Pencarian

Hantu Wanita Berambut Putih 2

Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 2


atas meja dari kayu merah, setelah ia berhenti menggurat
terukirlah di atas meja itu satu huruf. "Bunuh".
Wan Tjong Hoan lihat itu, ia pun tertawa, malah tertawanya
besar. "Jikalau aku takut mati, tidak nanti aku persembahkan
suratku itu," katanya. "Jikalau kau hendak bunuh aku,
bunuhlah! Tidak usah kamu banyak bicara!"
"Sret!" demikian si Raksasi Kumala hunus pedangnya, la
berlaku sangat sebat dan aksinya ganas.
55 "Foei!" seru Wan Tjong Hoan, sambil majukan dirinya, la
meludah. Sejenak saja, si nona di depannya telah lenyap. Cuma
suara tertawanya yang terdengar, disusul dengan kata-kata:
"Masih bagus! Kau tidak sampai menodai bajuku dengan air
ludahmu itu! Coba bajuku kotor, orang berpangkat semacam
kau mana sanggup menggantinya"..."
Wan Tjong Hoan melengak. Ia dapat kenyataan si nona
tengah berdiri di sampingnya, pedangnya sudah dimasukkan
ke dalam sarungnya. Ia heran bukan kepalang.
"Sudah, anak Siang, jangan kau bergurau pula!" kata Hoei
Liong sambil tertawa. Giok Lo Sat memberi hormat dengan rangkapkan kedua
tangannya kepada punggawa itu.
"Bagus!" katanya, memuji. "Kau benar satu enghiong yang
tidak takut mati!" (Enghiong = orang gagah; pendekar.).
Wan Tjong Hoan heran bukan main. Ia balas menghormat.
"Apakah djiewie bukannya calon-calon pembunuh yang di
kirim Keksie dan Goei Tiong
Hian?" dia tanya. (Djiewie -- kedua tuan, yang terhormat.).
Si Raksasi Kumala tertawa. "Kami datang untuk
mengantarkan serupa barang pada kau," ia jawab.
"Apakah itu?" tanya Tjong Hoan.
Si nona buka buntalannya, keluarkan kitab rencananya Him
Kengliak. Ia letakkan itu di atas meja.
Wan Tjong Hoan lihat kalimat buku itu, "Liauwtong Loen",
artinya, "Rencana mengenai jasirah Liauwtong". Ia pun
sambar buku itu. untuk segera membalik-balik lembarannya.
"Ah!" serunya, kaget dan heran.
"Kenapa bukunya Kengliak berada di tangan kamu?"
"Tak usah kau tanyakan itu," sahut Giok Lo Sat tersenyum.
"Andaikata kau anggap buku ini ada faedahnya untukmu, kau
ambillah!" "Jikalau kau tidak menjelaskannya, bagaimana aku dapat
menginginkannya kitab peninggalannya Kengliak?" kata si
punggawa. Si nona mengawasi muka orang. "Apakah kau mempunyai
arak?" dia tanya. 56 "Ada," sahut Tjong Hoan. Nona itu tertawa. "Kau
mempunyai arak, kenapa kau tidak keluarkan?" kata dia.
"Cerita kami panjang, tanpa arak untuk melicinkan
kerongkongan, bagaimana dapat aku menceritakannya?"
Mau atau tidak, Tjong Hoan pun tertawa.
"Kiranya begitu?" kata dia. "Sayang aku tidak punya
makanan untuk menjadi temannya arak..." Di dalam hatinya, ia
menambahkan: "Nona ini polos!"
Ia lantas keluarkan satu poci arak putih, ia isikan tiga buah
cawan. "Kalau ada hal-hal yang memuaskan, baru gembira minum
arak!" kata pula si nona. "Ayah, hari ini aku hendak melanggar
pantangan arak!" Hoei Liong menjawab anak angkatnya itu dengan tenggak
habis tiga cawan. "Sesudahnya Kengliak, baru sekarang aku bertemu pula
dengan satu enghiong!" katanya. "Aku juga hendak melanggar
pantangan minum arak itu!"
Giok Lo Sat juga hirup araknya, lalu sambil tiap-tiap kali
membasahkan tenggorokannya, ia berikan penuturannya
mengenai kitab wasiat Him Kengliak itu, yang mulanya
diberikan kepada Gak Beng Kie, lalu Gak Beng Kie
menyerahkannya kepada To It Hang, kemudian It Hang
menyerahkannya lebih jauh kepadanya.
Bukan main terpengaruhnya Wan Tjong Hoan mendengar
keterangan itu. Dengan air mata berlinang, ia berlutut ke arah
langit, untuk memberi hormatnya dengan tiga kali berlutut dan
tiga kali bangun, sesudah mana barulah dengan cara hormat
juga ia terima kitab wasiat itu.
Giok Lo Sat tidak kuat minum, baru menghabiskan
beberapa cawan, ia sudah lantas merasakan pengaruhnya, la
tahu batas, maka hendak ia menghentikannya. Selagi ia
berniat pamitan, tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk.
Sementara itu sekarang Wan Tjong Hoan ketahui si nona
adalah Giok Lo Sat yang menggetarkan dunia kangouw.
"Lian Liehiap," katanya, perlahan, "untuk sementara,
pergilah kamu menyingkir dulu."
57 Dan ia persilakan ayah dan anak itu pergi ke kamar
samping. Dengan cepat ia singkirkan poci arak serta
cawannya, dan meja pun ditutup dengan selembar kain
penutup. Dengan begitu tak nampaklah ukiran huruf "Bunuh"
dari Giok Lo Sat tadi. Habis itu barulah ia membukakan pintu.
Yang datang itu adalah satu opsir.
"Apakah aku berhadapan dengan Wan Siangkong?" dia
menanya. "Mungkin orang ini ada pesuruhnya Keksie atau Goei Tiong
Hian," pikir Tjong Hoan, yang menyahuti dengan lekas:
"Benar!" "Sri Paduka sudah lama mengagumi nama siangkong,
bagaikan orang berdahaga, ingin ia bertemu dengan
siangkong," kata opsir itu.
"Kau dari istana mana?" tanya Tjong Hoan.
"Dari istana Sinong hoe," jawab si opsir.
Pangeran Sin Ong. yang bernama Tjoe Kiam. adalah adik
dari kaisar. Dia memang terkenal kegemarannya menghormati
orang-orang cerdik pandai. Meski begitu, heran juga Tjong
Hoan mendengarnya, ia melengak.
"Wan Siangkong telah melakukan peperangan di Patliepou,
di sana siangkong telah melabrak tentara Boantjioe, siapakah
tak dengar itu?" berkata pula si opsir. "Ongya kami sangat
mengagumi siangkong atas kemenangan itu."
"Cuma pemerintah saja yang tidak tahu!" pikir Tjong Hoan.
"Pangeran ini suka memperhatikan urusan di tapal batas,
mungkin dia tidak ada kecelaannya..."
Memang putera Tjoe Yoe Kiam (yang kemudian menjadi
kaisar Tjong Tjeng) ada terlebih pandai dari pada kakaknya.
Yoe Kauw ada terlalu lemah, dia pun tidak mempunyai putera
mahkota. Maka dari siang-siang Yoe Kiam telah mengincarnya
tahta sebagai bakal kepunyaannya. Malah dia sudah
memikirkan juga, setelah menjadi kaisar, dia hendak
membereskan Goei Tiong Hian. Hanya dia belum punyakan
panglima perang yang menjadi orang kepercayaannya,
karenanya dia ingin menyediakan payung sebelumnya hujan.
Wan Tjong Hoan termasuk dalam pilihannya itu.
58 Wan Tjong Hoan sedang masgul, sekarang ada orang
yang "mengenalnya", hatinya menjadi terbuka juga. Maka ia
terima surat undangannya Yoe Kiam itu sambil ia berikan
jawabannya "tolong sampaikan kepada hongya, nanti Tjong
Hoan datang mengunjunginya." (Hongya = sri paduka, untuk
putera raja.). Ia hendak menyuguhkan teh, untuk antar opsir itu, atau
lantas ada lagi ketukan pada pintu. Maka ia merasa lucu.
Dalam hatinya, ia berkata: "Sudah sekian lama aku pulang,
untuk menantikan tugas, tidak ada orang yang mempedulikan
aku, tetapi malam ini berturut-turut orang telah datang padaku,
adakah ini tanda bahwa nasibku sudah mulai berubah menjadi
baik?" Ia membukakan pintu, segera masuklah dua orang. Yang
pertama ada seorang tua berumur kira-kira lima puluh tahun,
hidungnya bengkung bagaikan patuk garuda, mulutnya lebar
bagaikan mulut singa, romannya sangat jelek, yang kedua
seorang dengan seragam opsir Kimiewie, pengawal Baju
Sulam. Dari kamar samping, Giok Lo Sat senantiasa mengintai
keluar, maka segera ia kenali, pahlawan Kimiewie itu Tjio Ho
adanya "Ha, mau apa Tjio Ho datang kemari?" ia tanya dirinya
sendiri. Opsir Kimiewie itu maju dua tindak, kepada pesuruhnya
putera raja. "Eh, bukankah kau dari Sinong hoe?" dia tanya opsir itu.
"Buat urusan apa kau datang kemari?"
Opsir itu bernama Pek Kong
Soe, dia seorang yang mengerti ilmu gelut, dalam barisan
pengawalnya Sin Ong, dialah guru yang kenamaan. Dia tak
mengetahui Tjio Ho, yang ia kenali, mengenal padanya.
"Inilah tidak bagus," pikirnya. "Tjio Ho adalah orang
kepercayaannya Goei Tiong Hian, tidak leluasa andaikata dia
ketahui maksudnya hongya mengundang Wan Tjong Hoan."
Karena ini, dia lantas ambil putusan. Dia percaya kepada
kepandaiannya sendiri, dia pun hendak turun tangan terlebih
dahulu. Kalau tadi dia duduk terus, sekarang dia berbangkit.
59 "Tjio Tjiehoei, banyak baik!" katanya sambil tertawa, seraya
memberi hormat. Tapi di luar dugaan komandan Kimiewie itu,
ia terus ulur kedua tangannya, ia menyambar, kakinya turut
maju pula. "Buk!" demikian satu suara, yang menyusul dengan
terpentalnya tubuh Tjio Ho. yang terbanting di tangga di depan
pintu. Inilah Wan Tjong Hoan tidak sangka, maka ia menjadi
kaget. Menyusul kejadian yang tidak disangka-angka itu, si orang
tua kawannya Tjio Ho itu perdengarkan seruan yang nyaring
dan aneh, dalam sekejap saja ia sudah mencelat ke hadapan
Pek Hong Soe. Jago gelut itu segera bersiap. Ia ingin membanting lawan
seperti barusan ia telah robohkan Tjio Ho. Ia hendak gunakan
tipu "Kimlie hoansin", atau, "Ikan tambra emas membalik diri".
Kalau ia berhasil, lawannya akan terbanting hingga mati.
Baru Pek Kong Soe mulai bergerak, atau ia dengar
bentakan si orang tua: "Binatang, kau cari mampus!"
Kong Soe kaget. Dengan tiba-tiba ia rasakan pundaknya
sangat sakit, hingga tak dapat ia kerahkan tenaganya.
"Kau siapa?" bentak Tjong Hoan, yang kaget dan heran.
"Mengapa kau berani berlaku kurang ajar di sini?"
Sambil mengucap demikian, ia lompat, sebelah tangannya
menyambar. "Bagus!" seru si orang tua, sambil menggerakan kedua
tangannya, untuk menjatuhkan Pek Kong Soe, setelah mana
ia terus berkelit dari serangan Tjong Hoan. Ia tidak membalas
menyerang, ia hanya tertawa dan berkata: "Bocah, kau tidak
dapat dicela, pantas Khan kami yang agung tertarik padamu!"
(Khan = Khan yang agung, yang besar).
Tjong Hoan heran dan kaget. Ia segera tarik kembali
tangannya. "Khan agung siapa?" tanya dia. Orang tua itu
tertawa pula. "Memang, tanpa bertempur,
orang tidak dapat mengenalnya satu pada lain." katanya.
"Kau dan Khan kami yang agung itu pernah bertemu dalam
beberapa pertempuran, apakah kau masih hendak
menanyakannya lagi?"
60 Wan Tjong Hoan berpikir dengan cepat.
"Kau jadinya suruhannya Nuerhacha?" tanya dia.
"Benar!" si orang tua tertawa. "Khan kami yang maha besar
ingin undang kau, tetapi karena dikuatirkan kau nanti banyak
tingkah, hingga kau tidak dapat diundang datang. aku
diperintahkan datang kemari!!"
Wan Tjong Hoan menjadi gusar sekali.
"Oh, anjing Boantjioe!" dia mendamprat. "Kau berani
datang ke Pakkhia untuk banyak tingkah! Jikalau kau tidak
diberi pelajaran, nanti kamu pandang kami di Tionggoan
sudah tidak ada orangnya!"
Dengan saling susul hingga dua kali, serangannya
mendatangkan suara angin. Tjong Hoan serang orang tua itu
dengan kedua tangannya. Pahlawan Boantjioe itu main mundur, tetapi segera ia
mengancam: "Aku minta kau jangan turun tangan, atau aku nanti
terpaksa berlaku kurang ajar terhadapmu!"
Lalu setelah itu, ia mainkan kedua tangannya, dalam aksi
menotok jalan darah. Wan Tjong Hoan ada seorang ahli perang, ia mengerti ilmu
silat, baik dengan menunggang kuda maupun tidak, akan
tetapi dalam hal ilmu totok, ia asing, maka itu, didesak dengan
ilmu ini, ia menjadi repot, hingga ia menjadi bingung.
Di saat orang sedang bingung itu, tiba-tiba terdengar satu
suara tertawa yang nyaring tetapi empuk, disusul dengan
kata-kata yang enak didengarnya: "Eh, Wan Siangkong,
kenapa kau bertempur dengan tetamumu?"
Pahlawan Boantjioe itu menjadi heran, ia segera menoleh,
hingga tampaklah olehnya satu nona asyik mendatangi
dengan tindakan halus ke arah mereka, wajahnya tersungging
senyuman bekas tertawanya. Nona itu tidak hanya manis air
mukanya, tetapi juga berpengaruh, hingga tidak sembarang
orang berani mengawasinya.
Giok Lo Sat tertawa pula. Ia datang kepada mereka itu, lalu
ia melambaikan tangannya kepada orang tua itu.
"Mari, mari," katanya dengan manis. "Coba kau terangkan
padaku mengapa majikanmu hendak mengundang Wan
61 Siangkong" Jikalau omonganmu beralasan, aku akan minta
Wan Siangkong suka turut kau pergi!"
Jago Boantjioe itu heran, sampai tanpa merasa, ia mundur
beberapa tindak. Tapi ia bernyali besar. Dalam sekejab saja.
ia telah berkuasa pula atas dirinya. Malah ia ingat: "Dia sangat
cantik bagaikan bidadari, mengapa aku tak hendak sekalian
membekuk dia untuk dihaturkan kepada Khan yang maha


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agung?" Giok Lo Sat tidak menggubris melihat orang sedang
berpikir. Lagi-lagi ia tertawa.
"Kau datang dari perbatasan, kau juga diantar satu kepala
Kifhiewie, kau mestinya seorang dengan riwayat yang tak
sembarang!" demikian katanya pula. "Coba kau katakan
padaku, kau adalah tetamunya menteri yang mana dalam
kerajaan kami?" "Dia adalah mata-mata bangsa Boantjioe, untuk apa kau
omong banyak dengannya?" nyelak Wan Tjong Hoan.
"Bukan begitu!" kata si nona, yang masih tertawa. "Pepatah
mengatakan, sutera selembar tak menjadi benang, maka
jikalau dia tidak ada yang menyambutnya, yang melindungi,
mustahil dia berani menculik orang di bawah terang
benderangnya matahari dan di dalam kota raja ini?"
