Pencarian

Geger Dunia Persilatan 19

Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen Bagian 19


Hay-thian, paling-paling dia akan dihukum mati, tapi
kalau sampai ditawan Tiok Siang-hu, maka sukar
dibayangkan entah siksaan apa yang akan dia rasakan.
Maka tidak heran ia sangat takut demi mendengar Tiok
Siang-hu juga sudah datang. Segera timbul pikiran akan
melarikan diri, tanpa pikir lagi ia dorong Nyo Hoan yang
sedang diberi obat itu, tanpa menghiraukan mati-hidup
kawannya lagi ia terus lari terbirit-birit.
Karena tidak tersangka-sangka, Nyo Hoan terdorong
jatuh ia menjerit kesakitan dan hampir-hampir kelengar.
Keruan Nyo Ceng sangat gusar dan memaki kalangkabut.
Tadi ia terkejut dan menyangka Tiok Siang-hu
benar-benar ikut datang, tapi segera terpikir olehnya
bahwa Tiok Siang-hu adalah pemimpin kaum
pemberontak di Sejiang dan tidak mungkin meninggalkan
pangkalannya yang telah didudukinya itu.
Benar juga, sampai sekian lamanya ternyata belum
nampak munculnya Tiong Siang-hu. Dengan gusar Nyo
Ceng lantas memaki "Budak kurangajar! Kau berani
menggertak aku dengan nama majikanmu! Biarpun
majikanmu datang juga aku tidak takut!"
Habis berkata segera ia putar tongkatnya lebih
kencang, di tengah sambaran tongkatnya ia selingi
dengan Kim-na jin hoat, ilmu menangkap yang lihai, ia
bermaksud menawan hidup-hidup Tiok Ceng hoa.
Tiba-tiba An Peng tertawa, serunya, "Nyo-siansing,
jika kau benar-benar hendak membikin susah Siocia
kami, terpaksa hamba juga akan berlaku kurang adat!"
Segera ia pun melompat maju.
"Kau mau apa" Berani kau bertempur melawanku?"
bentak Nyo Ceng gusar. "Tidak," sahut An Peng, "Hamba cuma mau
menangkap tuan muda saja agar nanti dapat kutukarkan
bila engkau juga menawan Siocia kami."
Nyo Ceng terkesiap dan gusar, ia pikir jangan-jangan
budak ini benar-benar melakukan seperti apa yang
dikatakannya. Segera ia membentak, "Kurangajar! Kau
berani?" Berbareng ia lantas melompat mundur dengan
cepat terus memondong sang putra.
Sebenarnya An Peng tahu sukar baginya untuk
menawan Nyo Hoan, ucapannya tadi hanya gertak
sambal belaka untuk memaksa Nyo Ceng harus
melindungi putranya lebih dulu, dengan demikian bahaya
yang mengancam Tiok Ceng-hoa dan lain-lain juga dapat
dihindarkan. Kemudian An Peng berkata pula sambil memberi
hormat, "Maaf Nyo-siansing, untuk membela majikan
sendiri, terpaksa hamba bersikap kasar padamu." Segera
ia mengeluarkan senjatanya, sepasang Hou-jiu-kau
(gaetan) dan bersama-sama Kong-he dan lain-lain
mengerubut Nyo Ceng. Kepandaian An Peng lebih tangguh daripada keempat
anak muda itu, maka keadaan pertempuran menjadi
berubah seketika sesudah dia ikut masuk kalangan,
apalagi sekarang Nyo Ceng harus melindungi
keselamatan Nyo Hoan. Melihat gelagat tidak
menguntungkan, sekali Nyo Ceng ayun tongkatnya dan
mendesak mundur para pengeroyoknya, menyusul
dengan cepat sekali ia lantas angkat langkah seribu
sambil memondong putranya.
Meski sudah banyak mengeluarkan tenaga, tapi
Ginkangnya masih tetap jauh lebih tinggi daripada lawanlawannya,
hanya sekejap saja ia sudah menghilang di
tengah rimba yang amat rimbun itu.
Melihat Nyo Ceng sukar dikejar lagi, maka Kong-he
dan lain-lain juga tidak mengudak lebih jauh. Mereka
tertawa senang atas kemenangan besar itu.
Setelah berlari masuk ke dalam rimba, makin dipikir
makin gusarlah Nyo Ceng, katanya dengan gemas,
"Keparat Yap Leng-hong itu benar-benar kurangajar, bila
ketemu lagi tentu akan kuhajar dia."
Kemudian mereka mengejar terus ke arah barat, akan
tetapi tidaklah gampang hendak mencari seorang di
tengah rimba raya seluas itu. Sampai maghrib masih
belum ditemukan jejak Yap Leng liong sedangkan Nyo
Hoan sudah sangat kelaparan. Untunglah Nyo Ceng
berhasil memburu seekor rusa, mereka lantas
menyalakan api unggun untuk memanggang daging rusa.
Di tengah tiupan angin malam yang sayup-sayup, tiba
tiba terdengar suara kresekan orang berjalan. Nyo Ceng
terkejut dan lekas menyiapkan tongkatnya sambil
membentak, "Siapa?"
Baru selesai ucapannya, orang itu sudah muncul. Seru
orang itu sambil bergelak tertawa, "Aha, kukira siapa, tak
tahunya adalah Nyo toako, sungguh sangat kebetulan.
Aku datang ke sini karena tertarik oleh bau daging
panggangmu!" Nyo Ceng terkejut dan girang, sahutnya, "He, Auyangtoako,
mengapa engkau juga sampai di sini" Aku malah
akan mengungsi ke tempatmu sana."
Kiranya orang itu bukan lain daripada Auyang Pek-ho.
"Kau mau mengungsi apa?" tanya Pek-ho dengan
mata terbelalak. "Ai, cukup panjang untuk diceritakan," sahut Nyo
Ceng. "Silakan duduk dulu, Auyang-toako."
Sesudah menyodorkan sepotong paha rusa panggang
kepada Auyang Pek-ho, lalu berceritalah Nyo Ceng
tentang kekalahan pasukan Yap To-hu serta
pengalamannya tadi. Sudah tentu Auyang Pek-ho ikut terkesiap, katanya,
"Wah, celaka! Dengan kekalahan Yap-tayjin itu, Kui-tekpo
terang juga pasti akan runtuh."
"Bagaimana Kui-tek-po akan ikut runtuh?" tanya Nyo
Ceng. "Kui Koh-ku telah membawa laskarnya dengan
maksud akan membantu Yap-tayjin menumpas
pemberontakan di Siau-kim-jwan, tapi beberapa hari
yang lalu menurut berita kilat yang diterimanya, katanya
kaum petani di wilayah kekuasaannya itu telah berontak
dan menduduki bentengnya, Kui Koh-ku telah
menggabungkan laskarnya ke dalam tentara kerajaan
dan dia sendiri mendapat pangkat Congpeng, ia pikir
sesudah berhasil membantu Yap-tayjin menyerbu Siaukim-
jwan baru akan menarik pasukannya untuk
menggempur pemberontakan di Kui-tek-po. Siapa duga
lebih dulu pasukan Yap-tayjin sudah hancur, padahal kini
pasukan Kui Koh-ku itu sedang menuju ke arah sini, jadi
perjalanannya ini sia-sia belaka, bahkan Kui-tek-po pasti
sudah direbut kembali lagi."
"Berapa kekuatan laskar Kui Koh-ku itu?" tanya Nyo
Ceng. "Kira-kira sepuluh ribu orang."
Nyo Ceng menggeleng kepala, katanya, "Hanya
sepuluh ribu laskar Kui Koh-ku saja tidak cukup sekali
dimakan oleh pasukan pemberontak yang pengaruhnya
kini jauh lebih besar daripada pasukan kerajaan."
"Urusan sudah sejauh ini, apa mau dikata lagi," ujar
Auyang Pek-ho. "Paling perlu sekarang makan yang
kenyang dan tidur yang nyenyak malam ini, segala
urusan kita pikirkan besok."
Baru selesai ia bicara tiba-tiba terdengar pula suara
tindakan orang mendatangi.
Kiranya rombongan Li Kong-he dan Lim To-kan telah
melihat sinar api unggun, mereka mengira Yap Lenghong
yang bersembunyi di sini, maka diam-diam mereka
telah menyusur kemari. Tak terduga yang mereka
dapatkan adalah Nyo Ceng, bahkan An Peng lantas
mengenali pula Auyang Pek-ho, keruan ia terkejut.
Bagi anak-anak muda seperti Kong-he dan To-kan
sudah tentu tidak kenal apa artinya takut, segera To-kan
melolos senjata dan membentak, "Nyo Ceng kemana pun
kau lari tentu juga akan dibekuk. Lekas serahkan jiwamu
saja!" "Hehe, besar amat mulut bocah-bocah ingusan itu,
apakah kau perlu bantuanku, Nyo-toako?" tanya Auyang
Pek-ho dengan tertawa. Saat itu Nyo Ceng sudah kenyang makan, segera ia
angkat tongkatnya dan berkata, "Auyang-toako, silakan
kau menjaga putraku saja. Hanya bocah-bocah ingusan
begitu saja tidak cukup sekali kumakan."
"Huh, kau sudah keok di bawah tangan kami dan
sekarang masih berani bermulut besar?" ejek Kong-he.
