Pencarian

Hantu Wanita Berambut Putih 3

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 3


Begitu ia lihat orang di dalam karung itu, Giok Lo Sat
berseru: "Inilah Eng Sioe Yang!"
Hoei Liong terkejut. "Jadi sakit hatinya San Ho dapat dibalaskan!" katanya.
Giok Lo Sat ambil surat yang dialamatkan kepadanya, ia
buka surat itu lalu dibaca:
109 "Nona Giok Lo Sat! "Aku tidak ada muka untuk menjumpai kau. Tak dapat aku
membunuh Goei Tiong Hian. Aku cuma dapat mengirimkan
kau satu penghianat Eng Sioe Yang guna menebus dosaku."
Hormatnya, Kek Peng Teng "Sebenarnya dia mempunyai urusan apakah?" si Raksasi
Kumala berkata seorang diri. Tidak dapat dia menerka
"keberatannya" nona itu. Dia pun heran yang Peng Teng
sanggup membekuk Eng Sioe Yang. Dia berpikir pula: "Goei
Tiong Hian mempunyai orang-orang kosen sebagai pelindung,
maka di mata kita, lebih gampang membinasakan Eng Sioe
Yang, daripada membunuh dia. Akan tetapi, dengan seorang
sebagai Kek Peng Teng. keadaan adalah lain. Kek Peng Teng
mempunyai banyak ketika untuk berada berdua saja dengan
Goei Tiong Hian, untuknya lebih gampang membinasakan si
dorna daripada membunuh Eng Sioe Yang. Dia berani
menempuh bahaya besar dengan menawan Eng Sioe Yang,
kenapa dia tidak sudi membunuh Goei Tiong Hian?" Benarbenar
ia tidak mengerti. Hoei Liong sendiri sudah lantas
meletakan Bouwyong Tjiong di tempat yang demak, supaya
dia dapat menghirup hawa adem. setelah itu dia hampiri Eng
Sioe Yang, untuk segera totok jalan darahnya, hingga
penghianat itu lantas ingat akan dirinya. Tapi ia telah mabuk
arak selama beberapa hari, karenanya seluruh tubuhnya
lemah tak bertenaga, maka itu ia sadar bagaikan orang dalam
mimpi. Ketika ia buka kedua matanya, ia lihat Tiat Hoei Liong
mengawasi dengan matanya mendelik, sedang si Raksasi
Kumala berdiri di sampingnya sambil tertawa dingin, la jadi
sangat kaget, bagaikan rohnya terbang pergi. Hendak ia _
lompat bangun, apamau kedua kakinya tak bertenaga.
"Eh, tempat ini tempat apa?" tanyanya. "Ke mana Peng
Teng?" Ia anggap bahwa ia sedang bermimpi buruk...
Giok Lo Sat angkat kakinya, lalu ia letakan di atas dadanya
Sioe Yang. ujung kakinya menginjak dengan perlahan, tetapi
Eng Sioe Yang merasakan demikian sakit hingga ia berkaok
bagaikan disembelih. 110 "Jangan bunuh dia!" Hoei Liong mencegah anak
angkatnya. "Biarlah dia buka mulutnya, untuk memberikan
pengakuannya. Tugas ini aku serahkan padamu."
Giok Lo Sat tertawa. "Pekerjaan mengambil pengakuan, akulah yang paling
tepat mengurusnya!" kata puteri ini. "Ayah, jangan kau kuatir!"
Hoei Liong lantas pusatkan perhatiannya untuk menolongi
Bouwyong Tjiong, sedang si Raksasi Kumala segera tengteng
Eng Sioe Yang untuk dibawa ke dalam kamar rahasia.
Waktu Eng Sioe Yang pergi ke Lengnio hoe, untuk
menanyakan kesehatannya Keksie, dia bertemu dengan Kek
Peng Teng yang sedang masgul berbareng mendongkol,
karena kesulitan urusannya, yang ia tidak dapat segera
pecahkan. Begitu melihat pahlawan itu, si nona berkata dalam
hatinya: "Dia ini juga satu penghianat. Baiklah, aku bekuk dia
dulu, untuk dijadikan bingkisan!"
Maka ketika Eng Sioe Yang sambil tersenyum memberi
selamat pagi dan menanyakan kesehatannya, ia paksakan
dirinya menahan hawa amarahnya, ia berpura-pura
tersenyum. "Terima kasih, kau baik sekali," katanya. "Mari minum!"
Ia terus menyuguhkan arak. Itulah penyambutan yang ia
kehendaki, meskipun ia tidak terlalu mengharapnya. Dan tidak
peduli ia sangat cerdik dan licin, tidak pernah ia menduga si
nona akan menipu padanya untuk dibikin celaka Begitulah ia
terima undangan itu, sambil menghaturkan terima kasih, ia
tenggak kering tiga cawan berisikan susu macan.
Arak yang disuguhkan Peng Teng itu ada arak buatan
istana, namanya "Pek Djit Tjoei", artinya: "Seratus Hari
Mabuk". Dengan perkataan lain, bila orang minum arak itu,
maka ia akan mabuk selama dua tiga hari. Eng Sioe Yang
telah tenggak tiga cawan penuh, dia roboh dengan segera.
Tapi Peng Teng masih merasa kurang aman, maka ia
menambahkannya dengan menotok jalan darahnya, sesudah
mana, ia masukkan pahlawan itu ke dalam kereta kurungnya,
yang terus dibawa pergi sampai di gunung Seesan. Di kaki
Gunung Barat itu, si nona rusakan keretanya dan Eng Sioe
Yang dimasukkan ke dalam karung guni yang telah
111 disediakan, la sendiri lantas salin pakaian. Untuk melewatkan
sang malam, ia pergi menumpang pada satu penduduk di luar
kota Masih saja Peng Teng kualirkan mangsanya itu mendusin,
maka pada setiap dua belas jam, ia ulangi totokannya, hingga
selama tiga hari, tidak pernah Eng Sioe Yang sadarkan
dirinya. Kek Peng Teng tidak tahu Giok Lo Sat berada di Tiangan
Piauwkiok, kebetulan ia ingat hal gurunya, Anghoa Koeibo,
yang sehabis bertanding dengan Tiat Hoei Liong, pernah
menyebutkan bahwa Hoei Liong bersahabat dengan pemimpin
dari piauwkiok itu. Maka ia pikir: "Tidak peduli Giok Lo Sat ada
di Tiangan Piauwkiok atau tidak, baiklah aku bawa Eng Sioe
Yang ke sana, pasti sekali Giok Lo Sat akan dapat
menerimanya." Begitulah ia tulis suratnya untuk "Nona Giok Lo Sat", lantas
ia sewa sebuah kereta untuk pergi ke Tiangan Piauwkiok. Eng
Sioe Yang tetap di tempatkan di dalam karung. Ia sendiri
sengaja memakai cala, supaya orang tidak dapat melihat
tegas wajahnya. Begitu mendapat kepastian halnya, piauwkiok
dan si nona, ia gabrukkan karungnya itu dan ditinggal pergi.
Dan si Raksasi Kumala, sesampainya di kamar rahasia,
sudah lantas mulai dengan pemungutan pengakuannya Eng
Sioe Yang. Dalam hal ilmu totok, ia sangat liehay, apapula
untuk menyiksa korban. Maka itu, meski dia sangat bandel,
Eng Sioe Yang merasakan setengah mati setengah hidup,
hingga akhirnya, dia keluarkan semua pengakuannya
berkongkol dengan bangsa asing, guna menjual negara. Ia
sebutkan semua orang yang tersangkut.
Giok Lo Sat ambil sehelai kertas guna mencatat semua
nama dan pangkat mereka. Ia catat rapi pengakuannya orang
she Eng itu. Selesai dengan itu, ia kembali kepada ayah
angkatnya. Ketika itu Tiat Hoei Liong sudah berhasil membuat
Bouwyong Tjiong sadar akan dirinya. Hebat percobaannya
menolong, baik dengan obat-obatan maupun dengan ilmu
urut. Tapi karena lukanya berat sekali, tjongkauwtauw itu
112 belum sadar betul, dia pun tidak punyakan tenaga, karena
mana, dia belum dapat bicara.
Eng Sioe Yang menjadi sangat kaget melihat Bouwyong
Tjiong rebah di tanah dalam keadaan tidak berdaya itu.
Hoei Liong tertawa dingin.
"Eng Sioe Yang, kau lihat apa?" tanyanya kepada
penghianat itu. "Bouwyong Tjiong tidak seperti kau!"
Orang she Eng itu melengak, mukanya pucat.
Giok Lo Sat berbisik di kuping ayahnya.
"Bagus!" seru Tiat Hoei Liong. "Karena telah didapat
catatan nama-nama lengkap, bolehlah dia dikirim kepada
Giam Lo Ong!" Kemudian dia berseru memanggil anaknya:
"Anakku, musuh kau telah terbinasakan semua, bolehlah kau
meramkan matamu!..." (Giam Lo Ong = Raja Akherat).
Kata-kata ini ditutup dengan melayangnya tangan yang
sangat liehay, menyusul mana pecahlah batok kepalanya Eng
Sioe Yang. Tapi menyusul itu. bercucuranlah air matanya.
Giok Lo Sat lantas pimpin ayah itu ke dalam kamar, supaya
si ayah dapat beristirahat.
"Anak Siang, Bouwyong Tjiong itu bukannya musuh kita,"
kata Hoei Liong sambil jalan, "maka itu harus kamu rawat dia
baik-baik." "Aku tahu," sahut Giok Lo Sat, yang pun menangis.
Berselang, dua hari, meski ia dirawat sempurna sekali.
Bouwyong Tjiong tidak juga berubah menjadi terlebih baik.
Tenaga tangan dari Hoei Liong dapat menggempur hancur
batu, bisa menembusi perut kerbau, maka kalau tenaga
dalamnya tidak mahir, mungkin siang-siang dia telah
terbinasa. Di hari ketiga, napasnya orang she Bouwyong itu menjadi
sangat lemah. "Tiat Loodjie. terima kasih..." ia mengatakan. Ia paksa
kuatkan diri untuk mengucap demikian.
"Bouwyong Laotee, akulah yang bersalah..." Hoei Liong
akui. 113 "Aku tidak terkalahkan..." kata pahlawan itu. Menghadapi
kematian, dia masih tak melupakan pertandingannya yang
dahsyat itu. Di waktu begitu, Hoei Liong tidak merasa lucu.
"Ya, kau tidak terkalahkan..." ia jawab.
Wajahnya Bouwyong Tjiong menjadi terang, sejenak ia
tersenyum, kemudian ia tutup rapat kedua matanya.
Hoei Liong lekas-lekas taruh tangannya di atas hidung
pahlawan itu. Ia rasakan hawanya panas. Ia segera pasang
kupingnya di dada pahlawan itu, ia masih dengar denyutan
jantungnya perlahan. Ia menjadi kaget dan berduka, tetapi ia
kuatkan hatinya, untuk tidak perdengarkan tangisnya.
Selagi jago tua ini berduka. Giok Lo Sat datang sambil
berlari-lari berlompatan, terus saja dia tolak daun pintu, untuk
nerobos masuk. Dia pun tertawa, wajahnya sangat terang.
"Kenapa kau berbuat gaduh?" tegur Hoei Liong seraya
mengkerutkan alisnya. "Orang sakit hendak tidur..."
"Bouwyong Tjiong tertolong!" sahut si nona, sambil tertawa
pula. Hoei Liong terkejut. Sejenak saja ia bergirang, lantas ia
kerutkan pula alisnya. "Kau jangan mendustai" katanya. "Aku telah melukai dia
begitu hebat, mana dia dapat ditolong lagi..."
Masih si anak tertawa. Malah dia sambar tangan ayahnya,
untuk ditarik, dan diajak lari keluar.
"Lihat! Siapa itu yang datang?" katanya seraya tangannya
menunjuk. Hoei Liong angkat kepalanya.
"Oh, saudara Touw!" serunya.
Yang datang itu adalah Touw Beng Tiong, itu orang she
Touw yang pergi ke kota raja untuk menolongi pamannya
(engkoe). Hoei Liong bingung juga. Setelah beberapa hari hatinya
pepat, tak dapat ia berpikir, apa ada hubungannya di antara
Beng Tiong dan Bouwyong Tjiong.
"Saudara Touw ini hendak menghaturkan bingkisan
kepadaku," kata Giok Lo Sat pada ayahnya. "Coba ayah
katakan, harus aku terima atau tidak..."
114 "Apa?" katanya, menegaskan. Giok Lo Sat buka sebuah
kotak panjang di atas meja. Di dalamnya tampak serupa
barang hitam mengkilap, macamnya mirip dengan bayi.
"Hai, inilah hosioeouw yang berumur seribu tahun?" Hoei
Liong berseru. "Jadi obat ini saudara Touw tidak haturkan
kepada si dorna kebiri?"
Ia ingat itu obat istimewa, yang Beng Tiong niat
persembahkan pada Goei Tiong Hian.
Matanya orang she Touw itu menjadi merah.
"Pamanku telah dihukum mati si dorna kebiri," katanya
dengan sangat berduka, "katanya sudah sejak belasan hari
yang lalu. Paman dihukum mati secara diam-diam dalam
penjara... Baru kemarin dulu aku dengar hal ini."
"Pamanmu itu Tjoh Kong Tauw?" tanya Giok Lo Sat.
"Betul. Kau masih ingat dia, liehiap."
"Dia di penjarakan bersama Yo Lian, dalam penjara Paktin
Boesoe," kata si nona.
"Benar. Bagaimana kau ketahui itu?"
"Karena aku telah tengok Yo Lian."
"Sama sekali ada enam orang yang telah dihukum mati,
dan pamanku serta Yo Lian dibinasakan
dalam satu hari berbareng-itu
malam," kata Beng Tiong. "Mereka terbinasa dalam cara
sangat kejam dan menyedihkan, mereka mati engap karena
ditungkrap dengan karung terisi debu..."
Giok Lo Sat sangat terharu. Dalam hatinya, ia berkata:
"Pastilah mereka terbinasa malam itu ketika aku mengacau
dalam penjara..." "Aku menyesal dahulu karena tidak mendengar nasihat
Lian Liehiap," Beng Tiong berkata pula. "Aku masih memikir
untuk mohon belas kasihannya si dorna kebiri. Syukur
sebelum barang itu dipersembahkan, aku sudah lantas ketahui
kematiannya pamanku itu, dengan begitu tidaklah kedua
barang ini dihaturkan secara sia-sia dan kecewa. Lian Liehiap,
ketika itu hari di Bankoan aku terluka oleh Sin Tay Goan,
apabila tidak ada kau yang memaksa dia mengeluarkan
obatnya, pasti aku tidak akan dapat tertolong, maka itu,
karena aku tak dapat membalas budimu ini, sukalah kau
115 terima hosioeouw ini. Mungkin obat ini ada gunanya
untukmu..." "Memang sangat besar gunanya untuk aku!" kata si nona.
Dan ia ambil hosioeouw itu. "Kau tahu tidak, kawan sejahatmu
Wan Tjong Hoan sekarang ada di sini?"
"Aku pernah mendengarnya tetapi tak dapat aku cari dia,"
sahut Beng Tiong. "Dia ada di Sinong hoe," si nona beritahu. "Pergi lekas kau
cari dia di sana. "Eh, ya, aku mempunyai surat untuk
disampaikan padanya."
"Nanti aku sampaikan," kata orang she Touw itu.