Tjong Hoan segera insaf, maka ia bertindak ke samping, ia
biarkan si nona menghadapi tetamunya yang tidak diundang
itu. Jago dari Boantjioe itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Nona kecil, ini bukannya urusanmu," kata dia dengan
sabar. "Kau sendiri baiklah turut aku! Jikalau Khan kami yang
agung melihat kau, mestinya dia sangat bergirang, dan itu
artinya keberuntunganmu seumur hidup! -- keberuntungan
yang tidak ada habisnya!..."
Wajahnya si nona berubah dengan tiba-tiba, tetapi dengan
tiba-tiba juga ia tertawa.
"Banarkah itu?" dia menegaskan. "Maukah kau
menerangkannya, atau tidak?"
Melihat orang tertawa manis, jago Boantjioe itu tidak
bercuriga. Ia lantas tertawa cekikikan. Ia pun ulurkan sebelah
tanganaja, untuk cekal lengannya si nona manis.
62 Giok Lo Sat tarik kembali lengannya itu. Ia tertawa pula.
"Dibanding dengan Wan Siangkong ini, aku terlebih pandai
melayani tetamu, apakah kau tidak kuatir?" dia tanya.
"Mendapat perlayanan kau, nona, inilah hal yang aku
memintanya pun tidak berani kuharap..." sahut si orang tua.
Lagi sekali ia ulurkan tangannya.
Giok Lo Sat sambar kain penutup meja, hingga di situ
terlihatlah ukiran huruf "Bunuh" tadi.
Menampak huruf itu, yang ia kenal, orang Boan itu terkejut.
Tiba-tiba ia rasakan sambaran angin ke arah mukanya, segera
ia berkelit; walaupun demikian, tidak urung ia merasakan
sangat sakit pada pipinya yang kiri, sakitnya sampai ke ulu
hati... Orang Boan ini bernama Tjat Kek To, dia adalah orang kuat
pilihan dari Nuerhacha, sekarang ia kena dihajar orang, bukan
kepalang murkanya dia. Maka dia berseru keras, dan sebelah
tangannya segera melayang. Dengan itu ia membuat meja
terbalik. Benci ia kepada ukiran huruf "Bunuh" itu.
Giok Lo Sat segera menghunus pedangnya dengan apa ia
menyerang, berulang sampai dua tabasan.
Tjat Kek To melakukan perlawanan. Dia gagah, akan tetapi
setelah belasan jurus, dia kewalahan juga, hingga selainnya
menangkis atau mengelakan diri, tidak bisa ia melakukan
penyerangan membalas. Gembira si nona dengan pertempurannya ini. Setelah
menang di atas angin, tiba-tiba ia tertawa panjang disusul
dengan gerakan kakinya, yang menginjak garis tengah atau
"tiongkiong", setelah mana pedangnya berkelebat dan
menyambar ke arah tenggorokan lawan.
Berbareng dengan itu, Tiat Hoei Liong berseru dengan
nyaring sekali: "Jangan binasakan dia!"
Dalam saat yang sangat berbahaya itu, si Raksasi Kumala
masih dapat mengubah sasaran ujung pedangnya, hingga ia
menotok lain anggauta, yang berbahaya juga. Ia tertawa dan
berkata: "Oh, ayah! Tanpa peringatan kau, niscaya sudah aku
bunuh dia!" Tjat Kek To roboh karena terkena pedang
lawannya, dia bergulingan di lantai.
63 "Kau aneh!" berkata si nona, menggoda. "Kau diundang
minum arak, kau menampik, sebaliknya, kau minum arak
dendaan. Aku hendak tanya kau. Pertanyaan itu sudah aku
ajukan tadi! Sebenarnya, kau hendak bicara atau tidak?"
Orang Boan itu kertak giginya menahan sakit. Ia
membungkam. "Hm, kau masih hendak berpura-pura menjadi jagoan?"
kata si nona, mengejek. "Ayah, tolong seret Tjio Ho kemari!
Biar dia menontonnya!"
Sementara itu, Tiat Hoei Liong segera membangunkan Pek
Kong Soe dan Tjio Ho. Kong Soe tidak terluka parah, dia
diantar masuk ke dalam untuk dipakaikan obat. Tjio Ho terluka
pada kakinya, Hoei Liong meletakannya di atas kursi dan
ditekan, hingga ia tak dapat berkutik dan dapat memandang si
Raksasi Kumala, yang sebaliknya mengawasi padanya sambil
tersenyum tawar. "Tjio Ho, dua kali kau telah lolos dari ujung pedangku!"
berkata si nona, suaranya berpengaruh. "Kali ini kau tidak
mendapat ampun! Akan tetapi, jikalau kau mendengar kata,
dapat aku membuka satu jalan hidup."
Tidak berani Tjio Ho membuka mulutnya, ia bungkam.
"Sekarang lebih dahulu hendak aku memperlihatkan contoh
kepadamu!" kata pula si nona. Dan sambil tertawa, dia
layangkan sebelah tangannya kepada Tjat Kek To.
Nampaknya ayal sekali melayangnya tangan si nona, akan
tetapi ketika tulang iganya orang Boan itu kena terserang, dia
menjerit hebat sekali, terus dia bergulingan di lantai. Luka
pedang tadi masih dapat ia pertahankan, tetapi sekarang, ia
rasakan tubuhnya seperti digigit ribuan ular berbisa, sakitnya
sampai ke ulu hatinya. Maka tidak peduli dia bertubuh besi
atau baja, dia tetap tak berdaya.
"Nanti aku katakan, nanti aku katakan..." serunya.
Giok Lo Sat mendupak iga kirinya si orang tua, sakitnya
pun segera lenyap, hingga darahnya dapat mengalir pula
seperti biasa. Sesaat kemudian, orang Boan ini dapat bicara.
64 "Khan yang maha agung mengirim aku sebagai utusan,"
demikian ia beri pengakuannya. "Aku diharuskan datang
kepada Goei Kongkong..."
Itulah pengakuan yang sudah diduga Giok Lo Sat dan Tiat
Hoei Liong, tidak demikian dengan Wan Tjong Hoan. hingga ia
ini menjadi terperanjat. Ia mendongkol dan gusar sekali, tetapi
ia menahan sabar. "Ketika aku hendak berangkat, Khan yang maha agung
berkata kepadaku." orang Boan itu menerangkan lebih jauh.
"Setelah terbinasanya Him Bantjoe, di Tionggoan tinggal satu
Wan Tjong Hoan yang terpandai. Katanya, benar sekarang
Wan Tjong Hoan masih berpangkat rendah, tetapi pada suatu
hari dia akan memegang kekuasaan tentara, dia akan menjadi
musuh tangguh. Maka itu aku ditugaskan pergi ke kota raja
untuk menculiknya. Atau jikalau aku tidak dapat menawan
hidup-hidup mesti aku binasakan dia..."
"Bagus!" tertawa Giok Lo Sat apabila ia dengar
keterangannya orang itu. Wan Tjong Hoan berdiam ia tidak dapat segera mengerti.
Giok Lo Sat berpaling pada orang she Wan ini.
"Musuh demikian jeri terhadapmu." katanya. "Sekarang
kitab wasiat Him Kengliak sudah diserahkan pada orang yang
tepat, tidakkah itu bagus?"
Tjat Kek To melanjutkan keterangannya:
"Aku telah mohon bantuan Goei Kongkong akan cari
tempat kediaman Wan Siangkong. Goei Kongkong suka
membantu. Ia lantas kirim orangnya ke Kementerian Perang.
Di Kementerian itu terdapat keterangan jelas perihal Wan
Tjong Hoan, maka segera diketahui di mana Wan Siangkong
berada. Yang lucu adalah Goei Kongkong, karena dia tak tahu
bakat orang. Dia kata, seorang berpangkat kiamsoe yang
demikian rendah, kenapa Khan yang maha besar
memperhatikannya demikian rupa" Setelah itu dia titahkan
Tjio Tjiehoei ini mengantarkan aku kemari."
"Sungguh berbahaya," kata Wan Tjong Hoan dalam
hatinya. Ia merasa beruntung, yang pangkatnya masih kecil,
hingga ia tidak menarik perhatiannya Goei Hong Hian, kalau
tidak, mungkin siang-siang ia sudah dibikin celaka.
65 Hoei Liong awasi orang Boan itu.
"Berapa kali kau sudah bertemu si dorna kebiri?" tanya dia.
Tjat Kek To menjublak. "Dorna kebiri itu adalah si durhaka Goei Tiong Hian," Giok
Lo Sat jelaskan. "Apakah kau tidak tahu?"
Lantas orang Boan itu menjawab:
"Dua kali telah aku bertemu dengannya. Pertama kali ketika
aku menyampaikan suratnya Khan yang maha agung. Dan
kedua kalinya ialah waktu ia memberitahukan tempat
kediaman Wsbi Siangkong."
"Kejadian itu di waktu siang atau malam?" Hoei Liong tanya
pula. "Keduanya di waktu malam." "Di waktu kau bertemu
dengan dorna kebiri itu, adakah kau berdiri dekat dengannya?"
"Dia beri ijin aku duduk di kursi tetamu yang dihormati,
karena itu kita terpisah tidak terlalu dekat, juga tidak terlalu
jauh." "Kira-kira berapa jauh?" "Dia berada di sebelah timur, aku
di sebelah barat," sahut pula Tjat Kek To. "Jaraknya kira-kira
satu tumbak." "Adakah semua keteranganmu ini benar?" Hoei Liong
tegaskan. "Tak sepatahpun aku mendusta," orang Boan itu memberi
kepastian. Si Raksasi Kumala tertawa. "Bagus!" katanya. "Kau bicara
terus terang, terhadapmu suka aku berlaku murah hati..."
"Terima kasih..." kata Tjat Kek To. Tapi, belum sampai
habis ia mengucapkan perkataannya, atau tangannya si
Raksasi Kumala sudah menyambar batok kepalanya, hingga
tanpa menjerit lagi, dia menemui ajalnya.
"Orang yang aku hukum mati seperti dia ini, hingga matinya
dengan cara memuaskan, belum ada tiga jumlahnya," kata si
nona. "Coba dia tidak bicara dengan sebenar-benarnya tidak
nanti aku mengasihani dia secara demikian!"
Tjio Ho telah saksikan itu semua, hatinya goncang keras,
wajahnya menjadi sangat pucat. Walaupun ia satu jago dan
pangkatnya tjiehoei, komandan dari pasukan Kimiewie, ia toh
66 jeri menghadap si Raksasi Kumala yang getas dengan setiap
putusannya. Giok lo Sat berkata pula: "Sekalipun mayatnya, hendak aku
membikinnya hancur musnah! Dengan begini aku hendak
cegah Wan Siangkong nanti terlibat-libat..."
Lantas ia keluarkan dari sakunya satu botol kecil warna
perak yang isinya semacam bubuk, lalu ditaburkannya bubuk
itu ke seluruh tubuhnya si orang Boan itu. Habis itu, ia berdiri
menantikan. Tak lama kemudian tubuhnya Tjat Kek To menjadi cair,
menjadi darah, dengan segera nona itu menggali tanah, untuk
menguruk darah itu, hingga benar-benar lenyap tubuh yang
besar itu... "Sekarang adalah giliranmu!" kata si nona kemudian
kepada Tjio Ho, yang ia awasi dengan keren, selagi tjiehoei itu
duduk menjublak dengan heran dan berkuatir. "Aku
menghendaki setiap kata yang aku katakan kau kerjakan.
Sepatah saja kau membantahnya, akan aku bikin kau
mampus melebihi siksaannya dia ini!..."
"Perintahkanlah, liehiap..." kata komandan itu, suaranya
gemetar. "Ayah, bicaralah dengannya!" si nona minta ayah
angkatnya. "Kau harus membawa aku menghadap Goei Tiong Hian."
berkata Tiat Hoei Liong. Tjio Ho terkejut. Si nona segera mendelikan matanya.
"Baik, baik," kata komandan itu, cepat.
"Wan Siangkong, kau tidak dapat berdiam lebih lama pula
di sini," kata Hoei Liong kepada Tjong Hoan. "Untuk
sementara, pergilah kau menyingkir ke Sinong hoe. Lukanya
Pek Kong Soe tidak berat, dia masih dapat berjalan pulang.
Kami sendiri hendak berangkat lebih dulu."
Lalu. dengan menenteng tubuhnya Tjio Ho, ia berangkat
bersama puterinya. Tiat Hoei Liong mempunyai maksud sendiri. Ia telah dapat
kenyataan, potongan tubuh Tjat Kek To mirip dengan
potongan tubuhnya sendiri, dengan lantas ia dapat pikiran
67 untuk menyamar jadi pahlawan Boan itu, supaya ia bisa
datang dekat pada si dorna kebiri. Memang, selama di
Tiangan Piauwkiok, pernah ia berkata pada Giok Lo Sat yang
ia sedang memikirkan suatu akal untuk dapat menemui Goei
Tiong Hian. "Itulah berbahaya," kata puterinya. Anak ini anggap, bila ia
pergi seorang diri, ayah akan menjadi seperti "tangan sebelah
tak dapat menerbitkan suara".
"Siapa tidak berani memasuki gua harimau, tak dapat ia
mengambil anak macan!" kata Hoei Liong. "Aku tak takut Goei
Tiong Hian nanti kenali penyamaranku. Asal dia suka
menerima kedatanganku, aku tak tunggu sampai dia sadar,
segera akan aku hajar padanya!"
Giok Lo Sat tertawa. Diapun bangsa "tak takut langit, tak
jeri bumi". Dia kata: "Kalau begitu, hendak aku turut memasuki
istana! Mari kita. yang satu masuk secara terang, yang lain
secara menyerbu keluar!"
Ayah itu membiarkan kehendak anak angkatnya.
Tjio Ho mesti menyerah kepada paksaan, maka itu di
malam kedua, dia ajak Tiat Hoei Liong memasuki istana
secara diam-diam. Goei Tiong Hian sudah berkongkol dengan bangsa Boan. ia
merahasiakan sepak terjangnya itu. Tidak ada orang yang
ketahui perbuatannya ini, kecuali beberapa orang yang
dipercaya. Karena ini, setiap kali ia jumpai utusan Boan, ia
lakukan itu di waktu malam. Malah Bouwyong Tjiong masih
belum diberitahukan rahasia itu. Malam itu ia hendak masuk


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidur ketika ia dikabarkan Tjio Ho minta bertemu. Ia terus pakai
bajunya dan pergi keluar. Baru ia muncul diambang pinlu, ia
sudah tampak Tjio Ho berdua si utusan Boan tengah berdiri di
depan ruang thia. Tiba-tiba saja ia dapat pikir satu hal.
"Kemarin dulu ketika ia membicarakan Wan Tjong Hoan,
utusan Boan itu mengatakan Nuerhacha sangat
memperhatikan orang she Wan itu, karenanya aku titahkan dia
mencoba menculik Tjong Hoan, supaya Tjong Hoan dibawa
dulu menghadap padaku. Sekarang mereka cuma datang
berdua, apakah mungkin Wan Tjong Hoan dapat meloloskan
68 diri" Atau karena dia melakukan perlawanan, hingga dia telah
terbunuh mati?" Karena keragu-raguannya ini, Goei Tiong Hian lantas kisiki
pengawal pintunya, habis itu, ia bertindak terus ke thia. Kirakira
beberapa tumbak dari Tjio Ho berdua, dia berhenti, untuk
berdiri menyandar pada tembok. Di situ ia buka mulutnya, ia
bicara dalam bahasa Boantjioe dengan nyaring. Katanya:
"Kuluku, ku ke tulu, pake na te totutu!"
Dorna kebiri ini dapat omong Boantjioe karena ia pernah
belajar dari Tjat Kek To, tapi kali ini, ia mengucap sejadijadinya
saja. Ia merasa pasti, mendengar ocehannya itu, si
utusan Boan akan mentertawakannya. Ia harap orang nanti
membetulkan kesalahan bahasa itu. Ia sangat cerdik, itulah
sebabnya kenapa ia dapatkan kedudukan dan pengaruhnya
itu. Kali ini, ia berhasil.