Nyo Ceng menjadi murka, bentaknya, "Kurangajar,
apakah kau kira aku benar-benar kalah padamu" Ini, biar
kau kenal kelihaianku!" Berbareng tongkatnya berputar
dengan jurus Pat-hong-hong-ih" (hujan badai delapan
penjuru), bayangan tongkatnya bertebaran, sekaligus ia
menyerang berbagai Hiat-to di tubuh kelima orang
lawannya Lekas Siangkoan Wan dan Lim To-kan mengeluarkan
Boat Hong kiam-hoat (ilmu pedang penghapus angin)
ajaran Kang Hay thian untuk melawan ilmu totokan
tongkat itu, sedangkan An Peng dan Tiok Ceng hoa juga
mengerubut maju. Mereka sudah pernah mengalahkan
Nyo Ceng, maka mereka menyangka kali inipun akan
dapat mengalahkan dia. Mereka tidak tahu bahwa sekarang Nyo Ceng sudah
kenyang makan, tenaganya bertambah kuat, pula ada
Auyang Pek ho yang menjaga keselamatan Nyo Hoan,
keadaan yang berbeda ini sudah tentu sangat
menguntungkan Nyo Ceng. Begitulah maka makin lama Kong-he dan kawankawan
merasa makin payah menghadapi daya tekanan
tongkat Nyo Ceng yang lihai itu. Selagi pertarungan
berlangsung dengan sengit, tiba-tiba ada suara orang
membentak, "Kalian berdua bangsat tua ini berani
menganiaya anak kecil, sungguh tidak tahu malu!"
Belum nampak orang yang bicara, suaranya sudah
berkumandang datang menggetar anak telinga. Keruan
Auyang Pek-ho terkejut, ia kenal suara itu bukan lain
adalah ketua Kay-pang, Tiong Tiang-thong yang disegani
itu. Benar juga, baru lenyap suara tadi, segera tampak
berkclebalnya bayangan orang, tahu-tahu tiga orang
sudah muncul di depan mereka Demi melihat siapa-siapa
pendatang itu, sungguh sukma Auyang Pek ho hampir
terbang ke awang-awang meninggalkan raganya.
Kiranya pendatang-pendatang itu selain Tiong Tiangthong
masih ada pula Siangkoan Thay, adik ipar Nyo
Ceng. Dan yang paling membikin takut Auyang Pek-ho
itu adalah orang ketiga, yaitu jago nomor satu di dunia
persilatan, Kang Hay-thian adanya.
Yang paling girang adalah Li Kong-he dan Lim To-kan,
berbareng mereka lantas memanggil, "Suhu, kedua
bangsat tua ini telah melabrak kami, harap Suhu
memberi hajaran setimpal kepada mereka."
"Kedua orang ini sudah pasti akan diajak membikin
perhitungan oleh Tiong-pangcu dan Siangkoan-cianpwe,
kita tidak perlu ikut turun tangan, kalian boleh mundur
saja." Munculnya tiga tokoh besar itu juga sangat
mengejutkan Nyo Ceng, maka Kong-he dan lain-lain
dapat mengundurkan diri dengan leluasa.
"Engkau sudah sembuh Suhu" Kedatanganmu
sungguh sangat tepat waktunya," demikian Kong-he dan
To-kan bertanya kepada Kang Hay-thian sesudah
mundur dari kalangan pertempuran.
"Ya, beberapa hari sesudah kalian berangkat,
kebetulan Tiong-pangcu dan Siangkoan-cianpwe datang
menyambangi aku, mereka bermaksud ke Sejiang,
karena sakitku sudah baik maka aku lantas datang
bersama mereka," tutur Hay-thian.
Kong-he dan kawan-kawannya pernah tinggal dua hari
di Sejiang, meski Kang Hay-thian bertiga lebih lambat
berangkatnya, tapi dengan Ginkang mereka yang lebih
tinggi dapatlah mereka menyusulnya. Mereka buru-buru
menyusul karena diberitahu oleh Tiok Siang-hu.
Dalam pada itu Nyo Ceng rada lega karena Kang Haythian
menyatakan takkan ikut bertempur. Ia menaksir
kepandaiannya kira-kira sembabat dengan Siangkoan
Thay, seumpama tak bisa menang juga pasti takkan
kalah atau terbunuh. Dengan sikap lesu yang dibuat-buat
segera ia menegur Siangkoan Thay, "Siangkoan-lote
betapapun kita adalah sesama saudara ipar, andaikan
aku berbuat sesuatu kesalahan padamu hendaklah dapat
memberi kelonggaran mengingat hubungan famili kita."
Siangkoan Thay melengak, sama sekali tak terduga
olehnya bahwa seorang gembong persilatan seperti Nyo
Ceng yang terkenal tinggi hati mengucapkan kata-kata
demikian, sahutnya segera, "Apa maksudmu" Apakah
kau ingin minta ampun padaku" Jangan kau harap aku
sudi mengampuni kau."
"Tidak," kata Nyo Ceng. "Aku telah berbuat salah, jika
kau ingin membunuh aku adalah pantas. Serendahrendahnya
diriku juga tak nanti minta ampun padamu."
"Habis apa maksudmu tentang memberi kelonggaran
segala?" tanya Siangkoan Thay.
"Yang kumaksudkan adalah putraku Nyo Hoan yang
masih hijau ini, dia juga pernah berbuat salah kepada
putrimu dan Lim-kongcu, tapi dosanya biar kupikul
semua, diharap kau suka mengingat hubungan
kekeluargaan kita dan sudilah memberi jalan hidup
padanya. Padahal dia pun sudah dilukai oleh Limkongcu."
Mendengar ucapan Nyo Ceng yang memilukan itu,
Siangkoan Thay menjadi tidak sampai hati, ia coba
memandang putrinya. Biarpun Siangkoan Wan membenci Nyo Hoan, tapi
mereka adalah teman bermain sejak kecil, sekalipun
tingkah laku pemuda itu tidak pantas, tapi dosanya tidak


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergolong tak terampunkan, maka ia lantas bertanya
kepada To-kan, "Bagaimana pendapatku adik Kan?"
"Dia memang sudah kulukai, baiklah hari ini biar
kuampuni jiwanya, bila kelak kepergok lagi, tentu tidak
ampun lagi," sahut To-kan tanpa pikir.
Maka Siangkoan Thay lantas membentak, "Baik, nah
Nyo Hoan, lekas kau pergi. Aku tidak takut kau akan
membalas dendam bagi ayahmu."
Namun Nyo Hoan masih pura-pura enggan dan
merasa berat, sudah tentu yang paling kenal watak Nyo
Hoan adalah ayahnya sendiri. Segera Nyo Ceng berkata,
"Anak bodoh, selama gunung tetap menghijau masakah
takut kehabisan kayu bakar" Boleh kau pergi saja, anak
Hoan. Pamanmu sudah menyatakan akan menempur aku
satu lawan satu, siapa tahu kalau raja akhirat masih
belum menerima kedatanganku. Nah, Siangkoan-lote
marilah maju!" Sesudah Nyo Hoan melangkah pergi, Siangkoan Thay
lantas tampil ke muka dan mulai perang tanding dengan
Nyo Ceng. Tiba-tiba Tiong Tiang-thong bergelak tertawa, ia
mendekati Auyang Pek-ho dan berkata, "Selamanya
pengemis tua ini tidak mau kesepian, bila melihat orang
lain berkelahi, tanganku menjadi ikut gatal. Nah, Auyangsiancu,
sudah waktunya kita harus membikin perhitungan
juga." "Cepat," sahut Auyang Pek-ho. "Kau telah melukai
istriku memangnya aku ingin membikin perhitungan
dengan kau. Katanya kau menghina aku punya Lui-sinciang,
maka sekarang ingin kulihat betapa lihainya Kungoan-
it-khi-kangmu!" Begitulah mereka berdua lantas menyingkir ke sana
dan mencari suatu tempat pertempuran yang lain.
Dalam pada itu Nyo Ceng sedang menempur
Siangkoan Thay dengan siasat ulur waktu sehingga sukar
menentukan menang dan kalah. Hal ini membikin anakanak
muda yang menonton di samping merasa tidak
sabar. "Enci Wan, marilah kita coba-coba main beberapa
jurus," tiba-tiba To-kan mengajak. "Aku akan menjajal
kau dengan sejurus ilmu tongkat yang baru kupelajari."
Habis itu ia lantas menjemput sebatang ranting kayu
dan pasang kuda-kuda. "Ah, jangan membual, aku justru akan mengalahkan
kau dengan ilmu pedang keluarga kami," sahut
Siangkoan Wan yang cukup cerdik dan paham maksud
tujuan To-kan. "Awas serangan!" segera To-kan mulai melancarkan
serangan, yang dia gunakan adalah ilmu permainan
tongkat kemahiran Nyo Ceng. Sudah tentu permainannya
tidak sebaik Nyo Ceng atau Nyo Hoan, tapi sekali lihat
saja orang akan segera tahu bahwa yang dia gunakan
adalah ilmu menotok dengan tongkat dari keluarga Nyo
itu. Dengan cepat Siangkoan Wan berputar sambil
pedangnya menyampuk pergi ranting kayu lawan,
menyusul ujung pedangnya sudah mengancam di depan
hidung To-kan, katanya dengan tertawa, "Coba,
bukankah ilmu tongkatmu sudah kupatahkan?"
"Belum tentu, coba terima seranganku lagi!!" sahut
To-kan. Dia sengaja melambatkan gerakannya agar Siangkoan
Thay dapat mengikuti dengan jelas.
Semula Nyo Ceng tidak menduga apa-apa, tapi ketika
sekilas ia menyaksikan permainan kedua anak muda itu,
seketika ia terkejut. Siangkoan Wan adalah putri
Siangkoan Thay, sudah tentu ia tidak dapat menuduh
anaknya memberi petunjuk kepada ayahnya. Diam-diam
Nyo Ceng mengeluh, tapi tak bisa berbuat apa-apa, yang
dia harapkan semoga Siangkoan Thay tidak mengetahui
maksud putrinya itu. Memang benar, semula Siangkoan Thay tidak
memperhatikan, tapi diam-diam ia heran mengapa di
saat ayahnya sedang bertempur mati-matian dengan
musuh, anaknya begitu iseng bermain dengan Lim Tokan.
