalam hal perjodohan,
suatu perkara yang dia sama sekali tidak tahu menahu, sama sekali belum terpikirkan olehnya,
mengapa ayahnya telah memberl penentuan" Dia pun tidak mempedulikan lagi dan
melupakan urusan yang dlanggapnya tidak penting itu, Maklumlah, dia baru berusia sepuluh
tahun sama sekali belum mengerti dan tidak mau memikirkan tentang perjodohan.
* * * Biarpun Kaisar Kian Liong melanjutkan pimpinan kakeknya yang memegang keras peraturan
dan bertindak keras ter-hadap pembesar yang menyalahgunakan kekuasaanmu, namun hal itu
hanya dapat diawasi terhadap para pembesar di kota raja saja. Terhadap perbuatan para
pembesar di luar kotaraja, apalagi para pembesar daerah, tidak dapat dilakukan pengawasan
ketat. Karena itu, tetap saja banyak pembesar dan pejabat yang bertindak sewenang-wenang,
mengandalkan kedudukan dan wewenang mereka.
Sudah menjadi kelemahan manusia pada umumnya terhadap harta kekayaan dan terhadap
kekuasaan. Mereka yang kebetulan memiliki kekuasaan, kebanyakan menjadi mabuk
kekuasaan dan menyalahgunakan wewenang untuk bertindak menuruti hasrat hati sendiri.
Mereka mencari kepuasan dan kesenangan diri pribadi dan untuk mencapai itu, mereka tidak
segan mempergunakan wewenang dan kekuasaan mereka. Maka tidaklah mengherankan
kalau seorang kepala dusun bertindak dan bersikap seperti seorang ma-haraja kecil yang
melakukan tindakan sesuka hatinya terhadap rakyat di daerah kekuasaannya. Seperti seorang
raja lalim, apa yang dikehendaki sang kepala dusun harus terlaksana.
Memang ada pula pejabat yang jujur dan adil, yang benar-benar menjadi pemimpin rakyat
yang baik, yang melakukan segala sesuatu demi kemajuan dusunnya, demi kepentingan
rakyatnya. Pamrihnya bukan untuk kesenangan diri pribadi, inelainkan memenuhi tugas
sebaiknya, yaitu sebagai kepala dusun memperhatikan kepentingan dusun dan penduduknya.
Akan tetapi dibandingkan dengan mereka yang menyalahgunakan wewenang dan
menyeleweng, jumlah mereka yang jujur dan adil sediklt sekali.
Kepala Dusun Nam-kiang-jung adalah seorang pejabat yang buruk itu. Dia memerintah
dusunnya seperti seorang raja lalim. Dan sudah menjadi ciri seorang pembesar yang tidak
baik bahwa dia selalu menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Bermuka-muka kepada
atasan, akan tetapi menekan dan menginjak bawahan untuk memperlihatkan kekuasaannya.
Bouw-cungcu (Lurah Bouw), demikian nama kepala dusun Nam-kiang-jung, mempunyai
tukang-tukang pukul untuk membela kepentingannya dan untuk menegakkan kekuasaannya.
Dua losin tukang pukul ini disebutnya sebagai pasukan keamanan dusun dan sebagai orang
yang berkuasa, dia mempunyai pula penjilat-penjilat yang bermuka-muka dan menjadi
anteknya untuk menyenangkan hatinya;
Pada suatu hari, ketika Bouw-cungcu sedang duduk menghisap cangklong tembakau
bercampur madat, datanglah A-keng, seorang anteknya, menghadap. A-keng tersenyum-
senyum gembira dan setelah memberi hormat dia berkata, "Selamat, Taijin, selamat!"
Bouw-cungcu memang selalu menghendaki agar orang-orang menyebutnya taijin (orang
besar), sebutan yang biasa dipakai orang terhadap seorang pembesar tinggi!
"He, apa engkau sudah gila" Aku sedang menghisap cangklong, tidak mendapat keuntungan
apa-apa dan engkau datang-datang memberi selamat. Apa-apaan ini?"
"Saya menghaturkan selamat karena dusun ini kedatangan seorang bidadari, Taijin. Dan ia
sekarang menjadi warga dusun ini. Apakah Taijin tidak menjadi girang mempunyai warga
seorang bidadari?" "Eh" Siapa maksudmu" Katakan cepat," kata Sang Kepala Dusun penuh perhatian sampai dia
lupa menghisap cangklongnya.
"Apakah Taijin belum mendengar bahwa di ujung barat dusun itu kini tinggal seorang
penghuni baru" Seorang wanita dengan seorang anaknya?"
"Ahhh, seorang wanita dengan anaknya. Apa yang menarik" Tentu sudah tua dan ada
suaminya!" "Wah, keliru, Taijin! Ia adalah seorang janda"
"Ah, janda tua apa artinya" Sudah beranak pula."
"Eh, sama sekali tidak tua! Bahkan kelihatan seperti gadis dua puluh tahun saja. Dan
cantiknya! Cantik, muda dan sudah janda pula! Apakah tidak menarik?"
Kini kepala dusun itu menjadi penuh perhatian dan meletakkan cangklongnya ke atas meja.
"Benarkah" Masih muda dan cantik janda itu?"
"Seperti bidadari! Tidak mungkin menemui seorang wanita secantik itu di dusun ini, bahkan
di kota pun jarang terdapat. Anaknya laki-laki baru berusia sepuluh tahun dan melihat
keadaan mereka yang sederhana, mereka tentu miskin dan mudah didapatkan, Taijin!"
"Benarkah" Ah, janda muda secantik bidadari! A-keng, cepat kau pergi kepadanya dan
katakan bahwa aku, kepala dusun di sini, akan datang berkunjung karena sebagai kepala
dusun, aku harus mengenal setiap orang penduduk baru!"
"Baik, Taijin!" kata A-keng dengan girang karena dia mengharapkan urusan ini berjalan
dengan mulus sehingga dia akan memperoleh hadiah besar dari kepala dusun yang kaya raya
itu.

Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, kalau sudah ke sana, cepat kembali ke sini untuk mengantar aku berkunjung".
"Baik, Taijin!"
Tak lama kemudian A-keng sudah tiba di rumah Kwa Siang. Melihat ada orang datang
berkunjung, janda muda ini me-nyambutnya dengan ramah.