Tiat Hoei Liong melengak mendengar omongan itu.
Sejenak saja insaflah ia bahwa ia sedang dipancing.
Segera ia lompat, ke arah Goei Tiong Hian, untuk
menyerang. Tiong Hian segera tertawa berkakakan,
tangannya menekan suatu knop di tembok di belakangnya. Di
sana ada pesawat rahasia, yang membuat tembok terbuka,
maka dengan gunakan pintu rahasia itu, ia menghilang di
sebelah lain dari tembok itu!
Hpei Liong kecele, ia sangat menyesal. Tidak berhasil ia
merobohkan si dorna kebiri, kesatu dorna itu sangat licik dan
gesit, kedua jarak mereka masih terlalu jauh. Terpaksa ia
memutar tubuh, untuk menyingkirkan diri.
Tjio Ho pun berlaku licik, selagi Hoei Liong menerjang ke
arah si dorna, ia putar tubuhnya untuk pergi dari situ, sambil
lari keluar pendopo, ia berteriak-teriak: "Ada orang jahat!
Tangkap!" Dalam sekejap saja kumpullah pengawal-pengalawal
pribadi dari Goei Tiong Hian. Mereka merangsak, menerjang
Hoei Liong, siapa sebaliknya telah menjadi gusar sekali,
sambil berseru, ia putar tubuhnya untuk memapaki rangsakan.
Baru dua kali tangannya bergerak ke kiri dan kanan, lantas
dua pahlawan Tongtjiang roboh terbinasa.
69 Satu pahlawan istana yang kuat, sudah menyerang dengan
gembolannya yang empat puluh kati beratnya, menghantam
ke arah kepala. Hoei Liong lihat serangan itu, sambil mendak ia
menanggapi dengan tangan kiri, berbareng dengan itu, tangan
kanannya menyambar si pahlawan, tubuh siapa ia angkat dan
putar, maka ketika ia lepaskan cekalannya, pahlawan itu
terlempar dua tumbak dan terbanting sambil
memnperdengarkan suara keras!
Dalam hal liehaynya tangan, Hoei Liong adalah yang nomor
satu dalam kalangan kangouw dan tak ada bandingannya
dalam Rimba Persilatan, sampai pun Anghoa Kwie- bo jeri
terhadapnya, tidak heran menampak orang demikian kosen,
pahlawannya Goei Tiong Hian mundur sendirinya.
Dalam murkanya itu, Hoei Liong berbalik maju menerjang,
sampai tiba-tiba ia lihat berkelebatnya cahaya hijau ke
bebokongnya. Ia menduga kepada bokongan senjata tajam.
Segera ia berkelit sambil menyampok dari samping. Ia gagal,
tetapi bacokan juga tak mengenai tubuhnya.
Penyerang ini adalah kepala dari Seetjiang, Tjongkauwtauw
Lian Seng Houw. Dia baru pulang dari Soetjoan, dia pergi atas
titahnya Goei Tiong Hian guna membasmi bandit.
Sepulangnya, segera dia dikembalikan ke istana. Dalam ilmu
silat, dia ada di bawahan Bouwyong Tjiong. Genggamannya
adalah sepasang Houwtauw kauw, gaetan berkepala harimau,
yang ia dapat gunakan dengan baik.
Karena datangnya tjongkauwtauw ini, Hoei Liong jadi dapat tandingan.
Karenanya, pahlawan-pahlawan lainnya berani maju pula,
untuk mengepung padanya, la kosen tetapi tak bisa segera ia
membuka jalan. Pihak pengurung, yang tahu ia liehay, tidak
mau merapatkan diri "Kamu semua mundur! Nanti aku yang bekuk bangsat tua
ini!" demikian satu seruan selagi pertarungan berjalan seru.
Seruan itu disusul dengan serangannya.
Hoei Liong segera putar tubuh, untuk menangkis. Ia
rasakan satu tenaga keras menolak hingga ia mundur
70 beberapa tifiuak uan menjadi heran. Segera juga ia kenali
Bouwyong Tjiong. Bouwyong Tjiong sendiri juga mundur beberapa tindak atas
tangkisan si "bangsat tua". Maka dalam hatinya ia berkata,
"Namanya tua bangka ini bukan nama kosong belaka." Tapi ia
tidak takut. Maka setelah mundur, dia maju pula, ia ulangi
serangannya. Hoei Liong layani kepala pahlawan yang kosen itu. Mereka
telah menggebrak dua puluh jurus, tetapi belum ada yang
kalah atau menang. Bouwyong Tjiong menjadi kepala, biasanya ia sangat
banggakan dirinya, perangainya ini dikenal baik oleh
pahlawan-pahlawan dari Tongtjiang dan Seetjiang, maka itu
sekarang, atas seruannya, tidak ada pahlawan yang berani
maju untuk membantui dia.
Sedang orang bertarung, Goei Tiong Hian muncul pula dari
tembok yang berpintukan rahasia, ia kerutkan alisnya apabila
ia tampak jalannya pertempuran itu.
"Penjahat telah menyerbu ke dalam keraton, buat apa
masih pertahankan derajat sendiri?" pikir dia, mengenai
kejumawaannya Bouwyong Tjiong. Dia menjadi tidak puas.
Akhirnya, dia teriaki Lian Seng Houw:
"Lian Tjongkoan, kau maju membantui Bouwyong Tjiong
melawan penjahat itu!"
Karena ia diperintah, Lian Seng Houw tidak berani berdiri
terus menonton saja, ia lantas lompat maju sambil menyerang
dengan gaetannya. Hoei Liong menangkis, ia hendak mencoba merampas
gaetan orang itu, tetapi Bouwyong Tjiong menghalangi
padanya. Ketika ia menangkis, Lian Seng Houw lompat
berkelit ke sampingnya untuk balas menyerang.
Kalau berhasil Seng Houw dengan serangan balasannya
ini, celakalah Hoei Liong. Atau sedikitnya, kulit dagingnya
akan terluka. Sudah begitu, Bouwyong Tjiong pun
membarengi menyerang, dengan kepalan kiri dan telapak
tangan kanannya, kedua-duanya mengarah dada.
Dalam saat berbahaya itu, jago dari Barat utara itu berlaku
tenang, tabah dan gesit. Ia berkelit dari serangannya
71 Bouwyong Tjiong, ia tangkis gaetannya Seng Houw. Ia
membela diri sambil memutar tubuhnya.
Seng Houw kaget, tiba-tiba saja ia rasakan bahunya sakit,
hingga ia lekas lompat mundur, akan periksa lengannya. Maka
ia lihat, lengannya itu merah dan bengkak, di situ ada bekas
satu jari tangan. Saking sehatnya musuh, ia kena tertotok
juga. Bouwyong Tjiong sendiri masih menyerang terus.
Setelah beristirahat sebentar, Seng Houw maju pula; ia
menyerang dari samping. "Penjahat ini mesti ditawan hidup-hidup!" Goei Tiong Hian
berseru. Ia jeri tetapi ia kagumi kegagahan musuh, yang
berada seorang diri. sedang di situ ada pagar pengawal. "Aku
ingin ketahui, dia pesuruh siapa!"
Dorna kebiri ini lantas berikan tandanya, maka semua
pengawal lantas bergerak, mengurung rapat bagaikan tembok
besi. Eng Sioe Yang mendapat dua pembantu liehay, mereka ini
pun turut maju menyerang.
Repot juga Hoei Liong, sebab melayani Bouwyong Tjiong
dan Lian Seng Houw saja, ia sudah kewalahan, sekarang ia
harus tempur empat musuh berbareng. Ia pun lihat rapatnya
kurungan. Mau atau tidak, ia mengharap kedatangannya Giok
Lo Sat, supaya anak angkat itu membantu padanya. Tetapi,
sia-sia ia mengharap si Raksasi Kumala, entah ke mana
perginya anak itu... Terpaksa, ia empos semangatnya untuk
melayani musuh-musuh tangguh itu. Tak puas ia menerima
kekalahan. Giok Lo Sat sebenarnya sedang bekerja.
Sejak itu hari ia pulang dari See San, Kek Peng Teng
masgul sekali, tak dapat ia hiburkan diri. Ia senantiasa ingat
pada kata-katanya si Raksasi Kumala, entah benar entah
dusta kata-kata itu. Demikian itu hari, ia duduk seorang diri
dengan pikirannya bekerja keras, pelbagai pikiran
menyandingi ia. "Giok Lo Sat ada seorang kenamaan, tidak nanti dia
sembarang omong," demikian ia pikir. "Jikalau benar guruku
telah menutup mata, untuk apa aku sekap diri dalam keraton
72 saja" Akan tetapi di sini ibu tinggal seorang diri, suasana di
sini sangat berbahaya dan ibu sangat mengandalkan aku,
bagaimana aku bisa berpisah dengannya?"
Sedang ruwetnya pikiran Pek Teng tiba-tiba ia dengar
ketukan perlahan dua kali pada jendela kamarnya.
"Siapa?" tanya ia.
"Jangan bicara. Inilah aku, lekas buka pintu!"
Itulah suara, yang rasanya Peng Teng kenal. Ia berdiam
sejenak. "Giok Lo Sat?" kata dia kemudian, perlahan.
Di luar terdengar suara tertawa.
"Benar," ia dengar penyahutan. "Hendak aku memohon
sesuatu kepadamu!" Inilah aneh. Giok Lo Sat bermusuh dengan Anghoa Koeibo,
ia juga tentangi Keksie dan Goei Tiong Hian. Dengan
sendirinya ia pun musuhnya Peng Teng. Inilah Peng Teng
ketahui. Akan tetapi Peng Teng tidak punya perasaan
bermusuh terhadap nona itu, malah sejak pertemuan dua hari
yang lalu, si nona seperti mempunyai tenaga menarik
terhadapnya. Sikapnya yang polos, tertawanya yang manis,
itulah penarik yang luar biasa. Giok Lo Sat beda benar
daripada semua orang yang ia pernah lihat di dalam keraton.
Menurut kesannya, Giok Lo Sat mirip dengan gurunya,
mungkin lebih keras, lebih manis... Memikir demikian ia
membayangkan cara hidup si Raksasi Kumala, yang terus
merantau, malang dalam dunia kangouw, melintang dalam
kalangan loklim. "Apakah aku tak dapat hidup merdeka sebagai dia?"
pernah Peng Teng melamun.
Sekarang ia dengar suara Giok Lo Sat, ia dengar juga
tertawanya nona itu, ia seperti terpengaruh suatu tenaga tak
terlihat, yang tak kuat ia melawannya. Tanpa merasa ia
berbangkit. akan menghampiri pintu, untuk membukanya,
hingga ia biarkan "musuh" datang masuk...
Bagaikan angin. Giok Lo Sat melesat ke dalam kamar.
Cepat luar biasa, ia pun menutup pintu itu.
"Kenapa kau masuk kemari?" tanya Peng Teng, sambil
mengawasi dengan tajam. "Kereta kurungku yang kecil telah
73 diminta raja, karenanya tak ada lagi dayaku untuk
mengantarkan kau keluar..."
Giok Lo Sat tertawa perlahan. Tiba-tiba saja ia berhenti,
dan memperlihatkan wajah sungguh-sungguh.
"Kek Peng Teng, hendak aku tanyakan kau satu hal!"
katanya. "Silakan bicara!" kata si nona dari keraton itu.
"Kau ingin atau tidak bangsa Tattjoe dari Boantjioe
menyerbu masuk ke Tionggoan?" tanya Giok Lo Sat, sambil
mengawasi dengan tajam. "Kau ingin atau tidak mereka itu
merampas dan menduduki negara bangsa Han?"
Peng Teng berjingkrak. "Buat apa kau menanyakannya lagi?" jawabnya. "Tentu aku
tak sudi!" "Baik!" kata si nona tak diundang itu. "Karena kau tidak
sudi, sekarang kau tolongi aku melakukan dua hal!"
Peng Teng mengawasi pula.
"Katakanlah!" sahut Peng Teng. "Asal saja hal itu sanggup
aku mengerjakannya.'"
"Yang pertama." kata si Raksasi Kumala, "kau mesti tolongi
aku membunuh Goei Tiong Hian!"
Peng Teng terkejut. "Apa kau kata?" dia tegaskan.
Peng Teng tidak tahu dia adalah puteri tidak sah dari Goei
Tiong Hian, ia melainkan ketahui, Goei Tiong Hian sangat
menyayangi padanya. Ia pun tahu, Goei Tiong Hian dan
ibunya sangat baik satu pada lain, dan mereka berdua sering
berkumpul dalam kamar rahasia merundingkan sesuatu. Maka
itu. permintaannya si Raksasi Kumala membuat ia bingung.
Giok Lo Sat segera berbisik di kupingnya:
"Kau tahu, dia adalah satu penghianat yang berkongkol
dengan bangsa asing, yang hendak menjual negara kita!"
Gemetar tubuhnya Peng Teng. Tak dapat ia tidak
mempercayai kata-katanya nona ini.
"Apakah ada lain orang lagi?" dia tanya. Dia kuatir ibunya
tersangkut juga, sampai suaranya pun agak gemetar.
"Siapa lagi konconya tak tahu aku semuanya," jawab si
Raksasi Kumala. "Yang aku ketahui cuma satu, Eng Sioe
74 Yang. Ilmu silatnya Eng Sioe Yang ada di atasan kau. jangan
kau keprak rumput hingga ular jadi kaget karenanya. Tentang
dia. biarlah kami yang membereskannya."
Nona Kok menghembuskan napas lega.
"Apakah itu yang kedua?" tanya dia.
"Sekarang ini ayah angkatku sedang dikurung di depan
keraton Tjengyang kiong, aku ingin supaya kau berupaya


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meloloskan ia dari kepungan." sahut Giok Lo Sat.
Giok Lo Sat menyelundup ke dalam keraton ketika Tjio Ho
mengantar Hoei Liong memasuki istana. Ia datang
belakangan, maka waktu ia sampai di Tjengyang kiong,
gedung Goei Tiong Hian. ia dapatkan ayahnya sudah asyik
bertempur sama musuh. "Inilah hebat," pikirnya, apabila ia tampak jalannya
pertempuran itu. Bouwyong Tjiong dan Lian Seng Houw
sedang mengepung ayahnya. "Aku duga, dengan satu
gebrakan saja, ayah dapat membikin mampus si dorna, siapa
tahu. dorna itu lolos dan ayah terkurung. Bila aku membantui
ayah, kita cuma dapat bertahan agak lama, tetapi untuk
meloloskan diri, tetap sulit. Kurungan ini ada terlalu hebat..."
Si Raksasi Kumala menjadi berkuatir. Ia lantas berpikir
keras. Dasar ia cerdik, tiba-tiba ia ingat Kek Peng Teng. Nona
itu beda daripada Keksie, sang ibu.
"Kenapa tidak hendak kucoba dia?" demikian ia pikir.
Lantas ia pergi ke kamar si nona. Ia tahu bagaimana ia
harus bicara, untuk mempengaruhi nona yang polos itu.
Peng Teng bingung. "Kepandaianku rendah, bagaimana aku bisa menolongi
ayahmu?" dia tanya. "Kita mengadu otak, bukannya tenaga," kata Giok Lo Sat.
"Untukmu sudah cukup andaikata kau pancing beberapa
pahlawan yang terpandai hingga mereka menjauhkan diri. dari
pengepungan." Peng Teng lantas berpikir. Dengan cepat ia mendapat
jalan. "Baik, aku dengar kau, entjie!" katanya kemudian. "Akan
kucoba..." Terus ia berbisik di kupingnya si Raksasi Kumala.
75 Giok Lo Sat tertawa "Bagus begitu!" katanya. "Sungguh kau adikku yang baik!"
ia memuji, sambil mencium dahinya, habis itu ia lompat ke
jendela untuk angkat kaki.