Waktu ia hendak memelototi putrinya dengan
mendongkol, tapi sekali pandang segera ia paham
duduknya perkara. Sebagai seorang ahli ilmu silat, sudah tentu Siangkoan
Thay sangat mudah menerima setiap petunjuk yang
baru. Kalau Siangkuan Wan harus memakai pedang baru
dapat memainkan Boat-hong kiam hoat yaitu ilmu
pedang ciptaan Kang Hay-thian yang khusus untuk
mengalahkan ilmu tongkat Nyo Ceng, maka sesudah
memahami dimana letak intisari ilmu pedang itu, seketika
Siangkoan Thay dapat memainkan ilmu pedang itu
dengan membaurkannya ke dalam Ilmu pukulan dan ilmu
totokan darinya dan sama-sama dapat mengalahkan
permainan tongkat Nyo Ceng yang lihai itu.
"Nyo Ceng, apakah kau masih ingin melawan?" bentak
Siangkoan Thay mendadak, serangannya lantas berubah.
Akan tetapi demi melihat keadaan Nyo Ceng yang gelisah
itu, timbul juga rasa tidak tega dalam hatinya mengingat
hubungan kekeluargaan selama ini.
Tak tersangka sedikit welas-asih Siangkoan Thay itu
malah mampu membikin celaka dirinya sendiri. Sudah
tentu Nyo Ceng tidak tahu perasaan Siangkoan Thay,
pada waktu saudara iparnya itu sedikit lambat,
sekonyong-konyong ia melancarkan serangan maut,
secepat kilat tongkatnya menotok Hiat-to mematikan di
dada Siangkoan Thay. Syukur waktu itu Nyo Ceng sudah lemah, meski
tongkatnya mengenai dada Siangkoan Thay, tapi tidak
kena Hiat-to dengan tepat, pula Siangkoan Thay sempat
mengempiskan dada dan menarik perut sehingga
beberapa bagian tenaga totokan lawan kena dipunahkan,
sebab itulah dia tidak terluka. Tapi ia menjadi gusar,
sambil menggertak ia balas menghantam.
Pukulan ini adalah kepandaian andalan Siangkoan
Thay, yaitu Tay-jiu-in yang sangat dahsyat. "Plak", tepat
mengenai sasaran, kontan Nyo Ceng muntah darah.
"Nyo Ceng sampai mati kau masih tidak mau insyaf?"
bentak Siangkoan Thay. Karena Nyo Ceng sudah terluka parah kena
pukulannya, maka bentakan Siangkoan Thay ikut
bermaksud menginsyafkan Nyo Ceng, asal dia mau
mengaku salah dan minta ampun, tentu lukanya akan
dapat disembuhkan. Tapi meski sudah terluka parah Nyo Ceng masih dapat
melarikan diri, tanpa memikirkan apa yang diucapkan
Siangkoan Thay itu segera ia melompat pergi hendak
kabur. Tempat dimana mereka bertempur itu berada di
atas bukit, sekali lompat ia pikir dapat
menggelundungkan diri ke bawah dengan Ginkangnya.
Tak terduga keadaannya sudah parah, kakinya kesrimpet
pula menginjak sepotong batu, ia terpeleset jatuh ke
bawah. Waktu Siangkoan Thay memburu maju dan
memandang ke bawah lereng bukit itu, ternyata kepala
Nyo Ceng telah pecah membentur batu padas, jiwanya
sudah melayang. Mengingat hubungan famili mereka, Siangkoan Thay
mengubur secara sederhana mayat Nyo Ceng, lalu
katanya kepada Kong-he dan lain-lain, "Marilah, sekarang
kita coba melihat pertarungan si pengemis tua, semoga
pertempuran itu belum selesai."
Setiba mereka di sebelah sana, terdengarlah suara
pertempuran yang sengit diseling dengan suara bentakan
orang yang ramai. Ternyata Tiong Tiang-thong dan
Auyang Pek-ho sudah bertarung sampai dua-tiga ratus
jurus, tapi kedua pihak masih belum nampak lelah,
benar-benar pertandingan yang seru dan sama kuat.
Tiong Tiang-thong tampak mendelik, jenggotnya
seakan menegak, dimana tangan dan kakinya menuju
selalu membawa sambaran angin yang keras. Dalam
jarak lingkar dua-tiga meter debu pasir bertebaran,
daun-daun pepohonan beberapa meter lebih jauh juga
berguncang dan rontok. Tanpa terasa Siangkoan Thay bersorak memuji,
"Hebat benar Kun-goan-it-khi-kang Tiong-pangcu!"
Tapi Auyang Pek-ho juga bukan lawan empuk,
tampaknya dia punya tenaga pukulan kalah kuat
daripada Tiong Tiang-thong, tapi dia mempunyai
keistimewaan sendiri. Setiap kali ia hendak menyerang
selalu didahului dengan menggertak, angin pukulan yang
menyambar rasanya panas bagai api.
Kong-he, To-kan, Siangkoan Wan dan Tiok Ceng-hoa
tidak berani terlalu mendekat karena tidak tahan hawa
panas itu. Diam-diam To-kan dan Kong-he merasa
gelisah, mereka coba tanya Kang Hay-thian, "Suhu,
pertarungan seru ini entah baru akan berakhir kapan,
apakah kita tidak perlu pergi mencari jahanam Yap Lenghong
itu?" "Aku sendiri tidak gelisah, mengapa kalian yang
gelisah?" ujar Hay-thian dengan tertawa, "Biarpun
sampai besok, jika ada bantuan Siangkoan-cianpwe dan
Tiong-pangcu masakah kita kuatir tak bisa
membekuknya?" Mendengar jawaban sang guru juga meyakinkan,
Kong-he dan To kan tidak berani bicara lagi.
Sesungguhnya mereka sangat ingin lekas menangkap
pengkhianat Yap Leng-hong itu.
Dalam pada itu Yap Leng-hong sendiri sama sekali
tidak tahu bahwa gurunya juga telah datang, malahan
dia sedang mimpi muluk muluk.
Sesudah kabur meninggalkan Nyo Ceng dan Nyo
Hoan, diam diam Leng-hong bersyukur dan bersedih. Dia
bersyukur karena lelah bebas dari segala tekanan, tapi
sekarang seorang diri dia harus berkelana di tengah
rimba raya yang sunyi, hal inilah yang membuatnya
cemas. Sesudah semalam di tengah rimba itu, untung tiada
memergoki seorang pun. Besok petangnya ia menaksir
arah perjalanan itu mungkin sudah tepat dan sehari lagi
tentu akan dapat keluar dari hutan itu.
Ia tidak tahu bahwa arah yang ditempuh justru
terbalik, sesudah mengitar suatu lingkaran yang jauh,
tempatnya berada sekarang justru hanya belasan li saja
dari tempat Kang Hay-thian.
Sudah tentu timbul pula lamunannya yang mulukmuluk
bilamana dia sudah keluar dari rimba maut itu, ia
tepuk-tepuk kepala Leng Thian-lok yang masih berada di
dalam rangselnya itu, dengan bukti itu tentu tidaklah
kecil jasanya. Dengan kepandaian dan bakatnya, kelak
tidak sukar untuk memperoleh pangkat yang lebih tinggi.
Bilamana kedudukan sudah didapat, di tengah kawalan
pasukan yang ketat masakah takut lagi kepada musuhmusuhnya
yang akan menuntut balas padanya" Bahkan
bila dirinya sudah berkuasa, maka musuh pertama yang
akan dibasminya justru adalah Yap Boh-hoa.
Melamun sampai bagian-bagian yang menyenangkan,
tanpa terasa Leng-hong mengayun sebelah telapak
tangannya, "krak", sebatang dahan pohon di sebelah
telah kena ditabas kutung olehnya, seakan kepala Yap
Boh-hoa yang telah dipenggal olehnya. Tanpa terasa ia
tertawa terbahak-bahak pula.
Sungguh mimpi pun Leng-hong tidak menyangka
bahwa saat itu Yap Boh-hoa juga berada di tengah rimba
itu, bahkan telah mendengar suara tertawanya.
Sesudah Yap Boh-hoa menghancurkan tentara
kerajaan dengan siasat gerak cepat, segera bersama
Kheng Siu-hong, Ubun Hiong dan Kang Hiau-hu
meneruskan pengejaran ke arah barat. Yang hendak
mereka cari adalah Yap Leng-hong dan ayahnya.
Menurut laporan yang diterima, katanya Yap To-hu
hanya membawa sisa anak buah ratusan orang dan lari
ke dalam rimba di sebelah barat, sedangkan jejak Yap
Leng-hong menurut laporan bawahan Siau Ci-wan juga
dapat ditaksir berada di dalam rimba itu. Cuma Siau CiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
wan yang meninggalkan pasukannya dan mengejar
seorang diri masih belum diperoleh beritanya.
Yap Boh-hoa telah minta Ubun Hiong mewakilkan
pimpinan pasukannya, lalu bersama Kheng Siu-hong
mereka berdua meneruskan pengejaran ke rimba yang
lebat itu. Sudah beberapa tahun Boh-hoa berkenalan dengan
Kheng Siu-hong dan telah banyak mengalami suka-duka,
setiap kali mereka selalu berpisah pula dalam keadaan
tergesa-gesa dan tidak sempat bicara secara mendalam.
Kali ini mereka dalam perjalanan bersama barulah dapat
berkumpul dan saling mengutarakan isi hati masingmasing.
Boh-hoa telah menceritakan asal-usul dan
pengalamannya sendiri kepada Kheng Siu-hong,
terutama tentang maksud keji Yap Leng-hong yang
memalsukan dia itu telah dituturkan dengan sangat jelas.
Tentang hal itu ada sebagian sudah didengar Siu-hong
dan sebagian lain baru diketahui dari cerita Yap Boh-hoa
sekarang. Ia menghela napas dan berkata, "Kematian
ayahku juga akibat perbuatan keparat itu bersama
ayahnya, jadi mereka ayah dan anak justru adalah
musuh kita bersama."