"Siapakah saudara dan ada keperluan apa denganku?" tanyanya sambil menyongsong di
depan pintu, tanpa mempersilakan tamunya masuk karena merasa tidak enak memasukkan
seorang tamu laki-laki yang tidak dikenalnya.
A-keng tersenyum dan membusungkan dadanya.
"Perkenalkan, Nyonya Aku bernama A-keng dan aku adalah pembantu kepala dusun. Bouw-
taijin mengutus aku datang menemui nyonya dan memberi tahu bahwa sebentar lagi Bouw-
tai-jin akan datang berkunjung ke sini."
"Bouw-taijin" Siapa itu?"
"Kepala dusun ini."
"Ah, kepala dusun. Ada keperluan apa dia hendak berkunjung ke rumah kami?"
"Aih, Nyonya. Bouw-taijin adalah kepala dusun kami yang bijaksana dan baik hati.
Mendengar bahwa ada seorang penduduk baru, tentu saja beliau ingin sekali berkenalan dan
mengetahui keadaan warga dusunnya yang baru."
"0, begitukah" Baiklah kalau begitu, kami akan menyambut kedatangannya dengan baik."
A-keng lalu berpamit dan tak lama kemudian dia datang lagi mengiringkari seorang laki-laki
berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubut tinggi kurus dan matanya liar,
senyumnya mengejek dan giginya menghitam karena terlalu banyak menghisap tembakau dan
madat. Orang ini mengenakan pakaian yang mewah dan lagaknya seperti se-orang bangsawan
tinggi. Baru melihat penampilannya saja Kwa Siang sudah me-rasa sebal, dan dari
pengalamannya ia dapat menduga bahwa orang ini tidak memiliki watak yang baik.
"Inilah beliau, kepala dusun kami, Bouw-taijin." A-keng memperkenalkan kepada Kwa
Siang." "Ah, Bouw-cungcu (kepala Dusuh Bouw), silakan masuk dan mari silakan duduk," kata Kwa
Siang. Bagaimanapun juga, ia tinggal di dusun itu dan sudah seharusnya ia menghormati
kepala dusun. "Heh-heh-heh, baik... baik....!" kepala dusun Bouw itu melangkah masuk sambil mengipasi
dadanya dengan sebatang kipas yang indah" "Engkau tinggal di sini dengan siapa, Nona?"
"Bouw-cungcu, saya bukan nona." kata Kwa Siang.
"Heh-heh, engkau masih pantas dise-s but nona," kata Sang Kepala Desa sambil meraba
dagunya yang berjenggot hanya beberapa helai. "Engkau masih muda dan cantik. Nah,
dengan siapa engkau tinggal di sini?"
"Saya tinggal berdua dengan anak saya."
"Di mana anakmu itu" Aku ingin melihat dan mengenalnya."
"Dia berada di belakang. Biar kupanggil dia," Kwa Siang lalu berseru memanggil anaknya
yang berada di belakang. Muncullah Thian Lee dan anak ini segera memberi hormat kepada
Sang Kepala Dusun memenuhi perintah ibunya.
"Haa, anakmu sudah besar. Berapa usianya?"
"Sepuluh tahun," jawab Kwa Siang.
"Heran, engkau nampak masih begini muda, tidak pantas mempunyai putera sebesar ini! Dan
bagaimana semuda ini sudah menjanda" Di mana suamimu?"
Kwa Siang mengerutkan alisnya. Sudah diduga sebelumnya bahwa kepala dusun ini seorang
laki-laki yang menyebalkan. Akan tetapi ia menjawab juga, "Suami saya sudah meninggal
dunia sembilan tahun yang lalu."
"Sembilan tahun menjanda?" Kepala dusun Bouw menggeleng kepalanya dan memicingkan
matanya. "Aduh kasihan sekali....! Nona, siapakah namamu?"
"Nama saya Kwa Siang dan anak saya bernama Song Thian Lee," kata ibu muda itu sambil
mengerutkan alisnya. "Kwa Siang, suruh anakmu kebelakang dulu. Aku ingin bicara penting padamu," kata Sang
Lurah dan dia pun memberi isarat kepada A-keng agar pembantunya itu keluar dari ruangan
itu. Biarpun merasa heran, Kwa Siang lalu menyuruh puteranya ke belakang sehingga kini
mereka hanya berdua saja.
"Begini, Kwa Siang. Aku sungguh merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau seorang janda
muda dengan seorang anak, hidupmu susah. Begitu melihatmu, aku merasa suka dan kasihan
kepadamu. Engkau dan anakmu ikut saja denganku, engkau menjadi selirku dan anakmu itu
akan menjadi anak tiriku. Bagaimana manis?"
Ucapan ini saja sudah membuat hati Kwa Siang marah sekali, apalagi kini kepala dusun itu
bangkit dari tempat du-duknya, lalu menghampirinya dan hendak merangkulnya!
Kwa Siang hampir tidak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi ia masih mengelak dan
cepat mundur. "Cung-cu, harap jangan begitu. Aku tidak mau menjadi selirmu atau menjadi
isteri siapa pun. Aku tidak ingin menikah lagi. Harap engkau suka pergi meninggalkan rumah
ini!" Dengan marah Kwa Siang menudingkan teiunjuknya ke arah pintu.
Akan tetapi kepala dusun Bouw yang tidak tahu diri itu tertawa menyeringai, "Heh-heh,
jangan menjual mahal, Kwa Siang. Aku tahu, seorang janda muda sepertimu ini tentu
merindukan seorang laki-laki. Hayolah jangan banyak lagak, nanti kubikin hidupmu makmur
dan senang!" Dan kembali kepala dusun itu menubruk hendak merangkul wanita yang
membuatnya bangkit gairahnya itu. Sekali ini Kwa Siang tidak lagi dapat menahan
kesabarannya. Melihat lurah itu menubruk dan hendak merangkulnya, ia dengan gerakan
kakinya yang mencuat ke depan.
"Dukk....!" Tubuh kepala dusun itu terjengkang menubruk kursi dan dia pun roboh. Akan
tetapi dia bangkit kembali dan kini matanya melotot, mukanya merah, telunjuknya menuding-
nuding. "Kau... kau berani menolakku dan menendangku!" bentaknya dan kini dia nekat menerjang
maju hendak merangkul. Kwa Siang menggerakkan kedua tangannya dengan cepat.