"Entjie..." kata Peng Teng dengan perlahan. Likat ia
mengatakannya. Tapi ia telah dipanggil adik. ia pun telah
diciumnya, maka bulat sudah tekadnya. Ia suka melakukan
segala apa untuk entjie ini. sang kakak... Toh ia masih tak
sadar kenapa ia begitu tertarik pada nona itu...
Di medan pertempuran. Hoei Liong sudah mulai merasa
letih. Empat musuhnya itu tangguh sekali, la pun heran
mengapa anak pungutnya masih juga belum muncul.
"Aku tidak sangka hari ini aku bakal mati di sini..." pikir jago
dari Barat utara ini. "Aku mati tidak puas. maka mesti aku
beber dulu rahasianya si dorna kebiri..."
Di pihak lain, Bouwyong Tjiong ada sangat girang. Sebagai
ahli yang matanya liehay. ia sudah lihat, lawan kewalahan. Ia
percaya kali ini ia akan berhasil. Maka ia tunggu waktunya,
untuk memberikan pukulan yang terakhir. Ia sangat cerdik,
dan waktu sudah lantas datang...
Selagi Hoei Liong repot, Bouwyong Tjiong sambar kepala
orang. Ia gunakan tangannya yang kanan. Ia hendak pancing
tangan lawan keluar, supaya ada lowongan terbuka.
Berbareng dengan itu, tangan kirinya dilonjorkan untuk
menotok ke arah iga di jalan darah kwangoan hiat.
Selagi serangan berbahaya itu dilakukan. Tiat Hoei Liong
barseru: "Kamu tengah dipedayakan Goei Tiong Hian! Goei
Tiong Hian sudah berkongkol dengan bangsa asing, dia
hendak menjual negara kita! Dan kamu membantu harimau,
kamu tak akan lolos dari keadilan!"
Bouwyong Tjiong kaget, hingga totokannya ditujukan ke
lain arah. Goei Tiong Hian pun kaget, ia menjadi sangat gusar.
"Ngaco bangsat ini!" dia berteriak. "Bunuh dia!"
Sekarang tak ingin lagi ia menawan orang hidup-hidup.
Bouwyong Tjiong melengak, ia ragu-ragu.
Berbareng dengan itu terdengar gemuruh suara orang:
"Api! api!" 76 Goei Tiong Han kembali menjadi kaget.
"Lekas keluar! Lihat!" ia berseru. "Lihat!"
Menyusul itu, terdengar jeritan nyaring mengharukan,
mengagetkan: "Tolong! tolong!..."
Tiong Hian menjadi bertambah kaget, ketika ia kenali
suaranya Peng Teng. "Kebakaran di keraton Hong Seng Hoedjin!" begitu
terdengar teriakan pengawal yang berdiri di dekat pintu.
"Tolong! tolong!..." kembali terdengar jeritan Nona Kek.
Jeritan itu lebih lemah tetapi lebih hebat...
Tengah Tiong Hian bingung dan kualir, dari arah luar
terdengar suara tertawa nyaring dan panjang, yang disusul
dengan lemparan-lemparan genteng di empat penjuru atas
gedung. Tjio Ho berada di belakangnya Goei Tiong Hian. mukanya
tiba-tiba menjadi pucat. "Itu... itulah... Giok Lo Sat!..." katanya.
Dua kali Giok Lo Sat telah mengacau istana, Goei Tiong
Hian ketahuinya dengan baik, maka itu, mendengar
perkataannya Tjio Ho, ia menjadi kaget. Bingungnya pun
bertambah. Teranglah musuh tak datang sendirian.
"Lekas kirim orang untuk menolongi Hong Seng Hoedjin!" ia
berteriak dengan titahnya.
Dorna ini tidak tahu bahwa dia sedang dipermainkan Peng
Teng, yang dibantu si Raksasi Kumala. Api dilepas Peng
Teng, Peng Teng sendiri yang menjerit-jerit minta tolong. Dan
ia lari terbirit-birit sebagai juga ia sedang dikejar-kejar musuh.
Giok Lo Sat, yang memamerkan kegesitan tubuhnya,
berlari-lari di atas genteng, ia lari di empat penjuru, sambil
melempar genteng, dengan begitu ia membuatnya seperti ada
musuh-musuh di empat penjuru gedung itu.
Goei Tiong Hian tinggal di Tjengyang kiong, gedung ini
terpisah dekat dengan Lengnio hoe, gedungnya Keksie, maka
itu, tampak nyata berkobarnya api yang menakuti, ditambah
pula hebatnya jeritan-jeritan Peng Teng dan tertawa yang
menyeramkan dari si Raksasi Kumala.
Pengawal-pengawal yang mengurung Hoei Liong, sebagian
sudah meninggalkan kurungan, untuk lari keluar, guna
77 memadamkan api, supaya dengan begitu mereka dapat
mentaati titahnya Goei Tiong Hian. Malah Bouwyong Tjiong
sendiri, setelah membuat satu ancaman, untuk menggertak
lawan, sudah lantas lompat juga. akan memburu keluar.
Begitu Bouwyong Tjiong mundur. Hoei Liong bernapas
lega. Ia lantas desak Lian Seng Houw dan satu lagi lawannya,
lalu ia keluarkan sebilah pisau belati, yang dilemparkan
kebebokongnya si orang she Bouwyong yang sedang lari
keluar itu. "Jahanam Bouwyong, kau sambut ini!" dia berteriak sambil
menimpuk. Bouwyong Tjiong tidak menoleh tetapi ia gerakkan
tangannya ke belakang, untuk menyambut pisau belati itu. Ia
sangat liehay. Dengan senjata itu ia hendak balas menimpuk
tatkala ia dengar pula teriakannya musuh.
"Jahanam Bouwyong, kau periksa pisau belati itu!"
demikian si jago dari Barat utara.
Bouwyong Tjiong bercekat, ia batal menimpuk, malah ia
masukkan senjata itu ke dalam kantong pekpolong, lalu ia lari
ke arah lengnio hoe. Goei Tiong Hian masih tetap murka.
"Lian Seng Houw, kau bunuh bangsat tua ini, cingcang
padanya!" dia berteriak. Dia percaya orang-orangnya sanggup
membinasakan penyerang itu.
Sekarang ini pihak pengurung tinggal kira-kira sepanahnya.
Hoei Liong menjadi sangat gusar, ia menyerang sambil
berseru keras. Ketika ia berhasil menjambak satu pengawal, ia
angkat tubuhnya untuk dilemparkan ke atas.
Semua pengawal lainnya kaget, mereka berteriak, lalu
menyingkir, supaya tidak tertimpa tubuh kawan itu.
Hoei Liong tertawa nyaring, ia menerjang pula, hingga
berhasil membekuk tiga pengawal lagi, yang satu demi satu ia
lemparkan ke atas, hingga mereka jatuh dengan terbanting
keras. Lian Seng Houw menjadi gusar sekali, dengan sepasang
gaetannya ia menerjang dengan hebat.
Berbareng dengan serangan pahlawan istana ini,
terdengarlah satu tertawa yang nyaring dan panjang, disusul
78 dengan lompatnya seorang dari atas genteng beling, karena ia
kubat-kabitkan pedangnya, sinar pedangnya itu berkilauan.
Itulah Giok Lo Sat, yang muncul pada saat yang baik.
Begitu lekas dia injak tanah, diapun menerjang. Hingga lekas
sekali dia membuat beberapa pengawal roboh dengan hilang
tangannya atau kakinya buntung! Hingga yang lain-lainnya
kaget dan mundur dengan cepat.
Goei Tiong Hian saksikan itu, ia kaget bukan main.
"Celaka!" teriak Tjio Ho. "Lekas sembunyi!"
Dorna itu tahu bahaya, ia buka pintu rahasianya, untuk
lompat masuk, ini diturut oleh pahlawannya yang licik itu.
Dengan begitu, pengurungnya Hoei Liong jadi semakin
berkurang, tinggal belasan pengawal saja, hingga dengan
sendirinya, mereka menjadi jeri. Tapi mereka masih mencoba
mengurung terus. Giok Lo Sat bergerak dengan cepat untuk memecahkan
kurungan itu, pedangnya tak hentinya berkelebatan, hingga
lagi enam pengawal roboh sambil perdengarkan jeritan dari
kesakitan yang hebat, suaranya sangat mengharukan.
"Mampus siapa yang merintangi aku!" si nona mengancam.
"Selamat siapa yang mundur!"
Dan dengan tertawanya yang panjang, ia membuka jalan
darah. Lian Seng Houw dan dua jago undangannya Eng Sioe
Yang menjadi bingung. Dengan hati keder. tak dapat mereka
berkelahi terus seperti permulaan tadi.
Giok Lo Sat lompat pada Lian Seng Houw, dengan jurus
"Gioklie tjeantjiam", atau "Bidadari menusuk jarum", dia tikam
bebokongnya pahlawan itu pada urat hoenboen hiat.
Lian Seng Houw terperanjat, ia memutar tubuh, untuk
menangkis dengan sepasang gaetannya. Itulah bukan
tangkisan biasa, hanya kacipan terhadap pedang lawan.
Hoei Liong lihat aksi si pahlawan, ia lompat untuk
menyerang gaetannya. Satu gaetan kena disampok. yang lain
hendak dilibat. Seng Houw membuat perlawanan.
79 "Bret!" begitu terdengar bajunya robek. Ia menjadi kaget,
lalu ia angkat langkah panjang. Dengan begitu terhindarlah ia
dari ancaman bahaya maut, cuma bajunya yang mewakilkan.
Sampai di situ. terbukalah jalan untuk Hoei Liong
menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Giok Lo Sat kenal
baik istana, ia pimpin ayah angkatnya itu keluar pintu Sinboe
moei untuk menyingkir ke gunung Kengsan.
Sedangnya Giok Lo Sat membantu ayahnya mengamuk
musuh, Bouwyong Tjiong telah menemui Kek Peng Teng,
melihat siapa, ia menjadi terkejut. Nona itu rambutnya terurai,
pundak kirinya berlumuran darah. Tapi yang aneh, di situ tidak
ada musuh satupun. "Semua penjahat sudah kabur!" berkata Nona Kek. "Si
hantu wanita telah menikam pundakku ini, syukur tidak
berbahaya. Paling perlu kamu pergi padamkan api!"
Pemimpin pahlawan itu heran, ia bercuriga.
"Ilmu pedang dari Giok Lo Sat sangat liehay." pikirnya
"Setiap ia menyerang, ia cari jalan darah. Apa mungkin
terhadap bocah ini ia menaruh belas kasihan"..."
Meski begitu, ia toh pergi melihat api.
Kebakaran belum hebat, oleh karena ada orang banyak,
tak lama api telah dapat dipadamkan.
Keksie tarik puterinya, dibawanya masuk ke dalam untuk
menukar pakaian, setelah mana, ia obati lukanya. Sambil
menolong anaknya, nyonya ini mengutuk tak hentinya kepada
si Raksasi Kumala. Peng Teng tertawa di dalam hatinya, ia biarkan ibunya
mendumal terus. Luka itu ia buatnya sendiri, itu cuma
semacam lecet, untuk keluarkan darah saja, guna mengabui
mata umum. Sesudah huru-hara itu selesai, lantas pengawal
Sinboe moei memberi laporan bahwa semua penjahat sudah
kabur. Mendengar laporan itu, barulah Goei Tiong Hian
mengeluarkan napas lega, lalu ia menitahkan agar penjagaan
selanjutnya ia perkeras, dan semua pengawal harus berhatihati,
kemudian ia pergi kepada Keksie. Tentu saja ia datang
secara diam-diam. 80 Ketika itu Peng Teng sudah selesai menukar pakaian dan
memakai obat, lalu ia rebah dengan berpura-pura tidur.
Agaknya ia beristirahat akan tetapi otaknya bekerja. Ia asyik
memikirkan kata-katanya Giok Lo Sat. Ia meram, akan tetapi
ia dengar tindakan kaki dari ibunya dan Goei Tiong Hian, di
luar pintu. Hatinya memukul keras.
"Apakah harus aku turut perkataannya Giok Lo Sat atau
jangan?" berulang-ulang ia tanya dirinya sendiri. "Apakah
harus aku bunuh mati padanya?"
Tiba-tiba cahaya api berkelebat.
Nona ini terus meram, akan tetapi ia dapat bayangkan Goei
Tiong Hian sedang membungkuk akan menilik kepadanya.
"Sekarang ini, bila aku gerakkan tanganku, tentu dia
terbinasa," pikirnya.
"Akan tetapi ada ibu di sini. Bagaimana aku dapat
membiarkan ibu menyaksikan darah berlumuran?"
"Anak Teng!" tiba-tiba Keksie memanggil.
Anak itu pura-pura tidur, ia tidak menyahuti, pun tidak
menggerakkan tubuhnya. "Dia pulas!" ia dengar ibunya berkata.
"Apakah lukanya berbahaya?" ia dengar pertanyaannya
Goei Tiong Hian. "Syukur tidak berbahaya," sang ibu menjawab.
"Kasihan dia..." mengeluh si dorna. "Kita menyuruh dia
tinggal di istana, pikirku supaya dia merasakan hidup senang
dan berbahagia, mana aku tahu malam ini dia akan terluka.


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia menggantikan aku..."
Keksie heran. "Apa" Menggantikan kau?" tanya nyonya ini.
"Oh, kau belum tahu?" Goei Tiong Hian balik menanya.
"Pembunuh-pembunuh itu datang sengaja untuk membunuh
aku." Peng Teng dengarkan semua pembicaraan itu, hatinya
tersentak hingga tubuhnya sedikit bergerak.
"Sudah, jangan kita pasang omong di sini," kata Goei Tiong
Hian dengan perlahan,, "kita harus jaga supaya dia jangan
sampai mendusin..." 81 Dia tarik tangannya Keksie dan bertindak hati-hati keluar.
Pintu pun ditutupnya dengan perlahan-lahan. Peng Teng
heran. "Mengapa Goei Tiong Hian berlaku baik sekali
terhadapku?" ia tanya dirinya sendiri. "Dia seperti anggap aku
anaknya sendiri... Sekalipun benar ia baik sekali terhadap ibu.
terhadapku tak selayaknya ia menaruh perhatian sebesar ini...
Katanya dia sangat telengas terhadap kaum Tonglim Tong,
mengapa terhadapku dia begini baik hati" Kenapa"
Kenapakah"..." Tidak ia peroleh jawabannya.
Biasanya, karena ia jemu pada Tiong Hian, kalau dorna itu
datang menengok ibunya, Peng Teng senantiasa menjauhkan
diri. Belum pernah ia mendengarkan pembicaraan mereka itu,
apapula untuk mendengarkan dengan mencuri. Akan tetapi
malam ini, ia seperti terdampar gelombang, hatinya bimbang,
goncang keras. Gerak-geriknya Tiong Hian menimbulkan
kecurigaan. Maka akhirnya ia bangkit turun dari
pembaringannya. Lalu ia menguntit ibu dan dorna itu, untuk
mendengarkan pembicaraan mereka terlebih jauh.
Kedua orang itu duduk di dalam kamar rahasia. Peng Teng
mendekati jendela, untuk membasahkan kertas dengan
ludahnya. Karena ia tidak puas dengan memasang kuping
saja, ingin juga ia melihat gerak-gerik mereka. Maka
tertampaklah olehnya tangannya Tiong Hian diletakkan di
pundak ibunya, sikapnya orang itu sangat menyayanginya.
"Beberapa hari lagi umurnya si Teng jangkap dua puluh
tahun," berkata Goei Tiong Hian. "Benar, bukan?"
"Memang," sahut sang ibu. "Aku kira kau sudah lupa. Nyata
kau masih mempunyai liangsim..." (Liangsim = kesadaran hati
sanubari.). Jantungnya Peng Teng seolah-olah lompat mendengar
pembicaraan itu. "Heran, kenapa dia tahu hari ulang tahunku?" dia berpikir.
