Pencarian

Golok Kumala Hijau 2

Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bagian 2


Lu Kiu tertawa. "Kalau bukan sedang menghadapi masalah, siapa bakal mau datang menjumpai Tojin dekil
macam dia?" "Karena sekarang kita sudah menjadi teman, kesulitan apa pun yang sedang kau hadapi, boleh
kau utarakan," sela Ong Hui cepat.
"Hahaha, mungkin kau masih belum tahu asal-usul orang ini," seru Ku-tojin sambil tertawa.
"Mohon petunjuk."
"Kalau disinggung asal-usul orang ini, sebetulnya dia amat tersohor di seantero jagat," lanjut
Ku-tojin. "Pernah kau dengar Pi-lik-tong yang tersohor di wilayah Kanglam karena senjata apinya?"
"Sudah lama kudengar nama ini."
"Nah, dia adalah Tongcu baru dari Pi-lik-tong, orang persilatan menyebutnya Pi-lik-hwe (Api
gedelek)." Sambil menepuk dada, Ong Hui menambahkan, "Oleh sebab itu, bila kesulitanmu tak bisa
diselesaikan kami bertiga, mungkin di wilayah Kanglam tak ada orang lagi yang bisa
menyelesaikan masalahmu itu."
Toan Giok menghela napas panjang, ujarnya, "Padahal tanpa sengaja aku telah menyalahi
seseorang." "Menyalahi siapa?"
"Orang menyebutnya si Raja pendeta Thiat Sui."
"Bagaimana ceritanya sampai kau menyalahi dia?" tanya Ong Hui dengan kening berkerut.
Merah padam wajah Toan Giok lantaran jengah.
"Ai, gara-gara seseorang!"
"Siapa?" "Hoa Ya-lay." "Apakah si begal wanita Hoa Ya-Iay?"
"Mungkin dia" Ong Hui menarik muka, tegumya, "Apa hubunganmu dengan perempuan itu" Dia apamu?"
"Sesungguhnya aku tak kenal perempuan itu," ujar Toan Giok sambil tertawa getir.
"Tapi gara-gara dia, kau tak segan menyalahi Raja pendeta Thiat Sui?"
"Aku sama sekali tak tahu kalau keempat orang Hwesio itu adalah muridnya," kembali Toan
Giok menghela napas. "Empat orang Hwesio?"
"Aku sendiri pun tak tahu mengapa Thiat Sui mengirim anak muridnya untuk mencari Hoa Yalay.
Waktu itu aku bahkan tidak mengetahui asal-usul mereka, juga
Aku tak tahu kalau Hoa Ya-lay sendiri pun seorang bandit. Aku hanya merasa sepak terjang
keempat orang Hwesio itu buas dan galak sekali"
"Maka kau merasa tak terima, dan tanpa mencari tahu dulu duduk persoalan langsung ikut
campur urusan mereka?" sela Ong Hui
Kembali paras muka Toan Giok berubah merah padam..
"Aku memang kelewat ceroboh dan gegabah, tapi keempat orang Hwesio itu benar-benar
kelewat buas." Tiba-tiba Ku-tojin menghela napas, katanya, "Thiat Sui sendiri memang seseorang yang tak
tahu aturan, tentu saja anak muridnya meniru gaya gurunya, tapi kau". kenapa kau tidak
mencampuri urusan lain, justru mencampuri urusan Hoa Ya-lay?"
Selama ini Lu Kiu hanya mendengarkan dengan seksama, tiba-tiba ia menimbrung, "Tahukah
kau mengapa Thiat Sui pergi mencari Hoa Ya-lay?"
Toan Giok menggeleng. Lu Kiu mengambil dulu saputangan untuk berbatuk beberapa kali, setelah itu perlahan-lahan
baru berkata, "Dia berbuat begitu lantaran aku!"
Sekali lagi Toan Giok terperangah.
Terdengar Lu Kiu berkata lebih jauh, "Aku mempunyai seorang putra, bernama Lu Siau-hun."
"Aku pernah mendengar nama ini."
"O ya" Selama ini kau berada di daratan Tionggoan bagaimana mungkin bisa mendengar
tentang dia?" "Karena ayah pernah memberitahu kepadaku," sahut Toan Giok tergagap. "Beliau bilang, aku
pasti akan bertemu dengannya di Po-cu-san-ceng, bahkan minta aku menyampaikan salam untuk
kau orang-tua." Dia memang tidak berbohong, namun semua jawabannya pun bukan kata sejujurnya.
Toan-loyacu minta dia secara khusus mewaspadai Lu Siau-hun, sebab di antara para pemuda
yang datang mencari jodoh di Po-cu-san-ceng, hanya ada dua-tiga orang di antaran yang
merupakan musuh tangguh, Lu Siau-hun adalah salah satu di antaranya.
Tapi Lu Kiu sangat mempercayai perkataannya itu perlahan dia mengangguk.
"Betul, kali ini aku pun minta dia datang ke Po-cu-sa ceng untuk menyampaikan selamat ulang
tahun. Apaka lantaran alasan yang sama kau datang ke wilayah Kanglam ini?"
"Benar." "Tapi setibanya di kota Hangciu, tiba-tiba ia hilang!" kata Lu Kiu lebih lanjut.
"Hilang" Darimana Cianpwe tahu kalau dia hilang?"
"Sebetulnya aku datang bersamanya, karena aku harus pergi menjumpai Thiat Sui. Tapi pada
empat hari berselang, setelah bocah itu keluar rumah, dia tak pernah muncul kembali."
Lagi-lagi dia terbatuk beberapa kali, kemudian baru melanjutkan, Pada hari itulah ada orang
melihat dia berada bersama Hoa Ya-lay, si bandit wanita itu."
"Oh, jadi Thiat Sui memerintahkan muridnya pergi mencari Hoa Ya-lay karena ia hendak
mencari tahu kabar berita tentang putramu?"
"Betul." Toan Giok tak dapat bcrsuara lagi.
Tiba-tiba Lu Kiu bertanya lagi, "Tahukah kau mengapa aku datang kemari mencari Ku-tojin?"
"Memangnya bukan untuk main judi?"
"Selain main judi, masih ada sebuah alasan penting lainnya"
"Alasan apa?" "Mencari kau" Sekali lagi Toan Giok tertegun.
Kembali Lu Kiu berkata, "Kemarin aku mendapat laporan kalau ada seorang pemuda yang tak
jelas asal-usulnya telah membantu Hoa Ya-lay menghajar keempat Hwesio murid Thiat Sui hingga
tercebur ke air, kemudian pemuda itu pergi bersama Hoa Ya-lay dan kabar beritanya lenyap begitu
saja." "Maka kau pun datang ke tempatku untuk mencari tahu jejak pemuda ini?" sambung Ku-tojin.
"Untuk wilayah seputar sini, siapa lagi orangnya yang lebih jelas mengetahui berita baru di
tempat ini?" "Tapi hingga sekarang kau belum buka suara?"
Lu Kiu tertawa. "Siapa pun orangnya, mereka pasti tahu, untuk datang minta bantuan kepadamu paling tidak
harus menemanimu bermain judi lebih dulu hingga puas."
Ku-tojin ikut tertawa. "Ha ha ha, tak nyana nama besarku sebagai setan judi ternyata sudah tersiar juga sampai ke
Say-hun-san-ceng." Lu Kiu menatap Toan Giok sekejap, kemudian setelah berbatuk katanya, "Tadi, seandainya kau
tidak berjudi melawan kami, mungkin sekarang aku telah turun tangan terhadapmu, sebab
sewaktu berjudi paling gampang untuk menilai watak seseorang. Oleh karena itu aku percaya kau
adalah seorang pemuda jujur, maka aku pun percaya kau sama sekali tidak berbohong."
"Sungguh tak nyana, berjudi pun ada manfaatnya," ujar Toan Giok sambil tertawa getir.
Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ia bertanya lagi, "Jadi putramu lenyap sejak empat hari
berselang?" "Benar." "Selama empat hari Cianpwe tak berhasil menemukan Hoa Ya-lay?"
"Jejaknya memang tak menentu dan sukar dilacak. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa hidup
hingga sekarang?" jawab Lu Kiu dingin.
"Tapi kenyataan dua hari berselang secara tiba-tiba ia menampakkan diri."
"Itulah, aku sendiri pun tak menyangka, aku tak mengira bandit perempuan itu masih berani
muncul dan berpesiar di telaga."
Toan Giok menghela napas panjang.
"Kemarin baru saja aku tiba di telaga Se-ouw, dia pun muncul. Kejadian ini terasa sangat
kebetulan." Ku-tojin ikut menghela napas, katanya pula, "Memang banyak kebetulan yang sering terjadi di
kolong langit." "Mungkin inilah yang disebut orang 'kalau tak ada kebetulan, tak akan jadi cerita'," ujar Ong
Hui pula. "Jadi hingga sekarang belum ada kabar tentang Lu kongcu?" tanya Toan Giok.
"Ya, belum ada!" Lu Kiu mengangguk sedih.
"Maka persoalan ini pun belum ada penyelesaian?"
Bag 5. Arak darah Bunga mawar yang tumbuh di atas dinding pagar bergoyang lembut terhembus angin, jalan
kecil beralas batu tampak berliku?-liku menghubungkan kebun bunga dan bangunan kecil di
belakangnya. Jendela itu berada dalam keadaan terbuka, tirai bambu setengah tergulung, lamat-lamat masih
dapat terlihat beberapa pot bunga di atas beranda.
Toan Giok masih teringat dengan jelas, memang tempat inilah yang ia datangi semalam
bersama Hoa Ya-lay. Tapi ia tak tahu kemana Hoa Ya-lay telah pergi, terlebih tak tahu darimana munculnya pendeta
berjubah hitam itu. Semua orang yang ditemui hari ini, tak seorang pun yang pernah dijurnpai
semalam. Tentu saja gadis berbaju putih itu bukan melemparkan senyuman untuknya, karena yang dia
kenal adalah Lu Kiu. Ini berarti Lu Kiu pun pernah berkunjung ke tempat ini.
Lalu tempat apakah sebenarnya bangunan kecil ini"
Sebuah persoalan yang seharusnya amat sederhana, kini sudah berubah makin bertambah
kacau dan rumit. Dalam pada itu pendeta berjubah hitam tadi telah menuang secawan arak untuk Lu Kiu,
tanyanya, 'Bagaimana rasa arak ini?"
Lu Kiu mencicipinya seteguk, kemudian memuji, "Arak bagus, arak bagus!"
Arak dari daratan Tionggoan kebanyakm dibuat tepung beras, sementara arak ini dibuat dari
anggur, bisa disimpan amat lama, manis dan lembut. Dibandingkan arak Li ji yang wanya
setingkat lebih unggul. "Betul," sahut Lu Kiu setelah mcncicipi seteguk lagi, ''Bila diteguk, memberikan semacam rasa
yang luar biasa.' "Arak semacam ini gampang diteguk, tapi tendangannya datang belakangan, bahkan sangat
bagus untuk menyembuhkan hawa mumi. Bukankah belakangan kondisi badanmu kurang sehat"
Minumlah barang dua cawan siapa tahu akan lebih bermanfaat untukmu."
Temyata dia malah mengajak Lu Kiu membicarakan soal kualitas arak, bahkan cara bicaranya
seakan dia memang seorang ahli.
Hingga kini dia masih tetap tak pandang sebelah mata tcrhadap Toan Giok sekalian, sedang Lu
Kiu sendiri pun seolah telah mclupakan juga rekan-rekannya.
Tak tahan Ku-tojin menghela napas panjang, gumamnya, "Padahal Pinto pun seorang setan
arak, heran kenapa tuan rumah yang punya arak wangi justru tidak menawarkan barang secawan
untuk kucicipi?" Saat inilah pendeta berjubah hitam itu baru berpaling sambil melotot, tegurnya dengan wajah
masam, "Siapa kau"'
"Pinto Ku Tiang-cing!" jawab Ku-tojin.
"Apakah kau adalah Ku-tojin yang disebut orang gila judi bagaikan orang kalap, gila arak
bagaikan orang kehausan?"
"Betul sekali."
Mendadak pendeta berbaju hitam itu mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali!Kalau memang kau adalah Ku-tojin, sudah seharusnya kuberi
secawan untukmu." Dia segera mengulap tangan, gadis herbaju putih itu segera mengangsurkan sebuah cawan.
Dengan tangan tunggalnya Ku-tojin terima cawan itu dan sekaligus menghabiskan isinya.
"Oh, benar-benar arak bagus!" teriaknya.
Pendeta berjubah hitam itu menarik wajah. Dengan dingin ia mendengus, "Hm, walaupun arak
bagus, sayang kau hanya pantas untuk mInum secawan."
Ku tojin sama sekali tidak marah, sahutnya sambil tersenyum, "Secawan pun sudah lebih dari
cukup, terima kasih."
Sementara itu paras muka Ong Hui telah berubah hebat, teriaknya lantang, "Kau anggap aku
tak pantas minum arakmu?"
"Siapa kau?" "Pik-lik-hwe Ong Hui dari Kanglam."
"Apakah kau tahu siapakah aku"'
Ong Hui tertawa dingin. "Paling juga si Raja pendeta Thiat Sui," sahutnya. "Hm! Biar kau akan membunuhku pun, aku
tetap akan minum arakmu."
"Hahaha, bagus, bagus sekali," pendeta berbaju hitam itu tertawa nyaring, "Memandang
ucapanmu itu, kau pun pantas dijamu secawan arak."
Ternyata dia adalah si Raja pendeta Thiat Sui. Kecuali Thiat Sui mana mungkin di dunia ini
masih terdapat seorang Hwesio macam dia"
Gadis berbaju putih itu segera menyodorkan kembali secawan arak.
Sekali tenggak, Ong Hui menghabiskan isi cawan itu, jengeknya sambil tertawa dingin,
"Ternyata arak ini bukan arak yang luar biasa, aku lihat rasanya seperti air gula biasa, minum
secawan pun sudah lebih dari cukup."
"Bagus, bagus sekali," kembali Thiat Sui mendongakkan mendongakkan kepala sambil tertawa
tergelak. "Alas dasar ucapanmu itu, kau harus minum secawan Iagi."
Mula-mula Ong Hui tertegun, kemudian dia pun ikut tertawa tergelak.
"Hahaha, kalau memang begitu, biar rasanya seperti air gula pun aku tetap akan
menghabiskannya." Ku-tojin menghela napas panjang, gumamnya, "Ai, tidak kusangka takaran minummu jauh lebih
hebat daripada diriku."
"Kalau memang begitu, Kongcu ini pantas minum secawan arak," tiba-tiba Lu Kiu menyela.
"Atas dasar apa dia pantas minum?" tanya Thiat Sui.
"Tahukah kau siapakah Kongcu ini?"
"Memangnya siapa dia?"
"Dia adalah Toakongcu dam Tionggoan Tayhiap Toan Hui-him, she Toan bemama Giok."
"Hm, belum pantas untuk minum arak ini"
"Kenapa tak pantas" Dialah yang kemarin menghajar keempat orang muridmu di atas perahu
pesiar hingga tercebur ke dalam air!"
Berubah paras muka Thiat Sui, kontan tegurnya, "Kenapa kau mengajaknya datang kemari?"
"Bukan aku yang mengajaknya kemari, dialah yang membawa aku datang kemari."
"Dia yang membawamu datang kemari?" Thiat Sui berkerut kening.
"Dia mengajakku kemari untuk mencari Hoa Ya-lay."
"Mana mungkin bandit wanita itu bisa berada di sini?" teriak Thiat Sui gusar.
"Jadi dia tidak berada di sini?"
"Tentu saja tidak."
"Berarti semalam pun dia tak berada di sini?"
"Selama ada aku di tempat ini, mana mungkin ia berani datang kemari!"
Lu Kiu mulai menghela napas. Dengan sapu-tangannya ia menutupi mulut, lalu mulai terbatukbatuk,
sembari berpaling ke arah Toan Giok, ujamya, "Sudah kau dengar?"
"Ya, sudah kudengar," jawab Toan Giok sambil tertawa getir.
"Ai, kalau begitu kau pergilah!" ujar Lu Kiu lagi sambil menghela napas.
Belum sempat Toan Giok buka suara, Thiat Sui telah melompat bangun. Bentaknya sambil
melotot ke arah anak muda itu, "Setelah tiba di sini, memangnya kau masih ingin pergi dari
tempat ini?" "Dia tak ingin pergi, akulah yang menyuruh dia pergi," sela Lu Kiu cepat.
"Kenapa kau menyuruhnya pergi?"
"Karena dia adalah sahabatku."
"Dia telah membohongimu, kau masih menganggapnya sebagai teman?"
"Mungkin bukan dia yang sedang membohongiku, tapi orang lain yang telah menipu dia."
"Dan kau percaya?"
"Dia seorang pemuda jujur. Tak mungkin anak muda semacam ini berbohong."
Dengan mata mendelik Thiat Sui memperhatikan Toan Giok dari atas hingga ke bawah, kembali
ia tertawa tergelak. "Hahaha, bagus! Hei, anak muda, kemarilah untuk minum arak"
"Aku pantas untuk minum arak itu?" tanya Toan Giok.
"Terlepas orang macam apa dirimu, tidak gampang membuat Lu Kiu menaruh rasa percaya
padamu." "Betul, dan dia pantas meneguk arak cawan ketiga," sambung Lu Kiu sambil tersenyum.
Gadis muda itu kembali membuka sebotol arak lalu menuang ke dalam cawan. Dengan
sepasang tangan yang putih halus dan wajah dihiasi senyuman manis, perlahan-lahan ia mendekat
ke hadapan Toan Giok. Cahaya musim semi tampak terang menawan, angin berhembus sepoi-sepoi.