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok Lo Sat masuk ke dalam, untuk memasukkan daftar
namanya Eng Sioe Yang ke dalam sampul. Ia menulis
sepucuk surat, untuk memberi penjelasan, surat mana
dimasukkan bersama dalam sampul itu. Dalam hatinya, ia
berpikir: "Sekarang ini Goei Tiong Hian sangat berpengaruh,
walaupun telah ada bukti yang dia berkongkol dengan bangsa
asing, untuk menjual negara, tapi sukar untuk menggulingkan
dia. Maka baiklah aku serahkan ini semua pada Wan Tjong
Hoan, supaya nanti kalau Sin Ongya telah peroleh
kedudukannya, dia mempunyai bukti-bukti untuk menghukum
mampus dorna kebiri itu!"
Rendah pengetahuannya si nona tentang ilmu surat, maka
itu, untuk menulis surat itu, ia membutuhkan waktu lama,
hingga ia membuat Hoei Liong tidak sabar karena ayah angkat
ini ingin lekas-lekas menolongi Bouwyong Tjiong.
Pada akhirnya muncul juga nona itu. Ia serahkan suratnya,
untuk disampaikan pada Wan Tjong Hoan. Tadinya ia niat
menyuguhkan teh, untuk menyuruh tetamunya pergi, tetapi
Touw Beng Tiong nampaknya tak mau segera pamitan.
Hoei Liong lihat anaknya sedang melayani tetamu, ia ambil
hosioeouw, ia mohon undurkan diri dari Beng Tiong, lalu
lekas-lekas ia masuk ke dalam. Ia sendiri segera menggodok
hosioeouw itu, tanpa ayal lagi, begitu obat matang, ia cekoki
Bouwyong Tjiong. "Apakah Liehiap ketahui tentang Him Kengliak?" tanya
Beng Tiong kemudian pada si nona.
"Urusan apakah itu?" Giok Lo Sat, tegaskan.
116 "Setelah dia dihukum mati, bukankah kepalanya telah
dipisahkan?" kata Beng Tiong. "Tapi pada beberapa hari yang
lalu, kepalanya itu sudah dibawa ke kota raja. Orang
mengatakan bahwa secara tiba-tiba Sri Baginda telah ingat
jasanya Kengliak dahulu terhadap negara, lalu ia memberi ijin
untuk mengembalikan kepalanya kepada keluarganya, dan
keluarga itu diberi ijin pula untuk melakukan penguburan
dengan upacara, malah pada harian penguburan, digantung
juga tengloleng yang bermuatkan tulisan nama pangkatnya
Kengliak..." Si Raksasi Kumala tertawa Ia tahu bahwa itu adalah hasil
perbuatannya, yang telah mengirim surat tertusuk pisau belati
kepada raja. "Itulah sudah selayaknya!" katanya. "Wan Tjong Hoan di
kemudian hari akan besar sekali gunanya maka itu bolehlah
kamu nanti memegang senjata pula untuk membelai daerah
perbatasan!" "Mudah-mudahan demikian adanya!" memuji Beng Tiong.
"Apa yang dikuatirkan adalah kawanan dorna nanti melintang
pula di tengah jalan, hingga walaupun Wan Tjong Hoan telah
menjadi Kengliak, mungkin dia tidak dapat berbuat banyak..."
Benar katanya Beng Tiong ini, di belakang hari Wan Tjong
Hoan telah diangkat menjadi Kengliak di Liauwtong dan dia
sendiri telah menjadi opsir sebawahannya, akan tetapi hikayat
telah mengulangkan dirinya, belasan tahun kemudian setelah
memangku jabatannya itu, Tjong Hoan difitnah dan dianiaya
kawanan dorna, ia dituduh berkongkol dengan musuh, hingga
ia terbinasa di tangan Kaisar Tjong Tjeng, ialah kaisar yang
mengangkat ia ke dalam kedudukan tinggi itu.
Setelah pgmbicaraan itu, baru Touw Beng Tiong pamitan
dan pergi. Sehabis antar tetamunya, Giok Lo Sat lari masuk, untuk
tengok Bouwyong Tjiong. Baru ia sampai di depan pintu
kamar, ia segera dengar suara orang bicara, ketika ia tolak
daun pintu, ia dengar seruan kegirangan dari Hoei Liong
terhadapnya: "Sungguh obat-obat ini mustajab! Gbat yang
membikin orang mati hidup pula! Belum lama dia minum obat,
parasnya sudah berubah menjadi segar!"
117 "Terima kasih banyak-banyak kepada kamu!" berkata
Bouwyong Tjiong. "Tiat Looenghiong, budimu adalah budi
seperti kau menjelmakan pula padaku!"
Tiat Hoei Liong tertawa besar.
"Kau telah menolong jiwaku, karenanya aku pun ingin
menolong jiwamu!" katanya. "Apakah artinya itu" kau baru
sembuh, jangan kau omong banyak. Sekarang kau beristirahat
dulu." Lewat beberapa hari, Bouwyong Tjiong tampak bertambah
segar. Selama beberapa hari itu, banyak yang telah
dibicarakan dengan Hoei Liong dan Giok Lo Sat hingga bekas
pahlawan ini tergerak hatinya.
"Pastilah Goei Tiong Hian sangat benci padaku," kata ia,
"maka setelah sembuh benar, tidak sudi aku berdiam lebih
lama pula di kota raja ini. sebab aku segan membantu berbuat
jahat terlebih jauh!"
"Jikalau kau tidak ingin injak kota raja lebih lama pula,
bolehlah kau pergi ke dalam pasukannya Giam Ong," Tiat
Hoei Liong menganjurkan. "Nie Siang kenal baik sekali
rombongan Giam Ong itu, dia dapat memberi jaminan
kepadamu." Bouwyong Tjiong berdiam, ia tidak utarakan pikirannya.
Hoei Liong tahu kenapa orang bungkam. Teranglah orang
she Bouwyong ini segan menyatrukan Goei Tiong Hian, tidak
peduli orang kebiri itu satu dorna. Maka ia pun tidak hendak
mendesaknya. Pada suatu hari, selagi Giok Lo Sat dan ayah angkatnya
berada di dalam rumah asyik pasang omong, mereka
diberitahukan satu pegawai piauwkiok. katanya: "Di luar ada
satu pengemis jahat sedang mengacau, sekarang ini ketua
kita dan wakilnya tidak ada, tolong looenghiong melihatnya."
"Begitu" Bagaimana dia mengacaunya?" Giok Lo Sat
tegaskan. "Dia minta uang sebanyak sepuluh ribu tail perak,"
menerangkan pegawai ini. "Dia bertangan cuma sebelah tetapi
dia sangat liehay. Dia duduk bersila di tanah, dia angkat
sebelah tangannya itu, yang memegang sebuah mangkok
batu yang besar. Dia menghendaki mangkoknya itu diisikan
118 penuh uang perak. Kami belasan orang telah mendorong dia,
tak dapat kami membuat tubuhnya bergeming!..."
Giok Lo Sat ingat suatu apa, lantas saja dia lari keluar.
Baru dia muncul di ambang pintu, atau si pengemis yang
dikatakan jahat itu sudah lantas mencelat bangun.
"Jikalau aku tidak berbuat begini, loodjinkee, pastilah kau
tidak bakal keluar!" katanya sambil memberi hormat dengan
menjura. Si Raksasi Kumala tertawa. Ia kenali orang itu ialah Lo Tiat
Pie si Tangan Satu. "Ah, buat apa sampai kau berbuat begini!" katanya. "Mari
masuk!" "Terima kasih!" kata pengemis itu sambil tersenyum.
Lega hatinya semua pegawai piauwkiok. Baru sekarang
mereka mengerti, pengemis itu adalah seorang kangouw luar
biasa, yang menyamar sebagai tukang mintaminta yang
kurang ajar, hanya untuk membuatnya Giok Lo Sat keluar
menemui dia Si Raksasi Kumala ajak orang itu masuk terus ke dalam.
"Telah beberapa hari aku sampai di sini," Lo Tiat Pie
beritahukan. "Maksudku yang utama adalah untuk
menyambangi Yo Taydjin, siapa sangka taydjin itu telah
menutup mata. Aku duga kau berada di piauwkiok ini,
loodjinkee, lalu dengan lancang aku datang kemari."
"Apakah kau telah berhasil membawa anaknya Yo Lian
sampai di Thiansan?" tanya Giok Lo Sat. Apakah kau dapat
bertemu dengan Gak Beng Kie?"
Pengemis tetiron itu manggut.
"Guru dari Gak Beng Kie yaitu Thiansan Kiesoe sudah
meninggal dunia," katanya "Beng Kie sendiri sekarang sudah
menjadi pendeta dengan nama Hoei Beng Siansoe, hingga dia
tak lagi dipanggil dengan namanya itu.
Ia nampaknya suka sekali kepada Yo In Tjong. Dia kata,
lagi sepuluh tahun, dia akan didik In Tjong menjadi kiamkek
nomor satu di kolong langit ini." (Kiamkek = jago pedang).
Si Raksasi Kumala tertawa.
"Apa benar dia berani pentang mulutnya demikian besar?"
katanya menegaskan, tetapi sambil bergurau. "Baik! Lagi
119 sepuluh tahun, aku juga akan mendidik satu murid perempuan
guna menaklukkan muridnya itu!"
Tiat Hoei Liong berduka mendengar orang berbicara
tentang Gak Beng Kie, calon baba mantu yang urung itu, akan
tetapi mendengar kata Jenaka dari Giok Lo Sat, mau atau
tidak, ia tertawa. "Dia sudah menjadi hweeshio, untuk apa kau
masih saja penasaran terhadapnya?" kata ia.
"Dalam perjalananku kembali, Lo Tiat Pie tambahkan, "aku
lewat di Boetong san, di sana aku singgah selama beberapa
hari." Giok Lo Sat dengar itu, ia bungkam.
"Sekarang ini To It Hang menjadi ketua dari kaumnya," kata
pula Lo Tiat Pie, tetapi, ah, ia nampaknya harus dikasihani..."
Matanya si nona menjadi merah. "Untuk apa menyebut-nyebut
dia"..." katanya.
"Memang, dia harus dikasihani." berkata pula si pengemis
tetiron. "Baiklah aku tidak
menyebutkannya, kau lihat saja suratnya ini yang dia
kirimkan untukmu..."
Di mulut, Giok Lo Sat berkata tak usah menyebut-nyebut It
Hang akan tetapi di dalam hatinya, ia ingin sangat ketahui apa
yang ditulis It Hang itu. Maka dengan cepat-cepat ia terima
surat itu dan dengan lekas ia buka.
It Hang menulis syair, sebagai berikut:
Kupu-kupu menari, burung kenari terbang, atau satu tahun
berlalu. Bunga mekar, bunga rontok, senantiasa menyedihkan,
selalu begitu. Perasaanku siang-siang ada bagaikan air hanyut ke timur
itu. Tetapi di musim semi ini dia terbayang pula depan mataku.
Aku berlatih, belum tetap ulet tenaga latihan batinku itu.
Pedang tak dapat diayun, karenanya, oh, bersedih aku...
Kalau dapat menangkan rembulan, hendak kumenjura
kepadanya. Ingin kumengikuti rembulan terang, mendampingi
padanya... Tak dapat kumenutup langit, cuma bisa
kumengalirkan air mata. Penasaran tetap penasaran, tak lain, penasaran belaka.
120 Tapi ingin aku, sahabatku dapat mengampuni aku...
Tak usah lagi aku omong, untuk mengutarakan rasa
hatiku... Sederhana syair itu, walaupun Giok Lo Sat tak pandai
surat, dapat ia membaca dan mengerti maksudnya, maka
tanpa ia menghendakinya, ia meneteskan air mata. Ia lantas
ingat saat ketika ia di Benggoat kiap, selat Rembulan Terang,
ketika bunga hutan diremas hancur, dibuang ke dalam selat,
bagaimana bunga disamakan dengan manusia yang hilang
saat kemudaannya, dan bagaimana menyesalnya dia karena
terhalang asmaranya- Tepat It Hang menguraikan hati mereka
dengan kata-katanya, "Bunga mekar, bunga rontok.
senantiasa menyedihkan, selalu begitu..."
"Meskipun To It Hang menjadi ketua, ia sangat tidak
gembira," berkata Lo Tiat Pie. "Dia pendiam luar biasa, hingga
tampaknya bagaikan orang dungu saja, sedang tubuhnya
telah jadi kurus... Kabarnya beberapa paman gurunya menjadi
sangat putus harapan karenanya. Aku telah bicara padanya
dan ia berkata padaku, ia menyesal sejak dahulunya..."
"Sudah, jangan bicara pula tentang dia!" kata si nona, yang
hatinya sangat terluka. "Tetapi dia mengharap kau datang menjenguknya," masih
Lo Tiat Pie mengatakannya.
Giok Lo Sat berdiam. "Baiklah aku hendak pulang sekarang!" kata si tangan satu
akhirnya. Masih si Raksasi Kumala berdiam.
"Kau hendak pergi ke mana?" tanya Hoei Liong, yang di
pihak lain sangat berduka menampak kesedihannya anak
angkat itu. "Segala serigala telah menghalang di tengah jalan,
Tionggoan telah jadi sangat kacau," sahut Lo Tiat Pie. "karena
itu ingin aku mencontoh Hoei Beng Siansoe, aku mau pergi ke
Thiansan..." Hoei Liong segera antar tetamu itu sampai di luar
piauwkiok, habis itu ia segera kembali, akan tengok Giok Lo
Sat yang masih duduk menjublak, seperti boneka saja. Ia jadi
sangat terharu. 121 "Kasihan anak ini..." katanya dalam hatinya Ia dekati anak
itu, untuk pegang pundaknya.
"Kalau kau ingat dia. pergilah kau menyambanginya," ia
kata. Di mata si nona ini terbayang roman berduka dan lesu dari
It Hang. Tapi tiba-tiba..... "Siapa hendak tengok padanya?" katanya dengan keras,
dengan murka. "Tak mau aku pergi! Selanjutnya jangan sebutsebut
pula dia!..." Hoei Liong kenal perangai anak ini. ia pun diam.
Setengah bulan berselang, Bouwyong Tjiong telah sembuh
dari lukanya yang parah, akan tetapi walaupun demikian, perlu
ia beristirahat pula satu dua bulan di dalam piauwkiok untuk
bisa pulih kembali hingga ia benar-benar dapat bersilat pula
seperti sediakala. Maka, menampak keadaannya sahabat itu, lega hatinya
Hoei Liong. "Mari kita pergi pula merantau, menjelajah dunia kangouw!"
ayah ini mengajak anaknya.
"Ke mana, ayah?" tanya si Raksasi Kumala.
"Tak usah kau tanya ke mana!" jawab ayah itu. "Pendeknya
tidak nanti aku bawa kau ke tempat ke mana kau tak suka
pergi!" Anak itu berdiam, tetapi segera ia berkemas-kemas, untuk
turut ayah angkat itu pergi merantau. Maka bersama-sama
ayahnya, ia ambil selamat tinggal dari Liong Tat Sam dan


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bouwyong Tjiong. Sekarang ini berubah hatinya Bouwyong Tjiong. Satu bulan
ia tinggal di dalam piauwkiok, ia telah dirawat Hoei Liong dan
Giok Lo Sat dan Tat Sam, ia merasa bahwa ia telah mati dan
hidup pula. Maka dengan sendirinya timbullah perasaan
bersyukur kepada mereka itu, terutama Hoei Liong dan Giok
Lo Sat. Maka itu berat baginya untuk berpisahan. Ia telah
memberi selamat berpisah yang hangat sekali.
Begitu ia keluar dari kota raja, untuk melihat tempat yang
luas, mulai legalah hatinya Giok Lo Sat, pikirannya menjadi
terbuka. Dengan sendirinya mulai berkuranglah kedukaannya,
122 hingga bicara dengan ayah angkatnya, suka juga ia
bersenyum atau tertawa, dan Hoei Liong pun menjadi girang
juga. Selang satu bulan lebih, dari utara, Hoei Liong berdua telah
sampai di selatan, dari Hoolam, mereka sampai di Ouwpak.