"Ya, dan sudah tiba saatnya kita menuntut balas,
mengapa kau menghela napas malah?"
"Aku menghela napas karena memikirkan nasibku
sendiri," sahut Siu-hong. "Seperti juga ayah Yap Lenghong,
ayahku juga pernah menjabat Congpeng di kota
Ili, bahkan juga pernah menggempur pasukan
pergerakan bangsa Kazak. Engkau sangat baik padaku,
ini kuketahui, cuma sahabat-sahabatmu mungkin tidak


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau menganggap aku sebagai kawan."
"Hahaha, kukira soal apa yang membuat kau risau,
kiranya adalah urusan ini," kata Boh-hoa sambil tertawa.
"Apakah hal ini tidak pantas dirisaukan?"
"Kukira keadaanmu ada perbedaannya dengan Yap
Leng-hong," kata Boh-hoa dengan sungguh-sungguh.
"Ayahmu dan ayah Yap Leng-hong adalah pembesar
kerajaan, sedikit banyak tangannya juga berlepotan
darah pasukan pergerakan. Tapi kekejaman Yap To-hu
dan dosanya jauh lebih besar daripada ayahmu,
sedangkan Yap Leng-hong adalah sama jahatnya dengan
ayahnya, sebaliknya kau adalah pemimpin wanita
pasukan pemberontak, jalan yang kau tempuh sudah
terang berlainan dengan ayahmu. Asal usul seseorang
tidak dapat ditentukan oleh orang itu sendiri, tapi
sesudah kehidupannya dan perjuangannya yang
ditentukan olehnya jadi jelas kau berbeda daripada Yap
Leng-hong, mana bisa orang mempersamakan kau
dengan dia" Seumpama sementara ini ada salah paham
juga akhirnya akan dapat dibikin terang. Maka dari itu
jangan kau kuatir, aku jamin kawan-kawanku pasti akan
menganggap kau sebagai kawan sendiri."
"Ya, tapi aku kuatir orang lain akan memandang aku
dengan sorot mata yang lain," ujar Siu-hong.
"Tidak, orang yang bijaksana tentu akan menganggap
sahabat padamu," kata Boh-hoa. "Coba lihat, apakah aku
memandang kau dengan sorot mata yang aneh?"
Sudah tentu sinar mata Yap Boh-hoa itu adalah sinar
mata yang "menyala", sinar mata yang membuat anak
gadis kesemsem. Wajah Siu-hong menjadi merah, tanpa terasa dua
pasang tangan saling menggenggam dengan erat, tidak
perlu dengan kata-kata lagi, segala rasa kasih mesra
kedua muda mudi itu sudah bicara dari sinar mata
masing-masing. Sesaat itu segala apa yang berada di
sekeliling mereka boleh dikata tiada terpikirkan lagi,
seakan di seluruh jagat raya ini hanya tinggal mereka
berdua saja. Namun dunia ini sudah tentu tidak melulu tinggal
mereka berdua saja, betapapun besar kekuatan tinta
mereka juga tak bisa memisahkan dunia ini. Entah selang
berapa lama, mendadak Siu hong sadar dan terkejut, ia
meronta keluar dari pelukan Yap Boh hoa dan berkata,
"Coba dengarkan engkoh Hoa, di sebelah barat sana
seperti ada suara orang bertempur."
Kiranya suara yang didengar Siu-hong itu adalah suara
bentakan dari pertarungan Tiong Tiang-thong dan
Auyang Pek-ho yang sedang berlangsung dengan sengit
itu. Waktu Boh-hoa mendengarkan dengan cermat,
katanya kemudian, "Ya, benar, seperti ada orang sedang
bertempur dengan amat dahsyat. Agaknya yang
bertempur itu adalah jago-jago kelas satu."
"Marilah kita melihatnya ke sana, boleh jadi kawan kita
yang telah memergoki Yap Leng-hong," ujar Siu-hong.
"Ssst, nanti dulu, di sebelah timur sana juga seperti
ada suara orang," kata Boh-hoa.
"Apa, betul" Aku tidak mendengar," sahut Siu-hong
sambil mendengarkan dengan menahan napas.
Kiranya yang didengar Yap Boh-hoa itu adalah suara
tertawa Yap Leng-hong sesudah dia melamun mulukmuluk,
lalu lupa daratan dan tertawa senang.
Jarak Yap Leng-hong ada beberapa li jauhnya di
sebelah timur sehingga suaranya tidak sekeras suara
pertempuran kedua jago kelas wahid di sebelah barat,
maka Siu-hong tidak mendengarnya. Tapi Yap Boh-hoa
yang Lwekangnya lebih tinggi telah dapat mendengar.
Suara tertawa yang berkumandang dari jauh itu
sayup-sayup dapat ditangkap oleh telinga Yap Boh-hoa,
cuma dia belum tahu bahwa suara itu adalah suara Yap
Leng-hong, cuma dari suara tertawa itu dapat dirasakan
nada yang dengki dan memuakkan. Terkesiap hati Bohhoa,
segera ia berkata, "Adik Hong, coba kita melihatnya,
aku ke timur dan kau periksa sebelah barat."
Sebelah barat adalah suara pertempuran sengit itu,
menurut perhitungan Boh-hoa, bila salah satu pihak
adalah Yap Leng-hong tentu pihak yang lain adalah
kawan sendiri, maka Siu-hong akan dapat memberi
bantuan dan mudah memperoleh kemenangan.
Saat itu pertarungan antara Tiong Tiang-thong dan
Auyang Pek-ho sudah berlangsung hampir ribuan jurus.
Lambat laun tenaga Auyang Pek-ho sudah berkurang, dia
mulai gelisah. Mendadak ia mengeluarkan serangan
berbahaya dengan maksud memperoleh kemenangan
dalam keadaan terdesak. Sekonyong-konyong Tiong Tiang-thong membentak
keras-keras, tubuhnya mencelat tinggi ke atas, dalam
keadaan terapung di udara mendadak ia menghantam ke
bawah dengan gerakan Yau-cu-hoan-sin (burung merpati
menukik ke bawah). Serangan Auyang Pek-ho ini adalah suatu tipu
serangan yang nekat, bila perlu biar gugur bersama
musuh. Kalau tidak kepepet, tidak sembarangan tipu
serangan ini dikeluarkan, ini merupakan serangan
terakhir Auyang Pek-ho, ia benar-benar telah
mengerahkan segenap kekuatannya pada hantaman
yang menentukan ini. Tampaknya hantaman Auyang Pek-ho itu sudah
hampir mengen.n kepala sasarannya, barulah terdengar
Tiong Tiang-thong membentak, "Bagus!" Berberang
kedua telapak tangannya menegak dan mendorong ke
atas dengan sepenuh tenaga.
Tenaga pukulan dahsyat kedua pihak berbenturan
serta mengeluarkan suara keras. Di tengah jeritan anakanak
muda seperti Kong-he dan lain-lain tertampak
Auyang Pek-ho mencelat jatuh bagai layang-layang yang
putus benangnya. Tiong Tiang-thong bergelak tertawa sambil mendekati
lawannya, tapi sebelum ia membikin tamat lelakon
musuh, tiba-tiba terdengar seruan seorang gadis, "Tahan
dulu, Tiong-pangcu!"
Kiranya pada saat itu juga Kheng Siu-hong keburu
datang. "Apakah kau anak perempuan ini hendak
memintakan ampun bagi suami gurumu?" tanya Tiong
Tiang-thong. "Antara yang benar dan yang jahat tidak boleh hidup
bersama, mana aku berani merintangi Tiong-pangcu,"
sahut Siu-hong. "Cuma dia sudah cacad untuk selamanya
dan tak bisa berbuat kejahatan pula, maka aku ingin
memohon Tiong-pangcu sudi mengingat diriku dan
mengampuni jiwanya, anggaplah aku telah membayar
hutang budi perguruan padanya."
Menurut hukum Bu-lim (dunia persilatan), guru adalah
maha terhormat. Biarpun Siu-hong telah paham tentang
perbedaan antara yang jahat dan yang baik, tapi
pengaruh tradisi kuno itu betapapun masih melekat pada
sanubarinya sehingga dia memintakan ampun bagi bapak
gurunya itu. Cuma ia pun menegaskan bahwa
permintaan ampun itu harus dianggap sebagai balas budi
kepada perguruannya dan untuk selanjutnya ia pun
bebas dari segala ikatan dengan pihak perguruan,
dengan demikian hatinya dapat pula merasa tenteram.
Maka Tiong Tiang-thong telah tertawa, katanya, "Coba
dengarkan Auyang Pek-ho, kau merasa malu atau tidak"
Sungguh tidak nyana bahwa durjana macam kau
ternyata mempunyai seorang murid sebaik ini. Kalian
suami-istri telah berdaya upaya hendak mencelakai dia,
tapi sekarang dia malah memintakan ampun bagimu."
Lalu ia berpaling kepada Siu-hong dan berkata, "Nona
Kheng, mungkin kau sendiri belum tahu apa maksud
tujuan kedatangan bapak gurumu ke sini ini" Dia justru
hendak memaksa kau menikah dengan putra kesayangan
Kui Koh-ku itu." Siu-hong melengak dan tak bisa menjawab apa-apa.
Maka Tiang-thong telah melanjutkan, "Cuma,
mengingat kau, biarlah aku mengampuni jiwanya, ilmu
silatnya toh sudah punah."
Wajah Auyang Pek-ho tampak pucat, ia meronta
bangun, jengeknya, "Terima kasih padamu, nona Kheng.
