Pencarian

Golok Kumala Hijau 1

Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long Bagian 1


" Serial 7 Senjata Golok Kumala Hijau Karya : Gu Long Bag 1. Musim semi di wilayah Kanglam.
Toan Giok adalah seorang lelaki muda.
Kudanya pun dari jenis Giok-bin-cing-hoa-cong (Kuda mestika bulu hijau bermuka kumala) yang
dilengkapi pelana baru yang indah.
Di pinggir pelana tergantung sebilah golok bertangkai putih perak, bersarung kulit ikan hiu
hitam yang bertatahkan tujuh butir zamrud, sarung golok yang bersentuhan dengan tempat
pijakan yang terbuat dari tembaga kuning menimbulkan suara dentingan bagai irama musik.
Pakaian yang dikenakan pun dari kain yang ringan, sangat tipis, berwarna cerah dengan jahitan
yang pas dengan potongan tubuhnya, dilengkapi pula dengan sebuah cambuk kuda terbuat dari
kulit kerbau lemas buatan luar perbatasan.
Cambuk kuda buatan Bi-sia-u-li di kota Un-ciu memang berkualitas tinggi, apalagi gagang pecut
itu dihiasi pula dengan dua butir mutiara sebesar kelengkeng.
Saat ini tepat memasuki bulan tiga, saat pohon dan aneka bunga tumbuh subur di daerah
Kanglam, burung nuri dan burung walet beterbangan kian kemari.
Segulung angin musim semi berhembus membawa bau bunga Tho yang harum semerbak,
berhembus di tanah daratan, memberikan kelembutan dan kehangatan bagai napas seorang
kekasih. Ketika angin berhembus, di permukaan air nan hijau pun muncul riak melingkar bagai saling
berkejaran, sepasang burung walet terbang lewat di antara pepohonan bunga Tho, hinggap di
atas pagar jembatan kecil berwarna merah darah dan bercicit seolah sedang berceloteh
membicarakan sesuatu. Toan Giok mengendorkan tali les kudanya, membiarkan sang kuda perlahan-lahan
menyeberangi jembatan kecil itu.
Angin hangat berhembus sepoi-sepoi, mengibarkan baju suteranya yang hijau dan tipis.
Dalam saku di sisi kiri bajunya, berjajar tumpukan uang kertas baru dan tersusun rapi. Jumlah
uang yang cukup bagi seorang pemuda macam dia untuk hidup nyaman dan makmur selama tiga
bulan. Tahun ini usianya baru sembilan belas tahun, baru datang dari utara yang sepanjang tahun
dilapisi salju tebal. Tak heran ia begitu terpana menyaksikan keindahan daerah Kanglam yang
indah menawan. Toan Giok menarik napas dalam-dalam, ia merasa tubuhnya seringan burung walet. Begitu
ringannya hingga seolah hendak terbang di angkasa.
Tapi sayang, dia pun tidak terbebas dari masalah yang mengganjal hatinya.
Tionggoan Toa-hau (Hartawan kaya dari Tionggoan) Toan Hui-him suami-istri selalu mendidik
putranya dengan ketat, tak bakal melepas putra tunggalnya datang seorang diri ke wilayah
Kanglam tanpa sebab yang jelas.
Tentu saja kedatangan Toan Giok pun membawa sebuah tugas berat.
Tugas yang diembannya adalah tiba di perkampungan Po-cu-san-ceng (Perkumpulan intan
permata) sebelum bulan empat tanggal lima belas untuk menyambangi saudara angkat ayahnya
semasa muda dulu, Kanglam Tayhiap Cu Goan, Cu-jiya dan menyampaikan ucapan panjang umur
kepadanya. Dia membawa golok kumala hijau, golok warisan keluarga Toan sebagai kado ulang tahun,
kemudian membawa pulang intan permata keluarga Cu.
Perkampungan Po-cu-san-ceng memiliki sebutir mutiara paling berharga, dia adalah putri
kesayangan Cu Jiya. Tahun ini gadis itu baru berusia tujuh belas tahun, dia bernama Cu Cu.
Cu-jiya melanggar kebiasaan dalam merayakan ulang tahunnya kali ini, tak lain karena ingin
memilihkan calon suami bagi putrinya.
Keluarga Cu di wilayah Kanglam sudah tersohor sebagai keluarga persilatan yang ternama. Cutoasiocia
selain terkenal sebagai gadis cantik, dia pun terhitung seorang gadis pintar.
Ketika mendengar kabar ini, para jago muda persilatan yang belum menikah berbondongbondong
mendatangi Po-cu-in Ceng, mereka harus tiba sebelum bulan empat tanggal lima.
Apakah Toan Giok akan terpilih sebagai menantu keluarga Cu" Apakah dia akan berhasil
memboyong pulang mutiara yang tak ternilai harganya itu" Sejujurnya, pemuda ini tidak yakin.
Dan inilah ganjalan yang selalu menghantui pikirannya.
Namun berada di wilayah Kanglam yang begitu hangat, dengan aneka ragam bebungaan yang
indah menawan, ganjalan hati apa yang bisa membuat murung seorang pemuda berusia sembilan
belas tahun" Ganjalan mana.yang tak bisa terurai"
Memang benar masih ada satu hal yang membuatnya tak bebas bergerak. Di saat hendak
meninggalkan rumah, ayahnya dengan wajah serius dan mimik kereng berulang kali berpesan
kepadanya, agar jangan lupa ketujuh pantangan yang tak boleh dilanggar.
Hingga kini dia seolah masih mendengar suara ayahnya yang berpesan wanti-wanti dengan
nada tegas, "Dengan kecerdasan dan ilmu silatmu, untuk berkelana dalam dunia persilatan
memang sudah lebih dari cukup, tapi ada beberapa hal yang harus kau perhatikan dan jangan
sekali-kali kau lakukan. Kalau tidak, aku berani jamin kau pasti akan segera menjumpai berbagai
kesulitan." "Inilah pelajaran yang bisa kuberikan berdasarkan pengalamanku selama puluhan tahun, kau
harus mengingatnya dalam hati."
Sejak kecil Toan Giok memang bocah penurut. Tak satu pun dari beberapa pantangan itu
berani dia lupakan. Setiap pagi setelah bangun tidur, dia akan selalu mengingatnya.
1. Dilarang mencari gara-gara atau mencampuri urusan orang lain.
2. Dilarang berkenalan dengan teman yang masih asing.
3. Dilarang bertaruh uang dengan orang asing.
4. Dilarang mengikat permusuhan dengan para pendeta, Tosu maupun pengemis.
5. Dilarang memperlihatkan uang pada orang lain.
6. Dilarang percaya begitu saja perkataan orang lain.
7. Dilarang bergaul atau berhubungan dengan wanita asing.
Toan Giok terhitung bocah yang gampang menarik perhatian orang, mudah menarik simpati
orang lain. Selain tampan, gagah dan sopan, dia pun gemar tertawa, pandai bergurau dan
senyumannya sangat manis. Terlebih pakaiannya indah dan mewah, kuda tunggangannya dari
jenis jempolan. Aneh, bila para gadis tak suka pemuda semacam ini.
Sebenarnya hal inilah merupakan kelebihan yang seharusnya paling dibanggakan Toan Hui-him
Toan-loyacu, tapi sekarang justru berubah menjadi bagian paling dikuatirkan.
"Perempuan pada dasarnya merupakan sumber bencana, apalagi dalam dunia persilatan. Tak
terhitung jumlah perempuan jahat yang berkelana. Bila kau tersengat salah satu saja di antaranya,
maka kesulitan yang kau hadapi tak bakal ada habisnya."
Entah sudah berapa puluh kali Toan Hui-him mengulang perkataan itu kepada putranya, lima
puluh kali pun lebih. Bila kau sudah begitu sering mendengar nasehat semacam ini, aneh bila Toan
Giok bisa melupakannya begitu saja.
Bukankah begitu" Bila keindahan wilayah Kanglam diberi nilai sepuluh, maka paling tidak nilal tujuh untuk kota
Hangciu. Kalau dibilang keindahan kota Hangciu bernilai sepuluh, maka nilai tujuh berada di telaga Seeouw.
Ada orang mengatakan keindahan telaga See-ouw bagaikan sebuah lukisan, tapi lukisan
manakah di dunia ini yang bisa memperlihatkan keindahan alam di telaga See-ouw"
Bila kebetulan lewat di kota Hangciu, alangkah sia-sianya hldupmu bila tidak berpesiar ke telaga
See-ouw. Bila kau telah singgahi telaga See-ouw, tapi tidak mencicipi ikan "Song-so-hi" di rumah
makan Sam-ya-wan, kau bakal lebih kecewa lagi.
Kini Toan Giok kebetulan melewati kota Hangciu dan mengunjungi telaga See-ouw, tentu saja
dia tak ingin meninggalkan tempat itu dengan kecewa.
Yang dimaksud ikan Song-so-hi atau ikan enso Song adalah "ikan masak cuka."
Begitu ikan dibunuh langsung dikukus. Bila telah matang, baru dihidangkan dengan disiram
bumbu. Oleh karena itu saat hidangan diantar ke meja, masakan itu masih panas mengepul. Saat
itulah kau bisa merasakan daging ikan yang legar, lembut dan lezat.
Sama seperti masakan Ma-po-tou-po dari kota Seng-tok, Ikan cuka disebut ikan enso Song
karena cara memasak ikan itu merupakan ciptaan seorang perempuan marga Song pada zaman
Song selatan. Sayang kedalaman air di telaga See-ouw kelewat dangkal, tiga jengkal di bawah permukaan air
berupa lumpur, ikan yang hidup dalam air telaga semacam ini tak mungkin bisa tumbuh besar.
Lagi pula di wilayah telaga Se-ouw dilarang menangkap ikan, karena akan membuat air telaga
yang hijau menjadi kotor dan keruh, bukankah hal ini sama seperti merusak taman dengan aneka
bunga yang indah" Seperti membakar Khim untuk memasak daging bangau" Sangat merusak
pemandangan. Oleh sebab itu walaupun ikan cuka tersohor karena telaga Se-ouw, namun ikan itu bukan hasil
telaga itu, melainkan didatangkan dari desa sebelah barat. Khususnya desa Thong-si, yang bukan
saja bunga Bwenya indah, ikannya pun sedap.
Di tempat ini boleh dibilang dimana-mana penuh dengan kolam ikan. Dasar perahu yang
memuat ikan menuju kota terbuat dari anyaman bambu, bentuknya lebih besar dari perahu pesiar
di telaga See-ouw. Ikan yang berada di dasar perahu seakan sedang berenang dalam air sungai.
Perahu-perahu itu berlabuh di luar Bu-lim-bun, bersandar di tepi tanggul kecil, kemudian para
penjual ikan dengan kaki telanjang memikul tong-tong berisi ikan memasuki kota.
Gentong air itu dipenuhi air sungai, keranjang bambu di atas tong air dipenuhi tiram hijau yang
masih segar dan hidup. Rumah makan di sepanjang telaga pun memindahkan ikan yang baru dikirim itu ke dalam
sebuah keranjang bambu besar dan dimasukkan ke dalam telaga, menunggu kedatangan para
tamu yang ingin menikmati kelezatan ikan cuka.
Hampir semua rumah makan di telaga See-ouw menyediakan ikan cuka, seperti Hoa-kongkoan-
hi di atas jembatan Teng-hiang-kiau, rumah makan Ngo-liu-kit di atas pintu air Lo-ko-ceng.
Semuanya menjual ikan dengan cara begitu.
Hanya rumah makan Sam-ya-wan di pintu Yong-kim-bun yang lain daripada yang lain.
Yang paling menarik perhatian Toan-loyacu adalah rumah makan Sam-ya-wan. Setiap kali
berkunjung ke telaga Se-ouw, dia pasti akan berkunjung ke rumah makan itu, memotong
beberapa ekor ikan segar dan dikukus untuk teman minum arak.
Itulah sebabnya Toan Giok pun mendatangi rumah makan Sam-ya-wan.
Rumah makan itu terletak di tepi telaga, sejauh mata memandang telaga nampak hijau dan
jernih, pagar kayu sekeliling rumah setinggi satu meter mengelilingi rumah makan
Itu. Di sisi pagar merah tersedia puluhan meja makan yang teratur rapi, di atas setiap meja tersedia
umpan dan alat pancing. Semua ikan dilepas dalam telaga yang dikelilingi pagar bambu. Bila ingin makan ikan, maka
silakan memancing sendiri.
Selain hasil tangkapan sendiri rasanya selalu lebih segar dan gurih.
Toan Giok berhasil memancing dua ekor ikan, dia minta arak hangat dan menikmatinya sambil
menikmati keindahan alam telaga. Tanpa ikan pun sudah terasa nikmat, apalagi dengan ditemani
hidangan ikan. Karena itu belum habis dua poci arak, dia telah memesan lagi dua poci.
Toan Hui-him tidak pernah melarang dia minum arak, sebab setiap orang tahu, takaran minum
Toakongcu keluarga Toan ini luar biasa hebatnya.
Siapa pun yang ingin melolohnya hingga mabuk, pada hakekatnya sama sulitnya seperti ingin
menenggelamkan seekor ikan dalam air.
Tempat arak berupa sebuah tabung kecil terbuat dari tanah, tabung berisikan enam belas tahil
arak. Empat tabung berarti empat kati, arak yang diteguk Toan Giok adalah arak San-liang yang
harganya satu kali lipat lebih mahal dari arak wangi lain.
Arak semacam ini memang khusus disediakan untuk tamu yang datang dari jauh. Sekalipun
harganya satu kali lipat lebih mahal dari arak wangi lain, belum tentu kualitasnya sebagus arak
wangi itu. Arak Tiok-yap-cing yang bagus adalah arak yang tawar rasanya. Ketika masuk mulut terasa
lembut, tapi pukulan belakangnya sangat kuat, baru dua-tiga mangkuk masuk perut, kau sudah
dapat merasakan keriangan yang luar biasa.
Dia amat menyukai perasaan semacam ini, dia siap menghabiskan dua tabung arak itu,
kemudian memesan dua tabung lagi dan terakhir baru memesan semangkuk udang goreng cuka
yang lezat sebagai penghilang rasa mabuk.
Konon bakmi yang dijual di sini pun tidak kalah dengan bakmi buatan rumah makan Gui-bukoan
di simpang Koan-keng-go. Kebanyakan orang Hangciu pandai minum arak. Mereka terbiasa minum arak memakai
mangkuk, satu mangkuk berisi empat tahil, biasanya meneguk enam-tujuh mangkuk tidak
terhitung sesuatu yang aneh.
Tapi kalau sekali teguk menghabiskan lima-enam kati, hal ini baru rada aneh, apalagi yang
minum adalah seorang pemuda yang usianya baru delapan-sembilan belas tahun.
Sudah mulai banyak orang memperhatikan dia, salah seorang di antara mereka yang
melototkan mata paling besar adalah seorang pemuda berwajah putih, berjubah panjang ungu
muda yang kebetulan duduk di samping mejanya.
Usia pemuda ini sekitar dua tahun lebih tua dari Toan Giok, dia mempunyai mata besar, hidung
mancung dan dandanan sangat mewah, halus dan rapi, tampaknya orang ini pun sama seperti
Toan Giok, berasal dari keluarga kaya.
Yang lebih hebat lagi adalah di atas mejanya terletak juga beberapa tabung arak yang telah
kosong. Jelas takaran minum pemuda ini pun sangat hebat.
Orang dengan takaran minum yang hebat biasanya menaruh simpatik pada orang lain dengan
takaran minum yang hebat pula.
Tiba-tiba ia melemparkan senyuman ke arah Toan Giok.
Toan Giok tidak memandangnya.
Padahal sejak semula ia sudah memperhatikan pemuda bermata besar itu, agaknya dia pun
menaruh simpatik terhadap orang itu.
Walaupun Toan kongcu baru terjun ke dalam Kangouw, namun dia tidak bodoh, dia pun tidak
buta. Kenyataan dia jauh lebih cerdas dari kebanyakan orang, matanya jauh lebih jeli dari mata
kebanyakan orang. Sekilas pandang ia sudah tahu pemuda bermata besar itu bukan lelaki tulen, dia adalah seorang
nona yang sedang menyamar sebagai lelaki.
"Sepanjang jalan dilarang bergaul atau berhubungan dengan wanita asing".
Toan Giok tak pernah melupakan nasehat ini, dia pun tak berani melupakannya. Selama ini dia
memang sangat penurut, Sebagai anak berbakti dan menurut perkataan orang-tua.
Oleh sebab itu tatapan matanya dialihkan ke arah sebuah perahu pesiar yang berada di
hadapannya. Perahu pesiar itu baru saja meluncur keluar dari balik pohon I.iu yang rindang. Perahu dengan
atap hijau pupus, pagar merah dan tirai jendela bambu Siang-hui-tiok yang tergulung letengah di
depan jendela. Seorang perempuan cantik bak bidadari sedang duduk di tepi jendela, mempermainkan seekor
burung kakaktua putih dalam sangkar.
Dengan tangan sebelah menyangga dagu, pergelangan tangannya tampak bulat halus, jarinya
lentik indah, tapi sayang kerutan alis matanya seakan terlapis perasaan sedih yang tipis, seolah ia
sedang menguatirkan masa muda yang segera akan berlalu, seakan merasa sedih karena berpisah
dengan sang kekasih. Dia pun seorang wanita, hanya bedanya wanita itu agak jauh dari tempat duduknya, paling
tidak wanita itu jauh lebih aman daripada wanita yang duduk di samping mejanya.