"Plak! Plak'." Dan kepala dusun Bouw itu terhuyung ke belakang dua tangan memegangi
kedua pipinya yang menjadi bengkak dan membiru, nyerinya bukan kepalang, giginya terasa
seperti rontok semua. "Aduhh... aduhhh... A-keng... tolong....!" Dia berteriak-teriak. A-keng yang tersenyum-
senyurn di bagian depan rumah itu terkejut mendengar teriakan majikannya. Dia cepat berlari
masuk dar melihat kepala dusun itu memegangi mukanya sambil mengaduh-aduh.
"Kenapa, Taijin?"
"la... ia... berani memukulku...." kepala dusun itu berkata terengah-engah.
"Heii, kenapa engkau berani memukul Bouw-taijin?" A-keng membentak dan menegur Kwa
Siang. "Engkau pun layak dipukul!" kata Kwa Siang yang tahu benar orang macam apa adanya
penjilat ini dan tangannya sudah bergerak menampar.
"Plakk!" Tamparan itu cukup keras, membuat bibir A-keng berdarah dan dia mengaduh-aduh.
Kemudian dia menyambar tangan majikannya dan dibawa lari keluar dari rumah itu. Para
tetangga yang mendengar suara ribut-ribut segera berdatangan dan bertanya kepada Kwa
Siang apa yang telah terjadi, mengapa kepala dusun berlari keluar dari rumah itu sambil
memegangi mukanya ya.Rg bengkak-bengkak.
"Aku telah menghajarnya. Jahanam itu hendak kurang ajar kepadaku!" kata Kwa Siang
marah. Beberapa orang tetangga menyatakan kegembiraan hati mereka bahwa ada orang yang berani
melawan kepala dusun itu. Akan tetapi seorang tetangga yang setengah tua segera berkata,
"Toanio, engkau berada dalam bahaya. Sebaiknya engkau bawa lari anakmu dari tempat ini.
Kepala dusun tentu tidak akan ting-gal diam saja!"
"Aku tidak takut. Biar dia datang lagi kalau berani, akan kuhancurkan mulutnya yang busuk!"
Kwa Siang menantang. Tiba-tiba tampak serombongan orang berlari ke tempat itu dan para tetangga segera kembali
bersembunyi di rumah masing-masing karena mereka mengenal siapa rombongan yang
datang itu. Para tukang puku! kepala dusun!
Dua losin orang tukang pukul itu telah berada di depan rumah Kwa Siang dan wanita itu pun
berdiri di depan pintu dengan sikap gagah. Thian Lee juga su-dah keluar dari belakang dan
berdiri di belakang ibunya. Anak ini memiliki keta-bahan seperti ibunya dan dia sediklt pun
tidak kelihatan takut, biarpun berhadapan dengan dua losin orang laki-laki yang nampaknya
bengis. Kepala dusun Bouw sendiri berdiri di belakang gerombolan itu dan terdengar dia
berteriak, "|1||| orangnya! Tangkap perempuan itu!"
Mendengar teriakan ini, dua lusln orang tukang pukul seperti berlomba untuk meringkus Kwa
Siang yang antik. Akan tetapi wanita ini menyambur mereka dengan pukuian dan tendangar.
Melihat ibunya mengamuk dan dikeroyok, Thian Lee hanya berdiri di pintu sambil
memandang dengan sepasang matanya terbelalak. Ibunya rnerobohkan banyak pengeroyok
dengan tamparan dar tendangan dan dia merasa bangga sekali kepada ibunya. Ibunya seorang
wanita yang gagah perkasa, pikirnya.
Akan tetapi, betapa pun lihainya Kwa Siang, menghadapi pengeroyokan dua losin orang laki-
laki yang kuat-kuat, akhirnya ia dapat diringkus setelah me-robohkan delapan orang.
"Ikat kaki tangannya, dan bawa masuk ke sini!" kata Kepala Dusun Bouw yang mendahului
masuk. Thian Lee menyelinap ke belakang pintu, memandang dengan hati khawatir melihat
ibunya kini sudah diikat kaki tangannya, lalu atas perintah kepala dusun, ibunya dilempar di
atas pembaringan di dalam kamar. Melihat ini, Thian Lee tidak dapat menahan diri lagi.
Sambil berteriak keras, dia lalu melompat maju hendak membebaskan ibunya dari ikatan.
Akan tetapi dia disambut tamparan seorang tukang pukul. Tubuh anak itu terpelanting dan
jatuh bergulingan, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini Thian Lee mengamuk, menyerang para
tukang pukul itu. Repot juga para tukang pukul menghadapi anak laki-laki berusia sepuluh
tahun yang mengamuk seperti anak harimau itu, akan tetapi akhirnya mereka menggunakan
kekerasan dan tubuh Thian Lee menerima tendangan dan pukulan keras, membuat anak itu
terlempar ke sudut dan pingsan!
"Kalian keluarlah dan jaga di luar, aku mau membalas dendam kepada perempuan binal ini!"
kata Kepala Dusun Bouw kepada anak buahnya. Para tukang pukul itu tersenyum-senyum dan
mereka pun keluar. Semua orang melupakan Thian Lee yang sudah miring dan pingsan
disudut ruangan. "Ha-ha-ha, perempuan liar! Inilah jadinya kalau engkau tidak menuruti kehendakku. Engkau
berani memukulku, ya" Hemm, sekarang rasakan. Aku tetap akan mendapatkan dirimu, walau
dengan kekerasan!" Setelah berkata demikian, kepala dusun itu menghampiri Kwa Siang dan
terdengar kain robek ketika dia merenggut dan merobeki pakaian yang menutupi tubuh wanita
itu. Kwa Siang menyadari sepenuhnya bahaya apa yang mengancam dirinya. la meronta dan
berusaha melepaskan dirinya, akan tetapi ikatan pada keciua kaki tangannya itu terlampau
kuat sehingga ia tidak dapat membebaskan kaki tangannya.