"Sejak dia dibawa ke istana ini. kelihatannya dia seperti
memikirkan sesuatu." berkata Goei Tiong Hian pula.
"Umumnya dia berada dalam kemasgulan. Apakah kau pernah
menanyakan itu kepadanya" Bukankah karena meningkatnya
82 usianya, hingga ia memikirkan soal pernikahan" Tidak apa
jikalau dia tidak sudi menjadi selir sri baginda, di istana masih
banyak menteri sipil dan militer dan anak-anak bangsawan.
Bila dia setuju tentu akan terkabul maksud hatinya!"
Keksie tertawa sebentar, lalu ia menghela napas.
"Memang bila ia memikirkan untuk menikah itu mudah
diurus..." kata ibu ini dengan masgul. "Sebaliknya, dia tidak
menginginkan suami! Aku juga tidak tahu kenapa dia tidak
gembira. Di masa kecilnya, dia sangat nakal, dia selalu
memanjat dan berlompat-lompatan. Sekarang, untuk
menyuruh dia mendengarkan beberapa perkataan saja,
sukarnya bukan main. Setiap kali aku bicara dengannya, kalau
dia tidak sebut-sebut keinginannya akan pulang ke rumah, dia
utarakan kehendaknya untuk pergi mencari gurunya. Dia bikin
aku jengkel saja..."
Goei Tiong Hian pun menghela napas.
"Mungkin budak itu ditakdirkan berperuntungan rendah?"
katanya kemudian. "Ah, jangan kau menyebutkan begitu," kata Keksie, masgul.
"Memang dahulu penghidupannya di desa, walaupun melarat,
ada juga kebaikannya."
Goei Tiong Hian tertawa tawar.
"Memang, kalau diingat dahulu di desa, bagaimana kurang
senang hidup kita..." kata nyonya itu. Ia mau tunjukkan
hidupnya yang romantis. Goei Tiong Hian tertawa. "Apakah sekarang kau tidak hidup senang?" tanyanya.
Parasnya nyonya itu menjadi bersemu merah. Ia menarik
napas. "Inilah yang dibilang mulut anjing tidak mengeluarkan caling
gajah!" katanya. "Sekarang ini aku justeru lebih banyak pikiran
dari semasa dahulu, aku jadi tambah pusing. Selainnya kita
berjaga-jaga dari serangannya pihak Tonglim Tong, kita juga
kuatirkan kalau nanti sri baginda sudah lanjut usianya. Setelah
raja dewasa, kekuasaan kita sekarang tidak bakal kekal abadi
lagi. Menurut katanya Peng Teng, raja cilik itu bertubuh sangat
lemah, dikuatirkan dia tidak akan hidup lama. Umpama kata
83 terjadi pertukaran raja, entah bagaimana nanti kesudahannya
kedudukan dan hidup kita..."
Sebaliknya dari si nyonya, yang berkuatir dan berduka itu,
Goei Tiong Hian tertawa besar.
"Sekarang ini menteri-menteri sipil dan militer di dalam
istana, kalau dia bukannya anak angkatku, dia tentu muridmuridku,"
katanya dengan jumawa. "Di samping itu, aku juga
berkuasa atas Tongtjiang dan Seetjiang. Apa yang hendak
dikata raja baru terhadap aku" Pendeknya siapa dengar kata
kita, dialah yang menjadi raja! Ha-ha-ha! Kalau aku ingat
dahulu, di masa aku masih tinggal di desa, orang mencaci aku
sebagai si buaya darat, tetapi sekarang mereka itu tak akan
menduga bahwa aku adalah Kioetjianswee! Hm, bukan saja
Kioetjianswee, malah Banswee sendiri berada dalam
genggamanku!" (Kioetjianswee = umur sembilan ribu tahun --
artinya raja muda, pangeran. Banswee = umur sepuluh ribu
tahun -- artinya raja.). Walaupun orang sangat gembira dan jenaka nampaknya
Keksie sendiri, tersenyum pun tidak.
"Masih ada lagi satu hal." dia menambahkan. "Kita juga
mesti waspada terhadap pembunuh. Lihatlah malam ini.
sampaipun Peng Teng telah kena dilukai, hingga aku kaget
hampir mati! Bukannya aku omong main-main, aku menjadi
lebih takut daripada masa di desa sewaktu kita mencuri main
asmara-asmaraan..." Tapi Goei Tiong Hian kembali tertawa besar.
"Turut kau itu." katanya, "bukankah itu waktu lebih baik kau
jangan masuk ke keraton untuk menjadi inang pengasuh dan
aku jangan aku kasih diriku dikebiri untuk menjadi thaykam!
Tidakkah aku menjadi terlebih kecewa dan penasaran! Coba
kita tidak temahakan pangkat dan kemuliaan, bukankah
setelah mampusnya suamimu yang berpenyakitan itu, boleh
kita berlaku terus terang menjadi suami isteri yang hidup
bersama-sama, supaya kita dapat memelihara lebih banyak
anak-anak. Dengan begitu tak usahlah aku menjadi putus
anak cucu! Sekarang ini kita cuma punya satu budak yang
hina akan tetapi dia masih tak dapat diberi tahu bahwa akulah
ayahnya yang tulen!..."
84 Peng Teng mendengarkan hatinya kebat-kebit, makin lama
makin hebat denyutannya, apalagi ketika ia dengar perkataanperkataan
yang terakhir, kaki tangannya menjadi dingin,
hatinya sakit bagaikan disayat-sayat. Sama sekali tidak
pernah ia terka bahwa orang kebiri ini, adalah ayahnya sendiri.
Ia menjadi malu. Celaka, ia rasakan dirinya. Lebih sulit ia
menerima ini daripada diludahi orang. Ia ingin bertemu liang
ke dalam mana ia bisa terjun masuk, supaya ia tak bertemu
siapa jua. Ia tutupi mukanya, hampir ia menangis
menggerung-gerung... Tak dapat ia memasang kupingnya lebih jauh, ia putar
tubuhnya untuk lari pergi. Ketika ia sampai dijalan, mendadak
ia tampak satu bayangan berkelebat di atas genteng beling,
hingga ia menjadi kaget dan heran. Syukur ia masih sempat
menyembunyikan dirinya di belakang tiang besar yang
berukiran naga-nagaan. Dari sini ia dapat lihat tegas
bayangan itu ialah Bouwyong Tjiong.
"Begini malam dia datang kemari, mau apa ia?" ia tanya
dirinya sendiri. Bouwyong Tjiong lantas mendekam di atas penglari di
ruang luar dari Lengnio hoe.
Peng Teng sedang kalut pikirannya, tak ada keinginannya
akan mengintai pemimpin pahlawan istana itu, tak juga ia
berniat menemuinya. Maka dengan jalan mutar, ia lari terus,
untuk pulang ke kamarnya. Ia sekap dirinya dalam kamar yang
gelap, ia bercokol menjublak di atas pembaringannya. Secara
begini, tak tahulah ia apa yang diperbuat lebih jauh oleh
Bouwyong Tjiong. Setelah kebakaran padam, Bouwyong Tjiong kembali ke
kamarnya. Segera ia keluarkan pisau belatinya Tiat Hoei
Liong, untuk diperiksa. Pada ujung pisau itu terdapat sepotong
kertas, lalu ia baca: "Aku tantang kau tiga hari kemudian untuk bertempur satu
sama satu di jurang Pitmo gay, waktunya ialah tengah hari
tepat. Kedua pihak tak dapat mengundang kawan untuk
membantu. Jikalau kau berani datang, kau benar satu enghiong, tetapi
jikalau kau tidak berani muncul, kaulah seekor anjing!"
85 Dari Tiat Hoei Liong Tak terhingga murkanya kepala pahlawan ini.
"Bangsat she Tiat, kau sangat menghina aku!" dia kata
seorang diri. "Mungkin tak dapat aku menangkan kau tetapi juga belum
pasti aku akan kalah di tanganmu! Siapa jeri terhadapmu?"
Ia kepal-kepal surat itu hingga bergumpal, terus ia
lemparkan! Pada hari-hari biasa, apabila Bouwyong Tjiong menerima
tantangan dari lawan yang tangguh, tentu dia lantas pusatkan
perhatiannya, untuk memikirkan cara-cara guna menghadapi
musuh, untuk merebut kemenangan, akan tetapi kali ini, ia
tidak berbuat demikian. Ia telah tertarik oleh satu urusan lain,
yang terlebih penting. Bukankah ia telah dengar sendiri cacian
nyaring dari Tiat Hoei Liong selama di Tjengyang kiong --
cacian bahwa Goei Tiong Hian adalah dorna yang sudah
sekongkol dengan pihak asing untuk menjual negara" Itulah
halnya. "Apakah benar-benar Goei Tiong Hian seorang penghianat
bangsa yang sudah berkongkol dengan bangsa asing untuk
menjual negara?" demikian berulangkali Bouwyong Tjiong
bertanya dalam hatinya sendiri.
Ia ingat, setelah cacian itu, Goei Tiong Hian jadi seperti
kalap. Ia teringat juga akan sikapnya Goei Tiong Hian apabila
dia sedang berkumpul bersama Eng Sioe Yang dan Lian Seng
Houw, bahwa kalau ada dia, dia seperti hendak dijauhkannya.
Makin ia berpikir kesitu, makin bercuriga ia.
"Tua bangka she Tiat itu memang berkepala besar akan
tetapi dialah seorang Rimba Persilatan yang berderajat, maka
tak mungkin dia ngaco tidak keruan!" demikian ia berpikir pula.
Bouwyong Tjiong ialah seorang dari propinsi Kamsiok,
termasuk suku bangsa Hwee. Dia memang bertenaga besar
sejak kecilnya. Ia diterima sebagai muridnya Tjiauw Bantjoe.
satu begal tunggal yang tersohor di Barat utara, ia diberi
pelajaran silat. antaranya Engdjiauw Kang dan Tiatpousan.
Yang terakhir ini adalah ilmu kekuatan tubuh yang tak
mempan senjata tajam. Setelah itu ia pergi ke Koenloen san
untuk mengikuti Teng Hie Taysoe memahamkan
86 ilmu silat Sinkoen-"Kepalan
Dewa" - yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Sejak itu,
setelah memasuki dunia kangouw, dengan cepat namanya
menjadi terkenal. Ketika Kaisar Sin Tjong mengeluarkan
pengumuman mencari anak buah pasukan Kimwiekoen, dia
segera pergi ke kota raja untuk mendaftarkan nama, karena
dia sangat kemaruk pangkat, dan ini juga dapat mengangkat
derajat anak isterinya. Kebetulan untuknya, ia dapatkan
pembesar yang suka memberi tanggungan. Dalam pemilihan,
ia berhasil diangkat menjadi touwtjiehoei, komandan.
Kedudukan itu ia pangku terus sampai sepuluh tahun lebih.
Liehay ilmu silatnya Bouwyong Tjiong, tinggi kedudukannya
dalam pasukan pengawal raja itu, akan tetapi ia tak pandai
bergaul, ia tak paham ilmu menempel orang-orang yang
terlebih atas, sebaliknya, ia jumawa karena terlalu
mengandalkan kegagahannya itu, hingga di antara kawan
sejahatnya ia juga kurang cocok, maka selama tahun itu, ia
tak pernah naik pangkat, tetap ia menjadi touwtjiehoei. Setelah
Goei Tiong Hian berpengaruh, dorna ini ketahui orang ini
liehay, dia ingin pakai tenaga orang, baru sekarang ia
mendapat kenaikan pangkat, derajatnya dari tingkat satu
dinaikkan ke tingkat ketiga, lalu belum sampai setengah tahun,
ia diangkat pula menjadi Tjongkauwtauw, guru besar, dari
barisan Tongtjiang. Bouwyong Tjiong cuma ingat pangkat, sekarang ia diberi
kenaikan oleh Goei Tiong Hian, dengan sendirinya ia menjadi
sangat berterima kasih kepada orang kebiri itu. Tapi di
samping sifatnya itu, belum lenyap kejujuran dan
ketulusannya. Maka itu tak setuju ia terhadap perbuatan Goei
Tiong Hian yang suka mencelakai menteri atau pembesarpembesar
setia. Beberapa kali pernah hatinya yang murni itu
berontak, akan tetapi karena terdesak oleh keinginan
memperoleh pangkat besar, hatinya yang bersih itu selalu
dapat ditindih. Maka pada akhirnya, Goei Tiong Hian
menggunakan dia sebagai perkakas.
Akan tetapi malam ini, setelah mendengar kata-katanya
Tiat Hoei Liong itu, teringatlah ia kepada kejadian yang sudahsudah
yang ia pernah saksikan sendiri. Ia percaya Goei Tiong
87 Hian harus dicurigai telah berkongkol dengan bangsa Boan.
Kembali tergerak hatinya yang putih bersih. Dia berpikir:
"Jikalau benar Goei Tiong Hian menjadi penghianat bangsa,
apakah aku tidak terlibat juga?"
Bouwyong Tjiong anggap dirinya sebagai satu enghiong, ia


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak insaf bahwa ia telah menjadi gundal orang. Sekarang
berkelahilah hatinya yang bersih menghadapi ketemahaannya
kepada pangkat. Ia ingin tinggalkan Goei Tiong Hian tetapi tak
ikhlas ia meninggalkan kedudukannya itu. Jikalau ia tidak
jauhkan diri, ia kuatir Goei Tiong Hian benar-benar berkhianat.
Lama pahlawan ini melamun, pikirannya masih tetap
berkutat, tatkala kupingnya dengar tanda jam empat. Adalah
pada saat ini tiba-tiba saja ia ingat suatu hal.
"Mengapa tak mau aku menyelidikinya?" demikian pikiran
yang timbul di kepalanya.
Maka dengan tak mensia-siakan waktu lagi, ia pergi ke
Tjengyang kiong. Di sana tak dapat ia jumpai Goei Tiong Hian,
terus ia pergi ke Lengnio hoe, gedungnya Keksie.
Goei Tiong Hian dan Keksie melanjutkan pembicaraan
mereka, dan Bouwyong Tjiong dari tempat mendekam
memasang kupingnya. "Apa yang dipikirkan Peng Teng, malas aku
memperhatikannya," demikian suaranya Tiong Hian, yang
bicara sambil tertawa. "Cis anak sendiri tidak hendak diurusnya!" jawab Keksie.
Bouwyong Tjiong terperanjat.
"Ah. kiranya budak cilik itu ada anaknya!" pikir dia.
"Bukannya aku tidak hendak mengurusnya," kata Goei
Tiong Hian. "Bukankah kau telah melihatnya sendiri
bagaimana sayangnya aku padanya" Yang benar adalah aku
tak dapat mengurusnya dan diapun tak dapat diurus. Setiap
kali dia menemui aku, nyata-nyata dia tak suka bicara
denganku. Jadi bagaimana bisa aku bicara dengannya, dari
hati ke hati?" "Habis," katanya kemudian, "perlukah aku memberitahukan
siapa sebenarnya ayahnya?"
Goei Tiong Hian mengangkat tangannya cepat-cepat.
"Jangan, jangan!" cegahnya.
88 Keduanya lantas berdiam. "Bukankah kau kuatirkan. jikalau raja yang baru naik tahta,
kedudukan kita jadi goncang?" kata pula Tiong Hian
kemudian. "Kau tahu. kekuatiranmu itu tidak beralasan."
"Kenapa kau bilang begitu?" tanya Keksie. "Apakah kau
masih mengandalkan semua menteri sipil dan militer, yang
kau katakan kalau bukan anak angkatmu tentu muridmuridmu"
Tetapi mereka itu semua adalah bangsa yang
mudah dipengaruhi, jikalau nanti gunung es gempur, apakah
kau tidak kualir mereka akan mencari suatu gunung yang
baru?" Tiong Hian tertawa. "Itu, itulah ada dalam dugaanku,"
katanya. "Nyonya yang baik, kau belum tahu..."