Yang jelas, tak mungkin perempuan itu dapat terbang melampaui permukaan telaga sejauh
lima-enam tombak dan datang mencari gara-gara padanya.
Berbeda dengan perempuan yang duduk di samping mejanya. Bila mau, dia bisa datang
dengan mudahnya. Dan kini, tampaknya perempuan itu memang berniat begitu.
Mendadak sambil menjura, sapanya, "Heng-tay, selamat berjumpa!"
Toan Giok mencoba menengok ke belakang, lalu menengok ke samping, seolah tidak tahu
orang yang disapa pemuda itu adalah dirinya.
"Yang kumaksud Heng-tay adalah kau," kembali nona kecil bermata besar itu menyapa sambil
tertawa cekikikan. Ketika hendak tertawa, hidungnya nampak berkerut lebih dulu, bagaikan riak ombak di atas
permukaan telaga yang terhembus angin.
Sebelum tertawa pun nona itu sudah tampak amat menarik, apalagi setelah tertawa,
kecantikannya bisa membuat kaum lelaki terjun dari loteng tanpa protes.
Dalam keadaan begini, Toan Giok mau berlagak pilon pun sudah tak mungkin, terpaksa dia ikut
tertawa. Sahutnya sambil tersenyum, "Jadi kau sedang mengajakku berbicara?"
"Kalau bukan dengan kau, lalu aku sedang bicara dengan siapa?" sahut si nona sambil
membelalakkan mata dan tertawa.
"Boleh tahu ada urusan apa?" tanya Toan Giok sesudah mendehem.
"Sreeet!", nona itu mementang kipas bertangkai emasnya dan menggoyangnya perlahan,
katanya, "Daripada minum seorang diri, apa salahnya kita minum bersama" Apalagi hari begini
indah, mengapa kau tidak pindah saja ke mejaku dan kita mabuk bersama?"
Seorang buta pun dapat melihat kalau dia adalah seorang gadis, tapi nona itu justru berlagak
seolah-olah dia adalah lelaki tulen.
Toan Giok menghela napas panjang. "Sebetulnya Cayhe pun berkeinginan begitu," sahutnya,
"Tapi sayang kita tak saling kenal, apalagi antara laki dan perempuan ada bedanya"
Nona itu tertegun, sepasang matanya terbelalak melotot, katanya lantang, "Kau bilang laki dan
perempuan ada bedanya! Memangnya kau seorang wanita?"
Kembali Toan Giok tertawa, tak tahan serunya, "Tentu saja kau pun bisa lihat kalau aku bukan
perempuan." "Kalau kau bukan perempuan, lalu siapa yang kau maksud perempuan?"
Kau!" Nona cilik itu memandangnya beberapa saat dengan mata melotot besar sambil menggeleng
gumamnya, "Wah, wah, ternyata mata orang ini penyakitan!"
Dengan tangan sebelah menggoyang kipas, tangan lain minum secawan arak, sekali tenggak ia
habiskan isinya. Nona itu minum arak, dia memang sama sekali tak mirip seorang perempuan.
Toan Giok menghela napas.
Sekarang tepat musim semi, tahun ini usianya baru sembilan belas tahun. Masa yang paling


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gampang bagi seorang pemuda untuk tergoda hatinya.
Sejujumya dia ingin sekali pindah ke sana. Tapi sayang, bagaimana pun juga sukar baginya
untuk melupakan tampang ayahnya yang sangar.
Ternyata memang tak gampang untuk menjadi seorang anak yang penurut dan berbakti.
Matahari senja menyinari seluruh langit, membuat telaga See-ouw tampak lebih indah dan
menawan. Pohon Liu nan hijau, teratai merah yang setengah mekar, pegunungan nun jauh di sana yang
tampak remang. Semuanya indah di atas permukaan air telaga yang bermandikan cahaya emas
Entah siapa di kejauhan sana, membawakan lagu senandung merdu:
"Nona dusun bertelanjang kaki, turun kesawah memotong padi.
Baru terkumpul setumpuk rumput, berbaring nyenyak di tepi kali.
Pohon Liu menutupi wajahnya, kaki putih kecil nan mungil.
Tiga penunggang kuda datang mendekat, wajah mereka penuh senyuman.
Seorang penunggang kuda melompat turun, sambil termangu menatap kakinya.
Seorang penunggang lain bernyali baja, ia mendekat mengecup bibirnya.
Orang ketiga bermain opera, semua lagu dicatat dalam kitab.
Aduh nona cilik yang nestapa, mengapa kau tertidur nyenyak?"
Irama lagu yang indah, syair yang indah, dipenuhi nada godaan dan rayuan.
Mungkinkah seorang nona dusun yang kasmaran sedang menggunakan irama lagu untuk
memberi kisikan kepada kekasihnya agar dia lebih berani"
Tak tahan sekali lagi Toan Giok menghela napas panjang. Ia semakin tak berani melirik si nona
cilik di sampingnya. Dia merasa dirinya sama sekali tak berguna. Kini dia tak ingin menikmati arak lebih lama lagi.
Rencananya, begitu udang goreng dihidangkan, dia akan melahapnya kemudian mencari tempat
untuk beristirahat. Pada saat itulah tiba-tiba muncul sebuah sampan kecil menerobos ombak dan melaju mendekat
dengan kecepatan tinggi. Di atas sampan itu berdiri empat orang, empat Hwesio beralis tebal, bermata besar, bertubuh
kekar dan berkepala gundul klimis.
Biarpun angin yang berhembus membuat sampan itu terombang-ambing tiada hentinya, namun
keempat orang Hwesio itu seolah terpantek mati di ujung geladak, sama sekali tak bergerak.
Sekilas pandang, Toan Giok tahu mereka adalah jago-jago silat, bahkan memiliki kuda-kuda
yang sangat tangguh. Di dunia Kangouw, golongan yang paling sulit dihadapi adalah hweesio, tosu dan pengemis.
Sebab mereka memiliki ilmu silat yang tangguh atau memiliki pengaruh yang luas.
Dalam suasana yang begini indah, mau apa kawanan pendeta itu muncul disitu" Bahkan
tampaknya hendak membuat huru-hara"
Toan Giok merasa heran, tapi sekarang dia putuskan untuk tidak mencampuri urusan itu.
"Gara-gara biasanya timbul karena banyak mulut, kesulitan muncul karena banyak mencampuri
urusan orang. Bila ingin selamat sepanjang perjalanan, lebih baik jangan membuat gara-gara dan
mengurusi masalah orang."
Ketika Toan Giok selesai meneguk mangkuk arak yang terakhir, ia tinggal menunggu pesanan
bakminya, kemudian pergi dari situ.
"Blaam!", ternyata sampan cepat itu bergerak lurus ke di i in langsung menabrak perahu pesiar
itu. Begitu keras tabrakan terjadi, membuat perempuan cantik yang sedang duduk di samping
jendela itu nyaris terjerembab.
Keempat Hwesio itu sudah melompat naik ke atas perahu pesiar. Dengan wajah bengis dan
garang bagai malaikat jahat, menyerbu masuk ke dalam kapal, lalu sambil menuding hidung
perempuan itu mereka mencaci-maki kalang-kabut, sayang tidak terdengar apa yang mereka
umpatkan. Bukan hanya kakaktua putih dalam sangkar yang melompal lompat sambil menjerit karena
ketakutan, perempuan itu pun tampak begitu takut hingga sekujur badannya gemetar keras,
wajahnya pucat-pias bagai mayat, keadaannya amat mengenaskan.
Kawanan Hwesio itu kasar sekali, mereka seakan tak mengerti mengasihani seorang gadis
lembut, malah salah seorang di antaranya telah mementang tangannya yang besar bagai kipas,
seolah hendak menjambak rambutnya.
Tidak jelas darimana datangnya kawanan pendeta bengis itu, pada hakikatnya ulah mereka
jauh lebih buas dari penyamun di tengah siang hari bolong. Di bawah pandangan mata banyak
orang, ternyata mereka begitu berani menganiaya seorang wanita yang sendirian dan patut
dikasihani itu. Bila urusan semacam ini pun tidak dicampuri, buat apa lagi membicarakan soal membantu
kaum lemah, membela yang benar dan menghancurkan yang jahat"
Toan Giok merasakan hawa panas menggelora dalam dadanya. Tanpa pikir panjang lagi, dia
ambil golok di atas meja, melompat bangun dan keluar dari pagar kayu.
Di luar pagar merupakan permukaan telaga, tampaknya dia segera akan tercebur ke dalam air,
si nona bermata besar itu nampak sangat terperanjat, saking kagetnya dia sampai menjerit
tertahan. Siapa tahu, biarpun Toan Giok masih muda, ilmu silatnya sangat hebat. Sejak awal, dia telah
memperhitungkan tempat berpijak.
Terlihat ujung kakinya menutul di atas pagar bambu yang dipakai untuk keramba ikan,
kemudian badannya melambung ke udara, ternyata ilmu meringankan tubuh yang dipergunakan
adalah Yan-cu-sam-jau-sui (Burung walet mendayung air tiga kali), sejenis ilmu Ginkang tingkat
tinggi. Belum habis jeritan kaget si nona kecil bermata besar itu, Toan Giok telah berjumpalitan di
udara. Dengan gerakan "Dada ramping menembus awan", kemudian disusul Peng-sah-lok-eng
(Manyar hinggap di pasir datar), tahu-tahu dia sudah melayang turun di atas perahu pesiar itu.
Dari empat Hwesio, salah satu di antaranya tetap tinggal di luar ruang perahu sambil berjagajaga.
Begitu melihat ada orang mendekat, dengan wajah seram hardiknya, "Siapa kau" Mau apa
datang kemari?" Wajah Hwesio ini dipenuhi burik, sinar matanya memancarkan napsu membunuh. Sekilas
pandang, dapat diketahui kalau dia bukan seorang pendeta yang saleh.
"Kau adalah seorang pendeta" Atau jangan-jangan perampok?" seru Toan Giok sambil menarik
muka juga. Seolah baru teringat akan dandanan sendiri, buru-buru pendeta itu merangkap tangan di depan
dada seraya berkata, "Omitohud, masa seorang pendeta pun jadi perampok?"
"Kalau memang bukan perampok, kenapa lebih buas dari seorang perampok, bahkan perampok
benaran pun tak akan menganiaya perempuan."
Hweesio Itu jadi gusar, bentaknya, "Kurangajar, apa hubunganmu dengan perempuan itu"
Berani kau mencampuri urusan kami?"
"Urusan lain mungkin aku enggan, tapi urusan ini aku tetap akan mencampurinya, mau apa
kau?" tantang Toan Giok sambil membusungkan dada.
Tiba-tiba dari balik ruangan perahu terdengar suara perempuan cantik itu menjerit, "Tolong ...
tolong ... kawanan pendeta buas itu akan berbuat tak senonoh!"
Meledak hawa amarah Toan Giok setelah mendengar teriakan Itu. Sambil tertawa dingin,
serunya, "Aku lihat kalian memang kawanan Hwesio bangsat! Besar amat nyali kalian."
"Nyalimu pun cukup besar, berani bersikap kurangajar di hadapanku!" balas Hwesio itu gusar:
Sambil bicara, sepasang tangannya mulai beraksi, tiba-tiba ia memperkokoh kuda-kudanya, lalu
sepasang kepalannya dihantamkan ke pinggang dan tulang iga Toan Giok. Jurus yang digunakan
mirip Hu Hou lo-han-kun dari biara Siau-lim.
Sayang Toan Giok bukan harimau, biarpun Lo-han-kun dari biara Siau-lim, ternyata tak mampu
menundukkan dirinya. Sedikit dia miringkan badan, tangannya sudah berbalik mencengkeram urat nadi sang pendeta,
lalu dengan teknik "Empat tahil menyingkirkan ribuan kati", dia menarik lalu mendorong.
Sungguh hebat teknik meminjam tenaga untuk memukul balik lawan. Memang inilah lawan
tanding ilmu pukulan aliran keras, semakin besar tenaga yang digunakan Hwesio itu, semakin
parah ia jatuh terjerembab.
Tenaga pukulan Hwesio itu memang luar biasa hebatnya, sayang tiba-tiba saja dia kehilangan
keseimbangan, tubuh besarnya yang berbobot ratusan kati itu mendadak terbang ke udara, lalu ...
"Plung", tercebur ke dalam telaga.
Terdengar suara tepuk tangan bergema dari tepi telaga, entah nona kecil bermata besar itu
atau orang lain. Toan Giok tak sempat berpaling karena sudah muncul dua orang Hwesio lagi dari dalam ruang
perahu. Gerakan tubuh kedua orang itu cekatan, gerak serangan pun amat cepat, tahu-tahu dua buah
kepalan sebesar martil telah tiba di hadapan Toan Giok. Dari suara pukulannya yang menderuderu,
bisa diduga-tenaga serangan yang digunakan maha dahsyat.
Sayang musuh yang mereka hadapi adalah putra pertama Toan Hui-him, jago nomor satu di
daratan Tionggoan. Bukan saja ilmu silatnya tidak lebih lemah dari ayahnya, bahkan jauh
melebihi siapa pun. Apalagi ilmu meringankan tubuhnya, bukan cuma enteng dan lincah, bahkan tampak anggun
dan indah. Begitu menghimpun tenaga dalam, tiba-tiba dengan gaya "Burung belibis membalikkan badan",
ia sudah melayang turun di belakang kedua Hwesio itu.
Ternyata Hwesio-hwesio itu cukup tangguh, perubahan jurus mereka pun tak lambat, cepat
badannya berbalik sambil mengeluarkan gerakan Lo-han-to-ih (Lo-han melepas pakaian),
kepalannya segera disodok ke muka melepaskan pukulan balasan.
Sayang gerakan mereka kelewat lambat.
Sarung golok yang berada di tangan Toan Giok sudah mampir dulu di atas jalan darah Ciankeng-
hiat di bahu kirinya. Baru saja dia membalik badan, bagian yang merupakan titik keseimbangan telah kena
dihantam, kontan badannya tak dapat berdiri tegak. Dengan sempoyongan, dia mundur sejauh
tujuh delapan langkah dan .."Blaaam!" menumbuk tiang di atas perahu hingga patah jadi dua
bagian. Gerakan hweesio yang satunya lagi jauh lebih lamban dan payah.
Ketika sekali lagi Toan Giok mengulapkan tangan, maka "Plung, plung!", kedua orang Hwesio
itu pun sudah tercebur ke dalam air.
Sisanya yang soorang lagi baru saja melangkah keluar dari ruang perahu, paras mukanya
kontan berubah hebat. Untuk sesaat dia bengong, haruskah turun tangan" Atau lebih baik berdiam
diri saja" Mimpi pun dia tak menyangka pemuda yang lemah-lembut mirip pelajar itu ternyata memiliki
ilmu silat yang menakutkan.
Pada hakekatnya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang memiliki ilmu silat
sehebat itu. Saat itu Toan Giok pun sedang mengawasinya.
Usia Hwesio itu sedikit lebih tua dibanding kawan-kawannya, tampangnya juga lebih bersih dan
tahu aturan, yang paling penting adalah dia tak ikut memukul orang.
Tak aneh bila sikap Toan Giok terhadapnya cukup sopan dan sungkan, ujarnya sambil
tersenyum, "Teman-temanmu sudah kabur, masa kau tidak ikut pergi?"
Hwesio Itu manggut-manggut, setelah menghela napas panjang tiba-tiba tanyanya, "Boleh
tahu, Sicu she apa?"
"Aku she Toan."
"Siapa namamu?"
"Toan Giok!" Sekali lagi Hwesio itu menghela napas.
"Kepandaian silat Toan -sicu memang sangat hebat," pujinya.
"Ah, hanya begitu saja, tak perlu dipuji"
Mendadak hwesio itu menarik wajah dan berkata lagi dengan nada ketus, "Sayang-nya,
walaupun Toan-situ memiliki kepandaian silat yang lebih hebat pun tak ada gunanya, sebab
setelah mencampuri urusan ini, jangan harap kau bisa mundur dari persoalan."
"0, ya?" "Masa Sicu tak dapat menduga berasal darimana Pinceng sekalian?"
"Setahuku, Hwesio tentu keluar dari biara, kecuali kalian adalah bandit"
Dengan gemas sekali lagi Hwesio itu melotot sekejap ke arah Toan Giok, kemudian tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, dia menceburkan diri ke dalam telaga.
Toan Giok tertawa tergelak, gumamnya, "Ada rezeki dicicipi bersama, ada masalah dipikul
berbareng, tampaknya hwesio ini cukup setia kawan."
Setelah mengebaskan baju, dia hendak beranjak pergi dari situ, namun dia pun ingin
menghampiri perempuan cantik berbaju putih itu, ingin bertanya apakah dia terluka.
Sementara dia masih ragu dan tak dapat mengambil keputusan, tiba-tiba dari balik ruang
perahu terdengar seseorang berseru, "Toan-kongcu, harap tunggu sebentar."
Suaranya ibarat kicauan burung Hoa-bi. Begitu enteng, renyah, empuk dan manis, jauh
berbeda dibandingkan saat dia berteriak minta tolong tadi.
Toan Giok segera berdehem berulang kali, tentu bukan mendehem sungguh-sungguh, memang
inilah penyakit menular Toan-loyacu.
Setiap kali tenggorokan Loyacu tersumbat riak kental, apalagi hendak menyampaikan pesan
penting, dia selalu mendahului dengan deheman beberapa kali.