Aneka bunga yang memenuhi kebun itu sedang mekar dan tampak cantik.
Biar pun Thiat Sui jumawa dan angkuh, biarpun dia suka minum dan suka main wanita, tapi
kelihatannya tak malu disebut seorang Hohan.
Sejak zaman dulu, ada berapa banyak Enghiong Hohan yang bisa lolos dari godaan minum dan
main perempuan" Walaupun Toan Giok belum menangsal perut dengan makanan, namun dalam keadaan dan
situasi ini tak tahan dia pun ingin turut meneguk dua cawan arak.
Arak dalam cawan emas tampak merah segar.
Sambil tersenyum Than Giok menerima cawan berisi arak itu.
Tiba-tiba senyumannya membeku, tiba-tiba sepasang tangannya gemetar, lalu membeku kaku.
Ternyata isi cawan itu bukan arak, melainkan darah!
Darah yang tampak masih segar!
"Tring!", cawan emas itu terjatuk ke tanah.
Darah segar pun berhamburan rnembasahi lantai. Mendadak Thiat Sui membentak penuh


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

amarah, "Arak kehormatan tidak kau minum, memangnya kau sedang menanti arak hukuman?"
Toan Giok tak menjawab, hanya tertunduk, mengawasi darah berwama cerah yang perlahanlahan
mengalir membamhi rerumputan nan hijau.
"Itu bukan arak, tapi darah!" seru Lu Kiu pula dengan wajah berubah.
Paras muka Thiat Sui ikut berubah, tiba-tiba ia berpaling, mengawasi gadis muda itu dengan
penuh amarah. Paras muka nona itu pun pucat pias bagai mayat, cepat dia membuka botol arak lain, tapi lagilagi
dia menjerit kaget, baki arak terjatuh dari pegangannya.
Ternyata cairan yang meleleh keluar dan baki itu pun cairan darah.
Semua darah itu masih tampak segar, sama sekali belum menggumpal.
Dengan suara lengking gadis itu menjent, "Tadi isi botol itu jelas masih berupa arak, kenapa
secara tiba-tiba bisa berubah jadi darah"'
"Arak berubah jadi darah, pertanda buruk," bisik Ku-tojin dengan wajah berubah.
"Pertanda buruk?" tanya Ong Hui "Memangnya akan terjadi suatu peristiwa di tempat ini?"
"Betul," ucap Thiat Sui sepatah demi sepatah, wajahnya telah berubah hijau membesi,
"Mungkin ada seseorang harus mati di tempat ini"
"Siapa?" tanya Ong Hui.
Thiat Sui tak menjawab, perlahan-lahan dia mendongak, sinar matanya yang tajam perlahan
menyapu wajah setiap orang yang hadir.
Sorot mata itu bagaikan sebilah golok, golok yang digunakan untuk membunuh manusia!
Golok pembunuh! Telapak tangan setiap orang mulai terasa basah, basah oleh peluh dingin.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang muncul dari balik kebun bunga dan berjalan
mendekat dengan langkah lebar.
"Perahu pesiar milik Hoa Ya-lay telah ditemukan" teriaknya keras.
Orang itu berkepala gundul, bermata besar dan beralis tebal. Dia tak lain adalah salah seorang
Hwesio yang dihajar Toan Giok hingga tercebur ke dalam telaga.
"Ada dimana perahu pesiar itu?" Thiat Sui bertanya.
"Di sana, di samping tanggul Tiang-ti."
Selesai berkata, Hwesio itu mending ke arah belakang, lima jari tangannya terlihat gemetar
tiada hentinya. *** Di tepi tanggul Tiang-ti.
Sebuah perahu pesiar tanpa penghuni terapung di atas permukaan air berwarna hijau.
Atap perahu berwarna hijau pupus dengan tiang penyangga berwama merah darah. Dari balik
jendela terlihat tirai bambu tergulung setengah.
Kemana perginya orang di depan jendela"
Di tengah alam yang begitu indah, terlihat banyak perahu pesiar berlalu lalang di tengah telaga.
Namun tak satu pun di antara perahu-perahu itu yang berani mendekati perahu pesiar yang
satu ini. Semua perahu membuang sauh jauh di tengah telaga, sementara para penghuninya dengan
mata melotot sedang mengawasi perahu pesiar itu. Sinar mata mereka tampak gugup, panik,
ngeri dan seram, seakan-akan mereka menganggap perahu itu sebagai perahu setan, perahu yang
penuh bermuatan bencana dan musibah yang menakutkan.
Tibadiba tampak sebuah sampan kecil menerjang ombak bergerak cepat mendekati perahu
pesiar itu. Thiat Sui sambil bercekak pinggang berdiri bergermng di ujung sampan, jubah pendetanya
yang berwama hitam tampak berkibar kencang terhembus angin.
Ketika tiba lebih-kurang empat tombak dari perahu pesiar itu mendadak ia melompat ke atas
dan melambung ke udara. Terlihat bagaikan segumpal awan hitam yang tiba-tiba terbang di atas ombak berwama hijau.
Dengan sekali lompatan, empat tombak telah terlampaui, dengan indahnya ia melayang turun di
atas perahu pesiar itu. Tempik sorak pun bergema gegap-gempita, tak tahan semua orang yang berada di seputar
telaga memberi pujian alas kehebatannya.
Di tengah sorak-sorai yang nyaring, Toan Giok ikut meluncur pula ke tengah udara.
Dia bukannya ingin ikut pamer kepandaian, tapi hatinya benar-benar gelisah bercampur camas,
dia ingin secepatnya mengetahui kejadian menyeramkan apa yang telah berlangsung di atas
perahu itu. Dan sekarang dia telah melihatnya.
Begitu melompat naik ke atas perahu pesiar, ia segera dapat melihat semuanya.
Ruang perahu itu tertata rapi dan indah, keempat dindingnya dilapisi kertas berwarna putih
salju, membuat seluruh ruang perahu tampak begaikan sebuah gua salju.
Di antara kertas dinding yang putih bagai salju itu, kini sudah dihiasi dengan berkuntumkuntum
bunga Bwe. Bunga Bwe yang dilukis dengan darah segar.
Seseorang berdiri di bawah rangkaian bunga Bwe, kepalanya tertunduk rendah, mukanya lusuh,
layu dan pucat, darah yang meleleh dari tujuh lubang indranya kini telah mengeras, sebilah golok
terhujam di dadanya, ternyata tubuh orang itu sudah terpantek di atas dinding perahu.
Pita merah terlilit pada gagang golok, angin berhembus masuk melalui jendela, tampak cahaya
golok yang berwarna merah darah itu berkibar mengikuti hembusan angin.
Dengan gerakan cepat Thiat Sui mencabut golok itu.
Golok itu segera dicengkeram olehnya. Pendeta itu harus menggunakan seluruh tenaganya
sebelum berhasil mencabut golok itu.
Darah yang menodai tubuh golok telah mengering.
Ternyata belum seluruhnya mengering, paling tidak masih ada setetes yang masih basah.
Setetes darah perlahan-lahan menetes jatuh dari ujung golok, mata golok itu terang dan
bening, sebening air telaga.
Betul-betul sebilah golok yang indah dan menawan.
Dengan sorot mata tajam Thiat Sui mengawasi mata golok. Lama kemudian tiba-tiba ia memuji,
"Golok hebat!" Ong Hui yang memburu mendekat ikut memuji, "Benar-benar sebuah golok yang bagus!"
"Kau mengenal golok ini?" kembali Thiat Sul bertanya.
Ong Hui menggeleng. Thiat Sui segera membalik tubuh, sambil melotot ke arah Toan Giok, sepatah demi sepatah
tanyanya, "Bagaimana dengan kau" Apakah kenal golok ini?"
Sementara itu paras muka Toan Giok telah berubah, berubah sangat hebat.
Sejak awal tadi dia sudah mengenali golok itu.
"Kau tentunya mengenalinya, bukan?" jengek Thiat Sui lagi dengan suara dingin. "Bila aku tak
salah lihat, seharusnya golok ini adalah Bi-giok-jit-seng-to (Golok tujuh bintang kumala hijau)
keluarga Toan, bukan?"
Tak salah, golok itu memang Bi-giok-jit-seng-to keluarga Toan: Yakni golok milik Toan Giok
yang hilang sewaktu berada dalam kamar tidur Hoa Ya-lay.
Di ujung mata golok bahkan tertera pertanda khusus dari keluarga Toan.
Sorot mata Thiat Sui jauh lebih tajam daripada mata golok, dia mendelik, lagi-lagi tegurnya,
"Kau kenal orang ini?"
Toan Giok menggeleng. Sejujurnya, dia memang tidak mengenali orang ini.
Walaupun raut wajah orang ini sudah berkerut dan layu, namun masih tampak jelas bahwa
semasa hidupnya dulu pastilah seorang pemuda tampan, pakaian yang dikenakan pun terlihat
indah dan mahal harganya.
Ketika golok itu tercabut, tubuh orang itu pun perlahan-lahan terperosok jatuh ke bawah,
kepalanya seakan ikut mendongak, memandang ke arah Toan Giok, biji matanya yang melotot
dipenuhi perasaan sedih, marah dan penasaran yang sulit dilukiskan dengan perkataan.
Kematiannya memang kelewat mengenaskan, bankan sampai mati pun tetap tak memejamkan
mata. Tiba-tiba saja Toan Giok dapat menebak siapa gerangan orang ini.
Dia bukan mengenali orang ini dari bentuk wajah mayat itu, melainkan dari perubahan mimik
muka Lu Kiu. Dalam waktu yang teramat singkat ini usia Lu Kiu seakan bertambah tua sepuluh tahun, seluruh
tubuhnya terlihat lemas dan kehilangan tenaga.
Ia bersandar di atas dinding, seakan-akan setiap saat bakal roboh terjungkal ke lantai.
Mungkinkah pemuda yang tewas secara mengenaskan di ujung golok itu adalah putra
kesayangannya, Lu Siau-hun"
Tiba-tiba hati Toan Giok bergidik, perasaannya seolah tenggelam ke dasar lautan yang paling
dalam. "Kedatanganmu ke wilayah Kanglam tentunya karena ingin turut mencari jodoh di Po-cu-sanseng,
bukan?" sambil melotot Thiat Sui menenegur.
Toan Giok tak dapat menghindar, terpaksa mengakui.
"Oleh karena itu kau anggap, asal dapat menyingkirkan dia, maka tak ada orang lain yang akan
menjadi sainganmu lagi, bukan?" lanjut Thiat Sui.
"Aku"aku"jangan lagi membunuh, bertemu muka pun belum pernah" Toan Giok mencoba
membela diri. "Hm, membunuh orang memakai golok, bukan memakai yang lain"
Pendeta itu mengacungkan golok dalam genggamannya, kemudian bentaknya lebih jauh,
"Apakah golok ini milikmu?"
"Betul. Tapi bukan aku yang menggunakan golok itu untuk membunuh orang."
Kontan saja Thiat Sui tertawa dingin.
"Bi-giok-jit-seng-to adalah golok mestika warisan keluarga Toan, bagaimana mungkin bisa
terjatuh ke tangan orang lain?"
"Ini disebabkan?"
"Dengan kekuatanmu seorang, tentu saja tak gampang menghabisi dirinya, Hoa Ya-lay pasti
merupakan pembantu setiamu," tukas Thiat Sui.
"Tapi kemarin malam?"
"Bukankah kemarin malam kau tidur bersama Hoa Ya-lay?" ejek pendeta itu.
Toan Giok terbungkam, dia hanya bisa tertunduk lemas.
Tiba-tiba ia sadar bahwa dirinya telah terjebak dalam sebuah lingkaran perangkap yang amat
keji dan busuk. Fitnah yang ditimpakan kepadanya tak nanti bisa tercuci bersih walaupun ia
berusaha menghapusnya dengan berendam dalam telaga Se-ouw.
Sementara itu sinar mata Thiat Sui telah dialihkan ke wajah Ku-tojin, ujarnya dengan suara
dalam, "Arak berubah jadi darah, memang pertanda buruk."
"Benar, memang begitu," Ku-tojin menghela napas panjang.
"Apakah sekarang di sini ada sescorang yang harus mati"'
"Benar." Tiba-tiba Thiat Sui juga menghela napas panjang, katanya, "Dalam tiga bulan terakhir, orang
persilatan hampir semuanya mengatakan Thiat Sui membunuh orang bagai mencabut rumput, tapi
apakah mereka tahu bahwa mereka yang mati di ujung golokku, tak seorang pun yang bukan
merupakan orang bersalah?"
Dia mengawasi sekejap golok dalam genggamannya, kemudian perlahan-lahan melanjutkan,
"Golok ini memang sebilah golok bagus, menggunakan golok semacam ini untuk membunuh orang
berhati keji sungguh memuaskan. Tampaknya hari ini aku lagi-lagi akan melanggar pantangan
membunuh!" Ternyata Toan Giok seolah belum tahu siapa yang hendak dibunuh, dia ikut menghela napas
dan berkata, "Menggunakan golok mestika untuk membunuh manusia laknat memang jelas
merupakan sesuatu yang memuaskan, tapi sayang hingga sekarang kita masih belum tahu siapa
pembunuhnya?" "Masa kau tidak tahu?" tanya Thiat Sui seakan tertegun.
Toan Giok menggeleng. "Walaupun saat ini belum tahu, namun jaring langit maha luas, tak mungkin orang yang telah
melakukan kejahatan akan lolos dari hukuman, aku yakin suatu hari pasti akan ditemukan siapa
pembunuhnya." Thiat Sui menatap pemuda itu dengan melongo. Sinar matanya seolah sedang menatap
seorang idiot. "Lebih baik Cianpwe kembalikan dulu golok itu padaku," kata Toan Giok, "Bila kita berhasil
menemukan pembunuhnya, boanpwe pasti akan menyerahkan kembali golok ini agar Cianpwe
bisa menggunakan golok itu untuk memenggal batok kepalanya untuk membalas dendam atas
kematian Lu-kongcu."
"Kau minta aku mengembalikan golok ini kepadamu?" tanya Thiat Sui.
Toan Giok m anggut-manggut.
"Sesuai dengan apa yang Cianpwe katakan, golok ini merupakan benda mestika keluarga
Boanpwe, sudah seharusnya golok itu berada bersamaku," katanya.
Tiba-tiba Thiat Sui tertawa tergelak.
"Hahaha, bagus sekali, kalau memang kau minta, nih, ambillah!" serunya.
Cahaya golok tampak berkelebat. Secepat sambaran petir ia bacok bahu anak muda itu.
Golok itu memang sebilah golok yang bagus, ditambah lagi orang yang menggunakan golok itu
merupakan jagoan silat berilmu tinggi. Begitu bacokan dilontarkan, tampak cahaya golok
menyilaukan membelah angkssa, angin tajam menyambar, membuat Ku-tojin pun tak tahan ikut
bergidik, ia merasakan selapis hawa pembunuhan yang mengerikan serasa menghimpit dirinya.
"Cianpwe, kenapa kau akan rnembunuhku," Toan Giok segera menjerit, "Kau jangan salah
orang!" Golok itu datang dengan cepat, namun gerakan tubuhnya lebih cepat lagi.
Baru mengucapkan dua patah kata, ia sudah menghindari semua serangan itu.
Seluruh ruangan perahu itu tidak terlampau luas, tempat yang bisa digunakan untuk berkelit
pun tidak banyak. Andai kata Lu Kiu ikut melancarkan serangan, niscaya Toan Giok akan tewas di
ujung goloknya. Siapa sangka Lu Kiu sama sekali tidak turun tangan.
Dia masih berdiri sambil bersandar di dinding, berdiri tertegun, seluruh tubuhnya seolah telah
kaku dan mati rasa. Serangan golok yang dilancarkan Thiat Sui makin lama semakin cepat, ternyata tokoh silat yang
baru muncul tapi telah menggetarkan sungai telaga ini benar-benar memiliki ilmu silat yang luar
biasa hebatnya. Biarpun ilmu silat aliran Siau-lim bukan mengandalkan golok, namun permainan golok yang dia
lakukan saat ini begitu hebat dan dahsyat, sama sekali tidak kalah dengan kehebatan jago golok
mana pun di koiong langit.
Kini permainan goloknya telah berubah, yang digunaka adalah ilmu Luan po-hong (Angin
topan) yang merupakan ilmu golok paling ganas dan paling dahsyat.
Dalam waktu singkat, cahaya golok telah menyelimuti seluruh ruangan perahu, Toan Giok
nyaris sudah tak ada tempat untuk mundur lagi.
Bahkan Ku-tojin serta Ong Hui pun sudah terdesak hingga terpaksa harus keluar dari ruang
perahu. Toan Giok sendiri bukannya tak ingin mundur dari situ, apa daya, kemana pun ia berusaha
mundur, cahaya golok selalu menyumbat mati jalan perginya.
Betul ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat hebat, tapi berada dalam tempat seperti
ini, bagaimana mungkin ia dapat menggunakannya"
Ong Hui yang menonton dari luar ruang perahu tak tahan untuk menghela napas, katanya,
"Aku masih tak percaya kalau seorang pemuda yang begitu jujur ternyata merupakan seorang
pernbunuh keji." "Mungkin saja selama ini dia berlagak bodoh," kata Ku tojin setelah berpikir sejenak "Apakah
kau tak dapat melihat kalau dia pandai sekali berlagak bodoh?"
"Aku hanya dapat melihat kalau Thiat Sui adalah seorang manusia buas yang suka membunuh,"
kata Ong Hui dingin. "Oh, ya?" "Bila ingin membunuh Toan Glok tampaknya bukan karena dia ingin membalaskan dendam bagi
Lu Kiu melainkan karena dia sendiri memang gemar membunuh."