"Belum tahu" Belum tahu apa?" tanya sang kekasih.
"Aku kuatir, belum lagi raja yang baru naik atas tahta, maka
bangsa Tartar dari Boantjioe nanti sudah datang menyerbu..."
sahut dorna kebiri itu. Keksie nampaknya terkejut. "Tidakkah itu berarti lebih
celaka lagi?" tanyanya.
"Apa yang harus dibuat kuatir?" jawab Tiong Hian dengan
tenang. "Jikalau bangsa Boantjioe telah dapatkan negara ini
maka kebahagiaan kita menjadi lebih terjamin!"
Keksie menjadi heran. "Apa kau bilang?" tanya dia pula.
"Apakah kau telah berkongkol dengan bangsa Boantjioe itu?"
"Perlahan sedikit." cegah Tiong Hian sambil
menggoyangkan tangannya. "Tidakkah pepatah mengatakan,
dialah seorang gagah siapa kenal selatan" Sekarang ini
negara ada dalam ancaman bahaya besar, di dalam, semua
bandit main bergerombolan, di luar, musuh yang tangguh
tengah mengintai, maka itu jikalau kita tidak roboh di tangan
bandit-bandit pasti kita bakal termusnah di tangan musuh!
Atau lebih tegas lagi, negara Kerajaan Beng ini sudah pasti
tidak akan menjadi kekal abadi. Menurut aku, daripada negara
musnah di tangan bandit, lebih baik dirampas bangsa Boan
saja. Jikalau negara dimusnahkan bandit, kita akan terbinasa
dengan tidak mendapat tempat untuk mengubur tubuh kita,
sebaliknya jikalau termusnah di tangan bangsa Boan,
89 sedikitnya kita masih dapat makan nasi. Nah, coba kau pikir,
beralasan atau tidak apa yang aku katakan?"
Keksie berdiam, ia berpikir, akhirnya, ia menghela napas.
"Biasanya kecerdasan kau ada di atas kecerdasanku," ia
kata kemudian. "Sebenarnya aku sangat tidak menginginkan kau
memanggul nama busuk sebagai penghianat bangsa pada
bebokongmu, akan tetapi setelah suasana menjadi
sedemikian rupa, baiklah aku tidak mengatakan suatu apa
lagi..." Mendengar kata-kata terakhir dari nyonya yang
berpengaruh itu, Bouwyong Tjiong terkejut sampai hampir
terguling dari tempat mendekamnya, karena bingungnya.
"Benar-benar dia berkongkol dengan musuh, untuk menjual
negaranya!" pikir pahlawan ini. "Bagaimana sekarang" Jikalau
aku berontak terhadapnya, dia sebenarnya adalah orang yang
mengangkat aku dalam kedudukkanku ini. Jikalau aku
tetap mengikuti dia, aku kuatir rahasia ini bocor atau urusan
gagal, apabila itu sampai terjadi, pasti orang akan mencaci
aku. Itu waktu, benar-benar aku bukan lagi enghiong hanya
anjing!" Pembicaraan antara Goei Tiong Hian dan Keksie telah
selesai, orang kebiri itu sudah lantas ambil selamat berpisah
dari kekasihnya. Melihat demikian, Bouwyong Tjiong buruburu
mendahului menyingkir dari tempat sembunyinya itu.
Ketika pahlawan ini sudah lewati dua undakan genteng,
tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis di dalam
gedung. Ia menjadi heran.
"Ah, bukankah itu Peng Teng?" dia tanya dirinya sendiri.
"Sudah begini malam, kenapa dia masih belum tidur?"
Ia segera berhenti menindak. Mendadak ia ingat hal
lukanya si nona, yang ia curigai.
III Tanpa bersangsi lagi Bouwyong Tjiong turun ke payon,
untuk menyantelkan kakinya, hingga tubuhnya bergelantung
90 dengan kaki di atas dan kepala di bawah, setelah mana ia
pasang kupingnya. Ia ingin dengar sesuatu dari si nona.
Kamar yang tadinya gelap tiba tiba menjadi terang. Peng
Teng telah menyulut lilin.
"Tak mau aku mempunyai ayah semacam dia!..." begitu
terdengar perkataan Peng Teng tersedu-sedu.
"Ah. kiranya dia sudah tahu," pikir Bouwyong Tjiong. Ia
lantas mendekati jendela, untuk mengintai ke dalam.
Peng Teng memegang satu boneka dari batu kemala, ia
bawa itu ke dekat api, lantas ia ludahi, sesudah itu dengan
sekuat tenaga, ia banting, hingga dengan suara nyaring
boneka itu pecah, hancur berserakan! "
Itulah patungnya Goei Tiong Hian.
Soenboe dari Soetjoan hendak ambil hatinya dorna kebiri
itu serta Keksie, ia perintahkan tukang yang pandai membuat
patung itu dari kemala pilihan. Patungnya Keksie pun
dibuatnya. Dan kedua patung itu dipersembahkan kepada
mereka berdua. Keksie menghendaki puterinya mendapat
kesan baik terhadap Goei Tiong Hian. ia serahkan kedua
patung itu kepada anaknya. ia perintahkan meletakkannya di
meja rias. Sebenarnya Peng Teng heran atas sikap ibunya ini,
pernah ia menanyakan. Atas itu sang ibu berkata: Kemala
semacam ini adalah kemala yang langka sekali. Tidakkah itu
bagus diserahkan kepada kau untuk dipajang" Buat apa kau
menanyakan itu ada patungnya siapa?"
Peng Teng jemu terhadap Goei Tiong Hian, akan tetapi
terhadap ibunya ia menurut, tidak lagi ia mencampuri urusan
kecil itu. Dengan sembarangan saja ia letakan patung itu di
pojok. Tapi sekarang, ia sadar, maka dalam murkanya, ia
banting hancur patung itu.
"Sayang..." kata Bouwyong Tjiong dalam hatinya. "Kenapa
ia benci Goei Tiong Hian sampai begini rupa?"
Peng Teng angkat juga patung ibunya, ia pandang itu
sekian lama. Kelihatannya hendak ia banting juga patung itu
tetapi batal. "Jikalau kau pun seperti dia, berkongkol dengan bangsa
asing dan menjual negara, aku juga tak menghendaki ibu
91 semacam kau..." demikianlah ia perdengarkan suaranya
perlahan. Walaupun suara itu perlahan, di waktu sesunyi itu,
Bouwyong Tjiong dapat juga mendengarnya. Pahlawan ini
menjadi heran. "Kek Peng Teng ini tinggal di dalam keraton dengan
keagungannya melebihi puteri raja. akan tetapi mengetahui
ayahnya satu dorna, ia toh membencinya sampai begini..."
Sikapnya nona ini mempengaruhi pahlawan itu.
Peng Teng berjalan mundar mandir, lantas ia berbenah,
merapikan satu buntalan kecil. Di kamarnya itu ada banyak
barang berharga, tidak sepotong juga yang ia jemput untuk
dimasukkan ke dalam buntalannya itu. Pada akhirnya ia
jemput pula patung ibunya, ia pandang itu sekian lama, ia
menghela napas. Kelihatannya hendak dimasukkan ke dalam
bungkusannya, tapi batal, lalu ia letakkan pula di atas meja
riasnya. "Patung ini ada sepasang," terdengar suaranya, perlahan,
"yang satu telah aku banting, yang ini untuk apa" Lebih baik
aku tidak bawa pergi..."
Ia berpaling ke arah jendela. Samar-samar ia tampak
bayangan sang fajar. "Ibu," tiba-tiba ia mengeluh, "inilah malam penghabisan
yang aku berada bersama kau..."
Ia memandang pula ke jendela.
"Belum waktunya aku pergi..." katanya. Dan ia duduk pula
di muka meja riasnya. Dari laci ia keluarkan selembar kertas
tulis putih berkembang, ia angkat pit, lalu ia menulis. Baru satu
baris, ia sudah berhenti. Kembali terdengar tangisnya, sedih,
perlahan. "Tentu ia menulis surat untuk ibunya, rupanya tak mau ia
kembali ke istana ini," Bouwyong Tjiong menduga-duga.
Melihat sikapnya si nona, ia jadi berpikir:
"Di sini Peng Teng hidup bagaikan puteri raja, tapi dia tidak
sayang akan kedudukannya itu, maka, apa artinya bagiku
pangkat Tjongkauwtauw dari Tongtjiang ini?"
Darahnya pahlawan ini meluap, mukanya ia rasakan panas.
92 "Aku bertubuh tujuh kaki, akulah satu laki-laki!" pikirnya
pula. "Mustahil aku kalah terhadap budak ini?"
Sampai di situ, pahlawan ini meninggalkan tempatnya
mengintai. Ketika ia menoleh, kamarnya Peng Teng sudah
gelap, rupanya si nona telah memadamkan lilinnya. Fajar pun
sudah mulai menyingsing. Segera Bouwyong Tjiong kembali ke gedungnya, ketika ia
sampai di taman, tiba-tiba ia dengar teguran: "Selamat pagi,
Bouwyong Tjongkoan!" Ketika ia angkat kepalanya, ia tampak
Eng Sioe Yang. Segera ia ingat: "Diapun salah satu
penghianat penjual negara! Jika aku hendak binasakan dia,
aku dapat melakukan itu dengan gampang sekali, seperti juga
membalik telapak tanganku, akan tetapi Goei Tiong Hian tetap
ada orang yang telah mengangkat aku, maka, setelah aku
tidak memikir untuk bantu dia, aku pun tak perlu menjadi
satrunya... Sudah, sudahlah! -- Oh, Bouwyong Tjiong kau telah
bertemu dengan orang yang tidak tepat! -- Biarlah aku
sesalkan diri yang bernasib buruk, baiklah mulai sekarang ini
aku umpetkan diri di gunung untuk jangan pedulikan pula
urusan dunia... !" Karena berpikir demikian, kegembiraannya tjongkauwtauw
jadi hilang. Eng Sioe Yang menghampiri, ia tampak wajah tak wajar
dari pemimpin Tongtjiang ini, ia menjadi heran. Ia tepuk
pundaknya. Dengan tawar Bouwyong Tjiong tolak tangan rekan itu.
"Begini pagi kau sudah bangun, kau hendak bikin apa?" dia
tanya Eng Sioe Yang tertawa bermuka-muka:
"Aku hendak menanyakan kesehatannya Hong Seng
Hoedjin," dia menyahut. "Kau mau turut atau tidak?"
"Tidak!" jawab orang yang ditanya itu, dengan sikapnya tak
sabaran. Eng Sioe Yang menjadi bertambah heran. Ia awasi
tjongkauwtauw itu, terus sampai orang itu lenyap di balik
pohon-pohonan. Rupanya ia sedang memikirkan sesuatu, ia
lantas cari satu orang kebiri kepada siapa ia berikan
93 pesannya, setelah itu ia lanjutkan perjalanannya ke Lengnio
hoe. Di pihak lain, Tiat Hoei Liong dan anak angkatnya sudah
kembali ke Tiangan Piauwkiok. Giok Lo Sat tuturkan kepada
ayah angkatnya tentang dayanya menolongi ayah ini, halnya
ia bekerja sama dengan Kek Peng Teng sampai nona itu
melepaskan api. i'Aku tidak sangka Keksie si cabul mempunyai anak
semacam dia!" kata jago tua itu sambil tertawa.
Kemudian jago ini beritahukan anaknya bahwa ia sudah
mengirim surat untuk menantang Bouwyong Tjiong pieboe
satu sama satu. "Apakah ayah berani pastikan dia bakal datang seorang diri
saja?" sang anak tegaskan.
"Bouwyong Tjiong anggap dirinya sebagai enghiong, jikalau
dia tidak datang apakah ia tidak malu nanti ditertawakan kaum
kangouw?" jawab ayahnya. "Anak Siang, hendak aku bicara
kepadamu, yaitu jangan sekali-sekali kau turun tangan
membantui aku, jikalau kau membantui maka itu berarti
putuslah perhubungan kita ayah dan anak!"
Si Raksasi Kumala tertawa.
"Ayah, mustahil anakmu tak tahu aturan kaum kangouw
ini?" katanya. Ayah itu pun tertawa. "Aku tahu kau mengetahuinya!" katanya. "Tetapi aku tahu
juga kau paling doyan berkelahi!"
Giok Lo Sat tertawa. Kemudian ia keluar meninggalkan


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ayah angkat itu. Ia cari Liong Tat Sam, untuk berbicara
dengannya. Selang tiga hari, seorang diri Tiat Hoei Liong pergi ke
jurang Pitmo gay. Di sana ia menantikan Bouwyong Tjiong.
Tidak lama ia menanti, atau ia tampak Bouwyong Tjiong
datang seorang diri. Ia lantas ingat sakit hati puterinya, tidak
dapat ia kendalikan dirinya lagi, maka ia lompat maju, akan
menghadapi musuh itu. Ia lompat sambil perdengarkan seman
keras. "Orang tua she Tiat, kenapa kau hendak adu jiwa
denganku?" tanya Bouwyong Tjiong.
94 "Siapa membunuh orang, dia mesti mengganti jiwanya,
siapa meminjam uang, dia harus membayarnya!" sahut Hoei
Liong dengan bengis. Diam-diam Bouwyong Tjiong bergidik sendirinya.
"Memang selama tahun ini aku telah membunuh banyak
orang baik-baik. semua untuk Goei Tiong Hian," pikirnya.
"Tetapi Tiat San Ho itu bukanlah aku sendiri yang
membunuhnya..." "Apakah kau tidak mau maju untuk menerima hajaran?"
tanya Hoei Liong apabila ia lihat orang berdiam saja. "Jikalau
kau memikir untuk minta ampun dari aku, itulah tidak bakal
terjadi!" Oleh karena sangat terdesak, Bouwyong Tjiong membuka
mulut juga. "Membunuh orang mesti mengganti jiwa, meminjam uang
mesti membayarnya..." katanya, seperti menggerutu. "Baiklah,
kau boleh gerakkan tanganmu! Aku Bouwyong Tjiong, aku
bukan bangsa yang tak punya nama! Baiklah kita bertempur
dengan memakai tiga syarat. Umpama kau menang, nanti aku
serahkan jiwaku kepadamu!"
Hoei Liong tertawa dingin.
"Bagaimana caranya?" dia tanya.
"Pertama ialah pertandingan secara boen," sahut
Bouwyong Tjiong, "kedua secara boe dan yang ketiga ialah
separuh boen dan separuh boe."
Hoei Liong tertawa dingin pula.
"Hai siapa punyakan kesabaran akan main boen dan main
boe itu!" serunya. "Kau jangan ngaco! Aku beritahukan
padamu, inilah pembalasan sakit hati. bukannya adu silat
biasa saja! Kita harus mencari putusan dengan kepalan!"
Segera ia gerakkan tubuhnya, tangannya pun menyambar,
untuk menjambret tjongkauwtauw dari Tongtjiang itu. Ia telah
gunakan Tjitkim tjiang. Tangan Tujuh Tangkapan.
Bouwyong Tjiong berkelit, ia menjadi sangat murka.
"Orang she Tiat. kau terlalu menghina aku!" serunya. Di
dalam hatinya, ia berpikir: "Seharusnya aku berdamai
dengannya tetapi jikalau aku mengalah, dapat dia pandang
aku takut kepadanya..."
95 Karena ini, habis mendak, dia balas menyerang pada
dadanya. Hoei Liong tangkis serangan itu.
Keduanya segera saja bertempur, dengan sengit, hingga
kaki, tangan mereka bergerak-gerak tak hentinya. Yang satu
sengit, yang lainnya melawan dengan tak kalah sengitnya.