Jadi tak aneh jika Toan-kongcu pun tertular penyakit ayahnya, dia merasa kurang puas bila
tidak mendehem lebih dulu sebelum mulai bicara, sebab cara ini memang cara yang paling jitu.
Bag 2. Perempuan cantik dalam perahu
Siapa tahu perempuan cantik berbaju putih itu berjalan keluar lebih dulu. Sambil berpegangan
pada pintu ruangan, ia menatapnya, menatap dengan matanya yang indah dan penuh perhatian,
lalu dengan suara halus dan lembut, tegurnya, "Toan- kongcu jangan-jangan kau masuk angin"
Kebetulan aku punya koyo cap pipa, paling bagus untuk mengobati batuk."
Kini Toan Giok tak berani mendehem lagi, bersuara sedikit pun tak berani, ia tertawa paksa.
"Ah, tidak usah tidak usah Cayhe baik.. baik sekali."
"Kongcu, aku tahu kau memang baik sekali," ucap gadis cantik itu sambil tersenyum.
Merah padam wajah Toan Giok karena jengah, selanya, "Aku bukan bermaksud begitu,
maksudku.. maksudku, aku tidak berpenyakit."
Senyuman gadis berbaju putih itu makin manis dan menghanyutkan.
"Oh, alangkah baiknya bila kau tak berpenyakit. Dalam perahu, aku masih menyimpan sebotol
Tiok-yap-cing usia tua"
"Tidak usah, tidak usah sungkan," tukas Toan Giok cepat,
"Cayhe akan mohon diri."
"Bila kongcu ingin pergi, tentu saja aku tak berani menghalangi," perlahan gadis berbaju putih
itu menundukkan vpala, ''hanya saja, semisal Kongcu sudah pergi dan kawanan hwesio jahat itu
balik lagi, apa yang harus kuperbuat?"
Toan Giok tak dapat menjawab, ia terbungkam.
Kalau ingin jadi orang baik, alangkah baiknya jadi orang baik hingga akhir.
Tiba-tiba dari tepi telaga terdengar seseorang berteriak,
"Kongcu yang berada di atas perahu, uang arakmu total satu tahil tujuh rence dan belum
dibayar ...." Sambil tertawa, gadis cantik berbaju putih itu segera menyahut, "Uang arak kongcu ini, biar
aku ...." "Tidak usah, kau tak perlu sungkan, aku punya uang," potong Toan Giok segera.
Minta cewek membayar rekening araknya" Oh, suatu kejadian yang sangat memalukan.
Memangnya Toan Giok turun tangan menolongnya hanya gara-gara ingin dibayari"
Jelas hal ini sangat memalukan, dia tak ingin orang lain salah-paham, apalagi salah
mengartikan tujuan pertolongannya.
Toan Giok segera mengeluarkan kantong uangnya.
Karena gugup, dia jadi kurang hati-hati, bukan hanya uang kertas dan kepingan daun emasnya
yang jatuh berceceran di lantai geladak, bahkan golok kumala hijau pun ikut terjatuh.
Masih untung gadis berbaju putih itu tidak terlalu menaruh perhatian, sepasang matanya yang
jeli seakan sudah terpikat oleh sepasang lesung pipi di wajah Toan Giok dan begitu terpikat
sampai dia segan mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
*** Arak Tiok-yap-cing memang terbukti arak bagus. Bukan hanya warnanya membuat mata jadi
lega, begitu masuk ke mulut, rasanya halus, lembut dan hangat, seperti lidah kekasih
yang dijulurkan ke dalam bibir.
Kebetulan gadis cantik berbaju putih sedang menjulurkan lidahnya yang mungil, sedang
menjilat bibir sendiri. Buru-buru Toan Giok menundukkan kepala sambil menghabiskan arak dalam cawannya,
sekarang dia baru teringat, ternyata dalam sekali gebrakan, dia sudah melanggar beberapa
pantangan sekaligus. Pantangan pertama, keempat, kelima dan ketujuh. Empat pantangan besar
sekaligus. Yang lebih parah lagi, entah sejak kapan perahu pesiar itu telah berlayar menuju ke tengah
telaga. Saat ini, dia sudah tak sempat lagi pergi meninggalkan tempat itu.
Apalagi sekarang dia telah menganggap dirinya sebagai teman, walau pun dia sendiri belum
tahu siapa nama gadis itu.
"Aku she Hoa, bernama Ya-lay"
Hoa Ya-lay! Sebuah nama yang indah, sebuah nama yang menawan.
Cahaya rembulan yang indah ditambah suasana yang indah dan arak yang wangi.
Segala sesuatunya begitu indah dan menawan, bagaikan hidup dalam alam nirwana.
Toan Giok menghela napas, ia putuskan untuk hidup santai hari ini.
Setiap orang memang butuh waktu untuk hidup santai, bukankah begitu"
Apalagi yang dia lakukan hari ini bukan terhitung perbuatan jahat, siapa bilang menolong orang
itu perbuatan jahat" Siapa bilang minum arak itu perbuatan jahat"
Dengan cepat Toan Giok memaafkan diri sendiri.
Bukankah memaafkan diri sendiri jauh lebih mudah daripada memaafkan orang lain"
Oleh sebab itu, Toan Giok tak ingin mabuk pun akhirnya mabuk juga.
*** Bulan Purnama. Rembulan di telaga Se-ouw, tampak sebuah perahu pesiar berlabuh ditepi pantai penuh pohon
Yang-liu. Kemana orangnya" Orangnya masih mabuk, terlelap tidur.
Toan Giok hanya tahu dia digotong turun dari atas perahu pesiar, digotong orang menuju ke
sebuah rumah yang dipenuhi harumnya bunga, berabring diatas pembaringan yang lebih harum
dari bunga, ia tak bisa membedakan apakah sadar atau sedang bermimpi"


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disampingnya seakan terdapat seseorang, orang itupun lebih harum dari bunga, apakah
harumnya bunga sedap malam (Ya-lay-hiang)"
Dia tak bisa membedakan dengan jelas, diapun enggan membedakan.
Mau mimpi tidak masalah, mau sadar pun bukan masalah, yang penting perasaan melayang,
perasaan samar-samar memang sangat nikmat. Sepanjang hidup, berapa orang yang bisa
merasakan kenikmatan seperti ini"
Malam itu sangat hening, suasana malam amat dingin.
Hanya angin yang berhembus di luar jendela, hanya bayangan bunga yang bergoyang dibalik
daun jendela. Dari sisi tubuhnya seolah ada orang memanggil dengan lembut, "Toan kongcu, Giok long!"
Toan Giok tidak menjawab, dia tak ingin menjawab, tak ingin mendusin dari impiannya.
Tapi ia dapat merasakan orang yang berada disisinya mulai membalikkan badan, kemudian
terasa ada sebuah tangan yang harum bagai bunga menjulur, seakan sedang memeriksa dengus
napasnya. Napasnya memang teratur, halus dan berirama.
Kemudian tangan itu mulai membelai wajahnya. Setelah itu, ia merasa orang itu merangkak
turun dari ranjang. Orang yang lebih indah dari bunga.
Kakinya yang panjang, pinggangnya yang langsing, rambutnya yang hitam berombak sebahu,
kulit tubuh yang putih halus bagai sutera.
Bahkan rembulan pun sedang mengintip dari luar jendela, apalagi manusia"
Diam-diam Toan Giok memicingkan mata mengintip, tak tahan seruan pujian mendesah dari
dalam hatinya. Untung saja desah pujian itu tak sampai meluncur keluar dari mulutnya.
Karena secara tiba-tiba ia saksikan Hoa Ya-lay sedang mengambil pakaiannya, dengan gerakan
tangan yang lembut mengambil keluar kantung uang dari sakunya.
Kemudian perlahan-lahan ia berjalan menuju daun jendela. Disisi jendela berderet beberapa pot
bunga, apakah bunga sedap malam yang berada disana"
Dia sedikit sangsi, kemudian diambilnya pot bunga yang kedua, mencabutnya keluar berikut
tanahnya. Kemudian dengan menggunakan gerakan yang paling cepat ia masukkan kantung uang milik
Toan Giok itu ke dasar pot, setelah itu dimasukkan kembali bunga diatasnya dan meratakan tanah
diseputarnya. Sekarang siapa pun tak akan mengetahui apa keistimewaan pot bunga itu.
Ia menghembuskan napas lega, sewaktu membalikkan badan, sekulum senyuman bangga
tersungging di bibirnya. Senyuman gadis ini memang sangat manis. Pada hakikatnya bagaikan seorang bocah yang
polos dan sama sekali belum mengenal arti dosa.
Tapi sayang Toan Giok sudah tak dapat menikmatinya, saat itu ia sudah kehilangan selera.
Kembali matanya dipejamkan, bahkan dari hidungnya mengeluarkan semacam dengkuran
perlahan, persis suara dengkuran orang yang sedang mabuk arak.
Hoa Ya-lay berdiri di ujung ranjang, memandang pemuda itu dengan puas. Diam-diam ia
merangkak naik ke ranjang, menggunakan lengannya yang putih halus dan lembut untuk memeluk
pemuda itu erat-erat. Agaknya sekarang dia berharap pemuda itu tersadar dari mabuknya.
Tentu saja Toan Giok tidak mendusin.
Akhimya dia menghela napas, kemudian dengan suara lirih mulai bersenandung, "Aduh kasihan
si anak muda ...." Senandungnya makin lama makin rendah, dengusan napasnya makin lama makin berat, lengan
yang menindih di atas badan Toan Giok pun seolah makin lama semakin berat.
Ia telah tertidur, tertidur dengan membawa perasaan bangga dan gembira.
Angin masih berhembus di luar jendela bayangan bunga masih bergoyang di luar jendela.
Perlahan-lahan Toan Giok membalik badan, memanggil dengan perlahan, "Nona Hoa, Hoa Yalay
...." Tiada jawaban. Dengus napasnya semakin berat, kelihatannya dia pun ikut meneguk arak Tiok-yap-cing.
Kembali Toan Giok menunggu cukup lama, lalu diam-diam merangkak bangun, mengambil
kembali pakaiannya dan menghampiri daun jendela, waktu itu cahaya putih mulai
membias di atas kertas jendela.
Toan Giok mengambil pot bunga itu. Dengan gerakan tangan paling cepat, dia tuang semua
barang yang ada dalam pot itu ke dalam saku sendiri.
Kemudian dia masukkan kembali bunga itu ke dalam pot dan meratakan tanahnya.
Sekulum senyuman bangga tersungging di ujung bibir, namun sewaktu membalikkan badan
memandang ke arah si nona, timbul perasaan menyesal di hati kecilnya.
Pemuda yang berbudi luhur, biasanya tak ingin orang lain kecewa, apalagi terhadap seorang
wanita yang begitu cantik.
Perlahan dia menghampiri ranjang. Sembari lewat, dia ambil kembali pecut kulit kerbaunya
yang tergeletak di sana. Tiba tiba nona itu menggeliat sambil bergumam, "Mau apa kau bangun"
Toan Giok berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berdebar dan menyahut lembut,
"Aku harus berangkat lebih awal, karena aku mesti meneruskan perjalanan."
Nona di atas ranjang itu manggut-manggut, matanya masih juga terpejam, gumamnya lagi,
"Sewaktu kembali nanti jangan lupa menengok aku lagi."
"Tentu saja." Padahal dia pun tahu, besok belum tentu dia masih berada di tempat itu.
Dengan perasaan puas, nona di ranjang menghela napas panjang, dengan cepat ia terlelap
tidur kembali. Tentu saja dia tak menyangka pemuda yang tampak masih hijau itu sudah mengetahui
rahasianya, kini dia hanya berharap Toan Giok segera pergi dari situ.
Bawah pot bunga memang tempat yang paling bagus untuk menyembunyikan barang.
Coba kalau dia tidak melihat secara kebetulan, ketika keesokan harinya tersadar dan tidak
menemukan kembali barang-barangnya, saat itu dia pasti tak bisa menuduh gadis itu pencurinya.
Kalau ingin menangkap maling harus berikut barang jarahannya, dia pun tahu akan teori itu,
jadi tanpa barang bukti dia bakal menelan kepahitan tanpa bisa berkeluh.
Lagi pula tuduhan semacam ini jelas tak mungkin bisa dilontarkan begitu saja, terlebih terhadap
seorang nona cantik. Ai, perempuan, tampaknya kaum lelaki memang harus waspada menghadapi kaum wanita.
Langit hampir terang tanah, rembulan yang tampak remang masih bertengger di ujung pohon,
cahaya bintang yang redup sudah mulai bersembunyi di balik jagat raya yang kelabu.
Di atas jalan kecil beralas batu hijau, masih basah oleh embun yang dingin.
Toan Giok dengan bertelanjang kaki menembusi halaman, air embun yang dingin merasuk dari
dasar kakinya hingga tembus ke ubun-ubun.
Tiba-tiba saja ia berubah jadi lebih sadar, pada hakikatnya belum pernah dia sesadar hari ini.
Dinding itu tidak terlalu tinggi, di ujung dinding pun ditanami aneka bunga.
Harum bunga yang sedap terbawa angin semilir yang dingin, merasuk ke dalam lubuk hatinya
yang paling dalam. Toan Giok menyelinap keluar, dari sudut dinding ia temukan sepatunya, kemudian memasukkan
benda yang diambil dari dasar pot bunga ke dalam saku bajunya, setelah mendongakkan kepala
dia menarik napas panjang, menghirup harumnya bunga di tengah hembusan angin fajar.
Tiba-tiba ia merasa keindahan telaga Se-ouw di tengah fajar jauh lebih indah daripada di saat
senja. Ia berjalan santai menelusuri jalan di tepi telaga, menikmati keindahan alam telaga yang segar
dan cantik. Ia memang tak perlu terburu-buru, biarpun harus berjalan selama tiga hari tiga malam sebelum
tiba di rumah penginapan kemarin juga bukan masalah baginya.
Ketika perempuan cantik yang licik itu mendusin esok, ketika menemukan pot bunganya
berubah jadi kosong, entah bagaimana perubahan mimik mukanya"
Berpikir sampai di sini, tak tahan Toan Giok tertawa geli, sekalipun muncul juga perasaan
menyesal dan iba, tapi kegembiraan karena ulahnya, karena perbuatan dosanya yang begitu
penuh misteri jauh lebih kental daripada perasaan menyesal dan iba.
Tak tahan ia merogoh ke dalam sakunya, menikmati sekali lagi benda-benda miliknya yang
semula dicuri dan kini diperoleh kembali.
Tapi dengan cepat pemuda itu tertegun.
Ternyata dalam kantung uang itu selain terdapat uang kertas pemberian ayahnya, daun emas,
serta golok kumala hijau pemberian ibunya, kini tertambah lagi dengan dua jenis benda.
Serenteng mutiara sebesar buah kelengkeng dan sebuah tanda pengenal terbuat dari batu
kumala. Mencari sebutir mutiara sebesar kelengkeng memang tidak terlalu susah, tapi menjadi amat
susah bila ingin mengumpulkan satu renteng mutiara dengan ukuran yang serasi.
Kepingan batu kumala itu pun bersinar hijau mulus, sama sekali tak tampak cacat atau retakan
apa pun. Tentu saja Toan Giok tahu nilai barang. Sekilas pandang ia sudah tahu kedua jenis benda itu
merupakan barang mestika yang tak ternilai harganya.
Darimana ia memperoleh kedua jenis benda itu"
Dengan cepat Toan Giok menjadi mengerti. Sudah pasti sejak lama Hoa Ya-lay telah
menggunakan pot bunga itu sebagai gudang harta rahasianya.
Sebelum dia, pasti ada orang yang pernah tertipu oleh perbuatannya yang sama.
Sekali lagi Toan Giok tertawa geli. Ia merasa kejadian ini memang lucu dan menarik.
Sebetuknya ia bukan termasuk orang yang tamak, tapi tak ada salahnya untuk memberi sedikit
pelajaran dan hukuman kepada perempuan cantik yang tamak itu dengan cara begini, sedikit pun
ia tak merasa menyesal. Apalagi walau sekarang dia ingin mengembalikan barang-barang itu kepadanya pun belum
tentu ia dapat menemukan kembali sarang rasenya.
Tapi sejujurnya, dia memang tak ingin mencari masalah lagi.
"Barang-barang ini memang asalnya bukan milik dia. Sekalipun harus dikembalikan, aku tak
boleh mengembalikan kepadanya" Toan Giok menghela napas, akhirnya dia mengambil keputusan
begitu. Maka sekali lagi dia masukkan seluruh barang itu kedalam saku bajunya.
Dia merasa puas karena ketenangan dan keteguhan hatinya, pada hakikatnya ia betul-betul
merasa sangat puas. Bahkan dia berpendapat, sudah seharusnya memperoleh hadiah akan tindakan yang telah dia
lakukan. Langit semakin terang. Tiba-tiba muncul sebuah sampan kecil dari balik rimbunnya pohon Liu.
Pemilik sampan adalah seorang lelaki dengan usia tidak terlalu tua, ia mengenakan sepatu
rumput dan di kepalanya mengenakan sebuah taping lebar.
Dari kejauhan ia telah menyapa Toan Giok dengan suara keras, "Siangkong, apakah kau
hendak menyeberang telaga?"
Tiba-tiba Toan Giok merasa nasib sendiri sungguh bagus, sementara ia sedang bingung dan tak
tahu harus pergi kemana, sementara dia sedang bingung rnencari perahu untuk menyeberang,
sampan penyeberang telah muncul di depan mata.