"Ha-ha-ha, engkau boleh meronta-ronta, ha-ha-ha!" kepala dusun itu mengejek dan kedua
tangannya mulai menggerayangi tubuh Kwa Siang. Wanita ini tahu benar bahwa ia akan
diperkosa. la tidak akan membiarkan kehormatannya dihina, maka ketika kepala dusun itu
menundukkan mukanya untuk menciumnya, tiba-tiba ia menggerakkan kepalanya dan
sebelum kepala dusun itu menyadari apa yang terjadi, Kwa Hong telah menggigit
tenggorokannya. Kepala Dusun Bouw meronta, akan tetapi gigitan itu makin dalam dan semakin kuat. Dia
mengeluarkan teriakan, akan tetapi karena tenggorokannya digigit, yang keluar dari mulutnya
hanya suara aneh seperti kerbau disembelih. Dia meronta dalam sekarat sehingga tubuh
mereka berdua terguling dari pembaringan ke atas lantai. Namun, gigitan Kwa Siang tidak
pernah melepaskan tenggorokan itu. Darah mulai mengycur dan tenggorokan itu robek.
Mendengar suara gedebukan dan teriakan aneh para tukang pukul menjadi curiga dan mereka
mendorong pintu ka mar. Mereka terbelalak melihat wanita yang terikat kaki tangannya itu
kini dengan pakaian terlepas semua, menggigit leher kepala usun yang berkelojotan. Seorang
tukang pukul berusaha menarik tubuh Kwa Slang darl atas tubuh kepala dusun, namun tidak
berhasil karena gigitan itu sama sekali tidak dapat dllepaskan lagi. Dengan marah seorang
tukang pukul mencabut pedangnya dan menikam Kwa Siang dari atas.
"Crapp....!" Pedang itu menembus punggung Kwa Siang. Wanita ini mengeluh, gigitannya
terlepas dan ia terpelanting miring, tak bergerak lagi. Akan tetapi ketika para tukang pukul
meme-riksa keadaan kepala dusun, mereka te-kejut karena kepala dusun juga sudah tewas
dengan kerongkongan remuk tergigit. Sekali lagi ada pedang menusuk tubuh Kwa Siang, akan
tetapi wanita ini sudah tidak bergerak lagi.
Para tukang pukul dengan cemas lalu membawa jenazah Kepala Dusun Bouw kembali ke
rumah kepala dusun itu, me-ninggalkan jenazah Kwa Siang yang telanjang di dalam lantai
kamarnya. Setelah semua tukang pukul pergi, Thian Lee siuman dari pingsannya. Dia
bergerak dan merasa betapa tubuhnya sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan tadi. Akan
tetapi begitu teringat kepada ibunya, dia dapat bangkit dan berseru, "Ibu....!" dan dia lari ke
dalam kamar mereka di mana tadi ibunya dilempar ke atas pembaringan. Dan dia terbelalak!
Ibunya sudah menggeletak miring di atas lantai, mandi darah dan dengan tubuh tanpa pakaian,
kaki tangan masih terikat.
"Ibuuuu....!" Dia menjerit-jerit dan memeluki tubuh ibunya yang masih hangat. Melihat
ibunya telanjang bulat, dia lalu menyambar sehelai selimut dan menutupi tubuh itu dengan
selimut sambil menangis. Tetangga berdatangan dan mereka merasa ngeri melihat Kwa Siang sudah tewas mandi darah.
Akan tetapi di antara mereka tadi ada yang mengintai dari dalam rumah dan melihat betapa
Kepala Dusun Bouw digotong oleh para tukang a pukulnya. Tetangga tua yang tadi
menganjurkan Kwa Siang melarikan diri, kini mendekati Thian Lee.
"Anak yang baik, percayalah nasihatku. Mereka tentu akan kembali dan nyawamu berada
dalam bahaya. Kalau mereka melihat engkau masih hidup, tentu mereka akan mengejar dw
membunuhmu. Mungkin ibumu telah membunuh kepala Dusun Bouw, dan mereka tentu tidak mau sudah
begitu saja. Pergilah, Nak. Pergilah cepat meninggalkan dusun ini dan bersembunyilah."
"Tapi... tapi, Paman. Jenazah Ibuku..." Thian Lee berkata dengan sedih sekali.
"Jangan khawatir, Nak. Jenazah ibumu akan kami urus dan kami kuburkan dengan baik.
Sekarang pergilah cepat sebelum terlambat."
Para tetangga yang lain juga membujuk agar Thian Lee cepat melarikan diri. Akhirnya anak
itu membawa buntal-an pakaiannya dan setelah berulang kali dia menubruk dan menangisi
ibunya, akhirnya mereka berhasil membujuknya pergi melarikan diri keluar dari dusun Nam-
kiang-jung. Dia keluar dari pintu gerbang dusun sebelah selatan dan terus memasuki sebuah
hutan di luar dusun itu. Bajunya sudah robek-robek dan sepatunya juga berlubang dipakal melarikan diri menyusup-
nyusup ke dalam hutan. Napasnya terangah-engah, akan tetapi Thian Lee tidak berani
berhenti. Dia mendengar suara banyak orang mengejarnya! Akhirnya dia menembus hutan itu
a dan tiba di padang rumput, akan tetapi para pengejarnya masih terus berada di belakangnya.
Bahkan setelah kini dia keluar dari dalam hutan, dia dapat terlihat oleh para pengejarnya.
Belasan orang kelihatan mengejarnya dan rnereka itu adalah para tukang pukul tadi. Benar
seperti dikhawatirkan kakek yang tetang-ganya itu, tak lama setelah dia melarikan diri, para
tukang pukul itu menda-tangi rumah ibunya dan menanyakan di mana adanya anak laki-laki
tadi. Semua tetangga menyatakan tidak tahu dan mereka lalu melakukan pengejaran.
Thian Lee yang menggendong buntalan itu tiba-tiba kehilangan akal lagi ketika di depannya
terhalang oleh sebuah anak sungai. Dia tidak dapat lari lagi dan para pengejarnya sudah
semakin dekat. Biar aku melawan mereka, demikian dia me-ngambil keputusan nekat. Biar
aku mengamuk membalaskan kematian Ibu, dan kalau perlu aku mati menyusul Ibu!
Tujuh belas orang tukang pukul itu segera mengepung ketika melihat anak yang mereka kejar-
kejar itu kini berdiri tegak dengan sikap gagah, sama sekali tidak kelihatan takut, pakaiannya
robek-robek dan napasnya terengah-engah, kedua tangannya mengepal tinju!