Ku-tojin menghela napas panjang, katanya, "Asal orang yang dia bunuh adalah orang bersalah
...." "Bagaimana kau tahu kalau orang yang akan dibunuhnya adalah orang bersalah," tukas Ong
Hui cepat. "Bukankah kenyataan sudah terpampang di depan mata?"
"Kenyataan apa" Golok itu?"
"Hm" "Setelah membunuh seseorang, rnungkinkah kau sengaja meninggalkan golok milik sendiri?"
Ku-tojin kembali berpikir sejenak, kemudian katanya, Kenyataannya golok itu sudah terjepit di
tubuh korban, mungkin juga dia pergi tergesa-gesa hingga tak sempat mencabut kembali
senjatanya" "Jadi kau anggap dia pantas dibunuh?" tanya Ong Hui lagi setelah termenung sejenak.
"Apakah kau anggap dia tidak pastas?"
"Bagaimana pun juga harus kita tanya dulu sebelum membunuhnya," tukas Ong Hui.
"Berarti kau ingin menolongnya?"
Ong Hui bungkam, tapi tangan sebelah telah merogoh ke dalam kantong kulit yang tergembol
di pinggangnya. Dalam kantong kulit itu berisi senjata api yang nama Pi-lik-hwe di wilayah
Kanglam tersohor di seantero jagat.
Tangan Ku-tojin menarik tangannya dan berkata dengan suara dalam, "Masalah ini mempunyai
dampak yang sangat besar. Kita berdua adalah orang di luar garis. Lebih baik jangan bergerak
secara sembarangan."
Belum sempat Ong Hui buka suara, tiba-tiba "Blam!," terdengar suara ledakan keras yang
menggetarkan seluruh ruangan. Begitu kerasnya guncangan itu membuat seluruh perahu seolah
hendak terbalik Dengan sendirinya para jago yang berada dalam perahu pun ikut tergetar hingga berjatuhan.
Begitu muncul kilatan cahaya golok, perahu-perahu yang sebelumnya mengerubungi untuk
menonton keramaian pun makin lama semakin banyak.
Mendadak terlihat sebuah perahu besar menerjang tiba dengan kecepatan tinggi. Di ujung
geladak terlihat seorang pemuda berbaju ungu berdiri sambil memegang galah panjang untuk
mendayung. Walaupun sepintas ia nampak sangat lemah, ternyata kekuatan kedua lengannya sangat besar
dan hebat. Ketika galah bambunya ditutulkan beberapa kali, perahu besar itu segera menerjang ke
muka bagaikan panah yang terlepas dari busur dan menumbuk lambung kiri perahu pesiar itu.
Saat itu ruang lingkaran yang digunakan Toon Giok untuk menghindar makin lama semakin
bertambah sempit. Baru saja dia menyambar sebuah bangku untuk menangkis, mendadak terlihat
cahaya golok berkelebat, tahu-tahu bangku itu sudah terpapas hingga tinggal sebelah kaki.


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menyusul Thiat Sui melancarkan kembali tiga bacokan kilat. Siapa tahu lambung perahu
bergetar keras, kuda-kudanya langsung goyah, otomatis mata golok yang sedang membacok pun
meleset dari sasaran. Tubuh Toan Giok bergetar keras hingga terpelanting keluar. Di saat cahaya golok kembali
menyambar, tubuhnya sudah mencelat keluar dari jendela dan "Plung!", langsung tercebur ke
dalam telaga. Tampak gelembung udara muncul di permukaan telaga, dengan cepat tubuh pemuda itu
tenggelam ke dalam air. Tubuh perahu masih bergoncang keras, diiringi bentakan gusar, Thiat Sui melompat keluar
lewat daun jendela. Tiba-tiba pemuda berbaju ungu yang berada di ujung geladak perahu yang menumbuk perahu
pesiar itu tertawa lebar, tangannya segera diayun, selapis cahaya tajam berhamburan menyelimuti
seluruh angkasa. Menghadapi datangnya ancaman, Thiat Sui mengayunkan goloknya berulang kali, cahaya golok
bagai lapisan dinding tebal langsung membuyarkan cahaya tajam yang sedang menyambar tiba.
Tapi pada aat itulah pemuda berbaju ungu itu sudah lompat ke udara, lalu dengan gerakan Hieng-
ji-sui (Ikan pari masuk ke air) dia ceburkan diri pula ke dalam telaga.
Belum hilang riak di atas permukaan air, tubuhnya turut tenggelam ke dasar telaga dan lenyap.
Thiat Sui segera mcnyerbu maju. Sekali cengkeram, dia cekal ujung baju Ku-tojin, lalu
bentaknya penuh amarah, "Darimana datangnya bocah keparat itu?"
"Mungkin saja datang menguntit di belakang Toan Giok," jawab Ku-tojin.
"Apakah kau tahu siapa dia?"
"Cepat atau lambat, akhirnya pasti akan ketahuan juga."
Thiat Sui menghentakkan kaki berulang kali, serunya dengan jengkel,"Menunggu kita tahu
dengan jelas, Toan Giok sendiri sudah kabur kemana?"
"Taysu kuatir dia kabur" Tak usah kuatir ...."
"bagaimana mungkin aku tidak kuatir?" Thiat Sui semakin sewot.
"Keluarga besar Toan berdiam di daratan Tionggoan. Selama dia berada di daratan dia gagah
bagaikan seekor naga kecil, tetapi begitu bertemu air, mungkin sulit baginya merangkak keluar
lagi." Sambil tersenyum, ia berpaling. Tiba-tiba dijumpai Ong Hui sedang melototkan mata, mendelik
ke arahnya. Siapakah pemuda berbaju ungu yang berdiri di ujung geladak perahu" Tanpa pikir panjang,
siapa pun pasti dapat menduga, tentu saja dia adalah Hoa Hoa-hong.
Bila seorang perempuan selalu mencari gara-gara padamu, makan cuka oleh tingkah-polahmu,
senang beradu mulut denganmu. Tentu saja perempuan semacam ini tak bakal kelewat bodoh.
Oleh sebab itu di kala kau sedang menghadapi masalah atau kesulitan, seringkali justru dialah
yang akan muncul untuk menyelamatkan jiwamu.
Sejak awal Hoa Hoa-hong sudah menduga kalau Toan Giok bukan seekor bebek, tapi ayam.
Tak ada ayam yang bisa berenang. Kalau sudah tercebur, biasanya tinggal menunggu saat
mampusnya. Begitu berada dalam air, ia bergerak cepat bagaikan seekor ikan, sepasang matanya yang besar
bulat bagaikan mata ikan duyung.
Akan tetapi kemana pun ia bergerak, tak dijumpai tubuh Toan Giok di seputar sana.
Bukankah dengan sangat jelas ia melihat Toan Giok tercebur ke air dan tenggelam" Mengapa
tubuhnya bisa hilang tak berbekas"
Apakah tubuhnya berat bagai timbangan besi" Begitu tercebur langsung tenggelam ke dasar
telaga" Baru saja Hoa Hoa-hong ingin muncul ke atas permukaan untuk berganti napas, kemudian
menyelam lagi ke dasar telaga, tiba-tiba ia merasa ada semacam benda menyelinap ke arah
tengkuknya. la segera berbalik melancarkan cengkeramen, benda itu segera menyelinap keluar dari
cengkeraman tangannya, ternyata seekor ikan kecil.
Begitu dia membalikkan badan, kembali diliharnya seekor ikan besar sedang bergerak
mendekat. Anehnya, ikan besar itu mulai menggapai ke arahnya.
Ikan tak mungkin punya tangan, manusia beru memiliki sepasang tangan.
Toan Giok memiliki sepasang tangan.
Tapi sekarang dia tampak jauh lebih gesit daripada seekor. Begitu membalikkan tubuh, ia sudah
melesat jauh sekali dari posisi semula.
Sambil mengigigit bibir, sekuat tenaga Hoa Hoa-hong mengejar dari belakang, namun sayang,
bagaimana pun dia mencoba, ternyata tetap gagal menyusulnya.
Sejak kecil gadis ini hidup di wilayah Kanglam. Sudah sejak dulu, ia suka bermain air, tapi
kenyataannya sekarang, seekor itik ternyata tak mampu mengejar seekor ayam dalam air.
Kenyataan ini betul-betul membuatnya tak puas.
Dasar perahu yang begitu banyak, terlihat bagaikan wuwungan rumah yang berlapis-lapis dari
bawah air. Dia seakan sedang berlarian di antara wuwungan rumah, perasaannya sekarang tak jauh
berbeda dengan perasaan di kale ia sedang berkejaran dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Hanya satu yang berbeda, paling tidak ia butuh tempat untuk berganti napas, sebab bagaimana
pun juga dia bukanlah seekor ikan.
Toan Giok pun bukan seekor ikan. Ketika berenang kian kemari, tiba-tiba ia mengeluarkan dua
batang gelugu dari sakunya, ujung sini dikulum di mulut dan ujung yang lain muncul di atas
permukaan untuk menghirup udara, lalu menyerahkan sisa yang satu ke arah Hoa Hoa-hong.
Dengan menggunakan batang gelugu itulah Hoa Hoa-hong menarik napas panjang. Sekarang
dia baru tahu, ternyata hal yang paling membahagiakan bagi seorang manusia adalah hidup bebas
di dunia dan menarik napas sebanyak-banyaknya. Karena bisa hidup dalam udara babas
merupakan satu hal yang beruntung, karena itu sudah seharusnya merasa puas.
Dalam kehidupan manusia sebenarnya banyak terdapat pelajaran yang berharga, tapi seringkali
pelajaran itu baru kau pahami bila suatu ketika kau telah mengalami kejadian yang paling
menyiksa. Di atas telaga Se-ouw alam mau pun benda yang ada di sekitamya indah bagaikan lukisan.
Hampir setiap orang mengetahui akan hal ini, tapi orang-orang yang berada di balik keindahan
bukan saja sulit dipandang. Bahkan jauh lebih keruh daripada dasar telaga dan hal ini jarang
diketahui orang. Orang yang bisa mengetahui semua keindahan itu tak bisa dibilang mereka beruntung,
sebaliknya justru karena mereka sedang sial. Walaupun pengalaman pahit semacam ini
sesungguhnya memang sulit dijumpai.
Ada begitu banyak manusia yang berpesiar di telaga Se?ouw, namun ada berapa banyak di
antara mereka yang pernah terjun ke dasar telaga"
Mereka menyelam dan berenang menjauhi tempat semula. Setiap kali berganti napas,
bayangan dasar perahu yang tampak makin lama semakin sedikit jelas mereka telah tiba di sebuah
tempat yang terpencil. Saat itulah Toan Giok baru berenang naik ke atas dan muncul dari permukaan air.
Hoa Hoa-hong segera mengikut di belakangnya, ikut muncul di atas permukaan, kemudian
dengan sepasang matanya yang besar, dia mengawasi wajah pemuda itu tanpa berkedip.
Toan Giok masih tersenyum, ia menarik napas panjang, seolah saat itu merasa gembira sekali.
Hoa Hoa-hong tak kuasa menahan diri, sambil menggigit bibir, tegurnya, "Kau masih bisa
tertawa?" "Asal manusia masih hidup, dia tentu bisa tertawa. Asal masih bisa tertawa, seharusnya
banyaklah tertawa." "Aku hanya heran, mengapa kau belum juga mati tenggelam?" sumpah Hoa Hoa-hong.
Toan Giok hanya menatapnya tiba-tiba tidak bersuara lagi.
Terdengar Hoa Hoa-hong berkata lagi, "Sudah jelas kau adalah seekor ayam, kenapa secara
tiba-tiba pandai berenang?"
Dari logat bicaranya, dia seolah berharap Toan Giok paling tidak harus tenggelam dan setengah
mampus, kemudian memberi kesempatan kepadanya untuk datang menolong.
Namun kenyataan Toan Giok tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan
kebolehannya. Oleh sebab itu dia merasa sangat marah.
Toan Giok masih menatapnya lekat-lekat tanpa bicara.
"Hey, kenapa kau terus menatap aku?" teriak Hoa Hoa-?hong dengan suara lantang. "Kau
anggap mukaku penuh bisul?"
Toan Giok tertawa, ujarnya sambil tersenyum, "Aku hanya secara tiba-tiba berpendapat,
seharusnya kau berada dalam air lebih lama lagi."
"Kenapa?" tak tahan Hoa Hoa-hong bertanya.
"Sebab sewaktu berada dalam air, kau kelihatan amat cantik dan menarik."
Dia tahu Hoa Hoa-hang pasti tak paham dengan maksudnya, maka kembali ia menjelaskan,
"Sewaktu berada dalam air, matamu masih tetap nampak sangat besar, tapi sayang tak mampu
buka mulut." Mungkin di sinilah satu-satunya bagian yang paling menyenangkan bagi seekor ikan jantan
ketimbang kaum lelaki. Sekalipun ikan betina bisa buka mulut pun, hal itu dilakukan untuk
bernapas dan bukan untuk banyak bicara.
Oleh sebab itulah sekali lagi Toan Giek menyelam ke dalam air.
la tahu Hoa Hoa-hong pasti tak akan mengampuninya, berada dalam air jauh lebih aman
baginya. Kini Hoa Hoa-hong mau bicara pun, dia tak bakal mendengarnya lagi.
Tapi sayang dia bukanlah seekor ikan, cepat atau lambat harus muncul juga di atas permukaan.
Sambil menggigit bibir Hoa Hoa-hong menunggu di atas, menunggu sampai pemuda itu muncul
lagi di atas permukaan. Siapa tahu, walau sudah ditunggu setengah hari pun belum Nampak juga
dia muncul. "Jangan-jangan bocah keparat itu mendadak kejang otot hingga tak mampu muncul di atas
permukaan?" Pada dasamya Hoa Hoa-hong memang seorang gadis yang tak sabaran, tak tahan ia menyelam
kembali ke dalam air, kali ini dengan cepat ia berhasil menemukan Toan Giok.
Saat itu dia sedang menarik segumpal rumput air dengan sekuat tenaga, menariknya dari dasar
telaga yang berlumpur. Andaikata waktu itu mereka berada di atas permukaan, Hoa Hoa-hong pasti tak akan
mengabaikan kesempatan baik ini. "Sinting", "Idiot", "Goblok" atau kata sebangsanya pasti sudah
menerocos keluar dari mululnya. Untung tempat itu adalah di bawah air, oleh sebab itu dia hanya
bisa mengawasinya. Tiba-tiba ia menemukan benda yang sedang dibetotnya bukan segumpal rumput air, melainkan
sebuah peti. Lumpur maupun rumput air yang semula menempel di alas peti itu, kini sudah dibersihkan dari
tempatnya. Peti itu terlihat masih sangat baru, bahan kayu pun berkualitas tinggi, malah bagian atasnya
dilapisi tembaga kuning. Tembaga kuning itu pun masih tampak baru. Hal ini membuktikan kalau benda itu belum lama
ditenggetamkan dalam air.
Siapa pun yang telah melihat benda itu, pasti tahu kalau peti itu tak mungkin berisikan pakaian
rombeng atau benda tak berharga lainnya.
Peti berharga semacam ini kenapa bisa ditenggelamkan ke dasar telaga" Mengapa tak ada
orang yang mengambilnya"
Hoa Hoa-hung segera membantu Toan Giok menyeret keluar peti itu.
Sesungguhnya dia memang terhitung seorang gadis yang besar rasa ingin tahunya. Menjumpai
kejadian semacam ini, tentu saja dia tak akan melepaskan peluang itu begitu saja.
Apa isi peti itu" Apakah menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar"
Bila ada orang melarangnya membuka peti itu, aneh bila dia tidak mengajak orang itu beradu
jiwa *** Jarak tempat itu dengan tepi telaga sangat dekat, tak lama kemudian mereka telah menyeret
peti it naik ke daratan. Saat itulah Hoa Hoa-hong baru bisa menghembuskan napas lega, keluhnya, "Peti itu berat
sekali." "Benar, memang tak enteng."
"Jadi peti ini pasti bukan peti kosong."
Toan Giok kembali mengangguk.
"Menurut dugaanmu, apa isi peti ini?" tanya Hon Hoa-hong lagi.
Toan Giok segera tertawa.
"Aku tidak memiliki mata sakti yang bisa melihat sejauh seribu li, kecerdasanku pun tak bisa
melampaui Cukat Liang."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak segera membukanya?" desak Hoa Hoa-hong sambil
mengedipkan matanya. "Kenapa mesti terburu napsu" Peti ini kan tak bakal kabur dari sini."
"Apalagi yang kau nantikan?" Hoa Hoa-hong semakin tak sabar.
"Paling tidak, tunggulah kita mencari tempat untuk berganti pakaian," sahut Toan Giok sambil
tertawa. Belum habis dia berkata paras muka Hoa Hoa-hong telah berubah jadi merah padam.
Akhirnya dia pun dapat melihat keadaan dirinya saat itu. Bila pakaian yang dikenakan seorang
wanita tak lebih hanya sebuah baju yang sangat tips dan pakaian itu basah kuyup, maka
keadaannya saat ini pastilah tak sesuai untuk tampil di hadapan seorang lelaki.
Apa mau dikata saat itu Toan Giok justru sedang mengamatinya, bagian tubuh yang sedang ia
perhatikan pun kebetulan bagian-bagian yang tidak seharusnya terlihat orang lain.
Pikiran pertama yang terlintas dalam benaknya adalah secepat mungkin terjun kembali ke
dalam air, pikiran kedua adalah mencongkel keluar sepasang mata bandit Toan Giok.