"Kau tahu dimana letak rumah penginapan Sik-ke?"
Tentu saja tahu, tukang perahu mana di telaga Se-ouw yang tidak rnengetahui letak rumah
penginapan Sik-ke! Maka Toan Giok pun melompat naik ke atas sampan, serunya sambil tertawa, "Cepat bawa aku
menyeberang telaga ini, akan kubayar sepuluh tahil perak."
Di saat sedang gembira, dia berharap orang lain pun ikut merasakan kegembiraannya.
Gembira memang suatu kejadian yang aneh, tak mungkin berkurang sekali pun telah kau
bagikan untuk orang lain. Kadang kala semakin banyak yang kau bagikan untuk orang lain, s
semakin banyak pula yang kau peroleh.
Siapa tahu pemilik sampan itu bukan saja tak merasa gembira, bahkan sambil melototkan
mata, ia berteriak, "Jangan jangan kau adalah bandit?"
"Memangnya tampangku mirip bandit?" tanya Toan Giok sambil tertawa.
"Kalau bukan bandit, mengapa sekali menyeberang kau membayarku sepuluh tahil perak?"
tegur pemilik sampan itu dingin.
"Oh, jadi kau merasa kebanyakan?"
"Sebenarnya kebanyakan, tapi sekarang malah merasa kelewat sedikit!"
"Kenapa?" tak tahan Toan Giok bertanya.
"Kalau memang uang itu kau peroleh secara gampang, sudah sepantasnya kau bayar lebih
banyak bila ingin naik perahuku"
"Berapa yang kau minta?" kembali Toan Giok bertanya sambil mengedipkan mata.
"Berapa banyak yang kau punya, berapa banyak pula yang kuminta"
Sekali lagi Toan Giok tertawa.
"Ternyata bukan aku yang bandit, kaulah bandit yang sebenarnya" ia mengejek.
"Kalau sekarang baru sadar, keadaan sudah terlambat."
Bambu panjangnya hanya ditutulkan beberapa kali, sampan itu sudah melesat menuju ke
tengah telaga. Kekuatan dua lengannya paling tidak mencapai tiga sampai lima ratus kati.
"Jadi perahu ini benar-benar perahu bandit?" tegur Toan Giok sambil menatapnya.
"Hm!" pemilik sampan itu tidak menjawab, dia hanya mendengus.
"Konon bila ingin membunuh orang di atas perahu bandit, biasanya berlaku dua macam cara."
"Tak sedikit urusan yang kau ketahui."
"Aku hanya ingin tahu, kau ingin mengundangku makan bakmi golok atau pangsit bungkus?"
"Itu tergantung berapa banyak uang perak yang akan kau serahkan padaku. Kalau orang pelit
harus mendermakan duitnya, mana mungkin ia mau memberi dengan tulus?" ejek pemilik perahu
itu sambil tertawa dingin. "Rasanya aku harus mempersilakan kau mandi lebih dulu."
"Oh, jangan sungkan-sungkan, tadi aku telah selesai mandi," sahut Toan Giok sambil tertawa.
Tidak menunggu ia menyelesaikan perkataannya, tiba tiba pemilik sampan itu melompat masuk
ke dalam air. Menyusul sampan kecil itu mulai berputar di tengah telaga, putaran itu makin lama
semakin cepat. Toan Giok sama sekali bergeming, bahkan tidak panic juga tidak gelisah, gumamnya, ''Kalau
hanya berputar bukan masalah, kalau sampai terguling ke air, itu baru celaka."
Belum lagi selesai bicara, benar saja, sampan kecil itu benar-benar terguling.
Siapa sangka Toan Giok belum juga tercebur ke air.
Di saat perahu itu mulai terbalik, tubuhnya telah melambung ke udara. Menanti sang perahu
terjungkir dengan dasar menghadap ke atas, ia baru melayang turun lagi ke dasar perahu dengan
enteng, lagi-lagi gumamnya, "Kalau hanya terbalik bukan masalah, bila benar-benar tenggelam,
itu baru celaka!" Tiba-tiba dasar sampan mulai berbunyi keras, kemudian muncul sebuah lubang besar, sampan
itu pun perlahan-lahan mulai tenggelam ke dasar telaga.
Toan Giok belum juga tercebur ke air.
Galah bambu yang dipakai untuk mendayung sampan masih terapung di atas permukaan, tibatiba
dia melompat ke depan, ujung kakinya menutul perlahan di atas galah bambu itu
dan meluncurlah dia ke depan.
Pada kesempatan itu ia berganti napas dan sekali lagi menutul di atas bambu tadi. Menanti
bambu itu meluncur lagi sejauh tiga tombak, ujung kakinya menutul di atas bambu. Setelah dua
kali menarik napas, tubuhnya dengan sangat ringan telah mendarat kembali di tepi telaga,
gumamnya, "Wah sayang, sayang sekali! Sebuah sampan yang begitu bagus ternyata harus
ditenggelamkan dengan percuma."
Terdengar suara air tersibak, lalu tampak pemilik sampan muncul di atas permukaan air.
Dengan sepasang matanya yang hitam berkilat, ia mengawasi pemuda itu.
Sambil menggendong tangan dan tersenyum, Toan Giok berkata, "Saat ini air telaga pasti
dingin sekali, hati-hati kalau mandi saat seperti ini, bisa masuk angin."
Cukup lama pemilik sampan itu melotot, tiba-tiba pujinya sambil menghela napas panjang,
"Ternyata ilmu meringankan tubuhmu sangat hebat."
"Ah, hanya begitu saja, tak perlu kelewat dikagumi."
Kembali pemilik perahu itu berkata dingin dengan wajah serius, "Sayang kemampuan yang
hebat tidak dipergunakan sebagaimana mestinya."
"Digunakan tidak semestinya" Kau yang tak berguna atau aku yang tak berguna?" Toan Giok
balik bertanya sambil tertawa geli.
"Ai, sebetulnya aku ingin melindungimu menunjukkan jalan terang. Sekarang tampaknya kau
harus memilih jalan kematian," kembali pemilik perahu itu menghela napas.
Toan Giok ikut menghela napas.
"Mula-mula mengundang aku menikmati bakmi golok, lalu mengundangku mencebur telaga
untuk mandi dan sekarang jalan terang apa yang hendak kau tunjukkan pula padaku?"
Pemilik perahu itu tertawa dingin, tanpa berkata ia segera menyelam kembali ke dalam air.
"Hey, tunggu sebentar," tiba-tiba Toan Giok berteriak memanggil.
Perlahan pemilik perahu itu muncul kembali ke atas permukaan, tanyanya, "Masih ada yang
ingin kau sampaikan?"
"Aku lupa untuk berterima kasih padamu," ucap Toan Gio,k tertawa.
"Berterima kasih kepadaku?" pemilik perahu itu berkerut kening.
Kembali Toan Giok tersenyum.
"Terlepas perkataanmu tadi benar atau bohong, aku tetap harus berterima kasih kepadamu,"
katanya. Senyuman itu polos dan bersungguh hati. Selamanya kau tak bakal rugi bila tersenyum macam
ini terhadap orang lain. Pemilik perahu itu menatapnya, lewat lama kemudian ia baru berkata sambil menghela napas,
"Memang kelewat sayang bila pemuda macam kau harus mati mengenaskan."
"Aku pun tak ingin mati," jawab Toan Giok tertawa.
Pemilik perahu itu termenung sambil berpikir, sejenak kemudian katanya lagi, "Bila sekarang
juga kau pergi ke biara Hong-lin-si dan mencari seorang she Ku, siapa tahu masih ada
secercah harapan untuk tetap hidup."
Toan Giok tertawa getir, keluhnya, "Sekarang aku masih hidup segar-bugar, kenapa kau
menyumpahi aku untuk mati?"
"Masa kau sudah melupakan perbuatan yang pernah kau lakukan?"
"Perbuatan apa yang telah kulakukan?" Toan Giok balik bertanya dengan kening berkerut.
"Menyalahi seseorang yang tidak boleh disalahi dan tidak pantas disalahi."
Toan Giok berpikir sejenak, mendadak seakan baru sadar, serunya, "Oh, kau maksudkan
keempat orang Hwesio itu?"
Agaknya tukang perahu itu sadar kalau perkataannya kelewat banyak, tanpa bicara ia segera
menyelam kembali ke dalam air.


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hey, dimana letak Hong-lin-si?" teriak Toan Giok, ''Kalau tidak kau terangkan, aku harus
mencarinya kemana?" Biarpun suara teriakannya keras, sayang di atas permukaan telaga sudah tak tampak lagi
bayangan tubuh si tukang perahu itu.
Jangankan manusia, bayangan sampan kecil itu pun telah lenyap.
Toan Giok menghela napas panjang, gumamnya sambil tertawa getir, "Apakah nasibku akan
berubah semakin buruk?"
Perlahan ia membalikkan tubuh, tiba-tiba dijumpai ada sepasang mata bulat besar sedang
mengawasinya dari balik pepohonan Liu yang lebat.
Ternyata nona cilik dengan mata besar telah muncul kembali, dia masih mengenakan jubah
panjang berwarna ungu yang dikenakan kemarin, hanya di sisi pinggangnya kini telah bertambah
dengan sebilah pedang antik dan indah.
Sekarang Toan Giok baru teringat, dia telah melupakan sebuah benda, golok miiliknya.
Dia hanya teringat, sewaktu mulai meneguk arak di atas perahu pesiar semalam, golok itu
masih berada di atas meja.
Kemudian dia telah melupakannya, bukan hanya golok itu terlupakan, bahkan dia sendiri pun
nyaris terlupakan. Bi-giok-to, golok kumala hijau. Dulu merupakan senjata andalan Toan-loyacu ketika
mengembara dalam Kango uw semasa mudanya, konon terhitung benda pengikat tunangan
diberikan Toan-hujin sebelum menikah dulu.
Hingga Toan Giok berusia delapan belas tahun, Toan loyacu baru menyerahkan golok itu
kepadanya. Diam-diam Toan Giok menghela napas panjang. Dalam pandangan matanya seolah muncul
wajah ayahnya yang kereng, penuh wibawa dan serius.
Nona kecil bermata besar itu telah berpaling menatap ke arahnya sambil menarik muka dan
tertawa dingin, sindirnya,
"Kalau letak Hong-lin-si saja tidak tahu, buat apa kau terjun ke dunia persilatan?"
"Jadi kau tahu dimana letak Hong-lin-si?" tak tahan Toan Giok bertanya.
Nona cilik itu menengok sekejap ke belakang, lalu celingukan pula ke kiri kanan, kemudian
bertanya keheranan, "Hey, kau sedang berbicara dengan siapa?"
"Memangnya di sini masih ada orang lain?"
"Hm, kalau sudah tahu bahwa antara laki dan perempuan itu ada bedanya, buat apa kau masih
mengajakku bicara?" seru nona cilik itu dengan muka cemberut.
Ternyata dia masih memendam sakit hati semalam.
Bisa dimaklumi, kaum wanita memang lebih gampang tersinggung daripada kaum pria. Apalagi
kalau sudah sakit hati, biasanya perasaan itu akan selalu tersimpan dalam hatinya.
Sebagai seorang lelaki sejati, sudah sepantasnya bila mereka mengalah terhadap kaum wanita.
Maka sambil tertawa, Toan Giok berkata, "Bila nona mengetahui dimana letak Hong-lin-si,
tolong berilah sebuah petunjuk kepadaku,"
Kembali nona cilik itu mendelik, dengusnya sambil tertawa dingin, "Aku tak kenal dirimu,
kenapa aku harus memberi petunjuk?"
"Cayhe Toan Giok, boleh tahu siapa nama nona?"
"Kalau kau berpendapat laki dan perempuan itu berbeda, bahkan arak pun tak boleh diteguk.
Buat apa mesti saling bertukar nama?"
Kelihatannya nona cilik ini selain sempit pikirannya, juga sulit dilayani.
Toan Giok bukan seorang pria yang terbiasa menerima perlakuan semacam ini. Asal di seputar
sana memang terdapat Hong-lin-si, memangnya sulit untuk mencari tahu tempat itu"
Maka sambil tertawa dia pun menjura kepada si nona sambil katanya, "Wah, aku memang tak
tahan menghadapi nona macam kau, lebih baik menyingkir saja."
Siapa tahu kembali nona kecil itu berteriak, "Hey, kembali! Perkataanku belum selesai!"
Terpaksa Toan Giok balik kembali, tanyanya sambil tertawa getir, "Perkataan mana yang belum
selesai kau sampaikan?"
"Aku ingin bertanya," ujar nona cilik itu sambil tertawa dingin. "Kalau kau tak boleh minum arak
semeja denganku, kenapa boleh minum arak di atas perahu orang, bahkan minum
semalam suntuk, apakah dia bukan wanita" Apakah kalian tak perlu membedakan antara pria
dan wanita?" Ternyata persoalan inilah yang mengganjal hatinya, membuat perasaan hatinya tak senang!
Toan Giok benar-benar terbungkam.
Bagaimana pun persoalan ini memang sulit untuk dijelaskan, terkadang tidak memberi
penjelasan justru merupakan penyelesaian yang paling baik.
Lagipula kenapa dia harus memberi penjelasan kepada seorang nona cilik yang tak tahu
aturan" Ternyata nona cilik itu belum mau melepaskan dirinya begitu saja, kembali teriaknya, "Kenapa
kau tidak menjawab" Apakah sudah tahu kalau alasanmu sangat tak masuk akal?"
Toan Giok tidak menjawab, dia hanya tertawa getir.
Setelah melotot beberapa saat, mendadak nona cilik itu tertawa, katanya, "Kalau kau sadar
bahwa alasanmu tak masuk akal berarti penyakitmu masih bisa diobati. Ayo, ikuti aku!"
"Kau bersedia mengajakku pergi ke Hong-lin-si?" tanya Toan Giok tertegun.
"Kalau bukan mengajakmu ke Hong-lin-si, memangnya mengajakmu pergi mampus?" sahut
nona cilik itu sambil menggigit bibir.
"Jangan sekali-kali berhubungan dengan wanita asing, jangan sekali-kali kau lakukan!"
Toan Giok hanya bisa menghela napas, tampaknya saat ini mau tak mau dia harus
berhubungan dengan seorang wanita asing lainnya.
Kini dia hanya berharap gadis ini jauh lebih baik daripada perempuan semalam.
Angin mulai berhembus, daun Liu menari-nari di tengah udara, persis seperti bunga salju yang
mulai turun. Sambil membelah ranting Liu, nona kecil itu perlahan-lahan berjalan ke depan. Sekalipun
berdandan sebagai seorang lelaki namun pinggulnya tampak bergoyang waktu melangkah.
Mungkinkah dia sengaja bergoyang pinggul untuk diperlihatkan pada Toan Giok" Untuk
membuktikan kalau ia bukan nona kecil, melainkan seorang gadis yang telah dewasa"
Ingin tidak melihat pun sulit bagi Toan Giok, tapi kenyataan, pinggang nona cilik ini memang
ramping bagaikan ranting pohon Liu. Sekali pun sifat kanak-kanaknya belum hilang, namun
memancarkan daya pikat yang memabukkan.
Bukankah lelaki punya mata khusus untuk menikmati keindahan tubuh seorang gadis semacam
ini" Toan Giok masih muda, baru berusia sembilan belas. Tampaknya si nona tahu kalau anak muda
itu sedang memperhatikan tubuhnya, tiba-tiba ia berpaling dan tertawa. "Aku she Hoa, bernama
Hoa-hong!" Hoa Hoa-hong, sebuah nama yang sangat indah.
Toan Giok tertawa, ia merasa dirinya telah memberikan sebuah pertanggung-jawaban pada
dirinya sendiri. Paling tidak saat ini nona cilik itu sudah tidak termasuk seorang gadis asing
Lagi. Paling tidak ia sudah mengetahui namanya.
*** Biara Hong-lin-si terletak di sisi kiri dusun Sin-hoa-cun, dusun ini berada di samping komplek
kuburan Gak-ong. Merupakan salah satu hutan terbesar di antara delapan hutan telaga Se-ouw.
Banyak peziarah yang datang berkunjung ke biara ini, terutama di musim semi dan gugur.
Sekalipun para pesiar yang tidak percaya Buddha pun seringkali datang ke biara untuk sekedar
mampir dan menyulut beberapa batang hio.
Hong-lin-si adalah biara para Hwesio.
Kalau memang biara Hwesio, kenapa tukang perahu itu menganjurkan Toan Giok datang
menjumpai seorang Tojin she Ku"
Hoa Hoa-hong memutar biji matanya, lalu bertanya,
"Benarkah si tukang perahu minta kau datang mencari seorang Tojin she Ku"?'
"Ehm." "Kau tidak salah dengar?"
"Aku jamin telingaku tak bermasalah," sahut Toan Giok sambil tertawa getir.
"Tapi setahuku, Hong-lin-si hanya dihuni kaum Hwesio, tak seorang Tosu pun tampak di situ."
"Jangan-jangan keempat Hwesio yang kuhajar kemarin berasal dari Hong-lin-si?" tanya Toan
Giok sambil berkerut kening.
"Tidak benar, Hongtiang Hong-lin-si rasanya bukan ahli ahli waris biara Hoa-lam-si, sementara
ilmu silat yang digunakan keempat orang Hwesio itu jelas merupakan Siau-lim-kun."
"Kelihatannya kau termasuk jagoan berpengalaman."