Melihat rencana perjalanan ayah angkatnya, Giok Lo Sat
mengerti bahwa ia hendak diajak menuju ke Boetong san. Ia
mengikuti terus tanpa bilang suatu apa, ia berpura-pura tidak
mengetahuinya sikap orang tua itu.
Pada suatu hari tibalah mereka di Siangyang dalam
propinsi Ouwpak, di sini mereka singgah di kecamatan
Tjianglam jaraknya empat puluh lie lebih dari kota. Itulah
tempat di mana dahulu Anghoa Koeibo berdiam, atau tempat
kediamannya Keksie. Giok Lo Sat sementara itu ketahui, walaupun selama dalam
perjalanan ayah angkat itu dapat senantiasa bicara dengan
gembira, tetapi di dalam hatinya, ia sangat berduka karena
kebinasaannya San Ho, dan sekalipun sakit hatinya sang anak
sudah dapat dibalaskan, hati ayah ini tetap kosong. Inilah
dapat dimengerti, karena biar bagaimana, satu ayah tentu
mengharap sangat dari anak kandungnya sendiri. Maka itu, di
samping menungkuli dirinya Giok Lo Sat juga memikirkan
ayah itu, ia berusaha untuk menghiburnya, guna mengisi
kekosongannya. Maka setibanya ia di Siangyang, tiba-tiba
saja ia ingat kepada Keksie, kepada Bok Kioe Nio, bekas isteri
mudanya si ayah angkat. "Apakah Kek Peng Teng telah pulang ke rumahnya?" ia
tanya dirinya. "Apakah Bok Kioe Nio dan Kongsoen Loei,
anaknya Anghoa Koeibo, tetap tinggal di rumahnya?"
Oleh karena memikir demikian, malamnya Giok Lo Sat
coba hati ayah angkatnya.
"Ayah, bagaimana jikalau kita pergi lihat Kek Peng Teng?"
kata dia. "Aku kangen sekali kepadanya."
Mendengar pertanyaan itu, tiba-tiba saja air mukanya Hoei
Liong berubah. "Jikalau kau hendak pergi, pergilah!" kata ayah ini, kaku.
"Aku tak hendak ikut."
Giok Lo Sat tertawa di dalam hati.
123 "Serupa betul perangai ayah dan perangaiku..." pikirnya.
"Di mulut dia bilang tidak hendak pergi, di hati justeru dia ingin
sekali. Dia telah berusia lanjut, kecuali aku adalah Bok Kioe
Nio yang terhitung orang paling dekat dengannya... Tapi.
peduli apa aku dengan Kioe Nio" Peng Teng adalah lain, anak
itu sangat manis, maka setelah tiba di sini, mana dapat aku
tidak pergi menyambangi dia?"
Malam itu ayah dan anak ini bermalam di kota, di sebuah
rumah penginapan. Kira-kira tengah malam, Hoei Liong di dalam kamarnya
kaget karena tiba-tiba saja ia dengar jeritannya Giok Lo Sat,
jeritan hebat, seperti orang yang terluka. Ia segera pakai baju
luarnya. Ia bangun dengan lompat mencelat.
Justeru itu, pada jendela terdengar suara keras, seperti
serangan, lantas daun jendela terpentang, hingga angin pun
meniup masuk dengan keras.
"Tikus, kau berani membokong?" bentak Hoei Liong, la
menyambar dengan tangannya. Ia tahu datangnya senjata
rahasia. Ketika ia dapat menyambuti, nyata ia mencekal
sepotong sepatu rumput butut!
"Kurang ajar!" serunya dengan murka. Ia lompat keluar dari
jendela, hingga ia tampak berkelebatnya satu bayangan, yang
naik ke atas genteng rumah tetangga di sebelah depan. Tubuh
itu besar tetapi di dalam gelap, dan karena gesitnya, Hoei
Liong tidak dapat melihat tegas. Ia tidak mengejar, hanya
sebaliknya, ia pergi ke kamarnya Giok Lo Sat.
Si Raksasi Kumala tidak ada, kamarnya pun sudah kosong.
Ayah angkat ini kaget. "Siapa yang demikian liehay?" pikir dia. "Walaupun Anghoa
Koeibo hidup pula, dia tidak seliehay bayangan ini..."
Jago tua ini gunakan ilmu enteng tubuhnya, untuk lompat
naik pula ke atas genteng, untuk mencoba menyusul
bayangan tadi. Syukur untuknya, ia masih dapat melihat. Tapi,
ketika ia mulai mengejar, ia merasa aneh. Jikalau ia mengejar
cepat, pesat larinya bayangan di depan itu, tetapi kalau ia
perlahan larinya, bayangan itu turut lari perlahan juga...
Selama itu, tidak pernah ia berhasil menyandak... Adakah itu
124 mengenai pepatah: orang liehay ada lagi yang lebih liehay,
atau gunung tinggi ada lain gunung yang melebihi tingginya"
IV Orang yang berlari-lari di depan itu, yang masih nampak
seperti bayangan hitam, memakai mantel dan kepalanya juga
ditutup rapat, akan tetapi setelah mengawasi sekian lama dan
mengejar terus, bisa juga Hoei Liong melihatnya terlebih
tegas. Bayangan itu bukanlah orang bertubuh besar sebagai
bermula, tetapi yang besar atau gerombongan adalah
mantelnya itu. Sekarang tampak tegas, mantel itu tak pantas...
Tidak mudah bagi Hoei Liong menerka orang itu, terpaksa
ia mengejar terus. Ia coba memanggil, ia malah mencaci, tidak
ia peroleh penyahutan. Ia masih mengejar meskipun ia
merasa bahwa ia seperti tengah dipancing ke satu tempat...
Sesudah mengejar sekian lama, Hoei Liong lihat di
depannya terdapat sebuah kampung yang sunyi, di mana
terdapat beberapa rumah saja.
"Ah, kau sedang main apa?" ia menegur ketika ia ingat
suatu apa. Bayangan di depan itu tertawa geli seorang diri, berbareng
dengan itu, dia buka mantelnya yang besar dan gerombongan
itu. Ia masih tertawa ketika ia perdengarkan jawabannya:
"Dahulu Anghoa Koeibo tinggal di dusun ini! Kau hendak
masuk untuk melihat-lihat atau tidak?" Orang itu adalah Giok
Lo Sat. Si nona ingat Kek Peng Teng, ia ingin sekali
melihatnya, untuk itu ia harus pergi ke rumahnya Anghoa
Koeibo, sebab kemungkinan besar si nona, seberlalunya dari
kota raja, mesti pulang ke rumah gurunya itu, akan tetapi Tiat
Hoei Liong tidak ingin bertemu dengan Bok Kioe Nio, ayah ini
tidak suka turut ia pergi, terpaksa. dengan kebengalannya, ia
gunai akal itu. Untuk mendapatkan mantel besar dan
gerombongan itu, ia lakukan pencurian, habis itu, ia berpurapura
seperti ada orang bokong padanya, ia menjerit sekuatkuatnya,
habis itu ia tunggu keluarnya Hoei Liong, lalu sambil
menggebrak jendela ia menimpuk dengan sepatu butut,
setelah mana ia perlihatkan dirinya dalam satu kelebatan,
125 terus ia lari, agar dirinya dikejar ayah itu. Karena mahirnya
ilmu enteng tubuhnya, ia membuatnya ayah itu tidak dapat
menyandak, ia berlari-lari dengan dibikin-bikin, untuk membuat
si ayah jadi mendongkol dan mengejarnya terus sampai di
dusun itu. "Ayah, kuharap kau tidak gusar," kata anak angkat yang
nakal ini. "Anghoa Koeibo itu dapat dipandang sebagai
sahabat ayah. dari itu tidak ada halangannya untuk kau
menemui murid dari sahabat almarhum itu."
Hoei Liong berdiam. Ia insaf, sudah tidak seberapa lagi
orang sepantarannya atau mereka yang hidup berdekatan
dengannya, sedang dengan Bok Kioe Nio ia telah hidup
bersama belasan tahun lamanya, biar bagaimana masih ia
kenangi bekas isteri muda ini. Ia pun dapat menduga
keadaannya Kioe Nio selama ini, maka itu ia memikir, adalah
terlebih baik untuk tidak menemui bekas isteri itu. Siapa yang
tahu. Giok Lo Sat sekarang jusieru memancing dia ke
rumahnya Anghoa Koeibo. "Ayah, marilah masuk!" si Raksasi Kumala membujuk.
"Tidak apa kau menemui Kek Peng Teng. Dia toh yang
mengantarkan kita Eng Sioe Yang" Dan kita masih belum
menghaturkan terima kasih kepadanya."
Hoei Liong tetap bersangsi, hingga ia berdiam saja. Justeru
itu kupingnya dengar angin yang membawa jeritan atau
seruan bercampur suara beradunya senjata, hingga ia jadi
heran. "Baiklah, mari kita pergi melihat!" akhirnya ia jawab
anaknya itu. Giok Lo Sat juga dengar suara itu, ia menjadi heran sekali.
"Mungkinkah ada orang yang mensatrukan turunannya
Anghoa Koeibo?" Ia tanya dirinya sendiri. Ia lantas lompat,
untuk terus berlari dengan keras ke arah rumah yang
bertembok batu dari mana menyorot keluar sinar api. Begitu
lekas ia sampai di depan rumah itu, terus ia enjot tubuhnya.
Untuk lompat naik ke atas genteng. Ia telah mendahului ayah
angkatnya. Ia pun segera dengar suara nyaring di dalam
rumah: 126 "Dia ada muridnya Anghoa Koeibo inilah kebetulan! Bekuk
padanya, untuk dia dipakai melampiaskan hati!"
Dengan "dia" dimaksudkan "dia" wanita.
Ketika si Raksasi Kumala melongok ke bawah, ke tjimtjhee,
yaitu ruangan kosong di dalam rumah, ia lihat dua orang
sedang bertempur dengan seru: yang satu pria, yang lainnya
wanita. Dan si wanita, ia kenali, tidak lain daripada Kek Peng
Teng. Dari dalam kamar, dengan suara serak dan terputus-putus,
Giok Lo Sat dengar: "Apakah dosanya anakku" Kau telah
membunuh suamiku, kau masih tidak hendak lepaskan
anakku itu" Tinggalkan anakku, tinggalkan!..."
Dengan "anak" itu dimaksudkan anak lelaki. Dan suara itu,
si nona kenali, adalah suaranya Bok Kioe Nio. Maka Giok Lo
Sat tidak tunggu lama lagi, dengan pedang terhunus, ia lompat
turun ke dalam. Lawan yang dihadapi Kek Peng Teng adalah seorang
bertubuh kasar, yang bersenjatakan arit besar, dan
tenaganyapun besar juga. Peng Teng sedang didesak hingga
ia mundur setindak demi setindak. Di pinggiran menonton tiga
orang lain. yang tiap-tiap kali perdengarkan tertawa dingin.
Ketiga orang itu terdiri dari satu hweeshio, satu toosoe atau
iman, dan seorang yang telah lanjut usianya.
Si Raksasi Kumala segera perdengarkan tertawanya yang
panjang. "Adik Peng Teng, jangan takut, aku datang!" serunya, yang
disusul dengan mencelatnya tubuhnya kepada lawan yang
bertubuh besar dan garang itu, hingga dia kaget karena
melihat sinar pedang berkelebat dan hawa dingin dari pedang
itu menyambar ke arahnya. Dia berusaha menangkis, tetapi
dia kalah sebat dari pada si nona, sehingga sebelah
lengannya tertabas kutung. Dengan perdengarkan jeritan
"Aduh!" berulang kali, ia roboh bergulingan.
Demikian gesit tubuh si nona itu, hingga sesudah musuh itu
roboh, kawan-kawannya melihat nyata sepak terjangnya si
nona yang bagaikan kilat itu. Mulanya mereka lihat satu
bayangan berkelebat turun dari atas genteng tetapi mereka
127 tak melihat tegas, atau si nona telah perdengarkan suaranya
disusul dengan serangannya yang dahsyat itu.
Si hweeshio atau pendeta adalah yang paling murka,
dengan memutar tongkatnya yang panjang, ia lompat
menerjang. Hebat serangannya tongkat yang seperti toya itu.
Giok Lo Sat lihat musuh menerjang, ia berkelit, sambil
berkelit, ia balas menikam.
Hweeshio itu liehay, dengan menyontek dengan toyanya, ia
tangkis tikaman itu. Maka kedua senjata segera bentrok
dengan memperdengarkan suara nyaring mengaung.
Giok Lo Sat tidak membiarkan pedangnya terpental, tanpa
mengubah tubuhnya, ia maju pula, untuk menikam lagi. Ia
berlaku sangat sebat, ia arah pundak lawan itu.
Hweeshio itu kaget. Ia tidak sangka lawan ini demikian
gesit. Ia tidak dapat mengubah gerakan tongkatnya untuk
menangkis, iapun tak sempat berkelit, ke kiri maupun ke
kanan, maka terpaksa ia kempeskan perutnya, untuk
melengak, guna menyingkir dari tikaman itu.
Sebagai kesudahannya, pendeta ini lolos dari mala petaka,
akan tetapi ujung jubanya robek terkena ujung pedang si
nona. Si Raksasi Remala masih belum berhenti menyerang. Kali
ini ia menikam dengan tidak kalah hebatnya, ia menikam,
sambil memajukan sebelah kakinya, untuk menyusul lawan itu
yang telah tidak berdaya.
Dengan tiba-tiba si toosoe menyerang dengan pedangnya,
ia memukul dari atas ke bawah. Ia hendak batalkan serangan
si nona, hingga nona itu merasakan satu tekanan berat. Giok
Lo Sat tidak lawan keras dengan keras, sebaliknya, dengan
tiba-tiba ia kendorkan tenaganya, karena itu si toosoe. yang
sedang menekan, terjerunuk tubuhnya, dengan sekonyongkonyong.
Inilah ketika yang baik. Dengan memutarkan pedangnya,
Giok Lo Sat serang toosoe itu.
Akan tetapi si toosoe ini liehay, ia dapat pertahankan
dirinya, dengan menggerakkan tangannya, ia tangkis si nona,
sampai pedangnya terpental.
128 Si Raksasi Kumala heran. "Ah dari mana datangnya si
hidung kerbau dan kepala gundul ini?" pikirnya. "Mereka
liehay juga!" ("Hidung kerbau" = kata sindiran untuk toosoe
atau imam). Karena ini. Giok Lo Sat jadi berlaku hati-hati.
Si kepala gundul sudah lantas tetapkan hatinya. Tadi ia
kaget, karena ancaman pedang si nona hingga ia bersyukur
kepada kawannya, si imam, yang telah menolongi dia dari
ancaman bencana. Habis itu, ia maju pula untuk mengepung
si nona berdua si imam konconya itu.
Pada waktu itu, tampaklah satu tubuh besar berkelebat


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun, terus saja ia gempur jeruji jendela besi, setelah mana ia
lompat masuk. Si orang tua, yang masih berdiri menonton di samping,
segera membuka mulutnya "Lao Tiat di sana ya?" demikian suaranya.
Pertanyaan ini tidak memperoleh jawaban. Hoei Liong
masuk untuk segera sambar si orang yang tubuhnya besar itu,
orang mana ia terus lemparkan!
Menyusul itu terdengar tangisan bayi dan jeritan kaget dari
Bok Kioe Nio. Giok Lo Sat lantas berseru: "Ayah, lekas keluar, bereskan
ketiga bangsat ini atau nanti aku yang menelannya mereka
semua hingga kau tidak kebagian!"
Hoei Liong keluar pula, ia lompat ke kalangan pertempuran
itu. "Berhenti dulu!" teriaknya.
Nona itu heran, tetapi ia lantas lompat mundur.