Tentu saja hal itu pun hanya berada dalam pikirannya saja.
Seluruh tubuhnya terasa mulai lemas dan kaku, lantaran tatapan mata pemuda itu. Dalam
keadaan begini, dia paling hanya bisa bersembunyi di belakang peti itu.
Dengan wajah bersemu merah, umpatnya lirih, "Eh, sepasang mata banditmu memang tak bisa
memandang ke arah lain?"
Ternyata tempat itu adalah sebuah tempat yang sangat indah, bahkan Toan Giok sendiri pun
tidak menyangka di tengah hutan yang begitu sunyi ternyata terdapat sebuah rumah kecil yang
sangat indah dan menawan. Rumah itu biar pun kecil namun tak kalah indah dan mewahnya
daripada rumah kecil yang pernah dia datangi bersama Hoa Ya-lay semalam.
Hanya kali ini bukan Hoa Ya-lay yang mengajaknya ke sana, melainkan Hoa Hoa-hong,
kelihatannya kaum wanita selalu memiliki lebih banyak akal daripada kaum lelaki.
Saat ini Hoa Hoa-hong sedang berganti pakaian di dalam.
Hoa Hoa-hong belum mulai berganti pakaian.
Walaupun pakaiannya yang basah telah ditanggalkan, namun ia masih berdiri termangu-mangu
di sana, termangu-mangu sambil mengawasi bentuk tubuh sendiri.
Di hadapannya persis terdapat sebuah cermin yang besar sekali. Di depan cermin itulah ia
berdiri, berdiri sambil memandang bentuk tubuh sendiri.
Kini dia sudah bukan lagi seocang anak-anak.
Dada dengan payudara yang montok dan kenyal, pinggang yang ramping, sepasang paha yang
mulus dan halus disertai kulit badan yang begitu mulus dan lembut bagaikan kain sutera.
Bahkan dia sendiri pun sulit untuk menemukan cacat atau kotoran yang melekat di badannya,
jangankan orang lain, bahkan dia sendiri pun terkadang terangsang setiap kali memandang bentuk
tubuh sendiri. Bagaimanakah perasaan Toan Giok bila menyaksikan tubuhnya yang bugil"
Tangan Hoa Hoa-hong mulai bergerak. Dengan lembut, dengan halus dan perlahan ia mulai
meraba payudara sendiri, lalu meraba pinggangnya, terus turun ke bawah, meraba perut sendiri"
semakin ke bawah kemudian... kemudian..
Daun jendela berada dalam keadaan tertutup, tirai bambu pun tertutup hingga ke bawah.
Tiba-tiba saja gadis itu merasakan sekujur badannya mulai panas, rasa panas yang aneh, rasa
panas yang cepat menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tahun ini dia baru tujuh belas tahun.
Bukankah usia tujuh belas merupakan usia yang paling aneh, paling indah dan paling sensitif
sepanjang hidup manusia"
Akhirnya Hoa Hoa-hong selesai berganti pakaian, ia keluar dari dalam kamar.
Kini dia mengenakan sebuah gaun panjang berwarna hijau apel, potongan mau pun jahitannya
sangat pas dengan bentuk tubuhnya dan kebetulan semakin menonjolkan bentuk kematangan
tubuh seorang gadis yang telah berusia tujuh belas tahun.
Pakaian yang dikenakan merupakan mode mutakhir dari kaum gadis muda saat itu, kulit
tubuhnya yang memang halus dan lembut, kini dibedaki sedikit pupur yang amat tipis.
Bag 6. Orang dalam peti dari dasar telaga
Tentu saja tampilannya saat ini jauh lebih menawan, jauh lebih mempesona dan jelas jauh
lebih menarik daripada sewaktu ia berdandan sebagai lelaki.
Kalau dilihat dari gayanya, mungkin dia memang sengaja berdandan untuk diperlihatkan
kepada Toan Giok. Siapa bilang perempuan bukan berdandan untuk dinikmati kaum lelaki"
Kalau ada yang menentang ungkapan ini, sudah pasti orang itu sangat tidak memahami jalan
pikiran kaum wanita. Kenyataan, setiap wanita pasti berdandan secantik mungkin karena ingin diperlihatkan kepada
kaum lelaki yang menyukai dan mencintainya.
Tapi sayang Toan Giok justru tidak memandang ke arahnya, melirik sekejap pun tidak.
Ia sedang mengamati peti itu.
Peti yang terbuat dari kayu jati kualitas tinggi, dilapisi tembaga kuning, kunci pun terbuat dari
tembaga kuning. Peti itu sangat kokoh, begitu juga dengan kuncinya, tampaknya tidak mudah bagi siapa pun
untuk membukanya. Toan Giok termenung sambil berpikir sejenak, lalu gumamnya, "Sebelum ini, pernahkah kau
menyaksikan peti semacam ini?"
"Belum pernah!"
"Aku pernah melihatnya, peti semacam ini biasanya
dipakai keluarga kaya untuk menyimpan perhiasan, intan permata atau lukisan dan barang
berharga lainnya." Oh ...." "Oleh karena itu biasanya peti semacam ini disimpan secara hati-hati dan penuh rahasia.
Mengapa sekarang bisa ditemukan di dasar telaga?"
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong tertawa dingin, ejeknya, "Siapa tahu isi peti itu hanya sesosok mayat.
Lebih baik jangan bermimpi di siang hari bolong, mengharapkan harta-karun milik orang lain."


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sudah berapa kali ia berjalan mondar-mandir di hadapan Toan Giok, namun jangankan katakata
pujian, mendongakkan kepala untuk menengok sekejap ke arahnya pun tidak.
Ia betul-betul naik darah, marah bercampur mendongkol.
Dalam pada itu, setelah termenung beberapa saat Toan Giok kembali berkata sambil tertawa,
"Betul juga perkataanmu. Bisa jadi isi peti ini benar-benar adalah manusia, tapi pasti manusia
hidup, bukan orang mati."
"Hm, lagi-lagi kau sedang bermimpi," sekali lagi Hoa Hoa-hong mengejek sambil tertawa dingin.
Terdengar Toan Giok berkata lebih lanjut, "Dulu, aku pernah mendengar sebuah kisah yang
amat menarik." Tiba-tiba ia membungkam dan tidak berbicara lagi. Seandainya dia melanjutkan ceritanya,
mungkin saja Hoa Hoa-hong tak akan mendengarkan, atau paling tidak akan berlagak tidak
mendengarkan. Tapi sekarang, setelah ia tidak melanjutkan kisahnya, Hoa Hoa-hong malah tak tahan,
tanyanya, "Kisah apa?"
"Cerita yang berhubungan dengan peti."
"Peti macam apa?"
"Peti yang bentuknya tak jauh berbeda dengan peti ini"
"Kalau akan diceritakan, cepat katakan," tak tahan Hoa HoaHoa hong berteriak.
Kini Toan Giok baru tertawa, ceritanya, "Konon dahulu ada seorang pemburu muda pintar dan
pemberani, suatu hari dia berhasil menangkap seekor beruang dengan perangkapnya dan
bersama rekan-tekannya mengikat beruang itu dengan tali
dan siap dibawa pulang ke rumah, tiba-tiba dari balik semak belukar dalam perjalanan
pulangnya, menemukan sebuah peti besar."
"Apakah petinya seperti peti ini?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Peti itu jauh lebih besar. Tentu saja pemburu muda itu keheranan, mengapa peti semacam ini
bisa dibuang di tengah semak belukar?"
"Maka dia pun ingin membuka peti itu dan memeriksa isinya?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Betul." "Apa isi peti itu?"
"Seorang wanita yang masih muda dan cantik sekali," jawab Toan Giok sambil tertawa.
Hoa Hoa-hong tertawa dingin, katanya menggeleng kepala, "Aku tak percaya, mana ada
perempuan masuk ke dalam peti besar?"
"Sebetulnya pemburu itu pun heran, maka ditunggunya hingga nona itu tersadar kembali, dia
pun segera bertanya."
"Apa jawaban nona itu?"
"Ternyata dia adalah putri seorang hartawan kaya, keluarganya dirampok habis-habisan oleh
sekawanan begal, seluruh anggota keluarganya mati terbunuh."
"Lantas darimana ia bisa lobos dari terkaman mulut harimau?"
"Dia sendiri pun tidak lolos dari ancaman bahaya, ternyata pentolan begal itu ada dua orang,
mereka adalah dua orang Hwesio. Kedua orang ini jatuh hati pada kecantikannya, maka sengaja
mereka menyembunyikan nona itu ke dalam peti dan hendak dibawa pulang."
"Kalau memang mereka tidak bermaksud baik, mengapa pula meninggalkan peti itu di pinggir
jalan?" "Tempat itu sebetulnya hutan yang sepi dan jauh dari keramaian manusia. Untuk menghindari
pengawasan orang banyak, sengaja peti itu disembunyikan di sana. Seandainya ada dua orang
Hwesio menempuh perjalanan sambil menggotong sebuah peti besar, tingkah laku mereka pasti
akan dicurigai orang banyak, bukan?"
"Oh, jadi mereka pun tidak menyangka bakal ada orang yang pergi ke tempat terpencil itu?"
tanya Hoa Hoa-hong. Toan Giok manggut-manggut.
"Bagaimana kemudian?" tanya si nona.
"Tentu saja kawanan pemburu itu merasa terharu dan setelah mendengar cerita nona itu, maka
mereka pun menolongnya keluar dari dalam peti dan memasukkan beruang yang baru saja
ditangkap itu ke dalam peti."
Setelah tersenyum, lanjutnya, "Sudah kukatakan tadi, peti itu jauh lebih besar dari peti yang
ada di hadapan kita sekarang."
Tak tahan Hoa Hoa-hong memperhatikan sekejap peti di hadapannya, kemudian berkata, "Peti
ini pun tidak terhitung kecil"
"Memang tidak kecil, jika dipakai untuk memasukkan seseorang, rasanya hal ini pun tidak
terlalu sulit." "Kau belum menyelesaikan ceritamu," kata Hoa Hoa hong.
"Karena merasa berterima kasih kepada sang pemburu yang telah menyelamatkan jiwanya,
nona kaya itu pun kawin dengannya."
"Ah, belum tentu begitu," sindir Hoa Hoa-hong sambil tertawa dingin. "Mungkin saja dia
terpaksa kawin dengannya karena memang tak ada tempat lagi yang bisa dia tuju."
"Mungkin pendapatmu benar, aku hanya tahu dia benar-benar menikah dengan pemburu itu."
"Bagaimana dengan kedua orang Hwesio itu?"
"Sejak itu mereka tak pernah melihat lagi kedua Hwesio iyu hanya saja dari dalam kota tersiar
sebuah berita aneh."
"Berita aneh apa?"
"Hari itu di sebuah rumah penginapan terbesar di kota itu kedatangan dua orang tamu, mereka
memakai baju baru, mengenakan topi baru, tapi anehnya kedua orang itu membawa sebuah peti
yang besar sekali." "Peti itu yang dibawa?"
Toan Giok tidak menjawab, hanya lanjutnya, "Mereka memesan kamar yang paling besar, minta
hidangan paling lezat, kemudian mengunci pintu dari dalam. Sebelum itu mereka berpesan kepada
para pelayan penginapan, meski mendengar suara apa pun, tak ada yang boleh pergi
mengganggu mereka" "Kedua orang Hwesio bajingan itu benar-benar bukan manusia baik-baik," sumpah Hoa Hoahong
gemas. "Kemudian, benar saja, para pelayan mendengar suara yang sangat aneh berkumandang dari
dalam kamar, sekalipun mereka tak berani bertanya, namun tak urung ingin memeriksa juga apa
gerangan yang telah terjadi."
"Apa yang mereka saksikan?"
"Tidak lama mereka menunggu, tahu-tahu terlihat ada seekor beruang besar menerjang keluar
dari kamar, mulutnya masih dipenuhi noda darah. Menanti beruang itu kabur jauh, baru berani
masuk ke kamar untuk memeriksa keadaan."
Setelah menghela napas, kembali lanjutnya, "Waktu itu keadaan ruangan porak-poranda tak
keruan, bahkan terlihat kedua orang Hwesio itu mati secara mengenaskan dalam kamar itu.
Sewaktu mati, wajah mereka mengunjuk perasaan kaget, ngeri, seram dan ketakutan yang luar
biasa." Hoa Hoa-hong tak tahan untuk tertawa geli, serunya "Tentu saja mimpi pun mereka tak
menyangka kalau perempuan cantik dalam peti tiba-tiba berubah jadi beruang besar."
Toan Giok ikut tertawa. "Buat orang lain, tentu mereka tak pernah bisa menduga mengapa ada seekor beruang bisa
bersembunyi dalam peti besar Oleh karena itu peristiwa ini menjadi kasus besar yang diliputi
misteri, hanya sepasang muda-mudi pemburu yang kini telah menjadi suami-istri yang tahu akan
rahasia itu sebenarnya."
Setelah tertawa, kembali ujarnya, "Mereka menyimpan rahasia itu rapat-rapat dan hidup
bahagia hingga hari tua bahkan kehidupan mereka amat kaya dan berkecukupan, sebab harta
yang dirampok Hwesio itu disembunyikan juga dalam peti."
Tanpa terasa sekulum senyuman menghiasi wajah Hoa Hoa-hong, pujinya, "Ceritamu memang
sangat menarik." "Justru karena itu hingga sekarang aku tidak pernah melupakannya," sambung Toan Giok.
"Apakah kau sangat mengagumi pengalaman yang dialami pemburu muda itu?" tanya Hoa Hoahong
sambil melirik sekejap ke arahnya.
"Ai, siapa tak iri dengan pengalaman yang dialaminya?" Toan Giok sambil menghela napas.
Mendadak paras muka Hoa Hoa-hong berubah hebat. Sambil cemberut, teriaknya ketus, "Jadi
kau pun berharap isi peti itu pun seorang wanita cantik yang kaya-raya?"
Toan Giok tidak menjawab, dia hanya tertawa, tertawa sangat riang.
Kembali Hoa Hoa-hong melotot, katanya sambil tertawa dingin, "Darimana kau tahu kalau isi
peti ini adalah perempuan cantik, bukannya beruang pemangsa manusia?"
"Karena hanya orang jahat yang akan memperoleh pcmbalasan yang setimpal. Ketika cerita ini
disampaikan kepadau dulu, orang itu pun berharap agar aku tidak melakukan perbuatan jahat."
"Kau tak pernah melakukan perbuatan jahat?"
Toan Giok manggut-manggut sambil tertawa.
"Oleh sebab itulah isi peti ini sudah pasti bukan seekor beruang besar."
"Dan tak mungkin seorang wanita cantik."
"Kenapa?" sengaja Toan Giok bertanya.
"Karena tak mungkin di dunia ini terdapat kejadian yang begitu kebetulan, lagi pula kisah itu
hanya cerita karanganmu sendiri. Oleh karena baru saja kau menderita kerugian di tangan Hwesio,
maka kau mengatakan Hwesio itu bandit."
"Kau keliru besar," kata Toan Giok serius. "Cerita ini tidak bohong, tapi tercantum dalam
kumpulan cerita Se-yang-ca-cu buah karya Toan Seng-si. Inti cerita itu adalah siapa berbuat baik
dia akan menuai kebaikan, siapa berbuat jahat dia akan menuai kejahatan. Oleh karena itu hidup
sebagai manusia di dunia ini, lebih baik janganlah berbuat jahat."
Hoa Hoa-hong melotot sekejap ke arahnya, tapi tak tahan katanya juga sambil tertawa,
"Terlepas apa pun yang akan kau katakan, aku tetap tak percaya kalau ada orang dimasukkan
dalam peti ...." Ucapan itu tidak dilanjutkan lebih jauh, karena pada saat itulah tiba-tiba dari dalam peti
berkumandang semacam suara yang sangat aneh, seperti ada orang sedang merintih dari dalam
peti besar itu. Tak salah lagi, ternyata isi peti itu benar-benar seorang manusia, bahkan seorang manusia
hidup. Hoa Hoa-hong mengawasi peti itu dengan mata terbelalak lebar, seakan melihat setan di siang
hari bolong, tertegun, terperangah dan ngeri.
Begitu juga Toan Giok, ia merasa amat terperanjat.
Sekalipun dia percaya bahwa peristiwa semacam itu bisa terjadi di dunia ini, namun tak pernah
menyangka dia akan mengalami sendiri kejadian seperti itu.
Beberapa saat kembali sudah lewat, namun suara itu masih berkumandang tiada hentinya.
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong berkata, "Kau yang menemukan peti itu, bukan?"
Terpaksa Toan Giok mengangguk.
"Jadi kaulah yang seharusnya membuka tutup peti itu," Hoa Hoa-hong menambahkan.
Toan Giok menghela napas panjang dan tertawa getir, jawabnya cepat, "Tentu saja aku tak
akan membuangnya lagi ke dalam air."
"Mengapa hingga sekarang kau belum turun tangan?"
"Kunci ini sangat besar, belum tentu aku sanggup membukanya," kata Toan Giok sambil
berkerut kening. "Kau pasti bisa membukanya, aku tahu kepandaianmu luar biasa."
"Bagaimana dengan kau sendiri" Kalau memang ingin tahu, kenapa tidak turun tangan sendiri?"
"Tentu saja tidak, aku kan seorang wanita."
Tampaknya hingga sekarang dia baru teringat kalau dirinya adalah seorang wanita.
Bila seorang wanita tak ingin melakukan suatu pekerjaan, biasanya dengan cepat dia akan
teringat hal ini. Dan alasan itu, kebetulan merupakan alasan yang tak bisa disangkal lelaki mana pun.