"Hm, memangnya hanya kaum laki yang boleh berkelahi dan melarang kaum wanita berlatih
kungfu?" seru Hoa HoaI hong sambil tertawa dingin.
"Aku sama sekali tak bermaksud begitu."
"Lantas apa maksudmu?"
"Aku hanya memuji ketajaman mata mu, seorang jago pengalaman, hebat pengetahuannya.
Masakah masih terselip maksud lain?"
"Memang betul, perkataanmu memang tak salah, tapi nada bicaramu itu yang membikin orang
penasaran, seperti sedang mengolok-olok."
Toan Giok segera menghela napas panjang.
"Ai, sekarang pun aku mulai mengerti maksud hatimu," katanya.
"O, ya?" "Kau tampaknya suka mencari masalah dengan orang lain, suka mencari keributan, suka
berkelahi," kata Toan Giok sambil tertawa getir.
"Siapa bilang aku suka mencari keributan, suka berkelahi" Aku hanya suka mencari kau."
Begitu ucapan itu diutarakan, dia sendiri tak tahan untuk tertawa.
Melihat tertawanya yang manis, tiba-tiba Toan Giok merasa hatinya ikut manis, bahkan dia
sendiri pun tak jelas apa gerangan yang sebenarnya telah terjadi.
Bila seorang wanita suka mencari masalah denganmu, mengajak kau berkelahi, semestinya
hatimu merasa sedih, merasa amat kesal.
Tapi anehnya, terkadang kau justru merasa amat senang, amat gembira.
Mungkin inilah alasan mengapa kaum wanita selalu mengatakan kaum lelaki, "dasar balung
kere (tulang miskin)".
Tatkala Toan Giok sedang memandangnya, Hoa Hoa hong pun sedang memandang Toan Giok,
maka mereka pun saling beradu pandang, kau memandang aku, aku pun memandang kau,
seolah-olah mereka lupa kalau di dunia masih ada orang lain.
Tentu saja di tempat itu bukan hanya ada mereka berdua, tentunya orang lain pun hampir
semuanya sedang memandang mereka
Pada dasarnya Toan Giok memang sudah amat menarik perhatian, apalagi sekarang didampingi
Hoa Hoa-hong yang laki bukan perempuan pun tidak.
Bag 3 : Tosu perempuan isteri Ku-tojin
Semua orang terperangah, terkesima, berdiri melongo dengan mata terbelalak, mereka
memandang keheranan, apalagi ketika melihat gadis itu sebentar mencak-mencak gusar, sebentar
lagi tertawa manis. Saat ini Ceng-beng (waktu tengok kubur) baru lewat saat yang paling cocok untuk berpesiar di
telaga. Sepanjang jalan mereka bertemu banyak orang, apalagi mendekati pintu biara, ada begitu
banyak laki-perempuan, tua-muda yang bertumpah ruah di sana.
Di antara mereka ada pelancong yang datang dari tempat jauh, ada pula yang datang dari kota
untuk pasang hio, ada lelaki tua yang berjualan lilin dan hio, ada juga nona cilik dengan keranjang
bunga melati, di antara mereka ada yang bicara dengan tutur bahasa sopan dan halus, ada juga
lelaki kasar dengan omongan busuk.
Padahal suasana semacam ini sangat lumrah, dapat kau jumpai dimana pun di dunia ini, orang
dengan aneka-ragam penampilan pun nyaris bisa kau jumpai di seluruh dunia.
Hanya semacam manusia yang tak nampak, mereka tidak melihat ada Tojin, jangankan
sekelompok, seorang Tosu pun tak nampak.
Memang aneh bila menjumpai Tosu berada di biara kaum hwesio.
Di sudut dinding, tampak ada dua orang Hwesio kecil sedang bersembunyi di pojokan sambil
mencuri makan gula-gula mereka berdua baru saja menyelinap keluar dari dalam Hong-lin-si.
Toan Giok tak ingin melanggar pantangan para Hwesio, dia pun tak berani masuk ke dalam
biara untuk mencari tahu, tapi untuk bertanya kepada dua orang Hwesio cilik rasanya memang tak
masalah. "Tolong tanya Siau-suhu berdua, apakah dalam biara terdapat seorang Tojin she Ku?"
"Tidak ada" "Belum pernah ada Tosu yang berani masuk ke pintu kami, kalau ada pun mereka pasti akan
dihajar sampai kabur "
"Kenapa?" "Karena ada banyak orang iri setelah melihat banyak peziarah berkunjung kemari, mereka
selalu berniat merebut kekayaan biara, selalu mencari akal busuk untuk merampas
daerah kekuasaan kami"
"Betul, bahkan guruku sering bilang, untuk cukur rambut saja para Tosu enggan, mana
mungkin bisa menjadi seorang pendeta yang bersih hatinya dan suci pikirannya?"
"Konon ada Tosu yang punya bini!"
Tampaknya kedua Hwesio cilik ini belum lama menjadi pendeta. Kalau ditinjau dari mimik
mukanya, mereka seolah menyesal mengapa bukannya menjadi Tosu yang diizinkan
berbini, sebaliknya malah menjadi Hwesio.
Toan Giok mulai tertarik, diam-diam ia sisipkan sebongkah perak ke dalam saku mereka dan
berbisik, "Selewat dua hari, cari topi untuk menutupi kepala gundul kalian. Sana,
pergi ke rumah makan Sam-ya-wan dan cicipi ikan Song-so-hi, hidangan di sana sangat enak."
Hwesio cilik itu meliriknya dua kejap, tiba-tiba mereka balik badan dan langsung kabur.
Hoa Hoa-hong tak bisa menahan geli, serunya sambil tertawa cekikikan, "Dasar orang jahat,
kau hanya memikat orang untuk berbuat dosa."
"Masa makan ikan juga dosa?"
"Mana ada orang beribadah makan makanan berjiwa?"
"Daging arak hanya numpang lewat, sementara hati Buddha berada dalam hati, masa kau
belum pernah mendengar perkataan ini?"
"Untung kau tak menjadi Hwesio. Kalau tidak, pastilah kau seorang Hoa-hwesio, Hwesio cabul!"
"Seandainya harus menjadi pendeta, aku lebih suka menjadi seorang Tosu, tak bakaL menjadi
Hwesio." "Kenapa?" "Seharusnya kau tahu kenapa," jawab Toan Giok sambil tersenyum.
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong teringat kembali ucapan Hwesio cilik tadi, kontan dia mendelik, tapi
kemudian katanya sambil tertawa tergelak, "Tadinya kusangka kau jujur dan polos, siapa
sangka kau pun bukan orang baik-baik."
Tiba-tiba lanjutnya setelah berhenti sejenak, "Tapi kau pun seorang IeIaki tolol."
"Tolol?" "Mendengar dari mana kalau dalam biara ini ada Tosu?"
"Dari si tukang perahu."
"Memang kau kenal dia?"
"Tidak!" "Jadi karena dia menyuruh kau datang kemari mencari Tosu, maka kau pun datang kemari"
Kalau dia suruh kau mencari Nikoh di sini, apakah kau pun akan datang juga?"
Toan Giok tertegun. "Pantangan keenam, jangan gampang mempercayai perkataan orang!"
Tiba-tiba ia merasa dirinya lagi-lagi melanggar sebuah pantangan dari ayahnya.
"Bila para Hwesio yang kau hajar benar-benar anggota biara Siau-lim, jelas kerepotan yang
bakal kau hadapi sangat besar, tapi biara Siau-lim adalah sebuah perguruan besar kaum lurus,
rasanya mustahil mereka akan mencabut nyawamu hanya gara-gara urusan kecil ini."
Toan Giok tidak menjawab, dia hanya mendengarkan.
"Lagi pula," terdengar Hoa Hoa-hong melanjutkan, ''bila pihak biara Siau-lim betul-betul hendak
menghukurn mati dirimu, Liong-cinjin dari gunung Bu-tong pun belum tentu
Mampu menolongmu, apalagi hanya seorang Tosu yang sama sekali tak dikenal!"
Kali ini Toan Giok menghela napas panjang.
Hoa Hoa-hong ikut menghela napas, terusnya, ''Manusia yang begitu gampang mempercayai
perkataan orang macam ini, suatu saat dijua I orang pun mungkin kau tak sadar."
"Aku hanya mempercayai sesuatu hal," tiba-tiba Toan Giok menyela.
"Percaya apa?" "Ucapan si tukang perahu itu pasti bukan hanya bertujuan menipu aku datang kemari dengan
sia-sia." "Jadi kau menganggap dia punya tujuan lain?"
"Benar!" Toan Giok mengangguk, "Jika ia berniat mencelakai aku, dapat dipastikan dia akan
menyiapkan sebuah perangkap lebih dulu di tempat ini dan menunggu aku datang."
"Dan kau sudah datang?" tanya Hoa Hoa-hong sambil mengedipkan matanya.
Toan Giok tertawa getir. "Sayang, dimana letak perangkap itu pun hingga sekarang aku belum tahu," katanya.
"Kalau kau bisa tahu, bukan perangkap namanya," seru Hoa Hoa-bong. Kemudian setelah
tertawa, tiba-tiba katanya lagi,
"Namanya perangkap, selamanya tak bakal kelihatan, maka kau baru bisa tercebur ke
dalamnya." "Jadi setiap waktu, aku dapat tercebur ke dalamnya?"
"Benar." Toan Giok ikut mengedipkan mata beberapa kali.
"Tapi aku tak kenal si tukang perahu itu. Bila manusia semacam dia ingin mencelakai aku,
bukankah bisa jadi si kusir kereta yang ada di depan itu pun rekan komplotannya?"
"Ehm, kemungkinan itu selalu ada," jawab Hoa Hoa-hong serius.
"Kalau begitu, setiap orang yang berada di seputar sini, kemungkinan besar juga merupakan
komplotannya?" kata Toan Giok sambil memandang sekejap sekeliling tempat itu.
"Ehm!" Kontan sepasang mata Toan Giok melotot, serunya,
"Bagaimana dengan kau" Adakah kemungkinan itu?"
"Justru akulah yang paling mungkin," teriak Hoa Hoahong sambil cemberut
"Oh" "Sekarang juga aku ingin melolohmu dengan arak racun, semangkuk demi semangkuk,
melolohmu sampai kau mati keracunan!"
"Ai, rasanya mati keracunan memang lebih enak daripada mati tenggelam" Toan Giok menghela
napas. "Kau berani ikut aku?" tantang Hoa Hoa-hong sambil mendelik.
"Kemana?"

Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menuding ke arah depan, sahut Hoa Hoa-hong,
"Kelihatannya di depan sana ada warung arak, kau ...."
Mendadak kata-katanya terhenti setengah jalan.
Karena ia menemukan arah yang dituding jari tangannya adalah tiga huruf besar.
Tiga huruf yang berbunyi, "Ku-tojin".
*** Kain hijau yang digantungkan jauh di atas tiang bambu telah memutih karena sering dicuci, di
atas kain itu tertulis tiga huruf besar.
Ku-tojin! Tiga huruf yang besar sekali.
Ternyata Ku-tojin bukan nama seorang Tosu, Ku-tojin adalah nama sebuah warung arak.
Warung arak ini merupakan sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua bangunan kayu.
Suasana dalam bangunan selain gelap juga lembab.
Selain tumpukan guci arak yang menggunung dalam ruang dalam, di luar bangunan rumah, di
bawah tenda yang terbuat dari bambu pun tampak berjajar guci-guci arak yang amat besar. Di
atas guci arak itu diberi papan kayu yang merupakan meja untuk tamu, sedang di sekelilingnya
berjajar bangku kecil. Memang banyak sekali warung arak semacam ini di kota hang-ciu yang besar dan padat.
Dalam warung arak semacam ini, biasanya mereka hanya menyediakan arak dingin, tak ada
hidangan panas, paling hanya tersedia kacang rebus, kedelai, garam atau hidangan ringan lain.
Oleh sebab itu kebanyakan tamu yang berkunjung adalah tamu-tamu berusia lanjut.
Bagi manusia semacam ini, cukup asal ada tempat untuk minum arak, lagi pula mereka
seringkali berkunjung tak kenal waktu. Oleh sebab itu meski saat ini belum menjelang tengah hari,
namun meja-meja di warung arak ini sudah tertata rapi.
Seorang bocah kudisan bermata juling menggotong keluar semangkuk besar wedang kacang
yang masih panas, di depan meja sudah terlihat dua orang kakek sedang minum arak.
Sudah hampir setengah harian Hoa Hoa-hong dan Toan Giok masuk ke dalam warung itu, tapi
si bocah kudisan itu belum juga datang mendekat untuk memberi pelayanan.
"Apakah kau adalah Lopan warung ini?" dengan nada menyelidik Toan Giok bertanya.
"Kalau aku adalah Lopan tempat ini, seharusnya warung ini kuubah namanya menjadi warung
kudisan," jawab si kudis sambil melotot.
"Lalu siapa Lopannya?"
"Memangnya kau buta huruf?" si kudis balik bertanya sambil menuding tulisan di luar warung.
"Oh, ternyata di tempat ini benar-benar ada seorang Tojin bernama Ku-tojin," sahut Toan Giok
kemudian sambil tertawa. "Sebetulnya kalian datang untuk minum arak atau tidak?" tanya bocah kudisan itu melotot.
"Kalau tidak minum arak, mau apa kami datang kemari?" balas Hoa Hoa-hong sambil melotot
pula. "Berapa banyak arak yang kalian pesan?"
"Siapkan dulu dua puluh mangkuk arak Hoa-tiau, tuang ke dalam tabung arak."
Dengan matanya yang juling, si kudisan melotot sekejap ke arah gadis itu, lambat-laun mimik
mukanya berubah sedikit lebih ramah.
Hanya sejenis orang yang paling dihormati dan disambut hangat di tempat ini, orang dengan
takaran minum luar biasa.
Di samping meja kasir terlihat sepasang lian tergantung di sisi kiri dan kanannya. Sepasang lian
itu berbunyi: "Nasi takaran kecil membuat orang kelaparan, ikan dan arak wangi membuat usus tambah
lebar." Membaca tulisan itu, tak tahan Toan Giok bertanya, "Jadi di sini pun tersedia ikan masak cuka?"
"Tidak!" sahut si kudis.
"Tapi sepasang lian itu ...."
"Lian adalah lian, ikan adalah ikan!" seusai bicara, si kudis segera berlaIu sambil mendelik, dia
seolah malas melihat lagi ke Toan Giok.
Menghadapi perlakuan semacam ini, Toan Giok hanya bisa tertawa getir.
"Begitu buka suara, gaya setan cilik itu seolah sedang mencari orang untuk diajak berkelahi.
Entah siapa yang telah membuatnya mendongkol?"
"Benar, manusia macam begini memang amat langka, jarang bisa ditemui," sambung Hoa Hoahong
sambil tertawa pula. "Tapi aku pernah bertemu manusia antik macam begitu," bisik Toan Giok sambil mengedipkan
matanya. "Siapa?" Toan Giok tidak menjawab, dia hanya tertawa.
Kontan Hoa Hoa-hong mendelik, ancamnya sambil menggigit bibir, "Bila kau berani mengatakan
orang itu adalah aku, hmm, aku benar-benar akan meracunimu sampai mampus!"
Tapi selesai berkata, dia malah tertawa geli sendiri.
Biarpun mereka baru berkenalan, tapi sekarang hubungan mereka berdua justru lebih akrab
daripada sahabat yang telah kenal lama,
Pada saat itulah si kudis telah muncul kembali sambil membawa lima tabung arak, "Blam!", dia
letakkan arak itu di atas meja kemudian balik badan dan berlalu.
Di atas meja memang sudah tersedia mangkuk kosong.
Toan Giok menuang dua mangkuk arak, baru saja dia hendak angkat mangkuk untuk diteguk.
"Tunggu sebentar" tiba-tiba Hoa Hoa-hong menahan tangannya.
"Menunggu apa lagi?"
"Tentu saja aku tak benar-benar ingin meracunimu, tapi bagaimana dengan orang lain?"
Toan Giok segera tertawa.
"Biarpun aku tak suka melihat tingkah laku setan cilik itu, masa dia pun menginginkan
nyawaku?" Hoa Hoa hong tidak tertawa. Dengan wajah cemberut tegurnya, "Memangnya kau sudah lupa,
kedatanganmu kemari untuk mencari siapa?"
"Aku belum mabuk"
"Jika kau sudah terancam bahaya, memangnya Tosu gadungan yang menjual arak bisa
menyelamatkan nyawamu?"
"Mungkin saja dia hanya menggunakan status sebagai penjual arak untuk merahasiakan asalusulnya.
"Oleh karena itu kemungkinan besar dia adalah seorang jago lihai yang telah hidup
mengasingkan diri" "Benar" "Oleh sebab itu ilmu silatnya mungkin sangat hebat" sambung Hoa Hoa-hong lagi.
"Benar" "Mungkinkah ia akan meracunimu lewat arak?"
Kalau si tukang perahu gagal menenggelamkan Toan Giok hingga mampus, bisa saja dia minta
rekan komplotannya untuk meracuni pemuda itu sampai mati.
Kemungkinan semacam ini jelas ada.
Tampaknya bukan saja jalan pikiran Hoa Hoa-hong lebih cermat dan teliti, bahkan ia benarbenar
menaruh perhatian padanya.
Toan Giok ingin bicara, tapi segera urung, sebab secara tiba-tiba ia melihat ada seseorang
sedang mengawasi mereka. Siapa pun itu orangnya, setelah melihat orang itu, tak tahan dia pasti akan melihatnya lagi
beberapa kejap. Tentu saja orang itu adalah seorang wanita, tentu saja wanita yang teramat cantik, bahkan
amat menawan hati, dia pun amat pandai berdandan.