Si hweeshio dan toosoe turut lompat mundur juga, akan
berdiri berdampingan si orang tua kawannya itu, di bawah
pohon hoay. Giok Lo Sat melihat pada sebuah cabang pohon
itu ada tergantung tubuh satu mayat yang masih sedikit
bergoyang-goyang. Malah ia lantas kenali, itulah mayatnya
Kongsoen Loei, anaknya Anghoa Koeibo. Ia jadi heran.
Hoei Liong sebaliknya memperlihatkan kemurkaannya.
"Hok Laodjie. Tjoat Toodjin, Tie Sian Siangdjin!" katanya.
"Kamu bertiga ada orang-orang tertua dari Rimba Persilatan,
129 mengapa kamu membawa muridmu dan bersama-sama
dengannya menghina orang perempuan dan anak kecil?"
Si orang tua tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya.
"Tiat Hoei Liong," katanya, "bukankah Anghoa Koeibo itu
musuhmu juga" Kau tentu masih ingat dahulu, ketika kami
ajak kau bekerja sama guna satrukan Anghoa Koeibo,
walaupun kau terhalang datang, kau toh tidak menampik
ajakan kami itu?" Hoei Liong beliakkan matanya, akan melihat ke langit.
"Walaupun demikian, dengan satu kematian maka seratus
sakit hati habis musnah sudah!" sahutnya dengan tawar. "Jadi,
kamu masih ingat kejadian dahulu itu" Aku hendak bertanya,
urusannya Anghoa Koeibo itu apakah sangkutannya dengan
menantunya perempuan dan muridnya?"
Si imam terperanjat. "Apakah Anghoa Koeibo telah mati?" tanyanya.
"Dia telah menutup mata sejak setengah tahun yang lalu!"
jawab Hoei Liong. Tie Sian Siangdjin melengak.
"Kalau begitu, sakit hati kita tak dapat dibalas!..." katanya
lesu. Hoei Liong tidak pedulikan kekecewaan mereka itu, dia
tunjuk mayatnya Kongsoen Loei.
"Tangan kamu semua terlalu ganas!" katanya dengan
sengit. "Aku si Tiat yang tua tak senang melihat itu!"
Tjoat Toodjin menjadi gusar.
"Loo Tiat, apakah kau hendak ubah persahabatan menjadi
permusuhan?" tanyanya.
Si orang tua she Hok juga turut gusar.
"Jikalau kau tidak senang, sekarang kau mau apa?"
tanyanya, menantang. "Kau telah hajar muridku, aku masih
belum membuat perhitungan denganmu!"
Hoei Liong berseru, sambil maju dan mengayunkan
tangannya. Tie Sian Sianjin menyampok dengan tongkatnya.
Menampak demikian, jago tua dari Barat utara itu putar
tangannya, ia batal menyampok, sebaliknya ia menyambar,
akan cekal tongkat orang itu.
130 "Lepas!" ia berseru. Hoei Liong mempunyai tenaga dalam
yang hebat, yang jauh melebihi Giok Lo Sat, maka atas
sambarannya itu, si hweeshio rasakan telapak tangannya
sakit. Tapi karena ia keras hati, sedapatnya ia pertahankan
diri. Tjoat Toodjin, dalam murkanya, menyerang dengan
pedangnya, la hendak membantu kawannya, supaya kawan
itu bebas. Ujung pedangnya itu menikam ke arah bahu si
orang tua she Tiat. Hoei Liong lepaskan cekatannya kepada tongkat itu, sambil
menarik pulang tangan kanannya, dan berkelit dari tusukan,
tangan kirinya menyambar ke arah pedang, yang disusul
dengan tangan kanannya tadi.
"Kena!" ia berseru, menyusuli gerakan tangan kanannya
itu. Tjoat Toodjin terkejut, lekas-lekas ia mundur, tangannya
pun ditarik kembali. Sebenarnya ia berlaku sebat, tetapi tidak
urung ia kalah gesit. Maka lengannya kena disambar
tangannya Hoei Liong, pada lengan itu bertapak lima jari
seperti bekas dibakar! Selagi si imam menghadapi bahaya itu, Tie Sian Siangdjin
telah roboh terguling, karena bukan saja tongkatnya
dilepaskan Hoei Liong, tetapi jago she Tiat itu sengaja
mendorong dengan keras, hingga kuda-kudanya lawan itu
menjadi gempur dan tubuhnya terhuyung jatuh. Tangannya
pendeta itu mengeluarkan darah. Tapi yang hebat adalah
tongkatnya, yang terbanting begitu rupa hingga menjadi
bengkok! Coba tongkat itu tak sempurna buatannya, bisa jadi
bantingan itu membuatnya patah.
Si orang tua she Hok insaf, kedua sahabatnya itu bukan
tandingan si jago tua, karenanya ia loloskan djoanpiannya,
ruyung lemas dari pinggangnya, dengan apa terus ia
menyabet ke arah pinggang lawan.
Orang tua ini, Goan Tiong namanya, ada ahli silat
kenamaan dari Siamsay, kecuali ilmu silatnya mahir,
permainan ruyungnya pun sudah sempurna. Tapi menghadapi
dia, Hoei Liong tidak menjadi jeri. "Bagus!" sambut orang tua
131 ini, yang terus memutar tubuhnya, untuk meloloskan diri dari
sabetan, menyusul mana, sebelah tangannya menyambar,
untuk menyekal ruyung itu, sedang kakinya dimajukan.
Hok Goan Tiong lompat berputar dengan gerakan
"Koaybong hoansin" -- "Si ular naga siluman jumpalitan",
secara demikian, dapat ia loloskan ruyungnya dari ancaman
cekalan lawan. Sesudah ini, dengan cepat ia menyerang pula,
dengan gerakan "Kenghong sauwlioe". atau "Angin puyuh
menyapu pohon yanglioe", tiga kali ia menyabet tak hentinya,
untuk mendesak musuh. Tjoat Toodjin pun sudah lantas maju pula, disusul oleh Tie
Sian Siangdjin. maka imam dan pendeta ini merangsak dari
kiri dan kanan, pedang dan tongkat mereka mengancam
berulang-ulang. Hoei Liong tidak menjadi gentar, ia membuat perlawanan.
"Loo Tiat aku hendak bicara!" seru Goan Tiong tiba-tiba.
"Lemparkan senjatamu, baru kita bicara!" Hoei Liong
menjawab dengan membentak. "Apakah kamu tidak tahu
aturan?" "Melemparkan senjata" itu artinya menyerah atau minta
ampun. Hok Goan Tiong menjadi murka.
"Loo Tiat, kau terlalu menghina aku!" dia berteriak. Kembali
ia menyerang, dengan sangat sengit, perbuatan mana
dicontoh Tjoat Toodjin dan Tie Sian Siangdjin, hingga kembali
mereka jadi mengepung terus.
Anghoa Koeibo, si Biang Hantu Bunga Merah, dahulu,
karena hendak melindungi suaminya yang busuk, sudah
bersatru dengan tiga belas jago silat dari Barat utara, dengan
kegagahannya ia memukul mundur semua lawannya itu.
Tentu sekali kekalahan itu dianggap oleh ketiga jago ini
sebagai suatu penghinaan atas diri mereka, hingga mereka
menjadi sangat malu, dan mereka telah bersumpah untuk
menuntut balas. Memang benar mereka pernah mengajak Tiat
Hoei Liong, untuk membantu mereka bekerja sama, akan
tetapi karena suatu urusan, Hoei Liong tidak sampai bekerja
dengan mereka. Waktu itu mereka belum sempat mencari
balas, tetapi Anghoa Koeibo telah pergi meninggalkan Barai
132 utara, pergi hidup menyendiri. Begitulah beberapa puluh tahun
telah lewat. Selama itu, tiga belas jago itu telah menutup mata,
sampai akhirnya yang hidup tinggallah Hok Goan Tiong, Tjoat
Toodjin dan Tie Sian Siangdjin bertiga. Mereka ini tidak
berputus asa. sambil menantikan waktu, mereka telah melatih
diri terus menerus, sampai mereka merasa sanggup melawan
pula musuh mereka yang tangguh itu. Pada suatu waktu
mereka mendengar Anghoa Koeibo muncul pula dalam dunia
kangouw, mereka lantas pergi mencari keterangan. Mereka
hanya mendengar munculnya si Biang Hantu, tetapi mereka
tak tahu orang sebenarnya telah menutup mata.. Demikian
mereka mencari terus, hingga tibalah mereka di Siangyang ini.
Sebenarnya mereka tak tahu, Anghoa Koeibo tinggal di dusun
yang sunyi senyap itu, mereka dapat can rumahnya sebab
kebetulan sekali Kongsoen Loei, anak mustika dari Anghoa
Koeibo, telah menciptakan onar.
Setelah ibunya menutup mata, Kongsoen Loei tidak ada
yang kendalikan lagi, dengan lambat laun, ia menjadi binal.
Ketika itu isterinya, ialah Bok Kioe Nio, sudah mengandung
tujuh atau delapan bulan, maka ia suka ngelayap di luaran,
untuk mencari bunga-bunga berjiwa dan memetiknya. Ia
berani, ia tidak memilih bulu. Begitulah ia lihat isterinya satu
piauwsoe dan menjadi tertarik hatinya, justeru itu si piauwsoe
sedang bepergian, ia keteki isteri orang itu. Ia tidak berhasil,
sebaliknya ia didamprat habis-habisan oleh isteri orang yang
setia itu. la menjadi malu, bukan ia pergi, ia malah gusar.
Pada suatu malam ia satroni isteri piauwsoe itu, tidak dapat
dengan jalan halus, ia memperkosanya. Karena malunya,
nyonya itu menghabiskan jiwanya dengan menggantung diri.
Ketika si piauwsoe pulang, ia ketahui apa yang terjadi
terhadap isterinya, karena isteri itu meninggalkan surat, maka
ia lantas cari Kongsoen Loei, untuk mencari balas. Ia dapat
mencari, lalu mereka bentrok. Tapi mereka sama kosennya.
Kongsoen Loei segera sebut-sebut nama ibunya, atas mana
piauwsoe itu menjadi jeri dan mundur sendirinya.
Ternyata piauwsoe itu ada muridnya Hok Goan Tiong,
ketika Goan Tiong dengar hal ikhwal muridnya itu, ia menjadi
gusar, lantas ia ajak Tjoat Toodjin dan Tie Sian Siangdjin
133 mencari Kongsoen Loei. guna membalas sakit hati isteri si
murid, dan sekalian mencari Anghoa Koeibo.
Selama itu Bok Kioe Nio telah melahirkan satu anak lakilaki,
umurnya belum sepuluh hari, habis melahirkan, ia jatuh
sakit hingga ia mesti tinggal rebah di atas pembaringan. Ia
tahu perbuatan suaminya yang tersesat itu, karena ketika
suaminya dikepung, Hok Goan Tiong telah beber perbuatan
busuk dan kejam dari suaminya. Ia malah seperti menonton
ketika suaminya diseret untuk digantung.
Karena bersusah hati, malu dan mendongkol, ia pingsan
karenanya. Hok Goan Tiong datang bersama dua muridnya, satu di
antaranya ialah piauwsoe yang isterinya menggantung diri itu.
Murid yang satu ini masih belum puas, dia hendak rampas
anaknya Kioe Nio, untuk dibikin mati sedang murid yang
satunya lagi menyerang Kek Peng Teng dengan niatnya
memperkosa gadisnya Keksie itu, tapi ia mendapat
perlawanan dari si nona. Syukur untuk Peng Teng dan Kioe Nio, Giok Lo Sat dan
Tiat Hoei Liong telah datang secara kebetulan, hingga mereka
dapat menghalangi maksud jahat dari musuh-musuh itu.
Peng Teng kaget dan girang dengan berbareng melihat si
Raksasi Ku mala, ia jabat tangannya dan menyekalnya
dengan keras dan air matanya berlinang karena gembiranya.
Untuk sesaat dia tak dapat berkata-kata, ketika ia buka
mulutnya, ia cuma bisa menyebut: "Entjie!..."
Giok Lo Sat juga tidak berkata suatu apa, ia hanya
memandang ke arah pertempuran. Ia tidak usah mengawasi
lama atau lantas ia tertawa.
"Dengan bertempur lama, ketiga orang itu bukanlah
tandingan ayahku!" katanya. "Adikku, mari kita omong tentang
kita sejak kita berpisahan! Tak usah kita sibuk-sibuk
membantui ayahku itu..."
Peng Teng belum menyahuti atau kupingnya mendengar
tangisan bayi di dalam kamar.
"Marilah kita lihat dulu Bok Kioe Nio!" katanya, mengajak
Giok Lo Sat. "Ibu dan anaknya itu pasti kaget, entah
bagaimana dengan mereka..."
134 Si Raksasi Kumala manggut, ia ikut masuk ke dalam
kamar. Di dalam kamar, Bok Kioe Nio sedang rebah di atas
pembaringan dengan kedua tangannya memeluk bayinya.
Giok Lo Sat tampak tubuh orang itu kurus dan mukanya pucat,
tangan dan kakinya bergemetar.
"Enso, keponakanku toh tidak kurang suatu apa?" tanya
Peng Teng. "Mari aku gantikan kau menggendong dia, kau
boleh beristirahat."
"Biarlah aku peluk dia lamaan sedikit..." sahut Kioe Nio
dengan suara susah, napasnya pun perlahan sekali. "Aku
sudah tidak punya harapan lagi... Syukur dia tidak kurang
suatu apa..." Sebenarnya Giok Lo Sat jemu terhadap nyonya ini, akan
tetapi sekarang, menampak keadaannya itu, ia terharu, hingga
ia menjadi gusar pada rombongannya si orang she Hok itu.
"Nanti aku menuntut balas untukmu!" katanya dengan
sengit. "Akan aku bereskan beberapa orang di luar itu!"
"Jangan, jangan..." Kioe Nio mencegah, sambil mencoba
untuk berbangkit. Si Raksasi Kumala heran. "Apakah kau tidak hendak
menuntut balas untuk suamimu?" dia tanya
Kioe Nio menggelengkan kepalanya.
"Semua ini adalah akibat perbuatannya sendiri..." katanya.
"Dia... dia..." dan ia tak dapat meneruskannya, suaranya pun
bergetar. "Memang, permusuhan harus dihabiskan, tak selamanya
diperhebat," berkata Peng Teng. "Soeko jahat sekali hingga


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajib dia memperoleh pembalasan atas segala perbuatannya.
Akan tetapi, mereka itu juga ganas sekali. Karena mereka
belum berhasil bertindak lebih jauh, baik biarkan saja mereka
angkat kaki..." Kioe Nio mengerti kata-kata Peng Teng itu, ia tutupi
mukanya dengan kedua tangannya ia berpaling ke lain arah.
Hawa amarahnya Giok Lo Sat bangkit kembali. Ia memang
sangat benci kalau ada orang lelaki menghina orang
perempuan, apapula penghinaan itu berupa perkosaan hingga
mengakibatkan matinya seseorang.
135 Pertempuran di luar kamar masih tetap seru, sampai
mendadak terdengar suaranya si orang tua she Hok yang
keras, rupanya dia terkena tangan liehay dari Tiat Hoei Liong.
Si Raksasi Kumala lari keluar kamar.
"Ayah, tahan!" ia berseru. Hoei Liong telah menghajar Hok
Goan Tiong, yang ia desak sampai ilmu ruyungnya menjadi
kacau, hingga pihak lawan itu menjadi lemah, justeru itu, ia
dengar suara anak angkatnya, ia heran.
"Tahan, ayah!" si anak ulangi seruannya. "Mereka tak dapat
dipersalahkan anteronya!"
Sampai di situ, barulah ayah itu berhenti mendesak.
"Mereka memaksa hingga satu jiwa melayang, mereka juga
perhina orang perempuan dan anak kecil." kata jago tua ini,
"mereka sangat telengas, kejahatan mereka memenuhi langit,
cara bagaimana mereka dapat diberi keringanan?"