Oleh sebab itu terpaksa Toan Giok harus turun tangan sendiri membuka peti besar itu.
Cepat Hoa Hoa-hong membalikkan tubuh memandang ke arah lain.
Bukan saja dia enggan membantu, melihat pun tak mau, seolah-olah takut bila makhluk yang
melompat keluar dari dalam peti adalah setan hidup berwajah seram.
"Tring!", akhirnya Toan Giok berhasil mematahkan kunci tembaga dan membuka peti itu.
Hoa Hoa-hong menunggu beberapa saat lamanya, ketika mendengar sesuatu gerak-gerik, tak
tahan tanyanya, "Apakah isi peti itu benar-benar manusia?"
"Ehm!" "Manusia hidup?"
"Ehm!" "Tua atau muda?" tanya Hoa Hoa-hong lagi sambil menggigit bibir.
"Muda." Kembali Hoa Hoa-hong menggigit bibir, tapi akhirnya tak tahan ia bertanya lagi, "Laki-laki atau
perempuan?" "Laki-laki." Kini Hoa Hoa-hong baru menghembuskan napas lega, sekulum senyuman segera menghiasi
ujung bibirnya. Dia lebih rela isi peti itu adalah seekor beruang besar daripada seorang gadis muda.
Ada orang bilang, binatang yang paling dibenci kaum wanita adalah ular. Ada juga yang
mengatakan, binatang yang paling dibenci kaum wanita adalah tikus.
Padahal makhluk apakah yang sebenarnya paling dibenci kaum wanita" Wanita!
Makhluk yang paling dibenci perempuan sesungguhnya adalah perempuan lain.
Apalagi wanita itu adalah seorang perempuan yang mungkin bisa menjadi musuh cintanya,
terlebih seorang wanita yang jauh lebih cantik daripada diri sendiri.
Orang yang berada dalam peti itu bukan hanya masih muda, bahkan tampan. Hanya sayang
paras mukanya pucat-pias menakutkan, pakaian yang dikenakan pun hanya pakaian dalam yang
tipis sehingga tampang dan keadaannya terlihat sangat mengenaskan.
Dia merintih tiada hentinya, sementara sepasang matanya masih terpejam rapat, agaknya
belum sadar, Baru saja Hoa Hoa-hong membalikkan badan, ia sudah mengendus bau arak yang kental, tak
tahan serunya sambil berkerut kening, "Ternyata orang ini pun seorang setan arak."
"Tapi arak yang masuk ke dalam perutnya pasti tidak sebanyak arak yang tertuang di
pakaiannya." Benar saja, pakaian dalam yang dikenakan orang itu terendus bau arak yang sangat kuat.
"Kalau dia tidak mabuk, mengapa belum juga sadar?" tanya Hoa Hoa-hong.
Toan Giok termenung sambil berpikir sejenak, lalu sahutnya, "Aku rasa dia sudah terkena
bubuk pemabuk atau obat pelupa diri dan sebangsanya hingga tak sadarkan diri, bahkan kadar
yang merasuk ke dalam tubuhnya tidak terhitung ringan."
"Maksudmu dia dibuat mabuk dan tak sadarkan diri lebih dulu sebelum dimasukkan ke dalam
peti?" "Siapa pun orangnya, tak mungkin ada yang bersedia dimasukkan ke dalam peti secara sukarela."
Hoa Hoa-hong memperhatikan sekejap paras mukanya yang pucat-pias, tiba-tiba katanya
sambil tertawa, "Jangan? jangan dua orang Nikoh yang memasukkan orang ini ke dalam peti?"
Toan Giok segera mengedipkan matanya berulang kali, balasnya, "Aku rasa dia pasti sudah
kehilangan tempat tinggal dan tak tahu kemana harus pergi. Apa salahnya kalau kau ambil dia
sebagai calon suami?"
Kontan saja paras muka Hoa Hoa-hong berubah jadi cemberut, teriaknya ketus, "Terima kasih
banyak, idemu memang sangat bagus. Tak nyana kau bisa memikirkannya untukku."
Toan Giok kembali tertawa, tampaknya ia merasa sedikit lebih lega.
Dengan gemas, Hoa Hoa-hong melotot ke arahnya. Setelah tertawa dingin, kembali ujarnya,
"Kau benar-benar takut aku tak mendapat jodoh?"
"Aneh, masa hanya boleh kau yang mengejek diriku, sementara aku tak boleh mengejekmu?"
"Tidak, pokoknya kau tak boleh!"
"Ai ...." Toan Giok menghela napas panjang. "Padahal anak muda ini tampaknya lumayan juga,
belum tentu dia tak pantas mendampingimu."
"Ai ...." Hoa Hoa-hong ikut menghela napas, "Sayangnya orang ini pun berpenyakit persis
seperti kau." "Penyakit apa?"
"Penyakit goblok!"
Setelah tertawa nyengir, tambahnya, "Kalau dia tidak mengidap penyakit goblok, kenapa bisa
dimasukkan orang ke da lam peti!"
Untuk kesekian kalinya Toan Giok menghela napas panjang. Kali ini dia benar-benar menghela
napas. Sekarang dia memang mempunyai perasaan begitu, merasa seolah dia sendiri yang dimasukkan
ke dalam peti, bahkan dengan cepatnya peti itu tenggelam ke dasar telaga.
Yang paling menyakitkan adalah hingga sekarang dia masih belum tahu siapakah orang yang
telah memasukkan dirinya ke dalam peti itu.
Berputar sepasang biji mata Hoa Hoa-hong. Sesaat kemudian kembali ujarnya, "Menurut kau,
kenapa ia bisa dimasukkan ke dalam peti?"
Toan Giok hanya bisa menghela napas, ia menggeleng kepala berulang kali.
"Entah apakah dia sama seperti dirimu" Apa pun yang dikatakan orang lain, ia tetap tak
percaya," kata Hoa Hoa-hong lagi.
Toan Giok hanya tertawa getir, tidak menjawab. "Tampaknya pasti ada orang ingin merampas
hartanya dan menghilangkan nyawanya," ujar Hoa Hoa-hong lebih jauh.
"0, ya?" "Setelah merampas hartanya dan mencabut nyawanya, kemudian ingin melenyapkan semua
bukti." "Kalau dilihat dari pakaian dalam yang dikenakan orang ini, tampaknya dia memang berasal
dari keluarga kaya, tidak sembarangan orang bisa mengenakan pakaian semacam itu."
"Ai, sungguh tak disangka di seputar telaga Se-ouw pun terdapat bandit seganas ini. Setelah
dia sadar nanti, kita harus bertanya kepadanya, ada dimana bandit-bandit jahanam itu."
Hoa Hoa-hong tak perlu menunggu terlalu lama, orang itu telah tersadar kembali.
Ketika secara tiba-tiba menyaksikan dirinya berada di suatu tempat yang amat asing, ia tampak
kaget dan terperangah. Dengan cepat orang itu berhasil menenangkan hatinya.
Bila berganti orang lain, tatkala tersadar kembali dalam keadaan seperti ini, pasti ada banyak
pertanyaan yang akan dia ajukan kepada Toan Giok berdua.
Tapi orang itu tidak buka suara, sepatah kata pertanyaan pun tidak diajukan, bahkan ungkapan
rasa "terima kasih" pun tak ada.
Orang lain telah menyelamatkan jiwanya, tapi dia malah menganggap orang lain terlalu banyak
urusan. Hoa Hoa-hong tak bisa menahan sabar lagi, segera tegurnya, "Tahukah kau kenapa bisa
sampai di tempat ini?"
Orang itu memandangnya sekejap, lalu menggeleng kepala berulang kali.


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau berhasil kami keluarkan dari dalam sebuah peti, sebelumnya peti itu berada di dasar
telaga." Bila berganti orang lain yang mengetahui dirinya berada dalam sebuah peti, ia pasti akan
sangat terperanjat. Tapi orang itu sama sekali tak bereaksi, mengedipkan matanya pun tidak.
"Kenapa kau bisa dimasukkan ke dalam peti" Apakah ada orang ingin mencelakaimu?" desak
Hoa Hoa-hong. Orang itu masih tetap tutup mulut, tapi kali ini sinar matanya dialihkan ke wajah Toan Giok.
"Orang yang sedang kau pandang saat ini she Toan bernama Giok," kembali Hoa Hoa-hong
berkata. "Dia adalah seorang jagoan berilmu tinggi. Bila kau beritahu kepadanya siapa yang telah
mencelakaimu, pasti dia akan membantumu membalas dendam."
Bukan saja orang itu tetap rnenutup mulut, bahkan wpasang matanya ikut dipejamkan.
"He, apa kau bisu?" tak tahan Hoa Hoa-hong berteriak. Orang ini bukan saja mirip orang bisu,
bahkan tuli pula. Hoa Hoa-hong benar-benar kehabisan daya. Sambil menghela napas dia
berpaling ke arah Toan Giok, lalu ujarnya sambil tertawa getir, "Ternyata kita keliru."
"Bagian mana yang keliru?"
"Kelihatannya orang itu seperti secara sukarela masuk ke dalam peti itu. Buat apa kita mesti
membuang banyak pikiran dan tenaga untuk menyelamatkan jiwanya?"
"Seandainya aku sendiri yang baru dikeluarkan dari dalam sebuah peti, mungkin aku pun tak
berminat untuk banyak bicara," sahut Toan Giok sambil tertawa.
"Tapi kalau apa pun tak mau dia ucapkan, mana mungkin kita bisa membantunya membalas
dendam?" "Ada sejenis orang, bila ingin menuntut balas kepada seseorang, dia akan pergi sendiri dan tak
sudi minta bantuan orang lain."
Kontan Hoa Hoa-hong tertawa dingin.
"Hm, aku tahu, memang banyak lelaki yang mempunyai watak bau seperti itu," jengeknya.
Mendadak orang itu membuka mata, memandang gadis itu sekejap dan akhirnya buka suara,
"Terima kasih!"
Hingga kini dia hanya mengucapkan dua patah kata itu, seakan bukan berterima kasih karena
Toan Giok yang telah menyelamatkan jiwanya, melainkan karena pemuda itu telah mengungkap
suara hatinya. Bcgitu selesai mengucapkan perkataan itu, dia pun segera berdiri dan siap beranjak pergi.
"Sekarang juga kau akan pergi?" tegur Hoa Hoa-hong dengan kening berkerut.
Orang itu manggut-manggut, tapi baru berjalan selangkah, tiba-tiba wajahnya menunjukkan
rasa sakit yang luar biasa, seolah-olah tubuhnya tertusuk jarum tajam secara tiba?tiba.
Menyusul tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.
Kini Toan Giok baru tahu kalau bahu belakangnya basah oleh darah.
"Kau terluka"' jerit Hoa Hoa-hong.
Orang itu tidak menjawab, kembali dia meronta untuk bangkit, tapi sekali lagi roboh terungkal.
Begitu roboh kali ini, dia tak sadarkan diri.
Ternyata tubuhnya memang terluka.
Mulut luka berada di bahu bagian belakang, besarnya hanya semata jarum, tapi seluruh bahu
sudah berubah hijau kehitam-hitaman dan membengkak. Jelas ia sudah terkena senjata rahasia
beracun yang lembut dan tajam, kemungkinan besar ia dibokong dari belakang.
"Wah, tampaknya senjata rahasia itu beracun," seru Hoa Hoa-hong dengan kening berkerut.
"Bukan hanya beracun, bahkan racunnya sangat lihai."
"Apakah masih ada harapan untuk ditolong?"
Toan Giok tertawa. "Walaupun aku tidak ahli dalam urusan membunuh, tapi menolong orang adalah ahlinya."
Sambil tersenyum dia menggulung lengan baju sendiri, kemudian ujarnya lebih jauh, "Kau
cukup membantu aku memanaskan sepoci arak kualitas baik, kujamin akan kubuat dia menjadi
manusia hidup lagi."
Hoa Hoa-hong melirik sekejap ke arahnya dengan sorot mata ragu dan penuh curiga,
gumamnya, "Jangan-jangan orang ini sedang menipu arakku?"
Ternyata Toan Giok tidak sedang menipu araknya, dia pun tidak mengibul atau omong besar,
anak muda ini benar?benar memiliki kepandaian yang luar biasa.
Mula-mula dia menghirup arak seteguk, lalu arak itu disemburkan ke atas mulut luka orang itu,
setelah itu dari dalam sakunya dia mengeluarkan Bi-giok-to yang berwarna hijau pupus itu dan
mulai mengorek daging busuk di sekeliling mulut luka.
Menanti darah hitam yang meleleh keluar dari mulut luka itu berubah merah segar, ia baru
mencampur bubuk obat ke dalam arak panas kemudian dibubuhkan di seputar luka.
Selesai semua itu, dia menghembuskan napas panjang dan berkata sambil tertawa, "Sekarang
kau tentu percaya bukan bahwa aku bukan sedang mengibul?"
"Tidak kusangka ternyata kau memang mempunyai kepandaian hebat," sahut Hoa Hoa-hong
sambil tersenyum. "Bukan hanya itu saja kepandaianku, sesungguhnya aku masih memiliki kemampuan lain."
"Kau benar-benar dapat mengobati berbagai macam penyakit?"
"Hanya satu macam penyakit yang tak dapat kuobati." "Penyakit apa?"
"Penyakit lapar."
Setelah menghela napas, lanjutnya sambil tertawa getir,
"Boleh tahu, di tempatmu ini apakah tersedia obat mujarab yang bisa dipakai untuk mengobati
penyakit laparku?" "Kau ingin makan apa?" tanya Hoa Hoa-hong sambil tertawa.
"Kau punya apa saja di sini?"
"Tempat ini hanya sebuah rumah kosong, mana mungkin tersedia aneka makanan?"
"Jadi seorang manusia pun tak ada?"
"Tak ada!" "Kau sendiri tak bisa menanak nasi?"
" Tidak, tapi aku bisa pergi membeli."
Kali ini ia pun tidak omong besar, nona itu membuktikan dia memang pandai berbelanja.
Baru saja Toan Giok merebahkan orang sakit itu di dalam rumah, tak selang berapa lama Hoa
Hoa-hong telah pulang membeli aneka macam bungkusan, ada bungkusan besar, ada pula
bungkusan kecil. Ketika bungkusan pertama dibuka, ternyata isinya adalah udang bago masak saus tiram.
Berkilat mata Toan Giok, serunya sambil tertawa, "Wah, udang besar ini pasti udang masakan
rumah makan Thay-hap? lau!"
Bungkusan kedua berisi baikut panggang.
"Kalau masakan baikut ini pasti berasal dari rumah makan Gui-goan-koan!"
Bungkusan ketiga adalah bakpao.
"Apakah bakpao ini adalah bakpao daging bikinan rumah makan Yu-it-cun?" seru Toan Giok.
Bungkusan keempat berisi potongan daging panggang, setiap potong paling tidak tiga inci
tebalnya. Sambil membasahi bibirnya dengan ludah, kata Toan Giok seraya tertawa senang, "Kalau ini
daging panggang dari rumah makan Ong-heng-seng di lorong Cing-hap-hong."
Bungkusan kelima berisi hi-wan, bakso yang terbuat dari daging ikan segar.
Kembali Toan Giok memuji, "Bakso ikan buatan Gwe-lau memang terkenal akan kegurihan dan
kekenyalannya." Bungkusan keenam berisi ca rebung.
"Ehm, kalau ini ca rebung!" seru Toan Giok.
Mendengar ocehan pemuda itu, Hoa Hoa-hong tertawa tergelak, pujinya, "Tak kusangka
ternyata kau memang ahli makan."
"Ah, sekalipun belum pernah mencicipi daging babi, paling tidak aku pernah melihat babi
berjalan." Padahal semua hidangan itu jangankan dicicipi, melihat pun belum pernah, dia hanya pernah
mendengar orang bercerita akan hal ini.
Ca rebung dari telaga Se-ouw memang amat tersohor di seantero kolong langit.
Bungkusan terakhir berisi ayam goreng dari gang Thay peng serta sebotol arak Tiok-yap-cing
dari dusun Sin-hoa- cun. Kecuali berada di telaga Se-ouw, mungkin hanya sewaktu bermimpi kau baru bisa mencicipi
semua hidangan itu. Kenyataan, rumah makan Gwe-goan-koan, Ong-huan-ji, Tek-gwe-lau dan
lain-lain merupakan tempat-tempat yang sering diimpikan setiap orang.
Sementara Toan Giok masih menikmati semua hidangan itu dengan santai, mendadak Hoa Hoahong
mengeluarkan selembar kertas dari dalam keranjang belanjanya, lalu dengan mengulum
senyuman yang misterius tanyanya, "Tahukah kau siapa orang yang berada dalam lukisan ini?"
Di atas kertas itu terlukis wajah seseorang, seorang pemuda tampan dengan senyuman yang
manis. Di bawah lukisan itu, tertera sederet tulisan dengan huruf benar, "Dicari: hadiah lima ribu tahil
perak". Orang yang dikenal Toan Giok memang tidak terlalu banyak, tapi dengan lukisan orang itu, dia
sangat mengenalnya. Karena orang itu tak lain adalah dirinya sendiri.
Ditatapnya lukisan di atas kertas itu, lalu meraba wajah sendiri, setelah tertawa getir
gumamnya, "Lukisan ini tidak terlalu mirip, gambar ini jauh lebih tampan ketimbang wajah asliku."
"Mungkin kau sendiri pun tidak menyangka bukan kalau dirimu masih laku dijual lima ribu tahil
perak," ejek Hoa Hoa? hong sambil tertawa.
Toan Giok menghela napas panjang.
"Ai, entah siapa yang rela mengeluarkan uang sebesar lima ribu tahil perak hanya untuk
mencari diriku?" "Masa tak bisa kau duga?"