Biarpun jiwaku ini tidak sampai melayang, selama hidup
ini terang tidak sanggup membalas budi padamu, tapi
pasti ada orang lain yang akan mewakilkan aku memberi
pembalasan padamu." "Apa maksud ucapanmu ini Auyang Pek-ho" Kau mau
apa lagi?" bentak Tiang-thong.
"Aku bisa berbuat apa lagi?" jengek Auyang Pek-ho
sambil tersenyum getir. "Krak" mendadak ia betot putus
lengan kanan sendiri, lalu katanya pula, "Banyak terima
kasih karena Pangcu tidak jadi membunuh diriku. Aku
akan pergi sekarang!"
Tadi Auyang Pek-ho telah mengerahkan segenap
tenaganya untuk melancarkan pukulan penghabisan, tapi
Tiong Tiang-thong juga menyambut dengan pukulan
dahsyat. Dalam keadaan demikian, tenaga siapa lebih
kuat yang akan menang. Maka tenaga Lui-sin-ciang
Auyang Pek-ho yang berbisa itu telah ditolak kembali
oleh tenaga pukulan Tiong Tiang-thong yang lebih keras,
racun pukulannya itu telah terdesak masuk kembali ke
dalam tubuhnya sendiri, jadi gagal membikin celaka
orang sebaliknya senjata makan tuan. Jika dia tidak
mengurungi lengannya sendiri, bila racun naik dan
menyerang jantung, tentu jiwanya akan segera
melayang. Setelah Auyang Pek-ho pergi, kemudian Tiong Tiangthong
berkata, "Nah, nona Kheng, biar kuperkenalkan
padamu. Yang ini adalah tokoh nomor satu yang
termashyur, Kang Hay-thian, Kang-tayhiap. Dan Kangheng,
nona Kheng ini bernama Siu-hong, adalah
pahlawan wanita angkatan muda yang jarang dicari
bandingannya." Mendengar bahwa orang yang berada di depannya itu
adalah Kang Hay-thian, sungguh kejut dan girang Siuhong
tak terlukiskan. Cepat ia menyambung, " Tiong
pangcu, tak perlu lagi kau memuji diriku, aku justru ingin
minta bantuan kepada Kang-tayhiap."
"Membantu soal apa'' tanya kang Hay-thian dengan
tersenyum. "Kang-tayhiap, keponakanmu juga berada di sini,"
sahut Siu-hong. Hay-thian melenguh Keponakanku?" ia menegas. "Apa
kau maksud Yap Leng-hong juga berada disini?"
"Tidak, tidak, yang kumaksudkan adalah
keponakanmu yang tulen, bukan Yap Leng hong palsu itu
" sahut Siu-hong pula.
Kembali Hay-thian terkesiap tukasnya, "Keponakanku
yang tulen" Siapakah dia?"
"Dia adalah putra Yap Tiong sian, dahulu pernah
bernama Yap Leng-hong, tapi nama itu telah dipalsukan
oleh putra Yap To-hu yang rendah itu, maka sekarang
dia memakai nama Yap Boh-hoa. Murid Kang-tayhiap
yang bernama Ubun Hiong itu saat ini berada bersama
dia sebagai pemimpin pasukan pergerakan yang datang
membantu pasukan pemberontak di wilayah Sucwan sini.
Sebenarnya Kang Hay thian sudah tahu bahwa Yap
Leng-hong adalah keponakannya yang palsu cuma dia
pun belum mengetahui keponakan yang tulen itu berada
dlmana Sekarang Siu-hong dapat menceritakan asal-usul
sang keponakan secara jelas, tentu tidak perlu diragukan
lagi. Keruan ia sangat girang dan berseru, "Bagus sekali.
Harap nona Kheng membawa aku pergi menemuinya tapi
dalam hal ini adalah aku yang harus minta bantuanmu
dan bukan kau yang minta bantuanku."
"Tidak, tidak," sahul Siu-hong "tetapi kaulah yang
membantu aku, tapi juga kau telah membantu
keponakanmu. Soalnya begini, tadi Boh-hoa telah
menemukan jejak seseoraqng di tengah rimba yang
diduga adalah Yap Leng-hong palsu, maka sekarang Bohhoa
telah mengejarnya ke arah timur sana."
-00dw00- Kembali bercerita tentang Yap Leng-hong selagi
melamun masa depannya yang muluk-muluk itu, tiba-tiba
di tengah rimba yang sunyi itu ada suara orang tertawa
dingin. Mendadak satu orang melompat keluar dan
merintangi jalannya. Waktu Leng-hong memandang ke depan, sungguh
kagetnya bukan kepalang, teriaknya tanpa terasa, "He,
kau lagi!" "Ya, memang sangat kebetulan bukan" Dimana-mana
kita selalu bertemu!" sahut orang itu yang bukan lain
adalah Yap Boh-hoa. "Sudah dua kali kau hendak
membinasakan aku, untung aku selalu dapat lolos dari
cengkeraman maut. Kini rasanya adalah giliranku untuk
membinasakan kau." Tetapi rasa takut Yap Leng-hong rada berkurang
sesudah mengetahui Yap Boh-hoa hanya sendirian saja.
Ia yakin dengan kepandaiannya sendiri yang sudah
banyak maju, kalau satu lawan satu saja mungkin takkan
kalah. Segera ia pun bergelak tertawa dan berkata,
"Benar, aku memang pernah dua kali hendak mencelakai
kau, tapi aku pun pernah satu kali menolong kau."
Yap Boh-hoa menjadi gusar, semprotnya, "Kau masih
berani mengungkit tentang pertolonganmu padaku" Huh,
kau menolong aku" Sesungguhnya kau justru ingin
menyusahkan aku" Bukankah kau telah memalsukan
diriku, telah menipu Kang-tayhiap dan banyak berdosa
serta berkhianat?" "Ya sudah, jika kau tidak mau mengerti, terpaksa kita
bertempur mati-matian," sahut Leng-hong. Ia sengaja
memancing bicara Yap Boh-hoa, lalu mendadak menusuk
dengan pedangnya. Ia menggunakan Tui-hong-kiamhoat


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ajaran Kang Hay-thian yang maha cepat.
Syukur sebelumnya Yap Boh-hoa sudah berjaga-jaga.
Kontan ia pun menghantam, pukulannya ini memaksa
musuh mau tak mau harus menolong diri sendiri lebih
dulu. Leng-hong juga kenal lihainya pukulan Pan-yak-ciang,
bila kena terpukul pasti jiwanya akan melayang. Cepat ia
menarik kembali pedangnya dan menabas pergelangan
tangan lawan, akan tetapi pada saat yang hampir sama
Yap Boh-hoa telah melolos pedang juga, bentaknya,
"Bangsat, tinggal mampus saja masih berani menyerang
secara pengecut. Rasakan juga pedangku ini!"
"Aha, siapa yang akan mampus toh belum dapat
dipastikan jangan membual lebih dulu Hm, coba saksikan
ilmu pedangku yang lihai!" sahut Leng bong berbareng
pedangnya berputar dan mematahkan serangan Yap
Boh-hoa Ilmu pedang ajaran Kang Hay thian sesungguhnya
sangat hebat kalau melulu bicara tentang ilmu pedang,
sebenarnya Yap leng hong masih kalah jauh daripada
Yap Boh hoa. Oleh karena itu ia telah mengeluarkan Tuihung
kiam hoat (ilmu pedang pemburu angin) yang
cepat itu untuk memunahkan serangan Yap Boh-hoa,
bahkan secepat kilat ia lantas balas menusuk
"Keparat, hari ini kalau bukan kau yang mampus
biarlah aku yang mati!" teriak Boh-ho.i dengan murka. Di
tengah berkelebat nya sinar pedang, ia selingi dengan
pukulan pukulan dahsyat. Dengan jurus Thay san-hapteng"
(gunung raksasa menindih kepala), segera ia
hantam kepala musuh. Namun Leng-hong sempal menggeser ke samping
dengan Thian lo-poh-hoat, pada detik yang terakhir ia
dapat menghindarkan pukulan maut Yap Boh-hoa.
Sebenarnya lwekang Yap Leng-hong masih kalah jauh
daripada Yap Boh-hoa, tapi sejak tiong Tian melancarkan
beberapa urat nadinya yang penting, tenaganya telah
banyak lebih kuat sehingga selisih kedua orang sekarang
sudah lebih dekat, walaupun Yap Boh-hoa tetap lebih
unggul setingkat. Dengan demikian kedua orang samasama
mempunyai keunggulan masing masing,
kepandaian Yap Leng-hong adalah ajaran Kang Hay-thian
yang lihai, sebaliknya Yap Boh-hoa menang ulet,
sedangkan pukulan Tay-seng-pan-yak-ciang yang
dahsyat juga tidak berani dipandang enteng oleh Yap
Leng-hong. Begitulah pertarungan sengit itu terus berlangsung,
seketika sukar menentukan kalah dan menang. Cuma
Yap Leng-hong cukup sadar bila pertempuran diteruskan
lebih lama, tentu dia sendiri yang akan kecundang. Bila
sampai kehabisan tenaga, tentu Thian-lo-poh-hoat akan
ikut lambat, keadaan demikian akan sukar pula
menghindarkan pukulan Pan-yak-ciang yang lihai.
Tengah kuatir dan ragu-ragu, tiba-tiba terdengar suara
deiapan kuda yang ramai. Waktu Leng-hong menoleh,
dilihatnya ada satu barisan tentara berkuda sedang naik
dari lereng bukit sana. Keadaan
Keadaan barisan itu tidak teratur, tapi dari panji
kebesaran yang berkibar itu dapat terbaca ada suatu
huruf "Yap" yang besar.
Sungguh girang Leng-hong tak terkatakan, cepat ia
berteriak, "Ayah, ayah! Tolong ayah! Aku berada di sini!"
"Hendak lari kemana?" bentak Yap Boh-hoa,
berbareng ia menghantam pula.