"Nah, ini dia! Ini anak siluman itu!" terdengar seorang di antara mereka ber-seru.
Mendengar ibunya disebut siluman, Thian Lee marah. "Ibuku bukan siluman! Kalian adalah
iblis-iblis yang keji dan jahat!" katanya dan dia segera mengamuk, menyerang mereka yang
terdekat dengan pukulan-pukulannya. Biarpun baru berusia sepuluh tahun, akan tetapi sejak
berusia lima tahun dia sudah mempelajari ilmu silat dari ibunya, maka biarpun baru berusia
sepuluh tahun, gerakannya cukup gesit dan pukulannya juga mengan-dung tenaga. Seorang di
antara tukang-tukang pukul itu memandang rendah. Ketika Thian Lee memukul, cepat dia
menangkap lengan anak yang memukul itu. Akan tetapi dengan cepat sekali Thian Lee
memutar lengannya dan kaki-nya menendang, mengenal lutut orang itu. Orang itu terkejut
kesakitan dan membungkuk, akan tetapi dagunya. bertemu dengan pukulan tangan Thian Lee
sehingga dia terjengkang! Teman-temannya menjadi marah dan mereka lalu mengeroyok
anak itu tanpa malu-malu lagi dan tubuh Thian Lee menjadi semacam bola di antara mereka
yang menendang dan memukulinya.
Pada saat itu, seorang di antara mereka sudah mengangkat goloknya ke atas. "Lepaskan dia,
biar kuhabiskan riwayatnya!" katanya sambil mengayun golok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar
teriakan mengerikan dan Si Pemegang Golok itu terjengkang roboh jan tewas seketika dengan
dahi ditembus sebatang ranting yang meluncur seperti anak panah!
Tentu saja para pengeroyok menjadi terkejut sekali. Tiba-tiba terdengar suara orang,
"Siancai... belasan ekor anjing srigala mengeroyok seekor harimau yang masih kecil. Sungguh
tidak tahu malu!" Para pengeroyok cepat membalikkan tubuhnya dan mereka melihat seorang kakek yang
usianya tentu sudah lewat enam puluh tahun berdiri dl situ. Melihat pakaiannya dan
rambutnya yang digelung ke atas, mudah diketahui bahwa kakek ini seorang tosu. Pada waktu
itu, para pendeta Agama To ini tidak dihargai oleh pemerintah. Kaisar dan Pemerintah Mancu
lebih menghargai para hwesio dan mengembangkan ajaran Nabi Khongcu, sehingga para tosu
yang dianggap sebagai dukun klenik menjadi tersisih. Karena itu, para tukang pukul juga
tidak menghargai pendeta berjubah kuning itu, apa-lagi mereka melihat $eorang kawannya
tewas. "Siapa engkau" Berani engkau mem-bunuh seorang kawan kami!" bentak pemimpin
rombongan tukang pukul itu.
"Kalian tidak cukup berharga untuk mengetahui siapa pinto, akan tetapi kalau kalian
melanjutkan pengeroyokan terhadap anak itu, kalian semua akan mati di tangan pinto."
Ucapan tosu itu memandang rendah sekali dan mulutnya tersenyum mengejek, sikapnya
angkuh sekali. Jumlah para tukang pukul itu masih ada enam belas orang. Tentu saja mereka tidak gentar
menghadapi seorang tosu tua yang tubuhnya nampak loyo.
"Engkau yang sudah bosan hidup!" teriak seorang di antara mereka dan dengan golok di
tangan dia menerjang ke arah tosu itu. Akan tetapi, belum sempat golok dibacokkan, tosu itu
menggerakkan tangannya mendorong dan orang itu ter-jengkang roboh dan tidak dapat
bangkit kembali. Kini para tukang pukul menjadi marah dan mereka serentak maju
menghujankan senjata mereka. Akan tetapi, begitu kakek itu menggerakkan kedua tangannya
secarc berturut-turut, berja-tuhanlah para pe igeroyok. Dalam waktu singkat saja enam orang


Gelang Kemala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telah roboh dan tidak mampu, bergerak lagi.. Melihat ini, sisanya menjadi gentar dan
melarikan diri tunggang-langgang seperti melihat setan!
Thian Lee sudah setengah mati keadaannya. Akan tetapi dia nnasih mampu merangkak
menghampiri tosu itu dan menjatuhkan diri berlutut di depannya. "Terima kasih,
Locianpwe...." katanya lemah.
Tosu itu menundukkan muka memandang anak itu. Sinar matanya menyatakan
kekagumannya. "Engkau mau ikut pinto?"
Thian Lee hampir tidak kuat bicara. Tubuhnya nyeri dari kepala sampai ke kaki dan
tenaganya habis. Akan tetapi dia cepat memberi hormat sambil berlu-tut dan mengangguk-
anggukkan kepalanya. "Hayo ikuti pinto!" Setelah berkata demikian, tosu itu lalu berjalan pergi. Thian Lee
mengerahkan seluruh tenaga-nya, bangkit berdiri dan mengikuti kakek itu. Beberapa kali dia
tersaruk dan terjungkal jatuh, akan tetapi dia mengeras-kan hatinya, bangkit lagi dan
melangkah lagi di belakang kakek itu. Hanya dengan menggunakan kemauan yang nekat
sajalah anak itu. dapat bertahan untuk mengikuti tosu itu. Dan tosu itu pun terus melang-kah,
menengok satu kali pun tidak, seolah dia sudah melupakan bahwa ada anak yang
mengikutinya! Thlan Lee melangkah terus, mengepal kedua tinju dan menggigit bibirnya agar tidak keluar
keluhan dari mulutnya. Akan tetapi ketahanan tubuh ada batasnya dan akhirnya dia pun
terguling roboh dalam keadaan pingsan!
Thian Lee merasa betapa ada getaran hebat yang terasa hangat memasuki tubuhnya. Dia
membuka matanya dan men-dapatkan dirinya sedang rebah telentang dan tosu itu duduk
bersila di dekatnya, tangan kanan tosu itu menempel di da-danya dan dari telapak tangan
itulah masuknya getaran hangat itu. Getaran itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, lalu
berkumpul di pusarnya dan menghilang ketika tosu itu mengangkat ta-ngannya. Dia
tersenyum ketika melihat anak itu sudah membuka matanya.