"Maksudmu Thiat Sui?"
"Tepat sekali!"
"Dengan orang ini aku tak punya dendam, tak punya permusuhan, aku benar-benar tak habis
mengerti, mengapa dia bermusuhan dengan aku?"
"Tampaknya dia memang enggan melepas dirimu begitu saja. Pengumuman semacam ini paling
tidak telah tersebar ribuan lembar di setiap pelosok kota, mungkin dalam setiap rumah makan
maupun rumah penginapan telah tertempel beberapa lembar."
Kemudian setelah tertawa, kembali gadis itu melanjutkan, "Aku yakin dalam kota Hangciu saat
ini, sedikit sekali orang yang tidak mengenali wajahmu lagi."
"Ehm, lima ribu tahil perak memang tidak terhitung sedikit."
"Tentu saja tidak sedikit, demi uang lima ribu tahil perak, ada sementara orang yang rela
menjual nama baik leluhurnya."
"Oleh sebab itu aku sudah tak bisa berpikir lagi cara mengatasinya."
"Sekarang pada hakikatnya kau sudah tak dapat pergi kemana pun. Sekalipun tak ada iming
iming hadiah sebesar lima ribu tahil perak, pembunuh yang telah menghabisi nyawa seseorang
merupakan musuh masyarakat yang dibenci setiap orang. Begitu kau keluar selangkah dari tempat
ini, pasti ada orang yang segera melaporkan kemunculanmu itu kepada Thiat Sui."
Toan Giok tertawa getir sambil menggeleng kepala berulang kali, gumamnya, "Pembunuh, aku
sendiri pun tak habis pikir, kenapa secara tiba-tiba aku bisa berubah jadi pembunuh" Janganjangan
ini pun termasuk nasibku?"
"Kau benar tak habis berpikir?" tanya Hoa Hoa-hong.
Toan Giok menuang secawan arak, meneguknya hingga habis.
Terdengar Hoa Hoa-hong berkata lagi, "Coba kau pikir, paling baik lagi bila dibayangkan sejak
awal." Kembali Toan Giok memenuhi cawan araknya, setelah itu baru berkata, "Waktu itu, ketika
pertama kali kau melihat diriku, baru saja aku tiba di sini."
"Kemudian?" "Kemudian secara kebetulan aku melihat kejadian itu, Hoa Ya-lay pun secara kebetulan
muncul." "Kemudian kau pun mengikuti dia masuk ke kamar tidumya," sambung Hoa Hoa-hong cepat.
"Ketika aku muncul kembali dari rumah itu, secara kebetulan aku bertemu Kiau-losam yang
suka mencampuri urusan orang."
"Betul, dan dia minta kau datang ke Hong-lin-si untuk mencari Tosu bermarga Ku."
Toan Giok manggut-manggut.
"Sebenarnya belum tentu aku bisa menemukan tempat itu, tapi secara kebetulan bertemu
dirimu." "Ya, karena secara kebetulan aku tabu dimana letak Hong lin-si."
"Ternyata dalam biara Hong-lin-si memang terdapat seorang yang bernama Ku-tojin. Bukan
saja telah bertemu dengan dirinya, bahkan berkenalan pula dengan dua orang teman baru dan
berhasil menangkan puluhan laksa tahil perak, kusangka nasibku memang sedang mujur."
"Kebetulan mereka pun mengetahui kejadian ini, maka minta kepadamu untuk pergi mencari
Hoa Ya-lay," sambung Hoa Hoa-hong.
Toan Giok menghela napas panjang.
"Ya, karena itu secara tiba-tiba aku berubah menjadi seorang pembunuh, secara kebetulan
golok yang ditemukan di tubuh sang korban adalah golok milikku."
"Kau anggap di dunia ini benar-benar terdapat kejadian
yang begitu kebetulan?"
"Aku rasa hal semacam ini tak mungkin terjadi, tapi apa mau dikata, aku justru telah
menjumpainya," sahut Toan Giok tertawa getir.
Hoa Hoa-hong ikut menghela napas panjang.
"Kejadian ini pada hakikatnya seperti kejatuhan segepok Goanpo dari tengah udara sewaktu
kau berjalan di tengah jalan dan Goanpo itu menimpa di atas kepalamu."
"Tapi justru merasa seolah tubuhku saat ini sudah dimasukkan ke dalam sebuah peti besar,
bahkan peti itu adalah sebuah peti mati yang sangat rapat dan tak tembus udara."
"Siapa yang memasukkan dirimu ke dalam peti" Hoa Ya lay atau Thiat Sui?"
"Aku tak bisa menjawab."
"Masa kau tak pernah berpikir, mungkin saja kau sendiri yang telah memasukkan dirimu ke
dalam peti itu?" "Sudah pasti bukan diriku sendiri, tentu ada seseorang lain dan orang itu entah mengapa
berniat mencelakai diriku. Mungkin jauh sebelum aku tiba di sini, dia telah menyiapkan sebuah
liang perangkap di tempat ini dan menanti aku terjerumus ke dalamnya."
Selesai meneguk cawan arak keempat, sepatah demi sepatah dia menambahkan, "Tapi kau tak
usah kuatir! Cepat atau lambat aku pasti berhasil menyeret keluar orang itu."
Hoa Hoa-hong menghela napas panjang, katanya, "Aku hanya kuatir sebelum kau berhasil
menyeretnya keluar, dirimu sudah terkubur lebih dulu di balik lumpur di dasar telaga."
Ia memenuhi cawan sendiri dengan arak, kemudian menuangkan pula untuk Toan Giok.
Sekarang Toan Giok merasa seakan tak mampu lagi menghabiskan arak itu, ia merasa arak
yang diminum kini rasanya amat getir.
Dia sama sekali tidak menyadari, ada seseorang telah berjalan menghampiri mereka secara
diam-diam, kemudian mengawasi kertas pengumuman yang tergeletak di atas meja.
Orang itu mempunyai paras muka yang lebih putih daripada kertas, namun memiliki sepasang
mata yang tajam sekali. Bila seseorang pernah dimasukkan ke dalam peti, tanpa memiliki nasib yang istimewa, rasanya
sulit untuk berjalan keluar lagi dari dalam peti dalam keadaan hidup.
Bag 7. Memancing naga hijau di bawah sinar rembulan.
Tidak banyak manusia yang pernah dimasukkan ke dalam peti, lebih sedikit lagi yang bisa lobos
dan peti dalam keadaan selamat.
Orang itu dapat bertemu Toan Giok, boleh dibilang merupakan nasib mujurnya.
Sekarang ia sudah bisa duduk, tapi sepasang matanya sedang mengawasi kertas pengumuman
di meja dengan mata melotot.
Paras muka Hoa Hoa-hong ikut berubah, tapi Toan Giok masih tersenyum, malah tanyanya,
"Menurut kau, apakah dia mirip seorang pembunuh?"
"Tidak mirip!" jawab orang itu.
Akhimya orang itu buka suara juga!
Tampaknya Toan Giok semakin kegirangan, lagi-lagi ujarnya sambil tertawa, "Aku pun merasa
tidak mirip." "Orang lain menuduh dia membunuh siapa?" tiba-tiba orang itu bertanya lagi.
"Seseorang yang sama sekali belum pernah dijumpainya, orang itu she Lu bemama Siau-hun."
"Padahal Lu Siau-hun bukan mati dibunuh olehnya."
"Tentu saja bukan," sahut Toan Giok sambil tertawa getir. "Akan tetapi bila ada sepuluh orang
mengatakan kau telah membunuh orang, maka secara tiba-tiba kau pun akan berubah menjadi
seorang pembunuh." Perlahan-lahan orang itu mengangguk.
"Aku bisa merasakan bagaimana rasanya menerima tuduhan semacam itu, karena aku pun
pernah dimasukkan orang ke dalam peti," katanya.
"Tapi sekarang kau berhasil lobos dari dalam peti dan dialah yang telah menyelamatkan
jiwamu," tak tahan Hoa Hoa-hong menimbrung.
Sekali lagi orang itu mengangguk, mengangguk perlahan.
"Oleh karena itu, meski kau tak berdaya menyelamatkan dirinya, paling tidak kau pun tidak
seharusnya menginginkan lima ribu tahil perak itu," kata Hoa Hoa-hong lagi.
Tiba-tiba terlintas perasaan pedih dan menderita di wajah orang itu, sahutnya dengan sedih,
"Aku memang tak mampu menyelamatkan dia, sekarang aku hanya ingin minum arak."
"Oh, jadi kau pun pandai minum arak?" tegur Toan Giok sambil tertawa.
Orang itu tertawa, senyumannya amat getir, sahutnya, "Buat orang yang pernah dimasukkan
ke dalam peti, paling tidak dia pasti pandai minum."
Ternyata arak yang diteguknya tidak sedikit.
Kenyataan dia minum arak begitu cepat dan banyak, cawan demi cawan sambung
menyambung. Pada hakikatnya dia tak pernah berhenti meneguk.
Semakin banyak yang diteguk, semakin pucat paras mukanya, mimik penderitaan pun makin
lama semakin menebal. Toan Giok memandangnya sekejap, kemudian setelah menghela napas, katanya, "Aku tahu,
kau ingin sekali membantu diriku, namun sekalipun kau tak bisa membantu pun tak perlu sedih
dan menderita, karena sekarang memang tak ada orang yang bisa menyelamatkan aku dari dalam
peti besar." Mendadak orang itu mendongakkan kepala dan menatap pemuda itu, tanyanya, "Bagaimana
rencanamu?" "Mungkin saja saat ini tinggal sebuah jalan yang dapat kutempuh," jawab Toan Giok setelah
berpikir sejenak. "Jalan yang mana?"
"Temukan dahulu Hoa Ya-lay, sebab hanya dia seorang yang dapat membuktikan kalau kemarin
malam aku memang berada di dalam rumah itu. Siapa tahu hanya dia pula yang tahu siapakah
pembunuh Lu Siau-hun yang sebenarnya."


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" tanya orang itu.
"Sebab hanya dia pula yang tahu jejak Lu Siau-hun selama beberapa hari belakangan ini."
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Selama beberapa hari ini Lu Siau-hun pasti berada bersamanya, karena itu untaian mutiara
serta lencana Giok-pay dari keluarga Lu terjatuh ke tangannya."
"Kau dapat menemukan dirinya?" tanya orang itu.
"Hanya ada satu cara bila ingin menemukan dirinya."
"Cara apa?" "Dia bagaikan seekor ikan. Bila ingin memancing ikan besar, kau harus menyiapkan dulu
umpannya." "Kau hendak menggunakan apa sebagai umpan?"
"Menggunakan diriku sendiri!"
"Menggunakan dirimu sendiri" Tidak kuatir tertelan olehnya?" tanya orang itu dengan kening
berkerut. Toan Giok tertawa getir. "Kalau sudah dimasukkan ke dalam peti besar, apa bedanya dimasukkan ke dalam perut ikan?"
katanya. Orang itu termenung, kembali dia habiskan tiga cawan arak, kemudian baru ujamya, "Padaha]
tidak seharusnya kau ucapkan perkataan itu kepadaku, karena aku tak lebih hanya seorang asing.
Kau sama sekali tidak mengetahui asal-usulku."
"Tapi aku mempercayaimu!"
Orang itu segera mendongakkan kepala. Dan balik matanya yang sayu segera terpancar
perasaan terharu dan terima kasihnya.
Bila tanpa sengaja kau menyelamatkan seseorang, hal semacam ini bukanlah suatu kejadian
yang mengharukan, tapi bila kau dapat memahami perasaannya, dapat mempercayainya, maka
hal ini jelas berbeda sekali.
Tapi bila secara kebetulan Toan-loyacu berada di situ, dia pasti akan marah besar.
Sebab Toan Giok kembali melupakan nasehat dan pesannya, "Jangan bersahabat dengan
seorang asing yang tak jelas asal-usulnya".
Tiba-tiba Toan Giok membalikkan tubuh, mengambil sebuah cawan arak dari sisi jendela.
Dalam cawan itu tak ada arak, hanya ada sebuah benda yang berkilat tajam, bentuknya mirip
kait ikan, tapi di atas kait masih tersisa noda darah yang belum mengering.
"Inilah senjata rahasia yang berhasil kukorek keluar dari tubuhmu," ujar Toan Giok kemudian.
"Tak ada salahnya kau simpan sebagai kenang-kenangan."
"Kenang-kenangan apa?"
"Kenang-kenangan untuk pelajaran kali ini," sahut Toan Giok sambil tertawa, "agar di kemudian
hari tidak membiarkan orang lain membokongmu dari belakang, atau paling tidak memperkecil
peluangnya untuk berbuat demikian."
Orang itu masih meneguk arak tiada hentinya, jangankan menerimanya, berpaling untuk
melihat sekejap pun malas.
"Kau tak ingin melihat senjata rahasia macam apakah ini?" tanya Toan Giok.
Dengan malas orang itu mendongakkan kepala dan memandang sekejap.
"Kelihatannya mirip sebuah pancing ikan."
"Ya, memang agak mirip," sahut Toan Giok sambil tertawa.
Tiba-tiba orang itu ikut tertawa, ujarnya, "Oleh sebab itu tak ada salahnya memakai kail itu
untuk memancing ikan."
"Memangnya benda ini bisa dipakai untuk mengail ikan?"
"Bukan hanya bisa mengail ikan, terkadang malah bisa memancing seekor naga besar."
Toan Giok mulai tertawa, dia menganggap orang itu sudah mulai mabuk.
Namun orang itu kembali berkata, "Di dalam air bukan saja ada ikan, juga ada naga. Ada naga
besar, juga ada naga kecil, ada naga betulan, ada juga naga gadungan, ada naga putih, naga
merah, bahkan naga hijau."
"Naga hijau?" "Naga hijau adalah sejenis naga yang paling susah dihadapi. Bila kau ingin memancing naga
hijau, lebih baik pergilah pada malam ini, karena malam ini adalah malam bulan dua tangggal dua,
saat naga mendongakkan kepala."
Dia memang sudah mabuk, karena semua perkataannya adalah kata-kata orang mabuk.
Hari ini jelas sudah lewat bulan tiga, kenapa dia mengatakan masih bulan dua tanggal dua saat
naga mendongakkan kepala"
Kini dia tak bisa lagi mengangkat kepala, kemudian bukan saja mulutnya tak bisa bicara lagi,
tangannya gemetar, mendadak cawan dalam genggamannya terjatuh ke tanah, jatuh dan hancur
berantakan. "Ah, ternyata dia adalah orang macam begini," seru Hoa Hoa-hong tak tahan untuk tertawa.
"Tak heran ia dimasukkan orang ke dalam peti besar."
Namun Toan Giok tidak menjawab, dia hanya mengawasi mata kail dalam cawan dengan
termangu, dia seolah tidak mendengar apa yang barusan dikatakan gadis itu.
Bakpao buatan rumah makan Yu-it-cun memang amat tersohor. Oleh sebab itu harganya sedikit
lebih mahal daripada bakpao buatan tempat lain, selain rasanya memang luar biasa lezat, tak
pernah ada pembeli yang protes ataupun menggerutu. Tapi bila dimakan setelah bakpaonya
dingin, rasanya jadi tak keruan, bahkan terkadang jauh lebih tak enak ketimbang bakpao hangat
buatan tempat lain. Toan Giok sedang mengunyah bakpao dingin, tiba-tiba ia menemukan sebuah teori yang
dulunya belum pernah terpikir olehnya.
Dia menganggap tak ada kejadian yang "pasti" di dunia ini. Kalau memang tak ada bakpao
yang "pasti" enak, berarti tak ada pula bakpao yang "pasti" tak enak. Enak tidaknya sebiji bakpao
tergantung pada saat apa kau memakannya dan berada dimana.
Sebuah benda yang sama, bila berganti waktu atau dipandang dan sudut yang berbeda,
kemungkinan besar akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda pula.
Oleh sebab itu bila kau ingin mencari tahu duduk persoalan yang sebenarnya dari suatu
masalah, cobalah memandang dan menganalisa dan sudut pandang yang berbeda.
Paling baik bila satu per satu dipilah dan diurai sebelum satu per satu disambung dan disatukan
kembali. Tampaknya teori ini telah memberi banyak masukan dan petunjuk bagi Toan Giok, dia seakanakan
terpesona, saking kesemsemnya sampai bakpao yang sudah dikunyah dalam mulut pun lupa
ditelan. Pintu di seberang sana dilapisi sebuah tirai kain, tirai itu bersulamkan sebuah lukisan bunga di
malam musim semi. Hoa Hoa-hong telah berjalan masuk ke dalam, tampaknya ruangan itu adalah kamar tidurnya.
Lelaki asing yang keluar dari dalam peti itu telah dipapah Toan Giok untuk dibaringkan dalam
sebuah ruangan lain. Tampaknya dia mabuk berat. Saat ini dalam keadaan tak sadarkan diri.
Takaran arak tidak selalu menunjukkan kemampuan minum seseorang.
Sekalipun kondisi tubuhmu kuat, bila pikiran dan perasaanmu sedang kalut, sedikit saja minum
arak, kadangkala sudah cukup membuat dirimu mabuk.
Toan Giok menghela napas, dia memenuhi cawan sendiri dengan arak. Rencananya sehabis
minum secawan, dia akanpergi memancing ikan.
Siapa tahu ia benar-benar berhasil mendapatkan seekor naga, bukankah tak ada kejadian yang
tak mungkin di dunia ini" Pada saat itulah dari balik tirai kamar muncul sebuah tangan.
Tangan yang halus dan lembut, sedang menggapainya agar dia masuk ke dalam.