Tapi Leng-hong telah menggunakan langkah ajaib
Thian-lo-poh-hoat, secepat anak panah terlepas dari
busurnya ia meloncat ke atas terus melayang ke sana
beberapa meter jauhnya. Ketika Leng-hong berlari ke arah ayahnya, saat itu
barisan Yap To-hu yang kira-kira ada tiga-empat ratus
orang itu baru saja naik ke atas bukit situ, jaraknya kirakira
masih ada beberapa ratus meter dari tempat Yap
Leng-hong. Tapi Yap To-hu juga sudah mendengar dan
melihat putranya, segera ia pun berteriak, "Anak Cong,
lekas lari kemari! Syukur kita ayah dan anak masih dapat
bertemu pula." Belum lenyap suaranya, tiba-tiba dari tengah rimba
yang rimbun sana telah muncul tiga penunggang kuda,
secepat terbang penunggang-penunggang kuda itu
sedang mendatangi. Kiranya adalah Ubun Hiong, Kang
Hiau-hu dan Ciong Siu. "Hendak kabur kemana, bangsat!" terdengar Ubun
Hiong membentak, ia cambuk kudanya dan mendahului
tiba. "Hm, kau tidak menghormati Suhengmu, tapi
kepandaianmu juga belum tentu melebihi aku!" jengek
Yap Leng-hong. Mendadak ia melompat ke atas terus
menubruk dengan maksud merebut kuda Ubun Hiong.
Tapi dengan tipu serangan Heng-hun-toan-hong
(memotong awan memutus gunung), segera Ubun Hiong
menabas dengan pedangnya.
Saat itu Leng-hong sedang terapung di atas,
pedangnya juga telah menusuk ke bawah. Sebenarnya
tenaganya lebih kuat daripada Ubun Hiong, ditambah lagi
dia menerjang dari atas ke bawah, maka terdengarlah
suara "trang" yang nyaring, kedua pedang berbenturan,
pedang Ubun Hiong tergetar ke samping dan kaki Lenghong
sempat hinggap di atas kuda, segera pedangnya
menusuk lagi. Cepat Ubun Hiong angkat pedangnya menangkis,
mendadak Leng-hong membentak, "Turun!" Berbareng
kakinya mendepak. Namun Ubun Hiong sudah murka, matanya merah
membara otot-otot hijau menonjol di keningnya. Dalam
keadaan nekat demikian sukar juga bagi Yap Leng-hong
untuk mendorongnya jatuh ke bawah kuda dalam waktu
singkat. Tampaknya Ubun Hiong dalam keadaan bahaya,
syukur saat Itu Kang Hiau-hu sudah memburu tiba pula.
Kontan pedangnya lantas menusuk ke punggung Yap
Leng-hong. Lekas Leng-hong miringkan tubuhnya ke samping,
hanya sebelah kakinya saja yang menggantol di atas
pelana. Tapi dalam keadaan demikian ia pun tak bisa
merampas lagi kuda Ubun Hiong, terpaksa la meloncat
pergi sekuatnya. Kini jaraknya dengan sang ayah sudah
lebih dekat pula. Akan tetapi dari samping mendadak Ciong Siu
menerjangnya juga, diam-diam Leng-hong mengeluh.
Tiba-tiba ia berseru dengan suara pilu, "Siu-moay,
betapapun kesalahanku hendaklah kau suka mengingat
hubungan baik kita yang telah lalu."
Alis Ciong Siu tampak menegak, tanpa bicara lagi
cambuknya terus menyabet.
"Bagus, lantaran kau tidak mau tahu hubungan kita di
masa lalu, maka kau pun jangan menyalahkan aku tidak
kenal ampun lagi," bentak Leng-hong. Tangannya terus
meraup dan ujung cambuk kena dipegangnya, bentaknya
pula sambil membetot, "Menggelinding turun!"
Memang kepandaian Ciong Siu tidak lebih rendah
daripada Yap Leng-hong, tapi tenaganya yang kalah
kuat. Benar juga, kontan ia terseret jatuh ke bawah
kuda. Rupanya Yap Leng-hong bermaksud menawannya
hidup-hidup untuk dipakai sandera guna memaksa lawan
lawannya untuk tidak mengejar lagi padanya.
Tapi Ciong Siu cukup cerdik, begitu jatuh ke bawah
kuda segera ia lepaskan cambuknya, cepat ia melolos
pedang untuk melawan lagi.
Yap Leng-hong memainkan Tui-hong-kiam-hoat yang
lihai, beruntun secepat kilat ia menusuk tujuh kali. Tak
terduga bahwa Tui-hong-kiam-hoat itu ternyata tidak
dapat mengalahkan Ciong Siu. Maklum, Ciong Siu adalah
murid asli Thian-san-pay dan Tui-hong-kiam hoat berasal
dari Thian-san-pay sendiri, untuk memainkannya bahkan
Ciong Siu lebih paham daripada Yap Leng-hong. Dalam
keadaan gugup Leng-hong lupa akan hal demikian itu,
yang dia pikirkan hanya ingin lekas menang, maka ilmu
pedang itu lantas dikeluarkan. Tak tahunya dia malah
kena dicecar oleh Ciong Siu sehingga kelabakan
menangkisnya. Sementara itu barisan Yap To-hu tadi sudah tinggal
ratusan meter saja jaraknya dengan kalangan
pertempuran Yap Leng-hong. Selagi Yap To-hu memberi
komando kepada pasukannya untuk menyerbu,
sekonyong-konyong dari dalam rimba terdengar juga
suara teriakan dan bentakan yang ramai, satu pasukan
mendadak menerjang keluar dari dalam rimba, pemimpin
pasukan itu adalah Siau Ci-wan.
Kiranya di tengah jalan Siau Ci-wan telah ketemu
dengan pasukan yang dipimpin oleh Ubun Hiong, mereka
telah bergabung untuk melanjutkan pencarian sisa
tentara musuh yang lari bersama Yap To-hu itu.
Siau Ci-wan bergelak tertawa, lalu bentaknya dengan
suara menggeledek, "Dasar ajalmu sudah sampai hari ini,
biarlah kalian ayah dan anak mampus bersama!"
Melihat pasukan Siau Ci-wan itu, keruan sukma Yap
Leng-hong hampir terbang ke awang-awang saking
takutnya. Karena tak mampu menangkap Ciong Siu,
segera ia putar haluan dan berlari ke jurusan lain, ia pikir
kalau dapat menyusup ke tengah batu-batu padas di
lereng bukit itu mungkin masih ada harapan buat
melarikan diri. Namun secepat terbang Yap Boh-hoa sudah
mengejarnya dan berteriak, "Siau-toako, serahkan dia
padaku!" Ci-wan tahu dendam Yap Boh-hoa kepada Yap Lenghong
sedalam lautan, dengan bergelak tertawa ia
berkata, "Baik, boleh kau makan yang muda, biar aku
makan yang tua." Dan sekali perintah diberikan, serentak
pasukannya menerjang ke arah barisan tentara musuh
yang dipimpin Yap To-hu. Mereka sudah terkepung dan sukar meloloskan diri
lagi, Yap To-hu menjadi putus asa, ia menghela napas
dan berseru, "Sungguh tidak nyana hari ini aku bernasib
sedemikian. Anak Cong, kau menyelamatkan diri sendiri
saja!" Habis berkata ia lantas melompat turun dari
kudanya, "tarrr" ia cambuk kudanya sekali. Binatang itu
sudah terlatih dan tahu maksud sang majikan, segera
berlari-lari ke arah Yap Leng-hong.
Tiba-tiba mendapatkan kuda tunggangan, girang
Leng-hong tak terperikan. Tanpa menghiraukan ayahnya
lagi segera ia mencemplak ke atas kuda dan buru-buru
melarikan diri. Saat itu pasukan Siau Ci-wan sudah mengepung Yap
To-hu di tengah-tengah, anak buah jagal rakyat itu
sudah tiada semangat bertempur lagi dan beramai-ramai
menyerah. "Yap To-hu," bentak Siau Ci-wan, "selama hidupmu
sudah kenyang membunuh orang, tanganmu berlumuran
darah rakyat, kini sudah tiba saatnya kau membayar
hutang dengan kepalamu."
Yap To-hu tampak mengertak gigi dan mendadak
melolos goloknya, ia berteriak, "Aku adalah pembesar
kerajaan, biarpun mati juga takkan mati di tangan kaum
berandal macam kalian" Habis berkata ujung goloknya
terus menikam ke hulu hati sendiri.
Namun Siau Ci-wan dapat bergerak lebih cepat, ia
menubruk maju dan "trang", ia sampuk jatuh golok Yap
To-hu serta mencengkeram kuduknya. "Ringkus
pembesar anjing ini!" bentaknya sambil melemparkan
tubuh Yap To-hu kepada anak buahnya.
Keruan Yap To-hu ketakutan setengah mati, teriaknya
dengan suara gemetar, "Pembesar hanya boleh dibunuh
dan tak boleh dihina. Lekas kau membunuh aku saja!"
Nyata Yap To-hu kuatir disiksa oleh kawanan
'berandal' yang menangkapnya ini, maka tadi dia merasa
lebih baik membunuh diri saja untuk menjaga
kehormatannya, tapi sekarang mau tak mau ia harus
memohon kepada Siau Ci-wan untuk segera
membunuhnya saja. "Hm, kau adalah anjing pemburu rajamu, dasar tidak
tahu malu, masih berlagak berani mati segala?" demikian
jengek Siau Ci-wan. "Rajamu mempunyai undangundang
kerajaan, kami rakyat jelata juga mempunyai
hukum rakyat. Sudah kenyang rakyat daerah Siau-kimjwan
sini merasakan penindasanmu, entah berapa
banyak jiwa yang melayang di ujung golok jagalmu,
apakah sekarang kau ingin mati dengan seenaknya saja"
Hm, hendaklah kau tahu bahwa kami akan menggiring
kau pulang ke Siau-kim-jwan, biar rakyat sendiri yang
akan menjatuhkan hukuman padamu."