"Sudah hilang lelahmu?" tanyanya sambil bangkit berdiri. Thian Lee merasakan tubuhnya
segera dan biarpun kelelahan itu masih terasa, namun dia menguatkan dirinya dan bangkit
berdiri. Dipandangnya kakek itu dan tahulah dia bahwa kakek itu adalah seorang sakti seperti
yang dia sering mendengar penu-turan ibunya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan.
Maka, tanpa ragu lagi karena kakek itu juga sudah menyelarnat-kan nyawanya, dia lalu
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua
"Locianpwe, saya mohon diterima menjadi murid Locianpwe."
Orang tua itu tersenyum mengejek, "Hemm, tidak mudah begitu saja untuk menjadi murid
Liok-te Lo-mo (Iblis Bumi) yang selamanya belum pernah mernpunyai murid."
"Locianpwe, saya akan menaatisemua petunjuk Locianpwe, akan melakukan apa saja yang
locianpwe perintahkan dan akan menjadi murid yang taat dan rajin."
"Siapa namamu?"
"Nama saya Song Thian Lee."
"Di mana orang tuamu?"
"Ayah meninggal dunia sembilan tahun yang lalu dan Ibu... Ibu... baru tadi pagi Ibu...
meninggal dunia...." Thian Lee menelan tangisnya ketika teringat akan ibunya. Terbayang
dalam benaknya tubuh ibunya yang terikat kaki tangannya, telanjang bulat, rebah miring
mandi darah dan tak bernyawa lagi di lantai kamar mereka di pondok baru yang sederhaa itu.
"Bagaimana ibumu mati?"
"Dibunuh oleh jahanam-jahanam tadi Locianpwe," kata Thian Lee sambil mengepal tinjunya.
"Baru tadi ibumu mati dan sekarang engkau hendak turut dengan pinto menjadi murid pinto"
Bagus, bagus! Memang tidak perlu lagi menyusahkan yang sudah mati, apalagi matinya
ibumu karena kesalahannya sendiri. Kalau ia pandai menjaga diri, tentu ia akan dapat
melawan dan rnengalahkan semua anjing tadi. Orang hidup harus pandai menjage diri dan
mengalahkan semua tantangan yang datang. Kalau kalah dan mati, yaitu sudah salahnya
sendiri," kata tosu itu tanpa perasaan kasihan sedikit pun. "Dan kalau engkau ingin menjadi
muridku, pertama kali engkau harus pantang menangis dan berduka. Mengerti?"
Bukan main girangnya hati Thian Lee. Biarpun dia harus menelan semua kedukaannya, akan
tetapi jawaban kakek itu menunjukkan bahwa dia diterima menjadi murid. Dia lalu memberi
hormat sambil berlutut. "Teecu (murid) mengerti, Suhu, dan teecu akan menaatinya."
"Bagus, kalau begitu, ikuti pinto."
Kembali kakek itu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Bergegas Thian Lee
mengambil buntalan pakaiannya, menggendongnya dan mengikuti gurunya pergi
meninggalkan tempat itu. Mereka tiba di tepi Sungai Kuning dan gurunya melihat seorang yang berperahu. Perahu itu
kecil saja dan orang itu agaknya seorang nelayan. Gurunya berteriak memanggil dan
menggapaikan tangannya. Si Nelayan Tua mendayung perahunya ke tepi.
"Ada apakah, Totiang?" tanya nelayan itu setelah dia mendar'at dan menarik tali perahunya ke
tepi. Tosu yang tadi mengaku bernama Liok-te Lo-mo itu berkata, "Pinto ingin meminjam
perahumu untuk menyeberangi sungai."
"Ah, mana bisa, Totiang" Aku akan mempergunakannya untuk mencari ikan!" bantah nelayan
itu sambil menggeleng kepala.
"Kau tidak dapat membantah!" kata tosu itu sambil menghampiri dan sekali tangannya
bergerak, nelayan tua itu roboh tertotok. "Nanti kau boleh ambil kembali perahumu di
seberang sana! Ha-yo Thian Lee, kita naik perahu."
Diam-diam Thian Lee. merasa terkejut dan tidak senang melihat cara gurunya meminjam
perahu, akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya merasa kasihan kepada nelayan tua itu
yang hanya dapat memandang dengan mata terbelalak. Guru dan muri itu naik perahu dan
ketika tosu itu nienggerakkan dayungnya perahu meluncur cepat sekali.
Thian Lee duduk termenung di dalam perahunya, diam-diam memikirkan tentang gurunya.
Teringat olehnya betapa dengan mudahnya tosu itu merobohkan dan membunuhi tukang-
tukang pukul dusun itu, kemudian betapa tosu itu dengan kejinya merampas perahu dari
nelayan tua. Tentu saja dia merasa tidak setuju sama sekali dan bertanya-tanya, orang macam
apa gurunya ini. Memang kesaktiannya tidak perlu disangsikan lagi, akan tetapi sikap dan
tindakannya sungguh luar biasa, bahkan kejam. Biarlah, kemu-dian dia mengambil keputusan,
aku ikut dia untuk belajar ilmu silat, bukan mencontoh perbuatannya yang tidak benar.
Setelah tiba di seberang, tosu itu meninggalkan perahu begitu saja di daratan dan karena hari
telah berganti malam, tosu itu mengajak Thian Lee untuk melewatkan malam di sebuah kuil ,
tua kosong yang berada di tepi sungai. Tosu itu memberikan beberapa keping uang kepada
Thian Lee sambil berkata lembut,
"Di sebelah utara, tak jauh dari sini terdapat sebuah dusun. Pergi kau ke sana dan cari
makanan untuk makan malam. Dan ini tempat arakku sudah kosong, beli dan isilah sampai
penuh." Tosu itu menyerahkan sebuah guci arak yang kosong.
"Makanan apakah yang Suhu inginKan" Maksudku, apakah Suhu juga makan daging?"
"Tentu saja, aku tidak pantang makan apa pun!" kata tosu itu sambll tertawa.
Thian Lee membawa uang dan guci arak itu, lalu berjalan cepat menuju ke utara. Benar saja,
tak lama kemudian tibalah dia di sebuah dusun nelayan. Dari para nelayan itu dia dapat
membeli dua ekor ikan yang sebesar betisnya, juga garam dan bumbu, lalu dari sebuah kedai
minuman kecil, dia membeli arak dan mengisi guci gurunya dengan arak sampai penuh.