Kalau dua jago bertempur, tidak heran mereka berkelahi
sampai sekian lama, karena tidak ada satu yang suka
mengalah. Giok Lo Sat saksikan pertempuran itu. hatinya kebat-kebit,
matanya dibuka lebar-lebar. Ia ikut ayah angkatnya tetapi ia
tidak perlihatkan diri. Ia taat kepada pesan ayahnya untuk
jangan membantu ayah itu. Sebenarnya ayahnya melarang
dia ikut tetapi ia menyusul dengan diam-diam. Malah ia datang
bersama-sama "Liong Tat Sam. Supaya Hoei Liong tidak lihat
mereka, mereka umpetkan diri di balik batu besar, dari mana
sebaliknya dapat mereka memasang mata.
Berselang sekian lama, terdengarlah seruan nyaring dari
Bouwyong Tjiong. dibarengi dengan serangannya bertubi-tubi
hingga Hoei Liong tampak main mundur.
Liong Tat Sam saksikan perubahan itu, ia kaget. Tapi
kawannya tertawa. "Tidak apa!" kata si Raksasi Kumala. "Bouwyong Tjiong
andalkan tubuhnya yang kuat dan tenaganya yang besar, dia
hendak mencoba mendesak ayah supaya dia segera dapat
dipukul roboh. Dia berkelahi dengan ilmu silat "Hangliong
Hokhouw Koen", ilmu silat simpanan dari Ngobie pay. Ayah
kenal baik ilmu pukulan itu, ia dapat memecahkannya. Ayah
melawan dengan ilmu silat Loeiteng Patkwa Koen, yang
dipakainya separuh menangkis dan separuh menyerang. Kau
lihat sendiri, bukankah gerakannya ayah tidak kalut?"
(Hangliong Hokhouw Koen = ilmu silat Menakluki Naga dan
Menunduki Harimau. Loeiteng Patkwa Koen = ilmu silat
Delapan Garis Geledek.). Liong Tiat Sam pasang matanya, ia lihat betul kakinya Tiat
Hoei Liong mengambil kedudukan patkwa -- delapan garis,
atau delapan penjuru " tindakannya tak kacau sedikit juga.
96 Dan kedua tangannya jago tua itu pun gesit tetapi tetap,
pembelaannya selalu dibarengi dengan serangan membalas.
"Sudah lama aku dengar ilmu silat Loeiteng Patkwa Koen
dari ayahmu itu," katanya, "sebegitu jauh belum pernah aku
saksikan dia menjalankannya, baru sekarang..."
Si Raksasi Kumala tidak menyahuti, dia hanya berseru:
"Lekas lihat! Lekas! Jikalau kau tak melihat pertempuran
semacam ini, artinya selama hidupmu kau telah melewatkan
ketika yang baik!..."
Tat Sam juga tidak sahuti si nona, dia hanya pentang lebar
kedua matanya. Pertempuran benar-benar sangat menarik hati -- sangat
hebat. Hoei Liong perdengarkan suara keras, dia balik menyerang,
hingga sekarang adalah Bouwyong Tjiong yang terdesak.
Serangannya jago tua itu hebat bertubi-tubi, meskipun usianya
telah lanjut. "Inilah dia, jahe tambah tua tambah panas!" kata Tat Sam
akhirnya. "Meski pun Bouwyong Tjiong sangat liehay, dia
bukanlah tandingan ayahmu!"
"Tetapi, untuk mendapatkan kepastian menang atau kalah,
waktunya masih lama," kata si nona.
Memang benar, walaupun Bouwyong Tjiong main mundur,
gerakan kakinya tidak kalut, kedua tangannya juga bergerak
dengan cepat tetapi rapi. Ia juga adalah satu jago yang
berpengalaman, ia mengerti akan keadaan. Maka ketika
didesak, ia terus bersilat dengan Tjittjapdjie Lowsinkoen,
hingga ia dapat bela diri rapat sekali, umpama kata angin dan
hujan tak dapat menembusnya...
Maka, meskipun hebat kedua tangannya Tiat Hoei Liong,
tidak sanggup dia menggempur pembelaan diri lawannya yang
bagaikan tembok besi dan baja.
Pertempuran berjalan terus, sampai lebih dari seratus jurus,
keduanya tetap sama tangguhnya, tiba-tiba keduanya berseru
keras sekali, menyusul mana terdengar suara "Buk! Buk! dua
kali, setelah itu keduanya sama-sama lompat mundur tiga
tindak. Sebab Bouwyong Tjiong kena hajar pundaknya Tiat
97 Hoei Liong yang sebaliknyapun dapat membabat pinggang
lawannya itu! "Orang she Tiat," berkata Bouwyong Tjiong, "kau tidak
dapat menangkan aku, aku juga tidak dapat menangkan kau,
maka hitunglah kita sudah seri. Apakah artinya berkelahi terus
secara gila begini?"
Tapi Hoei Liong masih tetap sangat gusar.
"Kita berkelahi hari ini sampai mati baru berhenti!" dia
berteriak. "Baiklah kita anggap gebrakan ini ada gebrakan boe," kata
Bouwyong Tjiong, yang masih dapat berlaku tenang. "Jikalau
kau hendak bertempur terus, mari kita bertempur secara boen,
lalu disusul dengan yang ketiga, yang separuh boen dan
separuh boe... Jikalau aku kalah, di depanmu ini nanti aku
bunuh diri!" "Adakah itu kata-katanya seorang koentjoe..." kata Hoei
Liong. "Itu seperti kuda gesit dicambuk satu kali!" sambung
Bouwyong Tjiong. "Nah, kau tunjukkan caramu!" kata jago tua itu. "Bagaimana
hendak kau aturnya?"
Bouwyong Tjiong keluarkan kantong tempat menyimpan
senjata rahasianya, ia tuangkan semua isinya ke tanah.
"Apakah kau hendak adu senjata rahasia?" tanya Hoei
Liong. "Adakah itu namanya mengadu kepandaian?" Di dalam
hatinya, ia berkata: "Biasanya tak pernah aku menggunai
senjata rahasia, maka jikalau dia hendak menggunakan
senjata itu, lebih baik kita bertempur secara biasa..."
Bouwyong Tjiong berkata: "Senjata rahasia biasanya
dipakai menghajar bangsat cilik, maka bila senjata rahasia ini
dipakai terhadapmu, apakah gunanya?"
Tiat Hoei Liong tidak gusar, sebaliknya dia tertawa. Dia
pale kumis jenggotnya. "Kau mengerti itu, bagus!" katanya.
Bouwyong Tjiong terima kata-kata jago tua itu.
"Kita berdua tersohor jago karena kepalan kita, karena kita
rebut kemenangan dengan andalkan tenaga dalam," kata dia,
98 "maka itu sekarang, mari kita adu tenaga tangan kita. Di
sini terdapat banyak pohon kayu besar, mari kita gunakan
tangan kita untuk menebangnya. Masing-masing menebang
sepuluh pohon, untuk melihat siapa yang terlebih liehay!"
"Baik, akan aku turut kau!" sahut Hoei Liong, yang tidak
berpikir panjang lagi. "Habis, bagaimana, andaikata kita
berdua sama-sama dapat menebangnya?"
"Itulah sebabnya kenapa aku menghendaki kantong ini,"
sahut Bouwyong Tjiong sambil menunjukkan kantong kulitnya,
tempat menyimpan senjata rahasia. Ia patahkan secabang
pohon, ia tusukkan itu ke arah kantong kulitnya guna membuat
lubang kecil, setelah mana ia pergi ke solokan di sampingnya,
untuk diisi dengan air. Tentu saja, karena adanya lubang kecil
itu, airnya keluar menetes.
"Kau mengerti atau belum?" tanya Bouwyong Tjiong
apabila ia telah kembali ke depan lawannya. "Kita menebang
masing-masing sepuluh pohon, siapa yang dapat menebang
sebelum air ini habis, dialah yang menang. Andaikata kita
sama-sama dapat menebang sebelum air ini habis, kita mulai
pakai batas dari airnya, yaitu sisanya air masih berapa banyak
lagi. Kita bukan tukang mendusta, maka kau tentunya tidak
curiga bukan" Apa lagi yang kau pikirkan?"
"Pohon itu tidak tentu besar dan kecilnya," kata Hoei Liong.
"Itupun gampang diurus," kata Bouwyong Tjiong. "Kita pilih
dulu dua puluh pohon, untuk ditetapkan, lantas kita pecah itu
menjadi dua, masing-masing terdiri dari sepuluh pohon. Aku
percaya, kalau ada perbedaannya, tentu tidak seberapa."
Hoei Liong setuju. "Baik," sahutnya.
Lalu berdua mereka pilih pohon-pohon itu, terus mereka
beri tanda. "Cukup!" kata si jago tua kemudian.
Bouwyong Tjiong pergi pula ke solokan, untuk mengisi pula
kantongnya yang bolong. Lubangnya itu ia sumpel dengan
gulungan kertas, kemudian ia gantung kantong itu di cabang
pohon. "Secara begini siapa pun tak dapat main gila!" dia kata.
99 Hoei Liong lantas gulung tangan bajunya, hendak ia
memulai. "Aku dulu!" mencegah Bouwyong Tjiong. "Itulah usulku
maka akulah yang harus mulai, sambil memberi contoh
kepadamu. Begitu lekas aku gerakkan tanganku, kau mesti
singkirkan tutup kertas itu."
Hoei Liong setuju, maka ia lantas mundur ke cabang
pohon, mendekati kantong air itu. Begitu lekas ia dengar
suaranya lawan itu, yang memberi tanda, segera ia cabut
sumpel itu. Segera juga Bouwyong Tjiong serang sebuah pohon di
depannya, ia membacok dengan tangannya sampai enam
tujuh kali. hingga terdengarlah suara yang keras dari
beradunya tapak tangan dengan pohon kayu itu, setelah itu,
dengan kedua tangannya, ia peluk pohon itu dibarengi dengan
seruan keras: "Roboh!"
Dan benar-benar, pohon kayu yang besar itu jatuh
menggabruk! "Aku mengerti!" kata Hoei Liong di dalam hatinyaa. "Mulamulanya
dengan tenaga dalam dia gempur pohon itu, lalu dia
peluk dan mencabutnya. Inilah kepandaian yang dicampur
dengan akal, Tapi inipun menandakan mahirnya tenaga
dalamnya itu..." Bouwyong Tjiong melanjutkan caranya menebang pohon
itu, sampai roboh sepuluh-sepuluhnya, ketika kantong kulit itu
diturunkan, untuk diperiksa, tepatlah tetesan air yang terakhir
itu. Mereka nantikan sekian lama, tidak ada tetesan lainnya
lagi. "Sungguh berbahaya!" kata tjongkauwtauw dari Tongtjiang
itu. "Sekarang ada giliran kau!"
Tanpa menyahut, Hoei Liong bawa kantong itu ke solokan,
untuk diisi pula. Ia menyumpel liang seperti Bouwyong Tjiong
tadi, lalu kantong itu digantungkan pula di tempatnya.
"Tak usah kau yang mencabutnya!" kata dia pada lawannya
sesudah ia awasi lawan itu.
"Apakah kau tidak akan dirugikan?" tanya Bouwyong
Tjiong. 100 "Rela aku mendapatkan kerugian," sahut si jago tua, yang
segera mencabut sumpelnya, setelah mana dia lompat ke
pohon kayu yang diberi tanda.
Ia berlaku begini karena ia curiga Bouwyong Tjiong nanti
berbuat curang terhadapnya.
Pahlawan istana itu tertawa di dalam hati.
"Aku tidak takuti kau, setan bangkotan yang cerdik!"
katanya dalam pikirannya. "Kau akan dapat kuakali! Tentu
saja tidak aku gunakan segala akal busuk dengan main gila


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama kertas sumpelan. Tak usah aku berbuat demikian..."
Hoei Liong sendiri sudah lantas bekerja. Caranya ia
menebang pohon berlainan daripada caranya Bouwyong
Tjiong. Pahlawan itu lihat orang itu mula-mula memutari pohon,
lantas dia menyerang dengan kedua tangannya saling susul,
habis itu dengan tenaga yang diempos, dia dorong pohon itu,
yang roboh dengan segera. Pohon itu roboh seperti ditebang.
Tentu saja pahlawan ini menjadi terperanjat.
"Benar-benar dia jauh terlebih liehay daripada aku..."
pikirnya. "Coba umurku setua dia. aku pasti tidak dapat
menandingi padanya."
Hoei Liong bekerja terus, menebang sepuluh pohon kayu.
Tentu saja, waktunya jauh terlebih pendek daripada lawannya
itu. Ketika ia hampiri sang lawan, ia tunjukkan senyuman
puas. Tapi, ketika ia angkat kantong air itu, ia menjadi heran.
Air itu baru saja habis, dan ketika ditunggu, tetesan terakhir itu
tidak ada lagi. "Heran!" pikirnya. Ia sangat tidak mengerti. "Bouwyong
Tjiong tidak main gila. Selagi aku menebang pohon, aku
senantiasa melirik padanya, umpama kata dia gerakkan
tangannya, tidak nanti mataku kena dikelabui..."
Jago tua ini cerdik, dia telah bersiap sedia. Tetapi satu hal
dia tidak ingat. Kantong itu ada kantong bekas, kalau tadi
lubangnya kecil sekali, karena berulang kali disumpel, lubang
itu berubah, walaupun sedikit. Dan perubahan itu pasti besar
bedanya untuk tetesan air.
Bouwyong Tjiong sebenarnya sangat berkuatir, hingga di
dalam hatinya ia mengeluh, "Sungguh berbahaya!..." Tapi
101 ketika ia tampak lawannya bengong, seperti orang yang tawar
hatinya, ia tertawa. "Bagaimana?" kata pahlawan ini. "Kali ini juga kita seri!"
Ia menggoda walaupun orang sedang kecele.
Giok Lo Sat dari tempat sembunyinya telah menyaksikan
itu semua, ia pun dengar jengekan dari si pahlawan, tidak
puas dia. "Hm, Bouwyong Tjiong tidak punya malu!" katanya pada
Liong Tat Sam. Ia bicara sesukanya saja. "Nyata-nyata dia
kalah, dia mengatakannya seri. Nanti aku buka rahasianya!"
Liong Tat Sam sadar. Ia dekati kuping nona ini.
"Apakah kau tidak takut Tiat si tua nanti persalahkan kau?"
dia tanya. Si nona sadar, ia tersenyum. Ia mesti tahan sabar.
"Coba kita lihat sekali lagi," katanya. "Entah apa caranya
yang ketiga..." Bouwyong Tjiong baru hendak mengatakan caranya yang
ketiga itu ketika Tiat Hoei Liong tertawa dengan sekonyongkonyong,
matanya pun memain dengan tajam mengawasi
lawannya itu. "Hai, sudah berapa puluh tahun aku si tua berburu, si
burung belibislah sebaliknya yang telah mematok mataku!"
kata dia, sambil tertawa. "Tidak apa, meskipun kau
menggunakan akal, itu bukanlah akal yang busuk!"
Bouwyong Tjiong tertawa tawar. Ia jengah juga sedikit
sebab orang telah ketahui rahasianya itu.
"Bukankah yang ketiga ada cara separuh boen dan
separuh boe?" kata jago tua pula. "Apakah itu?"
"Betul!" jawab Bouwyong Tjiong.
"Cara yang ketiga ini membuat aku ingat suatu cara," kata
Hoei Liong. "Kau akur atau tidak?"
"Apakah itu" Coba katakan!"
"Dengan caraku ini. kedua pihak tidak dapat menggunakan
akal," kata Hoei Liong.
Tak enak hatinya si pahlawan, wajahnya agaknya Sikat.
"Sudah, jangan banyak bicara, katakanlah!" ia desak. "Pasti
akan aku bersedia menemani kau!"
102 Hoei Liong mencelat ke atas sebuah batu besar, lantas ia
berpaling sambil melambaikan tangannya kepada lawannya
itu. "Mari, kita main saling dorong tangan di sini!" katanya.
Bouwyong Tjiong lompat naik ke atas batu itu.