Wanita yang pandai berdandan belum tentu akan menggunakan bedak dan gincu tebal.
Pada wajah oval perempuan yang cantik itu sama sekali tak nampak pupur atau pun gincu.
Tapi pakaian yang dikenakan sangat indah dan menawan, gaun berwarna hijau tua yang ketat
dikombinasikan dengan baju atas yang serasi dengan potongan badannya. Bukan cuma bahannya
berkualitas mahal, jahitan serta perpaduan warnanya pun sangat indah dan pas.
Konon berpakaian pun merupakan semacam ilmu, bukan pekerjaan gampang untuk memahami
dan menguasai ilmu semacam itu.
Dilihat dari usianya, perempuan itu sudah tidak termasuk muda, tapi dia memiliki kecantikan
luar biasa, kematangan yang membangkitkan napsu siapa pun.
Perempuan seusia dia, ibarat sekuntum bunga yang baru mekar, indah, cantik dan mempesona.
Toan Giok menatapnya, perasaan kagum seketika terpancar dari balik matanya.
Hoa Hoa-hong sedang mengawasi pemuda itu. Dari pancaran sinar matanya, ia segera
mengetahui kalau ia sedang mengawasi wanita lain.
Oleh sebab itu dia pun ikut berpaling.
Secara kebetulan ia saksikan perempuan itu sedang tersenyum. Senyuman yang begitu matang
dan cantik. Hanya perempuan seusia dia yang mengerti mengulum senyuman semacam ini.
Kontan saja wajah Hoa Hoa-hong berubah cemberut, tegurnya dengan suara lirih, "Siapa
perempuan itu?" "Tidak tahu." "Kau tidak mengenalnya?"
Toan Giok menggeleng. "Kalau memang tidak kenal, kenapa dia melemparkan senyuman kepadamu?" tanya Hoa Hoahong
lagi. "Ada sementara orang memang suka melempar senyum untuk orang lain, lebih baik tersenyum
daripada setiap hari hanya memberi kesulitan pada orang," jawab Toan Giok tawar.
"Apakah sekarang kau sedang mencari masalah denganku?" Hoa Hoa-hong melotot besar.
Toan Giok tidak menanggapi, karena saat itu perempuan cantik tadi sedang berjalan
menghampiri mereka berdua
Caranya berjalan, gayanya sewaktu melangkah, ternyata begitu indah dan mempesona.
Dengan senyum manis menghiasi bibir, as berjalan menghampiri mereka berdua
"Kelihatannya kalian berdua datang dari tempat jauh."
"Apa urusannya denganmu?" sela Hoa Hoa-hong cepat.
"Tentu saja tak ada urusan denganku," jawab perempuan itu masih dengan tersenyum.
"Kalau memang tak ada urusan, buat apa kau bertanya?"
"Aku hanya sekedar bertanya."
"Apa gunanya bertanya?"
"Karena tamu yang mampir kemari biasanya hanya tamu langganan lama, jarang melihat ada
orang asing macam kalian berdua."
"Tamu macam apa yang berkunjung kemari, memangnya ada sangkut-paut denganmu?"
"Kalau soal ini memang ada," sahut perempuan cantik itu sambil tertawa.
"O, ya,." "Itulah sebabnya aku tahu nona pasti datang dari tempat jauh, Kalau tidak, masa kalian tak
tahu siapakah aku?" Ternyata dia pun sudah tahu kalau Hoa Hoa-hong adalah perempuan yang menyaru sebagai
pria. "Memangnya kau punya keistimewaan?" Hoa Hoa-hong semakin sewot, dia menegur sambil
tertawa dingin. "Kalau dibicarakan, memang ada sedikit keistimewaan."
"Dimana keistimewaannya?"
"Tidak setiap wanita dapat kawin dengan seorang Tosu, benar bukan?" ujar perempuan itu
sambil tertawa. Hoa Hoa-hong melengak. "Apa kau bilang?" serunya.
"Suamiku adalah Ku-tojin, oleh karena itu ada banyak orang secara diam-diam menjuluki aku
sebagai Li-tosu, Tosu perempuan. Mereka takut aku memakai julukan itu, padahal aku amat
senang panggilan semacam itu."
Ia tersenyum. Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Kalau aku tak suka Tosu mana mungkin
kawin dengan seorang Tosu?"
Kali ini Hoa Hoa-hong tak mampu bicara lagi. Bagaimana pun juga, memang tak banyak wanita
yang mau kawin dengan seorang Tosu.
Toan Giok pun ikut tertawa.
Dia mulai merasa Tosu perempuan ini selain cantik, juga amat menawan.
Menyaksikan mimik muka pemuda itu, api amarah Hoa Hoa-hong berkobar makin besar, tibatiba
dia sambar mangkuk arak didepannya lalu ditenggak habis.
"Wah ternyata nona pun pandai minum arak?" tegur Tosu perempuan itu.
"Memangnya aku tak boleh minum?" teriak Hoa Hoa-hong keras.
"Aku hanya merasa heran, kenapa secara tiba-tiba nona tidak kuatir dalam arak telah dicampuri
racun?" Ternyata bukan saja matanya tajam, telinga nya pun amat panjang.
Paras muka Hoa Hoa-hong sedikit agak menghijau, karena rasa dongkol yang luar biasa.
Untunglah Tosu perempuan itu segera berganti topik pembicaraan, katanya, "Orang macam
kalian, tentu bukan datang kemari hanya untuk minum arak, bukan?"
"Tepat sekali, cayhe memang khusus datang untuk menyambangi Ku-tojin," jawab Toan Giok
sambil tersenyum. "Kau kenal dengannya?"
"Sama sekali tidak"
"Berarti ada orang menyuruh kalian datang kemari?"
"Benar!" "Siapa yang menyuruh kau kemari?"
"Aku sendiri pun tidak kenal"
Kelihatannya Tosu perempuan itu mulai tertarik dengan persoalan ini, katanya setelah
mengedipkan matanya beberapa kali, "Macam apakah orang itu?"
"Seorang tukang perahu"
"Tukang perahu?"
"Mungkin aslinya bukan, tapi sewaktu aku bertemu dengannya, ia memang seorang tukang
perahu" Setelah tertawa getir, lanjutnya, "Bila aku sampai tercebur ke dalam air, mungkin saat ini
sudah mati tenggelam"
Tiba-tiba Tosu perempuan menghela napas panjang.
"Sudah kuduga, pasti dia!"
"Sebenarnya siapakah orang itu?"
"Orang itu dari she Kiau, mungkin tak akan ditemukan orang kedua di kolong langit yang begitu
suka mencampuri urusan orang lain!"
"Aku setuju dengan pendapatmu!" seru Toan Giok sambil tertawa.
Tosu perempuan menatapnya cukup lama, kemudian bertanya lagi, "Benarkah dia yang minta
kau datang kemari?" "Ehm!" "Kau telah membunuh orang?"
Toan Giok tidak tahan untuk tidak tertawa. Dengan tertawa sama arti dia telah menyangkal.
Siapa pun orang yang telah membunuh, tak nanti dia bisa tertawa sepolos dan secerah itu.
"Dari tampangmu, kau tak mirip orang yang telah membunuh" ujar Tosu perempuan sambil
tersenyum. Dia menghembuskan napas lega, tapi dengan cepat tanyanya pula.
"Apakah belakangan kau telah melakukan satu kasus besar?"
Sekali lagi Toan Giok menggeleng, ia balik bertanya sambil tertawa, "Memangnya aku mirip
perampok" Bandit" Begal?"
"Atau mungkin kau membawa barang merah hingga ada yang menincar"
"Barang merah?"
"Barang merah artinya benda-benda mestika yang tak ternilai harganya, seperti intan permata,
zamrud, batu mulia" "Rasanya tidak juga"
Tosu perempuan berkerut kening.
"Lalu masalah apa yang telah kau perbuat?" tanyanya.
"Masalah tidak ada, tapi kesulitan memang ada sedikit"
"Mungkin bukan hanya sedikit kesulitanmu, kalau tidak, mungkin Kiau losam akan menyuruh
kau kemari" "Aku hanya sempat menghajar beberapa orang"
"Siapa yang telah kau hajar?"
"Beberapa orang hwesio"
"Hwesio" Hwesio macam apakah mereka?"
"Beberapa orang hwesio yang amat galak. Kalau didengar lagak lagunya, mereka seperti bukan
berasal dari tempat ini"
"Apakah hwesio yang pandai bersilat?"
"Benar!" Toan Giok manggut-manggut, "Kelihatannya mereka seperti pandai menggunakan
Siau-lim kun" Untuk kesekian kalinya Tosu perempuan itu berkerut kening. Ujarnya kemudian, "Sewaktu akan
keluar rumah, apakah tak ada yang memberitahu kepadamu, selama berjalan dalam Kangouw,
lebih baik menghindari pertikaian dengan kaum pendeta, Tosu dan pengemis?"
"Pernah ada yang memberitahu, sayangnya tiba-tiba saja aku melupakannya," sahut Toan Giok
tertawa getir. "Ai, rupanya kau pun kelewat temperamen, tak bisa mengekang hawa napsu, " Tosu
perempuan menghela napas panjang.
"Padahal seranganku tak kelewat berat, malah tak seorang pun yang sempat kulukai, aku tak
lebih hanya memaksa mereka terjun ke dalam air!"
"Kenapa?" "Karena tak terbiasa melihat mereka menganiaya orang."
"Siapa yang mereka aniaya?"
"Hanya"hanya seorang wanita"
"Sudah aku duga, pasti seorang wanita," sela Tosu perempuan sambil tertawa, "Apakah wanita
itu amat cantik?" Agak bersemu merah wajah Toan Giok karena jengah, sahutnya tergagap, "Dia"dia memang
tak jelek." "Siapa namanya?"
"Dia mengaku bernama Hoa Ya-lay."
Untuk ketiga kalinya Tosu perempuan itu berkerut kening, bahkan keningnya dikerutkan
kencang-kencang. Sampai lama kemudian baru bertanya, "Sebelum ini kau pernah kenal
dengannya?" "Jangankan kenal, bersua pun tak pernah"
"Kau hanya melihat beberapa orang Hwesio itu sedang menganiayanya, lalu tanpa bertanya
hingga jelas kau sudah memaksa mereka tercebur ke dalam air?" Tanya Tosu perempuan itu lagi.
"Mereka memang tidak memberi kesempatan kepadaku untuk bicara"
"Lalu?" "Lalu dia memaksa aku minum arak menemaninya" jawab Toan Giok dengan wajah bersemu


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah. "Kau pasti sudah minum kelewat banyak arak, bukan?" Tanya Tosu perempuan sambil menatap
lekat wajahnya. "Tak bisa dibilang kelewat sedikit"
"Kemudian?" "Kemudian..kemudian aku pergi"
"Begitu sederhana?"
"Heeeh!" "Benar kau tidak dirugikan?"
"Benar, tak ada kerugian apa pun"
"Bila kau bukan kelewat pintar, nasibmu pasti sedang bagus!" puji Tosu perempuan sambil
tertawa. "Memangnya siapa wanita itu" Apakah banyak orang sering mengalami kerugian di tangannya?"
Tak tahan Toan Giok bertanya.
Tosu perempuan menghela napas panjang, ujarnya, "Kau benar-benar tidak tahu" Dia adalah
begal wanita yang amat kesohor namanya di wilayah selatan"
Toan Giok tertegun, untuk sesaat itidak bicara.
Kembali Tosu perempuan berkata, "Setelah berpisah dengannya kau pun bertemu Kiau losam?"
"Betul, waktu itu fajar baru saja menyingsing" Toan Giok mengangguk membenarkan.
"Apakah waktu itu kau masih belum tahu orang macam apakah dia?"
Toan Giok tertawa getir. "Aku hanya tahu, bukan saja dia menghendaki semua barang dalam sakuku, bahkan
mengundangku mencebur ke dalam air telaga untuk mandi"
"Saat itu kau masih berada di atas perahunya?"
"Ya, dan perahu itu sekarang sudah tenggelam" untuk menunjukkan rasa sosialnya Toan Giok
menghela napas. "Ha ha ha, tapi kau tak mirip orang yang pernah tercebur ke dalam air," seru Tosu perempuan
sambil tertawa geli. "Memang perahunya sudah tenggelam, tapi aku tak ikut tenggelam," Tak tahan ia tertawa geli,
lanjutnya, "Mungkin juga karena nasibku memang benar-benar sedang mujur"
"Ai, aku bilang mungkin dikarenakan nasibmu yang kurang mujur," ujar Tosu perempuan itu
sambil menghela napas. "Kenapa?" Tanya Toan Giok tercengang.
"Seandainya kau benar-benar tercebur ke dalam air, munkin kesulitan di kemudian hari bakal
ada sedikit lebih kecil"
"Aku tak mengerti?"
"Kau pernah mendengar nama Ceng-ong (Raja pendeta) Thiat-sui?"
"Belum" "Dulunya orang ini adalah murid Siau-lim-pay, tapi lantaran tak kuat menahan belenggu dan
segala peraturan yang berlaku dalam biara, belakangan entah mengapa ternyata dalam gusarnya
dia meninggalkan Siau-lim-pay dan mengangkat diri menjadi raja diraja kaum pendeta. Bayangkan
saja, pihak biara Siau-lim-pay sendiri pun tak bisa berbuat banyak terhadapnya. Dari sini bisa
disimpulkan orang macam apakah dirinya itu."
"Aku lihat orang ini selain makhluk aneh, nyalinya juga cukup gede," seru Toan Giok agak
tertarik. "Orang ini sama seperti namanya, terkadang orangnya temperamen, berangasan dan kasar,
terkadang dia halus dan pakai aturan, membikin orang susah meraba tabiat aslinya."
"Kalau dilihat dari keberaniannya menantang Siau-lim-pay secara terang-terangan, jelas
kungfunya sangat lihay."
"Betul, konon ilmu silatnya terhitung jagoan nomor satu dalam Siau-lim-pay, hanya saying
lantaran perangai dan sifatnya yang kelewat jelek, kedudukannya dalam biara Siau-lim selalu amat
rendah" "Atau mungkin lantaran hal ini, maka dia tak betah dan meninggalkan biara Siau-lim?"
"Padahal dia tak bisa dibilang orang jahat, hanya sifatnya memang kelewat kasar, latah,
angkuh, jumawa dan pendendam. Saat tak pakai aturan jauh lebih banyak daripada saat dia pakai
aturan. Barang siapa berani membuat kesalahan terhadapnya, jangan harap bisa hidup tenteram"
Bicara sampai disini, kembali Tosu perempuan menghela napas, lanjutnya kemudian.
"Baru dua tiga bulan ia datang ke Kanglam, sudah ada tujuh-delapan orang jago Bu-lim
kenamaan yang keok di tangannya. Konon asal dia turun tangan, maka lawannya kalau tidak
mampus, pasti kehilangan sebuah lengan atau kakinya. Belum lama berselang Bu-ciu Toa-hau Pui
Kong terkena sebuah sodokan tinjunya, setelah muntah darah hampir dua bulan lamanya, dia
akhirnya mati di atas ranjang"
"Apakah Pui Kong yang kau maksud adalah Cianpwe yang konon telah berlatih ilmu Kim-ciongcau
(Sangkar genta emas) serta Thiat-poh-san (Jubah baja)?"
"Betul sekali" sahut Tosu perempuan sambil menghela napas, "Sampai orang yang telah
berlatih Kim-ciong-cau saja tak kuat menahan pukulannya, apalagi orang lain?"
Toan Giok termenung beberapa saat, kemudian katanya, "Berarti keempat Hwesio yang kuhajar
itu adalah anggota perguruannya?"
Tosu perempuan manggut-manggut.
"Sejak meninggalkan biara Siau-lim, dia mulai menerima murid secara besar-besaran. Barang
siapa ingin bergabung dalam perguruannya, mereka harus menggunduli kepala seperti Hwesio,
tapi setelah menjadi anggota perguruannya jangan kuatir ada orang berani menganiayanya. Oleh
sebab itulah jumlah muridnya sekarang mungkin jauh lebih banyak daripada jumlah murid biara
Siau-lim" Setelah menghela napas, lanjutnya, "Bayangkan sendiri jika seseorang berani menyalahi orang
semacam ini, apakah kerepotannya tidak besar?"
Toan Giok terbungkam tak sanggup berkata-kata lagi.
Kembali Tosu perempuan itu berkata, "Apalagi dalam kejadian ini, kesalahan bukan berada di
pihaknya, melainkan di pihakmu"
"Di pihakku?" "Sudah cukup banyak jago silat wilayah Kanglam yang jadi korban Hoa Ya-lay. Sekali pun Thiat
Sui membunuhnya, hal ini pun lumrah dan merupakan tindakan adil. Tapi sekarang kau telah
membela manusia semacam ini, bukankah sama artinya mencari penyakit buat diri sendiri?"
"Wah, tampaknya aku tak ingin mengaku salah pun sudah tak mungkin lagi," Toan Giok tertawa
getir. "Sekarang Thiat Sui pasti sudah menganggap kau sebagai komplotan Hoa Ya-lay, maka dia
pasti tak akan melepaskan dirimu."
"Aku bisa memaklumi"
"Apakah kau sudah lupa, seringkali dia adalah seseorang yang tak pakai aturan?"