Kemudian, bergegas dia kembali ke kuil itu.
Gurunya girang sekali melihat gucinya penuh arak. Dia mencicipi araknya dan mengangguk-
angguk. "Arak yang cukup baik! Dan apa yang kaubeli itu" Bagai-mana memasaknya Kita
tidak mempunyai prabot masak Tosu itu menceia.
"Teecu sudah membeli garam dan bumbu, dan teecu akan membakar ikan ini menjadi ikan
panggang." "Bagus kalau begitu. Engkau pandai juga! Cepat, perutku sudah lapar."
Thian Lee mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Kemudian Liok-te Lo-mo
memberinya sebuah pisau belati dan dia lalu membersihkan dua ekor ikan itu, memberinya
bumbu dan garam dan tak lama kemudian dia sudah memanggang ikan itu di atas api. Bau
sedap ikan panggang itu membuat perut Liok-te Lo-mo berkeruyuk dan diam-diam dia merasa
sehang kepada Thian Lee. Muridnya itu agaknya seorang anak yang pintar, rajin dan penuh
akal. Setelah dua ekor ikan itu matang, Liok-te Lo-mo makan daglng ikan sambil minum arak.
Dua ekor ikan itu cukup besar sehingga dagingnya cukup untuk dimakan mereka berdua.
Kemudian inereka mengaso. Tosu itu tidak merebahkan diri, melainkan duduk bersila dan
agaknya dia tidur sambil bersila. Thian Lee tidur sannbil rebah miring, akan tetapi hanya
setengah tidur karena dla harus menjaga agar api unggun tidak padam dengan selalu
menambahkan kayu kering. Udara amat dingin-nya dan hanya dengan adanya api unggun
yang besar maka hawa menjadi hangat dan nyaman.
Lewat tengah malam, ketika Thian Lee kembali bangun untuk menambah kayu kering pada
api unggun sehinggc api unggun membesar kembali, tiba-tiba dia melihat beberapa bayangan
orang berkelebat di luar kuil. Thlan Lee menjadi kaget dan heran sekali. Apakah para jagoan
itu mengejarnya sampai ke tempat ini" Dia menoleh kepada suhunya. Suhunya masih duduk
bersila kembali memejamkan matanya. Tidurkah suhunya" Dia tldak berani mengganggunya
walau-pun ingin dia memberi tahu tentang bayangan-bayangan orang itu. Dia tidak rebah
tidur lagi melainkan duduk di dekat api unggun, memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam meloncat dan tahu-tahu di depan pintu kuil itu berdiri
seorang yang berpakaiarrB serba hitam dan mengenakan kedok hitam dari kain pula. Tangan
kanannya memegang sebatang golok yang berkilauan. Melihat ini, Thian Lee cepat
mengambil sebatang kayu yang ujungnya sedang terbakar menyala, lalu dia melontarkan kayu
berapi itu ke arah orang berpakaian serba hitam itu. Akan tetapi orang itu menangkis dengan
goloknya dan kayu berapi itu terbacok putus dan apinya padam. Lalu orang itu menggerakkan
tangan kirinya. Sinar-sinar hitam menyambar ke arah tubuh Liok-te Lo-mo yang masih duduk
bersila. Tosu itu yangt nampaknya tidur sambil bersila, tiba-tiba menggerakkan kedua tangan
dan dia sudah menangkap empat batang paku dalam jepitan jari-jari tangannya! Kemudian,
tanpa menengok sedikit pun, dia menggerakkan kedua tangannya berulang kali. Thian Lee
melihat bayangan hitam di depan pintu itu terpelanti.ng dan ter-dengar suara gedobrakan dan
mengaduh di jendela yang terbuka dan di pintu belakang. Kiranya suhunya telah menyerang,
bukan saja orang yang berada di depan pintu, akan tetapi agaknya ada pula orang-orang lain
di pintu belakang dan jendela. Setelah itu lalu sunyi, hanya terdengar langkah kaki yang berat
meninggalkan kuil. Thian Lee menoleh dan melihat suhunya masih seperti tadi, bersila dengan kedua mata
terpejam. Bukan main rasa kagum dan heran rasa hati Thian Lee. Dalam keadaan bersila
dengan mata terpejam, tanpa menggerakkan kaki, hanya dengan gerakan tangan, suhunya
telah berhasil mengusir beberapa orang musuh yang agaknya datang untuk melakukan
pembunuhan! Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa lagi. Liok-te Lo-mo membuka matanya dan
bangkit berdiri, seperti tidak pernah terjadi sesuatu semalam.
"Di belakang kuil itu terdapat sebuah sumber mata air, kita dapat membersihkan tubuh di
sana, Thian Lee," kata Liok-te Lo-mo sambil melangkahkan kakinya menuju ke belakang kuil
diikuti oleh Thian Lee. Air itu jernih dan dinginnya bukan main. Sampai menggigil Thian Lee ketika mencuci
mukanya di situ. Akan tetapi gurunya mandi dan membenamkan kepala di dalam air yang
merupakan kolam kecil itu. Sedikit pun gurunya tidak kelihatan kedinginan. Mereka
menlnggalkan mata air itu dalam keadaan segar.
Setelah mereka berjalan lagi, Thian Lee menggendong buntalan pakaiannya yang disatukan
dengan pakaian bekal milik gurunya, anak itu memberanikan dirinya bertanya, "Suhu
peristiwa semalam itu...."
"Hemm, hanya beberapa ekor anjing yang mengganggu. Akan tetapi kepalanya tentu akan
muncul. Engkau diam sajalah dan jangan melakukan sesuatu kalau mereka muncul nanti.
Bagimu, nnereka itu berbahaya sekali."