Jika di sini Yap To-hu sedang berkuik-kuik minta
ampun, adalah di sebelah sana Yap Leng-hong sedang
berusaha kabur secepat terbang. Tapi saat itu Yap Bohhoa
juga telah meminjam seekor kuda dan telah
mengejarnya dengan kencang dengan diikuti oleh Ubun
Hiong dan Kang Hiau-hu. Sesudah mengejar sekian jauhnya, tiba-tiba muncul
pula satu pasukan berkuda dari lereng gunung di depan,
dari panjinya yang berkibar-kibar dan barisannya yang
rajin, terang berbeda sekali dengan sisa pasukan pelarian
yang dipimpin Yap To-hu tadi. Dari tulisan di atas panji
kebesaran itu jelas terbaca tanda-tanda pasukan dari
pihak mana. Yap Leng-hong menjadi girang, kiranya pasukan itu
adalah laskar Kui Koh-ku yang sekarang telah dilebur ke
dalam pasukan kerajaan. Pasukan Kui Koh-ku ini cukup
banyak jumlahnya, jika dapat bergabung dengan mereka
tentu dirinya akan selamat, demikian pikir Leng-hong.
Akan terapi jarak mereka waktu itu masih terpisah
oleh sebuah selat gunung, paling sedikit ada beberapa li


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jauhnya. Sungguh Yap Leng-hong ingin punya sayap
agar bisa segera terbang ke sana.
Tak terduga pada saat itu juga mendadak terdengar
tambur perang ditabuh bergemuruh, bagian belakang
pasukan Kui Koh-ku itu tampak kacau-balau. Kiranya
telah diserbu oleh satu pasukan berkuda yang lain,
pasukan itu adalah anak buah Tiok Siang-hu. Maka
terjadilah pertempuran sengit di lereng gunung sana
antara kedua pasukan. Ubun Hiong tidak tinggal diam, cepat ia pun
mengerahkan pasukannya memburu ke sana untuk
memotong jalan lari Kui Koh-ku.
Sudah tentu yang paling cemas adalah Yap Lenghong,
diam-diam ia mengeluh pasti akan celaka. Kui Kohku
adalah bintang penolong yang diharapkan satusatunya,
tapi sekarang bintang penolong itu sendiri pun
sukar menyelamatkan diri sendiri.
Sungguh sial bagi Yap Leng-hong, sudah jatuh
tertimpa tangga pula. Selagi kelabakan mencari jalan
menyelamatkan diri, tiba-tiba dari depan muncul lagi dua
orang musuh. Mereka adalah Utti Keng dan Ki Seng-in.
Keruan ia sangat terkejut, lekas ia putar kudanya dan
lari ke arah lain. "Hahaha, keparat, masih mau lari kemana?" seru Utti
Keng sambil tertawa. Kontan Ki Seng-in juga menyambitkan tiga buah Taukut-
ting, yang diincar bukan melulu Yap Leng-hong saja,
tapi juga kudanya. Sebisanya Leng-hong menyampuk jatuh sebuah paku
itu yang sebuah lagi berhasil dikelit, tapi paku ketiga
tepat mengenai kepala kudanya. Binatang itu meringkik
sambil berjingkrak, lalu jatuh terguling tak bernyawa lagi.
Sudah tentu Yap Leng-hong ikut terbanting, jatuh
Utti Keng tertawa dan melolos golok, tapi sebelum ia
membikin tamat riwayat Yap Leng-hong, tiba-tiba istrinya
berseru, "Toako, kila tak perlu repot-repot lagi, ada
orang lain yang akan membereskan dia "
Kiranya Yap Boh-hoa yang sedang memburu dalang
dengan kudanya, keruan Yap Leng-hong ketakutan
setengah mati, segeia ia gunakan Ginkangnya untuk
kabur sekuatnya. Tapi Ginkangnya tak bisa mengungguli
kecepatan kuda, hanya sebentar saja ia sudah disusul
oleh Yap Boh-hoa. "Hendak lari kemana, keparat!" bentak Boh-hoa sambil
menubruk maju hendak menawan hidup-hidup
buronannya, pada saat itulah tiba tiba suara seorang
wanita menggertaknya, "Siapa berani mencelakai
muridku?" Belum lenyap suaranya, tahu-tahu senjata rahasia
menyambar lebih dulu. Waktu itu Yap Boh-hoa sedang
mengayun pedangnya hendak menusuk ke punggung
Yap Leng-hong, mendadak "cring" sekali, sebuah batu
kecil tepat menimpuk batang pedangnya dengan tenaga
sangat kuat, seketika Boh-hoa merasa genggaman
tangan pegal kesemutan, pedang lantas terlepas dari
cekalan. Pada saat yang sana muncullah seorang wanita cantik
setengah umur. Kiranya wanita setengah umur ini tak lain tak bukan
ialah Kok Tiong-lian, istri Kang Hay-thian yang baru
pulang dari menjenguk famili di negeri Masar. Karena
kangen kepada sang 'keponakan', maka dia sengaja
mengambil jalan ke Siau-kim-jwan untuk menyambangi
Yap Leng-hong. Pada waktu berangkat ke Masar, Kok Tiong-lian juga
sudah merasa tindak-tanduk Yap Leng-hong rada
mencurigakan, cuma belum tahu kalau dia adalah
keponakan palsu. Apalagi diam-diam telah timbul
maksudnya hendak menjodohkan Kang Hiau-hu padanya,
maka pada saat mengetahui Leng-hong terancam
bahaya, tanpa pikir Kok Tiong-lian lantas menolongnya.
Ia sangka orang yang mengejar Leng-hong itu adalah
antek kerajaan, maka selain sebuah batunya membentur
pedang, sepotong batu yang lain lantas disambitkan pula
ke arah bahu Yap Boh-hoa.
Dengan kekuatan Kok Tiong-lian yang lihai, bila tulang
pundak Boh-hoa sampai terkena batu yang dijentikkan
dengan tenaga jari yang dahsyat, betapapun tangkasnya
Boh-hoa pasti akan terluka parah bila tidak binasa.
Saat itu Utti Keng dan Ki Seng-in juga sudah menyusul
tiba, mereka menjadi kaget demi menyaksikan serangan
Kok Tiong-lian. Teriak Ki Seng-in, "Kok-lihiap, kau keliru,
jangan menyerang lagi!"
Akan tetapi seruan Ki Seng-in itu rada kasip. Kok
Tiong-lian sudah telanjur menjentikkan batunya.
Syukurlah pada saat yang sama dari arah yang
berlawanan juga telah menyambar tiba sebutir batu kecil,
kedua biji batu berbenturan di tengah udara dan jatuh
hancur bersama. Ketika mendengar teriakan Ki Seng-in tadi,
memangnya Kok Tiong-lian juga tertegun, kini melihat
batunya sendiri ditimpuk jatuh pula, ia terkejut dan
membatin, "Siapakah yang memiliki kepandaian setinggi
ini" Jangan-jangan Hay-ko adanya?"
Benar juga, segera ia mendengar suara Kang Haythian,
"Lian-moay, keponakanmu berada di sini, mengapa
kau malah menyerang keponakanmu sendiri?"
Berbareng tertampaklah sesosok bayangan putih
melayang lewat di samping Yap Leng-hong, hanya
sekejap saja sudah berada di sebelah Kok Tiong-lian,
terang orang itu adalah Kang Hay-thian. Tapi Hay-thian
sendiri tidak mau turun tangan, pula buru-buru ingin
bertemu dengan sang istri, maka waktu melayang lewat
di samping Yap Leng-hong sama sekali ia tidak
menyentuhnya. Namun demikian Yap Leng-hong sendiri
sudah ketakutan setengah mati.
Kok Tiong-lian merasa bingung, ia tanya sang suami,
"Kau bilang keponakanku siapa?"
"Pantas saja kau tidak tahu, aku sendiri juga baru saja
diberitahu," ujar Hay-thian dengan tertawa. Lalu ia
menuding ke arah Yap Boh-hoa dan menambahkan,
"Keponakanmu yang tulen adalah dia ini. Yang itu adalah
pemalsuan mata-mata musuh."
Tiong-lian terkejut, "Apa katamu" Dia ... dia benarbenar
adalah mata-mata musuh yang memalsukan
keponakanku?" "Ya, dia adalah putra Yap To-hu, kita telah kena
dikelabui semua" sahut Kang Hay-thian.
Tapi Tiong-lian masih ragu-ragu, katanya setengah
menggumam "Sebenarnya bagaimana persoalannya ini?"
"Coba kau lihat, kawan-kawan itupun sudah datang
semua sebentar kau tentu akan tahu duduknya perkara,"
kata Hay-thian Maka tertampak Tiong Tiang-thong, Siangkoan Thay,
Siu Hong, Kong-he dan anak-anak muda lain sedang
mendatangi. Sebenarnya mereka datang bersama Kang
Hay-thian, tapi mereka telah ketinggalan
Sedangkan Utti Keng dan Ki Seng-in datang dari arah
yang lain Bahkan Kang Hiau-hu sendiri telah memburu
tiba dengan memotong jalan ketika melihat ibunya sudah
kembali. Saking girangnya sebelum mendekat ia sudah
berteriak-teriak, "Ibu, aku selalu mengatakan Jisuko
adalah orang baik, tapi kau tidak mau percaya. Sekarang
sudah jelas keparat Yap Leng-hong itu adalah mata-mata
musuh dan Piauko yang tulen sudah berada di sini, maka
ibu tidak perlu ragu-ragu lagi."