Mana boleh seorang lelaki sembarangan masuk ke kamar tidur seorang gadis"
Toan Giok agak sangsi. "Ada apa?" tanyanya.
Tiada jawaban. Tiada jawaban terkadang merupakan jawaban yang paling baik.
Meski dalam hati kecilnya Toan Giok masih penuh diliputi kesangsian, namun sepasang kakinya
telah bangkit dan berjalan menghampiri ruang kamar itu.
Pintu berada dalam keadaan terbuka, bau harum semerbak terendus dan balik ruangan,
menyusul di atas ranjang berkelambu teronggok beberapa stel pakaian, salah satu di antaranya
adalah pakaian yang baru saja dikenakan Hoa Hoa hong.
Jelas baru saja dia mencoba beberapa stel pakaian sebelum akhirnya memutuskan mengenakan
salah satu di antaranya. Tapi sekarang dia telah melucuti kembali pakaiannya dan berganti dengan satu stel pakaian
hitam yang sangat ketat, rambutnya dibungkus pula dengan kain hitam, dandanannya sekarang
tak berbeda dengan dandanan bandit wanita yang siap melakukan pencurian.
"Eh, apa yang hendak kau lakukan?" tegur Toan Giok dengan kening berkerut.
Hoa Hoa-hong berputar beberapa kali di depannya, kemudian bertanya, "Menurutmu, aku mirip
orang yang mau kemana?"
"Kau lebih mirip bandit wanita."
Hoa Hoa-hong segera tertawa, tertawa manis.
"Jika bandit wanita pergi bersama seorang pembunuh, orang yang melihatnya pasti akan
gempar." "Jadi kau hendak mengajak aku keluar?"
"Kalau tidak keluar, buat apa aku mesti mengenakan pakaian macam begini?"
"Tapi aku hanya ingin pergi memancing ikan."
"Kalau begitu kita pergi memancing ikan."
"Kau tak boleh ikut," cegah Toan Giok. "Kenapa?"
"Orang yang memancing ikan terkadang bisa juga dilarikan ikan yang hendak dipancing, kau
tidak kuatir ditelan ikan besar?"
"Baguslah kalau begitu, setiap hari aku makan ikan, apa salahnya kalau sekali-kali aku
merasakan dimakan ikan?"
"Kau sangka aku sedang bergurau" Tahukah kau betapa berbahayanya masalah ini?"
"Kalau aku tidak melihatnya, lantas buat apa mesti pergi menemanimu?" jawab Hoa Hoa-hong
santai. Biarpun jawaban itu disampaikan amat ringan dan tanpa beban, namun dari sorot matanya
dapat terlihat betapa perhatian dan rasa kuatirnya atas keselamatan Toan Giok, bahkan dia
menunjukkan pula sikap dan tekadnya untuk mati-hidup, gembira-susah bersama anak muda itu.
Luapan perasaan semacam ini seharusnya bisa dirasakan setiap pria yang mendengamya,
kendatipun dia adalah manusia yang terbuat dari balok kayu.
Toan Giok bukan manusia yang terbuat dari balok kayu, perasaan hatinya telah berubah
menjadi segumpal bola gula yang tercebur ke dalam air.
Tampaknya ia sudah tak berani memandangnya lebih Ianjut, kini dia alihkan sorot matanya
mengawasi gaun hijau apel yang tergeletak di atas ranjang.
"Pakaianmu ini sungguh indah," katanya.
Hoa Hoa-hong mengerlingnya sekejap, tak tahan serunya sambil tertawa, "Apakah kau tidak
merasa, sejak tadi aku sedang menunggu perkataanmu itu" Apakah perkataanmu sekarang tidak
kelewat terlambat untuk disampaikan?"
Toan Giok pun tak tahan ikut tertawa.
"Disampaikan sedikit terlambat jauh lebih mendingan daripada sama sekali tidak dikatakan,
bukan begitu?" Kembali Hoa Hoa-hong tersenyum, ia membalikkan badan dan segera menutup pintu kamar.
Bukankah sudah siap pergi dari situ" Mengapa secara tiba-tiba ia menutup pintu kamar"
Tiba-tiba jantung Toan Giok mulai berdebar, berdebar kencang sekali.
Kini Hoa Hoa-hong telah mengunci pintu kamar tidurnya..
Jantung Toan Giok berdebar begitu keras hingga nyaris melompat keluar dari rongga dadanya.
Sejak kecil hingga dewasa, belum pernah ia jumpai situasi seperti ini.
Apakah dia benar-benar tak tahu bagaimana harus bersikap"
Hoa Hoa-hong telah membalikkan badan, ujarnya sambil tersenyum, "Sekarang, biarpun orang
yang berada di kamar sebelah mendusin pun, dia tak bakal tahu apa yang sedang kita lakukan."
Senyumannya tampak sangat manis, sangat indah menawan.
Merah padam wajah Toan Giok, tanyanya agak tergagap,
"Apa yang hendak kita lakukan?"
"Bukankah kau mengatakan akan pergi memancing ikan?"
"Masa memancing ikan dalam kamar?"
Hoa Hoa-hong tertawa cekikikan, tiba-tiba saja paras mukanya berubah merah padam.
Akhirnya dia mengerti juga apa yang sedang dipikirkan Toan Giok.
Apalagi bagi muda-mudi yang mulai menginjak dewasa.
Hoa Hoa-hong menyerahkan sebuah dayung kepada Toan Giok.
Tanpa bicara Toan Giok menerima dayung itu dan duduk di sampingnya, maka dua buah
dayung pun mulai mendayung di atas permukaan air, mendayung bersama.
Di bawah cahaya rembulan, butiran air yang gemercik tampak bagaikan perak yang berserakan.
Air telaga telah pecah, pecah menjadi pusaran air yang melingkar, lingkaran demi lingkaran
membentur pusaran yang lembut.
Siapakah yang sedang meniup seruling di kejauhan sana"
Mereka menikmati suara seruling itu dengan tenang, mendengarkan suara dayung-mereka
dengan seksama. Ternyata suara dayung terdengar jauh Iebih merdi , daripada suara seruling, Iebih berirama,
dua pasang tangan seakan telah berubah menjadi satu tubuh.
Mereka berdua tak ada yang bicara.
Tapi kedua orang itu dapat merasakan, belum pernah mereka seakrab dan serapat ini dengan
orang lain. Bila dua hati telah tertaut menjadi satu, buat apa banyak bicara"
Entah berapa lama sudah lewat, akhimya Toan Giok menghela napas sambil berkata, "Betapa
nikmatnya bila aku tidak direcoki berbagai persoalan yang memusingkan kepala."
Hoa Hoa-hong tidak langsung menjawab, dia termenung sampai lama sekali sebelum
menyahut, "Bila tiada berbagai kesulitan yang menimpa dirimu, di atas perahu sekarang tiada kau,
juga tak akan ada aku."
Toan Giok menatap wajahnya, begitu pula gadis itu pun menatap Toan Giok, tangan mereka
telah dijulurkan ke depan saling bersentuhan, tapi dengan cepat ditarik kembali. Meski hanya
sentuhan yang amat singkat, namun jauh lebih berarti daripada beribu patah kata.
Sampan kecil telah merapat ke tepian.
Pohon Liu tumbuh rimbun sepanjang pantai. Di sinilah Toan Giok bertemu dengan Kiau-losam.
Sambil meletakkan dayungnya, kata Hoa Hoa-hong, "Kau minta aku membawamu kemari, apa
yang harus kita lakukan sekarang"
"Sekarang kita mendarat, aku ingin melakukan pencarian sekali lagi."
"Menyatroni rumah itu?"
"Aku tetap tak percaya telah mendatangi tempat yang salah"
"Di dunia ini banyak terdapat orang yang salah mengetuk pintu, karena mereka pun tidak
percaya kalau dirinya telah mendatangi tempat yang salah."
"Itulah sebabnya aku harus mencarinya sekali lagi."
Kali ini dia bertindak lebih hati-hati, nyaris setiap sudut rumah dan tempat diperiksa dan diamati
cukup lama. Beruntung malam kelam, tiada orang yang menyaksikan perbuatan mereka. Kalau tidak, sudah
pasti perbuatannya akan dianggap sebagai usaha begal akan mencuri atau merampok.
Cukup lama mereka berdua melakukan pencarian dan penggeledahan, sudah
puluhan rumah disatroni. Kesimpulan terakhir, tempat yang didatangi Toan Giok siang hari tadi
memang tidak salah. "Apakah tempat ini yang kau datangi bersama Ku-tojin sekalian pada siang tadi?" tanya Hoa
Hoa-hong. Toan Giok manggut-manggut.
"Tempat ini juga rumah yang kau datangi bersama Hoa Ya-lay pada kemarin malam?"
"Rasanya tak mungkin salah."
"Lalu mengapa Thiat Sui bisa muncul di sini" Bahkan sudah menempatinya cukup lama?"
"Inilah persoalan pertama yang harus kuselidiki hingga tuntas."
Dalam halaman tiada cahaya lentera, juga tak terdengar suara apa pun.
"Kau ingin masuk ke dalam?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Kalau tidak masuk, bagaimana bisa menyelidiki hingga jelas?"
Hoa Hoa-hong menghela napas panjang, bisiknya, "Tapi kali ini bila kau tertangkap Thiat Sui
lagi, aku tak akan mampu membebaskan dirimu."
"Oleh karena itu jangan sekali-kali kau ikuti aku masuk ke dalam."
Hoa Hoa-hong tertawa, dia hanya tertawa dan tidak berkata apa -apa.
Toan Giok sendiri pun tak berdaya untuk bicara lebih jauh, sebab gadis itu sudah masuk lebih
dulu, ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya terhitung cukup Iihai.
Suasana di dalam halaman gedung amat sepi, bunga-bunga mawar yang berada di bawah
cahaya rembulan meski tidak sesegar siang hari, namun terlihat lebih lembut dan menggoda.
Setelah berada di situ, mereka baru tahu bahwa dalam ruangan terlihat ada secercah cahaya
lentera. Cahaya lentera yang redup memancar dari balik jendela, membiaskan bayangan tiga pot bunga
yang berada di atasnya. Sambil merendahkan suaranya, Toan Giok berbisik, "Dalam ruangan itulah
kemarin malam aku tidur."
"Hoa Ya-lay?" "Dia pun berada di sana."
Begitu ucapan itu diutarakan, pemuda itu segera sadar kalau dirinya telah salah bicara.
Seketika itu juga paras muka Hoa Hoa-hong berubah bagaikan wajah tukang tagih hutang.
Sambil tertawa dingin, ejeknya, "Hm, kalau begitu, nikmat benar tidurmu semalam."
Merah padam wajah Toan Giok.
"Aku aku ...." "Kalau kau sudah merasakan kenikmatan, apa salahnya sekarang merasakan sedikit
penderitaan?" teriak Hoa Hoa-hong dengan suara keras.
Dia seolah lupa kalau saat ini masih berada dalam halaman rumah orang lain, dia pun seperti
lupa apa maksud kedatangannya.
Konon bila seorang perempuan sedang minum cuka (cemburu), biar kaisar pun tidak
dipedulikan, apalagi hanya Toan Giok.
Dalam keadaan begini, Toan Giok hanya bisa tertawa getir, hatinya panik bercampur gelisah.
Siapa sangka sama sekali tiada gerakan apa pun dari dalam ruangan itu, seakan-akan
penghuninya sudah terlelap seperti babi mampus.
Terlepas mau dipandang dari sudut mana pun, mustahil Thiat Sui bisa tertidur begitu nyenyak
seperti babi mampus. Beda dengan Hoa Ya-Iay, konon perempuan jalang biasanya amat gemar tidur.
Apakah malam ini dia tidak berada di sini" Mungkinkah Hoa Ya-lay telah balik kemari"
Sambil menggigit bibir, Hoa Hoa-hong merangsek maju, kemudian dengan kuku jarinya ia


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubangi kertas jendela. Perempuan ini memang tak punya bakat menjadi pencuri, dia tak tahu membasahi jari
tangannya lebih dulu dengan air ludah hingga ketika merobek kertas jendela tak menimbulkan
suara. "Kres!", dengan cepat dia telah membuat sebuah lubang besar di kertas jendela.
Kini paras muka Toan Giok telah berubah sedikit pucat. Siapa tahu dari dalam ruangan tetap
tak terdengar sedikit suara pun.
Mungkinkah ruangan itu tanpa penghuni" Ternyata benar, rumah itu memang kosong tanpa
penghuni. Bukan saja tanpa penghuni, bahkan semua barang yang berada dalam ruangan itu pun telah
dipindah keluar, kini rumah itu telah berubah menjadi sebuah rumah kosong, hanya tersisa tiga
buah pot bunga di luar jendela yang lupa dibawa pergi.
Toan Giok tertegun, begitu juga dengan Hoa Hoa-hong.
Lama sekali kedua orang itu berdiri termangu-mangu, akhirnya Hoa Hoa-hong berkata,
"Mungkin bukan tempat ini yang kau datangi siang tadi."
Toan Giok manggut-manggut.
"Sepeninggalmu, Hoa Ya-lay pasti takut kau datang lagi mencarinya, maka cepat ia pindah dari
sini," kata Hoa Hoa-hong lagi.
"Lalu dimanakah letak rumah yang kudatangi siang tadi?" tanya Toan Giok ragu-ragu.
"Mungkin saja berada di seputar sini, tapi sekarang kau pun gagal menemukannya kembali."
Toan Giok menghela napas, ujarnya sambil tertawa getir, "Mungkin aku telah bertemu setan
hidup." "Hm, kau memang telah bertemu setan, bahkan setan perempuan," ejek Hoa Hoa-hong sambil
tertawa dingin. Toan Giok tak berani menjawab dan beruntung dia tidak menjawab lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara suitan yang sangat aneh berkumandang dari luar
sana. Biasanya suara suitan semacam ini merupakan kode rahasia bagi mereka yang sedang
melakukan perjalanan malam. Benar saja, di luar sana terdapat orang yang sedang melakukan
perjalanan malam, terdengar ada dua ora ng sedang bercakap-cakap di luar sana.
"Kau yakin di sini tempatnya?"
"Tak mungkin salah, aku baru saja kemari satu bulan berselang."
"Tapi mengapa tak ada orang yang keluar dari rumah itu?"
"Mungkin saja sudah tertidur."
"Sekalipun sudah tidur, masa mereka tidur seperti orang mati?"
"Jago silat mana yang berani mencari gara-gara di sini"
Orang yang sudah terbiasa hidup tenang, biasanya akan tidur jauh lebih nyenyak."
"Tapi ...." "Bagaimana pun juga aku tak bakal salah tempat. Ayo, lebih baik kita masuk dulu."
"Masuk begitu saja?"
"Kita adalah orang sendiri, apa yang mesti ditakuti?" Biarpun ucapan itu muncul dari luar
dinding pekarangan, namun di tengah malam yang hening dapat terdengar sangat jelas.
Toan Giok segera memandang Hoa Hoa-hong sekejap,
kemudian bisiknya, "Kelihatannya kedua orang itu adalah sahabat pemilik rumah ini."
"Oleh sebab itu kita harus menanyai mereka. Paling tidak harus tahu siapa sebenarnya tuan
rumah tempat ini." Tidak menunggu persetujuan dari Toan Giok, ia sudah melompat keluar lewat jendela.
Kebetulan kedua orang di luar itu sedang melompat
masuk melalui tembok pekarangan; ternyata mereka berdua
sama-sama mengenakan pakaian ringkas. Jelas merupakan jago silat yang sedang menempuh
perjalanan malam. Begitu bertemu Hoa Hoa-hong, kedua orang itu segera membalikkan sebelah tangan
menghadap langit sementara jari
tangan yang lain menuding ke bumi, memperagakan sebuah gerakan yang aneh sekali.
Temyata Hoa Hoa-hong segera memperlihatkan pula gerakan tangan yang aneh.
Menyusul terdengar kedua orang itu mengajukan sebuah
pertanyaan yang sangat aneh, "Hari ini bulan berapa tanggal berapa?"
Hoa Hoa-hong memutar biji matanya, lalu menjawab,
"Bulan dua tanggal dua."
Kedua orang itu segera menghembuskan napas lega,
sekulum senyuman pun tersungging di ujung bibirnya, serentak
mereka menjura sambil memberi hormat.
Salah seorang di antaranya yang berperawakan tinggi
segera menjura sambil berkata, "Siaute Ciu Lim adalah bulan tiga tanggal tiga, sedang
menjalankan tugas menuju kota Tin-kang. Karena kebetulan lewat di sini, maka kami sengaja
datang berkunjung." "Bagus, bagus!"
"Apakah Liong-lotoa sudah tidur?" kembali Ciu Lim bertanya.
"Dia sedang keluar daerah karena ada urusan. Bila kalian berdua ada masalah, katakan saja
kepadaku." Ciu Lim kelihatan agak sangsi, tapi kemudian katanya sambil tertawa paksa, "Kebetulan nasib
kami kurang mujur, waktu tiba di sini kami kehabisan bekal. Sudah lama kami dengar Liong-lotoa
sangat memperhatikan saudara sendiri, oleh sebab itu kami bermaksud mencari sedikit sangu
untuk melanjutkan perjalanan."
Hoa Hoa-hong segera tertawa tergelak.
"Kita memang orang sendiri. Bila kalian tidak mampir dan sampai ketahuan Liong-lotoa, dia
justru akan marah." Ciu Lim ikut tertawa. "Seandainya kami tidak tahu kalau Liong-lotoa sangat royal, tak nanti berani datang
mengganggu." Hoa Hoa-hong segera berpaling. Sambil menggapai ke arah Toan Giok yang berada dalam
ruangan, katanya, "Ambilkan lima ratus tahil perak dan berikan kepada dua Toako ini untuk
sangu." "Baik," jawab Toan Giok cepat.