Hok Goan Tiong usap-usap lengannya tetapi ia tertawa
dingin. "Anghoa Koeibo telah mati, sakit hati kita terhadapnya tak
usah dibicarakan lagi," katanya Lantas dia tuding mayatnya
Kongsoen Loei, seraya menambahkan: "Akan tetapi anak
mustika itu sudah memperkosa isterinya muridku, sampai
isteri itu menggantung diri hingga binasa, karenanya kita
gantung dia sampai mampus!
Jikalau kejahatan dibalas jahat apakah salahnya?"
Hoei Liong tercengang. "Anak Siang, benarkah katanya dia
ini?" dia menegaskan. "Benar!" sahut anak itu. Goan Tiong
tertawa dingin pula. "Kamu tidak cari keterangan dahulu,
secara lancang kamu mencampuri urusan kita!" katanya
sengit. "Kau melukai aku, itu masih tidak ada artinya, akan
tetapi kamu telah lukai parah muridku, apa kau hendak kata
sekarang?" Giok Lo Sat maju setindak. "Nanti aku yang bicara!"
katanya bengis. Ia menyapu dengan sinar matanya yang
tajam kepada tiga orang di depannya, walaupun Hok Goan
Tiong satu jago, ia merasa gentar diuga. "Silakan kau bicara!"
ia jawab. "Jikalau orang melakukan sesuatu, dia sendiri harus
bertanggung jawab!" berkata si nona. "Kongsoen Loei telah
melakukan kejahatannya, kamu telah menggantung dia hingga
136 mati, itu sudah cukup! Tapi, apakah sangkutannya dia dengan
isteri dan anaknya" Siapa yang tak suka orang lain melakukan
sesuatu terhadapnya, janganlah berbuat demikian terhadap
lain orang! Hm! Apa sekarang perbuatanmu terhadap anak
isteri orang" Apakah kamu anggap setiap wanita pantas
diperhina?" Sekarang Goan Tionglah yang bungkam.
Giok Lo Sat lihat sikap orang itu, ia pun berlaku tenang.
"Perbuatan kamu itu tidak pantas, maka tidaklah ada
artinya yang kau merasai satu tangan!" kata dia pula.
"Muridmu hendak menghina adikku Peng Teng, sepantasnya
kejahatannya tak dapat diberi ampun, akan tetapi mengingat
kebinasaan yang menyedihkan dari isterinya itu, hingga ia jadi
gusar melewati batas, sekarang sukalah aku memberi ampun
padanya!" Habis berkata begitu, si nona berpaling kepada si piauwsoe
yang telah ditotok jalan darahnya, hingga dia terus merasakan
siksaan, dia masih bergerak-gerak di lantai sambil
perdengarkan rintihan. Tidak ada lain orang yang dapat
menolongi piauwsoe itu. Maka itu dengan tiba-tiba ia lompat
pada korbannya itu, lalu menjejak pinggangnya.
Hok Goan Tiong terkejut. "Kau hendak bikin apa?"
tegurnya. Dia tidak dapat mencegah lagi, maka dia
menyabet dengan ruyungnya.
Giok Lo Sat sudah menjejak, terus ia berkelit dari serangan
itu. "Inilah dia, anjing menggigit Lu Tong Pin!" katanya sambil
tertawa. Ia tidak gusar walaupun orang menyerang padanya.
"Kau tak tahu maksud baik orang! Mana muridmu terluka
parah" Kau lihat! Bukankah sekarang dia telah sembuh?"
Memang, selelah dijejak, jalan pula darahnya si piauwsoe,
hingga lenyap semua rasa sakitnya, karenanya ia dapat
lompat bangun tanpa kurang suatu apa, ia dapat berdiri
seperti biasa. "Masih ada lagi satu muridmu!" kata pula Giok Lo Sat,
sambil menunjuk. "Dia telah perhina anak isteri orang,
perbuatannya itu sangat tidak pantas, maka terhadapnya
hendak aku memberi satu tanda mata!"
137 Kata-kata ini ditutup dengan satu sentilan jari tangan, dan
melesatlah senjata rahasianya si nona, yaitu sebatang
Tengheng tjiam, jarum "Menentukan roman".
Muridnya Hok Goan Tiong yang ditunjuk itu adalah orang
yang tadi menerima hajarannya Hoei Liong, hingga dua
batang tulang rusuknya patah, karena sakitnya, dan sambil
beristirahat, ia menyender di pohon. Ia tidak menyangka akan
diserang si nona, ia baru terkejut ketika ia lihat dua sinar
menyambar ke arahnya. Ia tidak dapat berbuat sesuatu, baru
matanya kesilauan atau rasa sakit menyerang kedua buah
kupingnya. Karena kedua jarum itu telah menusuk kupingnya!
"Ha-ha-ha-ha." tertawa si nona.
yang merasa puas. Lalu ia kata pada ayahnya: "Ayah, aku
telah mewakilkan kau memberikan hukuman, sekarang apa
yang kau hendak katakan pula?"
Hoei Liong tidak menjawab anaknya, ia hanya berkata pada
Hok Goan Tiong: "Hok Loodjie, Anghoa Koeibo telah menutup
mata, sakit hati muridmu juga telah dibalaskan, apa yang kau
nantikan lagi! Perangai anak angkatku ini lebih keras lagi
daripada perangaiku, maka jika kau masih banyak mulut, nanti
kau merasakan yang terlebih hebat pula!"
Goan Tiong telah menyaksikan keliehayannya si nona, di
dalam hatinya ia berpikir: "Tiat Hoei Liong sudah sukar
dilawan, apalagi bila dia dibantu si hantu wanita..." Ia jadi
sangat tidak puas tetapi ia pun jeri. Terpaksa ia angkat kedua
tangannya, sambil dirangkapkan.
"Baik, Loo Tiat!" berkata dia. "Keliru mengerti hari ini antara
kita telah dibikin habis. Nah, sampai bertemu pula di kemudian
hari..." Lantas dengan mengajak kedua muridnya, ia angkat kaki.
Tie Sian Sianjin bersama Tjoat Toodjin tanpa bilang suatu
apa, turut sahabatnya itu.
Hoei Liong awasi orang berlalu, ia menghela napas lega.
Dari dalam kamar terdengar suara Bok Kioe Nio, suaranya
perlahan dan terputus-putus, ia seperti memanggil orang.
"Ayah, aku lihat dia tak dapat ditolong pula," kata Giok Lo
Sat dengan perlahan, "marilah kita tengok dia..."
138 Hoei Liong tidak menjawab, tetapi ia ikut anaknya
memasuki kamar. Bok Kioe Nio rebah dengan mukanya pucat sekali. Ia lihat
Giok Lo Sat serta bekas suaminya itu.
"Laotia, aku hendak mohon sesuatu kepadamu..." katanya
lemah. "Katakanlah." jawab Hoei Liong.
"Ingin aku serahkan anakku ini kepada kau untuk dijadikan
cucumu," berkata bekas isteri muda itu. "Aku mohon sukalah
kau menerimanya dengan baik. Pesanku adalah, kalau nanti
dia telah berusia dewasa dan menikah, anaknya yang pertama
mesti diberi she Tiat, supaya dia bisa mewariskan
keturunanmu. Anaknya yang kedua barulah diberi she
Kongsoen, supaya ibu mertuaku peroleh suatu turunan untuk
keluarga Kongsoen. Kalau nanti dia dapat anak yang ketiga
maka anak itu barulah boleh diberi she Kim..."
Permohonan Kioe Nio ada luar biasa, ia adalah bekas isteri
muda dari Hoei Liong tetapi ia minta supaya anaknya dijadikan
cucunya. Inilah disebabkan karena anak itu didapat dari
Kongsoen Loei, jadi tidak bisa anak itu langsung diberi she
Tiat. Tetapi juga Hoei Liong, dalam keadaan seperti itu, tidak
dapat berpikir terlalu dalam.
Dalam sekejab itu, jago tua ini ingat kepada isterinya yang
telah meninggal dunia, karena itu, supaya San Ho ada yang
merawat, ia telah mengambil anaknya tukang jual silat ini
sebagai isteri muda. Ketika itu, ia tidak ingat lagi akan
perbedaan usia antara ia dan Kioe Nio. Ia pun mengharap ada
wanita yang menemani padanya, hingga ia juga tak pedulikan
sifat atau perangai mereka berdua, cocok atau tidak. Sudah
begitu, meski ia nikah Kioe Nio, walaupun isterinya telah
menutup mata. ia tidak mau akui Kioe Nio sebagai isteri sah.
ia pandang Kioe Nio tetap sebagai isteri muda. Tentu saja. hal
ini merendahkan derajatnya Kioe Nio.
"Sebenarnya dia tak setuju menjadi isteri mudaku,"
demikian ia ingat, "dan selama belasan tahun ia hidup
bersamaku, belum pernah dia merasakan kesenangan yang
berarti, tidak heran kalau dia memikir untuk bercerai dari aku...
Hanya sayang, dia telah keliru memilih orang, hingga
139 sekarang ia memperoleh akibat yang hebat ini. Memang dia
telah dibikin celaka oleh Kongsoen Loei. akan tetapi kalau
dipikir, mulanya yang salah bukanlah aku... ?"
Kioe Nio mengawasi denggan matanya yang guram kepada
bekas suami tua itu, ia seperti tak mempunyai harapan tetapi
ia masih menantikannya. "Laotia, apakah kau masih membenci aku?" dia tegaskan.
"Tidak!" sahut Hoei Liong lekas. "Aku juga hendak mohon
supaya kau jangan membenci aku."
"Aku tidak membenci kau. Sukalah kau terima anakku ini?"
tanyanya. "Akan aku pandang dia sebagai cucuku," jawab Hoei Liong.
Kioe Nio merasa sangat puas, ia lantas meramkan kedua
matanya. "Dia telah pergi..." kata Giok Lo Sat.
Hoei Liong berdiam, air matanya mengalir turun.
"Ayah, aku juga hendak bicara!" mendadak Peng Teng
berkata. Sejak tadi dia diam saja mengawasi pemandangan
yang mengharukan itu. "Ah, kau juga memanggil sama seperti aku?" Giok Lo Sat
tanya. "Sabar dulu! Kau berikan ketika untuk aku mendugaduga
maksudmu... Kau memikir untuk mengangkat ayah
kepada ayah angkatku ini?"
"Keponakanku ini adalah cucunya Iootjianpwee. coba kau
pikir, apakah tidak pantas jikalau aku panggil ia ayah?" tanya
Nona Kek. Hoei Liong lantas tertawa berkakakan.
"Aku kematian satu anakku, sekarang aku mendapat
tambahan sampai dua!" katanya gembira. "Dan aku pun lantas
peroleh cucu! Aku tidak sangka di saat setua ini,
penghidupanku berubah menjadi begini rupa!..." Peng Teng
tahu, itulah tanda terkabulnya permintaannya, maka ia lantas
jatuhkan diri, akan beri hormat sambil manggut-manggut
kepada ayah angkat itu. Dengan girang, Hoei Liong mengangkat bangun.
"Cukup!" kata ayah angkat ini. "Marilah kita kubur soeko
dan ensomu itu..." 140 Dan bertiga mereka lantas bekerja, mengggali lubang di
bawah pohon hoay yang hendak dijadikan tempat pekuburan
bagi Kongsoen Loei dan Bok Kioe Nio.
Selagi ia menggali tanah, mendadak Giok Lo Sat
merandak. "Ada orang!" katanya. "Apakah benar?" tanya Peng
Teng heran. Ia tidak dengar suara apa-apa, pun tidak lihat
siapa juga. Si Raksasi Kumala tertawa. "Telah banyak tahun
aku menjadi bandit, yang lainnya tidak aku pelajarkan, kecuali
ilmu mendekam dan memasang kuping di tanah!" katanya.
"Dalam ilmu kepandaian ini. belum pernah aku gagal-seratus
tidak satu!" "Berapa orang yang datang?" tanya Hoei Liong.
Si nona memasang kuping pula.
"Empat orang, semuanya menunggang kuda," ia jawab.
"Tentulah mereka orang-orang suruhannya ibuku untuk
memanggil aku pulang," kata Peng Teng.
"Jangan kau kuatir, adikku." Giok Lo Sat menghibur.
"Biarlah aku yang mewakilkan kau berurusan dengan mereka
itu." "Tetapi ingat, jangan kau binasakan mereka..."
Giok Lo Sat tertawa. "Aku tahu." sahutnya. "Apakah kau juga menyangka aku
sebagai hantu wanita yang tak segan-segan membunuh
orang" Bila di antara mereka tidak ada yang berkongkol
dengan bangsa asing untuk menjual negara, dapat aku
memberi mereka keampunan dari kematian!"
Tidak lama antaranya terdengarlah kaki-kaki kuda sudah
sampai di muka pintu. Maka Hoei Liong dan Giok Lo Sat
lantas masuk ke kamarnya Kioe Nio tadi.
Segera juga terdengar pintu diketok.
"Kiongtjoe, kiongtjoe! silakan buka pintu!" Demikian suara
memanggil. Memang di dalam keraton, Peng Teng dipanggil "kiongtjoe"
karena kedudukannya mirip dengan kedudukan "kongtjoe"-
puteri. Peng Teng pergi keluar, untuk membukakan pintu. Benar
saja, yang datang ada empat orang, ke empat-empatnya
141 pengawal pribadi dari ibunya, yang di kepalai oleh Oey Pioe,
tjongkoan atau kuasa dari Lengnio hoe.
"Mau apa kamu datang kemari?" tanya "puteri" ini.
"Kami menerima titah dari Hong Seng Hoedjin untuk
mengundang kiongtjoe pulang," sahut Oey Pioe.
Peng Teng tertawa dingin, ia menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak hendak pulang!" katanya pasti.
Tjongkoan itu menjura. "Hong Seng Hoedjin senantiasa


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memikirkan kiongtjoe hingga ia tak napsu dahar," berkata dia.
"maka itu jikalau kiongtjoe tidak pulang, dikuatirkan ia menjadi
sakit karenanya." Peng Teng terharu. "Kamu datang dari tempat jauh baik
kamu beristirahat dulu," katanya. "Coba kau tuturkan padaku
segala apa yang terjadi di keraton selama belakangan ini."
Nona ini memang ingin ketahui hal ikhwal di istana terutama
mengenai ibunya. Lega juga hatinya Oey Pioe. Ia menyangka si nona tidak
lupa pada penghidupan mewah di dalam keraton maka
sikapnya dengan lekas menjadi lunak, la lantas ambil tempat
duduk. Ia pun tetawa. "Kiongtjoe memang seorang yang cerdas," kata dia,
mengangkat-angkat. "Di kolong langit ini, tidak ada anak yang
tidak menyayangi orang tua. Maka itu, paling baik untuk
kiongtjoe kembali." Hatinya Peng Teng tergerak juga. Memang, orang mesti
ingat orang tua. "Selama ini pengaruhnya Goei Kongkong jadi semakin
besar saja," berkata Oey Pioe pula. "Beberapa tokboe dari
beberapa propinsi telah memintanya dia mengangkat mereka
itu sebagai anak-anak pungut, untuk itu mereka menghaturkan
bingkisan-bingkisan berharga. Meski demikian, nampaknya
kongkong tak begitu suka menerima permohonan tokboe itu...
Sekarang ini baik di dalam keraton maupun di istana, semua
orang memanggil Kioetjianswee kepada Goei Kongkong. Goei
Kongkong juga memikirkan kiongtjoe, karenanya ia memesan
supaya kiongtioe diundang pulang."