"Maka dari itu, kecuali aku digebuk sampai mati, rasanya memang sudah tak ada pilihan lagi!"
"Mungkin masih ada sebuah jalan yang bisa kau tempuh"
"Jalan yang mana?"
Dengan jari tangannya yang lentik, Tosu perempuan menuding ke depan. Yang dituding adalah
sebuah pintu. Pintu itu berada di dalam warung arak yang gelap, lembab dan sempit, berada di belakang
meja kasir yang dipenuhi kacang rebus.
Tirai di depan pintu berwarna biru dan kotor oleh bekas minyak, di atasnya tertera tiga huruf
besar: "Ku-tojin"
"Apakah Tojin masih tidur?" tanya Toan Giok.
"Sejak kemarin ia berjudi hingga sekarang, sama sekali belum tidur sekejap pun."
"Wah, hebat betul selera Tojin," puji Toan Giok tertawa.
Tosu perempuan ikut tersenyum.
"Biar pun dia seorang setan judi, bahkan juga setan arak, tapi kesulitan apa pun yang sedang
kau hadapi, pasti akan dihasilkan cara paling aneh dan antic untuk menyelesaikannya. Kiau losam
memang tidak salah menyuruh kau mencarinya"
"Sekarang aku sudah boleh masuk untuk menemuinya?"
"Sahabat Kiau losam, sahabat kami juga, setiap saat kau boleh masuk ke dalam," jawab Tosu
perempuan sambil tertawa, "Hanya saja?"
Sesudah menghela napas, wajahnya memperlihatkan mimik muka apa boleh buat, lanjutnya,
"BIasanya begitu si setan judi mulai bermain judi, biar langit ambruk pun dia tak bakal
mendongakkan kepala memandangmu sekejap."
"Aku bisa menunggunya di samping, menonton orang berjudi terkadang merupakan hiburan
yang menarik" Tosu perempuan itu menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa, "Kelihatannya
kau tertarik dengan masalah apa pun."
Belum sempat Toan Giok buka suara, terdengar Hoa Hoa-hong menyela dengan nada dingin,
"Perkataanmu tepat sekali! Diri dia sudah dijual orang pun, dia tetap merasa hal itu sangat
menarik." Selama ini dia hanya duduk di samping sambil mendengarkan, tampaknya selama ini dia selalu
merasa marah. "Kau tak usah kuatir," sahut Toan Giok sambil tertawa.
"Biar pun ada orang hendak menjualku, belum tentu ada yang suka membeli."
"Perkataan ini pun tidak salah," kata Hoa Hoa-hong lagi sambil tertawa dingin, "Siapa yang mau
membeli orang goblok?"
"Benarkah aku seperti orang goblok?"
"Kau benar-benar hendak masuk ke dalam?"
"Kedatanganku memang khusus untuk menyambangi Ku-tojin"
"Dan kau tak akan percaya biar orang lain mengatakan apa pun?"
Toan Giok menghela napas panjang.
"Ai, bila kau tak percaya orang lain, mana mungkin orang lain mempercayaimu?"
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong bangkit. Dengan wajah masam serunya, "Baik, kalau akan pergi,
pergilah!" "Dan kau?" "Aku tak tertarik melihat orang main judi, aku terlebih tak ingin menemani orang goblok
mengantar kematian, aku masih ada urusan," seru Hoa Hoa-hong sambil tertawa dingin.
Dia sama sekali tidak menengok lagi ke arah Toan Giok, sekejap pun tidak. Sambil membalik
badan, dia langsung beranjak pergi dari situ.
Toan Giok hanya mengawasinya, ternyata nona itu benar-benar pergi meninggalkan tempat itu.
"Kau tidak menahan kepergiannnya?" tanya Tosu perempuan sambil mengedipkan matanya.
Toan Giok menghela napas panjang.
"Bila seorang wanita sudah memutuskan akan pergi, tak seorang pun dapat menahannya."
"Siapa tahu dia tak sungguh-sungguh akan pergi"
"Kalau dia tak sungguh-sungguh akan pergi, buat apa pula aku menahannya?"
Sekali lagi Tosu perempuan itu tertawa.
"Ternyata kau memang sangat menarik, terkadang aku pun merasa setiap perkataanmu sangat
masuk akal." "Sekarang aku hanya berharap nasibku betul-betul sedang mujur," ucap Toan Giok sambil
tertawa getir. "Tapi aku tetap akan membujukmu satu hal," tiba-tiba Tosu perempuan itu berkata serius.
"Aku siap mendengarkan."
"Setelah masuk ke dalam, jangan sekali-kali kau bertaruh dengan mereka. Kalau tidak, mungkin
kau benar-benar akan mempertaruhkan dirimu sendiri"
Tentu saja Toan Giok tak akan berjudi, karena hal itu merupakan salah satu pantangan yang
selalu diajarkan ayah kepadanya.
"Dalam sepuluh kali perjudian, Sembilan diantaranya adalah menipu. Dalam persilatan penuh
tersebar kaum penipu, semakin menganggap dirinya pintar dan cekatan, makin parah kekalahan
yang dideritanya. Sebelum kau tahu jelas asal-usul dan seluk-beluk orang lain, jangan sekali-kali
pergi berjudi, jangan sekali-kali kau lakukan."
Toan Giok memang bukan termasuk orang yang bakal sakit parah, kalau tidak berjudi, tentu
saja dia tak akan ikut berjudi.
Bag 4. Ku-tojin, si setan judi
Ruangan di bagian belakang pun dipenuhi guci-guci arak yang kasar dan berat, guci itu
ditumpuk lapis per lapis , tumpukan yang tinggi sekali. Di bagian tengah tersisa sebuah lorong
sampai menuju ke belakang.
Sesudah melalui lorong sempit, kembali harus melewati sebuah pintu, dari luar pintu sudah
terdengar suara dadu yang dilempar di atas meja.
Hanya terdengar suara dadu yang dilempar, sementara orang-orang yang sedang bertaruh
kelihatan amat tenang. Ada empat orang sedang bertaruh, seorang hanya membisu.
Keempat orang itu duduk di atas guci arak yang dilapisi papan duduk mengelilingi sebuah
gentong arak yang amat besar, rupanya gentong arak itu pun berlapiskan papan kayu.
Rupanya mereka sedang bermain Pay-kiu.
Bandarnya adalah seorang Tojin berlengan tunggal, jubah pendeta berwarna biru yang
dikenakan telah berubah jadi putih karena terlalu sering dicuci, tulang pipinya menonjol dengan
sepasang mata bersinar tajam. Meski mengocok kartu dengan tangan tunggal, namun
kecepatannya justru melebihi mereka yang mempunyai dua tangan.
Toan Giok tahu, dia pastilah Lopan tempat ini, Ku-tojin.
Sementara tiga orang lainnya adalah seorang kakek ceking kecil berwajah cerah dan penuh
semangat dengan sepasang tangan berkuku panjang, ia mengenakan cincin kumala hijau sebesar
ibu jari di tangannya. Orang kedua adalah seorang lelaki setengah umur berwajah penyakitan, tiada hentinya ia
menutupi mulutnya dengan saputangan putih dan batuk tiada hentinya.
Setiap dua kali menggunakan saputangan untuk menutup mulutnya, orang yang berdiri di
sampingnya selalu memberikan selembar saputangan baru .untuk menggantikan.
Orang ini bukan saja sangat teliti dalam menggunakanj barang, bahkan suka akan kebersihan.
Sayangnya tempat itu sangat kotor dan lembab, tapi ia sudah sehari semalam duduk di sana
bermain judi. Bagi orang yang suka berjudi, asal bisa main judi, sekalipun harus duduk di tepi jalan, mereka
tetap akan bermain judi dengan asyiknya.
Orang berikut adalah seorang lelaki berperawakan tinggi besar, wajahnya penuh cambang dan
mukanya kereng, sepasang tangannya kasar sekali, kelima jari tangannya mempunyai ukuran
berimbang, jelas dia adalah jagoan yang berlatih ilmu Thiat-sah-ciang atau sebangsanya, bahkan
hasil latihannya pasti luar biasa.
Pakaian yang dikenakan ketiga orang ini sangat halus dan mewah. Dari gaya serta tingkahlakunya,
jelas mereka punya kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Namun yang mereka pertaruhkan hanyalah puluhan lembar nomor yang terbuat dari kertas
karton. Di atas setiap angka tercantum tiga huruf besar, "Ku-tojin", gaya tulisannya indah menawan,
tampaknya merupakan tulisan asli Ku-tojin.
Bagi penggemar judi, asal ada yang dipertaruhkan, kalah menang, besar-kecil sudah bukan
masalah bagi mereka. Oleh karena itu mereka berempat bermain judi dengan konsentrasi penuh, paras muka mereka
telah berubah putih pucat, namun tak seorang pun yang buka suara.
Lelaki yang berlatih ilmu Thiat-sah-ciang itu baru saja memenangkan empat angka, peluh mulai
membasahi jidatnya, bahkan sepasang tangannya yang tak pernah gemetar sewaktu membunuh
orang pun kini mulai tampak bergetar keras. Sambil menggigit bibir, akhirnya ia dorong keempat
kartunya ke depan. Lelaki setengah umur penyakitan itu turut mengucurkan keringat, dia pun mendorong keempat
kartunya ke depan. Kini tinggal si kakek kurus ceking berbaju perlente itu yang masih menghitung angka kartunya
dengan perlahan, tiba-tiba dia menghembuskan napas sambil mengeluh, "Hari ini aku tidak kalah,
juga tidak menang." "Buat apa membicarakan kalah menang di saat ini?" tegur lelaki bercambang itu dengan kening
berkerut, "Jangan-jangan, kau ingin menyudahi taruhan kali ini?"
Kakek itu manggut-manggut dan berdiri, dengan senyum tak senyum katanya, "Kalian berdua
boleh saja melanjutkan permainan, aku masih ada urusan, mohon pamit dulu."
"Hanya tinggal kita bertiga, mau main apaan" Ci-ang, masa kau tak bisa tinggal sejenak lagi?"
pinta lelaki bercambang itu dengan paras muka berubah.
Tapi kakek itu sudah membuka tirai pintu dan beranjak keluar dari sana tanpa berpaling lagi.
Sambil menggigit bibir, dengan gemas lelaki bercambang itu mengumpat, "Dasar rase tua,
kalau sudah main judi, liciknya melebihi setan"Baiklah ayo kita bertiga lanjutkan pertaruhan ini"
Lelaki setengah umur penyakitan itu masih menghitung angka kartu di hadapannya, lalu sambil
terbatuk-batuk katanya, "Kalau tinggal kita bertiga, bagaimana bisa melanjutkan taruhan ini" Aku rasa hari ini kita bubar
sampai di sini saja!"
"Masa sekarang juga bubar?" lelaki bercambang itu semakin panik. "Aku sudah kalah belasan
renceng uang logam." Ternyata satu kartu hanya bernilai satu renceng uang logam.
Kelihatannya lelaki bercambang itu memiliki watak mencari menang sendiri, dia pantang
menyerah begitu saja. Kalau tidak, mana mungkin dia begitu pantang membuang belasan renceng
uang logamnya. Tampaknya selera Ku-tojin bermain judi pun telah sirna. Ketika melihat dalam ruangan telah
bertambah satu orang, ia segera mengangkat wajahnya, memandang Toan Giok beberapa kejap,
lalu sapanya sambil tersenyum, "Sahabat cilik, apakah kau punya keinginan untuk ikut serta dalam
permainan kami?" Baru saja Toan Giok hendak menjawab "Tidak", lelaki bercambang itu sudah menyerobot bicara
lebih duluan, "Bermain kecil-kecilan, tidak masalah! Selesai bertaruh nanti, aku pasti akan
mengundangmu minum arak."
"Uang yang mereka pertaruhkan sesungguhnya memang tak terlalu besar," Toan Giok berpikir.
"Lagi pula aku datang mencari mereka karena ingin mohon pertolongan, kurang enak rasanya
mengganggu kesenangan mereka. Apalah artinya kalau kalah sedikit?"
Berpikir begitu, dia pun menyahut sambil tertawa, "Baiklah, aku akan menemani kalian bertiga
bermain sebentar, tapi aku tak pandai berjudi."
Paras muka lelaki bercambang itu kontan berseri, dengan girang ujarnya, "Sobat, ternyata kau
cukup menarik." Dengan sorot matanya yang tajam, Ku-tojin mengamati Toan Giok beberapa saat, tiba-tiba
tanyanya sambil tersenyum, "Dari logat bicaramu, rasanya kau berasal dari wilayah utara?"
"Betul aku dari daratan Tionggoan."
"Kau she apa?" "Aku she Toan, bernama Giok."
Semakin mencorong sinar terang dari balik mata Ku-tojin, katanya lagi sambil lertawa, "Sobat


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toan, bagaimana kalau kau bertaruh untuk. posisi Thian-bun saja?"
"Boleh!" Pada posisi Thian-bun masih tersisa setumpuk kartu peninggalan kakek tua tadi, mungkin
tumpukan kartunya masih ada empat-lima puluhan.
Terdengar Ku-tojin berkata lagi, "Kita baru akan membuat perhitungan seusai bertaruh nanti,
sobat. Kau tidak usah mengeluarkan modal dulu juga tidak masalah."
"Tidak mengapa," jawab Toan Giok sambil tertawa. "Aku masih membawa beberapa tahil."
Selama ini lelaki setengah umur penyakitan mengawasi dia tanpa berkedip, tiba-tiba katanya,
"Sobat, boleh tahu berapa banyak yang ingin kau pertaruhkan?"
Toan Giok mengambil semua kartu tinggalan si kakek, lalu mulai menghitung, setelah itu ia
berkata, "Sementara aku bertaruh yang ini saja, kalau semisal kalah baru kita bicarakan lagi"
Lelaki berewok tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha, bagus sekali! Kalau ingin berjudi, cara bertaruh semacam inilah baru mantap
rasanya, hari ini juga aku Ong Hui memutuskan untuk bersahabat denganmu."
Lelaki setengah umur itu berkata pula sambil tersenyum, "Cayhe she Lu bernama Heng-kiu,
sobat-sobat menyebutku sebagai Lu Kiu"
"Syukurlah bisa bersahabat dengan kalian semua," sahut Toan Giok sambil tertawa.
Maka dia pun melempar empat kartu sebagai taruhannya.
Dadu yang dilemparkan Ku-tojin menunjukkan tujuh angka sedang sudut Thian-bun
melemparkan dadu mendapat dua angka tiga, berarti enam titik.
Berarti pihak bandar memperoleh angka yang lebih tinggi dan Toan Giok pun kalah.
Lemparan dadu kedua dari pihak bandar mendapatkan lagi angka tujuh, sedang pihak Thianbun
memperoleh angka enam. Lagi-lagiToan Giok kalah.
Lemparan dadu ketiga pihak Bandar mendapat angka dua, sayang dari pihak Thian-bun
mendapat angka sepuluh, jeblok.
Akhirnya pihak Bandar memperoleh angka yang hebat. Dalam taruhan kali ini, Toan Giok lagilagi
kalah enam pasangan. Anak muda ini memang tegar. Sekali pun sudah kalah banyak, namun paras mukanya sama
sekali tak berubah. Kalau diperhitungkan dengan uangnya, maka enam belas kartu sama nilainya dengan seratus
enam puluh tahil perak, tapi Toan Giok masih berlagak seolah tak merasa.
Pada putaran yang kedua, secara beruntun dia kalah lagi empat kali, kembali enam belas
lembar kartu harus diserahkan orang.
Sampai di sini paras mukanya tetap belum berubah. Lu Kiu mulai memandang kea rah Ong Hui.
Mimik muka mereka mulai menunjukkan perasaan heran dan tercengang, disamping perasaan
kagum yang luar biasa. Tampaknya Ong Hui semakin menaruh simpatik terhadap anak muda yang baru dewasa itu, tak
tahan katanya, "Lote, kalau rezeki kurang bagus, lebih baik kurangi taruhanmu,."
"Ah, tidak masalah," jawab Toan Giok sambil tertawa.
Kali ini dia memasang delapan lembar kartu, maksudnya biar cepat kalah dan habis, hingga ia
bisa segera membicarakan masalah pokok dengan Ku-tojin.
Baginya kalah berjudi bukan masalah, si raja pendeta Thiat Sui pun belum tentu bisa
membuatnnya mundur. Dia tak ingin mencari masalah, terlebih lagi dia takut ayahnya tahu membuat gara-gara di
luaran. Apabila Ku-tojin dapat membantunya mengubah masalah besar menjadi kecil, masalah kecil
jadi tiada urusan sehingga dia bisa secepatnya tiba di Po-cu-san-ceng, baginya biar kalah lebih
banyak pun tetap akan dihadapinya dengan perasaan riang.
Siapa tahun pada putaran ketiga, nasibnya mulai berubah lebih mujur.
Pada lemparan dadu pertama ia memperoleh angka satu, sayangnya pihak bandar juga
mendapat angka sepuluh alias jeblok.
Maka dari delapan kartu yang dipasang, dia pun mendapat keuntungan enam belas lembar.
Ketika keenam belas lembar kartu itu dipasangkan keseluruhannya, lagi-lagi dia memperoleh
angka tinggi. Tentu saja anak muda ini merasa sangat gembira, tapi dia tak ingin menangkan uang itu, maka
ketiga puluh dua lembar kartu itu dipasangkan semuanya, dia ingin secepatnya kalah hingga
semua uangnya ludas. Ku-tojin yang menang kalah tak pernah berubah muka, kali ini terjadi sedikit perubahan pada
mimik mukanya. Apalagi Lu Kiu dan Ong Hui, wajah mereka selain diliputi perasaan tercengang, rasa kagum
yang luar biasa pun semakin mengental.