"Mari kita tempelkan tangan kita masing-masing," kata Hoei
Liong. Dan ia lonjorkan kedua telapakan tangannya. "Kau
dorong aku, aku dorong kau. Siapa yang terdorong hingga
jatuh ke bawah, dialah yang kalah. Kita memang beradu
tangan tetapi kita tidak saling tubruk. Bukankah ini separuh
boen dan separuh boe?"
Di dalam hatinya, Bouwyong Tjiong mengeluh.
"Terang sudah dia terlebih kuat tenaga dalamnya daripada
aku," pikirnya. "Oleh karena aku memang telah memikir untuk
tidak hidup lebih lama, baiklah aku layani dia. Jikalau aku mati
karena adu kepandaian semacam ini, aku bukannya mati tak
dengan muka terang..."
Tidak dapat pahlawan ini berpikir lama, ia lantas
merasakan Hoei Liong sudah mulai mendorong padanya.
Maka mau atau tidak, ia lantas mendorong juga. Ia kertak
giginya selagi ia pusatkan tenaganya di tangan dan tubuh,
guna melayani jago tua itu.
Mereka mengadu tenaga tidak sambil berdiri, tetapi sambil
duduk bersila. Tidak hanya kedua tangannya saja yang
dirapatkan satu pada lain, juga kedua mata mereka
berpandang satu sama lain.
Belum ada setengah jam, .keduanya sudah mengucurkan
keringat di dahinya. Adu tenaga semacam ini memang ada
lebih berat daripada adu tenaga dengan bertempur. Siapa saja
yang alpa sedikit, tenaganya dielakkan, dia pasti bakal
terbinasa... Hoei Liong mempunyai tenaga dalam yang mahir sekali,
tetapi di depan dia ada satu lawan muda yang sedang
tangguhnya, yang cuma "kalah seurat", yang dapat melayani
dia dengan baik. Sesaat kemudian di samping mengeluarkan keringat,
keduanya mulai merasakan panas di kepala dan hati,
tenggorokan mereka kering. Keringatnyapun keluar lebih
103 banyak pula, hingga keringat itu membasahi seluruh tubuh
mereka. Bouwyong Tjiong insaf, lagi beberapa detik, dia bakal
kalah. Tentu saja, pada saat yang memutuskan itu, siapa juga
tak dapat mengalah. Mereka akan dapat ditolong jikalau
mereka kendorkan tenaganya dengan bareng dan perlahanlahan.
Dia sudah tempelkan tangannya, tak dapat dia
menyatakan menyerah. Sama sekali dia tidak berani
pecahkan pemusatan pikirannya, sebab, itu berarti
mengurangi tenaga. Sesaat kemudian, dari kepalanya Bouwyong Tjiong
menghembus hawa panas, hatinya mulai tergerak, karena
mana, kembali dia empos semangatnya, untuk terus membuat
perlawanan. Batu yang mereka duduki menghadap gua dari jurang
Pitmo gay, di saat yang sangat genting itu, mendadak mereka
dengar suara berisik yang keluar dari gua itu, suara
tertawanya Lian Seng Houw dan kawan-kawannya, yang
muncul dengan tiba-tiba. Mereka itu masing-masing
membawa senjata, mereka memburu ke arah Hoei Liong,
yang hendak mereka serang.
Munculnya Lian Seng Houw ini adalah hasil kelicikannya
Eng Sioe Yang setelah malam itu ia bertemu dengan
Bouwyong Tjiong dan melihat wajah orang yang luar biasa,
hingga ia segera menyuruh si orang she Lian, mencarinya
untuk memberi kisikan, hingga selanjutnya orang she
Bouwyong itu diintai tanpa dia mengetahuinya.
Setelah mengisiki Lian Seng Houw, seperti diketahui, Eng
Sioe Yang terus pergi ke Lengnio hoe. Adalah Lian Seng
Houw, yang terus menyusul ke kamarnya tjongkauwtauw itu
mendapatkan sang kepala tidak ada di kamarnya. Ia lantas
selidiki. Ia mendapat keterangan, Bouwyong Tjiong sudah
pergi ke luar istana. Ia jadi heran dan bercuriga. Dengan
berani ia masuk ke dalam kamar Bouwyong Tjiong, untuk
menggeledah. Di situ ia dapatkan surat tantangan Hoei Liong
untuk bertempur. 104 "Oh, kiranya begitu..." Seng Houw berpikir. "Tentu dia pergi
mencari bantuan orang liehay. Anehnya, mengapa dia tidak
memberi tahu sama sekali pada aku atau yang lainnya?"
Lantas Lian Seng Houw bawa surat tantangan itu pada Eng
Sioe Yang. Tetapi orang she Eng itu tidak ada di Lengnio hoe.
juga di Tjengyang kiong, tidak tahu ke mana ia pergi.
Pada waktu magrib, Lian Seng Houw dengar kabar yang
mengejutkan, ialah Kek Peng Teng juga lenyap!
Nona Peng Teng itu keluar di waktu tengah hari, ia keluar
dengan naik kereta kurungnya yang indah, sampai lewat lohor,
ia tidak kelihatan kembali. Keksie heran. Ibu ini perintahkan
untuk pergi mencari, ingin ia ketahui, ke mana anaknya itu
pergi. Pelbagai tempat yang terkenal telah dikunjungi, tapi
Peng Teng tidak dapat diketemukan. Akhirnya yang dapat
dicari adalah kereta kurungnya, di gunung Seesan, kereta itu
sudah rusak ringsak. Menduga puterinya telah lenyap, Keksie menangis
menggerung-gerung, sampai ia lupa orang. Ia penasaran, ia
kirim orang akan cari terus puterinya itu, ia sendiri pergi ke
kamar si puteri, untuk memeriksa. Maka akhirnya ia dapatkan
surat peninggalannya si anak, yang memberitahu, dia pergi
dan tidak akan kembali...
Lian Seng Houw segera beri laporan kepada Goei Tiong
Hian. Thaykam yang berpengaruh itu seorang yang pintar, ia juga
sangat gampang bercuriga, maka ia gabung laporan hal
lenyapnya Eng Sioe Yang, perihal minggatnya Kek Peng Teng
dan tentang perginya Bouwyong Tjiong dengan diam-diam
untuk menerima tantangannya Tiat Hoei Liong.
"Dalam satu hari satu malam Bouwyong Tjiong tidak
kembali, dia terima tantangannya Tiat Hoei Liong tanpa
melaporkan, inilah aneh," berkata dorna itu. "Pada hari
pertandingan itu, pergi kau ajak beberapa kawan ke Pitmo gay
untuk mengintai, apabila benar-benar dia bertanding, kamu
boleh bantu padanya, jikalau tidak, baik kamu binasakan saja
mereka berdua!" Lian Seng Houw terima titah itu, ia sudah lantas bersiap,
maka pada hari pertandingan itu, ia ajak kawan-kawannya
105 pergi mengintai, untuk menyaksikan, untuk turun tangan
apabila ia mendapatkan buktinya. Yang dijadikan kawan
adalah tiga orang kosen undangannya Eng Sioe Yang serta
Lhama besar Tjiang Kim, yang menjadi pelindung bagi kaisar
cilik. Dalam jumlah berlima mereka mengintai dari lubang gua.
Tadinya ke empat kawan itu sudah hendak lantas keluar, guna
menyerang, akan tetapi Lian Seng Houw. yang jeri terhadap
Tiat Hoei Liong, mencegah. Dengan tertawa bermuka-muka
dia berikan penjelasan: "Apakah tidak baik kita turun tangan setelah mereka
menjadi lelah?" Tjiang Kim Hoatsoe setuju, tiga kawan lainnya pun akur.
Mereka menunggu sambil menonton terus, sampai tiba
saatnya Tiat Hoet Liong dan Bouwyong Tjiong menjadi lelah,
baru mereka keluar sambil menerbitkan suara berisik.
Sebetulnya Tiat Hoei Liong sudah girang, karena segera ia
akan peroleh kemenangan, tapi ia menjadi kaget ketika ia
melihat musuh datang, yang hendak menyerang kepadanya.
Ia pun gusar terhadap Bouwyong Tjiong.
"Jahanam Bouwyong!" dia mencaci, "kalau hari ini aku
pulang ke langit maka terlebih dahulu hendak aku membikin
kau mampus!" Kata-kata ini disusul dengan emposan tenaganya yang
dahsyat sekali. Bouwyong Tjiong pun berseru, tapi mendadak saja habis
tenaga perlawanannya, sama sekali ia tidak membela diri.
maka serangannya Hoei Liong tidak menghadapi rintangan.
Berbareng dengan itu. sepasang gaetannya Lian Seng
Houw sudah mengancam pada Tiat Hoei Liong. Di saat yang
genting itu, mendadak Bouwyong Tjiong menyambar kepada
lengannya orang she Lian itu, hingga sepasang gaetannya
terlempar tinggi, karena lengannya patah remuk dan tubuhnya
roboh. Tapi juga Bouwyong Tjiong sendiri, dia menyemburkan
darah hidup dan tubuhnya roboh terguling dari atas batu!
Lian Seng Houw adalah yang maju paling depan, dia juga
yang mendahulukan lompat menyerang kepada Tiat Hoei
106 Liong, maka itu, kejadian itu membuat Tjiang Kim Hoatsoe dan
tiga kawannya melengak. Selagi keadaan tegang begitu, tiba-tiba terdengar tertawa
yang nyaring panjang, datangnya dari batu gunung di dekat
mereka, dan sebelumnya mereka ketahui, tiba-tiba satu tubuh
sudah lompat melayang ke arah mereka!
Itulah Giok Lo Sat, yang muncul karena bahaya
mengancam ayah angkatnya. Ia sangat gusar, tanpa bicara
lagi, ia lompat kepada Tjiang Kim Hoatsoe, yang berada paling
dekat dengan Hoei Liong. Menyusul aksinya si Raksasi Kumala itu, dari batu tadi
terdengar lagi suara yang nyaring berpengaruh: "Kawanan
ikan sudah kena terpancing, saudara-saudara keluarlah
tangkap mereka!" Suara itu berkumandang di selat. Itulah seruannya Liong
Tat Sam. yang menuruti ajarannya Giok Lo Sat. guna
menggertak musuh, sebab si nona kuatir musuh akan
berjumlah lebih besar lagi.
Tipu daya si Raksasi Kumala memberi hasil dengan
segera. Tjiang Kim Hoatsoe dan tiga kawannya jadi bernyali kecil.
Mereka memang sudah jeri terhadap si nona, sedang di situ
ada Tiat Hoei Liong yang mereka tahu juga keliehayannya.
Merekapun kuatir jumlah besar dari kawan-kawan si nona,
yang masih belum muncul itu.
"Angin keras!" demikian si Lhama serukan pada ketiga
kawannya selagi ia paksa tangkis pedangnya Giok Lo Sat,
sedang satu kawannya pondong tubuhnya Lian Seng Houw,
untuk dipanggul dan dibawa lari, dan yang dua lagi mencoba


Hantu Wanita Berambut Putih Pek Hoat Mo Lie Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melindunginya di sebelah belakang.
Lalu Lhama itu meninggalkan si nona, untuk lari bersama
turun gunung. Si Raksasi Kumala tidak mengejar mereka, ia mengawasi
sebentar, lantas ia berpaling pada ayahnya, muka siapa
tampak pucat pasi, romannya sangat lelah.
"Apakah ayah terluka?" tanya anak ini.
Tiat Hoei Liong berdiam ia tidak dapat lantas menyahuti.
107 Wajahnya si nona menjadi suram, ia maju satu tindak,
ujung pedangnya lantas mengancam Bouwyong Tjiong.
"Jangan bunuh dia!" seru Hoei Liong.
Anak itu melengak. hingga pedangnya tertunda.
"Ayah!..." katanya kepada ayah angkatnya itu.
"Aku tidak ierluka." kata Hoei Liong. "Dialah yang menolong
aku. Gendong dia. bawa turun gunung..."
Suara jago tua ini dalam, ia seperti orang yang baru
sembuh dari sakit yang berat.
Kemudian muncul Liong Tal Sam. sambil tertawa.
"Lian Liehiap," kata dia. "kau tadi sedang lompat, kau tidak
dapat melihat tegas. Memang benar jiwanya si Tiat tua ini dia
yang menolongnya! Aku tidak sangka kejadian akan menjadi
sedemikian rupa..." "Sakit hatinya San Ho tak dapat dibalas..." kata Hoei Liong
dengan perlahan, suatu tanda ia sangat menyesal.
"Dalam kebinasaannya adik San Ho, dia ini adalah salah
satu orang jahat," kata Giok Lo Sat. "Memang dia bukannya
penjahat utama. 'Penjahat utamanya adalah Kim Laokoay.
yang telah dibinasakan Gak Beng Kie. Penjahat yang lainnya
yaitu Eng Sioe Yang!"
"Walaupun dia ada si penjahat utama, dia harus diberi
ampun," kata Hoei Liong pula. Lantas dia gerakkan kaki
tangannya, pinggangnya, untuk melatih tubuh. Habis itu. dia
sendirilah yang mengangkat tubuhnya Bouwyong Tjiong.
untuk dipanggul dibawa pulang ke Tiangan Piauw Kiok.
Lukanya pahlawan itu hebat. Hoei Liong telah memberikan
dia beberapa butir pil. di sepanjang jalan dia tetap tak
sadarkan diri. Dia pun keluarkan darah dari hidungnya.
"Kelihatannya dia sukar ditolongnya." kata Giok Lo Sat.
Hoei Liong sangat bersusah hati.
"Kita harus berusaha menolong dia," katanya.
Setibanya mereka di piauwkiok. waktu sudah magrib.
Di piauwkiok mereka disambut oleh hoepiauwtauw Lim Tjin
Kau w. "Terima kasih kepada langit dan bumi, kamu telah pulang
dengan selamat!" katanya. "Ah, Tiat Loo telah menawan
musuhnya hidup-hidup" Sungguh liehay!-Hari
108 ini dalam piauwkiok telah terjadi hal yang aneh!..." ia
tambahkan. Hoei Liong menyahuti dengan perlahan.
Liong Tat Sam melirik pada pembantunya itu.
"Apa yang telah terjadi?" tanyanya.
"Tidak lama setelah kamu berangkat." sahut Tjin Kauw,
"kami kedatangan satu nona yang berkerudung cala. yang
datangnya dengan naik sebuah kereta kuda. Katanya dia
membawa satu bungkusan untuk disampaikan kepada Lian
Liehiap. dan dia pesan pada kami untuk jangan membuka
bungkusan itu. Habis berkata dia angkat satu karung besar
dari keretanya, yang dilemparkan ke lataran, setelah itu, dia
berlalu. Ketika aku angkat karung itu, aku merasakan berat,
ketika aku meraba-raba, aku rasakan isi karung itu adalah
satu manusia. Dengan cepat aku bawa karung itu ke dalam,
lalu aku buka untuk melihatnya. Benar saja, isi karung itu
adalah satu orang, yang sudah tak sadar akan dirinya, baunya
bau arak yang keras. Rupanya dia telah dilupa daratkan
dengan pengaruh arak. Setelah aku periksa lebih jauh, nyata
selainnya sinting dia pun telah ditotok jalan darahnya. Aku tak
tahu dia orang mana, tidak berani aku sembarang membikin
dia sadar. Di dalam karung itu juga ada sepucuk surat, yang di
alamatkan kepada Nona Giok Lo Sat..."
Mendengar itu, si Raksasi Kumala tertawa terpaksa.
"Pastilah dia itu Kek Peng Teng adanya!" kata dia. "Dia
tidak tahu she dan namaku, maka itu dia memanggil Nona
Giok Lo Sat!" "Orang siapakah yang dia antarkan?" tanya Hoei Liong.
Dengan memondong Bouwyong Tjiong, jago tua ini bertindak cepat masuk ke
dalam sambil diiring kawan-kawannya.
Pendekar Laknat 3 Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Harpa Iblis Jari Sakti 9
^