Coba Oey Pioe tidak menyebut-nyebut Goei Tiong Hian,
mungkin hatinya Peng Teng jadi semakin ketarik, tetapi ia
142 telah menyebut si orang kebiri, si penghianat bangsa, nona ini
menjadi jemu. "Kalau aku pulang ke istana dan melihat cara hidupnya
ibuku dan dorna itu, hm, lebih baik aku mati di sini!" pikirnya.
Oey Pioe lihat orang tidak menjawab ia, hanya mukanya
berubah menjadi merah. Ia tampak nona itu sedang berduka
atau tengah bergusar. Maka ia niat menghiburnya.
Dengan tiba-tiba Peng Teng berbangkit, tangannya
digerakkan, mengibas tangan bajunya.
"Tolong kamu sampaikan kepada ibuku supaya ibu baikbaik
merawat dirinya," ia kata. "Sudah pasti tidak ingin aku
pulang!" Oey Pioe bingung, ia lompat bangun.
"Kiongtjoe, kiongtjoe!" katanya. "Bagaimana... bagaimana
dapat aku memberi kabar kepada Hong Seng Hoedjin dan
Goei Kongkong?" Ketiga pengawal lainnya pun segera bangun, mereka
berdiri demikian rupa hingga Peng Teng seperti terkurung.
Sebelum si nona bertindak apa-apa, dari dalam kamar
terdengar suara tertawa dingin, disusul dengan keluarnya Giok
Lo Sat bersama Tiat Hoei Liong.
"Apakah kamu hendak menculik orang?" tanya si Raksasi
Kumala sambil tertawa mengejek. "Kamu lihat, kakek
moyangnya si bandit ada di sini! Bukalah matamu lebih lebar!
Untuk menculik, kamu lebih dahulu mesti minta izinku!" Ke
empat pengawal itu terperanjat. Kedua orang ini pernah
mengacau istana, semua pengawal atau pahlawan
mengetahuinya, mereka menjadi heran melihat orang tahutahu
ada di rumah Peng Teng. "Anak Siang, jangan kau membikin mereka kaget," kata
Hoei Liong dengan sabar. "Tuan-tuan, kamu telah datang dari
tempat jauh, silakan duduk dulu, silakan! Kamu tahu, Peng
Teng ini adalah anak pungutku, sekarang kamu undang dia,
apakah kamu tidak mengundang aku?" ia tertawa. "Anakku ini
diundang pulang ke istana, untuk dijadikan puteri, itulah
bagus, hanya tolong kau katakan, kalau anakku pergi, kepada
siapakah aku mesti senderkan diri" Maka itu jikalau kamu
hendak mengundang, undanglah aku sekalian!"
143 Si Raksasi Kumala tertawa. "Benar!" dia turut bicara. "Peng
Teng adalah adik angkatku, aku dengan dia ada bagaikan
saudara kandung saja, tak tega aku berpisah daripadanya,
maka jikalau kamu hendak mengundang, kamu harus
mengundang aku juga, sebab aku ingin pergi bersama ia!
Taman raja indah sekali, gembira untuk pelesiran di sana.
Dulu kamu tidak mengundang aku, tetapi aku datang juga ke
sana, maka sekarang, apabila kamu mengundangnya dan
adik Peng Teng tidak pergi, akan aku pergi juga!"
Oey Pioe kaget. Sama sekali ia tidak pernah menyangka
Peng Teng telah akui kedua orang itu sebagai ayah dan entjie
angkat. Ia berdiam, parasnya pucat dan biru. Sampai sekian
lama, baru ia dapat bicara.
"Jikalau djiwie hendak turut bersama, tunggu saja nanti aku
melaporkan dulu kepada Goei Kongkong, supaya kongkong
undang kamu..." katanya.
Si Raksasi Kumala tertawa pula., "Siapa sudi pedulikan
Goei Kongkong kamu itu!" katanya.
"Kami adalah rombongan yang pertama," Oey Pioe
terangkan. "Menyusul kami ada satu rombongan lain, yang
akan menyambut kiongtjoe dengan resmi. Mereka itu adalah
orang-orang yang pernah bertempur dengan djiewie,
karenanya aku anggap tidaklah leluasa untuk djiewie menemui
mereka. Adalah terlebih baik kami saja yang nanti
memberikan penjelasan."
Oey Pioe sangat berkuatir, ia takut Hoei Liong dan Giok Lo
Sat lantas turun tangan, maka itu sengaja ia menyebut hal
rombongan yang kedua itu, guna meredakan suasana.
Giok Lo Sat tertawa pula, dengan dingin.
Oey Pioe awasi si nona, meski begitu, ia kecolongan juga.
Tanpa merasa, tongkatnya, tongkat Liongheng pang, telah
disambar si nona, yang tangannya sangat sebat.
"Apakah kamu hendak pakai nama Goei Tiong Hoan untuk
gertak kami?" tanya si nona secara mengejek. "Hm! Aku tidak
takut!" Mukanya Oey Pioe menjadi pucat seperti tak ada darahnya.
"Anak Siang, mari serahkan tongkat guna mengemplang
anjing itu padaku!" Hoei Liong minta.
144 "Inilah bukan tongkat untuk mengemplang anjing!" kata
Giok Lo Sat sambil tertawa. "Inilah gegamannya tuan
pahlawan istana yang terhormat dan biasanya, dipakai
menghajar manusia!" Tetapi Hoei Liong menyodorkan tangannya, akan
mengambil tongkat itu, yang diangsurkan anak angkat itu, dan
begitu lekas dia memegang dengan kedua tangannya, tongkat
itu patah dengan segera! "Aku sangat benci terhadap anjing-anjing busuk dari kaum
bangsawan!" katanya dengan sengit. "Karena tongkat besi ini
bukan untuk mengemplang anjing, apa perlunya untuk
disimpan?" Dan ia lemparkan kedua potong tongkat itu ke lantai.
"Sekarang pergilah kamu!" titah Peng Teng kepada Oey
Pioe berempat. "Tak sudi aku pulang ke istana!"
"Apakah kamu tidak hendak lantas pergi?" Giok Lo Sat
tegaskan, melihat orang beragu-ragu. "Apa kamu hendak
tunggu kami ayah dan anak mengantarkan kamu?"
Oey Pioe tidak berani banyak omong pula, tak berani ia
ayal-ayalan lebih jauh, setelah memberi hormat pada Kek
Peng Teng, ia ajak tiga kawannya berlalu dengan cepat. Ia
insaf, kata-kata lunak dari si Raksasi Kumala adalah ancaman
untuk mereka. Giok Lo Sat dan Hoei Liong saling mengawasi, keduanya
tertawa berkakakan. "Aku kuatir mereka datang menggerecok pula," kata Peng
Teng. "Tak dapat kita berdiam lebih lama pula di sini."
"Baik," sahut Hoei Liong. "Nah, marilah kita pergi segera!"
Jago tua ini bertindak ke dalam kamar, untuk
menggendong bayinya Kioe Nio, yang wajahnya mirip dengan
wajah sang ibu. Anehnya, dalam gendongannya sang
engkong, bayi itu anteng sekali, ia tidak nangis.
Tiga orang itu sudah lantas meninggalkan rumahnya
Anghoa Koeibo, keesokan harinya tibalah mereka di
Sianghoan. Di sini mereka singgah satu malam, kemudian
mereka lanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Dua
hari sudah mereka berada dalam perjalanan, sekarang
145 mereka menghadapi jalan pegunungan, di kiri dan kanan
mereka terdapat puncak-puncak gunung.
"Itulah Boetong san!" kata Tiat Hoei Liong. "Anak Siang,
bukankah ayahmu tak ingin membawa kau ke tempat yang
keliru?" Giok Lo Sat sudah tahu maksud ayah angkat itu membawa
ia ke Boetong san, akan tetapi, melihat gunung itu dan
mendengar perkataan sang ayah, hatinya memukul juga. la
mengawasi gunung itu, lalu dia berkata:
"Ayah, tidak mau aku mendustai kau. Dengan sebenarnya
aku ingin melihat orang itu..."
"Turut katanya Lo Tiat Pie, dia pun memikirkan sangat
kepadamu," berkata ayah angkat itu. "Aku juga mengharap
kau nanti dapat mencapai maksud hatimu yang telah lama
terkandung itu... Walaupun tak sudi aku melihat beberapa
imam tua itu dari Boetong san, tetapi jikalau kau menghendaki
aku turut bersama, baiklah, aku suka turut, tidak apa aku nanti
tempur pula mereka itu..."
"Bukan maksudku untuk tempur pula imam-imam itu," kata
Giok Lo Sat, "aku hanya ingin melihat To It Hang saja, untuk
menanyakan kepadanya, apa sudah pasti dia hendak menjadi
kepala dari Boetong pay atau ia masih ingin pergi bersamasama
kita. Jikalau dia ingin turut pergi bersama kita, siapa
juga tak dapat menghalang-halangi dia. Bukankah orangorangnya
Goei Tiong Hian tidak dapat mengundang adik Peng
Teng pulang ke istana" Aku percaya, mereka tentu tidak
akan menyelesaikan begitu saja. Kita tidak usah jeri terhadap
mereka, akan tetapi andaikata di sepanjang jalan mereka
gerecoki kita, itulah hal yang tidak diinginkan. Ayah pun
sedang membawa-bawa bayi. Maka, ayah, baiklah bersama
adik Peng Teng, kau berangkat pulang lebih dulu ke Shoasay.
Di Barat utara, pengaruh tentara merdeka ada besar,
sesampainya di sana, pasti ayah dapat tinggal dengan senang
dan tenteram." "Jikalau begitu, baiklah, akan kita berangkat lebih dulu,"
kata sang ayah. "Hanya, kau harus berhati-hati. Beberapa
imam tua itu kukuh terhadap pendapat mereka, aku kuatir
mereka tidak sudi membiarkan dia pergi!"
146 "Aku tahu," kata sang anak. "Umpama kata pertempuran
mesti dilakukan, aku tidak takut terhadap mereka itu!"
"Hanya aku kuatir hati It Hang berubah pula..." kata Hoei
Liong di dalam hati. "Untuk memperoleh kepastian, anak ini
mesti dibiarkan mendaki gunung, jikalau tidak ia akan selalu
berduka!" "Besok, pagi-pagi aku akan mendaki Boetong san," kata si
nona melihat ayahnya diam saja. "Aku akan pakai caranya
kaum Rimba Persilatan untuk menemui ketua mereka." Ia
tertawa seorang diri, lalu ia menambahkan: "Begitu lekas To It
Hang menyerahkan tanggung jawabnya sebagai ketua, kami
akan segera berangkat pulang ke Shoasay..."
Selama beberapa bulan itu, siang dan malam, Giok Lo Sat
senantiasa pikirkan It Hang, di hatinya, terus ia membaca syair
It Hang yang di kirimkan kepadanya. Ia menduga, kali ini tidak
nanti It Hang mensia-siakan padanya. Maka juga, ia merasa
sangat pasti, ia percaya It Hang akan pergi bersama ia. Hoei
Liong tertawa. "Semoga saja terkabul maksudmu!" ia
memuji. Malam itu mereka mondok di dusun di kaki gunung
Boetong san, begitu lekas waktu menunjukan jam empat,
diam-diam Giok Lo Sat berbangkit, guna merapikan
pakaiannya, setelah mana, ia ambil selamat berpisah dari
ayahnya dan Peng Teng, seorang diri ia meninggalkan tempat
pemondokan untuk mendaki gunung. Di belakangnya ia
menggendol pedangnya. Hoei Liong mengawasi sampai tubuh anak angkat itu
lenyap di tempat yang gelap, baru ia undurkan diri sambil
menghela napas. "Mudah-mudahan dia pergi dan berhasil dengan anganangannya,"
ia memuji pula, "jangan seperti San Ho yang
malang nasibnya..." V Hari itu adalah peringatan tahun ke lima dari wafatnya Tjie
Yang Tiangloo sebagai ketua dari Boetong pay, maka di
atas gunung, orang telah repot bersedia-sedia. Sejak wafatnya
147 ketua itu, Boetong pay nampak turun pamornya, maka itu Oey
Yap Toodjin mengandal sangat kepada It Hang sebagai ketua
yang baru. Karenanya, dengan segala upaya ia telah
menyambut It Hang pulang ke gunung, Sebaliknya It Hang
sendiri, selama satu tahun lebih, telah lenyap
kegembiraannya, tawar hatinya, hingga ia nampaknya
seperti si tolol. Ia bersusah hati melihat tingkah lakunya
beberapa paman guru itu, yang selalu hendak berkuasa atas
dirinya, hingga ia pun tidak memperhatikan partainya itu.
Akhirnya, ia serahkan segala apa kepada semua paman guru
itu. Dari itu, namanya saja ia menjadi ketua, kenyataannya
Oey Yap yang mewakilkan ia bertanggung jawab.
Empat tiangloo dari Boetong pay serta empat murid kepala
mereka (yaitu murid-murid kepala dari empat tiangloo itu),
semua hatinya masgul melihat sikapnya It Hang itu.
Demikian, pada suatu hari ketika Oey Yap Toodjin pergi
keluar dari kuil, untuk pergi memeriksa kuburan Tjie Yang
Tootiang, di sana ia dapatkan Pek Sek Toodjin sedang duduk
seorang diri di depan kuburan sambil menarik napas perlahanlahan.
"Ah, soetee, kau pun datang kemari?" tegur soeheng itu.
"Berhubung dengan hari peringatan ke lima dari
toasoeheng, satu malam tak dapat aku tidur benar," Pek Sek
menjawab kakak seperguruannya. (Toasoehengkakak
seperguruan yang tertua). "Karena itu, aku datang
kemari. Aku ingat selama toasoeheng masih ada, partai kita
makmur sekali, kita jaya dan berpengaruh hingga di dalam


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalangan kangouw, tidak ada yang tidak menghormatinya.
Siapa nyana, sekarang keadaan menjadi berubah, sampaipun
Giok Lo Sat, itu siluman perempuan, berani menghina kita...
Kalau toasoeheng, yang berada di dunia baka ketahui ini,
pasti dia sangat berduka..." Oey Yap menghela napas. "Masih
ada satu urusan kecil yang Giok Lo Sat menyatrukan partai
kita," berkata dia. "Yang paling menyedihkan adalah
Boetong pay tidak mempunyai pengganti ketua yang
diharap..." Pek Sek menghela napas pula.
148 Benar katanya soeheng ini. Mereka berduka untuk
sikapnya It Hang. Pek Sek gunakan ujung tangan bajunya mengebuti batu
nisan. "Toasoeheng sangat mengharapkan It Hang, aku tidak sangka sekarang It Hang
jadi seperti runtuh..." katanya. "Sama sekali It Hang tidak
bersifat sebagai tjiangboendjin kami..."
Imam ini tidak tahu bahwa sikap kukuh dan keras dari
mereka adalah yang menyebabkan It Hang, itu ketua atau ahli
waris dari partai mereka, menjadi runtuh semangatnya.
"Dahulu It Hang rapat sekali pergaulannya dengan kau,
soetee," tanya Oey Yap. "Apakah pernah ia bicara, dari hati ke
hati kepadamu?" Pek Sek menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sejak kembali dari Benggoat kiap, ia malah selalu
menyingkir dari aku untuk bicara seperti dulu-dulu," jawabnya.
"Bukankah dia telah gilai itu wanita siluman?" tanya Oey
Yap. "Menurut penglihatanku, itulah gara-garanya," sahut Pek
Sek. "Hm, perempuan siluman itu sangat tidak tahu diri! Dia
memikir untuk menikah dengan ketua kita! Kita toh ada partai
yang lurus" Jangan dia harap!"
"Meski begitu, It Hang tetap tidak bisa melupai dia, hingga It
Hang tidak ingin menjadi ketua kita, bukankah itu ada hal yang
tidak baik untuk kita?"
"Jikalau dia tetap dengan sikapnya ini," kata Pek Sek.