Thian Lee tidak berani bertanya lagi akan tetapi jantunp'iya berdebar tegang. Agaknya dengan
menjadi murid tosu ini, dia telah terjun ke dalam keadaan yang penuh dengan pertentangan
dan bahaya seperti yang belum pernah dia alami sebelumnya. Gurunya ini orang sakti yang
anek, wataknya sukar ditebak. Yang jelas dia lihai sekali seperti telah dibuktikan ketika
menghajar para tukang pukul dusun Nam-kiang-jung dan ketika semalam mengusir
penyerang-penyerang gelap tanpa membuka mata dan tanpa menggerakkan tubuh, hanya
kedua tangannya saja yang seperti menangkap sinar-sinar hitam lalu bergerak melontarkan
sesuatu ke segala jurusan! Diam-diam Thian Lee merasa gembira sekali. Dia tentu akan
banyak menyaksikan pertandingan yang seru dan menyaksikan lebih lanjut kelihaian gurunya
itu. Mereka mendaki sebuah bukit. Ketika tiba di lereng bukit, di sebuah tanah datar penuh batu
gunung yang besar-besar, tiba-tiba saja muncul dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh
seorang yang tubuhnya pendek gemuk sehingga nampaknya bulat. Dua puluh lebih orang itu
berpakaian serba hitam, akan tetapi tidak memakai kedok kain seperti orang semalaman.
Pemimpin mereka itu pun mengenakan pakaian serba hitam, rambutnya yang dikuncir tebal
itu digulung ke atas dan ditutup dengan topi kain, juga hitam. Orang ini berusia kurang lebih
lima puluh tahun dan semua ang-gauta tubuh orang ini nampaknya bulat. Matanya,
hidungnya, mukanya dan mulutnya, semua serba bundar dan tubuhnya yang pendek gemuk
itu nampak kuat sekali. Di punggungnya yang pendek tergantung sebatang pedang.
"Liok-te Lo-mo!" bentak Si Gemuk Pendek. "Akhirnya kami dapat menemukan kau di sini.
Tentu engkau tahu mengapa kami menghadangmu!"
"Siancai, kiranya kalian dari Hek-i-pang (Perkumpulan Baju Hitam) yang semalam mencoba
untuk mengganggu pinto di kuil tua" Ha-ha-ha, agaknya kalian sudah bosan hidup."
"Liok-te Lo-mo, engkau telah mem-bunuh adikku dan merampas sekantung emas darinya.
Aku, Hek-i-pangcu (Ketua Hek-i-pang) Lauw Ki Seng tidak dapat membiarkannya begitu
saja. Engkau harus menyerahkan kembali sekantung emas itu berikut nyawamu!"
"Ha-ha-ha, seperti engkau tidak tahu saja peraturan di dunia kang-ouw. Dalam
memperebutkan sesuatu, dia yang lebih kuat tentu yang menang dan berhak mendapatkan.
Ha-ha-ha, engkau hendak merebut sekantung emas itu" Boleh, boleh!" Liok-te Lo-mo lalu
mengambil sebuah kantung dari dalam buntalan yang digendong Thian Lee lalu melemparkan
kantung itu ke atas tanah. "Inikah yang hendak kaurebut" Boleh, asal engkau dapat
mengalahkan pinto, seperti peraturan dalam dunia kang-ouw kita. Nah, siapa yang berani
mengambil kantung itu, ambillah!"
Melihat kantung yang dijadikan rebutan itu, Lauw Ki Seng terbelalak. Lalu dia memberi isarat
anggukan kepala ke-pada dua orang pembantunya. Dua orang pembantu itu lalu menubruk
maju untuk mengamil kantung itu sedangkan Lauw Ki Seng mencabut pedangnya lalu
menyerang Liok-te Lo-mo! Entah dari mana datangnya, mungkin diambilnya dari balik jubahnya yang pan-jang, tahu-
tahu Liok-te Lo-mo telah memegang sebatang pedang dan pedang itu menangkis bacokan
Lauw Ki Seng dengan amat kerasnya sehingga pedang Ketua Hek-i-pang itu terpental. Dan
pada saat itu juga, kaki Liok-te Lo-mo bergerak dua kali dan dua orang pembantu yang
menubruk untuk merampas kantung emas itu terjengkang ke belakang. "Ha-ha-ha, tidak
mudah untuk merampas kantung ini dari tangan pinto!" kata Liok-te Lo-mo sambil tertawa
dan dia sudah menyimpan kantung itu ke dalam saku jubahnya yang lebar, kemudian sekali
tangannya bergerak, pedangnya juga sudah lenyap ke balik jubahnya.
Akan tetapi, Liok-te Lo-mo tidak memperhitungkan kecerdikan ketua Hek-i-pang itu. Dengan
isaratnya, tiba-tiba empat orang anak buahnya telah menu-bruk dan menangkap Thian Lee.
Bocah ini berusaha melawan, memukul dan menendang, akan tetapi dia tidak mampu
melawan empat orang yang bertubuh kuat itu dan dia segera dapat diringkus.
Kini Si Pendek Gendut itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, Liok-te Lo-mo Aku tidak percaya
bahwa hanya untuk sekantung emas engkau akan nnembiarkan muridmu ini terbunuh.
Serahkan kantung emas itu kalau engkau tidak menghendaki muridmu kupenggal lehernya'"
Thian Lee yang sudah diringkus mengharapkan agar suhunya menyerahkan" sekantung emas
itu untuk menyelamatkannya, demikian pula Lauw Ki Seng sudah merasa yakin bahwa dia
akan dapat memaksa musuhnya menyerahkan sekantung emas itu kembali kepadanya.
Kantung emas itu adalah hasil pencurian adiknya yang terkenal sebagai seorang pencuri yang
pandai. Akan tetapi pada malam itu, setelah berhasil mencuri emas, adiknya bertemu dengan
Liok-te Lo-mo dan dalam perebutan emas itu adiknya terluka parah dan sebelum mati adiknya
memberi tahu bahwa yang melu-kainya dan merampas kantung emasnya adalah Liok-te Lo-
mo. Kini dia yakin tosu itu akan mengembalikan emas itu demi menyelamatkan muridnya.
Akan tetapi baik Thian Lee maupun Ketua Hek-i-pang itu kecelik dan mereka memandang
heran ketika melihat tosu itu tertawa mengejek,
"Heh-heh-heh, seratus kali kalian boleh membunuh anak itu, pinto tidak merasa rugi apa pun!
Akan tetapi karena kalian telah berani mengancan pinto, kalau anak itu dibunuh, kaliar semua
akan mampus di tanganku, tak seorang pun akan tinggal hidup! Hek-pangcu, engkau adalah
Kisah Si Rase Terbang 6 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Pedang Medali Naga 17
^