"Anak perempuan, banyak omong," omel Hay-thian
dengan tertawa. "Bangsat ini memang sangat licin,
sampai-sampai aku pun kena dibohongi, tidak heran
kalau ibumu juga kena dikelabui. Kedatangan kalian
sangat kebetulan, boleh kau tuturkan kepada ibumu
duduknya perkara, begitu pula silakan Utti-thocu
menceritakan pengalamanmu yang telah menjadi korban
kelicikan keparat itu."
Dalam pada itu Yap Leng-hong sedang kebingungan,
sudah tentu ia tidak lari mendekati Kok Tiong-lian lagi. Ia
mengertak gigi dan bermaksud membunuh diri, tapi di
kala pedangnya terangkat, mata pedang yang gemilapan
dingin itu membuatnya merasa ngeri dan tanpa terasa
senjata itu menukik ke bawah lagi.
Nyata ia lebih pengecut daripada ayahnya, sudah
terang menghadapi jalan buntu dan tiada harapan buat
lolos lagi, tapi untuk membunuh diri saja dia tidak punya
keberanian. Melihat keadaan sudah pasti, segera Siu-hong berseru,
"Hoa-ko, semoga kau membunuh musuh dengan tangan
sendiri, aku pun hendak pergi menuntut balas!"
Cepat ia melarikan kudanya ke bawah sana untuk ikut
dalam penumpasan laskar Kui Koh-ku. Anak buah Kheng
Siu-hong sudah dilebur ke dalam pasukan pergerakan di
bawah pimpinan Ubun Hiong, maka adalah tepat jika dia
ikut pergi membantu Ubun Hiong.
Yap Leng-hong yang pengecut itu tidak jadi
membunuh diri, terpaksa ia putar balik dan bertempur
mati-matian dengan Yap Boh-hoa. Dari putus asa Yap
Leng-hong menjadi nekat dan benci kepada Yap Bohhoa.
Bagai srigala yang kepepet, secara kalap ia
menyerang Boh-hoa. Boh-hoa tidak berani sembrono menghadapi lawan
yang kalap itu, dengan tenang dan sabar ia melayani
perlawanan Leng-hong yang terakhir itu.
Sementara itu medan pertempuran di bawah gunung
sana sedang berlangsung dengan sengit sesudah Kheng
Siu-hong ikut menyerbu. Ia mencari kedua saudara Cu
dan memerintahkan agar mengumumkan bahwa para
anak buah Kui Koh-ku diharapkan lekas menyerah, yang
akan ditangkap dan dihukum adalah biang keladinya,
orang-orang yang ikut-ikutan saja takkan diusut lebih
lanjut. Kedua saudara Cu adalah penduduk Kui-tek-po dan
banyak mengenal anak buah Kui Koh-ku. Hasil seruan
mereka itu ternyata sangat memuaskan, tidak terlalu
lama sudah ada lebih separoh laskar Kui Koh-ku
membuang senjata dan meninggalkan barisannya,
bahkan ada sebagian yang membalikkan senjata dan ikut
menyerang pengikut-pengikut setia Kui Koh-ku.
Keruan Kui Koh-ku berjingkrak-jingkrak murka sambil
memaki kalang-kabut. Namun Kheng Siu-hong sudah
memutar sepasang goloknya dan menyerbu ke tengah
barisan musuh, teriaknya, "Kui-locat, hari ini adalah
tamatnya lelakonmu! Rasakanlah golokku ini!"
Sekali timpuk, sebilah pisau terbangnya kontan
membikin jiwa Kui Siau-leng melayang.
Melihat putranya mati, apalagi sudah kepepet,
terpaksa Kui Koh-ku bertempur mati-matian melawan
Siu-hong. Ilmu silat Kui Koh-ku dengan sendirinya tidak
lemah, cuma usianya sudah lanjut. Di waktu biasa
tidaklah mudah Siu-hong hendak mengalahkan dia, tapi
kini begundal Kui Koh-ku sudah hampir terbasmi bersih,
ia menjadi gugup, hanya beberapa gebrakan saja ia
sudah terluka kena bacokan golok Siu-hong. Pada saat
yang sama kedua saudara Cu juga telah memburu tiba
dua pasang tongkat mereka mengepruk berbareng,
kontan batok kepala Kui Koh-ku terketok hancur dan
terbalaslah sakit hati mereka
Setelah pertempuran berakhir, cepat Siu-hong
mengajak Ubun Hiong kembali ke tempat pertempuran
Yap Boh-hoa melawan Yap Leng hong. Saat itu
pertarungan sengit itupun sudah mendekati akhir. Lenghong
tampak beringas bagai binatang yang buas
berulang-ulang la menerkam lawannya seperti anjing
gila. Wajahnya yang beringas waktu itu berbeda sama
sekali daripada sikap biasanya yang ramah tamah.
Diam-diam Ciong Siu gegetun dan membatin
"Tampang aslinya ternyata begini, syukurlah aku tidak
terlanjur terpelet. Pengalaman ini mengajar padaku agar
kelak janganlah menilai seseorang dari wajahnya."
Pertarungan itu semakin seru, tapi Yap Boh hoa tetao
berlaku tenang, sebaliknya Leng-hong tambah kalap,
tampak dia sudah mandi keringat, tidak lama kemudian
air keringatnya yang menetes itu menyerupai air darah.
Hiau-hu merasa heran, ia bertanya pada ayahnya
"Keparat itu toh tidak terluka, mengapa mengalirkan
darah?" "Dia sudah seperti pelita yang kehabisan minyak"sahut
Hay-thian. Baru selesai ucapannya, tiba-tiba terdengar Leng-hong
menjerit tidak kelihatan kena serangan, tapi mendadak
jatuh terkulai. Meski Boh hoa telah mendepaknya dan
membentaknya supaya berbangkit tapi sedikitpun Lenghong
tidak bersuara, tubuhnya tampak melingkar,
sekonyong-konyong sekujur badannya penuh berdarah.
Kiranya dia telah kehabisan tenaga, keringat mengucur
terus, akhirnya yang keluar adalah air berdarah.
Ditambah lagi rasa takutnya sampai detik terakhir
jantungnya telah pecah dan binasalah dia
Setelah menyimpan pedangnya, lalu Boh hoa
memberikan sembah hormat kepada Kang Hay-thian dan
Kok Tiong lian, katanya "Maafkan kesalahan Tit-ji yang
tidak segera datang, menemui paman dan bibi
sebagaimana pesan ayah-ibuku sehingga memberi
kesempatan kepada keparat ini untuk memalsukan diriku
dan menimbulkan banyak bencana."
Hay-thian membangunkan Boh-hoa, sahutnya, "Aku
sendiri pun kurang teliti. Syukur sekarang duduknya
perkara sudah jelas dan berakhir, kau pun telah
mewakilkan aku membersihkan rumah tangga
perguruan." Lalu ia berpaling kepada sang istri, katanya
dengan tertawa, "Lian-moay, kau kehilangan keponakan
yang palsu dan kini benar-benar mendapatkan


Geger Dunia Persilatan Badai Guntur Menggetarkan Sembilan Wilayah ( Hong Lui Tjin Kiu Tjiu ) Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keponakan yang tulen, boleh kau merasa bergembira!"
"Sungguh aku merasa menyesal telah kena dikelabui
keparat ini," kata Tiong-lian. "Malahan tadi aku hampir
salah mencelakai kau, tapi sekarang tidak saja kau harus
memanggil bibi padaku, bahkan pamanmu menyuruh kau
mewakilkan dia membersihkan rumah tangga perguruan,
kau paham hal ini tidak?"
Sudah tentu Boh-hoa paham, katanya, "Banyak terima
kasih bahwa paman telah sudi menerima aku sebagai
muridnya." Segera ia memberi hormat pula menurut adat
dan memanggil Suhu dan Subo.
Sungguh senang Kok Tiong-lian tak terkatakan. Para
ksatria juga ikut gembira dan beramai-ramai memberi
ucapan selamat. Menyusul Ubun Hiong juga maju memberi hormat
kepada Suhu dan Subonya. Tiong-lian rada malu melihat pemuda itu, katanya,
"Aku telah keliru menyalahkan kau sehingga kau
menderita penasaran."
"Tadinya siapa pun tidak tahu kekejian bangsat itu,
tindakan yang diambil Subo itu adalah menurut
peraturan perguruan, mana murid berani menyesali
Subo," demikian sahut Ubun Hiong.
"Apa yang pernah kupesan padamu telah kau
beritahukan kepada Hu-ji atau belum?" tiba-tiba Kang
Hay-thian bertanya dengan tertawa.
Wajah Ubun Hiong menjadi merah, sahutnya lirih,
"Belum!" Hiau-hu masih belum paham arti ucapan ayahnya itu,
segera ia bertanya, "Ayah suruh kau memberitahukan
apa kepadaku, Suko?"
"Suruh dia menjaga kau selama hidup, tahu?" sela
Hay-thian sambil terbahak-bahak.
Baru sekarang Hiau-hu mengerti, mukanya menjadi
merah jengah, tapi hati kecilnya merasa sangat girang,
maka semua orang kembali menghaturkan selamat
bahagia. Kemudian dengan kereng Kang Hay-thian bicara pula,
"Tapi usia kalian masih terlalu muda, tiada halangannya
dua tahun lagi baru melangsungkan pernikahan. Kini
situasi di Siau-kim-jwan sudah kita atasi, tapi tanah air
bangsa Han kita ini masih dijajah, rakyat jelata di
berbagai daerah masih sangat menderita. Aku
bermaksud berangkat ke utara untuk membantu Thiokaucu
mengadakan pergerakan lebih besar lagi, kalian
boleh ikut berangkat bersama aku."
Begitulah beramai-ramai mereka lantas berangkat ke
utara untuk meneruskan perjuangan, dan itu sudah di
luar garis cerita "Geger Dunia Persilatan" ini....
T A M A T Si Rajawali Sakti 9 Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Pendekar Wanita Penyebar Bunga 17
^