"dengan menggunakan hari peringatan toasoeheng ini, apa
tidak baik kita himpunkan semua anggauta kita untuk dengan
permufakatan kita pecat saja It Hang sebagai ketua" Habis itu
kita segera usahakan supaya ia dapatkan jodohnya, supaya
kegembiraannya kembali seperti biasa, kemudian barulah kita
angkat pula padanya. Kita toh dapat mencarikan jodoh yang
setimpal untuknya?" "Dia diangkat menjadi ketua atas petunjuknya toasoeheng,
tidak baik jikalau kita pecat dia, walaupun kita mengandung
maksud baik terhadapnya," Oey Yap menyatakan pikirannya.
149 "Tetapi partai kita sedang menurun pamornya, maka kita
harus perbaiki diri," Pek Sek mendesak.
Oey Yap berdiam, hatinya bekerja.
"Di luar terlihat It Hang lenyap kegembiraannya," katanya
kemudian, "akan tetapi di dalam, sebagaimana yang aku
saksikan, ia peroleh kemajuan. Aku maksudkan ilmu silatnya.
Apakah kau tidak tampak itu, soetee?"
Pek Sek Toodjin menggelengkan kepala.
"Aku tidak perhatikan dia sampai di situ," sahut soetee ini.
Memang, sejak gadisnya menikah dengan Lie Sin Sie,
terhadap It Hang, Pek Sek jengah sendirinya, hingga ia tidak
memperhatikannya seperti sediakala, dengan sendirinya, ia
pun tidak tahu suatu apa mengenai ilmu silatnya ketua muda
itu. "Aku lihat sinar matanya yang beda dan tindakan kakinya
yang mantap," Oey Yap beritahu. "Sekarang ia berlainan
daripada dahulu. Setahu kenapa, dia telah peroleh kemajuan
demikian rupa. Maka soal memecat dia baiklah ditunda
dahulu. Di tingkat kedua dalam kalangan kita tidak terdapat
orang yang cocok untuk menggantikan dia..."
Selagi bicara, Oey Yap memandang ke bawah gunung.
"Ah!" serunya, tanpa disengaja. "Lihat di sana!"
Soeheng itu menunjuk, maka Pek Sek memandang ke arah
yang ditunjuk itu. Ia tampak suatu bayangan putih seperti
orang berlari-lari mendatangi dengan cepat sekSuT
"Siapa dia itu?" tanya adik seperguruan ini.
Bayangan putih itu datang semakin dekat tapi dia masih
belum tampak tegas. Itulah disebabkan larinya yang sangat
cepat. Adalah sesaat kemudian mendadak Pek Sek lompat
bangun, untuk hunus pedangnya, dan segera lari ke arah
bayangan itu, yang masih terus lari mendatangi. Hingga, di
lain saat keduanya telah datang dekat satu sama lain.
Menyusul itu pun terdengar tertawa nyaring dan empuk dari
bayangan putih itu. "Pek Sek Toodjin, aku datang bukan untuk cari kau, maka
itu tidak berani aku mengharap untuk kau menyambut aku?"
begitu suara orang itu menyusuli tertawanya.
Pek Sek Toodjin menjadi terkejut berbareng mendongkol.
150 "Giok Lo Sat, kau berani mendaki gunung dengan
membawa pedang?" dia menegur dengan bengis, seraya
menggerakan pedangnya dengan cepat sekali ke arah
tetamunya yang tidak diundang itu. Itulah gerakan "Tiangtjoa
tjoettong" -- "Ular panjang keluar dari liangnya".
Giok Lo Sat mencelat ke samping.
"Hari ini aku datang bukan untuk bertempur!" kata si nona.
"Kau hendak membagi jalan atau tidak padaku?"
Pek Sek kertak gigi, ia ulangi tikamannya, malah terus
sampai dua kali. karena si nona kembali berkelit. Ia
menyerang dengan "Lianhoan Toatbeng kiam", -
"Beruntun merampas jiwa", maka itu, serangannya jadi
saling susul, yang satu digantikan yang lain, semuanya dalam
cara yang membahayakan pihak lawan. Giok Lo Sat menjadi
gusar. Ia berkelit tak hentinya.
"Apakah benar kau tidak mau mundur atau maju?" Ia
membentak. Kali ini ia mundur untuk segera hunus
pedangnya, yang ia terus putar, seperti hendak mengurung
kepalanya imam itu, dan akhirnya ia berikan tusukannya yang
dahsyat. "Trang!" demikian suara pedang beradu, hingga pedang
nona ini terpental. Segera ia tampak Oey Yap Toodjin, yang datang memisah.
Tenaga dalam dari Oey Yap ada di atas semua adik
seperguruannya, akan tetapi dia tidak berhasil secara
memuaskan ketika pedangnya bentrok dengan pedang si
nona, karena pedangnya sendiri turut mental juga, hingga
hatinya menjadi gentar sendirinya.
"Oey Yap Toodjin!" bentak Giok Lo Sat, "kau ada ketua dari
semua tiangloo dari Boetong pay, apakah kau juga
mempunyai pandangan yang sama seperti Pek Sek Toodjin?"
"Kau letakkan dulu pedangmu," sahut Oey Yap. "Boetong
san, kita melarang orang mendaki dengan membawa pedang."
"Ngaco!" bentak pula si nona. "Orang-orang sebangsa
kamu berani membawa tingkah polah?"
Dengan tiba-tiba nona ini menyerang dengan pedangnya.
151 Oey Yap Toodjin tutup tubuhnya, untuk menghalau pedang
nona itu, tetapi gerakannya Giok Lo Sat aneh, kelihatannya
dia bergerak dari atas ke bawah atau menyerang dada, tetapi
tahu-tahu, ujung pedangnya menyambar ke lutut!
Oey Yap Toodjin terkejut, ia enjot tubuhnya, akan berkelit
mencelat, pedangnya dipakai membabat.
Berbareng dengan itu, Pek Sek Toodjin pun maju
menyerang dari samping. Secara begitu barulah penuh serangannya si nona.
"Benar-benar liehay ilmu pedangnya perempuan siluman
ini!" pikir Oey Yap. "Pantas dia menjadi begini bertingkah!"
Ia lantas kumpulkan tenaga dalamnya, setiap serangan
yang datang, dibuatnya seperti tertolak hebat.
"Bagus!" seru Giok Lo Sat, apabila ia telah mencoba
berulangkah. "Di dalam Boetong pay, kaulah ahlinya yang
nomor satu, kau jauh terlebih kuat daripada beberapa adik
seperguruanmu!" Oey Yap tidak gubris pujian itu, karena mendadak
pedangnya jadi sangat enteng, ia seperti telah menikam
tempat kosong. Karena entengnya bagaikan sehelai kertas,
tubuhnya si nona melayang menyingkir dari arah pedangnya
itu. "Mau apa kau datang kemari?" tanya imam ini. Dengan
tenaga dalamnya itu ia tidak bisa berbuat suatu apa, sebab si
nona tidak hendak melayaninya dengan kekerasan.
Dengan enteng sekali Giok Lo Sat lompat ke samping,
sambil tertawa. "Ah, sekarang kau tentu tidak menginginkan aku
melemparkan pedangku?" kata ia separuh mengejek. "Hari ini
aku datang untuk mengunjungi ketua kamu kaum Boetong
pay! Kamu tahu aturan kaum Rimba Persilatan atau tidak?"
Adalah aturan dalam kalangan Rimba Persilatan, kalau
seorang berkunjung kepada ketua dari suatu partai, tidak
peduli pengunjung itu sahabat atau musuh, dia harus diantar
menemui ketua yang dikunjungi itu, sesudah pertemuan itu
barulah mereka dapat bicara.
Tapi kali ini adalah lain. Oey Yap dan Pek Sek adalah
paman-paman guru dari To It Hang, mereka kenal si Raksasi
152 Kumala sebagai musuh partai mereka, mereka sendiri merasa
partainya terlalu agung, maka itu menghadapi si nona, tak
suka mereka pakai aturan kaum Rimba Persilatan itu.
"Kau perempuan siluman, kau ingin bertemu dengan ketua
kami?" teriak Pek Sek.
"Kami kaum Boetong pay, biasanya kami tidak bergaul
dengan kaum sesat!" Oey Yap pun membentak. "Lekas kau
pergi dari gunung ini, aku suka memberi ampun kepada
selembar jiwamu!" Giok Lo Sat menjadi murka. "Hm!" dia
balas menghina. "Belum lagi aku membuat perhitungan
dengan kamu, kenapa kamu sudah ngaco belo begini?"
Kata-kata ini ditutup dengan serangan, yang membuat
kedua saudara seperguruan menjadi bingung. Serangan itu
seperti ditujukan kepada Pek Sek tetapi juga seperti kepada
Oey Yap. "Soeheng, hari ini tak dapat siluman perempuan int
dibiarkan lolos!" seru Pek Sek karena sengitnya.
Oey Yap tidak menyahuti soetee itu, sebaliknya, ia
perdengarkan siulannya. Itulah tanda memanggil saudarasaudara
seperguruannya. Setelah itu, sambil memutar
pedangnya, ia maju, agaknya ia hendak kurung si nona.
Giok Lo Sat mencoba menangkis imam ini, sampai
beberapa kali, atas mana, kembali imam itu perdengarkan
siulannya. "Aku tidak takut terhadap kedua imam tua berhidung
kerbau ini, akan tetapi kalau aku membiarkan diriku dikurung,
itulah tidak bagus," berpikir si Raksasi Kumala. "Kalau It Hang
datang kemari, apakah dia tidak akan mendapat malu"..."
Justeru itu, Oey Yap mendesak dengan serangannya yang
hebat. Giok Lo Sat tampak datangnya pedang, dari atas ke
bawah, ia menduga kepada satu tenaga yang besar. Ia tidak
mau menangkis serangan itu, tapi ia berkelit sambil
mendekam. Sama sekali ia tidak mundur, sebaliknya, ia geser
sebelah kakinya untuk mendesak maju, menyusul mana, ia
balas menyerang, terhadap Pek Sek Toodjin, yang pun
mencoba mendesak padanya.
153 Imam itu terkejut, ia egoskan tubuhnya ke samping.
Si nona berseru keras ketika imam itu mengelakan diri dari
tikamannya. Ia tidak sia-siakan lagi ketika yang baik ini. Selagi Pek Sek
berkelit, ia barengi lompat melewati imam itu, setelah mana, ia
putar haluan, ia lari ke arah yang rendah.
"Dia sangat gesit, jangan kita kejar," berkata Oey Yap. "Kita
lihat saja, ke arah mana dia hendak pergi. Mungkin dia hendak
mendaki gunung untuk pergi ke kuil kita. Mari kita kumpulkan
semua orang kita, untuk memasang jaring bumi dan jala langit,
Aku percaya, tidak peduli dia bagaimana liehay, tidak nanti dia
dapat lolos lagi..."
Pek Sek benarkan soeheng itu.
"Jikalau kali ini dia dapat lolos, benar-benar kami kaum
Boetong pay tak bisa lagi memegang pimpinan atas kaum
Rimba Persilatan!" kata dia.
Pek Sek mendahului lari ke arah kuilnya, sambil lari ia
perdengarkan suaranya yang nyaring, guna mengumpulkan
semua murid Boetong pay. Pegunungan Boetong pay mempunyai banyak puncak,
yang bersusun, yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Dari
kuburan Tjie Yang Tiangloo orang dapat memandang ke kuil,
tapi sebenarnya, keletakannya ada cukup jauh.
Ketika Giok Lo Sat yang cerdik dapat melewati dua puncak
segera ia dengar bunyinya genta....suaranya berbareng,
nyaring dan riuh sekali. Ia tahu bahwa orang sedang
memanggil dan mengumpulkan kawan, segera pula ia tampak
dua orang berlari-lari mendatangi. Bila ia dapat mencapai satu
puncak lagi, sampailah ia di pendopo.
"Sulit juga..." akhirnya ia mengeluh dalam hati. "Secara
begini, mana bisa aku menemui It Hang seorang diri, untuk
bicara dengan leluasa dengannya?" Tapi ia masih lari terus,
sampai mendekati dua orang yang sedang berlari-lari ke
arahnya, hingga ia tampak tegas mereka adalah seorang
lelaki dan seorang perempuan, keduanya berpakaian tidak
sebagai imam. Akhirnya, ia kenali gadis itu dan baba mantu
Pek Sek Toodjin, ialah Gok Hoa dan Lie Sin Sie.
154 Dua anak muda itu diajak Pek Sek Toodjin ke Boetong san
untuk meyakinkan lebih jauh ilmu pedang mereka, maka itu
keduanya hampir setiap pagi pergi keluar kuil untuk berlatih
bersama-sama. Giok Lo Sat lari ke arah suami isteri itu, setelah datang
mendekat, ia lompat kepada Ho Gok Hoa, guna menepuk
pundaknya tanpa nona itu sanggup berkelit, walaupun dia
kaget sekali. "Eh, kau?" serunya. "Aku dengar tanda dari Oey Yap
Soepeh dan genta berbunyi riuh, aku sangka ada musuh..."


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kamu berdua hidup berbahagia sekali!" kata Giok Lo
Sat tersenyum. "Eh, ya, di mana adanya To It Hang! Ingin aku
bertemu dengan dia!"
Gok Hoa ini tidak membenci Giok Lo Sat, juga ia tidak
terlalu menyukainya. Ia tahu dahulu ayahnya mencoba supaya
ia berjodoh dengan It Hang tapi buktinya jodoh itu tidak
berwujud, kalau tidak, entah bagaimana jadinya, sebab
nyatanya, It Hang dan Giok Lo Sat mempunyai perhubungan
istimewa. Sekarang ia lihat datangnya nona ini. ia jadi berpikir.
"Aku pernah digaduh asmara, memang celaka kalau
seorang tak dapat nikah dengan pemuda yang disukainya."
demikian pikirnya. "Heran sikapnya ayah, mengapa ia
mencegah soeheng bergaul dengan nona ini?"
Karena ini, tiba-tiba timbullah simpatinya kepada Giok Lo
Sat. "It Hang ada di panggung Tjiolian tay." sahutnya. "Sudah
belasan hari dia pergi ke panggung itu di mana ia setiap pagi
berlatih pedang." "Di mana letaknya panggung itu?" tanya Giok Lo Sat.
"Di sebelah kiri sana." sahut Gok Moa sambil menunjuk. "Di
sana ada sebuah puncak mirip dengan bunga teratai, juga
terdapat air terjun, kalau kau melihat air terjun itu, kau menuju
ke samping kirinya, di sana, di samping air terjun itu. ada
sebuah batu besar. Itulah batu yang dinamakan panggung
Tjiolian tay." "Terima kasih!" kata Giok Lo Sat. yang terus lari ke arah
yang ditunjuk itu. Sama sekali ia tidak pedulikan lagi Gok Hoa.
terutama Sin Sie. yang terus tidak campur bicara.
155 Ketika itu cuaca sudah terang, sinar matahari telah muncul
di arah timur. Burung-burung berterbangan dan berkicau.
Sambil berlari-lari dengan pesat. Giok Lo Sat berpikir: "Aku
mesti mendahulukan semua imam di sini. aku mesti bertemu
dengan To It Hang sebelum mereka pergoki kita berdua."
Ia lantas dengar suaranya Pek Sek Toodjin yang
memanggil-manggil nama anak perempuannya. Suara itu
disusul dengan suara yang lain-lain. rupanya orang telah
memanggil satu pada lain. la tidak perdulikan semua itu, terus
ia lari dengan keras, sampai ia lihat air terjun di sebuah
puncak yang mirip bunga teratai.
Air terjun itu perdengarkan suara berisik, pemandangan di
situ menarik hati, akan tetapi Giok Lo Sat tak sempat
menikmati itu, masih ia lari terus, ke arah kiri. hingga pada
suatu saat terdengarlah suara air terjun bersama-sama
dengan suara nyanyian syair.