Dia terpaksa melompat keluar dan jendela. Baru saja akan mengambil lima lembar uang kertas
dari sepuluh lembar yang dikeluarkan dari dalam saku, Hoa Hoa-hong telah merampasnya dan
berkata sambil tertawa, "Sedikit hadiah, silakan Toako menerimanya."
Dengan wajah berseri-seri Ciu Lim menerima lernbaran uang itu sambil berulang kali
mengucapkan terima kasih.
"Sungguh tak disangka nona Hoa jauh lebih royal daripada Liong-lotoa."
"Ah, terhadap orang sendiri kenapa mesti pelit?" Ciu Lim tertawa.
"Sudah lama kami dengar nama besar nona Hoa, sungguh beruntung hari ini kami bisa
bertemu." "Bila kalian tidak terburu-buru, bagaimana kalau tinggal barang dua hari di sini sambil
menunggu kedatangan Liong-lotoa?"
"Kami tak berani mengganggu, lagi pula kami berdua harus segera kembali untuk memberi
laporan. Bila Liong-lotoa kembali, tolong sampaikan salam kami kepadanya, katakan saja kami
bulan tiga tanggal tiga mengucapkan terima kasih
padanya, semoga semua usahanya lancar dan cepat punya anak."
Hoa Hoa-hong tertawa tergelak, sahutnya, "Aku pun berharap Ciu-toako mendapat nasib mujur,
sekali lempar dadu langsung memperoleh angka empa lima enam."
Ciu Lim tertawa tergelak. Kedua orang itu mengucapkan terima kasihnya berulang kali, bahkan
setelah beranjak pergi pun masih memuji tiada hentinya kalau nona Hoa sangat royal.
"Sekarang meski dia belum lama bergabung dengan perkumpulan, tapi suatu hari nanti dia
pasti bisa naik menjadi Tongcu. Sungguh beruntung bila kita bersaudara dapat bekerja di bawah
perintahnya." Menanti suara mereka sudah pergi jauh, Toan Giok baru menghela napas panjang, ujarnya
sambil tertawa getir, "Kau memang benar-benar royal! Sekali menyumbang, seluruh harta
kekayaanku sudah kau berikan orang hingga ludes."
"Ah, bukankah kau masih memiliki sepuluh laksa tahil perak hasil menang judi yang masih
dititipkan di warung arak Ku-tojin?"
"Darimana kau bisa tahu kalau dalam sakuku selalu tersedia uang perak?"
Hoa Hoa-hong tertawa. "Ketika berada di atas perahu Hoa Ya-lay tempo hari, kau sempat memperlihatkan harta
kekayaanmu. Tidak sekalian kuberikan daun emasmu kepada mereka pun sudah terhitung cukup
sungkan terhadapmu."
Toan Giok tertawa getir. "Harta kekayaan tak boleh diperlihatkan orang, ternyata perkataan ini memang tepat sekali,"
keluhnya. Setelah menghela napas panjang, tak tahan kembali tanyanya, "Tapi hingga sekarang aku tetap
tak habis mengerti, sebenamya apa yang telah terjadi?"
Tiba-tiba paras muka Hoa Hoa-hong berubah jadi series, katanya, "Pernahkah kau mendengar
tentang Cing-liong-hwe (Perkumpulan Naga hijau)?"
Tentu saja Toan Giok pernah mendengamya. Belakangan ini ketiga huruf itu sudah berubah
menjadi semacam mantera setan yang paling misterius dalam dunia persilatan, nama itu seolah
sudah berubah menjadi semacam kekuatan. Bisa membuat orang mati, juga bisa membuat orang
hidup. Kembali Hoa Hoa-hong menerangkan, "Konon Cing?liong-hwe memiliki tiga ratus enam puluh
lima kantor cabang, kebetulan sehari terdiri dari tiga ratus enam puluh lima hari, maka begitu
mereka bertanya kepadaku hari ini bulan berapa tanggal berapa, aku segera teringat perkataan
saudara yang baru keluar dari dalam peti besar itu."
Berkilat mata Toan Giok, ujarnya, "Ya, betul. Dia bilang dalarn telaga terdapat naga, dia pun
bilang hari ini adalah bulan dua tanggal dua."
"Waktu itu aku pun merasa perkataannya sangat aneh. Di balik ucapan itu pasti mengandung
makna yang dalam." "Oleh sebab itu kau mengatakan kalau hari ini adalah bulan dua tanggal dua?"
Hoa Hoa-hong tertawa. "Padahal aku sendiri pun hanya bermaksud mencoba-coba, siapa sangka apa yang kulakukan
ternyata benar dan tepat sasaran."
"Jadi menurutmu, mereka adalah anggota perkumpulan Cing-liong-hwe?"
"Tentu saja." "Dan tempat ini merupakan kantor cabang rahasia Cing liong-hwe?"
"Pemilik tempat ini adalah bulan dua tanggal dua, kantor cabang Cing-liong-hwe. Rasanya
mereka menggunakan tanggal dan bulan sebagai pengganti nama cabang rahasia mereka."
Berkilat sepasang mata Toan Giok.
"Jangan-jangan si Raja pendeta Thiat Sui adalah Liong?lotoa tempat ini?"
"Besar kemungkinan memang begitu."
"Tapi bukankah Thiat Sui adalah seorang Hwesio" Kenapa orang she Ciu itu mendoakan agar
dia cepat punya anak?"
"Seorang Tosu saja boleh berbini, kenapa seorang Hwesio tak boleh punya anak?"
"Tapi bukankah mereka belum pernah berjumpa denganmu, mengapa begitu mempercayai
perkataanmu?" Berkedip mata Hoa Hoa-hong, tiba-tiba tanyanya, "Tadi kau mengatakan dandananku ini mirip
apa?" "Mirip bandit perempuan!"
Hoa Hoa-hong segera tertawa.
"Karena itulah mereka pun menganggap diriku sebagai bandit perempuan, masa kau tidak
mendengar mereka menyebutku sebagai nona Hoa?"
"Ah, ternyata mereka telah menganggap dirimu sebagai Hoa Ya-lay," kata Toan Giok seolah
baru sadar. "Oleh karena itu kau tidak salah tempat, Hoa Ya-lay dan Thiat Sui sama-sama adalah tuan
rumah di sini. Mereka pada
dasarnya memang berasal dari satu keluarga."
Toan Giok menatap tajam wajah gadis itu, tak tahan ia
menghela napas panjang, tiba-tiba saja ia menemukan kalau gadis ini ternyata jauh lebih
cerdas daripada penampilannya.
"Padahal teori itu seharusnya sudah dapat kau duga jauh sebelumnya," ujar Hoa Hoa-hong lagi,
"Hanya saja karena kau
sudah ditangkap ekornya lebih dulu oleh orang lain, maka pikiranmu jadi bingung."
"Sejak kapan kau belajar memuji orang lain?" tegur Toan Giok sambil tertawa getir.
"Baru saja belajar."
Kenyataan, persoalan ini memang kelewat rumit, persis seperti sebuah barisan pemtringung
sukma. Bila sejak awal kau sudah salah melangkah, maka kemana pun kau pergi, semua
jalan yang kau lalui adalah jalan penuh persimpangan.
Than Giok yang semula berdiri, tiba-tiba duduk kembali, duduk di atas lantai.
"Kau lelah?" tegur Hoa Hoa-hong dengan kening berkerut.
"Tidak lelah, aku hanya masih mempunyai beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan pada
diriku sendiri." Hoa Hoa-hong ikut duduk, duduk di sampingnya, lalu dengan lembut dia bertanya, "Mengapa
kau tak bertanya kepadaku?"
Dua orang berpikir bersama memang jauh lebih baik daripada hanya seorang yang berpikir.
Toan Giok menatapnya. Dari balik sorot matanya terselip perasaan terima kasih, tanpa terasa
dia mengulurkan tangan. Gadis itu pun mengulurkan tangan.
Tapi begitu tangan mereka berdua saling bersentuhan, cepat ditarik kembali.
Toan Giok menundukkan kepala, lewat lama kemudianperlahan-lahan baru berkata, "Bila Thiat
Sui benar-benar adalah Liong-thau, maka peristiwa ini pastilah merupakan salah satu siasat busuk
yang direncanakan Cing-liong-hwe."
"Betul." "Tapi apa tujuan mereka" Kenapa harus aku yang dihadapi?"
"Kemungkinan besar yang mereka kehendaki adalah dirimu, tapi bisa juga mereka
menghendaki sesuatu benda yang berada dalam sakumu."
Toan Giok manggut-manggut, dia jadi teringat kembali Bi-giok-to.
"Mereka secara khusus menyiapkan perangkap ini, jelas tujuannya adalah ingin mencelakaimu,
memaksa kau agar terpojok dan tak ada jalan lagi," kata Hoa Hoa-hong.
"Lalu siapa yang telah membunuh Lu Siau-hun?"
"Tentu saja mereka juga."
"Tapi Lu Kiu adalah sahabat Thiat Sui."
"Cara kerja orang-orang Cing-liong-hwe kebanyakan keji dan menghalalkan segala cara,
terkadang bapakmu sendiri pun . bisa dijual apalagi cuma teman."
"Dengan ilmu silat Thiat Sui ditambah kekuatan Cing liong-hwe, bukankah mereka seharusnya
bisa membunuh aku secara langsung?"
"Tapi di dunia persilatan, keluarga Toan selain punya nama dan kedudukan yang sangat tinggi,
temannya pun banyak sekali. Bila mereka membunuhmu secara langsung, pasti akan timbul
banyak masalah di kemudian hari. Selama ini cara kerja Cing-liong-hwe memang lebih suka
meminjam golok untul membunuh orang."
"Meminjam golok untuk membunuh orang?"
Bag 8 : Siasat pinjam golok membunuh orang
"Perkiraan mereka, Lu Kiu pasti akan membunuhmu untuk membalas dendam bagi kematian
putranya tapi entah mengapa ternyata Lu Kiu sangat mempercayai dirimu"
"Karena dia tahu, aku bukan orang yang pandai bicara bohong," sambung Toan Giok.
"Darimana dia bisa tahu" Dia tidak terlalu mengenali dirimu."
Kembali Toan Giok tertawa.
"Tapi kami pernah main judi bersama, apakah kau tak pernah mendengar orang berkata, di
meja judi paling gampang melihat watak seseorang?"
Hoa Hoa-hong ikut tertawa.
"Kalau begitu, punya duit banyak tampaknya bukannya sama sekali tak bermanfaat."
Toan Giok termenung dan berpikir sejenak, kemudian perlahan-lahan ujamya, "Di kolong langit
memang tak ada persoalan yang seratus persen jelek, bukan begitu?"
"Aku tak tahu, belum pernah aku berpikir sebanyak kau."
Toan Giok tertawa getir. "Hingga kini aku masih belum menemukan bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa
Thiat Sui lah pembunuh sebenarnya."
"Ai, masalah ini memang sulit sekali," Hoa Hoa-hong menghela napas panjang. "Karena
masalahnya kita harus berhadapan dengan saksi orang mati."
"Tapi paling tidak aku harus membuktikan dulu kalau dia adalah anggota Cing-liong-hwe,
membuktikan kalau dia bersekongkol dengan Hoa Ya-lay."
"Apakah kau telah berhasil menemukan cara terbaik?"
"Belum." "Sedemikian rapat dan tertutup Cing-liong-hwe. Bila kau ingin mencari orang lain untuk
membuktikan bahwa mereka anggota Cing-liong-hwe, aku rasa hal ini pada hakikatnya mustahil."
"Aku pun pernah mendengar akan hal ini, rasanya dalam beberapa ratus tahun belakangan,
belum pernah dalam dunia persilatan terdapat perkumpulan yang begini rahasia dan ketatnya."
"Oleh sebab itu walaupun tadi kita berhasil menahan Ciu Lim berdua, belum tentu is berani
membocorkan rahasia tentang Thiat Sui."
"Maka aku sendiri pun sama sekali tak punya pikiran untuk berbuat begitu."
"Thiat Sui maupun Hoa Ya-lay sendiri pun semakin tak mungkin akan mengakuinya."
"Ya, tidak mungkin."
Hoa Hoa-hong menghela napas panjang.
"Jadi kau belum berhasil menemukan suatu cara terbaik?" tanyanya.
"Sekarang aku belum tahu ...." sahut Toan Giok sambil tertawa. "Yang kuketahui saat ini adalah
tak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini."
"Apakah kau benar-benar tak pernah percaya kalau tiada persoalan yang tak bisa kau lakukan
di dunia ini?" "Ehm." Hoa Hoa-hong memandang sekejap ke arahnya, tiba-tiba dia ikut tertawa lebar.
"Apa yang kau tertawakan?" tegur Toan Giok.
"Menertawakan dirimu. Tampaknya walaupun kau benar benar dimasukkan orang ke dalam peti
pun tak pernah akan putus-asa."


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tepat sekali."
"Terkadang aku sendiri pun tak tahu, sebetulnya kau ini Iebih cerdas daripada orang lain" Atau
justru lebih goblok?" "Aku sendiri pun tak tahu, tapi paling tidak aku tahu bahwa hidupku jauh
lebih riang dan gembira daripada orang lain."
"Apa lagi yang kau ketahui?"
"Aku tahu juga, bila kita hanya duduk terus di tempat ini, tak bakal ada orang yang muncul
sendiri di tempat ini dan mengakui dirinya sebagai seorang pembunuh."
"Lantas kau berniat pergi kemana?"
"Pergi mencari Thiat Sui."
"Kau hendak mencarinya?" Hoa Hoa-hong menegas.
"Masa hanya dia yang boleh mencari aku, sementara aku tak boleh pergi mencarinya?"
"Kau benar-benar akan mengantar dirimu sendiri?"
"Selama hidup tak mungkin aku bersembunyi terus, tak berani bertemu orang," sahut Toan
Giok sambil tertawa getir.
"Bersembunyi selama beberapa hari pun tak mau?"
"Tidak!" "Kenapa?" "Karena sebelum bulan empat tanggal lima belas, aku harus sudah tiba di Po-cu-san-ceng."
Mendadak Hoa Hoa-hong tidak bicara lagi.
Malam semakin kelam, suasana pun semakin hening, cahaya bintang yang redup rrtemancar
masuk lewat jendela. Lamat-lamat hanya terlihat wajah cantik gadis itu serta sepasang matanya
yang jeli. Sinar mata yang terpancar seolah terselip perasaan yang sangat aneh.
"Bulan empat tanggal lima belas adalah hari ulang tahun Cu-jisiok," kembali Toan Giok berkata.
"Cu-jisiok adalah saudara karib ayahku."
Hoa Hoa-hong mendongakkan kepala, menggunakan sepasang matanya yang jeli memelototi
pemuda itu, kemudian bertanya, "Benarkah kau terburu-buru berangkat ke sana hanya untuk
menyampaikan ucapan selamat panjang umur kepada Cu-jiya?"
"Masa aku bohong?"
Hoa Hoa-hong menundukkan kepala makin rendah, ditariknya ikat pinggang lalu diikatnya jari
tangan sendiri kuat kuat. Setelah termenung lama sekali, baru berkata lagi, "Aku dengar Cu-jiya
mempunyai seorang putri yang sangat cantik, benarkah dia amat cantik?"
"Aku tidak tahu, aku pun belum pemah menjumpainya."
"Konon tujuan Cu-jiya menyelenggarakan pesta ulang tahun kali ini adalah karena dia ingin
memilih calon menantu?" Kembali dia mendongak, melotot sekejap ke arah Toan Giok dan serunya
dingin, "Kelihatannya kau punya harapan besar terpilih menjadi calon menantunya!"
Toan Giok tertawa paksa, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi kemudian ditahan, ingin
menatap wajahnya, apa mau dibilang dia tak berani bertatapan.
Angin berhembus sepoi menggoyang dedaunan, suara gemerisik mengiringi keheningan malam
yang mencekam. Tiba-tiba pemuda itu menghela napas panjang, bisiknya, "Kau seharusnya pulang."
"Dan kau?" tanya Hoa Hoa-hong.
"Aku akan pergi mencari Thiat Sui."
"Hm, apakah hanya kau yang boleh pergi mencarinya, sedang aku tak boleh?" dengus Hoa
Hoa-hong sambil tertawa dingin.
"Tapi persoalan ini sedikit pun tak ada sangkut-pautnya dengan dirimu."
"Sebetulnya memang tak ada sangkut-pautnya, tapi sbl6rang sudah ada."
Akhirnya Toan Giok tak tali an untuk berpaling dan menatap wajahnya lekat-lekat.
Gadis itu sama sekali tidak menghindari tatapan matanya.
Cahaya bintang menyinari matanya, sorot mata gadis itu seakan terselip perasaan sedih dan
duka yang tak dapat diutarakan.
Biarpun dia tak mampu berkata-kata, namun matanya masih dapat melihat dengan jelas.
Toan Giok tak tahan untuk mengulurkan tangan, tiba-tiba sepasang tangan mereka saling
genggam, saling berpegangan dengan kencang, kali ini siapa pun tak ingin menarik kembali
tangan mereka. Tangannya terasa begitu lembut, halus, tapi dingin.
Malam semakin larut, semakin hening, cahaya bintang masih bertebaran di angkasa, angin
musim semi terasa masih lembut dan hangat.
Seluruh langit dan bumi seakan ikut mencair di tengah cahaya musim semi yang indah ini.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya Toan Giok berkata, "Aku akan pergi mencari Thiat
Bunga Ceplok Ungu 6 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Gelandangan 5
^