"Lote, masa sekaligus kau memasang taruhan sebesar ini" Lebih baik kita bertaruh secara
perlahan-lahan," bujuk Ong Hui.
"Tidak jadi masalah," sahut Toan Giok sambil tersenyum.
Sekali lagi Ong Hui menatapnya, tiba-tiba dia acungkan ibu jari sambil memuji, "Lote, kau
memang luar biasa!" "Luar biasa" kata Lu Kiu pula sambil menghela napas.
"Cara bertaruh Lote memang luar biasa ganasnya, ternyata Enghiong memang tumbuh pada
anak muda" Toan Giok hanya tersenyum, ia merasa kejadian ini lucu dan menarik, bahkan berkesan sedikit
menggelikan. Padahal yang dia pertaruhkan tak lebih hanya tiga puluh dua lembar kartu dari karton tebal,
kenapa orang-orang itu memandangnya begitu serius dan bersungguh sungguh"
Padahal baginya hal seperti ini bukan masalah.
Dia pun lagi-lagi menang, dari tiga puluh dua lembar kartu sekarang telah berubah menjadi
seratus dua puluh delapan lembar.
Peluh sebesar kedelai mulai bercucuran membasahi jidat Ku-tojin. Sebagai bandar, dia harus
mengeluarkan sekian banyak kartu untuk membayar taruhan orang.
Toan Giok tersenyum, kali ini dia dorong seluruh kartu itu ke tengah arena pertaruhan.
"Eh, kau benar-benar hendak bertaruh sebanyak ini?" tegur Ku-tojin dengan wajah berubah.
"Betul, sebanyak itu," jawab Toan Giok tersenyum.
Ku-tojin memandang Lu Kiu sekejap, lalu memandang Ong Hui, tiba-tiba ia mendorong balik
semua taruhannya dari tengah meja, katanya sambil menghela napas, "Ai, aku menyerah
padamu!" "Lho, kau tak mau bertaruh?" tanya Toan Giok tertegun.
"Anggap saja hari ini aku mengaku kalah," sahut Ku-tojin sambil tertawa getir.
Toan Giok memandang Lu Kiu, lalu memandang pula Ong Hui.
Ternyata kali ini Ong Hui pun tidak buka suara.
"Baguslah kalau kita sudahi pertaruhan sampai di sini," kata Toan Giok kemudian sambil
tersenyum, "Mari kutraktir kalian bertiga dua-tiga cawan arak."
Diambilnya dua lembar kartu dari tumpukan taruhannya, lalu disisipkan ke tangan seorang
pelayan yang berada di sisinya.
"Ambil, tip buatmu."
Pucat-pias wajah pelayan itu, bisiknya tergagap, "Mana.. mana berani kuterima ...."
"Tidak apa, ambil saja, sana minum arak di luar, rekeningnya biar ditagihkan padaku."
Memegang uang tip pemberian Toan Giok, sekujur badan pelayan itu gemetar tiada hentinya,
tiba-tiba ia melompat sambil berjingkrak-jingkrak, lalu lari keluar pintu dan tertawa tergelak
tiada habisnya.. Sambil menghela napas, ujar Lu Kiu, "Tak heran si buta Ciu pernah meramal kalau tahun ini si
Phoa kecil bakal kaya, ternyata ramalannya memang tepat."
Ong Hui menepuk bahu Toan Giok kuat-kuat, pujinya pula, "Lote, kau memang sangat royal,
aku kagum dan benar-benar takluk."
Toan Giok sedikit bingung, lamat-lamat ia mulai merasa kalau satu lembar kartu nilainya bukan
hanya satu renceng uang logam.
Hingga detik itu paras muka Ku-tojin baru lambat-laun pulih dalam ketenangan.
"Coba kau hitung dulu sudah menang berapa?"
"Tak usah dihitung."
Kecuali modal awal, sisanya yang masih berjumlah delapan-sembilan puluh lembar kartu itu dia
dorong ke muka dan berkata sambil tersenyum,
"Anggap saja ini semua biaya uang arak kita, kutraktir kalian minum sampai puas."
Sekali lagi muka Ku-tojin berubah, entah terkejut atau gembira, lewat beberapa saat kemudian,
ia baru berkata, "Aku tak bisa menerimanya."
"Kenapa?" "Jumlah ini kelewat banyak."
Toan Giok berpikir sejenak, lalu katanya kemudian sambil tertawa, "Baiklah, kalau begitu akan
kutarik balik sepuluh lembar, anggap saja uang tip buat aku. Sedang sisanya tolong diterima,
kalau tidak, berarti kau pandang hina aku, enggan bersahabat dengan diriku."
Ku-tojin memandangnya tajam-tajam, sampai lama kemudian baru menghela napas panjang,
"Di kemudian hari kau pasti akan mempunyai banyak teman."
Sambil mengacungkan jempol, puji Ong Hui pula, "Lote, orang royal macam kau pasti akan
banyak mempunyai teman. Apalagi orang yang berjiwa besar macam kau, mungkin susah
ditemukan keduanya di wilayah Kanglam saat ini."
"Bila di kemudian hari kau ada waktu, silakan mampir di perkampungan Say-hun-ceng untuk
mengobrol," undang Lu Kiu.
"Say-hun-ceng" Jadi kau adalah Miau-jiu-wi-mo (Wi-mo berilmu tinggi) Lu Say-hun, Lu-loyacu?"
"Ha ha ha, aku rasa Lote pastilah Toasiauya dari Toan Hui-him, Toan-loyacu, bukan?" balas Lu
Kiu sambil tersenyum. Sambil bertepuk tangan Ong Hui ikut menimbrung, "Betul, kecuali Kongcu dari keluarga Toan,
siapa lagi yang berani begitu royal?"
Toan Giok tertegun, untuk sesaat ia tak mampu berkata-kata.
Say-hun Cengcu Lu Kiu adalah seorang saudagar kaya-raya, dulunya dia adalah seorang
Kongcu kenamaan wilayah Kanglam. Bukan saja hebat dalam Bu maupun Bun, bahkan dia pun
menguasai ilmu main Khim, catur, menulis, melukis, memetik sitar dan lain-lain.
Tapi hampir semua orang persilatan tahu kalau ilmunya yang paling hebat tetap adalah ilmu
bermain judi. Dengan kedudukannya dalam Bu-lim, dapat dipastikan dia tak akan bertaruh Pay-kiu hanya
bermodal beberapa renceng uang logam saja.
Lantas berapakah nilai satu pasangan"
"Sisanya masih ada belasan kartu, boleh tahu Toan kongcu akan mengambilnya dalam bentuk
apa?" tanya Ku-tojin.
"Terserah, apa pun mau."
"Bagaimana kalau dibayar dengan emas lantakan?"
"Boleh saja." Meskipun masih tersenyum, namun dalam hati ia berusaha mengendalikan gejolak perasaan
yang luar biasa, dia tak ingin orang lain melihat perasaan terperanjatnya.
Sementara itu Ku-tojin telah menyingkirkan penutup guci arak yang didudukinya tadi dan mulai
membongkar segelnya. Temyata isi guci itu bukan arak, melainkan lantakan emas yang sangat banyak.
"Setiap lantakan emas ini nilainya delapan ratus lima puluh tahil," kata Ku-tojin, "karena Kongcu
minta dalam bentuk emas, berarti jumlah keseluruhannya adalah delapan puluh laksa tahil, silakan
Toan-kongcu menerimanya."
Untuk kesekian kalinya, Toan Giok tertegun.
Ternyata satu kartu pasangan nilainya adalah seribu tahil perak!
Padahal baru saja dia mendorong puluhan laksa tahil perak untuk dijadikan barang taruhan.
Selama ini Toan-loyacu selalu mendidik putranya dengan sangat ketat, karena dia berharap
putra tunggalnya bisa dilatih menjadi seorang manusia jujur yang berguna, dia tak ingin putranya
menjadi seorang Kongcu hidung bangor yang melihat emas bagai sampah.
Oleh sebab itu hingga Toan Giok berusia dua belas tahun, ia baru mulai menerima uang jajan
secara rutin. Pada mulanya uang jajan yang diterima per bulannya hanya satutahil perak, baru setelah
menginjak usia empat belas tahun, uang jajannya ditingkatkan menjadi dua tahil.
Ketika mencapai usia enam belas tahun, atas usaha ibunya, ia baru menerima uang jajan
sebesar sepuluh tahil. Keadaan ini berIangsung terus hingga usia delapan belas tahun.
Kali ini untuk pertama kalinya dia meninggalkan rumah, meski Toan loyacu memberi sangu
sepuluh lembar uang kertas yang nilai per lembarnya mencapai seratus tahil, namun berulang kali
orang tua itu berpesan agar dia tidak memakainyasecara boros, apalagi menghabiskannya.
Seribu tahil uang kertas yang digembolnya sekarang merupakan harta kekayaan paling besar
yang pernah dimiliki sepanjang hidupnya.
Biarpun ia termasuk royal, namun semuanya dilakukan dengan sangat hati-hati, bahkan daun
emas pemberian ibunya yang dipersiapkan bila keadaan mendesak pun dia sudah berencana untuk
sama sekali tidak menyentuhnya.
Dalam anggapannya, bila orang ingin menghamburkan uang, dia harus menghamburkan uang
hasil keringat sendiri. Selama ini dia selalu memandang rendah kawanan manusia yang selalu mengandalkan
kekayaan orang-tuanya untuk berfoya-foya.
Kenyataan, belum pemah dia menghambur-hamburkan uang, walau hanya setahil pun.
Tapi barusan, tanpa diketahui apa yang sebenarnya telah terjadi, dia telah menghadiahkan
ribuan tahil untuk seorang pelayan muda, kemudian menghadiahkan enam-tujuh puluh laksa tahil
perak untuk Ku-tojin. Toan Giok menarik napas dalam-dalam, lalu duduk kembali, dengan termangu diawasinya
tumpukan emas yang berserakan di hadapannya.
Sepanjang hidup, belum pemah dia memiliki uang sebanyak ini.
Kini ia sudah mempunyai sepuluh laksa tahil, apa pun yang dulu mustahil bisa dilakukan, kini
dapat dilakukan sepuas hati.
Mau arak wangi, perempuan cantik " apa yang dia inginkan, semuanya akan segera terpenuhi.
Paling tidak ia tak usah berusaha keras 'mengekang diri, paling tidak dia harus mencari
kegembiraan selatna beberapa hari, menikmati semua kenikmatan yang belum pernah dicicipi.
Bagi seorang pemuda yang baru keluar rumah, jelas keadaan itu merupakan godaan yang
susah dilawan. Sekali pun bagi seorang kakek tua, siapa bilang hal ini bukan godaan yang merangsang"
Ku-tojin menatapnya, kemudian berkata sambil tertawa,
"Menggembol sepuluh laksa tahil, naik bangau pesiar ke Hang-ciu. Setelah mempunyai uang
sebanyak ini, mau kemana pun kau bisa bermain dan berpesiar sepuas hati!"
"Betul," sambung Ong Hui sambil tergelak. "Apalagi kalau uang itu diperoleh dari menang judi,
biar habis pun bukan masalah."
"Padahal di kota Hangciu pun banyak terdapat tempat tempat yang menarik hati, perempuan
cantik dari Hangciu juga selama ini tersohor di seantero jagat. Toan-kongcu masih muda dan
banyak duit, kenapa tidak kau gunakan kesempatan ini untuk mencari kenikmatan duniawi?"
Toan Giok termenung sejenak, tiba-tiba ujarnya, "Sepuluh laksa tahil perak ini pun aku tak bisa
menerimanya." "Kenapa ?" tanya Ku-tojin dengan kening berkerut.
Setelah menghela napas dan tertawa getir, kata Toan Giok, "Aku sama sekali tak tahu kalau
sekali pasang adalah seribu tahil perak'"
Tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk buka suara, dengan cepat dia
menambahkan, "Seandainya tahu, aku tak bakal ikut bertaruh, sebab kalau aku kalah, dengan
uang apa aku mesti membayarnya?"
"Tapi kenyataannya sekarang kau tidak kalah."
"Kalau kalah tak mampu membayar, bila menang pun tidak seharusnya menerima uangnya!"
"Kalau kau tidak bicara, siapa pun tak tahu kalau kau tak mampu membayar bila kalah?"
"Tapi aku sendiri tahu dengan jelas, mungkin saja aku bisa membohongi orang lain, tapi tak
mampu membohongi diri sendiri, maka dari itu bila kuambil uang ini, setiap malam pasti tak dapat
tidur." Ku-tojin segera tertawa, setelah memandang Ong Hui dan Lu Kiu sekejap, tanyanya,
"Pernahkah kalian bertemu dengan pemuda segoblok ini?"
"Belum pernah," Lu Kiu menggeleng.
"Ai, aku lihat pemuda masa kini makin lama semakin pintar saja," keluh Ong Hui sambil
menghela napas. Merah jengah wajah Toan Giok.
"Mungkin aku tidak terlalu pintar, tapi masih tahu dengan jelas mana yang boleh diambil dan
mana yang tidak boleh," katanya.
Ong Hui segera memandang Toan Giok, lalu Lu Kiu, teriaknya tak puas, "Memangnya uang itu
kau peroleh dan mencuri?"
"Tidak," Lu Kiu menggeleng.
Sambil tertawa tergelak, seru Ong Hui, "Setiap orang persilatan tahu, mungkin asal-usul Ku-loto
memang kurang begitu jelas, tapi yang pasti dia bukan bandit, apalagi begal."
"Apakah kita main judi juga hanya pura-pura?" Ku-tojin menambahkan.
"Semua orang tahu, main judi di sini paling keras. Kalau tidak, hampir setiap sudut kota
Hangciu terdapat rumah perjudian, mengapa kami justru lebih suka main judi di tempat bobrok
seperti ini?" sahut Ong Hui.
Kini Ku-tojin baru berpaling, katanya sambil melotot ke arah Toan Giok, "Kalau memang uang
itu bukan diperoleh dengan mencuri, main judi pun bukan pura-pura. Setelah menang, kenapa
uang itu tidak kau ambil?"
"Aku aku," saking cemasnya, merah padam seluruh wajah Toan Giok, ucapannya pun tergagap.
"Seandainya kalah, mungkin kau tak mampu membayar, tapi kenyataannya kau tidak kalah,
karena nasibmu memang mujur. Oleh sebab itu kau sudah sepantasnya memenangkan uang ini
dan pantas juga menikmati hidup yang lebih nyaman."
"Tepat sekali," sambil tertawa Ong Hui menambahkan. "Kalau nasib orang lagi mujur, sedang
berjalan di jalan raya pun kakinya bisa tersandung Goanpo."
"Memang tak ada nasib mujur lain yang jauh lebih baik daripada kejad ian seperti ini," kata Lu
Kiu sambil tersenyum. "Tapi orang bemasib mujur memang tak banyak di dunia ini" sambung Ong Hui.
"Apalagi kau bukan cuma bernasib mujur, jiwamu pun sangat jujur, biasanya Thian akan
memperlakukan orang semacam ini secara istimewa," kata Ku-tojin lagi. "Jadi semua uang itu
memang seharusnya menjadi milikmu. Ayo cepat bawa pergi!, kalau tidak, mungkin kami akan ikut
sial." "Tapi aku?" Ku-tojin segera menukas, malah sambil menarik wajah dia berteriak, "Bila kau masih saja
berlagak sungkan, artinya kau tak sudi berkena lan dan bersahabat dengan kami."


Golok Kumala Hijau Serial 7 Senjata Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ToanGiok masih tampak ragu, akhirnya dia menghela napas, "Ai, kalau memang begitu, akan
kuterima uang ini." Kemudian dengan wajah bersemu merah dan tertawa geli, tambahnya, "Terus terang aku
bukannya benar-benar tak mau, hanya saja selama hidup belum pernah kumiliki uang sebanyak
ini. Jadi bingung cara bagaimana menghamburkan?"
"Kalau masalah ini tak perlu terburu-buru, kujamin di kemudian hari kau pasti pandai
menghamburkannya," seru Ku-tojin tertawa,
Ong Hui ikut tertawa, "Seorang lelaki boleh saja tak sembarangan menghamburkan uang, tapi
tak boleh tak mengerti bagaimana menghamburkan uang."
"Ha ha ha, lelaki yang tak paham cara menghamburkan uang dia pasti seorang lelaki tak
berguna!" "Betul, oleh karena itu kau harus mengerti bagaimana menghamburkannya, lalu baru mengerti
cara mencarinya." Toan Giok ikut tertawa. "Aku berjanji di kemudian hari pasti akan mempelajarinya dengan seksama," janjinya.
"Aku pun menjamin, mempelajari ilmu semacam ini bukan saja jauh lebih cepat daripada
mempelajari ilmu lain, bahkan pasti sangat gembira," tambah Ong Hui sambil tertawa.
"Aku percaya." Selama ini Lu Kiu hanya mengamati dengan seksama, tiba-tiba is bertanya, "Sebetulnya kau
datang bukan untuk berjudi, bukan?"
"Bukan!" "Lantas apakah kau menjumpai kesulitan?"
"Darimana Cianpwe bisa tahu?" Toan Giok balik bertanya dengan tertegun.
Pendekar Sadis 9 Pendekar Asmara Tangan Iblis Karya Lovely Dear Naga Dari Selatan 15
^