"Itulah tentu suarasi tolol!" pikir ia, yang jadi bersemangat,
hingga ia lari lebih keras pula.
Benar-benar, itulah suaranya It Hang.
Sejak dipaksa pulang ke gunung. It Hang terbenam dalam
kemasgulan. la tidak mempunyai kekerasan hati untuk
melakukan perlawanan, terutama ia berat dengan pesan
gurunya, yang menunjuk ia sebagai ahli waris Boetong pay.
Maka setiap hari ia tak pernah mendapat kegembiraan
seperti dahulu sebelum ia dikekang Pek Sek Toodjin. Untung
baginya, Tjie Yang Tiangloo telah memberikan ia kitab ilmu
pedang, ia isi hari-hari yang luang itu dengan membaca kitab
itu, hingga ia dapatkan beberapa jurus ilmu pedang yang ia
anggap luar biasa. Belum pernah ia peroleh ajaran jurus-jurus
itu. Kalau jurus-jurus lain ada permulaan dan akhirnya, tetapi
ini terputus-putus, tidak bersambung. Karenanya sulit untuk
melatih dengan teratur. Pernah ia minta keterangan dari
beberapa soesioknya, mereka itu juga tidak mengerti, tetapi
mereka tahu, itulah jurus-jurus dari ilmu pedang Tat Mo Kiam,
yang semuanya berjumlah seratus delapan jurus.
Pai Mo Kiam adalah ilmu silat pedang yang menjadi
"penjaga gunung" dari Boetong pay, akan tetapi sejak
pertengahan kerajaan Goan, ilmu silat itu telah hilang tidak
156 keruan, hingga adalah pesan tetua Boetong pay untuk murid
mereka, generasi ketemu generasi, untuk mencoba mencari
kehilangan itu. Syukur, walaupun kitabnya telah hilang, tetapi
ilmu silatnya sendiri tidak, masih ada beberapa jurus yang
dapat diingat. Begitulah, dalam kitab Tjie Yang Tiangloo ini
masih kedapatan beberapa catatan itu. Di masa hidupnya,
pernah sang guru membicarakan hal ilmu pedang itu kepada
muridnya tetapi sang murid -- It Hang -- kurang
memperhatikan. Sampai sekarang, setelah meyakinkan kitab
wasiat itu, ia ketemui pula jurus-jurus yang terputus-putus itu.
Setelah dapat keterangan dari beberapa paman guru itu, It
Hang berpikir: "Katanya semua jurus itu tak berhubungan satu
pada lain, jadi semua jurus tidak dapat diajarkan, hanya
diajarkan sebagai contoh saja, supaya kita ketahui sedikitsedikit,
untuk digunakan mencari kitabnya nanti. Katanya juga
tidak ada faedahnya mempelajari jurus-jurus ini. Tapi, kalau
ilmu adalah ilmu sejati, mestinya setiap jurus mempunyai arti
sendiri-sendiri. Mustahil setiap jurus itu tak dapat digunakan
sama sekali" Kenapa harus ada hubungan saja" Kenapa aku
harus membeo kepada mereka yang terdahulu dan turutturutan
tidak mempedu 1 ikannya?"
Karena ia berpikir demikian, It Hang tidak mencontoh
leluhur partainya itu. Dengan diam-diam seorang diri. ia
melatih diri dengan jurus-jurus yang katanya tak bersangkut
paut satu dengan lain itu. Tempat berlatihnya itu adalah
panggung Tjiolian tay. Ia berlatih dengan tentu dan sungguhsungguh.
Ia pun tidak menginsyafi pentingnya jurus-jurus itu,
akan tetapi, di luar tahunya, ia telah peroleh kemajuan,
sebagaimana Oey Yap -- tanpa paman guru ini mengerti --
melihat sinar matanya dan tindak kaki yang beda dari
biasanya. Hari itu, seperti biasa, It Hang pergi pagi-pagi. Seperti biasa
juga, sehabis berlatih, bukan saja ia tidak merasa lelah,
sebaliknya, ia merasa segar sekali, darahnya seperti berjalan
dengan sempurna, wajahnya menjadi terang. Baru tadi malam
ia ingat Giok Lo Sat dan memikirkan nona itu, sampai jauh
malam. Ia anggap tentulah ia kurang semangat atau ia akan
157 jadi sangat lelah, tetapi kesudahannya, ia tetap segar, hingga
ia girang sekali. "Inilah tentu hasil latihan jurus-jurus yang luar biasa itu!" ia
menduga-duga. Maka ia berlatih dengan lebih sungguhsungguh,
hingga ia tidak pedulikan tanda-tanda panggilan dari
paman gurunya, walaupun samar-samar ia dengar suara
mereka dan suara genta. Di waktu bergembira itu, seorang diri
ia perdengarkan nyanyian syairnya. Itulah suara yang
didengar Giok Lo Sat, hingga si nona jadi terlebih gampang
mencari padanya. Tengah pemuda ini melamun, mendadak ia rasakan ada
orang menekan jidatnya, hingga ia terkejut dan lompat
mundur karenanya, tetapi ia terkejut karena sangat gembira.
Sebab di hadapannya sekarang berdiri Giok Lo Sat, yang ia
pikirkan siang dan malam! Karena girangnya itu, ia jadi berdiri
menjublak, mendelong mengawasi nona itu!
"Apakah kau baik?" tanya si nona. Cuma sebegitu
pertanyaannya, lalu dia berdiam, hanya matanya yang
mengawasi. Keduanya berdiam saja. Banyak kata-kata yang mereka
masing-masing hendak ucapkan tetapi tidak bisa. tak tahu
mereka bagaimana harus memulainya.
Yang dipanggil Tjiolian tay itu adalah sebuah batu besar
luar biasa yang mengkilap bagaikan kaca, di atasnya dapat
berdiri seratus orang atau lebih.
Giok Lo Sat tunduk, ia mengawasi batu itu, sampai
matanya bentrok dengan syairnya It Hang. yang diukir dengan
ujung pedangnya. Diam-diam ia membaca. Itulah "Kenangkenangan
kepada Kanglam". Begini bunyinya:
Malam musim rontok sunyi...
Sendirian aku duduk hadapi lampu kelap-kelip...
Aku menangis, aku tertawa,
siapakah yang tahu" Duduk... Berdiri.. Senantiasa aku mimpikan dikau!
Apakah dapat menghibur aku"
Angin meniup hujan. Hujan menggulung hatiku,
158 Sampai ingin aku ikuti angin dan hujan pergi.
Pergi ke laut besar yang luas. Biar terapung atau
tenggelam... Tak berduka, tak berjemu...
Meneteslah air matanya si nona. "Kaukah yang menulis
ini?" tanyanya perlahan.
"Kemarin malam aku dengar hujan, tak dapat aku tidur,
maka aku bangun, aku menulis ini secara sembarangan..."
sahut si anak muda. "Jangan kau tertawai aku..." Nona itu
menghela napas. "Untuk apa menulis itu?" katanya, berduka.
"Untuk kau cukup asal kau kuatkan hati! Mengapa, harus
berduka sampai demikian?"
"Ya, entjie Lian, aku yang salah..." kata It Hang.
Giok Lo Sat angkat kepalanya, ia singkap rambut di
dahinya. Matanya bersinar dengan tiba-tiba. Maka dengan
tiba-tiba juga, ia tersenyum.
"Sudah, jangan sebut-sebut apa yang telah lampau,"
katanya, dengan perlahan.
"Aku telah mengambil keputusan," kata It Hang,
"selanjutnya hendak aku ikut entjie merantau."
"Benarkah itu?" Giok Lo Sat tegaskan.
Kembali terdengar suara genta, yang terbawa angin. It
Hang pasang kupingnya. Suara genta itu mengaung,
berkumandang di dalam lembah. Lalu suara genta itu disusul
dengan suara panggilan yang kurang jelas kepada namanya.
"Telah aku bertemu dengan dua paman gurumu," si nona
beri tahu. Ia tidak menanti jawaban lagi. "Yang mana itu?" It
Hang tanya. "Oey Yap dan Pek Sek Toodjin." It Hang kerutkan
alisnya. "Apa yang kau bicarakan dengan mereka itu?"
tanyanya "Aku kata bahwa aku ingin bertemu dengan kau. Mereka
tidak memberikan perkenan mereka. Tapi akhirnya kita
bertemu juga." Tanpa merasa, mereka berjabatan tangan, dan menyekal
dengan keras. It Hang rasai tangan si nona panas.
"Entjie, selama ini kau pun bersengsara," katanya. "Aku...
aku..." 159 "Ya, kedua paman gurumu itu pandang aku sebagai musuh
besar..." It Hang tertawa meringis.
"Begitu sikap mereka. Aku tidak berdaya..."
Lagi-lagi terdengar suara genta nyaring. Sekarang suara itu
disusul dengan suara orang, yang rupanya telah datang
semakin dekat. It Hang berjingkrak. "Itulah paman guruku yang telah
mengumpulkan orang, untuk menghadapi kau!" katanya.
Mendadak saja, si Raksasi Kumala membuka matanya
lebar-lebar, semangatnya terbangun.
"Habis, bagaimana dengan kau?" dia tanya. "Kau hendak
bantu paman gurumu itu menangkap aku atau...?" Bergetar
tangannya ketika ia menantikan jawaban. Ia tidak dapat bicara
terus. "Pasti aku tidak memusuhi kau!" jawab It Hang.
"Cuma begitu saja?" si nona tegaskan.
"Aku telah mengambil keputusan untuk tidak menjadi ketua
kaumku," It Hang jawab pula.
"Cuma begitu saja?" si nona menegaskan lagi.
"Hari ini adalah hari ulang tahun ke lima dari wafatnya
guruku." kata It Hang, bila sebentar paman-paman guruku
sampai, hendak aku beritahukan mereka tentang keputusanku
ini, lalu habis upacara sembahyang, bersama kau aku nanti
turun gunung. Sejak itu, apa juga akan terjadi, kita berdua
tidak akan berpisah pula!"
Giok Lo Sat bernapas lega, tapi ia jengah, hingga,
wajahnya menjadi merah. "Jikalau demikian putusanmu, aku tidak takuti apa juga!"
katanya. "Hanya..." It Hang tambahkan.
"Hanya apa?" si nona menegaskan,
"Hanya, kau tahu sendiri tabiatnya beberapa paman guruku
itu," It Hang terangkan. "Maka kalau sebentar kau bertemu
dengan mereka dan mereka menggunakan kekerasan, aku
minta kau sudi pandang aku, jangan kau lawan mereka
dengan kekerasan, sukalah kau mengalah sedikit..."
"Apakah kau inginkan aku memohon maaf dari mereka?"
tanya Giok Lo Sat. 160 "Ah, perkara minta maaf, itu jangan dibicarakan," jawab It
Hang. "Biarkan aku saja yang bicara. Umpama kata mereka
lantas mendamprat kau, jangan kau lantas naik darah..."
Tak lama kemudian, tampaklah beberapa orang asyik
mendatangi. Mereka jalan di lembah, mereka naik sambil
berpegangan pada oyot rotan. Ketika mereka tampak Giok Lo
Sat berdiri berendeng dengan It Hang, semuanya terkejut.
It Hang telah ambil ketetapannya, maka, itu, wajahnya tidak
berubah. Ia tetap berdiri berendeng dengan Giok Lo Sat,
tangannya berpegangan dengan keras. Si nona sendiri, sambil
mengangkat dadanya melengos terhadap rombongan imam
itu. ia agaknya sungkan melihatnya. Di dalam dadanya ia
merasakan kegembiraan, dalam dunia itu seolah cuma ada
dia berdua It Hang saja! Pek Sek Toodjin dan An In adalah yang maju di muka,
wajah mereka padam, suatu tanda kemarahan mereka telah
sampai di puncaknya. Begitu lekas mereka sampai di bawah
panggung, mereka perdengarkan suara yang keras dan keren:
"It Hang! It Hang!"
"Ya, soesiok..." sahut keponakan murid itu. Ia telah jadi
ketua tetapi, di dalam keadaan seperti itu ia masih hormati
sekalian paman gurunya. "Kau adalah tjiangboendjin, genta dari kuil telah berbunyi,
apakah kau tidak dengar itu?" tanya Pek Sek, dalam sikap
menegur, karena suaranya keras sekali.
It Hang berlaku sabar. "Musuh siapakah yang telah datang, soesiok?" tanya dia,
berpura-pura.

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm, kau tidak malu?" balas paman guru itu. "Kau sudah
tahu, tetapi kau mengajukan pertanyaan! Perempuan siluman
ini adalah musuh umum kaum kita, tetapi kenapa kau bergaul
rapat dengannya?" "Ia ini bukannya musuh kita, soesiok..." kata It Hang.
"Ngaco!" bentak Pek Sek. "Berulang kali dia menyatrukan
kita kaum Boetong pay, bagaimana kau bilang dia bukan
musuh kita" Kau adalah tjiangboendjin, apakah kau tak malu berbicara
demikian di muka sesama kaum kita" Lekas kau bekuk dia!"
161 "Soesiok, hendak aku bicara!" kata keponakan murid itu.
Selama itu, si Raksasi Kumala diam saja, dia cuma bawa
sikap jumawa. "Apa yang kau hendak katakan pula?" tanya Pek Sek.
"Apakah kau hendak meninggalkan kaum kita karena kau
ingin mengikuti perempuan siluman ini" Kau hendak ikuti dia
ke mana dia pergi" Lekas kau ambil putusanmu! Kau tak
dapat berkata apa-apa lagi'"
Oey Yap Toodjin maju ke depan, tindakannya perlahan.
"Soetee, berikan dia ketika untuk bicara," kata dia kepada
adik seperguruannya. "It Hang, kau hapus dapat memikir
dengan pasti. Nah, kau bicaralah! Apakah keinginanmu?"
"Tipis kebijaksanaan teetjoe, tak ada kepandaianku,"
berkata It Hang, "maka itu menyesal teetjoe menjadi ketua
partai kita-karena teetjoe tidak sanggup memegang kendali,
karena ini teetjoe mohon soesiok beramai suka memilih lain
murid yang bijaksana dan pandai untuk menggantikan teetjoe.
teetjoe sendiri ingin undurkan diri."
Pek Sek gusar mendengar itu. "Kau jadi tjiangboendjin atau
tidak, itulah satu urusan lain!" katanya dengan sengit. "Tapi
perempuan siluman ini adalah musuh umum kita, kau bergaul
rapat dengannya, itu tidak selayaknya!"
"Soesiok, tiap-tiap orang mempunyai cita-citanya sendiri,"
kata It Hang dengan perlahan, "maka itu ingin aku selanjutnya,
mengutamakan saja ilmu pedang. Jikalau kelak teetjoe
peroleh kemajuan, dengan itu bisa jugalah teetjoe membalas
budi soehoe." Pek Sek tetap murka. "Apakah kau hendak
meyakinkan ilmu pedang bersama-sama dia?" tanyanya
sengit. "Soesiok, biar bagaimana aku perlu satu orang yang akan
menjadi petunjuk untukku," sahut sang keponakan murid.
Kemurkaannya paman guru itu tak terhingga.
"Ilmu silat Boetong pay adalah pokok dari ilmu silat di
kolong langit ini!" serunya. "Dan kau masih hendak pelajarkan
pula ilmu silat sesat dari kalangan luar!"
Oey Yap yang sabar pun menjadi tidak senang.
162 "It Hang, kau hendak mendengar kata-katanya paman
gurumu atau tidak?" dia membentak. "Lekas lepaskan
tanganmu!" Mendengar bentakan itu, It Hang kendorkan cekalannya.
"Niatku meyakinkan lebih jauh ilmu silat pedang tak dapat
Pendekar Panji Sakti 5 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Ksatria Negeri Salju 4
^